Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 20
bangsawan Ye sambil mendekatkan diri kepada Han Cia
Sing.
"Apakah itu berarti aku harus menyusup ke istana
untuk menemui Permaisuri Wu?" tanya Han Cia Sing.
"Benar, kelihatannya ada suatu hal rahasia yang
hendak disampaikan oleh Permaisuri Wu sendiri kepada
keturunan keluarga Han. Aku sudah beberapa kali hendak
bertemu dengan Permaisuri tapi selalu ditolak jadi
kemungkinan besar rahasia itu hanya akan dibicarakan
kepada keturunan keluarga Han" kata bangsawan Ye
membujuk Han Cia Sing.
"Tapi istana dijaga ketat dan begitu luas, mana
mungkin aku dapat bertemu dengan Permaisuri Wu?" tanya
Han Cia Sing ragu-ragu.- 611 "Ah, Cia Sing engkau sungguh beruntung. Beberapa
hari terakhir ini Permaisuri Wu tidur di kuil Gan Ye untuk
bersembahyang demi kesehatan Yang Mulia Kaisar. Engkau
pasti dapat menemuinya dengan mudah di sana daripada di
istana" kata bangsawan Ye memberikan saran.
Saran bangsawan Ye itu dipandang cukup baik oleh
Han Cia Sing sehingga ia segera minta petunjuk jalan
menuju kuil Gan Ye. Bangsawan Ye memberikan petunjuk
rinci jalan menuju kuil para bikuni yang ada di sebelah barat
kotaraja itu berikut beberapa tael uang emas sebagai bekal
kepada Han Cia Sing yang tidak bisa menolaknya karena
dipaksa terus. Han Cia Sing kemudian segera berpamitan
kepada bangsawan Ye dan menghilang dalam kegelapan
malam.
"Bocah busuk! Kau masih bau susu ibu hendak
melawan bangsawan Ye?! Kau masih harus belajar lima
puluh tahun lagi" kata bangsawan Ye kepada dirinya sendiri
sambil memandang mengejek kepada Han Cia Sing yang
menghilang dalam kegelapan malam.
*** Kuil Gan Ye adalah kuil bikuni tempat pembuangan
Permaisuri Wu semasa dulu masih bergelar cai ren (salah
satu gelar selir Kaisar) setelah meninggalnya mendiang- 612 kaisar terdahulu. Di kuil ini jugalah Permaisuri Wu bertemu
dengan Wen Yang dan menjalin hubungan gelap hingga
akhirnya dipertemukan kembali dengan Kaisar Gao Zu oleh
bantuan kasim Huo Cin. Tidak heran jika setiap ada waktu,
Permaisuri Wu selalu datang ke tempat ini untuk
bersembahyang.
Malam itu pun tidak terkecuali, Permaisuri tengah
bersembahyang dengan tekun sekali di depan altar sambil
membaca ayat-ayat kitab Budha. Bau dupa yang harum
mengambang di seluruh ruangan utama, menebarkan aroma
yang khas dan penuh keagungan. Ratusan lilin kecil
dinyalakan untuk menerangi ruangan doa itu. Permaisuri
Wu hanya berdoa sendirian saja di tengah ruangan tanpa
ditemani bikuni yang lain karena ini memang permintaan
Permaisuri agar ia dapat bersembahyang dengan lebih tekun.
Baju sutranya yang halus dan mahal sudah diganti dengan
baju bikuni yang kasar dan sederhana selama ia tinggal di
kuil Gan Ye.
Permaisuri Wu terus berdoa dengan tekun sampai ia
merasakan desiran angin yang amat halus mengalir di
belakang punggungnya. Ketika ia membuka matanya,
tampak beberapa lilin yang berada di sampingnya
bergoyang-goyang sedikit menandakan gerakan angin yang
ia rasakan tadi benar adanya. Tahulah Permaisuri Wu bahwa
seseorang dengan ilmu sangat tinggi telah hadir di
belakangnya. Ia sendiri tidak bakal dapat merasakan- 613 kehadiran orang itu bila tidak dibantu nyala lilin yang
bergoyang-goyang.
"Siapakah yang sudah datang, mengapa tidak
memberi hormat kepadaku?" tegur Permaisuri Wu dengan
penuh wibawa.
"Hamba Han Cia Sing, putra kedua mendiang
Jenderal Han Kuo Li memberi hormat kepada Permaisuri
Wu" kata sosok bayangan yang berdiri di belakang
Permaisuri Wu yang tidak lain adalah Han Cia Sing itu.
"Hmm, kuterima hormatmu" kata Permaisuri Wu
sambil bangkit berdiri dan membalikkan badan menghadap
Han Cia Sing.
Han Cia Sing memandang wajah Permaisuri Wu
dengan penuh kekaguman. Walaupun usia Permaisuri Wu
sudah kepala empat namun wajahnya masih tampak cantik
dan segar seperti gadis usia dua puluh tahunan. Sorot
matanya juga tajam, cerdas dan berwibawa sehingga
membuat segan mereka yang melihatnya. Meskipun hanya
memakai baju bikuni yang kasar dan sederhana, tapi
kewibawaan seorang permaisuri tetap memancar dari dalam
dirinya. Han Cia Sing langsung menjura hormat tidak berani
menatap langsung wajah Permaisuri Wu karena memang
aturan kerajaan melarang keras untuk menatap langsung
wajah keluarga kerajaan. Hukuman mati sudah menanti jika
aturan itu dilanggar.- 614 "Han Cia Sing, ada apakah kau datang malam-malam
kemari dengan diam-diam? Apakah kau berniat buruk
terhadapku?" tegur Permaisuri Wu.
"Hamba tidak berani. Hamba hanya ingin kejelasan
tentang keluarga hamba yang dijatuhi hukuman mati oleh
kerajaan. Hamba menuntut keadilan" kata Han Cia Sing
dengan sopan. Meskipun tidak pernah hidup dalam
lingkungan kerajaan tapi ayahnya sering mengajarkan
sopan-santun berbicara dengan keluarga bangsawan
sehingga ia tidak canggung lagi.
"Keluarga Jenderal Han Kuo Li? Ia bersalah karena
merencanakan pemberontakan terhadap Yang Mulia Kaisar,
hukumannya adalah hukuman penggal seluruh keluarganya"
kata Permaisuri Wu dengan dingin.
"Tidak, ayahku bukan pemberontak. Ia jenderal setia
dinasti Tang..."
Han Cia Sing tidak meneruskan kata-katanya karena
dilirik dengan tajam sekali oleh Permaisuri Wu.
Bagaimanapun seorang permaisuri mempunyai kedudukan
tinggi di kerajaan. Perkataannya tidak boleh sembarangan
dibantah apalagi dengan suara tinggi seperti yang dilakukan
Han Cia Sing barusan. Han Cia Sing langsung menjura
mohon maaf atas kelakuannya itu.
"Hmm, kulihat engkau seorang pemuda yang
berbakat dan berilmu tinggi. Terbukti kau bisa melewati
para penjaga di depan tanpa ketahuan. Sekarang kau hendak- 615 menuntut keadilan untuk keluargamu, apakah engkau
hendak merencanakan tindakan jahat terhadap diriku?"
tegur Permaisuri Wu.
"Hamba tidak berani. Hamba hanya ingin mengetahui
kebenaran dan juga permintaan Permaisuri Wu agar
keturunan Jenderal Han bertemu dengannya secara pribadi"
kata Han Cia Sing.
"Oh? Dari siapakah engkau menerima kabar bahwa
aku ingin menemui penerus keluarga Han?" tanya
Permaisuri Wu penuh selidik.
"Bangsawan Ye, kakek tiri hamba yang mengatakan"
jawab Han Cia Sing.
Permaisuri Wu memandang wajah Han Cia Sing
dengan penuh curiga. Sebagai orang yang berpengalaman
makan asam garam kehidupan, ia tidak dengan begitu saja
mudah percaya pada perkataan orang lain. Tapi wajah Han
Cia Sing yang jujur dan terbuka, juga jawabannya yang tidak
dibuat-buat membuat Permaisuri Wu sedikit lebih yakin
kepadanya. Ia sedang menimbang apakah ia akan
mengatakan kebenaran kepada Han Cia Sing atau tidak.
"Aku harus yakin dulu apakah engkau benar
keturunan keluarga Han atau bukan. Jika memang benar
engkau Han Cia Sing, engkau harus membuktikan dulu
sesuatu kepadaku" kata Permaisuri Wu.
"Permaisuri Wu silakan perintah" kata Han Cia Sing.- 616 "Aku mendengar dari para pendekar yang kembali
dari pertempuran Yi Chang bahwa Han Cia Sing
mempunyai kemampuan ringan tubuh yang setara dengan
Pei Lei Shi Chang Sin (Shi Chang Sin si Guntur Utara). Jika
engkau memang benar adalah Han Cia Sing tentu tidak sulit
bagimu untuk memperagakan ringan tubuhmu yang hebat
itu. Jika engkau tidak bisa menunjukkannya maka semua
penjaga di luar tidak akan melepaskanmu" kata Permaisuri
Wu dengan nada mengancam.
"Ijinkan hamba akan memperlihatkan Guo Yin Sen
Kung (Ilmu Sakti Melintasi Awan) kepada Permaisuri" kata
Han Cia Sing minta ijin kepada Permaisuri Wu yang
langsung dijawab dengan anggukan.
Han Cia Sing menarik napas dalam-dalam dan mulai
menyalurkan tenaga ke titik tan dian di perut bagian bawah.
Seketika itu tubuhnya serasa ringan sekali bagaikan bulu.
Satu lompatan ringan saja sudah membuat Han Cia Sing
sudah melayang ke arah ratusan lilin kecil yang menyala di
depan altar. Ia berjalan di atas nyala lilin-lilin itu bagaikan
berjalan di atas tanah saja. Tapi yang benar-benar membuat
Permaisuri Wu takjub adalah lilin-lilin yang habis dilalui
oleh Han Cia Sing masih tetap dalam keadaan menyala! Itu
berarti Han Cia Sing mampu berjalan hanya mengandalkan
panas nyala api lilin saja tanpa menyentuh sumbu lilin sama
sekali. Benar-benar ilmu meringankan tubuh yang luar
biasa!- 617 "Bagus, bagus sekali. Kau memang pemuda yang
berbakat. Aku sekarang tidak ragu lagi tentang dirimu" puji
Permaisuri Wu sambil tersenyum cerah.
"Hamba mengucapkan terima kasih atas pujian
Permaisuri Wu" kata Han Cia Sing sambil menjura hormat.
"Aku memang ingin bertemu dengan pewaris
keluarga Han karena ada suatu hal penting yang harus
kubicarakan dengannya. Kau sudah ada di sini jadi kupikir
boleh juga aku membicarakannya denganmu" kata
Permaisuri Wu.
"Hamba siap mendengar" kata Han Cia Sing.
"Han Kuo Li dihukum karena merencanakan
pemberontakan. Shangguan Yi juga dihukum dengan
tuduhan yang sama. Beberapa menteri dan jenderal lain juga
dihukum karena tuduhan serupa. Semua ini adalah rencana
Huo Cin menguasai kerajaan dalam genggamannya sendiri"
kata Permaisuri Wu kemudian berhenti sejenak mengambil
napas dan mengambil tempat duduk di sebuah kursi di depan
Han Cia Sing.
"Aku dulu juga ikut mendukung rencana-rencana
Huo Cin karena keinginanku untuk menjadi Permaisuri.
Apalagi putraku Li Hong juga menjadi putra mahkota
menggantikan pangeran Li Chong. Aku selalu menganggap
aku dapat menguasai semua orang termasuk Huo Cin dalam
kekuasaanku. Tapi ternyata kali ini aku salah" kata
Permaisuri Wu dengan sedih sambil menarik napas panjang.- 618 "Huo Cin adalah penjelmaan iblis yang sesungguhnya. Ia benar-benar ingin mengangkangi kerajaan Tang
agung dalam tangannya sendiri. Makin lama sepak
terjangnya makin lalim dan semena-mena. Bahkan akupun
tidak pernah lagi dianggap olehnya. Huo Cin sudah semakin
sombong dan besar kekuasaannya dalam kerajaan sehingga
makin berbahaya. Bahkan sepulang dari perang di Yi Chang
ia berani meminta gelar pelindung negara untuk jasajasanya. Bahkan..."
Permaisuri Wu seakan tercekat kerongkongannya
untuk ketika ingin mengatakan kalimat selanjutnya.
"Bahkan, pangeran Li Chong juga dibunuh oleh Huo
Cin" kata Permaisuri Wu dengan getir.
"Astaga! Bukankah menurut kabar resmi, pangeran Li
Chong meninggal karena sakit dalam pengasingan?!" kata
Han Cia Sing amat terkejut.
"Apa yang terjadi di balik tembok istana siapakah
yang tahu? Sekarang aku bagaikan menunggang seekor
harimau. Ketika ia masih kecil kau bisa menguasainya tapi
makin lama harimau itu makin besar sehingga akan
menerkam dirimu sendiri" kata Permaisuri Wu.
"Huo Cin, kau keterlaluan" kata Han Cia Sing dengan
geram.
"Han Cia Sing, aku perlu bantuanmu untuk
menghancurkan Huo Cin. Jika tidak maka dinasti Tang akan- 619 hancur di tangannya dan jutaan rakyat Tang akan menderita
di bawah pemerintahannya" kata Permaisuri Wu lagi.
"Hamba hanya seorang pengembara, tidak mampu
mengurusi negara" kata Han Cia Sing merendah.
"Aku tahu, di dunia ini tidak sesuatu yang cumacuma. Semua harus ada imbalan baru orang mau bekerja"
kata Permaisuri Wu menanggapi penolakan Han Cia Sing.
"Hamba mohon ampun, tapi Permaisuri Wu salah
sangka. Aku bukan meminta imbalan atas jasa hamba hanya
saja hamba memang sama sekali bukan prajurit atau
pendekar besar sehingga tidak bisa mengemban tugas
negara yang berat itu" kata Han Cia Sing berusaha
menjelaskan.
"Aku tahu engkau masih sangat muda tapi ilmu
silatmu boleh dibilang sudah sampai tingkat yang amat luar
biasa. Aku sudah mendengar banyak tentang sepak
terjangmu saat pertempuran Yi Chang dan aku yakin akan
kemampuanmu. Lagipula Song Wei Hao ada di pihakmu. Ia
adalah seorang ahli strategi perang yang handal. Bila ia
mempunyai sejumlah prajurit yang cukup di pihaknya, aku
yakin ia bisa masuk ke kotaraja dan mengalahkan pasukan
Huo Cin" kata Permaisuri Wu menjelaskan.
"Hamba harus bertanya dulu kepada paman Song"
kata Han Cia Sing.- 620 "Tentu saja, sampaikan pesanku ini kepada Song Wei
Hao dan minta ia pikirkan baik-baik hal ini. Jika
pengkhianat Huo Cin berhasil disingkirkan, semua
kesalahan akan diampuni dan nama keluarga para jenderal
dan pejabat yang dihukum mati akan dipulihkan kembali.
Inilah janjiku kepada Song Wei Hao" kata Permaisuri Wu
dengan tegas sekali.
"Hamba akan menyampaikan pesan Permaisuri Wu
kepada paman Song" kata Han Cia Sing sambil menjura.
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terakhir aku mempunyai satu kabar baik untukmu
dan Han Cia Pao. Aku harap engkau tidak terkejut
mendengarnya" kata Permaisuri Wu sambil bangkit berdiri
dari duduknya. Ada nada yang aneh dalam kalimatnya yang
terakhir sehingga Han Cia Sing memberanikan diri menatap
wajah Permaisuri Wu.
"Han Kuo Li masih hidup" kata Permaisuri Wu.- 621 40. Bakti Negara dan Keluarga
"Kuo Li! Ayo cepat! Jangan sampai kau tertinggal"
teriak Han Kuo Jia menyemangati adik bungsunya itu.
"Kakak pertama! Kakak kedua! Tunggu aku" teriak
Han Kuo Li sambil berlari sekuat tenaga berusaha menyusul
kedua kakaknya itu.
"Jangan terlalu lambat, hari sebentar lagi sore. Kita
masih harus berburu beberapa ekor kelinci" kata Han Kuo
Ming sambil mendaki sebuah bukit kecil dengan amat
cekatan.
Sore hari itu cuaca benar-benar cerah. Awan berarak
tipis di langit yang biru. Ratusan pohon persik berbunga
mekar menambah indah perbukitan di selatan kotaraja.
Benar-benar suatu hari yang cocok sekali untuk berburu!
Han Kuo Jia berlutut di belakang semak belukar yang
lebat sekali sambil mengintip dua ekor kelinci gemuk yang
tengah makan rumput dengan lahapnya. Tampaknya kedua
ekor kelinci itu masih tidak menyadari mereka tengah
diincar. Han Kuo Jia menyiapkan panah dan busurnya
bersiap membidik salah satu kelinci gemuk itu. Han Kuo
Ming berlutut di sampingnya menahan napas menunggu
anak panah melesat dari busurnya. Tepat ketika Han Kuo Jia
hendak melepaskan regangan busur panahnya, Han Kuo Li
tiba di sampingnya dengan napas terengah-engah sehabis
mendaki bukit. Kedua kelinci gemuk itu terkejut dengan- 622 suara Han Kuo Li dan segera melarikan diri ke dalam liang
mereka.
"Astaga, adik! Kau membuat buruan kakak pertama
kabur" kata Han Kuo Ming dengan gemas sambil
mendorong Han Kuo Li.
"Eh, sudahlah Kuo Ming. Ia masih kecil dan ini
adalah perburuan pertamanya, tentu saja ia masih harus
banyak belajar" kata Han Kuo Jia menengahi pertengkaran
kedua adiknya.
"Kakak pertama, maafkan aku" kata Han Kuo Li
sambil menunduk.
"Sudahlah Kuo Li, kelinci di hutan ini banyak sekali.
Aku tidak percaya kita tidak bisa mendapatkan satu atau dua
ekor untuk kita bawa pulang" kata Han Kuo Jia sambil
menepuk pundak adik bungsunya itu.
Mereka bertiga kembali berjalan menelusuri hutan itu
dengan hati-hati sambil mencari kalau-kalau ada hewan
buruan. Mereka masuk semakin dalam dan pepohonan hutan
semakin lebat sehingga suasana terasa lebih gelap. Matahari
sore menerobos masuk melalui sela-sela dedaunan yang
tertiup angin sehingga seolah bayangan mereka bergerakgerak. Cukup lama juga mereka mencari hewan buruan
namun tidak menjumpai satu ekor kelinci pun apalagi rusa.
Mereka sudah hampir menyerah ketika tiba-tiba mereka
mendengar suara perkelahian sayup-sayup di bawah bukit.- 623 "Kuo Ming, Kuo Li kalian juga mendengar suara itu
kan?" tanya Han Kuo Jia kepada kedua adiknya untuk
meyakinkan.
"Ada perkelahian" kata Han Kuo Ming sambil berlari
ke arah sumber suara.
Mereka bertiga berlari mengendap-endap menuju asal
suara. Tampaknya di bawah bukit tempat mereka berburu
sedang terjadi pertempuran. Beberapa orang prajurit
kerajaan tampak sedang bertarung mati-matian dengan para
perampok yang bertampang bengis. Beberapa prajurit
mengelilingi sebuah kereta tandu besar sambil bersiaga
penuh dengan golok terhunus. Tampaknya ada orang
penting dalam kereta tandu itu sehingga perlu dilindungi
dengan demikian ketat. Tapi para perampok berjumlah lebih
banyak sehingga lambat laun prajurit kerajaan makin
terdesak.
"Kakak pertama, kita harus membantu pasukan
kerajaan melawan para perampok itu" kata Han Kuo Ming
yang tidak tahan melihat keadaan itu.
"Benar Kuo Ming. Tapi kita harus berhati-hati sekali
agar tidak ketahuan oleh para perampok itu" kata Han Kuo
Jia menyetujui.
"Kakak, apakah yang akan kita lakukan?" tanya Han
Kuo Li dengan ketakutan.- 624 "Kuo Li, tenanglah. Aku sudah terbiasa ikut ayah
berlatih memanah. Tembakanku jarang meleset, apalagi
kakak pertama. Ia paling jago memanah" kata Han Kuo
Ming sambil mempersiapkan busur panahnya.
"Kuo Li, engkau masih terlalu kecil. Jadi engkau lihat
saja apa yang kami lakukan" kata Han Kuo Jia.
Han Kuo Jia dan Han Kuo Ming membidikkan anak
panah mereka ke arah para perampok yang berusaha
menyerbu kereta kuda itu. Dua buah anak panah terbang
melesat dengan cepat sekali dan menancap di punggung dua
orang perampok. Suara jeritan kematian menyayat menjadi
teriakan terakhir kedua perampok malang itu. Han Kuo Jia
dan Han Kuo Ming segera melepaskan anak panah mereka
berikutnya setelah berhasil menumbangkan dua orang
perampok. Anak-anak panah mereka selalu menancap
dengan tepat di sasaran sehingga semakin banyak perampok
yang bertumbangan meregang nyawa.
"Mundur! Mundur!" teriak kepala gerombolan
perampok ketika melihat anak buahnya bertumbangan
diserang oleh pemanah gelap yang tidak ketahuan dari mana
asalnya itu.
Gerombolan perampok yang tersisa segera melarikan
diri ke arah selatan. Para prajurit istana juga tidak mengejar
mereka karena jumlah mereka tinggal sedikit dan banyak di
antara mereka yang sudah terluka. Mereka hanya bisa
membawa jasad teman-teman mereka yang gugur dan- 625 menaikkannya ke atas pelana kuda. Sementara mayat-mayat
perampok dibiarkan tergeletak begitu saja di pinggir jalan
untuk dikubur nantinya.
Seorang nyonya berpakaian bagus dan mewah sekali
tampak mengintip dari jendela kereta kuda dengan
gemetaran. Tampaknya ia masih ketakutan sekali setelah
rombongannya diserang gerombolan perampok. Di
sampingnya duduk dua orang putri berumur kira-kira lima
dan enam tahun. Yang besar kelihatan ketakutan, tapi yang
kecil tidak kelihatan ketakutan sama sekali. Sorot matanya
yang tajam memandang setiap kejadian yang berlaku di
sekitarnya dengan penuh rasa ingin tahu. Ia terlihat cerdas
dan mempunyai pembawaan yang berani.
"Lapor nyonya Wu, gerombolan perampok berhasil
kami usir berkat bantuan pemanah gelap di atas bukit" kata
kepala komandan prajurit sambil menjura kepada nyonya
yang bernama nyonya Wu itu.
"Pemanah gelap? Cepat undang kemari supaya aku
bisa memberikan imbalan sepantasnya buat jasa mereka"
kata nyonya Wu itu memberikan perintah kepada komandan
prajurit.
Saat itu di atas bukit, Han Kuo Jia dan Han Kuo Ming
malah sedang kebingungan mencari Han Kuo Li yang tahutahu menghilang. Tampaknya Han Kuo Li yang masih kecil
dan tidak pernah melihat orang saling membunuh menjadi
sangat ketakutan melihat pertempuran barusan. Han Kuo Li- 626 segera meninggalkan tempat itu tanpa berpesan apa-apa.
Kini kedua kakaknya yang kebingungan mencari dirinya.
Tepat saat itu komandan prajurit dan beberapa anak buahnya
berhasil sampai di tempat Han Kuo Jia dan Han Kuo Ming
berada.
"Tahan! Kalian berdua diminta nyonya Wu untuk
menghadap" seru komandan prajurit itu kepada Han Kuo Jia
dan Han Kuo Ming.
Kedua Han bersaudara itu sempat ketakutan akan
mendapatkan hukuman dari prajurit kerajaan. Tapi melihat
wajah komandan yang tersenyum ramah kepada mereka,
keraguan mereka sedikit memudar. Bukankah mereka tadi
yang menolong para prajurit ini menghadapi para perampok,
jadi pastilah mereka tidak akan diapa-apakan oleh mereka.
"Komandan, kami pasti akan menghadap nyonya Wu
itu tapi kami harus mencari adik kami dulu. Kami takut ia
tersesat dalam hutan ini" kata Han Kuo Jia sambil menjura
memberi hormat kepada komandan prajurit itu.
"Oh? Jika demikian biarlah anak buahku yang
mencari mereka. Kalian ikut aku turun bukit menghadap
nyonya Wu. Katakan ciri-ciri adik kalian itu" kata
komandan itu sambil memanggil beberapa anak buahnya
mendekat.
"Ia bernama Han Kuo Li, umurnya enam tahun. Ia
memakai baju sutra berwarna hijau dan membawa busur
serta ketopong anak panah" kata Han Kuo Jia menjelaskan.- 627 "Kalian dengar itu?! Lekas menyebar dan cari adik
pemuda ini" kata komandan prajurit itu memberikan
perintah.
Beberapa prajurit kerajaan segera menyebar dan
menyisiri hutan itu sambil meneriakkan nama Han Kuo Li.
Sedangkan Han Kuo Jia dan Han Kuo Ming ditemani
komandan prajurit itu turun bukit menuju kereta kuda yang
ditumpangi oleh nyonya Wu. Mereka segera disambut oleh
nyonya Wu yang sudah menunggu di samping kereta
kudanya.
"Lapor nyonya Wu, mereka berdua inilah yang telah
membantu kita" kata komandan prajurit itu sambil
mempersilakan kedua Han bersaudara itu untuk maju ke
depan nyonya Wu.
"Kalian berdua masih muda sekali" kata nyonya Wu
yang terkejut melihat usia Han Kuo Jia dan Han Kuo Ming
yang tidak lebih dari dua belas tahun.
"Siapakah nama kalian?" tanya nyonya Wu lagi.
"Aku bernama Han Kuo Jia dan ini adik keduaku,
Han Kuo Ming" kata Han Kuo Jia sambil membungkuk dan
menjura memberi hormat.
"Kalian berdua kelihatannya bukan dari keluarga
sembarangan. Siapakah ayah kalian?" tanya nyonya Wu
setelah melihat cara Han Kuo Jia memberikan hormat yang- 628 begitu sopan seperti layaknya keluarga bangsawan
terhormat.
"Ayah kami adalah Jenderal Han Sing" jawab Han
Kuo Jia.
"Jadi ayah kalian adalah Jenderal Han Sing?!
Maafkan aku telah berbuat lancang" kata komandan prajurit
itu dengan terkejut sambil langsung menjura hormat kepada
Han Kuo Jia dan Han Kuo Ming.
"Harimau memang tidak melahirkan anjing. Ayahnya
seorang jenderal yang gagah berani, putranya pun juga
demikian" puji nyonya Wu yang membuat Han Kuo Jia dan
Han Kuo Ming menjadi malu.
"Aku adalah nyonya Wu Shi Huo. Suamiku adalah
seorang saudagar kayu di kotaraja dan teman mendiang
Kaisar Gao Zu. Kami sedang dalam perjalanan kembali ke
kotaraja setelah mengunjungi ibuku di kota Nan Xiang
ketika tiba-tiba gerombolan perampok datang menyerbu.
Untunglah kalian dua pendekar remaja datang memberikan
pertolongan" puji nyonya Wu lagi.
"Kami hanyalah kebetulan lewat dan melihat kereta
nyonya diserang. Kami berusaha menolong saja, tidak
pantas disebut sebagai pendekar remaja" kata Han Kuo Jia
setengah gugup karena disanjung sebagai pendekar remaja
segala oleh nyonya Wu Shi Huo.- 629 "Kalian tinggal di kotaraja?" tanya nyonya Wu yang
dijawab dengan anggukan oleh Han Kuo Jia dan Han Kuo
Ming.
"Kalau begitu kalian bisa sekalian ikut dengan kami
kembali ke sana" ajak nyonya Wu dengan ramah.
"Terima kasih nyonya Wu, tapi adik bungsu kami
Han Kuo Li hilang entah kemana. Kami harus mencarinya
terlebih dulu kemudian mengambil kuda-kuda kami di
belakang bukit sana" jawab Han Kuo Jia.
"Lapor nyonya Wu, aku sudah memerintahkan
beberapa anak buahku untuk mencari adik mereka. Kita juga
harus cepat meninggalkan tempat ini sebelum gerombolan
perampok tadi kembali dengan bala bantuan" kata
komandan prajurit itu.
"Baiklah, kalau begitu sambil menunggu adik mereka
ditemukan mintalah anak buahmu mengambil kuda-kuda
mereka di belakang bukit. Dengan begitu kita bisa
menghemat waktu agar dapat segera berangkat setelah adik
mereka ditemukan" kata nyonya Wu memberikan saran.
"Siap melaksanakan perintah" kata komandan
prajurit itu.
"Nah, kalian berdua sekarang tidak perlu khawatir
lagi. Duduklah di dalam kereta bersama kedua putriku
sambil menunggu adikmu ditemukan" kata nyonya Wu
sambil menggandeng kedua Han bersaudara itu.- 630 Han Kuo Jia dan Han Kuo Ming menurut digandeng
oleh nyonya Wu Shi Huo untuk duduk menunggu di dalam
kereta kuda. Kereta kuda itu begitu bagus dan besar
sehingga meskipun mereka berlima berada di dalamnya
tidak terasa berdesakan. Nyonya Wu menyuguhi mereka
minum teh dan beberapa makanan kecil yang diambil
secukupnya oleh mereka berdua sebagai kesopanan saja.
Mereka lebih memikirkan tentang keadaan Han Kuo Li.
Kemanakah perginya adik bungsu mereka itu?
Ketika Han Kuo Jiang dan Han Kuo Ming sedang
sibuk membantu pasukan kerajaan dengan memanahi para
perampok, Han Kuo Li yang masih kecil itu menjadi ngeri
dan ketakutan melihat banyaknya orang yang mati dan
sekarat. Ia segera menutup kedua telinganya dan berlari
sekuat tenaga ke arah yang berlawanan. Han Kuo Li masih
berusia enam tahun, mana mungkin tahan melihat
pertempuran berdarah seperti yang terjadi di bawah bukit
itu.
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Han Kuo Li berlari terus tanpa arah tujuan sampai
akhirnya kakinya tersangkut sebuah akar pohon yang
menonjol. Tubuhnya yang kecil itu langsung terjerembab
jatuh dan berguling-guling ke bawah bukit. Han Kuo Li
merasakan dunianya berputar tidak karuan. Seluruh
tubuhnya terasa sakit karena terbentur-bentur pada akar
pohon dan bebatuan. Untunglah ia tidak mengalami luka
parah yang berarti selain memar-memar di sekujur
tubuhnya.- 631 "Bocah, kau tidak apa-apa?" tegur seseorang dengan
suara yang lembut tapi berwibawa di belakang Han Kuo Li.
Han Kuo Li berpaling ke arah suara itu. Ia melihat
seorang pria berumur sekitar empat puluh tahun sedang
duduk santai di atas seekor keledai berwarna putih. Wajah
orang itu tampak jujur dan terbuka. Matanya yang awas
menandakan kecerdasan dirinya. Kedua alisnya tebal
melengkung seperti bulan sabit menaungi matanya.
"Aku baik-baik saja paman" jawab Han Kuo Li
sambil berusaha bangkit berdiri dan membersihkan
pakaiannya dari tanah yang melekat.
"Syukurlah kau baik-baik saja, aku senang
mendengarnya" kata orang itu sambil turun dari keledai
putihnya.
"Apakah aku mengenal paman?" tanya Han Kuo Li
keheranan melihat orang itu seperti sudah mengenalnya saja.
"Mungkin tidak, tapi aku kenal dengan dirimu" jawab
orang itu.
"Paman kenal denganku?" tanya Han Kuo Li heran.
"Dulu aku pernah bertemu dengan keluargamu saat
kau masih kecil sekali. Bukankah kau putra ketiga Jenderal
Han Sing, Han Kuo Li?" tanya orang itu sambil berjalan
mendekati Han Kuo Li.- 632 "Benar sekali. Apakah paman teman dari ayahku?
Bolehkah aku tahu nama paman?" tanya Han Kuo Li ingin
tahu.
"Aku boleh dikatakan teman ayah dan kakekmu.
Namaku Chang Guo Lau dari wilayah Chang Chou" kata
orang yang bernama Chang Guo Lau memperkenalkan diri.
"Salam hormat kepada paman Chang Guo Lau" kata
Han Kuo Li membungkuk hormat sambil menjura.
"Bocah yang pandai. Han Sing pasti senang sekali
mempunyai putra seperti dirimu" puji Chang Guo Lau
sambil menepuk pundak Han Kuo Li.
"Paman terlalu memuji" kata Han Kuo Li merendah.
"Kuo Li, mengapa engkau bisa berada di sini
sendirian?" tanya Chang Guo Lau sambil menoleh ke kiri
kanan berusaha melihat apakah ada saudara atau teman Han
Kuo Li yang lain.
"Paman, tadi aku sedang lari tanpa sengaja
tersandung dan jatuh bergulingan ke bawah bukit ini. Itu
sebabnya aku ada di sini sendirian" jawab Han Kuo Li
dengan polos.
"Kalau tidak salah Jenderal Han Sing mempunyai tiga
orang putra. Di manakah kedua kakakmu?" tanya Chang
Guo Lau lagi.- 633 "Ehm, mereka sedang di sebelah sana, membantu
prajurit kerajaan mengalahkan para perampok" jawab Han
Kuo Li.
"Oh? Benarkah? Lalu mengapa engkau tidak turut
serta bersama mereka?" tanya Chang Guo Lau heran.
"Aku... aku tidak tega melihat orang-orang itu mati"
jawab Han Kuo Li sambil menundukkan kepala.
"Bukankah mereka itu para perampok? Kau
seharusnya senang mereka mendapatkan hukuman mereka"
kata Chang Guo Lau memancing.
"Aku tahu mereka semua perampok jahat, tapi
bagaimanapun mereka juga manusia. Sekali mereka mati,
mereka tidak bisa hidup lagi. Aku tidak berani
melakukannya" kata Han Kuo Li lagi.
"Kuo Li, kau bocah yang berhati baik. Aku senang
kepadamu. Kita juga berjodoh dapat bertemu di sini. Nah,
baiklah karena kita berjodoh mari kita berbincang sebentar
di bawah pohon itu" kata Chang Guo Lau sambil
menggandeng Han Kuo Li.
Mereka berdua duduk di sebuah batu di bawah sebuah
pohon besar yang rindang. Han Kuo Li dapat merasakan
paman Chang ini bukanlah orang sembarangan saja. Wajah
dan gerak-gerik Chang Guo Lau begitu berwibawa dan
penuh belas kasihan layaknya seorang dewa saja. Tidak
heran jika Han Kuo Li menurut saja diajak duduk olehnya.- 634 "Kuo Li, karena langit telah mempertemukan kita di
sini, aku juga tidak akan menyembunyikan sesuatu terhadap
dirimu. Mungkin sekarang engkau masih terlalu kecil untuk
mengerti, tapi kelak aku yakin engkau akan mengerti arti
perkataanku ini" kata Chang Guo Lau sambil menatap wajah
Han Kuo Li dengan penuh kasih.
"Maksud paman Chang?" tanya Han Kuo Li heran.
"Kau tahu siapakah orang yang ada dalam kereta yang
diserang gerombolan perampok itu?" tanya Chang Guo Lau
yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Han Kuo Li.
"Di dalam kereta itu ada nyonya Wu dengan kedua
putrinya, Wu Ze Ling dan Wu Ze Tian" kata Chang Guo Lau
meneruskan.
"Mereka adalah putri keluarga Wu Shi Huo, seorang
saudagar kayu kaya raya yang juga merupakan sahabat
mendiang kaisar terdahulu. Mereka dalam perjalanan
kembali ke kotaraja ketika gerombolan perampok
menyerang mereka"
"Bagaimana paman Chang tahu semua ini?" tanya
Han Kuo Li dengan keheranan.
"Kuo Li, aku tahu banyak hal, tidak hanya ini saja"
kata Chang Guo Lau sambil tersenyum kepada Han Kuo Li.
"Kehendak langit memang tidak dapat diubah,
apapun keinginan manusia. Li Shi Ming sudah banyak
berbuat kejahatan sehingga dinasti Tang yang agung harus- 635 mengalami masa-masa kegelapan. Li Shi Ming membunuh
dua saudaranya sendiri yakni putra mahkota Li Jian Cheng
dan pangeran Li Yuan Ji di gerbang Xuan Wu hanya demi
kekuasaan semata sehingga langit menjadi amat marah
kepadanya. Belum lagi ia memaksa mendiang kaisar untuk
menyerahkan kursi kekaisaran kepadanya, itu adalah
perbuatan yang tidak bisa diampuni. Langit sudah
menetapkan kehancuran keturunan Li Shi Ming hingga tidak
ada lagi marga Li yang tersisa kecuali mereka yang terpilih
untuk meneruskan dinasti Tang agung. Dan mereka yang
duduk di dalam kereta itulah yang sudah dipilih oleh langit
untuk melaksanakan hukuman bagi keturunan Li Shi Ming"
kata Chang Guo Lau menjelaskan.
"Paman Chang, aku tidak mengerti apa yang paman
bicarakan" kata Han Kuo Li begitu terheran-heran
mendengarkan cerita Chang Guo Lau.
"Hahahah, Kuo Li bukankah sudah kukatakan bahwa
ini adalah rahasia langit yang tidak semua orang bisa
memahaminya, apalagi engkau masih begitu kecil. Aku
hanya bisa berkata kepadamu bahwa engkau kelak akan
banyak terlibat dalam perkara ini. Engkau dan keturunanmu
akan memegang peranan penting dalam kehancuran dan
kebangkitan kembali dinasti Tang" kata Chang Guo Lau
dengan bijaksana.
"Kedua kakakmu telah menggagalkan rencana langit
para pendukung Li Shi Ming untuk menghabisi keluarga
Wu, maka mereka akan memperoleh balasannya nanti.- 636 Mereka tidak akan berkeluarga atau mempunyai keturunan
dan hidup ini akan singkat bagi mereka. Tapi kau Han Kuo
Li, telah memilih jalan yang benar dengan meninggalkan
pertempuran tadi. Hidupmu akan panjang dan kau tidak
akan menutup mata sebelum melihat cucumu tumbuh
dewasa dan menikah. Demi takdir, keluarga Han akan harus
banyak berkorban. Tapi inilah bakti negara yang harus
dilakukan oleh kalian demi kelangsungan rakyat banyak "
kata Chang Guo Lau.
"Benarkah? Apakah yang paman Chang katakan ini
benar adanya?" tanya Han Kuo Li setengah tidak percaya
bagaikan bermimpi saja.
"Rahasia langit sebenarnya tidak boleh dikatakan tapi
mengingat sifatmu yang jujur dan baik hati serta usiamu
yang masih amat muda, aku berani mengatakan hal ini
kepadamu. Nah, sekarang aku harus kembali ke rumahku.
Kuo Li, kau jaga dirimu baik-baik. Mungkin suatu saat nanti
kita akan bertemu kembali" kata Chang Guo Lau sambil
berjalan dan menaiki keledai putihnya.
"Paman Chang, tunggu! Aku masih belum mengerti"
kata Han Kuo Li berusaha menahan kepergian Chang Guo
Lau. Saat itu Han Kuo Li menoleh ke belakang karena
mendengar ada suara-suara memanggil dirinya. Tampaknya
anak buah komandan prajurit sudah semakin dekat dengan
tempat Han Kuo Li berada. Ketika Han Kuo Li berpaling- 637 kembali ke tempat di mana Chang Guo Lau tadi
menunggang keledai putihnya, ia tidak menemukan siapasiapa lagi di situ.
Chang Guo Lau dan keledai putihnya sudah hilang
bagaikan ditelan bumi.
"Paman Chang! Paman Chang!" teriak Han Kuo Li
berusaha memanggil Chang Guo Lau yang tiba-tiba
menghilang itu.
"Paman Chang!!!" seru Han Kuo Li dengan suara
serak.
Gema teriakan Han Kuo Li memantul di dinding batu
yang lembab sehingga bergema beberapa kali. Han Kuo Li
terbangun dengan tubuh basah penuh keringat. Ia
mengerjapkan matanya beberapa kali untuk membiasakan
matanya dengan keadaan di sekitarnya yang gelap. Bau
busuk menyengat hidung tercium keras sekali karena
ruangan yang lembab dan tertutup itu penuh dengan jerami
busuk dan sisa-sisa kotoran yang tidak pernah dibersihkan.
Han Kuo Li berusaha bangun berdiri menuju cahaya
samar-samar yang menerobos terali pintu besi kamar itu.
Baru saja berjalan beberapa langkah, Han Kuo Li merasakan
langkahnya tertahan karena keduanya kakinya terikat kuat
oleh sebuah rantai besi yang menancap di dinding batu. Ia
berusaha menarik dirinya sekuat tenaga menuju ke arah
pintu besi tapi tetap saja terhalang karena rantai besi pendek
sekali. Han Kuo Li jatuh terjerembab di tanah karena- 638 tubuhnya terasa lemah sekali. Ketika ia berusaha bangun,
barulah ia menyadari bahwa lengan kanannya telah
buntung!
Seketika itu juga Han Kuo Li segera tersadar apa saja
yang telah menimpanya. Semua peristiwa mulai dari
kejadian di kuil Kedamaian Abadi hingga ia dimasukkan ke
dalam penjara bawah tanah yang kejam ini kembali teringat
olehnya. Juga peristiwa saat ia kecil dulu, yang telah lama
sekali ia lupakan tapi kini sering sekali ia mimpikan dalam
tidurnya. Begitu seringnya ia memimpikan hal itu sehingga
ia merasa terombang-ambing antara alam nyata dan alam
mimpi. Memang hidup dalam penjara bawah tanah yang
dingin, sepi dan jorok akan membuat siapapun lambat-laun
kehilangan kewarasannya. Tidak terkecuali Han Kuo Li,
sang Jenderal Empat Gerbang yang telah difitnah oleh Huo
Cin dengan keji sekali.
"Ahhhhh"
Teriakan gila Han Kuo Li bergema di sepanjang
lorong-lorong batu penjara bawah tanah itu tanpa terdengar
oleh siapapun, karena memang tidak ada satupun penjaga di
sana. Penjara bawah tanah adalah tempat kematian yang
mengerikan dan perlahan. Orang-orang yang terpenjara di
sana dibiarkan begitu saja tanpa makanan dan minuman.
Hidup hanya bisa disambung dengan makan tikus, serangga
dan jerami busuk serta minum dari lumut dan tetesan air
yang kadang mengalir dari celah-celah bebatuan. Hidup
dalam penderitaan dan dendam yang entah sudah dijalani- 639 oleh Han Kuo Li untuk berapa lama. Hidup yang hanya
ditopang oleh semangat ingin bertemu kembali dengan
keluarganya dan menghancurkan para pengkhianat negara.
Bersambung- 640 CARA PEMESANAN
Cara pembelian buku via pemesanan website:
? Isi formulir pemesanan dengan lengkap di website
www. kisahsilat.com
? Klik tombol submit
? Anda akan mendapat nomor urut pemesan
? Lakukan transfer uang sejumlah Rp 25.000 (sudah
termasuk ongkos kirim) plus nomor urut anda ke
nomor rekening BCA 0110858035 atas nama Andy
Soeprijo. Contoh: anda mendapat nomor urut 5 maka
jumlah yang harus anda transfer adalah sejumlah Rp
25.005
? Pengiriman buku ke alamat anda akan dilaksanakan
maksimal 3 hari setelah kami menerima transfer dari
anda.
? Pengiriman buku dilakukan melalui paket tercatat
dengan waktu pengiriman sekitar 3-4 hari maksimal
untuk luar Jakarta dan 1-2 hari maksimal untuk
Jabotabek.
? Anda dapat mengajukan pengaduan ke
pemesanan@kisahsilat.com bila 10 (sepuluh) hari
setelah transfer dilakukan anda belum menerima
pesanan buku anda atau paket yang anda terima
mengalami kerusakan.- 641 Cara pembelian buku via sms :
? Lakukan transfer uang sejumlah Rp 25.000 (sudah
termasuk ongkos kirim) plus nomor unik yang anda
pilih sendiri ke nomor rekening BCA 0110858035
atas nama Andy Soeprijo. Contoh anda melakukan
transfer Rp 25.090 maka 90 adalah nomor unik yang
anda pilih sendiri.
? Kirim sms ke nomor 0856-7843257 dengan alamat
pengiriman lengkap sebagai berikut : ketik
nama_alamat pengiriman lengkap_kode pos_jumlah
uang yang ditransfer_tanggal transfer
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Contoh : Budiman_Jl Tanah Abang IH/70 Jakarta
Pusat_10550_ 38090.251204
? Pengiriman buku ke alamat anda akan dilaksanakan
maksimal 3 hari setelah kami menerima transfer dari
anda ? Pengiriman buku dilakukan melalui paket tercatat
dengan waktu pengiriman sekitar 3-4 hari maksimal
untuk luar Jakarta dan 1-2 hari maksimal untuk
Jabotabek. Anda dapat mengajukan pengaduan ke
pemesanan@kisahsilat. com bila lO(sepuluh) hari
setelah transfer dilakukan anda belum menerima
pesanan buku anda atau paket yang anda terima
mengalami kerusakan- 642 Mengenai Penulis
Chen Wei An dilahirkan di kota dingin Malang sekitar
tigapuluh tahun yang lalu. Perkenalannya dengan cerita silat
di mulai pada usia sangat muda sekitar 5 tahun, bukan
melalui buku-buku serial silat tapi melalui video format
Betamax. Video silat jaman itu ada dua macam, yang
pertama edisi resmi berbahasa Inggris dengan teks
terjemahan Indonesia sedangkan yang kedua edisi bajakan
berbahasa Mandarin dengan teks terjemahan Inggris yang
merupakan hasil rekaman serial bersambung yang diputar di
stasiun tv Singapura. Beruntunglah Chen Wei An kecil
mendapatkan tontonan edisi bajakan karena dengan
demikian secara tidak langsung mendapatkan pelajaran
Mandarin lisan dan Inggris tulisan secara langsung dan
gratis!
Film serial silat pertama yang dilihat adalah The Twin
Heroes / Jie Dai Shuang Jiao karangan Khu Lung yang
dibintangi oleh Chen Siao Hao dan dibuat oleh ATV th
1978. Sejak saat itu Chen Wei An kecil menjadi tergila-gila
pada film silat dan kebetulan pula seorang pamannya juga
mempunyai hobi yang sama sehingga cocoklah kedua
paman keponakan ini dalam melahap habis hampir semua
serial silat antara lain : Shi Tiau Ing Siung (Kisah Pendekar
Rajawali), Shi Tiau Sia Li (Kisah Rajawali dan Pasangan
Pendekar), Tien Jan Pien (Pendekar Ulat Sutra), Yi Tien Tu
Lung Ci (Pedang Pembunuh Naga), Tien Lung Pa Pu- 643 (Pendekar Negeri Tayli), Chu Liu Siang (Pendekar Harum),
Lu Siao Feng (Pendekar Empat Alis) dan lain-lainnya.
Selama periode 1982-1988 hampir tiap hari Chen Wei An
kecil menghabiskan tidak kurang dari 3 kaset video perhari.
Perlu diingat pada jaman itu format Betamax dapat
mencapai waktu putar dua jam per kaset sehingga tidak
kurang enam jam sehari dihabiskan untuk menonton film!
Lepas tahun 1988, pamannya pindah ke kota lain
sehingga kegiatan menonton menjadi berkurang. Pada tahun
1995-1996 ketika Chen Wei An meneruskan kuliah di
Surabaya, banyak televisi swasta yang menyiarkan film
serial silat yang pernah ditontonnya pada masa kecil.
Timbullah keinginan dan ide untuk menulis cerita silat
namun sayang kesibukan menulis tugas akhir disusul
kemudian bekerja di sebuah perusahaan internasional di
Jakarta membuat keinginan itu tidak jadi terlaksana. Baru
setelah seorang temannya mengirimkan cerita silat Kho Ping
Ho dalam bentuk file MS Word, kenangan Chen Wei An
akan cerita silat kembali bangkit. Keinginan untuk
menuliskan cerita silat yang sudah lama terpendam kembali
berkobar, apalagi mengingat sudah sejak meninggalnya Kho
Ping Ho tahun 1994, rimba persilatan Indonesia tidak lagi
diramaikan oleh munculnya pendekar-pendekar baru.
Mungkin memang sudah saatnya rimba persilatan digebrak
oleh munculnya pendekar-pendekar persilatan dan jurusjurus yang baru!
Jakarta, Januari 2005- 644 -- 645 -- 1 -- 2 Kolektor E-Book
Aditya Indra Jaya
Foto Sumber oleh Awie Dermawan
Editing oleh D.A.S- 3 Rimba Persilatan Naga dan Harimau
(Lung Hu Wu Lin)
Buku Keempat
oleh Chen Wei An
Hak Cipta 2006, Chen Wei An
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau keseluruhan isi tanpa seijin penulis
www.kisahsilat.com
Saran dan Kritik dialamatkan ke
info@kisahsilat.com
Cetakan pertama Juli 2006
ISBN Jilid Lengkap 979-3250-16-X
ISBN Jilid Keempat 979-3250-23-2- 4 Daftar Isi
Terima kasih dari Penulis..........................................................................5
Latar Belakang Sejarah .............................................................................7
41. Tinju Es Neraka Beku..........................................................................9
42. Tiga Penguasa Tebing Setan..............................................................44
43. Beda Pendapat ....................................................................................85
44. Kasih Tak Sampai ............................................................................128
45. Kebijaksanaan Tien Gong ...............................................................172
46. Tersesat di Jalan Iblis.......................................................................208
47. Pertemuan Para Pendekar...............................................................241
48. Tiga Utusan .......................................................................................287
49. Duel ....................................................................................................324
50. Kepala Keluarga...............................................................................365
CARA PEMESANAN ............................................................................420
Mengenai Penulis....................................................................................422- 5 Terima kasih dari Penulis
Tanpa terasa Lung Hu Wu Lin sudah sampai pada buku
keempat. Penulis merasakan banyak sekali dukungan dari
teman-teman penggemar silat semuanya. Beberapa di antara
mereka melakukan kontak pribadi baik melalui sms, email
bahkan bertemu langsung. Penulis amat menghargai semua
perhatian, saran dan kritik yang diberikan agar terus
berkarya dengan lebih baik.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih secara pribadi
kepada pihak distributor Dwitama Asrimedia yang telah
membantu dalam penyaluran ke toko buku, Bp Harry
Soejono dan Bp Sutarso. Juga kepada Percetakan Ariesta,
Bp Aries Soegiarto sekeluarga yang telah membantu
terbitnya buku Lung Hu Wu Lin ini. Penulis juga amat
berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam pengumpulan data sejarah seperti anggota
indozone.net, Azalae dan Tasha kemudian anggota
wuxiamania.com, Temujin dan Andrea dan rekan-rekan
yang tergabung di serialsilat.com pimpinan Tungning.
Tidak lupa juga rekan-rekan saya Deva, Jerry, Santoso dan
Mercia yang begitu mendukung buku ini. Penulis menjura
hormat kepada anda semua.
Akhir kata, penulis bersyukur dapat pulang kembali ke
kampung halaman. Segala macam acara perpindahan yang
melelahkan akhirnya selesai juga. Rumah baru yang
ditempati semoga dapat memberikan inspirasi yang baru- 6 juga. Semua saran dan kritik dapat ditujukan ke alamat email
info@kisahsilat.com. Terima kasih atas perhatiannya.
Jakarta, 5 Juli 2006
Chen Wei An- 7 Latar Belakang Sejarah
Dalam kisah silat, yang terjadi ratusan tahun lampau di
negeri Cina, ukuran-ukuran dan dimensi yang digunakan
kadang membuat kita yang hidup di jaman modern jadi
mengerutkan kening. Ukuran jarak seperti li, ukuran berat
seperti kati dan uang yang dipecah dalam satuan tael perak
bukanlah sesuatu yang mudah dipahami oleh kita yang
sudah hidup dalam budaya yang amat berbeda.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin memberikan sedikit
gambaran tentang satuan-satuan tersebut agar lebih mudah
memahami keadaan yang dibaca dalam kisah Lung Hu Wu
Lin ini. Satuan jarak yang paling sering dipakai dalam kisah
silat adalah satuan li. Satu li adalah ukuran sekitar 500
meter. Pada jaman dinasti Ming dan Qing, satu li bukan lagi
500 meter tapi disebut sebagai 1800 chih (I chih = 35,8 cm)
sehingga 1 li menjadi 644,65 meter. Pada jaman modern
sekarang ini, satuan li kembali dianggap sama dengan 500
meter.
Satuan berikutnya yang dipakai adalah tael atau liang dalam
bahasa Cina. Pada jaman dinasti Qing, 1 liang dianggap
sama dengan 37,8 gram tapi pada jaman Cina modern, 1
liang adalah 50 gram. Satuan tael atau liang sering
digunakan untuk mengukur berat perak yang digunakan
sebagai alat pembayaran yang sah pada jaman dahulu.
Satuan berat lainnya adalah kati atau jin. Secara umum satu
jin dahulu disetarakan dengan 604,79 gram dan merupakan- 8 16 liang. Tapi pada jaman Cina modern, 1 jin adalah sama
dengan 500 gram dan 10 liang.
Satu lagi satuan yang paling sering dipakai dalam kisah
Lung Hu Wu Lin adalah satuan langkah (chih) dan tombak
(pu). Satu chih sama dengan 35,8 cm sedangkan satu pu
sama dengan lima chih atau selara 1,8 meter. Maka satu li
ada sekitar 360 pu. Semoga penggambaran satuan yang
dipakai ini akan membuat para pembaca lebih mudah
memahami kisah Rimba Persilatan Naga dan Harimau ini.- 9 Lung Hu Wu Lin
(Rimba Persilatan Naga dan Harimau)
41. Tinju Es Neraka Beku
Ribuan li timur kotaraja di mana hilir sungai Kuning
pecah menjadi dua bagian, terletak lembah dataran yang
subur di mana kota Chi Nan berada. Kota yang terletak di
tepian sungai Qi ini adalah tempat persinggahan para
pedagang besar dari timur karena letaknya yang tepat berada
di muara sungai sehingga sangat ramai dan makmur. Ribuan
penduduknya menggantungkan hidup dari perdagangan
sutra dan juga bahan makanan terutama ikan dan hasil laut.
Lebih ke hilir lagi, ada kota Le An yang langsung
menghadap Laut Timur sementara di punggungnya berdiri
tegak gunung Tai yang kokoh perkasa menjulang.
Di kota Chi Nan inilah tinggal pangeran kedelapan
Huo yang sekarang bergelar Huo Wang-ye. Rumah Huo
Wang-ye berada agak jauh dari pusat kota dan keramaian
namun amat megah dan luas sekali. Bangunan utamanya
saja ada tiga buah sedangkan bangunan tambahan ada
delapan. Masing-masing bangunan utama mempunyai
delapan puluh kamar sedangkan bangunan tambahan
delapan kamar. Sebuah kolam teratai yang amat besar
membentang di tengah-tengah ketiga bangunan utama yang- 10 menghadap ke arah sungai Qi. Ratusan pohon murbei,
bambu dan plum menghiasi taman yang berada di sisi kiri
gedung, membatasinya dengan bagian rumah yang
berbatasan langsung dengan sungai Qi di mana beberapa
kapal mewah milik Huo Wang-ye ditambatkan. Sungguh
merupakan rumah yang mewah dan megah!
Hari itu adalah hari-hari pertama musim gugur
sehingga cuaca sangat nyaman dan sejuk. Beberapa puluh
ekor burung belibis dan burung sungai lain sedang terbang
mencari makan di tepian sungai Qi, ketika mereka
dikagetkan oleh gelombang udara membekukan yang tibatiba saja datang. Musim dingin masih belum tiba, tapi suhu
udara mendadak turun dengan cepat sekali. Burung-burung
itu segera beterbangan ketakutan merasakan ada sesuatu
yang tidak beres. Gelombang udara dingin itu begitu hebat
sehingga butiran salju mulai tampak jatuh dari langit.
Bahkan beberapa bagian tepi sungai Qi sudah membeku
menjadi es. Sebenarnya apakah gerangan yang sedang
terjadi?
Di tepian sungai Qi tampak seorang kakek tua botak
memakai baju sederhana dengan wajah yang sudah keriput
semua tengah memperhatikan seorang pemuda yang
berendam di tepian sungai. Kelihatannya asal gelombang
dingin berasal dan tubuh pemuda itu karena air sungai di
sekitarnya sudah berubah menjadi es beku yang sangat
keras. Hawa dingin luar biasa itu amat menyakitkan
menusuk tulang tapi kakek botak itu kelihatan tenang-- 11 tenang saja, bahkan masih terlihat memberikan petunjuk
kepada pemuda itu. Tidak heran karena kakek itu adalah Sie
Yi Wongguo Luo (Wongguo Luo sang Hujan Salju) salah
satu dari San Yen Mo Wang (Tiga Raja Iblis Neraka) yang
menguasai tenaga beku Han Ping Leng Cang (Tapak
Sedingin Es). Sedangkan pemuda yang berendam di tepi
sungai Qi itu tidak lain adalah Han Cia Pao, yang setelah
memakan Nan Hai Lung Cu (Mutiara Naga Laut Selatan)
secara tidak sengaja memiliki tenaga dingin yang amat
dahsyat. Kini ia dibimbing oleh Wongguo Luo untuk
mengendalikan tenaga dingin luar biasa yang bergejolak
dalam tubuhnya itu.
"Pao-er, tekan semua tenagamu di titik tan dian.
Jangan lepaskan sebelum sirkulasi tenagamu selesai" kata
Wongguo Luo memberi petunjuk.
"Baik guru!" jawab Han Cia Pao sambil terus
memutar tenaganya di titik tan dian.
Hawa dingin semakin menusuk tulang sehingga
membekukan apa saja yang berada dalam jarak lima tombak
dari tempat Han Cia Pao berendam. Mungkin jika ada orang
yang kebetulan lewat akan sangat keheranan melihat hujan
salju setempat yang terjadi di awal musim gugur itu.
Untunglah tempat mereka berlatih adalah termasuk wilayah
kekuasaan Huo Wang-ye sehingga tidak sembarangan orang
boleh masuk ke tempat itu.- 12 Ketika Han Cia Pao merasakan tenaga dalamnya
semakin memuncak dan tak tertahankan lagi, ia berteriak
keras dan melejit ke atas. Es beku yang terbentuk dari air
sungai langsung hancur berantakan ketika tubuh Han Cia
Pao terbang keluar dari dalam sungai. Belum selesai di situ,
Han Cia Pao harus segera mengeluarkan hawa dingin luar
biasa yang terasa hampir meledak dalam tubuhnya, ia
melejit ke arah sebuah pohon besar yang berdiri di tepian
sungai dan menghajarnya dengan kedua telapak tangannya.
Segera saja pohon itu langsung terselimuti oleh salju dan es
kemudian dengan suara berderak nyaring, pohon sebesar
lingkaran lengan orang dewasa itu roboh!
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selamat! Selamat Akhirnya kau berhasil menguasai
ilmu Sie Yen Ping Chuen (Tinju Es Neraka Beku)! Engkau
benar-benar berbakat" puji Wongguo Luo sambil bertepuk
tangan.
"Semua ini berkat bimbingan guru" kata Han Cia Pao
sambil menjura hormat kepada Wongguo Luo.
"Aku hanya membimbing tapi engkau sendirilah yang
mampu melakukannya. Jika guru masih hidup sekarang,
tentu ia akan sangat bangga denganmu" kata Wongguo Luo
sambil tertawa senang.
"Maksud guru, kakek guru Pei Mo (Iblis Utara)?"
tanya Han Cia Pao.
"Benar, dulu mendiang guru sebelum meninggal
berlatih keras untuk menyempurnakan ilmu Han Ping Leng- 13 Cang (Tapak Sedingin Es) dan menuliskan jurus Sie Yen
Ping Chuen (Tinju Es Neraka Beku) sebagai tahapan
tertinggi jurus Han Ping Leng Cang. Sayang sekali beliau
keburu meninggal dunia sebelum beliau sendiri mampu
menguasainya. Dan sekarang kau Pao-er, mampu
menguasai ilmu ini tentu akan membuat guru senang sekali
di alam baka sana" kata Wongguo Luo menjelaskan.
"Murid mengerti" kata Han Cia Pao sambil memberi
hormat kepada gurunya.
"Pao-er, di dalam tubuhnya sekarang ada inti hawa
tenaga dingin Nan Hai Lung Cu (Mutiara Naga Laut
Selatan) sehingga memungkinkan engkau menguasai
ilmuku dalam waktu singkat. Aku tidak tahu sampai di mana
batas kekuatan tenaga dalammu nantinya, tapi kuharap kau
selalu ingat petunjukku agar menggunakan ilmu itu untuk
kebaikan" kata Wongguo Luo.
"Murid akan selalu mengingat petunjuk guru" kata
Han Cia Pao dengan penuh hormat.
"Nah sekarang marilah kita kembali ke tempat
kediaman Huo Wang-ye. Lihatlah, Cen ku-niang (nona Cen)
sudah datang untuk menjemputmu" kata Wongguo Luo
sambil memandang ke arah tempat kediaman Huo Wang-ye.
Seorang gadis berpakaian sutra hijau tengah berlari-lari
kecil dari gedung utama ke arah mereka. Wajahnya bulat
dengan alis mata tebal. Bola matanya yang bening dan indah
itu bersinar-sinar melihat Han Cia Pao dan Wongguo Luo.- 14 Ia kelihatan sebagai seorang gadis yang ceria dan
berpembawaan teguh. Gadis itu tidak lain adalah Cen Hua,
keponakan sang Ketua Timur Cen Hui.
Setelah pelarian mereka dari markas Tien Lung Men
beberapa bulan lalu, Cen Hua sering bersama tabib Liu Cen
Beng merawat Han Cia Pao yang ketika itu masih belum
bisa bangun akibat khasiat luar biasa Nan Hai Lung Cu yang
dimakannya secara berlebihan. Apalagi setelah Han Cia
Sing pergi ke kotaraja, kedekatan Cen Hua dengan Han Cia
Pao semakin terjalin. Cen Hua juga telaten merawat Ye Ing
yang masih juga belum sadar diri sehingga membuat Han
Cia Pao semakin jatuh hati kepadanya. Kedua anak manusia
itu sama-sama menemukan perasaan senasib mereka, di
mana keluarga mereka sudah tiada lagi. Benih-benih cinta
yang tumbuh di antara mereka tampaknya juga direstui oleh
para wali mereka seperti Song Wei Hao, Ce Ke Fu dan juga
Wongguo Luo. Sang pria dari keluarga jenderal terkenal,
sang wanita dari keluarga pendekar ternama lalu apalagi
yang kurang?
"Han ta-ke (kakak Han)! Aku membawakan makanan
kesukaaanmu" teriak Cen Hua dengan gembira ketika jarak
mereka tinggal beberapa langkah.
Cen Hua membawa sebuah bungkusan makanan dan
sekendi arak di kedua tangannya. Wajahnya yang putih
menjadi agak memerah karena habis berlari, menjadikannya
semakin tampak cantik dan menggemaskan. Pria mana yang
tidak akan terpesona oleh bunga segar yang sedang mekar-- 15 mekarnya ini? Wongguo Luo yang menyadari kehadirannya
tidak diperlukan lagi, diam-diam meninggalkan tempat itu
dan membiarkan kedua anak manusia itu memadu indahnya
kasih mereka.
"Han ta-ke, aku bawakan bebek panggang
kesukaanmu. Ini adalah masakan juru masak Huo Wang-ye
sendiri. Panas-panas aku bawa ke sini supaya bisa segera
dimakan" kata Cen Hua sambil mulai mengeluarkan
masakan dari tempatnya ke dalam mangkuk kecil.
"Wah, sedap sekali baunya! Aku tiba-tiba merasa
sangat lapar" kata Han Cia Pao sambil memandangi
masakan yang sedang ditata Cen Hua dengan gembira
sekali.
"Aku tahu Han ta-ke pasti sangat lapar setelah
berlatih seharian. Bahkan hawa tempat ini saja masih terasa
dingin. Nah ini aku bawakan arak untuk menghangatkan
badan" kata Cen Hua sambil menuangkan arak ke dalam
cangkir dan diberikan kepada Han Cia Pao yang langsung
habis dalam sekali teguk.
"Ahhhh! Arak bagus! Pasti ini adalah arak persediaan
istimewa milik Huo Wang-ye juga?!" tanya Han Cia Pao
sambil mengambil secangkir arak lagi.
"Benar, ini juga arak istimewa milik Huo Wang-ye"
jawab Cen Hua.- 16 "Selama beberapa bulan kita berada di Chi Nan ini,
Huo Wang-ye selalu memperlakukan kita dengan baik
sekali. Aku merasa malu karena hanya bisa menjadi beban
saja bagi Yang Mulia Huo Wang-ye" kata Han Cia Pao
sambil menghela napas panjang.
"Han ta-ke, jangan berkata demikian. Huo Wang-ye
adalah seorang yang tulus dan menghargai para pahlawan.
Selama ini ia juga sangat mengkhawatirkan keadaan kakak,
bahkan saat kakak masih belum sadar Huo Wang-ye sering
menengok keadaan kakak di kamar. Huo Wang-ye sangat
baik dan perhatian" kata Cen Hua.
"Aku tahu, karena itu aku atas nama keluarga Han
pasti akan membalas segala kebaikannya nanti" kata Han
Cia Pao sambil mulai menikmati arak dan makanan bebek
panggang dengan nikmat sekali.
Cen Hua dan Han Cia Pao bercakap-cakap sambil
makan di tepian sungai Qi sampai hari menjelang sore.
Memang waktu tidak berarti bagi mereka yang tengah
dilanda asmara, demikian pula dengan Cen Hua dan Han Cia
Pao. Apalagi pemandangan indah sungai Qi di belakang
wisma Huo Wang-ye membuat mereka betah berlama-lama
di sana.
"Tuan muda Han!" tiba-tiba terdengar teriakan
seorang pelayan memanggil.
Pelayan yang sudah cukup berumur itu tiba dengan
terengah-engah di depan Han Cia Pao dan Cen Hua. Pelayan- 17 itu segera memberi hormat kepada mereka berdua dan
menyampaikan pesan Huo Wang-ye.
"Tuan muda Han, anda dipersilakan menemui Yang
Mulia Huo Wang-ye di aula utama segera. Yang Mulia Huo
Wang-ye menunggu kedatangan anda" kata pelayan itu.
"Ada apakah gerangan?" tanya Han Cia Pao heran.
"Hamba tidak tahu, tapi beberapa tamu lainnya juga
diminta Yang Mulia Huo Wang-ye menghadap" jawab
pelayan itu. Yang dimaksud pelayan itu beberapa tamu
lainnya pastilah teman-teman mereka dari Tien Lung Men.
"Baiklah, sampaikan pada Yang Mulia Huo Wang-ye
aku akan segera ke sana" kata Han Cia Pao yang segera
disambut oleh pelayan tua itu dan mengundurkan diri
kembali ke wisma.
"Han ta-ke, kita sudah beberapa bulan di sini dan baru
kali ini Huo Wang-ye memanggil kita semua. Tentunya ada
sesuatu yang penting yang akan dibicarakan olehnya.
Segeralah menuju aula utama" kata Cen Hua.
"Benar, pasti ada sesuatu yang penting. A Hua,
engkau kembalilah dulu. aku akan menemuimu nanti setelah
selesai bertemu Huo Wang-ye" kala Han Cia Pao sambil
membantu Cen Hua mengemasi mangkuk dan cangkir
makan mereka.
"Aku akan menemani Huo Fu-ren (nyonya Huo) di
taman belakang Han ta-ke bisa menemuiku di sana nanti- 18 setelah selesai" kau Cen Hua sambil berjalan beriringan
dengan Han Cia Pao kembali ke wisma Huo Wang-ye.
Mereka baru berpisah di dekat bangunan utama. Cen Hua ke
kiri menuju taman belakang sedangkan Han Cia Pao ke
kanan menuju aula utama.
Ketika Han Cia Pao tiba di aula utama, sudah banyak
orang berkumpul di sana. Song Wei Hao. Wongguo Luo dan
para pendekar Tien Lung Men sudah berada di sana. Wajahwajah mereka tampak serius dan tegang. Sebenarnya apakah
yang tengah terjadi?
"Paman Song, apakah yang telah terjadi?" tanya Han
Cia Pao kepada Song Wei Hao dengan penasaran.
"Ah. Pao-er aku senang engkau sudah datang. Huo
Wang-ye mengumpulkan kita karena ada hal penting..."
"Yang Mulia Huo Wang-ye tibaaaaaaaaaa!" Teriakan
prajurit penjaga itu segera membuat suasana aula utama
menjadi sunyi senyap. Semua hadir segera bangkit berdiri
dan berbaris rapi memberi hormat kepada Huo Wang-ye
yang masuk melangkah dengan langkah-langkah lebar, la
memandang ramah kepada semua yang hadir dan setelah
menerima salam hormat segera mempersilakan semua untuk
duduk kembali.
"Teman-teman pendekar semuanya, maatkan atas
panggilan yang mendadak ini. Tentunya kalian semua heran
mengapa aku memanggil teman-teman pendekar semuanya
untuk berkumpul di sini. Mungkin guruku Xiahou Yuan,- 19 bisa menjelaskan maksudku dengan lebih baik. Silakan
guru" kata Huo Wang-ye sambil mempersilakan Xiahou
Yuan maju ke depan.
"Teman-teman pendekar gagah sekalian!" seru
Xiahou Yuan menjura sambil maju ke tengah-tengah, yang
segera disambut dengan seruan semua yang hadir sebagai
balasan.
"Hari ini Huo Wang-ye mengumpulkan kita semua di
sini karena Yang Mulia Huo Wang-ye baru saja mengetahui
ada sebuah surat undangan" kata Xiahou Yuan yang
berhenti sejenak karena menunggu bisik-bisik yang hadir
mereda.
"Sebuah undangan dari Ceng Lu Hui (Partai Jalan
Kebenaran) sudah disebarkan kepada semua partai
persilatan besar-kecil di seluruh dataran tengah. Isinya
mengundang mereka semua untuk hadir dalam acara
penggabungan Ceng Lu Hui dengan partai Hai Sa Bai
(Partai Pasir Laut) dan partai Fung San (Gunung Angin)
pada tanggal enam belas bulan sepuluh di kota Yin
Chuang..." Xiahou Yuan kembali berhenti sejenak sebelum
meneruskan.
"... dan juga untuk memilih ketua persilatan yang baru"
Segera saja ruangan aula utama itu riuh rendah oleh
suara-suara bernada kemarahan. Jelas-jelas Wen Yang ingin
menjadikan Ceng Lu Hui sebagai pemimpin dunia persilatan
yang baru setelah Tien Lung Men dihancurkan. Chang Bai- 20 yang gila kekuasaan pasti menyetujui usul ini dan ditambah
lagi dengan bantuan istana, bukan tidak mungkin ambisi
mereka akan terwujud. Bahkan dengan berani sekali mereka
memilih kota Yin Chuang yang berada di kaki gunung Song
sebagai tempat pertemuan, padahal kuil Shaolin yang
terkenal itu berada di gunung Song! Inilah yang namanya
benar-benar menantang Shaolin. Tampaknya Wen Yang
menggunakan cara-cara yang dulu dipakai Jien Wei Cen
untuk menjadi pendekar nomor satu dunia persilatan yang
disegani yaitu dengan menantang kuil Shaolin. Jika kuil
Shaolin saja tidak keberatan atas pengangkatan Ceng Lu Hui
sebagai partai nomor satu dunia persilatan, mana mungkin
partai yang lain berani menolak mereka?
"Teman-teman pendekar semuanya! Apa pendapat
kalian mengenai hal ini seperti yang disampaikan oleh guru
Xiahou Yuan? Bagaimana pendapat Jenderal Song?" tanya
Huo Wang-ye.
"Hormat Yang Mulia, aku merasa pastilah Wen Yang
dan Huo Cin berada di balik semuanya ini. Mereka
mengangkat diri mereka sendiri menjadi ketua dunia
persilatan, ada dua hal yang bisa dijadikan alasan" jawab
Song Wei Hao sambil bangkit berdiri.
"Oh? Benarkah? Aku ingin tahu pendapat Jenderal
Song" kata Huo Wang-ye penuh rasa ingin tahu.
"Yang Mulia, alasan yang pertama adalah untuk
menjebak kita, sisa-sisa perlawanan dari Tien Lung Men.- 21 Meskipun sekarang Tien Lung Men sudah hancur dan Jien
Pang-cu sudah wafat tapi aku yakin mereka masih takut
terhadap kekuatan kita, karena itu mereka sengaja
menggelar acara ini untuk menjebak kita. Alasan kedua
adalah untuk menguasai dunia persilatan itu sendiri dengan
mengangkat partai mereka sebagai pemimpin menggantikan
Tien Lung Men. Pertemuan yang akan diadakan itu
digunakan untuk menilai partai mana yang membangkang
terhadap mereka sehingga akan mudah untuk dihancurkan
nantinya. Ini termasuk juga kuil Shaolin sehingga tidak
heran mereka memilih kota Yin Chuang sebagai tempat
pertemuan. Kota ini pasti dipilih karena terletak di kaki
gunung Song Shan, tempat kuil Shaolin berada" jelas Song
Wei Hao yang segera disambut anggukan dan seruan setuju
dari para pendekar lainnya.
"Lalu apa saran Jenderal Song untuk hal ini?" tanya
Huo Wang-ye.
"Yang Mulia, keserakahan Huo Cin dan Wen Yang
sudah di luar batas. Mereka adalah iblis-iblis yang harus
segera dihentikan, jika tidak bukan hanya dunia persilatan
yang akan hancur tapi juga dinasti Tang agung ini tidak akan
luput dari mereka" kata Song Wei Hao.
"Jadi maksud Jenderal Song, kita harus melawan?"
tanya Huo Wang-ye.
"Benar Yang Mulia Huo Wang-ye. Kita harus
menghentikan pertemuan itu tapi tidak bisa dengan langsung- 22 karena kita semua sekarang ini boleh dianggap sebagai
buronan kerajaan. Aku akan menulis surat kepada teman
lamaku di Han Jin untuk memperbolehkan kita bergabung
dalam perguruan mereka di pertemuan nanti. Kita akan
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyamar masuk ke dalam pertemuan itu sehingga mereka
tidak dapat mencegah kita sebelumnya" kata Song Wei Hao
membeberkan rencananya.
"Hahahha, bagus sekali rencana Jenderal Song. Tidak
heran anda selama ini menjadi jenderal andalan Yang Mulia
Kaisar" puji Huo Wang-ye.
"Yang Mulia terlalu memuji" kata Song Wei Hao
merendah.
"Bagaimana dengan pendapat guru Xiahou?" tanya
Huo Wang-ye lagi.
"Yang Mulia, menurut hamba ini adalah jalan terbaik
yang bisa kita lakukan sekarang. Hanya saja kita semua
tidak bisa menyamar bersama-sama karena pasti akan
banyak yang sudah kenal dengan wajah kita. Mungkin perlu
dipilih beberapa orang saja untuk ikut dalam pertemuan ini
sedangkan sisanya bisa mengamati dari jauh dan turun
tangan jika diperlukan nanti" kata Xiahou Yuan
memberikan saran.
"Baiklah, memang benar apa yang guru Xiahou
katakan. Teman-teman pendekar semuanya, apakah ada
saran siapa yang akan kita ajukan sebagai jago kita dalam- 23 pertemuan nanti?" tanya Huo Wang-ye kepada semua yang
hadir.
Semua yang hadir di sana kebanyakan adalah bekas
pendekar Tien Lung Men dan sejak kematian Jien Wei Cen
tidak ada satu pun yang mengajukan diri sebagai pimpinan,
termasuk Jien Jing Hui. Maka sekarang ketika diharuskan
memilih seorang wakil, mereka hanya bisa saling
berpandangan saja tanpa berani menunjuk atau ditunjuk.
Tidak ada seorang pun yang berani berkata bahwa dirinya
lebih hebat dari yang lain. Akhirnya malah Wongguo Luo
yang maju ke depan sambil menjura kepada Huo Wang-ye.
"Yang Mulia, hamba Wongguo Luo yang bodoh
hendak mengajukan saran"
"Silakan pendekar Wongguo" kata Huo Wang-ye
mempersilakan.
"Yang Mulia, hamba mengusulkan agar tuan muda
Han Cia Pao yang diberi tugas penyamaran ini" kata
Wongguo Luo yang segera saja menggegerkan ruangan aula
utama itu. Bahkan Han Cia Pao sendiri juga terkaget-kaget.
"Maksud pendekar Wongguo?!" tanya Huo Wang-ye
ragu-ragu.
"Yang Mulia, wajah tuan muda Han Cia Pao tidak
terlalu dikenali oleh Wen Yang dan kawan-kawannya
sehingga lebih mudah baginya untuk menyamar" jawab
Wongguo Luo menegaskan.- 24 "Pendekar Wongguo, tapi nanti yang akan
dihadapinya bukan pendekar sembarangan saja. Apakah
tuan muda Han sanggup menghadapi Wen Yang dan para
anteknya?" tanya Xiahou Yuan tidak yakin.
"Pendekar Xiahou, tuan muda Han Cia Pao sudah
berlatih ilmu tenaga dingin bersama hamba selama beberapa
bulan ini. Hamba yakin ilmunya tidak lebih rendah dari
siapapun yang ada di ruangan ini" kata Wongguo Luo
dengan yakin sekali.
Tentu saja jawaban Wongguo Luo ini semakin
menghebohkan aula utama itu. Secara tidak langsung
Wongguo Luo mengatakan kekuatan Han Cia Pao melebihi
siapapun yang ada di aula ulama itu. Para pendekar Tien
Lung Men seperti Ce Ke Fu dan Wen Shi Mei langsung gatal
tangan ingin menjajal kehebatan Han Cia Pao. Untunglah
Huo Wang-ye segera menyadari situasi yang memanas ini
dan menengahinya.
"Teman-teman pendekar semuanya, tenang!
Pendekar Wongguo, mungkin apa yang anda katakan ada
benarnya, tapi tentu saja kita semua di sini ingin bukti dan
bukan bualan saja. Apakah tuan muda Han bisa maju ke
depan sebentar" kata Huo Wang-ye.
"Hamba Han Cia Pao menghadap Yang Mulia Huo
Wang-ye" kata Han Cia Pao maju ke depan sambil menjura
hormat kepada Huo Wang-ye.- 25 "Kau tentu sudah mendengar apa yang barusan
dikatakan pendekar Wongguo tentang dirimu. Bagaimana
tanggapanmu sendiri tentang hal ini?" tanya Huo Wang-ye.
"Yang Mulia, hamba tidak berani mengatakan diri
hamba mampu untuk tugas ini tapi jika memang harus maka
hamba pasti akan melaksanakannya" kata Han Cia Pao
dengan mantap.
"Guru Xiahou, bagaimana pendapatmu tentang hal
ini?" tanya Huo Wang-ye meminta pendapat Xiahou Yuan.
"Huo Wang-ye, kata-kata saja tentu tidak akan
menyelesaikan persoalan. Butuh pembuktian dari tuan muda
Han bahwa ia memang mampu mengemban tugas berat ini"
jawab Xiahou Yuan.
"Maksud guru Xiahou?" tanya Huo Wang-ye ingin
penegasan.
"Pertemuan nanti adalah pertemuan untuk memilih
ketua dunia persilatan yang baru sepeninggal mendiang Jien
Wei Cen, tentunya bakal banyak jago-jago kelas atas yang
datang. Tuan muda Han harus membuktikan dirinya mampu
mengemban tugas ini terlebih dulu. Hamba yakin semua
yang ada di ruangan ini mempunyai pendapat yang sama
dengan hamba" kata Xiahou Yuan memberikan jawaban.
"Baiklah jika demikian, tuan muda Han engkau harus
membuktikan kemampuanmu terlebih dulu sebelum- 26 mengemban tugas berat ini" kata Huo Wang-ye kepada Han
Cia Pao.
"Hamba Yang Mulia" jawab Han Cia Pao sambil
menjura hormat.
Maka berbondong-bondong semua yang hadir keluar
dari aula utama menuju halaman depan. Semua tampak
bersemangat ingin menyaksikan pertarungan karena selama
beberapa bulan ini mereka hanya diam dan bersembunyi saja
di wisma Huo Wang-ye membuat mereka amat tidak betah.
Sekarang ada pertarungan menarik tentu saja membuat
mereka senang sekali.
"Guru, mengapa mengusulkan murid yang maju
dalam pertemuan para pendekar nanti?" tanya Han Cia Pao
kepada Wongguo Luo.
"Karena engkaulah orang yang paling tepat untuk
tugas ini" jawab Wongguo Luo singkat.
"Apakah murid sanggup?" tanya Han Cia Pao raguragu.
"Percaya dirilah muridku. Sebenarnya engkau sudah
melampaui gurumu ini" jawab Wongguo Luo dengan
tenang.
"Teman-teman pendekar gagah sekalian! Siapakah
yang akan maju beradu jurus dengan tuan muda Han terlebih
dulu?" tanya Huo Wang-ye setelah semua tiba di halaman
depan.- 27 "Yang Mulia, bolehkah hamba angkat bicara?" kata
Wongguo Luo.
"Silakan saja pendekar Wongguo" kata Huo Wangye. "Yang Mulia dan pendekar gagah sekalian! Pada
pertemuan di kota Yin Chuang nanti tentu Wen Yang sudah
menempatkan jagoannya yang paling tangguh untuk
menghadapi para penantangnya. Jadi kurasa agar kita semua
yakin bahwa tuan muda Han Cia Pao sanggup mengemban
tugas berat ini, maka aku usulkan agar ia langsung
menghadapi tiga lawan sekaligus!" kata Wongguo Luo
dengan bersemangat.
Kata-kata Wongguo Luo barusan langsung saja
membuat gaduh semua yang hadir. Tidak saja karena
terkesan meremehkan tapi juga karena semuanya masih
meragukan kemampuan Han Cia Pao yang baru saja
beberapa bulan sembuh dari pingsan berhari-hari.
"Pendekar Wongguo, apakah anda yakin dengan
perkataan anda?" tanya Huo Wang-ye meminta ketegasan.
"Hamba yakin Yang Mulia" jawab Wongguo Luo.
"Baiklah jika demikian, aku tidak tanggung-tanggung
lagi. Aku mengajukan diri untuk mengadu jurus dengan tuan
muda Han" kata Ce Ke Fu sambil maju ke depan.
"Siapa lagi?" tanya Xiahou Yuan menantang mereka
yang hadir.- 28 "Aku, Wen Shi Mei minta diajari beberapa jurus" kata
Wen Shi Mei sambil menjura maju ke depan.
"Baiklah, jika demikian aku juga tidak sungkan lagi
menemani kalian berdua bermain beberapa jurus. Aku
Xiahou Yuan akan turut meramaikan" kata Xiahou Yuan
sambil melepaskan roda emasnya yang melingkar di
bahunya.
"Guru Xiahou dan para pendekar, ingatlah bahwa
pertarungan kali ini hanya untuk menguji kemampuan.
Jangan sampai ada yang terluka tidak perlu" kata Huo
Wang-ye mengingatkan.
"Baik Yang Mulia" jawab mereka bertiga serempak.
Han Cia Pao merasa sedikit gentar melihat tiga
pendekar senior yang sudah mengajukan diri menghadapinya itu. Xiahou Yuan si Roda Emas adalah salah satu dari
San Ta Wang Pao (Tiga Besar Pengawal Kerajaan) yang
sudah tidak perlu diragukan lagi kemampuannya. Ce Ke Fu
dan Wen Shi Mei adalah dua dari Si Sao Tien Lung (Empat
Naga Langit Muda) yang merupakan andalan mendiang Jien
Wei Cen dalam memperluas pengaruhnya dulu. Ketiganya
adalah pendekar hebat yang sulit dicari tandingannya,
apalagi jika ketiganya bergabung. Han Cia Pao merasa
belum yakin dengan kemampuannya karena belum teruji
setelah ia sembuh tapi Wongguo Luo menepuk punggungnya memberikan semangat sebelum mundur ke pinggiran
lapangan.- 29 "Baiklah tuan muda Han Cia Pao, kita bisa mulai"
kata Huo Wang-ye sambil mengambil tempat duduk yang
telah disediakan para pelayannya.
"Terima kasih Yang Mulia" jawab Han Cia Pao.
Han Cia Pao kini berhadapan dengan ketiga pendekar
hebat itu. Ia mulai mengerahkan seluruh tenaganya karena
tidak berani bermain-main dengan ketiga lawannya. Hawa
tenaga dingin langsung dirasakan oleh semua yang hadir di
sana. Suhu udara terasa semakin dingin di halaman depan
itu meskipun matahari bersinar dengan terang. Huo Wangye yang juga menguasai ilmu silat dapat merasakan hawa
tenaga dingin luar biasa yang bergejolak keluar dari dalam
tubuh Han Cia Pao. Ketiga pendekar lawannya juga
merasakan hal yang sama sehingga amat terkejut karena
menyadari tenaga dalam Han Cia Pao amat luar biasa.
Mereka tidak berani meremehkan Han Cia Pao dan bersiap
dengan sekuat tenaga juga.
"Mulai!" teriak Xiahou Yuan sambil maju
menyerang.
Gerakan Xiahou Yuan yang melesat bagaikan anak
panah itu benar-benar mengejutkan Han Cia Pao. Roda emas
Xiahou Yuan berputar bagaikan gasing mengincar dadanya.
Han Cia Pao berkelit menghindar dengan membuang
tubuhnya ke kanan, tapi segera disambut sodokan maut Wen
Shi Mei yang mengincar ulu hatinya. Kali ini Han Cia Pao
tidak bisa menghindar lagi dan terpaksa menangkis- 30 sodokan. Lengannya dikibaskan untuk menangkis serangan
sodokan tangan Wen Shi Mei tapi yang terjadi kemudian
amat mengejutkan Han Cia Pao. Jelas-jelas ia berhasil
menangkis sodokan Wen Shi Mei, tapi tangan lawan
berubah bagaikan ular tak bertulang yang bisa membelit
lengannya!
Ini memang jurus maut Wen Shi Mei dari barisan
jurusan Ular Hitam miliknya, jurus Hei Se Yi Tien (Ular
Hitam Menuju Langit) yang mampu menggeser urat dan
tulang hingga menjadi lentur sekali. Jurus ini mirip dengan
ilmu Yi Cin Cing (Sutra Penggeser Urat) dari Shaolin tapi
masih kalah jika dibandingkan dalam hal tenaga. Sungguh
jurus yang hebat dan sukar dicari bandingannya!
Han Cia Pao berusaha sekuat tenaga melepaskan
lengannya yang terbelit sodokan Wen Shi Mei, tapi belum
lagi terlepas, Ce Ke Fu sudah datang dengan dua kepalan
raksasanya. Han Cia Pao menggunakan satu tangannya yang
masih bebas untuk menahan gempuran tinju besi raksasa itu.
Ia tidak mempunyai pilihan lain karena tenaga lembut Wen
Shi Mei amat sukar untuk dilepaskan.
"Bukkk!"
Han Cia Pao terdorong beberapa langkah ke belakang
sambil menyeret Wen Shi Mei sedangkan Ce Ke Fu
terhuyung ke belakang sedikit. Kedua tinju Ce Ke Fu yang
menghantam telapak Han Cia Pao terasa mati rasa karena
dingin sekali sedangkan lengan Han Cia Pao kesemutan- 31 sampai ke pangkal bahu karena tinju Ce Ke Fu yang kuat
dan bertenaga. Tidak heran bila ia dijuluki Pei Tie Siung
(Beruang Besi Utara).
"Lepas!" teriak Han Cia Pao berusaha mengguncangkan lengannya yang masih terbelit Wen Shi Mei.
"Cia Pao, jika memang engkau berkemampuan, coba
kau lepaskan lilitan Hei Se Yi Tien milikku ini" balas Wen
Shi Mei sambil tersenyum penuh kemenangan melihat Han
Cia Pao kesulitan melepaskan diri dari belitannnya.
Han Cia Pao merasa penasaran sekali karena ia sudah
berusaha sekuat tenaga tapi masih juga belum bisa terlepas
dari belitan tangan Wen Shi Mei. Ia hendak menggunakan
tangan satunya yang masih bebas namun takut akan ikut
terbelit jurus aneh Wen Shi Mei itu sehingga ia
mengurungkan niatnya. Sebagai gantinya Han Cia Pao
mengerahkan tenaga dinginnya ke lengan yang terbelit itu.
Hawa dingin itu begitu dahsyat sehingga sebentar saja
lengan Han Cia Pao sudah terselimuti butiran es. Tangan
Wen Shi Mei yang membelit lengan Han Cia Pao juga
langsung membiru dan beku.
"Aihhh!" jerit Wen Shi Mei kesakitan sambil
melepaskan belitannya tangannya yang terasa amat sakit
karena kedinginan itu.
Belum sempat Han Cia Pao bernapas lega, roda emas
milik Xiahou Yuan sudah berdesing kembali menyerang
perutnya. Kali ini Han Cia Pao tidak bisa mengelak lagi dan- 32 harus menerima serangan langsung. Roda emas
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghantam lengan Han Cia Pao dengan telak dan getaran
tenaga Xiahou Yuan terasa olehnya sampai di pangkal
lengan. Serbuan selanjutnya tidak kalah ganasnya. Xiahou
Yuan sengaja menyerang dengan sungguh-sungguh untuk
menguji kemampuan Han Cia Pao. Bagi Xiahou Yuan lebih
baik terluka sekarang daripada terbunuh pada pertemuan
para pendekar nanti. Tidak heran roda emasnya bergerak
amat cepat menyerang semua titik penting di tubuh Han Cia
Pao. Ce Ke Fu juga maju menyerbu berbarengan dengan
Xiahou Yuan sehingga Han Cia Pao benar-benar kerepotan.
Tenaga dalam Han Cia Pao memang sekarang meningkat
luar biasa dibandingkan dulu, tapi pengalaman bertarung
dan jurus tangan kosongnya belumlah terlalu matang. Kini
menghadapi tiga jagoan hebat yang kaya pengalaman
bertempur benar-benar membuatnya kerepotan. Serangan
Han Cia Pao makin lama makin gampang dibaca lawan
sehingga mudah dihindari. Song Wei Hao yang mengamati
dari tepi gelanggang pertarungan menjadi sangat khawatir
melihat perkembangan pertarungan yang tidak baik bagi
Han Cia Pao ini.
"Murid, jangan sungkan-sungkan keluarkan Sie Yen
Ping Chuen (Tinju Es Neraka Beku)!" teriak Wongguo Luo
dari pinggir arena pertarungan.
Semua yang mendengarnya terheran-heran karena
memang jurus ini belum pernah dikenal di kalangan dunia- 33 persilatan. Dulu hanya Pei Mo (Iblis Utara) saja yang
sanggup menguasainya meskipun tidak sempurna,
kemudian ilmu itu diturunkan kepada Wongguo Luo. Sejak
berpisah dari kedua saudara seperguruannya, Wongguo Luo
mengganti nama dan tinggal di desa Pei-an sebagai manusia
biasa. Jadi tidak heran jika ilmu hebat itu sama sekali belum
ada yang mengetahuinya. Han Cia Pao sendiri tidak berani
memakai ilmu Sie Yen Ping Chuen karena takut melukai
ketiga lawannya itu. Wongguo Luo yang mengerti isi hati
Han Cia Pao segera memberi semangat agar tidak usah raguragu lagi.
Han Cia Pao berteriak keras sambil melompat mundur
ke belakang. Ia segera mengambil kuda-kuda kokoh dan
mengerahkan semua hawa dinginnya ke titik tan dian.
Tangannya bergerak melingkar mengelilingi dada dan
berputar mengumpulkan seluruh hawa tenaga dalam
tubuhnya. Segera saja halaman depan wisma Huo Wang-ye
itu menjadi dingin sekali bagaikan puncak musim dingin.
Butiran salju perlahan-lahan berjatuhan dari angkasa karena
dinginnya hawa udara. Semua yang hadir merasa heran
sekaligus kagum atas perubahan mendadak ini. Mereka
semua segera mengeluarkan hawa tenaga dalam masingmasing untuk membentengi tubuh mereka dari udara yang
dingin menusuk tulang. Yang kasihan adalah para pelayan
Huo Wang-ye yang tidak bisa silat. Mereka semua
kedinginan sekali hingga saling merapatkan diri agar tetap
hangat.- 34 "Hahahaa! Tidak heran engkau menjadi murid Sie Yi
(Hujan Salju)! Ilmumu juga tidak kalah dengannya" kata
Xiahou Yuan dengan gembira.
"Sekarang majulah, kita lanjutkan pertarungan ini"
kata Ce Ke Fu sambil bersiap menyerang lagi.
"Ketua Utara hati-hati!" teriak Wen Shi Mei
memperingatkan.
Saat itu Han Cia Pao sudah mengerahkan tenaga
hingga ke puncak. Hawa dingin yang berada dalam
tubuhnya seakan tidak tertahankan lagi dan harus segera
dikeluarkan. Han Cia Pao berteriak keras sambil
menghentakkan kedua telapaknya ke arah ketiga lawannya.
Segera saja hawa dingin luar biasa menyembur keluar
bagaikan bendungan jebol. Wen Shi Mei yang melihat
gelagat tidak baik segera bersiap dan memperingatkan Ce
Ke Fu yang berdiri persis di depan Han Cia Pao. Ce Ke Fu
beruntung karena peringatan Wen Shi Mei barusan
membuat ia mampu berkelit tepat pada saatnya. Hawa
tenaga dingin Han Cia Pao persis lewat di depan dadanya
dan menghajar sebuah pohon besar yang langsung berubah
menjadi sebuah pohon es! Dapat dibayangkan betapa
dahsyatnya hawa tenaga Han Cia Pao itu bila mengenai
tubuh manusia!
Xiahou Yuan dan para pendekar lainnya termasuk
Song Wei Hao benar-benar terkejut melihat kekuatan jurus
Han Cia Pao barusan. Sementara itu Wongguo Luo- 35 tersenyum puas melihat muridnya berhasil mempesonakan
semua pendekar yang hadir. Sedangkan Han Cia Pao sendiri
mengatur napas setelah mengeluarkan tenaga puncak Sie
Yen Ping Chuen (Tinju Es Neraka Beku) dan tidak berusaha
menyerang lagi. Peragaan kekuatannya barusan sudah
cukup membuat ketiga lawannya mengakui keunggulannya.
"Hahahha! Hebat, hebat sekali tuan muda Han Cia
Pao!" puji Huo Wang-ye sambil bangkit berdiri dan
bertepuk tangan yang diikuti oleh semua yang hadir di sana.
"Yang Mulia terlalu memuji" jawab Han Cia Pao
merendah.
"Bagaimana pendapat guru Xiahou sendiri?" tanya
Huo Wang-ye.
"Yang Mulia, tuan muda Han sudah menguasai
sebuah ilmu yang luar biasa dan sukar dicari tandingannya.
Ini merupakan sebuah keberuntungan dari langit untuk
pihak kita. Hamba yakin tuan muda Han akan mampu
memenangkan pertarungan saat pertemuan nanti" jawab
Xiahou Yuan.
"Benar, aku juga merasa demikian. Pendekar
Wongguo Luo, anda sungguh seorang guru yang hebat bisa
mempunyai seorang murid luar biasa dalam waktu singkat"
puji Huo Wang-ye dengan gembira sekali.
"Terima kasih Yang Mulia" kala Wongguo Luo
sambil menjura hormat.- 36 "Baiklah sekarang, karena masalah ini sudah
diselesaikan maka kalian boleh kembali ke tempat kalian
masing-masing. Guru Xiahou, Jenderal Song, pendekar
Wongguo dan tuan muda Han Cia Pao telap bersamaku
untuk pembicaraan selanjutnya" kata Huo Wang-ye
memberikan perintah.
Semua yang hadir segera memberikan hormatnya
sementara Huo Wang-ye meninggalkan halaman depan
diikuti para pelayan dan pengawalnya. Xiahou Yuan, Song
Wei Hao. Wongguo Luo dan Han Cia Pao mengikuti
rombongan Huo Wang-ye dengan perasaan heran. Tidak
biasanya Huo Wang-ye memanggil mereka bersamaan
apalagi ketika rombongan Huo Wang-ye terus berbelok
menuju taman belakang tempat kediaman istri sang
pangeran yang biasanya terlarang bagi orang luar untuk
masuk! Tapi mereka berempat sama sekali tidak berani
bertanya karena perintah langsung Huo Wang-ye adalah
hampir sama tingkatannya dengan perintah Yang Mulia
Kaisar. Perintah langsung seperti ini jika dipertanyakan atau
dilanggar akibatnya bisa berupa hukuman mati!
Ketika akhirnya mereka tiba bersama rombongan
Huo Wang-ye di taman belakang yang memiliki kolam
teratai amat luas, mereka melihat Huo Wang-fei (gelar untuk
istri para pangeran) tengah bercanda bersama ketiga
putrinya dan Cen Hua di paviliun tengah dengan gembira
sekali. Huo Wang-ye mempunyai dua orang putra dan tiga
orang putri dari pernikahannya dengan Wang Mei Lin. Putri- 37 sulung mereka sudah berusia hampir empat belas tahun dan
tumbuh menjadi seorang gadis yang manis dan menarik,
sama seperti Wang Mei Lin saat muda dulu. Putri sulung
Huo Wang-ye dinamai Ling Sien Kung-cu (Putri Ling Sien),
kemudian kedua adiknya yang masih kecil-kecil diberi nama
Ling Hui dan Ling Fei. Sedangkan kedua putra Huo Wangye adalah pangeran Sun dan pangeran Yung yang tinggal di
bagian lain dari wisma. Mereka semua mewarisi kecerdasan
ayah mereka sehingga amat disayang oleh Huo Wang-ye.
Huo Fu-ren melihat kedatangan Huo Wang-ye segera
bangkit berdiri diikuti oleh Cen Hua dan ketiga putrinya.
Mereka bersama-sama memberikan penghormatan kepada
Huo Wang-ye dengan cara layaknya keluarga kerajaan.
Memang meskipun mereka hidup jauh dari istana, tapi
tatakrama dan aturan istana tetap diterapkan dalam
kehidupan mereka. Bahkan secara khusus Huo Wang-ye
mendatangkan guru dari istana di kotaraja untuk mengajar
kedua putranya agar kelak mereka tidak canggung jika harus
kembali ke kotaraja.
"Niang-ce (istriku), aku senang engkau dan ketiga
putri sehat-sehat saja" kata Huo Wang-ye setelah menerima
penghormatan dari keluarganya.
"Ini semua berkat kebijaksanaan Yang Mulia" kata
Huo Fu-ren merendah.
"Ah, kemarilah putri-putriku. Kalian semakin besar
dan cantik saja" kata Huo Wang-ye dengan gembira sambil- 38 menggendong dan memeluk ketiga putrinya. Xiahou Yuan
dan yang lain menunggu dengan sabar di sebelah paviliun
sampai Huo Wang-ye selesai melepas rindu dengan
keluarganya.
"Niang-ce, persilakan tamu-tamu kita ini untuk
duduk" kata Huo Wang-ye sambil menggendong si bungsu
Ling Fei.
"Silakan semuanya" kata Wang Mei Lin
mempersilakan para tamunya untuk duduk di kursi yang
disambut seruan hormat secara bersamaan.
"Nah, karena semua sudah hadir di sini, maka kiranya
istriku yang mengundang kalian semua bisa berbicara
sekarang" kata Huo Wang-ye.
Semua yang hadir saling berpandangan dengan heran
sekali. Bukan suatu kebiasaan umum suatu pertemuan
dipimpin oleh istri pangeran Huo. Tentu ada sesuatu yang
lain yang akan dibicarakan hari ini.
"Para pendekar semuanya, anda semua tentunya
heran mengapa aku mengundang kalian semua pada
pertemuan kali ini" kata Wang Mei Lin sambil memandang
satu persatu yang hadir.
"Tujuanku hari ini mengumpulkan anda sekalian
adalah untuk menyatukan dua keluarga, keluarga Cen dan
keluarga Han" kata Wang Mei Lin sambil tersenyum penuh- 39 arti kepada Cen Hua. Yang disapa hanya menunduk saja
sambil tersenyum malu dengan muka memerah.
"Benar sekali, istriku melihat nona Cen Hua dan tuan
muda Han Cia Pao amat serasi. Karena ayah kedua belah
pihak sudah tiada, maka aku mohon saran wali kedua pihak
atas saran istriku ini" kata Huo Wang-ye menambahkan.
Cen Hua dan Han Cia Pao benar-benar merah
mukanya dan tidak berani saling menatap. Jantung mereka
berdua berdegup kencang sekali. Mereka dapat mengira apa
yang akan dibicarakan oleh Huo Wang-ye dan Wang Mei
Lin yaitu pernikahan mereka!
"Huo Wang-ye, aku sebagai wakil pihak keluarga
Han amat setuju dengan usulan Huo Wang-ye ini" kata Song
Wei Hao sambil tersenyum gembira.
"Aku sebagai guru Han Cia Pao juga setuju" sahut
Wongguo Luo.
"Hahahah, bagus sekali!" tawa Huo Wang-ye dengan
gembira.
"Aku juga sudah membicarakannya tadi dengan Cen
Hua dan ia mengatakan tidak keberatan, benar kan" kata
Wang Mei Lin sambil melirik ke arah Cen Hua.
"Ah, Huo Fu-ren" sahut Cen Hua dengan manja dan
malu-malu mendengar perkataan Wang Mei Lin barusan.- 40 "Nah, karena kalian semua setuju, aku akan
mencarikan hari baik untuk kalian berdua. Bagaimana
pendapat Jenderal Song?" tanya Huo Wang-ye.
"Hamba setuju, Yang Mulia" jawab Song Wei Hao
sambil menjura.
"Bagus! Bagus sekali!" kata Huo Wang-ye sambil
tersenyum lebar.
"Pao-er, apakah engkau setuju dengan usulan kami
ini?" tanya Song Wei Hao sambil menatap wajah Han Cia
Pao yang merah sekali.
"Paman Song, aku mengikuti saran paman" jawab
Han Cia Pao tidak mampu menutupi kegugupannya yang
disambut gelak tawa mereka yang hadir.
"Baiklah jika semua setuju, aku akan segera
mengurus hal ini" kata Huo Wang-ye.
"Pao-er, cepat sampaikan terima kasih kepada Yang
Mulia" kata Song Wei Hao mengingatkan.
"Terima kasih Yang Mulia Huo Wang-ye" kata Han
Cia Pao sambil menjura.
"Hahahha, sudahlah tidak usah terlalu sungkan. Di
rumah ini sudah lama sekali tidak ada acara yang baik. Aku
dan istriku akan senang sekali membuat pesta pernikahan
kalian" kata Huo Wang-ye.- 41 "Terima kasih Yang Mulia" sambut semua bersamasama.
Akhirnya semua meninggalkan paviliun tengah
dengan perasaan gembira sekali. Hanya tinggal Huo Wangye dan Wang Mei Lin yang masih duduk bercakap-cakap.
Ketiga putri mereka sudah digandeng para dayang kembali
ke kamar mereka masing-masing.
"Yang Mulia, apakah ada kabar dari kotaraja?" tanya
Wang Mei Lin.
"Istriku, maksudmu kabar dari pendekar Ma Han
Jiang? Belum, belum ada kabar sama sekali" jawab Huo
Wang-ye.
"Ma ta-ke (kakak Ma) begitu terburu-buru ke kotaraja
ketika mendengar keluarga Yao mendapat tahanan rumah.
Aku khawatir terjadi sesuatu padanya" kata Wang Mei Lin.
"Tenanglah. Ilmu pendekar Ma amat tinggi, tidak
mudah mencari tandingannya. Lagipula mata-mataku pasti
akan mengabarkan jika terjadi sesuatu yang penting di
kotaraja. Niang-ce tidak perlu khawatir" kata Huo Wang-ye
menenangkan.
"Semoga saja demikian. Sedari dulu Ma ta-ke amat
mencintai nona Yao Chuen. Sayang sekali Yao Lao Tai-cin
(Nyonya Besar Yao) tidak mengijinkan mereka bertemu"
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata Wang Mei Lin sambil menghela napas panjang. Ia
teringat kembali peristiwa belasan tahun lampau ketika ia- 42 kehilangan kedua orang tuanya dan pertama kali bertemu
Ma Han Jiang.
"Niang-ce, jangan terlalu banyak pikiran. Sekarang
beristirahatlah, aku masih ada urusan yang harus
kuselesaikan" kata Huo Wang-ye menenangkan.
Wang Mei Lin merendahkan diri memberi hormat dan
berjalan keluar kembali ke kamarnya. Huo Wang-ye sendiri
berjalan menuju ke kamar kerjanya yang berada di tengahtengah paviliun. Di sana sudah menunggu Xiahou Yuan
yang tampak sudah menantikan kedatangannya.
"Salam Yang Mulia" kata Xiahou Yuan sambil
menjura.
"Guru, apakah tamu kita sudah tiba?" tanya Huo
Wang-ye sambil mengangkat tangannya menerima salam
Xiahou Yuan.
"Sudah Yang Mulia. Ia sekarang ada di dalam
menunggu Yang Mulia" jawab Xiahou Yuan.
"Baiklah Guru, mari kita temui dia bersama-sama"
kata Huo Wang-ye sambil masuk ke bagian dalam kamar
kerjanya yang ditutupi selambu sutra. Di sana tampak duduk
seorang yang gagah dan tinggi besar. Wajahnya berwarna
hitam menampakkan kekerasan. Alisnya tebal naik ke atas,
matanya sipit dan bersinar tajam membuat sungkan
siapapun yang menatapnya. Sebuah kulit bulu serigala
berwarna pulih diselempangkan di dada pria itu. Pria itu- 43 segera bangkit melihat kedatangan Huo Wang-ye dan
Xiahou Yuan.
"Teng Cuo Hui memberikan hormat kepada Yang
Mulia Huo Wang-ye".- 44 42. Tiga Penguasa Tebing Setan
"Apakah benar ayahku masih hidup?" tanya Han Cia
Sing dengan gemetar dan tidak percaya.
"Aku tidak berbohong padamu. Aku tahu ini sulit
dipercaya tapi memang ayahmu Han Kuo Li sekarang masih
hidup" jawab Permaisuri Wu dengan tenang dan tegas.
"Di manakah dia sekarang?" tanya Han Cia Sing.
"Ia sekarang ada di sebuah tempat yang aman.
Engkau tidak perlu khawatir" kata Permaisuri Wu dengan
pandangan menyelidik kepada Han Cia Sing.
"Apa bukti ayahku masih hidup? Bukankah ia sudah
dihukum mati di Kuil Kedamaian Abadi?" tanya Han Cia
Sing yang masih tidak percaya itu. Ia tidak ingin mendapatkan berita bohong begitu saja tanpa mempertanyakan
kebenarannya.
"Aku tahu engkau pasti bertanya demikian.
Beruntung sekali hari ini kita ada di kuil ini, sehingga aku
bisa langsung menunjukkan buktinya kepadamu" kata
Permaisuri Wu.
"Bukti?" gumam Han Cia Sing dengan perasaan tidak
karuan. Jika ayahnya memang masih hidup, ia amat ingin
segera bertemu dengannya. Rasa rindu di dalam hatinya
begitu bergejolak terhadap ayah yang sudah tidak
ditemuinya selama bertahun-tahun itu.- 45 Permaisuri Wu berjalan melewati jajaran lilin yang
menyala menuju belakang altar dan mengambil sebuah
kotak kayu yang tampak berdebu dari bawah meja. Ia
membawa kotak kayu itu dan menyerahkannya kepada Han
Cia Sing.
"Bukalah, kau akan mengerti" kata Permaisuri Wu.
Han Cia Sing dengan hati-hati sekali membuka kotak
kayu itu. Ia tidak takut akan jebakan tapi lebih karena
hatinya gentar memikirkan isi kotak kayu itu. Ketika
akhirnya kotak kayu itu terbuka, pancaran sinar logam
tertimpa nyala ratusan lilin menyinari mata Han Cia Sing.
Tangan Han Cia Sing bergetar ketika mengangkat benda
dalam kotak kayu itu, sebuah tombak cagak pendek.
"Tombak ayah" gumam Han Cia Sing.
"Bagus bila engkau masih mengenalinya. Dalam
pertempuran di kuil Yung An, tombak Han Kuo Li putus
jadi dua. Inilah patahan tombak cagaknya" kata Permaisuri
Wu sambil menatap tombak cagak di tangan Han Cia Sing.
"Ayah" kata Han Cia Sing dengan mata berkaca-kaca.
Hatinya terasa sedih sekali mengingat waktu dulu saat ia
sering belajar tombak bersama ayah dan kakaknya di wisma
keluarga Han.
"Di dalam kotak kayu itu masih ada benda lain.
Lihatlah" kata Permaisuri Wu.- 46 Han Cia Sing mengambil sebuah batu giok berukir
berwarna putih dari dalam kotak kayu itu. la ingat batu giok
itu adalah batu giok yang tergantung di pinggang ayahnya.
Meskipun jarang diperhatikan benar-benar, tapi ia yakin
sekali giok itu adalah milik ayahnya karena giok itu aneh
bentuknya seperti terpotong separuh.
"Han Cia Sing, benarkah itu adalah giok milik
ayahmu?" tanya Permaisuri Wu lagi. Han Cia Sing
mengangguk pelan.
"Sekarang lihatlah batu giok milikku ini" kata
Permaisuri Wu sambil meraih ke dalam baju bikuninya. Ia
mengeluarkan sebuah batu giok putih yang hampir sama
persis seperti yang dipegang oleh Han Cia Sing. Kedua giok
itu disatukan dan sambungannya menyatu persis. Kedua
batu giok itu memang adalah potongan dari sebuah batu giok
yang sama!
"Batu giok yang sama?" kata Han Cia Sing dengan
keheranan.
"Aku juga heran sekali ketika melihatnya pertama
kali. Saat itu ayahmu sudah tertangkap oleh pasukan Huo
Cin dan akan dihukum mati keesokan harinya. Huo Cin dan
Wen Yang bermaksud memamerkannya kepadaku sebagai
hasil kemenangannya" kata Permaisuri Wu yang kemudian
berhenti sebentar karena melihat wajah Han Cia Sing
mengeras penuh amarah.- 47 "Saat itu aku sadar bahwa keluarga Han adalah
penolong keluargaku. Ibuku dulu pernah bercerita bahwa
kami pernah ditolong oleh beberapa remaja saat diserang
perampok. Ketika itu aku masih amat kecil sehingga tidak
mengerti, tapi ibuku berkata bahwa siapapun yang
membawa potongan giok putih ini haruslah ditolong karena
ialah yang menyelamatkanku" jelas Permaisuri Wu.
"Jadi ayahku dulu pernah menolong Permaisuri?"
tanya Han Cia Sing sedikit tidak yakin.
"Aku rasa begitu. Kalau tidak mana mungkin ia
memiliki potongan giok putih ini" kata Permaisuri Wu.
"Setelah itu aku berusaha untuk menghindarkan Han
Kuo Li dari hukuman mati. Kematian Han Kuo Li
tampaknya sudah tidak terhindarkan lagi tapi aku berhasil
memanfaatkan sifat kejam dan pongah mereka berdua. Aku
menyarankan agar Han Kuo Li dibuang saja di penjara
bawah tanah untuk mendapatkan kematian yang lebih
perlahan dan menyiksa. Untunglah mereka setuju dan tidak
mencurigaiku. Akhirnya ayahmu dibuang ke penjara bawah
tanah, saat itulah mereka menemukan si Setan Darah Fang
Yung Li masih hidup dan membebaskannya" kata
Permaisuri Wu menjelaskan.
"Huo Cin, Wen Yang kalian benar-benar keji" desis
Han Cia Sing dengan geram sekali.
"Selanjutnya engkau sudah tahu, menteri Shangguan
Yi dan keluarganya dihukum mati. Demikian juga dengan- 48 keluarga Song Wei Hao dan ketiga adikmu. Maaf saat itu
aku tidak bisa lagi menyelamatkan mereka karena Yang
Mulia Kaisar sendiri yang memerintahkan" kata Permaisuri
Wu. Han Cia Sing hanya mengangguk pelan tanpa berkata
apa-apa. Dadanya terasa sesak penuh amarah yang
bergejolak. Keluarganya hancur karena Huo Cin dan Wen
Yang. Dendam darah ini harus dibalaskan, tidak saja untuk
membersihkan kembali nama keluarga Han, tapi juga untuk
menyelamatkan kerajaan dari keangkaramurkaan.
"Han Cia Sing, aku berjanji akan melepaskan ayahmu
dengan satu syarat" kata Permaisuri Wu kemudian setelah
agak lama mereka berdua saling berdiam diri.
"Syarat apakah itu?" tanya Han Cia Sing.
"Tanggal enam belas bulan sepuluh ini di kota Yin
Chuang, Wen Yang mengundang semua tetua persilatan
untuk hadir memperebutkan jabatan ketua persilatan baru
yang ditinggalkan Jien Wei Cen. Kau tentu tahu ini adalah
sebuah pertaruhan besar bagi mereka dan aku yakin segala
cara akan digunakan untuk memenangkan jabatan ketua.
Han Cia Sing, jika engkau berhasil menggagalkan rencana
mereka, maka ayahmu akan kulepaskan dan nama keluarga
Han bisa dibersihkan" kata Permaisuri Wu sambil menatap
tajam kepada Han Cia Sing.
"Maksud Permaisuri?" tanya Han Cia Sing ragu-ragu.- 49 "Rebut jabatan ketua persilatan, maka rencana kedua
penjahat itu akan gagal" jawab Permaisuri Wu dengan
mantap.
"Ketua persilatan?" gumam Han Cia Sing dengan
tidak yakin.
"Benar, ketua persilatan adalah jabatan yang amat
didambakan oleh Wen Yang. Aku yakin bila berhasil
merebut jabatan ini, Wen Yang hendak membantu Huo Cin
mengokohkan kedudukannya di istana. Bila kau berhasil
merebut jabatan ketua persilatan, rencana mereka akan gagal
dan ayahmu akan berkumpul kembali denganmu" kata
Permaisuri Wu melihat keraguan dalam diri Han Cia Sing.
"Tapi jabatan ketua persilatan amat tinggi sehingga
pasti Wen Yang sudah merencanakan hal ini masak-masak.
Hamba tidak yakin bisa merebut jabatan ketua persilatan
ini" kata Han Cia Sing.
"Anak muda, percayalah pada kemampuanmu
sendiri. Dari apa yang kudengar selama ini, aku yakin
ilmumu tidak lebih rendah dari tetua partai manapun.
Menanglah, maka ayahmu akan kembali bersamamu" kata
Permaisuri Wu memberikan alasan.
"Baiklah hamba akan berusaha semampunya" kata
Han Cia Sing sambil menjura hormat.- 50 "Bagus! Satu hal lagi, jangan sampai berita Han Kuo
Li masih hidup terdengar oleh siapapun juga. Tidak juga
kakakmu ataupun Song Wei Hao" kata Permaisuri Wu.
"Mengapa? Mengapa kakakku tidak boleh
mengetahuinya?" tanya Han Cia Sing dengan heran.
"Han Kuo Li bisa hidup sampai sekarang karena Huo
Cin dan Wen Yang mengira ia sudah mati membusuk di
penjara bawah tanah. Jika sampai terdengar kabar bahwa ia
masih hidup, maka mereka akan segera mencari dan
membunuhnya. Saat itu aku tidak akan bisa lagi melindungi
Han Kuo Li. Semakin sedikit orang yang tahu hal ini akan
semakin baik. Nah, kau paham itu sekarang?" tanya
Permaisuri Wu yang disambut oleh anggukan Han Cia Sing.
"Sekarang bawalah tombak dan giok ayahmu itu. Kita
sudah cukup lama berdua di sini, aku khawatir mata-mata
Huo Cin sudah mengetahui kehadiranmu. Ingatlah untuk
datang di kota Yin Chuang tanggal enam belas bulan
sepuluh. Perjuanganmu menentukan mati hidup ayahmu dan
juga nama baik keluarga Han" kata Permaisuri Wu.
"Baiklah, hamba mohon diri dulu. Semoga
Permaisuri Wu panjang umur dan diberkati langit" kata Han
Cia Sing sambil membungkuk dan menjura kemudian
berpaling dan menghilang dari pandangan.
Permaisuri Wu menghela napas dan kembali duduk
meneruskan doanya. Hatinya sekarang lebih tenang setelah
mendapatkan seorang pendukung yang hebat seperti Han- 51 Cia Sing. Paling tidak ia memperoleh tambahan lagi tenaga
untuk melawan Huo Cin dan Wen Yang. Kini ia hanya bisa
berharap Han Cia Sing dapat memenangkan pertarungan di
kota Yin Chuang beberapa bulan lagi.
"Yang Mulia Permaisuri Wu!" seru seseorang di luar
kamar.
"Masuklah" jawab Permaisuri Wu sambil tetap
berdoa dengan hikmat.
"Hamba kasim Huo Cin datang menghadap Yang
Mulia Permaisuri" kata Huo Cin sambil membuka pintu.
"Hmmm" gumam Permaisuri Wu menanggapi salam
Huo Cin sambil terus memejamkan mata berdoa.
"Hamba hendak melaporkan keadaan malam ini
aman-aman saja. Yang Mulia Permaisuri" kata Huo Cin
sambil melirik Permaisuri Wu dengan pinggir matanya.
Wajahnya yang berbedak tebal itu menyunggingkan sebuah
senyuman sinis menghina meskipun samar sekali.
"Baiklah, berjagalah kembali di luar" jawab
Permaisuri Wu sambil tetap berdoa tanpa menghiraukan
Huo Cin sama sekati.
"Baik Yang Mulia Permaisuri. Lalat sekali pun tidak
akan lolos tanpa sepengetahuan hamba" kata Huo Cin
sambil undur diri dan menutup pintu.
Permaisuri Wu menghela napas panjang setelah Huo
Cin keluar. Hatinya merasa tidak enak atas perkataan Huo- 52 Cin barusan. Apakah kasim itu mengetahui kedatangan Han
Cia Sing dan mendengarkan pembicaraan mereka?
Permaisuri Wu menggeleng kepala dengan sedih. Kini tidak
ada lagi yang bisa ia lakukan selain berdoa, berharap agar
rencananya menghadapi keangkaramurkaan bisa berhasil.
Huo Cin sendiri setelah berjalan keluar dari kuil Gan
Ye, ia langsung menuju ke sebuah taman kecil di belakang
kuil di mana sudah menunggu seseorang. Orang itu tinggi
besar dan bercambang, kelihatan kuat dan gagah.
Huo Cin tersenyum melihat pria itu dan langsung
menyapanya dengan ramah.
"Jiang Sen, maaf membuatmu lama menunggu" kata
Huo Cin dengan manja.
"Huh, apa yang kau lakukan di sana? Mengapa
engkau lama sekali?" tanya pria kekar bernama Jiang Sen itu
dengan sebal.
"Maaf, aku harus mengurus beberapa hal. Kau tahu
sendiri keluarga kerajaan itu amatlah merepotkan" kata Huo
Cin berusaha meredakan kemarahan Jiang Sen.
"Baiklah, apakah kita bisa pergi sekarang?" tanya
Jiang Sen dengan tidak sabar kepada Huo Cin.
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, mana bisa. Permaisuri masih berdoa semalaman
di sini. Besok pagi baru kita bisa kembali ke istana" jawab
Huo Cin.- 53 "Huh! Menyebalkan sekali" kata Jiang Sen sambil
mendengus.
"Ah, sudahlah sayangku. Bukankah aku ada di sisimu
sekarang, hmmm?" rayu Huo Cin sambil bergelayut manja
di lengan Jiang Sen.
Pemandangan seperti itu sungguh membuat mereka
yang melihatnya akan terkejut dan muak. Dua orang pria
memadu kasih di taman belakang kuil pada malam hari,
benar-benar suatu hal yang aneh dan tidak lazim. Tapi
begitulah Huo Cin yang telah menjadi manusia kebiri,
ditambah lagi belajar ilmu Pedang Penakluk Iblis yang sarat
hawa yin, sudah benar-benar hampir menjadi seorang wanita
dalam arti yang sesungguhnya. Bahkan kini ia sudah
mempunyai seorang "suami" yang sebelumnya adalah
prajurit rendahan penjaga istana. Huo Cin bertemu Jiang Sen
sepulang dari pertempuran di markas Tien Lung Men, di
mana Jiang Sen dengan telaten sekali merawat luka-luka
bakarnya. Percintaan yang ganjil kemudian tumbuh di antara
mereka berdua dan terjalin mesra hingga sekarang. Wen
Yang sendiri tidak terlalu ambil pusing karena ia sibuk
mengurus pertemuan para pendekar yang akan dilakukan
dalam waktu dekat.
"Kau ini selalu saja sibuk. Barusan kau diangkat oleh
Yang Mulia Kaisar menjadi Pelindung Negara, kemudian
mengurus keluarga Yao yang tidak tahu diri itu. Sekarang
kau sudah sibuk apakah lagi?" tanya Jiang Sen dengan nada
tidak senang.- 54 "Sayangku, keluarga Yao memang merepotkan,
apalagi nenek tua itu mempunyai tongkat naga pemberian
mendiang Kaisar. Empat putrinya tidak dapat kusentuh sama
sekali, hanya bisa diberikan tahanan rumah saja karena
Yang Mulia Kaisar juga tidak bisa bertindak apa-apa.
Padahal mereka jelas-jelas membantu Tien Lung Men dalam
pertempuran melawan para prajurit kerajaan. Benar-benar
keterlaluan" kata Huo Cin dengan geram.
"Lalu urusan adikmu juga" tambah Jiang Sen.
"Ah, sudahlah. Masalah Wen Yang kita bicarakan
nanti saja. Ada masalah yang lebih mendesak sekarang" kata
Huo Cin dengan geram.
"Masalah lagi?" kata Jiang Sen setengah tidak
percaya.
"Tadi datang seorang penyusup masuk ke tempat
Permaisuri Wu berdoa. Kalau aku tidak salah tebak, ia
pastilah Han Cia Sing. Ilmu ringan tubuhnya begitu hebat,
mungkin hanya seorang Shi Chang Sin yang bisa
menandinginya" kata Huo Cin lagi.
"Han Cia Sing ? Maksudmu putra mendiang Han Kuo
Li?" tanya Jiang Sen.
"Benar, bocah busuk yang menggagalkan
kemenangan kita di markas Tien Lung Men. Tadinya aku
berharap ia akan membuat perhitungan dengan Permaisuri
Wu, tapi aneh ia kemudian keluar tanpa berbuat apa-apa.- 55 Pasti ada pembicaraan tertentu yang terjadi di antara mereka
berdua sehingga Han Cia Sing tidak berbuat apa-apa" kata
Huo Cin.
"Maksudmu, mereka berdua merencanakan sesuatu?"
tanya Jiang Sen.
"Amat mungkin demikian, jika tidak pastilah Han Cia
Sing sudah menghabisi Permaisuri Wu yang telah
membunuh keluarganya" jawab Huo Cin dengan senyum
sinis.
"Lalu mengapa engkau biarkan bocah busuk itu lolos
begitu saja?" tanya Jiang Sen dengan sebal.
"Lolos? Siapa yang berkata aku membiarkannya
lolos? Bocah busuk itu tidak akan melihat matahari terbit
esok hari" kata Huo Cin dengan yakin.
"Oh? Bagaimana?" tanya Jiang Sen.
"Aku sudah menyuruh Kui Ya San Cu (Tiga
Penguasa Tebing Setan) untuk menghabisinya" jawab Huo
Cin. "Tiga Penguasa Tebing Setan? Tiga orang aneh yang
datang beberapa waktu lalu itu?" tanya Jiang Sen dengan
gemetar mengingat pertemuannya waktu itu. Pada dasarnya
Jiang Sen bukanlah seorang pemberani, hanya saja sifatnya
kasar dan suka meremehkan sehingga terlihat berani. Tiga
Penguasa Tebing Setan yang mempunyai hawa membunuh- 56 luar biasa tentu saja menggetarkan hati mereka yang
pengecut.
"Iya benar, Tiga Penguasa Tebing Setan akan
menghabisi bocah busuk itu" jawab Huo Cin.
"Tapi bukankah saat itu mereka agak ragu-ragu untuk
membantu kita? Bahkan Wen Yang sampai harus
memberikan banyak wanita cantik untuk menghibur
mereka" kata Jiang Sen dengan nada sebal.
"Semua orang mempunyai harga tertentu. Semua
orang dapat dibeli, tidak terkecuali Kui Ya San Cu" kata
Huo Cin sambil tersenyum sinis.
"Jadi apakah Kui Ya San Cu dapat mengalahkan
bocah busuk itu? Bukankah katamu ia sangat hebat dalam
pertempuran di Yi Chang?" tanya Jiang Sen lagi.
"Sayangku, jangan khawatir. Kali ini bocah busuk itu
meskipun tumbuh sayap, ia tidak akan lolos" kata Huo Cin
sambil menyandarkan kepalanya di dada Jiang Sen dengan
mesra sekali.
*** "Aduh, menyebalkan sekali. Mengapa Cia Sing pergi
lama sekali belum kembali?!" seru Ma Xia sambil
menghentakkan kakinya.- 57 "Eh, nona besar Ma, bukankah lebih baik jika
beristirahat saja di sini sambil menunggu Cia Sing kembali.
Kau pikir dengan marah-marah ia akan cepat kembali?!
Kemarahanmu hanya membuat kami bertiga tidak dapat
beristirahat" kata Yung Lang sambil memeluk Pedang Elang
Emasnya bersandar di bawah sebuah pohon besar.
"Bertiga?! Bukannya hanya kau seorang yang doyan
tidur? A Yuan dan Lin Tung dari tadi juga mencemaskan
Cia Sing, tidak seperti dirimu yang tukang tidur!" kata Ma
Xia dengan sengit sekali.
"Sudahlah kalian berdua jangan bertengkar saja. Seisi
hutan ini bakal terbangun oleh pertengkaran kalian berdua"
kata Lin Tung berusaha menengahi kedua sahabatnya itu.
"Iya, ya baiklah. Aku mengalah kepada nona besar"
kata Yung Lang dengan malas.
"Huh!" dengus Ma Xia sebal.
"Kira-kira apa yang terjadi dengan Cia Sing ya? Ia
memang sudah cukup lama pergi" kata Lin Tung sambil
berusaha melihat kegelapan hutan malam itu.
Mereka berempat diminta Han Cia Sing untuk
menunggu di pinggiran hutan sebelah barat kuil Gan Ye
karena Han Cia Sing merasa lebih baik ia pergi sendirian
saja. Ma Xia dan Wongguo Yuan sebenarnya sama-sama
amat mengkhawatirkan dirinya, tapi tetap saja keputusan
Han Cia Sing tidak dapat dibantah. Yung Lang dan Lin Tung- 58 juga merasa lebih baik mereka menunggu saja. Selain
karena takut membebani Han Cia Sing. mereka juga merasa
urusan kali ini adalah urusan keluarga Han sehingga tidak
enak bila orang luar ikut campur. Urusan keluarga akan
lebih enak bila diselesaikan sendiri oleh yang bersangkutan.
"Ah! itu dia datang!" teriak Wongguo Yuan tidak
dapat menyembunyikan rasa senangnya melihat sesosok
bayangan terbang mendekati tempat mereka berkumpul.
"Cia Sing!" panggil Ma Xia dengan tidak sabar. Han
Cia Sing"menggunakan Guo Yin Sen Kung (Ilmu Melintasi
Awan) seolah terbang ke tempat teman-temannya
berkumpul. Ia melayang ringan sekali melewati pepohonan
hutan yang rimbun dan sesekali menggunakan dedaunan
Iblis Dunia Persilatan Karya Aone Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama