Ceritasilat Novel Online

Rimba Persilatan Naga Harimau 29

Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 29


Xiahou Yuan.
Akhirnya sambil berteriak marah, Wen Yang
melompat tinggi dengan satu tangan masih masuk dalam
jerat lingkaran Roda Emas. Wen Yang menjadikan
tangannya yang terjerat sebagai pijakan dan langsung
melontarkan jurus Hong Lung Diao (Naga Merah Menari).
Keistimewaan tendangan ini adalah mampu menendang
hingga lima belas kali tendangan tanpa putus dalam satu
tarikan napas. Tampaknya Wen Yang sama sekali tidak
ingin memberikan kesempatan bagi Xiahou Yuan untuk
menahan jurus mautnya ini. Dua tangan Xiahou Yuan masih
memegang erat Roda Emas sehingga sulit untuk bertahan
hanya dengan menghindar. Xiahou Yuan terpaksa
melepaskan jerat Roda Emasnya demi menangkis lima belas
tendangan maut Wen Yang.
"Bukkkkk!!"
Tiga tendangan telak tidak berhasil ditangkis Xiahou
Yuan. Perutnya terasa terbalik merasakan tendangan penuh
tenaga dari Wen Yang. Ia terhuyung-huyung mundur sambil
berusaha mengatur napas. Wen Yang yang berada di atas
angin tidak mau melepaskan Xiahou Yuan begitu saja. Ia- 318 langsung melompat ke atas dengan gerakan selincah macan
tutul. Dua cakarnya dihunjamkan ke dada lawan. Beruntung
sekali Xiahou Yuan masih sempat mundur sehingga hanya
bajunya saja yang robek. Lengah sedikit saja maka
jantungnya yang akan robek oleh jurus Hei Pao Ba Sin
(Macan Kumbang Mencabut Jantung).
Xiahou Yuan sadar kemampuan Wen Yang dengan
Wu Sheng Chuen bukan sembarangan. la langsung mundur
tiga langkah dan memutar Roda Emas dengan gerakan
memutar. Inilah persiapan jurus maut dari Xiahou Yuan,
jurus Jien Lun Beng Tien (Ribuan Roda Menghantam
Langit). Desiran hawa panas tenaga Xiahou Yuan segera
membuat Wen Yang bersiaga. Nalurinya mengatakan jurus
yang akan dikerahkan Xiahou Yuan ini adalah jurus maut.
Tebakan Wen Yang tidak salah karena sebentar kemudian.
Roda Emas di tangan Xiahou Yuan berubah menjadi
bayangan ratusan roda yang menyerang dirinya!
Jurus Jien Lun Beng Tien adalah jurus andalan
Xiahou Yuan. Puluhan tahun yang lalu, Xiahou Yuan
menggemparkan dunia persilatan dengan jurus mautnya ini.
Bahkan karena kehebatannya itulah, mendiang kaisar
sebelumnya mengangkatnya sebagai salah satu San Ta
Wang Pao (Tiga Besar Pengawal Kerajaan). Meskipun
kemudian Xiahou Yuan menarik diri dari dunia persilatan,
tapi jurusnya ini tetap melegenda hingga sekarang.
Sanggupkah Wen Yang menangkal serangan roda maut ini?- 319 Wen Yang melompat mundur ke belakang tapi
kepungan roda semakin rapat. Hawa di sekitarnya menjadi
terasa sesak karena kuatnya angin pusaran Roda Emas.
Tampaknya semua jalan mundur sudah dikepung oleh
Xiahou Yuan. Satu-satunya cara bagi Wen Yang untuk
dapat selamat adalah dengan mencoba memecahkan
serangan lawan. Ia mengerahkan seluruh tenaga ke kedua
lengannya bersiap dengan jurus keras dari Wu Sheng Chuen,
jurus Tie Sou Cing Lung (Naga Emas Bertangan Besi)!
Jurus Tie Sou Cing Lung sebenarnya adalah jurus
yang mengambil sifat tenaga hawa pelindung mirip dengan
Cing Saat itu Xiahou Yuan sepintas melihat Huo Wang-ye
yang tengah bertarung dengan Wen Fang. Kabut asap akibat
kebakaran dan hujan deras yang terus turun membuat
pandangan sedikit berkurang tapi Xiahou Yuan dapat
melihat jelas bahwa Huo Wang-ye benar-benar kewalahan
menghadapi Wen Fang. Terpaksa Xiahou Yuan melupakan
sejenak Wen Yang dan memilih untuk menolong muridnya
itu. Roda Emas dilemparkannya dengan penuh tenaga dan
berdesing nyaring menyambar ke arah Wen Fang. Mau tak
mau Wen Fang harus mundur untuk menghindari serangan
Roda Emas. Huo Wang-ye untuk sementara dapat bernapas
lega.
"Ayah seorang begundal, anak seorang pengkhianat!"
maki Xiahou Yuan.- 320 "Kurang ajar! Kau pikir kau menjadi pengawal kaisar
sudah merasa hebat? Aku akan membuktikan bahwa kau
sebenarnya tidak ada apa-apanya!" teriak Wen Fang dengan
marah.
"Baik! Aku ingin tahu sampai di mana kau curi ilmu
Jien Wei Cen! Majulah!" tantang Xiahou Yuan.
Kali ini pertarungan kembali terjadi antara Wen Fang
dan Xiahou Yuan. Ilmu Tien Lung Ta Fa memang luar biasa,
sehingga meskipun Wen Fang hanya mencapai tingkat 28
saja, ia sudah mampu membuat repot Xiahou Yuan.
Lagipula cara bertarung Wen Fang lebih hati-hati
dibandingkan dengan Wen Yang, ayahnya sehingga celahcelah yang bisa dimanfaatkan Xiahou Yuan tidak banyak.
Dua puluh jurus berlalu dengan cepat karena kedua
pihak sama-sama ingin cepat menyelesaikan pertarungan.
Ilmu Tien Lung Ta Fa adalah ilmu yang perkasa. Setiap
jurus selalu berusaha merebut posisi lawan dan
mengutamakan tenaga keras. Wen Fang yang diajar sendiri
oleh Jien Wei Cen mengetahui benar bahwa untuk
menghadapi Roda Emas yang bergerak cepat, maka ia harus
menerapkan siasat menekan kuda-kuda lawan. Wen Fang
langsung mengincar kedua kaki lawan terus-menerus
sehingga Xiahou Yuan terpaksa mundur. Serangan Roda
Emasnya menjadi agak terhambat.
Wen Fang yang melihat siasatnya berhasil mulai
menggunakan jurus-jurus maut Tien Lung Ta Fa menekan- 321 lawan. Jurus Sen Lung Yao Ti Yi (Dewa Naga
Mengguncang Neraka) yang merupakan jurus telapak
dengan ledakan tenaga dalam dihantamkan ke dada Xiahou
Yuan. Hawa panas tenaga perkasa Sen Lung Yao Ti Yi
sudah terasa mendesak dada sebelum tapaknya tiba. Xiahou
Yuan segera menyilangkan Roda Emasnya di dada untuk
melindungi diri dari serbuan lawan yang sudah tidak
mungkin dielakkan.
"Bukkk!!"
Xiahou Yuan terlempar satu tombak ke belakang
meskipun berhasil menahan tapak Wen Fang dengan Roda
Emasnya. Kedua tangannya bergetar keras menahan Roda
Emas agar tidak terlepas dari genggamannya. Ledakan
tenaga Sen Lung Yao Ti Yi benar-benar luar biasa. Jika
jurus ini mengenai sasaran maka pastilah tulang dada
Xiahou Yuan akan remuk dan hancur. Beruntung sekali
Xiahou Yuan mempunyai Roda Emas yang terbuat dari besi
baja pilihan sehingga mampu menahannya!
"Kau sungguh kejam" kata Xiahou Yuan.
"Pertarungan hanya mengenal kemenangan. Jangan
banyak bicara, kita lanjutkan pertarungan ini sampai ada
yang kalah!" teriak Wen Fang dengan penuh kemenangan.
Kembali Wen Fang maju menyerang dengan perkasa.
Tapak dan tinjunya bergantian menyerang Xiahou Yuan
dengan pergantian jurus yang begitu cepat. Serangan
semacam ini membuat Xiahou Yuan hanya bisa bertahan- 322 dan terus mundur. Usianya yang jauh di atas Wen Fang juga
membuat tenaganya lebih cepat terkuras habis. Setelah lewat
lima puluh jurus lebih, Xiahou Yuan mulai berkeringat
banyak dan tersengal-sengal. Sedangkan Wen Fang masih
tampak segar dan terus menyerang tanpa henti. Tampaknya
kekalahan sudah dnggal menunggu waktu saja.
Pada saat yang gendng itu, sesosok bayangan
berjubah hitam meluncur turun dari atas tembok dan
menendang Wen Fang dengan keras. Meskipun diserang
dengan mendadak tapi Wen Fang masih sanggup menahan
serangan lawan dengan tapaknya. Benturan tenaga dalam
yang dahsyat kembali meledak. Wen Fang terseret beberapa
langkah ke belakang, sementara orang berjubah hitam itu
terlihat baik-baik saja. Wen Fang dapat merasakan
tangannya kesemutan sehingga memutuskan berhenti
bertarung sejenak untuk memulihkan diri.
"Siapa kau?! Berani sekali kau mencampuri urusan
Huo Cin yang mendengarnya langsung memberikan
perintah pengepungan diperketat.
"Bunuh semua! Jangan sampai ada satu pun yang
lolos!" teriak kasim Huo Cin memberikan perintah dengan
suara lantang diisi dengan tenaga dalam.
"Manusia kebiri kau benar-benar kejam!" maki Jien
Jing Hui.- 323 "Kau juga akan menyusul ayahmu ke neraka!
Bersiaplah!" kata kasim Huo Cin dengan geram sekali.
Pertarungan antara Jien Jing Hui dan kasim Huo Cin
sudah berlangsung seratus lima puluh jurus lebih. Sekarang
terlihat jelas ilmu Pedang Penakluk Iblis masih di atas Tien
Lung Cien. Tubuh Jien Jing Hui terluka di beberapa tempat
oleh sabetan pedang kasim Huo Cin. Meskipun tidak sampai
terluka parah tapi darah terus menetes dari luka-lukanya.
Jika pertarungan terus dilanjutkan maka Jien Jing Hui akan
mati lemas karena kekurangan darah. Kasim Huo Cin yang
tahu dirinya sudah di atas angin, terus menekan Jien Jing
Hui sehingga keadaannya genting sekali.
Saat itu orang berjubah hitam itu turun tangan
membantu Jien Jing Hui. Gerakannya cepat sekali dengan
jurus-jurus keras yang mantap menyerang kedudukan kasim
Huo Cin. Bahkan Pedang Bulan Perak nyaris dapat direbut
oleh orang berjubah hitam itu jika saja kasim Huo Cin tidak
gesit menghindar. Kasim Huo Cin tampak kaget sekali
melihat jurus-jurus yang dimainkan orang berjubah hitam
itu. "Tuo Sing Jiao (Cakar Perenggut Hati)?! Siapa kau
sebenarnya?!" tanya kasim Huo Cin dengan heran sekali.
Orang berjubah hitam itu tidak menjawab malah terus
maju menyerang dengan ganas. Terpaksa kasim Huo Cin
melayani serangan lawan bertarung dengan sungguhsungguh. Ilmu orang berjubah hitam itu setara dengan kasim- 324 Huo Cin sehingga ia tidak bisa sembarangan saja. Bahkan
dalam beberapa kali benturan, kasim Huo Cin dapat
merasakan bahwa tenaga dalam orang berjubah hitam itu
masih sedikit berada di atasnya.
Sementara itu Wen Fang dan Wen Yang dibantu oleh
Pu Cui serta Jing Ying masih bertarung dengan pendekar
lainnya di dalam. Mereka semua sudah terluka baik luka luar
maupun luka dalam sehingga pertarungan berjalan tidak
seganas saat pertama kali berlangsung. Keadaan para
pendekar yang terkepung lebih terjepit karena Wen Yang
dan lainnya dibantu oleh puluhan prajurit kerajaan
bersenjata lengkap mengeroyok mereka. Jien Jing Hui,
Wongguo Luo, He Suang Fu, Ma Xia, Huo Wang-ye,
Xiahou Yuan, Yao Hao Yin dan empat putri Yao harus
bertahan habis-habisan dari serangan bertubi-tubi pasukan
kerajaan. Apalagi dibantu para pendekar yang juga
mengepung mereka sehingga mereka akan semakin sulit
meloloskan diri.
"Pasukan panah! Tembak!" teriak Wen Yang
memberikan perintah.
Segera dua puluh orang pasukan panah membentuk
barisan maju ke depan dengan busur terentang. Dua puluh
anak panah melesat kencang bagaikan dewa maut menyerbu
para pendekar yang terkepung di sebuah sudut tembok
penginapan yang masih berdiri. He Ta Fu yang
bersenjatakan kapak panjang langsung maju ke depan
menyambut hujan panah dengan memutar senjatanya seperti- 325 baling-baling. Anak panah berpencar kemana-mana dan
mereka semua terhindar dari maut. Tapi sayang sekali lutut
kiri He Ta Fu tertembus sebuah anak panah yang tidak
berhasil dihalaunya. He Ta Fu jatuh berlutut kesakitan
sambil memegang lutut kirinya.
"Pasukan panah! Tembak!" seru Wen Yang untuk
kedua kalinya.
Sekali lagi dua puluh anak panah melesat deras. He
Ta Fu yang sudah terluka tidak bisa bergerak bebas seperti
tadi. Gerakannya menjadi lambat sehingga dadanya
tertembus dga anak panah. Ia lalu roboh ke tanah dan tidak
bangun lagi. He Siao Fu menjerit keras ketika melihat
kematian kakak kembarnya itu. Ia melemparkan dua kapak
kecilnya kepada pasukan panah dan langsung merobohkan
dua pemanah. Tapi delapan belas pemanah yang lain segera
balik menyerangnya. He Siao Fu tidak sempat mengelak lagi
dan ia roboh dengan tubuh penuh anak panah. Kapak
kembar yang pemberani telah meninggalkan dunia ini untuk
selama-lamanya.
Pasukan panah yang berhasil membunuh He Suang
Fu kini mengalihkan sasaran mereka pada pendekar yang
lain. Para pendekar yang terkepung hanya bisa pasrah dan
menunggu datangnya anak-anak panah. Mereka berharap
dengan gabungan kekuatan, mereka bisa menghindari
serangan panah dari jarak dekat itu. Ketika busur-busur
sudah terentang dan siap dilepaskan, tiba-tiba sesosok
bayangan terbang bagaikan kilat menyerbu ke arah barisan- 326 mereka. Satu gebrakan saja dari orang itu sudah sanggup
membuat delapan belas pemanah terlempar kemana-mana.
Banyak di antara mereka yang langsung tewas sementara
yang lainnya tidak dapat berdiri karena beberapa tulang
mereka sudah patah.
"Kau bocah busuk! Kau selalu merusak rencanaku!"
bentak Wen Yang ketika melihat penyerang itu tidak lain
adalah Han Cia Sing.
"Aku akan selalu merusak rencana jahatmu" kata Han
Cia Sing tidak kalah marah melihat Wen Yang yang
dianggapnya telah mencelakai ayahnya bersama dengan
kasim Huo Cin.
Wen Yang dan Wen Fang segera maju bergabung
menyerang Han Cia Sing. Keadaan ini dimanfaatkan oleh
Huo Wang-ye dan lainnya untuk berusaha menembus
kepungan pasukan kerajaan. Pertempuran kembali pecah
dalam suasana kacau-balau. Pasukan kerajaan dibantu Pu
Cui dan Jing Ying tampaknya masih tidak cukup kuat
melawan barisan para pendekar. Mereka semua dikalahkan
dengan telak sehingga pengepungan dapat dipecahkan. Huo


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wang-ye segera berteriak agar mereka semua lari melalui
jalan belakang.
Sementara itu Jien Jing Hui yang berada di depan
langsung berlari ke belakang begitu mendengar teriakan
Huo Wang-ye. Ia langsung menebas mati beberapa prajurit
yang mencoba menghalanginya sehingga prajurit yang lain- 327 mundur ketakutan dan membiarkannya lewat. Tapi Jing
Ying yang melihat Jien Jing Hui lewat, tidak berniat
melepaskannya begitu saja. Ia segera meraih anak panah dan
bersiap membidik Jien Jing Hui yang tengah berlari
menembus kepungan itu.
Anak panah melesat dengan kencang sekali karena
diperkuat dengan tenaga dalam. Jien Jing Hui yang tengah
memusatkan perhatian kepada para prajurit yang berada di
depannya lengah oleh serangan lawan yang membokongnya
dari belakang. Anak panah Jing Ying menancap di
punggungnya hingga tembus sampai ke dada. Jien Jing Hui
berteriak kesakitan dan ambruk ke tanah karena lukanya
yang parah. Jing Ying amat senang melihat kekalahan Jien
Jing Hui itu dan langsung berteriak memerintahkan para
prajurit untuk membunuhnya.
Wen Fang yang tengah bertarung membantu ayahnya
menghadapi Han Cia Sing, amat terkejut mendengar
teriakan kesakitan Jien Jing Hui itu. Ia menjadi lebih terkejut
lagi ketika melihat Jien Jing Hui tengah bergulingan di tanah
berusaha menghindari serangan tombak para prajurit yang
mengepungnya. Tanpa berpikir dua kali, Wen Fang
langsung melompat meninggalkan ayahnya dan menolong
Jien Jing Hui. Satu tendangan Wen Fang sudah cukup untuk
melontarkan para prajurit yang mengepung Jien Jing Hui.
Segera saja Wen Fang menggendong tubuh Jien Jing Hui
dan melompat pergi melalui atap yang terbakar. Jing Ying
berteriak marah dan segera melompat menyusul Wen Fang.- 328 Wen Yang yang sudah terluka dan sendirian jelas
bukan tandingan Han Cia Sing. Kekuatannya sudah amat
melemah karena tenaganya terkuras habis dalam
pertarungan sebelumnya. Kini ia harus menghadapi Han Cia
Sing yang memiliki tenaga seolah tiada habisnya berkat Shi
Sui Yi Cin Cing (Sutra Pembersih Sumsum Penggeser Urat).
Apalagi Han Cia Sing masih amat marah setelah melihat
keadaan ayahnya yang begitu menderita akibat perbuatan
kasim Huo Cin dan Wen Yang selama ini. Serangan Han Cia
Sing yang biasanya hanya setengah-setengah, sekarang
dikeluarkan dengan sepenuh kekuatan. Sepuluh jurus sudah
cukup bagi Han Cia Sing untuk memberikan satu tinju keras
ke dada Wen Yang.
Wen Yang merasakan seluruh peredaran darahnya
seperti terbalik setelah menerima hantaman keras di
dadanya. Ia mundur sambil memuntahkan darah segar. Han
Cia Sing melihat lawan terluka malah menyerang semakin
ganas dan keras. Kedua pundak Wen Yang dicengkeramnya
dengan keras sekali sampai remuk. Wen Yang berteriak
kesakitan tapi tidak sanggup berbuat apa-apa lagi. Ia hanya
bisa pasrah ketika Han Cia Sing melompat dan
menghunjamkan tapaknya ke kepalanya. Suara tulang
tengkorak remuk mengakhiri petualangan Wen Yang
selama puluhan tahun mengacaukan dunia persilatan. Ia
roboh dengan kepala pecah. Han Cia Sing melihat kematian
Wen Yang dengan perasaan campur-aduk.- 329 "Paman Lu, aku sudah membalaskan dendam
Shaolin" bisik Han Cia Sing kepada dirinya sendiri.
Pu Cui dan para prajurit pengepung menjadi amat
gentar ketika melihat kematian Wen Yang itu. Apalagi
ketika mereka melihat kasim Huo Cin juga mulai terdesak
oleh orang berjubah hitam. Mereka semua langsung lari
tunggang-langgang meninggalkan penginapan yang
terbakar itu. Kasim
Huo Cin melihat hal ini akhirnya juga segera
mengambil langkah seribu. Ia melompat tinggi dan segera
meninggalkan tempat itu. Orang berjubah hitam itu tidak
terlihat berniat mengejar kasim Huo Cin dan
membiarkannya pergi.
"Terima kasih atas pertolongan pendekar" kata Huo
Wang-ye maju ke depan dan menjura kepada orang berjubah
hitam itu.
"Amitabha, Budha maha pengasih" kata orang
berjubah hitam itu sambil merangkapkan tangannya di
depan dada.
"Anda?! Siapakah anda?!" tanya Huo Wang-ye
terheran-heran.
"Salam hormat kepada Huo Wang-ye" kata orang
berjubah hitam itu sambil melepaskan penutup kepalanya.
"Biksu Tien Fa?!" kata Huo Wang-ye terkejut ketika
mengetahui siapa orang yang berjubah hitam itu sebenarnya.- 330 Semua pendekar yang lain juga sama terkejutnya
dengan Huo Wang-ye. Mereka tidak menyangka sama sekali
bahwa biksu Tien Fa dari Shaolin yang menolong mereka.
Saat itu, Song Wei Hao, Ma Han Jiang, Yung Lang, Lin
Tung serta Ma Pei dan Han Kuo Li yang digendong mereka
masuk ke dalam halaman depan penginapan. Kedatangan
mereka segera disambut dengan gembira oleh teman-teman
yang lainnya.
"Kami melihat para prajurit sudah melarikan diri jadi
kami berani masuk kemari membawa ayahmu" kata Ma Han
Jiang kepada Han Cia Sing.
"Yang Mulia Huo Wang-ye maafkan keterlambatan
hamba datang menolong" kata Song Wei Hao sambil
menjura kepada Huo Wang-ye.
"Jenderal Song, tidak apa-apa. Semua masih bisa
dikendalikan" kata Huo Wang-ye bijaksana.
"Yang Mulia Huo Wang-ye, kita harus secepatnya
meninggalkan tempat ini sebelum kasim Huo Cin
mengirimkan pasukan pengejar" kata Xiahou Yuan.
"Benar, kita semua harus meninggalkan tempat ini
menuju tempat yang aman. Sekarang kita kumpulkan semua
teman kita dan segera berangkat" kata Huo Wang-ye.
"Yang Mulia Huo Wang-ye, aku akan mencari
cucuku dulu dan lainnya" kata Wongguo Luo minta diri.- 331 "Oh?! Aku sampai lupa dengan lainnya. Baik segera
cari mereka dan kita pergi dari sini" kata Huo Wang-ye.
"Paman Wongguo, di manakah kakakku?" tanya Han
Cia Sing setelah melihat Han Cia Pao tidak ada bersama
dengan mereka.
"Ia... ia ada di belakang" jawab Wongguo Luo tidak
tega.
"Paman Wongguo, kalau begitu aku ikut bersamamu
ke belakang. Kakak Pao harus mendengar kabar gembira ini
kalau ayah masih hidup" kata Han Cia Sing.
"Ehm, baiklah" kata Wongguo Luo dengan tidak enak
karena tidak dapat menyampaikan kabar buruk tentang Han
Cia Pao.
Han Cia Sing, Song Wei Hao dan Ma Han Jiang
belum mengetahui kabar kematian Han Cia Pao. Entah
bagaimana perasaan mereka jika mengetahui kabar ini.
Apalagi bagi Han Kuo Li yang tubuhnya masih amat lemah
itu. Wongguo Luo hanya bisa menghela napas panjang dan
segera berlalu dari tempat itu diikuti Han Cia Sing.
"Kalian berhasil menyelamatkan tuan Ma Pei tampak
nya. Lalu siapakah orang ini?!" tanya Huo Wang-ye sambil
menunjuk kepada Han Kuo Li yang tergolek lemah dalam
gendongan Yung Lang.
"Lapor Yang Mulia, ia adalah Jenderal Empat
Gerbang, Han Kuo Li" jawab Song Wei Hao.- 332 Terdengar seruan kaget dari Huo Wang-ye dan juga
lainnya ketika mendengar jawaban Song Wei Hao ini.
Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Han Kuo Li
masih hidup setelah dikabarkan tewas di kuil Kedamaian
Abadi. Tapi kini saat kebangkitan Han Kuo Li dari
kematian, justru putranya Han Cia Pao yang mati dengan
mengenaskan. Huo Wang-ye hanya bisa menghela napas
panjang sehingga membuat Song Wei Hao terheran-heran.
"Yang Mulia, apakah ada sesuatu yang membuat
Yang Mulia bersedih?" tanya Song Wei Hao.
"Jenderal Song, aku pasti akan menceritakannya
kepadamu. Tapi kita harus meninggalkan tempat ini dulu"
jawab Huo Wang-ye.
"Baik, Yang Mulia" kata Song Wei Hao.
"Amitabha, akhirnya kejahatan mendapatkan
balasannya" kata biksu Tien Fa sambil memandangi mayat
Wen Yang yang tergeletak di halaman.
"Benar, biksu Tien Fa. Kejahatan memang tidak akan
pernah berakhir baik" kata Xiahou Yuan membenarkan.
Biksu Tien Fa membungkuk dan merogoh pakaian
Wen Yang. Ia menarik keluar sebuah buku yang sudah
berwarna kuning dan lusuh. Sampul buku itu berwarna biru
tua dengan tulisan "Wu Sheng Chuen". Biksu Tien Fa
memegang buku itu seolah-olah merupakan sesuatu yang
amat berharga dan memasukkan ke dalam bajunya.- 333 "Biksu Cen Ren sudah bisa beristirahat dengan tenang
sekarang. Budha maha pengasih" kata biksu Tien Fa dengan
terharu sekali.
Sementara itu Lin Tung yang tengah menggendong
Ma Pei mendekati Ma Xia yang bersandar di tembok. Ia
heran melihat wajah Ma Xia yang pucat dan tubuhnya
gemetar.
"A Xia, kau tidak apa-apa?" tanya Lin Tung.
"Ah, tidak apa-apa. Lin Tung, terima kasih telah
menyelamatkan ayahku" kata Ma Xia sambil berusaha
bangkit berdiri.
"Sebenarnya Cia Sing yang mengalahkan Tiga
Penguasa Tebing Setan. Aku dan Yung Lang hanya
menghadapi para prajurit" kata Lin Tung merendah.
"Ayah, dia masih pingsan" kata Ma Xia sambil
menyentuh wajah Ma Pei yang babak belur.
"Benar, keadaannya cukup parah. Kita harus segera
membawanya kepada tabib Liu Cen Beng untuk diobati"
kata Lin Tung.
"Benar, ayah harus segera diobati" kata Ma Xia
dengan lemah.
"Mari kubantu kau berdiri" kata Lin Tung menarik
kedua tangan Ma Xia dan membantunya bangkit berdiri.
"Terima kasih, Lin Tung" kata Ma Xia.- 334 "Tampaknya kau juga bertarung habis-habisan
sampai kehabisan tenaga. Apakah kau masih cukup kuat
berjalan?" tanya Lin Tung yang dijawab dengan anggukan
lemah oleh Ma Xia.
"Baiklah, kita segera pergi dari sini" kata Lin Tung.
Mereka segera bergabung dengan rombongan Huo Wang-ye
dan bersiap pergi meninggalkan penginapan itu. Puingpuing yang berserakan di mana-man serta asap sisa
kebakaran mewarnai munculnya matahari pagi di ufuk
timur. Bau darah dan kematian tercium amat pekat di udara.
Keadaan ini membuat Lin Tung tidak memperhatikan bekas
darah yang menempel di tembok tempat Ma Xia bersandar
tadi. Bekas darah yang cukup banyak itu berasal dari
punggung Ma Xia.- 335 59. Jika Langit Berperasaan, Langit pun Akan
Menjadi Tua
Kasim Huo Cin kembali ke istana dengan wajah
marah dan uring-uringan. Semua rencananya yang telah
disusun rapi gagal total bahkan ia harus kehilangan nyawa
adiknya Wen Yang. Ia berjalan dengan cepat sekali menuju
istana Permaisuri Wu dengan mata merah penuh amarah.
Tujuannya hanya satu yaitu membuat perhitungan dengan
Permaisuri Wu yang dianggap merupakan penyebab semua
hal ini.
Huo Cin menendang pintu kamar Permaisuri Wu
dengan kasar hingga terbuka. Semula ia ingin langsung
menjambak dan menampari Permaisuri Wu sebagai
pelampiasan kekesalannya, tapi ia terheran-heran ketika
tidak menemukan orang yang ia cari di sana. Malah yang
ada adalah Jenderal Teng Cuo Hui yang tengah minum arak
sendirian dengan asyik sekali. Wajah dan rambutnya yang
memutih membuat kasim Huo Cin merasa heran, apalagi
sikap Teng Cuo Hui yang tidak memperdulikannya sama
sekali.
"Teng Cuo Hui, di mana Permaisuri?" bentak kasim
Huo Cin dengan marah sekali.
"Yang Mulia Permaisuri Wu tengah berjalan-jalan di
taman istana" jawab Teng Cuo Hui dengan santai.- 336 "Kurang ajar! Siapa yang memberikan dia ijin untuk
keluar dari kamar?" tanya kasim Huo Cin.
"Aku" jawab Teng Cuo Hui singkat.
"Kau?! Apa hakmu?!" bentak kasim Huo Cin
mendengar kelancangan Teng Cuo Hui itu.
"Apa hakku?! Lalu apa hakmu?!" Teng Cuo Hui balik
bertanya.
"Kurang ajar! Kau manusia hina! Aku memungutmu
dari utara dan sekarang inilah balasanmu terhadapku?!
Pengawal, seret orang hina ini dan lemparkan keluar istana!"
perintah kasim Huo Cin dengan marah sekali.
Para pengawal tidak ada yang bergerak. Semua tetap
diam pada tempatnya masing-masing sehingga membuat
kasim Huo Cin semakin geram, la berteriak-teriak memaki
para prajurit agar menyeret Teng Cuo Hui keluar.
"Wah, wah kasim Huo jangan terlalu memaksakan
diri. Tidak baik untuk marah-marah seperti itu. Aku tidak
melakukan kesalahan apapun makanya para prajurit tidak
melakukan tindakan apa-apa. Kasim Huo Cin, tenanglah.
Aku mempunyai hadiah untukmu" kata Teng Cuo Hui masih
dengan santai.
"Apa?! Hadiah apa maksudmu?!" tanya kasim Huo
Cin yang benar-benar kehabisan akal dan heran melihat
sikap Teng Cuo Hui.- 337 Teng Cuo Hui mengangkat sebuah kotak kain
berwarna merah yang berada di dekat kakinya dan
meletakkannya di atas meja. la membuka tutup kotak itu dan
memperlihatkannya kepada kasim Huo Cin. Jantung kasim
Huo Cin seakan berhenti ketika melihat isi kotak itu yang
ternyata berisi kepala Jiang Sen!


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah! Sayangku, apa yang terjadi?!" jerit kasim Huo
Cin hampir histeris ketika melihat kepala Jiang Sen.
"Ia banyak bertingkah makanya aku bunuh dia" kata
Teng Cuo Hui dengan tetap santai dan minum arak.
"Kau... kau..." kasim Huo Cin benar-benar kehabisan
kata-kata sekarang.
"Kau manusia kebiri sudah puluhan tahun hidup
nyaman di istana. Mungkin sudah saatnya kau memberikan
tempatmu kepadaku" kata Teng Cuo Hui sambil bangkit
berdiri.
"Aku akan mencincangmu dan memberikan dagingmu pada anjing. Kau pengkhianat!" maki kasim Huo Cin.
"Aku pengkhianat?! Lalu kau sebut dirimu apa?!
Pahlawan?!" ejek Teng Cuo Hui dengan sinis.
"Kau..."
"Diam! Kau manusia kebiri sudah merencanakan
pemberontakan dengan menyekap Kaisar dan Permaisuri!
Sudah tugasku sebagai jenderal Tang untuk membunuhmu!"
bentak Teng Cuo Hui memotong kalimat Huo Cin.- 338 "Baik! Baik! Coba kau bunuh aku kalau bisa!" kata
kasim Huo Cin sambil meloloskan Pedang Bulan Perak dari
sarungnya.
"Hehehehe, kau hanya berbekal pedang jelek itu
hendak mengalahkanku?! Aku yang sekarang tidak sama
dengan yang kemarin. Kau kira bisa mengalahkanku?!" ejek
Teng Cuo Hui.
"Aku pasti membunuhmu! Aku yang membawamu
dari utara untuk membantuku mengalahkan Huo Wang-ye,
aku juga yang akan mengirimmu ke neraka!" teriak Huo
Cin. Pedang Bulan Perak berkelebat dengan cepat
menyerang leher Teng Cuo Hui. Kasim Huo Cin yang sudah
benar-benar kalap menyerang terus dengan kekuatan penuh,
meskipun tubuhnya masih lemah akibat pertarungan tadi
malam.
Sebaliknya Teng Cuo Hui menunggu serangan
dengan santai dan tidak berusaha menyerang sama sekali. Ia
menghindar dan mundur terus menghindari Pedang Bulan
Perak milik kasim Huo Cin. Dalam sekejap saja, kamar
Permaisuri Wu itu sudah porak-poranda oleh kedahsyatan
jurus-jurus Pedang Penakluk Iblis.
"Jangan lari kau manusia hina! Hadapi aku!" bentak
Huo Cin.- 339 "Heheheh, aku tidak berniat bertarung melawanmu.
Kau masih jauh berada di bawahku" ejek Teng Cuo Hui.
Amarah kasim Huo Cin semakin terbakar hebat
mendengar kata-kata hinaan dari Teng Cuo Hui. Pedangnya
bergetar keras menahan tenaga Pedang Penakluk Iblis yang
tersalur dengan hebat. Huo Cin segera mengubah jurus
menjadi jurus rendah yang menyerang bagian bawah tubuh
lawan. Ini adalah jurus Ti Sen Dui Mo (Dewa Tanah
Mengusir Iblis) yang mampu menebas kaki lawan hingga
buntung dalam beberapa sabetan saja. Teng Cuo Hui
berteriak kaget melihat kekejaman jurus yang dikeluarkan
kasim Huo Cin. Secepat kilat ia melompat tinggi
menghindari jurus lawan.
Kasim Huo Cin tidak mau melepaskan Teng Cuo Hui
begitu saja. Ia ikut melompat dan menyerang di udara. Tapi
Teng Cuo Hui dengan lincah mampu berkelit dan
menghindar dari serangan lawan, la menabrak jendela kamar
Permaisuri Wu dan melompat keluar diikuti kasim Huo Cin.
Tampaknya Teng Cuo Hui sengaja memancing kasim Huo
Cin ke tempat yang lebih luas untuk pertarungan
selanjutnya.
"Jangan lari kau manusia hina!" bentak kasim Huo Cin.
"Aku tidak lari kemana-mana" kata Teng Cuo Hui
berdiri tegak menantang di depan kasim Huo Cin.
"Bagus! Jemputlah ajalmu!" teriak kasim Huo Cin.
Pedang Bulan Perak melesat bagaikan kilat menusuk dada- 340 Teng Cuo Hui. Gerakan kasim Huo Cin yang terlihat
demikian cepat itu sebenarnya masih bisa terbaca oleh mata
Teng Cuo Hui, tapi ia membiarkan serangan lawan masuk.
Ketika kasim Huo Cin sudah merasa menang karena
pedangnya hampir pasti menusuk dada lawan, tiba-tiba Teng
Cuo Hui menggeser kuda-kudanya. Pedang kasim Huo Cin
lewat tipis di depan dadanya dan hanya merobek bajunya
saja. Kedua cakar Teng Cuo Hui sudah siap menerkam perut
kasim Huo Cin jika saja ia tidak melompat mundur tepat
pada saatnya.
"Hehehe, hebat juga kau manusia kebiri" ejek Teng
Cuo Hui. Kasim Huo Cin tidak membalas ejekan itu karena
sedang berusaha memulihkan tenaga dan napasnya setelah
demikian keras memaksakan diri. Teng Cuo Hui yang
mengetahui kasim Huo Cin kehabisan napas kini balik
menyerang dengan kedua cakar mautnya. Ia maju perlahanlahan mendekati kasim Huo Cin dengan tenaga dingin yang
meluap-luap. Intisari hawa dingin Nan Hai Lung Cu rupanya
telah memberikan Teng Cuo Hui tenaga dalam yang berlipat
ganda dari sebelumnya. Kasim Huo Cin juga terkejut sekali
melihat perubahan ini.
"Hehehhe, kau terkejut rupanya. Tidak usah heran
dengan ilmu baruku ini. Ini adalah pemberian langit bagi
kesabaranku selama ini" kata Teng Cuo Hui sambil
tersenyum penuh arti.- 341 "Kau bisa ilmu hawa dingin?! Siapa yang
mengajarimu?!" tanya kasim Huo Cin penasaran.
"Heheheh, sudah kubilang langitlah yang
mengajariku" kata Teng Cuo Hui.
"Baik, siapapun yang mengajarimu, kupastikan
nyawamu akan berakhir hari ini" kata kasim Huo Cin yang
jengkel sekali karena merasa dipermainkan.
Kemarahan adalah pantangan besar bagi seorang
pendekar yang bertarung. Kasim Huo Cin sudah melanggar
pantangan itu, terlebih lagi tenaganya masih terkuras karena
pertarungan semalam. Teng Cuo Hui benar-benar di atas
angin dalam pertarungan kali ini apalagi tenaga dalamnya
sudah berlipat ganda dibandingkan sebelumnya. Tidak
heran ia maju terus mendekati kasim Huo Cin dengan
percaya diri sekali. Ia baru berhenti ketika jarak di antara
mereka tinggal tiga langkah saja.
"Kau sudah siap?!" tanya Teng Cuo Hui sambil
menatap tajam kepada kasim Huo Cin.
"Kau yang seharusnya siap mati!" bentak kasim Huo
Cin sambil menebaskan Pedang Bulan Peraknya ke leher
lawan.
Tubuh Teng Cuo Hui bergerak cepat sekali, seolaholah pecah menjadi beberapa bayangan. Pedang Bulan Perak
yang ditebaskan oleh kasim Huo Cin hanya mengenai angin
saja. Kasim Huo Cin terkesima melihat cepatnya gerakan- 342 lawan, tapi ia segera berusaha mengimbanginya. Tujuh
puluh dua perubahan jurus Pedang Penakluk Iblis bukan
sembarangan saja. Apalagi sekarang kasim Huo Cin
memainkannya dengan sepenuh tenaga. Tubuh mereka
berkelebat dan pecah menjadi puluhan bayangan kabur
saling berkejaran di halaman istana Permaisuri Wu.
Kehebatan Teng Cuo Hui ternyata benar-benar tidak
dapat diremehkan. Baru saja sepuluh jurus berlalu, kasim
Huo Cin sudah terkena cakar telak di punggungnya. Bajunya
yang putih itu robek dan sedikit merah ternoda bercak darah
karena lukanya. Hawa dingin mendesis mengepul dari luka
kasim Huo Cin menandakan serangan tadi juga
memasukkan tenaga dingin ke tubuh lawan. Kasim Huo Cin
dapat merasakan punggungnya yang terluka seperti
membeku dan terasa sakit sekali. Ia menjadi semakin marah
bagaikan binatang terluka menyerang Teng Cuo Hui.
Gerakan kasim Huo Cin yang marah itu menjadi
kurang beraturan dan tidak waspada. Kelengahan lawan ini
dimanfaatkan Teng Cuo Hui untuk sekali lagi menghajar
perut lawan dengan cakarnya. Kasim Huo Cin terpukul telak
di pinggang kanannya dan terlempar dua tombak ke
samping. Ia memuntahkan darah segar dan tubuhnya
gemetaran karena kedinginan. Teng Cuo Hui melihat
lawannya terluka malah berdiam diri sejenak
memperhatikan. Ia tampaknya yakin sekali bisa
memenangkan pertarungannya kali ini dengan kasim Huo
Cin.- 343 "Ck, ck, ck kasihan sekali kau kasim Huo Cin.
Tubuhmu kedinginan ya?" ejek Teng Cuo Hui dengan purapura kasihan.
"Puih!! Aku tidak akan kalah denganmu!" bentak
kasim Huo Cin sambil meludahkan darahnya ke tanahnya.
"Wah, ternyata masih menyimpan kekuatan. Ayo,
kita bermain-main lagi" kata Teng Cuo Hui menantang.
"Hari ini aku akan menyabung nyawa denganmu!"
kata kasim Huo Cin sambil maju menyerbu.
Serangan kasim Huo Cin yang terluka menjadi kurang
bertenaga dan sama sekali tidak membahayakan Teng Cuo
Hui. Ia malah terlihat mempermainkan kasim Huo Cin
sampai kehabisan napas dan tenaga. Beberapa kali cakar
Teng Cuo Hui mengenai tubuh lawan sehingga baju kasim
Huo Cin menjadi compang-camping dan penuh bercak
darah. Tampaknya tidak ada harapan lagi bagi kasim Huo
Cin untuk bisa memenangkan pertarungan kali ini.
Teng Cuo Hui bergerak cepat ke arah punggung
kasim Huo Cin. Pedang Bulan Perak masih sempat
disabetkan ke belakang oleh kasim Huo Cin tapi ternyata
Teng Cuo Hui malah sudah berada di atas kepalanya. Cakar
Teng Cuo Hui dengan ganas menghunjam bahu kanan kasim
Huo Cin. Suara gemeretak tulang patah mengiringi jerit
kesakitan kasim Huo Cin. Pedang Bulan Peraknya terjatuh
ke tanah karena tangan kanannya tidak kuat lagi memegang
pedang. Kasim Huo Cin jatuh tersungkur di tanah dengan- 344 luka menganga di bahu kanannya. Serangan Teng Cuo Hui
barusan benar-benar masuk dengan telak!
"Hehehe, bagaimana?! Jika kau mau minta maaf dan
memanggilku kakek, mungkin aku akan mengampuni
nyawa anjingmu" kata Teng Cuo Hui sambil tersenyum
menghina.
"Aku tidak akan minta ampun pada manusia hina
sepertimu!" bentak kasim Huo Cin sambil berusaha
menahan rasa sakit di bahu kanannya.
"Baik, kau sendiri yang meminta" kata Teng Cuo Hui.
Cakar Teng Cuo Hui bekerja dengan cepat sekali
meremukkan setiap persendian kasim Huo Cin. Jerit
kesakitannya membahana di pagi hari itu, tapi tampaknya
tidak ada yang berani mendekat. Lutut, siku, pergelangan
tangan dan kaki serta tulang punggung semua remuk dalam
sekejap. Kasihan sekali kasim Huo Cin yang hanya bisa
menjerit kesakitan dan bergulingan di tanah merasakan
tubuhnya diremukkan oleh Teng Cuo Hui!
"Heheheh, bagaimana rasanya?! Enak?" tanya Teng
Cuo Hui dengan sorot mata penuh kekejaman.
"Bunuh saja aku! Bunuh saja aku!" teriak kasim Huo
Cin sambil membenturkan kepalanya ke tanah menahan rasa
sakit yang amat sangat.- 345 "Mati?! Enak saja. Kau harus melihat aku menjadi
kaisar dan merasakan hidup segan mati tak bisa" kata Teng
Cuo Hui dengan senyum kejam.
Cakar Teng Cuo Hui mencengkeram rahang kasim
Huo Cin dan mematahkannya dengan sekali remas. Rasa
sakit yang luar biasa membuat kasim Huo Cin menjerit tapi
yang terdengar hanya gumaman tidak jelas karena
rahangnya sudah patah. Teng Cuo Hui tidak berhenti sampai
di situ saja. Ia melanjutkan cakarnya meremukkan tulang
punggung kasim Huo Cin sehingga tidak dapat bergerak
lagi. Sungguh perlakuan yang amat sadis dan kejam!
"Nah, sekarang kau tidak bisa berteriak-teriak lagi.
Pengawal! Bawa dia ke penjara bawah tanah istana timur
dan kurung di sana!" perintah Teng Cuo Hui kepada
beberapa pengawal yang berjaga agak jauh dari istana
Permaisuri Wu.
Kasim Huo Cin yang bagaikan cacing karena seluruh
tulangnya sudah diremukkan hanya bisa menatap Teng Cuo
Hui dengan penuh dendam, la diseret oleh beberapa orang
pengawal menuju ke penjara bawah tanah istana timur.
Kasim Huo Cin sadar nasib apa yang akan menimpanya di
penjara bawah tanah karena ia pernah memenjarakan Han
Kuo Li di sana. Kematian yang lama dan pelan-pelan karena
kelaparan akan menjemput siapapun yang dikurung di sana.
Sungguh tragis akhir nasib kasim Huo Cin yang bercita-cita
menguasai dunia itu!- 346 *** "Istriku, bertahanlah" kata Wen Fang kepada Jien
Jing Hui yang tergolek lemah dalam pelukannya.
"Aku bukan istrimu" kata Jien Jing Hui masih keras
meskipun tubuhnya amat lemah karena lukanya terus
mengeluarkan darah.
"Mengapa kau tidak bisa memaafkanku?" tanya Wen
Fang.
"Aku baru bisa memaafkan dirimu jika kau sudah
mati" jawab Jien Jing Hui sambil berusaha beringsut
menjauhi Wen Fang.
Saat itu mereka berdua ada di sebuah hutan kecil di
luar kotaraja. Jien Jing Hui yang terluka oleh panah Jing
Ying dilarikan Wen Fang meninggalkan arena pertarungan.
Luka Jien Jing Hui cukup parah dan terus mengucurkan
darah sehingga membuat Wen Fang amat khawatir, la
memutuskan untuk berhenti dan mengobati luka Jien Jing
Hui tapi yang hendak diobati malah menolak dengan keras.
"Apakah demikian dalam dendammu padaku?" tanya
Wen Fang.
"Dendamku padamu sudah terhapuskan oleh
hubungan suami istri kita" jawab Jien Jing Hui.- 347 "Lalu apa yang membuatmu tetap mendendam?"
tanya Wen Fang lagi.
"Tien Lung Men! Dendam seluruh pengikut Tien
Lung Men yang tidak bisa kuhapuskan!" bentak Jien Jing
Hui. "Apa maksudmu?!" tanya Wen Fang heran.
"Kau masih bertanya apa maksudku? Seribu pengikut


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tien Lung Men habis dalam satu malam karena pengkhianat
seperti dirimu. Kau pikir aku bisa hidup dengan tenang
sebelum membunuhmu?! Jeritan mereka yang mati tidak
tenang selalu mengganggu tidurku setiap malam. Juga
kematian ayah dan kedua kakakku, kau pikir itu tidak perlu
dibalaskan?!" bentak Jien Jing Hui sambil berlinangan air
mata menahan gejolak perasaannya.
"Apakah demikian dalam dendammu padaku, istriku?
Kau hanya memikirkan Tien Lung Men, pernahkah kau
pikirkan tentang kita, tentang anak kita Hong-er?
Bagaimana nasibnya tanpa ayah yang mendamping di
sampingnya? Mengapa tidak kita lupakan semua ini? Kita
pergi sekeluarga bersama Hong-er meninggalkan dataran
tengah. Kita hidup baru. Istriku bagaimanakah pendapatmu?" tanya Wen Fang berusaha melunakkan hati istrinya
itu. Jien Jing Hui tidak menjawab, la menangis tersedusedu dan memegang anak panah yang menembus dadanya
agar tidak semakin nyeri. Lukanya kembali terbuka dan- 348 mengeluarkan darah. Jien Jing Hui terbatuk-batuk dan
muntah darah. Ia jatuh lunglai ke tanah. Wen Fang segera
memapah tubuh Jien Jing Hui agar tidak sampai terbanting
ke tanah.
"Istriku, kau tidak apa-apa?!" tanya Wen Fang
dengan cemas sekali.
"Tidak apa-apa" jawab Jien Jing Hui meskipun
bibirnya terus memuntahkan darah segar.
"Aku harus melepaskan dulu anak panah ini" kata
Wen Fang sambil melepaskan baju atas Jien Jing Hui.
Tangan Jien Jing Hui mencengkeram lengan Wen
Fang berusaha menahannya agar tidak membuka bajunya,
tapi akhirnya Jien Jing Hui mengalah. Wen Fang dengan
hati-hati membuka baju Jien Jing Hui dan melihat luka
akibat anak panah itu. Wen Fang dengan cekatan
mematahkan anak panah itu dan membuangnya ke samping.
Sekarang ia hanya tinggal mengeluarkan batang panah yang
masih tertinggal dalam tubuh Jien Jing Hui.
"Istriku, tahanlah sebentar" kata Wen Fang. Wen
Fang menekan luka di punggung Jien Jing Hui dengan
tenaga dalamnnya. Sebentar kemudian, sebatang kayu
pendek bekas anak panah meluncur keluar dari dada Jien
Jing Hui. Erangan kesakitan Jien Jing Hui bersamaan
dengan darah kotor yang keluar dari lubang lukanya.
Tampaknya Wen Fang berhasil mengobati luka panah di- 349 punggung Jien Jing Hui dengan baik karena sebentar
kemudian wajah Jien Jing Hui sudah lebih cerah.
"Setelah memakai obat luka luar, kau akan sembuh
dalam beberapa hari" kata Wen Fang sambil mengoleskan
bubuk luka luar.
Jien Jing Hui tidak mampu menjawab karena masih
merasakan sakit yang amat sangat pada lukanya. Keningnya
penuh dengan butiran keringat karena menahan rasa sakit.
Tapi matanya sudah tidak segalak tadi memandang Wen
Fang malah ada sedikit rasa kasih sekarang. Tampaknya
hubungan suami-istri mereka selama beberapa tahun
memang tidak mudah dihapuskan begitu saja oleh benci
dendam. Atau memang semudah itukah pendirian seorang
wanita berubah?
"Suamiku! Apa yang kau lakukan dengan wanita sial itu?!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras di belakang
mereka berdua. Jien Jing Hui segera merapikan pakaiannya
karena menyadari bahwa yang membentak mereka adalah
Jing Ying. Sedangkan Wen Fang terlihat sebal sekali
menyaksikan kedatangan Jing Ying. Ia merasa hubungannya
yang mulai bisa dekat kembali dengan Jien Jing Hui menjadi
berantakan dengan kedatangan Jing Ying ini.
"Mengapa kau kemari?!" tanya Wen Fang dengan
kesal.- 350 "Aku mengikutimu kemari karena aku tahu wanita
sial ini pasti menggodamu" jawab Jing Ying tidak kalah
sengit.
"Aku tidak ingin kau mengikuti terus dan mengatakan
apa yang harus kulakukan. Aku sudah cukup dengan semua
ocehanmu!" bentak Wen Fang dengan kesal sekali.
"Suamiku?! Kau mengusirku demi wanita sial itu?!"
kata Jing Ying tidak kalah marah.
"Ya, pergi kau sekarang dan jangan kau ganggu aku
lagi" kata Wen Fang dengan tegas.
Jing Ying sampai mundur beberapa langkah ke
belakang karena tidak percaya mendengar perkataan Wen
Fang. Dunianya seakan runtuh dan berguncang keras.
Pengorbanannya selama ini terhadap Wen Fang
ternyata hanya menghasilkan kesia-siaan. Air mata mengalir
dari kedua mata Jing Ying. Wajahnya perlahan berubah
menjadi bengis. Hawa membunuhnya meluap berkobar dari
dalam dirinya. Kekecewaannya berubah menjadi kebencian
yang mendalam terhadap Wen Fang dan juga Jien Jing Hui.
"Baik! Jadi kau lebih memilih wanita sial itu daripada
aku?! Kau tidak menyesal?" tanya Jing Ying dengan nada
mengancam.
"Tidak, sekarang pergilah" jawab Wen Fang dengan
tegas.- 351 "Wen Fang! Aku tanya sekali lagi apakah kau sudah
pasti memilih wanita sial itu dibandingkan dengan aku?!"
jerit Jing Ying marah sekali
"Benar, sekarang pergilah" kata Wen Fang.
"Ahhhh!!"
Jeritan keputusasaan, dendam dan cemburu Jing Ying
bercampur menjadi satu membelah udara pagi yang basah
itu. Jien Jing Hui yang menyaksikan kemarahan Jing Ying
tidak merasa gembira malah menjadi turut bersedih.
Mungkin keadaan Jing Ying sekarang ini sama seperti
keadaannya saat mengetahui pengkhianatan Wen Fang
beberapa saat lalu. Rasa pedih dikhianati orang yang amat
dicintai amatlah perih dan tidak mudah hilang begitu saja.
Diam-diam Jien Jing Hui merasa bersimpati juga kepada
Jing Ying karena merasa senasib.
Sementara itu Jing Ying yang kalap maju menerjang
Wen Fang dengan busur besinya. Sebenarnya Wen Fang
sama sekali tidak ingin bertarung tapi jurus-jurus Jing Ying
yang dilancarkan amat ganas sehingga tidak mungkin ia
hanya bertahan saja. Tampaknya kemarahan Jing Ying
sudah benar-benar mencapai puncaknya karena setiap
pukulannya dihentakkan dengan tenaga dalam penuh. Busur
besi menyerang kesana-kemari membuat Wen Fang
terkepung rapat. Wen Fang mau tak mau harus bertarung
dan melawan jika tidak ingin nyawanya terancam.- 352 Dua puluh jurus berlalu dengan cepat dan Wen Fang
mulai unggul atas Jing Ying. Ilmu Tien Lung Ta Fa tingkat
28 yang dikuasai oleh Wen Fang masih terlalu kuat untuk
dapat diimbangi Jing Ying. Bahkan beberapa kali busur
besinya hampir terlepas ditampar tapak Wen Fang. Hanya
karena semangat dan kemarahan yang kuat saja yang
membuat Jing Ying masih bisa bertarung mengimbangi
Wen Fang. Tapi akhirnya setelah lewat jurus ketigapuluh
lima, Wen Fang berhasil merebut busur besi Jing Ying dan
melayangkan tapaknya ke bahu lawan. Jing Ying terlempar
satu tombak ke belakang dan memuntahkan darah dari
mulutnya. Pertarungan telah selesai dan kemenangan ada di
pihak Wen Fang.
"Jing Ying, mengingat hubungan kita selama ini aku
tidak ingin melukaimu. Kau kembalilah ke istana dan
sampaikan pada ayah dan pamanku agar mereka melupakan
diriku. Biarkanlah aku membangun keluargaku sendiri tanpa
ikut campur dalam dunia persilatan lagi" kata Wen Fang
sambil melemparkan busur besi kembali kepada pemiliknya.
"Suamiku" kata Jing Ying dengan lemah dan
gemetar. Wen Fang tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya
menghela napas panjang dan membalikkan badan hendak
membawa Jien Jing Hui pergi dari tempat itu. Betapa
terkejutnya ia ketika melihat Jien Jing Hui telah berdiri di
hadapannya dengan tatapan sendu. Lebih terkejut lagi ketika
ia merasakan sakit perih yang luar biasa di dada kirinya.
Wen Fang melihat dengan tatapan tidak percaya sebuah- 353 belati telah menusuk dada kirinya hingga tembus. Jien Jing
Hui juga berlinang air mata menatap Wen Fang.
"Maafkan aku, suamiku" kata Jien Jing Hui dengan
gemetar. Wen Fang tidak mampu menjawab apa-apa dan
hanya bisa mundur beberapa langkah ke belakang dengan
limbung. Darah mengucur deras dari luka di dada kirinya.
Belati itu tampaknya telah menembus masuk ke dalam
jantung Wen Fang hingga merobek urat nadi besarnya.
Untunglah belati itu masih tertancap dan belum tercabut
sehingga akibatnya masih belum mematikan. Nasib Wen
Fang benar-benar di ujung tanduk sekarang. Jing Ying juga
terlihat amat terkejut menyaksikan keadaan Wen Fang itu.
"Suamiku! Kau perempuan sial, berani sekali kau
melukai suamiku!" jerit Jing Ying dengan kalap.
Jing Ying melompat mengambil busur besinya dan
maju menyerang. Jien Jing Hui yang terluka cukup parah
tidak bisa bergerak leluasa sehingga terpukul telak dua kali
di dadanya. Jien Jing Hui memuntahkan darah segar dan
jatuh berlutut. Jing Ying yang sudah amat geram tidak
memberikan ampun lagi kepadanya. Busur besi diayunkan
dengan kuat menghantam kepala belakang Jien Jing Hui dan
meremukkannya. Jien Jing Hui roboh untuk tidak bangun
lagi.
"Istriku! Kurang ajar! Berani sekali kau membunuh
istriku!" teriak Wen Fang tapi lukanya yang parah
membuatnya tidak dapat berbuat apa-apa.- 354 "Aku membunuh perempuan sial yang sudah berani
melukaimu! Mengapa kau menyalahkanku?!" kata Jing
Ying tidak terima.
"Kau berani sekali!" kata Wen Fang sambil
memaksakan diri bangkit berdiri dengan susah payah.
"Suamiku, hati-hati" kata Jing Ying sambil berjalan
mendekat berusaha menahan tubuh Wen Fang agar tidak
jatuh.
Jing Ying sama sekali tidak menyadari kemarahan
Wen Fang sehingga tidak siap sama sekali ketika tapak Wen
Fang menghajar dadanya. Jurus Tien Lung Ta Fa tingkat 28
langsung meremukkan beberapa tulang dada Jing Ying dan
jika saja Wen Fang tidak terluka parah maka pastilah ia akan
langsung tewas. Jing Ying terhuyung mundur dan
memuntahkan darah segar dari mulutnya. Wen Fang maju
lagi dan berusaha memberikan pukulan penghabisan.
Tapaknya diarahkan ke dahi Jing Ying dengan sekuat
tenaga.
Jing Ying menyambut serangan Wen Fang dengan
tindakan yang tidak kalah nekadnya. Ia maju menyerbu dan
mencoba menarik belati yang menancap di dada Wen Fang.
Serangan yang sama-sama mematikan ini berlangsung
hanya dalam waktu sekejap saja. Tapak Wen Fang bersarang
telak di dahi Jing Ying dan langsung meremukkannya. Jing
Ying langsung tewas dan terpental ke belakang dengan
tangan menarik belati yang menancap di dada kiri Wen- 355 Fang. Darah segera menyembur keluar dari pembuluh darah
besar jantungnya. Wen Fang roboh dan tidak mampu
bangun lagi. Lukanya terlalu parah dan tampaknya ia juga
tidak akan hidup lebih lama lagi.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Wen Fang menyeret
tubuhnya mendekati jenasah Jien Jing Hui yang
tertelungkup. Jarak antara mereka cukup jauh sekitar tiga
tombak lebih sehingga tidak mudah bagi Wen Fang untuk
dapat mencapai tubuh istrinya itu. Jantungnya sudah robek
dan mengeluarkan darah terus-menerus sehingga pada
akhirnya mempengaruhi kekuatan tubuhnya. Matanya mulai
berkunang-kunang dan bibirnya terus meneteskan darah
segar. Ketika jarak antara Wen Fang dan Jien Jing Hui hanya
tinggal kira-kira tiga langkah lagi, Wen Fang kembali
ambruk dan memuntahkan darah segar. Namun ia tetap
berusaha menggapai tubuh Jien Jing Hui dengan segenap
usahanya meskipun sia-sia.
"Istriku...maafkan aku" kata Wen Fang dengan lirih
sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir.
Kini di padang rumput yang sunyi dekat hutan di
sebelah barat kotaraja itu tidak terdengar suara apa-apa lagi.
Yang terdengar hanyalah desir angin pagi menerbangkan
dedaunan kering. Tiga jenasah anak manusia yang bernasib
tragis dan dipermainkan nasib terbujur kaku di tengah
padang rumput.- 356 Jing Ying mati dalam keadaan mata terbuka karena
penasaran dikhianati orang yang amat dicintainya.
Demikian pula dengan Wen Fang yang tidak mampu meraih
tubuh Jien Jing Hui di akhir hayatnya, mati dengan mata
terbuka. Hanya Jien Jing Hui seorang yang meninggal
dengan mata tertutup meskipun tampak air mata membasahi
pelupuk matanya. Ia sudah berhasil membalaskan dendam
ayahnya dan Tien Lung Men meskipun harus ditebus dengan
nyawanya sendiri dan juga nyawa orang yang dikasihinya.
Cinta segitiga antara mereka telah berakhir dengan tragis
sekali.
*** Wongguo Luo dan Han Cia Sing memanggil dan
mencari-cari di tengah-tengah puing reruntuhan bangunan
penginapan yang terbakar. Asap kebakaran yang pedas dan
menyesakkan membuat mereka berdua tidak leluasa
melakukan pencarian. Mereka berdua juga amat cemas
melihat bangunan yang terbakar hebat itu. Apakah ada yang
bisa selamat di tengah bangunan yang runtuh dan sudah
hangus terbakar itu? Tiba-tiba saja kekhawatiran mereka
sirna ketika melihat gerakan di ujung tembok belakang yang
masih utuh. Sesosok tubuh pria setengah baya keluar dari
tumpukan rongsokan kebakaran. Meskipun agak sulit- 357 dikenali karena penuh dengan jelaga bekas kebakaran tapi
tidak salah lagi ia adalah tabib Liu Cen Beng.
"Astaga! Tabib Liu!" seru Han Cia Sing sambil
berlari mendekati tabib Liu Cen Beng.
Tabib Liu Cen Beng tersenyum lega melihat
kehadiran Wongguo Luo dan Han Cia Sing. Kehadiran


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka berdua menandakan bahwa pertempuran hari itu
telah dimenangkan oleh pihak Huo Wang-ye. Namun dalam
kelegaan wajah tabib Liu Cen Beng tersirat sebuah
kesedihan yang sukar untuk dikatakan. Han Cia Sing merasa
heran melihat tingkah laku tabib Liu Cen Beng ini tapi ia
tidak menduga apa-apa.
"Tabib Liu, apakah anda baik-baik saja? Di manakah
yang lain?" tanya Han Cia Sing.
"Aku baik-baik saja. Yang lain ada di belakangku"
kata tabib Liu Cen Beng.
"Apakah A Yuan baik-baik saja?" tanya Wongguo
Luo dengan cemas sekali memikirkan nasib cucu
tunggalnya itu.
"Semua ada di dalam. Jangan khawatir pendekar
Wongguo" jawab tabib Liu Cen Beng menenangkan.
Han Cia Sing dan Wongguo Luo segera membongkar
reruntuhan kebakaran itu untuk membuka jalan bagi yang
lain. Ternyata tabib Liu Cen Beng dan yang lainnya
bersembunyi di sebuah celah tungku dapur antara dapur dan- 358 dinding penginapan. Sebuah gentong dapur besar berisi air
diletakkan di tengah-tengah mereka untuk membasahi dan
mendinginkan tempat persembunyian mereka dari panasnya
api kebakaran. Persembunyian mereka juga diselamatkan
oleh hujan deras yang turun semalaman sehingga kebakaran
tidak meluas ke tempat mereka berlindung.
Han Cia Sing segera melemparkan balok-balok kayu
hangus ke samping untuk membukakan jalan bagi mereka
yang bersembunyi. Luo Bin Wang yang pertama keluar
kemudian disusul oleh Wongguo Yuan yang langsung
disambut dengan gembira sekali oleh kakeknya. Han Cia
Sing merasa lega melihat keadaan Wongguo Yuan baik-baik
saja, tapi kemudian ia tertegun mendengar suara isak tangis
yang dikenalnya. Han Cia Sing membungkuk dan kemudian
merangkak masuk ke dalam puing-puing untuk melihat apa
yang tengah terjadi di dalam sana. Betapa terkejutnya ia
melihat Cen Hua tengah menangis sesenggukan sambil
memeluk tubuh Han Cia Pao yang telah kaku itu.
"Astaga! Kakak ipar, apa yang terjadi dengan kakak
Pao?!" tanya Han Cia Sing seolah tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya.
Cen Hua tidak menjawab dan hanya menangis terus.
Ia memeluk tubuh Han Cia Pao dengan erat sekali sehingga
Han Cia Sing kesulitan ketika hendak melepaskan pelukannya. Han Cia Sing memutuskan untuk tidak bertanya dulu
melihat keadaan Cen Hua yang masih amat sedih itu. Ia
merangkul tubuh Han Cia Pao yang sudah dingin dan kaku- 359 dan mengangkatnya keluar dari tempat persembunyian.
Sedangkan Wongguo Yuan ikut membantu membimbing
Cen Hua bangkit berdiri dan keluar dari sana.
Han Cia Sing meletakkan jenasah kakaknya dengan
hati-hati sekali di tanah yang becek karena hujan
semalaman. Kesedihan tergambar jelas di wajahnya
meskipun ia tidak meneteskan air mata. Han Cia Sing telah
bersusah-payah mempertaruhkan nyawa menyelamatkan
Han Kuo Li, tapi ketika berhasil ia harus mendapati
kenyataan pahit bahwa kakaknya telah tiada. Jika Han Kuo
Li mengetahui hal ini, apakah orang tua yang telah renta itu
masih sanggup menahan dukanya?
"Paman Wongguo, apa yang sebenarnya terjadi?"
tanya Han Cia Sing dengan suara serak menahan kedukaan
yang dalam.
"Cia Sing, tenanglah. Semua ini sudah ditakdirkan
oleh langit" jawab Wongguo Luo berusaha menenangkan.
"Aku tenang. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi"
kata Han Cia Sing datar berusaha menekan gejolak hatinya.
"Kemarin malam kakakmu dan Jenderal Teng
berangkat ke rumah bangsawan Ye untuk mencari tahu
keadaan di istana. Setelah mereka pergi, aku merasa tidak
enak sehingga aku ikut menyusul mereka. Ternyata
sesampainya aku di sana, Pao-er sudah sekarat dan berjuang
dengan maut. Aku hanya bisa melarikannya kembali kemari- 360 tapi semuanya telah terlambat" kata Wonggu Luo dengan
sedih.
"Cia Sing, kakakmu terkena racun yang amat keras.
Juga intisari hawa dingin yang ada di tubuhnya telah hilang
sehingga melemahkan tubuhnya. Itu sebabnya ia tidak dapat
bertahan" kata tabib Liu Cen Beng menambahkan.
"Intisari hawa dingin telah hilang?! Apa maksud tabib
Liu?!" tanya Han Cia Sing tidak mengerti.
"Benar, tenaga Nan Hai Lung Cu (Mutiara Naga Laut
Selatan) yang tersimpan dalam tubuh Han Cia Pao hilang tak
berbekas seperti tersedot keluar. Mungkin ilmu sesat yang
mampu menarik tenaga lawan telah menghisap kekuatannya
itu" jawab tabib Liu Cen Beng.
"Ilmu hisap?! Pei Ming Sen Kung (Ilmu Sakti Neraka
Utara)?! Kalau begitu pembunuhnya adalah Fang Yung Li?"
tanya Han Cia Sing penasaran sekali.
"Cia Sing, ketika aku menyelamatkan Pao-er kemarin
malam aku sama sekali tidak bertemu dengan Fang Yung Li.
Aku hanya melihat Sinlin dan anak buahnya serta marga
Teng si pengkhianat itu!" kata Wongguo Luo bergetar penuh
kemarahan.
"Kakak, istirahatlah dengan tenang. Biarlah aku yang
mengurus segala sesuatu yang kau tinggalkan di dunia ini"
kata Han Cia Sing dengan sedih sekali menatap wajah Han
Cia Pao yang mulai membiru itu.- 361 Saat itu rombongan Huo Wang-ye dan yang lainnya
sudah tiba di belakang. Mereka semua tampaknya sudah
bersiap meninggalkan penginapan itu. Memang semakin
cepat mereka pergi akan semakin baik karena siapa tahu
pasukan pengejar akan segera tiba. Tapi kepergian mereka
tampaknya harus ditunda sebentar lagi karena Song Wei
Hao tampak amat terkejut melihat jenasah Han Cia Pao yang
terbujur kaku di tanah.
"Apa... apa yang telah terjadi?!" tanya Song Wei Hao
seolah-olah sedang bermimpi saja.
Wongguo Luo dengan sabar menceritakan kembali
pengalamannya kemarin malam seperti yang telah ia
ceritakan kepada Han Cia Sing. Tubuh Song Wei Hao
gemetar hebat ketika mendengar tentang pengkhianatan
Teng Cuo Hui. Demikian pula dengan Ma Han Jiang yang
wajahnya langsung mengeras penuh amarah mendengar
cerita Wongguo Luo. Sementara Han Cia Sing hanya bisa
memejamkan mata berusaha meredakan gejolak hatinya
yang membara dibakar amarah.
"Marga Teng! Jika bukan aku yang mati pasti kau
yang hancur!" teriak Song Wei Hao penuh amarah ketika
Wongguo Luo selesai bercerita.
"Jenderal Song, tenanglah. Saat ini kita harus
mementingkan hal yang lebih besar terlebih dahulu.
Sekarang mari kita bawa jenasah tuan muda Han pergi dari- 362 sini sebelum pasukan pengejar tiba" kata Huo Wang-ye
berusaha menenangkan Song Wei Hao.
"Maafkan aku Yang Mulia Huo Wang-ye. Tapi
dendam ini sudah terlalu besar. Aku tidak tahu apa yang
harus kukatakan kepada Han Kuo Li tentang anaknya jika ia
sudah sadar nanti" kata Song Wei Hao sambil memandang
sedih Han Kuo Li yang masih pingsan dalam gendongan
Yung Lang.
"Sekarang marilah kita semua pergi dari sini" ajak
Huo Wang-ye kepada semua yang hadir.
Akhirnya mereka semua berangkat meninggalkan
penginapan yang porak-poranda dan hancur lebur itu dengan
perasaan gundah. Meskipun malam itu mereka berhasil
memukul pasukan Huo Cin tapi harga yang dibayarkan
amatlah mahal. Saat itu mereka belum mengetahui bahwa
Jien Jing Hui juga telah tiada. Jika mereka mengetahuinya
tentulah kesedihan yang mereka rasakan akan semakin
bertumpuk-tumpuk. Benar-benar sebuah hari yang kelabu
bagi mereka semuanya.
Rombongan itu bergerak secepat mungkin menuju
arah timur kotaraja. Huo Wang-ye telah mempersiapkan
sebuah tempat di hutan timur jika ada keadaan darurat
seperti sekarang ini. Anak-anak dan istrinya telah
diungsikan ke sana beserta Ye Ing, Yang Hong dan Jien
Feng. Mereka akan bisa aman dari pertempuran untuk- 363 sementara waktu. Keadaan seperti itu akan membuat mereka
lebih tenang menyusun langkah selanjutnya.
Han Cia Sing menggendong jenasah kakaknya
dengan perasaan campur aduk. Ia merasa bagaikan sedang
dibebani sebuah gunung saja saat itu sehingga langkahnya
menjadi berat dan napasnya tidak teratur. Yung Lang yang
berada di sebelahnya sedang menggendong Han Kuo Li
melihat perubahan pada diri Han Cia Sing. Ia tahu
sahabatnya itu pastilah sedang amat sedih sehingga berjalan
pun kelihatannya tidak bisa. Yung Lang menyenggol Han
Cia Sing dan tersenyum memberikan semangat. Han Cia
Sing tahu maksud baik Yung Lang itu dan ia pun berusaha
bersemangat kembali.
Sementara itu, Cen Hua yang masih terus menangis
beberapa kali pingsan sepanjang perjalanan. Empat putri
Yao bergantian memapah dan menghiburnya sembari
mereka juga menolong Yao Hao Yin yang terluka.
Perjalanan mereka menjadi sedikit lambat karena banyak
dari mereka yang terluka dalam ataupun luar. Wongguo Luo
dan Xiahou Yuan berjaga paling belakang untuk
menghadang pasukan pengejar jika mereka datang nanti.
Saat itu Wongguo Luo melihat Ma Xia semakin tertinggal
dari rombongan dan langkahnya limbung. Buru-buru ia
memapah tubuh Ma Xia agar tidak terjerembab ke tanah.
"A Xia! A Xia! Apakah kau terluka?!" tanya
Wongguo Luo berusaha menyadarkan Ma Xia yang nyaris
pingsan itu.- 364 "Astaga! Tubuhnya dingin sekali, nadinya juga amat
lemah" kata Xiahou Yuan ketika memegang pergelangan
tangan Ma Xia.
"Cia Sing... Cia Sing" kata Ma Xia setengah sadar
dengan lemah sekali.
"Pendekar Xiahou, tolong anda panggilkan Han Cia
Sing dan tabib Liu Cen Beng kemari. Tampaknya keadaan
Ma Xia cukup gawat" kata Wongguo Luo dengan cemas.
Xiahou Yuan tidak menunggu dua kali. Ia langsung
melesat ke barisan depan di mana Han Cia Sing dan Liu Cen
Beng berada. Gerak-gerik Xiahou Yuan yang cemas ini
sempat membuat seluruh rombongan khawatir bila pasukan
pengejar sudah tiba. Tapi Xiahou Yuan segera menenangkan
mereka dan mengatakan bahwa Ma Xia sedang membutuhkan pertolongan segera. Tabib Liu Cen Beng segera tanggap
dan berlari ke barisan belakang. Sedangkan Han Cia Sing
yang masih menggendong jenasah kakaknya tidak bisa
langsung berlari ke barisan belakang.
"Cia Sing, serahkan saja jenasah kakakmu kepadaku.
Kau pergilah ke belakang. Keadaan nona Ma tampaknya
cukup mengkhawatirkan" kata Xiahou Yuan dengan
bijaksana.
"Terima kasih" kata Han Cia Sing singkat sambil
mengalihkan gendongannya kepada Xiahou Yuan.- 365 "Cia Sing, apakah aku perlu menemanimu?" tanya
Yung Lang.
"Terima kasih Yung Lang, tapi sekarang lebih baik
kau tolong jaga ayahku untukku" kata Han Cia Sing.
"Baiklah" kata Yung Lang sambil mengangguk.
Han Cia Sing melesat bagaikan anak panah menuju
ke barisan belakang. Baru sekarang ia teringat akan Ma Xia
setelah kematian Han Cia Pao begitu mengguncang dirinya.
Jika melihat raut wajah Xiahou Yuan yang begitu cemas,
tampaknya keadaan Ma Xia tidaklah begitu baik. Han Cia
Sing hanya dalam satu hembusan napas saja sudah tiba di
tempat Ma Xia terbaring lemah. Ia begitu terkejut melihat
keadaan Ma Xia yang amat pucat dan lemah itu.
"A Xia?! Apa yang terjadi, paman Wongguo?!" tanya
Han Cia Sing kebingungan.
"Aku juga tidak tahu tapi tampaknya ia terluka parah.
Tabib Liu, tolong kau periksa dia" jawab Wongguo Luo.
Tabib Liu Cen Beng segera memeriksa nadi
pergelangan tangan Ma Xia. Raut wajahnya segera berubah
terkejut dan cemas sehingga membuat Han Cia Sing
semakin khawatir. Saat itu Wongguo Yuan tampak tengah
berlari-lari menuju ke arah mereka dengan wajah cemas.
"Sing Ta-ke, apa yang terjadi pada Xia-cie?" tanya
Wongguo Yuan.- 366 "Aku tidak tahu, tapi tampaknya ia terluka parah"
jawab Han Cia Sing dengan perasaan tidak karuan.
"Pendekar Wongguo, bisakah kau balikkan tubuh
nona Ma?" pinta tabib Liu Cen Beng kepada Wongguo Luo.
"Baik" kata Wongguo Luo. Perlahan-lahan sekali
Wongguo Luo membalikkan tubuh Ma Xia. Semua yang
hadir berseru kaget ketika melihat luka lebam dan berdarah
yang melebar di punggung Ma Xia. Luka itu tertutup oleh
kain bajunya sehingga tidak akan kelihatan jika tidak
disingkapkan. Tampaknya Ma Xia terluka parah saat
bertarung dengan dua Liu Teng (Enam Pelita), ia kehilangan
banyak darah karenanya. Tabib Liu Cen Beng yang
memeriksa lukanya hanya bisa menggelengkan kepalanya
dengan sedih.
"Tabib Liu, bagaimana keadaannya?" tanya Han Cia
Sing.
"Lukanya cukup dalam menembus hingga syaraf
punggungnya. Sebenarnya amat mengherankan melihatnya
masih bisa berdiri dan berjalan cukup jauh dengan luka
seperti ini" jawab tabib Liu Cen Beng.
"Maksud tabib Liu?" tanya Han Cia Sing lagi dengan
bergetar karena merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Nona Ma Xia kehilangan banyak darah dan terluka
parah. Lebih baik kau temani dia sekarang" kata tabib Liu
Cen Beng sambil memegang pundak Han Cia Sing.- 367 Dunia bagaikan terbalik bagi Han Cia Sing. Setelah
kematian kakaknya, apakah kini ia harus kehilangan Ma Xia
juga? Dada Han Cia Sing berdebar kencang. Tangan dan
kakinya mendadak menjadi dingin sementara matanya


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terasa panas sekali menahan air mata yang hendak jatuh
berderai.
"Tidak! Ini tidak mungkin! A Xia, tenanglah aku akan
menyelamatkanmu" kata Han Cia Sing.
Tenaga Shi Sui Yi Cin Cing segera dikumpulkan di
telapak kanan oleh Han Cia Sing dan ditekankan dengan
lembut ke dada Ma Xia yang masih pingsan. Hawa tenaga
yang lembut dan hangat itu langsung tersalur ke seluruh urat
nadi Ma Xia. Tapi tabib Liu Cen Beng yang melihatnya
langsung terkejut dan mencegah Han Cia Sing menyalurkan
tenaganya lebih banyak lagi kepada Ma Xia.
"Cia Sing, jangan kau lakukan itu! Lukanya akan
semakin parah" kata tabib Liu Cen Beng mencegah.
Benar saja apa yang dikatakan tabib Liu Cen Beng.
Tenaga Shi Sui Yi Cin Cing yang kuat langsung merobek
luka lebam yang ada di punggung Ma Xia sehingga berdarah
lebih banyak lagi. Ma Xia langsung terbatuk darah dan
menyeringai menahan rasa sakit di punggungnya. Han Cia
Sing menjadi semakin kebingungan melihat keadaan ini.
"Tabib Liu mengapa bisa begini?!" tanya Han Cia
Sing.- 368 "Cia Sing, luka di punggung nona Ma Xia langsung
berhubungan dengan nadi besarnya. Jika kau memaksa
memberikan tenaga dalam kepadanya, luka nadi besarnya
akan semakin lebar dan mengeluarkan darah semakin
banyak" jawab tabib Liu Cen Beng menjelaskan.
"Jadi maksud tabib Liu tidak ada yang bisa kita
lakukan?" tanya Wongguo Luo dengan cemas.
"Maafkan aku" jawab tabib Liu Cen Beng sambil
menunduk. Wongguo Yuan mulai terisak-isak menahan
tangis mendengar jawaban tabib Liu Cen Beng itu. Apa yang
dikatakannya barusan adalah merupakan jawaban yang
membenarkan akan kematian Ma Xia. Semua yang hadir
juga hanya bisa membisu dan tidak berani berkata apa-apa
lagi termasuk Han Cia Sing. Benarkah kematian Ma Xia
tidak terelakkan lagi? Apakah tidak ada sesuatu yang bisa ia
lakukan untuk menyelamatkan Ma Xia?
"Cia... Sing" panggil Ma Xia lemah sekali sambil
membuka matanya.
"Ya, aku ada di sini A Xia" jawab Han Cia Sing.
Tabib Liu Cen Beng memberikan isyarat kepada
Wongguo Luo dan Wongguo Yuan untuk meninggalkan
tempat itu. Han Cia Sing dan Ma Xia lebih baik ditinggalkan
berdua saja pada saat-saat terakhir seperti ini. Biarlah
mereka berdua saling mencurahkan isi hati masing-masing
tanpa harus merasa sungkan karena kehadiran orang lain.
Wongguo Luo menggandeng cucunya yang masih terus- 369 menangis itu menjauhi tempat Ma Xia dan Han Cia Sing
berada. Tabib Liu Cen Beng juga tak kuasa menahan haru
dan meninggalkan mereka berdua dengan hati galau.
"A Xia, mengapa kau tidak mengatakan kau
terluka?!" tanya Han Cia Sing.
"Aku... aku tidak ingin membebanimu" jawab Ma Xia
dengan susah payah karena napasnya tersengal-sengal.
"Kau bodoh. A Xia, kau tidak pernah membebaniku
sekalipun" kata Han Cia Sing dengan suara serak.
"Cia Sing, kakakmu baru saja meninggal. Aku tahu
kau pasti akan sangat sedih. Kau..."
Ma Xia berhenti sejenak karena kembali
memuntahkan darah. Han Cia Sing segera menghapus darah
dari mulut Ma Xia dengan penuh kasih. Air matanya sudah
berada di pelupuk mata, tapi Han Cia Sing berkeras
menahannya. Ia tidak ingin terlihat sedih di depan Ma Xia
untuk terakhir kalinya, la harus menyembunyikan
kesedihannya itu sebisa mungkin untuk menghibur hati Ma
Xia. Han Cia Sing tetap mencoba untuk tersenyum
meskipun hatinya sedih sekali.
"Kau baru saja menyelamatkan ayahmu tapi kakakmu
tidak bisa menyaksikannya. Kau pasti sedih sekali. Aku
tidak ingin membebanimu" kata Ma Xia meneruskan
kalimatnya dengan susah payah.- 370 "A Xia, aku tidak sedih, aku tidak sedih" kata Han Cia
Sing berbohong.
"Cia Sing, kau tahu apa yang menyebabkan aku suka
padamu sejak bertemu denganmu pertama kalinya?" tanya
Ma Xia yang dijawab gelengan kepala Han Cia Sing.
"Aku menyukaimu karena kau selalu jujur dan tidak
bisa berbohong. Wajahmu selalu menunjukkan perasaan
hatimu. Aku tahu... aku tahu kau sangat sedih" kata Ma Xia
sambil tersenyum lemah.
"Maafkan aku A Xia" kata Han Cia Sing yang tidak
tahu harus berbicara apalagi kepada Ma Xia yang sekarat itu.
"Cia Sing" panggil Ma Xia dengan lemah.
"Ya?!" kata Han Cia Sing serak.
"Kau masih ingat saat kita melarikan diri dari utara?!"
tanya Ma Xia.
"Ingat, aku tidak pernah melupakannya" jawab Han
Cia Sing.
"Saat kita terkepung rapat oleh Si Ta Hao Ren (Empat
Orang Baik), kau menggendongku melarikan diri dari
mereka... kau masih ingat itu?!" tanya Ma Xia sambil
memandang wajah Han Cia Sing.
"Ingat, aku ingat" kata Han Cia Sing.
"Itu adalah saat-saat paling berbahagia dalam hidupku. Semalaman aku berada dalam... gendonganmu"- 371 Ma Xia terpaksa berhenti karena memuntahkan darah lagi.
"Cia Sing, maukah kau menggendongku sekali
lagi?!" tanya Ma Xia.
"Tentu, tentu saja" jawab Han Cia Sing.
Han Cia Sing dengan hati-hati sekali mengangkat
tubuh Ma Xia. Setiap gerakan yang salah akan berakibat
parah bagi luka di punggung Ma Xia sehingga Han Cia Sing
harus benar-benar berhati-hati. Akhirnya setelah cukup lama
berusaha, Ma Xia pun berada di punggung Han Cia Sing.
Tubuh Ma Xia amat lemah, sehingga Han Cia Sing harus
membungkuk dan memegangi kedua kaki Ma Xia agar Ma
Xia tidak melorot jatuh dari gendongannya. Kedua lengan
Ma Xia dilingkarkan pada leher Han Cia Sing untuk
berpegangan meskipun lemah sekali.
"Aku... aku ingin terbang kembali bersamamu seperti
saat itu" kata Ma Xia.
Han Cia Sing tidak dapat menjawab apa-apa karena
saat itu air matanya sudah tidak dapat ditahannya lagi. Jika
tadi ia berusaha tegar agar tidak terlihat oleh Ma Xia, tapi
kini setelah Ma Xia berada di punggungnya, Han Cia Sing
tidak dapat menyembunyikan kesedihannya lagi. Han Cia
Sing hanya mengangguk lemah mengiyakan keinginan Ma
Xia. Ia menghentakkan kedua kakinya ke tanah dan
tubuhnya segera terbang melayang ke atas beberapa tombak
dengan ringan sekali.- 372 Tubuh Han Cia Sing dan Ma Xia segera muncul di
atas pucuk-pucuk pepohonan. Sinar matahari pagi yang
lembut menyapa mereka lengkap dengan pelangi yang
muncul setelah hujan deras semalaman. Kabut tipis
menyelimuti hutan di bawah kaki mereka. Han Cia Sing dan
Ma Xia bagaikan berada di langit surga melihat betapa
indahnya sebenarnya pagi hari itu. Sayang sekali perasaan
mereka sedang kacau balau sehingga keindahan pagi itu
terasa begitu hampa dan hambar.
"Indah sekali" bisik Ma Xia di telinga Han Cia Sing.
"Ya, indah sekali" kata Han Cia Sing. Han Cia Sing
mengerahkan Guo Yin Sen Kung (Ilmu Melintasi Awan)
sepenuh had dan tenaga sehingga mereka bisa melayang
ringan sekali mengikuti arah angin. Sesekali Han Cia Sing
menjejakkan kakinya di batang dan puncak pohon untuk
melesat lebih jauh lagi. Hati Han Cia Sing benar-benar
hancur dan kacau sehingga ia hanya melayang-layang saja
bagaikan layang-layang putus tanpa tujuan. Apalagi ketika
Han Cia Sing merasakan punggungnya basah oleh darah
yang terus keluar dari bibir Ma Xia. Air matanya berderai
tidak tertahankan lagi.
"Cia Sing, aku senang sekali... dapat bertemu denganmu" kata Ma Xia.
"Aku juga A Xia. Aku senang sekali bertemu denganmu" kata Han Cia Sing.
"Aku... aku mencintaimu" kata Ma Xia- 373 "Aku juga. Aku mencintaimu" kata Han Cia Sing.
Meskipun tidak dapat melihat wajah Ma Xia, tapi Han Cia
Sing dapat merasakan jika Ma Xia tersenyum saat itu. Katakata yang baru saja mereka ucapkan adalah kata-kata yang
selama ini mereka pendam di lubuk hati mereka yang
terdalam. Kata-kata yang akhirnya dapat mereka ucapkan itu
benar-benar membuat hati keduanya terasa lega sekali. Tapi
mengapa kata-kata itu baru terucapkan di saat mereka akan
berpisah untuk selamanya? Mengapa tidak sejak dulu
mereka katakan?
"Cia Sing, setelah aku pergi nanti, aku tidak dapat
menjagamu lagi. Kau jagalah dirimu baik-baik. Tolong kau
jaga ayahku dan juga A Yuan... baik-baik" kata Ma Xia
dengan lemah.
"Aku akan menjaga ayahmu dan A Yuan, jangan
khawatir. A Xia, aku mencintaimu. Selama ini aku tidak
mengatakan perasaanku kepadamu karena aku takut
membebanimu, A Xia. Keluarga Han adalah buronan
kerajaan dan ayah juga masih belum kutemukan. Aku
sebenarnya ingin sekali kau bisa berkenalan dengan ayahku
sebelum kita..."
Han Cia Sing tidak dapat meneruskan kalimatnya
karena dadanya terasa sesak sekali. Kematian ibunya dan
paman Lu Xun Yi dulu memang amat membuat Han Cia
Sing berduka tapi kesedihannya kali ini jauh berlipat-ganda.
Apalagi selama ini Ma Xia juga seperti tersingkirkan oleh
banyaknya hal yang datang bertubi-tubi. Rasa cintanya- 374 kepada Ma Xia yang selama ini dipendamnya, harus layu
sebelum berkembang. Han Cia Sing merasa amat bersalah
terhadap Ma Xia yang selama ini diabaikannya.
"Cia Sing, jangan bersedih. Kau akan selalu ada di
hatiku, demikian juga... aku akan selalu dalam hatimu.
Jagalah dirimu baik-baik" kata Ma Xia berusaha menghibur
hati Han Cia Sing.
"A Xia, aku akan selalu mencintaimu. Aku..." Katakata Han Cia Sing terhenti ketika merasakan lengan Ma Xia
yang merangkulnya melemah dan terkulai lemas. Ma Xia
telah pergi meninggalkan dunia ini. Han Cia Sing menutup
matanya karena tidak sanggup lagi membuka matanya yang
terasa pedas sekali. Han Cia Sing membiarkan dirinya
diombang-ambingkan angin yang bertiup bagaikan
selembar daun gugur. Ma Xia telah pergi meninggalkannya
untuk selama-lamanya tapi Han Cia Sing masih belum rela
untuk berpisah. Ia ingin terus menggendongnya selama ia
mampu, la ingin terus bersama Ma Xia selama ia bisa.
Sementara itu di bawah sana, Wongguo Yuan berlutut
sambil menangis menyaksikan kematian sahabat dan
saudari yang amat dicintainya.- 375 60. Pertarungan Terakhir
Han Cia Sing berdiri termenung di depan makam Ma
Xia. Meskipun sudah berlalu beberapa hari, tapi kematian
Ma Xia masih begitu membekas di dalam hatinya. Yung
Lang, Lin Tung, Wongguo Yuan bahkan Song Wei Hao
sudah mencoba untuk menghiburnya tapi tetap saja
kesedihan tidak terhapuskan dari wajah Han Cia Sing. Satusatunya kegiatan lain selain termenung di depan makam Ma
Xia adalah menengok ayahnya Han Kuo Li. Hanya pada saat
itulah Han Cia Sing mau makan, itupun lebih karena ia harus
menemani ayahnya makan. Makannya juga sedikit sekali
sehingga mencemaskan semua sahabatnya.
Tabib Liu Cen Beng berdiri di samping Han Cia Sing
tanpa berkata sesuatu apapun. Wajahnya juga mengguratkan
kesedihan yang mendalam. Di sebelah makam Ma Xia
adalah makam Han Cia Pao, Jien Jing Hui, Wen Fang, Jing
Ying dan si kembar He Suang Fu. Sekarang Tien Lung Men
benar-benar sudah hancur tanpa penerus kecuali tabib Liu
Cen Beng seorang. Kegundahan hati yang dirasakan oleh
Han Cia Sing karena ditinggalkan oleh orang tercinta juga
dirasakan benar oleh tabib Liu Cen Beng. Mereka berdua
sama-sama termenung merasakan kepedihan yang
mendalam.
Saat itu tampak Wongguo Yuan tengah menggandeng
Yang Hong mendatangi mendatangi tempat Han Cia Sing
dan tabib Liu Cen Beng berdiri. Wajah Yang Hong tampak- 376 sembab karena terus-menerus menangis. Kasihan sekali
Yang Hong karena di usianya masih amat muda harus
kehilangan ayah dan ibunya pada waktu yang bersamaan. Ia
memakai pakaian berkabung berwarna putih. Wongguo
Yuan juga memakai pakaian putih sejak kematian Ma Xia
beberapa hari yang lalu. Kesedihan dan kelelahan juga
tampak jelas di wajahnya.
"Tabib Liu, Hong-er datang untuk menyampaikan
hormatnya" kata Wongguo Yuan.
"Ah, Hong-er. Mari sini, berikan hormat kepada ayah
dan ibumu" kata tabib Liu Cen Beng berusaha terlihat tegar.
Yang Hong segera berlutut di depan makam ayah dan
ibunya. Ia menyembah tiga kali sebelum bangkit berdiri dan
menyalakan seikat besar dupa di depan makam. Air mata
kembali membasahi wajahnya yang merah dan bulat itu.
Wongguo Yuan tak kuasa menahan kesedihan dan menangis
melihat Yang Hong serta juga tentu saja Han Cia Sing. Hati
Wongguo Yuan amat berduka melihat kematian Ma Xia dan
luka kepedihan yang ditinggalkan di dalam hati Han Cia
Sing. Namun bagaimanapun juga ia tetap memendam rasa
cintanya yang mendalam terhadap Han Cia Sing karena
sadar bahwa pria pujaannya itu telah memilih Ma Xia
sebagai tambatan cintanya.
"Hong-er, mari kita pulang. Hari sudah sore. Besok
kau bisa datang lagi kemari memberikan hormatmu" kata- 377 tabib Liu Cen Beng setelah mereka semua berdiam diri lama
dalam keheningan.
Yang Hong mengangguk lemah dan membiarkan
dirinya dituntun oleh tabib Liu Cen Beng meninggalkan
tempat itu. Sesekali ia menoleh ke belakang, seakan-akan


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak rela berpisah dengan makam ayah dan ibunya.
Wongguo Yuan juga sebenarnya tidak rela meninggalkan
Han Cia Sing seorang diri di makam itu, tapi tabib Liu Cen
Beng dengan bijaksana menggelengkan kepalanya sebagai
isyarat agar meninggalkan Han Cia Sing seorang diri saja.
Wongguo Yuan akhirnya menurut meskipun dengan berat
hati. Mereka bertiga berjalan perlahan dalam keremangan
senja menuju ke sebuah rumah di lembah sebelah timur
kotaraja.
Rumah yang sebenarnya merupakan tempat
peristirahatan para pemburu itu kini sudah diubah menjadi
sebuah rumah yang cukup bagus sebagai tempat tinggal.
Cheng Hung dan anak buahnya bekerja cukup baik
merapikan dan membersihkan tempat itu sehingga layak
ditinggali. Beberapa anak buah Cheng Hung tampak
berjaga-jaga di atas pohon di sekitar rumah itu. Tabib Liu,
Wongguo Yuan dan Yang Hong juga tidak lepas dari
pengawasan mereka.
Kedatangan mereka bertiga yang baru pulang dari
makam langsung disambut Yung Lang dan Lin Tung.
Mereka berdua tampaknya sudah lama menunggu sehingga
tidak sabar langsung banyak bertanya tentang keadaan Han- 378 Cia Sing. Gelengan kepala yang diberikan tabib Liu Cen
Beng dan Wongguo Yuan sebagai jawaban malah membuat
keduanya semakin penasaran dan terus bertanya. Keributan
ini membuat Song Wei Hao keluar dari dalam rumah untuk
melihat apa yang terjadi.
"Yung Lang, Lin Tung kalian jangan ribut! Putraputri Huo Wang-ye sedang beristirahat. Suara kalian jangan
sampai mengganggu istirahat mereka" tegur Song Wei Hao.
"Jenderal Song, kami hanya ingin tahu keadaan Han
Cia Sing, itu saja" kata Yung Lang membela diri.
"Benar Jenderal Song" kata Lin Tung membenarkan.
"Ah kalian ini, kalau kalian begitu ingin tahu keadaan
Sing-er, mengapa tidak langsung saja datang ke makam"
kata Song Wei Hao.
"Kami sudah berhari-hari membujuk Cia Sing tapi ia
tetap diam membisu bagaikan patung saja. Kami berdua
sama sekali tidak dianggap olehnya" kata Yung Lang.
"Ah, Sing-er, sampai kapan kau akan seperti ini" kata
Song Wei Hao sambil menghela napas panjang.
"Jenderal Song, aku akan mencoba untuk membujuknya kembali besok hari" kata Wongguo Yuan.
"A Yuan, terima kasih. Engkau baik sekali. Semoga
Sing-er cepat melupakan kesedihannya" kata Song Wei Hao
berterima kasih.- 379 "Bagaimana keadaan paman Han?" tanya Wongguo
Yuan.
"Keadaannya sudah lumayan tapi masih sangat
lemah. Aku tidak berani menceritakan kematian Pao-er
kepadanya. Aku takut Han-siung tidak kuat menerima berita
itu. Aku hanya mengatakan kepadanya bahwa Sing-er
ternyata masih hidup. Han-siung kelihatannya mengerti dan
bisa tersenyum" jawab Song Wei Hao.
"Aku senang sekali mendengar kabar paman Han
sudah semakin sehat" kata Wongguo Yuan.
"Ini semua berkat obat dan perawatan dari tabib Liu"
kata Song Wei Hao sambil menjura kepada tabib Liu.
"Ah, Jenderal Song terlalu memuji. Aku hanya
memberikan obat saja" kata tabib Liu Cen Beng merendah.
"Tabib Liu, aku juga ingin menyampaikan tentang
keadaan Han Fu-ren sudah semakin baik sejak kedatangan
Han-siung kembali. Kini ia sudah bisa makan sendiri bahkan
tampaknya sudah mulai sadar apa yang terjadi" kata Song
Wei Hao.
"Ah, benarkah?! Sungguh sebuah berkat dari langit
jika Han Fu-ren Ye Ing bisa kembali sadar" kata tabib Liu
Cen Beng dengan gembira.
"Benar, semoga saja Han Fu-ren bisa cepat sadar
kembali sepenuhnya. Mohon bantuan dari tabib Liu" kata
Song Wei Hao.- 380 "Lalu bagaimana keadaan Han Fu-ren muda, Cen
Hua?" tanya tabib Liu.
"Tadi pagi ia sudah mulai makan. Tampaknya
perkataan Huo Fu-ren cukup berkenan di hatinya sehingga
ia sudah mulai bisa makan. Aku benar-benar
mengkhawatirkan keadaannya, apalagi mengingat ia sedang
hamil muda sekarang" kata Song Wei Hao.
"Aku akan mencoba mencari tanaman obat penguat
kandungan di sekitar lembah ini. Semoga saja dapat
membantu Han Fu-ren melewati masa yang sulit ini" kata
tabib Liu Cen Beng.
"Aku Song Wei Hao mewakili keluarga Han
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
tabib Liu" kata Song Wei Hao menjura.
"Ah, Jenderal Song terlalu sungkan. Ini memang
sudah tugasku" kata tabib Liu Cen Beng merendah.
Tabib Liu Cen Beng kemudian mohon diri ke
kamarnya. Yang Hong bersama Wongguo Yuan juga
kembali ke kamar mereka untuk beristirahat. Sekarang
tinggal Song Wei Hao, Yung Lang dan Lin Tung yang
berada di depan rumah itu. Ketiganya menatap matahari
yang mulai menghilang di langit barat dengan pikiran
masing-masing. Beberapa anak buah Cheng Hung juga
terlihat mulai menyalakan lampion dan lilin untuk
penerangan.- 381 "Kalian berdua beristirahatlah. Nanti waktu makan
malam kalian bisa mengajak Sing-er. Semoga saja ia mau
kembali ke sini dan makan. Beberapa hari ini ia makan
sedikit sekali dan selalu saja berdiri di depan makam Ma
Xia, sungguh membuat orang cemas" keluh Song Wei Hao.
"Jenderal Song, kami juga amat khawatir atas
keadaannya. Itu sebabnya kami juga sukar untuk beristirahat
dengan tenang" kata Lin Tung.
"Cia Sing, sampai kapan kau akan begini?!" kata
Yung Lang.
"Semoga saja ia cepat pulih dari luka batinnya.
Sekarang ini perjuangan kita masih belum selesai. Meskipun
kita berhasil menyingkirkan banyak musuh, tapi keadaan
istana masih juga belum pulih. Aku dengar kabar setelah
kalah dari kita, Huo Cin malah lenyap tak tentu rimbanya.
Kini kekuasaan berada di tangan Teng Cuo Hui si
pengkhianat itu. Kaisar dan Permaisuri tidak berkutik di
bawah tekanannya. Ah, hilang seorang pengkhianat malah
muncul pengkhianat lain yang lebih keji" kata Song Wei
Hao sambil menghela napas panjang.
"Apakah sudah ada kabar lagi dari kotaraja?" tanya
Yung Lang.
"Belum. Semoga saja kabar baik yang nantinya akan
kita terima. Kita sudah terlalu banyak menerima kabar
buruk" jawab Song Wei Hao.- 382 Ketiganya kembali berdiam diri. Angin lembah mulai
bertiup sepoi-sepoi mendatangkan hawa dingin yang
menusuk tulang. Keadaan ini kembali membuat mereka
mengkhawatirkan Han Cia Sing yang sendirian di makam.
Untunglah kecemasan mereka tidak berlarut-larut karena
sebentar kemudian tampak sesosok bayangan tengah berlari
menuju ke arah mereka. Sosok itu tidak lain adalah Ma Han
Jiang si Pendekar Tendangan Kaki Menggunting.
"Ma-siung, kau sudah kembali" sambut Song Wei
Hao menjura
"Selamat datang kembali paman Ma" kata Yung Lang
dan Lin Tung bersamaan.
"Ya, aku sudah kembali" kata Ma Han Jiang balas
menjura.
"Bagaimana keadaan keluarga Yao?" tanya Song Wei
Hao. "Mereka sudah kembali ke wisma keluarga Yao
dengan selamat. Untunglah tampaknya istana tidak
mempermasalahkan campur tangan mereka. Beberapa hari
ini semuanya berjalan biasa. Bahkan penjagaan ketat di
wisma keluarga Yao juga sudah ditiadakan, tapi..."
"Tapi kenapa Ma-siung?" tanya Song Wei Hao heran
melihat Ma Han Jiang menghentikan kalimatnya.- 383 "Ada hal penting yang terjadi di kotaraja. Mungkin
kita harus membicarakan ini bersama-sama dengan Huo
Wang-ye" kata Ma Han Jiang.
"Oh, begitu?! Kalau begitu mari kita menghadap Huo
Wang-ye segera" kata Song Wei Hao.
"Baiklah" kata Ma Han Jiang setuju.
"Kalian berdua coba bujuk Sing-er untuk makan. Aku
dan Ma-siung akan menemui Huo Wang-ye" kata Song Wei
Hao kepada Yung Lang dan Lin Tung yang hendak
mengikutinya.
"Baik Jenderal Song" kata mereka berdua setengah
terpaksa. Sebenarnya Yung Lang dan Lin Tung ingin tahu
kabar apa yang dibawa Ma Han Jiang dari kotaraja. Tapi
Song Wei Hao mencegah mereka jadi mereka tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Mungkin membujuk Han Cia Sing
juga merupakan suatu pekerjaan penting saat ini. Jadi
akhirnya Yung Lang dan Lin Tung memutuskan untuk
menemui Han Cia Sing dan membujuknya sekali lagi. Siapa
tahu hari ini adalah hari keberuntungan mereka.
Mereka berdua mendapati Han Cia Sing tengah duduk
bersila termenung di depan makam Ma Xia sambil
membakar kertas dan dupa. Yung Lang dan Lin Tung saling
berpandangan dengan tidak enak melihat keadaan Han Cia
Sing yang seperti itu. Mereka mendekati Han Cia Sing dan
duduk di depannya ikut membakar kertas dan dupa. Selama- 384 beberapa saat mereka bertiga hanya berdiam diri. Hanya
suara kertas terbakar yang terdengar di tengah kesunyian itu.
"Cia Sing, mari kita pulang. Kau makanlah sedikit.
Paling tidak sesendok atau dua sendok, kau harus makan"
kata Yung Lang akhirnya memecahkan keheningan.
"Benar, Cia Sing. Kami semua mengkhawatirkanmu"
kata Lin Tung.
"Aku tidak lapar" jawab Han Cia Sing dengan datar.
"Kau sudah tidak makan mungkin dua hari.
Bagaimana mungkin kau mengatakan tidak lapar? Sampai
kapan kau akan seperti ini?" tanya Yung Lang dengan tidak
sabaran melihat sahabatnya dalam keadaan seperti itu.
"Paling tidak tengoklah ayahmu" kata Lin Tung
membujuk. Han Cia Sing menggelengkan kepalanya dengan
lemah.
"Cia Sing, manusia mati tidak bisa hidup kembali.
Kau pikir hanya kau seorang yang bersedih atas kematian A
Xia?! Aku juga sedih, Lin Tung juga sedih, semua juga
merasa sedih. Tapi kita yang hidup ini harus tetap tegar dan
tabah. Lagipula urusan dengan si pengkhianat Teng dan
kasim Huo masih belum selesai, bagaimana mungkin kau
bisa seperti ini?!" tanya Yung Lang dengan emosi sampai
Lin Tung harus mencengkeram bahunya agar menghentikan
kata-katanya. Han Cia Sing sendiri masih tetap diam dan- 385 termenung, seolah-olah tidak mendengar kata-kata Yung
Lang barusan.
"Cia Sing, kaulah satu-satunya sekarang pendekar
yang bisa menandingi Teng Cuo Hui dan Huo Cin. Kau
tidak boleh seperti ini. Gunakan ilmumu untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan. Jangan terus-menerus menyalahkan dirimu atas kematian A Xia seperti ini" kata Yung Lang
sambil menepiskan tangan Lin Tung yang berusaha
mencegahnya berkata-kata lebih lanjut.
"Apakah salah apa yang aku katakan? Kau tidak perlu
mencegahku" kata Yung Lang melotot kepada Lin Tung.
"Kebenaran dan keadilan?! Di mana kebenaran dan
keadilan untuk A Xia?! Yung Lang, coba kau jawab itu"
kata Han Cia Sing dengan getir.
"A Xia mati demi membela kebenaran dan keadilan.
Ia rela berkorban demi kau, supaya kau bisa terus hidup
menegakkan kebenaran dan keadilan" jawab Yung Lang
tidak mau kalah.
"Aku tidak ingin ikut campur lagi dengan urusan
kerajaan dan dunia" kata Han Cia Sing seolah tidak
mendengarkan jawaban Yung Lang.
"Cia Sing?! Bagaimana kau bisa berkata demikian?!
Ilmumu adalah satu-satunya yang bisa menghadapi ilmu si
pengkhianat Teng itu sekarang. Jika kau tidak ingin lagi
mencampuri urusan dunia, anggaplah ini untuk- 386 membalaskan dendam kematian kakakmu pada si
pengkhianat Teng itu" kata Yung Lang dengan berapi-api.
"Ilmuku?! Apa gunanya aku bisa Shi Sui Yi Cin Cing
jika tidak bisa menolong orang-orang yang kucintai?! Tidak
bisa menolong kakak Pao?! Tidak bisa menolong A Xia?!
Apa gunanya?!" kata Han Cia Sing sambil memandang
Yung Lang dengan tatapan tanpa semangat.
"Lalu apakah akan kau biarkan si marga Teng dan
kasim Huo berbuat seenaknya saja?!" kata Yung Lang.
"Aku tidak mau tahu lagi urusan dunia" kata Han Cia
Sing yang kembali tekun membakar kertas dan seolah
melupakan kedua sahabatnya itu.
"Kau..."
Yung Lang masih ingin berkata-kata lebih lanjut tapi
Lin Tung segera menariknya pergi. Lin Tung menggelengkan kepalanya kepada Yung Lang. Keadaan Han Cia Sing
sekarang masih amat berduka tentu tidak bisa dipaksakan.
Lin Tung berpikir lebih baik ia dan Yung Lang menemui
Han Cia Sing kembali esok pagi. Mungkin setelah merenung
semalam, keadaan Han Cia Sing akan lebih baik daripada
saat ini.
Mereka berdua kembali dengan langkah gontai.
Beberapa hari ini keadaan memang amat tidak enak.
Kematian beberapa sahabat mereka dalam waktu bersamaan
menimbulkan duka yang amat dalam di hati masing-masing.- 387 Apalagi jika melihat Han Cia Sing yang seperti kehilangan
semangat hidup, rasanya mereka berdua tidak tega.
Kedatangan Yung Lang dan Lin Tung segera disambut oleh
Wongguo Yuan yang telah menunggu dengan harap-harap
cemas.
"Bagaimana?! Sing Ta-ke masih tidak mau makan?"
tanya Wongguo Yuan.


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lin Tung dan Yung Lang menggeleng dengan sedih.
"Sing Ta-ke sudah dua hari tidak makan apa-apa. Aku
takut ia akan jatuh sakit" kata Wongguo Yuan.
"A Yuan, jangan sedih. Besok pagi kami akan
mencoba membujuknya kembali" kata Lin Tung berusaha
menghibur.
"Terima kasih, Tung Ta-ke" kata Wongguo Yuan
sambil berusaha tersenyum menyembunyikan kegalauan
hatinya.
Sebenarnya sejak kematian Ma Xia beberapa hari
yang lalu, Wongguo Yuan juga menjadi amat sedih dan
bimbang. Ma Xia baginya sudah seperti kakak kandungnya
sendiri. Kehilangan Ma Xia meninggalkan ruangan kosong
seorang saudari di hati Wongguo Yuan. Apalagi
kepergiannya begitu mendadak dan terjadi bersamaan
dengan Jien Jing Hui dan lainnya. Hati Wongguo Yuan yang
lembut juga bagaikan teriris melihat kesedihan Han Cia Sing
yang berlarut-larut. Sebenarnya ingin rasanya ia berlari dan- 388 memeluk Han Cia Sing, tapi Wongguo Yuan sadar bahwa
Han Cia Sing telah memilih Ma Xia dan bukan dirinya.
"A Yuan jangan bersedih lagi. Beberapa hari ini aku
selalu melihat wajah-wajah sedih sehingga rasanya aku juga
hampir ikut menangis" kata Yung Lang ketika melihat mata
Wongguo Yuan mulai berkaca-kaca.
"A Yuan, di manakah kakekmu?" tanya Lin Tung
berusaha mengalihkan pembicaraan agar kesedihan mereka
semua tidak berlarut-larut.
"Ia sedang dipanggil oleh Yang Mulia Huo Wang-ye"
jawab Wongguo Yuan sambil menghapus air mata yang
hampir menetes dari matanya.
"Apakah berkaitan dengan kabar yang dibawa oleh
paman Ma?" tanya Yung Lang yang dijawab gelengan
kepala Wongguo Yuan.
"Aku tidak tahu, tapi kelihatannya penting" jawab
Wongguo Yuan.
"Lin Tung, kurasa sebaiknya kita bertemu dengan
yang lain. Masalah yang terjadi di kotaraja pasti
mengkhawatirkan, kalau tidak pasti Yang Mulia Huo Wangye tidak akan mengumpulkan semua pendekar" kata Yung
Lang.
"Baiklah, kita ke sana saja sekarang" kata Lin Tung.- 389 "A Yuan, jangan terlalu bersedih. Semoga semua ini
cepat berlalu" kata Yung Lang menghibur sebelum ia pergi
dengan Lin Tung.
"Terima kasih" kata Wongguo Yuan.
Yung Lang dan Lin Tung berjalan dengan terburuburu menuju kamar Huo Wang-ye. Ketika mereka tiba di
sana, para pendekar yang lain sudah berkumpul. Wajahwajah mereka semua tampak cemas. Huo Fu-ren bahkan
sedang menangis tersedu-sedu. Tampaknya kabar yang
dibawa Ma Han Jiang dari kotaraja bukanlah kabar yang
baik. Yung Lang dan Lin Tung segera menjura hormat
kepada Huo Wang-ye.
"Paman Ma, apa yang terjadi?" tanya Yung Lang
setengah berbisik karena takut mengganggu Huo Fu-ren
yang sedang menangis.
"Yung Lang, Lin Tung kalian datang tepat pada
waktunya. Kita sedang merencanakan pembebasan paman
dari Huo Fu-ren" jawab Ma Han Jiang.
"Maksud paman Ma?" tanya Yung Lang dan Lin
Tung tidak mengerti.
"Ketika aku sedang di kotaraja mengantarkan
keluarga Yao kembali, sebenarnya aku amat khawatir jika
pihak kerajaan akan menganggap mereka bersalah.
Tampaknya istana sama sekali tidak bertindak apapun
terhadap keluarga Yao. Bahkan penjagaan di wisma- 390 keluarga Yao sudah ditiadakan. Kukira semuanya akan
berjalan baik. Tapi kemarin aku mendengar kabar yang amat
mengejutkan. Kasim Huo Cin sudah dihukum karena
melakukan pengkhianatan terhadap kerajaan" jawab Ma
Han Jiang menjelaskan.
"Apa? Benarkah?!" tanya Yung Lang dan Lin Tung
hampir bersamaan.
"Kabar yang tersiar memang demikian. Teng Cuo Hui
si pengkhianat itu yang menggantikan kasim Huo" jawab
Song Wei Hao.
"Apa?!" seru Yung Lang dan Lin Tung tidak dapat
lagi menyembunyikan kekagetannya.
"Tidak hanya itu, Teng Cuo Hui juga mengumumkan
akan menghukum mati seluruh keluarga bangsawan Wang
Shun besok siang di depan halaman istana karena ikut
berkomplot dengan kasim Huo menentang Yang Mulia
Kaisar" kata Song Wei Hao.
"Bangsawan Wang Shun? Siapakah dia?" tanya Yung
Lang.
"Bangsawan Wang Shun adalah paman Huo Fu-ren"
jawab Ma Han Jiang.
"Oh?" Yung Lang jadi tersadar apa yang hendak
dilakukan oleh Teng Cuo Hui terhadap mereka semua.- 391 "Pengkhianat Teng itu ingin kita datang dan
menghancurkan semua dalam satu serangan. Benar-benar
keji" kata Huo Wang-ye dengan geram.
"Yang Mulia Huo Wang-ye, apa rencana anda?"
tanya Xiahou Yuan.
"Guru, aku belum tahu. Aku malah ingin pendapat
dari kalian semua" jawab Huo Wang-ye.
Semua saling berpandangan karena tidak bisa
mengambil sikap. Bagaimanapun hal ini perlu dipikirkan
matang-matang. Teng Cuo Hui pastilah sudah menyiapkan
jebakan untuk mereka semua jika mereka berani datang.
Tapi jika tidak datang, maka kematian pasti akan menjemput
keluarga Wang. Ini benar-benar sulit untuk diputuskan
karena kekuatan mereka sekarang sedang lemah setelah
kehilangan banyak teman.
"Yang Mulia Huo Wang-ye, aku punya saran untuk
hal ini" kata Song Wei Hao akhirnya angkat bicara.
"Ah, Jenderal Song silakan berikan pendapat anda"
kata Huo Wang-ye.
"Menurut pendapat saya, kita harus memenuhi
undangan Teng Cuo Hui" kata Song Wei Hao.
Terdengar seruan-seruan terkejut mendengar jawaban
Song Wei Hao ini. Tapi Song Wei Hao sendiri tampak
mantap dengan jawabannya itu. Huo Wang-ye juga
tampaknya senang dengan jawaban itu. Bagaimanapun juga- 392 ia tidak bisa membiarkan keluarga istrinya dibantai begitu
saja. Song Wei Hao maju melangkah ke depan dan menjura
kepada semua yang hadir.
"Teman-teman pendekar seperjuangan semua!
Ijinkan aku yang bodoh ini mengajukan pendapat" kata
Song Wei Hao.
"Silakan Jenderal Song" kata Xiahou Yuan mewakili
semua yang hadir.
"Sekarang ini keluarga Huo Fu-ren sedang dalam
bahaya dalam tangan pengkhianat Teng itu. Aku yakin jika
ia pasti sedang merencanakan jebakan bagi kita besok hari
jika kita datang. Tapi aku mempunyai alasan yang kuat
bahwa kita harus datang besok hari. Selain harus
menyelamatkan keluarga bangsawan Wang, kita juga harus
menuntaskan masalah pengkhianatan kerajaan ini
secepatnya. Teng Cuo Hui baru saja menguasai istana,
kekuatannya pastilah belum berakar. Jika kita menunggu
lebih lama, maka akan semakin tidak menguntungkan bagi
kita. Apalagi kita mendengar kabar bahwa kasim Huo Cin
juga telah disingkirkan oleh Teng Cuo Hui, maka musuh kita
sekarang hanya satu saja yaitu si pengkhianat Teng. Aku
yakin dengan rencana yang baik, kita bisa membalikkan
keadaan dan menuntaskan pertempuran untuk mengembalikan kejayaan dinasti Tang" kata Song Wei Hao menjelaskan.- 393 "Jenderal Song aku setuju sekali dengan pandanganmu" kata Xiahou Yuan.
"Bagaimana dengan para pendekar yang lain?" tanya
Huo Wang-ye.
"Aku setuju" jawab Wongguo Luo.
"Aku juga" kata Yung Lang dan Lin Tung.
"Mari kita tuntaskan hal ini" kata Ma Han Jiang.
"Bagus, baiklah jika semua telah setuju" kata Huo
Wang-ye dengan gembira melihat kesatuan para pendekar.
"Aku Wang Mei Lin, mengucapkan terima kasih
kepada para pendekar semuanya" kata Huo Fu-ren sambil
membungkuk merendahkan diri.
"Ah, Huo Fu-ren terlalu sungkan. Kami para
pendekar memang berkewajiban menyingkirkan
pengkhianat" kata Xiahou Yuan sambil buru-buru
mencegah penghormatan dari Huo Fu-ren.
"Baiklah jika demikian. Kita harus segera menyusun
rencana dan tugas. Hari ini sudah malam dan besok pagipagi sekali kita sudah harus berangkat ke kotaraja. Jenderal
Song, tolong kau rencanakan hal ini" kata Huo Wang-ye.
"Hamba siap melaksanakan perintah" kata Song Wei
Hao.- 394 "Song-siung, kita semua ada di sini, kecuali Cia Sing
dan biksu Tien Fa" kata Ma Han Jiang kepada Song Wei
Hao. "Baiklah, tidak apa-apa. Nanti kita akan memberitahukan kepada mereka tentang rencana kita" kata Song Wei
Hao. Song Wei Hao kemudian mengambil selembar kertas
dan menggambarkan peta istana. Ia memberikan arahan
kepada masing-masing orang tentang tugas yang harus
dijalankan besok paginya. Semua mendengarkan dengan
tekun apa yang dikatakan Song Wei Hao karena ini
menyangkut hidup mati semua orang. Tugas untuk biksu
Tien Fa dan Han Cia Sing sementara ditiadakan karena
mereka berdua tidak ada di tempat.
*** Han Cia Sing saat itu masih tengah merenung di
depan kobaran api berisi kertas sembahyang dan puluhan
dupa yang menyala. Hawa dingin malam yang menusuk
tulang seakan tidak dirasakan Han Cia Sing. Kesedihan
tampak tergurat jelas di wajahnya. Semangat hidupnya tidak
tampak lagi di wajahnya. Kematian Ma Xia benar-benar
merupakan kehilangan besar yang menimbulkan luka batin
mendalam di hati Han Cia Sing. Ia bahkan tidak mempeduli-- 395 kan langkah-langkah seseorang yang mendekat di
belakangnya.
"Amitabha, Han Se-cu mengapa bermuram terus?
Manusia mati tidak bisa hidup kembali" kata orang yang
ternyata adalah biksu Tien Fa itu.
"Biksu Tien Fa, apakah syarat untuk mengikuti jalan
Budha?" tanya Han Cia Sing.
"Ah, Han Se-cu apa maksudmu?!" tanya biksu Tien
Fa tidak mengerti.
"Aku ingin menjadi biksu di kuil Shaolin" jawab Han
Cia Sing.
"Amitabha, san-cai, san-cai. Han Se-cu, menjadi
seorang biksu adalah panggilan bukan pelarian" kata biksu
Tien Fa prihatin.
"Biksu Tien Fa, aku tidak melarikan diri. Aku sudah
memikirkan masak-masak tentang hal ini. Mungkin takdirku
adalah menjadi seorang biksu" kata Han Cia Sing.
"Fang-cang Tien Gong juga belum tentu mau
menerima maksudmu itu" kata biksu Tien Fa.
"Biksu Tien Fa, aku dipertemukan dengan paman Lu
Xun Yi di utara. Beliau menyelamatkan nyawaku dari
kematian dan mengajariku Yi Cin Cing (Sutra Penggeser
Urat). Juga ilmu Shi Sui Cing (Sutra Pembersih Sumsum)
yang kudapatkan di gua serigala berasal dari Shaolin. Aku
ditakdirkan untuk bersama Shaolin" kata Han Cia Sing.- 396 "Han Se-cu, masalah ini adalah perkara besar. Kau
tidak bisa memutuskannya begitu saja. Lagipula masih ada
ayahmu yang membutuhkan perawatanmu. Jika engkau
menjadi biksu, siapakah yang akan mengurus ayahmu?"
tanya biksu Tien Fa. Han Cia Sing hanya bisa terdiam
mendengarkan pertanyaan ini.
"Han Se-cu, manusia harus bisa menerapkan pepatah
ini, berani mengambil rela meletakkan kembali. Engkau
berani mencintai Ma Se-cu, jika takdir memisahkan kalian,
engkau juga harus menerima melepaskannya. Jika engkau
terus bersedih seperti ini, Ma Se-cu juga tidak akan tenang
melihatnya" kata biksu Tien Fa memberikan penghiburan.
"Biksu Tien Fa, aku..."
"Han Se-cu, engkau pikirkan baik-baik perkataanku
ini, sekarang engkau bersedih karena kau merasa kematian
Ma Se-cu adalah kesalahanmu tidak bisa menjaganya
dengan baik. Kau menutup diri dari dunia luar dan tidak mau
tahu apapun juga. Padahal sekarang pertarungan dengan
para pengkhianat kerajaan masih belum berakhir. Jika nanti
ada salah seorang temanmu yang gugur dalam pertempuran,
engkau akan semakin larut dalam kesedihan dan
menyalahkan dirimu lagi. Apakah seperti ini yang
dinamakan laki-laki gagah?! Aku tidak yakin biksu Lu Xun
Yi dulu mengajarimu hal seperti ini" kata biksu Tien Fa.
Han Cia Sing sebenarnya masih ingin berkata-kata
lebih lanjut tapi biksu Tien Fa sudah beranjak meninggal-- 397 kannya. Han Cia Sing memandang kepergian biksu Tien Fa
dengan hati gundah tidak karuan. Ia merasa mungkin
perkataan biksu Tien Fa itu ada benarnya juga. Tapi sekali
lagi Han Cia Sing merasakan jantungnya berhenti berdetak
ketika teringat wajah Ma Xia pada saat-saat terakhirnya.
Rasa bersalah yang amat sangat kembali melingkupi dirinya.
Perasaan tertekan itu begitu dahsyat sampai Han Cia Sing
merasakan napasnya sesak.
"Sing Ta-ke"
Wongguo Yuan memanggil Han Cia Sing dengan
lembut sekali, takut mengganggu lamunan pemuda itu. Han
Cia Sing segera mengusap matanya yang berkaca-kaca
ketika mendengar panggilan Wongguo Yuan. Sementara itu
Wongguo Yuan duduk di sebelah Han Cia Sing menghadap
api sambil membawa sekeranjang kertas sembahyang untuk


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibakar. Wajah Wongguo Yuan juga mengguratkan
kesedihan yang mendalam. Matanya tampak sembab karena
selama beberapa hari ini menangis terus. Selama beberapa
lama, Han Cia Sing dan Wongguo Yuan hanya berdiam diri
membakar kertas sembahyang.
"A Yuan, kau pulanglah" kata Han Cia Sing.
"Aku, aku masih ingin di sini" kata Wongguo Yuan.
Han Cia Sing tidak berkata apa-apa lagi dan kembali
memandangi api yang membakar kertas-kertas sembahyang.
"Sing Ta-ke, bisakah engkau tidak bersedih terus
seperti ini?" tanya Wongguo Yuan dengan pelan sekali.- 398 Han Cia Sing masih tetap diam tidak menjawab.
"Aku yakin Xia-cie tidak akan tenang di alam sana
jika melihat Sing Ta-ke terus-menerus seperti ini" kata
Wongguo Yuan lagi, kali ini dengan mata yang mulai
berkaca-kaca.
"A Yuan, aku tidak apa-apa" kata Han Cia Sing datar.
"Aku mohon, kembalilah menjadi Sing Ta-ke yang
dulu. Aku mohon" kata Wongguo Yuan yang mulai terisak.
Han Cia Sing hanya memejamkan mata berusaha
keras menahan air mata kepedihan yang akan mengalir.
"Kakekku berkata besok mereka semua akan
bertarung melawan Teng Cuo Hui di istana. Kakek sudah
menitipkan banyak pesan kepadaku seolah-olah dia tidak
akan kembali saja. Aku... aku amat takut, Sing Ta-ke. Aku
takut kehilangan kakekku, satu-satunya orang yang dekat
denganku di dunia ini. Aku sudah kehilangan Xia-cie, aku
tidak ingin kehilangan yang lain lagi. Sing Ta-ke, engkaulah
harapan kami semua. Bangkitlah, jangan bersedih terus"
kata Wongguo Yuan dengan air mata membasahi kedua
pipinya.
"Aku tidak bisa menyelamatkan kakakku dan juga A
Xia. Aku bukan siapa-siapa, A Yuan. Aku bukan siapasiapa" kata Han Cia Sing getir.
"Sing Ta-ke, Xia-cie dulu pernah berkala kepadaku
bahwa ilmu Sing Ta-ke amat luar biasa dan tidak tertandingi.- 399 Aku percaya perkataan Xia-cie dulu dan sekarang pun aku
masih percaya. Sing Ta-ke, bangkitlah dan bantulah para
pendekar yang lain" kata Wongguo Yuan.
"Aku bukan siapa-siapa" kata Han Cia Sing.
"Sing Ta-ke, aku yakin Xia-cie pasti akan memintamu untuk pergi bertempur besok jika ia masih ada. Apakah
Sing Ta-ke akan mengecewakan harapan Xia-cie ini
meskipun ia sudah tiada?!" tanya Wongguo Yuan.
Tenggorokan Han Cia Sing seperti tercekat dengan
pertanyaan Wongguo Yuan barusan. Apa yang dikatakan
oleh Wongguo Yuan memang benar. Ma Xia selalu
memberikan semangat kepadanya setiap kali ia akan
bertarung. Han Cia Sing teringat saat pertarungan di Yi
Chang dan Kolam Sembilan Naga, Ma Xia selalu berusaha
menguatkan dirinya. Ma Xia tidak memperhatikan dirinya
sendiri, bahkan sampai ajal menjemputnya. Ma Xia pasti
akan kecewa sekali jika ia sekarang hanya berdiam diri
meratapi nasib sementara kawan-kawannya berjuang habishabisan melawan musuh.
"Cia Sing, aku tidak apa-apa"
Han Cia Sing langsung terkesiap kaget mendengar
bisikan yang didengarnya barusan. Perkataan yang selalu
diucapkan Ma Xia dengan lembut jika Han Cia Sing
mengkhawatirkan dirinya. Han Cia Sing langsung bangkit
berdiri dan memasang telinganya setajam mungkin tapi
yang terdengar hanya desau angin malam saja. Apakah ia- 400 hanya berkhayal saja karena terlalu memikirkan Ma Xia?
Tapi suara yang didengarnya barusan terasa begitu nyata. Itu
adalah suara Ma Xia, tidak salah lagi. Wongguo Yuan
menjadi heran melihat perubahan sikap Han Cia Sing dan
ikut berdiri di sampingnya.
"Sing Ta-ke, ada apakah?!" tanya Wongguo Yuan
bingung.
"A Yuan, kau dengar suara barusan?!" tanya Han Cia
Sing.
"Aku tidak mendengar apa-apa" jawab Wongguo
Yuan heran.
"Tidak mungkin, tidak mungkin" kata Han Cia Sing
kepada dirinya sendiri dengan bingung dan bimbang.
"Sing Ta-ke, ada apakah?! Kau jangan membuatku
cemas" kata Wongguo Yuan sambil memegang lengan Han
Cia Sing.
"Tidak apa-apa, A Yuan. Tidak ada apa-apa" kata
Han Cia Sing.
"Tapi Sing Ta-ke bertingkah aneh sekali" kata
Wongguo Yuan.
"Tadi aku seperti mendengar... ah, tidak apa-apa. A
Yuan, katakan apa yang akan dilakukan kakekmu dan yang
lainnya besok?" tanya Han Cia Sing.- 401 "Mereka akan menyelamatkan keluarga Huo Fu-ren
dari hukuman mati besok siang" jawab Wongguo Yuan
masih keheranan.
"Di mana tempatnya?" tanya Han Cia Sing lagi.
"Di halaman depan istana" jawab Wongguo Yuan.
Han Cia Sing setelah mendengar jawaban Wongguo
Yuan, kemudian berjalan ke depan makam Ma Xia dan
berlutut, ia menyembah dengan penuh perasaan sebanyak
tiga kali di depan makam Ma Xia. Tanpa terasa air mata
menetes dari kedua pelupuk mata Han Cia Sing karena
teringat saat-saat bersama Ma Xia dulu di perkampungan
suku Tonghu.
"A Xia, aku mengerti keinginanmu. Kau ingin
mengatakan jika aku tidak perlu mencemaskanmu lagi.
Terima kasih A Xia, aku akan selalu mencintaimu" bisik
Han Cia Sing dengan penuh perasaan.
Han Cia Sing bangkit berdiri dan berbalik kepada
Wongguo Yuan. Ia menatap gadis itu dengan pandangan
mata yang jernih dan penuh tekad. Wongguo Yuan merasa
hatinya bagaikan disiram air yang amat sejuk ketika melihat
perubahan pada diri Han Cia Sing itu. Entah apa yang telah
terjadi barusan, tapi yang jelas Han Cia Sing sudah kembali
menjadi dirinya yang dulu. Wongguo Yuan merasa amat
senang dan bersyukur melihat hal ini. Sebuah senyuman
mengembang di wajahnya yang sudah berhari-hari hanya
dihiasi tangisan saja.- 402 "A Yuan, kau jangan khawatir. Aku pasti akan
membantu kakekmu dan yang lainnya untuk mengalahkan
musuh. Aku sudah kehilangan orang-orang yang kucintai,
aku tidak ingin kehilangan juga sahabat-sahabat yang
menyayangi aku" kata Han Cia Sing.
"Sing Ta-ke, aku senang sekali" kata Wongguo Yuan
sambil berlari ke pelukan Han Cia Sing.
Wongguo Yuan menangis di dada Han Cia Sing.
Semua rasa gelisah dan perasaan bersalah ia tumpahkan
dalam tangisannya. Kematian Ma Xia selain membawa duka
yang mendalam baginya, juga membawa perasaan bersalah
dalam hati Wongguo Yuan. Ia merasa bersalah karena dalam
hatinya ada sedikit perasaan senang karena merasa bisa
mendapatkan Han Cia Sing hanya untuk dirinya sendiri
sekarang. Meskipun berusaha menekan dan menghilangkan
nya, tapi perasaan itu kadang tetap muncul dalam hatinya.
Wongguo Yuan tidak ingin menjadi manusia yang
mementingkan dirinya sendiri, tapi sifat wanita dalam
dirinya yang ingin memiliki Han Cia Sing hanya untuk
dirinya sendiri, tetap saja berkecamuk dengan hebat.
"A Yuan, aku berangkat sekarang. Tolong jaga
ayahku dan tuan Ma baik-baik" kata Han Cia Sing.
"Sing Ta-ke, aku akan memasakkan jamur
kesukaanmu nanti malam" kata Wongguo Yuan sambil
mengusap air matanya.- 403 Perkataan Wongguo Yuan ini meskipun terkesan
kekanak-kanakan, tapi menyimpan perasaan yang
mendalam di dalamnya. Perkataan yang menyimpan
harapan besar bahwa Han Cia Sing akan kembali dengan
selamat melewati pertempuran besar hari ini. Kata-kata yang
Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala Sebelas Patriot Karya Andrea Hirata Dewi Ular 71 Kupu Kupu Iblis

Cari Blog Ini