Ceritasilat Novel Online

Putri Es 9

Putri Es Lanjutan Rajawali Merah Karya Batara Bagian 9


Bunga api memuncrat. Rantai dan ikat
pinggang itu ternyata sudah berobah menjadi
senjata-senjata keras tiada ubahnya tombak atau
pedang sendiri, berani beradu keras dan senjata
yang sudah terisi lweekang kuat itu memercikkan
bunga api! Dan ketika Swat Lian terdorong
karena lawan maju berdua, ia melengking dan
memekik lagi ternyata Bu Kok sudah
mendahuluinya dan dengan pukulan-pukulan
Giam-lui-ciang di tangan kiri laki-laki itu
mencecar dan merangsek. Sebentar kemudian
membuat Kim-hujin sibuk dan si kurus perlente
maju lagi. Dua tokoh ini ganti-berganti melepas882
serangan, kadang-kadang mereka malah bersatu
juga. Dan karena Kim-hujin hanya mampu
menghadapi satu di antara mereka, sedikit di
atas tokoh nomor tiga dan berat kalau dikeroyok
maka ketika berkali-kali ia terpental dan
terdorong mundur maka nyonya ini terdesak dan
sebentar kemudian ia hanya sebagai pihak
bertahan.
"Des-dess!"
Kim-hujin melotot dan terhuyung
mundur. Ia hanya mampu menangkis dan Khi balsin-kangnyo melindungi tubuh. Tapi karena dua
orang itu adalah tokoh-tokoh Pulau Apl dan
pukulan-pukulan mereka amatlah kuat, apalagi
Giam-lui-ciang adalah ciptaan dewa Han Sun Kwi
maka nyonya ini pucat dan akhirnya jatuh
bangun, tak kuat tapi pembelaan dirinya hebat
sekali. Pedang diputar menangkis sana-sini
meskipun jatuh terduduk. Dua orang lawannya
kagum. Dan ketika mereka tak juga dapat
merobohkan nyonya itu sementara di sana
Pendekar Rambut Emas terkejut dan berseru
keras maka Pek-sian-sut bekerja dan pendekar883
ini berkelebat ke arah isterinya. Namun Tanpangcu mengejar dan dua orang di sana itu juga
tak tinggal diam. Rantai dan ikat pinggang
meledak membuyarkan Pek-sian-sut itu. Dan
karena betapapun Pendekar Rambut Emas mulai
dimakan umur, tenaganya berkurang lagi maka
usahanya gagal dan tongkat di tangan Tanpangcu bahkan menghantam punggungnya.
"Bukk..". Tongkat itu mental. Sang
Pendekar terhuyung dan si nyonya pucat. Swat
Lian mendelik. Dan k?tika Pendeker Rambut
Emas terpaksa menghadapi ketua Pulau Api lagi
dan isterinya menghadapi keroyokan maka
terdengar jerit isterinya ketika rantai dani ikat
pinggang menghantam tubuhnya, menoleh dan
sang isteri terhuyung-huyung mendekap dada.
Rupanya dua senjata itu mengenai dada. Dan
muka pendekar ini pucat dan marah namun dua
lawan itu tertawa bergelak dan dengan lompatan
tinggi dua senjata itu menyambar kepala
isterinya.
***884
P U T E R I E S
(Lanjutan "Rajawali Merah")
Karya Batara
Jilid XV
* * * "AWAS....!"
Swat Lian juga melihat itu. Nyonya ini
terbelalak karena dua senjata meluncur
berbareng. la jatuh terduduk dan pucat
mendekap dada. Pukulan dua orang itu
diterimanya telak sekali, isi dadanya seakan
hancur. Maka ketika dua senjata itu menyambar
kepalanya dan suaminya berteriak
memperingatkan, Pendekar Rambut Emas tibatiba melengking dan melepas ikat rambutnya
maka senjata aneh itu menyambar dan rantai
serta ikat pinggang dibentur, sayang kurang kuat
dan dua senjata itu tetap ke bawah. Nyonya ini885
mengeluh dan coba mengelak, kalah cepat dan
tiba-tiba terdengar bunyi berkeratak disusul
robohnya nyonya itu. Kepala Kim-hujin ini retak!
Dan ketika nyonya itu terguling dan Pendekar
Rambut Emas melengking menggetarkan,
suaranya dahsyat menggetarkan lembah maka
tiba-tiba ia menghantam ketua Pulau Api itu
hingga tongkat di tangan ketua ini patah. Sang
ketua berteriak dan terbanting bergulingan.
"Krakk-desss!"
Hebat gempuran Pendekar Rambut Emas
ini. Pendekar itu mencapai puncak
kemarahannya dan ia mengerahkan seluruh
tenaga. Lawan tak kuat dan roboh tergulingguling. Tenaga yang dimiliki Pendekar Rambut
Emas adalah tenaga mujijat yang keluar oleh
kecemasannya melihat keadaan sang isteri.
Gunungpun bakal roboh dihantam pukulannya
ini. Namun ketika lawan terjengkang dan
pendekar ini meledakkan Pek-sian-sutnya,
membalik dan menyambar dua orang itu maka
Bu Kok dan sutenya kaget bukan main di sambar886
dua jari telunjuk yang hanya tampak berkeredep
seperti halilintar menyambar.
"Awas!" Dua orang ini terlambat.
Gerakan Pendekar Rambut Emas terlampau
cepat dan tak mungkin dielak. Apalagi pendekar
itu hilang di balik ilmu Pek-sian-sutnya, semacam
sihir atau ilmu roh. Maka begitu dua telunjuk
membagi tusukan, Bu Kok terkena dahinya
sementara sang sute belakang telinganya, dua
orang ini menjerit maka dua-duanya roboh dan
dahi serta belakang telinga itu hangus bagai dijilat api halilintar!
"Uuhh...!" Dua orang itu terguling.
Pendekar Rambut Emas ternyata tidak
melanjutkan serangannya lagi karena pendekar
ini mengeluh menyambar isterinya. Sang isteri
yang roboh dan tidak bergerak-gerak lagi
membuat dia pucat, pendekar itu memanggilmanggil. Namun karena nyonya ini terkena
serangan telak dan untung bahwa serangan itu
ditangkis ikat rambut, kalau tidak . tentu
kepalanya pecah maka Kim-hujin yang retak
pelipisnya ini membuat Pendekar Rambut Emas887
terbelalak dan tanpa perduli kiri kanan lagi
pendekar itu duduk bersila menempelkan kedua
tangannya di kepala dan punggung. Dan
usahanya berhasil, meskipun tidak sepenuhnya.
Nyonya yang sekarat itu tiba-tiba mengeluh,
membuka mata dan menggerak-gerakkan bibir
namun yang terdengar hanya desis atau
semacam suara tak jelas. Pendekar Rambut Emas
menghentikan pertolongannya dan membuka
mata. Ia tadi berjuang begitu sungguh-sungguh.
Dan ketika sang isteri sadar dan ia girang,
memeluk dan membawa isterinya ini ke dada
maka pendekar itu menggigil bertanya.
"Apa yang ingin kaukatakan, niocu.
Bagaimana keadaanmu. Aku.... aku tak sanggup
menolong lebih....!"
"Aku... aku akan mati. Aku.... aduh,
jahanam keparat orang-orang Pulau Api itu,
suiku.... aku ingin kau mernbalaskan sakit hati ini
.... !"
"Jangan katakan itu. Yang jahat memang
harus dibasmi. Lukamu parah, isteriku. Aku tak888
tahu apa lagi yang harus kulakukan selain
mendengar pesanmu...!"
"Aku.... aku tak hendak bicara apa-apa
lagi. Aku menyesal tak melihat anakku Beng An.
Aku.. aduh... aku.... aku hanya mempunyai
titipan untuk Soat Eng dan adiknya, suamiku. Ada
dua gulung surat untuk mereka, di bawah bantal.
Berikan itu dan.... dan balaskan sakit hati ini
"Niocu!"
Sang nyonya terguling. Pendekar Rambut
Emas sudah menahan dan mengguncangguncang kepala itu namun kepala itu tergolek.
Isterinya telah tewas. Pendekar Rambut Emas
mengeluh dan sepasang matanya tiba-tiba
berpijar bagai bola api. Dan ketika pendekar itu
meletakkan isterinya dan bangkit membalikkan
tubuh, di belakang terdengar gerakan maka
pendekar ini membentak dan tiba-tiba
menerjang melihat bayangan merah
menyambar, mengira itu adalah Tan-pang cu
ketua Pulau Api. "Manusia iblis, kau telah
membunuh isteriku. Terimalah, dan mari kita
mengadu jiwa!"889
Namun bayangan itu berkelit. Ia berteriak
namun dikejar, berkelit dan berteriak lagi namun
tetap dikejar dan menerima serangan bertubitubi. Dengus dan mata pendekar itu gelap. Dan
ketika satu pukulan tak dapat dikelit lagi,
bayangan ini menangkis maka Thai Liong,
bayangan ini membentak dan berseru
meayahnya itu.
"Ayah, ini aku, Thai Liong. Lihatlah...
dess!" dan dua-duanya yang terpelanting dan
terlempar oleh pukulan mereka akhirnya
membuat Pendekar Rambut Emas sesak
napasnya dan bangun duduk di sana,mengeluh,
membelalakkan mata lebar-lebar dan ternyata
betul bahwa yang dihadapi bukanlah ketua Pulau
Api. Thai Liong datang dan itulah puteranya. Dan
ketika puteranya bangkit dan agak terhuyung,
betapapun pukulan tadi cukuplah kuat maka
pendekar ini menuding ke sana dan roboh
pingsan. Habis oleh pertandingan mati hidup
yang tadi dilakukannya bersama orang-orang
Pulau Api. Thai Liong terkejut. Rajawali Merah ini
baru datang ketika di kejauhan sana ia890
mendengar lengking atau seruan ayahnya yang
dahsyat. Pekik itu memberi tahu akan adanya
bahaya. Tak biasanya ayahnya memekik seperti
itu selama beberapa tahun ini. Maka ketika dia
berkelebat dan menyuruh anak isterinya
menyusul, tertegun dan diserang lalu menangkis
serangan ayahnya maka pemuda itu sudah
berlutut dan memeriksa ayahnya ketika dua
bayangan lain berkelebat dan mengeluarkan
seruan tertahan, bayangan Shintala dan Bun
Tiong yang memanggul tiga ekor harimau di
belakang punggungnya.
"Ada apa, apa yang terjadi!"
Thai Liong tak menjawab pertanyaan
isterinya. Dia memeriksa ayahnya dan menjadi
lega karena ayahnya hanya kehabisan tenaga
saja. Denyut jantung ayahnya itu masih sehat.
Tapi ketika Bun Tiong melihat keadaan neneknya
dan anak itu sudah melempar buruannya,
menubruk dan memanggil-manggil Kim-hujin
maka anak ini berteriak dan memanggil ibunya.
"Ibu ibu! Nenek tak mau bicara!"891
Sang ibu menoleh. Shintala kurang
memperhatikan gak-bonya itu karena suaminya
menolong sang ayah. Dia baru menoleh ketika
puteranya memanggil-manggil. Dan ketika
nyonya ini membalik dan berkelebat ke arah gakbonya, melihat betapa gak-bonya tewas dan
tidak bergerak lagi maka nyonya ini menjerit dan
memanggil suaminya pula.
"Liong-ko, ibu dibunuh orang!"
Thai Liong meloncat dan tahu-tahu sudah
di samping isterinya. Ia sekarang juga
memperhatikan ibunya itu dan tiba-tiba
berobahlah mukanya melihat betapa bunya itu
tak bernapas lagi. Pelipis itu retak dan darah
mengalir di sini. Tubuh ibunya masih hangat
tanda belum begitu lama tewas. Tapi ketika ia
menggigil dan berlutut, isteri dan anaknya sudah
mengguguk tak keruan maka ayahnya bangkit
duduk dan sudah siuman. Pertolongan Thai Liong
tadi membawa hasil.
"Ibumu memang tiada. Ia telah dibunuh
orang-orang Pulau Api .... !"892
Shintala menjerit dan menubruk ayah
mertuanya ini. Pendekar Rambut Emas tampak
pucat namun jelas sekali pendekar ini sedang
menahan perasaannya yang terguncang. Wajah
gagah itu tiba-tiba tampak menua, betapa
mengharukannya. Dan ketika Thai Liong bangkit
dan menghampiri ayahnya, saling rangkul maka
tak dapat dicegah lagi tiga orang itu
meruntuhkan air mata. Shintala paling deras dan
tersedu-sedu!
"Siapa orang-orang Pulau Api itu. Siapa
jahanam keparat itu!"
"Benar!"
Bun Tiong meloncat dan tiba-tiba berseru
nyaring.


Putri Es Lanjutan Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa orang-orang Pulau Api itu, kongkong. Di mana mereka tinggal dan kenapa
membunuh nenek. Biar kucari mereka dan
kubalas sakit hati ini!"
"Hm..!" Pendekar Rambut Emas batukbatuk. "Mari kita bawa jenasahnya ke dalam,
anak-anak. Biar di sana kita bicara. Aku.... aku
letih sekali ."893
Shintala mengguguk dan memeluk gakhunya ini. Dia paling sayang dan hormat kepada
ayah mertuanya ini, bukan karena apa-apa
melainkan semata betapa ayah mertuanya itu
banyak ditimpa kemalangan hidup. Sebagai
menantu keluarga itu tentu saja dia tahu cerita
pendekar ini, sejak mudanya sampai sekarang.
Betapa di masa-masa mudanya pen dekar itu
banyak mengalami tekanan batin, mulai
permusuhannya dengan mendiang suhengnya
sampai kepada kematian sumoinya tercinta, ibu
dari Thai Liong atau suaminya sekarang itu. Dan
ketika baru dalam beberapa tahun terakhir ini
saja gak-hunya itu hidup bahagia, tenang dan
tenteram sejak musuh-musuh mereka yang jahat
tewas, mendiang Mo-ong dan sepasang kakek
iblis Poan-jin-poan-kwi maka hari ini tiba-tiba
saja gak-hunya itu harus kehilangan isteri ketika
mereka tak ada di rumah. Tanda betapa hebat
dan mengejutkan musuh-musuh yang datang itu.
"Siapa mereka, siapa orang-orang Pulau
Api itu!" wanita ini menangis dan terus bertanya
ketika mereka duduk di dalam. Jenasah Kim-hujin894
sudah ditutupi kain dan menantu ini mengepal
tinju sampai berkerot-kerot. Gigi dan bibir itupun
dikatup rapat. Dan ketika di sana Bun Tiong juga
mengusap air matanya sambil tersedu
memanggil neneknya, anak ini mengepal tinju
seperti sang ibu maka Pendekar Rambut Emas
menarik napas dalam-dalam dan hanya dia dan
puteranya Thai Liong yang dapat menahan diri.
semua yang terjadi tentu terjadi. Emosi tak boleh
bicara di sini. Aku juga tak tahu siapa orang-orang
Pulau Api itu, Shintala. Aku tak tahu di mana
mereka tinggal karena mereka juga tak memberi
tahu...."
"Ah, gak-hu tak tahu siapa orang-orang
ini? Gak-hu tak bertanya di mana mereka
tinggal?"
"Aku tak sempat bertanya, menantu. Dan
lagi semuanya itu berlangsung begitu cepat.
Mereka datang secara tiba-tiba." "Kalau begitu
mengapa mereka memusuhi kita. Apakah
mereka itu orang-orang gila yang tidak waras!"
"Hm, ini berawal dari Beng An. Adikmu
itulah yang paling tahu...."895
"Beng An?" Shintala terkejut. "Mereka
memusuhi Beng An?"
"Begitu katanya, menantu. Dan mereka
datang memang untuk mencari Beng An. Aku dan
ibumu juga terkejut bahwa mereka memusuhi
Beng An."
"Kalau begitu mereka orang jahat. Tak
mungkin Beng An bermusuhan dengan orang
baik-baik!"
"Hm, baik atau tidak biasanya tergantung
pertimbangan pribadi. Masalah ini berkait
dengan untung rugi. Kalau jahat dimaksud
sebagai orang yang banyak merugikan orang lain
agaknya betul, menantu. Dan aku juga merasa
begitu. Tapi mereka betul-betul orang hebat.
Mereka dapat menahan pukulan kita Khi-bal-sinkang dan memiliki bermacam ilmu silat tinggi,
juga langkah sakti yang tak kuketahui apa!"
Thai Liong tertegun. Kalau ayahnya
sampai memuji seperti itu maka musuh tentu
betul-betul hebat. Tapi melihat betapa ayahnya
selamat kecuali ibunya saja maka pemuda ini
bertanya dengan suara lirih,896
"Tapi sehebat-hebatnya mereka kau
masih dapat mengusir lawan, ayah. Ini berarti tak
perlu kita khawatir."
"Hm, takut memang tidak, tapi khawatir
perlu. Aku dapat mengusir mereka karena
nasibku yang baik saja, Liong-ji. Kalau aku tidak
memiliki Pek-sian-sut kemungkinan aku sudah
roboh seperti ibumu. Mereka betul-betul hebat,
tapi harus diakui bahwa mereka belum
sempurna menguasai ilmu."
"Ah, jadi mereka masih dapat lebih hebat
lagi?"
"Benar, dan terutama ketuanya. Aku
menghantam dia sekuat tenaga tapi yang patah
hanya senjatanya. Dia terlempar dan masih
dapat bergulingan meloncat bangun. Sementara
dua sutenya, hmm... mereka roboh oleh
pukulanku dan mungkin untuk tiga empat bulan
harus beristirahat total!"
Pendekar ini menceritakan
pertempurannya. Thai Liong mendengarkan dan
Shintala mengerutkan kening. Bun Tiong berapiapi dan tidak menampakkan gentar. Dan ketika897
sang kakek selesai bercerita dan mereka
mendengar dahsyatnya orang-orang Pulau Api,
betapa mereka menguasai tenaga Yang-kang
(Panas) hingga mirip obor berjalan maka anak ini
berseru mengepal tinju, "Mungkin itu sebabnya.
Ilmu mereka kalah oleh paman!"
"Hm, diam kau," sang ayah menegur.
"Kau anak kecil tak usah ikut campur
pembicaraan orang tua, Bun Tiong. Dengarkan
saja tapi jangan bersuara!"
Anak ini bersembunyi di belakang
punggung ibunya. Dia meleletkan lidah dan sang
ibu meraih. Kalau sudah begini memang anak itu
lebih dekat sang ibu. Dia takut tapi kakeknya
tersenyum. Dan ketika Pendekar Rambut Emas
mengangguk-angguk dan merasa betul,
omongan itu masuk akal maka dia membela
halus cucunya laki-laki ini.
"Bun Tiong anak kecil, tapi pikirannya
seperti orang dewasa. Kupikir apa yang dikatakan
betul, Thai Liong. Kekalahan mereka yang
membuat mereka ke mari. Mungkin dulu mereka898
roboh oleh Beng An, datang dan ingin membalas
sakit hati."
"Tapi tak ada urusannya dengan gak-hu!"
Shintala memprotes. ". Mereka boleh mencari
Beng An, gak-hu, tapi tak boleh memusuhi
apalagi membunuh gak-bo. Apa namanya itu!"
"Hm, ini wajar terjadi," Pendekar Rambut
Emas menarik napas dalam. "Aku adalah ayah
Beng An, menantu, dan gak-bomu adalah ibunya.
Jadi wajar saja kalau kami orang tuanya
dilibatkan."
"Kalau begitu mereka orang-orang tak
tahu malu. Kalah dengan Beng An lalu mencari
dan memusuhi orang tuanya!"
"Sudahlah," Thai Liong melerai. "Ayah
betul, Shintala, dan pandanganmu juga betul
kalau ditinjau dari sudut pikiranmu. Sekarang apa
yang harus kita lakukan dan bagaimana menurut
ayah."
"Kita harus menemukan Beng An. Kita
harus memberitahukan ini."
"Tapi di mana anak itu, ia dulu ikut Siansu!"899
"Benar, tapi kalau begini tentu anak itu
sudah keluar, menantu. Kalau dia sudah
bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api itu
berarti Sian-su telah melepasnya." Thai Liong
mengangguk. Perkataan ayahnya benar dan
isterinya mengerutkan kening dengan mata
bersinar. Shintala tampak geram dan marah oleh
peristiwa ini. Wanita itu menahan-nahan ledakan
perasaannya. Tapi ketika kemudian diputuskan
bahwa keluarga di Sanm liong-to harus diberi
tahu, Thai Lionglah yang mendapat tugas maka
pemuda itu bangkit berdiri setelah jenasah
ibunya dimakamkan. Tiga hari kemudian
berangkat.
"Aku ikut. Aku juga ingin mengetahui
keadaan Soat Eng di sana. Kenapa tiga tahun ini
ia tak datang!"
Shintala bangkit pula berkata pada
suaminya. Ia tak mau ditinggal di situ dan Thai
Liong tertegun. Sebenarnya ia ingin agar isterinya
menjaga di situ, bersama ayahnya. Dan ketika ia
masih ragu mendadak putera mereka Bun Tiong
juga berseru,900
"Aku juga. Aku ingin bertemu cici Siang
Hwa dan Siang Lan, ayah. Aku tak mau ditinggal
di sini!"
"Hush, kong-kongmu tak boleh sendiri,
butuh teman. Masa kau dan ibumu pergi
bersama ayah? Eh, sebaiknya kau di sini, Bun
Tiong. Temani kakekmu dan tak usah ikut!"
"Tak apa," Pendekar Rambut Emas
muncul. "Anak ini masih ingin berdekatan
dengan ayah ibunya, Liong-ji. Biarlah kalian bawa
dan jangan pikirkan aku. Pergilah!"
"Tapi ayah sendiri, bagaimana kalau
musuh datang lagi!"
"Kupikir tidak. Dalam waktu tiga empat
bulan ini penghuni Pulau Api tak mungkin ke
mari. Dua di antara tokohnya luka." Thai Liong
masih ragu. Sebenarnya yang ia kehendaki
adalah teman bagi ayahnya itu. Alasan bahwa
musuh datang hanyalah berandai-andai.
Kalaupun datang mana mungkin anak sebesar
Bun Tiong mampu menghadapi? Ia hanya ingin
ayahnya berdua, Bun Tiong dirasa cukup di situ.
Tapi karena ayahnya menolak dan benar juga901
bahwa puteranya itu ingin berdekatan dengan
mereka, ayah ibunya maka pemuda ini
mengangguk dan isterinya menyambar dan
memeluk puteranya itu. Anak ini girang. "Baiklah,
kami tinggalkan dirimu, ayah. Kalau ada apa-apa
hubungilah aku dengan getaran batin.
Secepatnya aku akan datang!"
Pendekar Rambut Emas tersenyum. Ia
mengangguk dan melambaikan tangan pada
keluarga kecil itu, menyuruh Thai Liong
berangkat dan meminta agar keluarga Sam-liongto datang. Dan ketika Thai Liong bergerak dan
lenyap mempergunakan kesaktiannya yang
tinggi, anak isterinya disambar pergi maka
pemuda itu menuju Sam-liong-to dan
selanjutnya telah bertemu dengan Soat Eng dan
anak serta suaminya.
*** "Demikianlah," pemuda itu menutup
cerita dengan wajah tak gembira. "Ibu tewas
akibat serangan tokoh-tokoh Pulau Api, Siang Le.902
Dan celakanya kami tak tahu di mana Pulau Api
itu. Hanya Beng An yang tahu!"
"Hm, kasihan, menyedihkan. Kiranya ini
akibat sepak terjang Beng An. Ah, kalau begitu
kau betul, Thai Liong. Kita harus menemukan
adik kita itu dan secepatnya memberi tahu ini.
Gak-bo tewas karena serangan orang-orang
Pulau Api. Keji benar mereka itu!"
"Dan ibu tak sempat ke sini. Ia akan
datang bersama ayah mencari tahu kenapa
kalian tak pernah datang!"
"Hm, ini gara-gara Soat Eng. Ia tak datang
karena menunggu besarnya Hok Gi, Thai Liong,
juga karena waktu itu sedang hamil dan tak dapat
bepergian jauh. Aku menyesal bahwa gak-bo
menjadi susah gara-gara ini!"
"Sudahlah, sekarang sudah lewat. Ayah
mengundang kalian datang dan barangkali besok
kita bisa bersiap-siap."
"Hm...!" Siang Le mengangguk-angguk.
"Tahu begini barangkali aku yang pergi ke sana,
Thai Liong, tak usah menunggu isteriku. Ah, aku903
ingin ketemu gak-hu dan melihat bagaimana
keadaannya sekarang!"
"Ayah semakin tampak tua. Ia sedih."
"Benar, dan aku ingin menghiburnya.
Baiklah kusiapkan segalanya dan besok kita
berangkat!"
Malam itu keluarga ini berbenah. Soat
Eng juga mendengar cerita dari Shintala dan
semalam itu nyonya ini menangis terus. Tak
habis-habisnya ia mengutuk dan mengumpat
orang-orang Pulau Api itu. Sesekali ia memekik
dan mengepalkan tinju, wajahnya merah padam,
mata berkilat-kilat dan tampak betapa kebencian
dan api dendam memancar di sini. Nyonya ini
memang terbakar. Tapi ketika Cao Cun
mengelus-elus pundaknya dan wanita setengah


Putri Es Lanjutan Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baya ini menenangkan dengan kata-kata halus,
bahwa yang penting adalah ke utara dulu dan
menghadap sang ayah maka nyonya itu dapat
dibujuk dan ketika keesokannya mereka
berangkat Sam-liong-to tak berpenghuni lagi.
Siang Le mengajak semuanya bersicepat. Anakanak, empat jumlahnya dibawa oleh Thai Liong904
dimasukkan jubah sakti-nya. Bibi mereka Cao
Cun juga dimasukkan ke situ. Thai Liong memiliki
kesaktian Beng-tau-sin-jin (Ilmu Menembus
Roh), ilmu yang membuat pemuda itu dapat
"mengantongi" manusia seperti mengantongi
kelereng saja. Maka ketika semua siap dan
berangkat menuju utara dapat dibayangkan
hujan tangis di sini, ketika Soat Eng bertemu
ayahnya. Pendekar Rambut Emas duduk bersila
ketika keluarga Sam-liong-to itu datang. Soat Eng
menubruk dan memanggil ayahnya. Dan ketika
pendekar ini membuka mata dan Cao Cun,
wanita itu menggigil di pintu maka kedua mata
pendekar ini tiba-tiba menjadi basah dan ia
memeluk serta merangkul puterinya itu.
"Ayah..."
"Hm, kau.... kau datang? Kau telah
mendengar cerita kakakmu? Bagus, aku girang,
Eng-ji. Tapi ibumu... ibumu...." Pendekar ini tak
mampu melanjutkan kata-katanya. Soat Eng
telah mengguguk dan tersedu-sedu memeluk
ayahnya itu. Hujan tangis tak dapat dicegah. Dan
ketika di sana Siang Le mengusap air matanya905
dan anak-anak juga menangis sambil berlutut,
Thai Liong menunduk dan menahan perasaannya
yang bergetar-getar maka pertemuan ini
dipenuhi keharuan sekaligus kesedihan. Siang Le
melihat betapa ayah mertuanya itu tiba-tiba
sudah berubah rambut. Tak ada lagi yang kuning
keemasan. Wajah itu sudah menua dan kurus.
Dan ketika Cao Cun tiba-tiba menggigil dan jatuh
berlutut, wanita ini mengucapkan bela sungkawa
maka Pendekar Rambut Emas tertegun dan lekat
memandang wanita ini. Air matanya tiba-tiba
deras mengucur.
"Kim-taihiap, aku.... aku mengucapkan
bela sungkawa. Maafkan bahwa kedatanganku
terlambat
"Ah, terima kasih, Cao Cun. Tapi.... tapi
duduklah seperti yang lain. Jangan berlutut.
Aku.... aku sudah siap menerima semuanya ini.
Takdir tak dapat dirobah!"
Wanita itu tersedu-sedu. Akhirnya Soat
Eng menarik tubuhnya dan dua wanita ini
berdekapan. Pendekar Rambut Emas di tengah
dan anak-anak jadi riuh menangis. Mereka906
terbawa oleh orang-orang tua ini. Tapi ketika
terdengar tangis bayi dan itulah Hok Gi, sang
pendekar terkejut maka pendekar itu
mendorong semuanya memandang bocah
mungil itu, terbelalak.
"Dia.... dia ini siapa? Anak siapa?"
"Dia Hok Gi, Siang Hok Gi, puteraku!
Inilah anak kami ketiga, ayah. Anak laki-laki. Kami
mendapatkannya setelah berusaha ke manamana!"
"Ah, dia.... dia anak lelaki? Berikan!"
Pendekar Rambut Emas menyambar dan
meminta anak ini. Hok Gi menangis namun ketika
disambar kakeknya anak ini tiba-tiba diam.
Pendekar Rambut Emas menggigil dan terbelalak
memeluk anak ini. Dan ketika dia mengeluh dan
anak itu menangis lagi maka Soat Eng menerima
dan ayahnya terduduk.
"Ah, ibumu keturutan. Kalian telah
memberinya cucu laki-laki! Ohh, sayang ibumu
tak melihat ini, Siang Le bukan menantu bodoh
karena ia berhasil memberikan anak laki-laki.
Thian Yang Maha Agung. Soat Eng tersedu dan907
memeluk ayahnya itu. Sang ayah tampak
berduka sekaligus bahagia. Ibunya yang
almarhum membuat ia sedih. Dan ketika ia
menangis dan bertanva apa maksud kata-kata
ayahnya tadi, wanita ini heran seolah ayahnya
tahu pertikaian itu maka Pendekar Rambut Emas
mengangguk dan gemetar, memejamkan mata.
"Ya-ya, aku tahu.... ibumu sudah
bercerita. Ah, malang benar nasib suamimu itu,
Eng-ji. Ibumu membenci dan selalu marahmarah. Tapi setelah itu ia sadar. Ia ingin minta
maaf. Ia ingin pergi ke Sam-liong-to menengok
dirimu dan anak-anak, juga Siang Le..."
"Ibu tak tahu akan ini, bukan?"
"Tidak, ia belum tahu. Kami bermaksud
ke Sam-liong-to ketika musuh tiba-tiba datang.
Dan.... dan nasib itu datang. Ia keburu tewas
sebelum melihat cucunya laki-laki. Ah, ibumu
patut dikasihani, Eng-ji. Ia selalu terbawa
emosinya. Sebaiknya kau bawa Hok Gi ke makam
dan tunjukkan bahwa cucunya laki-laki telah
lahir!"908
Nyonya ini mengguguk. Tangis tak dapat
dibendung lagi ketika pendekar itu memberi
tahu. Kiranya sang ibu sudah rnengaku. Dan
ketika Thai Liong mengedip agar isterinya pergi,
membawa Soat Eng ke makam maka Cao Cun
juga ikut dan Pendekar Rambut Emas kembali
duduk bersila. Pagi itu keadaan benar-benar
mengharukan. Keluarga Pendekar Rambut Emas
kumpul semua, kecuali Beng An. Dan ketika di
makam Soat Eng tak dapat menahan diri lagi dan
pingsan, roboh terguling maka Shintala itulah
yang menolong dan menyadarkannya. Siang Le
berkelebat datang dan menolong isterinya pula.
Pemuda buntung inipun menggigil, akhirnya
berlutut dan sembahyang di makam gak-bonya
itu. Dan ketika semua juga berlutut dan Hok Gi
diangkat tinggi-tinggi, Soat Eng berseru seolah
ibunya hidup maka terdengar kata-katanya
lantang, dicampur sedu-sedan yang masih
mengganjal. "Ibu, inilah putera kami Hok Gi.
Janganlah kau memaki-maki Siang Le lagi karena
ia sudah pintar menuruti permintaanmu.
Lihatlah, ia cucumu laki-laki dan kami bersumpah909
untuk membalas sakit hatimu ini. Aku tak akan
berhenti sebelum musuh-musuhmu terbunuh!"
Suasana berurai air mata lagi. Siang Le
menggigit bibir dan merasa seram oleh ancaman
isterinya ini. la tak sekeras Soat Eng, balasmembalas dendam sesungguhnya tabu baginya.
Apa yang terjadi di anggapnya sebagai sesuatu
yang sudah di putuskan oleh Yang Di Atas. Tak
akan terjadi kalau Tuhan tak menghendaki.
Namun ketika semua itu selesai dan mereka
kembali ke dalam, sang gak-hu tampak bersila
dengan wajah berkerut-kerut maka kedukaan itu
menyelubungi keluarga ini dan selama tujuh hari
Soat Eng mengenakan pakaian putih-putih,
berikut semua anak dan yang lain. Pendekar
Rambut Emas tepekur dan banyak diam. la lebih
ditemani oleh Thai Liong dan Siang Le dalam
masa perkabungan. Soat Eng dan para wanita di
dalam, juga tak banyak bicara kecuali tangis dan
isak-isak ditahan. Cao Cun, yang lebih tabah,
menyiapkan makanan dan minuman untuk
mereka semuanya, terutama anak-anak. Dan
ketika masa berkabung lewat dan diputuskan910
untuk mulai bekerja, Beng An masih belum
kembali juga maka pendekar itu menetapkan
bah-wa Thai Liong dan Siang Le pergi, anak-anak
tetap di situ.
"Tak akan habis kalau hanya menangis
dan membuang air mata saja. Kita harus bekerja.
Kita mulai mencari Beng An atau bertanya pada
Sian-su di Mana anak itu."
"Dan ayah mengutus siapa?"
"Thai Liong dan suamimu boleh pergi,
Eng-ji. Kau dan yang lain tinggal di sini. Biarlah
pekerjaan ini diselesaikan laki-laki."
"Ah, tidak. Aku juga ikut! Aku tak dapat
tinggal diam dan membiarkan ini!"
"Hm, mencari musuh tak boleh
berlandaskan dendam. Dendam dan kebencian
hanya akan mengeruhkan pikiran kita saja. Kalau
kau mencari orang-orang Pulau Api maka alasan
di hatimu adalah karena sepak terjang mereka
yang jahat, Eng-ji, bukan semata karena
tewasnya ibumu. Tapi sebaiknya kita temukan
adikmu dulu karena dari situ kita bisa mendapat
keterangan dan tempat berpijak yang benar."911
"Aku akan mencari siapa yang lebih dulu
kutemukan. Kalau mereka lebih dulu maka
langsung saja kusikat ,akan kuhajar. Tapi kalau
Beng An kutemukan aku akan bertanya padanya
apa yang lelah menyebabkan dia bermusuhan
dengan orang-orang Pulau Api!" "Hm, kalau
begitu kau harus bersama kakakmu Thai Liong.
Mereka orang-orang lihai. Berdua dengan
suamimu tak bakal kalian menang, apalagi kalau
berternu sekaligus dengan tiga tokoh itu!"
"Aku tak takut!"
"Bukan takut atau tidak. Tapi hati-hati
dan waspada adalah kewajibanmu, Eng-ji. Ingat
bahwa kalau. ada apa-apa maka kami di sini yang
susah. Dan apakah kau akan melakukan ini
semata menurutkan hawa nafsu dan
kemarahanmu saja!"
Wanita itu menangls. Diingatkan akan ini
ia sadar juga. Kalau ayah dan ibunya saja
kewalahan menghadapi orang-orang itu maka
dapat dibayangkan bahwa mereka betul-betul
orang luar biasa. Gegabah atau takabur dengan
ilmu sendiri bisa menjadikan bumerang. Kalau ia912
atau suaminya celaka tentu ayah dan saudarasaudaranya yang lain susah. la tak takut mati tapi
tentu saja tak baik membiarkan ayah dan lainlainnya ini berduka. Mereka sudah cukup
kehilangan ibunya. Dan ketika diputuskan ia
berangkat bersama Thai Liong, Rajawali Merah
ini menarik napas maka Thai Liong berkata
bagaimana kalau cukup ia sendiri, yang lain
menemani ayahnya di situ.
"Bukan sombong, tapi aku
mengkhawatirkan ayah. Kau sendiri di sini
bersama anak-anak. Ayah. Bagaimana kalau biar
isteriku saja yang ikut dan Siang Le dan Eng-moi
di sini. Aku sanggup mencari mereka."
"Tidak. Aku tak mau tinggal diam. Aku
juga ingin mencari dan menemukan musuhku,
Liong-ko. Kalau kau sendiri lalu apa gunanya
kami. Masa kami berpangku tangan!"
"Hm, bukan begitu, tapi semata menjaga
keselamatan ayah. Ingat bahwa ayah perlu
teman, Eng-moi. Ia melindungi pula anak-anak
kita di sini. Bagaimana kalau musuh datang dan
ayah seorang diri."913
"Tak usah ribut-ribut. Mati hidup di
tangan. Berangkatlah dan biar isterimu di sini,
Thai Liong. Aku tak akan sendiri karena adikmu
Beng An pasti datang. Aku telah menangkap
getarannya kalau kalian belum menemukan!"
"Hm," Thai Liong mengangguk. "Kalau
begitu maksudmu aku tak akan cemas lagi, ayah.
Dan titip anak-anak supaya kau lindungi. Baiklah,
aku bertiga bersama Eng-moi akan berangkat!"
Soat Eng bersinar dan memeluk puterinya
satu per satu. Ketika tiba bagian Hok Gi tiba-tiba
ia tertegun. Anak ini masih terlalu kecil, iba juga
kalau harus ditinggal. Tapi ketika ia mengeraskan
hati dan memandang Cao Cun, bibi atau ibu
angkatnya itulah yang pasti merawat maka Cao
Cun mengangguk dan mengusap air matanya
yang selalu banjir.
"Pergilah.... pergilah. Aku yang akan
merawat dan memberi susu Hok Gi. Kalau
ayahmu sudah bicara seperti itu maka tak ada
yang lebih baik, Soat Eng. Pergi tapi tetaplah
bersama Thai Liong!"914
Soat Eng mengangguk. la selesai
menciumi anaknya satu persatu dan Siang Hwa
maupun Siang Lan menahan tangis.
Anak-anak perempuan ini sebenarnya
sudah biasa ditinggal pergi ayah ibu mereka..
Tapi karena kali ini kepergian mereka adalah
untuk mencari musuh, bukan ransum atau bekal
makanan seperti biasa maka tak urung dua anak
ini gemetar dan menggigit bibir, telah
mendengar bahwa musuh yang dicari adalah
orang-orang lihai berkesaktian tinggi.
"Ibu, hati-hatilah. Ingat bahwa masih ada
kami anak-anakmu di sini. Kami menunggumu."
"Tenanglah," sang ibu hampir tak kuat
dan menahan tangis. "Aku dan ayahmu akan


Putri Es Lanjutan Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandai-pandai menjaga diri, Siang Hwa. Dan ada
pamanmu Si Rajawali Merah di sini. Baik-baiklah
kalian bersama kong-kong dan jangan pergi jauhjauh!"
Siang Le juga tak kuat. Ayah yang
memandang anak-anaknya itu tampak terharu.
Keberangkatan mereka seolah perajurit maju
perang. Dan ketika ia memeluk dan menciumi915
anaknya, Siang Lan terisak dipeluk ayahnya anak
itu berbisik,
"Yah, cepatlah pulang. Lan Lan
menunggumu!"
"Hm, tentu. Ayah akan segera pulang.
Baik-baiklah menjaga diri, Siang Lan, jangan jauhjauh dari kakekmu. dan jaga adikmu Hok Gi!"
Anak itu mengangguk. Mau dia menangis
keras-keras namun takut kepada ibunya. Sang
ibu mendidik untuk tidak bersikap cengeng. Ayah
baginya lebih lembut namun anak ini tak dapat
menumpahkan perasaannya di situ. Maka ketika
ayah ibunya berkelebat dan Soat Eng mengusap
air matanya, ternyata ibu inipun tak dapat
menahan perasaan hati maka Siang Hwa dan
Siang Lan akhirnya mengeluh dan roboh tersedusedu menangis di pangkuan kakeknya. Hanya
Bun Tiong yang tampak tabah. Anak lelaki ini
memandang kepergian ayah dan pamannya
dengan mata bersinar. la tidak menangis seperti
dua anak perempuan itu, mungkin karena ia
lelaki, atau mungkin karena ada ibunya di situ.
Dan ketika dua anak perempuan itu sesenggukan916
dan Shintala maju memeluk, Cao Cun juga
bergerak dan merangkul anak-anak itu maka Thai
Liong lenyap menyusul mereka. Pendekar
Rambut Emas memejamkan mata sambil
menyentuh pundak cucu-cucunya. Keharuan dan
kepedihan berbareng menjadi satu, berkumpul
dan bergolak dan hampir saja air matapun turun
membanjir. Namun ketika pendekar ini batukbatuk dan menyuruh mereka masuk, Shintala
membawa anak-anak itu maka mulai hari itu
anak-anak ini di bawah asuhan bibi mereka dan
tinggallah pendekar itu seorang diri. Cao Cun
bertugas sebagai ibu rumah tangga. Melihat
kepedihan keluarga itu membuat wanita ini
menangis sendiri. Tak henti-hentinya ia terisak
dan menangis sendirian, kalau semua sudah
tidur. Dan ketika hari demi hari dilewatkan
sambil menunggu, Pendekar Rambut Emas
menaruh kepercayaan penuh kepada puteranya
laki-laki maka lima hari kemudian muncullah
Beng An! Pemuda ini, seperti diketahui di depan
akhirnya meninggalkan Lembah Es setelah
membantu penghuni lembah itu mengusir orang-917
orang Pulau Api. Dia sama sekali tak menyangka
ibunya tewas. Maka ketika dia memasuki lembah
di mana ayah ibunya tinggal, wajah yang semula
muram dibayangi wajah jelita dari Puteri Es itu
mendadak berseri melihat pondok di tengah
lembah. Beng An berkelebat dan ingin
memanggil. Tapi ketika seorang wanita keluar
dari pintu belakang, membawa dan menaruh
mangkok piring maka dia tak jadi berseru dan
tiba-tiba terbelalak melihat wanita setengah tua
yang bersikap anggun itu. Sosok wanita agung
yang kini seolah menjadi pelayan!
"Bibi Cao Cun".
Wanita itu menoleh. Beng An tak akan
lupa dengan wajah ini dan Cao Cun, wanita itu
terkejut dan membalik. Dia masih memegang
dua mangkok di tangan, terkejut dan membalik
dan tiba-tiba berseru keras melihat seorang
pemuda gagah tampan berdiri di belakangnya.
Pemuda ini muncul seperti iblis dan Beng An yang
sudah dua puluhan tahun itu tak segera dikenal
wanita ini. Wajahnya sudah bukan kanak-kanak
lagi. Lengan dan dadanya berotot. Tubuh itu918
amat gagah meskipun dibungkus pakaian
sederhana putih-putih, ikat pinggangnya hitam
membuat pemuda ini semakin tampak gagah
lagi. Tapi ketika wanita itu terbelalak dan tidak
mengenal, Beng An yang sekarang bukan Beng
An yang masih kanak-kanak dulu maka wanita ini
menuding dan gemetar,
"Kau, siapa kau? Kenapa membikin kaget
aku?"
Beng An tersenyum. Tiba-tiba ia ingin
menggoda dan disambarnya lengan wanita tua
itu. Cao Cun menjerit namun pemuda ini sudah
mencekal erat-erat. Dan ketika dia tertawa
menanyakan dirinya sendiri, Beng An balik
bertanya siapa dia maka berkelebat bayangan
lain dan Shintala, kakak iparnya muncul. Beng An
pura-pura tak tahu dan melanjutkan
pertanyaannya.
"Ha-ha, siapa aku. Hayo bibi jawab.
Bagaimana bibi ada di sini dan kenapa mencuei
mangkok piring. Mana pembantu!"
Wanita itu menggigil. Shintala yang
berkelebat di belakang Beng An hampir saja919
melepas serangan. Pemuda itu dianggapnya
kurang ajar dan mengganggu orang tua. Tapi
ketika Beng An pura-pura bertanya dan sikapnya
jelas menggoda, wanita ini bergerak dan maju ke
depan maka dialah yang menebak dan langsung
tahu.
"Beng An, kau Beng An!"
"Ah, ha-ha. Dan ini cici Shintala tentu.
Wah, semakin cantik dan anggun. Ha-ha, kau
betul, enci. Aku Beng An. Aduh, bagaimana bibi
Cao Cun bisa lupa kepadaku. Aih, apakah benarbenar pangling!"
Beng An gembira dan disambar encinya
ini. Ia tak tahu betapa wajah dua wanita itu tibatiba pucat dan Beng An mengira mereka hanya
terkejut saja. Kedatangannya memang tak
disangka-sangka. Tapi ketika Shintala menangis
dan menerkam-nerkam pundaknya, bibinya Cao
Cun juga menjerit dan menubruk dirinya maka
pemuda itu berubah dan merasa ada sesuatu
yang tidak beres.
"Aih, Beng An. Kau kiranya. Anak nakal!
Ah, kau membuat susah ayah ibumu, Beng An.920
Kau ditunggu-tunggu tapi tak pernah memberi
kabar. Cepat temui ayahmu. Ibumu.... ibumu"
Cao Cun mengguguk dan tak dapat
meneruskan kata-katanya. Shintala juga tersedu
dan anak-anak berlarian keluar. Mereka
mendengar ribut-ribut di belakang dan
tertegunlah Beng An rnelihat Itu. Siang Ilwa dan
Siang Lan yang belum dikenal dipandangnya
heran, begitu pula Bun Tiong karena selama ini
anak-anak itu belum pernah bertemu paman
mereka yang muda ini. Maka ketika dia
menjublak dan Bun Tiong menyambar ujung baju
ibunya, berbisik siapa pemuda gagah ini maka
Shintala teringat dan masih tersedu-sedu ia
memerintahkan anak-anak itu berlutut.
"Ini paman kalian Beng An. Hayo beri
hormat dan jangan kurang ajar...!"
"Ah, anak-anak ini.... ah, mereka anakanakmu semua, enci? Begitu cepat aku
mempunyai tiga orang keponakan sekaligus?"
Beng An bengong, terkejut tapi tiba-tiba gembira
menyambar mereka satu persatu. Ia melihat
anak-anak itu berlutut tapi anehnya mereka921
sentua menangis. Beng An masih tak menduga
bahwa ada berita buruk untuknya. Dia masih
menganggap itu sebuah ledakan haru saja,
meskipun hatinya berdebar dan diam-diam tak
enak. Dan ketika dia menyambar Bun Tiong dan
bertanya siapa nama anak itu, anak ini menggigil
dan menuding ke hutan cemara maka anak itu
langsung melapor.
"Paman.... nenek.... nenek dibunuh
orang. Ada orang jahat datang ke sini. Ke mana
saja kau selama ini dan kenapa tak pernah
pulang-pulang!"
"Brukk!"
Beng An tiba-tiba melepas anak itu
seperti disengat kalajengking. Ia kaget bukan
main dan wajah yang semula gembira dan berseri
mendadak pucat dan merah berganti-ganti. Beng
An menoleh dan melihat enci dan bibinya
mengguguk. Mereka tak menjawab. Dan ketika
Siang Hwa dan Siang Lan juga menegurnya
kenapa paman mereka itu tak pulang-pulang,
nenek mereka dibunuh orang maka Beng An tibatiba melengking dan berkelebat ke hutan cemara922
itu. Kuburan untuk para pemimpin Tar-tar atau
orang-orang penting bangsa itu.
"Ibu ..... !!" Pekik panjang ini
menggetarkan lembah. Beng An terbang seakan
kesetanan dan sebentar kemudian ia sudah di
hutan cemara itu. Sekali tangannya mengibas
maka pintu makam roboh. Dua pohon cemara
juga bergoyang oleh kibasan tangannya itu.
Alangkah dahsyat tenaga pemuda ini. Dan ketika
ia melompat dan rnasuk ke makam yang masih
baru, makam itu mudah dikenal karena tanahnya
masih memerah maka pemuda itu seakan
berputar kepalanya melihat betapa sebuah
papan nama terpampang di situ:
MAKAM KIM-HUJIN (Hu Swat Lian)
"Ibu..." Beng An roboh. Akhirnya pemuda
ini tersedu-sedu dan ambruklah dia di depan
makam itu. Tak salah lagi kata-kata tiga anak di
sana itu. Mereka benar,ibunya tiada. Dan ketika
pemuda itu mengguguk dan memanggilmanggilnya, betapapun Beng An amat terpukul923
dan terguncang maka pemuda itu pingsan dan
tidak sadarkan diri. Namun dua bayangan
berkelebat datang. Mereka ini menolong Beng
An dan membawa pemuda itu keluar. Apa yang
diterima pemuda ini memang mengejutkan
sekali. Beng An masih muda dan pukulan batin
itu masih berat, meskipun kepandaiannya tinggi.
Dan ketika pemuda itu siuman namun sudah
berada di sebuah ruangan lain, di dalam rumah
maka pemuda itu meloncat bangun dan yang
pertama kali diteriakkan adalah nama ibunya,
beringas.
"Ibu..!"
"Hm, duduklah," sebuah suara lembut
menjawab. "Duduk dan tenangkan hatimu, Beng
An. Apa yang terjadi tak mungkin ditarik kembali.
Duduklah, dan bersikaplah dewasa."
Beng An membalik. Ia baru meloncat
bangun dan tidak melihat sekelilingnya. Yang
diingat hanya ibunya tapi begitu suara yang amat
dikenal itu mengusap kalbunya maka iapun
menoleh. Dan begitu melihat ayahnya di situ924
tiba-tiba pemuda inipun mengguguk dan
menubruk.
"Ayah...!" Pendekar Rambut Emas pun
memejamkan mata. Ia sudah terlalu sering
meruntuhkan air mata hingga kini mata itu terasa
kering. Habis sudah muaranya. Maka ketika ia
memeluk dan meremas pundak puteranya itu
maka Beng Anlah yang menumpahkan air
matanya hingga membanjir. "Ayah, ibu.... ibu
dibunuh orang? Ia tewas karena perbuatan orang
jahat?"
"Hm, panjang ceritanya. Tenang dan
hapus air matamu, Beng An. Hadapilah kejadian
ini dengan tenang dan tabah. Ibumu tewas,
memang benar dibunuh orang. Dan kau yang
menjadi gara-gara hingga tak perlu disesali lagi."
"Aku? Ibu tewas karena aku? Ah,
bagaimana bisa begitu, ayah. Apa yang
kulakukan. Siapa jahanam keparat itu!"
"Hm, mereka adalah orang-orang Pulau
Api, Tan-pangcu dan dua sutenya. Mereka
mencari dirimu dan kau tentu kenal mereka."925
Beng An seketika tersentak. Ia menarik
lepas pundaknya dari sang ayah dan benar saja
pemuda itu tampak terkejut. Jelas bagi Pendekar
Rambut Emas bahwa antara puteranya ini dan
orang-orang Pulau Api ada apa-apa. Permusuhan
itu telah ada. Dan ketika pemuda itu meloncat
bangun dan menggigil memandang sang ayah,
gemetar dan mengucapkan kata-kata namun tak
jelas akhirnya pemuda itu berhasil juga
mengeluarkan suaranya.
"Orang-orang Pulau Api? Tan-pangcu dan
dua sutenya? Mereka.... mereka itu datang ke
mari?"
"Hm, duduk dan jelaskan bagaimana
permusuhanmu dengan mereka itu, Beng An.
Kami orang tuamu harus menerima akibat. Coba


Putri Es Lanjutan Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terangkan dan ceritakan kepada kami bagaimana
asal mulanya."
"Ooh..!" Beng An jatuh terduduk.
Pandang mata ayahnya itu mengingatkan
kepadanya untuk bersikap tenang dan wajar.
Tadi sepasang matanya berkilat dan mencorong.
Mata itu bagai api yang menghanguskan siapa926
saja, termasuk membakar ayahnya itu. Tapi
ketika sang ayah balik memandangnya lembut
dan api itu bertemu semacam kesejukan dingin,
meresap dan mengusir panas membara tiba-tiba
Beng An mengeluh dan ditangkap ayahnya itu.
"Tenanglah, bicaralah senyatanya. Apa
yang terjadi dan bagaimana kau bisa
bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api."
Beng An tiba-tiba menggigit bibir.
Kemarahannya ditahan namun sebelum dia
menjawab maka dia menengadahkan muka.
Ditanyanya siapa pembunuh ibunya itu, sang
ketua atau wakil ketua. Dan ketika sang ayah
menarik napas dalam dan menepuk pundak
puteranya maka Pendekar Rambut Emas
menjawab bahwa yang menewaskan adalah dua
orang sute Tan-pangcu itu.
"Tak perlu berlebihan. Ibumu dikeroyok.
Aku menghadapi Tan-pangcu sementara ibu
menghadapi dua wakilnya. Mereka itulah yang
membunuh namun mereka juga luka terkena
pukulanku."927
"Dan Liong-ko... apakah tak ada di sini?
Ayah dan ibu hanya bertanding berdua?"
"Kakak dan iparmu sedang pergi, Beng
An, berburu. Lagi pula mereka tentu tak
menyangka bahwa ada musuh kuat datang.
Selama ini keadaan kami tenang.,, "
Beng An mengetrukkan gigi. Ia mendesis
dan menggigil mendengar bahwa pembunuh itu
adalah dua orang tokoh Pulau Api. Dia kenal baik
siapa Bu Kok dan See Lam itu, orang-orang yang
memang licik dan curang meskipun
berkepandaian tinggi. Dan ketika ia gemetar
memejamkan mata, di sana iparnya terisak
menyesali itu maka Shintala berkata bahwa ia
dan suaminya minta maaf.
"Aku dan kakakmu tak menyangka itu.
Kami terlalu lama berburu. Maafkan kami, Beng
An. Kami benar-benar menyesal. Kalau saja kami
ada di sini tak mungkin ada kejadian ini!"
"Hm, kehendak Tuhan tak mungkin di
cegah. Semua yang terjadi pasti terjadi. Tak perlu
kau menyesali itu, menantu. Betapapun setiap928
orang hidup harus mati. Satu saat kita semua
harus kembali kepadaNya."
Shintala menangis. Wanita ini masih
memiliki sumber air mata dan Beng An menggigil.
Di sana pemuda itu menguat-nguatkan hati.
Namun ketika ia bangkit dan terhuyung keluar,
sang ayah mengerutkan kening maka pendekar
itupun bangkit berdiri dan menegur sang putera.
"Kau mau ke mana?"
Beng An tak menjawab. Pemuda ini
bercucuran air mata dan melangkah terus.
Langkahnya gontai dan berkali-kali ia memanggil
nama ibunya. Dan ketika Pendekar Rambut Emas
bergerak dan rnengikuti puteranya ini ternyata
puteranya itu menuju ke makam. Dan berturutturut muncullah Bun Tiong dan Siang Hwa serta
Siang Lan, mengiringi.
"Ibu, kau tewas tak menunggu aku dulu.
Kau tega meninggalkan aku sebelum kita
bertemu? Ah, nasib kejam memisah kita, ibu.
Tapi lebih kejam lagi dua orang Pulau Api itu.
Akan kubunuh mereka.... akan kubunuh mereka
!"929
Pendekar Rambut Emas berhenti dan
akhirnya membiarkan sang putera sendiri. Ia
memberi isyarat pada anak-anak itu agar jangan
mengikuti. Di saat seperti itu biarlah Beng An
melepas kedukaannya. Dan ketika pemuda itu
terus melangkah dan jatuh di makam ibunya,
terduduk dan memeluk batu nisan itu maka
Pendekar Rambut Emas menjaga dan sehari itu
Beng An menangis tiada habis-habisnya. Malam
menggantikan siang dan tiga hari Beng An
melepas kedukaan. Ratap tangisnya memilukan
hati. Dan karena ia tak mau makan atau minum,
kedukaan begitu menghimpit maka pemuda
inipun rnenjadi kurus dan sama seperti sang ayah
tiba-tiba iapun tampak lebih tua!
"Kim-taihiap !" bisikan itu menggugah
pendekar ini. "Kau dan puteramu sama-sama tak
makan. Nasi ini sudah dingin. Kuganti empat
kali!"
"Hm!" pendekar itu menoleh dan terharu
oleh langkah seorang wanita. "Terima kasih, Cao
Cun. Tapi biarlah bawa kembali semuanya itu
karena kami tak ada selera."930
"Tapi kalian tiga hari tiga malam di sini.
Bisa jatuh sakit. Kubawakan selimut dan berikan
itu kepada puteramu!"
Pendekar Rambut Emas menarik napas
dalam. Ia tersenyum dan terharu dan
diterimanya dua selimut itu. Cao Cun, wanita ini
begitu amat memperhatikan mereka.
Diterimanya dua selimut itu dan disuruhnya
wanita itu pergi. Dia berkata bahwa tak perlu
wanita itu khawatir. Dingin dan panasnya
matahari tak akan membuat mereka ayah dan
anak sakit. Dan ketika wanita itu pergi namun tak
lama kemudian duduk bersimpuh, Pendekar
Rarnbut Emas terkejut dan heran maka wanita
itu berkata biarlah dia di situ kalau ayah dan anak
ingin memerintahkan sesuatu.
"Ah, tidak... tidak, tak perlu begitu.
Pulang dan kembalilah, Cao Cun. Jaga anak-anak
karena mereka lebih penting!"
"Mereka juga di sini," Cao Cun menuding.
"Mereka bersembunyi dan ingin menemani
pamannya, taihiap. Anak-anak itu terharu dan931
ingin berdekatan dengan sang paman. Mereka
belum berkenalan penuh!"
Benar saja, Bun Tiong dan Siang Hwa
serta Siang Lan melongok dari balik semaksemak. Sikap mereka itu lucu namun jelas
mengharukan. Dan ketika Pendekar Rambut
Emas bangkit berdiri dan merasa semuanya
cukup, sang putera didekati maka ditepuklah
puteranya itu untuk pulang dan kembali ke
rumah.
"Sadarlah, hapus dan ingatlah dirimu.
Sudah cukup semuanya ini, Beng An. Cukup masa
kesedihanmu itu. Bangkit dan llhat tiga
keponakanmu menunggu!"
Beng An seperti orang tak sadar. Pemuda
ini memandang bodoh dan matanya menatap
kosong ke depan. Kematian ibunya itu ternyata
benar-benar berat baginya. Dan ketika ia
diangkat dan dibawa pergi, menurut saja maka
anak-anak itu mengintil dan Cao Cun berbisik
agar mereka tidak ribut.
"Sst, tak boleh gaduh. Ayo berjalan di
belakang kong-kong dan berbaris rapi!"932
Tiga anak itu menurut. Seperti barisan
kecil mereka bergerak di belakang kakek mereka.
Sang paman yang linglung dan seperti orang
hilang sadar membuat Siang Hwa dan adiknya
menangis. Mereka juga sedih. Dan ketika di
rumah Beng An mendelong dan masih seperti
kosong, sang ayah menarik napas dalam-dalam
maka Cao Cun berkata biarlah dia yang merawat
pemuda ini.
"Beng An butuh kasih sayang seorang ibu,
taihiap seorang laki-laki. Biarlah kau beristirahat
dan aku yang merawat, taihiap. Dengan aku di
sampingnyu barang-kali anak ini cepat sadar."
"Terima kasih," pendekar itupun maklum.
"Aku mengerti, Cao Cun. Tapi kaupun telah
bekerja keras selama ini. Kau capai!"
"Hm, aku tak merasa terlalu capai. Aku
senang. Tinggalkanlah kami berdua, taihiap, dan
kau beristirahatlah!"
Pendekar ini mengangguk. Akhirnya dia
masuk dan Cao Cunlah yang berjaga. Ada
beberapa hal yang dimengerti pendekar ini.
Pertama, Beng An memang masih terpukul oleh933
kematian ibunya. Pemuda itu amat berat
menerima kenyataan ini. Dan karena Cao Cun
adalah wanita dan kebetulan setengah baya
pula, cocok pengganti ibu maka wanita itu tepat
merawat Beng An. Kedua, Cao Cun juga pernah
mempunyai anak laki-laki. Wanita ini benarbenar pernah menjadi ibu dalam arti kata
seutuhnya. Jadi merawat atau menjaga Beng An
seperti anak sendiri tak canggung bagi wanita itu.
Dan karena semuanya ini bakal dilakukan
sungguh-sungguh, benar saja wanita itu
memperlakukan Beng An seperti puteranya
sendiri maka Beng An yang terlongong-longong
dan seperti orang hilang ingatan itu perlahanlahan sadar. Pertama yang dilakukan wanita ini
adalah menjaga Beng An di sampingnya. Begitu
setia hingga iapun menahan kantuk dan lapar.
Dan kalau Beng An mengeluarkan bunyi
berkeruyuk, pemuda itu lapar maka dengan
lembut Cao Cun membelai dan mengusap bahu
pemuda ini.
"Sadarlah.... sadarlah, nak. Aku pengganti
ibumu dan ingatlah bahwa kau belum kehilangan934
segala-galanya. Masih ada ayahmu di sini. Masih
ada saudara dan keponakan-keponakanmu yang
lain. Lihatlah Bun Tiong dan enci-encinya
menungguimu pula!"
Beng An mulai bergerak bola matanya
Ada kesan hidup dan sadar pada pandang mata
pemuda itu. Dan ketika di sebelah kiri Bun Tiong
juga memanggil-manggilnya lirih, di sebelah
kanan Siang Hwa dan adiknya terisak-isak
mengguncang lengan pemuda itu maka Beng An
semakin sadar dan ingat. Perlahan-lahan
pemuda ini memandang orang-orang itu. Tiga
anak kecil di sampingnya membuat ia
mengerutkan kening. Tapi ketika pandang
matanya bertemu Cao Cun dan betapa sepasang
mata wanita itu basah memandangnya, mata itu
lembut dan penuh iba serta kasih sayang
mendadak Beng An mengeluh dan merasa
wanita ini ibunya sendiri.
"Ibu !"
Cao Cun tersedu dan memeluk pemuda
ini. Beng An mengguguk dan tiba-tiba sadar.
Wanita itu mendekapnya seperti terhadap935
putera sendiri dan meloncatlah getar-getar cinta
kasih yang amat dahsyat. Cao Cun juga merasa
bahwa yang dipeluknya saat itu adalah Ituchi,
mendiang puteranya yang tewas. Dan ketika
Beng An dan wanita itu sama-sama merasa
mendapatkan sesuatu yang sang anak saakan
menemukan ibunya sementara sang ibu seakan
mendapatkan anaknya maka keduanya
sesenggukan dan tiba-tiba tanpa terasa Cao Cun
mengecup dua kening pemuda itu.
"Ooh, kau ah, kau puteraku yang hilang,
Beng An. Kau seperti Ituchi! Aku..aku bangga
bahwa kau cepat sadar dan tidak berlarut-larut.
Kau... kau akan menerima kasih sayangku seperti
dari ibumu sendiri !"
"Ibu.... bibi....!"
Beng An memeluk dan terguncang oleh
kecupan di dua keningnya itu. Tanpa sadar Cao
Cun melakukan apa yang pernah menjadi
kebiasaan Kim-hujin, yakni memberi kecupan di
kedua kening Beng An. Seperti itulah biasanya
Kim-hujin menyatakan kasih sayangnya. Dan
karena Cao Cun melakukan itu dan Beng An tak936
kuat, kasih sayang atau getar cinta ibunya tibatiba meledak di situ maka pemuda ini
mengguguk dan dikecup atau diciumnya pula
dua pipi wanita itu.
"Ooh, aku... ah, kau seperti ibuku sendiri,
bibi Cao Cun. Kau membangkitkan semangatku
dan menyadarkan aku akan apa yang harus
kulakukan. Kau... ah, terima kasih atas perhatian
dan perawatanmu selama ini. Aku..... aku sadar.
Mana ayah dan apa yang kulakukan selama ini!"
"Hm, aku di sini," sang ayah muncul,
batuk-batuk dan terharu. "Benar kata bibimu Cao
Cun, Beng An. Kau lebih cepat sadar ditemaninya
daripada ditemani aku. Terima kasih dan syukur
kau ingat diri."
Beng An membalik dan menubruk


Putri Es Lanjutan Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayahnya ini. Selama berhari-hari ini ia seakan
orang linglung dan tak tahu apa yang dilakukan.
Ia tak ingat bahwa kerjanya hanya melamun saja,
pikiran kosong dan keadaanpun seperti orang
lupa diri. Maka begitu ia sadar dan getaran cinta
kasih wanita membuatnya ingat semua,
guncangan itu menghancurkan semua sisa-sisa937
duka maka Beng An sudah kembali dan utuh
sebagni seorang pemuda gagah yang tidak larut
dalam duka. Ia telah berhasil menghalau semua
itu dan kini dipeluknya sang ayah dengan haru.
Air matanya masih mengucur, tapi bukan karena
duka melainkan haru. Ia melihat betapa ayahnya
ini sekarang tampak tua dan letih. Wajah itu
wajah yang mengibakan sekali. Dan ketika Cao
Cun berkata betapa ayahnya tiga hari tiga malam
mendampingi dia di makam, duduk dan
menjaganya maka Beng An tak kuasa menahan
tangisnya lagi. Namun sebentar kemudian
pemuda itupun sudah mengusap air matanya. Ia
mendorong sang ayah dan tampak betapa
semangat dan kesadarannya tinggi. Mata itu
sudah bersinar dan hidup bagai mata seekor
naga. Dan ketika pemuda itu menarik napas
dalam dan berkata bahwa dia akan mencari
orang-orang Pulau Api itu, bertanya di manakah
kakaknya Thai Liong maka Pendekar Rambut
Emas mengerutkan kening dan mundur setindak.
"Hm, kau mau membalas kematian
ibumu? Kau pergi dengan dorongan dendam?"938
"Tidak, aku pergi bukan karena dorongan
dendan ayah, melainkan ingin mengikuti dan
melihat sepak terjang orang-orang itu. Mereka
musuh bebuyutan penghuni Lembah Es. Aku
akan menunggu sampai mereka melakukan
sesuatu di mana saat itu aku baru muncul dan
menghadapi mereka sebagai seorang pendekar
menghadapi penjahat!"
"Lembah Es? Tempat apa ini?"
"Ini tempat di mana segala sesuatunya itu
dimulai. Aku tak sengaja ke tempat ini, seperti
aku juga tak sengaja menolong seorang murid
Lembah yang disiksa orang-orang Pulau Api.
Lembah Es adalah tempat di mana penghuninya
semua wanita sementara Pulau Api adalah pulau
yang dihuni oleh kaum laki-laki saja!"
"Hebat! Di mana tempat itu, Beng An,
Kenapa selama ini aku tak pernah men-dengar
namanya!"
"Lembah Es di utara kutub, sementara
Pulau Api di selatan. Ah, mereka memang jauh
dari sini, ayah. Dan mendengar tentang itu bagai
mendengar dongeng. Lembah Es dikuasai939
seorang puteri dan namanya adalah Puteri Es,
sedang Pulau Api dikuasai oleh Tan-pangcu dan
dua wakilnya itu!"
"Hm-hm, menarik. Barangkali kau dapat
menceritakan ini sebelum pergi!"
"Aku memang akan menceritakannya,
tapi di mana Thai Liong-ko dan siapa anak-anak
ini!"
"Ah, aku Bun Tiong!"
"Dan aku Siang Hwa!"
"Aku Siang Lan, paman. Masa kau tidak
kenal!"
"Ha-ha..!" Pendekar Rambut Emas
tertawa, tiba-tiba gembira. "Lucu bahwa kau
belum mengenal mereka ini, Beng An. Rupanya
begitu lama kau dilanda kedukaan. Lihat, itu Bun
Tiong, putera kakakmu Thai Liong. Dan ini,
hmm... siapa lagi kalau bukan Siang Hwa dan
Siang Lan? Mereka ini puteri encimu Soat Eng.
Begitu lama kau meninggalkan kami sehingga
tidak tahu perobahan keluarga!"
"Hm, begitukah? Jadi keponakanku yang
cantik-cantik ini puteri Soat Eng-cici? Dan yang ini940
putera Liong-ko? Ah, cantik dan gagah mereka
ini. Tapi yang enci Soat Eng tak mempunyai anak
...."
"Tidak, inilah Hok Gi!" Shintala tiba-tiba
muncul dan berseru, wajahnya girang. "Encimu
juga mempunyai seorang anak lelaki, Beng An.
Dan lihat betapa kau mempunyai empat
keponakan yang cakep-cakep!"
"Ah, ini putera Eng-cici yang lain?" Beng
An terkejut, menoleh. "Namanya Hok Gi? Ah,
seperti kakak Siang Le. Aduh, tampan dan manis
sekali, ha-ha...!"
"Dan kau!" Beng An tertegun. "Kapan
memberikan cucu bagi ayahmu, Beng An? Lihat
bahwa semua menunggu-nunggumu. Kau sudah
pantas menikah!"
"Hm...!" Beng An semburat, wajah Puteri
Es tiba-tiba terpampang di depan mata. "Kau
jangan menggoda, enci. Aku jelek dan tak ada
perempuan yang mau!"
"Ah, paman gagah dan tampan. Kalau
paman sudah berkunjung ke Lembah Es tentu941
cewek-cewek di sana kecantol paman. Hi-hik,
bukankah di sana perempuan melulu?"
"Benar, dan barangkali Puteri Es itu cocok
untukmu, paman. Hayo ceritakan kepada kami
dan siapa dia!"
Wajah Beng An tiba-tiba merah padam.
Siang Hwa dan Siang Lan yang menggodanya
secara main-main tiba-tiba secara tak disengaja
tepat mengenai sasaran. Sang ayah tersenyumsenyum dan tentu saja memperhatikan semua
perobahan wajah puteranya ini. Betapapun
matanya yang tajam tak lepas dari itu. Dan ketika
puteranya tampak gugup dan Cao Cun. tertawa,
mcnyuruh anak-anak diam maka wanita itu
memegang lengan Beng An.
"Benar atau tidak kau harus ceritakan
kisah perjalananmu itu. Duduklah, semua sudah
di sini, Beng An. Ceritakan pengalamanmu dan
apakah penghuni Lembah Es itu cantik-cantik!"
"Ah, bibi jangan menggoda. Aku tak tahu
apakah mereka cantik atau tidak. Yang jelas,
mereka bermusuhan dengan orang-orang Pulau942
Api dan aku yang kebetulan bertemu lalu terlibat
di sini!"
"Baiklah, coba ceritakan kepada kami,"
Pendekar Rambut Emas melirik semua orang,
memberi isyarat. "Ceritamu tentu penting, Beng
An. Dan biar kami dengar bagaimana sampai kau
bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api."
"Nanti dulu, aku ingin tahu di mana Thai
Liong-ko. Dan apakah enci Soat Eng atau Siang
Le-ko tak datang ke sini!"
"Hm, mereka ke Pulau Api. Encimu marah
dan ingin menghajar orang-orang itu, Beng An.
Dan kakakmu Thai Liong menyertai. Sebenarnya
Thai Liong dan kakakmu Siang Le yang pergi, tapi
encimu ikut."
"Ah, apakah mereka tahu di mana letak
Pulau Api itu?"
"Tidak, tapi mereka akan mencari sambil
bertanya-tanya."
"Tak mungkin dapat. Tempat itu di luar
daratan besar, jauh di selatan. Mereka tak akan
dapat kalau tidak menyeberang dan
mempergunakan perahu!"943
"Hm, aku tak tahu. Yang jelas kakakmu
pergi. Kau dapat menyusul dan mencarinya
nanti. Sekarang ceritakan kisahmu dan siapakah
penghuni Lembah Es itu pula."
Beng An duduk dan menarik napas
panjang. Sekarang dia telah dapat menguasai diri
dan dendam tak ada lagi di hati. Yang ada hanya
kemarahan dan penasaran. Dia marah dan
penasaran kenapa orang-orang Pulau Api itu
mengganggu ibunya. Bukankah urusan hanya dia
dan mereka. Tapi sadar bahwa semuanya bisa
berkait, iapun harus bercerita kepada ayahnya
maka pemuda itupun mulai kisahnya sejak dia
dilepas Sian-su, turun gunung. Betapa dia tiba di
Pulau Api karena tertarik oleh cahaya kemerahmerahan yang membakar pulau. Cahaya dari
pohon-pohon Api yang ribuan jumlahnya, cahaya
yang membuat pulau itu bersinar dan tampak
dari kejauhan seperti pulau yang terbakar, indah
namun sesungguhnya penuh maut. Laut di
sekitar itu mendidih dan Siang Hwa maupun
adiknya meleletkan lidah mendengar ini. Dan
ketika Beng An bercerita betapa dia menolong944
dan membebaskan seorang murid Lembah Es,
yang hendak disiksa dan dijadikan korban
upacara ritual maka di sinilah semuanya
berlanjut.
"Aku tak dapat membiarkan itu. Mereka
orang-orang kejam. Masa seorang gadis muda
hendak dibunuh dan ditusuk di meja altar. Aku
menolong dan akhirnya membebaskan gadis itu
di mana orang-orang pulau Api lalu
memusuhiku!"
"Hm, dan penghuni Lembah Es Itu, la lalu
membawamu ke utara?"
"Benar, ayah, sekalian aku
mengantarnya. Dan di situ baru aku tahu bahwa
sejak seribu tahun yang lalu orang-orang Lembah
Es bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api.
Mereka itu para murid atau sisa-sisa Dinasti Han.
Ratu atau Puteri Es adalah keturunan langsung
kaisar, sedang Tan-pangcu dan orang-orang
Pulau Api itu keturunan para pangeran yang
memberontak!" "Ah, dan mereka memiliki ilmuIlmu yang hebat. Tan-pangcu dan dua sutenya itu945
memiliki ilmu langkah sakti yang entah apa
namanya!"
"Itu pasti Jit-cap-ji-poh-kun, milik Hwesin!"
"Dan mereka juga memiliki pukulan Yangkang yang dahsyat sekall. Tubuh mereka seperti
obor!"
"Benar, mereka ahli ayah. Dan tandingan
untuk ini adalah Bu kek-kang. Dua penghuni
pulau itu masing-masing mendapatkan ilmu dari
dua dewa sakti. Han Sun Kwi dan Kim Kong SengJin "Ah, ilmu dari para dewa?"
"Begitu menurut dongeng. Dan Ilmu atau
kesaktian mereka hebat sekali. Pangcu itu baru
mencapai tingkat delapan dari ilmunya Giam-luiciang. Sementara Puteri Es atau Ratu lembah itu
juga pada tingkat yang sama dari ilmunya Bu-kekkang (Pukul?n Tak Berkutub ).
*** Koleksi Kolektor EBook946
PUTRI ES
(Lanjutan Rajawali Merah)
Karya BATARA
Jilid XVI
* * * PENDEKAR Rambut Emas mendecak
takjub. Dia kagum akan cerita ini dan selanjutnya
Beng An berkisah akan serbuan orang-orang
Pulau Api. Betapa mereka bertempur dahsyat
dan betapa dua pihak dama-sama jatuh korban.
Tapi karena ia lalu membantu gadis-gadis
Lembah dan pihak Pulau Api terdesak akhirnya
mereka mundur dan di sini Beng An
mengerutkan keningnya
"Ada sesuatu yang tidak kuduga. Ayah
ingat putera mendiang San-ciangkun?"
"Hm San-ciangkun (perwira San)?
Maksudmu yang mana?"947
"Itu, yang tewas oleh serbuan Togur,
ayah. Puteranya bernama San Tek".
"Astaga, bekas suhengmu itu? Si bocah
gila itu?" sang ayah memotong.
"Benar dia. Bekas suhengku ini ada di
sana dan dia membela orang-orang Pulau Api".
"Bocah itu? Dia bersama orang-orang
Pulau Api? Tuhan Yang Maha Agung, iblis yang
berbahaya sekali. San Tek pemilik Im-kan-thailek-kang. Kalau ?ia bergabung dengan orangorang Pulau Api maka dunia bisa guncang!"
"Benar, aku hampir tak dapat
mengusirnya. Namun untung nama Liong-ko
kupakai, ayah. Kugertak dia itu dan akhirnya
pergi. Kalau dia tidak pergi belum tentu orangorang Pulau Api dapat diusir dari Lembah Es!"
Sang ayah terkejut. dan pucat. Jantung
Pendekar Rambut Emas tergetar karena berita ini
hebat sekali. San Tek adalah pemuda gila yang
ilmunya dahsyat bukan main. Im-kan-thai-lekkang yang dimiliki itu bukan ulah-ulah. Dia sendiri
tak dapat menandingi. Hanya berkat ilmu


Putri Es Lanjutan Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sihirnya Pek-sian-sut dia mampu menyelamatkan948
diri. Dan karena si gila itu hanya takut kepada
Thai Liong, puteranya itu memiliki Im-kang dari
Sin-tiauw-kang, penangkis atau peredam Im-kanthai-lek-kang yang dahsyat milik si gila itu maka
Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk
namun diam-diam dia tergetar dan pucat.
Im-kang dari Sin-tiauw-kang itu mirip
Ping-im-sut (Tenaga Inti Es) yang dipunyai Beng
An. Juga Thai Liong mampu merobah Im-kang ini
menjadi Yang-kang. Dua pukulan panas dan
dingin itu dapat diganti-gantinya dari silat
tunggalnya Sin-tiauw-kun (Silat Rajawali Sakti).
Dan karena puteranya ini masih memiliki pula
Beng-tau-sin-jin, silat gaib setingkat di atas Peksian-sut yang dimiliki maka terhadap puteranya
yang satu itu San Tek memang paling gentar. Tapi
sekarang anak itu ada di Pulau Api!'
"Hm, dan kakakmu mencari ke sana.
Kalau mereka bertemu dan kakakmu harus
menghadapi San Tek tentu enci dan kakak
iparmu dalam keadaan bahaya. Baik. secepatnya
saja kau menyusul mereka, Beng An. Barangkali
besok kau boleh pergi!"949
"Aku memang akan pergi. Tapi mudahmudahan enci atau Siang Le-ko tak di Sana
duluan, ayah. Kalau betul begitu dan mereka
bertemu San Tek tentu Thai Liong-ko repot."
"Ya, repot sekali. Dan orang-orang Pulau
Api itu pasti membujuk San Tek. Pemuda itu akan
dibuat berani dan kalau si gila itu mengajak
kakakmu bertanding mereka dapat merobohkan
atau mencelakai encimu dan Siang Le!"
Beng An menarik napas dalam. Itu
memang bisa saja terjadi. Meskipun San Tek
takut menghadapi kakaknya tapi kalau si gila itu
mengganggu dan kucing-kucingan dengan
kakaknya tentu encinya Soat Eng atau Siang Le
dihadapi orang-orang Pulau Api. Tan-pangcu dan
sutenya itu bisa merupakan bahaya. Maka
mengangguk dan memancarkan kemarahan
pemuda ini berkata bahwa besok dia akan
berangkat. Malam itu ayah dan bibinya masih
ingin mendengar ceritanya. Perihal Orang-orang
Pulau Api dan Lembah Es begitu menarik
perhatian. Tapi karena dia diminta untuk lebih
banyak menceritakan penghuni Lembah Es950
daripada orang-orang Pulau Api yang kejam, latar
belakang dan sejarah nenek moyang penghuni
Lembah dinilai lebih menarik daripada nenek
moyang orang-orang Pulau Api maka Beng An
menceritakan sejarah atau kisah pada mulanya
nenek moyang penghuni Lembah itu.
"Kau tadi bicara tentang Hwe-sin
(Malaikat Api), siapa dia ini dan apa
hubungannya dengan orang-orang Lembah Es!"
"Hwe-sin adalah pengawal sakti kaisar
Han pengawal rahasia. Dia inilah pencipta Jitcap-ji-poh-kun yang lihai itu. Ilmu langkah
saktinya membuat dia terkenal dan ditakuti
banyak musuh."
"Tapi apakah dia nenek moyang penghuni
Pulau Api?"
"Bukan, ayah. Nenek moyang orangorang Pulau Api adalah pangeran pemberontak".
"Itulah Lalu bagaimana ilmu langkah
saktinya itu didapat orang-orang Pulau Api?"
"Mereka ini mendapatkannya Secara
licik. Ini berawal dari Tung-hai Sian-li (Dewi Laut
Timur)"951
"Ah, siapa itu Tung-hai Sian-li!"
"Orang yang dicinta Hwe-sin".
"Astaga, isterinya?"
"Bukan, ayah, melainkan kekasih. Tunghai Sian-li ini, hmm... dia inilah cikal-bakal
pewaris ilmu silat Lembah Es, sebelum datangn
Kim Kong Seng-jin dan dewa Han Sun Kwi itu.
"Ah-ah, coba ceritakan sebentar.
Mundurlah pada generasi terdahulu ini. Menarik
sekali cerita mereka!"
"Benar, memang menarik sekali, ayah.
Tapi bicara tentang Dewi Laut Timur ini berarti
harus bicara pula tentang kakek Thian-tok Dhiran
Singh, laki-laki yang tergila-gila kepada Tung-hai
Sian-li ini".
Beng An lalu bercerita tentang tokohtokoh tua itu, betapa Dhiran Singh membantu
Tung-hai Sian-li membalas dendam kepada Hwesin tapi ketika Hwe-sin roboh justeru Tung-hai
Sian-li berbalik. Hwe-sin pernah memiliki
kesalahan kepada keluarga Dewi Laut Timur ini
dan kesalahan itu membuat Dewi Laut Timur
sakit hati. Dan karena sesungguhnya wanita ini952
juga mencinta Hwe-sin, laki-laki itu menyerah
ketika dipukul dan ditendang Tung-hai Sian-li
maka masuknya Dhiran Singh membuat Dewi
Laut Timur marah besar, padahal sebelumnya
wanita ini setuju berdua menghadapi lawan.
Cinta memang aneh. Di saat Hwe-sin
roboh maka tumbuhlah belas kasih wanita itu,
apalagi ketika Malaikat Api memberikan kitabnya
kepada Tung-hai Sian-Li.
Tapi ketika kitab itu lalu dicuri dua murid
Dhiran Singh, kakek ini akhirnya roboh di tangan
Tung-hai Sian-li maka murid-murid itulah yang
membalas dendam dan selanjutnya dendam
turun-temurun di mulai dari sini sampai anak
cucu mereka itu. Dan ilmu mereka semakin
menjadi hebat setelah turunnya dua dewa yang
saling bermusuhan itu, Kim Kong Sengjin dan Han
Sun Kwi, pencipta atau cikal bakal dua ilmu
dahsyat Bu-kek-kang dan Giam-lui-ciang!"
"Ah-ah, pantas sekali. Memang hebat.
Dan aku sudah merasakan kedahsyatan pukulan
orang-orang Pulau Api itu. Aduh,hebat953
pengalamanmu, Beng An. Ceritamu seperti
dongeng saja!"
Beng An menarik napas, mengangguk.
"Dan Puteri Es itu tentu cantik jelita sekali
," Siang Hwa tiba-tiba berseru. "Th,aku ingin
bertemu, paman Beng An. Dan melihat
bagaimana hebatnya Bu-kek-kang!"
"Ha-Ha..keponakanmu ini rupanya ingin
melihat wajah seorang ratu. Eh, aku juga
kepingin melihat para penghuni Lembah itu,
Beng An. Kapankah aku dapat!"
"Hm, lelaki tak boleh memasuki tempat
itu," Beng An buru-buru memperingatkan,
mengerutkan kening. "Pantangan bagi Lembah
Es untuk didatangi laki-laki, ayah, kecuali musuh.
Dan itu berarti kematian".
"Tapi paman sudah ke sana dan paman
bersahabat pula dengan Puteri Es!"
"Hm-Hm, itu lain. Aku mula-mula juga
dimusuhi, hampir dibunuh. Kalau aku tidak
berhati-hati tentu pulang tinggal nama".954
"Wah, masa terhadap paman dia tega
berbuat kejam? Kau sudah menolong muridnya,
paman. Tak mungkin itu terjadi!"
"Penghuni Lembah Es adalah orang-orang
aneh. Mereka ini pembenci berat laki-laki,
terutama orang Pulau Api. Dan karena penghuni
Pulau Api adalah keturunan pemberontak,
mereka ini juga mencuri ilmu dari cikal bakal
penghuni Lembah maka tak heran kalau mereka
pantang sekali dimasuki lelaki, biarpun itu aku!"
"Tapi paman lolos dari sana, selamat!"
"Benar , Siang Lan, itu karena beberapa
sebab. Tapi sekarangpun aku juga dilarang
masuk, kecuali ada keperluan yang maha
penting!"
"Hm-hm, aneh sekali perangai Ratu
Lembah itu. Tapi aku justeru ingin tahu
bagaimana rupa dan kepandaiannya. Kong kong,
kau dapat mengajakku ke Sana?" tiba-tiba anak
itu berseri , memandang kakeknya.
"Apa?" sang kakek terkejut. "Kesana?
Mau apa?"955
"Berkenalan, kong-kong. Aku penasaran
mendengar cerita paman ini!"
"Aku juga, aku ingin berkenalan dengan
Puteri Es!" Siang Hwa tiba-tiba tak mau kalah
"Eh-eh,. kalian ini bicara apa?" Beng An
terkejut, membelalakkan mata. "Jangan mainmain, Siang Hwa. Nanti aku kena marah!"
"Ha-ha omongan anak tak usah digubris."
Pendekar Rambut Emas tiba-tiba tertawa. "Anakanak kecil seperti mereka ini tak mungkin ke
sana, Beng An. Jangan dimasukkan hati!" namun
Cao Cun yang melirik dan melihat pandang mata
bersinar-sinar pendekar itu justeru mengerutkan
kening. Beng An tak tahu betapa ayahnya tibatiba menanggapi dua omongan anak itu dengan
serius. Pendekar ini tiba-tiba ingin membawa
cucu-cucunya ke Lembah Es. Diapun ingin
berkenalan dengan pewaris ilmu-ilmu Kim Kong
Seng jin itu. Dan karena Pendekar Rambut Emas
belum merasakan kelihaian penghuni Lembah,
yang dia rasakan adalah hebatnya ilmu-ilmu
Pulau Api maka pendekar yang pada dasarnya
berwatak petualang ini ingin mencoba-coba.956
Cerita Beng An amat menarik, kebetulan dua
cucunya mencetuskar gagasan itu. Maka ketika
diam-diam pendekar ini ingin membuktikan itu,
berkelana sambil menambah pengalaman
cucunya tiba-tiba dia mengedip pada Siang Hwa
dan Siang Lan agar tak bicara lagi. Beng An selesai
bercerita dan pemuda itu ngantuk. Siang Hwa
dan Siang Lan heran akan kedipan kakeknya ini.
Namun ketika malam itu semuanya beristirahat
dan Beng An memasuki kamarnya, begitu juga
dua anak perempuan ini maka Pendekar Rambut
Emas mengantarnya dan di pintu masuk
pendekar ini berbisik,
"Sst, kalian benar-benar ingin ke Lembah
Es? Kalian mau kuantar?"
"Apa?"
"Jangan keras-keras. Aku juga tertarik
mendengar cerita pamanmu tadi. Siang Hwa. Aku
mulai bosan pula di tempat ini. Bertahun-tahun
aku tak keluar,sekarang ingin melihat dunia yang
lain. Kalian mau kubawa?"
"Horeee.."957
Sang pendekar menutup mulut anak ini.
"Jangan bersorak, Siang Hwa, Nanti pamanmu
bangun. Anggukkan kepalamu saja kalau kalian
berdua mau!"
Siang Hwa dan Siang Lan menubruk kakek
mereka ini. Bertubi-tubi. anak itu menciumi
wajah sang kong-kong dan tentu saja rasa girang
bukan main merasuki hati. Mereka mau, seribu
kali. Dan ketika malam itu dua anak ini berbisik
tak ada habisnya, ajakan sang kakek sungguh ?i
luar dugaan maka keesokannya sebelum
berangkat Beng An juga memberi sesuatu yang di
luar dugaan bagi ayahnya ini.
"Aku akan berangkat, tapi ada satu
permintaanku kepada ayah. Apakah ayah mau
mengabulkan?"
Sang pendekar berdetak. Dia mengira
Beng An akan melarangnya ke Lembah Es,
padahal semalam dia telah berjanji kepada dua
hanak itu. Maka terkejut dan mengerutkan
kening, serba salah pendekar ini balik bertanya,
"Kau mau minta apa, Beng An?
Permintaan apa yang dapat kukabulkan?"958
"Soal bibi Cao Cun". Pemuda ini menarik
napas dalam. "Apakah ayah mau mengambilnya
sebagai pengganti ibu."
"Apa?"
"Benar!" sesosok bayangan tiba-tiba juga
berkelebat. "Aku juga berpikiran sama seperti
Beng An, gak-hu. Bibi Cao Cun pantas sebagai
isterimu!"
"Ahh!" sang pendekar benar-benar tak
menyangka, wajah tiba-tiba memerah. "Kalian. .
eh, kalian sudah berkomplot untuk bicara ini?
Kau.. " pendekar itu tiba-tiba menuding Shintala.
"Nakal kau ini, Shintala. Datang-datang
menyambar saja. Apa-apaan ini"
"Maaf," Shintala tersenyum, tahu
hubungan yang pernah ada di antara bibinya dan
gak-hunya ini. Aku hanya menyokong pendapat
Beng An, gak-hu. Kalau Beng An tidak bicara
tentu aku juga tidak menimbrung. Sekarang
kembali lagi kepada Beng An!"
Pemuda itu terkejut. Beng An tak
menyangka bahwa kakak iparnya ini tiba-tiba
juga mendengar itu, mula-mula dia kaget. Tapi959
melihat betapa usulnya didukung rupanya ada


Putri Es Lanjutan Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persamaan pikiran antara dirinya dengan kakak
iparnya ini maka Beng An tersenyum
menghadapi ayahnya kembali, wajahnya berseriseri.
"Ayah, nasib bibi Cao Cun sungguh
merana sekali. Sejak dia gagal menjadi selir kaisar
dan jatuh bangun di tangan orang-orang jahat
sesungguhnya kita wajib melindungi. lbu kini
tiada, dia pengganti paling tepat. Kalau ayah
setuju dan dapat menerima permintaanku ini
sungguh aku berterima kasih sekali. Aku
mengembalikannya kepada ayah."
"Hm, kalian anak-anak muda nakal sekali
mencarikan jodoh orang tua. Aku pribadi tak ada
niat beristeri lagi, Beng An. Tapi bicara tentang
Cao Cun memang bicara tentang sesuatu yang
menyedihkan. Nasibnya buruk. Aku tak
menerima atau menolak usulmu ini karena harus
kudengar dulu bagaimana pendapat kakakmu
Thai Liong dan encimu Soat Eng!"
"Liong-ko dan Eng-cici pasti setuju. Aku
yakin!"960
"Sudahlah," tangan pendekar itu
mengibas.
"Pergilah, Beng An. Jangan buat muka
ayahmu merah. Aku belum setahun berkabung!"
"Aku juga tak bermaksud menyuruh ayah
menikah sekarang juga," Beng An tersenyum.
"Hanya usul untuk masa depanmu, ayah, juga
kami anak dan cucumu ini. Baiklah dan maaf
serta terima kasih kalau ayah mau memikirkan
ini!" dan ketika Beng An membalik dan
berkelebat pergi maka Pendekar Rambut Emas
tertegun sementara di sana tiga bayangan anak
kecil tiba-tiba berlarian.
"Hei . paman Beng An. Kau belum
berpamitan pada kami!"
"Benar, dan jangan begitu, paman. Aku
ingin memberi oleh-oleh!"
Beng An terkejut dan membalik. Dia
melihat tiga keponakannya sudah bermunculan
dengan cepat, masing-masing membawa
bungkusan. Dan ketika mereka dekat dan
menyerahkan itu maka Beng An terharu karena
Siang Hwa memberinya roti kering sementara961
Siang Lan dan Bun Tiong masing-masing sebotol
arak dan sebungkus dendeng.
"Ini aku berikan paman untuk bekal
perjalanan. Tidak berharga, tapi cukup
lumayan!"
"Dan itu dendeng hasil buruanku," Bun
Tiong menunjuk bangga. "Dendeng harimau,
paman. Kudapat ketika diajak ayah dan ibu
berburu".
"Hm-hm, terima kasih!" Beng An tertawa.
"Kalian anak-anak yang manis, Bun Tiong.
Baiklah, sekali lagi terima kasih dan paman
sekarang pergi!"
Beng An berkelebat dan meninggalkan
tiga anak itu. Dia tak ingin berlama-lama karena
semalam dianggapnya sudah berpamitan juga,
kepada semua. Tapi ketika ia terbang dan keluar
lembah ternyata di situ sudah menunggu bibinya
Cao Cun.
"Bibi!"
"Hm, anak nakal. Wanita itu memeluk, air
mata meleleh. "Kenapa tak berpamitan padaku,
Beng An? Memangnya aku bukan bibimu?"962
"Ah - ah, maaf, bukan begitu! Aku, eh..
aku semalam putar balik mengolah pikiranku,
bibi. Dan tiba-tiba pagi ini aku malu bertemu
denganmu!"
"Malu?
"Ya, malu. Tapi sekarang tidak, ha-ha!"
dan Beng An yang teringat permintaannya tadi
kepada sang ayah tiba-tiba terbahak dan gembira
sekali. Sang bibi mengerutkan kening dan Cao
Cun curiga,,heran. Tapi karena Beng An tidak
memberitahukan itu maka wanita inipun
mencengkeram lengan pemuda itu.
"Kau berahasia, tampaknya ada apa-apa.
Hayo beritahukan aku atau nanti bungkusan ini
tak kuberikan padamu!"
Beng An terkejut. Sebuah bungkusan kecil
dikeluarkan dan mata pemuda ini terbelalak. Dia
terkejut juga melihat itu. Tadi keponakannya
sekarang bibinya ini.
Ah, semua begitu penuh perhatian. Dia
memang masih mempunyai orang-orang yang
mencintanya ini. Dan ketika dengan terharu dia
meraih bungkusan itu namun sang bibi mengelak963
dan mundur, tak memberikan maka Cao Cun
mendesis padanya menyuruh pemuda itu
menceritakan kenapa tertawa-tawa.
"Aku tak mau kau mempermainkan
bibimu. Nah. katakan dulu kenapa kau malu tapi
sekarang tidak!"
"Ha-ha, bibi memaksa?"
"Tidak, kalau kau inginkan bungkusan
ini!"
"Kalau begitu berikan itu, nanti kuberi
tahu."
"Tidak. bicara dulu baru setelah itu
menerima bingisan ini!"
Beng An tertawa bergelak. Tiba-tiba saja
dia merasa geli dan lucu oleh sikap bibinya ini.
Mereka berdua benar-benar sudah bukan seperti
orang lain lagi. Benar-benar seperti anak dan ibu.
Wanita ini berani memarahinya! Tapi
menghentikan tawa dan berseri memandang
wanita itu Beng An berkata,
"Bibi siap menerima?"964
"Hm. kenapa tidak? Aku juga hendak
berkata sesuatu kepadamu, Beng An. Katakanlah
dulu baru setelah itu kata-kataku!"
"Baik, semalam aku memutuskan bahwa
bibi harus menjadi isteri ayah. Dan aku sudah
bicara itu dengan ayah!"
"Apa?" wanita ini terbelalak, bingkisan
tiba-tiba jatuh. "Kau... kau.,,,!"
Beng An menyambar bibinya ini, terharu,
memeluk.
"Maafkan aku, bibi. Semalam aku telah
bolak-balik memikirkan ini , hampir tak dapat
tidur. Aku ingin kau menjadi ibuku dan
pendamping ayah seumur hidup. Kau pantas di
sisi kami kau telah bukan orang lain lagi. Tapi
bukan maksudku bahwa kalian segera menikah
karena ayah belum setehun melepaskan
perkabungan."
Wanita itu menggigil, tiba-tiba tersedu.
Dan ketika Beng An terkejut karena bibinya ini
mengeluh panjang mendadak wanita itu roboh
pingsan.
"Bibi!"965
Shintala berkelebat datang. Nyonya
muda ini telah mendengar percakapan itu dan
mengangguk-angguk. Tapi melihat sang bibi
pingsan maka Shintalapun terkejut, datang dan
menolong. Dan ketika Beng An menyadarkun
kenbali dan heran tak melihat apa-apa, mungkin
hanya pukulan atau guncangan batin maka
wanita itu tersedu menubruk Beng An.
"Kau.... kau gila, Beng An. Kau tidak
Waras! Apa-apaan usulmu tadi!"
Beng An tersenyum kecut, manggutmanggut. Tapi ketika Shintala tersenyum dan
memeluk lembut bahu sang bibi ini maka Cao
Cun terbelalak mendengar kata-kata yang sama.
"Bibi, apa yang dikata Beng An betul.
Akupun juga memikirkan itu. Dan karena kami
sudah memberi tahu ayah harap bibi tidak
menolak karena betapapun bibi pernah
mencinta ayah!"
"Kau. . kaupun gila!"
"Mungkin. Barangkali kami gila, bibi. Tapi
itu pandangan kami yang telah kami nyatakan."966
"Oohhh. " dan Cao Cun yang mengeluh
dan menampar pundak Beng An akhirnya
tersedu lagi namun tiba-tiba dia teringat
bungkusannya. "Beng An, aku juga hendak
berpesan padamu. Jaga bungkusan itu dan
kembalilah dengan selamat. Atau aku tak mau
perduli dengan kehendak kalian yang gila itu dan
pergi dari sini!"
Beng An terkejut. "Bibi marah?"
"Bukan, hanya aku tak mau kehilangan
kau lagi, Beng An. . Aku tak mau kehilangan
seperti dulu aku kehilangan anakku Ituchi. Nah,
berangkatlah dan bawa restuku!"
Beng An dicium kedua keningnya. Untuk
kesekian kalinya lagi pemuda ini terharu. Bibinya
itu benar-benar seperti ibu sendiri. Dan ketika dia
bergerak dan memutar tubuh, mengejapkan
mata membuang dua titik air mata maka Beng An
berkelebat dan kini benar-benar pergi
meninggalkan bibinya itu. Pulau Api menunggu di
sana dan Beng An mengerahkan kepandaiannya,
meluncur dan terbang serta lenyap di luar
lembah. Dan ketika Cao Cun masih termangu dan967
deras mengucurkan air mata, hatinya seperti
diremas-remas maka wanita ini mendengar ajak
pulang dari Shintala.
"Pulang..?"
"Ya pulang, bibi. Kita pulang, kembali ke
rumah."
"Tapi..... tapi.."
"Bun Tiong dan cucumu Siang Hwa
menanti. Ayo kita pulang dan harap bibi tidak
memikirkan Beng An lagi."
Cao Cun tiba-tiba menggigil. Ia seakan
berat melangkah ketika diajak memasuki
lembah. Tempat itu adalah rumah Pendekar
Rambut Emus, calon suaminya!
Dan karena terngiang-ngiang ucapan
Beng An, begitu juga Shintala, mendadak wanita
ini seakan memasuki sebuah rumah asing yang
belum dikenalnya sama sekali. Cao Cun seakan
melayang-layang diajak pulang. Kakinya berat
tapi pikirannya demikian ringan. la hendak.
menjadi calon isteri Pendekar Rambut Emas, pria
yang sesungguhnya telah dicintanya tiga puluh
tahun yang lalu. Waktu yang bukan sedikit. Dan968
ketika ia memasuki lembah dan anak-anak itu
menyambutnya, untung Kim-mou-eng sendiri tak
ada di situ maka wanita ini baru kembali
pikirannya seakan sadar.
Dua hari sejak kepergian Beng An ia tak
bertemu sedikitpun dengan pendekar Rambut
Emas. Tapi ketika hari ketiga datang tiba-tiba ia
dipanggil. Dan wanita ini gemetaran tak keruan,
masuk dan sudah diantar cucunya Siang Lan yang
tadi memanggilnya, melihat pendekar itu duduk
dengan tiga cucunya yang lain. Hok Gi di
pangkuan Shintala.
"Duduklah" Pendekar Rambut Emas
seakan tak mempunyai perasaan apa-apa. "Ada
yang hendak kami bicarakan denganmu, Cao
Cun. Duduk dan dengarlah apa yang hendak
kukatakan."
Wanita itu duduk, menunduk, suaranya
lirih ketika bertanya,
"Taihiap hendak bicara apa?"
"Hm Pendekar Rambut Emas menarik
napas dalam-dalam. "Aku dan anak-anak hendak969
pergi, Cao Cun. Ingin bertanya kepadamu apakah
kau ikut atau tidak".
"Pergi?" wanita ini mengangkat muka,
terkejut. "Ke mana, taihiap? Lama atau tidak?"
"Aku tak tahu, tapi mungkin lumayan".
"Taihiap mau ke mana?"
"Lembah Es".
"Apa?"
"Benar, kami hendak ke Lembah Es Cao
Cun. Karena itu kau ikut atau tidak?"
Wanita ini tiba-tiba tertegun. Ia
membelalakkan mata dan Shintala tiba-tiba
memegang lengannya. Lalu ketika ia menoleh
dan berkerut kening, nyonya muda itu
tersenyum maka wanita ini berkata,
"Gak-hu telah menetapkan untuk pergi.
Siang Hwa dan Siang Lan ngotot sekali ingin
mengetahui penghuni Lembah itu. Kalau bibi
mau ikut segeralah siap-siap karena kami segera
berangkat."
"Ah, dan puteramu?"
"Bun Tiong juga pergi, bibi, aku juga ikut."
"Dan... dan Hok Gi?"970
"Anak ini mungkin kami bawa, kalau kau
juga ikut."


Putri Es Lanjutan Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak!" wanita itu tiba-tiba menggeleng.
"Anak sekecil itu jangan dibawa bepergian jauh,
Shintala. Biarkan ia di sini dan aku menjaganya!"
"Bibi tidak ikut?"
"Aku wanita lemah, pengganggu saja
kalau ikut bersama kalian. Biarlah aku di sini
merawat dan menjaga rumah ini. Dan kalau
kalian tidak keberatan serahkan Hok Gi kepadaku
karena ia seperti cucuku sendiri!"
"Hm," Pendekar Rambut Emas
mengangguk-angguk, tersenyum. "Kalau begitu
keputusanmu tentu saja kami tak keberatan, Cao
Cun. Kami memang merasa repot kalau anak
sekecil ini ikut, kecuali kau ikut pula."
"Tidak, aku di rumah saja. Aku menyadari
diriku, taihiap, lain dengan kalian orang-orang
yang berkepandaian. Biarlah aku di sini dan Hok
Gi bersamaku!"
"Bibi benar-benar tidak ikut?"
"Aku di rumah saja, Shintala, menjaga
dan menunggu kalian di sini. Aku tak mau971
membuat kesenangan kalian terganggu.
Berangkatlah, hati-hati dan pulanglah dengan
selamat. Ini permintaanku!"
Shintala terharu. Ia memeluk dan
mencium wanita itu sementara Siang Hwa dan
Siang Lan tiba-tiba bersorak. Mereka tadi
khawatir jangan-jangan nenek mereka ini
melarang, atau marah dan tidak membiarkan
mereka pergi karena Lembah Es amatlah jauh
dan berbahaya. Maka begitu nenek mereka itu
tinggal di rumah dan mereka mendapat
kebebasan, kakek mereka Kim-mou-eng cukup
menjadi andalan maka Siang Lan yang biasa
manja kepada Cao Cun melompat dan berseru,
menubruk wanita ini.
"Hura, nenek tidak marah. Beritahukan
ayah bahwa kami diajak kong-kong dan terima
kasih atas kebaikan nenek!"
Cao Cun tersenyum. la diciumi dan
dirangkuli cucunya itu, Siang Hwa juga tertawa
dan melakukan hal yang sama. Dan ketika semua
gembira dan Cao Cun ternyata tidak menghalangi
niat kepergian Pendekar Rambut Emas ini,972
semalam pendekar itu bicara dengan
menantunya dan Shintala girang menyambut,
wanita inipun ingin tahu bagaimana penghuni
Lembah Es itu maka diambil kesepakatan bahwa
semua akan pergi, kecuali Cao Cun tidak ikut.
"Aku ingin mengajak anak-anak mencari
pengalaman. Aku juga bosan tinggal di sini
bertahun-tahun tak pernah keluar. Sekarang ada
berita menarik ini, aku ingin berkunjung sekalian
menyusul Beng An dan suamimu Thai Liong."
"Aku setuju," Shintala girang luar biasa
"Aku juga tertarik mendengar itu juga
gak-hu. Kalau kau mau pergi dan membawa kami
tentu saja aku girang sekali. Hanya bagaimana
dengan bibi Cao Cun dan Hok Gi yang masih kecil
ini"
"Kita panggil dia besok, kita tanya. Kita
beritahukan maksud ini tapi kukira ia tak mau
ikut."
Dan benar saja, wanita itu pilih tinggal di
rumah. Cao Cun adalah wanita tahu diri dan
maklum bahwa Pendekar Rambut Emas adalah
seorang petualang, di masa mudanya tak973
mungkin betah dirumah saja maka begitu dia
diberi tahu begitu pula ia menggeleng, tak mau
ikut. Wanita ini tahu kesukaan orang-orang kangouw dan melihat kegembiraan pendekar itu
cucu-cucunya dia maklumn bahwa dia tak boleh
menghalangi. Justeru dia merasa kebetulan
dengan ini, dapat merawat rumah dan menjaga
Hok Gi di situ. Terlalu lama berdua dengan
Pendekar Rambut Emas membuat dia kikuk.
Kalau saja Siang Le sudah pulang dan kembali ke
Sam-liong-to tentu dia pilih turut, tak mau
berlama-lama di situ. Maka ketika pendekar ini
mau pergi dan justeru membawa cucu-cucunya,
Shintala juga ikut maka dia pilih di situ dan
menanti di rumah.
Pendekar Rambut Emas berterima kasih
karena kalau wanita ini ikut tentu repot sekali di
perjalanan. Mereka tak dapat melakukan
perjalanan cepat, lain kalau Thai Liong yang
membawa karena puteranya itu dapat
"menyimpan' orang di balik jubah saktinya lewat
ilmunya Beng-tau-sin-jin itu, ilmu yang masih di
atas Pek-sian-sut. Maka ketika diputuskan bahwa974
hari itu juga mereka berangkat, Cao Cun
mengangguk dan menerima Hok Gi maka wanita
ini melambaikan tangan ketika Pendekar Rambut
Emas menyambar cucunya sementara Bun Tiong
dibawa ibunya.
"Hati-hatilah,". Wanita itu berpesan.
"Pulang dan cepatlah kembali kalau
mungkin,taihiap. Titip cucuku Siang Hwa dan
Siang Lan agar tidak nakal di perjalanan!"
"Kami tak mungkin. nakal," Siang Hwa
tertawa. "Kong-kong akan menjewer kami,
nenek. Kau tenanglah di situ dan tolong adikku
Hok Gi dijaga baik-baik!"
"Benar, dan kami akan cepat pulang,nek,
kalau sudah di sana. Tunggulah dan katakan
kepada ayah bahwa kong-kong yang mengajak
kami. Heiii.. " Siang Lan berteriak, meloncat dan
tiba-tiba terbang dibawa kakeknya. Pendekar
Rambut Emas tertawa dan mengerahkan
ilmunya dan sekonyong-konyong ia sudah
meluncur keluar lembah. Gerakannya begitu
cepat seperti kijang melompat. Atau bahkan
seperti anak panah menyambar. Dan ketika975
pohon dan dinding jurang berseliweran cepat di
kanan kiri, anak itu bersorak dan berteriak maka
Siang Hwa yang digandeng kakeknya juga
melengking dan tertawa-tawa girang, terbang
tak menginjak tanah lagi saking cepatnya sang
kakek menyentak tubuhnya. Anak dibawa berlari
cepat dan ketika Siang Hwa tak menginjak tanah
lagi saking cepatnya dibawa lari maka Bun Tiong,
yang disambar dan dibawa ibunya juga berteriak
dan tertawa-tawa.
"Heii, aku terbang, enci Siang Hwa. Lihat
kakiku melayang seperti burung!"
"Aku juga. Lihat kong-kong membawaku
demikian cepat!
"Hi-hik, dan aku paling enak. Aku dapat
melihat jauh lebih tinggi di atas pundak kongkongl" Siang Lan, yang tak mau kalah berseru
tertawa-tawa. Tiga anak itu gembira dan diajak
menuju Lembah Es seolah diajak pesiar ke bulan.
Mereka begitu senang, riuh dan saling jawabmenjawab. Namun ketika Pendekar Rambut
Emas menyuruh anak-anak itu diam, begitu pula976
Bun Tiong maka Shintala menyusul gak-hunya
dan mereka akhirnya terbang berendeng.
Cao Cun memandang kepergian
rombongan itu dengan mata berkejap-kejap.
Sesungguhnya dia berat juga berpisah dengan
anak-anak itu. Namun karena mereka dibawa
kakeknya sendiri dan kependaian Pendekar
Rambut Emas tidaklah main-main akhirnya
wanita ini tenang kembali dan setelah menarik
napas dalam-dalam iapun masuk rumah dan
kebetulan Hok Gi menangis karena lapar. Dan
begitu semua sunyi dan tinggallah wanita ?tu
sendiri maka Pendekar Rambut Emas di sana
sudah meluncur ke utara mencari dimana
letaknya Lembah Es itu, sesuai keterangan Beng
An. *** Marilah kita ikuti perjalanan Beng An
yang menuju Pulau Api. Pemuda ini, karena
mengenal jalan tentu saja lebih dulu tiba di sana
daripada kakaknya atau encinya. Beng An977
mengayuh perahu dan akhirnya melompat ke
daratan begitu sampai di pulau ini. Tak banyak
kesukaran baginya meskipun pulau itu
berbahaya. Tapi ketika ia melompat dan tiba
disini tiba-tiba ia tertegun. Pulau itu sepi, tak ada
siapa-siapa. Dan ketika ia berkelebat dan
mencari k?mana-mana ternyata pulau kosong
dan benar-benar tak berpenghuni. Aneh!
Beng An mengerutkan kening.
Sebenarnya, seperti yang ia katakan kepada
ayahnya ia tak bermaksud membalas dendam
kepada orang-orang Pulau Api itu. Ia hanya
hendak mengintai dan mencari kesempatan saja,
menunggu orang-orang itu melakukan tindakan
yang menyimpang dari kebenaran. Tapi ketika
pulau benar-benar sepi dan ia tak menemukan
siapa-siapa maka Beng An menjadi kesal dan
kecewa, Ke manakah perginya orang-orang itu?
la tak tahu bahwa karena menderita kekalahan
dari Pendekar Rambut Emas yang
mengakibatkan dua sutenya luka maka Tanpangcu tak tinggal lagi di pulau yang paling besar
itu. Ketua Pulau Api ini mengajak menyingkir978
semua muridnya, pergi dari pulau itu menuju
pulau lain yang lebih kecil. Dan karena Kepulauan
Akherat ini memang penuh dengan pulau-pulau
kecil, bertebaran dan merata di situ maka ketua
ini memilih Pulau Hitam, Hek-to, menjadi
markasnya sementara luka yang diderita oleh Bu
Kok dan,sutenya See Kiat memang cukup berat.
Paling tidak dua orang itu harus beristirahat
empat bulan. Maka tak mau mengambil resiko
kalau dia mendapat pembalasan, diam-diam
Tan-pangcu ini gentar tapi juga penasaran oleh
hebatnya Pendekar Rambut Emas maka ketua ini
di Pulau Hitam sambil menyembunyikan diri juga
memperdalam ilmunya.
Kesempatan itu adalah yang terbagus
baginya. Sutenya luka, harus memulihkan diri.
Dan dia dapat memperdalam ilmu sementara
dua sutenya itu beristirahat.
Maka ketika Pulau Hitam dipilih untuk
persembunyian sementara, pulau ini di ujung
barat Pulau Api maka Beng An tak akan
menemukan bila tak bergerak dan mencari.979
Dan Beng An memang belum tahu banyak
akan gugusan pulau-pulau di situ. Yang diketahui
baik hanyalah Pulau Api, selebihnya belum. Maka
ketika pemuda ini tak mendapatkan siapapun
dan heran serta bertanya-tanya maka dia
menunggu dan coba bersabar sampai seminggu.
Tapi pulau tetap saja kosong!
Beng An kesal. Kalau begini jelas dia siasia. Entah ke mana orang-orang Pulau Api itu.
Maka membuang kesal dan mengambil
perahunya maka Beng An bermaksud untuk
putar-putar dan mencari di tempat lain. Dan saat
itulah dia mendengar suara lapat-lapat orang
merintih.
"Aduh, keparat... aduh.."
Beng An terkejut. Dia sudah berada di
laut lepas ketika tiba-tiba suara itu terdengar. Dia
sudah jauh dari Pulau Api. Dan karena delapean
penjuru hanya laut melulu dan yang paling dekat
hanya sebuah pulau kecil di sana, jauh dan hanya
merupakan titik hitam di laut bebas maka Beng
An mengkirik karena apakah suara tadi adalah
suara hantu yang gentayangan.980
Dan tiba-tiba terdengar suara rintihan
pula yang lain. Namun ketika suara ini disusul
maki-makian maka Beng An semakin merasa
seram karena suara itu Seolah datangnya dari
bawah air!
"Jahanam..,. blub! Keparat
jahanam...blub-blub! Kau anjing betina liar
keparat We We Moli. Kau membuat aku mati
tidak hidup pun bukan. Bedebah, kau membuat
aku menjadi manusia sungsang..blub-blub!"
Suara air itu membuat Beng An
menjatuhkan pandang ke bawah. la merasa
seolah suara itu dari bawah laut di bawah
perahunya. Suara blub-blub itu seakan suara air
menggelembung. Tapi tak yakin akan
pendengarannya maka Beng An tiba-tiba
mendengar suara rintihan pertama itu tadi, kini
ditujukan kepadanya,
"Heii, bocah! Ada apa kau berputar-putar
di laut ini. Tak akan ada ikan untukmu. Tolong
aku dan lepaskan ikatan ini!"
Beng An terkejut. la tiba-tiba merasa
suara itu dari pulau di tempat jauh itu. Suaranya981
menjalar di permukaan air dan jelas sekali, bukan
main!. Dan ketika ia memandang tajam dan
kaget sekali, terbelalak tiba-tiba tampaklah


Putri Es Lanjutan Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah benda terapung timbul tenggelam di
tepian pulau kecil itu. Entah apa. Dan Beng An
mendengar bentakan itu lagi. Ia dimaki dan
disuruh datang. Rintihan dan makian kini silih
berganti. Dan ketika ia menggerakkan perahu
dan menuju tempat itu maka suara kedua, yang
berasal dari bawah air itu muncul lagi,
menghardik.
"Heii, jangan. Ke sini dulu! Lepaskan
kakiku dari celah dinding terjal ini!"
Beng An terkejut. Tiba-tiba ia melihat dua
batu karang menonjol kecil di atas air, kecil saja
dan kalau tidak dilihat baik-baik tentu lepas dari
pengamatan. Dari situlah suara kedua itu
berasal. Dan ketika ia tertegun dan
menghentikan perahunya, otomatis menengok
maka suara pertama, yang kini menggeram tibatiba disusul oleh pukulan jarak jauh yang
membuat perahunya terangkat tinggi, maju ke
depan.982
"Tidak, kau sudah ke sini dulu, bocah.
Tolong aku dan lepaskan ikatan ini!"
Beng An kaget bukan main. Ia terhisap
dan tersedot ke depan dan karena tak menjaga
diri maka perahupun meluncur dan terbang ke
depan. Pukulan jarak jauh itu membuat ombak
melingkar dan membalik, mengangkat dan
mendorong perahunya seakan dilempar tangan
raksasa.
Dan ketika ia berteriak dan memukulkan
dayung, perahu terbanting dan terjaga ke
seimbangannya lagi maka tampaklah sebuah
kepala gundul di atas permukaan air sana, di
pulau itu.
"Ke sini kau!" suara itu kini jelas arahnya.
"Lepaskan ikatan ini dan baru setelah itu si buruk
itu!"
Beng An tertegun. Seorang kakek, gundul
mengkilap terapung timbul tenggelam di
permukaan laut. Kakek ini seakan benda kecil
yang lucu sekali naik turun diair, atau seperti
perenang yang tak mampu maju, diam dan
tinggal di tempatnya sementara napas mulai983
habis, terengah-engah. Dan ketika Beng An
mendekat dan tentu saja tertarik sekali, entah
siapakah kakek ini maka ?ia berseru seraya
berjaga dengan dayung. Pukulan jarak jauh tadi
membuatnya maklum bahwa ia berhadapan
dengan seorang sakti, entah gila atau sinting
berendam di air laut.
"Heii, locianpwe yang aneh. Ada apa kau
terapung timbul tenggelam di situ. ikatan apa
yang kau maksud. Bagaimana aku menolongmu"
"Bodoh! Maju dan mendekat saja, anak
muda. Aku terapung timbul tenggelam karena
batu keparat di bawah kakiku ini. Aku terikat,
kakiku terkunci. Lepaskan ikatan ini atau bawa
aku ke darat. Seret dengan perahumu itu!"
"Terikat? Locianpwe terikat?"
"Tak usah banyak mulut. Kau tentu bukan
bocah sembarangan kalau sudah berani
berkeliaran di Pulau Akherat ini. Ayo tolong aku
dan lepaskan batu besar di kakiku ini. Aduh, aku
terapung timbul tenggelam!"
Beng An terbelalak. Sekarang kakek itu
lenyap den kepala gundulnya masuk di bawah984
air. Jelas bukan menyelam karena kedua tangan
lalu menggapai-gapai ke atas, persis orang kalap
(dibawa banjir). Maka bergerak dan memukulkan
dayungnya tiba-tiba Beng An membuat perahu
melejit dan sekali sambar ia menarik tangan
kakek itu. Namun alangkah kagetnya Beng An. la
tak mampu menarik karena tubuh si kakek luar
biasa beratnya. Tak kurang dari sepuluh ton! Dan
ketika ia tertegun sementara si kakek muncul
lagi, megap-megap maka kakek itu menyeringai
dan tertawa.
"Heh-heh, kau mau coba menarik aku?
Bodoh, gila. Di bawah kakiku ini ada sepasang
batu menggantung, bocah. Kakiku diikat di situ.
Kalau kau mau menolongku lepaskan tali itu atau
seret aku ke daratan!"
Beng An membelalakkan mata. Sungguh
tak disangka bahwa kaki kakek ini dibanduli
sepasang batu seberat itu. Pantas ia tak kuat.
Tapi kagum bahwa kakek ini dapat naik turun,
kiranya dia menjejak dan selalu mumbul apabila
terbawa tenggelam maka Beng An penasaran
sekali oleh orang yang melakukan ini.985
"Siapa yang melakukan itu. Kenapa
locianpwe diperlakukan seperti ini!"
"Heh-heh, tak usah tanya, bocah. Lepas
saja ikatan di bawah itu atau seret aku dengan
perahumu ke darat."
"Melepaskan tali? Bagaimana caranya?"
"Tentu saja menyelam ke bawah. Bodoh!
Terjunlah ke air atau seret tubuhku dengan
perahumu!"
Beng An terbelalak. Tiba-tiba keinginan
tahunya besar sekali. Ia penasaran oleh batu di
bawah kakek itu, mengapa ia sampai tak kuat.
Dan ketika ia mengangguk dan ingin melihat di
bawah tiba-tiba ia meloncat dan.. , byurr, Beng
An telah menyelam di bawah laut. Kakek itu
melotot tapi tiba-tiba terkekeh. Ia melihat
keberanian dan nyali besar pada diri pemuda ini.
Dan ketika ia merasa ditarik dan dipegang serta
diguncang, di bawah sana Beng An
menengkeram kaki kakek itu maka kakek ini
terbelalak tapi tiba-tiba berteriak.
"Heiii.... aduuhhh!"986
Beng An terkejut. Sekarang ia sudah
berada di bawah laut dan melihat apa yang
terjadi. Sepasang batu raksasa, menggelantung
dan berada beberapa meter dari dasar laut
tampak menyiksa kakek . Kakek itu bakal tertarik
dan tenggelam kalau batu ini turun ke bawah.
Dasar laut tidak terlalu jauh lagi namun sekali
tenggelam tentu nyawa taruhannya. Siapa bisa
bertahan hidup terus-menerus kecuali ikan.
Maka ketika kakek itu harus sering menarik
tubuhnya ke atas melawan beban seberat itu,
entah berapa lama kakek ini berada dalam
keadaan seperti itu maka Beng An melihat bahwa
dua buah batu ini dililit tali sebesar lengan orang
yang menyatu dan saling gubat-menggubat.
Ikatan itu hebat dan cerdik sekali merupakan
ikatan mati. Membuka yang sini harus membuka
yang sana, padahal membuka yang sana berarti
harus membuka ikatan yang lain lagi, begitu
seterusnya , Dan karena ini tak mungkin dan
satu-satunya jalan harus membabat atau
membacok putus setiap ikatan itu, jumlahnya
bukan main banyaknya maka Beng An kehabisan987
napas dan harus keluar dulu menghirup udara
segar. Ia tak kuat lama-lama di dalam air.
"Hah, bagaimana!" kakek itu membentak.
"Kenapa tak berbuat apa-apa, bocah. Ada apa
keluar lagi!"
"Wah, tali yang melilit di bawah banyak
sekali," Beng An berseru. Ratusan jumlahnya,
locianpwe. Tak mungkin putus dalam sekejap.
Aku sedang berpikir bagaimana baiknya.
"Bodoh, goblok tolol! Seret saja aku ke
darat, bocah. Tak usah banyak berpikir!
"Benar, " Beng An akhirnya mengalah.
"Nanti di darat kita putuskan semua karena di
dalam air harus berpacu dengan waktu. "Siaplah
dan awas kudorong!" Beng An meloncat di dalam
perahunya dan menyambar dayung. Ia dapat
memutuskan ikatan semua tali itu namun
berlama-lama di air ia tak suka. Meskipun ia
dapat mengerahkan sinkang namun basah kuyup
menolong kakek ini bukan hal yang
menyenangkan Maka berpikir bahwa menarik
rupanya lebih cocok, ia dapat menyeret kakek itu
sampai ke darat maka iapun mendorongkan988
dayungnya dan sekali berteriak menyuruh kakek
itu berpegangan pinggir perahu Beng An
mengerahkan sinkangnya hingga perahu melejit
bagai dipukul tangan raksasa. Si kakek
menyambar pinggiran perahunya namun di
tengah jalan terhenti. Sepasang batu di bawah
laut bergerak, terbawa naik dan Beng An merasa
betapa beratnya batu itu. Meskipun di bawah air
namun batu ini luar biasa sekali. la tak kurang
dari besar seekor gajah. Dan karena batu itu ada
sepasang dan masing-masing memiliki bobot
yang lebih kurang sama, perahu tersentak dan
kakek itu berseru kecewa maka perahu terbalik
dan usaha Beng An yang pertama ini gagal.
"Byuurrr...."
Pemuda itu malah masuk lagi ke laut. Si
kakek mengomel panjang pendek namun Beng
An berenang lagi, membetulkan perahunya dan
meloncat ke atas.
Dan ketika ia merah padam merasa gagal,
batu itu benar-benar luar biasa berat maka Beng
An berkata biarlah kakek itu berpegangan989
tangannya dan ia menendang perahunya agar
maju ke depan.
"Kau bodoh, goblok tolol. Lihat pinggiran
perahumu pecah tak dapat menahan
cengkeramanku. Kalau sekarang kau
memberikan tanganmu jangan berteriak kalau
nanti patah!"
"Hm, " Beng An merasa dapat bertahan.
"Aku dapat mengerahkan tenagaku, locianpwe.
Kalaupun patah sudah nasib. Mari dan pegang
erat-erat dan awas kutarik!"
Beng An mengeluarkan bentakan untuk
kedua kali. Ia penasaran dan kaget sekali untuk
kegagalannya itu. Pinggiran perahunya hancur
tak kuat menerima cengkeraman kakek itu,,
dayung juga patah dan terlempar masuk laut.
Maka mempergunakan dasar perahu untuk
menendang dan mendorong, ia mengerahkan
tenaga maka... hup, kakek itu terbawa ke depan
dan sepasang batu raksasa di bawah kaki
terangkat. Kakek itu tertawa bergelak dan girang
bukan main namun lantai perahu tiba-tiba jebol.
Beng An semakin menambah tenaganya untuk990
menarik kakek ini, lantai tak kuat dan akhirnya
berkeratak. Dan ketika perahu jebol dan airpun
masuk ke dalam, tak ampun lagi Beng An
terbanting dan bergulingan masuk laut maka
pemuda itu sia-sia dan untuk kedua kalinya gagal.
Kini perahu malah hancur.
"Goblok. sungguh goblok! Kau pemuda
macam apa yang tak dapat menarik aku si tua
bangka ini. Heh, pergi saja kalau begitu, anak
muda. Panggil temanmu yang lain atau yang
lebih kuat darimu!"
Beng An basah kuyup. la mendongkol
oleh makian ini namun lebih mendongkol lagi
oleh kegagalannya. Ke mana ia hendak pergi
kalau perahu sudah hancur begitu. Maka
berenang dan menuju daratan, pulau kecil itu
akhirnya Beng An gemas melihat banyaknya akar
malang-melintang dari pohon-pohon raksasa
yang banyak terdapat di situ, mata tiba-tiba
bersinar dan berseri.
"Locianpwe tak usah mengomel,"
katanya. "Masih ada banyak jalan menuju kota
raja".991
"Heh, kau bicara apa? Kau memaki si tua
bangka ini?"
"Hm, diam dan tenanglah saja di situ. Aku
akan memilin akar-akar panjang ini, locianpwe,
,membentuk tali sekuat tali di sepasang batu itu.
nanti kau menarik pinggangku dan aku menarik
tali ini." Beng An tak perduli.
"Apa kau bilang?" kakek itu marah.
"Diam dan tenang saja?"
" Heh, sudah tiga puluh tahun aku di sini,
bocah. Menyabung nyawa mencoba
mempertahankan hidup. Kalau kau memaki-maki
aku jangan-jangan kaupun kubenamkan ke laut.
He, untuk apa akar-akar panjang itu!"
Beng An tak menjawab. Tiba-tiba ia sudah
bergerak dan berseri menyambar akar-akar
pohon ini. la menyentak-nyentak mereka dan
mendapat kenyataan betapa kuat dan liatnya
akar itu. Dan ketika ia menyambung-nyambung
cepat dan tak lama kemudian tali sebesar lengan
orang terdapat, panjangnya tak kurang dari lima
puluh meter maka Beng An melonjak dan
bersorak.992
"Sudah jadi, sekarang aku yakin dapat!"
Kakek itu membelalakkan mata. melihat


Putri Es Lanjutan Rajawali Merah Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja pemuda itu bekerja dan maki-makianpun
akhirnya hilang. Ia melihat betapa sungguhsungguhnya pemuda itu bekerja. Dan ketika ia
masih belum mengerti tapi Beng An tiba-tiba
melempar ujung tali membelit sebatang pohon
besar , menarik dan mengencangkan tali itu
hingga tak terlepas maka pemuda ini tertawa
melempar tubuh ke kakek itu, ujung tali yang
satu sudah diikat dan dikencang kuat di
pinggangnya.
"Ha-ha, sekarang tarik pinggangku,
locianpwe. Aku akan menarik tali itu dari pohon
itu!"
Kakek ini berseri. Tiba-tiba sekarang ia
mengerti apa yang dimaksud Beng An. Kiranya
pemuda itu mengikatkan ujung tali di sana
sementara ujung yang sini dililitkan ke pinggang.
Beng An melempar tubuh kepadanya dan tentu
saja ia menangkap. Dan karena pemuda itu
membawa tali yang sini dan tali di sana
terentang, tentu saja menarik maka pinggang993
pemuda itu sudah dicengkeram kakek ini dan
sekali berseru keras Beng An menarik atau
merayap di tali panjang merentang itu.
"Awas, satu... dua..!"
Aba-aba atau teriakan ini mulai
terdengar. Beng An menarik atau membetot tali
panjang itu sementara si kakek menarik atau
membetot pinggangnya. Terdengar suara
berkeratak ketika tulang-belulang kakek itu
bekerja, penuh tenaga dan rupanya terlalu lama
ia terendam di laut. Beng An memberi aba-aba
dan setiap bicara tentu selangkah dia maju. Tali
mengencang di batang pohon raksasa itu.
Dan ketika dengan tenaganya yang
dahsyat Beng An menarik kakek ini melalui
bantuan tali itu, bunyi berkeratak semakin sering
membuat si kakek mengeluh maka perlahan
tetapi pasti Beng An berhasi mengangkat naik
tubuh kakek ini, berikut sepasang batu raksasa
itu. "Awas, tujuh... delapan...!"
Beng An tak mau berhenti. la telah
Nancy Drew Rahasia Renda Tua Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Serial Pendekar Muka Buruk Karya Tjan I D

Cari Blog Ini