Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 6
prajurit itu serentak.
Beberapa saat kemudian, rombongan pasukan itu
sudah siap berangkat menuju ke utara. Benteng Teng adalah
benteng kekaisaran Tang yang terletak paling utara di
sebelah luar tembok besar. Puluhan li ke utara yang ada
hanyalah hamparan padang rumput seluas mata
memandang, diselingi dengan sungai-sungai dan hutan
kecil. Rombongan pasukan itu bergerak perlahan ke utara,
ke desa perbatasan paling utara dari kekaisaran Tang, desa
Chen-mu. Selepas desa Chen-mu, beberapa puluh li
kemudian adaslah wilayah suku-suku liar yang tinggal
secara berpindah-pindah. Mereka adalah suku-suku yang- 418 keras dan liar, sama sekali berbeda dengan dinasti Tang
yang mempunyai sistem pemerintahan yang teratur dan
tertib. Apakah mereka yang telah mengacau di desa Chenmu? Rombongan Han Cia Sing berjalan menyisiri padang
rumput selama beberapa hari tapi tidak menemukan
siapapun yang terlihat seperti gerombolan perampok.
Mereka terus berjalan sampai akhirnya tiba di desa Chenmu. Tapi apa yang mereka temukan sangatlah menyedihkan.
Seluruh desa Chen-mu sudah terbantai habis dan dibakar
hingga menjadi puing-puing. Han Cia Sing merasakan
betapa kejamnya mereka yang melakukan hal ini. Semua
dibunuh tanpa kecuali, termasuk wanita dan anak-anak. Para
prajurit lainnya dalam rombongan juga menjadi amat marah.
Mereka serta merta menuduh suku luarlah yang melakukan
hal kejam seperti ini.
Pasukan Han Cia Sing semakin giat mencari, bahkan
semakin jauh masuk ke utara. Daerah utara yang belum
sering dilewati manusia itu masih sangat liar dan banyak
binatang buas seperti serigala dan beruang. Han Cia Sing
begitu terpesona melihat alam yang masih begitu liar yang
tidak pernah dilihatnya selama ini. Tapi sejauh perjalanan
mereka hingga bekal hampir habis, mereka masih belum
menemukan gerombolan yang mereka cari sehingga
diputuskan untuk kembali ke benteng Teng keesokan
harinya. Malam harinya mereka berkemah di udara terbuka
padang rumput. Saat itu sudah mulai musim semi sehingga- 419 banyak bunga padang rumput yang mulai bermekaran.
Cuaca pun sudah tidak sedingin saat musim dingin lagi. Dua
puluh orang prajurit itu beristirahat tanpa ada pikiran sama
sekali akan terjadi sesuatu yang buruk.
Ketika mereka sedang enak beristirahat, tiba-tiba
terdengar teriakan kesakitan dari prajurit yang bertugas jaga.
Han Cia Sing dan prajurit lain segera terbangun dan lari
menuju sumber suara. Ternyata dua orang teman mereka
yang bertugas meronda sudah mati dengan leher hampir
putus. Tentu saja para prajurit itu menjadi sangat kaget dan
segera bersiaga. Malam hari itu bulan tidak bersinar dan
langit hanya diterangi cahaya bulan saja sehingga sangat
gelap dan jarak pandang hanya satu-dua tombak saja.
"Berkumpul di api unggun!" teriak salah seorang
prajurit memberikan perintah.
Semua prajurit segera berkumpul membentuk formasi
melingkari api unggun. Mereka semua sebenarnya sangat
ketakutan karena belum pernah mengalami peristiwa seperti
ini. Han Cia Sing memegang tombaknya erat-erat, bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Ia berusaha mempertajam
penglihatan dan pendengarannya tapi sama sekali tidak
dapat meUhat atau mendengar sesuatu yang mencurigakan.
Bahkan kuda-kuda mereka yang ditambatkan di pohon
sekitar situ sama sekali tidak bersuara, seakan tidak
menyadari bahaya yang akan datang.- 420 Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan berpakaian
dan bertopeng hitam yang langsung menyabetkan
pedangnya dengan ganas. Tiga orang prajurit tombak segera
ambruk dengan perut robek. Jeritan menyayat membelah
udara ketika orang bertopeng itu beraksi dengan cepat
membabat dua orang lagi dan menghilang dalam kegelapan
malam. Tujuh orang prajurit sudah gugur hanya dalam
beberapa gebrakan. Sang pembunuh itu tentulah bukan
orang sembarangan. Han Cia Sing benar-benar tidak tahu
harus berbuat apa, ia hanya bisa memegang tombaknya eraterat sambil menunggu serangan berikutnya.
"Keluar! Jangan menjadi seorang pengecut!" teriak
seorang prajurit mencoba memancing sang pembunuh untuk
keluar. Memang lebih baik bertempur secara terangterangan daripada dibunuh tanpa sempat melawan seperti
yang dialami tujuh teman mereka barusan.
Seperti menjawab tantangan sang prajurit, tiba-tiba
orang bertopeng itu sudah berada di dekat mereka sambil
menghunus pedang yang masih meneteskan darah.
Lagaknya begitu santai seperti meremehkan mereka. Ia
memberi isyarat kepada rombongan Han Cia Sing untuk
maju menyerangnya. Maka tanpa diberi aba-aba dua kali,
tiga belas prajurit yang tersisa termasuk Han Cia Sing segera
maju menyerbu orang bertopeng itu bersama-sama.
Teriakan mereka membelah suasana malam yang sunyi di
tengah padang rumput itu. Sebentar saja suara beradunya- 421 senjata dan jeritan kematian yang menyayat sudah
memenuhi wilayah padang rumput tak bertuan itu.
Orang bertopeng itu ternyata hebat sekali. Sekali
tebas satu nyawa melayang. Semua prajurit dibuat tidak
berkutik dengan hanya satu dua kali tebasan. Han Cia Sing
yang ikut mengeroyok harus mundur dengan luka goresan
yang cukup dalam di dada. Itupun karena ia cukup cepat
menghindar sehingga terhindar dari maut. Sekejap saja
semua prajurit sudah tewas di tangan orang bertopeng tadi.
Tinggal Han Cia Sing seorang yang masih hidup, tapi itupun
sudah terluka oleh kecepatan pedang orang bertopeng itu.
Darah menetes keluar dari luka di dada Han Cia Sing.
Tampaknya sudah tidak ada jalan untuk meloloskan diri
kecuali bertarung mati-matian melawan musuh.
Han Cia Sing yang melihat tidak ada jalan lain untuk
lolos kecuali bertarung mati-matian, akhirnya memutuskan
untuk menghadapi sang pembunuh dengan bekal segala
ilmu yang ia ketahui. Tombak yang ada di tangannya mulai
diayunkan membentuk kincir yang menjadi semacam
perisai pelindung. Inilah jurus pembuka dari ilmu Tombak
Harimau Putih yang melegenda itu.
Orang bertopeng itu tampaknya tahu bahwa Han Cia
Sing mempunyai kemampuan lebih dibandingkan para
prajurit yang telah tewas tadi. Ia pun mengambil kuda-kuda
pertahanan dengan pedangnya untuk memulai pertarungan
hidup mati ini. Han Cia Sing sendiri segera maju menyerang
dengan tombaknya, memainkan jurus-jurus yang masih ia- 422 ingat dari ilmu Tombak Harimau Putih. Jurus pertama
berhasil dielakkan dengan mudah oleh orang bertopeng itu,
disusul jurus kedua dan seterusnya, Han Cia Sing terus
menyerang tanpa henti. Orang bertopeng itu hanya
menghindar dan menangkis dengan pedangnya, seakan
mengejek Han Cia Sing karena selalu gagal mengenai
dirinya.
Setelah lewat dua puluh jurus, Han Cia Sing mulai
kelelahan. Darah yang keluar merembes dari lukanya
semakin banyak. Matanya mulai berkunang-kunang dan
kuda-kudanya tidak kokoh lagi. Orang bertopeng tadi
melihat gelagat seperti ini, segera memanfaatkan situasi
balik menyerang dengan gencar. Kini Han Cia Sing yang
hanya bisa mundur dan bertahan, itupun masih beberapa kali
terkena sabetan pedang meskipun tidak cukup fatal untuk
membuatnya terluka parah.
Han Cia Sing yang melihat situasi makin tidak
menguntungkan akhirnya mengambil jalan nekad. Ketika
pedang orang bertopeng itu mengarah ke dadanya, ia tidak
menghindar malah menangkap pedang itu dengan tangan
kirinya. Rasa perih di telapak tangannya karena terluka oleh
pedang tidak dirasakannya, malah dengan sekuat tenaga ia
menghunjamkan tombaknya ke dada musuhnya itu! Orang
bertopeng itu kelihatan kaget dengan siasat yang berani mati
seperti ini, sehingga mau tidak mau ia melepaskan
pedangnya daripada dirinya tertembus tombak.- 423 Han Cia Sing yang berhasil merebut pedang, merasa
girang karena siasatnya berhasil. Sayang rasa girangnya itu
masih terlalu pagi karena orang bertopeng itu tidak mau
melepaskan pedangnya begitu saja tanpa imbalan! Sambil
melepas pedang, ia mengumpulkan tenaga dalam di kedua
telapaknya dan menghantamkannya keras-keras ke dada
Han Cia Sing yang tidak mungkin menahan karena satu
tangan memegang pedang tangan lain memegang tombak.
Han Cia Sing terlempar hampir dua tombak jauhnya dan
langsung muntah darah!
Beruntunglah Han Cia Sing masih bisa bertahan dan
tidak pingsan tapi ia merasa seluruh dadanya seperti terbalik
dan susah sekali untuk bernapas. Han Cia Sing bangkit
dengan terbatuk-batuk, mengeluarkan darah segar dari
mulutnya. Orang bertopeng itu tertawa terbahak-bahak
melihat Han Cia Sing sempoyongan dan muntah darah. Ia
bersiap maju dan menghajar lagi dengan kedua telapaknya
untuk mengirim Han Cia Sing ke akhirat.
Han Cia Sing sendiri bertahan mati-matian dari
serangan. Ia mengayunkan pedang dan tombak di tangannya
dengan liar, berharap bisa beruntung melukai musuhnya itu,
tapi apa yang diharapkannya sama sekali tidak terjadi malah
Han Cia Sing menerima beberapa pukulan keras yang telak
sekali mengenai dada dan punggungnya! Tak ayal lagi, Han
Cia Sing ambruk sambil memuntahkan darah segar dan tidak
bangkit lagi. Orang bertopeng itu masih menunggu sejenak,
apakah Han Cia Sing bisa bangun lagi atau tidak. Ketika- 424 dilihatnya Han Cia Sing tidak bergerak lagi, ia tertawa
keras-keras sehingga suaranya menggema di keheningan
malam itu.
Orang bertopeng itu mendekati Han Cia Sing,
mengambil pedang dari tangannya dan kini bersiap
memenggal kepala Han Cia Sing yang sudah tidak sadarkan
diri itu. Tampaknya riwayat Han Cia Sing bakal berakhir di
padang rumput utara ini, tapi hidup mati manusia ada di
tangan Tuhan. Jika seseorang masih dikehendaki hidup,
siapapun tidak bisa mencabut nyawanya. Pada saat pedang
itu sudah hendak diayunkan menebas leher Han Cia Sing,
tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat di kegelapan malam,
menangkis pedang itu sehingga hampir terlepas dari
pegangan orang bertopeng itu.
Orang bertopeng itu terkejut melihat kehadiran sang
pengganggu. Kiranya yang datang adalah seorang he-sang
(biksu) setengah baya yang berpakaian sederhana sekali.
He-sang itu merangkapkan tangannya di depan dada.
Badannya tegap dan matanya tenang seperti telaga.
Meskipun kini wajahnya penuh kerutan tapi masih tersisa
bekas-bekas kegagahan he-sang ini di waktu mudanya.
"Amitabha, se-cu (panggilan untuk orang dari
seorang biksu) mengapa demikian kejam, melakukan
pembunuhan dengan sewenang-wenang apalagi terhadap
tentara kerajaan" kata he-sang itu dengan suara yang sabar
tapi berwibawa, seperti seorang ayah yang sedang menegur
anaknya.- 425 "Huh! Jou he-sang (biksu busuk), jangan ikut campur
urusanku. Atau kau ingin kukirim menghadap Budha
sekarang juga?" bentak orang bertopeng itu dengan marah
sekali.
"Cui-kuo, cui-kuo (berdosa). Keinginan manusia
selalu berujung pada kesengsaraan, se-cu bertobatlah selagi
masih ada kesempatan" jawab he-sang setengah baya itu
dengan penuh welas asih.
Jawaban yang penuh kedamaian itu justru ditanggapi
lain oleh sang manusia bertopeng. Ia berteriak keras dan
maju menusukkan pedangnya dengan ganas. He-sang itu
kaget melihat sikapnya yang bersahabat tidak diterima
dengan baik, malah sekarang orang bertopeng itu bermaksud
menghabisinya juga. Pedang sudah sampai di dada, tapi hesang itu masih tetap tenang. Ia dengan tangan kosong
menangkis pedang itu sehingga langsung terpental ke arah
lain. Orang bertopeng itu merasakan getaran tenaga yang
sangat kuat mengalir ke dalam pedangnya, merambat ke
jari-jarinya yang memegang pedang, merambat terus ke
lengan sampai akhirnya seluruh tubuhnya serasa digetarkan
oleh tenaga tangkisan he-sang tadi. Orang bertopeng itu
segera sadar yang dihadapinya bukanlah orang sembarangan
saja.
"Kurang ajar siapa kau sebenarnya?" tanya orang
bertopeng itu dengan geram karena lagi-lagi serangannya
berhasil digagalkan.- 426 "Namaku tidak terkenal untuk apa se-cu ingin
mengetahuinya" jawab he-sang itu dengan sabar.
"Seorang pendekar tidak takut menyebut nama,
apakah kau seorang biksu busuk takut untuk menyebutkan
namamu" ejek orang bertopeng itu.
"Amitabha, karena se-cu sangat ingin mengenal aku
yang tidak berharga ini, baiklah akan kukatakan namaku.
Aku bernama Lu Xun Yi, dari kuil Shaolin. Mohon maaf
jika ada yang tidak berkenan di hati se-cu" jawab biksu yang
bernama Lu Xun Yi itu sambil merangkapkan tangannya di
dada.
"Lu Xun Yi? Kau salah satu dari San Ta Wang Pao
(Tiga Besar Penjaga Kerajaan), Tie Sa Cang (Telapak Pasir
Besi) Lu Xun Yi?" tanya orang bertopeng itu dengan nada
kaget sekali.
"Se-cu terlalu berlebihan. Aku yang sudah tua ini
tidak pantas menyandang gelar yang terlalu tinggi itu,
amitabha" jawab Lu Xun Yi dengan rendah hati dan
membungkuk dalam-dalam.
Orang bertopeng itu sedikit ragu-ragu, mungkinkah
biksu setengah baya yang berdiri di hadapannya ini adalah
Lu Xun Yi si Telapak Pasir Besi yang melegenda itu.
"Nama besar Lu Xun Yi amat terkenal, aku tidak
percaya jika ia adalah seorang biksu gembel seperti dirimu
ini. Jangan coba-coba menggertakku!" teriak orang- 427 bertopeng itu sambil maju menyerang dengan ganas. Kali ini
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia benar-benar berniat bertarung habis-habisan dengan biksu
setengah baya yang terlihat lembut dan welas asih ini. Ia
tidak percaya tidak bisa mengalahkan biksu ini. Kilatan
pedang berkelebat dengan cepat, menebas dan menebus
serta menutup semua jalan mundur biksu Lu Xun Yi.
Tampaknya kali ini Lu Xun Yi harus benar-benar meladeni
permainan pedang orang bertopeng itu jika tidak ingin
celaka.
Lu Xun Yi segera mengambil posisi kuda-kuda
rendah, kedua kaki ditekuk ke depan. Kedua telapaknya
dibuka lebar-lebar dan seluruh tenaga dikerahkan ke arah
telapak tangannya. Ini jurus pembuka Telapak Pasir Besi
milik Shaolin yang terkenal itu. Pedang yang meluncur
dengan deras menusuk ditangkap dengan mengatupkan
kedua telapak. Orang bertopeng itu berusaha keras
melepaskan pedangnya yang tertangkap tapi sia-sia seakan
pedangnya itu menancap kuat di batu karang. Lu Xun Yi
berteriak keras, maju dan menepuk seluruh bagian pedang
itu hingga ke pangkalnya seperti bertepuk tangan saja
layaknya. Kini jaraknya dengan orang bertopeng itu tinggal
satu lengan saja. Belum sempat orang bertopeng itu berbuat
apa-apa, tapak kanan Lu Xun Yi sudah menghajar dadanya
dengan keras hingga ia terpental beberapa langkah jauhnya.
Lu Xun Yi merangkapkan kembali kedua tangannya
di depan dada. Napasnya masih tetap teratur dan tenang,
seakan-akan pertempuran barusan sama sekali tidak pernah- 428 dilakukannya. Ia memandang orang bertopeng yang berdiri
di hadapannya itu dengan sedih.
"Cui-kuo, cui-kuo" kata Lu Xun Yi sambil
menggeleng sedih.
Orang bertopeng itu berdiri terdiam saja. Dari balik
topeng hitamnya mengalir deras darah segar bercampur
darah hitam. Pedang yang digenggamnya tiba-tiba hancur
berkeping-keping menjadi serpihan kecil dan orang
bertopeng itu pun roboh tanpa sempat berkata apa-apa lagi.
Rupanya telapak Lu Xun Yi sudah menghancurkan seluruh
organ dadanya sama seperti pedangnya yang hancur menjadi
serpihan-serpihan kecil!
Lu Xun Yi bersembahyang sebentar untuk arwah
orang bertopeng itu, kemudian segera memeriksa
rombongan prajurit yang terbantai. Semua prajurit
mengalami luka tusuk di tempat yang vital sehingga tidak
tertolong lagi., hanya Han Cia Sing yang masih bernapas
tidak terluka oleh pedang. Lu Xun Yi segera mendudukkan
Han Cia Sing dalam posisi bersila sedang ia pun bersiap
menyalurkan tenaga dalam untuk menyelamatkan Han Cia
Sing. Sebentar saja wajah Han Cia Sing yang pucat sudah
berubah cerah setelah menerima tenaga dalam dari Lu Xun
Yi. Beruntunglah luka dalam yang diderita Han Cia Sing
tidak terlalu parah, sehingga ia bisa diselamatkan. Lu Xun
Yi yang sudah berpengalaman puluhan tahun di dunia- 429 persilatan, dapat melihat bahwa bocah ini mempunyai tulang
baik darah bersih, suatu dasar yang bagus untuk berlatih
silat. Ia juga dapat merasakan bahwa banyak dari nadi dan
pembuluh besar dalam tubuh Han Cia Sing yang tertutup
dan kotor. Memang kerja berat dan makan yang tidak cukup
selama hampir setahun terakhir ini berpengaruh besar
terhadap perkembangan tubuh Han Cia Sing yang masih
remaja.
Lu Xun Yi segera menotok delapan titik penting di
tubuh Han Cia Sing yaitu nadi yang,yin,xian,cen,ren,tu,
chung dan han kemudian menyalurkan tenaga dalam untuk
membersihkannya.
Hawa panas yang merasuk dengan kuat sekali ini
membuat Han Cia Sing tersadar dari pingsannya.
"Atur napasmu!" kata Lu Xun Yi yang tengah
menyalurkan tenaga ketika menyadari Han Cia Sing telah
siuman dari pingsannya.
Han Cia Sing berusaha bernapas dalam secara teratur.
Pertama-tama ia mengalami kesulitan karena seluruh
tubuhnya terasa sakit, tapi ia tetap memaksakan diri. Hawa
tenaga panas yang disalurkan kepadanya terasa begitu
nyaman, membuatnya merasa segar kembali perlahan-lahan
seperti seorang yang mandi air hangat. Han Cia Sing bahkan
bisa merasakan ada gumpalan dingin yang sedang dipaksa
oleh tenaga hangat itu bergerak menuju kerongkongannya.
Tak lama kemudian Han Cia Sing memuntahkan darah- 430 berwarna hitam, pertanda darah kotor dalam tubuhnya sudah
dapat dikeluarkan. Ia merasa tubuhnya jauh lebih segar,
bahkan paling segar selama setahun belakangan ini.
Han Cia Sing menoleh kepada orang yang telah
menolong nyawanya untuk mengucapkan terima kasih. Ia
sama sekali tidak menyangka bahwa yang menolongnya
adalah seorang biksu setengah baya yang berwajah welas
asih dan bermata setenang telaga. Pakaian biksunya
sederhana sekali dan bahkan boleh dikatakan lusuh.
"He-sang yang budiman, terima kasih telah
menyelamatkan nyawaku. Terimalah hormatku" kata Han
Cia Sing sambil berlutut menyembah.
Lu Xun Yi buru-buru membangunkan Han Cia Sing.
"Tidak perlu terlalu sungkan. Semua sudah diatur
oleh langit. Budha maha pengasih manusia tentu harus
saling menolong" kata Lu Xun Yi
"Bolehkah aku tahu nama paman he-sang?" tanya
Han Cia Sing.
"Apakah nama itu penting bagimu?" Lu Xun Yi balik
bertanya
"Nama memang tidak penting, tapi hutang nyawa
harus dibalas. Bagaimana aku bisa membalas jika aku tidak
tahu siapa yang menolongku" jawab Han Cia Sing.
Lu Xun Yi tertawa mendengar jawaban cerdas ini. Ia
menjadi suka dan merasa berjodoh dengan Han Cia Sing.- 431 "Namaku Lu Xun Yi, seorang biksu dari Shaolin.
Sekarang aku ganti bertanya kepadamu, siapa namamu?"
tanya Lu Xun Yi
"Aku bermarga Han namaku Cia Sing. Aku berasal
dari kotaraja" kata Han Cia Sing sambil menjura.
Lu Xun Yi yang melihat sikap dan tatakrama Han Cia
Sing yang sopan, dapat menduga bahwa pastilah ia bukan
anak rakyat biasa.
"Cia Sing, boleh aku tahu siapa ayahmu?" tanya Lu
Xun Yi
"Ayahku Si Men Ciang Cin Han Kuo Li" jawab Han
Cia Sing jujur tanpa ada maksud menyombongkan diri.
"Oh? Benarkah? Lalu ada hubungan apa engkau
dengan Han Sing dan Han Kuo Jia?" tanya Lu Xun Yi
terkejut
"Mereka adalah mendiang kakek dan pamanku"
jawab Han Cia Sing.
"Amitabha, langit memang benar-benar telah
mempertemukan kita!" kata Lu Xun Yi sambil
merangkapkan tangan dan menunduk penuh sukacita. Han
Cia Sing keheranan melihat biksu setengah baya ini bisa
mengenali paman dan kakeknya yang sudah meninggal.
Lu Xun Yi yang melihat Han Cia Sing terheran-heran,
akhirnya menceritakan kepadanya kisah puluhan tahun yang
lampau, saat kaisar Tai Zong Li Shi Ming masih menjadi- 432 seorang pangeran. Ketika itu kekaisaran Tang masih baru
berdiri dan pemberontakan masih berkobar di mana-mana.
Banyak daerah masih mengakui kekuasaan kekaisaran
dinasti Sui dan tidak mau runduk kepada dinasti yang baru.
Salah satunya yang paling kuat adalah Wang Shi Cong dan
keponakannya Wang Ren Ce. Pangeran Li Shi Ming dalam
usahanya memadamkan pemberontakan ini menyamar
menjadi rakyat biasa dan menyusup ke kota Luo Yang yang
menjadi markas pemberontak Wang Shi Cong untuk
memata-matai. Sayang sekali penyamarannya terbongkar
dan ia diburu-buru oleh prajurit Wang Shi Cong.
Beruntunglah seorang pendekar murid Shaolin bernama
Guan Yu Er menyelamatkannya dan membawanya ke
Shaolin.
Pasukan Wang Shi Cong dan Wang Ren Ce yang
terus mengejar akhirnya berhasil mengetahui keberadaan
pangeran Li Shi Ming di Shaolin. Mereka mengepung rapat
kuil Shaolin dan memaksa mereka menyerahkan Li Shi
Ming atau kuil Shaolin akan dihancurkan. Fang-cang
Shaolin ketika itu memutuskan untuk menyelamatkan Li Shi
Ming. Tiga belas biksu paling berbakat mengawal Li Shi
Ming keluar melalui hutan pagoda turun dari gunung Song
San. Sayang sekali, gerakan rahasia ini tercium oleh Wang
Ren Ce yang segera mengejar dengan pasukannya.
Tiga belas biksu di bawah pimpinan Guan Yu Er
menghadang ratusan prajurit Wang Ren Ce untuk
membukakan jalan lolos bagi Li Shi Ming. Pertempuran- 433 sengit pecah di hutan pagoda, puluhan biksu Shaolin gugur
ketika itu dalam usaha melindungi pangeran Li Shi Ming.
Untunglah pada saat-saat genting, Li Shi Ming yang telah
bertemu dengan pasukan induk kerajaan Tang yang
dipimpin Han Sing, balik membantu para biksu Shaolin dan
mengalahkan pasukan Wang Ren Ce. Kedua pimpinan
pemberontak, Wang Shi Cong dan Wang Ren Ce terbunuh
dalam pertempuran itu dan akhirnya pemberontak berhasil
dikalahkan.
Kuil Shaolin mendapat penghargaan besar dari kaisar
Gao Zu atas jasanya menyelamatkan pangeran Li Shi Ming
dan ikut membantu memadamkan pemberontakan. Lu Xun
Yi adalah salah satu dari ketiga belas biksu yang mengawal
Li Shi Ming di hutan pagoda dan juga yang termuda.
Pangeran Li Shi Ming yang merasa cocok berteman dengan
Lu Xun Yi, meminta Fang-cang Shaolin untuk
memperkenankan Lu Xun Yi turun gunung dan menjadi
pengawal pribadinya di istana. Fang-cang Shaolin
menyetujuinya dan akhirnya Lu Xun Yi mengikuti pangeran
Li Shi Ming ke kota terlarang sebagai pengawalnya. Ketika
itu Lu Xun Yi baru berusia belasan tahun, hanya sedikit
lebih tua dari Han Cia Sing sekarang. Tidak terasa puluhan
tahun telah berlalu, bahkan kaisar Tai Zong Li Shi Ming
sudah meninggal sepuluh tahun lebih. Lu Xun Yi sendiri
sepeninggal kaisar Tai Zong, kembali ke Shaolin,
memperdalam ajaran Budha dan lebih banyak menyebarkan
ajaran Budha ke daerah utara.- 434 Namanya seperti hilang ditelan waktu, padahal dulu
ia begitu terkenal di kotaraja sebagai salah satu dari San Ta
Wang Pao (Tiga Besar Pengawal Kerajaan). Ilmu Telapak
Pasir Besinya yang amat luar biasa sangat terkenal di
kotaraja. Ilmu ini adalah salah satu ilmu rahasia Shaolin
yang diturunkan khusus kepada Lu Xun Yi agar bisa
memperdalamnya. Latihan yang dilalui amat keras untuk
menempa kedua telapak tangan agar bisa sekeras besi. Cara
latihan yang dipakai adalah melumuri kedua tangan dengan
minyak anti panas, kemudian menggoreng pasir besi yang
dimasak dalam kuali dengan menggunakan kedua tangan!
Tentu saja tidak semua orang bisa menguasai ilmu
hebat ini. Lu Xun Yi termasuk yang beruntung bisa
menguasainya pada usia yang terbilang muda. Semua
pendekar dan orang gagah di kotaraja kagum kepadanya
karena kehebatan dan kerendahan hatinya. Salah satu teman
dekatnya adalah mendiang kakak tertua Han Kuo Li yaitu
Han Kuo Jia, bahkan mereka berdua sempat mengangkat
diri menjadi saudara. Sayang sekali, umur Han Kuo Jia tidak
panjang. Ia gugur dalam pertempuran memadamkan
pemberontakan di utara, sebagai usaha terakhir
menaklukkan sisa-sisa dinasti Sui. Tentu saja Lu Xun Yi
sangat berduka atas kematian saudara angkatnya ini. Ia
merasa belum sempat membalas kebaikan Han Kuo Jia
kepadanya. Sekarang tanpa sengaja, dalam perjalanan
menyebarkan ajaran Budha, ia bisa bertemu dengan
keponakan saudara angkatnya, sehingga boleh dikata Han
Cia Sing adalah keponakan angkatnya juga!- 435 Han Cia Sing yang mendengarkan cerita Lu Xun Yi,
dapat merasakan gejolak kegembiraan pada diri paman
angkatnya itu. Meski secara tampak luar wajah Lu Xun Yi
tetap tenang seperti telaga, tapi saat membicarakan
mendiang pamannya Han Kuo Jia, ia dapat melihat sinar
semangat dalam mata Lu Xun Yi. Tentu persaudaraan
mereka begitu erat dahulu, sehingga sampai sekarang pun
masih terkenang dalam lubuk hati. Han Cia Sing pun ikut
menceritakan kisah hidupnya sampai ia terdampar di utara.
Han Cia Sing dapat bercerita jujur apa adanya kepada Lu
Xun Yi karena ia merasakan biksu setengah baya ini berhati
luhur dan berjiwa terbuka, sepertinya ia sudah mengenalnya
bertahun-tahun.
Lu Xun Yi merangkapkan kedua tangannya setelah
selesai mendengarkan Han Cia Sing bercerita.
"Amitabha, cui-kuo, cui-kuo. Keinginan manusia
tiada akhir sehingga penderitaan tiada akhir. Sing-er, setelah
ini kau hendak kemanakah? Apakah kau akan kembali ke
benteng Teng?" tanya Lu Xun Yi
Han Cia Sing ragu-ragu hendak menjawab. Semua
pasukannya sudah tewas di tangan orang bertopeng tadi.
"Paman Lu, aku akan kembali ke benteng Teng untuk
mengabarkan berita buruk ini. Di manakah orang yang telah
mencelakai kami?"
Lu Xun Yi membawa Han Cia Sing ke tempat ia
bertarung tadi bertarung. Bagaimanapun orang bertopeng itu- 436 telah menewaskan semua rombongan Han Cia Sing, tentu ia
harus membawa sedikit bukti. Han Cia Sing memeriksa
orang bertopeng dengan teliti untuk mengetahui apakah ada
tanda pengenal atau tidak. Hasilnya nihil, orang itu sama
sekali tidak membawa apapun kecuali pedangnya. Han Cia
Sing yang baru pertama kali ini memeriksa mayat,
memberanikan diri untuk membuka penutup wajah orang
itu. "Oh!!!" teriak Han Cia Sing kaget
"Sing-er, mengapa wajahmu pucat sekali?" tanya Lu
Xun Yi heran
"Ia...ia adalah komandan pasukan berkuda Lin Ying
Dan!" kata Han Cia Sing yang masih belum hilang
kekagetannya.
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang benar, orang bertopeng yang telah tergeletak
tak bernyawa itu adalah Lin Ying Dan, sang komandan
pasukan merah. Teng Cuo Hui yang sudah tidak sabar lagi
menunggu kematian Han Cia Sing secara perlahan,
merancang siasat keji ini untuk membunuh Han Cia Sing.
Tapi yang membuat Han Cia Sing benar-benar kaget dan
tidak habis pikir, jika benar Lin Ying Dan yang mencoba
membunuhnya, berarti ia juga yang menghabisi satu desa
Chen-mu! Benar-benar kejam dan tidak masuk di akal bagi
orang yang masih berpikiran waras. Han Cia Sing yang
berpikir terlalu keras, menyebabkan luka dalam di tubuhnya- 437 kambuh lagi. Ia nyaris ambruk jika Lu Xun Yi tidak segera
memapahnya.
"Sing-er, tenangkan dirimu dan pusatkan pikiranmu.
Jangan mencoba untuk berpikir, kosongkan saja pikiranmu"
kata Lu Xun Yi sambil menyalurkan tenaga dalam ke
punggung Han Cia Sing.
Sejenak kemudian, Han Cia Sing pulih kembali, tapi
luka dalamnya di rubuhnya masih butuh waktu untuk
sembuh. Lu Xun Yi yang melihat gelagat tidak baik dalam
pasukan benteng Teng, menganjurkan agar Han Cia Sing
tidak kembali ke pasukan Teng Cuo Hui.
"Kita tidak tahu apakah Jenderal Teng mengetahui hal
ini atau tidak tapi yang jelas ada seseorang di benteng Teng
yang menginginkan nyawamu. Tidak seharusnya kau
kembali ke sana" saran Lu Xun Yi
Han Cia Sing mengangguk menyetujui, tapi ke mana
lagi ia harus pergi? Ia tidak ingin kembali ke kotaraja dan
bertemu dengan ibu tiri yang dibencinya itu. Benteng Teng
pun juga bukan merupakan tempat yang aman.
"Paman Lu, bagaimana jika aku ikut paman saja
berkeliling di utara?" tanya Han Cia Sing tiba-tiba
Lu Xun Yi mula-mula terkejut, tapi kemudian ia
tersenyum senang.
"Amitabha, san-cai, san-cai. Dulu aku mengangkat
saudara dengan mendiang pamanmu, maka kau boleh- 438 dianggap keponakanku juga. Sekarang langit telah
memberikan kita kesempatan bersama, kita harus
menggunakannya baik-baik" kata Lu Xun Yi sambil
tersenyum
Maka, mulai keesokan harinya setelah menguburkan
semua yang meninggal dengan layak, Han Cia Sing
mengikuti Lu Xun Yi berkelana di utara. Sepanjang hari
mereka berjalan, jika bertemu desa mereka akan berhenti
untuk mengajarkan Budha dan meminta sedikit derma dan
makanan. Malam hari mereka bermalam di rumah-rumah
penduduk desa jika ada, jika tidak mereka bermalam di
tanah terbuka sambil membuat api unggun.
Hati Han Cia Sing yang selama setahun ini keras dan
penuh kebencian, lama-lama melunak setiap hari mendapat
siraman doa dari paman angkatnya yang biksu ini. Bahkan
tidak hanya mengajarkan ajaran Budha kepada keponakan
angkatnya itu, tapi Lu Xun Yi juga mengajarkan dasar-dasar
pelajaran Yi Cin Cing (Ilmu Penggeser Urat) warisan Biksu
Agung Da Mo kepada Han Cia Sing.
Sebenarnya ilmu Yi Cin Cing tidak boleh diwariskan
kepada orang di luar Shaolin, tapi tujuan semula dari Lu Xun
Yi i mengajarkan Yi Cin Cing adalah untuk memulihkan
kesehatan Han Cia Sing yang buruk setelah setahun tinggal
di benteng Teng, lagipula ia tidak mengajarkan satu jurus
Shaolin pun kepada Han Cia Sing. Tapi setelah melihat
bakat dan kecerdasan Han Cia Sing yang begitu cepat
menyerap ilmu hebat ini, Lu Xun Yi memutuskan untuk- 439 mengajarkan bagian-bagian dasarnya saja. Itupun ia tidak
mengatakan pada Han Cia Sing bahwa ilmu yang
diajarkannya itu adalah Ilmu Penggeser Urat yang amat
diminati oleh semua orang di dunia persilatan. Sebenarnya
apakah yang menyebabkan Ilmu Penggeser Urat ini menjadi
rebutan para pendekar dunia persilatan?
Yi Cin Cing diciptakan oleh Biksu Agung Da Mo dan
diwariskan turun-temurun kepada murid-murid Shaolin
untuk memperkuat tubuh mereka. Dasar dari Yi Cin Cing
memang adalah memperkuat semua tulang dan otot tubuh
sehingga tenaga dalam dapat disalurkan dengan mudah ke
mana saja dengan cepat. Biksu Agung Da Mo yang datang
ke kuil Shaolin pada tahun 520, melihat bahwa para biksu di
sana cepat lelah setelah bekerja dan berlutut berdoa seharian
sehingga ia menciptakan suatu ilmu yang dapat dengan
cepat memulihkan kesegaran tubuh. Ilmu ini sangat berguna
dan jika dilatih dengan benar dapat membuat orang selalu
sehat dan tidak mudah cepat tua. Sedangkan penggunaannya
dalam ilmu silat adalah dapat membuat orang yang
melatihnya mengendalikan seluruh urat dan otot sehingga
akan lebih mudah mempelajari ilmu lainnya karena semua
otot dan urat telah terlatih dengan baik. Juga dalam
pertarungan sesungguhnya, tubuh akan lebih cepat pulih dari
luka dalam sehingga memberi kesempatan lebih besar untuk
mengalahkan lawan. Betapa beruntungnya Han Cia Sing
yang tidak mencari atau meminta tapi malah mendapat
pelajaran sepuluh bagian dasar Yi Cin Cing!- 440 Lu Xun Yi sendiri sebenarnya bukanlah seorang ahli
ilmu Penggeser Urat. Ia hanya mendapatkan bagian-bagian
dasar saja dari gurunya, Fang Cang Cen Ren yang memang
menguasai Yi Cin Cing dengan baik sekali. Lu Xun Yi lebih
menguasai ilmu
Telapak Pasir Besi yang memang sudah dilatihnya
sejak masih sangat muda. Tapi bagaimanapun juga, Han Cia
Sing yang cerdas beruntung sekali mendapatkan bimbingan
langsung dari seorang murid utama Shaolin untuk
mempelajari Ilmu Penggeser Urat ini. Tanpa disadari oleh
Han Cia Sing, tenaga dalamnya telah meningkat pesat. Ia
merasakan tubuhnya sekarang jauh lebih segar namun
berpikir hanya mungkin karena jarang bekerja berat setelah
meninggalkan benteng Teng sehingga kesehatannya jauh
lebih baik. Han Cia Sing sama sekali tidak menyadari ilmu
sakti yang telah dipelajarinya dan takdir besar yang
membentang di hadapannya...
Bersambung- 441 CARA PEMESANAN
Cara pembelian buku via pemesanan website:
? Isi formulir pemesanan dengan lengkap di website
www. kisahsilat.com
? Klik tombol submit
? Anda akan mendapat nomor urut pemesan
? Lakukan transfer uang sejumlah Rp 25.000 (sudah
termasuk ongkos kirim) plus nomor urut anda ke
nomor rekening BCA 0110858035 atas nama Andy
Soeprijo. Contoh: anda mendapat nomor urut 5 maka
jumlah yang harus anda transfer adalah sejumlah Rp
25.005
? Pengiriman buku ke alamat anda akan dilaksanakan
maksimal 3 hari setelah kami menerima transfer dari
anda.
? Pengiriman buku dilakukan melalui paket tercatat
dengan waktu pengiriman sekitar 3-4 hari maksimal
untuk luar Jakarta dan 1-2 hari maksimal untuk
Jabotabek.
? Anda dapat mengajukan pengaduan ke
pemesanan@kisahsilat.com bila 10 (sepuluh) hari
setelah transfer dilakukan anda belum menerima
pesanan buku anda atau paket yang anda terima
mengalami kerusakan.- 442 Cara pembelian buku via sms :
? Lakukan transfer uang sejumlah Rp 25.000 (sudah
termasuk ongkos kirim) plus nomor unik yang anda
pilih sendiri ke nomor rekening BCA 0110858035
atas nama Andy Soeprijo. Contoh anda melakukan
transfer Rp 25.090 maka 90 adalah nomor unik yang
anda pilih sendiri.
? Kirim sms ke nomor 0856-7843257 dengan alamat
pengiriman lengkap sebagai berikut : ketik
nama_alamat pengiriman lengkap_kode pos_jumlah
uang yang ditransfer_tanggal transfer
Contoh : Budiman_Jl Tanah Abang IH/70 Jakarta
Pusat_10550_ 38090.251204
? Pengiriman buku ke alamat anda akan dilaksanakan
maksimal 3 hari setelah kami menerima transfer dari
anda ? Pengiriman buku dilakukan melalui paket tercatat
dengan waktu pengiriman sekitar 3-4 hari maksimal
untuk luar Jakarta dan 1-2 hari maksimal untuk
Jabotabek. Anda dapat mengajukan pengaduan ke
pemesanan@kisahsilat. com bila lO(sepuluh) hari
setelah transfer dilakukan anda belum menerima
pesanan buku anda atau paket yang anda terima
mengalami kerusakan- 443 Mengenai Penulis
Chen Wei An dilahirkan di kota dingin Malang sekitar
tigapuluh tahun yang lalu. Perkenalannya dengan cerita silat
di mulai pada usia sangat muda sekitar 5 tahun, bukan
melalui buku-buku serial silat tapi melalui video format
Betamax. Video silat jaman itu ada dua macam, yang
pertama edisi resmi berbahasa Inggris dengan teks
terjemahan Indonesia sedangkan yang kedua edisi bajakan
berbahasa Mandarin dengan teks terjemahan Inggris yang
merupakan hasil rekaman serial bersambung yang diputar di
stasiun tv Singapura. Beruntunglah Chen Wei An kecil
mendapatkan tontonan edisi bajakan karena dengan
demikian secara tidak langsung mendapatkan pelajaran
Mandarin lisan dan Inggris tulisan secara langsung dan
gratis!
Film serial silat pertama yang dilihat adalah The Twin
Heroes / Jie Dai Shuang Jiao karangan Khu Lung yang
dibintangi oleh Chen Siao Hao dan dibuat oleh ATV th
1978. Sejak saat itu Chen Wei An kecil menjadi tergila-gila
pada film silat dan kebetulan pula seorang pamannya juga
mempunyai hobi yang sama sehingga cocoklah kedua
paman keponakan ini dalam melahap habis hampir semua
serial silat antara lain : Shi Tiau Ing Siung (Kisah Pendekar
Rajawali), Shi Tiau Sia Li (Kisah Rajawali dan Pasangan
Pendekar), Tien Jan Pien (Pendekar Ulat Sutra), Yi Tien Tu
Lung Ci (Pedang Pembunuh Naga), Tien Lung Pa Pu- 444 (Pendekar Negeri Tayli), Chu Liu Siang (Pendekar Harum),
Lu Siao Feng (Pendekar Empat Alis) dan lain-lainnya.
Selama periode 1982-1988 hampir tiap hari Chen Wei An
kecil menghabiskan tidak kurang dari 3 kaset video perhari.
Perlu diingat pada jaman itu format Betamax dapat
mencapai waktu putar dua jam per kaset sehingga tidak
kurang enam jam sehari dihabiskan untuk menonton film!
Lepas tahun 1988, pamannya pindah ke kota lain
sehingga kegiatan menonton menjadi berkurang. Pada tahun
1995-1996 ketika Chen Wei An meneruskan kuliah di
Surabaya, banyak televisi swasta yang menyiarkan film
serial silat yang pernah ditontonnya pada masa kecil.
Timbullah keinginan dan ide untuk menulis cerita silat
namun sayang kesibukan menulis tugas akhir disusul
kemudian bekerja di sebuah perusahaan internasional di
Jakarta membuat keinginan itu tidak jadi terlaksana. Baru
setelah seorang temannya mengirimkan cerita silat Kho Ping
Ho dalam bentuk file MS Word, kenangan Chen Wei An
akan cerita silat kembali bangkit. Keinginan untuk
menuliskan cerita silat yang sudah lama terpendam kembali
berkobar, apalagi mengingat sudah sejak meninggalnya Kho
Ping Ho tahun 1994, rimba persilatan Indonesia tidak lagi
diramaikan oleh munculnya pendekar-pendekar baru.
Mungkin memang sudah saatnya rimba persilatan digebrak
oleh munculnya pendekar-pendekar persilatan dan jurusjurus yang baru!
Jakarta, Januari 2005- 445 -- 446 -- 1 -- 2 Kolektor E-Book
Aditya Indra Jaya
Foto Sumber oleh Awie Dermawan
Editing oleh D.A.S- 3 Rimba Persilatan Naga dan Harimau
(Lung Hu Wu Lin)
Buku Kedua
oleh:
Chen Wei An- 4 Hak Cipta 2005, Chen Wei An
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau keseluruhan isi tanpa seijin penulis
www.kisahsilat.com
Cetakan pertama 2005- 5 didedikasikan untuk istri saya, Hwee Ling- 6 Daftar Isi
Sambutan Lung Hu Wu Lin ......................................................................7
Latar Belakang Sejarah ...........................................................................10
Lung Hu Wu Lin.......................................................................................12
(Rimba Persilatan Naga dan Harimau) ...................................................12
12. Bayang-bayang Iblis ...........................................................................12
13. Kedamaian Abadi ...............................................................................55
14. Air Lebih Kental dari Darah.............................................................91
15. Manusia Dewa...................................................................................117
16. Api Langit Guntur Utara.................................................................158
17. Langit Cinta Tak Bertepi Lautan Dendam Tak Berdasar ...........196
18. Empat Orang Baik dan Tiga Raja Iblis Neraka ............................231
19. Terkepung .........................................................................................273
20. Setan Darah.......................................................................................314
21. Keputusan..........................................................................................355
22. Memancing Naga Langit Turun ke Bumi ......................................388
23. Dendam Lama Hutang Baru ...........................................................431
24. Bukit Perangkap Harimau ..............................................................479- 7 Sambutan Lung Hu Wu Lin
Awal abad duapuluh orang Indonesia khususnya Peranakan
Tionghoa mulai mengenal buku-buku klasik Tiongkok
seperti Sie Jin Kui, Sam Kok ataupun Shui Hu Chuan lewat
bacaan berbahasa Melayu Tiongkok atau Melayu Rendah.
Tokoh-tokoh yang menjadi pelopor penggerak karya
sastera Tiongkok ini adalah Lie Kim Hok. Lie Tek Ho, Lie
In Eng, Tjie Tjin Koei, OKT (Oey Kim Tiang), Yoe Soen
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Poe alias Bu Beng San Djin alias Yoes Prd. Gan K.L (Gan
Kok Liang), Gan K.H (Gan Kok Hwie) dan akhirnya Kho
Ping Hoo. Ketika generasi ini telah lewat, Chen Wei An
muncul sebagai pendatang baru yang mewakili generasi
muda. Lahirnya Lung Hu Wu Lin jilid pertama pada tahun
2004 lalu dari pengarang Chen Wei An ini cukup
menggembirakan bagi kita. Karena berbeda dengan generasi
sebelumnya kecuali Kho Ping Hoo, karya Chen ini bukan
karya terjemahan tapi buah tangannya sendiri.
Luar biasanya sdr. Chen Wei An mengaku tidak
pernah membaca cersil terjemahan dari penerjemah senior
seperti OKT ataupun Gan K.L. Latar belakang
pengalamannya "bersentuhan" dengan silat didapat justru
lewat buku-buku Kho Ping Hoo serta film-film video.
Kemudian ketika dia mencoba menulis dan lahirlah Lung
Hu Wu Lin, sambutan pembacanya cukup baik. Buku yang
kini ada di tangan Anda merupakan seri keduanya. Lahirnya- 8 penulis baru patut mendapat sambutan dari para penggemar
buku cersil telah banyak "kehilangan" bacaan silat setelah
sejumlah penerjemah senior meninggal dunia.
Tetapi sayang, penggunaan ejaan Pin-Yin yang
digunakan Chen Wei An agak sedikit asing karena selama
ini masyarakat terbiasa dengan dialek Hokkian. Tapi
diharapkan pemakaian ejaan ini membuat penggemar cersil
Indonesia jadi biasa. Selamat menikmati.
Marcus A.S- 9 Terima kasih dari Penulis
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan banyak terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan
dan dorongan kepada saya sehingga saya dapat
menyelesaikan buku pertama dan kedua Lung Hu Wu Lin
ini. Seluruh keluarga besar dan teman yang telah
mendukung saya dengan begitu bersemangat, papa dan
mama saya di Malang, istri saya Hwee Ling yang selalu setia
dan selalu tidak lupa adalah Tuhan yang telah memberikan
saya kemampuan untuk menulis buku ini.
Tidak lupa juga terima kasih atas dukungan bapak
Marcus dari majalah Klasik yang telah bersedia membantu
dalam percetakan dan memberikan kata pengantar,
Tungning pemilik website serialsilat.com yang ikut
mempromosikan buku ini, bapak Andy Wijaya pemilik toko
buku komik Indonesia yang amat berdedikasi terhadap
bangkitnya kembali komik nasional, ibu Eunike dan Lia di
Bandung yang turut mempromosikan buku pertama dan
keponakan saya Andre dan Diana, yang telah membuat
website kisahsilat.com begitu menarik. Terima kasih untuk
kalian semua.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada para
pecinta cerita silat yang sudah mengikuti buku pertama.
Semoga buku kedua ini akan- 10 Latar Belakang Sejarah
alam kisah Lung Hu Wu Lin. kita tidak dapat
melepaskan diri dari sosok Rahib Agung Da Mo yang
merupakan seorang Bodhidarma dari India, la datang ke
daerah China Tengah sekitar tahun 520 M. yang kala itu
terpecah dalam banyak kerajaan yang dikenal sebagai
periode Dinasti Utara Selatan (Nan Pei Chao). Salah satu
kerajaan yang dikunjunginya adalah kerajaan Liang yang
saat itu dipimpin oleh Kaisar Wu yang menganut agama
Budha secara taat. Hanya sayang sekali, sikap Kaisar Wu
yang masih terikat dengan dunia dan menginginkan pahala
untuk perbuatan baiknya, membuat Rahib Da Mo menyadari
sang kaisar mengerti kulit tapi tidak mengerti inti ajaran
sehingga Rahib Da Mo memutuskan meninggalkan kerajaan
Liang.
Biara Shaolin di daerah Songshan kala itu sudah
mempunyai banyak pengikut dan terkenal karena ajaran
Budhanya sehingga Rahib Da Mo memutuskan untuk
mengunjungi biara Shaolin. Dalam perjalanan di tepian
sungai Yang Tze. Rahib Da Mo tidak menemukan satu
tukang perahu pun. Ia mencabut seikat rumput di tepian
sungai, mengikatnya menjadi satu.mengapungkannya di
sungai dan menjadikannya pijakan untuk menyeberangi
sungai Yang Tze yang lebarnya beberapa ratus meter! Hal
ini menjadikan nama Rahib Agung Da Mo sebagai legenda
D- 11 dalam dunia persilatan atas kehebatan ilmunya yang luar
biasa.
Setibanya di kuil Shaolin. Rahib Da Mo mengajarkan
Zen yang meliputi meditasi kepada para biksu Shaolin.
Sayang kebanyakan tubuh para biksu lemah sehingga tidak
tahan berdoa dan bermeditasi lama. Rahib Da Mo kemudian
mulai mengajarkan ilmu silat dan tenaga dalam untuk
latihan memperkuat tubuh kepada para biksu Shaolin di
antaranya yang terkenal adalah ilmu Sutra Penggeser Urat
(Yi Cin Cing) dan ilmu Pembersih Sumsum (Si Sui Cing).
Rahib Da Mo juga memilih seorang penerus bernama
Ji Guang yang kemudian diberi nama Budha Hui Ke. Ialah
yang mewarisi semua ilmu silat hebat milik Rahib Da Mo
dan mengajarkannya kepada biksu Shaolin yang selanjutnya
berkembang menjadi ribuan jenis ilmu tenaga, tangan
kosong dan senjata sehingga ada pepatah yang mengatakan
"Semua aliran silat berasal dari Shaolin" yang tentu tidak
sepenuhnya benar karena sebelum kedatangan Rahib Da Mo
ke China Tengah pun. ilmu silat sudah berkembang pesat di
sana. Terakhir, mengenai dua kitab yang ditulis oleh Rahib
Da Mo yaitu Sutra Penggeser Urat dan Ilmu Pembersih
Sumsum, yang tertinggal di Shaolin hanyalah Yi Cin Cing
sedangkan Si Sui Cing raib tak tentu rimbanya setelah
kematian biksu Hui Ke.- 12 Lung Hu Wu Lin
(Rimba Persilatan Naga dan Harimau)
12. Bayang-bayang Iblis
uasana musim semi tahun ini sebenarnya sama
meriahnya dengan tahun-tahun sebelumnya, akan
tetapi bagi Han Kuo Li suasana terasa agak lain. Sedih dan
tidak ceria seperti biasanya. Meskipun perayaan menyambut
musim semi tetap dilakukan dengan meriah tapi Han Kuo Li
masih belum bisa menghilangkan rasa duka karena
kehilangan istri tercintanya. Pai Lien dan juga anak
keduanya. Han Cia Sing yang diusir jauh ke utara. Han Kuo
Li merasa gagal sebagai seorang ayah dan kepala rumah
tangga. Belum lagi beberapa bulan yang lalu. seluruh
keluarga mendiang Jenderal Besar Sie Ting San dihukum
mati karena siasat keji Permaisuri Wu dan kasim Huo Cin.
Meskipun sudah berusaha mati-matian mengajukan petisi
kepada Kaisar bersama beberapa menteri lain. tapi
persekongkolan keji di kalangan istana lebih kuat daripada
permohonan mereka. Apalagi bukti-bukti yang diajukan
begitu meyakinkan sehingga hukuman mati yang dijatuhkan
di kota Kai Feng tak terhindarkan lagi
Ye Ing bukannya tidak merasakan perubahan pada
diri Han Kuo Li hanya saja ia sendiri tidak bisa berbuat apaapa untuk menghibur. Malah sebenarnya ia merasa senang
S- 13 Pai Lien dan Han Cia Sing sudah tidak ada lagi di
kediamanan keluarga Han. Sejak kepergian Han Cia Sing ke
utara. Ye Ing benar-benar merasakan kehidupan sebagai
seorang nyonya yang sejati tanpa harus berbagi dengan
orang lain. Jadi bagaimana ia harus menghibur Han Kuo Li
sementara ia sendiri merasakan kegembiraan karena
ketidakhadiran Pai Lien dan Han Cia Sing?
Han Cia Pao sendiri sekarang sudah menjadi seorang
pemuda yang gagah. Ilmu tombak dan sastranya sudah
sangat maju karena kecerdasannya dan giat berlatih, la kini
lebih sering berada di luar rumah bersama teman-teman
sesama bangsawan, entah berburu atau pun berlatih silat dan
membaca sastra. Suasana rumah kediaman keluarga Han
tampaknya tidak begitu menarik lagi bagi Han Cia Pao yang
sudah beranjak dewasa. Ketiga adik gadisnya yang masih
kecil-kecil tidak bisa mengikuti pola kehidupan Han Cia Pao
yang sudah beranjak dewasa, sehingga ia jarang sekali
berlama-lama di rumahnya. Ini menimbulkan kesepian yang
lebih mendalam lagi bagi Han Kuo Li apalagi sudah hampir
dua tahun sejak kepergian Han Cia Sing ke utara.
Pagi hari itu Han Kuo Li sedang berlatih ilmu tombak
sendirian di halaman belakang, la berlatih dengan serius
sekali, memutar-mutar tombak cagaknya sehingga
menimbulkan bunyi angin gemuruh. Daun-daun kering yang
berserakan di halaman ikut beterbangan karena kuatnya
angin tenaga yang dikerahkan Han Kuo Li. Setelah beberapa
lama mengerahkan tenaga memutar tombak. Han Kuo Li- 14 menghentak keras mengayunkan tombak cagaknya ke
depan. Seluruh daun yang rontok berputar mengikuti arah
tenaga tombak, meluncur dengan deras dan menancap
masuk ke dalam bebatuan taman! Sungguh suatu
demonstrasi tenaga dalam yang luar biasa dari Si Men Ciang
Cin Han Kuo Li.
Pada saat Han Kuo Li sedang mengatur napas
kembali untuk menenangkan diri. tiba-tiba seorang pelayan
tua berlari tergopoh-gopoh ke dalam halaman belakang
"Tuan. celaka tuan. sesuatu menimpa tuan muda
kedua!!" teriaknya
"Paman Tung. katakan apa yang terjadi dengan
tenang" kata Han Kuo Li.
Pelayan bernama paman Tung itu berhenti sebentar
untuk mengatur napas.
"Tuan besar, ada utusan dari utara yang memberikan
kabar tentang keadaan tuan muda kedua, kelihatannya tidak
begitu baik"
Han Kuo Li segera memberikan tombak cagaknya
kepada paman Tung dan berlari ke aula depan. Sesampainya
di sana ternyata memang sudah menunggu seorang tamu
berpakaian tentara biru lengkap dengan topi lebar.
Wajahnya tampak tegang dan serius. Ia segera maju menjura
begitu melihat kedatangan Han Kuo Li di aula depan.- 15 "Hamba. Cuo Chung Hao kepala pasukan tombak
dari benteng Teng di Tong Liao memberikan hormat kepada
Jenderal Han Kuo Li"
"Tidak perlu terlalu sungkan Perwira Cuo. Ada kabar
apakah yang hendak disampaikan sehingga anda jauh-jauh
datang dari utara? Apakah ini berkenaan dengan Sing-er?"
tanya Han Kuo Li dengan tidak sabar.
Cuo Chung Hao ragu-ragu sejenak, kemudian
mengeluarkan sebuah surat dari balik bajunya. Dengan
hormat ia memberikannya kepada Han Kuo Li.
"Jenderal Han. ini adalah surat resmi yang ditulis oleh
Jenderal Teng Cuo Hui. Anda akan mengerti setelah
membacanya"
Han Kuo Li segera membuka surat yang disegel
dengan stempel Jenderal Teng Cuo Hui itu. Ia membacanya
baris perbaris dengan tegang, makin lama tangannya makin
gemetar dan wajahnya pucat. Para pelayan yang melihatnya
menjadi heran melihat perubahan yang terjadi pada diri
tuannya. Dari balik tirai di samping aula depan. Ye Ing dan
pelayannya yang sedari tadi mengintip dengan penuh rasa
ingin tahu. ikut menjadi heran.
Han Kuo Li sendiri setelah menyelesaikan membaca
surat itu. tidak kuat lagi untuk berdiri. Ia nyaris jatuh ke
lantai karena sudah tidak mampu lagi berdiri. Wajahnya
pucat sekali dan tak kuasa lagi menahan air mata yang jatuh
berderai. Han Kuo Li menengadah ke langit.- 16 "Pai Lien aku bersalah kepadamu. Aku bahkan tidak
bisa menjaga anak kita" kata Han Kuo Li dengan sedih
sekali sebelum akhirnya ia pingsan. Rupanya beban berat
beruntun selama dua tahun terakhir ini sudah tidak
tertahankan lagi bahkan oleh seorang jenderal besar seperti
Han Kuo Li.
Ye Ing yang melihat suaminya pingsan, segera keluar
menuju aula depan la segera memberikan perintah kepada
para pelayan untuk memapah Han Kuo Li masuk ke dalam
kamar Cuo Chung Hao hanya kebingungan melihat kejadian
yang berlangsung begitu cepat di depan matanya la hanya
bisa memungut surat dan Jenderal Teng yang jatuh dan
tangan Han Kuo Li saat pingsan tadi Ye Ing bergegas
menemui Cuo Chung Hao dan meminta maaf atas kejadian
barusan.
"Perwira Cuo. maafkan atas kejadian tadi. kiranya
suamiku tidak mampu menerima tekanan batin setelah
membaca surat yang perwira bawa Bolehkah saya
membacanya?" tanya Ye Ing.
"Saya kira isinya akan menyedihkan bagi Nyonya
Han" kata Cuo Chung Hao dengan penuh arti saat
memberikan surat itu kepada Ye Ing. Memang Cuo Chung
Hao sudah mengetahui bahwa bangsawan Ye adalah orang
yang sangat menginginkan kematian Han Cia Sing sehingga
ia sudah bisa menduga bahwa kabar kematian Han Cia Sing
tidak akan menyedihkan bagi Ye Ing.- 17 Perlahan-lahan Ye Ing membaca surat itu hingga
selesai Raut wajahnya berubah menjadi cerah, bahkan
gembira setelah selesai membaca surat itu. Reaksi Ye Ing
yang amat berbeda dan Han kuo Li ini sudah bisa ditebak
sebelumnya oleh Cuo Chung Hao sehingga ia tidak merasa
kaget sama sekali Ye Ing melipat surat tersebut setelah
selesai membacanya.
"Perwira Cuo. bolehkah saya tahu di mana anda
tinggal selama di kotaraja?"
"Saya menginap di kamp Pasukan Timur" jawab Cuo
Chung Hao.
"Baiklah Perwira Cuo. silakan anda kembali ke
tempat anda untuk beristirahat. Anda tentu lelah setelah
perjalanan jauh dari m.u.i. Nanti saya akan minta kepada
ayah saya agar mengunjungi anda untuk menyampaikan rasa
terima kasih" kata Ye Ing penuh arti.
Cuo Chung Hao menjura dan segera meninggalkan
kediaman keluarga Han dengan gembira. Ia mengerti
maksud dari kata-kata Ye Ing barusan. Tentulah nantinya
banyak hadiah yang akan didapatkan dari bangsawan Ye.
Namun yang paling menggembirakan Cuo Chung Hao
adalah kesempatan untuk dapat melihat-lihat kembali
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kotaraja setelah sekian lama tidak pernah datang ke kotaraja.
Ia sudah tidak sabar lagi untuk bersenang-senang di tempat
pelacuran dan berfoya-foya habis-habisan dengan hadiah
pemberian bangsawan Ye nanti!- 18 Sepeninggalnya Cuo Chung Hao. Ye Ing segera
memanggil para pelayan untuk mempersiapkan
perkabungan. Barang siapapun yang tidak mengetahui isi
hati Ye Ing yang sebenarnya, tentu mengira ia amat berduka
atas kematian Han Cia Sing karena wajah Ye Ing amat sedih.
Tentu saja ini hanya dibuat-buat saja karena sebenarnya
dalam hatinya Ye Ing bersorak gembira. Han Cia Sing
adalah duri dalam daging baginya selama ini. sekarang duri
ini sudah hilang bagaimana mungkin ia tidak bergembira?
Para pelayan juga disuruh untuk memanggil Han Cia Pao
yang sedang berburu di luar kotaraja. Hari itu semua pelayan
menjadi sibuk sekali namun mereka jarang sekali bicara
karena juga merasa sedih atas kematian tuan muda kedua
mereka. Selama tinggal di kediaman keluarga Han. Pai Lien
dan Han Cia Sing disukai para pelayan karena mereka selalu
baik dan ramah kepada para pelayan. Sekarang mereka
berdua sudah tiada pada usia muda. para pelayan merasa
amat kehilangan. Mereka semua mengeluh kepada langit,
mengapa orang baik selalu tidak berumur panjang?
Di tengah-tengah kesibukan para pelayan
mempersiapkan perkabungan itu. seorang pelayan muda
bernama Cen Li diam-diam menyusup keluar melalui pintu
belakang kediaman keluarga Han. Ia tidak diperhatikan oleh
para pelayan lain yang sedang sibuk menyiapkan upacara
perkabungan. Dengan langkah langkah lebar. Cen Li
bergegas menuju ke arah timur kotaraja. Kira-kira beberapa
li dari gerbang timur kotaraja. Cen Li berbelok ke kiri
menuju hutan yang ada di kaki bukit, la masuk beberapa- 19 jauh ke dalam hutan itu yang ternyata ada sebuah rumah
kayu yang cukup besar. Beberapa penjaga berwajah garang
dan menyandang golok tampak berjaga-jaga di sekitar
rumah kayu itu. Mereka yang melihat Cen Li datang segera
memberi tanda kepada beberapa penjaga untuk menghadang
Cen Li.
"Hei. marga Cen ada urusan apa lagi kau kemari?"
tanya seorang penjaga berwajah hitam garang menghadang
Cen Li.
"Aku kemari hendak menemui tuan Wen Yang. Ada
sesuatu yang penting yang hendak kulaporkan kepadanya"
kata Cen Li sedikit gemetar karena si penjaga galak itu
memainkan golok di depan mukanya.
"Eh. benarkah? Awas jika kau berbohong dan kami
mendapat marah dari ketua Wen" kata si penjaga dengan
mata penuh selidik.
"Benar, saya tidak berbohong. Tuan Wen Yang pasti
akan memberikan hadiah untuk informasi ini" jawab Cen Li.
Para penjaga berunding sejenak sebelum
memperbolehkan Cen Li memasuki rumah kayu itu.
Ternyata di dalam rumah yang dari luar tampak sederhana
itu amat mewah jika sudah berada di dalamnya. Rumah kayu
itu memang adalah markas utama kelompok pengacau
paling ditakuti di kotaraja. Kelompok Jalan Kebenaran
(Ceng Lu Hui) yang dipimpin oleh Wen Yang sang adik
kepala kasim istana Huo Cin.- 20 Di ruang utama tampak berjajar puluhan penjaga yang
menyandang golok. Tampang mereka seram dan bengis.
Mata mereka mengawasi Cen Li yang berjalan ketakutan
menuju ke tengah ruangan seperti gerombolan serigala yang
hendak menerkam seekor kambing saja layaknya. Keringat
dingin mengucur deras dari kening Cen Li, tangannya
gemetaran dan kakinya seakan mati rasa. Hanya karena sifat
tamaknya akan uang dan harta saja yang membuatnya tetap
berani melangkah terus menuju ke depan.
Tepat di tengah ruangan, seorang setengah baya
berpakaian sutra hitam dan berwajah tampan tampak sedang
memeluk dua orang wanita sambil bersenda gurau, sama
sekali tidak mengacuhkan kehadiran Cen Li. Mereka saling
berlomba menyuapkan arak dan anggur ke mulut pria
berpakaian sutra hitam itu yang tidak lain adalah Wen Yang.
Tawa genit dan bau harum arak memenuhi seluruh ruangan
tanpa mempedulikan kehadiran orang lain. Cen Li yang
gemetaran hanya bisa berdiam diri saja menunggu dirinya
dipanggil. Penjaga berwajah seram yang tadi menghadang
Cen Li di luar rumah, maju menjura kepada Wen Yang
kemudian membisikkan sesuatu kepadanya. Wajah Wen
Yang seketika berubah serius mendengar bisikan penjaga
tadi. Dengan satu gerakan tangan ia membubarkan kedua
gadis penghibur tadi yang tampaknya sudah tahu akan ada
sesuatu yang penting sehingga langsung menghilang ke
belakang ruangan dengan segera.- 21 "Kabarnya engkau membawa kabar penting dari
kediaman keluarga Han, begitu menurut anak buahku?"
suara Wen Yang menggelegar memenuhi ruangan itu.
mengagetkan Cen Li yang sedari tadi berdiri diam saja.
"Be... Benar tuan Wen Yang. Hamba hendak
melaporkan sesuatu kejadian di kediaman keluarga Han
kepada tuan" jawab Cen Li terbata-bata.
"Hmmm baik katakan apakah itu?" tanya Wen Yang.
"Hari ini seorang utusan dari utara datang
memberitahukan bahwa tuan muda kedua Han Cia Sing
telah gugur dalam usaha penumpasan gerombolan
perampok di utara Tong Liao. Tuan besar Han Kuo Li amat
berduka dan pingsan setelah menerima kabar buruk ini."
kata Cen Li.
"Oh? Benarkah demikian?" tanya Wen Yang.
"Hamba tidak berani berbohong" kata Cen Li sambil
menyembah.
"Baiklah. Pengawal, berikan seratus tael perak
kepadanya dan antar ia sampai ke gerbang kotaraja. Marga
Cen jangan lupa untuk selalu mengabarkan kejadian yang
terjadi di rumah tuanmu kepada kami. Hadiah akan selalu
menantimu" kata Wen Yang sambil memberikan tanda
untuk mengantarkan Cen Li keluar.
Cen Li wajahnya berubah menjadi berseri-seri
mendengar hadiah yang akan didapatkannya. Ia berulang- 22 kali menyembah kepada Wen Yang dalam perjalanan keluar
sambil membawa sekantung besar uang perak. Ternyata
hadiah yang didapatnya cukup besar, jauh lebih besar dari
sangkaannya semula!
Sebenarnya mengapa Wen Yang sampai menempat
kan seorang mata-mata di kediaman keluarga Han? Semua
ini tidak lain adalah perintah dari kasim Huo Cin dan
permaisuri Wu Ze Tian. Dulu mereka tidak menganggap
Han Kuo Li sebagai ancaman serius bagi rencana-rencana
mereka, karena Jenderal Han Kuo Li sendiri terkenal
sebagai jenderal yang jujur dan lurus, sama sekali tidak
pernah mau ikut campur dalam masalah politik dan
perebutan kekuasaan kerajaan. Namun, beberapa bulan yang
lalu saat mereka membuat rencana jahat untuk
menyingkirkan keluarga besar Jenderal Sie. Han Kuo Li
mati-matian menentang mereka meskipun akhirnya
keluarga besar Jenderal Sie tetap dihukum mati. Kasim Huo
Cin yang kejam dan berpandangan jauh ke depan menjadi
sadar bahwa sebenarnya penghalang mereka dalam menuju
kursi kekuasaan bertambah seorang lagi yaitu Jenderal
Empat Gerbang Han Kuo Li yang memimpin ribuan prajurit
penjaga kotaraja. Maka Huo Cin dan Wen Yang pun mulai
bersiap membuat rencana menyingkirkan Han Kuo Li.
dimulai dari pengintaian setiap gerak-gerik di kediaman
keluarga Han Kebetulan ada seorang pembantu muda
bernama Cen Li yang berhutang banyak setelah kalah
berjudi mau menjadi mata-mata mereka di kediaman
keluarga Han. Kini setiap kejadian di keluarga Han dapat- 23 mereka ketahui dan mereka menunggu saat yang tepat untuk
membokong Han Kuo Li dari belakang!
Malamnya. Wen Yang berpakaian hitam dan
mengenakan topeng hitam, melesat bagai bayangan berlari
di tembok kota terlarang. Para prajurit tidak menyadari
kehadiran seorang penyusup yang amat lihai telah
memasuki istana bahkan sampai tiba di bagian belakang
istana tempat kasim kepala Huo Cin tinggal. Saat itu Huo
Cin sedang membaca-baca buku puisi dengan amat tekun,
namun telinganya yang tajam tetap dapat mendengar
langkah-langkah seringan bulu yang berlari di atap
kamarnya.
"Adik Wen. mengapa tidak masuk saja?" kata Huo
Cin memanggil.
Sosok bayangan hitam berkelebat dengan cepat,
sebentar saja sudah duduk di depan kasim Huo Cin. Bahkan
nyala api lilin di atas meja pun tidak bergoyang sama sekali,
menandakan kehebatan ilmu ringan tubuh Wen Yang yang
semakin tinggi saja.
"Malam-malam begini datang mencariku tentunya
ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan" kata Huo Cin
sambil mengelus-elus rambutnya yang panjang dan
sebagian sudah memutih karena usia.
"Kakak aku datang untuk memberitahu kejadian di
keluarga Han yang dikabarkan mata-mata kita tadi siang.
Putra kedua Han Kuo Li meninggal di utara dan Han Kuo Li- 24 sendiri pingsan karena terlalu berduka. Mereka sekarang
sedang mengadakan acara perkabungan" kata Wen Yang.
"Oh? Begitukah?" kata Huo Cin sambil tersenyum
sinis.
"Kakak, menurutku ini adalah kesempatan terbaik
bagi kita untuk menghancurkan marga Han itu untuk
selamanya ?" saran Wen Yang.
"Mengapa demikian adik?" tanya Huo Cin
memancing.
"Sekarang kondisi Han Kuo Li sedang tidak stabil,
pastilah ia lebih mudah untuk diperdaya. Kaisar juga sedang
berada di daerah Hang Chou. Kakak, jangan sia-siakan
kesempatan emas di depan mata" kata Wen Yang.
Huo Cin meletakkan buku yang dibacanya, la berjalan
perlahan ke arah jendela yang terbuka lebar ke arah taman
Saat ini bulan sedang bersinar separuh dan cuaca sedang
cerah sehingga seluruh taman belakang dapat terlihat
dengan jelas. Bayang-bayang pohon bergerak-gerak tertiup
angin malam memantul dalam kolam di taman, membuatnya
seperti hidup saja. Huo Cin tampak berpikir keras. Ia tidak
boleh salah mengambil langkah karena yang dihadapinya
sekarang adalah seorang jenderal besar yang mempunyai
wewenang atas ribuan prajurit di kotaraja. Salah langkah
sedikit saja. maka semua yang dirintisnya selama ini akan
habis sia-sia belaka.- 25 "Kakak, bagaimana keputusanmu '!" tanya Wen Yang
tidak sabar.
Huo Cin tidak menjawab malah tertawa terbahakbahak. Suaranya yang kini menjadi kecil seperti suara
wanita memecah keheningan taman belakang itu dengan
nada yang mengerikan.Wen Yang sendiri tidak kaget karena
sudah terbiasa dengan sifat kakaknya yang aneh. Huo Cin
berhenti tertawa dengan mendadak, sama mendadaknya
dengan saat ia mulai tertawa tadi. Gema tertawanya masih
terdengar membuat burung-burung yang tengah beristirahat
di pepohonan taman berhamburan ketakutan.
Huo Cin memalingkan muka. memandang wajah
Wen Yang dengan tajam. Wen Yang tahu jika wajah
kakaknya sudah seperti ini. tandanya ia sudah mengambil
keputusan yang bulat.
"Adik, jangan khawatir. Sehebat apapun Han Kuo Li
tidak akan bisa lepas dari tangan besiku!" kata Huo Cin
sambil tersenyum aneh. membuat bahkan Wen Yang pun
masih merasa merinding. Kasim Huo Cin yang berniat
menguasai kerajaan tampaknya sudah mulai menyusun
siasat menghabisi satu persatu penghalang ambisinya!
Beberapa li dari kota terlarang, di tempat kediaman
Han sedang berlangsung upacara perkabungan untuk
menghormati kematian putra kedua Han Kuo Li. Han Cia
Sing yang gugur di utara dalam pembasmian gerombolan
perampok. Banyak teman dan keluarga dekat yang datang- 26 memberikan penghormatan terakhir termasuk Song Wei
Hao yang merupakan teman dekat Han Kuo Li. la termasuk
seorang yang sangat berduka atas kematian Han Cia Sing.
karena ia melihat Han Cia Sing tumbuh sejak bayi hingga
dibuang ke utara sekitar dua tahun lalu. Tentunya sangat
menyedihkan bagi seorang yang sudah menganggap Han
Cia Sing sebagai seorang keponakannya sendiri, harus
menyaksikan upacara penguburan dengan mata kepalanya
sendiri. Song Wei Hao juga merupakan orang yang paling
dapat merasakan kedukaan mendalam yang dirasakan oleh
sahabatnya Han Kuo Li. Mereka berdua sehidup semati
sejak masih remaja, tentunya sudah melebihi ikatan saudara
sendiri.
Malam itu. Song Wei Hao mewakili Han Kuo Li
menerima tamu-tamu yang datang memberi penghormatan.
Han Kuo Li sendiri masih terlalu bersedih untuk menerima
tamu atau menghadiri upacara pemakaman. Ia hanya
berdiam diri saja di kamarnya dan sudah tidak mau makan
selama dua hari. Dulu ketika Han Cia Sing dibuang ke utara,
ia masih berharap suatu saat Han Cia Sing akan dapat
kembali berkumpul bersamanya kembali di kotaraja. Tapi
kini semua harapannya itu sia-sia. Bahkan jasad Han Cia
Sing saja tidak dapat ditemukan kembali karena menurut
surat yang dikirim Jenderal Teng. kuburan para prajurit yang
entah dibuat oleh siapa telah dibongkar oleh gerombolan
serigala liar. Semua mayat prajurit sudah tidak dapat
dikenali lagi sehingga tidak mungkin untuk mengembalikan
jenasah Han Cia Sing ke kotaraja untuk dikuburkan dengan- 27 layak. Han Kuo Li benar-benar bersedih atas hal ini. Ia
merasa gagal sebagai orang tua dalam melindungi anak dan
istrinya.
Ye Ing sebaliknya berbeda sekali dengan keadaan
suaminya. Meskipun memakai tanda berkabung dan
mengikuti upacara dengan sedih sekali, dalam hatinya Ye
Ing bersorak sorai dengan gembira. Sementara Han Cia Pao
sendiri mengikuti perkabungan saudaranya itu dengan hati
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kacau tidak karuan. Meskipun selama ini ia tidak begitu
dekat dengan adik tirinya itu, tapi bagaimanapun ia hanya
mempunyai seorang adik laki-laki tentu saja sedikit banyak
ia merasa kehilangan. Sementara ketiga anak perempuan Ye
Ing. Han Li Rong. Li Feng dan Li Sien masih terlalu kecil
untuk mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Malah
Li Sien masih sempat bermain-main dengan gembira dengan
segala macam hiasan kertas perkabungan yang digelar di
halaman depan kediaman keluarga Han.
Hidup manusia memang terkadang aneh. Kita sering
melupakan apa yang kita miliki dan ketika kehilangan
barulah kita merasa sayang. Selama ini keberadaan Pai Lien
dan Han Cia Sing seperti sudah dianggap sebagai suatu
keharusan oleh Han Kuo Li. Istri dan anak adalah sesuatu
yang wajar dimiliki oleh seorang pria. akan tetapi jika
kehendak langit memisahkan mereka secara tiba-tiba seperti
sekarang ini. barulah akan terasa betapa berartinya seorang
istri dan anak bagi seorang pria. Namun benarkah Han Cia
Sing sudah gugur dan berangkat ke alam baka?- 28 Ribuan li ke utara kotaraja. jauh melewati bagian
paling utara dari tembok besar, di daerah dataran padang
rumput tempat suku Tong Hu berada tampak seorang biksu
setengah baya dan seorang putra remaja sedang duduk
bersila dalam posisi teratai di depan api unggun padang
rumput. Mereka tampak tekun sekali berlatih pernapasan
sehingga napas mereka terlihat begitu teratur dan berirama.
Angin malam padang rumput utara yang dingin bertiup
cukup kencang malam itu namun tidak mampu
menggoyahkan konsentrasi mereka.
Ya. mereka tidak lain adalah biksu Lu Xun Yi dan
Han Cia Sing yang telah disangka mati itu. Mereka berdua
tengah melatih ilmu pernapasan Yi Cin Cing setelah
sebelumnya mereka berdua melatih sepuluh gerakan
dasarnya selama setengah hari penuh. Cuaca malam bulan
sembilan itu cukup dingin tapi berkat ilmu yang mereka
latih, badan mereka tetap hangat dan tidak merasakan
dinginnya terpaan angin padang rumput.
Perlahan-lahan mereka berdua membuka mata hampir
bersamaan. Tampaknya mereka menyelesaikan latihan
napas mereka bersama-sama. Wajah Han Cia Sing tampak
merah dan cerah, amat berbeda dengan saat pertama kali ia
bertemu dengan Lu Xun Yi. Tubuhnya juga sudah semakin
tinggi dan tegap seiring dengan pertumbuhannya sebagai
seorang pemuda. Rambutnya yang hitam tebal disisir lurus
sederhana dan diikat dengan kain menambah gagah dirinya.
Mungkin jika ayah dan saudara-saudarinya bertemu dengan- 29 Han Cia Sing sekarang, belum tentu mereka akan
mengenalinya. Waktu memang dapat mengubah
penampilan seseorang, terlebih lagi seorang anak yang
sedang beranjak remaja.
"Sing-er. bagaimana keadaanmu?" tanya Lu Xun Yi
"Paman Lu. aku merasakan seluruh tubuh merasa
seperti sehabis mandi di air hangat. Begitu tenang dan
hangat sehingga dapat merasakan seluruh darah yang
mengalir di dalam tubuh" jawab Han Cia Sing.
Lu Xun Yi mengangguk-angguk dengan wajah
tersenyum.
"Amitabha. san-cai. san-cai. Budha maha pengasih.
Sing-er tidak terasa sudah hampir setahun kita bersamasama. Sebentar lagi aku harus kembali ke biara Shaolin di
daerah pegunungan Song Shan. Sudah cukup lama aku
meninggalkan biara Shaolin. kurasa sudah saatnya aku
kembali menemui para biksu sekalian di sana. Sing-er
apakah kau akan ikut denganku kembali ke dataran tengah?"
tanya Lu Xun Yi.
Han Cia Sing tidak segera menjawab. Pertanyaan ini
begitu mendadak sehingga ia belum sempat memikirkannya.
Selama hampir setahun ia bersama Lu Xun Yi. ia menjalani
hari-hari yang penuh damai. Meskipun kadang mereka
makan tidak cukup, hanya sekali sehari dari derma
masyarakat di desa-desa yang mereka lalui tapi ia benarbenar merasakan damai dalam hatinya. Sekarang tiba-tiba- 30 Lu Xun Yi mengatakan ingin kembali ke biara Shaolin
Sebenarnya dalam hati ia ingin sekali melihat seperti apa
biara Shaolin yang sering diceritakan oleh pamannya itu.
tetapi Han Cia Sing takut jika ia kembali ke dataran tengah,
semua kenangan buruk yang menimpanya akan kembali
muncul Ia ingin melupakan semua kenangan yang tidak
menyenangkan dalam bagian hidupnya itu. Di utara ini amat
jarang ia bertemu dengan orang Han. kecuali beberapa
pedagang keliling yang kerap mengunjungi para suku
pengembara untuk saling bertukar barang. Ini mungkin salah
satu sebab ia betah berada di daerah utara yang sebenarnya
sangat sepi dan sebagian besar adalah padang rumput itu.
"Sing-er. mengapa engkau melamun?" tanya Lu Xun
Yi setelah lama tidak ada jawaban dari Han Cia Sing.
"Paman Lu. aku tidak berani menyembunyikan
sesuatu darimu. Selama hampir setahun ini paman Lu begitu
baik kepadaku bahkan pamanlah yang menyelamatkan
nyawaku dari ancaman pembunuhan. Aku berhutang nyawa
kepada paman, entah apakah aku nanti bisa membalasnya
atau tidak. Terus terang paman Lu. aku tidak ingin kembali
ke dataran tengah. Selama mengembara ini aku menemukan
kedamaian yang besar dalam hatiku. Nantinya jika kembali
ke dataran tengah, aku khawatir amarah dan kebencianku
akan timbul kembali. Harap paman Lu mengerti pendirianku
ini." jelas Han Cia Sin.- 31 Lu Xun Yi mendengarkan dengan tenang penjelasan
Han Cia Sing hingga selesai kemudian merangkapkan kedua
tangannya di depan dada dengan penuh welas asih.
"San-cai. san-cai hati manusia memang penuh
keinginan. Sing-er. aku mengerti keinginan dan
pendirianmu. Baiklah jika memang demikian, apakah yang
menjadi rencanamu selanjutnya?" tanya Lu Xun Yi.
Han Cia Sing berpikir sejenak dan agak ragu-ragu.
"Katakan saja Sing-er. jangan ragu-ragu. Aku akan berusaha
semampuku" kata Lu Xun Yi membesarkan hati Han Cia
Sing.
"Paman Lu. aku ingin tinggal saja dulu di daerah utara
ini" kata Han Cia Sing dengan nada penuh harap.
Lu Xun Yi mengangguk-angguk, tampaknya ia
menyetujui rencana Han Cia Sing. Selama hampir setahun
mereka bersama-sama. Han Cia Sing telah banyak belajar
darinya untuk hidup di daerah utara, termasuk mengenal
adat kebiasaan suku-suku di utara. Tentunya tidak sulit bagi
Han Cia Sing untuk tinggal di daerah utara ini selama
beberapa waktu lagi.
"Sing-er. baiklah jika demikian. Aku mempunyai
kenalan seorang tetua di daerah Bai Cheng. Besok kita akan
berangkat ke sana. Setelah mengantarkanmu ke sana. aku
akan kembali ke Song Shan. Nanti aku akan kembali
menengokmu jika aku kembali ke daerah utara" kata Lu Xun
Yi.- 32 Han Cia Sing segera berlutut memberi hormat kepada
Lu Xun Yi.
"Paman Lu. jasa baikmu entah apakah bisa kubalas
nantinya"
"Amitabha. Sing-er engkau tidak perlu berlaku
demikian. Aku hanyalah seorang biksu, tidak layak
menerima penghormatan yang berlebihan, bangunlah" kata
Lu Xun Yi sambil membimbing Han Cia Sing bangun.
Malam itu dilalui Han Cia Sing dengan banyak
pikiran berkecamuk dalam hatinya. Han Cia Sing malah
tidak dapat memejamkan mata sama sekali sampai fajar
merekah di ufuk timur. Ia benar-benar gelisah karena selama
ini ia merasa sudah aman berada bersama Lu Xun Yi yang
selalu membimbingnya dengan sabar dan seolah
menggantikan peran orang tua bagi Han Cia Sing. kini Lu
Xun Yi pun akan meninggalkannya. Han Cia Sing yang
masih baru beranjak dewasa seakan-akan kehilangan
pegangannya di dunia ini.
Besok paginya, mereka mulai berangkat ke utara
menuju ke daerah Bai Cheng. Padang rumput yang luas dan
subur membentang sepanjang mata memandang. Memang
daerah desa Bai Cheng adalah daerah padang rumput yang
subur karena diapit dua sungai yaitu Nen dan Song Hua.
Suku-suku yang mendiami wilayah ini amat banyak,
kebanyakan adalah suku berkuda yang berpindah-pindah
dan sebagian besar adalah suku Xiong, suku Hun dan Tong- 33 Hu. Selama beberapa hari perjalanan menuju daerah Bai
Cheng, Han Cia Smg lebih banyak berdiam diri saja. Lu Xun
Yi sendiri tetap berusaha bersikap biasa saja, bercakapcakap dan mengajarkan ajaran Budha seperti biasa, tapi ia
sebagai orang yang berpengalaman dapat merasakan
kegelisahan hati Han Cia Sing yang sedang berkecamuk, la
juga merasakan berat untuk berpisah dengan Han Cia Sing
tapi ia berpikir mungkin dalam beberapa bulan ke depan ia
akan kembali ke daerah utara ini sehingga bisa bertemu
kembali dengan Han Cia Sing
Tanpa terasa beberapa hari kemudian mereka sudah
masuk ke dataran padang rumput Bai Cheng. Tampak
beberapa penunggang kuda suku Xiong tengah menggiring
kawanan domba yang jumlahnya ratusan melintasi padang
rumput Ada juga beberapa penunggang kuda yang
mengawasi puluhan kuda milik mereka tengah merumput di
tengah padang. Kebanyakan dari mereka tidak begitu
mengacuhkan seorang biksu dan bocah remaja yang tengah
berjalan berdua itu. Bagi kawanan pengembara yang perlu
diwaspadai adalah binatang liar seperti serigala beruang atau
harimau gunung serta gerombolan perampok
Lu Xun Yi dan Han Cia Sing terus berjalan sampai
tiba di tengah desa Bai Cheng. Kawasan ini jauh lebih ramai
dibandingkan pinggiran desa tadi. Beberapa pedagang
bangsa Han tampak sedang tawar-menawar dengan para
kepala penggembala untuk menukar kuda atau domba
dengan barang-barang kebutuhan seperti kain, makanan- 34 kering atau perhiasan. Tidak heran jika banyak juga wanita
suku Xiong yang ikut melihat-lihat pertukaran itu untuk
memilih barang-barang yang disukainya Kurang lebih
seratus orang tengah saling tawar-menawar sehingga
suasana menjadi sangat gaduh. Tak terhitung lagi jumlah
domba dan kuda yang ikut dibawa ke sana sehingga semakin
menambah ramai suasana. Han Cia Sing yang sudah lama
tidak terbiasa dengan keramaian menjadi merasa sedikit
terganggu.
Lu Xun Yi berjalan terus menuju ke arah utara desa
Bai Cheng. Di sana tampak puluhan kemah dan rumah kayu
yang sederhana. Banyak anak kecil dan gadis remaja suku
Xiong yang tengah menjemur pakaian dan bulu-bulu domba
yang akan dijual memperhatikan mereka berdua yang
tengah lewat sambil tertawa-tawa. Han Cia Sing sendiri
tidak senang menjadi perhatian dan bahan tertawaan
penduduk desa, tapi apalah dayanya. Seorang biksu dan
seorang remaja berpakaian Han tentunya bukanlah
pemandangan yang biasa dijumpai sehari-hari sehingga
amatlah menarik perhatian. Bahkan beberapa anak kecil
mulai berani mendekati mereka dan menarik-narik baju Lu
Xun Yi dan Han Cia Sing sambil tertawa-tawa. Han Cia
Sing tahu bahwa bukanlah maksud mereka untuk
mentertawakannya. tapi bagaimanapun tidak enak rasanya
menjadi bahan tontonan separuh desa seperti ini.
Untunglah mereka segera tiba di tempat kediaman
tetua yang dituju oleh Lu Xun Yi. Rumah kemah itu terlihat- 35 besar sekali dibandingkan rumah-rumah kemah yang lain.
Di depan rumah kemah itu juga terdapat hiasan-hiasan
dengan tulisan yang asing bagi Han Cia Sing. Tampak
beberapa wanita tua setengah baya berpakaian suku Xiong
tengah memintal benang dari bulu domba dengan tekun di
sebelah depan tenda besar itu.
Lu Xun Yi merangkapkan kedua tangannya dan
memberi salam kepada para wanita itu. Seorang dari mereka
tampaknya mengerti bahasa Han dan maju ke depan
menemui Lu Xun Yi. Setelah berbincang sejenak, ia dengan
ramah mempersilakan Lu Xun Yi untuk masuk ke dalam
kemah. Ternyata begitu memasuki kemah, suasana menjadi
jauh lebih hangat karena ada perapian batu yang menyala di
tengahnya. Sebuah tempat tidur yang sangat besar berada di
sisi dalam kemah.Tempat tidur itu diselimuti bulu-bulu
domba tebal yang terbaik dan di kakinya terdapat bulu
beruang yang besar sekali sebagai selimutnya. Kepala
beruang Hu menjuntai ke lantai dengan wajah menyeringai
seolah-olah hendak menerkam Lu Xun Yi dan Han Cia Sing
Seorang bapak tua berpakaian sutra biru dengan corak suku
Xiong tengah tiduran tengah ranjang ditemani dua orang
gadis yang memijatinya. Mula-mula Han Cia Sing mengira
kedua gadis itu adalah anak bapak tua ini, karena umur
mereka yang berselisih jauh sekali, tapi kemudian ia sadar
bahwa tentunya mereka berdua adalah gundik bapak tua
yang kelihatannya kaya raya ini.- 36 Lu Xun Yi maju ke depan memberikan salam terlebih
dahulu
"Amitabha. san-cai. Tetua Chou Luo. bagaimanakah
kabar anda setelah lama tidak berjumpa?" tanya Lu Xun Yi
memberi salam.
Bapak tua yang dipanggil tetua Chou Luo itu
memberi isyarat dengan tangan kepada kedua gadis itu yang
segera mengundurkan diri keluar kemah. Ia berdiri dengan
perlahan dan duduk di tepian ranjang besar itu. Sekarang
Han Cia Sing bisa melihat tetua Chou Luo dengan lebih
jelas. Umurnya mungkin sudah sekitar tujuh puluh tahunan
karena kerut-kerut di wajahnya sudah banyak dan tampak
jelas. Tubuhnya juga sudah tidak gagah lagi, agak bungkuk
dan kurus kering terbalut pakaian sutranya. Tapi yang
membuat Han Cia Sing segan terhadap tetua Chou Luo
adalah pandangan matanya yang masih tajam seperti seekor
elang saja layaknya.
"Lu He-sang (biksu Lu), sudah cukup lama kita tidak
berjumpa" kata tetua Chou Luo sambil berdiri dan
pembaringannya. Baju sutra birunya yang panjang
menyentuh lantai ketika berjalan. Sebuah golok bulan sabit
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhiaskan gading putih tersandang di pinggangnya. Namun
yang membuat Han Cia Sing terkagum-kagum adalah intan
biru berkilauan yang tertanam di gagang golok yang terbuat
dari besi baja tersebut. Rupanya tetua Chou Luo ini benarbenar seorang yang terpandang di kawasan Bai Cheng!- 37 "Amitabha. aku kebetulan datang berkunjung ke Bai
Cheng. Hendak mampir sebentar di kemah tetua Chou Luo
untuk memberikan salam hormat" jawab Lu Xun Yi sambil
membungkuk sekali lagi.
"Mari. mari silakan duduk" kata tetua Chou Luo
sambil mempersilakan mereka berdua duduk di karpet tebal
di sisi tengah kemah. Di atas perapian batu itu. tetua Chou
Luo meletakkan guci tanah liat berisi air. Ia mengeluarkan
kotak kayu kecil berukir dari balik bajunya. Tetua Chou Luo
membukanya dengan hati-hati seakan-akan isinya adalah
sesuatu yang sangat berharga. Han Cia Sing mengira isinya
pastilah batu mulia atau emas permata, tapi ternyata isinya
hanyalah segumpal daun teh kering. Tetua Chou Luo
mengambil sedikit daun itu dan memasukkannya ke dalam
guci tanah liat. Harum bau teh segera memenuhi kemah
tersebut, membuat yang menghirupnya merasakan
ketenangan. Han Cia Sing merasa tentulah ini bukan teh
biasa.
"Teh Lung Jing (Hijau Naga) anda memang selalu
yang terbaik" puji Lu Xun Yi kepada tetua Chou Luo dengan
tulus.
"Seorang tamu istimewa tentu harus dijamu dengan
istimewa pula" balas tetua Chou Luo sambil tertawa.
Deretan gigi depannya yang sudah tidak lengkap tampak
jelas ketika ia tertawa lebar.- 38 Tampaknya antara tetua Chou Luo dan Lu Xun Yi
adalah kenalan lama. Selama beberapa saat mereka seakan
melupakan keberadaan Han Cia Sing karena begitu asyiknya
mereka saling bercakap-cakap. Akhirnya tetua Chou Luo
angkat bicara kepada Lu Xun Yi untuk menanyakan
mengenai Han Cia Sing.
"Biksu Lu. siapakah sobat muda yang bersama-sama
dengan engkau ini?" tanya tetua Chou Luo sambil
memandang tajam kepada Han Cia Sing.
"Sing-er. beri hormat kepada tetua Chou Luo" kata Lu
Xun Yi.
Han Cia Sing duduk dengan sikap tegak dan hormat
kemudian menjura kepada tetua Chou Luo.
"Siao-ti bermarga Han bernama Cia Sing memberi
hormat kepada tetua Chou Luo" kata Han Cia Sing.
"Seorang pemuda yang gagah, apa yang engkau
kerjakan di utara tembok besar yang sepi seperti ini?" tanya
tetua Chou Luo penuh selidik.
Lu Xun Yi segera memberikan jawaban sebelum Han
Cia Sing sempat bicara lebih dahulu.
"Amitabha. Tetua Chou Luo, Han Cia Sing ini masih
terhitung keponakan jauh diriku. Dikarenakan kesalah
pahaman maka ia berkelana jauh dari rumah bersamaku
sampai ke daerah Bai Cheng ini. Sekarang aku akan kembali
selama beberapa waktu ke biara Shaolin di daerah Song- 39 Shan, aku mohon kebaikan hati tetua Chou Luo untuk dapat
menampungnya selama beberapa lama di sini" kata Lu Xun
Yi. Tetua Chou Luo mengangguk sambil menatap Han
Cia Sing dengan mala elangnya,
"Anak muda, hidup di daerah padang rumput amat
susah. Apakah kau sanggup untuk menjalaninya?" tanya
tetuo Chou Luo lagi.
"Siao-ti tidak takut akan kehidupan yang susah"
jawab Han Cia Sing dengan tegas sambil balas menatap
tetua Chou Luo.
Tetua Chou Luo yang sudah banyak makan asam
garam, dapat merasakan bahwa Han Cia Sing adalah
seorang anak muda yang berpendirian kuat dan jujur
Apalagi yang membawanya adalah sahabat lamanya sendiri,
seorang biksu dari Shaolin. Jadi apalagi yang harus ia
cemaskan?
"Biksu Lu. mengingat persahabatan kita selama
puluhan tahun ini. aku tidak mungkin menolak
permintaanmu yang sederhana ini. Kemah Chou Luo akan
selalu terbuka bagimu dan anak muda ini" kata Chou Luo.
"San-cai. san-cai. Budha maha pengasih. Saudara
Chou Luo. terimakasih atas pertolonganmu, Aku benarbenar berterimakasih. Sing-er ucapkan terimakasih kepada
tetua Chou Luo" kata Lu Xun Yi dengan gembira.- 40 "Tetua Chou Luo. terimakasih atas kemurahan hati
anda" kata Han Cia Sing sambil menjura.
"Anak muda tidak usah sungkan. Sebenarnya di sini
kami selalu membutuhkan banyak tenaga muda. Ternak
kami banyak sekali dan musim dingin sudah akan tiba.
Tidak mudah untuk mencari banyak rumput selama musim
dingin, jadi tenaga muda akan sangat diperlukan di sini" kata
tetua Chou Luo sambil tersenyum menyeringai. Kembali
giginya yang sudah banyak yang tidak utuh tampak jelas
saat ia tersenyum lebar. Jelas ia sedang bercanda menggoda
Han Cia Sing mengenai pekerjaan berat yang menantinya di
padang rumput.
Begitulah akhirnya beberapa hari kemudian. Lu Xun
Yi berpamitan kepada tetua Chou Luo dan Han Cia Sing.
Hawa musim dingin di utara sudah mulai tiba sehingga Lu
Xun Yi memakai pakaian bulu domba yang dihadiahkan
tetua Chou Luo kepadanya. Demikian pula Han Cia Sing
sudah berganti baju Han dengan baju suku utara ditambah
pakaian luar bulu domba yang tebal untuk menahan hawa
dingin. Hati Han Cia Sing terasa sedih harus berpisah
dengan Lu Xun Yi yang selama hampir setahun ini
bersamanya mengarungi wilayah utara. Ia mengantar Lu
Xun Yi sampai ke tapal batas daerah Bai Cheng. selama
mungkin ia masih ingin bersama paman biksu yang
dihormatinya itu.- 41 "Sing-er, kembalilah. Engkau sudah cukup jauh
mengantarkanku sampai di sini" kata Lu Xun Yi ketika tiba
masanya mereka akan berpisah.
"Paman Lu..." Han Cia Sing tidak bisa meneruskan
kalimatnya. Tenggorokannya seperti tercekat oleh
kesedihan perpisahan ini.
"Amitabha. hati manusia selalu penuh kesedihan dan
keinginan. Sing-er. engkau sudah mulai beranjak dewasa.
Jagalah dirimu baik-baik selama aku tidak ada di sisimu.
Nanti jika aku sudah tiba di biara Shaolin. aku akan menulis
surat kepada Si Men Ciang Cin mengenai keberadaanmu
agar ia tidak mencemaskanmu" kata Lu Xun Yi
menenangkan hati Han Cia Sing.
"Terima kasih paman Lu" ujar Han Cia Sing singkat.
Ia takut akan mengeluarkan air mata jika berbicara terlalu
banyak.
"Satu hal lagi Sing-er, mengenai ilmu pernapasan dan
latihan yang aku ajarkan kepadamu ingatlah untuk melatih
nya setiap hari, tapi engkau jangan pernah mengajarkannya
pada orang lain tanpa ijin dariku, mengertikah engkau Singer?" tanya Lu Xun Yi.
Han Cia Sing mengangguk perlahan. Lidahnya terasa
kelu hendak mengucapkan kata-kata perpisahan dengan
paman angkatnya itu. Lu Xun Yi sendiri merangkapkan
kedua tangannya ke dada dan mengucapkan salam, sebelum
berbalik dan berjalan pergi Beberapa saat kemudian,- 42 bayangan Lu Xun Yi sudah hampir hilang ditelan kabut
padang rumput awal musim dingin. Han Cia Sing sendiri
masih berdiri memandang punggung Lu Xun Yi sampai
banar-benar hilang dari pandangan, baru kemudian berbalik
kembali ke perkemahan Bai Cheng.
Memang perjumpaan dan perpisahan tidak bisa
dipisahkan dan hidup manusia Mungkin inilah yang harus
disadari oleh manusia itu sendiri, sehingga tidak terlalu
hanyut dalam perasaan sedih yang berkepanjangan. Han Cia
Sing pun mengalami pelbagai hal yung menyesakkan
selama dua tahun terakhir ini, tapi justru banyak cobaan ini
membuatnya tegar dan kuat menghadapi gelombang
kehidupan.
Sepeninggal Lu Xun Yi. Han Cia Sing mendapat
tempat di salah satu kernah pekerja di tempat tetua Chou
Luo. Kini pekerjaannya sehari-hari adalah menggembalakan
kawanan domba di padang rumput. Kelihatannya pekerjaan
ini adalah pekerjaun yang mudah karena tiap domba dapat
mencari mukanannya sendiri, tapi yang sulit adalah
menggiring ratusan domba agar selalu berada dalam
kawanan. Bila ada satu dua saja yang hilang maka Han Cia
Sing harus mencarinya sampai dapat. Belum lagi kadang ada
kawanan serigala atau beruang yang harus diusir.
Beruntunglah teman-teman sesama gembala suku Xiong
mau saling membantu dan berbagi pengalaman dengan Han
Cia Sing mengenai cara menggembalakan domba ini.- 43 Tidak terasa sudah hampir tiga bulan sejak Lu Xun Yi
meninggalkan daerah Bai Cheng. Sekarang kemampuan
Han Cia Sing berbahasa suku Xiong sudah jauh lebih maju.
juga kemampuannya menggembalakan domba sudah maju
pesat, meski dalam menggembalakan domba masih
bersama-sama para gembala lainnya. Tetua Chou Luo pun
tampaknya puas dengan hasil kerjanya sehingga
menghadiahkan kepadanya beberapa kulit bulu domba yang
baik sebagai hadiah baginya.
Malam-malam musim dingin di padang rumput sudah
hampir terlewati. Hamparan salju putih yang menutupi
dataran padang rumput juga sudah mulai mencair. Han Cia
Sing dan beberapa teman gembala lainnya sekarang bisa
lebih santai mencari tempat makan untuk domba-domba
mereka. Para pedagang dari dataran tengah pun juga sudah
mulai berdatangan kembali.
Musim semi tahun itu tampaknya merupakan awal
tahun yang menjanjikan kemakmuran bagi suku Xiong.
Domba-domba mereka beranak banyak demikian pula
dengan peternakan kuda mereka menghasilkan banyak kuda
bagus. Ini tentu saja membuat harganya menjadi mahal dan
dapat ditukarkan dengan banyak kain sutra dan perhiasan
berharga lainnya. Tetua Chou Luo dan beberapa tetua suku
Xiong lainnya berniat untuk merayakan musim ini dengan
meriah. Pesta akan diadakan pada tanggal lima belas bulan
itu. saat bulan purnama menerangi padang rumput semua
anggota suku akan berjajar dan menari bersama di sekeliling- 44 api unggun. Ini adalah perayaan besar untuk menghormati
kerja keras bersama yang menghasilkan kemakmuran bagi
suku Xiong.
Maka pada tanggal lima belas yang ditetapkan, lima
suku besar Xiong berkumpul di padang rumput Bai Cheng.
Jumlah mereka hampir mencapai dua ribu orang pria wanita.
Api unggun yang besar sengaja dibuat dengan
mengumpulkan ratusan gelondong kayu agar dapat
menghangatkan malam yang dingin itu. Para pria dan gadis
bujangan memakai pakaian mereka yang terbaik malam itu.
karena perayaan seperti itu juga merupakan acara untuk
mencari jodoh bagi mereka. Berlainan sekali dengan bangsa
Han yang menganggap pernikahan adalah hak dan urusan
orang tua, suku Xiong mencari pasangannya sendiri dalam
pesta perayaan seperti ini atau langsung melamarnya sendiri
ke tempat suku sang gadis. Tidak heran jika malam itu
banyak sekali pemuda dan pemudi yang sudah bersiap-siap
dengan penampilan terbaiknya, berharap dapat bertemu
dengan sang pujaan hatinya
Han Cia Sing sendiri sebenarnya tidak ingin
mengikuti pesta semacam ini. Sejak kecil ia dan ibunya
hampir selalu dilarang oleh Ye Ing mengikuti pesta atau
perayaan di kediaman keluarga Han sehingga ia tidak
terbiasa mengikuti suatu pesta yang semarak seperti ini.
Tapi teman-teman sebayanya dan juga tetua Chou Luo
sendiri memaksanya untuk ikut. Hari itu Han Cia Sing
mendapat hadiah pakaian suku Xiong yang baru terbuat dari- 45 kain sutra berwarna hijau lengkap dengan topi bulu musang
yang tebal. Penampilannya tampak gagah sekali karena Han
Cia Sing yang sekarang sudah jauh lebih tinggi dan kekar
dibandingkan dulu. Saat di benteng Teng ia selalu makan
tidak cukup dan bekerja terlalu berat, sedang saat ia bersama
Lu Xun Yi mereka selalu berpantang daging. Tapi di
perkemahan tetua Chou Luo ini tiap hari ia makan daging
domba dan minum susu domba betapa besar perbedaan itu
bagi tubuh seseorang yang sedang dalam masa
pertumbuhannya. Tidak heran jika kini Han Cia Sing remaja
benar-benar gagah dan tampan !
Kelima tetua suku Xiong maju ke depan api unggun
diinngi sorak-sorai semua anggota suku Selain tetua Chou
Luo tempat Han Cia Sing bernaung, masih ada lagi empat
tetua lain yang usianya tidak jauh berbeda dengannya yaitu
tetua Ye Hu. tetua Ai Sin. tetua Na Chung dan tetua Ya Ge.
Mereka berlima masing-masing membawa kantung kulit
besar berisi arak susu domba kemudian berteriak gembira
dan meminumnya bersama-sama.
Semua yang hadir berteriak juga menyambut
dibukanya perayaan tahun itu. Muda-mudi mulai menari
dengan riang di seputaran api unggun diiringi musik
genderang yang ditabuh bertalu-talu. Beberapa orang pria
setengah baya menyanyikan lagu padang rumput dalam
bahasa suku Xiong dengan penuh semangat.
Malam hari di padang- 46 Ribuan bintang berkilauan
Hari gelap bersiap beristirahat
Gunung Khing An akan menjadi bantal
Dan angin Hulun membawa kami kembali ke rumah
Bertemu kembali dengan Ching Yu tercinta
Suasana benar-benar meriah. Beberapa muda-mudi
sudah berhasil menemukan pasangannya. Mereka menari
dan melompat berpasangan dengan riangnya. Han Cia Sing
sendiri hanya duduk di pinggir lingkaran api unggun besar
itu sambil bertepuk tangan memeriahkan suasana. Temantemannya sudah semua mendapatkan pasangan masingmasing, hanya tertinggal ia sendirian di tepi lingkaran. Tetua
Chou Luo yang sibuk melayani permintaan adu minum
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan beberapa teman lamanya, masih sempat melihat Han
Cia Sing yang sedang sendirian duduk saja. Ia memanggil
seorang gundiknya dan membisikkan sesuatu. Sang gundik
mengangguk mengerti dan segera menghilang ke dalam
kemah utama.
Beberapa saat kemudian gundik tetua Chou Luo itu
keluar dari dalam kemah utama dengan pakaian penari suku
Xiong yang penuh dengan manik-manik perhiasan
berwarna-warni. Dengan langkah-langkah yang lincah, ia
segera masuk ke dalam lingkaran besar api unggun. Para
muda-mudi yang tengah menari memberikan tempat
kepadanya untuk bisa menari lebih bebas. Gerakan tarian- 47 suku Xiong memang berbeda sekali dengan bangsa Han.
Tarian suku Xiong lebih lincah dan bebas, melompat dan
berputar dengan gerakan yang dinamis. Manik-manik
perhiasan yang dipakai oleh penari itu berputar-putar seperti
surai mengikuti gerakan pemiliknya. Suasana pesta menjadi
lebih meriah lagi karena adanya penari ini. Apalagi wajah
gundik tetua Chou Luo begitu menarik hati dan selalu
tersenyum membuat mereka yang melihatnya serasa mabuk
kepayang.
Setelah beberapa saat menari dengan gembira dan
memeriahkan suasana, penari itu mendekati Han Cia Sing
yang tengah duduk menikmati suasana. Penari itu menarik
tangan Han Cia Sing agar ia ikut masuk menari bersama di
lingkaran besar api unggun. Han Cia Sing sebenarnya
enggan, tapi sorakan memberi semangat membahana dari
para penonton, sehingga mau tak mau ia ikut ajakan sang
penari. Tepukan meriah memberi semangat Han Cia Sing
yang menari dengan kaku bersama sang gadis penari. Bagi
suku Xiong adalah suatu kehormatan besar mendapatkan
kesempatan menari bersama penari utama sehingga pantang
untuk ditolak.
Malam gembira ini berlalu dengan cepat sekali. Han
Cia Sing bangun pada pagi harinya dengan kepala sakit dan
berkunang-kunang karena terlalu banyak minum arak. Ia
terkejut melihat matahari sudah tinggi dan bergegas keluar
menuju ke kandang domba. lugas Han Cia Sing setiap pagi
adalah memberikan minum kepada domba dengan menimba- 48 air dari sumur. Ia sudah terlambat untuk pekerjaan itu pagi
ini. Han Cia Sing berlari keluar ke arah sumur di luar
perkemahan. Ia menimba seember penuh dan segera
mencuci wajah dan tangannya. Dinginnya air segera
menyegarkan dan menghilangkan akibat arak. Han Cia Sing
juga segera bersiap menimba beberapa ember air lagi untuk
dibawa ke kandang domba. Saat itu ia baru menyadari
betapa sepi perkemahan pagi itu tidak seperti hari-hari
biasanya. Ternyata hampir semua orang masih tidur setelah
pesta kemarin malam. Hanya terlihat beberapa orang saja
yang sedang membersihkan lapangan tempat perayaan
pesta.
Han Cia Sing segera mengangkat ember-ember
tersebut ke kandang. Puluhan domba yang melihatnya
datang mengembik-embik dengan gembira karena sejak
pagi tidak ada satu orang pun yang datang memberi minum.
Selesai memberikan beberapa ember untuk minum domba.
Han Cia Sing membuka pintu kandang untuk mengeluarkan
puluhan domba ke padang rumput untuk mencari makan.
Pengalaman Han Cia Sing selama tiga bulan
menggembalakan kawanan domba sudah cukup baik
sehingga ia sudah bisa membawa puluhan kawanan domba
sendirian ke padang rumput untuk mencari makanan. Han
Cia Sing menghitung kawanan domba yang ia keluarkan
dari kandang dengan cermat. Semuanya ada enam puluh dua
ekor domba besar dan kecil. Sebatang kayu sebesar ibu jari- 49 sepanjang tombak menjadi alat bagi Han Cia Sing untuk
mengatur domba-dombanya agar tidak terpisah dari
kawanan.
Padang rumput tempat kawanan domba biasa
merumput yang terletak beberapa li ke barat dari
perkemahan sudah kelihatan agak tandus. Han Cia Sing
menggembalakan domba beberapa li lebih ke barat lagi.
Perjalanan memang semakin jauh tapi domba-dombanya
akan mendapatkan makanan lebih banyak dan lebih
kenyang. Tidak terasa hari sudah hampir tengah hari ketika
akhirnya Han Cia Sing bisa beristirahat duduk di hamparan
rumput yang tebal. Kawanan dombanya tengah asyik
merumput tidak jauh dari tempat ia membaringkan diri.
Mata Han Cia Sing terasa sangat berat dan mengantuk
karena belum cukup tidur tadi malam. Tidak terasa ia
tertidur dengan lelapnya di tengah padang rumput itu selama
beberapa jam. Angin padang rumput awal musim semi yang
sejuk memang sangat menenangkan, membuat Han Cia Sing
terbuai ke alam mimpi yang indah.
Pada awal musim semi. matahari masih lebih cepat
terbenam dibandingkan saat musim panas atau musim gugur
sehingga tidak heran jika hari menjadi cepat gelap. Apalagi
di arah barat padang rumput Bai Cheng berdiri dengan
gagah pegunungan Khing An sehingga matahari sore akan
terhalang sinarnya oleh tingginya gunung-gunung. Han Cia
Sing bangun dengan tergopoh-gopoh ketika menyadari ia
telah tertidur cukup lama Matahari sudah di ufuk barat,- 50 sudah nyaris mendekati puncak-puncak pegunungan Khing
An yang perkasa. Han Cia Sing segera mengambil tongkat
kayunya dan menghitung puluhan domba yang bergerombol
sedang enak merumput. Betapa kagetnya Han Cia Sing
ketika ia menghitung kawanan domba kurang liga ekor. Han
Cia Sing menghitung kembali dengan lebih cermat tapi
ternyata benar dombanya kurang tiga ekor!
Han Cia Sing bergegas menyusuri padang rumput itu
dengan gerakan melingkar dari tempat ia menggembalakan
kawanan dombanya. Lingkarannya makin lama makin besar
dan makin jauh dari kawanan dombanya. Ia harus cepat
menemukan tiga ekor dombanya yang hilang karena hari
segera gelap. Dalam hatinya. Han Cia Sing menyesal
mengapa ia sampai tertidur di padang rumput tadi. Ia
mencari sampai kira-kira salu li jauhnya dari tempat ia tidur
tadi. barulah ia menemukan jejak dombanya yang hilang.
Sayangnya, jejak itu bukanlah jejak yang menggembirakan
karena berupa sobekan kulit domba dan darah yang tercecer
di rerumputan. Mungkinkah tiga ekor dombanya dimangsa
binatang buas?
Belum sempat Han Cia Sing berpikir lebih lanjut,
tiba-tiba ia mendengar suara menggeram seram beberapa
tombak di belakangnya. Ia menoleh dengan hati-hati sekali,
tidak ingin membuat gerakan mengejut sedikitpun.
Pemandangan yang dilihatnya nyaris membuat jantung Han
Cia Sing berhenti berdegup. Beberapa ekor serigala besar
tampak menatapnya dengan pandangan lapar. Di sekitar- 51 moncong mereka masih terdapat bekas darah segar. Taring
mereka yang tajam-tajam tampak menyeramkan saat
mereka menggeram dan menyeringai seram.
Han Cia Sing menggenggam erat-erat tongkat
kayunya. Ia tidak berniat melawan gerombolan serigala
yang jumlahnya delapan ekor itu dan mencari jalan untuk
melarikan diri. Tapi gerombolan serigala itu dengan cepat
sudah mengepungnya dalam lingkaran. Han Cia Sing
merasa bakal tamat riwayatnya dicabik-cabik gerombolan
serigala buas ini jika ia tidak segera mencari akal. Pertamatama yang harus dilakukannya adalah melindungi kakinya
dari gigitan, jika kakinya tidak terluka ia masih dapat berlari
dengan baik dan menghindar dari gerombolan serigala ini.
Han Cia Sing membuka rompi bulunya yang tebal dan
membebatkannya di pinggang bawah. Cara ini membuat
kakinya lebih terlindung namun ia masih tetap bisa berlari
dengan bebas. Kemudian Han Cia Sing mulai memperhatikan kedelapan ekor serigala yang mengepungnya itu
satu per satu. Akhirnya ia menemukan seekor yang kelihatan
paling lemah dan kecil. Serigala itu akan menjadi
sasarannya untuk membuka jalan keluar dari kepungan ini.
Seekor serigala yang kelihatannya merupakan
pimpinan mereka maju menerkam Han Cia Sing dengan
mulut menganga memperlihatkan taring-taringnya yang
tajam bagaikan iblis pencabut nyawa. Han Cia Sing
bertindak cepat membuang tubuhnya ke samping dan
memukulkan tongkat kayunya ke tubuh serigala yang paling- 52 kecil. Serigala itu mengeluarkan suara melolong ketakutan
saat tubuhnya melayang ke udara. Han Cia Sing bergulingan
di rumput menerobos kepungan serigala buas itu dan segera
setelah berdiri ia berlari sekencang-kencangnya.
Gerombolan serigala itu tentu tak mau melepaskan
mangsanya begitu saja. Mereka mengejar Han Cia Sing
dengan ganas sambil menyalak-nyalak.
Orang yang paling berani sekalipun pasti akan ciut
nyalinya jika sendirian dikejar gerombolan serigala buas di
padang rumput yang luas itu. Han Cia Sing juga tidak
terkecuali. Ia berlari sekencang yang ia bisa sambil berteriak
minta tolong berharap ada yang mendengar dan
menolongnya. Tapi siapakah yang akan menolong Han Cia
Sing di tengah padang tak hertuan ini. Beberapa ekor
serigala yang terdepan sudah mulai mampu mengejar Han
Cia Sing. Mereka mencoba mencakar dan menggigit kaki
Han Cia Sing. Mantel bulu yang disematkan I lan Cia Sing
di pinggang bawahnya sudah robek-robek tak berbentuk
demikian pula bagian bawah celananya. Darah mulai
menetes dari luka-luka cakaran sehingga membuat
gerombolan serigala itu semakin buas mencium bau darah.
Han Cia Sing berlari sekuat tenaga, sudah tidak lagi
memperhatikan arah tujuannya, yang terpenting lolos dari
hadangan gerombolan serigala, la berlari sekuat tenaga
menuju hutan pinus yang tampak di depannya. Meskipun
hutan itu tidak lebat, tapi Han Cia Sing berharap bisa
menyelamatkan diri bila ia memanjat salah satu pohon di- 53 antaranya. Napasnya sudah mulai tersengal-sengal karena
kecapaian, entah sudah berapa li ia berlari. Namun kawanan
serigala itu tampaknya tidak mau menyerah mengejarnya.
Ketika Han Cia Sing mulai memasuki tepi hutan pinus itu.
ia berusaha mencari pohon yang cukup tinggi dan besar
untuk dapat ia panjat tapi sayangnya setiap kali ia baru mulai
memanjat, seekor dua ekor serigala terdepan selalu
menggigit dan menyeret celananya sehingga ia terjatuh
kembali sebelum naik jauh.
Han Cia Sing sudah mulai putus asa. Luka-luka di
kakinya cukup banyak, menimbulkan rasa nyeri dan mati
rasa perlahan-lahan menyerangnya. Jika ia tidak segera
menemukan tempat berlindung, agaknya nyawanya benarbenar akan tamat hari ini dicabik-cabik oleh binatang liar.
Saat antara hidup mati itu. Han Cia Sing teringat akan
ayahnya, ibunya Pai Lien. Chen Yi-ma. paman Lu Xun Yi
dan teman-temannya di barak benteng Teng serta semua
orang yang dikasihinya. Han Cia Sing berusaha berlari terus
sambil minta tolong, sampai akhirnya kekuatannya benarbenar habis. Ia jatuh terjerembab ke lantai hutan dan
terguling-guling. Serigala-serigala buas yang mengejarnya
tidak melepaskan kesempatan ini. Mereka menerkam,
menggigit dan mencakar Han Cia Sing. berusaha
memakannya hidup-hidup. Han Cia Sing berusaha matimatian melawan. Ia bergulingan di tanah sambil
mengayunkan tongkat gembalanya kesana kemari dengan
gerakan liar tapi makin lama gerakannya makin lemah. Ia
sudah hampir sampai pada batas kekuatan dan- 54 kesadarannya. Iblis neraka yang menjelma dalam
gerombolan serigala buas itu terasa begitu dekat
menghampiri dirinya. Mereka seperti menarik-nariknya
memasuki pintu neraka tapi Han Cia Sing masih berusaha
bertahan. Ia bangkit berdiri dengan sisa tenaga terakhir dan
berusaha lari kembali.
Saat itulah serigala yang paling besar melompat
menerkam Han Cia Sing tepat di dadanya sehingga ia
terbanting jatuh ke tanah dan pingsan. Serigala itu setelah
berhasil merobohkan mangsanya, berusaha menggigit perut
Han Cia Sing dengan taring-taringnya yang tajam. Tapi
betapa terkejutnya serigala itu ketika tanah yang menyangga
tubuh Han Cia Sing runtuh ke bawah membawa serta
serigala besar tadi! Sekarang mangsa dan pemangsa samasama tidak berdaya, jatuh tegak lurus ke dalam lubang gua
yang entah sudah berapa lama tertimbun dedaunan dan
rumput hutan. Han Cia Sing dan serigala besar tadi akhirnya
jatuh berdebam ke dasar lubang dengan keras. Serigalaserigala lainnya segera melarikan diri melihat pemimpin dan
mangsa mereka lenyap ditelan bumi dalam arti yang
sebenarnya!
***- 55 13. Kedamaian Abadi
an Kuo Li terbangun dengan tubuh bersimbah peluh
Wajahnya pucat dan napasnya tidak teratur. Ye Ing
yang tidur di sebelahnya ikut terjaga karena kaget. Ia segera
bangun dari pembaringan dan menuangkan secangkir teh
panas untuk suaminya itu.
"Suamiku, silakan minum secangkir teh ini untuk
menenangkan dirimu" kata Ye Ing sambil memberikan
cangkir itu kepada Han Kuo Li.
Han Kuo Li mengambil cangkir itu dan meminumnya
sampai habis, la merasa agak baikan sekarang. Ye Ing
dengan telaten membasuh keningnya yang basah oleh
keringat dengan kain.
"Suamiku, apakah engkau bermimpi buruk lagi?"
tanya Ye Ing.
Han Kuo Li mengangguk lemah. Ini adalah mimpinya
yang kesekian kali dalam beberapa bulan ini. Mimpi buruk
yang sama selalu menghantui dirinya sejak berita kematian
Han Cia Sing sampai kepadanya. Dalam mimpinya. Han Cia
Sing dicabik-cabik oleh puluhan serigala buas. Anaknya itu
berteriak-teriak minta tolong kepadanya, tapi Han Kuo Li
seperti tidak mampu bergerak sama sekali. Tubuh anak
keduanya itu hancur tak berbentuk dijadikan mangsa
puluhan serigala sementara ia sama sekali tidak dapat
H- 56 membantu. Betapa tragis dan mengerikan akhir kematian
Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Han Cia Sing dalam mimpinya!
Han Kuo Li bangkit berdiri dari pembaringannya, la
membuka jendela kamar yang menghadap ke kamar. Musim
panas sudah hampir digantikan oleh musim gugur. Daundaun persik dan lonceng biru berguguran di taman. Cuaca
malam hari masih cukup hangat sehingga tidak perlu
memakai pakaian tambahan. Bintang-bintang berkilauan
bagaikan intan bertebaran di langit luas. Meski cuaca begitu
bagus, tapi Han Kuo Li malah menghela napas panjang.
Ye Ing kembali mendekati suaminya.
"Suamiku, sudahlah lupakan. Kesedihanmu tidak
akan membuat Cia Sing hidup kembali" kata Ye Ing.
"Benar, apa yang engkau katakan memang benar
istriku. Tapi kematian Sing-er terlalu muda dan tragis. Ia
berteriak minta tolong dalam mimpiku, tapi aku tidak
berdaya apa-apa Aku sungguh gagal menjadi seorang ayah"
kata Han Kuo Li sambil lagi-lagi menghela napas panjang.
Ye Ing tidak berkata apa-apa lagi. Pembicaraan ini
tidak menarik baginya. Pai Lien dan Han Cia Sing adalah
masa lalu yang sudah terkubur. Ia menganggap masalah itu
sudah selesai, tapi Han Kuo Li selalu mengingatkannya akan
mereka. Dalam hati ia merasa sangat kesal dengan sikap
suaminya tapi ia pendam saja.- 57 Keesokan harinya seperti biasa Han Kuo Li bersiap
berangkat ke gerbang selatan kerajaan untuk memulai
patroli keliling kotaraja. Paman Tung mempersiapkan baju
besi dan tombak cagak yang biasa disandang oleh Han Kuo
Li. Pasukan ronda kotaraja sudah menunggu Han Kuo Li di
gerbang depan siap untuk memulai ronda. Tiba-tiba
terdengar seruan pasukan yang memberitakan kedatangan
utusan Kaisar pembawa titah. Seluruh pasukan ronda segera
berlutut ketika utusan Kaisar lewat. Pelayan pintu kediaman
keluarga Han segera membukakan pintu gerbang dan
membungkuk dalam-dalam kepada utusan Kaisar.
Han Kuo Li sendiri merasa heran melihat utusan
Kaisar datang pagi-pagi ke kediamannya. Hal ini bukan hal
yang biasa. Terakhir kali hal seperti ini terjadi adalah saat ia
ditugaskan untuk berperang ke semenanjung Korea tiga
tahun lalu. Han Kuo Li belum sempat berpikir terlalu jauh
karena utusan Kaisar telah sampai di aula utama.
"Jenderal Empat Gerbang Han Kuo Li harap
menerima perintah!" teriak utusan Kaisar sambil membuka
kain gulungan titah berwarna kuning.
Han Kuo Li dan semua yang hadir di aula utama
segera berlutut mendengarkan titah Kaisar Gao A?ng
Dewi Ular Misteri Santet Iblis Pendekar Naga Putih 66 Siluman Gurun Setan Cinta Cewek Pengintai Karya Rani
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama