Ceritasilat Novel Online

Rimba Persilatan Naga Harimau 2

Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 2


menerima pemberian ini dari Mei Lin. Dengan tegas
didorongnya bungkusan uang perak itu.
"Wang mei, jangan salah mengerti. Aku Ma Han
Jiang tidak pernah silau oleh harta benda maupun
kedudukan. Aku bertemu Wang mei dan kedua paman
adalah kehendak langit, sedang membasmi gerombolan
perampok itu adalah memang keharusan orang gagah yang
menjunjung tinggi keadilan. Dengan memberikan kepada
aku uang perak ini berarti Wang mei tidak menghargai
persahabatan denganku. Mohon simpan kembali saja uang
perak itu untuk bekal"- 92 Sejenak Mei Lin masih ragu-ragu dan ingin memaksa
Ma Han Jiang menerima uang perak itu, namun paman Ye
segera menyela,
"Siau-cie, Ma ta-sia adalah orang gagah yang selalu
menjunjung tinggi keadilan dan persahabatan. Hendaknya
siau-cie menghargai persahabatan Ma ta-sia yang tidak mau
menerima pemberian siau-cie ini"
Wang Mei Lin akhirnya mengalah.
"Ma tako, aku Wang Mei Lin tidak tahu bagaimana
berterimakasih atas kebaikan Ma tako."
Sambil berkata demikian, Mei Lin merogoh kantung
lengannya yang lebar. Sebuah benda berbentuk segi empat
kecil dikeluarkan dari kantung lengannya yang ternyata itu
adalah stempel kecil terbuat dari emas bertuliskan huruf
marga Wang.
"Nah jika memang Ma tako menganggap aku adalah
sahabat, terimalah pemberian ini atas nama keluarga Wang"
"Tapi ini adalah harta keluarga, mana boleh diberikan
kepada sembarang orang." Ma Han Jiang menjadi gugup
ketika stempel keluarga Wang itu disodorkan kepadanya. Ia
tahu betapa penting arti suatu stempel keluarga sehingga
ragu-ragu menerimanya.
"Ma take, ambillah ini sebagai tanda persahabatan
kita. Jika suatu hari kelak Ma tako membutuhkan bantuan,
bawalah stempel ini kepada keluarga kami dan keturunan- 93 nya, kami semua pasti akan membantu mereka yang
membawa stempel ini" ujar Mei Lin ketika melihat Ma Han
Jiang ragu-ragu menerimanya.
"Pendekar Ma, anda jangan sungkan-sungkan. Budi
baik anda menolong nona kami tidak akan dapat kami balas
meskipun dengan menggadaikan nyawa kami berdua.
Sudilah kiranya pendekar Ma menerimanya" kata paman Ye
pula.
Akhirnya Ma Han Jiang menerima juga stempel emas
itu dan dimasukkannya ke dalam lipatan ikat pinggangnya.
"Aku Ma Han Jiang, sangat berterima kasih dan
tersanjung atas pemberian ini. Kuterima ini sebagai tanda
persahabatan dari keluarga Wang"
Sambil mereka terus berjalan, tidak terasa tibalah
mereka di belokan jalan besar yang menuju ke arah wisma
keluarga Han. Jalan itu kini ramai sekali oleh banyaknya
tandu-tandu pembesar dan bangsawan yang berderet di sisi
kiri dan kanan jalan. Para prajurit jaga berderet-deret di
sepanjang jalan, siap siaga dengan pedang dan tombak.
"Ma ta-sia, mungkin kita harus berpisah di simpang
jalan ini. Rumah paman ketiga keluarga Wang ada di
seberang ujung jalan ini. Tandu kami memakai tanda
berkabung, tidak baik untuk melewati tempat pesta Jenderal
Han. Kami dan siau-cie akan mengambil jalan memutar saja.
Ma ta-sia kita tidak tahu kapan akan berjumpa lagi, semoga- 94 langit memberkati perjalanan pendekar Ma" kata paman Ye
dan paman Wu sambil membungkuk dalam-dalam.
Wang Mei Lin menyingkapkan kelambu tandunya.
Wajahnya yang putih dan halus tidak memakai pemerah
bibir dan pipi sebagai tanda berkabung tetap kelihatan cantik
dan anggun di bawah bayangan lampion jalan yang
bergerak-gerak. Ia keluar dari tandunya untuk mengucap
kan terima kasihnya yang terakhir kepada Ma Han Jiang.
"Ma take, terimakasih telah menyelamatkan hidupku.
Entah bagaimana nanti aku bisa membalasnya, langitlah
yang akan membalas kebaikan budi Ma take"
"Wang mei, hidup mati seseorang bukan aku yang
mengatur. Perjumpaan ini juga bukan aku yang mengatur
tapi langitlah yang mengatur. Aku yakin suatu saat nanti kita
pasti akan berjumpa kembali"
Ma Han Jiang berpaling kepada kedua paman
pembantu keluarga Wang.
"Paman berdua jaga diri kalian baik-baik"
Kedua paman itu melepaskan pandangan pada
penolong mereka dengan berat hati, sebelum akhirnya
menyuruh para penggotong tandu mulai berangkat. Ma Han
Jiang melepas kepergian rombongan tandu itu hingga hilang
di ujung jalan.
Ma Han Jiang menghela nafas panjang. Meski hanya
berkenalan tidak sampai sebulan, tapi kedua paman tua yang- 95 baik hati dan setia itu menimbulkan bekas yang mendalam
di hati Ma Han Jiang. Juga Wang Mei Lin yang anggun dan
menawan membuat Ma Han Jiang merasa seperti sudah
mengenalnya lama sekali.
Baru saja Ma Han Jiang hendak berpaling dan
berjalan menuju wisma keluarga Han, di ujung jalan tampak
serombongan pasukan istana berjalan berbaris di depan dua
tandu yang berhiaskan emas. Prajurit yang berjalan terdepan
membawa panji naga emas lambang kekaisaran. Melihat
simbol naga emas itu, Ma Han Jiang merasakan pasti yang
berada dalam tandu adalah keluarga dekat kerajaan atau para
pangeran.
"Beri jalan bagi putra mahkota!!!" teriak prajurit yang
bertugas membuka jalan bagi rombongan itu.
Ma Han Jiang segera meloncat ke samping dan
bersembunyi di pinggiran sebuah kedai. Bukan karena dia
takut, tapi karena dia tidak ingin diharuskan menyembah
rombongan itu. Memang ada aturan jika keluarga kerajaan
lewat, maka semua rakyat jelata yang ada di pinggir jalan
yang dilalui harus menyembah sambil berlutut sebagai tanda
penghormatan, jika tidak maka hukumannya adalah
hukuman mati! Ma Han Jiang adalah pendekar yang tidak
terbiasa terikat dengan aturan kerajaan seperti ini, sehingga
menurutnya lebih baik menyingkir dulu.
Rombongan itu menuju pintu gerbang wisma
keluarga Han dan segera disambut oleh seorang jenderal- 96 berpakaian lengkap yang tidak lain adalah Song Wei Hao.
Dari dalam tandu yang pertama, keluar seorang lelaki
setengah baya berpakaian sutra putih. Topinya juga dari
sutra putih diikat dengan tali merah ke dagunya. Tmdak
tanduknya sangat halus sekali dan wajahnya berbedak dan
memakai pemerah bibir. Tahulah Ma Han Jiang bahwa dia
adalah seorang kasim istana, tapi betapa kagetnya Ma Han
Jiang setelah melihat langkah kaki kasim itu. Langkah itu
begitu ringan sehingga nyaris tidak menapak tanah
menandakan tingginya ilmu si kasim berbaju putih itu!
Kasim itu berjalan ke tandu kedua dan dengan lagak
yang lemah gemulai menyingkapkan tirai tandu yang terbuat
dari sutra emas. Dari dalam tandu keluar seorang yang tinggi
tegap berusia sekitar duapuluh tahunan. Baju yang
dipakainya adalah baju putra mahkota berwarna kuning
emas dengan sulaman naga berwarna merah. Wajahnya
bersih dan tampan namun sayang tampak kurang berwibawa
bagi seorang putra mahkota. Memang putra mahkota Jin
dikenal kalangan dekat kerajaan tidak begitu cerdas dan
tegas dalam mengambil keputusan sehingga ini merupakan
sesuatu hal yang menggelisahkan bagi Kaisar. Putra
mahkota Jin juga terkenal lemah menghadapi wanita cantik
sehingga banyak pembesar dan bangsawan yang
memanfaatkan kelemahan ini untuk keuntungan dirinya
sendiri.
Begitu tandu putra mahkota dan kasim istana itu
bergerak menuju ke pinggir jalan maka Ma Han Jiang segera- 97 melangkah ke gerbang wisma keluarga yang dipenuhi
lampion berwarna merah. Pelayan yang bertugas
menyambut kelihatan ragu-ragu melihat Ma Han Jiang yang
berpakaian sederhana seperti seorang petani. Namun
melihat wajahnya yang berwibawa dan perawakannya yang
tegap perkasa, pelayan itu menjadi sungkan juga.
"Eh, bolehkah siau-ti tahu nama tuan", tanya pelayan itu.
"Aku bermarga Ma, namaku Han Jiang." jawab Ma Han
Jiang
Pelayan itu segera membolak-balik daftar undangan
dan segera menemukannya nama Ma Han Jiang di bagian
para pendekar. Sikap pelayan itu segera berubah
menghormat dan dengan membungkuk-bungkuk
mempersilakan Ma Han Jiang masuk.
Suasana pesta di dalam masih tetap meriah dan kini
hampir semua tempat duduk telah terisi penuh. Ma Han
Jiang segera disambut oleh Jenderal Song Wei Hao.
Song Wei Hao menjura kepada Ma Han Jiang "Masiung, lama tidak berjumpa bagaimana kabarnya?"
"Song-siung, kabarku baik-baik saja. Hari ini adalah
pernikahan Han-siung, tentunya kau sangat sibuk sekali
mengurusi para undangan.", kata Ma Han Jiang menjura
sambil tersenyum lebar kepada Song Wei Hao.
Di antara sedikit teman baik Ma Han Jiang di dunia
persilatan, memang Han Kuo Li dan Song Wei Hao adalah- 98 teman-teman terbaiknya. Selain usia mereka tidak berbeda
jauh, ilmu silat mereka juga hampir sebanding dan samasama gemar membela keadilan sehingga mereka bertiga
merasa sangat cocok satu sama lainnya.
"Ma-siung, mari kuantar ke tempat pelaminan. Hansiung pasti sangat senang sekali bisa bertemu kembali
denganmu"
Mereka berdua berjalan beriringan dan bercakapcakap akrab sekali menuju ke aula utama. Ternyata di aula
utama, Han Kuo Li sedang menerima penghormatan dari
putra mahkota Jin dan kasim berbaju putih yang dilihat Ma
Han Jiang di pintu gerbang tadi. Terpaksa mereka
menunggu sebentar sampai putra mahkota duduk di tempat
yang disediakan. Putra mahkota menyuruh kasim berbaju
putih tadi untuk memberikan hadiah berupa patung giok
Buddha Tertawa yang indah sekali. Patung itu sebesar
kepalan tangan orang dewasa, diukir dengan sangat halus
sekali dan terbuat dari giok putih yang langka. Para
undangan mengeluarkan decak kagum melihat hadiah dari
putra mahkota Chi yang amat mahal dan langka itu.
Ketika Han Kuo Li menerima patung dari tangan sang
kasim, kelihatan ia sedikit oleng sehingga patung itu hampir
saja jatuh dari tangannya. Mungkin bagi sebagian besar
undangan, kelihatannya Jenderal Han sudah terlalu banyak
minum arak sehingga setengah mabuk dan oleng tapi bagi
mata mereka yang awas dapat terlihat bahwa sebenarnya,
kasim berbaju putih itulah yang menyebabkan posisi Han- 99 Kuo Li menjadi oleng. Kasim berbaju putih itu diam-diam
menyalurkan tenaga dalam yang sangat kuat ke patung itu
sehingga ketika Han Kuo Li menerimanya, ia merasa seperti
sedang mengangkat gunung saja layaknya! Untunglah ia
sudah waspada sehingga tidak hilang keseimbangan dan
memperkuat kuda-kudanya dengan tenaga dalam. Tak
urung, hatinya berdebar-debar juga karena jika sampai
hadiah pemberian putra mahkota itu jatuh, maka bisa-bisa
kepalanya ikut jatuh menggelinding ke tanah juga!
Melihat gelagat sang kasim yang tidak baik, Ma Han
Jiang panas hatinya. Dia berbisik kepada Song Wei Hao,
"Song-siung, siapakah mereka ini?"
"Mereka adalah putra mahkota Jin dan kepala kasim
istana Huo Cin"
"Apakah Song-siung juga melihat apa yang kulihat?
Kasim Huo Cin itu sengaja menguji kekuatan tenaga dalam
Han-siung"
"Iya benar, dan kekuatan Huo Cin memang tidak bisa
diremehkan. Apalagi sekarang ia dekat dengan putra
mahkota dan para bangsawan, tentunya akan semakin
sombong dan memandang rendah orang lain. Sayang sekali
putra mahkota Jin tidak menyadari hal ini" kata Song Wei
Hao sambil menarik nafas panjang tanda prihatin.
Setelah putra mahkota Jin dan Huo Cin meninggalkan
aula utama dan duduk di tempat kehormatan bersama- 100 pangeran lain dan para bangsawan, barulah Ma Han Jiang
dan Song Wei Hao maju menemui Han Kuo Li.
"Han-siung, selamat atas pernikahanmu!"
Han Kuo Li segera menoleh ke arah suara yang amat
dikenalnya ini. Ia tertawa lebar dan segera maju merangkul
pundak Ma Han Jiang. Kedua sahabat yang sudah lama tidak
bertemu ini bercakap-cakap dan tertawa dengan gembira
untuk beberapa saat.
"Han-siung, kasim tadi sengaja hendak
mencelakaimu rupanya" kata Ma Han Jiang setengah
berbisik.
"Iya, aku sudah menyadarinya. Untunglah tadi hadiah
putra mahkota tidak jatuh. Tapi masalah ini sebaiknya kita
bahas lain kali saja. Pelayan, bawakan segera arak terbaik
kemari" kata Han Kuo Li. Segera seorang pelayan
membawakan sekendi arak yang wangi sekali.
"Kali ini kalau tidak mabuk tidak boleh berhenti, Masiung dulu tanding adu minum kita belum selesai" kata Han
Kuo Li sambil menyodorkan guci itu kepada Ma Han Jiang.
"Baiklah, karena ini adalah hari bahagia sahabat
baikku, aku tidak akan sungkan-sungkan lagi"
Ma Han Jiang mengangkat guci itu dan segera
meminumnya sampai habis dalam beberapa tegukan.
"Han-siung, Song-siung,senang sekali berjumpa
kalian lagi hari ini"- 101 Ketiga sahabat itu tertawa bersama-sama karena jarang
sekali mereka dapat berkumpul dan minum dengan puas.
"Ma-siung, silakan duduk di ruang pesta. Maafkan
jika hari ini aku tidak dapat menjamu Ma-siung dengan
baik" ujar Han Kuo Li
"Hari ini Han-siung tentu sangat repot, aku tidak akan
mengganggu lagi. Lain kali akan kita lanjutkan lagi minumminum kita." jawab Ma Han Jiang sambil tertawa lebar.


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Song Wei Hao dan Ma Han Jiang bersama-sama
meninggalkan aula utama menuju ruangan tempat para
undangan dari kalangan pendekar berkumpul. Di sana sudah
banyak sekali kalangan dunia persilatan yang hadir. Ma Han
Jiang saling menjura dengan para pendekar lainnya dan
tidak lupa saling bersulang untuk menyatakan
penghormatan dan persahabatan. Mereka tidak menyadari
ada sepasang mata yang mengawasi gerak-gerik mereka
dengan tajam sekali dari tempat duduk kehormatan.
Tidak lain dari kasim Huo Cin yang memandang ke
arah kumpulan para pendekar itu dengan tatapan sinis.
Meskipun ia dengan luwes tetap bercakap-cakap dengan
tamu-tamu kehormatan namun sudut matanya tidak pernah
lepas mengawasi tempat undangan para pendekar
berkumpul. Pandangannya memandang rendah, seakanakan para pendekar itu Cuma sekawanan lalat yang sekali
tepuk saja sudah musnah, benar-benar menghina sekali!- 102 "Adik Sie, kiranya kau telah hadir terlebih dulu.
Bagaimana dengan adik Huo apakah dia juga sudah tiba?"
tanya putra mahkota Jin melihat pangeran Sie sudah berdiri
menyambutnya.
"Wang-siung (kakak pangeran), adik Huo sudah
pulang duluan. Ia merasa tidak enak badan setelah minum.
Padahal hanya minum beberapa cangkir kecil saja sudah
tidak tahan, memang badan adik Huo lemah sekali" jawab
pangeran Sie sambil tersenyum mengejek.
"Ah ternyata begitu. Baiklah jika memang hanya kita
berdua yang bisa minum arak kebahagiaan malam ini"
jawab putra mahkota Jin sambil tertawa. Namun
perhatiannya segera teralihkan kepada seorang di antara
rombongan penari yang tengah menari di aula tengah.
Saat itu acara tari-tarian sudah dimulai. Dua puluh
gadis penari yang berpakaian sutra merah dan masingmasing membawa kipas bulu berputar-putar di aula tengah
membentuk formasi bunga kemudian berganti formasi lagi
menjadi matahari dan lainnya. Bau harum pewangi dari
kibasan baju dan kipas yang dimainkan membuat mabuk
kepayang mereka yang tidak kuat imannya. Apalagi ratarata para penari itu cantik sekali dan berias bagus sehingga
mata para undangan seakan tidak berkedip dibuatnya. Putra
mahkota Jin memang terkenal mata keranjang sehingga
seorang gadis penari yang berada di tengah segera menarik
perhatiannya.- 103 Huo Cin yang mengenal baik gelagat sang putra
mahkota segera memanggil seorang pelayan dan
membisikkan sesuatu sambil tidak lupa memasukkan uang
100 tael emas ke dalam kantong si pelayan. Tentu saja si
pelayan langsung mengangguk-angguk kegirangan!
Kemudian Huo Cin ganti membisikkan sesuatu kepada putra
mahkota Jin dan kali ini giliran wajah sang putra mahkota
yang berubah kegirangan. Memang Huo Cin sangat pandai
memainkan siasat menjilat ini sehingga sebentar saja ia
sudah menjadi orang kepercayaan sang putra mahkota.
Sementara musik dan tari-tarian semakin meriah di
aula tengah, ternyata tidak semua mata tertuju pada acara
yang meriah itu. Ma Han Jiang bahkan hampir tidak
memperhatikannya. Matanya seperti mencari-cari sesuatu.
Tiap meja untuk kalangan bangsawan diperhatikannya
dengan seksama sampai akhirnya terpaku pada suatu meja
di sudut aula yang tertutup oleh kain sutra merah. Tamu
yang duduk di meja itu terdiri dari seorang nenek yang sudah
tua dan empat orang gadis muda yang usianya kira-kira
sepantaran saja dengan para gadis pelayan yang berdiri di
belakang mereka. Nenek tua itu memegang tongkat kayu
yang ujungnya berukirkan kepala naga emas. Bajunya
terbuat dari sutra emas yang halus dan kepalanya memakai
ikat kepala sutra dengan motif bangsawan. Wajah nenek tua
itu meskipun sudah keriput namun masih tetap tampak tegas
dan berwibawa, membuat segan mereka yang melihatnya.
Di kanan kirinya masing-masing duduk dua orang gadis
yang meskipun wajah mereka tertutup oleh selambu sutra- 104 namun masih tampak terlihat cantik sekali seperti dewi yang
turun dari langit. Siapakah mereka ini yang diperhatikan
dengan sangat oleh Ma Han Jiang?- 105 4. Kecantikan Empat Musim
Pangeran Huo dan kedua pengawalnya berjalan
menyusuri jalan kecil di belakang wisma keluarga Han.
Mereka memang segera minta diri begitu mendengar
kedatangan putra mahkota Jin. Pangeran kedelapan Huo
memang sadar bahwa dirinya dan putra mahkota sedang
dalam posisi yang saling tidak mengenakkan saat ini. Kaisar
memang telah memutuskan putra mahkota adalah Jin namun
banyak beredar kabar para menteri dan bangsawan yang
tidak setuju dan lebih memilih pangeran Huo untuk
menggantikan Kaisar di masa yang akan datang.
Lampion-lampion merah yang bergantungan di
wisma keluarga Han bergoyang-goyang ditiup oleh angin.
Bayangan ketiga manusia yang sedang berjalan menuju
tandu kerajaan itu ikut bergoyang dan panjang pendek
mengikuti goyangan lampion. Pangeran Huo sedang gundah
gulana memikirkan nasibnya dalam kerajaan. Keadaan
Kaisar sekarang yang sudah mulai tua dan sakit-sakitan amat
mengganggu pikirannya. Sudah bukan rahasia umum lagi
bahwa jika Kaisar baru naik tahta maka pangeran-pangeran
yang dianggap membahayakan kedudukan sang Kaisar baru
akan diasingkan atau bahkan "disingkirkan".
Ketika mereka bertiga akan berbelok ke arah halaman
di mana tandu-tandu diletakkan, tiba-tiba pangeran Huo
melihat seorang gadis tengah berdiri di sudut jalan. Seorang
gadis yang berpakaian serba putih dan memakai tanda- 106 berkabung sedang berdiri di ujung jalan tepat di depan
sebuah rumah besar. Meskipun wajannya menunjukkan
kedukaan dan kelelahan serta tidak mengenakan rias wajah
sama sekali sebagai tanda berkabung namun tetap tidak bisa
menyembunyikan kecantikan wajahnya.
Mata gadis itu bersinar lembut tapi cerdas. Alisnya
lurus dan tebal. Hidungnya kecil dan mancung dengan bibir
yang tipis lurus pertanda pemiliknya seorang yang keras
hati. Tubuhnya yang tinggi ramping dengan rambut panjang
tertiup angin semakin tampak mempesona dengan bayangan
lilin lampion yang bergoyang-goyang. Gadis itu tak lain
adalah Wang Mei Lin yang sedang keluar tandu untuk
melemaskan tubuh setelah beberapa hari hanya duduk saja
di dalam tandu. Kedua pembantunya yang setia, paman Wu
dan paman Ye sedang masuk ke dalam wisma itu untuk
menemui tuan rumahnya terlebih dulu.
Pangeran Huo bukanlah seorang yang mata keranjang
yang tidak bisa melihat pipi licin sedikit. Ia adalah seorang
pangeran yang terpelajar yang juga murid tunggal pendekar
pilihan kerajaan. Jumlah wanita cantik yang ditemuinya
mungkin sudah ratusan namun baru sekarang ia melihat
kecantikan yang benar-benar alami. Semua wanita yang
selama ini ditemuinya selalu mengenakan pakaian yang
bagus-bagus dan perias wajah yang tebal namun gadis yang
sedang berdiri di depannya ini kecantikannya seperti bunga
musim semi. Wajar namun membuat mereka yang- 107 memandangnya tidak bosan, malah ingin memandangnya
terus.
Tepat pada saat itu paman Wu dan paman Ye keluar
dari gerbang rumah besar di mana Mei Lin menunggu
bersama seorang wanita setengah baya yang ditemani
beberapa pelayannya.
"Mei Lin, oh betapa malang nasibmu! Aku sudah
mendengar semuanya dari A Wu dan A Ye" seru wanita
setengah baya itu begitu melihat Mei Lin.
"Siau-cie, panggil bibi ketigamu, bibi Sien" kata
paman Ye menengahi kebingungan yang melanda Mei Lin
melihat wanita tua itu histeris dan memeluknya sambil
menangis.
"Bibi Sien, maaf kami harus datang dalam keadaan
begini dan malam-malam mengganggu bibi sekeluarga"
kata Mei Lin dengan lirih.
Tanpa terasa butiran air mata mengalir dari sudut
mata Mei Lin. Seumur hidupnya ia selalu bersama kedua
orang tua yang amat mencintainya, tinggal bersama temanteman di kota yang sudah dikenalnya Sekarang semua itu
tiba-tiba sekali hilang, ia merasa sangat sendirian dan sepi.
Kini ada seorang bibi yang meskipun tidak pernah
dikenalnya, namun rasa kehangatan keluarga kembali
masuk ke dalam hatinya. Rasa yang sudah amat
dirindukannya selama beberapa hari terakhir ini.- 108 "Mei Lin, mari masuk. Tentunya engkau sangat
menderita selama beberapa hari ini. A Wu, A Ye kalian
berdua juga tentu sudah lelah."
Bibi Sien menggandeng Mei Lin memasuki gerbang
rumahnya bersama para pelayan.
"Kau sudah besar. Aku hampir tidak mengenalimu
lagi sekarang. Pamanmu sedang menghadiri pesta
pernikahan Jenderal Han. Aku tidak tahu apa yang harus
kukatakan padanya untuk bencana yang menimpa keluarga
Wang ini" keluh bibi Sien sebelum mereka masuk ke dalam
dan para pelayan membantu tukang tandu masuk bersama
paman Wu dan paman Ye.
Pangeran Huo memandangi rombongan itu
menghilang ke dalam rumah. Papan nama keluarga itu
bertuliskan Wang. Pangeran Huo bertanya kepada
pengawalnya, "Kalian tahu siapa yang pemilik wisma ini?"
"Lapor pangeran, keluarga Wang Shun adalah
pemilik wisma ini"
"Wang Shun? Bukankah dia adik ipar dari menantu
raja Chou Yi Hu?"
"Benar pangeran Huo, dia adalah adik ipar menantu
raja Chou Yi Hu"
"Baiklah" ujar pangeran Huo "Kita kembali ke
istana"- 109 Kedua pengawalnya membungkuk dengan hormat
dan segera mereka berdua berjalan mengawal di samping
tandu pangeran Huo yang telah disiapkan kembali ke istana.
Sementara pesta di dalam kediaman Han Kuo Li
mulai tampak agak sepi. Para tamu agung dan undangan
pendekar sudah banyak yang meninggalkan aula. Ma Han
Jiang pun sebenarnya sudah ingin undur diri tapi
keinginannya tertahan oleh perasaan hatinya yang masih
tertambat pada seseorang. Nyonya besar yang memegang
tongkat naga emas tadi masih belum beranjak dari tempat
duduknya, tampaknya masih ingin menikmati suasana pesta
yang meriah itu lebih lama lagi.
Ketika akhirnya putra mahkota Jin beranjak pergi
diiringi oleh Han Kuo Li dan keluarga besarnya, maka
nyonya itu pun mengajak keempat gadis dan para
pelayannya ikut beranjak pergi. Ma Han Jiang yang sedari
tadi sudah gelisah merasa seperti beban berat di pundaknya
sudah terlepas, segera bangun dan mengikuti rombongan itu
keluar wisma keluarga Han.
Di luar, tandu-tandu kebesaran sudah disiapkan. Putra
mahkota Jin mengedipkan mata kepada kasim Huo Cin
sebelum memasuki tandunya. Huo Cin yang sudah hafal
kebiasaan ini segera membungkuk sebagai tanda dirinya
mengerti apa yang diinginkan diinginkan sang putra
mahkota. Memang setelah tadi berhasil menyuap pelayan
dan kepala rombongan tari, Huo Cin berhasil membawa
penari yang ditaksir oleh putra mahkota dalam tandunya. Ia- 110 sendiri kini menaiki kuda putih dan berjalan beriringan di
samping tandu putra mahkota. Tidak ada yang mengetahui
hal ini kecuali para pengawal pribadi putra mahkota Jin
sendiri. Mereka sudah terbiasa dengan tingkah polah sang
putra mahkota dan tahu hukuman berat sudah menanti jika
mereka berani membocorkan rahasia kotor ini.
Setelah rombongan putra mahkota berlalu, nyonya
yang membawa tongkat naga emas beserta rombongannya
juga segera pamit meninggalkan kediaman keluarga Han.
Jenderal Song Wei Hao dengan hormat ikut mengantarkan
mereka sampai ke pintu gerbang.
Song Wei Hao menjura dengan hormat kepada nyonya itu.
"Yao Lao Tai-Cin (Nyonya Besar Jenderal Yao),
terimakasih atas kehadiran anda beserta keluarga. Hamba
Song Wei Hao atas nama keluarga Han menyampaikan
penghormatan atas kedatangan anda meramaikan pesta ini"
"Kami keluarga Yao dan keluarga Han sama-sama
mengabdi pada dinasti Tang ini sejak awal. Keluarga
mereka sudah seperti keluarga sendiri bagi kami, tidak perlu
sungkan lagi kepada kami Jenderal Song" kata nyonya yang
bernama Nyonya Besar Jenderal Yao itu.
Di belakangnya menyusul keempat gadis yang
kecantikannya seperti dewi kahyangan. Semuanya memakai
pakaian sutra halus yang mahal dengan sulaman emas di
lipatan bajunya dengan warna berbeda-beda. Gadis yang- 111 berbaju merah maju ke depan menyampaikan hormatnya
kepada Song Wei Hao,
"Jenderal Song, kami empat bersaudari mohon diri.
Terima kasih atas jamuannya" katanya sambil merendahkan
badan memberi hormat.
"Keempat nona Yao, terima kasih atas kedatangan
nya. Hati-hati dalam perjalanan kembali" balas Song Wei
Hao sambil membungkuk hormat.
Akhirnya rombongan keluarga Yao itupun naik ke
dalam tandu masing-masing. Ma Han Jiang tanpa sadar ikut
memandangi rombongan itu sampai hilang di belokan jalan.
Sebenarnya ia tadi telah mengumpulkan keberanian hendak
menemui nona pertama keluarga Yao, sayang sekali
waktunya kurang tepat. Ma Han Jiang menghela nafas
panjang. Dirinya adalah pendekar yang tidak mengenal rasa
takut, lautan api dan gunung pedang pun akan ia terobos,
tapi mengapa hatinya berdebar-debar bila bertemu
dengannya?
Memang tidak ada seorang pun yang dapat bertahan
bila telah berhadapan dengan perasaan yang bernama cinta
itu. Tidak terkecuali pendekar hebat seperti Ma Han Jiang.
Perasaannya kepada nona pertama keluarga Yao sebenarnya
bersambut, hanya sayang sekali Yao Lao Tai-Cin tidak


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyetujuinya.
Nah, marilah sekarang kita ikuti rombongan keluarga
Yao itu pulang ke kediamannya. Wisma keluarga tidak- 112 kalah megah dengan milik keluarga Han karena mereka
sama-sama keturunan bangsawan yang mengabdi sejak awal
berdirinya dinasti Tang. Jenderal Yao Ce Cing, suami dari
Yao Hao Yin adalah jenderal besar yang ikut berjasa
mendirikan dinasti Tang bersama Kaisar Tang yang
pertama, sehingga jasanya sangat dihormati oleh keluarga
kaisar sendiri. Setelah Jenderal Yao meninggal dunia, ketiga
putranya juga ikut gugur dalam perang melawan Kaoli,
salah satu dari tiga negara di semenanjung Korea. Yao Hao
Yin amat berduka atas kematian ketiga putranya ini
sehingga untuk menghiburnya Kaisar menganugrahkan
gelar Yao Lao Tai Cin, gelar yang sangat terhormat karena
secara tidak langsung berarti tingkatnya adalah sama dengan
Panglima Kerajaan! Yao Hao Yin sendiri di masa tuanya
mengangkat empat gadis yang dianggap berbakat untuk
dididiknya menjadi penerus keluarga Yao.
Empat putri ini masing-masing mempunyai jiwa dan
sifat yang sangat berlainan sesuai nama yang telah
dipilihkan Yao Hao Yin untuk mereka, Yao Chuen baik hati
dan lembut seperti musim semi, Yao Xia pandai dan periang
seperti musim panas, Yao Jiu teduh dan hati-hati seperti
musim gugur dan terakhir Yao Tong penuh perhitungan dan
dingin seperti musim salju. Mereka berempat juga menyukai
warna yang berlainan. Yao Chuen menyukai warna hijau,
Yao Xia menyukai warna merah, Yao Jiu menyukai warna
ungu dan Yao Tong menyukai warna putih. Yao Hao Yin
sengaja menjahitkan pakaian keempat putrinya secara- 113 khusus dengan indah sesuai warna pilihan masing-masing
sehingga menambah pesona mereka yang melihatnya.
Kecantikan keempat putri keluarga Yao amat
melegenda di kotaraja sehingga mereka dikenal sebagai Si
Tien Mei Ni (Kecantikan Empat Musim). Mereka berempat
juga amat mahir memainkan alat musik. Yao Chuen pandai
meniup seruling, Yao Xia pandai memainkan genderang,
Yao Jiu mahir memetik ku -cin dan terakhir Yao Tong
pandai menggesek sitar. Ilmu musik ini dapat mereka
padukan juga dengan ilmu silat dan tenaga dalam keluarga
Yao yang terkenal hebat. Dulu Jenderal Yao Ce Cing pernah
menggebrak pintu gerbang kota Tong Hua hingga roboh
dengan kekuatan tenaga dalamnya sehingga melegenda di
seluruh kalangan prajurit Tang. Ilmu tenaga dalam ini
kemudian dipelajari juga oleh istri dan ketiga putranya. Ilmu
itu dikenal sebagai Jien San Sen Kung (Tenaga Dalam
Seribu Gunung).
Keempat putri Yao tentu tidak bisa sehebat Jenderal
Yao Ce Cing karena sifat alami pria dan wanita berbeda.
Yao Hao Yin saja hanya bisa sampai tingkat enam dari
delapan tingkat Jien San Sen Kung setelah berlatih hampir
lima puluh tahun. Keempat putri Yao memadukan Jien San
Sen Kung dalam memainkan alat musik mereka untuk
mengacaukan tenaga dalam lawan dan mengubah alat musik
mereka menjadi senjata yang mematikan!
Yao Hao Yin memasuki aula utama beserta keempat
putri dan dayang-dayangnya.- 114 "Kalian tentunya sudah lelah. Istirahatlah di kamar
masing-masing" katanya kepada para dayang-dayang.
"Baik, Lao Tai-Cin" jawab dayang-dayang serempak
sambil meninggalkan aula utama.
"Kalian berempat tinggal sebentar, ada yang ingin
aku katakan kepada kalian" kata Yao Hao Yin menahan
keempat putrinya.
"Baik, ibu. Apakah yang hendak ibu sampaikan
kepada kami" kata Yao Tong.
Yao Hao Yin duduk di kursi utama yang berukir
kepala naga. Tongkatnya yang berkepala naga emas
berkilauan nampak semakin menambah wibawa nyonya tua
ini. "Kalian berempat sudah semakin besar sekarang.
Mungkin juga sudah layak untuk berkeluarga." Yao Hao
Yin berhenti sejenak.
Matanya memandang keempat putri angkatnya
dengan seksama.
Yao Xia yang mempunyai pembawaan paling terbuka dan
ceria, paling dulu bicara
"Ibu, aku tidak ingin menikah. Aku ingin bersama ibu
dan melayani ibu saja. Aku tidak ingin menikah"
Yao Hao Yin tertawa terkekeh.- 115 "Gadis bodoh. Setiap wanita harus menikah dan
berkeluarga, mempunyai anak dan keturunan adalah takdir
yang digariskan pada setiap wanita. Kau mengerti itu Xiaer?"
Yao Hao Yin bangkit dari kursinya dan berjalan
menuju altar para leluhur. Di sana berderet papan nama
semua keluarga Yao yang sudah meninggal. Sambil
menghela nafas, Yao Hao Yin berkata lagi,
"Aku selalu mengajarkan kepada kalian bakti kepada
negara dan orang tua adalah yang utama. Kita, keluarga Yao
adalah abdi setia sejak kaisar yang pertama. Bahkan semua
pewaris keluarga Yao sudah gugur demi membela dinasti
Tang"
Suara Yao Hao Yin bergetar menahan perasaan hatinya.
"Chuen-er" panggil Yao Hao Yin
"Ya, ibu" jawab Yao Chuen sambil mendekati orang tua itu.
"Kaulah yang paling tua di antara semua saudarimu
dan menjadi teladan bagi mereka. Selama ini aku selalu
memberi kalian kebebasan untuk bergaul dengan semua
kalangan karena mendiang suamiku selalu berkata bahwa
pangkat dan kedudukan tidak berarti apa-apa dibandingkan
kemuliaan hati. Tapi Chuen-er, aku tidak ingin kau terlalu
bebas bergaul sehingga melupakan batas-batasnya"- 116 Nada suara Yao Hao Yin agak meninggi di akhir
kalimat, sehingga Yao Chuen semakin menunduk dan tidak
berani bersuara.
"Tang selalu berperang melawan tiga negara
semenanjung, bahkan keluarga Yao hampir musnah karena
ini. Chuen-er, aku harap kau mengingat dengan baik
perkataanku ini. Pendekar Ma memang orang yang gagah,
aku tidak pernah meragukan hal itu, tapi kita keluarga Yao
tidak akan pernah menjalin hubungan dengan bangsa Kaoli,
apalagi sampai mengikat tali pernikahan!"
Yao Hao Yin menghentakkan tongkat naga emasnya,
sehingga lantai aula utama itu bergetar karena tenaga
dalamnya. Sungguh, meskipun usianya sudah hampir
delapan puluh tahun namun tenaganya masih hebat seperti
pendekar berusia tigapuluhan. Inilah kehebatan tenaga
dalam Jien San Sen Kung yang terkenal itu!
Yao Xia, Yao Jiu dan Yao Tong yang melihat ibu
mereka mulai marah segera berusaha menengahi suasana.
"Ibu, kakak pertama mempunyai hati yang bijak. Ia
pasti tidak akan melupakan ajaran ibu" kata Yao Jiu
"Benar, kakak pertama tidak akan pernah berbuat
yang memalukan keluarga kita" tambah Yao Tong.
"Aku ingin mendengar dari Chuen-er sendiri" jawab
Yao Hao Yin dengan tegas. Matanya menatap tajam putri
sulungnya itu, yang hanya diam saja sambil menunduk.- 117 "Ibu, budi ibu kepada kami setinggi gunung Tay-san.
Aku tidak akan melupakan ajaran ibu selamanya" jawab
Yao Chuen sambil bergetar.
Di dalam hati kecilnya sebenarnya ia sudah jatuh hati
pada pendekar Ma Han Jiang. Pertemuannya dengan Ma
Han Jiang setahun lalu di kuil Shaolin benar-benar
membawa banyak kenangan dalam hatinya. Sayang sekali,
ayah Ma Han Jiang adalah keturunan bangsa Kaoli, salah
satu dari tiga kerajaan di semenanjung Korea yang selalu
berperang dengan dinasti Tang sehingga Yao Hao Yin tidak
dapat menyetujui pilihan Yao Chuen itu.
Sebenarnya banyak keluarga bangsawan yang sudah
mendekati Yao Hao Yin untuk melamar putri sulungnya ini,
tapi Yao Hao Yin selalu menolak dengan halus dengan
alasan keempat putrinya masih terlalu muda untuk
berkeluarga. Yao Hao Yin di masa mudanya adalah seorang
pendekar wanita yang malang melintang di dunia persilatan
maka cara berpikirnya sangat maju dan tidak terlalu terikat
dengan banyak aturan adat, maka ia lebih senang jika para
putrinya dapat memperoleh jodohnya sendiri dan bukan
dijodohkan seperti kebanyakan putri bangsawan. Betapa
terpukulnya hati orang tua itu ketika tahu pilihan Yao Chuen
justru pada seorang keturunan Kaoli.
"Baiklah Chuen-er. Sejak kecil memang engkaulah
yang paling penurut dan mendengar perkataanku. Sekarang
bersumpahlah di depan arwah para leluhur ini bahwa kau- 118 selamanya tidak akan bertemu muka lagi dengan Ma Han
Jiang itu!" suara Yao Hao Yin menggelegar memenuhi aula.
"Ibu!" seru kaget terdengar hampir bersamaan dari
keempat putri Yao tapi yang paling kaget tentu saja adalah
Yao Chuen.
"Nah, apakah kau masih memikirkan marga Ma itu
dan tidak mendengarkan kata ibu? Selama ini aku selalu
bersabar dengan harapan kau akan melupakannya. Tapi tadi
di pesta, pandanganmu tidak dapat membohongi mata tuaku
ini. Dalam hati kau masih menyimpan perasaan kepada
marga Ma itu. Chuen-er, jawab betul tidak perkataan orang
tua ini"
Yao Chuen tidak dapat berkata-kata. Memang benar
di dalam hatinya menyimpan perasaan yang dalam kepada
Ma Han Jiang, tapi di sisi lain ia juga tidak bisa melawan
kehendak ibu angkatnya yang telah menolong jiwanya pada
saat ia masih kecil.
Tanpa terasa butiran air mata bening mengalir di pipi
Yao Chuen yang putih bersih. Pertentangan batinnya
berjalan keras. Ketiga saudarinya yang lain hanya bisa
memandangi Yao Chuen dengan iba. Mereka pun ikut
merasakan penderitaan dan pertentangan batin yang
dirasakan kakak tertua mereka. Meskipun mereka bukan
saudara sekandung, namun sejak kecil mereka tumbuh
bersama-sama sehingga boleh dikatakan mereka
mempunyai hubungan sedekat hubungan sedarah.- 119 "Chuen-er, sekarang aku minta bersumpahlah di
depan arwah para leluhur bahwa kau tidak akan menemui
Ma Han Jiang itu lagi. Jika memang dirimu masih berhati
nurani dan mengingat jasa besar keluarga Yao pada dirimu.
Kalau tidak silakan tinggalkan rumah ini dan jangan pernah
lagi memakai marga Yao!"
Nada suara Yao Hao Yin bergetar menahan
perasaannya. Ia berpaling memunggungi keempat putrinya,
takut jika sampai ia sendiri menangis atau berubah pikiran.
Bagaimanapun keempat putri angkatnya telah menemaninya
hampir selama enam belas tahun terakhir ini dan mereka
telah mampu menghilangkan kesedihan ditinggalkan oleh
orang orang tercintanya. Apalagi Yao Chuen memang
paling penurut, sehingga ia sayang sekali padanya. Dalam
hati ia memaki Ma Han Jiang, mengapa orang itu harus
bertemu dengan putri kesayangannya.
"Ibu!!" Keempat gadis jelita itu semuanya langsung
berlutut di depan ibunya.
"Kakak pertama, bersumpahlah. Jangan membuat ibu
sedih lagi" pinta Yao Tong kepada Yao Chuen.
"Benar, kakak pertama. Jodoh dan kematian ada
dalam takdir. Janganlah membuat ibu bersedih terus di hari
tuanya" kata Yao Jiu menasihati.
Yao Chuen sendiri tetap berlutut mematung. Dadanya
berguncang-guncang menahan emosinya yang akan tumpah
keluar. Aklurnya ia berkata,- 120 "Ibu, aku memang anak yang tidak berbakti sudah
membuat Ibu marah dan prihatin. Baiklah, aku bersumpah
tidak akan menemui lagi Ma Han Jiang. Jika aku melanggar
sumpahku, biarlah aku dikutuk oleh bumi dan langit"
Setelah berkata demikian, Yao Chuen menunduk dan
menggigit bibirnya sampai berdarah untuk menahan
perasaanya yang campur aduk. Yao Xia segera memeluk
kakak pertamanya. Ia bisa merasakan kakak pertamanya
amat berduka karena cinta pertama kandas di tengah jalan.
Yao Chuen berperasaan sangat halus dan mudah terluka
hatinya sehingga ketiga adiknya dapat merasakan pastilah
kejadian ini akan menimbulkan luka hati yang entah kapan
lagi sembuhnya.
"Chuen-er, engkau memang tidak mengecewakanku
dan arwah para leluhur." kata Yao Hao Yin sambil
membimbing Yao Chuen bangkit. "Sekarang bangkitlah
kalian semua. Hari sudah malam, kalian pasti sudah lelah
seharian. Masuklah ke kamar kalian dan tidurlah" kata Yao
Hao Yin sambil berlalu. Hatinya sudah agak lega mendengar
sumpah Yao Chuen. Terus terang setelah kematian
keluarganya karena perang dengan Kaoli, Yao Hao Yin
masih tidak bisa menerimanya dan dalam hatinya terus
memendam amarah membara terhadap bangsa Kaoli yang
telah merenggut keluarganya, sehingga mana bisa ia
menerima Ma Han Jiang yang berdarah Kaoli untuk menjadi
menantunya. Mustahil!- 121 Malam itu kotaraja berlalu dengan tenang. Kini di
ufuk timur sudah mulai kemerah-merahan, tanda matahari
sudah keluar dari peraduannya. Pintu gerbang kotaraja juga
sudah mulai dibuka kembali dan para petani dan pedagang
dari luar mulai masuk ke kotaraja. Pasar dan kedai mulai
bersiap menyambut pelanggannya.
Tempat kediaman Han Kuo Li mulai berbenah
kembali menyambut perayaan hari kedua. Para pelayan
sudah mempersiapkan meja-meja di aula untuk menyambut
kedatangan tamu-tamu yang tidak sempat hadir kemarin.
Perayaan ini akan berlangsung sampai lima belas hari
sehingga dapat dibayangkan betapa repotnya para pelayan
selama lima belas hari perayaan itu.
Sementara di Hua Yen Ge Can, seorang pelayan
sedang bersiap-siap membuka kedai. Semua kursi
dibalikkan dan dibersihkan. Tamu-tamu undangan
kebanyakan masih sedang tertidur di kamar masing-masing
setelah pesta besar kemarin, karena itu ia heran melihat


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang tamu yang berpakaian sederhana sedang tergesagesa turun dan keluar dari penginapan tanpa menoleh ke kiri
dan ke kanan lagi. Langkahnya begitu ringan sehingga
seperti tidak menginjak tanah saja layaknya. Pelayan itu
menggosok-gosok kedua matanya untuk memastikan bahwa
ia tidak bermimpi karena sebentar saja tamu itu sudah hilang
di ujung jalan!
Tamu itu tidak lain adalah Ma Han Jiang. Semalaman
ia tidak bisa tidur memikirkan wajah Yao Chuen yang amat- 122 dirindukannya. Ia ingin sekali segera bertemu dengan Yao
Chuen. Laki-laki manapun pasti akan bertekuk lutut bila
menatap mata Yao Chuen yang teduh bagai telaga itu. Ma
Han Jiang masih dapat merasakan keharuman rambut Yao
Chuen yang dirasakannya setahun lalu. Tanpa terasa ia pun
berlari secepat angin ke arah kediaman keluarga Yao
sehingga sebentar saja ia sudah tiba di depan gerbang
kediaman keluarga Yao.
Pelayan gerbang kediaman Yao juga heran mengapa
di pagi hari sudah ada tamu, apalagi tamu itu berpakaian
sederhana seperti seorang petani saja layaknya.
"Apakah keperluan tuan?" tanya pelayan itu.
"Namaku Ma Han Jiang, ingin bertemu dengan nona
pertamamu" jawab Ma Han Jiang.
"Baiklah, akan kusampaikan kepada nona pertama"
Pelayan itu menutup pintu.
Sebenarnya pelayan itu tidak terlalu lama
membiarkan Ma Han Jiang menunggu, tapi bagi Ma Han
Jiang terasa seperti setahun menunggu di depan gerbang.
Akhirnya pintu itu terbuka dan pelayan tadi mempersilakan
Ma Han Jiang masuk.
Ternyata di aula sudah menunggu Yao Hao Yin dan
para dayang-dayangnya.- 123 Ma Han Jiang mencari-cari Yao Chuen namun ia
cuma melihat Yao Jiu saja yang berdiri di samping Yao Hao
Yin. "Apa kabar Yao Lao Tai-Cin?" kata Ma Han Jiang
sambil menjura.
"Kabarku baik-baik saja terima kasih" jawab Yao
Hao Yin dingin.
Yao Jiu yang berdiri di samping Yao Hao Yin
berusaha memberi tanda dengan mengernyitkan mata tapi
sayang sekali Ma Han Jiang tidak memperhatikan.
"Ma ta-sia ingin bertemu dengan putri pertamaku Yao
Chuen, ada urusan apakah?" tanya Yao Hao Yin
Pertanyaan yang langsung mengena sasaran ini
membuat Ma Han Jiang menjadi salah tingkah dan tidak bisa
menjawabnya langsung. Urusan apakah yang perlu
dibicarakannya dengan Yao Chuen? Urusan asmara?
Urusan apalagi yang bisa dipikirkan oleh Ma Han Jiang atas
pertanyaan Yao Lao Tai-Cin ini?
"Aku ingin mengembalikan kumala obat milik nona
Yao Chuen" jawab Ma Han Jiang sebisanya.
"Oh, cuma begitu saja? Baiklah akan aku terima
kumala itu." kata Yao Hao Yin sambil memberikan tanda
kepada pelayan untuk mengambil kumala itu dari Ma Han
Jiang.- 124 "Nah, terima kasih atas kunjungan anda, Ma ta-sia.
Pelayan kami akan mengantar ke depan. Pelayan, antar
tamu!"
Yao Hao Yin berkata demikian sambil bersiap
meninggalkan aula utama. Ma Han Jiang benar-benar kaget
dengan sambutan yang dingin dan cepat ini.
"Tunggu sebentar, Yao Lao Tai-Cin." Ma Han Jiang
mencoba menahan.
"Bolehkah aku bertemu dengan nona Yao Chuen
untuk menyampaikan rasa terima kasihku secara pribadi?"
Yao Hao Yin berbalik menghadap Ma Han Jiang.
Tatapannya begitu tajam dan dingin sehingga Ma Han Jiang
merasa merinding. Wibawa nyonya tua itu tidak pudar
meskipun sudah berusia lanjut.
"Ma ta-sia, karena engkau mengatakan hal ini maka
aku tidak akan bersikap pura-pura lagi. Aku tahu setahun
lalu Ma ta-sia dan putriku pernah bertemu dan terlibat
beberapa hal. Tapi perlu kutegaskan sekarang bahwa kami
keluarga Yao tidak akan pernah menjalin hubungan dengan
bangsa Kaoli dalam hal apapun juga. Yao Chuen juga telah
bersumpah tidak akan menemuimu lagi, jadi lupakan saja
pernah bertemu dengannya"
Kata-kata Yao Hao Yin begitu tegas dan tajam seperti
pedang menusuk ulu hati Ma Han Jiang. Pendekar yang
sudah malang melintang di dunia persilatan ini, apapun- 125 bahaya selalu dihadapi tapi apakah sanggup menerima
cobaan hati semacam ini?
"Yao Lao Tai-Cin, anda salah paham. Aku hanya ingin ..."
"Cukup!!!" Yao Hao Yin menghentakkan tongkat
naga emasnya.
"Antarkan tamu keluar!"
Para pelayan bersiap menyeret Ma Han Jiang keluar
tapi betapa kagetnya mereka ketika usaha mereka seperti
berusaha menggerakkan gunung saja layaknya. Ma Han
Jiang sama sekali tidak bergerak meski ketiga pelayan
berusaha menariknya keluar aula.
"Yao Lao Tai-Cin, memang aku berdarah Kaoli. Tapi
sejak kecil aku hidup dan dibesarkan oleh orang Han. Aku
sudah menganggap diriku bangsa Han. Mengapa nyonya
yang berjiwa besar masih mempermasalahkan hal seperti
ini?" tanya Ma Han Jiang.
"Aku tidak membutuhkan petuah dari keturunan
barbar macam dirimu. Kutegaskan sekali lagi padamu
bahwa Yao Chuen telah bersumpah untuk tidak menemuimu
lagi seumur hidupmu! Jadi lupakan impian busukmu dapat
bertemu lagi dengan dia"
Yao Hao Yin tampak emosi sekali. Rupanya dendam
keluarga selama puluhan tahun masih juga belum hilang dari
dalam hatinya.- 126 "Yao Lao Tai-Cin, aku tidak percaya Yao Chuen
tidak mau menemuiku lagi. Kecuali ia sendiri yang
mengatakannya padaku. Maafkan kelancanganku" kata Ma
Han Jiang sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Ketiga
pelayan yang berusaha menye retnya langsung terlempar
begitu tenaga dalam Ma Han Jiang meledak keluar.
Ma Han Jiang menggenjot tubuhnya melayang tinggi
melewati Yao Hao Yin dan Yao Tong. Ia ingin masuk ke
rumah keluarga Yao, mencari Yao Chuen dan menanyakan
sendiri kebenaran pernyataan Yao Hao Yin tadi. Ia tahu
tindakannya ini tidak benar, tapi api asmara telah membakar
semua akal sehat Ma Han Jiang hingga tidak bersisa.
"Ingin menerobos masuk kediaman keluarga Yao?
Jangan mimpi!"
Giliran Yao Hao Yin yang menggenjot tubuhnya
tinggi ke udara, sama tinggi dengan Ma Han Jiang. Tongkat
naga emasnya menggaet kaki Ma Han Jiang di udara dan
melemparnya kembali ke dalam aula.
"Yao Lao Tai-Cin, aku tidak bermaksud kasar
terhadapmu. Aku hanya ingin bertemu Yao Chuen saja"
pinta Ma Han Jiang yang berusaha menghindari pertikaian.
"Kasar? Mana ada bangsa Kaoli yang sopan?" bentak
Yao Hao Yin dengan geram.
Yao Hao Yin maju menyerang dengan segenap
tenaga. Mungkin usianya sudah hampir delapan puluh- 127 tahun, tapi berkat berlatih Jien San Sen Kung sejak muda
membuat tenaganya masih kuat dan hebat. Ma Han Jiang
menyadari kehebatan nyonya tua ini dan ia pun tidak berani
main-main.
Segera saja terjadi pertarungan seru di aula itu. Yao
Tong yang menyadari gawatnya keadaan, segera menyuruh
seorang pelayan untuk memanggil ketiga saudarinya. Kedua
pihak yang berkelahi, siapapun yang terluka pasti tidak akan
menyenangkan Yao Chuen, pikir Yao Tong yang memang
paling penuh perhitungan itu.
Yao Hao Yin sendiri tidak sungkan-sungkan untuk
menyerang dengan sepenuh tenaga. Tongkat naga emasnya
menyambar-nyambar dengan cepat sekali sehingga terlihat
seperti ada seekor naga emas sedang menari mengejar Ma
Han Jiang di aula itu. Jurus tongkat naga emas Yao Hao Yin
sebenarnya adalah perkembangan dari ilmu toya Shaolin
yang dipelajarinya di masa mudanya. Tentu saja jurus itu
sudah tidak sama lagi dengan aslinya karena ilmu tongkat
naga emas lebih mirip ilmu tombak yang selalu maju
menusuk dengan ujung tongkat terlebih dulu dan tidak
memainkan jurus memukul dengan badan tongkat sama
sekali.
Ma Han Jiang yang berusaha menghindar dan tidak
melakukan penyerangan sama sekali, akhirnya kerepotan
juga. Tongkat naga emas itu akhirnya berhasil
mengurungnya dan menyodoknya tepat di ulu hati. Ma Han- 128 Jiang masih sempat menahannya dengan kedua telapak
tangannya.
"Plakkkkkkk!!"
Suara benturan memecahkan udara. Baik Ma Han
Jiang maupun Yao Hao Ying sama-sama terpental mundur.
Tangan Yao Hao Yin bergetar keras dan kesemutan
sedangkan telapak tangan Ma Han Jiang sampai pecahpecah karena kuatnya tenaga Jien San Sen Kung.
"Bagus! Sudah lama tulang-tulang tua ini tidak
digerakkan lagi" kata Yao Hao Yin sambil tertawa mengejek
"Lao Tai-Cin, aku tidak ingin bertarung denganmu"
kata Ma Han Jiang masih berusaha mencegah pertempuran
berlanjut lagi. Sayangnya kata-kata Ma Han Jiang ini malah
seperti minyak yang disiramkan ke api.
"Kau tidak ingin? Akan kulihat sampai berapa jurus
kau bisa bertahan!" Yao Hao Yin semakin geram mendengar
perkataan Ma Han Jiang. Ia merasa dilecehkan karena Ma
Han Jiang takut melukainya.
"Lihat tongkat!" katanya sambil maju dengan ganas sekali.
Tongkat naga emasnya berubah menjadi puluhan
bayangan tongkat yang mengepung semua jalan mundur Ma
Han Jiang. Inilah jurus yang diciptakan Yao Hao Yin di
masa tuanya, Lung Ju Hou San (Naga Keluar dari Balik
Gunung). Jurus ini adalah gabungan jurus tongkat dan
tenaga Jien San Sen Kung, tiap sodokan tongkat- 129 mengandung tenaga yang dapat menghancurkan karang,
amat ganas dan mematikan!
Ma Han Jiang kaget sekali melihat Yao Hao Yin
benar-benar mengeluarkan jurus maut. Sadar bahwa ia
dipaksa melawan langsung beradu tenaga karena seluruh
jalan keluar sudah terkepung bayangan tongkat, Ma Han
Jiang mengerahkan seluruh tenaga ke kedua kakinya.
Akibatnya sungguh luar biasa, lantai marmer aula langsung
retak dan amblas ke bawah karena tekanan tenaga Ma Han
Jiang yang luar biasa!
Ma Han Jiang mengangkat satu kakinya dan
menendang dengan sepenuh tenaga. Inilah jurus untuk
menghadapi kepungan musuh, Shi Tien Feng Wu (Tarian
Bangau Surga Barat). Satu kaki sebagai tumpuan, kaki yang
lain menendang dengan cepat ke arah musuh. Satu tarikan
nafas saja mampu menendang sebanyak duabelas kali!
Ma Han Jiang berhasil menendang semua sodokan
tongkat Lung Ju Hou San, tapi Yao Hao Yin yang geram
melihat jurusnya dapat dibuyarkan dengan mudah, kini
melompat tinggi ke atas dan menghunjam lantai dengan satu
tapak Jien San Sen Kung tenaga penuh! Jurus penuh tenaga
ini adalah Lei lien Jien Ye (Guntur Halilintar Seribu
Malam).
"Blarrr!!!" Suara lantai hancur bergema di seluruh aula.
Rupanya Yao Hao Yin tidak main-main. Ia
mengerahkan tenaganya sampai puncak dan menyerang- 130 tumpuan kaki Ma Han Jiang dengan Jien San Sen Kung!
Tenaga dalam itu merembet melalui tanah, menghancurkan
lantai yang dilaluinya dan meledakkan lantai tempat
tumpuan kaki Ma Han Jiang. Beruntung di saat terakhir Ma
Han Jiang masih sempat mundur melompat, sehingga Jien
San Sen Kung tidak sempat melukainya. Namun tak urung
ia terlempar keluar sampai ke halaman depan.
Pecahan lantai dan debu berhamburan di aula besar
keluarga Yao yang biasanya tenang itu. Para pelayan wanita
lari ketakutan ke belakang rumah, sementara para pelayan
pria masing-masing mengambil tongkat bersiap melakukan
perintah nyonya besar mereka. Yao Hao Yin sendiri sedang
mengatur nafas setelah barusan meledakkan seluruh tenaga
Jien San Sen Kung melalui telapaknya. Yao Tong
menghampiri ibunya dengan penuh kekhawatiran.
"Ibu, tidak apa-apakah?" tanya Yao Tong
"Ibu tidak apa-apa. Kau seharusnya bertanya kepada
bocah Kaoli itu apakah ia baik-baik saja." kata Yao Hao Yin
dengan penuh semangat. Ia yang sudah lama tidak bertarung
sekarang menemukan lawan yang sepadan. Darah
pendekarnya kembali menggelegak, ingin menjajal sampai
di mana kemampuannya menghadapi Ma Han Jiang yang
terkenal dengan tendangan kaki mengguntingnya itu.
Ma Han Jiang sendiri tidak mengira Yao Hao Yin
bersungguh-sungguh. Kakinya yang diserang dengan tenaga
dalam Jien San Sen Kung tadi terasa ngilu dan mati rasa.- 131 Diam-diam ia mengakui kehebatan tenaga nyonya tua itu,
namun tekadnya untuk bertemu Yao Chuen sudah bulat. Ia
akan berusaha sampai titik darah penghabisan meskipun
yang dihadapinya adalah raja neraka sekalipun!
"Yao Lao Tai-Cin, aku hanya ingin bertemu putri
anda tapi rupanya anda bersungguh-sungguh
menghadapiku. Aku merasa tersanjung sekali. Kini aku pun
tidak akan sungkan-sungkan lagi menghadapimu. Mari kita
lanjutkan permainan kita" kata Ma Han Jiang menantang
Yao Hao Yin. Ia sudah benar-benar tidak bisa mundur lagi
sekarang.
"Bagus, ingin kulihat sampai di mana kehebatan Kaki
Mengguntingmu" balas Yao Hao Yin tidak kalah lantang.
"Ibu ..." Yao Tong masih berusaha mencegah. Ia
ingin mengulur waktu sampai Yao Chuen tiba tapi dengan
satu hentakan tongkat yang tegas, Yao Hao Yin
menyuruhnya minggir dari sisinya. Melihat raut wajah


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ibunya yang demikian tegas mau tak mau Yao Tong minggir
memberi jalan.
Kini kedua pendekar beda generasi itu kembali saling
berhadapan. Tapi bedanya sekarang Ma Han Jiang juga
berlaku serius dan tidak sungkan lagi. Ia mengerahkan
seluruh tenaga pada kedua kakinya, bersiap mengerahkan
jurus tendangan andalannya, Tuo Ming Cien Tau Ciao
(Tendangan Kaki Menggunting Pengejar Nyawa). Yao Hao
Yin sendiri mengambil kuda-kuda yang kokoh, tangan- 132 kanannya memegang tongkat naga emas sementara tangan
kirinya disilangkan di dada. Nafasnya teratur dan lambat
menandakan ia telah menggunakan Jien San Sen Kung
sampai tingkat puncak!
Dalam waktu yang hampir bersamaan, keduanya
maju dengan cepat sekali. Ma Han Jiang langsung
menendang dengan tendangan berantainya. Yao Hao Yin
memutar tongkat naga emasnya bagai baling-baling
membendung semua tendangan Ma Han Jiang. Yao Tong
yang berdiri tidak jauh dari pertempuran itu dapat
merasakan betapa kuatnya angin tenaga yang dikeluarkan
kedua orang itu. Ia merasa cemas akan keselamatan mereka
berdua tapi ia juga tidak ingin melewatkan kesempatan
melihat kehebatan dua ilmu langka di dunia persilatan ini
beradu. Yao Tong mengawasi dengan seksama pertarungan
itu, setiap jurus yang dikeluarkan ia ingat baik-baik dalam
pikirannya.
Ma Han Jiang kali ini menghadapi musuh yang
seimbang. Yao Hao Yin memang sudah tua, tapi kaya akan
pengalaman dan tenaga dalamnya melebihi dirinya karena
itu Ma Han Jiang selalu berusaha menghindari benturan
langsung. Kedua kakinya menendang dengan cepat sekali,
kadang bergantian kadang berubah menjadi sapuan. Yao
Hao Yin sendiri tidak secepat gerakan Ma Han Jiang tapi
pengalamannya membuatnya tahu agar menjaga jarak
tendangan dengan panjang tongkat naga emasnya.- 133 Duapuluh jurus segera berlalu dan kini Ma Han Jiang
berhasil mendesak Yao Hao Yin yang bisa bertahan terus
dengan tongkatnya. Ma Han Jiang yang ingin segera
menyelesaikan pertarungan ini, melihat pada satu
kesempatan baik segera menjepit ujung tongkat naga emas
dengan kedua kakinya menyilang. Inilah salah satu jurus
mematikan dari Tendangan Kaki Menggunting, Feng Huo
Lun Ciao (Kaki Roda Angin dan Api). Yao Hao Yin
merasakan jepitan kaki itu begitu kuat sehingga tidak dapat
dilepaskannya.
"Lepas!!!" teriak Ma Han Jiang sambil memutar
tubuhnya di udara. Tongkat naga emas ikut berputar, Yao
Hao Yin berusaha menahan sekuat tenaga tapi jika
diteruskan pasti pergelangan tangannya akan patah sehingga
terpaksa tongkat itu ia lepaskan. Setelah berhasil merebut
tongkat naga emas, Ma Han Jiang menendangnya hingga
menancap di tembok halaman. Yao Hao Yin semakin murka
melihat bahwa tongkat yang diberikan Kaisar kepadanya itu
berhasil direbut oleh Ma Han Jiang.
Sadar bahwa Ma Han Jiang mempunyai jurus-jurus
yang lebih lihai dan banyak perubahannya, Yao Hao Yin
mengambil napas dalam-dalam, mengerahkan tenaga ke
titik pusat nadi Cui di kedua pangkal lengan. Selanjurnya
kedua lengan digerakkan ke depan sambil menarik chi turun
ke perut. Hal ini terus dilakukan berulang-ulang sampai
seluruh chi meluap ke dada. Terakhir seluruh tenaga
dialirkan ke tapak tangan. Ia hendak memaksa Ma Han Jiang- 134 berhadapan langsung adu tenaga di mana ia yakin bisa
tenaganya lebih unggul daripada pendekar muda itu.
Yao Tong kaget menyadari ibunya benar-benar serius
mengeluarkan Jien San Sen Kung sampai tenaga puncaknya.
Ia tidak sempat lagi melerai karena ibunya sudah menyerang
Ma Han Jiang dengan sekuat tenaga!
"Terimalah Jien San Sen Kung!!" teriak Yao Hao Yin
sambil menyorongkan kedua tapaknya kepada Ma Han
Jiang. Seluruh jalan mundur sudah ditutup olehnya sehingga
mau tak mau Ma Han Jiang harus menerima serangan
langsung itu atau terpukul telak.
Ma Han Jiang yang menyadari nyawanya di ujung
tanduk melakukan lompatan berputar balik di udara dua kali
disusul dengan tendangan ganda yang mengarah ke kepala
Yao Hao Yin. Inilah jurus terakhir dari Tendangan Kaki
Menggunting, Suang Lung Xia Ti (Naga Kembar Turun ke
Bumi) yang mengerahkan seluruh tenaga ditambah
kekuatan putaran tubuh. Jurus ini jarang sekali dikeluarkan
karena amat mematikan, tapi sekarang Ma Han Jiang tidak
punya pilihan lain karena menyadari kekuatan Jien San Sen
Kung keluarga Yao yang mampu merontokkan gerbang kota
dengan sekali pukul saja!
Tapak bertemu tendangan, seluruh halaman depan
terasa bergetar karena kerasnya benturan. Pohon-pohon
yang tumbuh di sekeliling halaman bergoyang dengan keras
akibat angin benturan dua tenaga luar biasa ini, tak- 135 terkecuali para pelayan dan Yao Tong yang menonton ikut
terhempas oleh angin benturan.
Ma Han Jiang terlempar di udara beberapa tombak
jauhnya dan terhempas keras di tangga pelataran dekat pintu
gerbang. Kakinya mati rasa dan tidak dapat digerakkan.
Sejenak kemudian Ma Han Jiang memuntahkan darah segar.
Ternyata tenaga dalamnya masih belum bisa menandingi
kehebatan Jien San Sen Kung.
Yao Hao Yin sendiri masih berdiri tegak dan kokoh.
Wajahnya yang sudah keriput itu masih menunjukkan
wibawa seorang nyonya besar yang disegani.
"Nah, sekarang kau bisa mari dengan puas, bukan?"
kata Y Hao Yin dingin.
"Aku tidak akan mati sebelum bertemu Yao Chuen"
kata Ma Han Jiang sambil bangkit berdiri. Seluruh tulang di
tubuhnya terasa lepas tapi ia tetap memaksakan diri untuk
mengatur tenaga dalam tubuhnya. Ia mengusap darah di
bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Memang ia layak
disebut sebagai seorang pendekar.
"Omong kosong!" bentak Yao Hao Yin.
"Aku juga masih bisa menendangmu" kata Ma Han
Jiang sambil memaksakan diri menyalurkan tenaga ke kedua
kakinya. Ia merasakan sakit yang sangat ketika memaksakan
kedua kakinya bergerak menggunakan tenaga dalam tapi
sekuat tenaga ia memaksa menendang untuk menunjukkan- 136 bahwa ia masih kuat. Kakinya bergerak cepat sekali
menendang belasan kali dalam satu hembusan napas!
Pada saat itu, ketiga putri Yao yang lainnya keluar
berhamburan ke halaman depan. Yao Chuen, Yao Xia dan
Yao Jiu berlari secepatnya ke depan aula setelah mendengar
laporan pelayan bahwa seorang pemuda bernama Ma Han
Jiang mencoba menerobos masuk dan bertarung dengan ibu
mereka. Yao Chuen hampir pingsan melihat ibunya dan
kekasihnya sedang berhadapan dalam keadaan terluka. Ia
segera berlari mendapati ibunya yang masih berdiri di
tengah halaman depan. Ketiga saudarinya segera bergabung
menghampiri ibu mereka itu.
"Ibu, bagaimana keadaan ibu?" tanya mereka hampir
bersamaan.
"Aku baik-baik saja. Xia-er, berikan tongkat naga
emas padaku" kata Yao Hao Yin kepada Yao Xia.
Yao Xia segera berlari ke arah tongkat itu menancap
ke tembok halaman. Ia mengerahkan seluruh tenaga baru
dapat mencabut tongkat yang hampir menancap sepanahnya
itu. Tongkat naga emas itu dikembalikan kepada Yao Hao
Yin vang segera menerimanya dengan perasaan hormat
seperti jika bertemu dengan Kaisar sendiri.
"Chuen-mei (Adik Chuen)!" panggil Ma Han Jiang
begitu melihat orang yang begitu dirindukan telah ada di
depan mata.- 137 Yao Chuen sebenarnya ingin sekali berlari
mendapatkan Ma Han Jiang yang sudah dirindukannya
selama setahun terakhir ini. Apalagi melihat keadaan Ma
Han Jiang yang compang camping akibat pertempuran
barusan tapi ia teringat sumpahnya semalam, ia menahan
dirinya.
"Marga Ma, sekarang kau akan mendengar sendiri
pengakuan dari Chuen-er bahwa ia tidak akan menemuimu
lagi selamanya supaya kau bisa ke alam kubur tanpa
penasaran! Chuen-er, sekarang kau bisa mengatakannya
sendiri kepada pemuda berandalan itu atau aku benar-benar
akan membunuhnya dengan tanganku sendiri" kata Yao Hao
Yin dengan geram.
Yao Chuen masih diam mematung. Ia tahu bahwa
ibunya kali ini tidak main-main. Perasaannya bergetar hebat
sehingga seluruh bumi rasanya berputar. Akhirnya dengan
menguatkan hati ia memandang wajah Ma Han Jiang.
"Ma ta-sia..." Yao Chuen berhenti sejenak. Ia sudah
terbiasa memanggil Ma Han Jiang dengan panggilan Ma take (kakak Ma) dan bukan Ma ta-sia (pendekar Ma) sehingga
rasanya canggung sekali.
"Ma ta-sia, mohon anda tinggalkan wisma keluarga
Yao ini dan jangan pernah mencariku lagi. Anggap saja kita
tidak pernah saling bertemu." ujar Yao Chuen sambil
memandang wajah Ma Han Jiang yang juga amat tegang
mendengarkan setiap patah kata yang keluar dari mulurnya.- 138 "Chuen-mei, mengapa begini jadinya? Apakah kau
juga menganggap rendah diriku sebagai keturunan Kaoli?"
tanya Ma Han Jiang tidak percaya dengan pendengarannya.
"Aku... Aku tidak pernah memandang rendah dirimu"
suara Yao Chuen semakin lirih saja.
Kini ia memberanikan diri berjalan mendekati Ma
Han Jiang. Jarak mereka kini tinggal satu tombak saja.
Seluruh yang hadir terdiam menunggu apa yang akan
dikatakan Yao Chuen.
"Ma ta-sia, kita tidak berjodoh di kehidupan ini.
Semoga di kehidupan yang akan datang kita lebih
beruntung." kata Yao Chuen sambil memandang Ma Han
Jiang dengan penuh kasih. Meski Yao Chuen berkata
dengan senyum namun matanya yang bening dan tenang
seperti telaga itu berkaca-kaca. Ma Han Jiang yang
memahami sifat Yao Chuen, tahu bahwa pujaan hatinya itu
sedang berusaha keras menyembunyikan kedukaannya.
"Jodoh ada di tangan kita sendiri, Chuen-mei. Jika
kita berusaha pasti langit akan memberkati kita" kata Ma
Han Jiang berusaha membantah, la sebenarnya ingin sekali
memeluk Yao Chuen dan membawanya pergi tapi seluruh
tubuhnya serasa tidak bisa digerakkan. Tenaganya masih
belum pulih setelah benturan tadi.
Yao Chuen menggeleng lemah. Ia memandang Ma
Han Jiang dengan penuh kasih. Di benaknya terlintas
ingatan ketika mereka bersama-sama mengarungi banyak- 139 bahaya setahun lalu. Meski hanya beberapa minggu saja
bersama-sama tapi mereka benar-benar dapat saling
memahami dan mengerti pribadi masing-masing, merasa
saling cocok satu sama lain. Tapi takdir mengharuskan ia
tidak akan dapat bersama dengan Ma Han Jiang. Ia adalah
putri angkat keluarga Yao, musuh besar bangsa Kaoli
sedangkan Ma Han Jiang adalah keturunan bangsa Kaoli.
Jurang perbedaan yang besar ini tidak dapat dilompati oleh
Yao Chuen, ia tidak bisa memalingkan diri dari budi besar
Nyonya Yao. Ia benar-benar tidak bisa.
"Ma ta-sia, aku sendiri yang akan mengantarkan anda
keluar. Setelah anda keluar gerbang ini, kumohon jangan
pernah lagi mencariku." kata Yao Chuen sambil berjalan ke
arah gerbang utama.
Ma Han Jiang berjalan mengikuti seperti mayat
hidup. Pandangannya kosong seolah tidak percaya dengan
apa yang barusan ia dengar. Ia tahu meskipun Yao Chuen
berhati lembut namun selalu tidak pernah menarik kembali
ucapannya. Ma Han Jiang berjalan dengan pelan sekali
menuju gerbang. Ia tidak ingin segera sampai karena itulah
saat perpisahannya dengan Yao Chuen. Ia ingin selama
mungkin memandang wajah Yao Chuen. Yao Chuen sudah
sampai di tangga gerbang utama, menunggu Ma Han Jiang
yang masih berjalan dengan linglung.
"Inilah akhir jodoh kita, Ma ta-sia" kata Yao Chuen
lemah ketika Ma Han Jiang sudah berada di ambang pintu.
Ia tidak berani menatap wajah Ma Han Jiang, takut dirinya- 140 akan berubah pikiran. Seluruh tubuhnya sudah berkeringat
dingin menahan perasaannya.
"Chuen-mei, benarkah apa yang kudengar ini? Begitu
mudahkah perasaanmu berubah?" Ma Han Jiang masih
ingin meyakinkan dirinya sendiri.
"Aku harus berbakti kepada negara dan orang tua.
Perasaan kita tetap akan ada tapi tidak pernah akan bisa
terlaksana. Kita tidak akan pernah berjumpa lagi Ma ta-sia,
jaga dirimu baik-baik" ujar Yao Chuen dengan lirih sekali.
Matanya menatap lembut Ma Han Jiang, seakan-akan
hendak menyampaikan kata-kata yang tidak terucapkan. Ma
Han Jiang sendiri seakan merasakan teduhnya pandangan
mata itu sehingga sejenak ia melupakan segala
permasalahan dirinya. Ia tidak ingin saat itu berlalu untuk
selamanya. Ia ingin selalu ada di sisi Yao Chuen, tapi
mengapa langit begitu kejam menggariskan takdir bagi
mereka?
"Hatiku kutinggalkan di gerbang ini, Chuen-mei.
Kalau benar kita tidak akan berjumpa lagi kuharap kau tidak
melupakanku jika bertemu di jembatan surga kelak" kata Ma
Han Jiang dengan sendu.
"Chuen-er, antarkan tamu!!" hardik Yao Hao Yin
memecahkan keheningan. Ia sudah gemas sekali melihat
mereka berdua saling berpandangan dari tadi seperti
sepasang kekasih yang sedang kasmaran.- 141 Yao Xia, Yao Jiu dan Yao Tong sendiri tidak bisa
berkata dan berbuat apa-apa. Mereka begitu terharu melihat
keadaan kakak tertua mereka.
"Ma ta-sia, silakan. Jaga dirimu baik-baik" kata Yao
Chuen mempersilakan Ma Han Jiang keluar. Tatapannya
kosong seperti mati.
Ma Han Jiang memandang pujaan hatinya untuk
terakhir kali. Ia berjalan dengan gontai melangkah melewati


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerbang utama. Hatinya benar-benar hancur sehingga ia
tidak menghiraukan lagi keadaan sekitarnya. Langkahnya
tidak bertujuan, tergantung ke mana kakinya melangkah. Ia
melangkah dan terus melangkah meninggal kan wisma Yao,
meninggalkan daerah pusat kotaraja dan akhirnya
meninggalkan kotaraja. Ma Han Jiang hanya ingin
meninggalkan semuanya yang mengingatkannya akan Yao
Chuen. Seorang pendekar boleh bermental baja, tapi hati dan
perasaan tetaplah manusia biasa yang mudah terluka oleh
perjalanan hidup tidak terkecuali Ma Han Jiang.
Sementara Ma Han Jiang keluar dari wisma keluarga
Yao, Yao Chuen sendiri tetap termenung di depan gerbang.
Dunia serasa kehilangan arah baginya. Bahkan panggilan
ketiga saudari dan ibunya juga tidak didengarnya. Ia
berjalan gontai masuk kembali ke dalam aula utama. Baru
saja berjalan beberapa langkah memasuki aula utama, tibatiba Yao Chuen ambruk dan pingsan. Beruntung Yao Xia
berlari menyusulnya sehingga ia masih sempat memeluk
kakak pertamanya itu sebelum jatuh ke lantai.- 142 Yao Jiu dan Yao Tong yang berjalan memapah ibu
mereka berteriak kaget ketika tiba-tiba Yao Hao Yin
memuntahkan darah segar dari mulurnya. Rupanya Yao Hao
Yin juga terluka dalam cukup parah akibat pertempuran
barusan. Ia tadi bertahan tidak menunjukkan bahwa ia
terluka hanya karena harga dirinya yang tinggi saja. Setelah
Ma Han Jiang pergi dan melihat Yao Chuen pingsan, Yao
Hao Yin tidak kuat lagi menahan aliran darahnya yang
kacau balau dan muntah darah. Untung tenaga Jien San Sen
Kung masih cukup kuat menahannya tetap sadar.
Yao Jiu dan Yao Tong segera memapah ibu mereka
ke dalam kamar, sementara Yao Xia berusaha menyadarkan
Yao Chuen. Ia khawatir sekali akan keadaan kakaknya itu.
Mukanya pucat, denyut nadinya tidak teratur dan napasnya
tersengal-sengal. Pukulan batin yang diterima Yao Chuen
terlalu berat sehingga mengguncangkan jiwanya. Yao Xia
menyadari tidak ada pilihan lain, segera mendudukkan Yao
Chuen dan ia menyalurkan tenaga dalamnya ke punggung
kakaknya. Tenaga Jien San Sen Kung yang panas segera
meresap ke dalam tubuh Yao Chuen, menetralkan peredahan
darah dan pernapasannya.
Yao Chuen mengeluh pelan, mulai merasakan
kekuatan yang disalurkan Yao Xia ke dalam tubuhnya.
Pelan-pelan ia membuka matanya. Tatapannya lemah dan
kosong. Yao Xia memanggil kedua dayang untuk memapah
kakaknya masuk ke kamar. Ia sendiri mengatur napasnya- 143 untuk memulihkan tenaganya. Setelah merasa pulih
kembali, segera Yao Xia menuju kamar ibunya.
Yao Jiu dan Yao Tong tengah berdiri memandang
dengan cemas ke arah ibu mereka yang bersila dalam posisi
teratai. Yao Hao Yin mengerahkan tenaganya untuk
menyembuhkan luka dalam. Butir-butir keringat
bermunculan dari dahinya, pertanda ia sedang berusaha
keras menyembuhkan diri. Yao Xia berbisik pelan kepada
Yao Jiu, "Bagaimana keadaan ibu?"
"Ibu terluka dalam, tapi aku tidak tahu seberapa
parah. Ibu sudah mengulang putaran tenaga beberapa kali.
Kami benar-benar khawatir akan keadaannya" jawab Yao
Jiu. "Kakak pertama sendiri bagaimana?" tanya Yao Tong
dengan khawatir.
"Kakak pertama baik-baik saja, hanya saja ia
mengalami guncangan batin yang hebat. Aku sudah
meminta para dayang menemaninya di kamar" Yao Xia
berkata dengan nada getir. Dalam hati ia sangat resah,
mengapa hari ini langit memberi banyak cobaan berat
kepada keluarga Yao.
Tidak ada yang bisa dilakukan mereka bertiga kecuali
menunggu Yao Hao Yin menyelesaikan meditasinya.
Setelah beberapa puluh kali putaran tenaga Jien San Sen
Kung diselesaikan akhirnya, Yao Hao Yin memuntahkan
darah hitam. Itulah darah luka yang menghambat peredaran- 144 darahnya. Wajahnya kembali memerah dan napasnya
teratur. Memang hebat ilmu Jien San Sen Kung, mampu
memulihkan luka dalam beberapa jam saja.
Yao Hao Yin membuka matanya. Ketiga putrinya
menungguinya sedari tadi dengan cemas, merasa lega ketika
akhirnya ibu mereka sadar kembali.
"Bagaimana keadaan Chuen-er?" kata Yao Hao Yin
begitu membuka mata.
"Kakak pertama sudah tidak apa-apa. Ia sudah
beristirahat di kamar, tapi kelihatannya batinnya amat
terpukul, ibu" jawab Yao Xia
"Bantu aku berdiri" kata Yao Hao Yin sambil berdiri.
Sebenarnya Yao Tong hendak menahan ibunya, tapi
Yao Hao Yin memberi isyarat bahwa dirinya tidak apa-apa.
Yao Jiu segera memapah dan memberikan tongkat naga
emas kepada ibunya.
"Kalian mungkin akan menganggap aku ibu yang kejam..."
kata Yao Hao Yin sambil berjalan menuju jendela. Matahari
sekarang sudah tinggi di atas kepala.Sinarnya masuk dengan
terang ke dalam kamar itu. Tongkat naga emas yang
dipegang Yao Hao Yin berkilauan ditimpa sinar matahari
sehingga ruangan itu menjadi bertambah terang saja.
"Kami tidak pernah berpikiran begitu" kata mereka
bertiga berbarengan.- 145 "Aku melakukan ini semua demi kalian dan juga
leluhur keluarga Yao. Kita bangsa Han bermusuhan dengan
negara semenanjung sudah ratusan tahun. Semua putra
keluarga kita sudah gugur di medan perang karena kelicikan
mereka. Chuen-er masih muda, masih gampang terbawa
perasaan dan diperdaya, aku tidak akan menyalahkannya.
Kalian bertiga ingatlah baik-baik perkataanku ini, bakti pada
negara adalah yang utama, bakti pada orang tua adalah yang
pertama. Jangan pernah lupakan hal itu"
"Kami akan selalu mengingatnya" kata mereka
bertiga serempak.
Yao Hao Yin memandang keluar jendela. Awan putih
berarak-arak di atas kotaraja membentuk alur seperti seekor
naga. Ia mengeluh dalam hati, ah seandainya Yao Ce Cing
dan ketiga putranya masih hidup semua ini tidak akan
dihadapinya sendiri. Ah, tidak yang benar jika mereka masih
hidup semua ini tidak akan terjadi, ya itu yang lebih benar.
Tapi ia sadar dalam hidupnya yang sudah hampir delapan
puluh tahun itu, pengalaman mengajarkan kepadanya bahwa
takdir tidak dapat diatur. Takdirlah yang mengatur
manusia...- 146 5. Ada Pisau Dalam Senyuman
Istana raja yang terletak di tengah-tengah kotaraja Chang An
berdiri megah dan kokoh, atapnya yang merah berhiaskan
simbol naga terlihat sampai beberapa li jauhnya.
Gerbangnya dijaga ratusan penjaga siang malam. Hanya
kaum bangsawan dan mereka yang dipanggil saja yang
boleh memasukinya. Itulah istana tempat Kaisar Tai Zong
bersemayam, sebuah "kota terlarang"
Namun pada malam itu, sesosok bayangan berkelebat
dengan cepat dan ringan sekali. Bayangan itu dengan mudah
melompati tembok istana yang tingginya beberapa tombak
dan mendarat turun tanpa suara. Ilmu pemiliknya tentu
sangat tinggi, sehingga para prajurit yang berjaga sama
sekali tidak menyadarinya.
Gelap malam tanpa bulan musim gugur semakin
menyamarkan keberadaan sang penyusup. Bayangan itu
berjalan ringan di atas genting dan akhirnya melayang turun
di bagian belakang istana. Agaknya ia sudah biasa datang ke
istana sehingga dapat masuk tanpa ragu-ragu. Gerakannya
cepat sekali sehingga dengan satu dua langkah ia sudah
masuk ke dalam ruangan dan menutup pintunya dengan hatihati. Di bagian dalam ruangan tampak tiga lelaki tengah
bercakap-cakap dengan serius. Yang seorang berpakaian
putih memakai topi putih dengan wajah halus dan berbedak
meskipun ia seorang pria. Ia tidaklah lain adalah Huo Cin,
sang kepala kasim istana. Dua orang lainnya memakai baju- 147 menteri kerajaan berwarna biru dengan simbol naga emas
dan topi menteri tingkat dua. Seorang yang lebih muda
berwajah ramah dan kelihatan murah senyum sedangkan
yang lebih tua kelihatan serius sekali.
"Ah, adikku Wen Yang akhirnya datang juga" sambut
Huo Cin dengan ramah dan mempersilakan sosok bayangan
berbaju hitam itu duduk.
Orang berbaju hitam itu membuka selendang hitam
yang menutupi mukanya. Ternyata ia seorang pria berwajah
tampan berusia sekitar tiga puluhan. Alisnya lurus dan tebal,
bibir tipis menggambarkan kekerasan wataknya. Namun di
balik ketampanannya itu, orang akan merasa canggung
karena mata pemuda bernama Wen Yang itu terlihat amat
kejam, seperti seekor hewan buas saja layaknya!
"Maafkan aku, kakak Cin. Juga menteri Li Yi Fu dan
menteri Shi Jing Song, maafkan aku tadi terlalu lama
bersenang-senang" katanya sambil tersenyum penuh arti.
Orang yang disebut Menteri Li Yi Fu, orang yang
berwajah penuh senyum itu, tertawa terkekeh-kekeh dengan
nada yang aneh, seperti orang yang tidak waras saja
layaknya.
"Pendekar Wen, rupanya kau terlalu lama terkurung
dalam kuil Shaolin ya. Sudah dalam beberapa hari ini kau
selalu bersenang-senang, entah berapa gadis yang ikut
bersenang-senang denganmu heheheheheeheh" kata
Menteri Li Yi Fu.- 148 Rupanya yang dimaksud dengan bersenang-senang
oleh Wen Yang adalah menodai anak-anak gadis orang. Ia
tidak lebih dari seorang Jai Hua Cei (pencuri pemetik bunga
adalah sebutan untuk pemerkosa). Tapi bagaimana mungkin
seorang penjahat bisa berteman dengan dua orang menteri
dan kepala kasim istana?
Kita perlu mundur ke belakang untuk mengetahui
cerita sebenarnya. Dua tahun lalu di propinsi Shichou, dua
kakak beradik yang kehilangan segala-galanya bersumpah
untuk tidak tunduk lagi pada takdir langit. Mereka berniat
mengubah nasib mereka sendiri. Mereka adalah Wen Chi
dan Wen Yang, dua bersaudara keluarga Wen yang masih
tersisa dari musibah banjir besar kala itu. Sedari kecil
mereka memang hidup susah sebagai anak dari keluarga
petani melarat. Hari-hari selalu dijalani dengan berat, baik
hinaan maupun perut kosong sudah merupakan makanan
mereka sehari-hari, sama seperti ribuan anak petani melarat
lainnya yang hidup pada jaman itu.
Namun yang membedakan dari anak-anak lainnya
adalah kecerdasan Wen Chi dan Wen Yang. Sedari kecil
mereka sudah mampu menjadi pemimpin dan bercita-cita
besar. Permainan yang sering mereka mainkan bersama
anak-anak lainnya adalah permainan menjadi kaisar. Wen
Chi selalu menjadi kaisar sedang Wen Yang menjadi
jenderalnya. Mereka juga beruntung mendapat pelajaran
dari seorang pelajar yang gagal menjadi pegawai pemerintah
bernama Chong Hui sehingga meskipun miskin, mereka- 149 dapat belajar membaca kitab Wu Jing Si Su maupun menulis
puisi-puisi yang cukup bagus. Kecerdasan mereka membuat
Chong Hui menyadari bahwa kedua anak ini istimewa dan
ia semakin bersemangat mengajari mereka hal-hal yang
tidak diajarkannya kepada anak-anak yang lain.
Setelah musibah banjir besar yang menyebabkan
hancurnya desa mereka, Wen Chi dan Wen Yang mengemis
dari saru desa ke desa lain, hanya untuk menerima hinaan
dan cercaan. Keduanya hampir mati kelaparan dan mereka
bersumpah tidak akan mau menjadi rakyat bawah yang
menjadi korban. Mereka berdua bersumpah akan menjadi
yang teratas, apapun juga jalan yang harus ditempuh meski
harus mengorbankan diri mereka sendiri, tidak ingin lagi
ditindas dan dihina orang lain!
Benar memang, Wen Chi menempuh jalan tidak
lazim untuk cepat memperoleh kemajuan dalam hidupnya
dengan cara nekad. Ia dengan suka rela melamar sendiri
menjadi kasim istana! Pada masa itu hanya budak dan
orang-orang hukuman saja yang dijadikan kasim istana,
itupun dengan paksaan dan ancaman hukuman penggal.
Tidak ada orang yang sukarela menjadi kasim, karena
sekalian harus dikebiri, proses kebiri itu sendiri kadang juga
langsung membawa maut! Empat dari lima orang yang
dikebiri akan meninggal karena proses pengebirian yang
memang kejam dan kotor sehingga menimbulkan infeksi
dan pendarahan yang parah sampai meninggal. Bisa- 150 dibayangkan betapa kuat tekad Wen Chi untuk menggapai
puncak dunia sampai diri sendiri pun dikorbankan!
Wen Chi sendiri setelah menjadi kasim diganti
namanya menjadi Huo Cin. Ia mulai dari kasim peringkat
terbawah yang tugasnya hanya melakukan tugas-tugas
pelayan di kediaman para selir kaisar. Pribadinya yang
cerdas dan cepat menangkap kemauan tuannya, membuat
kehidupan Huo Cin cepat menanjak.
Pada suatu kesempatan, ia menjadi berkesempatan
menjadi pelayan kaisar yang sedang main sia-ji (catur cina)
dengan seorang menteri. Papan catur secara kebetulan
terjatuh sehingga bidak-bidaknya berantakan di lantai. Huo
Cin dengan segera mampu menyusun bidak-bidak itu ke
posisinya semula, benar-benar ingatan yang sangat tajam.
Kaisar sangat tertarik dan ingin tahu lebih jauh mengenai
kasim ajaib ini Huo Cin tidak menyia-nyiakan kesempatan
itu. Ia benar-benar memperlihatkan kemampuannya dalam
sastra dan pengetahuan tata negara, sehingga benar-benar
membuat kaisar dan menteri tercengang. Kasim pada jaman
itu kebanyakan adalah para budak atau petani yang buta
huruf sehingga Huo Cin segera menjadi kesayangan sang
kaisar. Apalagi Huo Cin pandai sekali menjilat berkata-kata
manis dan pandai menyesuaikan diri dengan kaisar maka
tidak sampai sepuluh tahun, pangkatnya sudah menjadi
kasim kepala istana.
Berkat kedudukannya itu, Huo Cin dengan mudah
keluar masuk istana tanpa ada yang berani mencegah.- 151 Semua bangsawan dan pedagang besar yang ingin bertemu
dengan kaisar, permaisuri dan para pangeran harus


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberikan uang upeti dulu kepadanya baru semuanya
dapat diatur. Emas dan perak mengalir seperti sungai.
Namun Huo Cin tidak hanya menginginkan uang dan emas
saja tapi juga kekuasaan dan ilmu yang tinggi. Ia dengan
hati-hati membongkar semua arsip dalam perpustakaan
istana, membaca semua kitab ilmu silat dan perang yang
ada. Kecerdasannya yang luar biasa menyebabkan Huo Cin
dengan mudah menyerap semua ilmu silat tingkat tinggi
yang ada dan dalam kurun waktu kurang dari lima tahun
telah menciptakan ilmu rahasia Pi Sie Cien (Pedang
Penakluk Iblis). Ilmu pedang ini memang belum pernah
diadu dengan ilmu lain karena sangat dirahasiakan olehnya,
tapi Huo Cin yakin bahwa ilmunya tidak akan kalah dengan
ilmu hebat lainnya!
Sedangkan adiknya Wen Yang, mencukur rambutnya
dan menjadi biksu di Shaolin. Ia mulai dari biksu tingkat
paling rendah, yang kerjanya hanya mencari kayu bakar dan
menanak nasi. Wen Yang menjalaninya selama lima tahun,
sebelum akhirnya boleh naik tingkat mendapat pelajaran
kungfu Shaolin. Fang-cang (kepala biara) Cen Ren, yaitu
guru dari Fang-cang Tien Gong, melihat bakat besar pada
diri Wen Yang sehingga mengajarkan banyak ilmu silat
secara pribadi kepadanya. Bukannya Fang-cang Cen Ren
tidak melihat kepribadian Wen Yang yang tanpa welas asih
tapi di dalam hatinya Cen Ren selalu mengharapkan Wen
Yang dapat berubah menjadi pengikut Buddha yang taat.- 152 Hanya sayang, sampai meninggalnya Cen Ren tidak melihat
perubahan sikap Wen Yang menjadi lebih baik. Malah
hanya sebulan setelah Fang-cang Cen Ren meninggal, Wen
Yang mencuri kitab Wu Sheng Chuen (Tinju Lima
Binatang), salah satu kitab pusaka yang ditulis oleh Rahib
Agung Da Mo sendiri, dan melarikan diri dari Shaolin.
Beberapa tahun mempelajari Wu Sheng Chuen
dengan tekun, Weng Yang muncul dari persembunyiannya
dan telah menjadi pendekar hebat. Sayang sekali semua
petuah Fang-cang Cen Ren tidak satupun yang diingatnya.
Wen Yang hanya tahu bersenang-senang, menjadi
perampok dan pemetik bunga yang ditakuti. Alangkah
sedihnya Fang-cang Cen Ren jika mengetahui salah satu
muridnya menjadi manusia murtad seperti ini.
Manusia memang mahluk yang mudah jatuh dalam
perangkap duniawi. Sekali mendapat kesenangan akan lupa
segalanya. Lebih parah lagi setelah mendapatnya, akan
melakukan segala cara untuk terus mendapatkannya. Tidak
peduli apakah harus dengan jalan kotor ataupun membunuh
orang lain. Huo Cin dan Wen Yang juga terperangkap dalam
kenikmatan duniawi seperti itu. Mereka yang dulunya hidup
sengsara, kini berpangkat dan berilmu tinggi tapi semuanya
itu tidak dipakai untuk menolong orang lain tapi hanya
untuk diri mereka sendiri saja. Malah siapa yang ingin
merebut kesenangan dan harta mereka akan mereka libas
habis tanpa ampun. Inilah gambaran jiwa dan hati manusia
yang dangkal, tidak mengerti bahwa kesenangan duniawi itu- 153 ibarat air laut layaknya. Semakin diminum akan semakin
haus dan semakin haus akan semakin meminum, menjadi
lingkaran setan tanpa ujung. Kini mereka berdua bertemu
dengan menteri Li Yi Fu dan menteri Shi Jing Song, rencana
jahat apalagikah yang hendak mereka rencanakan?
"Adik Wen Yang, mari silakan duduk dan kita bahas
rencana-rencana kita" kata menteri Shi Jing Song
mempersilakan Wen Yang duduk di sebelahnya.
"Nah, setelah kita berempat berkumpul di sini marilah
kita membahas rencana kita ke depan" kata Huo Cin
membuka pembicaraan.
"Saudara semua, seperti kita ketahui Yang Mulia
Kaisar Tai Zong semakin melemah dan sedang sakit keras
sekarang ini." Huo Cin berhenti sebentar untuk melihat
mimik muka kedua menteri itu. Sebenarnya ada hukuman
mati untuk mereka yang membicarakan kesehatan Kaisar
yang jelek karena dianggap tidak pantas dan membawa
pengaruh buruk bagi kerajaan. Tapi kedua menteri itu sama
sekali tidak terkejut ataupun membantah perkataan Huo Cin.
Bahkan Li Yi Fu masih tetap kelihatan tersenyum-senyum
saja, karena itu Huo Cin melanjutkan perkataannya.
"Para pangeran pastilah akan berebut pengaruh dalam
beberapa bulan ini. Menteri Li dan Menteri Shi, aku yang
bodoh ini ingin tahu pendapat kedua menteri, pangeran
mana yang selayaknya menjadi Kaisar nanti?" tanya Huo
Cin memancing.- 154 Li Yi Fu dan Shi Jing Song saling bertatapan penuh
arti. Mereka memang sudah berteman baik dengan Huo Cin
selama beberapa tahun ini, tapi pertanyaan tentang siapa
Kaisar berikutnya adalah pertanyaan peka. Salah menjawab
atau ada pihak yang membocorkan keluar, salah salah
kepala mereka bakal menggelinding ke tanah!
"Kaisar dikarunai umur seribu tahun oleh langit,
mana mungkin secepat itu ada penggantinya" kata Li Yi Fu
sambil tersenyum penuh arti.
"Ah, Menteri Li, anda terlalu sungkan. Semua
manusia pasti akan berakhir bahkan juga keturunan dewa
seperti Yang Mulia Kaisar sekalipun" kata Wen Yang
menegaskan. Ia memang tidak sepandai Huo Cin dalam
berdiplomasi.
"Saudara Wen Yang, hati-hati tembok mempunyai
telinga" kata Shi Jing Song sambil beranjak ke pintu. Ia
membukanya dan menoleh ke kiri dan ke kanan dengan hatihati. Tidak tampak siapapun di sekitar situ. Shi Jing Song
menutup pintu kembali dan menguncinya.
"Menteri Shi memang hati-hati. Aku benar-benar
salut kepada anda", kata Huo Cin tertawa sambil menjura
kepada Shi Jing Song.
"Nah sekarang bisakah, Menteri Shi menjawab
pertanyaan saya tadi? Aku benar-benar ingin mengetahui
pendapat anda berdua" kata Huo Cin mendesak.- 155 Shi Jing Song menghela napas, tampaknya Huo Cin
benar-benar ingin memaksanya mengeluarkan pendapat.
"Baiklah, kalau memang begitu Huo Tay-cien (kasim
Huo). Aku sendiri akan mengutarakan beberapa pendapat
tapi aku tidak ingin sampai pendapatku ini keluar, kalau
tidak kepala kita berempat tidak akan menempel lagi di
badan kita" kata Shi Jing Song.
"Menteri Shi, anda tidak usah khawatir. Di sini hanya
ada saudara sendiri, tidak perlu sungkan mengeluarkan
pendapat anda" kata Huo Cin.
"Menurut pendapatku, Yang Mulia Kaisar tidak akan
melewati tahun depan. Kesehatannya sudah sangat parah
bahkan aku mendapat kabar bahwa Chung Tai-yi (Tabib
Istana Chung) sudah tidak sanggup lagi menyembuhkannya.
Ia hanya memberikan obat kuat dan penenang kepada Yang
Mulia Kaisar. Jadi hari-hari pemakaman kelihatannya sudah
di depan mata" kata Shi Jing Song sambil menghela napas.
"Pendapat anda benar saudara Shi" kata Li Yi Fu
sambil tersenyum. Entah mengapa wajahnya yang selalu
tersenyum itu malah menimbulkan perasaan tidak enak bagi
yang melihat. Mungkin karena secara tidak sadar mereka
yang melihatnya merasakan bahwa senyuman itu tidak tulus
dan culas sehingga membuat hati tidak enak dan merinding.
"Ketiga pangeran, Sie, Huo dan putra mahkota Chi
mempunyai bakat dan kepandaian yang berbeda-beda.
Pangeran Sie adatnya keras sehingga tidak disukai orang- 156 banyak. Pangeran Huo pandai tapi terlalu jujur. Putra
mahkota Chi lemah pada wanita. Nah, menurut anda sendiri,
Huo Tay-cien, siapa yang harus kita dukung?" tanya Li Yi
Fu. Huo Cin yang mendapat pertanyaan balik bersikap
tetap tenang. Apa yang dikatakan oleh Li Yi Fu tadi
sebenarnya sudah diketahui orang banyak, yang ingin ia
ketahui adalah pihak manakah yang akan didukung oleh dua
menteri korup dan penjilat ini?
"Yang Mulia Kaisar telah menitahkan pangeran Chi
sebagai putra mahkota. Tentunya kita harus mendukung
titah Yang Mulia Kaisar." kata Huo Cin.
"Benar, Huo Tay-cien memang bermata jeli" kata Li
Yi Fu sambil terkekeh
"Kaisar memilih putra mahkota Chi atas dasar tradisi
dan tidak memandang kemampuan. Jika yang dipandang
adalah kemampuan tentu pangeran Huo merupakan pilihan
yang jauh lebih baik. Tapi di mana-mana tentu ada berkah
tersembunyi dalam setiap kesalahan" sambung Li Yi Fu.
"Berkah apakah itu kiranya Menteri Li?" tanya Wen Yang
"Seekor burung tidak akan menemukan apa-apa pada
batang pohon yang sehat, tapi akan ada banyak ulat untuk
dimakan pada pohon yang batangnya busuk. Kerajaan yang
kokoh dan kuat tidak akan memberikan banyak peluang- 157 kekayaan tapi kerajaan yang lemah akan mengalirkan
kekayaan pada mereka yang pandai" jawab Li Yi Fu
"Demikian juga kaisar yang kuat tidak akan
memberikan peluang kekayaan tapi kaisar yang malas dan
lemah akan memberikan berkah berlimpah bagi mereka
yang pandai" sambung Shi Jing Song.
Keempat orang itu tertawa terkekeh. Jelas sudah
mereka mempunyai pemikiran yang sama. Harapan mereka
adalah mendapatkan kedudukan yang tinggi dan nantinya
kedudukan itu akan mendatangkan kekayaan kepada
mereka, jika perlu tidak akan habis dimakan sampai turunan
ketujuh!
"Jadi kita bersepakat mendukung keinginan Yang
Mulia Kaisar menunjuk putra mahkota Chi, bukankah
begitu Menteri Li dan Menteri Shi?" tanya Huo Cin.
"Hehehe, benar Huo Tay-cien. Kabarnya hubungan
anda dengan beliau juga sangat baik, aku dan Menteri Shi
pasti suatu saat akan membutuhkan bantuanmu juga. Harap
ketika itu Huo Tay-cien tidak melupakan hubungan kita
yang sudah terjalin baik ini" kata Li Yi Fu
"Menteri Li, anda terlalu sungkan. Antara saudara
apakah masih ada perhitungan semacam ini?" kata Huo Cin
sambil tersenyum penuh arti.
Mereka kembali tertawa-tawa.- 158 "Menteri Li dan Menteri Shi, adik Wen Yang marilah
kita bersulang demi persaudaraan kita" kata Huo Cin sambil
menuangkan arak ke cangkir masing-masing. Gerakgeriknya benar-benar halus seperti wanita saja layaknya.
Bersama-sama mereka mengangkat cangkir dan
meneguk sampai habis.
"Huo Tay-cien, hari sudah malam. Kami berdua
mohon permisi dulu. Lain kali kita sambung lagi
pembicaraan kita" kata Shi Jing Song mengakhiri
pembicaraan.
Kedua menteri itu undur diri, diantar Huo Cin sampai
ke tandu kebesaran masmg-masing. Wen Yang tidak ikut
mengantar karena sebenarnya ia berstatus penyusup ke kota
terlarang yang bila ketahuan maka hukumannya adalah
hukuman mati!
Huo Lin kembali ke wismanya setelah kedua menteri
tadi berlalu. Sebagai kepala kasim istana, ia mendapatkan
satu wisma tersendiri di bagian belakang kota terlarang. Huo
Cin menjadikan tempat ini sebagai pijakan bagi cita-cita
besarnya menjadi seorang penguasa, tempat ia berlatih silat
dan membaca kitab-kitab perang kuno. Sungguh suatu citacita besar yang menantang takdir dan kehendak langit.
Wen Yang sendiri terlihat sedang menikmati arak
dengan santai di ruang dalam. Huo Cin menghampiri
adiknya itu.- 159 "Adik, aku hanya ingin mengingatkanmu saja,
bersenang-senang boleh saja tapi harus ingat bahwa tujuan
dan cita-cita kita jauh lebih besar. Jangan sampai
kesenanganmu menghancurkan cita-cita kita. Camkan itu
dalam pikiranmu" kata Huo Cin dengan tajam.
"Kakak jangan khawatir. Aku tidak akan melupakan
hari-hari beratku di Shaolin. Masak aku akan menyianyiakan penderitaan kita? Tujuanku tetap untuk menjadi
yang pendekar terbesar di kolong langit ini dan kakak akan
menjadi penguasa kerajaan terhebat juga" jawab Wen Yang.
"Bagus, adik jika memang engkau masih ingat. Aku
sudah mengorbankan diriku menjadi kasim, tidak bisa
mundur lagi. Engkau juga sudah mencuri kitab pusaka
Shaolin pasti akan dicari kemana-mana. Kita berdua
sekarang hanya bisa maju tidak bisa mundur" ujar Huo Cin.
"Apakah rencana kakak selanjutnya?" tanya Wen Yang
"Putra mahkota Chi lemah dan ceroboh. Setelah Yang
Mulia Kaisar wafat nantinya, aku yakin bisa mengendalikan
putra mahkota dalam genggaman kita. Apalagi dengan
bantuan Li Yi Fu dan Shi Jing Song untuk menguasai para
menteri lainnya, kita akan menjadi penguasa Tang yang
sesungguhnya. Kaisar hanyalah akan menjadi boneka kita
saja." kata Huo Cin sambil menuangkan mata
membayangkan dirinya menjadi orang paling berkuasa di
negeri ini. Hatinya berkobar-kobar dikuasai nafsu
kekuasaan.- 160 "Selamat kuucapkan kepada kakak. Kita sudah
hampir separuh jalan dari cita-cita kita. Bagaimana dengan
rencana kita untuk menguasai dunia persilatan juga? Partai
Naga Langit semakin hari semakin kuat dan kesohor, tanpa
usaha dan rencana yang baik, kurasa kita tidak mungkin bisa
mengalahkan mereka sekarang" kata Wen Yang
"Jangan khawatir, aku sudah memikirkan hal itu juga.
Ilmu Tien Lung Ta Fa milik Jien Wei Cen memang hebat,
bahkan Fang-cang Tien Gong pun dapat ia kalahkan. Tapi
apakah ia bisa bertahan terhadap Pi Sie Cien (Pedang
Penakluk Iblis)ku?" kata Huo Cin sambil mengambil
pedang yang tergantung di ujung kamar dengan gemas. Ia
menghunus pedang bersarung baja putih itu, bunyi pedang
memiriskan telinga. Kilauan pedang ditimpa cahaya Ulin,
memancarkan hawa dingin, memang suatu pedang pusaka!
"Yin Ye Cien (Pedang Bulan Perak) ini benar-benar
cocok untuk ilmu pedangku. Panjang empat kaki berat lima
kati, dengan pola ombak bergulung, besi baja pilihan dan
mempunyai hawa Yin yang kuat. Kau memang diciptakan
sebagai pasangan Huo Cin menguasai dunia!"
Dengan satu lompatan ringan, Huo Cin terbang ke


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

halaman belakang tempat ia biasa berlatih silat. Tempat itu
benar-benar tersembunyi dan hanya bisa dimasuki dari
ruang dalam saja.
"Adik, lihat baik-baik Pi Sie Cien ku ini" kata Huo
Cin sambil memulai jurusnya.- 161 Segera saja halaman belakang itu dipenuhi angin
tenaga dan pedang yang menderu-deru. Rupanya di balik
sikapnya yang lemah lembut dan kewanitaan itu, Huo Cin
telah berlatih keras dan berhasil menciptakan suatu ilmu
pedang yang hebat. Tidak sia-sia ia mencuri baca semua
buku silat kuno dan ilmu perang. Pedangnya berputar bagai
puting beliung, membentuk satu lingkaran putih bercahaya.
Mata Wen Yang dengan kagum mengawasi setiap
pergerakan jurus yang dilakukan kakaknya. Ia sudah banyak
melihat dan belajar ilmu pedang tapi Pi Sie Cien memang
benar-benar hebat, hampir tanpa celah dan banyak sekali
perubahannya. Apalagi Yin Ye Cien adalah pedang pilihan,
angin pedangnya menderu-deru menakutkan. Wen Yang
menjadi gatal tangan dan ingin mencoba sampai di mana
kemajuan Pi Sie Cien ciptaan kakaknya ini
Wen Yang maju menyerang langsung dengan tenaga
penuh. Wu Sheng Chuen adalah ilmu yang diciptakan Rahib
Agung Da Mo pada saat ia mengamari ringkah laku hewan
harimau, ular, macan kumbang, bangau dan terakhir naga
sebagai perpaduan keempat hewan pertama. Harimau
mendayagunakan kekuatan, ular mencapai kelenturan,
macan kumbang mengutamakan kegesitan, bangau
membubung tinggi dan naga mencapai keperkasaan. Jurus
Tinju Lima Hewan ini sangat terkenal di dunia persilatan
namun yang bisa menguasainya dengan sempurna hanya
sedikit sekali dikarenakan karakter lima hewan yang harus
dikuasai amat beragam. Wen Yang beruntung mendapat- 162 petunjuk langsung dari almarhum Fang-cang Cen Ren
sehingga bisa menguasainya dengan baik.
Wen Yang segera menyerang dengan jurus Tmju
Naga. Gaya naga adalah gaya yang mengandalkan
keperkasaan dan keunggulan posisi untuk meraih
kemenangan. Tidak heran jika jurus-jurus yang dikeluarkan
selalu mendesak lawan dan mempersempit jarak sehingga
lawan tidak mampu mengeluarkan jurusnya. Huo Cin
berseru kaget melihat adiknya tidak main-main dan
mengeluarkan jurus maut. Untunglah Pi Sie Cien
mempunyai banyak perubahan sehingga ketika didesak
dengan deras oleh jurus Tmju Naga, Huo Cin dapat segera
mengubah jurusnya mengikuti pukulan lawan.
Cengkeraman cakar naga Wen Yang terus memburu
pergelangan tangan Huo Cin, berusaha merebut YinYe Gen
dari tangannya. Kuda-kudanya juga tidak luput merebut
posisi kaki Huo Cin bagai goyangan ekor naga menyambarnyambar.
Lima puluh jurus segera berlalu tapi kalah menang
masih belum dapat ditentukan. Wen Yang berteriak
kerasdan menyerang dada Huo Cin dengan hantaman Cakar
Naga Merobek Perut. Jurus ini jika kena sasaran pasti akan
menjebol daging merusak tulang, suatu jurus yang sangat
ganas! Huo Cin tetap tenang dan membalikkan pedangnya
di punggung. Tapak kirinya menyambut cakar naga Wen
Yang. Betapa kagetnya Wen Yang ketika kedua tapak- 163 mereka bertemu, seakan tenaganya hilang tak berbekas
seperti air yang disiramkan ke dalam samudra!
Inilah tenaga dalam lembut Pi Sie Cien yang luar
biasa. Tenaga ini begitu lembut namun tidak terkalahkan,
mampu menyerap dan mengembalikan tenaga lawan
beberapa kali lipat. Tangan Wen Yang kesemutan dan kaku,
tenaga dalamnya masih kalah dibandingkan Huo Cin. Ia
terseret mundur beberapa langkah sementara Huo Cin masih
tetap tegar kokoh berdiri bahkan masih sanggup
melanjutkan jurusnya.
"Lihat pedang!" kata Huo Cin sambil memutar
pedang yang tadi disimpan di balik punggungnya. Ia
memegang pedang itu lurus menghadap Wen Yang,
tangannya yang sebelah kiri menggunakan jari pedang
menyalurkan tenaga ke dalam Yin Ye Cien. Seketika itu
juga Yin Ye Cien bergetar hebat menerima tenaga luar biasa
Pi Sie Cien yang disalurkan Huo Cin. Hawa pedangnya
meningkat tajam dan dengan satu sentakan keras Huo Cin
menebaskan pedangnya ke arah Wen Yang.
Hawa tebasan pedang meluncur bagai kilat ke arah
dada Wen Yang. Beruntunglah ia sudah menguasai Wu
Sheng Chuen sehingga secara langsung keluar jurus Hei Pao
Diao Ya (Macam Kumbang Melompati Tebing). Jurus ini
dipakai hanya pada saat terdesak hebat saja karena
sebenarnya pantang bagi seorang pendekar untuk jatuh
bangun hanya untuk menghindari sebuah serangan tapi Wen
Yang memang tidak punya pilihan lain lagi. Selisih satu- 164 kedipan mata saja setelah itu, tembok di belakang tempat
Wen Yang berdiri tadi sudah berlubang tembus karena hawa
pedang Pi Sie Cien!
Wen Yang bangun berdiri dan betapa kagetnya ia
melihat baju hitam yang ia pakai sudah robek di bagian
dada. Kulitnya tergores sedikit dan mengeluarkan darah.
Rupanya ia tadi masih kurang cepat sedikit menghindari Pi
Sie Cien. Sekarang baru jelas siapa menang siapa kalah.
Ternyata Pi Sie Cien masih lebih unggul daripada ilmu Wu
Sheng Chuen.
"Kakak, selamat selamat! Engkau telah berhasil
menciptakan suatu ilmu yang hebat sekali. Aku yakin
meskipun Jien Wei Cen sendiri pasti akan kesulitan untuk
menandinginya" kata Wen Yang memuji-muji kakaknya.
Huo Cin hanya tersenyum saja "Kau memang
bermulut manis"
"Ah, tidak. Memang ilmu ini hebat sekali, bolehkah
kakak mengajarkannya kepadaku juga?" tanya Wen Yang.
Huo Cin menarik napas panjang. Ia menyarungkan
Yin Ye Cien ke dalam sarung baja putihnya. Wajahnya
berubah menjadi serius dan muram.
"Adik, bukannya aku tidak ingin mengajarkannya
padamu, akan tetapi engkau yang tidak boleh mempelajari
nya."- 165 "Mengapa? Mengapa aku tidak boleh mempelajarinya?"
tanya Wen Yang keheranan.
"Bukan hanya kau, tapi juga semua lelaki di dunia ini.
Ilmu Pi Sie Cien kuciptakan atas dasar hawa Yin yang kuat
sekali. Aku seorang kasim jadi tidak perlu khawatir hawa
Yin ilmu Pi Sie Cien akan bertentangan dengan nadi Yang,
tapi jika yang mempelajarinya seorang pria aku takut nadi
Yang dalam dirinya pelan-pelan akan tertekan oleh hawa
Yin ilmu ini" jelas Huo Cin kepada adiknya.
"Aku masih belum begitu mengerti" kata Wen Yang
"Pria yang belajar Pi Sie Cien ini akan menjadi
semakin seperti wanita. Suara menjadi kecil dan halus,
janggut dan kumis akan hilang, bentuk badan akan berubah
seperti wanita bahkan pada tahap tertinggi mungkin akan
menjadi wanita sesungguhnya" kata Huo Cin.
Wen Yang tersentak kaget. Benarkah ada ilmu seperti ini?
"Lalu apakah kakak nantinya juga akan menjadi
wanita juga?" kata Wen Yang setengah sadar.
Huo Cin terkekeh sambil menutupi mulutnya. Gerakgeriknya seperti wanita pada umumnya. Ini karena latihan
sesat ilmu Pi Sie Cien?
"Aku seorang kasim. Nadi Yangku telah dibuang
sehingga tidak mungkin lagi hawa Yin memasuki tubuhku.
Aku tidak akan berubah menjadi wanita, tapi jika seorang- 166 pria sejati berlatih ilmu ini, ia akan menjadi seorang wanita
sejati" kata Huo Cin.
"Ah, sayang sekali aku tidak bisa mempelajari ilmu
hebat ini" keluh Wen Yang.
"Semua ilmu hebat memiliki kelemahan. Pi Sie Cien
mempunyai kelemahan pada pengorbanan diri" jelas Huo
Cin. "Tidak jika yang mempelajarinya adalah seorang
wanita." kata Wen Yang mencoba membantah kakaknya.
"Akibat yang dihadapi wanita jika mempelajari ilmu
ini berlainan dengan pria. Wanita yang mempelajari ilmu ini
meskipun nantinya bisa awet muda, tapi seumur hidup ia
tidak akan mempunyai keturunan karena hawa Yin yang
berlebihan akan merusak rahimnya. Janin tidak akan dapat
hidup karena tertekan hawa Yin yang begitu kuat." kata Huo
Cin. "Ah, mengapa kakak menciptakan suatu ilmu yang
susah sekali mempelajarinya?" keluh Wen Yang
"Di dunia ini tidak ada yang susah ataupun mudah.
Semua hal ada harganya. Jika ingin menjadi pendekar
nomor satu, harus berani meninggalkan hal-hal yang
menghalangi pencapaian. Pu Ce Sou Tuan (tidak perduli
harus memutuskan tangan) seperti yang dikatakan Chou Yi
kepada Huang Gai dalam pertempuran Chi Pi. Bukankah- 167 begitu adikku?" kata Huo Cin sambil melirik tajam kepada
Wen Yang.
"Benar kakakku. Pendekar nomor satu tidak mengerti
apa itu arti kehilangan. Lalu apa rencana kita untuk
mengalahkan Jien Wei Cen?" kata Wen Yang.
Huo Cin tersenyum sinis.
"Jangan khawatir adikku. Beberapa hari yang lalu
Yang Mulia Kaisar telah mengeluarkan titah untuk
memberikan gelar bangsawan kepada Jien Wei Cen atas
jasa-jasanya selama ini. Aku mohon kepada Yang Mulia
Kaisar agar dapat ikut mengantarkan titah itu dan Yang
Mulia menyetujuinya. Tiga hari lagi rombongan akan
berangkat. Aku akan melihat-lihat partai Naga Langit
sampai seberapa kehebatannya."
Sebagai kasim istana sebenarnya Huo Cin tidak
mempunyai wewenang untuk ikut dalam tugas kerajaan.
Persetujuan Kaisar menunjukkan betapa besar pengaruh
Huo Cin di kalangan keluarga istana.
"Titah bangsawan untuk Jien Wei Cen? Bukankah itu
semakin memperkuat kedudukannya? Mengapa tidak kakak
cegah Kaisar mengeluarkan titah itu" kata Wen Yang
dengan tidak sabar.
"Tenang adikku. Bagi Jien Wei Cen, sebenarnya gelar
tidak lagi penting. Yang Mulia Kaisar sebenarnya hanya
ingin merangkulnya saja sebagai bawahan. Yang Mulia- 168 tidak ingin partai Naga Langit semakin besar dan
berpengaruh sehingga nantinya menggerogoti kebesaran
dinasti Tang. Tidak boleh ada dua harimau dalam satu
gunung. Mengertikah kau adikku?" jelas Huo Cin.
"Ini juga kesempatanku untuk bertemu langsung
dengan Jien Wei Cen. Aku ingin tahu kehebatan Tien Lung
Ta Fa sampai di mana, apakah bisa menahan Pi Sie Cien
milikku yang telah kularih selama lima tahun terakhir ini.
Adikku, aku ingin kau ikut dalam rombongan kerajaan,
menyamarlah sebagai prajurit istana. Amat-amatilah partai
Naga Langit dengan seksama. Ini adalah kesempatan kita
untuk melihat dari dalam seperti apa partai yang berani
mengatakan dirinya Tien Sia Wu Ti (tanpa tanding di kolong
langit) ini" kata Huo Cin dengan gemas.
Rupanya Huo Cin menyimpan rasa penasaran yang
besar kepada partai Naga Langit. Wen Yang juga tidak sabar
ingin mengetahui kehebatan seperti apa yang dimiliki Jien
Wei Cen sehingga sanggup mengalahkan Fang-cang Tien
Gong yang sebenarnya masih tergolong se-siung (kakak
seperguruannya) sendiri itu? Dulu waktu Wen Yang masih
tinggal di Shaolin ia pernah menyaksikan sendiri kehebatan
ilmu Se Pa Lo Han (Delapan Belas Arhat Emas) yang
dikuasai oleh biksu Tien Gong. Lalu seberapa hebatkah ilmu
Tien Lung Ta Fa milik Jien Wei Cen? Wen Yang benarbenar ingin tahu seperti apa ilmu yang disebut-sebut tanpa
tandingan di kolong langit itu?- 169 Tiga hari kemudian, Wen Yang menyamar memakai
pakaian prajurit rendahan mengikuti rombongan kerajaan
menuju selatan. Huo Cin dan Menteri Cheng Tu Yung
menaiki tandu kebesaran kerajaan. Panji-panji kebesaran
berkibar-kibar mengiringi rombongan yang kurang lebih
berjumlah seratus orang itu menuju partai Tien Lung Men.
Perjalanan berjalan kaki ini akan memakan waktu sebulan
lebih.
"Tidak ada satu pun yang lolos dari tangan besiku,
tidak juga Jien Wei Cen atau partai Naga Langit" bisik Huo
Cin pada diri sendiri dengan gemas, tidak sabar lagi ingin
menjajal kehebatan ilmu Tien Lung Ta Fa.- 170 6. Partai Naga Langit Tanpa Tandingan
Beratus-ratus li di tenggara kotaraja, sebelum memasuki
lembah sungai Yang Se, di propinsi Yichou, dekat kota
Yichang berdiri jajaran bukit memanjang. Lembah-lembah
di sekitarnya subur dan makmur karena anak sungai Yang
Se mengairinya sepanjang tahun. Penduduknya hidup
berkecukupan dari hasil bertani dan menangkap ikan.
Kehidupan berjalan tenang dan damai. Burung-burung dari
utara pun selalu singgah di daerah setiap melakukan
perjalanan musim dingin ke selatan.
Di daerah inilah berdiri dengan gagahnya, partai Tien
Lung Men (Naga Langit) yang menggemparkan dunia
persilatan karena kehebatan pemimpinnya, Jien Wei Cen
Sen Sou Mo Ciao (Tangan Dewa Kaki Iblis). Selama kurang
lebih dua puluh tahun malang-melintang di dunia persilatan,
Jien Wei Cen tidak terkalahkan oleh siapapun. Hampir
semua ketua partai besar sudah pernah dikalahkannya,
bahkan termasuk Fang-cang Shaolin sendiri, Tien Gong,
mengaku kalah darinya! Partai Naga Langit sendiri baru
berdiri beberapa tahun lalu, namun hampir semua partai
persilatan sudah mengakui kehebatannya. Tidak heran
pengaruhnya menjangkau jauh sampai ke negara tetangga.
Semasa muda, Jien Wei Cen adalah seorang pendekar
pengelana. Pantai timur dan gunung barat, lembah selatan
dan gurun utara semua telah dijelajahinya. Tidak heran jika
para pendekar di empat penjuru mata angin semuanya- 171 tergetar jika mendengar nama Jien Wei Cen. Setelah
kematian istri tercintanya, Jien Wei Cen memutuskan untuk
menetap bersama ketiga anaknya di daerah Yichou dan
mendirikan partai Naga Langit di sana. Ia tidak mengambil


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid dan hanya menerima pengikut. Banyak dari pendekar
yang dulu kalah di tangannya menjadi pengikut setia Jien
Wei Cen yang memang memiliki kegagahan seorang
pemimpin sejati. Partai Naga Langit kini memiliki ratusan
pesilat tangguh namun yang paling menonjol ada empat
orang, yang dipilih Jien Wei Cen untuk mewakili dirinya di
empat penjuru mata angin. Mereka adalah Tiek Siung
(Beruang Besi) Ce Ke Fu,memegang daerah Utara, Timur
oleh Pai Wu Ya (Gagak Putih) Cen Hui, Barat oleh Hei Se
Ni (Dewi Ular Hitam) Wen Shi Mei dan Selatan oleh Cing
Hou (Kera Emas) Wang Ding. Keempatnya adalah para
pendekar kelas satu, yang dikalahkan oleh Jien Wei Cen dan
akhirnya menjadi bawahannya yang setia. Kehebatan
keempatnya tidak perlu diragukan lagi sehingga partai Naga
Langit semakin menjulang namanya di dunia persilatan
karena berhasil menjadikan mereka sebagai pilar partai.
Partai Naga Langit sekarang mempunyai wilayah
yang luas dengan gedung-gedung dan wisma yang megah.
Daerahnya ditandai dengan pahatan batu besar bertuliskan
Tien Lung Men yang dijaga banyak anak buah partai
kemudian masih ada satu li lagi sebelum tiba di depan
gerbang partai yang juga dijaga ketat. Tidak sembarangan
orang boleh memasuki gedung utama ini, harus dengan
maksud dan tujuan yang jelas. Kalau hendak nekad- 172 menerobos, sudah ada puluhan jago silat yang akan
menghadang!
Gedung utama sendiri terdiri dari tiga bagian, bagian
depan untuk menerima tamu, bagian tengah untuk tempat
berunding dan bagian belakang untuk tempat berlatih silat
para pengikut partai. Jien Wei Cen dan ketiga anaknya
mempunyai wisma tersendiri di atas bukit belakang gedung
utama. Wisma ini dijaga oleh pesilat kelas atas pilihan Jien
Wei Cen sendiri, sehingga penjagaannya hampir seketat
kota terlarang. Siapa yang memaksa masuk, akan dibunuh
tanpa perlu bertanya lagi. Dalam wisma ini ada satu tempat
khusus tempat Jien Wei Cen biasa berlatih silat.
Halamannya berlantai batu gunung, tempatnya luas dan
pemandangannya bagus sekali menghadap ke arah gedung
utama. Barisan pohon bambu menutupi tempat latihan
rahasia ini sehingga dari dalam bisa melihat keluar tapi dari
luar tidak bisa melihat ke dalam, sungguh suatu tempat yang
cocok untuk berlatih ilmu.
Pagi itu seorang laki-laki setengah baya tengah duduk
bersila dalam posisi teratai di tengah halaman. Pakaiannya
dari sutra halus, berwarna emas, rambutnya yang sebagian
sudah memutih diikat dengan kain sutra emas pula.
Wajahnya menyiratkan keperkasaan, alisnya tebal, dahi dan
hidung naga, kumis dan janggutnya menyatu dengan serasi.
Mungkin seperti inilah wajah seorang dewa yang
sebenarnya. Tubuhnya juga kekar dan sangat bagus untuk
ukuran seorang lelaki setengah baya. Ia tidak lain adalah- 173 Jien Wei Cen, sang Tangan Dewa Kaki Iblis yang tanpa
tandingan di kolong langit!
Pelan-pelan Jien Wei Cen membuka matanya. Suarasuara kicau burung hwabi dan binatang liar lainnya yang
terdengar seperti alunan musik yang cin dan sitar para dewi.
Jien Wei Cen menarik napas dalam-dalam, menyalurkan
tenaga ke seluruh tubuhnya. Hawa tenaga Tien Lung Ta Fa
Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya Goosebumps - 7 Boneka Hidup Beraksi

Cari Blog Ini