Ceritasilat Novel Online

Rimba Persilatan Naga Harimau 15

Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 15


melawan Tien Lung Men.
"Mengapa anda terlalu berkecil hati kasim Huo?
Bukankah masih ada kami yang akan membantu anda?"
tanya seseorang yang tiba-tiba masuk sehingga semua yang
hadir langsung bangkit bersiaga menghadapi segala
kemungkinan.
Orang yang baru masuk itu berjenggot putih dan
rambutnya sudah banyak beruban, tapi tatapan matanya
masih tajam dan bahkan mengandung kekejaman. Bentuk
tubuhnya masih bagus dan kekar untuk ukuran pria
seumurnya, la tidak lain adalah Tien Huo Ma Pei (Ma Pei si
Api Langit) pemimpin klan Api Langit dari utara. Lima
orang pendekar lagi menyusul di belakangnya bersama
seorang komandan prajurit yang nyaris tercekik tak- 202 bernapas dalam cengkeraman salah seorang dari mereka
yang wajahnya tampak sudah tua dan rambutnya hampir
memutih semuanya. Matanya cekung seperti orang yang
kekurangan tidur dan wajahnya tidak menampakkan
perasaan apa-apa seperti hantu saja layaknya. Ia adalah
kakak seperguruan Ma Pei yaitu Pei Lei Shi Chang Sin (Shi
Chang Sin sang Guntur Utara) yang sering bertindak keras
dan kejam bahkan terhadap prajurit kerajaan sekalipun.
Kasihan sekali, komandan Sang hampir mati tercekik hanya
karena salah bicara sedikit saja. Empat orang lainnya tidak
lain adalah Sie Ta Hao Ren (Empat Orang Baik) para jagal
ganas dari utara yang kegilaannya mungkin hanya bisa
ditandingi oleh Sie Mo Fang Yung Li seorang.
"Siapakah kalian?" bentak Pai Ying sambil bersiaga
dengan cakar besinya. Empat bayangan yang lain juga tidak
kalah siaga langsung menghadang kedatangan enam
manusia aneh itu. Mereka tidak habis pikir bagaimana
keenam orang ini bisa masuk ke dalam markas prajurit tanpa
diketahui siapapun. Bukankah ada puluhan prajurit jaga di
luar kemah utama tersebut yang semestinya memberikan
tanda akan kehadiran orang asing?
"Tenang semua! Mereka adalah orang sendiri" kata
Huo Cin buru-buru menengahi sebelum pecah pertarungan
antara Wu Se dengan Si Ta Hao Ren.
Para pendekar tuan rumah segera kembali ke
tempatnya masing-masing meskipun tidak mengurangi
kewaspadaan mereka sama sekali. Hawa membunuh yang- 203 memancar dari keenam orang tamu mereka itu begitu pekat
dan tidak kalah dengan Wu Se. Bahkan Shi Chang Sin yang
masih marah pada komandan prajurit itu terang-terangan
mengerahkan hawa tenaganya hingga menimbulkan desir
panas yang memenuhi seluruh kemah.
"Selamat datang tuan Ma Pei. Anda pastilah lelah
setelah berjalan jauh dari utara. Silakan duduk, juga untuk
teman-teman anda" kata Huo Cin mempersilakan
rombongan Ma Pei duduk di kursi tamu yang terletak di
tengah kemah.
"Kasim Huo, anda terlalu sungkan" kata Ma Pei
sambil menjura sebelum duduk di tempat yang telah
disediakan. Baru pada saat itu, Shi Chang Sin mau
melepaskan cengkeramannya pada leher sang komandan
yang wajahnya sudah hampir biru itu. Sang komandan
malang itu jatuh sambil terbatuk-batuk berusaha menarik
napas sebanyak mungkin.
"Komandan! Mengapa engkau tidak berjaga dengan
baik di luar?!" tegur Huang Ding Siang dengan marah
karena merasa dilecehkan Shi Chang Sin yang telah berani
melukai komandannya. Komandan malang itu segera keluar
dengan terbatuk-batuk memberi hormat kepada Huang Ding
Siang. Saat ia keluar, kain penutup kemah tersingkap
sehingga menampakkan pemandangan yang ganjil. Puluhan
prajurit yang berdiri di luar bagaikan patung yang membeku.
Wajah-wajah mereka masih sadar tapi kelihatannya mereka
semua telah tertotok jalan darahnya sehingga tidak bisa- 204 bergerak lagi. Penotoknya pastilah bukan sembarangan
karena sanggup menotok puluhan prajurti tanpa
menimbulkan keributan!
Memang Ma Pei bukanlah pendekar sembarangan
saja. Di utara ia amat terkenal dan ditakuti, tidak saja karena
anak buahnya banyak tapi juga karena kehebatan ilmu
totokan Api Langit miliknya. Tidak heran ia sanggup
menotok beku puluhan prajurit jaga hanya dalam beberapa
tarikan napas saja sehingga mereka tidak sempat
memberikan peringatan. Belum lagi kekuatan Shi Chang Sin
dan Si Ta Hao Ren di belakangnya!
"Kebetulan kita semua berkumpul, aku akan
memperkenalkan tamu kita dari utara ini" kata Huo Ciri
sambil bangkit berdiri ke tengah kemah.
"Pendekar ini adalah Tien Huo Ma Pei, beserta kakak
seperguruannya Pei Lei Shi Chang Sin. Sedangkan empat
orang ini adalah para pendekar utara berjuluk Si Ta Hao Ren
(Empat Orang Baik) Pu Cui, Pu Sa, Pu Tou dan Pu Tu
(Tidak Mabuk, Tidak Membunuh, Tidak Mencuri dan Tidak
Berjudi)" kata Huo Cin memperkenalkan para tamunya.
Para pendekar tuan rumah menjura dan mengucapkan
salam seadanya saja dengan acuh tak acuh. Mereka sama
sekali tidak menganggap kehadiran Ma Pei dan temantemannya karena namanya tidak terdengar sampai ke
selatan. Mereka beranggapan keberhasilan Ma Pei menotok
para prajurit hanyalah kemenangan melawan para cecunguk- 205 kecil dan tidak pantas dibanggakan sama sekali. Apalagi Pan
Chung yang tinggi hati sama sekali tidak menoleh kepada
rombongan dari utara itu. Ma Pei dan kawan-kawannya
menjadi tidak senang hati diremehkan begitu saja.
"Kasim Huo, tampaknya teman-teman anda tidak
begitu memperhatikan kedatangan kami" kata Ma Pei
menyindir.
"Kami membutuhkan bantuan, bukan sekumpulan
pemain sirkus keliling dari utara" ejek Pan Chung dengan
kasar sekali.
"Siapa yang kau sebut sirkus?" bentak Pu Sa yang
paling tidak sabaran dan agak kurang waras itu.
"Tentu saja kalian" kata Pan Chung tidak mau kalah.
"Tuan-tuan tenanglah. Kita berada pada pihak yang
sama" kata Huang Ding Siang berusaha mendamaikan
suasana yang panas ini.
"Penyelia Huang, biarkan mereka saling bertukar
jurus. Para pendekar tidak akan saling mengenal tanpa
bertarung" kata Huo Cin memberikan isyarat kepada Huang
Ding Siang agar membiarkan saja kejadian ini. Ia tersenyum
sinis kepada Wen Yang yang mengerti maksudnya.
Fan Zheng dan Guo Cing Cen juga sama-sama
tertariknya ingin mengetahui kehebatan para pendekar dari
utara tembok besar itu. Tidak mungkin Huo Cin meminta
mereka datang begitu saja dari jauh jika tidak mempunyai- 206 kemampuan. Wu Se (Lima Warna Kematian) juga amat
ingin tahu kemampuan para tamu ini sehingga mereka amat
setuju atas saran Huo Cin.
"Mari tuan-tuan, di luar akan lebih nyaman untuk
bertukar jurus" kata Huo Cin sambil mendahului mereka
keluar.
Di luar kemah suasana terasa sepi karena lingkaran
dalam penjaga kemah utama semuanya telah tertotok. Para
prajurit di lingkaran luar tampaknya tidak menyadari
kehadiran enam penyusup dari utara itu. Ini membuktikan
kemampuan mereka tidaklah dapat diremehkan begitu saja.
"Aku akan membersihkan arena pertarungan terlebih
dulu" kata Ma Pei sambil melesat bak anak panah. Ia
berubah menjadi bayangan bergerak cepat sekali membuka
totokan semua prajurit yang jumlahnya puluhan itu hanya
dalam beberapa tarikan napas saja. Tampaknya ia benarbenar pamer kekuatan di depan Huo Cin dan kawankawannya. Para prajurit yang telah terbuka totokannya
terheran-heran dan tidak habis pikir atas kejadian yang
menimpa mereka barusan. Huang Ding Siang yang
kehilangan muka segera membentak mereka dengan marah
agar meninggalkan daerah kemah utama.
"Nah sekarang kalian boleh beradu jurus" kata Huo
Cin mempersilakan.
"Baiklah aku Jiu Lung Ruan Pan Chung (Pan Chung
si Cambuk Lemas Sembilan Naga) ketua partai Fung San- 207 (Angin Gunung) mohon petunjuk anda" kata Pan Chung
sambil mengeluarkan senjatanya yang unik.
"Aku Pu Sa akan memancung kepalamu, heheheeh"
kata Pu Sa sambil tertawa aneh dan mengayun-ayunkan Gan
Tou Tao (Golok Pemenggal Kepala) miliknya yang lebarku.
Semua yang hadir merasakan kegairahan yang hampir
meledak di dada masing-masing kecuali mungkin Huang
Ding Siang. Sebagai pendekar yang malang-melintang di
dunia persilatan, mereka amat senang mengadu ilmu dan
mengenal ilmu baru. Senjata golok lebar melawan senjata
lemas sembilan bagian jelas adalah pertarungan yang
menarik karena sifat tiap senjata itu sendiri. Golok adalah
senjata keras yang biasa dimainkan dengan tenaga kuat dan
jurus yang pasti sedangkan cambuk lemas lebih
menekankan pada perubahan jurus dan kepandaian mencari
celah lawan. Sekarang tinggal kepandaian pemakai senjata
untuk menggunakan kekuatan menekan lawan yang akan
menentukan kemenangan.
Pu Sa berteriak keras sambil maju menyerang dengan
golok lebarnya. Serangan Pu Sa amat ganas dan kejam
karena selalu mengincar kepala lawan. Pan Chung sendiri
terkaget-kaget melihat lawan begitu ganas padahal lukanya
sendiri baru sembuh sehingga ia tidak berani bergerak
dengan tiba-tiba. Golok Pemenggal Kepala memotong
dengan cepat dari samping berusaha memotong jalan
mundur Pan Chung. Untunglah sebagai pendekar kaya
pengalaman, Pan Chung segera mengambil tindakan cepat.- 208 Ia menunduk menghindari tebasan golok, lalu melecutkan
cambuk lemasnya ke arah perut Pu Sa yang terbuka.
Cambuk lemas Pan Chung terbuat dari jalinan sembilan
ruyung besi pendek sehingga pastilah akan meremukkan
tulang dan daging siapapun yang terkena.
Pu Sa kaget melihat lawan yang lincah ini sehingga ia
segera melompat berputar menghindar. Perutnya selamat
dari sabetan cambuk tapi Pan Chung tidak melepaskan
lawan begitu saja. Ia maju menyerbu sambil memutar
cambuk lemasnya dengan kencang bak pusaran badai.
Cambuk lemas itu berputar melindungi tubuh Pan Chung
sekaligus bagaikan bola besi menerjang Pu Sa.
"Trangg!!"
Bunga api berloncatan ketika Golok Pemenggal
Kepala berbenturan dengan Cambuk Sembilan Naga. Pu Sa
yang terdesak akhirnya mengambil jalan nekad maju
menghadang serangan. Cara ini ternyata cukup ampuh
menghadang serangan cambuk lemas karena sifat serangan
cambuk adalah melebar dan menarik. Adapun golok lebih
dapat digunakan untuk serangan jarak pendek sehingga Pu
Sa terus berusaha memendekkan jarak.
Keadaan kini berbalik menjadi menguntungkan
akibat tindakan Pu Sa yang untung-untungan tadi. Golok
Pemenggal Kepala maju terus menyerang sementara Pan
Chung berusaha mengimbangi dengan mundur dan- 209 melibaskan cambuknya. Pu Sa semakin bersemangat
menyerang dengan ganas melihat lawannya mundur terus.
Namun karena Pu Sa agak kurang waras, ia tidak
terlalu pandai membaca gaya lawan. Ia hanya menyerang
terus dengan membabi buta berusaha memenggal kepala
lawan. Pan Chung setelah lewat hampir lima puluh jurus
menyadari kelemahan lawannya ini dan segera mengganti
siasat bertarung. Jika tadi ia menyerang langsung badan
lawan kini ia melecutkan cambuknya meledak-ledak
mengincar kaki Pu Sa.
Cara serangan ini berhasil membingungkan Pu Sa
hingga ia melompat-lompat menghindari cambuk. Tanah
dan debu berhamburan setiap kali cambuk meledak
menghajar tanah. Tampaknya Pu Sa kini ganti kerepotan
diserang terus oleh Pan Chung. Keadaan ini membuat
penyakit gilanya kambuh sehingga ia mencak-mencak
dengan marah dan memaki-maki. Pu Sa menyerang balik
dengan tidak menghiraukan keselamatan jiwanya lagi. Hal
ini tentu amat membahayakan keselamatan mereka berdua
sehingga Huo Cin merasa sudah saatnya ia turun tangan
sekarang, la melompat ke tengah-tengah pertarungan dua
jagoan itu dengan keren sekali.
"Berhenti!" teriak Huo Cin berusaha menghentikan
serangan keduanya.
Sayang sekali Pu Sa dan Pan Chung sudah panas
sehingga nyaris tidak menghiraukan Huo Cin. Mereka- 210 berdua tetap melanjutkan serangannya sementara Huo Cin
terjepit di tengah-tengah. Mau tak mau Huo Cin terpaksa
mencabut Yin Ye Cien (Pedang Bulan Perak) menahan
serangan maut Pu Sa dan Pan Chung. Pedang berkelebat
bagaikan sinar putih menyambut Golok Pemenggal Kepala
hingga terpental kemudian ganti menghadang Cambuk
Sembilan Naga yang bagaikan ular melata itu. Karena
merupakan senjata lemas, cambuk lebih sukar dihalau
daripada golok tapi bagi Pi Sie Cien (Pedang Penakluk Iblis)
yang perubahannya banyak sekali, tidaklah susah untuk
mementalkan senjata Pan Chung itu.
"Kita sekarang telah berkenalan" kata Huo Cin
setelah berhasil memisahkan Pan Chung dan Pu Sa.
"Ilmu Pi Sie Cien memang bukan hanya nama besar"
puji Ma Pei yang dibenarkan Shi Chang Sin dengan
anggukan.
"Nah, sekarang setelah semuanya jelas kita bisa
bicarakan rencana kita selanjutnya. Mari masuk kembali ke
dalam, para pendekar sekalian" kata Huang Ding Siang yang
lega sekali pertarungan telah selesai.
Bersama-sama mereka kembali masuk ke dalam
kemah utama dan duduk dengan tenang menunggu rencana
yang akan dibeberkan oleh Huang Ding Siang kepada
mereka. Wu Se (Lima Warna Kematian) tadi sebenarnya
masih ingin menjajal kehebatan para jagoan Si Ta Hao Ren
(Empat Orang Baik) tapi sayang sekali niat mereka keburu- 211

Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibatalkan Huo Cin yang menengahi pertarungan. Mereka
berlima berharap dapat menjajal kehebatan lawan suatu saat
nanti.
"Nah, sekarang para pendekar sekalian telah
berkenalan. Sungguh suatu keuntungan bagi kita kedatangan
tambahan tenaga dari utara. Kasim Huo, menurut anda
bagaimana jika mereka turut serta dalam penyusupan ke
markas Tien Lung Men?" tanya Huang Ding Siang meminta
pendapat.
"Aku rasa jika tidak keberatan, pendekar Ma Pei dan
Shi Chang Sin dapat turut serta membantu penyusupan. Ilmu
mereka tidak perlu diragukan lagi dalam penyerangan,
sedangkan Si Ta Hao Ren dapat membantu kita dalam
pertempuran di luar benteng. Bagaimana pendapat pendekar
berdua terhadap maksudku ini?" kata Huo Cin melemparkan
pendapatnya.
"Aku dan saudaraku tentu sangat senang dapat
menunjukkan jasa kami bagi anda kasim Huo. Apalagi kami
bisa menjajal kekuatan Tien Lung Men yang selama ini
katanya tak terkalahkan itu" jawab Ma Pei sambil menjura
sedangkan Shi Chang Sin sendiri terkesan acuh tak acuh.
"Hahahah, bagus jika demikian. Penyelia Huang, jika
demikian kita putuskan saja bahwa tim penyusup adalah
Wen Fang, Wu Se dan dua pendekar utara Ma Pei dan Shi
Chang Sin. Tugas kalian adalah membakar persediaan- 212 makanan mereka dan menimbulkan kekacauan di dalam
markas" kata Huo Cin memberikan perintah.
"Kami siap melaksanakan perintah" seruan serentak
terdengar dari para pesilat yang hadir.
"Baiklah, jika demikian kalian semua boleh
beristirahat. Aku dan kasim Huo Cin akan memberikan lebih
lanjut serangan terhadap markas Tien Lung Men. Kalian
semua diharapkan siap pada fajar esok hari" kata Huang
Ding Siang sambil bangkit mempersilakan para tamunya
keluar dari kemah utama.
Wen Yang mengantar para tamu menuju kemah yang
telah disediakan sedangkan yang lainnya kembali ke kemah
masing-masing. Wen Fang yang sedari tadi benar-benar
melayang pikirannya kemana-mana merasa lega akhirnya
pertemuan itu berakhir. Ia sebenarnya tidak ingin ikut dalam
regu penyusup yang akan menyerang Tien Lung Men karena
bagaimanapun ia merasa Tien Lung Men sudah seperti
rumah sendiri baginya. Tapi kesempatan untuk dapat
bertemu anak dan istrinya amat menggoda dirinya yang
sudah rindu ingin memeluk putrinya itu.
Jing Ying yang mengikuti di belakang Wen Fang
menepuk pundaknya untuk mencari perhatian tapi tidak
dihiraukan olehnya. Ia terus berjalan menuju kemahnya
sendiri dan berniat ingin cepat beristirahat. Luka di dadanya
akibat tusukan Jien Jing Hui belum sembuh benar dan masih
terasa nyeri. Tapi mungkin luka di hatinya jauh lebih nyeri- 213 daripada luka tusukan pedang di dadanya. Apalagi jika ia
teringat bagaimana Yang Hong memanggil dirinya saat
terakhir bertemu.
"Kau masih saja memikirkan iblis wanita itu?" kata
Jing Ying dengan sengit sekali ketika melihat Wen Fang
masih ogah-ogahan. Wen Fang tidak menjawab tapi terus
berjalan menuju kemahnya.
"Jika saja aku tidak kembali dan menolongmu,
mungkin engkau sudah mati sekarang oleh wanita tak
berperasaan itu" omel Jing Ying lagi. Wen Fang
mempercepat langkahnya berusaha meninggalkan Jing Ying
apalagi kemahnya sudah terlihat di depan mata.
"Hei! Tunggu aku" jerit Jing Ying kali ini sambil
menarik tangan Wen Fang hingga ia terpaksa berhenti.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanya Wen
Fang dengan tidak sabar, la memeloti Jing Ying dengan
pandangan sebal.
"Suamiku, mengapa engkau tidak bisa melupakan
siluman rubah itu?" tanya Jing Ying yang balas melotot
dengan tidak kalah sengit.
"Jangan pernah memaki Jing Hui!" kata Wen Fang
dengan nada dingin namun menyeramkan sekali sampaisampai Jing Ying agak kaget juga.
"Lalu kau anggap apa aku ini?" tanya Jing Ying lagi
dengan agak takut.- 214 "Aku tidak tahu!" sergah Wen Fang sambil
mengibaskan tangannya yang dipegang oleh Jing Ying. la
merasa tidak bisa marah atau menyalahkan Jing Ying dalam
hal ini karena mereka berdua memang pernah melakukan hal
yang hanya layak dilakukan oleh sepasang suami istri tapi ia
juga amat merindukan Jien Jing Hui dan terutama Yang
Hong. Perasaan hatinya yang bergejolak ini menyebabkan
lukanya kembali terbuka dan berdarah.
"Ahhhh" kata Wen Fang sambil menekan dadanya.
"Suamiku, lukamu terbuka kembali" kata Jing Ying
sambil buru-buru memapah tubuh Wen Fang yang agak
limbung itu.
"Aku tidak butuh bantuanmu" kata Wen Fang
menolak bantuan Jing Ying.
"Sudahlah suamiku, lupakan saja pertengkaran kita.
Lukamu ini harus segera dirawat" kata Jing Ying kali ini
dengan lebih lembut sehingga akhirnya Wen Fang pun
akhirnya mengalah. Mereka bersama masuk ke dalam
kemah yang cukup besar dan mewah. Jing Ying segera
mengambil seember air segar dan handuk bersih untuk
merawat luka Wen Fang yang kembali terbuka.
Sementara itu rombongan jagoan dari utara juga
sudah tiba di kemah mereka. Wen Yang yang menjadi
penunjuk jalan mempersilakan mereka masuk ke dalam dua
kemah yang cukup besar. Satu kemah akan ditempati Ma Pei
dan Shi Chang Sing sedangkan kemah lainnya akan- 215 ditempati oleh Si Ta Hao Ren (Empat Orang Baik). Tentu
saja para prajurit dan pengikut Ceng Lu Hui (Perkumpulan
Jalan Kebenaran) juga diperintahkan untuk melayani para
tamu istimewa itu dengan baik, termasuk menyediakan arak
simpanan dan daging terbaik. Setelah merasa semuanya
tersedia dengan baik, Wen Yang pun pamit undur dari
hadapan mereka. Semua jagoan utara itu merasa senang
semua makanan dan arak terbaik disajikan untuk mereka,
kecuali Pu Tou (Tidak Mencuri) yang merasa kurang karena
tidak ada wanita yang menghibur mereka.
"Jangan khawatir saudara Pu Tou, nanti setelah ini
kita akan berjalan-jalan mencari kembang desa yang sedang
mekar" kata Wen Yang penuh arti kepada Pu Tou. la sendiri
juga seorang Jai Hua Cei (Penjahat Pemetik Bunga) yang
amat sejalan dengan kebiasaan Pu Tou sendiri. Tidak heran
jika mereka langsung terlihat cocok dan akrab begitu
berkenalan.
Wen Yang berjalan kembali ke kemahnya sendiri
yang terletak agak jauh dari kemah para tamu. la
mengangguk kepada beberapa prajurit yang sedang ronda
jaga dan memberikan hormat kepadanya. Memang sekarang
semua prajurit dan kepala prajurit sudah menganggap Wen
Yang mempunyai kedudukan setara dengan Huang Ding
Siang meskipun ia bukanlah anggota militer kerajaan. Siapa
lagi yang berjasa membuatnya dihormati begini jika bukan
kakaknya sang kepala kasim Huo Cin?- 216 Wen Yang masuk ke dalam kemahnya dan bermaksud
hendak bersemedi memulihkan diri. la merasa agak lelah
karena luka-lukanya terasa berdenyut-denyut kembali.
Memang luka yang dideritanya dalam pertarungan dengan
Lu Xun Yi itu cukup parah dan ia harus sering bersemedi
untuk mengeluarkan darah kotor yang menghambat laju
peredaran darah dalam tubuhnya. Tapi begitu ia masuk ke
dalam kemah, Hu Kung Ye sudah duduk di kursi menunggu
kedatangan dirinya sambil berwajah biru matang dan kepala
terluka.
"Hu Kung Ye, mengapa wajahmu babak belur
begini?" tanya Wen Yang keheranan. Ilmu silat Hu Kung Ye
termasuk lumayan apalagi setelah beberapa tahun ini Wen
Yang turut menurunkan beberapa jurus kepadanya.
Siapakah yang begitu tangguh bisa membuatnya babak belur
hingga seperti bebek dicabuti bulunya ini?
"Salam ketua" kata Hu Kung Ye sambil bangkit
berdiri dan menunduk saja malu menghadap Wen Yang.
Kata-kata yang diucapkan juga terdengar kurang jelas
karena menahan kesakitan dua giginya yang tanggal.
"Hu Kung Ye, engkau belum menjawab pertanyaanku
tadi" kata Wen Yang dengan tidak sabar
"Ampun ketua, hamba bersama para pengikut
kemarin pagi meronda desa sekitar wilayah Yi Chang untuk
menemukan penyusup yang mencoba masuk. Ketika itu- 217 kami bertemu dengan dua orang gadis muda yang
mencurigakan..."
"Ehmm" Wen Yang terbatuk kecil karena tahu pasti
sifat Hu Kung Ye yang doyan gadis-gadis muda sama
seperti dirinya itu.
"Benar, kami menemukan mereka bersembunyi di
sebuah rumah seorang janda. Ketika kami hampir berhasil
menangkap mereka, tiba-tiba datang dua orang wanita yang
bagaikan bidadari dari kahyangan menolong. Ilmu keduanya
amat hebat dan senjata mereka juga aneh. Aku dan sepuluh
pengikut Ceng Lu Hui dipermainkan seperti anak-anak
kucing saja di hadapan mereka" kata Hu Kung Ye mengadu
seperti seorang anak kepada ayahnya ketika kalah bermain
kelereng.
"Oh? Dua orang wanita yang amat cantik? Senjata
mereka seperti apakah hingga kau sebut aneh?" tanya Wen
Yang yang kini mulai merasa laporan Hu Kung Ye ada
gunanya juga.
"Yang seorang bersenjatakan seruling sedangkan
lainnya sitar" jawab Hu Kung Ye sambil menahan sakit pada
pipinya yang lebam.
"Si Tien Mei Ni (Kecantikan Empat Musim)?!" kata
Wen Yang hampir berteriak setengah tidak percaya.
"Benar, mereka memperkenalkan diri mereka sebagai
Yao Chuen dan Yao Tong. Aku yakin memang mereka- 218 adalah Si Tien Mei Ni" kata Hu Kung Ye sambil mengusapusap pipinya berusaha meredakan rasa sakit.
"Benarkah? Jika demikian tentunya mereka sedang
melakukan sesuatu yang amat penting karena selama ini
mereka hampir tidak pernah meninggalkan kotaraja" kata
Wen Yang dengan bersemangat. Ia adalah seorang mata
keranjang mana mungkin membiarkan kesempatan bertemu
dengan Si Tien Mei Ni lewat begitu saja. Dulu ketika ia
malang melintang di kotaraja dan mencabuli banyak gadis
tak berdosa, sebenarnya ia ingin sekali mencoba cari tahu
kecantikan empat wanita yang melegenda di kotaraja itu.
Hanya saja Huo Cin selalu mencegah keinginannya itu
karena tahu keluarga Yao adalah keluarga terpandang
bahkan Kaisar juga menghormatinya. Mereka tidak boleh
hanya karena nafsu sesaat menggagalkan rencana besar
yang telah mereka susun dengan segenap pengorbanan itu,
demikian kata Huo Cin kepada Wen Yang saat itu. Hasilnya
Wen Yang pun menuruti kata kakaknya itu dan hanya bisa
bermimpi saja tentang kecantikan Si Tien Mei Ni.
"Hu Kung Ye, di manakah engkau bertemu mereka?"
tanya Wen Yang lagi.
"Lapor ketua, aku bertemu mereka di sebuah dusun
kecil beberapa li utara daerah Yi Chang" jawab Hu Kung
Ye. "Hmmm, berarti mereka memang ingin masuk ke Yi
Chang. Sayang sekali besok Huang Ding Siang memerintah-- 219 kan kita untuk siaga menggempur markas Tien Lung Men,
jika tidak tentu aku tidak akan melewatkan kesempatan
untuk bertemu dengan Si Tien Mei Ni" kata Wen Yang
sambil tersenyum mesum.
"Benar ketua" kata Hu Kung Ye yang memang
penjilat itu.
"Baiklah jika demikian engkau juga harus cepat
beristirahat. Besok pagi-pagi sekali, kita semua harus
berkumpul dan siap tempur. Katakan perintahku ini kepada
semua pengikut Ceng Lu Hui" kata Wen Yang kali ini
dengan lebih berwibawa.
"Hu Kung Ye siap menjalankan perintah!" kata Hu
Kung Ye sambil menjura dan keluar kemah, la segera
menuju perkemahan tempat pengikut Ceng Lu Hui berada
untuk menyampaikan perintah Wen Yang.
"Si Tien Mei Ni berada di Yi Chang, sebenarnya apa
yang hendak mereka lakukan?" kata Wen Yang kepada
dirinya sendiri.
*** Dalam keremangan senja, tampak enam orang wanita
tengah berjalan menyusuri jalan setapak di sela-sela hutan
yang rimbun. Seorang di antaranya menaiki seorang keledai
yang berjalan dengan santai sambil sesekali merumput- 220 dijalan. Wajah-wajah mereka demikian cantik jelita
bagaikan dewi yang turun dari kahyangan. Jika saja ada
orang desa yang berpapasan dengan mereka saat itu, pastilah
akan langsung menyembah mereka sebagai titisan para dewi
yang turun dari langit. Tapi untunglah daerah Yi Chang saat
itu sedang dijaga tentara kerajaan dengan ketat dan mereka
memang sengaja melewati jalan setapak yang sulit dilalui
sehingga tidak bertemu siapapun juga.
"Kakak berempat, aku merasa tidak enak karena
menghalangi perjalanan kalian berempat" kata gadis yang
duduk di atas keledai itu. la tidak lain adalah Ma Xia, putri
Ma Pei yang melarikan diri dari ayahnya di utara.
"Adik Ma, jangan terlalu sungkan. Kami amat
menikmati perjalanan ke selatan ini karena sudah lama
sekali kami tidak pernah meninggalkan rumah. Jadi buat apa
kami terburu-buru?!" kata Ma Xia sambil tersenyum
gembira. Ia menari-nari sambil melompat dengan riang
melewati barisan pepohonan hutan yang cukup lebat itu.
"Lagipula Dan Dan juga tampaknya cukup menikmati
perjalanan ini. Bukan begitu Dan Dan?" tanya Yao Jiu
sambil mengelus keledai yang tengah ditunggangi oleh Ma
Xia. Keledai bernama Dan Dan itu meringkik sambil
menggoyang-goyangkan kepalanya seakan-akan mengerti


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa yang dikatakan oleh Yao Jiu. Mereka berenam semua
tertawa melihat tingkah keledai muda yang kocak itu.- 221 "Aku jadi teringat kepada Lung Ma" kata Ma Xia
sambil mengusap-usap kepala Dan Dan.
"Lung Ma (Kuda Naga)?" tanya Wongguo Yuan
dengan heran.
"Iya, A Yuan. Itu adalah nama kudaku di utara, la
begitu gagah dan kuat, sayang sekali ia sudah mati di tangan
Pu Sa" kata Ma Xia sambil menerawang jauh mengingat
kembali pelariannya bersama Han Cia Sing beberapa
minggu yang lalu di utara.
"Pu Sa? Nama yang aneh" kata Yao Tong menimpali
perkataan Ma Xia.
"Ia adalah salah satu dari empat jagal suku Tonghu,
Si Ta Hao Ren" kata Ma Xia menerangkan.
"Si Ta Hao Ren (Empat Orang Baik)? Lagi-lagi nama
yang aneh" kata Yao Chuen kali ini dengan heran.
"Mereka dijuluki demikian sebenarnya hanya untuk
olok-olok saja. Sebenarnya mereka sama sekali bukan orang
baik, tapi orang-orang kejam tanpa peri kemanusiaan" kata
Ma Xia.
"Apa yang dikatakan Xia-cie benar adanya" kata
Wongguo Yuan membenarkan perkataan Ma Xia itu yang
selalu dipanggilnya kakak itu.
"Ternyata di utara juga banyak jago-jago sesat yang
hebat" kata Yao Chuen.- 222 "Eh adik Ma, tadi engkau bercerita tentang pemuda
yang kau temui itu. Siapa namanya, Han Cia Sing?" tanya
Yao Tong.
Ma Xia dan Wongguo Yuan mengangguk
membenarkan.
"Benarkah ia adalah putra kedua mendiang Jenderal
Han Kuo Li?" tanya Yao Chuen lagi.
"Benar, ia adalah putra kedua mendiang Jenderal Han
Kuo Li. Ia segera menuju ke selatan begitu mendengar
musibah yang menimpa keluarganya" kata Ma Xia dengan
suara sedikit bergetar, la teringat bagaimana perubahan
sikap Han Cia Sing yang menjadi murung setelan
mendengar musibah yang menimpa keluarganya itu. Ma Xia
sebenarnya ingin membantu Han Cia Sing, tapi apa yang
dapat ia perbuat sementara dirinya masih terluka dan
menjadi beban orang lain seperti ini?
"Jika demikian, langit memang masih bermata.
Semoga dendam keluarga Han dapat dibalaskan kepada para
pengkhianat negara" kata Yao Tong dengan nada dingin
namun menggetarkan hati mereka yang mendengarnya.
"Adik, memang sekarang Tang agung sedang berada
dalam cengkeraman orang-orang jahat. Entah kapan kita
dapat menyingkirkan para pengacau itu dari muka bumi ini"
kata Yao Chuen dengan sedih.- 223 "Kakak, siapakah orang jahat itu yang dimaksud oleh
kakak?" tanya Wongguo Yuan dengan polos.
"Orang jahat itu adalah Permaisuri Wu dan kasim
kepala Huo Cin" jawab Yao Jiu yang berada di sebelah
Wongguo Yuan.
"Mengapa mereka disebut orang jahat? Apakah yang
mereka lakukan sehingga disebut orang jahat?" tanya
Wongguo Yuan lagi dengan perasaan ingin tahu. Ia yang
selama ini dibesarkan di desa kecil di utara sangat tertarik
terhadap banyak hal baru yang ada di dataran tengah
termasuk perilaku orang-orangnya.
"Mereka jahat karena mereka menghancurkan orangorang yang tidak sepaham dengan mereka. Siapapun yang
menghalangi ambisi mereka akan ditumpas tanpa ampun
termasuk juga di dalamnya keluarga Jenderal Han Kuo Li
dan Menteri Shangguan" kata Yao Jiu dengan sedih.
"Jadi mereka jahat karena ingin mencapai cita-cita
mereka?" tanya Wongguo Yuan masih belum mengerti.
"Tidak, meraih cita-cita adalah hal yang baik. Setiap
orang harus mempunyai cita-cita besar, tapi jika dalam
perjalanan mencapai cita-cita orang harus membunuh dan
mengorbankan orang lain maka itu tidak bisa disebut citacita. Itu adalah ambisi dan angkara murka" kata Yao Tong
menerangkan.- 224 "Oh, jadi begitu" kata Wongguo Yuan sambil
mengangguk mengerti.
"Kakak, kita sudah hampir tiba di markas Tien Lung
Men" kata Ma Xia yang duduk di atas pelana keledai
sehingga jangkauan pandangannya paling luas dan jauh.
Mereka semua menghentikan pembicaraan dan memusatkan
perhatian bersiaga penuh. Dekat dengan markas Tien Lung
Men berarti semakin mendekati para prajurit kerajaan yang
tengah mengepung sehingga mereka harus benar-benar
waspada agar tidak ketahuan.
Apa yang dikatakan Ma Xia tampaknya benar.
Setelah mereka keluar dari jalan setapak hutan itu, tibalah
mereka di sebuah lapangan rumput luas. Sebuah batu besar
berdiri di tengah-tengah dengan tulisan Tien Lung Men.
Itulah batas markas partai Naga Langit yang tersohor. Yao
Chuen dengan hati-hati menengok ke kiri dan ke kanan
untuk melihat keadaan. Suasana tampak sepi sekali dan
hanya terdengar suara burung-burung hutan saja. Beberapa
prajurit berkuda tampak hilir mudik beberapa ratus langkah
dari batu besar penanda markas Tien Lung Men. Mereka
tampak waspada sekali dan selalu mengawasi gedung
markas tanpa lengah sedikitpun.
"Kakak, jarak kita ke gerbang markas Tien Lung Men
hanya beberapa ratus langkah saja. Kita dapat dengan
mudah menghindari kejaran para prajurit" kata Yao Jiu
memberikan saran.- 225 "Benar, tapi kita harus mempertimbangkan keadaan
adik Ma. Ia tidak bisa berlari cepat seperti kita" kata Yao
Tong mengingatkan.
"Kau benar adikku, kita tidak bisa menggunakan lari
cepat untuk meninggalkan para prajurit itu" kata Yao Xia
setuju.
"Kakak sekalian, maafkan aku telah menyusahkan"
kata Ma Xia yang merasa tidak enak hati.
"Ah, tidak, apa-apa adik Ma. Kami semua juga tidak
keberatan menghajar beberapa orang prajurit sebagai
latihan" kata Yao Xia dengan ceria mencoba menghibur Ma
Xia. "Aku juga menjadi beban karena tidak bisa silat" kata
Wongguo Yuan pelan sambil menundukkan kepala.
"Kedua adikku jangan merasa tidak enak. Bukankah
kita sesama saudari harus saling menolong" kata Yao Jiu
menghibur.
"Benar sekali" kata Yao Tong setuju.
"Baiklah jika demikian kita buat rencana saja. Adik
kedua dan ketiga mengantarkan Ma Xia dan Wongguo Yuan
sampai ke gerbang sedangkan aku dan adik keempat akan
menahan para prajurit itu. Bagaimana pendapat kalian?"
tanya Yao Chuen mengusulkan.
"Kakak, mereka semua kira-kira ada tiga puluh
prajurit berkuda dengan senjata lengkap. Apakah engkau- 226 dan adik keempat sanggup menghadang mereka?" tanya
Yao Jiu dengan khawatir.
"Kakak percayalah, begitu kalian semua masuk ke
daerah Tien Lung Men maka kami akan segera
mengundurkan diri juga. Kami tidak bertempur untuk
menang, hanya menghadang lawan saja" kata Yao Tong
mencoba memberikan penjelasan.
"Baiklah, segera kita laksanakan. Kebetulan hari
sudah mulai gelap sekarang dan para prajurit itu belum
memasang obor. Inilah kesempatan terbaik bagi kita. Adik
kedua dan ketiga", kuserahkan kedua adik kecil kita kepada
kalian" kata Yao Chuen membagikan tugas.
"Baik" jawab Yao Xia dan Yao Jiu hampir
bersamaan.
"Adik, mari kita pasang cadar muka agar kita tidak
ketahuan" kata Yao Chuen kepada Yao Tong.
Bagaimanapun mereka tidak ingin ketahuan menentang
langsung prajurit kerajaan yang berarti menentang kaisar
sendiri. Hukumannya amat berat yaitu hukuman mati!
Rombongan itu segera pecah menjadi dua. Ma Xia
dan Wongguo Yuan dikawal oleh Yao Xia dan Yao Jiu
sedangkan Yao Chuen bersama Yao Tong maju ke tengah
lapangan menghadang para prajurit berkuda. Matahari
sudah mulai hilang di ufuk barat sehingga suasana menjadi
remang-remang. Para prajurit berkuda yang berjaga di dekat
situ tampaknya belum mulai memasang obor sehingga- 227 mereka baru dapat melihat keledai Ma Xia setelah berjalan
hampir separuh lapangan.
"Ada penyusup! Penyusup!" teriak kepala prajurit
berkuda sambil mengacungkan tombak panjangnya
berusaha memberitahu anak buahnya. Mereka semua
langsung membedal kudanya berusaha mengejar keledai Ma
Xia yang sudah hampir mencapai batu besar tanda wilayah
Tien Lung Men.
"Bukkkkk!!"
Seorang prajurit berkuda yang malang terlempar dari
pelana kudanya sambil mengeluh terkena pukulan sitar Yao
Tong yang berisi kekuatan Jien San Sen Kung (Tenaga Sakti
Seribu Gunung). Prajurit itu terjatuh ke tengah-tengah
rombongan kuda prajurit yang mengejar hingga ia tewas
terinjak-injak kuda teman-temannya sendiri. Sang kepala
prajurit yang kaget sekali melihat ada dua wanita bercadar
menghadang langkah mereka.
"Berhenti!" teriaknya memberikan perintah sambil
menarik tali kekang kudanya hingga kuda itu meringkik
keras sekali. Para prajurit lain juga langsung berhenti
sehingga suara ringkik kuda beramai-ramai memecah
kesunyian petang itu.
"Siapa kalian berani sekali melukai prajurit kerajaan
Tang agung!" bentak kepala prajurit itu dengan marah
sekali. Tapi baik Yao Chuen maupun Yao Tong tidak- 228 menjawab tapi langsung memainkan musik dari alat
musiknya masing-masing.
Tiupan seruling Yao Chuen tinggi rendah
menyakitkan telinga ditingkahi dengan gesekan sitar Yao
Tong yang menyayat hati menggema mengalahkan teriakan
para prajurit. Mula-mula memang tidak terjadi apa-apa, tapi
sesaat kemudian kuda-kuda mereka berubah menjadi liar.
Kuda-kuda itu menghentak-hentakkan tubuhnya seakanakan hendak melemparkan para penunggangnya. Para
prajurit berusaha keras menahan tali kekang kuda mereka
tapi tidak berhasil. Kuda-kuda itu seakan-akan menjadi gila
oleh suara alunan musik Yao Chuen dan Yao Tong yang
sepintas tidak beraturan dan sumbang itu.
Kekacauan dalam barisan prajurit itu dimanfaatkan
dengan baik sekali oleh Ma Xia dan rombongannya. Mereka
bergegas melewati lapangan dan batu besar tanda wilayah
Tien Lung Men. Keledai Dan Dan dipacu sekencang
mungkin sehingga ia menguik-uik tidak senang. Yao Xia
dan Yao Jiu menggandeng Wongguo Yuan agar dapat tiba
lebih cepat di gerbang markas Tien Lung Men.
Tepat saat mereka sudah berjalan beberapa puluh
langkah melewati batu besar, tiba-tiba tampak tiga bayangan
berkelebat mendekat. Langkah-langkah mereka begitu cepat
sehingga kelihatan hampir seperti terbang saja layaknya!
Gerak-gerik mereka cepat dan tangkas sekali. Seorang
memakai jubah putih berlengan panjang sekali, wajahnya
tampak tua dan keriput. Rambutnya sudah jarang dan putih.- 229 Mimik wajahnya seperti sudah tidak pernah tersenyum sejak
lahir. Ia memperkenalkan diri sambil menjura, "Aku
bernama Hu Sang".
Seorang lagi yang berdiri di tengah adalah seorang
pemuda berwajah tampan dan kekar. Ia memegang sebilah
golok cincin rantai. Pakaiannya dari kulit harimau sehingga
menambah gagah perawakannya.
"Aku Chen Yung" katanya memperkenalkan diri
sambil menjura. Terakhir, seorang laki laki setengah baya
namun masih tetap gagah yang memakai jubah Tao.
Rambutnya digelung dengan kain berwarna hitam.
Wajahnya berkumis dan berjenggot halus serta beruban.
Sebilah pedang tersandang di punggungnya. Tutur
bicaranya halus dan sopan.
"Hamba yang rendah ini bermarga Chang, bernama
Ye Ping" katanya memperkenalkan diri.
"Ternyata kami disambut oleh para penjaga Tien
Lung Men yang terhormat. Aku Yao Xia merasa tersanjung
karenanya" kata Yao Xia sambil balas menjura dengan
hormat.
"Aku Yao Jiu mewakili ibuku Yao Hao Yin
menyampaikan salam kepada pendekar bertiga" kata Yao
Jiu sambil menjura juga.
Ma Xia dan Wongguo Yuan memandangi ketiga
penyambut tamu Tien Lung Men itu dengan terheran-heran.- 230 Tidak saja karena kedatangan mereka yang tiba-tiba seperti
setan tapi juga karena penampilan mereka yang benar-benar
unik dan aneh. Ketiga orang tadi memang adalah jago-jago
dunia persilatan yang amat disegani. Hu Sang dijuluki Bao
Ji Sang Sing Kui (Setan Sedih dari Bao Jing), Chen Yung
digelari Fei Hu Tao (Golok Harimau Terbang) sedangkan
Chang Ye Ping berjuluk Sung Ge Cien (Pedang Pengantar
Tamu). Ketiganya memang jago-jago terpilih yang
ditugaskan sendiri oleh Jien Wei Cen untuk menjaga
ketenangan partai Naga Langit.
"Ah, rupanya keluarga bangsawan Yao. Apakah yang
bisa saya lakukan untuk kalian?" tanya Chang Ye Ping
dengan halus.
"Pendekar Chang, kami ingin bertemu dengan Jien
Pang-cu untuk menyampaikan pesan dari ibu kami" jawab
Yao Xia.
"Pesan dari Yao Lao Tai-cun (Nyonya Jenderal
Yao)?" tanya Chang Ye Ping sedikit heran.
"Benar, kami mohon ketiga pendekar memberikan
jalan" kata Yao Jiu.
Chang Ye Ping agak ragu-ragu memandangi mereka
berempat. Bagaimanapun sekarang situasi Tien Lung Men


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah situasi perang sehingga siapapun yang hendak masuk
haruslah dicurigai. Tapi melihat penampilan para putri Yao
yang anggun itu kecurigaan siapapun tentu akan surut
karenanya. Saat sedang bimbang itulah, dari arah depan- 231 markas tampak Yao Chuen dan Yao Tong tengah berlarian
ke arah mereka. Hu Sang dan Chen Yung segera bersiaga
penuh tapi Chang Ye Ping mencegah kedua temannya itu.
"Maafkan kami yang datang tiba-tiba, tapi prajurit
berkuda di belakang sudah mengejar" kata Yao Chuen
sambil membuka cadarnya.
Tanah bergetar dan debu membubung tinggi ketika
para prajurit berkuda yang sudah berhasil mengendalikan
kembali kuda-kuda mereka kini mengejar Yao Chuen dan
Yao Tong. Mereka benar-benar marah karena dipermainkan
oleh dua orang wanita dengan alat musiknya!
"Baiklah, mari akan kuantarkan kalian ke markas"
kata Chang Ye Ping setelah mempertimbangkan sejenak.
"Tapi bagaimana dengan para prajurit berkuda yang
mengejar?" tanya Yao Jiu dengan khawatir.
"Nona Yao harap tenang, kami sudah mempersiapkan
jebakan kuda di sini. Mari ikuti di belakangku" kata Chang
Ye Ping sambil berkelebat pergi.
"Adik kedua, kau jaga Ma Xia bersamamu" kata Yao
Chuen melompat sambil menyusul Chang Ye Ping.
"Baik!" kata Yao Xia sambil menggandeng keledai
Dan Dan berlari mengikuti rombongan itu. Ia tahu bahwa
tentunya jalan menuju markas telah digali di beberapa
tempat sebagai jebakan untuk kuda-kuda sehingga ia tidak
boleh lengah sedikitpun. Yao Xia mengikuti arah lari Chang- 232 Ye Ping dengan seksama sekali karena tahu pastilah
penunjuk jalan Tien Lung Men itu berlari dengan
menghindari jebakan yang ada.
Rombongan prajurit berkuda yang mengejar dengan
penuh semangat tidak menyadari adanya jebakan ini
sehingga mereka berpacu sambil menyebar. Tentu saja
akibatnya amat fatal bagi mereka. Beberapa kuda terdepan
jatuh ke dalam lubang yang cukup lebar sehingga
mengganggu jalur kuda yang ada di belakangnya. Keadaan
menjadi kacau balau dan mereka akhirnya menghentikan
pengejaran karena takut adanya jebakan yang lain. Mereka
menyumpah dan memaki-maki dengan marah sekali.
Sementara itu Yao Chuen dan rombongan sudah tiba
di gerbang markas Tien Lung Men yang tertutup rapat.
Puluhan penjaga berjaga-jaga di atas gerbang markas itu
sambil menyalakan obor sehingga suasana terasa terang
benderang. Mereka melihat rombongan Yao Chuen datang
bersama ketiga pendekar penjaga pintu sehingga mereka
tidak bertindak apa-apa meskipun tidak mengurangi
kewaspadaan mereka sedikitpun.
"Nona Yao, mohon menunggu sebentar di sini. Aku
akan memberitahukan kedatangan kalian kepada Pang-cu"
kata Chang Ye Ping sambil menjura.
"Silakan, pendekar Chang" kata Yao Chuen sambil
balas menjura.- 233 Chang Ye Ping berteriak keras, menghentakkan
kedua kakinya ke tanah dengan penuh tenaga dan terbang ke
atas gerbang bagaikan seekor burung. Tenaga dalam dan
ringan tubuhnya sungguh tidak dapat diremehkan, dapat
melintasi gerbang markas yang cukup tinggi itu dalam sekali
lompatan saja.
Keempat nona Yao dan Wongguo Yuan memandang
dengan kagum peragaan ilmu ringan tubuh barusan, tapi Ma
Xia tidak terkesan sama sekali.
Paman gurunya, si Guntur Utara Shi Chang Sin
mempunyai ilmu ringan tubuh luar biasa Guo Yin Sen Kung
(Ilmu Sakti Melintasi Awan). Memang ilmu ringan tubuh
Chang Ye Ping barusan tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan kehebatan ilmu Guo Yin Sen Kung
milik paman gurunya itu.
"Kakak, menurutmu apakah Jien Pang-cu akan
menuruti saran ibu kita" tanya Yao Jiu kepada Yao Chuen.
"Entahlah adik, tapi mengingat situasi Tien Lung
Men yang genting mungkin saran ibu kita adalah yang
terbaik" kata Yao Chuen sambil memandang bintangbintang yang mulai bermunculan di langit.
"Semoga saja" gumam Yao Chuen kali ini dengan
lebih lirih, seakan-akan tidak ingin orang lain mendengarkan
apa yang baru ia ucapkan barusan.- 234 31. Tidak Ada Dendam yang Tidak
Terhapuskan
Han Cia Sing memasuki kamar mandi yang penuh
uap dan bau kayu terbakar itu dengan perasaan tidak karuan.
Tabib Liu Cen Beng menegamit lengannya dengan hati-hati
dan menggandengnya masuk ke dalam kamar. Suasana
kamar yang beruap mempersulit pandangan seseorang
sehingga Han Cia Sing harus benar-benar memicingkan
mata untuk melihat lebih jelas. Tampak beberapa dayang
tengah menjaga agar bara api tetap menyala dalam perapian
yang memanasi sebuah bak mandi kayu berukuran besar.
Para dayang itu tampaknya melakukan kegiatan memasak
yang lebih tepat dilakukan di dapur dan bukannya di kamar
mandi, apalagi dalam bak besar berisi air mendidih ada
sesosok tubuh yang lengah direbus hidup-hidup!
"Kakak?!" gumam Han Cia Sing lirih sekali.
"Tuan muda Cia Pao tidak akan bisa mendengarkan
panggilanmu, tuan muda Cia Sing" kata tabib Liu kepada
Han Cia Sing.
"Tabib Liu, cukup panggil aku Cia Sing saja, tidak
perlu memakai kata tuan muda" kata Han Cia Sing yang
merasa tidak enak dipanggil tuan muda. Waktu kecil di
wisma keluarga Han sekalipun ia jarang sekali dipanggil
tuan muda kecuali oleh para pelayan. Ye Ing yang- 235 membenci ibu dan dirinya mana mungkin memperbolehkan
ia disebut sebagai tuan muda.
"Eh, baiklah tuan mu... eh Cia Sing" kata tabib Liu
menuruti keinginan Han Cia Sing itu.
"Tabib Liu, sudah berapa lama kakakku seperti ini?"
tanya Han Cia Sing dengan murung.
"Ia sudah direndam hampir empat hari empat malam.
Masih perlu sekitar tiga hari lagi baru bisa siuman" jawab
tabib Liu.
"Ah, mengapa kemalangan beruntun bisa menimpa
keluarga kami?" keluh Han Cia Sing sambil memandangi
kakaknya yang masih pingsan dalam rebusan air mendidih
itu. Meskipun dulu ia dan Han Cia Pao tidak begitu dekat
karena perbedaan usia dan larangan Ye Ing untuk saling
bergaul, tapi bagaimanapun sekarang Han Cia Pao adalah
satu-satunya keluarga dekat yang masih hidup. Ia merasa
sedih sekali melihat keadaannya yang seperti sekarang ini,
hidup tidak matipun tidak.
"Cia Sing, langit mempunyai aturan dan rencananya
sendiri. Engkau tidak perlu merasa bersedih atas kejadian
yang menimpa tuan muda Cia Pao ini. Mungkin ada berkah
tersembunyi yang terselubung di balik kejadian ini" kata
tabib Liu menghibur Han Cia Sing.
"Maksud tabib Liu?" tanya Han Cia Sing heran.- 236 "Seperti kau tahu Nan Hai Lung Cu (Mutiara Naga
Laut Selatan) adalah salah mustika di dunia ini. Khasiatnya
adalah menyembuhkan sakit penyakit yang berat atau
bahkan memulihkan luka dalam berat. Jika dimakan oleh
orang yang sehat, maka pengaruhnya akan sangat besar
bahkan mungkin bisa menambah umur dan memperkuat
tenaga" jelas tabib Liu.
"Jadi maksud tabib Liu?" tanya Han Cia Sing yang
belum terlalu mengerti.
"Maksudku adalah jika tuan muda Cia Pao bisa
melewati masa sulit dan berbahaya ini maka ada
kemungkinan ia akan hidup dengan tambahan tenaga dalam
yang sukar dibayangkan kekuatannya" kata tabib Liu
menjelaskan lagi.
"Jadi tenaga dalam kakakku akan meningkat? Hingga
berapa kali tenaga itu akan meningkat?" tanya Han Cia Sing
setengah tidak percaya.
"Aku tidak tahu pasti akibat yang akan
ditimbulkannya tapi kemungkinan besar tenaga tambahan
yang akan didapat tuan muda Cia Pao akan setara dengan
dua puluh tiga puluh tahun berlatih" kata tabib Liu.
"Dua tiga puluh tahun berlatih?" kata Han Cia Sing
setengah tidak percaya akan keberuntungan yang dialami
oleh kakaknya itu.- 237 "Iya benar, tapi itu jika tuan muda Cia Pao bisa
melewati masa bahaya selama tujuh hari ini" kata tabib Liu
sambil memandang Han Cia Pao yang masih tergeletak
pingsan.
"Semoga saja kakak bisa melewatinya" kata Han Cia
Sing penuh harap.
"Nah, sekarang ijinkan aku undur diri dulu untuk
melihat kembali keadaan Jien Pang-cu. Permisi dulu, tuan
mu... eh Cia Sing" kata tabib Liu hendak pamit undur diri.
"Eh, sebentar tabib Liu. Bolehkah aku bertanya di
manakah ehmmm Han Fu-ren (Nyonya Han) sekarang?"
tanya Han Cia Sing dengan sedikit rikuh, la tidak ingin
menyebut nama Ye Ing ataupun memanggilnya sebagai ibu
sehingga akhirnya ia lebih memilih menyebutnya sebagai
nyonya Han saja.
"Ah, beliau sedang beristirahat di kamarnya. Cia
Sing, engkau bersabarlah terhadapnya, karena semua
kemalangan ini telah membuatnya agak terguncang" kata
tabib Liu sambil menghela napas panjang.
"Maksud tabib?" tanya Han Cia Sing.
"la menjadi agak kurang bisa mengendalikan emosi
dan suka berkhayal. Engkau harus hati-hati dan lebih sabar
terhadapnya" kata tabib Liu sambil menepuk bahu Han Cia
Sing dan berlalu. Rupanya tabib Liu tidak mengetahui
sejarah kelam antara Han Cia Sing dan ibu tirinya itu- 238 sehingga sama sekali tidak memperhatikan perubahan yang
terjadi pada wajah Han Cia Sing. Rahangnya mengeras,
matanya menyipit dan tangannya bergetar. Sejarah kelabu
beberapa tahun lalu seakan kembali menyelimuti hati Han
Cia Sing. la seakan-akan kembali ke saat-saat kematian
ibunya, Pai Lien yang meninggal dengan tragis.
Pengusirannya dari wisma keluarga Han menuju utara dan
rencana pembunuhan yang dilakukan di benteng Teng.
Rasa dendam bergolak dalam hati Han Cia Sing
bagaikan badai topan yang dahsyat. Tanpa terasa tangannya
mengepal dan bergetar hebat. Seluruh jiwanya terasa
terbakar hebat oleh api amarah hingga tanpa terasa ia telah
berjalan sampai di depan kamar yang ditempati Ye Ing.
Tangannya terasa amat berat ketika harus membuka pintu
kamar yang tidak terkunci itu. Kakinya juga seperti mati rasa
ketika melangkah masuk ke dalam kamar tamu yang sunyi
itu. Han Cia Sing melangkah perlahan-lahan mendekati
tempat tidur utama. Ia juga tidak tahu mengapa ia harus
mengendap-endap seperti itu. Mungkin keengganan
bertemu langsung dengan Ye Ing yang membuat Han Cia
Sing bertindak demikian. Tapi yang jelas Han Cia Sing sama
sekali tidak mau bertegur sapa dengan ibu tirinya itu. Ia
hanya ingin tahu seperti apa rupa ibu tirinya itu sekarang
setelah semua kemalangan yang terjadi. Pelan-pelan dan
bergetar Han Cia Sing membuka tirai penutup tempat tidur
Ye Ing. Ia dapat mendengar napas pelan dan teratur- 239 terdengar dari tempat tidur itu. Tampaknya Ye Ing sedang
tertidur pulas selelah meminum obat dari tabib Liu Cen
Beng. Han Cia Sing menyingkapkan tirai ilu pelan-pelan
hingga akhirnya ia bisa melihat wajah Ye Ing dengan jelas.
Han Cia Sing hampir tidak mengenali wajah ibu
tirinya yang kini sudah berubah banyak itu. Dulu ketika
menjadi nyonya besar keluarga Han, Ye Ing begitu cantik
dan anggun dengan balutan kain sutra halus dan perhiasan
yang mahal. Wajahnya juga halus dan rambutnya ditata
dengan tusuk giok atau emas yang mahal. Tapi kini Ye Ing
yang terbaring di hadapannya hanyalah seperti seorang
wanita tua yang kelelahan. Wajahnya banyak kerutan dan
matanya bengkak karena banyak menangis. Kesedihan
seakan begitu membekas di wajahnya. Rambutnya juga
tidak tertata sama sekali. Baju yang dipakainya meskipun
tetap bagus namun sama sekali bukan baju sutra halus yang
mahal seperti yang selalu dipakainya dulu saat menjadi
nyonya besar keluarga Han.
Anehnya, Han Cia Sing malah merasakan
kegembiraan yang meluap dalam hatinya melihat keadaan
Ye Ing yang malang itu. Ia sama sekali tidak merasa kasihan.
Pikirannya malah penuh dengan kata-kata hinaan dan
cercaan terhadap ibu tirinya itu. Ia menganggap keadaan
yang sekarang dialami Ye Ing adalah balasan langit atas
perbuatannya selama ini yang sewenang-wenang. Bahkan ia
merasa balasan seperti ini masih belum cukup untuk
meredakan dendam yang membara dalam hatinya.- 240 "Bunuh" sebuah suara seakan mendengung keras di
pikiran Han Cia Sing.
"Bukankah wanita tua bangka ini yang telah
membunuh ibumu dan memisahkan engkau dari
keluargamu" kata suara itu lagi.
"Sekarang tidak ada siapa-siapa dan ia bukan lagi
siapa-siapa. Bunuhlah ia untuk membalas kematian ibumu
yang telah dibakar olehnya. Ingat Cia Sing, ibumu mati
dibakar olehnya!" teriak suara itu begitu kuat dalam pikiran
Han Cia Sing.
"Bunuh! Bunuh!"
Tanpa terasa tangan Han Cia Sing terangkat ke atas
bersiap memberikan pukulan maut ke arah kepala Ye Ing.
Dengan tenaga dalamnya yang luar biasa sekarang, satu
hantaman saja sudah cukup untuk menghantarkan ibu tirinya
itu ke akhirat. Tubuh Han Cia Sing bergetar hebat menahan
perang gejolak perasaan antara keinginan membunuh dan
hati nuraninya yang masih sadar akan kemanusiaan.
"Cia Sing, tidakkah kau ingat apa yang pernah ibu
ajarkan kepadamu?" tiba-tiba sebuah suara lain yang lembut
menyadarkan Han Cia Sing dari kemarahannya.


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang selama ini sudah engkau pelajari bersama
paman Lu Xun Yi bahwa dendam dan benci hanyalah
keluhan manusia semata" kata suara itu lagi seakan-akan
siraman air hujan yang meredakan api kemarahannya.- 241 "Bunuh dia untuk menghapuskan dendammu! Katakata saja apakah cukup untuk membalaskan perbuatannya
padamu dan ibumu!" bentak suara yang lain bagaikan
memecahkan kepala Han Cia Sing.
" Seorang pria sejati harus rendah hati, murah hati dan
baik hati. Seorang pria sejati tahu keadilan dan kebenaran
Seorang pria sejati menolong orang mengenal dirinya
Seorang pria sejati khawatir akan kemampuannya bukan
melihat pandangan orang lain akan kemampuannya itu.
Seorang pria sejati tidak pernah menuntut orang lain tetapi
menuntut dirinya sendiri agar lebih baik dari orang lain
Seorang pria sejati lambat bicara tapi cepat bertindak " Katakata yang diajarkan oleh Pai Lien sendiri kepada Han Cia
Sing sejak ia masih kecil itu seakan berdengung lembut
mengalahkan bentakan kemarahan suara yang lain. Suara itu
membuat hati Han Cia Sing teduh sekali bagaikan samudra
tanpa gelombang. Tanpa terasa air mata mengambang di
kedua pelupuk matanya.
"Kita tidak bisa membuat orang tidak berbuat jahat
kepada kita tapi kita bisa melupakan dendam kita kepada
orang lain" sebuah suara lain berdengung dalam pikiran Han
Cia Sing menyuarakan kembali kata-kata bijaksana yang
pernah dikatakan oleh Lu Xun Yi kepada dirinya.
"Bunuh! Bunuh!" teriak suara yang lain.
"Tidakkkkkkkkk!!!" teriak Han Cia Sing sambil
berlari keluar kamar. Ia mengguncangkan kepalanya sekuat- 242 tenaga untuk mengusir pergi suara-suara yang memenuhi
pikirannya itu. Ye Ing sendiri tampaknya tidak terlalu
terpengaruh dengan teriakan Han Cia Sing dan hanya
menggeser letak tidurnya saja.
Han Cia Sing berlari bagaikan kesetanan. Ia terus
berlari untuk menghilangkan semua suara yang saling
berteriak di dalam pikirannya sampai akhirnya ia keluar dari
gedung markas utama Tien Lung Men. Han Cia Sing tidak
menghentikan langkahnya dan terus berlari hingga ke bukit
belakang markas. Di sana ada sebuah sungai kecil yang
mengalir dengan deras dan berair jernih. Tanpa pikir
panjang lagi Han Cia Sing segera menceburkan dirinya ke
dalam sungai kecil itu.
Air sungai yang dingin dan segar seakan-akan
membawa kembali Han Cia Sing ke dalam kesadarannya.
Han Cia Sing pun melepaskan segala kegalauan hatinya
dengan menghajar bebatuan sungai dengan membabi buta.
Tak ayal lagi batu-batu sungai itu hancur pecah tidak karuan
dihantam tenaga dalam Han Cia Sing yang sebenarnya
sudah mencapai tingkat luar biasa tanpa ia sadari itu. Air
sungai yang semula jernih itu kini menjadi keruh karena
pasir pecahan batu besar berhamburan kemana-mana.
Han Cia Sing merasakan kelegaan setelah
melampiaskan kemarahannya itu. Suara-suara yang ada di
pikirannya kini sudah berhenti dan ia bisa tenang kembali.
Han Cia Sing membiarkan tubuhnya mengambang di atas
aliran sungai itu tanpa berbuat apa-apa. Ia hanya- 243 memandangi saja langit yang mulai memerah di sebelah
barat. Keadaan terapung-apung di aliran sungai ini
mengingatkannya pada saat ia berjuang mati-matian dari
sungai bawah tanah di gua serigala. Han Cia Sing menghela
napas panjang mengingat kembali jalan hidupnya yang
singkat namun penuh kepahitan itu.
"Eh, engkau sudah mati atau masih hidup?" teriak
seseorang dari pinggiran sungai setelah entah berapa lama
Han Cia Sing terapung.
Han Cia Sing bangkit berdiri sambil mengusap air
dari wajahnya. Ia menoleh mencari-cari siapa yang
memanggilnya barusan. Ternyata yang memanggilnya
barusan adalah seorang gadis berbaju hijau yang sepantaran
dengannya. Wajahnya bulat dengan alis mata tebal. Bola
matanya yang bening dan indah itu menatap Han Cia Sing
dengan rasa heran dan ingin tahu yang besar.
"Eh, ternyata engkau masih hidup. Tadi aku
melihatmu terapung-apung di atas sungai, kupikir engkau
sudah meninggal. Untunglah ternyata engkau masih hidup"
kata gadis itu sambil tersenyum riang. Lesung pipitnya
mengembang seiring dengan senyumnya yang manis.
Han Cia Sing menyeret tubuhnya menuju tepian
sungai. Pakaiannya yang basah menjadi berat membuat ia
susah mencapai tepian. Untunglah sungai itu tidak lebar
sehingga sebentar saja ia sudah berdiri di hadapan gadis itu.- 244 "Nona, aku tidak apa-apa terima kasih atas
perhatiannya" kata Han Cia Sing sambil menjura memberi
hormat.
"Aku gembira engkau ternyata sehat-sehat saja.
Namaku Cen Hua, mengapa engkau sampai terbaring di
sungai seperti itu?" tanya gadis bernama Cen Hua itu dengan
polos.
"Aku Han Cia Sing. Aku...eh ceritanya panjang" kata
Han Cia Sing sambil menghela napas panjang. Ia tidak biasa
terlalu dekat dengan orang yang belum ia kenal apalagi
seorang gadis seperti Cen Hua ini.
"Tampaknya engkau sedang banyak pikiran" kata
Cen Hua lagi sambil tetap memandang wajah Han Cia Sing
yang hanya bisa mengangguk saja.
"Lebih engkau jemur dulu bajumu di pohon dekat
sungai ini. Sebentar lagi hari akan gelap, tentu dingin sekali
berjalan sambil memakai baju basah seperti itu" kata Cen
Hua mengusulkan. Kembali Han Cia Sing hanya bisa
mengangguk membenarkan. Han Cia Sing membuka
bajunya yang basah tidak jauh dari tepian sungai dan
menjemurnya di atas sebuah dahan. Sedangkan Cen Hua
sendiri duduk membelakanginya di sebuah batu sungai yang
besar sambil melempar-lempar batu kecil ke dalam sungai.
Tampaknya ia sama sekali tidak canggung terhadap
kehadiran Han Cia Sing yang tengah bertelanjang dada di
belakangnya. Justru Han Cia Sing yang merasa rikuh dengan- 245 keadaannya dan memilih untuk bersembunyi di balik
rimbunnya dedaunan.
"Apapun masalahmu, seharusnya engkau sebagai
laki-laki harus mampu untuk menghadapinya. Aku sendiri
juga menghadapi masalah sejak aku kecil. Ayahku mati
dalam pertarungan dengan musuhnya sedangkan ibuku
meninggal beberapa tahun lalu. Aku hidup bersama paman
tiriku dan ia meninggal di tangan musuh beberapa hari yang
lalu. Hidupku juga penuh masalah tapi aku tidak putus asa
sepertimu, Cia Sing" kata Cen Hua terus mengoceh sambil
melempar batu-batu kecil ke dalam sungai tanpa
mempedulikan Han Cia Sing.
"Apakah engkau akan membalas dendam untuk
mereka?" tanya Han Cia Sing dari balik kerimbunan
dedaunan. Ia mulai merasa ia dan Cen Hua ada sedikit
persamaan garis nasib.
"Balas dendam? Sejak kecil aku selalu diajarkan ilmu
pedang oleh ayahku, kemudian oleh pamanku. Tujuan
mereka mengajariku ilmu pedang hanya satu yaitu
membalas dendam kepada keluarga yang telah membunuh
kakekku. Aku sebenarnya merasa aneh mengapa aku harus
membunuh orang yang seumur hidupku belum pernah
kutemui? Mereka tidak ada dendam denganku dan aku juga
tidak mendendam kepada mereka. Dendam tidak akan habis
jika dituruti" jawab Cen Hua lagi dengan panjang lebar.- 246 "Siapakah ayah dan pamanmu itu? Apakah mereka
termasuk orang Tien Lung Men?" tanya Han Cia Sing
semakin tertarik.
"Ayahku tidak tapi pamanku iya" jawab Cen Hua.
"Siapakah pamanmu itu?" tanya Han Cia Sing lagi.
"Ia adalah Ketua Timur partai Tien Lung Men, Pai
Wu Ya Cen Hui (Cen Hui sang Gagak Putih)" jawab Cen
Hua. "Jadi kau keponakan mendiang pendekar Cen Hui?"
tanya Han Cia Sing yang ketika baru tiba di Tien Lung Men
telah mendengar kabar sedih tentang kematian Cen Hui itu.
Cen Hua mengangguk saja sambil diam. Tampaknya
kepergian Cen Hui menimbulkan duka yang mendalam
dalam diri gadis muda ini.
"Sekarang dendam yang harus kubalas bertambah
satu lagi, membalaskan dendam paman tiriku. Tidakkah hal
ini benar-benar lucu dan tidak ada habisnya?" kata Cen Hua
dengan getir. Ia menatap pedang pendek yang tergantung di
pinggangnya sambil tersenyum sedih.
"Kadang kupikir lebih baik bagiku bila lahir sebagai
anak seorang petani biasa saja daripada lahir dalam keluarga
ahli pedang" kata Cen Hua lagi.
"Kita tidak bisa memilih di mana kita akan lahir" kata
Han Cia Sing.- 247 "Benar, sayang sekali ya" kata Cen Hua sambil
menghela napas panjang.
Keduanya terdiam selama beberapa saat merenungi
takdir yang mempermainkan mereka. Han Cia Sing merasa
kadang ia lebih beruntung daripada rakyat jelata kebanyakan
yang hidupnya melarat dan amat susah, tapi ia juga merasa
mereka lebih beruntung karena dapat berkumpul bersama
keluarga meskipun hidup serba kekurangan. Hidupnya
selama di wisma keluarga Han tidak pernah kekurangan
makan dan pakaian tapi ia merasa sangat tertekan oleh Ye
Ing. Kepahitan hidupnya sejak kecil begitu membekas
dalam dirinya hingga membuat ia nyaris menjadi seorang
pembunuh berdarah dingin.
"Cia Sing, Cia Sing di mana kau?" teriak dua orang
memanggil Han Cia Sing dari kejauhan.
"Eh, ada teman yang datang mencarimu" kata Cen
Hua sambil bangkit berdiri di atas batu sungai sambil
memandang ke arah asal suara.
Tampak dari kejauhan berlari-lari dua orang pemuda
menuju sungai kecil itu. Yang seorang tinggi besar dan tegap
sedangkan yang seorang lagi lebih pendek namun tidak
kalah tegap dan tampan. Mereka adalah Lin Tung dan Yung
Lang, dua sahabat baru Han Cia Sing namun keakraban
mereka bertiga seakan-akan sudah bersahabat puluhan tahun
saja layaknya.- 248 "Lin Tung, Yung Lang! Aku di sini!" teriak Han Cia
Sing memanggil kedua sahabatnya itu. Mereka segera
berlari mendekat ke arahnya.
"Cia Sing, kami mencarimu ke mana-mana" kata Lin
Tung sambil mengatur napasnya yang terengah-engah.
"Jien Pang-cu meminta kita semua berkumpul.
Tampaknya akan ada hal penting yang disampaikan" kata
Yung Lang melanjutkan.
Lin Tung dan Yung Lang kemudian menyadari bahwa
mereka tidak sendiri. Cen Hua yang berdiri di atas batu
sungai dengan baju hijaunya yang berkibar-kibar tertiup
angin membuat kedua pemuda itu terbengong-bengong.
Apalagi ketika mereka melihat Han Cia Sing tengah
memakai bajunya kembali dengan tergesa-gesa. Pikiran
mereka berdua langsung terbang kemana-mana.
"Cia Sing, aku tidak menyangka" kata Yung Lang
sambil tersenyum penuh arti kepada Han Cia Sing.
"Tidak menyangka apa?" tanya Han Cia Sing yang
keheranan.
"Kau begitu gagah dan jantan" jawab Yung Lang
sambil terus menatap Cen Hua yang tersenyum kepadanya.
"Apa maksudmu?" tanya Han Cia Sing yang masih
belum mengerti maksud perkataan sahabatnya itu.
"Ah, sudahlah. Urusan laki-laki kami mengerti kok"
kata Lin Tung sambil menyikut dada Han Cia Sing.- 249 "Kalian kenapa hari ini berkata-kata aneh sekali?"
kata Han Cia Sing sambil memandangi kedua sahabatnya
yang masih tersenyum-senyum itu.
"Mengapa tidak engkau perkenalkan kami kepada
teman gadismu itu?" tanya Yung Lang kepada Han Cia Sing.
"Namaku Cen Hua, senang berkenalan dengan
kalian" kata Cen Hua sambil melompat turun dari atas batu
sungai itu ke dekat Yung Lang.
"Aku bernama Yung Lang dan ini sahabatku Lin
Tung" kata Yung Lang yang seakan tersihir melihat Cen
Hua itu.
Cen Hua hanya tersenyum saja melihat sikap konyol
Yung Lang. Ia melewati ketiga pemuda itu sambil
melambaikan tangan.
"Jien Pang-cu memanggil kita tentu ada urusan yang
penting. Kalian juga jangan sampai terlambat" kata Cen Hua
sambil berlari kecil ke arah markas Tien Lung Men. Sosok
gadis itu terus dipandangi oleh Lin Tung dan Yung Lang
hingga hilang dari pandangan. Han Cia Sing merasa heran
sekali melihat tingkah kedua sahabatnya itu.
"Kalian berdua mengapa hari ini?" tanya Han Cia
Sing sambil membenarkan letak ikat pinggangnya.
"Cia Sing, kau benar-benar tidak setia kawan.
Bagaimana mungkin gadis secantik itu hanya untuk dirimu- 250 seorang saja?" kata Lin Tung dengan tidak sabaran. Yung
Lang pun mengangguk tanda setuju.
"Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan. Ia
adalah keponakan mendiang Ketua Timur Cen Hui, Cen
Hua" kata Han Cia Sing sambil bersiap berjalan kembali ke
arah markas Tien Lung Men.
Jawaban ringan Han Cia Sing barusan seperti petir
menyambar di siang bolong bagi Yung Lang. Keluarga Cen
dan keluarga Yung sudah tiga generasi saling bermusuhan.
Sekarang ia bertemu dengan salah seorang keturunan
terakhir keluarga musuhnya itu secara tidak sengaja dan
aneh seperti ini, bagaimana mungkin Yung Lang tidak
merasa seperti dipermainkan oleh takdir. Wajahnya tidak
lagi ceria dan berubah murung. Lin Tung merasa heran oleh
perubahan suasana hati yang tiba-tiba dari sahabatnya itu.
"Yung Lang, kau kenapakah?" tanya Lin Tung.
"Ehm, tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Mari kita
susul Cia Sing kembali ke markas. Jien Pang-cu tentu ada
hal penting sehingga memanggil kita semua" kata Yung


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lang sambil bergegas pergi menyusul Han Cia Sing. Suara
Lin Tung yang memanggil-manggil agar menunggunya
tidak digubris.
Ketiga sahabat itu berlari-lari secepat mungkin
kembali ke markas Tien Lung Men. Mereka tidak sabar
ingin segera mengetahui apa yang hendak disampaikan oleh
Jien Wei Cen kepada mereka semua. Han Cia Sing sengaja- 251 tidak menggunakan ilmu Guo Yin Sen Kung (Ilmu Sakti
Melintasi Awan) agar kedua sahabatnya tidak tertinggal
jauh. Sebenarnya ia berlari biasapun, Lin Tung yang
ilmunya paling rendah sudah merasa kerepotan untuk dapat
tetap berlari bersama-sama dengannya.
Gedung markas Tien Lung Men sudah mulai
menggantung lampion-lampion ketika mereka tiba di sana.
Suasana di dalam gedung sudah penuh dengan para
pendekar termasuk Se Liu Jiang Siung (Enam Belas
Pendekar Terkuat). Suasana di dalam gedung tampak suram
dan tegang. Tampaknya mereka semua sudah mendengar
kematian Cen Hui dan pengkhianatan Yang Ren Fang
sehingga tidak ada satupun di antara mereka yang punya
hasrat untuk bercakap-cakap.
Mereka bertiga mengambil tempat berdiri agak
belakang karena tidak punya jabatan penting, tamu agung
juga tidak. Barisan depan diisi oleh Ce Ke Fu, He Gan, Liu
Da dan beberapa pendekar lain yang tidak dikenal oleh Han
Cia Sing. Tapi dari penampilan mereka, ia bisa mengukur
kekuatan masing-masing pendekar di sini amatlah tinggi.
Tidak salah jika Tien Lung Men disebut sebagai sarang naga
liang harimau. Cen Hua sendiri duduk di barisan tengah. Ia
tampak tegang juga menunggu kedatangan Jien Pang-cu
sehingga tidak memperhatikan Han Cia Sing dan temantemannya yang berdiri agak di belakang.- 252 Beberapa saat kemudian, tampak rombongan Jien
Wei Cen memasuki ruangan utama. Segera semua pendekar
bangkit berdiri dan serempak memberikan salam.
"Hidup yang mulia, Jien Pang-cu. Jayalah partai Tien
Lung Men!"
Jien Wei Cen memberikan gerakan tangan agar
mereka semua kembali duduk ke tempat masing-masing.
Wibawa yang terpancar dari dalam dirinya benar-benar luar
biasa sehingga bisa mempengaruhi semua yang hadir.
Meskipun terlihat jelas kelelahan akibat terluka dalam
terpancar dari wajahnya, tapi tetap saja semua yang hadir
merasa segan terhadapnya.
"Kalian semua yang setia kepada Tien Lung Men!
Hari ini aku mengumpulkan kalian semua di sini karena ada
beberapa hal penting yang perlu diketahui oleh kalian
semua. Seperti yang kalian ketahui, aku pergi ke bukit Guan
Hu bersama-sama dengan Yang Ren Fang untuk menolong
anak cucuku dan membalaskan dendam Ketua Selatan
Wang Ding. Kami dihadang empat jagoan kerajaan yaitu
kasim Huo Cin, Sie Mo Fang Yung Li (Fang Yung Li si
Setan Darah), biksu. Nela Fan Zheng dan Guo Cing Cen
sang Tabib Racun. Pertempuran empat melawan dua
berubah menjadi satu melawan lima ketika Yang Ren Fang
ternyata merupakan mata-mata musuh"
Jien Wei Cen menghentikan sejenak kata-katanya
ketika suasana gedung utama menjadi gaduh oleh suara-- 253 suara kaget dari para pendekar yang hadir. Ce Ke Fu
berusaha menenangkan yang hadir agar Jien Wei Cen bisa
melanjutkan kembali perkataannya.
"Saudara-saudaraku di Tien Lung Men, dengarkan!
Mulai saat ini Yang Ren Fang adalah musuh utama Tien
Lung Men. Siapapun yang bertemu dengannya wajib
membunuhnya!" suara titah Jien Wei Cen menggelegar
memenuhi seluruh gedung utama itu.
"Hidup yang mulia, Jien Pang-cu. Bunuh pengkhianat
Yang Ren Fang!" teriak para pendekar Tien Lung Men
bersama-sama.
"Langit masih berpihak kepada kita. Meskipun aku
dibokong dengan keji sekali oleh Yang Ren Fang, tapi aku
tetap berhasil mengalahkan keempat lawanku" lanjut Jien
Wei Cen.
"Hidup yang mulia, Jien Pang-cu. Jayalah partai Tien
Lung Men!" jawab para pendekar serempak.
"Sayang sekali Ketua Timur Cen Hui gugur dalam
usahanya menolong putri dan cucuku. Ia adalah seorang
pendekar dan ksatria Tien Lung Men yang amat setia. Aku
akan bersulang untuk mengenang kesetiaan dan baktinya
yang tak terkira" kata Jien Wei Cen sambil mengangkat
seguci arak. Ia menuangkan arak itu ke lantai hingga habis.
Bau arak yang wangi memabukkan segera memenuhi
ruangan pertemuan itu. Benar-benar arak kelas satu pantas
untuk pendekar kelas satu juga.- 254 "Nah, saudaraku semua, sekarang mari kita semua
bersulang bersama untuk mengenang kesetiaan Cen Hui dan
Wang Ding!" kata Jien Wei Cen sambil mengangkat seguci
arak lagi dan meminumnya hingga habis dalam beberapa
tegukan saja. Para pendekar lain minum dari cangkir yang
telah disediakan di meja masing-masing.
"Hidup yang mulia, Jien Pang-cu. Bunuh pengkhianat
Yang Ren Fang!" teriak mereka bersama-sama setelah
menghabiskan arak.
"Saudara-saudaraku, sekarang aku ingin agar kita
bersama-sama menghadapi keangkaramurkaan yang
digerakkan oleh Huo Cin. Aku percaya jika kita bersamasama bersatu, seratus ribu prajurit pun tidak akan mampu
mengalahkan Tien Lung Men. Kita buktikan pada dunia
bahwa partai Naga Langit memang tanpa tandingan di
kolong langit!" seru Jien Wei Cen membangkitkan
semangat para bawahannya. Perkataan Jien Wei Cen selama
ini memang amat dipatuhi oleh anggota Tien Lung Men
sehingga tidak heran sorak-sorai para pendekar menggema
bagaikan mengguncangkan langit saja.
"Langit juga telah memberikan kita seorang ahli
strategi perang yang tangguh untuk menghadapi para
penyerbu kita. Jenderal Song Wei Hao, silakan maju ke
depan untuk memberikan beberapa petunjuk kepada kami"
kata Jien Wei Cen sambil mempersilakan Song Wei Hao
yang duduk di barisan depan untuk maju.- 255 Song Wei Hao maju dengan agak rikuh. Ia memang
terbiasa memimpin ribuan prajurit di medan perang tapi
tidak pernah memimpin ratusan pendekar seperti sekarang
ini. Perkataan seorang jenderal pasti tidak akan dibantah
oleh para prajuritnya namun tidak demikian halnya dengan
para pendekar Tien Lung Men ini. Mereka bukan anak
buahnya dan hanya menurut kepada Jien Wei Cen seorang
saja, bukan kepada dirinya. Lagipula Song Wei Hao merasa
kedatangannya dan Han Cia Pao ke tempat inilah yang ikut
membawa serta Tien Lung Men ke dalam bara api
peperangan.
"Terimalah salam hormat dariku, para pendekar
sekalian" kata Song Wei Hao membuka pembicaraan sambil
menjura dan membungkuk hormat. Para pendekar semua
membalas menjura.
"Aku Song Wei Hao adalah jenderal Tang agung
yang setia. Puluhan tahun aku mengabdi kepada kerajaan,
memenangkan banyak pertempuran dan memadamkan
pemberontakan. Tapi sekarang lingkungan istana dikuasai
orang-orang keji dan manusia-manusia rendah. Mereka
hanya mempedulikan harta dan kekuasaan tapi menginjakinjak rakyat yang lemah. Aku dan Jenderal Empat Gerbang
Han Kuo Li dijebak dengan tuduhan merencanakan
pemberontakan tapi sebenarnya kasim Huo Cin yang dengan
licik hendak menguasai tahta kerajaan. Saudaraku sekalian,
Tien Lung Men adalah salah satu pilar kerajaan Tang,
bahkan Jien Pang-cu sendiri mendapat gelar bangsawan Wu- 256 Han dari mendiang kaisar terdahulu. Tidak heran jika kasim
Huo Cin menganggap Tien Lung Men sebagai penghalang
pertama yang harus disingkirkan dalam usahanya
menguasai tahta. Sekarang mereka sudah mengepung
daerah Yi Chang ini dalam usahanya menghancurkan Tien
Lung Men, tapi saya yakin Jien Pang-cu tidak akan
membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Kita semua akan
bersatu padu untuk mengalahkan mereka dan membawa
kepala kasim Huo Cin sebagai hadiah kepada Yang Mulia
Kaisar. Itulah pendapatku yang bodoh ini" kata Song Wei
Hao menutup kata-katanya dengan merendah.
Semua yang hadir bersorak-sorai membenarkan katakata Song Wei Hao. Mereka semua adalah pendekar yang
tidak pernah kenal rasa takut dan kesetiaannya terhadap Tien
Lung Men tidak perlu diragukan lagi. Perkataan Song Wei
Hao memang sesuai dengan semangat mereka sehingga
disambut dengan gembira dan penuh semangat. Sudah
cukup lama mereka hanya berdiam diri saja dikepung oleh
pasukan kerajaan sehingga tangan mereka semua sudah
gatal ingin turun laga.
Han Cia Sing yang melihat dari belakang merasakan
hatinya bergejolak tidak karuan. Song Wei Hao adalah
teman dekat ayahnya, bahkan baginya sudah seperti paman
sendiri. Dulu ketika Han Kuo Li meminang Pai Lien di
utara, Song Wei Hao jugalah yang menjadi saksi pernikahan
mereka. Kedekatan Song Wei Hao dengan Han Cia Sing
mungkin hanya bisa dikalahkan oleh kedekatannya dengan- 257 mendiang Lu Xun Yi. Tidak heran jika Han Cia Sing merasa
terharu dapat melihat kembali Song Wei Hao setelah
beberapa tahun berpisah.
Jien Wei Cen kemudian mengakhiri pertemuan
mereka dengan mengajak seluruh pendekar untuk selalu
waspada dan bersiap dipanggil untuk pertempuran yang
menentukan. Saat pertempuran besar pasti tidak akan lama
lagi, karena rencana Huo Cin untuk menjebak dan
membunuh Jien Wei Cen sudah gagal. Cara yang dipakai
berikutnya pastilah menyerbu markas Tien Lung Men secara
besar-besaran. Inilah perkiraan Song Wei Hao tentang
kelanjutan pertempuran Tien Lung Men. Rencana lebih rinci
akan dibicarakan Jien Wei Cen dan para pendekar utamanya
malam ini.
Han Cia Sing sudah tidak sabar menunggu para
pendekar dibubarkan. Ia ingin sekali bertemu dengan Song
Wei Hao dan menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi
hingga seluruh keluarganya tewas dihukum mati. Sejak
kedatangannya ke Tien Lung Men, Han Cia Sing belum
bertemu dengan Song Wei Hao, yang ketika itu tengah
beristirahat sehabis sehari semalam penuh berjaga-jaga. Han
Cia Sing segera berlari mendekati Song Wei Hao begitu
pertemuan selesai.
"Paman Song!" teriak Han Cia Sing memanggil.
Song Wei Hao menoleh ke asal suara yang
memanggilnya. Ia melihat Han Cia Sing dengan seksama- 258 untuk dapat mengenali pemuda itu. Maklumlah dulu ketika
Han Cia Sing meninggalkan kotaraja, ia masih seorang
anak-anak tapi kini ia sudah menjelma menjadi seorang
pemuda yang gagah. Kalau saja wajahnya tidak mirip
dengan mendiang Pai Lien, mungkin Song Wei Hao benarbenar tidak akan mengenali Han Cia Sing.
"Cia Sing?! Engkau Cia Sing?! Engkau masih
hidup?" kata Song Wei Hao hampir berteriak karena tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah dulu
dikabarkan bahwa Han Cia Sing gugur dan mayatnya tidak
dapat ditemukan karena sudah dimakan binatang buas?
"Aku tidak percaya ini engkau Sing-er" kata Song
Wei Hao sambil merangkul Han Cia Sing dengan erat sekali.
Ia benar-benar gembira dan terharu dapat melihat kembali
Han Cia Sing yang sudah ia anggap sebagai keponakannya
sendiri itu. Tidak terasa air mata mengambang di pelupuk
mata jenderal yang sudah mengalami puluhan kali
peperangan itu.
"Aku juga senang sekali dapat bertemu paman Song"
kata Han Cia Sing balas merangkul.
Jien Wei Cen memberikan isyarat kepada lainnya
untuk meninggalkan mereka berdua saja. Pertemuan antara
mereka pastilah akan banyak yang dibicarakan karena telah
terpisah beberapa tahun. Lin Tung dan Yung Lang juga
diam-diam meninggalkan gedung utama. Mereka menyadari- 259 pastilah Han Cia Sing akan banyak membicarakan masalah
yang tidak nyaman jika didengar oleh orang luar.
"Paman Song, aku mendengar kabar bahwa keluarga
paman juga..."
Han Cia Sing tidak melanjutkan kata-katanya karena
takut membuat sedih Song Wei Hao. Tapi malah Song Wei
Hao sendiri yang terlihat lebih tegar.
"Sudahlah Sing-er, yang berlalu tidak bisa kita ubah
lagi. Sekarang lebih baik kita berpikir bagaimana membalas
para pengkhianat negara agar pengorbanan mereka tidak siasia, termasuk pengorbanan ayahmu" kata Song Wei Hao
dengan tenggorokan terasa tercekat ketika mengucapkan
kata yang terakhir.
"Paman Song, tujuan utamaku ke Yi Chang ini adalah
untuk mengetahui dengan jelas apa yang telah menimpa
ayah dan adik-adikku. Kakak masih belum siuman dan
ehmmm wanita itu juga sudah tidak waras, hanya paman
Song saja yang bisa memberikan penjelasan" kata Han Cia
Sing sambil berusaha menahan diri tidak memaki Ye Ing
dengan sebutan wanita siluman.
"Baiklah mari kita menuju taman belakang. Ceritanya
panjang dan kita butuh tempat yang tenang untuk saling
bercerita tentang apa yang telah terjadi" kata Song Wei Hao
sambil mengajak Han Cia Sing berjalan.- 260 Mereka berdua berjalan beriringan menuju taman
belakang. Semua lampion menyala terang sepanjang taman
sehingga pemandangan menjadi sangat indah apalagi cuaca
malam itu bagus tidak berawan. Song Wei Hao
menghentikan langkahnya ketika sudah berada di tengah
taman dan memandangi Han Cia Sing.
"Sing-er, tidak kusangka engkau sudah tumbuh
menjadi seorang pemuda yang gagah" kata Song Wei Hao
dengan terharu.
"Paman Song, sejak aku dikirim ke utara, banyak
sekali kejadian yang sudah kualami hingga aku bingung


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus mulai darimana" kata Han Cia Sing.
"Tidak apa-apa, kau mulai saja darimana kau bisa"
kata Song Wei Hao sambil menepuk bahu Han Cia Sing
memberikan semangat.
Han Cia Sing mulai menceritakan kisahnya semenjak
keluar dari tembok besar kemudian menjalani hari-harinya
sebagai prajurit di benteng Teng. Percobaan pembunuhan
yang dilakukan oleh Lin Ying Dan, pertemuannya dengan
biksu Lu Xun Yi terus mengalir hingga ia tiba di markas
Tien Lung Men setelah bertemu Jien Wei Cen dalam
perjalanan. Semua ia tuturkan dengan sejujurnya tanpa ia
sembunyikan satu bagian pun. Song Wei Hao hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepalanya setelah selesai
mendengarkan cerita Han Cia Sing yang cukup panjang itu.- 261 "Sing-er, tampaknya langit masih memberikan
perlindungan kepada dirimu sehingga mampu melewati
cobaan besar dan tetap hidup sampai sekarang. Kisah
hidupmu bagaikan dongeng saja, jika aku tidak mendengar
sendiri dari mulutmu mungkin aku tidak akan percaya. Jadi
engkau kini menguasai ilmu Shi Sui Yi Cin Cing (Sutra
Pembersih Sumsum Penggeser Urat) yang ajaib itu?" tanya
Song Wei Hao lagi.
"Benar paman Song. Ilmu yang kupelajari di gua
serigala itu kalau tidak salah memang adalah Sutra
Pembersih Sumsum Penggeser Urat" jawab Han Cia Sing.
"Sing-er, gunakanlah ilmu itu selalu untuk kebaikan.
Langit telah mempercayakan sesuatu yang besar kepadamu,
tentu mempunyai maksud yang kita tidak tahu untuk dipakai
di kemudian hari. Ingatlah selalu perkataan paman ini" kata
Song Wei Hao memberikan nasihat.
"Baik, aku akan selalu mengingat nasihat paman
Song" kata Han Cia Sing dengan hormat.
"Nah, sekarang tiba giliranku untuk menceritakan
kejadian malang yang menimpamu keluargamu dan
keluargaku juga" kata Song Wei Hao sambil menghela
napas panjang. Setiap kali ia mengingat kejadian ini seakanakan mengungkit luka lama yang menyakitkan. Hatinya
terasa sesak dan ia merasa susah bernapas ketika hendak
memulai ceritanya.- 262 "Paman Song, engkau tidak apa-apakah?" tanya Han
Cia Sing khawatir melihat napas Song Wei Hao yang
panjang pendek itu.
"Tidak apa-apa" jawab Song Wei Hao singkat dengan
suara serak.
Song Wei Hao mulai bercerita sejak Han Kuo Li
dipanggil ke kuil Yung An yang ternyata merupakan
jebakan maut baginya sampai saat ia menyusul ke markas
Tien Lung Men. Semua ia ceritakan dengan sebaik yang
diingatnya, meskipun pada bagian-bagian tertentu amat
menyakitkan hatinya dan juga hati Han Cia Sing. Air mata
akhirnya tak terbendung lagi bagi kedua paman dan
keponakan angkat itu ketika akhirnya cerita selesai.
"Betapa kejam dan biadab kepala kasim Huo Cin dan
permaisuri Wu!" teriak Han Cia Sing sambil gemetaran
menahan kemarahannya.
"Sing-er, kini keluarga Han hanya punya engkau dan
kakakmu sebagai penerus. Jangan sampai engkau bertindak
bodoh" kata Song Wei Hao mencoba menenangkan gejolak
jiwa muda Han Cia Sing yang masih mudah marah itu.
"Tapi paman Song, apakah aku akan diam saja
melihatku keluargaku difitnah dan dibantai?! Aku juga
harus membuat perhitungan dengan bangsawan Ye yang
telah menyerahkan ketiga adikku ke tangan para algojo. Ia
sudah menyengsarakan aku dan ibuku masih belum
cukupkah sehingga harus membunuh tiga cucu kandungnya- 263 sendiri hanya untuk melindungi selembar nyawa
anjingnya?" kata Han Cia Sing nyaris berteriak karena
marah sekali.
"Benar, apa yang kau katakan semuanya benar Singer. Bangsawan Ye mungkin tidak pantas untuk hidup
demikian pula dengan kasim Huo Cin dan permaisuri Wu.
Mereka adalah pengkhianat negara yang harus dibasmi dari
muka bumi kerajaan Tang agung. Tapi semua itu tidak boleh
dilakukan dengan tergesa-gesa. Kita harus menenangkan
diri terlebih dulu dan menyelesaikan masalah Tien Lung
Men yang ada di depan mata kita" saran Song Wei Hao
mencoba menjelaskan permasalahan.
"Apa yang paman Song bicarakan baruan benar
adanya. Musuh sudah bersiap menghancurkan Tien Lung
Men, kita harus berusaha membantunya sekuat tenaga.
Keluarga Han sudah berhutang banyak kepada Jien Wei
Cen, saatnya untuk mengembalikannya" kata Han Cia Sing
setelah mempertimbangkan perkataan Song Wei Hao itu.
"Bagus, aku senang engkau sudah bisa berpikir
dingin. Aku juga sebenarnya ingin sekali langsung menuju
kotaraja dan memenggal kepala orang-orang yang telah
membunuh keluargaku. Tapi itu hanya memuaskan nafsu
dendamku saja dan tidak menyelesaikan masalah
sebenarnya. Biang keladi di balik semua kekacauan ini
adalah permaisuri Wu dan kasim Huo Cin. Merekalah yang
seharusnya kita binasakan!" kata Song Wei Hao lagi.- 264 "Apakah paman Song sudah mempunyai rencana
untuk menghadapi serangan para prajurit kerajaan?" tanya
Han Cia Sing ingin tahu.
"Sebenarnya pertahanan markas Tien Lung Men ini
cukup kuat untuk menahan serbuan sepuluh ribu prajurit
kerajaan sekalipun. Apalagi para pendekarnya bagaikan
naga dan harimau tak terkalahkan, tapi..."
"Tapi apa paman Song?" tanya Han Cia Sing
penasaran.
"Aku khawatir mereka akan memakai siasat licik
kembali. Penyusupan Yang Ren Fang ke dalam tubuh Tien
Lung Men menunjukkan bahwa mereka sanggup untuk
melakukan apa yang bagi kita tampaknya mustahil. Bukan
tidak mungkin akan terjadi pengkhianatan kedua yang tidak
kita sangka-sangka. Jika itu yang terjadi maka sekuat
apapun tembok markas ini tidak akan sanggup menahan
gempuran musuh" jelas Song Wei Hao.
"Maksud paman, masih ada pengkhianat lain di dalam
tubuh Tien Lung Men ini?" tanya Han Cia Sing mencoba
mendapat penegasan.
"Ada kemungkinan besar untuk itu. Coba kau pikir
Sing-er, mana mungkin selama ini Yang Ren Fang bisa
melakukan semua hal di dalam tubuh Tien Lung Men
seorang diri saja. Ia pasti mempunyai seorang pembantu
atau lebih dalam menjalankan rencananya di tubuh Tien
Lung Men" kata Song Wei Hao memberikan alasan.- 265 "Tapi semua pendekar setia mati kepada Jien Pang-cu
siapakah kira-kira pengkhianat itu?" tanya Han Cia Sing
sambil mencoba berpikir.
"Aku sendiri sampai saat ini tidak tahu. Semoga saja
pikiranku ini salah" kata Song Wei Hao sambil menghela
napas panjang, la memandang langit sambil mengeluh.
"Paman, engkau tidak perlu bersedih. Aku akan
mencoba sekuat tenaga untuk membantu paman mengatasi
para prajurit kerajaan" kata Han Cia Sing.
"Benar, sekarang engkau sudah ada di sini Sing-er.
Aku menjadi lebih tenang sekarang" kata Song Wei Hao
sambil merangkul bahu Han Cia Sing.
Mereka berdua berjalan kembali ke arah wisma tamu
sambil bercakap-cakap. Perpisahan selama beberapa tahun
telah membuat banyak sekali bahan pembicaraan yang bisa
diperbincangkan semalam suntuk. Saat mereka berdua
sudah dekat dengan kamar Song Wei Hao, tiba-tiba seorang
bawahan Tien Lung Men berlari-lari datang menghampiri
mereka dan menjura memberikan hormatnya.
"Jenderal Song, Jien Pang-cu minta anda bertemu
dengannya sekarang" kata bawahan itu sambil
membungkuk.
"Sekarang? Baiklah jika demikian. Sing-er, engkau
beristirahatlah dahulu. Aku akan pergi untuk menemui Jien
Pang-cu. Ia pasti mempunyai masalah penting sehingga- 266 memanggilku malam-malam begini" kata Song Wei Hao
kepada Han Cia Sing.
"Baiklah paman Song, jagalah dirimu baik-baik" kata
Han Cia Sing sambil memberikan hormat. Song Wei Hao
mengangguk dan segera berlalu bersama dengan bawahan
Tien Lung Men itu.
Song Wei Hao berjalan dengan cepat bersama-sama
dengan bawahan itu menuju rumah utama tempat tinggal
Jien Wei Cen. Rumah itu besar sekali dan diterangi ribuan
lilin sehingga kelihatan terang benderang. Di setiap pintu
berdiri seorang penjaga dengan senjata golok terhunus siap
siaga akan segala sesuatu. Mereka melewati lorong yang
panjang menuju ke ruangan belakang, tempat di mana kamar
tidur Jien Pang-cu dan keluarganya berada.
"Jenderal Song, silakan masuk. Jien Pang-cu sudah
menunggu di dalam" kata bawahan itu sambil membungkuk
mempersilakan Song Wei Hao.
Song Wei Hao masuk ke dalam ruangan keluarga
yang besar dan mewah. Kursi-kursinya diukir dengan bagus
sekali dan
Beberapa batang lilin sebesar kepalan tangan menyala
sehingga membuat ruangan terasa terang benderang. Jien
Wei Cen tampak duduk di kursi tengah bersama dengan Jien
Ming Ti dan Jien Jing Hui. Tampak duduk di depan mereka
adalah para putri keluarga Yao, Si Tien Mei Ni (Kecantikan
Empat Musim) yang bagaikan empat dewi dalam legenda.- 267 Kehadiran mereka tentu membuat Song Wei Hao merasa
terkejut sekali karena mereka jarang meninggalkan kotaraja
selama ini.
"Salam hormat kepada Jien Pang-cu" kata Song Wei
Hao sambil menjura.
"Ah, Jenderal Song silakan duduk" kata Jien Wei Cen
mempersilakan Song Wei Hao mengambil tempat duduk di
depannya.
"Salam kepada Jenderal Song" sambut keempat putri
Yao serempak.
"Terimakasih, tapi kelihatannya aku sekarang lebih
pantas disebut sebagai seorang pelarian daripada seorang
jenderal" kata Song Wei Hao dengan sedih. Ia merasa tidak
pantas dengan sebutan jenderal sekarang.
"Jenderal Song jangan terlalu bersedih. Kami sudah
mengetahui semua yang terjadi di kotaraja" kata Yao Chuen
membuka pembicaraan.
"Benar, kami mengemban perintah rahasia dari ibu
kami, Nyonya Yao dan pangeran kedelapan Huo yang
sekarang menjadi Wang-ye (saudara Kaisar) berkedudukan
di daerah Chi Nan" kata Yao Tong melanjutkan.
"Oh? Wang-ye juga berminat terhadap masalah Tien
Lung Men?" tanya Song Wei Hao heran.
"Wang-ye sudah lama amat risau dengan keadaan
istana. Setelah kematian menteri Shangguan dan Jenderal- 268 Han, Wang-ye beranggapan bahwa ia tidak bisa berdiam diri
lagi. Ia menulis surat kepada ibunda kami dan beliau juga
menulis surat kepada Jien Pang-cu" kata Yao Chuen sambil
menarik selembar surat dari dalam kantong lengan bajunya.
Ia menyerahkan surat berstempel lilin merah bergambar
naga itu kepada Jien Wei Cen.
Jien Wei Cen membuka surat itu dengan segera.
Alisnya yang tebal berkerut-kerut ketika membaca surat itu
hingga selesai. Tampaknya isinya tidak sesuai dengan kata
hatinya sehingga membuat ia tidak senang.
"Hmmmm, jadi Wang-ye ingin aku mundur dan pergi
diam-diam ke Chi Nan kemudian bergabung dengan
pasukan khusus untuk menghabisi permaisuri Wu dan kasim
Huo? Jika demikian itu berarti aku harus meninggalkan
markas Tien Lung Men ini kepada para prajurit kerajaan
untuk dihancurkan. Wang-ye benar-benar tidak mengerti
diriku" kata Jien Wei Cen sambil melipat surat itu kembali.
"Jien Pang-cu, ibunda kami setuju dengan saran dari
Wang-ye. Beliau mengutus kami kemari tidak lain agar
membujuk agar Jien Pang-cu bersedia mengundurkan diri ke
Chi Nan" kata Yao Xia menjelaskan.
"Ah, Hao Yin selalu terlalu mementingkan negara"
sergah Jien Wei Cen.
"Benar, ayahku adalah seorang pendekar besar. Mana
mungkin ia bisa meninggalkan pertempuran. Bukankah- 269 nanti ia akan ditertawakan banyak orang?" kata Jien Ming
Ti membela pendapat ayahnya.
"Tapi pasukan kerajaan terlalu besar dan kuat" kata
Yao Jiu.
"Jadi maksudmu, Tien Lung Men tidak bisa menahan
mereka semua?" tanya Jien Ming Ti dengan nada tidak
senang. Ia memang selalu tinggi hati dan paling bangga akan
Tien Lung Men, mana mungkin ia membiarkan orang lain
meremehkannya.
"Tuan muda Jien, bukan begitu maksud kakakku.
Kami percaya Tien Lung Men pasti akan mampu menahan
serbuan lima ribu prajurit kerajaan. Tapi apakah jika
serangan ini gagal, Huo Cin dan permaisuri Wu akan diam
begitu saja. Mereka pasti akan mengerahkan pasukan yang
lebih besar dan lebih besar lagi. Saat itu Tien Lung Men
pasti tidak akan dapat menahannya dan sudah kehilangan
kekuatannya sama sekali. Jika kita sekarang mundur dan
mengatur rencana matang, maka kekuatan Tien Lung Men
pasti masih utuh dan bisa digunakan menghantam lawan.
Itulah saran yang dimaksudkan oleh Wang-ye" jelas Yao
Tong kepada Jien Ming Ti sehingga ia sama sekali tidak
dapat berkata apa-apa lagi.
"Aku masih akan memikirkan lagi saran ini.
Bagaimanapun juga saran itu ada kelebihan dan
kekurangannya. Bagaimana dengan pendapat Jenderal Song- 270 sendiri?" tanya Jien Wei Cen meminta pendapat Song Wei
Hao. "Jien Pang-cu, apa yang dikatakan nona Yao Tong itu
amat benar. Tien Lung Men bisa menghadang satu
gelombang besar tapi jika puluhan gelombang besar
menghantam berturutan, harap Pang-cu mau
mempertimbangkannya" kata Song Wei Hao memberikan


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saran.
"Hmmm, aku akan mempertimbangkan hal ini
masak-masak" kata Jien Wei Cen sambil berpikir.
"Ayah. kita tidak boleh mundur atau kita akan
menjadi bahan tertawaan dunia persilatan" kata Jien Ming
Ti yang masih tetap tidak setuju.
"Tuan muda Jien, tidak akan ada yang mentertawakan
anda jika harus mundur menghadapi puluhan ribu pasukan
kerajaan" kata Song Wei Hao tidak setuju dengan kata-kata
Jien Ming Ti barusan.
"Huh, jika anda ingin melarikan diri saya persilakan
anda untuk pergi sekarang" dengus Jien Ming Ti dengan
kesal.
"Ehhh, Ti-er engkau tidak boleh tidak sopan terhadap
Jenderal Song. Maafkan anakku yang masih muda ini bila
menyinggung perasaan anda, Jenderal Song" kata Jien Wei
Cen menengahi, ia adalah seorang yang sudah kenyang
makan asam garam kehidupan sehingga tahu cara bertata- 271 krama yang baik dengan orang lain sedangkan Jien Ming Ti
sedari kecil adalah tuan muda Tien Lung Men yang
dihormati banyak orang. Ia tidak terbiasa mengalah dan
menghormati orang lain.
"Jien Pang-cu, aku tidak menaruh kata-kata tuan
muda Jien dalam hati" kata Song Wei Hao sambil
membungkuk hormat kepada Jien Wei Cen. Sementara Jien
Ming Ti sendiri malah cemberut dan tidak mau melihat
kepada Song Wei Hao.
"Terima kasih atas kebesaran hatimu, Jenderal Song.
Nah sekarang silakan semua beristirahat kembali di
kamarnya masing-masing. Besok kita akan bahas kembali
rencana kita bersama-sama para pendekar yang lain.
Keempat nona Yao silakan beristirahat. Kalian tentu lelah
setelah perjalanan jauh tadi. Menurut kabar, masih ada dua
orang lagi yang ikut bersama kalian. Apakah mereka sudah
beristirahat juga?" tanya Jien Wei Cen.
"Nona Ma Xia dan Wongguo Yuan sedang mencari
ayah dan teman mereka" jawab Yao Xia.
"Baiklah jika begitu. Kita besok berkumpul kembali
untuk merundingkan hal ini" kata Jien Wei Cen menutup
pembicaraan.
Mereka semua saling memberi salam dan
meninggalkan ruangan itu. Keluarga Jien menuju belakang
tempat gedung utama keluarga sedangkan Song Wei Hao
dan keempat nona Yao berjalan kembali ke depan. Mereka- 272 diantar oleh dua orang bawahan Tien Lung Men yang
membawa dua lampion besar hingga tiba kembali di taman
wisma tamu. Sepanjang perjalanan itu Song Wei Hao
menanyakan bagaimana keadaan Nyonya Besar Yao dan
keadaan kotaraja. Jawaban yang diberikan cukup melegakan
perasaan Song Wei Hao karena semuanya baik-baik saja.
Mereka kemudian saling berpisah menuju kamar masingmasing.
Song Wei Hao merenung sepanjang perjalanan
kembali ke kamarnya. Banyak sekali perasaan yang
berkecamuk di hatinya sehingga ia merasa pasti sulit tidur
malam ini. Ia bahagia karena bisa bertemu Han Cia Sing
yang telah disangka mati beberapa tahun lalu sekaligus juga
risau atas nasib Han Cia Pao yang masih belum sadar dari
pingsannya. Belum lagi masalah Tien Lung Men yang
sedang genting karena dikepung rapat oleh pasukan
kerajaan. Song Wei Hao berpikir jika ia tidak benar-benar
tidak bisa tidur malam ini, mungkin ia lebih baik
memikirkan rencana untuk menghadapi serangan pasukan
kerajaan yang pasti akan terjadi tidak lama lagi.
Ruangan tempat Han Cia Sing menginap masih terang
ketika Song Wei Hao melewatinya. Pintu kamarnya juga
masih terbuka lebar dan terdengar nada suara orang
bercakap-cakap dengan riang. Tampaknya ada tamu yang
tengah berkunjung di kamar Han Cia Sing saat itu. Song Wei
Hao menengok ke dalam untuk melihat siapakah kira-kira- 273 yang sedang bertamu malam-malam begini di kamar Han
Cia Sing.
"Paman Song! Masuklah" ajak Han Cia Sing ketika
melihat Song Wei Hao. Ia tengah duduk bersama-sama
dengan seorang kakek tua botak yang memakai baju
sederhana dengan wajah yang sudah keriput. Di samping
mereka tampak dua gadis muda. Yang lebih muda bermata
sedang, hidungnya mancung dan pipinya merah sekali,
rambutnya hitam legam dan tebal. Seorang yang usianya
lebih tua sedikit beralis hitam tebal, matanya bulat berkilatkilat dan bibirnya kecil mungil. Kecantikan mereka berdua
amat mempesona, mungkin tidak kalah dengan kecantikan
Si Tien Mei Ni (Kecantikan Empat Musim) yang sudah jauh
lebih matang.
"Paman Song, perkenalkan mereka ini adalah
Wongguo Luo seorang pendekar dari utara, Wongguo Yuan
cucunya dan Ma Xia, temanku dari suku Tonghu seperti
yang aku ceritakan tadi sore" kata Han Cia Sing
memperkenalkan ketiga orang itu kepada Song Wei Hao.
Song Wei Hao sambil membungkuk dan menjura
hormat. Ia yang matanya sudah terlatih dapat melihat bahwa
Wongguo Luo bukanlah pendekar sembarangan saja.
"Kami semua juga merasa terhormat dapat
berkenalan dengan Jenderal Song" kata Wongguo Luo
sambil balas menjura. Ma Xia dan Wongguo Yuan juga
membalas salam dengan merendahkan diri.- 274 "Aku sudah mendengar cerita Han Cia Sing tentang
bagaimana ia ditolong oleh kalian di utara. Mungkin tanpa
kalian. Han Cia Sing tidak akan bisa kembali dengan
selamat ke dataran tengah ini" kata Song Wei Hao lagi.
"Jenderal Song, engkau terlalu sungkan" kata
Wongguo Luo merendah.
"Benar Jenderal Song, mestinya aku yang harus
berterimakasih kepada Cia Sing karena ia yang menolong
aku di utara" kata Ma Xia lagi.
"Hahaha, kalau begitu kita memang saling tolongmenolong" kata Song Wei Hao sambil tertawa lebar.
"Paman Song, apakah yang tadi dibicarakan dengan
Jien Pang-cu?" tanya Han Cia Sing ingin tahu.
"Utusan rahasia dari kotaraja datang" jawab Song
Wei Hao singkat. Ia masih belum begitu mengenal
Wongguo Luo, Ma Xia dan Wongguo Yuan sehingga tidak
mau berbicara terlalu panjang lebar. Han Cia Sing juga
tampaknya mengerti bahwa Song Wei Hao tidak ingin
berbicara lebih jauh lagi karena itu ia tidak bertanya lebih
jauh.
"Cia Sing, lebih baik engkau segera beristirahat.
Besok mungkin Jien Pang-cu akan mengumpulkan kita
untuk rapat besar" saran Song Wei Hao.
"Baik Paman Song" kata Han Cia Sing.- 275 "Baiklah jika demikian. Hari memang sudah larut,
kami mohon undur diri terlebih dulu" kata Wongguo Luo
yang mengerti arti kata Song Wei Hao.
"Cia Sing, aku dan kakak Xia pergi dulu" kata
Wongguo Yuan mengucapkan salam sambil berlalu
mengikuti kakeknya. Sementara Ma Xia sendiri malah raguragu karena ia sebenarnya masih ingin berlama-lama
bersama Han Cia Sing.
"Cia Sing, istirahatlah" kata Ma Xia pendek pada
akhirnya.
Han Cia Sing menutup pintu kamarnya setelah semua
orang keluar. Ia berjalan berat menuju meja kayu dan duduk
dengan goyah. Beberapa hari ini begitu banyak kejadian
yang membuatnya merasa amat lelah. Tubuhnya tidak terasa
capek tapi pikirannya benar-benar seperti buntu. Kematian
Lu Xun Yi. keadaan Han Cia Pao, kemarahannya yang
berkobar terhadap Ye Ing dan juga kisah kematian ayahnya
yang dituturkan Song Wei Hao semua itu benar-benar
membuat pikirannya serasa dibebani sebuah gunung. Ia
akhirnya meniup lilin kamar dan memutuskan untuk tidur
saja. Kamar tidurnya sangat nyaman dibandingkan tidur di
udara terbuka selama sebulan lebih dalam perjalanannya
dari utara.
Han Cia Sing merasa dirinya baru saja tertidur lelap
ketika merasakan dirinya diguncang-guncang dengan keras
sekali oleh seseorang. Ia terbangun kaget sambil- 276 mengerjapkan matanya karena silau. Hari ternyata sudah
siang dan terdengar suara gadu di kejauhan. Ia masih belum
mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
"Cia Sing, cepat bersiap! Pasukan kerajaan sudah
menyerbu!" teriak Song Wei Hao yang sudah berpakaian
perang lengkap sambil berdiri di samping tempat tidurnya.- 277 32. Racun Lawan Racun
"Ketua Barat, kita sudah mendekati wilayah Yi
Chang" lapor seorang anak buah Tien Lung Men sambil
menjura hormat.
"Hmmm, baiklah. Kalian harus semakin
meningkatkan kewaspadaan. Kabar yang kuterima
mengatakan bahwa markas Tien Lung Men dikepung ketat.
Kita harus pandai-pandai memilih jalan untuk bisa
bergabung kembali dengan Jien Pang-cu" kata Wen Shi Mei
sambil memandang perbukitan di depannya. Yi Chang
berada di balik perbukitan dan mungkin hanya tinggal
kurang dari sepuluh li saja. Matanya yang bulat indah itu
disipitkan untuk dapat melihat dengan jelas ke arah Yi
Chang pada pagi hari itu.
Wen Shi Mei dan rombongannya sudah berkuda
hampir sebulan dari daerah Xi Liang di barat. Mereka hanya
berhenti untuk makan dan istirahat saja. Markas besar Tien
Lung Men sedang terkepung maka mereka ingin segera tiba
di Yi Chang untuk bergabung melawan pasukan kerajaan.
Rombongan Wen Shi Mei cukup besar hampir seratus orang
pendekar. Ia hanya meninggalkan beberapa orang saja di
markas barat mereka untuk berjaga-jaga. Bagaimanapun
juga, bahaya kali ini adalah yang terbesar selama Wen Shi
Mei menjadi pengikut setia Tien Lung Men sehingga ia
tidak boleh main-main.- 278 Debu mengepul tinggi ketika beberapa orang anak
buah Wen Shi Mei memacu kuda-kuda mereka secepat
mungkin menuju arah perbukitan. Mereka adalah pendahulu
yang bertugas mencari tahu keadaan sebelum rombongan
besar dapat lewat. Jumlah mereka yang sekitar seratus orang
berkuda pasti akan menarik perhatian dan mudah terlihat.
Apalagi sebagian dari mereka masih berpakaian gaya orang
gurun barat yang berupa kain tenun rumbai berwarna-warni
dengan topi runcing dan sepatu bengkok.
Wen Shi Mei memandang kedatangan pasukan
pendahulu dengan harap-harap cemas. Rombongan mereka
sudah tertahan cukup lama di dataran ini hanya karena
mereka harus menunggu laporan rombongan pendahulu.
Semoga saja kali ini mereka membawa kabar baik sehingga
perjalanan dapat dilanjutkan tiba di markas Tien Lung Men
secepat mungkin.
"Lapor Ketua Barat, kami sudah mencari jalan yang
aman. Silakan mengikuti kami" kata seorang dari pasukan
pendahulu kepada Wen Shi Mei.
"Baiklah! Semuanya ikuti aku!" teriak Wen Shi Mei
dengan lantang sambil membedal kudanya.
Sekitar seratus ekor kuda berpacu dengan hebatnya
mengguncangkan bumi dan membuat debu membubung
tinggi. Wen Shi Mei memacu kudanya dengan lincah
mengikuti pasukan pendahulu memasuki sebuah hutan kecil
di kaki bukit. Pepohonan hutan itu tidak terlalu rapat, tapi- 279 mereka harus tetap berhati-hati terhadap jebakan musuh.
Anak buah Wen Shi Mei segera memacu kuda mereka
dengan gerakan menyebar agar dapat lebih mudah
menghindari sergapan tiba-tiba dari musuh.
"Wusss!!"
"Serangan musuh!!" teriak Wen Shi Mei kepada para
anak buahnya. Bunyi desiran angin yang keras segera
memperingatkan Wen Shi Mei akan datangnya bahaya.
Memang saat itu panah berhamburan dari segala arah
menerjang rombongan berkuda itu. Suasana menjadi gaduh
dan kacau balau. Banyak anggota Tien Lung Men yang
terkena panah dan jatuh dari kuda mereka. Sebagian yang
kurang sigap langsung tewas terinjak-injak kuda yang
berlari di belakang mereka.
Wen Shi Mei geram sekali melihat rombongan
mereka diserang habis-habisan secara licik sekali seperti itu.
Ia berteriak keras dan melompat dari atas pelana kuda
sambil membawa dua kantong kain hitam yang besar. Sekali
hentakan kedua kantong itu langsung terbuka dan
mengeluarkan isinya yang ternyata adalah puluhan ular
hitam yang amat beracun. Ular-ular itu dilemparkan Wen
Shi Mei dengan gesit sekali ke arah para pemanah sehingga
mereka menjadi kacau balau. Pasukan pemanah itu menjeritjerit ketika tanpa ampun ular-ular hitam menggigit mereka.
Racun ular hitam amat keras sehingga mereka yang terkena
gigitannya akan mati mengenaskan dalam waktu sebentar
saja. Para prajurit pemanah segera bergelimpangan dengan- 280 wajah biru dan mulut mengeluarkan busa bercampur darah.
Sungguh amat mengenaskan!
"Pacu terus kuda kalian! Ikuti pasukan pendahulu"
teriak Wen Shi Mei memberikan perintah. Ia sendiri sudah
turun dari kudanya dan menghadang puluhan prajurit
tombak yang maju menyerbu dari kedua sisi sambil
berteriak menggetarkan bumi.
Wen Shi Mei adalah salah seorang pendekar andalan
Tien Lung Men. Bersama Ce Ke Fu, Wang Ding dan Cen
Hui mereka berempat adalah Si Sao Tien Lung (Empat Naga
Langit Muda) yang menggetarkan dunia persilatan.
Siapapun yang mendengar namanya tentu akan sungkan dan
mengalah dan itu bukan tanpa sebab. Wen Shi Mei adalah
satu-satunya di antara para pendekar utama Tien Lung Men
yang paham racun. Apalagi senjata yang dipakainya adalah
Hei Se Cen (Jarum Ular Hitam) yang telah dicelupkan dalam
bisa ular hitam di barat yang amat ganas.
Para prajurit tombak kerajaan tidak mengetahui akan
kehebatan Hei Se Cen sehingga mereka terus menyerbu saja
tanpa gentar. Wen Shi Mei hanya tersenyum mengejek


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat para penyerangnya. Ia meraih sebuah bungkusan
hitam dari pinggangnya. Sigap sekali Wen Shi Mei meraih
puluhan jarum dari dalam bungkusan itu dan
melemparkannya dengan kekuatan penuh ke arah para
penyerangnya. Jarum-jarum hitam itu melesat lebih cepat
dari anak panah dan menembus baju besi para prajurit.
Mereka yang terkena langsung tumbang dan berkelejotan di- 281 tanah meregang nyawa. Muka mereka menjadi hitam dan
mulut mereka berbusa. Cara kematian mereka sungguh amat
mengenaskan sekali.
Prajurit lain yang berniat mengepung menjadi gentar.
Mereka hanya menghujani panah sambil bersembunyi di
balik pohon saja sehingga rombongan Wen Shi Mei masih
bisa lewat dengan selamat. Wen Shi Mei sendiri bersuit
keras dan menebarkan serbuk hijau ke tanah sambil
menunggang kudanya kembali. Puluhan ular hitam keluar
dari semak-semak dan merayap cepat mengikuti serbuk
hijau yang ditebarkan oleh Wen Shi Mei tadi. Para prajurit
penyergap sama sekali tidak berani mengikuti apalagi
mengusik rombongan ular hitam yang merayap berbarengan
sehingga menimbulkan pemandangan mengerikan itu.Wen
Shi Mei memacu kudanya supaya ia tidak tertinggal dari
rombongan besar yang telah lebih dulu melaju menaiki
bukit. Rombongan depan sudah hampir tiba di seberang
bukit dan tinggal satu dua li lagi akan memasuki wilayah
Tien Lung Men. Mereka memacu kudanya berlomba untuk
sampai di daerah aman, di mana kawan-kawan mereka
sudah menunggu dan bisa melindungi mereka. Harapan
akan segera bertemu rekan-rekan mereka menimbulkan
semangat lebih pada diri mereka.
"Ayo, batu pembatas Tien Lung Men sudah terlihat"
teriak seorang penunggang kuda yang paling depan
memberikan semangat. Ia sendiri memacu kudanya secepat
yang ia bisa agar segera tiba di Tien Lung Men.- 282 "Ahhhhhhh!!"
Tiba-tiba terdengar teriakan kesakitan dan jeritan
ngeri dari para penunggang kuda yang berada di barisan
tengah. Barisan mereka menjadi kacau balau dan kuda-kuda
meringkik ketakutan. Para pendekar itu langsung mencabut
senjata mereka masing-masing dan bersiap menghadapi
kemungkinan terburuk sambil tetap memacu kuda-kuda
mereka. Kebingungan melanda diri mereka karena tidak
mengetahui apa yang telah terjadi di barisan tengah.
Tiga bayangan berkelebat cepat menghadang laju
kuda-kuda terdepan. Mereka adalah Bao Ji Sang Sing Kui
Hu Sang (Hu Sang Setan Sedih dari Bao Jing), Fei Hu Tao
Chen Yung ( Chen Yung si Golok Harimau Terbang ) dan
Sung Ge Cien Chang Ye Ping (Chang Ye Ping si Pedang
Pengantar Tamu). Ketiganya adalah para penjaga pintu
depan Tien Lung Men dengan ilmu yang tidak usah
diragukan lagi.
"Tiga tetua, kami seratus pendekar rombongan Ketua
Barat mohon ditunjukkan jalan" seru penunggang kuda
terdepan sambil menjura hormat.
"Mana Ketua Barat?" tanya Chang Ye Ping
"Ia sedang menahan pasukan kerajaan yang
mengejar" jawab penunggang kuda itu lagi.
"Hmm baiklah jika demikian. Hu-siung (saudara Hu)
tolong bawa mereka melewati jalan yang aman. Aku dan- 283 Chen-siung akan menunggu Ketua Barat di sini" kata Chang
Ye Ping kepada kedua rekannya.
"Ikuti aku" seru Hu Sang sambil melompat ringan
mendahului para penunggang kuda menuju ke arah markas
Tien Lung Men. Ilmu ringan tubuh Hu Sang memang cukup
hebat sehingga ia bisa mengimbangi kuda-kuda yang
berpacu kencang itu.
Setelah lewat dua tiga puluh kuda, keadaan menjadi
sepi karena tidak ada lagi kuda yang lewat. Chen Yung dan
Chang Ye Ping saling berpandangan karena heran.
Bukankah tadi dikatakan ada sekitar seratus orang berkuda
yang datang dari markas barat? Mengapa sekarang hanya
sekitar dua puluh tiga puluh pendekar saja yang lewat?
Seakan-akan menjawab pertanyaan mereka, tampak datang
seekor kuda yang meringkik-ringkik ketakutan sambil
berjingkrak seolah hendak melemparkan penunggangnya.
Chen Yung dan Chang Ye Ping nyaris berteriak kaget ketika
melihat bahwa penunggang kuda itu ternyata sudah menjadi
mayat yang kurus kering tinggal kulit dan tulang saja!
"Chen-siung mari kita lihat apa yang terjadi!" ajak
Chang Ye Ping sambil melesat pergi ke arah asal rombongan
berkuda. Chen Yung menyusul di belakangnya sambil
menghunus golok rantai cincinnya yang berbunyi
bergemerincingan.
Beberapa puluh langkah dari batu besar penanda batas
wilayah Tien Lung Men, tampak beberapa puluh pendekar- 284 penunggang kuda tengah kerepotan menghadapi seorang
kakek tua yang wajahnya tidak waras dan tertawa-tawa.
Rambutnya yang sudah putih dibiarkan tergerai panjang.
Bajunya meskipun bagus dan mahal, tapi kelihatan awutawutan dan tidak terurus. Ia sedang duduk di atas pelana
sambil memegangi seorang penunggang kuda yang
kelihatan tengah sekarat. Seluruh tubuhnya kurus kering
seperti tidak ada daging dan darahnya saja. Kuda yang
mereka tunggangi tidak henti-hentinya meringkik ketakutan
sambil berjingkrak.
"Kalian semua cepat menuju ke markas! Biar aku
Sung Ge Cien (Pedang Pengantar Tamu) dan Fei Hu Tao
(Golok Harimau Terbang) yang menghadapinya!" seru
Chang Ye Ping mencoba mengatasi situasi yang kacau
balau.
Tanpa menunggu dua kali, rombongan berkuda
segera meninggalkan daerah itu. Mereka sungguh merasa
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem Pendekar Rajawali Sakti 35 Seruling Perak Pendekar Mabuk 066 Hulubalang Iblis

Cari Blog Ini