Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 14
Hu Kung Ye yang memang pada dasarnya adalah
pengecut, begitu melihat anak buahnya ditaklukkan dengan
begitu mudah langsung gemetaran. Ia tahu ia harus segera
melarikan diri jika masih ingin menyimpan selembar nyawa
anjingnya itu. Satu-satunya cara hanyalah menyandera
Wongguo Yuan atau Ma Xia yang sedang berdiri tidak jauh
dari dirinya. Maka tanpa malu-malu, Hu Kung Ye segera
berlari ke arah Ma Xia yang masih memegangi kakinya yang
sakit dan dengan kasar menarik dan mencekiknya.
"Jangan bergerak!" teriak Hu Kung Ye ketika melihat
Yao Chuen dan Yao Tong hendak maju menolong Ma Xia.
"Xia-cie!" jerit Wongguo Yuan dengan khawatir
sekali.
Ma Xia sendiri hanya bisa megap-megap karena
cekikan lengan Hu Kung Ye begitu keras mengapit
lehernya. Kasihan sekali Ma Xia, sudah harus menahan sakit
karena cedera kakinya kambuh, kini ia harus disandera oleh
begundal kasar seperti Hu Kung Ye.
"Marga Hu! Kau jangan macam-macam! Jika gadis
itu sampai celaka, aku akan membuatmu mati tanpa
kuburan!" bentak Yao Chuen dengan geram sekali melihat
tingkah pengecut Hu Kung Ye.
"Kakak, jangan gegabah" kata Yao Tong mencoba
menahan kemarahan kakaknya itu. Ia dapat melihat bahwa
Hu Kung Ye adalah manusia rendah yang tidak segan-segan- 121 membunuh wanita dan anak-anak jika dalam keadaan
terjepit.
"Marga Hu, jika kau melepaskan gadis itu, aku
menjamin engkau dan anak buahmu boleh meninggalkan
tempat ini hidup-hidup" kata Yao Tong lagi mencoba untuk
tawar-menawar. Hu Kung Ye yang melihat Yao Tong lebih
bisa diajak berunding daripada kakaknya, segera
menanggapi tawaran ini.
"Aku saja cukup, tidak perlu mereka semua. Nah,
sekarang aku akan membawa nona muda ini bersamaku.
Kalian jangan berani mengikuti jika tidak ingin ia menjadi
mayat" kata
Hu Kung Ye yang kini merasa di atas angin sehingga
bisa tersenyum penuh kemenangan. Saat Hu Kung Ye
merasa menang dan hendak membawa Ma Xia yang sudah
nyaris pingsan itu pergi dari sana, tiba-tiba sebuah benda
meluncur dengan deras sekali ke arah kepala Hu Kung Ye.
"Pletakkkk!!"
Hu Kung Ye berteriak kesakitan karena merasakan
kepalanya seperti pecah. Rupanya kepalanya terkena
lemparan benda itu sampai berdarah. Ma Xia terlepas dari
pegangannya karena rasa sakit yang luar biasa membuatnya
kehilangan pegangan dan terhuyung-huyung. Yao Chuen
segera memeluk Ma Xia dan menjauhkannya dari Hu Kung
Ye yang menyumpah dan memaki tidak keruan karena
kepalanya yang bocor terasa sakit sekali. Yao Tong- 122 memungut benda yang telah melukai kepala Hu Kung Ye
dan tersenyum ketika melihat benda itu ternyata sebuah
pemukul gendang yang terbuat dari besi.
"Kakak Chuen, tampaknya kakak Xia dan kakak Jiu
sudah tiba di sini juga" katanya sambil memperlihatkan
pemukul gendang itu kepada Yao Chuen.
"Siapa? Siapa yang sedang kakak berdua bicarakan?"
tanya Wongguo Yuan keheranan.
"Kami semua ada berempat kakak beradik. Dua
adikku yang lain tampaknya juga telah tiba di sini" kata Yao
Chuen menjelaskan.
"Kalian semua tunggulah pembalasanku!" teriak Hu
Kung Ye sambil berlari menjauh ketika melihat ada
kesempatan lari untuk dirinya. Begitu selesai meneriakkan
kata-kata ancamannya, ia segera berlari sekuat tenaga tanpa
berani menoleh lagi, sungguh seorang pengecut sejati!
"Mengapa tidak kalian kejar manusia tidak berguna
itu" kata Ma Xia yang sekarang sudah bisa bersuara itu
dengan geram.
"Adik sudahlah, kami kemari tidak hendak mencari
perkara dengan Ceng Lu Hui. Kami mempunyai tugas lain
yang penting" kata Yao Chuen mencoba menenangkan
amarah Ma Xia.- 123 "Kakak Chuen, lihatlah siapa yang datang" kata Yao
Tong kepada kakaknya itu sambil menunjuk ke arah sawah
belakang rumah bibi Cheng.
Tampak dua orang wanita yang luar biasa cantiknya
sedang berjalan dengan santai menyusuri pematang sawah.
Yang di depan memakai baju merah dengan selempang
emas untuk menyandang sebuah gendang kecil sedang
wanita yang berjalan di belakangnya memakai baju sutra
ungu dengan membawa sebuah ku-cin (sitar petik) kecil di
tangan kanannya. Wajah mereka bersih dan cantik sekali
sehingga pasti membuat semua yang melihatnya terkagumkagum. Mereka tidak lain adalah Yao Xia dan Yao Jiu, sang
musim panas dan musim gugur keluarga Yao yang terkenal
itu. "Salam kakak dan adik" kata Yao Xia sambil
menjura. Yao Jiu pun mengikutinya dan disambut dengan
riang oleh Yao Chuen dan Yao Tong.
"Kakak Xia, ini pemukul gendangmu" kata Yao Tong
sambil mengulurkan pemukul gendang besi kepada Yao
Xia. "Terima kasih adik Tong" kata Yao Xia sambil
menerima pemukul gendangnya dan menyimpannya
kembali.
"Adik Xia, engkau seharusnya melihat wajah
begundal itu tadi ketika kau melukai kepalanya" kata Yao
Chuen sambil tertawa kecil.- 124 "Memang manusia seperti mereka harus diberi
pelajaran" kata Yao Xia sambil memandang remeh kepada
para begundal Ceng Lu Hui yang masih bergeletakan di
halaman belakang rumah bibi Cheng.
"Sudah, biarkanlah mereka pergi. Kita masih
mempunyai tugas lain yang lebih penting sekarang" kata
Yao Jiu mencoba menenangkan saudarinya itu.
"Benar apa yang dikatakan adik Jiu" kata Yao Chuen
mengiyakan.
"Kalian semua, segera tinggalkan tempat ini sebelum
kami berubah pikiran" kata Yao Chuen kepada begundal
Ceng Lu Hui yang tersisa. Mereka semua segera
mengucapkan terima kasih sambil membungkuk-bungkuk
kemudian lari kembali ke markas mereka secepat yang
mereka bisa. Keempat saudari Yao dan Ma Xia serta
Wongguo Yuan tertawa kecil melihat mereka semua lari
terbirit-birit padahal semula mereka begitu berangasan dan
kasar.
"Terima kasih atas pertolongan nona berempat" kata
Ma Xia sambil menjura hormat kepada para penolongnya.
"Ah, adik tidak apa-apa, sudah tugas kami untuk
menolong semampu kami" kata Yao Jiu dengan ramah.
"Bolehkah aku tahu nama kakak berempat" tanya
Wongguo Yuan yang masih tidak habis berpikir melihat
kecantikan keempat putri keluarga Yao.- 125 "Kami bermarga Yao, namaku Chuen, ini ketiga
adikku, Xia, Jiu dan Tong" kata Yao Chuen mewakili
mereka berempat memperkenalkan diri.
"Namaku Ma Xia dan ini temanku Wongguo Yuan"
kata Ma Xia memperkenalkan dirinya.
"Kelihatannya kalian bukan berasal dari daerah sini"
kata Yao Xia setelah mendengar nama marga Wongguo
Yuan dan logat bahasa mereka.
"Benar kami berdua dari utara tembok besar" kata Ma Xia.
"Oh, jauh sekali. Apakah yang membawa kalian tiba
tiba di dataran tengah ini?" tanya Yao Tong.
"Ceritanya panjang, mungkin lebih baik kita masuk
dulu ke dalam rumah. Astaga bibi Cheng!" teriak Ma Xia
yang baru saja teringat akan nasib bibi Cheng sang pemilik
rumah yang masih tergeletak pingsan di halaman.
Akhirnya bibi Cheng dibopong oleh mereka beramairamai masuk kembali ke dalam rumah. Wongguo Yuan
dengan telaten merawat nenek tua malang itu yang masih
ketakutan karena perlakuan kasar Hu Kung Ye dan para
begundal Ceng Lu Hui. la memberikan secangkir teh kepada
bibi Cheng untuk menenangkannya sementara yang lain
membereskan kerusakan rumah akibat kelakuan para
pengacau barusan sambil saling menceritakan perjalanan
mereka masing-masing.- 126 Sebenarnya apakah tugas yang sedang diemban oleh
para putri keluarga Yao sehingga mereka berempat harus
meninggalkan rumah mewah mereka di kotaraja? Dan
apakah mereka juga akan terlibat dalam pertempuran besarbesaran Tien Lung Men melawan para prajurit Tang?- 127 28. Lima Warna Kematian
Jien Jing Hui membopong Yang Hong erat-erat
sambil menerobos gelapnya hutan malam. Beberapa puluh
langkah di belakangnya, ratusan prajurit bersenjata lengkap
sambil membawa obor berteriak-teriak mengejar. Suasana
malam yang sunyi menjadi hingar-bingar oleh teriakan dan
derap langkah ratusan prajurit. Jika saja Jien Jing Hui dalam
keadaan sehat dan tidak menggendong Yang Hong, pastilah
ia sudah lolos dari kejaran. Namun keadaannya selama
berada dalam tawanan tidak cukup makan dan minum
sehingga tubuhnya menjadi lemah. Belum lagi pukulan
batin yang dideritanya akibat pengkhianatan suaminya atas
dirinya, membuat pikiran Jien Jing Hui kacau balau tidak
karuan. Apalagi nasib ayahnya yang sedang bertempur di
bukit Guan Hu juga masih belum jelas.
"Ibu, turunkan aku. Aku bisa berlari sendiri" kata
Yang Hong ketika melihat kejaran prajurit sudah semakin
hilang di kejauhan. Lagipula napas Jien Jing Hui sudah amat
berat tersengal-sengal karena keletihan yang amat sangat
sehabis pertempuran hidup mati barusan.
"Baiklah, sekarang kita berjalan bersama-sama Honger. Jangan pernah lepaskan pegangan tanganmu dari ibu"
kata Jien Jing Hui setelah melihat keadaannya sekitarnya
yang sudah lebih aman. Bajunya sudah basah oleh darah dan
keringat. Ia juga merasa haus sekali karena setelah
bertempur habis-habisan masih harus melarikan diri dari- 128 kejaran para prajurit. Selama ini statusnya sebagai nona
besar ketiga dari Tien Lung Men membuatnya hidup serba
enak dan kecukupan, siapa sangka hari ini harus melarikan
diri seperti seorang buronan.
Jien Jing Hui dan Yang Hong berjalan mengendapendap dalam kerimbunan hutan, berusaha mencari jalan
memutar untuk kembali ke wilayah Tien Lung Men. Usaha
ini sama sekali tidak mudah, karena gelapnya malam dan
juga banyaknya prajurit yang menyisir hutan mencari
mereka. Mereka berdua merangkak di tanah dan harus
menyingkirkan banyak sekali rumput dan tanaman
merambat yang menghalangi jalan mereka sampai akhirnya
tiba di sebuah dataran lapang yang cukup luas. Jien Jing Hui
melihat situasi dengan seksama dulu sebelum berniat
menyeberanginya karena di tanah terbuka, mereka akan
sangat mudah terlihat oleh pasukan pengejar.
"Hong-er, nanti jika ibu beri tanda untuk lari, engkau
harus lari secepat yang engkau bisa sampai kita tiba di hutan
seberang" bisik Jien Jing Hui
"Mengerti ibu" jawab Yang Hong dengan suara lirih
pula. Ibu dan anak itu berdiri dengan hati-hati sekali sambil
menengok ke kiri dan ke kanan sebelum berlari sekencangkencangnya ke hutan seberang. Meskipun tanah lapang itu
sebenarnya tidak lebih dari seratus langkah saja, tapi bagi
Jien Jing Hui dan Yang Hong seakan-akan suatu jalan tanpa
ujung saja layaknya.- 129 "Wusss" . Sebatang anak panah melesat dengan
kencang sekali ke arah Jien Jing Hui yang tengah berlari
menggandeng Yang Hong. Sebagai seorang pendekar yang
dilatih sendiri oleh sang pendekar tanpa tanding Jien Wei
Cen, sebatang anak panah saja mana mungkin akan
melukainya. Dengan cekatan sekali, pedang Jien Jing Hui
berkelebat menangkis panah itu hingga melenceng dan
menancap pada sebatang pohon besar. Meskipun berhasil
menangkisnya, tapi tangan dan pedang Jien Jing Hui sampai
bergetar keras menahan tenaga luncuran anak panah
barusan. Sang pemilik panah tampaknya bukanlah orang
sembarangan saja.
"Kurang ajar! Pengecut, cepat tunjukkan dirimu"
teriak Jien Jing Hui dengan marah sekali. Ia merasa
dibokong dengan keji sekali.
"Hahaahhaaha, ternyata memang harimau tidak
melahirkan kucing! Nona Jien, maafkan kelancanganku
tidak menyambutmu dengan meriah" jawab satu suara
wanita yang melengking tinggi memecah keheningan
malam.
Dari balik sebuah pohon besar muncul bayangan
seorang wanita berbaju hijau putih dengan balutan ikat
pinggang emas. Badannya tegap dan ia menyandang sebuah
busur besi dan ketopong berisi beberapa anak panah.
Wajahnya cantik dan bersih namun matanya menyorotkan
sinar kekejaman. Ia berdiri dengan sikap menantang dan
berkacak pinggang.- 130 "Siapa engkau wanita iblis?" bentak Jien Jing Hui
yang masih belum hilang marahnya. Yang Hong yang
berada di sebelahnya sampai terlompat kaget karena
kemarahan ibunya yang baru sekali ini berkata kasar di
depannya.
"Hahahaha, aku wanita iblis? Lalu engkau apa?
Dewi?" tanya balik wanita itu dengan sinis.
"Aku bukan dewi, tapi Jien Jing Hui putri ketua Tien
Lung Men, Jien Wei Cen" gertak Jien Jing Hui.
"Wah. aku takut sekali" kata wanita itu sambil
berpura-pura takut. "Tapi sayang sekali, ayah yang engkau
bangga-banggakan itu sekarang sedang sekarat karena kalah
bertarung" ejek wanita itu dengan sinis.
"'Pembohong" teriak Jien Jing Hui.
"Hahahaha, terserah engkau berkata apa, tapi malam
ini aku Tie Kung Jing Ying (Busur Besi Bayangan Hijau)
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan membawa kepalamu dan kepala anakmu kembali ke
markas untuk kupersembahkan kepada ketua Huo Cin" kata
wanita bernama Jing Ying itu dengan amat santainya. Ia
kelihatannya benar-benar telah terbiasa membunuh orang
sehingga sama sekali tidak tegang meskipun yang
dihadapinya adalah Jien Jing Hui putri sang Tangan Dewa
Kaki Iblis Jien Wei Cen.
"Baiklah, coba jika engkau mampu" kata Jien Jing
Hui sambil menghunus pedangnya. Ia memberi isyarat- 131 kepada Yang Hong agar menjauh karena sadar lawan yang
dihadapinya kali ini bukanlah seperti prajurit kerajaan biasa
yang dapat dibunuh sekali tebas.
Memang apa yang dipikirkan Jien Jing Hui itu adalah
benar sekali. Jing Ying (Bayangan Hijau) adalah salah satu
dari lima pasukan khusus yang dibina langsung oleh Huo
Cin untuk mewujudkan ambisinya. Pasukan khusus itu
terdiri dari Hei, Jing, Hong, Pai dan Cing Ying Ping (Hitam,
Hijau, Merah, Putih dan Emas) disebut Lima Warna
Kematian (Wu Se).
Hei Ying Ping (Prajurit Bayangan Hitam) adalah
sekumpulan pastikan khusus pembunuh yang disaring dan
dihimpun dari pasukan kerajaan yang paling kuat dan hebat.
Tugas mereka adalah membunuh orang-orang yang yang
tidak disukai oleh Huo Cin dalam pemerintahan ataupun
dalam hal lainnya. Pemimpinnya adalah yang terkuat di
antara mereka dan disebut Hei Ying (Bayangan Hitam).
Sedangkan Jing Ying, Hong Ying, Pai Ying dan Cing
Ying masing-masing adalah pembunuh bayaran kelas atas
tanpa bawahan sama sekali karena memang mereka tidak
berasal dari pasukan kerajaan. Asal usul mereka berempat
amat misterius, namun yang jelas sepak terjang mereka amat
sadis dan tanpa ampun sehingga amat ditakuti orang-orang
termasuk para pejabat kerajaan lainnya. Sekarang Jien Jing
Hui yang sudah kelelahan, apakah sanggup menahan
keganasan Jing Ying sang Bayangan Hijau?- 132 "Lihat busur!" teriak Jing Ying sambil maju
menyerang memutar busur besinya dengan kekuatan penuh,
la tahu tenaga Jien Jing Hui sudah terkuras banyak sehingga
kini ia memaksa untuk bertempur dengan tenaga
dibandingkan dengan pertempuran jurus.
"Pranggg!"
Percikan bunga api berhamburan ke udara ketika
pedang Jien Jing Hui beradu dengan busur besi Jing Ying.
Tangan Jien Jing Hui terasa kesemutan karena tenaganya
sudah lemah sehingga hampir saja pedangnya terlepas dari
genggaman.
"Hahahah, sekali lagi!" teriak Jing Ying kegirangan
karena melihat lawan lemah menghadapi serangannya. Ia
memutar busur besinya dengan lebih kuat lagi dengan
harapan dapat mementalkan pedang lawan.
"Lepas!" teriak Jing Ying sambil menghentakkan
busur besinya dengan penuh tenaga.
"Prang!!"
Jien Jing Hui berhasil mempertahankan pedangnya
dalam genggaman tapi sayang sekali, pedang yang
dipegangnya bukanlah pedang pusaka melainkan pedang
prajurit biasa. Pedang yang sudah tumpul dan retak-retak
akibat terlalu banyak digunakan menebas itu langsung
hancur berkeping-keping dihajar busur besi Jing Ying yang
terbuat dari besi baja pilihan. Tapak Jing Ying yang penuh- 133 tenaga segera menyusul menghajar dada Jien Jing Hui yang
terbuka akibat hancurnya pedang miliknya itu. Tapak itu
datang begitu tiba-tiba sehingga Jien Jing Hui hanya sempat
melompat mundur saja, namun tetap saja lengannya terhajar
telak.
"Ibu!" teriak Yang Hong sambil berlari menghampiri
Jien Jing Hui yang terpental jatuh dan memuntahkan darah
segar akibat serangan Jing Ying barusan. Yang Hong segera
memeluk ibunya dengan erat sekali berusaha melindunginya
dari kemungkinan serangan susulan.
"Jangan lukai ibuku" kata Yang Hong dengan
memohon kepada Jing Ying.
"Wah, masih kecil tapi bernyali besar. Engkau pasti
bernama Yang Hong. Mengapa tidak engkau tinggalkan saja
ibumu yang tolol itu dan ganti memanggilku sebagai ibu?"
kata Jing Ying dengan sinis.
"Kurang ajar! Apa maksudmu?" kata Jien Jing Hui
sambil menahan rasa sakit pada lengan kirinya yang retak.
"Oh, oh kau benar-benar seorang wanita yang
malang. Apakah engkau benar-benar tidak tahu suamimu
berkhianat luar dalam?" tanya Jing Ying dengan nada yang
aneh.
"Apa maksudmu?" tanya Jien Jing Hui kali ini dengan
nada hampir menangis. Setiap kali ia teringat Wen Fang
alias Yang Ren Fang, hatinya seakan diiris ratusan pisau.- 134 "Aku adalah istri mudanya. Mungkin seharusnya aku
memanggilmu kakak, hahahaha" tawa Jing Ying penuh
kemenangan.
Bagi Jien Jing Hui, perkataan Jing Ying barusan
benar-benar menghancurkan hatinya yang sebelumnya
sudah retak. Dunia seperti berputar tidak karuan dan jungkir
balik. Ia tak kuasa lagi mengatur peredaran nadinya dan
kembali memuntahkan darah segar untuk kemudian pingsan
dalam pelukan Yang Hong.
"Ibu, ibu" teriak Yang Hong sambil mengguncangkan
bahu Jien Jing Hui dengan harapan dapat membangunkan
ibunya. Nasib Yang Hong sekarang bagaikan seekor anak
domba dalam cengkeraman harimau ganas.
"Jangan khawatir, engkau akan segera menyusul
ibumu ke neraka" kata Jing Ying dengan nada dingin.
Perlahan-lahan ia mendekati ibu anak dengan sikap
mengancam.
"Jing Ying, tahan!" teriak seorang laki-laki yang
melompat keluar dari bayangan menghadang langkah Jing
Ying. la tidak lain adalah Wen Fang alias Yang Ren Fang,
yang sedari tadi juga berusaha mencari jejak istri dan
anaknya semenjak mereka melarikan diri dari markas
prajurit Tang. Ia kemudian teringat bahwa istrinya tentu
mencari jalan kembali ke Tien Lung Men sehingga ia
bergegas menyusuri jalan pintas balik ke arah wilayah
markas Tien Lung Men. Tepat sekali dugaannya karena- 135 ternyata memang istri dan anaknya tengah berada dalam
cengkeraman maut Jing Ying.
"Suamiku?! Engkau masih hendak membela mereka
berdua?" jerit Jing Ying setengah tidak percaya melihat
kehadiran Wen Fang.
"Jing Ying, kutegaskan sekali lagi kepadamu bahwa
aku bukan suamimu" kata Wen Fang dengan tidak sabar, la
segera memeriksa keadaan Jien Jing Hui yang tengah
tergeletak pingsan itu. Yang Hong pun segera memeluknya
dan menangis tersedu-sedu. Kasihan ia yang masih kecil
tidak mengerti apa yang sedang terjadi sekarang ini.
"Hong-er, sudahlah jangan menangis lagi. Ayah ada
di sini, engkau sudah aman sekarang" kata Wen Fang
dengan penuh kasih sayang sambil membelai rambut
anaknya itu. Ia merasa amat bersalah telah melibatkan
putrinya itu dalam kekacauan besar seperti sekarang ini.
Bagaimanapun juga hati seorang ayah yang dimiliki Wen
Fang masih belum luntur meskipun selalu dihasut Huo Cin
dan Wen Yang. Bahkan ayahnya telah memberikan seorang
istri "pengganti" Jien Jing Hui sebelum ini, yaitu Jing Ying
supaya Wen Fang tidak terlalu banyak memikirkan masalah
istri dan anaknya. Benar-benar sesat dan tidak masuk akal!
Segala cara memang digunakan Wen Yang untuk
dapat mengendalikan anaknya itu, bahkan termasuk
menggunakan obat perangsang agar Wen Fang mau menjadi
suami Jing Ying. Tidak heran jika sekarang Jing Ying- 136 memanggil Wen Fang sebagai suami karena memang sudah
menjadi layaknya suami istri saja selama beberapa hari.
Meskipun setelah kejadian itu Wen Fang menyesal dan
berusaha menjauhi Jing Ying, tapi mana mau ia melepaskan
begitu saja Wen Fang yang sudah dianggap sebagai
suaminya.
Jing Ying sendiri semakin panas hati ketika melihat
Wen Fang dengan hati-hati menyalurkan tenaga dalamnya
kepada Jien Jing Hui untuk menyembuhkan luka dalamnya.
Mana ada wanita di dunia ini yang tidak cemburu melihat
"suaminya" bersandingan dan bermesraan dengan wanita
lain di hadapannya? Demikian pula Jing Ying yang pada
dasarnya memang genit dan kejam, menjadi amat marah
melihat tingkah Wen Fang itu.
"Suamiku, sekarang aku minta kau pilih wanita tolol
itu atau aku sebagai istrimu?" tanya Jing Ying dengan
mengancam. Ia bahkan sudah bersiap dengan busur besinya
hendak menyerang Wen Fang.
"Sudah kukatakan berkali-kali aku bukan suamimu"
kata Wen Fang sambil terus mengalirkan tenaga dalam
kepada Jien Jing Hui. Sementara itu Yang Hong
bersembunyi di belakang ayahnya karena ia merasa takut
sekali kepada Jing Ying yang telah melukai ibunya itu.
"Baiklah, baik. Jadi kau memilih wanita jalang itu
daripada aku?" tanya Jing Ying dengan marah sekali sampai
bergetar.- 137 "Jaga mulutmu!" bentak Wen Fang tidak kalah
marah. Ia sebenarnya tidak ingin bertingkah kasar di depan
Yang Hong tapi Jing Ying benar-benar sudah keterlaluan.
"Akan kubunuh wanita jalang itu!" kata Jing Ying
yang sudah kehilangan akal dan terhanyut emosi sambil
mengayunkan busur besinya ke arah kepala Jien Jing Hui
yang masih pingsan.
Wen Fang terkejut melihat kenekadan Jing Ying yang
hendak menghabisi Jien Jing Hui, tapi ia segera bertindak
cepat menahan busur besi itu dengan tangannya yang sudah
berisi Tien Lung Ta Fa (Ilmu Sakti Naga Langit).
Tangannya ita sanggup menahan gebrakan keras busur besi
Jing Ying bahkan mementalkannya sehingga selamat Jien
Jing Hui.
"Suamiku!" jerit Jing Ying dengan kesal sekali.
Meskipun ia seorang pembunuh bayaran yang sadis tapi
hatinya sebagai seorang wanita masih belum hilang. Wen
Fang adalah seorang pria tampan dan gagah yang pasti akan
digilai banyak wanita tidak terkecuali Jing Ying sendiri.
Kini melihat Wen Fang membela Jien Jing Hui dan
mengacuhkan dirinya, rasa cemburu Jing Ying benar-benar
mencapai ubun-ubun.
"Jing Ying, aku tidak ingin berkelahi denganmu. Tapi
jika engkau masih berkeras maka aku terpaksa akan
meladenimu" kata Wen Fang dengan nada penuh
kesungguhan. Tatapan matanya menunjukkan bahwa ia- 138 tidak main-main dengan perkataannya sehingga membuat
Jing Ying ragu-ragu untuk terus menyerang. Akhirnya
dengan dengusan kesal, Jing Ying berbalik dan lari
menghilang ke dalam kegelapan malam.
Wen Fang menghembuskan napas lega melihat
kepergian Jing Ying. Ia sekarang bisa memusatkan
perhatiannya untuk menyalurkan tenaga kepada Jien Jing
Hui. Lagipula Yang Hong juga menjadi lebih tenang setelah
melihat Jing Ying pergi. Ia sudah tidak lagi memegangi baju
ayahnya erat-erat seperti tadi lagi.
Jien Jing Hui sendiri pelan-pelan mulai siuman
setelah mendapatkan tambahan tenaga dari Wen Fang. la
membuka matanya sambil mengeluh menahan sakit pada
lengan kirinya yang retak. Jien Jing Hui terkejut sekali
melihat Wen Fang sedang menyalurkan tenaga dalam pada
dirinya dan segera mendorong suaminya itu sampai
terjengkang.
"Pergi! Kau pengkhianat keji, aku tidak ingin melihat
mukamu lagi" jerit Jien Jing Hui nyaris histeris. Yang Hong
yang melihat kejadian ini hanya bisa bingung tidak tahu apa
yang sedang terjadi. Bukankah ayah dan ibunya selama ini
rukun dan saling mencintai? Mengapa ibunya tampak begitu
membenci ayahnya sekarang?
"Istriku, aku tahu aku bersalah, tapi aku sendiri
dipaksa oleh ayahku..."- 139 "Cukup, aku lidak ingin mendengar apapun dari
mulutmu. Aku sama sekali tidak menyangka selama ini
engkau hanya berpura-pura saja. Engkau selama ini hanya
menginginkan kehancuran Tien Lung Men, bahkan tega
mencelakai kedua kakakku dan paman Wang Ding. Apakah
kau layak disebut sebagai manusia? Aku tidak sudi
bersuamikan seekor binatang" kata Jien Jing Hui memotong
kalimat Wen Fang dengan geram sambil mengacungkan
pedangnya yang tinggal separuh itu kepada suaminya.
"Ibu?! Mengapa ibu memarahi ayah?" tanya Yang
Hong yang kebingungan. Air mata sudah menggantung di
pelupuk matanya. Tadi ia menghadapi musuh masih bisa
berusaha tegar tapi kini ayah ibunya sendiri yang
bertengkar, mana mungkin hatinya sebagai seorang anak
tidak sedih.
"Hong-er, jangan pernah panggil lagi binatang ini
sebagai ayahmu. Ia tidak pantas untuk menjadi ayahmu"
kata Jien Jing Hui sambil merangkul Yang Hong agar
merapat kepadanya.
"Istriku, apakah sudah tidak bisa lagi engkau
memaafkanku?" tanya Wen Fang sambil berusaha
mendekati Jien Jing Hui.
"Jika engkau membunuh dirimu sendiri mungkin aku
akan memaafkanmu" kata Jien Jing Hui dengan dingin.- 140 "Ibu?!" teriak Yang Hong sambil berurai air mata. Ia
sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada
ayah dan ibunya ini.
"Baiklah, jika dengan begitu engkau bisa memaafkan
aku. Sekarang bunuhlah aku untuk membalaskan dendam
Tien Lung Men" kata Wen Fang maju sambil memejamkan
matanya.
"Kau pikir aku tidak akan tega?" tanya Jien Jing Hui
sambil maju menusukkan pedangnya. Gerakannya begitu
cepat dan tidak diduga sama sekali baik oleh Wen Fang,
Yang Hong bahkan Jien Jing Hui sendiri. Gerakan itu
muncul dengan sendirinya saja karena dendam dan amarah
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang begitu berkecamuk di dada Jien Jing Hui.
"Sleppp"
Bunyi pedang menusuk daging memecah keheningan
pagi buta itu. Waktu seakan-akan ikut terhenti melihat
kekalutan yang dialami oleh tiga anak manusia itu. Memang
hidup manusia ini bagaikan kapal kecil yang diombangambingkan gelombang samudra kehidupan.
"Ayah!" teriak Yang Hong memecah kesunyian, la
menubruk dan memeluk ayahnya sambil berurai air mata.
Hari ini begitu banyak yang terjadi hingga ia tidak tahu lagi
apa yang benar-benar terjadi. Semuanya seperti mimpi
buruk dan ia hanya ingin cepat-cepat bangun dari mimpi
buruk ini.- 141 Wen Fang sendiri terhuyung mundur sambil
memegangi dadanya yang mengucurkan darah segar.
Untung saja pedang Jien Jing Hui sudah patah separuh, jika
tidak tentunya pedang itu akan tembus sampai ke punggung
dan ia akan tewas seketika!
"Me... mengapa engkau tidak menghindar?" tanya
Jien Jing Hui dengan bergetar. Tanpa terasa pedangnya jatuh
dari genggaman tangannya. Memang ia benar-benar benci
pada Wen Fang karena telah berkhianat dan menghancurkan
keluarganya, tapi masa-masa indah sebagai pasangan suami
istri yang telah dilalui bersama selama beberapa tahun tentu
tidak bisa dihapuskan dengan begitu saja. Jien Jing Hui
teringat saat ketika pertama kali mereka berlatih pedang
bersama di bukit belakang Yi Chang, ketika mereka saling
berkejaran di hutan, ketika mereka saling memancing
bersama, ketika mereka saling bersumpah setia demi langit
dan bumi untuk saling mencintai selamanya, ketika...
"Ah, mengapa semua ini harus terjadi" desah Jien
Jing Hui penuh sesal. Air mata mulai menetes dari pelupuk
matanya karena tak kuasa menahan haru. Bagaimanapun
Wen Fang adalah suaminya dan itu adalah kenyataan yang
tidak dapat dipungkiri oleh siapapun juga, termasuk oleh
dirinya.
"Hong-er, mari kita pergi" kata Jien Jing Hui sambil
menggandeng tangan anaknya yang masih memeluk erat
Wen Fang.- 142 "Ibu, mengapa harus melukai ayah?" tanya Yang
Hong sambil menangis. Ia berusaha mengibaskan tangan
ibunya yang menariknya dari pelukan Wen Fang. Ia marah
kepada ibunya yang begitu tega menusuk ayahnya.
"Hong-er, jangan membuat ibu marah" kata Jien Jing
Hui dengan nada marah. Ia sendiri sudah kalut sehingga
tidak bisa lagi menerima kenyataan Yang Hong sedang
merajuk.
"Istriku, mengapa tidak engkau maafkan aku?
Biarkan kita kembali bersama seperti dulu" kata Wen Fang
dengan memelas. Luka tusukan di dadanya cukup parah dan
banyak mengucurkan darah sehingga ia mulai merasa agak
lemas dan pusing.
"Jangan bermimpi pengkhianat keji. Aku tidak akan
pernah membiarkan Hong-er tumbuh dalam lingkungan
para penjahat seperti kau dan ayahmu" kata Jien Jing Hui
sambil tetap menyeret Yang Hong, kali ini dengan lebih
bertenaga lagi sehingga gadis kecil itu tak kuasa lagi
memeluk ayahnya. Wen Fang pun ikut terjerembab jatuh
karena tarikan Jien Jing Hui. la hanya bisa berteriak
memanggil-manggil istri dan putrinya yang semakin
menjauh, hilang dalam keremangan hutan yang mulai
tersaput sinar pagi. Suara teriakan Yang Hong memanggil
ayahnya makin lama makin hilang seiring dengan
memudarnya kesadaran Wen Fang yang telah kehilangan
banyak darah.- 143 *** Ratusan bayangan pedang dan golok berkelebat
dengan kecepatan dan kekuatan luar biasa. Deru hawa
pedang dan golok menimbulkan bunyi seperti angin ribut.
Para prajurit yang berdiri mengelilingi arena pertarungan
antara Cen Hui dan Feng Ming semakin lama semakin
longgar karena tak kuasa menahan kekuatan dua pendekar
kelas atas itu. Bahkan beberapa prajurit sempat terluka
karena hawa pedang dan golok luar biasa yang sanggup
mengiris batu dari jarak beberapa langkah itu.
Ilmu pedang Cen Hui adalah ilmu pedang yang
berasal dari keluarga Cen secara turun-temurun. Ilmu
pedang ini mengandalkan kekuatan tenaga dalam yang
digabungkan dengan kecepatan pedangan. Ilmu pedang Cen
adalah jurus pedang cepat. Hampir semua jurus selalu
menonjolkan kecepatan, baik menyerang atau bertahan.
Pedang selalu menyerang dalam garis lurus dan bertahan
dalam garis menyilang.
Sedangkan golok Feng Ming adalah ilmu golok keras.
Kekuatan tenaga disalurkan ke pergelangan tangan sehingga
setiap tebasan memiliki kekuatan yang luar biasa. Jurus
Lung Wang Tao (Golok Raja Naga) adalah jurus yang
perkasa seperti namanya dan tidak mengutamakan
kecepatan tapi kekuatan untuk mendobrak lawan. Apalagi
sejak memiliki golok sakti, kekuatan ilmu Feng Ming
menjadi berlipat ganda karena daya serang jurusnya amat- 144 didukung oleh kekuatan goloknya yang terbuat dari baja
pilihan.
Andaikata saat itu ada pendekar kelas atas yang dapat
menghargai keindahan dan kehebatan jurus mereka berdua,
pastilah ia akan sangat bahagia dan terkagum-kagum. Jurus
pedang Cen Hui melawan golok Feng Ming adalah sesuatu
yang langka terjadi sehingga amat sayang untuk dilewatkan.
Selama ini juga mereka belum pernah saling bertarung
sehingga inilah pertama kali pedang Cen Hui akan diuji
golok Feng Ming. Sungguh sayang sekali jika hanya para
prajurit biasa yang melihatnya!
Tapi benarkah hanya prajurit biasa saja yang
melihatnya? Tampaknya tidak demikian adanya. Sebuah
bayangan merah tampak berdiri dengan ringan sekali di atas
salah satu tenda prajurit. Bayangan pria itu memakai
penutup muka berwarna merah pula. Matanya yang
memancarkan kekejaman melihat engan bergairah sekali
pertarungan antara Cen Hui dan Feng Ming yang sedang
terjadi di bawah seperti seorang anak kecil yang
mendapatkan mainan baru. Setiap jurus dan gerakan tidak
luput dari pandangan matanya yang tajam sekali.
Cen Hui dan Feng Ming sendiri sudah bertarung lebih
dari seratus jurus sekarang. Pedang Angin Putih dan Golok
Raja Naga sudah berbenturan puluhan kali dan
menghamburkan percikan bunga api ke udara, namun tidak
juga surut keinginan kedua pendekar itu untuk terus saling
menjajal kekuatan lawan. Dalam hati mereka memuji- 145 kehebatan lawan masing-masing karena selama ini jarang
sekali mereka berdua mendapatkan lawan setanding seperti
sekarang ini. Sampai jurus keseratus tiga puluh mereka
berdua masih sama kuat dan berimbang. Mereka berdua
berhenti untuk mengatur napas sejenak, terutama Cen Hui
yang sebelum pertarungan ini dikeroyok habis-habisan oleh
ratusan prajurit.
"Pendekar Cen, ilmu pedang keluarga Cen memang
bukan hanya nama kosong belaka" puji Feng Ming sambil
memegang goloknya erat-erat untuk menghentikan getaran
golok akibat benturan puluhan kali dengan pedang lawan
sampai mengeluarkan suara berdengung seperti lebah.
"Pendekar Feng, aku juga menyampaikan hormatku
atas kehebatan anda" kata Cen Hui sambil balas menjura. la
juga merasakan kaku dan kesemutan pada pangkal
lengannya karena kekuatan benturan golok Feng Ming.
"Bagus, bagus. Sudah lama tulang-tulang tua ini tidak
berlatih, hari ini dapat bertemu pendekar Cen adalah sebuah
keberuntungan bagiku. Sayang sekali ada pengecut yang
mengintip pertarungan kita. Lihat golok!" seru Feng Ming
sambil tersenyum lebar dan maju menebaskan goloknya.
Hawa golok yang kuat langsung meledakkan tanah dan
menghamburkan pasir kemana-mana sehingga mengaburkan pandangan. Tampaknya kehadiran sosok bayangan
merah itu sudah disadari oleh Feng Ming dan Cen Hui
sehingga mereka memilih untuk bertarung dalam selimut
debu dan pasir agar tidak terlihat gerakan dan jurus mereka.- 146 Bayangan merah itu tersenyum sinis melihat gerakan Feng
Ming barusan, la segera melompat turun dengan ringan
sekali dari alas kemah. Kakinya menjejak pundak dan
kepala para prajurit di seputar arena pertarungan hingga tiba
persis di dekat hamparan kabut pasir dan debu.
Feng Ming dan Cen Hui tampaknya terlibat
pertarungan yang semakin sengit sekarang. Bunyi pedang
dan golok berdesingan hampir tanpa henti. Bunga api
tampak menyala-nyala kabur di antara hamburan pasir dan
debu. Mata bayangan merah itu dengan tajam mengawasi
semua pergerakan, seakan-akan dapat menembus kabut
pasir dan debu dengan mudah. Para prajurit sendiri hanya
bisa berdiam diri saja melihat kedatangan bayangan merah
ini karena para kepala prajurit tidak memberikan perintah
apa-apa.
Tiba-tiba dari dalam kabut pasir, muncul desingan
Golok Raja Naga mengarah ke arah kepala bayangan merah.
Gerakan yang tiba-tiba ini tentu saja membuat kaget
bayangan merah yang tidak menyangka dirinya akan
menjadi sasaran serangan, la segera melompat mundur
beberapa langkah menghindari teba Feng Ming. Tapi belum
lagi kakinya menapak tanah, sosc Cen Hui sudah terbang
tinggi keluar dari gumpalan deb bagaikan seekor gagak
putih mengincar mangsa.
Cen Hui tanpa ragu-ragu langsung menyerang musuh
barunya itu dengan sepenuh tenaga. Ia dari tadi sudah geram
karena pertempuran hidup matinya dengan Feng Ming- 147 malah dijadikan oleh bayangan merah ini sehingga ia berniat
memberikan pelajaran. Pedang Awan Pulihnya diputar
dengan kecepatan tinggi dan ia pun berputar turun tegak
lurus ke arah bayangan merah itu. Inilah salah satu jurus
mematikan dari ilmu pedang keluarga Cen yaitu Pai Yin
Pien Yi (Awan Putih Menjadi Hujan)-Sesuai nama jurusnya,
tusukan pedang Cen Hui legak lurus dan atas turun tanpa
henti-hentinya bagaikan hujan lebat.
Bayangan merah itu berseru kagum atas kehebatan
jurus ini namun ia terlihat tetap tenang, la segera mencabut
senjatanya yang tersandang di pinggang yaitu sepasang
pedang dan golok pendek berwarna merah. Sepasang senjata
itu diputar untuk melindungi tubuhnya dari siraman hujan
pedang Cen Hui yang seakan tak henti-hentinya menyerang.
Bunyi besi beradu berdesing hebat memekakkan telinga.
Bunga api berhamburan banyak sekali seperti kembang api
saat perayaan tahun baru. Puluhan tusukan pedang Cen Hui
baru berhenti setelah ia mendarat di tanah dengan ringannya.
Bayangan merah itu sendiri mundur beberapa langkah
sambil mengatur napasnya kembali setelah diserang habishabisan. Tangannya yang memegang pedang dan golok
pendek tampak bergetar menahan serangan jurus Pai Yin
Pien Yi barusan.
"Teman, jika ingin menonton mengapa tidak
memperkenalkan diri terlebih dulu" tegur Feng Ming
dengan berwibawa.- 148 "Pendekar Feng, maafkan atas kelancanganku. Tapi
aku Cien Tao Hong Ying (Pedang Golok Bayangan Merah)
hanya melaksanakan perintah kasim kepala Huo Cin saja"
kata bayangan merah bernama Hong Ying itu sambil
menjura hormat kepada Feng Ming.
"Oh? Jadi engkau berada di pihak kerajaan?" tanya
Feng Ming setengah lega. Meskipun ia tidak mengenal
Hong Ying tapi ia cukup senang mengetahui bahwa Hong
Ying berada di pihaknya.
"Benar, pendekar Feng dan aku amat ingin menjajal
sendiri kehebatan jurus ilmu keluarga Cen" jawab Hong
Ying.
"Hmmm, apakah engkau meragukan kemampuan
Golok Raja Naga milikku ini?" tanya Feng Ming sedikit
tidak senang.
"Bukan demikian, tapi setelah melihat pertarungan
kedua pendekar barusan, benar-benar ingin menjajal sendiri
kehebatannya" kata Hong Ying dengan mantap. Tampaknya
ia sama sekali tidak takut kepada Feng Ming ataupun juga
kepada Cen Hui.
"Baiklah jika engkau memaksa. Pendekar Cen,
sekarang engkau mendapat lawan yang baru" kata Feng
Ming sambil menyarungkan goloknya.
Cen Hui sendiri merasa sebal sekali dianggap seperti
barang mainan dioper kesana-kemari. Bagaimanapun juga ia- 149 adalah Ketua Timur partai Naga Langit yang kesohor di
seluruh dunia persilatan, tapi sekarang malah diremehkan
begini. Meskipun tubuhnya kelelahan, tapi ia adalah seorang
pendekar yang pantang dihina begitu saja.
"Pendekar Feng, engkau maju bersama-sama
sekaligus aku juga tidak keberatan" kata Cen Hui yang
sudah panas hati itu.
"Aku saja seorang sudah cukup meladenimu" kata
Hong Ying tanpa basa-basi lagi langsung menyerang Cen
Hui. Hong Ying yang memegang pedang pendek merah di
tangan kanan dan golok pendek merah di tangan kiri,
bergerak amat cepat dan mematikan, la berubah menjadi
gulungan bayangan merah yang membalut Cen Hui dengan
amat rapat. Ini adalah jurus maut milik Hong Ying yaitu
Hong Se Ti Yi (Neraka Kematian Merah). Jurus ini
mengandalkan kecepatan gerak langkah kaki pemiliknya,
berubah-ubah ke segala arah dan menyerang titik lemah
lawan. Tadi ketika Cen Hui bertarung dengan Feng Ming,
kelemahan dan kelebihannya sudah dilihat oleh Hong Ying
sehingga boleh dikata Cen Hui sudah kalah setengah
langkah. Musuh sudah mengetahui kita tapi kita sama sekali
buta terhadap kekuatan lawan.
Tapi bukan Pai Wu Ya Cen Hui (Cen Hui sang Gagak
Putih) jika ia bisa ditaklukkan dengan begitu saja. Sambil
berteriak marah karena terus-menerus dikepung oleh- 150 sabetan golok dan tusukan pedang, Cen Hui memutar
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pedang Angin Putihnya bak sebuah kincir dan maju
menerjang mengejar bayangan Hong Ying. Selama ini di
partai Tien Lung Men, hanya ketua Jien Wei Cen sajalah
yang mempunyai ilmu ringan tubuh di atas Cen Hui
sehingga ia merasa malu jika dalam pertarungan ini sampai
kalah kelas dengan Hong Ying dalam ilmu peringan tubuh.
Maka sebentar saja, dua gulungan merah dan putih sudah
berkelebatan saling mengejar membuat mata prajurit yang
melihatnya menjadi kabur dan pusing.
Hanya Feng Ming seorang yang masih dapat melihat
pertempuran tadi dengan jelas. Kini setelah diserang terus
oleh Hong Ying giliran Cen Hui yang balik menyerang
dengan tidak kalah ganasnya. Pedangnya berkelebat
mengejar terus Hong Ying bagaikan bermata saja layaknya.
Hong Ying menangkis tusukan pedang Cen Hui dengan
tidak kalah gigihnya dan sekali juga balas menyerang
berusaha melukai lawan hingga tidak terasa sudah lima
puluh jurus berlalu. Kedudukan masih sama kuat bagi
keduanya sehingga Cen Hui dan Hong Ying memutuskan
untuk berhenti sebentar mengambil napas dan mengatur
strategi lain menghadapi lawan.
Cen Hui setelah bertarung tiga babak berturutan
merasakan tubuhnya semakin lelah. Napasnya mulai tidak
teratur dan berkeringat banyak. Hanya saja semangatnya
menghadapi lawan masih berkobar-kobar sehingga ia tetap
kuat berdiri dan menantang lawan. Sementara Hong Ying- 151 sendiri mengakui kehebatan ilmu pedang Cen yang
menyerang dan bertahan dengan sama baiknya sehingga
nyaris tanpa celah. Tapi ia dapat melihat kelelahan yang
terjadi dalam diri Cen Hui, terutama napasnya mulai tidak
teratur.
"Pendekar Cen, jangan terlalu memaksakan dirimu.
Aku takut tulang tuamu tidak kuat lagi untuk pertarungan
seperti ini" ejek Hong Ying.
"Huh! Sepuluh ronde lagi aku masih sanggup
menghadapi tikus seperti engkau" kata Cen Hui menghina.
"Baiklah! Semoga ucapanmu tidak hanya sekadar
omong kosong" kata Hong Ying sambil mengambil kudakuda menyerang.
Pertempuran hidup mati akan dimulai kembali. Feng
Ming yang melihat dari pinggir arena pertempuran, dalam
hati memuji keteguhan dan sifat ksatria Cen Hui. Ia sama
sekali tidak melarikan diri ataupun tampak takut, padahal di
depannya berdiri salah satu Wu Se (Lima Warna Kematian)
juga kepungan ratusan prajurit yang bersenjata lengkap.
Belum lagi Feng Ming sendiri, salah satu San Ta Wang Pao
(Tiga Besar Pengawal Kerajaan) yang tersohor dengan Lung
Wang Tao (Golok Raja Naga).
Pertarungan berjalan kembali dengan lebih seru dan
ganas. Hong Ying mencoba menekan Cen Hui dengan
serangan pendek dan cepat dengan harapan akan dapat
menguras tenaganya dengan lebih cepat. Memang pedang- 152 dan golok merah pendek yang dipakai Hong Ying amat
sesuai untuk pertempuran jarak dekat. Ada pepatah yang
mengatakan, semakin panjang sebuah senjata akan semakin
hebat sedangkan semakin pendek suatu senjata akan
semakin berbahaya. Pepatah ini benar sekali untuk Hong
Ying, yang bisa memainkan pedang dan golok merah
pendeknya dengan bergantian menyerang sehingga Cen Hui
bagaikan menghadapi dua pendekar pedang dan golok
secara bersamaan saja layaknya!
Cen Hui yang sudah kelelahan semakin terdesak saja.
Ia sekarang hanya bisa mundur dan bertahan terhadap
tusukan dan tebasan Hong Ying yang ganas. Tangannya
yang memegang pedang Angin Putih sudah hampir mati
rasa. Baju sutra putihnya basah oleh keringat dan darah.
Tampaknya sebentar lagi ia akan tumbang oleh kehebatan
serangan Hong Ying yang seakan tidak putus-putus itu.
Tepat pada saat yang genting itu, tiba-tiba tanah
tempat mereka berpijak seakan bergetar. Para prajurit yang
mengepung tempat pertempuran menjadi keheranan dan
saling berpandangan. Bahkan kini sebuah gelombang tanah
seakan-akan mendatangi tempat pertempuran Cen Hui dan
Hong Ying bagaikan ombak memecah pantai. Feng Ming
yang paling siaga dan hebat ilmunya, langsung bersiap
mencabut Golok Raja Naga dari sarungnya.
Sebuah ledakan keras memaksa Cen Hui dan Hong
Ying melompat mundur beberapa langkah ke belakang.
Mereka berdua bersiaga menghadapi segala kemungkinan- 153 yang terjadi. Sesosok bayangan emas dan bayangan putih
menghambur keluar dari dalam tanah itu, menghamburkan
debu dan pasir kemana-mana. Bayangan emas itu membawa
sebuah senjata berbentuk seperti payung kecil tertutup yang
terbuai dari besi utuh. Ia memeluk sesosok bayangan lain
berjubah putih yang kelihatannya pingsan. Payung besi
bulat itu itu diputarnya dengan kecepatan tinggi sehingga
bertindak layaknya bor besi untuk menembus tanah. Benarbenar senjata dan ilmu yang aneh!
"Ti Su Cing Ying (Tikus Tanah Bayangan Emas) kau
sialan! Mengapa kau mengacaukan urusanku dengan Cen
Hui ini?" teriak Hong Ying dengan marah kepada pria
berbaju emas yang baru tiba dengan cara luar biasa itu.
"Hehehehe, tenang saja Hong Ying. Lihat siapa ini
yang kubawa pulang" kata pria berbaju emas yang disebut
Cing Ying (Bayangan Emas) itu sambil mengibaskan
bajunya yang penuh debu tanah itu. Tapi semua yang hadir
di sana tidak memperhatikan tindakannya karena terpaku
pada sosok baju putih yang sedang pingsan dalam bopongan
Cing Ying. Sosok itu tidak lain adalah Huo Cin sang kepala
kasim istana dan juga kepala Lima Warna Kematian!
Seorang kepala pasukan berteriak kepada prajuritnya
agar segera memanggil Wen Yang dan Huang Ding Siang
ke sana. Apapun yang terjadi pada Huo Cin, mereka berdua
adalah orang yang paling berhak memutuskan langkah
selanjutnya. Saat Cen Hui dan Jien Jing Hui tadi memporakporandakan barisan prajurit, mereka berdua ditambah Chang- 154 Bai dan Pan Chung segera lari dan bersembuyi di tengahtengah tenda yang dijaga ketat oleh ratusan prajurit
bersenjata lengkap. Mungkin
Huang Ding Siang bersembunyi masih dapat
dimaklumi karena ia adalah Penyelia Militer yang tidak bisa
ilmu silat sama sekali, tapi jika Wen Yang, Chang Bai dan
Pan Chung ikut bersembunyi bukankah itu amat
memalukan?
Tapi itulah sifat pengecut dan licik dari mereka
bertiga yang sudah kehilangan rasa malunya. Mereka tidak
segan-segan berlindung di belakang ratusan prajurit sebagai
tameng bagi mereka. Jika saja ada sedikit jiwa ksatria,
tentulah mereka tetap akan berada di garis depan
pertempuran meskipun mereka telah terluka. Mungkin ini
salah satu sebab Feng Ming tidak mau banyak berurusan
dengan mereka bertiga maupun anak buah aliran mereka
bertiga.
Wen Yang berjalan dengan tergopoh-gopoh diikuti
oleh Penyelia Militer Huang Ding Siang sementara Chang
Bai dan Pan Chung berjalan agak di belakang mereka sambil
melihat situasi. Huo Cin yang masih pingsan itu sekarang
diletakkan bersandar di sebuah pohon tidak jauh dari tempat
kemunculan Cing Ying tadi sambil dijaga oleh puluhan
prajurit. Sebenarnya Cen Hui ingin sekali mengambil
kesempatan untuk membunuh Huo Cin sayang sekali ia
sudah tidak bertenaga lagi. la juga sangat ingin mengetahui
apa yang telah terjadi di bukit Guan Hu dan melihat keadaan- 155 Huo Cin yang terluka, semangatnya menjadi timbul kembali
karena harapan akan Jien Wei Cen memenangkan
pertempuran. Sekarang yang penting ia ada kesempatan
untuk mengambil napas dan menghimpun tenaga kembali.
Cing Ying yang memegang payung besi bulat itu
berdiri di dekat pohon tempat Huo Cin dibaringkan. Ia
adalah seorang yang kurus dan berambut panjang terurai.
Matanya sipit sekali dan kumisnya panjang dan jarang.
Hidungnya juga kecil dan panjang. Mungkin sepintas lalu
orang akan teringat wajahnya mirip seekor tikus saja.
Mungkin karena wajah dan ilmunya yang aneh itulah
sebabnya ia dijuluki Tikus Tanah Bayangan Emas.
"Cing Ying, apakah yang telah terjadi?" tanya Wen
Yang dengan tidak sabar. Ia ingin segera tahu apa yang
terjadi pada kakaknya itu.
"Lapor tuan Wen, tadi siang aku diminta berjaga di
sekitar bukit Guan Hu oleh ketua Huo Cin. Sekitar petang
aku mendengar banyak sekali ledakan dan teriakan sampai
menjelang malam. Akhirnya aku memutuskan untuk
mengintip dan menyelidiki apa yang terjadi. Kulihat Jien
Wei Cen masih tengah bertarung dengan Fang Yung Li
sementara ketua Huo Cin
tergeletak pingsan tak jauh dari mereka jadi aku
putuskan untuk menyelamatkan dulu ketua dan
membawanya kembali kemari" kata Cing Ying
menjelaskan.- 156 "Bagaimana dengan nasib Fan Zheng dan Guo Cing
Cen?" tanya Wen Yang lagi dengan nada khawatir.
"Aku tidak melihat mereka berdua" jawab Cing Ying.
"Hahahahaha, ternyata kalian pengecut main keroyok
masih juga tidak mampu mengalahkan Jien Pang-cu (Ketua
Jien)" ejek Cen Hui sambil tertawa menghina, la tampak
gembira sekali mendengar kabar yang dikatakan Cing Ying
barusan. Jien Wei Cen meskipun dibokong dengan licik
sekali oleh Wen Fang namun masih sanggup bertahan
bahkan mengalahkan para pengeroyoknya. Sungguh suatu
berita gembira yang harus ia kabarkan kepada temantemannya di Tien Lung Men.
"Mengapa ia masih hidup dan berdiri di sini?!" teriak
Wen Yang dengan kesal karena melihat Cen Hui masih
hidup.
"Kau heran melihat aku masih hidup? Anak buahmu
dan para prajurit sekalipun tidak akan dapat mengalahkanku
begitu saja. Jika kau ingin mencoba bertarung juga, aku Pai
Wu Ya Cen Hui (Cen Hui si Gagak Putih) akan selalu siap
meladenimu" ejek Cen Hui lagi untuk membuat panas hati
Wen Yang. Ia tahu Wen Yang sedang dalam keadaan terluka
sehingga tidak akan berani maju meladeni ejekannya.
"Kurang ajar kau gagak busuk! Hong Ying, Cing
Ying! Siapapun yang pertama dapat memenggal kepalanya
akan dihadiahi sepuluh ribu tael emas" teriak Wen Yang
dengan marah sekali.- 157 Bagaikan elang mengejar seekor kelinci, Cing Ying
dan Hong Ying langsung melesat maju menyerang Cen Hui.
Hadiah sepuluh ribu tael emas adalah hadiah yang sangat
besar, bahkan untuk pembunuh bayaran kelas atas seperti
mereka. Tidak heran mereka begitu bersemangat untuk
menghabisi Cen Hui karena sudah terbayang gelimang harta
di mata mereka. Wen Yang sendiri segera memerintahkan
beberapa prajurit untuk membopong Huo Cin ke tenda
utama yang lebih aman jauh dari arena pertempuran. Ia
harus segera menyadarkan Huo Cin agar bisa
memberitahukan apa yang telah terjadi dan langkah apa
yang harus diambil selanjutnya. Jenderal Chu Song sudah
terluka dan kini Huo Cin juga terluka, pasukan kerajaan dan
gabungan para pesilat kini seperti kehilangan kepala
mereka. Wen Yang tahu ia harus segera bertindak cepat jika
tidak ingin menderita kekalahan yang lebih telak.
Salah satu tindakan itu adalah mencegah Cen Hui
kembali ke Tien Lung Men dan memberitakan apa yang
terjadi. Ia juga harus mencegat Jien Wei Cen dalam
perjalanan kembali ke markas Tien Lung Men. Sebenarnya
ia amat membutuhkan bantuan anaknya Wen Fang dalam
keadaan seperti ini, tapi sedari tadi ia mencari-cari dan tidak
menemukannya, jadi ia memerintahkan dua orang anggota
Ceng Lu Hui (Perkumpulan Jalan Kebenaran) untuk datang
menghadap di dalam kemah utama.
"Kalian berdua dengarkan perintah!" kata Wen Yang.
"Siap!" jawab mereka serentak.- 158 "Segera beritahukan kepada Hei Ying (Bayangan
Hitam) dan Pai Ying (Bayangan Putih) untuk mencegat Jien
Wei Cen dalam perjalanan kembali ke markas Tien Lung
Men. Hanya ada kata berhasil, tidak ada kata gagal!"
perintah Wen Yang dengan tegas.
"Kami siap menyampaikan perintah" jawab mereka
sambil segera berlalu keluar dari kemah utama.
"Pendekar Wen, mungkin aku juga perlu
memerintahkan para prajurit untuk menjaga semua jalan
masuk ke markas Tien Lung Men dengan lebih ketat.
Bahkan mungkin juga jalan-jalan setapak yang selama ini
tidak kita jaga dengan ketat" kata Penyelia Militer Huang
Ding Siang.
"Penyelia Wen, apa yang anda pikirkan amat tepat.
Segera sebar prajurit penjaga ke semua jalan menuju markas
Tien Lung Men. Jangan sampai Jien Wei Cen si tua bangka
itu lolos dari tangan kita" kata Wen Yang membenarkan
pikiran Huang Ding Siang.
Akhirnya Huang Ding Siang pun memanggil
beberapa kepala prajurit masuk dan memberikan perintah
untuk menjaga ketat semua jalan ke markas Tien Lung Men.
Siapapun yang keluar ataupun masuk akan dibunuh tanpa
bertanya lagi. Sungguh sebuah perintah yang amat keras!
Kembali ke medan laga pertempuran antara Cen Hui
melawan Hong Ying dan Cing Ying benar-benar berat
sebelah. Jika tadi melawan seorang Hong Ying saja ia sudah- 159 kewalahan apalagi kini Cing Ying dengan senjata dan ilmu
anehnya semakin merepotkan Cen Hui. Dua orang
pembunuh itu menyerang begitu ganas dan saling menutup
kelemahan masing-masing sehingga Cen Hui hanya bisa
bertahan terus. Gerakan pedangnya semakin melemah
sehingga Feng Ming yang masih melihat dari pinggir arena
menyadari bahwa nasib Cen Hui sebentar lagi pasti akan
berakhir di tangan kedua pembunuh sadis itu. Dalam
hatinya sebenarnya Feng Ming amal menyayangkan seorang
pendekar gagah seperti Cen Hui harus menemui nasib naas
di tangan para pembunuh gelap seperti Wu Se (Lima Warna
Kematian) dan bukan dalam pertempuran ksatria satu lawan
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satu dengan pendekar pedang hebat lainnya. Namun ia tidak
dapat berbuat apa-apa karena Feng Ming merasa
bagaimanapun Tien Lung Men sudah melawan kerajaan
dengan menyembunyikan buronan negara dan terangterangan menantang pasukan kerajaan.
"Gagak busuk, terimalah ajalmu" kata Cing Ying
sambil melompat jungkir balik dan memutar tubuhnya
bagaikan gasing. Payung besi bulat yang dibawanya
menghunjam ke tanah dengan keras menimbulkan hebat
yang menghamburkan batu dan pasir. Inilah jurus milik
Cing Ying yang aneh dan sukar dicari tandingannya, Cing
Su Sia Ti Yi (Tikus Emas Turun ke Neraka) yang membuat
pemiliknya mampu menerobos masuk ke dalam tanah dan
bergerak seperti seekor naga tanah saja layaknya. Serangan- 160 dilakukan dari bawah tanah ke arah lawan sehingga sangat
sulit dihindari dan diduga.
Cen Hui tidak sempat lagi melihat gerakan ajaib Cing
Ying itu karena serangan maut sudah datang dari Hong
Ying. Golok dan pedang merah pendek berkelebat cepat
sekali memotong semua jalan mundur Cen Hui. Tampaknya
Hong Ying benar-benar ingin menghabisi Cen Hui secepat
mungkin agar ia bisa mendapat seribu tael emas sebagai
hadiahnya. Tapi terburu-buru adalah suatu pantangan besar
bagi pendekar yang sedang bertarung, tidak terkecuali Hong
Ying. Ia merangsek Cen Hui dengan sekuat tenaga karena
merasa sudah berada di atas angin sehingga tidak
memperhatikan gerak langkah Cen Hui yang begitu ringan
memutari tubuhnya.
Golok dan pedang merah pendek hanya mengenai
angin saja karena Cen Hui yang memanfaatkan angin
serangan lawan digabung dengan ringan tubuhnya yang
tinggi mampu melayang ke belakang tubuh Hong Ying. Kini
giliran Hong Ying yang terancam bahaya maut karena
punggungnya yang terbuka bakal menjadi sasaran empuk
pedang Angin Putih. Kesempatan bagus tidak akan datang
dua kali dan Cen Hui menyadari benar arti pepatah itu
sekarang. Ia menusukkan pedangnya dengan sekuat tenaga
ke arah punggung Hong Ying yang terbuka, diiringi telapak
tangan kiri penuh tenaga. Serangan ganda ini berguna untuk
menghadapi perubahan keadaan apabila Hong Ying masih
sempat berkelit dari tusukan pedang. Ternyata memang apa- 161 yang diperkirakan Cen Hui benar sekali. Hong Ying
berputar ke kiri untuk menghindari tusukan pedang Angin
Putih dan membalikkan badan menghadapi lawannya. Tak
pelak lagi telapak kiri Cen Hui yang penuh tenaga langsung
menghajar dada Hong Ying denuan keras.
"Bukkk!"
Hong Ying merasakan dadanya sesak sekali hingga
susah bernapas. Darah segar muncrat dari mulutnya dan
membasahi topeng mukanya sehingga berwarna semakin
merah. Jika saja Cen Hui dalam keadaan segar bugar
mungkin riwayat Hong Ying sudah tamat saat itu juga, tetapi
tenaga Cen Hui sekarang hanya kurang dari separuh saja
sehingga selamat selembar nyawa Hong Ying itu. Bahkan di
saat genting itu, Hong Ying masih sempat membabatkan
golok merahnya ke arah perut Cen Hui hingga terluka.
Kedua pendekar itu saling terhuyung mundur akibat
bentrokan barusan. Hong Ying terluka lebih parah daripada
Cen Hui yang hanya menderita luka luar goresan golok di
perutnya saja. Tapi di saat Cen Hui melangkah mundur
sambil mengatur napasnya, tiba-tiba dari dalam tanah
muncul senjata pedang pendek yang merupakan ujung dari
payung besi bulat milik Cing Ying dan langsung
menghunjam masuk kaki kanan Cen Hui!
Cen Hui berteriak kesakitan karena tusukan barusan
mematahkan tulang kaki kanannya. Rasa sakit luar biasa
ternyata menimbulkan kembali sisa-sisa tenaganya dan Cen- 162 Hui menancapkan pedangnya ke tanah tempat payung besi
bulat Cing Ying berasal. Ia berharap dapat menewaskan
Cing Ying dengan sekali tusukan saja untuk kemudian mati
bersama dengan Hong Ying. Sejak saat penyamarannya
diketahui, ia sudah tidak berharap dapat keluar dari
perkemahan prajurit ini hidup-hidup. Bagi Cen Hui yang
terpenting adalah dapat menyelamatkan nyawa Jien Jing Hui
dan Yang Hong serta membawa sebanyak-banyaknya
nyawa musuh bersamanya ke neraka!
Tapi Cing Ying bukanlah musuh sembarangan saja.
Ia sudah terbiasa diserang dari atas tanah sehingga mampu
memperkirakan tusukan pedang Cen Hui yang meleset
sedikit dari kepalanya itu. Kini ia balas menyerang dengan
memutar senjatanya seperti gasing dan menembus keluar
tanah. Pedang pendek ujung senjata Cing Ying yang masih
menancap di kaki kanan Cen Hui itu ikut berputar hingga
menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Cen Hui membuang dirinya ke samping untuk
menghindari serangan maut Cing Ying itu. Kakinya yang
tertusuk terpaksa dikorbankan sehingga luka robeknya
melebar sampai ke pangkal paha. Darah segar menyembur
dari luka Cen Hui membasahi tanah pertempuran tapi Cen
Hui tetap berusaha berdiri tegak menghadapi lawan.
Pandangan matanya mulai kabur karena kelelahan dan
kehabisan banyak darah. Rasa sakit di kakinya terasa
berdenyut hingga ke ubun-ubun.- 163 "Majulah kalianberdua! Mari kita mati bersama"
teriak Cen Hui sambil menghunus pedang Angin Putih di
depan dadanya.
"Tahan!" seru Wen Yang yang keluar dari belakang
sambil berjalan menerobos barisan prajurit.
"Hong Ying, Cing Ying, kalian berdua sudah
bertindak bagus sekali. Kalian masing-masing akan
diberikan lima ribu tael emas atas jasa kalian, Tapi sekarang
adalah tugas prajurit istana untuk menegakkan wibawa
kerajaan" kata Wen Yang sambil mempersilakan Huang
Ding Siang maju ke depan.
Hong Ying dan Cing Ying segera mundur ke samping
memberikan jalan setelah mendengar perkataan Wen Yang
barusan. Lima ribu tael emas adalah sesuatu jumlah yang
sangat besar dan cukup menggiurkan meskipun hanya
separuh dibandingkan sepuluh ribu tael emas. Mereka
adalah pembunuh bayaran yang mementingkan menerima
bayaran bukan kehormatan atau nama besar. Apalagi bagi
Hong Ying yang sudah terluka dalam, uang lima ribu tael
emas sudah lebih dari cukup. Huang Ding Siang sendiri
maju ke depan diiringi puluhan prajurit panah. Ia tampaknya
cukup berani maju setelah melihat Cen Hui terluka parah.
Sungguh bukan seorang penyelia militer yang patut
dibanggakan.
"Cen Hui, dengarkan baik-baik. Jika engkau
menyerah dan mau mengaku bersalah, aku akan mohon- 164 kepada Yang Mulia Kaisar agar mengampuni nyawamu"
kata Huang Ding Siang sambil tersenyum penuh
kemenangan.
"Aku seorang Ketua Timur Tien Lung Men selalu
bertindak jujur dan ksatria. Hari ini aku kalah karena siasat
keji dan main keroyok, mana mungkin aku mengaku kalah
dan bersalah" jawab Cen Hui dengan gagah.
"Jadi engkau memilih mati?" tanya Huang Ding
Siang yang tampak sedikit gusar dengan jawaban yang
diberikan oleh Cen Hui.
"Aku tidak akan mati sendirian" jawab Cen Hui
sambil melemparkan pedang Angin Putihnya dengan tenaga
penghabisan. Pedang itu meluncur cepat sekali bak petir
pulih menuju ke arah dada Huang Ding Siang. Tampaknya
nyawa penyelia militer itu sudah tidak bisa diselamatkan
lagi.
"Prangg!!"
Pedang Angin Putih menlal dan menancap di tanah
sambil berdengung keras akibat tangkisan Golok Raja Naga
milik Feng Ming. Sesaat sebelum Pedang Angin Putih
menembus dada Huang Ding Siang, Feng Ming masih
sempat melompat menghadang pedang itu sehingga
selamatlah nyawa penyelia militer itu dari maut. Tak urung
keringat dingin mengalir di dahi Huang Ding Siang.
Terlambat sedikit saja tangkisan Feng Ming, nyawanya
pastilah sudah menghadap raja neraka.- 165 "Prajurit panah! Bunuh pemberontak Cen Hui!"
teriak Huang Ding Siang dengan gusar sekali karena
perbuatan nekad Cen Hui barusan.
Puluhan prajurit panah yang sedari tadi sudah bersiap
segera melepaskan anak panah mereka. Bayangan puluhan
anak panah yang berkilau ditimpa cahaya pagi pertama
bagaikan sinar kematian dari neraka. Cen Hui yang sudah
terluka parah kaki kanannya tidak mungkin dapat
menghindar lagi namun ia sama sekali tidak gentar melihat
maut berada di depan mata malah ia tersenyum mengejek
Huang Ding Siang. Seorang pendekar sejati memang tidak
dapat dikalahkan hanya oleh kematian saja.
Puluhan panah menancap kuat di tubuh Cen Hui
namun ia masih berkeras tetap berdiri. Ia memandang nanar
kepada para prajurit panah. Pandangannya makin lama
makin kabur dan tubuhnya semakin terasa dingin karena
kehabisan darah. Rasa sakit sudah tidak lagi dirasakannya
karena tubuhnya sudah mati rasa. Akhirnya sang Gagak
Putih Ketua Timur Tien Lung Men yang sudah puluhan
tahun malang melintang di dunia persilatan roboh ke tanah
dan tidak bergerak lagi. Cahaya pagi yang mulai terbit dari
ufuk timur membuat langit merah semerah darah Cen Hui
yang tertumpah membasahi tanah. Kata-kata terakhir yang
diucapkan Cen Hui masih tetap menunjukkan kesetiaannya
yang besar kepada Tien Lung Men.
"Hidup yang mulia, Jien Pang-cu. Jayalah partai Tien
Lung Men!"- 166 29. Pedang Elang Emas
Jien Wei Cen membuka matanya pelan-pelan karena
silau oleh cahaya matahari yang menerobos melalui selasela dedaunan pohon hutan. Dadanya masih terasa sesak dan
kakinya kaku mati rasa. Ia berusaha mengingat-ingat
kembali apa yang terjadi sebelum ia tadi pingsan. Bukankah
ia tadi pingsan setelah bertarung dengan tiga Hei Ying Ping
(Prajurit Bayangan Hitam)? Mengapa ia sekarang bisa
terbaring bersandar di sebuah pohon?
"Jien Pang-cu. engkau sudah siuman?" tegur
seseorang kepadanya. Suara itu adalah suara yang asing bagi
telinganya. Suara seorang pemuda berbaju sederhana yang
tengah duduk membelakanginya menghadap ke arah hutan.
Pemuda itu berbadan tegap, rambutnya disisir dan diikat rapi
dengan kain. Namun yang membuat tertarik Jien Wei Cen
adalah sebuah pedang bergagang ukiran elang emas yang
tersandang di pinggang pemuda itu.
"Engkau yang menolong aku, marga Yung?" tanya
Jien Wei Cen sambil berusaha bangkit berdiri.
"Hahaha, ternyata mata Jien Pang-cu memang tajam.
Sekali lihat sudah tahu aku berasal dari keluarga mana" kata
pemuda itu sambil tertawa. Ia juga bangkit berdiri
bersamaan dengan Jien Wei Cen dan kini saling berhadapan
muka satu dengan yang lain. Pemuda itu mungkin berusia
awal duapuluhan. Wajah pemuda bermarga Yung itu tampak- 167 cerah dan menunjukkan keterbukaan. Alisnya lurus dan
tebal. Hidungnya mancung dan mulutnya bagus. Sungguh
seorang pemuda yang tampan.
"Dalam dunia persilatan, hanya satu keluarga yang
turun temurun memakai Cing Ing Cien (Pedang Elang
Emas) sebagai senjata yaitu keluarga Yung. Beberapa tahun
yang lalu pewaris pedang terakhir keluarga Yung yaitu
Yung Gai Meng meninggal setelah bertarung dengan adik
tiri Cen Hui, CenYu Huang. Bahkan karena kejadian itu
Tien Lung Men sempat berselisih paham dengan Tie Tau
Hui (Partai Golok Besi) pimpinan Yuan Jin Guan. Apakah
engkau anak Yung Gai Meng?" tanya Jien Wei Cen kepada
pemuda itu setelah menjelaskan panjang lebar.
"Benar Jien Pang-cu, aku bernama Yung Lang. Anak
tunggal mendiang ayahku Yung Gai Meng dan satu-satunya
penerus keluarga Yung yang masih tersisa" jawab pemuda
bernama Yung Lang itu sambil menjura hormat kepada Jien
Wei Cen.
"Bagus, seorang pemuda yang berbakat dan aku kirakira tahu apa tujuanmu datang jauh-jauh ke tempat
pertempuran seperti ini" kata Jien Wei Cen melanjutkan.
"Oh? Benarkah?" tanya Yung Lang keheranan.
"Engkau pasti ingin menuntut balas atas kematian
ayahmu dan kehancuran partai Golok Besi di tangan kami
beberapa tahun lalu" kata Jien Wei Cen, kali ini sambil
menatap tajam kepada Yung Lang.- 168 "Wah, ternyata Jien Pang-cu selain ilmu silatnya
nomor satu di kolong langit, juga ilmu ramalnya tidak kalah
hebat" kata Yung Lang sambil nyengir. Tidak tampak sama
sekali ketegangan atau rasa takut di wajahnya. Kelihatannya
ia seorang yang periang dan suka bercanda sehingga katakata Jien Wei Cen barusan sama sekali tidak dianggapnya
sebagai tantangan.
"Jadi apakah benar engkau kemari hendak mencabut
nyawaku?" tanya Jien Wei Cen dengan nada serius.
"Ah, Jien Pang-cu, saling membunuh dan dendam
tidak akan ada habisnya di dunia ini jadi untuk apa aku
menambahkannya lagi? Tapi pamanku Fu Pu Cin selalu
mengingatkanku agar belajar ilmu pedang dengan giat, agar
bisa membalaskan dendam ayah dan Tie Tau Hui kepada
Tien Lung Men. Aku merasa itu agak terlalu berlebihan"
kata Yung Lang menjelaskan.
"Apakah Fu Pu Cin yang menyuruhmu datang ke
daerah Tien Lung Men?" tanya Jien Wei Cen menyelidik, la
sekarang mulai menyukai pemuda itu meskipun tidak
mengendurkan kewaspadaannya sama sekali.
"Benar Jien Pang-cu, paman Fu menyuruhku datang
ke Yi Chang untuk membalaskan dendam. Menurutnya
sekarang Tien Lung Men harus menerima akibat dari segala
tindakannya selama ini yang menindas partai-partai kecil"
jawab Yung Lang lagi.- 169 "Jadi mengapa engkau tidak langsung membunuhku
tadi selagi aku pingsan. Bukankah dengan demikian engkau
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah membalaskan dendam ayahmu dan menjadi anak yang
berbakti?" pancing Jien Wei Cen.
"Dendam tidak akan selesai dengan saling
membunuh. Keluargaku dan keluarga Cen sudah turun
temurun saling dendam dan bermusuhan. Semua karena
leluhur kami dulu saling membunuh. Aku tidak ingin
mengikuti jejak mereka seperti itu, aku ingin hidup damai
dan berteman dengan banyak pendekar. Lagipula pantang
bagi seorang pendekar untuk mengambil keuntungan dari
lawan yang terluka" kata Yung Lang sambil menerawang
jauh. Tampaknya cita-cita pemuda ini tidak akan
kesampaian dalam kehidupan dunia persilatan yang keras
dan penuh dendam.
"Bagus! Seorang pemuda yang berbakat dan
berpendirian, hahahha. Jika ada arak sekarang ini, aku tentu
akan bersulang untukmu" kata Jien Wei Cen sambil
menepuk bahu Yung Lang dengan gembira.
"Hanya saja paman Fu selalu memaksaku untuk
membalas dendam. Mungkin aku harus melakukannya mesti
bertentangan dengan hati nuraniku" kata Yung Lang dengan
sedih.
"Tidak apa-apa, seorang laki-laki harus gagah dan
tanpa penyesalan. Aku juga tidak menyalahkanmu jika harus
bertarung denganku dalam keadaan seperti ini" kata Jien- 170 Wei Cen dengan gagah. Tidak heran jika ia mampu
memimpin partai sebesar Tien Lung Men.
"Jien Pang-cu, aku amat mengagumi anda" kata Yung
Lang sambil menjura.
"Sebenarnya dulu ketika kami menghancurkan Tie
Tau Hui (Partai Golok Besi), semua itu karena salah paham.
Kami dan mereka diadu domba dengan licik sekali" kata
Jien Wei Cen sambil menghela napas. Tampaknya ia sudah
memahami semuanya dengan pengkhianatan Wen Fang
kemarin saat pertempuran di bukit Guan Hu. Sebagai
seorang yang sudah kenyang makan asam garam dunia, ia
segera sadar bahwa masuknya Wen Fang ke dalam partainya
tentulah bukan kebetulan saja. Semua itu tentu sudah
dirancang dengan matang termasuk mengorbankan Tie Tau
Hui sebagai kambing hitam bagi rencana keji itu.
Demikianlah Jien Wei Cen mengisahkan tragedi
kehancuran partai Golok Besi pimpinan Yuan Jin Guan
kepada Yung Lang. Kisah yang diceritakan itu disimak
dengan teliti sekali oleh Yung Lang karena selama ini ia
hanya mendengar cerita dari pihak Fu Pu Cin seorang saja.
Memang dulu setelah Cen Hui, Wang Ding, Jien Jing Hui
dan Wen Fang kembali ke Tien Lung Men dengan luka-luka
cukup parah, Jien Wei Cen menjadi sangat marah kepada
Tie Tau Hui. Ia memerintahkan barisan jagoannya untuk
menghancurkan Tie Tau Hui karena telah berani sekali
berusaha membunuh Wang Ding dan Cen Hui bahkan juga
Jien Jing Hui.- 171 Yuan Jin Guan bukannya tidak berusaha berdamai
dengan Tien Lung Men ketika mengetahui Cen Hui dan
kawan-kawannya dibokong dalam perjalanan pulang ke
Tien Lung Men, tapi utusan yang dikirim kepada Jien Wei
Cen tidak digubris sama sekali. Bahkan secara terangterangan Jien Wei Cen mengumumkan kepada dunia
persilatan bahwa siapapun yang membela Tie Tau Hui akan
menjadi musuh Tien Lung Men. Tentu saja hal ini membuat
semua partai besar kecil menjadi gentar dan tidak berani ikut
campur. Hanya Fu Ji Cin Ce Tau (Suami Istri Perampok
Bijak) yang masih berani membantu karena hubungan baik
guru mereka dengan Yuan Jin Guan di masa lalu, tapi itupun
secara sembunyi-sembunyi. Mereka berhasil menolong
beberapa pengikut Tie Tau Hui yang tersisa termasuk Fu Pu
Cin dan Yung Lang yang ketika itu masih berumur tiga
tahun.
"Jadi begitulah yang terjadi" kata Jien Wei Cen
sambil menghela napas panjang selesai menceritakan
sejarah kejadian Tie Tau Hui kepada Yung Lang.
"Jien Pang-cu, aku mengerti sekarang. Bahkan anda
pun termakan siasat keji dari kasim kepala Huo Cin dan
gerombolannya" kata Yung Lang menimpali.
"Aku tidak menyangka masih dapat masuk perangkap
orang meskipun sudah banyak makan asam garam dunia"
kata Jien Wei Cen dengan nada sedih. Ia terlalu sombong
untuk minta maaf atau mengakui kesalahannya di depan- 172 orang sehingga hanya kata-kata itulah yang dapat keluar dari
mulurnya.
"Jien Pang-cu jangan bersedih. Sekarang yang paling
penting adalah kembali ke markas Tien Lung Men dengan
selamat" kata Yung Lang memberikan saran.
Jien Wei Cen mengangguk setuju. Kini ia merasa
lebih kuat untuk melanjutkan perjalanan setelah beristirahat.
Kepentingan utamanya saat ini adalah pulang kembali ke
Tien Lung Men untuk mengatur kembali siasat pertempuran
bersama dengan Cen Hui. Sayang sekali saat itu Jien Wei
Cen belum tahu bahwa pengikut setianya itu telah gugur
dalam pertempuran.
Baru saja mereka berdua hendak melanjutkan
perjalanan, tiba-tiba tanah terasa bergetar. Jien Wei Cen dan
Yung Lang yang memiliki pendengaran yang tajam segera
dapat menangkap getaran tanah itu berasal dari puluhan
orang yang tengah berlarian ke arah mereka. Mereka segera
bersiaga penuh menghadapi segala kemungkinan. Apakah
para prajurit kerajaan sudah mengetahui keberadaan mereka
dan kini mengejar? Dari jalan setapak dekat hutan kecil
tempat mereka berada, tampak seorang kepala prajurit
tengah berlari dengan sekuat tenaga. Di belakangnya
beberapa puluh prajurit kerajaan tengah mengejarnya sambil
berteriak-teriak. Pemandangan aneh ini tentu saja
mengherankan Jien Wei Cen dan Yung Lang. Seorang
kepala prajurit tengah dikejar prajurit yang seharusnya- 173 menjadi bawahannya bukanlah pemandangan yang lazim
terlihat sehari-hari.
Ketika jarak mereka tinggal sepuluh tombak lagi,
barulah terlihat bahwa kepala prajurit yang sedang dikejar
itu tak lain adalah kepala prajurit bernama Lin Tung yang
memberikan jalan kepada Jien Wei Cen pada pagi hari tadi.
Ia menyandang sebuah tongkat besi dan tubuhnya tampak
terluka di beberapa tempat.
"Tangkap pengkhianat! Bunuh pengkhianat Lin
Tung!" seruan para prajurit membahana mengiringi derap
langkah mereka mengguncang bumi.
Lin Tung sendiri terlihat kaget ketika melihat Jien
Wei Cen dan Yung Lang tengah berdiri di tepi jalan
memandangi dirinya. Sekuat tenaga ia berusaha berlari
mencapai tempat mereka berdiri dan akhirnya ia sampai juga
sambil terengah-engah.
"Bukankah engkau kepala prajurit Lin Tung yang
pagi tadi memberikan jalan kepadaku?" tanya Jien Wei Cen
keheranan.
"Be...benar" jawab Lin Tung singkat karena masih
harus mengatur napas.
Saat itu puluhan prajurit sudah tiba mengepung
mereka dalam bentuk lingkaran. Semua prajurit bersenjata
tombak dan golok lengkap dengan perisai. Wajah-wajah
mereka tampak galak dan haus darah.- 174 "Kalian jangan ikut campur! Serahkan pengkhianat
itu kepada kami jika ingin tetap hidup" bentak salah seorang
di antara mereka dengan garang.
"Tenang kawan, apa salahnya sehingga kalian ingin
membunuhnya? Bukankah ia kepala kalian?" tanya Yung
Lang dengan santainya, la sama sekali tidak gentar dikepung
puluhan prajurit bersenjata lengkap itu.
"Ia telah membebaskan pemberontak negara Jien Wei
Cen. Kami semua akan ikut dihukum mati jika tidak bisa
menghadiahkan kepalanya kepada pimpinan kami" jawab
prajurit itu lagi.
"Oh? Jadi ia hendak dibunuh karena telah
membebaskan aku?" tanya Jien Wei Cen sambil maju ke
depan. Para prajurit itu berseru kaget karena mengenali
wajah Jien Wei Cen yang tadi pagi telah mereka cegat di
jalan setapak.
"Teman-teman! Jika kita bisa membunuh Lin Tung
bersama pemberontak Jien Wei Cen, pastilah kita tidak
hanya dilepaskan dari hukuman mati tapi juga akan
memperoleh banyak penghargaan atas jasa kita" teriak
prajurit itu.
Seruan setuju segera membahana. Para prajurit itu
tampaknya tidak akan melepaskan mereka bertiga begitu
saja.- 175 "Jien Pang-cu, Lin-siung kalian berdua beristirahat
saja dulu. Gerombolan teri seperti ini cukup aku saja yang
menghadapinya" kata Yung Lang dengan gagah sambil
maju ke tengah lingkaran kepungan. Para prajurit yang
jumlah sekitar tiga puluh orang itu segera bersiap dengan
perisai dan tombak golok mereka yang berkilat-kilat ditimpa
sinar matahari.
"Eh, Lin-siung apakah aku boleh mencederai mereka,
bagaimanapun mereka adalah bekas anak buahmu?" tanya
Yung Lang dengan sikap tetap santai.
"Saudara yang baik, berbelas kasihlah pada mereka"
kata Lin Tung berusaha memohonkan belas kasihan kepada
Yung Lang agar tidak membunuh tapi para prajurit itu
benar-benar tidak tahu terima kasih. Mereka malah memaki
dan mencemooh Lin Tung dengan kata-kata kasar sehingga
Yung Lang naik pitam karenanya.
"Kalian benar-benar tak tahu diuntung, sudah
dimohonkan ampun malah memaki. Baiklah hari ini aku
akan memberi kalian pelajaran" kata Yung Lang sambil
mencabut pedangnya.
Pedang Elang Emas keluar dari sarungnya dengan
suara berdesing nyaring. Kilatan cahayanya mengalahkan
sinar semua senjata yang ada di sana. Pedang Cing Ing
(Elang Emas) memang bukan pedang sembarangan. Ia
adalah pedang sakti warisan keluarga Yung turun temurun.
Pendiri marga Yung sendiri adalah Yung Cin Hai yang- 176 hidup sekitar seratus lima puluh tahun yang lalu atau
merupakan kakek buyut Yung Lang. Pedang Cing Ing
ditempa sendiri oleh Yung Cin Hai bersama seorang ahli
pandai besi kerajaan Pei Chou (Chou Utara) terakhir
sebelum era dinasti Nan Pei Chao (Kerajaan Utara Selatan)
disatukan di bawah tangan besi dinasti Sui.
Ilmu pedang Cing Ing adalah ilmu pedang yang
berasal dari jurus Cakar Elang (Ing Jiao Chuen) sehingga
gerakannya tidak murni ilmu pedang. Gerakannya dan
perubahan jurusnya tercampur dengan ilmu Cakar Elang
sehingga tangan kanan memainkan pedang sedangkan
tangan kiri masih menggunakan cakar. Perubahan ilmu
pedang ini banyak dan sulit diduga karena tangan kiri dapat
ikut membantu menyerang, tidak seperti kebanyakan ilmu
pedang yang hanya mengandalkan jurus pedang semata.
Gebrakan awal Yung Lang saja sudah langsung
mementalkan tiga prajurit yang langsung muntah darah dan
pingsan. Ilmu Yung Lang sudah cukup hebat dan gerakan
pedangnya juga mantap, tapi mata Jien Wei Cen yang tajam
dapat melihat bahwa ilmu tenaga Yung Lang masih sangat
kurang dibandingkan kakek ataupun ayahnya. Meskipun
begitu, kekuatan Yung Lang sudah cukup untuk menghajar
dan memporak-porandakan barisan prajurit kelas bawah itu.
Mereka semua babak belur dan terluka oleh jurus pedang
dan cakar Yung Lang yang bagaikan seekor elang melawan
anak-anak ayam itu.- 177 Beberapa saat saja semua prajurit itu sudah roboh
tanpa ada satupun yang mampu berdiri. Jika saja Yung Lang
tidak berbaik hati tentu nyawa mereka semua juga sudah
melayang. Lin Tung yang menyaksikan bekas bawahannya
digebuki hingga hancur lebur merasa kasihan juga.
Bagaimanapun juga mereka semua dulu pernah susah
senang bersama dan Lin Tung juga merasa bahwa mereka
terpaksa harus membunuhnya jika tidak ingin menerima
hukuman mati.
"Pendekar, terimalah hormatku karena telah
menyelamatkan nyawaku dan mengampuni nyawa mereka"
kata Lin Tung sambil berlutut menjura.
"Eh, eh namaku hanya Yung Lang bukan pendekar.
Aku juga tidak terbiasa menerima sembah orang lain" kata
Yung Lang sambil buru-buru mengangkat tubuh Lin Tung
berdiri kembali.
"Aku Lin Tung tidak akan melupakan budi baik
saudara Yung" kata Lin Tung sambil mengucapkan terima
kasih sekali lagi.
"Nah begitu lebih baik. Kita sesama orang gagah
harus saling menghargai" kata Yung Lang sambil
tersenyum.
"Kelihatannya perkenalan kalian berdua harus
menunggu dulu sampai kedua tamu kita ikut
memperkenalkan diri" kata Jien Wei Cen kepada Yung
Lang. la memberikan isyarat mata ke atas. Lin Tung hanya- 178 terheran-heran sementara Yung Lang yang cepat tanggap
segera mengerti.
"Pendekar berdua mengapa tidak turun? Kami juga
ingin berkenalan dengan anda" teriak Yung Lang kepada
kedua pengintai yang berada di atas pohon.
Begitu suara Yung Lang berhenti bergema, dua
bayangan hitam dan putih berkelebat dengan cepat sekali
dari atas sebuah pohon. Mereka melayang bak anak panah
melesai dari busurnya tapi mendarat di tanah bak seringan
bulu. Sungguh bukan pendekar sembarangan saja kiranya.
Yang seorang berpakaian hitam dengan penutup kepala
berwarna hitam pula. Matanya memancarkan kekejaman
dan hawa membunuh yang pekat sekali. Orang biasa pasti
akan bergidik melihat sorot matanya yang mengerikan itu.
Sementara yang satu lagi berjubah putih dan memakai topi
dari kepala macan berwarna putih pula. Wajahnya
sebenarnya tampan akan tetapi sorot matanya yang
memancarkan hawa kekejaman seperti orang berbaju hitam
tadi membuat mereka yang melihatnya merasa tidak enak
hati.
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku Yung Lang memberikan salam kepada anda
berdua" kata Yung Lang sambil menjura hormat kepada
kedua orang itu.
"Hei bocah busuk! Lebih baik kau minggir! Aku tidak
ada urusan denganmu, aku hanya ingin kepala Jien Wei
Cen" bentak si baju hitam dengan kasar sekali.- 179 "Enak saja, jika ingin kepalanya engkau harus antri
dulu di belakangku" kata Yung Lang sambil bercanda. Ia
sama sekali tidak takut kepada kedua orang itu meskipun
hawa membunuh yang dipancarkannya begitu pekat.
"Kurang ajar! Selama ini semua orang takut padaku,
Si Ge Hei Ying (Pembunuh Gelap Bayangan Hitam) kau
siapa berani menantangku?" bentak orang berbaju hitam
yang ternyata adalah Hei Ying salah satu dari Wu Se (Lima
Warna Kematian).
"Aku?! Aku bukan siapa-siapa, tapi aku juga tidak
pernah nama Si Ge Hei Ying" kata Yung Lang meremehkan.
"Itu karena semua yang pernah mendengar namaku
sudah berada di dasar neraka" kata Hei Ying dengan nada
menyeramkan.
"Ah, aku takut sekali" kata Yung Lang sambil
berpura-pura takut. Ia tampaknya sengaja memancing
kemarahan Hei Ying.
"Kurang ajar kau..."
"Eh, sudahlah untuk apa kita bersilat lidah dengan
bocah busuk ini. Aku Hu Tou Pai Ying (Kepala Macan
Bayangan Putih) akan mencabut nyawamu" kata orang
berjubah putih yang adalah Pai Ying (Bayangan Putih) itu.
Pai Ying maju menyerang dengan sebuah tongkat besi
yang ujungnya berbentuk cakar harimau, la maju menyerang
dengan ganas dan tanpa ampun, langsung menyerang daerah- 180 vital lawannya. Yung Lang kaget sekali dengan jurus
pembuka yang sudah ingin mencabut nyawanya itu. Ia
segera menebaskan pedang Elang Emasnya menangkis
serangan lawan.
"Trang!!"
Bunyi besi beradu diiringi loncatan bunga api
menandakan pemilik dan senjata sama-sama bukanlah
sembarangan. Tangan Yung Lang terasa kebas hingga ke
jari menahan serangan barusan sementara Pai Ying sendiri
kaget serangan mautnya bisa ditahan lawan yang masih
muda belia ini.
"Yung Lang, hati-hati dengan serangan rahasia!"
teriak Jien Wei Cen yang sudah pernah bertemu dengan Hei
Ying Ping (Prajurit Bayangan Hitam) memperingatkan dari
pinggir arena. Ia juga berusaha mengumpulkan tenaga Tien
Lung Ta Fa (Ilmu Sakti Naga Langit) sebisa mungkin untuk
bersiap membantu Yung Lang jika nanti diperlukan. Namun
ia harus berhati-hati melakukannya karena luka dalamnya
belum sepenuhnya sembuh.
"Jien Wei Cen, engkau sudah membunuh tiga anak
buahku. Engkau harus membayarnya dengan kepalamu"
kata Hei Ying sambil menyerbu Jien Wei Cen dengan tidak
kalah ganas dibandingkan serbuan Pai Ying tadi.
Enam kilatan meluncur deras dari kedua tangan Hei
Ying yang tengah maju menyerbu Jien Wei Cen. Kilatan itu
tidak lain adalah piau (pisau kecil) rahasia yang merupakan- 181 senjata andalan Hei Ying dan para prajuritnya. Untunglah
Jien Wei Cen adalah pendekar besar yang berpengalaman
sehingga tidak gugup menghadapi serangan rahasia seperti
ini. Ia hanya memiringkan tubuhnya ke samping dan
melompat beberapa langkah ke depan untuk menghindari
senjata rahasia lawan.
Piau yang dilemparkan dengan tenaga dalam itu
menancap dengan kuat sekali di tanah dan meledakkan
tenaga dalam yang disimpannya hingga menghamburkan
pasir dan kerikil kemana-mana. Lin Tung yang tenaga
dalamnya rendah langsung terlempar jatuh akibat ledakan
barusan. Telinganya terasa berdengung akibat bunyi ledakan
keras yang ditimbulkan enam piau tadi.
Jien Wei Cen sendiri kelihatan tidak terpengaruh. Ia
tetap maju dengan mantap menghadang serbuan Hei Ying.
Ia sadar tenaganya yang tersisa tidak banyak dan lukanya
sewaktu-waktu dapat kambuh kembali sehingga satusatunya cara hanyalah mengakhiri pertempuran secepat
mungkin. Pengalamannya mengajarkan bahwa cara terbaik
untuk menghadapi ahli senjata rahasia seperti Hei Ying
adalah dengan memperpendek jarak pertarungan. Ia harus
terus merangsek lawan sehingga tidak sempat lagi
menggunakan senjata rahasianya.
Tangan Jien Wei Cen bergerak dengan cepat sekali,
berubah-ubah menjadi ratusan telapak dan tinju mengurung
Hei Ying. Ini adalah salah satu perubahan jurus Fen Lung
Ying (Memecah Bayangan Naga) yang digunakan hanya- 182 pada tangan saja. Setiap bayangan tangan mengandung
tenaga yang sama kuat sehingga lawan yang terkena akan
langsung terluka dalam.
Hei Ying menyadari lawan adalah Sen Sou Mo Ciao
(Tangan Dewa Kaki Iblis) yang tanpa tandingan di kolong
langit, tidak berani bertindak sembrono. Ia segera meloncat
mundur menghindari bayangan tapak dan tinju yang makin
lama makin rapat mengurung dirinya. Meskipun sudah
berusaha mencari celah mundur sebaik mungkin namun
tetap saja sebuah tinju berhasil mengenai bahu kirinya.
Meskipun terkena tipis saja tapi terasa bagaikan tersengat
petir sehingga Hei Ying buru-buru bergulingan mundur
sambil kembali melemparkan piau ke arah Jien Wei Cen
yang dengan mudah menghindarinya.
Sementara di medan pertempuran lainnya,
pertarungan berjalan lebih berimbang dan tidak berat
sebelah. Yung Lang memang memegang pedang pusaka
Cing Ing Cien tapi pengalaman bertarungnya masih amat
kurang dibandingkan dengan Hu Tou Pai Ying. Tenaga dan
senjata boleh sama sakti tapi pengalaman akan lebih
menentukan apalagi jika pertarungan sudah melebihi lima
puluh jurus. Pengalaman akan memberikan petunjuk
mengenai kelemahan lawan dan itulah yang tidak dimiliki
Yung Lang. Setelah lima puluh jurus gerakannya mulai
terbaca lawan sehingga ia terdesak mundur terus-menerus.
Cakar besi Pai Ying menyambar pergelangan tangan yang
memang merupakan titik lemah jurus Ing Jiao Chuen (Jurus- 183 Cakar Elang) sehingga Yung Lang kerepotan menutupi
kelemahannya ini dan tidak mampu mengembangkan
jurusnya. Pada saat yang genting itu, sebuah tongkat besi
turun menghadang laju cakar besi hingga berbenturan
dengan keras di udara.
"Saudara Yung, aku datang membantumu" kata Lin
Tung yang melihat Yung Lang semakin terdesak langsung
turun tangan membantu. Meskipun ilmunya sendiri
sebenarnya tidak terlalu tinggi tapi sifat setia kawan yang
besar membuat Lin Tung tidak dapat berdiam diri saja
melihat Yung Lang dalam keadaan bahaya.
"Sialan dasar pengkhianat! Akan kucopot kepalamu
dan kujadikan kenangan-kenangan" sergah Pai Ying dengan
geram karena cakar besinya gagal merobek pergelangan
tangan Yung Lang akibat ditahan tongkat besi milik Lin
Tung.
Kini giliran nyawa Lin Tung yang berada dalam
bahaya maut. Pai Ying dengan ganas menyerbu dengan
cakar besinya menyambar semua bagian tubuh Lin Tung
yang terbuka. Tongkat besi Lin Tung berputar-putar
mencoba melindunginya dari serangan, tapi tiap benturan
membuat tangan Lin Tung ngilu dan mati rasa sehingga
makin lama gerakannya makin lamban sampai akhirnya
tongkat besinya terlepas dari tangannya.- 184 "Temuilah raja neraka!" teriak Pai Ying sambil
menyerang dada Lin Tung yang terbuka dengan cakar
besinya.
Pada saat yang genting itu, Yung Lang menyerbu
punggung Pai Ying yang terbuka untuk menyelamatkan Lin
Tung. Tapi sayang ia tidak memperkirakan bahwa ini adalah
siasat Pai Ying untuk menjebak dirinya. Pai Ying yang dapat
melihat Yung Lang kurang pengalaman, sengaja
membiarkan punggungnya terbuka sehingga mudah
diserang. Ia bisa memperkirakan gerakan pedang Yung
Lang pasti menuju ke arah punggung, maka ketika pedang
itu benar-benar hendak menusuk punggung. Pai Ying
langsung berbalik menghindar. Pedang Elang Emas lolos
melewati punggungnya tipis saja dan kini jaraknya dengan
Yung Lang hanya satu lengan saja.
Yung Lang yang kaget dengan perubahan tiba-tiba ini
tidak dapat mengelak lagi ketika cakar besi Pai Ying
menghunjam dadanya dengan keras, la merasa tulang
dadanya seperti remuk dan berusaha sekuat tenaga untuk
melompat mundur. Pai Ying yang sudah berada di atas
angin, tidak mau begitu saja melepaskan buruannya. Ia terus
menekan maju seiring mundurnya lawan sehingga Yung
Lang tidak dapat melepaskan diri dari cakar besinya. Dada
Yung Lang mulai berdarah banyak akibat tusukan cakar besi
dan tampaknya sebentar lagi nama keluarga Yung akan
terhapus dari muka bumi. Untunglah sebelum Pai Ying
dapat berbuat lebih jauh lagi, Lin Tung dengan nekad- 185 memeluknya dengan erat dari belakang sehingga Yung Lang
lolos dari bahaya maut. Terlambat sedikit lagi maka dadanya
bakal jebol oleh cakar besi Pai Ying!
Pai Ying yang geram serangannya gagal menghabisi
Yung Lang, berbalik melampiaskan kemarahannya kepada
Lin Tung. Satu tendangan keras menghajar perut Lin Tung
dari samping hingga ia hampir muntah. Pegangannya pada
kedua bahu Pai Ying jadi mengendur sehingga dengan
mudah Pai Ying dapat meloloskan diri. Gemas sekali Pai
Ying melayangkan dua tendangan beruntun ke arah muka
Lin Tung yang malang hingga tubuhnya yang besar itu
terpental beberapa langkah dan jatuh berdebam keras. Lin
Tung langsung pingsan begitu mendapat hajaran beruntun
yang keras dari Pai Ying itu!
Tidak selesai di situ. Pai Ying menyiapkan cakar
besinya untuk memecahkan tengkorak kepala Lin Tung.
Jaraknya yang cukup jauh dari tempat Jien Wei Cen dan Hei
Ying bertarung tidak memungkinkan Jien Wei Cen yang
terluka untuk menyelamatkan Lin Tung. Juga Yung Lang
yang masih berusaha menghentikan pendarahan di dadanya
yang robek pasti sudah akan terlambat menyelamatkannya.
Tampaknya nasib Lin Tung akan berakhir hari ini.
Di saat terakhir Pai Ying sudah hampir
menghunjamkan cakar besinya ke kepala Lin Tung, sebuah
bayangan berkelebat secepat angin menyambar tubuhnya.
Gerakan orang itu begitu cepat sehingga Pai Ying bahkan
tidak sempat bereaksi apa-apa, hanya merasakan hembusan- 186 angin saja. Ia benar-benar kaget menyadari bahwa Lin Tung
sudah hilang dari hadapannya. Pastilah orang yang
menyelamatkan Lin Tung barusan mempunyai ilmu
peringan tubuh yang luar biasa lihai!
Bahkan Jien Wei Cen yang tengah meladeni Hei Ying
juga menghentikan pertarungannya untuk melihat siapa
yang datang. Yung Lang tidak luput juga terkagum-kagum
menyaksikan kehebatan ilmu ringan tubuh orang yang baru
tiba barusan. Ilmu peringan tubuh keluarga Yung juga
tidaklah rendah, tapi kemampuan ringan tubuh orang itu
pastilah jauh di atasnya. Sambil menggendong tubuh Lin
Tung yang besar dan berat, hanya dalam sekali genjotan saja
ia mampu melayang lebih dari lima tombak jauhnya.
Kekaguman Yung Lang semakin bertambah ketika melihat
bahwa orang yang baru datang itu hanyalah seorang pemuda
yang umurnya masih lebih muda dari dirinya.
Pemuda yang sebenarnya tidak lain adalah Han Cia
Sing itu menyandarkan tubuh Lin Tung dengan hati-hati
sekali di sebuah batang pohon, la meraba nadi Lin Tung dan
merasa sangat lega ketika tahu bahwa Lin Tung masih hidup
dan hanya terluka luar saja. Ia masih mengenali Lin Tung
sebagai temannya saat sama-sama menjadi tentara di
benteng Teng Cuo Hui di utara beberapa tahun lalu. Tadi
ketika ia bersama rombongan Ce Ke Fu melewati daerah itu
dalam perjalanan menuju markas Tien Lung Men, ia
mendengar suara pertempuran dan segera menyelidikinya.
Betapa terkejutnya ketika ia melihat Lin Tung tengah dihajar- 187 oleh seseorang berbaju putih. Untunglah ia bisa sampai pada
waktunya untuk menyelamatkan teman lamanya itu.
"Bocah busuk! Rupanya engkau sudah bosan hidup
berani mencampuri urusan Hu Tou Pai Ying (Kepala Macan
Bayangan Pulih)" bentak Pai Ying dengan marah sekali
karena merasa digagalkan menghabisi Lin Tung.
"Aku tidak bermaksud mencampuri urusan anda, tapi
aku hanya ingin menyelamatkan temanku" kata Han Cia
Sing sambil memandang tajam kepada Pai Ying. la sama
sekali tidak gentar dengan hawa membunuh luar biasa yang
ditebarkan oleh Pai Ying.
"Engkau baik-baik saja?" tanya Jien Wei Cen kepada
Yung Lang yang masih bersila untuk menyembuhkan
pendarahan di dadanya, la sudah menghentikan
pertarungannya dengan Hei Ying, yang merasa sangat
beruntung sekali bisa mengimbangi ketua Tien Lung Men
yang dalam keadaan terluka itu.
Kini Pai Ying dan Hei Ying memusatkan
perhatiannya kepada Han Cia Sing yang masih menyalurkan
tenaga dalamnya untuk menyembuhkan Lin Tung. Mereka
dapat merasakan getaran tenaga luar biasa yang keluar dari
tubuh pemuda yang kelihatannya seperti petani biasa ini.
Apakah tenaga luar biasa yang mereka rasakan saat ini
salah? Tapi Jien Wei Cen sendiri juga merasa kaget dengan
kekuatan tenaga Han Cia Sing. Ia bahkan memperkirakan- 188 tenaga dalam Han Cia Sing tidak terlalu beda jauh dengan
tenaga Tien Lung Ta Fa tingkat 36!
"Pai Ying, kita jangan membuang waktu lagi. Lebih
baik kita habisi saja semua yang ada di sini dengan segera"
kata Hei Ying yang menyadari kehadiran Han Cia Sing
pastilah tidak sendirian. Apa yang dikhawatirkan oleh Hei
Ying benar-benar menjadi kenyataan. Baru saja ia selesai
berkata-kata, sebuah bentakan keras bagaikan guntur
menggelegar di belakangnya.
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei kalian anjing-anjing kerajaan! Apa yang kalian
lakukan di wilayah Tien Lung Men ini?!" bentak suara itu
dengan menggelegar.
Pai Ying dan Hei Ying segera bersiaga menghadapi
musuh baru yang ternyata bukan hanya suaranya saja yang
luar biasa tapi juga bentuk badannya. Ce Ke Fu memang ahli
tenaga luar yang tenaganya berasal sepenuhnya dari
kekuatan otot-ototnya. Tidak heran jika penampilan yang
besar dan kekar pasti akan membuat ciut nyali lawan, tidak
terkecuali Pai Ying dan Hei Ying yang sudah terbiasa
membantai lawan itu.
Di belakang Ce Ke Fu mengikuti Wongguo Luo, Liu
Da dan He Gan. Mereka semua tampak bersemangat sekali
ingin menghajar pasukan kerajaan yang untungnya sudah
lari terbirit-birit dengan tubuh babak belur. Hei Yin dan Pai
Ying yang menyadari keadaan tidak berpihak lagi pada
mereka segera mencari jalan untuk kabur. Mereka merogoh- 189 ikat pinggang mereka dan mengeluarkan beberapa bola kecil
dan melemparkannya ke tanah. Asap belerang segera
meledak menyesakkan napas dan menghalangi pandangan
dan dalam sekejap mereka sudah menghilang dalam kabut
asap belerang itu.
Beruntunglah kedua orang itu karena Han Cia Sing
dan kawan-kawannya juga tidak berniat mengejar mereka.
Ce Ke Fu, Liu Da dan He Gan begitu gembira dapat
berrtemu dengan Jien Wei Cen sedangkan Wongguo Luo
memang hanya datang sebagai penggembira saja. Yung
Lang sendiri setelah selesai menghentikan pendarahannya
segera bangkit dan mendekati Han Cia Sing dan Lin Tung.
"Jien Pang-cu, kami pantas mati karena telah datang
terlambat" kata Ce Ke Fu, He Gan dan Liu Da hampir
bersamaan sambil berlutut di depan Jien Wei Cen. Mereka
merasa amat malu karena Jien Wei Cen sampai hampir
mendapatkan celaka seperti sekarang ini karena
keterlambatan mereka.
. "Ini semua bukan salah kalian. Bangunlah" kata Jien
Wei Cen sambil memegang bahu Ce Ke Fu dan
mengajaknya berdiri.
"Jien Pang-cu, aku..." Ce Ke Fu tidak mampu
melanjutkan kata-katanya.
"Ketua Utara, engkau sudah datang. Aku merasa lebih
tenang setelah kedatanganmu, apalagi setelah kematian
Ketua Selatan tenaga kita menjadi berkurang" kata Jien Wei- 190 Cen sambil tersenyum pahit, la merasa harus memberitakan
kematian Wang Ding kepada Ce Ke Fu secara pribadi. Si
Sao Tien Lung (Empat Naga Langit Muda) dipimpin oleh
Ce Ke Fu sehingga bagaimanapun kematian Wang Ding
haruslah segera diketahui olehnya.
"Cing Hou Wang Ding (Wang Ding sang Kera Emas)
sudah tiada?" tanya Ce Ke Fu tidak percaya. Jika saja bukan
Jien Wei Cen sendiri yang mengatakannya kepadanya, ia
tidak akan percaya.
"Siapa? Bagaimana?" Ce Ke Fu seakan kehilangan
kata-kata untuk menanyakan kematian rekan seperjuangannya itu kepada Jien Wei Cen.
"Nanti aku akan ceritakan kepada kalian dalam
perjalanan pulang ke Tien Lung Men. Sekarang ini hal
terpenting adalah segera kembali dan menyusun rencana"
kata Jien Wei Cen memberikan perinlah. Sebagai seorang
yang berpengalaman, ia tahu bahwa Pai Ying dan Hei Ying
pastilah akan segera memanggil bala bantuan. Entah itu
tentara kerajaan ataupun para pendekar pendukung kerajaan,
tapi yang pasti selama mereka belum kembali ke markas
Tien Lung Men, nyawa mereka akan selalu terancam.
"Mari kalian juga ikut denganku ke Tien Lung Men"
ajak Jien Wei Cen kepada Wongguo Luo, Han Cia Sing dan
Yung Lang sementara Lin Tung masih belum sadar dari
pingsannya.- 191 "Lapor Jien Pang-cu, ia adalah anak kedua dari
Jenderal Han Kuo Li bernama Han Cia Sing. Kami bertemu
dengannya dalam perjalanan di utara. Ia juga hendak datang
ke Tien Lung Men menemui saudaranya Han Cia Pao" kata
Ce Ke Fu menjelaskan.
"Oh? Jadi engkau saudara Han Cia Pao? Kulihat
ilmumu lumayan juga anak muda" kata Jien Wei Cen
mencoba menyelidik. Jiwa pendekarnya yang di masa
mudanya berkelana di dunia persilatan kadang masih
muncul juga di hari tuanya ini. Apalagi jika melihat ada
pendekar lain yang mempunyai kemampuan, tangan Jien
Wei Cen akan terasa gatal sekali ingin menjajalnya tidak
peduli meskipun sedang terluka seperti sekarang ini.
"Benar Jien Pang-cu, aku bernama Han Cia Sing,
saudara dari Han Cia Pao yang sekarang sedang dalam
perlindungan Tien Lung Men" jawab Han Cia Sing sambil
menjura hormat. Kewibawaan yang memancar dari Jien Wei
Cen memang membuat orang yang berhadapan dengannya
akan merasa segan, apalagi bagi Han Cia Sing yang separuh
hidupnya dihabiskan di utara sebagai prajurit dan
penggembala ternak.
"Kulihat tadi ilmu meringankan tubuhmu amat luar
biasa. Boleh aku tahu siapakah gurumu?" tanya Jien Wei
Cen lagi.
"Ehmm, aku tidak mempunyai guru. Aku kebetulan
bisa belajar dari seorang teman" kata Han Cia Sing tidak- 192 berbohong. Tapi jawaban jujur itu malah membuat Jien Wei
Cen heran dan merasa diremehkan.
"Jadi aku tidak pantas untuk mengetahui siapakah
gurumu, begitu maksudmu anak muda?" tanya Jien Wei Cen
dengan nada tidak puas.
Han Cia Sing tidak pernah terlalu pandai bicara
sehingga merasa agak sukar menjawab pertanyaan seperti
ini. Ia takut Jien Wei Cen akan semakin merasa tersinggung.
Bagaimanapun Jien Wei Cen dan Tien Lung Men telah
memberikan perlindungan kepada kakaknya sehingga ia
harus selalu menjaga sikapnya. Untunglah Wongguo Luo
segera menengahi masalah ini.
"Maaf Jien Pang-cu, tuan muda Han tidak bermaksud
meremehkan. Tapi memang ia mempunyai bakat yang luar
biasa untuk dapat mempelajari suatu ilmu dengan cepat"
kata Wongguo Luo dengan sopan.
"Dan anda adalah..." tanya Jien Wei Cen kepada
Wongguo Luo.
"Aku yang tidak berguna ini bernama Wongguo Luo"
kata Wongguo Luo merendahkan diri.
"Wongguo Luo? Sie Yi Wongguo Luo (Wongguo
Luo sang Hujan Salju)? Salah satu dari San Yen Mo Wang
(Tiga Raja Iblis Neraka) di utara yang menghilang beberapa
tahun lalu? Jadi engkau sekarang bersama Ce Ke Fu di
utara?" tanya Jien Wei Cen setengah tidak percaya. Nama- 193 Wongguo Luo memang hilang beberapa tahun lalu dari
dunia persilatan dan konon ia sudah meninggal. Sungguh
amat aneh Jien Wei Cen malah bisa bertemu dengannya di
daerah Yi Chang ini.
"Apa yang dikatakan pendekar Wongguo adalah
benar, Jien Pang-cu" kata Ce Ke Fu membenarkan
Wongguo Luo."
"Jadi benar bahwa pemuda ini mampu menguasai
ilmu sendiri tanpa guru?" tanya Jien Wei Cen lagi. Ce Ke Fu
kembali mengangguk membenarkan.
"Luar biasa" puji Jien Wei Cen singkat.
"Ya, Jien Pang-cu jika hal itu benar maka tentu amat
luar biasa sekali" kata Yung Lang menimpali dengan
bersemangat. Ia sama sekali tidak memandang kedudukan
Jien Wei Cen sebagai ketua utama Tien Lung Men dan
sudah menganggapnya menjadi teman. Tentu saja hal ini
membuat Ce Ke Fu dan lainnya sedikit terkejut dan tidak
senang karena merasa Yung Lang tidak pantas berteman
dengan ketua mereka.
"Baiklah mari kita segera kembali ke Tien Lung
Men" ajak Jien Wei Cen kepada semuanya termasuk Lin
Tung yang kini sudah mulai siuman.
Han Cia Sing memapah sahabat lamanya itu dengan
hati-hati. Tidak terasa sudah hampir lima enam tahun ia
meninggalkan benteng Teng Cuo Hui. Ia dan Lin Tung kini- 194 sudah menjelma menjadi pemuda yang gagah. Han Cia Sing
lebih mudah mengenali Lin Tung karena tubuhnya yang
tinggi besar itu dan juga Lin Tung masih memakai seragam
prajurit seperti dulu. Sementara Lin Tung masih tidak
mengenali Han Cia Sing karena dalam pemikirannya,
sahabatnya itu telah gugur saat membasmi para perampok di
utara bersama pasukkannya.
"Tuan, terima kasih telah menyelamatkan nyawaku"
kata Lin Tung dengan lemah sambil memegangi kepalanya.
"Kakak Lin, tidak perlu berterima kasih. Dulu waktu
di benteng Teng, jika engkau tidak memberikan aku baju
hangat dan makanan saat menerima hukuman, mungkin aku
tidak akan berdiri di sini" jawab Han Cia Sing sambil
menatap wajah sahabat lamanya itu.
Seakan-akan tersambar petir, Lin Tung hampir
meloncat ketika menyadari bahwa pemuda yang
memapahnya itu adalah Han Cia Sing. Ia menggosok-gosok
matanya memastikan bahwa dirinya tidak salah lihat atau
bermimpi. Lin Tung menatap wajah Han Cia Sing erat-erat
sampai akhirnya ia tertawa gembira dan berlari memeluk
sahabat lamanya itu.
"Hahahaa, Cia Sing, Cia Sing! Kusangka engkau
sudah gugur di desa Chen-mu tapi engkau masih hidup.
Padahal laporan menyebutkan semua prajurit gugur bahkan
komandan Lin Ying Dan yang melakukan pengintaian juga
gugur. Bagaimana engkau bisa berada di sini Cia Sing?"- 195 tanya Lin Tung sambil tersenyum gembira sekali. Ia tidak
bisa menyembunyikan rasa harunya sehingga matanya
berkaca-kaca. Memang dulu saat di benteng Teng,
kehidupan para prajurit bawah amatlah keras. Setiap hari
mereka harus berlatih ilmu perang, belum lagi mengurusi
kebutuhan hidup sendiri sehari-hari. Belum lagi cuaca utara
yang dingin dan membekukan, benar-benar tidaklah
menyenangkan terutama di musim dingin. Tidak heran jika
antara prajurit bawahan timbul ikatan hubungan
persaudaraan yang erat bahkan mungkin melebihi saudara
kandung sendiri.
"Kakak Lin, ceritanya panjang. Aku akan
menceritakannya sambil berjalan. Mari kita harus segera
mengikuti mereka, tampaknya kita tertinggal cukup jauh
juga" kata Han Cia Sing sambil tersenyum lebar. Ia
merasakan sebuah kebahagiaan kecil yang sudah lama sekali
rasanya tidak pernah ia rasakan. Kehidupannya di utara
memang lebih banyak kepahitan dan persahabatannya
dengan Lin Tung dulu adalah salah satu hal yang
membuatnya merasa bahagia. Kesedihan akibat kematian
Lu Xun Yi kemarin menjadi agak sedikit terobati karena
bertemu kawan lama.
"Hei kalian berdua! Ayo cepat sedikit" teriak Yung
Lang memberikan semangat kepada Han Cia Sing dan Lin
Tung. Ia tersenyum lebar melihat kebahagiaan mereka
berdua. Yung Lang adalah orang yang terbuka dan mudah
bergaul sehingga tidak heran ia amat senang melihat- 196 persahabatan yang baik antara Han Cia Sing dan Lin Tung
itu. Yung Lang menunggu sampai kedua pemuda itu tiba
berjalan di sampingnya. Ia kemudian ikut memapah Lin
Tung sehingga mereka bertiga berjalan berdampingan.
"Saudara Lin, aku berterima kasih kepadamu karena
telah menyelamatkan nyawaku tadi" kata Yung Lang sambil
tersenyum lebar.
"Ah, tidak apa-apa. Saudara Yung juga
menyelamatkanku dari kejaran prajurit" jawab Lin Tung
dengan polos.
"Jadi kita semua saling berhutang nyawa satu sama
lain sekarang hahahaha" kata Yung Lang menanggapi
sambil tertawa.
Kadang persahabatan dapat timbul secara tidak
terduga. Saat yang genting di mana nyawa menjadi
taruhannya menyebabkan manusia jadi mengerti arti penting
saling melindungi dan menghargai yang menjadi inti dari
persahabatan. Tidak terkecuali bagi Yung Lang, Lin Tung
dan Han Cia Sing yang malang-melintang dalam kejamnya
dunia persilatan menjadikan persahabatan menjadi punya
arti yang mendalam.- 197 30. Angin Pertempuran
Suasana dalam kemah utama pasukan tampak muram
dan tegang. Kasim kepala Huo Cin dan Penyelia Militer
Huang Ding Siang duduk di tengah-tengah kursi kemah
dengan wajah masam. Sementara Wen Yang, Chang Bai dan
Pan Chung yana duduk di sisi sebelah kiri Huo Cin tampak
gelisah. Hal yang sama juga dialami Fan Zheng dan Guo
Cing Cen yang duduk di sebelah kanan Huang Ding Siang.
Sementara berdiri agak jauh dari tempat duduk mereka
adalah Wu Se (Lima Kematian) beserta Wen Fang yang
matanya menatap kosong. Wajah mereka semua masam dan
pucat karena kebanyakan terluka baik dalam maupun luar
dengan cukup parah.
"Aku benar-benar tidak percaya kita gagal
membunuh Jien Wei Cen keparat itu!" teriak Huo Cin
dengan suaranya yang aneh itu karena tidak dapat
menyembunyikan kekesalannya.
Semua yang hadir hanya bisa menundukkan
kepalanya saja karena apa yang dikatakan Huo Cin benar
adanya. Semua siasat sudah disusun rapi bahkan sejak
beberapa tahun yang lalu dengan menyusupkan mata-mata
ke dalam tubuh Tien Lung Men. Bahkan Huo Cin sampai
meminta bantuan dua pendekar kelas atas seperti Fan Zheng
dan bahkan Sie Mo (Setan Darah) Fang Yung Li tapi tetap
saja Jien Wei Cen berhasil lolos. Ia benar-benar geram dan- 198 kehabisan akal sampai lukanya kembali kambuh dan
dadanya terasa sesak sekali.
"Kasim Huo jangan terlalu emosi. Memang harus
diakui bahwa pemberontak Jien Wei Cen memiliki ilmu
yang luar biasa, tapi prajurit kerajaan kita masih ribuan
orang. Meskipun ia tumbuh sayap sekalipun, aku yakin sulit
lolos dari cengkeraman kita" kata Huang Ding Siang
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencoba memberikan sarannya.
"Benar kasim Huo, kita masih mempunyai ribuan
prajurit untuk menyerang. Lagipula mereka juga telah
kehilangan Wang Ding dan Cen Hui, kekuatan mereka
pastilah berkurang banyak. Kalah dalam satu pertempuran
bukanlah berarti kalah perang" kata Wen Yang ikut
memberikan saran.
Huo Cin mengangguk membenarkan perkataan
saudaranya itu, tapi ia tetap merasa tidak puas atas
kekalahannya di bukit Guan Hu. la dan empat jagoan
termasuk pembokong Wen Fang masih kalah dari Jien Wei
Cen. Betapa malu jika hal ini sampai tersebar luas di
kalangan dunia persilatan. Ia akan ditertawakan habishabisan karena main keroyok sekalipun masih kalah juga
oleh Jien Wei Cen.
"Kasim Huo. bolehkah aku menyumbang saran?"
tanya Huang Ding Siang setelah melihat Huo Cin agak
tenang.- 199 "Silakan Penyelia Militer Huang" jawab Huo Cin
dengan datar.
"Sekarang ini kedua belah pihak tengah terluka dan
pasti Jien Wei Cen juga sedang berusaha menyusun kembali
kekuatannya dengan tambahan kedatangan Ce Ke Fu dan
teman-temannya. Sementara ini mereka pasti tidak akan
berani bertindak apa-apa dan beranggapan kita juga
demikian. Ini adalah saat yang tepat untuk menyerang Tien
Lung Men secara besar-besaran karena kita menang jumlah
dan posisi. Saat mereka tidak mengira kita menyerang, maka
kemungkinan kita menang akan sangat besar" kata Huang
Ding Siang dengan yakin.
"Bagaimana dengan pendapat yang lain?" tanya Huo
Cin sambil masih memegangi dadanya yang sakit. Sisa luka
dalam pertempuran dua hari yang lalu dengan Jien Wei Cen
masih terasa dan sering kambuh apalagi jika emosinya
sedang naik.
"Aku setuju dengan pendapat Penyelia Militer
Huang" jawab Wen Yang.
"Kita sekarang sedang dalam masa saling menunggu.
Siapa yang akan menyerang terlebih dulu akan mendapatkan
keuntungan. Apalagi keadaan Tien Lung Men kita
sepenuhnya tahu berikut jalan-jalan rahasia yang ada karena
keterangan dari Fang-er" kata Wen Yang melanjutkan
sambil melirik ke arah Wen Fang yang masih berdiri seperti
patung itu.- 200 "Jadi saran anda?" tanya Huang Ding Siang ingin
tahu rencana Wen Yang.
"Anda dan pasukan anda harus menyerang gerbang
Tien Lung Men secara besar-besaran besok pagi. Dengan
begitu maka perhatian mereka akan sepenuhnya tercurah
pada upaya menahan serangan. Saat itu Fang-er akan
memimpin untuk masuk dari daerah jalan rahasia dan
membakar rumah persediaan makanan mereka. Tanpa
makanan dan bekal untuk bertarung aku yakin semangat
mereka akan merosot" saran Wen Yang.
"Tapi apakah jalan rahasia itu sudah tidak ditutup
oleh mereka mengingat penyamaran Wen Fang sudah
terbongkar?" tanya Huang Ding Siang dengan tidak yakin.
"Memang penyamaran Fang-er sudah terbongkar dan
pasti jalan-jalan rahasia akan ditutup atau dijaga ketat tapi
ada satu jalan rahasia yang hanya diketahui olehnya sendiri.
Aku yakin jalan ini masih terbuka sampai sekarang" jawab
Wen Yang dengan mantap.
"Hmmm. jika demikian adanya maka aku akan
memberikan perintah untuk seeera bersiaga dan siap
berperang malam ini. Besok pagi-pagi sekali ketika fajar
menyingsing, aku akan memimpin seluruh prajurit untuk
maju menyerbu Tien Lung Men. Apakah kasim Huo setuju
dengan rencana ini?" tanya Huang Ding Siang lagi.
"Aku tidak meragukan rencana adik Wen Yang untuk
menyusup masuk ke Tien Lung Men. Tapi perlu kita ingat- 201 bahwa Tien Lung Men adalah sarang naga liang harimau.
Mungkin untuk masuk bukanlah hal sulit, tapi untuk
mengacaukan dari dalam tidak akan mudah. Sekarang
barisan pendekar kita yang masih segar hanyalah Wu Se
(Lima Warna Kematian) dan Wen Fang saja sedangkan
sisanya termasuk aku belum sembuh dari luka dalam. Jika
saat menyusup hanya mengandalkan para Hei Ying Ping
(Prajurit Bayangan Hitam) saja aku tidak yakin mereka
dapat mengatasi para jagoan Tien Lung Men yang terkenal
tangguh itu" kata Huo Cin memberikan saran yang masuk
akal sehingga semua yang hadir mengangguk-angguk tanda
setuju. Kekuatan mereka sekarang ini tinggal separuh saja,
mungkin tidak akan cukup untuk bertempur habis-habisan
Pendekar Bloon 19 Nagari Batas Ajal Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama