Ceritasilat Novel Online

Perawan Lola 9

Perawan Lola Karya Widi Widayat Bagian 9


Sebagai seorang yang telah mencapai kesempurnaan dalam ilmu maupun kejiwaan, sesungguhnya Sindu dapat pula menangkap ketidak ikhlasan jawaban Titiek Sariningsih itu. Akan tetapi ia memang
dapat memaklumi, justeru bagaimanapun Titiek Sariningsih masih amat muda. Cara berpikir dan caranya memandang, tentu saja takkan dapat setenang orang yang telah benar-benar dewasa.
Untuk memuaskan perasaan gadis ini, maka Sindu Segera menceritakan peristiwa yang telah terjadi atas diri ibu Titiek Sariningsih. Ketika itu,secara tidak sengaja Sindu masuk ke dalam rumah Tumenggung Kebo Bangah. Ia kaget ketika melihat dihalaman terdapat perajurit yang menggeletak mati, di atas tanah. Lalu timbullah kecurigaannya ketika menyaksikan pintu tengah rumah besar itu terbuka. Sebagai seorang yang telah luas pengalaman, ia segera dapat menduga apa yang terjadi. Maka bergegas Sindu masuk ke dalam rumah. Tetapi Sindu terbelalak kaget begitu masuk ke dalam rumah besar itu, berhadapan dengan dua sosok tubuh wanita yang menggeleiak tewas. Lalu ia lebih ,kaget lagi ketika melihat seorang perempuan muda yang cantik, menggeletak mati tanpa mengenakan pakaian sedikitpun. Seorang anak sedang menangis dan menggoncang-goncangkan tubuh perempuan itu.
Anak itulah Titiek Sariningsih, sedang perempuan yang mengeletak mati tanpa pakaian itu, adalah ibunya yang bernama Sri Rukmi. isteri Tumenggung Kebo Bangah.
Melihat keadaan seperti itu, Sindu segera dapat menduga bahwa tentu terjadilah keganasan seorang penjahat dalam rumah ini. Perempuan itu sebelum dibunuh mati, tentu di perkosa lebih dahulu. Akan tetapi pada waktu itu, pendapat ini barulah merupakan dugaan saja. Dan
kemudian, iapun tidak sempat untuk melakukan penyelidikan siapakah yang telah melakukan keganasan itu. Sejak saat itu, Titiek Sariningsih ia rawat dan diangkat sebagai murid.
Sungguh kebetulan, tanpa sengaja ia dapat masuk ke dalam tempat bertapa Empu Supo Driyo, dan beberapa tahun lamanya ia menggembleng diri di gua itu. Di gua inilah kemudian Sindu berhasil mempelajari Aji Pangganda. Dan ternyata walaupun peristiwa itu sudah amat lama berlalu, dengan Aji Pangganda itu, kemudian Sindu dapat mengetahui siapakah pembunuh ibu Titiek Sariningsih. Setelah lewat Aji Pangganda dapat mengetahui siapakah pembunuh Sri Rukmi, barulah Sindu dapat menghubungkan laporan Titiek Sariningsih ketika itu. Ketika berhadapan dengan Sungsang, dan Sungsang mengucapkan kata kata,
".. tetapi engkau terlalu kecil..... meskipun wajahmu mirip...... hemm, dia telah mati......" (Untuk dapat mengikuti peristiwa ini lebih jelas, silahkan anda membaca buku Kisah Si Pedang Buntung, oleh pengarang dan penerbit yang sama.)
Merah padam wajah Titiek Sariningsih, sedang tubuhnya menggigil seperti seorang yang sedang menderita kedinginan. Semua itu terjadi adalah akibat usahanya menahan kemarahan dan gejolak hatinya.Setelah mendengar penuturan Sindu tentang malapetaka yang minimpa keluarganya.
"Kek, kalau begitu, apakah dia Sungsang?'
"Begitulah."
"Braakkk !" batu cukup besar yang berada
di sebelah kanan Titiek Sariningsih, tiba-tiba saja pecah berantakan akibat pukulan gadis itu.
"Heh-heh-heh,"
Sindu terkekeh melihat sikap Titiek Sariningsih seperti itu. Ia dapat mengerti perasaan cucu terkasih ini. Dalam usahanya menekan penasaran dan marahnya, Titiek Sariningsih tidak kuasa menahan tangannya memukul batu di dekatnya.
"Titiek, batu itu tak bersalah. Mengapa kaupukul pecah?"
"Aku masygul, kek! Kalau saja aku tahu Sungsang yang telah membunuh ibuku. hem, tentu dia telah kuhajar babah-belur, ketika dia berusaha mencelakakan mbakyu Nuryanti, Hem "
"Titiek, harapanku tak lain agar engkau selalu ingat akan janjimu sendiri. Baik kepada guru kita maupun padaku."
Titiek Sariningsih berdiam diri. Beberapa kali ia menghela napas berat. Dalam usahanya menekan perasaan dan gejolak kemarahan dalam dadanya.
Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri. Kemudian Titiek Sariningsih berusaha mengalihkan pembicaraan,
"Kek, mau ke manakah engkau sekarang?" "
"Aku akan pergi mengembalikan perempuan yang kutolong itu. kepada orang tuanya."
"Ih... kausimpan di manakah dia ......?'
"Dalam semak itu."
"Di manakah rumah perempuan itu?"
"Hemm, aku belum sempat bertanya. Dia terpaksa aku suruh tidur, sehingga tak dapat berteriak lagi."
"Hemm, kalau begitu biarlah aku yang mengembalikan dia."
"Baik. Ambil dan kembalikan dia ke rumahnya."
Tanpa minta diri lagi, Titiek Sariningsih telah melompat ke arah semak, di mana Sindu tadi muncul. Ternyata benar perempuan itu masih tertidur di luar kehendak perempuan itu sendiri. Perempuan itu segera ia angkat dan ia pondong. Sesaat kemudian Titiek Sariningsih telah melompat dan berlarian cepat sekali menuju barat.
Sindu menghela napas panjang melihat itu. Ia tahu betapa perasaan bocah itu setelah mengetahui sejelasnya peristiwa yang menimpa ibunya. Dalam usaha menekan perasaan, membuat Titiek Sariningsih bersikap aneh. Belum juga tahu di manakah rumah perempuan tersebut, telah dibawa pergi menuju ke barat.
"Hemm mudah-mudahan Titiek tidak mata gelap," desisnya sambil bangkit.
"Mudah mudahan Titiek selalu teringat akan pesan Ki Ageng Purwoto Sidik."
Sindu segera menutupkan kembali kulit harimau tersebut, sehingga yang tampak sekarang, hanya seekor harimau yang dapat berdiri seperti manusia. Sejenak ia mengamati bintang pagi yang menyinarkan cahaya gemilang di angkasa.Desisnya,
"Ahh, hampir pagi. Aku harus memancing Rara Inten lebih jauh lagi."
Sesaat kemudian tubuh Sindu yang terbungkus oleh kulit harimau tutul itu telah bergerak amat cepat, Dalam waktu singkat, telah hilang ditelan oleh rimbun daun pohon dalam hutan.
Tak lama kemudian Sindu telah tiba kembali, di mana Rara Inten tadi dipermainkan. Menjelang pagi ini, cuaca sudah tidak segelap tadi malam. Kemudian mulut Sindu yang tersembunyi di dalam kulit leher harimau itu tersenyum, ketika Rara Inten tertidur pulas di atas dahan pohon.
Sesungguhnya Rara Inten semalam merasa penasaran sekali, usahanya menangkap penculik perempuan itu gagal, dan malah kehilangan jejak. Ia telah menyelidik ke tempat sekitarnya, namun usahanya sia-sia. Dalam keadaan seperti itu, mendadak saja tubuhnya terasa amat letih. Sebab semenjak pasukan Surabaya mengurung Giri, dua hari dua malam ia hampir tidak mendapat kesempatan untuk tidur. Beberapa kali mulut menguap dan mata sulit dipicingkan. Saking tak kuasa lagi menahan rasa letih dan kantuknya, ketika ia merebahkan diri di atas dahan pohon, ia tertidur pulas.
Tetapi justeru Rara Inten tertidur ini, Sindu jadi gembira. Dengan demikian usahanya mencari Rara Inten tidak tertumbuk oleh kesulitan.
Mengapa sebabnya Sindu menyibukkan diri memancing Rara Inten agar meninggalkan Giri?
Barang tentu kakek sakti ini mempunyai alasan cukup dengan apa yang dilakukan itu. Pertama, dalam urusan Giri ini, diam-diam Sindu berfihak kepada Surabaya. Maka apa bila baik Rara Inten maupun Titiek Sariningsih berfihak kepada Giri, tentu saja sedikit atau banyak akan mempengaruhi keadaan. Yang ke dua. Sindu tahu bahwa Rara Inten amat benci kepada Pangeran Pekik maupun
Ratu Wandansari. Maka dikhawatirkan, kalau terjadi hal-hal yang tidak diharapkan yang ditimbulkan oleh Rara Inten. Adapun alasan yang ke tiga, ia ingin mencegah dan mengurangi jatuhnya korban yang tewas dalam peperangan itu. Kalau Rara Inten dibiarkan berfihak kepada Sunan Giri, maka Rara Inten akan memperoleh kesempatan membunuhi sesama manusia. Kemudian alasan yang ke empat apa bila baik Rara Inten maupun Titiek Sariningsih masih membela Giri, keselamatan dua orang ini juga sulit dijamin Sebab Surabaya dapat saja minta bala bantuan dari Mataram.
Apa yang akan terjadi kemudian kalau Giri dihujani oleh peluru meriam?
Dan sekarang, setelah lebih setengah malam ia memancing Rara Inten, telah berhasil membuat Rara Inten menjauhi Giri. Ia tidak ingin bertindak kepalang tanggung. Rara Inten harus dipancing lebih jauh lagl, sehingga membuat perempuan ini merasa enggan untuk kembali ke Giri. Lebih lagi ia telah kenal pula akan tabiat Rara Inten yang keras hati dan angkuh. Apa bila ia pandai membuat perempuan itu marah, akibatnya Rara Inten tentu akan malu. Dalam penasaran dan malu itu akan kuasa membuat Rara Inten menyembunyikan diri, dalam usahanya menggembleng diri.
Melihat Rara Inten enak tidur di atas dahan pohon itu, Sindu segera menggeram menirukan suara harimau. Geraman Sindu yang dilambari oleh tenaga sakti dalam tubuh itu, lebih keras dibanding dengan suara harimau sendiri. Rara Inten kaget
bangkit dan duduk di atas dahan.
memandang kebawah
"Kurang ajar kau, harimau liar. Membuat aku kaget !" desis Rara Inten.
Akan tetapi Rara Inten tak segera melompat turun. Ia masih duduk di atas dahan dan dua kakinya bergantung di bawah dahan.
Untuk menimbulkan kemarahan Rara Inten, sekali lagi Sindu menggeram. Dan kali ini, sambil menggeram melompat ke atas. Tubuh Sindu meluncur ke atas ringan sekali, dua lengannya dijulurkan untuk mencakar kaki Rara Inten yang tergantung.
"Ihh....! Tar-tar......!'
Rara Inten kaget dan menarik kakinya. Berbareng itu cambuknya telah meledak dua kali menyambut tangan Sindu.
Rara Inten memang kaget. Dirinya saat sekarang ini duduk di atas dahan pohon yang cukup tinggi.
Akan tetapi sungguh mengherankan, mengapa loncatan harimau tersebut hampir dapat mencapai dahan itu?
Untung bahwa ketika itu cuaca masih agak gelap. Hingga Rara Inten belum dapat membedakan lengan manusia dengan kaki harimau.
Dan tentu saja Sindupun tidak membiarkan lengannya terhajar oleh cambuk. Maka ia menarik tangannya dan meluncur turun ke tanah. Di atas tanah Sindu tidak berdiri dengan dua kaki. Tetapi ia menggunakan tangannya pula, agar keadaannya menyerupai binatang harimau. Sindu kembali menggeram. Kemudian untuk meyakinkan Rara Inten, harimau gadungan ini setengah mendekam, sambil menggaruk-garukan tangan ke tanah.
Rara Inten penasaran sekali atas gangguan harimau itu. Lebih lagi ia merasa diganggu di saat tidur.
"Tar--tar...!" sambil menyabatkan cambuknya dua kali. Rara Inten telah meloncat turun dari dahan pohon. Gerakannya indah sekali di samping ringan, seperti seekor burung raksasa yang meniup turun dari angkasa.
Sindu sengaja memancing kemarahan Rara Inten. Ia telah melompat ke atas menyambut luncuran Rara Inten.
"Haunggg...,... tar-tar-tar.....! Mampuslah!'
Loncatan Sindu telah disambut oleh sambaran cambuk tiga kali. Dari mulut Rara Inten, meluncur ucapan,
"Mampuslah!"
Karena ia menduga pasti, bahwa sambaran cambuknya yang tiga kali itu, tidak mungkin dapat dihindari oleh harimau tutul itu.
Namun ternyata sambaran cambuknya luput. Diam-diam Rara Inten kaget di samping heran, sambaran cambuknya dapat dihindari.
Mungkinkah harimau ini mengenai ilmu tata kelahi?
Akan tetapi dari heran Rara Inten penasaran. Setelah ia berhasil berdiri di atas tanah, bentaknya,
"Bagus! Agaknya engkau harimau piaraan orang. Huh. inginlah aku melihat, apakah engkau benar benar sanggup melawan cambukku ini?"
"Tar-tar-tar. !" ledakan cambuk yang tiga kali, secara berturut turut telah menyambar ke arah Sindu.
Tetapi dengan mudahnya Sindu menghindari serangan tersebut, sehingga Rara Inten semakin heran di samping tambah marah.
"Ehh, agaknya engkau pandai berkelahi ?" bentak Rara Inten.
"Tar-tar-tar-tar....... !" cambuk Rara Inten segera meledak-ledak dan sambaran cambuk itu kuat sekali. Rara Inten menduga pasti, bahwa oleh serangannya berantai ini, si harimau akan segera mengaum kesakitan, kemudian roboh mati.
Cuaca yang masih agak gelap membuat Rara Inten belum dapat membedakan kaki harimau dengan kaki manusia. Dan Rara Inten juga kurang dapat membedakan gerakan seekor harimau dengan manusia. Akibatnya sambaran cambuk Rara Inten tak pernah berhasil menyentuh kulit harimau itu.
Melihat ketangkasan si harimau ini, timbullah dugaan Rara Inten, bahwa harimau ini memang telah dididik oleh seorang sakti sehingga dapat berkelahi. Ia menggeram penasaran. Lalu desisnya,
"Hemm, agaknya engkau memang pandai berkelahi. Nih. terimalah cambukku !'
"Tar tar-tar-tar-tar.!"
Lima kali berturut-turut ujung cambuk itu menyambar.
Kali ini sambaran cambuk itu lebih cepat lagi, di samping lebih bertenaga. Kali ini, Sindu tak dapat terus bertahan dengan harus merangkak-rangkak seperti harimau, dan menghindarkan diri dari sambaran cambuk. Untuk membela diri, di samping harus berloncatan juga terpaksa menggunakan jari tangannya untuk menyentil ujung cambuk itu.
"Nguung....!" sambaran ujung cambuk yang kuat dari sentilan jari tangan yang bertenaga, menimbulkan suara yang nyaring.
Rara Inten kaget dan melompat mundur. Ia menghentikan sambaran cambuknya dengan heran.
Mengapakah sebabnya cambuk itu terpental dan lengannya terasa kesemutan?
Mungkinkah harimau ini dapat menggunakan kaki yang depan untuk menangkis?
Rara Inten mengamati penuh selidik. Mendadak, perempuan ini ketawa geli, sambil mendesis.
"Hi-hi-hik, ternyata engkau harimau gadungan! Huh, benarkah engkau mau mengejek dan mengganggu Rara Inten? Hemm, aku ingin melihat sampai di, manakah kemampuanmu!"
Setelah tahu bahwa harimau yang dihadapi ini bukan harimau benar, Rara Inten tambah marah dan penasaran. Semalam ia telah dipermainkan orang. Hingga usahanya mengejar penculik perempuan itu tak berhasil. Kemudian malah secara aneh, orang yang dikejarnya itu tidak diketahui ke mana menghilang dan bersembunyi. Saking jengkel dan kantuk, ia tadi tanpa terasa telah tertidur. Dan tahu-tahu, sekarang muncul seseorang yang bersembunyi di dalam kulit harimau dan mengganggunya.
""Siapa kau!" bentaknya.
"Jangan engkau menyembunyikan diri di balik kulit harimau"
Mendengar ini, Sindu telah tahu bahwa Rara Inten telah mengetahui keadaannya. Maka tidak perlu lagi ia harus tetap bertahan dengan sikap merangkak seperti harimau. Lalu sambil terkekeh. Sindu telah berdiri tegak, berhadapan dengan Rara Inten.
Rara Inten mendelik. Bentaknya lagi,
"Jahanam
manusia busuk. Lekas katakan siapa namamu, dan bukalah kulit harimau penutup tubuhmu!"
"Heh-heh-heh, namaku Rara Inten!"
Berjingkrak kaget sekali Rara Inten mendengar jawaban itu. Jelas bahwa orang yang dihadapi sekarang ini, seorang yang telah mengenal dirinya. Rara Inten mengerutkan alis dan mencoba pula mempertajam pandang matanya, agar dapat menembus kulit harimau tutul itu. Namun sungguh sayang, kulit harimau yang tebal itu takkan mungkin dapat ditembus dengan pandangan mata.
"Jangan mengumbar mulut sembarangan di depanku! Huh! Jika engkau tidak segera membuka penutup tubuhmu, hemm, aku akan memecahkan kulit harimau itu dengan paksa!" ancam Rara Inten sambil menggenggam lebih kuat cambuk itu. .
'Heh heh-heh, mengapa engkau marah begitu mendengar namaku Rara Inten? Apakah seorang yang bernama Rara Inten itu musuh besarmu?"
Betapa jengkel, mendongkol dan marah Rara Inten mendengar jawaban macam itu. Makin besar nafsunya untuk dapat membuka kulit harimau itu, kemudian mengetahui siapakah sesungguhnya orang yang bersembunyi di dalamnya. Tetapi bagaimanapun, diam-diam ia amat menyesal.
Mengapakah sebabnya sejak semalam dirinya harus menderita oleh tingkah laku orang?
"Mampuslah! Tar-tar......!" saking tak kuasa lagi menahan rasa jengkel dan kemendongkolan hatinya, Rara Inten telah kembali menyerang dengan cambuknya.
Akan tetapi, Rara Inten terbelalak menyaksikan apa yang terjadi. Orang yang bersembunyi dalam kulit harimau itu hanya menggerakkan tubuhnya sedikit. Namun ternyata dua kali serangannya itu, semuanya luput.
'Hemm, bagus! Awas cambuk!" teriak Rara Inten lagi, kemudian telah menggerakkan cambukuya, dan terdengar ledakan tujuh kali berturut turut yang memekakkan telinga.
Rara Inten sadar bahwa orang yang bersembunyi di dalam kulit harimau ini, tentu seorang manusia cukup sakti. Untuk itu ia tidak tanggung tanggung lagi, telah menggerakkan cambuknya menggunakan llmu Cambuk Sumber Nyawa yang hebat. Maksud serangannya kali ini, agar dalam waktu singkat dapat merobohkan lawan yang menjengkelkan itu.
Serangan cambuk Rara Inten cepat sekali di samping tenaganya amat kuat. Kecepatan sambaran cambuk Rara Inten telah teruji dengan air hujan yang sedang berjatuhan dari langit. Yang kuasa menahan percikan air hujan, membuat orang yang bernaung di bawahnya takkan kehujanan. Maka dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan Rara Inten yang dilanda oleh kejengkelan ini. Ia bukan saja bermaksud merobohkan, tetapi tak ada salahnya pula untuk mencabut nyawa orang.
Namun Rara Inten terbelalak saking heran. Sambaran cambuknya yang cepat dan kuat sekali itu, dapat dihindari orang tersebut hanya dengan berloncatan sambil menyentil dengan jari tangan.
Sering kali malah ujung cambuk yang terpental oleh sentilan jari tangan itu menyambar ke arah dirinya.
"Kurang ajar!" bentaknya lebih nyaring.
"Aku akan berguru padamu, jika engkau sanggup melayani aku sampai limapuluh jurus."
"Tar-tar-tar..... siut-wut..!"
Sambil melancarkan serangan-serangannya dengan cambuk ini, Rara Inten menggunakan tangan kirinya pula menyerang dengan ilmu tangan kosong yang disebut Gruwak Setan. .jari tangan itu terbuka dan melengkung, siap sedia untuk melobangi kepala lawan dengan tusukan jari tangan.
Untuk sebentar Sindu melayani serangan-serangan Rara Inten. Namun kemudian ia melompat dan melarikan diri.
"Jangan lari!" bentak Rara Inten sambil mengejar.
Cambuknya meledak-ledak untuk menakuti lawan.
'Tar-tar-tar..... !'
Dalam keadaan jengkel dan marah ini, Rara Inten menjadi gembira melihat lawan melarikan diri. Ia akan mengejar terus untuk merobohkan lawan yang menjengkelkan hati ini. Dan dengan begitu, akan berkuranglah rasa jengkel dan penasarannya. telah dipermainkan orang sejak semalam.
Terjadi lagi kejar-kejaran seperti semalam, di dalam hutan yang rimbun, dan di atas perbukitan Kendeng. Setelah agak jauh berlarian, Sindu berhenti dan memberi perlawanan. Untuk membuat Rara Inten lebih jengkel, Sindu sengaja menggunakan ranting kayu untuk senjata. Dengan begitu, perkelahian tampak lebih sengit lagi, sekalipun sebenarnya tidak. Sindu yang sekarang telah berhasil mencapai puncak kesempurnaan ilmunya itu, seperti dapat menduga lebih dahulu ke mana maksud hati Rara Inten melakukan serangannya. Membuat ranting kayu itu selalu tepat berhasil menyambut ujung cambuk Rara Inten. Membuat serangan Rara Inten selalu gagal.
Akan tetapi maksud Sindu memang tidak 'ingin berkelahi. Ia hanya ingin memancing Rara Inten menjauhi Giri. Maka setelah beberapa saat melayani, ia sengaja menangkis sambaran cambuk Rara Inten, dan ranting itu patah menjadi dua potong.
"Takk..... aihh...!'
Sindu sengaja berseru tertahan. kemudian melompat dan lari.
"Jangan lari!"
Rara Inten yang jengkel dan penasaran cepat mengejar, sambil terus menyambarkan cambuknya.
Sejak fajar mereka terus berkejaran dan kadangkadang berkelahi. Mereka seperti lupa akan lelah, haus maupun perut yang lapar. Sinar matahari yang terik dan tepat di tengah jagad seperti tidak terasa. Harimau gadungan itu terus dikejar oleh Rara Inten yang mengancam dengan cambuk.
Tiba-tiba Sindu menyambar sebatang ranting kayu di atas tanah. Ia membalikkan tubuh dan menangkis serangan Rara Inten. Katanya,
"Marilah kita mengaso dulu. Aku haus dan juga lapar."
'Cerewet! Mampuslah! Tar-tar-tar_....!"
Rara Inten menyambut ajakan itu dengan bentakan
dan kembali menyerang dengan cambuknya. Mau tidak mau Sindu tertawa dalam hati, kemudian kembali melarikan diri dan dikejar oleh Rara Inten. Tanpa terasa, mereka telah berkelahi dan berkejaran sehari suntuk. Matahari telah rendah di bagian barat. Mereka telah meninggalkan Giri jauh sekali, dan sekarang mereka telah tiba di dalam hutan bernama Alas Tuwa. Sebabnya hutan tersebut disebut Alas Tuwa, berarti hutan tua, adalah oleh pengaruh keadaan hutan itu sendiri. Hutan itu agak lembab dan rimbun. Pohon-pohon besar tumbuh menjulang tinggi, sehingga sinar matahari tidak kuasa menembus lebatnya daun. Maka hutan tersebut gelap sekali, seperti tengah malam. Mendadak Rara Inten kehilangan jejak. Ia telah mempertajam pandang matanya dan menyelidik ke sekitarnya, namun tetap saja tidak menemukan Sindu. Untung Rara Inten tidak kehilangan akal, Teriaknya,
"Hayo jangan bersembunyi, jika engkau memang jantan. Mari kita teruskan, untuk mengukur kepandaian."
Tetapi Sindu secara diam-diam telah pergi. Ia merasa lega setelah berhasil memancing Rara Inten begitu jauh dengan Giri. Maka tak ada gunanya lagi meneruskan bermain-main dengan Rara Inten. Rara Inten masih berteriak dan menantang nantang. Akan tetapi tantangannya tersebut hanya membuat binatang hutan sama terkejut. Baru Setelah beberapa kali ia berteriak tanpa ada jawaban, ia baru sadar bahwa lawannya telah pergi Dan anehnya begitu lawan pergi, tiba-tita saja ia merasakan kehausan dan lapar yang tidak dapat ditahan lagi. Maka perempuan ini segera pergi mencari sumber air, di samping pula berusaha memperoleh pengisi perut.
*****
Marilah kita tengok kembali apa yang terjadi dengan Giri. Rakyat di dalam wilayah kerajaan kecil itu bergembira-ria, berpesta-pesta, berjoged dan mereka yang kaya, malah tak segan pula mengeluarkan beaya khusus untuk mengundang sanak kerabat, pesta-pesta di rumahnya. Sama sekali mereka tidak sadar, bahwa apa yang mereka lakukan itu sesungguhnya keliru. Mestinya mereka malah harus prihatin, lebih banyak mengumpulkan bahan makanan dan makin memperkuat penjagaan di tapal batas. guna menanggulangi musuh yang sewaktu-waktu datang menyerbu.
Akan tetapi hal ini memang tidak dapat dipersalahkan. Sebab sejak Kerajaan Giri berdiri dan Raden Paku memerintah pertama kali, Giri merupakan daerah kerajaan yang paling aman dan tenteram. Mereka tidak pernah terlibat dalam peperangan. Sedang di samping itu karena di jaman pengaruh Wali Sanga dalam kerajaan masih kuat, Sunan Girilah pemegang tampuk pimpinan para Wali maupun Agama islam. Maka setiap orang akan memperhttungkan untung dan ruginya lebih dahulu, apa bila akan memusuhi Giri. Karena mereka yang berani memusuhi Giri akan bprhadapan dengan Kerajaan Demak dan kekuasaan para Wali.
Akibatnya. baik Sunan Giri maupun para pejabat Giri yang lain merupakan orang-orang yang kurang memahami akan siasat perang. Mereka mengira bahwa pihak lawan yang telah mengundurkan diri itu berarti takut, dan takkan berani datang menyerbu lagi. Yang menyedihkan, bahwa para yang berwenang di Giri itu kemudian mempunyai kepercayaan, bahwa Surabaya maupun Mataram tak mungkin menang perang melawan Giri. Sebab Giri mempunyai pusaka berujud keris, bernama Kyai Kalamunyeng. Keris yang "ampuh" sekali, ciptaan Sunan Giri pertama atau Raden Paku. Suatu kepercayaan yang hidup dalam kalangan masyarakat Giri, menyatakan, bahwa keris pusaka tersebut dahulu adalah kalam. Ialah lidi daun aren yang dipergunakan sebagai alat menulis huruf Arab.
Asal mula terjadinya keris pusaka tersebut dikatakan, bahwa dahulu pernah pasukan Majapahit menyerang Giri. Pasukan itu dalam jumlah besar sekali, sehingga pasukan Giri yang sedikit jumlahnya tidak kuasa menahan penyerbuan tersebut. Di saat penyerbuan ini, justeru Sunan Giri sedang sibuk menulis kitab. Ia kaget dan khawatir sekali. Maka Sunan Giri mohon perlindungan Tuhan.
Dalam dongeng itu kemudian, permohonan Sunan Giri dikabulkan Tuhan. Kalam yang semula dipergunakan menulis tersebut, tiba-tiba berobah bentuknya menjadi sebilah keris. Keris yang ampuh dan ajaib, karena keris tersebut dapat bergerak sendiri terbang dan mengamuk kepada perajurit
Majapahit. Akibatnya tidak terhitung jumlahnya perajurit Majapahit yang jatuh menjadi korban. Pasukan Majapahit kemudian ketakutan, dan sisanya melarikan diri.
Itulah kepercayaan mereka. Sunan Giri juga percaya akan tuah dari keris tersebut. Maka dalam menghadapi Surabaya ini, ia tidak merasa gentar sedikitpun. Ia merasa pasti, Giri akan menang melawan siapapun.
Sama sekali tidak mereka sadari, bahwa mundurnya pasukan Surabaya, menimbulkan kegemparan di Surabaya. Ratu Wandansari yang menyambut pulangnya Pangeran Pekik, bibirnya tersenyum dan wajahnya berseri. Dalam hati ia memuji, bahwa hanya dalam waktu singkat, suaminya telah kembali ke Surabaya. Tentu Giri telah berhasil dikalahkan.
Akan tetapi senyum yang semula menghias bibir itu lenyap. Wajah yang berseri lalu berubah, ketika melihat suaminya pulang dengan langkah lesu dan wajah muram. Maka puji sanjung yang telah dipersiapkan di ujung bibir ditelan kembali.
"Kangmas," sapa Ratu Wandansari.
"Bukankah Giri telah berhasil dikalahkan? Tetapi mengapa sebabnya kangmas muram dan lesu ?"
"Ahhh, diajeng........" sahut Pangeran Pekik.
"Marilah kita duduk, dan diajeng akan tahu yang telah terjadi."
Dengan hati yang heran Ratu Wandansari mengikuti langkah suaminya masuk ke pendapa. Pengiringnya. Yoga Swara. Hesti Wiro dan Celeng Kemaduh tanpa suara telah duduk bersila di atas lantai. Adapun kepala pasukan masing-masing, masih sibuk di alun-alun untuk mengatur pasukannya, menunggu perintah untuk bubar.
Pangeran Pekik membanting pantatnya di atas kursi sambil mengeluh. Ratu Wandansari menatap suaminya dengan hati yang heran dan berdebar. Akan tetapi ia berdiam diri, menunggu suaminya bicara.
"Diajeng, aku adalah seorang panglima perang yang tidak becus," katanya setengah menyesali dirinya.
"Maka sebagai panglima.Terang, aku datang melapor untuk menerima hukuman dari diajeng Wandansari, sebagai wakil ingkang sinuhun di Mataram."
'Ehhh,"
Ratu Wandansari kaget.
"Apakah maksud kangmas dengan ucapan itu ?"
"Aku telah gagal menundukkan Giri, diajeng."
"Aihhh...... dengan pasukan sebesar itu?"
Pangeran Pekik mengangguk, tetapi tidak mengucapkan sesuatu.
Untuk sejenak lamanya pendapa hening. Yang terdengar hanyalah helaan napas berat Pangeran Pekik yang menyesal akan kegagalannya memukul Giri.
Baru beberapa saat kemudian terdengarlah kata Pangeran Pekik, didahului oleh helaan napas berat.
"Diajeng, inilah ujud dari seorang panglima yang kalah perang. Oleh sebab itu, aku pulang dan melaporkan kekalahan itu. dan sekarang aku menunggu hukuman yang harus aku terima."
"Hi-hi-hik," tiba-tiba saja Ratu Wandansari ketawa cekikikan, sehingga membuat Pangeran Pekik maupun yang lain memandang dengan heran.
"Mengapa diajeng tertawa?" tanya Pangeran Pekik.
"Tentu saja aku tertawa mendengar ucapanmu," sahut Ratu Wandansari masih juga tersenyum.
"Bukankah apa yang kangmas lakukan ini merupakan suatu kelucuan ?"
"Mengapa lucu ?"
"Mengapa tidak? Aku adalah isterimu, sekali. pun kedudukanku sebagai adik kangmas Sultan Agung. Kegagalan kangmas juga merupakan kegagalanku." .
"Ya..... ?" .
"Mengapa tidak? Akan tetapi, kangmas. sudilah kangmas menceritakan barang sedikit tentang pertahanan Giri. yang membuat kangmas memilih mengundurkan diri."
Pangeran Pekik menghela napas pendek. Ia merasa tak sanggup untuk menceritakan apa yang telah terjadi di Giri. Maka ia memalingkan muka, mengamati Yoga-Swara, lalu katanya,
"Paman Swara, coba engkau laporkan segala sesuatu di Giri."
Atas perintah Pangeran Pekik itu, kemudian Yoga Swara menceritakan apa yang telah terjadi. Bahwa pasukan Giri mengurung diri di dalam benteng, yang dilindungi oleh jurang buatan yang amat dalam dan lebar. Kemudian diceritakan pula tentang gugurnya Indrajid bersama sebagian besar pasukannya, yang berusaha menerobos pertahanan menggunakan jembatan darurat. Lalu dilaporkan pula tentang timbulnya pasukan siluman, yang menimbulkan korban banyak bagi pasukan Surabaya di waktu malam.
Ratu Wandansari mengangguk anggukkan kepalanya mendengar laporan tersebut tetapi diam diam otaknya sedang bekerja. Agak beberapa saat lamanya pendapa itu kembali hening, ketika Yoga Swara selesai memberikan laporannya. Semua orang menunggu apa yang akan dikatakan Ratu Wandansari.
"Hemm, kalau demikian halnya, biarlah aku yang memimpin pasukan Surabaya menggempur Giri."
"Apa ?"
Pangeran Pekik kaget sekali. Ia menatap isterinya dengan wajah yang penuh rasa khawatir. Kekhawatiran Pangeran Pekik ini justeru timbul mengingat Rara Inten berpihak kepada Giri. Padahal antara Rara Inten dengan Ratu Wandansari sejak dahulu tidak pernah akur. Antara mereka selalu bermusuhan.
Apa yang terjadi kalau dua wanita sakti itu bertemu, kenmdian berkelahi?
"Tidak, diajeng, kalau begitu biarlah aku saja kembali ke sana memimpin pasukan Surabaya !" kata Pangeran Pekik cepat cepat dalam usahanya menghalangi maksud isterinya.
"Mengapa kangmas mempunyai pikiran seperti itu?"
"Sebab aku takkan tega membiarkan engkau menyabung nyawa di medan perang."
'Hihihik. mengapa khawatir? Bukankah aku
dapat mengangkat kangmas sebagai wakil panglima, dan dengan begitu aku dan kangmas selalu berdampingan?"
"Setuju! Setuju!" tiba tiba Yoga Swara, Hesti Wiro maupun Celeng Kemaduh telah memberanikan diri memberikan dukungannya.
"Mengapa kalian setuju?" pancing Ratu Wandansari.
"Dengan Gusti Kangjeng Ratu sebagai panglima, dan paduka Gusti Pangeran Pekik sebagai wakil panglima perang. kali ini Giri akan berhasil dihancurkan," sahut Hesti Wiro penuh semangat.
"Engkau percaya aku bisa memimpin?"
"Hamba percaya." sahut Yoga Swara.
"Bukankah Gusti Kangjeng Ratu telah berpengalaman memimpin pasukan dalam jumlah besar ?"
"Terima kasih atas kepercayaan kalian padaku. Tetapi kalian tidak mempunyai hak menentukan. Yang berhak hanya kangmas Pekik sendiri. Bagaimanakah kangmas?"
Ratu Wandansari tersenyum dan mengerling penuh arti kepada suaminya. Dan Pangeran Pekik, setelah mendengar pendapat pembantu-pembantu setia itu, kemudian tak dapat berkata lain kecuali setuju juga. ,
"Hemm, kalau begitu besok pagi kita berangkat ke Giri. Sekarang perintahkan kepada pasukan itu untuk bubar dan pulang kepada keluarga masing masing. Tetapi esok pagi-pagi benar harus telah siap siaga ke medan perang .Umumkanlah kepada mereka. akulah yang akan memimpin mereka sebagai panglima perang."
"Sendika gusti," sahut mereka hampir berbareng.
Kemudian mereka melaksanakan perintah itu agar secepatnya anggauta pasukan itu memperoleh kesempatan bertemu dengan keluarga masing-masing.
Sengaja Ratu Wandansari memerintahkan, agar semua anggauta pasukan mengerti bahwa yang akan menjadi panglima perang dirinya. Hal tersebut dimaksud, untuk membangkitkan semangat pasukan Surabaya yang hampir runtuh setelah gagal menyerbu Gtri. Mereka semua tentu akan merasa malu, apa bila kalah semangat dengan wanita.
Pancingan Ratu Wandansari ini ternyata tepat dan berhaStl. Pasukan Surabaya menyambut kesanggupan Ratu Wandansari untuk memimpin pasukan itu dengan sorak-sorai yang gemuruh.
"Hidup Kangjeng Ratu Wandansari!"
"Hidup Gusti Pangeran Pekik."
"Hidup Surabaya, dan hancurkan Giri!"
Mendengar sorak-sorai itu, Ratu Wandansari tersenyum sambil mengamati suaminya. Pangeran Pekikpun tersenyum dan terobati kemasygulannya. Kemudian, suami isteri ini saling bergandengan tangan dengan rukun, melangkah masuk ke dalam rumah.
Nyatalah bahwa kesediaan Ratu Wandansari memimpin pasukan Surabaya ini. disambut penuh kegembiraan oleh seluruh rakyat Surabaya. Nyatalah pengaruhnya amat besar. Semua orang telah tahu belaka akan kecerdikan dan keperwiraan Puteri Mataram itu. Membuat para isteri yang semula
merasa berat ditinggalkan suami berangkat ke medan tugas, menjadi malu. '
Pendeknya kota Surabaya gempar. Kabar tentang akan berangkatnya pasukan Surabaya esok pagi, dan dipimpin sendiri oleh Ratu Wandansari, menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Dan semua orang timbul keinginannya, untuk dapat mengelu-elukan keberangkatan pasukan itu esok pagi.
(Bersambung jilid 11)
Perawan Lola
Karya Widi Widayat
Jilid 11
Pelukis : YANES
Penerbit/Pencetak : P.P GEMA
Mertokusuman 761 Rt.14/RK III
Telepun No.5801
SOLO Cetakan Pertama 1974
*****
Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya
(https://m.facebook.com/Sing.aditya)
Juru Potret : Awie Dermawan
(https://m.facebook.com/awie.dermawan)
Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)
Back up file : Yons
(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)
(Team Kolektor E-Book)
(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)
*******
PERAWAN LOLA
Lanjutan ("Kisah Si Pedang Buntung")
Karya: Widi Widayat ,
Jilid : 11
*****
KEMUDIAN masih pagi buta, alun-alun Surabaya hampir penuh perajurit yang telah siaga bertempur. Para keluarga berjejal dipinggir, untuk dapat menyaksikan keberangkatan pasukan itu. Kali ini perasaan para keluarga itu berlainan, Kalau biasanya berdebar ditinggalkan suami, ayah, anak maupun saudara maju perang, sekarang hati mereka terasa bangga. Mereka merasa senang di samping penuh rasa percaya, bahwa pasukan Surabaya akan menang.
Bersamaan dengan munculnya sang bagas-kara di ufuk timur, terdengarlah suara terompet yang nyaring dari dalam rumah kadipaten. Mendengar suara terompet itu, semua pasukan yang telah siap dalam kelompok masing-masing berdiri tegak. Para keluarga yang berjejal di pinggir saling desak, ribut dalam usaha mereka memperoleh tempat paling depan. Semua orang ingin mengelu-elukan Kangjeng Ratu Wandansari, yang akan memimpin pasukan Surabaya.
Tak lama kemudian pintu gerbang kadipaten terbuka lebar. Delapan orang perajurit berkuda muncul dari dalam, mengawal pembawa bendera. Menyusul kemudian sekelompok pasukan Wanita berkuda pula, berjumlah duabelas orang. Mereka semua masih berusia muda. Akan tetapi nampak gagah, mereka duduk di punggung kuda. Di belakang pasukan wanita inilah, muncul dua ekor kuda putih yang besar. Di sebelah kanan duduk Pangeran Pekik, dan kuda di sebelah kiri dikendarai oleh Ratu Wandansari. Wajah puteri itu nampak berseri, bibir tersenyum-senyum, tangan kanan diangkat ke atas memberi salam kepada semua orang yang memenuhi alun-alun.
"Hidup Gusti Kangjeng Ratu Wandansari! "
"Hore, hidup Surabaya! "
"Hidup Gusti Adipati Pangeran Pekik!"
Sorakan rakyat membelah angkasa.
Hanya perajurit, yang memenuhi alun-alun itu, tidak membuka mulut dan berdiri tegak memberi penghormatan.
Ratu Wandansari tersenyum-senyum, dibagikan kepada sekalian rakyat.
Sedang Pangeran Pekik yang berkuda di sebelahnyapun membagi senyumnya kepada sekalian orang.
Ratu Wandansari mengenakan pakaian pria. Pakaian dari bahan sutera. Semua rakyat masih mengenal kepada Ratu Wandansari, karena puteri tersebut belum menutupi kepalanya dengan topi. Hingga konde yang berada di belakang kepala, merupakan pertanda bahwa orang yang berpakaian pria itu, sesungguhnya seorang wanita.
Terlalu panjang apa bila keadaan alun-alun Surabaya itu diuraikan sekecil kecilnya. Pendeknya pagi ini perhatian seluruh rakyat, tertuju kepada
Keberangkatan pasukan Surabaya yang akan menggempur Giri. Pasukan, itu jumlahnya besar sekali. Bergerak paling depan adalah pasukan berani mati, mengendarai kuda. Disusul oleh pasukan penggempur yang berpakaian serba merah. Disusul kemudian oleh pasukan panah dan senjata api. Di belakang pasukan inilah pasukan bendera menyusul, disambung oleh pasukan wanita, lalu Ratu Wandansari yang berkuda berdampingan dengan Pangeran Pekik. Di belakangnya menyusul lagi pasukan wanita. Kemudian pasukan panah dan senjata api. Lalu pasukan dapur dan gerobak-gerobak yang mengangkut bahan makanan dan perlengkapan lain. Muncul pasukan meriam. dan paling akhir adalah pasukan penggempur dan berani mati.
Namun kemudian setelah pasukan itu meninggalkan daerah Surabaya, segera dibagi menjadi empat kelompok pasukan yang terpisah. Pasukan pertama dipimpin oleh Hesti Wiro sebagai senopati. Pasukan ke dua, Yoga Swara yang memperoleh kepercayaan sebagai senopati.
Kemudian pasukan yang ke tiga, sebagai senopati Celeng Kemaduh. Sedang pasukan yang ke empat, Tumenggung Kudapanekar bertindak sebagai senopati. Pasukan ke empat merupakan pasukan induk, di mana berada di dalamnya pasukan wanita, Ratu Wandansari dan Pangeran Pekik.
Pasukan ini kemudian melewati jalan yang berlain-lainan sesuai dengan rencana dan siasat yang telah ditetapkan oleh Ratu Wandansari. Sebagai seorang Srikandi, sebagai seorang puteri yang telah
berpengalaman memimpin pasukan, Ratu Wandansari segera dapat menggambarkan keadaan medan di Giri, setelah memperoleh laporan Yoga Swara, maupun keterangan Pangeran Pekik. Untuk itu, maka jauh jauh pasukan Surabaya telah dibagi menjadi empat bagian. Di Giri, setiap pasukan itu akan menempatkan diri dalam empat penjuru.
Berdasarkan pengalaman Pangeran Pekik yang gagal menyerbu Giri. Ratu Wandansari telah dapat menggambarkan, bahwa pada penyerbuan kali ini, pasukan Giri tentu akan menggunakan siasat yang sama. Sebab siasat itu dianggap oleh Giri paling diandalkan. ialah, dengan cara mengurung diri di dalam benteng.
Untuk menghadapi siasat Giri yang demikian, Ratu Wandansari akan mengimbangi. Pasukan Surabaya tak akan diperintahkan menyerbu. Pasukan Surabaya cukup mengurung secara ketat, untuk mencegah pihak Giri merembes keluar. Dengan cara demikian, berarti Surabaya akan menghemat tenaga dan nyawa. Ratu Wandansari percaya bahwa persediaan makanan di dalam benteng Giri takkan dapat bertahan cukup lama .Dan apa bila persediaan makanan itu telah habis, Giri tidak mungkin dapat bertahan terus-menerus di dalam benteng. Mereka akan terpaksa keluar untuk mencari bahan makanan yang dibutuhkan itu.
Namun dengan siasat yang demikian ini pihak Surabayapun memerlukan persediaan makanan yang amat banyak. Tetapi untuk mencukupinya bukanlah persoalan sulit. Di samping akan dapat dipenuhi dengan kiriman dari Surabaya. kalau diperlukan dapat minta bantuan kepada para petani.
Demikianlah. untuk keduakalinya Giri dikurung secara ketat dari luar oleh lawan. Akan tetapi pihak Giri tenang-tenang saja, mengurung diri dalam benteng.
Apa bila musuh berani menyerbu, mereka merasa pasti akan dapat menghancurkan dengan luncuran batu-batu besar atau balok-balok kayu.
Tetapi sekalipun demikian, ada sedikit rasa sesal dan kecewa dalam hati Sunan Giri, dengan kepergian Ulam Sari maupun Rara Inten yang tanpa pamit.
Timbul pula kekhawatiran dalam hati Sunan Giri, mungkinkah baik Ulam Sari maupun Rara Inten celaka di tangan musuh?
Akibat dari kepergian Ulam Sari dan Rara Inten yang tanpa khabar itu, membuat Giri tidak sempat mempersiapkan pasukan siluman itu. Semua pasukan Giri sekarang terlanjur terkurung semuanya dalam benteng.
Dan diam-diam tokoh-tokoh yang masih ada, timbul rasa sesal pula dalam hati, mengapa Sunan Giri tidak sedia mendengar nasihat dan peringatan mereka, di saat pasukan Surabaya mengundurkan diri. Baik Wanengboyo, Jalu Raga, Pitrang maupun Abdul Malik, berpendapat sama agar Giri makin meningkatkan kewaspadaan untuk menghadapi penyerbuan Surabaya yang kedua kalinya.
Dan belum waktunya Giri bersenang-senang.
Nah, sekarang apa yang mereka khawatirkan terbukti. Surabaya datang lagi dengan pasukan yang jauh
lebih besar.


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka telah terkurung di dalam benteng!
"Hemm, kalian tidak perlu mengkhawatirkan
apa-apa!" kata Sunan Giri dengan mantap.
"Tidak seorang pun yang sanggup mengalahkan Giri."
Mendengar itu mereka heran.
Apakah alasan Sunan Giri berkata demikian?
Agaknya Sunan Giri tahu juga bahwa mereka heran. Maka katanya lagi,
"Ketahuilah, bahwa Giri mempunyai sebuah pusaka yang ampuh, bernama Kyai Kalamunyeng. Dia sebilah keris, dan dahulu pernah menghancurleburkan pasukan Majapahit yang jumlahnya jauh lebih besar dibanding pasukan Surabaya sekarang ini. Keris Kyai Kalamunyeng itu, sekalipun sebuah benda, namun seperti mempunyai nyawa. Dahulu di kala eyang Sunan Giri Raden Paku, sebagai pencipta keris ini, menghadapi penyerbuan pasukan Majapahit, segera mohon perkenan Tuhan. Terjadilah suatu keajaiban, keris tersebut terbang sendiri kemudian mengamuk. Pasukan Majapahit hancur dan sisanya melarikan diri. Nah, sekarang Giri diancam oleh pasukan Surabaya. Agaknya akan berulang sejarah yang pernah terjadi. Aku percaya. pasukan itu akan tumpas oleh keris pusaka Giri, Kyai Kalamunyeng."
Mereka hanya berdiam diri dan mendengarkan. Mereka setengah percaya dan setengah tidak.
Mungkinkah hal itu bisa terjadi? '
Tetapi yang jelas, sekarang ini pasukan Surabaya tengah mengurung Giri dari segala penjuru. Benar selama masih tetap bertahan di dalam benteng, sulitlah Surabaya menyerbu.
Akan tetapi, mungkinkah persediaan makan dalam benteng cukup untuk memberi hidup kepada sekalian penghuninya?
Apa bila sampai terjadi persediaan makan habis, apa daya?
Dan ternyata kemudian, setelah lewat tiga hari, mulai terasalah akibat pengepungan Surabaya yang ketat itu. Persediaan makanan di dalam benteng tidak cukup untuk memberi hidup kepada semua penghuni. Untuk mengatasi keadaan ini, terpaksa diadakan penghematan. Namun penghematanpun tak berdaya, kalau tidak ditambah. Sebab walaupun hemat,persediaan itu akan habis juga. Di samping itu dengan diadakannya penghematan, berarti mereka makan tidak cukup. Sebagai akibat makan tidak cukup, tentu saja mempengaruhi keadaan tubuh. Perut yang lapar bagi perajurit, akan menyebabkan patah semangat di samping tenaganyapun menurun. Orang orang di dalam benteng mulai berteriak lapar, anak-anak menangis, dan para ibu sedih. Apa bila keadaan ini tidak segera teratasi,akan mengakibatkan hal hal yang tak pernah dibayangkan.
Pitrang, Abdul Malik, Patih Giri maupun yang lain hatinya mulai tergerak. Keadaan ini tak mungkin teratasi, apa bila tidak menembus pertahanan musuh untuk mengangkut kebutuhan bahan makanan yang dibutuhkan itu. Maka mereka kemudian menghadap kepada Sunan Giri, agar mereka diperkenankan untuk mengangkat senjata menembus pertahanan Surabaya.
"Ya. memang tak ada jalan lain kecuali kita melawan dengan titik darah penghabisan," kata Sunan Giri sambil menghela napas.
Namun diam diam dalam hatinya timbul pula rasa sesalnya, mengapa kurang terpikirkan persediaan makan yang cukup untuk kebutuhan Giri.
Tetapi apa harus dikata kalau nasi telah menjadi bubur?
Untuk mengatasi keadaan harus berusaha. Maka untuk itu, terusnya,
"Aku' sendirilah yang akan memimpin kalian menembus pertahanan musuh. Mari, ikutilah aku menggempur musuh bagian barat."
"Gusti," kata Patih Giri sambil memberikan sembahnya.
"Kiranya lebih tepat kalau kekuatan Giri dipecah menjadi empat bagian. Masing-masing bagian dipimpin oleh seseorang terpercaya. Dan dengan penyerbuan yang serentak itu, hamba percaya akan lebih membawa hasil. Akan tetapi sebaliknya apa bila kita menyerbu satu jurusan, bahaya akan mengancam kita,"
"Benar. gusti, seharusnya memang demikian." sambut Abdul Malik.
"Penyerbuan secara serentak itu, akan menolong kita. Sebab apa bila Giri terus bertahan seperti sekarang ini, akibatnya semua orang akan mati kelaparan."
Semua orang pendapatnya telah bulat. Untuk mengatasi habisnya persediaan makan itu, harus dilakukan perlawanan secara serentak.
Untung untungan.
Maka segeralah mereka bagi pasukan maupun senopati yang diperlukan. Bagian barat dengan Senopati Abdul Malik. Sebelah utara dengan Senopati Pitrang. Sebelah timur dengan Senopati Wanengboyo. Dan sebelah selatan dengan Senopati Jalu Raga. Yang bertindak sebagai panglima perang adalah Sunan Giri sendiri.
Terompet dan tambur segera dibunyikan orang
sebagai tanda penyerbuan keluar. Secara serentak pasukan yang telah tiga hari tiga malam itu terkurung, membuka pintu benteng, dan seperti semut, pasukan itu merayap keluar untuk melawan musuh.
Sorak yang gemuruh terdengar dari pihak pasukan Surabaya, begitu melihat bergeraknya pasukan Giri yang semula menyembunyikan diri itu. Pasukan Surabaya mulai bergerak mendekati jagang dipimpin oleh senopati masing-masing. Pasukan penggempur di tiap penjuru, segera bergotong-royong membawa bambu-bambu yang telah dipersiapkan sebagai titian. Lalu terjadilah perang dari jauh, yang menggunakan senjata anak panah, bandil dan lemparan batu, serta tembakan senjata api.
Pasukan Giri menghujani anak panah, lemparan bandil dan lemparan batu. Giri memang tidak memiliki meriam maupun senjata api, maka tak dapat membalas dengan tembakan.
Tak kenal takut pasukan Surabaya menyerbu ke depan. Korban dua belah pihak mulai berjatuhan, akibat terpanggang oleh anak panah, terpukul batu atau tertembus oleh peluru. Namun masing masing pihak tidak kenal takut, dan jarak mereka menjadi lebih dekat.
Namun jagang yang melindungi benteng Giri itu menghalangi gerak maju pasukan Surabaya. Pasukan penggempur segera mempersiapkan jembatan darurat untuk menyeberang. Akan tetapi juga tidak mudah. karena setiap pasukan Surabaya berusaha mendekati jagang, terjadilah lemparan batu-batu besar maupun balok kayu.
Akibatnya mereka tak dapat saling mendekati. Mereka perang sambil mengadu ketangkasan membidikkan anak panah, melempar bandil atau batu. Dan bagi pasukan Surabaya, dapat membidikkan senjata api. Dalam perang jarak jauh ini, pasukan Giri lebih banyak memperoleh keuntungan. Karena ditempat yang lebih tinggi, dan banyak pula tempat untuk berlindung.
Perang dari jarak jauh itu akhirnya terhenti juga, ketika matahari Silam di langit barat. Masing masing pasukan mengundurkan diri mengaso, untuk kemudian esok pagi kembali menyabung nyawa.
Begitu pasukan telah kembali ke tempat masing masing, datanglah kemudian utusan Ratu Wandansari yang memanggil para senopati. Maka bergegaslah Yoga Swara, Hesti Wiro dan Celeng Kemaduh menuju ke markas induk, untuk menghadap panglima perang.
"Paman semuanya, aku harapkan esok pagi dapat mengendalikan pasukan, agar jangan banyak jatuh korban lagi," kata Ratu Wandansari, setelah para senopati telah hadir lengkap di depannya.
"Biarkan saja pasukan Giri mendesak kita....."
"Ehhh.....!"
Pangeran Pekik yang heran berseru tertahan. Kemudian tanyanya,
"Mengapa begitu, diajeng? Bukankah lebih tepat apa bila kita menyerbu dan mendesak maju?"
"Ya, kangmas benar. Seharusnya kita memang mendesak sedemikian rupa, agar pasukan Giri terjepit tak kuasa bergerak lagi,' sahut Ratu Wandansari.
"Akan tetapi, kangmas, kebiasaan itu harus kita robah sesuai dengan keadaan medan di
tempat ini. Medan yang tidak menguntungkan kita apa bila mendesak. Yang akibatnya kita harus banyak mengorbankan nyawa perajurit, yang seharusnya tidak perlu."
Pangeran Pekik mengangguk-angguk, sedang yang lain tidak membuka mulut. Mereka belum tahu alasan apa yang akan dikemukakan oleh Ratu Wandansari, Namun mereka percaya, bahwa apa yang dikemukakan "panglima wanita" itu demi keuntungan Surabaya.
"Kangmas Pekik, dan kalian para paman, aku mempunyai alasan yang kuat dalam persoalan ini,"
Ratu Wandansari berkata lagi sambil mengamati wajah-wajah mereka satu-persatu.
"Medan perang ini amat menguntungkan pihak lawan. Apa bila kita mengulang apa yang telah terjadi siang tadi, bisa menyebabkan gagal lagi yang kita peroleh. Satu hal perlu kita ingat, bahwa mereka telah kita kurung secara ketat. Mereka telah terkurung, hingga gerak gerik mereka takkan lepas dari pengamatan kita. Kemudian harus-kita ingat pula, bahwa dalam daerah yang terbatas, mereka akan kekurangan persediaan makanan."
Ia berhenti, memandang mereka semua seakan mencari kesan. Sejenak kemudian terusnya,
"Apa bila pasukan lawan yang semula mengurung diri di suatu tempat terlindung, aman tiada gangguan, kemudian sekarang mengerahkan kekuatan untuk menyerbu. apakah kalian tidak dapat menduga terjadinya sesuatu dalam benteng itu ?,"
"Ahhh, gusti benar," kata Yoga Swara dan Celeng Kemaduh hampir berbareng.
"Mengapa engkau katakan benar?'
"Jelas bahwa orang dalam benteng itu saat sekarang, menderita kelaparan. Persediaan makanan dalam benteng habis. Dan untuk itu, mereka terpaksa ke luar dengan maksud menembus pertahanan kita."
"Ya. Engkau benar. Memang itulah tujuan musuh yang utama ke luar dari benteng."
Ratu Wandansari memberi penjelasan.
"Nah, apa bila kita telah tahu tujuan mereka, untuk apakah kita berpayah diri menghalangi mereka ?".
Ratu Wandansari menebarkan pandang matanya kepada sekalian yang hadir.
Ketika bertatap pandang dengan Pangeran Pekik, bibir yang indah itu tersenyum. Melihat ini Pangeran Pekik juga tersenyum sambil mengangguk-angguk. Tanpa malu lagi, secara jujur telah memuji,
"Ahhh, diajeng memang cerdik."
"Hi-hi-hik. tidak lucu !"
Ratu Wandansari tertawa merdu.
"Seorang suami tentu saja memuji kepada isterinya. Itu sudah lumrah."
"Tetapi hamba semua ini memuji kecerdikan gusti kangjeng ratu," kata Yoga Swara.
Yang lainpun kemudian memberikan pendapat yang sama. Kenyataannya mereka ini semula tidak menduga akan maksud lawan. Baru sekarang terbukalah mata hati mereka, bahwa penyerbuan pasukan Giri itu terdesak oleh kebutuhan makan.
"Nah, terima kasih akan pengertian kalian dalam masalah ini."
Ratu Wandansari tersenyum makin lebar.
"Kalau kita sekarang ini telah tahu tujuan mereka. maka kalian tentu dapat melangkah tanpa ragu-ragu lagi. Esok pagi di kala pasukan Giri menyerbu, kita bergerak mundur. Tetapi gerakan mundur ini bukan berarti mengalah. Kita memancing kelengahan lawan. Di samping itu tiap panglima harus pandai'mengatur pasukan masing masing. Sambil bergerak mundur, pasukan dipecah menjadi tiga. Bagian tengah mundur untuk memancing agar pasukan lawan terus mendesak maju. Tetapi sayap kanan dan sayap kiri menggunakan taktik siluman, tidak mundur namun juga tidak mengadakan perlawanan. Apa bila antara pasukan sayap kanan dan sayap kiri itu telah dapat bergabung. barulah kemudian dilepaskan tanda untuk menggempur musuh. Apakah sulitnya kita menghancurkan musuh kalau mereka telah dapat kita kurung?"
"Bagus, siasat yang amat bagus!" sambut mereka hampir berbareng.
"Kalian sudah mengerti ?"
"Mengerti, gusti, dan akan hamba laksanakan sebaik baiknya."
"Terima kasih. Batasilah gerak kalian, jangan lagi kalian memikirkan pasukan induk."
Ratu Wandansari mengucapkan kata kata ini dengan nada yang sungguh-sungguh.
"Sebab pasukan induk telah aku urus bersama kangmas Pekik. Apa bila kalian bekerja dengan teliti, aku percaya siasat ini takkan gagal lagi. Keruntuhan Giri telah di depan mata."
Ratu Wandansari mengamati Pangeran Pekik
kemudian katanya,
"Kangmas. Maarkan aku, yang terpaksa membatasi gerak-gerik kangmas. Sebab semua ini bukan lain untuk kepentingan kangmas sendiri, agar titah kangmas sultan dapat kita selesaikan sebaik-baiknya. Bukankah kegagalan dan berhasilnya memukul Giri ini, semua merupakan tanggung jawab kangmas Pekik?"
Pangeran Pekik mengangguk-angguk. Jawabnya,
"Diajeng sebagai panglima, tentu saja semua perintah akan aku lakukan sebaik-baiknya."
Ratu Wandansari tersenyum manis.
"Kangmas, esok pagi kangmas harus selalu disampingku, memimpin pasukan induk."
"Jadi aku harus nganggur saja, sedang yang lain harus berperang melawan musuh?"
'Hi-hi-hik, dengarlah dahulu, kangmas. Tidak ada seorang pun yang akan nganggur berhadapan dengan lawan. Malah sesungguhnya kangmas sendiri yang mempunyai tanggung jawab paling berat."
"Bagus, aku senang sekali. Sekarang juga perintahkan, apakah yang harus aku lakukan?"
"Kangmas,saya mohon bantuanmu. Esok pagi, kangmas berkewajiban mengamati gerak gerik Sunan Giri. Sebab saya menduga, pasukan induk itu akan dipimpin sendiri oleh Sunan Giri, dan baru akan muncul setelah keadaan dianggap mengijinkan. Nah. di saat Sunan Giri muncul itulah. kangmas yang mempunyai kewajiban, Sunan Giri harus dapat kangmas kalahkan, dan sedapat bisa kangmas tangkap hidup-hidup."
"Sesudah dapat aku kalahkan dan tangkap hidup-hidup, bagaimanakah selanjutnya ?"
"Bukankah kangmas hanya memperoleh titah kangmas sultan supaya mengalahkan dan menaklukkan? Maka segala hal yang bersangkut-paut dengan Sunan Giri, kangmas sultan sendirilah yang dapat menentukan."
"Baiklah. semua perintah diajeng akan aku laksanakan sebaik-baiknya."
Baru setelah dianggap cukup, mereka diperkenankan bubar. Sambil melangkah menuju ke tempat pasukan masing-masing ini, para senopati itu merundingkan siasat perang yang akan dilakukan esok pagi. Gerakan mundur harus dilakukan setertib mungkin agar tampak seperti orang yang benar-benar ketakutan. Malah kemudian setelah tiba dalam kemah masing-masing, para senopati itu segera memanggil beberapa orang pembantu. Mereka diberi tugas masing-masing secara tertib.
Demikianlah, esok hari kemudian pasukan Surabaya telah dalam keadaan siaga untuk menghadapi penyerbuan Giri. Dari arah keraton Giri terdengar suara terompet yang nyaring, disusul oleh suara genderang. Terdengarlah kemudian kesibukan kesibukan, namun pasukan Giri tidak segera nampak muncul dari dalam benteng.
Namun demikian pasukan Surabaya tidak terpengaruh. Pasukan yang besar itu tetap pada tempatnya sejak masih pagi buta. Akan tetapi senjata senjata mereka telah siap ditangan masing-masing menghadapi segala kemungkinan.
Ketika matahari sudah sepenggalah tingginya, dan sinar panasnya telah mulai terasa gatal, tampaklah muncul bendera Giri yang berkibar di
empat penjuru. Disusul kemudian oleh terbukanya pintu-pintu benteng, dan bergeraklah pasukan Giri menuju keluar benteng.
Begitu muncul dari benteng pasukan Giri menerjang maju menggunakan senjata-senjata jarak jauh. Pasukan Surabaya membalas ala kadarnya, namun kemudian bergerak mundur, dan tembakan tembakan meriam tidak terdengar lagi.
Melihat mundurnya pasukan Surabaya itu, para Senopati Giri gembira. Mereka menduga apa bila pasukan Surabaya memang takut menghadapi, setelah kemarin bertempur sehari penuh. Abdul Malik yang memimpin pasukan di bagian timur, memberi aba-aba kepada pasukannya untuk mendesak musuh dengan wajah berseri. Pitrang sebagai senopati pasukan sebelah utara, tidak kalah garangnya dengan Abdul Malik. Begitu melihat pasukan Surabaya mundur, ia menggerakkan pasukannya untuk mendesak musuh sehebat-hebatnya. Lebih lagi Jalu Raga, dengan memegang golok emas hasil curian dari Sumbing, memimpin pasukan di bagian selatan penuh semangat. Aba-aba yang diberikan nyaring, agar mendesak pasukan musuh sambil membunuh. Sedang Wanengboyo yang bertanggung jawab sebagai senopati pada bagian barat, menyerbu di tengah tengah pasukan untuk memelopori mendesak gerak mundur lawan.
Sunan Giri sebagai panglima perang dan memimpin pasukan induk, wajahnya tampak lebih berseri lagi ketika menyaksikan keadaan pasukan Giri yang berhasil mengundurkan lawan itu. Ia
menjadi lebih mantap dan lebih yakin, bahwa Giri akan menang dan dapat mengundurkan musuh lagi. Maka iapun segera memerintahkan agar pasukan induk itu bergerak maju ke bagian barat. justeru pada bagian baratlah merupakan daerah yang paling menguntungkan, dan banyak menghasilkan padi, jagung dan makanan yang lain.
"Diajeng. Sunan Giri bergerak ke arah barat.Perkenankanlah aku menyambutnya dan menangkap," pinta Pangeran Pekik sambil memandang Ratu Wandansari yang sejak tadi tidak membuka mulut, tetapi perhatiannya selalu ditujukan ke arah medan pertempuran.
"Jangan dahulu!" sahut panglima wanita itu singkat tanpa mengalihkan pandang matanya.
"Mengapa,'diajeng? Kalau terlambat, apakah tidak merugikan kita sendiri?"
Ratu Wandansari menggelengkan kepalanya.
"Kangmas tidak perlu khawatir. Secara kebetulan perhitunganku tepat. Yang bertugas sebagai senopati di bagian barat adalah paman Yoga Swara. Di samping dia seorang yang cerdik, pasukan kita di bagian barat justeru yang terkuat."
Ia berhenti, dan mengamati kepada gerak maju pasukan induk yang dipimpin oleh Sunan Giri itu tanpa berkedip. Sesaat kemudian barulah ia meneruskan,
"Kangmas, kita memang harus berhasil menangkap Sunan Giri. Akan tetapi janganlah rencana kita sendiri menjadi berantakan."
"Bukankah dengan bantuanku, akan menambah kekuatan pasukan paman Yoga Swara?"
"Bukan begitu maksudku, kangmas. Kita harus ingat bahwa gerakan mundur pasukan kita itu, guna mengelabuhi musuh. Disamping itu pasukan kita akan menggunakan gelar Sapit Urang. Kalau pasukan lawan belum terperangkap masuk dalam lingkaran sapit itu, dan kangmas tergesa memukul pasukan induk itu, mereka akan menjadi curiga. Dan akibatnya pula mereka akan cepat-cepat menarik pasukan untuk kembali masuk ke dalam benteng."
Mendengar penjelasan isterinya ini. Pangeran Pekik mengangguk-angguk. Nyatalah bahwa dalam hal siasat perang, dirinya tidak dapat' menandingi kecerdikan isterinya. Maka tanpa malu malu lagi ia memuji,
"Ah, engkau cerdik sekali. diajeng. Terima kasih atas petunjukmu"
"Hi-hi-hik,"
Ratu Wandansari tertawa merdu.
"Kalau aku bukan seorang cerdik, manakah engkau sudi memilih aku sebagai isterimu? Bukankah engkau seorang pria yang banyak menjadi incaran perempuan cantik?"
"Ihh.....!" seru Pangeran Pekik tertahan.
Wajahnya berubah agak merah, tampak kalau malu atas godaan isterinya itu.
Begitulah, suami isteri yang bahagia itu masih dapat bercanda sekalipun sedang menghadapi tugas penting dan berat. Perhatian suami isteri ini tidak pernah beralih. Mereka mengikuti gerak-gerik pasukan induk Giri. justeru pasukan tersebut merupakan kunci kekalahan dan kemenangan.
Sementara itu di bagian timur. pasukan Giri
yang dipimpin oleh Abdul Malik telah berhadapan dan bertempur melawan pasukan Surabaya di bawah pimpinan Celeng Kemaduh. Dua kekuatan itu bertempur mati-matian, karena oleh pengunduran pasukan Surabaya yang cepat, dalam waktu singkat pasukan Giri telah terkurung di tengah-tengah. Tidaklah mengherankan kalau pengunduran pasukan Surabaya dapat berlangsung cepat dan lawan cepat terkurung. Sebab pada bagian ini yang merupakan inti kekuatan adalah pasukan Gagak Rimang yang telah terlatih dalam perang.
Akibat dari pertempuran itu sungguh menyedihkan. Karena dikurung dari segala jurusan, pasukan Giri bertempur dengan kacau. Lebih-lebih pasukan Giri memang kurang terlatih dalam perang, sedang Abdul Malik Sendiri bukanlah seorang yang ahli dalam perang campuh. Abdul Malik memang cukup tangguh, apa bila ia berkelahi secara perseorangan. Namun setelah dirinya harus terjun dalam perang campuh ia menjadi agak kebingungan.
Dengan goloknya yang besar Abdul Malik mengamuk hebat sekali, untuk dapat menerobos ke luar dari kepungan lawan. Setiap musuh yang berani mendekati, goloknya segera bekerja membabat leher lawan. Sambil bertempur penuh semangat ini, Abdul Malik tidak henti-hentinya membangkitkan semangat anak buahnya.
"Maju terus, Gempur!"
Tetapi gerak maju pasukan Giri tertahan oleh kekuatan yang besar,sedang untuk mundur, ke kanan dan ke kiripun telah dikurung secara ketat. Di saat Abdul Malik menggerakkan goloknya
tanpa mengenal ampun untuk membunuh lawan sebanyak-banyaknya ini. mendadak ia kaget ketika goloknya terbentur oleh senjata lawan.
"Trang trang. . !"
Abdul Malik terbelalak kaget ketika merasakan lengannya kesemutan, dan senjata lawan tidak runtuh pula oleh benturan itu. Ketika ia memandang ke depan, ternyata ia sekarang telah berhadapan dengan seorang lakilaki tinggi kurus, namun sepasang matanya bersinar-sinar berwibawa.
"Hemm, siapa engkau!" bentak Abdul Malik.
"Aku Celeng Kemaduh, Senopati Surabaya!' sahut Celeng Kemaduh.
"Bagus. heh-heh heh-heh! Senopati bertemu dengan senopati. Huh. ketuhuiah aku Abdul Malik. Senopati Giri. Mari kita tentukan siapakah di antara kita yang masih mempunyai hak hidup di dunia ini."
"Hemm,"
Celeng Kemaduh mendengus dingin.
"Akan aku lihat sampai dimanakah kemampuanmu !"
"Jaga seranganku!" teriak Abdul Malik sambil membabatkan goloknya yang besar.
Gerakan orang ini cukup gesit dan sambaran anginnya cukup kuat. Tetapi Celeng Kemaduh hanya tertawa dingin.
"Trang......!" benturan senjata terdengar begitu nyaring, ketika golok besar itu bertemu dengan tongkat Celeng Kemaduh.
Abdul Malik tubuhnya nampak bergoyang-goyang, dan orang ini merasakan telapak tangannya panas seperti dibakar api, sedang dadanya terasa
agak sesak. Sebaliknya Ccleng Kemaduhpun merasakan telapak tangannya panas, dan tubuhnya terpental beberapa meter jauhnya.
Sepintas lalu benturan senjata dan tenaga ini, nampak sekali bahwa Abdul Malik lebih kuat, sedang Celeng Kemaduh kalah tenaga karena tubuhnya terpental. Akan tetapi sesungguhnya tidak. Sebabnya Abdul Malik hanya bergoyang-goyang tubuhnya itu, karena Abdul Malik terlalu memaksa diri. Sebagai akibat memaksa diri ini, dada Abdul Malik terasa agak sesak. Berbeda dengan Celeng Kemaduh, walaupun tubuhnya terpental, ia tidak menderita sesuatu. Terpentalnya tubuh tadi bukan lain untuk mematahkan dorongan tenaga lawan.
Golok Abdul Malik telah kembali bergerak, membabat ke arah dada dan leher. Gerakannya kali ini lebih cepat dibanding tadi. Namun tanpa gentar sedikitpun Celeng Kemaduh telah melayani lawannya penuh semangat. Tongkatnya menangkis, diteruskan untuk menyodok pusar dan ulu hati. Abdul Malik terpaksa mengurungkan serangannya, kemudian memutarkan goloknya untuk membabat pinggang dan kaki. Ilmu golok Abdul Malik cukup hebat dan berbahaya. Selama ini Abdul Malik belum pernah menemukan lawan yang sanggup mematahkan ilmu goloknya. Maka golok yang besar dan tajam itu berkelebatan cepat sekali dan garang.
Sayang sekali ia bertemu dengan salah seorang tokoh Gagak Rimang. Walaupun Celeng Kemaduh tidak dapat disejajarkan dengan Yoga Swara dan Madu Bala, namun tokoh ini seorang sakti mandraguna pula. Tongkatnya menyambar-nyambar dahsyat. Setiap memperoleh kesempatan segera menyodok, memukul dan menyerampang. .
Dalam waktu singkat dua orang senopati ini telah terlibat dalam perkelahian sengit sekali. Beberapa puluh jurus telah dilalui namun belum juga nampak siapakah yang lebih unggul.
Perkelahian sengit di antara senopati ini, membuat para perajurit yang semula perang campuh itu menjadi tertarik. Tanpa berjanji, dua kekuatan itu menghentikan gerakan senjata masing-masing, kemudian masing-masing pihak berdiri sambil menonton perkelahian yang seru itu, untuk menjagoi senopati masing masing.
Tepuk sorak gemuruh 'sering Sekali terdengar, setiap jago masmg-masing menyerang lawan sehebat-hebatnya.
Kalau pada bagian timur terjadi perkelahian seru antara Senopati, Abdul Malik dengan Celeng Kemaduh, maka pada bagian lainpun terjadi perang campuh yang seru sekali. Di samping terdengar suara senjata beradu, senjata patah, juga terdengar pula suara teriakan mengaduh oleh luka yang sakit.Dalam waktu tidak lama, ajang pertempuran itu telah digenangi oleh darah merah. Beberapa perajurit telah menggeletak tidak bernyawa. Namun karena kawan-kawannya tidak sempat untuk memberi pertolongan, maka setiap yang roboh akan segera terinjak-injak oleh yang lain.
Sungguh menyedihkan.
Sungguh mengerikan.
Manakah ada peperangan yang tidak menimbulkan
kesedihan dan kengerian?
Nyawa manusia tiada harganya lagi.
Dan masing-masing manusia diadu tidak bedanya ayam jago sabungan. Tentu saja yang memperoleh keuntungan hanyalah "si botoh". Dua botoh yang saling berusaha memperoleh kemenangan dan untuk kepentingan diri pribadi, mengerahkan tenaga dan pikiran tanpa kenal perikemanusiaan lagi. Masing-masing botoh tidak mau perduli lagi, telah mengorbankan banyak nyawa manusia sehingga menyebabkan bertambahnya janda-janda dan anak yatim yang baru. Sungguh kasihan para perajurit Surabaya maupun Giri ini. Mereka berkelahi menyabung nyawa.
Akan tetapi menyabung nyawa untuk siapa?
Pasukan Giri yang bergerak ke arah barat, dan dipimpin oleh Senopati Wanengboyo, berusaha mendesak lawan dengan hebat. Akan tetapi ketika mereka tengah gembira dapat berhasil mengundurkan pasukan musuh itu, tahu-tahu mereka menjadi kaget dan pucat, mendengar sorak-sorai dari belakang mereka.
Celaka, mereka. telah terkurung di tengah oleh kekuatan lawan.
Melihat dirinya terjebak oleh siasat lawan ini, Wanengboyo marah sekali.
"Kurang ajar! Jahanam! Surabaya licik dan terkutuk! Hayo kita serbu, dan kita lawan sampai titik darah penghabisan."
Pengaruh aba-aba yang diberikan Wanengboyo penuh semangat ini, cukup hebat. Perajurit Giri dengan semangat berkobar-kobar memberi perlawanan hebat. Akan tetapi bagaimanapun, karena mereka terkurung di tengah kekuatan musuh, menyebabkan mereka selalu tertahan. Makin lama
semangat bertempur mereka semakin menjadi turun, setelah melihat beberapa puluh kawan mereka roboh mandi darah dan hilang nyawa.
Wanengboyo mengamuk hebat sekali dengan senjata goloknya.Setiap perajurit Surabaya yang berani mendekati, dalam waktu hanya sedetik kepalanya telah menggelinding terpenggal oleh goloknya yang tajam. Wanengboyo tidak kenal kasihan lagi. Pendeknya ia bertekad, harus dapat membunuh lawan sebanyak-banyaknya, guna menolong pasukannya dapat menerobos keluar dari keadaan terjepit ini.
Di saat dengan enaknya membabati leher dan tubuh lawan ini, tiba-tiba senjatanya terbentur oleh kekuatan yang hebat.
"Trang.....!" tubuh Wanengboyo terhuyung mundur beberapa langkah dengan mata terbelalak.
Namun tokoh ini segera meloncat lagi dengan kaget, karena hampir-hampir dadanya telah dapat dicengkeram oleh musuh. '
Ternyata di depannya sekarang telah berdiri seorang kakek yang kurus bersenjata pedang. sinar matanya tajam berkilat kilat.
"Siapa kau!" bentak Wanengboyo lantang.
Akan tetapi sesaat kemudian ia menjadi berdebar. Wajah ini, masih ia kenal. Wajah Yoga Swara, seorang tokoh sakti Gagak Rimang.
"Heh-heh-heh. engkau lupa padaku ?" kata Yoga Swara sambil terkekeh.
"Hem, musuh lama bertemu! Mari sekarang berkelahi satu lawan satu! Huh, tokoh siluman Gagak Rimang harus mampus hari ini juga."
"Manakah aku berani?" sahut Yoga Swara mengejek.
"Aku seorang kakek yang sudah tua pikun. Apa yang dapat aku pergunakan memperoleh kemenangan melawan engkau yang gagah dan muda?"
"Huh, tak usah banyak mulut! Lihat golok!"
Wanengboyo yang sadar menghadapi musuh tangguh, tidak berani, sembrono lagi. Begitu berkata, ia telah menerjang maju membabatkan goloknya cepat sekali, disertai angin yang amat kuat.
"Trang-trang.....!" dua macam senjata kembali berbenturan.
Akan tetapi dalam hal tenaga sakti, jelas bahWa Wanengboyo masih di bawah Yoga Swara. Terbukti Wanengboyo harus terhuyung mundur beberapa langkah.
Pasukan dua belah pihak yang semula perang campuh itu, kaget tersambar oleh angin yang kuat sekali. Mereka menjadi khawatir, sehingga tanpa diperintah mereka telah menjauhkan diri. Bukan melulu sambaran angin yang kuat itu saja yang mereka takuti. Akan tetapi juga sambaran senjata tajam yang cepat bagai kilat, sehingga pandang mata mereka tak dapat mengikuti. Beberapa kali terdengar benturan senjata yang amat nyaring, dan pijar api beterbangan.
Wanengboyo mengerahkan kepandaiannya. Dengan goloknya yang tajam itu ia telah menyerang dengan tiga serangan berantai. Tetapi sungguh sayang, Yoga Swara saat sekarang ini merupakan tokoh pertama Gagak Rimang. Maka serangan yang cepat tersebut selalu mengenakan tempat kosong.
Gerakan Yoga Swara demikian gesit dan cepat, dan tahu-tahu pedang Yoga Swara malah menyambar dan mengancam keselamatannya.
Wanengboyo kaget sekali.
Ia tidak menduga sama sekali bahwa lawan dapat bergerak segesit dan secepat itu. Cepat-cepat ia menarik kembali goloknya, sedang tangan kirinya membantu untuk mengirimkan pukulan jarak jauh. Tetapi justeru inilah kesalahan Wanengboyo yang kurang menyadari kehebatan ilmu pedang Yoga Swara.
"Aihhh.....!"
Wanengboyo berseru tertahan saking kaget dan sakit. Ia tidak tahu bagaimana mula terjadinya. Namun yang jelas telapak tangan kirinya sekarang telah terluka dan berdarah, akibat tertusuk oleh ujung pedang Yoga Swara. Masih untung yang terluka telapak tangannya. Walaupun mengucurkan darah dan sakit, tetapi tidak banyak mempengaruhi perlawanannya.
Begitu terluka telapak tangannya, Wanengboyo marah bukan main. Ia menggeram keras sambil menerjang dengan senjatanya, sehingga angin golok bersiutan.
"Trang-trang.....!"
Wanengboyo kaget. Hampir saja goloknya lepas dari tangan, akibat benturan senjata tadi.
Celakanya lagi, Yoga Swara tidak memberi kesempatan lawan bernapas. Ia menerjang maju, dan Wanengboyo berusaha mengelakkan diri sambil mundur.
Sungguh celaka, sekalipun gerakan Wanengboyo sudah cepat, Yoga Swara dapat bergerak lebih cepat lagi. Dan akibatnya kembali ujung pedang Yoga Swara berhasil melukai bagian tubuhnya. Kali ini ujung pedang lawan itu berhasil melukai lengan, sehingga menimbulkan luka yang memanjang.
Wanengboyo meringis menahan sakit, sambil terus mempertahankan diri dengan hati-hati. Sekalipun begitu. semangat orang ini telah hancur. Ia menyadari bahwa tidak mungkin sanggup mengatasi tokoh Gagak Rimang yang dihadapi sekarang ini.
Untung sekali Wanengboyo bukanlah seorang tolol yang nekat. ia malah seorang yang amat cerdik, sehingga sekalipun beberapa kali berhadapan dengan bahaya, ia masih selalu dapat menyelamatkan diri. Sekarang inipun ia mulai berpikir. Kalau ia nekat, tidak urung dirinya akan roboh berkalang tanah dan nyawa melayang. Ia masih ingin hidup lebih lama lagi. Untuk itu, ia harus menggunakan akal.
Tiba-tiba teriaknya nyaring,
"Hai perajurit! Bantu aku, keroyoklah orang ini!"
Para perajurit Giri yang semula menjauhkan diri dari mereka, kaget mendengar teriakan itu. Mereka menjadi ragu dan takut. Akan tetapi karena berulang kali Wanengboyo memerintahkan, pada akhirnya ada pula yang berani menghampiri. Mereka terdiri dari delapan orang bersenjata aneka macam. Melihat bergeraknya perajurit Giri itu, pasukan Surabaya berusaha menghalangi.
"Minggir!" bentak Yoga Swara.
Akibatnya pasukan Surabaya yang bermaksud menghadang, mundur kembali dan kembali bertempur melawan musuh lama. Sebab mereka sadar,
bahwa senopati mereka tidak memerlukan bantuan mereka.
Delapan orang itu telah mengurung Yoga Swara, sehingga Wanengboyo sekarang agak dapat bernapas. Akan tetapi bagaimanapun banyak jumlahnya, mereka hanya terdiri dari perajurit perajurit biasa dan kepandaiannya terbatas. Baru dalam segebrakan saja, empat orang telah memekik ngeri lalu roboh, akibat sambaran pedang Yoga Swara yang seperti tatit cepatnya.
Melihat segebrakan empat orang pembantunya telah roboh mandi darah itu, Wanengboyo kaget dan tiba-tiba saja nyalinya kuncup. Ia sadar kalau terus menghadapi Yoga Swara, nyawanya tak mungkin dapat dipertahankan lagi, jalan satu-satunya, sebelum berhadapan dengan kesulitan, harus kabur. Maka Wanengboyo menyerang empat kali dengan babatan goloknya, disertai pula sambitan pisau-pisau kecil yang menyambar Yoga Swara bagian atas dan bawah.
"Tring-trrng-tring....!" pisau-pisau terbang itu runtuh tersapu oleh pedang Yoga Swara, dan di antaranya pula malah membalik dan menghajar perajurit Giri sendiri. Tetapi sambitan pisau terbang tadi, memberi kesempatan Wanengboyo melompat mundur lalu kabur.
"Jangan lari!" bentak Yoga Swara sambil mengejar.
Kemudian ia merampas sebatang pedang ditangan Perajurit Giri, lalu disambitkan ke arah
wanengboyo.
"Auww...' terdengar jerit ngeri, karena dada
terhunjam oleh batang pedang, dan amblas sampai ke hulu. Akan tetapi Yoga Swara menggertak gigi saking marah karena yang tertancap pedang itu bukan Wanengboyo, melainkan seorang perajurit Giri.
Wanengboyo tidak bodoh. Begitu berhasil menyelamatkan diri, ia cepat menyelinap di antara pasukan Giri yang sedang perang campuh melawan pasukan Surabaya. Oleh kepandaiannya menyelinap, dalam waktu yang singkat saja Wanengboyo telah lenyap dari pengamatan Yoga Swara.
Oleh kelicinannya, Wanengboyo dapat menyelamatkan diri. Tetapi bagaimanapun Wanengboyo merupakan seorang senopati yang berjiwa pengecut. Seorang senopati yang tidak bertanggung jawab kepada pasukannya. Akibat Wanengbovo yang tidak tahu malu melarikan diri ini. menyebabkan pasukan Giri berantakan. Mereka tidak mempunyai pimpinan lagi, sehingga dalam waktu singkat saja, pasukan yang kacau ini kehilangan puluhan anggauta yang roboh binasa oleh amukan pasukan Surabaya.
Yoga Swara amat penasaran. Ia mendesak maju terus, dan setiap orang yang berani menghadang, akan segera roboh oleh babatan pedangnya. Entah sudah berapa puluh manusia yang harus roboh oleh pedangnya, Yoga Swara tidak dapat menghitung lagi. Akan tetapi ia merasa kecewa bukan main, karena Wanengboyo dapat melarikan diri.
Agaknya pasukan Giri yang tanpa pimpinan lagi itu, tidak ingin mati konyol oleh sambaran pedang Yoga Swara, setelah melihat sepak-terjang
kakek itu. Mereka cepat-cepat menyelinap dan menyingkir, untuk menjauhkan diri dari Yoga Swara.
Setelah mendesak cukup jauh, mendadak saja Yoga Swara terbelalak kaget. Akan tetapi secepatnya pula ia sudah berlompatan ke arah sana. Gerakannya ringan sekali. Setiap orang yang berusaha menghalangi, kalau tidak roboh oleh pedang, tentu terinjak pundak atau kepalanya oleh lompatan Yoga Swara.
Apakah yang terjadi dan membuat Yoga Swara kaget?
Di sana ia melihat bahwa Pangeran Pekik sedang berkelahi melawan dua orang kakek, dan Ratu Wandansari sedang berkelahi pula, dengan seorang tua yang pakaiannya indah. Orang yang berpakaian indah itu pada tangan kiri memegang sebilah keris bersinar-sinar merah, dan pada tangan kanan memegang pula senjata pedang yang mengkilap saking tajamnya. Sekalipun perkelahian itu terbagi menjadi dua kelompok, namun tampak sekali bahwa Pangeran Pekik tidak tenang. Sambil melayani dua orang kakek itu, Pangeran Pekik selalu mencari kesempatan melihat keadaan isterinya. Tampak bahwa Pangeran Pekik tidak tega kepada isterinya itu. Dan setiap melihat isterinya dalam bahaya, Adipati Surabaya ini telah melompat ringan sekali untuk menolong.
Memang pada saat sekarang ini. Ratu Wandansari sedang berhadapan dengan Sunan Giri. Dua orang ini kedudukannya justeru sama-sama panglima. Tetapi yang seorang panglima wanita, sedang yang lain panglima pria. Sesungguhnya Sunan Giri merasa penasaran sekali, harus berhadapan dengan
perempuan ini. Ia merasa direndahkan, hanya berkelahi melawan perempuan.
Pada mulanya Sunan Giri memang tidak tahu kalau yang dihadapi ini perempuan. Sebab Ratu Wandansari mengenakan pakaian pria. Sunan Giri mulai tahu bahwa Panglima Surabaya ini perempuan, setelah mendengar suaranya. Walaupun Ratu Wandansari telah berusaha merobah suaranya, tak juga dapat menutupi keadaannya sebagai wanita.
Karena merasa berhadapan dengan wanita, pada mulanya Sunan Giri begitu merendahkan kepada Ratu Wandansari.
"Trang!" benturan senjata terdengar begitu nyaring, dan diam-diam Sunan Giri kaget. Mimpipun tidak bahwa Ratu Wandansari bertenaga sekuat itu, sehingga membuat pedangnya tergetar hebat dan telapak tangannya panas. Pedang di tangan Ratu Wandansaripun terpental, dan merasakan pula telapak tangannya panas.
Tetapi justeru benturan senjata yang keras itu, menyadarkan Sunan Giri bahwa lawannya cukup tangguh. Ia tidak ragu-ragu, dan tidak berani sembrono. Keris pusaka Kyai Kalamunyeng di tangan kiri menyambar-nyambar cepat, sedang tangan kanan yang bersenjata pedangpun gerakannya cepat tidak terduga.
Walaupun perempuan, Ratu Wandansari adalah seorang perajurit. Seorang puteri bangsawan yang terkenal dengan sebutan Srikandi Mataram. Ia melayani sambaran senjata lawan dengan tenang. Pedangnya berkelebat cepat sekali,lincah dan berkali-kali berhasil menerobos pertahanan senjata lawan, membuat Sunan Giri sering kaget.
Sesungguhnya apa bila perkelahian seorang lawan 'seorang ini terjadi empat tahun yang lalu, kiranya Ratu Wandansari akan kesukaran melawan Sunan Giri. Akan tetapi Ratu Wandansari ketika masih gadis, berbeda sekali dengan sekarang setelah sebagai isteri Pangeran Pekik. Di saat waktu terluang, Pangeran Pekik tidak pernah melupakan kewajibannya untuk isterinya memperoleh kemajuan dalam tata kelahi maupun ilmu kesaktian. Dasar Ratu Wandansari seorang wanita cerdik, telah mempunyai dasar ilmu tata kelahi yang kuat, ketika dahulu sebagai murid Madu Bala. Maka kemajuan yang diperoleh Ratu Wandansari cepat sekali, dan sekarang sudah merupakan seorang wanita perkasa. Akan tetapi berhadapan dengan Sunan Giri yang menggunakan senjata senjata pusaka Giri, panglima wanita Surabaya ini agak kesulitan juga. Sambaran keris Kyai Kalamunyeng mempunyai daya mujijat, sehingga ia sering sekali kaget.
Untung juga ia berkelahi tidak berjauhan letaknya dengan suaminya. Maka setiap memperoleh kesulitan, dengan tangkasnya Pangeran Pekik melompat dan mengebutkan telapak tangannya. membuat Sunan Giri merasa dadanya sesak seperti tertindih oleh semacam tenaga kuat sekali yang tidak nampak.
Perkelahian seorang lawan seorang yang terjadi antara Ratu Wandansari dengan Sunan Giri sengit sekali dan menegangkan. Tetapi perkelahian antara
Pangeran Pekik dengan dua orang kakek itu, tidak begitu menarik sekalipun tidak kurang hebatnya. Sebab Pangeran Pekik melayani dua orang lawan itu hanya bertangan kosong, dan di samping itu. Pangeran Pekik tidak mau menggunakan pukulan-pukulannya yang berbahaya.
Siapakah dua orang kakek yang dihadapi oleh Pangeran Pekik sekarang ini?
Dua kakek itu adalah tokoh Belambangan yang terkenal dengan nama Aras Pepet dan Menake Kunjono. Dua orang kakak beradik ini terkenal sakti mandraguna. Seperti telah diceritakan dibagian depan, dua orang kakek ini bercita-cita untuk membantu Giri dalam mempertahankan diri dari penyerbuan Surabaya. Namun mereka terpaksa datang terlambat, akibat mereka memperoleh perintah Adipati Belambangan pergi ke Bali.
Dua orang kakek ini kaget ketika tiba di tempat ini, dan melihat pasukan dalam jumlah besar sedang bertempur dan sudah banyak pula yang' roboh tewas. Sadar bahwa kedatangan mereka terlambat, dan antara Giri dengan Surabaya telah terjadi peperangan hebat.
Bermula dua orang kakek ini bingung, bagian manakah yang harus dibantu?
Mendadak mereka melihat bendera Giri yang besar berkibar. Mereka cepat bisa menduga bahwa di dekat bendera itulah kiranya Sunan Giri berada!
Tetapi barang tentu untuk menerobos di antara perajurit yang sedang perang campuh itu tidak gampang, tanpa merobohkan mereka lebih dahulu.Untuk itu, dua orang kakek ini segera terjun kemedan pertempuran. Segeralah terdengar pekik dan jerit kematian, setiap tangan dan kaki dua orang kakek ini memukul dan menendang. Sepak terjang dua orang kakek ini cukup ganas. Bukan saja para perajurit Surabaya segera roboh tak bernyawa oleh sambaran tangan dan kaki. Tetapi tidak sedikit pula perajurit Giri sendiri roboh menjadi korban.
Tak lama kemudian, berhasillah Menak Kunjono maupun Aras Pepet untuk mendekat di mana Sunan Giri dan pasukannya berada, yang sudah terkurung pula oleh pasukan Surabaya.
Tentu saja perajurit Giri tidak mengijinkan dua orang kakek yang belum mereka kenal itu mendekati junjungan mereka.
"Jangan halangi aku. Hai, aku Menak Kunjono dari Belambangan, akan membantu Kangjeng Sunan Giri !" teriak Menak Kunjono ketika beberapa orang perajurit Giri berusaha menghalangi.
"Hai, jangan bodoh !" teriak pula Aras Pepet.
"Kami datang untuk membantu Giri menggempur Surabaya."
Mereka yang nekat akan menghalangi segera roboh jungkir-balik didorong oleh hawa yang kuat sekali. Tetapi berhadapan dengan perajurit Giri ini. mereka tidak menurunkan tangan ganas. Mereka hanya membuka jalan dan tidak menimbulkan korban.
Melihat kekacauan di dalam pasukan induk itu.
Sunan Giri kaget.
Lebih-lebih ketika melihat dua Orang kakek sedang sibuk mendorong ke sana ke mari, dan perajurit Giri banyak yang jungkir-balik. Di saat Sunan Giri sudah akan melompat untuk menghajar dua orang kakek yang mengacau itu, tiba-tiba didengarnya seruan nyaring dari mulut Menak Kunjono,
"Gusti. hamba berdua ini Menak Kunjono dan Aras Pepet dari Belambangan. Maafkan hamba berdua terlambat datang, dalam usaha membantu Giri."
Sunan Giri mengerutkan alis kurang percaya. Tetapi ketika memperhatikan bahwa semua perajurit yang roboh itu dalam waktu singkat telah dapat bangkit lagi. percayalah Sunan Giri bahwa dua orang kakek yang datang ini memang tidak bermaksud memusuhi. Karena itu ia segera memerintahkan kepada Patih Giri agar mereka membuka jalan.
Demikianlah sebabnya Menak Kunjono dan Aras Pepet telah berada dipihak Giri, dan sekarang sedang berhadapan dengan Pangeran Pekik, mengeroyok penuh semangat.
Menak Kunjono menggunakan senjata andalannya berujut tongkat hitam dengan dua ujungnya tajam. Ujung yang satu seperti tombak, dan ujung yang lain seperti golok pendek. Sehingga senjata itu pada suatu ketika dapat bergerak seperti tombak, dan di saat lain dapat bergerak seperti, golok yang berhulu panjang.
Senjata Aras Pepet juga mengerikan. Senjata itu berujut tongkat pula tetapi pada ujung terdapat semacam gaetan yang tajam sekali. Hingga apapun yang tergaet akan kutung dengan mudah. Sedang pada ujung yang satunya, bentuknya seperti golok milik Menak Kunjono.
"Cabut senjatamu!" bentak Menak Kunjono kepada Pangeran Pekik sambil mendelik.
"Aku tidak mempunyai senjata," sahut Pangeran Pekik halus.
"Tetapi aku sanggup melayani kamu dengan tangan kosong."
"Apa?!" teriak Aras Pepet yang segera merasa direndahkan dan dihina.
"Engkau seorang muda berani menghina kami berdua? Apakah engkau memang telah bosan hidup?"
Sekalipun dibentak sikap Pangeran Pekin tetap sabar.
"Aku benar-benar tidak bersenjata. Maka silahkan kalian menyerang dengan senjata masing masing."
Jawaban ini tentu saja membuat dua orang tokoh Belambangan itu kaget di samping menambah penasaran!
Mereka merupakan dua orang tokoh Belambangan yang sakti mandraguna.
Mengapa sekarang harus berhadapan dengan seorang muda, dan akan melawan dengan tangan kosong?
"Hemm, engkau menghina kami. Dalam perang seperti ini, kami tidak dapat berlaku murah terhadap musuh!" bentak Menak Kunjono.
"Akupun juga tidak minta dikasihani." sahut Pangeran Pekik.
"Tetapi benar-benar aku tidak mempunyai senjata."
Sesungguhnya jawaban Pangeran Pekik ini, membuat Ratu Wandansari yang sedang sibuk berkelahi dengan Sunan Giri menjadi kurang puas.
Mengapa suaminya itu sikapnya mengalah kepada lawan?


Perawan Lola Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pantas saja ketika diserahi tugas sebagai panglima perang, pasukan Surabaya kembali dengan kegagalan. Di dalam setiap perang campuh
seperti sekarang ini, orang tidak lagi perduli akan apa yang disebut kegagahan dan keperwiraan. Sebab setiap orang yang berhadapan dengan musuh dalam perang, tujuannya tidak lain untuk memperoleh kemenangan.
"Sambutlah!" teriak Menak Kuujono yang sudah mulai menyerang disusul pula oleh Aras Pepet yang menyabatkan tongkatnya.
"Tring-tring.....! Aihhh..!" terdengar seruan tertahan dari mulut Menak Kunjono dan Aras Pepet, ketika senjata mereka terpental menyeleweng oleh sentilan jari tangan lawan.
Mimpipun tidak bahwa oleh sentilan jari tangan lawan yang muda itu, bukan saja senjata mereka menyeleweng, tetapi juga lengan mereka terasa kesemutan.
Akibatnya dua orang tokoh Belambangan ini menjadi marah dan membentak nyaring, sambil menggerakkan lagi senjatanya. Ujung tongkat yang berujut golok itu menyambar dahsyat sekali, menghujani tubuh Pangeran Pekik. Akan tetapi dengan indahnya Pangeran Pekik dapat menghindari setiap serangan. Kemudian ketika ujung tongkat yang berbentuk golok milik Menak Kunjono menyambar perut, Pangeran Pekik menepuk punggung golok dengan perlahan.
"Aih kakang Kunjono. Mengapa engkau menyerang aku?" teriak Aras Pepet kaget sambil melompat menghindarkan diri, sambil menarik pula senjatanya.
Wajah Menak Kunjono merah padam. Akan tetapi ia tidak sempat menjawab, dan kembali ia menyambarkan tongkatnya menyerang Pangeran
Pekik. Aras Pepetpun menerjang maju dengan senjatanya. Sambarannya amat dahsyat, dan baru sambaran anginnya saja telah membuat dada yang tersambar sesak.
"Haii... trang.....!"
Menak Kunjono berteriak kaget sambil menangkis senjata adik seperguruannya, yang secara tidak terduga telah menyerang dirinya. Kemudian oleh tangkisan Menak Kunjono ini, senjata Aras Pepet terpental menyeleweng.
"Engkau jangan gila, Aras Pepet. Mengapa engkau menyerang aku?"
Menak Kunjono membentak marah, dan menduga bahwa adik seperguruannya ini ingin membalas, Padahal sungguh mati, ia tadi tidak bermaksud menyerang Aras Pepet. Yang terjadi tadi adalah di luar kesengajaannya oleh tepukan lawan pada punggung goloknya yang tak dapat dihindari.
Aras Pepet mendelik marah. Jawabnya,
"Siapakah yang menyerang kau? Aku membabat dia !"
"Tetapi senjatamu menyambar aku!!" balas Menak Kunjono.
Apa yang terjadi memang diluar pengetahuan dua orang kakek ini. Pangeran Pekik seorang sakti mandraguna yang telah berhasil menguasai Ilmu Bajra Sayuta sampai tingkat sempurna. Dengan ilmu warisan Sunan Kudus ini, dengan hanya mengebut, menepuk atau menyentil, sudah dapat mengalihkan sasaran senjata lawan. Dan akibatnya, senjata Menak Kunjono beralih sasaran menyerang Aras Pepet, sebaliknya senjata Aras 'Pepet dapat beralih menyerang Menak Kunjono.
Karena tidak menyadari siapakah lawan yang dihadapi ini, mereka bergerak cepat berusaha mendesak. Namun dengan gampangnya Pangeran Pekik mengocok kakak beradik seperguruan itu, sehingga senjata mereka sering sekali berbenturan sendiri. Sambil melayani Menak Kunjono dan Aras Pepet ini, Pangeran Pekik tidak pernah lengah mengamati isterinya. Dan apa bila isterinya terdesak, ia melompat dan memberi pertolongan dengan kebutan telapak tangan atau dorongan.
Ketika itu dengan berbareng, Menak Kunjono dan Aras Pepet menyerang hebat sekali. Akan tetapi hanya dengan mengebutkan telapak tangan, tahu tahu senjata dua kakek Itu sudah berbenturan.
"Trang-trang.....!" dua duanya melompat mundur dan mendelik. Agaknya mereka sama-sama penasaran, namun tidak membuka mulut. Kemudian Aras Pepet sudah melompat lagi untuk menerjang. Ujung tongkat yang berbentuk golok itu membacok. Tetapi sungguh celaka, kali inipun bacokan itu tidak dapat menyentuh lawan, malah sudah berobah arah menyerang Menak Kunjono.
"Kurang ajar! Mengapa engkau menyerang aku lagi?" teriak Menak Kunjono marah sekali.
"Aku menyerang dia, kakang. Bukan kepada engkau!" sahut Aras Pepet sambil kembali menerjang Pangeran Pekik.
Setelah berkali-kali secara tak sengaja senjata mereka beralih sasaran, akhirnya dua orang kakek ini sadar, bahwa mereka telah berhadapan dengan seorang sakti mandraguna, yang dapat membuat senjata mereka beralih sasaran
"Hemm, siapa engkau!" bentak Menak Kunjono sambil menghentikan serangannya.
"Aku Pekik," sahut Pangeran Pekik dengan
jujur.
Tetapi dua orang kakek ini terbelalak saking kaget.
"Kau Adipati Surabaya?" desak Aras Pepet.
"Benar," sahut Pangeran Pekik blak-blakan.
"Mampuslah!" tiba-tiba Menak Kunjono berteriak nyaring sambil menyerang lagi diikuti oleh Aras Pepet yang menyerang sambil berteriak pula.
Teriakan dua orangr kakek ini bukanlah teriakan wajar. Tetapi dalam teriakan ini telah disalurkan Aji Panggendaman, yang kuasa membuat orang menggigil tubuhnya dan lumpuh mendadak. Begitu dua orang kakek ini berteriak,beberapa orang perajurit yang tempatnya berdekatan segera roboh dengan tubuh menggigil dan jantung sakit seperti ditusuk tusuk. Akan tetapi dua orang kakek itu tidak perduli, dan mereka terus saja menyalurkan pengaruh Aji Panggendaman.
Untung sekali yang dihadapi sekarang adalah Pangeran Pekik. Maka pengaruh Aji Panggendaman itu tidak mempan, dan ia dapat melayani serangan lawan sebaik-baiknya. Namun ketika ia mengamati ke arah Ratu Wandansari, ia agak kaget. Ternyata isterinya itu masih dapat terpengaruh oleh Aji Panggendaman, sehingga membuat gerakannya berkurang gesitnya.
Namun sebelum Pangeran Pekik membuka mulut untuk melawan pengaruh Aji Panggendaman itu mendadak terdengar seruan yang nyaring dan menindih teriakan-teriakan Menak Kunjono maupun Aras Pepet. Orang-orang yang semula menggigil dan roboh, mendadak memperoleh kekuatan kembali, dan buyar pulalah pengaruh Aji Panggendaman yang disebarkan oleh Menak Kunjoao dan Aras Pepet.
Tiba tiba muncullah seorang kakek di tempat itu, yang bukan lain Yoga Swara. Begitu tiba Yoga Swara memberikan hormatnya sambil melapor,
"Gusti, Senopati Giri yang bernama Wanengboyo telah melarikan diri. Akan tetapi pasukannya sekarang telah menyerah."
"Bagus," sahut Pangeran Pekik gembira.
Mendengar itu, Sunan Giri yang sedang berkelahi melawan Ratu Wandansari kaget. Dan karena gerakannya tertunda,
"sret...." lengannya tergores pedang Ratu Wandansari, terluka dan mengeluarkan darah.
Begitu lengannya terluka, Sunan Giri menjadi marah sekali. Ia melengking nyaring sambil menggerakkan keris dan pedangnya.
"Cring-cring.....!" baik keris maupun pedang tiba tiba terpental menyeleweng, dan Sunan Giri kaget, sebab telapak tangannya dirasakan panas sekali dan hampir saja senjatanya lepas.
"Diajeng, mundurlah!" kata Pangeran Pekik, setelah berhasil menyentil keris dan pedang Sunan Giri.
Ratu Wandansari tersenyum, kemudian mundur sambil menyimpan pedang.Kemudian
menebarkan pandang matanya kepada pasukan surabaya yang masih perang campuh dengan pasukan Giri. Namun ternyatalah bahwa pasukan Surabaya berhasil mendesak pasukan lawan. sehingga di samping telah banyak yang roboh tewas, jumlahnyapun semakin menjadi kecil.
Sebagai seorang yang cerdik, ia tahu betapa pentingnya Sunan Giri segera diringkus. Apa bila Sunan Giri telah diringkus. pasukan Giri takkan dapat berdaya lagi dan menyerah.
"Kangmas," serunya kepada Pangeran Pekik.
"Tolong tangkaplah dia secepatnya."
"Baik, diajeng." sahut Pangeran Pekik yang tahu maksud isterinya bahwa dirinya secepat mungkin harus dapat menangkap Sunan Giri.
'Hemm, cobalah kalau bisa!" ejek Sunan Giri sambil menggerakkan keris pusakanya dan menyambarlah angin yang kuat.
Akan tetapi Pangeran Pekik bukanlah Ratu Wandansari.
Pangeran Pekik bisa pula disebut sebagai guru Ratu Wandansari. Maka walaupun Pangeran Pekik bertangan kosong, dua macam senjatanya itu tak juga dapat menyentuh ujung baju lawan.
Sementara itu Yoga Swara sekarang telah menggantikan kedudukan Pangeran Pekik. Ia menghadapi Menak Kunjono dan Aras Pepet. Mereka belum bergebrak dan mereka masih saling pandang dengan mendelik.
"Hemm. Menak Kunjono dan Aras Pepet.Ternyata kamu belum kapok?"
Yoga Swara menyindir.
Sepasang mata Menak Kunjono dan Aras Pepet merah menyala. Kemudian bentak Menak Kunjono
menggeledek,
"Hai, Yoga Swara. Apakah engkau akan menghadapi kami hanya seorang diri?"
"Siapa takut?" sahut Yoga Swara cepat.
"Hari ini, aku takkan lagi sedia memberi ampun kepada kamu berdua."
"Kurang ajar! Mari kita coba!" sambil membentak, Menak Kunjono telah melompat maju sambil menyodokkan tongkatnya,
"Trang...!" benturan senjata terdengar nyaring, karena tongkat itu telah ditangkis oleh pedang Yoga Swara.
Tetapi di saat itu. Aras Pepet juga sudah menerjang. Tokoh ini cukup licik, ia menerjang dengan gaetannya dari belakang.
Untung Yoga Swara selalu waspada, sehingga serangan Aras Pepet dari belakang ini dengan gampang dapat digagalkan sambil melompat ke samping.
Dalam waktu singkat, telah terjadi perkelahian yang amat sengit. Menak Kunjono dan Aras Pepet yang penasaran tidak berdaya melawan Pangeran Pekik, sekarang memperoleh obat untuk melampiaskan kemarahannya.
Tetapi bagaimanapun, Yoga Swara bukanlah Pangeran Pekik. Walaupun Yoga Swara saat sekarang ini merupakan tokoh pertama Gagak Rimang, dan masih lebih unggul ilmu kesaktiannya dibanding dengan dua orang itu, sekarang melawan dengan agak repot. Kalau seorang lawan seorang. kiranya Yoga Swara tidak sulit mengalahkan Menak Kunjono maupun Aras Pepet. Namun karena dua tenaga itu bergabung, mengeroyok, memaksa kepada Yoga Swara harus mengerahkan seluruh
Kepandaiannya. Untung juga Yoga Swara dapat bergerak gesit dan ringan. sehingga kegesitannya bergerak ini banyak memberi pertolongan.
Melihat perkelahian antara Yoga Swara dengan Menak Kunjono dan Aras Pepet itu, diam-diam Ratu Wandansari agak khawatir. Maka ia memalingkan mukanya ke arah Pangeran Pekik dan berteriak,
"Kangmas Pekik, lebih cepat dia tertangkap adalah lebih baik!"
"Aku mengerti," sahut Pangeran Pekik.
Sambil menyahut, ia telah mengerahkan Ilmu Bajra Sayuta. Telapak tangannya mengebut.
"Trang .!"
Sunan Giri kaget dan melompat mundur, dengan wajah yang penuh rasa heran.
Ia tadi menyerang lawan dengan keris dan pedang, dan menurut perasaannya sudah tidak kurang cepatnya. Akan tetapi tahu-tahu, pedang dan keris itu bentrok sendiri, sehingga terdengar benturan nyaring.
Belum juga hilang kagetnya, tiba-tiba saja mata Sunan Giri menjadi kabur. Sebab tahu-tahu tubuh lawan telah lenyap, dan berkelebat cepat sekali di sekitar dirinya, sulit diikuti oleh pandang matanya. Ia sadar bahaya di depan mata. Maka menggunakan pedangnya ia segera membentengi tubuhnya agar lawan tidak berani mendekati.
Sayang sekali yang dihadapinya sekarang ini Pangeran Pekik. seorang sakti pilih tanding. Walaupun Sunan Giri memutarkan pedangnya seperti baling-baling tetapi di mata Pangeran Pekik masih terdapat kelemahan-kelemahannya. Tiba-tiba
saja Pangeran Pekik mengebut dengan telapak tangannya saling susul. Angin yang dahsyat tetapi tidak nampak segera menyambar ke arah Sunan Giri. Tiba-tiba saja terjadi keanehan. Pedang yang semula bergerak seperti baling-baling itu, tiba tiba terhenti, dan sebelum Sunan Giri dapat berbuat sesuatu, pedang dan keris telah dapat dirampas, disusul tubuhnya sendiri telah lumpuh tak dapat bergerak.
Ratu Wandansari gembira sekali melihat Sunan Giri telah dapat ditangkap hidup-hidup. Kemudian panglima wanita ini berteriak nyaring,
"Hai peraJurit Girl! Berhenti! Berhenti! Lihat ke mari!"
Yang mendengar teriakan itu kaget dan memalingkan muka. Mereka menjadi kaget dan pucat ketika melihat Sunan Giri telah tertangkap hidup hidup .Semangat mereka runtuh, kemudian mereka lebih suka membuang senjata sambil mengacungkan tangan untuk menyerah.
Menak Kunjono dan Aras Pepet yang ketika itu sedang mendesak Yoga Swara untuk dapat membunuh tokoh Gagak Rimang ini, menjadi kaget sekali, Wajah mereka berobah pucat dan sadar tiada gunanya lagi bersikeras membela Giri.
Terdengar suitan nyaring dari mulut Menak Kunjono, dan dua orang kakek itu menghujani serangan kepada lawan. Di saat Yoga Swara sibuk menangkis serangan itu, dua orang kakek ini telah melompat pergi untuk kabur. Yoga Swara melompat dan ingin mengejar namun Pangeran Pekik cepat berteriak mencegah.
Sorak gemuruh membelah angkasa, ketika pasukan Surabaya pada bagian barat ini melihat Sunan Giri telah dapat ditawan hidup-hidup. Tertangkapnya pemimpin tertinggi Giri itu sama artinya kekuatan Giri telah lumpuh. Maka Ratu Wandansari yang cerdik, secepatnya akan menggunakan Sunan Giri ini untuk menekan kepada pasukan Giri, agar secepatnya membuang senjata masing masing dan menyerah.
"Bawa ke tempat yang tertinggi," perintah Ratu Wandansari kepada seorang tumenggung. Kemudian ia memalingkan muka ke arah Yoga Swara sambil berkata.
"Paman! Umumkan secepatnya, agar pasukan Giri segera menyerah. Sunan Giri telah tertawan hidup-hidup." '
"Baik, gusti," sahut Yoga Swara sambil mendahului bergerak.
Di bagian lain masih terjadi perang campuh yang hebat sekali. Darah membanjir menggenangi medan perang, dan korban manusia tumpang-tindih tidak karuan. Namun dua pasukan itu dengan semangat menyala-nyala, terus berkelahi tanpa takut mati.
Namun mendadak mereka yang sedang perang campuh sengit sekali itu kaget, ketika mendengar seruan yang nyaring sekali, tetapi jelas.
"Hai, lihat ke mari. Kangjeng Sunan Giri telah menyerah secara hidup-hidup. Hentikan pertempuran, dan semua pasukan Giri harus membuang senjata dan menyerah."
Yang berteriak nyaring ini adalah Yoga Swara. Dan karena Sunan Giri ditempatkan di atas panggung yang tinggi, maka dapat tampak dari segala arah.
Sesungguhnya setiap anggauta pasukan Giri sudah turun semangatnya, begitu terjebak dan terkurung di tengah lawan. Hanya karena takut kepada senopati masing-masing saja, mereka masih tetap memberikan perlawanan: Akan tetapi sekarang setelah mereka mendengar perintah untuk menyerah itu, tanpa sangsi lagi banyak di antara mereka yang membuang senjata dan menyerah. Akan tetapi di samping itu ada pula di antara mereka yang sangsi. Tempat panggung itu begitu jauh, sehingga mereka tidak dapat melihat secara nyata.
Benarkah orang yang duduk itu adalah Sunan Giri?
Akan tetapi mereka yang bersikap ragu ragu dan tidak segera membuang senjata dan menyerah, tidak urung celaka sendiri, Jumlah mereka tinggal kecil, sedang lawan semakin menjadi garang. Mereka membangkang hanya untuk mati. Sebab secara diam diam, para Senopati Giri telah melarikan diri. Mereka yang telah melarikan diri itu adalah Wanengboyo, Pitrang dan Jalu Raga. Adapun Abdul Malik karena malu untuk melarikan diri, akhirnya harus tewas di ujung senjata Celeng Kemaduh.
Melihat bahwa di antara pasukan Giri masih ada yang nekat melawan dan tidak mau menyerah, Yoga Swara segera berteriak lagi sambil mendekati tempat pertempuran.
"Pasukan Giri, patuhilah perintah junjunganmu Kangjeng Sunan Giri. Buang senjatamu dan menyerahlah! Siapa yang berani membangkang takkan diberi ampun lagi!"
Berkali-kali Yoga Swara meneriakkan ancaman itu.
Hebat akibatnya!
Pasukan Giri yang semula nekat melawan, kemudian menjadi takut. Apa pula mereka melihat bahwa para senopati telah tidak tampak batang hidungnya. Lebih baik menyerah dari pada harus menerima akibatnya, dibunuh mati.
Demikianlah pada akhirnya sisa pasukan Giri itu menyerahkan diri. Setelah pertempuran berhenti, Pangeran Pekik segera memberi perintah, agar pasukan Surabaya mengumpulkan mereka yang terluka maupun tewas. Yang terluka harus dirawat dan diberi pengobatan seperlunya, sedang mereka yang tewas harus segera dikuburkan sebagaimana layaknya.
Hampir berbareng dengan silamnya matahari di bagian barat, pasukan yang bertugas mengumpulkan mereka yang tewas dan terluka telah selesai. Kesibukan segera terjadi. Mereka dibagi-bagi dalam beberapa kelompok. Ada yang harus membuat lubang kubur, ada yang harus merawat mereka yang terluka, ada yang harus merebus air untuk minum dan ada pula yang menanak nasi, masak sayur dan sebagainya guna pengisi perut.
Pasukan Surabaya maupun Gagak Rimang merupakan pasukan-pasukan yang penuh disiplin. Mereka melakukan pekerjaan tanpa mengeluh, di samping sikapnya kepada pasukan Giri yang telah tunduk begitu menghargai, tidak seperti kepada pihak lawan yang telah dikalahkan.
Akan tetapi bagaimanapun, sebagai akibat peperangan yang terjadi, tidak terhitung jumlahnya manusia yang menderita.
Selamanya perang adalah terkutuk!
Manusia menjadi buas.
Manusia saling bunuh, dan nyawa manusja tidak berharga.
Keesokan paginya, Sunan Giri telah dibawa menuju Surabaya untuk kemudian akan dibawa ke Mataram. Yang berhak atas Sunan Giri hanyalah Sultan Agung. Namun ternyata kemudian hari. Sunan Giri dikembalikan dengan selamat ke Giri. Hanya kalau semula memiliki sebutan sunan, setelah dikalahkan oleh Mataram sebutan itu tinggal panembahan saja. Dan dalam pada itu dengan dikalahkannya Sunan Giri oleh Surabaya, berarti pula kekuasaan Sunan Giri turun-temurun sejak Raden Paku telah berakhir. Raja-raja Mataram kemudian, tidak perlu lagi mendapat pengakuan dan pengesyahan Sunan Giri, seperti yang terjadi di jaman Demak maupun Pajang. '
Kita alihkan perhatian kita sekarang kepada Jalu Raga, Wanengboyo dan Pitrang yang berhasil melarikan diri dari medan pertempuran Giri. Walaupun mereka melarikan diri dari medan perang secara sendiri-sendiri, tanpa berjanji, namun kemudian secara kebetulan mereka dapat bertemu.
Mula-mula Wanengboyo yang merasa letih itu, membantingkan pantatnya di atas batu yang bercokol di tepi sungai, tidak jauh dari desa Kedungpring.
Diam-diam ia menjadi bingung, ke mana dirinya sekarang harus bertempat tinggal?
Maka ia menghela napas pendek. Di saat ia sedang berpikir ke mana harus pergi itu, tiba-tiba telinganya menangkap suara langkah kaki orang berlarian. Ia kaget dan khawatir kalau sedang dikejar oleh Yoga
Swara. Maka secepatnya ia menyembunyikan diri di dalam semak ilalang .
Tak lama kemudian tampaklah dua orang muncul dari balik gerumbul pohon. Begitu melihat siapa yang datang. mulut orang ini menyungging senyum. Ia cepat melompat keluar dari tempat persembunyiannya lalu berteriak,
"Hai saudara Jalu Raga dan saudara Pitrang! Mengapa kalian sampai di Sini?"
Dua orang itu nampak kaget. Tetapi ketika melihat Wanengboyo, mendadak saja dua orang ini tertawa. Kata Jalu Raga,
Fear Street Cukup Satu Malam The Overnight Dewa Arak 93 Perawan Buronan Antara Soputan Dan Bunaken Karya Pilemon Gunena

Cari Blog Ini