Ceritasilat Novel Online

Rimba Persilatan Naga Harimau 8

Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An Bagian 8


"Aku hanyalah seorang pedagang kecil tidak bernama
dan maafkan aku tidak bisa mengatakan alasan menghajar
pasukan ini pada tuan" kata Han Cia Pao berusaha
menghindar.
Alis mata tebal pendekar itu naik mendengar jawaban
Han Cia Pao.
"Seorang pedagang kecil tidak mungkin menghajar
tiga puluh prajurit kerajaan yang bersenjata lengkap.- 138 Rasanya aku pernah mengenal jurus-jurus yang kau pakai,
bolehkah aku tahu nama gurumu jika memang engkau tidak
bernama?" tanya pendekar itu dengan nada mulai meninggi.
Han Cia Pao yang tahu dirinya tidak mungkin
menghindar lagi. berniat mengakhiri perkenalan ini.
"Maaf aku harus segera pergi" katanya sambil
menjura dan berjalan pergi.
"Berhenti! Apakah aku begitu rendah sehingga tidak
boleh mengetahui siapakah gurumu?" bentak pendekar itu
dengan marah. Tampaknya ia sudah kehabisan kesabarannya sekarang.
Han Cia Pao sendiri sejak kecil adalah keturunan
bangsawan dan jenderal besar sehingga semua orang selalu
menaruh hormat kepadanya, la tidak biasa diperlakukan
kasar oleh orang lain sehingga meskipun saat ini ia berstatus
seorang buronan, tapi sifat tuan mudanya tetap melekat pada
dirinya. Mana boleh ia dibentak-bentak oleh orang lain yang
baru sekali ini bertemu? Apalagi suasana hatinya sedang
tidak enak dan pendekar setengah baya ini barusan sudah
memukulnya sekali. Tadi ia bersikap hormat karena sejak
kecil ia selalu diajarkan sopan santun dan etika kerajaan
yang ketat, tapi sekarang darah muda Han Cia Pao kembali
menggelegak, la menoleh dan menatap mata pendekar
setengah baya itu dengan tajam.- 139 "Tuan. kita tidak saling mengenal jadi mengapa harus
mencampuri urusan satu dengan lainnya?" katanya dengan
nada marah.
Dua harimau tidak bisa berada dalam satu gunung
demikian pula dua pendekar marah tidak boleh saling
bertemu. Cheng Pu yang bersembunyi di semak-semak
semakin cemas menyaksikan perkembangan yang terjadi. Ia
tidak pernah tahu siapa pendekar setengah baya bersenjata
golok itu tapi tampaknya ia bukanlah orang sembarangan.
Sanggupkah Han Cia Pao menghadapinya? Para prajurit
ronda dan komandannya yang babak belur pun dapat
merasakan hawa pertarungan semakin meningkat. Mereka
mundur beberapa langkah untuk memberikan tempat yang
lebih luas bagi kedua pendekar yang sudah siap-siap maju
bertarung.
"Anak muda. apakah ini sikap hormatmu kepada yang
lebih tua?" tanya pendekar setengah baya itu ketika melihat
Han Cia Pao melipat lengan baju pakaian pedagangnya agar
lebih ringkas dalam bertarung.
"Aliran sungai Yang Tse yang belakang mendorong
aliran yang di depan. Generasi tua akan digantikan oleh
generasi muda" kata Han Cia Pao tidak menghiraukan
teguran. Kemarahannya yang selama ini terpendam baru
saja dilampiaskan kepada para prajurit tapi ditahan oleh
orang ini dan sekarang ia menantangnya bertarung. Sehebat
apapun ilmu orang ini ia tidak peduli lagi. ia hanya ingin
melampiaskan kemarahannya saja. tidak perlu ditahan lagi.- 140 "Tampaknya kau sudah bertekad bertarung
melawanku anak muda. Aku tidak ingin dikatakan
membodohi yang muda. Senjataku adalah golok, kau pilih
satu senjatamu sendiri di antara pedang, golok dan tombak
prajurit" kata pendekar itu sambil mempersilakan Han Cia
Pao memilih senjatanya.
"Aku pilih tombak" kata Han Cia Pao tentu saja.
"Bagus! Prajurit, lemparkan tombakmu" perintah
pendekar itu kepada seorang prajurit tombak.
Han Cia Pao menerima lemparan tombak itu dengan
satu tangan dan langsung memutarnya dengan cepat
sehingga menimbulkan bunyi bersiuran. Pendekar itu
langsung menyadari bahwa Han Cia Pao seorang ahli
tombak yang tidak dapat dipandang enteng.
"Aku lebih tua. akan mengalah tiga jurus dari mu!"
katanya sambil mengacungkan tangan kepada Han Cia Pao
untuk memulai pertarungan.
"Aku tidak akan sungkan lagi. Lihat tombak!" kata
Han Cia Pao sambil maju menerjang, la menyerang dengan
jurus-jurus maut untuk segera mengakhiri pertarungan.
Gerakan tombaknya sama sekali tidak memberikan
kesempatan pendekar setengah baya itu untuk
mengembangkan jurusnya sendiri. Mungkin juga pendekar
setengah baya itu menyesal sekarang karena mengatakan
akan mengalah tiga jurus. Ia terdesak hebat oleh jurus-jurus
tombak Harimau Putih yang memang luar biasa, tapi- 141 tampaknya ia lebih terkejut lagi mengetahui Han Cia Pao
sanggup menguasai jurus-jurus sakti milik almarhum
Jenderal Besar Sie Ren Kui itu.
Pendekar itu segera melompat mundur sampai di luar
jangkauan tombak, la mengacungkan tangan menghentikan
serangan lanjutan Han Cia Pao.
"Mengapa engkau berhenti? Apakah engkau sekarang
takut denganku?" tanya Han Cia Pao dengan perasaan
menang.
Pendekar setengah baya itu menggelengkan
kepalanya.
"Aku Feng Ming. tidak pernah takut dengan apapun
seumur hidupku. Aku hanya ingin bertanya darimana kau
curi ilmu Tombak Harimau Putih ini!" kata pendekar yang
bernama Feng Ming itu dengan nada mengancam. Suaranya
sangat berwibawa sehingga Han Cia Pao merasa agak segan
sekarang, la seperti seorang anak kecil yang tertangkap
tangan mencuri apel di kebun orang.
"Aku tidak mencurinya! Almarhum Jenderal Sie Ting
San sendirilah yang mengajarkan kepada ayahku!" kata Han
Cia Pao sebelum menyadari ia telah kelolosan bicara.
"Ayahmu diajarkan sendiri oleh Jenderal Sie Ting
San? Berarti engkau adalah putra pertama dari pemberontak
Han Kuo Li. Han Cia Pao?" kata Feng Ming sambil
memandang tajam kepada Han Cia Pao.- 142 "Ayahku bukan pemberontak!" bentak Han Cia Pao
dengan marah. Kata-kata Feng Ming barusan seperti
menambahkan kayu bakar ke dalam perapian, membuat
kemarahan Han Cia Pao meledak kembali. Ia maju
menerjang dengan ganas. Tombaknya melakukan tusukan
dengan kecepatan yang sulit dilihat mata biasa, menyebar
menjadi puluhan bayangan tombak yang mengurung semua
jalan mundur Feng Ming. Inilah jurus maut Pai Hu Fei
(Harimau Putih Terbang). Dulu Jenderal Besar Sie Ren Kui
yang mempunyai tenaga luar biasa, sanggup menggunakan
jurus ini untuk melakukan empat puluh tusukan tombak
sekaligus dalam sekali napas. Han Cia Pao belum sehebat
itu tapi ia sudah sanggup melakukan empat belas tusukan
tombak dalam satu hembusan napas.
Feng Ming mau tak mau meloloskan golok naganya
untuk menghadapi jurus luar biasa ini jika tidak ingin
terluka. Bunyi golok berdesing menyakitkan telinga
memecah udara, langsung menghadang empat belas tusukan
tombak Pai-Hu-Fei. Bunga api meledak di udara saat kedua
senjata bertemu. Han Cia Pao mundur beberapa langkah ke
belakang sambil merasakan pangkal lengannya mati rasa
sedangkan Feng Ming masih tegak berdiri sambil
menyilangkan golok naga di dadanya.
"Bagaimana Han Cia Pao. apakah kau akan
menyerahkan diri untuk dibawa ke kotaraja atau harus aku
membuatmu takluk terlebih dulu?" tanya Feng Ming dengan
nada penuh keyakinan.- 143 Han Cia Pao tidak menjawab kali ini. Lengannya
masih kebas akibat benturan barusan sehingga ia bisa
mengira kehebatan lawan masih dua tingkat di atasnya. Ia
tidak punya pilihan lain selain bertarung habis-habisan demi
kehormatan diri dan keluarga Han. Dulu ayahnya pernah
bercerita tentang kehebatan San Ta Wang Pao (Tiga Besar
Pengawal Kerajaan) yang tak terkalahkan pada jamannya.
Wang Dao Feng Ming (Feng Ming sang Golok Raja) adalah
pendekar kedua dari Tiga Besar Pengawal Kerajaan yang
juga merupakan sepupu luar dari kaisar terdahulu sehingga
amat dihormati di kalangan istana. Setelah kaisar terdahulu
mangkat. Feng Ming mengundurkan diri ke selatan dan
sejak saat itu namanya jarang terdengar lagi di dunia
persilatan. Mungkinkah yang dihadapi Han Cia Pao saat ini
adalah Feng Ming sang Golok Raja yang melegenda itu?
Jika benar, maka tidak heran jika pada benturan pertama saja
ujung mata tombaknya sudah hilang secuil karena golok
yang disandang Feng Ming adalah golok sakti Lung Wang
Dao (Golok Raja Naga).
"Apakah engkau menyerah sekarang?" tanya Feng
Ming kembali setelah beberapa saat Han Cia Pao berdiam
diri.
"Aku bukan pemberontak, mengapa harus
menyerah?" sergah Han Cia Pao dengan nada sinis.
"Memang engkau belum bertobat jika belum melihat
peti mati di depan hidungmu!" bentak Feng Ming dengan
kesal.- 144 la sebenarnya bisa mengalahkan Han Cia Pao
mungkin tidak lebih dari lima puluh jurus, tapi ia menahan
diri untuk turun tangan takut mendapat julukan hanya
menang melawan anak kecil. Tapi melihat kekerasan hati I
lan Cia Pao. tampaknya mau tak mau ia harus maju
bertarung sendiri karena para prajurit ronda kelihatannya
sudah kapok bertarung dan hanya menonton saja dari
pinggir lapangan.
Feng Ming memutar goloknya dengan ganas sehingga
menimbulkan angin menderu. Ia ingin menyelesaikan
pertarungan secepat mungkin agar bisa menangkap Han Cia
Pao dan membawanya ke kotaraja. Serangan golok Raja
Naganya tidak main-main lagi sekarang. Han Cia Pao
melihat sabetan golok yang ganas ini tidak berani langsung
menghadang karena takut tombaknya akan patah ditebas
golok sakti, la memilih bertarung tidak langsung dengan
memutar tombaknya melindungi tubuh. Hawa golok yang
sangat kuat menebas pertahanan Han Cia Pao dengan
bertubi-tubi sampai ia kewalahan. Nyaris saja tombaknya
terlepas dari pegangan ketika Golok Raja Naga membentur
pangkal tombaknya dengan keras sekali. Han Cia Pao
sampai terhuyung-huyung mundur beberapa langkah karena
kuatnya serangan lawan.
Feng Ming tidak memberi kesempatan Han Cia Pao
untuk bernapas barang sejenak, la terus merangsek maju
sambil mengangkat golok mautnya tinggi-tinggi. Ini adalah
jurus tebasan maut Lung Wang Fen Ti (Raja Naga Memisah- 145 Bumi) yang sanggup membelah batu karang dengan mudah.
Han Cia Pao kaget melihat lawannya menyerang dengan
jurus maut. langsung berguling-guling ke samping
menghindari hawa tebasan golok yang menghajar
tempatnya berdiri.
"Blarrrr!!"
Suara tanah meledak memekakkan telinga ketika
Golok Raja Naga menghantam tanah. Debu dan pasir
berhamburan menutupi pandangan mata para prajurit dan
Cheng Pu yang masih berlindung di balik semak-semak
agak jauh dari tempat pertarungan. Serangan barusan begitu
kuat dan hebat sehingga mereka bertanya-tanya apakah Han
Cia Pao bisa selamat melewati jurus Lung Wang Fen Ti ini.
"Anak muda. aku kagum kepadamu. I idak banyak
pendekar yang bisa melewati jurusku yang satu ini*' kata
Feng Ming memuji. Tampaknya ia tahu Han Cia Pao dapat
lolos dari goloknya meskipun hamburan pasir dan debu
masih belum mereda dari tempat penarungan.
Ternyata memang benar apa yang dikatakan Feng
Ming. Dari kabut pasir dan debu itu. Han Cia Pao muncul
dengan tiba-tiba sambil menusukkan tombaknya. Ia
berteriak menyerang dengan kekuatan penuh sambil
memanfaatkan pasir debu yang menutupi medan
pertarungan. Jurus yang dipakai Han Cia Pao ini sama
dengan jurus yang pernah dilatih ayahnya di halaman
belakang kediaman keluarga Han yaitu jurus penggabungan- 146 tenaga dalam dengan ilmu tombak, jurus Pai Hu Cai Si Lin
(Harimau Putih di Hutan Barat). Keunikan jurus ini adalah
kemampuannya untuk menyedot apa saja yang ada di
sekeliling gagang tombak untuk ikut ditusukkan kepada
lawan sehingga lawan tidak hanya harus menahan tombak
tapi juga harus menghindari serangan tenaga dalam
berwujud pasir dan debu.
Feng Ming berseru kagum melihat kedahsyatan jurus
ini. Setelah lama mengundurkan diri. ia jarang sekali
bertemu lawan yang tangguh. Hari ini tidak disangka-sangka
ia bisa menemui lawan tangguh yang memaksanya
mengeluarkan jurus-jurus simpanan sehingga membuat
darah pendekarnya kembali bergelora. Golok Raja Naganya
bergetar keras menahan ams tenaga dalam yang dikerahkan
Feng Ming. yang kemudian dengan satu sentakan keras
memutar Golok Raja Naganya. Hawa tebasan golok
langsung membuyarkan serangan tenaga tusukan tombak
sehingga pasir dan debu berhamburan ke samping Feng
Ming.
Meskipun berhasil membuyarkan serangan tenaga
tombak, tapi masih ada lagi serangan tusukan tombak yang
tak kalah dahsyatnya mengarah langsung ke dada Feng
Ming. Tombak Han Cia Pao seakan sudah tak terbendung
lagi menusuk dada lawannya, tapi tepat pada saat terakhir.
Feng Ming memiringkan Golok Raja Naganya sebagai
tameng menahan tombak.- 147 Han Cia Pao yang melihat serangannya gagal, tidak
berhenti sampai di situ. Ia mengalirkan tenaga dalamnya
sampai puncak dan terus maju menusuk Feng Ming sambil
memutar badan bak baling-baling untuk menambah
kekuatan serangan. Feng Ming kaget melihat perubahan
jurus yang nekat ini. Ia terseret mundur ke belakang sambil


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus menahan tombak Han Cia Pao yang menyerangnya
bagai bor. Bunga api berloncatan kemana-mana karena
gesekan mata tombak dengan Golok Raja Naga. membuat
mereka yang menyaksikan menahan napas karena tegang.
Feng Ming sendiri tentu tidak mau dipecundangi
seorang anak ingusan di depan para prajurit kerajaan.
Sambil berteriak keras, ia meledakkan seluruh tenaga
dalamnya menahan serangan tombak puntir. Siasat Feng
Ming ini berhasil menahan serangan dan ia tidak lagi terseret
ke belakang. Han Cia Pao terus menyerangnya dengan
tenaga penuh sampai gagang tombaknya melengkung
seperti busur dan akhirnya patah karena tidak kuat menahan
gempuran dua tenaga dalam yang saling menyerang.
Serangan Han Cia Pao terus berlanjut dengan telapak tangan
berisi kekuatan penuh bersiap menghajar dada Feng Ming.
yang segera disambut Feng Ming dengan tenaga penuh pula.
"Plakkk!!"
Han Cia Pao terlempar dua tiga tombak ke belakang
sedangkan Feng Ming hanya mundur dua langkah. Ini saja
sudah menunjukkan siapa yang lebih unggul. Belum lagi
lengan Han Cia Pao yang berbenturan tadi terasa kebas dan- 148 telapak tangannya pecah-pecah sehingga ia perlu
memulihkan napas sejenak untuk mengatur aliran darahnya
yang kacau. Feng Ming sendiri tampaknya tidak ingin
membuang-buang waktu lagi dan kembali menyerang I lan
Cia Pao sebelum ia pulih.
Golok Raja Naga berdesing di udara seakan-akan
seekor naga yang hidup sedang mengejar mangsanya. I lan
Cia Pao yang kini tidak memegang senjata apapun semakin
terdesak. Ia hanya bisa menangkis dan menghindar saja.
tampaknya tinggal menunggu waktu untuk tertawan oleh
Feng Ming. Bahkan pada satu kesempatan. Golok Raja Naga
berhasil merobek jubah pedagang I lan Cia Pao. Darah segar
menetes dari luka sabetan golok di dada I lan Cia Pao. la
terhuyung-huyung mundur sementara Feng Ming terus
mengejar dengan ganasnya.
Pada saat yang benar-benar genting itu. sekelebat
bayangan emas seolah terbang melewati kepala para prajurit
yang tengah menonton pertarungan. Mereka hanya
merasakan kibasan angin di atas kepala mereka sebelum
sadar ada seorang yang berilmu ringan tubuh luar biasa telah
terbang lewat di atas mereka menuju ke arah Feng Ming
yang tengah mengejar Han Cia Pao. Sosok berbaju emas itu
benar-benar lihai karena hanya dalam satu genjotan ringan
saja ia sudah berada di antara Feng Ming dan Han Cia Pao.
Kedua tangan merangkap di dada dan berputar satu
lingkaran penuh sebelum memuntahkan tenaga dalam
dahsyat.- 149 "Tien Lung la Fa?!" teriak Feng Ming kaget ketika
mengenali jurus dahsyat itu. Ia segera menyingkir sambil
memutar Golok Raja Naga melindungi tubuhnya. Reaksinya
ternyata tepat sekali karena tenaga dalam yang dimuntahkan
pendekar berbaju emas itu sanggup meledakkan tanah
dengan kekuatan lebih dahsyat dari jurus Lung Wang Fen
Ti! Debu dan pasir sekali lagi memenuhi lapangan itu.
Bahkan Cheng Pu yang menonton dari jauh pun tidak dapat
memandang dengan jelas apa yang terjadi karena terhalang
tirai pasir. Ia hanya dapat melihat dua bayangan berlari cepat
sekali meninggalkan arena pertarungan. Siapapun yang
barusan datang kelihatannya tidak berniat jahat terhadap
Han Cia Pao sehingga Cheng Pu memutuskan untuk kembali
sa|a ke kapal dagang dan memikirkan rencana selanjutnya,
la berjingkat-jingkat meninggalkan tempat persembunyian
nya dan segera berlari sekencang-kencangnya setelah
merasa keadaan aman. la harus segera tiba kembali di kapal
dagang dan berlayar menjauhi kota Xin Ye sebelum ada
pencarian besar-besaran terhadap Han Cia Pao.
Sesaat kemudian Cheng Pu sudah tiba di wilayah
dermaga. Kapal dagang mereka masih bersandar dengan
damai di tepian dermaga bersama beberapa perahu lainnya.
Cheng Pu menghembuskan napas lega melihat keadaan ini
yang berarti pasukan kerajaan belum mengendus tempat
persembunyian mereka. Tapi sesaat kemudian langkahnya
terhenti dan ia terbengong-bengong menyaksikan Han Cia- 150 Pao sedang bercakap-cakap dengan pendekar berbaju emas
tadi di geladak perahu. Cheng Pu tadi merasa sudah berlari
dengan amat kencang tapi bagaimana mereka tiba lebih
dahulu di kapal. Apakah mereka terbang? Cheng Pu
menggelengkan kepalanya tidak percaya. Para pendekar
memang mempunyai ilmu-ilmu luar biasa yang tidak dapat
dimengerti orang biasa. Bukankah tadi ia sudah
menyaksikan sendiri kedahsyatan tenaga dalam pendekar
berbaju emas itu yang sanggup meledakkan hampir separuh
lapangan rumput?
Han Cia Pao menyambut kedatangan Cheng Pu yang
menjura memberi hormat kepadanya.
"Tuan muda. syukurlah anda selamat" kata Cheng Pu.
"Jadi engkau tadi menyaksikan kehebatan pendekar
Yang yang telah menyelamatkan nyawaku ini?" tanya Han
Cia Pao dengan gembira seolah melupakan ancaman maut
yang baru saja menghadangnya.
"Benar, hamba melihatnya. Sungguh hebat sekali
tuan muda" jawab Cheng Pu membenarkan. Han Cia Pao
tertawa lebar dan berpaling memandang pendekar berbaju
yang bermarga Yang itu.
"Yang-siung (saudara Yang) silakan masuk ke dalam
perahuku. Kuharap engkau tidak menganggap rendah
tempatku yang sederhana ini" kata Han Cia Pao mempersilakan tamunya masuk ke dalam perahu.- 151 Pendekar berbaju emas itu menjura sambil tersenyum
juga.
"Han-siung. engkau terlalu merendah. Persahabatan
tidak memandang tinggi rendah dan kaya miskin seseorang.
Silakan!"' katanya balas mempersilakan Han Cia Pao.
Mereka kemudian masuk ke dalam ruangan perahu
bersama-sama. Fu Yung Er segera menyuguhkan arak
terbaik yang ada kepada pendekar Yang.
"Silakan!" kata keduanya berbarengan sambil
meneguk arak dalam cangkir sampai habis. Pertarungan
dengan Feng Ming tadi benar-benar menguras tenaga Han
Cia Pao. Arak hangat begitu menyegarkan semangatnya
sehingga ia menambah beberapa cangkir lagi. Pendekar
Yang yang melihatnya minum dengan semangat menjadi
ikut bersemangat menambah minumnya.
"Yang-siung. aku mengucapkan terima kasih sekali
lagi atas pertolonganmu. Ilmu anda juga begitu hebat
sehingga bisa membuat Wang Dao Feng Ming pun tidak
berkutik. Bolehkah aku mengetahui dari perguruan mana
Yang-siung berasal?" tanya Han Cia Pao sambil menambah
arak ke dalam cangkir sahabat yang baru dikenalnya itu.
"Han-siung. karena engkau begitu menghargai maka
aku akan berterus-terang kepada anda. Margaku Yang dan
namaku Ren Fang. aku berasal dari partai Naga Langit. Tien
Lung Men" kata pendekar Yang Ren Fang dengan nada
merendah.- 152 "Tien Lung Men?!" Han Cia Pao berseru kaget.
"Bukankah itu adalah partai persilatan nomor satu di
daratan tengah? Jika demikian ada hubungan apa Yangsiung dengan pendekar Jien Wei Cen?" tanya Han Cia Pao
yang masih belum hilang kekagetannya.
"Beliau adalah ayah mertuaku" jawab Yang Ren Fang
lagi.
"Pantas, tidak heran ilmu silat Yang-siung begitu
hebat" kata Han Cia Pao sambil menjura hormat.
"Han-siung. tidak perlu berlebihan. Kita sama-sama
pendekar, tidak ada istilah tinggi rendah" kata Yang Ren
Fang balas menjura.
"Hahaha. bagus mari kita bersulang lagi", kata Han
Cia Pao sambil mengangkat cangkir dan meminumnya
sampai habis. Ia begitu senang bertemu Yang Ren Fang.
tidak saja karena ia merupakan penyelamatnya, tapi juga
karena sifat Yang Ren Fang yang terbuka dan umur mereka
sepantaran sehingga Han Cia Pao merasa sudah
mengenalnya bertahun-tahun. Mereka berbincang-bincang
dengan akrab dan Han Cia Pao tidak ragu mengutarakan
kisahnya sampai ia menjadi buronan kerajaan dan bertemu
dengan Feng Ming. Sambil mengangguk paham. Yang Ren
Fang memberikan nasihatnya kepada Han Cia Pao.
"Han-siung. aku ikut berduka cita atas apa yang
terjadi pada keluargamu. Jika memang Yang-siung sedang- 153 dalam perjalanan menuju Han Jin. sudikah kiranya Yangsiung mampir sejenak di daerah Yi Chang. markas besar
Tien Lung Men untuk berkunjung ke rumahku?"
Han Cia Pao ragu-ragu sejenak. Ia sekarang adalah
seorang buronan kerajaan sehingga tidak ingin melibatkan
siapapun dalam masalah. Yang Ren Fang seakan tahu
pikirannya yang ragu-ragu.
"Sekarang ini tempat yang paling aman bagimu
adalah markas Tien Lung Men. Apalagi tadi kudengar Hansiung bercerita tentang ibunda Han yang sedang sakit, mana
mungkin bisa berjalan jauh? Lebih baik beristirahat di Yi
Chang sambil menunggu ibu Han-siung pulih. Sedangkan
mengenai Jenderal Song Wei Hao. aku akan menyuruh anak
buah Tien Lung Men untuk mencarinya. Tenang saja dalam
beberapa hari pasti ada kabarnya, karena anak buah Tien
Lung Men berjumlah ribuan dan tersebar di mana-mana.
Han-siung engkau tidak perlu ragu-ragu lagi" kata Yang Ren
Fang meyakinkan Han Cia Pao.
"Tapi... aku tidak ingin melibatkan Yang-siung dan
Tien Lung Men dalam masalah keluargaku" kata Han Cia
Pao masih ragu-ragu sejenak.
"Kami teecu Tien Lung Men selalu menghargai
orang-orang gagah. Kuharap Han-siung tidak ragu-ragu
lagi. Pasukan kerajaan dan pendekar leng Ming pasti akan
segera mencarimu di daerah ini. Semakin cepal kila pergi
ak;in semakin baik bagi kita" kala Yang Ken lang.- 154 Akhirnya Han Cia Pao mengangguk setuju. Apa yang
dikatakan Yang Ken Tang barusan masuk akal sekali.
Dalam hatinya Han Cia Pao memaki dirinya sendiri karena
tadi mencari gara-gara dengan pasukan kerajaan hanya
untuk melampiaskan kemarahannya saja I Uitung saja tadi
ada seorang jago muda Tien Lung Men yang menolongnya,
jika tidak pastilah kini ia dan ibunya sudah diseret sebagai
tahanan ke kotaraja.
Han Cia Pao keluar ke haluan kapal dan memberi
perintah kepada Cheng Pu untuk segera mengangkat sauh
dan berangkat ke hilir sungai. Yang Ren Tang yang ikut
keluar menuju haluan kapal dan bersuit keras, hntah
darimana datangnya, tiba-tiba sudah muncul dua orang yang
meloncat naik ke atas kapal dengan gerakan yang ringan
sekali. Bahkan kapal pun tidak terasa bergoyang ketika
mereka mendarat di atas dek kapal menandakan ilmu
mereka berdua bukanlah sembarangan.
Han Cia Pao mengamati dua tamunya dengan
seksama karena penampilan mereka yang aneh dan tidak
seperti manusia kebanyakan. Yang seorang adalah kakekkakek bungkuk yang berwajah tua sekali sehingga Han Cia
Pao merasa pasti umurnya sudah lebih dari seratus tahun.
Kakek itu memakai pakaian merah seperti pakaian
pengantin sehingga kelihatan bertambah aneh. Sedangkan
yang seorang lagi tinggi kurus, wajahnya pucat sekali seperti
mayat dan matanya sayu. Pakaiannya putih sehingga
menambah seram penampilannya. Di punggungnya terselip- 155 toya besi ganda yang disilangkan di punggungnya. Han Cia
Pao bertanya-tanya dalam hati. inikah dua dari sekian
banyak jago-jago Tien Lung Men yang terkenal itu?
Kedua orang itu menjura menghormat kepada Yang
Ren Fang.
"Tuan muda, ada perintah apakah?" kata mereka
berbarengan.
"Hong Cu Chung (Leluhur Merah) dan Gao Guen
(Toya Tinggi) dengarkan perintahku! Kalian pergi dulu
kembali ke Yi Chang dan sampaikan pesanku kepada tuan
muda pertama bahwa aku akan datang bersama seorang
tamu istimewa. Cari juga keberadaan Jenderal Song Wei
Hao di seluruh penjuru negeri. Setelah selesai kalian tunggu
aku tiba di daerah Jiang Ling" perintah Yang Ren Fang
dengan berwibawa.
"Kami menerima perintah!" sahut Hong Cu Chung
dan Gao Guen berbarengan kemudian mereka meninggalkan perahu dengan sama cepatnya seperti saat mereka
datang tadi.
Han Cia Pao terkagum-kagum menyaksikan ketaatan
anak buah Yang Ren Fang yang hampir mirip dengan
ketaatan para prajurit terhadap pangerannya. Tidak heran
jika Tien Lung Men bisa berkembang sampai menjadi partai
nomor satu di dunia persilatan.- 156 "Nah. Han-siung sekarang kita bisa berlayar menuju
daerah Jiang Ling dengan sambil minum arak dan
berbincang dengan tenang" kata Yang Ren Fang sambil
tersenyum.
"Terima kasih atas keramahan Yang-siung. Aku dan
ibuku mengucapkan banyak terima kasih" kata Han Cia Pao
sambil menjura sekali lagi.
"Tidak usah sungkan, aku yakin banyak saudaraku di
Tien Lung Men akan menyambut kalian dengan gembira"
kata Yang Ren Fang.
Mereka berdua melanjutkan bercakap-cakap dengan
akrab di haluan kapal yang sekarang berlayar membelah
sungai dengan anggun. Udara sore hari yang sejuk
menambah indah suasana tepian sungai. Akhirnya Han Cia
Pao dan Ye Ing mempunyai tempat untuk menyandarkan
kepala barang sejenak setelah selama ini hidup tak tenang
makan tak enak selalu dikejar-kejar tentara kerajaan. Tidak
disangka-sangka mereka akan ditolong oleh Yang Ren Fang
yang merupakan menantu pendekar tanpa tandingan di
dunia persilatan.
Pembaca mungkin masih ingat siapakah Yang Ren
Fang ini yang tidak lain adalah putra yatim yang ibunya


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbunuh saat menolong Jien Jing Hui dan Wang Ding
beberapa tahun yang lalu di luar kota raja. Yang Ren Fang
diajak bersama rombongan Cen Hui kembali ke Yi Chang
dan menjadi pengikut Tien Lung Men. Berkat bakat dan- 157 kecerdasannya yang baik ia mampu menonjol di antara para
pengikut Tien Lung Men yang berjumlah ribuan. Apalagi
wajahnya yang tampan dan sikapnya yang selalu ramah
telah membuat nona Jien jatuh hati kepadanya maka makin
lengkaplah langkah keberhasilan Yang Ren Fang di partai
Tien Lung Men. Jien Wei Cen pun menyetujui pilihan
putrinya ini dan pesta pernikahan diselenggarakan dengan
meriah di Yi Chang.
Keberuntungan tampaknya sedang berpihak kepada
Yang Ren Fang karena Jien Wei Cen memutuskan untuk
mengajarinya Tien Lung Ta Fa setelah melihat bakatnya
yang baik. Memang dari dua putra Jien Wei Chen tidak ada
yang mampu mewarisi Tien Lung Ta Fa dengan baik
sehingga Jien Wei Cen merasa terbeban tidak mempunyai
pewaris ilmu saktinya itu. Terrnyata pilihannya tidak salah
karena kecerdasan dan bakat Yang Ren Fang mampu
menyerap dengan cepat inti Tien Lung Ta Fa. Kini di
usianya yang masih muda. ia telah menjadi jago andalan
Tien Lung Men karena sudah sanggup menguasai Tien Lung
Ta Fa tingkat ke duapuluhdelapan. Bahkan mungkin dalam
sepuluh dua puluh tahun ke depan, Yang Ren Fang sudah
dapat menyamai kehebatan sang manusia tanpa tandingan
Jien Wei Cen!- 158 16. Api Langit Guntur Utara
an Cia Sing mengerjapkan matanya, berusaha
membiasakan diri dengan sinar matahari terik yang
menerobos sela-sela kemah besar tempat ia tidur. Sejenak ia
bingung berada di mana. kemudian ia teringat sedang
terombang-ambing mencari jalan keluar dari sungai bawah
tanah. Tapi mengapa ia kini tertidur di kemah besar ini?
Apakah para bawahan tetua Chou Luo yang telah
menemukannya dan membawa-nya kembali ke daerah Bai
Cheng?
Dengan tubuh yang terasa sakit semua. Han Cia Sing
memaksakan diri bangkit dari tumpukan jerami tempat ia
tidur. Ternyata bajunya yang robek-robek dan compangcamping telah diganti dengan yang baru. Baju itu
mempunyai corak yang hampir mirip dengan baju suku
Xiong di desa Bai Cheng tapi tidak persis sama dan lebih
sederhana. Ketika akan berjalan menuju pintu keluar kemah,
barulah Han Cia Sing sadar bahwa kaki kanannya dirantai
dengan rantai besi ke tiang utama kemah!
Han Cia Sing terkejut dengan perlakuan ini. Tentunya
bukan orang dari desa Bai Cheng yang telah
menemukannya, karena mereka pasti tidak akan
merantainya seperti binatang begini. Tapi yang lebih
mengganggu Han Cia Sing adalah rasa pegal dan sakit di
seluruh tubuhnya. Hal ini tentu tidak mengherankan karena
tubuh Han Cia Sing mungkin telah ratusan kali terbentur
H- 159 pada batu sungai bawah tanah ketika ia mencoba mencari
jalan keluar. Tiba-tiba Han Cia Sing teringat jurus-jurus
yang tergambar di langit-langit gua dan latihan yang
diajarkan Lu Xun Yi kepadanya. Bukankah setiap kali ia
berlatih tubuhnya selalu menjadi lebih segar dan kuat?
Han Cia Sing pun segera duduk bersila di lantai
kemah dan memulai sirkulasi darah besar. Seluruh
peredaran darah di delapan nadi besar dikerahkannya
menuju titik pusat di ulu hatinya kemudian dibalikkan
kembali ke tempat semula. Begitu terus diulang-ulang
sampai Han Cia Sing merasa napasnya teratur dan dalam.
Rangkaian jurus berikutnya adalah sirkulasi darah kecil.
Kali ini Han Cia Sing tidak duduk bersila tapi tengkurap
menghadap ke lantai kemah. Kedua tangannya ditekuk ke
belakang memegang kedua telapak kakinya sehingga
tubuhnya membentuk satu lingkaran. Seluruh peredaran
darah di tiap nadi besar disirkulasikan dengan kekuatan
penuh berputar. Han Cia Sing dapat merasakan seluruh otot
dan tulangnya seperti mendapatkan tenaga baru. Rasa sakit
dan pegalnya lama-lama menghilangkan digantikan oleh
tenaga panas yang kini mengaliri seluruh tubuhnya. Ketika
Han Cia Sing selesai dengan semedinya, ia sudah kembali
sehat dan kuat seperti sediakala. Sama sekali tidak terasa
lagi tanda-tanda ia pernah nyaris mati terbentur-bentur batu
sungai bawah tanah.
Tepat setelah Han Cia Sing menyelesaikan
latihannya, masuk dua orang membawa golok kecil- 160 berbentuk bulan sabit. Wajah mereka seram dan kasar.
Mereka memandang Han Cia Sing seperti serigala yang
hendak menerkam mangsanya. Kini Han Cia Sing baru
yakin ia tidak berada di perkemahan tetua Chou Luo karena
di sana tidak ada orang-orang bertampang sangar seperti
kedua orang ini.
"Bocah, kau sudah sadar rupanya!" bentak salah
seorang dari mereka dengan bahasa suku Xiong tapi dengan
logat yang aneh. Han Cia Sing hanya bisa mengangguk.
Tampaknya mereka yang menyelamatkannya ini
menganggap Han Cia Sing seorang suku Xiong karena
pakaian yang dikenakannya.
"Sekarang ikut kami menemui ketua kami!" kata
mereka sambil melepaskan rantai besi yang mengikat Han
Cia Sing. Mereka segera mengapit Han Cia Sing dan
menyeretnya keluar kemah dengan kasar. Han Cia Sing
memanfaatkan kesempatan ini untuk melihat keadaan di
luar. Ternyata perkemahan ini benar-benar lain dengan
perkemahan tetua Chou Luo yang di mana ia pernah tinggal.
Jika dulu di Bai Cheng. para penduduknya terlihat ramah
dan rajin bekerja di luar kemah tapi di tempat ini yang
tampak hanya beberapa penjaga bertampang seram di depan
masing-masing kemah. Tidak tampak sama sekali kegiatan
penggembalaan domba atau kuda di perkemahan itu..
Sebenarnya suku apa dan di manakah ia sekarang, pikir Han
Cia Sing. Seperti menjawab apa yang ada di pikiran Han Cia
Sing. di depan kemah utama berkibar bendera merah- 161 bertuliskan "Suku Tonghu - Tien Huo Hui (Klan Api
Langit)"
"Klan Api Langit?" gumam Han Cia Sing pada
dirinya sendiri
Kedua pengawal yang menggiring Han Cia Sing
mendorongnya dengan kasar masuk ke dalam kemah utama
sampai ia nyaris mencium tanah.
"Berlutut di depan ketua!" bentak mereka dengan
kasar.
Han Cia Sing tidak ingin mencari keributan di tempat
yang ia belum tahu daerahnya sehingga ia diam saja
diperlukan kasar meskipun hatinya dongkol. Ia mengamati
kemah utama itu dengan seksama. Bentuknya hampir mirip
dengan kemah tetua Chou Luo hanya saja agak lebih besar
sedikit. Persis di ujung kemah ada deretan kursi berjajar
yang tampaknya merupakan tempat berkumpul para tetua.
Di tengah-tengahnya ada sebuah kursi beralaskan bulu
beruang coklat yang amat besar. Seorang pria setengah baya
yang wajahnya terlindung baying-bayang tengah duduk
santai di kursi itu sambil makan semangkuk buah anggur.
Tentulah ia pemimpin klan Api Langit ini. pikir Han Cia
Sing. karena buah anggur adalah buah yang amat mahal dan
langka di daerah utara. Pakaian pria itu juga terbuat dari
sutra hijau halus yang mahal.
"Hormat ketua!" kata dua pengawal itu sambil
menjura.- 162 Ketua itu hanya menggerakkan tangannya seperti
menepis lalat tanpa berkata apa-apa. Setelah kedua
pengawal itu mengundurkan diri sambil tetap menghormat,
ketua itu berdiri dan berjalan lambat-lambat mendekati Han
Cia Sing yang tengah berlutut. Kini Han Cia Sing bisa
melihat wajah ketua itu dengan lebih jelas. Ia berjenggot
putih dan rambutnya sudah banyak beruban tapi tatapan
matanya masih tajam dan bahkan mengandung kekejaman
Bentuk tubuhnya masih bagus dan kekar untuk ukuran pria
seusianya. Ia menatap Han Cia Sing seakan seekor elang
hendak menelan anak ayam.
"Siapa namamu?" tanyanya dalam bahasa Xiong.
Han Cia Sing menegakkan tubuhnya sebelum
menjawab.
"Namaku Han Cia Sing. aku seorang bangsa Han.
bukan suku Xiong" jawabnya dalam bahasa Han.
Ketua itu tampak terkejut mendengar jawaban Han
Cia Sing.
"Kau seorang Han? Mengapa bisa terdampar di
daerah Khing An dan memakai pakaian suku Xiong?"
tanyanya dalam bahasa Han yang fasih.
Kini giliran Han Cia Sing yang terkejut. Ternyata
ketua suku Tonghu ini bisa berbahasa Han dengan amat
baik. Ia mengamati wajah ketua itu dengan lebih seksama
dan menemukan banyak kemiripan dengan wajah bangsa- 163 Han kebanyakan. Mungkinkah ketua ini juga seorang
bangsa Han?
"Aku dititipkan kepada suku Xiong oleh pamanku
dan ketika sedang menggembalakan domba, aku diserang
sekawanan serigala sehingga terjatuh ke sungai. Aku
berterima kasih atas pertolongan ketua" kata Han Cia Sing
setengah berbohong setengah jujur sambil menjura memberi
hormat.
Tiba-tiba saja ketua itu tertawa terbahak-bahak
dengan suara seram.
"Bocah! Rupanya kau benar-benar seorang pendatang
dari dataran tengah. Semua suku gemetar mendengar
namaku Tien Huo Ma Pei (Ma Pei sang Api Langit) tapi
engkau malah mengucapkan terima kasih kepadaku,
sungguh menggelikan hahahahahaha"
Han Cia Sing masih tidak mengerti sehingga ia diam
saja. Mengapa ia harus gemetar mendengar nama Tien Huo
Ma Pei?
"Kuberitahu kau bocah bermarga Han bahwa kami
Tien Huo Hui adalah suku paling berkuasa di daerah Khing
An. Bai Cheng hingga ke Amur. Semua suku takluk kepada
kami dan mengirim upeti tiap tahun. Itulah sebabnya kami
tidak perlu bekerja seperti suku-suku yang lain karena jagojago suku kami yang tak terkalahkan menjadi pelindung bagi
semua suku lainnya di utara ini" kata ketua yang bernama
Ma Pei itu dengan lagak sombong sekali.- 164 Han Cia Sing dalam hatinya mencela ketua Ma Pei
karena berdasarkan penjelasannya, sebenarnya Tien Huo
Hui tidak ada bedanya dengan para pemogoran yang
menarik uang dengan dalih menjaga keamanan bersama,
padahal sebenarnya merekalah yang selalu mengacaukan
keadaan. Tapi Ma Pei yang terlalu sombong dan
merendahkan Han Cia Sing sama sekali tidak menyadari
mimik mencela di wajah pemuda itu. la malah asyik
mengelus-elus janggut putihnya dengan wajah puas.
"Bocah, selama berada bersama suku Xiong. apakah
bagian pekerjaanmu?" tanya Ma Pei dengan nada menghina
sekali.
"Aku menggembalakan domba dan mencukur bulu
domba-domba jika musim panas tiba" jawab Han Cia Sing
datar saja.
"Huhhh" Ma Pei mendengus kesal mendengar
jawaban Han Cia Sing.
"Suku Xiong yang bodoh itu hanya tahu beternak
domba dan kuda sehingga mereka nyaris sama bodohnya
dengan domba dan kuda. Apakah engkau tinggal bersama
suku tetua Chou Luo?" Han Cia Sing mengangguk
membenarkan.
"Sebenarnya kebiasaan kami jika menemukan
seorang dari suku-suku lain. kami akan meminta uang
tebusan sebelum kami mengembalikannya kepada suku
asalnya. Tapi karena engkau bukan suku asli tetua Chou- 165 Luo. mereka pasti takkan repot-repot menebusmu. Jadi
hanya ada dua pilihan bagimu" kata Ma Pei sambil matanya
bersinar-sinar licik.
"Pilihan apakah itu?" tanya Han Cia Sing dengan
perasaan tidak enak.
"Kau akan menjadi budak kami sampai mati atau
kami jual kepada suku lain yang mau membelimu" kata Ma
Pei dengan nada girang.
Han Cia Sing kaget mendengar jawaban Ma Pei dan
juga nadanya yang terdengar girang itu. Ma Pei seperti
sedang membicarakannya seperti membicarakan jual beli
ternak saja!
"Kau tidak bisa melakukan itu kepadaku! Aku bukan
budak kalian atau budak siapapun juga. Ketua Ma Pei. aku
berterimakasih atas pertolonganmu menyelamatkan
nyawaku tapi aku tidak berniat membalasnya dengan
menjadi budak Tien Huo Hui!" kata Han Cia Sing dengan
marah.
Ma Pei hanya tersenyum sinis saja mendengar
bantahan Han Cia Sing.
"Jadi kaukira kau bisa berjalan keluar begitu saja dari
kemah ini?" tanya Ma Pei dengan nada mengancam.
"Aku berhutang nyawa kepada anda. jika anda
memintaku melakukan sesuatu pasti akan kulaksanakan
sejauh aku mampu!" kata Han Cia Sing dengan tegas.- 166 "Kau tidak dalam posisi yang pantas untuk berunding
denganku" kata Ma Pei melecehkan niat baik Han Cia Sing.
Melihat Ma Pei sama sekali tidak menggubris
alasannya. Han Cia Sing berniat meninggalkan kemah itu.
"Ketua Ma. tampaknya kita tidak sepaham. Terima
kasih telah menolong nyawaku, lain kali aku pasti
membalasnya" kata Han Cia Sing menjura hormat sambil
bangun berdiri hendak meninggalkan kemahnya.
Secepat kilat. Ma Pei melesat terbang ke arah Han Cia
Sing. Jarinya bergerak cepat sekali menotok jalan darah
utama tanpa Han Cia Sing sempat menangkis atau berkelit.
Han Cia Sing merasakan seluruh tubuhnya mati rasa dan
sebentar kemudian ia roboh seperti pohon ditebang.
Rupanya Ma Pei adalah seorang ahli tien sie (totok darah)


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lihai. Ma Pei tersenyum puas memandang Han Cia
Sing yang kini hanya bisa melotot memandanginya.
"Bocah, rupanya kau harus diberi pelajaran sebelum
tunduk. Kami di sini mempunyai cara khusus untuk
menjinakkan kuda liar. Aku ingin tahu apakah kau bisa
tahan atau tunduk dengan cara ini" kata Ma Pei sambil
meringis liar. la lalu bertepuk tangan yang disusul masuknya
dua pengawal dengan segera.
"Kalian bawa bocah ini dan ikat dia di tiang kuda.
Perlakukan ia sama seperti kalian menjinakkan kuda. karena
ia sama liarnya dengan mereka" kata Ma Pei dengan dingin.- 167 Han Cia Sing yang tertotok jalan darahnya hanya bisa
pasrah diseret keluar kemah oleh kedua pengawal tadi. Ia
benar-benar marah kepada Ma Pei tapi tidak mampu berbuat
apa-apa karena seluruh badannya tidak bisa ia gerakkan.
Kedua pengawal itu menyeret Han Cia Sing sambil tertawatawa dalam bahasa Tonghu yang tidak ia mengerti, tapi yang
jelas mereka tertawa dengan nada menghina sehingga Han
Cia Sing menjadi semakin marah.
Kedua pengawal itu menyeretnya keluar perkemahan
sampai ke sebuah tiang kayu besar dekat kandang kuda.
Pergelangan tangan Han Cia Sing dirantai ke belakang tiang
dengan kasar sekali sehingga ia merasa tangannya nyaris
patah dipuntir. Baru saja Han Cia Sing bisa bernapas, dua
pengawal tadi sudah menghajar kedua kakinya dengan
cambuk kulit kecil. Rasa sakit menjalar dari kedua kaki
sampai kepala, membuat Han Cia Sing yang tertotok dan
tidak bisa berteriak hanya megap-megap saja menahan sakit.
Kedua penyiksanya malah tertawa-tawa dan semakin kuat
memukul cambuk mereka sampai akhirnya Han Cia Sing
jatuh pingsan. Seorang pengawal mengambil seember air
yang terletak di sebelah kandang kuda dan menyiramkannya
kepada Han Cia Sing yang tengah tergeletak pingsan. Tubuh
Han Cia Sing berjingkat kaget menerima siraman air dingin,
belum lagi luka-lukanya terasa nyeri sekali tersiram air. Ia
hendak berteriak tapi tidak bisa. benar-benar kasihan nasib
Han Cia Sing.- 168 Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring di belakang
kedua pengawal itu yang membuat mereka kisut ketakutan.
Ternyata yang membentak mereka adalah seorang gadis
muda berpakaian merah dengan topi bulat suku Tonghu
yang berwarna merah pula. Gadis muda itu tampak sangat
marah. Alisnya yang hitam tebal melengkung ke atas.
Matanya yang bulat berkilat-kilat dan bibirnya yang kecil itu
telah menjadi satu garis tipis. Ia membentak-bentak kedua
pengawal dengan galak sekali dalam bahasa Tonghu yang
tidak Han Cia Sing mengerti, tapi yang jelas ia bersyukur
sekali atas kedatangan gadis ini. Kedua kakinya yang
dicambuki sampai lecet berbilur darah sehingga ia merasa
sebentar lagi pasti lumpuh jika cambukan tidak dihentikan.
Gadis muda itu dengan gemas menampari kedua
pengawal itu yang sama sekali tidak berani melawan. Pipi
mereka sampai biru-biru ditampari barulah gadis itu puas
dan membiarkan mereka pergi. Sekarang gadis itu
mendekati Han Cia Sing dan berbicara dalam bahasa
Tonghu yang tidak ia mengerti. Han Cia Sing hanya bisa
megap-megap dan menggelengkan kepalanya sedikit karena
ia masih tertotok. Gadis muda itu kelihatan mengerti
keadaan Han Cia Sing dan membebaskan jalan darahnya
yang tertotok. Han Cia Sing terbatuk-batuk merasakan
semua aliran darahnya lancar kembali. Ia merasa lebih
baikan sekarang dan mengucapkan terima kasih kepada
gadis itu dalam bahasa Han.- 169 "Engkau seorang bangsa Han?" tanya gadis itu
dengan heran.
"Benar, aku seorang Han dan namaku Han Cia Sing.
Terima kasih atas pertolongan nona" kata Han Cia Sing
sambil bersandar pada tiang kayu. Kedua kakinya sudah
lemas tidak sanggup lagi berdiri.
"Tidak perlu berterimakasih. semua ini adalah
perbuatan ayahku. Seharusnya aku yang minta maaf
padamu" kata gadis itu sambil tersenyum pahit.
"Ketua Ma Pei adalah ayahmu?" tanya Han Cia Sing
setengah tidak percaya. Gadis itu mengangguk dengan
sedih.
"Aku tidak bangga menjadi anaknya. Maafkan atas
tindakannya terhadapmu. Namaku Ma Xia. aku adalah putri
ketua Tien Huo Ma Pei" kata gadis berbaju merah yang
bernama Ma Xia itu sambil melepaskan ikatan rantai tangan
Han Cia Sing yang langsung melorot jatuh karena kedua
kakinya tidak kuat lagi.
"Mari kubantu kau berdiri" kata Ma Xia sambil
menarik tangan Han Cia Sing dan mengalungkannya di
leher.
Han Cia Sing buru-buru mundur dengan gugup dan
terjatuh lagi ke tanah.
"Nona Ma. tidak apa-apa aku bisa berjalan sendiri"
katanya dengan sungkan sekali.- 170 "Engkau sudah tidak bisa berjalan lagi masih saja
sombong. Apakah engkau akan merangkak menuju
perkemahan?" tanya Ma Xia dengan sengit. Mukanya
merajuk dan kedua pipinya merah sehingga membuatnya
semakin cantik. Han Cia Sing sampai terbengong-bengong
melihatnya. Ia merasa ada sesuatu berdesir di dadanya
ketika menatap Ma Xia sehingga ia kemudian menurut saja
digandeng berdiri olehnya.
"Nona Ma. tidak baik bagi kita dilihat orang seperti
ini" kata Han Cia Sing bergetar ketika digandeng Ma Xia
kembali ke perkemahan.
"Cia Sing. ini adalah wilayah Khing An dan daerah
kekuasaan Tien Huo Hui. Tidak ada satu orang pun yang
berani berkata apa-apa tentang aku atau akan kupotong
lidahnya" kata Ma Xia sambil memonyongkan mulutnya
mengejek.
Han Cia Sing tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia
sendiri bingung harus terkejut karena Ma Xia memanggil
namanya seakan sudah kenal lama. memotong lidah orang
sembarangan atau sikap Ma Xia yang manja. Di dataran
tengah, pria dan wanita seusianya biasanya sudah dianggap
cukup dewasa dan harus menjaga jarak dan sopan santun
tapi gadis ini begitu bebas dan mengalir seperti air sungai
pegunungan yang jernih.- 171 Mereka berdua hampir tiba di perkemahan ketika Ma
Pei berjalan menuju arah mereka dengan wajah beringas. Di
belakangnya mengekor dua pengawal dengan pipi biru.
Tampaknya mereka sudah mengadu kepada Ma Pei
apa yang terjadi. Wajah Ma Pei semakin geram melihat Han
Cia Sing tengah digandeng oleh Ma Xia. Ia segera
membentak dengan suara menggeledek.
"A Xia. apa yang sedang kaulakukan dengan budak
Han itu!" Bentakan itu menggelegar seperti petir di siang
bolong sehingga Han Cia Sing berjingkat kaget, tapi bagi
Ma Xia kelihatannya ia sudah biasa diperlakukan demikian
sehingga tidak tampak perubahan apa-apa pada wajahnya.
Malah dengan wajah mengejek ia meneruskan berjalan
menggandeng Han Cia Sing menuju kemah yang ada di
ujung. Tentu saja ini membuat Ma Pei merasa diremehkan.
Ia segera maju menghadang putrinya.
"Kau dengar tidak kataku!" katanya dengan wajah
hampir ungu.
Ma Xia menatap wajah ayahnya dengan tajam. Han
Cia Sing yang berdiri di sampingnya dapat melihat mata Ma
Xia berkaca-kaca, walau hanya sebentar karena dengan
cepat digantikan oleh kilatan kemarahan.
"Aku dengar apa yang ayah katakan" kata Ma Xia
dengan dingin.- 172 "Jika demikian, mengapa tidak engkau lepaskan
budak ini!" kata Ma Pei sambil mencengkeram bahu Han
Cia Sing dengan keras sekali sehingga tulang bahu Han Cia
Sing nyaris rontok. Han Cia Sing sendiri berusaha tidak
mengeluh walaupun sakitnya terasa hingga ke ubun-ubun.
"Aku ingin dia menjadi budakku! Mana bisa berguna
jika belum-belum ia sudah lumpuh?" tanya Ma Xia sambil
cemberut.
"Budak ini laki-laki. tidak boleh engkau ambil
menjadi budakmu. Bukankah selama ini engkau sudah
mempunyai banyak pelayan?" tanya Ma Pei semakin marah.
Han Cia Sing kini berteriak kesakitan karena tidak tahan lagi
dicengkeram sekuat tenaga oleh Ma Pei.
"Mengapa jika laki-laki tidak boleh menjadi
budakku?" tanya Ma Xia tidak kalah sengit.
"Ayah katakan tidak boleh maka tidak boleh. Gadis
ingusan sepertimu mana tahu apa-apa?" kata Ma Pei.
"Aku memang tidak tahu apa-apa. aku hanya tahu ia
harus jadi budakku!" kata Ma Xia sambil menyeret Han Cia
Sing menuju kemahnya. Kasihan sekali Han Cia Sing. satu
lengannya masih dicengkeram dengan kuat oleh Ma Pei tapi
ia diseret Ma Xia menuju kemahnya, sementara kedua
kakinya luka-luka karena cambukan tidak kuat menyangga
tubuhnya. Ia jadi seperti selembar kain kumal yang
diperebutkan dua anak kecil dan diseret ke sana ke mari
hingga nyaris pingsan.- 173 Untunglah akhirnya Ma Pei melepaskan
cengkeramannya. Han Cia Sing menggosok-gosok
lengannya yang sampai kebas dicengkeram Ma Pei. Kini
kedua bapak dan anak itu saling berhadapan dengan sikap
menantang dan sama-sama tidak mau mengalah. Jika saja
kakinya tidak terluka. Han Cia Sing pasti sudah memilih
kabur daripada harus berada di tengah pertengkaran
keluarga yang amat tidak disukainya.
"Kau sekarang berani menentang ayahmu?!" kata Ma
Pei setengah tidak percaya.
"Aku memang menentang ayah. terus hendak
apakah?" kata Ma Xia tak mau kalah. Pada saat seperti ini.
Han Cia Sing benar-benar dapat melihat kemiripan sifat
mereka berdua. Dua-duanya sama-sama keras seperti batu
gunung dan cepat naik darah.
"Plakkkk!!"
Tangan Ma Pei melayang dengan cepat ke pipi
anaknya itu. Han Cia Sing terkaget-kaget melihat tamparan
itu begitu keras sehingga bibir Ma Xia pecah dan berdarah.
"Dasar anak liar! Jika engkau ingin memiliki budak
bodoh ini. silakan ambil dan jangan pernah memanggilku
ayah lagi!" bentak Ma Pei dengan mengancam pula. tapi
tampaknya itu tidak mempan terhadap Ma Xia. Sambil
mendengus kesal. Ma Xia menarik Han Cia Sing menuju
kemahnya tanpa memperdulikan kemarahan ayahnya Ia- 174 berjalan begitu cepat sehingga menyebabkan Han Cia Sing
terseret-seret dan hampir jatuh berusaha mengikutinya.
Suara Ma Pei memaki-maki dalam bahasa longhu
makin lama makin hilang ketika mereka berbelok menuju
kumpulan kemah yang lebih kecil Han Cia Sing merasakan
luka di kedua kakinya semakin parah karena dipaksa
berjalan cepat mengikuti Ma Xia Sementara Ma Xia sendiri
berialan terus tanpa menghiraukannya sampai mereka tiba
di sebuah kemah yang tidak terlalu besar tapi bagus Ma Xia
melemparkan Han Cia Sing jatuh di luar kemah sementara
ia sendiri masuk ke dalam dan menutup kain pintu
kemahnya dengan rapat lamat-lamat terdengar suara Vla \ia
menangis terisak-isak di dalam kemah terdengar oleh Han
Cia Sing yang sedang duduk tersungkur sambil menguruturut kedua kakinya.
Han Cia Sing merasa bingung apakah ia harus
mengasihani Ma Xia atau dirinya sendin dalam keadaan
seperti ini Nasib Ma Xia mengingatkannya akan nasibnya
sendin yang juga tidak terlalu bagus Ia yang sudah terluntalunta sendirian selama hampir tiga tahun di utara, tanpa ada
sanak keluarga dekat yang bisa diiadikan sandaran Meski
nasib Ma Xia lebih baik karena tinggal di lingkungan sendin.
belum tentu ia lebih bahagia jika melihat perlakuan Ma Pei
padanya.
Han Cia Sing menghela napas panjang mengingat
semua kejadian buruk yang menimpanya tiga tahun terakhir
ini la tiba-tiba teringat akan Pai Lien ibunya yang begitu- 175 menyayanginya meskipun hidup mereka sederhana
Kerinduannya akan kehangatan keluarga menyusup ke
dalam hati sanubari Han (Ta Sing Dalam hati ia berharap
suatu hari nanti ia dapat bertemu kembali dengan ayahnya
tercinta dan Lu Xun Yi yang sudah ia anggap sebagai
pamannya sendiri.
Rasa kangen Han Cia Sing buyar oleh rasa sakit yang
berdenyut-denyut di kedua kakinya yang berdarah dan biru
lebam.
Han Cia Sing berusaha mengingat-ingat gambar
semedi yang terlukis di langit-langit gua yang menunjukkan
penguatan kaki. la bangun berdiri dengan susah payah
sambil berpegangan pada tiang kemah. Posisi kedua kaki
dirapatkan demikian juga kedua telapaknya dirapatkan di
depan dada kemudian pelan-pelan ia merenggangkan kedua
kaki sampai akhirnya mencapai posisi kedua kaki terbentang
di tanah. Seluruh aliran darah dipusatkan di tulang ekor dan
tenaga dalam dialirkan ke kedua kaki. Han Cia Sing
merasakan semua otot dan urat darah mengalir lancar
kembali sehingga pelan-pelan rasa sakitnya menghilang.
Beberapa saat kemudian Han Cia Sing sudah sembuh total.
Ia bahkan sudah bisa meloncat-loncat mencoba kekuatan
kakinya kembali.
Pada saat itu terdengar derap kuda yang banyak sekali
mendekati perkemahan itu. Tampaknya para penunggang
nya adalah para penunggang kuda yang terampil sekali
karena mereka mampu memacu kudanya dengan kecepatan- 176 penuh tanpa takut terjatuh. Han Cia Sing memandang ke
arah datangnya kawanan berkuda itu. Mereka semua kirakira ada tiga puluh orang. Semuanya adalah pemudapemuda yang gagah namun sayang kebanyakan wajah
mereka terlihat seram dan bengis. Di pundak masing-masing
menyandang busur dan ketopong berisi anak panah
sementara di pinggang mereka tersandang golok berbentuk
bulan sabit.
Di antara penunggang kuda itu terdapat tiga orang


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda yang paling menonjol saling berpacu di depan.
Yang pertama memakai pakaian hijau dengan topi bulu tupai
yang indah, yang kedua memakai rompi bulu beruang
sedang yang ketiga memakai topi kain yang dililitkan ke
kepala dengan hiasan sebutir permata merah. Ketiganya
memacu kuda mereka dengan kencang ke arah kemah Ma
Xia sehingga Han Cia Sing merasa agak ngeri ia akan hancur
diinjak-injak kuda jika ketiganya tidak berhenti memacu
kuda mereka.
Pemuda dengan topi bulu tupai menarik tali kekang
kudanya dengan tiba-tiba sekali sehingga kudanya
meringkik dan berdiri menendang-nendang persis di depan
Han Cia Sing. Mata pemuda itu memandang Han Cia Sing
seakan ia seekor anjing saja. Ia membentaknya dalam
bahasa Tonghu yang tidak dimengerti Han Cia Sing.
"Maaf aku tidak mengerti apa yang anda katakan"
kata Han Cia Sing berusaha menerangkan dalam bahasa
Han.- 177 Pemuda itu meloncat turun dari kudanya dan tanpa
basa-basi langsung menendang ulu hati Han Cia Sing
dengan kekuatan penuh! Tak ayal lagi Han Cia Sing
terlempar beberapa langkah ke belakang sambil mengeluh
memegangi perutnya yang terasa terbalik.
"Mengapa engkau tidak memberi hormat padaku,
tuan pertama Tien Huo Hui. Ma Wen?" bentak pemuda yang
bernama Ma Wen itu dalam bahasa Han yang kaku. Han Cia
Sing hanya bisa terbatuk-batuk menahan sakit tanpa
memberikan jawaban.
"A Wen. mengapa hanya karena seorang budak
bodoh ini engkau sampai marah-marah begini?" tanya
pemuda yang memakai rompi bulu beruang dengan santai
saja. Tampaknya ia malah menikmati penderitaan Han Cia
Sing yang tengah tersungkur kesakitan.
"Hei budak bodoh, siapa dirimu sehingga berani
berdiri di depan kemah putri Ma Xia!" bentak pemuda yang
memakai topi kain dengan garang. Ada nada cemburu yang
nyata terdengar dalam suaranya.
Belum sempat Han Cia Sing menjawab. Ma Xia yang
mendengar suara ribut-ribut di depan kemahnya segera
keluar. Matanya agak sembab karena habis menangis dan
bibirnya bengkak bekas ditampar Ma Pei tapi semua itu
tidak mengurangi kecantikannya yang bagaikan air sungai
yang jernih.- 178 "A Wen, mengapa engkau sembarangan memukul
orang?'" tanyanya marah kepada Ma Wen.
"Aku tidak memukul orang, aku memukul budak"
jawab Ma Wen acuh tak acuh.
"Benar A Xia. budak itu memang pantas dihajar oleh
A Wen" kata pemuda yang memakai rompi bulu beruang
dengan nada menghina.
"Diam kau. Balsan! Engkau memang paling pandai
memanas-manasi keadaan" kata Ma Xia tidak senang.
Sementara itu Han Cia Sing sudah berdiri kembali.
Napasnya sudah kembali teratur berkat aliran tenaga yang
dilatihnya selama ini. Bekas tendangan Ma Wen sudah tidak
terasa sakit lagi bahkan sudah sembuh total hanya bekas
telapak sepatu Ma Wen masih membekas di pakaiannya.
"A Xia. jangan marah-marah terus. Lihatlah siapa
yang datang menjengukmu dari jauh" kata pemuda berompi
kulit beruang yang bernama Balsan dengan lagak yang amat
menjemukan sekali.
Pemuda yang memakai ikat kepala kain dengan
hiasan permata merah segera maju menghampiri Ma Xia. Ia
tampak terkejut melihat bibir Ma Xia yang pecah. Lirikan
matanya segera menuduh Han Cia Sing sebagai pelakunya.
"A Xia, apakah budak itu telah kurang ajar padamu?"
tanyanya sambil melihat Han Cia Sing dengan marah.- 179 "Ejinjin, engkau jangan sembarangan menuduh
orang. Cia Sing sama sekali tidak ada hubungannya dengan
lukaku ini" kata Ma Xia membela.
Pemuda yang bernama Ejinjin itu melihat Ma Xia
dengan tidak percaya. Ia berulangkali melirik Han Cia Sing
dengan pandangan menghina. Sebenarnya wajah Ejinjin
tampan dan gagah pula hanya sayang sekali ia angkuh,
sombong dan senang berlaku kejam. Ejinjin adalah putra
tertua kepala suku Tonghu yang bernama Sinlin dan oleh Ma
Pei ia telah dijodohkan menjadi suami Ma Xia. Tapi karena
sifat-sifat jeleknya itu. Ma Xia merasa amat tidak suka
kepada Ejinjin. Sedangkan pemuda berompi beruang
bernama Balsan adalah adik Ejinjin. yang sifat-sifatnya juga
sama jeleknya dengan kakaknya. Ma Wen sendiri adalah
kakak kandung.
Ma Xia hanya sayang sekali ia lebih banyak mewarisi
sifat jelek Ma Pei sehingga sering bertentangan pendapat
dengan adik perempuannya itu.
"Ejinjin. tampaknya bakal calon istrimu lebih
memilih budak bodoh itu daripada engkau" kata Balsan
yang tampaknya doyan sekali memanas-manasi suasana
dengan lagaknya yang menjemukan. Ma Xia ingin sekali
rasanya menampar muka Balsan yang benar-benar kurang
ajar itu. tapi belum sempat ia melaksanakan niatnya itu tibatiba terdengar suara Ma Pei di belakangnya berseru dengan
gembira.- 180 "Ejinjin dan Balsan! Sungguh suatu kehormatan
kalian mau datang ke tempatku ini" kata Ma Pei.
Kedua pemuda itu menjura kepada Ma Pei. Tampang
mereka langsung berubah ramah melihat calon mertua
Ejinjin itu. berbeda sekali sikap mereka dengan saat
memandang Han Cia Sing. Sedangkan Ma Pei sendiri begitu
melihat Han Cia Sing langsung mendengus kesal dan
membentaknya.
"Kau bocah tengik, jangan merecoki pemandangan
tuan muda Ejinjin dan Balsan di sini. Pergilah ke kandang
dan urusi kuda-kuda di sana! Dan jangan pernah berpikir
melarikan diri dari sini. karena aku akan mengejarmu hingga
ke ujung dunia"
Han Cia Sing sebenarnya tidak suka diperintah
dengan kasar apalagi dimaki-maki di depan orang banyak,
tetapi perintah Ma Pei memberinya kesempatan untuk
meninggalkan suasana yang canggung ini sehingga ia
menerimanya juga. Ia menunduk menghormat dan segera
undur diri. Ma Xia sebenarnya masih ingin membela Han
Cia Sing tapi Ma Pei segera menggamitnya pergi ke kemah
utara bersama lainnya.
Han Cia Sing berjalan perlahan-lahan ke arah
kandang kuda sambil mengamati kemah-kemah Tien Huo
Hui. Baru sekarang ia dapat mengamati daerah ini dengan
jelas. Seluruh kemah besar kecil berjumlah dua puluh
delapan yang semuanya berjejer rapi di kaki lembah- 181 pegunungan Khing An. Angin lembah yang bertiup kencang
mengibarkan panji-panji Tien Huo Hui yang berwarna
merah dengan gagahnya. Beberapa pengawal berjaga-jaga
di sekitar mulut lembah sambil menyandang panah dan
golok berbentuk bulan sabit. Tampaknya Tien Huo Hui
sengaja memilih tempat di kaki lembah sehingga sulit
ditemukan dan diserang musuh. Sebenarnya siapakah
kelompok yang menamakan dirinya klan Api Langit ini?
Tien Huo Hui didirikan lebih lima puluh tahun yang
lalu. saat dinasti Sui runtuh dan digantikan oleh dinasti
Tang. Ketika itu kaisar kedua dan terakhir dinasti Sui yang
kejam dan ambisius bernama Sui Yang Ti. ingin melebarkan
sayap ke wilayah utara. Ia menugaskan dua orang
jenderalnya yang bernama Shi Yi dan Ma Fu untuk
menaklukkan suku-suku di utara. Sayang sekali, sebelum
tugas selesai dijalankan pemerintahan kaisar Sui Yang Ti
yang kejam akhirnya digulingkan oleh rakyat dan jenderal
Li Yuan menjadi kaisar pertama dinasti Tang bergelar kaisar
Gao Zu.
Jenderal Shi Yi dan Ma Fu amat murka atas hal ini.
yang mereka anggap sebagai pengkhianatan bawahan
terhadap kemuliaan seorang kaisar. Mereka kemudian
malah bergabung dengan suku-suku di utara untuk berusaha
menyerang dinasti Tang yang baru berdiri. Sayang sekali
mereka ditaklukkan dengan telak di daerah Liao Xi oleh
pasukan Tang. Baik Jenderal Shi Yi maupun Ma Fu
terbunuh dalam pertempuran itu dan suku-suku utara pun- 182 menyatakan takluk kepada dinasti Tang. Tapi anak-anak
jenderal Shi dan Ma yang kala itu masih kecil, bertekad
menuntut balas kepada dinasti Tang atas kematian ayah
mereka. Mereka ditampung oleh suku Tonghu yang perkasa,
yang menganggap takluk kepada kerajaan lain adalah suatu
penghinaan besar. Kesamaan pandangan ini membuat
mereka begitu cocok dan hidup rukun berdampingan selama
puluhan tahun sambil terus melebarkan sayap menguasai
dan menaklukkan suku-suku lain di daerah Khing An. Ini
adalah batu loncatan sebelum memulai serangan
sesungguhmu kepada dinasti Tang. sekaligus rencana
mendirikan kerajaan utara sang meliputi Khing An. Bai
Cheng. Amur hingga Ussuri.
Ma Pei adalah anak mendiang Jenderal Ma Fu.
Sayang ia tidak mewarisi kegagahan dan jiwa patriot dari
ayahnya sama sekali. Mungkin karena sedari kecil ia
tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan para pemburu
yang keras. Gurunya juga seorang buronan penjahat yang
pernah amat ditakuti di dataran tengah yang bergelar Pei Mo
(Iblis Utara). Maka lengkaplah ia tumbuh menjadi seorang
kepala bajingan padang rumput utara yang kejam, la juga
mengangkat saudara dengan kepala suku Tonghu bernama
Sinlin. yang sama-sama kejam dan berambisi besar. Tidak
heran bila putri satu-satunya. Ma Xia hendak dijodohkannya
dengan putra tertua Sinlin yang bernama Ejinjin. Bila
pernikahan ini terjadi, maka akan semakin kuatlah
kedudukan Ma Pei di dalam suku Tonghu dan jika kelak- 183 rencana mendirikan kerajaan utara berhasil, maka pastilah ia
akan menjadi mertua seorang raja!
Beruntunglah Ma Xia mewarisi sikap lembut dan
rendah hati dari ibunya, seorang wanita suku Wuhuan
bernama Mulin yang diculik dan dijadikan istri dengan
paksa oleh Ma Pei. Sebagai seorang wanita yang hidup
dalam tekanan suami yang kasar dan keras. Mulin tidaklah
menjalani kehidupan yang bahagia. Ketika Ma Xia berusia
delapan tahun. Ma Pei yang mabuk menghajar Mulin hingga
luka parah dan meninggal. Meskipun setelah sadar dari
mabuknya. Ma Pei amat berduka dan menyesal telah
membunuh istrinya tanpa sengaja, tapi dendam membara di
hati si kecil Ma Xia telah berkobar terhadap ayah
kandungnya sendiri. Sejak saat itu. Ma Xia selalu berusaha
menentang dan membuat jengkel ayahnya, yang tidak bisa
berbuat apa-apa karena dihantui perasaan bersalah telah
membunuh istrinya sendiri apalagi wajah Ma Xia hampir
persis dengan mendiang Mulin.
Maka tidak heran jika saat Han Cia Sing tertangkap
dan hendak dijadikan budak. Ma Xia malah berkeras
menentang keinginan ayahnya itu. Hal itu tidak semata
dilakukan karena kasihan terhadap Han Cia Sing. tapi juga
karena keinginan Ma Xia untuk membuat marah Ma Pei.
Apapun yang dilakukan ayahnya tidak baik di mata Ma Xia
dan merupakan suatu kebetulan pula Ma Pei adalah
pemimpin Tien Huo Hui yang memang sewenang-wenang
dan dibenci suku-suku lainnya sehingga pilihan Ma Xia ini- 184 semakin memperoleh pembenaran, tapi jauh di dalam lubuk
hati Ma Xia ia sebenarnya amat menyayangi ayahnya yang
juga begitu memanjakannya sejak ia masih kecil.
Begitulah sekilas keadaan di Tien Huo Hui tempat
Han Cia Sing dipaksa menjadi budak pelayan. Beruntunglah
Ma Xia masih membelanya sehingga ia kini bekerja sebagai
pelayan di kemahnya. Pekerjaan Han Cia Sing sehari-hari
adalah merawat kuda hebat milik Ma Xia yang bernama
Lung Ma (Kuda Naga) berwarna eoklat tua. Kuda itu
tingginya lebih tinggi dari kepala Han Cia Sing hampir dua
kaki dan mampu berlari 500 li sehari. Lung Ma adalah kuda
pemberian ketua Sinlin kepada bakal menantunya, yang
lebih senang menerima kuda itu daripada menjadi istri
Ejinjin sendiri.
Hampir tiap hari. Ma Xia selalu keluar menunggang
Lung Ma untuk berburu atau sekadar berjalan-jalan. Ia
tampaknya tidak begitu ingin tinggal lama-lama di
perkemahan Tien Huo Hui. Setelah beberapa hari. Han Cia
Sing menyadari penyebabnya. Ternyata suku Tonghu dan
terutama Tien Huo Hui selalu membawa hasil jarahan
mereka dua tiga hari sekali kembali ke perkemahan mereka.
Hasil jarahan itu kadang tidak hanya berupa ternak dan
perhiasan tapi juga wanita dan anak-anak.
Dulu di benteng Teng, para prajurit juga sering
bermain perempuan dan mabuk-mabukan tapi itu dilakukan
hanya dengan para pelacur sementara di Tien Huo Hui. para
pengawal dan termasuk juga Ma Pei, memaksa para wanita- 185 baik-baik yang diculiknya untuk memuaskan nafsu binatang
mereka!
Han Cia Sing pun sebenarnya merasa muak tapi ia
tidak mampu berbuat apa-apa. la sendiri pun sering
mengalami perlakuan kejam dan kasar dan para pengawal
maupun Ma Wen. Tidak jarang ia harus tidur larut malam
dan bangun pagi buta untuk menyiapkan segala keperluan di
perkemahan Biasanya jika sudah demikian, maka Ma Xia
akan memanggilnya kembali untuk mengurusi Lung Ma
sebagai alasan untuk menghindari perlakuan kejam Ma Pei
dan Ma Wen.
Ma Xia sendiri semakin hari semakin suka kepada
Han Cia Smg Mungkin dikarenakan sikap Han Cia Sing
yang sopan amat jauh berbeda dengan sikap para pria Tien
Huo Hui. Selain tutur katanya yang halus dan perangainya
yang pendiam. Han Cia Sing juga berwajah tampan dan
gagah. Ini jelas berbeda sekali dengan Einjin yang kasar,
kejam dan selalu ingin menang sendiri. Jika Ma Xia dan Han
Cia Sing sedang pergi berburu bersama-sama. Ma Xia
seakan menemukan tempat curahan hatinya yang selama ini
tidak pernah didapatnya. Ia bisa bercerita apa saja sementara
Han Cia Sing menuntun Lung Ma yang ditungganginya
menuju tempat perburuan atau dalam perjalanan pulang.


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ma Xia yang ditinggal mati ibunya sejak ia masih
kecil dan tidak mempunyai tempat mencurahkan isi hatinya,
benar-benar mendapatkannya dalam diri Han Cia Sing.
Orang-orang di Tien Huo Hui kebanyakan buta huruf dan- 186 tidak mengerti puisi atau musik sehingga amal sulit diajak
bicara oleh Ma Xia. Ini jelas berbeda sekali dengan Han Cia
Sing. apalagi Ma Xia dapat bertanya-tanya tentang keadaan
kotaraja dan dataran tengah kepadanya, la tampak ingin
sekali dapat pergi dan Tien Huo Hui dan menuju ke dataran
tengah. Ma Xia adalah wanita yang pandai dan bercita-cita
tinggi sedangkan Einjin sebaliknya sehingga semakin dekat
hari pernikahan mereka. Ma Xia semakin sedih dan murung.
Tapi kebersamaan mereka berdua tentu saja membuat
orang-orang tertentu tidak senang, siapa lagi jika bukan Ma
Pei dan Ma Wen. Mereka yang sedari awal sudah membenci
Han Cia Sing menjadi semakin kebakaran jenggot melihat
Ma Xia sering berburu berdua dengannya. Untunglah dari
mata-mata yang dikirim untuk mengikuti mereka setiap kali
pergi berburu tidak didapatkan keterangan yang lain dari
biasanya. Hanya saja Ma Pei tetap merasa cemas jika kabar
berita ini sampai ke telinga tetua Sinlin dan putranya Ejinjin
la jelas tidak ingin kehilangan dukungan dari tempatnya
bernaung selama ini apalagi rencananya untuk mendapatkan
kerajaannya sendiri.
Maka pada suatu hari beberapa bulan setelah Han Cia
Sing tinggal di Tien Huo Hui. Ma Pei mengirim utusan
kepada tetua Sinlin untuk menanyakan kabar keputusan
pernikahan Ejinjin dengan Ma Xia. la merasa semakin cepat
anak gadisnya itu dinikahkan, maka akan semakin aman
kedudukannya dalam suku Tonghu. Tentu saja tetua Sinlin
dan Ejinjin amat bergembira menerima utusan itu dan segera- 187 memberitahukan tanggal kepastian pernikahan. Tapi tidak
demikian halnya dengan Ma Xia yang sangat terkejut dan
marah mendengar hal ini. Ia segera datang melabrak kemah
ayahnya.
"Mengapa ayah tiba-tiba memutuskan pernikahan
ini?" kata Ma Xia dengan menahan amarahnya.
Ma Pei yang tahu anaknya pasti akan datang
tampaknya sudah cukup bersiap diri dengan kejadian ini. Ia
tampak tenang dan tidak meladeni kemarahan Ma Xia.
"Ini tidaklah tiba-tiba A Xia. bukankah dua tahun lalu
aku sudah mengatakan jodohmu adalah putra sulung tetua
Sinlin yaitu Ejinjin?"
"Tapi... tapi aku belum ingin menikah, apalagi dengan
Ejinjin!" kata Ma Xia terbata-bata. Tampaknya meskipun
bagi seorang gadis pemberani seperti Ma Xia. kata
pernikahan tetap saja membuatnya gugup.
"Gadis bodoh, cepat atau lambat semua gadis pasti
akan menikah"
"Tidak, aku tidak mau menikah dengan Ejinjin" kata
Ma Xia bersikeras.
Ma Pei menyipitkan kedua matanya. Tampakmu
kesabarannya sudah hampir habis.
"Apa yang kukatakan sudah tidak bisa dibantah lagi.
Sepuluh hari lagi tetua Sinlin dan Einjin akan datang untuk
menikah denganmu!" kata Mu Pei dengan geram.- 188 Ma Xia mendengus kesal dan lari meninggalkan
kemah ayahnya, ia terus berlari menuju kandang kuda
hendak mengambil Lung Ma. Karena berlari dengan mata
basah. Mu Xiu tidak melihat Han Cia Sing yang sedang
berjongkok mengambil jerami untuk makanan kuda. Mereka
bertubrukan sehingga keduanya jatuh tersungkur. Han Cia
Sing terperosok ke dalam bak kayu berisi air tempat minum
kuda bersama jerami yang diangkutnya sedangkan Ma Xia
jatuh terjerembab ke tumpukan jerami kering.
Sambil megap-megap karena menelan air, Han Cia
Sing bangkit berdiri dari bak kayu. Pakaiannya kotor penuh
jerami menempel sehingga ia mirip orang-orangan sawah
saja tampaknya. Ma Xia yang tadi sedih dan marah, menjadi
terhibur hatinya melihat keadaan Han Cia Sing yang kacau
balau, la tertawa gembira melupakan sejenak masalah yang
menyusahkan hatinya. Han Cia Sing yang tadinya ingin
marah, jadi ikut tertawa melihat ternyata Ma Xia yang
menabraknya hingga jatuh tadi. Keduanya tertawa bersama
dengan gembira, melepaskan sejenak beban penderitaan
hidup yang dialami masing-masing.
Mungkin Ma Xia dan Han Cia Sing yang sama-sama
dibesarkan dalam keluarga yang tidak bahagia, bisa lebih
saling mengerti perasaan dan isi hati masing-masing. Tentu
Ejinjin tidak akan mengerti hal ini karena ia selalu
mendapatkan apa yang diinginkannya sejak ia masih kecil.
Sikap yang tumbuh sejak kecil akan mempengaruhi
kedewasaan seseorang. Ejinjin tidak akan pernah bisa- 189 memahami arti memberi karena ia selalu menerima, tidak
bisa mengerti arti mengalah karena ia selalu menang dan
terlebih lagi tidak akan pernah mengerti arti mencintai
karena ia selalu menuntut. Jadi tidak heran semakin dekat
waktu pernikahan. semakin sedih pula hati Ma Xia.
Hari itu mereka kembali berjalan-jalan bersama ke
lembah terdekat untuk berburu. Ma Xia adalah seorang
penunggang kuda yang cekatan juga seorang pemanah yang
handal. Han Cia Sing tidak berniat belajar menunggang
kuda. apalagi kuda hebat semacam Lung Matapi ia sangat
berniat belajar memanah. Selama beberapa bulan ini ia
sudah banyak belajar memanah dan ilmu memanahnya
sekarang sudah cukup lumayan. Ketika mereka melihat
seorang kelinci gemuk sedang makan di bawah pohon pinus.
Ma Xia meminta Han Cia Sing untuk memanahnya.
Han Cia Sing bersiap membidik dengan anak
panahnya. Jaraknya berdiri dengan kelinci itu kira-kira
sepuluh tombak lebih. Han Cia Sing menarik busurnya kuatkuat sambil membidik ke sasaran. Anak panah berdesing
kencang melesat ke arah kelinci yang tidak menyadari
datangnya bahaya. Ketika mereka tampaknya sudah hampir
pasti akan mendapatkan seekor kelinci gemuk untuk dibawa
pulang, tiba-tiba sesosok bayangan berjubah putih melesat
melewati kepala Ma Xia dan Han Cia Sing. Bayangan itu
dengan gesit mengejar anak panah yang ditembakkan Han
Cia Sing dan berhasil merebutnya di udara sebelum anak
panah itu mengenai sasarannya!- 190 Kegesitan orang berbaju putih itu begitu mengejutkan
Han Cia Sing sehingga ia hanya bisa terbengong saja.
Apalagi ternyata orang itu sudah tua dan rambutnya sudah
hampir memutih semuanya. Matanya cekung seperti orang
yang kekurangan tidur dan wajahnya tidak menampakkan
perasaan apa-apa seperti hantu saja layaknya. Jubah
putihnya berkibar-kibar ditiup angin dan ia berdiri dengan
berwibawa sekali sambil menggenggam anak panah di
tangan kirinya. Ia memandang kepada Han Cia Sing dengan
tajam sekali sehingga Han Cia Sing bisa merasakan jubah
kain bajunya robek oleh ketajaman pandangan orang tua itu.
"Hormat kepada paman Shi Chang Sin!" kata Ma Xia
sambil buru-buru meloncat turun dari Lung Ma. Ia tampak
gugup melihat kedatangan kakek berjubah putih. Ma Xia
bahkan memaksa Han
Cia Sing ikut berlutut memberi hormat. Dalam
hatinya Han Cin Sing bertanya-tanya siapakah kakek sakti
bernama Shi Chang Sin yang ditakuti oleh Ma Xia ini?
"A Xia. bagaimana kabar ayahmu?" kata Shi Chang
Sin dengan suara menggelegar. Han Cia Sing sampai
merasakan gendang telinganya sakit merasakan getaran
suara Shi Chang Sin lapi yang lebih mengherankan lagi.
mulut kakek tua itu tetap tertutup, jadi dengan apa ia barusan
berkata-kata?
"Beliau baik-baik saja. terima kasih atas perhatian
paman Shi Chang Sin?" kata Ma Xia sambil tetap berlutut.- 191 Shi Chang Sin mengangguk-angguk sambil mengelus
janggutnya yang berwarna putih. Tiba-tiba anak panah yang
digenggamnya dengan tangan kiri dilemparkannya secepat
kilat ke arah Han Cia Sing. Anak panah berdesing dengan
kencang sekali sehingga mereka berdua tidak sempat
menghindar lagi. Untunglah ternyata Shi Chang Sing tidak
bermaksud jahat kepada Han Cia Sing karena anak panah itu
hanya dikembalikan saja ke dalam ketopong di
punggungnya. Tapi tak urung juga keringat dingin menetes
dari dahi Han Cia Sing. Kakek tua Shi Chang Sin ini
tampaknya hendak menguji nyalinya.
"A Xia, aku datang jauh-jauh ke tempat ini karena
ayahmu yang mengundang aku untuk datang ke
pernikahanmu dengan Ejinjin"
Ma Xia tidak menjawab. Ia kelihatan dongkol sekali
setiap kali ada yang menyebut pernikahannya. Shi Chang
Sin meneruskan perkataannya setelah melihat tidak ada
reaksi dari Ma Xia.
"Ejinjin mengatakan engkau akan segera menjadi
istrinya sehingga ia menitipkan pesan kepadamu agar
menjadi diri dan pergaulanmu baik-baik" gelegar suara Shi
Chang Sin seakan menuduh Han Cia Sing sebagai
"pergaulan yang tidak baik itu". Ma Xia juga merasakan
perkataan yang menuduh itu sehingga ia merasa perlu untuk
membantahnya.- 192 "Paman Shi. aku selalu menjaga diri baik-baik.
Paman Shi tidak perlu khawatir" kata Ma Xia.
Shi Chang Sin hanya menggereng tidak jelas entah
setuju atau tidak.
"Aku akan menemui ayahmu. Kau susullah ke
kemahnya" katanya sambil menggenjot tubuhnya dan
melayang hilang dari pandangan. Han Cia Sing benar-benar
kagum melihat kakek tua yang aneh dan ajaib itu hilang
dalam sekejap saja.
Mereka berdua bangkit berdiri bersama-sama. Han
Cia Sing sebenarnya ingin sekali bertanya kepada Ma Xia
siapa sebenarnya Shi Chang Sin itu. tapi kelihatannya Ma
Xia sedang murung sehingga ia mengurungkan niatnya
bertanya. Ma Xia sendiri segera naik ke atas Lung Ma dan
membedal kudanya ke arah perkemahan. melupakan Han
Cia Sing yang berlari mengejar ketertinggalan di
belakangnya. Setelah tertinggal cukup jauh. Han Cia Sing
berhenti sebentar untuk mengatur napasnya. Lung Ma
adalah kuda pilihan yang bisa berlari kencang, mana
mungkin terkejar olehnya?
Beruntunglah rupanya Ma Xia akhirnya menyadari
Han Cia Sing tertinggal jauh di belakang dan berbalik
kembali.
"Cia Sing. maafkan aku melupakanmu. Kedatangan
paman Shi Chang Sin membuatku gugup" kata Ma Xia- 193 "Tidak apa-apa. aku sebenarnya bisa menyusul
kembali ke perkemahan" kata Han Cia Sing sambil
memegang kekang tali Lung Ma.
"Lebih baik kita pergi berdua dan kembali berdua"
kata Ma Xia lagi.
Han Cia Sing hanya mengangguk setuju, la berjalan
setengah berlari menuntun Lung Ma sementara Ma Xia
duduk di atas kudanya. Setelah beberapa saat mereka saling
berdiam diri. akhirnya Han Cia Sing memberanikan diri
bertanya.
"A Xia, siapakah sebenarnya kakek Shi Chang Sing
itu?"
"Dia adalah saudara seperguruan ayahku dan juga
anak mendiang jenderal Shi Yi. Dia dijuluki Pei Lei (Guntur
Utara)" kata Ma Xia lagi.
"Dia juga diangkat menjadi guru oleh Ejinjin dan
Balsan. Kau sudah melihat kan kehebatannya? Ayahku saja
masih berada di bawahnya, tapi sayang sekali sifatnya aneh
dan penyendiri" kata Ma Xia melanjutkan.
"Ya aku bisa merasakan sifatnya yang aneh" kata Han
Cia Sing sambil meraba ketopong berisi anak panah yang
tersandang di belakang punggungnya.
"Paman Shi lebih suka berlatih ilmu silat dan
menyendiri di gunung-gunung. Kadang muncul tiba-tiba- 194 dan hilang dengan tiba-tiba pula. Mungkin perangai kakek
guru yang aneh menurun kepadanya" jelas Ma Xia.
Han Cia Sing hanya mengangguk mengiyakan. Meski
ia tidak pernah bertemu kakek guru Ma Xia. tapi mendengar
ceritanya bahwa ia berjuluk Pei Mo (Iblis Utara) tentulah ia
bukanlah orang yang menyenangkan. Han Cia Sing hanya
bisa menghela napas panjang, mengapa ia selalu terlibat
dengan orang-orang tidak benar seperti Lin Yin Dan. Cuo
Chung Hao. Ma Wen dan sekarang Shi Chang Sin.
Akhirnya mereka sampai juga di perkemahan Tien
Huo Hui. Di sana mereka berpisah. Han Cia Sing menuju
kandang kuda menuntun Lung Ma sedangkan Ma Xia
bergegas ke kemah ayahnya. Han Cia Sing mengikat Lung
Ma di tiang kayu dan ia kemudian menyikat tubuh kuda
hebat. Pikirannya melayang ke kemah Ma Pei. Ia sebenarnya
ingin tahu apa yang terjadi dengan Ma Xia, apakah ia akan
bertengkar lagi dengan ayahnya? Seperti menjawab
keinginan Han Cia Sing, tidak berapa lama kemudian, dua
orang pengawal datang ke kandang kuda untuk
memanggilnya ke kemah Ma Pei. Tentu saja hal ini
membuat Han Cia Sing kaget dan bingung karena ia tidak
pernah lagi dipanggil menghadap Ma Pei sejak pertama kali
tiba di Tien Huo Hui.
Ia masuk ke kemah Ma Pei dengan hati berdebardebar. Entah mengapa perasaannya tidak enak. Apalagi
ketika masuk, ia disambut pandangan menusuk Ma Pei dan
Shi Chang Sin yang setajam pisau. Han Cia Sing dapat- 195 merasakan hawa pembunuh yang sangat kuat bergolak di
dalam kemah itu. Ma Xia sendiri tampak berdiri di sudut
kemah dengan mata sembab dan raut wajah marah.
Tampaknya ia kembali bertengkar hebat dengan ayahnya.
"Bocah busuk, aku tidak membunuhmu dulu karena
Ma Xia membelamu! Aku tidak menyangka engkau
bagaikan kodok buduk yang hendak makan daging angsa
langit!" bentak Ma Pei yang tampaknya sudah tidak bisa
menahan kemarahannya lagi. Han Cia Sing hanya bisa
tergagap menerima makian tiba-tiba ini.
"Aku harus membunuhmu hari ini. jika tidak jangan
sebut aku Tien Huo Ma Pei!"
***- 196

Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

17. Langit Cinta Tak Bertepi Lautan
Dendam Tak Berdasar
ari perbukitan daerah Yi Chang. dekat pintu gerbang
markas besar Tien Lung Men. terlihat serombongan
orang tengah bergerak perlahan. Beberapa orang kuli
panggul tengah mengangkat sebuah tandu sementara di
depan mereka sepasang kuda ditunggangi dua orang pemuda
gagah membuka jalan Mereka tidak lain adalah Han Cia Pao
dan Yang Ren Fang \ang sedang dalam perjalanan menuju
Tien Lung Men Di belakang tandu mengawal kakek
bungkuk berbaju pengantin Hong Cu Chung dan pendekar
tinggi berbaju putih bersenjata toya besi ganda Gao Guen.
Han Cia Pao sudah merasa agak lega sekarang setelah
mereka berada dekat dengan markas Tien Lung Men. Selain
ia merasa lebih aman. Han Cia Pao juga kasihan dengan
ibunya yang sudah hampir sebulan ini selalu berpindahpindah dan berjalan jauh. Keadaan jiwa Ye Ing yang sedang
terguncang sebenarnya harus beristirahat total tapi mereka
harus terus bergerak untuk menghindari kejaran pasukan
kerajaan yang dipimpin langsung oleh Wang Dao Feng
Ming (Feng Ming si Golok Raja). Han Cia Pao berharap ia
dapat menetap beberapa lama di Yi Chang untuk
memulihkan kesehatan Ye Ing. baru kemudian melanjutkan
perjalanan menuju daerah Han Jin.
D- 197 Ketika mereka sudah dekat gerbang batu Tien Lung
Men, tiga sosok bayangan berkelebat cepat. Mereka adalah
Bao Ji Sang Sing Kui Hu Sang (Setan Sedih dari Bao Jing)
Hu Sang. Fei Hu Tao (Golok Harimau Terbang) Chen Yung
dan Sung Ge Cien (Pedang Pengantar Tamu) Chang Ye Ping
yang merupakan jago-jago barisan depan Tien Lung Men.
Mereka sudah menerima kabar dari Hong Cu Chung dan
Gao Guen beberapa hari yang lalu akan kedatangan
rombongan ini sehingga sudah bersiap-siap. Gerakan yang
begitu cepat dan gesit membuat Han Cia Pao sempat tegang
dan bersiap dengan segala kemungkinan, tapi begitu ketiga
pendekar tadi berlutut di depan mereka, tahulah Han Cia Pao
bahwa mereka adalah para pengikut Tien Lung Men.
"Hormat kepada tuan muda ketiga!" seru mereka
bertiga serempak.
"Pendekar bertiga, tidak usah terlalu sungkan. Terima
kasih telah menyambut kami di tempat ini" kata Yang Ren
Fang.
"Terima kasih tuan muda ketiga!" jawab mereka
bertiga sambil bangkit berdiri.
Han Cia Pao memandang mereka sambil terkagumkagum. Tidak heran Tien Lung Men menjadi partai nomor
satu yang amat disegani di dunia persilatan. Selain berilmu
hebat, para pengikutnya juga amat setia dan disiplin sekali,
tidak kalah dengan pasukan kerajaan pimpinan ayahnya.- 198 "Han-siung. kita sekarang sudah memasuki wilayah
Tien Lung Men. Tidak ada seorang pun yang berani
mengganggumu di sini bahkan pasukan kerajaan pun harus
menghormati kami di sini. Pang-cu Jien Wei Cen kami
beberapa tahun lalu mendapat gelar bangsawan Wu Han dari
mendiang kaisar lama sehingga prajurit kerajaan tidak akan
berani macam-macam" kata Yang Ren Fang menjelaskan.
"Terima kasih Yang-siung. aku lega mendengarnya"
jawab Han Cia Pao.
Rombongan itu berjalan pelan memasuki pintu
gerbang Tien Lung Men dan memasuki halaman depan yang
luas. Puluhan patung batu berbentuk prajurit berjajar
sepanjang pinggiran halaman sementara para pengawal jaga
berlutut memberi hormat pada Yang Ren Fang. Suasana
agung yang dirasakan Han Cia Pao tidak kalah dengan
perasaannya saat memasuki wilayah Kota Terlarang di
kotaraja. Apalagi gedung utama Tien Lung Men yang
menjulang gagah di hadapannya membuatnya semakin
takjub dan kagum.
Rombongan itu berhenti di depan pintu besar gedung
utama. Para pengawal segera membantu membereskan
kuda-kuda mereka dengan cekalan. Tandu yang membawa
Ye Ing langsung dibawa ke belakang untuk beristirahat di
tempat tamu sedangkan Han Cia Pao mengikuti Yang Ren
Fang masuk ke dalam gedung utama.- 199 Lagi-lagi Han Cia Pao berseru kagum ketika
memasuki gedung utama itu. Hiasan dan emas memenuhi
seluruh bagian aula itu, termasuk kursi ketua partai yang
berdiri gagah di bagian tengah ruangan. Di belakang kursi
emas berukir naga itu terpampang lukisan besar yang
memenuhi dinding, lukisan seekor naga yang menan di atas
awan Puisi yang terdapat pada lukisan itu berbunyi "Langit
dan laut bagai tanpa tepi. Naga langit tanpa tandingan".
"Yang-siung, mataku benar-benar terbuka setelah
melihat markas besar Tien Lung Men ini" puji Han Cia Pao
tidak dapat menyembunyikan kekagumannya.
"Han-siung terlalu memuji. Tempat kami ini tidaklah
sebanding dengan istana kaisar dan Han-cia-cuang di
kotaraja" kata Yang Ren Fang merendah.
Saat itu dari ruangan dalam keluar seorang pemuda
yang gagah, memakai baju sutra ungu dengan ikat pinggang
emas. Wajahnya terlihat tegas dengan garis-garis wajah
yang jelas. Alis matanya tebal dan hidungnya mancung
Sungguh seorang pemuda yang gagah dan tampan. Yang
Ren Fang segera maju menyambutnya sambil menjura.
"Adik memberi hormat kepada kakak pertama"
"Yang-ti (adik Yang) kau sudah kembali rupanya.
Kudengar engkau kembali bersama putra Jenderal Han Kuo
Li. apakah dia orangnya?" tanya pemuda yang tidak lain
adalah Jien Ming Ti itu.- 200 Han Cia Pao maju ke depan sambil menjura kepada
Jien Ming Ti.
"Siao-ti bermarga Han bernama Cia Pao, memberi
hormat kepada tuan muda Jien" kata Han Cia Pao dengan
hormat sekali.
Jien Ming Ti menerima penghormatan itu dengan
asal-asalan saja. Sikapnya jauh berbeda dengan Yang Ren
Fang yang ramah dan terbuka.
"Han sau-ye (tuan muda Han), silakan anda
beristirahat di Tien Lung Men. Jika ada keperluan sebelum
anda melanjutkan perjalanan katakan saja kepada kami"
kata Jien Ming Ti dengan nada menyindir. Penekanan
katanya pada "melanjutkan perjalanan" menunjukkan
bahwa ia berharap Han Cia Pao jangan berlama-lama di Tien
Lung Men. Sindiran halus tapi sinis ini dapat ditangkap oleh
Han Cia Pao sehingga tidak terasa mukanya menjadi merah
padam menahan perasaannya. Selama ini di kotaraja ia
selalu dihormati orang karena ayahnya adalah seorang
jenderal besar dan baru kali ini ia dihina secara terangterangan begini. Jika saja bukan karena Ye Ing yang sedang
sakit, mungkin Han Cia Pao langsung akan pamit undur diri.
Yang Ren Fang yang menyadari suasana menjadi
tidak enak dan kaku. berusaha mencairkan suasana kembali.
"Han-siung. mari kutunjukkan tempatmu beristirahat.
Kakak pertama kami minta diri dulu" kata Yang Ren Fang.- 201 Jien Ming Ti hanya mengangguk acuh tak acuh dan
kembali masuk ke ruang dalam. Ia sama sekali tidak
mengindahkan kehadiran Han Cia Pao. Sungguh sombong
sekali sikap yang ditunjukkan Jien Ming Ti!
Han Cia Pao dan Yang Ren Fang berjalan bersamasama menuju wisma tamu. Mereka melewati jembatan di
atas kolam teratai yang indah. Ratusan ikan emas berwarnawarni berenang lincah di antara bunga-bunga teratai,
sungguh suatu pemandangan yang menyejukkan hati. Yang
Ren Fang memakai kesempatan ini untuk meminta maaf
kepada Han Cia Pao atas perlakuan Jien Ming Ti tadi.
"Yang-siung. engkau tidak perlu meminta maaf.
Kami memang buronan kerajaan dan menumpang di sini
akan menyusahkan kalian. Setelah ibuku pulih kami akan
segera meneruskan perjalanan ke daerah Han Jin" kata Han
Cia Pao.
"Han-siung, terima kasih engkau tidak memasukkan
nya dalam hati. Memang sikap kakak pertama kadang keras,
tapi sifatnya sebenarnya baik. Jika engkau mengenalnya
lebih baik nanti juga akan menyadarinya" kata Yang Ren
Fang sambil tersenyum.
Han Cia Pao balas tersenyum hambar. Mungkin saja
apa yang dikatakan Yang Ren Fang memang benar adanya,
tapi mungkin juga tidak. Ia enggan memikirkan hal ini lebih
lanjut, ia hanya ingin segera beristirahat setelah perjalanan- 202 panjang yang melelahkan. Tampaknya Yang Ren Fang iuga
menyadari hal ini dan mempersilakannya untuk beristirahat.
Kamar tamu yang disediakan untuk Han Cia Pao amat
besar, bahkan lebih besar dari kamarnya sendiri di Wisma
keluarga Han. Tempat tidur dilapisi kain yang halus dan
empuk, sangat cocok sebagai tempat benstirahat bagi
mereka yang habis melakukan perjalanan jauh. Han Cia Pao
segera merebahkan tubuhnya dan bernapas lega. Sudah
hampir sebulan ia tidak pernah lagi tidur di tempat tidur
yang sebagus ini. Han Cia Pao segera jatuh terlelap dan
bermimpi tentang ayah dan adik-adiknya. Mimpi itu
bukanlah mimpi yang indah. Badan Han Cia Pao berkeringat
dingin dan tidurnya mengigau. Mungkin kejadian-kejadian
buruk belakangan ini menimbulkan bekas yang mendalam
di hati sanubari Han Cia Pao.
Han Cia Pao terbangun ketika ia merasakan napasnya
sesak sekali la terbangun dengan megap-megap. Rupanya
karena tidurnya begitu lelap. Han Cia Pao tidak menyadari
ada seorang anak kecil telah masuk ke dalam kamarnya.
Anak kecil itu menjepit hidung Han Cia Pao dengan kedua
tangannya sampai ia terbangun karena hampir kehabisan
napas.
"Siapa kau? Mengapa engkau berlaku kurang ajar
begini?" tanya Han Cia Pao kepada bocah laki-laki itu.- 203 "Hihihihihi. aku menjepit hidung paman karena
paman berteriak terus sambil tidur" kata bocah itu sambil
terus tersenyum-senyum dengan tidak wajar.
Han Cia Pao memperhatikan bocah laki-laki itu
dengan lebih seksama. Bocah itu memakai pakaian yang
bagus dan mewah berwarna biru sayang kelihatannya tidak
terawat. Matanya agak juling dan berputar-putar tak tentu
arah. Rupanya bocah kecil itu agak kurang waras meski
sebenarnya ia cukup tampan. Dalam hati Han Cia Pao
bertanya-tanya, siapakah bocah ini sehingga berkeliaran
sembarangan di Tien Lung Men.
"Anak baik. siapakah namamu?" tanya Han Cia Pao
dengan lembut.
"Aku?" kata bocah itu sambil menunjuk hidungnya
sendiri.
"Hihihi namaku Jien Feng (Jien Gila), semua paman
dan bibi di sini memanggilku Feng-Feng. Iya namaku FengFeng" kata bocah yang bernama Jien Feng itu sambil
meloncat-loncat gembira.
Han Cia Pao setengah tidak percaya dengan
pendengarannya. Siapakah yang begitu kejam memberi
nama bocah kecil ini Jien Gila 7
"Siapakah yang memberimu nama Jien Feng?"
"Siapa? Tentu saja ayahku" jawab Jien Feng sambil
tetap meloncat-loncat.- 204 "Siapakah ayahmu?" tanya Han Cia Pao penasaran.
"Ayahku dihormati semua orang di sini. la tuan muda
kedua Jien Ming Wu" kata Jien Feng polos.
Han Cia Pao merasa kasihan melihat nasib Jien Feng
yang disia-siakan. Ia kembali teringat nasib ketiga adik
perempuannva yang tewas dipenggal di kotaraja. Hatinya
serasa diiris-iris bila mengingat hal itu. Ia belum berani
memberitahukannya kepada Ye Ing karena takut ibunya
bakal terkejut sampai mati. Belum lagi kesedihannya
mengingat kematian Han Cia Sing yang tragis di utara. Kini
ia, Han Cia Pao adalah satu-satunya keturunan keluarga Han
yang masih hidup dan ia berniat menjaga hidupnya baikbaik. Han Cia Pao memeluk Jien Feng seperti ia memeluk
adiknya sendiri. Ia bisa merasakan tubuh bocah itu begitu
kurus dan bau. Rupanya meskipun hidup di Tien Lung Men.
tidak ada satu pun orang yang mau memperdulikannya.
Tidak terasa mata Han Cia Pao berkaca-kaca menahan
perasaannya.
"Paman, apakah paman mau bermain-main
denganku?" tanya Jien Feng dengan penuh harap.
Han Cia Pao mengangguk.
"Horeeeee paman memang terbaik di dunia! Nah
sekarang aku akan menjadi seekor kuda dan paman menjadi
kusirnya. Ayo paman" kata Jien Feng sambil menggandeng
tangan Han Cia Pao ke halaman depan kamar.- 205 Han Cia Pao berusaha menolak tapi sia-sia tidak
didengarkan oleh Jien Feng. Selain karena ia masih lelah dan
ingin beristirahat, mana mungkin ia menjadikan Jien Feng
yang kecil kurus itu sebagai kuda. Jien Feng terus
menariknya dengan gembira, seolah menemukan kawan
permainan yang baru.
"Feng-Feng. apa yang sedang engkau lakukan?" tegur
seseorang di belakang Han Cia Pao dan Jien Feng.
Han Cia Pao berpaling memandang pemilik suara
yang ternyata seorang wanita berpakaian sutra halus
berwarna merah dengan ikat pinggang emas. Wajahnya
mirip sekali dengan Jien Ming Ti yang ditemuinya tadi di
gedung utama sehingga Han Cia Pao menduga wanita ini
pastilah istri Yang Ren Fang dan satu-satunya putri Jien Wei
Cen, Jien Jing Hui. Sedangkan Jien Feng sendiri langsung
merunduk ketakutan melihat Jien Jing Hui. la bahkan
sampai menangis ketakutan dan menggigil.
"Salam hormat kepada Fang Fu-ren (nyonya Fang)"
kata Han Cia Pao sambil menjura memberi hormat.
Jien Jing Hui membungkuk sedikit menerima hormat
Han Cia Pao.
"Tuan pastilah tuan muda Han Cia Pao. Suamiku
telah menyebutkan mengenai anda" kata Jien Jing Hui
singkat, la kembali memandang Jien Feng yang tengah
menggigil ketakutan.- 206 "Feng-Feng kembalilah ke kamarmu dan jangan


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkeliaran lagi" kata Jien Jing Hui dengan dingin.
Jien Feng langsung lari terbirit-birit meninggalkan
Han Cia Pao yang masih terheran-heran.
"Tuan Han Cia Pao. anda silakan beristirahat
kembali" kata Jien Jing Hui.
"Terima kasih. Fang Fu-ren" kata Han Cia Pao sambil
kembali ke kamar tidurnya. Hatinya masih agak bingung
setelah pertemuan singkat dengan Jien Feng barusan, la
kembali ke kamarnya dan berusaha tidur kembali tapi
tampaknya tidak bisa. Akhirnya ia memutuskan untuk
menengok ibunya Ye Ing yang beristirahat beberapa kamar
jauhnya dari kamar Han Cia Pao.
Ye Ing tengah beristirahat ditemani dua orang
dayang. Ia sudah tertidur dengan lelapnya karena kelelahan
selama perjalanan jauh dan tanpa istirahat yang cukup. Han
Cia Pao memberikan isyarat kepada kedua dayang untuk
meninggalkan mereka berdua saja. Kedua dayang
membungkuk memberi hormat sebelum keluar kamar.
Han Cia Pao duduk di tepi ranjang sambil
memandangi Ye Ing. Sebulan lebih ini Ye Ing sudah banyak
berubah dari seorang nyonya besar menjadi seorang wanita
tua yang ketakutan dan prihatin. Rambutnya sekarang tidak
lagi disisir rapi apalagi dihiasi perhiasan yang mahal-mahal
tapi sudah banyak yang memutih dan kusut. Wajahnya pun
mengguratkan kesedihan dan beban hidup yang berat. Han- 207 Cia Pao menghela napas panjang. Apa jadinya ibu tiri yang
juga bibinya ini jika ia memberitahukan kematian Li Rong.
Li Feng dan Li Sien yang tragis oleh pengkhianatan kakek
mereka sendiri? Tangan Han Cia Pao mengepal
bergemeratakan menahan amarah. Bahkan kakeknya
sendiri, bangsawan Ye tega menjual nyawa ketiga cucunya
hanya untuk menyelamatkan nyawanya sendiri. Han Cia Pao
bersumpah suatu saat ia akan meminta pertanggungjawaban
langsung dari kakeknya itu atas kematian ketiga adiknya.
Perlahan-lahan malam mulai turun di daerah Yi
Chang. Lampion-lampion yang tak terhitung banyaknya
mulai dinyalakan di seluruh wisma bagaikan kunangkunang yang menari-nari di malam hari. Angin perbukitan
yang berhembus sepoi-sepoi menimbulkan perasaan sejuk
dan tenang. Sungai kecil yang mengalir di tengah-tengah
wisma berpendar-pendar memantulkan cahaya bulan. Suara
kodok dan binatang malam lainnya saling bersahutan
menyemarakkan malam yang indah itu.
Di bagian dalam wisma Tien Lung Men. tampak
Yang Ren Fang dan Jien Jing Hui tengah duduk bersama
seorang gadis kecil di tepi kolam teratai. Gadis kecil berbaju
merah itu sedang memainkan seruling dengan indahnya,
seakan tidak mau kalah dengan keindahan malam itu. Yang
Ren Fang dan Jien Jing Hui menyimak dengan penuh
perhatian permainan seruling gadis cilik itu hingga selesai
dan mereka bertepuk tangan dengan gembira setelahnya.- 208 Gadis cilik itu lari ke pangkuan Yang Ren Fang dengan
manja.
"Tie (ayah), bagaimana permainan sulingku? Aku
sudah berlatih keras untuk bisa memainkannya dengan baik"
kata gadis cilik itu sambil bergelayut manja di bahu Yang
Ren Fang.
"Hahaha. anak ayah memang paling pandai, mana
mungkin tidak bagus permainannya" puji Yang Ren Fang.
"Hong-er engkau semakin hari semakin pandai saja
mengambil hati ayahmu" kata Jien Jing Hui sambil
mengelus rambut anak gadisnya yang bernama Yang Hong
itu. Yang Hong sendiri tertawa lebar. Wajahnya yang
bulat dan pipinya yang merah membuatnya semakin mirip
buah tomat saja, tidak salah ia dinamakan Yang Hong (si
Merah Yang). Matanya yang bulat berkilat-kilat cerdas.
Tidak salah lagi Yang Hong mewarisi kecerdasan ayahnya
dan kecantikan ibunya.
"Niang (ibu), tapi benarkah kau akui permainanku
bertambah bagus? " kata Yang Hong sambil ganti bergayut
di pundak ibunya
"Iya benar" kata Jien Jing Hui sambil mengelus-elus
pundak putri tunggalnya itu.
"Oh iya Tie, aku juga ingin menunjukkan ilmu silat
yang diajarkan Niang kepadaku selama Tie pergi" kata Yang- 209 Hong sambil melompat ceria ke tengah taman. Yang Ren
Fang dan Jien Jing Hui tertawa gembira melihat tingkah
gadis cilik mereka. Memang Yang Hong adalah anak yang
cerdas dan periang juga pandai sehingga amat disayang oleh
mereka berdua.
Yang Hong sudah bersiap di tengah taman sambil
membawa seruling yang diumpakan pedang. Ia mengambil
posisi kuda-kuda yang cukup bagus bagi anak yang baru
berusia tujuh tahun. Sambil menghembuskan napasnya
dalam-dalam. Yang Hong mulai dengan jurus-jurus
pembukaan Tien Lung Cien (Pedang Naga Langit).
Bakat besar Yang Hong terlihat jelas saat ia
memainkan jurus-jurus Tien Lung Cien yang banyak
perubahan. Tien Lung Cien sendiri diciptakan oleh Jien Jing
Hui berdasarkan ilmu sakti Tien Lung Ta Fa milik ayahnya,
sang pendekar Sen Sou Mo Ciao (Tangan Dewa Kaki Iblis)
Jien Wei Cen. Ilmu sakti Tien Lung Ta Fa amat perkasa,
sehingga amat sukar untuk dipelajari seorang wanita maka
Jien Jing Hui belajar mengambil intisari tenaga dan gerakan
untuk diubah menjadi permainan pedang yang kemudian ia
beri nama jurus pedang Tien Lung Cien.
Yang Hong menyelesaikan sepuluh jurus dasar
dengan baik. Ayah dan ibunya bertepuk tangan memberikan
pujian kepadanya. Yang Hong berlari menuju kedua orang
tuanya itu dan memeluk mereka berdua dengan manja.
Keluarga kecil Yang Ren Fang memang bahagia sekali di
malam hari itu. Mereka bercerita dan saling bercanda ria- 210 hingga larut malam sampai akhirnya Yang Hong tertidur di
pangkuan ibunya. Yang Ren Fang dengan hati-hati
mengangkat anaknya masuk ke dalam kamar bersama-sama
dengan Jien Jing Hui.
Mereka berdua begitu bahagia sampai tidak
menyadari ada sepasang mata yang menatap mereka dengan
iri dari ruang menara. Mata itu cekung dan sinar matanya
seakan mati. Wajahnya sebagian berbintik-bintik merah dan
penuh nanah sehingga membuat jijik mereka yang
melihatnya. Tampaknya ia mengalami sakit yang parah dan
tidak tersembuhkan. Meskipun demikian masih tersisa
ketampanan dan kegagahan yang pernah singgah pada
dirinya dulu. la tidak lain adalah Jien Ming Wu, tuan muda
kedua Tien Lung Men.
Jien Ming Wu sekarang tidaklah sama dengan Jien
Ming Wu sepuluh tahun lalu. yang begitu perkasa dan
dihormati para pendekar dunia persilatan. Semua ini adalah
akibat buah perbuatannya sendiri. Dulu semasa ia muda.
pekerjaannya sehari-hari adalah berfoya-foya dan
bersenang-senang di tempat-tempat perjudian dan
pelacuran. Masa mudanya ia habiskan dengan mabuk dan
bermain perempuan. Meskipun kemudian ia menikah
dengan gadis yang dijodohkan oleh ayahnya, tapi sifat
liarnya tetap tidak berubah. Nasihat ayah dan kakaknya
sama sekali tidak didengarkan lagi oleh Jien Ming Wu.
Sampai akhirnya tibalah bencana itu.- 211 Jien Ming Wu tertular penyakit berbahaya oleh para
wanitanya. Penyakit itu tidak saja tak tersembuhkan tapi
juga telah menulari istrinya yang ketika itu telah hamil
beberapa bulan dan akibatnya benar-benar mengerikan. Istri
Jien Ming Wu meninggal ketika melahirkan anak lakilakinya. Tidak hanya itu saja. bahkan anak itu ikut menderita
dosa ayahnya karena ia lahir cacat mental. Kejadian ini
benar-benar memukul batin Jien Ming Wu yang sejak saat
itu mengurung dirinya sendiri di gedung menara Tien Lung
Men. Jien Ming Wu tidak lagi mau bertemu siapapun juga.
tidak juga anaknya yang cacat mental yang ia beri nama Jien
Feng (si Gila Jien). Ia merasa diperlakukan sangat tidak adil
oleh langit. Bagaimana mungkin seorang tuan muda Tien
Lung Men yang hebat dan disegani banyak orang berakhir
menyedihkan sebagai seorang penyakitan yang dijauhi
masyarakat? Tapi itulah akibat yang harus ditanggung
perbuatan yang hanya mementingkan kesenangan diri
sendiri, tidak terkecuali Jien Ming Wu.
Malam hari berlalu dengan sepi seolah ikut
merasakan keadaan hati para penghuni wisma Tien Lung
Men. Bulan pucat yang bergantung di ufuk langit akhirnya
menghilang perlahan, digantikan oleh keceriaan sang
mentari. Burung-burung hwa-bi dan kuulang berkicauan
menyambut datangnya pagi. membangunkan Han Cia Pao
yang tertidur di tepian ranjang ibunya.- 212 Ye Ing masih tertidur dengan tenang. Tampaknya
ranjang yang bagus telah membuat istirahatnya lebih
nyaman. Memang sebulan terakhir ini. mereka sama sekali
tidak pernah tidur di ranjang yang enak. Han Cia Pao
bangkit berdiri dan membuka jendela kamar. Sinar matahari
yang hangat menerobos masuk ke dalam kamar bersama
udara pagi yang segar. Han Cia Pao menghirup napas dalamdalam. Sudah lama sekali rasanya ia tidak bisa bangun pagi
dengan setenang dan sesegar pagi ini.
Kamar tamu yang ditempati Ye Ing itu menghadap ke
timur persis ke arah taman dan kolam teratai. Suasana pagi
itu menjadi semakin indah karena penataan taman dan
kolam yang bagus. Puluhan burung kutilang berkicau riang
di atas pepohonan bambu dan persik sementara ratusan ikan
emas tampak muncul dari permukaan air meminta jatah
makan pagi mereka. Han Cia Pao merasakan kedamaian
dalam hatinya saat menatap keindahan pagi di taman Tien
Lung Men itu.
Beberapa saat kemudian beberapa dayang dan
pelayan masuk ke dalam kamar. Mereka menghormat
kepada Han Cia Pao kemudian meletakkan baki makanan
dan baskom berisi air untuk mencuci muka. Han Cia Pao
mengambil kain tebal yang sudah disediakan dan
mencelupkannya ke dalam baskom berisi air hangat
kemudian menyeka mukanya sehingga terasa segar sekali.
Melihat makanan enak yang tersedia di meja. Han Cia Pao
baru sadar betapa laparnya ia karena semalam tidak makan.- 213 Han Cia Pao menengok lagi Ye Ing. yang ternyata masih
tertidur lelap. Mungkin sebaiknya ia membiarkannya
beristirahat dulu sementara ia makan. Nanti jika Ye Ing
terbangun ia bisa menyuapi ibunya yang selama sebulan ini
tidak pernah makan cukup.
Han Cia Pao membuka tutup-tutup makanan yang
dihidangkan di meja. Bau harum bubur ayam dan sup ikan
sangat menggugah selera apalagi untuk perut Han Cia Pao
yang sudah sangat lapar, la segera makan dengan lahap,
hingga tidak menyadari Ye Ing bangun dan duduk di sudut
tempat tidur sambil memandanginya.
Mata Ye Ing menerawang jauh. Ia sangat rindu
dengan suami dan ketiga putri yang amat dicintainya.
Beruntung ia masih memiliki Han Cia Pao. yang meskipun
memanggilnya sebagai ibu tapi sebenarnya adalah
keponakannya sendiri. Wajah Han Cia Pao yang amal mirip
dengan ayahnya membuatnya kembali teringat nasib Han
Kuo Li yang tragis. Tanpa terasa air mata menetes dari sudut
matanya entah untuk yang keberapa ribu kalinya dalam
sebulan. Isakan tangis Ye Ing menyadarkan Han Cia Pao
bahwa ibunya itu sudah bangun dari tidurnya. Buru-buru ia
mendekat sambil membawa semangkuk bubur ayam panas.
"Niang (ibu), engkau sudah bangun? Makanlah bubur
ayam ini selagi panas, ibu pasti sudah sangat lapar" kata Han
Cia Pao sambil mengaduk-aduk bubur ayam itu untuk
mendinginkannya, la mengambil sesendok dan meniupnya.- 214 "Niang. makanlah. Bubur ayam ini sangat enak"
"Aku tidak lapar" kata Ye Ing sambil menggeleng
lemah, la memang tidak ada nafsu makan sama sekali.
"Makanlah barang sesendok dua, Niang. engkau
selama perjalanan hampir tidak pernah menyentuh
makanan, bagaimana bisa sehat dan bertemu adik-adik
nantinya?" bujuk Han Cia Pao. Untung saja Ye Ing sedang
melamun, sehingga tidak memperhatikan nada suara Han
Cia Pao yang bergetar ketika menyebut kata "adik-adik".
Ye Ing beringsut ke pinggiran tempat tidur. Ia
berjalan menuju meja sambil dipapah Han Cia Pao.
Semangat hidupnya sedikit pulih mendengar ucapan Han
Cia Pao. Ye Ing duduk dengan susah payah di depan meja.
Bau makanan yang sedap sama sekali tidak menggugah
seleranya. Hanya karena ketelatenan Han Cia Pao saja ia
bisa menghabiskan semangkuk bubur ayam. Selesai makan.
Ye Ing merasa sangat lelah dan ingin berbaring saja. Han
Cia Pao menemaninya duduk di tepi tempat tidur sampai Ye
Ing tertidur kembali.
Ketika para pelayan sedang membereskan piringpiring dan mangkuk makanan. Yang Ren Fang memasuki
kamar dengan wajah berseri-seri. tampaknya ia membawa
kabar yang menggembirakan.
"Han-siung. aku membawa kabar tentang Jenderal
Song" kata Yang Ren Fang dengan gembira. Namun ia- 215 mengecilkan suaranya ketika melihat Han Cia Pao tengah
duduk menemani Ye Ing beristirahat
"Maaf. aku tidak tahu Han Fu-ren (nyonya Han)
sedang beristirahat"
Tapi tampaknya Ye Ing sudah terbangun karena suara
Yang Ren Fang. apalagi kabar berita yang dibawanya sudah
amat ditunggu-tunggu. Ye Ing bagaikan meloncat bangun
dari tempat tidurnya mendapati Yang Ren Fang. sehingga
Han Cia Pao terkaget-kaget melihat perubahan keadaan
ibunya yang begitu tiba-tiba ini.
"Tuan Yang. kabar apa yang engkau dapat? Apakah
kabar tentang Jenderal Song dan para putriku" kata Ye Ing
sambil mendekati Yang Ren Fang.
"Ehm. Han Fu-ren. anggota Tien Lung Men sudah
mendapat kabar keberadaan Jenderal Song Wei Hao dan
mengawalnya menuju kemari. Mungkin akan segera tiba"
kata Yang Ren Fang sambil menghormat.


Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Hu Wu Lin Karya Chen Wei An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ye Ing tampak agak sedikit kecewa. Ia sebenarnya
ingin sekali mendengar kabar tentang suami atau ketiga
putrinya. Selama ini Han Cia Pao hanya berkata belum
mendapat kabar dan enggan menjawab apapun pertanyaan
Ye Ing sehingga ia berharap mendapat kabar dari Yang Ren
Fang. tapi tampaknya ia harus menunggu kedatangan Song
Wei Hao untuk mendapatkan kabar yang diinginkannya.- 216 Tapi ternyata Ye Ing tidak perlu menunggu lama.
Seorang pengawal Tien Lung Men berlari-lari
menyeberangi taman.
"Lapor tuan muda ketiga. Ketua Selatan telah datang
bersama Jenderal Song Wei Hao. Mereka menunggu di aula
utama" lapor pengawal itu sambil menjura kepada Yang Ren
Fang.
"Baik. minta mereka menunggu sebentar. Kami akan
segera menyusul" jawab Yang Ren Fang sambil menyuruh
pengawal itu pergi.
"Han Fu-ren. Han-siung. silakan mengikutiku ke aula
utama.
Kukira kalian pasti akan senang sekali bertemu
kembali dengan Jenderal Song" kata Yang Ren Fang sambil
mempersilakan Han Cia Pao dan Ye Ing untuk
mengikutinya.
"Niang. mari" kata Han Cia Pao sambil membimbing
lengan Ye Ing berjalan keluar mengikuti Yang Ren Fang
menuju aula utama.
Mereka berdua tertinggal jauh di belakang Yang Ren
Fang. terutama disebabkan keadaan Ye Ing yang masih
lemah. Ketika mereka akhirnya tiba di aula utama, terlihat
Song Wei Hao sedang berbicara dengan keenam prajurit
bawahannya yang ikut mengawal Han Cia Pao hingga ke
tempat ini. Song Wei Hao tampaknya gelisah menunggu- 217 kedatangan Han Cia Pao dan Ye Ing di aula utama sehingga
ia berdiri mondar-mandir ketika sedang berbicara.
"Jenderal Song. apakah kabar yang engkau bawa?"
Ye Ing langsung bertanya tanpa basa-basi lagi.
Song Wei Hao melihat kedatangan mereka berdua
langsung mendekat menjura memberi hormat.
"Han Fu-ren. Pao-er. senang melihat kalian baik-baik
saja"
"Paman Song. aku juga senang melihat engkau baikbaik saja" jawab Han Cia Pao tidak dapat menyembunyikan
kegembiraannya.
"Jenderal Song. mengapa engkau memakai pakaian
rakyat jelata?" tanya Ye Ing keheranan.
Song Wei Hao menghela napas panjang. Kenangan
akan keluarganya membayang di pelupuk matanya yang
berkaca-kaca.
"Seluruh keluargaku sudah menjalani hukuman
penggal...
Song Wei Hao tidak mampu meneruskan katakatanya. Tubuhnya bergetar menahan tangis dan perasaan
sedih.
"Apa?" kata Ye Ing setengah berteriak tidak percaya.
Han Cia Pao hanya bisa menunduk sedih. Ia sudah
tahu sebelumnya tentang hal ini. hanya saja tidak- 218 memberitahukannya kepada Ye Ing. Keenam prajurit
pimpinan Cheng Pu juga tidak bisa menahan haru melihat
kesedihan Song Wei Hao.
Setelah Song Wei Hao dapat menenangkan dirinya.
Ye Ing kembali bertanya hal yang sudah sangat ingin
diketahuinya.
"Apakah ada kabar tentang suamiku?" tanya Ye Ing
penuh harap.
"Jenderal Han sudah mati dalam pengepungan di kuil
Yung An..." jawab Song Wei Hao tidak bisa
menyembunyikan kesedihannya.
Han Cia Pao berusaha mencegah Song Wei Hao
mengatakan kalimat selanjutnya, tapi sayang sekali
kesedihan Song Wei Hao membuatnya tidak melihat isyarat
dari Han Cia Pao.
"... keluarga Menteri Shangguan Yi keluargaku dan
ketiga putri anda semua dihukum penggal keesokan harinya.
Aku mendengar kabar ini saat hendak kembali ke kotaraja
tapi di tengah..."
Belum selesai Song Wei Hao berkata-kata. Ye Ing
sudah menjerit histeris. Teriakannya memecahkan
keheningan di aula utama itu.
"Apa?! Jenderal Song, katakan apa yang terjadi
dengan suami dan ketiga putriku sekali lagi!" teriak Ye Ing
kepada Song Wei Hao. Kini ia mendekat dan- 219 mencengkeram lengan Song Wei Hao seakan hendak
memaksa keluar jawaban dari mulut teman dan bawahan
setia suaminya.
"Jenderal Han dan ketiga putrinya sudah tiada" kata
Song Wei Hao sambil menitikkan air mata.
08 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bandit Penyulam Pendekar 4 Alis Buku 2 Karya Khu Lung The God Father Sang Godfather Karya Mario Puzo

Cari Blog Ini