Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 5
lupa jika rantai di kaki Pai Lien belum terlepas!
Chang-sao mulai panik menyadari hal ini sementara
api berkobar semakin besar. Ia keluar gudang sambil- 336 berteriak-teriak membangunkan seluruh penghuni rumah,
sementara kedua pelayan gadungan tadi sudah menghilang
entah ke mana. Teriakan Chang-sao segera membangunkan
para pembantu dan pelayan, yang sangat kaget melihat
gudang itu terbakar. Bahu-membahu mereka mengangkat
gentong air dan menyiramnya ke gudang tapi sayang sekali
kelihatannya terlambat. Gudang sudah terbakar hingga ke
atap, api membubung tinggi ke udara. Jeritan Pai Lien sudah
tidak terdengar lagi ketika Ye Ing dan Han Cia Pao datang
ke sana. Mereka benar-benar terkejut melihat kebakaran
gudang itu.
"Bagaimana dengan Bibi Pai? Apakah Bibi Pai sudah
keluar dari gudang? Apakah sudah keluar atau belum?"
teriak Han Cia Pao panik menanyai setiap pelayan yang
ditemuinya. Mereka hanya bisa menggeleng sambil
tertunduk. Ye Ing pun tidak kalah panik. Ia segera menanyai
Chang-sao yang terlihat pucat pasi sambil menangis melihat
api melalap habis gudang itu.
"Chang-sao, bagaimana ini semua bisa terjadi?
Apakah Pai Lien sudah keluar dari sana?" teriak Ye Ing
hampir gila. Ia memang membenci Pai Lien tapi sama sekali
tidak ingin membunuhnya, apalagi membakarnya hiduphidup seperti sekarang ini. Ye Ing bergetar karena takut,
marah dan segala perasaan lain bercampur aduk dalam
dirinya.
Chang-sao tidak berani menjawab, seluruh tubuhnya
gemetar ketakutan.- 337 "Chang-sao apakah kau tuli? Jawab pertanyaanku!"
bentak Ye Ing semakin marah saja.
"Nyonya...nyonya Pai...Pai Lien tidak sempat keluar"
jawab Chang-sao di sela isak tangis dan gemetarnya.
Dunia bagaikan terbalik bagi Ye Ing. Bagaimana ia
nanti dapat menjelaskannya kepada Han Kuo Li bila nanti
suaminya pulang?
Han Cia Pao yang mendengar jawaban Chang-sao
juga kaget setengah mati. Ia memang jarang berhubungan
dengan Pai Lien karena ditentang oleh Ye Ing, tapi sejauh
ini Pai Lien selalu ramah dan baik kepadanya. Kini
kematiannya begitu tragis, membuat Han Cia Pao yang
masih remaja terguncang batinnya.
Di tengah hiruk pikuk pagi hari itu, Han Cia Sing
terbangun. Teriakan kebakaran dan keramaian para
pembantu membuat kedua penjaga kamarnya ikut sibuk dan
lupa menjaga kamarnya. Han Cia Sing tidak menyianyiakan kesempatan segera kabur dari kamarnya menuju ke
gudang tempat ibunya. Sudah tiga hari ini ia tidak boleh
bertemu ibunya, hatinya sangat rindu ingin segera bertemu.
Namun ia semakin heran ketika semua pelayan dan
pembantu menuju tempat yang sama seperti yang ia tuju.
Perasaan hatinya menjadi tidak enak dan Han Cia Sing
mempercepat langkahnya di pagi buta itu.
Han Cia Sing merasa seluruh tubuhnya seperti luluh
ketika tiba di depan gudang. Gudang itu sudah nyaris- 338 terbakar habis tidak bersisa. Para pelayan dan pembantu
masih berusaha menyiram air untuk mencegah api
membesar dan membakar bangunan lain, tapi yang jelas
gudang itu sendiri sudah habis terbakar tak berbentuk.
"Ibu!!!!!!" teriak Han Cia Sing sambil menyerbu ke
arah gudang.
Teriakan Han Cia Sing ini mengejutkan Ye Ing dan
Han Cia Pao. Nyaris saja Han Cia Pao terlambat menarik
Han Cia Sing yang berusaha melompat ke dalam api yang
masih menyala.
"Lepaskan aku!" teriak Han Cia Sing histeris.
"Adik, jangan bodoh! Bibi Pai sudah tiada, jangan
bertindak bodoh! Kau bisa mati terbakar!" kata Han Cia Pao
sambil berusaha mati-matian menahan Han Cia Sing.
Beberapa pelayan segera membantu menahan Han Cia Sing
yang sedang histeris, tapi kelihatannya Han Cia Sing benarbenar kesetanan sehingga sulit ditahan. Ketika Han Cia Pao
melihat adiknya benar-benar susah ditahan, mau tak mau ia
mengambil jalan terakhir. Han Cia Pao mengepalkan
tinjunya dan menghantamkannya ke tengkuk Han Cia Sing,
yang segera terkulai lemas dan pingsan.
"Pelayan! Bawa adikku kembali ke kamar dan jaga ia
baik-baik! Jika ada apa-apa segera laporkan kepadaku"
perintah Han Cia Pao kepada para pelayan yang
menggotong tubuh adiknya yang pingsan itu.- 339 Han Cia Pao berdiri dan memandang reruntuhan
gudang yang sudah terbakar habis itu. Dalam hatinya ia
mengeluh, mengapa kejadian seperti ini terjadi saat ayahnya
sedang tidak ada. Bagaimana reaksi ayahnya nanti jika
mengetahui hal seperti ini terjadi.
Di kejauhan tampak Ye Ing sedang duduk termenung
di kursi batu taman. Chang-sao tampak berdiri di
sampingnya sambil menangis. Suara ayam berkokok
terdengar di kejauhan dan matahari pagi mulai
menampakkan sinarnya, tapi pagi hari ini disambut
kedukaan yang mendalam di kediaman keluarga Han karena
kehilangan nyonya kedua mereka secara tragis. Mengapa
hidup manusia selalu penuh dengan duka dan penderitaan?- 340 10. Serigala Putih dari Tong Liao
Hampir sebulan kemudian, Han Kuo Li dan seluruh
rombongan prajurit perang tiba di kotaraja Chang An.
Mereka disambut meriah oleh rakyat kotaraja. Sepanjang
jalan rakyat mengelu-elukan mereka, menyirami mereka
dengan bunga-bunga dan menyanyikan lagu kemenangan.
Suasana kotaraja benar-benar meriah. Bahkan Kaisar Gao
Zong sendiri keluar dari kota terlarang dan menyambut
mereka di gerbang istana sebagai tanda penghormatan bagi
mereka.
Sesuai tradisi yang berlaku saat itu, semua prajurit
yang pulang dari perang tidak diperbolehkan langsung
pulang, melainkan harus menghadap dan melapor dulu
kepada kaisar. Demikian pula yang terjadi hari ini, semua
jenderal dan kepala pasukan seribu masuk ke kotaraja
menghadap kaisar, sementara rombongan prajurit yang
berjumlah hampir sembilan puluh ribu menunggu perintah
sambil beristirahat kira-kira lima belas U sebelah timur
kotaraja. Jika ada perintah bubar, barulah mereka boleh
membubarkan pasukan dan kembali ke rumah dan kampung
halaman masing-masing.
Han Kuo Li sebenarnya ingin sekali langsung pulang
ke rumahnya. Dalam perjalanan menuju kota terlarang untuk
menghadap kaisar, matanya mencari-cari keluarganya di
antara rakyat yang mengelu-elukan mereka tapi tidak
menemukan satu pun orang yang dikenalnya. Hatinya- 341 bertanya-tanya ada apa gerangan. Han Kuo Li semakin
gelisah ketika melewati Han Cia-cuang, rumah itu tertutup
rapat, tidak ada tanda-tanda penyambutan atau hal lainnya.
Song Wei Hao, teman baiknya sejak remaja dan
bawahannya yang terpercaya, berusaha menenangkannya
dengan mengatakan mereka akan segera tiba di rumah
malam ini setelah menghadiri perjamuan dengan kaisar.
Begitupun Han Kuo Li masih gelisah saja. Hati dan
pikirannya tidak berada di tempatnya, semua tindakannya
banyak yang salah. Untunglah kaisar begitu gembira
bercakap-cakap dengan semua jenderal yang lain sehingga
tidak memperhatikannya.
Jamuan usai ketika hari sudah larut malam. Semua
jenderal dianugerahi perhiasan, uang dan sutra yang mahal
dalam jumlah besar. Semua jasa mereka dicatat dan akan
diberikan kenaikan pangkat setelah dilihat dan
dipertimbangkan oleh perdana menteri. Para jenderal pulang
dengan keadaan setengah mabuk dan begitu gembira, tapi
Han Kuo Li sama sekali tidak mabuk karena hanya minum
arak sedikit sekali. Ia hanya ingin cepat kembali ke rumah
dan memastikan keluarganya baik-baik saja. Song Wei Hao
yang mengerti hati sahabatnya ini segera meminta Han Kuo
Li pulang, biarlah ia yang akan berkuda ke luar kotaraja
bersama pemimpin pasukan yang lain untuk membubarkan
pasukan yang beristirahat di sana.
Han Kuo Li segera memacu kudanya ke arah Han
Cia-cuang dengan kecepatan tinggi. Malam sudah larut dan- 342 jalanan sudah sepi sekali sehingga sebentar saja Han Kuo Li
sudah tiba di depan gerbang Han Cia-cuang. Ia mengetuk
pintu gerbang dan dibukakan oleh penjaga pintu. Yang
membuat Han Kuo Li heran adalah penjaga pintu itu tidak
berani melihat mukanya sama sekali, bahkan menyapanya
pun tidak berani, hanya tertunduk saja sambil mengambil
tali kekang kudanya.
Han Kuo Li merasa ada yang tidak beres, bergegas
masuk ke dalam ruang utama dan berjalan menuju gedung
dalam. Di ruangan dalam itu, ia melepas pakaian
pelindungnya yang terbuat dari besi yang berat, yang sudah
dipakainya selama seharian ini. Meski Han Kuo Li adalah
tentara yang terlatih, memakai pakaian besi seharian tetap
saja membuat seluruh badannya terasa penat sekali. Ia
meletakkan pakaian besinya dengan perasaan lega terbebas
dari beban berat.
Pada saat itu, Ye Ing dan ketiga putrinya beserta Han
Cia Pao datang ke ruangan dalam. Rupanya penjaga pintu
sudah memberitahukan kedatangan Tuan Besar mereka
kepada para pembantu dan pelayan yang lain, kemudian
mereka membangunkan Ye Ing dan Han Cia Pao.
Ketiga putri Han segera mengerumuni ayah mereka,
memeluk dan minta digendong, terutama si bungsu Han Li
Sien yang sangat manja dengan ayahnya. Tentu saja Han
Kuo Li juga merasa amat berbahagia dapat kembali
bersama-sama dengan keluarganya. Rasa rindunya pada- 343 keluarga selama hampir setahun ini ditumpahkan semuanya.
Ia menciumi ketiga putrinya dengan bahagia.
"Tie, selamat datang kembali di rumah. Pao-er sangat
senang melihat ayah dalam keadaan sehat" kata Han Cia Pao
sambil menjura.
Han Kuo Li melihat anak sulungnya dengan perasaan
bangga. Hampir setahun tidak bertemu, Han Cia Pao sudah
jauh bertambah tinggi dan gagah, benar-benar seperti kata
pepatah harimau tidak melahirkan anak anjing!
Ye Ing mendekati suaminya dengan mesra,
"Rong-er, Feng-er, Sien-er kalian jangan
mengganggu ayahmu lagi. Hari sudah larut malam, kalian
tidurlah." kata Ye Ing
Ketiga putri itu masih ingin membantah, tapi Ye Ing
segera menegur mereka dengan tegas, sehingga mereka
tidak berani membantah lagi. Setelah ketiga putrinya masuk
ke dalam, Ye Ing segera memakaikan jubah hangat kepada
suaminya.
"Suamiku, kau tentunya sudah lelah. Marilah
sekarang kita beristirahat, suamiku. Pao-er, engkau juga
beristirahatlah" kata Ye Ing sembari memapah suaminya
masuk ke kamar. Tapi Han Kuo Li menahan ajakan Ye Ing.
"Ing-mei (adik Ing), sebelum aku tidur, aku ingin
bertemu dengan Pai Lien dan Sing-er terlebih dulu. Di- 344 manakah mereka, bisakah kau panggilkan mereka?" kata
Han Kuo Li kepada Ye Ing.
Ye Ing ragu-ragu sejenak, bertukar pandang dengan
Han Cia Pao dengan takut-takut. Han Kuo Li melihat
mereka berdua berdiri mematung, merasa heran.
"Pao-er, Ing-mei, mengapakah kalian berdua
kelihatan takut? Apakah yang terjadi selama aku pergi?"
tanya Han Kuo Li penasaran
Ye Ing tidak mampu lagi menahan gejolak hatinya.
Rasa bersalah dan harga dirinya bertubrukan dengan keras
dalam hatinya. Akhirnya, jalan yang dipilih Ye Ing adalah
lari masuk ke dalam sambil menangis. Tentu saja Han Kuo
Li semakin heran dan penasaran.
"Pao-er, kau harus mengatakan apa yang terjadi
padaku. Jangan sembunyikan apapun dari ayahmu ini" kata
Han Kuo Li dengan tegas.
Han Cia Pao yang sudah mengenal baik adat ayahnya,
mengerti ayahnya sedang emosi karena itu ia tidak berani
membantah lagi.
"Tie, maafkan anak yang tidak berguna ini, saya tidak
berani mengatakannya" kata Han Cia Pao sambil menunduk
"Pao-er, katakan saja apa yang terjadi. Ayah tidak
akan menyalahkanmu" kata Han Kuo Li mulai tidak sabar.
Akhirnya Han Cia Pao menjelaskan apa yang terjadi
kepada Han Kuo Li selengkapnya, mulai dari awal sampai- 345 akhir dengan lengkap. Kening Han Kuo Li berkerut-kerut
dan ketika sampai pada bagian akhir ketika Pai Lien terbakar
hidup-hidup, emosinya tidak terbendung lagi. Han Kuo Li
berteriak keras sambil berdiri, menghantamkan tinjunya ke
meja kayu bundar sampai hancur!
Han Cia Pao kaget melihat ayahnya begitu emosi,
seumur hidupnya ayahnya tidak pernah memarahi mereka
sekeluarga, tapi kali ini ayahnya benar-benar marah. Seluruh
tubuh Han Kuo Li bergetar karena marah sehingga Han Cia
Pao tidak berani memandang wajah ayahnya. Han Kuo Li
berjalan dengan penuh amarah menuju kamarnya. Ia ingin
membuat perhitungan dengan Ye Ing yang telah
mengakibatkan semua ini.
Pintu kamar dibanting dengan keras, mengagetkan Ye
Ing yang sedang menangis di kamar. Lebih terkejut lagi Ye
Ing melihat wajah suaminya begitu marah, selama
pernikahan mereka belum pernah ia melihat Han Kuo Li
semarah itu. Tubuh Ye Ing bergetar hebat menahan rasa
takut.
"Mengapa kau lakukan hal ini? Mengapa?" bentak
Han Kuo Li
Belum sempat Ye Ing menjawab, Han Kuo Li sudah
menyeretnya keluar kamar. Ye Ing menjerit-jerit ketakutan
tapi tidak dipedulikan Han Kuo Li yang sedang kalap. Han
Cia Pao tidak tahu apa yang harus dilakukan, hanya berjalan
saja mengikuti mereka sambil berharap amarah ayahnya- 346 akan mereda. Ternyata Han Kuo Li menyeret Ye Ing menuju
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah belakang. Memang tadi Han Cia Pao bercerita bahwa
abu mayat Pai Lien disimpan di rumah belakang sehingga
Han Kuo Li bermaksud memaksa Ye Ing untuk berlutut di
depan abu Pai Lien sebagai tanda permintaan maaf.
Rumah belakang itu sendiri sekarang kosong dan
gelap karena Han Cia Sing sejak kematian Pai Lien, tidak
mau makan dan minum dan selalu berteriak-teriak memaki
Ye Ing sehingga disekap dalam salah satu kamar di rumah
utama. Han Kuo Li membuka pintu rumah itu dan
melemparkan Ye Ing ke dalam, kemudian menyalakan lilin
dan lampion untuk menerangi rumah kecil itu. Ye Ing
menggigil ketakutan tidak tahu harus berbuat apa. Han Cia
Pao sendiri datang menyusul kemudian setelah sebelumnya
menyuruh seorang pelayan pergi ke kediaman bangsawan
Ye untuk memberitahukan kejadian ini. Han Cia Pao merasa
Wai-kung (kakek dari pihak ibunya) pasti akan dapat
mencarikan jalan keluar bagi hal ini.
Han Kuo Li sendiri, begitu melihat papan nama dan
pundi abu almarhum Pai Lien langsung jatuh berlutut. Tak
terasa air mata mengambang di pelupuk mata Jenderal
Empat Gerbang ini. Selama hidupnya, Han Kuo Li sudah
ikut dalam banyak perang dan pertempuran, terluka dan
hampir mati pun pernah dialaminya, tapi semua itu tidak
pernah membuatnya meneteskan air mata. Tapi kini di
depan abu istrinya, air mata Han Kuo Li menetes. Jenderal
besar yang disegani kalangan militer dan dunia persilatan itu- 347 menangis seperti seorang bayi. Han Cia Pao yang melihat
ayahnya begitu berduka, tak terasa ikut melelehkan air mata
juga.
Hampir semalam-malaman Han Kuo Li berlutut
menangis di depan abu Pai Lien. Langit di ufuk timur mulai
memerah ketika bangsawan Ye tiba di depan Han Ciacuang, terburu-buru datang setelah mendengar kabar dari
pesuruh keluarga Han. Ye Ing sendiri hanya bisa terdiam tak
berani bergerak di lantai ruangan, sementara Han Cia Pao
berdiri di luar pintu menunggu ayahnya selesai
menumpahkan segala emosinya.
Bangsawan Ye datang ke rumah belakang dengan
napas memburu. Ia melihat Han Cia Pao sedang berdiri
mematung di depan pintu.
"Pao-er, apa yang terjadi? Mana ayah dan ibumu?"
tanya -bangsawan Ye
"Hormat kepada Wai-kung. Mereka sedang ada di
dalam" jawab Han Cia Pao sambil menjura dengan sopan.
Bangsawan Ye segera masuk ke dalam, terkejut
melihat putrinya tersungkur di lantai dan tidak bergerak
sama sekali sementara tengah berlutut menghadap meja abu
dengan mata sembab dan tatapan kosong. Bangsawan Ye
segera menghampiri dan memapah putrinya berdiri. Ye Ing
yang masih belum hilang rasa takutnya, kini sedikit lebih
berani dengan kehadiran ayahnya di sini.- 348 Bangsawan Ye menegur Han Kuo Li,
"Menantuku, mengapa engkau tidak memberi salam
kepada ayah mertuamu ini? Apakah aku sudah terlalu tua
dan tidak berguna?"
Han Kuo Li tersadar dari lamunannya dan bangkit
berdiri menghadap mertuanya.
"Hormat kepada mertua" kata Han Kuo Li lirih.
"Aku sudah mendengar dan tahu semuanya sebelum
kau kembali dari medan perang. Apakah kau merasa Ye Ing
bersalah dalam masalah ini" tanya bangsawan Ye kepada
Han Kuo Li.
Han Kuo Li sendiri tidak menjawab. Ia tahu ayah
mertuanya amat memanjakan Ye Ing dan pastilah
kedatangannya kali ini hendak membelanya pula.
"Selama hampir tiga belas tahun ini, Ye Ing melayani
engkau dengan baik, melahirkan anak-anak bagimu. Terus
terang aku merasa perlakuanmu kepadanya sekarang ini
sungguh tidak adil." kata bangsawan Ye melanjutkan.
"Dulu putri pertamaku kuberikan kepadamu sebagai
istri. Ia meninggal, aku tidak membuat perhitungan
denganmu, malah memberikan putri keduaku kepadamu.
Kini kau kehilangan istri dan menyalahkan Ye Ing, apakah
tindakanmu itu pantas?" tanya bangsawan Ye dengan nada
tinggi.- 349 Apa yang dikatakan bangsawan Ye mungkin benar.
Dulu anaknya yang pertama meninggal sebagai istri Han
Kuo Li dan kemudian Ye Ing dinikahkan dengan Han Kuo
Li. Meskipun pada saat itu tindakan itu didasari oleh
keinginan memperoleh keuntungan, tapi tetap saja Han Kuo
Li tidak dapat membantah kebesaran jiwa mertuanya ini.
"Tapi Pai Lien meninggal terlalu tragis, aku tidak bisa
mempercayainya" kata Han Kuo Li sambil menahan
perasaannya yang bergejolak keras.
"Ah, menantuku, semua orang pasti akhirnya akan
mati juga. Lagipula yang menyebabkan Pai Lien meninggal
adalah kelalaian Chang-sao. Hakim sudah menghukumnya
dengan berat sampai ia meninggal dunia karena tidak tahan,
bukankah itu sudah cukup? Apakah kau ingin supaya kau
kehilangan seorang istri lagi?" kata bangsawan Ye dengan
ketus.
Kata-kata yang terakhir ini benar-benar menusuk
sanubari Han Kuo Li. Ia sudah kehilangan dua istri di
usianya yang baru empat puluhan, apakah ia akan
membiarkan Ye Ing meninggal sebagai istri ketiga juga?
Bangsawan Ye melihat perubahan di wajah
menantunya ini, segera mengetahui bahwa Han Kuo Li
sudah dapat dibujuk, karena itu ia melembutkan suaranya,
"Menantuku, aku juga turut berduka. Aku bahkan
sudah menyiapkan upacara untuk Pai Lien supaya ia tenang
di sana. Kiranya engkau sekarang sudah kembali, maka- 350 kupikir semakin cepat kita melaksanakannya akan semakin
baik. Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Terserah mertua" kata Han Kuo Li yang sudah malas
berdebat.
"Bagus! Kalau begitu akan kulakukan hari ini saja.
Pao-er, lekas kau panggil pelayanku kemari, aku akan
memberi petunjuk kepadanya" kata bangsawan Ye dengan
hati gembira.
Han Cia Pao menuruti kata Wai-kungnya, sementara
itu bangsawan Ye sudah membimbing Ye Ing kembali ke
rumah utama, meninggalkan Han Kuo Li termenung
sendirian di depan meja abu. Han Kuo Li teringat masamasa indah bersama Pai Lien ketika pertama kali bertemu
dulu, saat-saat yang indah dalam masa kehidupan mereka
dan juga kelahiran putra mereka Han Cia Sing.
Tiba-tiba Han Kuo Li tersentak kaget teringat akan
putra keduanya itu. Sedari tadi malam setelah ia pulang
hingga kini, ia tidak melihat Sing-er. Segera saja Han Kuo
Li pergi mencari Sing-er, kebetulan seorang pembantu
tengah lewat membawa teh untuk disuguhkan kepada
bangsawan Ye sedang lewat, sehingga Han Kuo Li tahu
bahwa Sing-er sedang disekap di salah satu kamar karena
selalu berteriak-teriak memaki Nyonya Besar.
Han Kuo Li bergegas menuju kamar tempat Sing-er
disekap. Kamar itu sendiri tidak dijaga maupun dikunci,
sehingga Han Kuo Li bisa leluasa masuk ke dalam.- 351 Pemandangan di dalam yang dilihatnya sangat memilukan
dan mengiris hati Han Kuo Li. Di tempat tidur, tampak Han
Cia Sing terbaring lemah. Wajahnya pucat dan kurus, kedua
tangan kakinya diikat kuat dengan tali ke pinggiran tempat
tidur dan mulutnya disumpal dengan kain agar tidak
bersuara. Han Cia Sing yang melihat kedatangan ayahnya,
segera timbul kembali semangatnya. Ia menggoyanggoyangkan tubuhnya sekuat tenaga sehingga seluruh tempat
tidur bergoyang dengan keras, berusaha membebaskan
dirinya.
Han Kuo Li segera membuka ikatan kakLtangan dan
sumpal mulut anaknya itu. Begitu terlepas, Han Cia Sing
segera memeluk ayahnya sambil menangis meraung-raung.
"Ibu, ibu meninggal dibunuh oleh mereka!" teriak
Han Cia Sing di sela-sela tangisannya.
Han Kuo Li tidak mampu berkata apa-apa lagi. Ia
hanya memeluk dan berusaha menenangkan anaknya yang
sedang histeris itu. Dari cerita Han Cia Pao yang ia dengar,
kelihatannya kematian Pai Lien adalah karena kecelakaan.
Han Kuo Li berpikir Sing-er masih kecil, tidak mengerti apa
yang terjadi dan menuduh sembarangan.
"Sing-er, ayah sudah di sini, jangan takut lagi." kata
Han Kuo Li sambil mengelus-elus punggung anaknya
dengan penuh kasih sayang.
Han Cia Sing yang sudah beberapa hari tidak dapat
tidur nyenyak, akhirnya tertidur dalam pelukan ayahnya.- 352 Tangannya mencengkera meratbaju ayahnya sehingga
susahsekali dilepaskan, meskipun ia tertidur. Akhirnya Han
Kuo Li memutuskan untuk menemaninya anaknya tidur
bersama. Ia juga amat lelah setelah perjalanan jauh, juga
semalaman tidak tidur karena hatinya amat berduka. Bapak
dan anak itu kemudian tertidur dalam posisi berpelukan di
pinggir ranjang.
Matahari sudah berada di ujung barat ketika akhirnya
Han Kuo Li terbangun. Ternyata Han Cia Sing masih
tertidur sambil memeluk erat dirinya, seolah tak mau
melepaskannya. Pelan-pelan Han Kuo Li menidurkan
anaknya di tempat tidur. Betapa kurus dan pucatnya Han Cia
Sing, membuat hati ayahnya bertambah hancur melihatnya.
Di luar kamar, kesibukan para pelayan dan pembantu
memasang lilin dan lampion mulai terdengar.
Han Kuo Li keluar kamar dan menutup pintunya
dengan hati-hati sekali takut membangunkan Sing-er. Ia
berjalan menuju kamar utama untuk beristirahat. Meskipun
barusan ia sempat tertidur, tapi posisi tidur duduk tentulah
tidak nyaman. Sementara ia berjalan menuju kamarnya, ia
melewati aula utama. Bunyi suara musik kedukaan dan bau
dupa yang keras mengusik Han Kuo Li dari rencananya
beristirahat.
Ternyata di aula utama, upacara pelepasan arwah dan
perkabungan sedang dilaksanakan sesuai kata bangsawan
Ye tadi pagi. Pemain musik dan pendeta Tao yang semua
berpakaian serba putih tengah membakar dupa dan uang- 353 kertas di depan aula utama. Ye Ing, bangsawan Ye, Han Cia
Pao dan ketiga putri Han ikut hadir di ruangan itu. Mereka
dengan tekun melihat pendeta Tao itu menyanyikan syairsyair dan doa-doa. Di meja tengah aula itu sekarang
diletakkan tempat dupa dari tembaga yang besar dengan
ratusan dupa besar dibakar di atasnya, membuat seisi aula
utama itu penuh asap dan bau dupa.
Bangsawan Ye yang pertama melihat Han Kuo Li
berdiri mematung di pinggir aula itu, segera memanggilnya
supaya masuk dan mengikuti upacara itu. Han Kuo Li
menuruti perintah mertuanya itu. Ia berdiri di samping
istrinya tanpa berkata apa-apa, juga Ye Ing tidak berani
berkata apa-apa kepada suaminya. Keduanya membisu
dalam situasi yang tidak enak.
Pendeta Tao itu akhirnya menyelesaikan doanya.
Semua pemain musik berhenti dan diam menunggu perintah
selanjurnya dari sang pendeta Tao.
"Suami dipersilakan memberikan penghormatan dan
menyalakan dupa!" kata pendeta Tao tadi sambil
mempersiapkan dupa untuk dibakar oleh Han Kuo Li.
Han Kuo Li maju menerima dupa dan membakarnya
di atas lilin, kemudian berdoa dengan penuh perasaan. Lama
ia berduka sambil berdoa, memohon langit menerima
istrinya. Tangannya bergetar menahan perasaan yang
berkecamuk hebat sebelum akhirnya menancapkan dupa itu
di dalam tempat dupa tembaga.- 354 Han Kuo Li kelihatan lebih lega sekarang, wajahnya
tidak sekeras tadi sehingga Ye Ing merasa lebih tenang
hatinya.
"Nyonya dipersilakan memberikan penghormatan
dan menyalakan dupa!"
Ye Ing maju ke depan dan menerima dupa dari sang
pendeta Tao. Ketika Ye Ing akan menyalakannya dengan
lilin, tiba-tiba sesosok bayangan berlari dengan cepat sekali
menuju ke arahnya dan membentak dengan keras,
"Kau wanita siluman yang membunuh ibuku! Kau
tidak pantas untuk menyembahyanginya, pergi dari sini!"
Ternyata itu adalah Han Cia Sing, kiranya ia juga
sudah bangun dan menuju ke ruangan tengah. Ia berlari
begitu cepat dan mendadak sehingga tidak ada yang sempat
mencegahnya mendekati Ye Ing, apalagi semua yang hadir
sedang tertegun dalam kesedihan. Han Cia Sing merebut
dupa itu dari tangan Ye Ing dan melemparnya jauh-jauh.
Belum sempat Han Kuo Li berkata apa-apa untuk mencegah
anaknya bertindak lebih jauh, Han Cia Sing sudah meraup
abu dupa dalam tempat tembaga dengan tangannya dan
melemparkan abu panas itu ke wajah Ye Ing!
"Wanita siluman!" maki Han Cia Sing sambil
melemparkan segenggam penuh abu dupa panas ke wajah
Ye Ing.- 355 Kontan saja Ye Ing menjerit mengenaskan. Ia
menutupi wajahnya sambil berteriak-teriak seperti orang
gila. Bangsawan Ye segera merangkul putrinya itu sambil
berteriak meminta air untuk membersihkan wajah putri
kesayangannya itu. Keributan besar segera terjadi di aula
tengah itu. Semua pelayan hiruk-pikuk berlarian kesana
kemari tanpa tujuan, sementara pendera Tao dan pemain
musik kebingungan hendak berbuat apa.
Han Kuo Li segera memeriksa istrinya dengan
seksama, ia sangat khawatir melihat istrinya berteriak-teriak
seperti orang gila. Ketiga putri Han menangis berpelukan
melihat sikap ibunya, sementara Han Cia Pao segera
meringkus adiknya itu.
"Adik! Kau sudah kemasukan setan rupanya!
Mengapa kau lakukan ini? Bagaimanapun juga ia adalah ibu
kita!" kata Han Cia Pao sambil memegangi Han Cia Sing
yang masih kalap.
Bangsawan Ye maju ke depan Han Cia Sing dan
dengan satu ayunan pukulan yang kuat menempeleng Han
Cia Sing.
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Plakkkk!!"
Pukulan itu begitu keras menghajar wajah Han Cia
Sing, sehingga ia terlepas dari pegangan kakaknya dan
terpelanting. Pipinya langsung bengkak membiru dan
bibirnya pecah berdarah. Tapi Han Cia Sing sama sekali- 356 tidak menangis atau mengeluh, malah menatap tajam kakek
tirinya itu.
"Binatang! Ibu sendiri pun kau berani lukai! Aku
harus memberimu pelajaran baru kau mengerti apa itu arti
tata krama dan menghormati yang tua!" kata bangsawan Ye
dengan geram.
Han Cia Pao yang melihat keadaan semakin tidak
terkendali, berusaha menyelamatkan adiknya dari amukan
kakeknya.
"Kakek, mohon ampuni adik Sing. Ia masih kecil dan
belum menyadari kesalahannya. Lagipula Bibi Pai baru
meninggal, ia pasti amat berduka." kata Han Cia Pao sambil
berusaha menahan bangsawan Ye menghajar adiknya lagi.
Bangsawan Ye yang tertahan oleh Han Cia Pao masih
berusaha menendang Han Cia Sing yang tergeletak di lantai.
Han Cia Pao berusaha membujuk adiknya untuk meminta
maaf.
"Adik, minta maaflah kepada kakek dan ibu. Mereka
pasti memaafkanmu" kata Han Cia Pao membujuk adiknya.
"Siluman itu bukan ibuku!" teriak Han Cia Sing
dengan sengit
"Binatang!" bentak bangsawan Ye yang benar-benar
geram.
"Ayah mertua, sudahlah! Kita harus segera mengobati
Ing-mei, masalah lain bisa diurus nanti" kata Han Kuo Li.- 357 Han Kuo Li memapah Ye Ing yang kini pingsan itu
ke kamar dalam. Bangsawan Ye sementara mengalah tapi
kegeramannya belum hilang.
"Pelayan! Kurung binatang ini dan jangan sampai
terlepas" perintahnya.
Bangsawan Ye segera menyusul Han Kuo Li dan Ye
Ing di kamar utama. Beruntunglah tabib yang dipanggil
segera datang sehingga Ye Ing bisa segera diperiksa.
Bangsawan Ye, Han Kuo Li dan Han Cia Pao menunggu
dengan cemas tabib membersihkan luka dan mengoleskan
obat di wajah Ye Ing. Beberapa saat kemudian tabib selesai
mengobati, buru-buru bangsawan Ye maju ke depan.
"Tai-fu (tabib), bagaimana keadaan putriku?" tanya
bangsawan Ye.
"Keadaan Nyonya Han tidaklah parah, hanya luka
luar di wajahnya saja. Beruntung sekali matanya tidak ikut
terluka, karena jika terluka kemungkinan besar akan buta"
kata tabib itu.
"Apa? Wajahnya terluka? Apakah itu yang disebut
beruntung? Bagaimana nanti ia bisa menemui orang jika
wajahnya cacat?" kata bangsawan Ye
"Lukanya tidak serius, Tuan Besar Ye. Oleskan obat
ini beberapa hari maka Nyonya Han akan sembuh seperti
sediakala" kata tabib itu sambil memberikan sebotol obat
kepada Han Kuo Li. Ia juga menyerahkan resep obat untuk- 358 menguatkan tubuh karena Pai Lien terkejut benar hingga
pingsan karena kejadian ini.
Tabib itu pulang diantar oleh seorang pelayan. Han
Kuo Li dan Han Cia Pao menunggui Ye Ing, sementara
bangsawan Ye masih marah-marah kepada mereka.
"Kuo Li, bagaimana selama ini kau mengajar
anakmu? Ia menjadi seperti seekor binatang saja, tidak tahu
sopan santun dan kurang ajar sekali!" kata bangsawan Ye
dengan nada tinggi.
Han Kuo Li dengan berat hati terpaksa mengiyakan
apa yang dikatakan ayah mertuanya, sedangkan Han Cia Pao
hanya terdiam saja melihat kakeknya marah-marah.
"Aku tidak peduli lagi, aku ingin binatang itu diusir
dari rumah ini! Ia memalukan nama keluarga Han!" kata
bangsawan Ye dengan geram.
Saat itu Ye Ing sudah mulai siuman. Ia mendengar
perkataan ayahnya yang terakhir dan menjadi ingat apa yang
telah terjadi. Ye Ing mengeluh dan menggeliat bangun,
wajahnya terasa panas dan gatal. Ia hendak memegang
wajahnya tapi segera ditahan oleh Han Kuo Li.
"Ing-mei, tabib baru saja mengoleskan obat ke
lukamu, sebaiknya jangan kau pegang dulu sebelum obat itu
mongering" kata Han Kuo Li
Ye Ing bangkit dari tempat tidurnya dan segera berlari
menuju cermin yang terletak di atas meja rias. Betapa kaget- 359 Ye Ing ketika melihat wajahnya penuh dengan bekas luka
terbakar, bahkan ada kulitnya yang melepuh!
Ye Ing meraung-raung memukuli dirinya sendiri
sambil mengatakan ingin mati saja! Han Kuo Li berusaha
menenangkannya tapi tidak berhasil. Pandangan Ye Ing
berubah menjadi liar dan menakutkan, ia ingat siapa yang
melakukan ini padanya!
"Di mana setan kecil itu? Dialah yang menyebabkan
aku menjadi begini. Ia harus diusir dari rumah ini!" kata Ye
Ing dengan histeris.
Segala ucapan Han Kuo Li tidak digubrisnya, malah
Ye Ing sekarang berteriak-teriak sambil berusaha keluar
ruangan mencari Han Cia Sing.
Keadaan yang kacau dan penuh kemarahan itu
berlangsung hingga larut malam baru dapat diredakan. Han
Kuo Li benar-benar merasa lelah secara tubuh dan batin. Ia
berjalan ke aula utama sambil membawa beberapa guci arak
di tangannya. Guci-guci arak itu berisi arak terbaik yang ada
di Han Cia-cuang, sudah berusia puluhan tahun. Han Kuo Li
meneguknya seperti orang kehausan, dalam beberapa
tegukan arak itu sudah habis seguci.
Saat itu, Song Wei Hao yang sudah mendengar
kejadian yang terjadi di Han Cia-cuang selama ia dan Han
Kuo Li pergi, segera datang ke tempat kediaman sahabatnya
itu. Sebenarnya malam sudah larut dan tidak layak bagi
seorang tamu untuk datang berkunjung, tapi karena Song- 360 Wei Hao adalah teman dekat Han Kuo Li sejak remaja maka
penjaga pintu tidak sungkan dan bimbang lagi untuk
menerimanya.
Song Wei Hao melihat Han Kuo Li sedang termenung
dan minum sendirian di ruang utama. Wajahnya benar-benar
tampak tertekan dan murung. Song Wei Hao merasa kali ini
pastilah masalah yang dihadapi sahabatnya amatlah berat. Ia
hanya mendengar secara garis besar saja dari pelayan
keluarga Han, tapi itupun sudah terdengar amat berat.
Han Kuo Li yang sudah menenggak beberapa guci
arak, sekarang sudah setengah mabuk sehingga begitu
melihat kedatangan Song Wei Hao, ia segera mengajaknya
ikut minum. Song Wei Hao menolak ajakan sahabatnya
dengan sopan.
"Han-siung, jangan terlalu banyak minum. Di saat
seperti ini kau seharusnya bisa berpikiran jernih" kata Song
Wei Hao
"Berpikiran jernih? Apakah aku sekarang tidak
berpikiran jernih? Aku amat jernih, tidak pernah sejernih ini
sekarang" kata Han Kuo li yang sudah mabuk arak itu.
"Baiklah, kalau begitu katakan apa yang terjadi
dengan Sing-er? Mengapa Ye Ing dan mertuamu matimatian ingin mengusirnya dari rumah ini?" tanya Song Wei
Hao dengan sabar meladeni celotehan sahabatnya ini.- 361 "Anak dan ibu berkelahi, mertua datang mencampuri.
Mengapa semuanya menjadi begini? Ah, seandainya Pai
Lien masih ada" kata Han Kuo Li dengan sedih. Ia meneguk
lagi seguci arak hingga habis! Song Wei Hao menghitung
guci arak yang sudah kosong sekarang ada delapan. Jika
orang biasa yang minum pastilah satu guci sudah pingsan
tidak dapat bangun lagi karena kerasnya arak pilihan ini.
"Mertua dan istriku ingin Sing-er diusir, apa yang bisa
kulakukan? Sing-er memang bersalah melukai Ing-mei tapi
ia masih kecil, harus ke mana ia pergi nantinya? Pai Lien
pasti akan sedih melihat Sing-er terlunta-lunta sendirian"
kata Han Kuo Li sambil meneguk arak lagi.
Song Wei Hao benar-benar sudah tidak sanggup lagi
melihat kelakuan sahabatnya itu. Ia menahan tangan Han
Kuo Li agar tidak minum lagi.
"Han-siung, tidak perlu bersedih. Aku punya usulan
yang bagus jika Han-siung mau mendengarkan" kata Song
Wei Hao lagi.
Han Kuo Li berhenti minum. Matanya nanar
memandangi sahabatnya itu.
"Rencana apakah? Cepat katakan padaku" kata Han
Kuo Li tidak sabar
"Biarlah Sing-er sementara berdiam dulu di Pei-An,
di tempat keluarga Pai Lien berasal. Bukankah di sana masih
ada keluarga jauh Pai Lien? Nanti setelah satu dua tahun- 362 kemarahan Ye Ing mereda, kita bisa memanggil Sing-er
kembali ke kotaraja" kata Song Wei Hao menerangkan
Han Kuo Li mengangguk-angguk. Perkataan
sahabatnya ini ada benarnya. Bagaimana mungkin ia sampai
lupa tentang keluarga Pai Lien di Pei-An? Meskipun
mungkin saudara jauh, tapi itu jauh lebih baik daripada
bersama orang asing.
"Benar! Usulmu bagus sekali sahabatku. Sekarang
aku menjadi agak tenang, tidak terlalu bingung lagi" kata
Han Kuo Li sambil terkekeh. Jelas sekali ia mabuk berat.
Song Wei Hao menemaninya sampai Han Kuo Li
benar-benar mabuk dan tertidur. Ia memberikan baju hangat
untuk menutupi temannya itu yang tertidur di meja aula
utama bersama guci-guci araknya. Song Wei Hao menghela
napas panjang, mengapa peristiwa yang benar-benar berat
seperti ini datang bertubi-tubi mendera sahabat baiknya ini?
Besok pagi-pagi sekali, bangsawan Ye sudah tiba
bersama istrinya ke Han Cia-cuang. Mereka bermaksud
menengok Ye Ing sekaligus membikin perhitungan dengan
Han Cia Sing. Bangsawan Ye bermaksud mengusir Han Cia
Sing hari ini juga, geramnya timbul lagi setiap kali
mengingat tindakan Han Cia Sing terhadap putri
kesayangannya.
Han Kuo Li benar-benar terkejut mendengar
keinginan mertuanya itu. Kepalanya masih sakit akibat
terlalu banyak minum arak kemarin malam. Tapi Han Kuo- 363 Li masih ingat apa yang dikatakan Song Wei Hao kepadanya
tadi malam jadi ia mengatakan usul itu kepada kedua
mertuanya.
"Tidak bisa! Anak itu begitu liar mana boleh
dibiarkan tanpa pengawasan, aku menentang keras!" kata
bangsawan Ye dengan nada tinggi
"Tapi, ayah mertua, Han Cia Sing baru berusia dua
belas tahun, mana bisa ia hidup sendiri? Kupikir jalan ini
adalah jalan terbaik bagi kita semua" kata Han Kuo Li
mencoba membujuk.
Setelah saling tarik ulur, akhirnya bangsawan Ye
mengajukan satu usulan kepada Han Kuo Li.
"Begini saja, si setan cilik itu tidak bisa tanpa
pengawasan. Di utara kota Tong Liao dekat Pei-An adalah
markas pasukan jenderal Teng Cuo Hui. Aku ingin kau
masukkan setan cilik itu ikut dalam latihan prajurit di sana,
supaya ia tahu adat dan sopan santun, serta menjadi seorang
manusia yang berguna. Ini tidak untuk diperdebatkan lagi,
ingat itu!" kata bangsawan Ye sambil meninggalkan Han
Kuo Li
"Aku ingin hari ini juga setan cilik itu pergi dari
rumah ini!" tambah bangsawan Ye sebelum ia
meninggalkan Han Kuo Li yang terbengong-bengong
sendirian di aula utama.- 364 Kelihatannya Han Kuo Li sudah tidak dapat lagi
mengubah pendirian mertua dan istrinya lagi, jadi ia pun
menulis surat pengantar untuk Jenderal Teng Cuo Hui,
penguasa wilayah perbatasan Tong Liao di utara. Suratnya
ditulis dengan perasaan kacau balau. Berulang kali ia
menghela napas panjang, menyesali kejadian ini. Han Kuo
Li juga merasa bersalah kepada Pai Lien karena tidak bisa
menjaga dia dan anaknya. Dalam kekalutan pikirannya itu,
entah sudah berapa puluh lembar kertas yang dirobeknya
karena salah tulis. Kertas-kertas itu berserakan di meja
tulisnya sehingga pelayan yang ikut menjaganya menjadi
heran melihat majikannya yang bertingkah di luar
kebiasaannya yang selalu rapi.
Pada saat itu Song Wei Hao kembali datang
menjenguk Han Kuo Li. Ia datang ke ruang belajar Han Kuo
Li tepat pada waktunya, karena teman dan sekaligus
atasannya itu sedang kalut dan marah-marah kepada semua
pelayan. Song Wei Hao datang menenangkan Han Kuo Li
dan menanyakan apa yang terjadi.
"Ayah mertuaku memaksa Sing-er dikirim ke markas
perbatasan Tong Liao. Aku sudah berusaha menentang tapi
tidak berhasil. Sekarang aku ingin menulis surat pengantar
untuk Jenderal Teng Cuo Hui, tapi selalu salah. Aku benarbenar marah karena tidak berguna" kata Han Kuo Li dengan
emosi.
"Han-siung, aku mengerti perasaanmu. Biarlah aku
yang menuliskan surat pengantar itu untukmu" kata Song- 365 Wei Hao sambil mengambil secarik kertas dan menggosok
tinta dan mulai menulis surat. Sebentar saja surat itu sudah
selesai, memang seperti kata pepatah pikiran yang sedang
kalut tidak akan pernah bisa bekerja dengan baik. Han Kuo
Li yang sedang kalut pikirannya, tidak bisa menulis surat
dengan benar, yang sebenarnya adalah pekerjaan yang
mudah.
Song Wei Hao memasukkan surat itu ke dalam
amplop dan membubuhkan cap keluarga Han di atasnya.
"Kapan rencananya kau mengirimkan ia kembali ke
utara?" tanya Song Wei Hao.
Han Kuo Li menghela napas panjang.
"Hari ini" jawab Han Kuo Li pendek
Song Wei Hao sangat terkejut mendengar jawaban itu.
"Hari ini? Maksudmu mereka sudah benar-benar
ingin mengusir Sing-er sekarang juga?"
Han Kuo Li mengangguk pelan sambil mengambil
surat pengantar itu dari tangan Song Wei Hao. Ia berjalan
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gontai menuju kamar Han Cia Sing yang dijaga oleh dua
pelayan. Han Kuo Li membuka pintu kamar dengan hati-hati
supaya tidak membangunkan Sing-er yang sedang tertidur
pulas karena kelelahan. Ia duduk dengan hati-hati sekali di
sisi ranjang kemudian memandangi wajah putra keduanya
itu dengan penuh kasih sayang. Wajah Han Cia Sing- 366 memang mirip sekali dengan wajah Pai Lien, apalagi bila
sedang tertidur pulas begini.
Han Kuo Li mengelus-elus rambut Sing-er dengan
lembut. Lebam di wajah Sing-er karena dipukul oleh
bangsawan Ye kemarin masih tampak biru lebam. Han Kuo
Li mengusapnya dengan perlahan sekali lebam biru di wajah
anaknya. Hati ayah siapa yang tidak sakit melihat anaknya
dipukul orang hingga lebam begini, sekalipun yang
memukul itu adalah ayah mertuanya sendiri.
"Sing-er, ayah tidak berguna, tidak bisa menjagamu"
bisik Han Kuo Li.
Setelah membetulkan letak selimut hangat di tubuh
Sing-er, Han Kuo Li keluar dari kamar dengan hati-hati.
Kemudian ia memanggil seorang pembantu untuk
menyiapkan pakaian dan bekal yang akan dibawa Han Cia
Sing ke utara. Sore ini ia akan mengantar Sing-er sampai ke
daerah Tong Chuan dan ikut bermalam di sana. Besok
barulah Sing-er akan dikawal oleh para pengawal ke Pei-An
kemudian ke Tong Liao.
Han Kuo Li menghela napas panjang entah untuk
yang keberapa kalinya. Ia benar-benar gundah dan tidak
ingin bertemu dulu dengan Ye Ing maupun ayah mertuanya,
sehingga ia memutuskan beristirahat di rumah belakang,
tempat Pai Lien dulu tinggal. Han Kuo Li masuk ke dalam
rumah dan mengusap debu tebal di bangku, kemudian duduk- 367 menghadap meja sembahyang yang terdapat tempat abu Pai
Lien.
"Pai Lien, aku telah bersalah kepadamu" katanya
lirih.
"Ayah, bagaimana ayah bisa membiarkan setan kecil
itu pergi begitu saja? Bukankah tinggal di tempat keluarga
ibunya akan terlalu enak baginya?" kata Ye Ing uringuringan di depan bangsawan Ye. Sebagian mukanya yang
melepuh masih ditutup oleh kain perban dan diolesi obat
luka.
"Anakku, tenanglah dahulu. Mana mungkin aku
membiarkan binatang kecil itu pergi begitu saja? Tentu saja
aku akan membalaskan sakit hatimu ini, putriku tersayang"
jawab bangsawan Ye.
"Benarkah? Tapi mengapa ayah mengirimnya ke
utara, tempat banyak saudara ibunya tinggal?" kata Ye Ing
masih tidak percaya.
"Putriku, mendekatlah. Aku akan mengatakan
rencanaku padamu" kata bangsawan Ye dengan pelan, takut
didengar orang lain.
Ye Ing mendekati ayahnya sementara bangsawan Ye
membisikkan rencananya kepadanya. Raut muka Ye Ing
berubah seiring selesainya sang ayah membisikkan
rencananya. Ia menjadi gembira sekali.- 368 "Bagus, bagus sekali ayah! Dengan begitu tidak akan
ada yang"
Belum selesai Ye Ing berkata, bangsawan Ye segera
menutup mulut putrinya.
"Jangan kau katakan! Biarlah rahasia ini hanya kita
yang tahu, mengerti kau anakku?" kata bangsawan Ye
sambil menoleh ke kiri kanan takut ada yang mendengarkan
pembicaraannya dengan Ye Ing.
"Baiklah ayah" kata Ye Ing sambil tersenyum
gembira.
Sore hari itu juga, saat matahari sudah condong ke
barat, Han Kuo Li bersama Sing-er dan dua orang pelayan
menaiki kuda meninggalkan kotaraja berangkat ke arah
utara. Perjalanan Han Cia Sing ke utara sangatlah jauh,
mungkin akan menempuh perjalanan sebulan berkuda baru
tiba di daerah Pei-An kemudian berkuda lagi empat-lima
hari lagi barulah tiba di Tong Liao. Seorang anak berusia
dua belas tahun harus menempuh jarak sedemikian jauh
sungguh membuat Han Kuo Li khawatir. Ia sebenarnya
ingin mengantar anaknya sampai di Tong Liao sendiri, tapi
mana mungkin ia meninggalkan tugasnya sebagai Jenderal
Empat Gerbang kotaraja?
Malam itu ayah beranak Han menginap di daerah
Tong Chuan dalam satu kamar. Han Kuo Li sangat gundah
sehingga sedikit bicara sementara Sing-er sendiri yang
tubuhnya lemah setelah tidak makan tidur cukup selama- 369 sebulan terakhir langsung tertidur di samping Han Kuo Li.
Tanpa terasa malam sudah berganti pagi dengan cepatnya,
padahal Han Kuo Li masih ingin lebih lama lagi bersama
putranya.
Matahari pagi yang bersinar terang kali ini tidak
disambut gembira oleh Han Kuo Li. Ia benar-benar gundah
harus berpisah dengan putranya ini, tidak tahu kapan bisa
berjumpa lagi. Han Kuo Li membantu Sing-er naik ke sadel
kuda sambil membelai punggung anaknya untuk terakhir
kalinya.
"Sing-er, ingatkah apa yang ayah katakan kepadamu
kemarin? Dua tiga tahun lagi ayah akan menjemput kau
pulang ke kotaraja setelah amarah ibu^Han kakekmu
mereda" kata Han Kuo Li dengan sabar.
"Ayah, ibuku sudah meninggal. Siluman itu bukan
ibuku!" kata Han Cia Sing dengan sengit.
"Sing-er! Jangan berkata tidak sopan terhadap yang
lebih tua, terlebih lagi bagaimanapun ia masih terbilang ibu
tirimu" kata Han Kuo Li dengan nada tinggi.
Han Cia Sing berpaling dari ayahnya sambil
cemberut. Kiranya hatinya masih dibakar amarah yang
berkobar-kobar oleh kematian ibunya. Ayahnya sendiri
tidak ingin memperpanjang masalah ini dan meletakkan
bungkusan baju dan bekal Han Cia Sing di pelana kuda,
kemudian berpesan kepada kedua pelayan pengantar untuk
tidak lupa memberikan surat pengantar kepada Jenderal- 370 Teng Cuo Hui jika bertemu nanti. Han Kuo Li juga
memberikan sekantong besar uang perak sebagai bekal
perjalanan mereka pulang pergi.
"A Fei dan A Liu, jagalah Sing-er baik-baik.
Kembalilah segera setelah mengantar Sing-er kepada
Jenderal Teng Cuo Hui sehingga aku tidak khawatir terus"
kata Han Kuo Li
"Baik, Tuan Besar, kami akan melaksanakan
perintah" jawab kedua pelayan yang bernama A Fei dan A
Liu bersama-sama.
"Berangkatlah sekarang selagi hari masih pagi.
Jangan lupa berhenti menginap di setiap kota yang kalian
lalui jika hari sudah malam" tambah Han Kuo Li lagi.
"Sing-er, kali ini perjalananmu jauh, jangan lupa
untuk selalu menjaga diri. Ayah tidak ada di sampingmu
untuk menjagamu kini" kata Han Kuo Li dengan sedih.
Tenggorokannya terasa tersekat melihat wajah anaknya
untuk terakhir kalinya sebelum pergi.
"Ayah, jangan khawatir. Aku bisa menjaga diriku
sendiri" kata Han Cia Sing dengan mantap.
Han Kuo Li mengangguk karena sudah tidak sanggup
lagi berkata-kata. Ia menepuknya punggung kuda yang
dinaiki Han Cia Sing.
"Berangkatlah kalian, hati-hati di perjalanan!" teriak
Han Kuo Li.- 371 Kedua pelayan, A Fei dan A Liu menghormat kepada
Han Kuo Li sebelum menarik tali kekang kuda masingmasing dan memulai perjalanan. Han Cia Sing sendiri terus
memandang kepada ayahnya, yang terlihat semakin
menjauh dan mengecil. Tak terasa air mata mengalir di
kedua pipinya, tapi ia tidak ingin menangis karena ia takut
akan semakin membuat ayahnya cemas. Han Kuo Li sendiri
terus memandangi mereka sambil hilang di ujung bukit.
Sepanjang hidupnya, Han Kuo Li sudah banyak mengalami
saat sedih dan perpisahan tapi ia belum pernah merasakan
harinya begitu hampa seperti sekarang ini. Ia masih berdiri
lama memandang ke arah Han Cia Sing pergi sebelum
akhirnya berbalik dan memacu kudanya kembali ke
kotaraja.
Han Cia Sing sendiri memulai perjalanannya yang
jauh dan melelahkan. Ia sedari kecil hampir tidak pernah
meninggalkan kotaraja, sekarang sekali pergi ia harus
menempuh jarak yang demikian jauh dan sulit. Sepanjang
perjalanan, pemandangan berganti-ganti mulai dari sungai,
gunung, lembah, kota besar, kota kecil, desa kecil, desa
besar kembali lagi gunung, bukit, gurun pasir dan
seterusnya. Han Cia Sing hampir tidak memperhatikan lagi
ke mana ia dibawa oleh A Fei dan A Liu pergi karena
tubuhnya begitu lelah. Setiap kali berhenti untuk beristirahat
ia langsung ambruk tertidur karena kelelahan. A Fei dan A
Liu pun tidak banyak bercakap-cakap dengannya selama
perjalanan karena mereka berdua masih muda dan belum- 372 berkeluarga sehingga agak malas untuk menghibur seorang
anak kecil yang tiap malam mengigau memanggil ibunya.
Tidak terasa perjalanan sudah berlangsung hampir
sebulan penuh dan mereka sudah memasuki wilayah Chi
Feng setelah keluar dari daerah Tembok Besar. Kini
perjalanan menjadi lebih sulit lagi karena cuaca yang
semakin dingin dan angin bertiup kencang. Perjalanan
mereka semakin lama semakin lambat, jika biasanya satu
hari bisa menempuh lima puluh enam puluh li maka
sekarang hanya tiga puluh li saja sudah bagus. Daerah yang
mereka lalui semakin liar, desa semakin jarang termasuk
penduduk mulai jarang terlihat.
Beberapa hari kemudian sampailah mereka di daerah
Pei-An, tempat kampung halaman Pai Lien. Desa Pei-An
terletak di pinggiran sebuah lembah yang subur, banyak
sekali peternak domba dan sapi yang sedang
menggembalakan ternak mereka di sepanjang jalan yang
dilalui. Umumnya mereka memandang dengan heran
rombongan Han Cia Sing yang sedang lewat, karena jarang
sekali ada orang biasa yang lewat situ. Biasanya yang lewat
adalah tentara atau suku-suku Uar yang membawa hasil
buruan mereka ke kota terdekat untuk dijual atau ditukar
dengan barang lain, tapi dua orang pemuda berpakaian
pelayan dan seorang anak kecil berpakaian bagus amatlah
jarang mereka lihat.
Begitu tiba di desa Pei-An, A Fei dan A Liu segera
mencari tahu tentang keluarga Pai Lien. Beberapa orang- 373 yang mereka tanyai sudah tidak tahu lagi mengenai Pai Lien.
Beruntunglah seseorang memberi tahu mereka rumah
kepala desa Pei-An sehingga mereka tidak lagi harus
bertanya tanpa arah tujuan.
Rumah kepala desa Pei-An terletak di ujung desa.
Rumah itu kecil sekali bila dibandingkan Han Cia-cuang,
tapi termasuk besar di desa itu. A Fei dan A Liu mengetuk
pintu rumah itu dan sebentar kemudian keluarlah seorang
laki-laki tua yang sudah botak. Ia berpakaian petani
sederhana dan wajahnya sudah keriput semua. Ia kelihatan
heran melihat kedatangan rombongan Han Cia Sing.
"Hendak mencari siapakah kalian datang ke mari?
Siapakah kalian dan dari mana?" tanya pak tua itu.
"Apakah anda kepala desa Pei-An ini?" tanya A Liu
"Ya benar, aku kepala desa Pei-An namaku Luo Wen.
Kalian berdua adalah..." kata kepala desa yang bernama Luo
Wen itu.
"Namaku Li Ah Liu dan ini temanku Chen A Fei.
Kami berdua I, sedang mengemban tugas mengantarkan
tuan muda kami kemari j untuk mencari sanak saudaranya.
Mohon petunjuk dari kepala desa jika mengetahuinya" kata
A Liu dengan sopan.
Kepala desa Luo Wen melongok untuk melihat lebih
jelas siapa I tuan muda yang dimaksudkan oleh A Liu. Ia
merasa heran ternyata I yang dimaksud tuan muda itu- 374 memang benar-benar sangat muda. Han Cia Sing yang
selama dua bulan terakhir ini makan tidak enak tidur tidak
nyenyak, berwajah cekung dan bertubuh kurus sama sekali
tidak tampak seperti tuan muda bangsawan, hanya saja
pakaian yang dikenakannya terbuat dari sutra mahal
demikian pula jubahnya dari bulu beruang yang tebal
sehingga kepala desa Luo Wen percaya pada omongan A
Liu. "Apakah yang ingin kalian ketahui?" tanya Luo Wen
"Kami sedang mencari saudara jauh tuan muda kami.
Dulu ibunya berasal dari desa Pei-An. Tadi sepanjang jalan
kami bertanya tapi kelihatannya tidak ada yang
mengenalnya. Mohon petunjuk kepala desa" kata A Liu
"Emmm, siapakah nama ibunya? Berapa tahun yang
lalu ia pergi dari desa ini?" tanya Luo Wen lagi
"Ibu tuan muda bermarga Pai bernama Lien, kira-kira
sekitar empat belas tahun lalu meninggalkan Pei-An" jawab
A Liu.
Luo Wen berpikir, mengingat-ingat nama-nama yang
ia tahu. Empat belas tahun bukanlah waktu yang pendek.
Untunglah desa Pei-An adalah desa yang kecil dan sepi
sehingga boleh dikatakan ia masih ingat-ingat sedikit.
"Ah, aku ingat sekarang!" kata Luo Wen- 375 A Liu dan A Fei sendiri ikut girang melihat hal ini,
usaha mereka tidak sia-sia untuk mencari tahu keberadaan
keluarga jauh tuan muda mereka.
"Keluarga Pai dulu tinggal di ujung desa sebelah sana,
tapi kelihatannya setelah keponakan mereka dibawa tentara
ke daratan tengah, mereka juga tidak lama kemudian ikut
pindah, yang tinggal di sana sekarang keluarga Li dan belum
sempat Luo Wen meneruskan kalimatnya, A Fei sudah
memotongnya
"Jadi keluarga Pai sudah pindah? Pindah ke
manakah?"
"Aku tidak ingat, atau mereka juga tidak
mengatakannya dulu, aku benar-benar lupa, maafkan" kata
Luo Wen
Kini giliran semangat A Fei dan A Liu yang padam.
Semula mereka sudah merasa girang sekali ketika
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar ada yang mengetahui keberadaan keluarga Pai,
tapi kini semua hilang kembali.
"Setelah ini kalian hendak ke manakah?" tanya Luo
Wen berusaha memberikan semangat lagi kepada para
tamunya ini.
"Kami hendak menuju ke Tong Liao untuk bertemu
Jenderal Teng" jawab A Liu.
"Tong Liao? Berarti masih lima hari perjalanan
berkuda. Jika kalian tidak berkeberatan, silakan menginap di- 376 rumahku yang sederhana ini. Lumayan dapat beristirahat di
tengah perjalanan sehingga besok akan lebih kuat dan segar
meneruskan perjalanan" kata Luo Wen mengundang.
A Fei dan A Liu saling mengangguk. Memang lebih
baik menginap di desa ini karena belum tentu sepanjang
lima hari perjalanan berkuda mereka akan bertemu desa lain
lagi. Mereka pun kembali ke kuda-kuda mereka dan
mengajak Han Cia Sing sekalian turun untuk bertemu Luo
Wen. Malam itu mereka diperlakukan dengan baik sekali
oleh sang kepala desa. Bahkan Luo Wen dan keluarga
sengaja memotong beberapa ekor ayam untuk jamuan bagi
tamu yang tak terduga ini. Han Cia Sing sendiri hanya
makan sedikit karena tidak berselera makan. Sebaliknya A
Fei dan A Liu makan dengan lahap, tidak saja karena sudah
beberapa hari tidak makan enak, tapi juga karena merasa
tempat yang mereka tuju semakin dekat sehingga tanggung
jawab mereka akan segera berakhir. Bahkan mereka sempat
bercakap-cakap sepanjang malam dengan Luo Wen dan
keluarga yang sangat ingin tahu berita keadaan di daratan
tengah. Han Cia Sing sendiri sepanjang malam tidak dapat
tidur. Ia resah karena ternyata tidak jadi bertemu dengan
saudara jauh keluarga ibunya di tempat ini. Berarti ia akan
sendirian selama di utara ini, jauh dari rumah dan keluarga
yang menyayanginya.
Hati Han Cia Sing semakin sedih teringat ibunya yang
amat menyayanginya. Tidak terasa air mata mengalir di- 377 pipinya, tapi ia segera teringat pesan ibunya, maka segera
dihapuskannya air mata itu.
Pagi hari, ayam berkokok bersahut-sahutan di desa
Pei-An. Suara ayam berkokok membangunkan Han Cia
Sing yang baru saja tertidur pulas. Kedua pelayan masih
tertidur di sampingnya. Pelan-pelan ia bangkit dan keluar
dari rumah itu ke halaman luar. Rumah-rumah di desa PeiAn mempunyai halaman yang luas dan tidak rapat. Jarak
antara satu rumah dengan rumah lainnya amat jauh sehingga
pemandangan terlihat lebih jauh. Han Cia Sing melayangkan
pandangannya ke utara, sepanjang mata memandang hanya
terlihat padang rumput dan sungai-sungai kecil yang
mengalir di antaranya. Jauh di ujung timur tampak samarsamar sebuah bukit. Han Cia Sing merapatkan jubahnya
ketika tiba-tiba angin dingin bertiup dengan kencang.
Napasnya mengeluarkan uap karena begitu dinginnya cuaca
pada pagi itu meskipun saat itu belum tiba musim dingin.
"Cuaca di utara memang dingin ya?" kata Luo Wen
yang muncul tiba-tiba di belakang Han Cia Sing.
"Oh, paman Luo mengagetkanku saja." jawab Han
Cia Sing
"Kehidupan kami di sini amat sederhana dan keras.
Tiap hari kami harus bekerja keras mengurus ternak dan
bertani untuk memenuhi kehidupan kami sehari-hari.
Menurut A Liu dan A Fei engkau adalah anak seorang
jenderal besar dan kaya, apakah engkau sanggup menjalani- 378 hidup seperti kami ini?" tanya Luo Wen dengan nada
khawatir
"Aku sudah terbiasa berlatih silat dengan ayahku.
Sejak kecil kami dilatih dengan keras" jawab Han Cia Sing
dengan yakin
"Tuan muda, aku tidak bermaksud mengguruimu, tapi
berlatih silat dengan hidup keras adalah dua hal yang
berbeda sama sekali. Saat engkau di rumah, engkau bisa
berlatih silat beberapa jam, setelah itu akan ada banyak
pelayan yang mengurusimu, mencuci bajumu, menyiapkan
makan tapi di sini lain. Apalagi kudengar nanti kau akan
tinggal di barak tentara Tong Liao, tentu akan sangat lain
keadaannya dengan di rumah" kata Luo Wen menjelaskan
Han Cia Sing sebenarnya masih ingin menjelaskan
bahwa selama tinggal di Han Cia-cuang, ia memang
berstatus sebagai tuan muda, tapi sama sekali tidak
mendapatkan pelayanan seperti layaknya tuan muda. Ye Ing
sama sekali tidak memperbolehkan Pai Lien hidup enak
sehingga hanya Chen Yi-ma seorang yang melayani mereka.
Hidup mereka boleh dikatakan hampir seperti rakyat
kebanyakan bukan seperti bangsawan. Tapi saat itu A Fei
dan A Liu sudah keluar dari rumah Luo Wen sambil
membawa barang-barang mereka.
"Tuan muda, saatnya kita berangkat selagi masih
pagi" kata A Liu- 379 Han Cia Sing mengangguk. Ia menjura kepada Luo
Wen "Paman Luo, terima kasih atas pelayananmu. Jika
nanti aku kebetulan melewati tempat ini, aku pasti akan
mampir lagi"
Luo Wen balas menjura dengan hormat. Sebenarnya
selama ia hidup sampai setua sekarang ia sama sekali belum
pernah bertemu bangsawan, apalagi sampai menginap di
rumahnya. Luo Wen merasa terhormat bisa memberikan
tempat menginap kepada seorang anak bangsawan.
Han Cia Sing dan kedua pelayannya pun mulai
melanjutkan perjalanan mereka. Sepanjang sisa perjalanan
mereka, hampir tidak tampak ada desa lagi, paling-paling
beberapa rombongan gembala domba tampak di padang
rumput. Selama lima hari berikutnya mereka harus tidur di
tanah lapang pada malam hari, sungguh suatu hal yang tidak
mudah karena hawa dingin yang menusuk tulang. Keadaan
Han Cia Sing sendiri semakin lemah, tubuhnya mulai sakitsakitan karena dipaksa berjalan jauh selama sebulan
terakhir. Juga kondisi batinnya sedang kacau setelah
kematian tragis ibunya, membuatnya sering mengigau
dalam tidur.
Pada hari kelima, setelah melewati bukit tampaklah
benteng pasukan Tang yang paling jauh di utara, pasukan
Jenderal Teng Cuo Hui. Benteng itu dilindungi oleh barisan
pagar kayu yang amat panjang, melingkari semua area- 380 pasukan dalam bentuk lingkaran yang besar sekali. Rumahrumah kayu yang besar berjajar di tengah, sementara tendatenda berdiri berkeliling di antara rumah-rumah kayu itu.
Ratusan prajurit tampak berjagajaga di depan gerbang kayu yang besar dan tebal yang
merupakan pintu utama keluar masuknya pasukan di
benteng itu. Panji-panji kerajaan Tang berwarna merah
berkibar-kibar dengan gagah di pintu gerbang itu, sedangkan
di gerbang itu sendiri tampak papan kayu besar bertuliskan
"Jenderal Teng Cuo Hui, Pasukan Tong Liao, Tang Utara".
Akhirnya mereka tiba di tempat Jenderal Teng Cuo Hui!
A Fei dan Aliu tersenyum gembira. Perjalanan
mereka selama sebulan lebih akhirnya selesai, bisa tiba
dengan selamat di tempat Jenderal Teng. Sebaliknya Han
Cia Sing semakin murung, karena ini berarti ia benar-benar
berpisah dengan orang-orang yang dikenalnya dan masuk ke
dunia baru yang sama sekali tidak dikenalnya.
Prajurit jaga benteng yang berada di menara
pengawas berteriak memberi tahu kedatangan rombongan
Han Cia Sing. Benteng itu memang terletak di lembah yang
lapang sekali, sehingga kedatangan orang dalam jarak
beberapa li saja akan dengan mudah terlihat oleh petugas
jaga. Tidak terkecuali kedatangan tiga orang berkuda ini,
terlihat jelas dalam jarak masih beberapa li.
Gerbang benteng terbuka, dan seorang prajurit
berkuda membedal kudanya dengan kencang ke arah- 381 rombongan Han Cia Sing. Ia membawa bendera kecil
bertuliskan kata Teng.
"Berhenti! Atas nama Jenderal Teng kuperintahkan
kalian berhenti!" teriak prajurit itu sambil menghadang
kuda-kuda rombongan Han Cia Sing.
A Fei dan A Liu menghentikan kuda mereka,
sementara Han Cia Sing menunggu di belakang kedua
pelayannya itu.
"Katakan siapa dan keperluan kalian!" kata prajurit
itu sambil bersikap waspada, bersiap meloloskan goloknya
jika ada sesuatu yang mencurigakan.
"Kami mengantar tuan muda kami. Kami dari
kotaraja dan anak ini adalah anak dari Jenderal Empat
Gerbang, Han Kuo Li. Ini surat pengantar dari beliau untuk
Jenderal Teng" kata A Fei sambil memberikan surat
pengantar kepada prajurit itu.
Prajurit itu menerima surat, menelitinya sebentar dan
langsung membalikkan kudanya ke arah benteng dengan
kecepatan tinggi.
Tampaknya ia begitu terlatih menunggang kuda
sehingga sebentar saja ia sudah hilang masuk lagi ke dalam
gerbang benteng.
Han Cia Sing dan kedua pelayannya berkuda dengan
santai hingga tiba di depan gerbang benteng. Mereka
menunggu di atas kuda karena masih belum diperbolehkan- 382 masuk. Matahari sudah tinggi di atas kepala tapi udara masih
tetap terasa dingin, apalagi angin bertiup dengan
kencangnya. Han Cia Sing merapatkan jubahnya untuk
menahan dingin.
Sebentar kemudian prajurit berkuda itu kembali dan
memerintahkan penjaga gerbang untuk membukakan
gerbang benteng. Han Cia Sing dan kedua pelayan masuk
benteng dan segera disambut beberapa prajurit yang akan
mengawal mereka sampai di tempat Jenderal Teng Cuo Hui.
Mereka berkuda sampai tiba di tengah-tengah benteng, di
rumah kayu yang paling besar dan megah. Panji-panji merah
berkibar kencang dengan tulisan kata Teng. Tampaknya
inilah tempat tinggal Jenderal Teng Cuo Hui.
Han Cia Sing turun dari kuda dibantu oleh A Liu.
Tubuhnya memang tidak sehat setelah meninggalkan PeiAn sehingga lemah dan harus dibantu naik turun dari kuda.
Di depan pintu rumah itu tampak puluhan prajurit
bertombak berbaris rapi sambil mengawasi kedatangan
mereka. Seorang prajurit membukakan jalan bagi mereka,
mendahului masuk ke dalam rumah. Mereka mengikutinya
masuk ke dalam rumah kayu itu.
Ternyata di dalam rumah kayu itu cukup mewah
perabotannya. Bahkan lantainya dialasi karpet tebal,
demikian juga tempat duduknya dialasi dengan bulu
binatang yang bagus. Prajurit itu minta mereka menunggu
kedatangan Jenderal Teng sebelum ia keluar. Han Cia Sing
memperhatikan lukisan besar yang tergantung di dinding- 383 utama. Lukisan itu menggambarkan seorang jenderal yang
membawa golok panjang sedang bertarung dengan seekor
serigala besar yang berwarna putih. Gambar itu digambar
dengan bagus sekali sehingga kelihatan benar-benar hidup.
"Bocah, kau sedang mengagumi lukisan diriku
rupanya" tiba-tiba suara yang berat menegur Han Cia Sing
dari arah belakang.
Han Cia Sing segera menoleh. Ternyata di belakang
mereka telah berdiri seorang yang gagah dan tinggi besar,
seumuran dengan Han Kuo Li, ayah Han Cia Sing. Orang
itu memakai
pakaian perang lengkap dengan jubah besinya.
Wajahnya berwarna hitam menampakkan kekerasan
ditempa oleh keadaan utara yang tidak bersahabat. Alisnya
tebal naik ke atas, matanya sipit dan bersinar tajam membuat
sungkan siapapun yang menatapnya. Tapi yang paling
menarik perhatian Han Cia Sing adalah kulit bulu serigala
yang diselempangkan di dada pria itu. Kulit bulu serigala itu
berwarna putih dan kepala serigala itu menyeringai persis di
dada kiri, membuat bulu kuduk Han Cia Sing meremang.
Serigala putih itu seakan-akan masih hidup dan
memandangnya dengan marah!
"Hormat kepada Jenderal Teng!" kata kedua pelayan
A Fei dan A Liu serempak. Han Cia Sing pun serentak maju
ke depan sambil menjura.- 384 "Saya Han Cia Sing mengucapkan salam hormat
kepada Jenderal Teng"
"Tidak perlu terlalu sungkan. Di sini bukan kota
terlarang, tidak perlu tata krama dan sopan santun yang
terlalu berlebihan. Aku sudah membaca surat pengantar dari
ayahmu dan sudah mengerti masalah yang engkau hadapi.
Kedua pelayanmu ini boleh beristirahat beberapa hari
sebelum kembali ke kotaraja. Mari, Cia Sing akan
kuperkenalkan engkau dengan beberapa bawahanku" kata
Jenderal Teng Cuo Hui sambil membimbing Han Cia Sing
keluar ke perkemahan dan barak para tentara. Semua prajurit
yang mereka lewati segera mengambil posisi siap dan
menghormat kepada Jenderal Teng. Kedua pelayan A Fei
dan A Liu terkagum-kagum menyaksikan ratusan prajurit
berjajar memberi hormat kepada jenderal mereka. Han Cia
Sing sebaliknya, sudah terbiasa demikian karena ayahnya
juga sering mendapat penghormatan dari ratusan prajurit
saat memeriksa barisan.
Jenderal Teng sampai ke barak prajurit yang paling
selatan dan paling bagus. Seorang kepala pasukan
berpakaian dan bertopi merah keluar untuk menyambut
Jenderal Teng.
"Hormat kepada Jenderal Teng!" katanya sambil
membungkuk dengan hormat.
"Komandan Lin Ying Dan, perkenalkan ini adalah
Han Cia Sing, anak kedua Jenderal Empat Gerbang Han Kuo- 385 Li. Ia akan bergabung dengan pasukan kita untuk beberapa
tahun. Aku harap engkau mendidiknya dengan baik selama
ia berada di sini" kata Jenderal Teng Cuo Hui.
"Siap Jenderal" sambut kepala pasukan yang bernama
Lin Yin Dan itu.
Selanjurnya mereka menuju barak prajurit yang
sebelah utara. Kali ini pun mereka disambut seorang kepala
pasukan, tapi yang ini berpakaian dan bertopi biru. Jenderal
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Teng memperkenalkannya juga kepada Han Cia Sing
sebagai kepala pasukan Cuo Chung Hao. Setelah itu mereka
kembali ke rumah besar yang menjadi tempat tinggal
Jenderal Teng.
Han Cia Sing bertanya kepada Jenderal Teng tentang
perbedaan pasukan biru dan merah.
"Pasukan merah adalah pasukan berkuda sedangkan
pasukan biru adalah pasukan tombak berjalan kaki. Nah, Cia
Sing nanti engkau akan mempelajari keduanya selama di
sini. Kau harus tabah dan tahan terhadap kerasnya
kehidupan prajurit" kata Jenderal Teng
Han Cia Sing mengangguk, meskipun dalam hatinya
semakin susah harus menjalani kehidupan keras seperti ini,
tapi menurutnya masih jauh lebih baik daripada harus
tinggal bersama orang-orang yang telah mencelakai ibunya!
Kedua pelayan A Liu dan A Fei tinggal untuk
beberapa hari, beristirahat memulihkan kesegaran sebelum- 386 kembali ke kotaraja. Sebelum kembali, mereka dijamu
dengan baik sekali oleh Jenderal Teng. Surat balasan
Jenderal Teng juga dititipkan kepada mereka untuk Jenderal
Han Kuo Li. Hadiah-hadiah berupa bulu beruang dan
harimau turut diberikan sebagai tanda kehormatan dari
Jenderal Teng kepada Jenderal Empat Gerbang Han Kuo Li.
Tentu saja kedua pelayan A Fei dan A Liu juga amat senang
karena mendapatkan hadiah juga dari Jenderal Teng berupa
uang masing-masing seratus tael perak.
Pagi-pagi di hari keempat, kedua pelayan pamit
kepada Han Cia Sing kemudian naik kuda mereka dan
keluar gerbang benteng Jenderal Teng itu. Han Cia Sing
memandangi kedua pelayan itu sampai mereka menghilang
dari pandangan mata di ujung lembah. Hatinya terasa sesak
karena dengan kepergian A Fei dan A Liu, hubungannya
dengan orang-orang yang selama ini dikenalnya sekarang
benar-benar putus. Han Cia Sing menghela napas panjang,
ia harus kuat sekarang karena ia benar-benar seorang diri
sekarang. Segala sesuatu harus mampu ia hadapi seorang
diri, tidak ada lagi keluarga yang bisa ia andalkan.
Seharian itu, Han Cia Sing menghabiskan waktu
dengan memperhatikan kesibukan para prajurit di benteng
Teng. Para prajurit tampak sedang berlatih baris-berbaris
dan senjata. Ada kelompok yang berlatih dengan tameng
dan golok, ada pula yang memakai tombak. Mereka semua
berjajar dengan rapi dan berbaris dengan tekun sampai
latihan selesai pada sore harinya. Ketika hari menjelang- 387 malam, rombongan pasukan berkuda kembali dari patroli
berkeliling bersama puluhan prajurit yang berjalan kaki
membawa hasil bumi untuk kebutuhan sehari-hari di dalam
benteng.
Malam harinya, Jenderal Teng Cuo Hui memanggil
Han Cia Sing ke ruang belajarnya. Han Cia Sing merasa
agak heran mengapa ia dipanggil malam-malam begini. Di
ruang belajar itu telah berdiri kepala pasukan merah dan
biru, Lin Yin Dan dan Cuo Chung Hao. Wajah-wajah
mereka tampak serius, tidak ramah lagi seperti beberapa hari
yang lalu.
"Paman Teng, ada apa memanggilku malam-malam
begini?" tanya Han Cia Sing dengan heran.
Tiba-tiba Lin Yin Dan membentaknya dengan keras
"Prajurit, bersikaplah sopan di depan Jenderal!"
Han Cia Sing kaget sekali menerima bentakan seperti
ini. Perlakuan mereka benar-benar berbeda dibandingkan
beberapa hari yang lalu.
Melihat Han Cia Sing masih terbengong-bengong,
Cuo Chung Hao mendekati Han Cia Sing dan menendang
lututnya dengan keras sekali sehingga Han Cia Sing jatuh
berlutut.
"Beri hormat kepada Jenderal Teng!" bentak Cuo
Chung Hao dengan garang kepada Han Cia Sing.- 388 "Hormat kepada Jenderal Teng" kata Han Cia Sing
sambil membungkuk. Lututnya terasa sakit sekali ditendang
oleh Cuo Chung Hao.
"Eh, kalian jangan terlalu keras kepadanya. Ia masih
baru di sini, belum mengerti keadaan. Komandan Lin dan
Cuo, ajarilah
dia baik-baik semua peraturan yang ada di sini. Cia
Sing, mulai sekarang kau ikut dengan prajurit tombak di
bawah komandan Cuo Chung Hao. Berlatihlah dengan baik,
jangan mengecewakan ayahmu" kata Jenderal Teng sambil
membaca buku, sama sekali tidak memperhatikan Han Cia
Sing yang tengah berlutut di depannya.
"Kau beresi semua barangmu, mulai malam ini
engkau akan tidur di barak prajurit bersama yang lainnya"
tambah Jenderal Teng lagi.
Han Cia Sing masih diam berlutut, sama sekali tidak
mengerti mengapa ia diperlakukan berbeda sekali dengan
kemarin-kemarin. Tahu-tahu ia sudah ditendang dengan
keras sekali sampai terjengkang oleh Cuo Chung Hao.
"Beresi barangmu! Tidakkah engkau dengar apa yang
dikatakan Jenderal Teng kepadamu?" bentak Cuo Chung
Hao. Han Cia Sing mengangguk dan segera pergi ke
kamarnya untuk memberesi semua barangnya. Beberapa
saat kemudian ia kembali ke ruang belajar Jenderal Teng di- 389 mana komandan Cuo dan Lin sudah menunggunya dengan
tidak sabar. Wajah mereka sama sekali tidak ramah
melihatnya datang dengan membawa bungkusan besar yang
berisi baju dan bekal yang dibawa Han Cia Sing dari
kotaraja.
"Cia Sing, aku lupa mengatakan kepadamu, di tempat
ini barang pribadi tidak diijinkan untuk dipakai atau dibawa.
Bawa saja barang yang perlu, sisanya titipkan kepada
komandan Cuo, ia akan menjaganya dengan baik" kata
Jenderal Teng melihat Han Cia Sing membawa banyak
bekal dan baju.
Han Cia Sing masih ragu-ragu tapi ia tidak berani
membantah lagi. Ia pun mengeluarkan beberapa baju hangat
saja dan memberikan bungkusan itu kepada komandan Cuo
yang menerimanya dengan acuh tak acuh. Seorang prajurit
biru datang ke ruang belajar itu dan kemudian mengantar
Han Cia Sing ke tempat barak prajurit yang akan
ditempatinya selama menjadi prajurit. Begitu Han Cia Sing
keluar bersama prajurit tadi, Cuo Chung Hao tanpa sungkan
lagi kepada Jenderal Teng Cuo Hui dan komandan Lin Ying
Dan, segera membongkar bekal bungkusan Han Cia Sing
seperti seorang maling saja layaknya!
Bungkusan bekal Han Cia Sing itu dibongkar dengan
paksa. Semua baju dan buku dilemparkan ke lantai dan
hanya kantong uang saja yang diambil oleh komandan Cuo.
Ia segera menghitung uang perak yang ada.- 390 "Huh! Hanya ada tidak lebih dari seratus tael perak!
Anak seorang jenderal kerajaan apanya, tidak lebih dari
seorang gelandangan!" maki komandan Cuo yang tampak
tidak puas dengan hasil penemuannya itu.
"Chung Hao, jangan samakan Han Kuo Li dengan
kita. Di kotaraja memang hidup berkecukupan segala
sesuatu ada jika mempunyai uang. Tapi di sana pengawasan
ketat, setiap hari harus menghadap kaisar dan para pangeran.
Sedangkan di sini, kitalah kaisar dan pangeran itu, semua
menghormat kepada kita, tidak ada seorang pun yang berani
kepada kita" kata Teng Cuo Hui menenangkan.
"Baik Jenderal Teng!" kata Cuo Chung Hao sambil
menghormat
"Kita sudah mendapatkan seribu tael emas dari
bangsawan Ye, bukankah itu jauh lebih banyak? Lagipula
sekarang aku bisa membalaskan sakit hatiku kepada Han
Kuo Li, hahahahahahahaha" kata Teng Cuo Hui sambil
tertawa girang. Kiranya apa gerangan yang terjadi? Apa
maksud Teng Cuo Hui membalas sakit hati kepada Han Kuo
Li? Dan mengapa pula bangsawan Ye memberikan seribu
tael emas kepada Teng Cuo Hui?
Untuk mengetahuinya, kita perlu kembali ke masa
lima belas tahun yang lalu. Saat itu, Jenderal Teng Cuo Hui
masih seorang komandan pasukan di kotaraja. Ia terkenal
karena ketampanan dan kegagahannya, ilmu silat golok
panjangnya juga terkenal hebat. Masa depan cerah- 391 membentang di hadapan Teng Cuo Hui muda. Namun
sayang, ada satu kelemahan besar pada diri Teng Cuo Hui
yaitu gila harta. Ia paling tidak bisa menerima pemberian
yang berlebihan dari banyak pembesar dan bangsawan,
bahkan sudah terkenal di kalangan pedagang, segala urusan
dengan Teng Cuo Hui akan selesai jika ada uang.
Kegilaan Teng Cuo Hui ini jugalah yang akhirnya
menjegalnya dalam pemilihan kepala pasukan kotaraja.
Kaisar Tai Zong Li Shi Ming yang sudah mendengar tingkah
laku tidak terpuji
komandan Teng Cuo Hui, akhirnya lebih memilih
Han Kuo Li sebagai Jenderal Empat Gerbang. Teng Cuo Hui
sendiri diberikan jabatan sebagai jenderal perbatasaan di
utara, namun sebenarnya lebih merupakan dibuang daripada
ditempatkan sebagai jenderal. Teng Cuo Hui pun menyadari
hal ini sehingga ia menjadi sangat iri kepada Han Kuo Li.
Tapi apa daya ia jauh di utara sementara Han Kuo Li
menjadi jenderal di kotaraja.
Bertahun-tahun menjadi jenderal di perbatasan utara,
Teng Cuo Hui tidak juga berubah tingkah lakunya. Ia
menerapkan sistem sogokan dan pemerasan kepada semua
pedagang ternak yang melewati daerahnya. Sebulan sekali
ia juga pergi ke desa-desa sekitar untuk menarik pajak
berupa hasil bumi dan bulu domba. Tidak ada seorang pun
yang berani mengadu, karena sebenarnya Teng Cuo Hui
juga menjalankan penjagaan wilayah dengan sangat baik,
mengusir suku barbar dan perampok dari utara, jadilah- 392 sogokan dan pemerasan itu menjadi semacam balas budi
bagi mereka. Nama Teng Cuo Hui semakin disegani para
pedagang ternak ketika mampu membunuh gerombolan
serigala liar yang selalu mengganggu ternak mereka.
Gerombolan serigala itu dipimpin seekor serigala putih yang
amat besar, hampir sebesar seekor anak sapi! Teng Cuo Hui
dengan golok panjangnya bertarung mati-matian melawan
serigala buas itu dan berhasil menewaskannya. Gambar
yang dilihat Han Cia Sing di ruang utama benteng adalah
menggambarkan pertempuran itu, demikian pula kulit
serigala putih yang dipakai menghiasi baju perang Teng Cuo
Hui adalah hasil yang didapat dari pertempuran mati-matian
melawan gerombolan serigala buas itu. Sejak saat itu Teng
Cuo Hui dikenal sebagai Teng Cuo Hui sang Serigala Putih
dari Tong Liao (Tong Liao Pai Lang). Selama hampir
sepuluh tahun lebih Teng Cuo Hui hidup sebagai kaisar kecil
di utara. Hidup mewah, emas dan makanan berlimpahlimpah, wanita penghibur didatangkan setiap bulan dari kota
terdekat dan pengawas kekaisaran hanya datang setahun
sekali. Hidup Teng Cuo Hui memang boleh dikatakan
sangat enak, meskipun ia hidup jauh terpencil di utara.
Bangsawan Ye, yang ketika Teng Cuo Hui dibuang
menjaga perbatasan utara sudah menjadi mertua Han Kuo
Li, tentu mengetahui sifat jelek Teng Cuo Hui, serta
kebenciannya kepada Han Kuo Li. Karena itu ketika ia
mendesak Han Cia Sing untuk dikirim ke dalam pengawasan
Teng Cuo Hui. Tanpa sepengetahuan Han Kuo Li,
bangsawan Ye mengirimkan utusan kepada Teng Cuo Hui- 393 sambil membawa upeti seribu tael emas. Urusan ini berkuda
siang malam tanpa henti sehingga tiba lebih cepat setengah
bulan daripada rombongan Han Cia Sing. Teng Cuo Hui
yang membaca surat dari bangsawan Ye merasa
mendapatkan bulan jatuh. Ia dapat melampiaskan
dendamnya sekarang kepada Han Kuo Li, sekaligus
mendapat upeti seribu tael emas. Benar-benar balas dendam
yang manis!
Kasihan sekali Han Cia Sing yang tidak mengetahui
persekongkolan jahat untuk mencelakainya ini. Ia masih
terlalu muda untuk mengetahui bahwa kakek tirinya sedang
menjalankan siasat Cie Tao Sa Ren (Meminjam Golok
Membunuh Orang). Bangsawan Ye yang menyadari Han
Kuo Li tidak akan pernah menyalahkan anaknya sendiri,
sengaja memakai siasat seperti ini. Bangsawan Ye
mengetahui sifat Han Kuo Li yang gagah dan jujur, tentu
tidak pernah menyadari bahwa Teng Cuo Hui masih
menyimpan dendam kepadanya setelah sepuluh tahun lebih
telah berlalu, karenanya pasti menyetujui usulannya untuk
mengirim Han Cia Sing berlatih kemiliteran di utara. Dalam
surat pengantarnya kepada Jenderal Teng, ia mengatakan
dengan bahasa yang halus, untuk menurunkan "budi"
kepada generasi yang lebih muda, jika tidak bisa
memberikannya kepada generasi yang tua. Teng Cuo Hui
tentu mengerti arti makna ini apalagi disertai kata-kata
"menurunkan budi hingga tuntas" yang bermakna bunuh!- 394 Tentu saja sebagai orang yang telah berpengalaman,
Teng Cuo Hui tidak begitu saja memperlihatkan maksud
sebenarnya, karena itu ia menjamu dan memperlakukan A
Fei dan A Liu dengan baik, juga Han Cia Sing diperlakukan
bak pangeran di depan mereka. Kini setelah kedua pelayan
keluarga Han pulang, tampaklah belang dari Serigala Putih
Tong Liao ini.
Kedua komandannya, Lin Ying Dan dan Cuo Chun
Hao mulai bersikap kasar dan tidak sopan kepada Han Cia
Sing. Sikap yang tidak bersahabat ini dilanjutkan dengan
memberikan Han Cia Sing barak yang terjelek, pekerjaaan
yang terkasar dan makanan terburuk. Teng Cuo Hui
bermaksud membunuh Han Cia Sing secara perlahan-lahan
melalui siksaan kerja keras yang berat. Ini tentu akan
memudahkan ia luput dari tuduhan nantinya. Semuanya
sudah dirancang demikian baik, mampukah Han Cia Sing
meloloskan diri dari persekongkolan jahat yang dirancang
oleh bangsawan Ye dan Teng Cuo Hui?- 395 11. Telapak Pasir Besi
Hari-hari sepeninggal kedua pelayan keluarga Han kembali
ke kotaraja adalah hari-hari yang amat berat bagi Han Cia
Sing. Ia diletakkan di barak prajurit yang terjelek dengan
kondisi yang buruk. Dua puluh prajurit berjejalan dalam satu
ruangan sempit yang pengap. Tempat tidur mereka adalah
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tumpukan jerami kering, tanpa kelambu atau selimut. Jika
malam tiba, cuaca menjadi sangat dingin sehingga mereka
harus berdesakan untuk tetap hangat. Sementara siang hari,
barak itu pengap dan berdebu karena dinding kayunya sudah
banyak yang rusak dan berlubang.
Pekerjaan Han Cia Sing pun tidak kalah beratnya.
Pagi-pagi sebelum matahari terbit, pekerjaannya adalah
membelah kayu bakar persediaan sehari untuk seluruh
barak! Bisa dibayangkan jika pekerjaan ini baru selesai saat
makan siang. Kemudian Han Cia Sing harus berlatih dengan
pasukan tombak sampai sore. Malam hari, ia dan temantemannya harus mempersiapkan makanan bagi prajurit
dengan pangkat yang lebih tinggi. Tidak heran jika Han Cia
Sing langsung jatuh tertidur begitu masuk ke baraknya!
Makanan ransum tentara yang diperolehnya pun
adalah makanan yang terburuk. Prajurit menengah di bawah
komandan pasukan mendapat jatah daging sekati untuk
sepuluh hari, prajurit tingkat dua sekati untuk dua puluh hari
dan prajurit terendah sekati untuk sebulan. Makanan seharihari Han Cia Sing hanyalah kaldu daging encer, segenggam- 396 nasi dan seteguk air, jauh sekali perbedaannya dengan Teng
Cuo Hui yang hampir tiap hari makan daging bakar dan
minum arak. Belum lagi pesta bulanan yang diadakan Teng
Cuo Hui dengan para komandan, yang mengundang para
wanita penghibur dari kota terdekat. Semua prajurit tidak
ada yang berani mengatakan apapun tentang hal ini,
menyadari mereka jauh dari mana-mana dan Teng Cuo Hui
adalah penguasa di tempat ini. Pepatah mengatakan Kaisar
boleh memberikan titah tetapi jenderal di lapangan yang
memberikan perintah.
Han Cia Sing selama beberapa bulan menjalani kerja
keras seperti seorang budak tetapi masih tetap berusaha
tegar. Ia sama sekali tidak mengeluh bahkan kepada sesama
prajurit rendah yang tinggal sebarak dengannya. Cuo Chung
Hao yang ditugaskan Teng Cuo Hui untuk mematamatainya pun merasa heran. Semula ia merasa anak seorang
jenderal seperti Han Cia Sing pasti tidak akan bertahan lebih
dari sebulan. Cuo Chung Hao tidak tahu bahwa selama
tinggal di Han Cia-cuang pun hidup Han Cia Sing juga tidak
terlalu enak meskipun tidak terlalu sengsara seperti di
benteng ini. Han Cia Sing sudah terbiasa hidup menderita
sejak kecil, mencuci pakaian sendiri dan memasak makanan
sendiri. Pai Lien tidak pernah memanjakan Han Cia Sing
secara berlebihan. Pai Lien memang menyayangi anak
tunggalnya itu tapi ia juga ingin agar anaknya dapat mandiri
karena Pai Lien sadar kehidupan Han Cia Sing sebagai anak
seorang gundik tidak akan mudah. Ternyata gemblengan Pai- 397 Lien amat berguna sekali bagi Han Cia Sing dalam
menghadapi cobaan yang berat ini.
Ketika Cuo Chung Hao melaporkan bahwa Han Cia
Sing masih bisa bertahan selama beberapa bulan terakhir ini,
Teng Cuo Hui nyaris tidak mempercayainya. Bagaimana
mungkin seorang anak kecil dapat tahan gemblengan yang
demikian keras yang bagi sebagian prajurit pun masih terlalu
berat? Teng Cuo Hui ingin melihatnya sendiri, maka
keesokan harinya, ia sendiri yang memimpin latihan
pasukan. Benarlah, Teng Cuo Hui melihat Han Cia Sing
sedang membelah kayu untuk seluruh barak sampai
matahari di atas kepala. Wajah Han Cia Sing tampak hitam
dan kurus, tapi sinar matanya masih tetap tajam menandakan
semangat hidupnya yang tinggi. Teng Cuo Hui kembali ke
markasnya dengan uring-uringan.
"Kurang ajar! Ternyata ia masih dapat bertahan
selama beberapa bulan ini!
Chung Hao, mulai besok pindahkan ia ke bagian
prajurit tombak. Latih dia dengan baik, jika dalam latihan
terjadi kecelakaan, aku tidak akan menyalahkan engkau"
kata Teng Cuo Hui dengan geram.
"Siap, Jenderal Teng" kata Cuo Chung Hao sambil
membungkuk hormat.
Keesokan harinya, Han Cia Sing dipindahkan ke
barak yang lebih bagus dan besar yaitu tempat para prajurit
tombak. Han Cia Sing merasa senang karena di sini tersedia- 398 tempat tidur meskipun sederhana, juga selimut meskipun
tidak terlalu bagus. Satu barak hanya diisi sepuluh prajurit
saja, sehingga cukup lega untuk tidur dan beristirahat. Cuo
Chung Hao juga datang menjenguknya, dengan membawa
daging bakar dan seguci kecil arak. Han Cia Sing tidak tahu
bahwa Cuo Chung Hao sebenarnya sedang berpura-pura
baik saja, tujuan sebenarnya tidak lain adalah membunuh
Han Cia Sing dalam latihan tombak besok, seperti yang
diperintahkan Teng Cuo Hui.
"Han Cia Sing, kerjamu bagus selama beberapa bulan
ini. Jenderal Teng puas dengan hasil kerjamu dan engkau
dinaikkan pangkat menjadi prajurit tombak. Apakah engkau
puas dengan pemberian ini?" tanya Cuo Chung Hao sambil
mengangkat daging dan arak sebagai hadiah bagi Han Cia
Sing.
"Saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan
Jenderal Teng" kata Han Cia Sing sambil menerima
pemberian daging bakar dan arak tadi.
"Terus berlatih dan bekerja dengan baik, Jenderal
Teng pasti tidak akan membuatmu berusaha sia-sia" kata
Cuo Chung Hao sambil meninggalkan Han Cia Sing. Tapi
begitu sampai di luar dan sedang berjalan menuju ke
markasnya, Cuo Chung Hao menggerutu.
"Bajingan cilik, tunggu saja apakah engkau masih
dapat melihat matahari terbenam besok. Nikmatilah makan- 399 malam terakhirmu agar tidak menjadi setan kelaparan" kata
Cuo Chung Hao sambil tersenyum licik.
Malam itu, Han Cia Sing makan dengan lahapnya.
Sudah hampir setengah tahun ini ia makan tidak cukup tidur
tidak nyenyak. Apalagi sekarang sudah memasuki musim
dingin, udara menjadi sangat dingin meskipun siang hari.
Han Cia Sing malam itu tidur dengan terlelap sekali, bahkan
ia sama sekali tidak bermimpi apapun. Tahu-tahu bangun
hari sudah pagi, langit di timur memerah dan butiran embun
dingin menetes dari dahan dan daun-daun pepohonan.
Seperti biasa Han Cia Sing sudah bangun pagi untuk bersiap
membelah kayu seperti yang telah ia kerjakan hampir
setengah tahun terakhir ini, tapi pagi ini ternyata sudah ada
yang menggantikannya membelah kayu. Pasukan prajurit
tombak ternyata mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
dari prajurit biasa sehingga tidak perlu melakukan pekerjaan
kasar seperti yang dilakukan Han Cia Sing setiap pagi.
Pagi hari ini Han Cia Sing memulai latihan barisberbaris bersama ratusan prajurit tombak lainnya. Mereka
semua berbaris rapi di lapangan sambil memegang tombak
di tangan. Cuo Chung Hao sang komandan pasukan biru
memeriksa barisan dengan teliti sebelum memulai latihan.
Ia sangat senang melihat Han Cia Sing sudah ikut berlatih
baris-berbaris dengan pasukannya. Dalam hati ia
mentertawakan Han Cia Sing yang belum mengetahui
rencana jahat yang akan menimpanya hari ini. Cuo Chung
Hao hari itu melatih sendiri barisan tombaknya dengan- 400 penuh semangat sehingga bawahannya merasa heran karena
biasanya Cuo Chung Hao hanya enak-enak saja duduk di
markasnya sementara latihan diserahkan kepada
bawahannya.
Matahari sudah tinggi ketika mereka berhenti
berlatih. Latihan baris-berbaris dalam cuaca dingin ternyata
amat melelahkan. Tangan dan kaki menjadi kaku, demikian
pula muka menjadi kebas karena terpaan angin dingin
sepanjang hari. Istirahat makan siang menjadi sangat
menyenangkan karena bisa menghangatkan badan dan
mengenyangkan perut.
"Perhatian, setelah makan siang kalian akan berlatih
ilmu tombak dalam pertempuran satu lawan satu, siapkan
diri kalian!" teriak Cuo Chung Hao kepada anak buahnya
dengan lantang.
Semua menggerutu dalam hari, tapi tidak berani
bersuara. Latihan hari itu jauh lebih berat dari hari-hari
biasanya dan sekarang masih ditambah lagi dengan latihan
perang di sore harinya. Makan siang pun rasanya berlalu
dengan cepat, sebentar saja Han Cia Sing dan seluruh
pasukan tombak sudah berbaris lagi di lapangan. Mereka
berbaris cukup lama di lapangan menunggu Cuo Chung Hao
muncul. Saat itu angin musim dingin bertiup kencang
sehingga sangat menyiksa sekali bagi yang berbaris di
lapangan.- 401 Lama kemudian, Cuo Chung Hao baru muncul keluar
dari markasnya dengan muka merah habis minum arak. Ia
memegang tombak besi di tangan kirinya dan berkacak
pinggang meremehkan barisan tombak yang sedang berbaris
kedinginan di tengah lapangan.
"Masing-masing ambil posisi berhadapan satu lawan
satu!" perintah Cuo Chung Hao kepada pasukannya.
Segera saja pasukan itu memecah menjadi dua barisan
berhadapan. Mereka semua memegang senjata tombak
kavu, saling menodongkan ke hadapan rekan prajurit di
depannya.
"Satu, dua, tiga! Satu, dua, tiga!" teriak Cuo Chung
Hao memberikan aba-aba.
Satu adalah menusuk, dua menangkis dan tiga
membalik tombak. Latihan sederhana ini dilakukan
berulang-ulang sampai dengan ratusan kali. Han Cia Sing
yang sudah terbiasa memainkan tombak dalam latihan
dengan ayannya, sama sekali tidak menemui kesulitan
dalam latihan sederhana itu. Han Cia Sing sudah berlatih
tombak sejak ia berumur enam tahun sehingga hampir
semua dasar ilmu Tombak Harimau Putih yang diajarkan
Han Kuo Li kepadanya sudah dapat diserap dan
dilakukannya dengan baik.
Cuo Chung Hao memberikan aba-aba berhenti setelah
latihan berjalan hampir satu jam. Semua prajurit sudah
tampak kelelahan setelah latihan yang tidak berhenti mulai- 402 pagi tadi, tapi tampaknya Cuo Chung Hao masih belum
ingin berhenti.
"Buat lingkaran besar dan duduk!" perintah Cuo
Chung Hao.
Ratusan prajurit itupun mulai membentuk lingkaran
dan duduk mengelilingi Cuo Chung Hao sebagai pusatnya.
Cuo Chung Hao mengacungkan tombak besinya ke atas
dengan sikap keren.
"Tombak adalah senjata utama yang paling ampuh
dalam pertempuran. Jangkauan panjang dapat digunakan
mendahului serangan musuh. Juga dapat dipakai sebagai
senjata saat berkuda dan menangkis serangan panah jika
dilakukan dengan benar. Sekarang saya ingin menguji
kemampuan kalian selama ini, apakah sungguh-sungguh
berlatih atau tidak!" kata Cuo Chung Hao dengan nada
mengancam.
Semua prajurit menjadi segan dan menundukkan
kepala. Umu tombak Cuo Chung Hao terkenal hebat di
kalangan prajurit benteng Teng ini, bahkan mungkin yang
nomor satu. Siapapun pasti tidak ingin melawannya jika
tidak ingin celaka. Mata Cuo Chung Hao mengawasi setiap
prajuritnya bagaikan seekor elang hendak menerkam anak
ayam. Hati para prajurit berdebar-debar, berharap bukan
dirinya yang terpilih. Tiba-tiba Cuo Chung Hao menunjuk
sambil berteriak lantang- 403 "Kau! Maju bawa tombakmu ke depan!" kata Cuo
Chung Hao
Ternyata yang dipilih oleh Cuo Chung Hao adalah
seorang prajurit berbadan tinggi besar. Tubuhnya tegap dan
kuat, tingginya kira-kira satu kepala lebih tinggi dari Cuo
Chung Hao. Semua prajurit yang hadir berdecak kagum
melihat penampilan fisik prajurit ini.
"Katakan siapa namamu!" kata Cuo Chung Hao
"Saya bermarga Lin bernama Tung, berasal dari
daerah Chu" jawab prajurit berbadan kekar yang bernama
Lin Tung itu.
"Baiklah Lin Tung, bersiaplah sekarang dengan
tombakmu. Serang aku sekuat tenagamu. Hukuman berat
menantimu jika engkau tidak sungguh-sungguh!" kata Cuo
Chung Hao memberi perintah.
Lin Tung menjura hormat kemudian bersiap
menusukkan tombaknya ke arah Cuo Chung Hao.
Jangkauan tangan Lin Tung pastilah lebih jauh karena ia
lebih tinggi sehingga secara posisi boleh dikatakan lebih
unggul. Tapi dalam pertandingan, keunggulan posisi saja
tidaklah cukup. Han Cia Sing dapat melihat, posisi kudakuda Lin Tung dalam memegang tombak masih lemah dan
banyak celahnya. Cuo Chung Hao sendiri hanya tersenyumsenyum mengejek dan tidak mengambil kuda-kuda sama
sekali. Bahkan tombak besinya hanya dipegang di tangan
kirinya saja, sama sekali tidak dalam posisi siap bertanding.- 404 Lin Tung berteriak keras, maju menyerang dengan
kekuatan penuh. Tombaknya ditusukkan ke arah dada Cuo
Chung Hao, sehingga semua yang melihat merasa ngeri Cuo
Chung Hao sama sekali tidak menyingkir. Ketika mata
tombak itu sudah begitu dekatnya dengan dada Cuo Chung
Hao, barulah ia mengayunkan tombak besinya menangkis.
Begitu kerasnya tangkisan itu sehingga tombak Lin Tung
nyaris terlepas dari tangannya. Lin Tung yang belum hilang
kekagetannya, langsung mendapat serangan bertubi-tubi
dari Cuo Cung Hao, yang memegang tombak besinya persis
di ujungnya dan diputar-putar sehingga bunyi deru anginnya
membelah udara. Mau tak mau Lin Tung hanya bisa
bertahan menangkis serangan Cuo Chung Hao yang bertubitubi ini. Pada tangkisan yang ketiga, tombak Lin Tung yang
terbuat dari kayu tidak kuat lagi menahan pukulan tombak
besi Cuo Chung Hao dan segera patah berantakan menjadi
dua bagian!
Lin Tung jatuh terjerembab ke tanah karena kuatnya
pukulan gagang tombak besi yang menghancurkan tombak
kayunya itu. Wajahnya pucat pasi karena tidak menyangka
sama sekali bahwa Cuo Chung Hao meladeninya dengan
serius. Hanya kurang dari sepuluh jurus saja ia sudah kalah
dari Cuo Chung Hao menunjukkan betapa jauh perbedaan
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ilmu tombak mereka. Lin Tung segera menghormat
berterima kasih atas pelajaran yang diterimanya dari Cuo
Chung Hao dan kembali ke barisan dengan wajah tertunduk.- 405 Cuo Chung Hao sendiri tersenyum bangga sekali
sambil menatap para prajurit yang melihatnya dengan
tatapan kagum. Ia merasa bangga sekali bisa menunjukkan
kebolehannya di hadapan para prajuritnya. Selama beberapa
tahun ini memang ilmu tombak Cuo Chung Hao boleh
dibilang belum ada tandingannya di benteng Teng sehingga
ia menjadi besar kepala dan pongah. Kali ini mata Cuo
Chung Hao mulai mencari-cari lagi lawan untuk
dipermainkannya.
"Kau! Ambil tombakmu dan maju ke depan!" katanya
seraya menunjuk kepada Han Cia Sing.
Semua mata memandang kepada prajurit baru yang
kelihatan masih sangat muda ini. Bahkan baju prajurit yang
dipakai Han Cia Sing kelihatan kedodoran terlalu besar
untuk dirinya. Jika tadi Lin Tung yang berbadan tegap kekar
saja dikalahkan dalam beberapa jurus saja, apalagi seorang
prajurit kecil seperti Han Cia Sing, pikir semua prajurit yang
hadir.
"Prajurit, kudengar ilmu tombak ayahmu termashyur
di kotaraja. Aku Cuo Chung Hao sudah lama mendengar
kehebatannya, tentu boleh mencoba satu dua jurus darimu.
Jangan takut melukaiku atau terluka, semua dalam
pertandingan adalah biasa jika salah satu pihak terluka,
bukankah begitu?" kata Cuo Chung Hao yang segera
disambut teriakan mengiyakan dari para prajurit.- 406 "Bersiaplah!" kata Cuo Chung Hao sambil langsung
maju menyerang!
Han Cia Sing yang sama sekali tidak menyangka
bahwa Cuo Chung Hao akan langsung menyerang, menjadi
gelagapan. Apalagi ternyata serangan tombak Cuo Chung
Hao dilakukan benar-benar seperti ingin membunuhnya
saja. Han Cia Sing sampai harus bergulingan di tanah
menghindari tusukan tombak Cuo Chung Hao yang bertubitubi. Para prajurit bersorak-sorai menyaksikan pertandingan
yang berat sebelah ini, sama sekali tidak memperdulikan
Han Cia Sing yang terancam keselamatannya.
Cuo Chung Hao sendiri memang ingin mencelakai
Han Cia Sing pada latihan ini, seperti yang diperintahkan
Teng Cuo Hui kepadanya. Teng Cuo Hui yang heran melihat
Han Cia Sing masih kuat menahan siksaan fisik selama
enam bulan, menjadi tidak sabar dan ingin agar Han Cia
Sing disingkirkan segera. Tentu saja caranya harus halus dan
tidak kentara, seperti kecelakaan pada saat latihan seperti
sekarang ini. Cuo Chung Hao tidak akan langsung
membunuhnya, tapi akan melukai Han Cia Sing cukup parah
sehingga akan mati pelan-pelan tanpa diobati, sungguh suatu
siasat yang keji sekali!
Han Cia Sing sendiri merasakan keinginan
membunuh yang kuat dari Cuo Chung Hao. Hampir semua
tusukan tombak Cuo Chung Hao mengarah ke bagian
vitalnya seperti dada, perut atau kepala. Beberapa kali Han
Cia Sing tersabet mata tombak Cuo Chung Hao sehingga ia- 407 mulai berdarah-darah di beberapa tempat. Bajunya juga
mulai robek-robek karena tombak Cuo Chung Hao yang
mengejarnya seperti bermata saja. Para prajurit bersoraksorai semakin ramai sehingga menarik perhatian prajurit lain
untuk ikut menonton. Bahkan tanpa diperhatikan oleh
siapapun juga, sepasang mata ikut mengamati dari markas
benteng dengan senyum puas. Ternyata Teng Cuo Hui juga
melihat pertandingan yang berat sebelah itu dari markasnya,
Cuo Chung Hao sendiri semakin bernafsu ingin
mencederai Han Cia Sing. Dua puluh jurus sudah berlalu,
tapi tombaknya masih belum dapat menusuk tubuh Han Cia
Sing dengan telak, paling-paling hanya menyerempet kulit
luarnya saja, meskipun Han Cia Sing harus bergulunggulung dengan susah payah menghindari serang mematikan
itu. Cuo Chung Hao berhenti sebentar sambil berkacak
pinggang dengan sombong.
"Menghindar dan berlari saja tidak akan membuatmu
menang dari musuh!
Hadapi tombak lawan jika ingin menang! Atau
memang hanya begini saja ilmu tombak yang diajarkan oleh
ayahmu!" bentak Cuo Chung Hao
Han Cia Sing yang sudah terengah-engah dan bajunya
kotor penuh tanah, berusaha berdiri tegak sambil
berpegangan pada tombaknya. Ia memandang Cuo Chung
Hao yang sedang berkacak pinggang, sadar bahwa dirinya
sedang dipermainkan. Han Cia Sing pun tidak ingin main-- 408 main lagi dan mempermalukan nama ayahnya di depan para
prajurit benteng ini. Ia menggenggam erat gagang
tombaknya dengan kekuatan penuh dan mulai mengingatingat semua pelajaran tombak yang pernah diajarkan Han
Kuo Li kepadanya saat di Han Cia-cuang dulu.
Tombak di tangan Han Cia Sing mulai berputar-putar
dengan lincah seperti kincir angin saja. Hembusan angin
menderu-deru, membuat para prajurit yang bersorak-sorak
tadi menjadi terdiam. Cuo Chung Hao pun dapat merasakan
perbedaan ini, tapi karena kesombongannya ia malah
tersenyum mengejek melihat Han Cia Sing yang sedang
memutar tombaknya. Di kejauhan, Teng Cuo Hui kaget
ketika mengamati dengan seksama ilmu tombak yang
diperagakan Han Cia Sing. Dulu, saat ia masih di kotaraja,
ia pernah bertanding sekali dengan Han Kuo Li yang
menggunakan jurus Tombak Harimau Putih. Meskipun
kalah menang ketika itu belum dapat dipastikan, tapi ia
sempat terdesak hebat oleh kelihaian ilmu tombak Han Kuo
Li. Sekarang, Han Cia Sing tampaknya juga menggunakan
jurus tombak yang sama dengan ayahnya, tapi mungkinkah
anak sekecil itu sudah dapat menguasai ilmu Tombak
Harimau Putih, pikir Teng Cuo Hui setengah tidak percaya.
Di lapangan, Han Cia Sing mulai memperagakan ilmu
tombak yang dipelajarinya selama ini. Meskipun kalah
kualitas senjata, kalah jangkauan dan kalah tenaga, tapi
kelihatan jelas jurus tombak Han Cia Sing masih berada di
atas ilmu tombak Cuo- 409 Chung Hao. Hal ini tentu dapat dimengerti karena
ilmu tombak yang dipelajari Cuo Chung Hao sebenarnya
berdasar pada ilmu tombak militer yang digunakan
berperang sementara ilmu tombak yang dipelajari Han Cia
Sing berasal dari Panglima Sie Ren Kui yang melegenda
karena kehebatan ilmu tombaknya!
Cuo Chung Hao pun kaget melihat ilmu tombak Han
Cia Sing yang demikian hebat. Tombak itu seperti hidup,
memanjang dan memendek dengan cepat, bahkan
mengejarnya seperti seorang harimau mengejar mangsanya,
sedikitpun tidak dapat melepaskan diri. Para prajurit kini
ganti berteriak-teriak memberi semangat kepada Han Cia
Sing. Dua puluh jurus berlalu dan kini keadaan menjadi
seimbang, masing-masing tidak dapat menekan lawan.
Tombak mereka berbenturan di udara menimbulkan suara
gaduh seperti genderang perang saja layaknya.
Han Cia Sing yang menyadari tomba k kayunya pasti
kalah kuat dibandingkan tombak besi lawan akhirnya
memilih mengambil jurus-jurus yang lembut untuk
menghindari tombaknya patah. Tombak Han Cia Sing
berputar-putar mengikuti arah tusukan tombak besi Cuo
Chung Hao sambil mengarahkannya ke atas sehingga tidak
bisa melukai dirinya. Ini adalah jurus Hu Cui Hou (Harimau
Mengejar Kera) yang amat cocok digunakan untuk melawan
musuh yang lebih kuat senjata atau tenaga dalamnya. Jurus
ini dulu diciptakan Panglima Sie Ren Kui saat menghadapi- 410 manusia besi Yang Tung Kun dalam perang di timur
melawan negara Kaoli dan Silla.
Cuo Chung Hao yang semakin penasaran dan tidak
ingin kehilangan muka di depan anak buahnya, memainkan
tombaknya semakin ganas saja. Tapi setiap kali tusukan
tombaknya bisa ditangkis atau dihindarkan oleh Han Cia
Sing. Keadaan tidak menang tidak kalah ini berlangsung
sampai lima puluh jurus. Han Cia Sing sendiri yang kondisi
badannya tidak baik karena kerja berat selama enam bulan
terakhir, menjadi semakin lemah setelah lima puluh jurus
berlalu. Napasnya memburu dan wajahnya pucat, tapi ia
masih bersikeras bertahan dan melawan.
Cuo Chung Hao melihat lawan semakin melemah,
semakin menekan dengan ganasnya. Tombaknya diputarputar dengan kuat, seperti saat melawan Lin Tung tadi,
mengejar ke mana
pun Han Cia Sing menghindar. Han Cia Sing yang
sadar dirinya dalam bahaya besar, akhirnya mengambil jalan
nekat. Ia maju menyerang dengan tusukan tombak mengarah
ke dada Cuo Chung Hao, berniat mengadu nyawa
dengannya. Tombak mereka bertabrakan dengan keras dan
tentu saja tombak kayulah yang patah. Cuo Chung Hao
melihat tombak kayu Han Cia Sing hancur berantakan
bukannya menghentikan serangan, malah maju menusuk
dada Han Cia Sing.- 411 Han Cia Sing kaget bukan main melihat Cuo Chung
Hao benar-benar berniat membunuh dirinya. Ia langsung
menghindari mata tombak Cuo Chung Hao dengan
menggeser tubuh ke kanan sehingga tombak lawan hanya
menyerempet dadanya saja. Secara spontan, tangan
kanannya yang masih memegang patahan tombak
diayunkan ke arah kepala Cuo Chung Hao. Sebenarnya
dalam kondisi normal, Cuo Chung Hao pasti tidak akan
dapat dikalahkan oleh Han Cia Sing, tapi kali ini Cuo Chung
Hao terlalu bernafsu dan percaya diri sehingga kecolongan.
Ia sudah terlanjur salah langkah menusukkan tombaknya
terlalu kuat, tubuh sudah terlalu condong ke depan tidak
sempat lagi menghindari pukulan tombak patah Han Cia
Sing yang mengarah ke kepalanya.
"Pletakkkk!!!"
Patahan tombak itu menghajar kepala Cuo Chung
Hao dengan kuat sekali sampai patah sekali lagi. Cuo Chung
Hao terlempar ke tanah dan langsung tidak sadarkan diri
dengan kepala sobek mengeluarkan darah. Han Cia Sing
yang tidak mengira pukulannya mengena begitu telak hanya
bisa terdiam memandangi Cuo Chung Hao yang terkapar di
tanah. Semua prajurit yang tadi bersorak-sorai mendadak
terdiam. Mereka bukan hanya kaget melihat komandan
mereka pingsan tapi terlebih lagi komandan mereka
dikalahkan seorang prajurit ingusan yang masih berusia tiga
belas tahun!- 412 Keheningan itu dipecahkan oleh suara berwibawa
Teng Cuo Hui yang menyeruak masuk ke dalam lingkaran
barisan itu. Teng Cuo Hui segera datang ke dalam barisan
setelah melihat Han Cia Sing bisa memukul roboh
komandan pasukan biru itu. Ia juga sama sekali tidak
menyangka bahwa Han Cia Sing bisa mengatasi Cuo Chung
Hao, bahkan sampai membuatnya pingsan.
"Ada apa kalian ini?" tanya Teng Cuo Hui berpurapura tidak tahu.
Semua prajurit hanya terdiam menunduk tidak berani
menjawab.
"Mengapa kalian semua tidak menjawab?" tanya Lin
Ying Dan yang datang bersama dengan Teng Cuo Hui.
Lin Ymg Dan melihat Han Cia Sing yang berdiri
sambil memegang patahan tombak langsung saja
menyergap dan mencekik Han Cia Sing.
"Kurang ajar, prajurit rendahan macam kau hendak
memberontak!"
Sebuah tinju melayang menghajar perut Han Cia Sing
sehingga ia langsung membungkuk kesakitan tak mampu
berdiri lagi. Mana mungkin seorang remaja menahan tinju
seorang komandan pasukan berkuda seperti Lin Yin Dan
ini? Tapi Han Cia Sing sama sekali tidak mengeluh karena
ia tahu ia sedang dipermainkan oleh orang-orang ini. Hanya
saja Han Cia Sing belum sadar bahwa mereka tidak hanya- 413 ingin mempermainkannya tapi juga ingin mencabut
selembar nyawanya!
"Eh, komandan Lin, sebelum semuanya jelas jangan
asal memakai kekerasan. Tahan saja dia dan tunggu sampai
komandan Cuo siuman. Masalah ini kita putuskan setelah itu
juga belum terlambat" kata Teng Cuo Hui berpura-pura baik
menjadi penengah.
Begitulah Han Cia Sing yang sudah terluka oleh
tombak dalam pertandingan tadi dan tambahan tinju Lin
Ying Dan dihukum berdiri di lapangan sampai komandan
Cuo siuman. Itu berarti ia harus melewati malam yang
dingin dan angin kencang dengan berdiri sendirian di tengah
tanah lapang. Sungguh suatu hukuman yang keras, yang
memang sengaja diberikan oleh Teng Cuo Hui dengan
tujuan membuatnya mati.
Menjelang tengah malam, cuaca dingin membekukan
dan angin bertiup menusuk tulang. Han Cia Sing yang sudah
hampir tidak mampu lagi berdiri, nyaris pingsan dan jatuh.
Luka-lukanya akibat pertandingan tadi siang belum diobati,
ia belum makan dan kini harus menghadapi cuaca alam yang
kejam. Han Cia Sing jatuh berlutut, matanya berkunangkunang dan lututnya lemas sekali. Ia sudah mencapai batas
ketahanannya selama ini.
Tiba-tiba sepasang lengan yang kuat menariknya
berdiri dan menyampirkan baju hangat di pundaknya. Han
Cia Sing menoleh untuk melihat siapa yang datang- 414 menolongnya. Ternyata ia adalah Lin Tung, prajurit yang
dikalahkan oleh Cuo Chung Hao tadi siang. Lin Tung berdiri
memapahnya sambil tersenyum lebar.
"Adik kecil, bagaimana keadaanmu? Masih bisa
bertaliankah?" tanya Lin Tung sambil memperhatikan Han
Cia Sing dengan seksama.
Han Cia Sing hanya bisa mengangguk lemah saja
tanpa bersuara
"Aku membawakan makanan dan minuman untukmu,
ambillah" kata Lin Tung sambil memberikan bungkusan
kain berisi roti kering dan kendi air.
Han Cia Sing berusaha menolak pemberian itu.
"Kakak Lin, jika komandan dan jenderal mengetahui
hal ini, pastilah engkau akan menerima hukuman juga" kata
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Han Cia Sing
"Jangan khawatir, tidak akan ada yang membocorkan
hal ini. Semua teman-teman juga setuju atas pemberian ini.
Mereka sudah lama membenci komandan Cuo yang berlaku
sewenang-wenang. Hajaranmu tadi siang benar-benar luar
biasa, membalaskan dendam kami yang diperlakukan
sewenang-wenang selama ini" kata Lin Tung sambil
tersenyum lebar.
Han Cia Sing akhirnya menerima pemberian
makanan dan minuman itu. Ia makan dan minum dengan
lahap sekali karena benar-benar haus dan lapar. Pakaian- 415 hangat yang diberikan oleh Lin Tung ia pakai di dalam
pakaian prajuritnya sehingga tidak tampak dari luar. Han
Cia Sing merasa jauh lebih baik setelah makan dan minum.
Tubuhnya juga sudah tidak kedinginan lagi. Dalam hati ia
berterima kasih kepada teman-teman yang telah
menolongnya.
Sementara di dalam markas, Jenderal Teng Cuo Hui
tengah memarahi Cuo Chung Hao karena kekalahannya tadi
siang. Kekalahan yang memalukan sekali, karena selain
telak, juga disaksikan semua prajurit dan lebih memalukan
lagi karena dikalahkan seorang prajurit ingusan! Teng Cuo
Hui benarbenar geram, jika saja Cuo Chung Hao bukan
komandan setia yang telah lama mengikutinya, mungkin
Cuo Chung Hao sudah dibunuhnya. Beruntunglah Lin Ying
Dan memohonkan ampun untuknya, sehingga amarah Teng
Cuo Hui agak mereda.
"Ternyata bajingan cilik marga Han itu benar-benar
sulit dihadapi" kata Teng Cuo Hui masih tidak bisa
menyembunyikan kemarahannya.
"Kami mohon petunjuk jenderal untuk langkah
selanjurnya" kata Cuo Chung Hao dan Lin Ying Dan
bersama-sama Teng Cuo Hui mengerutkan kening. Ia
tampak sedang berpikir keras.
"Sekarang semua prajurit sudah mengenalnya. Jika
kita sekarang langsung membunuh Han Cia Sing, tentu akan- 416 menimbulkan tanda tanya besar dari mereka. Kita tidak
boleh terburu-buru, setelah semua orang lupa akan peristiwa
ini kita baru akan bertindak lagi. Saat itu kita harus bertindak
kejam, tidak ada ampun lagi baginya!" kata Teng Cuo Hui
sambil menggebrak meja hingga hancur berkeping-keping!
Begitulah akhirnya untuk sementara nasib Han Cia
Sing terselamatkan dari cengkeraman siasat Teng Cuo Hui.
Ia dikembalikan ke barisan tombak seperti semula dan untuk
tiga bulan berikutnya, hari-hari Han Cia Sing dihabiskan
dengan berlatih tombak dan ilmu keprajuritan. Semua orang
sudah melupakan kejadian Han Cia Sing menghajar
komandan Cuo Chung Hao. Kini Han Cia Sing menjalani
kehidupannya dengan lebih baik bahkan ia mempunyai
beberapa teman dekat termasuk Lin Tung, prajurit tinggi
besar yang memberinya makan dan minum saat dihukum
dulu.
Suatu hari, Han Cia Sing dan beberapa prajurit
tombak lainnya dipanggil untuk menghadap Jenderal Teng
Cuo Hui. Pemanggilan ini bersifat resmi sehingga membuat
mereka heran dan bertanya-tanya. Han Cia Sing bersama
lima belas orang prajurit tombak lainnya masuk ke dalam
markas utama. Ternyata di sana sudah berkumpul komandan
Lin dan Cuo serta Jenderal Teng Cuo Hui. Lima orang
anggota pasukan berkuda juga terlihat hadir dengan wajah
serius. Han Cia Sing dan prajurit lainnya segera memberi
hormat kepada ketiga atasan mereka.- 417 "Baiklah kalian semua sudah berkumpul di tempat
ini. Aku akan segera mengatakan apa yang terjadi kepada
kalian serta tugas apa yang akan kalian emban. Kemarin
kami menerima laporan bahwa beberapa li ke utara dari
benteng ini, di desa Chen-mu telah terjadi perampokan oleh
segerombolan perampok tak dikenal. Ini merupakan
kejadian yang serius karena selama hampir lima tahun
terakhir ini, di wilayah benteng Teng ini tidak pernah terjadi
peristiwa perampokan sama sekali. Karenanya aku
mengutus kalian berduapuluh, lima pasukan berkuda dan
lima belas pasukan tombak untuk berangkat hari ini juga dan
menyelidiki kejadian ini. Jika bertemu dengan gerombolan
perampok itu segera basmi mereka tanpa banyak tanya
lagi!" perintah Teng Cuo Hui dengan penuh wibawa.
"Kami siap melaksanakan perintah!" jawab para
Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga Lukisan Penyebar Maut Karya Maria Oktaviani Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar Radjam
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama