Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 19
kepada Wen Yang dan Huo Cin.
"Ketua Chang Bai, engkau tidak perlu khawatir.
Kakakku sudah menyuruh pasukan sembunyi untuk berjagajaga di perbatasan Yi Chang ini. Mereka segera akan
memberitahu kita bila melihat gelagat para pelarian itu.
Lagipula Jien Wei Cen sekarang sudah terluka parah seperti
harimau tanpa taring, bahkan mungkin sudah mati sekarang.
Mengapa kita harus takut kepadanya?! Hahahaha" kata Wen
Yang dengan sombong sekali karena sedang mabuk
kemenangan.
"Adik, engkau jangan gegabah. Sebelum kita melihat
sendiri mayat Jien Wei Cen dengan mata kepala kita sendiri,
maka kita harus selalu berhati-hati terhadapnya. Pengikut- 528 Tien Lung Men masih cukup banyak tersebar di beberapa
daerah, adalah tugasmu untuk memastikan mereka
bergabung dengan Ceng Lu Hui atau hancur" kata Huo Cin
mengingatkan.
"Baik, akan kuingat selalu perintah kakak" kata Wen
Yang berterimakasih.
Saat itu para prajurit sudah selesai menumpuk semua
mayat di dalam gedung markas Tien Lung Men. Bau amis
darah menusuk hidung membuat perut mual karena begitu
tingginya tumpukan mayat itu hingga memenuhi seluruh
bagian gedung. Kemudian puluhan obor disulut dan
dilemparkan ke dalam gedung utama oleh para prajurit.
Seketika itu juga gedung terbakar bersama dengan semua
mayat yang ada di dalamnya. Bau amis darah berganti
dengan bau hangus daging terbakar yang sama-sama
memualkan dan membuat aroma udara begitu mengerikan
penuh oleh hawa kematian.
Huo Cin dan para pengikutnya memandang
kebakaran besar itu dengan perasaan puas. Sama sekali tidak
ada raut kesedihan di wajah-wajah mereka melihat
pemandangan yang menggiriskan, hati itu. Huo Cin, Wen
Yang, Chang Bai serta Wu Se dan para pendekar utara
lainnya memang memetik keuntungan besar dan
kemenangan ini. Mereka semua pasti akan mendapatkan
banyak penghargaan dari permaisuri Wu atas keberhasilan
ini. Belum lagi tercapainya ambisi pribadi mereka masing-- 529 masing dengan ambruknya partai pemimpin dunia persilatan
Tien Lung Men.
"Apakah sudah ada kabar dari Guo Cing Cen dan Fan
Zheng?"? tanya Huo Cin setelah beberapa lama mereka
semua hanya berpuas diri memandang api menghanguskan
markas Tien Lung Men.
"Belum, mereka belum memberikan tanda apapun.
Anak buah kita sudah kuperintahkan untuk senantiasa
menantikan tanda dari mereka" jawab Wen Yang.
"Mengapa begitu lama mereka masih juga belum
muncul? Apakah mereka melalui jalan lain yang tidak kita
ketahui?" kata Huo Cin dengan perasaan tidak senang
karena takut perhitungannya meleset.
"Tidak mungkin kasim Huo. Jalan pelarian keluar
dari Yi Chang ini yang memungkinkan hanya ada dua. Satu
ke barat melalui perbukitan sedangkan yang lain ke timur
melalui sungai. Keduanya sudah dijaga oleh Fan Zheng dan
Guo Cing Cen. Aku yakin mereka tidak akan lolos begitu
saja dari tangan kita" kata Chang Bai memberikan
penilaiannya.
"Benar, kakak. Rencanamu begitu rapi, bahkan R
Tien Lung Men pun berhasil kita hancurkan, jadi mana
mungkin jj mereka dapat lolos begitu saja" kata Wen Yang
memuji kakaknya itu.- 530 "Heheheh, benar, engkau benar sekali. Jien Wei Cen
pun tandinganku, mana mungkin ia bisa lolos dari
cengkeramanku?! Heheheheh" tawa Huo Cin yang aneh
seperti perempuan itu kembali berkumandang menegakkan
bulu roma mereka yang mendengarnya.
"Aku hanya mengkhawatirkan Fang-er. Sedari tadi
pagi sejak menyusup ke dalam markas, ia sama sekali tidak
terlihat. Aku sudah meminta anak buahku untuk mencarinya
namun tetap tidak ada kabar beritanya" kata Wen Yang
mengutarakan kecemasannya.
"Ah, anak bodoh itu selalu saja membuat masalah.
Jangan-jangan ia kembali mencari istrinya. Aku sudah
berulangkah mengatakan kepadanya agar tidak menjadi
cengeng. Seorang laki-laki dapat mencari seratus istri baru,
mengapa ia harus selalu terikat kepada anak Jien Wei Cen
itu? Anak muda memang selalu terbawa perasaan dan
melupakan tugas yang lebih besar" kata Huo Cin sambil
menghela napas panjang.
"Benar kakak, aku juga sudah berulangkah
mengatakan demikian kepadanya, tapi tampaknya ia tidak
mendengarkan nasihatku itu" kata Wen Yang dengan kesal.
"Kasim Huo, satu lagi yang tidak ada kabar beritanya
adalah Fang Yung Li. Kami tidak menemukannya di manamana meskipun sudah dicari. Setan Darah itu seperti hilang
ditelan bumi saja" kata Chang Bai mengabarkan nasib Fang
Yung Li yang tak jelas rimbanya itu.- 531 "Fang Yung Li adalah seorang pendekar luar biasa.
Tak mungkin ia terbunuh begitu saja dalam pertempuran"
kata Wen Yang heran.
"Apakah ia melarikan diri?" tanya Chang Bai.
"Tidak mungkin, sebab meskipun ia amat lihai namun
ia tidak waras. Sudahlah kita tidak perlu memusingkan
dirinya. Jika ia masih hidup tentu ia akan muncul dan
membuat kekacauan sehingga mudah ketahuan. Sekarang
lebih baik kita kembali ke perkemahan dan bersiap kembali
ke kotaraja bersama Jenderal Chu Song. Permaisuri Wu
pasti sangat senang mendengar kabar berita kemenangan
kita ini" kata Huo Cin sambil menaiki kudanya dengan hatihati. Luka bakar di tangan dan sebagian pinggangnya cukup
parah sehingga ia tidak bisa bergerak selincah biasanya.
"Pasukan! Kembali ke perkemahan!" teriak Huo Cin
sambil mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi yang
disambut sorak-sorai gemuruh para prajurit.
Mereka semua sudah bersiap meninggalkan markas
yang terbakar itu ketika tiba-tiba terdengar seruan-seruan
sambil menunjuk ke langit timur. Tampaknya kehebohan
pasukan itu dipicu oleh munculnya puluhan sinar panah
yang menghiasi langit timur yang mulai memerah. Itulah
tanda dari pasukan sembunyi yang dipimpin oleh Guo Cing
Cen bahwa mereka berhasil mencegat musuh.
"Kakak, tanda dari Guo Cing Cen!" seru Wen Yang
dengan bersemangat.- 532 "Hehehe, sudah kukatakan mereka tidak akan bisa lari
dari cengkeramanku" kata Huo Cin dengan gembira sekali.
"Pasukan! Segera ikuti aku ke timur!" teriak Huo Cin
memberikan perintah sambil memacu kudanya.
Pasukan yang tadinya sudah hendak pulang ke
perkemahan itu, kini segera berbalik mengikuti Huo Cin.
Pasukan berkuda menyusul lebih dulu, kemudian pasukan
panah dan tombak, terakhir adalah pasukan golok. Debu
membubung tinggi ketika mereka semua berpacu menuju
timur, di mana langit mulai merekah merah. Akankah terjadi
kembali pertumpahan darah?
*** "Kakek! Kakek bangun!" seru Feng-Feng sambil
menampari wajah Fang Yung Li yang tengah tergolek lemah
di tengah rerumputan.
Setelah berjuang cukup lama berusaha membangun
kan Fang Yung Li, akhirnya kakek kurus kering itu mulai
sadar kembali. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan kemudian
memandang wajah Feng-Feng dengan heran. Fang Yung Li
kemudian duduk dan memandangi langit malam yang penuh
bintang itu sambil terheran-heran.
"Siapakah kau?" tanya Fang Yung Li seperti orang
linglung.- 533 "Lho? Apakah kakek tidak mengenaliku? Aku FengFeng" jawab Feng-Feng dengan polos sambil memutarmutar matanya.
"Kau Feng-Feng? Lalu aku siapa?" tanya Fang Yung
Li lagi seperti orang yang tidak sadar.
"Kakek ini bagaimana? Kakek adalah kakek FengFeng mengapa masih bertanya lagi siapa kakek?" FengFeng balik bertanya.
"Jadi aku kakek Feng-Feng?" tanya Fang Yung Li
masih keheranan.
"Iya kakek" jawab Feng-Feng sambil memandang
heran.
"Lalu kita sekarang ada di mana?" tanya Fang Yung
Li masih setengah sadar dan tidak percaya.
"Ada di sini" jawab Feng-Feng dengan yakin.
Kedua orang berbeda generasi yang sama-sama
kurang waras itu akhirnya terlibat pembicaraan seru yang
tidak jelas ujung pangkalnya. Tampaknya Fang Yung Li
ketika bertarung dengan Han Cia Sing tadi sore telah
terlempar cukup jauh keluar dari markas Tien Lung Men.
Kepalanya terbentur keras ketika jatuh sehingga mengalami
guncangan yang hebat. Kasihan Fang Yung Li yang
memang sudah kurang waras, kini semakin kehilangan
ingatannya.- 534 Feng-Feng dan Fang Yung Li berbicara demikian
serunya sehingga tidak menyadari kehadiran beberapa orang
bertampang kejam tengah mengamati mereka dari jarak
yang tidak begitu jauh. Mereka semua ada tiga belas orang
laki-laki yang semuanya tinggi besar dan menyandang golok
melengkung. Kini mereka berjalan mendekati tempat FengFeng dan Fang Yung Li sedang duduk bercakap-cakap yang
tanpa ujung pangkal itu.
"Eh, Ma Wen bukankah engkau sudah bosan
menunggu ayahmu sejak beberapa hari yang lalu?
Kebetulan ada dua kakek cucu bodoh ada di sini, mungkin
bisa mengobati sedikit kebosananmu heheheheh" kata
seorang pemuda yang memakai rompi bulu beruang sambil
tertawa mengejek kepada pemuda bernama Ma Wen itu.
"Benar, Ma Wen mungkin kita bisa menghajarnya
untuk menghilangkan kebosanan kita" kata seorang pemuda
lain yang memakai ikat kepala berhiaskan permata merah.
"Ejinjin, Balsan kalian benar. Aku sudah bosan sekali
menunggu di sini. Kita dilarang melakukan apapun selama
ayah dan paman Shi Chang Sin pergi dan hanya duduk
menunggu di sini. Lebih baik melemaskan otot-otot kita
sekarang" kata pemuda bernama Ma Wen itu sambil
melemaskan tulang-tulang telapak tangannya hingga
berbunyi gemeratakan.
Ketiga pemuda itu memang adalah Ejinjin, Balsan
dan Ma Wen yang merupakan anggota suku Tonghu.- 535 Mereka datang bersama sepuluh anggota suku Tonghu yang
paling hebat ke dataran tengah untuk mengantarkan Ma Pei,
Shi Chang Sin dan Si Ta Hao Ren sekaligus mencari Ma Xia
yang melarikan diri. Bukankah Ma Xia masih merupakan
tunangan resmi Ejinjin?
Pelarian Ma Xia ke dataran tengah beberapa bulan
lalu sungguh amat memalukan bagi Ejinjin. Tidak pemah
ada satupun pria suku Tonghu yang pernah ditolak mentahmentah oleh seorang wanita, bagaimana mungkin ia sebagai
seorang anak kepala suku ditinggalkan begitu saja oleh
tunangannya sendiri? Ejinjin begitu marah dan malu
sehingga langsung memutuskan untuk ikut mengejar ke
selatan dan ikut rombongan Ma Pei yang memang hendak
menuju Tien Lung Men. Kebetulan arah yang dituju Ma Xia
dan Han Cia Sing juga sama sehingga pengejaran Ejinjin
mempunyai tujuan yang jelas.
Ketika Ma Pei, Shi Chang Sin dan Si Ta Hao Ren
berangkat ke perkemahan pasukan kerajaan, rombongan
Ejinjin diminta menunggu di perbukitan sekitar markas Tien
Lung Men untuk berjaga-jaga. Ma Pei tidak ingin terjadi
apa-apa pada putranya dan juga Ejinjin serta Balsan yang
merupakan putra sekutunya Sinlin sang ketua suku Tonghu.
Lagipula tujuan mereka datang ke dataran tengah adalah
mencari Ma Xia dan bukan bertarung dengan partai Tien
Lung Men sehingga tidak perlu mengajak serta mereka
menemui Huo Cin dan Wen Yang.- 536 Tidak disangka-sangka rombongan Ejinjin yang
tengah menunggu ini malah bertemu dengan Feng-Feng dan
Fang Yung Li si Setan Darah. Tampang mereka berdua yang
lusuh dan kelihatan tolol itu segera saja mengundang natsu
berandalan Ma Wen bangkit kembali. Juga dulu di utara
mereka bertiga amat terkenal sebagai pengganggu dan
berandalan sehingga amat ditakuti oleh suku-suku lain.
Mana mungkin mereka mau melewatkan kesempatan
menghajar kakek dan bocah yang kelihatan tolol dan lemah
itu? "Eh, kakek busuk! Lekas engkau dan cucumu
berdiri!" bentak Ma Wen.
"Wah ada apa?" tanya Fang Yung Li terkejut karena
percakapannya dengan Feng-Feng disela orang lain.
"Lekas berdiri!" bentak seorang anak buah Ejinjin
yang bertubuh kekar sambil mencengkeram leher baju Fang
Yung Li dan menariknya.
"Kalian kasar sekali" teriak Fang Yung Li tidak
terima dengan perlakuan yang diterimanya.
"Diam kau! Jangan banyak bicara di depan tuan muda
suku Tonghu!" bentak anak buah Ejinjin itu dengan marah
sambil melayangkan satu tinju penuh tenaga ke muka Fang
Yung Li. "Bukkkkk!"
Fang Yung Li yang masih belum sepenuhnya sadar
itu langsung terjengkang ke belakang menerima tinju yang- 537 tepat mengenai hidungnya. Darah mengalir keluar dari
hidungnya. Fang Yung Li mengusap darah itu dan
menjilatnya.
"Puih! Darah pahit tidak enak!" seru Fang Yung Li.
Fang Yung Li adalah seorang sadis dan telah berlatih
ilmu sesat selama puluhan tahun. Tadi saat bertarung dengan
Han Cia Sing ia kalah dan sempat terlempar jauh hingga
kehilangan kesadaran sesaat. Tapi bau dan rasa darah yang
baru saja dirasakannya segera menimbulkan kembali
kesadarannya Naluri binatangnya kembali timbul setelah
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencicipi rasa darah
Fang Yung Li kini kembali menjadi Sie Mo (Setan
Darah) yang haus darah dan kejam. Matanya mulai bersinarsinar penuh kekejaman melihat orang-orang yang berada di
depannya. Ia seperti serigala yang melihat sekumpulan
kawanan domba yang amat lezat untuk dimakan.
"Ini cucumu? Tampang kalian amat mirip, sama-sama
bodoh dan gila, hahahaha" kata Balsan sambil menjambak
rambut Feng-Feng dengan kasar sekali sehingga Feng-Feng
berteriak kesakitan. Semua anggota suku Tonghu juga
malah tertawa-tawa menghina Feng-Feng yang sedang
kesakitan itu.
"Kakek, tolong aku" teriak Feng-Feng sambil
berusaha memukul dan menendang melawan Balsan.- 538 "Kau melawan?" ejek Balsan sambil memberikan
sebuah tendangan keras ke perut Feng-Feng sehingga bocah
itu langsung terduduk kesakitan tanpa mampu mengeluarkan suara lagi.
"Kurang ajar kalian berani sekali melukai cucuku!"
bentak Fang Yung Li.
"Terus kau mau apa sekarang, kakek tua?! Menghajar
kami? Oh aku takut sekali" ejek Ma Wen sambil berpurapura ketakutan sehingga kembali memancing tawa ejekan
dari anggota suku Tonghu.
"Lepaskan cucuku!" bentak Fang Yung Li sekali lagi
dengan nada mengancam kepada Balsan.
"Aku sengaja tidak mau melepaskan dia, kau bisa
apakah?!" ejek Balsan sambil menjambak rambut FengFeng lebih keras.
Fang Yung Li tidak menjawab tapi langsung melesat
bagaikan anak panah menyerang Balsan. Lututnya yang
keras bagaikan besi menghajar telak wajah Balsan hingga
pemuda itu terlempar satu tombak ke belakang.
Cengkeramannya pada rambut Feng-Feng langsung
terlepas. Hidung dan mulut Balsan mengeluarkan darah dan
ia tidak bisa berdiri karena kepalanya terasa pusing sekali.
"Itu tadi untuk membalas tinjumu. Heheheh,
bagaimana rasanya? Enak?" kata Fang Yung Li balas
mengejek.- 539 "Kurang ajar! Berani kau melukai Balsan! Pengawal,
bunuh kakek busuk ini sekalian dengan cucunya!" teriak
Ejinjin dengan marah melihat Balsan dihajar sampai nyaris
pingsan.
Kesepuluh anggota suku Tonghu langsung mencabut
golok melengkung mereka bersama-sama. Suara desingan
logam memekakkan telinga dan membuat miris mereka
yang mendengarnya, tapi Fang Yung Li bukanlah orang
biasa. Ia tenang saja menghadapi sepuluh orang bersenjata
itu. Bahkan ia terlihat amat bergairah untuk memulai
pertarungan.
"Hmmm, darah pemuda sehat seperti kalian pasti
manis dan hangat. Enak sekali rasanya!" kata Fang Yung Li
sambil memasang kuda-kuda dan bersiap mengeluarkan
ilmu Pei Ming Sen Kung (Ilmu Sakti Neraka Utara).
Segera saja Ma Wen dan Ejinjin dapat merasakan
perubahan pada diri Fang Yung Li dari seorang kakek-kakek
yang lemah dan kurang waras menjadi seorang setan
menakutkan yang haus darah. Hawa membunuh yang keluar
dari dalam diri Fang Yung Li begitu kuat dan menekan
sehingga membuat gentar hati mereka. Sosok Fang Yung Li
yang kurus kering itu seakan berubah menjadi iblis
mengerikan di depan mata mereka. Tubuh mereka seakan
terpaku di tempat tidak bisa bergerak lagi dan hanya pasrah
melihat dewa maut datang mencabut nyawa mereka.- 540 Dua orang anggota suku Tonghu yang berada paling
depan langsung tertarik terbang ke arah Fang Yung Li oleh
jurus Tien Sia Cai Sou Sia (Alam Raya Dalam Genggaman)
yang merupakan jurus penghisap maut. Mereka hanya bisa
pasrah saja ketika jari-jari Fang Yung Li mencengkeram
leher mereka dengan kuat sekali. Tenaga mereka seperti
tersedot oleh kekuatan tak tampak dan darah mereka juga
memancar keluar dari hidung, mulut dan telinga tanpa dapat
dicegah lagi. Sebentar kemudian mereka sudah ambruk
dengan tubuh kisut tinggal tulang-belulang saja. Sungguh
suatu cara kematian yang amat mengerikan!
"Kakek iblis! Siapa kau sebenarnya?!" bentak Ejinjin
untuk menutupi rasa takut yang menjalar di sekujur
tubuhnya.
"Aku?! Aku siapa ya? Aku siapa ... oh ya aku Kakek
Feng-Feng. Kalian jangan macam-macam denganku
heheeheh. Hmmmmm darah mereka begitu nikmat dan
enak. Aku ingin lagi" kata Fang Yung Li sambil mengusap
darah yang berlumuran di wajah dan tangannya.
"Kurang ajar! Bunuh dia!" teriak Ma Wen
memerintahkan delapan anak buah suku Tonghu yang
tersisa untuk maju bersama-sama menghabisi Fang Yung Li
yang tertawa-tawa puas itu.
"Makanan datang, makanan datang" kata Fang Yung
Li dengan gembira.- 541 Ma Wen dan Ejinjin memanfaatkan kesempatan
dengan segera memapah Balsan pergi dari tempat itu.
Mereka berdua tahu kakek gila itu memiliki ilmu aneh yang
luar biasa dan kejam. Mereka menyadari percuma saja
melawan karena akan mati konyol dan dengan licik sekali
mengorbankan anak buah mereka sebagai tumbal. Jeritan
kematian membelah udara ketika delapan orang suku
Tonghu itu masing-masing menemui ajalnya dengan cara
yang amat mengerikan.
"Wah, wah benar-benar enak dan kenyang" kata Fang
Yung Li sambil bersendawa seakan habis makan besar saja.
"Kakek Feng-Feng hebat sekali! Kapan kakek akan
mengajarkan ilmu itu kepada Feng-Feng?" tanya Feng-Feng
dengan gembira sambil mendekati Fang Yung Li. Ia sama
sekali tidak takut atau jijik melihat perbuatan Fang Yung Li
barusan karena memang ia juga tidak waras.
"Eh? Apakah harus demikian?" tanya Fang Yung Li
setengah heran.
"Tentu, kakek harus mengajari cucunya. Semua juga
begitu" jawab Feng-Feng dengan mantap.
"Baiklah cucuku, aku pasti akan menurunkan ilmu ini
padamu. Bagaimana, apakah kakekmu ini hebat?" tanya
Fang Yung Li meminta pujian.
"Hebat, Kakek Feng-Feng paling hebat" kata FengFeng memuji.- 542 Kedua kakek cucu aneh itu mulai berjalan
meninggalkan tempat itu sambil bercakap-cakap tidak jelas
arahnya. Nasib manusia memang aneh sekali dipermainkan
oleh takdir. Feng-Feng cucu laki satu-satunya dari Sen Sou
Mo Cia Jien Wei Cen (Jien Wei Cen si Tangan Dewa Kaki
Iblis) ternyata malah menjadi cucu angkat dan murid Sie Mo
Fang Yung Li (Fang Yung Li si Setan Darah) yang adalah
musuh guru Jien Wei Cen sendiri. Kehancuran Tien Lung
Men ternyata memberikan berkah tersendiri bagi Feng-Feng
yang selama ini dikucilkan dan tidak dianggap lagi sebagai
bagian keluarga Jien. Hanya nasib yang akan menentukan
apakah Jien Feng-Feng akan menjadi seorang pengacau atau
penegak kebenaran dalam dunia persilatan nantinya.- 543 38. Menurunkan Ilmu
"Ketua Timur Cen Hui?" kata Song Wei Hao seakan
tidak percaya siapa yang berada di hadapan mereka.
"Cen Hui?! Apa yang sedang kau lakukan?" teriak
Wen Shi Mei juga tidak percaya apa yang tengah terjadi.
"Eh, eh kalian jangan salah sangka ya. Ia adalah Mu
Ren (Manusia Kayu) bukan Cen Hui si Gagak Putih. Mu
Ren sekarang adalah bawahanku yang paling setia dan selalu
menuruti perintahku. Kalian tidak percaya? Kita coba saja
ya sekarang. Mu Ren, bunuh mereka semua!" perintah Guo
Cing Cen kepada Mu Ren.
Segera saja Cen Hui atau Mu Ren itu maju menyerang
mereka dengan ganas sekali. Pedang Angin Putih berkelebat
menyambar bagaikan bermata saja. Song Wei Hao, Ma Han
Jiang dan Xiahou Yuan yang berdiri di barisan depan masih
bisa berkelit menghindar tapi dua orang pasukan Huo Wangye langsung roboh dengan perut robek!
"Cen Hui! Kau sudah gila rupanya!" bentak Wen Shi
Mei sambil maju menghadang serangan Cen Hui.
Jurus telapak ular milik Wen Shi Mei amat luwes dan
mampu mengikuti pergerakan serangan pedang Cen Hui.
Lagipula dulu mereka sering berlatih bersama-sama
sehingga Wen Shi Mei sudah mengenal semua jurus pedang
milik Cen Hui itu. Tapi betapa kagetnya Wen Shi Mei ketika- 544 menyadari bahwa kecepatan dan kekuatan ilmu pedang Cen
Hui sekarang berlipatganda dibandingkan saat terakhir
mereka bertemu dulu. Dalam sepuluh jurus saja, Cen Hui
berhasil melukai lengan Wen Shi Mei sehingga ia terpaksa
mundur.
"Mu Ren, tahan!" perintah Guo Cing Cen ketika
melihat Cen Hui ingin mengejar Wen Shi Mei yang mundur
ke tengah barisan.
Cen Hui yang dipanggil Mu Ren itu segera
menghentikan langkahnya dan diam mematung menunggu
perintah Guo Cing Cen lebih lanjut. Ia benar-benar patuh
melebihi kepatuhan seekor anjing kepada tuannya. Ce Ke Fu
yang masih lemah karena keracunan Racun Pasir Emas
menjadi berang melihat sahabatnya diperlakukan demikian
oleh Guo Cing Cen. Segera saja Ce Ke Fu yang bertubuh
besar dan kekar itu maju ke depan barisan menantang Guo
Cing Cen bertarung.
"Kau manusia hina! Mengapa tidak engkau sendiri
yang turun tangan untuk menghadapiku? Aku sudah terluka
karena Racun Pasir Emas milikmu, apakah engkau masih
takut kepadaku, manusia licik? Hadapi aku Pei Tie Siung Ce
Ke Fu (Ce Ke Fu si Beruang Besi Utara) !" tantang Ce Ke
Fu dengan gagah.
"Hehehhe, kau kira aku bodoh? Meskipun engkau
terluka karena racunku tapi kau masih cukup hebat. Biarlah- 545 Mu Ren saja yang meladenimu bermain-main" ejek Guo
Cing Cen sambil memerintahkan Cen Hui maju.
Tanpa basa-basi lagi, Cen Hui langsung maju
menusukkan pedangnya ke bagian dada Ce Ke Fu. Serangan
pertama bisa dihindari Ce Ke Fu, tapi serangan berikutnya
sudah datang lagi dengan bergelombang dan semakin cepat.
Pedang Angin Putih di tangan Cen Hui berubah menjadi
gelombang sinar putih menyerbu dan mengurung semua
jalan mundur Ce Ke Fu.
"Tie Siung (Beruang Besi) hati-hati!" teriak Wen Shi
Mei memperingatkan dari pinggir arena pertarungan karena
ia sudah merasakan sendiri kemampuan Cen Hui yang
meningkat begitu hebat.
Sebenarnya apakah yang terjadi pada Cen Hui setelah
kejadian malam itu di perkemahan pasukan kerajaan?
Rupanya setelah Cen Hui terkena serangan pasukan panah
dan sekarat, Guo Cing Cen menolongnya pada saat terakhir
dan mencekokinya dengan banyak obat-obatan dan racun
aneh. Guo Cing Cen memang memiliki banyak pengetahuan
tentang sihir dan ilmu hitam termasuk menghidupkan
kembali orang yang sudah mati. Inilah ilmu sesat andalan
Guo Cing Cen yang disebut Mu Ren Kui Di (Raga Kayu
Mayat Hidup). Orang yang terkena ilmu sesat itu, ditambah
dengan minum ramuan obat dan racun tertentu yang diracik
sendiri oleh Guo Cing Cen, akan menjadi lupa diri dan
hanya menuruti perintah Guo Cing Cen seorang saja. Tidak
hanya itu saja, kekuatan dan kecepatan mereka yang terkena- 546 Mu Ren Kui Di akan berlipatganda dibandingkan kekuatan
asli mereka. Ini bisa terjadi karena otak mereka sudah
dirusak oleh ramuan obat dan racun yang begitu kuat
sehingga mereka tidak akan merasakan lelah atau sakit.
Tidak heran bila dalam pertempuran kali ini Ce Ke Fu
benar-benar terdesak hebat sekali. Tenaga dan kekuatan Ce
Ke Fu yang memang sudah melemah akibat Racun Pasir
Emas, kini harus menghadapi Cen Hui yang bertarung bak
kesetanan karena sudah rusak otaknya itu. Dua puluh jurus
berlalu dan pedang Cen Hui sudah beberapa kali menggores
kulit Ce Ke Fu sehingga terluka dan berdarah. Bisa
dipastikan dua puluh jurus lagi Ce Ke Fu bakal takluk di
tangan Cen Hui.
"Paman Cen, hentikan!" teriak Cen Hua sambil
menyeruak ke depan barisan berusaha menghentikan
serangan Cen Hui.
"Nona Cen, hati-hati! Ia bukan pamanmu lagi" cegah
Song Wei Hao.
"Apa maksud Jenderal Song?" tanya Cen Hua dengan
heran.
"Kelihatannya Cen Hui sudah berada dalam pengaruh
sihir Guo Cing Cen. Ia tidak bisa mengendalikan dirinya
sendiri lagi" kata Song Wei Hao sambil tetap memperhatikan pertarungan Ce Ke Fu dengan Cen Hui.- 547 "Paman Cen sudah menjadi boneka Guo Cing Cen?"
tanya Cen Hua.
"Maaf nona Cen, tapi kelihatannya memang itu yang
terjadi" jawab Song Wei Hao dengan sedih.
"Tidak mungkin" gumam Cen Hua dengan suara lirih.
"Paman Song, kita tidak bisa berlama-lama di sini.
Pasukan pengejar musuh sudah dekat" kata Han Cia Sing
yang datang berlari-lari dari belakang barisan bersama
dengan Yung Lang dan Lin Tung.
"Berapa jauh kira-kira jarak antara kita dengan
mereka?" tanya Song Wei Hao berusaha memperkirakan
situasi.
"Tidak lebih dari dua li saja" jawab Han Cia Sing
dengan cemas.
"Aku bahkan dapat melihat panji-panji mereka
dengan jelas" tambah Lin Tung dan Yung Lang
membenarkan.
"Sebentar lagi hari akan benar-benar terang. Songsiung, kita harus segera menerobos pasukan kerajaan agar
bisa tiba di tepian sungai You" kata Ma Han Jiang
memberikan saran.
"Baiklah kita tidak ada pilihan lagi. Di depan lautan
golok, di belakang gunung pedang. Kalah ataupun menang
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita harus berusaha" kata Song Wei Hao akhirnya
membulatkan tekad.- 548 "Semuanya! Bersiap menerobos kepungan!" teriak
Song Wei Hao sambil mengacungkan pedangnya tinggitinggi yang dijawab dengan teriakan gemuruh seluruh
barisan Tien Lung Men yang tersisa.
"Kalian hendak lari kemanakah? Pasukan panah,
tembak!" perintah Guo Cing Cen ketika melihat rombongan
Tien Lung Men mulai bergerak.
Puluhan panah api menyerang rombongan itu tanpa
ampun. Para pendekar Tien Lung Men langsung maju ke
depan barisan untuk melindungi teman-teman mereka yang
lain. Gao Guen langsung mencabut dua toya gandanya dan
menghalau serangan panah api itu. Demikian juga He Ta Fu
dan He Siao Fu langsung menggunakan kapak mereka untuk
mempertahankan rombongan dari serangan panah api.
Pertahanan ketiga pendekar ini cukup rapat sehingga
serangan panah api pertama berhasil dimentahkan dan
rombongan Tien Lung Men dapat maju terus dengan
selamat.
"Kurang ajar! Serang terus!" teriak Guo Cing Cen
melihat serangan pertamanya berhasil digagalkan.
Hujan panah kembali menyerbu rombongan Tien
Lung Men itu. Jien Jing Hui dibantu Hu Sang berusaha matimatian melindungi Jien Wei Cen dan Yang Hong dari
serangan anak panah. Keadaan memang serba sulit bagi
mereka karena selain harus menghindari hujan panah,
mereka juga harus segera pergi dari tempat itu menuju- 549 tepian sungai You sambil membawa teman-teman mereka
yang terluka.
Ce Ke Fu sendiri semakin terdesak dalam pertarungan
dengan Cen Hui dan tubuhnya semakin banyak luka tersabet
pedang Angin Putih. Han Cia Sing khawatir sekali melihat
keadaan Ce Ke Fu dan memutuskan untuk turun tangan
membantu. Ia meminjam tombak seorang anak buah Tien
Lung Men dan langsung terjun ke dalam arena pertarungan.
Han Cia Sing datang tepat pada waktunya untuk menahan
pedang Cen Hui yang hampir menembus ulu hati Ce Ke Fu.
Tombaknya diputar membentuk lingkaran dan berhasil
mementalkan serangan Cen Hui.
"Paman Ce, cepat tinggalkan tempat ini" kata Han Cia
Sing sambil mengambil kuda-kuda bersiap menghadapi
serangan lanjutan Cen Hui.
"Cia Sing, bagaimana denganmu?" tanya Ce Ke Fu.
"Aku pasti akan menyusul" jawab Han Cia Sing
mantap.
"Baiklah, berhati-hatilah Cia Sing. Jika kau mampu,
tangkap dan bawa serta Cen Hui bersama kita. Siapa tahu
tabib Liu Cen Beng bisa memulihkannya" kata Ce Ke Fu
sambil menepuk bahu Han Cia Sing dan berlalu.
"Baiklah paman Ce, aku akan berusaha" kata Han Cia
Sing.- 550 Baru saja Ce Ke Fu meninggalkan arena pertarungan,
Cen Hui sudah datang lagi dengan serangan ganas. Serangan
dan jurusnya amat cepat dan bertenaga bagaikan kesetanan
sehingga Han Cia Sing yang hanya menguasai dasar Pai Hu
Jiang Fa (Jurus Tombak Harimau Putih) menjadi amat
kerepotan meladeninya. Berkali-kali serangan Cen Hui
hampir masuk meskipun kemudian bisa dielakkan Han Cia
Sing dengan tipis. Akhirnya Han Cia Sing terpaksa
menggunakan ilmu Guo Yin Sen Kung (Ilmu Sakti
Melintasi Awan) digabungkan dengan jurus tombak Hu Cui
Hou (Harimau Mengejar Kera) untuk mengimbangi Cen
Hui. Hasilnya cukup baik karena sekarang ia bisa terbebas
dari tekanan lawan meskipun ia juga belum bisa menekan
balik Cen Hui.
Rombongan Tien Lung Men mulai berhasil mendesak
pasukan panah yang bersembunyi di dalam hutan kecil
sehingga jalan keluar menjadi terbuka. Kesempatan ini
dimanfaatkan mereka untuk segera menuju tepian sungai
You tempat rombongan Huo Wang-ye berada. Guo Cing
Cen yang marah sekali karena buruannya berhasil lolos
sehingga menggunakan Racun Pasir Emas untuk
menghambat laju pelarian. Ia melompat tinggi sambil
menebarkan serbuk Racun Pasir Emas itu sekuat tenaga ke
arah rombongan Tien Lung Men.
"Awas, racun!" teriak Wen Shi Mei yang paling ahli
racun di antara mereka ketika melihat serbuk Racun Pasir
Emas bertaburan ke arah mereka.- 551 Beberapa pelayan dan dayang tidak sempat
menghindar dan langsung menjerit kesakitan dan ambruk.
Wajah mereka membiru dan muntah darah dengan kulit
berubah warna menjadi keemasan. Sementara yang lain
berhasil selamat karena sempat menghindar berkat
peringatan Wen Shi Mei.
"Kurang ajar kau Guo Cing Cen! Suatu hari nanti aku,
Wen Shi Mei pasti akan membunuhmu dengan tanganku
sendiri!" seru Wen Shi Mei dengan geram sekali melihat
perbuatan Guo Cing Cen.
"Mengapa tidak sekarang saja kita selesaikan, wanita
sial?" kata Guo Cing Cen tidak kalah geram dengan Wen
Shi Mei karena melihat serangan Racun Pasir Emasnya
hanya mengenai dayang dan pelayan saja.
Rombongan Tien Lung Men segera melanjutkan
perjalanan dengan cepat menuju ke arah tepian sungai You
yang sudah terlihat di depan mata. Beberapa kapal pedagang
berukuran besar tampak sedang merapat di tepian sungai
yang berbatu-batu. Xiahou Yuan dan dua orang lainnya
yang masing-masing menyandang pedang sedang berdiri di
buritan sebuah kapal yang paling besar sambil memandang
ke arah mereka. Xiahou Yuan tampak begitu lega dan
gembira ketika mengetahui rombongan
Tien Lung Men telah berhasil sampai di tepian sungai
You. Ia segera melompat ke tepian sungai dan menyambut
rombongan itu.- 552 "Jenderal Song, syukurlah kalian bisa tiba dengan
selamat. Huo Wang-ye amat mencemaskan nasib kalian"
kata Xiahou Yuan menyambut Song Wei Hao yang datang
paling depan.
"Mari kita segera bersiap. Sebentar lagi pasukan
pengejar akan segera tiba di sini" kata Song Wei Hao sambil
melihat ke belakang.
"Baiklah, kapal sudah siap berlayar. Setelah semua
naik kita akan segera berangkat" kata Xiahou Yuan sambil
membantu anak buah Huo Wang-ye yang tiba sambil
menggendong mereka yang terluka.
Saat itu, matahari mulai muncul di timur
memancarkan sinarnya. Suasana menjadi cerah dan terang
benderang sehingga Song Wei Hao bisa melihat ke arah
pasukan pengejar dengan lebih jelas. Kira-kira dua li dari
tepi sungai, tampak debu membubung tinggi menandakan
kedatangan pasukan pengejar. Song Wei Hao menarik napas
lega karena masih cukup waktu bagi mereka untuk berlayar
sebelum pasukan pengejar tiba. Namun kelegaan Song Wei
Hao itu hanya sesaat ketika Ce Ke Fu datang dipapah oleh
Lin Tung.
"Jenderal Song, Cia Sing dan Yung Lang masih
menahan Cen Hui di belakang" kata Lin Tung sambil
terengah-engah sehabis berlari sambil memapah tubuh Ce
Ke Fu yang tinggi besar itu.- 553 "Apa? Benarkah itu?" tanya Song Wei Hao terkejut
sekali.
"Cia Sing menggantikan aku bertarung dengan Cen
Hui. Aku merasa malu dan tidak berguna" kata Ce Ke Fu
sambil menunduk malu.
"Ketua Utara, engkau tidak boleh berkata demikian.
Kita sudah seharusnya saling tolong menolong" kata Song
Wei Hao menenangkan hati Ce Ke Fu.
Akhirnya semua anggota dan pendekar Tien Lung
Men sudah naik ke atas perahu dan bersiap berlayar. Jien
Wei Cen dan keluarganya ditempatkan dalam kapal layar
terbesar di mana Huo Wang-ye berada. Huo Wang-ye
sendiri yang menerima mereka semua dengan perasaan amat
lega dan gembira. Cheng Hung yang memimpin pasukan
penyelamat segera berlutut memberikan hormat dan
menyampaikan laporannya.
"Lapor, Huo Wang-ye, hamba berhasil membawa
Jien Wei Cen sesuai perintah Yang Mulia" kata Cheng
Hung.
"Mien-li (kata berdiri untuk keluarga bangsawan)
komandan Cheng Hung. Anda telah berusaha dengan baik
sekali" kata Huo Wang-ye sambil membantu Cheng Hung
berdiri.
"Terima kasih Yang Mulia, hamba mohon diri
terlebih dulu" kata Cheng Hung sambil mundur ke pintu- 554 keluar sambil menunduk hormat. Kini dalam ruangan tidur
yang cukup lebar itu, tabib Liu Cen Beng bisa dengan lebih
leluasa mengobati luka-luka Jien Wei Cen. Tampaknya luka
yang diderita Jien Wei Cen cukup parah apalagi ia sudah
kehilangan banyak darah sejak terluka siang kemarin. Wajah
tabib Liu Cen Beng yang khawatir dan sedih sudah cukup
memberitahukan keadaan Jien Wei Cen kepada Huo Wangye sehingga ia tidak tega bertanya lagi. Jien Jing Hui sendiri
hanya bisa memeluk Yang Hong sambil memandangi
ayahnya yang tergolek tidak berdaya itu dengan pandangan
kosong.
"Nona, luka Jien Pang-cu amat parah karena nadi
besar jantungnya terluka. Jika saja ia orang biasa, pastilah ia
sudah langsung meninggal. Hanya karena ilmu Jien Pang-cu
yang sudah mencapai tahap tertinggi sajalah yang
membuatnya masih bisa bertahan sampai sekarang.
Sekarang kita hanya bisa berharap keajaiban dari langit"
kata tabib Liu Cen Beng sambil menghela napas panjang.
"Tabib Liu, aku mohon kau selamatkan ayahku. Pasti
ada cara untuk menyelamatkannya, bukankah engkau tabib
yang terhebat?" kata Jien Jing Hui setengah panik setengah
tidak percaya mendengar perkataan tabib Liu Cen Beng
barusan.
"Nona, aku pasti akan berusaha" kata tabib Liu Cen
Beng dengan lirih.- 555 "Tabib Liu, apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan
untuk Jien Pang-cu?" tanya Huo Wang-ye berusaha
memberikan sedikit bantuan.
"Lapor Yang Mulia, sekarang kita hanya bisa berdoa
saja" jawab tabib Liu Cen Ben sambil menjura hormat.
Mereka semua terdiam dalam keheningan yang tidak
mengenakkan selama beberapa saat. Bahkan Yang Hong
yang masih kecil dan belum mengerti saja dapat merasakan
sedang terjadi sesuatu yang tidak baik pada kakeknya. Gadis
cilik itu hanya diam saja menatap kakeknya yang terbaring
lemah sambil sesekali melihat wajah ibunya yang sedang
menahan air mata. Ia heran melihat kesedihan ibunya tapi
tidak berani bertanya pada ibunya.
Sementara itu di luar kapal, Song Wei Hao dan
Xiahou Yuan semakin gelisah menanti kedatangan Han Cia
Sing dan Yung Lang. Mereka tidak dapat menanti lebih lama
lagi karena pasukan pengejar sudah terlihat di depan mata.
Bahkan suara teriakan mereka saja bisa terdengar sekarang.
Jarak antara mereka dengan pasukan pengejar kurang dari
satu li saja.
"Jenderal Song, bagaimana sekarang?" tanya Cheng
Hung meminta keputusan kepada Song Wei Hao.
"Jenderal Song, kurasa kita harus segera berlayar
sekarang" kata Xiahou Yuan memberikan pertimbangan.- 556 "Baiklah, kita berlayar" kata Song Wei Hao sambil
menghela napas panjang setelah berpikir sejenak.
Cheng Hung segera memerintahkan semua kapal
untuk segera berlayar begitu mendengar perintah Song Wei
Hao. Para anggota pasukan Huo Wang-ye segera
mengembangkan layar dan mengangkat jangkar. Beberapa
di antara mereka segera mengambil bambu panjang untuk
mendorong perahu ke tengah sungai. Sementara itu pasukan
pengejar memacu kudanya sekencang mungkin sambil
mulai melepaskan anak panah ke arah rombongan perahu
Huo Wang-ye. Meskipun jarak mereka masih terlampau
jauh untuk terjangkau anak panah, tapi rombongan Huo
Wang-ye tidak mau menempuh bahaya dan memilih segera
berlayar secepatnya.
"Cia Sing, di manakah engkau?" gumam Song Wei
Hao dengan cemas.
*** "Cia Sing, kita harus segera bergabung dengan
Jenderal Song" kata Yung Lang sambil kerepotan
menangkis serangan pedang Cen Hui yang ganas.
"Aku tahu" jawab Han Cia Sing yang juga sedang
melayani serangan Guo Cing Cen yang tidak kalah ganas.- 557 Mereka berdua sedari tadi sudah berusaha untuk
melepaskan diri dari Guo Cing Cen dan Cen Hui, tapi selalu
gagal. Mungkin jika hanya Han Cia Sing seorang diri saja,
ia bisa dengan mudah melarikan diri dengan ilmu Guo Yin
Sen Kung (Ilmu Sakti Melintasi Awan). Tapi sekarang ada
Yung Lang yang tidak mungkin ia tinggalkan begitu saja.
Juga Han Cia Sing tidak sampai hati melukai Cen Hui yang
meskipun sudah berubah aneh dan hilang ingatan, namun ia
masih teringat perkataan Ce Ke Fu barusan agar sedapat
mungkin membawa Cen Hui bersamanya. Ini yang
menyebabkan Han Cia Sing menjadi kerepotan sendiri.
"Kalian berdua bocah busuk, jangan harap bisa pergi
hidup-hidup! Mu Ren, bunuh mereka!" teriak Guo Cing Cen
dengan u gemas sekali karena serangannya kepada Han Cia
Sing selalu berhasil dielakkan.
Cen Hui yang mendengar perintah Guo Cing Cen
tersebut langsung mempercepat serangannya sehingga
gerakannya hampir tidak terlihat. Ia benar-benar kesetanan
menyerang Yung Lang dan Han Cia Sing tanpa henti seperti
tidak pernah menarik napas untuk beristirahat. Bagi Han Cia
Sing yang menguasai ilmu Shi Sui Yi Cin Cing (Sutra
Penggeser Urat Pembersih Sumsum) serangan tanpa henti
seperti ini bukan masalah besar, tapi bagi Yung Lang
serangan ini benar-benar membuatnya kewalahan. Pedang
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Elang Emas miliknya sampai berdengung keras karena
kuatnya getaran serangan Pedang Angin Putih milik Cen
Hui yang datang bertubi-tubi. Tangan Yung Lang yang- 558 memegang pedang sampai mati rasa karena berusaha
menahan gempuran Cen Hui itu.
"Cia Sing, aku tidak kuat lagi" kata Yung Lang
sambil melompat mundur berusaha menghindari gempuran
Cen Hui.
"Yung Lang, bertahan" kata Han Cia Sing sambil
berusaha memancing Cen Hui agar mengejarnya.
"Bocah sialan, kau bagianku" bentak Guo Cing Cen
sambil menyerang dengan kedua telapaknya dipentangkan
ke arah dada Han Cia Sing.
Tepat saat itu Pedang Elang Emas milik Yung Lang
terpental dari tangan pemiliknya. Cen Hui menyerang terus
Yung Lang yang sudah tidak berdaya itu dengan satu
tusukan ke dada. Han Cia Sing harus memilih antara
menghadapi Guo Cing Cen atau menyelamatkan sahabatnya
itu. Waktunya tidak cukup untuk melakukan keduanya
sekaligus. Akhirnya Han Cia Sing lebih memilih
menyelamatkan Yung Lang dengan menerima serangan
telapak beracun Guo Cing Cen.
"Bukkk!"
Dua suara pukulan telak terdengar hampir bersamaan.
Satu adalah tinju Han Cia Sing yang menghajar lengan Cen
Hui dengan keras sekali sehingga ia terlempar beberapa
tombak ke samping. Suara pukulan yang lain adalah telapak- 559 Guo Cing Cen yang bersarang di dada Han Cia Sing dan
menyeretnya mundur beberapa langkah.
"Cia Sing! Kau tidak apa-apa?!" tanya Yung Lang
dengan khawatir sekali karena sahabatnya terdengar
pukulan telak Guo Cing Cen.
Han Cia Sing tidak mampu menjawab karena saat itu
Racun Pasir Emas langsung menjalar di dadanya. Rasanya
sesak dan sakit sekali hingga ke ubun-ubun. Seluruh
peredaran darah Han Cia Sing terasa terbalik. Napasnya
mulai tersengal-sengal dan dadanya mati rasa. Racun Pasir
Emas memang luar biasa hebat sehingga mampu membunuh
orang biasa hanya dalam beberapa hembusan saja. Pendekar
mungkin akan dapat bertahan sedikit lama tergantung
kekuatan tenaga dalam mereka.
"Hehehehe, bagaimana rasanya Racun Pasir Emas
milikku?" tanya Guo Cing Cen sambil tertawa mengejek.
"Kau...kurang ajar. Serahkan obat penawarmu!"
bentak Yung Lang sambil bersiap maju menyerang Guo
Cing Cen.
Han Cia Sing memegang lengan Yung Lang dan
menggeleng lemah kepadanya. Ia tahu kemampuan Yung
Lang masih berada di bawah Tabib Racun Guo Cing Cen itu
dan akan amat berbahaya jika Yung Lang juga terkena
Racun Pasir Emas juga.- 560 "Aku akan berusaha menekan Racun Pasir Emas ini
keluar" kata Han Cia Sing dengan lemah karena menahan
sakit luar biasa di dadanya.
"Apa? Kau mampu?" tanya Yung Lang tidak percaya.
"Hehehe, kau bermimpi bocah busuk! Tidak ada
seorang pun di dunia ini yang sanggup menawarkan Racun
Pasir Emas dengan kekuatannya sendiri saja. Jien Wei Cen
pun tidak akan mampu" ejek Guo Cing Cen.
Han Cia Sing tidak menanggapi pertanyaan Yung
Lang maupun ejekan Guo Cing Cen. Ia memusatkan
perhatiannya untuk menghimpun seluruh tenaga dalamnya
di dada. Tubuh Han Cian Sing berbaring menelungkup di
tanah dengan kedua tangan memegang kedua telapak kaki
sehingga membentuk sebuah lingkaran dengan perut
menempel tanah. Ini salah satu jurus penyembuh Shi Sui Yi
Cing Cing seperti yang tergambar di atap dinding gua
serigala. Sutra Penggeser Urat Pembersih Sumsum memang
terdiri dari dua bagian besar sesuai namanya. Penggeser
Urat berguna untuk menyembuhkan luka luar dan urat dan
Pembersih Sumsum berguna mencuci darah kotor atau racun
yang ada dalam tubuh. Penggunaan kedua ilmu ini secara
bersamaan akan mampu mengeluarkan hawa racun apapun
yang masuk ke dalam tubuh.
"Uhukkkkk" Han Cia Sing terbatuk sambil
memuntahkan darah hitam bercampur pasir emas dari
mulutnya.- 561 "Apa? Kau bisa memaksa Racun Pasir Emas keluar
dari tubuhmu dengan kekuatanmu sendiri? Tidak mungkin!
Bocah busuk, ilmu apakah yang kau gunakan?" tanya Guo
Cing Cen k tidak percaya dengan apa yang dilihat dengan
mata kepalanya sendiri itu.
"Cia Sing, kau sudah sembuh?" tanya Yung Lang
sambil membantu Han Cia Sing bangun berdiri.
"Sudah, aku berhasil memaksa racun keluar dari
tubuhku" kata Han Cia Sing sambil mengatur napasnya
mengembalikan tenaganya kembali.
"Mu Ren! Bunuh mereka!" teriak Guo Cing Cen
dengan marah sekali karena Racun Pasir Emasnya berhasil
dikalahkan seorang pemuda tanggung tidak terkenal seperti
Han Cia Sing. Cen Hui yang tadi terlempar beberapa tombak
akibat tonjokan Han Cia Sing pada lengannya kini sudah
berdiri tegak kembali, tangannya menggenggam erat Pedang
Angin Putih sambil menatap Han Cia Sing dan Yung Lang
dengan pandangan kosong. Ia benar-benar menjadi mayat
hidup yang tidak bisa dilukai sekarang karena manusia biasa
pastilah patang tulang lengannya dihajar kekuatan penuh
tinju Han Cia Sing barusan. Cen Hui yang sama sekali tidak
terlihat terluka benar-benar menggetarkan hati Yung Lang.
Meskipun tahu bahwa Cen Hui yang sekarang ada dalam
pengaruh Guo Cing Cen, namun ia tetap musuh turun
temurun keluarga Yung yang harus dihadapinya suatu saat
nanti. Yung Lang sudah mencoba sendiri kehebatan ilmu- 562 Pedang Gagak Putih milik keluarga Cen dan harus ia akui
ilmunya sekarang masih berada jauh di bawah Cen Hui.
"Cia Sing, benarkah kau bisa menguasai ilmu hanya
dengan berlatih sekali saja?" tanya Yung Lang sambil
menatap waspada Cen Hui yang terus datang mendekat.
"Hm, benar. Mengapa kau tanyakan hal itu di saat
seperti ini?" tanya Han Cia Sing sambil memandang Yung
Lang tidak mengerti.
"Jika kita ingin keluar hidup-hidup dari sini, kita
harus bekerjasama dengan baik Cia Sing. Ilmu pedang Cen
Hui amat hebat, belum lagi Guo Cing Cen. Pasukan kerajaan
juga semakin dekat. Cia Sing, aku akan membacakan jurus
ilmu Pedang Elang Emas keluarga Yung kepadamu untuk
menghadapi mereka. Hanya itu satu-satunya cara kita
meloloskan diri" kata Yung Lang.
"Tapi..."
"Ayolah, pegang Pedang Elang Emas ini baik-baik"
tukas Yung Lang sambil memberikan pedangnya sebelum
Han Cia Sing sempat berkata apa-apa.
"Mu Ren, bunuh!" perintah Guo Cing Cen dengan
geram sekali.
Cen Hui melayang sambil maju menyerang dengan
pedang terhunus. Han Cia Sing mau tak mau berusaha
menangkis pedang lawan yang mengarah ke dadanya itu.
Pertandingan pedang pun dimulai dengan seru sekali. Yung- 563 Lang yang berada di pinggir arena pertarungan mulai
membacakan jurus-jurus Pedang Elang Emas yang sudah
dihapalnya di luar kepala itu. Dulu Fu Pu Cin mengajari
semua jurus pedang keluarga Yung yang diketahuinya
kepada Yung Lang hingga hapal. Pemahaman jurus dan
latihan pedang dibantu oleh Tien Jing Fung dan Cen Pai Jao
sang Pasangan Suami Istri Perampok Bijak. Namun tetap
saja ilmu pedang Yung Lang tidak sempurna karena tidak
pernah melihat jurus pedang yang sesungguhnya.
Han Cia Sing sendiri sebenarnya bukan ahli pedang
karena sedari kecil hanya belajar ilmu tombak saja. Tapi
berkat Shi Sui Yi Cin Cing yang mampu membuat tubuh
mengikuti semua gerakan dan aliran tenaga dalam maka
ilmu pedang keluarga Yung pun dapat ia lakukan dengan
sempurna. Gerakan pedang dan tenaga mengalir dan bersatu
bersama-sama sehingga manusia dan pedang seakan
menjadi satu.
Pertarungan antara Han Cia Sing dan Cen Hui
berlangsung begitu dahsyat sehingga Guo Cing Cen hanya
bisa melihat saja dari pinggiran arena. Meskipun baru
pertama kali menggunakan jurus Pedang Elang Emas namun
kesempurnaan jurus Han Cia Sing bisa disetarakan dengan
mendiang kakek buyut Yung Lang, Yung Cin Hai sang
penemu jurus Pedang Elang Emas. Han Cia Sing melompat
dan menyerang bagaikan seorang elang mengincar anak
ayam, tanpa celah dan gesit sekali. Jurus demi jurus
mengalir lancar menyerbu lawan. Bahkan Pedang Elang- 564 Emas pun ikut bersinar dan berdengung keras seakan
gembira karena dapat melakukan jurus-jurus yang sudah
lama sekali tidak dimainkan.
Di pihak lain, Cen Hui yang dalam pengaruh racun
dan ilmu sihir Guo Cing Cen bertarung kesetanan. Dalam
keadaan biasa saja, ilmu pedang Cen Hui sudah nyaris
sempurna, apalagi sekarang ia seperti tidak pernah lelah.
Gerakan pedangnya menyerbu dan bertahan tanpa celah,
sanggup mengimbangi semua jurus yang dikeluarkan Han
Cia Sing. Mungkin seperti inilah dulu pertarungan antara
leluhur keluarga Cen dan Yung pada awalnya. Setiap jurus
yang duju diciptakan oleh leluhur Cen dan Yung memang
untuk mengalahkan saingannya sehingga bisa dibilang
berimbang. Kelemahan dan kelebihan saling diketahui
lawan masing-masing saat menciptakan jurus sehingga
begitu luar biasa dan memukau mereka yang melihatnya!
"Cia Sing, aku sudah selesai membacakan enam
puluh empat jurus Pedang Elang Emas kepadamu. Sekarang
tinggal kau kembangkan sendiri jurus-jurus itu untuk
melawan Cen Hui!" teriak Yung Lang dengan bersemangat.
Sejak dulu Yung Lang selalu memimpikan bagaimana jurus-jurus Pedang Elang Emas bila dilakukan dengan
benar. Sekarang, ia bisa melihat sendiri semua enam puluh
empat jurus dilakukan dengan baik sekali oleh Han Cia Sing
sehingga membukakan matanya akan kehebatan jurus
warisan keluarganya itu.- 565 Yung Lang bertekad suatu saat ia akan mencapai
tahap sempurna Pedang Elang Emas untuk mengharumkan
kembali nama I keluarga Yung yang dulu pernah berjaya.
Pertarungan Cen Hui dan Han Cia Sing berjalan
makin seru. Pedang mereka sekarang berubah menjadi
gulungan sinar berwarna putih dan emas saling beradu
menimbulkan percikan bunga api kemana-mana. Gerakan
Han Cia Sing semakin cepat dan membadai berkat ilmu Guo
Yin Sen Kung yang dikuasainya sehingga makin lama Cen
Hui makin kehilangan arah lawannya itu dan terkurung
hebat. Tampaknya sebentar lagi ia akan dikalahkan oleh Han
Cia Sing.
Untunglah pada saat itu pasukan pengejar sudah tiba.
Para pendekar di bawah pimpinan Huo Cin segera
berlompatan mengepung Han Cia Sing dan Yung Lang.
Mereka adalah Ma Pei, Shi Chang Sin, Si Ta Hao Ren
(Empat Orang Baik), Chang Bai, Fan Zheng dan empat Wu
Se (Lima Warna Kematian) yang tersisa. Semuanya ada
empat belas pendekar tangguh bila ditambahkan dengan Cen
Hui dan Guo Cing Cen. Mereka semua memandang Han Cia
Sing dan Yung Lang bagaikan segerombolan serigala lapar
melihat dua ekor anak domba. Keadaan mereka berdua
benar-benar genting sekarang.
"Bocah busuk! Di mana kau sembunyikan Ma Xia?"
bentak Ma Pei dengan geram sekali kepada Han Cia Sing.- 566 "Kau juga harus mengatakan semua jurus Shi Sui Yi
Cin Cing kepadaku" kata Shi Chang Sin dengan suara
menggelegar.
"Kau harus menebus kematian Cing Ying (Bayangan
Emas)!" bentak keempat Wu Se dengan marah.
"Cia Sing, musuhmu banyak juga" kata Yung Lang
lirih sambil merapatkan tubuhnya di belakang Han Cia Sing.
"Aku tidak meminta" jawab Han Cia Sing sambil
tetap waspada memandang keempat belas pendekar tangguh
yang mengepung mereka itu.
"Apa rencanamu sekarang?" tanya Yung Lang
hampir tidak berani bersuara karena tegang sekali.
"Yung Lang, kau lari secepat mungkin ke tepian
sungai You" kata Han Cia Sing sambil memegang Pedang
Elang Emas dengan erat. Ia dapat merasakan hawa
membunuh yang meluap-luap dari keempat belas
musuhnya.
"Tidak mungkin! Bagaimana denganmu?" kata Yung
Lang tidak percaya dengan perkataan Han Cia Sing barusan.
"Yung Lang, kita sahabat bukan? Sahabat harus
saling mempercayai satu sama lain. Percayalah padaku" kata
Han Cia Sing dengan tegas.
Yung Lang memandangi wajah Han Cia Sing dengan
penuh kekaguman dan rasa persahabatan yang tulus. Yung
Lang mengerti jika ia berada di sini justru ia akan- 567 merepotkan Han Cia Sing karena harus melindunginya.
Akhirnya ia menepuk punggung Han Cia Sing sambil
tersenyum bangga.
"Cia Sing, aku tidak salah berteman denganmu! Aku
nantikan engkau minum arak di kapal nanti" kata Yung
Lang sambil segera membalikkan badan dan berlari secepat
mungkin ke arah tepian sungai You.
"Biarkan tikus itu lari! Kita harus menangkap bocah
busuk ini dulu hidup-hidup!" teriak Ma Pei memberikan
perintah.
"Benar! Urusan kita adalah dengan tikus ini" kata
Hong Ying sambil mendahului maju menyerang.
"Serbu!" teriak Shi Chang Sin memberikan perintah
dengan suaranya yang menggelegar.
*** "Ayah, ayah engkau tidak apa-apa?!" tanya Jien Jing
Hui dengan cemas sekali sambil berlinang air mata.
"Keadaan Jien Pang-cu memburuk dengan cepat
sekali" kata tabib Liu Cen Beng sambil memeriksa nadi Jien
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wei Cen.- 568 "Tabib Liu, tolong engkau selamatkan Jien Pang-cu.
Aku akan berusaha menyediakan apapun yang engkau
butuhkan" kata Huo Wang-ye memohon.
"Huo Wang-ye, aku hanya seorang tabib bukan dewa.
Aku tidak bisa menyembuhkan mereka yang dipanggil
langit" jawab tabib Liu Cen Beng dengan sedih.
"Maksudmu ayahku akan mati?!" tanya Jien Jing Hui
sambil berlinang air mata dan memeluk ayahnya yang terus
memuntahkan darah dari mulutnya.
Tabib Liu Cen Beng tidak tega menjawab. Ia hanya
mengangguk pelan. Dari sudut matanya mengalir setetes air
mata kesedihan. Sejak muda ia sudah ikut partai Tien Lung
Men, bahkan Jien Wei Cen sendiri yang mengundangnya
masuk ke dalam partai. Kini ia harus menyaksikan orang
yang dikagumi dan dihormatinya itu meninggal dunia di
depan matanya tanpa ia sempat berbuat apa-apa, bagaimana
mungkin ia tidak merasa sedih?
"Kakek kenapa, Ibu?" tanya Yang Hong yang heran
dengan keadaan ibu dan kakeknya itu.
"Nona kecil, mari ikut paman Liu. Biarkan ibu dan
kakekmu mengucapkan salam perpisahan" kata tabib Liu
Cen Beng sambil menggandeng Yang Hong keluar dari
ruangan itu.
"Ibu dan kakek akan pergi ke mana?" tanya Yang
Hong dengan polos.- 569 "Nanti Paman ceritakan di luar, anak manis" jawab
tabib Liu Cen Beng.
"Nona Jien, tenanglah dulu. Mungkin jika kita
biarkan Jien Pang-cu beristirahat, ia akan lebih baik" kata
Huo Wang-ye berusaha menenangkan Jien Jing Hui yang
menangis sesenggukan sambil memeluk ayahnya.
Jien Jing Hui berusaha menguasai dirinya dan
melepaskan pelukannya. Ia mengusap air matanya sambil
memandangi ayahnya yang tengah sekarat itu. Jien Jing Hui
tidak pernah mengira ia akan melihat kematian ayahnya
dalam keadaan seperti ini. Seorang Jien Wei Cen yang amat
disegani oleh seluruh dunia persilatan meninggal dalam
pelarian. Hati Jien Jing Hui bagaikan diiris-iris bila
mengingat penyebab kematian ayahnya adalah suaminya
sendiri. Ia bersumpah suatu hari nanti akan membunuh Yang
Ren Fang dengan tangannya sendiri.
"Tubuh tegak bagai batu karang. Tangan di samping
menggenggam chi. Seluruh pernapasan berputar di dada...
Tiba-tiba Jien Wei Cen bersuara dengan lirih tapi
jelas. Matanya masih tetap terpejam dan darah segar masih
mengalir dari bibirnya. Tampaknya ia berusaha mengatakan
sesuatu dengan sungguh-sungguh di akhir hayatnya. Jien
Jing Hui yang mendengarkan kata-kata itu menjadi amat
terkejut. Ia dan Huo Wang-ye mendekati pembaringan Jien
Wei Cen berusaha mendengarkan perkataannya dengan
lebih jelas.- 570 "Ini adalah jurus-jurus tenaga Tien Lung Ta Fa
(Tenaga Sakti Naga Langit)!" kata Jien Jing Hui dengan
terkejut sekali.
Jien Wei Cen terus mengucapkan jurus-jurus Tien
Lung Ta Fa jurus perjurus. Setiap tingkat dari tiga puluh
enam tingkat Tien Lung Ta Fa mempunyai aliran tenaga dan
gerakan yang berbeda. Tentu saja hal ini akan memakan
waktu yang cukup lama untuk mengucapkan semuanya.
Pada saat memasuki pembacaan jurus ketujuh belas, Jien
Wei Cen sudah mulai terbatuk-batuk dan kelihatan sesak
napas. Jien Jing Hui kembali menangis melihat keadaan
ayahnya yang sekarat itu. Ia berlutut menangis di tepi
pembaringan sambil menyandarkan kepalanya ke lengan
Jien Wei Cen. Ia sama sekali tidak peduli lagi dengan
pengucapan jurus yang tengah disebutkan Jien Wei Cen.
Sebaliknya Huo Wang-ye menyimak setiap kata yang
keluar dari mulut Jien Wei Cen dengan seksama dan takjub
sekali. Huo Wang-ye adalah murid Cing Lun Xiahou Yuan
(Xiahou Yuan si Roda Emas) tentu ia mengerti silat dan
tenaga dalam. Lagipula Huo Wang-ye amat cerdas sehingga
ia bisa menghapal setiap kata-kata hanya dengan sekali
mendengarkan saja. Huo Wang-ye mencatat setiap jurus
Tien Lung Ta Fa dalam hatinya. Saat itu Jien Wei Cen
tampak tidak kuat lagi mengucapkan kata-kata pada jurus
kedua puluh lima. Darah segar semakin banyak mengalir
dari bibirnya dan napasnya mulai tersengal-sengal.
"Ayah!" teriak Jien Jing Hui histeris.- 571 "Jien Pang-cu!" kata Huo Wang-ye sambil mendekat
dan memeriksa nadi Jien Wei Cen.
Sebentar kemudian Jien Wei Cen berhenti tersengalsengal dan kepalanya mulai terkulai lemah ke samping. Jien
Jing Hui, semakin histeris dan mengguncang-guncang tubuh
ayahnya. Tapi Jien Wei Cen tidak bergerak lagi. Ia sudah
berpulang ke alam sana. Huo Wang-ye pun hanya bisa
terduduk lemas di samping pendekar yang pada masa
hidupnya tanpa tanding dan disegani semua pendekar dunia
persilatan itu. Huo Wang-ye merasa menyesal ia datang
terlambat dan tidak bisa menyelamatkan Jien Wei Cen yang
amat dihormatinya itu.
Saat itu Huo Wang-ye merasakan perahunya mulai
berguncang dan bergerak. Di luar juga terdengar teriakanteriakan dan suara riuh-rendah para pengikutnya. Segera
Huo Wang-ye keluar untuk melihat apa yang terjadi di luar,
kapalnya. Tapi baru saja ia hendak melangkah, Cheng Hung
sudah masuk ke dalam dan menahannya agar tidak
melangkah keluar.
"Lapor Yang Mulia, pasukan pengejar sudah
mendekati kita dan mulai melepaskan panah. Sangat
berbahaya bagi Yang Mulia untuk berada di luar, sebaiknya
Yang Mulia tetap di dalam kamar sampai kita berlayar" kata
Cheng Hung sambil menjura dengan hormat.
"Oh? Apakah semua pengikut Tien Lung Men sudah
naik kapal?" tanya Huo Wang-ye hendak memastikan.- 572 "Lapor Yang Mulia, semua sudah naik kecuali dua
orang yaitu tuan muda kedua Han Cia Sing dan pendekar
Pedang Elang Emas Yung Lang" jawab Cheng Hung
memberikan laporan.
"Kalau begitu kita harus menunggu mereka" kata Huo
Wang-ye.
"Lapor Yang Mulia, kita tidak bisa menunggu lebih
lama lagi atau akan membahayakan seluruh pasukan.
Bahkan Jenderal Song Wei Hao sendiri setuju dengan usulan
ini" kata Cheng Hung lagi.
"Baiklah jika demikian karena kita tidak punya
pilihan lagi. Semoga langit memberkati mereka berdua agar
bisa selamat" kata Huo Wang-ye sambil menghela napas
panjang.
"Siap laksanakan perintah Yang Mulia" kata Cheng
Hung sambil membungkuk dalam-dalam dan segera keluar
kembali.
Saat itu di luar, kapal-kapal rombongan Huo Wangye mulai bergerak meninggalkan tepian. Hujan panah mulai
mendarat di sepanjang tepian sungai You dan beberapa di
antaranya mengenai badan perahu. Para prajurit bawahan
Huo Wang-ye dan pendekar Tien Lung Men mulai
berlindung di balik tameng atau masuk ke dalam perahu
untuk menghindari serangan panah tersebut. Hanya Song
Wei Hao, Ma Han Jiang dan Xiahou Yuan yang masih tetap
berdiri di luar untuk mengamati pasukan pengejar musuh- 573 yang makin mendekat. Song Wei Hao terus memicingkan
mata untuk melihat apakah Han Cia Sing berhasil menyusul
mereka. Hatinya semakin kalut dan berdebar-debar ketika
tidak melihat apapun selain rombongan pasukan kuda
pengejar yang terus mendekat.
"Lihat, ada yang datang!" teriak seorang prajurit
bawahan Cheng Hung yang bermata paling awas sambil
menunjuk ke depan pasukan pengejar.
Jarak mereka dengan pasukan masih beberapa puluh
tombak lagi sehingga sulit memastikan siapa yang sedang
berlari di depan pasukan pengejar itu. Tapi ketika jarak
mereka makin mendekat, Song Wei Hao dapat memastikan
bahwa yang tengah berlari itu adalah Yung Lang si Pedang
Elang Emas. Hatinya semakin cemas karena tidak melihat
Han Cia Sing. Apakah telah terjadi sesuatu pada putra
mendiang sahabatnya itu?
Yung Lang berlari sekuat dan sekencang yang ia bisa.
Semua kemampuan dan tenaganya dikerahkan saat itu agar
dapat segera tiba di rombongan kapal Huo Wang-ye.
Apalagi ketika melihat perahu-perahu mulai bergerak
meninggalkan tepian sungai dan ia dapat merasakan dengus
napas kuda di belakangnya semakin mendekat, Yung Lang
semakin mempercepat gerak kakinya. Mungkin ia tidak
akan bisa berlari mengalahkan kuda-kuda yang dipacu
kencang itu tapi paling tidak ia berusaha tiba di tepian sungai
sebelum perahu-perahu berlayar terlalu jauh.- 574 "Tahan!" teriak Song Wei Hao memberikan perintah
agar kapal jangan berlayar terlebih dulu.
"Cepatlah!" teriak Ma Han Jiang memberikan
semangat kepada Yung Lang.
Yung Lang kini sudah berlari sejajar dengan kudakuda yang berada paling depan. Ia sudah mengerahkan
segenap kemampuannya namun tetap tersusul juga oleh
pasukan pengejar. Nyawa Yung Lang benar-benar di ujung
tanduk karena prajurit berkuda yang berada di sampingnya
sudah bersiap menusuknya dengan tombak dan pedang
terhunus.
"Bocah itu tidak akan selamat. Aku akan
menolongnya. Ma-siung (saudara Ma), aku butuh bantuan
kakimu" kata Xiahou Yuan sambil mengalungkan roda
emasnya di bahu dan melompat ke bahu kapal. Ma Han
Jiang langsung mengerti maksud Xiahou Yuan dan berputar
bagaikan gasing. Kemudian Xiahou Yuan melompat
menendang ke arah Ma Han Jiang yang disambut dengan
tendangan juga. Tenaga putaran badan digabungkan dengan
kekuatan tendangan kaki menghentakkan tubuh Xiahou
Yuan sehingga melayang terbang kembali ke tepian sungai
sejauh lebih dari sepuluh tombak dan mendarat tepat di
depan pasukan berkuda.
Tanpa basa-basi lagi Xiahou Yuan langsung
mencabut roda emasnya dan menyerang kaki-kaki kuda.
Ringkikan memilukan kuda-kuda malang itu membahana- 575 ketika kakinya patah tertebas pukulan roda emas yang penuh
tenaga. Para prajurit penunggangnya juga mengalami nasib
malang jatuh terjerembab dan tertimpa kuda mereka sendiri.
Beberapa di antaranya langsung tewas dengan tulang
punggung dan rusuk remuk!
"Yung Lang, ikuti aku!" seru Xiahou Yuan sambil
membuka jalan bagi Yung Lang yang nyaris tidak mampu
berdiri lagi karena kelelahan. Yung Lang tidak mampu
menyahut dan hanya mengangguk saja kemudian berlari
kembali dengan sempoyongan berusaha mencapai perahu.
"Tangkap mereka! Jangan sampai lolos!" teriak Huo
Cin memberikan perintah kepada pasukannya.
Wen Yang dan Feng Ming memacu kuda mereka ke
depan untuk menangkap Xiahou Yuan dan Yung Lang.
Jarak Xiahou Yuan dan Yung Lang dengan perahu kini
hanya tinggal lima tombak saja namun pasukan pengejar
yang mengepung mereka semakin banyak. Keadaan mereka
semakin berbahaya saja bila Wen Yang dan Feng Ming
berhasil menyusul mereka di sana.
"Rasakan ini!" teriak Wen Shi Mei sambil
melemparkan ratusan jarum Hei Se Cen (Jarum Ular Hitam)
miliknya ke arah pasukan pengejar.
Teriakan menyayat para prajurit dan ringkikan
kesakitan kuda-kuda membahana ketika jarum-jarum itu
melesat mengenai mereka. Tanpa ampun lagi mereka segera
bertumbangan ke tanah. Muka mereka membiru, kejang-- 576 kejang dan memuntahkan darah hitam. Kuda-kuda juga mati
mengenaskan dengan mulut berbusa dan muntah darah
hitam.
Kekacauan ini segera dimanfaatkan dengan baik
sekali oleh Xiahou Yuan. Sementara kuda-kuda pengejar
terhalang teman mereka sendiri yang tengah meregang
nyawa, Xiahou Yuan segera menggandeng Yung Lang. Ia
menggenjot tubuhnya sambil mengerahkan seluruh
tenaganya sehingga mereka berdua dapat terbang ke arah
perahu yang sudah mulai berlayar itu.
Ma Han Jiang dan Song Wei Hao segera menyambut
Xiahou Yuan dan Yung Lang agar dapat mendarat mulus di
atas kapal.
"Berlayar!" teriak Cheng Hung memberikan perintah.
Segera saja kapal-kapal itu mengembangkan layar mereka
dan mengikuti aliran arus sungai menuju ke hilir. Sambil
berlindung dari hujan panah, Song Wei Hao langsung
menanyakan keadaan Han Cia Sing kepada Yung Lang.
Yang ditanya tidak dapat langsung menjawab karena Yung
Lang masih berusaha mencari napasnya yang hampir putus
karena berlari sekuat tenaga.
"Jenderal Song... Cia Sing... ia... menahan... para
pendekar Huo Cin" jawab Yung Lang terputus-putus karena
kehabisan napas.
"Apa maksudmu ia menahan para pendekar Huo
Cin?" tanya Song Wei Hao dengan tidak percaya.- 577 "Cia Sing... sendirian... melawan empat belas
pendekar bawahan... Huo Cin" kata Yung Lang sambil
tertunduk lesu.
"Tidak mungkin" kata Ma Han Jiang terkejut.
"Astaga, bocah itu" kata Xiahou Yuan kehabisan
kata-kata. Song Wei Hao hanya bisa tertunduk lesu seperti
halnya Yung Lang. Ia tidak tahu harus berkata apa kepada
Han Kuo Li jika bertemu di akhirat nanti kalau sampai
terjadi sesuatu pada diri Han Cia Sing. Sebagai sahabat
keluarga Han sejak kecil, ia merasa Han Cia Pao dan Han
Cia Pao adalah keponakannya sendiri. Hatinya merasa sedih
sekali terlebih karena ia tidak dapat berbuat apa-apa untuk
menolong Han Cia Sing.
*** "Semuanya! Kepung bocah busuk ini! Jangan sampai
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia meloloskan diri! Ia mempunyai ilmu ringan tubuh setara
dengan Shi Chang Sin jadi jangan sampai lengah
sedikitpun" seru Ma Pei memberikan pengarahan kepada
semua pendekar yang mengepung Han Cia Sing.
"Tenang saja Ma-siung. Aku yang punya ilmu ada di
sini, akan kulihat sampai di mana ia bisa lari" kata Shi
Chang Sin dengan senyum mengejek.- 578 Han Cia Sing melihat keempat belas pendekar yang
mengepungnya dengan waspada sekali. Tiba-tiba saja ia
merasa seperti saat di utara dulu ketika ia dikepung
gerombolan serigala di padang rumput. Situasinya mungkin
agak lain tapi persamaan antara kawanan serigala dengan
para pengepungnya saat ini adalah mereka sama-sama
menginginkan selembar nyawanya!
Untunglah saat ini kemampuan Han Cia Sing sudah
jauh dibandingkan saat ia di utara dulu. Ilmu Shi Sui Yi Cin
Cing, Guo Yin Sen Kung, Cing Ing Cien Fa dan dasar ilmu
Pai Hu Jiang Fa adalah ilmu yang telah dikuasai Han Cia
Sing. Empat ilmu itu bukanlah ilmu sembarangan dan bisa
menandingi jurus apapun bila dimainkan dengan benar. Dan
saat ini adalah saat paling tepat bagi Han Cia Sing untuk
mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki
menghadapi keroyokan empat belas pendekar tangguh.
Han Cia Sing menarik napas sedalam-dalamnya,
mengisi seluruh paru-parunya dengan udara. Hawa murni
disalurkan ke seluruh nadi penting di tubuh dan tenaga
dalam segera berputar tanpa henti dalam tubuh Han Cia
Sing. Inilah awal jurus luar biasa Sutra Penggeser Urat
Pembersih Sumsum. Bahkan Pedang Elang Emas sampai
berdengung keras menerima saluran tenaga dalam milik Han
Cia Sing itu.
Para pengepungnya juga merasakan hawa tenaga luar
biasa yang meluap dari tubuh Han Cia Sing. Mereka menjadi
ragu-ragu untuk menyerang dan jadi saling menunggu satu- 579 sama lain. Mereka semua berasal dari partai berbeda dengan
kepentingan berbeda pula jadi siapa yang mau mencoba
kehebatan jurus Han Cia Sing terlebih dulu?
Akhirnya Ma Pei yang melihat gelagat saling
menunggu ini menjadi tidak sabar, ia merasa paling
berkepentingan untuk mengetahui keberadaan Ma Xia,
putrinya. Tidak mungkin ia nanti kembali ke utara dengan
tangan hampa menghadap Sinlin kepala suku Tonghu yang
sudah menantikan putrinya menjadi menantu.
Serangan jari api Ma Pei menyerbu dengan cepat
sekali ke semua titik penting tubuh lawan. Han Cia Sing
sudah mengenal baik serangan Ma Pei sehingga bisa
langsung berkelit ke arah yang benar. Tapi serbuan pertama
ini menjadi pemicu semangat pendekar lain untuk ikut
menyerang Han Cia Sing. Keempat Wu Se yang hendak
menuntut balas atas kematian Cing Ying langsung
menggebrak bersama-sama. Tongkat cakar harimau, busur
besi, golok pedang dan piau (pisau kecil) menyerbu Han Cia
Sing yang belum sempat menjejakkan kaki di tanah sehabis
menghindari serangan Ma Pei.
Untunglah tadi Yung Lang sudah mengajarkan enam
puluh empat jurus Pedang Elang Emas kepadanya. Han Cia
Sing memutar Pedang Elang Emasnya bagaikan gasing
menghadang serangan lawan. Inilah jurus Cing Ing Gai Se
(Elang Emas Mengembangkan Sayap) yang memang
diciptakan untuk menghadapi serbuan lawan. Bunyi logam
beradu memekakkan telinga. Bunga api memancar kemana-- 580 mana akibat benturan beberapa senjata sakti itu. Keempat
Wu Se terlempar ke belakang oleh kekuatan tenaga Shi Sui
Yi Cin Cing yang tersalur dalam Pedang Elang Emas. Ini
bukti tenaga dalam Han Cia Sing jauh di atas mereka
berempat.
Selesai menghalau empat Wu Se, datang Si Ta Hao
Ren (Empat Orang Baik) yang tidak kalah kejam
serangannya. Pu Cui memutar badannya hendak
menghantamkan guci arak besi yang digendong di
punggungnya ke badan lawan. Pu Tou maju dengan telapak
tangan terbuka hendak mencengkeram perut Han Cia Sing
sedangkan Pu Sa bersiap menebas kepala dengan golok
lebarnya. Pu Tu melompat tinggi ke udara dan melemparkan
dadu-dadu besinya ke arah kepala lawan.
Han Cia Sing berjumpalitan di tanah dengan ringan
sekali untuk menghindari serangan keempat lawannya itu.
Ia berpikir untuk menjauh dari kepungan sekaligus mencari
jalan keluar dari sana tapi mana mau mereka melepaskannya
begitu saja. Kini giliran Chang Bai dan Fan Zheng yang
menghadang gerakan Han Cia Sing. Ilmu Wu Di Mi Jie Sen
Kung (Ilmu Sakti Raga Tanpa Wujud) yang dikerahkan Fan
Zheng mampu membuat tubuh Han Cia Sing terpaku tidak
bisa bergerak. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Chang
Bai yang langsung menghajar dada Han Cia Sing dengan
jurus Liu Suang Hong Chuen (Enam Pasang Tinju Merah)!
Han Cia Sing menerima enam pasang tinju maut
Chang Bai dengan telak sehingga ia terlempar kembali ke- 581 tengah-tengah kepungan. Dadanya terasa panas dan
terbakar, tapi beruntunglah tenaga Shi Sui Yi Cin Cing
melindungi Han Cia Sing dari luka dalam yang parah. Hawa
tenaga dalam Han Cia Sing segera berputar dan
menyembuhkannya hanya dalam beberapa hembusan napas
saja. Tapi ia tidak bisa berlama-lama karena Ma Pei dan Shi
Chang Sing sudah datang membuat perhitungan dengannya.
Han Cia Sing benar-benar kerepotan dikeroyok empat
belas pendekar tangguh, tapi para pengeroyoknya juga
benar-benar heran melihat ia dapat bertahan. Jien Wei Cen
saja mungkin tidak akan dapat bertahan dikeroyok empat
belas pendekar kelas atas seperti itu. Kini mereka masingmasing sudah bertarung hampir dua puluh jurus dan Han Cia
Sing masih belum kelihatan terluka sama sekali. Ma Pei
bertambah penasaran ingin segera Li meringkus bocah yang
dianggapnya pemerkosa putri tunggalnya
"Semuanya! Kita maju bersama!" seru Ma Pei dengan
geram L setelah jurus ketiga puluh mereka masih juga belum
mampu merobohkan Han Cia Sing.
Segera empat belas pendekar mengepung Han Cia
Sing H dengan rapat sekali. Mereka semua maju bersamasama dengan senjata andalan masing-masing bersiap
menghabisi Han Cia Sing. Semua jalan mundur sudah
terkepung rapat, tidak mungkin untuk menghindar lagi.
Satu-satunya jalan adalah bertarung langsung karena
memang inilah yang diinginkan oleh Ma Pei. Ia mengira
dapat menaklukkan Han Cia Sing dengan cara seperti ini.- 582 Kekuatan mereka berempat belas memang luar biasa
sehingga menekan udara dan membuat Han Cia Sing yang
berada di tengah-tengah kepungan merasa sesak napas.
Han Cia Sing menyadari saat itu adalah saat hidup
atau mati baginya. Ia segera mengerahkan tenaga Shi Sui Yi
Cin Cing I sampai ke puncaknya. Seluruh tubuhnya sampai
terasa bergetar karena kekuatan tenaga dalam yang seperti
mau meledak itu. Sebuah sinar menyilaukan memancar
keluar dari seluruh tubuhnya, seakan-akan sebuah bola
cahaya yang meledak, Sinarnya bahkan mengalahkan
kekuatan cahaya matahari pagi hari itu. Inilah jurus yang
mampu mengalahkan ilmu Pei Ming Sen Kung (Ilmu Sakti
Neraka Utara) milik Fang Yung Li. Ilmu tenaga hawa murni
yang luar biasa dan tidak terputus-putus sehingga mampu
mengumpulkan tenaga menjadi satu kesatuan kekuatan yang
luar biasa.
Han Cia Sing berteriak keras ketika melepaskan
seluruh tenaga dalamnya. Bola cahaya yang terbentuk dari
tenaga dalamnya meledak dengan dentuman keras. Empat
belas pengeroyoknya yang tidak siap langsung terpental
beberapa tombak ke segala arah. Bau hangus tercium di
udara dan tempat Han Cia Sing berdiri menjadi berlubang
sedalam satu kaki. Han Cia Sing memandang sekelilingnya
sambil mengatur napasnya kembali. Tenaga yang ia
keluarkan begitu besar sehingga butuh waktu lebih lama
pulih dari biasanya.- 583 Tampaknya Han Cia Sing berhasil memenangkan
pertarungan itu dengan kemenangan telak. Hampir
semuanya pengeroyoknya pingsan karena kerasnya
hentakan tenaga barusan, kecuali Shi Chang Sin, Ma Pei dan
Fan Zheng. Tapi mereka pun juga tidak mampu langsung
berdiri karena luka dalam yang cukup parah. Mereka bertiga
segera bersemedi untuk menghimpun tenaga menyembuhkan luka dalam. Ma Pei dan Shi Chang Sin memandang Han
Cia Sing dengan penuh kebencian dan kekagetan karena
berhasil dikalahkan oleh bocah ingusan itu.
"Maafkan semua" kata Han Cia Sing sambil menjura.
Ia sama sekali tidak punya dendam dengan mereka semua
sehingga tidak ingin melukai mereka lebih lanjut meskipun
para pengeroyoknya itu adalah orang-orang aliran sesat di
dunia persilatan. Han Cia Sing segera bergegas
meninggalkan tempat itu setelah tenaganya pulih seperti
sedia kala. Satu dua lompatan ringan Guo Yin Sen Kung
sudah membawanya menjauhi tempat itu menuju tepian
sungai You. Debu mengepul tinggi di depannya
menandakan pasukan pengejar sudah berada di depannya.
Han Cia Sing menarik napas dalam-dalam dan
menghentakkan kakinya sekuat tenaga. Tubuhnya
membubung tinggi ke angkasa dan terbang melewati kepala
para prajurit pasukan pengejar.
Han Cia Sing mendarat di tengah-tengah pasukan
pengejar dan segera menghentakkan kakinya lagi begitu
mendarat di tanah. Teriakan-teriakan marah dan terkejut- 584 riuh-rendah setiap kali Han Cia Sing lewat di antara kuda
para prajurit. Mereka sampai tidak sempat menarik panah
karena terkejut sekali melihat Han Cia Sing yang datang dan
pergi dengan begitu cepatnya. Han Cia Sing juga tidak mau
berhenti sama sekali bahkan menoleh pun ia tidak. Tujuan
Han Cia Sing hanya satu sekarang yaitu secepat mungkin
bergabung dengan rombongan kapal Huo Wang-ye.
Sebentar saja Han Cia Sing sudah tiba di tepian sungai
You. Sayang sekali ketika itu rombongan kapal Huo Wangye sudah berlayar sampai di tengah. Jarak antara perahu
terdekat dengan tepian sungai lebih dari tiga puluh tombak.
Meskipun ilmu Guo Yin Sen Kung amat luar biasa, tapi
jarak lompatan terjauh yang dapat dilakukan mungkin hanya
sepuluh tombak saja, tidak cukup jauh untuk sampai di
perahu. Han Cia Sing benar-benar kebingungan sekarang,
apalagi prajurit panah yang tadi membidik rombongan
perahu kini diperintahkan kasim Huo Cin untuk berganti
sasaran ke arah Han Cia Sing.
"Cia Sing! Sambut roda emasku!" teriak Xiahou
Yuan yang ternyata berada di kapal terdekat itu dengan
tenaga dalam agar dapat terdengar oleh Han Cia Sing yang
berada di tepian sungai.
Sebuah kilatan cahaya emas berdesing kencang ke
arah Han Cia Sing. Itulah roda emas milik Xiahou Yuan
yang dilemparkan dengan sepenuh tenaga ke arah Han Cia
Sing. Tanpa berpikir panjang, Han Cia Sing segera
menggenjot tubuhnya melayang ke tengah sungai- 585 menyambut roda emas itu. Han Cia Sing mendarat tepat di
atas roda emas itu dengan ringan sekali seperti sehelai daun
kering. Roda emas itu berdesing kencang dan berputar balik
kembali ke arah pelemparnya dengan membawa Han Cia
Sing yang naik di atasnya. Pemandangan itu begitu
menakjubkan bagaikan dongeng dewa-dewi sehingga
membuat para prajurit panah terperangah dan lupa akan
tugasnya.
Han Cia Sing yang merasakan tenaga roda emas
mulai melemah pada jarak sekitar lima tombak dari perahu,
segera bersalto ringan menuju ke buritan kapal. Xiahou
Yuan langsung melompat menerima kembali roda emasnya
dan menyambut Han Cia Sing dengan gembira. Song Wei
Hao, Ma Han Jiang dan Yung Lang juga menyambutnya
dengan wajah berseri-seri. Sementara dari kapal-kapal lain
terdengar sorak-sorai penuh kemenangan setelah melihat
pameran kehebatan luar biasa yang diperagakan oleh Han
Cia Sing. Semua merasa takjub dan kagum bahkan termasuk
Huo Cin, Feng Ming dan Wen Yang yang melihat dari
tepian sungai You.
"Jien Wei Cen berhasil dikalahkan tapi datang lagi
seorang musuh tangguh" bisik Wen Yang kepada kakaknya
itu. "Huh! Aku, Huo Cin tidak takut pada langit dan bumi,
apalagi hanya seorang bocah ingusan seperti itu. Aku
nantikan kedatangannya kapan saja ia mau" kata Huo Cin
sambil tersenyum mengejek.- 586 39. Rahasia Permaisuri
Pada tahun ketiga Sian Heng jaman pemerintahan
Kaisar Tang Gao Zu, Yang Mulia Kaisar menganugerahkan
gelar bangsawan pelindung negara kepada Huo Cin sebagai
penghargaan atas keberhasilannya mengalahkan
pemberontakan bangsawan Wu Han, Jien Wei Cen. Gelar
bangsawan itu dapat diberikan kepada keturunan angkat
atau siapapun yang ditunjuk oleh Huo Cin sebagai
penerusnya. Gelar pelindung negara adalah gelar yang amat
mulia dan hampir bisa disejajarkan dengan guru negara
sehingga tidak heran jika Huo Cin menjadi semakin
berpengaruh di lingkungan istana. Demikian pula Jenderal
Chu Song naik pangkat satu tingkat sedangkan keluarga
mendiang Huang Ding Siang juga dianugerahi gelar
bangsawan dan tanah bebas pajak sebagai tanda atas jasajasanya.
Dunia persilatan juga mengalami banyak perubahan
setelah kejatuhan partai Tien Lung Men. Partai Ceng Lu Hui
(Perkumpulan Jalan Kebenaran) dikukuhkan sebagai partai
utama dunia persilatan menggantikan Tien Lung Men. Partai
Hai Sa (Pasir Laut) dan partai Fung San (Gunung Angin)
dileburkan ke dalam Ceng Lu Hui. Pimpinan Ceng Lu Hui
yang baru bukan Wen Yang melainkan Chang Bai. Sebagai
orang yang licik dan banyak siasat, Wen Yang lebih senang
jika Chang Bai yang menjadi pimpinan boneka bagi dirinya.
Chang Bai yang gila kekuasaan tentu tidak menolak kursi- 587 pimpinan partai dunia persilatan yang memang amat
didambakannya. Dulu sebelum kemunculan Jien Wei Cen di
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dunia persilatan, Chang Bai memang diakui sebagai
pimpinan. Kini ia dapat merasakan kembali berkuasa penuh
atas dunia persilatan meskipun hanya menjadi boneka Huo
Cin dan Wen Yang.
Dua bulan setelah kejadian menggemparkan di Yi
Chang itu, tampak serombongan petani bersama dengan
pedati mereka memasuki wilayah timur kotaraja. Pedati
mereka yang ditarik keledai sarat dengan sayur-mayur yang
akan dijual di kotaraja. Dua orang gadis berpakaian
sederhana tampak duduk di atas pedati. Keduanya memakai
topi kayu lebar untuk menutupi wajah mereka dari teriknya
panas matahari siang musim panas itu. Sementara tiga orang
pemuda berpakaian petani yang sudah lusuh berjalan
menuntun keledai menuju gerbang kotaraja. Mereka antri
bersama ratusan orang lain yang ingin masuk ke dalam
kotaraja.
Para penjaga gerbang timur tampak sedang
memeriksa setiap orang dengan teliti. Mereka bertampang
mirip pendekar atau membawa senjata langsung diperiksa
lebih teliti oleh beberapa prajurit untuk mengetahui maksud
dan tujuan mereka masuk kotaraja. Sementara para
pedagang, petani dan buruh dipersilakan masuk tanpa
pemeriksaan meskipun harus membayar "uang lewat"
kepada para prajurit penjaga. Satu hal yang dulu pada jaman
Han Kuo Li masih menjabat sebagai Jenderal Empat- 588 Gerbang tidak pernah terjadi. Sekarang disiplin para prajurit
tampak amat lemah karena komandan pasukan mereka
terlihat duduk-duduk makan dengan minum arak di tempat
teduh sambil mengawasi orang yang lalu-lalang dengan
acuh saja.
Rombongan petani yang membawa pedati itu juga
lewat setelah memberikan beberapa kepeng uang kepada
para prajurit penjaga yang memeriksa mereka dengan asal
saja. Bahkan seorang prajurit dengan kurang ajar sekali
berani menyentuh pipi salah seorang gadis petani yang
duduk di atas pedati itu di depan orang banyak. Sungguh
kelakuan yang amat tidak pantas dilakukan oleh seorang
abdi kerajaan!
Rombongan petani itu berjalan terus menelusuri
jalan-jalan kotaraja yang ramai sekali. Dua orang gadis yang
duduk di atas pedati tampak terkagum-kagum dengan
keindahan dan kemewahan kotaraja yang baru pertama kali
mereka lihat itu. Penjual kain sutra, mainan, asinan manisan
dan makanan tampak berjejal memadati pinggiran jalan
menawarkan dagangan mereka. Belum lagi beberapa orang
yang menjual jasa tari-tarian atau keterampilan silat
menambah ramai suasana kotaraja. Rumah makan yang
besar dan bertingkat dua juga tampak dipenuhi oleh orangorang dari berbagai daerah dan bangsa yang terlihat dari
pakaian dan logat bicara mereka. Kotaraja kerajaan Tang
memang merupakan pusat perdagangan terbesar sehingga- 589 banyak pedagang negara tetangga yang datang untuk
berusaha di sana.
"A Xia, A Yuan jangan terbengong begitu. Kalian
membuat malu saja" kata seorang pemuda yang menuntun
keledai kepada kedua gadis yang duduk di atas pedati itu.
"Yung Lang, sudahlah jangan menggoda mereka
terus" kata seorang pemuda lain yang berjalan di depan.
"Bagaimana tidak tergoda? Tadi prajurit penjaga
gerbang saja tidak tahan melihat kecantikan mereka" kata
pemuda yang menuntun keledai itu sambil berusaha
menahan tawanya.
"Ia memang kurang ajar! Kalau saja kita tidak sedang
menyamar, pastilah sudah kupatahkan tangannya" kata
salah satu gadis petani sambil membuka topi kayunya yang
lebar.
Gadis muda itu tampak sangat marah. Alisnya yang
hitam tebal melengkung ke atas. Matanya yang bulat
berkilat-kilat dan bibirnya yang kecil itu telah menjadi satu
garis tipis. Ia tidak lain adalah Ma Xia, putri tunggal Ma Pei
ketua partai Tien Huo di utara sana. Gadis yang duduk di
sebelahnya adalah Wongguo Yuan yang juga menyamar
dengan pakaian petani sederhana.
"Sudahlah kakak Xia, sekarang kita harus sabar.
Jangan sampai penyamaran kita terbongkar nantinya" kata
Wongguo Yuan mencoba menenangkan.- 590 Ma Xia hanya mendengus kesal sambil memakai topi
kayunya kembali. Memang mereka berlima memang sedang
menyamar dalam usaha mereka memasuki kotaraja. Lin
Tung dan Han Cia Sing berpakaian petani berjalan di depan
sedangkan Yung Lang memakai pakaian buruh menuntun
keledai dan pedati yang mereka beli di luar kotaraja. Usaha
penyamaran yang sudah susah seperti itu masakan harus
digagalkan hanya oleh kemarahan Ma Xia seorang saja?
"Cia Sing, masih jauhkah rumah kakek tirimu?" tanya
Lin Tung.
"Tidak jauh, tinggal menyusuri jalan besar ini saja
kemudian berbelok ke kiri sekitar satu li. Tapi kita harus
sabar menunggu malam tiba agar tidak menimbulkan
kecurigaan. Lagipula pedati sayur mayur ini masih harus
diserahkan kepada pemilik rumah makan, jadi lebih baik
kita menunggu saja di rumah makan itu sampai hari malam"
kata Han Cia Sing menjelaskan.
"Benar apa yang diusulkan Han Cia Sing itu" kata
Yung Lang menyetujui.
"Aku juga sudah lapar sekali. Cia Sing nanti kita
pesan makanan khas kotaraja yang enak-enak. Aku ingin
sekali mencoba masakan dataran tengah" kata Ma Xia penuh
harap.
"Eh, nona besar, kau harus lihat dulu pakaian kita
sekarang. Apakah kau pikir orang-orang tidak akan curiga- 591 jika kita memesan masakan yang enak dan mahal?" tanya
Yung Lang dengan ketus.
"Lantas apakah kita tidak makan?" tanya Ma Xia
tidak mau kalah.
"Kalian jangan bertengkar lagi. Nanti setelah kita tiba
di rumah makan, kita pesan saja makanan dan kita makan di
dapur" kata Han Cia Sing menengahi.
"Cia Sing, kita sudah dekat dengan rumah makan
yang dikatakan pemilik pedati ini tadi" kata Lin Tung sambil
menunjuk sebuah rumah makan yang besar dan ramai di
ujung jalan.
Ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh Lin
Tung itu. Rumah makan itulah yang dikatakan pemilik
pedati memesan sayur-mayur. Han Cia Sing dan kawankawan segera masuk melalui pintu belakang dan
menyerahkan dagangan mereka ke dapur. Pemilik rumah
makan segera membayar mereka dengan beberapa tael perak
untuk satu pedati penuh sayur-mayur segar. Ma Xia dan
Wongguo Yuan segera menyimpan uang itu dan memesan
beberapa masakan untuk mereka. Sebenarnya uang yang
diberikan oleh Huo Wang-ye sebagai bekal amat sangat
banyak, tapi jika mereka tidak menerima uang dagangan
mereka maka pasti akan menimbulkan kecurigaan.
Setelah selesai makan sampai kenyang, mereka
berlima minta ijin kepada pemilik rumah makan untuk tidur
siang di gudang. Permintaan mereka dikabulkan tanpa- 592 banyak pertanyaan oleh pemilik rumah makan. Akhirnya
mereka dapat beristirahat dengan tenang setelah perjalanan
jauh yang telah mereka tempuh selama beberapa hari. Suara
dengkuran Lin Tung begitu keras sehingga beberapa kali
Yung Lang menendang sahabatnya itu karena merasa
terganggu.
Han Cia Sing sendiri hanya merebahkan diri di
tumpukan jerami tanpa dapat memejamkan mata. ia merasa
gelisah memikirkan rencananya menyusup ke rumah kakek
tirinya nanti malam. Apakah yang hendak ia lakukan
terhadap bangsawan Ye yang telah menyerahkan ketiga adik
perempuannya kepada pihak istana? Apakah ia akan
membalas dendam kepada bangsawan Ye untuk ketiga
adiknya atau untuk dirinya sendiri yang dulu diusir ke utara
karena saran kakek tirinya itu? Kakaknya Han Cia Pao
sudah berpesan sebelum ia pergi ke kotaraja agar
mengampuni nyawa bangsawan Ye. Apapun yang pernah ia
lakukan, bangsawan Ye tetap adalah kakek luar Han Cia Pao
sehingga ia merasa wajib mohon ampun untuk bangsawan
Ye. Han Cia Pao juga berpesan agar Han Cia Sing
menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi sepeninggal Ye Ing
dari rumah bangsawan Ye.
Ma Xia dan Wongguo Yuan tidur agak jauh dari
tempat Han Cia Sing berada. Ma Xia sudah tertidur nyenyak
karena lelah dan kenyang tapi Wongguo Yuan masih
terjaga. Ia sama seperti Han Cia Sing yang sedang banyak
pikiran, tapi tentu saja yang ia pikirkan lain lagi. Wongguo- 593 Yuan memiringkan tubuhnya agar bisa melihat ke arah Han
Cia Sing berbaring. Ia agak terkejut dan malu ketika melihat
Han Cia Sing ternyata juga masih terjaga dan sedang
memandang ke arahnya.
"A Yuan, engkau masih belum tidur?" bisik Han Cia
Sing agar tidak membangunkan yang lain.
"Belum, aku tidak bisa tidur" jawab Wongguo Yuan
lirih sambil bangkit dan berdiri mendekati Han Cia Sing.
"Mengapa? Apakah engkau rindu kepada kakekmu?"
tanya Han Cia Sing.
"Tidak ehmmmm ya sedikit" aku Wongguo Yuan.
"Selama ini paman Wongguo adalah satu-satunya keluarga
dekatmu, tentu saja akan terasa aneh jika berpisah
dengannya" kata Han Cia Sing sambil menegakkan
tubuhnya duduk di sisi Wongguo Yuan.
"Benar juga. Selama ini aku selalu bersama kakek,
jadi sekarang agak aneh tanpa kehadirannya. Kau sendiri
mengapa tidak bisa tidur?" tanya Wongguo Yuan balik
kepada Han Cia Sing yang kemudian menghela napas
panjang.
"Aku sedang berpikir apa yang akan aku lakukan
kepada bangsawan Ye jika aku bertemu dengannya nanti
malam" kata Han Cia Sing sambil matanya menerawang ke
arah jendela.- 594 "Aku mendengar dari Jenderal Song bahwa ketiga
adik perempuanmu diserahkan kepada istana oleh
bangsawan Ye sehingga dijatuhi hukuman mati. Jika itu
benar maka jahat dan tega sekali bangsawan Ye itu" kata
Wongguo Yuan.
"Tapi kakakku memintaku untuk mengampuninya. Ia
hanya ingin aku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi
saat itu sehingga bangsawan Ye sampai tega menyerahkan
ketiga adikku kepadanya" kata Han Cia Sing berusaha
menekan perasaannya yang bergejolak.
Mereka berdua terus bercakap-cakap mengenai isi
hati mereka masing-masing sampai matahari condong ke
barat. Han Cia Sing merasakan ia cocok sekali jika berbicara
dengan Wongguo Yuan yang lembut dan penuh pengertian
itu. Han Cia Sing merasa jika ia berbicara dengan Wongguo
Yuan, ia seperti sedang berbicara dengan Pai Lien,
mendiang ibunya. Keduanya mempunyai sikap yang samasama lembut, juga tidak banyak menuntut dan lebih banyak
mendengar daripada berbicara. Suasana hati berubah tenang
setelah berbincang-bincang dengan Wongguo Yuan.
Percakapan mereka berdua ternyata didengarkan oleh
Ma Xia yang pura-pura tetap tidur membelakangi mereka
meskipun telah terjaga. Ma Xia adalah seorang wanita juga
sehingga ia dapat merasakan getaran perasaan Wongguo
Yuan terhadap Han Cia Sing selama ini. Apalagi setelah
Wongguo Yuan berkeras kepada kakeknya ingin ikut ke
kotaraja bersama rombongan Han Cia Sing dengan alasan- 595 ingin melihat-lihat kotaraja. perasaan Ma Xia berubah
menjadi keyakinan. Bahkan Wongguo Luo sendiri juga
dapat merasakan bahwa cucunya itu sedang dimabuk asmara
sehingga ia memberikan ijin kepada Wongguo Yuan untuk
ikut pergi ke kotaraja.
Tidak terasa air mata menetes dari pelupuk mata Ma
Xia. Perasaan sedih, marah, cinta dan cemburu bercampur
aduk dalam hatinya, la sadar sebagai anak Ma Pei pemimpin
partai Tien Huo yang kejam dan memeras suku-suku lain di
utara, ia tidak layak bagi Han Cia Sing. Keluarga Han Cia
Sing sudah turun temurun menjadi abdi kerajaan Tang yang
setia jadi mana mungkin menerima anak seorang begal suku
utara sebagai menantu? Wongguo Yuan masih lebih bisa
diterima karena kakeknya Wongguo Luo sudah bertobat dari
jalan sesat, bahkan sekarang menjadi guru Han Cia Pao
untuk melatih hawa tenaga dingin luar biasa yang
mengendap dalam tubuhnya. Cia Sing, aku memang tidak
layak untukmu, desah Ma Xia dalam hatinya dengan sedih
sekali.
Hari semakin sore dan ruangan gudang itu terasa
makin gelap. Han Cia Sing membangunkan Yung Lang dan
Lin Tung yang masih tertidur lelap sebagai persiapan
rencana mereka nanti malam. Ma Xia dan Wongguo Yuan
membeli beberapa potong kue sebagai bekal mereka nanti
malam serta mengucapkan terima kasih kepada pemilik
rumah makan yang telah mengijinkan mereka memakai
gudangnya.- 596 Ketika hari sudah benar-benar gelap, mereka berlima
keluar dari pintu belakang rumah makan itu menuju ke jalan
besar. Mereka menyusuri jalan yang masih ramai dengan
para pedagang dan penjual jasa lainnya. Ribuan lampion
berwarna merah menerangi jalanan sehingga membuat
suasana terang benderang. Ma Xia dan Wongguo Yuan
benar-benar terkagum-kagum melihat suasana kotaraja yang
baru pertama kali mereka lihat itu. Keadaan kotaraja
memang berbeda bagai bumi dan langit bila dibandingkan
dengan keadaan di utara tembok besar yang sunyi dan dingin
sepanjang tahun.
Han Cia Sing memperlambat jalannya ketika mereka
tiba di depan sebuah yang amat besar tapi kelihatan kosong
dan gelap. Dua buah segel kuning milik kerajaan tampak
menyilang menutup pintu gerbang utama rumah yang tanpa
papan nama itu. Han Cia Sing menatap gerbang rumah itu
dengan sedih sekali sehingga Yung Lang segera mengetahui
sebabnya.
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cia Sing, apakah ini wisma keluarga Han?" tanya
Yung Lang pelan sambil menepuk pundak sahabatnya itu.
Han Cia Sing hanya mengangguk pelan tanpa
mengeluarkan kata-kata. Keempat temannya juga tidak
berani berkata apa-apa dan hanya berdiri di sampingnya
saja. Mereka dapat merasakan kesedihan Han Cia Sing yang
mendalam. Kematian ibunya yang mengenaskan pasti amat
membekas di hati Han Cia Sing yang kala itu masih muda
sekali. Belum lagi kehancuran keluarga Han yang terjadi- 597 kemudian saat ia masih berada di utara. Han Cia Sing
memandang bekas rumahnya yang menyimpan banyak
sekali kenangan baik manis maupun pahit itu dengan mata
berkaca-kaca. Kemudian ia memaksakan diri melangkah
menuju ke arah pintu belakang wisma keluarga Han agar
dapat masuk tanpa diketahui banyak orang. Empat
sahabatnya mengikuti Han Cia Sing tanpa bersuara di
belakangnya.
Akhirnya mereka tiba di pintu belakang yang sudah
reyot dan hampir roboh. Han Cia Sing dengan hati-hati
masuk melalui celah pintu dan berjalan menuju halaman
belakang, la berhenti sejenak memandang wisma keluarga
Han yang tampak terbengkalai itu dengan pandangan
menerawang. Beberapa tahun yang lalu ketika ia masih
tinggal di sini, wisma keluarga Han amat megah dan mewah
tapi sekarang hanya tersisa puing-puing saja. Han Cia Sing
berjalan terus menuju aula utama sementara itu Lin Tung
sudah menyalakan obor di belakangnya untuk menerangi
jalan.
Han Cia Sing mendekati lemari altar tempat papanpapan nama leluhur keluarga Han yang telah meninggal
diletakkan di sana. Lemari altar itu sudah hancur berantakan
saat penyerangan prajurit kerajaan dulu. Han Cia Sing
berusaha mengatur kembali beberapa papan nama yang
masih tersisa. Kesedihannya tidak dapat dibendung lagi
ketika teringat bahwa papan nama Pai Lien tidak- 598 diperbolehkan berada bersama papan nama para leluhur oleh
Ye Ing karena dianggap bukan anggota keluarga resmi.
Hatinya membara lagi oleh dendam ketika mengingat
perlakuan jahat Ye Ing kepada mendiang ibunya semasa
hidup dulu.
Tiba-tiba terdengar suara isak tangis wanita yang
menyayat terdengar dari bagian belakang rumah itu.
Tangisan itu diiringi suara bisik-bisik yang tidak terdengar
jelas. Ma Xia dan Wongguo Yuan langsung merinding dan
ketakutan mendengarnya. Yung Lang dan Lin Tung
sebenarnya merasa takut juga tapi merasa gengsi untuk
menunjukkannya di depan kedua gadis itu. Tangan Lin Tung
yang memegang obor juga sampai gemetaran menahan
perasaan takutnya.
"Cia...Cia Sing, mungkin sebaiknya kita segera pergi
dari sini" kata Yung Lang setengah tergagap karena
gugupnya.
"Aku akan melihat siapa itu" kata Han Cia Sing
sambil melangkah menuju ke halaman belakang.
Yung Lang dan Lin Tung berusaha mencegahnya tapi
terlambat. Mau tak mau mereka berempat terpaksa
mengikuti Han Cia Sing ke halaman belakang. Rumah
belakang itu juga sudah hancur tidak terawat lagi. Bekasbekas kebakaran masih tampak jelas di beberapa tempat,
menandakan rumah belakang yang dulu didiami oleh Han
Cia Sing dan mendiang Pai Lien. Suara tangisan wanita yang- 599 menyayat itu berasal dari salah satu kamar belakang yang
berada di ujung. Han Cia Sing tanpa ragu langsung
membuka pintu kamar itu sementara keempat temannya
yang berniat mencegah tidak berani lebih mendekat lagi.
Suara tangisan itu berasal dari satu sudut yang gelap.
Mata Han Cia Sing mengerjap sebentar membiasakan diri
dengan keadaan yang gelap. Akhirnya setelah beberapa saat,
ia dapat melihat sesosok tubuh wanita tua yang kurus kering
dengan rambut memutih yang awut-awutan tengah
meringkuk di sudut gelap. Han Cia Sing segera mendekati
wanita tua berusaha melihat lebih jelas siapa sebenarnya dia
itu. "Bukan aku! Bukan aku yang melakukannya! Nyonya
yang menyuruhku melakukannya!" jerit wanita tua itu
dengan histeris ketika Han Cia Sing menyentuh pundaknya.
Jeritan itu jelas amat mengagetkan Han Cia Sing,
apalagi keempat temannya. Jika saja tidak ada Ma Xia dan
Wongguo Yuan di sana, pastilah Lin Tung dan Yung Lang
sudah melarikan diri sejak tadi. Han Cia Sing berusaha
menenangkan wanita tua itu, namun ia malah menjerit-jerit
dengan ketakutan sekali.
"Bukan aku yang membakarmu! Ampun, bukan aku
yang membakarmu!" kata wanita tua itu sambil berlutut di
tanah dan membentur-benturkan kepalanya ke tanah
menyembah Han Cia Sing.- 600 "Chang-sao?" kata Han Cia Sing setengah tidak
percaya setelah menyadari siapa wanita tua itu.
Wanita tua itu memang Chang-sao, pelayan Ye Ing
dulu. Ia juga yang dulu merencanakan untuk menfitnah Pai
Lien hingga disekap di dalam gudang tanpa makanan cukup
selama beberapa hari. Setelah kematian Pai Lien yang tragis,
Ye Ing mengirimnya pulang kembali ke kampung
halamannya dengan sejumlah uang yang cukup banyak
untuk menutup mulutnya. Namun ternyata saudarasaudaranya di desa malah menipu uangnya habis-habisan
sehingga ia terlunta-lunta dan kembali ke kotaraja dengan
harapan dapat bekerja kembali di wisma keluarga Han.
Sayang sekali Chang-sao kembali hanya untuk mendapati
puing-puing kehancuran wisma keluarga Han saja. Batinnya
yang sudah retak karena ditipu keluarganya sendiri di desa,
langsung hancur melihat keadaan ini. Ia pun menjadi
pengemis selama beberapa bulan di kotaraja sebelum
akhirnya benar-benar kehilangan kewarasannya karena rasa
bersalahnya terhadap Pai Lien dulu. Inikah yang disebut
pembalasan karma?
"Kau... kau mengenal dia?" tanya Yung Lang
memberanikan diri masuk ke dalam kamar bersama Lin
Tung yang membawa obor.
"Ia adalah Chang-sao, pelayan Ye Ing dulu" kata Han
Cia Sing dengan suara serak sambil memandangi Chang-sao
yang masih menjerit-jerit histeris.- 601 "Mengapa ia sampai jadi begini?" tanya Yung Lang
ingin tahu.
"Aku juga tidak tahu. Sudah lama sekali aku tidak
bertemu dengannya sejak aku pergi ke utara" jawab Han Cia
Sing.
"Kasihan sekali dia" kata Wongguo Yuan sambil
berlutut di dekat Chang-sao berusaha membersihkan
wajahnya yang penuh debu tanah.
"Tidak! Bukan aku yang membunuhmu. Nyonya Pai
Lien! Bukan aku!" jerit Chang-sao dengan sangat ketakutan
ketika melihat Wongguo Yuan mendekatinya.
"Tunggu!" kata Wongguo Yuan berusaha menahan
Chang-sao yang lari tunggang langgang keluar kamar.
"A Yuan, sudahlah. Kita juga percuma menahannya"
kata Han Cia Sing menahan Wongguo Yuan yang hendak
lari mengejar Chang-sao.
"Tapi, ia begitu kasihan" kata Wongguo Yuan sambil
mengusap setitik air mata yang meleleh di pipinya.
"Sudahlah A Yuan, setiap manusia mempunyai jalan
hidupnya sendiri" kata Ma Xia berusaha menenangkan
Wongguo Yuan.
Mereka berlima berkeliling wisma keluarga Han itu
sekali lagi sebelum pergi meninggalkannya. Pertemuan
dengan Chang-sao yang singkat menimbulkan bekas yang
dalam pada diri Han Cia Sing. Selama ini ia begitu- 602 membenci Ye Ing dan mungkin juga Chang-sao yang selalu
berlaku sewenang-wenang kepada dirinya dan mendiang Pai
Lien. Tapi kini setelah melihat keadaan Ye Ing dan Changsao yang begitu mengenaskan, hatinya menjadi berubah.
Perbuatan manusia di dunia pastilah akan mendapatkan
balasan yang setimpal. Hukum manusia dapat
diputarbalikkan sesuai perkataan lidah manusia yang tidak
bertulang tapi hukum langit selalu adil. Han Cia Sing
menghela napas panjang. Sekarang ia menuju ke rumah
bangsawan Ye dengan hati yang lebih lapang dan bersih.
Kata-kata Lu Xun Yi dulu bahwa hidup manusia di dunia ini
harus selalu adil dan jujur kembali terngiang di hatinya.
Mereka berlima berjalan tanpa banyak bicara menuju
kediaman bangsawan Ye. Han Cia Sing bahkan hampir
melewatkan rumah kakek tirinya itu karena terus melamun.
Untunglah Yung Lang memperhatikan papan nama keluarga
Ye yang terpampang mentereng di depan gerbangnya yang
besar dan banyak lampionnya itu. Ma Xia, Wongguo Yuan
dan Lin Tung sempat terkagum-kagum melihat betapa besar
dan mewahnya rumah bangsawan Ye. Dua patung singa
batu yang besar berdiri di kiri kanan gerbang itu seolah
menjaganya dari orang yang hendak berbuat jahat.
Han Cia Sing mengangguk kepada teman-temannya
kemudian ia melompat ringan ke atas atap gerbang. Ilmu
ringan tubuh Han Cia Sing sekarang sudah amat tinggi
sehingga sama sekali tidak mengeluarkan suara ketika
berlari menyusuri atas atap wisma keluarga bangsawan Ye- 603 itu. Keempat temannya menunggu di sebuah gang sempit
yang berada di seberang wisma keluarga bangsawan Ye.
Mereka merasa lebih baik tidak ikut campur dalam masalah
keluarga Han Cia Sing meskipun sebenarnya Ma Xia ingin
sekali ikut. Kini mereka hanya bisa menunggu saja sampai
Han Cia Sing kembali nanti.
Han Cia Sing melompat turun dengan ringan sekali di
halaman belakang wisma bangsawan Ye yang amat luas.
Dulu waktu masih kecil, ia sama sekali tidak pernah
menginjakkan kakinya di rumah kakek tirinya itu. Selain
karena memang tidak pernah diharapkan kedatangannya, ia
juga tidak sudi datang ke rumah orang yang selalu
menghinanya dan juga mendiang ibunya. Jika karena tidak
terpaksa menuruti saran kakaknya, Han Cia Sing juga tidak
akan sudi mampir di wisma bangsawan Ye ini. Han Cia Sing
bertekad secepatnya bertemu bangsawan Ye, mencari tahu
kebenaran kematian ketiga adik perempuannya dan segera
keluar dari tempat ini.
Wisma bangsawan Ye cukup luas sehingga Han Cia
Sing harus berputar-putar dulu sebelum berhasil
menemukan kamar kediaman kakek tirinya itu. Selain itu ia
juga menghindari bertemu dengan para pelayan dan dayang
sehingga pencariannya menjadi agak lambat. Kamar
bangsawan Ye amat besar dan mewah sehingga dengan
melihat saja Han Cia Sing bisa memastikan tentulah ini
kamar kakek tirinya itu.- 604 Han Cia Sing mengintip dari sela-sela jendela dengan
hati-hati sekali. Dari dalam kamar terdengar suara orang
berbincang-bincang dengan riang. Tampaknya ada beberapa
orang di dalam kamar itu selain bangsawan Ye. Han Cia
Sing melihat dengan muak bangsawan Ye tengah bersenda
gurau dengan dua orang gadis muda yang mungkin adalah
gundiknya. Meskipun pada jaman itu, pria kaya atau
bangsawan lazim memiliki beberapa gundik selain istri
resmi tapi pengalaman pahit Han Cia Sing semasa kecil
membuatnya tidak suka dengan praktek banyak istri dan
gundik. Ia dapat merasakan betapa tidak adilnya perlakuan
terhadap gundik dan anak-anaknya dibandingkan dengan
istri resmi.
Han Cia Sing melompat dengan gesit sekali ke dalam
kamar. Gerakannya begitu cepat sehingga bangsawan Ye
tidak sempat berteriak karena tiba-tiba Han Cia Sing sudah
berdiri di sampingnya sambil mencengkeram lehernya.
Kedua gundik mudanya menjerit ketakutan tapi langsung
dibentak Han Cia Sing agar tidak membuat keributan.
Mereka berdua langsung meringkuk ketakutan di sudut
kamar sehingga Han Cia Sing sebenarnya merasa tidak tega
juga.
"Eh... tuan pendekar, ambil saja apapun yang kau
mau. Di sini banyak uang dan perhiasan tapi jangan lukai
kami" kata bangsawan Ye tergagap karena ketakutan
mengira dirinya sedang dirampok.- 605 "Aku tidak butuh uang busukmu" kata Han Cia Sing
dengan marah karena merasa direndahkan dianggap sebagai
perampok.
"Oh, maaf tuan pendekar" kata bangsawan Ye dengan
ketakutan.
"Apakah kau sudah tidak mengenali lagi siapa aku?
Lihat baik-baik wajahku" tanya Han Cia Sing.
Bangsawan Ye memandang wajah Han Cia Sing
dengan takut-takut. Dulu ketika Han Cia Sing masih kecil
saja ia jarang bertemu dengannya dan sekarang Han Cia
Sing sudah berubah menjadi seorang pemuda yang gagah,
bagaimana bangsawan Ye mampu mengenalinya? Lagipula
dalam pikiran bangsawan Ye, Han Cia Sing sudah tewas
dijebak oleh Teng Cuo Hui di utara beberapa tahun lalu. Jadi
meskipun sudah berusaha keras mengingat-ingat wajah Han
Cia Sing tetap saja bangsawan Ye tidak mengenalinya.
"Maaf tuan pendekar aku tidak tahu siapa anda" kata
bangsawan Ye memelas mohon belas kasihan.
"Aku adalah Han Cia Sing, putra kedua Jenderal Han
Kuo Li" kata Han Cia Sing dengan pelan dan tegas.
"Apa?! Kau... kau Han Cia Sing?! Bukankah kau
sudah tewas beberapa tahun lalu di utara?" tanya bangsawan
Ye kaget setengah mati. Keringat dingin mengalir deras di
punggungnya karena mengira Han Cia Sing datang untuk
menuntut balas karena sudah mengetahui bahwa ialah dulu- 606 yang menjebak dan berusaha membunuhnya di utara tembok
besar dulu.
"Aku tidak mati dan sekarang aku sudah kembali ke
kotaraja" kata Han Cia Sing sambil menatap wajah
bangsawan Ye lekat-lekat seperti hendak memakannya saja.
Jika saja ia tidak teringat pesan Han Cia Pao, mungkin sudah
bangsawan Ye sudah dihajarnya hingga babak belur.
"Apa...apa maumu?!" tanya bangsawan Ye dengan
tubuh gemetaran.
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku hanya ingin bertanya kejadian sebenarnya
tentang kematian ketiga adikku" kata Han Cia Sing.
Otak licik bangsawan Ye segera berputar mencari
akal. Tampaknya Han Cia Sing masih belum tahu bahwa
dulu ialah yang menyogok Teng Cuo Hui untuk
menyingkirkan Han Cia Sing. Jika hal ini belum diketahui
Han Cia Sing maka segalanya akan menjadi lebih mudah.
Bangsawan Ye adalah orang yang berpengalaman banyak
dalam tipu menipu dan sogok menyogok sedangkan Han Cia
Sing masih sangat lugu dalam tipu muslihat seperti ini. Jadi
mana mungkin ia bisa menang dengan kakek tirinya itu?
"Ah...cucuku Li Rong, Li Sien, Li Feng! Kalian mati
merana!" teriak bangsawan Ye dengan sedih sekali sambil
meneteskan air mata buayanya.
Sementara Han Cia Sing kebingungan melihat air
mata buaya kakek tirinya, sandiwara satu babak ini- 607 dilanjutkan oleh bangsawan Ye. Ia segera berlutut dan
memukuli dadanya sendiri dengan raut wajah sedih sekali.
Bagi mereka yang tidak mengetahui isi hati bangsawan Ye
tentu mengira kakek itu sedih sekali atas kematian ketiga
cucu perempuannya. Han Cia Sing juga tidak terkecuali
tertipu oleh sandiwara ini.
"Bangsawan Ye tenanglah" kata Han Cia Sing
berusaha menenangkan.
"Aku memang bersalah kepada kalian" kata
bangsawan Ye setelah tangisnya mereda sambil memandang
Han Cia Sing.
"Dulu ketika malam-malam Ye Ing tiba di sini untuk
menitipkan ketiga cucuku, aku sudah berkata kepadanya
bahwa di sini tidak aman. Tapi putriku itu memaksa juga
menitipkan putrinya di sini. Esok harinya ketika pasukan
kerajaan datang dan menggeledah tempat ini, mereka
menemukan tempat persembunyian ketiga adikmu. Aku
sudah berusaha mati-matian meminta ampun kepada Yang
Mulia Kaisar, tapi tetap saja hukuman mati dijatuhkan.
Bahkan aku malah sempat dihukum cambuk dan hendak
diasingkan tapi untunglah banyak teman-temanku di
kalangan istana yang memohon ampun sehingga nyawaku
bisa selamat" lanjut bangsawan Ye sambil mengusap air
matanya yang menetes.
"Benarkah itu? Bukankah menurut kabar, engkau
sendiri yang membawa ketiga adikku untuk diserahkan- 608 kepada pasukan kerajaan?" tanya Han Cia Sing mulai raguragu.
"Cia Sing, mana mungkin aku tega melakukan hal
seperti itu?" kata bangsawan Ye sambil menunjukkan raut
muka terkejut dan marah.
"Aku... aku hanya mendengar kabar saja" kata Han
Cia Sing yang merasa tidak enak dengan pertanyaan yang ia
ajukan barusan.
Bangsawan Ye melirik Han Cia Sing dari sudut
matanya sambil tertawa dalam hati. Kena kau bocah bodoh,
katanya dengan girang sekali. Han Kuo Li saja dulu bukan
tandingan kelihaian siasat bangsawan Ye, apalagi Han Cia
Sing yang masih muda dan miskin pengalaman siasat itu.
Kini Han Cia Sing tidak lagi mencengkeram leher
bangsawan Ye itu dan duduk di depannya. Bangsawan Ye
segera menyuruh kedua gundik mudanya untuk keluar
meninggalkan mereka berdua saja. Sandiwara ini akan
berjalan lebih baik jika ada Han Cia Sing dan ia berdua saja.
"Cia Sing, aku akui bahwa aku memang bersalah
tidak bisa menjaga ketiga adikmu. Kau boleh cabut selembar
nyawa tuaku ini supaya dendam keluarga Han dapat
terbalas" kata bangsawan Ye berpura-pura.
"Sudahlah, aku tidak ingin membalas dendam
kepadamu. Kakakku hanya ingin tahu kejadian yang
sebenarnya saja" kata Han Cia Sing kelolosan bicara tentang
Han Cia Pao.- 609 "Pao-er?! Bagaimana keadaannya sekarang?
Kudengar ia sempat melarikan diri ke partai Tien Lung Men,
tapi berhasil dihancurkan. Aku ingin sekali mendengar
kabar darinya" kata bangsawan Ye memancing.
"Ia ada di tempat yang aman sekarang" kata Han Cia
Sing singkat saja.
"Oh, baiklah jika demikian. Aku senang sekali jika
mendengar kabar ia baik-baik saja" kata bangsawan Ye
sambil bernapas lega.
"Baiklah jika demikian, aku pamit dulu" kata Han Cia
Sing yang merasa tidak enak berlama-lama dengan
bangsawan Ye yang tidak pernah disukainya itu.
"Cia Sing, tunggu dulu. Ada sesuatu yang penting
ingin kusampaikan kepadamu" kata bangsawan Ye
menahan Han Cia Sing.
"Apakah itu?" tanya Han Cia Sing.
"Saat aku hendak dijatuhi hukuman, beberapa teman
dekatku di istana membelaku sehingga aku lolos dari
hukuman. Setelah itu, beberapa hari kemudian mereka
memberikan pesan dari Permaisuri Wu kepadaku" kata
bangsawan Ye sambil menoleh ke kiri kanan seperti takut
ada yang mendengarkan pembicaraan mereka.
"Pesan apakah itu?" tanya Han Cia Sing dengan heran
melihat gerak-gerik bangsawan Ye itu.- 610 "Mereka berkata agar keturunan Han Kuo Li yang
tersisa yaitu Han Cia Pao diminta datang menemui
Permaisuri Wu di istana secara diam-diam jika suatu saat
kembali nanti" bisik bangsawan Ye dengan lirih sekali.
"Menemui Permaisuri Wu? Ada apakah gerangan?"
tanya Han Cia Sing dengan heran sekali mendengar
perkataan bangsawan Ye barusan.
"Sstt! Jangan keras-keras! Aku juga tidak tahu
masalah apa yang hendak dibicarakan tapi kelihatannya
sesuatu yang amat penting. Cia Sing, engkau juga keturunan
keluarga Han jadi kurasa engkau berhak tahu hal ini" bisik
Duri Bunga Ju Karya Gu Long Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan Pendekar Rajawali Sakti 167 Pengemis Bintang Emas
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama