Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 17
berjalan melintasi ruangan dan menengok melalui jendela
belakang. Pertempuran di bukit belakang juga telah dimulai
dengan seru sekali. Panji-panji Ceng Lu Hui, partai Hai Sa
dan Fung San tampak berkibaran di bukit kejauhan. Entah
siapa yang lebih unggul tidak dapat ditentukan dari jarak
sejauh ini.
"Aku dan pasukan penyusup akan segera turun. Aku
harap engkau mau ikut" kata Wen Fang kepada orang
bertopeng itu.
"Hahaha, untuk apa? Menyaksikan kehancuran Tien
Lung Men?" tanya orang bertopeng itu sambil tertawa sinis.
"Bukankah engkau nanti yang akan menjadi ketua
seperti yang telah kita sepakati dulu?" tanya Wen Fang
setengah heran.- 365 "Haahaa, sungguh lucu. Ketua dari partai yang sudah
hancur, sungguh lucu sekali" kata orang bertopeng itu
sambil tertawa mendesis aneh.
"Aku akan minta kepada kasim Huo agar engkau
menjadi ketua" kata Wen Fang meyakinkan, tapi tampaknya orang bertopeng itu sama sekali tidak tertarik. Ia
menggelengkan kepalanya dengan keras.
"Sudahlah, lebih baik engkau kerjakan saja tugasmu.
Pasukan penyusupmu tampaknya sudah tidak sabar lagi"
kata orang bertopeng itu dengan santai.
"Siapakah orang ini?" tanya Ma Pei dengan heran dan
tidak senang kepada Wen Fang sambil menunjuk orang
bertopeng itu.
"Ia adalah teman kita. Nanti saja kuceritakan siapa
dia, tapi yang jelas kita harus segera melaksanakan rencana
kita menghancurkan Tien Lung Men dari dalam" kata Wen
Fang sambil berjalan ke arah pintu.
Para pasukan penyusup termasuk Ma Pei dan kawankawannya mengikuti Wen Fang dari belakang sambil tetap
memandang orang bertopeng itu dengan rasa curiga dan
tidak senang. Tapi tampaknya orang bertopeng itu sama
sekali tidak mengacuhkan mereka semua, la duduk santai
saja sambil memandang keluar jendela yang setengah
terbuka dan bahkan sama sekali tidak memperhatikan
penampilan Si Ta Hao Ren (Empat Orang Baik) yang
biasanya selalu menarik perhatian itu.- 366 Wen Fang segera memberikan isyarat untuk turun
dari menara itu. Ia berjalan cepat sekali dan hampir tanpa
suara sama sekali. Shi Chang Sin dan Ma Pei mengikutinya
dari jarak kurang dari tiga langkah karena mereka masih
belum mempercayai Wen Fang dan Huo Cin sepenuhnya.
Mereka adalah orang-orang licik yang biasa menjebak orang
lain tentu takut akan jebakan orang lain juga. Tidak heran
jika mereka sama sekali tidak mau melepaskan pandangan
sedikitpun dari Wen Fang.
Suasana sekitar menara tampak sepi karena semua
anak buah Tien Lung Men tengah bertarung di gerbang
depan dan bukit belakang. Wen Fang segera berlari
melintasi sebuah halaman kecil yang mengarah ke bagian
dapur dan perbekalan. Tugas mereka yang utama memang
menghancurkan persediaan makanan musuh, sehingga
semangat tempur mereka akan hilang jika kekurangan
makanan. Pasukan penyusup harus melakukannya secepat
mungkin selama pertempuran masih berlangsung agar tidak
ada orang yang menyadari kehadiran mereka.
Wen Fang dan Shi Chang Sin mencapai gudang
perbekalan pada waktu hampir bersamaan. Pintu gudang
segera hancur ditendang oleh Shi Chang Sin dengan
kekuatan penuh. Di dalam gudang itu tampak bertumpuktumpuk ribuan karung gandum dan beras yang mungkin
cukup untuk perbekalan selama sepuluh tahun. Shi Chang
Sin tersenyum puas kepada Wen Fang dan menyerahkan
obor yang dibawanya kepada para prajurit.- 367 "Bakar semuanya!" perintah Wen Fang.
Lima prajurit terdepan segera bersiap melemparkan
obor yang mereka bawa ke dalam gudang, tapi tiba-tiba saja
tubuh mereka lunglai dan roboh kejang-kejang sebelum
kemudian diam tak bergerak untuk selamanya. Wajah
mereka semua menjadi biru dan tampak mati dengan
menderita sekali. Hanya saja mereka tadi tidak mampu
mengerang dan mengeluh karena masih menggigit potongan
kayu kecil dalam mulut mereka.
"Hei Se Cen (Jarum Ular Hitam)?!" seru Wen Fang
kaget ketika menyadari penyebab kematian para prajurit itu.
"Awas!" teriak Ma Pei memperingatkan semuanya.
Baru saja teriakan Ma Pei berakhir, serbuan Jarum
Ular Hitam menyerbu bagaikan hujan deras. Para prajurit
kerajaan yang ilmunya belum seberapa langsung terkena
jarum beracun itu. Tubuh mereka langsung tumbang dan
kejang-kejang. Beberapa prajurit lainnya masih sempat
menghindar dan bersembunyi di belakang tembok dan meja.
Shi Chang Sing, Ma Pei dan Si Ta Hao Ren mampu
menghindari hujan jarum beracun berkat ilmu mereka yang
tinggi meskipun harus jungkir balik.
"Kurang ajar! Tunjukkan dirimu!" bentak Shi Chang
Sin dengan suaranya yang bagaikan guntur itu.
"Aku sudah menunggu dari tadi di sini, buat apa aku
bersembunyi" jawab seorang wanita yang muncul dari- 368 belakang tembok gudang. Ia tidak lain adalah Wen Shi Mei,
sang Putri Ular Hitam yang terkenal dengan jarum
beracunnya. Tampaknya ia sudah menunggu rombongan itu
sedari tadi. Wajahnya juga sudah cerah kembali pertanda
Racun Pasir Emas sudah berhasil didesak keluar dari dalam
tubuhnya.
"Apa maksudnya? Wen Fang apakah kau sengaja
membawa kami ke dalam jebakan seperti ini?" tanya Ma Pei
dengan marah.
"Bukan pengkhianat itu, tapi Jien Pang-cu yang
bijaksana sudah mengerti kemungkinan rencana kalian
sehingga memerintahkan aku menjaga perbekalan" jawab
Wen Shi Mei sambil melirik Wen Fang dengan pandangan
merendahkan.
"Apa yang bisa engkau lakukan sendirian melawan
kami semua? Paling-paling engkau hanya mengantarkan
nyawa anjingmu saja" hina Ma Pei.
"Oh? Benarkah? Rupanya engkau belum pernah
berkenalan dengan teman-temanku" kata Wen Shi Mei
sambil bersuit keras. Tiba-tiba saja keluar puluhan ular
hitam berdesis-desis marah dari balik karung-karung di
dalam gudang itu. Itulah ular-ular hitam peliharaan Wen Shi
Mei yang berasal dari barat dan amat beracun. Inti bisa ular
hitam itulah yang dipakai dalam jarum beracun andalan Wen
Shi Mei. Maka bisa dibayangkan betapa ketakutan para
prajurit kerajaan yang tersisa melihat ular-ular itu melata- 369 dan mendesis marah mendekati mereka. Para prajurit itu
langsung mundur-mundur ketakutan sambil menghunus
senjata mereka.
"Huh, mainan anak kecil!" bentak Ma Pei dengan
marah. Ia segera menghimpun tenaga dalam di kedua jari
telunjuk dan tengah dan bersiap mengeluarkan ilmu
andalannya Tien Huo Ce (Jari Api Langit). Segera saja
semua yang hadir dapat merasakan hawa panas memancar
keluar dari jari-jemari Ma Pei. Satu hentakan keras
diarahkan oleh Ma Pei ke arah puluhan ular hitam yang
melata mendekatinya. Hawa tenaga panas segera meluncur
keluar dari jemari Ma Pei dan meledak menghanguskan
beberapa ular hitam yang terdekat!
"Kurang ajar! Kau berani membunuh ular-ularku"
teriak Wen Shi Mei sambil maju menyerang Ma Pei.
"Kemarilah kau, biar kuantar bersama-sama mereka
ke neraka!" bentak Ma Pei yang tidak kalah marahnya.
"Pasukan! Bunuh semuanya!" teriak Wen Shi Mei
kepada sekumpulan pasukan sembunyi yang ternyata sedan
tadi bersembunyi agak jauh dari gudang perbekalan.
Segera saja sekitar tiga puluh anak buah Tien Lung
Men pilihan yang menjaga gudang perbekalan keluar dari
persembunyian sambil berteriak nyaring. Mereka
menghunus senjata pedang, golok, tombak dan lainnya
sambil menyerbu dengan ganas. Prajurit kerajaan yang tidak
siap langsung tewas menjadi mangsa senjata mereka- 370 sementara beberapa Hei Ying Ping (Prajurit Bayangan
Hitam) yang tersisa masih sempat melakukan perlawanan
ketat terhadap serangan mendadak ini.
Wen Fang yang melihat keadaan menjadi terbalik ini
merasa kebingungan. Ia sama sekali tidak menduga bakal
disergap seperti ini. Bukankah tadi ia bisa masuk tanpa
halangan sama sekali ke dalam Tien Lung Men? Apakah
orang bertopeng tadi telah mengkhianatinya? Tapi rasanya
kemungkinan itu kecil sekali mengingat hubungan Wen
Fang dengannya. Jadi jika demikian, maka memang Jien
Wei Cen benar-benar tidak dapat diremehkan baik dalam
ilmu silat maupun strategi perangnya!
Wen Shi Mei langsung terlibat pertempuran seru
dengan Ma Pei sedangkan Shi Chang Sin hanya
menyaksikan saja dari pinggiran. Empat Orang Baik
bersama Prajurit Bayangan Hitam sedang menghadang para
anak buah Tien Lung Men dalam pertempuran yang tidak
kalah serunya. Wen Fang melihat semua itu dengan hati
bergolak tidak tenang. Kerinduannya kepada anak dan
istrinya kembali memuncak di saat-saat seperti ini. Ia ingin
sekali meninggalkan pertempuran ini dan pergi mencari
anak istrinya. Hanya saja mata Shi Chang Sin tampaknya
tidak pernah lepas mengawasi dirinya sehingga ia tidak
berani bertindak macam-macam.
"Binatang keji!" tiba-tiba sebuah suara penuh dendam
membentak Wen Fang dari belakang.- 371 Wen Fang segera menoleh ke arah suara yang amat
dikenalnya itu. Itu tidak lain adalah suara Jien Jing Hui, istri
yang amat dirindukannya namun sekaligus amat membencinya sekarang. Jien Jing Hui berdiri di atas atap sebuah
gudang kecil yang terletak di belakang dengan sikap
menantang. Pedang terhunus berkilat-kilat di depan
dadanya, hampir sama berkilatnya dengan matanya yang
memandang Wen Fang dengan penuh kebencian!
"Istriku..."
"Jangan sebut aku istrimu, kau binatang keji!
Perlakuanmu mengkhianati ayah apakah masih belum
cukup? Sekarang engkau malah membawa pasukan
menyerang ke dalam Tien Lung Men?! Jika hari ini aku
tidak membunuhmu, mana mungkin aku disebut manusia"
teriak Jien Jing Hui nyaris histeris sebelum Wen Fang dapat
berkata-kata lebih lanjut.
Jien Jing Hui terbang turun dari atas atap gudang dan
langsung menyerbu dengan jurus maut. Tusukan pedangnya
mengarah ke bagian perut dan dada Wen Fang tanpa ampun
sedikitpun h sehingga membuat Wen Fang sendiri terkejut
atas tindakan istrinya itu. Tampaknya kebencian Jien Jing
Hui terhadapnya begitu besar sehingga ia benar-benar
bermaksud mencabut nyawa Wen Fang!
Sementara itu dari atas menara, sepasang mata
dengan penuh kebencian memandang peperangan yang
terjadi di tiga tempat berbeda di bawahnya. Mata yang- 372 tersembunyi di balik topeng itu seakan-akan menikmati
semua jeritan dan teriakan kematian dalam peperangan
hebat di bawah sana. Sayang wajahnya tertutup topeng kulit
sehingga tidak tampak jelas perasaan wajahnya, namun
masih terdengar desis tawa sinting samar-samar yang keluar
dari mulut orang bertopeng itu. Tiba-tiba pintu kamar
diketuk dari luar sehingga membuat orang bertopeng itu
kaget sekali.
"Siapa?" bentaknya dengan nada tidak senang.
"Aku" jawab orang di depan pintu dengan singkat
saja.
"Mengapa engkau kemari?! Aku tidak ingin menemui
siapapun!" bentak orang bertopeng itu dengan kasar sekali.
Suara derit pintu kayu terbuka dan Jien Wei Cen
masuk ke dalam kamar itu.
"Wu-er, mengapa engkau tidak mau bertemu dengan
ayah kandungmu sendiri?" tanya Jien Wei Cen kepada orang
bertopeng yang tidak lain adalah Jien Ming Wu itu.
"Benarkah? Apakah aku masih dianggap sebagai
anakmu?" tanya Jien Ming Wu sambil melirik Jien Wei Cen
dengan penuh kebencian.
"Aku belum pernah mengatakan kau bukan anakku"
jawab Jien Wei Cen dengan setenang mungkin.
"Huh!" dengus Jien Ming Wu dengan kesal. Ia tidak
mau melihat kepada Jien Wei Cen dan memilih mengintip- 373 keluar melalui jendela yang setengah terbuka di mana ia bisa
melihat peperangan yang tengah berlangsung.
"Tampaknya baru saja ada tamu untukmu" kata Jien
Wei Cen sambil melihat sekeliling ruangan yang penuh
dengan bekas telapak sepatu yang kotor.
"Tamuku bukan urusanmu" jawab Jien Ming Wu
ketus.
"Memang, memang. Tapi jika tamu itu hendak
menghancurkan Tien Lung Men maka itu adalah urusan kita
semua" kata Jien Wei Cen kali ini dengan sedikit ancaman
dalam nada bicaranya.
"Jadi kau hendak apakah?" tanya Jien Ming Wu
dengan ketus.
"Duduklah" ajak Jien Wei Cen dengan lebih tenang.
Jien Ming Wu berjalan perlahan ke depan tempat ayahnya
duduk dan membanting tubuhnya ke atas kursi hingga
menimbulkan suara derakan.
"Nah, aku sudah duduk sekarang. Penurut bagaikan
seekor anjing" kata Jien Ming Wu dengan sinis.
"Wu-er, selama ini aku selalu berusaha mengikuti
semua kemauanmu. Bahkan boleh dikatakan aku tidak
pernah melarangmu melakukan apapun selama ini. Sampai
engkau berumur lebih dari tiga puluh tahun aku selalu
berusaha memberikan apapun yang terbaik bagi dirimu..."- 374 Jien Wei Cen berhenti sejenak untuk menghela napas
sebelum melanjutkan.
"Tapi engkau semakin lama semakin kehilangan arah,
Wu-er. Bahkan sekarang engkau bekerjasama dengan
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengkhianat memasukkan para serigala ke dalam rumahmu
sendiri!" teriak Jien Wei Cen yang akhirnya meledak juga
kemarahannya.
"Apakah engkau berpikir aku harus minta maaf
kepadamu?" tanya Jien Ming Wu dengan acuh tak acuh.
"Kau benar-benar binatang! Aku salah mendidikmu
selama ini" kata Jien Wei Cen dengan bergetar akibat
menahan amarah yang luar biasa.
"Kau pikir aku senang dengan keadaanku? Kau pikir
kau hebat dengan menjadi pendekar nomor satu di dunia
persilatan? Pernahkah kau selama beberapa tahun ini
menengokku di sini? Di menara busuk ini? Engkau
membiarkanku mati menderita di sini tanpa seorang pun
yang tahu!" teriak Jien Ming Wu tidak kalah marah.
"Aku membiarkanmu sendirian di sini agar tidak ada
seorang pun yang menghinamu" kata Jien Wei Cen mencoba
menjelaskan.
"Apa? Menghinaku atau menghinamu, pendekar
tanpa tanding?" tanya Jien Ming Wu sambil mendekatkan
wajahnya yang ditutupi topeng ke dekat wajah Jien Wei
Cen. Bau busuk nanah begitu pekat memenuhi udara.- 375 "Aku tidak malu akan diriku, tapi engkau malu akan
diriku, akui sajalah!" teriak Jien Ming Wu sambil
membanting sebuah guci keramik hingga hancur berkepingkeping.
"Baik, baik engkau benar. Aku memang malu
memiliki anak yang tidak berbudi seperti dirimu" kata Jien
Wei Cen sambil beranjak hendak meninggalkan ruangan
menara itu.
"Hendak kemanakah kau tua bangka?" tanya Jien
Ming Wu dengan nada bengis hingga membuat langkah Jien
Wei Cen terhenti.
"Aku belum selesai bicara denganmu!" bentak Jien
Ming Wu seakan-akan tidak sedang bicara dengan ayahnya
sendiri saja.
Kata-kata Jien Ming Wu barusan seperti palu godam
yang menghantam dada Jien Wei Cen. Selama ia berkelana
dan melanglang dunia persilatan, segala macam luka luar
dan dalam sudah pernah dideritanya namun tidak ada
hantaman yang kekuatannya melebihi kekuatan bentakan
Jien Ming Wu barusan. Seluruh dunia terasa berguncang
tidak karuan. Bahkan telinga Jien Wei Cen sampai terasa
berdenging keras karena guncangan batin luar biasa yang
melanda dirinya.
"Apa? Apa yang baru saja kau bilang?" tanya Jien
Wei Cen setengah tidak percaya dengan apa yang ia dengar
barusan.- 376 "Aku berkata jangan pergi dulu sebelum aku selesai
bicara denganmu, tua bangka!" bentak Jien Ming Wu
dengan garang seperti kerasukan setan.
Jien Wei Cen tidak bisa menguasai dirinya lagi. Ia
segera maju dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa
menyerang Jien Ming Wu dengan satu tonjokan keras.
Bagaikan tersambar petir, Jien Ming Wu terlempar keluar
dari kamar menara itu dan jatuh bergulingan sampai ke
tangga terbawah. Topeng kulitnya terlepas dan
menampakkan banyak nanah di wajahnya yang setengahnya
kini babak belur itu. Jien Ming Wu tidak terkesan sama
sekali dengan tempelengan luar biasa dari ayahnya itu,
malah ia tertawa mendesis senang.
"Hahahaha! Ternyata pukulanmu masih kencang juga
tua bangka!" teriaknya sambil tertawa-tawa.
"Kau..." Jien Wei Cen seperti tercekat hendak
memaki anaknya lagi.
"Kenapa? Mengapa engkau diam sekarang? Bukankah tadi engkau hendak memberiku pelajaran? Atau engkau
jijik dengan wajahku yang seperti ini?" tanya Jien Ming Wu
sambil maju mendekati ayahnya.
"Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi! Cepat kau
pergi dari sini!" bentak Jien Wei Cen di sela-sela
kemarahannya yang meluap.- 377 "Aku tidak akan pergi! Engkaulah yang harus pergi
tua bangka! Engkau sudah cukup lama hidup enak dan
dihormati banyak orang, masak harus aku lagi yang
merasakan kehidupan yang sengsara?!"tanya Jien Ming Wu.
"Plakk!"
Lagi sebuah pukulan telak bersarang di kepala Jien
Ming Wu hingga membuatnya terpelanting menabrak pintu
menara dan berguling-guling keluar halaman. Wajahnya
yang sudah babak belur sebagian itu kini benar-benar hancur
lebur tidak karuan terkena dua kali tamparan maut dari sang
pendekar tanpa tanding.
"Hihihihi, kau memang tidak pernah bisa apa-apa
selain bertarung. Bahkan dengan anakmu sekalipun kau
hanya bisa memakai kekerasan" ejek Jien Ming Wu sambil
tertawa mendesis tidak waras.
Jien Wei Cen sebenarnya ingin memberikan satu
hajaran keras lagi kepada anaknya yang kurang ajar sekali
itu, tapi ia kemudian mengurungkan niatnya. Mungkin
karena ia merasa telah gagal sebagai ayah dalam mendidik
anaknya, atau teringat akan pesan-pesan istrinya dulu
sebelum meninggal. Wajah pendekar tanpa tanding itu
menjadi sendu dan haru. Ia kini tampak lebih seperti seorang
kakek tua daripada Jien Wei Cen yang disegani semua
pendekar dunia persilatan.
"Sudahlah, semua ini salahku" keluh Jien Wei Cen
sambil berpaling pergi.- 378 Jien Ming Wu yang melihat ayahnya sedang gundah
dan risau itu tidak merasa kasihan, malah tertawa senang. Ia
berdiri sempoyongan sambil tertawa mendesis. Sebuah
pisau kecil dihunus keluar dari balik pinggangnya dan ia
berlari mengejar Jien Wei Cen.
"Ayah, tunggu" kata Jien Ming Wu sehingga
mengagetkan Jien Wei Cen karena sudah lama sekali ia
tidak pernah lagi mengucapkan kata ayah. Kata-kata itu
benar-benar membuat Jien Wei Cen kehilangan sejenak
pemusatan pikirannya dan menjadi lengah. Kesempatan itu
dimanfaatkan dengan baik sekali oleh Jien Ming Wu untuk
membokong ayah kandungnya sendiri
"Bresss'
Suara pisau menembus daging disusul dengan
kesenyapan yang seakan tidak berujung. Hanya terdengar
desir angin dan suara peperangan yang bergema di kejauhan.
Kedua anak beranak Jien juga seakan-akan berhenti
bernapas. Posisi mereka sekarang dalam keadaan
berangkulan erat sehingga tidak terlihat jelas apa yang
terjadi. Namun dari ujung baju mereka tampak darah
menetes dengan deras membasahi tanah.
"Tua bangka, sudah saatnya kau menyerahkan jabatan
pimpinan kepadaku" desis Jien Ming Wu di telinga ayahnya
itu sambil terus menekan pisau pendek agar menancap lebih
dalam di dada Jien Wei Cen.- 379 "Binatang!" seru Jien Wei Cen dengan suara serak
sambil memandang wajah anaknya itu dengan penuh
kekagetan. Ia sama sekali tidak menyangka akan dibokong
oleh anak kandungnya sendiri.
"Mati kau" kata Jien Ming Wu sambil menarik keluar
pisau pendek itu.
Segera saja darah segar muncrat keluar dari dada jj
Jien Wei Cen, membasahi tanah dan bajunya yang berwarna
emas. Tadi pisau pendek Jien Ming Wu masuk hingga
sampai ke gagangnya maka bisa dibayangkan betapa parah
luka yang diderita oleh Jien Wei Cen. Ia mundur terhuyunghuyung sambil memegangi dadanya. Beberapa hari lalu ia
terluka dalam cukup parah saat pertempuran hidup mati
dengan empat pendekar tangguh dan sekarang ia sudah
menderita luka parah kembali. Sampai seberapa kuatkah
sebenarnya batas ketahanan Jien Wei Cen?
"Serahkan kedudukan ketua kepadaku!" teriak Jien
Ming Wu sambil maju menyerang dengan pisau terhunus,
siap menyarangkan tusukan kedua.
Jien Wei Cen yang terluka kini benar-benar marah
sekali. Ia selama ini selalu bersikap mengalah kepada anakanaknya, bahkan sangat mengalah. Tapi balasan yang ia
terima hanyalah hinaan dan tusukan maut seperti ini.
Perasaannya seperti tertusuk ribuan jarum beracun. Begitu
sakit sehingga membuat ia lupa akan segala macam kasih
sayang keluarga yang pernah dengan begitu bahagia- 380 dialaminya bersama-sama dengan istri dan anaknya. Ia
benar-benar marah sekali sehingga seakan-akan semua
bagian tubuhnya juga merasa marah.
Jien Ming Wu yang maju menyerang dengan pisau
pendek terhunus tidak lagi terlihat sebagai anaknya, tapi
musuh yang harus dibinasakan. Musuh yang tidak boleh
diberi ampun sama sekali. Musuh yang harus dihajar dengan
sekuat tenaga hingga hancur tewas. Dan selanjutnya yang
terjadi adalah seperti apa yang dipikirkan Jien Wei Cen.
Kaki tangannya bergerak sendiri seakan tanpa sadar
menghajar semua bagian tubuh Jien Ming Wu yang tidak
terlindungi. Gerakan itu begitu cepat dan kuat sehingga
dalam satu tarikan napas saja, tiga puluh tinju dan tendangan
sudah bersarang di tubuh Jien Ming Wu yang malang.
Suara gemeretak tulang hancur menggiriskan telinga
seiring dengan tumbangnya tubuh Jien Ming Wu ke tanah.
Ia tewas seketika bahkan sebelum tubuhnya benar-benar
ambruk ke tanah. Seluruh tulang dada dan tengkorak
kepalanya remuk terkena tendangan dan tinju maut Jien Wei
Cen. Itulah sebabnya ia dijuluki sebagai Sen Sou Mo Ciao
(Tangan Dewa Kaki Iblis) dan menggegerkan dunia
persilatan selama puluhan tahun terakhir. Sayang sekali
jurus maut itu harus digunakan untuk membunuh darah
dagingnya sendiri.
Jien Wei Cen membungkuk di dekat jenasah anaknya
itu sambil menutupi wajahnya. Ia menangis tersedu-sedu
dengan sedih sekali. Sebenarnya sudah lama sekali Jien Wei- 381 Cen tidak pernah menangis, bahkan ia sendiri tidak ingat
apakah ia pernah menangis atau tidak. Tapi sekarang, takdir
telah menentukan ia harus dikhianati anaknya sendiri,
bahkan harus saling membunuh, membuatnya tidak mampu
bertahan lagi. Ia menangis tersedu-sedu sebagai seorang
ayah yang kehilangan anaknya. Ia menangis karena takdir
kejam yang mengharuskannya membunuh anak kandungnya
sendiri.
*** Pertempuran di markas Tien Lung Men kini sudah
berlangsung lebih dari setengah hari. Matahari kini sudah
condong ke barat namun mereka yang bertempur masih saja
bertarung dengan ganas. Suara teriakan peperangan masih
bergema dengan keras. Bau amis darah yang memualkan
tercium hingga kemana-mana bahkan hingga masuk ke
dalam wisma tamu yang terletak di wilayah dalam markas
Tien Lung Men.
Dalam sebuah ruangan yang cukup besar dalam
wisma tamu itu, tampak Ma Xia dan Wongguo Yuan sedang
duduk berbincang dengan cemas. Di sebelah mereka berdiri
Wongguo Luo yang sedang mengamati pertempuran seru di
bukit belakang. Ia tampak memperhatikan setiap gerakan
musuh dengan cermat. Sebenarnya Wongguo Luo sedang
mencari-cari apakah dua seteru abadinya yaitu Shi Chang- 382 Sin dan Ma Pei ada dalam pasukan penyerbu itu atau tidak.
Bagi Wongguo Luo, hancur atau tidaknya Tien Lung Men
tidak terlalu penting baginya. Penuntasan dendam
pribadinya yang sudah terpendam puluhan tahun jauh lebih
penting baginya daripada nasib Tien Lung Men beserta
ribuan pengikutnya.
"Kakek, bagaimana keadaan di luar?" tanya
Wongguo Yuan yang tidak berani melihat sendiri
pertempuran berdarah di luar itu.
"Kelihatannya tidak banyak perubahan sejak pagi
hari. Kedua pihak masih sama-sama kuat. Tidak bisa
menembus dan tidak bisa mengusir" jawab Wongguo Luo
sambil tetap memperhatikan pertempuran.
"Sudah hampir setengah hari namun tidak ada kabar
sama sekali dari Cia Sing dan teman-temannya. Aku benarbenar khawatir" kata Ma Xia murung.
"A Xia tenanglah. Ilmu Han Cia Sing sebenarnya
sudah sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada yang pernah
kau bayangkan sebelumnya. Bocah itu beruntung sekali
dapat menguasai ilmu hebat pada umur semuda itu" kata
Wongguo Luo mencoba menenangkan hati Ma Xia.
"Kakek, apakah benar apa yang kakek ucapkan itu?"
tanya Wongguo Yuan seakan tidak percaya dengan jawaban
kakeknya.- 383 "Hmmm, benar. Aku bahkan merasa dalam
kehancuran keluarga Han tersimpan maksud takdir langit
yang tersembunyi" jawab Wongguo Luo.
"Maksud kakek?!" tanya Wongguo Yuan
kebingungan. Ma Xia juga ingin tahu penjelasan lebih lanjut
dari Wongguo Luo tentang hal ini.
"Keluarga Han hancur dan diburu sebagai buronan
negara. Tapi Han Cia Sing malah berhasil menguasai ilmu
ajaib Shi Sui Yi Cin Cing (Sutra Penggeser Urat Pembersih
Sumsum). Demikian pula dengan kakaknya Han Cia Pao"
kata Wongguo Luo menjelaskan.
"Maksud kakek, tuan muda Han Cia Pao juga bisa
ilmu Shi Sui Yi Cin Cing yang ajaib itu?" tanya Wongguo
Yuan kebingungan.
"Bukan, maksudku bukan menguasai ilmu itu.
Maksudku Han Cia Pao juga mengalami sesuatu yang luar
biasa yang akan meningkatkan tenaganya beberapa kali
lipat" kata Wongguo Luo.
"Beberapa kali lipat?" tanya Ma Xia mulai tertarik.
"Tadi aku sempat memeriksa nadinya dan hasilnya
sangat mengejutkan. Tenaga hawa dingin yang ada dalam
tubuhnya mungkin dua atau tiga kali lebih kuat daripada
tenaga Han Ping Leng Cang (Tapak Sedingin Es) yang telah
kulatih selama puluhan tahun belakangan. Sungguh suatu- 384 keberuntungan yang tidak terduga" kata Wongguo Luo
menjelaskan.
"Tapi, bagaimana mungkin hal itu terjadi?" tanya Ma
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Xia keheranan.
"Iya, kakek tolong jelaskan" kata Wongguo Yuan
memohon kepada kakeknya itu.
"Menurut tabib Liu Cen Beng, secara tidak sengaja
nyonya Han memberikan Nan Hai Lung Cu (Mutiara Naga
Laut Selatan) secara utuh kepada Han Cia Pao yang sedang
terluka. Sebenarnya hal ini sangat berbahaya sekali bahkan
dapat mematikan jika saja tabib Liu tidak segera bertindak
cepat. Ia adalah seorang tabib hebat yang banyak
pengalaman sehingga bisa segera mengambil keputusan
melakukan pemanasan tubuh luar Han Cia Pao dengan cara
merebusnya dalam air mendidih. Akibatnya hawa dingin
Mutiara Naga Laut Selatan tidak membekukan Han Cia Pao
tapi tersimpan tetap dalam titik tan diannya secara ajaib.
Hawa dingin inilah yang memberikan kekuatan tenaga luar
biasa kepada Han Cia Pao, bahkan melebihi apa yang sudah
kulatih selama puluhan tahun. Bukankah semua ini adalah
takdir?" kata Wongguo Luo menerangkan panjang lebar
kepada Ma Xia dan Wongguo Yuan.
"Kalau begitu memang benar apa yang dikatakan
kakek bahwa tuan muda Han Cia Pao sungguh beruntung"
kata Wongguo Yuan setelah mengerti penjelasan kakeknya
itu.- 385 "Kalau tidak salah hari ini, seharusnya ia sudah
siuman. Semoga saja ia bisa cepat siuman mengingat
keadaan Tien Lung Men yang sedang genting seperti
sekarang ini" kata Wongguo Luo sambil kembali
memandang keluar.
Mereka bertiga kembali terdiam dalam pikiran
masing-masing. Pikiran yang berkecamuk dalam hati
mereka mungkin tidak kalah serunya dengan peperangan di
luar sana. Ma Xia dan
Wongguo Yuan, meskipun tidak saling menyadari,
keduanya amat mengkhawatirkan keadaan Han Cia Sing.
Sedangkan Wongguo Luo sebenarnya ingin sekali keluar
membuat perhitungan dengan Ma Pei dan Shi Chang Sin. la
pasti sudah meninggalkan wisma tamu ini dari tadi jika saja
tidak ada Wongguo Yuan. Cucu tunggalnya itu benar-benar
amat disayanginya dan ia tidak ingin terjadi sesuatu yang
buruk pada cucunya itu.
Saat mereka bertiga sedang tercenung, tiba-tiba
datang Cen Hua beserta beberapa anak buah Tien Lung Men
masuk ke dalam ruangan tamu itu. Gadis dengan wajah bulat
dan alis mata tebal itu tampak tergesa-gesa memasuki wisma
tamu. Bajunya yang berwarna hijau tampak basah dengan
keringat dan cipratan darah kering. Ia tampaknya baru saja
bertempur hebat dengan pasukan kerajaan yang mencoba
menerobos masuk markas Tien Lung Men melalui bukit
belakang.- 386 "Salam hormat kepada pendekar bertiga. Aku Cen
Hua meminta agar wisma tamu segera dikosongkan karena
musuh sudah berada di dekat sini" kata Cen Hua sambil
menjura kepada mereka bertiga.
"Oh? Secepat itukah mereka sudah bisa masuk?"
tanya Wongguo Luo dengan keheranan.
"Musuh membawa banyak pendekar tangguh. Anak
buah kita yang menghadang sudah banyak yang menjadi
korban" jawab Cen Hua sambil berusaha mengatur
napasnya yang memburu.
"Jika demikian, mungkin kita harus segera
meninggalkan wisma tamu ini. Mohon nona Cen menunggu
sebentar, masih ada dua orang lagi di dalam bersama dengan
dayang-dayang. A Yuan, coba kau segera saja jemput
nyonya Han dan dayang-dayang. Aku akan menggendong
Han Cia Pao pergi dari sini" kata Wongguo Luo yang
dengan cepat membagi tugas.
"Baik, kakek" kata Wongguo Yuan sambil segera
masuk ke dalam.
Wongguo Luo berlari menuju kamar mandi
mendapatkan Han Cia Pao yang masih terbaring lemah
dalam tong kayu besar berisi rebusan air mendidih. Ia segera
menyalurkan hawa tenaganya ke seluruh lengan dan telapak
tangannya kemudian menggendong Han Cia Pao keluar dari
dalam tong itu dengan hati-hati. Segera saja tangannya yang
bersentuhan dengan tubuh Han Cia Pao merasa bergetar- 387 seperti tersengat ratusan lebah. Hawa dingin merasuk keluar
dari tubuh Han Cia Pao sehingga Wongguo Luo seakanakan mengangkat segumpal es beku dari utara saja
layaknya!
Untunglah Wongguo Luo juga menguasai ilmu hawa
dingin, sehingga ia dapat menguasai diri tidak ikut termakan
kekuatan tenaga dingin yang membekukan itu. Tapi
Wongguo Luo benar-benar harus mengerahkan segenap
tenaga barulah ia dapat menahan hawa dingin yang keluar
dari tubuh Han Cia Pao, maka dapat dibayangkan betapa
dahsyatnya tenaga dingin yang kini merasuki tubuh Han Cia
Pao itu. Wongguo Luo terus menggendong tubuh Han Cia
Pao hingga sampai ke ruang tamu utama.
Di sana, Wongguo Yuan dan Ma Xia sudah
menunggu bersama Ye Ing, yang masih tetap tampak
bingung dengan keadaan di sekitarnya. Bahkan ia
memanggil Wongguo Yuan dengan sebutan Rong-er,
mungkin karena ia teringat akan putri pertamanya yang
sudah tiada itu. Ma Xia sendiri sudah bersiap dengan sebuah
tongkat penyangga, agar jika nanti bekas luka di kakinya
kambuh, ia dapat tetap berjalan dengan baik.
"Baiklah, kalian semua sudah berkumpul. Kita
sekarang akan pergi ke gedung utama dan berkumpul di
sana. Pertahanan kita semakin rapat maka musuh akan
semakin sulit menyerang. Mari semua ikuti aku" kata Cen
Hua mengajak semua orang mengikuti dirinya menuju ke
gedung utama.- 388 Cen Hua berjalan paling depan sambil mengangkat
pedangnya sebagai aba-aba bagi semua yang ada di
belakangnya. Ia berlari ringan menyeberangi taman sambil
menangkis puluhan anak panah nyasar yang berseliweran di
sekitar mereka. Beberapa dayang dan pelayan yang tidak
bisa silat terkena anak panah dan jatuh, namun segera dapat
berdiri kembali dengan dibantu temannya yang lain.
Suasana menjadi kacau balau dengan jeritan ketakutan dan
tangis para dayang. Untunglah taman yang dilewati tidak
terlampau lebar sehingga mereka dapat segera berlindung
kembali di dalam ruangan gedung utama.
Wongguo Luo meletakkan tubuh Han Cia Pao dengan
hati-hati sekali di sebuah dipan panjang dan kemudian ia
langsung melakukan semedi untuk mengusir hawa dingin
membekukan yang hampir merasuk ke dalam tulangnya.
Rupanya kekuatan hawa dingin Mutiara Naga Laut Selatan
benar-benar tidak dapat dipandang remeh karena mampu
mengalahkan tenaga inti dingin Han Ping Leng Cang milik
Wongguo Luo. Entah sampai di mana nanti kekuatan Han
Cia Pao jika ia sadar nanti.
Wongguo Yuan memandangi kakeknya dengan
wajah khawatir sementara Ma Xia duduk di dekatnya
dengan murung. Cen Hua masih memberikan perintah
kepada anak buah Tien Lung Men, pelayan dan juga para
dayang agar menutup semua pintu dan jendela gedung
utama. Suasana benar-benar tegang dan mencekam, apalagi
banyak di antara mereka yang terluka karena panah pihak- 389 lawan. Ruangan gedung utama itu hanya diterangi cahaya
matahari yang menerobos masuk melalui sela-sela pintu dan
jendela.
"Bagaimana, apakah semua pelayan dan dayang
sudah berkumpul di sini?" tanya Cen Hua kepada seorang
anak buah Tien Lung Men.
"Lapor, semua pelayan dan dayang sudah
dikumpulkan di gedung ini" jawab prajurit itu sambil
menjura.
"Bagus. Bagaimana dengan nona kecil?" tanya Cen
Hua lagi.
"Nona kecil juga sudah berada di sini" kata prajurit
itu sambil menunjuk ke sudut ruangan.
Cen Hua segera berlari ke arah sudut ruangan yang
ditunjuk. Seorang dayang sedang memangku seorang gadis
cilik yang cantik dan berwajah kemerah-merahan. Gadis
cilik yang disebut nona kecil itu tidak lain adalah Yang
Hong, putri dari Jien Jing Hui dan Wen Fang sekaligus cucu
kesayangan Jien Wei Cen.
"Nona kecil, apakah engkau baik-baik saja?" tanya
Cen Hua sambil mengusap rambut Yang Hong dengan
lembut.
"Aku baik-baik saja, Cen cie-cie (kakak Cen). Tapi di
manakah ayah dan ibuku?" tanya Yang Hong.- 390 "Emm, aku tidak tahu. Tapi aku yakin mereka akan
baik-baik saja" jawab Cen Hua sambil menoleh ke arah lain.
la sebenarnya tidak tega membohongi gadis cilik yang manis
itu tapi ia tidak mungkin menceritakan kejadian yang
sebenarnya kepada Yang Hong.
"Lalu bagaimana dengan kakek?" tanya Yang Hong
lagi. Ia memang amat dekat dengan Jien Wei Cen dan amat
menyayangi kakeknya itu.
"Jien Pang-cu juga akan baik-baik saja" jawab Cen
Hua kali ini dengan nada lebih tegas.
"Aku sudah rindu sekali dengan kakek" kata Yang
Hong manja.
"Engkau pasti bertemu dengannya setelah semua ini
berakhir nona kecil. Engkau tidak usah khawatir, tapi cie-cie
ingin agar engkau selalu bersama dayang ini dan jangan
pergi kemana-mana, mengerti?" tanya Cen Hua
menginginkan jawaban dari Yang Hong. Gadis cilik itu
mengangguk mantap.
"Aku akan berada di sini selalu" jawab Yang Hong.
"Gadis pintar" kata Cen Hua sambil berlalu
meninggalkan Yang Hong.
Cen Hua kemudian melakukan pengaturan
pertahanan terakhir dalam gedung utama itu. Semua pelayan
diberikan senjata berupa golok atau pedang untuk
mempertahankan diri. Meskipun mungkin tidak banyak- 391 gunanya jika melawan pasukan kerajaan ataupun pesilat
tangguh, tapi bagi Cen Hua itu sudah jauh lebih baik
daripada tidak ada senjata sama sekali. Semua meja dan
kursi dipinggirkan ke dekat jendela dan pintu untuk
menahan dobrakan musuh. Terakhir Cen Hua memeriksa
pintu rahasia yang terletak di balik tembok belakang gedung
sebagai jalan terakhir untuk melarikan diri jika mereka
benar-benar terdesak. Jalan rahasia itu hanya bisa dibuka
dari dalam sehingga tidak ikut ditutup seperti jalan rahasia
yang lain.
Suasana peperangan terdengar makin lama makin
dekat. Keadaan dalam gedung utama itu makin mencekam
diiringi isak tangis ketakutan para dayang. Cen Hua
mengintip dari sela-sela jendela untuk dapat melihat suasana
peperangan dengan jelas. Tampaknya musuh sudah berhasil
menerobos melalui bukit belakang dan sekarang membanjir
masuk ke dalam markas. Anak buah Tien Lung Men tampak
kewalahan menahan serangan gencar dari gabungan
pasukan kerajaan, partai Hai Sa, Fung San dan Ceng Lu Hui
yang terus merangsek maju.
Jien Ming Ti, Gao Guen, He Ta Fu dan He Siao Fu
dibantu empat nona keluarga Yao berusaha mati-matian
mengimbangi gempuran ganas musuh mereka. Anak buah
Tien Lung Men sudah banyak yang gugur karena kalah
jumlah dengan penyerang mereka. Apalagi kini Wen Yang
juga sudah ikut turun laga membantu Chang Bai
menghadapi He Suang Fu (Kapak Kembar He). Keadaan- 392 pasukan belakang Tien Lung Men benar-benar kocar-kacir
tidak karuan diserbu dari segala arah.
Jien Ming Ti yang sempat terluka oleh tinju maut
Chang Bai kini dikeroyok oleh puluhan anak buah dan
murid partai Hai Sa, Fung San dan Ceng Lu Hui. Tubuhnya
terluka di beberapa tempat dan mengeluarkan banyak darah.
Tenaganya sudah banyak terkuras dan serangannya mulai
tidak terarah. Keadaan Jien Ming Ti sekarang genting sekali
karena para pengeroyoknya semakin nekat setelah
mengetahui tenaga buruannya mulai melemah. Memang
selama ini Jien Ming Ti selalu hidup enak, berfoya-foya dan
jarang berlatih silat dengan tekun. Tidak heran tenaganya
tidak terlalu kuat untuk pertarungan dalam waktu lama
seperti yang dihadapinya sekarang ini.
Seorang murid Fung San melihat celah di pinggang
Jien Ming Ti, langsung menusukkan tombak ruyungnya
sekuat tenaga. Jien Ming Ti yang masih kerepotan
menghadapi keroyokan tiga murid partai Hai Sa, hanya bisa
menggeser sedikit kedudukannya berdiri. Tombak ruyung
memang gagal menancap telak, tapi tetap saja berhasil
melukai pinggang Jien Ming Ti. Darah segar segera muncrat
keluar dari luka itu disertai erangan kesakitan Jien Ming Ti.
Tiga pengeroyok lain yang berada di depan Jien Ming Ti
langsung memanfaatkan kesempatan itu dengan baik.
Mereka menusukkan pedangnya bersama-sama sehingga
tidak bisa dihindarkan lagi.
"Bress"- 393 Jien Ming Ti terlempar dengan dada luka parah
tertebas pedang. Bajunya merah basah oleh keringat dan
darah. Ia bergulingan di tanah berusaha menghindarkan diri
dari serangan lanjutan para pengeroyoknya. Pedang dan
tombak ruyung berkelebatan mengincar dada dan
punggungnya. Nyawa Jien Ming Ti benar-benar di ujung
tanduk!
"Tuan muda hati-hati!" teriak beberapa anak buah
Tien Lung Men sambil maju menyerang dengan membabibuta untuk menyelamatkan nyawa Jien Ming Ti. Mereka
bahkan rela menahan tusukan pedang dan tombak ruyung
dengan tubuh mereka sendiri. Tubuh mereka dijadikan
tameng hidup demi menyelamatkan nyawa tuan muda
pertama mereka itu.
"Kurang ajar!" teriak Jien Ming Ti setelah berhasil
lolos dari maut. Ia benar-benar marah karena nyawanya
hampir saja melayang di tangan para pengeroyoknya yang
sebenarnya kemampuannya biasa-biasa saja itu. Jien Ming
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ti yang angkuh sama sekali tidak mempedulikan
pengorbanan nyawa anak buah Tien Lung Men demi
dirinya. Bagi Jien Ming Ti, sudah seharusnya anak buah
Tien Lung Men berkorban nyawa untuk pimpinan mereka,
jadi buat apa ia harus berterimakasih?
Darah terus mengucur deras dari pinggang Jien Ming
Ti sehingga membuatnya merasa lemas dan pusing. Tapi
kemarahan lebih menguasai dirinya sehingga ia tidak
mempedulikannya. Jien Ming Ti malah bersiap- 394 mengeluarkan jurus tendangan Tien Ti Suang Lung
(Sepasang Naga Langit Bumi) untuk menghabisi para
pengeroyoknya. Tendangan dahsyat bagaikan petir
menyambar itu segera menghabisi nyawa keempat
pengeroyoknya bahkan sebelum mereka tahu apa yang
terjadi. Mereka roboh ke tanah dengan kepala dan tulang
dada remuk dihajar tendangan maut Tien Ti Suang Lung
yang ganas itu.
Tapi akibatnya sungguh celaka bagi Jien Ming Ti
yang terlalu memaksakan tenaga dalamnya itu. Darah yang
keluar dari luka di pinggangnya semakin banyak hingga
membuat ia lemas dan jatuh terduduk. Pandangan matanya
kabur dan dunia seakan berputar-putar. Jien Ming Ti nyaris
pingsan di tengah medan peperangan, keadaannya benarbenar amat genting sekarang. Binatang terluka selalu
menarik perhatian binatang pemakan bangkai. Tidak
terkecuali saat sekarang, di mana pemakan bangkai itu
terwujud dalam sosok Wen Yang yang terkenal licik dan
suka membokong lawan yang sedang lemah. Ia tidak akan
membuang kesempatan bagus membokong Jien Ming Ti
yang sedang lemah itu.
Wen Yang melayang ringan ke atas kepala Jien Ming
Ti yang tengah membungkuk berusaha memulihkan
napasnya. Ia menggunakan jurus Tien He Pai Fo (Bangau
Langit Menyembah Budha) yang merupakan salah satu
jurus maut dari Wu Sheng Chuen (Tinju Lima Hewan).
Jurus ini digunakan untuk mengunci lawan dari atas- 395 sekaligus memberikan pukulan mematikan dengan cucuk
bangau di bagian kepala!
Jien Ming Ti yang sedang terluka tidak mampu
meloloskan diri dari serangan maut ini. Wen Yang mendarat
di kedua bahunya kemudian dengan telak mengunci kedua
lengannya dengan jepitan kaki. Sepasang cucuk bangau
diarahkan dengan kekuatan penuh ke arah tengkorak kepala
Jien Ming Ti yang terbuka tanpa pertahanan. Jien Ming Ti
yang sadar dewa maut bakal datang menjemputnya, segera
bertindak nekad dengan membanting tubuhnya ke belakang
sambil menendang tinggi ke atas kepalanya. Tindakan ini
adalah tindakan nekad karena akibatnya adalah sama-sama
mengalami luka maut yang dapat mendatangkan kematian!
Wen Yang yang sudah terlanjur melepaskan tenaga
cucuk bangaunya tidak dapat menarik kembali jurus maut
itu. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menambah
tenaga dan kecepatan cucuk bangaunya dengan harapan
dapat membunuh Jien Ming Ti sebelum serangan lawan
mengenainya. Tindakannya itu penuh bahaya karena salah
perhitungan sedikit saja maka tendangan telak Jien Ming Ti
bakal mengenai titik maut tan dian di bawah perutnya.
Sekarang tinggal melihat siapa yang lebih beruntung dapat
melukai lawan terlebih dulu.
Cucuk bangau ganda Wen Yang menghajar kepala
Jien Ming Ti dengan keras, menimbulkan suara letupan
yang mengerikan. Tepat saat itu juga tendangan atas Jien
Ming Ti masuk telak ke arah perut Wen Yang. Tubuh Jien- 396 Ming Ti yang memanggul Wen Yang di atas bahunya
tumbang ke belakang dengan kuat, membanting Wen Yang
dengan keras sekali ke lantai batu hingga pecah berantakan.
Sebentar kemudian pertarungan mereka senyap karena
keduanya sama-sama masih tergeletak tak bergerak di antara
pecahan lantai batu.
Tubuh Wen Yang bergerak lemah terlebih dulu. Ia
berusaha k bangkit sambil memegangi perutnya yang terasa
terbalik. Rasa nyeri luar biasa membuatnya tidak bisa
langsung berdiri dan hanya bisa bersila memulihkan napas.
Ia beruntung sekali karena sekalipun tendangan Jien Ming
Ti mengenai perutnya dengan telak sekali tapi tidak persis
mengenai titik tan dian. Tendangan maut itu masih
melenceng satu jari ke kanan dari titik tan dian hingga
selamatlah ia dari maut. Namun tetap saja ia menderita luka
dalam di perutnya dan juga punggungnya karena membentur
lantai batu dengan keras hingga hancur berantakan. Lukalukanya akibat pertarungan dengan Lu Xun Yi kambuh
kembali.
Jien Ming Ti sendiri tidak bergerak lagi karena sudah
mati. la tewas dengan mata melotot, seakan-akan tidak
terima dengan nasib buruk yang dialaminya. Dua lubang di
kedua sisi kepalanya mengucurkan darah merah dan hitam.
Hantaman cucuk bangau Wen Yang tadi tampaknya begitu
telak hingga langsung melubangi tengkorak kepala Jien
Ming Ti. Tuan muda pertama keluarga Jien itu kini telah
tiada.- 397 Gao Guen yang melihat kematian Jien Ming Ti
menjadi sangat marah. Ia maju menerjang ke arah Wen
Yang yang tengah berusaha memulihkan luka-lukanya tanpa
mempedulikan Pan Chung lagi. Toya besi ganda diarahkan
ke kepala Wen Yang dengan maksud meremukkannya. Gao
Guen benar-benar ingin menghabisi nyawa Wen Yang
dengan sekali pukul hingga melupakan kehadiran Pan
Chung yang masih amat berbahaya. Pan Chung memanfaatkan kemarahan Gao Guen dengan baik sekali. Setelah
bertarung ratusan jurus tanpa ketahuan siapa yang lebih
unggul, kini ia mempunyai kesempatan untuk
menyarangkan satu pukulan telak. Jiu Lung Ruan Pien
(Cambuk Lemas Sembilan Naga) diputar mengelilingi
badannya sambil dilecutkan ke arah punggung Gao Guen
yang terbuka. Ujung cambuk lemas menyerang dengan
ganas bagaikan patukan ular berbisa tanpa bisa dicegah lagi.
"Bukkkk!"
Gao Guen terlempar beberapa langkah setelah
terhantam Jiu Lung Ruan Pien dengan telak. Ia terbang
melayang melewati kepala Wen Yang yang sebenarnya
menjadi sasarannya dan jatuh berdebam dengan keras.
Napas Gao Guen terputus-putus dan ia muntah darah.
Tampaknya luka dalam yang dideritanya cukup parah
sehingga tidak mampu bangkit berdiri. Pan Chung sendiri
tertawa penuh kemenangan melihat musuhnya terkapar
tidak berdaya.- 398 He Suang Fu (Kapak Kembar Fu) kini terpecah
perhatiannya dalam bertarung dengan Chang Bai karena
kematian Jien Ming Ti dan terlukanya Gao Guen. Serangan
mereka menjadi kacau tidak karuan karena mereka terbeban
ingin menyelamatkan Gao Guen. Hal ini dimanfaatkan
dengan baik sekali oleh Chang Bai yang kaya pengalaman
bertarung dengan terus menekan lawan. Keadaan He Suang
Fu kini menjadi terdesak hebat.
Empat putri Yao masih bertarung dengan gigih
melawan para murid partai Hai Sa, Fung San dan juga Ceng
Lu Hui. Pertempuran berlangsung seru karena ternyata
keempat wanita itu selain memiliki ilmu bertarung yang
cukup hebat, senjata mereka yang aneh juga menyulitkan
lawan menyerang. Yao Chuen yang melihat kematian Jien
Ming Ti dan kekalahan Gao Guen, segera menyadari mereka
perlu melakukan tindakan cepat jika tidak ingin Tien Lung
Men mengalami kekalahan telak.
"Adik-adik, cepat kita bergabung!" teriaknya
memberikan perintah kepada ketiga saudarinya.
Yao Xia, Yao Jiu dan Yao Tong segera merapatkan
barisan begitu mendengar perintah kakak tertua mereka.
Senjata alat musik mereka dipalangkan di depan dada
masing-masing, bersiap mendengarkan perintah berikutnya
dari Yao Chuen. Sementara itu puluhan pengikut Ceng Lu
Hui, partai Hai Sa dan Fung San terus maju menyerbu
sambil berteriak nyaring.- 399 "Mari kita lakukan!" teriak Yao Chuen memberikan
perintah menyerang.
Seketika itu juga, keempat putri Yao bersama-sama
memainkan alat musik mereka. Suara seruling, gendang, kucin dan sitar berkumandang menggetarkan jantung setiap
mereka yang mendengarnya. Inilah jurus musik gabungan
dengan tenaga Jien San Sen Kung (Tenaga Sakti Seribu
Gunung) yang disebut Min Huen Sen Ke (Lagu Dewa
Perusak Jiwa). Siapapun yang tidak kuat mendengarkan lagu
ini akan merasakan sakit yang amat sangat di sekujur
tubuhnya bagaikan dirajam dan kemudian mati dengan
darah keluar dari tujuh lubang di tubuh. Mereka yang
bertenaga dalam rendah akan menjadi yang pertama
merasakan kedahsyatan Min Huen Sen Ke ini.
Tidak heran begitu nada mulai bergaung, puluhan
anak buah Ceng Lu Hui, partai Hai Sa dan Fung San
langsung bergelimpangan di tanah. Mereka langsung
berteriak-teriak kesakitan sambil berusaha menutupi telinga
mereka dengan sia-sia. Sebagian bahkan sudah mulai
mimisan dan muntah darah karena tidak kuat menahan
getaran nada Min Huen Sen Ke. Keadaan pasukan
penyerang menjadi kacau balau tidak karuan. Bahkan Hu
Kung Ye yang berilmu paling lumayan dalam barisan Ceng
Lu Hui juga menjadi tidak berdaya. Ia hanya bisa duduk
bersila sambil mengerahkan segenap tenaga untuk menolak
getaran tenaga Min Huen Sen Ke yang terasa seperti
membetot nyawanya itu.- 400 Pan Chung dan Chang Bai mempunyai tenaga dalam
yang lumayan sehingga mampu bertahan terhadap serangan
Min Huen Sen Ke, tapi Wen Yang yang tengah terluka tidak
mampu menghadapinya. Ia bergulingan di tanah sambil
menutup kedua telinganya. Rasa sakit di kepalanya akibat
getaran tenaga Min Huen Sen Ke benar-benar tidak
tertahankan. Darah mulai keluar dari hidung dan telinganya.
Sedangkan Gao Guen dan He Suang Fu beruntung karena
mereka berlindung di belakang keempat putri Yao sehingga
akibat getaran tenaga Min Huen Sen Ke tidak begitu
terasakan. He Suang Fu memanfaatkan keadaan ini untuk
menyalurkan tenaga dalam membantu Gao Guen yang
terluka.
Keempat putri Yao memainkan Min Huen Sen Ke
dengan sepenuh tenaga hingga keringat membasahi pakaian
mereka. Setiap petikan dan tarikan nada mengandung tenaga
Jien San Sen Kung sehingga tidak heran hal ini amat
menguras tenaga. Mereka hanya dapat memainkan Min
Huen Sen Ke dalam beberapa baitnya saja karena setelah itu
tenaga dalam mereka tidak akan kuat lagi. Keempat putri
Yao hanya ingin mengurangi kekuatan pasukan lawan
sebanyak mungkin sebelum mereka sendiri lidak kuat lagi
menggunakan Min Huen Sen Ke.
Chang Bai yang paling banyak pengalamannya, dapat
merasakan getaran nada Min Huen Sen Ke semakin
melemah. Ia tidak membuang waktu lagi langsung
melompat tinggi menyerang keempat wanita itu. Liu Suang- 401 Hong Chuen (Enam Pasang Tinju Merah) dilontarkan
dengan kekuatan penuh ke arah para putri Yao, yang segera
berpencar menghindar. Kekuatan tinju Chang Bai memang
bukan main-main, karena langsung meledak menghancurkan tanah dan bebatuan hingga menjadi debu dan pasir.
Keempat putri Yao terlempar karena kuatnya ledakan
itu. Untunglah mereka sama sekali tidak terluka karena
berhasil menyingkir tepat pada waktunya. Yao Chuen segera
bangkit bersiap memanggil ketiga adiknya untuk bergabung
kembali. Namun baru saja ia berdiri, cambuk lemas Pan
Chung sudah meledak-ledak menyerangnya. Yao Chuen
terpaksa hanya bisa bertahan menghadapi gempuran penuh
tenaga cambuk lemas Jiu Lung Ruan Pien yang
menyerangnya bertubi-tubi.
Yao Xia dan Yao Tong bersiap membantu kakak
mereka tapi baru saja hendak melangkah, Chang Bai sudah
tiba untuk menghadang mereka. Terpaksa mereka harus
menghadapi dulu jago tua partai Hai Sa yang ternyata masih
kuat dan alot itu. Tinju Chang Bai menyambar dengan
kekuatan penuh, menimbulkan desir hawa panas yang
menekan kedua saudari itu. Sementara itu Yao Jiu dan He
Suang Fu juga bertarung dengan Hu Kung Ye dan beberapa
puluh anak buah lawan yang masih tersisa. Pertempuran tiga
tempat ini dimanfaatkan Wen Yang dan Gao Guen untuk
memulihkan diri mereka secepat mungkin. Pihak mana yang
lebih cepat pulih akan menentukan kemenangan.- 402 Yao Chuen semakin terdesak oleh serangan Jiu Lung
Ruan Pien yang bertubi-tubi. Cambuk lemas itu bagaikan
bermata saja, menyerang setiap titik lemah Yao Chuen
bagaikan patukan ular berbisa. Seruling Yao Chuen bergetar
keras setiap kali menahan serangan Jiu Lung Ruan Pien dan
getarannya membuat lengan Yao Chuen kebas dan mati
rasa. Rasanya tidak lama lagi Yao Chuen bakal takluk di
tangan ketua partai Fung San itu.
Pan Chung sendiri merasakan dirinya semakin di atas
angin hingga makin bersemangat menyerang Yao Chuen. Ia
sama sekali tidak malu sebagai salah seorang ketua
persilatan senior yang dihormati, namun menyerang seorang
wanita yang umur dan pengalamannya jauh di bawah
dirinya. Malah dalam hati, Pan Chung bermaksud
menaklukkan Yao Chuen dan menjadikannya salah seorang
istri mudanya! Benar-benar pengecut dan tidak tahu malu!
"Lepas!" teriak Pan Chung sambil membelitkan Jiu
Lung Ruan Pien pada senjata suling dan membetotnya
sekuat tenaga.
Yao Chuen tidak kuasa lagi menahan senjatanya
karena tangannya sudah kebas akibat beberapa kali benturan
dengan senjata lawan. Seruling Yao Chuen terlempar tinggi
ke udara dan hilang di kejauhan. Kini ia benar-benar
bernasib seperti domba dalam cengkeraman serigala.- 403 "Kakak Chuen!" teriak ketiga adiknya yang masih
sibuk dengan lawan masing-masing sehingga tidak bisa
mendekat dan menolong Yao Chuen.
"Heheheheh! Gadis manis, aku akan membiarkan
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
engkau hidup jika engkau mau menyenangkanku" kata Pan
Chung dengan lagak mesum sekali hingga membuat jijik
Yao Chuen.
"Huh! Dasar serigala tua! Aku, Yao Chuen lebih baik
mati daripada dihina oleh dirimu" kata Yao Chuen dengan
gagah. Ia mempersiapkan kuda-kuda tangan kosong untuk
menghadapi Pan Chung meskipun tidak yakin berhasil.
"Heheheh, makin marah makin cantik" kata Pan
Chung lagi dengan kurang ajar sekali memandangi tubuh
Yao Chuen dari ujung kaki hingga ujung rambut, seakanakan hendak menelannya hidup-hidup saja.
"Kurang ajar kau tua bangka! Jangan kau berani
menyentuh kakakku!" teriak Yao Xia dengan geram sambil
masih terus bertarung bersama Yao Tong menghadapi
Chang Bai.
"Jangan berebut, gadis manis. Giliranmu belum tiba"
kata Pan Chung sambil melirik Yao Xia dengan pandangan
kurang ajar.
Pan Chung memutar-mutar Jiu Lung Ruan Pien di
udara dengan sikap santai sambil mendekati Yao Chuen. Ia
sudah merasa di atas angin sehingga merasa tidak perlu- 404 waspada. Yao Chuen baginya adalah mangsa empuk yang
siap dinikmati kapan saja sehingga tidak perlu terburu-buru.
Bahkan ia berani bermain-main dengan Yao Chuen ketika
wanita itu menyerangnya dengan tangan kosong. Tangannya
dengan kurang ajar sekali mengelus pipi Yao Chuen
sehingga wanita itu menjadi malu dan marah sekali!
"Kurang ajar!" bentak Yao Chuen sambil terus
menendang dan memukul Pan Chung meskipun dapat
ditangkis dan dihindari lawannya itu dengan mudah.
Keadaan Yao Chuen benar-benar gawat!
"Baiklah, sudah selesai kita bermain" kata Pan Chung
sambil bergerak dengan cepat sekali maju menotok
pinggang Yao Chuen tanpa disangka-sangka. Yao Chuen
langsung lemas dan ambruk dalam pelukan Pan Chung yang
mata keranjang itu.
"Kau jangan berani berbuat macam-macam" kata Yao
Chuen dengan suara bergetar karena marah dan takut.
"Hehehehe, kau tenang saja. Sebentar lagi kau akan
memanggilku suami, saat itu kau tidak bisa kurang ajar lagi
terhadapku" kata Pan Chung sambil tertawa penuh
kemenangan. Yao Chuen merasakan dirinya hampir
menangis karena takut dan marah ketika tubuhnya yang
sudah lemas itu digendong oleh Pan Chung. Apakah
nasibnya akan ternoda oleh serigala tua ini?
Langit seperti menjawab kekhawatiran Yao Chuen.
Sesosok bayangan bertopi daun kasar melesat ke arah Pan- 405 Chung yang tengah tertawa-tawa penuh kemenangan dan
langsung menghadiahkan sebuah tendangan keras ke arah
mukanya. Beberapa gigi depan Pan Chung tanggal oleh
karena tendangan hebat ini dan ia terpaksa melepaskan
pelukannya pada Yao Chuen karena rasa sakit yang sampai
ke ubun-ubun. Tapi rupanya orang itu belum puas
menghajar Pan Chung. Ia berputar di udara dan dengan satu
gerakan indah menendang lagi kepala Pan Chung dengan
rangkaian tendangan badai hingga ketua partai Fung San
yang malang itu terlempar dua tombak jauhnya. Pan Chung
merasakan seluruh dunianya berputar dan berdenyut tidak
karuan. Mungkin jika saat itu ada yang menanyakan
namanya, ia tidak akan bisa menjawabnya dengan benar.
Orang yang baru datang itu menunggu Pan Chung
hingga sadar dari akibat tendangan beruntunnya. Pan Chung
sendiri berusaha secepat mungkin bangkit kembali, tapi rasa
pusing membuatnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh
kembali. Wajahnya babak belur dan berdarah-darah, tapi
Pan Chung masih sempat memaki-maki.
"Orang gila! Berani sekali kau ikut campur
urusanku!" katanya dengan tidak begitu jelas karena gigi
depan tidak lengkap lagi.
"Kau yang sudah bosan hidup karena berani
menghina nona pertama keluarga Yao!" bentak orang itu
dengan marah.- 406 Tanpa basa-basi lagi, orang itu langsung melompat
tinggi dan berputar di atas kepala Pan Chung. Gerakannya
begitu cepat dan tidak terduga sehingga Pan Chung tidak
dapat mengelak lagi. Lehernya sudah terjepit keras oleh
kedua kaki penyerangnya dan dengan satu puntiran badan
bagaikan baling-baling, tamatlah riwayat Pan Chung hanya
sampai di situ. Suara tulang leher Pan Chung yang patah
membuat semua menghentikan pertarungan mereka.
Bahkan Wen Yang bergidik ngeri ketika melihat kematian
Pan Chung yang begitu cepat dan tidak terduga itu.
"Ini Tuo Ming Cien Tao Ciao (Tendangan Kaki
Menggunting Pengejar Nyawa)?!" seru Chang Bai dengan
kaget.
"Kau... kau Ma Han Jiang?" tanya Wen Yang
setengah tidak percaya.
"Ma Han Jiang?!" kata Hu Kung Ye dengan gentar
sekali. Ia teringat pengalaman puluhan tahun lalu ketika dua
saudaranya tewas di tangan Pendekar Tendangan Kaki
Menggunting itu. Orang itu melepas topi daun kasar yang
dipakainya. Wajahnya yang penuh guratan garis tua dan
penderitaan seakan menjawab pertanyaan Wen Yang
barusan. Ia memang adalah Ma Han Jiang, sang Tendangan
Kaki Menggunting yang sudah puluhan tahun ia menghilang
dari dunia persilatan. Meskipun rambutnya sudah d beruban
di sana-sini namun penampilannya masih tetap gagah dan
berwibawa.- 407 Kekagetan yang dirasakan Wen Yang atau Hu Kung
Ye sama sekali tidak ada artinya dibandingkan kekagetan
yang dialami Yao Chuen. Kenangan masa lalunya bersama
Ma Han Jiang seakan baru terjadi kemarin saja. Yao Chuen
menatap wajah pria yang dicintainya itu dengan sendu dan
penuh kasih. Rasa rindu bagaikan padang pasir gersang kini
seperti tersiram curahan air hujan yang lebat. Hatinya tibatiba terasa hangat kembali setelah sekian lama membeku.
Yao Chuen merasakan desiran aneh pada hatinya, desiran
yang sudah lama sekali tidak pernah ia rasakan.
"Aku Ma Han Jiang" jawab Ma Han Jiang singkat
sambil mengangguk.
Wen Yang kehabisan kata-kata. Ia sama sekali tidak
menyangka akan datang bantuan dari seorang pendekar
yang sudah lama sekali tidak terdengar kabarnya di dunia
persilatan di saat seperti ini. Rencana penyerbuan yang ia
susun bersama Huo Cin dengan begitu rapi bakal hancur
berantakan jika Ma Han Jiang ikut membantu Tien Lung
Men. Wen Yang sendiri tidak berani menantang Ma Han
Jiang karena ia sedang terluka. Sifat pengecutnya timbul di
saat terjepit seperti sekarang ini. Ia menoleh ke kiri dan ke
kanan mencoba menilai situasi.
Di pihaknya sekarang hanya ada beberapa puluh anak
buah yang tersisa, serta Chang Bai dan Hu Kung Ye yang
agak bisa diandalkan. Sementara di pihak lawan masih ada
Gao Guen, He Suang Fu dan keempat putri Yao ditambah
Ma Han Jiang. Situasi sekarang benar-benar tidak- 408 menguntungkan dirinya jika terus bertarung. Wen Yang
bersiap-siap melarikan diri jika ada kesempatan baik.
Untunglah saat itu berlarian datang Ma Pei, Shi
Chang Sin dan Si Ta Hao Ren (Empat Orang Baik) beserta
beberapa Prajurit Bayangan Hitam mengejar anak buah Tien
Lung Men dan Wen Shi Mei yang tampak terluka parah.
Kedatangan mereka tepat sekali waktunya karena membuat
perbandingan kekuatan ini jadi berbalik menguntungkan
Wen Yang. Ia sekarang bisa tersenyum menghadapi Ma Han
Jiang karena merasa di atas angin kembali.
"Hei, kau marga Ma mengapa hendak mencampuri
urusan kerajaan? Bukankah selama ini engkau sudah
mengundurkan diri dari dunia persilatan, minggirlah dan aku
akan mengampunimu" kata Wen Yang yang sekarang bisa
menyombongkan diri setelah kedatangan para sekutunya.
"Aku mencampuri urusan kerajaan atau tidak bukan
urusanmu, bajingan licik!" bentak Ma Han Jiang dengan
nada menghardik.
"Pendekar Ma, selama ini engkau dikenal tidak punya
hubungan dengan Tien Lung Men, mengapa engkau
memaksa bermusuhan dengan kami?" tanya Chang Bai yang
lebih mengerti tata krama dunia persilatan sambil menjura
memberi hormat.
"Tetua Chang Bai, salam hormatku. Aku hadir di sana
bukan hendak membela Tien Lung Men, tapi hendak- 409 menyelamatkan putra sahabatku dari kebinasaan" jawab Ma
Han Jiang sambil balas menjura.
"Siapakah putra sahabat pendekar Ma itu?" tanya
Chang Bai lagi.
"Putra sulung mendiang Jenderal Empat Gerbang
Han Kuo Li, Han Cia Pao" jawab Ma Han Jiang dengan
mantap.
"Tahukah pendekar Ma bahwa Han Cia Pao sekarang
adalah buronan negara yang dicari di seluruh kerajaan?"
kata Chang Bai memperingatkan.
"Aku tidak perduli. Aku hanya ingin membawanya
pergi ke Han-kuo (negara Korea) bersamaku. Aku harap
tidak ada seorang pun yang menghalangi kami" kata Ma
Han Jiang dengan nada mengancam.
"Apa yang akan kau lakukan jika kami menghalangimu, kaki pengkor?" tanya Ma Pei dengan menghina sekali.
"Tanyalah pada kedua kakiku ini" kata Ma Han Jiang
sambil mengangkat kaki kanannya tegak lurus ke atas.
Pameran kekuatan kaki Ma Han Jiang ini mau tidak mau
membuat ciut nyali para prajurit kerajaan dan murid
pengikut partai lainnya.
"Huh! Mainan anak kecil! Kau bisa menakuti mereka
tapi tidak aku Tien Huo Ma Pei (Ma Pei sang Api Langit)"
kata Ma Pei sambil maju menerjang.- 410 "Baiklah, sambut kedua kakiku!" teriak Ma Han Jiang
meladeni tantangan Ma Pei itu.
Dua pendekar senior yang jarang sekali muncul di
dunia persilatan dan tidak pernah bertemu itu kini bertarung
di markas Tien Lung Men untuk tujuan yang berbeda.
Siapakah yang bakal memenangkan pertarungan itu?- 411 35. Roda Emas Turun Laga
"Bocah busuk! Jangan engkau hanya bisa berlari saja,
hadapi aku Jenderal Besar Fang Yung Li!" teriak Fang Yung
Li sambil mencak-mencak marah.
"Aku tidak berani menghadapi Jenderal Besar jadi
hanya bisa menghindar saja" jawab Han Cia Sing sambil
menjaga jarak aman dengan Fang Yung Li.
Han Cia Sing tahu kakek gila itu mempunyai ilmu
aneh yang tidak boleh dipandang remeh begitu saja sehingga
ia lebih memilih mengajaknya berlarian sepanjang halaman
depan yang penuh patung batu itu bagaikan dua orang anak
yang sedang bermain kejar-kejaran saja. Ilmu Guo Yin Sen
Kung (Ilmu Sakti Melintasi Awan) miliknya memang hebat
sampai Fang Yung Li sekalipun kesulitan untuk dapat
menangkapnya. Meskipun sering hampir terpegang, tapi
dengan ilmu ringan tubuh luar biasa itu Han Cia Sing selalu
dapat lolos dari bahaya. Bahkan tenaga hisap Pei Ming Sen
Kung (Ilmu Sakti Neraka Utara) tidak mampu mengunci
lompatan ringan Han Cia Sing.
"Kau benar-benar bocah licik!" maki Fang Yung Li
sambil berusaha menenangkan napasnya yang memburu.
Fang Yung Li sudah mengejar Han Cia Sing hampir
tanpa henti mulai matahari di atas kepala hingga kini
condong ke barat. Tenaganya sudah mulai melemah karena
tidak mendapatkan tenaga tambahan baru dari hasil- 412 menghisap tenaga lawan. Sedangkan Han Cia Sing masih
tetap segar bugar berkat Shi Sui Yi Cin Cing (Sutra
Penggeser Urat Pembersih Sumsum) yang mampu
memulihkan tenaganya hanya dalam beberapa hembusan
napas saja. Keadaan memang tidak menguntungkan bagi
Fang Yung Li sekarang.
"Aku tidak mau bermain denganmu lagi!" kata Fang
Yung Li dengan marah sambil berbalik lari menuju ke
bagian gedung dalam Tien Lung Men.
"Eh, tunggu! Kita belum selesai bermain!" teriak Han
Cia Sing yang kaget melihat Fang Yung Li menyerbu masuk
ke dalam.
Tujuan Han Cia Sing mengajak Fang Yung Li
berputar-putar di halaman depan adalah untuk mengulur
waktu. Pendekar gila itu memiliki ilmu hebat luar biasa yang
bakal amat membahayakan para pendekar Tien Lung Men
sehingga Han Cia Sing sengaja mengajaknya berputar-putar.
Tapi kini Fang Yung Li sudah tidak mau bermain lagi dan
memilih masuk ke bagian dalam markas yang tentu akan
sangat membahayakan para pendekar Tien Lung Men yang
lain. Han Cia Sing berniat mencegah hal ini terjadi.
Han Cia Sing menggenjot tubuhnya melayang ringan
delapan tombak ke depan, berusaha memotong jalan Fang
Yung Li. Kakek gila itu ternyata lincah sekali dan mampu
mengubah arah gerakannya dengan cepat sekali. Ia berhasil
lolos dari hadangan Han Cia Sing dan kini melompat- 413 menuju halaman tengah markas Tien Lung Men. Gerakan
mereka berdua begitu cepat hingga hanya terlihat sebagai
bayangan saja bagi mata orang biasa.
"Kena kau!" teriak Fang Yung Li kegirangan ketika
ia berhasil mencengkeram lengan Han Cia Sing erat-erat.
"Kau kakek penipu!" seru Han Cia Sing dengan kaget
sekali ketika tiba-tiba Fang Yung Li berbalik arah dari
dikejar menjadi mengejar dan berhasil menangkap
lengannya.
"Hehehehe, menangkap seekor kijang lincah tentu
harus dengan siasat" tawa Fang Yung Li penuh
kemenangan.
Han Cia Sing tahu ia sudah masuk perangkap kakek
gila itu tapi sudah terlambat. Lengannya sudah
tercengkeram erat sekali oleh Fang Yung Li. Daging dan
darahnya seakan-akan dibetot kuat sekali oleh sebuah tenaga
yang tidak tampak. Rasa sakit yang ditimbulkan tenaga
hisap Pei Ming Sen Kung benar-benar luar biasa hingga
merasuk tulang. Han Cia Sing berusaha mati-matian
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melepaskan lengannya yang terasa hampir terlepas dari
tubuhnya itu tapi akibatnya semakin banyak tenaga
dalamnya yang tersedot keluar. Nasibnya sekarang benarbenar di ujung tanduk. Dewa maut seakan-akan sudah
berdiri di depan pintu bersiap menjemput nyawanya.- 414 "Lepaskan kau iblis gila!" bentak Han Cia Sing
sambil melayangkan sebuah tinju sekuat tenaga ke arah ulu
hati Fang Yung Li.
Tinju itu mendarat dengan telak sekali ke arah jantung
Fang Yung Li sehingga Han Cia Sing merasa gembira sekali
karena usahanya berhasil. Tapi betapa terkejutnya ia ketika
tinjunya seperti menghantam kapas lembut dan amblas
begitu saja. Bahkan tinjunya kini tidak dapat ditarik kembali
dan melekat dengan erat di dada Fang Yung Li. Hawa tenaga
Han Cia Sing bocor keluar tak dapat dibendung lagi dari
tinju dan lengannya sehingga ia merasa kesakitan sekali.
"Hehehehe, tenaga muda memang luar biasa. Enak
sekali rasanya" kata Fang Yung Li sambil tertawa-tawa
penuh kemenangan. Kedua tangannya masih memegang
lengan Han Cia Sing dengan erat sekali. Wajah Han Cia
Sing kini mulai berubah pucat dan berkeringat banyak
karena tenaga dalamnya sudah hampir tersedot habis oleh
Fang Yung Li. Sebentar lagi ia akan segera mencapai batas
ketahanannya dan mati dengan tubuh kering karena terhisap
seluruh tenaga dan darahnya. Akankah Han Cia Sing
mengalami nasib mati mengenaskan seperti Wang Ding si
Kera Emas dan Hong Cu Chung?
Tepat saat Han Cia Sing hampir kehilangan
kesadarannya, ia tanpa sadar langsung mengeluarkan tenaga
perputaran Shi Sui Yi Cin Cing. Semua tenaga diputar dan
dikeluarkan melalui titik kaki terus berputar ke perut, dada,
leher hingga akhirnya kepala. Setelah itu tenaganya- 415 dikembalikan lagi dengan cara yang sama kembali ke titik
kaki. Sebenarnya ini adalah cara untuk menyembuhkan diri
seperti yang dilihat Han Cia Sing di dinding gua serigala
dulu. Kini dalam keadaan terdesak antara hidup dan mati
seperti sekarang, tanpa sadar Han Cia Sing langsung
menggunakannya untuk menyembuhkan tenaganya yang
terus tersedot oleh ilmu sesat Fang Yung Li.
Ternyata jurus yang digunakan Han Cia Sing ini
berhasil baik. Tenaganya memang tetap terus tersedot
keluar, namun kini tenaga yang hilang itu langsung
tergantikan tenaga baru yang dihasilkan jurus putaran
tenaga. Perlahan namun pasti, wajah Han Cia Sing mulai
kembali merah dan napasnya teratur lagi. Keadaan ini jelas
membuat Fang Yung Li keheranan karena ia masih terus
menghisap tenaga dalam Han Cia Sing dengan rakusnya
namun pemuda itu tampak masih sehat-sehat saja bahkan
kelihatan semakin kuat saja.
"Eh, bocah busuk mengapa engkau belum mati juga?"
tanya Fang Yung Li.
"Aku belum mau mati. Aku masih harus
membalaskan dendam keluargaku pada pengkhianat negara
sepertimu" kata Han Cia Sing sambil terus mengerahkan
jurus perputaran tenaganya hingga ke puncak.
Jurus perputaran tenaga digunakan semakin cepat dan
kuat sehingga kini tenaga yang dihisap Fang Yung Li juga
makin banyak dan kencang. Tenaga yang mengalir begitu- 416 kuat hingga kini Fang Yung Li yang ganti merasakan
kesakitan. Ilmu Pei Ming Sen Kung memang ilmu penyerap
tenaga dan darah lawan namun tetap saja mempunyai
batasan sampai mana kekuatan lawan dapat diserap. Jika
tenaga lawan yang dihisap terlalu banyak melampaui
kemampuan diri maka kekuatan itu malah akan
menghancurkan dirinya. Prinsipnya sama seperti gentong air
yang diisi air banjir bandang maka gentong air itu tidak akan
kuat dan pecah berantakan.
"Berhenti! Berhenti kataku!" teriak Fang Yung Li
kesakitan ketika tenaga Han Cia Sing mengalir dengan kuat
sekali tanpa henti memasuki tubuhnya.
Han Cia Sing sendiri terus menyalurkan perputaran
tenaganya memasuki tubuh lawan. Ilmu Shi Sui Yi Cin Cing
memang memungkinkan tenaga dalam tanpa akhir yang
dapat terus menerus digunakan tanpa berhenti. Ternyata
jurus ini amat ampuh sekali untuk menghadapi ilmu sesat
Pei Ming Sen Kung milik Fang Yung Li. Kakek gila itu kini
begitu kesakitan karena kedua tangannya yang memegang
lengan Han Cia Sing membengkak dua kali ukuran biasa.
Jantungnya juga terasa digedor puluhan palu godam akibat
tenaga dalam tanpa henti yang terus disalurkan Han Cia
Sing.
"Lepaskan! Lepaskan kau Hui Ke, biksu busuk!"
teriak Fang Yung Li tanpa sadar akibat kesakitan sambil
meronta-ronta kesetanan. Ia benar-benar tidak tahan lagi
menghadapi banjir bandang tenaga dalam yang menjebol- 417 dirinya sehingga teringat pengalaman yang sama puluhan
tahun lalu ketika dikalahkan oleh lawannya.
Han Cia Sing melihat lawan semakin melemah terus
berusaha menekan. Ia menyalurkan tenaga dalamnya sekuat
tenaga sambil memegangi Fang Yung Li agar tidak
melepaskan diri. Situasinya kini berbalik dari berusaha
melepaskan diri menjadi memegangi lawan sekuat mungkin.
Fang Yung Li sendiri sudah tidak karuan lagi meronta-ronta
sambil meraung-raung kesakitan dan terus memaki nama
biksu Hui Ke.
Akhirnya sampailah mereka berdua pada pertarungan
tenaga puncak yang menentukan. Han Cia Sing meledakkan
tenaganya keluar dengan kekuatan penuh. Sebuah sinar
menyilaukan memancar keluar dari seluruh tubuhnya,
seakan-akan sebuah bola cahaya yang meledak. Sinarnya
bahkan mengalahkan kekuatan cahaya matahari sore hari
itu. Ledakan puncak tenaga Shi Sui Yi Cin Cing ini
berakibat mengerikan pada Fang Yung Li yang langsung
terpental jauh sekali hingga menghilang tak terlihat lagi
bagaikan anak panah yang ditembakkan dari busurnya!
Han Cia Sing mengatur napasnya agar kembali
teratur, la sama sekali tidak menyangka ledakan tenaga
puncak Shi Sui Yi Cin Cing akan sedemikian dahsyat.
Selama ini ia belum pernah mencoba menggunakan ilmunya
sampai tenaga puncak, tidak disangka hasilnya begitu luar
biasa. Bahkan Setan Darah Fang Yung Li pun dibuat tidak
berdaya olehnya. Entah bagaimana nasib kakek gila itu- 418 sekarang setelah terlempar jauh sekali oleh ledakan tenaga
puncak Shi Sui Yi Cin Cing.
Setelah selesai mengatur napasnya, Han Cia Sing
segera bergegas menuju ke tembok markas. Ia tahu kedua
temannya Yung Lang dan Lin Tung pasti amat
membutuhkan bantuan dirinya menghadapi serbuan
pasukan kerajaan. Ia sudah bertarung dengan Fang Yung Li
cukup lama, tentunya keadaan pasukan kerajaan sudah
semakin dalam masuk ke dalam markas Tien Lung Men.
Dan ternyata apa yang dipikirkan Han Cia Sing itu ternyata
benar sekali adanya.
Baru saja Han Cia Sing melompat dua tiga kali, ia
sudah tiba di tempat pertempuran yang kacau balau. Ratusan
anak buah Tien Lung Men yang tersisa dikepung habishabisan oleh pasukan kerajaan dan para pendekarnya.
Tampaknya mereka sudah tidak mampu lagi
mempertahankan tembok markas sehingga pasukan
kerajaan terus menyerbu masuk bagaikan air bah. Han Cia
Sing berusaha mencari-cari kedua temannya dalam
kekacauan peperangan itu.
Mata Han Cia Sing justru menangkap sosok tubuh Ce
Ke Fu yang besar terlebih dulu. Beruang Besi Utara itu
tampak tengah kerepotan melawan seorang setengah baya
berpakaian bangsawan yang memegang sebilah golok
berukir lambang naga. Golok itu berputar dan menebas
dengan kecepatan mengagumkan, menorehkan banyak luka- 419 pada tubuh Ce Ke Fu hingga bersimbah darah. Han Cia Sing
berpikir cepat untuk segera menolong Ce Ke Fu sebelum ia
menderita luka lebih parah lagi.
Satu lompatan ringan membawa Han Cia Sing
langsung ke dekat tempat pertempuran Ce Ke Fu dengan
Feng Ming si Golok Raja Naga. Kedatangan Han Cia Sing
memang tepat sekali karena saat itu Ce Ke Fu sudah hampir
tidak berdaya menghadapi Feng Ming. Ia hanya bisa
bertahan saja tanpa dapat balas menyerang. Luka-luka
torehan golok Feng Ming menyebabkan ia kehilangan cukup
banyak darah meskipun tidak ada tebasan yang
membahayakan nyawanya. Namun kekalahan Ce Ke Fu
memang hanya tinggal menunggu waktu saja.
"Paman Ce!" seru Han Cia Sing sambil menyangga
tubuh raksasa Ce Ke Fu yang hampir roboh karena tekanan
serangan lawan.
"Cia Sing? Kau... kau harus segera memberitahu Jien
Pang-cu agar meninggalkan Tien Lung Men" kata Ce Ke Fu
kehabisan napas ketika melihat Han Cia Sing datang
menolongnya.
"Paman Ce, kita harus segera meninggalkan markas
ini bersama-sama" kata Han Cia Sing sambil berusaha
memapah tubuh Ce Ke Fu yang jauh lebih tinggi darinya itu.
"Tidak, Jien Pang-cu sudah mempercayakan gerbang
depan kepadaku. Mana mungkin aku ada muka lagi
menemuinya setelah aku gagal dalam tugasku?" kata Ce Ke- 420 Fu dengan gagah, la bersiap bertarung lagi dengan Feng
Ming meskipun dirinya sendiri sempoyongan.
"Tidak, paman Ce. Biar aku saja yang bertarung di
barisan depan. Paman Ce dan teman lain yang terluka dapat
bergabung sementara dengan barisan belakang sambil
mengatur ulang siasat kita" kata Han Cia Sing sambil
menahan tubuh raksasa Ce Ke Fu.
"Tapi..." kata Ce Ke Fu masih hendak membantah.
"Kau hendak lari kemanakah? Terimalah kematianmu, hai Beruang Besi!" bentak Feng Ming dengan marah
sambil menebaskan Golok Raja Naganya.
Han Cia Sing segera mendorong tubuh Ce Ke Fu ke
belakang sambil bersiap menghadapi tebasan maut Feng
Ming. Tampaknya Golok Raja Naga diayunkan dengan
sepenuh tenaga hingga hawa goloknya sudah terasakan
sebelum golok itu sendiri datang. Han Cia Sing
memiringkan tubuhnya sedikit ke samping untuk
menghindari tebasan maut Fang Yung Li sambil
mempersempit jarak untuk melancarkan serangan.
"Blarrrrr!!"
Suara tanah meledak dihantam Golok Raja Naga
mengguncangkan arena peperangan itu. Debu dan pasir
berhamburan hingga mengaburkan pandangan. Feng Ming
sendiri bersiaga penuh karena sadar tebasan mautnya
barusan gagal mengenai sasaran. Ia melihat dengan penuh- 421 waspada dalam kabut debu itu bersiap terhadap serangan
balasan lawan. Han Cia Sing memang berhasil menghindari
tebasan Feng Ming pada saat terakhir. Ia memutuskan untuk
mengambil sebuah tombak besi milik seorang prajurit
kerajaan yang sudah mati untuk menghadapi golok lawan.
Han Cia Sing sadar kekuatan golok Feng Ming terlalu hebat
untuk dihadapi hanya dengan tangan kosong saja.
Han Cia Sing memegang tombak besinya erat-erat
dan maju menyerang Feng Ming dengan satu tusukan ke
dada lawan. Gerakan Han Cia Sing begitu ringan dan cepat
sehingga hampir saja Feng Ming terlambat menangkis mata
tombaknya. Kabut pasir dan debu menyamarkan serangan
Han Cia Sing sehingga Feng Ming harus mati-matian
membuang tubuhnya ke samping sambil menangkis barulah
ia dapat menghindari serangan. Han Cia Sing tidak
membuang kesempatan bagus ini dan terus menekan.
Tombaknya menyerang bagaikan bermata sehingga Feng
Ming benar-benar kewalahan. Kemampuan Han Cia Sing
memang meningkat pesat sekali dalam sebulan terakhir ini
setelah berlatih Guo Yin Sen Kung (Ilmu Sakti Melintasi
Awan) sehingga tidak heran ia bisa menekan Feng Ming
yang sudah kelelahan setelah bertarung dengan Ce Ke Fu.
Feng Ming benar-benar hanya bisa bertahan saja
menghadapi serangan tombak Han Cia Sing. Jika saja
pengalamannya tidak banyak, pastilah ia sudah roboh dalam
lima puluh enam puluh jurus. Untunglah dulu Feng Ming
pernah menjajal kehebatan jurus tombak Pai Hu Jiang Fa- 422 (Ilmu Tombak Harimau Putih) dengan Han Kuo Li sehingga
ia bisa memperkirakan jurus-jurus yang dipakai. Tapi tenaga
Han Cia Sing sekarang jauh melampaui kemampuan tenaga
dalam ayahnya, sehingga setiap benturan tombaknya
menyebabkan lengan Feng Ming menjadi kaku dan kebas.
Han Cia Sing melihat kekuatan lawan semakin
menurun kini semakin mempercepat gerakannya. Berkat
ringan tubuh luar biasa Guo Yin Sen Kung, ia kini mampu
mengurung lawan dengan hujan tombak yang rapat sekali.
Feng Ming kewalahan menangkis puluhan serangan
sekaligus hingga terseret mundur beberapa langkah. Jika
saja Feng Ming tidak mengikat Golok Raja Naga ke telapak
tangannya tadi ketika bertarung dengan Ce Ke Fu, pastilah
golok sakti itu sudah terlepas dari tangannya. Golok Raja
Naga berdengung keras akibat serangan kuat barusan. Ia
seperti tidak terima dengan kekalahan yang diderita oleh
tuannya.
Feng Ming berusaha mengatur napasnya yang
terengah-engah. Ia tadi sudah kehabisan tenaga bertempur
dengan Ce Ke Fu kini harus menghadapi Han Cia Sing yang
tenaganya seakan tidak
I pernah habis itu. Feng Ming sudah hampir mencapai
batas kekuatannya. Peluh membasahi seluruh pakaiannya
dan napasnya sudah tidak teratur lagi. Hanya semangat dan
kesombongannya saja yang membuatnya dapat tetap berdiri
tegak di hadapan lawannya yang jauh lebih muda itu.- 423 "Kau?! Mengapa kau bisa ilmu Pai Hu Jiang Fa?!
Siapa kau sebenarnya?" tanya Feng Ming penasaran sekali
terhadap anak muda ini.
"Aku Han Cia Sing, putra kedua Jenderal Empat
Gerbang Han Kuo Li" jawab Han Cia Sing sambil menatap
tajam ke arah i Feng Ming.
"Han Cia Sing? Bukankah engkau dikabarkan mati
di utara?" tanya Feng Ming tidak percaya.
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Langit masih memberkatiku dengan umur panjang.
Aku datang untuk membersihkan nama keluargaku dari
pengkhianat negara seperti kalian!" bentak Han Cia Sing
dengan marah.
"Tidak tahu sopan santun! Ayahmu merencanakan
pemberontakan terhadap Yang Mulia Kaisar, dialah
pengkhianat negara!" jawab Feng Ming tidak kalah marahnya. "Ayahku setia pada dinasti Tang!" seru Han Cia Sing.
Han Cia Sing bersiap maju untuk menyerang kembali
namun tiba-tiba tanah yang dipijaknya seakan bergoyang
keras. Perasaan Han Cia Sing mengatakan akan ada
serangan dari bawah tanah sehingga ia melompat setinggitingginya. Ilmu Guo Ying Sen Kung memang luar biasa
sehingga dalam sekali lompatan saja tubuh Han Cia Sing
sudah melenting setinggi delapan tombak. Bersamaan
dengan itu keluar sebuah senjata aneh berbentuk payung
besi padat yang berputar bagai gasing meledakkan tanah- 424 yang tadi dipijak Han Cia Sing. Seorang kurus, berambut
panjang terurai dengan mata sipit sekali berkumis panjang
dan jarang muncul dari dalam tanah. Ia adalah Ti Su Cing
Ying (Tikus Tanah Bayangan Emas) yang datang tepat pada
waktunya untuk menyelamatkan Feng Ming.
Han Cia Sing merasa terkejut dengan serangan tak
terduga ini dan memutuskan untuk menahan diri terlebih
dulu. Ia bersiap dengan kuda-kudanya dan tombak teracung
pada Cing Ying. Baru kali ini ia melihat ilmu aneh seperti
yang dimiliki Ti Su Cing Ying sehingga memutuskan untuk
melihat keadaan terlebih dulu. Cing Ying sendiri terlihat
santai mengibaskan debu tanah yang menempel di badannya
dan tidak menghiraukan kehadiran Han Cia Sing sama
sekali. Tampaknya ia amat percaya diri sehingga tidak perlu
merasa khawatir akan serangan lawan.
"Pendekar Feng, apakah kau baik-baik saja?" tanya
Cing Ying kepada Feng Ming dengan tersenyum sambil
menampakkan sederetan gigi besarnya.
"Aku tidak apa-apa" jawab Feng Ming dengan kesal.
Ia merasa harga dirinya dilecehkan oleh Cing Ying yang
dianggapnya tidak sepadan dengan dirinya yang masih
berdarah bangsawan.
"Pendekar Feng, silakan mundur dulu. Biar kuhadapi
bocah ini, hitung-hitung menangkap buronan negara" kata
Ti Su Cing Ying sambil menggoyang-goyangkan kumisnya
yang panjang.- 425 "Baiklah, terserah kau" kata Feng Ming acuh tak acuh.
"Nah, bocah marga Han, lebih baik kau menyerah
saja daripada harus kubunuh tanpa kuburan atau kau
memang ingin segera berkumpul dengan ayahmu di neraka
heheheheh" ejek Cing Ying sambil memutar-mutar senjata
payung besi padatnya dengan santai dan mendekati Han Cia
Sing.
"Siapa kau? Lebih baik engkau minggir!" bentak Han
Cia Sing dengan marah sambil mengacungkan tombaknya
kepada Cing Ying.
"Aku siapa?! Heheheheh, bocah baru selesai menyusu
sudah berani menantang bertarung. Dengar baik-baik
namaku bocah busuk, namaku Ti Su Cing Ying (Tikus
Tanah Bayangan Emas) salah satu dari Wu Se (Lima Warna
Kematian). Kau pasti belum pernah dengar bukan?!" tanya
Cing Ying dengan nada merendahkan.
Han Cia Sing hanya bisa menggeleng pelan.
"Nah, sekarang setelah kau tahu siapa namaku tentu
kau bisa mati dengan tenang sekarang" kata Cing Ying
sambil kemudian menyerang Han Cia Sing dengan tiba-tiba.
Payung besi padat dipukulkan ke arah kepala Han Cia
Sing dengan tenaga penuh. Angin pukulannya begitu kuat
sehingga menyebabkan desiran angin. Untunglah Han Cia
Sing sudah bersiap siaga sehingga bisa mengelakkan
serangan mendadak ini dengan mudah. Cing Ying memutar- 426 senjatanya bagaikan baling-baling terus merangsek Han Cia
Sing. Bunga api meledak di udara tiap kali senjata keduanya
beradu. Tombak di tangan Han Cia Sing menjadi amat kuat
karena dialiri tenaga dalam Shi Sui Yi Cin Cing sehingga
mampu mengimbangi senjata sakti Cing Ying yang terbuat
dari besi baja pilihan. Tangan Cing Ying bahkan menjadi
kebas karena kuatnya benturan senjata mereka.
Ia sama sekali tidak menyangka pemuda itu bisa
mempunyai kekuatan tenaga dalam yang sedemikian hebat.
Setelah lewat sepuluh jurus, Cing Ying sadar dirinya
kalah kuat dan cepat dari Han Cia Sing. Gerakan dan
jurusnya selalu dapat dibaca oleh Han Cia Sing sementara
tombak lawan menyerang terus seperti tanpa henti. Cing
Ying benar-benar kewalahan menghadapi Han Cia Sing
hingga harus bergulingan di tanah menghindari kejaran
tombak maut Pai Hu Jiang Fa.
"Sialan!" teriak Cing Ying yang marah sekali karena
merasa dipermainkan oleh seorang pemuda yang masih
begitu hijau seperti Han Cia Sing. Ia adalah salah seorang
dari lima pembunuh gelap paling ditakuti di kotaraja,
apakah harus kalah dari seorang pemuda tanggung seperti
Han Cia Sing?
Cing Ying mundur beberapa langkah sambil berteriak
keras. Ia berputar bak baling-baling sambil melompat ke
atas dan turun menghunjam ke tanah dengan kepala terlebih
dulu. Payung besi padat mengebor tanah dengan satu- 427 ledakan kerasmenghamburkan pasir dan debu kemanamana. Ini adalah jurus ajaib Cing Su Sia Ti Yi (Tikus Emas
Turun ke Neraka) yang memungkinkan pemiliknya masuk
ke dalam tanah dan bergerak leluasa seperti seekor naga
tanah saja. Han Cia Sing yang tidak mengerti apa yang
sedang dilakukan lawannya hanya bisa bersiap dengan
tombaknya saja.
Cing Ying mengeduk tanah dengan kecepatan tinggi
mendekati tempat Han Cia Sing berdiri. Permukaan tanah
yang dilewatinya bergelombang naik turun tidak karuan
sehingga membuat Han Cia Sing kebingungan. Tiba-tiba
saja payung besi padat milik Cing Ying menembus keluar
dari dalam tanah 1 mengarah ke bagian paha Han Cia Sing.
Untunglah Han Cia Sing masih sempat menghindar dengan
melompat tinggi ke atas.
Namun ketika hendak menginjakkan kakinya kembali
ke tanah, serangan bawah tanah Cing Ying kembali
menghadang. Kulit paha Han Cia Sing teriris sedikit oleh
senjata lawan hingga berdarah.
Cing Ying terus menyerang dengan gencar, menusuk
kemanapun Han Cia Sing menjejakkan kakinya. Meskipun
serangan ini tidak terlalu membahayakan dan dapat
dihindari Han Cia Sing tapi ia sama sekali tidak dapat balas
menyerang karena tidak dapat melihat di mana musuhnya
berada. Jika keadaan ini berlangsung terus maka sama saja
dengan kekalahannya. Han Cia Sing berpikir keras- 428 bagaimana mengalahkan ilmu Cing Ying yang luar biasa
aneh ini sambil terus berlompatan menghindar.
Entah sudah berapa puluh serangan yang telah
dilancarkan Cing Ying kepada Han Cia Sing. Tanah tempat
mereka bertarung sekarang penuh dengan lubang besar dan
kecil bagaikan dibajak oleh sekawanan kerbau liar. Han Cia
Sing benar-benar kehabisan akal menghadapi Cing Ying
yang menggunakan ilmu aneh itu. Akhirnya karena tidak
ada lagi tempat berpijak yang tidak berlubang, Han Cia Sing
menancapkan tombaknya ke tanah sambil berpegangan
terbalik pada gagang tombak. Ini adalah satu-satunya cara
yang ia anggap aman untuk menghindari serangan dari
bawah tanah.
Tiba-tiba Han Cia Sing menangkap satu getaran aneh
yang ia rasakan melalui gagang tombak. Getaran itu kadang
kuat kadang lemah seperti ketukan orang yang sedang
bersembahyang di kuil. Mula-mula Han Cia Sing tidak
menyadari getaran apakah yang sedang ia rasakan melalui
gagang tombaknya itu tapi lama-lama ia menyadari getaran
apakah itu sebenarnya. Getaran itu adalah getaran tanah
yang disebabkan gerakan Cing Ying yang berada di bawah
tanah. Semakin kuat getaran berarti semakin dekat
keberadaan Cing Ying demikian pula sebaliknya. Kini Han
Cia Sing bisa "melihat" keberadaan lawannya itu!
Han Cia Sing memegang gagang tombaknya erat-erat
sambil merasakan setiap getaran yang terjadi, la juga
mempersiapkan tenaga dalamnya sampai ke puncak dengan- 429 cara memutar kekuatan tenaganya seperti tadi saat
menghadapi Fang Yung Li. Seluruh tubuhnya terasa hangat
dan bertenaga sekali, seakan-akan tenaga itu hendak meluap
keluar dari ubun-ubunnya. Dan ketika ia merasakan getaran
yang kuat sekali pada gagang tombaknya, tahulah Han Cia
Sing bahwa Cing Ying sedang berada persis di bawahnya.
Saat yang ia tunggu-tunggu dari tadi kini telah tiba.
Han Cia Sing menghembuskan napasnya dalamdalam sambil menusukkan tombaknya sekuat tenaga ke
dalam tanah. Tanah dan pasir seakan meledak ke dalam
tanah ketika ia menghentakkan seluruh tenaganya bersama
dengan tombak itu. Gagang tombaknya melesak sampai
hanya tinggal beberapa ruas jari saja yang terlihat di atas
tanah. Tampaknya Han Cia Sing benar-benar
"menembakkan" tombaknya ke dalam tanah.
Sesaat kemudian, tanah tempat tombak itu menancap
meledak dengan keras. Han Cia Sing bahkan sampai
terlempar dan terhempas beberapa langkah karena kerasnya
ledakan itu. Ia jatuh bergulingan di tanah sambil bersiap
menghadapi serangan lanjutan. Tapi apa yang dilihatnya
kemudian sungguh amat berbeda dengan apa yang
diperkirakannya sebagai serangan lanjutan. Cing Ying
tampak terbungkuk-bungkuk dengan tangan kanan
memegang senjata saktinya sementara tangan kirinya
memegangi gagang tombak milik Han Cia Sing yang kini
menancap hingga tembus di perut Cing Ying!- 430 "Kau... kau bocah busuk! Aku tidak percaya aku
Tikus Tanah Bayangan Emas akan takluk di tangan seorang
pemuda tanggung seperti dirimu" kata Cing Ying terbatabata berusaha mengatur napasnya yang terputus-putus.
"Maafkan tapi aku terpaksa" kata Han Cia Sing
dengan pelan. Baru kali ini ia membunuh lawan dalam
sebuah pertarungan satu lawan satu sehingga dalam hatinya
ia merasakan gemetar juga.
"Kau... hueekkk" kata-kata Cing Ying belum selesai
ketika ia memuntahkan darah segar dan jatuh ke tanah.
Senjata payung besi padatnya terlepas dari genggaman
tangannya. Tampaknya Cing Ying tengah sekarat
menjemput ajalnya. Tubuhnya berkelejotan sambil
memuntahkan darah segar dari mulut dan hidungnya. Han
Cia Sing menutup mata tidak tega melihat kematian
lawannya itu. la kini jadi teringat ajaran Lu Xun Yi bahwa
mengampuni lawan jauh lebih baik daripada membunuh.
"Maafkan aku, Budha memberkati" kata Han Cia
Sing sambil merangkapkan kedua telapak tangannya di
depan dada.
Ketika Han Cia Sing membuka matanya kembali,
Cing Ying sudah tidak bernyawa lagi. Ia mati sambil
melotot, mungkin karena tidak puas kalah di tangan seorang
pemuda tidak ternama. Han Cia Sing kembali
merangkapkan tangan dan membungkuk memberi hormat
kepada jenasah Cing Ying sebelum pergi kembali ke medan- 431 pertempuran mencari kedua sahabatnya Yung Lang dan Lin
Tung. Ia amat khawatir dengan keadaan mereka berdua
karena kini pasukan kerajaan sudah benar-benar membanjir
masuk ke dalam markas Tien Lung Men. Gedung-gedung di
dalam markas sudah banyak yang terbakar dan
mengepulkan asap hitam pekat ke langit senja yang merah
membara.
*** Ma Han Jiang berkelit menghindari senjata rahasia
milik Pu Tu (Tidak Berjudi) berupa dadu-dadu besi yang
dilemparkan dengan tenaga dalam. Dadu-dadu besi itu
melesat dengan kecepatan tinggi melewati Ma Han Jiang
dan menancap dan meledakkan tembok serta tiang batu.
Beruntung sekali Ma Han Jiang sanggup menghindarinya
karena jika terkena tubuh pastilah ledakan dadu besi itu akan
mengoyakkan daging dan tulang!
"Pengecut! Beraninya hanya membokong!" bentak
Ma Han Jiang sambil melompat mengejar ke arah Pu Tu
yang hendak melarikan diri.
"Akulah lawanmu!" teriak Ma Pei sambil memotong
jalur pengejaran Ma Han Jiang.
Tusukan jari Ma Pei menebarkan hawa panas
mengarah ke pelipis Ma Han Jiang. Kaki kanan Ma Han- 432 Jiang segera menendang lengan Ma Pei sehingga tusukan
jari Api Langitnya itu tidak sampai ke sasarannya. Jarijemari Ma Pei segera mengubah sasarannya, menotok
pangkal lutut Ma Han Jiang dengan telak. Man Han Jiang
mundur sambil mengeluh karena urat lututnya terasa panas
terbakar. Ma Pei segera memburu hendak memberikan
serangan lanjutan totokan jari Api Langit ke dada lawan.
Sementara itu Pu Tu yang melihat Ma Han Jiang tengah
dalam kesulitan, kini berbalik ikut mengeroyok.
Ma Han Jiang yang dikeroyok dua lawan tangguh,
harus segera mengambil tindakan cepat. Jari Api Langit Ma
Pei tampaknya sudah tidak dapat dihindari lagi sehingga Ma
Han Jiang hanya bisa menahannya dengan menyilangkan
kedua tangan di depan dada. Tenaga Api Langit yang panas
terasa membakar ketika mengenai tangan Ma Han Jiang,
tapi segera saja dibalas dengan dua tendangan telak ke dada
Ma Pei. Baik Ma Pei maupun Ma Han Jiang sama-sama
terdorong mundur beberapa langkah ke belakang akibat
bentrokan barusan. Pu Tu langsung maju mengincar
punggung terbuka Ma Han Jiang dengan kedua tinjunya
yang sudah mengepal dadu-dadu besi sehingga menjadikan
kekuatan tinjunya lebih keras lagi.
"Bukk!"
Yao Chuen berseru ngeri ketika mengira serangan
tinju Pu Tu menghajar telak punggung Ma Han Jiang tapi
ternyata Pu Tu yang terhajar telak di dadanya oleh
tendangan Ma Han Jiang. Pada saat Ma Han Jiang terdorong- 433
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke belakang akibat bertukar jurus dengan Ma Pei, ia
langsung bersalto setengah lingkaran di udara dan
melayangkan satu tendangan ke dada Pu Tu yang kedua
tinjunya hanya menghajar angin. Pu Tu terlempar beberapa
langkah ke belakang sambil memuntahkan darah segar.
Untunglah Pu Cui (Tidak Mabuk) segera menyambut tubuh
kawannya itu sehingga tidak jatuh berdebam menghantam
tanah.
"Sialan!" desis Ma Pei sambil meludah ke tanah.
Dadanya yang terkena tendangan Ma Han Jiang memang
terasa ngilu sekali, tapi ia marah karena merasa terhina kalah
jurus dengan lawan.
Ma Pei mempersiapkan jurus simpanannya untuk
menyerang Ma Han Jiang kembali. Kedua tangannya
menyerang bergantian dengan cepat sekali dan
menyebarkan hawa panas yang menyesakkan. Totokan maut
Ma Pei menyerang ke semua titik penting di tubuh Ma Han
Jiang tanpa henti sehingga membuat Ma Han Jiang sulit
mengembangkan jurusnya sendiri, la hanya bisa mengelak
dan menangkis serangan lawan dengan kedua kakinya.
Ma Han Jiang sadar akan kehebatan lawan sehingga
tidak berani bertindak gegabah. Ia terus menghindar sambil
memperkirakan kekuatan lawan dan mencoba mencari titik
lemahnya. Ma Pei terkenal dengan kekuatan Tien Huo Ce
(Jari Api Langit) yang kekuatannya sanggup melubangi batu
karang. Ia juga seorang ahli tien sie (totok darah) sehingga
setiap serangannya harus diwaspadai karena selalu- 434 menyerang titik penting nadi tubuh. Bahkan Ma Han Jiang
dapat merasakan kakinya kesemutan setiap kali menangkis
totokan Jari Api Langit milik Ma Pei meskipun tidak terkena
dengan telak.
Setelah menyerang tanpa hasil sekitar tiga puluh
jurus, Ma Pei makin penasaran dan mempercepat
serangannya. Sekarang ia menggunakan jurus maut Tien
Huo Fen San (Api Langit Membelah Gunung) yang
mengarah ke tenggorokan lawan. Ma Han Jiang sampai
harus mati-matian melindungi bagian lemah di
tenggorokannya. Tangannya berulang kali harus
dikorbankan untuk menghadang serangan jari maut Ma Pei.
Kulit tangan dan lengan Ma Han Jiang sampai gosong
terbakar karena menahan serangan maut Ma Pei. Keadaan
ini amat tidak menguntungkan Ma Han Jiang yang terusmenerus terdesak lawan.
Keempat nona Yao ingin membantu Ma Han Jiang
tapi segera dihadang oleh Si Ta Hao Ren (Empat Orang
Baik). He Ta Fu dan He Siao Fu serta Gao Guen masih
belum dapat mengalahkan
Chang Bai yang bertarung dengan baik sekali hari itu.
Sedangkan Wen Yang yang terluka dan Shi Chang Sin
hanya menonton saja semua pertarungan termasuk anak
buah mereka melawan anak buah Tien Lung Men tanpa
bergeming sama sekali. Kini tampaknya Ma Han Jiang harus
berjuang mengalahkan Ma Pei dengan kekuatannya sendiri.- 435 Serangan Tien Huo Fen San makin ganas menyerbu
leher dan kerongkongan Ma Han Jiang bagaikan titik hujan
yang turun dengan lebat. Ma Pei tampaknya benar-benar
menyerang habis-habisan dan bermaksud mengakhiri
pertarungan dengan Ma Han Jiang secepat mungkin.
Totokannya benar-benar kuat dan berbahaya bagi lawan. Ma
Han Jiang nyaris tidak kuat lagi mengimbangi serangan Jari
Api Langit karena beberapa totokan Ma Pei berhasil
mengenai titik di perutnya. Napasnya mulai tidak teratur dan
ia berkeringat banyak.
Tepat di saat genting itu, sebuah roda emas berdesing
kencang ke arah Ma Pei dan mengincar dadanya. Serangan
itu begitu tiba-tiba dan telak sehingga mau tak mau Ma Pei
harus mengelak jika tidak ingin terluka parah. Roda emas
dengan garis tengah selebar lengan orang dewasa itu
berputar kencang, melayang di udara dan kembali ke arah
asalnya setelah tidak mengenai sasaran. Ma Pei, Shi Chang
Sin dan Wen Yang melihat ke arah roda emas itu berasal.
Seorang setengah baya berpakaian hijau sederhana
melompat bersalto dengan sigap sekali menyambut
kembalinya roda emas itu. Ia menangkap roda emas yang
berdesing itu dengan mudah sekali dan mengalungkannya di
dadanya. Wajahnya merah penuh wibawa meskipun janggut
dan rambutnya yang panjang sudah memutih di beberapa
tempat. Badannya masih tegap dan kuat meskipun usianya
kelihatan sudah cukup berumur. Ia menatap Wen Yang, Shi
Chang Sin dan Ma Pei tanpa perasaan gentar sedikitpun. Ia
tidak lain adalah Cing Lun Xiahou Yuan (Xiahou Yuan si- 436 Roda Emas) yang merupakan pendekar pertama dari San Ta
Wang Pao (Tiga Besar Pengawal Kerajaan).
"Saudara Ma, mohon minggir sebentar. Aku akan
menggantikanmu meladeni para pengacau dari utara ini"
kata Xiahou Yuan dengan tenang sambil menatap tajam ke
arah Ma Pei.
"Huh! Melihat senjatamu, engkau tentu adalah Cing
Lun Xiahou Yuan. Ada urusan apa engkau kemari? Apakah
hendak membantu para pemberontak Tien Lung Men
melawan kerajaan?!" bentak Wen Yang dengan marah
padahal dalam hati sebenarnya ia gentar juga mengingat
reputasi Xiahou Yuan yang luar biasa di dunia persilatan.
"Diam kau anjing pengkhianat! Sejak kapan kau ada
hak berbicara atas nama kerajaan?! Engkau hanyalah kepala
pencuri dan pengacau kotaraja serta antek dari kasim keji
itu. Sekarang makanlah tulang di pinggir dan diamlah!"
hardik Xiahou Yuan dengan berwibawa sekali hingga tanpa
terasa Wen Yang menundukkan kepala tanda malu.
"Hmmm, seorang pendekar ternama rupanya. Aku
Pei Lei Shi Chang Sin (Shi Chang Sin si Guntur Utara)
merasa terhormat bisa bertarung dengan anda" kata Shi
Chang Sin dengan suara menggelegar meskipun mulutnya
tertutup rapat menandakan tenaga dalamnya yang luar biasa.
"Saudara Ma, apakah engkau baik-baik saja?" tanya
Xiahou Yuan kepada Ma Han Jiang yang tengah mengatur
kembali napas dan tenaganya.- 437 "Aku baik-baik saja. Pendekar Xiahou, berhatihatilah terhadap kedua pendekar utara itu. Ilmu mereka
sangat hebat" kata Ma Han Jiang memperingatkan Xiahou
Yuan yang dijawab dengan satu anggukan.
Kini Shi Chang Sin dan Xiahou Yuan mengambil
posisi berhadapan siap bertempur. Keduanya mencoba
saling mengukur kekuatan lawan karena sama-sama belum
pernah bertemu selama ini. Xiahou Yuan memang lebih
terkenal karena selama puluhan tahun tinggal di daerah
kotaraja dan menjadi andalan mendiang kaisar sebelumnya
untuk menjaga keamanan istana. Tapi itu bukan berarti
kemampuan Shi Chang Sin berada di bawah Xiahou Yuan
karena selama ini Shi Chang Sin selalu berlatih ilmu dengan
tekun. Duel antara kedua jagoan kelas atas ini sungguh
benar-benar pantas untuk disaksikan, bahkan Wen Yang
diam-diam juga sangat ingin melihat kehebatan Xiahou
Yuan yang selama ini hanya pernah didengarnya saja.
"Pendekar Shi, apakah engkau sudah siap?" tanya
Xiahou Yuan sambil memegang senjata roda emasnya di
depan dada.
"Aku siap" jawab Shi Chang Sin sambil
memmpersiapkan kuda-kuda.
"Bagus, lihat roda!" seru Xiahou Yuan sambil
melemparkan roda emasnya.
Roda emas berdesing, menimbulkan alur pada tanah
yang dilewatinya dan mengarah ke bagian bawah tubuh Shi- 438 Chang Sin. Sang Guntur Utara bersiap siaga menghadapi
senjata sakti yang aneh itu dengan satu pukulan telapak
tangan bertenaga penuh. Roda emas itu seperti bermata saja,
sanggup menghindari serangan Shi Chang Sin dan berdesing
melenting ke atas. Shi Chang Sin sampai harus membuang
tubuh ke samping untuk menghindari serangan tak terduga
dari roda emas itu. Saat itu juga Xiahou Yuan maju
menyerbu sambil melayangkan tendangan beruntun ke arah
kepala lawan.
Serangan berantai ini membuat Shi Chang Sin
kerepotan, tapi untunglah ilmu ringan tubuhnya amat lihai
sehingga bisa menghindar. Xiahou Yuan menyambut roda
emasnya kembali sambil bersalto di udara dan melayangkan
serangan ke arah kepala Shi Chang Sin yang kedua kalinya.
Roda emas diputar mengelilingi tubuh sambil bersalto
menghajar kepala lawan. Inilah jurus Tien Ti Cing Lun
(Roda Emas Langit Bumi) yang dapat meremukkan kepala
siapapun yang terkena jurus maut ini. Shi Chang Sin sampai
harus bergulingan di tanah untuk menghindari serangan
maut ini. Ia menjadi amat marah karena merasa
dipermainkan oleh Xiahou Yuan.
Shi Chang Sin mengumpulkan seluruh tenaga
dalamnya di ulu hati dan mengambil napas dalam-dalam.
Ketika Xiahou Yuan maju hendak melanjutkan serangannya
kembali, Shi Chang Sin langsung membentak keras sekali
bagaikan suara guntur. Inilah jurus simpanan Shi Chang Sin
yang membuatnya mendapatkan gelar Guntur Utara yaitu- 439 Lei Ciao Sen Kung (Ilmu Sakti Bentakan Guntur). Bentakan
ini begitu keras sehingga terasa mengguncangkan langit dan
bumi. Xiahou Yuan yang menjadi sasaran serangan
bentakan ini sampai merasakan telinganya berdenging keras
sekali dan kepalanya seperti berputar. Jika saja tenaga dalam
Xiahou Yuan tidak tinggi, pastilah ia sudah mati dengan
bagian dalam tubuh hancur karena kuatnya serangan
bentakan lawan.
Ma Han Jiang dan para pendekar lainnya yang sedang
bertarung segera menghentikan pertarungannya karena tidak
kuat merasakan getaran Lei Ciao Sen Kung. Kekuatan
bentakan Shi Chang Sin ini mungkin bisa disetarakan
dengan ilmu Min Huen Sen Ke (Lagu Dewa Perusak Jiwa)
milik keluarga Yao, bahkan dengan kemampuan merusak
yang mungkin lebih hebat lagi. Xiahou Yuan menyadari
tenaga dalam lawan amat hebat, segera memutar roda
emasnya melindungi tubuhnya karena takut serangan
susulan lawan. Shi Chang Sin sendiri masih terus
membentak dengan kekuatan penuh seakan tenaga
dalamnya tidak habis-habisnya hingga benar-benar
menyiksa semua yang hadir di sana.
Xiahou Yuan mundur sambil memutar roda emasnya
dengan kencang sekali. Putaran angin roda emasnya begitu
kuat sehingga mampu mengurangi kekuatan suara bentakan
Shi Chang Sin. Setelah ia berada agak jauh dari Shi Chang
Sin, ia segera mengumpulkan seluruh tenaga dan
menyalurkan ke dalam roda emasnya. Xiahou Yuan- 440 kemudian melemparkan roda emasnya sekuat tenaga ke arah
Shi Chang Sin. Sekarang mau tak mau Shi Chang Sin harus
menghentikan jurus Lei Ciao Sen Kung guna menghadapi
serangan roda emas itu.
Shi Chang Sin kali ini tidak mau menghindar lagi
karena merasa ia tidak kalah dalam hal tenaga dan jurus
dengan Xiahou Yuan. Ia menghadang roda emas yang
berdesing kencang dengan kedua telapak tangannya.
Telapak tangan Shi Chang Sin sekarang tidak kalah kuatnya
dengan besi karena sudah diisi dengan tenaga dalam
kekuatan penuh. Benturan telapak tangan dengan roda emas
menimbulkan ledakan kuat yang membuat para prajurit
kerajaan dan anak buah Tien Lung Men yang berilmu
rendah langsung terjengkang karena kuatnya angin ledakan.
Para pendekar lain yang berilmu tinggi harus memperkuat
kuda-kuda mereka jika tidak ingin bernasib sama.
Roda emas berputar kembali ke pemiliknya,
sementara Shi Chang Sin masih berdiri tegak dengan kedua
telapak tangan berasap. Terbukti sekarang bahwa tenaga
dalam Shi Chang Sin sanggup mengimbangi kehebatan
Xiahou Yuan. Shi Chang Sin semakin yakin bahwa dirinya
mampu menghadapi pendekar dataran tengah manapun
setelah berhasil mengembalikan serangan roda emas Xiahou
Yuan. Bukankah Xiahou Yuan yang merupakan salah satu
pendekar ternama di dataran tengah juga berhasil ia
patahkan jurusnya?- 441 Shi Chang Sin menarik napas dalam-dalam. Ia
menyalurkan tenaga dalam ke perut dan kakinya kemudian
menggenjot tubuhnya melayang ringan ke arah lawan.
Tubuhnya bagaikan terbang melesat ke arah Xiahou Yuan.
Inilah ilmu Guo Yin Sen Kung (Tenaga Sakti Melintasi
Awan) yang sanggup membuat pemiliknya menjadi
seringan bulu. Segera saja tubuh Shi Chang Sin lenyap
menjadi bayangan mengepung Xiahou Yuan dengan rapat
sekali. Ratusan telapak menyerang dengan begitu rapat
sehingga memotong semua jalan mundur Xiahou Yuan.
Serangan seperti ini mau tak mau memaksa Xiahou Yuan
bertahan total.
Roda emas diputar mengelilingi seluruh tubuh
menahan serangan telapak Shi Chang Sin. Tangan Xiahou
Yuan sampai bergetar keras dan linu karena harus menahan
serangan berantai penuh tenaga dalam ini. Untunglah ketika
ia sudah hampir tidak tahan lagi, serangan Shi Chang Sin
akhirnya melemah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh
Xiahou Yuan untuk balik menekan. Roda emasnya dipegang
dengan kedua tangan dan diputarbalikkan mengejar kepala
lawan. Shi Chang Sin yang tidak siap dengan serangan ini
tidak dapat menghindari lagi. Roda emas berhasil menjerat
leher Shi Chang Sin dan menariknya mendekat dalam jarak
pukul dan tendangan Xiahou Yuan. Dalam keadaan seperti
ini, ringan tubuh yang hebat sekalipun tidak akan berguna
karena leher sudah terjerat senjata lawan. Satu-satunya cara
adalah bertahan dan menyerang dalam jarak dekat.- 442 Kekuatan jurus akan amat menentukan dalam duel seperti
ini. Xiahou Yuan dan Shi Chang Sin saling bertukar
puluhan jurus dalam jarak hanya beberapa langkah itu.
Dalam hati mereka saling memuji kekuatan tenaga lawan
masing-masing karena setiap kali benturan tangan dan kaki
membuat mereka seperti tersengat ratusan lebah. Kekuatan
tenaga dalam mereka berdua hampir berimbang dan mereka
menyadari hal itu. Sekarang tergantung jurus dan
keberuntungan berpihak kepada siapa untuk dapat
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memenangkan duel maut ini. Keduanya mencari celah
lawan untuk melancarkan serangan telak.
Wen Yang seperti biasa melihat melihat kesempatan
dalam kesempitan langsung bersiap membokong Xiahou
Yuan. Ia mengerahkan tenaga cakar naga di kedua
pergelangan tangannya sambil menunggu saat yang tepat
ketika perhatian Xiahou Yuan benar-benar tercurah
menghadapi Shi Chang Sin. Ketika akhirnya saat itu tiba,
Wen Yang segera bergerak cepat ke arah belakang
punggung Xiahou Yuan. Ia mengirimkan pukulan Tie Cang
Lung Jiao (Cakar Naga Telapak Besi) yang sanggup
meremukkan tulang punggung. Xiahou Yuan tampaknya
tidak mungkin lagi mengelakkan serangan licik ini karena
sedang bertarung seru dengan Shi Chang Sin.
Wen Yang sudah merasa menang ketika pukulan Tie
Cang Lung Jiao miliknya hampir bersarang di punggung
Xiahou Yuan ketika ia merasakan desiran angin di atas- 443 kepalanya. Wen Yang segera sadar bahaya maut
mengancam dirinya sehingga terpaksa menarik kembali
serangannya tepat di saat terakhir. Sepasang kaki besi turun
dari atas kepalanya dengan posisi bersilangan hendak
menjepit lehernya. Wen Yang masih sempat menahan kedua
kaki besi itu dengan kedua cakar naganya sehingga
posisinya masih aman dari serangan lawan. Rupanya Ma
Han Jiang melihat Wen Yang hendak membokong langsung
turun tangan membantu. Lengah sedikit saja maka batang
leher Wen Yang bakal patah terkena jurus Tuo Ming Cien
Tao Ciao (Tendangan Kaki Menggunting Pengejar Nyawa)
yang melegenda itu!
"Dasar pembokong licik!" bentak Ma Han Jiang
dengan gemas sekali.
"Bukan urusanmu!" hardik Wen Yang tak kalah
garang.
Ma Han Jiang terus mengencangkan jepitan kakinya
pada leher Wen Yang. Mereka berdua saling mengerahkan
tenaga dalam masing-masing berusaha mementalkan
serangan lawan. Sebenarnya mungkin dalam keadaan sehat
Wen Yang bisa memenangkan adu tenaga dalam ini, tapi
luka dalam akibat pertarungan dengan Lu Xun Yi belum
sembuh benar ditambah tendangan maut Jien Ming Ti
barusan membuat ia tidak bisa mengeluarkan tenaga dalam
sepenuh tenaga. Kini adu tenaga mati-matian dengan Ma
Han Jiang semakin membuat luka dalamnya bertambah- 444 parah. Darah mulai menetes dari hidung Wen Yang akibat
luka dalamnya.
Untunglah di saat itu Ma Pei turun tangan membantu
Wen Yang. Ia melayang tinggi ke atas kepala Ma Han Jiang
dan bersiap menotok titik seribu urat yang letaknya di pusar
kepala. Titik ini amat mematikan jika terkena pukulan telak,
apalagi totokan Tien Huo Ce (Jari Api Langit) terkenal tidak
pernah meleset. Ma Han Jiang terpaksa melepaskan jepitan
pada leher Wen Yang untuk menghadapi serangan maut Ma
Pei. Ia menggunakan bahu Wen Yang sebagai pijakan untuk
satu kakinya sementara kaki lainnya melayangkan dua belas
tendangan berantai ke arah Ma Pei. Inilah jurus Shi Tien
Feng Wu (Tarian Bangau Surga Barat) yang merupakan
jurus ampuh untuk memecah serangan lawan. Ma Pei yang
tidak menyangka bakal dihajar dua belas tendangan
sekaligus hanya bisa menotok pangkal lutut Ma Han Jiang.
Tapi itupun tetap terlambat karena dua belas tendangan
sudah menghajar telak dadanya!
Tubuh Ma Pei terbang beberapa tombak ke belakang
sebelum jatuh ke tanah. Beruntung Ma Pei masih sempat
bersalto sebelum jatuh sehingga ia tiba di tanah dengan kaki
terlebih dahulu. Dadanya terasa panas dan sesak sekali
terkena tendangan lawan, la harus mengatur tenaga dan
napasnya sebelum bertarung kembali. Ma Han Jiang sendiri
bukannya tidak terluka. Pangkal lututnya sempat tertotok
Ma Pei hingga terasa kejang dan mati rasa. Kesempatan ini
dimanfaatkan Wen Yang untuk menyerang Ma Han Jiang- 445 yang masih berada di atas bahunya. Ia mengeluarkan jurus
Hei Pao Sia San (Harimau Hitam Turun Gunung) yang
merupakan jurus cengkeraman sekaligus membanting
Be My Sweet Darling Karya Queen Soraya Medal Of Love Karya Thelapislazuli Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama