Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 21
pohon sebagai pijakan. Mereka yang melihatnya pasti akan
terkagum-kagum menyaksikan kemampuan ringan
tubuhnya yang sudah sempurna itu.
"Maaf sudah membuat kalian lama menunggu" kata
Han Cia Sing segera setelah ia mendarat ringan bagaikan
sehelai bulu di depan teman-temannya berkumpul.
"Cia Sing. mungkin jika kau terlambat datang
beberapa saat lagi. Ma Xia sudah menjadi seekor kuda
karena terlalu sering menghentakkan kakinya" sindir Yung
Lang dengan bercanda.
"Kau..." Ma Xia sampai kehabisan kata-kata
meladeni sindiran Yung Lang.- 59 "Eh, sudahlah kalian jangan mulai lagi. Bukankah Cia
Sing sudah kembali sekarang?!" kala Lin Tung menengahi.
"Cia Sing, kau membawa apakah?" tanya Wongguo
Yuan heran melihat kotak kayu yang dipegang oleh Han Cia
Sing.
"Ini adalah peninggalan ayahku" kata Han Cia Sing
menerawang sambil mengelus kotak kayu itu. Ia teringat
pertemuannya barusan dengan Permaisuri Wu yang
membuatnya mendapatkan kabar yang tidak pernah
disangkanya itu. Hatinya masih bergejolak kacau.
"Cia Sing. mengapa engkau melamun?" tanya Yung
Lang melihat sahabatnya tercenung sambil memegangi
kotak kayu itu.
"Ehm, tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Marilah
sekarang kita kembali ke penginapan. Hari sudah hampir
pagi, mungkin kita masih sempal beristirahat. Maaf kalian
jadi kelelahan karena menunggu aku" kata Han Cia Sing
sambil mulai berjalan ke arah kotaraja.
"Kau benar Cia Sing, hewan-hewan di hutan ini
sungguh cerewet, membuatku tidak bisa tidur dengan tenang
saja" sindir Yung Lang sambil melirik ke arah Ma Xia.
"Sudahlah, jangan dihiraukan" kata Lin Tung
langsung menengahi begitu melihai Ma Xia sudah bersiap
memarahi Yung Lang karena perkataannya barusan.- 60 "Sing ta-ke (kakak Sing). apakah engkau berhasil
mendapatkan kejelasan dari Permaisuri Wu?" tanya
Wongguo Yuan sambil berjalan berjajar dengan Han Cia
Sing.
"Sedikit" jawab Han Cia Sing singkat.
"Jadi apakah yang dikatakan Permaisuri Wu
padamu?" tanya Yung Lang.
"Ia tidak berkata apa-apa?" jawab Han Cia Sing
berbohong.
"Tidak berkata apa-apa?" tanya Yung Lang heran.
Han Cia Sing hanya mengangguk pelan.
"Mana mungkin kau begitu lama pergi tanpa berkata
apa-apa dengan Permaisuri Wu?" tanya Yung Lang
setengah tidak percaya.
Pada saat itu telinga Han Cia Sing yang peka
menangkap sebuah desiran hawa tenaga panas mendekati
tempat mereka berada dengan kecepatan luar biasa. Hawa
tenaga itu selain cepat juga mengandung kekejaman yang
hebat. Siapapun pemiliknya, ia jelas-jelas ingin mencelakai
mereka. Han Cia Sing tidak punya pilihan lain selain
menghadang hawa tenaga luar biasa itu supaya temantemannya tidak ikut terluka.
"Awassss!" teriak Han Cia Sing memperingatkan.
Sesosok bayangan hitam seakan-akan muncul tibatiba dari dalam gelapnya hutan malam. Bayangan itu- 61 meluncur deras ke arah punggung Yung Lang dengan kedua
telapak terbuka. Han Cia Sing buru-buru mendorong
temannya itu ke samping dan menghadang kedua telapak
lawan. Desiran hawa panas terasa di muka Han Cia Sing
bahkan beberapa langkah sebelum lawan tiba.
"Bukkkk!!!"
Han Cia Sing menghantam kedua telapak lawan
dengan kedua tinjunya. Namun betapa kagetnya Han Cia
Sing ketika merasakan tenaga dalam lawan begitu kuat.
Lawannya itu tidak berhasil ia pentalkan malah Han Cia
Sing kini ikut terseret dorongan lawannya yang masih
terbang di udara itu. Setelah lewat tiga tombak, barulah Han
Cia Sing dapat menguasai diri dan mengumpulkan seluruh
tenaga di kedua tinjunya mementalkan lawan. Bayangan
berbaju hitam itu memang terpental ke atas tapi dengan
indahnya dapat bersalto di udara dan melakukan tendangan
ganda ke dada Han Cia Sing yang terbuka!
"Bukkk!!!"
Tendangan ganda lawan telak mengenai dada Han Cia
Sing yang tanpa penjagaan itu. Han Cia Sing merasakan
dadanya terbalik dan ia sendiri terpental dua tombak ke
belakang. Tubuh Han Cia Sing jatuh berdebam dengan keras
di tanah. Segera saja Han Cia Sing melompat bangkit untuk
menghadang serangan lawan selanjutnya namun ia jatuh
berlutut kembali karena merasakan sakit luar biasa di- 62 dadanya. Han Cia Sing muntah darah segar karena luka
dalamnya cukup parah.
"Cia Sing!" teriak Ma Xia dengan khawatir sekali.
Keempat temannya itu segera berlari untuk mendekati
Han Cia Sing tapi telinga Han Cia Sing kembali menangkap
desingan lain yang mengancam jiwa mereka. Desingan kali
ini adalah desingan logam yang amat halus tapi dengan
tenaga tidak kalah dengan tenaga orang yang menghajarnya
barusan. Han Cia Sing buru-buru mencegah temantemannya agar menghentikan lari mereka.
"Berhenti!" teriak Han Cia Sing sambil
menggoyangkan tangannya.
Lin Tung, Yung Lang dan Wongguo Yuan segera
berhenti begitu melihat Han Cia Sing melambaikan
tangannya, tapi Ma Xia terus berlari. Ma Xia yang juga
menguasai Guo Yin Sen Kung meskipun tidak sempurna itu
merasa dapat mencapai tempat Han Cia Sing berada
sehingga ia tidak berhenti. Sebuah bayangan pulih bagaikan
kilat memotong jalur lari Ma Xia dan menyambar
lengannya. Suara tanah meledak melemparkan tubuh Ma
Xia ke arah Han Cia Sing yang segera menyambutnya agar
tidak terjerembab ke tanah. Pasir dan debu beterbangan
kemana-mana menghalangi pandangan mereka semua.
"Cia Sing, kau tidak apa-apa?" tanya Ma Xia dengan
cemas.- 63 "Aku sedikit terluka. Kau sendiri bagaimana?" tanya
Han Cia Sing balik.
"Aku..." Ma Xia tidak sempat menyelesaikan
kalimatnya karena ia merasakan perih yang amat sangat di
pundak kirinya.
Pundak kiri Ma Xia terluka amat lebar dan
mengucurkan banyak darah. Ma Xia segera menotok titik
nadi pundaknya untuk menghentikan pendarahan sedangkan
Han Cia Sing merobek sebagian kain baju lengannya uniuk
membebat luka Ma Xia. Dada Han Cia Sing sendiri masih
terasa sakit sekali tapi ia berusaha tidak merasakan. Bagi
Han Cia Sing lebih penting merawat luka Ma Xia yang
sepintas terlihat parah itu.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa yang mengerikan
menggema di seluruh hutan itu. Suara itu terdengar tinggi
dan aneh seperti tawa orang yang kurang waras. Tawa itu
selain amat menyeramkan dan mendirikan bulu roma. juga
diisi dengan tenaga dalam yang kuat sehingga menyakitkan
mereka yang mendengarnya. Wongguo Yuan yang tidak
bisa silat paling menderita di antara mereka berlima.
"Kurang ajar! Siapa itu?! Kalau berani tampakkan
dirimu!" bentak Yung Lang dengan marah sekali karena
telinganya terasa berdenging.
Sesosok tubuh tinggi besar keluar dari keremangan
dengan jalan yang tertatih-tatih. Sosok itu berpakaian seperti
gembel, compang-camping tidak karuan. Rambutnya- 64 dibiarkan panjang terurai sampai ke bahu. Wajahnya
memakai topeng kayu dengan lukisan wajah yang
menyeramkan. Tangan kanannya memegang pedang yang
sudah karatan sedangkan tangan kirinya menggendong
sebuah boneka kayu yang tidak kalah aneh dengan dirinya
sendiri. Boneka itu berpakaian compang-camping juga dan
memakai topi kayu yang sudah reyot. Wajah boneka itu juga
ditutupi topeng kayu polos tanpa lukisan. Siapakah
sebenarnya manusia aneh yang membawa boneka aneh ini?
"Siapa kau?!" bentak Yung Lang dengan marah.
Manusia aneh itu tidak menjawab malah tertawa
terkekeh-kekeh dengan menyeramkan. Tentu saja ini
membuat Yung Lang makin marah karena merasa
dipermainkan. Tapi Lin Tung memegang tangannya
mencegah Yung Lang maju menyerang. Musuh belum
diketahui jumlah dan kekuatannya sehingga Lin Tung
beranggapan lebih baik mereka bertahan dulu. Apalagi ia
melihat Han Cia Sing dan Ma Xia sedang terluka, amat tidak
menguntungkan bagi mereka untuk membuka pertarungan.
"Hchehe, anak muda memang tidak sabaran" kata
seseorang yang berdiri di belakang mereka dengan tiba-tiba.
Yung Lang dan Lin Tung langsung bersiaga
melindungi Wongguo Yuan dari segala kemungkinan.
Musuh mereka yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang
mereka itu memakai baju hitam dengan jubah hitam pula.
Wajahnya yang sudah cukup berumur tampak cukup tampan- 65 namun matanya memancarkan kekejaman dan kebengisan.
Rambutnya yang sudah beruban di sana-sini diikat dengan
kain sutra berwarna hitam pula. Tubuhnya tinggi tegap dan
tampak kuat berotot. Inilah sosok bayangan yang tadi
menghantam dada Han Cia Sing dengan dua tendangan
mautnya.
"Tidak sabar untuk menjemput maut" kata sesosok
bayangan yang lain yang turun dengan ringan sekali dari
atas pepohonan seperti sehelai daun.
Sosok tubuh berbaju putih dengan ikat pinggang emas
itu tampak tegap dan kuat meskipun usianya pasti sudah
lebih dari setengah abad. Wajahnya dingin dan matanya
bagaikan sebilah pisau tajam. Di tangan kanannya
tergenggam sebuah senjata aneh berbentuk golok melingkar
dengan ukiran dewi bulan. Tampaknya orang inilah yang
tadi telah mencederai Ma Xia dengan senjata anehnya itu.
Selelah hamburan pasir dan debu mereda, barulah
mereka berlima menyadari tanah yang hendak mereka lalui
tadi sudah menggaris seperti teriris. Luka Ma Xia yang
hanya terserempet di pundak saja sebenarnya sudah amat
beruntung jika melihat bekas goresan senjata aneh itu di
tanah. Yung Lang merasa bersyukur ia barusan ditahan oleh
Lin Tung sehingga tidak gegabah dalam bertindak. Ketiga
lawan mereka tampaknya mempunyai kesaktian yang tidak
dapat dipandang sebelah mata saja!- 66 "Siapa kalian sebenarnya?" tanya Yung Lang sambil
meraba gagang Pedang Elang Emas miliknya bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
"Kalian ini benar-benar bocah kemarin sore, sampai
kami pun kalian tidak kenal. Aku heran mengapa si manusia
kebiri itu meminta kita untuk menghabisi kalian. Ilmu kalian
sama sekali tidak istimewa, hanya menghabiskan waktu
saja" kata si baju hitam dengan amat menghina.
"Heheheh, lebih baik jika kita katakan saja siapa diri
kita supaya mereka tidak menjadi arwah penasaran" kata si
pembawa boneka sambil terkekeh menyeramkan.
"Kami adalah Kui Ya San Cu (Tiga Penguasa Tebing
Setan). Aku Chang E Lun Tao Jiao Cai (Jiao Cai si Golok
Roda Dewi Bulan). Ini dua sahabatku, Fei Lung Meng Ao
(Meng Ao si Naga Terbang) dan Feng Wa (Boneka Gila).
Nah sekarang kalian bisa menghadap raja neraka dengan
tenang" kata si baju putih Jiao Cai dengan dingin.
"Tetua bertiga, kami tidak pernah bermusuhan
dengan kalian, mengapa hendak mencelakakan kami?"
tanya Yung Lang memancing.
"Eh, marga Yung, engkau tidak perlu banyak
bertanya. Toh akhirnya juga akan mati" jawab Meng Ao
yang tampaknya mengenali Pedang Elang Emas yang
disandang oleh Yung Lang.- 67 "Eh, teman-teman, kita tidak usah berbalas kata
dengan bocah-bocah bodoh ini. Lekas habisi dan kita bisa
kembali untuk beristirahat" kata Feng Wa dengan gemas dan
berjalan tertatih-tatih mendekati tempat Han Cia Sing dan
Ma Xia berada.
"Siapa di antara kalian yang bernama Han Cia Sing?"
tanya Meng Ao sambil menatap Lin Tung dan Han Cia Sing
bergantian.
"Aku" jawab Han Cia Sing sambil maju ke depan.
"Wah. ternyata kau masih muda sekali ya. Sayang
sekali engkau sudah harus meninggalkan dunia ini sebelum
sempat menikmatinya" kata Meng Ao dengan lagak yang
menyebalkan.
"Meng Ao, kita habisi saja dia dan kita bawa
kepalanya kembali. Pasti banyak hadiah dan wanita cantik
yang telah menunggu kita di sana" kata Jiao Cai sambil
memutar golok rodanya dengan sikap mengancam.
"Cia Sing. mengapa musuhmu banyak sekali?" tanya
Yung Lang.
"Aku juga tidak tahu" jawab Han Cia Sing.
Saat itu luka bekas tendangan Meng Ao di dada Han
Cia Sing sudah sembuh dan tenaganya pulih seperti sedia
kala. Meski demikian Han Cia Sing tidak dapat bergerak
bebas karena harus melindungi Ma Xia yang terluka.
Perkataan ketiga orang aneh barusan yang menginginkan- 68 kepalanya justru membuat Han Cia Sing lebih tenang.
Ketiga lawannya hanya mengincar dirinya saja sehingga
teman-temannya bisa selamat. Sekarang ia hanya perlu
memikirkan cara menghadapi ketiga lawannya yang aneh
dan terlihat tangguh itu.
"Aku duluan!" teriak Meng Ao sambil melejit maju.
Gerakan Meng Ao begitu cepat dan lincah sehingga
tidak salah ia dijuluki Fei Lung (Naga Terbang). Bahkan
Han Cia Sing yang mengerahkan Guo Yin Sen Kung (Ilmu
Melintasi Awan) seakan sukar untuk melepaskan diri dari
kepungan lawan. Han Cia Sing sengaja menarik ketiga
lawannya untuk menjauhi teman-temannya. Ia berharap
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan demikian mereka bisa lolos dan pada gilirannya ia
juga bisa meloloskan diri. Sayang sekali Meng Ao ternyata
tidak mudah untuk dihindari begitu saja. Gerakannya yang
gesit bahkan bisa menekan Han Cia Sing terus-menerus.
"Hehehe, lumayan juga kau bocah! Nah, sudah selesai
engkau bermain-main!" kata Meng Ao sambil terus
mempercepat gerakannya.
Tubuh Meng Ao seakan pecah menjadi beberapa
bayangan mengepung Han Cia Sing dengan rapat sekali.
Han Cia Sing sampai tidak bisa membedakan mana Meng
Ao asli dan mana bayangan karena gerakannya begitu cepat.
Tiba-tiba saja sebuah tapak telah menghajar punggung Han
Cia Sing yang terbuka dengan keras sekali sampai
melemparkannya menabrak sebuah pohon besar. Daun-daun- 69 pohon itu sampai berguguran seiring dengan jatuhnya tubuh
Han Cia Sing berdebam di tanah.
"Fen Lung Ying (Memecah Bayangan Naga)?! Siapa
kau sebenarnya? Mengapa engkau bisa ilmu Tien Lung Ta
Fa (Ilmu Sakti Naga Langit)?" teriak Yung Lang dengan
terkejut sekali ketika menyadari ilmu Meng Ao barusan
adalah salah satu jurus Tien Lung Ta Fa yang terkenal itu.
"Hehhehe, kau jeli juga marga Yung. Ilmu yang
kupakai barusan memang adalah Fen Lung Ying, terus
hendak apakah dirimu?" kata Meng Ao sambil tersenyum
mengejek kepada Yung Lang.
"Sing ta-ke, engkau tidak apa-apa?" teriak Wongguo
Yuan yang merasa khawatir sekali dengan keadaan Han Cia
Sing yang terbanting keras barusan.
"Aku tidak apa-apa" jawab Han Cia Sing sambil
menggoyang-goyang pundaknya yang terasa kebas.
"Wah,wah hebat juga kau bocah. Jarang-jarang ada
yang bisa menahan pukulan Meng Ao" kata Feng Wa sambil
berjalan tertatih-tatih menghampiri Han Cia Sing.
"Sekarang giliranku" kata Feng Wa.
Tiba-tiba saja tubuh Feng Wa yang semula tampak
lemah dan tertatih-tatih itu gerakannya berubah menjadi
amat cepat. Pedang karatan yang dipegangnya langsung
ditusukkan bagaikan petir menyambar ke dada Han Cia
Sing. Beruntung Han Cia Sing sudah bersiap sehingga- 70 berhasil menghindari serangan mendadak itu. Pedang
karatan bagaikan bermata menyerang terus tanpa henti dan
mengepung semua jalan mundur Han Cia Sing. Tanpa ilmu
meringankan tubuh yang baik pastilah tubuh Han Cia Sing
sudah tercincang habis oleh puluhan tusukan dan tebasan
yang seakan tanpa henti itu. Ketika akhirnya Han Cia Sing
berhasil melepaskan diri dari tekanan lawan, pohon di
belakang tempatnya berdiri tadi langsung tumbang dengan
suara keras. Tampaknya tebasan dan tusukan Feng Wa
barusan telah menebang pohon besar itu hingga roboh. Bisa
dibayangkan akibatnya jika tubuh manusia yang terkena
jurus maut itu!
Baru saja Han Cia Sing merasa lega karena terhindar
dari serangan maut Feng Wa, ia merasakan pinggangnya
nyeri dan basah. Ia menunduk melihat bagian pinggang
kanannya dan amat terkejut ketika menyadari pinggangnya
telah terluka cukup lebar dan berdarah. Padahal Han Cia
Sing yakin sekali ia tadi berhasil menghindari semua
serangan Feng Wa. Mengapa ia tetap terluka? Kapan dan
bagaimana jurus Feng Wa melukainya barusan?
"Hehehee, tidak salah aku jauh-jauh kemari. Bocah
busuk, kau rupanya cukup tangguh juga" kata Feng Wa
sambil tertawa menyeramkan.
"Aku Jiao Cai yang akan menghabisimu! Sambut
Golok Roda Dewi Bulan milikku ini!" teriak Jiao Cai sambil
melompat tinggi.- 71 Kali ini Han Cia Sing tidak mau kecolongan lagi. Tadi
ia berhasil dipukul dan dilukai oleh Meng Ao serta Feng Wa
karena tidak memperhitungkan kehebatan lawan. Jiao Cai
yang kelihatan paling tangguh di antara mereka bertiga
pastilah mempunyai ilmu yang lebih aneh dan luar biasa lagi
dibandingkan kedua musuh sebelumnya. Diam-diam Han
Cia Sing mengumpulkan seluruh tenaga Shi Sui Yi Cin Cing
(Sutra Penggeser Urat Pembersih Sumsum) hingga ke
puncak.
Jiao Cai maju menyerbu sambil melemparkan golok
rodanya ke arah kepala Han Cia Sing. Golok itu berputar dan
berdesing di udara bagaikan dewa maut menjemput mangsa.
Han Cia Sing terpaksa menekuk tubuhnya ke belakang
menghindari senjata lawan. Baru saja kembali dalam posisi
tegak, kedua tinju Jiao Cai sudah datang mengincar dada dan
perutnya. Sungguh sebuah serangan gabungan yang
mengerikan. Untunglah Han Cia Sing mampu menahan
kedua tinju lawan. Benturan pertama ini sanggup membuat
lengan Jiao Cai terasa kebas karena tenaga puncak Shi Sui
Yi Cin Cing. Tapi Jiao Cai tidak mudah menyerah begitu
saja. Kedua kakinya ganti menendang dan menekan kudakuda Han Cia Sing.
Lawan terus mendesak dengan hebat hingga Han Cia
Sing hanya bisa mundur dan bertahan saja. Pada satu
kesempatan, Jiao Cai berhasil mengunci kedua tangan Han
Cia Sing dan memeluknya dengan erat sekali. Mula-mula
Han Cia Sing mengira lawan mengajaknya beradu tenaga- 72 dalam sehingga ia sudah bersiap bertarung. Tiba-tiba saja
telinganya menangkap suara desingan di belakang
punggungnya dalam jarak tidak febih dari satu tombak.
Golok Roda Dewi Bulan yang tadi dilemparkan Jiao Cai
ternyata telah berputar kembali dan siap menembus
punggungnya!
Keadaan Han Cia Sing kini benar-benar genting.
Kedua tangannya terkunci rapat oleh lawan sementara di
belakangnya golok roda siap menembus punggungnya.
Mungkin jika tidak ada golok roda yang mengancam di
belakang, Han Cia Sing bisa bertarung untuk membebaskan
tangannya yang terkunci. Tapi sekarang sudah tidak ada
waktu lagi untuk melepaskan diri. Keadaan Han Cia Sing
terjepit antara golok roda dan Jiao Cai, hanya ada sedikit
sekali waktu untuk mengambil keputusan.
Han Cia Sing mengambil tindakan nekad karena
situasinya benar-benar genting. Kedua kakinya dijejakkan
ke tanah dan terbang ke atas mengangkat seluruh tubuhnya.
Tangannya yang terkunci dijadikan pijakan untuk menahan
tubuhnya. Kini ganti Jiao Cai yang dalam bahaya maut
karena dadanya jadi terbuka terhadap serangan golok roda.
Sungguh keputusan yang tepat diambil Han Cia Sing dalam
waktu sesingkat itu untuk menghadapi lawan! Jiao Cai
tersenyum sinis menatap Han Cia Sing yang tengah berada
di atasnya itu. Kuncian tangannya dilepaskan dan tepat
ketika golok roda sudah hampir menebas dadanya, Jiao Cai
menangkap golok roda itu sambil berputar beberapa kali.- 73 Golok roda itupun kembali ke tangan sang pemiliknya
dengan aman tanpa melukainya sedikitpun.
"Hahaha, kau lumayan juga bocah busuk! Aku Jiao
Cai salut kepadamu" kata Jiao Cai sambil menjura kepada
Han Cia Sing.
"Nah, sekarang engkau telah merasakan kehebatan
kami satu persatu. Permainan akan ditingkatkan sekarang,
dua lawan satu bagaimana?" kata Meng Ao sambil maju
menyerbu tanpa menunggu jawaban Han Cia Sing sama
sekali. Feng Wa dan Meng Ao kini maju bersama-sama
menyerang Han Cia Sing dengan lebih ganas. Keempat
teman Han Cia Sing yang menonton dari tepi tempat
pertarungan menjadi amat khawatir. Tadi saja satu lawan
satu sudah kewalahan, bagaimana sekarang jika satu lawan
dua? Han Cia Sing sendiri amat terkejut ketika dirinya
dikeroyok dua lawan luar biasa ini. Tapi ia sudah tidak
punya kesempatan lagi untuk berbantahan. Tapak dan
pedang silih berganti menyerangnya bagaikan kilat
menyambar sehingga menarik napaspun tidak sempat.
Lengah sedikit saja pasti tubuhnya bakal tertusuk dan
terhajar lawan. Han Cia Sing benar-benar memusatkan
seluruh perhatian dan kekuatannya untuk bisa meladeni
kedua lawannya yang luar biasa tangguh ini. Sementara ia
hanya bisa bertahan saja dan mencari celah kelengahan
lawan.- 74 Tiga puluh jurus sudah berlalu dan pertarungan masih
berjalan seimbang. Jiao Cai yang melihat hampir-hampir
tidak percaya ada seorang bocah yang bisa mengimbangi
serangan Feng Wa dan Meng Ao bersamaan selama ini.
Tampaknya apa yang dikatakan kasim Huo Cin kepadanya
bukanlah isapan jempol belaka. Bocah bernama Han Cia
Sing itu memang benar-benar tangguh dan sukar untuk
dikalahkan. Jiao Cai memegang golok rodanya siap untuk
ikut bertempur mengeroyok Han Cia Sing ketika tiba-tiba
sebuah bentakan penuh tenaga dalam mengejutkan semua
yang hadir.
"Huh! Kui Ya San Cu benar-benar tidak tahu malu!
Main keroyok melawan seorang bocah kemarin sore!"
bentak suara seorang pria menggema di hutan malam itu.
Sepasang bayangan berjalan dengan ringan sekali
mendekati tempat pertempuran. Pasangan pria wanita itu
berumur sekitar awal 50 tahun dan berpakaian bagus sekali,
yang pria memakai pakaian sutra hijau dengan sulaman
burung Hong di dada kirinya, bersabuk hijau dan di
pinggangnya tergantung sebatang pedang bersarung hijau.
Wajahnya tampan bersih dan matanya tenang bagaikan
danau tak beriak. Tubuhnya bagus dan tinggi dengan kedua
lengan yang kuat menandakan kekuatan yang terlatih. Sang
wanita memakai baju sutra pula berwarna putih bersih tanpa
sulaman dengan ikat pinggang berwarna merah di mana
tergantung pula pedang bersarung merah yang serasi sekali.
Rambutnya disanggul ke atas dan diikat dengan sehelai- 75 saputangan sutra berwarna putih. Di wajahnya masih
membekas sisa-sisa kecantikannya di masa muda.
"Paman Tien! Bibi Cen!" seru Yung Lang begitu
mengenali siapa yang datang itu.
"Fu Ji Cin Ce Tau (Pasangan Suami Istri Perampok
Bijak)?!" seru Jiao Cai tidak bisa menyembunyikan
kekagetannya.
"Chang E Lun Tao (Golok Roda Dewi Bulan)
ternyata masih ada di dunia, kukira sudah dikirim ke akhirat
oleh Jien Pang-cu" sapa Cen Pai Jao dengan sinis sambil
menjura.
"Istriku, jangan terlalu terus terang begitu" kata Tien
Jing Fung menegur namun dengan nada bercanda.
Feng Wa dan Meng Ao langsung menghentikan
pertarungan mereka dengan Han Cia Sing begitu melihat
kedatangan Tien Jing Fung dan Cen Pai Jao. Mereka
tampaknya sudah kehilangan minat mempermainkan Han
Cia Sing. Nama besar Fu Ji Cin Ce Tau memang sudah
terkenal di dunia persilatan sehingga kedatangan mereka
yang tiba-tiba pastilah membuat kejutan. Kini Kui Ya San
Cu bersiap menghadapi segala kemungkinan pertempuran
baru melawan Pasangan Suami Istri Perampok Bijak itu.
Han Cia Sing sendiri segera bergabung dengan keempat
temannya dan mengambil napas lega karena terbebas dari
serbuan lawan.- 76 "Ada urusan apa kalian datang kemari? Di sini tidak
ada orang kaya untuk kalian rampok" sindir Meng Ao
dengan sinis.
"Ah, saudara Meng Ao anda terlalu berlebihan. Kami
sepasang suami istri hanya mengambil sedikit harta untuk
makan, mana bisa dikatakan merampok" kala Tien Jing
Fung dengan santai sekali menanggapi sindiran Meng Ao.
"Kami berdua mana bisa dibandingkan dengan sancei (bandit gunung) seperti kalian" kala Gen Pai Jao balas
menyindir.
"Hehehehe, bertemu kawan lama memang selalu
menyenangkan" kata Feng Wa sambil berjalan tertatih-tatih
mendekati Tien Jing Fung dan Cen Pai Jao.
"Eit, cukup sampai di sana gembel tua. Aku tahu
kemampuan ilmu pedangmu" kata Tien Jing Fung
memperingatkan Feng Wa agar berhenti dalam jarak dua
tombak dari dirinya.
"Apa mau kalian?" tanya Jiao Cai dengan tidak
senang.
"Ah, tidak mau apa-apa. Hanya sekadar berjalan-jalan
malam karena tidak bisa tidur saja. Kebetulan ada keramaian
jadi kami mampir. Ternyata malah ada pengeroyokan,
benar-benar tidak tahu malu" sindir Tien Jing Fung sambil
mendecakkan lidahnya pura-pura prihatin.- 77 "Benar sekali paman Tien, tiga tetua ini benar-benar
tidak tahu malu. Mereka melukai dan mengeroyok Han Cia
Sing yang jauh lebih muda, apakah mereka pantas disebut
tetua dunia persilatan" kata Yung Lang mengadu dengan
sengit sekali.
"Nah, sudah kalian dengar sendiri tingkah laku kalian.
Sekarang lebih baik kalian pergi saja daripada berita
memalukan ini tersebar luas di kalangan pendekar. Kui Ya
San Cu akan menjadi tertawaan dunia persilatan nantinya"
ancam Tien Jing Fung kepada Kui Ya San Cu.
"Huh! Dasar perampok tua! Kau pikir aku takut
denganmu?" bentak Meng Ao dengan marah sekali.
"Wah, wah sudah tua masih pemarah pula" kata Tien
Jing Fung sambil meraba gagang pedangnya bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
"Eh, jangan gegabah. Percuma saja kita meladeni
pasangan perampok rendah ini. Ayo kita pergi, lain kali kita
selesaikan urusan kita. Jangan takut tidak ada kesempatan"
kata Jiao Cai sambil menahan amarah Meng Ao.
"Aku Tien Jing Fung pasti akan menunggu
kedatangan kalian" kata Tien Jing Fung sambil menjura
kepada ketiga lawannya itu.
Sambil mendengus kesal, ketiga Kui Ya San Cu
melompat dan menghilang dalam kegelapan hutan malam.
Tidak terasa Han Cia Sing dan kawan-kawannya- 78 menghembuskan napas lega ketika melihat musuh mereka
pergi. Bagaimanapun juga mereka harus bersyukur kali ini
mereka bisa lolos dari bahaya maut. Mereka berlima segera
menjura mengucapkan terima kasih kepada Tien Jing Fung
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan Cen Pai Jao atas pertolongan yang diberikan.
"Ah, tidak apa-apa. Kalian semua adalah temanteman Yung Lang, sudah seharusnya kita semua saling
menolong" kata Cen Pai Jao balas menjura.
"Bibi Cen, Paman Tien bagaimana kalian bisa tiba di
tempat ini?" tanya Yung Lang ingin tahu.
"Aku dan bibimu ini mendengar kabar dari seorang
pengikut Tie Tau Hui (Partai Golok Besi) yang melihatmu
di dekat kotaraja tadi sore. Pamanmu Fu Pu Cin meminta
kami untuk mencarimu, takut kalau-kalau kau ada masalah.
Ternyata apa yang paman Fu takutkan benar terjadi" kata
Tien Jing Fung menjelaskan.
"Bagaimana keadaan paman Fu?" tanya Yung Lang
lagi.
"Ia baik-baik saja, hanya saja sekarang luka lamanya
sering kambuh kalau cuaca dingin. Mari kita menuju ke
rumah pamanmu. Aku yakin ia pasti senang melihatmu
kembali, Yung Lang" kata Cen Pai Jao sambil mengajak
mereka semua meninggalkan tempat itu.
"Paman Tien, siapakah ketiga orang tadi yang
dijuluki Tiga Penguasa Tebing Setan? Mengapa selama ini- 79 aku tidak pernah mendengar nama mereka disebut-sebut?"
tanya Yung Lang mohon penjelasan.
"Oh, mereka adalah pesilat golongan tua yang sudah
mengundurkan diri beberapa puluh tahun yang lalu. Aku
juga heran mereka masih muncul lagi sekarang. Mungkin
karena Tien Lung Men sekarang sudah tidak ada sehingga
mereka berani muncul dan membuat kekacauan" kata Tien
Jing Fung menjelaskan.
"Apakah mereka musuh Jien Pang-cu?" tanya Han
Cia Sing.
"Benar. Kau yang bernama Han Cia Sing? Aku tadi
sempat melihatmu bertarung. Ilmumu hebat juga bisa
mengimbangi Feng Wa dan Meng Ao. Ternyata kabar yang
kudengar selama ini tidak salah" kata Tien Jing Fung sambil
memandang Han Cia Sing dengan penuh kekaguman
sehingga Han Cia Sing merasa salah tingkah.
"Paman Tien, paman seharusnya melihat ketika Cia
Sing dikeroyok empat belas pendekar di daerah Yi Chang"
kata Yung Lang sambil menepuk pundak Han Cia Sing
dengan bangga.
"Ah, Yung Lang kau ini terlalu membesar-besarkan"
kata Han Cia Sing merendah sambil melirik sahabatnya itu
agar tidak meneruskan pujiannya.
"Anak muda memang harus mempunyai kekuatan,
barulah akan diakui dan dikenal" kata Cen Pai Jao.- 80 "Ehm, Paman Tien apakah Tiga Penguasa Tebing
Setan adalah musuh Tien Lung Men?" kata Han Cia Sing
berusaha mengalihkan pembicaraan agar tidak tertuju
kepada dirinya.
"Benar sekali, mereka adalah musuh Jien Pang-cu"
kata Tien Jing Fung dengan pandangan menerawang seolah
hendak mengingat kejadian puluhan tahun lampau.
"Kau bisa berjalan?" tanya Cen Pai Jao kepada Ma Xia.
"Bisa, Bibi Cen. Lukaku sudah tidak mengeluarkan
darah lagi" kata Ma Xia.
"Baiklah kalau begitu. Suamiku, kita bisa bercerita
sambil jalan. Sebentar lagi hari sudah pagi. Aku rasa kita
lebih baik segera meninggalkan tempat ini sebelum Kui Ya
San Cu kembali membawa kawan-kawannya yang lain" kata
Cen Pai Jao menyarankan.
Akhirnya mereka bertujuh berjalan bersama-sama
menuju arah timur laut kotaraja. Sambil berjalan mereka
bercakap-cakap mengenai peristiwa yang mereka alami
barusan. Han Cia Sing, Yung Lang, Lin Tung, Ma Xia dan
Wongguo Yuan mendengarkan cerita itu dengan seksama
sekali. Mereka ingin sekali mengetahui siapakah sebenarnya
tiga tokoh kalangan sesat berilmu hebat yang dijuluki Tiga
Penguasa Tebing Setan itu.
Puluhan tahun lalu ketika Jien Wei Cen masih muda
dan gurunya Chi Wei masih hidup, ia mempunyai seorang- 81 saudara perguruan yang usianya sepantaran dengan Jien Wei
Cen. Adik seperguruan Chi Wei itu bernama Meng Ao,
seorang pendekar muda dari wilayah selatan. Sayang sekali
Meng Ao adalah seorang yang sinis dan mudah naik darah
sehingga sering bentrok dengan pendekar lain tanpa sebab
yang jelas. Hal ini membuat Chi Wei sering kali harus turun
tangan menyelesaikan pertengkaran yang dibuat oleh adik
seperguruannya itu.
Ketika Chi Wei kemudian meninggal dunia, tingkah
Meng Ao semakin tidak terkendali, la sering berbuat
sewenang-wenang dan menekan yang lemah. Apalagi
setelah kemudian ia berkenalan dengan pendekar muda sesat
lainnya yaitu Jiao Cai dan Feng Wa, kelakuannya semakin
buruk. Jien Wei Cen yang merasa bertanggung jawab
terhadap dunia persilatan, berusaha mengingatkan paman
gurunya itu. Tapi Meng Ao sama sekali tidak menggubris
apalagi mengingat tingkatnya masih di atas Jien Wei Cen
yang harus memanggilnya sebagai paman guru.
Tindakan Meng Ao yang semena-mena akhirnya
sampai juga pada batasnya. Seorang murid Shaolin yang
berusaha membela saudagar kaya yang diperas Meng Ao
mati terbunuh di tangan Jiao Cai. Kuil Shaolin yang
memandang nama besar Jien Wei Cen menyerahkan hal ini
kepadanya untuk ditangani. Kepercayaan Shaolin ini tidak
disia-siakan oleh Jien Wei Cen yang memang sudah lama
memendam rasa tidak puas atas tingkah paman gurunya itu.- 82 Jien Wei Cen kemudian bertarung hebat dengan
Meng Ao dan berhasil mengalahkannya. Meski sama-sama
menguasai Tien Lung Ta Fa, tapi bakat dan kemampuan Jien
Wei Cen masih setingkat di atas paman gurunya itu. Jiao Cai
dan Feng Wa juga berhasil ditaklukkan Jien Wei Cen.
Ketiganya kalah telak di tangan Pendekar Tangan Dewa
Kaki Iblis itu dan dipaksa bersumpah tidak akan muncul lagi
di dunia persilatan selama Jien Wei Cen masih hidup.
Mereka dipaksa menyingkir ke daerah Shi Chung di barat
dan mengasingkan diri di sebuah jurang tebing. Ketiganya
menjadi semakin aneh dan kejam karena terlalu lama
mengasingkan diri dan mendalami ilmu silat sehingga tidak
ada satupun orang yang berani mendekati daerah tempat
mereka berada. Lama-kelamaan beredar kabar dari mulut ke
mulut bahwa daerah jurang tebing tempat mereka berada
adalah tebing setan. Dari sanalah julukan Tiga Penguasa
Tebing Setan berasal.
Kabar kematian Jien Wei Cen kelihatannya tiba juga
di Tebing Setan sehingga akhirnya mereka bertiga berani
keluar dari persembunyiannya selama ini. Wen Yang yang
mempunyai banyak mata-mata dan pengikut di seluruh
negeri langsung memikirkan cara untuk memikat ketiga
pendekar sesat ini ke pihaknya. Emas, perak dan banyak
wanita cantik akhirnya berhasil memikat ketiganya
ditambah lagi dengan janji bahwa pada pertemuan pendekar
nanti ketiganya akan dijadikan tetua dunia persilatan yang
sesungguhnya menggantikan Jien Wei Cen. Tawaran seperti
ini mana mungkin ditolak oleh mereka bertiga.- 83 "Jadi sebenarnya Meng Ao itu masih paman guru
mendiang Jien Pang-cu?" tanya Lin tung berusaha
meyakinkan.
"Benar sekali. Amat disayangkan sifatnya kasar dan
kejam sehingga harus diasingkan selama puluhan tahun oleh
murid keponakannya sendiri" jawab Tien Jing Fung.
"Tidak heran tadi Meng Ao bisa menguasai jurusjurus Tien Lung Ta Fa mirip yang dikuasai oleh mendiang
Jien Pang-cu" kata Yung Lang sambil mengangguk-angguk
mengerti.
"Sekarang mereka sudah kembali ke dunia persilatan.
Entah bencana apalagi yang akan terjadi nantinya" kata Cen
Pai Jao sambil mengeluh.
"Istriku, aku yakin nanti banyak musuh-musuh lama
mendiang Jien Pang-cu yang akan bangkit. Tien Lung Men
sekarang sudah hancur, mereka pasti akan memanfaatkan
kesempatan ini untuk membalas dendam. Semoga saja
langit melindungi kita semua" kata Tien Jing Fung lagi.
"Ada sebuah rumah di depan" kata Wongguo Yuan
sambil menunjuk ke depan.
"A Yuan, itu adalah rumahku" kata Yung Lang
dengan gembira.
"Benarkah? Berarti kita sudah tiba ?" tanya Ma Xia
dengan lega.- 84 "A Xia, kau pasti sudah lelah. Tahan sebentar lagi kita
akan sampai" kata Han Cia Sing sambil memandang wajah
Ma Xia yang pucat dengan khawatir.
"Cia Sing, aku tidak apa-apa" kata Ma Xia dengan
perasaan senang sekali karena merasa diperhatikan oleh Han
Cia Sing.
Yung Lang segera berlari-lari kecil menuju rumah
yang berada di tepi hutan itu. Rumah itu cukup besar dan
mempunyai halaman yang lapang. Beberapa ekor kuda
tertambat di sebelah kanan pagar rumah. Cahaya terang
memancar dari jendela rumah menandakan orang di
dalamnya masih belum tidur. Bahkan setelah agak dekat,
Yung Lang dapat mendengar suara percakapan orang-orang
di dalamnya. Salah satu suara itu membuat Yung Lang
berhenti dan tertegun. Tidak salah lagi, suara itu adalah
suara Lung Wang Tao Feng Ming (Feng Ming si Golok Raja
Naga), salah satu dari San Ta Wang Pao (Tiga Besar
Pengawal Kerajaan) yang ikul menyerbu markas Tien Lung
Men beberapa waktu lalu.- 85 43. Beda Pendapat
"Pao-er, Hua-er. maaf kalian harus pergi jauh seperti
ini setelah baru saja menikah" kata Song Wei Hao sambil
merapatkan kudanya ke arah kereta kuda yang dikusiri oleh
Han Cia Pao dan Cen Hua.
"Tidak apa-apa, paman Song. Kami justru senang
dapat keluar setelah lama sekali hanya berdiam di kediaman
Huo Wang-ye. Kami anggap ini sebagai hadiah pernikahan
kami, bukankah begitu istriku?" kata Han Cia Pao sambil
tersenyum lebar kepada Cen Hua yang duduk di
sampingnya.
"Benar paman Song, aku juga merasa senang dapat
kembali melanglang buana setelah sekian lama
bersembunyi" kata Cen llua membenarkan.
"Tapi kita harus tetap hati-hati, apalagi jika nanti
sudah dekat daerah Yin Chuang. Jangan sampai penyamaran
kita diketahui oleh mata-mata Ceng Lu Hui (Partai Jalan
Kebenaran)" kata Song Wei Hao memperingatkan.
Memang saat itu mereka lengah dalam perjalanan
menuju ke kota Yin Chuang. Mereka sudah tiba di kota
Chen Liu setelah melakukan perjalanan selama hampir lima
belas hari dari kediaman Huo Wang-ye. Jarak mereka
dengan kota Yin Chuang sudah tidak terlalu jauh, hanya
tinggal melewati kota Xu Chang saja dan mereka akan
sampai. Tidak heran jika perjalanan mereka bisa dilakukan- 86 dengan santai. Bagi Han Cia Pao dan Cen Hua yang baru
menikah satu bulan, perjalanan ini benar-benar seperti bulan
madu saja bagi mereka berdua.
Satu bulan yang lalu di kediaman Huo Wang-ye
dilakukan pesta pernikahan sederhana untuk Han Cia Pao
dan Cen Hua. Pesta itu memang tidak bisa terlalu meriah
karena selain masih berduka atas kehancuran Tien Lung
Men, juga keberadaan Han Cia Pao sebagai buronan negara
tentu amat menyulitkan jika sampai ketahuan. Namun
meskipun sederhana, semua yang hadir merasa amat
berbahagia melihat pasangan muda itu. Han Cia Pao
diwakili oleh Song Wei Hao dan Wongguo Luo sebagai
keluarga karena kondisi Ye Ing yang masih belum membaik,
sedangkan Cen Hua diwakili oleh Wang Mei Lin. Mereka
semua minum arak kebahagiaan dengan gembira sekali
malam itu. Bahkan para pendekar Tien Lung Men pun juga
seakan melupakan sejenak kesedihan mereka dan ikul
bergembira bersama.
Beberapa hari kemudian, datang surat balasan dari
teman Song Wei Hao di Han Jin yang menyetujui usulan
untuk menentang Ceng Lu Hui dalam pertemuan di Yin
Chuang nanti. Song Wei Hao sangat senang atas jawaban ini
sehingga segera menghadap Huo Wang-ye dan meminta ijin
untuk melakukan rencana yang mereka sepakati bersama.
Huo Wang-ye setuju dan memberikan bekal uang serta
kereta kuda pedagang sebagai penyamaran mereka. Bahkan
Han Cia Pao sekarang memakai kumis dan jenggot palsu- 87 agar tidak mudah dikenali pasukan kerajaan ataupun matamata Ceng Lu Hui nantinya.
Para pendekar Tien Lung Men juga mohon diri dari
kediaman Huo Wang-ye. Mereka sudah lama tinggal di
kediaman Huo Wang-ye sehingga merasa tidak enak juga
lama-lama di sana. Ce Ke Fu dan Wen Shi Mei juga merasa
mereka harus mempersiapkan diri menghadapi pertemuan
pendekar yang akan tiba tidak lama lagi. Mereka ingin
mengumpulkan sisa-sisa anak buah Tien Lung Men yang
masih setia untuk membalas dendam kepada Ceng Lu Hui
(Partai Jalan Kebenaran). Huo Wang-ye pun tidak menahan
mereka lebih lama lagi dan bermaksud memberikan bekal
uang namun ditolak dengan halus oleh Jien Jing Hui.
Akhirnya semua pendekar yang selama beberapa
bulan ini bersembunyi di kediaman Huo Wang-ye mohon
pamit. Di satu pihak Song Wei Hao, Han Cia Pao dan Cen
Hua menuju kota Xu Chang untuk bertemu teman mereka,
di pihak lain adalah para pendekar Tien Lung Men yang
berniat mengumpulkan teman-teman mereka. Perpisahan itu
terasa berat setelah mereka melalui saat-saat hidup mati
bersama-sama. Ce Ke Fu sendiri mewakili Cen Hui
berpesan agar Han Cia Pao menjaga Cen Hua baik-baik
sebelum mereka berpisah jalan. Wongguo Luo berpisah
jalan untuk menuju ke kotaraja menyusul Wongguo Yuan
sekaligus memberitahukan kepada Han Cia Sing tentang
pertemuan para pendekar. Sementara Ye Ing karena
keadaannya tidak bisa ikut dalam perjalanan jauh, atas- 88 permintaan Wang Mei Lin akhirnya ditinggalkan di
kediaman Huo Wang-ye.
"Paman Song, di depan ada kedai teh. Baiknya kita
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
singgah sebentar untuk melepas lelah. Kuda-kuda kita
tampaknya juga sudah kelelahan" ajak Han Cia Pao sambil
menunjuk ke arah sebuah kedai teh di pinggir jalan.
"Baiklah, aku juga sudah lelah" kata Song Wei Hao
setuju.
Mereka bertiga kemudian menambatkan kuda dan
kereta mereka tidak jauh dari kedai teh itu. Bau harum teh
sudah tercium beberapa langkah sebelum mereka memasuki
kedai itu. Meja-meja juga terlihat cukup ramai oleh
pengunjung. Sebagian besar dari mereka berpakaian
pedagang, hanya ada satu meja saja yang terisi oleh lima
orang bertampang seram, masing-masing menyandang
tombak ruyung. Tampaknya mereka adalah murid-murid
partai Fung San pimpinan mendiang Pan Chung yang
sekarang sudah digabung masuk dalam Ceng Lu Hui.
Mereka minum arak yang mereka bawa sendiri dan tertawatawa dengan suara keras yang menyebalkan.
"Hati-hati, mereka anak buah Ceng Lu Hui" bisik
Song Wei Hao yang segera dijawab anggukan mengerti oleh
Han Cia Pao dan Cen Hua.
"Paman Song, lebih baik kita duduk di meja pojok
saja agar tidak menimbulkan kecurigaan" kata Ilan Cia Pao
dengan pelan.- 89 "Baiklah" sahut Song Wei Hao singkat.
Mereka bertiga segera mengambil tempat duduk di
pojok. Seorang pelayan dengan ramah mendatangi mereka
dan segera menuangkan teh ke cangkir masing-masing
sambil bertanya makanan kecil apa yang hendak mereka
pesan. Meskipun Song Wei Hao sudah berusaha sedapat
mungkin tidak menarik perhatian para begundal Ceng Lu
Hui. namun tetap saja wajah cantik Cen Hua membuat mata
mereka langsung jelalatan. Para begundal itu langsung
saling menyikut sambil melirik kurang ajar sekali kepada
Cen Hua.
"Pao-er, Hua-er tetap tenang, biar aku yang hadapi"
bisik Song Wei Hao pelan sekali ketika melihat lima
begundal Ceng Lu Hui itu bangkit berdiri dan mendekati
meja mereka.
"Apa kabar manis?" tanya seorang di antara mereka
dengan kurang ajar sekali kepada Cen Hua.
Cen Hua hanya diam saja pura-pura tidak mendengar
sambil meminum tehnya. Han Cia Pao sebenarnya sudah
panas hati ingin menghajar mereka namun tangannya
dipegang Song Wei Hao di bawah meja.
"Selamat sore para pendekar gagah sekalian" sapa
Song Wei Hao dengan ramah sambil bangkit berdiri dan
menjura.- 90 "Hei, tua bangka, aku tidak menyapa dirimu tapi nona
manis ini" kata orang itu dengan kasar sekali.
"Eh nona, untuk apa kau ikut dengan mereka para
pedagang gendut? Ikutlah dengan kami jauh lebih gagah,
engkau pasti senang" kata seorang yang lain dan disambut
tawa kurang ajar teman-temannya.
"Ehm, para pendekar sekalian, kami hanya numpang
lewat sini hendak berdagang di Xu Chang. Mohon para
pendekar yang gagah berkenan memberikan jalan bagi
kami" kata Song Wei Hao sambil membungkuk-bungkuk.
"Kalian tahu ini daerah kekuasaan siapa?" tanya salah
seorang dari mereka sambil memainkan tombak ruyungnya.
"Aku yang bodoh ini hanya tahu berdagang, maafkan
ketidaktahuan kami" jawab Song Wei Hao sambil terus
menunduk.
"Nah, sekarang kau kuberitahu tahu tua bangka, di
sini Ceng Lu Hui yang berkuasa. Kau tahu itu sekarang?!"
bentak salah seorang dari mereka sambil menudingkan
jarinya ke dahi Song Wei Hao dengan kasar sekali.
Saat itu amarah Han Cia Pao sudah benar-benar tak
tertahankan lagi. Matanya melotot dan tangannya mengepal
keras. Untung saja kelima begundal itu sedang sibuk dengan
Song Wei Hao sehingga tidak terlalu memperhatikan
dirinya. Cen Hua berusaha mati-matian menahan amarah- 91 suaminya itu agar tidak meledak dengan merangkul
tangannya.
"Iya, pendekar kami sekarang tahi;. Ini sedikit rasa
hormat kami kepada Ceng Lu Hui, mohon diterima" kata
Song Wei Hao sambil merogoh kantong bajunya yaig lebar
dan mengeluarkan dua tael perak.
"Hahaha, aku senang dengan orang yang mudah
mengerti. Pak Tua, lain kali kalau lewat sini jangan lupa
bertemu aku lagi ya" kata salah seorang begundal itu sambil
merampas dua tael perak dari tangan Song Wei Hao.
"Tentu, tentu saja" kata Song Wei Hao sambil
merendah.
"Nona manis, kami pergi dulu ya. Lain kali kita
bersenang-senang" kata mereka sambil melirik kurang ajar
kepada Cen Hua dan tertawa keras-keras. Sikap mereka
sungguh menjemukan sekali!
"Paman Song, mengapa tidak engkau hajar saja
mereka? Aku yakin mereka berlima akan jatuh hanya dalam
sekali gebrakan saja" kata Han Cia Pao dengan marah segera
setelah kelima begundal itu pergi agak jauh dari kedai teh
tempat mereka duduk.
"Pao-er tenanglah, seorang pendekar tidak akan
melayani orang licik dan berandalan seperti mereka. Dulu
ketika Jenderal Han Xin masih muda, ia dihina dan
ditertawakan para berandalan bahkan ditantang bertarung.- 92 Pilihannya hanya bertarung atau merangkak melalui
selangkangan mereka. Han Xin memilih yang kedua dan
akhirnya ia membantu Liu Bang mendirikan dinasti Han
yang bertahan 400 tahun. Itulah yang disebut keberanian
sejati" kata Song Wei Hao menjelaskan.
"Tapi mereka sungguh keterlaluan" kata Han Cia Pao
yang masih tidak bisa menerima penjelasan Song Wei Hao.
"Sudahlah suamiku, toh mereka semua sekarang
sudah pergi. Setelah kita minum, kita segera berangkat
meneruskan perjalanan" kata Cen llua berusaha
menenangkan suaminya. Han Cia Pao hanya mendengus
kesal.
"Pao-er, kita sudah dekat dengan Yin Chuang, jangan
sampai penyamaran kita yang sudah susah payah ini
diketahui musuh. Menahan sedikit penghinaan bukanlah
apa-apa dibandingkan hasil yang akan kita capai nanti" kata
Song Wei Hao lagi.
"Paman Song, mari kita pergi" kata Han Cia Pao
sambil meneguk habis tehnya kemudian bangkit dan berlalu.
"Paman Song, suamiku sifatnya keras mohon jangan
dimasukkan ke dalam hati" kata Cen Hua berusaha meminta
maaf kepada Song Wei Hao.
"Hua-er, tidak apa-apa. Aku mengerti sifat Pao-er
karena aku melihatnya sejak kecil hingga seperti sekarang,
la selalu dilayani dan dihormati sehingga tidak bisa menahan- 93 penghinaan. Semoga saja sifatnya nanti bisa berubah jika ia
semakin dewasa" kata Song Wei Hao sambil mengeluh dan
bangkit berdiri membayar makanan mereka.
Mereka bertiga meneruskan perjalanan menuju Xu
Chang dengan lebih banyak berdiam diri. Han Cia Pao
masih kelihatan kesal sehingga baik Cen Hua maupun Song
Wei Hao merasa mereka lebih baik mendiamkannya dulu.
Han Cia Pao sendiri tampaknya juga malas bicara.
Menjelang sore mereka akhirnya tiba di gerbang kota
Xu Chang yang ramai dipadati banyak orang. Kota Xu
Chang memang termasuk kota yang besar dan maju
sehingga tidak heran gerbang kota selalu dipenuhi ratusan
orang yang berlalu lalang keluar masuk. Untunglah saat itu
penjagaan kota tidak terlalu ketat sehingga mereka dengan
mudah dapat masuk. Apalagi mereka berpakaian pedagang
sehingga tidak dicurigai sama sekali. Sebentar kemudian
mereka sudah tiba di depan penginapan yang cukup besar di
jalan utama. Han Cia Pao dan Cen Hua pergi ke belakang
untuk menambatkan kuda dan kereta mereka sedangkan
Song Wei Hao memesan kamar dan beberapa masakan
untuk makan malam mereka.
Malam itu mereka makan di kamar Song Wei Hao
supaya tidak terlalu banyak bertemu dengan orang. Semakin
sedikit mereka bertemu orang maka kemungkinan
penyamaran mereka diketahui akan semakin kecil. Masakan
yang dipesan Song Wei Hao malam itu benar-benar mewah
sehingga rasa kesal Han Cia Pao sedikit terobati. Song Wei- 94 Hao memang mengetahui bahwa Han Cia Pao suka makan
masakan yang enak karena sejak kecil sudah hidup mewah.
"Pao-er, Hua-er setelah makan ini aku akan keluar
untuk mencari kabar temanku. Kalian istirahatlah lebih pagi.
Besok perjalanan kita ke Yin Chuang masih butuh dua tiga
hari jadi jangan terlalu lelah" kata Song Wei Hao sambil
meletakkan sumpitnya menandakan selesai makan.
"Paman Song berhati-hatilah" kata Cen Hua.
"Paman Song, jangan kembali terlalu malam" kata
Han Cia Pao.
Song Wei Hao mengangguk dan bersiap berkemas. Ia
mengintip dari jendela mereka yang berada di tingkat dua
untuk melihat keadaan di luar. Hari sudah cukup malam tapi
jalanan masih terang dan terlihat ramai. Banyak penjaja
makanan dan manisan masih berjualan di pinggir jalan.
Demikian juga pedagang perhiasan dan mainan masih
terlihat melayani pembeli. Song Wei Hao pun kemudian
berpamitan dan keluar kamar turun ke jalan. Ia segera hilang
di antara keramaian orang-orang yang berlalu lalang dijalan.
"Suamiku, mari kita tidur. Perjalanan besok harus
pagi-pagi sekali, lebih baik kita cepat tidur" kata Cen Hua
setelah pelayan kamar membereskan mangkuk dan baki
makanan mereka.
"Iya baiklah" kata Han Cia Pao setuju.- 95 Mereka berdua kembali ke kamar mereka dan segera
bersiap untuk tidur. Perjalanan mereka selama beberapa hari
terakhir cukup melelahkan karena kadang harus menginap
di alam terbuka. Ranjang yang mereka tiduri sekarang terasa
begitu nyaman sehingga sebentar saja Cen Hua sudah
tertidur dengan lelapnya. Han Cia Pao sendiri tampaknya
masih gelisah dan belum bisa tidur.
Akhirnya sambil melihat Cen Hua yang tertidur lelap,
hati-hati sekali Han Cia Pao bangkit dari pembaringan, la
berdiri dan mengambil buntalan pakaian mereka. Sepasang
baju hitam dikeluarkan oleh Han Cia Pao dan segera
dikenakannya. Kemudian ia mengintip dengan hati-hati
melalui jendela untuk melihat keadaan di luar. Suasana jalan
sekarang sudah sepi dan hanya tinggal beberapa pedagang
makanan yang masih tersisa, itupun sudah sepi pengunjung.
Han Cia Pao membuka jendela kamar dengan hati-hati dan
dengan sekali lompatan, ia sudah tiba di atap rumah
seberang. Gerakannya ringan dan lincah sekali menyusuri
atap-atap rumah penduduk. Sebentar saja ia sudah
menyelinap melewati para penjaga gerbang kota yang
sebagian sudah terkantuk-kantuk itu.
Han Cia Pao terus berlari menyusuri jalan yang
mereka lalui sore tadi hingga akhirnya tiba di kedai teh.
Matanya mencari-cari para begundal Ceng Lu Hui yang tadi
siang mengganggu mereka tapi tidak terlihat. Kedai teh yang
sudah tutup itu hanya dijaga seorang pelayan yang tampak- 96 tengah bersiap untuk tidur. Pelayan itu keheranan melihat
Han Cia Pao yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya.
"Ge-kuan (tamu), kedai kami sudah tutup, besok saja
jika ingin mampir" kata pelayan itu sambil menguap
menahan kantuk.
"Aku hanya ingin bertanya di manakah para begundal
Ceng Lu Hui itu berada ?" tanya Han Cia Pao.
"Maksud tuan, para pendekar Ceng Lu Hui? Mereka
tinggal di tepian sungai tidak jauh dari sini. Tapi saya
sarankan anda jangan ke sana. Mereka itu berandalan dan
kasar" kata pelayan itu yang segera menutup mulutnya dan
celingukan karena takut kata-katanya barusan terdengar
orang lain.
"Jangan khawatir. Terima kasih atas petunjuknya"
kata Han Cia Pao sambil bergegas pergi dari sana.
Pelayan itu sebenarnya masih mengucapkan satu hal,
tapi Han Cia Pao sudah berlari dan hilang dari pandangan.
Pelayan itu hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya saja
yang tidak gatal, la kemudian menguap kembali dan
memutuskan lebih baik tidur. Masalah dunia persilatan
terlalu rumit baginya untuk dipikirkan.
Han Cia Pao sendiri tidak kesulitan menemukan
tempat para begundal itu bermalam karena suara mereka
yang mabuk amat keras. Jika tadi siang Han Cia Pao hanya
bertemu lima begundal saja, ternyata teman-teman mereka- 97 berjumlah lebih banyak lagi, ada sekitar dua puluh orang.
Mereka semua mabuk dan berteriak-teriak sehingga amat
gaduh sekali. Bau arak tercium keras sekali di perkemahan
mereka. Pelan-pelan Han Cia Pao berjalan mendekati
mereka hingga akhirnya berada di tengah-tengah mereka.
"Hei, siapa kau?" bentak seorang begundal yang
tampaknya masih cukup sadar untuk mengenali ada sosok
asing di antara mereka.
"Kau bertanya padaku ?!" tanya Han Cia Pao purapura tidak tahu.
"Iya, kau bodoh! Kau yang berbaju hitam itu, katakan
siapa dirimu!" teriak begundal itu dengan marah.
"Aku adalah malaikat maut yang akan mencabut
nyawa kalian semua" kata Han Cia Pao dengan dingin.
Kata-kata Han Cia Pao barusan langsung saja
membuat dua puluh begundal itu berhenti minum dan
bersiaga penuh. Mereka mengambil senjata tombak ruyung
masing-masing dan mengepung Han Cia Pao dalam posisi
melingkar. Mata mereka yang merah karena mabuk arak
melotot memandang Han Cia Pao seperti serigala kelaparan.
"Hei, orang gila! Kau tahu dengan siapa kau
berbicara?" bentak mereka dengan marah sekali.
"Aku tahu, kalian adalah anjing-anjing Ceng Lu Hui"
jawab Han Cia Pao dengan menghina sekali.- 98 "Kurang ajar! Kau memang cari mati " teriak mereka
sambil maju menyerang bersama-sama.
Para begundal itu tidak tahu inilah yang diharapkan
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Song Wei Hao. Sedari tadi ia sudah bersiap dengan Sie Yen
Ping Chuen (Tapak Es Neraka Beku) yang disalurkan pada
kedua tapaknya. Dua puluh begundal bersenjatakan tombak
ruyung itu tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya
tengah menjemput maut dengan menyerang Han Cia Pao.
Mereka berpikir mana mungkin mereka dua puluh orang
bisa dikalahkan oleh seorang yang kelihatan lemah itu?
Kejadian selanjutnya terjadi amat cepat. Tapak Han
Cia Pao menyambar para begundal itu satu persatu tepat di
dada mereka. Gerakan Han Cia Pao begitu cepat dan kuat
sehingga tidak satupun dari mereka yang sempat mengelak.
Jeritan kematian membahana di malam yang sunyi itu ketika
satu persatu dari mereka roboh dengan dada beku. Ilmu
Tapak Es Neraka Beku memang luar biasa sehingga para
begundal itu sama sekali tidak punya kesempatan. Sebentar
saja mereka semua sudah jatuh bergelimpangan untuk tidak
pernah bangun lagi!
Han Cia Pao melihat mayat-mayat para begundal itu
dengan wajah puas. Ia merasa telah menjalankan tugasnya
sebagai pendekar pembela kebenaran penumpas kejahatan.
Sekarang tidak ada lagi orang yang akan diancam atau
diperas oleh para begundal itu. Perasaan kesalnya tadi siang
kini sudah terbalaskan.- 99 Han Cia Pao tersenyum dan meninggalkan tempat itu
dengan hati lega. Ia berlari dengan cepat sekali kembali ke
penginapan. Han Cia Pao tidak ingin kepergiannya ini
sampai diketahui oleh Cen Hua atau Song Wei Hao. Mereka
berdua pasti akan bertanya dari mana saja ia pergi.
Han Cia Pao masuk kembali melalui jendela kamar
yang memang tidak ia kunci tadi. Hatinya terasa amat lega
ketika melihat Cen H ua masih tertidur dengan lelap. Han
Cia Pao segera berganti pakaian kembali dengan pakaian
tidurnya. Pelan-pelan ia menyelinap kembali ke dalam
pembaringan di sebelah istrinya itu. Cen Hua yang
tampaknya tidur nyenyak sekali hanya menggeser sedikit
posisi tidurnya ketika Han Cia Pao tidur kembali di
sampingnya. Sebentar kemudian Han Cia Pao juga sudah
tertidur dengan lelap sekali.
Pagi-pagi besoknya, kamar mereka diketuk oleh Song
Wei Hao. Matahari sudah mulai muncul memerah di ufuk
timur dan Cen Hua juga sudah bangun berdandan. Han Cia
Pao sendiri masih tidur dengan nyenyak sehingga Cen Hua
yang membukakan pintu bagi Song Wei Hao.
"Selamat pagi paman Song" sapa Cen Hua dengan
ramah.
"Hua-er, selamat pagi. Apakah Pao-er masih tertidur?
Kita harus segera berkemas dan berangkat pagi ini. Aku juga
ingin memperkenalkan temanku kepada Pao-er. Mereka
sudah menunggu di bawah" kata Song Wei Hao.- 100 "Baik paman Song, aku akan segera
membangunkannya" kata Cen Hua sambil menutup pintu.
Cen Hua bergegas menuju ke pembaringan dan
membangunkan Han Cia Pao. Tamu-tamu sudah datang
sehingga mereka harus lebih bergegas lagi. Han Cia Pao
bangun dan mencuci muka di baskom berisi air hangat
kemudian minum teh dan berpakaian. Setelah semuanya
selesai mereka berdua segera mengemasi pakaian dan turun
ke bawah.
Di rumah makan mereka melihat Song Wei Hao
tengah bercakap-cakap akrab sekali dengan dua orang. Yang
satu berpakaian sutra dan kelihatan sepantaran dengan Song
Wei Hao, sedangkan yang seorang lebih muda sepantaran
dengan Han Cia Pao. Perawakan mereka terlihat kuat dan
kekar serta masing-masing menyandang sebilah pedang.
Kelihatannya inilah pendekar teman Song Wei Hao yang
berasal dari Han Jin itu.
"Selamat pagi paman Song" kata Han Cia Pao dan
Cen Hua berbarengan.
"Ah, Pao-er, Hua-er kalian sudah turun. Aku
perkenalkan dulu ini adalah sahabat lamaku, ketua partai
Chung Lin di Han Jin, Murong Jin dan muridnya He Shi Ye"
kata Song Wei Hao sambil bangkit berdiri.
"Paman Murong, saudara He" sapa Han Cia Pao
sambil menjura dengan hormat bersama dengan Cen Hua.- 101 "Ini adalah Han Cia Pao dan istrinya Cen Hua" lanjut
Song Wei Hao.
"Ah, kamu sudah banyak mendengar tentang
pendekar muda Han. Aku yang rendah ini merasa amat
kagum" kata Murong Jin merendah.
"Salam hormat saudara Han" kata He Shi Ye sambil
menjura.
Setelah saling berkenalan sejenak, akhirnya mereka
sama-sama duduk dan memesan makanan pagi untuk
berlima. Murong Jin dan He Shi Ye terlihat amat senang
dapat berkenalan dengan Han Cia Pao dan Cen Hua yang
berasal dari kalangan pendekar kelas atas. Apalagi mereka
tahu rencana Song Wei Hao untuk memakai partai Chung
Lin sebagai penyamaran mereka dalam pertemuan para
pendekar nantinya. Meskipun status Han Cia Pao adalah
buronan negara, tapi kaum pendekar biasanya sama sekali
tidak mempermasalahkan hal itu. Bagi mereka sifat ksatria
dan ilmu silat lebih utama daripada segala macam peraturan
kerajaan.
"Pendekar muda Han, aku dengar engkau sekarang
mempunyai tenaga dalam yang hebat sekarang berkat Nan
Hai Lung Cu (Mutiara Naga Laut Selatan), apakah in
benar?" tanya Murong Jin dengan sopan.
"Ah, memang berita cepat menyebar. Pao-er memang
memperoleh sedikit kekuatan dari warisan keluarganya.- 102 Tidak perlu terlalu dibesar-besarkan" kata Song Wei Hao
merendah dan bersikap sopan.
"Paman Song benar, hal itu tidak perlu terlalu dibesarbesarkan" kata Han Cia Pao menambahkan.
"Aku bersulang untuk pendekar muda Han atas
keberuntungannya. Semoga langit selalu menyertai. Mari,
kan-pei (minum sampai habis)!" seru Murong Jin dan He
Shi Ye dengan gembira mendengar jawaban barusan.
Mereka berlima saling bersulang dan meneguk habis arak
dalam cangkir.
"Aku dan muridku dalam perjalanan kemari kemarin
malam, menemukan suatu hal yang aneh. Kami menemukan
para pengikut Ceng Lu Hui berjumlah dua puluh orang
semua meninggal di tempat dengan luka yang sama" kata
Murong Jin membuka pembicaran.
"Oh? Luka bagaimana yang saudara Murong
maksudkan?" tanya Song Wei Hao dengan penasaran sekali.
Sedangkan Han Cia Pao tidak berani menanggapi dan
memilih menghabiskan makanannya bersama Cen Hua.
"Luka semacam ini tidak pernah kutemui sebelumnya. Dada para korban masing-masing remuk tapi
membeku, seolah-seolah ke dalamnya dimasukkan
sebongkah es saja" kata Murong Jin sambil menggeleng
heran.- 103 "Maksud saudara Murong, dada mereka remuk
membeku?" tanya Song Wei Hao meyakinkan dirinya.
"Benar, mereka semua mati cukup lama sebelum
kami temukan tapi dada mereka masih menggumpal penuh
dengan es. Pembunuh mereka tampaknya punya ilmu aneh
yang hebat" kata Murong Jin melanjutkan.
"Aku yakin di dunia ini tidak banyak pendekar yang
mempunyai ilmu seperti itu" kata Song Wei Hao sambil
melirik tajam kepada Han Cia Pao.
"Apakah saudara Song mengetahui kira-kira siapa
yang mempunya ilmu seperti itu?" tanya Murong Jin.
"Aku belum dapat memastikan" jawab Song Wei Hao
singkat.
"Paman Song, apakah kita akan langsung berangkat
setelah makan ini?" tanya Cen Hua.
"Iya, kita tunggu dulu saudara Murong dan muridnya
berkemas setelah itu kita berangkat bersama-sama" jawab
Song Wei Hao sambil tetap melirik kepada Han Cia Pao
yang tidak berani balas melihat.
"Saudara Song, aku dan muridnya akan berkemas
dulu. Kalian mohon tunggu sebentar" kata Murong Jin
sambil menjura.
"Silakan saudara Murong" kata Song Wei Hao balas
menjura.- 104 Setelah kepergian Murong Jin dan He Shi Ye,
kemudian Song Wei Hao mengajak Han Cia Pao ke tempat
penitipan kuda sementara Cen Hua tetap menunggu di
rumah makan. Begitu mereka tinggal berdua saja, Song Wei
Hao sudah tidak sabar lagi untuk menanyai Han Cia Pao.
"Pao-er, mengapa engkau lakukan itu?" tanya Song
Wei Hao langsung pada pokok persoalan.
"Apa maksud paman Song ?" tanya Han Cia Pao
pura-pura tidak mengerti.
"Jangan berpura-pura lagi. Dari sikapmu tadi di
rumah makan saja aku sudah tahu pelakunya adalah kau.
Mengapa engkau tidak mau menuruti saranku dan bertindak
sendiri?" tanya Song Wei Hao tidak sabaran lagi.
"Paman Song, mereka adalah begundal Ceng Lu Hui
dan mereka semua pantas mati. Aku membunuh mereka
semua juga demi kebajikan dan kebenaran" kata Han Cia
Pao tidak mau kalah.
"Pao-er, kau beruntung di antara mereka tidak ada
jago-jago kelas atas, jika tidak tentu penyamaranmu sudah
ketahuan" kata Song Wei Hao dengan kesal sekali.
"Jadi maksud paman Song tindakanku salah?" tanya
Han Cia Pao.
"Pao-er, aku tidak mengatakan salah atau benar. Aku
hanya ingin kau sadar bahwa kita sekarang sedang berusaha
menyimpan kejutan untuk pertemuan pendekar nanti.- 105 Musuh yang tidak sadar adalah musuh yang mudah
dikalahkan. Jika mereka sampai tahu ada pendekar hebat
seperti dirimu yang terlibat pertarungan nanti, mereka pasti
akan mempersiapkan diri dengan segala cara. Kita tidak
boleh karena keinginan pribadi kemudian mengesampingkan hal yang lebih besar" kata Song Wei Hao mencoba
menjelaskan.
"Paman Song, aku minta maaf jika sekiranya
tindakanku itu menurut paman salah. Tapi aku tetap
menganggap mereka semua layak diganjar atas
perbuatannya" kata Han Cia Pao tidak mau mengalah.
"Pao-er, kau sudah besar sekarang, aku tidak bisa
memaksamu. Aku hanya berharap musuh-musuh kita tidak
menyadari hal ini sehingga kita bisa datang ke Yin Chuang
dengan tenang" kata Song Wei Hao mengakhiri
pembicaraan dan menarik kudanya ke jalan besar.
Han Cia Pao menaiki kereta kudanya tanpa banyak
bicara pula. Ia tetap merasa tindakannya benar. Paman Song
terlalu berhati-hati, pikir Han Cia Pao sambil
mengendalikan keretanya ke jalan besar. Di depan rumah
makan kereta itu berhenti dan Cen Hua serta dua pendekar
partai Chung Lin segera naik. Perjalanan mereka masih dua
tiga hari lagi dan mereka semua berharap dapat tiba di Yin
Chuang sebelum pertemuan pendekar diadakan untuk
melihat-lihat situasi terlebih dulu.- 106 Cen Hua merasa heran Han Cia Pao dan Song Wei
Hao terlihat lebih banyak berdiam diri sepanjang perjalanan
mereka. Ia sebenarnya ingin bertanya namun sungkan
karena ada dua pendekar Chung Lin yang ikul dengan
mereka. Akhirnya Cen Hua pun memilih berdiam diri saja
sambil berharap suasana akan lebih baik setelah mereka
sampai di Yin Chuang.
*** "A Xia, lukamu sudah lebih baik?" tanya Han Cia
Sing sambil duduk bersandar pada sebuah batang pohon di
seberang rumah Yung Lang.
"Obat luka luar yang diberikan bibi Cen amat manjur.
Lukaku sudah tertutup dan tidak berdarah lagi" jawab Ma
Xia sambil memegang pundaknya yang masih dibalut
perban.
"Xia-cie, aku tadi khawatir sekali melihatmu terluka.
Untunglah kita tadi ditolong oleh paman Tien dan bibi Cen,
kalau tidak aku tidak tahu apa yang bakal terjadi" kata
Wongguo Yuan.
"Benar Cia Sing, tadi Tiga Penguasa Tebing Setan itu
benar-benar hebat ilmunya. Aku sudah khawatir sekali
melihatmu dikeroyok oleh mereka. Tapi kau juga hebat- 107 mampu mengimbangi keroyokan mereka berdua" kata Lin
Tung sambil menepuk pundak Han Cia Sing.
"Aku kali ini hanya beruntung. Mungkin lain kali
tidak akan seberuntung sekarang ini. ilmu mereka begitu
aneh dan hebat. Apalagi Meng Ao ternyata juga menguasai
Tien Lung Ta Fa (Ilmu Sakti Naga Langit) mirip mendiang
Jien Pang-cu. Ternyata jago-jago kalangan sesat masih
banyak sekali yang jauh lebih hebat daripada kasim Huo Cin
dan lainnya" kata Han Cia Sing.
"Aku rasa mereka mengikutimu sejak dari Kuil Gan
Ye. Apakah engkau ketahuan di sana?" tanya Lin Tung.
"Tidak, aku tidak ketahuan di kuil Gan Ye" jawab
Han Cia Sing yang tiba-tiba saja merasa cemas akan nasib
ayahnya. Semoga saja tidak ada orang yang mencuri dengar
percakapannya dengan Permaisuri Wu. Nasib ayahnya
dipertaruhkan di sini sehingga ia tidak boleh main-main.
Han Cia Sing berusaha menenangkan dirinya dengan
berpikir bahwa tentu Permaisuri Wu akan mampu
menghadapi situasi seperti ini. Diam-diam Han Cia Sing
memeluk kotak kayu berisi potongan tombak cagak dan giok
putih milik ayahnya dengan perasaan haru. Ayah, aku pasti
akan menyelamatkanmu, pikir Han Cia Sing dengan tekad
bulat.
"Yung Lang sedang apa di dalam ya? Mengapa ia
lama sekali? Lagipula ia tidak sopan sekali tidak
membiarkan kita masuk. A Xia kan sedang terluka, tapi kita- 108 dibiarkannya menunggu di luar" kata Lin Tung sambil
mendengus kesal dan melemparkan tubuhnya di bawah
pohon di sebelah Han Cia Sing.
"Lin Tung, aku rasa Yung Lang pastilah punya alasan
yang baik mengapa ia menyuruh kita menunggu di luar.
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lagipula pemandangan pagi hari di tempat ini amat indah
dan segar. Biarlah kita tunggu sebentar saja di sini sambil
beristirahat" kata Han Cia Sing menenangkan.
Memang saat itu matahari sudah muncul di ufuk
timur, membuat langit menjadi merah bercampur biru amat
indah sekali. Burung-burung berkicauan menyambut
datangnya pagi dan beberapa ekor bangau tampak terbang
menyeberangi angkasa menuju selatan. Pepohonan yang
cukup rimbun bergoyang-goyang tertiup angin pagi yang
amat menyegarkan itu. Suasana memang amat indah dan
enak dinikmati sehingga tidak terasa mereka berempat mulai
terlelap setelah semalaman tidak tidur.
Sementara itu di dalam rumah Yung Lang, suasana
tidaklah sedamai dan setenang alam di luar sana. Saat itu
Yung Lang tengah duduk bersama-sama dengan Fu Pu Cin,
Tien Jing Fung, Cen Pai Jao serta Feng Ming dan tiga
pengawalnya. Wajah mereka tampak tegang dan serius
menandakan pembicaraan yang tengah mereka lakukan
sedang alot. Apalagi Yung Lang yang wajahnya sudah
merah sekali karena menahan amarah.- 109 "Paman Fu, aku tidak merasa kita harus bergabung
mendukung Ceng Lu Hui sebagai partai pemimpin dunia
persilatan. Kita bukan bawahan mereka mengapa harus
mendukung" kata Yung Lang dengan marah.
"Eh, pendekar muda Yung jangan salah sangka.
Kalian bukan bawahan kami dan kami juga bukan atasan
kalian. Kami hanya ingin agar dunia persilatan bisa damai
dan sejahtera nantinya di bawah kepemimpinan Ceng Lu
Hui. Tidak seperti jaman ketika Tien Lung Men berkuasa di
mana partai-partai dihancurkan dengan seenaknya oleh
mereka. Aku meskipun adalah wakil kerajaan tapi tetap
berkepentingan agar dunia persilatan bisa damai. Kebetulan
Tie Tau Hui (partai Golok Besi) pimpinan mendiang Yuan
Jin Guan dulu dihancurkan dengan semena-mena oleh Tien
Lung Men, karena itu kami mengundang penerusnya
pendekar Fu Pu Cin untuk membangun kembali Tie Tau
Hui. Apakah itu sesuatu yang salah?" jelas Feng Ming.
"Lang-er, sudahlah. Aku sudah setuju Tie Tau Hui
nantinya dalam pertemuan pendekar akan mendukung
penuh Ceng Lu Hui sebagai pemimpin dunia persilatan.
"Paman Fu, apakah paman Fu akan menjual
kehormatan Tie Tau Hui kepada Ceng Lu Hui?" tanya Yung
Lang dengan keras.
"Aku tidak menjual apapun kepada siapapun. Aku
hanya ingin menegakkan kembali Tie Tau Hui sejajar
dengan partai-partai lain di dunia persilatan seperti dulu- 110 sebelum dihancurkan semena-semena oleh Jien Wei Cen
keparat itu! Lagipula jika bukan karena mendiang guru
menolong ayahmu dank au, semuanya ini tidak akan
terjadi!" kata Fu Pu Cin marah sehingga kelolosan bicara.
"Oh?! Jadi paman Fu menyalahkan mendiang ayah
dan aku atas kehancuran Tie Tau Hui?" tanya Yung Lang
setengah tidak percaya.
"Aku tidak menyalahkan, itu adalah kenyataan"
jawab Fu Pu Cin dengan kesal sekali.
"Saudara Fu, aku mohon pamit dulu. Aku senang atas
dukunganmu dan aku juga pasti akan mendukung berdirinya
kembali Tie Tau Hui. Salam pendekar Tien dan pendekar
Cen, kami pamit dulu" kata Feng Ming menjura dan berdiri,
setelah keadaan antara Fu Pu Cin dan Yung Lang semakin
panas.
"Saudara Feng, terima kasih alas kunjungan anda.
Sampaikan salamku untuk ketua Chang Bai" kata Fu Pu Cin
sambil bangkit berdiri dengan bantuan sebuah tongkal kayu
yang menyangga kaki kirinya.
Fu Pu Cin, Tien Jing Fung dan Cen Pai Jao bangkit
berdiri mengantarkan Feng Ming dan liga pengawalnya
sampai di depan pintu. Mereka menunggu sampai Feng
Ming dan pengawalnya menaiki kuda dan menghilang dari
pandangan, barulah menutup pintu dan masuk kembali. Han
Cia Sing dan teman-temannya tentu terkejut melihat Feng
Ming keluar dari rumah Yung Lang tapi letak mereka- 111 beristirahat agak tersembunyi sehingga tidak terlihat dari
sisi pintu rumah.
"Paman Fu, tahukah engkau bahwa Ceng Lu Hui
adalah sarang bandit? Bagaimana mungkin paman
mendukung mereka menjadi ketua dunia persilatan?" tanya
Yung Lang dengan penasaran sekali segera setelah Fu Pu
Cin kembali masuk ke dalam rumah.
"Lalu kau pikir dulu Tien Lung Men adalah tempat
para ksatria? Lang-er, sejak kapan pikiranmu jadi teracuni
seperti ini? Jien Wei Cen itu seorang yang sombong dan
tamak, bukan pendekar ksatria seperti yang kau sangka"
jawab Fu Pu Cin tidak kalah sengit.
"Yung Lang, jangan menentang pamanmu.
Bagaimanapun juga ia adalah paman yang membesarkanmu" kata Tien Jing Fung berusaha menengahi.
"Paman Tien, justru karena paman Fu telah berjasa
besar dalam hidupku, aku tidak ingin ia jatuh dalam
perangkap Ceng Lu Hui" kata Yung Lang berusaha
menjelaskan.
"Bocah! Kau dulu belum lahir ketika aku sudah
malang melintang di dunia persilatan. Sekarang kau berani
mengajariku?!" bentak Fu Pu Cin yang sudah terlihat mulai
marah itu.- 112 "Saudara Fu, tenanglah. Yung Lang masih muda,
masih kurang pengalaman dan harus banyak belajar" kata
Cen Pai Jao.
"Huh!" dengus Fu Pu Cin dengan kesal.
"Sudahlah, yang penting sekarang adalah bagaimana
mengumpulkan para pengikut Tie Tau Hui yang dulu dan
membangun kembali perguruan sehingga mendiang saudara
Yuan bisa tenang di alam baka" kata Tien Jing Fung
berusaha mendinginkan suasana.
"Paman Tien, kita pasti bisa membangun kembali Tie
Tau Hui tanpa bantuan Ceng Lu Hui. Mengapa kita harus
menjual diri kepada mereka" kata Yung Lang masih tidak
terima.
"Kau benar-benar kurang ajar! Siapa yang menjual
diri? Bukankah kau sendiri yang menjual diri kepada Jien
Wei Cen?! Masih berani kau buka mulut di sini ketika aku
tidak mengungkit-ungkit masalah itu?" bentak Fu Pu Cin
yang kembali tersulut amarahnya ketika mendengar
perkataan Yung Lang barusan.
"Apa yang paman Fu maksudkan?" tanya Yung Lang
heran.
"Kau ini benar-benar memalukan! Aku menyuruhmu
pergi ke Yi Chang untuk ikut bergabung menghancurkan
Tien Lung Men tapi malah ikut membela mereka! Masih
berani engkau mengelak?" tanya Fu Pu Cin.- 113 "Aku membela mereka karena aku melihat Jien Pangcu adalah seorang yang benar dan berpandangan luas serta
ksatria. Lagipula Ceng Lu Hui adalah sekelompok
perampok pimpinan Wen Yang, mana mungkin aku bisa
bersahabat dengan mereka?" tanya Yung Lang balik.
"Matamu benar-benar buta! Jien Wei Cen itu serakah
dan kejam. Apakah masih kurang buktinya?!" bentak Fu Pu
Cin sambil melemparkan tongkat kayunya sehingga
kelihatan bahwa kaki kirinya agak timpang.
"Ini adalah hasil perbuatan ksatria Tien Lung Men
dulu ketika menghancurkan Tie Tau Hui! Mendiang guru
mati-matian membela mendiang ayahmu dan dirimu
sampai-sampai berani menentang Tien Lung Men.
Akibatnya kami dihancurkan sampai tidak bersisa, bahkan
akupun cacat seumur hidup. Selama ini balasan apa yang
telah kau berikan pada Tie Tau Hui?! Tidak ada! Selama ini
apa yang aku tuntut darimu?! Tidak ada! Dan sekarang kau
mengatakan yang tidak-tidak tentangku dan membela Jien
Wei Cen, inikah balasanmu?!" tanya Fu Pu Cin yang marah
sekali.
"Paman Fu, aku dan mendiang ayah memang
berhutang banyak pada Tie Tau Hui. Ragaku hancurpun
tidak akan bisa membalas budi baik paman Fu, tapi paman
dengarkan dulu penjelasanku. Ketika aku bertemu Jien
Pang-cu, beliau menjelaskan bahwa penyerangan ke Tie Tau
Hui ketika itu adalah akibat jebakan kasim Huo Cin. Kita
telah diadu domba oleh mereka. Jangan sampai kita jatuh ke- 114 dalam jebakan mereka untuk kedua kalinya" kata Yung
Lang berusaha menjelaskan.
"Kata Jien Wei Cen, kata Jien Wei Cen. Mengapa
engkau begitu mendengarkan kata-katanya dan tidak
mendengarkan aku? Seberapa lama engkau kenal denganku
dibandingkan dengan Jien Wei Cen? Jawab pertanyaanku?"
bentak Fu Pu Cin yang semakin marah mendengarkan
penjelasan Yung Lang barusan.
"Yung Lang, tenanglah dulu. Apa yang dikatakan
pamanmu ada benarnya. Yang terpenting sekarang adalah
menegakkan kembali partai Tie Tau Hui. Mungkin dengan
dukungan Ceng Lu Hui nantinya akan lebih mudah atau
tidak, akan kita pikirkan nanti" kata Tien Jing Fung
menengahi.
"Paman Fu, semoga nanti engkau bisa menilai siapa
yang benar dan siapa yang salah. Aku yang berhutang nyawa
dan budi ini hanya bisa menghaturkan sembah" kata Yung
Lang sambil berlutut dan menyembah ke tanah tiga kali.
"Huh!" dengus Fu Pu Cin sambil berbalik badan tidak
mau melihat kepada Yung Lang.
"Paman Tien, Bibi Cen terima kasih kalian telah
menjagaku selama bertahun-tahun. Aku tahu betapa
berartinya Tie Tau Hui bagi paman Fu, tapi maafkan aku
tidak bisa bergabung dan mendukung Ceng Lu Hui" kata
Yung Lang sambil menjura dan membungkuk sebelum
keluar pintu.- 115 Tien Jing Fung dan Cen Pai Jao hendak mencegah
Yung Lang pergi tapi dihentikan oleh Fu Pu Cin.
Tampaknya Fu Pu Cin benar-benar marah terhadap Yung
Lang yang dianggapnya tidak berbudi dan durhaka. Ia dan
mendiang Yuan Jin Guan sudah habis-habisan membelanya
tapi Yung Lang malah membela Tien Lung Men. Malah
sekarang Yung Lang menentangnya bergabung dengan
Ceng Lu Hui yang nyata-nyata membantunya membangun
kembali Tie Tau Hui. Bagi Fu Pu Cin, tanpa Yung Lang pun
ia akan mampu menggapai kejayaan Tie Tau Hui kembali.
Yung Lang berjalan keluar rumah Pu Pu Cin dengan
perasaan galau, la sebenarnya tidak ingin menyakiti Fu Pu
Cin yang sudah dianggapnya sebagai pamannya sendiri,
bahkan penolong hidupnya. Tanpa Fu Pu Cin dan Tie Tau
Hui, belum tentu ia bisa hidup sampai sekarang ini. Tapi rasa
keadilan yang ada dalam dirinya menentang untuk dijadikan
budak Ceng Lu Hui. Ia sudah berusaha memberikan
penjelasan kepada Fu Pu Cin tapi tampaknya paman
angkatnya itu sudah terhasut oleh kata-kata Feng Ming yang
datang lebih dulu. Yung Lang sedikit merasa menyesal
mengapa ia tidak langsung ke rumah Fu Pu Cin dulu begitu
ia tiba di kotaraja kemarin.
"Yung Lang! Kami di sini!" teriak Lin Tung yang
melihat Yung Lang berjalan ke arah yang berlawanan.
Yung Lang terus saja berjalan ke arah kotaraja tanpa
menoleh ke tempat teman-temannya. Han Cia Sing dan
lainnya merasa heran atas sikap Yung Lang yang tidak- 116 seperti biasanya itu. Mereka segera bangkit dan menyusul
Yung Lang yang berjalan sangat cepat bagai berlari itu. Ma
Xia yang masih terluka dan Wongguo Yuan yang tidak bisa
silat jadi tertinggal di belakang. Sementara Han Cia Sing dan
Lin Tung berhasil menyusul Yung Lang.
"Yung Lang, apakah yang terjadi? Kami melihat si
Golok Raja Naga Feng Ming keluar dari tempat pamanmu.
Apa yang kalian bicarakan?" tanya Lin Tung sambil berjalan
terburu-buru di samping Yung Lang.
"Tidak ada apa-apa" jawab Yung Lang singkat saja.
"Yung Lang, kau kelihatan marah. Sebenarnya apa
yang terjadi?" tanya Han Cia Sing ingin tahu.
"Sudah kukatakan tidak ada apa-apa" kata Yung
Lang.
"Kalau begitu jangan berjalan terlalu cepat, A Xia dan
A Yuan tertinggal di belakang" kata Han Cia Sing sambil
menoleh ke belakang.
"Cia Sing, lebih baik kau temani mereka dulu. Susul
aku di paviliun Hong Yin (Awan Merah) di kotaraja" kata
Yung Lang sambil mengerahkan tenaga dalamnya dan
berlari menggunakan ilmu ringan tubuh menghilang dari
pandangan Han Cia Sing dan Lin Tung.
Sebenarnya jika ingin menyusul Yung Lang bukanlah
hal yang sulit bagi Han Cia Sing. Tapi Ma Xia, Wongguo
Yuan dan Lin Tung pasti tidak akan bisa mengejar mereka- 117 sehingga Han Cia Sing memutuskan untuk mengikuti saja
perkataan Yung Lang. Nanti setelah di kotaraja ia akan
mencari paviliun Awan Merah seperti yang dikatakan oleh
Yung Lang.
"Mengapa Yung Lang menjadi marah seperti itu?!"
tanya Lin Tung keheranan sambil memandang Han Cia
Sing.
"Aku juga tidak tahu. Kuharap ia baik-baik saja" kata
Han Cia Sing.
"Sing ta-ke, tunggu kami. Xia-cie tidak bisa berjalan
cepat karena takut lukanya terbuka lagi" teriak Wongguo
Yuan sambil berjalan menggandeng Ma Xia mendekati
tempat Han Cia Sing dan Lin Tung berdiri.
"Mana Yung Lang?" tanya Ma Xia heran.
"Ia pergi dulu ke kotaraja. Tampaknya suasana
hatinya sedang tidak enak. la meminta kita menyusul ke
paviliun Awan Merah untuk menemuinya" jawab Han Cia
Sing.
"Baiklah, kita berangkat saja ke sana. Toh, kita juga
perlu ke kotaraja untuk mencari kabar tentang keluarga Yao
juga seperti yang diceritakan oleh Huo Wang-y s" kata Lin
Tung.
"Dan juga pertemuan pendekar" tambah Han Cia
Sing.
"Pertemuan pendekar?" tanya Ma Xia keheranan.- 118
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh ya, aku lupa menceritakannya kepada kalian.
Aku ceritakan saja sambil kita berjalan ke kotaraja" kata
Han Cia Sing.
Han Cia Sing pun menceritakan pertemuannya
dengan Permaisuri Wu, tapi tentu saja bagian tentang
ayahnya tidak disebutkan. Lin Tung, Ma Xia dan Wongguo
Yuan langsung terkejut ketika mengetahui bahwa Ceng Lu
Hui bermaksud mengangkat dirinya menjadi ketua dunia
persilatan yang baru.
"Cia Sing, apakah mungkin kedatangan Feng Ming
menemui paman Yung Lang adalah untuk meminta
dukungan bagi Ceng Lu Hui. Seingatku Yung Lang pernah
bercerita bahwa pamannya dulu pernah dikalahkan Tien
Lung Men, pastilah ia menyimpan dendam dan
ketidakpuasan pada mendiang Jien Pang-cu" kata Ma Xia
setelah mendengar cerita Han Cia Sing.
"Iya mungkin saja begitu. Pantas saja Yung Lang
menjadi kesal dan marah. Ceng Lu Hui adalah partai yang
penuh dengan penjahat dan bandit, jika paman Yung Lang
sampai bergabung dengan mereka tentu merupakan suatu
kesalahan besar" kata Han Cia Sing.
"Jadi Yung Lang harus menjadi sekutu Ceng Lu Hui
juga?" tanya Lin Tung.
"Tidak juga, mungkin tadi ia bertengkar dengan
pamannya sehingga menjadi kesal dan marah serta- 119 meninggalkan kita untuk menenangkan diri" jawab Han Cia
Sing yang disambut oleh anggukan Lin Tung.
Mereka berempat berjalan sambil kadang berhenti
sejenak untuk memberikan waktu bagi Ma Xia beristirahat.
Akhirnya menjelang hari sore, mereka tiba di gerbang timur
kotaraja. Suasana yang amat ramai membuat kedatangan
mereka sama sekali tidak dicurigai oleh pasukan pengawal.
Apalagi baju mereka tampak sederhana seperti para petani
kebanyakan. Hanya saja Han Cia Sing sempat merasa
khawatir kotak kayu berisi potongan tombak dan giok putih
akan diperiksa oleh penjaga gerbang. Untunglah ternyata
para penjaga merasa terlalu repot untuk memeriksa kotak
kayu biasa yang dibawa oleh seorang pemuda berpakaian
petani. Para penjaga melewatkan begitu saja mereka
berempat sehingga bisa masuk kotaraja dengan aman.
Sambil mencari-cari paviliun Awan Merah, Ma Xia
dan Wongguo Yuan tidak membuang kesempatan untuk
melihat-lihat pasar kotaraja yang amat ramai. Puluhan
pedagang perhiasan berjajar sepanjang jalan sehingga
mereka berdua merasa amat senang dan sejenak melupakan
tujuan mereka ke kotaraja. Apalagi uang saku dari Huo
Wang-ye benar-benar lebih cukup sehingga mereka berdua
dapat berbelanja sepuas hati. Han Cia Sing dan Lin Tung
sendiri hanya mengikuti mereka saja tanpa berkeinginan
melihat-lihat. Akhirnya setelah cukup lama memilih
beberapa perhiasan, Ma Xia memilih sebuah tusuk rambut- 120 dari giok merah sedangkan Wongguo Yuan membeli sebuah
gelang tangan dari giok berwarna hijau tua.
Paviliun Awan Merah ternyata terletak agak jauh di
dekat gerbang barat kotaraja. Letaknya juga tidak di pinggir
jalan raya tapi agak masuk ke dalam sebuah lorong kecil.
Puluhan lampion berwarna merah mulai dinyalakan di
dalam lorong itu ketika rombongan Han Cia Sing sampai di
sana. Beberapa wanita dengan pakaian berwarna-warni dan
dandanan tebal tampak berjalan-jalan sepanjang lorong
menebarkan bau wangi yang menusuk. Han Cia Sing merasa
tidak enak dipandangi oleh wanita-wanita itu sambil tertawa
cekikikan.
"Yung Lang ini bagaimana, mengajak kita datang ke
tempat seperti ini" kata Ma Xia dengan jengkel sekali.
"Sing ta-ke, tempat apa ini?" tanya Wongguo Yuan
dengan polos.
"Ehm, bukan tempat apa-apa" jawab Han Cia Sing
singkat.
"Ini adalah tempat pelacuran" kata Lin Tung tanpa
sempat dicegah lagi oleh Han Cia Sing.
"Pelacuran?! Apa itu pelacuran?" tanya Wongguo
Yuan masih tidak mengerti.
"Tempat pelacuran adalah tempat yang tidak baik
didatangi kaum wanita" kata Han Cia Sing sambil menyikut- 121 perut Lin Tung sebelum sahabatnya itu sempat berkata-kata
lebih jauh lagi.
"A Yuan dan aku menunggu di sini saja. Kalian lekas
jemput Yung Lang dan keluar dari tempat ini" kata Ma Xia
dengan kesal.
"Baiklah, kalian berdua tunggu di depan lorong ini.
Aku dan Lin Tung akan mencari Yung Lang" kata Han Cia
Sing sambil menggandeng Lin Tung yang tampaknya sudah
terpikat dengan seorang gadis yang menatapnya dengan
pandangan genit.
Bagian dalam paviliun Awan Merah ternyata jauh
lebih besar dan meriah lagi. Puluhan meja bundar dengan
taplak meja berwarna merah memenuhi ruangan utama.
Bagian atas terdiri dari puluhan kamar yang juga dihiasi
hiasan berwarna merah. Puluhan gadis berpakaian warnawarni tampak duduk menemani tamu-tamu hidung belang
minum. Bau arak dan wewangian tercium amat keras
ditingkahi musik yang dimainkan beberapa pemain di
bagian tengah ruangan.
Han Cia Sing dan Lin Tung untuk beberapa saat tidak
tahu apa yang harus diperbuat. Mereka tidak pernah datang
ke tempat semacam ini apalagi paviliun Awan Merah adalah
yang terbesar di kotaraja. Yung Lang juga tidak kelihatan di
antara para tamu yang bersenang-senang. Saat mereka
sedang kebingungan seperti itu, seorang wanita setengah
baya dengan perhiasan memenuhi leher dan lengannya- 122 datang menghampiri Han Cia Sing dan Lin Tung sambil
tersenyum lebar.
"Aduh, tuan pendekar muda tentunya sudah lelah
setelah datang dari jauh. Mari, mari silakan masuk. Kalian
berdua baru pertama kali datang ya, mari kuperkenalkan
dengan gadis-gadis di sini" kata wanita itu sambil langsung
menggandeng tangan Han Cia Sing dan Lin Tung kemudian
menyeretnya masuk ke tengah ruangan.
"Eh, Bibi, anda jangan salah paham. Kami ke sini
hendak menjemput teman kami" kata Han Cia Sing berusaha
menjelaskan.
"Jangan panggil aku bibi, panggil saja Wu Niang.
Tuan muda, semua yang kemari tentu saja ingin bertemu
dengan temannya. Siapakah yang ingin tuan muda temui?"
tanya wanita setengah baya yang bernama Wu Niang itu
seakan mengetahui maksud Han Cia Sing.
"Nama teman kami Yung..."
"Oh, A Yung, A Mei! Cepat kemari layani kedua tuan
muda ini" potong Wu Niang sebelum Han Cia Sing sempat
menyelesaikan kalimatnya sambil melambaikan sapu tangan
sutranya kepada dua orang gadis berpakaian merah dan ungu
yang duduk di ujung ruangan.
"Tuan muda, mari kita minum" ajak dua gadis
bernama A Yung dan A Mei itu dengan genit sambil- 123 menuangkan dua cangkir arak dan memaksa Lin Tung dan
Han Cia Sing minum.
"Nona, kalian berdua salah paham. Wu Niang,
mereka bukan teman kami" kata Han Cia Sing memanggil
Wu Niang sambil terus berusaha menghindari desakan
minum arak.
"Aduh, maaf tuan muda. Pelayanan dua gadis ini
kurang memuaskan ya?! Akan aku panggilkan yang lain ya"
kata Wu Niang yang seakan tidak mendengarkan bantahan
Han Cia Sing.
Begitulah Han Cia Sing dan Lin Tung benar-benar
kerepotan menghadapi Wu Niang yang terus menyodori
mereka dengan gadis-gadis. Mereka sampai tidak menyadari
ketika tiga orang pemuda berbadan tegap turun dari kamar
atas ditemani beberapa gadis penghibur. Mereka semua
tertawa-tawa dengan riang.
"Tuan Ejinjin, seringlah mampir kemari ya. Aku
rindu padamu" kata seorang gadis penghibur dengan genit
sekali.
"Tentu manisku, mana mungkin aku melupakanmu"
jawab pemuda yang adalah Ejinjin itu sambil mencubit pipi
gadis itu.
"Kalau kau bisa menyenangkan kakakku ini. aku
jamin hidupmu tidak akan kekurangan" kata seorang
pemuda satunya yang tidak lain adalah Balsan.- 124 "Jangan lupa juga dengan saudaraku Ma Wen ini. Ia
sangat kaya dan anak buahnya banyak" kata Ejinjin sambil
tertawa melihat Ma Wen tengah bermesraan dengan seorang
gadis lainnya.
"Tentu saja, mau uang atau perhiasan tinggal minta
saja" kata Ma Wen sambil tertawa-tawa gembira.
Tiga pemuda berandalan itu keluar paviliun Awan
Merah sambil memegang beberapa kendi arak. Mereka amat
gembira sehingga tidak memperhatikan Han Cia Sing dan
Lin Tung yang tengah kerepotan di tengah ruangan, apalagi
suasana sangat ramai. Memang pekerjaan mereka seharihari di kotaraja hanyalah pelesir dan berjudi, berfoya-foya
menghabiskan uang yang didapat dari hasil memeras banyak
suku lain di utara. Sungguh perbuatan yang amat
menjemukan!
Sementara Ejinjin dan Ma Wen saling bersulang dan
tertawa-tawa, mata Balsan yang tajam segera menangkap
sesosok tubuh yang amat ia kenal. Balsan menyenggol
lengan Ma Wen dengan keras sehingga arak dalam kendinya
tumpah ke jalan.
"Ah, Balsan kenapa engkau menyenggolku?" tanya
Ma Wen tidak senang.
"Lihat siapa yang ada di depan lorong" kata Balsan
sambil terus memperhatikan ke depan.- 125 "Siapa?" tanya Ma Wen sambil melihat ke arah yang
dilihat Balsan.
"Ma Xia?!" seru Ejinjin dan Ma Wen hampir
bersamaan seakan tidak percaya apa yang dilihat di depan
hidung mereka.
"Jangan sampai ia curiga dan meloloskan diri. Kita
harus bisa menangkapnya kali ini. Ayahmu pasti senang
sekali" kata Balsan memperingatkan.
"Pasti, akan kuhajar adikku yang tidak tahu malu itu"
kata Ma Wen dengan geram sekali.
Saat itu Ma Xia sedang duduk di sebuah kursi kayu
menunggu Wongguo Yuan yang pergi membeli obat luka
luar. Luka Ma Xia di bahu memang cukup parah sehingga
membuatnya tidak bisa bergerak leluasa. Apalagi setelah
seharian berjalan cukup jauh, luka itu terasa perih dan
berdarah kembali. Wongguo Yuan memutuskan untuk
membeli obat luka luar di toko obat karena obat yang
diberikan Cen Pai Jao sudah hampir habis. Ma Xia sama
sekali tidak menyangka dirinya bakal bertemu kakaknya,
Cjinjin serta Balsan di tempat itu!
"Adik, cepat pulang bersamaku! Ayah sudah
mencarimu kemana-mana!" tiba-tiba bentakan Ma Wen
mengagetkan Ma Xia bagaikan petir di siang bolong.- 126 "Eh, kau mana ke mana A Xia? Bukankah suamimu
sudah ada di sini?" kata Balsan sambil menghadang Ma Xia
yang hendak melarikan diri.
"Minggir kau. Balsan!" bentak Ma Xia sambil
mengayunkan tinjunya, la lupa bahwa bahunya masih
terluka dan tidak boleh mengeluarkan tenaga. Ma Xia
mengaduh kesakitan dan nyaris pingsan ketika lukanya
terbuka kembali semakin lebar. Kesempatan ini segera
dimanfaatkan oleh Ejinjin untuk mendekap dan
menelikungnya.
"A Xia, kau benar-benar membuatku malu! Kau tahu
jika sekarang kita berada di utara, kau sudah kujual sebagai
budak!" bentak Ejinjin sambil menekuk tangan Ma Xia
dengan kasar sekali sehingga Ma Xia hampir pingsan karena
kesakitan.
"Ejinjin, sudah jangan banyak bicara. Mari kita bawa
gadis nakal ini kepada ayah untuk dihukum. Biar dia tahu
rasa dan patuh kepada suami nantinya" kata Ma Wen yang
sama sekali tidak merasa kasihan melihat adiknya
diperlakukan dengan amat kasar seperti itu.
"Ejinjin, kau bisa tampil tegap sekarang di hadapan
semua pemuda suku kita" kata Balsan sambil tertawa
gembira.
"Kau..." kata Ma Xia hendak memaki Balsan tapi rasa
sakit di bahunya membuat dirinya tak mampu mengucapkan
apa-apa.- 127 "Ayo kita pergi ke tempat ayah" kata Ma Wen sambil
memanggil anak buah mereka yang segera datang
mengusung tiga tandu besar.
Ma Wen dan Balsan duduk sendiri di tandu masingmasing sedangkan Ejinjin dan Ma Xia berada di satu tandu.
Baru saja rombongan itu berangkat, Wongguo Yuan datang
sambil membawa bungkusan obat. Ia sedikit terlambat
karena pemilik toko obat harus mengolah obat terlebih dulu
untuk dijadikan salep. Wongguo Yuan sama sekali tidak
menyadari ia berpapasan dengan Ma Xia yang sedang
disekap dalam tandu oleh Ejinjin. Nasib Ma Xia benar-benar
bagaikan domba di tangan kawanan serigala, tak berdaya
lagi untuk melawan. Haruskah ia menikah paksa dengan
Ejinjin sekarang?- 128 44. Kasih Tak Sampai
"Aduh. kenapa kalian tidak bilang dari tadi kalau
kalian berdua adalah teman tuan muda Yung Lang?! Kalau
bicara dari awal aku tidak perlu jadi repot begini" omel Wu
Niang sambil mengantarkan Han Cia Sing dan Lin Tung ke
sebuah kamar di pojok tingkat dua yang tampak paling besar
dan bagus.
"Maaf kami telah membuat Wu Niang repot" kata
Han Cia Sing.
"Aduh. jaman sekarang waktu itu sangat berharga.
Entah sudah berapa pelanggan yang tidak terlayani malam
ir.i hanya gara-gara kalian berdua" sindir Wu Niang.
"Wu Niang, ini ada sekadar rasa terima kasih dari
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kami, mohon diterima" kata Lin Tung yang mengerti
sindiran Wu Niang sampai mengeluarkan dua tael perak dari
sakunya.
"Aduh, mana cukup hanya sebegini saja?! Tuan muda
Yung Lang sejak pagi sudah mabuk dan bersama dengan
Chung Ye sehingga tidak bisa melayani tamu-tamu yang
lain" kata Wu Niang masih tidak terima.
"Wu Niang, terimalah ini untuk segala yang dipakai
oleh teman kami" kata Han Cia Sing sambil menyodorkan
dua tael perak lagi.- 129 "Aduh, tuan muda berdua mengapa begitu sungkan?!
Aku Wu Niang bukanlah orang yang perhitungan semacam
itu. Sekarang kalian cepat jemput tuan muda Yung Lang,
lain kali jangan lupa mampir di paviliun Awan Merah lagi
ya" kata Wu Niang sambil tersenyum lebar menerima dua
tael perak dari Han Cia Sing dan segera berlalu.
"Semua ini gara-gara Yung Lang" gerutu Lin Tung.
"Ah, sudahlah. Mari kita masuk dan menjemput dia.
A Xia dan AYuan pasti sudah lama menunggu kita berdua"
kata Han Cia Sing sambil bergegas mengetuk pintu kamar.
"Aku tidak menerima tamu" sahut sebuah suara
merdu dari dalam.
"Kami bukan hendak bertamu tapi bertemu dengan
Yung Lang" kata Han Cia Sing sedikit kikuk karena dikira
ingin "bertamu".
Sejenak kemudian, pintu kamar itu dibuka oleh
seorang gadis memakai baju sutra halus berwarna ungu.
Wajah gadis itu benar-benar menawan. Alisnya panjang dan
tebal, matanya bulat cerah dan bibirnya merah merekah.
Kecantikannya ditambah lagi dengan hiasan tusuk rambut
berbentuk burung hong emas yang menghiasi rambutnya
yang tebal. Gadis ini pastilah bernama Chung Ye seperti
yang disebutkan oleh Wu Niang barusan.- 130 "Kalian tuan muda berdua siapakah hendak bertemu
dengan Yung Lang?" tanya Chung Ye dengan suaranya
yang merdu.
"Ehm, aku Han Cia Sing dan ini temanku Lin Tung.
Kami berdua adalah sahabat Yung Lang dan ingin
menjemputnya pergi" kata Han Cia Sing dengan kikuk
karena dipandang lekat-lekat oleh Chung Ye.
"Kalian adalah temannya?" tanya Chung Ye masih
tidak yakin.
"Iya benar. Tadi pagi Yung Lang meminta kami
datang ke paviliun Awan Merah ini untuk menjemputnya"
kata Lin Tung meyakinkan.
"Silakan tuan muda berdua masuk" kata Chung Ye
sambil mempersilakan Han Cia Sing dan Lin Tung masuk.
Ruangan tempat Chung Ye berada itu amat luas.
Sebuah tikar bambu beralaskan kain tebal digelar di lengah
ruangan lengkap dengan meja arak dan sebuah sitar.
Selambu sutra tipis berwarna merah memisahkan antara
ruang depan itu dengan kamar tidur yang besar. Sebuah
ranjang besar dengan kelambu sulaman sutra tampak indah
dan mahal berada di tengah-tengah kamar tidur. Bau
wewangian tercium amat harum di seluruh ruangan itu. Han
Cia Sing dan Lin Tung dapat segera mengira bahwa inilah
ruangan terbagus bagi para tamu paviliun Awan Merah yang
berani membayar mahal. Mengapa Yung Lang bisa berada
di tempat semewah ini?- 131 "Yung Lang, bangun! Hei!" teriak Lin Tung sambil
mengguncang-guncang tubuh Yung Lang yang terbaring
tidur dengan nyenyaknya di ranjang.
"Tuan Lin, Yung Lang mabuk sedari pagi. Mungkin
agak susah untuk membangunkannya" kata Chung Ye.
"Ehm, nona Chung Ye, panggil saja aku Lin Tung"
kata Lin Tung yang merasa tidak enak dipanggil tuan.
"Panggil juga aku Chung Ye saja" kata Chung Ye
menanggapi sambil tersenyum manis.
"Kita harus segera menyadarkannya. A Xia dan A
Yuan sudah terlalu lama menunggu kita di bawah" kata Han
Cia Sing bingung.
"Aku ada air hangat. Biar aku membasuh Yung Lang
supaya sadar" kata Chung Ye sambil mengambil sebaskom
air hangat yang dipersiapkan di dekat tempat tidur.
Yung Lang mengoceh tidak karuan berusaha menolak
handuk hangat yang dibasuhkan Chung Ye ke wajahnya.
Han Cia Sing melihat beberapa kendi besar arak yang telah
kosong tergeletak di samping tempat tidur dan meja di
depan, hanya bisa menggelengkan kepalanya saja. Yung
Lang tampaknya sudah menghabiskan beberapa kendi arak
seorang diri, tentu susah sekali untuk langsung sadar.
"Yung Lang kelihatannya amat sedih ketika datang
tadi pagi. Apakah anda berdua tahu sebabnya ?" tanya
Chung Ye.- 132 "Kami juga kurang jelas. Tapi kelihatannya ia
barusan bertengkar hebat dengan pamannya tadi pagi"
jawab Lin Tung.
"Kami tidak tahu masalah pertengkaran mereka" kata
Han Cia Sing menambahkan.
"Chung Ye, anda terlihat dekat dengan Yung Lang,
bolehkah kami tahu hubunganmu dengannya? Yung Lang
tidak pernah bercerita tentang dirimu" tanya Lin Tung
sebelum sempat dicegah oleh Han Cia Sing.
"Aku memang tidak pantas untuk diceritakan" jawab
Chung Ye sambil tersenyum getir.
"Chung Ye, kau jangan salah paham. Aku dan Lin
Tung merasa engkau pastilah orang dekat Yung Lang, kalau
tidak ia pasti tidak akan kemari saat ia merasa sedih. Hanya
saja kami heran mengapa ia tidak pernah bercerita
tentangmu selama ini" kata Han Cia Sing mencoba
menjelaskan.
"Baiklah, kulihat kalian berdua adalah teman Yung
Lang yang baik dan tidak memandang rendah diriku ini. Aku
akan menceritakan hubunganku dengan Yung Lang kepada
kalian" kata Chung Ye dengan mata menerawang.
Dulu, ketika Yung Lang dan Chung Ye masih berusia
belasan tahun, keduanya hidup bertetangga di luar tembok
kotaraja. Fu Pu Cin yang terluka dan dikejar-kejar anggota
Tien Lung Men tidak bisa mendapatkan kehidupan yang- 133 layak sehingga amat miskin. Hidup Fu Pu Cin dan Yung
Lang hanya mengandalkan pemberian Tien Jing Fung dan
Cen Pai Jao yang kadang datang mengunjungi mereka.
Sedangkan ayah Chung Ye sudah meninggal sejak ia masih
kecil. Ibunya harus membesarkannya bersama dua kakak
laki-laki dan adik perempuannya yang juga masih kecilkecil. Hidup mereka melarat dan hanya bergantung
penghasilan ibu Chung Ye sebagai petani penggarap yang
tentu tidak cukup menghidupi mereka.
Beban hidup yang berat membuat kesehatan ibu
Chung Ye cepat menurun. Kedua kakak laki-laki Chung Ye
terpaksa menjadi buruh kasar di kotaraja sementara Chung
Ye menggantikan peran ibunya di rumah. Kehidupan
mereka tidak bertambah baik karena penghasilan mereka di
kotaraja yang tidak seberapa itu malah habis untuk berjudi.
Bahkan kedua kakak laki-laki Chung Ye terjerat hutang judi
yang cukup besar dan tidak mampu membayarnya. Mereka
diancam akan dibunuh jika tidak mampu membayarnya.
Ibu Chung Ye tidak punya jalan lain kecuali
menyerahkan putrinya sebagai pembayaran hutang. Adik
Chung Ye masih terlalu kecil sehingga akhirnya Chung Ye
yang diberikan kepada para lintah darat itu sebagai
pembayaran. Usianya ketika itu belum genap 13 tahun.
Yung Lang yang mati-matian mengumpulkan uang dan
menghalangi para lintah darat mengambil Chung Ye malah
dihajar habis-habisan sehingga terluka parah. Kisah- 134 kasihnya dengan Chung Ye sudah layu sebelum
berkembang.
Beberapa tahun kemudian, Yung Lang bertemu
kembali dengan Chung Ye secara kebetulan. Saat itu Chung
Ye sudah menjadi wanita penghibur terkenal di paviliun
Awan Merah pimpinan Wu Niang sehingga meskipun Yung
Lang tidak mempunyai uang, Wu Niang tidak berani
menghalangi permintaan Chung Ye agar Yung Lang bebas
bertemu dirinya. Maka kemudian tiap beberapa hari sekali,
Yung Lang datang berkunjung ke paviliun Awan Merah
untuk berjumpa Chung Ye. Mereka hanya bercakap-cakap
dan bersenda gurau, minum serta mendengarkan Chung Ye
main musik tanpa melanggar tata krama kesusilaan sama
sekali. Meskipun Chung Ye kini adalah wanita penghibur,
tapi bagi Yung Lang ia tetap wanita kekasihnya sejak kecil
dulu.
Sayang sifat Yung Lang yang bebas dan ksatria ini
tidak disetujui oleh Fu Pu Cin. la melarang keras Yung Lang
untuk menemui Chung Ye lagi. Bagi Fu Pu Cin, nama besar
keluarga pedang Yung tetap harus dijaga meskipun kini
mereka hidup melarat dan dalam tekanan. Seorang gadis
penghibur bukanlah pasangan sepadan bagi Yung Lang.
Amatlah memalukan bagi Fu Pu Cin yang ingin
membangkitkan kembali Partai Golok Besi bila sampai
orang banyak mengetahui bahwa murid keponakannya
beristrikan seorang wanita penghibur. Perbedaan pandangan
antara Fu Pu Cin dan Yung Lang ini berulangkah membuat- 135 mereka bertengkar hebat. Yung Lang pun memutuskan
untuk tetap menemui Chung Ye meski secara diam-diam
tanpa sepengetahuan Fu Pu Cin. Inilah sebabnya mengapa
Yung Lang tidak pernah bercerita tentang Chung Ye kepada
Han Cia Sing dan teman-temannya yang lain.
"Begitulah kisah hidupku dengan Yung Lang" kata
Chung Ye mengakhiri penuturannya dengan suara bergelar.
Meskipun Chung Ye menceritakan kisah hidupnya
dan Yung Lang dengan biasa saja, tapi Han Cia Sing dapat
melihat mata Chung Ye sedikit berkaca-kaca. Tampaknya
banyak kepahitan hidup telah menempa Chung Ye menjadi
wanita yang tegar, meskipun tetap tidak bisa
menyembunyikan perasaannya yang halus. Han Cia Sing
dapat merasakan rasa cinta Chung Ye yang tulus kepada
Yung Lang melalui tiap usapan lembut handuk hangat yang
dilakukannya. Hanya saja nasib tidak ramah kepada kedua
anak manusia itu sehingga memisahkannya dari tali cinta
yang telah mereka bina sejak kecil.
"Chung Ye, jangan tinggalkan aku" kata Yung Lang
selengah tidak sadar sambil memegang tangan Chung Ye
yang memegang handuk hangat.
"Yung Lang, kedua temanmu ada di sini. Mereka
hendak menjemputmu" kata Chung Ye dengan sabar.
"Aku tidak ingin pulang. Aku ingin selalu
bersamamu" kata Yung Lang.- 136 "Ayolah, Yung Lang. Ma Xia dan Wongguo Yuan
sudah menunggu lama di bawah" kata Lin Tung dengan
tidak sabaran sambil menarik lengan Yung Lang agar segera
bangun.
"Chung Ye, terima kasih telah menjaga Yung Lang.
Kami harus segera pergi karena kedua teman kami sudah
menunggu lama" kata Han Cia Sing sambil menjura
mengucapkan terima kasih.
"Aku mohon kalian berdua agar menjaga Yung Lang.
Ia kelihatannya tidak terlalu baik suasana hatinya" kata
Chung Ye menunduk membalas ucapan terima kasih Han
Cia Sing.
"Kami pasti akan menjaganya. Nanti bila kami ada
waktu, kami pasti akan mengunjungimu lagi" kata Han Cia
Sing kemudian segera membantu Lin Tung memapah Yung
Lang yang masih setengah sadar.
Mereka bertiga turun melalui tangga yang penuh
sesak dengan pasangan yang dimabuk nafsu asmara.Wu
Niang masih sempat melontarkan kata-kata manis agar
mereka jangan lupa kembali lagi ketika Han Cia Sing, Lin
Tung dan Yung Lang meninggalkan gerbang paviliun Awan
Merah itu. Han Cia Sing sendiri merasa amat lega ketika
akhirnya mereka berhasil menjauhi tempat itu. Ia menarik
napas panjang yang diikuti juga kemudian oleh Lin Tung.
Mereka berdua berpandangan sambil tersenyum.- 137 "Sing ta-ke, untunglah kalian sudah kembali!"
teriakan Wongguo Yuan segera menyambut mereka begitu
mereka tiba di ujung lorong.
"A Yuan?! Mengapa engkau terlihat begitu tegang?"
tanya Lin Tung keheranan melihat wajah Wongguo Yuan
yang pucat.
"Xia-cie menghilang!" kata Wongguo Yuan hampir
menangis.
"A Yuan tenanglah. Apa maksudmu A Xia
menghilang?" tanya Han Cia Sing terkejut sekali.
"Tadi kami menunggu di ujung lorong ini dan Xia-cie
mengeluh bahunya yang terluka terasa sakit. Obat yang
diberikan bibi Cen juga sudah habis jadi aku pergi membeli
obat luka di toko obat. Ketika aku kembali tidak lama
kemudian. Xia-cie sudah tidak ada di sini sampai sekarang
kutunggu tidak juga kembali" kata Wongguo Yuan dengan
air mata mulai menetes.
"A Yuan, jangan menangis. Ini bukan salahmu.
Lagipula belum tentu terjadi sesuatu pada A Xia. Mungkin
saja ia sedang bosan menunggu dan berjalan-jalan melihat
keramaian. Begini saja, kalian berdua jaga dan coba
sadarkan Yung Lang. Aku akan mencari A Xia di dekatdekat sini" kata Han Cia Sing yang segera disetujui oleh Lin
Tung dan Wongguo Yuan.- 138 Han Cia Sing mula-mula mencari Ma Xia di tengahtengah keramaian pasar kotaraja gerbang barat itu tapi tidak
menemukannya. Kemudian ia bergegas keluar gerbang barat
menuju ke arah pedesaan. Jalanan malam hari itu cukup jelas
diterangi cahaya bulan sehingga Han Cia Sing bisa
menggunakan Guo Yin Sen Kung (Ilmu Melintasi Awan)
secepat yang ia bisa. Sekejap saja ia sudah sampai di hutan
sebelah barat kotaraja tapi tidak tampak Ma X ia sama
sekali.
Han Cia Sing sudah berpikiran untuk kembali ketika
ia mendengar suara pertarungan sayup-sayup terdengar.
Suara itu tidak terdengar jelas karena masih jauh tapi telinga
Han Cia Sing yang peka dapat menangkapnya. Segera saja
Han Cia Sing melesat ke udara dan berlarian dengan
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ringannya di atas pucuk-pucuk pepohonan hutan. Ia ingin
menyelidiki dulu apa yang terjadi baru memuluskan turun
tangan sehingga memilih lewat jalan alas pepohonan. Suara
pertarungan makin lama makin jelas ketika Han Cia Sing
akhirnya mendekati tempat pertempuran.
Lima bayangan saling menyerang dengan ganas di
keremangan hutan malam itu. Ilmu mereka semua hebat dan
tampaknya satu orang sedang dikeroyok empat lainnya.
Mata Han Cia Sing dipicingkan untuk melihat lebih jelas
pertarungan yang terjadi sekitar dua puluh tombak di
depannya itu. Han Cia Sing amat terkejut ketika menyadari
siapa yang tengah bertarung di tengah hutan malam itu.- 139 "Paman Ma dan Empat Wu Se (Lima Warna
Kematian)!" seru Han Cia Sing setengah tertahan.
Saat itu Ma Han Jiang memang tengah dikeroyok oleh
Empat Wu Se sampai kewalahan. Ilmu Ma Han Jiang tidak
rendah tapi kali ini ia dikeroyok Empat Wu Se sekaligus
sehingga hanya bisa bertahan saja. Beberapa bagian
tubuhnya sudah berdarah karena terluka oleh serangan
lawan. Keadaan Ma Han Jiang tampaknya berbahaya jika
pertarungan ini terus dilanjutkan. Ia benar-benar terkepung
dan tak dapat lari lagi.
"Mana tendanganmu yang hebat itu, pendekar Ma?"
ejek Hu Tou Pai Ying (Kepala Macan Bayangan Putih)
sambil mengayunkan tongkat besi cakar harimaunya
menyerang kaki Ma Han Jiang.
"Tuo Ming Cien Tao Ciao (Tendangan Kaki
Menggunting Pengejar Nyawa) apanya? Hanya membuangbuang nama besar saja" ejek Cien Tao Hong Ying yang terus
membabatkan kedua senjata mautnya menyerang tanpa
henti.
"Jangan hanya mengoceh saja. Cepat kita habisi dia
dan kita akan kaya. Imbalan dari ketua Huo Cin cukup untuk
hidup kita selama tujuh turunan" kata Tie Kung Jing Ying
sambil tertawa-tawa gembira.
"Kalian semua jangan bermimpi! Aku, Ma Han Jiang
tidak akan menyerah begitu saja kepada anjing-anjing Huo
Cin seperti kalian!" teriak Ma Han Jiang dengan sengit.- 140 "Kuda liar harus dijinakkan dulu baru tidak melawan.
Biar kulumpuhkan dulu kedua kakinya" kata Si Ge Hei Ying
langsung melemparkan piaunya.
Beberapa piau meluncur deras dari tangan Si Ge Hei
Ying ke arah kedua lutut Ma Han Jiang. Untunglah Ma Han
Jiang dengan sigap membuang tubuhnya ke samping
sehingga senjata rahasia lawan hanya menembus tanah. Cien
Tao Hong Ying dan Hu Tou Pai Ying tidak membuang
kesempatan ini dan langsung menyerang Ma Han Jiang
bersamaan. Golok pedang dan cakar besi menyambar dada
dan kepala Ma Han Jiang tanpa ampun.
Kali ini meskipun Ma Han Jiang bisa menghindar,
tetap saja dadanya terserempet cakar besi sehingga terluka
berdarah. Ma Han Jiang bergulingan ke belakang dan
bersiap menendang musuh yang datang tapi Tie Kung Jing
Ying sudah berada di belakangnya. Busur besi ditambah
tenaga dalam menghajar punggung Ma Han Jiang dengan
telak hingga ia terlempar dua tombak ke samping. Darah
segar mengalir dari bibir Ma Han Jiang dan napasnya
tersengal-sengal. Luka dalamnya tampak parah.
"Habisi dia!" teriak Si Ge Hei Ying dengan
bersemangat sekali melihat Ma Han Jiang yang sudah
melemah.
"Aku tidak akan menyerah" kata Ma Han Jiang
dengan geram.- 141 "Menyerah atau tidak, kau tetap akan mati malam ini"
kata Hu Tou Pai Ying yang sudah melompat tinggi ke atas
mengincar batok kepala lawan.
Saat itu sesosok bayangan menghadang laju serangan
Hu Tou Pai Ying dengan cepat sekali. Belum sempat Pai
Ying bersiap, dadanya sudah terkena sebuah tinju telak.
Tinju itu begitu keras sampai-sampai tubuh Pai Ying
terlempar kembali melewati tiga kepala Wu Se yang lain.
Pai Ying terbanting keras di tanah dan langsung
memuntahkan darah segar karena terluka dalam parah. Pai
Ying hanya bisa duduk bersila memulihkan tenaga dan
berusaha menyembuhkan luka dalamnya secepat mungkin.
"Kurang ajar! Lagi-lagi kau bocah busuk!" bentak
Cien Tao Hong Ying dengan marah sekali ketika menyadari
orang yang menyerang Pai Ying tidak lain adalah Han Cia
Sing.
"Dendam darah Cing Ying belum kaubayar waktu itu
dan sekarang kau sudah melukai Pai Ying! Kau benar-benar
hendak mencoba kekuatan Wu Se rupanya" kata Jing Ying
dengan marah.
"Hati-hati semua! la cukup tangguh. Ingat
pengalaman kita di Yi Chang" kata Si Ge Hei Ying
mengingatkan.
Ketiga Wu Se mengepung Han Cia Sing dengan rapat
sehingga tidak ada jalan mundur lagi. Han Cia Sing yang
dulu pernah bertarung dengan Wu Se di Yi Chang sehingga- 142 sudah tahu kekuatan lawan yang tidak main-main. Serangan
pertama datang dari golok pedang di sisi kiri kemudian
busur besi dari kanan. Piau beterbangan kemudian menyusul
dari tengah. Gabungan serangan ini tidak boleh diremehkan
sama sekali. Salah perhitungan sedikit saja maka akan
berakibat maut.
Han Cia Sing menggenjot tubuhnya ke atas dan
mengangkat kedua tangannya ke samping. Inilah permulaan
jurus Tien Ying Jie Du (Elang Langit Menerkam Kelinci),
salah satu jurus Pedang Elang Emas yang dapat
dikembangkan dengan cakar tanpa pedang. Serangan piau
meleset mendesing melewati kaki Han Cia Sing, sedangkan
Hong Ying dan Jing Ying juga kaget karena serangan
mereka gagal. Malah sekarang kepala mereka yang terbuka
bagi serangan lawan.
Kedua kaki Han Cia Sing menendang ke arah kepala
lawan yang dapat dihindari meski dengan susah payah.
Begitu tendangan gagal, kedua cakar segera turun
menyerang bergantian. Kali ini Hong Ying dan Jing Ying
tidak dapat mengelak lagi. Lengan mereka berdua tersabet
serangan Han Cia Sing dan terluka mengeluarkan darah.
Begitu mereka berdua mundur, giliran Hei Ying yang
menjadi sasaran serangan. Gerakan Han Cia Sing yang
menggunakan jurus-jurus Pedang Elang Emas begitu lincah
dan mengejutkan sehingga Hei Ying pun tidak sanggup
menerka arah gerakannya. Jurus yang digunakan Han Cia
Sing adalah Ying Ci Feng Pao (Elang Menerjang Badai)- 143 yang digabung dengan ilmu ringan tubuh Guo Yin Sen Kung
sehingga lebih lincah dan hebat. Badan Hei Ying langsung
terluka di beberapa tempat karena terkena sambaran cakar
Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh Dewa Linglung 20 Pinangan Iblis
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama