Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 22
elang Han Cia Sing.
"Kurang ajar! Lain kali kami pasti akan membuat
perhitungan denganmu!" teriak Si Ge Hei Ying sambil
melemparkan bom belerang ke arah Han Cia Sing untuk
menutupi pelariannya. Ketiga Wu Se yang lain juga segera
melakukan hal yang sama dan menghilang dari pandangan.
"Paman Ma, engkau tidak apa-apakah?" tanya Han
Cia Sing setelah melihat empat Wu Se itu sudah mundur
menghilang dalam kegelapan malam.
"Aku masih bisa menghajar mereka berempat
sebelum kau datang" kata Ma Han Jiang tidak mau
mengakui kekalahannya.
"Aku tahu" kata Han Cia Sing singkat saja.
"Uhukk"
Ma Han Jiang kembali memuntahkan darah segar
ketika berusaha bangkit berdiri. Tampaknya luka dalam
akibat pukulan busur besi Jing Ying cukup parah sehingga
tidak bisa langsung sembuh. Wajah Ma Han Jiang juga
terlihat pucat dan berkeringat banyak. Han Cia Sing segera
menahan tubuh Ma Han Jiang agar tidak jatuh terjerembab,
la duduk bersila di belakang Ma Han Jiang dan menyalurkan
tenaga dalam melalui kedua telapaknya. Tenaga hangat- 144 segera mengalir dalam tubuh Ma Han Jiang membantunya
untuk mengobati luka dalam. Beberapa saat kemudian,
wajah Ma Han Jiang berangsur-angsur segar kembali.
"Paman Ma sudah merasa baikan?" tanya Han Cia
Sing yang disambut anggukan lemah Ma Han Jiang.
"Paman Ma, aku tadi dalam perjalanan kemari sempat
melihat sebuah rumah petani di dekat sini. Lebih baik kita
minta tolong dulu kepada mereka agar paman Ma bisa
beristirahat menunggu pagi tiba. Kita harus segera
meninggalkan daerah ini sebelum Wu Se kembali dengan
bala bantuan" kata Han Cia Sing memberikan usulan.
"Iya aku kira lebih baik begitu" kata Ma Han Jiang
menyetujui.
Mereka berdua kemudian berjalan menuju pinggiran
hutan menuju rumah petani yang tadi dilihat oleh Han Cia
Sing. Lilin dalam rumah itu masih terlihat menyala
menandakan pemiliknya belum tidur. Han Cia Sing
mengetuk pintu rumah sederhana itu dengan pelan takut
mengganggu yang punya rumah. Sekejap kemudian pintu
rumah itu dibukakan oleh seorang laki-laki setengah umur
yang memakai pakaian sederhana. Ia tampak heran melihat
Ma Han Jiang dan Han Cia Sing yang datang malam-malam
itu. "Kalian berdua ada urusan apakah?" tanya paman itu
dengan logat utara yang kental.- 145 "Maafkan kami mengganggu paman malam-malam
begini. Pamanku dan aku sedang dalam perjalanan, tiba-tiba
pamanku terjatuh dan terluka. Aku mohon paman
mengijinkan kami bermalam semalam saja. Besok pagi-pagi
kami sudah pergi" kata Han Cia Sing dengan sopan.
Paman itu melihat wajah Han Cia Sing dan Ma Han
Jiang bergantian untuk memastikan mereka bukanlah orang
jahat. Saat itu dari dalam rumah keluar seorang wanita
setengah baya yang tampaknya adalah istri paman itu.
"Suamiku, siapa mereka ini?" tanya bibi itu dengan
logat utara yang kental.
"Mereka orang lewat sini hendak menginap karena
salah seorang terluka" jawab paman itu.
"Kalau begitu segera persilahkan mereka masuk.
Jangan menunggu di pintu saja" kata bibi itu sambil
membuka pintu mempersilakan mereka masuk.
Suasana dalam rumah itu memang sederhana tapi
bersih. Sebuah tikar dengan meja kecil diletakkan di tengah
ruangan. Beberapa tikar berlapis kain tebal diletakkan di
ruangan dalam sebagai tempat tidur. Beberapa lilin menyala
di lengah menerangi ruangan yang tidak terlalu besar itu.
Han Cia Sing dan Ma Han Jiang segera disuguhi teh hangat
oleh bibi yang kelihatan ramah itu.- 146 "Kalian tidurlah di dalam. Rumah kami memang
sederhana semoga tidak membuat kalian merasa tidak
nyaman" kata bibi itu dengan sopan.
"Tidak. Tidak sama sekali. Pamanku hanya perlu
beristirahat saja semalam" kata Han Cia Sing sambil
membungkuk hormat.
"Terima kasih" kata Ma Han Jiang sambil
membungkuk juga.
Han Cia Sing memapah Ma Han Jiang untuk tidur di
pembaringan sederhana itu. Bagi paman bibi pemilik rumah
itu, Han Cia Sing kelihatannya hanya duduk saja di sebelah
Ma Han Jiang. Padahal sebenarnya saat itu Han Cia Sing
sedang menyalurkan tenaga dalamnya kepada Ma Han Jiang
untuk mengurangi rasa sakit akibat luka dalam. Sebentar
kemudian Ma Han Jiang sudah tertidur dengan pulas. Han
Cia Sing memutuskan besok pagi saja ia mencari tahu
kembali keberadaan Ma Xia dan mengabari ketiga temannya
di gerbang barat kotaraja. Besok pagi ia juga ingin tahu
mengapa Ma Han Jiang berada di kotaraja dan diserang oleh
keempat Wu Se.
"Anak muda, pamanmu sudah tidur?" tanya paman
itu kepada Han Cia Sing yang dijawab dengan anggukan.
"Aku tadi melihat pamanmu terluka dan berdarah di
beberapa tempat. Apakah kalian diserang perampok hutan?"
tanya paman itu lagi.- 147 "Ehm, tidak. Pamanku hanya tidak hati-hati dan
terjatuh. Ia hanya perlu beristirahat" jawab Han Cia Sing
setengah berbohong.
"Syukurlah kalau ia tidak apa-apa. Nak, makanlah
bubur hangat ini. Meskipun sederhana lapi rasanya enak
sekali" kata bibi itu sambil menyodorkan semangkuk bubur
hangat kepada Han Cia Sing.
"Ah, terima kasih sekali. Bibi, engkau baik sekali"
kata Han Cia Sing buru-buru menerima mangkuk bubur
hangat itu.
"Kami bermarga Pai, jika anak muda tidak keberatan
boleh memberitahukan margamu kepada kami?" kata
paman bermarga Pai itu.
"Tentu saja paman Pai, namaku Han Cia Sing.
Panggil saja
aku Cia Sing" kata Han Cia Sing sambil
menghabiskan bubur hangat pemberian bibi Pai.
"Kalian berdua sedang menuju kotaraja?" tanya bibi
Pai. "Benar bibi Pai" jawab Han Cia Sing.
"Aku senang melihatmu. Engkau mengingatkanku
pada anakku yang sudah meninggal" kata bibi Pai dengan
mata berkaca-kaca sambil memandang wajah Han Cia Sing.- 148 "Anak paman dan bibi sudah tiada?" tanya Han Cia
Sing berusaha tidak membuat kedua orang tua itu semakin
sedih saja.
"Kami dulu pindah dari utara ke wilayah Qi untuk
berusaha ternak. Kami pikir dengan berusaha di daerah yang
ramai usaha kami akan maju. Putra kami yang selalu
meminta kami pindah dari utara. Ia ingin sekali hidup di kota
besar yang ramai sehingga akhirnya kami menurutinya.
Sayang sekali usaha kami di wilayah Qi gagal dan habis.
Bahkan putra tunggal kami juga meninggal di sana karena
keadaan cuaca yang berbeda membuatnya sakit" kata paman
Pai menjelaskan dengan mata berkaca-kaca.
"Maaf telah membuat paman dan bibi Pai sedih" kata
Han Cia Sing.
"Ah, tidak apa-apa. Semuanya sudah suratan takdir"
jawab paman Pai pasrah dan merangkul istrinya dengan
penuh kasih.
"Paman Pai, lalu mengapa paman dan bibi pindah ke
dekat kotaraja?" tanya Han Cia Sing lagi.
"Dulu kami mempunyai seorang keponakan angkat
wanita yang menikah dengan seorang di kotaraja. Kami
bermaksud menemuinya untuk minta bantuan, tapi
sayang..." paman Pai berhenti bicara dan menarik napas
panjang.- 149 "Tapi mengapa paman Pai?" tanya Han Cia Sing
heran.
"Mereka sekeluarga sudah dihukum mati karena
memberontak" jawab paman Pai sambil mengeluh.
"Siapakah nama keponakan paman?" tanya Han Cia
Sing yang merasa tubuhnya seakan kaku dan dingin.
"Nama keponakan angkat kami adalah Pai Lien"
jawab bibi Pai.
Jawaban bibi Pai yang singkat itu seakan-akan
bagaikan palu godam yang menggedor jantung Han Cia
Sing. Tidak disangka tidak dinyana, Han Cia Sing dulu
dikirim ke utara untuk bertemu saudara ibunya tidak
bertemu tapi sekarang malah bertemu secara tidak sengaja.
Mata Han Cia Sing langsung kabur karena berusaha
menahan haru. Tidak heran tadi ia merasa begitu dekat
dengan paman dan bibi Pai yang baru dikenalnya itu.
Ternyata memang cara dan gaya mereka bersikap amat
mirip dengan mendiang ibunya dulu. Tulus, jujur dan baik
hati.
"Cia Sing?! Mengapa engkau kelihatan terkejut?"
tanya paman Pai keheranan melihat perubahan sikap Han
Cia Sing.
"Paman dan bibi Pai, aku adalah anak dari mendiang
Pai Lien" jawab Han Cia Sing dengan suara serak.- 150 "Astaga! Langit telah mempertemukan keluarga kita
hari ini. Terima kasih, terima kasih! Mendiang ibumu masih
melindungimu" kata bibi Pai dengan amat gembira
mendengar pernyataan Han Cia Sing barusan.
"Kau benar-benar putra Pai Lien?!" tanya paman Pai
setengah tidak percaya melihat Han Cia Sing.
"Benar paman Pai. Aku Han Cia Sing adalah putra
mendiang Pai Lien" jawab Han Cia Sing dengan menahan
haru.
"Wajahmu memang mirip" kata paman Pai dengan
terharu.
"Sejak awal aku sudah merasa wajahmu mirip dengan
mendiang putra kami" kata bibi Pai sambil menghapus air
mata di wajahnya.
"Semua ini sudah diatur oleh langit" kata paman Pai.
"Aku sangat senang berjumpa dengan paman dan bibi
Pai" kata Han Cia Sing dengan tulus.
Mereka kemudian saling bertukar cerita hingga larut
malam mengenai diri masing-masing. Han Cia Sing
menceritaka dengan selengkap mungkin pengalamannya
mulai dari kematian Pai Lien sampai ia kembali ke kotaraja.
Perjanjiannya dengan Permaisuri Wu tentu saja tidak ia
ceritakan karena hal itu menyangkut nyawa ayahnya.
Sedangkan paman dan bibi Pai bercerita tentang banyak hal
sampai mereka tinggal di dekat kotaraja ini. Semua mereka- 151 ceritakan dengan rasa bahagia karena dapat bertemu
kembali dengan keluarga jauh.
"Paman dan bibi Pai, tadi kalian mengatakan bahwa
mendiang ibuku adalah keponakan angkat kalian, apakah itu
benar? Apakah mendiang ibuku bukan keluarga paman yang
asli?" tanya Han Cia Sing berusaha mencari kejelasan.
"Kami sebenarnya ingin menjelaskan sejak semula
kepada Pai Lien, tapi ketika kami tahu bahwa pria yang
menikahinya adalah seorang pejabat Tang, kami tidak berani
mengatakannya. Sejarah ibumu adalah sejarah dinasti
sebelumnya sehingga kami tidak bisa menjelaskannya
kepada ibumu. Kami takut ayahmu nanti akan memandang
rendah ibumu" jawab bibi Pai.
"Maksud bibi Pai?" tanya Han Cia Sing kurang mengerti.
"Cia Sing, ambillah ini. Tulisan ini adalah milik
kakek luarmu. Kau akan mengerti semuanya setelah
membacanya" kata paman Pai sambil mengambil selembar
kulit domba dari dalam kotak kayu kecil di bawah meja.
Tampaknya semua harta keluarga Pai yang tersisa ada di
dalam kotak kayu kecil itu.
"Terima kasih paman Pai" kata Han Cia Sing
menerima kulit domba itu.
"Bacalah itu. Kami akan tidur karena hari sudah
malam" kata bibi Pai sambil mengajak paman Pai
meninggalkan Han Cia Sing seorang diri.- 152 Han Cia Sing mengucapkan terima kasih kepada
kedua orang tua itu dan menunggu mereka berdua
beristirahat sebelum membuka gulungan kulit domba itu.
Hatinya berdebar-debar memikirkan apa isi kulit domba
yang berisikan banyak tulisan itu. Han Cia Sing membaca
kata demi kata dengan hati-hati dan semakin asyik membaca
sehingga tidak menghiraukan malam yang semakin larut.
Tulisan itu ditulis dengan gaya bahasa yang indah,
menunjukkan penulisnya adalah seorang sastrawan yang
terpelajar. Tulisan itu juga terbagi dalam beberapa bagian
yang menunjukkan waktu penulisan yang mungkin berbedabeda.
"Pada masa pemerintahan Da Ye tahun kesebelas
Kaisar Yang Guang yang agung, aku Pai Jin Rong yang
rendah, memberanikan diri mengajukan diri meminang putri
Shao sebagai istriku. Aku telah melayani dinasti Sui yang
agung selama hidupku dan putri Shao juga setuju menjadi
istriku. Namun Yang Mulia Kaisar Yang Guang tidak
mengindahkan ketulusan hati kami berdua dan menolak
pernikahan kami.
Putri Shao dijadikan sayembara untuk menarik orangorang gagah dari seluruh penjuru negeri untuk dijadikan
jenderal dinasti Sui yang agung. Akhirnya tiga pendekar
gagah maju sampai babak terakhir. Mereka adalah Yu Gan,
Chi Wei dan Fang Yung Li. Aku melihat sendiri kehebatan
mereka yang bagaikan dewa diturunkan dari langit.
Kekuatan mereka setara dengan seribu prajurit kerajaan dan- 153 dapat menarik sepuluh kereta kuda dengan satu tarikan saja.
Aku Pai Jin Rong merasa rendah di hadapan mereka.
Aku, Pai Jin Rong tidak pernah bersalah kepada langit
dan bumi. Cinta kami tulus dan sejati tak terpisahkan
bagaikan ikan dan air. Aku, Pai Jin Rong dengan bantuan
sahabat sejati melarikan diri dengan putri Shao ke utara
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meninggalkan dinasti Sui yang agung untuk selamalamanya. Kami bersumpah sehidup semati di hadapan
gunung sungai dan menjalani hidup suami istri bagaikan
sepasang kupu-kupu bebas di angkasa.
Namun langit mempunyai aturannya sendiri
menentukan kehidupan manusia. Aku dan istriku sudah
tidak mencari nama dan kekayaan dunia lagi tapi Yang
Mulia Kaisar Yang Guang terus mencari kami berdua. Aku
dan putri Shao setiap hari berjalan ke utara menjauhi dataran
tengah yang kami cintai untuk menghindari kejaran mereka.
Meskipun hidup kami susah tapi hati kami bahagia dan
jernih bagaikan aliran sungai gunung. Aku, Pai Jin Rong
bersumpah untuk sehidup semati dengan istriku, putri Shao.
Aku, Pai Jin Rong telah meninggalkan dunia dan
segala kekacauannya. Tapi ketiga pendekar tidak mau
melepaskan kami. Mereka terus mengejar ke utara dalam
usahanya mencari kami. Aku amat khawatir dengan keadaan
istriku yang lemah karena sering berjalan jauh dan kurang
makan. Aku, Pai Jin Rong sudah terbiasa hidup menderita
tapi putri Shao sedari kecil hidup di istana yang mewah.
Aku, Pai Jin Rong merasa amat berdosa kepada putri Shao.- 154 Langit dan bumi masih melindungi kami. Hari ini
kami bertemu seorang biksu tua berlengan satu yang
menolong istriku dari sakitnya. Keadaan istriku makin
melemah sehingga aku amat khawatir. Untunglah biksu tua
yang bijaksana itu membawa sedikit obat. Aku amat
berterima kasih kepadanya dan menceritakan semua
kejadian hidup kami kepadanya. Biksu tua itu hanya
tersenyum dan kemudian diam dalam semedinya.
Aku, Pai Jin Rong hari ini menyaksikan sendiri
kehebatan para dewa yang menjelma dalam diri para
pendekar dan biksu tua itu. Tiga pendekar berhasil menyusul
kami di utara dan aku sudah menyerahkah diri kepada langit
dan bumi untuk menerima jasadku. Tapi biksu tua itu
menolong kami berdua dengan mengalahkan ketiga
pendekar tadi. Gunung batu hancur dan bumi berguncang
keras ketika keempatnya bertarung. Biksu tua itu hanya
berkata Budha memberkati ketika aku menanyakan
namanya dan pergi. Aku, Pai Jin Rong yang rendah,
menyaksikan sendiri semua kejadian ini dengan mata kepala
sendiri.
Aku, Pai Jin Rong diberkati langit dan bumi dengan
seorang istri yang setia. Lima tahun kami dalam pelarian dan
sekarang kami tiba di sebuah desa kecil di utara bernama
desa Pei-An. Istriku amat menyukai desa kecil ini dan kami
memutuskan memulai hidup baru di sini. Aku juga bertemu
dengan seorang pemuda bernama Pai Fu dan mengangkat
saudara dengannya.- 155 Aku, Pai Jin Rong sudah dihukum langit dan bumi
sehingga kehilangan dua putri dan satu putra. Hari ini langit
dan bumi menghukumku lagi dengan keguguran istriku
yang kedua. Aku bersalah kepada istriku yang setia.
Aku, Pai Jin Rong sudah menikmati banyak
kebahagiaan di dunia. Hari ini istriku tercinta sudah
meninggalkan aku dengan seorang putri yang dilahirkannya.
Meskipun aku tidak bisa lahir pada hari yang sama dengan
istriku, tapi aku berharap bisa meninggal pada hari yang
sama dengannya. Putriku Pai Lien kutitipkan kepada
saudaraku yang baik Pai Fu den istrinya. Semoga langit dan
bumi membalas kebaikan mereka berdua"
Han Cia Sing menutup lembaran kulit domba itu dan
melipatnya dengan perlahan sebelum memasukkannya ke
dalam bajunya, la sama sekali tidak mengira bahwa riwayat
kakek dan neneknya akan sedemikian rumit. Kepalanya
terasa pening dan berat. Dalam dua hari ini ia sudah
mendapatkan banyak sekali hal yang selama ini ia tidak
pernah tahu. Hal tentang ayahnya yang masih hidup dan kini
masa lalu kakek dan neneknya dari pihak ibu. Apalagi
disebutkan tentang Fang Yung Li dalam catatan kakeknya
itu. Apakah Fang Yung Li itu sama dengan Setan Darah
yang selama ini ia kenal? Belum lagi Ma Xia yang tiba-tiba
menghilang.
Han Cia Sing menghela napas panjang. Tiba-tiba saja
ia merasa amat lelah dan mengantuk, la melihat kepada Ma
Han Jiang dan suami istri Pai yang tengah beristirahat- 156 dengan tenang. Tampaknya ia juga harus beristirahat malam
ini. Semua masalah dapat ditunda hingga hari esok. Han Cia
Sing membaringkan dirinya di tikar itu dan segera terlelap.
Sayang sekali ia tidur tidak nyenyak. Semua pikirannya
masih terbawa tidur hingga ia bermimpi yang tidak-tidak.
Tidurnya menjadi gelisah sekali sehingga ketika ia bangun
badannya terasa sakit semua.
"Cia Sing, pagi sekali bangunmu. Apakah tidurmu
tidak nyenyak?" tanya paman Pai yang sudah bangun dan
sedang duduk di samping tungku air.
"Iya, aku banyak pikiran setelah membaca catatan
kulit domba milik kakekku semalam" jawab Han Cia Sing.
"Aku amat mengagumi kakekmu. Sayang sekali ia
tidak berumur panjang" kata paman Pai sambil mengeluh.
"Apakah beliau meninggal tidak lama setelah nenek
meninggal?" tanya Han Cia Sing ingin tahu.
"Benar, kakekmu amat mencintai nenekmu. Ketika
nenekmu meninggal ketika melahirkan ibumu, ia langsung
jatuh sakit dan tidak mau makan. Beberapa hari kemudian ia
menyusul nenekmu" kata paman Pai sambil menghela napas
panjang.
"Ah, kalian berdua sudah bangun rupanya" kata bibi
Pai yang baru saja mengumpulkan kayu bakar di luar
membuka pintu masuk ke dalam. Langit di luar terlihat- 157 masih gelap memerah menandakan pagi masih baru akan
tiba.
"Iya bibi Pai" jawab Han Cia Sing.
"Aku akan masak air dan sedikit bubur untuk makan
pagi kita" kata bibi Pai sambil tersenyum ramah.
"Pamanmu itu apakah masih tidur?" tanya paman Pai
sambil menengok kepada Ma Han Jiang yang masih
terbaring.
"Aku akan melihatnya. Paman Pai, masih banyak
yang ingin kutanyakan pada paman Pai tentang kakek dan
nenekku. Bolehkah aku bertanya lagi nanti?" tanya Han Cia
Sing.
"Tentu, tentu saja boleh" jawab paman Pai.
Han Cia Sing mengangguk gembira kemudian
beranjak melihat keadaan Ma Han Jiang. Ia meraba kening
Ma Han Jiang dan menghela napas lega. Ma Han Jiang tidak
demam adalah sebuah pertanda baik. Han Cia Sing duduk di
sebelah Ma Han Jiang menunggu paman angkatnya itu
bangun. Ternyata ia tidak perlu menunggu lama karena
sebentar kemudian Ma Han Jiang sudah membuka matanya
dan duduk.
"Paman Ma, apakah paman sudah merasa baikan?"
tanya Han Cia Sing.- 158 "Iya, aku sudah baik. Luka dalam kemarin terasa
sudah sembuh" jawab Ma Han Jiang sambil mencoba
menggerakkan punggungnya.
"Aku senang paman Ma baik-baik saja. Bagaimana
paman Ma sampai bisa dikeroyok oleh empat Wu Se?" tanya
Han Cia Sing.
Ma Han Jiang hanya terdiam dengan mata
menerawang.
"Paman Ma?!" tegur Han Cia Sing melihat Ma Han
Jiang hanya terdiam saja tanpa menjawab.
"Aku kemarin mencoba menemui Yao Chuen" kata
Ma Han Jiang.
"Maksud paman, keluarga Yao di kotaraja?" tanya
Han Cia Sing meyakinkan dirinya sendiri.
"Benar, keluarga Yao di kotaraja" jawab Ma Han
Jiang.
Ma Han Jiang kemudian mulai bercerita mulai
perpisahannya dengan keempat nona Yao beberapa bulan
lalu di Yi Chang. Ma Han Jiang memang amat
mengkhawatirkan keadaan Yao Chuen sejak mereka
berpisah di Yi Chang. la sudah berusaha keras menahan
keempat nona Yao untuk tidak kembali ke kotaraja tapi
mereka tetap berkeras kembali. Empat nona Yao lebih
mengkhawatirkan Nyonya Tua Yao jika mereka tidak
kembali ke kotaraja. Ma Han Jiang pun terpaksa berpisah- 159 kembali dengan kekasih hatinya, Yao Chuen. Hatinya
kembali gersang setelah sempat tersiram hujan harapan
meski hanya sesaat.
Ma Han Jiang begitu terkejut ketika beberapa hari
yang lalu ia mendengar keluarga Yao dijadikan tahanan
rumah oleh kerajaan. Meskipun Huo Wang-ye mengatakan
Yang Mulia Kaisar tidak akan mampu menghukum keluarga
Yao karena mereka mempunyai tongkat pemberian
mendiang kaisar sebelumnya, tapi hati Ma Han Jiang tetap
tidak tenang, la segera mohon diri dari kediaman Huo
Wang-ye dan bergegas menuju kotaraja. Tujuannya hanya
satu yaitu menemui Yao Chuen pujaan hatinya.
Tidak heran begitu Ma Han Jiang tiba di kotaraja
setelah perjalanan jauh, ia langsung bergegas menuju
kediaman keluarga Yao tanpa beristirahat dulu. Ma Han
Jiang menunggu malam tiba sebelum berusaha menyusup ke
dalam kediaman keluarga Yao yang sudah dijaga ketat
pasukan kerajaan. Ma Han Jiang tidak mengira kasim Huo
Cin telah memerintahkan empat Wu Se untuk menjaga
kediaman keluarga Yao sehingga ia langsung dipergoki
mereka ketika berusaha masuk melalui jalan belakang.
Keadaan tubuhnya yang masih lelah bukan tandingan empat
Wu Se yang ganas itu. Jika saja Han Cia Sing tidak datang
kemarin malam, mungkin Ma Han Jiang sudah tertawan
oleh mereka.
"Jadi paman Ma belum bisa bertemu dengan keluarga
Yao?" tanya Han Cia Sing.- 160 "Belum" jawab Ma Han Jiang singkat.
"Bagaimana kalau nanti malam kita coba lagi?" saran
Han Cia Sing.
"Percuma. Huo Cin pasti telah memperketat
penjagaan" kata Ma Han Jiang menggelengkan kepalanya.
"Paman Ma, aku juga ingin berbagi cerita dengan
paman" kata Han Cia Sing sambil duduk di depan Ma Han
Jiang.
Han Cia Sing kemudian bercerita tentang
perjalanannya dari kediaman Huo Wang-ye sampai bertemu
dengan Ma Han Jiang di dalam hutan kemarin malam. Han
Cia Sing sebenarnya ingin
bercerita tentang ayahnya yang dikabarkan masih
hidup, tapi hatinya masih ragu-ragu sehingga tidak
diceritakan. Ia melompati bagian pertemuannya dengan
Permaisuri Wu dan langsung saat ia diserang Tiga Penguasa
Tebing Setan sampai pertemuan kemarin dengan Ma Han
Jiang.
"Jadi Tiga Penguasa Tebing Setan sudah turun
gunung begitu mendengar kabar kehancuran Tien Lung
Men" kata Ma Han Jiang menggeleng sedih.
"Benar paman Ma. Ilmu mereka juga luar biasa
tangguh" kata Han Cia Sing.- 161 "Dan sekarang Ma Xia juga menghilang katemu?
Apakah mungkin ini perbuatan mereka ?" tanya Ma Han
Jiang.
"Aku tidak tahu. Ma Xia tiba-tiba saja menghilang"
jawab Han Cia Sing.
"Tapi langit sudah mempertemukanmu dengan
keluarga ibumu. Ini adalah suatu berkah tidak terduga yang
harus kau syukuri juga" kata Ma Han Jiang mencoba
menguatkan Han Cia Sing yang dijawab dengan anggukan.
Saat itu paman Pai memanggil mereka berdua untuk datang
ke depan.
"Ada apa paman Pai?" tanya Han Cia Sing.
"Ada tiga orang anak muda di depan rumah.
Kelihatannya mereka mencarimu" jawab paman Pai.
Han Cia Sing mengucapkan terima kasih dan
bergegas menuju ke depan rumah sederhana itu diikuti oleh
Ma Han Jiang. Ternyata di depan pintu rumah, bibi Pai
tengah berbincang dengan Yung Lang, Lin Tung dan
Wongguo Yuan.
"Kalian teman-teman!" seru Han Cia Sing.
"Ah, mereka teman-temanmu ya Cia Sing. Aku ke
dalam dulu ya, bubur sudah hampir masak" kata bibi Pai
minta diri.- 162 "Cia Sing, kemana saja kau semalaman?! Kami
mencemaskan dirimu" kata Yung Lang begitu bibi Pai
masuk ke dalam rumah.
"Aku kemarin bertemu paman Ma Han Jiang di
hutan" kata Han Cia Sing berusaha menenangkan
sahabatnya itu sambil menunjuk kepada Ma Han Jiang yang
baru saja keluar dari dalam rumah.
"Pendekar Ma" kata tiga teman Han Cia Sing
serempak menjura hormat.
"Kalian sampai di sini juga rupanya. Maafkan Cia
Sing, karena aku, dia jadi tidak bisa kembali menemui
kalian" kata Ma Han Jiang sambil membungkuk minta maaf.
"Eh, tidak apa-apa kok pendekar Ma" kata Yung Lang
buru-buru karena merasa tidak enak. Bagaimanapun Ma
Han Jiang adalah pendekar senior yang terkenal sehingga
mereka merasa tidak enak jika harus menerima
penghormatan dan permintaan maaf darinya.
"Kalian semua masuklah ke dalam. Bubur sudah
disiapkan oleh istriku. Maaf jika nantinya tidak cukup. Kami
tidak mengira akan kedatangan banyak tamu seperti ini"
kata paman Pai dengan ramah.
Mereka berlima masuk ke dalam rumah yang
sederhana itu sehingga ruangan dalam yang kecil terasa
sesak sekali. Bau bubur menerbitkan selera sehingga mereka- 163 merasa sangat lapar. Perut Lin Tung berbunyi paling keras
sehingga Yung Lang tidak dapat menahan tawanya.
"Maaf" kata Lin Tung dengan muka merah menahan
malu.
"Ah, tidak apa-apa. Anak muda memang harus makan
banyak agar kuat" kata bibi Pai menenangkan sambil
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuang bubur ke mangkuk masing-masing.
"Terima kasih" kata mereka berlima kepada bibi Pai.
"Makanlah hidangan sederhana ini. Jangan sungkan"
kata paman Pai.
"Mari makan paman Pai" kata Han Cia Sing. "Mari
semua" kata mereka serempak.
Bubur hangat yang dimasak bibi Pai benar-benar
enak. Rasa ayam dan bubur yang hangat terasa memenuhi
tenggorokan dan perut mereka. Apalagi bagi Han Cia Sing
yang semalaman tidur tidak enak, bubur itu terasa
memulihkan tenaga dan pikirannya. Lin Tung dan Yung
Lang bahkan tidak sungkan-sungkan minta tambah.
Selelah selesai makan, mereka semua saling bertukar
cerita masing-masing. Teman-teman Han Cia Sing merasa
ikut gembira karena Han Cia Sing bisa bertemu dengan
keluarga jauhnya dari utara. Mereka tahu selama ini Han Cia
Sing merasa begitu sendiri dan kesepian setelah kehilangan
keluarga dan Lu Xun Yi. Ada keluarga meskipun keluarga
jauh tetap lebih baik daripada hidup sebatang kara. Mereka- 164 berlima akhirnya mengatur rencana untuk mencari Ma Xia
dulu, kemudian berusaha menyusup ke kediaman keluarga
Yao dan terakhir pergi ke Yin Chuang untuk mengikuti
pertemuan pendekar. Tugas kemudian dibagi antara mereka.
Han Cia Sing, Ma Han Jiang dan Yung Lang berpencar
mencari Ma Xia di sekeliling kotaraja. Lin Tung dan
Wongguo Yuan akan mencoba mencari tahu keadaan di
sekilar kediaman keluarea Yao.
Mereka berlima segera berangkat setelah
mengucapkan perpisahan dengan paman dan bibi Pai.
"Cia Sing, setelah urusanmu selesai mampirlah di
sini" kata paman Pai.
"Paman Pai, aku pasti akan menengok kalian Kata
Han Cia Sine sambil tersenyum lebar.
Han Cia Sing melambaikan tangannya dan bergegas
menyusul teman-temannya. Paman dan bibi Pai saling
berpandangan dengan gembira. Mereka akhirnya juga tidak
sendirian tanpa keluarga di dunia ini. Perjalanan jauh
mereka dari daerah Qi ternyata tidak sia-sia juga. Gagal
bertemu Pai Lien dan Han Kuo Li. mereka malah bisa
bertemu dengan Han Cia Sing. Memang rencana langit
selalu aneh dan tidak bisa ditebak oleh manusia. Namun hati
Han Cia Sing masih agak gelisah karena Ma Xia tiba-tiba
hilang tak tentu rimbanya. Sebenarnya kemanakah Ma Xia
dibawa oleh Ejinjin malam itu?- 165 Ma Xia benar-benar menderita karena lengannya
yang cedera ditelikung terus sepanjang perjalanannya oleh
Ejinjin. Air mata sudah hampir menetes di pelupuk mata Ma
Xia karena menahan sakit. Satu-satunya hal yang mencegah
ia menjerit atau menangis hanyalah harga dirinya yang tidak
mau terlihat lemah di depan Ejinjin. Ma Xia malah memakimaki Ejinjin sepanjang jalan sehingga membuat Ejinjin
makin gusar.
Akhirnya tiba juga mereka di depan sebuah rumah
mewah di pinggiran gerbang selatan kotaraja. Rumah
mewah itu memang disewa oleh Wen Yang untuk
menampung para pendekar dari utara yang membantunya.
Shi Chang Sin, Ma Pei, Si Ta Hao Ren, Ejinjin, Balsan dan
Ma Wen semuanya tinggal di rumah besar itu. Beberapa
penjaga bertampang seram yang tidak lain adalah anak buah
Ceng Lu Hui tampak berjaga-jaga di depan gerbang rumah
dengan golok terhunus. Gerbang juga tertutup rapat
sehingga tamu yang tidak diundang tidak akan mudah
masuk begitu saja.
Tiga tandu yang ditumpangi oleh Ejinjin, Ma Wen
dan Balsan langsung dikenali oleh para penjaga sehingga
bisa masuk tanpa diperiksa lagi. Tandu itu terus masuk ke
bagian tengah rumah dan berhenti untuk menurunkan para
penumpangnya. Ma Wen dan Balsan mendahului masuk ke
dalam aula tengah yang luas dan segera meminta pelayan
memanggil Ma Pei. Sementara Ejinjin masih tertinggal di
belakang karena kesulitan mengendalikan Ma Xia yang- 166 memberontak terus. Mereka berdua bergumul terus
sehingga menimbulkan keributan di halaman tengah.
"Ada apa ini? Mengapa ribut sekali?!" bentak Ma Pei
yang keluar dari ruang dalam karena mendengar suara
keributan.
"Ayah! Aku berhasil membawa adik kembali!" seru
Ma Wen dengan bangga sekali.
"A Xia?! Di mana dia sekarang?" tanya Ma Pei
dengan tergopoh-gopoh begitu mendengar nama Ma Xia
disebut. "Ia sedang di luar bersama Ejinjin" jawab Ma Wen.
Ma Pei segera bergegas ke halaman tengah diikuti oleh Ma
Wen dan Balsan. Saat itu Ma Xia dan Ejinjin masih tengah
bergelut dengan serunya, masing-masing tidak ingin kalah
dari lawannya. Pertarungan gulat seperti suku-suku di utara
ini berlangsung cukup seimbang andai saja lengan Ma Xia
tidak terluka. Kemampuan Ma Xia dalam gulat sebenarnya
cukup lumayan karena sedari kecil ia sudah berlatih dengan
orang-orang klan Tien Huo, tapi sekarang ia tidak bisa
mengimbangi Ejinjin karena lukanya berdarah kembali.
Rasa nyeri yang sangat membuat Ma Xia tidak dapat
memusatkan perhatian melepaskan diri dari jepitan Ejinjin.
"A Xia berhenti! Jangan tidak sopan kepada
suamimu!" bentak Ma Pei dengan geram sekali.
"Ia bukan suamiku! Lepaskan kau kurang ajar!" kata
Ma Xia sambil tetap bergelut dengan serunya.- 167 "Dasar gadis liar!" bentak Ma Pei sambil terbang ke
arah Ma Xia.
Gerakan Ma Pei begitu cepat hingga tidak tertangkap
mata Ma Wen dan Balsan maupun Ejinjin. Tiba-tiba saja Ma
Xia sudah tertotok di pinggang dan punggungnya sehingga
tidak mampu bergerak lagi. Ilmu tolok darah Ma Pei
memang terkenal hebat dan bukan omong kosong. Satu
gerakan saja sudah mampu membuat Ma Xia tak berkutik
sama sekali.
"Ayah! Lepaskan totokanku!" kata Ma Xia sambil
berusaha bergerak tapi tidak mampu sama sekali.
"A Xia diam! Jika kau masih terus berteriak-teriak,
aku akan menotok jalan bicaramu juga" kata Ma Pei dengan
marah sekali.
"Paman Ma, anda datang tepat pada waktunya" kata
Ejinjin memuji.
"Ilmu paman Ma memang hebat" kata Balsan yang
paling pintar menjilat.
"Sudahlah, ini bukan apa-apa. Aku senang akhirnya
putriku bisa kembali. Perjanjianku dengan tetua Sinlin
berarti dapat kutepati. Aku tidak malu lagi kembali ke utara"
kata Ma Pei.
"Ayah! Aku tidak mau menikah dengan Ejinjin!"
teriak Ma Xia.- 168 "Diam! Dasar gadis liar! Berani kau membohongi
ayahmu dulu dengan mengatakan kau telah hamil dengan
bocah busuk itu?! Aku belum membuat perhitungan
denganmu untuk hal itu dan sekarang kau masih hendak
membantah?!" sergah Ma Pei dengan gemas.
"Aku tidak peduli, aku..."
"Plakkk!"
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ma Xia
sehingga langsung membuatnya terdiam. Air mata yang
ditahannya sejak tadi akhirnya mengalir juga di pipinya
yang merah lebam akibat tamparan ayahnya. Ma Pei sendiri
terlihat tidak peduli dengan tangisan Ma Xia. Ia malah
memandang marah kepada Ma Xia yang dianggapnya
kurang ajar itu.
"Gadis liar! Aku adalah ayahmu dan berhak
menjodohkanmu dengan siapapun yang aku anggap pantas!
Ejinjin adalah anak seorang kepala suku besar, apa yang
masih kurang darinya?!" tanya Ma Pei dengan gusar.
"Paman Ma Pei, mungkin ia tertarik kepada bocah
Han Cia Sing itu" kata Balsan yang paling senang
memanaskan suasana.
"Balsan, kau..."
"Sudah!" tukas Ma Pei sebelum Ma Xia sempat
berkata-kata lagi.- 169 "Mulai hari ini kau kukurung di tempat ini. Nanti kau
juga ikut ke Yin Chuang setelah itu kita kembali ke utara
untuk melaksanakan pernikahan di depan ketua Sinlin. Ini
adalah keputusan mutlak dariku" kata Ma Pei dengan tegas
sekali.
"Ayah..."
Ma Xia tidak sempat berkata apa-apa lagi karena Ma
Pei dengan tangkas sekali menotok titik darah di leher Ma
Xia. Segera saja Ma Xia menjadi bisu tidak dapat berkata
apa-apa lagi. Ia hanya bisa pasrah dipapah dua orang
pelayan masuk ke dalam kamar yang sudah disiapkan
untuknya. Ejinjin dan Balsan tersenyum-senyum puas
menyaksikan Ma Xia tidak mampu berbuat apa-apa seperti
kerbau dicocok hidungnya.
"A Wen, kita tidak sia-sia datang jauh dari utara untuk
mencari A Xia. Sekarang ia sudah berada dalam genggaman
kita" kata Ejinjin kepada Ma Wen dengan gembira.
"Benar Ejinjin, adikku itu memang harus diajari
sopan santun dan hormat pada suami supaya nanti tidak
kurang ajar" kata Ma Wen yang sama sekali tidak merasa
kasihan atas nasib Ma Xia.
"Ejinjin dan Balsan, aku ucapkan terima kasih kepada
kalian telah menemukan putriku. Sekarang hatiku terasa
lebih lega dan tenang. Nanti aku akan menyerahkan Ma Xia
sendiri kepada ayahmu sebagai rasa permintaan maafku
padanya" kata Ma Pei.- 170 "Paman Ma Pei tidak usah terlalu sungkan" kata
Ejinjin berbasa-basi.
"Nah, sekarang hari sudah malam. Kalian semua
tidurlah. Beberapa hari lagi kita akan pergi ke Yin Chuang
untuk pertemuan para pendekar. Kasim Huo Cin sudah
menjanjikan banyak emas dan perak jika kita mendukung
Wen Yang sampai berhasil menjadi ketua dunia persilatan.
Jangan lupa itu" kata Ma Pei menutup pembicaraan.
Ejinjin, Balsan dan Ma Wen menjura hormat kepada
Ma Pei yang berjalan masuk kembali ke dalam. Setelah Ma
Pei masuk, ketiga pemuda berandalan itu tidak beranjak
tidur tapi malah membuka beberapa kendi arak dan minumminum kembali. Kegembiraan mereka karena berhasil
menemukan Ma Xia kembali dirayakan dengan bermabukmabukan. Inilah memang kegemaran para berandalan
seperti mereka bertiga yaitu mabuk, judi dan main
perempuan. Benar-benar menjemukan sekali!
"Eh, Ejinjin, apakah engkau tidak ingin memeluk A
Xia sekarang?" goda Balsan memancing penasaran
kakaknya itu.
"Ah, buat apa memeluk adikku itu Balsan?! Di
kotaraja ini banyak sekali gadis-gadis cantik yang lain,
bukankah demikian Ejinjin?" kata Ma Wen.
"Kau memang paling mengerti diriku, heheheheh.
Balsan, A Xia itu harus kubawa ke depan semua suku kita
dan kuhajar habis-habisan. Baru begitu martabatku di depan- 171 mereka dapat pulih kembali. Kurang ajar sekali berani
melarikan diri dariku!" kata Ejinjin yang sudah mabuk itu.
"Hahahhaha, setuju, setuju!" kata Balsan dan Ma
Wen serempak.
Nasib Ma Xia memang benar-benar malang jatuh
kembali ke tangan Ejinjin yang kasar dan berandalan itu.
Apalagi ayah dan kakaknya juga tidak membelanya sama
sekali. Apakah ini nasib yang harus diterima oleh Ma Xia
selama sisa hidupnya? Dapatkah Han Cia Sing menemukan
dan menolongnya dari kemalangan yang akan menimpa
dirinya itu?- 172 45. Kebijaksanaan Tien Gong
Kota Yin Chuang adalah sebuah kota di kaki gunung
Song dan berada di sebelah barat laut Xu Chang. Kota ini
cukup besar dan ramai terutama dilewati oleh para
pengunjung yang akan berziarah ke biara Shaolin di gunung
Song. Daerahnya juga cukup makmur berkat perdagangan
dan pertanian. Penduduk Yin Chuang sebenarnya sudah
terbiasa melihat orang asing yang melewati daerah mereka
tapi mereka merasa beberapa hari belakangan ini jumlah
pendatang semakin banyak dan aneh-aneh. Hal ini
dikarenakan waktu pertemuan para pendekar semakin
mendekat sehingga ratusan pendekar dari seluruh penjuru
negeri datang di Yin Chuang. Kebanyakan dari mereka
cukup sopan tapi banyak juga, terutama anggota Ceng Lu
Hui, yang kasar dan kurang ajar sehingga menimbulkan
kegelisahan penduduk Yin Chuang.
Seluruh penginapan besar dan kecil kebanyakan
sudah penuh sampai-sampai beberapa rumah penduduk
yang cukup besar dipaksakan untuk menjadi penginapan.
Puluhan bendera berbagai macam perguruan
menyemarakkan jalanan kota. Bendera paling banyak tentu
saja bendera perguruan Ceng Lu Hui sebagai pihak
pengundang. Sebuah panggung besar berukuran tiga puluh
kali tiga puluh tombak juga sudah didirikan di barat kota Yin
Chuang, di dekat sebuah kolam kecil yang bernama Kolam
Sembilan Naga. Panggung itu sengaja didirikan menghadap- 173 ke arah gunung Song. seakan-akan hendak menantang biara
Shaolin. Ini memang perintah Wen Yang yang sengaja ingin
membuat suasana tegang dengan perguruan Shaolin.
Begundal Ceng Lu Hui paling cocok untuk
memperkeruh suasana sebelum pertemuan para pendekar
tidak lain tidak bukan adalah Hu Kung Ye. Setiap hari ia dan
anak buahnya selalu menyebarkan cemoohan terhadap biara
Shaolin di kalangan penduduk Yin Chang. Bahkan para
biksu Shaolin yang turun gurun meminta derma ke Yin
Chuang dihalang-halangi dan dihina oleh para begundal
Ceng Lu Hui. Hal ini tentu disengaja untuk mencari
permusuhan dengan perguruan Shaolin dan membuat marah
Fang-cang (Kepala Biara) Tien Gong agar nantinya mau
datang menghadiri pertemuan para pendekar.
Kisah para begundal Ceng Lu Hui yang kurang ajar
terhadap biksu Shaolin memang akhirnya sampai ke telinga
Fang-cang Tien Gong. Para biksu senior mengeluhkan
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelakuan pengikut Ceng Lu Hui ini kepada Fang-cang Tien
Gong karena sudah tidak tahan lagi. Dua biksu paling senior
di bawah Fang-cang yaitu biksu Tien Fa dan biksu Tien Cin
yang melaporkan kelakuan kurang ajar Ceng Lu Hui ini
langsung kepada Tien Gong pada suatu sore yang cerah
setelah meditasi selesai.
"Amitabha, Fang-cang. Kami hendak mengatakan
sesuatu kepada Fang-cang" kata biksu Tien Fa membuka
pembicaraan.- 174 "Amitabha, san-cai. Se-ti (adik seperguruan) apakah
yang hendak kaukatakan?" tanya Tien Gong.
"Kami hendak memberitahukan tentang kelakuan
para pengikut Ceng Lu Hui yang semakin kurang ajar
kepada para biksu kita di kota Yin Chuang belakangan ini"
jawab Tien Fa.
"Benar Fang-cang. Beberapa muridku juga
mengatakan kelakuan pengikut Ceng Lu Hui semakin
keterlaluan. Bahkan kemarin mereka merampas beras
pemberian penduduk yang diberikan kepada kami" kata
Tien Cin menambahkan keterangan Tien Fa.
"Amitabha, cui-kuo (berdosa). Keinginan manusia
selalu membawa kepada kehancuran dan kesesalan.
Ketamakan selalu berakibat buruk, mengapa harus selalu
dilakukan?!" kata Tien Gong dengan sedih sambil
merangkapkan kedua tangannya di dada.
"Fang-cang, mereka juga mendirikan panggung besar
menghadap ke gunung Song. Tampaknya Ceng Lu Hui
benar-benar ingin menantang perguruan Shaolin" kata Tien
Fa. "Amitabha, aku memang sudah memperkirakan hal
seperti ini akan terjadi setelah kejatuhan partai Tien Lung
Men. Jabatan ketua dunia persilatan tidak akan lowong
terlalu lama. Para pendekar persilatan terlalu tamak untuk
membiarkan jabatan itu kosong" kata Tien Gong sambil
menghela napas panjang.- 175 "Fang-cang, apakah sikap yang akan kita ambil dalam
pertemuan para pendekar nanti? Ceng Lu Hui pasti akan
menantang Shaolin secara terang-terangan karena kitalah
penghalang terakhir ambisi mereka menguasai dunia
persilatan" kata Tien Cin meminta saran.
"Amitabha, Budha maha pengasih. Kuil Shaolin
adalah tempat para biksu bukan para pendekar, kita tidak
perlu terlibat terlalu jauh dalam perebutan jabatan ketua
dunia persilatan" kata Tien Gong.
"Fang-cang, maksud anda kita tidak akan bertarung?"
tanya Tien Fa.
"Se-ti, kekuasaan ibarat meminum air laut. Semakin
banyak yang diminum akan semakin haus. Kita para biksu
tidak perlu terlibat dalam hal ini" kata Tien Gong
menegaskan.
"Apakah kita akan diam saja melihat Ceng Lu Hui
menguasai dunia persilatan?" tanya Tien Cin setengah tidak
percaya.
"Amitabha, san-cai, san-cai. Puluhan tahun lalu Tien
Lung Men juga menantang biara Shaolin demi mendapatkan
pengakuan sebagai yang terhebat. Jien Wei Cen mengalahkanku dalam pertarungan adil dan memimpin dunia
persilatan tapi kemudian juga musnah seperti daun gugur
tertiup angin. Semua itu tidak kekal" kata Tien Gong
menjelaskan.- 176 "Tapi Ceng Lu Hui berbeda dengan Tien Lung Men.
Para pengikut mereka sebagian besar adalah perampok dan
begal. Kelompok mereka bukanlah mengutamakan
kebaikan melainkan ketamakan. Aku khawatir dunia akan
kacau jika kekuasaan dipegang oleh mereka" kata Tien Fa.
"Amitabha, Budha maha pengasih. Aku juga sadar
akan hal itu sehingga mengirimkan Paman Guru Lu Xun Yi
ke Yi Chang. Tapi langit sepertinya berkehendak lain dan
memilih kehancuran Tien Lung Men. Bahkan Paman Guru
Lu Xun Yi sampai sekarang juga tidak ada kabar beritanya.
Aku khawatir sesuatu yang buruk menimpanya" kata Tien
Gong.
"Fang-cang, tidak perlu terlalu khawatir. Ilmu Paman
Guru sudah amat tinggi dan tidak mudah mencari
tandingannya. Aku yakin sebentar lagi pasti akan ada kabar
beritanya" kata Tien Cin.
"Amitabha, semoga saja" kata Tien Fa menambahkan. "Apakah nanti kita akan hadir dalam pertemuan para
pendekar?" tanya Tien Cin kepada Tien Gong.
"Amitabha, san-cai, san-cai. Kita sudah diundang,
kita tentu saja datang dengan niat baik. Se-ti berdua, kalian
siapkan diri bersama beberapa murid terpilih untuk turun
gunung pada harinya nanti" jawab Tien Gong.- 177 "Amitabha" jawab Tien Fa dan Tien Cin bersamaan
sambil merangkapkan tangan mereka di dada.
Pada saat itu seorang murid Shaolin berlarian ke arah
mereka dan segera merangkapkan kedua tangannya di dada
begitu tiba di hadapan mereka.
"Fang-cang, kedua tetua, murid memberitahukan ada
tamu yang hendak bertemu dengan Faig-cang" kata murid
Shaolin itu.
"Amitabha, siapakah yang daang?" tanya Tien Gong.
"Mereka ada enam orang, lima pria dan satu wanita.
Mereka menunggu di kaki gunung. Salah seorang di
antaranya mengaku bernama Ma Han Jiang" jawab murid
Shaolin itu.
"Oh?! Ma Han Jiang?!" seru Tien Gong terkejut.
"Pendekar Tendangan Kaki Menggunting Ma Han Jiang?!
Ada keperluan apakah hendak menemui Fang-cang?" kata
Tien Fa
"Amitabha, segera persilakan mereka menuju ke balai
utama. Kami akan menemui mereka di sana" kata Tien
Gong.
"Murid mengerti" kata murid itu sambil segera berlari
kembali menuju ke arah gerbang utama Shaolin.
"Fang-cang, apakah pendekar Ma hendak membahas
tentang pertemuan para pendekar di Yin Chuang?" tanya
Tien Cin.- 178 "Amitabha, kedua Se-ti, kiranya kita lebih baik segera
menemui mereka daripada menebak. Bertemu dan berbicara
langsung akan jauh lebih baik" kata Tien Gong.
"Baik Fang-cang" jawab Tien Fa dan Tien Cin
serempak.
Ketiga biksu itu segera berjalan menuju balai utama.
Beberapa murid Shaolin yang hendak menyalakan lilin dan
lampion memberikan salam hormat ketika berpapasan
dengan mereka. Sementara itu di kaki gunung tempat
gerbang utama Shaolin, murid yang tadi menemui Fangcang Tien Gong sudah tiba dan mempersilakan rombongan
Ma Han Jiang naik ke biara Shaolin. Rombongan tamu itu
terdiri dari Ma Han Jiang, Han Cia Sing, Yung Lang, Lin
Tung, Wongguo Yuan dan Wongguo Luo yang bertemu
mereka beberapa hari lalu di kotaraja.
"Yung Lang, apakah kau tidak bisa menghibur Cia
Sing" kata Lin Tung dengan suara direndahkan.
"Bukankah sudah kukatakan berulangkah, bukan aku
yang bisa menghiburnya, tapi Ma Xia. Kalau Ma Xia tidak
ketemu, Cia Sing dihibur bagaimanapun juga tidak akan
gembira" kata Yung Lang.
"Sepanjang perjalanan ke gunung Song, paman Ma
dan Cia Sing selalu saja murung. Suasanan jadi tidak enak"
kata Lin Tung.- 179 "Habis mau bagaimana lagi. Keduanya tidak berhasil
bertemu dengan kekasihnya masing-masing, bagaimana
bisa bergembira" kata Yung Lang menggelengkan kepala.
"Aku juga heran mengapa tiba-tiba A Xia menghilang
ya?!" kata Lin Tung.
"Aku juga tidak tahu, tapi aku jadi merasa bersalah
karenanya. Karena kalian mencari aku di paviliun Awan
Merah, Ma Xia jadi menghilang. Mengapa semua jadi
begini" kata Yung Lang dengan sedih.
"Hei kalian berdua! Cepatlah nanti kalian tertinggal!
seru Wongguo Yuan yang sudah berada agak jauh di atas
Yung Lang dan Lin Tung.
"Ya, kami datang!" jawab Yung Lang sambil berlari
menaiki tangga.
"Kau tahu mengapa Cia Sing hendak menemui Fangcang Tien Gong?" tanya Lin Tung berlari di belakang Yung
Lang.
"Aku tidak tahu. Kita ikut sajalah" jawab Yung Lang.
Akhirnya keenam orang itu sampai di balai utama
biara Shaolin. Patung-patung Lo Han berderet di kiri kanan
sepanjang ruangan yang besar itu. Di tengah-tengah altar
ruangan ada sebuah patung Budha emas dalam posisi bersila
teratai. Di depannya ratusan lilin menyala menerangi
ruangan ditambah dengan pembakaran dupa yang membuat
seluruh ruangan menjadi harum. Fang-cang Tien Gong,- 180 biksu Tien Fa dan biksu Tien Ci sudah menunggu mereka di
depan ruangan balai utama. Mereka semua saling melempar
salam begitu berjumpa.
"Amitabha, san-cai, san-cai. Budha maha pengasih,
apa kabar Ma Se-cu (panggilan untuk orang awam)" sapa
Fang-cang Tien Gong kepada Ma Han Jiang sambil
merangkapkan tangannya di dada.
"Amitabha, berkat doa Fang-cang, aku Ma Han Jiang
yang rendah ini tetap sehat dan baik. Salam juga biksu Tien
Fa dan biksu Tien Cin" kata Ma Han Jiang balas menyapa
dengan menjura.
"Amitabha" balas Tien Fa dan Tien Cin bersamaan.
"Ma Se-cu, sudah lama sekali kita tidak pernah
berjumpa setelah sekian tahun berlalu. Silakan masuk ke
biara kami ini" kata Tien Gong mempersilakan keenam
tamunya masuk.
"Fang-cang Tien Gong, ijinkan aku memperkenalkan
teman-temanku yang datang bersama ini. Pemuda ini adalah
Han Cia Sing, putra mendiang Jenderal Han Kuo Li, yang di
sampingnya adalah penerus keluarga pedang Yung, Yung
Lang dan temannya Lin Tung. Sedangkan tuan ini adalah Sie
Yi Wongguo Luo (Si Hujan Salju Wongguo Luo) dan
cucunya Wongguo Yuan" kata Ma Han Jiang membuka
pembicaraan.- 181 "Hormat kepada Fang-cang dan kedua biksu" kata
mereka berlima serempak sambil menjura hormat.
"Amitabha. anda semua terlalu sungkan. Kami para
biksu tidak layak menerima penghormatan semacam ini"
kata Tien Gong merendah.
"Fang-cang, hari ini kami datang kemari karena ada
hal penting yang hendak disampaikan oleh keponakan
angkatku ini kepada Fang-cang" kata Ma Han Jiang setelah
perkenalan selesai.
"Oh?! Mengenai hal apakah?" tanya Tien Gong.
"Aku mohon Han Cia Sing diperkenankan berbicara secara
pribadi dengan Fang-cang" kata Ma Han Jiang memohon
yang menimbulkan pertanyaan dalam diri Fang-cang Tien
Gong.
"Apakah hal ini penting sekali?" tanya Tien Gong
sambil memandang kepada Han Cia Sing.
"Benar, Fang-cang" jawab Han Cia Sing dengan
mantap. "Baiklah jika demikian. Han Se-cu ikutlah
denganku ke kamar baca. Se-ti berdua mohon menerima
tamu-tamu kita" kata Tien Gong yang segera dijawab
serempak oleh kedua adik seperguruannya itu.
Tien Gong sendiri berjalan masuk ke dalam diikuti
oleh Han Cia Sing. Mereka berdua berjalan melalui sebuah
lorong kecil dan sebentar kemudian sampailah di ruang baca
milik kepala biara. Ruang itu tidak terlalu besar dan tidak- 182 mempunyai tempat duduk, hanya ada beberapa tempat alas
untuk berdoa saja. Beberapa buku tebal tampak ditata rapi
berderet di rak dekat dinding. Sebuah lukisan seorang biksu
berlengan satu tampak menghiasi dinding ruang baca itu. Di
samping lukisan itu tertulis "Ketua Zen Biksu Agung Hui
Ke".
"Nah, Han Se-cu silakan duduk. Kita sekarang sudah
sendirian, silakan ceritakan hal yang ingin Se-cu
sampaikan" kata Tien Gong sambil mengambil tempat
duduk bersila di hadapan Han Cia Sing.
"Fang-cang, maaf jika berita yang kubawa ini kurang
menggembirakan. Aku datang ke biara Shaolin ini khusus
hendak memberitahukan tentang wafatnya paman Lu Xun
Yi" kata Han Cia Sing dengan nada bergetar.
"Amitabha, san-cai, san-cai. Hidup mati manusia
bagaikan angin lalu. Benarkah Paman Guru Lu Xun Yi
sudah meninggal dunia? Bisakah Se-cu ceritakan
kejadiannya?" kata Tien Gong sambil merangkapkan kedua
tangannya di depan dada dengan sedih sekali.
Han Cia Sing pun bercerita sejak pertemuannya
dengan biksu Lu Xun Yi di utara, sampai kemudian ia
bertemu kembali di daerah Yi Chang. Ia mencoba bercerita
sesingkat mungkin tapi jelas. Ia juga tidak lupa
menceritakan tentang ilmu yang diajarkan Lu Xun Yi
kepadanya saat bersama-sama di utara kemudian ilmu aneh
yang ia temukan di gua serigala dulu. Han Cia Sing sengaja- 183 menceritakan ini semua karena ia berharap bisa memperoleh
kejelasan tentang ilmu Shi Sui Yi Cin Cing (Sutra Penggeser
Urat Pembersih Sumsum) yang misterius itu dari Fang-cang
Tien Gong. Bagaimanapun juga Tien Gong adalah kepala
Shaolin dan seorang tetua persilatan, tentunya sedikit
banyak mengetahui asal-usul setiap ilmu di dunia persilatan.
"Amitabha, Budha maha pengasih. Han Se-cu, terima
kasih engkau telah melaksanakan perintah terakhir
mendiang Paman Guru Lu Xun Yi. Budha memberkati" kata
Tien Gong.
"Fang-cang, hanya itulah satu-satunya balas budi
yang bisa kuberikan kepada paman Lu" kata Han Cia Sing
dengan sedih. "Amitabha" kata Tien Gong menyetujui.
"Fang-cang, apakah Fang-cang mengetahui asal ilmu aneh
Shi Sui Yi Cin Cing yang kupelajari di gua serigala? Selama
ini aku sebenarnya ingin bertanya kepada paman Lu tentang
ilmu aneh itu, tapi aku tidak menyangka akan tidak sempat
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menanyakannya" kata Han Cia Sing.
"Han Se-cu, apakah engkau selama ini pernah
mendengar tentang Rahib Agung Da Mo?" tanya Tien Gong
sambil bangkit berdiri dan mendekati lukisan biksu
berlengan satu yang berada di dinding.
"Aku pernah mendengarnya dari mendiang paman
Lu" jawab Han Cia Sing.
"Rahib Agung Da Mo adalah seorang biksu dari
India, yang datang kira-kira seratus lima puluh tahun lalu.- 184 Beliau datang ke Shaolin mengajarkan aliran Zen kepada
kami dan juga beberapa ilmu silat yang luar biasa. Rahib
Agung Da Mo juga mempunyai beberapa murid, tapi yang
paling pandai dan mengerti adalah biksu Hui Ke. Setelah
beberapa tahun mengajar di Shaolin akhirnya Rahib Agung
Da Mo kembali ke India. Beliau menunjuk biksu Hui Ke
sebagai penerus aliran Zen sekaligus pewaris ilmu silatnya
yang luar biasa. Kemudian biksu Hui Ke menurunkan ilmu
silat itu kepada leluhur kami, kecuali satu yaitu Shi Sui Cing
(Sutra Pembersih Sumsum)" kata Tien Gong menjelaskan.
"Mengapa hanya Shi Sui Cing yang tidak
diturunkan?" tanya Han Cia Sing yang mulai sedikit
mengerti itu.
"Amitabha, guruku juga tidak pernah menceritakan
sebabnya. Hanya saja ketika akhirnya Biksu Agung Hui Ke
meninggal dunia, bahkan kitab itupun tidak ditemukan di
mana-mana. Guruku sudah mencarinya di seluruh Shaolin
tapi juga tidak menemukannya" jawab Tien Gong.
"Apakah menurut Fang-cang memang ilmuku adalah
benar turunan dari Biksu Agung Hui Ke yang lama hilang?"
tanya Han Cia Sing.
"Amitabha, aku juga tidak tahu" jawab Tien Gong
dengan jujur.
"Sayang sekali" kata Han Cia Sing dengan sedih.- 185 "Han Se-cu, siapa yang mengatakan bahwa ilmu yang
engkau miliki adalah Shi Sui Yi Cin Cing?" tanya Tien
Gong.
"Seorang pendekar di utara berjuluk Pei Lei (Guntur
Utara) Shi Chang Sin" jawab Han Cia Sing.
"Amitabha, aku pernah mendengar namanya dulu.
Mungkin juga benar adanya ilmu Han Se-cu adalah ilmu
yang hilang itu" kata Tien Gong.
"Apakah Fang-cang pernah melihat ilmu itu?" tanya
Han Cia Sing penuh harap.
"Dulu, guruku ketika masih muda sekali pernah
melihat Biksu Agung Hui Ke melatihnya. Aku juga hanya
pernah mendengar cara berlatihnya tanpa pernah melihatnya
sendiri" jawab Tien Gong.
"Oh demikian" kata Han Cia Sing tidak bisa
menyembunyikan kekecewaannya.
"Han Se-cu, ikutlah aku" kata Tien Gong sambil
beranjak keluar kamar menuju ke halaman.
Han Cia Sing sebenarnya masih ingin bertanya tapi
Tien Gong sudah lebih dulu keluar ke halaman tengah maka
terpaksa ia mengikutinya. Halaman tengah itu tampaknya
adalah tempat berlatih Fang-cang Tien Gong karena
tembok-temboknya tinggi sehingga tidak mudah diintip dari
luar. Juga puluhan jenis senjata tampak berderet rapi di
beberapa tempat kayu siap untuk digunakan. Lantai batu- 186 tempat mereka berdiri juga tampak pecah dan berlubang di
beberapa tempat, mungkin hancur ketika tempat ini dipakai
berlatih ilmu sakti oleh Fang-cang Tien Gong.
"Fang-cang, mengapa anda mengajakku ke tempat
ini? Aku masih ada beberapa pertanyaan yang ingin
kutanyakan kepada Fang-cang" tanya Han Cia Sing dengan
heran.
"Han Se-cu, sebenarnya aku..."
Fang-cang Tien Gong tidak menyelesaikan
kalimatnya namun segera berbalik dengan cepat sekali dan
menyerang dada Han Cia Sing dengan cakar naganya.
Gerakan Tien Gong ini begitu cepat dan bertenaga sehingga
jika Han Cia Sing tidak mengelak, pastilah dadanya sudah
remuk dihantam. Untunglah Han Cia Sing sempat
menghindar meskipun amat terkejut, ia berteriak berusaha
mencegah Fang-cang Tien Gong menyerangnya lagi tapi
perkataannya sama sekali tidak didengar oleh kepala biara
itu. Bahkan kali ini Tien Gong menyerangnya dengan jurus
yang jauh lebih ganas dan mematikan. Kedua tinju Tien
Gong maju menyerang bersamaan ke perut dan dada Han
Cia Sing. Serangan bersamaan ini tentu sulit dihindari
sehingga mau tak mau Han Cia Sing harus menangkisnya.
"Plakkk!!!"
Benturan dengan kedua lengan milik Tien Gong itu
begitu keras sehingga Han Cia Sing terdorong ke belakang
beberapa langkah. Han Cia Sing amat kaget karena- 187 merasakan bahwa Tien Gong mengerahkan seluruh tenaga
ketika menyerangnya hingga kedua lengannya terasa kebas.
Fang-cang Tien Gong sama sekali tidak main-main ketika
menyerangnya.
Kuda-kuda Han Cia Sing belum lagi kuat. Tien Gong
sudah maju lagi menyerangnya dengan kekuatan penuh.
Kali ini Tien Gong menyerang dengan bahu kanan didorong
ke depan menghantam dada Han Cia Sing sementara kaki
kanannya mengait kedua kaki lawan. Jurus ini adalah jurus
andalan Tien Gong, jurus Se Pa Luo Han (18 Arhat Lohan)
yang amat hebat dan unik. Biasanya jurus silat selalu
menggunakan kaki atau tangan, tapi jurus Se Pa Luo Han
juga menggunakan dorongan badan, hentakan bahu dan
bahkan juga sundulan kepala! Tidak heran Han Cia Sing
yang miskin jurus dan pengalaman bertarung benar-benar
terdesak hebat oleh serangan lawan.
Han Cia Sing yang sempoyongan ke belakang karena
terdorong kekuatan lawan, sama sekali tidak diberi
kesempatan bernapas. Fang-cang Tien Gong langsung
menyambung lagi serangan dengan sapuan kaki yang
melingkar. Kedua kaki Han Cia Sing tersapu dan ia tumbang
bagaikan pohon rebah menghantam lantai batu dengan
keras. Beruntung Han Cia Sing sudah mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya sehingga ia tidak terluka dalam oleh
serangan beruntun yang dilancarkan lawan.
"Fang-cang, tahan!" seru Han Cia Sing sambil
berusaha bangkit.- 188 Tien Gong seolah menulikan diri terhadap kata-kata
Han Cia Sing dan terus menyerang dengan ganasnya. Kali
ini kedua tinjunya maju serentak menyerang kedua bahu
Han Cia Sing diiringi dengan tendangan satu kaki mengarah
ke kuda-kuda lawan. Han Cia Sing langsung melompat
mundur beberapa langkah berusaha menghindar tapi Tien
Gong terus menyerbunya. Han Cia Sing sebenarnya
berusaha mengerahkan Guo Yin Sen Kung untuk
menghindar tapi sama sekali tidak diberi kesempatan.
Akhirnya mau tak mau Han Cia Sing harus menahan
serangan lawan dengan kedua tangannya.
"Bukkk!!!"
Dua pasang tangan yang kokoh bagaikan gunung
karang saling bertemu. Udara seakan pecah oleh hempasan
tenaga dalam keduanya sehingga menimbulkan ledakan
hebat. Bahkan pepohonan yang ada di sekitar halaman itu
sampai berguguran daun-daunnya padahal jaraknya ada
beberapa tombak dari tempat keduanya berdiri.
Fang-cang Tien Gong dan Han Cia Sing kini saling
tegak berhadapan mengadu tenaga dalam. Han Cia Sing
sedang terdesak hebat oleh tenaga dalam Tien Gong yang
luar biasa itu. Fang-cang Tien Gong adalah biksu utama
Shaolin dan menguasai sebagian besar dari Shaolin Ji Se Er
Jie Ci (72 Jurus Ajaib Shaolin). Dulu, ia dan Jien Wei Cen
pernah bertarung dan keputusannya baru bisa ditentukan
setelah sehari bertanding. Maka bisa dibayangkan- 189 bagaimana dahsyatnya tenaga dalam Tien Gong yang
mendesak Han Cia Sing itu.
Sebaliknya Han Cia Sing memang menguasai tenaga
dalam Shi Sui Yi Cin Cing yang luar biasa itu, tapi
menghadapi Fang-cang Tien Gong ia tidak berani
mengerahkannya sepenuh tenaga, ia merasa sungkan dan
hormat kepada Tien Gong karena bagaimanapun juga dulu
ia pernah ditolong oleh Lu Xun Yi yang juga seorang biksu
Shaolin. Lagipula sekarang ia tidak tahu menahu apa
urusannya sehingga Tien Gong menyerangnya dengan
ganas sehingga ragu-ragu untuk menyerang balik. Dada Han
Cia Sing sampai terasa sesak tak bisa bernapas karena
menahan tekanan tenaga lawan yang bagaikan banjir
banding mendesak terus.
"Han Cia Sing, jika kau tidak melawan balik maka
kau akan mati!" kata Tien Gong memperingatkan.
"Fang-cang, aku tidak berani berlaku kurang ajar"
kata Han Cia Sing.
Tien Gong segera menarik tenaga dalamnya dan
melompat mundur begitu mendengar jawaban Han Cia Sing
barusan. Tubuh Han Cia Sing sendiri langsung limbung dan
ambruk begitu tekanan tenaga dalam lawan dihentikan.
Seluruh peredaran darahnya terasa terbalik tidak karuan.
Han Cia Sing kemudian memuntahkan darah segar karena
sudah tidak kuat lagi.- 190 "Amitabha, cui-kuo, cui-kuo. Han Se-cu mengapa
anda tidak membalas seranganku?" tanya Tien Gong sambil
memapah Han Cia Sing duduk.
"Fang-cang, mengapa anda menyerangku?" tanya
Han Cia Sing heran.
"Amitabha, san-cai, san-cai. Aku sebenarnya hendak
menguji sampai di mana sebenarnya tingkat tenaga
dalammu. Orang yang benar menguasai Shi Sui Yi Cin Cing
tentu akan dengan mudah dapat menahan seranganku. Tidak
disangka Han Se-cu berhati emas dan tidak membalas
hingga terluka. Semua ini adalah kesalahanku yang bodoh
ini" kata Tien Gong menyesal
"Aku hanya terluka dalam ringan saja. Sebentar saja
aku pasti pulih" kata Han Cia Sing berusaha menenangkan
Tien Gong.
"Han Se-cu, biarkan aku mengobati luka dalammu"
kata Tien Gong sambil duduk bersila di belakang Han Cia
Sing.
"Fang-cang, aku tidak apa-apa. Aku bisa
menyembuhkan lukaku sendiri" kata Han Cia Sing menolak
bantuan Tien Gong dengan sopan.
Mula-mula Tien Gong berpikir bahwa Han Cia Sing
masih marah kepadanya karena menyerangnya secara
mendadak. Tapi begitu melihat Han Cia Sing mengatur
pernapasannya sebentar saja dan terlihat sudah pulih, giliran- 191 Tien Gong yang terkejut. Luka dalam seringan apapun tentu
butuh waktu untuk sembuh dengan semedi dan memutar
peredaran darah tapi Han Cia Sing hanya butuh beberapa
tarikan napas saja untuk sembuh. Sungguh luar biasa!
"Han Se-cu, ternyata memang benar engkau telah
menguasai Shi Sui Yi Cin Cing yang telah dianggap hilang
itu. Amitabha, Budha maha pengasih" kata Tien Gong
sambil tersenyum gembira.
"Benarkah?" tanya Han Cia Sing setengah tidak
percaya.
"Amitabha. Han Se-cu, guruku pernah berkata bahwa
Yi Cin Cing adalah menggunakan tenaga untuk
mengembalikan luka sedang Shi Sui Cing mampu menolak
segala macam racun yang masuk ke dalam darah. Gabungan
keduanya selain sanggup membuat orang yang menguasainya mempunyai tenaga dalam yang hebat, juga dapat
menyembuhkan diri sendiri dalam waktu yang amat singkat.
Aku yang sudah tua ini ternyata masih diberikan kesempatan
untuk melihat sendiri ilmu ini. Sungguh suatu karunia yang
besar dari sang Budha" kata Tien Gong sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada.
"Fang-cang, ilmu ini sebenarnya adalah ilmu milik
Shaolin. Aku bersedia mengembalikannya kembali kepada
Shaolin sebagai pemilik aslinya" kata Han Cia Sing dengan
sungguh-sungguh.- 192 "Amitabha. san-cai, san-cai. Han Se-cu berhati emas
juga tidak tamak akan dunia. Langit memang tidak salah
memilih Han Se-cu sebagai pewaris ilmu ini" kata Tien
Gong.
"Fang-cang. maksud anda?" tanya Han Cia Sing raguragu.
"Han Se-cu, dulu Biksu Agung Hui Ke mengajarkan
hanya Yi Cin Cing saja kepada kami para biksu Shaolin
tentulah ada alasannya sendiri. Han Se-cu tidak perlu merasa
bersalah mewarisi ilmu Shi Sui Cing karena ini semua tentu
adalah kehendak takdir" jelas Tien Gong sambil tersenyum
gembira.
"Tapi"
"Eh, Han Se-cu jangan mulai membantah lagi.
Pemilik Shi Sui Yi Cin Cing mempunyai tanggung jawab
yang berat membuat dunia ini bersih dari angkara murka dan
kejahatan. Tidak semua orang bisa menguasai ilmu ini dan
Han Se-cu adalah yang dipilih oleh langit. Tentunya ini
adalah takdir yang harus Han Se-cu jalani. Biara Shaolin
sendiri sudah cukup direpotkan oleh para pendekar yang
ingin menguasai Yi Cin Cing baik secara terang-terangan
maupun diam-diam. Kami tidak ingin lebih repot lagi
dengan tambahan Shi Sui Cing nantinya" kata Tien Gong
sambil tersenyum.
"Fang-cang! Aku Han Cia Sing, berterima kasih
segenap jiwa raga kepada Shaolin. Jika nanti biara Shaolin- 193 ada kesulitan, aku Han Cia Sing pasti akan membantu
dengan taruhan nyawa" kata Han Cia Sing sambil berlutut
menjura di hadapan Tien Gong.
"Han Se-cu. berdirilah. Aku seorang biksu tidak
pantas menerima penghormatan semacam ini. Berdirilah"
kata Tien Gong buru-buru memapah Han Cia Sing bangkit
berdiri.
"Han Se-cu, kulihat dalam pertarungan tadi pikiranmu tidak tenang dan terlihat gelisah. Apakah banyak hal
yang mengganggu pikiran Han Se-cu sekarang?" tanya Tien
Gong.
"Fang-cang memang bijaksana, bisa melihat
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kegelisahan hatiku. Aku sekarang memang sedang gelisah
karena seorang temanku menghilang secara tiba-tiba. Juga
ada satu hal yang harus kulaksanakan saat pertemuan para
pendekar nanti, tapi maaf tidak bisa kukatakan pada Fangcang" jawab Han Cia Sing membenarkan.
"Amitabha, san-cai. Hidup manusia memang
bagaikan gelombang penderitaan tanpa akhir. Han Se-cu
silakan mengikuti aku kembali ke kamar baca" kata Tien
Gong mempersilakan Han Cia Sing berjalan kembali ke
ruang bacanya.
"Terima kasih Fang-cang" kata Han Cia Sing.
Keduanya kembali berjalan ke ruang baca dan
kembali duduk bersila berhadapan. Fang-cang Tien Gong- 194 kembali menanyakan masalah-masalah yang sedang
dihadapi Han Cia Sing, termasuk rencananya dalam
pertemuan pendekar yang akan datang nanti.
"Han Se-cu, apakah benar Han Se-cu ingin ikut dalam
perebutan gelar nomor satu dunia persilatan nantinya di kota
Yin Chuang?" tanya Tien Gong ingin tahu.
"Benar, Fang-cang. Aku, aku mempunyai alasan
pribadi yang tidak bisa aku utarakan di sini" jawab Han Cia
Sing.
"Amitabha. Aku juga tidak bisa memaksamu
mengatakan sesuatu yang tidak ingin engkau katakan. Tapi
pertemuan para pendekar adalah tempat bertemunya para
jago-jago dunia persilatan, aku khawatir Han Se-cu yang
berhati emas tidak bisa bertahan" kata Tien Gong.
"Aku yang bodoh ini mohon petunjuk Fang-cang"
kata Han Cia Sing.
"Pertarungan selalu menuntut pemenang. Han Se-cu
begitu berbelas kasih, aku khawatir kebaikan Han Se-cu
akan membawa kekalahan dalam pertarungan nanti. Setiap
gerakan Han Se-cu terlihat ragu-ragu sehingga lawan yang
banyak pengalaman akan bisa memanfaatkannya" kata Tien
Gong memberikan pendapat.
"Fang-cang benar. Tapi kadang aku tidak tega untuk
mencederai lawan yang tidak pernah ada dendam denganku"
kata Han Cia Sing menyetujui.- 195 "Jika demikian Han Se-cu harus melupakan tujuan
bertarung di pertemuan para pendekar. Kekalahan sudah
pasti jadi untuk apa bertarung?!" kata Tien Gong memberikan pertanyaan telak kepada Han Cia Sing.
"Fang-cang, aku..." Han Cia Sing tidak bisa berkatakata lagi.
"Amitabha. Budha maha pengasih. Han Se-eu,
kadang kita harus bisa melihat ke depan apa yang harus kita
jalani. Angkara murka dan ketamakan terkadang harus
dilawan. Ceng Lu Hui lain dengan Tien Lung Men. Mereka
adalah segerombolan manusia lalim yang senantiasa
mementingkan diri sendiri di atas kepentingan orang
banyak. Jika kita para pendekar aliran lurus tidak berani
menghentikannya, aku khawatir beberapa tahun lagi seluruh
dunia persilatan akan hancur lebur oleh mereka. Jika ini
yang terjadi, apakah belas kasihan Han Se-cu dalam
pertarungan nanti bisa disebut sebagai satu kebajikan atau
kejahatan?!" kata Tien Gong memberikan pencerahan.
Han Cia Sing tersentak mendengarkan penjelasan
Tien Gong. Selama ini dia memang selalu berusaha
mengalah kepada lawan terutama mereka yang tidak pernah
memiliki dendam dengannya. Han Cia Sing merasa dia
sudah berbuat kebaikan dengan mengalah kepada lawanlawannya meskipun mereka berasal dari golongan sesat.
Tapi perkataan Fang-cang Tien Gong barusan menyadarkan
Han Cia Sing akan pentingnya membela sesuatu yang lebih
besar daripada hanya sekadar menyelamatkan ayahnya saja.- 196 Dunia persilatan sedang dalam bahaya dan ia hanya
mementingkan dirinya sendiri saja selama ini. Kebaikan
tidak boleh disamakan dengan kebajikan. Pengampunan
yang dia berikan selama ini adalah kebaikan, tapi itu adalah
sebuah pengingkaran kebajikan.
"Fang-cang, terima kasih atas pencerahannya!" kata
Han Cia Sing dengan gembira setelah mengerti perkataan
Tien Gong.
"Amitabha, Budha maha pengasih. Aku yang bodoh
ini bergembira jika Han Se-cu bisa mengerti perkataanku"
kata Tien Gong.
"Aku akan berjuang sekuat tenaga melawan angkara
murka pada saat pertemuan para pendekar nanti. Mohon
petunjuk dari Fang-cang!" kata Han Cia Sing memohon.
"Amitabha, aku yang bodoh ini tidak bisa
memberikan pengertian apa-apa. Pengertian berasal dari
pikiran dan pikiran berasal dari jiwa yang tenang. Han Secu, tenangkanlah jiwamu maka semuanya akan menjadi
terang dan mudah dimengerti" kata Tien Gong memberikan
petunjuk.
"Bagaimana cara menenangkan jiwa?" tanya Han Cia
Sing masih belum mengerti perkataan Tien Gong.
"Amitabha. Ketenangan tidak dapat dicari, Ia ada
dalam diri kita. Han Se-cu, duduklah dan carilah di ruang
baca ini. Semoga engkau mendapatkan ketenangan- 197 bersemedi di kamar ini. Aku akan keluar menemui Ma Secu dan teman-temannya yang lain kata Tien Gong sambil
bangkit berdiri.
Han Cia Sing sebenarnya masih ingin bertanya lagi
tapi Tien Gong sudah keluar dan menutup pintu kamar. Kini
tinggallah Han Cia Sing sendirian sambil duduk bersemedi.
Beberapa lilin yang menyala menerangi ruangan itu dan
menimbulkan bayangan yang kadang bergerak-gerak.
Setelah beberapa lama bersemedi, Han Cia Sing sadar
bahwa ia tidak bisa memusatkan pikirannya. Setiap kali ia
memejamkan mata, selalu saja terlintas wajah ayah dan
ibunya, wajah Ma Xia, wajah Permaisuri Wu dan
bangsawan Ye, juga wajah Tiga Penguasa Tebing Setan.
Tak terasa peluh membasahi sekujur tubuh Han Cia Sing
sampai membuat seluruh pakaiannya basah.
Fang-cang Tien Gong begitu keluar menuju balai
utama langsung disambut oleh biksu Tien Fa dan Tien Cin.
Mereka berdua terlihat heran karena Tien Gong hanya
keluar sendirian dari ruang baca tanpa Han Cia Sing.
"Fang-cang, di manakah Han Se-cu?" tanya Tien Cin.
"Ia masih berada di ruang baca" jawab Tien Gong.
"Fang-cang, tapi bukankah di ruang baca itu..."
"Aku tahu, tapi mungkin inilah yang dikehendaki
langit bagi Han Se-cu" kata Tien Gong memotong perkataan
Tien Cin.- 198 "Amitabha" sahut Tien Fa dan Tien Cin bersamaan.
"Dulu mendiang Paman Guru Lu Xun Yi
mengajarkan hanya 10 jurus dasar Yi Cin Cing kepadanya,
mungkin saatnya ia belajar sisanya sekarang. Tapi semua itu
tergantung kehendak langit untuk menyelamatkan dunia
persilatan" kata Tien Gong sambil menggelengkan kepalanya. "Apakah benar Han Se-cu menguasai dasar Yi Cin
Cing?" tanya Tien Fa setengah tidak percaya.
"Bukan itu saja, tapi juga seluruh Shi Sui Cing" jawab
Tien Gong.
"Shi Sui Cing? Ilmu yang sudah lama hilang itu?!"
seru Tien Fa dan Tien Cin bersamaan karena terkejutnya.
"Shi Sui Cing dan Yi Cin Cing adalah dua ilmu yang
saling melengkapi. Bila Han Se-cu bisa mempelajari
keduanya secara lengkap maka dunia persilatan masih bisa
terselamatkan" kata Tien Gong.
"Fang-cang, Budha maha pengasih. Semoga kita
diselamatkan dari bencana ini" kata Tien Fa.
"Amitabha" kata Tien Gong sambil merangkapkan
kedua tangannya di dada.
Sebenarnya apakah yang diinginkan Fang-cang Tien
Gong dengan meminta Han Cia Sing bersemedi di dalam
ruang bacanya? Apakah tersimpan suatu rahasia besar
tentang ilmu Yi Cin Cing di dalam kamar itu? Lalu- 199 bagaimanakah caranya Han Cia Sing dapat menemukan
rahasia itu?
*** Ribuan li tenggara biara Shaolin, di sebuah daerah di
sekitar sungai Yang Tze dan danau Chao yang merupakan
delta sungai yang subur disebut sebagai wilayah Mu Xi.
Daerah ini sebagian masih berawa-rawa sedangkan sebagian
yang lain adalah daerah pertanian yang subur. Penduduk di
sana umumnya menjadi petani atau nelayan dan mereka
hidup dengan tenang sepanjang tahun. Tapi hari ini tampak
beberapa puluh orang berpakaian pendekar tengah
berkumpul di depan sebuah makam sederhana yang di
depannya menyala api unggun yang besar.
"Saudara-saudaraku anggota Tien Lung Men yang
setia, terima kasih telah datang kemari untuk memberikan
penghormatan kepada mendiang Jien Pang-cu" kata seorang
pendekar berbadan tinggi kekar yang tidak lain adalah si Pei
Tie Siung Ce Ke Fu (Ce Ke Fu si Beruang Besi Utara).
"Kami semua adalah anggota Tien Lung Men yang
setia. Tidak perlu Ketua Utara berkata seperti ini" kata
seorang di antara mereka.
"Terima kasih teman-teman semua. Aku tahu
sekarang kita dalam keadaan yang kurang baik. Markas Tien- 200 Lung Men di Yi Chang telah dihancurkan musuh dan kita
kehilangan banyak teman-teman kita. Empat cabang kita
juga sudah direbut dengan licik sekali oleh Ceng Lu Hui.
Kita semua tercerai-berai, tapi kita belum kalah. Tien Lung
Men masih berdiri. Tien Lung masih mempunyai pemimpin
dan akan jaya kembali!" seru Ce Ke Fu dengan gagah.
"Jayalah Tien Lung Men!" seru semua pendekar
membahana di malam itu.
"Terima kasih semuanya. Aku senang kalian semua
masih setia kepada Tien Lung Men" kata Jien Jing Hui
sambil maju ke depan menggantikan tempat Ce Ke Fu.
"Kami selalu selia kepada Tien Lung Men!" sahut
semua yang hadir.
"Bagus, bagus sekali! Aku mengundang kalian semua
hadir di sini karena ada hal yang penting sekali yang akan
terjadi di dunia persilatan. Ceng Lu Hui yang telah
menghancurkan Tien Lung Men dengan licik sekali itu
sekarang hendak mengangkat diri mereka sebagai ketua
dunia persilatan. Aku sebagai penerus mendiang Jien Pangcu tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Apakah kalian
mendukungku?" tanya Jien Jing Hui.
"Kami semua setia kepada nona Jien. Jayalah partai
Tien Lung Men!" jawab semua yang hadir serempak.
"Bagus! Beberapa hari lagi, Ceng Lu Hui
mengundang semua partai persilatan untuk hadir di kota Yin- 201 Chuang untuk menobatkan mereka menjadi pemimpin. Aku,
Ketua Utara dan Ketua Barat sudah memutuskan akan
menentang Ceng Lu Hui dalam pertarungan habis-habisan.
Dendam Jien Pang-cu dan semua teman-teman kita harus
dibalaskan! Termasuk terhadap pengkhianat keji Yang Ren
Fang!" seru Jien Jing Hui dengan bergetar dan penuh
kebencian.
"Hancurkan Ceng Lu Hui! Balaskan dendam Tien
Lung Men!" seru mereka yang hadir dengan bersemangat
sekali.
"Bagus! Aku harap kalian semua beristirahat malam
ini. Besok pagi-pagi sekali kita akan berangkat menuju kota
Yin Chuang. Demi keamanan dan keselamatan kita semua,
aku minta kita berpencar dan menyamar. Ceng Lu Hui pasti
sudah menyebarkan antek-anteknya di seluruh jalan menuju
Yin Chuang untuk mencegat kita. Aku harap kita semua
dapat berhati-hati dalam perjalanan nanti. Jayalah Tien Lung
Men!" seru Jien Jing Hui membakar semangat pengikut Tien
Lung Men.
"Jayalah Tien Lung Men!" seru mereka semua.
Para pengikut Tien Lung Men yang berjumlah sekitar
40 orang itu kemudian membubarkan diri. Mereka ada yang
langsung beristirahat tapi ada juga yang masih duduk-duduk
dan membicarakan rencana selanjutnya. Jien Jing Hui, Ce
Ke Fu dan Wen Shi Mei memilih untuk membicarakan- 202 rencana penyerbuan mereka pada pertemuan pendekar yang
akan datang itu.
"Paman Ce, berapa pengikut kita di utara yang masih
tersisa?" tanya Jien Jing Hui ingin mengetahui situasi
mereka yang sebenarnya.
"Pengikut kita di utara hanya tinggal sekitar 20 orang
saja. Mereka semua sudah diberitahu untuk langsung
berkumpul di dekat Yin Chuang" kata Ce Ke Fu tidak
mampu menyembunyikan kesedihannya.
"Bibi Wen, bagaimana dengan cabang barat?" tanya
Jien Jing Hui.
"Keadaan di barat tidak jauh berbeda. Pengikut kita
tinggal sekitar 30 orang saja" jawab Wen Shi Mei dengan
sedih.
"Partai Tien Lung Men benar-benar dikalahkan
dengan telak" kata Jien Jing Hui menghela napas panjang.
"Nona Jien jangan sedih. Meskipun pengikut kita
hanya tersisa sedikit saja, tapi mereka benar-benar setia dan
tidak takut mengorbankan nyawa demi menegakkan
kembali Tien Lung Men" kata Ce Ke Fu.
"Aku tahu, aku tahu. Tapi jumlah kita digabung tidak
lebih dari seratus orang saja sementara Ceng Lu Hui
sekarang mempunyai ribuan pengikut. Ini membuatku
merasa seperti menghantam batu dengan telur" keluh Jien
Jing Hui sambil menerawang menatap langit malam.- 203 "Nona Jien, anda jangan melupakan bantuan Huo
Wang-ye dan para pendekar lainnya yang menentang Ceng
Lu Hui. Tidak semua partai setuju dengan sepak terjang
Ceng Lu Hui" kata Ce Ke Fu.
"Benar sekali apa yang dikatakan oleh Ketua Utara"
kata Wen Shi Mei.
"Terima kasih atas dukungannya, tapi tetap saja kita
tidak bisa terlalu bergantung kepada pihak luar. Kita harus
tetap berpegang pada kemampuan kita sendiri. Aku tahu
partai-partai lurus banyak yang tidak setuju dengan Ceng Lu
Hui. Tapi apakah mereka akan berani menentang secara
terang-terangan nanti pada pertemuan para pendekar? Aku
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak terlalu yakin" kata Jien Jing Hui.
Mereka bertiga saling berpandangan dengan sedih.
Partai Tien Lung Men yang mempunyai pengikut lebih dari
sepuluh ribu orang pada masa jayanya dulu, kini hanya
tersisa kurang dari seratus orang saja. Padahal di depan
mereka terpentang beban berat untuk mengembalikan
kejayaan Tien Lung Men dan menghancurkan Ceng Lu Hui.
Apakah tugas itu sanggup mereka lakukan hanya dengan
kekuatan mereka yang sekarang?.
"Paman Ce, bagaimana pendapatmu tentang rencana
Huo Wang-ye untuk menentang Ceng Lu Hui? Apakah Han
Cia Pao cukup mampu untuk melawan para pendekar
mereka?" tanya Jien Jing Hui setelah mereka agak lama
saling berdiam diri.- 204 "Kekuatan ilmu Han Cia Pao memang meningkat
pesat setelah makan Nan Hai Lung Cu (Mutiara Naga Laut
Selatan) tapi aku tidak tahu apakah ia cukup kuat untuk
melawan pendekar seperti kasim Huo Cin atau tidak" jawab
Ce Ke Fu.
"Maksud paman Ce?" tanya Jien Jing Hui minta
penjelasan.
"Han Cia Pao memang memiliki tenaga dalam dingin
luar biasa dan juga diajar langsung oleh Wongguo Luo.
Kemampuan silatnya mungkin sudah tidak perlu diragukan
lagi tapi dia miskin pengalaman bertarung. Saat kami bertiga
bertarung dengannya di kediaman Huo Wang-ye kelemahan
itu terlihat cukup jelas. Jika saja Han Cia Pao bertemu
dengan pendekar yang hebat dan banyak pengalaman, aku
yakin ia tidak mampu memenangkan pertarungan" kata Ce
Ke Fu menjelaskan.
"Aku setuju dengan pendapat Ketua Utara" kata Wen
Shi Mei.
"Jadi kita tidak bisa terlalu berharap pada Han Cia
Pao juga?" tanya Jien Jing Hui sambil menghela napas
panjang.
"Aku malah ingin mengusulkan agar kita lebih
berharap kepada Han Cia Sing" kata Wen Shi Mei.
"Han Cia Sing, adik tiri Han Cia Pao itu?!" kata Jien
Jing Hui.- 205 "Benar nona Jien. Aku melihat ilmu dan kekuatan
tenaga dalam Han Cia Sing masih di atas kakaknya" kata Ce
Ke Fu membenarkan.
"Kabarnya ia menguasai ilmu sakti Shi Sui Yi Cin
Cing. Semoga saja itu benar" kata Jien Jing Hui.
"Nona Jien, saat kita berusaha meloloskan diri dari
kepungan di Yi Chang, Han Cia Sing sempat dikeroyok oleh
empat belas pendekar sekaligus. Tapi ia tetap dapat
meloloskan diri. Ini adalah bukti kemampuannya" kata Wen
Shi Mei.
"Aku juga pernah mendengarnya saat kita di
kediaman Huo Wang-ye. Tapi ketika aku bertemu sendiri
dengan Han Cia Sing, aku sama sekali tidak merasa
berhadapan dengan seorang pendekar besar, ia terlihat
seperti seorang pemuda petani biasa saja" kata Jien Jing Hui
ragu-ragu.
"Jangan tertipu oleh penampilannya yang sederhana.
Sesungguhnya mungkin kekuatan tenaga dalamnya sudah
hampir sama dengan mendiang Jien Pang-cu" kala Ce Ke
Fu. "Benarkah?!" seru Jien Jing Hui kaget tidak percaya.
"Saat di Yi Chang dulu aku sempat terkena Cing Sa
Tu (Racun Pasir Emas) dan Han Cia Sing menggunakan
tenaga dalamnya untuk mendesak racun keluar. Tenaga- 206 dalamnya sungguh hebat dan aku merasakannya sendiri"
kata Ce Ke Fu menegaskan.
"Ehm, nona Jien, aku tidak bermaksud kurang ajar,
lapi aku ingin bertanya apakah yang hendak nona Jien
lakukan bila bertemu kembali dengan Yang Ren Fang
nantinya?" tanya Wen Shi Mei dengan hati-hati.
"Aku akan membunuh binatang itu!" jawab Jien Jing
Hui dengan penuh dendam tanpa keraguan.
"Apakah nona kecil Yang Hong sudah tahu tentang
hal ini?" tanya Wen Shi Mei lagi.
"Ia tidak perlu tahu kalau ayahnya seorang
pengkhianat" jawab Jien Jing Hui dengan geram.
Ce Ke Fu dan Wen Shi Mei saling berpandangan
dengan sedih. Urusan keluarga Yang Ren Fang dan Jien Jing
Hui memang amat rumit sehingga mereka sebagai orang luar
merasa tidak enak turut campur. Mereka hanya bisa
berharap urusan tersebut dapat terselesaikan dengan baik
tanpa melukai Yang Hong yang masih kecil. Bagaimanapun
hanya tinggal Yang Hong seoranglah cucu Jien Wei Cen
yang masih tersisa. Jien Feng menghilang tak tentu
rimbanya, entah hidup atau sudah mati, dalam pertempuran
besar-besaran di markas Tien Lung Men beberapa bulan
lalu.- 207 "Ketua Barat dan Ketua Utara, lebih baik kita semua
beristirahat saja sekarang. Besok kita harus berangkat pagipagi menuju ke Yin Chuang" kata Jien Jing Hui.
"Nona Jien, selamat malam" kata Ce Ke Fu dan Wen
Shi Mei sambil menjura hormat dan mohon diri.
Jien Jing Hui masih tinggal sendiri merenung di
depan makam Jien Wei Cen. Air matanya tidak terasa
menetes dari kedua matanya karena kesedihan yang amat
sangat. Hatinya sangat sedih karena melihat makam ayahnya
begitu sederhana dan terpencil, amat jauh dari kemashyuran
yang pernah dicapai ayahnya semasa masih hidup. Makam
itu memang dibuat terburu-buru dalam pelarian mereka dari
Yi Chang menuju ke kediaman Huo Wang-ye di Chi Nan.
Tanpa banyak upacara dan penghormatan, mereka yang
tersisa dari markas besar Tien Lung Men menguburkan
ketua Jien Wei Cen. Sebenarnya saat itu Jien Jing Hui ingin
tinggal lebih lama di daerah Mu Xi untuk memberikan
penghormatan kepada mendiang ayahnya tapi dilarang oleh
Huo Wang-ye. Pasukan pengejar kerajaan maupun Ceng Lu
Hui masih terus mengejar mereka sehingga tidak boleh
lengah sedikitpun. Apalagi setelah kematian Jien Wei Cen
dan kedua kakak Jien Jing Hui, maka penerus Tien Lung
Men hanya Jien Jing Hui seorang.
"Ayah, aku yang tidak berbakti ini mohon diberi
kekuatan untuk dapat membalaskan dendam ayah dan
membangun kembali Tien Lung Men" kata Jien Jing Hui
kepada dirinya sendiri dengan lirih.- 208 46. Tersesat di Jalan Iblis
"Kakek, Feng-Feng lapar" kata Jien Feng sambil
menarik lengan baju Fang Yung Li yang kotor itu.
"Aduh, kakek dari kemarin juga lapar. Tahanlah
sedikit" kata Fang Yung Li.
"Tapi kita sudah berjalan jauh sekali dan tidak
bertemu satu orang pun. Aku lelah dan tidak bisa berjalan
lagi" kata Feng-Feng sambil duduk dan tidak mau berjalan
lagi.
"Aduh Feng-Feng, lalu apa maumu?" tanya Fang
Yung Li sambil ikut duduk di samping Feng-Feng.
Siang hari itu memang panas sekali. Matahari tinggi
di atas kepala bersinar terik seakan-akan membakar bumi.
Udara bahkan sampai terasa berasap karena kering dan
panas sekali. Hutan yang berada di depan mereka juga masih
beberapa li lagi jauhnya. Tidak heran jika Feng-Feng
ngambek kepada Fang Yung Li dan tidak mau berjalan lagi.
"Feng-Feng mau makan, Feng-Feng mau minum"
kata Feng-Feng merajuk.
"Tapi desa terdekat masih di balik hutan itu, kita haru
berjalan" kata Fang Yung Li membujuk.
"Feng-Feng tidak mau berjalan" kata Feng-Feng tidak
mau mengalah.- 209 "Baiklah, baiklah. Naiklah ke punggung kakek" kata
Fang Yung Li akhirnya menyerah kepada keinginan FengFeng.
"Asyik" kata Feng-Feng langsung meloncat ke
punggung Fang Yung Li.
"Wah, kau sudah bertambah berat sekarang. Nah, kau
sudah siap melanjutkan perjalanan, Feng-Feng?" tanya Fang
Yung Li yang dijawab dengan anggukan mantap oleh FengFeng.
"Berpegangan" kata Fang Yung Li.
Satu hentakan kaki Fang Yung Li ke tanah dan
mereka berdua langsung melesat hampir tiga tombak ke
depan. Feng-Feng berteriak-teriak girang ketika merasakan
terpaan angin mengenai wajahnya. Matanya yang juling
berputar-putar dengan gembira merasakan dirinya seolah
terbang di punggung Fang Yung Li. Dalam beberapa saat
yang singkat, mereka berdua sudah tiba di ujung hutan dekat
desa. Memang ilmu Fang Yung Li si Setan Darah bukanlah
ilmu sembarangan saja. Ia selalu ditakuti semua kalangan
dunia persilatan baik aliran lurus maupun sesat. Sayang
sekali jiwanya terganggu sehingga seringkali membunuh
dan merusak tanpa sebab.
Fang Yung Li dan Jien Feng sejak meninggalkan
daerah Yi Chang beberapa bulan lalu, hanya berputar-putar
saja di daerah daratan tengah. Kadang mereka mengemis
makanan tapi kadang juga merampas dan membunuh orang- 210 tanpa sebab. Keduanya memang terganggu jiwanya
sehingga sama sekali tidak merasa bersalah membunuh
orang dengan seenaknya. Apalagi Fang Yung Li yang
ingatannya semakin kacau sejak dikalahkan Han Cia Sing di
Yi Chang dulu. Kini ia menganggap namanya adalah Kakek
Feng-Feng dan bukan lagi Fang Yung Li.
"Kakek, Feng-Feng mencium bau makanan" kata
Feng-Feng dengan gembira sekali.
"Iya benar, kakek juga menciumnya" kata Fang Yung
Li sambil mengendus-endus udara dengan nikmat sekali.
"Ayo kita segera ke sana" ajak Fang Yung Li sambil
menggandeng Feng-Feng ke arah bau makanan.
Mereka berdua segera tiba di sebuah kandang ayam
milik penduduk desa. Beberapa ekor ayam gemuk tampak
sedang mencari makan dengan mengais-ais pasir dan tanah.
Fang Yung Li dan Jien Feng saling berpandangan dengan
gembira melihat ayam-ayam itu seakan-akan melihat
sesuatu yang amat lezat sekali. Tanpa banyak bicara lagi,
keduanya segera meloncat pagar kandang ayam dan
menyerbu ayam-ayam malang itu.
Pandangan orang tidak waras memang kadang
berbeda dengan pandangan orang waras. Jika orang waras
akan memasak dulu ayam-ayam itu baru dimakan, tidak
demikian halnya dengan Fang Yung Li dan Jien Feng.
Mereka langsung menggigit dan mengunyah ayam-ayam
malang itu hidup-hidup! Tidak heran terjadi keributan besar- 211 dalam kandang ayam itu yang membuatnya pemiliknya,
seorang kakek tua, segera datang untuk melihat apa yang
sedang terjadi.
"Hei!! Apa yang kalian berdua lakukan?!" bentak
kakek itu dengan marah sekali melihat kandang ayamnya
diacak-acak.
"Eh, kakek itu kelihatannya juga lapar. Boleh ya
Feng-Feng bagi juga makanan ini padanya?!" tanya Jien
Feng kepada Fang Yung Li.
"Cucuku yang baik, tentu saja boleh" kata Fang Yung
Li yang masih sibuk mengunyah seekor ayam mentah
dengan lahapnya.
"Kakek, makanlah bagianku ini. Aku akan
menangkap lagi seekor untukku" kata Jien Feng sambil
mengulurkan potongan ayam kepada kakek itu.
"Kurang ajar! Dasar orang gila!" bentak kakek itu
dengan marah sekali sambil melayangkan tinjunya ke wajah
Jien Feng.
"Plakkk!!"
Tubuh Jien Feng terpental ke samping dan jatuh
bergulingan karena kerasnya pukulan kakek yang amat
marah itu. Bibir Jien Feng terluka dan mengeluarkan darah,
tapi ia segera bangkit dan maju menantang kakek tua itu
kembali. Matanya yang juling berputar-putar dengan- 212 marahnya. Kedua tangannya berkacak pinggang dengan
sikap menantang sekali.
"Kakek, mengapa engkau memukul Feng-Feng tanpa
sebab sama sekali?! Feng-Feng berbaik hati memberikan
memberikan makanan kepada kakek tapi malah dihajar dan
dimaki. Bukankah yang gila itu kakek?!" tanya Jien Feng
dengan sengit sekali.
"Kurang ajar! Berani kau!" teriak kakek tua itu sambil
mengangkat tangan bersiap menghajar Jien Feng untuk
kedua kalinya.
Jien Feng sama sekali tidak terlihat takut atau
berusaha menghindari tinju kakek itu. Matanya yang juling
malah melotot dengan marah. Tinju kakek tua itu tampaknya
sudah hampir pasti menghajar pipi Jien Feng kembali ketika
tiba-tiba saja sebuah tangan keriput kurus kering
mencengkeram lengan kakek tua itu. Tampaknya Fang
Yung Li sudah turun tangan membela Jien Feng.
"Kau?! Kau siapa?!" tanya kakek tua itu keheranan
melihat Fang Yung Li yang tiba-tiba saja berdiri di
sampingnya setelah barusan masih berjongkok makan ayam
mentah di sudut kandang.
"Aku?! Aku siapa?! Aku Kakek Feng-Feng" jawab
Fang Yung Li.- 213 "Ah?! Lepaskan lenganku, sakit sekali rasanya" kata
kakek tua itu sambil memegangi lengan kanannya yang
terasa sakit sekali.
"Kau belum meminta maaf kepada cucuku. Cepat
minta maaf!" bentak Fang Yung Li sambil memperkeras
cengkeramannya.
"Aduh!!!" teriak kakek tua itu ketika merasa darah
dan dagingnya seakan tersedot keluar oleh cengkeraman
Fang Yung Li.
Fang Yung Li tanpa sadar mengeluarkan jurus
penghisap mautnya, Pei Ming Sen Kung (Ilmu Sakti Neraka
Utara) terhadap kakek malang itu. Ilmu aneh dan sakti itu
memang berdaya hisap luar biasa sehingga sebentar saja
kakek tua malang itu sudah sekarat kehabisan darah dan
tenaga, la berusaha berteriak dan meronta tapi sudah tidak
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertenaga lagi. Sebentar kemudian, kakek tua itu mati
mengenaskan dengan tubuh kurus kering!
"Eh, kenapa kau ini?! Mengapa tidak minta maaf pada
cucuku?!" teriak Fang Yung Li dengan gusar kepada mayat
kakek tua itu.
"Kakek, ia menghajarku" kata Jien Feng mengadu.
"Kurang ajar! Lebih baik kau rasakan pembalasan
dariku!" teriak Fang Yung Li sambil menendang mayat
kakek malang itu dengan keras sekali.- 214 Mayat kakek malang itu terlempar tinggi dan jauh
sekali hingga hampir melewati batas desa. Mayat itu jatuh
berdebam keras sekali di tanah hingga hancur berantakan.
Bau busuk menyebar keras sekali. Beberapa orang yang
tengah berjalan menjadi terkejut sekali melihat benda yang
hampir mengenai mereka barusan adalah mayat yang sudah
hancur.
*** "Jenderal Teng, anda tidak apa-apa?" tanya seorang
kepada yang disapa Jenderal Teng itu sambil bersiap
menghunus goloknya.
"Aku tidak apa-apa. Jangan gegabah, Chung Hao atau
penyamaran kita akan ketahuan" kata Jenderal Teng itu
memerintah.
"Siap Jenderal Teng" kata orang yang disebut Chung
Hao itu menyarungkan kembali goloknya.
"Chung Hao, aku sudah berulangkah mengatakan
jangan sebut aku Jenderal Teng. Kita sekarang sedang dalam
penyamaran. Ingat itu!" tegur yang disebut Jenderal Teng itu
dengan berwibawa sekali.
"Baik Jend...eh Tuan Teng" kata orang yang bernama
Chung Hao itu setengah ketakutan.- 215 "Sekarang coba lihat apa yang terjadi. Mengapa
mayat ini bisa sampai terbang kemari" perintah Jenderal
Teng itu.
"Baik Tuan Teng! Semuanya! Ikuti aku!" perintah
Chung Hao kepada seluruh pengikutnya yang berjumlah 10
orang itu.
Sebenarnya siapakah mereka itu? Mereka tidak lain
adalah rombongan Teng Cuo Hui dan Cuo Chung Hao dari
benteng Teng di daerah Tong Liao di utara. Mereka sedang
dalam perjalanan kembali ke benteng Teng setelah
mengadakan pertemuan rahasia dengan Huo Wang-ye.
Siapa sangka mereka akan mendapat pertemuan
mengejutkan seperti ini?
Cuo Chung Hao yang tiba pertama di tempat Fang
Yung Li dan Jien Feng merasa keheranan menemukan dua
orang kakek dan anak yang tampak tidak waras tengah
makan ayam mentah di dalam kandang. Tapi karena tidak
ada lagi orang lain di sekitar situ, maka pastilah mereka
berdua yang membunuh kakek malang barusan. Cuo Chung
Hao merasa geram sekali karena barusan kena marah Teng
Cuo Hui langsung mencengkeram leher Jien Feng dengan
kasar sekali.
"Kalian dua orang gila!" bentak Cuo Chung Hao
sambil membanting tubuh Jien Feng ke tanah.
"Aduh!" teriak Jien Feng kesakitan.- 216 "Hei! Apa yang kau lakukan pada cucuku?!" bentak
Fang Yung Li sambil bangkit berdiri mendekati Cuo Chung
Hao. "Kalian berani sekali membuat kekacauan di sini!
Bahkan membunuh orang dengan sembarangan. Kalau tidak
dihukum, mana bisa dinasti Tang yang agung dihormati
banyak orang" kata Cuo Chung Hao dengan gagah.
"Apa urusannya denganmu?! Aku membunuh kakek
kurang ajar itu berani sekali memukul cucuku. Sekarang kau
juga, apakah kau ingin kubunuh juga sekalian?" tanya Fang
Yung Li dengan nada mengancam.
Cuo Chung Hao memandang penampilan Fang Yung
Li yang lusuh dan kurus itu dengan seksama, la sama sekali
tidak merasa takut dengan ancaman orang gila seperti Fang
Yung Li, tapi kemudian ia teringat akan mayat kakek
malang yang rusak dengan tidak wajar itu sehingga ia
menjadi waspada. Jangan-jangan ia adalah seorang
pendekar sakti dari golongan sesat. Tapi pikiran Cuo Chung
Hao itu segera ditepis oleh keangkuhannya sendiri. Ia
merasa yakin bisa menghajar kakek kurus gila ini dengan
sekali hantaman saja.
"Kau siapa kakek gila?!" bentak Cuo Chung Hao
dengan marah sekali.
"Aku?! Aku siapa?! Aku adalah kakek Feng-Feng!"
jawab Fang Yung Li dengan tidak kalah geram.- 217 "Siapa itu Feng-Feng?" tanya Cuo Chung Hao heran.
"Aku" jawab Jien Feng sambil mengangkat tangan ke
atas dengan gembira.
"Kurang ajar! Kalian berani sekali mempermainkan
aku!" teriak Cuo Chung Hao yang merasa dipermainkan
oleh jawaban mereka berdua.
"Pengawal! Bunuh kedua orang gila ini!" perintah
Cuo Chung Hao.
Kesepuluh pengawal serentak menghunus pedang
dan golok masing-masing. Mereka mengepung kandang
ayam itu dengan rapat sekali. Mata mereka liar dan haus
darah bersiap membantai Fang Yung Li dan Jien Feng.
Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya merekalah yang akan
dibantai oleh Fang Yung Li sebentar lagi. 1
"Bunuh!" seru Cuo Chung Hao memberikan perintah.
Teriakan segera membahana membelah angkasa.
Suasana kandang ayam itu langsung balau oleh jerit
kesakitan dan teriakan kematian kesepuluh pengawal. Fang
Yung Li dengan ganas mencabik-cabik tubuh para pengawal
itu hingga tidak berbentuk lagi. Darah segar terciprat
kemana-mana. Cuo Chung Hao seperti melihat mimpi buruk
tengah berlangsung di depan matanya melihat para
pengawalnya mati mengenaskan, la mundur-mundur dengan
gemetaran bersiap melarikan diri. Apalagi saat itu Fang- 218 Yung Li mulai menghisap darah korban-korbannya seakan
minum air saja.
"Aduh, darahnya tidak enak" kata Fang Yung Li
sambil meludah.
"Kakek, orang itu hendak melarkan diri" kata Jien
Feng sambil menunjuk ke arah Cuo Chung Hao.
"Hei! Kau! Bukankah tadi kau ingin membunuhku?!
Ayo kemari!" tantang Fang Yung Li.
Cuo Chung Hao yang memang pengecut itu langsung
ciut nyalinya dibentak oleh Fang Yung Li. Apalagi saat itu
Fang Yung Li tengah memegang sebuah potongan lengan
salah seorang pengawal. Cuo Chung Hao seperti bertemu
raja neraka yang hendak mencabut nyawanya saja. Kakinya
sudah gemetaran sehingga untuk berlari pun susah. Saat
hendak berpaling melarikan diri, Cuo Chung Hao menabrak
seseorang yang tengah berdiri di belakangnya. Hatinya yang
hampir copot menjadi agak lega ketika melihat bahwa yang
berdiri di belakangnya adalah Teng Cuo Hui.
"Ah, Jend... Tuan Teng. Untunglah anda datang" kata
Cuo Chung Hao.
"Siapa itu Tuan Teng?!" tanya Teng Cuo Hui dengan
raut muka dan nada yang aneh.
"Tuan Teng?! Maksud anda?!" tanya Cuo Chung Hao
kebingungan.- 219 Saat itu Cuo Chung Hao baru menyadari kalau
pakaian Teng Cuo Hui yang mewah sudah hancur sobeksobek tidak karuan. Wajahnya juga penuh debu. Rambutnya
acak-acakan seperti tidak pernah disisir. Apa yang terjadi
pada diri Teng Cuo Hui? Sebenarnya tadi Teng Cuo Hui
melihat dari kejauhan pembantaian yang dilakukan oleh
Fang Yung Li. Ia segera teringat cerita Huo Wang-ye yang
mengisahkan tentang si Setan Darah Fang Yung Li yang ikut
menyerbu markas Tien Lung Men. Otaknya yang cerdas dan
licik segera berputar mencari akal. la tahu dari gelagatnya,
Fang Yung Li dan Jien Feng sama-sama tidak warasnya. Ia
segera menghancurkan bajunya dan menutupi wajahnya
dengan debu. Teng Cuo Hui mengambil langkah berani dan
adu untung untuk memanfaatkan ketidakwarasan mereka
berdua, ia mencoba mencuri ilmu sakti Fang Yung Li
dengan jalan berpura-pura gila dan menjadi ayah FengFeng! Sungguh sebuah pertaruhan yang berani!
"Tuan Teng kau ..." Cuo Chung Hao sampai
kehabisan kata-kata.
"Aku bukan Tuan Teng, aku ayah Feng-Feng! Berani
kau memukul anakku ya!" bentak Teng Cuo Hui dengan
marah sekali.
Cuo Chung Hao tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia
merasa terperangkap dalam sebuah mimpi buruk. Ia hanya
ingin segera bangun dari mimpi ini dan kembali menjalani
hidup sebagai kepala pelatih tentara benteng Teng. Tanpa
sadar, celana Cuo Chung Hao basah karena ketakutan sekali,- 220 la segera menjerit dan lari pontang-panting meninggalkan
tempat itu.
"Eh! Mau kemana kau?!" teriak Teng Cuo Hui sambil
mengejar.
Rasa takut yang luar biasa membuat Cuo Chung Hao
tidak dapat berlari cepat. Apalagi sebenarnya dalam keadaan
biasa saja. ia juga bukan tandingan Teng Cuo Hui. Segera
saja ia tertangkap oleh Teng Cuo Hui dan dibanting ke
tanah. Fang Yung Li dan Jien Feng sendiri masih terheranheran dan berdiri melongo karena tiba-tiba muncul "ayah
Feng-Feng" yang membantu mereka.
"Kau hendak lari kemana?" bentak Teng Cuo Hui
dengan marah.
"Ampun Jenderal Teng, aku mengaku salah.
Jangan..."
"Prakkkk!"
Sebuah hunjaman cakar Teng Cuo Hui memutuskan
kalimat Cuo Chung Hao yang tidak pernah selesai itu.
Kepala Cuo Chung Hao yang malang itu langsung remuk
oleh cakar Teng Cuo Hui. Tubuhnya langsung lemas lunglai
seiring berpisahnya nyawa dari raga. Teng Cuo Hui memang
orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan, termasuk membunuh anak buahnya sendiri!- 221 "Feng-Feng! Ayah! Aku sudah membalaskan sakit
hati kalian!" teriak Teng Cuo Hui sambil melompat-lompat
dengan gembira.
"Hei! Siapa kau?" tanya Fang Yung Li keheranan.
"Ayah?! Masak engkau lupa pada anakmu sendiri?
Aku!" kata Teng Cuo Hui sambil berlari mendekati Fang
Yung Li dan Jien Feng.
"Aku?!" tanya Fang Yung Li keheranan.
"Ini aku ayah!" teriak Teng Cuo Hui sambil
menggandeng tangan Jien Feng dan Fang Yung Li kemudian
mengajak mereka menari berputar-putar.
"Siapa?" tanya Feng-Feng juga keheranan dengan
matanya semakin juling.
"Aku ayah Feng-Feng!" jawab Teng Cuo Hui dengan
tegas sekali.
"Ayah Feng-Feng?!" kata Fang Yung Li dan Jien
Feng bersamaan dengan keheranan sekali.
"Maksudmu?" tanya Fang Yung Li masih tidak
mengerti.
"Ayah ini bagaimana?! Mana mungkin ada cucu
tanpa ada anak? Mana mungkin ada kakek tanpa ada ayah?"
tanya Teng Cuo Hui.
Fang Yung Li dan Jien Feng saling berpandangan
dengan heran. Apa yang dikatakan Teng Cuo Hui memang- 222 ada benarnya. Mereka adalah kakek dan cucu, tentunya
harus ada anak dan ayah sebagai penyambung generasi yang
ada di tengah. Otak mereka berdua yang kurang waras hanya
bisa memikirkan sampai sana tanpa bisa menentukan
hubungan sebenarnya lebih lanjut. Sebentar kemudian, Fang
Yung Li dan Jien Feng saling mengangguk gembira. Mereka
setuju bahwa Teng Cuo Hui benar adalah ayah Feng-Feng.
Apalagi penampilan Teng Cuo Hui yang compang-camping
cocok sekali dengan mereka berdua.
"Ayah! Aku sudah lama sekali mencari ayah!" teriak
Feng-Feng sambil melompat ke arah Teng Cuo Hui yang
langsung menggendongnya dengan gembira.
"Akhirnya kita sekeluarga bisa berkumpul kembali"
kata Fang Yung Li sambil terkekeh dengan tidak waras.
"Ayah, aku janji tidak akan main jauh-jauh lagi" kata
Teng Cuo Hui sambil berlinangan air mata buaya kepada
Fang Yung Li.
"Kita berkumpul kembali" seru mereka bertiga
sambil menari-nari dengan gembira.
Akhirnya mereka bertiga meninggalkan tempat itu
sambil saling mengoceh tidak karuan ujung pangkalnya.
Mayat Cuo Chung Hao dan kesepuluh pengawal
ditinggalkan begitu saja untuk menjadi santapan binatang
buas. Sebenarnya apakah yang sedang direncanakan Teng
Cuo Hui? Dan apakah sebenarnya yang ia inginkan?- 223 *** Peluh membasahi kening dan baju Han Cia Sing yang
berusaha memusatkan pikirannya dan bersemedi. Ia sudah
berusaha lama sekali menenangkan pikirannya namun tidak
berhasil. Malah napasnya kini tidak teratur dan peredaran
darahnya mulai kacau. Dadanya terasa panas sekali seperti
terbakar sementara kedua kaki dan tangannya dingin sekali.
Han Cia Sing tidak tahu bahwa ia sebenarnya sedang dalam
tahap "Cou Huo Ru Mo" (tersesat di jalan iblis).
Keadaan "tersesat di jalan iblis" biasanya disebabkan
banyaknya pikiran yang membuat latihan tenaga dalam
tidak tenang. Sebenarnya bila berhenti berlatih dan berusaha
menenangkan diri, tentu tidak akan berakibat apa-apa. Tapi
biasanya orang yang sudah hampir masuk tahap ini seperti
kerasukan setan, tidak mau dan tidak bisa berhenti berlatih.
Mereka sepertinya ingin terus berlatih yang mereka pikir
bisa menekan pikiran-pikiran negatif yang ada dalam diri
mereka, padahal sesungguhnya malah mencelakakan diri
mereka sendiri. Han Cia Sing yang biasa melatih ilmunya
untuk menyegarkan tubuhnya kembali juga berpikir
demikian. Namun pikiran Han Cia Sing yang selama
beberapa bulan ini tidak tenang kini seperti menggumpal
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersatu menyumbat aliran tenaganya.
Akhirnya Han Cia Sing tidak tahan lagi dan berteriak
keras. Namun suara yang keluar dari tenggorokannya kecil- 224 sekali, seakan-akan ada sesuatu yang menyumbat
pernapasannya. Darah mulai menetes dari hidung Han Cia
Sing. Napasnya kini tinggal satu-satu dan peredaran
darahnya kacau sekali. Han Cia Sing ambruk ke lantai dan
kejang-kejang. Perutnya terasa mual sekali sampai hampir
muntah. Ia juga kesulitan bernapas sehingga harus
menghitung satu-satu agar pernapasannya bisa berjalan
kembali. Setelah merasa agak kuat, Han Cia Sing beringsut
bangkit ke arah jendela dan membukanya. Angin pagi yang
segar berhembus masuk sehingga membuat Han Cia Sing
merasa lebih enak. Sinar matahari pagi yang mulai
menembus langit timur seperti memberikan kekuatan baru
bagi Han Cia Sing.
"Apa yang sedang terjadi pada diriku?" tanya Han Cia
Sing dalam hati.
Han Cia Sing berusaha memulihkan tenaganya
sejenak dengan berdiri menghirup udara segar di depan
jendela. Suara genta kuil bertalu-talu di ujung selatan seakan
memberikan kedamaian bagi batin Han Cia Sing yang
sedang kacau. Suara ratusan biksu yang tengah berdoa di
kejauhan juga membuat hati Han Cia Sing lebih tenang. Ia
memutuskan untuk menemui Fang-cang Tien Gong saja
setelah ini dan hendak menanyakan mengenai keadaan
dirinya. Baru saja Han Cia Sing berbalik dan hendak keluar
ruangan, ia tertegun melihat keajaiban yang terjadi.
Seluruh tembok ruangan yang menghadap ke arah
jendela yang terbuka itu penuh berisi gambar orang yang- 225 dalam posisi latihan silat. Lebih mengejutkan lagi, beberapa
posisi itu dikenal Han Cia Sing sebagai ilmu yang dulu
sekali diajarkan oleh Lu Xun Yi kepadanya. Han Cia Sing
menghitung jurus-jurus itu yang ternyata semuanya ada
empat puluh jurus. Semua jurus itu ia hapalkan dengan
seksama dan terheran-heran. Sebentar kemudian, puluhan
gambar yang ada di tembok itu perlahan-lahan memudar
seakan-akan meresap masuk kembali ke dalam tembok.
Benar-benar mengherankan sekaligus menakjubkan!
Han Cia Sing tidak tahu bahwa sebenarnya keempat
puluh jurus itu adalah Yi Cin Cing (Sutra Penggeser Urat)
yang sebenarnya dan lengkap milik Rahib Agung Da Mo.
Kuil Shaolin yang mengetahui bahwa ilmu itu banyak sekali
diincar oleh pendekar dunia persilatan, tidak berani
menuliskannya dalam sebuah kitab secara terang-terangan.
Beberapa puluh tahun lalu, seorang cerdik pandai
menemukan sebuah cara yang bagus untuk
menyembunyikan ilmu itu. Ia melukis semua jurus yang ada
di tembok tempat para kepala biara biasa bersemedi dengan
cat khusus. Lukisan itu tidak akan kelihatan kecuali bila
diberi sinar matahari pada sudut tertentu, yaitu pada saat
pagi hari baru mulai merekah. Cara menyembunyikan ini
begitu luar biasa, karena selain begitu sulit masuk ke kamar
semedi kepala biara, biasanya mereka yang ingin mencuri
tidak akan berani membuka jendela karena takut ketahuan.
Tidak heran Yi Cin Cing aman di kuil Shaolin selama
puluhan tahun.- 226 Han Cia Sing yang begitu terpesona oleh
pemandangan barusan, langsung berupaya mencoba jurusjurus yang ia lihat barusan. Karena ia sudah menguasai dasar
Yi Cin Cing dan seluruh Shi Sui Cing, maka ia tidak
kesulitan melakukannya. Han Cia Sing melakukan
semuanya dengan hati-hati sekali karena ia takut kejadian
semalam terulang lagi pada dirinya. Untunglah ternyata
semuanya bisa berjalan baik. Tubuhnya menjadi segar
kembali dan pikirannya kini menjadi tenang dan jernih.
Ketika Han Cia Sing menghembuskan napas panjang
sebagai penutup latihannya, ia seperti merasa terlahir
kembali. Tubuhnya sangat segar dan pikirannya sejernih
telaga yang tenang.
Han Cia Sing tidak tahu bahwa sebenarnya dalam
salah satu jurus Yi Cin Cing itu ada yang disebut "Cing
Sing" (Hati Tenang). Jurus ini memang dulu tidak diajarkan
kepadanya oleh Lu Xun Yi. Tidak heran bila selama ini, jika
Han Cia Sing mempunyai banyak pikiran atau hatinya
sedang guncang, ia seperti sukar mengeluarkan ilmunya
dengan baik. Bahkan kadang-kadang, dirinya seperti bukan
orang yang bisa ilmu silat saja layaknya.
Saat penyerbuan markas Tien Lung Men di Yi Chang,
ia bahkan tetap tertidur meskipun pertempuran sudah terjadi
sehingga Song Wei Hao sampai harus membangunkannya.
Itu dikarenakan hatinya sedang kacau karena dendamnya
terhadap Ye Ing, ibu tirinya. Juga setelah mendengar kabar
ayahnya masih hidup, hatinya kacau balau sehingga tidak- 227 menyadari ia tengah dikuntit oleh Kui Ya San Cu (Tiga
Penguasa Tebing Setan). Saat pertarungan ia juga terlihat
lemah dan bingung sehingga bisa ditekan oleh mereka
bertiga. Kemudian Ma Xia menghilang, membuat ia
kehilangan semangat dan pikiran. Fang-cang Tien Gong
yang kaya pengalaman dapat melihat hal ini dalam diri Han
Cia Sing dan semakin yakin saat bertarung dengannya. Han
Cia Sing terlihat jauh lebih lambat dan lemah daripada
biasanya sehingga bisa dikalahkan oleh Fang-cang Tien
Gong. Padahal Fang-cang Tien Gong yakin sekali ia tidak
akan bisa menandingi Han Cia Sing jika hatinya tidak
sedang kacau.
Fang-cang Tien Gong yang bijaksana memutuskan
untuk memberikan seluruh ilmu Yi Cin Cing kepada Han
Cia Sing agar ia tidak "tersesat di jalan iblis". Tien Gong
menyadari dalam Yi Cin Cing ada satu bagian "hati tenang"
yang memang perlu sekali dipelajari agar bisa menekan
pikiran dan perasaan yang bergejolak. Jurus ini penting bagi
Han Cia Sing yang masih muda dan dipenuhi banyak tragedi
dalam kehidupannya. Dan memang akhirnya Han Cia Sing
terselamatkan oleh kebijaksanaan Fang-cang Tien Gong itu.
Kalau tidak, ia pasti sudah mati atau gila dalam beberapa
bulan ke depan karena "tersesat di jalan iblis".
Han Cia Sing menutup jendela dan pintu ruangan
semedi kepala biara sebelum meninggalkannya. Ia bergegas
hendak menemui Fang-cang Tien Gong untuk menyampai
kan rasa terima kasihnya. Meskipun tidak mengerti dalam- 228 ilmu yang ia pelajari ada satu bagian yang telah
menyelamatkan nyawanya, namun Han Cia Sing sadar
bahwa ia harus berterima kasih kepada Fang-cang Tien
Gong karena telah memberinya kesempatan mempelajari Yi
Cin Cing.
Puluhan biksu yang tengah berdoa dengan khusuk
sekali di aula utama sama sekali tidak mempedulikan
kedatangan Han Cia Sing. Di ujung depan, tampak Fangcang Tien Gong dan Tien Fa serta Tien Cin tengah
memimpin doa pagi itu. Han Cia Sing mengurungkan
niatnya untuk menemui Fang-cang Tien Gong sekarang dan
memutuskan untuk menunggu di depan aula. Baru saja ia
hendak duduk di lantai dan ikut berdoa, seorang biksu
mendekati dia dan mengajaknya ke ruang makan.
"Han Se-cu, silakan ikut ke ruang makan. Kami sudah
mempersiapkan masakan sederhana untuk Han Se-cu" kata
biksu itu sambil menunduk dan merangkapkan tangannya di
dada.
"Ehm, baiklah" kata Han Cia Sing bangkit berdiri dan
mengikuti biksu itu.
Jarak antara aula utama dan ruang makan cukup jauh.
melewati beberapa puluh anak tangga yang naik turun. Han
Cia Sing baru sadar dirinya belum makan sejak tadi malam
ketika mencium bau harum masakan santri yang tercium
sejak beberapa langkah sebelum masuk ke dalam ruang
makan. Perutnya terasa lapar sekali apalagi ketika melihat- 229 bubur dan sayuran yang kelihatannya dimasak dengan enak
sekali.
"Cia Sing! Kemana saja engkau semalaman?!" sapa
Yung Lang yang pertama kali melihat Han Cia Sing tiba di
ruang makan.
"Ah Yung Lang" kata Han Cia Sing sambil mendekati
meja makan tempat Yung Lang dan lainnya duduk.
"Cia Sing, apakah engkau baik-baik saja?" tanya Ma
Han Jiang.
"Paman Ma, aku baik-baik saja" jawab Han Cia Sing
sambil menjura hormat kepada Ma Han Jiang dan Wongguo
Luo. "Bagaimana pertemuanmu dengan Fang-cang Tien
Gong" tanya Ma Han Jiang lagi.
"Beliau memberiku banyak petunjuk yang amat
penting. Aku tadi barusan hendak berterima kasih
kepadanya, tapi Fang-cang sedang berdoa" jawab Han Cia
Sing.
"Sing ta-ke (kakak Sing), makanlah bubur dan
sayuran ini selagi panas. Sing ta-ke pasti sudah lapar sekali"
kata Wongguo Yuan sambil memberikan semangkuk penuh
bubur panas dan satu piring sayuran hijau.
"A Yuan, aku dari tadi duduk di depanmu tapi kamu
sama sekali tidak menawariku apa-apa" kata Yung Lang
tidak terima.- 230 "Aduh!" seru Yung Lang ketika l in Tung yang duduk
di sampingnya menendang kakinya dengan keras sekali.
"Kenapa kau menendangku?" tanya Yung Lang
sambil melotot tidak terima kepada Lin Tung.
Dewa Arak 74 Panggilan Ke Alam Roh Pendekar Mata Keranjang 17 Manusia Titisan Dewa Girl Talk 16 Gara Gara Pesta
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama