Ceritasilat Novel Online

Rimba Persilatan Naga Harimau 27

Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 27


melihatnya. Beberapa orang pendekar dan anak buah Huo
Wang-ye yang masih selamat sibuk mengobati dan merawat
luka masing-masing. Xiahou Yuan melihat hal ini menjadi
sangat lega karena itu berarti kemenangan ada di pihak
mereka.
"Pendekar Xiahou, Huo Wang-ye sudah menunggu
anda di sebelah sana" kata Cheng Hung yang terlihat
bergegas menyambut itu.
"Terima kasih, kami akan ikut" kata Xiahou Yuan.
Mereka bersama-sama menuju ke belakang panggung
kehormatan di mana telah berkumpul teman-teman mereka.
Mayat-mayat teman mereka juga dijejer di tanah lapang.- 148 Suasana tampak berduka sekali terutama Jien Jing Hui yang
kehilangan banyak pengikutnya. Kini Tien Lung.
"Salam hormat kepada Yang Mulia Huo Wang-ye"
kata Xiahou Yuan dan Teng Cuo Hui sambil menjura.
"Ah, guru Xiahou sudah kembali. Aku senang sekali
melihat guru baik-baik saja. Jenderal Teng, ternyata anda
juga berada di wilayah Yin Chuang ini" kata Huo Wang-ye
sambil balas menjura hormat.
"Tampaknya keadaan di sini berhasil dikuasai oleh
pasukan Yang Mulia. Selamat kepada Yang Mulia Huo
Wang-ye" kata Xiahou Yuan.
"Semua ini berkat jasa guru Xiahou dan semua teman
seperjuangan kita. Pengikut Ceng Lu Hui sudah banyak
yang dikalahkan dan Cheng Hung sudah kuperintahkan
untuk mengejar yang tersisa. Hari ini nama Ceng Lu Hui
harus dihapuskan dari muka bumi kerajaan Tang yang
agung. Tidak akan ada lagi Ceng Lu Hui" kata Huo Wangye. "Selamat kepada Yang Mulia Huo Wang-ye" seru
Xiahou Yuan dan Teng Cuo Hui hampir bersamaan.
Sementara Xiahou Yuan dan Huo Wang-ye tengah
bercakap-cakap, Han Cia Pao yang menggendong FengFeng bersama Cen Hua menuju ke barisan Tien Lung Men.
Saat itu Jien Jing Hui tampak tengah berduka atas kematian
Wen Shi Mei. Dalam dua hari berturut-turut, Tien Lung Men- 149 telah kehilangan dua pendekar utama mereka, bagaimana
mungkin Jien Jing Hui tidak bersedih. Tugas membangun
kembali Tien Lung Men akan menjadi semakin berat tanpa
kehadiran Ce Ke Fu dan Wen Shi Mei.
"Nona, aku sudah kembali. Lihat siapa yang
kutemukan di jalan" kata Cen Flua sambil mengangkat
Feng-Feng dari gendongan suaminya.
"Astaga! Feng-Feng! Dia masih hidup?! Di manakah
kalian menemukannya?" seru Jien Jing Hui terkejut sekali.
"Kami tidak menemukannya, tapi Jenderal Teng Cuo
Hui, anak buah Huo Wang-ye yang sedang menyamarlah
yang menemukannya" jawab Cen Hua.
"Kasihan sekali Feng-Feng. Pastilah ia terlunta-lunta
selama setahun ini" kata Jien Jing Hui sambil mengusap
wajah keponakannya itu.
"Nona Jien, sekarang Ceng Lu Hui sudah
dihancurkan. Kita dapat mulai membangun kembali Tien
Lung Men sekarang" kata Cen Hua.
"Belum! Aku masih belum membunuh pengkhianat
Wen Fang itu dengan tanganku sendiri! Jika dendam ayah
ini belum dibalaskan, aku tidak akan tenang!" kata Jien Jing
Hui dengan geram sekali.
"Nona Jien tenanglah. Dendam mendiang Jien Pangcu pasti akan terbalaskan" kata Cen Hua berusaha
menenangkan.- 150 Saat itu Han Cia Sing, Yung Lang, Lin Tung dan Ma
Xia berjalan mendekati mereka. Mereka semua sangat
senang melihat Han Cia Pao dan Cen Hua baik-baik saja,
meskipun wajah Cen Hua tampak terluka di sana-sini. Han
Cia Sing yang masih merasa tidak enak dengan kakaknya
berusaha untuk segera berdamai. Ia tidak ingin terusmenerus terlibat adu mulut dengan kakak tertuanya itu.
"Kakak, aku senang kakak baik-baik saja" kata Han
Cia Sing sambil menjura kepada kakak dan kakak iparnya
itu. "Kami juga senang engkau baik-baik saja" kata Cen
Hua sementara Han Cia Pao hanya berdehem tidak jelas.
"Kami mendengar dari Huo Wang-ye bahwa kakak
mendapat tugas bersama pendekar Xiahou untuk
menghancurkan markas Ceng Lu Hui. Apakah kakak
bertemu dengan ayah Ma Xia di sana?" tanya Han Cia Sing
dengan hati-hati sekali agar tidak menyinggung perasaan
Han Cia Pao.
"Huh! Kau ini selalu saja membuat masalah! Istriku
hampir saja terbunuh oleh bajingan dari utara bernama
Ejinjin! Untung saja Jenderal Teng datang tepat pada
waktunya, jika tidak aku pasti tidak akan memaafkanmu!"
kata Han Cia Pao dengan nada tinggi menjawab pertanyaan
Han Cia Sing.
"Suamiku, aku sekarang bukankah tidak apa-apa.
Jangan kaulampiaskan kemarahanmu kepada Cia Sing. Ia- 151 tidak tahu apa-apa tentang hal yang terjadi" kata Cen Hua
menengahi.
"Huh!" dengus Han Cia Pao kesal sambil berlalu.
"Kakak" panggil Han Cia Sing tapi tidak digubris
sama sekali oleh Han Cia Pao yang terus berjalan pergi.
"Cia Sing, sifat kakakmu memang keras. Aku harap
engkau tidak menyimpannya di dalam hati" kata Cen Hua
tidak enak hati.
"Kakak ipar, aku tidak menyalahkan kakak. Apa yang
sebenarnya terjadi?" tanya Han Cia Sing.
Cen Hua kemudian menceritakan penyerbuan markas
Ceng Lu Hui termasuk kekacauan yang terjadi karena ia
salah memperhitungkan jebakan Ejinjin. Ma Xia tampak
sangat kecewa ketika mendengar Cen Hua tidak berhasil
menemukan ayahnya di markas Ceng Lu Hui. Sementara
alis Han Cia Sing terangkat ketika mendengar nama Jenderal
Teng disebut-sebut. Ia segera teringat pengalamannya yang
tidak mengenakkan saat berada di benteng Teng Cuo Hui di
utara.
"Kakak ipar, apakah yang disebut Jenderal Teng
adalah Teng Cuo Hui dari utara?" tanya Han Cia Sing ingin
memperoleh kepastian.
"Benar, ia berkata demikian tadi" jawab Cen Hua.
"Cia Sing, mengapa engkau jadi murung?" tanya
Yung Lang melihat perubahan di wajah Han Cia Sing.- 152 "Ah, tidak apa-apa. Ceritanya panjang, nanti saja aku
ceritakan" jawab Han Cia Sing.
"Sekarang kita lebih baik menguburkan jenasah
teman-teman kita semua yang telah gugur. Hari semakin
sore dan sebentar lagi malam tiba. Setelah itu kita semua
bisa beristirahat di penginapan. Aku yakin Huo Wang-ye
pasti akan menggelar rapat lagi setelah ini" kata Jien Jing
Hui kepada Cen Hua.
"Baik" kata Cen Hua dan yang lainnya. Akhirnya
mereka semua bekerja bersama-sama dengan para prajurit
bawahan Huo Wang-ye menguburkan jenasah teman-teman
mereka. Kecuali jenasah biksu Tien Cin yang dibawa
kembali ke Shaolin, semua jenasah para pendekar yang
gugur dikuburkan langsung di dekat Kolam Sembilan Naga
secara bersama-sama. Pendekar yang namanya diketahui
diberikan papan nama dari kayu sedangkan yang tidak
dikuburkan begitu saja. Ketika mereka selesai, hari sudah
malam dan obor-obor telah dinyalakan. Setelah mendoakan
mereka yang gugur, mereka semua kembali ke penginapan
bersama-sama.
Jalanan kota Yin Chuang yang mereka lewati amat
sepi. Para penduduk semua ketakutan karena tadi siang
terjadi pertempuran hebat di kota mereka. Sisa-sisa
pertempuran juga tampak di sana-sini meskipun mayatmayat sudah dikuburkan. Jejak dan bau amis darah juga
masih tercium pekat sehingga membuat mual mereka yang
menciumnya. Tampaknya butuh beberapa hari sebelum- 153 keadaan kota menjadi normal kembali. Satu-satunya tempat
yang masih terlihat buka dan terang-benderang hanyalah
penginapan tempat mereka semua tinggal. Puluhan prajurit
Huo Wang-ye tampak berjaga-jaga dengan senjata terhunus
bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kepala pasukan
Cheng Hung juga berdiri berjaga di depan gerbang. Ia segera
datang menyalami para pendekar yang baru saja tiba dengan
hormat sekali.
"Salam para pendekar gagah semua" kata Cheng
Hung sambil menjura.
"Salam Komandan Cheng Hung" seru semua
pendekar sambil balas menjura hormat.
"Huo Wang-ye amat menghargai para pendekar
semua yang telah berkorban bagi kerajaan Tang. Huo Wangye sudah mempersiapkan jamuan besar di aula utama nanti
malam. Para pendekar dipersilakan beristirahat dulu" kata
Cheng Hung.
"Terima kasih Komandan Cheng Hung" kata Jien
Jing Hui mewakili mereka semua.
Mereka masuk ke dalam penginapan dan berpisah ke
kamar masing-masing. Semua pendekar ingin membersih
kan diri, merawat luka-luka dan juga beristirahat.
Pertempuran besar tadi siang benar-benar menguras semua
kekuatan tenaga dan pikiran, tidak terkecuali bagi Han Cia
Sing. Hari ini ia sudah bertarung habis-habisan melawan
empat pendekar tangguh lebih dari enam ratus jurus.- 154 Meskipun Shi Sui Yi Cin Cing bisa menyembuhkan tenaga
dalam waktu yang sangat singkat, tapi pikiran Han Cia Sing
tetap saja merasa lelah. Sementara Yung Lang dan Lin Tung
pergi mandi membersihkan diri, Han Cia Sing memilih
untuk beristirahat. Sebentar saja membaringkan diri, ia
sudah terlelap dengan nyenyak sekali.
Tapi tiba-tiba saja ia mendengar sebuah suara
desingan senjata yang amat dekat, sehingga Han Cia Sing
langsung terloncat bangun. Inilah bedanya Han Cia Sing
setelah mempelajari Yi Cin Cing secara lengkap.
Perasaannya menjadi amat peka meskipun sedang tertidur,
tidak seperti dulu. Sebuah pisau kecil dilemparkan oleh
seseorang dari luar jendela dan menancap tepat di samping
tempat tidurnya. Tampaknya orang itu tidak berniat
mencelakai Han Cia Sing. Sebuah kertas menancap di ujung
pisau itu. Han Cia Sing buru-buru mencabut dan
membacanya.
"Ayahmu ada di penjara bawah tanah istana timur"
kata Han Cia Sing membaca tulisan dalam kertas itu. Han
Cia Sing bergegas melompat keluar kamar tapi ia tidak
menemukan siapa-siapa. Suasana sepi sekali karena semua
pendekar tengah beristirahat di kamar masing-masing. Han
Cia Sing hanya bisa termangu-mangu di depan kamarnya
memikirkan surat rahasia yang dikirimkan kepadanya
barusan. Han Kuo Li ditahan di penjara bawah tanah istana
timur. Ia harus secepatnya berusaha membebaskannya. Han
Cia Sing menghela napas panjang mengingat sampai- 155 sekarang ia masih belum menyampaikan hal ini kepada
kakaknya, Han Cia Pao.
"Cia Sing, mengapa kau tampak muram?" tegur
seseorang di belakangnya.
"Ah, paman Ma" kata Han Cia Sing segera berbalik
dan melihat siapa yang berada di belakangnya.
"Ehm, aku senang kau baik-baik saja. Pertarunganmu
hari ini sungguh-sungguh luar biasa. Aku kagum dengan
kehebatanmu" puji Ma Han Jiang.
"Paman Ma terlalu memuji" kata Han Cia Sing
merendah.
"Tidak, aku berkata sebenarnya. Cia Sing, aku sudah
puluhan tahun malang-melintang di dunia persilatan. Aku
bahkan pernah melihat pertarungan Jien Wei Cen dengan
Fang-cang Tien Gong. Dan aku harus mengakui bahwa
ilmumu tidak lebih rendah daripada mereka berdua. Aku
senang sekali. Aku yakin ayahmu di surga juga pasti
bangga" kata Ma Han Jiang.
"Paman Ma, sebenarnya ayahku...dia..." kata Han Cia
Sing ragu-ragu.
"Mengapa?!" tanya Ma Han Jiang heran melihat
keraguan Han Cia Sing.
"Ma Ta-ke, akhirnya aku menemukanmu di sini" kata
seorang wanita di belakang mereka berdua.- 156 "Ah, Huo Fu-ren. Salam hormat kepada Huo Fu-ren"
kata Ma Han Jiang dan Han Cia Sing ketika melihat Wang
Mei Lin berdiri di belakang mereka bersama beberapa
dayangnya.
"Tidak perlu terlalu sungkan. Di sini bukan istana jadi
tidak perlu terlalu menggunakan tata krama kerajaan" kata
Wang Mei Lin.
"Terima kasih Huo Fu-ren" kata Han Cia Sing dan Ma
Han Jiang.
"Ma Ta-ke, tadi pelayanku mengatakan bahwa Ma
Ta-ke mencariku. Maaf tadi aku masih menidurkan anakku
sehingga tidak bisa menemui Ma Ta-ke. Ada apa gerangan
Ma Ta-ke mencariku?" tanya Wang Mei Lin.
"Maaf telah mengganggu Huo Fu-ren. Aku hanya
hendak menyampaikan bahwa Hu Kung Ye telah tewas tadi
siang dalam pertarungan denganku" kata Ma Han Jiang.
"Benarkah?!" kata Wang Mei Lin setengah tidak
percaya.
"Benar. Aku harap orang tua Wang Fu-ren sekarang
dapat beristirahat dengan tenang di surga" kata Ma Han
Jiang.
"Ma Ta-ke, terima kasih, terima kasih sekali. Aku
Wang Mei Lin memberikan sembahku kepada Ma Ta-ke"
kata Wang Mei Lin sambil berlutut di depan Ma Han Jiang.- 157 "Jangan! Aku Ma Han Jiang hanyalah seorang
pendekar pengelana, tidak pantas menerima sembah dari
keluarga kerajaan seperti Huo Fu-ren" kata Ma Han Jiang
buru-buru membantu Wang Mei Lin berdiri.
"Ma Ta-ke, dulu jika tidak ada Ma Ta-ke yang
menolongku dari tangan-tangan jahat Hu Kung Ye, pastilah
tidak ada Wang Mei Lin yang sekarang. Kini Ma Ta-ke
bahkan membalaskan dendam keluarga, Wang Mei Lin


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selamanya akan berhutang kepada Ma Ta-ke" kata Wang
Mei Lin sambil berurai air mata teringat pengalamannya saat
dulu diselamatkan Ma Han Jiang di wisma keluarga Wang.
"Huo Fu-ren, nasib manusia ada di tangan Tuhan.
Aku Ma Han Jiang tidak berani mengambil jasa apa-apa"
kata Ma Han Jiang merendah.
Saat itu seorang utusan Huo Wang-ye datang dan
memberitahukan agar semua pendekar berkumpul di aula
utama. Ma Han Jiang dan Han Cia Sing segera
menyanggupinya.
"Ma Ta-ke, aku akan membakar dupa berdoa untuk
ayah ibuku. Silakan Ma Ta-ke dan tuan muda Han mengikuti
pertemuan. Aku mohon diri" kata Wang Mei Lin.
"Silakan Huo Fu-ren" kata Ma Han Jiang dan Han Cia
Sing bersamaan.
Wang Mei Lin pun pergi diiringi beberapa
dayangnya. Ma Han Jiang dan Han Cia Sing kemudian- 158 menunggu Yung Lang dan Lin Tung kembali dari kamar
mandi. Mereka berempat kemudian berangkat bersamasama menuju aula utama. Saat mereka tiba, aula utama
sudah penuh oleh para pendekar, tapi Huo Wang-ye masih
belum terlihat. Mereka berempat kemudian mengambil
tempat duduk agak pinggir. Kursi di tengah ditempati oleh
Song Wei Hao, Xiahou Yuan dan Jien Jing Hui serta Teng
Cuo Hui. Sementara Han Cia Pao dan Cen Hua duduk di
barisan kedua di belakang Song Wei Hao dan Xiahou Yuan.
Mata Han Cia Sing segera tertuju kepada sosok Teng
Cuo Hui. Hatinya bergejolak dan darahnya seakan
mendidih. Ia teringat perlakuan buruk yang diterimanya
selama berada di benteng Teng di utara. Bagaimana dulu Lin
Ying Dan dan Cuo Chung Hao memperlakukannya dengan
semena-mena. Bahkan Han Cia Sing nyaris tewas di utara
jika biksu Lu Xun Yi tidak datang untuk menolongnya.
Meskipun Han Cia Sing tidak pernah tahu persis
apakah Teng Cuo Hui berada di balik semua itu, tapi
nalurinya mengatakan bahwa sebagai ketua benteng,
tentulah Teng Cuo Hui tahu semua yang dilakukan oleh
anak buahnya.
Teng Cuo Hui yang diawasi terus oleh Han Cia Sing
akhirnya merasakan juga sehingga ia balik menatap Han Cia
Sing. Kedua pasang mata bertatapan dengan tajam sekali.
Teng Cuo Hui tidak mengenali lagi Han Cia Sing yang
sudah tumbuh dewasa, lagipula ia beranggapan bahwa Han
Cia Sing sudah meninggal di utara bertahun-tahun yang- 159 lampau. Ia merasa heran melihat seorang pemuda yang
menatapnya dengan mata berapi-api seperti pernah punya
dendam dengannya. Tapi Teng Cuo Hui tidak sempat
berpikir banyak karena saat itu Huo Wang-ye telah tiba.
"Huo Wang-ye tibaaaa!!!" seru penjaga.
Huo Wang-ye memasuki aula utama itu dengan
langkah lebar. Wajahnya tampak cerah sekali karena
kemenangan telak yang diperolehnya hari ini. Langkah
selanjutnya untuk menghancurkan kasim Huo Cin dan
Permaisuri Wu tinggal sedikit lagi. Keberhasilan yang sudah
membayang di depan mata membuat semangat Huo Wangye begitu berkobar.
"Salam hormat kepada Yang Mulia Huo Wang-ye!"
seru semua pendekar yang hadir.
"Para pendekar tidak perlu sungkan. Silakan duduk"
kata Huo Wang-ye membalas salam semua yang hadir.
"Pendekar semua, hari ini kita telah menyaksikan
kehancuran Ceng Lu Hui yang merupakan partai bikinan
kasim Huo Cin. Semua ini merupakan kerja keras para
pendekar gagah semuanya. Aku Huo Wang-ye bersulang
untuk para pendekar" kata Huo Wang-ye sambil
mengangkat cawannya.
"Bersulang!" seru semua yang hadir sambil meneguk
habis arak dalam cawan mereka.- 160 "Hahaha, bagus! Aku juga tidak lupa dengan semua
saudara kita yang telah mengorbankan diri. Aku bersulang
untuk mereka" kata Huo Wang-ye sambil menuangkan arak
cawan ke lantai di hadapannya.
"Yang Mulia Huo Wang-ye memang gagah dan
berbudi! Aku, Jien Jing Hui mengucapkan terima kasih atas
nama Tien Lung Men!" kata Jien Jing Hui sambil meneguk
segelas arak lagi.
"Nona Jien, terima kasih atas bantuan Tien Lung Men
dalam menghancurkan Ceng Lu Hui" kata Huo Wang-ye.
"Yang Mulia Huo Wang-ye terlalu sungkan. Ceng Lu
Hui adalah musuh seluruh dunia persilatan, sudah
seharusnya kita semua menghancurkannya" kata Jien Jing
Hui lagi.
"Hahaha, perkataan yang bagus! Hari ini aku senang
sekali dengan kemenangan kita semua. Satu langkah besar
bagi usaha kita untuk menghancurkan para pengkhianat
negara. Kini kita tinggal selangkah lagi untuk
menghancurkan kasim Huo Cin" kata Huo Wang-ye.
"Yang Mulia Huo Wang-ye, maafkan aku tapi
bukankah kasim Huo Cin masih menjabat sebagai pelindung
negara. Aku khawatir mereka akan memakai tentara
kerajaan untuk menyerang kita" kata Song Wei Hao.
"Jenderal Song, apa yang kaukatakan benar sekali.
Kita pasti akan disebut sebagai pasukan pemberontak dan- 161 akan ditindas oleh pasukan kotaraja. Tapi aku akan
melakukan penyerbuan kilat ke jantung istana tanpa pasukan
yang besar. Aku sungguh mengharapkan kerjasama para
pendekar untuk keberhasilan rencanaku ini" kata Huo
Wang-ye.
Semua yang hadir terkejut mendengar kata-kata Huo
Wang-ye ini. Tampaknya Huo Wang-ye tidak akan
mengerahkan pasukannya di timur untuk berhadapan
dengan pasukan kotaraja, tapi memilih menerjunkan para
pendekar berani mati untuk menyusup ke istana dan
membunuh kasim Huo Cin. Pertaruhan yang akan dihadapi
nanti tidak main-main lagi karena meskipun mungkin nanti
mereka berhasil membunuh Huo Cin, mereka tidak akan
bisa keluar hidup-hidup dari istana. Tidak heran semua yang
hadir tampak ragu-ragu. Pertarungan besar dengan Ceng Lu
Hui baru saja selesai, kini mereka harus berhadapan lagi
dengan para prajurit istana. Pertarungan di istana bisa
diibaratkan sebagai misi bunuh diri.
"Para pendekar gagah sekalian, ijinkan aku Xiahou
Yuan menyampaikan sepatah dua patah kata" kata Xiahou
Yuan sambil maju ke depan.
"Sejak jaman dahulu, para pendekar selalu berjuang
melawan ketidakadilan dan menegakkan kebenaran.
Pendekar Jing Ke mengorbankan dirinya untuk mencoba
membunuh Kaisar Qin Shi Huang yang lalim. Demikian
pula dengan Chang Liang yang kemudian menjadi guru
Kaisar Han yang pertama. Aku harap pendekar sekalian mau- 162 mengambil contoh para pendekar ini untuk menghapuskan
keangkaramurkaan dari kerajaan Tang yang agung" kata
Xiahou Yuan dengan bersemangat sekali.
Suasana aula utama itu sesaat menjadi hening. Para
pendekar saling berpandangan dengan ragu-ragu. Mereka
tidak boleh salah mengambil keputusan karena akibatnya
sangat berat jika gagal. Masing-masing saling menunggu
yang lainnya untuk mengajukan diri terlebih dahulu. Tidak
disangka-sangka, Jien Jing Hui yang pertama maju
mengajukan diri.
"Yang Mulia Huo Wang-ye, aku Jien Jing Hui dan
para pendekar Tien Lung Men mempunyai dendam yang
amat dalam dengan Huo Cin dan Wen Yang. Aku
mengajukan diri untuk ikut dalam pertarungan ini" kata Jien
Jing Hui dengan gagah sekali.
"Bagus! Bagus! Harimau memang tidak melahirkan
anak anjing! Aku bersulang untuk anda dan Tien Lung
Men!" seru Huo Wang-ye yang begitu terkesan dengan
keberanian seorang wanita seperti Jien Jing Hui. Ia langsung
meneguk habis arak secangkir sebagai penghormatan.
"Aku Song Wei Hao, selalu setia kepada kerajaan
Tang. Nyawaku yang tinggal selembar ini kupertaruhkan
bagi kejayaan dinasti Tang!" kata Song Wei Hao tidak kalah
gagah.
Berikutnya hampir seluruh pendekar yang hadir maju
dan berdiri di depan Huo Wang-ye. Mereka semua- 163 mengajukan diri untuk ikut dalam pertempuran terakhir di
istana. Han Cia Sing, Yung Lang, Lin Tung dan Ma Han
Jiang juga tidak ketinggalan. Mereka semua yang
berkumpul menjadi bersemangat sekali menghancurkan
keangkaramurkaan kasim Huo Cin dan Wen Yang.
"Aku tidak salah menilai pendekar sekalian!
Sekarang kita semua bersulang untuk keberhasilan rencana
kita!" kata Huo Wang-ye sambil mengangkat gelasnya
tinggi-tinggi.
Semua yang hadir juga bersorak dan mengangkat
gelasnya masing-masing. Suara mereka mengguncangkan
langit dan bumi. Arak yang mereka minum hari ini adalah
arak sumpah kesetiaan untuk bersatu menghancurkan kasim
Huo Cin. Pertarungan terakhir yang menentukan tampaknya
akan segera terjadi. Pertumpahan darah besar-besaran akan
kembali terjadi. Han Cia Sing merasa dadanya bergemuruh
membayangkan kematian dan pertarungan besar yang akan
mewarnai pertempuran di istana nanti. Apalagi ia juga
mempunyai tugas sendiri yaitu menyelamatkan ayahnya.
"Ayah, bertahanlah. Aku pasti akan menyelamatkan
mu" kata Han Cia Sing dalam hatinya.- 164 55. Jerat
Kasim Huo Cin sedang memimpin pertemuan dengan
para sekutunya di istana belakang tempat kediamannya
berada. Wajahnya yang berbedak tebal tampak muram dan
geram sekali. Beberapa hari yang lalu, Wen Yang dan
lainnya pulang dengan kekalahan telak dari kota Yin
Chuang. Pengikut Ceng Lu Hui yang jumlahnya ribuan itu
hancur tak bersisa. Jumlah mereka sekarang kurang dari
lima puluh orang saja. Itupun kebanyakan berasal dari
pengikut Ceng Lu Hui yang ada di kotaraja. Sedangkan
pendekar mereka juga tinggal beberapa orang saja. Hanya
ada Wen Yang, Wen Fang, Pu Cui, Jing Ying, Sinlin. Ejinjin
serta Tiga Penguasa Tebing Setan. Kekalahan kali ini benarbenar telak sekali.
"Kasim Huo, sekarang apakah rencanamu untuk
menghadapi mereka? Apakah kau akan membiarkan saja
mereka merayakan kemenangan di atas kekalahan kita?"
tanya Sinlin yang sudah tidak sabar melihat Huo Cin hanya
berdiam diri saja.
"Kasim Huo Cin sedang berpikir, jangan kau ganggu"
kata Jiang Sen membela Huo Cin.
"Diam kau! Siapa kau sehingga berani mengatakan
apa yang tidak boleh kuperbuat!" bentak Sinlin yang
memang berangasan itu karena tidak teruna perkataannya
dipotong oleh Jiang Sen.- 165 "Sayangku sudahlah. Kita sedang dalam masalah,
jangan kau tambah lagi masalah kita. Sekarang
beristirahatlah dulu di kamar, nanti aku akan menemuimu"
kata Huo Cin berusaha meredakan kemarahan Jiang Sen.
"Huh!" dengus Jiang Sen dan Sinlin hampir
bersamaan. Jiang Sen masuk ke ruangan dalam diiringi
pandangan sinis semua yang hadir di situ. Mereka semua
sebenarnya muak melihat tingkah Huo Cin dan Jiang Sen
yang terlihat bagaikan sepasang kekasih yang tengah
kasmaran itu, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Bahkan Wen Yang juga merasa Huo Cin semakin aneh dan
berubah akhir-akhir ini. Sifatnya menjadi benar-benar
seperti seorang wanita. Apakah ini akibat dari latihan ilmu
sesat yang dijalaninya?
"Kasim Huo, kita harus segera menyusun rencana
untuk membalas kekalahan kita di Yin Chuang, termasuk
membalaskan dendam bagi anakku Balsan!" kata Sinlin
masih tidak terima.
"Ketua Sinlin, tenanglah sedikit. Aku tahu kau baru
saja kehilangan seorang putramu. Tapi dalam menghadapi
masalah besar seperti ini kita tidak boleh kehilangan akal
kita" kata Huo Cin dengan nada manja sehingga
menggetarkan semua yang hadir.
"Apa maksudmu?" tanya Sinlin.
"Kita baru saja kalah telak. Moral pengikut kita
sedang jatuh. Jika sekarang kita memaksakan diri- 166 menyerang, pastilah kekalahan akan mendatangi kita. Aku
pikir sebaiknya kita memperkuat diri kita terlebih dulu.
Lagipula dari laporan mata-mata kita di Yin Chuang,
kudengar mereka akan mencoba menyusup ke istana dan
membunuhku" jawab Huo Cin dengan santai.
"Huh! Berani sekali mereka" kata Wen Yang.
"Ah, jika tidak berani masuk ke sarang harimau mana
mungkin akan mendapatkan anak harimau" kata Huo Cin
masih dengan santai.
"Jadi sekarang apa yang akan kita perbuat?" tanya
Sinlin.
"Kita buat jebakan agar mereka masuk perangkap.
Setelah itu kita membantai mereka dengan sepuas hati"
jawab Huo Cin dengan mata berkilat-kilat sadis.
"Pembantaian?! Hahahha, aku senang sekali dengan
kata itu" kata Feng Wa dengan suaranya yang
menyeramkan.
"Aku juga sudah tidak sabar mencabut jantung bocah
busuk itu" kata Jiao Cai menanggapi.
"Benar sekali apa yang dikatakan Tiga Penguasa
Tebing Setan. Kekalahan kita kali ini benar-benar
disebabkan karena si bocah busuk Han Cia Sing itu. Jika saja
kita bisa mengalahkannya dalam perebutan gelar pendekar
nomor satu, maka semuanya akan beres. Kurang ajar!" seru- 167 Wen Yang dengan gusar sekali sampai menggebrak meja di
sampingnya hingga hancur.
"Percuma saja melampiaskan kemarahan di sini.
Nanti jika tiba saatnya, tumpahkan kemarahanmu itu" kata
Huo Cin menyarankan.
"Ilmu bocah itu begitu hebat, bahkan bisa
mengalahkan si Setan Darah Fang Yung Li. Bagaimana
caranya kita dapat mengalahkan bocah busuk itu?" tanya


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wen Yang dengan nada putus asa.
"Hehehe, kau berpikiran terlalu sempit. Seseorang
bisa saja mempunyai ilmu tanpa tanding tapi tetap saja ia
seorang manusia yang mempunyai kelemahan" kata Huo
Cin dengan nada penuh ancaman.
"Maksudmu?!" tanya Wen Yang heran.
"Bawa masuk orang itu!" seru kasim Huo Cin. Segera
dua pengawal masuk sambil menyeret seorang kasim yang
sudah babak belur dan berdarah-darah. Tampaknya kasim
itu baru saja mengalami penyiksaan yang hebat sehingga
bahkan berjalan pun ia tidak sanggup lagi. Apa sebenarnya
yang diinginkan oleh Huo Cin terhadap kasim malang itu?
"Sebutkan apa pekerjaanmu" kata Huo Cin sambil
membersihkan kuku-kukunya. Ia sama sekali tidak tergerak
oleh penderitaan yang dialami kasim malang yang napasnya
tinggal satu-satu itu.- 168 "Hamba...hamba pegawai di istana Permaisuri Wu"
kata kasim itu dengan susah payah.
"Kau tahu apa kesalahanmu?" tanya Huo Cin.
"Hamba mengaku bersalah" jawab kasim itu.
"Katakan kesalahanmu" kata Huo Cin dengan santai.
"Hamba bersalah telah diam-diam mengantarkan
makanan ke penjara bawah tanah istana timur" kata kasim
malang itu.
"Hmmm, aku senang kau sudah mengaku bersalah.
Pengawal, bawa dia keluar dan penggal" kata Huo Cin
dingin.
Para pengawal menyeret kasim malang itu tanpa
memperdulikan teriakan mohon ampun darinya. Mereka
terus saja membawa kasim itu keluar ke halaman. Sayupsayup terdengar teriakan mohon ampun si kasim malang dari
luar sampai akhirnya berhenti ketika terdengar bunyi pedang
menetak tulang dan daging. Nyawa kasim malang itu telah
berakhir di tangan algojo.
"Kalian semua tentu heran apa hubungannya antara
bocah busuk itu dengan kasim pengkhianat barusan" kata
Huo Cin.
"Benar, apa yang dikatakannya barusan kupikir tidak
berhubungan dengan bocah busuk itu" kata Wen Yang
heran.- 169 "Kau tahu, kasim itu adalah pegawai di istana
Permaisuri Wu sudah hampir lima belas tahun. Ia adalah
orang kepercayaan Permaisuri Wu. Sebulan yang lalu aku
mendapatkan keterangan bahwa dia hampir setiap sepuluh
hari sekali selalu menuju ke istana timur dengan sembunyisembunyi. Jadi kemarin kedka ia pergi ke sana lagi, aku
langsung membuntutinya sendiri. Kau tahu apa yang
kulihat, Wen Yang?" tanya Huo Cin yang dijawab dengan
gelengan oleh Wen Yang.
"Kasim pengkhianat itu ternyata mengantarkan
makanan untuk Han Kuo Li" kata Huo Cin dengan senyum
mengejek.
"Apa? Jenderal Empat Gerbang Han Kuo Li masih
hidup?!" kata Wen Yang hampir berteriak karena terkejut
sekali.
"Hehehe, benar. Aku juga terkejut sekali. Meskipun
ia sudah hampir tidak memiliki rupa seperti manusia tapi ia
masih hidup. Benar-benar nasib yang menyedihkan,
heheheh" kata Huo Cin sambil tertawa menyeramkan.
"Mengapa tertawa? Apakah Han Kuo Li sudah
dibunuh?!" tanya Wen Yang penasaran sekali.
"Eh, jangan terlalu mudah membunuhnya, la masih
berharga meskipun sekarang sudah menjadi setengah hantu"
jawab Huo Cin.- 170 "Apa maksud kasim Huo Cin?" tanya Sinlin yang
tidak mengerti pembicaraan antara Wen Yang dan Huo Cin.
"Hehehe, ketua Sinlin tidak perlu bingung. Dulu aku
pernah mengalahkan Han Kuo Li dan membuangnya ke
penjara bawah tanah. Kami sangka ia telah mati tapi ternyata
tidak. Ia adalah ayah dari bocah busuk Han Cia Sing itu"
jawab Huo Cin menjelaskan.
"Jadi kasim Huo bermaksud menggunakannya
sebagai sandera?" tanya Sinlin yang mulai mengerti maksud
pembicaraan ini.
"Bukan sebagai sandera tapi sebagai umpan. Kita bisa
memancing bocah busuk itu masuk dalam perangkap kita.
Saat itu meskipun ilmunya sudah mencapai tahap dewa, ia
juga tidak akan mampu bertahan, hehehehe" tawa sinis Huo
Cin menggema diiringi tawa para pendekar sesat lainnya.
"Jika bocah busuk itu sudah disingkirkan, yang lain
akan lebih mudah. Lawan tangguh lain yang harus kita
perhatikan adalah Han Cia Pao, Xiahou Yuan, Wongguo
Luo dan Ma Han Jiang. Sisanya hanya lalat, sekali tebas
langsung mampus!" kata Wen Yang penuh kemenangan
disambut tawa semua yang hadir.
"Ketua Sinlin, kudengar engkau memanggil para
pendekarmu dari utara untuk membantu. Bisakah kau
perkenalkan mereka kepada kami sekarang?" tanya Huo
Cin.- 171 "Tentu! Mereka adalah tiga harimau padang rumput
di utara. Keberanian dan permainan golok mereka sudah
tidak perlu disangsikan lagi. Kalian masuklah!" teriak Sinlin
memberikan perintah.
Tiga orang berbadan tinggi kekar masuk ke dalam
ruangan dengan gagah sekali. Mereka memakai pakaian
suku Tonghu dengan golok lebar melengkung tersandang di
pinggang masing-masing. Wajah mereka tampak bengis dan
menyeramkan juga penuh dengan bekas luka. Kepala
mereka gundul dan hanya menyisakan sedikit rambut yang
dikuncir tepat di atas kepala. Hawa membunuh yang keluar
dari dalam diri mereka juga sanggup membuat para prajurit
penjaga merasa gelisah dan berkeringat dingin.
"Aku perkenalkan tiga bawahanku yang paling hebat.
Mereka adalah Hutai, Gosuen dan Chukotai. Ilmu golok
mereka amat dahsyat dan tidak diragukan lagi. Aku yakin
mereka akan banyak membantu dalam pertempuran nanti"
kata Sinlin dengan bangga.
"Hehehe, tentu saja" kata Huo Cin dengan senyum
mengejek.
"Nela Guo-se (Guru Negara Nela), apakah kau juga
membawa sesuatu untuk diperlihatkan kepada kami?" tanya
Huo Cin kepada Fan Zheng yang sedari tadi hanya berdiam
diri saja.
"Tentu kasim Huo, aku juga membawa pendekar
negara kami untuk turut bergabung menunjukkan kesetiaan- 172 kami terhadap kerajaan Tang" jawab Fan Zheng sambil
bertepuk tangan.
Segera enam orang berjubah ungu memasuki ruangan
itu dengan langkah-langkah yang ringan sekali. Meskipun
wajah mereka sama sekali tidak menunjukkan kebengisan
tapi hawa membunuh yang keluar tidak kalah dahsyat dari
para bawahan Sinlin barusan. Bahkan mata Huo Cin yang
tajam dapat melihat bahwa ilmu tenaga dalam keenam orang
ini begitu dalam sampai-sampai ketika mereka masuk, tubuh
mereka seperti mengambang di atas lantai.
"Kasim Huo, ini adalah enam pendeta utama negara
Nela. Mereka disebut sebagai Liu Teng (Enam Pelita). Ilmu
mereka berenam hanya satu tingkat di bawahku. Aku yakin
sekali mereka bisa mengatasi para pendekar Tien Lung Men
maupun yang lainnya" kata Fan Zheng yakin.
"Hehhehe, bagus! Aku Huo Cin tidak akan
melupakan perjanjian kita jika nanti berhasil menyingkirkan
para pemberontak itu" kata Huo Cin senang sekali melihat
tambahan kekuatan di pihaknya itu.
"Kami akan menuruti perintah kasim Huo!" seru
semua yang hadir hingga menggema di ruangan itu.
*** "Kakak, akhirnya aku bisa berdua sendirian bersama.
Ada masalah penting yang ingin kubicarakan denganmu"
kata Han Cia Sing.- 173 "Bicaralah" kata Han Cia Pao dingin.
"Kakak, ini mengenai masalah ayah..."
"Dendam ayah pasti akan kita balaskan, engkau
jangan khawatir" kata Han Cia Pao memotong perkataan
adiknya itu.
"Bukan masalah itu yang hendak kubicarakan.
Kakak, lihatlah dulu isi kotak ini" kata Han Cia Sing sambil
mengeluarkan sebuah kotak dan meletakkannya di atas
meja.
Saat itu mereka tengah berdua saja di kamar
penginapan. Dua hari setelah pertempuran besar di Kolam
Sembilan Naga, akhirnya Han Cia Sing berhasil bertemu
dengan Han Cia Pao secara empat mata. Meskipun Han Cia
Pao terlihat tidak terlalu berminat, tapi bagi Han Cia Sing
kabar bahwa ayah mereka masih hidup harus tetap
disampaikan.
"Lihatlah tombak cagak ini" kata Han Cia Sing
sambil mengeluarkan tombak cagak pendek dari dalam
kotak itu.
"Tombak cagak ini mirip dengan kepunyaan
mendiang ayah, tapi jauh lebih pendek" kata Han Cia Pao
setelah mengamatinya sesaat.
"Benar, ini memang kepunyaan ayah yang terpotong
saat penyerbuan di Kuil Kedamaian Abadi!" kata Han Cia
Sing bersemangat sekali.- 174 "Oh?! Darimana kau dapatkan benda ini?" tanya Han
Cia Pao keheranan.
"Masih ada lagi. Lihatlah giok ini" kata Han Cia Sing.
"Ini giok yang selalu terikat di pinggang ayah! Adik,
katakan di mana kau dapatkan kedua benda ini?" tanya Han
Cia Pao tidak sabar.
"Aku menerima kedua benda ini dari Permaisuri Wu"
jawab Han Cia Sing.
"Permaisuri Wu?!" kata Han Cia Pao tidak percaya.
Han Cia Sing kemudian menceritakan semua pengalamannya saat tiba di kotaraja mencari kabar kebenaran tentang
kehancuran keluarga Han. Cerita itu termasuk
pertemuannya dengan bangsawan Ye, kakek luar Han Cia
Pao dan juga dengan Permaisuri Wu di kuil Gan Ye. Han
Cia Pao mendengarkan seluruh cerita adiknya dengan penuh
perhatian meskipun akhirnya menghela napas panjang tanda
tidak puas.
"Ada apa kakak?" tanya Han Cia Sing heran melihat
reaksi kakaknya itu.
"Adik, kau masih terlalu muda dan lugu. Bagaimana
mungkin kau mempercayai cerita Permaisuri Wu itu.
Bukankah sudah jelas jika selama ini ia bersekongkol
dengan kasim Huo menguasai istana? Bahkan aku yakin
ayah kita juga celaka karena masuk dalam perangkapnya!"
kata Han Cia Pao.- 175 "Tapi kedua benda ini"
"Memang benar, kedua benda ini adalah milik ayah.
Tapi ini sama sekali tidak membuktikan bahwa ayah masih
hidup. Aku sama sekali tidak terkesan. Permaisuri Wu
mengatakan ini kepadamu hanya karena ia ingin selamat.
Bahkan kemungkinan besar ia ingin mengadu domba kita
dengan kasim Huo Cin agar nantinya dia yang memperoleh
keuntungan. Adik, lupakan ini" kata Han Cia Pao sambil
bangkit berdiri.
"Kakak, tapi bagaimana kalau memang ayah kita
masih hidup?" tanya Han Cia Sing menahan kepergian
kakaknya itu.
"Adik, mengapa engkau begitu keras kepala? Kasim
Huo Cin dan Permaisuri Wu adalah orang-orang kejam,
mereka tidak akan membiarkan ayah kita hidup jika sudah
berada dalam genggaman mereka. Ingat itu!" kata Han Cia
Pao dengan keras.
"Tapi..."
"Sudah! Aku sudah cukup mendengar impianmu itu!
Sekarang hadapilah kenyataan bahwa ayah kita sudah tiada.
Aku sekarang harus menemui Huo Wang-ye dan Jenderal
Teng untuk membicarakan masalah penting" kata Han Cia
Pao tidak menggubris omongan Han Cia Sing.
"Kakak, mengenai Jenderal Teng, aku agak ragu
tentang dirinya" kata Han Cia Sing.- 176 "Apa maksudmu?" tanya Han Cia Pao.
"Jenderal Teng Cuo Hui adalah kepala benteng Teng
di utara tempat aku dibuang dulu. Selama di sana aku
mengalami banyak hal yang tidak mengenakkan dan aku
curiga Jenderal Teng ada di belakang semua itu. Mungkin
juga termasuk dengan usaha untuk membunuhku yang
dilakukan oleh anak buahnya" jawab Han Cia Sing
menjelaskan.
"Jadi kau pikir dia adalah mata-mata?" tanya Han Cia
Pao dengan tidak senang.
"Aku tidak berani berkata demikian, tapi kuharap
kakak berhati-hati terhadapnya" jawab Han Cia Sing.
"Adik, usiaku jauh lebih tua darimu. Aku tahu apa
yang harus kuperbuat, tidak perlu kau mengatakannya" kata
Han Cia Pao.
"Baik" kata Han Cia Sing singkat. Han Cia Pao
meninggalkan kamar itu tanpa menoleh lagi. Tampaknya
sejak dikalahkan oleh Han Cia Sing, sikapnya terhadap
adiknya sudah jauh berubah. Han Cia Pao menjadi dingin
dan terkesan menjaga jarak terhadap Han Cia Sing.
Mungkin ia merasa wibawanya sebagai anak sulung
tercoreng oleh kekalahannya di depan banyak pendekar saat
itu. Han Cia Sing hanya bisa menghela napas panjang
menyaksikan kakaknya menghilang di tikungan kamar
penginapan. Ia kembali ke dalam kamar dan membungkus- 177 kembali kotak berisi potongan tombak cagak dan giok putih
itu. Han Cia Sing kemudian keluar dan menutup pintu
kamar dengan perasaan gundah. Ia sadar kakaknya mungkin
masih marah terhadap dirinya, tapi bagaimana mungkin
kakaknya sama sekali tidak percaya ayah mereka masih
hidup. Han Cia Sing mengeluarkan secarik kertas yang
dilemparkan oleh orang tak dikenal malam itu dari saku
pinggangnya. Ia membaca kembali apa yang tertera di kertas
itu.

Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayahmu ada di penjara bawah tanah istana timur"
Han Cia Sing berjalan ke kamar Ma Xia dengan harapan
dapat menghibur hatinya yang sedang gundah.
Bagaimanapun juga, Ma Xia adalah orang yang paling
mengenal dan mengerti dirinya. Han Cia Sing bisa berbicara
apa saja dengan Ma Xia tanpa merasa terbebani. Mungkin
ini disebabkan karena mereka berdua menghabiskan masa
remaja bersama-sama di padang utara sehingga mereka bisa
saling mengerti. Ketika Han Cia Sing tiba di depan pintu
kamar Ma Xia dan hendak mengetuk pintunya, ia terhenti
karena mendengar percakapan antara dua suara yang sudah
amat dikenalnya.
"A Yuan, bagaimana keadaan lukamu?" tanya Ma
Xia.- 178 "Lukaku sudah baik. Kakek tiap hari mengalirkan
tenaganya kepadaku. Sebentar saja luka dalamku sudah
banyak mengalami kemajuan" jawab Wongguo Yuan.
"Aku harap engkau tidak menyalahkan kakak Pao
karena hal ini. Cia Sing sudah sangat terbebani oleh tugas
dan tanggung jawabnya sebagai pendekar utama" kata Ma
Xia. "Xia-cie, aku tidak pernah menyalahkan siapapun.
Saat itu kakak Pao terlalu dikuasai perasaannya sehingga ia
tidak bisa mengendalikan diri. Lagipula ia sama sekali tidak
sengaja. Aku tidak menaruh hal ini dalam hatiku" kata
Wongguo Yuan dengan bijaksana.
"Aku senang akhirnya pertarungan besar di Yin
Chuang ini sudah berakhir. Meskipun banyak korban
berjatuhan tapi kemenangan berada di pihak yang benar.
Semoga saja keadaan ini bisa membuat hubungan Cia Sing
dan kakak Pao menjadi lebih baik" kata Ma Xia.
"Apakah sudah ada kabar tentang ayah Xia-cie?"
tanya Wongguo Yuan.
"Belum" jawab Ma Xia sambil menggeleng lemah.
"Bagaimana kata kakak Cen Hua?" tanya Wongguo
Yuan lagi.
"Ia tidak mengatakan apa-apa. Saat penyerbuan
markas Ceng Lu Hui, ia sudah berusaha mencari ayahku
bahkan sampai bertaruh nyawa. Aku tidak enak hati jika- 179 masih terus mendesaknya tentang kabar ayahku" jawab Ma
Xia lemah.
"Jadi kemungkinan besar ayah Xia-cie ikut dibawa ke
kotaraja?" tanya Wongguo Yuan lagi.
"Mungkin" jawab Ma Xia.
"Xia-cie tenanglah. Nanti aku akan mohon kepada
kakek untuk membebaskan ayah Xia-cie di kotaraja" kata
Wongguo Yuan berusaha menghibur Ma Xia.
"Terima kasih A Yuan. Tapi kakekmu dan ayahku
adalah musuh besar. Tidak perlu membuatnya merasa
terpaksa karena permintaanmu ini" kata Ma Xia.
"Oh, sama sekali tidak. Kakek kemarin mengatakan
kepadaku jika benar apa yang terjadi sekarang, maka berarti
ayah Xia-cie pastilah sudah berubah. Kakek tidak akan ragu
untuk menolongnya. Lagipula sejak dulu sebenarnya kakek
tidak mempunyai masalah apa-apa dengan ayah Xia-cie.
Ketua suku Tonghu Sinlin adalah orang yang membunuh
ayah dan ibuku. Kakek hanya mendendam kepadanya. Bila
dulu antara kakek dan ayah Xia-cie banyak terjadi
perseteruan, itu lebih disebabkan karena ayah Xia-cie terlalu
membela ketua Sinlin. Kakek mau memaafkan kesalahan
ayah Xia-cie demi memandang persaudaraan mereka
puluhan tahun yang lalu" kata Wongguo Yuan menjelaskan.
"Benarkah demikian? Kakekmu sungguh berkata
demikian?" tanya Ma Xia nyaris tidak percaya.- 180 "Benar" kata Wongguo Yuan sambil mengangguk
mantap.
"Aku...aku sangat senang. Akhirnya kakekmu mau
memaafkan kesalahan ayahku" kata Ma Xia gembira sekali.
"Aku juga senang Xia-cie" kata Wongguo Yuan.
"A Yuan kau sungguh baik" kata Ma Xia.
"Xia-cie, dendam puluhan tahun saja bisa
terhapuskan apalagi hanya kesalahpahaman kecil seperti
yang terjadi antara kakak Pao terhadap ayah Xia-cie" kata
Wongguo Yuan menambahkan.
Ma Xia menggeleng sedih.
"Hal itu adalah dua hal yang berbeda. Ayahku dan
kakekmu dulu adalah saudara seperguruan. Baik dan jelek
masih bisa dibagi bersama. Tapi kakak Pao dan Cia Sing
berbeda dengan ayahku. Mereka turun-temurun adalah
pejabat kerajaan Tang yang dihormati, sedangkan ayahku
adalah penjahat dan musuh kerajaan Tang di utara. Apa yang
dikatakan kakak Pao amat tepat bahwa aku sama sekali tidak
layak untuk Cia Sing" kata Ma Xia dengan nada bergetar.
"Tapi Sing Ta-ke kelihatannya menyukai Xia-cie"
kata Wongguo Yuan dengan sendu berusaha menekan
perasaan badannya sendiri.
"Perjodohan adalah seperti pintu, harus sama lebar
dan tingginya. Aku dan Cia Sing hanya akan menjadi
tertawaan dunia jika bersatu" kata Ma Xia.- 181 "Jadi apa yang nanti Xia-cie akan katakan kepada
Sing Ta-ke?" tanya Wongguo Yuan.
"Sekarang Huo Wang-ye dan paman Song sedang
merencanakan pertempuran terakhir di kotaraja untuk
menghancurkan kasim Huo Cin. Aku tidak ingin
mengganggu Cia Sing dengan perkara ini. Biarlah nanti
setelah ayahku bisa diselamatkan, aku dan ayahku akan
kembali ke utara, meninggalkan dataran tengah ini untuk
selama-lamanya" kata Ma Xia.
"Xia-cie, maksudmu engkau akan meninggalkan Sing
Ta-ke?!" tanya Wongguo Yuan hampir tidak percaya.
"A Yuan, kau dan aku sama-sama wanita. Aku tahu
engkau juga menyukai Cia Sing sama seperti aku menyukai
dia. Nanti setelah aku pergi kembali ke utara, tolong jaga
Cia Sing baik-baik. Minta agar dia selalu memakai baju
hangat jika musim dingin, karena ia sering lupa
memakainya" kata Ma Xia bergetar menahan perasaannya.
Air mata mulai mengambang di sudut matanya.
"Xia-cie, apakah engkau sudah berbicara tentang hal
ini kepada Sing Ta-ke? Apakah Sing Ta-ke setuju?" tanya
Wongguo Yuan yang juga tidak kuat lagi membendung air
matanya mendengar perkataan Ma Xia.
"Aku... aku belum memberitahunya. Mungkin juga
tidak akan memberitahunya. Aku yakin Cia Sing tidak akan
keberatan dengan hal ini. Kakak Pao sudah tegas
mengatakan bahwa keluarga Han tidak mungkin- 182 mempunyai hubungan dengan penjahat. Ayahku adalah
penjahat suku Tonghu yang dicari-cari oleh kerajaan Tang.
Mana mungkin aku bisa berpikir hendak bersama?" jawab
Ma Xia.
"Tapi..."
"A Yuan, engkau sudah besar sekarang. Tentu tahu
bahwa pernikahan adalah hal yang penting. Aku tidak ingin
membuat Cia Sing berpaling dari keluarganya hanya karena
aku. Lagipula belum tentu Cia Sing mempunyai hati
kepadaku. Mungkin juga aku yang selama ini terlalu
berharap" kata Ma Xia dengan getir.
"Xia-cie, aku yakin Sing Ta-ke menyukaimu. Aku
yakin sekali. Selama engkau disandera oleh Ejinjin, Sing Take selalu murung dan gelisah memikirkanmu" kata
Wongguo Yuan sambil menggelengkan kepalanya dengan
sedih.
"A Yuan, adikku. Engkau baik sekali. Semoga nanti
engkau hidup bahagia dengan Cia Sing" kata Ma Xia sambil
memeluk Wongguo Yuan.
"Sing Ta-ke selama ini selalu menganggapku hanya
sebagai adik. Xia-cie adalah orang yang dia cintai dengan
sungguh-sungguh" kata Wongguo Yuan dengan berlinang
air mata. Kedua gadis itu saling berpelukan tak kuasa
menahan air mata yang mengalir. Rasa cinta memang
kadang tidak bisa sejalan dengan alur kehidupan. Keluarga
Han Cia Sing adalah pejabat kerajaan turun-temurun yang- 183 terhormat, sementara Ma Xia adalah anak pemberontak dan
penjahat di utara. Jurang perbedaan yang terlalu dalam ini
telah disadari Ma Xia beberapa hari yang lalu dengan
perkataan Han Cia Pao. Ia sebenarnya tidak ingin berpisah
dengan Han Cia Sing tapi jika ia tetap memaksa, Han Cia
Sing akan terjepit dan menjadi tertawaan seluruh dunia.
Sementara itu di luar kamar, Han Cia Sing hanya bisa
berdiri mematung. Ia sama sekali tidak sanggup berkata-kata
bahkan bernapas saja rasanya sulit sekali. Han Cia Sing
sanggup melawan belasan pendekar tangguh sekaligus tapi
tetap saja tidak sanggup melawan gejolak hati dan badai
asmara yang tengah melanda dirinya saat ini. Apa yang
dikatakan Ma Xia memang amat beralasan. Dulu ketika
mereka berdua bersama di utara, keadaan memang jauh
lebih mudah dan sederhana. Saat itu tidak ada satupun orang
yang tahu bahwa Han Cia Sing adalah keturunan jenderal
terkenal di kotaraja. Demikian pula dengan Ma Xia yang
merupakan putri Ma Pei, tidak ada seorang pun yang berani
berkata jelek tentang dirinya. Tapi sekarang keadaan di
dataran tengah amat berbeda. Han Cia Sing sudah menjadi
pendekar terkenal dan dikagumi semua orang. Mana
mungkin ia nanti beristrikan seorang putri penjahat besar
yang justru berpihak kepada musuh mereka?
Meskipun mungkin setelah pertempuran besar di
kotaraja, Ma Pei dapat diselamatkan namun tetap saja ia
harus menjalani hukuman penjara karena kelakuan
buruknya di masa lalu. Tidak mungkin seorang pendekar- 184 besar mempunyai mertua seorang penjahat. Dunia pasti akan
mentertawakan hal ini. Han Cia Sing hanya bisa menghela
napas panjang dan berlalu dari sana. Ia menggenjot
tubuhnya dengan Guo Yin Sen Kung dan segera menghilang
dari pandangan. Lima kali lompatan, Han Cia Sing sudah
jauh meninggalkan penginapan. Sebentar kemudian ia sudah
berada di dekat Kolam Sembilan Naga. Suasana saat itu
sudah sepi karena malam mulai larut. Suara binatang malam
bersahut-sahutan dengan damai di tengah kolam. Tidak ada
tanda sama sekali bahwa beberapa hari yang lalu tempat ini
pernah menjadi tempat pertempuran besar yang berlumuran
darah.
"Ayah, jika nanti engkau bisa bersamaku kembali,
aku mohon engkau mau merestuiku untuk bersama dengan
A Xia" kata Han Cia Sing lirih kepada dirinya sendiri.
*** Sesosok bayangan berkelebat ringan di alas atap
istana Permaisuri Wu. Gerakannya ringan dan begitu cepat
menandakan ilmu orang itu cukup tinggi. Tampaknya ia
juga sudah mengenal wilayah istana itu dengan baik karena
ia langsung dapat menuju kamar Permaisuri Wu. Bayangan
berbaju hitam itu dengan cekatan sekali melompat masuk
melalui jendela yang terbuka. Segera saja ia menjura- 185 memberi hormat kepada Permaisuri Wu yang tampaknya
telah menunggu kedatangannya.
"Salam hormat Yang Mulia Permaisuri Wu" kata
orang itu sambil menjura hormat kepada Permaisuri Wu.
"Jangan terlalu sungkan. Anda masih ada hubungan
darah dengan mendiang Kaisar terdahulu. Aku justru yang
seharusnya memanggilmu paman" kata Permaisuri Wu
sambil bangkit berdiri.
Orang berjubah hitam itu membuka penutup
cadarnya. Wajahnya merah merona menampakkan wibawa
seorang bangsawan. Matanya sipit dan alisnya tebal dengan
dahi menonjol. Rambutnya yang sebagian sudah memutih
diikat dengan tusuk konde emas berukir naga. Ia tidak lain
adalah Lung Wang Tao Feng Ming (Feng Ming si Golok
Raja Naga). Apa sebenarnya maksud kedatangan Feng Ming
ke istana Permaisuri Wu secara rahasia seperti ini?
"Hamba tidak berani menyombongkan diri di
hadapan Yang Mulia Permaisuri Wu" kata Feng Ming.
"Pendekar Feng, aku sangat senang mendengar
kekalahan Wen Yang dalam pertempuran di Yin Chuang.
Aku juga mendengar kalau Han Cia Sing berhasil
mengalahkan Tiga Penguasa Tebing Setan. Benarkah hal
ini?" tanya Permaisuri Wu.
"Benar, tapi yang hamba dengar Han Cia Sing hanya
bertarung imbang melawan mereka bertiga. Hasil akhir- 186 pertarungan belum jelas ketika Wen Yang memerintahkan
anak buahnya mengepung para pendekar. Jadi mungkin
lebih tepat jika dikatakan hasilnya masih imbang" jawab
Feng Ming.
"Hmmmm, apapun itu, hasilnya benar-benar di luar
dugaanku. Semula aku menginginkan Han Cia Sing
hanyalah sebagai penghalang atas rencana Wen Yang saja,
tapi tidak kusangka bocah itu benar-benar sanggup
melaksanakan janjinya. Tampaknya aku juga harus
menepati janjiku terhadap dirinya" kata Permaisuri Wu.
"Maksud Yang Mulia Permaisuri Wu hendak
membebaskan ayahnya, Han Kuo Li?" tanya Feng Ming
hendak memastikan.
"Benar sekali. Itu sebabnya aku memanggilmu
kemari hari ini" jawab Permaisuri Wu dengan mantap.
"Hamba siap melaksanakan perintah Yang Mulia
Permaisuri Wu" kata Feng Ming dengan gagah.
"Pendekar Feng Ming, memang anda adalah pilar
kerajaan Tang. Tidak salah mendiang Kaisar memberimu
gelar San Ta Wang Pao (Tiga Besar Pengawal Kerajaan)"
puji Permaisuri Wu.
"Apa yang hendak Permaisuri Wu laksanakan?"
tanya Feng Ming.
"Aku ingin kau membebaskan Han Kuo Li dari
penjara bawah tanah istana timur malam ini juga. Setelah itu- 187 kau bawa dia ke tempat yang aman untuk pemulihan. Jika
saatnya tiba nanti, aku akan membebaskannya sesuai janjiku
kepada Han Cia Sing" kata Permaisuri Wu.
"Hamba siap melaksanakan perintah" kata Feng
Ming.
"Pendekar Feng, berhati-hatilah. Jika aku
memerlukanmu lagi, utusanku akan memberi tanda seperti
biasa" kata Permaisuri Wu.
"Baik Yang Mulia" kata Feng Ming sambil menjura.


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Feng Ming meloncat keluar dengan ringan dari kamar
Permaisuri Wu dan berkelebat di kegelapan malam. Dengan
lincah ia melompat ke atas atap dan berlari dengan ringan
hampir tanpa suara menuju ke istana timur. Feng Ming
memang pernah tinggal beberapa lama di istana sehingga
sama sekali tidak kesulitan menemukan jalan menuju istana
timur. Sebentar saja ia sudah tiba di gerbang istana timur.
Suasana malam hari di istana timur tidak terlalu ramai
seperti di istana lainnya karena istana ini biasanya hanya
digunakan untuk acara-acara persembahan. Prajurit yang
menjaga juga tidak terlalu banyak hanya puluhan saja. Feng
Ming dengan ringan meloncat dari atas atap dan langsung
berlari menuju lorong utama di sisi utara. Pintu masuk ke
dalam penjara bawah tanah berada di ujung lorong utara.
Dua orang prajurit yang tengah terkantuk-kantuk sama
sekali tidak siap menghadapi Feng Ming. Satu kali gebrakan
saja, kedua prajurit tadi langsung pingsan tanpa sempat- 188 bersuara. Feng Ming langsung membuka pintu batu yang
menempel di tembok dan turun ke bawah melalui tangga
batu yang diterangi beberapa obor di dinding.
Semakin ke dalam, suasana semakin suram dan sepi
sehingga Feng Ming terpaksa mengambil sebatang obor
untuk menerangi jalannya. Penjara bawah tanah memang
diperuntukkan bagi mereka yang dihukum mati sehingga
jarang sekali diperhatikan. Sekali seorang tahanan
dimasukkan ke dalam penjara ini maka selamanya ia tidak
akan pernah diperhatikan lagi. Kebanyakan dari para
tahanan berusaha bertahan dengan makan apa saja untuk
bertahan hidup. Itupun biasanya paling kuat hanya bertahan
sekitar satu tahun saja.
Penjara yang kotor dan tanpa makanan yang cukup
akan membuat tahanan mati karena kelaparan dan sakit
secara perlahan-lahan.
Feng Ming mengangkat obor menerangi setiap
ruangan penjara untuk mencari Han Kuo Li. Bau pengap dan
busuk begitu pekat di udara sehingga Feng Ming harus
selalu menahan napas setiap kali ia menengok ke dalam
ruang penjara. Kebanyakan ruang penjara kosong atau
kalaupun berisi biasanya hanyalah tinggal tulang-belulang
bekas penghuninya saja. Dalam hati Feng Ming berpikir
bagaimana dulu caranya Fang Yung Li bisa bertahan
puluhan tahun dalam penjara seperti ini.- 189 Akhirnya setelah hampir sampai di ujung lorong
penjara, Feng Ming menemukan ruangan tempat Han Kuo
Li dipenjara. Sesosok tubuh yang amat kurus dengan rambut
panjang terurai tidak karuan tampak mendekam gemetaran
di ujung ruangan. Feng Ming dulu pernah beberapa kali
berjumpa dengan Han Kuo Li, tapi tentu keadaannya tidak
sama dengan keadaan di penjara sekarang. Satu-satunya
yang membuat Feng Ming yakin bahwa tahanan itu adalah
Han Kuo Li adalah tangan kanannya yang sudah buntung.
Tanpa ragu lagi Feng Ming segera menghunus Golok Raja
Naganya dan dihunjamkan ke gembok pintu besi.
"Trangggg!!"
Bunyi suara logam beradu bergema dalam ruangan
bawah tanah yang pengap itu. Gembok besar yang ditebas
oleh Feng Ming langsung putus terbelah dua. Suara pintu
besi yang berdecit nyaring menandakan pintu itu nyaris tak
pernah dibuka lagi selama beberapa tahun. Feng Ming
berjalan dengan hati-hati agar tidak terpeleset dalam
ruangan penjara yang lembap dan penuh kotoran itu. Ia
mendekati Han Kuo Li dengan perlahan-lahan sekali karena
tidak ingin mengagetkannya.
"Jenderal Han" bisik Feng Ming. Sosok tubuh itu
masih tampak tidak bergeming.
"Jenderal Han!" kata Feng Ming lebih nyaring kali
ini.- 190 Sosok itu seperti tersentak kaget mendengar
panggilan Feng Ming. la segera berbalik dengan ketakutan
sekali menghadap Feng Ming. Tangan kiri dan pinggangnya
yang dirantai berdencing-dencing nyaring karena diseret
oleh pemiliknya. Orang itu berusaha menutupi matanya dari
cahaya obor yang dibawa oleh Feng Ming. Tampaknya ia
sudah lama sekali tidak melihat cahaya sehingga kesakitan
dengan cahaya terang obor.
Feng Ming berusaha melihat dengan lebih jelas wajah
orang itu yang tampak sudah seperti bukan orang bukan
hantu. Meskipun sudah tidak karuan wajah dan
perawakannya tapi Feng Ming akhirnya masih bisa
mengenalinya sebagai Jenderal Han Kuo Li. Penguasa
Empat Gerbang Kotaraja itu sekarang keadaannya begitu
memprihatinkan sehingga untuk berbicara benar saja tidak
bisa. Suara gumaman tidak jelas keluar dari mulut Han Kuo
Li ketika melihat Feng Ming yang membuka cadar
hitamnnya.
"Jenderal Han, aku Lung Wang Tao Feng Ming. Aku
akan membawamu keluar dari sini" kata Feng Ming. Golok
Raja Naga kembali ditebaskan untuk memutus rantai yang
mengikat Han Kuo Li. Golok sakti itu terbuat dari baja
pilihan ditambah dengan tenaga dalam Feng Ming langsung
menghancurkan rantai karatan hanya dengan sekali tebas.
Tubuh Han Kuo Li yang kurus kering dan berbau busuk itu
segera dipapah Feng Ming keluar ruangan penjara.
Tampaknya jika bukan karena Permaisuri Wu yang- 191 menyuruh orang untuk memberikan makanan tiap sepuluh
hari sekali untuk Han Kuo Li, bisa dipastikan nyawa Han
Kuo Li akan tamat dalam tiga bulan pertama ia dipenjara.
Sekarang saja tubuhnya benar-benar lemah karena penyakit
dan kelaparan sehingga Feng Ming terpaksa setengah
menggendongnya keluar penjara. Setelah tiba di lorong
istana timur, Feng Ming membuang obor yang dipegangnya
dan melihat keadaan dengan seksama sebelum berjalan lebih
jauh. Suasana istana timur yang amat sunyi justru membuat
Feng Ming yang kenyang pengalaman menjadi curiga.
Tampaknya seseorang telah bersiap untuk membuat
perangkap bagi dirinya dan Han Kuo Li. Mata Feng Ming
ditajamkan untuk melihat setiap sudut istana timur tapi tetap
tidak bisa menangkap apa-apa kecuali kesunyian. Meskipun
begitu naluri Feng Ming mengatakan akan adanya bahaya
yang mengintai mereka. Setelah agak lama berdiam diri,
Feng Ming akhirnya memutuskan untuk tetap pergi
membawa Han Kuo Li dari tempat itu.
"Blarrr!!"
Baru saja Feng Ming berjalan beberapa langkah
meninggalkan lorong utara, sebuah kilatan sinar
menyilaukan membelah langit istana timur. Suasana sekejap
menjadi terang benderang oleh ratusan obor yang dibawa
oleh ratusan prajurit bersenjata lengkap. Naluri Feng Ming
ternyata benar karena ternyata istana timur sudah dikepung
rapat sekali oleh para prajurit istana. Feng Ming tampaknya- 192 harus bertarung mati-matian untuk membuka jalan bagi
dirinya dan Han Kuo Li keluar dari kepungan lawan.
"Hihihi!! Pendekar Feng, meskipun kau adalah salah
seorang San Ta Wang Pao, tapi apakah kunjunganmu ini
tidak terlalu larut?!" ejek Huo Cin dengan suaranya yang
aneh.
"Kurang ajar kau kasim Huo! Aku Feng Ming,
bahkan Yang Mulia Kaisar pun tidak berani melarangku
untuk keluar masuk istana. Apa hakmu melarangku?!"
bentak Feng Ming dengan marah.
"Aku memang tidak berhak melarang San Ta Wang
Pao, tapi jika anda bermaksud membawa lari tahanan
kerajaan maka aku berhak membunuh anda!" kata Huo Cin
mengancam.
"Kau berani?!" tantang Feng Ming sambil
menghunus Golok Raja Naganya.
"Hihihi, pendekar Feng memang gagah sampaisampai berani mengkhianati kita demi Permaisuri Wu" kata
Huo Cin menghina.
"Huh! Huo Cin kau manusia kebiri! Siapapun yang
masih memegang tinggi kebaikan pasti akan berusaha
melenyapkanmu!" bentak Feng Ming.
"Kebaikan?! Hihihih, lucu sekali. Kau berkhianat
kepadaku dan kau bicara tentang kebaikan?! Feng Ming,
bersiaplah! Pintu neraka sudah ada di depanmu, kau masih- 193 berani berlagak! Prajurit serang dia!" teriak Huo Cin
memberikan perintah.
Serentak puluhan panah api melayang bagaikan hujan
menerangi langit malam istana timur itu. Feng Ming
berusaha mati-matian menangkis hujan panah api itu dengan
goloknya sambil melindungi Han Kuo Li. Lolos dari
serangan panah, giliran puluhan prajurit tombak dan golok
yang menyerang Feng Ming. Serangan mereka sebenarnya
tidak terlalu merepotkan Feng Ming, jika saja ia tidak harus
melindungi dan memapah Han Kuo Li juga. Kasim Huo Cin
hanya tersenyum mengejek melihat Feng Ming yang sedang
kerepotan itu.
"Semuanya minggir!" perintah Huo Cin.
Barisan prajurit tombak dan golok segera menepi ke
samping memberikan jalan. Huo Cin dengan lemah gemulai
maju ke depan Feng Ming dan menarik keluar Pedang Bulan
Peraknya. Sinar pedang sakti itu berkilauan ditimpa cahaya
ratusan obor. Feng Ming segera bersiaga penuh dan
meletakkan Han Kuo Li di pinggir tangga batu. Kasim Huo
Cin adalah lawan yang seribu kali lebih tangguh daripada
ratusan prajurit barusan sehingga harus dihadapi dengan
serius. Tampaknya pertarungan satu lawan satu antara dua
pendekar jago pedang dan golok ini tidak terhindarkan lagi!
"Kau tahu aku paling benci dikhianati" kata Huo Cin
dengan dingin.- 194 "Aku memang mengkhianatimu, lantas kau mau
apakah?" tantang Feng Ming dengan tidak takut sama sekali.
"Aku hanya ingin tahu sejak kapan kau berkhianat?"
tanya Huo Cin.
"Aku tidak pernah menjadi bawahanmu!" jawab Feng
Ming membentak.
Feng Ming memang sudah lama menjadi mata-mata
Permaisuri Wu bahkan sebelum penyerbuan ke Yi Chang.
Saat ia pertama kali bertemu dengan Han Cia Pao dan
hampir menawannya, sebenarnya saat itu ia sudah akan
membawa Han Cia Pao kepada Permaisuri Wu. Sayang
sekali ketika itu Wen Fang menolong Han Cia Pao dan
membawanya ke markas Tien Lung Men sehingga dapat
dijadikan alasan pasukan Huo Cin menghancurkan Tien
Lung Men. Surat-surat dari Permaisuri Wu yang diterima
oleh Han Cia Sing selama berada di kota Yin Chuang juga
dikirim oleh Feng Ming. Tampaknya kesetiaan Feng Ming
terhadap kerajaan Tang memang begitu kuat dan tidak
mudah luntur oleh silaunya harta dan kekuasaan.
"Bagus! Hari ini akan menjadi hari kematianmu!"
bentak Huo Cin geram.
"Lihat golok!" seru Feng Ming tidak mau kalah.
Tanpa basa-basi lagi, dua jago itu langsung maju dengan
senjata saktinya masing-masing. Golok Raja Naga beradu
dengan Pedang Bulan Perak menimbulkan percikan bunga
api yang meledak kemana-mana. Para prajurit istana yang- 195 menyaksikan pertarungan itu sampai terkagum-kagum dan
lupa meringkus Han Kuo Li yang hanya bisa bersandar di
tangga batu.
"Mana ilmumu?! Kau sudah tua rupanya!" ejek Huo Cin.
"Huh! Kau manusia kebiri belum tentu bisa bertahan
lima puluh jurus dariku!" bentak Feng Ming tidak mau
kalah. Pertarungan antara mereka berdua semakin sengit.
Gerakan keduanya semakin cepat sehingga menjadi kabur
dan memusingkan bagi para prajurit yang menonton.
Percikan bunga api-api berledakan di mana-mana sehingga
bagaikan pertunjukkan kembang api saja. Tampaknya Feng
Ming dan Huo Cin benar-benar serius dan sama sekali tidak
mau mengalah sedikitpun satu sama lain. Pedang dan golok
mereka saling menyerang dengan ganas ke arah bagian
tubuh penting lawan. Sekejap saja tiga puluh jurus telah
berlalu. Keduanya lalu berhenti sejenak untuk mengatur
napas dan peredaran darah lengan mereka yang kacau balau.
Golok Raja Naga dan Pedang Bulan Perak sama-sama
berdengung keras setelah bentrokan tiga puluh jurus keras
barusan. Lengan Huo Cin sampai mati rasa sedangkan
telapak tangan Feng Ming yang memegang golok pecahpecah. Tampaknya pertarungan ronde pertama ini masih
berjalan imbang. Pemenangnya akan ditentukan dalam
pertarungan panjang lebih dari dua ratus jurus. Baik Feng
Ming maupun Huo Cin sama-sama mengukur ketahanan
masing-masing untuk bertarung dua ratus jurus lebih. Ini- 196 benar-benar sebuah pertarungan hidup mati antara
keduanya.
Feng Ming memulai ronde kedua dengan berlari maju
menyerang. Huo Cin lebih memilih menunggu dan
menyalurkan tenaga Pedang Penakluk Iblisnya ke dalam
senjatanya. Pedang Bulan Perak berdengung keras dan
menyala merah karena tenaga luar biasa yang merasuk ke
dalamnya. Ketika tenaga dalam sudah mencapai puncak,
Huo Cin langsung menebaskan pedangnya ke arah Feng
Ming yang tengah berlari ke arahnya. Hawa pedang yang
begitu tajam membelah udara dan bahkan sanggup mengiris
lantai batu yang dilewatinya dengan mudah. Apapun yang
dilewati hawa pedang itu tampaknya akan langsung
terpotong menjadi dua bagian!
Feng Ming yang kenyang pengalaman bertarung
langsung dapat menilai kekuatan hawa pedang Huo Cin. Di
saat terakhir, ia masih sanggup berkelit dengan gesit ke
samping dan hawa pedang hanya menyerempet bajunya tipis
sekali. Tanpa membuang waktu lagi, Feng Ming terus
melompat menyerang dengan tebasan goloknya ke arah
kepala Huo Cin. Jurus serangan maut ini adalah jurus Lung
Wang Fen Jiang (Raja Naga Membelah Sungai). Hawa
tenaga golok sudah terasa oleh Huo Cin jauh sebelum
goloknya sendiri sampai di sasaran. Jurus keras seperti ini
tidak boleh dihadapi dengan keras pula sehingga Huo Cin
memilih untuk menghindar.
"Blarrr!!"- 197 Lantai batu langsung meledak dihajar jurus Lung


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wang Fen Jiang. Debu dan pasir berhamburan kemanamana sehingga mengaburkan pandangan. Feng Ming tahu
serangannya tidak mengenai sasaran sehingga langsung
bersiap terhadap serangan balasan lawan. Apa yang
diperkirakan Feng Ming ini tidak salah sama sekali. Dari
dalam kabut debu dan pasir, sesosok bayangan putih
menyerbu dengan kecepatan luar biasa.
Huo Cin dengan Pedang Bulan Peraknya meluncur
bagaikan petir menyambar ke arah dada Feng Ming.
Beruntung Feng Ming masih sigap dan mampu menahan
tusukan pedang lawan dengan golok yang disilangkan di
dadanya. Tenaga Pedang Penakluk Iblis tidak berhenti
sampai di situ saja sehingga menyeret Feng Ming mundur
ke belakang beberapa langkah. Feng Ming yang tidak mau
terlihat lemah langsung mengerahkan segenap tenaga
menahan serbuan Huo Cin sehingga mereka terhenti setelah
enam langkah.
Setelah sempat tertekan, kini Golok Raja Naga
kembali menebas Huo Cin. Suara golok membelah udara
bagaikan debur ombak menandakan kuatnya tenaga dalam
yang dikerahkan Feng Ming. Inilah jurus Tung Hai Lung
Lang (Ombak Naga Laut Timur). Kehebatan jurus ini adalah
pada tenaganya yang tidak habis-habis bagaikan ombak
menghantam karang. Setiap kali Huo Cin menangkis
tebasan golok maka golok akan langsung berputar
menghantam bagian tubuhnya yang lain dengan kekuatan- 198 dan kecepatan yang lebih hebat. Huo Cin seakan-akan
terkurung dan tidak bisa melepaskan diri dari serangan Feng
Ming yang bertubi-tubi ini sehingga mundur terus.
"Kurang ajar!" maki Huo Cin yang merasa
dipermainkan oleh Feng Ming.
Huo Cin mundur ke belakang beberapa langkah, la
menyadari kekuatan serangan ini dan memilih untuk
bertahan total, la memutar pedangnya dengan ganas
melindungi seluruh tubuh sehingga gulungan pedang
terlihat melingkari seluruh badannya. Inilah jurus pedang Pi
Sie Cien yang kuat sekali pertahanannya, jurus Ye Tuo Pei
Yin (Bulan Bersembunyi di Balik Awan). Bahkan gempuran
Ombak Naga Laut Timur sama sekali tidak mampu
menembus jurus pertahanan yang rapat ini. pedang dan
golok sakti kembali beradu menerangi halaman istana timur
bagaikan kembang api.
Pertarungan adu serang dan bertahan ini berlangsung
cukup lama sampai akhirnya kedua belah pihak mundur
karena tidak ada yang kalah atau menang. Lengan mereka
berdua terasa sakit sekali karena menghentakkan tenaga
secara berlebihan. Huo Cin dan Feng Ming saling menatap
tajam dan mengatur napas, bersiap untuk ronde ketiga
pertarungan mereka. Tampaknya mereka benar-benar harus
bertarung ratusan jurus barulah ketahuan siapa
pemenangnya.
"Kau lumayan juga manusia kebiri" ejek Feng Ming.- 199 "Huh! Kau jangan besar kepala dulu. Aku belum
mengeluarkan seluruh kemampuanku!" bentak Huo Cin
dengan marah.
Huo Cin kembali menyalurkan tenaga dalam Pedang
Penakluk Iblis ke dalam senjatanya. Pedangnya langsung
bergetar keras menahan gelombang tenaga dalam yang
tersalur. Huo Cin langsung meloncat ke atas dan menyerbu
Feng Ming. Pedang Yin Ye (Bulan Perak) milik Huo Cin
memainkan perubahan tujuh puluh dua jurus Pedang
Penakluk Iblis secara bergantian, berusaha membingungkan
Feng Ming dan mencari celah untuk menusuknya. Jurus
perubahan yang paling hebat dari Pi Sie Cien ini adalah Tien
Sen Cing Lien (Teratai Emas Dewa Langit). Sesuai
namanya, jurus Tien Sen Cing Lien adalah jurus bagaikan
bunga teratai yang mekar. Pedang diayunkan dengan cepat
ke segala arah, mengembang bagaikan bunga teratai emas
dalam legenda, menyerang ke segala arah dan menutup
semua jalan mundur lawannya. Perubahannya juga amat
banyak dan mampu mengikuti gerakan lawan.
Feng Ming terkejut sekali melihat jurus maut yang
dimainkan oleh Huo Cin. Ia berusaha mengimbangi
serangan lawan dengan tangkisan Golok Raja Naganya tapi
kecepatan pedang Huo Cin lebih cepat dari goloknya.
Beberapa tusukan pedang Huo Cin masuk ke tubuh Feng
Ming sehingga badannya terluka di beberapa tempat. Darah
mulai menetes dari tubuh Feng Ming sehingga berceceran di
atas lantai batu. Huo Cin yang melihat dirinya mulai di atas- 200 angin, terus menggempur Feng Ming tanpa henti. Baru
setelah lima puluh jurus berlalu, serangan Huo Cin mulai
mengendur. Feng Ming memanfaatkan hal ini untuk
memecah jurus lawan dan meloncat mundur.
"Hihihi, bagaimana rasanya Pedang Bulan Perakku?"
tanya Huo Cin dengan penuh kemenangan.
"Kurang ajar!" kata Feng Ming sambil memegangi
luka-lukanya yang terus mengeluarkan darah.
"Kau masih galak juga rupanya. Baiklah, aku akan
membuatmu seperti Han Kuo Li, manusia bukan hantu
bukan. Aku ingin melihat apakah saat itu kau masih bisa
galak atau tidak?!" kata Huo Cin sambil maju menyerang.
Feng Ming yang sudah terluka tidak bisa bergerak
secepat tadi. Kekuatannya juga jauh berkurang. Tidak heran
jika kini ia terdesak hebat dan hanya bisa mundur terus
diserang oleh Huo Cin. Keadaannya amat genting karena
jalan mundurnya juga sudah ditutup oleh pasukan istana.
Feng Ming tampaknya tidak bisa melarikan diri lagi. Jalan
satu-satu untuk tetap hidup hanyalah bertarung dan
mengalahkan kasim Huo Cin.
Feng Ming yang menyadari keadaannya dalam
bahaya akhirnya mengambil jalan bertarung nekad dan
terbuka. Sebuah tusukan pedang Huo Cin tidak dihindarinya
sama sekali malah ditahan dengan tangan kirinya. Pedang
Huo Cin menembus telapak tangan kiri Feng Ming dan
langsung dicengkeram erat sekali. Huo Cin kaget sekali- 201 melihat kenekadan Feng Ming tapi sudah terlambat menarik
pedangnya. Golok Feng Ming melayang deras ke arah
kepala Huo Cin sehingga mau tak mau Huo Cin harus
melepaskan pedangnya jika tidak ingin kepalanya
menggelinding di tanah.
Golok Feng Ming lewat persis di depan hidung Huo
Cin. Begitu golok lewat berkelebat di depannya, Huo Cin
langsung menusukkan jari pedangnya ke pangkal lengan
Feng Ming yang memegang golok. Tusukan jari ini begitu
kuat sehingga menembus hawa pertahanan dan melukai otot
lengan Feng Ming. Golok Raja Naga yang dipegangnya pun
terlepas dari tangan. Kini baik Feng Ming maupun Huo Cin
sama-sama kehilangan senjata, tapi keadaan Huo Cin lebih
baik karena ia tidak terluka sama sekali.
"Ayo mengadu nyawa!" teriak Feng Ming sambil
maju menyerang dengan kedua tapaknya.
"Bukk!!"
Hentakan keras kedua lengan dua pendekar kelas atas
langsung meledakkan udara menimbulkan dentuman keras.
Prajurit istana yang berada kurang dari lima tombak dari
titik dentuman langsung terjengkang ke belakang. Bahkan
obor-obor prajurit yang berdiri paling jauh juga nyaris mati
tertiup oleh angin ledakan barusan. Sungguh kekuatan
tenaga dalam Feng Ming dan Huo Cin tidak bisa diremehkan
begitu saja!- 202 Pertarungan kali ini adalah adu tenaga dalam.
Meskipun terlihat sederhana, hanya saling menempelkan
telapak tangan dan adu kekuatan, tapi akibatnya jauh lebih
hebat daripada luka tersabet pedang atau golok. Pertarungan
tenaga dalam akan mengakibatkan luka dalam yang parah
bahkan kematian bagi mereka yang kalah. Tidak heran jika
Feng Ming dan Huo Cin terlihat begitu ngotot untuk
menang. Butiran keringat mulai menetes dari dahi kedua
pendekar ini. Tampaknya mereka berdua sama-sama
mengerahkan tenaga dalamnya hingga ke puncak.
Saat mereka berdua tengah bertarung hidup dan mati
seperti itu, tiba-tiba dari kumpulan para prajurit istana
melayang sesosok bayangan dengan ringan sekali.
Bayangan itu berkelebat ke atas tubuh Feng Ming dan
langsung mendarat di bahunya. Ia tidak lain adalah Wen
Yang, si pengkhianat dan pembokong licik yang sudah
menunggu kesempatan baik seperti ini. Feng Ming yang
terkejut sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa karena
kedua tangannya tertahan oleh telapak Huo Cin.
Sementara itu Wen Yang yang berada di atas bahunya
tersenyum penuh kemenangan. Ia menggunakan jurus Tien
He Pai Fo (Bangau Langit Menyembah Budha) yang
merupakan salah satu jurus maut dari Wu Sheng Chuen
(Tinju Lima Hewan). Jurus ini digunakan untuk
memberikan pukulan mematikan dengan cucuk bangau di
bagian kepala. Kasihan sekali Feng Ming karena ia tidak
bisa berbuat apa-apa ketika jurus ini menghajar keras- 203 tengkorak kepalanya. Bunyi tulang remuk terdengar amat
mengerikan diiringi teriakan kesakitan Feng Ming.
Huo Cin melihat lawannya terluka parah langsung
memanfaatkan kesempatan, la mengerahkan tenaganya
mendorong Feng Ming yang sudah tidak berdaya itu. Kedua
telapak Huo Cin yang penuh kekuatan tenaga Pedang
Penakluk Iblis langsung mendarat di dada Feng Ming.
Hantaman ini langsung meremukkan tulang-tulang dada dan
melemparkan Feng Ming tiga tombak jauhnya. Tubuhnya
jatuh berdebam dengan keras di lantai batu sementara Wen
Yang dengan lincahnya melompat meninggalkan korban
nya. Feng Ming, sang Golok Raja Naga langsung tewas
terkena jurus gabungan kakak-beradik yang amat licik dan
kejam itu!
Sementara itu Han Kuo Li yang tubuhnya amat lemah
dan penyakitan sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa
kecuali hanya memandangi saja mayat Feng Ming dengan
amat berduka. Ia hanya bisa mengeluarkan gumaman tidak
jelas dan menyeret tubuhnya mendekati tubuh Feng Ming
yang sudah terbujur kaku itu. Huo Cin dan Wen Yang
tertawa mengejek melihat keadaan Han Kuo Li itu.
"Hahaha, Han Kuo Li, kau pikir kau bisa lepas dari
tangan kami?! Mimpi kau! Selamanya kau tidak akan pernah
bisa lepas. Bahkan sebentar lagi kedua anakmu akan datang
menemanimu!" ejek Wen Yang.- 204 "Hihih, Jenderal Empat Gerbang sekarang sudah
menjadi Jenderal Empat Kaki. Lihatlah bagaimana ia
menyeret tubuhnya seperti anjing. Han Kuo Li, seumur
hidup kau pasti tidak pernah mengira kalau nasibmu akan
begitu tragis seperti hari ini, hihihi!" ejek Huo Cin sambil
tertawa melengking menyeramkan.
"Pengawal! Tahan dia!" perintah Wen Yang. Dua
orang prajurit langsung datang dan menelikung lengan kiri
Han Kuo Li. Mereka kemudian menyeretnya ke pinggir
sambil memaki-maki karena bau badan Han Kuo Li yang
busuk sekali. Huo Cin dan Wen Yang malah tertawa-tawa
menyaksikan pemandangan yang seharusnya memilukan
itu. "Eh, lihat! Ada sebuah surat!" kata Wen Yang kepada
Huo Cin sambil menarik secarik surat yang menyembul dari
dada Feng Ming.
"Pasti surat dari Permaisuri Wu" kata Huo Cin. Wen
Yang segera membuka surat itu dan membacanya. Alisnya
berkerut ketika selesai membacanya. Kemudian ia
menyerahkan surat itu kepada Huo Cin untuk dibaca.
"Ehm, jadi begitu rupanya balas jasa si perempuan
rendah Wu itu kepada kita!" kata Huo Cin dengan geram
setelah selesai membaca surat itu.
"Ia akan menyerahkan Han Kuo Li kepada Han Cia
Sing dan kemudian melaporkan kita kepada Kaisar! Berani
sekali dia!" kata Wen Yang tidak kalah marahnya.- 205 "Apa rencanamu untuk hal ini?" tanya Huo Cin.
"Di sini banyak prajurit, nanti saja akan kuberitahukan rencanaku. Tapi yang jelas, kita akan mengalahkan
perempuan rendah Wu itu dalam permainannya sendiri"
kata Wen Yang sambil mencondongkan dirinya ke arah Huo
Cin. "Hihihi, aku percaya kepadamu" kata Huo Cin sambil
tertawa sinis.
"Pengawal! Bubar!" teriak Wen Yang memberikan
perintah.- 206 56. Jebakan Kematian
Pada tahun kedua pemerintahan Shang Yuan kaisar
Gao Zong dinasti Tang yang agung, putra mahkota Li Hong
meninggal mendadak. Kabar kematian putra mahkota ini
tentu saja amat mengejutkan seluruh istana terutama
Permaisuri Wu. Segera setelah ia menerima kabar kematian
anak sulungnya itu, Permaisuri Wu langsung bergegas pergi
ke istana putra mahkota. Sedangkan Yang Mulia Kaisar Gao
Zong untuk sementara belum diberi kabar tentang kematian
putra mahkota karena kesehatannya yang sedang
memburuk.
Permaisuri Wu diiringi oleh puluhan dayangnya
berjalan dengan cepat menuju kamar putra mahkota.
Puluhan penjaga dan pelayang berlutut melihat kedatangan
permaisuri ini. Pintu kamar putra mahkota tampak terbuka
lebar. Permaisuri Wu yang tadi berjalan begitu cepat
sekarang malah tercenung tidak mampu melangkahkan
kakinya memasuki kamar putra mahkota. Ia gemetaran
karena tidak sanggup menahan perasaannya yang sedang
bergejolak.
Akhirnya setelah agak lama berdiri di ambang pintu,
Permaisuri Wu melangkahkan kakinya masuk ke dalam
kamar. Beberapa kasim muda yang merupakan pelayan setia
putra mahkota tampak tengah berlutut dan menangis di
depan ranjang. Putra mahkota tampak terbaring dengan
muka pucat dan tidak bergeming. Permaisuri Wu tidak- 207 kuasa lagi untuk menahan air matanya. Ia menyentuh wajah
anaknya yang sudah dingin itu dengan penuh kasih sayang
dan rasa iba.
"Katakan, bagaimana putra mahkota meninggal?"
tanya Permaisuri Wu dengan bergetar menahan perasaan.
"Lapor Yang Mulia Permaisuri Wu, putra mahkota Li


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hong meninggal setelah muntah darah semalam" jawab
seorang kasim dengan gemetar ketakutan.
"Muntah darah?! Apa yang telah terjadi? Mengapa
putra mahkota bisa muntah darah?" hardik Permaisuri Wu
dengan marah sekali.
"Ampun Yang Mulia Permaisuri Wu, kami tidak tahu.
Ampunilah nyawa kami" seru kasim-kasim itu dengan
gemetaran.
"Kalian ini para pelayan putra mahkota. Sekarang ia
sudah tiada karena kalian lalai menjaganya! Pengawal! Seret
mereka semua dan penggal!" perintah Permaisuri Wu tidak
kuasa menahan amarahnya.
Kasim-kasim itu gemetar ketakutan dan melolong
minta ampun tapi mereka semua diseret dengan kejam oleh
para pengawal. Suara mereka semakin jauh meninggalkan
kamar tidur putra mahkota dan akhirnya tidak terdengar lagi
ketika satu persatu dari mereka menerima hukuman penggal.- 208 "Anakku, mengapa engkau meninggal begitu muda?"
kata Permaisuri Wu dengan berduka sekali sambil
memandangi wajah Li Hong.
"Hormat kepada Yang Mulia Permaisuri Wu" kata
kasim Huo Cin dengan tiba-tiba di belakang Permaisuri Wu.
"Kasim Huo, mengapa para pelayan dan kasim-kasim
tidak menjaga putra mahkota dengan baik?" tanya
Permaisuri Wu.
"Lapor Yang Mulia Permaisuri Wu, putra mahkota
selama ini selalu dijaga dan dilayani dengan baik" jawab
kasim Huo Cin.
"Lalu mengapa sampai ini bisa terjadi?!" bentak
Permaisuri Wu kehilangan kesabarannya.
"Ampun Yang Mulia Permaisuri Wu, hamba tidak
berani berkata di depan orang banyak" kata kasim Huo Cin
sambil melirik dayang-dayang dan para pengawal.
"Kalian semua undur diri!" perintah Permaisuri Wu.
Segera saja para pengawal dan dayang-dayang keluar dari
kamar putra mahkota. Mereka kemudian menutup pintu dan
jendela rapat-rapat. Huo Cin tersenyum mengejek melihat
hal ini. Sikapnya yang tadi begitu menghormat kepada
Permaisuri Wu seketika berubah ketika mereka tinggal
berdua saja.- 209 "Nah, sekarang kita tinggal berdua saja. Cepat
katakan siapa yang bertanggung jawab atas kematian putra
mahkota!" hardik Permaisuri Wu.
"Andalah yang bertanggung jawab" kata kasim Huo
Cin sambil tersenyum sinis penuh kemenangan.
"Kasim Huo! Apa yang kaumaksudkan?" tanya
Permaisuri Wu yang heran dengan jawaban barusan.
"Yang kumaksudkan adalah bahwa kematian putra
mahkota emang disebabkan oleh Permaisuri sendiri" jawab
kasim Huo Cin.
"Apa?!" kata Permaisuri Wu tidak sanggup lagi
menahan amarahnya. "Peng..."
Belum sempat Permaisuri Wu berteriak memanggil
para pengawalnya, Huo Cin dengan gesit sekali
menyergapnya. Tangannya yang halus dan pucat langsung
mencengkeram pipi Permaisuri Wu sehingga tidak bisa
berkata-kata lagi. Permaisuri Wu amat kaget melihat
perlakuan kasim Huo Cin yang amat kasar dan kurang ajar
ini. Tapi ia tidak berani melakukan perlawanan ketika
melihat mata Huo Cin berkilat-kilat penuh kekejaman.
"Kau wanita rendah! jika dulu bukan aku yang
memungutmu dari kuil Gan Ye, apakah kau bisa bertemu
lagi dengan Kaisar?! Sekarang setelah kau merasa cukup
kuat dan bisa terbang sendiri, kau hendak melenyapkan aku- 210 dan Wen Yang? Kau pikir aku bodoh?" bisik Huo Cin di
dekat muka Permaisuri Wu dengan penuh ancaman.
Kasim Huo Cin mengeluarkan secarik surat yang
ditemukannya di mayat Feng Ming dan menunjukkannya di
muka Permaisuri Wu. Hal ini tentu saja membuat Permaisuri
Wu amat terkejut. Tapi ia tidak bisa berkata apa-apa karena
pipinya masih diremas dengan kuat sekali oleh Huo Cin. Ia
hanya bisa membelalakkan mata penuh kemarahan dan
kesedihan.
"Ini suratmu untuk si bocah busuk bermarga Han itu,
kau pikir aku tidak tahu? Semua rencanamu sudah
terbongkar. Para pendekar bodoh itu sekarang sedang masuk
ke dalam perangkapku. Kau pikir kau bisa menang dengan
mengandalkan mereka? Bahkan Feng Ming juga sudah
membusuk di neraka menanti mereka, hihihi" kata kasim
Huo Cin sambil tertawa menyeramkan.
Kasim Huo Cin kemudian melemparkan Permaisuri
Wu ke lantai sampai kepalanya membentur pinggiran
ranjang putra mahkota dan berdarah. Tampaknya kasim Huo
Cin sudah benar-benar tidak menghiraukan derajat
Permaisuri Wu sebagai istri kaisar. Kasim Huo Cin sudah
memulai pemberontakannya!
"Kau... berani sekali kau" kata Permaisuri Wu yang
sampai kehabisan kata-kata menghadapi kelancangan kasim
Huo Cin.- 211 "Hihihi, putra mahkota saja berani aku bunuh, apalagi
hanya seorang permaisuri seperti dirimu" kata kasim Huo
Cin sambil tertawa mengejek.
"Jadi... jadi kau yang membunuh putra mahkota?!"
kata Permaisuri Wu tidak percaya dengan apa yang
didengarnya.
"Benar" jawab Huo Cin sama sekali tidak takut.
"Kau harus dihukum mati!" bentak Permaisuri Wu
dengan geram.
"Plakkk!"
Sebuah tamparan keras dari kasim Huo Cin mendarat
di pipi kiri Permaisuri Wu sampai ia terhuyung dan jatuh
terjerembab di lantai.
"Dengar kau wanita rendah! Aku tidak membunuhmu
karena kau masih berguna untukku! Tapi jika kau macammacam dan kesabaranku sudah habis, kaupun jangan harap
bisa hidup di dunia ini! Kau dengar itu! Semua pegawai dan
pengawal istana sudah menjadi bawahanku dan Wen Yang.
Kau jangan berpikiran macam-macam! Kau dan kaisar
bodoh itu hanya bisa hidup berkat belas kasihanku?" bentak
kasim Huo Cin dengan marah sekali.
Kasim Huo Cin mendengus marah dan mengibaskan
lengan bajunya sebelum keluar dari dalam kamar putra
mahkota. Permaisuri Wu hanya bisa memandangi kepergian
kasim Huo Cin dengan pandangan penuh kemarahan.- 212 Pipinya yang ditampar oleh kasim Huo Cin sampai berbekas
merah dan bibirnya pecah. Tampaknya kasim Huo Cin
benar-benar sudah tidak mengindahkan lagi dirinya dan juga
kaisar!
Beberapa dayang yang masuk segera memapah
Permaisuri Wu untuk bangun kembali. Meskipun mereka
semua tampak terkejut melihat wajah Permaisuri yang bekas
ditampar, tapi mereka semua tidak berani bertanya.
Kehidupan di istana meskipun mewah tapi penuh dengan
siasat keji. Semakin sedikit yang diketahui maka nyawa
akan lebih selamat. Para dayang menyadari benar arti
perkataan ini.
*** Han Cia Sing memperhatikan istana kerajaan yang
tampak begitu megah di kejauhan. Hatinya terasa berdebardebar melihat istana itu. Ayahnya, Han Kuo Li masih
disekap di salah satu penjara bawah tanah di istana. Ia ingin
sekali rasanya langsung menerjang masuk dan
membebaskan ayahnya. Tapi Han Cia Sing tahu bahwa itu
tidak mungkin. Ia harus lebih bersabar dan menunggu surat
utusan Permaisuri Wu sebelum bisa bertindak. Salah
perkiraan atau gegabah bertindak bisa berakibat buruk bagi
keselamatan ayahnya.- 213 "Cia Sing, sampai kapan kau akan mengamati istana
itu terus? Istana itu tidak akan lari kemana-mana" kata Yung
Lang sambil menguap dengan malas sekali.
"Eh, Yung Lang, Jenderal Song meminta kita untuk
selalu berjaga dan mengamati istana. Kita harus melaporkan
setiap perkembangan yang terjadi kepada Jenderal Song.
Kau ingat kan?" kata Lin Tung memperingatkan.
"Iya aku tahu. Tapi apakah kau tidak bosan hanya
duduk-duduk di atas bukit ini selama beberapa hari? Aku
bahkan sudah bisa tahu jumlah daun-daun yang ada di pohon
ini" kata Yung Lang sambil menendangi pohon besar yang
ada di belakang mereka hingga bergoyang-goyang.
"Yung Lang, tenanglah. Huo Wang-ye dan paman
Song pastilah sedang merencanakan sesuatu yang besar.
Kita harus bersabar" kata Han Cia Sing seolah
mengingatkan dirinya sendiri.
"Ya, aku sabar" kata Yung Lang tapi ia terus
menendangi pohon-pohon dengan sikap gelisah.
"Sudahlah Cia Sing, jangan kau urusi dia. Tingkahnya
makin hari makin aneh" kata Lin Tung.
Han Cia Sing tidak berkata apa-apa. Ia kembali
melayangkan pandangannya ke arah istana yang tampak di
kejauhan.
"Cia Sing, menurutmu apa yang tengah disusun oleh
Jenderal Song ya?" tanya Lin lung.- 214 "Aku tidak tahu. Paman Song tidak menceritakan
apa-apa kepadaku. Tapi yang pasti rencana penyerbuan ke
istana pasti segera dimulai" jawab Han Cia Sing.
"Apakah kau tidak takut, Cia Sing? Pertarungan di
istana nanti ibarat bunuh diri, kecil kemungkinan bisa
kembali dengan selamat. Mengapa engkau mengajukan diri
kepada Huo Wang-ye?" tanya Lin Tung.
"Lin Tung, kau sendiri mengapa juga mengajukan
diri?" tanya Han Cia Sing balik.
"Eh, aku yang tanya duluan" kata Lin Tung.
"Hmm, baiklah. Aku tidak bisa menjawabnya dengan
pasti tapi yang jelas aku mengajukan diri karena ada sesuatu
hal yang harus kulakukan di istana nanti" kata Han Cia Sing.
"Oh, jadi begitu" kata Lin Tung sambil mengangguk.
"Kau sendiri?" tanya Han Cia Sing.
"Aku mengajukan diri karena kita adalah saudara.
Mana mungkin aku membiarkan engkau sendirian
menempuh bahaya?!" jawab Lin Tung.
"Hahaha, jawaban yang bagus Lin Tung. Aku juga
mengajukan diri karena tidak tega melihatmu sendirian"
kata Yung Lang tiba-tiba ikut pembicaraan mereka berdua.
"Terima kasih Yung Lang, Lin Tung. Kalian berdua
memang adalah saudaraku yang baik" kata Han Cia Sing.- 215 "Ah sudahlah, jangan terlalu dibawa hati. Untung kita
bagi bersama, ada kesusahan kita tanggung bersama. Bukan
begitu Lin Tung?!" kata Yung Lang sambil tertawa lebar.
"Benar" kata Lin Tung setuju. Mereka bertiga
kembali terdiam dan memandang istana yang tertimpa
matahari senja di kejauhan. Hari hampir malam dan mereka
dapat melihat beberapa lampion besar sudah mulai
dinyalakan. Sebentar lagi malam akan tiba dan tugas mereka
mengamati istana akan segera berakhir. Mereka menanti
dengan sabar sampai matahari terbenam di ufuk barat
sebelum memberesi tempat mereka mengintai dan pulang
kembali ke penginapan.
Baru saja mereka berjalan menuruni bukit itu, tibatiba telinga Han Cia Sing dapat menangkap suara langkahlangkah yang amat ringan di sekitar mereka. Ilmu orang itu
tentu amat tinggi karena langkahnya hanya sedikit sekali
menggesek daun-daun kering yang ada di lantai hutan. Sikap
waspada Han Cia Sing ini membuat Yung Lang dan Lin
Tung menjadi heran.
"Cia Sing, ada apakah?" tanya Lin Tung.
"Aku mendengar sesuatu" jawab Han Cia Sing.
"Apa yang kau..."
"Awas!!"
Teriakan Han Cia Sing membuat Yung Lang dan Lin
Tung langsung melemparkan diri mereka ke samping.- 216 Sebuah pisau kecil dilemparkan ke arah mereka dari arah
yang tidak diketahui. Untunglah Han Cia Sing sudah
waspada sejak tadi sehingga bisa menangkap pisau itu
dengan dua jari tangannya. Yung Lang dan Lin Tung
langsung berniat mengejar pembokong gelap itu tapi
dicegah oleh Han Cia Sing.
"Jangan dikejar! Biarkan saja" kata Han Cia Sing.
"Mengapa? Apakah kau kenal dengan orang itu?"
tanya Lin Tung.
"Tidak, aku tidak kenal" jawab Han Cia Sing. "Lihat!
Ada surat!" kata Yung Lang sambil menunjuk gagang pisau.
Han Cia Sing segera melepaskan surat di gagang
pisau itu dan membukanya. Matanya tampak bersinar-sinar
gembira membaca surat itu sehingga membuat kedua
temannya terheran-heran.
"Cia Sing apa yang tertulis di dalamnya?" tanya Lin
Tung. Han Cia Sing tidak bisa langsung menjawab karena
sedang berpikir apakah ia bisa mengatakan tentang ayahnya
atau tidak.
"Cia Sing apa yang tertulis di dalamnya?" tanya Lin
Tung mengulangi.
"Aku... ehm tidak apa-apa" jawab Han Cia Sing
sambil melipat kertas surat itu dan memasukkannya ke
dalam kantong baju.- 217 "Cia Sing, kau ini bagaimana?! Mana mungkin
seorang penyusup sampai mau bersusah payah
melemparkan pisau berisi surat ini jika isinya tidak
penting?!" kata Lin Tung tidak percaya.
"Benar apa yang dikatakan Lin Tung. Cia Sing,
kulihat akhir-akhir ini tingkahmu agak sedikit aneh. Pertama
kupikir karena masalahmu dengan Ma Xia, tapi ternyata
tidak. Apa yang sedang kau hadapi?" tanya Yung Lang.
"Aku..." Han Cia Sing jadi merasa tidak enak kepada
kedua sahabatnya itu.
"Apakah kita masih sahabat?" tantang Yung Lang.
"Baiklah, karena perkara ini sudah hampir selesai,
kupikir tidak ada salahnya kalian mengetahui hal ini" kata
Han Cia Sing akhirnya sambil menyerahkan kertas itu
kepada Yung Lang dan Lin Tung yang segera berebutan
membacanya.


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayahmu ada di hutan timur. Segera jemput dia.
Jangan beritahukan yang lain sesuai perjanjian kita" kata
Yung Lang membaca isi surat itu.
"Ayahmu?! Siapa yang dimaksud dengan ayahmu di
sini?" tanya Lin Tung.
"Ayahku, Han Kuo Li" jawab Han Cia Sing.
"Eh? Bukankah ayahmu sudah meninggal?
Bagaimana mungkin ia ada di hutan timur seperti yang- 218 tertulis di surat? Lagipula siapa yang menulis surat ini?"
tanya Yung Lang bertubi-tubi.
Akhirnya Han Cia Sing menceritakan seluruh kisah
mulai dari awal kepada kedua sahabatnya itu. Pertemuannya
dengan Permaisuri Wu di kuil Gan Ye dan peristiwaperistiwa selanjutnya ia ceritakan seluruhnya kepada Yung
Lang dan Lin lung. Kedua sahabatnya itu hanya tercengangcengang saja mendengarkan kisah Han Cia Sing, Mereka
tampaknya tidak percaya dengan perkataan Permaisuri Wu,
sama seperti reaksi Han Cia Pao.
"Cia Sing, kau tidak curiga jika ini semua adalah
jebakan?" tanya Yung Lang setelah Han Cia Sing selesai
bercerita.
"Benar, Cia Sing. Kau terlalu percaya pada
Permaisuri Wu, padahal ia ada di pihak lawan kita" kata Lin
Tung menambahkan.
"Aku tidak tahu, tapi aku dapat merasakan bahwa
ayahku memang masih hidup. Mungkin ini terdengar lucu
bagi kalian, tapi aku mempercayai perkataan Permaisuri
Wu. Ketika bertemu di kuil Gan Ye, aku sama sekali tidak
melihat tipu muslihat dalam sorot matanya. Ia benar-benar
tertekan oleh kehadiran kasim Huo Cin yang mulai
menguasai istana" kata Han Cia Sing menjelaskan.
"Oh, jadi ini sebabnya engkau mengajukan diri ikut
dalam penyerbuan ke istana?!" tanya Yung Lang yang
dijawab anggukan Han Cia Sing.- 219 "Baiklah kalau begitu apa yang hendak kau lakukan
sekarang?" tanya Lin Tung.
"Aku akan ke hutan timur. Semoga saja ayah benar
berada di sana" kata Han Cia Sing berharap.
"Kau tidak ingin bertanya dulu kepada Jenderal
Song? Ia adalah orang yang pandai, mungkin bisa
memberikan saran kepadamu" kata Lin Tung.
"Benar Cia Sing. Lagipula Jenderal Song adalah
sahabat baik ayahmu. Ia pasti juga akan gembira mendengar
hal ini" kata Yung Lang.
Han Cia Sing berpikir sejenak atas usulan kedua
sahabatnya itu. Apa yang dikatakan Yung Lang dan Lin
Tung memang masuk akal jadi mungkin sebaiknya ia
bertemu dulu dengan Song Wei Hao sebelum berangkat ke
hutan timur. Lagipula sekarang ia bisa memberitahukan
kepada Song Wei Hao perihal ayahnya, karena ia sudah
melakukan janjinya mencegah Wen Yang menguasai dunia
persilatan. Permaisuri Wu tidak berhak melarangnya setelah
keberhasilannya itu.
"Baiklah, kita temui dulu paman Song" kata Han Cia
Sing akhirnya.
"Kalau begitu kita langsung berangkat. Jangan
membuang waktu lagi" kata Yung Lang dengan
bersemangat sekali. Mereka bertiga langsung berlari-lari
menuruni bukit menuju tempat penginapan mereka. Han Cia- 220 Sing sebenarnya dapat berlari secepat angin tapi karena
kedua sahabatnya, ia hanya berlari biasa saja agar keduanya
tidak ketinggalan. Sebentar kemudian mereka sampai di
sebuah penginapan kecil di pinggiran kotaraja. Di tempat
inilah mereka, Song Wei Hao dan Ma Han Jiang menginap
sedangkan yang lainnya menginap di penginapan lain. Song
Wei Hao sengaja menyarankan kepada Huo Wang-ye agar
mereka menyamar dan menginap terpisah-pisah agar tidak
mudah dilacak oleh anak buah Huo Cin dan Wen Yang. Saat
mereka tiba di depan kamar Song Wei Hao, lampu kamar
menyala terang pertanda ada orang di dalamnya.
"Yung Lang, Lin Tung lebih baik aku bertemu paman
Song sendiri saja. Kalian berdua tunggulah sebentar di sini"
kata Han Cia Sing.
"Iya baiklah" jawab Yung Lang dan Lin Tung. Han
Cia Sing mengetuk pintu kamar dan segera dibuka oleh
Song Wei Hao. Ia merasa heran melihat Han Cia Sing
tengah menunggunya di depan pintu dengan muka serius.
"Sing-er, apakah terjadi sesuatu di istana?" tanya
Song Wei Hao.
"Tidak ehm aku hanya ingin berbicara dengan
paman Song berdua saja" jawab Han Cia Sing.
"Oh begitu, baiklah" kata Song Wei Hao sambil
mengajak Han Cia Sing masuk ke dalam kamarnya.- 221 Yung Lang dan Lin Tung menunggu di halaman
depan kamar penginapan dengan tidak sabar. Meskipun
masalah ini tidak terlalu menyangkut mereka, tapi mereka
sangat ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh Song Wei
Hao tentang hal ini. Bagaimanapun juga mereka berdua
sudah merasa amat bosan selama beberapa hari hanya
duduk-duduk di atas bukit memandangi istana dari kejauhan
tanpa berbuat apa-apa.
Mungkin sekarang mereka bisa mendapatkan tugas
yang menarik dengan membantu Han Cia Sing menyelamatkan ayahnya.
Akhirnya setelah beberapa lama, pintu kamar Song
Wei Hao terbuka. Yung Lang dan Lin Tung langsung berlari
menghampiri Han Cia Sing yang keluar diantar oleh Song
Wei Hao.
"Sing-er, berhati-hatilah selalu. Aku sebenarnya ragu
ayahmu masih hidup, tapi kau harus tetap ke sana. Jika
memang ayahmu masih hidup maka ini benar-benar
kehendak langit. Kau cepatlah pulang setelah mendapatkan
kepastian" kata Song Wei Hao memberikan nasihat.
"Baik paman Song. Aku berangkat dulu" kata Han
Cia Sing.
"Kalian berdua ikut Sing-er ke hutan timur?" tanya
Song Wei Hao kepada Yung Lang dan Lin Tung.- 222 "Benar Jenderal Song" jawab mereka berdua
serempak.
"Bagus, paling tidak Han Cia Sing mempunyai teman
jika terjadi apa-apa" kata Song Wei Hao.
"Jenderal Song, kami berangkat" kata Yung Lang dan
Lin Tung sambil menjura hormat.
"Jika kalian tidak kembali saat tengah malam nanti,
aku akan menghubungi Huo Wang-ye untuk minta bantuan
menyusul kalian di hutan timur. Berhati-hatilah, semoga
berita yang kau terima ini benar adanya" kata Song Wei Hao
yang mengantar mereka sampai ke depan penginapan.
"Paman Song jangan khawatir, aku akan segera
kembali setelah bertemu ayahku" kata Han Cia Sing.
Han Cia Sing, Yung Lang dan Lin Tung kemudian
berangkat menuju gerbang timur kotaraja. Mereka bertiga
berjalan berpencar agak jauh sehingga tidak dicurigai.
Pedang Elang Emas milik Yung Lang juga disembunyikan
di balik jubahnya untuk menghindari dirinya dikenali lawan.
Mereka berjalan cepat dan sebentar kemudian sudah keluar
dari gerbang timur kotaraja. Han Cia Sing sudah amat tidak
sabar sekali ingin segera sampai di hutan timur sehingga
ingin sekali rasanya ia menggunakan Guo Yin Sen Kung.
"Cia Sing, kau pergi saja dulu. Kami menyusul di
belakangmu" kata Yung Lang yang mengerti kegelisahan
Han Cia Sing.- 223 Han Cia Sing mengangguk gembira kepada kedua
sahabatnya dan langsung menggenjot tubuhnya dengan Guo
Yin Sen Kung. Ia begitu gembira dan berdebar-debar ingin
segera bertemu dengan ayahnya sehingga ia mengerahkan
kekuatan puncak Guo Yin Sen Kung. Segera saja tubuh Han
Cia Sing melesat delapan tombak ke depan dan dalam dua
kali hentakan saja tubuhnya sudah hilang ditelan kegelapan
malam. Ia semakin mempercepat lompatannya ketika
melihat sebuah sinar redup sebuah pondok di kejauhan.
Pondok itu adalah pondok para pemburu yang sudah
lama ditinggalkan. Atapnya yang terbuat dari jerami kering
sudah banyak yang rusak demikian pula dengan dinding dan
pintunya. Sinar lilin yang menyala menembus melalui celahcelah dinding yang berlubang. Han Cia Sing dapat melihat
dua sosok bayangan dalam pondok itu. Ia kemudian
membuka pintu dengan hati-hati sekali. Hatinya berdebar
keras karena perasaan hatinya yang bercampur antara
gembira dan cemas.
Dalam ruangan pondok yang diterangi cahaya lilin
itu, duduk dua orang tua yang tampak begitu lusuh dan
kotor. Mereka berdua entah tengah tertidur atau pingsan
karena hanya terdiam saja di atas kursi. Han Cia Sing
langsung mengenali yang seorang sebagai ayah Ma Xia, Ma
Pei. Sedangkan yang seorang lagi begitu kurus dan kumal
dengan rambut panjang terurai dan tubuh kurus kering
sehingga sulit dikenali. Apakah ia adalah Han Kuo Li? Han- 224 Cia Sing berusaha mendekat kepada Ma Pei dan orang itu
untuk meyakinkan dirinya.
"Ketua Ma Pei! Ketua Ma Pei!" kata Han Cia Sing
sambil mengguncangkan pundak Ma Pei berusaha
membangunkannya.
Ma Pei yang terluka parah akibat siksaan berat tidak
mampu menjawab. Ia hanya bergumam tidak jelas dan tetap
menutup matanya. Han Cia Sing memeriksa denyut nadi Ma
Pei yang ternyata memang tidak karuan akibat luka-lukanya.
Selanjutnya ia memegang pundak yang seorang lagi untuk
membangunkannya. Tubuh orang itu begitu kurus sehingga
Han Cia Sing sampai bisa merasakan tulang pundak orang
itu ketika memegangnya. Han Cia Sing merasakan hatinya
begitu sakit melihat keadaan orang yang mungkin adalah
ayahnya itu telah mengalami siksaan yang amat kejam.
Orang itu bergumam tidak jelas dengan gemetaran
ketika menyadari Han Cia Sing berada di sampingnya. Han
Cia Sing tidak mengerti apa yang dikatakan oleh orang itu
sehingga berusaha menyibakkan rambutnya yang kotor
panjang terurai agar bisa membaca gerak bibirnya. Betapa
terkejutnya Han Cia Sing ketika melihat wajah orang itu.
Jantungnya seperti berhenti berdetak dan aliran darahnya
tersumbat. Wajah orang itu meskipun begitu kurus dan kotor
tapi tetap adalah wajah sang Jenderal Empat Gerbang Han
Kuo Li, ayah kandungnya sendiri!- 225 "Ayah!" kata Han Cia Sing dengan suara serak. Han
Kuo Li hanya bisa menggerakkan bibirnya dengan suara
tidak jelas. Tapi meskipun demikian, Han Cia Sing tetap
bisa merasakan keharuan yang dirasakan oleh ayahnya itu.
Mata Han Kuo Li yang sudah tanpa kehidupan itu berkacakaca melihat wajah Han Cia Sing. Tangan kirinya yang
lemah dan gemetaran berusaha menjamah wajah anaknya itu
dan segera dipegang oleh Han Cia Sing untuk ditempelkan
ke pipinya.
Kembali Han Cia Sing dapat merasakan tulang jemari
ayahnya yang menunjukkan betapa menderitanya Han Kuo
Li selama di penjara bawah tanah.
"Ayah, aku Sing-er. Jangan khawatir, aku akan
membawamu pergi dari sini" kata Han Cia Sing yang tak
kuasa menahan air matanya menetes di pipi.
Saat itu Yung Lang dan Lin Tung sudah tiba di depan
pintu sambil terengah-engah kehabisan napas. Mereka
barusan berlari sekuat tenaga untuk mengejar Han Cia Sing
tapi tetap saja ketinggalan jauh. Untunglah mereka juga
berhasil menemukan pondok pemburu itu. Mereka berdua
terlihat kaget melihat Ma Pei terduduk pingsan di sebuah
kursi, demikian pula dengan Han Cia Sing yang tengah
menangis sambil memeluk tubuh seorang tua renta yang
kumal dan lusuh.
"Cia Sing, apa yang terjadi?" tanya Yung Lang.- 226 "Mengapa ayah Ma Xia ada di sini juga?" tanya Lin
Tung heran.
"Yung Lang, Lin Tung kalian berdua tolong bantu
ketua Ma Pei. Aku akan menggendong ayah. Kita pergi dari
sini" kata Han Cia Sing dengan suara serak karena masih
menangis.
"Oh, baiklah" kata Yung Lang tidak berani lagi
bertanya banyak melihat keadaan Han Cia Sing.
Yung Lang dan Lin Tung memapah Ma Pei yang
masih pingsan sedangkan Han Cia Sing menggendong tubuh
Han Kuo Li yang tinggal tulang dibalut kulit itu keluar dari
dalam pondok. Mereka kemudian berjalan tanpa banyak
bicara karena Han Cia Sing terlihat sangat bersedih. Apalagi
setelah Han Cia Sing merasakan lengan kanan ayahnya yang
telah buntung, hatinya menjadi semakin sedih. Kegagahan
ayahnya yang dulu begitu disegani di kotaraja sekarang
sama sekali tidak berbekas.
"Duar!!!"
Tiba-tiba sebuah ledakan keras berdentum memecah
kesunyian hutan timur malam itu. Belum sempat hilang
kekagetan mereka bertiga, tiba-tiba dari segala penjuru
keluar ratusan prajurit kerajaan bersenjata lengkap. Mereka
semua masing-masing membawa obor di tangan sehingga
suasana menjadi terang benderang. Pasukan panah langsung
bersiaga dengan bersiap memanah mereka. Golok dan- 227 tombak juga sudah terhunus mengacung ke arah Han Cia
Sing dan teman-temannya.
"Cia Sing, tampaknya kita dijebak" kata Lin Tung.
"Kau ini bagaimana?! Sudah jelas kita dikepung
ratusan pasukan, masih berkata kita dijebak. Itu sudah
pasti!" kata Yung Lang.
Han Cia Sing tidak menjawab pertengkaran kedua
temannya. Ia lebih memilih menajamkan matanya untuk
mengamati ratusan prajurit yang mengepung mereka. Ia
tengah mencari-cari pemimpin mereka untuk memastikan
siapa yang telah menjebak dirinya.
Tiba-dba saja terdengar suara tawa menyeramkan
menggema di langit-langit hutan. Suara tawa itu disertai
tenaga dalam yang dahsyat sehingga terasa menggetarkan
hati mereka yang mendengarnya. Bahkan kepungan pasukan
kerajaan juga sedikit mengendur karena telinga mereka
kesakitan mendengar tawa yang luar biasa itu. Tiga sosok


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bayangan melayang terbang seperti turun dari langit dan
mendarat di depan Han Cia Sing. Ternyata mereka adalah
Tiga Penguasa Tebing Setan.
"Hahaha, bocah busuk kita bertemu lagi!" bentak
Meng Ao sebagai salam pembuka.
"Kau ini ternyata bodoh sekali. Hanya demi ayahmu
yang sudah sekarat engkau sampai rela masuk ke dalam
jebakan. Tapi kalau dipikir-pikir engkau anak yang berbakti- 228 juga" kata Feng Wa sambil mengelus-elus boneka kayunya
dengan sikap yang menyeramkan.
"Sudahlah kita jangan terlalu banyak basa-basi. Hari
ini kita harus membunuh bocah busuk ini!" seru Jiao Cai.
Yung Lang dan Lin Tung tahu mereka bukan lawan
yang sepadan dengan Tiga Penguasa Tebing Setan itu. Han
Cia Sing adalah satu-satunya yang bisa menandingi mereka
bertiga. Tapi keadaan sekarang sangat genting karena
mereka bertiga juga dikepung ratusan pasukan kerajaan,
belum lagi harus membawa Han Kuo Li dan Ma Pei. Mau
tak mau mereka harus bahu-membahu jika ingin keluar
dengan selamat dari tempat ini.
Tapi belum sempat mereka berkata dan berbuat apaapa, sebuah hawa membunuh yang luar biasa seakan-akan
meledak di tengah hutan itu. Bahkan obor-obor yang dibawa
pasukan kerajaan sampai berkobar-kobar tertiup hawa
membunuh yang hebat itu. Tiga Penguasa Tebing Setan,
Yung Lang dan Lin Tung menjadi lebih kaget lagi ketika
menyadari hawa membunuh itu ternyata berasal dari Han
Cia Sing! Bahkan para prajurit yang mengepung dapat
merasakan hawa membunuh yang menggetarkan sampai ke
hati mereka.
"Aku tidak akan mengatakan ini dua kali, kalian mau
minggir atau tidak?!" kata Han Cia Sing dengan nada kejam
yang sama sekali tidak pernah didengar sebelumnya oleh
kedua sahabatnya.- 229 "Hahaha, kau baru lahir kemarin sore hendak
mengancam Tiga Penguasa Tebing Setan?! Sungguh
menggelikan" kata Meng Ao sambil berdiri menantang.
"Kalau kami tidak mau minggir, kau mau apakah?!"
tanya Jiao Cai.
"Hehehe, pertempuran ini rasanya bakal seru" kata
Feng Wa sambil tertawa-tawa menyeramkan.
"Yung Lang, tolong kau gendong dulu ayahku. Aku
akan membukakan jalan bagi kita semua" kata Han Cia Sing
dengan bersungguh-sungguh sekali sehingga Yung Lang
dan Lin Tung hanya bisa mengangguk-angguk saja.
Yung Lang menerima tubuh Han Kuo Li untuk ia
panggul di punggung sedangkan Lin Tung memapah Ma
Pei. Keduanya hanya bisa tertegun menyaksikan Han Cia
Sing maju ke depan dengan hawa membunuh yang berkobar
luar biasa. Selama mereka bersahabat, baru kali ini Han Cia
Sing terlihat begitu marah dan serius sehingga hawa
membunuhnya meledak tak terkendali. Tampaknya keadaan
Han Kuo Li yang cedera parah membuat Han Cia Sing
benar-benar marah. Ia bertekad untuk menghajar siapapun
yang akan menghalangi jalannya, bahkan bila perlu
termasuk Tiga Penguasa Tebing Setan yang termasyhur itu!
***- 230 Di ujung barat kotaraja, dalam sebuah penginapan
kecil yang sederhana, tampak Huo Wang-ye dan lainnya
tengah bercakap-cakap dengan serius. Tampaknya mereka
sedang merencanakan sesuatu yang penting. Hadir pula di
sana Jenderal Teng Cuo Hui, Han Cia Pao, Wongguo Luo
dan Xiahou Yuan. Mereka berlima berbincang dengan pelan
agar tidak terdengar oleh orang lain.
"Jadi menurut Yang Mulia Huo Wang-ye telah terjadi
sesuatu yang besar di istana?" tanya Han Cia Pao.
"Benar, aku hampir yakin. Selama ini kalangan istana
tidak pernah demikian tertutup. Bahkan anak buahku di
istana juga sama sekali tidak mendapatkan kabar apapun.
Kaisar dan Permaisuri serta keluarganya sudah beberapa
hari hanya mengurung diri di istana mereka. Ini bukanlah
suatu hal yang biasa" jawab Huo Wang-ye menjelaskan.
"Yang Mulia, kira-kira apakah yang sedang terjadi?"
tanya Teng Cuo Hui.
"Aku juga tidak tahu. Semoga saja bukan sesuatu
yang buruk" jawab Huo Wang-ye sambil menghela napas
panjang.
"Kita sudah beberapa hari tidak mendapatkan apaapa. Bahkan paman Song yang bertugas mengamati istana
saja juga tidak mendapatkan kabar apa-apa. Apakah kita
akan berdiam diri terus?!" kata Han Cia Pao.- 231 "Aku ingin mendengar pendapat anda semua" kata
Huo Wang-ye.
Semua yang hadir saling berpandangan. Mereka
semua memang sudah kehabisan akal. Beberapa hari mereka
berusaha masuk kotaraja dan melihat-lihat keadaan istana,
bahkan sempat juga menyusup ke istana pada malam hari,
tapi semua tampak begitu tenang atau bahkan terlalu tenang.
Mereka juga tidak melihat Kaisar ataupun Permaisuri atau
bahkan kasim Huo Cin. Hal ini malah membuat mereka
semua bertambah cemas. Keadaan yang terlalu tenang dan
sukar ditebak seperti ini memang jauh lebih menyulitkan
pengambilan keputusan.
"Huo Wang-ye, hamba punya saran" kata Teng Cuo
Hui. "Ah, silakan Jenderal Teng. Aku ingin mendengar
pendapatmu" kata Huo Wang-ye.
"Hamba jadi teringat kepada sesuatu. Bukankah
kakek luar dari tuan Han Cia Pao adalah seorang bangsawan
yang kenalannya luas dan banyak. Aku yakin dengan
bantuannya, kita bisa memperoleh keterangan tentang apa
yang sebenarnya terjadi di istana. Setelah itu kita bisa
memikirkan langkah-langkah selanjutnya yang akan kita
ambil" kata Teng Cuo Hui.
"Ah, benar juga saranmu. Bagaimana pendapatmu
tentang hal ini?" tanya Huo Wang-ye kepada Han Cia Pao.- 232 "Yang Mulia, kakek luar hamba selalu baik. Hamba
yakin ia akan mau membantu kita mengumpulkan
keterangan tentang apa yang terjadi di istana" jawab Han
Cia Pao.
"Bagus! Bagus sekali kalau begitu! Sekarang pergilah
ke rumah kakek luarmu. Kami di sini menanti kabar darimu"
kata Huo Wang-ye dengan gembira sekali.
"Yang Mulia Huo Wang-ye, ijinkan hamba berangkat
bersama-sama dengan tuan Han Cia Pao. Hamba dulu juga
mengenal bangsawan Ye dan ia pernah berhutang budi pada
hamba. Semoga ia tidak melupakan hutang budi dan mau
membantu" kata Teng Cuo Hui.
"Ah, tentu saja kau boleh pergi bersama Han Cia Pao.
Aku berharap kalian akan cepat kembali dengan hasil yang
bagus" kata Huo Wang-ye.
Sejenak kemudian, Huo Wang-ye undur diri dan
kembali ke kamar. Mereka kemudian juga turut
membubarkan diri. Han Cia Pao dan Teng Cuo Hui
berkemas-kemas dan bersiap untuk berangkat ke kotaraja
sementara Wongguo Luo dan Xiahou Yuan beristirahat di
kamar masing-masing. Cen Hua yang menyambut Han Cia
Pao di kamar merasa heran melihat suaminya itu sudah
berkemas kembali siap berangkat.
"Suamiku, kau hendak kemanakah?" tanya Cen Hua.- 233 "Aku bersama Jenderal Teng akan ke tempat kakekku
bangsawan Ye. Kami akan minta bantuannya untuk
mengetahui keadaan di istana" jawab Han Cia Pao sambil
berkemas mengenakan baju hitamnya.
"Kakekmu bangsawan Ye itu? Bukankah dia yang
menyerahkan ketiga adikmu ke tangan kerajaan? Apakah
kau tidak takut dia akan menyerahkanmu juga?" tanya Cen
Hua cemas.
"Tenanglah istriku. Aku bisa menjaga diriku, lagipula
Jenderal Teng ikut denganku. Aku akan baik-baik saja"
jawab Han Cia Pao.
"Aku masih merasa khawatir" kata Cen Hua.
Mustang Hitam Karya Dr. Karl May Hantu Pegunungan Batu Karya Karl May Beauty Affair Karya Abdullah Harahap

Cari Blog Ini