Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 3
meresap ke seluruh otot dan tulangnya, membuatnya
seringan bulu. Tubuhnya melayang ke atas beberapa tombak
masih dalam posisi teratai. Tangannya terangkat ke atas ke
langit dan dengan satu hentakan nafas, Jien Wei Cen
meluruskan kedua kakinya dan melayang turun ke bumi
dengan ringan sekali. Burung-burung yang berada di
sekitarnya menjadi kaget dan terbang bergerombol
meninggalkan halaman itu, tampaknya mereka kaget
melihat seorang manusia dapat terbang layaknya seorang
burung saja.
Jien Wei Cen mengatur napas, menggenapkan
perputaran chi dalam tubuhnya. Meski demikian telinganya
yang tajam dan terlatih dapat menangkap gerakan-gerakan
yang sangat halus yang sedang mendekat, semuanya ada
empat orang. Kiranya mereka berempat berilmu tinggi
sehingga keberadaannya tidak disadari oleh para penjaga
wisma Naga Langit.
Tiba-tiba salah satu dari mereka yang mengintai itu
melesat maju menyerang Jien Wei Cen dengan ganas sekali.
Ia melompat tinggi ke atas beberapa tombak dan turun- 174 dengan deras mengayunkan toya besi yang disertai dengan
kekuatan tenaga penuh! Rupanya ia tidak main-main, ingin
sekali menyerang langsung merobohkan lawan. Tapi Jien
Wei Cen malah tersenyum gembira menyaksikan jurus maut
itu. "Bagus, jurus toya besi yang dahsyat! Wang Ding,
kusambut jurusmu ini dengan senang hati." kata Jien Wei
Cen sambil memasang kuda-kuda dengan kokoh. Ayunan
toya yang mampu memecahkan batu karang itu ditahannya
dengan kedua lengannya. Tenaga dalam Tien Lung Ta Fa
yang terkumpul melindungi kedua lengan dari cedera,
bahkan toya besi itu terpental kembali. Sosok tubuh yang
ternyata adalah Cing Hou (Kera Emas)Wang Ding itu
hampir saja melepaskan toya besi dari tangannya karena
tidak kuat menahan getaran yang terjadi akibat benturan
tadi. Tangannya kesemutan hingga terasa sampai pangkal
lengan. Buru-buru ia menyalurkan tenaga untuk menahan
rasa pegal di kedua lengannya. Wang Ding pun segera
mundur beberapa langkah sebagai penjagaan serangan
balasan dari Jien Wei Cen, tapi Jien Wei Cen sendiri hanya
tenang saja berdiri bagai batu karang tak tergoyahkan.
Ketiga bayangan lain yang mengintai, melihat Wang
Ding terpukul mundur dengan mudah, serentak maju
menyerang bersama-sama! Hawa tenaga mereka bertiga saja
sudah terasa beberapa langkah sebelumnya, maka bisa
dibayangkan betapa kuat ilmu mereka bertiga. Salah satu
dari mereka melayang ke atas tepat dalam jarak satu tombak- 175 dari Jien Wei Cen, mencabut pedangnya dan membabat ke
arah leher Jien Wei Cen. Seorang lagi yang berbadan tinggi
kekar, melayangkan kepalan tinjunya dengan ganas ke dada
sementara sesosok lagi berkelebat dengan cepat ke belakang
Jien Wei Cen dengan ringan tubuh yang mengagumkan dan
menghantamkan kedua tapaknya ke punggung Jien Wei
Cen. Menghadapi serangan ganas dari tiga arah, Jien Wei
Cen tetap tenang. Satu tarikan napas saja, ia sudah
mengeluarkan jurus Jiu Lung Ceng Cu (Sembilan Naga
Berebut Mustika) dengan tenaga dalam dikerahkan penuh
untuk melindungi tubuh dari serangan. Pertama-tama ia
berkelit menghindari pedang penebas leher dari atas, tinju
sang tinggi kekar direbut dengan kedua cakarnya dan
dijadikannya pijakan. Kedua kakinya menendang ke
belakang menerima telapak penyerang. Tendangan itu
mengandung tenaga yang luar biasa sehingga si pemilik
tapak sampai terseret mundur beberapa langkah.
Jien Wei Cen tidak berhenti sampai di situ. Ia berputar
bagai gasing sambil membawa serta tubuh si tinju besi.
Sementara si pemilik pedang menyerang lagi dengan cepat
sekali, kali ini berusaha menusuk perut Jien Wei Cen. Tubuh
si tinju besi dilemparkan oleh Jien Wei Cen ke arah pemilik
pedang sehingga serangannya gagal karena ia harus
menghindar jika tidak ingin terbanting ke tanah karena
tertimpa tubuh si tinju besi.- 176 Kini mereka bertiga lebih waspada menyiapkan jurus
dan serangan. Jien Wei Cen sendiri malah tersenyumsenyum.
"Kulihat ilmu kalian bertiga ada kemajuan." katanya
memuji
"Wah wah, Jien Pang-cu (ketua Jien) jarang-jarang
memuji. Bisa-bisa kepala mereka akan pecah karena tidak
kuat menahannya. Hahahahahahha"
Wang Ding tertawa terkekeh-kekeh sambil bersandar
pada toya emasnya dengan gaya santai. Ketiga orang itu
menatapnya dengan tidak senang.
"Jou Hou Ce (Kera Busuk)! Bisanya hanya makan
kutu saja di pojokan!" bentak pemilik tapak yang ternyata
seorang wanita berbaju hitam.
"Hei She Ni, jangan ladeni dia. Kita harus
menunjukkan kemajuan ilmu kita kepada Pang-cu. Tiek
Siung, ayo kita maju bersama-sama" kata pemilik pedang
kepada tinju besi yang tidak lain dari Tiek Siung (Beruang
Besi) Ce Ke Fu.
"Bagus, memang Pai Wu Ya selalu yang paling
bijaksana!" katanya sambil mengacungkan jempol kepada
pemilik pedang Pai Wu Ya (Gagak Putih) Cen Hui.
"Hahahahaha, aku akan lihat kemajuan kalian setahun
ini sampai di mana?"- 177 Jien Wei Cen tertawa gembira. Meskipun mereka
sedang berlatih, namun pertempuran ini dilakukan dengan
sungguh-sungguh dan sekuat tenaga. Kemungkinan terluka
sangat besar jika masing-masing pihak tidak dapat menjaga
kekuatan yang digunakan.
Keempat pendekar andalan partai Naga Langit
mengepung Jien Wei Cen dengan rapat. Bila barusan
mereka hanya maju sendiri-sendiri, kini mereka saling kerja
sama untuk berusaha mengalahkan Pang-cu mereka. Mereka
masing-masing sudah sangat hebat, bagaimana bila
bergabung?
Semuanya saling menunggu saat yang tepat untuk
menyerang. Waktu serasa lama sekali berlalu. Angir lembah
semilir mengalun, menerbangkan daun-daun bamboo kering
di antara para pendekar yang sedang berdiri mematung.
Pakaian mereka berkibar-kibar dan pandangan mereka
tajam sekali mengawasi Jien Wei Cen namun sedikit pun
mereka belum bergerak.
Jien Wei Cen sendiri masih dengan santainya
menunggu keempat pendekar itu maju. Ia berdiri sambil
menyilangkan kedua tangan di dadanya. Sikapnya tenang
sekali, seakan yang mengepungnya hanya empat anak kecil
saja! Padahal yang mengepungnya adalah jago jago kelas
satu dunia persilatan yang dikenal sebagai Si Sao Tien Lung
(Empat Naga Langit Muda). Ce Ke Fu berasal dari utara,
jauh di Mongolia dalam sana. Tubuhnya sangat besar dan
kuat, mungkin hampir tujuh kaki tingginya. Seluruh ototnya- 178 menonjol keluar dengan kekar. Tubuhnya penuh ditumbuhi
bulu dan rambutnya berwarna coklat tua. Alisnya tebal dan
matanya tajam. Cambangnya yang tebal menambah gagah
penampilan dirinya. Ce Ke Fu memakai rompi tebal dan
sepatu dari bulu beruang utara sehingga mudah dikenali.
Orang kedua adalah Pai Wu Ya (Gagak Putih) Cen
Hui. Wataknya pendiam dan penuh perhitungan. Senjata
andalannya adalah pedang Pai Fung (Angin Putih) yang
diwariskan turun-temurun dalam keluarganya yang tersohor
sebagai pendekar pedang kelas atas. Wajahnya yang dingin
namun tampan bertambah keren dengan pakaian sutra putih
yang selalu dikenakannya.
Pendekar ketiga adalah Cing Hou (Kera Emas) Wang
Ding. Sesuai dengan julukannya, Wang Ding tidak bisa
diam, selalu berloncatan kesana kemari. Toya emas adalah
andalannya dan jurus toyanya sudah mengalahkan banyak
pendekar besar. Sikapnya yang suka usil dan turut campur
urusan orang lain selalu membuatnya terlibat banyak
masalah.
Satu-satunya wanita dari empat jagoan besar partai
Naga Langit adalah Hei She Ni (Ular Hitam) Wen Shi Mei.
Ia masih keturunan orang India Timur sehingga kulitnya
agak hitam dan matanya pun tidak sipit seperti orang Cina
Tengah pada umumnya. Kehebatan jurus ularnya tidak
diragukan lagi namun yang lebih menakutkan adalah
pengetahuannya tentang racun ular. Senjata rahasianya Hei
She Cen (Jarum Ular Hitam) dicelupkan dalam bisa ular- 179 hitam gurun barat yang tidak ada penawarnya. Siapapun
yang terkena racun ini pasti akan mati dalam beberapa saat
saja!
Akhirnya Ce Ke Fu yang tidak sabaran mulai
menyerang terlebih dulu. Tmju besinya menghantam
dengan deras ke arah bahu Jien Wei Cen. Bersamaan dengan
itu Pai Wu Ya yang mempunyai jing-kung (meringankan
tubuh) paling hebat segera melejit ke atas dan
menghunjamkan pedang Pai Fung ke arah Jien Wei Cen.
Hampir bersamaan juga Hei She Ni dan Wang Ding
melompat menerjang dengan sapuan toya dan sodokan tapak
ular mengarah ke kaki Jien Wei Cen. Kali ini Jien Wei Cen
tidak berani main-main lagi. Serangan keempat pendekar
bawahannya itu saling susul menyusul dengan ganas sekali,
hampir tidak memberinya kesempatan bernapas barang
sedikitpun. Gabungan keempatnya cukup mampu
membuatnya kerepotan. Empat puluh jurus segera berlalu
dan kedudukannya masih sama kuat meskipun Jien Wei Cen
lebih banyak bertahan saja dari serangan. Ia hanya mencoba
kekuatan keempat bawahannya itu sehingga lebih banyak
berkelit dan menangkis.
Sampai lima puluh jurus, Jien Wei Cen berteriak
keras, menyebabkan seluruh halaman bergetar keras karena
tenaga dalam yang terkandung dalam bentakan suaranya itu.
Burung-burung dalam jarak beberapa U semburat ketakutan.
Keempat pengepungnya sampai mundur beberapa langkah
ke belakang karena bentakan itu mengguncangkan seluruh- 180 organ dalam mereka dengan keras. Beruntunglah tenaga
dalam mereka cukup kuat sehingga organ dalam mereka
tidak terluka.
Kesempatan yang hanya sedetik ini dimanfaatkan
Jien Wei Cen dengan baik sekali. Ia segera mengeluarkan
jurus Fen Lung Ying (Memecah Bayangan Naga), jurus
yang digunakan untuk menghadapi lawan dalam jumlah
banyak. Jurus ini lebih mengandalkan kecepatan daripada
tenaga. Begitu cepatnya sehingga terlihat bayangan Jien Wei
memecah menjadi puluhan bayangan dan menyerang ke
arah empat orang penyerangnya.
Ce Ke Fu yang memang mengandalkan kekuatan,
tidak berniat menghindar malah maju menghadang puluhan
bayangan itu. Tmju besinya hanya menghantam bayangan
saja, sebaliknya punggungnya terkena tendangan telak
sehingga terlempar beberapa tombak dan menghantam
tembok halaman dengan keras. Inilah sebabnya mengapa
Jien Wei Cen dijuluki si Kaki Iblis. Tendangannya begitu
cepat, tidak tahu dari arah mana datangnya tahu-tahu musuh
sudah terpental begitu saja.
Hei She Ni dan Cing Hou mengambil langkah yang
lebih bijaksana. Mereka sadar bahwa Fen Lung Ying adalah
jurus yang amat cepat, tidak mungkin dilawan secara
sembarangan jadi mereka memilih bertahan dengan rapat.
Cing Hou memutar toya emasnya dengan cepat sekali
membentuk baling-baling melindungi sekujur rubuhnya
sementara Hei She Ni memutar kedua tapaknya seperti- 181 kedua ular saling membelit untuk membingungkan lawan.
Pecahan puluhan bayangan yang bergerak menyerang
mereka sepertinya tahu akan siasat mereka bertahan total.
Puluhan bayangan itu menghajar mereka secara
bergelombang. Cing Hou merasakan tangannya kesemutan
sehingga toya emasnya goyah dan hampir terlepas dari
genggamannya. Putaran toyanya semakin lemah dan tidak
beraturan hingga akhirnya terpukul mundur. Hei She Ni
mengalami nasib yang sama. Sodokan ularnya tidak berhasil
mengenai satu bayangan pun malah akhirnya ia yang harus
terpukul mundur ketika satu pukulan penuh tenaga
menghantam lengannya. Terakhir, Pai Wu Ya yang
menyambar-nyambar dari segala jurusan, berusaha
menusuk puluhan bayangan yang menyerbu, kekuatannya
mulai melemah. Saat itulah Jien Wei Cen tahu-tahu
melayang muncul di belakangnya dan dengan satu dorongan
saja sudah berhasil melemparkan kembali Pai Wu Ya ke
tanah.
"Selamat Pang-cu, memang kehebatan Pang-cu Tien
Sia Wu Ti (Tanpa Tanding di Kolong Langit)!" seru
keempat pendekar tadi sambil menjura memberi hormat
kepada Jien Wei Cen.
"Hahahahha, kalian terlalu merendah. Kalian pun
juga banyak kemajuan bahkan aku sampai kerepotan tadi"
kata Jien Wei Cen sambil mengelus-elus janggutnya.
"Sudah lima kali kita beradu setiap tahun dan setiap
kali ilmu kalian mengalami peningkatan. Mungkin lima- 182 tahun lagi aku sudah tidak dapat mengalahkan kalian lagi"
sambung Jien Wei Cen memuji.
"Semua ini adalah berkat bimbingan Pang-cu kepada
kami" balas keempat jagoan tadi serempak.
Jien Wei Cen tertawa senang. Memang keempat
jagoan partai Naga Langit adalah pilar yang dapat dipercaya.
Selama beberapa tahun ini ia sibuk mencari para pendekarpendekar tangguh untuk memperkuat barisan jagoan partai
Naga Langit. Keempat orang ini adalah yang terhebat dan
paling setia kepadanya sehingga ia pun memberikan banyak
wewenang untuk membantunya mempunyai lebih banyak
waktu berlatih Tien Lung Ta Fa. Setahun lalu ketika ia
mengalahkan Fang-cang Tien Gong di kuil Shaolin, Tien
Lung Ta Fa yang ia pelajari baru mencapai tingkat
ketigapuluh empat. Sekarang ia sudah dapat menamatkan
tigapuluh enam tingkat Tien Lung Ta Fa dengan sempurna.
Jien Wei Cen bertanya-tanya, apakah ia dapat mengalahkan
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Fang-cang Tien Gong kurang dari seribu jurus sekarang?
"Pang-cu, kami sudah mendengar perihal anugerah
gelar bangsawan dari Kaisar kepada anda. Saya
mengucapkan selamat kepada Pang-cu" kata Wen Shi Mei
sambil menjura.
"Ah, siapa yang butuh! Li Shi Ming bisanya hanya
bersenang-senang saja di istananya, sama sekali tidak ada
kebanggaan menerima gelar bangsawan" kata Jien Wei Cen
meremehkan. Sebenarnya menyebut nama kaisar adalah hal- 183 yang dilarang dan hukumannya adalah hukuman pancung,
tapi bagi Jien Wei Cen, semua aturan itu hanya dianggap
angin lalu saja. Ia memang tidak memandang sebelah mata
sama sekali bahkan ketika bertemu muka dengan Kaisar Tai
Zong sendiri.
"Cen Hui, aku ingin tahu pendapatmu mengenai hal
ini" tanya Jien Wei Cen kepada Cen Hui. Memang di antara
keempat jagoan utama partai Naga Langit, Cen Hui boleh
dikatakan paling cerdas dan menjadi penasihat bagi Jien Wei
Cen. "Menurut perkiraan saya, ini hanyalah siasat kerajaan
untuk mencobai partai kita. Kaisar ingin melihat apakah kita
tetap setia padanya atau tidak. Partai Naga Langit dalam
beberapa tahun ini semakin kuat dan besar pengaruhnya,
tentunya Kaisar takut jika partai Naga Langit mengancam
kerajaan dan melakukan pemberontakan di kemudian hari.
Api harus dipadamkan pada saat masih kecil. Begitulah kirakira perkiraan saya mengenai rencana kerajaan terhadap
kita" Cen Hui menjelaskan.
"Aku pun juga berpendapat demikian. Selama ini kita
kaum persilatan dan kaum kerajaan tidak pernah saling
mencampuri satu sama lain. Li Shi Ming pernah
diselamatkan oleh para pendekar dunia persilatan
seharusnya ia tidak memaksakan kehendak ingin menguasai
para pendekar. Aku yakin bahwa para pendekar gagah tidak
gila kekuasaan ataupun kekayaan. Kerajaan tidak menarik
bagi pendekar gagah, yang ada hanya menteri korup dan- 184 para bangsawan pengecut yang bisanya memeras rakyat
kecil." kata Jien Wei Cen dengan sengit.
"Pang-cu menurut anak buah kita di utara. Kaisar
sudah mengirim rombongan titah Kaisar beberapa hari lalu.
Rombongan ini mungkin akan tiba sewaktu-waktu di tempat
kita" kata Ce Ke Fu
"Bagus! Aku ingin mereka dijamu sebaik-baiknya.
Jangan sampai partai Naga Langit dikira tidak mampu
menghargai tamunya." perintah Jien Wei Cen kepada Si Sao
Tien Lung.
"Kami menerima perintah!" sambut keempatnya
dengan gembira.
"Tieeeeeee (ayah)!!" teriak seorang gadis muda yang
berpakaian sutra biru berlari-lari ke arah Jien Wei Cen.
Wajahnya merah segar, bibirnya bagus bentuknya.
Rambutnya tebal diikat dengan kain sutra. Benar-benar
mempesonakan mereka yang melihatnya.
"Ah, Hui-er. Ada apakah?" Wajah Jien Wei Cen
tampak gembira melihat gadis muda tadi yang tidak lain
adalah Jien Jing Hui, putri bungsu dan satu-satunya keluarga
Jien.
Gadis itu tiba dengan terengah-engah sehingga perlu
berhenti sebentar untuk menarik napas.
"He, utusan kerajaan sudah tiba di pinggiran lembah"
kata Jien Jing Hui.- 185 "Ternyata mereka datang lebih cepat dari perkiraan
kita semula" kata Wen Shi Mei.
"Baiklah kita tetap pada rencana semula. Kalian
berempat sambutlah dulu utusan Kaisar, aku akan menerima
di aula utama" perintah Jien Wei Cen kepada Si Sao Tien
Lung.
Pai Wu Ya yang paling hebat jing kungnya, segera
melejit meninggalkan wisma itu menuju daerah perbatasan.
Gerakannya benar-benar lincah dan lihai seperti seekor
burung saja layaknya. Pakaian sutra putihnya berkibar-kibar
diterpa angin. Dalam beberapa lompatan saja, Pai Wu Ya
sudah menghilang dari pandangan.
Cing Hou pun tidak mau kalah. Gerakannya yang
gesit dan lincah ditambah ayunan tongkatnya mampu
membuatnya menyusul Pai Wu Ya. Hei She Ni sendiri tidak
mempunyai jing-kung yang terlalu bagus tapi ilmu lari
cepatnya cukup hebat. Mereka berdua segera menghilang ke
arah perbatasan.
Sebaliknya Tiek Siung berjalan santai saja. Tubuhnya
yang tinggi besar dan kekar itu memang tidak cocok untuk
berlomba lari. Ia berjalan dengan gagahnya meninggalkan
wisma Naga Langit, tidak kalah menawan dibandingkan
ketiga pendekar yang berangkat lebih dulu!
"Tie, apakah Tie akan menerima gelar bangsawan itu
dari Kaisar?" tanya Jien Jing Hui sambil bersandar pada
bahu ayahnya yang kekar.- 186 Gadis itu kelihatan manis sekali dengan pakaiannya
yang bermotif bunga teratai biru. Usianya baru lima belas
tahun. Wajahnya bulat, matanya menampakkan keceriaan
dan bibirnya seperti buah anggur merah. Jien Jing Hui
memang anak kesayangan Jien Wei Cen, karena selain
merupakan putri satu-satunya, wajahnya juga sangat mirip
dengan mendiang istri Jien Wei Cen. Apalagi Jien Wei Cen
merasa bersalah karena kematian istrinya, sehingga kasih
sayangnya ia curahkan dengan segenap hati kepada ketiga
anaknya.
"Nanti akan ayah lihat, apakah yang ingin dilakukan
Li Shi Ming itu pada kita. Di manakah kedua abangmu?"
kata Jien Wei Cen
"Mereka sudah berada di aula utama" jawab Jien Jing Hui
"Baiklah, biarkan ayah berganti pakaian sebentar.
Kita akan segera menyusul mereka ke sana" kata Jien Wei
Cen sambil menggandeng putri tunggalnya dengan mesra ke
dalam wisma.
Sementara itu di daerah perbatasan partai Naga
Langit, rombongan kerajaan bergerak dengan pelan. Hawa
musim dingin mulai terasa menusuk tulang, angin
berhembus dengan kencang menerbangkan debu tanah dan
daun-daun pohon yang kering. Pasukan berkuda dan panjipanji kerajaan berjalan paling depan, disusul kemudian oleh
rombongan tandu kerajaan yang membawa menteri Cheng
Tu Yung dan kepala kasim istana Huo Cin. Pasukan tombak- 187 berjalan berbaris paling belakang. Derap langkah mereka
terdengar membahana menggetarkan bumi di jalan tanah
menuju markas partai Naga Langit.
"Pengawal, apakah kita sudah dekat?" tanya menteri
Cheng kepada prajurit yang berjaga di samping tandunya.
"Lapor menteri, gerbang mereka sudah kelihatan"
jawab prajurit itu dengan hormat.
"Baiklah, beritahu aku jika kita sudah tiba," kata
menteri Cheng pula.
Di dalam tandu kedua, Huo Cin juga sudah melihat
markas partai Naga Langit berdiri gagah di atas bukit. Huo
Cin tersenyum sinis. Wajahnya yang tampak aneh karena
berias tebal tampak semakin mengerikan. Untunglah tidak
ada seorangpun yang melihatnya karena ia sedang berada
dalam tandu.
"Prajurit, sebentar lagi kita akan tiba tampaknya.
Bersiap-siaplah untuk menerima penyambutan tamu" ujar
Huo Cin kepada prajurit yang berjaga di sebelah tandu.
"Lapor kasim, aku juga sudah mendengarnya" kata
prajurit itu dengan lirih, takut terdengar oleh prajurit yang
lain. Rupanya prajurit itu tidak lain adalah Wen Yang yang
sedang dalam penyamaran. Tidak heran bila
pendengarannya sama tajam dengan Huo Cin, mampu
mendengar langkah-langkah ringan mendekat yang
mungkin jaraknya masih sekitar beberapa li jauhnya.- 188 Memang pada saat itu, tampak tiga bayangan berkelebat
mendekat. Langkah-langkah mereka begitu cepat sehingga
kelihatan hampir seperti terbang saja layaknya!
Mereka bertiga kelihatannya berilmu tinggi. Gerakgerik mereka cepat dan tangkas sekali. Sebentar saja mereka
sudah ada di depan rombongan kerajaan. Seorang memakai
jubah putih berlengan panjang sekali, wajahnya tampak tua
dan keriput. Rambutnya sudah jarang dan putih. Mimik
wajahnya seperti sudah tidak pernah tersenyum sejak lahir.
Ia memperkenalkan diri sambil menjura," Aku bernama Hu
Sang"
Seorang lagi yang berdiri di tengah adalah seorang
pemuda berwajah tampan dan kekar. Ia memegang sebilah
golok cincin rantai. Pakaiannya dari kulit harimau sehingga
menambah gagah perawakannya. "Aku Chen Yung"
katanya memperkenalkan diri sambil menjura.
Terakhir, seorang laki laki setengah baya namun
masih tetap gagah yang memakai jubah Tao. Rambutnya
digelung dengan kain berwarna hitam. Wajahnya berkumis
dan berjenggot halus serta beruban di sana sini. Sebilah
pedang tersandang di punggungnya. Tutur bicaranya halus
dan sopan.
"Hamba yang rendah ini bermarga Chang, bernama
Ye Ping" katanya memperkenalkan diri.
"Kami diperintahkan Pang-cu kami untuk
menyambut kedatangan menteri sekalian. Silakan mengikuti- 189 kami" kata Chang Ye Ping sambil mempersilakan memberi
jalan rombongan kerajaan.
Menteri Cheng Tu Yung keluar dari tandunya dan
balas memberi hormat kepada ketiga penyambutnya.
"Terima kasih telah jauh-jauh datang menyambut.
Kami akan senang sekali bertemu dengan Pang-cu kalian"
kata menteri Cheng Tu Yung.
"Silakan" jawab ketiga penyambut tadi dengan gagah.
Rombongan kerajaan itu pun mulai bergerak
memasuki gerbang wilayah kekuasaan partai Naga Langit
dengan didahului oleh ketiga pendekar tadi. Sepanjang
perjalanan tampak para pengawal partai Naga Langit bersiap
dengan tameng dan golok.
Wen Yang yang berjalan di samping tandu Huo Cin
mengawasi semuanya dengan waspada dan seksama.
Tangannya sebenarnya sudah gatal ingin mengadu ilmu
dengan ketiga penyambut tadi. Menteri Cheng Tu Yung
mungkin tidak mengetahui bahwa ketiga orang tadi adalah
jago-jago dunia persilatan yang amat disegani. Hu Sang
dijuluki Bao Ji Sang Sing Kui (Setan Sedih dari Bao Jing),
Chen Yung digelari Fei Hu Tao (Golok Harimau Terbang)
sedangkan Chang Ye Ping berjuluk Sung Ge Cien (Pedang
Pengantar Tamu). Ketiganya memang jago-jago terpilih
yang ditugaskan sendiri oleh Jien Wei Cen untuk menjaga
ketenangan partai Naga Langit. Ilmu mereka hanya sedikit
di bawah Si Sao Tien Lung, karena memang demikianlah- 190 rencana Jien Wei Cen untuk menggertak mereka yang ingin
macam-macam dengan Tien Lung Men, sengaja memilih
pendekar yang paling hebat untuk berjaga di depan. Orang
pasti berpikir, jika penjaga pintu saja sudah demikian hebat
bagaimana dengan pendekar yang ada di dalam?
Huo Cin sendiri sudah maklum akan kehebatan ketiga
penyambut tadi sehingga ia tidak keluar dari tandunya.
Sasaran
Huo Cin adalah mengetahui sampai di mana
kehebatan Jien Wei Cen dan apa cita-citanya. Musuh harus
dikenali sampai di mana kehebatannya, baru bisa mengukur
kekuatan. Wen Yang sendiri terus memasang mata,
memperhatikan setiap gedung dan gerakan yang terjadi.
Kesempatan untuk dapat masuk ke dalam markas partai
Naga Langit tidak didapat setiap hari sehingga harus
digunakan sebaik-baiknya.
Markas partai Naga Langit benar-benar bagaikan
benteng kota. Selain gerbangnya besar, kokoh dan dijaga
ratusan orang, keadaan di dalam pun amat luas. Halaman
depan amat luas, kira-kira panjangnya seribu langkah. Di
kiri kanan berdiri puluhan patung batu berbentuk prajurit.
Gedung aula utama sendiri berdiri menjulang megah di
tengah-tengah. Tinggi sepuluh tombak, beratap merah
dengan hiasan naga dan burung phoenix. Pada pintu utama
terpasang papan nama besar bertuliskan emas "Tien Lung
Men".- 191 Rombongan kerajaan berhenti di depan pintu utama
dan disambut oleh dua orang pemuda yang gagah. Yang
lebih tua berusia sekitar tujuhbelas tahun, memakai pakaian
biru dengan ikat pinggang emas. Wajahnya tegas dan
menunjukkan kekerasan hatinya. Yang lebih muda
kelihatannya hanya selisih setahun saja dari yang lebih tua.
Ia memakai baju merah dengan ikat pinggang emas pula.
Namun sayang wajahnya kurang tegas dan kelihatan angkuh
sekali berbeda dengan yang lebih tua.
Menteri Cheng Tu Yung turun dari tandu diikuti para
pengawal dan kasim Huo Cin. Kedua pemuda tadi datang
menyambut bersama beberapa pendekar yang mengikuti di
belakang mereka.
"Selamat datang, menteri Cheng dan rombongan
kerajaan. Kami menyambut dengan gembira kedatangan
kalian di tempat ini. Anda tentunya lelah setelah perjalanan
jauh ini. Mohon maafkan jika ada pelayanan kami yang
tidak berkenan di hati menteri Cheng. Aku bernama Jien
Ming Ti, putra pertama Jien Wei Cen dan ini adikku Jien
Ming Wu. Ayah kami akan menemui kalian sebentar lagi"
sambut pemuda yang bernama Jien Ming Ti dengan ramah
kepada rombongan kerajaan.
"Ketua muda tidak perlu sungkan-sungkan. Sudah
tugas saya sebagai hamba dinasti Tang mengemban amanat
yang mulia Kaisar." jawab Menteri Cheng Tu Yung.- 192 "Silakan" kata Jien Ming Ti sambil mempersilakan
rombongan kerajaan memasuki aula utama.
Wen Yang mengamati dengan seksama kemegahan
aula utama yang hampir menyaingi kemegahan balairung
kerajaan. Hiasan dari emas memenuhi seluruh bagian aula
itu, termasuk kursi ketua partai yang berdiri gagah di bagian
tengah ruangan. Di belakang kursi emas berukir naga itu,
terpampang lukisan besar yang memenuhi dinding, lukisan
seekor naga yang menari di atas awan. Puisi yang terdapat
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada lukisan itu berbunyi "Langit dan laut bagai tanpa tepi,
naga langit tanpa tandingan".
Huo Cin dan Wen Yang saling bertukar pandangan
melihat lukisan itu. Jien Wei Cen tampaknya benar-benar
mengakui dirinya tanpa tandingan di kolong langit ini.
Benar-benar pengakuan yang sombong dan takabur!
Menteri Cheng Tu Yung juga mengagumi aula utama
itu. Ia dipersilakan duduk untuk menunggu kedatangan Jien
Wei Cen. Cangkir yang dipakainya minum adalah cangkir
dari emas dan diseduhkan teh Buddha Besi terbaik yang ada.
Tidak heran jika Menteri Cheng Tu Yung sampai
menggeleng-gelengkan kepala melihat kemakmuran partai
Naga Langit ini.
"Menteri Cheng dan rombongan silakan menunggu
sebentar. Ayah akan segera tiba" kata Jien Ming Ti sambil
mempersilakan rombongan lainnya menunggu di ruangan
samping untuk beristirahat. Para prajurit dipersilakan- 193 menunggu di luar sehingga Wen Yang terpaksa harus ikut
ke luar bersama-sama dengan prajurit rendahan lainnya.
Huo Cin sendiri ikut mendampingi Menteri Cheng
bersama komandan pasukan dan seorang pembawa titah
kaisar. Tidak lama kemudian seorang pengawal partai Naga
Langit berteriak memberitakan,
"Si Sao Tien Lung (Empat Naga Langit Muda)
tibaaaa!!" Tiga bayangan berkelebat dengan cepat. Gerakan
mereka cepat sekali sudah masuk dan duduk di depan
rombongan kerajaan. Menteri Cheng dan komandan
pasukan kaget sekali ketika tiba-tiba telah duduk tiga orang
berpenampilan tidak biasa di depan mereka, tapi Huo Cin
yang berilmu tinggi dan memiliki mata terlatih dapat melihat
kedatangan mereka. Tiga bayangan itu tidak lain adalah Pai
Wu Ya Cen Hui, Cing Hou Wang Ding dan Hei She Ni Wen
Shi Mei. Belakangan baru tiba Tiek Siung Ce Ke Fu yang
berjalan dengan santainya memasuki aula utama.
Menteri Cheng yang pemah mendengar tentang
keanehan para pendekar dunia persilatan, tetap saja
terkagum-kagum menyaksikan keanehan sifat empat
pendekar tadi. Pai Wu Ya yang berjubah putih duduk dengan
tenang seperti orang bersemedi, sama sekali tidak
memperhatikan rombongan kerajaan. Cing Hou yang
memegang toya emas duduk dengan seenaknya tanpa
mempedulikan kehadiran rombongan kerajaan, memutarmutar toyanya dengan santai. Hei She Ni yang berpakaian
serba hitam sendiri tersenyum menggoda kepada- 194 rombongan kerajaan, seakan-akan rombongan kerajaan itu
tamu rumah bordil saja! Ce Ke Fu sendiri setelah datang
langsung duduk di tempat yang paling ujung dekat dengan
kursi emas ketua partai, sama sekali tidak mengacuhkan
kehadiran rombongan kerajaan.
Menteri Cheng Tu Yung merasa tidak enak dengan
perangai aneh keempat pendekar itu. Tapi Huo Cin yang
sudah lebih berpengalaman dan siap mental hanya
tersenyum sinis saja menghadapi sambutan tuan rumah yang
tidak ramah itu. Diam-diam ia mengumpulkan seluruh
tenaga dalamnya untuk bersiap-siap menghadapi serangan
mendadak. Seluruh tubuhnya bergolak karena kekuatan
tenaga Pi Sie Cien. Hawa tenaga yang tidak terlihat itu
menekan seluruh ruangan aula utama.
Keempat pendekar Si Sao Tien Lung kaget melihat
kehebatan pameran tenaga dalam ini. Mereka tidak percaya
kasim yang berperawakan halus itu dapat mengeluarkan
tenaga dalam yang begitu dahsyat. Menteri Cheng Tu Yung
yang tidak mengerti silat hanya merasakan aliran tenaga itu
sebagai hawa panas saja. Ia heran melihat perubahan sikap
Si Sao Tien Lung yang mendadak menjadi waspada. Ia
mengira sikap ini disebabkan Jien Wei Cen akan segera tiba,
sehingga para bawahannya bersikap lebih sopan. Namun
ternyata ia salah sangka karena Jien Wei Cen baru tiba agak
lama kemudian.
"Pang-cu tibaaaaaaa!!" teriak penjaga gerbang.- 195 Si Sao Tien Lung langsung berdiri begitu mendengar
kedatangan Pang-cu mereka. Menteri Cheng dan Huo Cin
juga berdiri untuk menghormati kedatangan sang tuan
rumah. Wen Yang yang berdiri di luar tidak luput ingin
melihat wajah sang pendekar tanpa tandingan itu.
Jien Wei Cen berjalan dengan gagah melewati barisan
anak buahnya. Pakaiannya berwarna emas dan memakai
jubah luar berwarna merah. Rambutnya diikat dengan kain
sutra merah dan hiasan kepala mutiara yang indah.
Wajahnya berwibawa, tatapan matanya tajam menandakan
kecerdasan dan kekerasan hatinya. Di belakangnya
mengikuti seorang gadis belia yang cantik memakai pakaian
sutra halus berwarna biru. Matanya bersinar-sinar Jenaka
dan gayanya lincah.
Jien Wei menjura kepada Menteri Cheng Tu Yung
dengan hormat,
"Selamat datang di Tien Lung Men. Silakan duduk,
Menteri Cheng yang terhormat, maafkan aku tidak langsung
menyambut tuan menteri di depan"
"Tidak apa-apa, Jien Pang-cu. Silakan" kata Menteri
Cheng dengan sopan mempersilakan Jien Wei Cen berjalan
menuju kursi emas ketua.
Setelah kedua pihak berbasa-basi sejenak, Menteri
Cheng Tu Yung menyampaikan maksudnya untuk
memberikan titah bangsawan bagi Jien Wei Cen.- 196 "Jien Pang-cu, Yang Mulia Kaisar Tai Zong
memandang hubungan baik antara kerajaan dengan semua
orang gagah persilatan, terutama Jien Pang-cu yang pernah
memberikan budi besar kepada kerajaan, bermaksud
memberikan gelar bangsawan Wu Han kepada Jien Pang-cu.
Semoga Jien Pang-cu berkenan menerima titah Kaisar ini"
"Menteri Cheng anda terlalu sungkan. Selama ini aku
tidak berbuat banyak bagi negara dan rakyat, hanya
mendirikan sebuah partai saja. Kaisar terlalu memuji dengan
memberiku gelar bangsawan Wu Han ini. Kami para
pendekar dunia persilatan lebih senang hidup bebas, tidak
terikat banyak peraturan kerajaan. Harap Menteri Cheng
maklum dan menyampaikan hal ini kepada Kaisar" jawab
Jien Wei Cen
"Errr, maksud Jien Pang-cu ..." kata Menteri Cheng
Tu Yung dengan tidak yakin. Menolak pemberian Kaisar
adalah penghinaan besar sehingga ia perlu benar-benar
yakin dan berhati-hati atas masalah ini.
"Negara punya hokum, keluarga punya aturan.
Biarlah masing-masing mengurusi bagiannya sendiri jangan
saling mencampuri." tegas Jien Wei Cen menjawab
keraguan Menteri Cheng Tu Yung.
Menteri Cheng Tu Yung kaget mendengar penolakan
tegas yang langsung dan terang-terangan ini. Sedangkan
Huo Cin malah hanya tersenyum sinis. Ia sudah menduga
Jien Wei Cen yang tinggi hati ini tidak akan mau menerima- 197 penghargaan dari Kaisar karena itu akan menunjukkan
derajatnya lebih rendah dari kerajaan. Huo Cin memang
sudah menunggu saat seperti ini untuk bertindak!
"Jien Pang-cu, anda terlalu berlebihan. Kaisar
menghargai anda dan para pendekar gagah lain yang pernah
berjasa bagi dinasti Tang yang agung. Shaolin-bai, Kun
Lun-bai dan Hai Sa-bai menerima penghargaan ini dengan
tulus. Mengapa anda bersikeras menolak? Bukankah ini
berarti menghina Kaisar" kata Huo Cin angkat bicara.
Jien Wei Cen yang sedari tadi memang sudah
memperhatikan kasim istana ini dengan seksama, sekarang
memandang tajam ke arah Huo Cin. Ia dengan matanya yang
tajam dapat melihat bahwa kasim istana yang kelihatan
halus ini bukanlah orang sembarangan. Tapi Jien Ming Wu
yang pemberang tidak dapat menahan diri dan segera maju
ke depan membentak,
"Siapakah dirimu? Berani sekali mengancam ayahku"
Huo Cin memandang Jien Ming Wu dengan sinis
sehingga mau tak mau Jien Ming Wu merasa bulu kuduknya
meremang. Pandangan itu seakan-akan mampu menerobos
pikirannya!
"Wu-er, jangan kurang ajar! Mereka adalah tamu kita
dan utusan kerajaan, kita harus menghormati mereka"
perintah Jien Wei Cen kepada anaknya.- 198 "Baik ayah" kata Jien Ming Wu sambil kembali ke
tempatnya di belakang kursi emas ayahnya.
"Bolehkah aku tahu nama dan jabatan anda?" tanya Jien Wei
Cen kepada Huo Cin. Keduanya saling berpandangan
dengan tajam bagaikan sepasang harimau yang siap saling
menerkam.
"Nama saya Huo Cin, kepala kasim istana. Senang
dapat berkenalan dengan Jien Pang-cu" kata Huo Cin
"Ternyata kepala kasim istana, maaf aku tidak
mengenali anda" kata Jien Wei Cen dengan nada
meremehkan. Huo Cin yang mengerti maksud kata ini tentu
saja menjadi kesal.
"Jien Pang-cu, aku diperintahkan langsung oleh
Kaisar untuk mendampingi Menteri Cheng menyampaikan
perintah. Kami datang jauh-jauh dari kotaraja tentu tidak
ingin pulang dengan kegagalan. Harap Jien Pang-cu maklum
akan alasan kami dan menerima titah ini." kata Huo Cin
sambil berkelebat cepat menyambar titah Kaisar.
Gerakannya begitu cepat sehingga tidak terlihat oleh
pembawa titah dan Menteri Cheng, tahu-tahu Huo Cin sudah
berdiri di depan Jien Wei Cen dengan titah Kaisar di tangan.
"Harap berlutut dan menerima perintah Yang Mulia
Kaisar!" kata Huo Cin dengan lantang di depan Jien Wei
Cen dan ketiga anaknya.- 199 Si Sao Tien Lung yang sedari tadi hanya diam saja
langsung bergerak mengepung Huo Cin untuk menghindari
penghinaan bagi ketua mereka. Pai Wu Ya maju duluan
menyambar dengan kecepatan yang sulit dilihat. Huo Cin
merasakan desiran angin panas menyambar dari atas segera
berkelit. Gebrakan pertama berhasil dielakkan tapi datang
lagi Hei She Ni dengan sodokan ularnya. Huo Cin berusaha
menangkis dengan kekuatan penuh, siapa tahu justru tangan
Hei She Ni malah berputar membelitnya dengan kuat sekali.
Inilah jurus Ular Membelit Pohon, sekali terbelit tidak akan
terlepas lagi. Huo Cin terlambat menyadari tangan kirinya
sudah terbelit, masih harus menghadapi tinju besi Tiek
Siung dan pukulan toya emas Cing Hou yang datang
berbarengan mengincar ulu hati dan kepalanya sekaligus.
Sadar situasinya gawat, Huo Cin segera menyimpan
titah Kaisar di dalam jubah putihnya. Sebagai gantinya,
tangannya keluar mencabut pedang yang tidak pernah lepas
dari dirinya, pedang Yin Ye (Bulan Perak)! Angin pedang
menderu dengan ganas, menghadang gempuran toya emas
Cing Hou yang datang bertubi-tubi bagai baling-baling.
Kilatan bunga api bertebaran di udara ketika toya dan
pedang bertemu. Cing Hou kaget sekali ketika merasakan
kedua lengannya ngilu sekali akibat benturan dengan
pedang Huo Cin, menandakan tenaga kasim ini lebih tinggi
dari dirinya.
Huo Cin sendiri tidak bisa mengambil napas terlalu
lama setelah memukul mundur Cing Hou karena Tiek Siung- 200 sudah mengepalkan tinju besinya ke arah dada Huo Cin
dengan tenaga penuh. Huo Cin membuat langkah tepat
dengan melayang ke atas, menerima tinju besi Tiek Siung
dengan tendangan kakinya yang keras penuh tenaga, karena
tangannya tidak dapat bergerak bebas dililit Hei She Ni.
"Plakkk!!!" bunyi benturan tenaga memenuhi aula utama.
Tiek Siung terdorong mundur beberapa langkah ke
belakang sedangkan Huo Cin menetralkan tenaga lawan
dengan bersalto ke belakang. Hei She Ni yang masih
membelit tangan Huo Cin dengan erat ikut terbanting ke
belakang sehingga belitannya agak mengendor. Selang
waktu yang singkat sekali ini dimanfaatkan Huo Cin dengan
amat baik. Seluruh tenaga disalurkan ke lengan kirinya
sehingga Hei She Ni mau tak mau harus melepaskan
belitannya jika tidak ingin terluka dalam.
Baru saja melepaskan diri dari Hei She Ni, Huo Cin
sudah harus menerima gempuran Pai Wu Ya yang maju
menyerang dengan pedangnya. Cen Hui memang terkenal
dengan ilmu pedang keluarga Cen yang turun temurun
masyhur di dunia persilatan. Kakek buyutnya adalah salah
seorang pendekar andalan Kaisar Wen Ti maka bisa
dibayangkan kehebatan jurus-jurus pedang keluarga Cen ini.
Pedang yang dipakai Pai Wu Ya adalah pedang pusakan
keluarga Cen, Yung Kuang Cien (Pedang Sinar Abadi) yang
sesuai namanya, berkilat-kilat penuh cahaya.- 201 Huo Cin sendiri tidak kalah hebat, ia mampu
menangkis semua serangan pedang Pai Wu Ya. Pedang
bertemu pedang, bergemerincing penuh bunga api. Menteri
Cheng Tu Yung dan pengawalnya minggir ketakutan,
sementara Jien Wei Cen malah keenakan menonton dari
kursi emasnya bersama ketiga anaknya. Diam-diam ia
mengagumi kehebatan kasim kepala Huo Cin yang mampu
menahan gempuran Si Sao Tien Lung. Jien Wei Cen
penasaran sampai berapa jurus Huo Cin mampu bertahan
dari gempuran keempat jagoan utama partai Naga Langit itu.
Sementara di luar aula, Wen Yang menyelinap keluar
dari pasukan pengawal dan dengan tanpa suara telah
mengintip pertempuran di dalam aula utama. Ia merasa
khawatir melihat kakaknya dikeroyok empat jago tangguh
namun turun tangan ia tidak berani, takut membongkar
penyamarannya. Wen Yang hanya dapat mengintip saja
pertempuran itu sambil memperhatikan dengan seksama
jurus-jurus Si Sao Tien Lung yang lihai.
Pertarungan Huo Cin dengan Si Sao Tien Lung sudah
memasuki lima puluh jurus. Kelihatannya mereka masih
sama-sama seimbang, sukar mengukur siapa yang menang.
Tapi ini pun sudah sangat mencengangkan Jien Wei Cen,
yang tidak menyangka sama sekali bahwa Huo Cin
mempunyai ilmu sehebat itu. Kilatan pedangnya
menyambar-nyambar dengan ganas dengan ratusan
perubahan yang tidak terduga. Jien Wei Cen merasa ia
pantas turun tangan sendiri, mengingat lawannya cukup- 202 mampu menahan Si Sao Tien Lung yang maju bersamasama.
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Si Sao Tien Lung, berhenti!" kata Jien Wei Cen
dengan berwibawa.
Si Sao Tien Lung segera menepi dan menghentikan
serangannya. Mereka sudah bertarung lima puluh jurus lebih
dan masih imbang. Ternyata kasim istana Huo Cin ini jauh
lebih tangguh dari yang mereka bayangkan.
Jien Wei Cen bangkit berdiri dari kursi emasnya. Ia
melepaskan jubah merahnya dengan keren. Jien Jing Hui
hendak mencegah ayahnya turun tangan sendiri, demikian
pula Jien Ming Ti dan Jien Ming Wu tapi Jien Wei Cen
memberi tanda untuk mereka jangan khawatir.
"Kasim kepala Huo Cin, anda begitu setia pada
kerajaan maka memandang anda, akan kuterima
penghargaan dari Kaisar." kata Jien Wei Cen
"Jien Pang-cu, terima kasih atas pengertiannya.
Sebelumnya akan kubacakan dulu titah Kaisar ini" jawab
Huo Cin.
"Tidak perlu!" kata Jien Wei Cen sambil terbang
melayang ke arah Huo Cin. Ia tahu Huo Cin memaksa
membacakan titah Kaisar agar ia dan seluruh pengikut partai
Naga Langit berlutut tanda takluk. Jien Wei Cen penguasa
dunia persilatan, mana mau ia tunduk pada aturan kerajaan,
apalagi hanya seorang kasim seperti Huo Cin!- 203 Huo Cin sendiri tidak mengira Jien Wei Cen akan
menyerangnya, hampir saja kehilangan surat titah Kaisar
yang disimpan di balik bajunya. Cakar Jien Wei Cen sudah
menyentuh kain bajunya ketika ia berkelit dengan
menggulingkan tubuhnya ke belakang. Jien Wei Cen terus
mengejar dengan sengit sehingga sekali lagi Huo Cin harus
berjumpalitan menghindari sergapan Jien Wei Cen.
Mereka berdua akhirnya keluar dari aula utama
menuju ke halaman tengah. Ruang gerak menjadi lebih
lapang sehingga masing-masing pihak lebih leluasa
mengumbar jurus. Para pengawal kerajaan dan penjaga
partai Naga Langit kaget melihat pimpinan mereka
bertarung di halaman depan. Mereka bersiap mengangkat
senjata untuk bertarung, tapi Menteri Cheng Tu Yung dan
Jien Ming Ti segera mengangkat tangan mencegah anak
buah mereka bertindak lebih jauh sehingga mereka pun
hanya menonton saja pertempuran kedua pimpinan mereka.
Jien Wei Cen dan Huo Cin sendiri sekarang sudah
berubah menjadi sepasang sinar emas dan putih yang saling
membelit menyilaukan dan memusingkan. Hanya mereka
yang berilmu cukup tinggi saja yang bisa melihat dengan
jelas pertarungan hebat antara dua jagoan kelas satu ini. Wen
Yang pun melihat dengan tidak berkedip setiap jurus yang
dikeluarkan masing-masing pihak, tidak ingin melewatkan
satu jurus pun.
Huo Cin mengeluarkan segenap kemampuan jurus
Pedang Penakluk Iblisnya. Pedang Bulan Peraknya menderu- 204 dan berdesing dengan dahsyat. Jien Wei Cen sendiri
memang tidak menggunakan senjata karena ia pemah
mengatakan bahwa langit telah memberikannya sepasang
senjata terhebat yaitu tangan dan kakinya sendiri. Katakatanya dibuktikan dengan julukan Sen Sou Mo Ciao
(Tangan Dewa Kaki Iblis) yang menggetarkan dunia
persilatan. Tidak heran meskipun kasim Huo Cin memakai
senjata pusaka tetap saja kesulitan meladeni Jien Wei Cen.
Gebrakan Tien Lung Ta Fa memang bukan main-main.
Setiap pukulan dan tendangan mengeluarkan hawa tenaga
yang menimbulkan angin bersiuran. Huo Cin sendiri matimatian menghadang dengan tujuh puluh dua perubahan
Pedang Penakluk Iblisnya.
Sudah hampir lima puluh jurus berlalu dan Huo Cin
masih berhasil mempertahankan titah Kaisar di tangannya.
Dalam hati Jien Wei Cen memuji kehebatan permainan
pedang Huo Cin yang cepat dan penuh perubahan sehingga
bisa menahannya lima puluh jurus. Pendekar tangguh
sekalipun tidak bisa sembarangan menahan Tien Lung Ta Fa
tingkat ketigapuluh. Jien Wei Cen pun berteriak keras
menaikkan tenaga dalamnya setingkat lebih tinggi lagi
menjadi tingkat ketigapuluh dua. Hawa tenaganya naik
berlipat ganda, mendesak semua yang hadir terdorong ke
belakang. Bahkan prajurit dan pengawal yang berilmu
rendah sampai terjengkang ke belakang karena kerasnya
desakan tenaga dalam Tien Lung Ta Fa.- 205 Huo Cin juga bersiap mengeluarkan jurus
terhebatnya. Ia menyalurkan seluruh tenaga ke jari telunjuk
dan tengah, disalurkan ke dalam Yin Ye Gen sekuat tenaga.
Pedang sakti itu langsung bergetar keras menerima
dorongan tenaga Huo Cin yang meluap-luap. Huo Cin pun
memutar pedangnya dengan satu kibasan kuat untuk
melepaskan tenaga Pi Sie Cien. Hawa pedang memotong
lantai batu dengan mudahnya, menimbulkan semburan pasir
dan debu yang mengarah kepada Jien Wei Cen.
Jien Wei Cen sendiri tidak bergerak sedikit pun.
Hamburan pasir dan debu yang dilontarkan Huo Cin dengan
kekuatan tenaga dalam dihadangnya dengan tenaga Tien
Lung Ta Fa tingkat ketigapuluh dua. Begitu kuatnya hawa
tenaga Jien Wei Cen sehingga hawa pedang, pasir dan debu
sudah hancur sebelum mengenai tubuhnya.
Setelah bertahan terhadap tebasan hawa pedang Huo
Cin, kini giliran Jien Wei Cen maju menyerang dengan Tien
Lung Ta Fa. Seluruh lantai batu berguncang karena
kekuatan hentakan kuda-kuda Jien Wei Cen. Serangan yang
dilancarkan benar-benar dahsyat, hawa pukulannya saja
terasa oleh mereka yang berdiri menonton di pinggir
halaman. Jika tadi Huo Cin menyerang dengan tenaga
tebasan pedang maka sekarang Jien Wei Cen mengarahkan
kedua tapaknya ke arah dada Huo Cin dengan satu hentakan
tenaga penuh. Huo Cin sendiri memalangkan Yin Ye Cien
di depan dadanya dan menyalurkan tenaga mumi sampai ke
tingkat tertinggi untuk menghadang tenaga Jien Wei Cen.- 206 Bentrokan tenaga keduanya meledakkan udara,
menghancurkan lantai batu dan mendorong mundur semua
yang hadir. Huo Cin sendiri masih tidak bergeming. Yin Ye
Cien bergetar keras menahan serangan Tien Lung Ta Fa
tingkat ketigapuluh dua. Jika bukan pedang pusaka seperti
Yin Ye Cien maka pasti sudah hancur berkeping-keping
akibat tak kuat menahan adu tenaga dalam tingkat tinggi ini!
"Bagus! Tak kusangka kau bisa menahan Tien Lung
Ta Fa tingkat ketigapuluh dua hahahahahahh. Hari ini aku
bisa melemaskan otot-ototku yang sudah setahun tidak
berlatih ini" kata Jien Wei Cen sambil tertawa gembira.
Sebaliknya Huo Cin, meskipun menerima pujian dari
Jien Wei Cen tidak merasa senang sedikit pun. Tadi ia
mengerahkan tenaga sampai puncak dan sampai kini kedua
lengannya masih terasa kebas akibat benturan tenaga dalam
tadi, tapi Jien Wei Cen masih kelihatan biasa-biasa saja. Ini
pertanda ilmunya masih dua tingkat di bawah Jien Wei Cen,
karena Jien Wei Cen baru mengerahkan tenaganya sampai
tingkat tigapuluh dua, belum sampai ke tingkat tigapuluh
enam!
Jien Wei Cen maju menyerbu dengan kecepatan yang
sulit dilihat pandangan mata. Huo Cin yang menyadari
kekuatan serangan ini, memilih untuk bertahan total. Ia
memutar pedangnya dengan ganas melindungi seluruh
tubuh sehingga gulungan pedang terlihat melingkari seluruh
badannya. Inilah jurus pedang Pi Sie Cien yang kuat sekali- 207 pertahanannya, jurus Ye Tuo Pei Yin (Bulan Bersembunyi
di Balik Awan).
Tangan Jien Wei Cen yang mencengkeram bagai
cakar naga mengarah ke dada Huo Cin, berusaha merebut
titah kaisar yang disembunyikan di balik baju Huo Cin. Jien
Wei Cen seperti tidak menghiraukan tebasan pedang Ye Tuo
Pei Yin sehingga ketiga anak dan Si Sao Tien Lung
mengeluarkan suara kaget ketika pergelangan tangan Jien
Wei Cen tertebas Yin Ye Cien dengan telak.
Tapi yang lebih mengejutkan lagi, tangan Jien Wei
Cen sama sekali tidak putus malah terus bergerak ke arah
dada Huo Cin dan menjambret titah Kaisar dengan
mudahnya. Huo Cin terdorong mundur oleh hawa tenaga
Tien Lung Ta Fa tingkat ketigapuluh empat. Dadanya terasa
sesak sekali sampai susah bernapas. Ia tidak habis pikir
bagaimana pedangnya tidak dapat menebas tangan Jien Wei
Cen padahal ia mengerahkan tenaga Pi Sie Cien dengan
sekuat tenaga, malah ia yang terdesak mundur!
Jien Wei Cen memegang titah Kaisar dengan satu
tangan dan menimang-nimangnya. Ia tersenyum puas.
"Sekarang aku sudah menjadi bangsawan Wu Han.
Kasim kepala Huo Cin terima kasih telah memberikannya
kepadaku" katanya sambil tersenyum mengejek kepada Huo
Cin. Jelas sekali ia memenangkan pertarungan ini dengan
telak. Pergelangan tangannya sama sekali tidak terluka
meskipun tertebas telak oleh ilmu Pi Sie Cien, sedangkan- 208 Huo Cin sendiri malah terdorong mundur. Benar-benar
mengerikan ilmu Tien Lung Ta Fa milik Jien Wei Cen ini!
"Jien Pang-cu, anda terlalu merendah. Mulai sekarang
aku harus memanggil anda bangsawan Wu Han. Tugas saya
sekarang telah selesai, aku harus segera kembali menghadap
Yang Mulia Kaisar untuk melaporkan hal ini. Mohon pamit,
lain kali kita akan bertemu lagi". Huo Cin segera minta diri
tanpa berbasa-basi lagi. Ia benar-benar kehilangan muka di
tangan Jien Wei Cen. Menteri Cheng Tu Yung pun
tergopoh-gopoh ikut pamit. Ia merasa ngeri melihat
pertarungan barusan yang demikian dahsyat. Baginya yang
penting tugas dari Kaisar telah dilaksanakan, ia tidak ingin
berlama-lama lagi di tempat seperti Partai Naga Langit ini.
Rombongan kerajaan pun segera berangkat
meninggalkan Tien Lung Men. Wen Yang yang kembali
bergabung dengan rombongan kerajaan, mengambil tempat
di samping tandu Huo Cin. Ia merasa khawatir dengan
keadaan kakaknya yang terpukul telak oleh Jien Wei Cen
tadi.
"Kasim kepala Huo Cin, bagaimana keadaan anda?"
tanya Wen Yang sambil tetap berpura-pura sebagai
bawahan.
Huo Cin yang sedang memulihkan peredaran
darahnya di dalam tandu, menjawab dengan napas berat.
"Aku tidak apa-apa. Jien Wei Cen tidak bersungguhsungguh tadi, kalau tidak aku pasti sudah terluka parah."- 209 "Benarkah ia demikian hebat?" tanya Wen Yang
setengah tidak percaya.
"Kau lihat sendiri ia menerima tebasan Pi Sie Cien
dengan tangan kosong dan tidak terluka sama sekali.
Kelihatannya aku masih kalah dua tingkat di bawahnya,
mungkin aku masih harus menyempurnakan Pi Sie Cien
beberapa tahun lagi baru bisa menandingi Tien Lung Ta Fa.
Sekarang aku akan menyembuhkan diri dulu, jangan ada
siapapun yang mengganggu" kata Huo Cin memberi
perintah.
"Baik, Kasim kepala" jawab Wen Yang
Sementara rombongan bergerak perlahan ke kota
terdekat, dari kejauhan Jien Wei Cen memandang iringiringan itu sampai menghilang dari pandangan. Ketiga
anaknya ikut berdiri di belakangnya dengan bangga, karena
ayah mereka berhasil mempermalukan utusan Kaisar yang
angkuh tadi.
"Tie, anda memang hebat. Bahkan kasim kebiri tadi
kau buat lari terbirit-birit, hahahahaha" kata Jien Ming Wu
sambil tertawa menghina
"Benar, Tie. Lain kali pasti mereka tidak akan berani
lagi meremehkan lien Lung Men" kata Jien Jing Hui
menimpali. Ia sangat bangga dengan kehebatan ayahnya.
"Kalian tidak perlu bersenang-senang dulu. Hari ini
memang ayah berhasil mempermalukan mereka, tapi- 210 mereka adalah utusan Kaisar pasti akan melaporkan yang
tidak tidak kepada Kaisar. Kita harus lebih berhati-hati
mulai dari sekarang, karena kerajaan sudah mulai mengincar
kita sebagai salah satu yang harus diawasi. Mengertikah
kalian?" kata Jien Wei Cen dengan nada khawatir.
"Tang yang agung mempunyai tiga juta tentara lebih
sedangkan pengikut partai kita tidak lebih dari lima ribu
orang, jika terjadi pertempuran tentulah kita yang
mengalami kerugian, kalian harus ingat itu. Aku juga tadi
tidak menyangka ada seorang kasim yang berilmu
sedemikian hebat." kata Jien Wei Cen menambahkan.
"Tapi Tie, bukankah tadi Tie berhasil mengalahkan
nya dengan mudah? Aku tadi sempat takut melihat tangan
ayah tertebas, tapi ternyata tidak apa-apa malah dapat
memukul mundur orang kebiri itu. Tie memang benar-benar
hebat!" puji Jien Jing Hui.
"Hui-er, coba kau lihat baik-baik pergelangan tangan
ayah ini" kata Jien Wei Cen sambil memperlihatkan
pergelangan tangan yang tadi digunakan untuk menangkis
Pi Sie Cien.
Ketiga anaknya berseru kaget melihat pergelangan
tangan Jien Wei Cen yang sebelah dalam ternyata biru
lebam, seperti habis terpukul dengan keras.
"Tenaga Tien Lung Ta Fa memang melindungi
tanganku, tapi tetap masih terluka. Ini tandanya kasim yang
bernama Huo Cin itu ilmunya tidaklah kalah dengan Fan-- 211 cang Tien Gong dari Shaolin. Usianya juga masih terbilang
muda, sehingga ada kemungkinan ia bisa mencapai tingkat
yang lebih tinggi lagi dari sekarang" kata Jien Wei Cen.
"Ilmu pedangnya juga sangat aneh, tidak pernah
kulihat sebelumnya. Pastilah ia ciptakan sendiri, benarbenar hebat! Benar-benar hebat! Aku sudah tidak sabar
untuk bertarung sendiri dengannya lain kali, hahahahahaha"
Jien Wei Cen tertawa senang. Darah pendekarnya
menggelegak kembali. Memang sifat seorang pendekar
selalu ingin bertarung dengan orang-orang yang sehebat
dirinya atau bahkan lebih. Ketiga anaknya memandangi
ayah mereka dengan heran. Mereka sejak kecil hidup
nyaman di Tien Lung Men sehingga tidak pernah merasakan
gelegak darah pendekar seperti yang dirasakan oleh Jien
Wei Cen!
Partai Naga Langit kini sudah dengan terbuka
menentang kekuasaan kerajaan Tang, tidak mau tunduk
pada aturan Tang, apakah yang akan terjadi selanjurnya?- 212
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
7. Pahlawan Tanpa Pedang
Pada musim panas tahun 649, beberapa bulan setelah Huo
Cin dan rombongannya kembali ke kotaraja, Kaisar Tai
Zong Li Shi Ming yang agung wafat, digantikan oleh putra
mahkota Jin yang bergelar Kaisar Gao Zong yang agung.
Upacara perkabungan dilakukan selama setahun penuh.
Keluarga kerajaan tidak diperkenankan untuk melakukan
pesta, pernikahan atau mengambil selir selama setahun itu.
Seluruh pegawai kerajaan juga tidak diperkenankan
memasang lampion merah dan harus menggantinya dengan
lampion putih sebagai tanda berkabung. Suasana kotaraja
menjadi murung dan tidak bergairah selama setahun. Kaisar
Tai Zong memang dicintai oleh rakyat. Selama dua puluh
tiga tahun masa pemerintahannya, kehidupan rakyat Tang
cukup makmur dan aman. Negara kuat dan perbatasan aman.
Kepergian Kaisar Tai Zong memang amat disayangkan oleh
semua orang tapi takdir manusia memang harus mati pada
akhirnya, tidak terkecuali seorang kaisar sekalipun.
Setahun setelah perkabungan selesai, Kaisar Gao
Zong memanggil semua saudaranya untuk menghadap di
aula Yung An (Aula Kedamaian Abadi). Dalam aula ini
berjajar semua papan nama leluhur dan kerabat dinasti Tang
yang sudah wafat. Kaisar Gao Zong tampak sedang berdoa
dengan dupa di tangan sementara ketiga saudaranya yang
lain berdiri menunggu di dekat pintu dengan hormat. Para
menteri dan jenderal sendiri berjajar di luar aula menanti- 213 dengan hormat Kaisar Gao Zong selesai sembahyang. Cuaca
musim panas yang terik seperti tidak dihiraukan mereka
yang menanti dengan penuh kesabaran.
Di antara para menteri dan jenderal terlihat pula sang
Jenderal Empat Gerbang Han Kuo Li. Ia memakai pakaian
perang jenderal lengkap dengan perisai penutup dada dan
ketopong lengan. Tentunya tidak mudah dalam cuaca yang
demikian panas memakai pakaian perang lengkap dan
berdiri di halaman istana selama beberapa jam, tapi Han Kuo
Li adalah seorang jenderal yang disiplin dan sudah terlatih
sehingga hal ini seperti adalah perkara biasa bagi dirinya.
Namun beberapa menteri sipil tampaknya sudah kepayahan
dan berkeringat banyak terutama para menteri senior yang
sudah lanjut usia. Mereka tidak berani mengeluh, hanya saja
sering menghela napas panjang dan mengeringkan keringat
yang membasahi dahi mereka.
Di barisan depan tampak kasim Huo Cin
membimbing ibu suri keluar dari aula Yung An. Di
belakangnya Menteri Chu Sui Liang kepercayaan mendiang
kaisar dan Changsun Wu Ji saudara ibusuri. Semua kerabat
kerajaan tampak datang memberi hormat pada Kaisar lama
sekaligus menunjukkan kesetiaan kepada Kaisar yang baru.
Kaisar keluar dari aula Yung An, tampak gagah dan
berwibawa dengan pakaian kuning emas bersulamkan naga
emas. Topi kerajaannya berhiaskan untaian mutiara dan
berbalut sutra merah. Wajah kaisar tampak berseri-seri- 214 memandang semua kerabat dan pegawai kerajaan yang
sedang berkumpul di depan aula Yung An.
"Hidup yang Mulia Kaisar, diberkahi panjang umur
sepuluh ribu tahun!" serentak semua yang hadir berlutut dan
menyembah kaisar.
"Bing-sen (silakan berdiri), semua kerabat dan
pegawai yang setia. Hari ini genap setahun kita semua
berkabung atas mendiang ayahanda kaisar. Selama setahun
ini kita mengenang kebijaksanaan dan kemuliaan mendiang
ayahanda kaisar, semoga dapat menjadi contoh bagi dinasti
Tang yang agung. Mulai hari ini semoga langit menyinari
Tang agung dengan berkahnya sehingga Tang agung berjaya
selamanya" kata Kaisar yang disambut dengan seruan
panjang umur oleh semua yang hadir.
"Hari ini juga Cen (panggilan kaisar untuk dirinya
sendiri) akan mengumumkan secara resmi mengangkat
permaisuri bulan depan. Semua calon putri akan diatur oleh
Menteri Chu Sui Liang sebagai pelaksana titah mendiang
ayahanda kaisar. Hari bahagia akan membuat Tang agung
kembali bersinar, sebab itu Cen juga ingin agar para WangYe yang masih belum mempunyai istri agar segera
mengangkat istri resmi yang merupakan amanat terakhir
ayahanda kaisar. Silakan semua bersiap-siap!" kata kaisar
sambil meninggalkan aula Yung An diiringi para dayang
dan kasim.- 215 Semua yang hadir berlutut mengucapkan sembah dan
setelah kaisar pergi, semua saling bercakap-cakap dengan
serius perihal titah kaisar barusan. Memang selama ini
kaisar belum memiliki permaisuri hanya beberapa selir saja,
juga pangeran Huo dan pangeran Sie masih belum beristri.
Pangeran Feng yang merupakan pangeran termuda malah
telah beristri dan berselir.
Pengangkatan permaisuri adalah hal yang sangat
penting bagi kekaisaran Tang. Apalagi kaisar Gao Zong
selama ini terkenal suka main perempuan dan tidak terlalu
mampu mengatur negara, maka peranan ibusuri dan Menteri
Chu Sui Liang sebagai pelaksana titah mendiang kaisar akan
menjadi sangat penting. Seorang permaisuri tidak hanya
harus berasal dari kalangan bangsawan tapi juga harus
pandai dan mengerti aturan tata negara sehingga dapat
membantu kaisar melaksanakan pemerintahan dengan baik.
Ibusuri setelah sembahyang segera memanggil para
pangeran dan menteri kepercayaan mendiang kaisar seperti
Menteri Chu Sui Liang, Menteri Changsun Wu Ji, Menteri
Huang Fu Rong dan Menteri Li Cen Nan. Tujuan ibusuri
tidak lain membicarakan masalah pengangkatan permaisuri
oleh kaisar dan juga pernikahan kedua putranya yang lain,
pangeran Huo dan pangeran Sie.
Semua yang hadir berkumpul di aula kediaman
ibusuri di tenggara kota terlarang, istana Sung Yang rnilik
ibusuri. Istana ini memang terletak agak jauh dan
tersembunyi sehingga sangat tenang, cocok sekali bagi- 216 ibusuri yang memang sudah tidak ingin terlalu mencampuri
urusan kerajaan. Halaman depan istana Sung Yang luas dan
ditumbuhi banyak tanaman sehingga kelihatan
menyejukkan mata. Kolam ikan mas yang besar terletak di
halaman samping dengan jembatan berliku-liku dan tempat
berteduh dengan terletak di tengah-tengah kolam. Matahari
musim panas bersinar dengan terang, membuat bungabunga teratai kolam bermekaran dengan indahnya. Ratusan
ikan mas berwarna-warni berenang-renang dengan bebas di
dalam kolam, membuat orang betah untuk berlama-lama
duduk di sana menikmati keindahan alam. Beberapa pasang
burung belibis dan bebek mandarin tampak berenang
berpasang-pasangan dengan bahagia, tidak memperdulikan
para pangeran dan kerabat kerajaan yang sedang berkumpul
di aula dengan hormat menunggu kedatangan ibusuri.
Ibusuri datang dengan didampingi para dayang dan
tentu saja tidak ketinggalan Huo Cin sang kepala kasim
istana. Ibusuri ini sebenarnya adalah permaisuri mendiang
kaisar yang pertama dan merupakan nenek dari kaisar yang
sekarang. Ibu kaisar Gao Zong sendiri sudah meninggal tiga
belas tahun yang lalu dan kaisar tidak mengangkat
permaisuri baru sebagai gantinya, karena itu sekarang nenek
kaisar Gao Zong lah yang tetap memegang peranan untuk
mencari jodoh bagi para cucu kerajaan.
Ibusuri meskipun sudah berusia hampir seratus tahun,
masih kelihatan sehat dan berwibawa. Pakaian yang
dikenakan berwarna biru dengan motif bunga mei-hua- 217 sulaman emas. Rambutnya yang sudah memutih disanggul
dengan tusuk konde giok dan mutiara sehingga tampak
anggun sekali. Wajahnya yang sudah berkerut masih
menampakkan sisa-sisa kecantikannya. Huo Cin
membimbingnya dengan hati-hati duduk di kursi utama.
Para pangeran dan menteri yang hadir langsung bersujud
memberikan sembah.
"Hormat permaisuri, langit memberikan panjang
umur seribu tahun!"
"Mien-li. Kalian semua datang kuundang ke istana
Sung Yang ini tentu sudah mengetahui maksud dan
tujuannya. Yang Mulia Kaisar sudah memberikan titahnya
ingin mengangkat seorang permaisuri, juga kepada para
pangeran untuk mengangkat istri resmi. Menteri Chu Sui
Liang, bagaimana pandanganmu tentang hal ini?" tanya
ibusuri.
"Lapor permaisuri, hamba setuju dengan pemikiran
Yang Mulia. Setelah masa perkabungan mendiang kaisar
selesai dilakukan, hamba pikir memang sudah saatnya untuk
mengangkat seorang permaisuri. Para pangeran juga sudah
dewasa, harus mempunyai seorang istri yang resmi, tidak
boleh hanya mempunyai gundik dan selir saja. Mohon
ampun dari Ibusuri jika hamba lancang berkata demikian"
kata Menteri Chu Sui Liang sambil membungkuk hormat.
"Menteri Chu Sui Liang, engkau adalah menteri
kepercayaan mendiang kaisar dan juga pelaksana titah- 218 kaisar. Aku yang sudah tua ini mempercayakan sepenuhnya
kepada dirimu dan Changsun Wu Ji untuk memberikan
calon permaisuri dan putri terbaik bagi cucu-cucuku. Aku
percaya kalian tidak akan mengecewakan diriku" kata
ibusuri.
"Hamba siap melaksanakan perintah" jawab Chu Sui
Liang, Changsun Wu Ji, Huang Fu Rong dan Li Cen Nan
bersama-sama sambil membungkuk dengan hormat.
"Kalian sendiri pangeran Huo dan pangeran Sie,
apakah mempunyai pendapat mengenai pendamping
kalian?" tanya ibusuri kepada kedua pangeran.
Pangeran Sie yang menjawab lebih dulu dengan
tegas. "Ibusuri, aku sudah mempunyai seorang calon yang
layak"
"Oh? Benarkah? Siapakah dia? Putri dari keluarga
manakah?" tanya ibusuri dengan penuh rasa ingin tahu.
Pangeran Sie menjawab dengan wajah berseri-seri,
"Dia adalah anak dari bangsawan Gao, Gao Ying San."
"Oh? Benarkah? Bangsawan Gao?" kata ibusuri
sambil berusaha mengingat-ingat.
Menteri Chu Sui Liang maju ke depan dan memberi
hormat "Yang Mulia Ibusuri, bangsawan Gao adalah salah
satu dari tiga bangsawan yang mendapat gelar dari
mendiang kaisar Tai Zong karena pernah berjasa besar
memukul mundur pasukan barbar di utara."- 219 "Begitukah? Baiklah kalau begitu, Menteri Chu Sui
Liang, tolong anda masukan putri Gao ini dalam daftar calon
putri terpilih." kata ibusuri
Pangeran Sie mundur dengan berseri-seri karena
merasa ibusuri memberikan angin kepadanya. Juga Menteri
Chu Sui Liang telah memberikan masukan yang baik untuk
Gao Ying San, hatinya bertambah gembira. Pangeran Sie
yang terkenal hidung belang tersenyum-senyum
membayangkan ia bakal bersanding dengan putri Gao yang
cantik jelita. Ia sudah tidak sabar lagi nampaknya!
"Pangeran Huo,bagaimana denganmu apakah juga
sudah mempunyai calon sendiri?" tanya ibusuri sekarang
kepada pangeran Huo.
Pangeran Huo agak ragu-ragu sejenak. Ia seperti
hendak mengatakan sesuatu tapi ragu-ragu dan menariknya
kembali "Saya akan menuruti apa yang akan diusulkan
ibusuri dan Menteri Chu Siu Liang" kata pangeran Huo
sambil memberi hormat.
"Hrrurtm baiklah kalau begitu. Menteri Chu Sui
Liang, Changsun Wu Ji, Huang Fu Rong dan Li Cen Nan,
mohon kalian aturlah daftar putri bangsawan yang layak
menjadi pendamping kaisar dan para pangeran dalam
sepuluh hari ini. Berikan kepada Huo Cin setelah kalian
selesai nantinya. Sekarang kalian semua boleh kembali"
kata ibusuri menutup pembicaraan.- 220 "Hormat ibusuri, semoga diberkahi langit umur seribu
tahun!" hormat semua yang hadir serentak sambil beranjak
pergi.
"Huo-er, bisakah engkau tinggal dahulu sebentar"
kata ibusuri kepada pangeran Huo sebelum ia meninggalkan
aula Sung Yang.
"Apakah yang hendak ibusuri sampaikan?" tanya
pangeran Huo sambil menghormat
"Tadi Huo-er kelihatan ragu-ragu, apakah Huo-er
hendak mengatakan sesuatu" tanya ibusuri menyelidik
Pangeran Huo masih kelihatan ragu-ragu. "Huo-er, engkau
tidak perlu sungkan terhadap nenek. Sejak Huo-er masih
kecil, nenek sudah ikut mengasuhmu. Aku tahu persis
kepribadianmu, engkau tadi ragu-ragu karena sudah
mempunyai calon sendiri, bukankah begitu? Apakah ia
bukan dari kalangan bangsawan? Selama ini engkau sama
sekali tidak mengambil gundik atau selir, tentunya gadis itu
sangat penting bagimu" kata ibusuri dengan bijak.
Pangeran Huo menunduk. Ia memang sejak kecil
tidak bisa membohongi neneknya ini.
"Benar sekali ibusuri, tepat apa yang dikatakan bahwa
calon sudah ada tapi mungkin tidak dapat masuk istana
karena hanyalah rakyat biasa saja" kata pangeran Huo.
Ibusuri tersenyum bijak sambil berjalan menuju
jendela besar yang menghadap ke taman. Matahari musim- 221 panas bersinar dengan cerah sekali, memekarkan semua
bunga teratai yang ada di kolam. Angin semilir bertiup
melambaikan pohon-pohon bambu yang ditanam di timur
istana. Ibusuri menghela napas dan memandang pangeran
Huo dengan penuh kasih sayang.
"Sebenarnya jika ingin jujur, dulupun nenek juga
hanya anak rakyat biasa. Hanya karena kehendak langit.
Yang Mulia Kaisar Gao Zu, kakekmu mampu
menghancurkan tirani Sui yang kejam dan mendirikan Tang
agung didukung oleh rakyat. Siapapun sebenarnya yang
ingin kau jadikan istri, aku yakin Huo-er kau tidak akan
salah pilih. Aku tidak mengkhawatirkan dirimu karena dari
kecil engkau selalu pandai dan bijaksana. Sekarang katakan
pada nenek, siapakah gadis yang beruntung itu?"
Pangeran Huo menjura dengan hormat. Matanya
berkaca-kaca karena menyadari kebijaksanaan hati
neneknya ini.
"Gadis itu bernama Wang Mei Lin, keponakan dari
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bangsawan Wang, adik ipar dari Fu-ma (suami dari saudari
kaisar) Chou Yi Hu"
"Oh? Benarkah? Bukankah dengan begitu ia
termasuk keluarga bangsawan juga?" tanya ibusuri.
"Bisa disebut demikian, ibusuri" jawab pangeran Huo.
"Jika demikian maka semuanya tidak perlu engkau
khawatirkan Huo-er. Engkau sekarang adalah Wang-ye- 222 (saudara laki-laki kaisar) sehingga penetapan istrimu tidak
harus dari keluarga bangsawan. Engkau boleh menikah
dengan siapapun pilihanmu." kata ibusuri.
Mendengar hal yang menggembirakan ini, pangeran
Huo langsung berseri-seri. Ia segera berlutut dan
menyembah.
"Terima kasih ibusuri" kata pangeran Huo dengan
bersemangat sekali.
Permaisuri juga tertawa senang. Ia memerintahkan
Huo Cin untuk mencatat nama Wang Mei Lin dalam urutan
atas daftar putri calon istri pangeran Huo.
Pangeran Huo meninggalkan istana Sung Yang
dengan langkah-langkah lebar. Beban berat di pundaknya
selama ini seperti terangkat. Ia menjadi lebih gembira dan
bebas.
Memang setelah kematian mendiang kaisar ayahnya,
pangeran Huo selalu dalam keadaan cemas dan diliputi
kekhawatiran. Kedudukannya sebagai pangeran yang lebih
pandai dan disukai daripada kaisar Gao Zong yang sekarang,
tentunya amat berbahaya. Setiap saat jika kaisar
mengeluarkan titah pengasingan atau pembuangan, ia tidak
akan dapat lagi menapakkan kakinya di kotaraja!
Pangeran Huo bukanlah orang yang gila harta dan
kedudukan, juga bukan orang yang takut mati. Ketakutan
terbesarnya jika dibuang hanyalah tidak bisa bertemu lagi- 223 dengan pujaan hatinya, Wang Mei Lin. Sudah sejak
beberapa bulan ini ia sering berkunjung ke wisma keluarga
Wang dengan berbagai alasan, meskipun tentu saja tidak
bisa membohongi Wang Shun yang sudah kenyang asam
garam kehidupan.
Wang Shun dan istrinya, nyonya Wang Sien
mempunyai dua orang putra dan seorang putri sehingga
kedatangan Wang Mei Lin diterima dengan senang hati
karena putri mereka, Wang Feng Huang, dapat mempunyai
teman sepermainan yang sebaya. Selama beberapa bulan di
kediaman pamannya itu, Mei Lin mulai dapat melupakan
kesedihan karena kehilangan kedua orang tuanya. Paman,
bibi dan para sepupunya amat menerima dirinya sehingga ia
merasa di rumah sendiri layaknya. Apalagi sepupunya Feng
Huang juga tidak berbeda umur terlalu jauh sehingga
mereka berdua amat cocok satu sama lain.
Yang membuat Mei Lin dapat melupakan
kesedihannya tentu saja tidak lain dan tidak bukan adalah
kehadiran pangeran Huo. Meskipun hanya pernah bertemu
secara langsung beberapa kali dan itupun singkat-singkat
saja, tapi terlihat sekali bahwa pangeran Huo menaruh hati
padanya. Pertemuan pertama mereka beberapa bulan lalu
sungguh berkesan di hati masing-masing.
Ketika itu pangeran Huo dan Wang Shun sedang
berjalan-jalan di taman, sedangkan ia dan Feng Huang
sedang memainkan kecapi di tepi kolam teratai. Ia tidak
menyadari ada seorang pangeran tampan sedang- 224 memandanginya dari tepi kolam sampai ia selesai bermain
dan pangeran itu bertepuk tangan memuji permainannya.
Tidak bisa dibayangkan betapa merah muka Mei Lin saat itu
menyadari permainannya tengah diperhatikan oleh seorang
pemuda tampan berjubah naga di tepi kolam. Buru-buru ia
mohon diri dan masuk kamar dengan hati berdebar kencang!
Pangeran Huo pun tidak menyangka dapat bertemu
gadis yang diimpikannya selama ini dengan begitu tiba-tiba.
Memang ia berniat mencari tahu tentang gadis yang
ditemuinya malam itu, siapa tahu malah bertemu dengannya
langsung di pinggir kolam. Gadis itu memakai pakaian sutra
biru yang bagus sekali dengan ikat pinggang sutra emas.
Wajahnya yang bagaikan bunga musim semi, masih tetap
menawan hati pangeran Huo. Hanya saja kali ini wajahnya
agak cerah, meski masih mengenakan tanda berkabung di
lengannya. Rambutnya yang hitam panjang terurai sampai
pinggang disanggul dengan tusuk konde emas berbentuk
bunga mei. Ia duduk di pinggir kolam teratai bersama anak
gadis Wang Shun yang berpakaian ungu yang sama
anggunnya. Gadis itu tengah memetik kecapi dengan amat
perhatian dan terbawa alunan nadanya sehingga tidak
menyadari kehadiran Wang Shun dan pangeran Huo di
seberang kolam. Feng Huang yang hendak bangun memberi
hormat buru-buru diberi tanda oleh ayahnya sehingga
kembali duduk. Mereka bertiga mendengarkan dengan
penuh perasaan alunan petikan kecapi Mei Lin yang penuh
perasaan seperti air sungai yang mengalir dengan tenang di
antara bebatuan, seperti awan yang berarak di atas langit.- 225 Tenang tapi mengalun, membuat yang mendengarnya
seakan terbuai oleh ketenangannya.
Setelah permainan kecapi Mei Lin selesai, pangeran
Huo tak kuasa membendung kekagumannya dan bertepuk
tangan dengan bersemangat. Inilah yang mengagetkan Mei
Lin dan membuatnya kabur ke dalam kamar tanpa pangeran
Huo sempat berkata-kata lagi! Wang Shun yang bermata
tajam segera menyadari pangeran Huo menaruh hati kepada
keponakannya ini. Lain kali jika pangeran Huo datang
berkunjung ia pun sengaja memanggil Mei Lin keluar
sekadar untuk menyuguhkan teh ataupun menemani mereka
berbincang-bincang dengan memainkan musik kecapinya.
Meskipun permainan musik Mei Lin sebenarnya
biasa-biasa saja tapi bagi pangeran Huo nadanya terdengar
paling indah di dunia. Wang Shun sendiri sebagai paman
merasa sangat beruntung Mei Lin dapat mendapat tempat di
hati pangeran Huo karena ia tahu kepribadian pangeran Huo
paling bagus di antara pangeran lainnya yang gemar bermain
dan berganti perempuan. Setiap ada kesempatan, Wang
Shun selalu berpura-pura sibuk dan memberi kesempatan
pangeran Huo dan Mei Lin berdua saja di ruang tengah atau
di pinggir kolam. Selama beberapa bulan kemudian,
hubungan pangeran Huo dan Mei Lin semakin dekat dan
mereka menjadi pasangan yang serasi, hampir setiap hari
bertemu, bagaikan sepasang bebek mandarin yang selalu
berpasangan mengarungi air kolam.- 226 Kini pangeran Huo menunggang kuda keluar dari
kota terlarang bersama beberapa bawahannya, bergegas
menuju ke arah kediaman keluarga Wang. Ia sudah selama
beberapa hari tidak bertemu dengan Mei Lin, hatinya sudah
amat rindu dengan kekasih hatinya itu. Apalagi ada kabar
gembira yang ingin sekali disampaikannya kepada Mei Lin
bahwa ibusuri sudah menyetujui pernikahan mereka.
Pangeran Huo sudah benar-benar tidak sabar lagi sehingga
ia memacu kudanya dengan kencang sekali, sampai-sampai
para pengawalnya tertinggal di belakang dan keheranan, ada
apa gerangan dengan pangeran mereka hari ini sehingga
demikian terburu-buru.
Jalanan di tengah kota yang dilalui oleh pangeran Huo
cukup ramai sehingga ia mau tak mau harus mengurangi
kecepatannya berkuda. Beberapa prajurit segera turun
tangan memberikan jalan bagi pangeran Huo, memaksa
mereka yang berjalan agar rninggir ke tepi.
Di antara mereka yang berdiri di pinggir jalan, ada
seorang pemuda yang berpakaian sederhana, membawa
buntalan pakaian dan kelihatannya telah berjalan cukup
jauh. Wajahnya bersih, matanya tajam, mulutnya tipis dan
rambutnya diikat dengan sehelai kain sutra
hijau.Tampaknya ia adalah seorang terpelajar karena
tingkah laku dan tutur katanya yang halus.
Ia bertanya kepada seorang penjual bakpao di pinggir
jalan.- 227 "Maafkan saya bertanya, siapakah yang lewat
sehingga kita semua harus memberikan jalan?"
"Pangeran Huo yang lewat, ia hampir setiap hari
melewati daerah ini. Kelihatannya kung-ce (tuan muda) ini
bukan orang kotaraja sehingga tidak tahu. Dari manakah
asal kung-ce?" tanya penjual bakpao itu.
"Saya yang bodoh ini bermarga Luo, bernama Bin
Wang. Asal saya dari Tang Shan. Saya ke kotaraja ini
hendak mengikuti ujian negara. Bolehkah bapak
memberitahu saya tempat menginap yang baik dan murah?"
kata Luo Bin Wang sambil menjura.
Tukang bakpao itu yang tidak terbiasa dengan banyak
tatakrama dan kata-kata berbunga menjadi tidak enak hati.
"Luo kung-ce tidak perlu sungkan-sungkan. Jika
ingin menginap yang murah mungkin dapat mencoba di
penginapan Guan Ye di pinggiran barat kota" jawab tukang
bakpao itu.
"Terima kasih atas sarannya, bapak tua" kata Luo Bin
Wang sambil menjura dan mengeluarkan kantong uangnya.
Ia memberikan satu tael uang perak kepada tukang bakpao
itu, yang tentu saja kaget karena bakpaonya hanya seharga
tiga sen saja.
"Kung-ce, bakpao saya hanya seharga tiga sen saja.
Uang satu tael terlalu besar, aku tidak mempunyai
kembaliannya" kata tukang bakpao itu.- 228 Luo Bin Wang tampak ragu-ragu sejenak. Uang
dalam kantongnya memang hanya tersisa dua tael perak
saja, hasil menjual seluruh warisan keluarganya. Akhirnya
tukang bakpao itu berkata "Sudahlah Luo kung-ce, besok
saja jika Luo kung-ce mampir ke tempat ini, silakan bayar."
"Bapak tua, saya jadi merepotkan. Besok saya pasti
akan membayarnya" kata Luo Bin Wang menjura sambil
meneruskan perjalanannya.
Tapi tidak semua orang di kotaraja sebaik bapak tua
penjual bakpao tadi. Kehidupan di kotaraja sangatlah keras,
jurang antara si miskin dan si kaya sangatlah lebar sehingga
banyak penjahat berkeliaran. Tak terkecuali hari ini, ketika
Luo Bin Wang membuka kantong uangnya di depan orang
banyak, terlihat oleh salah seorang anggota penjahat yang
langsung tak berkedip memandang dua tael perak itu. Segera
saja ia memanggil komplotannya dan mengikuti Luo Bin
Wang yang masih berjalan dengan santainya memandang ke
kiri kanan menikmati ramainya kotaraja yang baru pertama
kali didatanginya.
Ketika Luo Bin Wang sampai di suatu belokan yang
agak sepi, gerombolan penjahat itu segera menjambret leher
bajunya dan menyeretnya ke dalam gang yang sepi. Luo Bin
Wang hendak berteriak minta tolong tapi para penjahat itu
sudah menghujaninya dengan pukulan bertubi-tubi,
sementara yang lain merebut kantong uangnya. Percuma
saja Luo Bin Wang meronta karena gerombolan penjahat itu
menghajarnya tanpa ampun. Sekejap saja Luo Bin Wang- 229 sudah babak belur dan berdarah-darah. Gerombolan itu
selesai puas menjarah dan menghajar meninggalkan begitu
saja Luo Bin Wang yang pingsan di gang sempit itu. Para
penjahat itu memang benar-benar lebih rendah dari
binatang, tidak mempunyai hati nurani lagi.
Hingga malam tiba, Luo Bin Wang baru tersadar dari
pingsannya. Tubuhnya terasa remuk semua dan wajahnya
biru-biru babak belur. Buntalan tasnya sudah hilang
demikian juga dengan kantong uangnya. Ia meratap
memandang langit malam, merenungi nasibnya yang
malang. Maksud hati mengikuti ujian negara agar dapat
menjadi pegawai kerajaan tapi malah kemalangan yang
didapat. Luo Bin Wang berjalan terseok-seok keluar dari
gang sempit itu. Malam sudah agak larut sehingga jalanan
sudah sepi hanya tampak beberapa orang yang berjalan
dengan membawa lampion, tergesa-gesa ingin pulang ke
rumah masing-masing. Luo Bin Wang berjalan terhuyunghuyung tak tentu arah seperti orang mabuk saja. Seluruh
tubuhnya penuh dengan luka, tampaknya ia perlu
pertolongan dengan segera.
Akhirnya setelah melalui dua kelokan jalan, Luo Bin
Wang tidak tahan lagi dan jatuh terjerembab di depan
sebuah rumah. Napasnya tersengal-sengal dan tidak teratur.
Pada saat itu pintu rumah dibuka oleh seorang penjaga pintu.
Ia menggosok-gosok matanya dengan tidak percaya. Tadi ia
yakin mendengar ada orang menggedor pintunya, tapi siapa
malam-malam begini bertamu? Ketika penjaga pintu itu- 230 hendak masuk kembali, ia melihat seorang pemuda pingsan
tepat di depan pintu. Rupanya suara pemuda ini jatuh
pingsan yang didengarnya tadi. Ia segera mendekati pemuda
itu yang tidak lain adalah Luo Bin Wang, dilihatnya dengan
seksama masih bernapas.
Penjaga pintu itu segera memapahnya masuk. Ia
memanggil teman-temannya untuk membantu menutup
pintu dan mengobati Luo Bin Wang.
Baru saja pintu ditutup sepasukan tentara kotaraja
yang sedang berjaga-jaga melewati jalan itu. Pemimpin
pasukan itu tidak lain adalah Han Kuo Li, yang sedang
dalam perjalanan ronda terakhir sebelum pulang ke
rumahnya. Pasukan itu berbaris rapi, masing-masing
membawa tombak panjang. Barisan paling depan membawa
lampion dipimpin oleh Han Kuo Li yang memakai pakaian
perang lengkap dan berjubah merah panjang. Benar-benar
berwibawa sebagai Jenderal Empat Gerbang!
Pasukan itu melewati rumah tempat Luo Bin Wang
pingsan tadi, terus berbelok ke kanan menyusuri jalan besar
dan akhirnya sampai di kediaman keluarga Han di ujung
jalan dekat kota terlarang. Kepala pasukan ronda menjura
dengan hormat kepada Han Kuo Li.
"Han Ciang-cin, kondisi kotaraja dalam keadaan aman"
"Baiklah, teruskan tugas jaga kalian" kata Han Kuo
Li sambil masuk ke dalam kediamannya.- 231 "Pasukan menerima perintah!" seru semua prajurit.
Han Kuo Li memasuki halaman depan rumahnya
yang diterangi banyak lampion. Seorang pelayan tua datang
menyambutnya dengan segera, membawa masuk tombak
cagak Han Kuo Li sedangkan pelayan lainnya menyuguhkan
teh panas dengan segera.
Tidak lama kemudian dari dalam rumah muncul
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang anak laki-laki berusia enam tahun berlari-lari
dengan gembira menyambut Han Kuo Li. Bocah itu
memakai pakaian sutra hijau yang bagus dan halus.
Wajahnya berseri-seri dan mirip sekali dengan Han Kuo Li.
Ia tak lain adalah Han Cia Pao, anak dari mendiang istri
pertama Han Kuo Li. Di belakangnya menyusul nyonya Ye
Ing yang menggendong bayi perempuan kecil yang
kelihatannya baru beberapa bulan saja umurnya. Ternyata
setelah menikah setahun lebih, nyonya Ye Ing telah
melahirkan seorang anak perempuan bagi keluarga Han
yang dinamai Han Li Rong. Anak perempuan pertama bagi
Han Kuo Li ini amat disayang oleh seluruh keluarga besar
Han. Han Cia Pao segera merangkul ayahnya dengan
manja minta digendong.
"Wahhhh, engkau sudah semakin besar sekarang.
Setahun dua tahun lagi ayah pasti sudah tidak sanggup lagi
menggendongmu" kata Han Kuo Li gembira mengayunayun anak sulungnya itu.- 232 "Bagaimana hari ini, Pao-er apakah engkau tidak
nakal dan menurut apa kata ibumu?" tanya Han Kuo Li lagi.
Memang sejak menikah setahun lalu dengan Ye Ing, maka
Han Cia Pao selalu memanggil ibu kepada Ye Ing.
"Pao-er anak yang baik, ia rajin belajar dan berlatih
kuda-kuda yang engkau ajarkan seharian ini" jawab Ye Ing
membela anak yang sebenarnya adalah keponakannya itu.
"Rong-er sendiri bagaimana, apakah sakit panasnya
sudah turun?" kata Han Kuo Li sambil memegang dahi Li
Rong yang tertidur lelap.
"Tadi tabib sudah memberinya obat, panasnya sudah
turun" kata Ye Ing sambil menimang-nimang bayinya
dengan rasa sayang.
"Baguslah, istriku aku akan ke belakang untuk
menjenguk Sing-er" kata Han Kuo Li
Wajah Ye Ing langsung berubah tidak senang. Singer adalah panggilan untuk anak laki-laki Han Kuo Li dari
Pai Lien, Han Cia Sing yang tidak terasa kini sudah berusia
setahun lebih. Ye Ing sangat tidak menyukai Han Cia Sing
karena menganggap bocah itulah yang menyebabkan Han
Kuo Li sampai sekarang masih tetap menyayangi Pai Lien.
Ia merasa dirinya adalah istri utama sementara Pai Lien
hanyalah seorang gundik, tapi sayang justru Pai Lien
melahirkan seorang putra sementara ia melahirkan seorang
putri, yang mana pada jaman itu anak laki-laki nilainya jauh
lebih berharga dibandingkan anak perempuan. Sebenarnya- 233 Han Kuo Li sendiri tidak pernah membedakan anak
laki dengan perempuan, semua adalah darah dagingnya
sendiri tetapi Ye Ing adalah seorang pencemburu, mana mau
ia berbagi kasih dengan Pai Lien, gadis dari dusun itu?
Sejak menjadi nyonya di keluarga Han, Ye Ing selalu
berusaha menyingkirkan Pai Lien dari sisi Han Kuo Li.
Sayang sekali usahanya tidak berhasil karena hanya
beberapa hari setelah pernikahan Ye Ing dengan Han Kuo
Li, nyonya Pai Lien melahirkan seorang bayi laki-laki yang
tentunya sangat menggembirakan hati Han Kuo Li. Sungguh
pun demikian, Ye Ing tetap melarang keras Pai Lien dan
bayinya tinggal di dalam wisma utama. Mereka diharuskan
tinggal di paviliun belakang, dekat tempat tinggal para
pelayan. Han Kuo Li sebenarnya tidak setuju, tapi siapa tahu
ternyata Ye Ing pun ternyata kemudian hamil muda,
sehingga Han Kuo Li merasa lebih baik mengalah kepada
istrinya ini.
Hampir pada setiap kesempatan, Ye Ing selalu
menghalangi niat Han Kuo Li menengok Pai Lien dan Han
Cia Sing. Ia dengan sengaja mencubit keras-keras Rong-er
yang sedang tidur dengan nyenyak sehingga bayi tak
bersalah itu menangis keras karena kesakitan. Memang Ye
Ing mempunyai sifat yang kejam, bahkan anak sendiri pun
disakiti untuk mencapai tujuannya!
Tangisan Rong-er tentu saja mengejutkan Han Kuo Li
dan ia mengurungkan niatnya untuk berjalan ke belakang. Ia
mengambil Rong-er dari gendongan Ye Ing, meraba dahinya- 234 dengan penuh kasih dan menimang-nimangnya. Han Cia
Pao pun tidak lupa menghibur adik kecilnya dengan mimikmimik yang lucu agar adiknya berhenti menangis. Ye Ing
pun tidak lupa pura-pura menghibur Pao-er. Dasar masih
bayi, mana tahu ia siapa yang telah menyakitinya!
Begitulah kehidupan di kediaman keluarga Han,
nyonya Ye Ing yang memegang kendali rumah tangga. Han
Kuo Li yang karena tugas-tugasnya membuatnya jarang di
rumah, tidak pernah menyadari jikalau Pai Lien selalu
ditindas oleh nyonyanya itu. Han Cia Sing yang tidak tahu
apa-apa juga sering menjadi bulan-bulanan Ye Ing. Bukan
karena apa-apa, hanya saja Ye Ing gemas sekali melihat Pai
Lien bisa melahirkan seorang putra, yang mana wajahnya
juga mirip sekali dengan Pai Lien, sehingga Ye Ing semakin
membencinya.
Malam itu, di rumah belakang keluarga Han, Pai Lien
sedang menyulam sebuah baju mungil. Siapa lagi yang akan
mendapatkannya kalau bukan Han Cia Sing. Di bawah
cahaya lilin malam yang temaram, Pai Lien dengan tekun
terus menyulam, sementara Chen Yi-ma sedang bermainmain dengan Han Cia Sing di tempat tidur. Rumah yang
mereka sangat sederhana, jauh sekali dengan rumah utama.
Mungkin bila ada yang melihat, akan merasa tidak pantas
bagi keluarga seorang jenderal besar tinggal di rumah yang
sedemikian sederhana. Tapi Pai Lien terlihat tetap bahagia,
mungkin karena kehadiran Sing-er telah memberikan
kebahagiaan lain bagi dirinya.- 235 Han Kuo Li mengetuk pintu dan masuk ke dalam
rumah. Rupanya ia akhirnya berhasil melepaskan diri dari
Ye Ing dan menjenguk Pai Lien dan Sing-er. Pai Lien
meletakkan sulamannya dan menyambut suaminya itu
dengan pelukan bahagia. Chen Yi-ma hanya tersenyumsenyum saja menyaksikan hal itu. Ia sebagai orang yang
sudah kenyang makan asam garam kehidupan, segera tahu
diri, keluar rumah kecil itu, meninggalkan Han Kuo Li dan
Pai Lien berdua-duaan melepaskan rindu.
Memang selama beberapa hari ini, Han Kuo Li tidak
pernah bisa bertemu dengan Pai Lien karena Rong-er sedang
sakit. Ye Ing yang memakai beribu alasan menahan Han
Kuo Li untuk berkunjung ke "rumah belakang". Tapi rasa
rindu kepada anak istri jauh lebih besar daripada halangan
apapun juga.
Han Kuo Li menggendong Sing-er dengan penuh
kasih sayang. Sing-er sendiri kelihatan tertawa senang,
seolah tahu ayahnya datang menjenguknya. Pai Lien
tersenyum bahagia melihat ayah anak rukun bersama.
"Lien, bagaimana keadaan kalian, baik-baik
sajakah?" tanya Han Kuo Li kepada istrinya. Sebenarnya
selama ini ia merasa tidak enak karena Ye Ing menentang
keras Pai Lien ikut tinggal di rumah utama bersamanya.
Rumah yang sekarang ini jauh lebih sederhana
dibandingkan rumah utama, meskipun mungkin tetap lebih
baik daripada rumah rakyat kebanyakan.- 236 "Suamiku, aku dan Sing-er baik-baik saja. Engkau
tidak perlu mengkhawatirkan kami berdua." jawab Pai Lien
dengan bijaksana
Han Kuo Li menghela napas panjang. Apa yang
dikatakan Pai Lien tidak dapat menghilangkan rasa bersalah
pada dirinya. Ia adalah kepala keluarga, bahkan tidak hanya
itu, ia adalah pemimpin pasukan kotaraja tapi tidak berdaya
menghadapi istrinya. Han Kuo Li merasa malu pada dirinya
sendiri.
Pai Lien yang mengerti kekalutan pikiran suaminya
itu, segera merangkul Han Kuo Li untuk menenangkan
hatinya.
"Suamiku, kita jarang dapat bersama. Janganlah kita
membuang kesempatan ini hanya untuk menyesali diri.
Maukah bersama menemaniku melihat bintang di luar? Hari
ini cuaca cerah, pasti bulan dan bintang-bintang bersinar
dengan indah" kata Pai Lien sambil menatap mesra
suaminya itu.
Han Kuo Li balas tersenyum. Ia tahu Pai Lien amat
suka memandangi bintang di waktu malam, bahkan
pertemuan mereka pun terjadi pada saat seperti itu.
"Baiklah, pakaikan selimut tebal pada Sing-er agar ia
tidak kedinginan, kau juga jangan lupa memakai pakaian
tebal" kata Han Kuo Li sambil membuka pintu rumah
sementara Pai Lien mengikuti di belakangnya.- 237 "Kau sudah siap?" tanya Han Kuo Li kepada Pai Lien
Pai Lien mengangguk. Dalam sekejap, keluarga kecil itu
sudah berada di atas atap rumah. Han Kuo Li menggendong
Sing-er dan Pai Lien bersamaan dengan tenaga dalam ke
atas atap, supaya dapat melihat dengan bintang dengan lebih
baik.
Malam itu malam musim panas yang cerah. Angin
bertiup sedang saja, sementara bulan nampak terang separuh
sehingga kilau bintang dapat terlihat jelas tanpa tertutupi
terangnya cahaya bulan. Lampu-lampu di rumah utama
keluarga Han sudah banyak yang padam, menambah
temaram suasana. Pai Lien memeluk erat suaminya itu.
Jarang sekali ia bisa berlama-lama seperti ini dengan
suaminya. Pai Lien benar-benar menikmati malam seperti
ini. Han Kuo Li dan Pai Lien berdiam diri saja sambil
berpelukan. Sing-er pun seperti mengerti kasih ayah ibunya
dan tertidur nyenyak dalam pelukan Han Kuo Li. Malam itu
berlalu dengan tenang sekali di kediaman keluarga Han,
seakan-akan ikut berbahagia atas kebahagiaan tuan mereka.
Lin Buo Wang terbangun oleh suara seruling dan
yang cin yang berpadu dengan merdu sekali. Seluruh
tubuhnya terasa sakit dan sulit digerakkan namun ia
memaksakan diri untuk tetap bangkit dari pembaringannya.
Kamar itu asing baginya, tapi kelihatan seperti kamar para
bangsawan. Tempat tidurnya beralas selimut kapas yang
tebal, selambunya dari sutra halus. Pinggiran tempat tidur- 238 kayu banyak terdapat ukiran yang halus dan di atasnya ada
baskom perak berisi air untuk mencuci muka. Meja bundar
yang terletak di tengah kamar juga terbuat dari kayu pilihan.
Pastilah ini rumah saudagar kaya atau bangsawan, tapi di
manakah sebenarnya dirinya pikir Luo Bin Wang dengan
bingung sambil mengingat-ingat kejadian yang ia alami.
Luo Bin Wang membuka pintu kamar sambil
memegangi kepalanya yang sakit. Ternyata kamar itu
menghadap ke suatu taman yang bagus sekali. Pohon-pohon
di taman itu ditata dengan rapi. Burung-burung berkicauan
dengan riang dan terbang bebas di antara dedaunan.
Matahari pagi itu bersinar dengan cerah, bayangan pohonpohon tertiup angin seperti menari-nari. Di halaman itu
tampak dua orang gadis berpakaian hijau dan ungu sedang
memainkan seruling dan yang cin dengan amat bagus,
memainkan lagu "Bukit Menjulang Sungai Mengalir".
Suara seruling yang ditiup oleh gadis berpakaian hijau amat
sendu seakan sedang bersedih, sedangkan petikan ku cin
gadis berpakaian ungu mengalir seperti aliran sungai musim
gugur, kadang tersendat kadang mengalir, benar-benar
perpaduan yang amat menggugah hati.
Luo Bin Wang sampai melupakan sakitnya,
termenung sendirian di pinggir taman, menghayati lagu
sendu yang dimainkan kedua gadis itu sampai selesai. Tanpa
sadar setelan lagu selesai Luo Bin Wang bertepuk tangan
memberi pujian, namun rasa sakit di bahunya
menyadarkannya untuk tidak bertepuk tangan lagi. Kedua- 239 gadis tadi menyadari ada yang menonton permainan mereka,
mendekati Luo Bin Wang yang terbengong-bengong di
pinggir taman.
"Kung-ce (tuan muda), apakah anda sudah sadar?"
tanya gadis yang berpakaian hijau kepada Luo Bin Wang.
Luo Bin Wang terbengong-bengong menyaksikan
kecantikan kedua gadis muda ini. Tadi mereka duduk
memainkan yang cin dan seruling jauh dari tempatnya
berdiri sehingga tidak begitu jelas. Kini setelah mereka
berhadapan hanya beberapa langkah jauhnya, Luo Bin
Wang benar-benar kagum akan kecantikan mereka berdua.
Susah untuk mengatakan siapa yang lebih cantik di antara
mereka berdua karena kecantikan mereka berbeda. Gadis
yang berpakaian hijau cantik seperti musim semi, benarbenar indah dipandang sedangkan yang berpakaian ungu
cantik seperti musim gugur, meneduhkan dan membuat hati
merasa tenang.
"Kung-ce, apakah baik-baik saja?" tanya gadis itu
mengulangi lagi pertanyaannya.
"Ehhh, emm ya, siao ti baik-baik saja" jawab Luo Bin
Wang tergagap-gagap.
"Nahhhhh, ketahuan kau sedang mengambil
keuntungan dari saudariku" kata seorang gadis berbaju
merah yang tiba-tiba muncul di belakang Luo Bin Wang.
Gadis ini juga amat cantik dan kelihatan sekali periang serta
terbuka. Di belakang gadis ini ada lagi seorang gadis berbaju- 240 putih yang tenang sekali seperti salju. Luo Bin Wang
mencubit pahanya keras-keras, untuk meyakinkan dirinya
tidak sedang bermimpi.
"Ahhhhh!" Luo Bin Wang menjerit kesakitan karena
cubitannya tepat mengenai luka memar di pahanya.
Keempat gadis tadi terkejut melihat Luo Bin Wang
berteriak kesakitan, mengira lukanya kambuh lagi.
"San-mei, panggilkan tabib Ping untuk memeriksa
kung-ce ini" kata gadis yang berbaju hijau dengan khawatir.
"Oh, tidak usah, tidak usah" kata Luo Bin Wang
terburu-buru.
"Siao-ti tidak apa-apa hanya memar dan luka luar
saja, tidak perlu merepotkan keempat nona ini. Kalau boleh
tahu, siapakah keempat nona ini dan tempat apakah ini,
bagaimana siao-ti bisa sampai di sini?"
Gadis yang berbaju merah maju mendekati Luo Bin
Wang dengan pandangan mata menyelidik. Ia mencibir
dengan manja.
"Mana ada tamu menanyakan tuan rumah, seharusnya
tamu yang memperkenalkan diri" katanya
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gadis yang berpakaian hijau dan ungu menyembunyikan
senyumnya sedangkan gadis yang berpakaian putih tetap
tenang melihat sikap gadis yang berbaju merah itu.- 241 Luo Bin Wang semakin salah tingkah. Ia menjura dengan
hormat.
"Siao-ti bermarga Luo, bernama Bin Wang berasal
dari daerah Tang Shan. Siao-ti ke kotaraja hendak mengikuti
ujian negara tapi di jalan mengalami kemalangan, dirampok
oleh orang. Setelah itu siao-ti tidak tahu lagi apa yang
terjadi, tahu-tahu sudah terbangun di sini"
"Pelayan kami menemukan kung-ce tergeletak di
depan gerbang. Seluruh tubuh kung-ce penuh luka,
beruntung ada tabib Ping yang bisa mengobati luka anda"
kata gadis berbaju hijau.
"Keempat nona ini adalah ..." Luo Bin Wang menjura
sambil menunggu jawaban
"Kami adalah keluarga besar Yao, namaku Yao
Chuen. Ini adalah ketiga adikku, Yao Xia, Yao Jiu dan Yao
Tong. Mohon maaf atas perlakuan adik saya yang kurang
berkenan di hati tuan muda Luo" kata gadis berbaju hijau
yang bernama Yao Chuen itu.
Ternyata Luo Bin Wang secara kebetulan ditolong
oleh keluarga Yao. Beruntunglah ia karena terhindar dari
bahaya maut! Luo Bin Wang berlutut memberi hormat,
"Siao-ti Luo Bin Wang, berterima kasih atas pertolongan
dari nona sekalian. Jasa nona sekalian tidak bisa siao-ti
balas"- 242 Yao Xia menahan Luo Bin Wang agar tidak berlutut
lama. "Luo kung-ce tidak perlu sungkan, bukan kami yang
menyembuhkan anda tapi tabib Ping dan para pelayan kami
yang melayani" kata Yao Xia
"Bagaimanapun siao-ti mengucapkan terima kasih
atas kebaikan anda" balas Luo Bin Wang sambil menjura
sekali lagi dengan hormat.
"Luo kung-ce, tadi anda mengatakan ingin mengikuti
ujian negara, apakah ujian yang dilakukan untuk menjadi
pegawai menteri setahun sekali?" tanya Yao Tong ingin
tahu.
"Benar Yao ku-niang (nona Yao), siao-ti akan
mengikuti ujian untuk menjadi pegawaii menteri" jawab
Luo Bin Wang
Keempat gadis itu saling berpandangan. Ujian untuk
menjadi pegawai menteri adalah ujian yang berat dan hanya
boleh diikuti oleh para cerdik cendekia terpilih dari kota
masing-masing. Tentunya Luo Bin Wang juga amat pandai
sehingga terpilih mewakili wilayah Tang Shan!
"Apakah Luo kung-ce masih menyimpan surat
keputusan dari kepala daerah Tang Shan? Para pelayan kami
menemukan anda tidak membawa apa-apa" kata Yao
Chuen.
Seketika itu juga Luo Bin Wang pucat pasi mukanya.
Ia baru sadar kemarin saat dirampok semua barangnya- 243 hilang dijarah, termasuk surat dari kepala daerah Tang Shan
yang harus diserahkannya saat ujian negara nanti.
"Astaga, semua barangku habis dirampok!" kata Luo
Bin Wang menyesali dirinya.
"Bagaimana mungkin sekarang aku mengikuti
ujian?" kata Luo Bin Wang dengan susah hati. Ujian akan
dilakukan di kediaman perdana menteri Chu Sui Liang dua
hari lagi, tentunya tidak akan sempat kembali ke Tang Shan
meminta surat pengantar dan kembali lagi ke kotaraja. Luo
Bin Wang terduduk lesu di kursi batu, semua harapannya
musnah.
"Luo kung-ce, tidak perlu harus demikian. Mungkin
masih ada cara lain" kata Yao Jiu.
Mata Luo Bin Wang bersinar kembali mendengar
perkataan Yao Jiu.
"Saudari semua, mungkin kita bisa minta ibu untuk
memberikan surat pengantar kepada perdana menteri Chu
Sui Liang. Jika ibu setuju menulis surat, maka pasti Luo
kung-ce akan dapat diterima mengikuti ujian" kata Yao Jiu
menjelaskan.
"Eh, ide ini bagus sekali. Mari kita menemui ibu" kata
Yao Xia bersemangat.
"Siao-ti Luo Bin Wang benar-benar berterima kasih
kepada keempat nona. Siao-ti tidak bisa membalas kebaikan- 244 budi keempat nona sekalian" kata Luo Bin Wang sambil
berlutut memberi hormat.
"Luo kung-ce berdirilah, anda bertemu dengan kami
adalah sebuah takdir, tidak perlu terlalu sungkan. Lagipula
akhirnya hasil ujian ada di tangan Luo kung-ce sendiri
bukan di tangan kami" kata Yao Tong merasa tidak enak
karena disembah oleh Luo Bin Wang yang segera
dibenarkan oleh ketiga saudarinya yang lain.
Akhirnya kelima orang itu bersama-sama menuju
ruang tengah, tempat Nyonya Besar Yao Hao Yin sedang
membaca buku dengan amat tekun. Yao Tong yang pertama
maju memberi salam.
Yao Hao Yin meletakkan bukunya melihat keempat
putrinya datang bersama-sama, tentulah ada sesuatu yang
ingin diutarakan. Apalagi ada seorang pemuda berpakaian
sastrawan yang babak belur wajahnya berdiri di belakang
keempat putrinya itu. Ia ingin tahu apa yang terjadi, tidak
mungkin salah satu putrinya menghajar pemuda itu sampai
babak belur begitu.
"Salam hormat kepada ibu!" kata keempat putrinya
hampir bersamaan
"Ehmmm, siapakah pemuda yang kalian bawa ini?"
tanya Yao Hao Yin penuh selidik.
Luo Bin Wang maju ke depan membungkuk dan
menjura sambil memberi hormat,- 245 "Siao-ti bermarga Luo bernama Bin Wang, seorang
pelajar dari daerah Tang Shan" jawab Luo Bin Wang dengan
hormat
"Dia adalah pemuda yang ditolong oleh paman Guan"
tambah Yao Chuen menjelaskan.
"Oh? Jadi engkau pemuda yang ditemukan A Guan
kemarin di depan gerbang kami? Ada masalah apakah
sehingga engkau mengalami hal seperti ini?" tanya Yao Hao
Yin lagi.
Luo Bin Wang menuturkan dengan singkat masalah
yang dialaminya juga termasuk surat pengantar dari kepala
daerah Tang Shan yang hilang.
Yao Tong maju mendekati ibunya dan berkata,
"Mohon ibu dapat membantu Luo kung-ce untuk mengikuti
ujian negara ini. Waktu pelaksanaan ujian tinggal dua hari
lagi, tidak cukup baginya untuk kembali ke Tang Shan dan
meminta surat pengantar. Mohon ibu membantu
mengatakan kepada perdana menteri"
Yao Hao Yin tersenyum dan bangkit berdiri
mendekati Luo Bin Wang. Meskipun sudah tua dan seorang
wanita tapi kewibawaannya tidak kalah dengan seorang
jenderal perang apalagi ketukan tongkat naga emasnya
menggetarkan lantai, membuat Luo Bin Wang merasa ciut
nyalinya. Yao Hao Yin menyelidiki Luo Bin Wang dengan
seksama.- 246 "Benarkah engkau wakil utusan pelajar dari daerah
Tang Shan?" tanya Yao Hao Yin.
Luo Bin Wang mengangguk mantap, "Benar, Nyonya
Besar Yao"
"Kalau begitu aku ingin menguji sedikit, bolehkah?"
tanya Yao Hao Yin.
"Siao-ti akan berusaha semampunya" kata Luo Bin
Wang merendah.
"Baik kalau begitu tolong jelaskan padaku perbedaan
pandangan Meng Ce dengan Han Fei Ce tentang tata
pemerintahan." kata Yao Hao Yin.
Pertanyaan ini tentu amat sulit dijawab bagi orang
awam, tapi harus bisa dijawab oleh seorang sastrawan yang
mempelajari kitab dan ujar-ujar kuno.
"Nyonya Besar Yao, ijinkan siao-ti mengutarakan
pandangan siao-ti yang bodoh ini.
Meng Ce mengatakan bahwa dasar manusia adalah
baik, rakyat mempunyai keinginan untuk maju sehingga
akan saling tolong-menolong untuk kemajuan bersama
dalam semua bidang. Pemerintahan kaisar akan menjadi
dasar dari usaha ini, kaisar akan didukung rakyat karena
bijaksana dan mempunyai titah dari langit. Kaisar akan
memimpin rakyat untuk maju sesuai titah dari langit, jika ia
tidak bijaksana dan salah bertindak maka rakyat tidak akan
mendukungnya dan kaisar akan kehilangan kedudukannya.- 247 Han Fei Ce mempunyai pandangan yang berbeda
tentang tatanegara. Beliau berpandangan bahwa dasar
manusia adalah mementingkan diri sendiri. Rakyat akan
saling bersaing dan menjatuhkan untuk kepentingan
masing-masing sehingga pemerintahan kaisar diperlukan
untuk menjaga ketertiban. Setiap bidang harus mempunyai
aturan yang jelas agar negara dapat berjalan dengan baik.
Negara harus berada di atas kepentingan rakyat karena
negara yang kuat maka rakyat akan sejahtera. Demikianlah
pandangan siao-ti, jikalau salah harap Nyonya Besar Yao
memberikan saran."
Keempat nona Yao memang sudah banyak belajar
kitab dan ujar-ujar kuno tapi mereka tetap kagum akan
kepandaian dan pengetahuan Luo Bin Wang. Bahkan Yao
Hao Yin pun ikut tersenyum dan manggut-manggut tanda
setuju atas penjelasan Luo Bin Wang.
"Jika demikian, menurutmu manakah yang lebih baik,
pandangan Meng Ce atau Han Fei Ce?" tanya Yao Hao Yin
ingin memancing pendapat anak muda di depannya itu.
"Setiap sistem tidak ada yang sempurna tergantung
mereka yang melaksanakannya. Meng Ce menekankan pada
niat yang baik untuk memajukan negara, baik dari kaisar
maupun rakyat. Ini tidak akan terlaksana bila kaisar kurang
bijak atau rakyat tidak bersatu. Sebaliknya Han Fei Ce
menekankan pada kekuasaan negara, yang akan berujung
pada bencana jika kaisar menggunakan titah langit untuk- 248 kepentingannya sendiri dan rakyat memberontak" jawab
Luo Bin Wang
"Bagus! Jawaban yang bagus!" puji Yao Hao Yin
dengan bersemangat. "Terakhir aku ingin kau membuat
karya sastra puisi, bagaimana apakah kau sanggup?"
"Siao-ti tidak berani menyombongkan diri" kata Luo
Bin Wang merendah.
"Aku ingin kau membuat puisi tanpa kata bunga,
gunung, negara, persaudaraan, bakti dan setia. Aku akan
berjalan sampai ujung ruangan ini dan sampai di sana kau
harus bisa membacakan puisimu" kata Yao Hao Yin.
Tanpa terasa keempat nona Yao menahan napas. Kali
ini ujian ibu mereka benar-benar berat. Jarak Yao Hao Yin
ke ujung ruangan hanya sekitar lima belas langkah saja,
terlalu cepat untuk membuat suatu puisi yang bagus.
Apalagi Yao Hao Yin membatasi kata-kata yang dipakai,
sungguh bukan ujian yang ringan!
Yao Hao Yin mulai melangkah ke arah ujung
ruangan. Tongkat naga emasnya berketuk-ketuk sesuai
dengan gerak langkahnya. Luo Bin Wang terlihat sedang
berpikir keras. Dahinya berkerut-kerut dan matanya
berputar-putar merangkai pikirannya. Ketika sampai di
ujung ruangan, Yao Hao Yin berhenti dan berbalik
menghadap Luo Bin Wang.- 249 "Nah, Luo kung-ce silakan membacakan puisimu"
kata Yao Hao Yin.
Luo Bin Wang mengambil napas sejenak dan mulai
membacakan puisi dengan suara nyaring, memenuhi seluruh
ruangan itu.
"Ribuan li meninggalkan keluarga,
suara seruling dan yang cin menenangkan hati,
datangnya musim mengalahkan janji manusia,
keinginan hati merobohkan seribu rintangan".
Yao Hao Yin bertepuk tangan dan berseru dengan
kagum setelah Luo Bin Wang menyelesaikan puisinya.
"Hebat! Memang seorang sastrawan yang berbakat
ahahaahhahah! Putriku berempat, tidak salah kalian
menolongnya" kata Yao Hao Yin dengan gembira.
Keempat putri Yao juga berpandangan dengan
gembira, mereka tidak menyangka Luo Bin Wang akan
mampu membuat puisi yang demikian bagus dengan batasan
yang ketat, apalagi dalam puisi itu masih dapat memasukkan
nama keluarga Yao dan musim, benar-benar seorang
pemuda berbakat tinggi!
"Luo kung-ce, silakan anda kembali ke kamar untuk
beristirahat. Jangan khawatir, aku akan menulis surat
pengantar untuk perdana menteri Chu Sui Liang untukmu,- 250 menjelaskan apa yang terjadi. Beliau pasti akan mengerti,
Luo kung-ce tidak perlu khawatir lagi" kata Yao Hao Yin
Luo Bin Wang menjura dengan hormat dan hatinya
berbunga-bunga karena gembira. Ia kembali ke kamarnya
ditemani seorang pelayan keluarga Yao sementara keempat
putri Yao masih bersama Yao Hao Yin.
"Kalian datang berempat sungguh tepat waktu, ada
sesuatu yang hendak kusampaikan kepada kalian" kata Yao
Hao Yin sambil menyuruh keempat anaknya untuk duduk.
Keempat putri Yao saling berpandangan. Mereka tahu
kebiasaan ibu mereka jika sudah berkata demikian, tentulah
ada j sesuatu yang amat penting untuk dibicarakan. Apakah
yang hendak disampaikan oleh ibu mereka kali ini?
"Kalian tentunya tahu Yang Mulia Kaisar sudah
mengumumkan akan mengangkat seorang permaisuri bulan
depan, juga calon istri untuk para pangeran." Yao Hao Yin
berhenti sejenak.
"Aku akan memasukkan nama kalian berempat dalam
daftar perdana menteri"
Serentak keempat Yao menjadi kaget mendengar
ucapan ibu mereka. Daftar yang dipegang perdana menteri
Chu Sui Liang adalah daftar putri-putri yang nantinya akan
diangkat menjadi permaisuri dan istri para wang-ye (saudara
kaisar)! Perkara yang akan dibicarakan ini bukan masalah
kecil, menyangkut kebahagiaan mereka seumur hidup.- 251 "Aku tahu kalian pasti akan kaget dengan rencanaku
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini, tapi siapakah yang tahu maksudku yang sesungguh
nya?" kata Yao Hao Yin
Keempat putri Yao saling berpandangan, akhirnya
Yao Xia yang memberanikan diri menjawab.
"Ibu, kami tidak ingin menikah, kami ingin melayani
ibu sampai masa tua kami" kata Yao Xia
"Gadis bodoh, semua wanita harus menikah, menjadi
istri dan melahirkan anak bagi keluarga" kata Yao Hao Yin
sambil tersenyum arif.
"Tapi ibu" Yao Xia masih berusaha membantah.
"Ibu sudah memutuskan tidak bisa diubah lagi. Yang
ingin kutanyakan apakah kalian mengetahui maksudku
memasukkan nama kalian di dalam daftar?" kata Yao Hao
Yin dengan sikap berubah tegas. Yao Xia yang mengetahui
adat keras ibunya tidak lagi berani membantah. Mereka
berempat kini hanya diam saja, menunggu kata-kata ibu
mereka selanjurnya.
"Chuen-er, engkau yang paling tua, engkau dulu yang
menjawabnya" kata Yao Hao Yin sambil memandang Yao
Chuen dengan tajam.
Yao Chuen yang ditanya demikian menjadi gugup
dan menjawab sekenanya.- 252 "Kita, keluarga Yao adalah abdi dinasti Tang,
sepatutnya bersikap setia dan membalas jasa kepada dinasti
Tang."
"Hmmmm, jawabanmu benar tapi dalam hal ini tidak
tepat. Tong-er, selama ini engkaulah yang paling cerdas,
coba kau jawab pertanyaanku tadi" kata Yao Hao Yin
berganti memandang Yao Tong.
"Tong-er tidak berani menjawab karena takut
menyinggung perasaan ibu" jawab Yao Tong.
"Tong-er, engkau tidak perlu khawatir. Kita semua di
sini keluarga sendiri, jika ada sesuatu dalam pikiranmu
katakan saja, ibu tidak akan memarahimu apapun yang
engkau katakan" kata Yao Hao Yin
"Yang Mulia Kaisar sekarang lemah dan tidak
berpendiran, siapapun yang menjadi permaisuri nantinya
harus mampu menopang dan menggantikan posisi kaisar
bila diperlukan nantinya" kata Yao Tong dengan tegas.
Ketiga saudarinya yang lain benar-benar terkejut
mendengarkan apa yang baru saja diucapkan Yao Tong.
Tidak saja mereka ngeri jika ibu mereka marah atas ucapan
tadi, tapi juga jika ucapan tadi terdengar sampai ke telinga
keluarga kerajaan maka hukuman mati sudah menanti
mereka!
Tapi Yao Hao Yin tidak marah, malah terlihat tenang
dan bersikap memuji Yao Tong.- 253 "Tong-er, benar sekali apa yang kauucapkan barusan.
Engkau memang cerdas sekali dalam membaca peta
kekuasaan. Sayang sekali engkau dilahirkan sebagai seorang
wanita" kata Yao Hao Yin.
"Yang Mulia Kaisar memang lemah, karena itu kita
keluarga Yao, setia dari awal dinasti Tang, akan tetap
mendukungnya sebagai kaisar. Kalian berempat mempunyai
bekal ilmu dan ajaran yang baik, kuharapkan jika salah satu
dari kalian nantinya terpilih mendampingi kaisar, jangan siasiakan harapanku ini. Jadilah tiang penyangga bagi kaisar,
jangan biarkan pengkhianat dan manusia rendah
mempengaruhi pemikiran Yang Mulia Kaisar dan
menjadikan kekacauan!" kata Yao Hao Yin lagi dengan
sikap gagah.
Keempat nona Yao saling berpandangan, tampaknya
ibu mereka sudah bertekad bulat, susah diubah lagi
pemikirannya.
"Kami menurut apa kata ibu" kata mereka berempat
serempak.
"Sebenarnya pemilihan permaisuri ini melalui aturan
yang ketat. Meski aku berharap salah satu di antara mungkin
Wiro Sableng 177 Jaka Pesolek Penangkap Petir Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin Tiga Dalam Satu 02 Bintang Malam
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama