Ceritasilat Novel Online

Rimba Persilatan Naga Harimau 28

Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 28


"Istriku, tenanglah. Sejak dulu kakek Ye selalu
sayang kepadaku, tidak mungkin akan terjadi apa-apa" kata
Han Cia Pao.
"Berhati-hatilah suamiku, cepatlah kembali" kata Cen
Hua mengantar kepergian Han Cia Pao.
"Tuan Han, apakah anda sudah siap?" tanya Teng
Cuo Hui dari luar pintu.
"Jenderal Teng, tunggulah sebentar. Aku akan segera
keluar" jawab Han Cia Pao.
"Baik" jawab Teng Cuo Hui singkat.- 234 "Istriku, kau cepatlah tidur dulu. Beberapa hari ini
kau tidak enak badan, lekaslah istirahat. Aku akan
secepatnya kembali" kata Han Cia Pao.
Cen Hua hanya mengangguk dengan berat hati
menjawab perkataan suaminya. Han Cia Pao dengan sayang
memeluk Cen Hua dan mencium keningnya, kemudian
membuka pintu dan keluar. Teng Cuo Hui yang sudah
menunggunya di luar, memberi salam kepada Cen Hua dan
kemudian berangkat bersama-sama dengan Han Cia Pao.
Tubuh mereka berdua segera lenyap ditelan kegelapan
malam setelah dengan ringan melompati tembok
penginapan. Cen Hua masih terus memandang ke arah
perginya Han Cia Pao selama beberapa saat. Saat itu
Wongguo Yuan yang tengah keluar kamar menjadi heran
melihat Cen Hua termenung di depan kamarnya.
"Nyonya Han, anda baik-baik saja?" tanya Wongguo
Yuan.
"Ah, kau A Yuan. Aku baik-baik saja" jawab Cen
Hua yang seolah terbangun dari lamunannya.
"Mengapa nyonya Han berdiri luar? Apakah tuan Han
tidak ada di dalam?" tanya Wongguo Yuan yang dijawab
dengan gelengan oleh Cen Hua.
"Suamiku baru saja pergi dengan Jenderal Teng.
Mereka menuju ke rumah kakek Ye untuk tugas khusus"
jawab Cen Hua.- 235 "Benarkah? Kalau demikian halnya, nyonya Han
tidak perlu terlalu khawatir. Bukankah hal itu tidak
berbahaya? Lagipula dari cerita yang kudengar dari Han Cia
Sing, bangsawan Ye paling menyayangi Han Cia Pao dari
semua cucu-cucunya" kata Wongguo Yuan.
"Ah, A Yuan, mungkin kau benar. Mungkin juga aku
terlalu khawatir. Tapi perasaanku benar-benar tidak enak,
seolah akan terjadi sesuatu yang buruk" kata Cen Hua
khawatir.
"Sesuatu yang buruk?" tanya Wongguo Yuan heran.
"Benar. Kemarin aku bermimpi buruk sekali.
Mungkin itu sebabnya hari ini aku begitu khawatir. Apalagi
suamiku sekarang pergi ke kotaraja. Semoga saja semua ini
hanya perasaanku saja" kata Cen Hua.
"Nyonya Han tidak perlu khawatir. Ilmu tuan Han
amat hebat, pastilah tidak akan terjadi apa-apa. Apalagi
Jenderal Teng juga ikut dengannya" kata Wongguo Yuan
berusaha menenangkan.
"A Yuan kau memang baik sekali. Cia Sing akan
sangat beruntung jika bisa menikah denganmu" kata Cen
Hua. "Nyonya Han..." Wongguo Yuan kehilangan katakata karena merasa sangat malu. Muka dan pipinya menjadi
amat merah.- 236 "A Yuan, engkau tidak usah malu. Nanti setelah kau
menikah dengan Cia Sing, kita akan menjadi satu keluarga.
Lagipula kakekmu adalah guru suamiku. Bukankah ini satu
hal yang amat baik?" tanya Cen Hua menggoda.
"Aku... tapi... bagaimana dengan Xia-cie?" tanya
Wongguo Yuan berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Maksudmu Ma Xia? Aku tahu Cia Sing mungkin
jatuh hati padanya, tapi masalah keluarganya amat
bertentangan dengan keluarga Han, mungkin tidak pernah
akan bisa diselesaikan. Suamiku juga pasti tidak akan setuju
terhadap pernikahan mereka" jawab Cen Hua.
"Tapi... kupikir Sing Ta-ke dan Xia-cie amat serasi.
Mereka adalah pasangan yang direstui langit" kata
Wongguo Yuan dengan jujur.
"Apakah kau menganggap demikian?" tanya Cen
Hua. "Benar. Sing Ta-ke dan Xia-cie amat serasi. Kadang
aku merasa hanya sebagai pengganggu mereka berdua saja"
jawab Wongguo Yuan
"Mungkin saja hal itu benar, tapi Cia Sing tidak bisa
hanya memikirkan dirinya sendiri saja. Ia juga harus
memikirkan banyak hal lain. Ia sudah dewasa dan harus bisa
bertanggung jawab sekarang" kata Cen Hua.- 237 "Sudahlah nyonya Han, hal ini kita bicarakan lain kali
saja" kata Wongguo Yuan dengan tidak enak. Mukanya
kembali memerah.
"Baiklah, gadis bodoh. Aku tidak akan membicarakan
nya lagi. Nanti setelah semua ini selesai, aku pasti akan
minta kepada suamiku untuk mengaturnya" kata Cen Hua.
"Terima kasih nyonya Han" kata Wongguo Yuan.
"Semoga saja Cia Sing cepat dapat memutuskan,
supaya nanti anakku ini bisa lahir dengan paman dan bibi
yang menyambutnya" kata Cen Hua sambil memandang
langit malam yang mendung dengan termenung.
"Benarkah? Nyonya Han, apakah anda sudah hamil?"
tanya Wongguo Yuan dengan gembira sekali mendengar
perkataan Cen Hua.
"Benar, aku sudah hamil" jawab Cen Hua dengan
tersenyum bahagia.
"Apakah...apakah tuan Han sudah mengetahuinya?"
tanya Wongguo Yuan dengan senang sekali.
"Belum. Aku berencana malam ini hendak
memberitahukannya kepada suamiku. Karena malam ini ia
pergi, mungkin baru besok pagi aku bisa mengatakan
kepadanya" kata Cen Hua.
"Ah, tuan Han pasti senang sekali mendengarnya"
kata Wongguo Yuan.- 238 "Benar, ia pasti akan sangat bahagia" kata Cen Hua
sambil mengangguk.
"Aku akan memberitahukan kepada kakek tentang hal
ini Aku yakin ia juga pasti akan senang sekali" kata
Wongguo Yuan kemudian pamit undur diri.
Cen Hua menatap Wongguo Yuan yang menghilang
di balik tikungan kamar. Ia kemudian kembali menatap
langit malam yang mendung. Tampaknya malam ini akan
turun hujan. Cen Hua berharap Han Cia Pao dapat segera
pulang dan mendengarkan kabar bahagia darinya. Ia yakin
suaminya pasti akan senang sekali mendengar kehamilannya. Saat itu, Han Cia Pao dan Teng Cuo Hui tengah
berlari cepat menyusuri jalanan kotaraja yang sudah
lengang. Awan mendung yang menggelayut di atas kotaraja
membuat suasana menjadi terasa lebih dingin dan sepi. Di
jalanan yang lengang itu hanya tampak beberapa tukang
ronda yang tengah menjalankan tugasnya. Han Cia Pao
memberikan isyarat kepada Teng Cuo Hui untuk memasuki
gerbang depan kediaman bangsawan Ye lebih dahulu. Teng
Cuo Hui mengangguk mengerti dan segera melompat ringan
ke atas gerbang.
Teng Cuo Hui melihat sejenak keadaan di dalam
kediaman bangsawan Ye sebelum memberikan isyarat aman
kepada Han Cia Pao, yang kemudian melompat menyusulnya. Mereka berdua segera berlari ringan sekali di atas atap- 239 menuju ke gedung tengah. Beberapa pelayan yang tengah
terkantuk berjaga sama sekali tidak menyadari sudah hadir
dua orang penyusup di kediaman bangsawan Ye itu. Han Cia
Pao yang sudah mengetahui keadaan rumah bangsawan Ye,
dapat dengan mudah menemukan kamar kakek luarnya itu.
Ia melompat ringan dengan lincah dan masuk ke dalam
kamar melalui jendela yang terbuka. Teng Cuo Hui
mengikutinya tidak lama kemudian di belakangnya.
Suara bangsawan Ye terdengar jelas dari dalam kamar
tidur. Tampaknya ia tengah bermesraan dengan salah
seorang gundiknya. Sejak dulu, bangsawan Ye sudah
terkenal sebagai seorang yang gila harta dan wanita. Setiap
ada wanita cantik, bangsawan Ye tidak segan-segan
mengeluarkan banyak uang dan melakukan segala cara
untuk memilikinya. Tidak heran hingga hari tuanya,
bangsawan Ye masih tetap mempunyai banyak gundik.
Han Cia Pao yang melihat keadaan aman, segera
menerobos masuk ke dalam kamar tidur kakeknya itu.
Bangsawan Ye begitu terkejut melihat sosok bayangan
berbaju hitam yang tahu-tahu sudah berada di depan
ranjangnya sehingga ia melemparkan gundiknya ke
samping. Tapi belum sempat ia berteriak, Han Cia Pao
dengan gesit sekali telah menotok bangsawan Ye dan
gundiknya itu hingga tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Kakek, aku Cia Pao. Apakah kakek masih
mengenaliku?" tanya Han Cia Pao sambil membuka
penutup wajahnya.- 240 Bangsawan Ye tampak terkejut melihat wajah Han
Cia Pao tapi kemudian ia mengangguk tanda mengerti.
"Kakek, aku akan melepaskan totokan ini. Tapi aku
harap kakek tidak membuat keributan, demikian juga
dengan kau" kata Han Cia Pao kepada gundik yang tampak
amat ketakutan itu.
Han Cia Pao dengan sigap membebaskan totokan
kakek dan gundik kakeknya itu. Bangsawan Ye terlihat
begitu kaget sehingga untuk sementara tidak bisa berkata
apa-apa sementara sang gundik segera berlari ketakutan
keluar kamar meskipun pakaiannya belum lengkap benar.
"Kakek, maafkan aku datang tiba-tiba" kata Han Cia
Pao sambil membimbing kakeknya menuju meja dekat
tempat tidur.
"Astaga Pao-er, aku benar-benar hampir mati terkejut
olehmu! Dulu si bocah busuk Cia Sing itu juga datang
mengagetkanku, sekarang malah kau" omel bangsawan Ye.
"Minumlah dulu teh ini kakek" kata Han Cia Pao
sambil menuangkan teh untuk kakeknya itu.
"Ada apa kau malam-malam datang kemari?" tanya
bangsawan Ye setelah selesai minum teh.
"Aku datang untuk urusan istana" jawab Han Cia Pao.
"Urusan istana ?" tanya bangsawan Ye heran.- 241 "Benar, aku ingin bantuan kakek memberikan
keterangan apa yang sedang terjadi di istana sekarang"
jawab Han Cia Pao.
"Istana sekarang dijaga begitu ketat. Tidak tahu apa
yang telah terjadi di sana, bahkan beberapa temanku yang
merupakan menteri penting juga tidak ada yang tahu. Yang
Mulia Kaisar dan Permaisuri serta keluarganya sudah
beberapa hari ini tidak pernah kelihatan. Entah apa yang
sedang terjadi" kata bangsawan Ye.
"Kakek, aku mohon engkau bisa membantu kami.
Bantuanmu akan benar-benar berarti untuk kelangsungan
keluarga Han. Nama keluarga Han harus dibersihkan" kata
Han Cia Pao.
"Aduh, Pao-er kau bukannya tidak tahu. Sejak
ayahmu terbukti merencanakan pemberontakan bersama
Menteri Shangguan Yi, aku juga ikut terkena akibatnya.
Banyak usahaku yang ditutup kerajaan karena dianggap
sebagai keluarga pemberontak. Sekarang kau minta aku ikut
membersihkan nama keluargamu, mana mungkin?" tanya
bangsawan Ye dengan kesal.
"Kakek, apakah kakek tidak ingin melihat ibu
kembali bersama kembali dengan keluarga besarnya? Ibu
sekarang sangat tertekan. Kupikir hanya dengan kembali
dalam kehidupannya sebagai nyonya besar, ibu bisa sembuh
kembali. Kakek, anggap saja ini sebagai penebus nyawa
ketiga adikku" kata Han Cia Pao dengan kesal.- 242 "Hah?! Pao-er, kau juga menyalahkan kakek karena
kematian ketiga adikmu? Kau pikir aku tidak ikut bersedih?
Kau pikir aku tidak berusaha agar mereka bertiga tidak
dihukum pancung? Ah, langit mengapa kautimpakan semua
ini kepadaku?!" erang bangsawan Ye sambil memukuli
dadanya dengan lagak sedih sekali.
"Kakek, aku tidak bermaksud demikian" kata Han
Cia Pao yang merasa tidak enak melihat bangsawan Ye yang
meratap sedih itu.
"Pao-er, selama ini aku selalu berusaha membantu
mencari tahu kebenaran peristiwa keluarga Han. Bahkan aku
juga menyampaikan pesan Yang Mulia Permaisuri Wu
kepada bocah busuk Cia Sing itu. Mengapa sampai sekarang
kau masih meragukanku?" tanya bangsawan Ye di sela-sela
isak tangis pura-puranya.
"Baiklah kakek, aku percaya. Sekarang duduklah dan
mari kita bicarakan hal ini baik-baik" kata Han Cia Pao
berusaha menenangkan kakeknya.
"Baiklah, duduklah kalau begitu. Aku akan minta
kepada pelayan untuk menghidangkan arak. Hujan sudah
mulai turun, kalian berdua lebih baik berada di sini sampai
hujan reda" kata bangsawan Ye.
Saat itu hujan memang sudah turun dengan derasnya
disertai angin kencang mengguyur kotaraja. Bangsawan Ye
segera menutup jendela kamarnya agar air hujan tidak
masuk ke dalam. Sementara itu seorang pelayan mengantar-- 243 kan minuman yang diterima sendiri oleh bangsawan Ye.
Mereka bertiga kemudian duduk bersama sambil menikmati
teh hangat.
"Kakek, inilah adalah Jenderal Teng Cuo Hui dari
utara. Katanya ia mengenal kakek ketika masih tinggal di
kotaraja dulu" kata Han Cia Pao.
"Salam bangsawan Ye, sudah lama sekali kita tidak
bertemu. Aku harap anda masih mengingatku" kata Teng
Cuo Hui sambil menjura.
"Ah, Jenderal Teng terlalu merendah. Aku tentu ingat
kepada anda. Dulu anda pernah menolongku mengusir para
perampok saat di hutan Wu Guan. Aku senantisn ingat
kebaikan Jenderal Teng" kata bangsawan Ye.
"Hahaha, bangsawan Ye memang paling pandai
bicara. Baiklah, aku Teng Cuo Hui sangat senang hari ini.


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mari kita minum!" kata Teng Cuo Hui sambil mengangkat
gelasnya tinggi-tinggi
Padahal yang mereka katakan itu sebenarnya semua
bohong. Bangsawan Ye pernah berhutang budi kepada Teng
Cuo Hui ketika ia hendak melenyapkan Han Cia Sing di
benteng Teng dulu. Saat itu ia minta bantuan Teng Cuo Hui
untuk menyingkirkan Han Cia Sing dengan sejumlah
sogokan uang. Tentu saja hal ini tidak bisa diungkapkan di
depan banyak orang secara terang-terangan. Sungguh dua
orang tua yang amat kejam dan licik!- 244 Mereka kemudian minum beberapa cangkir arak
bersama-sama. Suasana malam yang dingin menjadi agak
hangat setelah minum beberapa cangkir. Apalagi arak yang
dihidangkan oleh bangsawan Ye adalah arak kelas satu,
tentu saja membuat mereka semakin bersemangat
meminumnya. Tanpa terasa sudah satu guci kecil mereka
habiskan bertiga.
"Kakek, aku kemari karena ingin minta bantuan
kakek mencari tahu keadaan di istana" kata Han Cia Pao
memulai pembicaraan.
"Pao-er, aku sudah bilang kepadamu tadi. Sekarang
ini sulit sekali untuk mencari keterangan tentang keadaan
istana" kata bangsawan Ye.
"Aku tahu bangsawan Ye, tapi bisakah kau
menggunakan kekuatan teman-teman lamamu di istana?
Aku yakin mereka pasti akan membantu bangsawan Ye"
kata Teng Cuo Hui penuh arti
"Aku... aku akan berusaha sebaik mungkin" kata
bangsawan Ye.
"Aku yakin Yang Mulia Huo Wang-ye pasti tidak
akan melupakan kakek jika semua ini nanti berhasil" kata
Han Cia Pao.
"Yang Mulia Huo Wang-ye?! Bukankah Yang Mulia
sekarang berada di Chi Nan?!" tanya bangsawan Ye tidak
mengerti.- 245 "Ia ikut ke kotaraja dengan sembunyi-sembunyi"
jawab Han Cia Pao.
"Oh, jadi begitu" kata bangsawan Ye mengerut.
"Baiklah kakek, aku akan menunggu kabar baik
darimu. Tiga hari lagi aku akan kemari lagi. Aku..."
Tiba-tiba Han Cia Pao memegangi ulu hatinya yang
terasa sakit sekali bagaikan ditusuk dengan pedang. Rasa
sakit itu begitu luar biasa sehingga wajahnya langsung
menjadi pucat. Bangsawan Ye dan Teng Cuo Hui
menatapnya dengan heran.
"Pao-er, ada apakah?" tanya bangsawan Ye.
"Arak itu...arak itu beracun!" teriak Han Cia Pao.
"Benarkah?" tanya bangsawan Ye tidak percaya.
"Mengapa kalian berdua tidak apa-apa? Apa yang
terjadi?" tanya Han Cia Pao keheranan sambil memegangi
ulu hatinya yang sakit sekali.
"Hahaha! Tentu saja kami berdua tidak apa-apa
karena kami berdua sudah minum penawar racunnya" jawab
Teng Cuo Hui sambil tertawa sinis.
Han Cia Pao sangat kaget mendengar jawaban Teng
Cuo Hui. Ia lebih kaget lagi ketika mengetahui kakeknya
ternyata juga mengkhianati dirinya. Ia menjadi sangat marah
dan membalikkan meja beserta semua yang di kamar itu.
Bangsawan Ye melihat gelagat tidak baik segera berusaha- 246 lari ke arah pintu kamar. Han Cia Pao dengan marah melesat
maju dan mencengkeram rambut bangsawan Ye itu sampai
ia berteriak kesakitan.
"Lepaskan aku! Aku tidak tahu apa-apa!" teriak
bangsawan Ye.
"Hahaha! Sepasang kakek dan cucu saling
membunuh. Benar-benar sebuah lelucon!" kata Teng Cuo
Hui mentertawakan kejadian itu.
"Kau...kau juga berkhianat!" bentak Han Cia Pao
sambil membanting tubuh kakeknya ke samping.
"Benar, lalu kau mau apakah?! Kau sudah keracunan,
nyawamu tinggal sebentar lagi tinggal di dunia ini. Lebih
baik kau hirup udara banyak-banyak. Siapa tahu itu akan
menjadi napas terakhirmu, hahahaha" ejek Teng Cuo Hui
dengan pongah sekali.
"Pengkhianat! Hari ini meskipun aku harus mati, aku
akan membawamu turut serta!" bentak Han Cia Pao marah
sekali.
Saat itu pintu kamar didobrak oleh sekelompok orang
berwajah kejam dan berpakaian asing. Mereka tidak lain
adalah Sinlin dan tiga pengawal andalannya, Hutai, Gosuen
dan Chukotai. Wajah-wajah mereka yang haus menyeringai
gembira melihat Han Cia Pao yang tengah keracunan itu.- 247 "Hahaha! Bocah busuk, bagaimana rasanya Wu Ciu
Tu (Racun Tidak Tertolong) milik suku Tonghu? Enakkah
rasanya?!" ejek Sinlin dengan kejam sekali.
"Kurang ajar! Kalian orang barbar hanya berani main
racun!" bentak Han Cia Pao sambil berusaha mengumpulkan tenaga dalam mencoba mengeluarkan racun dari dalam
tubuhnya.
"Diam kau! Istrimu sudah lancang berani memotong
lengan adikku hingga ia tewas mengenaskan. Kau sebagai
suami harus mengganti nyawanya!" bentak Ejinjin.
Han Cia Pao tidak meladeni ejekan lawan karena saat
itu hampir berhasil mengeluarkan racun Wu Ciu Tu dari
lambungnya. Teng Cuo Hui yang melihat gelagat ini, tidak
mau memberikan napas sedikitpun kepada Han Cia Pao. Ia
langsung bergerak menyerang kepala Han Cia Pao dengan
kedua cakarnya. Han Cia Pao mau tak mau harus
menghindari sehingga racun Wu Ciu Tu tertelan kembali ke
dalam lambungnya.
"Bunuh!!" perintah Sinlin sambil mencabut golok
melengkungnya.
Kamar bangsawan Ye itu langsung hancur berantakan
menjadi arena pertarungan tujuh orang pendekar.
Bangsawan Ye yang pengecut hanya bisa bersembunyi
ketakutan di bawah kolong ranjang. Bahkan ia kini buang
air kecil di celananya karena benar-benar ketakutan.
Sungguh memalukan!- 248 Han Cia Pao yang terkena racun ganas tidak bisa
memberikan banyak perlawanan. Matanya mulai nanar dan
kepalanya amat pusing. Lambung dan ulu hatinya juga
terasa pecah. Inilah kehebatan Wu Ciu Tu yang diramu oleh
para dukun suku Tonghu dari bisa ular, kelabang dan kodok
beracun gunung di utara. Bahkan mungkin si Tabib Racun
Guo Cing Cen juga tidak akan selamat jika terlanjur
menelan racun ganas ini!
Tiga pengawal Sinlin yang ganas segera mengepung
Han Cia Pao sehingga ia tidak bisa melarikan diri. Golok
mereka ditebaskan dengan kerjasama yang baik sekali
sehingga berulangkah berhasil melukai Han Cia Pao. Tubuh
Han Cia Pao mulai terluka dan berdarah-darah. Teng Cuo
Hui yang melihat Han Cia Pao dikeroyok seperti binatang
itu sama sekali tidak merasa kasihan, bahkan ia tertawa-tawa
senang. Ia puas bisa melihat kematian putra orang yang amat
dibencinya yaitu Han Kuo Li!
Han Cia Pao menyadari dirinya berada di ujung maut,
berusaha mati-matian keluar dari kepungan lawan. Ia
akhirnya berhasil mencapai jendela dan langsung melompat
keluar hingga menghancurkan daun jendela kamar
bangsawan Ye itu. Ketika ia sudah tiba di halaman depan
dan hendak melompat ke luar melalui tembok, Teng Cuo
Hui dengan sigap langsung menghajar punggungnya dengan
sebuah tendangan. Han Cia Pao sampai terpental dan
membentur tembok karena kerasnya tendangan lawan. Ia
segera memuntahkan darah segar dari mulutnya. Warna- 249 merah darah perlahan-lahan memudar di tanah karena
mengalir disiram oleh derasnya hujan.
"Han Cia Pao, hari ini bahkan dewa juga tidak akan
bisa menolongmu!" bentak Sinlin sambil memerintahkan
anak buahnya maju menyerang.- 250 57. Seumur Hidup Tak Terpisahkan
Han Cia Pao berusaha bangkit sekuat tenaga
menghadapi Hutai, Gosuen dan Chukotai. Meskipun
sanggup menahan serangan lawan, tapi Racun Wu Ciu Tu
sudah terlanjur masuk ke dalam peredaran darah sehingga
Han Cia Pao terus-menerus memuntahkan darah dari
mulutnya. Lambung dan perutnya sudah hancur sehingga
darah terus mengucur tak terbendung. Tampaknya ia sudah
tidak terselamatkan lagi.
Sinlin melihat lawannya sudah sangat lemah,
langsung maju dengan tebasan golok melengkungnya
mengincar lengan lawan, ia kelihatannya amat mendendam
atas kematian Balsan yang kehilangan tangannya itu.
Untunglah di saat terakhir, Han Cia Pao masih bisa
mengelak dengan membuang tubuhnya ke samping. Tapi
Hutai dan Chukotai sudah menunggunya dengan tebasan ke
arah perut bersama-sama. Han Cia Pao tidak dapat mengelak
lagi dengan sempurna sehingga harus terkena tebasan di
perut, meskipun tidak terlalu telak. Belum sempat Han Cia
Pao mengatur napas menahan rasa sakit, Gosuen sudah
memberikan sebuah tebasan lagi di punggungnya. Tebasan
terakhir ini telak sekali sehingga Han Cia Pao langsung
tersungkur di tanah bersimbah darah.
"Hahahaha! Balsan, anakku, lihatlah ayahmu
membalaskan dendammu!" teriak Sinlin penuh kemenangan
melihat Han Cia Pao tersungkur.- 251 "Diam kau manusia licik!" bentak Han Cia Pao
sambil bersusah payah bangkit berdiri.
Sinlin terkejut melihat Han Cia Pao masih sanggup
berdiri meskipun dengan susah payah. Ia lebih terkejut lagi
melihat wajah Han Cia Pao masih memancarkan semangat
bertarung yang besar. Padahal biasanya tidak ada pendekar
yang sanggup bertahan setelah meminum racun Wu Ciu Tu.
Apakah Han Cia Pao mampu menahan racun Wu Ciu Tu
dalam dirinya?
"Kalian pikir kalian sudah menang?!" tantang Han
Cia Pao sambil mengambil kuda-kuda Tinju Es Neraka
Beku. Seketika itu juga hawa terasa mendingin dengan cepat
sekali. Butiran hujan yang turun dari langit perlahan-lahan
berubah menjadi serpihan es ketika mencapai tanah. Hawa
tenaga membekukan yang keluar dari dalam diri Han Cia
Pao semakin lama semakin hebat sehingga air hujan yang
berada dalam jarak satu tombak darinya langsung berubah
menjadi es. Teng Cuo Hui yang mengerti ilmu silat amat
kaget melihat kekuatan tenaga Tinju Es Neraka Beku yang
luar biasa ini sehingga langsung bersiap. Tapi Sinlin sama
sekali tidak terkesan terhadap ilmu Han Cia Pao karena ia
tidak tahu betapa dahsyatnya jurus yang akan dikeluarkan
oleh Han Cia Pao.
"Kau pikir kami akan takut dengan gertakanmu?!
Maju semuanya! Cincang dia demi Balsan!" perintah Sinlin
kepada ketiga pengawalnya.- 252 "Aku tahu aku tidak akan selamat, tapi kalian juga
akan kubawa serta ke alam baka!" teriak Han Cia Pao.
Hentakan kedua tinju Han Cia Pao langsung
meledakkan hawa dingin luar biasa ke arah lawan-lawannya.
Butiran air hujan langsung berubah menjadi serpihan es
tajam yang meluncur bagaikan ratusan senjata rahasia ke
arah Sinlin dan tiga pengawalnya. Kejadian itu terjadi cepat
sekali sehingga Gosuen dan Chukotai tidak bisa menghindar
lagi. Mereka yang berdiri paling depan langsung menjadi
sasaran Tinju Es Neraka Beku. Tubuh mereka tertembus
ratusan serpihan es tajam. Jeritan kematian mereka berdua
membelah langit sebelum keduanya roboh ke tanah tidak
bernyawa lagi!
Sinlin dan Hutai masih lebih beruntung sedikit.
Serangan Han Cia Pao sudah tertahan oleh tubuh Gosuen
dan Chukotai sehingga hanya beberapa serpihan es saja yang
mengenai mereka. Meskipun demikian, luka-luka yang
dialami mereka cukup parah karena beberapa serpihan es
sempat menembus tubuh mereka. Sinlin dan Hutai roboh ke
tanah dan menjerit kesakitan merasakan beberapa bagian
tubuh mereka berlubang tertembus serpihan es. Hanya Teng
Cuo Hui seorang yang selamat dari luka-luka karena ia
sudah menyiapkan perisai tenaga penghisap Pei Ming Sen
Kung yang dipelajarinya dari Fang Yung Li. Serpihan es
yang meluncur ke arah dirinya terserap kembali hawa
dinginnya sehingga ketika mengenai tubuh Teng Cuo Hui
sudah kembali berubah menjadi butiran air.- 253 Keadaan Han Cia Pao sendiri tidak terlalu baik. Ia
sudah menggunakan seluruh kekuatannya untuk serangan
barusan sehingga tidak tersisa lagi kekuatan untuk menahan
racun dalam tubuhnya. Wu Ciu Tu langsung menyebar
dengan cepat ke seluruh pembuluh darahnya termasuk
jantung.
Han Cia Pao merasakan jantungnya seperti dihantam
berkali-kali dengan palu godam, ia kembali muntah darah
dan jatuh berlutut. Han Cia Pao sebenarnya sudah sekarat,
tapi hanya karena keteguhan hatinya saja ia dapat bertahan.
Ia masih ingin membalas pengkhianatan Teng Cuo Hui.
"Kau pengkhianat keji! Aku tidak akan melepaskanmu!" teriak Han Cia Pao dengan marah sekali.
"Huh! Sudah di ambang kematian masih berani
berlagak! Aku sudah tidak sabar ingin menghabisi semua
keturunan keluarga Han! Majulah!" bentak Teng Cuo Hui
penuh dendam.
"Mengapa kau begitu benci pada keluarga Han?! Apa
salah kami kepadamu sehingga kau berbuat begini?!" tanya
Han Cia Pao sambil berusaha menahan sakit di perut dan
lambungnya.
"Lebih baik kau tanyakan saja kepada ayahmu di
neraka!" bentak Teng Cuo Hui sambil melesat maju
menyerang.- 254 Gerakan Teng Cuo Hui terlalu cepat bagi Han Cia Pao
yang sudah terluka. Tinju Han Cia Pao yang sedianya
menghadang Teng Cuo Hui hanya mengenai tempat kosong.
Malah cakar Teng Cuo Hui yang menancap telak di bawah
pusar Han Cia Pao. Cengkeraman cakar ditambah daya
hisap Pei Ming Sen Kung segera menghisap intisari hawa
dingin Han Cia Pao yang tersimpan di titik tan diannya. Han


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cia Pao berteriak kesakitan ketika merasakan seluruh
tenaganya seperti ditarik keluar dengan keras sekali.
"Hahahah! Sungguh tenaga yang hebat! Ayo terus
berikan semuanya kepadaku!" kata Teng Cuo Hui sambil
tertawa kegirangan merasakan hawa tenaga dingin murni
mengalir masuk ke dalam tubuhnya.
Han Cia Pao berusaha melawan tapi sia-sia. Dua
tinjunya yang dilayangkan ke dada Teng Cuo Hui malah
melekat tidak bisa ditarik lagi. Intisari hawa dingin Nan Hai
Lung Cu (Mutiara Naga Laut Selatan) yang selama ini
berdiam dalam tubuhnya terhisap keluar dengan cepat sekali
sehingga dagingnya langsung menjadi keriput. Jika hal ini
diteruskan, sebentar saja Han Cia Pao sudah akan menemui
ajalnya. Sebaliknya Teng Cuo Hui terlihat wajahnya
semakin memutih. Rambutnya yang semula hitam dengan
sedikit uban, tiba-tiba langsung memutih bagai salju dengan
cepat sekali. Rupanya intisari hawa dingin sudah merasuk
ke seluruh tubuh Teng Cuo Hui sehingga mengakibatkan
perubahan pada tubuhnya!- 255 Sebuah bayangan berjubah putih meluncur turun dari
atas atap dengan kecepatan tinggi ke arah Teng Cuo Hui
yang tengah kegirangan itu. Bayangan itu membawa sebuah
ranting pohon yang dengan cekatan ditotokkan kepada
lengan Teng Cuo Hui yang tengah mencengkeram perut Han
Cia Pao. Seketika itu juga Teng Cuo Hui merasakan
tangannya menjadi kebas dan mati rasa sehingga mau tak
mau ia harus melepaskan cengkeramannya. Belum sempat
Teng Cuo Hui berbuat apa-apa, bayangan itu sudah
memukulkan ranting pohon ke arah kedua matanya.
Meskipun tidak menimbulkan luka sama sekali, tapi ini
membuat Teng Cuo Hui terpaksa menutup matanya sejenak.
Kesempatan hanya satu hembusan napas ini sudah cukup
bagi bayangan berjubah putih itu untuk menarik Han Cia
Pao meninggalkan tempat itu. Sekejap saja mereka berdua
sudah menghilang di balik tembok kediaman bangsawan
Ye. "Huh! Kau pikir bisa selamat?! Kau tetap akan mati!"
kata Teng Cuo Hui sambil memandang kepergian Han Cia
Pao dan penyelamatnya.
"Benar! Ia sudah terkena Wu Ciu Tu. Tanpa minum
obat penawar, tidak ada satupun orang di dunia ini yang bisa
hidup!" kata Sinlin dengan gusar sekali sambil menahan
sakit luka-lukanya.
"Sekarang cepat kalian beritahu kasim Huo Cin untuk
rencana selanjutnya. Kita tidak punya banyak waktu" kata
Teng Cuo Hui.- 256 "Baik! Jangan khawatir, kematian anak dan dua orang
pengawalku harus ditebus mahal!" kata Sinlin.
Sinlin dan Hutai berjalan tertatih-tatih meninggalkan
tempat itu sementara Teng Cuo Hui kembali ke kamar
bangsawan Ye. Ia berjalan dengan santai sekali sambil
merasakan hawa tenaga dingin luar biasa yang baru saja
diserapnya dari Han Cia Pao. Hawa tenaga Nan Hai Lung
Cu sudah berpindah hampir seluruhnya dari Han Cia Pao
kepada Teng Cuo Hui. Kini kekuatan si Serigala Putih dari
Tong Liao itu menjadi berlipat ganda. Gabungan kekuatan
Pei Ming Sen Kung dan Nan Hai Lung Cu bercampur dalam
diri Teng Cuo Hui menimbulkan rasa nyaman luar biasa
yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.
"Bangsawan Ye, mengapa kau masih terus
bersembunyi di kolong ranjang? Cucumu sudah pergi, kau
bisa keluar sekarang" kata Teng Cuo Hui sambil duduk di
kursi dekat ranjang bangsawan Ye.
"Benarkah?! Ah, terima kasih sekali Jenderal Teng"
kata bangsawan Ye kemudian beringsut keluar dari kolong
ranjang.
"Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Mana
bagianku sekarang?" tanya Teng Cuo Hui.
"Ah, baik, baik" jawab bangsawan Ye sambil
terbungkuk-bungkuk.- 257 Bangsawan Ye berjalan menuju peti perhiasannya
yang terkunci di ujung ruangan dan membukanya dengan
hati-hati. Seluruh emas dan perhiasan bangsawan Ye
disimpan dalam peti besi besar itu. Bangsawan Ye meraup
kepingan uang emas dan perhiasan-perhiasan berharga dan
memasukkannya ke dalam kantong. Ia berniat mengunci peti
besi itu ketika tangan Teng Cuo Hui menahannya.
"Eh, mengapa begitu terburu-buru?! Kita nikmati saja
pemandangan yang indah ini" kata Teng Cuo Hui sambil
membuka peti besi itu.
Sinar emas dan permata begitu menyilaukan mata
ketika peti besi itu terbuka. Mata Teng Cuo Hui langsung
bersinar-sinar penuh ketamakan ketika melihat isi peti besi
itu. Sedangkan bangsawan Ye hanya ketakutan sehingga
tidak berani berkata apa-apa. Ia lalu menyerahkan kantong
emas yang telah diisinya dengan perhiasan dan emas itu
kepada Teng Cuo Hui.
"Jenderal Teng, mohon diterima sedikit rasa terima
kasih dariku ini" kata bangsawan Ye dengan gemetaran.
"Ah, hanya segini?!" kata Teng Cuo Hui menimang
kantong uang itu.
"Kita kan sudah lama kenal, apakah hanya segini saja
rasa terima kasihmu kepadaku?" tanya Teng Cuo Hui
dengan seringai menyeramkan.- 258 "Ampun Jenderal Teng, aku masih punya banyak istri
dan pelayan yang bergantung padaku. Lagipula kasim Huo
Cin sudah berjanji padaku untuk membiarkan aku hidup dan
memberiku banyak keuntungan" kata bangsawan Ye
memohon.
"Oh begitu?! Kau jangan khawatir. Mulai hari ini kau
tidak perlu lagi memberikan mereka makanan dan minuman,
Kau juga tidak usah khawatir lagi dengan keuntunganmu"
kata Teng Cuo Hui.
"Ah, benarkah?! Mengapa bisa demikian?!" tanya
bangsawan Ye heran.
"Karena kau dan mereka semua akan mati malam ini"
kata Teng Cuo Hui dengan wajah bengis.
Bangsawan Ye begitu terkejut sehingga tidak sempat
berteriak lagi ketika kedua cakar Teng Cuo Hui
mencengkeram kepalanya. Suara gemeretak tengkorak
remuk mengiringi kematian bangsawan Ye yang tragis.
Tidak cukup hanya di situ, Teng Cuo Hui juga memuntir
kepala bangsawan Ye hingga patah batang lehernya.
Bangsawan Ye langsung ambruk ke tanah dan mati
penasaran dengan mata melotot!
"Hahahaha! Langit memang adil! Langit memang
adil! Hari ini aku berhasil membalaskan tuntas dendamku
kepada keluarga Han! Semua penghinaan puluhan tahun
berhasil kuhapuskan dalam semalam. Han Kuo Li, kau
lihat?! Aku akan menghapuskan semua keturunanmu dari- 259 muka bumi ini, kau lihat saja! Hahahahha" kata Teng Cuo
Hui sambil tertawa penuh kemenangan meraup emas dan
perhiasan dari ped besi milik bangsawan Ye.
*** Han Cia Sing berjalan dengan mantap mendekati Tiga
Penguasa Tebing Setan. Sorot matanya kali ini benar-benar
lain dari biasanya, kejam dan tanpa perasaan sama sekali.
Tiga Penguasa Tebing Setan yang juga adalah orang-orang
kejam tanpa perasaan saja sampai merasa gemetar
menghadapi Han Cia Sing apalagi para prajurit kerajaan.
Kepungan mereka sedikit mengendur karena barisan
terdepan mundur ketakutan merasakan hawa membunuh
luar biasa yang keluar dari dalam diri Han Cia Sing.
Tepat ketika Han Cia Sing tinggal tiga langkah lagi
dari Tiga Penguasa Tebing Setan, ia menghentikan
langkahnya. Tangannya mengepal keras dan mengeluarkan
asap mengepul tipis. Jiao Cai bersiap dengan Golok Roda
Dewi Bulan, Feng Wa dengan pedang karatannya sementara
Meng Ao mengerahkan tenaga Tien Lung Ta Fa sampai ke
puncak. Udara di sekitar mereka seakan-akan mendidih
karena benturan empat tenaga dalam luar biasa itu.
"Yung Lang, hujan" bisik Lin Tung ketika merasakan
tetesan air hujan mulai jatuh dari langit mengenai wajahnya.- 260 "Benar" jawab Yung Lang singkat karena ia begitu
tegang memperhatikan Han Cia Sing.
Sebentar kemudian hujan deras mulai mengguyur
daerah itu. Beberapa obor prajurit yang kurang minyak
langsung padam tersiram lebatnya air hujan. Yung Lang dan
Lin Tung basah kuyup oleh air hujan demikian pula dengan
Ma Pei dan Han Kuo Li. Tubuh mereka yang lemah
langsung menggigil kedinginan tersiram dinginnya air
hujan.
"Lin Tung, lepaskan bajumu. Kita harus
memberikannya kepada mereka agar tidak kedinginan" kata
Yung Lang sambil melepas baju luarnya.
"Baiklah" kata Lin Tung. Mereka berdua segera
meletakkan Ma Pei dan Han Kuo Li di tanah dan
menyelimuti dengan baju luar mereka. Hujan terus turun
dengan lebat sekali sehingga sebentar saja tanah sudah
tergenang oleh air. Tapi tempat seluas satu tombak di daerah
Han Cia Sing dan Tiga Penguasa Tebing Setan tetap kering
bagaikan tidak tersentuh air hujan sama sekali. Tenaga
dalam mereka yang luar biasa telah menguapkan air hujan
sebelum sempat menyentuh tanah, titik-titik air hujan yang
menguap ketika berbenturan dengan tenaga pelindung
mereka menimbulkan kabut uap dan suara berdesis kencang
bagaikan desisan ratusan ekor ular. Para prajurit yang
mengepung mereka semakin takjub melihat kejadian ini.- 261 Meng Ao yang tidak sabaran dengan adu pameran
tenaga dalam ini langsung memulai gebrakan pertama.
Serangan tinjunya langsung ke arah dada Han Cia Sing
dengan segenap tenaga Tien Lung Ta Fa tingkat 34. Han Cia
Sing sama sekali tidak mengelak dan membiarkan dadanya
ditinju dengan keras sekali. Yung Lang dan Lin Tung
sampai menjerit kaget melihat hal ini. Tapi mereka lebih
kaget lagi ketika melihat ternyata Meng Ao malah terpental
tiga langkah ke belakang. Han Cia Sing sendiri masih
terlihat berdiri kokoh sama sekali tidak tergoyahkan.
Sekarang terbukti tenaga dalam siapa yang lebih kuat di
antara mereka berdua!
Jiao Cai dan Feng Wa langsung menggebrak
bersamaan setelah serangan pertama Meng Ao gagal. Golok
Roda Dewi Bulan diputar hendak menebas leher sementara
pedang karatan Feng Wa mengincar perut. Serangan ganda
ini begitu cepat beruntun sehingga kelihatannya hampir
tidak mungkin bisa dihindarkan oleh Han Cia Sing yang
berdiri hanya tiga langkah dari penyerangnya. Tapi ternyata
Han Cia Sing berhasil mengelakkan serangan lawan dengan
tipis sekali tanpa beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri.
Ini membuat semua yang melihatnya menjadi amat terkejut
dan heran!
Saat golok dan pedang menebas, Han Cia Sing
menundukkan badannya condong ke depan pada saat yang
tepat sekali. Golok lewat di atas kepalanya sedangkan
pedang karatan lolos tipis dari perutnya. Gerakan Han Cia- 262 Sing lebih cepat dari satu kedipan mata sehingga tidak
terlihat oleh para prajurit yang berilmu rendah. Mereka
hanya melihat bayangan kabur saja. Bahkan Yung Lang dan
Lin Tung juga sukar menangkap gerakan Han Cia Sing yang
luar biasa cepat itu.
"Kurang ajar!" maki Jiao Cai yang merasa
dipermainkan itu. Golok Roda Dewi Bulan diputar bagaikan
gasing menimbulkan bunyi desiran angin yang mengerikan.
Kecepatan putaran golok yang begitu cepat malah
membuatnya tampak tidak berputar. Golok menyerang
kedua kaki Han Cia Sing dengan harapan akan mampu
memaksanya untuk mundur. Tapi betapa kagetnya Jiao Cai
ketika Han Cia Sing malah menendang Golok Roda Dewi
Bulan miliknya hingga ia yang terpental ke belakang!
Feng Wa dan Meng Ao terperangah menyaksikan
kehebatan gerakan yang diperagakan Han Cia Sing barusan.
Putaran golok yang begitu cepat ternyata masih bisa dilihat
oleh Han Cia Sing sehingga ia dapat menendang badan
golok itu pada saat yang amat tepat. Padahal mereka saja
yang sudah puluhan tahun bertarung dengan Jiao Cai tidak
mampu sekalipun berbuat demikian. Diam-diam keraguan
menyelimuti hati Tiga Penguasa Tebing Setan itu. Apakah
benar ilmu Han Cia Sing demikian tangguh? Sanggupkah
mereka menghadapinya?
"Ayo kita maju bersama!" teriak Meng Ao kepada
kedua temannya.- 263 Tiga Penguasa Tebing Setan menggebrak bersamasama dengan jurus-jurus maut masing-masing. Jiao Cai dari
atas, Meng Ao dari samping dan Feng Wa dari depan.
Mereka kali ini sama sekali tidak mau memberikan
kesempatan kepada Han Cia Sing dan langsung mengurung
semua jalan mundurnya. Serangan gabungan Tiga Penguasa
Tebing Setan ini adalah hasil latihan mereka selama
bertahun-tahun. Kekuatannya sanggup menghancurkan batu
karang menjadi serpihan abu. Sanggupkah Han Cia Sing
menghadapi gempuran dahsyat ini?
Han Cia Sing menggerakkan kedua lengannya ke
udara dan menghentakkan kakinya terbang melayang
dengan ringan sekali. Pertama ia menghadapi Jiao Cai yang
mengayunkan Golok Roda Dewi Bulan dengan Cakar Elang
Emas. Satu hembusan napas, enam jurus sudah dilepaskan
oleh masing-masing pihak. Setiap jurus berbenturan dengan
keras sehingga menimbulkan ledakan keras. Jiao Cai
kembali kalah dan terpental beberapa langkah ke belakang.
Hamburan tenaga benturan kedua pendekar tangguh itu
meledakkan rintik air hujan semburat kemana-mana.
Han Cia Sing langsung disambut serangan Meng Ao
dan Feng Wa yang menyerang ganas. Ia menyambut
serangan dua lawan tangguh itu tanpa menarik napas sama
sekali. Telapak Meng Ao yang berisi tenaga Tien Lung Ta
Fa tingkat 34 i dihadapi dengan telapaknya yang sudah
berisi Shi Sui Yi Cin Cing (Sutra Pembersih Sumsum
Penggeser Urat) tahap tertinggi! Pedang karatan Feng Wa- 264 dijepit dengan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya.
Kembali ledakan dahsyat terdengar ketika Meng Ao


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlempar dua tombak ke belakang. Sementara itu Feng Wa
yang berusaha melepaskan pedang karatannya dari jepitan
Han Cia Sing dengan susah payah dihadiahi dua tendangan
beruntun. Tubuhnya yang kumal itu langsung terlempar tiga
tombak ke belakang dan jatuh dengan keras ke tanah. Tanah
yang becek penuh lumpur terciprat kemana-mana.
"Sialan!" maki Meng Ao sambil memegangi telapak
tangannya yang pecah-pecah setelah berbenturan dengan
Han Cia Sing.
"Aku tidak percaya ia bisa mengalahkan kita bertiga!
Feng Wa, lekas bangun jangan tidur saja!" teriak Jiao Cai
dengan marah sekali.
Tubuh Feng Wa langsung bangkit dari ambruknya
dengan tegak lurus bagaikan mayat hidup. Ia memang paling
misterius dari Tiga Penguasa Tebing Setan karena wajahnya
selalu tertutup topeng kayu dan menggendong boneka kayu
yang jelek sekali. Han Cia Sing merasa ia harus bisa
memecahkan rahasia Feng Wa terlebih dahulu jika ia ingin
menang dalam pertarungan melawan Tiga Penguasa Tebing
Setan ini.
Han Cia Sing meloncat tinggi ke atas kepala Feng Wa
yang baru saja berdiri tegak. Kedua kakinya berhasil
mengepit leher Feng Wa dengan jurus Cien Tao Lung Wei
(Menggunting Perut Naga) yang merupakan jurus yang- 265 diajarkan Ma Han Jiang kepadanya. Sambil memutar
tubuhnya bagaikan baling-baling, Han Cia Sing
membanting tubuh besar Feng Wa ke tanah. Sekali lagi Feng
Wa terbanting keras dengan leher tertekuk. Kecil
kemungkinan baginya dapat selamat dengan leher patah
seperti itu. Tapi Feng Wa kemudian segera bangkit kembali
tanpa terlihat cedera sama sekali.
"Yung Lang, kau lihat barusan?" tanya Lin Tung.
"Aku lihat. Feng Wa itu benar-benar setan" jawab
Yung Lang bergetar.
Feng Wa yang diserang keras dua kali sekarang balas
menyerang dengan pedang karatannya. Sabetan dan
tusukannya begitu cepat mengurung Han Cia Sing sehingga
semua jalan mundur tertutup. Tusukan demi tusukan dapat
dihindari Han Cia Sing sampai akhirnya ia merasakan perih
di dada kanannya. Han Cia Sing segera melompat mundur
dan melihat dada kanannya sudah terluka mengeluarkan
darah. Kapan Feng Wa berhasil melukainya? Ilmu apa
sebenarnya yang digunakan oleh Feng Wa sehingga selalu
berhasil melukai lawan tanpa terlihat?
"Hahhaa, bocah busuk, kau pikir aku bisa
kaukalahkan begitu saja? Aku Feng Wa, sudah pernah
masuk neraka dan hidup kembali. Kau pikir bisa
membunuhku?! Kau yang akan mati mengenaskan!" kata
Feng Wa.- 266 "Bagus Feng Wa! Sekarang kita hajar saja bocah
busuk ini! Prajurit, kalian bunuh dua orang cecunguk itu!"
perintah Meng Ao.
Para prajurit kerajaan langsung melepaskan puluhan
panah api begitu mendengar perintah Meng Ao. Suasana
yang semula gelap langsung berubah menjadi terangbenderang oleh puluhan panah api yang berpijar di udara.
Sasaran mereka adalah Yung Lang dan Lin Tung!
"Lin Tung!" teriak Yung Lang.
"Aku tahu" jawab Lin Tung sambil menggenggam
toya besinya.
Lin Tung melompat ke depan dan memutar toya
besinya bak baling-baling. Puluhan panah api yang
menyerang mereka langsung terpental oleh kibasan toya
besi itu. Yung Lang yang berada di belakang Lin Tung
bertugas menangkis panah-panah api yang lolos dari
hadangan Lin Tung. Berkat kerjasama mereka yang bagus,
Ma Pei dan Han Kuo Li yang bersandar di sebuah pohon
dapat terselamatkan dari serbuan panah api. Tapi begitu
serangan panah api selesai, giliran prajurit tombak dan golok
yang maju menyerbu dengan suara teriakan mengguncang
langit.
"Lin Tung tampaknya kita harus bertarung matimatian malam ini" kata Yung Lang sambil menggenggam
Pedang Elang Emasnya.- 267 "Aku tidak takut. Kita bertaruh nyawa malam ini.
Yung Lang, semoga kita masih bisa melihat matahari terbit
esok hari" kata Lin Tung dengan gagah.
"Jangan lupa melindungi paman Han dan ketua Ma"
kata Yung Lang.
Mereka berdua segera merapatkan diri ke dekat
tempat Han Kuo Li dan Ma Pei berada. Yung Lang
menghadapi pasukan di sebelah kiri sedangkan Lin Tung di
sebelah kanan. Para prajurit kerajaan mungkin berilmu
rendah, tapi jumlah mereka yang banyak sekali benar-benar
merupakan ancaman. Lin Tung memainkan toya besinya
dengan dahsyat, la sudah berlatih bersama Han Cia Sing dan
Yung Lang selama beberapa bulan terakhir dan ilmunya
meningkat cukup pesat. Beberapa prajurit yang terhajar toya
besinya langsung roboh dengan kepala remuk. Tapi yang
lain terus merangsek maju sehingga amat merepotkan.
Di pihak lain, Pedang Elang Emas berkelebat kesanakemari bagaikan seekor elang mengejar anak ayam. Setiap
ayunan pedang Yung Lang selalu berhasil melukai lawan
yang memang rata-rata lemah ilmu silatnya itu. Yung Lang
tahu musuhnya banyak sekali sehingga ia tidak berani mainmain lagi. Ia harus berhasil melukai paling tidak satu orang
prajurit setiap satu tebasan. Gerakan Yung Lang yang lincah
juga menyulitkan para prajurit untuk mengepungnya.
Meskipun demikian, jumlah prajurit amat banyak sehingga
makin lama Yung Lang makin terkurung juga. Apalagi- 268 Yung Lang juga harus memperhatikan keselamatan Ma Pei
dan Han Kuo Li.
Malam itu, hutan timur kotaraja menjadi saksi
pertarungan habis-habisan antara ratusan prajurit kerajaan
dengan Yung Lang dan Lin Tung. Mereka berdua bertarung
seperti kesetanan. Setiap tebasan dan ayunan toya mereka
bagaikan dewa maut yang haus kematian. Cipratan darah
dan jerit kematian membahana memecah suara hujan deras
yang masih terus mengguyur. Bau amis darah begitu kental
tercium di udara. Aliran air hujan di tanah kini berubah
berwarna merah karena banyaknya darah para prajurit yang
tertumpah. Suasana penuh kematian benar-benar mencekam
siapapun yang melihatnya.
"Bocah busuk! Kau jangan berharap bisa menolong
mereka! Nyawamu sendiri saja sulit dipertahankan, apalagi
hendak menolong nyawa orang lain" kata Jiao Cai
menghalangi Han Cia Sing dengan goloknya.
"Jangan sampai bocah busuk ini lolos!" kata Meng Ao.
Tiga Penguasa Tebing Setan mengepung Han Cia
Sing dengan rapat sekali. Mereka tidak memberi celah
sedikitpun kepada Han Cia Sing untuk dapat membantu
kedua sahabatnya. Han Cia Sing yang agak terpecah
pikirannya antara menyelamatkan kedua sahabatnya dengan
menghadapi lawan akhirnya menerima akibatnya. Sebuah
telapak Meng Ao berhasil menghantam punggungnya
dengan telak sekali. Han Cia Sing terseret tiga tombak ke- 269 depan akibat serangan ini. Punggungnya terasa panas sekali
bagaikan terbakar. Han Cia Sing segera menggunakan Shi
Sui Yi Cin Cing untuk menyembuhkan luka dalamnya, tapi
Feng Wa sudah datang lagi dengan pedang karatannya.
Satu tusukan pedang ke dada berhasil dihindarkan
oleh Han Cia Sing, tapi Feng Wa terus menyerang dengan
ganas. Sabetan pedangnya menyerang perut dan leher secara
membabi-buta sehingga Han Cia Sing terpaksa mundur
beberapa langkah. Feng Wa terus mengejar dan menusukkan
pedangnya ke leher Han Cia Sing. Meskipun diserang secara
beruntun, Han Cia Sing tetap bisa lolos berkat Guo Yin Sen
Kung (Ilmu Melintasi Awan). Tapi tiba-tiba saja Han Cia
Sing merasakan pundaknya perih. Darah segar mengalir dari
pundak kanannya. Tampaknya ia terluka lagi oleh "serangan
tidak tampak" Feng Wa yang ajaib itu. Han Cia Sing benarbenar penasaran sekali. Ia sudah terluka dua kali oleh jurus
yang tidak tampak itu. Sebenarnya bagaimanakan caranya
Feng Wa bisa melukainya?
Han Cia Sing tidak sempat berpikir banyak karena
Jiao Cai sudah menyerangnya lagi dari atas. Golok Roda
Dewi Bulan berdesing kencang sekali bagaikan balingbaling sehingga hawa goloknya sudah terasa dalam jarak
satu tombak. Han Cia Sing melemparkan tubuhnya ke
samping dan golok Jiao Cai menghantam tanah dan
menimbulkan ledakan keras. Lumpur becek terciprat
kemana-mana sehingga untuk sesaat pandangan mereka
yang bertarung menjadi sedikit terhalang. Kesempatan ini- 270 dipergunakan oleh Han Cia Sing untuk menarik napas dan
menggunakan Shi Sui Yi Cin Cing untuk memperkuat
kelima panca indranya.
Tenaga dalam yang tersalur kepada lima indra
langsung terasa akibatnya. Mata Han Cia Sing menjadi
semakin awas, bahkan mampu melihat guratan tangan Jiao
Cai yang menggenggam goloknya. Telinganya menjadi
amat peka sehingga bisa mendengar bunyi setiap rintik
hujan yang jatuh mengenai tanah dan pepohonan hutan.
Hidungnya juga dapat mencium bau amis darah para prajurit
yang terluka yang berjarak sepuluh tombak dari tempatnya
berdiri. Seluruh tubuh Han Cia Sing seakan terjaga dan
bersiaga oleh kekuatan Shi Sui Yi Cin Cing. Bahkan tenaga
perlindungan ilmu luar biasa itu sanggup membuat tubuh
Han Cia Sing sama sekali tidak tertembus oleh rintik air
hujan. Benar-benar luar biasa!
Meng Ao menyerang Han Cia Sing dengan
telapaknya. Kembali jurus Lu San Jing Lung Cang (Tapak
Naga Hijau Gunung Lu) dijajal oleh Meng Ao untuk
menghancurkan Han Cia Sing. Puluhan bayangan tapak
yang begitu cepat bagaikan naga mengurung Han Cia Sing.
Tapi Meng Ao tidak tahu kalau Han Cia Sing sudah
menyalurkan tenaga dalamnya kepada lima indranya.
Bayangan tapak yang terlihat luar biasa cepat itu ternyata
masih bisa dilihat Han Cia Sing dengan jelas sekali. Kedua
tapak Meng Ao yang hendak menghajar dadanya itu berhasil- 271 dihadang dengan kedua telapaknya. Benturan tenaga dalam
meledak keras dan melemparkan tubuh Meng Ao ke udara.
Tapi Meng Ao bisa diremehkan begitu saja.
Julukannya sebagai si Naga Terbang memang amat layak
disandangnya. Begitu terbentur keras dan terlempar ke
udara, Meng Ao segera bersalto di udara dua kali dan balik
menendang dengan kedua kakinya ke dada Han Cia Sing
yang terbuka. Han Cia Sing tertendang dengan telak dan
terlempar satu tombak ke belakang. Dadanya terasa
bagaikan terbalik akibat kerasnya tendangan Meng Ao.
Belum sempat tubuh Han Cia Sing menyentuh tanah,
Jiao Cai sudah menyerang dengan tebasan mautnya.
Punggung Han Cia Sing yang terbuka dihantam dengan
Golok Roda Dewi Bulan. Jiao Cai sudah hampir yakin
goloknya akan membelah tubuh lawan ketika Han Cia Sing
dengan ringannya mampu bersalto di udara menghindar.
Han Cia Sing menggunakan Guo Yin Sen Kung menjadikan
tubuhnya seringan bulu dan "menunggangi" hawa golok
yang tajam sehingga terhindar dari maut secara
mengagumkan!
"Sialan! Sekali lagi!" maki Jiao Cai yang merasa
dipermainkan.
Serangan kedua dihadapi Han Cia Sing dengan
persiapan yang lebih baik. Golok Roda Dewi Bulan
menebas ke dada Han Cia Sing namun bisa dihindarkan
dengan sigap. Tapak Han Cia Sing menangkis keras- 272 punggung golok hingga bergetar keras. Jiao Cai merasakan
tangannya sampai kesemutan menahan getaran tangkisan
Han Cia Sing. Jika saja ia tidak bisa menahan getaran itu,
pastilah Golok Roda Dewi Bulan sudah terlepas dari
tangannya. Belum sempat Jiao Cai bernapas lega, dadanya
sudah tertinju keras oleh Han Cia Sing yang merangsek
maju.
"Bukkk!!"
Jiao Cai terlempar tiga tombak ke belakang karena
kerasnya tinju Han Cia Sing. Ia jatuh berguling-guling di
lumpur dan muntah darah. Tampaknya luka dalam Jiao Cai
cukup parah sehingga ia terpaksa harus bersila dulu untuk
memulihkan peredaran darahnya yang kacau balau.
"Sialan kau bocah busuk!" bentak Meng Ao yang
marah sekali melihat Jiao Cai terluka.
Meng Ao kembali menyerang Han Cia Sing dengan
tendangan mautnya. Tapi Han Cia Sing yang sekarang
bukanlah Han Cia Sing pada saat pertarungan di Kolam
Sembilan Naga. Han Cia Sing yang sekarang adalah Han Cia
Sing yang penuh dengan hawa membunuh, ia penuh dengan
tekad untuk menghancurkan apapun yang menghalangi
kebebasan ayahnya. Ini menyebabkan Shi Sui Yi Cin Cing
dalam diri Han Cia Sing dapat keluar dengan sepenuh
tenaga. Tendangan ganda Meng Ao berhasil ditangkis
dengan kedua tinju Han Cia Sing. Tubuh Meng Ao kembali
bersalto di udara menggunakan tenaga hentakan lawan.- 273 Tampaknya ia akan mengulangi kembali serangannya
seperti yang dilakukannya tadi.
Han Cia Sing menggeser tubuhnya maju ke depan tiga
langkah. Ia kemudian melompat ringan tepat pada saat
kepala Meng Ao tengah berada di bawah pada saat
perputaran saltonya. Han Cia Sing mendekap kepala Meng
Ao dan mengunci kedua tangannya. Tubuh mereka berdua
kini meluncur deras ke bumi dengan kepala Meng Ao berada
di bawah. Inilah jurus Tien Ti Kou Yuan (Jurang Bumi
Surga) yang merupakan jurus bantingan andalan mendiang
Liu Da. Kepala lawan yang telah terkunci dihentakkan ke
tanah dengan tambahan berat badan penyerang dalam hal ini
keseluruhan tenaga Shi Sui Yi Cin Cing!
Suara tulang tengkorak remuk dan leher patah
terdengar gemeretak mengerikan ketika kepala Meng Ao
terhunjam ke bumi. Tamatlah sudah riwayat si Naga
Terbang, salah satu dari Tiga Penguasa Tebing Setan itu.
Dua temannya, Jiao Cai dan Feng Wa hanya bisa tertegun
menyaksikan kematian Meng Ao yang tragis itu. Tubuh


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meng Ao dalam posisi terbalik dengan kepala di bawah.
Kepalanya tampak miring ke kanan dalam posisi tidak wajar
Mata Meng Ao melotot karena tidak dapat menerima
kekalahannya itu. Han Cia Sing kemudian melepaskan
kunciannya sehingga tubuh Meng Ao yang sudah tak
bernyawa lagi itu ambruk ke tanah.
"Haaaaaa!!!"- 274 Teriakan kemarahan Feng Wa yang menyeramkan
menggema dalam hutan itu demi melihat kematian Meng
Ao. Ia maju menyerang dengan ganas sekali tanpa
memperhatikan pertahanannya lagi. Jurus-jurus mautnya
dilancarkan bertubi-tubi. Han Cia Sing terus menghindar
dan mundur sambil sesekali memasukkan pukulan ke tubuh
lawan tapi tampaknya tidak dirasakan sama sekali oleh Feng
Wa. Saat mereka tengah bertarung sengit, telinga Han Cia
Sing yang sudah diperkuat dengan tenaga Shi Sui Yi Cin
Cing, tiba-tiba menangkap satu desiran halus sekali di sisi
kanan tubuhnya. Dari sudut matanya, Han Cia Sing dapat
menangkap sebuah kilatan sinar pisau yang amat cepat
sekali. Gerakan pisau itu begitu cepat sehingga tidak akan
tertangkap oleh mata sekalipun ia seorang pendekar. Lengan
kanan Han Cia Sing langsung mengucurkan darah tertembus
pisau itu. Ia mundur beberapa langkah dan berusaha
mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Ah, rupanya demikian" kata Han Cia Sing kepada
dirinya sendiri.
"Terimalah ajalmu! Kau harus membayar nyawa
Meng Ao!" teriak Feng Wa sambil menyerang ganas.
Han Cia Sing kali ini tidak bergeming dari tempatnya
berdiri dan menanti datangnya serangan. Pedang karatan
Feng Wa berkelebat cepat sekali hendak menebas leher Han
Cia Sing tapi ia tetap tenang saja tidak menangkis. Jiao Cai- 275 yang sedang duduk bersila memulihkan tenaga amat senang
ketika melihat serangan Feng Wa sudah hampir pasti masuk
ke leher Han Cia Sing. Tapi tepat ketika pedang karatan itu
sudah menempel di leher Han Cia Sing, tiba-tiba saja
gerakan Feng Wa terhenti. Han Cia Sing dan Feng Wa kini
berhadapan dalam keadaan saling terdiam. Apakah yang
sebenarnya terjadi?
"Tidak mungkin" kata Jiao Cai seolah tidak percaya
apa yang ada di depan matanya itu.
Tinju kanan Han Cia Sing tampak mendarat di boneka
kayu yang digendong oleh Feng Wa. Tapi yang
mengherankan adalah mulut dan hidung boneka itu
mengeluarkan darah segar. Han Cia Sing kemudian
merenggut boneka itu dari tubuh Feng Wa yang langsung
ambruk ke tanah bagaikan pohon tumbang. Dada Feng Wa
tempat boneka kayu tadi berada ternyata berlubang besar
dan menunjukkan isi tubuh Feng Wa yang terbuat dari
rangka besi. Han Cia Sing membanting boneka kayu itu ke
tanah hingga topeng kayunya terlepas. Seraut wajah tua nan
keriput tampak di balik topeng itu. Ternyata selama ini yang
disangka sebagai boneka adalah seorang kakek kerdil yang
juga adalah Feng Wa itu sendiri!
Kakek kerdil itu berusaha bangkit berdiri dengan
susah payah. Ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
segar dari mulutnya. Matanya yang amat sipit memandangi
wajah Han Cia Sing dengan penuh kemarahan. Tampaknya
tinju Han Cia Sing telah menghancurkan beberapa tulang- 276 dadanya sehingga ia tidak kuat lagi berdiri. Kembali kakek
kerdil itu ambruk ke tanah dan memuntahkan darah segar.
Matanya melotot karena tidak percaya atas kekalahannya.
"Kau... mengapa kau tahu rahasiaku?!" tanya kakek
kerdil itu dengan suara serak dan napas tersengal-sengal.
"Ini semua karena serangan rahasiamu. Hal itulah
yang akhirnya membuatku tahu semua rahasiamu" jawab
Han Cia Sing.
"Bagaimana... tidak mungkin" kata Feng Wa
kemudian muntah darah lagi.
"Saat terakhir kau menyerangku, aku bisa melihat
pisau kecilmu menyerang bagian kanan badanku. Meskipun
gerakanmu amat cepat, tapi berkat Shi Sui Yi Cin Cing aku
masih bisa merasakannya. Saat itu aku sadar mengapa
selama ini Feng Wa seakan tidak pemah terluka atau
merasakan sakit, karena sebenarnya ia hanyalah sebuah
kerangka besi saja. Kaulah yang sebenarnya menggerakkan
Feng Wa. Ini menjawab semua keanehan tentang Feng Wa,
termasuk cara berjalannya yang kaku dan juga suaranya
yang aneh" kata Han Cia Sing.
"Tidak mungkin... kau bocah busuk... tidak mungkin..."
Kakek kerdil itu tidak sempat lagi menyelesaikan
kalimatnya. Ia muntah darah dan ambruk untuk tidak
bangun lagi. Tubuhnya yang amat kecil hanya kurang dari
setengah tombak, terapung-apung dipermainkan genangan- 277 air hujan yang makin meninggi dalam hutan itu. Feng Wa si
Boneka Gila sudah tamat riwayatnya!
"Kurang ajar! Aku akan bertaruh nyawa denganmu!!"
bentak Jiao Cai.
Jiao Cai maju menyerang dengan gelap mata setelah
melihat kematian Meng Ao dan Feng Wa. Tapi kemarahan
adalah pantangan besar bagi seorang pendekar saat
bertarung karena ia menjadi kurang perhatian terhadap
gerakan lawan. Demikian pula dengan Jiao Cai yang sudah
dimakan oleh kemarahannya sendiri. Ia sama sekali tidak
memperhatikan jurus-jurus yang dimainkan oleh Han Cia
Sing dan terus menyerang membabi-buta. Han Cia Sing
bergerak menghindari golok maut Jiao Cai dengan lincah
sekali. Setiap tebasan golok Jiao Cai yang dikerahkan
sepenuh tenaga hanya mengenai angin. Hal ini membuat
Jiao Cai menjadi kelelahan dan luka dalamnya kambuh
kembali. Jiao Cai terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
segar dari mulutnya.
Han Cia Sing langsung memanfaatkan kelengahan ini
dan menendang lutut lawan dengan keras sekali. Jiao Cai
berteriak kesakitan ketika merasakan lutut kirinya hancur
terkena tendangan lawan. Ia langsung jatuh berlutut di depan
Han Cia Sing meskipun kemudian berusaha bangkit secepat
mungkin. Tapi Han Cia Sing sama sekali tidak memberi
ampun kepada lawan. Ia mengerahkan seluruh tenaga Shi
Sui Yi Cin Cing pada tinju kanannya dan menghentak
kannya dengan keras sekali ke rahang Jiao Cai.- 278 Suara tulang remuk mengiringi robohnya Jiao Cai ke
tanah. Tinju Han Cia Sing sudah meremukkan tulang
rahangnya dan juga membuat kepalanya terpuntir ke
belakang hingga mematahkan juga batang lehernya.
Tampaknya hawa perlindungan Jiao Cai yang melemah
setelah lutut kirinya hancur tidak bisa lagi menahan
kerasnya tinju Han Cia Sing. Si Golok Roda Dewi Bulan
ambruk ke tanah menyusul kedua temannya ke alam baka!
Han Cia Sing terengah-engah mengatur napasnya. Ia
sudah bertarung hidup mati ratusan jurus dengan Tiga
Penguasa Tebing Setan. Pertarungan itu benar-benar
menguras tenaga dan pikiran sehingga Han Cia Sing harus
lebih lama mengembalikan tenaganya. Ia duduk bersila
dengan posisi teratai dan segera memutar tenaganya mulai
dari dahi, pundak, dada, ulu hati dan perut kemudian
kembali lagi ke awal. Perlahan-lahan semua tenaganya
kembali seperti semula dan napasnya menjadi teratur
kembali. Han Cia Sing segera bangkit dan membentak
semua prajurit yang masih terus bertarung dengan Yung
Lang dan Lin Tung.
"Kalian semua lihatlah! Pemimpin kalian sudah mati,
apakah kalian masih ingin bertarung lagi?!" teriak Han Cia
Sing dengan tenaga dalam sehingga mengguncangkan langit
hutan.
Segera saja puluhan prajurit yang tersisa melarikan
diri begitu melihat Tiga Penguasa Tebing Setan sudah tidak
bernyawa lagi. Mereka berlari tanpa menoleh lagi ke- 279 belakang. Mayat Tiga Penguasa Tebing Setan dan ratusan
prajurit ditinggalkan begitu saja. Tampaknya semangat
mereka sudah hilang sama sekali.
Han Cia Sing berjalan mendekati tempat pertempuran
Yung Lang dan Lin Tung yang memakan banyak sekali
korban nyawa itu. Mayat-mayat prajurit dengan tubuh tidak
utuh atau remuk bergeletakan di mana-mana. Bahkan air
hujan yang masih turun dengan deras sama sekali tidak bisa
menghapuskan bau amis darah yang begitu pekat tercium.
Rerumputan yang semula berwarna hijau sudah berubah
menjadi merah darah. Suasana benar-benar mencekam
karena pembantaian yang terjadi di sana.
Yung Lang duduk bersandar di sebuah pohon dengan
kelelahan yang amat sangat. Lin Tung tergeletak berbaring
di rerumputan dengan napas tersengal-sengal dan mulut
terbuka menadah air hujan. Pakaian mereka sudah berubah
warna menjadi merah darah. Toya besi Lin Tung dan Pedang
Elang Emas Yung Lang juga penuh dengan noda darah.
Mereka berdua, sama seperti Han Cia Sing, baru saja
menjalani pertarungan hidup mati yang amat menegangkan.
Tenaga mereka benar-benar habis dan perlu waktu lama
untuk memulihkan diri.
"Yung Lang, Lin Tung, kalian baik-baik saja?!" tanya
Han Cia Sing dengan khawatir melihat keadaan kedua
sahabatnya itu.- 280 "Kami...kami tidak apa-apa" jawab Yung Lang
dengan lemah.
"Hanya luka luar saja" kata Lin Tung menambahkan.
"Aku mungkin sudah... membunuh lebih dari seratus
prajurit malam ini. Tanganku sampai pegal karena terlalu
banyak menebas" kata Yung Lang.
"Aku juga. Aku sampai khawatir toya besiku akan
patah karena terlalu banyak digunakan" kata Lin Tung.
"Aku senang kalian berdua selamat. Aku akan
menengok ayah dan ketua Ma. Kalian tunggulah sebentar di
sini" kata Han Cia Sing.
Sebenarnya meskipun tanpa disuruhpun, Yung Lang
dan Lin Tung juga tidak mampu bergerak lagi. Tubuh
mereka benar-benar kelelahan. Untunglah air hujan yang
turun dengan deras masih bisa sedikit menyegarkan mereka.
Yung Lang dan Lin Tung dalam hati sama-sama tidak ingin
lagi mengulangi pertempuran seperti yang mereka lakukan
barusan.
Han Cia Sing berjalan ke tempat Ma Pei dan Han Kuo
Li berada. Dua orang tua yang amat lemah itu tampak
menggigil kedinginan di tengah hujan deras yang terus
turun. Mereka berdua harus segera dibawa untuk diobati.
Mata Han Cia Sing kembali berkaca-kaca ketika melihat
rupa ayahnya yang amat memprihatinkan itu. Dalam hati- 281 Han Cia Sing berjanji akan membalaskan perlakuan kejam
terhadap ayahnya itu kepada kasim Huo Cin.
"Cia Sing! Cia Sing! Yung Lang! Lin Tung!"
Terdengar suara-suara teriakan memanggil mereka
bertiga dari keremangan hutan. Meskipun masih agak jauh,
tapi Han Cia Sing bisa mengenali suara itu sebagai suara Ma
Han Jiang dan Song Wei Hao. Tampaknya mereka berdua
menyusul ke hutan timur setelah lewat tengah malam, Han
Cia Sing dan teman-temannya belum kembali juga. Mereka
berdua dapat mencium bau amis darah dari jarak setengah li
sehingga menjadi amat khawatir dan terus memanggilmanggil Han Cia Sing.
"Paman Ma, paman Song! Kami ada di sini!" teriak
Han Cia Sing menjawab panggilan.
Ma Han Jiang dan Song Wei Hao segera berlari ke
arah Han Cia Sing berdiri. Mereka sangat terkejut melihat
tempat sekitarnya yang mirip dengan medan perang. Tiga
Penguasa Tebing Setan juga tergeletak di sana sudah
menjadi mayat. Tampaknya baru saja telah terjadi
pertarungan dahsyat di tempat itu.
"Astaga, Sing-er apa yang terjadi? Apakah kalian
baik-baik saja?" tanya Song Wei Hao dengan cemas.
"Kami bertiga baik-baik saja" jawab Han Cia Sing.
"Tampaknya memang benar ini adalah perangkap"
kata Ma Han jiang.- 282 "Paman berdua, lihatlah siapa ini" kata Han Cia Sing
sambil menunjuk kepada Ma Pei dan Han Kuo Li.
Mula-mula Song Wei Hao dan Ma Han Jiang hanya
mengenali Ma Pei seorang. Sementara tubuh dan wajah Han
Kuo Li yang sudah berubah jauh dibandingkan saat ia masih
menjadi Jenderal Empat Gerbang dulu membuatnya susah
untuk dikenali. Tapi akhirnya Song Wei Hao dapat
mengenali mata Han Kuo Li meskipun tampak cekung dan
tanpa kehidupan. Juga lengan kanannya yang buntung itu
mengingatkan Song Wei Hao akan cerita kekalahan Han
Kuo Li di Kuil Kedamaian Abadi.
"Astaga! Han-siung! Kau ternyata masih hidup!"
teriak Song Wei Hao tidak bisa menyembunyikan
kekagetannya.
"Apa?!" kata Ma Han Jiang tidak percaya.
"Benar, Ma-siung! Ini adalah Han Kuo Li! Aku juga
tidak percaya! Aku ternyata masih diberi kesempatan oleh
langit untuk bertemu lagi denganmu" kata Song Wei Hao
sambil memeluk tubuh atasan dan sahabatnya itu.
Pertemuan antara mereka bertiga berlangsung dalam
keharuan. Bagaimana tidak, Song Wei Hao dan Ma Han
Jiang adalah sahabat dekat Han Kuo Li sejak mereka masih
remaja. Susah dan senang, hidup dan maut telah mereka
jalani bersama-sama. Bahkan Song Wei Hao telah
kehilangan keluarganya sendiri karena berusaha
menyelamatkan keluarga Han Kuo Li. Demikian juga Ma- 283 Han Jiang yang kembali ke dataran tengah setelah
mendengar kematian sahabatnya itu. Han Cia Sing
memandang ketiga orang itu dengan penuh keharuan juga.
"Cia Sing, lebih baik kita segera pergi dari sini" kata
Yung Lang yang saat itu telah mampu bangkit dan berdiri di
samping Han Cia Sing.
"Benar, Cia Sing. Aku pikir kita tidak boleh lamalama di tempat ini. Para prajurit dapat kembali dengan
pasukan yang lebih besar" kata Lin Tung.
"Baiklah. Paman Ma dan paman Song, mari kita
segera membawa ayah dan ketua Ma pergi dari sini" ajak


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Han Cia Sing.
"Aku akan menggendong Ma Pei. Song-siung, kau
gendong Han-siung" kata Ma Han Jiang.
"Kita sekarang lebih baik ke tempat Yang Mulia Huo
Wang-ye. Di sana ada tabib Liu Cen Beng sehingga lebih
baik untuk mengobati Han-siung dan Ma Pei. Mereka
berdua harus segera diobati" kata Song Wei Hao.
Akhirnya mereka bertujuh berjalan beriringan dalam
rintik hujan menuju penginapan Huo Wang-ye. Ufuk timur
mulai memerah pertanda fajar akan segera tiba. Pagi hari
yang disambut dengan kegembiraan oleh Han Cia Sing,
Yung Lang dan Lin Tung setelah malam penuh pertarungan
hidup dan mati. Tapi sayang sekali mereka semua tidak- 284 menyadari siasat keji yang telah dirancang kasim Huo Cin
untuk menghancurkan mereka semua.
*** Luo Bin Wang berjalan memimpin di antara loronglorong kotaraja di malam hari yang tersiram hujan deras itu.
Di belakangnya menyusul Yao Hao Yin dan keempat
putrinya yang masing-masing memakai pakaian jerami
kering untuk menahan derasnya hujan. Yao Chuen sempat
khawatir jika cuaca yang demikian basah dan dingin akan
membuat ibunya yang sudah tua itu menjadi sakit. Tapi Yao
Hao Yin tadi amat memaksa untuk ikut bertemu dengan Huo
Wang-ye sehingga mereka empat bersaudari juga tidak bisa
berbuat apa-apa.
Penginapan Huo Wang-ye terletak di ujung barat
kotaraja sehingga mereka memerlukan waktu agak lama
untuk sampai di sana. Untunglah malam itu hujan turun
dengan derasnya sehingga para prajurit ronda tidak tampak
berkeliling. Meskipun demikian Luo Bin Wang tidak mau
mengambil jalan besar karena tidak mau menarik perhatian.
Perjalanan mereka juga menjadi agak lama karena harus
berhati-hati berjalan di lorong yang sempit, gelap dan basah
karena hujan. Akhirnya tibalah mereka di pintu belakang
penginapan. Luo Bin Wang mengetuk pintu dengan ketukan- 285 rahasia. Segera saja pintu dibukakan oleh Cheng Hung sang
kepala pasukan bawahan Huo Wang-ye.
"Ah, Huo Wang-ye sudah menunggu kalian" kata
Cheng Hung dengan gembira melihat kedatangan Luo Bin
Wang dan keluarga Yao.
Cheng Hung bergegas mengantarkan mereka semua
masuk ke dalam. Huo Wang-ye dan Xiahou Yuan tampak
tengah bercakap-cakap di sebuah ruangan kecil. Mereka
berdua segera bangkit berdiri melihat kedatangan Yao Hao
Yin dan keempat putrinya.
"Yang Mulia Huo Wang-ye, maafkan kami datang
mengganggu malam-malam" kata Yao Hao Yin sambil
menjura hormat.
"Yao Lao Tai-cin, sungguh merepotkan anda datang
kemari malam-malam dalam keadaan seperti ini" kata Huo
Wang-ye balas menjura.
"Hormat kepada Yao Lao Tai-cin" kata Xiahou Yuan.
"Ah, pendekar Xiahou anda terlalu sungkan" kata
Yao Hao Yin balas menjura kepada Xiahou Yuan.
"Salam hormat kepada Yang Mulia Huo Wang-ye"
kata keempat putri Yao memberikan salam.
"Aku merasa tidak enak meminta kalian datang
malam-malam dalam keadaan hujan seperti ini. Terimalah
permintaan maafku" kata Huo Wang-ye setelah melihat
keadaan mereka yang sedikit basah terkena air hujan.- 286 "Tidak apa-apa. Kami berempat merasa terhormat
atas undangan Yang Mulia Huo Wang-ye" kata Yao Xia.
"Hahaha, baiklah. Terima kasih semuanya. Silakan
duduk" kata Huo Wang-ye mempersilakan Yao Hao Yin
duduk.
Mereka semua segera duduk bersama di kursi yang
telah disediakan, termasuk juga Luo Bin Wang. Seorang
prajurit bawahan Huo Wang-ye keluar sambil membawa teh
hangat dan cangkir-cangkir. Bau wangi teh yang semerbak
segera memenuhi ruangan itu. Suasana menjadi terasa
hangat meskipun di iuar sedang hujan deras.
"Yang Mulia Huo Wang-ye, ada masalah apakah
malam ini mengundang kami datang?" tanya Yao Hao Yin
memulai pembicaraan.
"Yao Lao Tai-cin memang selalu langsung kepada
pokok persoalan. Baiklah, aku juga tidak akan berpanjang
kata. Aku mengundang keluarga Yao datang kemari adalah
untuk membicarakan masa depan kerajaan Tang yang
agung" jawab Huo Wang-ye.
"Oh?! Maksud Yang Mulia?" tanya Yao Hao Yin.
"Yao Lao Tai-cin, anda tentu tahu selama beberapa
tahun terakhir ini, kerajaan sudah tertelan pengaruh kasim
Huo Cin. Ia menggunakan segala cara untuk menguasai
kerajaan, termasuk dengan menghancurkan Tien Lung Men
dan berusaha menguasai dunia persilatan. Meskipun- 287 kekuatan Ceng Lu Hui berhasil kami hancurkan di Yin
Chuang, tapi cakar Huo Cin masih menancap dalam di
istana. Aku sebagai keturunan kaisar merasa amat berduka
atas hal ini" kata Huo Wang-ye.
"Yang Mulia Huo Wang-ye, semua ini adalah
kesalahan kami yang tidak mampu membantu Yang Mulia
Kaisar mengurus kerajaan" kata Yao Hao Yin merendah.
"Yao Lao Tai-cin anda tidak bersalah. Semua ini
adalah kesalahan kasim Huo Cin dan antek-anteknya. Kami
datang ke kotaraja ini memang bertujuan untuk menghabisi
mereka" kata Luo Wang-ye.
"Tapi maaf Yang Mulia Huo Wang-ye, istana dijaga
ribuan prajurit, bagaimana mungkin kita dapat masuk ke
dalam tanpa pertumpahan darah? Harap Yang Mulia Huo
Wang-ye mempertimbangkan hal ini kembali" kata Yao
Hao Yin.
"Aku mengerti kekhawatiran anda. Aku juga tidak
ingin mengguncang kotaraja dengan perang saudara. Karena
itu aku berencana masuk ke istana diam-diam dan
membunuh kasim Huo Cin serta para pengikutnya" kata
Huo Wang-ye menjelaskan.
"Oh?! Apakah Yang Mulia Huo Wang-ye sudah
mempunyai pasukan yang tangguh?" tanya Yao Hao Yin.
"Beberapa pendekar yang berjiwa patriot sudah setuju
untuk melaksanakan hal ini. Berjuang bagi negara adalah- 288 sebuah kebajikan dan mereka akan berjuang sepenuh tenaga
menghapuskan kelaliman dari dinasti Tang yang agung ini"
kata Huo Wang-ye.
"Hmm, bagus jika memang benar demikan. Yang
Mulia Huo Wang-ye, jika anda tidak berkeberatan, aku yang
sudah tidak berguna ini rela menyumbangkan nyawa demi
kerajaan" kata Yao Hao Yin dengan gagah.
"Hahaha, Yao Lao Tai-cin memang terkenal gagah
dan berjiwa pemberani. Aku bersulang untuk anda!" kata
Huo Wang-ye mengangkat gelasnya dan meneguk habis
isinya dalam sekali minum.
"Terima kasih Yang Mulia" kata Yao Hao Yin
menjura hormat.
Saat mereka sedang berbincang dengan gembira itu,
tiba-tiba Wongguo Luo yang basah kuyup masuk ke dalam
penginapan sambil menggendong Han Cia Pao. Para
penjaga di luar segera menolong Han Cia Pao yang terlihat
luka parah itu. Huo Wang-ye, Xiahou Yuan, Cheng Hung,
keluarga Yao dan Luo Bin Wang juga segera keluar begitu
mendengar ribut-ribut di halaman depan. Mereka semua
tampak terkejut melihat Han Cia Pao yang tengah sekarat
dan juga Wongguo Luo yang berteriak-teriak penuh amarah.
"Marga Teng si pengkhianat! Marga Teng si
pengkhianat!" teriak Wongguo Luo dengan marah sekali.- 289 "Pendekar Wongguo, apakah yang terjadi? Apa yang
terjadi dengan tuan muda Han Cia Pao?!" tanya Xiahou
Yuan yang kebingungan.
Saat itu Ma Xia dan Wongguo Yuan juga sudah
keluar kamar karena mendengar ribut-ribut di depan.
Mereka terkejut sekali melihat Wongguo Luo yang marahmarah di tengah hujan deras dan lebih terkejut lagi melihat
keadaan Han Cia Pao yang sekarat.
"A Yuan! Segera panggil Cen Hua kemari! Juga tabib
Liu! Cepat!" teriak Wongguo Luo begitu melihat cucunya
itu. Wongguo Yuan tidak berani bertanya apa-apa lagi
dan langsung lari ke kamar belakang tempat Cen Hua
berada. Sementara itu Ma Xia dan lainnya hanya bisa diam
mematung menyaksikan kejadian yang amat mengkhawatirkan itu.
"Pendekar Wongguo, tolong anda jelaskan apa yang
terjadi?!" tanya Xiahou Yuan lagi.
"Tadi... tadi setelah muridku dan marga Teng itu
berangkat, aku merasa tidak enak dan susah tidur. Akhirnya
aku berangkat juga ke kediaman bangsawan Ye untuk
melihat-lihat. Tidak disangka sama sekali, di sana kulihat
muridku tengah dikeroyok dan dibokong dengan keji sekali
oleh marga Teng itu. Di sana juga ada ketua suku Tonghu,
Sinlin si bajingan tua! Aku segera menyelamatkan muridku
dan kubawa kembali kemari, tapi... tapi mungkin sudah- 290 terlambat" kata Wongguo Luo menutup penjelasannya
dengan sedih sekali.
Saat itu memang Han Cia Pao tengah sekarat menanti
ajal. Racun Wu Ciu Tu (Racun Tak Tertolong) sudah
merasuk sampai ke jantung dan nadi besarnya. Hawa dingin
intisari Nan Hai Lung Cu (Mutiara Naga Laut Selatan) juga
sudah menghilang dari tubuhnya sehingga tidak bisa
membentengi penyebaran racun. Bahkan Yao Hao Yin yang
memeriksa urat nadinya juga hanya bisa menggelengkan
kepalanya.
"Yao Lao Tai-cin, bagaimana keadaannya?!" tanya
Huo Wang-ye cemas.
"Yang Mulia, ia keracunan racun yang amat ganas,
selain itu juga terluka dalam cukup parah. Aku pikir tuan
muda Han Cia Pao sudah tidak ada harapan lagi" kata Yao
Hao Yin.
"Astaga?! Benarkah ini?!" kata Huo Wang-ye tidak
percaya.
"Semua ini karena marga Teng si pengkhianat itu!"
maki Wongguo Luo dengan geram sekali.
Saat itu Wongguo Yuan telah kembali bersama
dengan Cen Hua dan tabib Liu Cen Beng. Begitu melihat
suaminya terkapar sekarat, Cen Hua langsung menubruk dan
menangis sejadi-jadinya. Tabib Liu Cen Beng segera sigap
memeriksa nadi besar Han Cia Pao tapi ia langsung tersadar- 291 jika nyawa Han Cia Pao tidak bisa diselamatkan lagi.
Pasangan suami istri yang baru menikah beberapa bulan itu
harus mengakhiri pernikahan mereka dengan tragis!
"Suamiku! Bangunlah suamiku!" kata Cen Hua
berusaha mengguncang-guncangkan tubuh Han Cia Pao.
"Istriku... aku..." kata Han Cia Pao dengan lemah
sekali.
"Kau tidak boleh mati. Kau belum melihat anak kita
lahir" kata Cen Hua dengan sedih sekali.
"Apa... yang... kau... katakan?" tanya Han Cia Pao
"Aku sudah mengandung anak kita. Kau tidak boleh
mati" jawab Cen Hua.
"Aku... akan... menjadi ayah?!" kata Han Cia Pao
sambil tersenyum meskipun lemah sekali.
"Benar, kita akan menjadi keluarga. Kau akan
menjadi ayah" kata Cen Hua berusaha menahan
kesedihannya.
"Guru... aku akan... menjadi ayah" kata Han Cia Pao
menoleh kepada Wongguo Luo yang berada di sampingnya
itu. "Iya, aku senang kau akan menjadi ayah. Muridku,
berilah nama kepada anakmu" kata Wongguo Luo yang
berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh.
"Han... Li De (berkemampuan)" kata Han Cia Pao.- 292 Sesaat setelah memberikan nama untuk anaknya, Han
Cia Pao menghembuskan napasnya yang terakhir.
Tangannya yang dipegang erat oleh Wongguo Luo dan Cen
Hua menjadi lemah lunglai. Kepalanya juga terkulai ke
samping dan matanya menutup. Sebuah senyum tersungging
di bibir Han Cia Pao. Rupanya kabar bahwa Cen Hua sudah
mengandung anaknya telah memberikan kebahagiaan
kepada Han Cia Pao pada akhir hayatnya. Cen Hua pun
menangis sejadi-jadinya di samping mayat suaminya
disaksikan semua yang hadir dengan penuh keprihatinan.
Hujan yang masih terus mengguyur deras seolah turut
bersedih atas kematian Han Cia Pao itu.
"Awas!!" teriak Xiahou Yuan.
Puluhan panah api melesat mendesis menghujani
penginapan mereka. Beberapa prajurit yang tidak siap
tertembus dan terluka oleh panah-panah itu. Wongguo Luo
segera membawa mayat Han Cia Pao masuk ke dalam
penginapan bersama dengan Cen Hua, Wongguo Yuan,
tabib Liu Cen Beng dan Ma Xia. Sementara itu Cheng Hung
dan beberapa prajurit penjaga segera mengamankan Huo
Wang-ye masuk ke dalam ruangan pertemuan.
Belum lagi hujan panah api mereda, puluhan obor
menyala turut dilemparkan ke dalam penginapan itu.
Meskipun banyak di antara obor-obor itu yang padam
karena siraman air hujan, namun beberapa tetap terbakar dan
membakar bagian bangunan penginapan. Suasana menjadi
kacau balau dan tidak terkendali karena beberapa orang- 293 biasa yang menginap di sana berusaha keluar dan melarikan
diri, tapi langsung tewas tertembus panah-panah api.
Tampaknya penginapan itu telah dikepung dengan rapat
sekali oleh pasukan kerajaan.
"Hahahah! Kalian para pengkhianat! Akhirnya semua
berkumpul di sini sehingga aku tidak perlu bersusah-payah
mencari kalian satu persatu!" teriak kasim Huo Cin dengan
tenaga dalamnya sehingga terasa menggema dan
mengguncangkan hati mereka yang mendengarnya.
"Kau manusia kebiri! Kaulah pengkhianat kerajaan
Tang! Kalau berani maju dan bertarung dengan aku, Cing
Lun Xiahou Yuan!" tantang Xiahou Yuan dengan suara
tidak kalah menggelegar.


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Brakkkk!!"
Pintu depan penginapan hancur berkeping-keping
seolah dihajar oleh sebuah tenaga raksasa yang tidak
tampak. Guru negara Nela, Fan Zheng bersama enam
pendekar berjubah ungu Liu Teng (Enam Pelita) menyerbu
masuk dengan langkah seringan bulu. Puluhan prajurit
dengan senjata terhunus mengikuti di belakang mereka.
Sementara itu Huo Cin, Wen Yang, Wen Fang, Pu Cui dan
Jing Ying berdiri dengan congkak di atas atap dalam hujan
yang mengguyur deras. Tampaknya pertempuran besar tidak
dapat dihindarkan lagi malam itu.- 294 "Kalian para pengkhianat! Jika tidak menyerah,
jangan salahkan kami jika mati tanpa kuburan!" ancam Huo
Cin dengan galak sekali.
"Puh! Siapa yang takut dengan ancamanmu?!" bentak
Xiahou Yuan tidak kalah marahnya.
Xiahou Yuan langsung mengambil roda emasnya dan
maju melompat ke atas atap hendak menghajar Huo Cin.
Tapi Wen Yang yang turun tangan untuk menghadapinya
dulu. Kedua pendekar kelas atas itu langsung bentrok
dengan kekuatan penuh sehingga mengguncangkan udara di
sekitarnya. Tetesan hujan bercipratan kemana-mana terkena
terpaan ledakan tenaga dalam mereka berdua.
"Bunuh semua! Jangan sisakan seorang pun hidup!"
teriak Huo Cin memberikan perintah.
Teriakan para prajurit langsung membahana
mengguncangkan langit dan bumi begitu mendengar
perintah ini. Mereka menyerbu masuk ke dalam penginapan
bagaikan gelombang air bah saja. Jumlah mereka sekitar
lima ratus orang jauh lebih banyak daripada Cheng Hung
dan anak buahnya yang hanya berjumlah dua puluh orang
saja. Pertarungan tidak seimbang segera terjadi di dalam
penginapan. Anak buah Cheng Hung yang kalah jumlah dan
persiapan langsung terbantai habis dalam sekejap. Kini Huo
Wang-ye dan yang lain terdesak makin jauh ke dalam
penginapan.- 295 "Cheng Hung, lekas kau pergi ke tempat nona Jien
dan katakan mereka agar segera meninggalkan tempat itu.
Kau jaga keluargaku dengan nyawamu. Cepat, kita tidak
punya banyak waktu" perintah Huo Wang-ye.
"Baik Yang Mulia" kata Cheng Hung sambil menjura
hormat dan langsung lari menerobos kepungan menuju
bagian belakang penginapan.
Sementara itu pertempuran yang pecah di bagian
depan semakin seru dengan turunnya para pendekar ke
medan laga. Setelah Xiahou Yuan bertarung dengan Wen
Yang, giliran Pu Cui dan Jing Ying melawan empat nona
Yao sedangkan Yao Hao Yin melawan Wen Fang.
Pertarungan mereka begitu seru sehingga para prajurit hanya
mengepung saja tidak berani berbuat apa-apa tanpa perintah
lebih lanjut dari kasim Huo Cin.
"Tangkap pengkhianat Huo Wang-ye!" teriak kasim
Huo Cin.
Fan Zheng dan Enam Pelita langsung menyerbu
masuk ke dalam hendak meringkus Huo Wang-ye. Tapi
belum sempat mereka bertindak, Wongguo Luo dan Ma Xia
sudah datang menghalangi jalan mereka. Pertarungan dua
lawan tujuh yang tidak seimbang segera pecah. Wongguo
Luo dan Ma Xia terdesak hebat oleh gabungan para
pendekar negeri Nela yang tangguh itu. Bahkan dalam
sepuluh jurus pertama saja, Ma Xia sudah dua kali terkena
sabetan golok melengkung dua pendekar Enam Pelita- 296 sehingga mengucurkan darah dari bahu kanannya. Ilmunya
masih berada dua tingkat di bawah Liu Teng.
Wongguo Luo juga tidak dapat berbuat banyak untuk
menolong Ma Xia karena ia sendiri sedang dikeroyok habishabisan oleh Fan Zheng dan empat pendekar Enam Pelita
yang lain. Ilmu Wu Di Mi Jie Sen Kung (Ilmu Ajaib Raga
Tanpa Wujud) milik Fan Zheng amat aneh dan tidak pernah
dihadapi oleh Wongguo Luo sehingga ia terdesak terus.
Telapak dinginnya beberapa kali seperd menghajar tembok
yang tidak tampak ketika ia mencoba menyerang lawan.
Empat Liu Teng juga terus-menerus menyerangnya
sehingga ia hampir-hampir tidak bisa mengambil napas.
Keadaan di luar tampaknya juga berpihak kepada para
penyerbu. Wen Fang jauh terlalu tangguh bagi Yao Hao Yin
yang sudah tua itu. Meskipun tenaga Jien San Sen Kung
(Tenaga Dalam Seribu Gunung) amat kuat tapi masih kalah
dibandingkan Tien Lung Ta Fa tingkat 28 yang dikerahkan
oleh Wen Fang. Masalah kecepatan juga dimenangkan oleh
Wen Fang sehingga beberapa kali Yao Hao Yin terkena
tendangan dan tinju yang bersarang telak di tubuhnya. Yao
Hao Yin semakin melemah dan hanya bisa bertahan saja.
Wen Yang juga masih bisa mengatasi Xiahou Yuan.
Lima puluh jurus berlalu dengan berimbang tanpa ada pihak
yang mampu enekan lawan. Demikian pula Pu Cui dan Jing
Ying yang bertarung dengan keempat nona Yao masih
tampak berimbang. Huo Cin yang mengamati dari atas atap
hanya tersenyum sinis menyaksikan perjuangan lawan-- 297 lawannya itu. Ia amat yakin dapat menghancurkan mereka
semua pada malam ini. Tidak ada satupun yang boleh lolos!- 298 58. Menyerang Harus Menang
Cheng Hung yang berlari sekuat tenaga dikejar oleh
puluhan prajurit yang berteriak-teriak marah di belakangnya. Tubuh Cheng Hung sudah luka parah oleh serangan
senjata para prajurit, tapi ia masih bisa bertahan berkat
semangatnya yang tinggi. Perintah Huo Wang-ye agar ia
menyelamatkan keluarga Huo Wang-ye terngiang terus di
telinganya. Tapi pertama-tama ia harus berusaha mengecoh
para pengejarnya agar tidak mengikutinya terus. Tubuh
Cheng Hung yang kehilangan banyak darah terus melemah
sehingga bisa dipastikan tidak akan mampu meninggalkan
para pengejarnya.
Akhirnya di sebuah sudut tikungan lorong yang
sempit, Cheng Hung melemparkan dirinya ke semak-semak
yang lebat di tepi jalan. Ia menahan napas sebisa mungkin
agar bunyi napasnya yang tersengal-sengal tidak terdengar
oleh para pengejarnya. Derap langkah para pengejarnya
terasa dekat sekali dengan bahunya, tapi untunglah malam
yang gelap dan hujan deras itu menyamarkan keberadaan
Cheng Hung. Para pengejarnya melewati dirinya tanpa
melihatnya. Cheng Hung berhasil lolos dari para
pengejarnya.
Cheng Hung segera bangkit berdiri begitu tidak
mendengar lagi suara para prajurit. Ia berlari ke arah yang
berlawanan sekuat tenaga. Penginapan tempat Wang Mei
Lin dan anak-anak Huo Wang-ye, Ye Ing serta Jien Jing Hui,- 299 Yang Hong, Jien Feng dan He Suang Fu ada di seberang
jalan. Ia harus berusaha mencapainya tanpa menimbulkan
keributan karena itu Cheng Hung memilih untuk memanjat
dinding penginapan daripada mengetuk pintu depannya. Ia
melompat naik ke lantai dua dan segera berlari ke arah
kamar Jien Jing Hui untuk memberitahukan penyergapan
yang terjadi.
Belum sempat Cheng Hung berdiri tegak di depan
kamar, Jien Jing Hui sudah membuka pintu kamar dengan
waspada karena mendengar langkah kaki Cheng Hung. Ia
bersikap waspada sekali dengan pedang terhunus di tangan.
Wajah Jien Jing Hui langsung berubah melihat keadaan
Cheng Hung yang terluka dan tampak amat cemas itu.
"Kepala pasukan Cheng?! Apa yang terjadi?!" tanya
Jien Jing Hui.
"Nona Jien, penginapan Huo Wang-ye diserbu oleh
pasukan kasim Huo Cin. Hamba kemari untuk
mengungsikan keluarga" Luka-lukanya tidak lagi
dihiraukan. Cheng Hung segera naik ke kursi kusir dan
menjalankan kereta kuda itu.
"Kepala pasukan Cheng, kau bawa mereka ke timur
kotaraja. Aku akan ke tempat Huo Wang-ye. Nanti kita
bertemu lagi di sana" kata Jien Jing Hui.
"Baik, jaga diri baik-baik" kata Cheng Hung. Kereta
kuda segera melaju ke arah timur kotaraja. Yang Hong
tampak mengintip dengan cemas dari sela-sela kelambu- 300 kereta. Jien Jing Hui melambaikan tangannya berusaha
menghibur putri tunggalnya itu agar tidak khawatir. Wang
Mei Lin juga tampak menyembunyikan kecemasannya di
depan kelima anaknya meskipun dalam hati ia amat cemas.
Keadaan Cheng Hung yang babak belur sudah menjadi bukti
betapa seriusnya kejadian yang terjadi di penginapan
suaminya. Ia hanya bisa terus berdoa dalam hati agar
suaminya diberikan keselamatan oleh langit.
Jien Jing Hui memandangi kereta kuda itu sampai
hilang di tikungan jalan. Hatinya sedih sekali harus berpisah
dengan putri tunggalnya itu dan tidak tahu apakah ia masih
bisa bertemu lagi atau tidak setelah pertarungan malam ini.
Keadaan mereka sudah diketahui musuh, pastilah akan
sangat susah untuk melarikan diri. Ia harus bertempur matimatian untuk membebaskan teman-temannya yang terjebak
oleh siasat keji musuh.
"He Suang Fu!" panggil Jien Jing Hui.
"Siap, nona Jien!" jawab dua kembar itu bersamaan.
"Malam ini mungkin adalah malam pertarungan kita
yang terakhir. Meskipun demikian, kita harus tetap
membalaskan dendam teman-teman kita dan menegakkan
kembali Tien Lung Men. Siapapun di antara kita nanti yang
masih hidup, ia harus berjuang untuk menegakkan kembali
kejayaan partai kita!" kata Jien Jing Hui berpesan.- 301 "Kami mengerti nona Jien. Jayalah partai Tien Lung
Men!" teriak kedua kapak kembar itu dengan bersemangat
sekali.
"Baiklah, sekarang kita akan pergi bertarung
membantu teman-teman kita. Berangkat!" kata Jien Jing Hui
memberikan perintah.
Jien Jing Hui melesat dengan seluruh kekuatannya
menuju tempat penginapan Huo Wang-ye yang terletak agak
jauh dari tempatnya menginap. Semakin dekat ke arah
penginapan Huo Wang-ye, ia makin jelas mendengar
teriakan peperangan dan juga kobaran api dari arah sana.
Jien Jing Hui mempercepat larinya sehingga He Suang Fu
tertinggal di belakangnya. Begitu melihat pasukan kerajaan
yang mengepung rapat penginapan Huo Wang-ye, Jien Jing
Hui langsung mencabut pedangnya. Tanpa banyak basa-basi
lagi, ia langsung maju menebas. Empat prajurit yang tidak
siap langsung tewas dengan tubuh terpotong dua!
"Pengacau! Pengacau!"
Teriakan ketakutan dan terkejut para prajurit diselingi
jerit kesakitan dan kematian segera membahana di barisan
belakang itu. Jien Jing Hui yang sudah amat geram tidak
memberi ampun sama sekali kepada para prajurit itu.
Pedangnya dengan ganas menusuk, menebas dan merobek
tulang dan daging mereka. He Suang Fu yang datang
belakangan juga menebar maut dengan kapak panjang dan
pendek milik mereka. Sebentar saja sudah lima puluh- 302 prajurit yang tumbang bermandikan darah. Benar-benar
serangan tanpa ampun dan memadkan!
Baru saja tiga pendekar Tien Lung Men itu ada di atas
angin, tiba-tiba datang sesosok aneh berbalut kain putih
menghadang mereka. Wajahnya tampak aneh karena
rambutnya yang panjang dibiarkan terurai dan matanya
tampak kosong karena tidak terdapat bola mata hitam, hanya
warna putih saja. Ia menghunus pedang yang berkilat-kilat
dan mendekati Jien Jing Hui dengan perlahan-lahan. Ia tidak
lain adalah Pai Wu Ya Cen Hui (Cen Hui si Gagak Putih)
yang telah berubah menjadi mayat hidup bernama Mu Ren
(Manusia Kayu)!
"Ketua Timur!" seru He Suang Fu.
"He Suang Fu, ia sudah bukan lagi Ketua Timur. Ia
sekarang ada dalam pengaruh kasim Huo Cin. Kalian jangan
lengah sedikitpun karena ia tidak mengenali kita sama
sekali" kata Jien Jing Hui memperingatkan.
Benar saja apa yang dikatakan Jien Jing Hui karena
Mu Ren langsung maju menyerang mereka bertiga tanpa
basa-basi lagi. Pedangnya menyerang ganas dengan jurusjurus yang telah dikenal baik oleh Jien Jing Hui yaitu jurusjurus Pedang Gagak Putih. Meskipun sudah mengenal jurusjurus itu, tanpa Jien Jing Hui tetap kesulitan menghadangnya
karena tenaga mayat hidup Mu Ren amat berbeda dengan
tenaga manusia biasa. Mu Ren terus menyerang seperti tidak
memerlukan waktu mengambil napas saja!- 303 Setiap kali pedang mereka berbenturan, bunga api
berpijaran di udara sehingga membuat kagum semua yang
hadir.
He Suang Fu juga ikut mengeroyok Mu Ren tanpa
menahan diri lagi setelah mendengar penjelasan Jien Jing
Hui. Begitupun mereka bertiga masih kerepotan
menghadapi serangan-serangan maut Mu Ren yang ganas
dan kejam. Beberapa kali pedang Mu Ren nyaris menusuk
tubuh mereka tapi untunglah gabungan pertahanan mereka
cukup baik sehingga bisa saling menolong.
Setelah lewat seratus jurus, Jien Jing Hui mulai
melihat kelemahan Mu Ren. Tenaga Mu Ren memang
menjadi luar biasa karena pengaruh racun obat yang
dicekokkan oleh Guo Cing Cen, tapi hal itu juga
membuatnya tidak bisa berpikir. Mu Ren hanya bertindak
dan menyerang musuhnya dengan ganas tapi dengan jurusjurus yang hampir selalu berulang. Ia memang seperti mayat
hidup yang hanya bertindak sesuai perintah. Jien Jing Hui
bermaksud menggunakan kelemahan ini sebagai celah
untuk mengalahkan Mu Ren.
"He Suang Fu! Kalian hadapi dia terus dari depan,
aku akan mencoba menyelinap ke belakangnya!" perintah
Jien Jing Hui.
"Baik!" sahut kembar He Suang Fu. Pertarungan
kembali berjalan dengan seru sekali tapi kali ini Mu Ren
yang terdesak hebat. He Ta Fu menyerang dari kanan- 304 dengan kapak panjangnya sementara He Siao Fu dari kiri
dengan kapak pendek kembarnya. Jien Jing Hui sendiri
menyerang dari bagian belakang mencoba mencari
kelemahan lawan. Ternyata perkiraan Jien Jing Hui tepat
sekali karena setelah lewat dua puluh, Mu Ren terlihat mulai


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkurung hebat dan hanya bisa bertahan saja. Bahkan
beberapa kali punggungnya tersabet pedang Jien Jing Hui
namun anehnya tidak mengeluarkan darah sama sekali.
Akhirnya jurus pedang Tien Lung Cien berhasil
melukai Mu Ren dengan telak setelah dua puluh jurus.
Sebuah tusukan Jien Jing Hui mengenai lutut kanan
belakang Mu Ren dan membuatnya kehilangan
keseimbangan. Fle Suang Fu yang menyerang bersamaan
dari depan membuat Mu Ren terpaksa menggunakan kedua
tangannya untuk menahan serangan. Kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh Jien Jing Hui untuk mengakhiri
pertarungan.
"Paman Cen, maafkan aku! Tenanglah di alam sana!"
teriak disambut dengan bacokan kapak kembar di
punggungnya. Jerit kematian mengiringi robohnya sosok
Liu Teng itu ke tanah. Jien Jing Hui dan He Suang Fu
semakin bersemangat menyerang maju ke dalam untuk
menyelamatkan teman-teman mereka. Tapi sesosok
bayangan berjubah putih meluncur turun dari atas atap
menghadang langkah mereka.- 305 "Kau kasim gila! Akhirnya aku bisa berhadapan
denganmu!" bentak Jien Jing Hui ketika melihat
penghadangnya tidak lain adalah kasim Huo Cin.
"Hihihi, aku senang kau juga datang. Aku tidak perlu
repot-repot mencarimu. Malam ini akan kutuntaskan
semua" kata kasim Huo Cin dengan nada mengancam.
"Baik! He Suang Fu, kalian masuk dulu ke dalam.
Biar aku balaskan dendam Tien Lung Men kepada kasim
kebiri ini!" kata Jien Jing Hui dengan gagah.
"Baik!" kata He Suang Fu sambil segera berlari
masuk menolong teman-teman mereka.
Kini tinggal Jien Jing Hui dan kasim Huo Cin berdiri
berhadap-hadapan di halaman depan penginapan yang
terbakar. Hujan masih terus turun dengan derasnya sehingga
menimbulkan perpaduan hawa dingin dan panas yang
menyesakkan. Satu-satunya orang yang menyaksikan
pertarungan Jien Jing Hui dengan Huo Cin hanyalah Ma Xia
yang tergeletak lemah di pinggir tembok. Ia melihat
pertarungan itu dengan cemas karena sadar kemampuan
ilmu pedang kasim Huo Cin masih di atas Jien Jing Hui.
Tapi mengapa Jien Jing Hui terlihat begitu yakin dalam
pertarungannya kali ini? Apakah dendam telah membutakan
hatinya sehingga ia nekad bertarung dengan kasim Huo Cin?
Hawa membunuh yang berkobar-kobar dari dalam
diri Jien Jing Hui sampai membuat pedang yang mereka
genggam bergetar dengan keras. Ilmu Tien Lung Cien yang- 306 berasal dari ilmu Tien Lung Ta Fa milik Jien Wei Cen
sebenarnya amat hebat, hanya saja dulu Jien Jing Hui tidak
tekun berlatih dan mendalaminya. Apakah sekarang setelah
Tien Lung Men runtuh semuanya telah berubah? Jien Jing
Hui harus membuktikannya dalam pertarungan yang amat
menentukan malam ini.
Kasim Huo Cin juga tidak kalah ganas dalam
menghentakkan hawa membunuhnya. Wajahnya yang
biasanya berbedak tebal kini mulai luntur oleh derasnya air
hujan sehingga terlihat wajah aslinya. Wajah asli Huo Cin
sebenarnya cukup tampan, tapi sayang matanya
memancarkan kekejaman dan bibirnya menyunggingkan
kesinisan. Apalagi kali ini yang berdiri di hadapannya
adalah musuh besar yang harus dibasminya. Matanya
menjadi semakin sipit dan penuh dengan kebencian melihat
Jien Jing Hui.
Mereka berdua bergerak menyerang pada saat yang
hampir bersamaan. Pedang Penakluk Iblis memiliki 72
perubahan jurus, yang mengagumkan sementara Pedang
Naga Langit menekankan pada sifatnya yang perkasa dan
mengatasi segala hambatan. Ibarat keras melawan lunak,
yang melawan yin, kedua jurus pedang kelas tinggi itu
berbenturan meledak di udara memuncratkan pijaran bungabunga api. Ma Xia yang menjadi saksi hanya bisa
tercengang melihat kehebatan dua ilmu pedang itu.
Jurus pertama berakhir imbang, langsung disusul
dengan jurus kedua. Jien Jing Hui yang berusaha menekan- 307 lawan terlebih dulu agar kasim Huo Cin tidak sempat
mengembangkan jurus pedangnya. Serangan Jien Jing Hui
sambil melompat dan menusukkan pedang ke dada lawan itu
meluncur bagaikan kilat menyambar. Tirai rintik hujan
bagaikan disibakkan karena begitu cepatnya gerakan Jien
Jing Hui. Inilah jurus Tien Lung Cie (Naga Langit
Menyambar) dalam penggunaan pedang. Kasim Huo Cin
begitu kaget menerima serangan kilat ini sehingga tidak
sempat bertahan. Ia hanya bisa memiringkan dan membuang
tubuhnya ke samping. Begitupun bajunya masih robek
karena terserempet pedang lawan.
"Kurang ajar!" maki kasim Huo Cin yang merasa
dipermalukan.
Jien Jing Hui tidak berniat memberikan kesempatan
kepada Huo Cin sama sekali. Ia harus terus menyerang
karena memang itulah satu-satunya kesempatan untuk
menang. Bila ia berhenti sejenak saja, maka dapat dipastikan
jurus-jurus Pedang Penakluk Iblis yang penuh dengan
perubahan akan segera menekan dirinya. Tidak heran begitu
serangan Tien Lung Cie gagal mengenai sasaran, Jien Jing
Hui langsung menjejakkan kakinya berbalik menyerang
kembali. Kasim Huo Cin benar-benar dibuat harus bertahan
total dengan serangan tanpa henti seperti ini!
Sementara Jien Jing Hui masih bertarung dengan
kasim Huo Cin, He Suang Fu sudah menerobos masuk ke
dalam. Pertempuran di dalam juga sudah berat sebelah
karena teman-teman mereka sudah banyak yang terluka.- 308 Wongguo Luo yang dikeroyok Fan Zheng dan empat Liu
Teng sudah kehabisan napas dan akal. Ia hanya bisa
bertahan terus terhadap serangan tenaga tidak tampak Fan
Zheng. Beberapa kali tubuhnya terlempar seperti kapas
tertiup angin karena jurus Wu Di Mi Jie Sen Kung. Darah
mulai mengalir dari bibir pendekar utara ini. Untunglah saat
itu He Suang Fu menerobos masuk dan langsung berhasil
menumbangkan seorang Liu Teng yang tidak siap. Tubuh
Liu Teng malang itu tertebas kapak panjang He Ta Fu dan
langsung roboh tidak bangun lagi.
"Berhenti!" seru Fan Zheng sambil mengerahkan
ilmunya. Tubuh He Ta Fu dan He Siao Fu seolah
mengambang di udara karena tertahan tenaga tidak tampak
Fan Zheng. Sejenak kemudian mereka berdua dihempaskan
hingga menembus tembok penginapan oleh kekuatan tenaga
Fan Zheng. Malang nasib He Suang Fu karena harus
menerima pukulan Wu Di Mi Jie Sen Kung dengan telak
sekali. Mereka berdua langsung memuntahkan darah segar
karena terluka dalam cukup parah.
Wongguo Luo tidak membuang kesempatan berharga
ini. Ia langsung melompat maju dan menghajar punggung
tiga orang Liu Teng yang tersisa. Karena perhatian mereka
sedang tertuju pada He Suang Fu, ketiga Liu Teng ini tidak
dapat bertahan sama sekali. Hawa dingin Han Ping Teng
Cang (Tapak Sedingin Es) langsung merasuk dan
membekukan bagian dalam punggung dan dada mereka.- 309 Tiga Liu Teng itu roboh sambil memuntahkan darah
menyusul tiga teman mereka ke akhirat!
Wongguo Luo tidak berhenti menyerang dan kali ini
sasarannya adalah Fan Zheng. Tapaknya yang penuh dengan
kekuatan hawa dingin dihentakkan ke dada lawan dengan
sekuat tenaga. Beruntung Fan Zheng sudah cukup bersiap
karena kematian tiga Liu Teng sebelumnya sehingga bisa
menahan serangan dengan kedua telapaknya. Benturan dua
tenaga dalam luar biasa berbeda jenis langsung
mengguncangkan lantai penginapan yang terbuat dari batu
gunung. Ledakan keras juga meledakkan udara dan
membuat butiran hujan bagaikan anak panah yang
ditembakkan kemana-mana. Benar-benar pertarungan
tenaga yang luar biasa!
Wongguo Luo kali ini terus berusaha menekan Fan
Zheng karena sadar bahwa kesempatan bisa bersentuhan
dengan guru negara Nela itu tidak banyak. Ilmu Wu Di Mi
Jie Sen Kung yang amat aneh mampu membuat Fan Zheng
bagaikan tidak tersentuh saja. Dalam pertarungan
sebelumnya, Wongguo Luo sama sekali tidak mampu
menyentuh lawannya. Karena itu Wongguo Luo bertekad
keras memenangkan pertarungan tenaga dalam ini sebagai
pertaruhannya yang terakhir. Seluruh tenaga inti Han Ping
Leng Cang dikerahkannya mendesak lawan hingga
membuat kedua tangan Fan Zheng membeku!
Rasa sakit akibat hawa dingin membekukan tulang
mulai menjalar di lengan Fan Zheng. Ilmu tenaga dalam Fan- 310 Zheng memang tidak terlalu kuat karena selama ini Wu Di
Mi Jie Sen I Kung lebih menekankan pada kekuatan pikiran.
Tidak heran jika saat beradu tenaga dengan Wongguo Luo,
ia terdesak hebat. Apalagi tenaga hawa dingin Wongguo
Luo sekali merasuk akan sangat sukar diusir keluar. Fan
Zheng dapat merasakan lengannya mati rasa ketika tenaga
Han Ping Leng Cang mulai menjalar dalam tubuhnya.
Wongguo Luo melihat lawan mulai melemah, terus
menguatkan desakan tenaganya. Akhirnya dengan satu
sentakan keras, telapak Wongguo Luo berhasil mendorong
tubuh Fan Zheng beberapa langkah ke belakang. Fan Zheng
memuntahkan darah segar ketika tubuhnya terluka dalam
akibat serangan tenaga dalam Wongguo Luo. Tapi belum
lagi ia mengatur pernapasannya, serangan telapak dingin
sudah kembali menghajar dadanya. Fan Zheng terlempar
dua tombak ke belakang dengan dada membeku. Ia jatuh dan
kembali memuntahkan darah segar. Luka dalamnya amat
parah sehingga ia tidak bisa langsung bangkit. He Ta Fu
yang melihat kesempatan baik ini langsung melompat
menjatuhkan diri dan menetakkan kapak panjangnya ke
leher Fan Zheng. Tanpa sempat mengeluh lagi, kepala guru
negara Nela itu terpisah dari tubuhnya!
Wongguo Luo jatuh berlutut kehabisan tenaga. Ia
mengatur napasnya dulu setelah pertarungan yang amat
melelahkan barusan. Sedangkan He Ta Fu dan He Siao Fu
sudah berusaha bangkit berdiri meskipun luka dalam mereka
cukup parah. Mereka bertiga sama-sama secepat mungkin- 311 memulihkan luka dalam masing-masing agar bisa segera
membantu teman-teman mereka. Apalagi pertempuran yang
terjadi semakin menunjukkan kemenangan bagi pihak
lawan.
Wen Fang yang bertarung dengan Yao Hao Yin sudah
benar-benar di atas angin. Nenek tua yang sebenarnya masih
lihai itu dibuatnya tidak berdaya sama sekali. Tinju dan
tendangannya terus masuk telak ke tubuh lawan sampai
akhirnya tenaga pertahanan Jien San Sen Kung hancur juga.
Yao Hao Yin memuntahkan darah segar dan ambruk ke
tanah yang becek karena hujan deras. Napas Yao Hao Yin
tersengal-sengal karena luka dalam yang dideritanya. Empat
nona Yao juga tidak dapat membantunya karena sedang
berhadapan dengan Jing Ying dan Pu Cui. Jika saja Wen
Fang berniat membunuhnya sekarang maka hal itu akan
mudah sekali.
Tapi tampaknya Wen Fang tidak berniat membunuh
Yao Hao Yin. Ia memilih meninggalkan nenek tua itu dalam
keadaan terluka parah dan masuk ke dalam penginapan yang
terbakar hebat. Saat itu pasukan kerajaan tengah mengepung
rapat Huo Wang-ye yang terdesak di sudut ruangan. Anak
buah Huo Wang-ye hanya tinggal tiga orang saja. Itupun
semuanya sudah terluka parah penuh bacokan senjata tajam.
Mereka tampaknya hanya tinggal menunggu nasib saja.
"Pengkhianat! Menyerahlah dan kau akan mati
dengan tubuh utuh!" bentak Wen Fang kepada Huo Wangye.- 312 "Huh! Kaulah yang pengkhianat! Aku anggota
keluarga kerajaan tidak akan pernah menyerah kepada
begundal sepertimu!" bentak Huo Wang-ye tidak kalah
garang.
"Baik, kau sendiri yang memilih jalan kematianmu!
Prajurit, bunuh mereka semua!" perintah Wen Fang.
Para prajurit tombak dan golok langsung menyerbu
Huo Wang-ye yang sudah terpojok itu. Tiga pengawal
terakhir langsung menjadi sasaran tusukan tombak dan
tebasan golok hingga ambruk tidak bernyawa lagi. Sekarang
tinggal Huo Wang-ye sendirian terpojok di sudut ruangan
yang sudah terbakar.
Apakah hanya sampai di sini saja perjuangan Huo
Wang-ye dalam mengenyahkan para pengkhianat?
Tepat di saat para prajurit itu sudah yakin sekali bisa
membunuh Huo Wang-ye, tiba-tiba saja sasaran mereka itu
menghilang dari pandangan. Hanya Wen Fang yang berilmu
tinggi yang masih sanggup melacak gerakan Huo Wang-ye.
Beberapa prajurit terpental dan tewas tanpa tahu apa yang
telah menghajar mereka, tapi Wen Fang tahu. Ia begitu kaget
ketika melihat bahwa Huo Wang-ye juga mampu
menggunakan ilmu Tien Lung Ta Fa!
"Berhenti! Darimana kau curi ilmu Tien Lung Ta
Fa?!" teriak Wen Fang.- 313 "Huh! Maling teriak maling! Kau sendiri malah
membunuh Jien Pang-cu setelah menikahi putrinya. Itukah
yang kau sebut tidak mencuri?!" ejek Huo Wang-ye sambil
terus menghajar para prajurit yang mengepungnya.
"Kurang ajar! Berani sekali kau! Prajurit, kalian
semua minggir! Dia adalah bagianku!" perintah Wen Fang
dengan marah sekali karena ejekan Huo Wang-ye benarbenar mengenai harga dirinya.
"Hari ini aku akan membalaskan dendam Jien Pangcu. Bersiaplah kau pengkhianat!" sergah Huo Wang-ye
bersiap dengan kuda-kudanya.
"Kau yang selalu menghasut Tien Lung Men agar
berpaling menentang kerajaan Tang. Kaulah pengkhianat
itu" tantang Wen Fang.
Dua orang berbeda generasi dan kedudukan itu kini
saling berhadapan dengan penuh permusuhan. Wajah
mereka sama-sama mengeras karena kemarahan. Wen Fang
selama ini menganggap Huo Wang-ye adalah orang yang
mempengaruhi Jien Wei Cen sehingga menentang kerajaan.


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebaliknya Huo Wang-ye menganggap Wen Fang seorang
manusia rendah karena berkhianat terhadap partai dan
mertuanya sendiri. Masing-masing punya pemahaman yang
tidak bisa disatukan lagi. Pertarungan adalah satu-satunya
cara untuk menentukan siapa yang menang siapa yang
kalah.- 314 Tapi darimanakah sebenarnya ilmu Tien Lung Ta Fa
yang dimiliki oleh Huo Wang-ye? Ternyata saat Jien Wei
Cen sekarat dalam perahu dan membacakan jurus-jurus Tien
Lung Ta Fa kepada Jien Jing Hui, diam-diam Huo Wang-ye
juga menghapalkannya dalam hati. Sesudah itu ia sering
berlatih diam-diam dan menyempurnakan ilmunya dengan
dasar ilmu yang selama ini diajarkan oleh Xiahou Yuan.
Kecerdasan dan kemampuan Huo Wang-ye membuatnya
mampu menguasai sebagian besar Tien Lung Ta Fa tingkat
25 hanya dalam waktu kurang dari satu tahun. Sekarang ia
harus berhadapan dengan Wen Fang yang menguasai tingkat
28 dengan matang. Sanggupkah ia menghadapinya? Huo
Wang-ye akan segera mengetahui jawaban itu dengan
bertarung dengan Wen Fang.
Serangan pertama dilancarkan oleh Huo Wang-ye
dengan tinju dan tendangan beruntun. Keadaan yang
terdesak memaksanya untuk mengambil langkah
penyerangan terlebih dulu. Tapi Wen Fang yang dilatih
sendiri oleh Jien Wei Cen mempunyai pemahaman yang
amat baik tentang jurus-jurus Tien Lung Ta Fa. Ia sudah
berlatih belasan tahun dan mengetahui kelemahan ataupun
kelebihan setiap jurus. Gerakan Huo Wang-ye berhasil
dihindari dengan mudah oleh Wen Fang.
Serangan pertama gagal, Huo Wang-ye langsung
berputar menyerang dengan tendangan ganda. Inilah jurus Ji
Lung Cui Tien (Kekuatan Naga Mengejar Langit) salah satu
dari jurus tendangan maut Tien Lung Ta Fa. Batu karang- 315 saja hancur oleh kekuatan jurus tendangan ini, sehingga
Wen Fang tidak berniat untuk menghadapinya. Ia kembali
berkelit dengan lincah dan membiarkan tendangan lawan
menghancurkan lantai dan meledakkannya menjadi debu
dan pasir.
Huo Wang-ye tidak berhenti mengejar Wen Fang. Ia
terus menendang dengan kekuatan penuh sehingga
bangunan penginapan itu roboh di beberapa tempat. Para
prajurit yang ketakutan melihat robohnya bangunan segera
melarikan diri ke tempat yang aman. Wen Fang melihat
keadaan semakin berbahaya juga berusaha menerobos
keluar tapi Huo Wang-ye tidak membiarkannya. Ia terus
menyerang dan memotong semua jalan mundur Wen Fang
sehingga tidak bisa menghindar lagi.
"Terimalah ini!" teriak Huo Wang-ye sambil
menendang sekuat tenaga.
Kedua kaki Huo Wang-ye yang menghentak dengan
tenaga penuh terpaksa diterima dengan pertahanan kedua
lengan Wen Fang. Benturan dua tenaga Tien Lung Ta Fa ini
meledakkan udara di sekitarnya, termasuk melemparkan
sisa-sisa bangunan penginapan yang roboh. Huo Wang-ye
terlempar dua tombak ke belakang sementara Wen Fang
hanya terseret mundur tiga langkah. Hasil ini sudah jelas
menunjukkan tenaga dalam Wen Fang masih dua tingkat di
atas Huo Wang-ye.- 316 Tapi Huo Wang-ye tidak mau menyerah begitu saja.
Ia kembali menyerang dengan jurus yang sama dengan
harapan kuda-kuda Wen Fang yang belum kokoh akan bisa
ia goyahkan. Tanpa menarik napas sama sekali Huo Wangye kembali melesat menghajar dengan tendangan ganda.
Wen Fang yang sudah amat berpengalaman dalam jurusjurus Tien Lung Ta Fa memilih tidak menghadapi langsung
jurus perkasa ini. Ia merebahkan dirinya di lantai sehingga
tendangan Huo Wang-ye Y lolos di atas tubuhnya. Tepat
saat itu, Wen Fang mengerahkan jurus tendangan berantai
ke atas, Pai Lung Cie Tien (Naga k Putih Menjemput Surga).
Kasihan sekali Huo Wang-ye yang terpaksa
menerima tendangan beruntun ini dengan telak sekali.
Mungkin sekitar sepuluh tendangan beruntun menghajar
punggung Huo Wang-ye hingga ia terpental menembus
langit-langit dan terlempar keluar ke halaman depan. Luka
dalam yang diderita Huo Wang-ye sudah dapat dipastikan
parah sekali karena setelah terhajar telak ia masih terbanting
keras ke tanah. Darah segar menetes dari mulut dan hidung
Huo Wang-ye. Meskipun dapat segera bangkit, tapi terlihat
jelas bahwa tubuh Huo Wang-ye limbung. Wen Fang
menang telak dalam adu jurus Tien Lung Ta Fa kali ini!
Pertarungan di tempat lain antara Wen Yang dan
Xiahou Yuan berjalan cukup seimbang. Ilmu Roda Emas
milik Xiahou Yuan memang unik dan sukar untuk dicari
tandingannya. Gerakannya yang melingkar dan mengurung
lawan membuat Wen Yang agak kesulitan mengembangkan- 317 jurus Wu Sheng Chuen (Tinju Lima Hewan). Roda Emas di
tangan Xiahou Yuan berubah menjadi senjata yang mampu
membuat Wen Yang tidak bisa melepaskan diri. Selalu saja
ada bagian tubuhnya yang masuk dalam lingkaran Roda
Emas. Wen Yang merasa geram sekali karena seratus jurus
sudah berlalu tapi ia masih saja tidak bisa mengalahkan
Larung Karya Ayu Utami Lima Sekawan 06 Petualangan Di Kapal Pesiar Sherlock Holmes - Wajah Kuning

Cari Blog Ini