Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 13
dengan amat menjemukan. Padahal menghadapi Tie Sa
Cang (Tapak Pasir Besi) Lu Xun Yi saja ia sudah terluka
parah apalagi jika harus menghadapi Sen Sou Mo Ciao
(Tangan Dewa Kaki Iblis) Jien Wei Cen!
"Eh, pendekar Pan, engkau jangan terlalu
meremehkan Jien Wei Cen. Aku dulu pernah menjajal
kehebatannya dengan tanganku sendiri dan memang ia
pantas menyandang gelar Sen Sou Mo Ciao itu" sanggah
Chang Bai yang lebih tua dan lebih arif sehingga
membungkam mulut besar Pan Chung.
"Jadi pendekar Wen, apakah aku harus mengirimkan
mata-mata ke bukit Guan Hu?" tanya Huang Ding Siang
meminta pendapat Wen Yang.
"Tidak, kakakku pasti mengatasi keadaan. Kita akan
menunggu sampai ia kembali sesuai dengan pesannya" kata
Wen Yang sambil menggeleng.- 42 "Baiklah jika demikian, kita akan menunggu sampai
kasim Huo Cin kembali. Sementara itu, mungkin pendekar
Wen dan lainnya dapat beristirahat. Jika ada perkembangan
mengenai Jenderal Chu Song, pasti akan segera
diberitahukan kepada para pendekar semua" kata Huang
Ding Siang sambil mempersilakan ketiga pendekar itu
dengan hormat.
Cen Hui yang sedang mencuri dengar di luar buruburu meluruskan sikap berdirinya dan berusaha menutupi
wajah dengan topi prajuritnya. Ketiga pendekar dan
Penyelia Huang keluar bersama-sama dari tenda utama.
Mereka berempat menuju api unggun tempat para kepala
pasukan berkumpul dan terlihat berbicara serius.
Tampaknya Penyelia Huang tengah memberikan perintah
kepada para kepala pasukan agar memperketat penjagaan
dan melaporkan semua kejadian kepadanya selama Jenderal
Chu Song belum mampu memimpin pasukan kembali.
Kemudian ia dan ketiga pendekar itu berpisah menuju
kemah masing-masing.
Baru saja Cen Hui hendak beranjak dari tempatnya
berdiri untuk menyelidiki kemah satunya yang juga dijaga
ketat oleh para prajurit, tiba-tiba terdengar kegaduhan di
ujung perkemahan prajurit sebelah selatan. Tampaknya ada
seorang penyusup yang berusaha masuk ke dalam
perkemahan dan tengah dikepung oleh puluhan prajurit
dengan tombak dan golok terhunus. Cen Hui mengurungkan
niatnya untuk memeriksa kemah lainnya dan memilih untuk- 43 melihat siapa yang dengan berani telah memasuki
perkemahan prajurit istana itu.
Cen Hui membaur ke dalam ratusan prajurit yang
tengah berbaris berderap menuju selatan perkemahan.
Dalam keadaan seperti itu, tidak ada satupun orang yang
bakal memperhatikan dirinya sehingga Cen Hui merasa
dapat lebih bebas bergerak. Ia juga menyiapkan pedang
Angin Putihnya yang ia sembunyikan di balik baju
prajuritnya, bersiap untuk menghunusnya jika diperlukan
nanti. Siapapun yang menjadi musuh pasukan kerajaan,
pastilah bukan musuh Tien Lung Men.
Ratusan prajurit membawa obor membentuk sebuah
lingkaran besar sehingga suasana menjadi terang benderang.
Mereka mengelilingi seorang laki-laki yang berjalan
limbung dengan baju sobek-sobek dan rambut awut-awutan.
Tatapan laki-laki itu tampak kosong dan juga kelihatannya
terluka dalam, la berjalan seperti linglung saja. Ratusan
prajurit yang mengepungnya dan berteriak-teriak
mengacungkan tombak dan golok sama sekali tidak
dihiraukannya. Cen Hui yang berusaha mengintip dari
celah-celah kepungan para prajurit merasakan jantungnya
berhenti ketika melihat laki-laki yang dikepung itu tidak lain
adalah Yang Ren Fang!
Sementara itu, Wen Yang, Chang Bai dan Pan Chung
serta beberapa pendekar lainnya yang telah mendengar
keributan di selatan perkemahan. ikut keluar melihat apa
yang terjadi. Meskipun masing-masing dari mereka terluka- 44 namun mereka masih tetap bertekad menghadang siapapun
yang datang mengacau. Kesombongan manusia memang
kadang mengalahkan akal sehat, apalagi bagi tiga tetua
aliran yang biasa dihormati dan dipandang tinggi ini, mana
mungkin hanya tinggal bersembunyi saja di dalam kemah
sementara ada kekacauan?
Para prajurit dan kepala pasukan yang mengepung
Yang Ren Fang segera membukakan jalan bagi mereka
bertiga. Wen Yang memerintahkan mereka melonggarkan
kepungan sehingga kini ia berdiri berhadapan dengan Yang
Ren Fang yang masih tampak linglung itu. Cen Hui yang
melihat keadaan Yang Ren Fang semakin genting, bersiap
mengeluarkan pedang Angin Putih dari balik bajunya dan
menyelamatkan tuan muda ketiganya itu. Tapi yang
selanjutnya terjadi jauh lebih mengejutkan lagi bagi Cen
Hui, sehingga terasa bagaikan mimpi buruk yang tidak
mungkin akan pernah terjadi.
"Anakku, apakah engkau sudah berhasil membunuh
Jien Wei Cen?" tanya Wen Yang sambil tersenyum kepada
Yang Ren Fang.- 45 26. Hutang Darah Dibayar Darah
Huo Cin dan Fan Zheng maju bersamaan sambil
berteriak keras, berusaha mendesak terus Jien Wei Cen.
Mereka tahu Jien Wei Cen telah terkena racun pada kakinya
dan mereka tidak akan memberikan kesempatan sedikit pun
kepadanya untuk memulihkan diri. Luka dalam yang
diderita Fan Zheng dan Huo Cin juga tidaklah ringan,
mungkin hanya mampu bertahan seratus jurus saja sebelum
mereka sendiri ambruk kehabisan tenaga sehingga mereka
berusaha menyerang habis-habisan.
Di lain pihak keadaan Jien Wei Cen sendiri juga tidak
baik. Cing Sa Tu (Racun Pasir Emas) milik Tabib Racun
Guo Cing Cen adalah racun yang amat keras dan sekarang
sudah masuk ke dalam pembuluh darah utamanya. Mungkin
dalam keadaan biasa, Jien Wei Cen bisa memaksa racun itu
keluar dari tubuhnya. Akan tetapi sekarang, setelah
bertarung habis-habisan dengan empat pendekar sakti,
tenaga dalam Tien Lung Ta Fa sudah berkurang jauh dari
kekuatan aslinya. Apalagi pikirannya sedang kacau karena
pengkhianatan yang dilakukan oleh menantunya sendiri
sehingga membuat ia tidak mampu mengerahkan segenap
kemampuannya.
Tiga pendekar kelas atas itu bertarung dalam satu
lingkaran hawa tenaga yang membadai. Bagi manusia biasa,
gerakan mereka bertiga hanya akan tampak seperti
bayangan kabur yang saling serang. Tapi bagi mereka yang- 46 berilmu tinggi akan dapat melihat pertarungan luar biasa
yang jarang sekali terjadi dalam dunia persilatan. Fan Zheng
dengan ilmu Wu Di Mi Jie Sen Kung (Ilmu Sakti Raga
Tanpa Wujud) berusaha menghentikan gerakan Jien Wei
Cen dan memutuskan nadi penting lawannya itu dengan
tenaga tidak tampaknya. Huo Cin sendiri masih menyerang
Jien Wei Cen dengan Pi Sie Cien (Pedang Penakluk Iblis)
kendati nadi pergelangan tangannya yang memegang
pedang sudah pecah karena terlalu memaksakan diri.
Pedang Yin Ye (Bulan Perak) milik Huo Cin
memainkan perubahan tujuh puluh dua jurus Pedang
Penakluk Iblis secara bergantian, berusaha membingungkan
Jien Wei Cen dan mencari celah untuk menusuknya. Jurus
perubahan paling hebat dari Pi Sie Cien adalah Tien Sen
Cing Lien (Teratai Emas Dewa Langit) yang bahkan Huo
Cin pun masih belum begitu sempurna memainkannya,
karena jurus ini menuntut pemiliknya untuk bergerak cepat
tanpa terlalu berpikir ke mana arah pedang menyerang.
Sesuai namanya, jurus Tien Sen Cing Lien adalah jurus
bagaikan bunga teratai yang mekar. Pedang diayunkan
dengan cepat ke segala arah, mengembang bagaikan bunga
teratai emas dalam legenda, menyerang ke segala arah dan
menutup semua jalan mundur lawannya. Perubahannya juga
amat banyak dan mampu mengikuti gerakan lawan.
Jien Wei Cen sadar ia harus mengerahkan semua
kemampuan dan pengalamannya untuk mematahkan jurus
tertinggi Pi Sie Cien ini. Keadaan menjadi semakin sulit- 47 baginya karena ia juga harus membagi perhatian dengan
serangan tak tampak Fan Zheng yang tidak dapat
diremehkan begitu saja. Jien Wei Cen dapat merasakan
kehebatan Wu Di Mi Jie Sen Kung yang seolah-olah
bagaikan raksasa tak tampak yang membelenggu kebebasan
geraknya. Kaki dan tangannya menjadi sepuluh kaki lebih
berat dan susah digerakkan. Semua urat nadinya juga
berdenyut-denyut tidak karuan seakan ditempa oleh palu
besi. Sebenarnya sedari awal, serangan Wu Di Mi Jie Sen
Kung yang dilancarkan Fan Zheng amatlah kuat, hanya saja
tadi keadaan Jien Wei Cen masih kuat pada puncak Tien
Lung Ta Fa sehingga ia tidak terlalu merasakannya. Kini
setelah tenaganya jauh berkurang, barulah terasa betapa
berat hentakan tenaga tidak tampak yang dilancarkan Fan
Zheng kepadanya.
Huo Cin menyerang dengan segenap tenaga sehingga
bayangannya pecah menjadi puluhan banyaknya. Ia
mengerahkan tenaga terakhir untuk melawan Jien Wei Cen
dan berharap bisa melukainya dengan serius. Pedang
Penakluk Iblis menyerbu dada lawan dengan hebat sehingga
dalam jarak beberapa langkah saja sudah terasa hawa
pedang merobek udara. Fan Zheng yang sadar mungkin ini
akan menjadi serangan maut terakhir, mengerahkan juga
tenaga gaibnya sampai ke puncak berusaha menahan laju
gerak Jien Wei Cen. Keadaan menjadi sangat genting bagi
sang Tangan Dewa Kaki Iblis itu.- 48 "Hahahah, kasim kebiri, kebolehanmu lumayan
juga!" kata Jien Wei Cen masih sempat mengejek lawannya
itu di saat terdesak hebat. Rupanya pengalaman bertempur
dan rasa percaya dirinya yang amat besar benar-benar
membuatnya tidak takut akan bahaya apapun.
"Lihat pedang!" teriak Huo Cin sambil menyerang
ganas, la merasa amat terhina dengan ejekan Jien Wei Cen
barusan sehingga bertekad bertarung habis-habisan
dengannya.
Jien Wei Cen yang sudah kenyang asam garam
pertarungan, memang sengaja memancing kemararahan
Huo Cin. Marah adalah pantangan besar bagi pesilat karena
dalam keadaan marah, nadi dan tenaga menjadi tidak teratur
serta gerakan tubuh menjadi kurang waspada. Tidak
terkecuali sekarang pada saat Huo Cin marah, gerakan
pedangnya menjadi kurang teratur sehingga memunculkan
satu celah kecil bagi Jien Wei Cen untuk dapat lolos dari
serangan Tien Sen Cing Lien itu. Ratusan bayangan pedang
itu mampu dilewati Jien Wei Cen, meskipun kulitnya
banyak tergores kekuatan hawa Pedang Penakluk Iblis.
Huo Cin yang tadi amat yakin bisa mengalahkan Jien
Wei Cen menjadi kaget sekali karena lawannya itu sekarang
sudah berada di balik punggungnya. Ia sudah salah langkah
dan tidak bisa lagi mengubah arah gerakannya sehingga
punggungnya menjadi benar-benar terbuka bagi serangan
lawan. Jien Wei Cen tidak membuang kesempatan baik itu,
segera mengerahkan tenaga menghajar punggung Huo Cin- 49 dengan telapaknya. Tenaga Tien Lung Ta Fa tingkat tiga
puluh menghajar keras punggung Huo Cin sehingga ia
sampai terpental beberapa tombak sebelum menghantam
sebuah pohon dengan keras sekali. Daun-daun pohon
berguguran seiring merosotnya tubuh Huo Cin ke bawah
batang pohon. Apakah tamat riwayat kasim licik itu di
tangan Jien Wei Cen?
"Kasim Huo Cin!" teriak Fan Zheng yang kaget
melihat perubahan situasi pertempuran yang amat tidak
menguntungkan dirinya ini. Tadi ia dengan ketiga kawannya
berada di atas angin, ditambah lagi dengan bantuan tak
terduga dari Yang Ren Fang. Tapi sekarang keadaan benarbenar berbalik, justru nasibnya yang berada di ujung maut!
Jien Wei Cen melihat Huo Cin sudah tumbang,
sekarang dapat mengerahkan seluruh kemampuannya
menghadapi Wu Di Mi Jie Sen Kung (Ilmu Sakti Raga
Tanpa Wujud), la merangsek ke arah Fan Zheng dengan
ganas, sambil mengerahkan Tien Lung Feng Lun (Pusaran
Angin Naga Langit). Jurus itu begitu membadai sehingga
baju Fan Zheng yang sudah terkoyak itu langsung hancur
menjadi serpihan bahkan sebelum serangan sebenarnya
datang. Udara menjadi sangat tertekan sampai Fan Zheng
merasa paru-parunya nyaris pecah. Jien Wei Cen tampaknya
benar-benar murka sehingga berniat menghabisi musuhmusuhnya ini dengan segera.
Fan Zheng yang berada di pintu kematian, mau tak
mau harus mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya- 50 untuk bertahan hidup. Ia mengumpulkan seluruh tenaga
ajaibnya di kedua telapak tangan dan bersiap menghadapi
Tien Lung Feng Lun. la tidak punya pilihan lain kecuali
berhadapan langsung karena kalaupun jika ia memilih
mengelak maka kemungkinan kalah akan jauh lebih besar
daripada berhadapan langsung.
Suara ledakan keras kembali memecah keheningan
malam ketika Tien Lung Feng Lun bertemu dengan Wu Di
Mi Jie Sen Kung. Daun-daun gugur beterbangan ke segala
arah. pasir dan debu membubung tinggi. Setelah keadaan
agak tenang, barulah tampak bahwa Jien Wei Cen memang
layak menyandang gelar pendekar tanpa tandingan. Ia masih
berdiri tegak meskipun dengan pakaian compang-camping
dan darah segar menetes dari kedua urat nadi tangannya.
Sementara Fan Zheng sendiri tidak terlihat lagi batang
hidungnya, mungkin sudah terlempar ke bawah bukit Guan
Hu sama seperti Guo Cin Ceng atau Fang Yung Li.
Jien Wei Cen setelah meneliti keadaan medan
pertempuran yang sudah hancur lebur dan tidak melihat lagi
keempat musuhnya, barulah bisa bernapas agak lega.
Seluruh badannya terasa sakit, terutama kakinya yang
terkena racun Cing Sa Tu (Racun Pasir Emas). Tanpa
mampu dicegahnya lagi, tubuhnya limbung ke belakang dan
ambruk ke tanah. Bahkan Tangan Dewa Kaki Iblis pun
merasa kelelahan setelah pertempuran mati-matian melawan
empat pendekar kuat barusan. Darah segar mengalir dari
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudut bibir Jien Wei Cen, menandakan ia terluka dalam- 51 cukup parah. Ia melihat dan meneliti keadaan sekelilingnya
setelah pertempuran usai.
Suasana puncak bukit Guan Hu gelap sekali karena
malam sudah datang menyelimuti. Sisa-sisa api unggun
menyala dengan redup sekali karena beberapa kali angin
ledakan hebat telah memporak-porandakan susunan kayu
bakar sehingga berserakan kemana-mana. Satu-satunya
orang selain Jien Wei Cen di puncak bukit Guan Hu
hanyalah Huo Cin, yang masih tergolek di sisi pohon, entah
hidup entah mati.
Jien Wei Cen yang merasa sekarang keadaan sudah
aman, segera duduk bersila dan melatih Tien Lung Ta Fa
untuk memulihkan diri dan mendesak keluar racun yang
sudah masuk ke dalam nadinya, la bernapas teratur dan
menyilangkan kedua tangannya di dada, memejamkan mata
bersiap menyalurkan tenaga dalam ke kakinya yang terkena
racun. Baru saja ia bersemedi, tiba-tiba telinganya yang
tajam dan terlatih mendengar suara orang berbicara di
kejauhan. Mula-mula suara itu berada di bawah bukit,
kemudian segera saja suara itu sudah berada beberapa
tombak darinya, seakan-akan pemilik suara itu dapat terbang
saja layaknya. Jien Wei Cen sendiri tidak ambil pusing
dengan kehadiran suara itu dan terus saja berusaha
memulihkan dirinya secepat mungkin. Ia tahu Fang Yung Li
yang terjatuh ke bawah bukit dalam pertempuran tadi telah
kembali sekarang dan ia harus dalam keadaan lebih kuat jika
ingin menang melawan kakek gila itu.- 52 "Aku ingat sekarang! Aku ingat sekarang! Kau adalah
si pendekar bodoh yang sok suci itu bukan?! Wang-mei
(adik Wang) adalah milikku! Kau dan si Iblis tua jangan
harap bisa mencurinya dariku! Jangan harap!" teriak Fang
Yung Li seperti kesetanan saja. Bajunya yang bagus dan
mahal tampak sudah hancur dan memperlihatkan tubuhnya
yang kurus. Matanya yang nyalang berputar-putar seperti
tak tentu arah dan mulutnya mengomel dan memaki-maki
terus. Tampaknya otak Fang Yung Li yang tidak waras itu
tengah kacau sehabis ia terjatuh dari puncak bukit Guan Hu
sehingga ia mengira kejadian saat itu adalah beberapa puluh
tahun lampau sebelum ia dipenjarakan.
"Hei, aku ingat namamu sekarang! Chi Wei! Yah, Chi
Wei bajingan kau! Berani sekali engkau merebut Wang-mei
dari sisiku! Akan kucabik-cabik seluruh tubuhmu, kumakan
dagingmu dan kuminum darahmu!" teriak Fang Yung Li
dengan nada mengerikan sambil menuding Jien Wei Cen.
Jien Wei Cen sendiri sama sekali tidak
memperdulikan Fang Yung Li. Ia terus berusaha
memulihkan diri dan menekan racun keluar. Ia tahu jika
ingin berhadapan dengan Sie Mo (Iblis Darah) ini, maka ia
tidak bisa main-main dan harus dalam keadaan terbaiknya.
Tidak heran jika Jien Wei Cen berusaha keras sembuh dalam
waktu sesingkatnya, sehingga butiran peluh bertetesan dari
kening dan dahinya.
"Chi Wei keparat! Sambutlah kematianmu!" teriak
Fang Yung Li sambil mengeluarkan Pei Ming Sen Kung- 53 (Tenaga Sakti Neraka Utara). Jien Wei Cen yang masih
dalam keadaan duduk bersila langsung terhisap terbang ke
arah Fang Yung Li. Benar-benar tenaga yang luar biasa!
Tampaknya nasib Jien Wei Cen sudah tidak tertolong
lagi ketika kepalanya nyaris tertangkap dalam genggaman
tapak tangan Fang Yung Li. Andaikan saja Jien Wei Cen
tertangkap di ubun-ubun titik seratus nadi, maka sudah bisa
dipastikan ia akan segera menghadap raja neraka karena
ilmu Pei Ming Sen Kung adalah ilmu sesat yang berdaya
hisap dahsyat langsung meremukkan tengkoraknya. Pada
saat terakhir sebelum kepalanya ditangkap oleh Fang Yung
Li, tiba-tiba Jien Wei Cen membuka matanya yang tajam
bagai elang itu dan menatap tajam ke arah Fang Yung Li.
Tatapan yang tiba-tiba dan penuh hawa membunuh
ini tentu saja membuai Fang Yung Li kaget. Jien Wei Cen
segera memanfaatkan kekagetan sesaat ini untuk
melepaskan diri dari ilmu Pei Ming Sen Kung. Tubuhnya
diputar seperti gasing dan kepalanya maju menyerang dada
Fang Yung Li memanfaatkan daya hisapnya sendiri bak
mata bor!
"Duakk!"
Hantaman kepala besi Jien Wei Cen mengena telak di
dada Fang Yung Li sehingga kakek gila itu mundur
beberapa langkah ke belakang sambil sempoyongan dan
memuntahkan darah segar. Kemenangan yang tadi nyaris
sudah dalam genggaman sekarang berubah menjadi- 54 kekalahan yang memalukan. Tidak heran jika Fang Yung Li
langsung mencak-mencak marah tidak karuan. Sifat gilanya
kembali muncul karena merasakan dadanya sesak luar biasa
dihantam kepala Jien Wei Cen.
"Bagaimana kakek tua? Apakah engkau masih belum
jera juga? Masih ingin menghina guruku lagi?" tanya Jien
Wei Cen sambil melipat tangan meremehkan Fang Yung Li.
"Kurang ajar! Chi Wei keparat! Aku akan
membunuhmu!" teriak Fang Yung Li sambil mengerahkan
Pei Ming Sen Kung sampai ke puncak. Jien Wei Cen sendiri
sudah bersiap menghadapi serangan hisap yang dahsyat ini.
Ia menyalurkan Tien Lung Ta Fa ke seluruh tubuhnya bak
perisai udara menahan hawa hisap Pei Ming Sen Kung
sehingga terjadi tenaga tarik-menarik di udara. Kedua pihak
sama-sama ngotot mengalahkan lawan sehingga sebenarnya
sukar dipastikan pihak mana yang lebih unggul. Hanya saja
Jien Wei Cen melupakan satu hal yang amat penting dalam
menghadapi ilmu hisap seperti Pei Ming Sen Kung ini yaitu
luka di kedua bahunya karena lemparan pisau Yang Ren
Fang tadi. Luka itu meskipun sudah tidak mengucurkan
darah lagi tapi tetap saja belum kering dan masih terbuka.
Fang Yung Li dijuluki Setan Darah bukan tanpa alasan tapi
karena ia mampu menghisap darah lawan dengan ilmu
sesatnya itu, tidak terkecuali seorang Jien Wei Cen
sekalipun!
Saat perang tenaga tarik-menarik itu sudah mencapai
tahap yang menentukan, luka di kedua bahu Jien Wei Cen- 55 kembali terbuka dan meneteskan darah. Tak ayal lagi,
langsung darah menyembur keluar bak benang merah dari
luka-luka itu menuju ke mulut dan hidung Fang Yung Li.
Inilah jurus sesat milik Sie Mo (Setan Darah) seorang yang
amat terkenal karena kekejamannya yaitu Sie Cai Sie Jang
(Hutang Darah Dibayar Darah)!
Jien Wei Cen merasakan kesakitan menusuk tulang
dan ubun-bun ketika darahnya disedot keluar oleh Fang
Yung Li. Kakek gila itu malah tertawa riang ketika darah
Jien Wei Cen memancar deras ke mulut dan hidungnya.
"Asyik! Darah pendekar tangguh memang manis!"
kata Fang Yung Li sambil terus menyedot darah Jien Wei
Cen. Manusia sekuat apapun tidak akan tahan bila
kehabisan darah, tidak terkecuali Jien Wei Cen. Wajahnya
semakin lama semakin pucat karena kehilangan banyak
darah. Ia tahu jika bertahan terus dalam keadaan seperti ini
maka ia akan mati. Ia harus segera mengganti jurus untuk
mengubah keadaaan. Napasnya ditarik ke bawah perut dan
ia membiarkan perisai udaranya yang membentenginya
hilang. Segera saja tubuhnya melayang terbang ke arah Fang
Yung Li yang masih tertawa terkekeh-kekeh karena senang
bisa menghisap darah. Ketika sudah berada dalam jarak
tempur, Jien Wei Cen segera melepaskan jurus Lu San Jing
Lung Cang (Tapak Naga Hijau Gunung Lu), jurus kedua
puluh dari tiga puluh enam jurus Tien Lung Ta Fa.- 56 Fang Yung Li langsung dikepung ratusan bayangan
naga hijau, yang tidak lain adalah telapak maut Jien Wei
Cen. Keistimewaan jurus Lu San Jing Lung Cang adalah
kecepatannya sehingga bahkan pendekar sekelas Fang Yung
Li pun kerepotan melihat jelas jurus lawan, la berusaha
menghindari kepungan bayangan naga hijau tapi justru
malah tertutup seluruh jalan mundurnya. Tak ayal lagi Fang
Yung Li terkena puluhan tapak yang menghajar tubuhnya
bak palu godam dan terlempar beberapa langkah ke
belakang, jatuh berdebam keras di tanah.
Jien Wei Cen sendiri setelah melihat jurusnya
berhasil, tidak juga terlalu baik keadaannya. Ia sudah sampai
pada batas kekuatannnya dan hanya rasa angkuhnya saja
yang membuatnya bisa tetap berdiri tegak di depan musuhmusuhnya, la sudah kehilangan banyak tenaga dalam
pertempuran awal dan sekarang ia harus kehilangan banyak
darah juga. Tubuhnya sudah limbung dan lemah serta
napasnya sudah tersengal-sengal. Keringat membasahi
sekujur tubuhnya. Wajah Jien Wei Cen yang tampak lebih
muda dua puluh tahun dari usia sebenarnya kini tidak lagi
cerah. Namun matanya masih tetap setajam elang melihat
tubuh Fang Yung Li yang tergeletak di tanah, bersiap
menghadapi segala kemungkinan kebangkitan musuhnya
itu. Ia yakin pendekar sehebat Fang Yung Li tidak akan
segampang itu takluk, ternyata apa yang dipikirkan Jien Wei
Cen itu benar sekali. Tubuh Fang Yung Li yang tergeletak
itu tampak mulai bergerak-gerak. Mula-mula pelan sekali
kemudian makin lama gerakan tubuhnya makin nyata dan- 57 liar. Akhirnya Fang Yung Li melompat bangkit dan mencakmencak marah.
"Lu San Jing Lung Cang! Lu San Jing Lung Cang!
Chi Wei, puluhan tahun aku dikurung, masakan aku tidak
pernah belajar mematahkan jurus bebekmu ini! Ayo coba
sekali lagi!" teriak Fang Yung Li marah sekali.
"Kau benar-benar kakek gila! Jika tidak kuhajar
sampai mampus, mana mungkin engkau berhenti memaki
guruku" bentak Jien Wei Cen tidak sabaran karena sedari
tadi Fang Yung Li terus memaki-maki gurunya.
Jien Wei Cen bersiap menyerang kembali dengan Lu
San Jing Lung Cang. Ia menarik napas panjang dan
menyalurkannya ke bawah perut. Saat menghembuskannya
kembali, tubuhnya bagai dipenuhi tenaga melayang bagai
naga hijau menyerang Fang Yung Li. Kembali ratusan
bayangan naga hijau mengepung Fang Yung Li, tapi kini
tampaknya ia tidak kebingungan lagi bahkan wajah gilanya
mendadak berubah serius. Matanya nyalang menatap
ratusan bayangan naga hijau yang berputar bagai badai
mengelilingi dirinya itu. Tiba-tiba dengan satu gerakan
bagaikan kilat, Fang Yung Li menerkam satu bayangan naga
hijau yang berputar di dekatnya. Segera saja ilusi bayangan
naga hijau menghilang, karena ternyata Fang Yung Li
berhasil menangkap kedua tangan Jien Wei Cen!
Kejadian ini tentu saja tidak pernah disangka oleh
Jien Wei Cen yang selama puluhan tahun malang melintang- 58 di dunia persilatan, tidak pernah seorang pun dapat
mematahkan jurus maut Lu San Jing Lung Cang miliknya
itu. Kini kakek gila Fang Yung Li ini berhasil
mematahkannya hanya dalam dua kali melihat! Hati Jien
Wei Cen yang selama ini angkuh menjadi sedikit gentar
menghadapi Sie Mo Fang Yung Li. Benarkah dulu Fang
Yung Li pernah beradu jurus dengan gurunya Chi Wei?
"Hahahahahhaha, Chi Wei keparat! Aku bisa
mematahkan jurus bebekmu ini, aku bisa!" teriak Fang
Yung Li kegirangan sambil tetap memegang erat kedua
tangan Jien Wei Cen. Hawa tenaga Pei Ming Sen Kung
mulai bekerja menghisap tenaga lawannya itu. Jien Wei Cen
merasakan kulit tangannya seperti ditarik dengan paksa
sehingga terasa sakit sekali. Setiap kali ia memberontak,
tenaga dalamnya semakin cepat hilang tersedot oleh Fang
Yung Li.
Selama puluhan tahun malang melintang di dunia
persilatan, baru kali ini Jien Wei Cen menghadapi lawan
yang sanggup membuatnya kerepotan. Napasnya mulai
tersengal-sengal tidak teratur dan keringat bertetesan dari
dahi pendekar tanpa tandingan itu. Tenaga Tien Lung Ta Fa
terhisap terus-menerus keluar tanpa bisa dicegah olehnya.
"Kurang ajar!" teriak Jien Wei Cen dengan marah
sekali, karena usahanya untuk melepaskan diri dari Pei Ming
Sen Kung selalu gagal. Sebaliknya Fang Yung Li malah
tertawa terkekeh-kekeh kegirangan. Rona wajahnya
semakin cerah karena menghisap hawa tenaga Jien Wei Cen- 59 sehingga kekuatannya semakin pulih. Jika saja Jien Wei Cen
dalam keadaan normal, tentu ia sanggup meledakkan hawa
tenaganya dan mementalkan Fang Yung Li hingga beberapa
tombak, tapi kini ia sudah melemah sehingga sia-sia saja
usahanya untuk membebaskan diri.
Jien Wei Cen yang menyadari bahaya maut di depan
mata, akhirnya mengambil jalan nekad yang selama ini tidak
pernah dilakukan olehnya, la menghirup napas dalamdalam, kemudian mengumpulkan seluruh tenaga di titik dahi
lalu menghempaskan kepalanya bagaikan godam besi ke
arah kepala lawan!
"Bukkkk!"
Suara benturan keras kepala beradu memecah
kesunyian malam. Begitu kerasnya benturan itu sampaisampai baik Jien Wei Cen maupun Fang Yung Li merasakan
kepala mereka berdenyut dengan keras sekali, seakan-akan
jantung mereka telah pindah di kepala. Tapi hantaman yang
demikian keras dan telak itu masih belum bisa membuat
Fang Yung Li melepaskan pegangan tangannya. Dalam
keadaan putus asa dan terdesak hebat, Jien Wei Cen
memaksakan membenturkan kepalanya lagi berulang-ulang
ke arah kepala Jien Wei Cen!
"Aduh! Kurang ajar kau Chi Wei tua bangka! Engkau
mematahkan hidungku!" teriak Fang Yung Li sambil
mencak-mencak kesakitan. Ia akhirnya terpaksa melepaskan
pegangan tangannya setelah benturan kepala Jien Wei Cen- 60 yang terakhir berhasil mengenai batang hidungnya dengan
telak sekali. Darah mengucur deras dari hidung Fang Yung
Li yang patah. Ia memegangi hidungnya itu sambil terus
memaki-maki Chi Wei, yang tidak lain adalah mendiang
guru Jien Wei Cen.
Jien Wei Cen sendiri begitu terlepas dari pegangan
maut Pei Ming Sen Kung, segera berusaha mengatur napas
memulihkan tenaganya. Kepalanya terasa sakit sekali dan
berdenyut-denyut, tapi ia berusaha tidak menghiraukannya.
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lawan yang dihadapi masih berdiri tegak di depan mata,
maka ia harus segera pulih untuk bertempur kembali.
Tenaga Tien Lung Ta Fa diputar secepat mungkin dalam
tubuh untuk memulihkan luka-luka dalam maupun luar
sementara Fang Yung Li masih mencak-mencak marah
sambil memegangi hidungnya.
"Chi Wei! Aku akan mengadu nyawa denganmu!"
teriak Fang Yung Li seperti kesetanan. Rupanya kakek gila
ini merasakan hidungnya sakit sekali sehingga ia menjadi
amat marah. Sudah lama sekali ia tidak pernah merasakan
sakit seperti ini, apalagi yang melukai dirinya tidak lain
adalah Chi Wei menurut pandangan Fang Yung Li.
Jien Wei Cen sekarang tidak berani tinggi hati dan
memandang rendah lawannya lagi. Selain karena tenaganya
sudah jauh menurun, Fang Yung Li kelihatannya juga
pernah benar-benar berhadapan dengan gurunya sehingga
bisa menebak perkiraan jurus yang ia mainkan. Ini benarbenar suatu hal yang amat di luar perkiraan dirinya karena- 61 selama puluhan tahun menjadi pendekar, jarang sekali ada
yang bisa menandingi dirinya.
Fang Yung Li maju dengan kekuatan penuh,
membuka kedua tangan hendak menangkap Jien Wei Cen
supaya ilmu Pei Ming Sen Kung miliknya dapat digunakan
menghisap tenaga lawan. Jien Wei Cen sendiri tentu tidak
mau terpedaya untuk kedua kalinya. Ia lebih memilih
bertarung tidak langsung daripada berhadapan dengan ilmu
hisap nananeh milik kakek gila itu. Jien Wei Cen segera
meringankan kakinya dan menghisap napas dalam-dalam.
Tubuhnya serasa seringan bulu dan bergerak memecah
keempat penjuru. Inilah jurus Fen Lung Ying (Memecah
Bayangan Naga) yang sebenarnya tidak lain adalah ilmu
ringan kaki tingkat tinggi.
Fang Yung Li yang maju menerjang dengan ganas
hanya dapat menangkap angin saja. Bayangan Jien Wei Cen
sudah memecah menjadi empat dan semakin banyak ketika
ia bergerak bagaikan angin saja layaknya. Fang Yung Li
semakin marah mengejar bayangan yang sekarang
jumlahnya puluhan itu. Gerakan mereka berdua begitu cepat
dan bertenaga sehingga menyebabkan badai angin kecil
yang menerbangkan daun-daun dan ranting-ranting pohon.
Mata orang biasa tidak akan bisa menangkap gerakan
secepat kilat itu, sehingga hanya akan terlihat seperti
kumpulan kabut saja tampaknya.
Setelah beberapa lama tidak dapat menangkap Jien
Wei Cen, Fang Yung Li menjadi semakin marah, la berhenti- 62 mengejar dan berdiri mematung di tengah-tengah ratusan
bayangan yang mengelilinginya. Jien Wei Cen berpikir
mungkin kakek gila ini sudah menyerah, tapi ternyata Fang
Yung Li berdiam diri sediam-diamnya untuk mendengarkan
gerakannya yang terpancar dari gesekan badannya dengan
udara!
Begitu menangkap arah gerakan Jien Wei Cen,
telinga Fang Yung Li yang peka mulai menjejaki gerakan
lawannya itu. Ia mendengarkan dengan seksama sekali
sehingga jika saat itu ada sehelai bulu yang jatuh ke tanah
saja, maka Fang Yung Li akan dapat mendengarnya.
Memang ilmu dan tenaga aneh Fang Yung Li amatlah hebat
sehingga bahkan meskipun telah mengalami penderitaan
puluhan tahun dalam penjara bawah tanah, kemampuannya
masih tidak berkurang.
Dalam sekejap mata, tubuh Fang Yung Li sudah
melesat seperti anak panah menuju sasaran. Ia tampaknya
sudah bisa memperkirakan keberadaan Jien Wei Cen di
antara puluhan bayangan palsu lainnya. Fang Yung Li kini
mengejar Jien Wei Cen dengan kecepatan penuh dan berniat
memukul telak lawannya itu.
Jien Wei Cen sendiri tampaknya telah
memperkirakan langkah lawannya ini sehingga ia tidak
begitu kaget ketika gerakan Fang Yung Li mengarah
langsung kepadanya. Tadi ia memakai Fen Lung Ying hanya
sekedar untuk mengulur waktu saja dan memberikan
kesempatan padanya untuk bernapas. Kini setelah agak- 63 baikan, ia mampu menekan racun Cing Sa Tu (Racun Pasir
Emas) agar tidak semakin menyebar. Tenaganya menjadi
berlipat kembali dan ia siap bertempur habis-habisan dengan
Fang Yung Li.
"Plakkk!"
Suara benturan tenaga dalam kembali menggema
dalam kesunyian malam. Tapi berbeda dengan sebelumnya,
kali ini Jien Wei Cen sudah memperkirakan kehebatan Pei
Ming Sen Kung milik lawannya itu sehingga pada saat
kedua telapak mereka saling beradu, ia juga mengayunkan
sebuah tendangan ke arah dagu Fang Yung Li. Tak ayal lagi
Fang Yune Li terkena telak pada dagunya dan terpelanting
hampir dua tombak ke belakang sebelum sempat
menggunakan ilmu Pei Ming Sen Kung.
Kesempatan baik tidak datang kedua kali. Tubuh
Fang Yung Li yang sedang melayang di udara langsung
diburu oleh Jien Wei Cen. Bagaikan seekor rajawali sedang
mengejar mangsanya, Jien Wei Cen sama sekali tidak
memberikan kesempatan kepada Fang Yung Li untuk
bernapas. Punggung Fang Yung Li yang terbuka lebar
dihantam telak oleh tinju besi Jien Wei Cen sehingga
menambah lajunya. Fang Yung Li terlempar dan
menghantam sebatang pohon dengan kerasnya hingga
menumbangkan pohon itu!
Memang kegilaan Fang Yung Li membuatnya
mampu melupakan rasa sakit dan luka, tapi juga- 64 membuatnya kurang mampu membaca siasat lawan. Jien
Wei Cen yang kenyang pengalaman bertarung mengetahui
hal ini sehingga dapat memanfaatkannya dengan baik sekali.
Ketika Fang Yung Li tengah bersusah payah bangkit berdiri,
telah datang serangan gelombang ketiga dengan tidak kalah
dahsyatnya.
Jien Wei Cen memutar tubuhnya di udara bagaikan
sebuah bola baja menuju ke arah Fang Yung Li yang belum
sempat memperkuat kuda-kudanya. Hantaman badan
sekeras baja itu mengenai dada Fang Yung Li dengan telak
sekali hingga muntah darah. Fang Yung Li kembali
terlempar menghantam barisan pepohonan di sisi bukit.
Tubuhnya masih meluncur terus tanpa dapat ditahan lagi dan
jatuh ke bawah bukit untuk kedua kalinya. Suara jeritan
penuh dendam yang mendirikan bulu kuduk terdengar
semakin sayup bersamaan dengan jatuhnya tubuh Fang
Yung Li ke bawah bukit Guan Hu untuk kedua kalinya.
Tubuh Jien Wei Cen berdebam keras jatuh ke tanah.
Tampaknya ia barusan mengeluarkan sisa-sisa tenaga
terakhirnya sehingga tidak kuat lagi. Untuk sementara ia
hanya dapat berdiam diri saja di tanah sambil berusaha
mengatur napas dan memulihkan tenaga dalamnya.
Keadaannya kali ini benar-benar genting jika saja ada musuh
lain yang datang mendekat.
Tapi untunglah ternyata sampai Jien Wei Cen mampu
berdiri, tidak ada kelihatan satu orang pun di daerah bukit
Guan Hu. Di ufuk timur, langit mulai memerah menandakan- 65 fajar telah tiba. Tampaknya pertempuran Jien Wei Cen
dengan empat jagoan itu sudah memakan waktu semalaman
sejak petang kemarin. Benar-benar pertempuran yang
menguras seluruh tenaga, sampai-sampai Jien Wei Cen
harus bersandar sebentar-sebentar di pepohonan sepanjang
jalan menuruni bukit. Kakinya yang terkena racun Cing Sa
Tu belum sembuh benar, juga luka-luka di kedua bahunya
masih mengucurkan darah segar. Jien Wei Cen sadar ia
harus segera kembali ke Tien Lung Men jika masih ingin
selamat.
Kedua kuda yang kemarin petang ditambatkan di
bawah kaki bukit, meringkik tidak sabar melihat kedatangan
Jien Wei Cen. Mereka menghentakkan kaki depan mereka
ke tanah, pertanda siap untuk dipacu. Jien Wei Cen dengan
susah payah menaiki kudanya dan menuntun kuda Yang Ren
Fang yang kini tanpa penunggang itu di sampingnya. Langit
mulai bersinar terang pertanda pagi telah tiba ketika Jien
Wei Cen meninggalkan bukit Guan Hu yang penuh dengan
hal yang tidak mungkin bisa ia lupakan seumur hidupnya itu.
Yang Ren Fang yang selama ini ia sayang dan sudah
ia anggap sebagai anak sendiri dan penerus Tien Lung Men,
ternyata berbalik mengkhianatinya di saat yang paling
genting. Namun kelihatannya, Yang Ren Fang masih
memiliki hati nurani dan belas kasihan terhadapnya, terbukti
ia tidak mengeroyoknya bersama-sama dengan Huo Cin.
Jien Wei Cen merasa mungkin dirinya tidak akan mampu- 66 menghadapi semua pengeroyoknya jika Yang Ren Fang ikut
turun tangan.
Jien Wei Cen berusaha memacu kudanya secepat
mungkin untuk kembali ke Tien Lung Men, tapi sebentar
kemudian ia sudah terbatuk-batuk dan merasakan dadanya
sesak sekali. Tampaknya luka dalamnya cukup parah dan
tidak bisa dipaksakan dengan guncangan kuda yang terlalu
keras. Akhirnya terpaksa Jien Wei Cen memacu kudanya
secepat yang ia bisa saja, meskipun itu berarti ia mungkin
terkejar atau terhadang oleh para prajurit yang sudah
mendapatkan perintah dari Huo Cin atau siapapun juga yang
mengetahui keadaannya yang sedang terluka parah. Satusatunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah mengambil jalan
setapak kecil yang berbeda dengan yang dilaluinya kemarin
sore, meskipun ia yakin semua jalan menuju Tien Lung Men
sudah dijaga oleh barisan tentara kerajaan.
Seakan menjawab apa yang sedang dipikirkannya,
setelah berbelok melewati sebuah bukit kecil, Jien Wei Cen
melihat puluhan prajurit kerajaan tengah berbaris rapat
menghadang jalannya. Panji-panji kerajaan berkibar dengan
gagahnya. Seorang kepala prajurit yang berbadan tinggi
besar tengah duduk sambil minum arak dengan nikmatnya
di sisi kiri jalan. Tampaknya ia sama sekali tidak peduli
dengan keadaan para prajuritnya yang sedang berlelah-lelah
berbaris rapat di tengah jalan.
Jien Wei Cen memperlambat laju kudanya sampai
benar-benar berhenti beberapa tombak dari barisan prajurit- 67 itu. Seorang prajurit mengangkat tangannya sebagai isyarat
agar Jien Wei Cen turun dari kudanya tapi Jien Wei Cen
sama sekali tidak menanggapinya. Keangkuhan Jien Wei
Cen memang sudah terkenal di dunia persilatan, apalagi
sekarang hanya menghadapi sekelompok prajurit kecil,
mana mau ia mengalah. Prajurit yang memberikan isyarat
tangan itu menjadi naik pitam karena merasa dilecehkan.
"Hei, apakah engkau buta?! Tidakkah kau melihat
aku menyuruhmu turun dari kuda? Kami prajurit Tang
agung hendak memeriksa siapapun yang melewati daerah
ini" teriak prajurit itu dengan marah.
"Kau belum cukup layak untuk menyuruhku" jawab
Jien Wei Cen dengan dingin. Ia merasa yakin mampu
mengalahkan puluhan prajurit jaga ini meskipun dengan
tubuh yang terluka sehingga ia merasa tidak perlu menurut.
"Apa?! Kurang ajar!" teriak prajurit yang marah itu
sambil menusukkan tombaknya ke arah Jien Wei Cen.
Tombak itu meluncur deras sekali ke dada Jien Wei
Cen dan tampaknya sudah pasti akan menembusnya dengan
mudah. Tapi tiba-tiba saja dengan gerakan secepat kilat,
tangan Jien Wei Cen sudah menangkap gagang tombak itu
tepat sebelum mata tombak menembus dadanya. Dengan
satu gerakan mendorong ringan, tombak itu balik terdorong
ke arah sang prajurit dengan kuat sekali sehingga gagang
tombaknya menancap ke perut sang prajurit malang itu
sampai tembus ke punggung! Tak ayal lagi prajurit itu- 68 langsung terjerembab ke tanah meregang nyawanya. Para
prajurit lain berteriak kaget dan marah melihat temannya
tewas dan mereka segera mengepung Jien Wei Cen dalam
lingkaran. Sang kepala prajurit yang tadi enak-enakan
minum arak juga segera bangkit dan mendatangi Jien Wei
Cen yang tengah dikepung anak buahnya itu. Kelihatannya
ia benar-benar kaget karena dalam sekali gerakan saja,
seorang prajuritnya sudah tewas di tangan orang setengah
baya yang berkuda ini.
"Semuanya minggir!" teriaknya memberikan perintah
kepada pasukan yang tengah mengepung Jien Wei Cen.
Kepala prajurit itu memperhatikan wajah Jien Wei Cen
dengan seksama. Tampak sekali kewibawaan terpancar dari
wajah Jien Wei Cen, yang meskipun kini terluka namun
masih membuat mereka yang melihatnya menjadi segan.
Tahulah kepala prajurit itu bahwa Jien Wei Cen bukanlah
orang sembarang saja.
"Aku Lin Tung, kepala pasukan kerajaan Tang
memberikan hormat kepada tetua. Jikalau anak buahku tadi
berlaku kurang sopan, mohon kiranya tetua memaafkan.
Kami diperintahkan untuk menjaga jalan ini, siapapun tidak
boleh masuk atau keluar. Karena itu bolehkah aku
mengetahui nama tetua supaya tidak mempersulit kami?"
tanya kepala prajurit tinggi besar bernama Lin Tung itu
sambil menjura.
"Hahahaha, rupanya engkau cukup sopan dan
mengerti sopan santun. Baiklah, aku juga tahu hormat dan- 69 tata krama. Namaku Jien Wei Cen, mohon maaf atas
kesalahpahaman barusan. Aku hanya bertindak membela
diri saja" kata Jien Wei Cen sambil balas menjura.
"Jien Wei Cen? Ketua Tien Lung Men, Jien Wei
Cen?" tanya Lin Tung dengan kaget setengah tidak percaya.
Pantas saja orang tua berkuda ini begitu berwibawa.
"Maafkan aku yang bodoh ini tidak mengenali
gunung Tai di depan mata. Aku sudah lama mengagumi
kehebatan anda, kini memberikan hormat kepada Jien Pangcu (Ketua Jien)" kata Lin Tung sambil buru-buru menjura di
depan Jien Wei Cen. Semua prajurit yang tadinya
mengepung menjadi agak ragu-ragu melihat kepala mereka
begitu menghormat.
"Jien Pang-cu, silakan meneruskan perjalanan.
Pasukan, buka jalan!" teriak Lin Tung memberikan perintah
pada para prajurit tombak untuk membukakan jalan bagi
Jien Wei Cen.
Meskipun agak ragu-ragu, mereka melakukan juga
perintah Lin Tung. Mayat teman mereka yang terkapar di
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah jalan mereka bawa ke pinggir jalan. Penghalang kayu
tombak mereka angkat beramai-ramai dari tengah jalan
sehingga sekarang jalanan menjadi lapang.
"Kepala prajurit Lin, saya mengucapkan terima kasih.
Lain kali jika ada kesempatan baiklah kita minum arak
bersama" kata Jien Wei Cen sambil menjura dari atas
kudanya. Ia sama sekali tidak menyangka akan menerima- 70 sambutan seperti ini. Padahal tadi ia sudah menyiapkan diri
menghadapi kemungkinan terburuk, bertarung dengan
tenaga penghabisan melawan para prajurit kerajaan itu,
ternyata ia malah dipersilakan dengan hormat untuk lewat.
Sungguh suatu keberuntungan yang tidak terduga!
Sambil tidak menurunkan kewaspadaannya karena
takut akan jebakan musuh, Jien Wei Cen melewati para
prajurit dengan sikap berwibawa. Markas besar Tien Lung
Men sudah tinggal kurang dari tiga li kira-kira dan Jien Wei
Cen merasa harus benar-benar waspada di saat seperti ini
karena musuh pasti tidak akan melepaskannya begitu saja.
Apalagi setelah ia mampu mengalahkan Huo Cin, pastilah
musuh akan semakin panik dan kalap hendak
menghancurkan Tien Lung Men.
Setelah berhasil melewati para prajurit itu tanpa
halangan, Jien Wei Cen memacu kudanya secepat yang ia
bisa. Lebih cepat tiba di Tien Lung Men lebih baik karena
keadaannya saat ini tidak memungkinkan ia bertarung.
Namun yang lebih mengkhawatirkannya adalah nasib anak
cucunya, Jien Jing Hui dan Yang Hong. Meskipun Yang
Ren Fang menunjukkan sikap masih berbelas kasih, namun
belum tentu ia tidak akan memakai mereka sebagai sandera
untuk mengancam dirinya. Dalam hati, Jien Wei Cen
mengutuk Yang Ren Fang yang telah berkhianat itu. Karena
terlalu keras berpikir dan emosi, dada Jien Wei Cen kembali
sesak dan luka dalamnya kambuh kembali. Terpaksa ia- 71 memperlambat laju kudanya agar ia bisa memulihkan
napasnya kembali.
Saat itu telinganya yang terlatih mendengar sebuah
desingan senjata rahasia yang dilemparkan oleh seseorang
dengan kekuatan penuh ke arah dirinya. Jien Wei Cen
memiringkan tubuhnya sehingga piau (pisau kecil) rahasia
yang dilemparkan itu hanya menyerempet bajunya saja. Piau
itu terus saja meluncur dan menembus sebuah batang pohon
hingga menancap separuhnya saja! Benar-benar tidak bisa
dipandang remeh kehebatan ilmu sang pembokong.
"Kalian bertiga! Mengapa harus bersembunyi jika
ingin bertarung?!" teriak Jien Wei Cen dengan suara
menggelegar menghina para pembokongnya.
Segera tiga bayangan hitam berkelebat dengan cepat
sekali tiba-tiba sudah berdiri di depan Jien Wei Cen. Kedua
kuda yang dibawa Jien Wei Cen sampai meringkik
ketakutan merasakan hawa membunuh yang luar biasa
ganas dan pekat dari tubuh ketiga orang berbaju hitam dan
bertopeng hitam itu. Jien Wei Cen terpaksa harus
menenangkan kuda-kudanya dulu sebelum ia berhadapan
langsung dengan para pembokongnya.
"Jien Pang-cu, apakah anda sudah tua sehingga
berkuda saja tidak bisa?" ejek salah seorang dari mereka
ditimpali suara tertawa sinis dari dua lainnya.- 72 "Ah tidak, hanya saja mereka tidak suka mencium bau
anjing kerajaan seperti kalian bertiga" kata Jien Wei Cen
balas mengejek.
"Huh!" dengus mereka amat marah diejek anjing oleh
Jien Wei Cen.
"Kau tua bangka! Kepala kasim Huo Cin sudah
memerintahkan kami untuk mengambil kepalamu hari ini,
masih juga engkau berlagak!" teriak salah seorang dari
mereka dengan geram sekali.
"Kepalaku ada di sini, mau ambil ambillah kalau
bisa!" kata Jien Wei Cen santai sambil tersenyum mengejek,
la sama sekali tidak menunjukkan kegentaran sama sekali di
depan ketiga orang itu meskipun keadaan tubuhnya
sekarang tidak layak bertarung. Memang pengalamannya
sebagai petarung kelas atas yang kenyang asam garam
pertarungan benar-benar membuatnya tetap tenang dalam
keadaan apapun.
"Kalau begitu jangan salahkan kami Hei Ying Ping
(Prajurit Bayangan Hitam) tidak berbelas kasihan!" teriak
mereka sambil maju menyerbu. Tiga bayangan segera
menyebar mengepung Jien Wei Cen yang masih duduk di
atas kudanya. Ilmu ketiga Hei Ying Ping itu cukup tinggi
terbukti dari gerakan mereka yang begitu gesit dan
bertenaga. Mungkin jika Jien Wei Cen dalam keadaan sehat,
mereka bertiga bukanlah tandingan sang ketua Partai Naga- 73 Langit itu. Tapi kini Jien Wei Cen tengah terluka parah,
maka keadaan menjadi sangat genting baginya.
Jien Wei Cen bersiap menghadapi serangan dari tiga
jurusan yang datang bersamaan hanya dengan kedua
tangannya saja. Kakinya yang masih terkena racun tidak
dapat bergerak bebas sehingga akan lebih baik jika ia
menggunakan kaki kuda daripada kakinya sendiri.
Bukankah ia digelari sang Tangan Dewa, yang mana kedua
tangannya amatlah hebat baik dalam menyerang maupun
bertahan?
"Plakk!!"
Suara benturan tenaga dalam menggema di dalam
hutan kecil itu ketika Jien Wei Cen menghadang ketiga
penyerangnya yang nyaris bersamaan menyerang. Serangan
pertama itu berhasil dipentalkan Jien Wei Cen meskipun ia
sempat merasakan sesak napas akibat menahan tenaga
dalam lawan. Ketiga Hei Ying Ping pun kaget akan kekuatan
tenaga Jien Wei Cen, yang dalam keadaan terluka saja
mampu mementalkan mereka bertiga sampai tangan mereka
terasa ngilu dan kesemutan. Bagaimana jika Jien Wei Cen
dalam keadaan sehat?
Hei Ying Ping adalah pasukan khusus kerajaan yang
dibentuk oleh Huo Cin untuk melaksanakan banyak rencana
jahat mereka. Mereka disaring dari pasukan kerajaan yang
terbaik dan terkuat dan hanya menurut pada perintah Huo
Cin seorang saja. Tidak heran jika kesetiaan mereka pada- 74 Huo Cin bagaikan pada Kaisar sendiri saja. Satu perintah
harus berhasil dilaksanakan tidak boleh ada kata gagal. Bila
gagal berarti hukuman mati sudah menanti, sehingga mereka
bagaikan kesetanan dan tanpa perasaan dalam menjafankan
tugasnya, tidak terkecuali dalam menghadang Jien Wei Cen
sekarang ini.
Mereka menyerang Jien Wei Cen secara
bergelombang dan terus-menerus sehingga luka dalamnya
kambuh kembali. Kaki Jien Wei Cen yang mati rasa terasa
sakit sekali karena Cing Sa Tu kembali menyebar, juga luka
di bahunya kembali terbuka dan mengeluarkan darah.
Meskipun tidak ada satu pun serangan Hei Ying Ping yang
masuk telak, tapi gelombang serangan itu membuat Jien Wei
Cen semakin lelah dan lemah.
"Ayo kita serang kaki kudanya!" kata seorang Hei
Ying Ping kepada kedua temannya. Tampaknya ia mulai
melihat alasan Jien Wei Cen tidak turun dari kudanya adalah
karena kakinya sedang sakit dan tidak dapat berjalan baik.
Kedua temannya segera mengangguk tanda mengerti.
Mereka bertiga menyebar berbagi tugas, yang dua
menyerang dari atas menyibukkan Jien Wei Cen sedang
yang seorang menyabetkan pedang pendek ke arah kaki
kuda yang ditunggangi Jien Wei Cen.
Kuda malang itu meringkik kesakitan ketika kedua
kaki depannya putus dibabat pedang pendek salah seorang
Hei Ying Ping. Bersamaan dengan itu Jien Wei Cen ikut
pula terjerembab ke tanah karena kudanya terbanting keras.- 75 Belum sempat ia bangkit dan membentuk kuda-kuda, kedua
Hei Ying Ping yang lainnya sudah melayangkan tendangan
ke arah punggungnya yang terbuka sehingga ia terlempar
beberapa langkah jauhnya.
Jien Wei Cen memuntahkan darah segar dari
mulutnya akibat serangan barusan, ia sangat marah karena
merasa dipermalukan juga karena kuda kesayangannya
dilukai dengan sangat keji. Sambil berteriak keras ia
meledakkan tenaganya hingga ke puncak dan tidak
mempedulikan lagi rasa sakit yang terasa sampai ke ubunubun. Hawa tenaga Tien Lung Ta Fa tingkat 36 itu benarbenar luar biasa sehingga sanggup mementalkan ketiga Hei
Ying Ping yang semula bermaksud menyerangnya.
Belum sempat ketiga penyerangnya itu menyentuh
tanah, dada mereka bertiga sudah terhajar telak oleh telapak
Jien Wei Cen hingga remuklah tulang-tulang rusuk mereka.
Tampaknya jurus Fen Lung Ying (Memecah Bayangan
Naga) yang dikerahkan Jien Wei Cen barusan masih terlalu
kuat bagi mereka bertiga. Tubuh Jien Wei Cen yang seakanakan pecah menjadi tiga itu sudah mengirim mereka ke
akhirat bahkan sebelum tubuh mereka jatuh di tanah!
Namun akibat yang harus ditanggung Jien Wei Cen
juga tidak ringan. Ia kembali muntah darah bahkan kali ini
bercampur dengan darah hitam, pertanda lukanya semakin
parah saja. Ia tidak mampu lagi berdiri sehingga
memutuskan untuk duduk bersila saja di bawah sebuah
pohon. Ia benar-benar kepayahan karena mengeluarkan- 76 banyak darah dan keracunan. Sambil menatap sinar matahari
pagi yang menerobos melalui sela-sela dedaunan, Jien Wei
Cen menengadah ke langit sambil mengeluh.
"Ah, hanya sampai sini sajakah nasib sang pendekar
tanpa tanding?"
Setelah selesai berkata-kata. tubuh Jien Wei Cen
merosot dari posisinya bersila dan ambruk ke tanah.- 77 27. Kisah Hidup
Wen Yang mendekati Yang Ren Fang yang masih
berdiri mematung seperti orang linglung itu. Dengan lembut
ditepuk-tepuknya pundak Yang Ren Fang seolah ingin
menyadarkannya dari mimpi buruk yang berkepanjangan.
"Fang-er, bagaimana? Apa yang terjadi di bukit Guan
Hu? Mana pamanmu Huo Cin?" tanya Wen Yang kepada
Yang Ren Fang.
"Aku tidak tahu, mereka masih bertempur ketika
kutinggalkan tadi?" kata Yang Ren Fang dengan nada masih
bingung.
"Mengapa engkau meninggalkan mereka? Bukankah
sudah kukatakan kau harus mendapatkan kepala si tua
bangka Jien itu?" bentak Wen Yang dengan tidak sabaran.
Emosinya yang meledak membual luka di dadanya kambuh
lagi sehingga ia terbatuk-batuk.
"Aku tidak bisa melakukannya. Ayah, bagaimanapun
ia sudah demikian baik kepadaku, aku..."
"Cukup!" sergah Wen Yang sambil mengangkat
tangan memotong kalimat Yang Ren Fang.
"Kau sudah tinggal di bawah ketiak Tien Lung Men
selama sekian tahun ini sehingga lupa apa yang menjadi
cita-cita kita selama ini? Masih ingatkah engkau bahwa
namamu sebenarnya adalah Wen Fang dan bukan Yang Ren- 78 Fang?! Dasar manusia binatang tidak tahu berbudi!" maki
Wen Yang dengan sengit sekali.
Cen Hui yang tengah menyamar sebagai salah
seorang prajurit hanya bisa terbengong-bengong
menyaksikan apa yang terjadi di hadapannya. Dalam
mimpipun ia tidak pernah memikirkan hal seperti ini bakal
terjadi. Yang Ren Fang tuan muda ketiganya yang begitu dia
hormati adalah seorang pengkhianat? Jika ia pulang ke Tien
Lung Men mengabarkan hal ini, pasti tidak ada seorang pun
yang akan mempercayainya.
"Ayah, aku masih ingat cita-cita kita! Aku tidak lupa!
Bahkan aku sempat melukai Jien Wei Cen dengan pisauku.
Aku yakin dengan lukanya itu, paman dan kawan-kawannya
akan dapat mengalahkannya" kata Yang Ren Fang alias
Wen Fang dengan nada bergetar. Tampaknya meskipun ia
mengatakan setuju dengan amanat ayahnya, hati nuraninya
tetap saja merasa bersalah.
"Huh!" dengus Wen Yang dengan kesal. Apalagi ia
melihat Chang Bai dan Pan Chung tengah tersenyumsenyum sinis menyaksikan drama keluarga satu babak ini,
demikian pula para prajurit yang mengepung Wen Fang
menjadi agak bingung apakah ia musuh atau bukan.
"Kalian para prajurit! Sekarang kalian semua bubar
dan kembali ke tempat jaga kalian masing-masing!" teriak
Wen Yang memberi perintah.- 79 Para prajurit itu semua berbaris dengan tertib kembali
ke pos penjagaan masing-masing, termasuk Cen Hui yang
mau tidak mau harus ikut mengundurkan diri. Ia sebenarnya
sudah sangat marah dan bingung, ingin segera mencabut
pedang Pai Fung dan mengamuk habis-habisan, tapi
untunglah akal sehatnya masih jalan sehingga ia
memutuskan untuk mundur dan menyelidiki lebih jauh.
Setelah semua prajurit undur dan keadaan lebih
tenang, Wen Yang segera mengajak Wen Fang masuk ke
dalam kemahnya sendiri. Chang Bai dan Pan Chung
mengikuti dari belakang tanpa dapat dicegah karena mereka
berdalih ingin mengetahui perkembangan pertempuran di
bukit Guan Hu. Sebenarnya dalam hati Wen Yang sangat
jengkel namun ia tidak bisa berbuat apa-apa sehingga
membiarkan saja keduanya ikut padahal dalam hati ia ingin
berdua saja berbicara dengan anaknya itu.
Cen Hui yang setelah berbaris mengikuti rombongan
prajurit kembali ke pos penjagaan masing-masing, segera
menyelinap ke arah kemah utama yang dijaga ketat. Ringan
tubuh Cen Hui terkenal hebat, sehingga hampir tanpa suara
ia bisa mendekat kemah utama itu dari belakang. Ia hampirhampir tidak berani bernapas karena sadar banyak pendekar
tangguh berkumpul di daerah ini. Salah langkah sedikit saja,
ia akan tidak akan bisa kembali ke Tien Lung Men dengan
selamat.
Kemah utama itu cukup besar sekitar lima tombak
lebih panjang tengahnya sehingga Cen Hui aman tidak- 80 terlihat jika berada di belakang kemah. Ia merapatkan
kepalanya ke tenda kemah untuk mendengarkan lebih jelas
pembicaraan yang tengah terjadi di dalam. Hatinya semakin
berdebar kencang ketika mendengarkan suara wanita yang
kedengarannya sedang marah dan kebingungan, suara Jien
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jing Hui!
"Suamiku, mengapa engkau bersama penjahat ini?"
tanya Jien Jing Hui dengan nada bergetar. Ia merasa heran
dan bingung melihat suaminya datang bersama dengan Wen
Yang tanpa paksaan. Apakah suaminya menurut kepada
lawan karena ia sedang disandera? Namun wajah suaminya
yang terlihat kuyu dan sayu membuat perasaan wanitanya
menangkap ada sesuatu yang lain dari keadaan ini.
"Eh Fang-er, mengapa engkau diam saja? Haruskah
aku yang menjelaskannya kepada istrimu?" tanya Wen
Yang beberapa saat kemudian setelah melihat Wen Fang
hanya berdiri diam membisu saja.
Jien Jing Hui semakin bingung melihat suaminya
disebut Fang-er oleh Wen Yang, yang merupakan panggilan
untuk anak. la berusaha bangkit berdiri meskipun susah
payah karena kedua tangan dan kakinya diikat erat oleh
rantai besi. Setelah berhasil menegakkan dirinya, ia
menyeret tubuhnya untuk mendekati Yang Ren Fang alias
Wen Fang sampai akhirnya ia bisa berdiri berhadapan muka
dengan suaminya itu. Ia menatap wajah suaminya itu lekatlekat tapi suaminya malah menghindari tatapan matanya- 81 sehingga Jien Jing Hui menjadi semakin bingung dan
penasaran.
"Suamiku mengapa engkau diam saja? Apa yang
dimaksudkan oleh penjahat itu dengan penjelasan?" tanya
Jien Jing Hui lagi, kali ini air matanya sudah hampir menetes
dari matanya. Selama diculik ia sudah berusaha tegar karena
tidak ingin membuat Yang Hong takut, tapi kini setelah
bertemu suaminya sendiri, ia ingin menumpahkan segala
ketakutan dan kecemasannya kepada suaminya namun
malah kebingungan yang kini ditemuinya.
"Suamiku, mengapa engkau diam saja!" teriak Jien
Jing Hui kali tidak sabar lagi menunggu jawaban suaminya.
"Wah, wah masalah keluarga terpaksa kita tidak ikut
campur" ejek Pan Chung sambil tersenyum sinis melihat
Jien Jing Hui mulai menangis. Tapi meskipun berkata tidak
ikut campur ia dan Chang Bai tetap saja tidak keluar kemah,
benar-benar menjemukan!
"Baiklah Fang-er, tampaknya engkau terlalu takut
kepada istrimu ini sampai-sampai menjadi bisu. Eh,
menantuku tidak seharusnya engkau memanggil mertuamu
ini penjahat" kata Wen Yang berusaha memecahkan
kebekuan, la sebenarnya sudah gemas sekali ingin mengusir
Chang Bai dan Pan Chung keluar, tapi apa daya ia masih
membutuhkan bantuan mereka berdua. Lagipula ia sekarang
sedang terluka sehingga bagaikan macan tanpa gigi saja
layaknya.- 82 "Apa maksudmu memanggilku menantumu? Aku
tidak mempunyai mertua penjahat keji seperti dirimu!"
bentak Jien Jing Hui marah sekali.
"Eh, jika engkau masih berkeras baiklah kuceritakan
saja semuanya supaya engkau punya rasa hormat kepada
yang lebih tua" kata Wen Yang tidak sabaran. Jika saja ia
tidak terluka mungkin Jien Jing Hui sudah ditamparnya
karena berkali-kali memanggilnya penjahat. Sekarang ia
hanya mendorongnya hingga Jien Jing Hui kembali
terduduk di kursinya semula.
"Nah, gadis busuk sekarang dengarkan baik-baik apa
yang akan kuceritakan ini. setelah itu kau boleh menangis
meratapi nasibmu" kata Wen Yang sambil menyeringai sinis
menyeramkan sebelum bercerita.
Sekitar dua puluh lima tahun yang lalu, sebelum Wen
Yang menjadi seorang biksu di Shaolin, ia sempat menjalin
hubungan gelap dengan seorang gadis desa di dekat wilayah
Yan Ren. Hubungan gelap itu menghasilkan seorang anak
laki-laki yaitu Wen Fang. Saat ibu Wen Fang sedang hamil
tua, Wen Yang memutuskan untuk menjadi biksu di kuil
Shaolin demi mendapatkan rahasia ilmu-ilmu sakti biara
Shaolin dan meninggalkan mereka ibu-anak di desa asalnya.
Beberapa tahun kemudian, setelah Wen Yang
berkhianat dari Shaolin dan melarikan kitab silat jurus Lima
Hewan, ia kembali ke wilayah Yan Ren untuk menjenguk
Wen Fang dan ibunya. Ternyata ibu Wen Fang telah- 83 menikah lagi dengan seorang petani sederhana yang baik
hati, yang merasa kasihan melihat ibu-anak itu terlunta-lunta
sepeninggal Wen Yang ke kuil Shaolin.
Dasar berhati iblis, Wen Yang yang dibakar api
cemburu karena merasa dikhianati ibu Wen Fang, langsung
turun tangan membunuh ibu dan ayah tiri Wen Fang dengan
tangannya sendiri, termasuk adik tiri Wen Fang yang masih
kecil, hasil pernikahan ibunya dengan sang petani. Benarbenar tindakan kejam dan tidak berperasaan!
Wen Fang kemudian dibawa pergi oleh ayahnya
melanglang ke daerah kotaraja Chang An, tempat pamannya
Huo Cin menjadi seorang kasim di istana. Mereka berdua
tinggal di pinggiran kotaraja dan Wen Fang kecil ikut hidup
bersama ayahnya sebagai perampok dan pemerkosa keji
sehingga mau tidak mau ia ikut terkena pengaruh buruk
ayahnya itu.
Wen Yang sendiri tidak mengajarkan ilmu silat
kepada anaknya karena merasa akan lebih baik demikian
agar Wen Fang tidak dicurigai orang. Jurus Shaolin amat
terkenal dan hebat, sehingga pasti akan menimbulkan
kecurigaan pada mereka yang melihatnya. Wen Fang sendiri
menghabiskan masa mudanya dengan berfoya-foya di
banyak rumah perjudian dan pelacuran, mengakibatkan
dirinya menjadi orang yang mau melakukan apapun demi
uang dan kekayaan.- 84 Ketika Huo Cin kembali dengan kekalahan telak dari
Tien Lung Men, maka ia dan Wen Yang mulai
merencanakan siasat keji untuk menghancurkan Tien Lung
Men dari dalam karena menyadari kehebatan Jien Wei Cen
tak mungkin bisa dihadapi dengan kekerasan biasa. Maka
mulailah mereka memata-matai setiap perkembangan yang
terjadi di Tien Lung Men melalui para cecunguk Ceng Lu
Hui (Perkumpulan Jalan Kebenaran) pimpinan Wen Yang.
Kesempatan bagus itupun akhirnya tiba ketika terjadi
perselisihan antara Tie Tau Hui (Partai Golok Besi) dengan
Cen Hui, sang Ketua Timur Tien Lung Men. Pertempuran
antara mereka dengan Tie Tau Hui yang kemudian ditengahi
oleh Tien Jing Fung dan Cen Pai Jao itu berhasil
dimanfaatkan oleh Wen Yang dengan baik sekali.
Rombongan Cen Hui yang pulang dengan kekalahan telak
disergap tiba-tiba di tengah jalan sehingga tidak berdaya,
bahkan Wang Ding dan Cen Hui sendiri nyaris gugur saat
itu. Dengan cerdik sekali, Wen Yang dan Huo Cin
menyiapkan sebuah rencana untuk menyusupkan Wen Fang
ke dalam tubuh Tien Lung Men. Dengan menyamar sebagai
seorang anak yatim sebuah keluarga rakyat jelata, ia berhasil
menarik simpati Cen Hui dan Jien Jing Hui. Seorang wanita
tua yang dibayar untuk berperan sebagai ibunya, bahkan
dikorbankan tanpa sepengetahuan wanita malang itu, supaya
Wen Fang yang berperan sebagai Yang Ren Fang itu- 85 kelihatan lebih memelas lagi karena sudah tidak mempunyai
keluarga sama sekali.
Siasat sandiwara ini berhasil baik dan Wen Fang pun
diajak kembali ke Tien Lung Men. Di sana ia berlatih dan
belajar giat segala hal yang diajarkan kepadanya, baik ilmu
sastra maupun ilmu silat. Wen Fang yang mewarisi
kecerdasan ayahnya, dapat dengan mudah memahami dan
menyerap ilmu yang diajarkan kepadanya sehingga dengan
cepat ia naik sebagai salah seorang pengikut Tien Lung Men
yang paling menonjol. Kedekatannya dengan putri ketua
Tien Lung Men juga berhasil ia manfaatkan dengan baik.
Jien Jing Hui yang masih lugu dan polos itu mana mungkin
menolak ketampanan Wen Fang, ditambah lagi pengalaman
Wen Fang yang segudang dalam merayu wanita, maka tidak
lama kemudian ia sudah menjadi seorang menantu keluarga
Jien yang terhormat.
Rencana bagian pertama sudah berhasil, maka harus
diteruskan dengan rencana selanjutnya. Jien Wei Cen
mempunyai dua orang anak laki-laki yang sebenarnya samasama tidak becus dan tinggi hati. Jien Ming Ti dan Jien Ming
Wu masing-masing mempunyai kelemahan yang mendasar
yang dapat dimanfaatkan siapapun yang mampu mendekati
mereka. Tidak heran jika Wen Fang mudah saja
menjerumuskan Jien Ming Wu ke dalam lembah nista
dengan memberikan kemudahan kepadanya untuk
mendatangi banyak tempat pelacuran setiap hari. Bahkan
Wen Fang dengan keji sekali memberikan seorang pelacur- 86 dengan penyakit menular kepada Jien Ming Wu pada saat ia
sedang mabuk berat. Akibatnya penyakit itu menular pada
istri Jien Ming Wu dan anak yang dilahirkannya menjadi
cacat mental, yang kemudian dinamai Jien Feng sedangkan
istri Jien Ming Wu sendiri meninggal dalam proses
persalinan. Jien Ming Ti sendiri terlibat dalam perjudian
kelas berat, yang selalu menghabiskan banyak uang dan
waktu untuk berfoya-foya. Akibatnya ilmu Tien Lung Ta Fa
yang diwariskan kepadanya tidak dapat ia serap dengan
baik. Harta kekayaan Tien Lung Men juga banyak habis
untuk membiayai gaya hidupnya yang mewah dan
menghambur-hamburkan uang itu.
Rencana Wen Fang tampaknya berjalan dengan baik
sekali. Bahkan Jien Wei Cen pun akhirnya menurunkan Tien
Lung Ta Fa kepadanya setelah melihat kemalasan anak
sulungnya dalam berlatih. Jien Wei Cen lebih
mengharapkan Wen Fang sebagai penerus dirinya menjadi
ketua Tien Lung Men. Apalagi setelah lahir Yang Hong
sebagai cucu kesayangannya, Jien Wei Cen semakin mantap
dengan keputusannya itu.
Dalam diri Wen Fang sendiri, lama-lama terjadi
konflik batin yang kuat antara meneruskan rencana ayahnya
semula dengan benar-benar menjadi pengikut Jien Wei Cen
yang setia. Kehidupannya di Tien Lung Men boleh
dikatakan sangat enak dan dihormati, tapi yang paling
penting adalah kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya
yang telah membuat hangat hatinya yang selama ini beku.- 87 Sejak ia ikut ayahnya pada usia yang masih kecil, Wen Fang
selalu hidup dalam keadaan yang penuh kekerasan dan foyafoya. Nyawa tidak berharga, yang terpenting adalah harta
dan kekuasaan. Cinta tidak dikenal, yang ada hanya nafsu
saja. Tapi kini setelah ia berkeluarga dan tinggal dalam
keluarga yang hangat, saling mencintai dan menghargai
maka tahulah Wen Fang bahwa apa yang dilakukannya
selama ini adalah salah. Terlebih lagi setelah kelahiran Yang
Hong yang amat menggugah hati nuraninya sebagai seorang
ayah, Wen Fang benar-benar berada di persimpangan jalan
antara terus menghancurkan Tien Lung Men atau menjadi
ketua Tien Lung Men selanjutnya. Ia ingin menjadi orang
baik, tapi semua perbuatannya di masa lalu begitu buruk dan
membekas sehingga pastilah tidak akan semudah
membalikkan telapak tangan jika ia ingin menjadi orang
baik.
Apalagi kemudian muncul perintah rahasia agar ia
menyelamatkan Han Cia Pao, seorang putra keluarga besar
Jenderal Han yang sekarang menjadi buronan kerajaan.
Tujuannya sudah jelas yaitu agar membuka jalan perang
terbuka untuk menghancurkan Tien Lung Men. Wen Fang
sebenarnya berusaha membantah, tapi ayahnya malah
mengancam akan membeberkan semua kebusukannya
kepada partai Tien Lung Men jika ia berani menentang. Wen
Fang akhirnya menyetujui siasat ayah dan pamannya ini. Ia
datang menolong Han Cia Pao di saat yang tepat dan
membawanya ke markas Tien Lung Men dengan segudang
alasan.- 88 Wang Ding, sang Ketua Selatan yang sejak awal
sudah mencurigai Wen Fang ternyata melihat gelagat yang
tidak baik dalam rencana menyelamatkan Han Cia Pao. Ia
khawatir sekali jika akhirnya Tien Lung Men harus bentrok
dengan kerajaan Tang Agung. Meskipun pengikut Tien
Lung Men banyak dan punya ilmu tinggi, namun jika harus
menghadapi pasukan kerajaan yang jumlahnya ratusan ribu,
pastilah akan hancur lebur. Wang Ding memaksa agar Han
Cia Pao pergi dari Tien Lung Men, daripada menimbulkan
kekacauan besar pada akhirnya.
Sayang sekali, sikap keras Wang Ding ini berujung
pada kematiannya. Huo Cin yang mengetahui penentangan
Wang Ding ini segera merancang siasat untuk
menghabisinya. Huo Cin sengaja memilih malam di mana
Wang Ding memimpin perondaan di markas Tien Lung Men
ketika menyuruh Fang Yung Li menculik Jien Jing Hui dan
Yang Hong. Sedangkan Wen Fang sendiri berpura-pura
mengejar penyusup berbaju hitam yang tidak lain adalah
ayahnya sendiri Wen Yang sehingga ia bisa bebas dari
segala tuduhan dan kewajiban.
Demikianlah siasat licik ini berjalan mulus. Wang
Ding sang Kera Emas akhirnya tewas di tangan Setan Darah
Fang Yung Li dan penculikan Jien Jing Hui dan Yang Hong
pun berjalan baik. Bahkan pertempuran di bukit Guan Hu
juga sudah diperkirakan oleh Huo Cin bahwa Wen Fang dan
bukan Jien Ming Ti yang akan menemani Jien Wei Cen
bertempur. Seorang pendekar tanpa tanding seperti Jien Wei- 89 Cen juga tidak akan berdaya melawan suatu siasat yang
dirancang matang seperti ini. Hanya saja Huo Cin dan Wen
Yang tidak memperkirakan keperkasaan Jien Wei Cen yang
amat luar biasa sehingga meskipun dibokong oleh Wen
Fang, ia masih dapat mengatasi keempat jagoan hebat yang
mengeroyoknya.
Setelah Wen Yang selesai bercerita, wajah Jien Jing
Hui terlihat pucat pasi seperti mayat. Air mata mengalir tak
henti-hentinya dari kedua matanya dan bibirnya bergetar
hebat. Pukulan batin tampaknya terlalu keras baginya.
Suaminya yang selama ini ia cintai dan kagumi ternyata
adalah seorang pengkhianat keji dan penghancur
keluarganya, siapakah yang tidak akan terpukul oleh
kenyataan ini? Sementara Wen Fang sendiri semakin
menunduk dan tidak berani menatap wajah istrinya.
Tampaknya ia merasa bersalah sekali atas pengkhianatan
yang ia lakukan selama ini.
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi, apakah yang terjadi dengan ayahku?" tanya
Jien Jing Hui dengan nada bergetar penuh kebencian kepada
Wen Yang.
"Aku tidak tahu. Bocah busuk tidak berguna ini tidak
berkata-kata sejak datang kemari, mungkin ia sudah bisu
karena dihajar oleh si tua Jien" jawab Wen Yang dengan
sebal sambil menatap Wen Fang, sama sekali tidak
memperhatikan perasaan Jien Jing Hui yang sedang marah
sekali.- 90 "Benar apa yang dikatakan pendekar Wen,
sebenarnya apa yang terjadi di bukit Guan Hu? Siapakah
yang menang dalam pertarungan dan mengapa engkau
pulang sendirian?" tanya Chang Bai yang sedari tadi terdiam
saja.
"Eh, pendekar Wen, apakah anakmu ini sudah bisu
tuli sekarang?" tanya Pan Chung dengan kasar sehingga
membuat Wen Yang tersinggung dan melotot ke arahnya.
Ayah mana yang tidak tersinggung anaknya dikata-katai
demikian. Pan Chung pun akhirnya hanya bisa diam saja
tidak melanjutkan kata-katanya.
"Fang-er, jika engkau masih tidak mau meng..."
"Bukankah sudah kukatakan tadi aku pergi setelah
melukainya?!" teriak Wen Fang tiba-tiba sehingga
mengagetkan semua yang hadir. Rupanya selama ini ia
menahan perasaan yang bergejolak karena telah melukai
Jien Wei Cen dan berkhianat, hanya saja tidak ada yang
menyadarinya.
"Kau?! Kau melukai ayah? Dasar engkau binatang tak
tahu balas budi" jerit Jien Jing Hui sambil bangkit menubruk
Wen Fang sekuat tenaganya. Wen Fang sendiri tidak
melawan atau menahan istrinya yang menjerit histeris dan
menubruknya dengan kalap sehingga hampir saja jatuh
terjengkang.
"Diam kau!" bentak Wen Yang sambil menotok jalan
darah utama Jien Jing Hui sehingga lemas dan jatuh kembali- 91 ke kursinya. Wen Yang sendiri merasakan pergelangan
tangannya yang patah karena pertempuran dengan Lu Xun
Yi terasa amat sakit karena barusan memaksakan diri
menotok Jien Jing Hui. Dalam hati ia memaki-maki Jien
Jing Hui dan mungkin sudah menamparnya jika tidak ada
Chang Bai dan Pan Chung di sana.
"Nah, sekarang ia sudah diam. Fang-er, coba katakan
lebih jelas lagi apa yang terjadi. Sampai sekarang pamanmu
dan ketiga pendekar lainnya belum kembali, kita akan
mengambil langkah selanjutnya jika sudah tahu apa yang
terjadi" kata Wen Yang mencoba bersabar mencari tahu apa
yang terjadi di bukit Guan Hu.
"Aku... aku melukai Jien Pang-cu eh Jien Wei Cen
dengan pisau pada kedua bahunya. Setelah itu aku pergi dan
tidak tahu lagi apa yang terjadi" kata Wen Fang pelan sekali
sehingga hampir tidak terdengar.
"Apakah engkau menaruh racun pada pisaumu?"
tanya Wen Yang lagi dengan tidak sabar.
"Ti... tidak, tapi ia sudah terkena Racun Pasir Emas
pada kakinya" jawab Wen Fang dengan masih tetap lirih.
"Bodoh! Mengapa engkau tidak menaruh racun pada
pisaumu?! Jika engkau taruh racun bukankah..."
"Yang Ren Fang! Engkau anjing biadab!!!"
Tampaknya belum sempat en Yang menyelesaikan
kalimatnya memarahi Wen Fang, dari kemah bagian- 92 belakang sudah menerobos masuk Cen Hui yang tampaknya
sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya. Cerita tentang
pengkhianatan Wen Fang terhadap Tien Lung Men saja
sudah membuat darah Cen Hui meledak sampai ke ubunubun, apalagi kini ditambah cerita bahwa Wen Fang telah
melukai Jien Wei Cen dengan licik sekali. Cen Hui yang
biasanya penuh perhitungan kini kehilangan kendali dan
berniat menyabung nyawa dengan Wen Fang. Mati tidak
apa-apa asal bisa membawa pengkhianat Yang Ren Fang
bersama ke neraka, demikian pikir Cen Hui yang sudah
kalap.
Tidak heran pedang Angin Putih menyerang dengan
ganas sekali. Sekali tebas, kain kemah sudah terpisah jadi
dua. Cen Hui yang sudah terkenal dengan ringan tubuhnya
yang hebat, bagaikan bayangan berkelebat menyerang Wen
Yang dan Wen Fang dengan tusukan mematikan. Untunglah
Wen Yang bukan pendekar sembarangan sehingga mampu
menghindari tusukan maut jurus pedang Gagak Putih milik
Cen Hui. Sedangkan Wen Fang yang sudah kehilangan
semangat hidupnya tidak menghindari serangan sama sekali.
Tampaknya ia sudah siap mati pada saat itu sehingga
serangan Cen Hui sama sekali tidak ditangkisnya.
Beruntunglah Chang Bai segera bertindak cepat
menyelamatkan Wen Fang. Dengan jurus Liu Suang Hong
Chuen (Enam Pasang Tinju Merah) miliknya yang terkenal,
ia menghantam pedang Angin Putih yang saat itu sudah
dekat sekali dengan dada Wen Fang, sehingga mental dan- 93 arahnya melenceng. Tapi Cen Hui yang sudah nekad
bukannya mundur malah langsung memutar pedangnya bak
baling-baling memanfaatkan tenaga tinju Chang Bai dan
kembali menyerang Wen Fang dengan ganas!
Chang Bai berteriak kaget melihat kenekadan Cen
Hui tapi ia sudah salah langkah sehingga tidak mampu lagi
menghadang. Pedang Angin Putih berdesing nyaring, kali
ini membabat deras dari atas kepala Wen Fang, bersiap
menebasnya menjadi dua bagian. Wen Yang mengabaikan
rasa sakit dan luka dalamnya, memaksakan diri terbang
melayang menghadang Cen Hui dengan jurus Hei Pao Sang
San (Macan Tutul Hitam Menaiki Gunung). Jurus ini tidak
hanya lincah tapi juga amat bertenaga. Kedua kaki Wen
Yang bersamaan menendang ke arah dada Cen Hui sambil
terbang, benar-benar jurus yang indah dan mematikan!
Jika saja Wen Yang tidak terluka. mungkin Cen Hui
akan kerepotan menghadapi serangannya. Tapi kini gerakan
Wen Yang jauh lebih lambat dan tenaganya jauh berkurang
dari biasanya sehingga jurus Hei Pao Sang San bisa terbaca
oleh Cen Hui. Sambil memutar tubuhnya tetap menyerang
kepala Wen Fang, telapak tangannya yang satu menghadang
tendangan ganda Wen Fang.
"Plakkk!"
Suara benturan telapak melawan tendangan
menggelegar keras, bahkan sampai mengguncangkan meja
yang terletak di tengah kemah. Wen Yang terlempar keras- 94 ke arah Chang Bai sehingga keduanya sama-sama jatuh
bergulingan di lantai kemah. Tapi hadangan Wen Yang
barusan berhasil menyelamatkan selembar nyawa Wen Fang
karena arah tebasan pedang Angin Putih sedikit bergeser dan
yang tersabet hanyalah bahu kirinya saja. Cen Hui sendiri
terdesak mundur beberapa langkah akibat benturan tenaga
barusan dan harus mengatur tenaganya kembali sebelum
menyerang.
"Prajurit! Ada penyusup! Ada penyusup!" teriak Pan
Chung sambil lari keluar kemah, la memang terkenal
pengecut dan bermulut besar, apalagi pada saat tubuhnya
sedang terluka seperti sekarang ini, semakin terlihat jiwa
pengecutnya.
Ratusan prajurit bersenjata lengkap segera
mengepung kemah utama itu dan sebagian lagi masuk
sambil menghunus golok. Mereka menyerang Cen Hui
dengan bersama-sama namun tetap saja bukan tandingan
pedang Angin Putih yang terbuat dari baja pilihan ditambah
tenaga dalam Cen Hui yang kuat. Sekali tebas saja, beberapa
golok prajurit langsung putus dan hancur berkeping-keping
bersama pemiliknya!
Suasana hiruk pikuk dan kacau segera melanda
kemah utama. Puluhan pengikut Ceng Lu Hui (Perkumpulan
Jalan Kebenaran) dan murid Hai Sa Bai (partai Pasir Laut)
serta Fung San (Gunung Angin) segera menerobos masuk
kemah mencoba menolong guru dan pimpinan mereka.
Kemah utama yang sebenarnya cukup besar itu kini penuh- 95 sesak dengan prajurit dan para pengikut partai yang saling
berdesakan. Teriakan kesakitan dan jerit kematian
memenuhi udara ketika Cen Hui terus mengamuk dan
membabat barisan prajurit kerajaan. Wen Yang, Wen Fang
dan Chang Bai sendiri segera dibawa pergi oleh para
pengikut dan murid partai mereka ke tempat yang lebih
aman menjauhi medan pertempuran. Pan Chung sendiri
sudah melarikan diri terlebih dulu tidak tampak batang
hidungnya lagi.
Para prajurit yang mengepung Cen Hui kini agak
gentar setelah melihat begitu banyak teman mereka yang
mati mengenaskan oleh ganasnya pedang Angin Putih.
Mereka hanya mengepung dengan rapat namun tidak berani
maju lagi. Cen Hui sendiri setelah melampiaskan
kemarahannya kini agak tenang sehingga bisa berpikir lebih
jernih. Ia segera menebaskan pedangnya untuk memutuskan
rantai yang mengikat Jien Jing Hui dan membebaskan
totokan jalan darahnya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Cen Hui sambil
membantu Jien Jing Hui bangkit berdiri.
"Aku baik-baik saja paman Cen. Tapi Yang Hong
masih ada dalam cengkeraman mereka" jawab Jien Jing Hui.
"Kau ambil pedang ini" kata Cen Hui sambil
melempar sebilah pedang milik prajurit yang sudah tewas
kepada Jien Jing Hui.- 96 Jien Jing Hui segera mengerti maksud Cen Hui dan
menyambut pedang itu. Ia segera menerobos barisan prajurit
ke arah kemah sebelah tempat Yang Hong dengan garang.
Pedangnya berkelebat cepat menyambar bagaikan dewa
maut. Jurus Tien Lung Cien (Pedang Naga Langit)
dimainkan dengan telengas tanpa ampun sama sekali. Para
prajurit Tang dan pengikut Ceng Lu Hui berguguran
bagaikan daun tertiup angin. Jien Jing Hui menerobos
masuk ke dalam kemah tempat Yang Hong ditawan. Dua
orang penjaga belum sempat menghunus goloknya, sudah
roboh meregang nyawa disabet kilatan pedang Jien Jing Hui.
"Ibu!" teriak Yang Hong yang masih diikat erat
dengan tali.
Dengan satu tebasan kilat, tali yang mengikat tubuh
Yang Hong sudah putus oleh pedang Jien Jing Hui. Ia segera
memeluk anaknya itu dengan penuh kasih sayang. Yang
Hong pun tidak kalah girang memeluk ibunya.
"Hong-er, mari kita segera tinggalkan tempat ini"
kata Jien Jing Hui setelah ia berhasil mengatasi perasaan
harunya. Ia sadar mereka masih berada dalam bahaya besar
berada di sarang musuh dan harus secepatnya meninggalkan
daerah itu kembali ke Tien Lung Men.
Sambil menggandeng tangan Yang Hong, Jien Jing
Hui menerobos keluar dari belakang kemah, la berharap
dapat lolos dari kepungan karena menyangka pasti jalan
masuk pintu kemah sudah dijaga ketat sekali tapi ternyata- 97 semua prajurit kerajaan dan pengikut Ceng Lu Hui sudah
mengepung rapat kemah dalam formasi lingkaran sehingga
percuma saja Jien Jing Hui menerobos belakang kemah. Wjj
Di tempat lain yang tidak jauh dari sana, Cen Hui
yang sudah melepas baju prajuritnya kini bertempur matimatian melawan ratusan prajurit bersenjata golok dan
tombak. Jubah sutranya yang semula berwarna putih kini
sudah berubah warna menjadi merah darah akibat cipratan
darah para prajurit. Cen Hui sendiri tampaknya masih terlalu
tangguh untuk dilukai prajurit biasa meskipun mereka main
keroyok.
"Paman Cen! Aku sudah berhasil menolong Yang
Hong! Mari kita terobos keluar!" teriak Jien Jing Hui kepada
Cen Hui.
"Baik!" jawab Cen Hui. Apa yang diusulkan Jien Jing
Hui memang benar karena lebih kuat jika mereka bersatu
menerobos kepungan daripada sendiri-sendiri. Mereka
berdua segera merapatkan diri menghadapi kepungan para
prajurit dengan Yang Hong diapit di tengah-tengah.
Suasana markas prajurit Tang menjadi berubah
terang-benderang bagaikan siang hari karena ratusan obor
yang dinyalakan bersama-sama. Teriakan perang
membahana di seluruh perkemahan dan bumi terasa
berguncang oleh derap langkah ribuan prajurit. Jien Jing Hui
dan Cen Hui dapat merasakan mereka harus bertempur
habis-habisan jika ingin keluar dari kepungan lawan.- 98 "Hong-er, apakah engkau takut?" tanya Jien Jing Hui
kepada anaknya.
"Tidak, selama bersama ibu aku tidak takut" jawab
Yang Hong dengan mantap sambil memegang lengan
ibunya.
"Baiklah hari ini aku akan bertaruh nyawa, paman
Cen maafkan aku telah melibatkanmu dalam hal ini" kata
Jien Jing Hui sambil menghunus pedangnya yang
berlumuran darah.
"Tidak apa-apa, aku malah merasa terhormat bisa
bertempur membasmi pengkhianat bersama nona ketiga"
jawab Cen Hui tidak kalah gagah.
"Baiklah paman kita terobos keluar. Yang Hong
dekatlah dengan ibu" kata Jien Jing Hui sambil mulai maju
menerjang barisan prajurit yang telah bersiaga penuh.
"Aku maju duluan" kata Cen Hui sambil terbang
melayang dengan ringan sekali di atas kepala para prajurit.
Barisan prajurit yang rapat sekali itu langsung kacau
balau seperti diterjang air bah yang tak terbendung. Cen Hui
dan Jien Jing Hui benar-benar mengamuk bagaikan harimau
terluka. Pedang mereka sama sekali tidak berbelas kasih,
menebas ke atas bawah menusuk kiri kanan. Prajurit yang
tidak tewas pun pasti terluka parah dengan tangan atau kaki
putus. Bau amis darah memenuhi udara malam itu, benarbenar membuat mual mereka yang menghirupnya. Jerit- 99 kesakitan dan teriakan minta tolong prajurit yang meregang
nyawa membubung tinggi ke udara.
Yang Hong menutup kedua matanya erat-erat dan
berpegangan pada baju ibunya dengan tidak kalah eratnya.
Meskipun sejak usia sangat muda sudah dilatih silat oleh
keluarganya tapi ia belum pernah benar-benar berada dalam
situasi pertempuran semacam ini. Ia merasa takut sekali
melihat cipratan darah yang muncrat ke mana-mana. Jika
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja kedua tangannya bebas tidak berpegangan pada ibunya
pastilah ia sudah menutup kedua telinganya rapat-rapat agar
tidak mendengar jeritan kematian para prajurit yang
meregang nyawa. Situasi pertempuran memang amat
mengerikan jika dialami sendiri, lain sekali bila hanya
melihatnya dari jauh saja.
Setelah mengamuk cukup lama, tenaga Jien Jing Hui
dan Cen Hui sudah amat jauh berkurang tapi jumlah pasukan
yang dihadapi seakan tidak berkurang sama sekali malah
semakin banyak. Pakaian mereka sudah basah oleh keringat
dan darah, baik darah para prajurit maupun darah mereka
sendiri. Meskipun hanya luka luar tapi keroyokan para
prajurit mampu juga akhirnya melukai mereka berdua,
terutama Jien Jing Hui yang masih harus melindungi Yang
Hong di sisinya. Apalagi pedang yang dipegangnya bukan
pedang pusaka sehingga kini semakin tumpul dan mulai
tidak utuh lagi setelah berbenturan ratusan kali dengan
senjata para prajurit.- 100 "Hentikan!" teriak seseorang dengan suara sangat
berwibawa dan tenaga dalam yang dahsyat sehingga
menggetarkan udara dan membuat semua yang bertempur
menghentikan serangannya. Suara itu berasal dari seorang
pria setengah baya yang berpakaian sutra halus berwarna
biru. Wajahnya merah merona menampakkan wibawa
seorang bangsawan. Matanya sipit dan alisnya tebal dengan
dahi menonjol. Rambutnya yang sebagian sudah memutih
diikat dengan tusuk konde emas berukir naga. Di
pinggangnya tersandang golok lebar juga berhiaskan naga.
Ia adalah Lung Wang Tao Feng Ming (Golok Raja Naga
Feng Ming).
Semua prajurit memberikan jalan bagi Feng Ming
untuk dapat maju ke depan berhadapan dengan Jien Jing Hui
dan Cen Hui. Bahkan Yang Hong yang sedari tadi menutup
matanya rapat-rapat kini sudah berani membuka matanya
karena suasana medan pertempuran yang sunyi senyap.
Wibawa Feng Ming sebagai keluarga dekat kaisar memang
amat terasa, apalagi reputasinya selama ini sebagai salah
satu San Ta Wang Pao (Tiga Besar Pengawal Kerajaan)
sudah tidak diragukan lagi, membuat para prajurit semakin
menghormat kepadanya.
'"Cen Ta-sia (Pendekar Cen) bagaimana kabarmu?
Lama sekali kita sudah tidak berjumpa" sapa Feng Ming
sambil menjura dengan hormat. Sikap dan tata kramanya
memang amat halus karena ia dibesarkan di dalam
lingkungan kerajaan sejak kecil.- 101 "Aku baik-baik saja. Terima kasih atas kepedulian
Feng Ta-sia" jawab Cen Hui sambil balas menjura dengan
hormat pula.
"Aku melihat Cen Ta-sia hari ini bertindak tanpa
belas kasihan bahkan membunuh puluhan prajurit Tang
Agung. Aku yang tidak mengerti ini mohon penjelasan" kata
Feng Ming dengan datar namun berwibawa dan bernada
menekan.
"Maafkan aku jika menyinggung, tapi kami tidak ada
pilihan lain berbuat demikian. Aku harus membawa nona
Jien kembali ke markas Tien Lung Men dengan selamat"
kata Cen Hui tegas. Ia menatap lekat-lekat mata Feng Ming,
yang juga balas melihat menatap dengan tidak kalah tajam.
"Paman Cen, untuk apa berbalas sapa dengannya.
Langsung saja kita terobos keluar!" kata Jien Jing Hui
dengan tidak sabaran. Sikap nona besarnya kembali muncul
di saat-saat seperti ini.
"Kita harus bersabar, Lung Wang Tao Feng Ming
bukanlah sekedar nama besar kosong" jawab Cen Hui
sambil menggelengkan kepalanya dengan pelan. Ia
mempunyai pengalaman jauh lebih banyak dari Jien Jing
Hui dalam dunia persilatan dan ia sadar benar akan
kehebatan ilmu golok Feng Ming. Salah perhitungan dalam
bertindak akan membawa kerugian besar.
"Wah, wah ternyata memang harimau tidak
melahirkan anak kucing. Sifat nona Jien ini mirip sekali- 102 dengan ayahandanya. Keras dan tidak menganggap orang
lain" sindir Feng Ming sambil memandang Jien Jing l lui.
"Jika ayahku ada di sini sekarang, apakah engkau
masih bisa berlagak '?" sergah Jien Jing Hui dengan marah.
Darah mudanya masih menggelegak dan susah
dikendalikan, berlainan dengan Cen Hui yang sudah biasa
menghadapi sindiran dan ancaman pihak lawan.
"Feng Ta-sia, maafkan kelancangan nona Jien. Ia
masih muda dan kurang pengalaman" kata Cen Hui sambil
memberi isyarat mata kepada Jien Jing Hui agar bersabar.
"Aku yang lebih tua tentu mengalah kepada yang
lebih muda. jika tidak tentu akan ditertawakan oleh dunia
persilatan" kata Feng Ming.
"Namun perbuatan kalian membunuh banyak prajurit
kerajaan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika tidak tentu
wibawa Tang Agung akan runtuh" kata Feng Ming lagi, kali
ini dengan nada yang mengancam.
"Jadi Feng Ta-sia ingin menangkap kami untuk
bertanggung jawab?" tanya Cen Hui tidak gentar sama
sekali.
"Aku berharap kita tidak perlu harus bertarung.
Pemberontak seperti kalian lebih baik menyerah karena
tidak ada kemungkinan menang" jawab Feng Ming dengan
tenang namun penuh hawa membunuh yang meluap-luap.
Bahkan Yang Hong yang masih kecil itu pun dapat- 103 merasakan tekanan hawa membunuh yang membuatnya
susah bernapas, benar-benar luar biasa!
"Jika demikian maka tampaknya tidak ada jalan lain"
kata Cen Hui sambil bersiap dengan pedang Angin
Putihnya, la sadar lawannya kali ini bukan para prajurit
rendahan yang bisa ditaklukkan dengan sekali tebas. Dulu ia
pernah melihat kehebatan golok Feng Ming dalam
mengatasi musuhnya sehingga ia dapat menakar tingkat
kehebatan ilmu Golok Raja Naga dibandingkan ilmu Pedang
Gagak Putihnya. Mungkin dalam seratus dua ratus jurus
akan sukar ditentukan siapa pemenangnya, tapi Cen Hui
lebih berpikir bagaimana cara menghindar dan melarikan
diri dari tempat ini daripada cara mengalahkan Feng Ming.
la harus memutar otak mengulur waktu agar Jien Jing Hui
dan Yang Hong dapat meninggalkan tempat ini selagi ia dan
Feng Ming bertempur.
"Hui-er, engkau dan Yang Hong carilah celah untuk
menerobos keluar dari sini selagi aku menghadapi Feng
Ming" bisik Cen Hui dengan lirih sekali.
"Tapi paman Cen..."
"Kita tidak bisa berdebat sekarang, lakukan saja"
potong Cen Hui.
Jien Jing Hui pun akhirnya memilih diam saja dan
harus mengakui apa yang dipikirkan Cen Hui adalah benar.
Keselamatan Yang Hong harus lebih dipikirkan dan ia juga
harus percaya akan kemampuan Cen Hui dalam mengatasi- 104 Feng Ming. Tidak terasa Jien Jing Hui menggenggam
pedangnya erat-erat untuk, menekan perasaan terharunya
kepada Cen Hui yang begitu setia kepada ayahnya dan Tien
Lung Men hingga rela bertaruh nyawa.
"Cen Ta-sia, selama ini aku sudah sering mendengar
ilmu pedang keluarga Cen sebagai salah satu ilmu pedang
terbaik di kolong langit. Hari ini aku merasa sangat
terhormat bisa menjajal langsung jurus pedang keluarga
Cen" kata Feng Ming sambil meraba pangkal goloknya
bersiap bertempur.
"Aku pun terhormat bisa menjajal Golok Raja Naga"
kata Cen Hui sambil menunjuk Feng Ming dengan pedang
Angin Putihnya yang berlumuran darah. Suasana benarbenar sunyi tegang menunggu dua jago ini turun laga.
Tapi perhatian para prajurit yang tengah tegang
menunggu pertempuran dua jagoan itu berhasil
dimanfaatkan Jien Jing Hui dengan baik sekali. Sambil
mendekap Yang Hong erat-erat, ia menggenjot tubuhnya
sekuat tenaga ke atas melompat melewati kepala para
prajurit yang tengah berbaris mengepung. Kepala dan bahu
prajurit amat cocok dijadikan pijakan dan para prajurit
hanya bisa melongo sebelum sempat menyadari Jien Jing
Hui dan Yang Hong telah lolos dari kepungan mereka.
"Cepat kejar!" perintah Feng Ming dengan geram
karena melihat para prajurit berhasil dibodohi oleh Jien Jing- 105 Hui. ia sendiri sebenarnya ingin ikut mengejar, tapi Cen Hui
segera memotong jalannya dengan sabetan maut.
"Lihat pedang!" teriak Cen Hui sambil menyerang
dengan ganas sekali, la merasa sedikit lega karena Jien Jing
Hui dan Yang Hong sudah bisa keluar dari medan
pertempuran sehingga bisa lebih memusatkan serangan
kepada Feng Ming. Para prajurit yang tinggal
mengepungnya sekarang sudah tinggal kurang dari separuh,
sementara sisanya sudah lari mengejar Jien Jing Hui ke
dalam kegelapan malam. Suara gemuruh derap langkah dan
teriakan mereka membahana memecahkan keheningan
malam. Nyala ratusan obor yang menyala bagaikan kunangkunang mencari pasangan dalam gelapnya malam.
.*** "Xia-cie (Kakak Xia), apakah yang engkau
pikirkan?" tanya Wongguo Yuan kepada Ma Xia yang
tengah berdiri merenung menatap gelapnya malam. Di
kejauhan tampak ratusan kunang-kunang terbang dengan
lincahnya mengitari sawah ladang yang mungkin sudah siap
dipanen dalam beberapa hari.
"Ah tidak apa-apa" jawab Ma Xia sambil menghela
napas panjang.- 106 "Sedari tadi engkau kelihatan gugup dan tidak
bernafsu makan. Bahkan Cheng Sen (Bibi Cheng) tadi
sempat menanyakan apakah engkau sedang sakit" kata
Wongguo Yuan dengan lirih.
Bibi Cheng adalah tuan rumah tempat mereka tinggal
sementara, la adalah seorang janda yang anaknya merantau
ke kota An Chung sehingga hanya tinggal sendirian saja di
rumah itu. Kedatangan rombongan Han Cia Sing yang
datang pagi itu untuk mencari tempat menitipkan Ma Xia
dan Wongguo Yuan untuk sementara waktu, tentu disambut
amat gembira oleh Bibi Cheng. Tidak saja karena ia berarti
mempunyai teman serumah, tapi juga karena beberapa tael
perak yang dihadiahkan Ce Ke Fu kepadanya sudah cukup
untuk biaya hidupnya selama setahun!
Selelah menitipkan Ma Xia yang kakinya masih
belum sembuh benar dan Wongguo Yuan yang tidak bisa
silat, rombongan Han Cia Sing bisa dengan lebih tenang
memasuki wilayah Yi Chang yang dijaga ketat oleh prajurit
kerajaan. Kuda-kuda mereka sudah dijual di desa
sebelumnya dan mereka dapat melanjutkan perjalanan
dengan berjalan kaki, yang selain tidak mencolok juga lebih
mudah melewati jalan-jalan setapak yang susah dilalui
dengan berkuda.
Namun sejak kepergian Han Cia Sing tadi pagi, Ma
Xia terlihat selalu melamun dan gugup. Sebentar-sebentar ia
selalu menengok ke arah selatan, tempat markas besar Tien
Lung Men yang terletak beberapa li dari desa mereka- 107 berada. Bibi Cheng yang sudah kenyang makan asam garam
kehidupan mengerti bahwa gadis muda ini tentulah sedang
dimabuk asmara tapi Wongguo Yuan yang masih muda dan
polos tidak mengerti akan isi hati Ma Xia itu. Bahkan ia
beranggapan luka di kaki Ma Xia sedang kambuh sehingga
Ma Xia menjadi sering gugup dan melamun.
"Xia-cie, makanlah kue ini sedikit. Kue kita
sepanjang perjalanan dari utara masih tersisa, mungkin kue
dari utara ini cocok dengan selera kakak" kata Wongguo
Yuan sambil menyodorkan kue kepada Ma Xia.
"A Yuan, terima kasih. Engkau sungguh baik hati,
tapi aku tidak lapar" kata Ma Xia menolak dengan halus
tawaran kue Wongguo Yuan.
"Ehm, baiklah kalau begitu aku yang akan
menghabiskannya. Sayang sekali jika kue ini harus
dibuang" kata Wongguo Yuan sedikit kecewa, la mulai
makan kue itu pelan-pelan sambil melihat ratusan kunangkunang yang masih terbang berputar-putar di atas sawah. Di
daerah utara, kunang-kunang amat jarang terlihat kecuali
pada musim panas yang cukup lembab, tapi di selatan
kunang-kunang sebenarnya sudah merupakan hal biasa
kecuali mungkin bagi Wongguo Yuan. la begitu kagum
melihat pemandangan ratusan titik sinar yang berpendaran
di lengah sawah ladang. Ma Xia menatap ratusan kunangkunang itu, tapi pikirannya tengah melayang-layang di
tempat lain.- 108 "Xia-cie, apakah engkau merindukan wilayah utara?"
tanya Wongguo Yuan lagi memecah keheningan.
"Pasti" jawab Ma Xia pendek saja.
"Aku sedang berpikir dalam sebulan terakhir ini
begitu banyak yang terjadi pada kehidupanku. Mulai dari
sejarah kematian orang tuaku, kemudian nama margaku,
pertemuanku dengan para pendekar dunia persilatan dan
merantau ke dataran tengah. Segala hal yang sama sekali
tidak pernah aku pikirkan sebelum ini tapi kini sekarang aku
sudah berada di dataran tengah. Benar-benar seperti mimpi
saja layaknya" kata Wongguo Yuan sambil menerawang
jauh melihat ke arah malam yang gelap.
"Nasibku juga tidak lebih baik daripada dirimu, A
Yuan. Sebulan lalu aku masih seorang anak pemimpin Tien
Huo Hui (Partai Api Langit), tapi kini aku justru menjadi
buruan mereka. Ayahku kini sangat membenci aku karena
aku dianggap memalukan nama keluarga. Tapi anehnya aku
justru merasa senang, mungkin karena telah berani menolak
perjodohan yang tidak aku setujui. Aku merasa seperti
burung yang terlepas dari sangkar emas, bebas terbang dan
melakukan apapun yang aku suka, meskipun kadang aku
juga merindukan kembali ayahku dan daerah Tonghu.
Meskipun ayahku memperlakukan aku dengan buruk, tapi
bagaimanapun juga ia adalah ayahku. Kadang-kadang
muncul juga ada sifat seorang ayah yang baik dalam dirinya,
membuatku merasa rindu juga" kata Ma Xia dengan sendu,
la teringat akan daerah asalnya di utara, tempat suku Tonghu- 109 begitu berkuasa dan ia adalah nona besarnya. Sekarang ini
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dataran tengah, ia tidak lain hanyalah seorang gadis biasa
saja yang menumpang di rumah sederhana milik seorang
janda, tanpa pelayan atau budak-budak yang siap sedia
melayaninya. Hanya satu hal yang membuat perasaannya
sedikit gembira yaitu apabila ia berada di dekat Han Cia
Sing, perasaan yang susah dijelaskan bahkan oleh dirinya
sendiri. Inikah yang namanya cinta?
"Xia-cie, karena nasib kita yang hampir sama dan
sebenarnya antara kakek dan ayah kakak adalah sahabat,
mengapa kita tidak saling mengangkat saudara saja? Aku
selama ini hanya seorang diri saja bersama kakek dan
kadang merasa kesepian karena tidak mempunyai saudara.
Jika kakak Xia tidak memandang rendah diriku ini, maukah
kita saling bersumpah untuk menjadi saudara?" tanya
Wongguo Yuan sambil menatap Ma Xia dengan matanya
yang bening indah itu.
Wongguo Yuan memang seorang gadis yang baik hati
dan sabar. Siapapun yang berkenalan dengannya pastilah
merasa senang. Ma Xia sejak awal pertemuan mereka di
desa Pei-An sudah menganggap Wongguo Yuan sebagai
adiknya sendiri, sekarang ia diajak menjadi saudara
angkatnya, tentu ia merasa amat senang sekali.
"Baiklah, A Yuan. Aku setuju menjadi kakak
angkatmu" jawab Ma Xia sambil mengangguk.- 110 "Benarkah? Aku gembira sekali!" kata Wongguo
Yuan setengah berteriak karena gembira sekali. Wajahnya
menjadi merah merona dan ia memegang tangan Ma Xia
sambil melompat-lompat kecil bagaikan seorang anak
mendapatkan mainan yang diinginkannya.
"Akhirnya aku mempunyai seorang saudara!" kata
Wongguo Yuan sambil tersenyum dengan gembira.
Hidup manusia memang terkadang bagaikan lelucon
yang aneh. Saat kakek dan ayah mereka saling berseteru
hidup mati, dua orang gadis muda malah mengangkat diri
menjadi saudara. Ketika mereka masih sama-sama berada di
utara, keduanya berada dalam lingkungan yang bermusuhan
akan tetapi saat berada jauh di perantauan selatan, mereka
malah hidup berdampingan dengan damai. Dan mungkin
yang tidak mereka sadari, keduanya sebenarnya telah jatuh
cinta kepada seorang pemuda yang sama. Ah, hidup manusia
memang selalu penuh dengan ironi!
Malam itu berlalu dengan tenang sekali. Ma Xia dan
Wongguo Yuan tertidur dengan lelap sekali karena mereka
sudah lama sekali berada dalam perjalanan jauh yang
kadang membuat tidur tidak nyaman. Pagi-pagi sudah harus
berangkat berkuda hingga petang hari. Saat malam pun
mereka masih belum tentu dapat tidur di penginapan. Lebih
sering mereka berkemah di udara terbuka, karena mereka
harus mengejar waktu supaya cepat tiba di daerah Yi Chang.
Tidak heran jika malam itu Ma Xia dan Wongguo Yuan
dapat tidur dengan nyenyak sekali. Bahkan Wongguo Yuan- 111 bermimpi indah karena semalam sudah mendapatkan
seorang kakak angkat dalam hidupnya yang selama ini
sendirian.
Hanya saja tidur nyenyak dan mimpi indah mereka
dibuyarkan oleh keributan yang terjadi pada pagi hari buta.
Suara-suara bentakan kasar dan suara perabotan hancur
segera membangunkan mereka dari tidurnya. Ma Xia yang
menguasai ilmu silat langsung melompat turun dan
mengendap ke depan kamar yang hanya ditutupi tirai kumal
sebagai pintu untuk melihat apa yang sedang terjadi. Ia lupa
jika kakinya masih belum sembuh benar sehingga ia
meringis kesakitan karena melompat terlalu bersemangat
dari tempat tidurnya. Wongguo Yuan sendiri terbangun
sambil menggosok-gosok matanya dengan masih
mengantuk.
"Xia-cie, apa yang terjadi?" tanya Wongguo Yuan
heran melihat Ma Xia mengintip dari balik tirai.
"Sssttt, jangan keras-keras. Tampaknya ada
gerombolan yang melakukan pencarian orang sedang
menanyai Bibi Cheng di depan" kata Ma Xia sambil
memberikan tanda menutup bibir kepada Wongguo Yuan
agar ia tidak berbicara lagi.
Mereka berdua mengintip dengan cemas dari dalam
kamar melihat Bibi Cheng sedang diperlakukan dengan
kasar sekali oleh para pengacau itu. Jumlah mereka ada
sekitar sepuluh orang dan pemimpinnya seorang- 112 berjambang lebat dan matanya tampak bengis. Ia bertubuh
kekar dan memakai selempang kulit buaya di dadanya. Ia
menanyai Bibi Cheng dengan kasar sekali, seakan-akan Bibi
Cheng itu seekor anak ayam saja layaknya!
"Hei nenek tua! Kau ini tidak tahu tuanmu ini sedang
bertanya kepadamu! Mengapa dari tadi engkau hanya
menangis saja?! Katakan apakah engkau melihat orang
asing selama beberapa hari ini?" bentak orang itu dengan
garang sekali hingga membuat bibi Cheng yang sudah amat
ketakutan nyaris pingsan. Anak buahnya juga tidak kalah
kasar. Mereka menghancurkan tempat penjemuran beras
dan sayur milik bibi Cheng dan menunggang balikkan
kandang ayam kecil di depan rumah. Kelakuan mereka
benar-benar buruk dan menjemukan sekali!
Jika saja Ma Xia dalam keadaan sehat, ia sudah turun
tangan dan menghajar gerombolan kurang ajar itu hingga
babak belur semua. Tapi kini kakinya masih sakit dan
Wongguo Yuan juga tidak bisa bertarung sehingga akan
sangat berbahaya bila mereka ketahuan. Satu-satunya cara
hanyalah menahan diri dan bersembunyi serta berharap
gerombolan itu segera berlalu meskipun darah sudah naik ke
ubun-ubun.
"Huh! Dasar tua bangka! Sekarang malah pingsan!
Kalian hancurkan saja rumah nenek tua ini supaya ia tahu
rasa!" teriak pemimpin gerombolan itu dengan kalap setelah
bibi Cheng benar-benar pingsan akhirnya.- 113 Sepuluh orang gerombolan itu segera masuk dan
menghancurkan meja, kursi dan apa saja yang ditemui oleh
mereka. Ma Xia merasakan jantungnya berdebar kencang.
Kamar tidur mereka amat sederhana sehingga tidak
mungkin untuk bersembunyi dalam kamar yang kosong.
Satu-satunya cara hanyalah menyerang sebelum musuh
mengetahui keberadaan mereka, mungkin dengan demikian
ia masih mempunyai kesempatan menang karena
mengejutkan mereka.
Bersamaan dengan Ma Xia yang telah membulatkan
tekad melawan, masuklah dua orang cecunguk ke dalam
kamar mereka. Wongguo Yuan menjerit kecil ketika melihat
wajah mereka yang kasar dan bengis tapi Ma Xia sudah
bertindak cepat dengan melayangkan tinju kekuatan penuh
ke arah wajah mereka. Mungkin karena tidak siap atau juga
tidak menyangka kekuatan tinju seorang gadis muda seperti
Ma Xia bisa demikian hebat, keduanya langsung terbang
melayang keluar kamar dan ambruk tak sadarkan diri di
ruang tengah!
"Kurang ajar! Siapa yang melakukan ini?!" bentak
orang-orang itu dengan marah sekali melihat dua teman
mereka pingsan dengan gigi rontok.
Ma Xia menggandeng Wongguo Yuan segera
menerjang keluar melalui jendela kamar hingga hancur
berantakan. Kebetulan kamar mereka menghadap ke arah
sawah belakang sehingga tidak ada orang yang mencegat
arah lari mereka. Sayang sekali baru beberapa langkah- 114 mereka berlari, tiba-tiba Ma Xia jatuh tersungkur sambil
mengaduh kesakitan. Kakinya yang terluka tampak kembali
bengkak karena memaksakan diri sebelum sembuh benar.
"A Yuan, kau larilah! Tinggalkan aku sendiri!" kata
Ma Xia.
"Xia-cie, mana bisa aku berbuat begitu?! Aku akan
tetap di sampingmu apapun yang terjadi" kata Wongguo
Yuan sambil berlutut di samping Ma Xia yang
memeganginya kakinya sambil meringis kesakitan.
Tampaknya mereka berdua sudah tidak dapat lari lagi karena
gerombolan itu sudah mengepung mereka dalam lingkaran.
Kepala gerombolan yang tadi tampak kasar dan garang
memperlakukan bibi Cheng, sekarang melihat dua orang
gadis muda yang cantik, matanya berubah liar memandangi
Ma Xia dan Wongguo Yuan seakan-akan hendak
menelannya saja!
"Wah, wah! Di depan nenek tua, ternyata di dalam
menyimpan dua gadis cantik!" kata pemimpin gerombolan
itu yang ditimpali siulan dan tertawa kurang ajar oleh anak
buahnya. Benar-benar menjemukan!
"Kalian jangan berpikiran macam-macam terhadap
kami! Ayahku pemimpin partai Tien Huo Hui, jika ia sampai
tahu ada apa-apa denganku, ia pasti akan mencincang kalian
semua!" kata Ma Xia berusaha menggertak. Wongguo Yuan
sendiri sudah gemetaran dikepung sembilan orang laki-laki
kasar seperti mereka.- 115 "Wah, makin galak makin cantik hahahahahahaah"
timpal sang kepala gerombolan sambil tertawa terbahakbahak. Matanya memandang kurang ajar kepada Ma Xia dan
Wongguo Yuan.
"Eh, gadis manis, jika ayahmu benar pemimpin partai
apa itu tadi... oh ya Api Langit atau apapun juga, maka aku
Hu Kung Ye adalah kaisar dinasti Tang Agung
hahahahahaha" kata pemimpin gerombolan yang tidak lain
adalah Hu Kung Ye itu sambil tertawa terbahak-bahak.
Semua anak buahnya juga tertawa kurang ajar sekali sambil
mulai berani mencolek-colek tubuh Ma Xia dan Wongguo
Yuan. Nasib keduanya benar-benar seperti anak domba
dipermainkan oleh gerombolan serigala.
Tiba-tiba saja terdengar suara seruling yang amat
merdu meredam semua tawa mesum gerombolan Ceng Lu
Hui pimpinan Hu Kung Ye itu. Mereka semua langsung
terdiam mendengarkan bunyi seruling yang begitu kuat itu
padahal tidak tampak seorang pun. Hu Kung Ye dan Ma Xia
segera menyadari akan kehadiran seorang ahli tenaga dalam
di sekitar situ karena suara seruling itu terasa menggetarkan
nadi jantung mereka dengan kuat sekali.
"Kurang ajar! Siapakah yang berani cari gara-gara
dengan Hu Kung Ye?!" bentak Hu Kung Ye berusaha
mengatasi suara seruling yang demikian merasuk ke dalam
telinga itu.- 116 Di arah kejauhan dekat matahari terbit, tampak dua
sosok bayangan wanita berjalan dengan santai menuju ke
arah pondok bibi Cheng. Yang seorang berbaju sutra hijau
dan meniup seruling sedangkan yang seorang lagi memakai
baju sutra putih sambil memegang sitar. Wajah mereka
cantik sekali bagaikan dewi kahyangan yang turun ke bumi,
sampai-sampai semua anggota Ceng Hu Lui melongo
memandanginya bahkan ada satu orang yang sampai
meneteskan air liur karena kagumnya!
Mereka tiba di depan Hu Kung Ye beberapa saat
kemudian dan tampaknya tetap santai seperti tidak terjadi
apa-apa. Wanita berbaju hijau menghentikan permainan
serulingnya dan memandang wajah Hu Kung Ye yang sedari
tadi tidak berkedip memandangi wanita berbaju putih dan
hijau itu.
"Apakah engkau tadi yang menanyakan siapa kami?"
tanya wanita berbaju hijau itu dengan suaranya yang bening
sekali.
Hu Kung Ye yang bagaikan terhipnotis hanya
mengangguk saja. Ia tidak bisa memperkirakan betapa
beruntungnya ia hari ini. Setelah mendapatkan dua
tangkapan gadis muda, kini muncul dua orang wanita yang
tidak kalah cantiknya, benar-benar tidak dapat dipercaya!
"Namaku Yao Chuen dan ini adikku Yao Tong, kami
berdua dari kotaraja Chang An dan kebetulan saja lewat- 117 daerah ini" kata wanita berbaju hijau yang tidak laina adalah
Yao Chuen itu.
"A...apakah kalian yang dijuluki Si Tien Mei Ni
(Kecantikan Empat Musim) itu?" tanya Hu Kung Ye sampai
tergagap. Selama ini sebagai pemogoran dan penjahat di
daerah sekitar kotaraja, ia sudah banyak mendengar tentang
kecantikan para putri keluarga Yao, tapi sama sekali tidak
pernah berhadapan langsung seperti sekarang ini.
"Julukan itu terlalu berlebihan" kata Yao Chuen
sambil tersenyum sehingga menambah cantik parasnya. Hu
Kung Ye merasa jantungnya seperti mau lepas dari dadanya
melihat senyuman Yao Chuen yang bagaikan bunga musim
semi itu.
"Hahahahahhaha! Kawan-kawan, hari ini kita akan
ditemani oleh empat gadis cantik sekaligus! Bukankah itu
sangat membahagiakan?!" teriak Hu Kung Ye yang seakan
baru sadar dari kekagetannya itu.
Perkataan Hu Kung Ye barusan ditimpali suara
teriakan riuh rendah delapan orang pengikut Tien Lung
Men. Mereka adalah pemogoran dan orang-orang kasar
yang sehari-harinya adalah bandit dan penjahat, tentu saja
tidak ada sopan santunnya sama sekali.
"Tertawalah sebelum kalian semua kukirim
menghadap raja neraka" kata Yao Tong dengan dingin,
menghentikan gelak tawa riuh rendah para begundal Ceng
Lu Hui.- 118 "Nona, apakah aku tidak salah dengar? Bukannya
engkau hendak membawa semua kepada kenikmatan
khayangan?" goda Hu Kung Ye dengan kurang ajar sekali
terhadap Yao Tong. la sudah bersiap untuk tertawa keras
kembali ketika sebuah tamparan yang keras dan cepat sudah
bersarang di pipi kirinya.
"Plakk!!!"
Begitu kerasnya tamparan Yao Tong itu sehingga dua
gigi Hu Kung Ye copot seketika itu juga! Rasa sakit akibat
tamparan itu terasa sampai ke ubun-ubun, tapi rasa malu
yang dialami Hu Kung Ye tidak kalah hebatnya.
"Kau..."
"Plak!!!"
Belum sempat Hu Kung Ye melanjutkan kalimatnya
memaki Yao Tong, giliran pipi kanannya sudah terhajar
telak. Ia sampai terhuyung-huyung menahan pusing akibat
dua tamparan luar biasa keras barusan. Pipinya Iebam dan
biru matang akibat tamparan Yao Tong yang tampaknya
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah amat geram melihat tingkah gerombolan begundal itu.
"Sialan! Bunuh dia!" teriak Hu Kung Ye dengan
marah sekali.
Delapan anak buah Ceng Lu Hui segera menghunus
golok masing-masing dan maju menyerbu Yao Chuen dan
Yao Tong. Suara golok berdesing keluar dari sarungnya
sama sekali tidak menggentarkan dua wanita cantik itu yang- 119 tetap tenang dan santai saja menghadapi keroyokan lawan.
Malah kelihatannya mereka tersenyum sambil menunggu
datangnya serangan.
Teriakan marah dan desingan golok menyerbu Yao
Chuen dan Yao Tong. Para begundal Ceng Lu Hui itu
sebenarnya merasa sayang menyerang dua orang wanita
cantik seperti bidadari ini, tapi mereka tahu jika pimpinan
mereka saja babak belur dihajar, pastilah mereka bukan
orang sembarangan. Satu-satunya cara untuk meringkus
kedua wanita itu hanyalah dengan kekerasan dan main
keroyok, meskipun sebenarnya memalukan sekali delapan
orang laki-laki kekar bersama-sama menyerang hanya dua
orang wanita saja.
Tapi memang apa yang ditakutkan para begundal itu
benar-benar menjadi kenyataan. Musuh mereka kali ini tidak
hanya tangguh, tapi juga sudah benar-benar gemas melihat
tingkah mereka sehingga mereka semua dihajar sampai
babak belur. Seruling dan sitar berkelebatan dengan
kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata biasa,
menghajar lengan para begundal itu sehingga golok mereka
berjatuhan. Tidak hanya itu, pipi dan perut mereka benarbenar menjadi sasaran empuk tamparan dan tinju kedua
saudari Yao. Tamparan dan tinju yang ditambah kekuatan
Jien San Sen Kung (Tenaga Dalam Seribu Gunung) itu
mampu membuat patah tulang rusuk dan rontoknya gigi para
begundal Ceng Lu Hui sehingga sekejap saja delapan orang
sudah bergelimpangan tak mampu bangkit lagi.- 120 Mimpi Mimpi Terpendam Karya Mira W The Name Of The Rose Karya Umberto Eco Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama