Ceritasilat Novel Online

Mencari Tombak Kiai Bungsu 1

Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan Bagian 1



Mencari Tombak Kiai Bungsu



Karya RS Rudhatan



Jilid 1



Cetakan Pertama 1976



Gambar Luar : Wid Ns



Gambar Dalam : Wid Ns



Penerbit : Muria



Yogyakarta



Hak Cipta dilindungi Undang Undang



*****



Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya



(https://m.facebook.com/Sing.aditya)



Juru Potret : Awie Dermawan



(https://m.facebook.com/awie.dermawan)



Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo



(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)



Back up file : Yons



(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)



(Team Kolektor E-Book)



(https://m.facebook.com/groups/13941??65?302863)



*******





BUMI PAJAJARAN masih diliputi kabut tipis dan angin dingin bertiup pada pagi hari itu,ketika dari arah pelosok pedesaan rakyat mulai terlihat keluar dari rumah- tinggal mereka, berangkat dengan keperluan dan kehendak yang hampir selalu bersamaan. Kebanyakan mereka pergi ke sawah dan mengerjakan tanah. Menyandang cangkul dan menembus udara dingin pagi hari dengan dada telanjang. Berbincang sesama kawan ditengah pematang yang dilalui, sementara sawah dan tanah menunggu kerja dan tangan mereka, orang-orang itu terus melangkahkan kaki, seakan mau berlomba dengan sanghyang bagaskara yang sebentar lagi pastilah muncul diufuk timur.



Tidak berselang lama kemudian., ketika matahari telah memecahkan semburan sinar kuning dan merahnya yang menandakan sesaat lagi terang tanah akan menggantikan malam diatas tanah Pajajaran itu, dari arah hulu sungai Cisadane muncul tiga orang penunggang kuda yang melarikan kudanya menuju kearah timur laut.



Udara dingin pagi hari tidak dihiraukan oleh ketiga orang ini. Kendatipun pakaian tipis yang menutup tubuh-tubuh mereka tidak cukup kuat menahan serangan udara dingin yang menusuk tulang, namun ketiga orang yang malahan bertelanjang dada itu nampaknya sedikitpun tidak terpengaruh oleh hawa dingin, sekalipun kuda-kuda yang membawanya berlari menyebabkan angin menyambar tubuh mereka dengan lebih kencang.



Matahari bertambah lama akan semakin terlihat sempurna dengan cahaya yang dipancarkan menerangi tempat itu. Apalagi ketiga orang penunggang kuda itupun melarikan kuda tunggangannya menyongsong munculnya sanghyang bagaskara sehingga dengan cepat dapatlah diperhatikan bentuk tubuh dan raut muka ketiga orang itu.



Terang tanah berambah dan udara pagi mulai terasa lebih segar, dan itu agaknya dirasakan oleh orang- orang yang masih melarikan kudanya ke arah timur laut tadi tanpa menoleh pula kebelakang.



Kalau diperhatikan benar, ternyata yang berada paling muka menunggang kuda dawuk itu adalah seorang lelaki muda remaja beroman tampan. Sedangkan kedua penunggang kuda yang lain terlihat lebih tua, satunya mengenakan pakaian kebesaran bagai punggawa kerajaan, sedang lainnya mengenakan pakaian hampir serupa, namun yang ini terlihat lebih rendah dari yang pertama keindahan pakaian yang dikenakan. Agaknya memang berpangkat lebih rendah dari punggawa satunya.



Ketiganya terus melarikan kudanya tanpa berhenti. Menembus udara pagi yang dingin. Sedang sekitar jalan yang dilewati sengaja memilih jalan- jalan sepi sehingga tak akan mereka temui orang-orang pedesaan yang lewat.



Menilik dari pakaian yang dikenakan ketiganya menandakan berasal dari keluarga bangsawan, atau sekurang-kurangnya adalah punggawa kraton. Dan itu semakin jelas ketika tiba-tiba anak muda yang tadi berlari dimuka mulai menarik kendali kudanya, hingga binatang itu mengurangi larinya dan berjalan perlahan untuk kemudian berhenti. Dua orang yang lain mengikuti perbuatan itu.



- Mengapa berhenti ditempat ini Raden? -



Tanya seorang yang paling tua diantara mereka.



- Paman Pananjung, sesungguhnya aku masih belum ingin kembali!



Jawab anak muda itu.



- Tetapi ayahanda sudah memerintahkan hamba. untuk membawa kembali Raden keistana - Kata orang itu pula.



- Bagaimana kalau paman Pananjung pulang terlebih dahulu, katakan pada ayahanda prabu aku menyusul belakangan. - .



- Jangan begitu Raden, paman tentu akan mendapat marah dari ayahanda. Dan kalau paman kemudian dihukum oleh ayahanda Raden,tentu Raden tak akan dapat bertemu dengan paman pula. Sudahlah, kita teruskan perjalanan dan kembali secepatnya. Kasihan ibunda dewi yang selalu bersedih hati manakala Raden tidak ada. -



Anak muda itu nampak bimbang. Ia berdiam membisu tidak segera menjawab perkataan orang yang ia sebut Penanjung tadi.



Orang tua itu juga terdiam. Ia tidak mau memaksa anak muda itu agar segera menuruti katanya. Namun ditunggunya apa yang akan dikatakan kemudian.



Namun dalam hati Orang tua itu telah menyembul tekadnya membawa pulang kembali anak muda yang tengah berbimbang pikir itu. Seperti yang ia katakan tadi, ia tentu akan menerima hukuman jika tidak berhasil membawa kembali anak muda itu.



Telah sepekan ia mencarinya, keluar masuk hutan, menuruni gunung dan menyusuri sepanjang telatah Pajajaran. Dan secara kebetulan saja ia menemukan anak muda itu tengah berada dekat dengan hulu sungai Cisadane.



Sesungguhnyalah, ketiga orang itu adalah orang-orang Pajajaran.Si orang tua yang disebut Pananjung itu bergelar Aria Jati Pananjung. Adik ipar Prabu Mahesa Tambreman Maharaja Pajajaran. Beberapa hari yang, lalu ia meninggalkan istana diperintahkan mencari putra sang Prabu Raden Mundingwangi yang lolos dari istana tanpa pamit.



Aria Jati Pananjung sebelumnya telah menduga anak muda putra Pajajaran itu tentulah akan menolak jika harus diajaknya kembali ke istana. Karena orang tua ini maklum siapa Raden Mundingwangi ini .Malah bukan ia saja. hampir seluruh kraton mengetahui putra Pajajaran yang satu ini mempunyai kegemaran aneh. Berkali- kali baginda Mahesa Tambreman memperingatkan ia kelak akan menggantikan ayahandanya memegang mahkota Pajajaran. Namun Raden Mundingwangi menolak. Ia malah memilih hidup diluar kraton. Waktunya lebih banyak dipergunakan diluar dinding kraton. Raden Mundingwangi sedikitpun tidak ada perhatian untuk memikirkan kehidupan dalam istana yang serba kecukupan.



Baginda Mahesa Tambreman seringkali harus marah dan menegur putranya yang demikian itu. Namun Raden Mundingwangi tidak menggubris hal itu. Ia lebih senang menyusuri sungai atau turun dan mendaki gunung, keluar masuk hutan. Raden Mundingwangi semenjak kecil memang telah gemar melakukan ulah tapa, menyepikan diri ke tempat-tempat sunyi.



Mahesa Tambreman semula amat gembira melihat putranya yang satu ini gemar dan maju dalam berlatih ulah kanuragan. Sehingga tidak mengherankan jika dalam waktu beberapa bulan saja, kepandaiannya menggunakan senjata telah jauh melampaui orang-orang tua diatasnya.



Pamannya Aria Jati Penanjung merasa heran ketika mengetahui kemajuan yang dicapai oleh Raden Mundingwangi dalam ulah senjata dan tata kelahi. Hampir seluruh yang dipunyai sang paman telah habis diserap. Bukan ini saja, guru guru yang ada dalam istana telah tidak ada lagi yang sanggup memberikan tambahan ilmu kepada anak muda itu. Maka tidak mengherankan jika dalam usia muda Raden Mundingwangi telah menjadi seorang kuat yang tidak terkalahkan.



Namun Baginda menjadi terkejut ketika akhirnya sang putra mempunyai kebiasaan aneh, sering keluar kraton. Bahkan berminggu minggu anak muda itu pergi tanpa diketahui kemana. Barulah diketahui sesudahnya baginda mengirimkan prajurit untuk menyelidiki perbuatan putra mahkota itu. Ternyata Raden Mundingwangi gemar melakukan tapa brata, memperdalam pengetahuan sendiri, seraya melatih ilmu-ilmu yang dimilikinya dengan rajin dan tekun, seorang diri.



Baginda Mahesa Tambreman pada akhirnya ingin menetapkan putra mahkota sebagai pengganti memegang kendali Negeri Pakuan menduduki singgasana. Namun selalu niat itu terbentur kepada hilangnya putra itu dari istana. Baginda merasa putra mahkota itu sengaja seakan menghindarkan diri bertemu dengan ayahandanya. Maka diperintahkanlah kepada Aria Jati Penanjung untuk mencari dan membawanya pulang sang putra ke kraton. Karena baginda tahu kepada sang Paman Aria Jati Pananjung Raden Mundingwangi lebih banyak menurut dan tidak senang membantah manakala paman itu memerintahkan sesuatu. Dan perhitungan itu tidak meleset sebab dengan mudah saja Aria Jati Pananjung membujuk putra Pajajaran agar kembali keistana.



Raden Mundingwangi merasa segan terhadap pamannya yang satu ini. sebab Aria Jati Pananjunglah orang pertama yang telah menanamkan ilmu kepandaian yang kini ia miliki. Pamannyalah yang mula- mula mengajarkan Raden Mundingwangi memegang keris,mempergunakan pedang melatihnya bertempur dan mendalami gerak dan tatakelahi yang mendasari segala ilmunya sekarang. Maka ketika pamannya itu menemukan dirinya yang tengah bersemadi

di dekat sungai Cisadane itu dan kemudian membujuknya agar kembali ke kraton. Raden Mundingwangi tidak berani membantah meskipun dengan berat hati namun untuk tidak membuat kecewa sang paman Raden Mundingwangi bersedia kembali ke kraton.



- Hayolah Raden, kasihan ibunda dewi menunggu-nunggu! - Kata Aria jati Pananjung pula ketika dilihatnya Raden Mundingwangi masih bimbang.



- Eh paman, apakah yang bernyala disana itu?!



Tiba-tiba putera Pajajaran itu berseru tertahan, membuat Aria Jati Pananjung dengan pengawalnya tersentak kaget. Dan keduanya cepat menoleh pada yang ditunjuk oleh Raden Mundingwangi.



Aria Jati Pananjung menjadi terkejut dan heran. Diarah muka sekira seratusan langkah terlihat sebuah cahaya kuning memancar dengan elok. Cahaya itu demikian cemerlang, sehingga kabut pagi hari yang dingin itupun rasanya terusir pergi. Dan hati ketiga orang itu menjadi tertarik. Cahaya itu bergerak-gerak perlahan dan pergi menjauhi mereka.



- Hayo kita lihat paman!



Raden Mundingwangi berkata seraya mengeprak kudanya agar maju, kemudian diikuti oleh Aria Jati Pananjung dengan pengawalnya maju melarikan kuda mendekati cahaya aneh itu.



Tak berapa lama kemudian ketiganya telah tiba didekat asalnya cahaya tadi terlihat. Namun aneh. Cahaya itu kini tak nampak pula. Sedang ditempat itu hanya terlihat seorang tua tinggi gagah dan meskipun terlihat janggut dan kumisnya telah memutih berikut rambutnya yang panjang juga telah putih bagai sutra berkilau namun nampak orang tua yang berjubah panjang itu masih gagah dan angker.



Si orang tua tidak memperhatikan yang tengah menghampiri. Ia melangkah dengan tenang menjauhi yang sedang memperhatikan dengan herannya.



Raden Mundingwangi tidak tahan. Ia kehilangan cahaya yang tadi dilihatnya. Maka segera ia majukan kudanya kearah orang tua

itu seraya menegur :



- Orang tua yang gagah! Berhentilah kami ingin menanyakan sesuatu!



Orang tua itu menoleh. Raden Mundingwangi mundurkan kuda dengan tiba-tiba dan menunduk tanpa sadar. Demikian juga Aria Jati Pananjung yang berada dibelakangnya. Sebab ternyata sorot mata orang tua itu luar biasa. Bagai kilat dan tajam menatap, sehingga ketiga orang dari Pajajaran itu tak kuasa menentang lama-lama.



- Ada apakah kau anak muda menghentikan langkahku?



Tanya orang itu itu dengan suara cepat dan berpengaruh.



Sejenak Raden Mundingwangi tertegun mendengar suara orang tua itu yang menimbulkan getaran aneh dalam dadanya. Namun ia segera mengatur nafas dan menenangkan isi dadanya yang tiba tiba bergetar oleh suara orang tua aneh itu.



- Maafkan aku orang tua gagah, tadi aku melihat seberkas cahaya muncul bergerak gerak ditempat ini. Tetapi begitu aku tiba disini cahaya itu hilang musnah. Mungkin kau orang tua tahu dimana letaknya cahaya yang kulihat tadi?



- Ho... ho...... kau mencari itu anak muda? Kebetulan sekali! aku terangkan padamu anak muda, cahaya itu sesungguhnya berasal dari benda ini. -



Dan orang tua itupun mengacungkan sebuah senjata panjang yang ia bawa kemuka dadanya..



Raden Mundingwangi heran melihat senjata itu. Bentuknya aneh dan tidak sewajarnya. Senjata itu berujud tombak tetapi bercagak dan memiliki enam ujung tombak pada ujungnya. Sedang sepanjang tubuh tombak itu berluk banyak menyerupai keris tidak seperti biasanya tombak lurus. Tetapi yang mengherankan adalah dari tubuh senjata itu berkerlipan dengan cahaya lembut bagai ditabur oleh butiran- butiran intan sebesar- besar biji pasir.



Raden Mundingwangi terangsang. Dia tertarik dengan senjata yang dibawa orang tua itu. Maka bertanyalah anak muda ini.



- Eh, orang tua yang gagah, siapakah engkau ini? Kalau tidak salah lihat bukan kawula Pajajaran. -



- Bagus! engkau memang bernama awas anak muda. Aku bukan kawula Pajajaran. Tetapi akulah yang diperintahkan untuk mengembalikan Pajajaran ke alam asalnya. -



- He, apakah maksudmu? -



Raden Mundingwangi heran dan

semakin tertarik mendengar perkataan. ini.



- Ah kau terlalu mendesakku anak muda. Ketahuilah Aku sengaja datang menemui untuk memberikan jalan kelepasan bagi Pajajaran. Karena Pajajaran yang sekarang tidak lagi menjadikan senangnya Yang Maha Kuasa. Kau dengarlah anak muda. Pajajaran akan terbakar habis jika tidak mendengarkan sabda dan perintah Yang Maha Kuasa. seluruh negri akan dibanjut dengan bencana banjir dahsyat. Tak seorangpun selamat. Namun sebelumnya aku telah datang kemari dan memberikan peringatan ini. Karena Yang Maha Wikan tidak sekali- kali mengirimkan bencana kepada mnusia sebelum memberikan seorang sebagai pemberi ingat. Bukankah Wisnu telah juga menceritakan bakal datangnya bala keselamatan? Maka jika Pajajaran Sigaluh tidak menerimanya, ia akan bernasib sama dengan nasib Negri Dwaraka dihanyutkan oleh banjir laut Selong dan musnah berikut segala bentuk lahirnya. Kau tahu Wisnu menguasai Negri Dwaraka dalam ujudnya sebagai Krisna. Namun Wisnu sendiri sebagai pembentuk keadilan masih harus tunduk kepada kemauan Sanghyang Tunggal dengan mati ditangan seorang pemburu bernama Dyara dan negriya 'hancur lebur oleh banjir laut Selong.



Raden Mundingwangi heran. Tentu saja sebagai seorang putra Pajajaran Hindu ia kenal dengan kisah-kisah yang dikatakan orang tua itu. Namun ia bertanya juga.



- Orang tua gagah, aku dapat memahami perkataannya. Tetapi dapatkah engkau memperlihatkan mu'jijat dari segala yang kau katakan itu sehingga kemudian aku percaya, Pajajaran akan dibanjut oleh banjir bandang?

Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo




- Bagus. kau benar cerdik! -



Kata orang tua itu pula..

- Nah kalau kau menuntut itu, lihat! -



Si orang tua tiba2 menggerakkan tombak yang dipegangiya, dan...... sasss....wuss ... tiba-tiba dari ujung tombak itu berkobar api yang menjilat- jilat dengan hebat dan dahsyat.



Raden Mundingwangi terkejut. Demikian juga Aria Jati Pananjung. Maka mereka terbelalak melihat kehebatan orang tua itu. Dan ketika tombak itu digerakkan pula, api yang berkobar menjilat semakin besar dan suaranya mendesah gemuruh bagai hendak membakar sekeliling tempat itu.



- Cukup! Hentikan itu! -



Raden Mundingwangi berseru. Hatinya bergetar hebat melihat pemandangan dihadapannya. Aria Jati heran mendengar seruan itu karena getaran suara Raden Mundingwangi seperti mengandung ketakutan dan kekhawatiran.Namun hal itu tidak ia ketahui.Apakah hanya menyaksikan api yang menyala dan berkobar dari ujung tombak itu sang putra Pajajaran menjadi ketakutan?



Namun bagi Raden Mundingwangi lain yang terjadi. Ketika api berkobar dan menjilat- jilat keluar dari ujung tombak yang dipegang orang tua itu, ia masih belum mendapatkan perasaan khawatir, Akan tetapi bahwa tiba- tiba bagai dipukul palu godam ketika siorang tua menggerakkan tombak itu, mata Raden Mundingwangi menyaksikan suatu pemandangan yang mengerikan. Dalam cahaya kobaran api itu terlihat ayahandanya Baginda Mahesa Tambreman berikut ibu dewi dengan seluruh rakyat Pajajaran bergulingan dan menjerit- jerit ketakutan akibat dibakar api. Seluruh kraton terbakar dengan hebat sehingga hiruk pikuk dan ketakutan. Tentu saja Raden Mundingwangi menjadi cemas melihat pemandangan itu. Hampir seluruh keluarga Pajajaran berikut kraton dan rakyatnya terbakar habis oleh kobaran api yang dahsyat mengerikan. Maka hatinya menjadi tidak tahan dan berseru agar orang tua itu menghentikan perbuatannya.



Orang tua itupun segera menggerakkan tombaknya pula hingga api yang menjilat- jilat tadi lenyap kembali.



- Nah, anak muda! Aku tidak ada waktu menemani terlalu lama disini.Kau telah menyaksikan apa yang akan menimpa rakyatmu dan seluruh anak Negeri. Ingatlah anak muda. semua itu adalah kehendak dari yang Maha Tunggal. Ia pasti terjadi. -



- Tunggu dulu! -



Raden Mundingwangi mencegat ketika si orang tua bergerak hendak pergi.



- Coba katakan! apa yang harus kulakukan agar segala kejadian ini terhindar. Aku tidak ingin rakyat dan hamba negeri hancur lebur.



- Ah. kau masih muda. -



Jawab orang tua itu.



- Apakah kau sanggup menjadi korban untuk jalan keselamatan bagi rakyat dan negrimu? -



Tanpa berpikir Raden Mundingwangi mengiyakan.





- Bagus! Kau pantas untuk mendapatkan kewajiban ini. Ketahuilah aku memang sengaja mencari orang semacam kau. Dengarlah anak muda .Kau harus mencari sebuah senjata pusaka yang ujudnya seperti tombak ini. Ia disebut dengan gelar Tombak pusaka Kiai Bungsu. Hanya dengan Kiai Bungsulah engkau akan dapat membawa kehidupan yang kekal bagi negri diri rakyatmu.



Raden Mundingwangi termenung. haninya berdebar aneh ketika orang tua itu menyebut Kiai Bungsta. Ia bagai ditarik oleh suatu perasaan gaib yang mendorongnya ingin mengikuti perintah orang tua itu.



- Orang tua gagah, sebelumnya meninggalkan tempat ini, sebutlah namamu dan katakan dimana adanya Kiai Bungsu yang kau katakan itu! -



- Ha......... ha.. . ha...... engkau aneh dan lucu anak muda! Kalau sekarang aku menyebutkan dimana adanya Kiai Bungsu, tentulah dengan enak kau akan mendapatkannya. Tetapi bukan itu maksudku memberitahukan kepadamu.Sebab jalan keselamatan dan kebahagiaan dan segala kehendak harus dijalankan dengan laku dengan upaya dan perjalanan. Bahkan kalau perlu harus ditebus dengan nyawa. Tetapi kalau kau mendesak ingin mengetahui namaku, sebutlah aku Begawan Seda Paningal. Nah, selamat tinggal, semoga yang Maha Tunggal memberkati kalian. -



Raden Mundingwangi tertegun. Ia tak kuasa mengucap. Demikian juga Aria Jati Pananjung, sampai ketika orang tua itu meninggalkan mereka dengan melangkah menuju arah terbitnya sanghyang bagaskara kemudian hilang dibalik pepohonan dan hutan disebelah sana.



Semenjak kejadian itulah Raden Mundingwangi semakin terganggu hatinya. Ia berniat untuk mencari dimana adanya tombak pusaka yang disebut-sebut oleh Begawan Seda Paningal itu.



- Seda Paningal? -



Raden Mundingwangi menjadi heran.

Mengapa sebutan orang tua itu demikian?



Bukankah kedua matanya tidak menyandang kebutaan?



Mengapa disebut demikian?



ia tak habis pikir dengan itu namun tekadnya semakin kuat. sebuah tenaga gaib mendorongnya untuk mencari yang dikatakan Orang tua itu. Maka sekali kali perintah ayahandanya agar ia mulai memikirkan kelanjutan pemerintahan Pajajaran, selalu ditolaknya. Baginda menjadi bertambah tidak mengerti dengan sikap putra mahkota itu. Meskipun oleh sesepuh Pajajaran dinasehati bahwa sang putra telah memilih menjadi pendeta dari pada menjadi pengganti Baginda, namun nasehat itu tidak dihiraukan. Baginda terus menerus mendesak putra Mahkota agar bersedia menggantikan menjadi raja dan memegang kekuasaan. Tapi sang putra masih menolak, dan menolak dengan tegas. Baginda Prabu Mahesa Tambreman merasa amat murka sekali mendengar putra kandungnya Raden Mundingwangi menolak untuk dinobatkan menjadi Raja Pajajaran, menggantikan Baginda yang sudah mulai berangkat ke usia lanjut. Namun Baginda masih menahan diri agar kemurkaannya tidak timbul kepada putranya itu. Baginda masih ingin membujuk dengan cara cara yang halus.Maka dengan menahan segala perasaan marah Baginda Mahesa Tambreman berkata :



- Anakku Mundingwangi, kau ingatlah kepada kebesaran leluhur kita. Aku adalah keturunan Maharaja Majapahit yang menguasai Pajajaran ini. Maka jika engkau menolak menggantikan aku sebagai Raja alangkah tega hatimu menghilangkan segala jejak kebesaran leluhur kita itu. Sebab akan musnahlah semua keturunan Majapahit diatas bumi ini. Sadarlah anakku, engkau harus mengerti kepada kehendak ayahandamu. -



Raden Mundingwangi yang semenjak tadi menundukkan kepala dihadapan baginda yang tengah dihadap oleh seluruh punggawa Pajajaran itu mulai merasakan bahwa ayahandanya tentu akan murka. Maka dengan hati hati dan perlahan Raden Mundingwangi mendongakkan kepalanya, kemudian bersujud menyembah dan berkata :



- Ampun Ayahanda Prabu,hamba merasa amat bingung untuk menerima perintah itu, sebab hamba kini masih belum mempunyai niat utk memegang pemerintahan di Pajajaran ini. Ampunilah Ayahanda Prabu. Dan menurut pandangan hamba, akan lebih tepat jika ayahanda menobatkan adinda Mundingsari menjadi Raja di Pajajaran ini. -



Baginda Prabu Mahesa Tambreman tak kuasa lagi menahan kemarahan hatinya. Sudah semenjak beberapa pekan yang lalu Baginda dan segenap kerabat punggawa keraton membujuk, tetapi Raden Mundingwangi tetap berkeras menolak. Maka Baginda bangkit dari singgasana dan secepat kilat dilolosnya keris pusakanya yang terselip di pinggang, dan suara keras Baginda membentak Raden Mundingwangi :



- He! Mundingwangi! kau lihatlah apa yang kupegang ini?! Hah, tak kuduga kau akan berani menentang perintahku. Nah, kuberi kesempatan untuk memberikan jawaban yang sesungguhnya. Masih akan kau tolakkah perintahku?



Mendengar bentakan ayahnya yang mengguntur sambil mengacungkan senjata pusaka demikian itu, Raden Mundingwangi surut kebelakang. Ia mengetahui kehebatan dan kesaktian ayahandanya yang tanpa tanding di seluruh wilayah Pajajaran. Namun Raden Mundingwangi telah mempunyai suatu keputusan yang bulat. Maka jawabnya :



- Ampunilah Baginda, hamba terpaksa tak dapat menerima hal itu.



- Apa? -



Baginda berseru menggeledek hingga yang hadir menjadi terkejut dan melonjak dari tempat duduknya masing-masing



- Kau anak durhaka! -



Dan secepat kilat senjata pusaka yang tergenggam di tangan baginda melayang menghunjam lambung Raden Mundingwangi yang masih berlutut. Akan tetapi Raden Mundingwangi yang sudah menduga akan hal itu, dengan sebat dan cepat menggerakkan tubuhnya pula, hingga tikaman Baginda Mahesa Tambreman makan tempat kosong. Namun tentu saja dengan perbuatan itu, Raden Mundingwangi semakin memancing kemarahan Baginda.



- Anak durhaka!



Dan baginda loncat menerjang putra sulungnya itu dengan sebuah tikaman yang dahsyat mengarah dada serta perut dengan bertubi-tubi, sehingga di dalam ruang pisowanan itu menjadi gempar. Para punggawa loncat menyingkir, tak satupun yang berani mencegah kejadian itu.



Siapa yang akan berani mati dengan mencegah Baginda yang tengah murka demikian?



Tetapi dalam hati mereka cemas juga, sebab terlihat bahwa Raden Mundingwangi tiak dapat berbuat banyak. Terlihat ia terdesak hebat oleh serangan ayahnya sendiri.Namun sebegitu jauh Raden Mundingwangi tak mau balas menyerang. Ia hanya berkelit dan menghindari setiap serangan yang benar-benar mengancam jiwanya itu.



- Ampun Ayahanda Prabu! ah hamba! -sekali kali terdengar suara Raden Mundingwangi diantara sambaran senjata pusaka yang kini terus mendesak keujung maut.



- Heh, tutup mulutmu yang lancang itu! -



Seru Bagnnda pula sambil terus melancarkan serangan serangan mematikan kearah putranya.



Keringat Raden Mundingwangi mulai neroeos keluar membasahi tubuhnya. Betapapun juga ia merasa agak jerih melawan ayahandanya.Sekalipun kalau mau ia masih akan dapat balas menyerang tetapi niat itu tak sedikitpun terlintas dalam pikirannya. Akan tetapi senjata pusaka itu terus mengejar mengancam nyawanya setiap saat. Hingga pada suatu ketika, sebuah tendangan Baginda melayang dan berhasil masuk kepinggang Raden Mundingwangi, membuat ia terjungkal roboh bergulingan.



Melihat itu Baginda loncat dan dengan amat cepat keris pusakanya menyambar dan Raden Mundingwangi masih berusaha menghindarkan serangan itu. Tetapi ketika ia meloncat, ternyata senjata ini sempat menyobek pahanya dengan hebat, hingga ia kemudian roboh terguling dan darah mengucur dari lukanya. Namun Baginda rupanya tidak juga kasihan melihat Raden Mundingwangi terluka. Bahkan dengan berang Baginda menyerang pula. Akan tetapi kali ini, Raden Mundingwangi yang mulai menyadari posisinya berpikir lain. Sama sekali ia tak ingin melawan ayahandanya. Tetapi ia tak mau mati diujung senjata pusaka ayahnya itu. Maka ketika serangan berikutnya datang, Raden Mundingwangi bukan lagi berkelit menghindar, namun bahkan memapak datangnya serangan sekaligus balas menyerang dengan hebat pula. Dan Baginda yang sejak semula tak pernah mendapat perlawanan, menjadi kaget tak menduga akan diserang sedemikian rupa. Maka tanpa dapat dicegah,duakali Raden Mundingwangi terhindar dari serangan ayahnya, segera menyusulkan sebuah serangan dengan dua kepalan tangan sekaligus menghantam lambung Baginda dan tak ampun baginda terlempar oleh serangan hebat ini

hingga membentur tiang yang ada disitu. Tetapi Raden Mundingwangipun terdorong surut kebelakang. Dan terasa luka pada pahanya makin menyengat. Ia limbung terhuyung. Tetapi seketika berkelebat pikiran lain, dan sebelum semua orang tahu apa yang akan terjadi, Raden Mundingwangi loncat dan berlari keluar istana dengan kaki terpincang pincang.



Baginda kaget, tetapi segera berseru :



- Tahan! tahan dia jangan biarkan lolos! -



Tetapi para prajurit tak satupun yang bergerak. Mereka masih terbengong oleh kejadian itu. Dan baru mereka sadar ketika baginda berseru pula. :



- Hei, mengapa membisu?! lekas kejar dia!



Berserabutanlah para prajurit yang loncat berlari mengejar Raden Mundingwangi keluar. Namun sudah barang tentu, tak satupun yang mengejar dengan sungguh sungguh. Bahkan mereka membiarkan putra mahkota itu berlari keluar pintu gerbang dengan tanpa mengganggu sedikitpun. Malahan ada diantara prajurit prajurit itu yang menolong memapah Raden Mundingwangi dan mengikuti dari belakang.



Hampir-semua prajurit mengenal baik siapa Raden Mundingwangi. Mereka tahu Putra mahkota itu adalah seorang ksatria yang berbudi. Ramah tamah dan selalu bersahabat dengan siapapun .Bahkan terhadap seorang yang tergolong kasta Sudrapun putra mahkota Pajajaran itu tak akan segan bersahabat. Maka mereka lebih rela menerima hukuman baginda Mahesa Tambreman, daripada menangkap Raden Mundingwangi. Dan sebagian mereka memberikan laporan pada Baginda bahwa Raden Mundingwangi berhasil lolos dan menghilang sehingga mereka tak dapat menangkapnya.



Dalam pada itu Raden Mundingwangi yang berhasil lolos dari ancaman maut, terus berlari meninggalkan wilayah Pajajaran. Berjalan ke arah barat. Kakinya terasa semakin lemah akibat luka yang disandangnya. Akan tetapi hati Raden Mundingwangi telah bulat untuk pergi meninggalkan Pajajaran. Sehingga meskipun kakinya terasa lemah dan sakit, ia memaksa perjalanannya juga tanpa berhenti. Hanya untungnya semenjak kecil Raden Mundingwangi telah banyak banyak berlatih dalam ilmu kanuragan dan kesentausaan. Badannya menjadi lebih kuat dari orang kebanyakan serta batinnya

lebih tahan dengan segala penghinaan. Namun betapapun kuat ia,pengaruh senjata pusaka baginda Mahesa Tambreman ternyata amat ampuh. Rasa sakit tak kunjung berkurang. Bahkan terasa makin menyengat dan panas telah menjalar ke sekujur tubuh Raden Mundingwangi. Berkali kali hampir saja ia terguling akibat luka yang panas membakar pahanya. Tetapi kekuatannya dikumpulkan dan lari terus tak mau menghentikan larinya, masih ada ketakutan membayang kalau baginda memerintahkan prajurit-prajurit Pajajaran mengejar.



Tiba-tiba Raden Mundingwangi kaget ketika terdengar derap kaki kaki kuda mendatangi dari arah belakangnya. Tahukah ia bahwa puluhan prajurit Pajajaran benar menyusul diri bisalah ia berharap sebenar lagi akan disusul, dan prajurit prajurit itu akan memaksanya pula untuk kembali atau menangkap dan menyerahkan kepada Baginda Mahesa Tambreman ayahandanya.



Raden Mundingwangi sedikitpun tak pernah merasa jerih menghadapi pertempuran dengan prajurit prajurit itu, tetapi lukanya cukup hebat. Dan ia telah merasa, jika benar benar terjadi pertempuran pastilah tak mudah ia lolos dari ancaman para prajurit itu. Bagaimanapun juga ia kalah dalam jumlah. Tetapi langkah kakinya tak ia hentikan. Ia menunggu saja apa yang akan diperbuat prajurit prajurit itu atas dirinya.



- Gusti Pengeran, berhentilah! -



Terdengar salah seorang diantara prajurit itu berteriak dari belakang. Namun Raden Mundingwangi tak menoleh. Dengan tenang ia melangkah maju seolah tidak terdapat siapapun di tempat itu.



- Raden berhentilah, tunggulah hamba! -



Kembali terdengar suara. Dan kini terdengar suara suara kaki kuda itu semakin dekat saja. Maka Raden Mundingwangi menghentikan langkah dan secepat kilat menoleh. Ditunggunya prajurit prajurit itu dengan tenang. Dan ketika mereka telah dekat benar, maka yang berada paling di muka, agaknya panglima pengawal, memberi isyarat pada kawan kawannya agar berhenti kemudian ia loncat turun dari atas punggung kudanya yang diikuti oleh kawan kawannya. Kemudian prajurit yang dimuka itupun memberi hormat dan berkata:



- Ampun Raden, maafkanlah kami yang berani menghentikan perjalanan Raden. -



- Hm, ada kepentingan apa pula kau menyusul aku paman?

--



Tanya Raden Mundingwangi dengan sikap sabar.



- Apakah paman diperintahkan oleh ayahanda Prabu untuk menangkap pula?



-Ampun gusti,bukan itu maksud hamba. -.jawab prajurit pengawal itu.



- sebaliknya hamba ingin mengikuti kepergian Raden, kemanapun juga kami akan menyertai. -



Mendengar kata kata prajurit yang demikian itu Raden Mundingwangi menjadi heran. Tetapi di mulutnya berkata.



- Eh Paman Sukerta, mengapa begitu? bukankah paman tahu kini aku sedang menjadi buronan, dan kalau baginda mengetahui niat paman ingin menyertai diriku tamatlah jiwa paman semua akan terancam. -



- Tidak gusti, kami semua sudah berbulat tekad ingin menyertai Raden, kemanapun raden pergi akan kami ikuti. --



- He, apapula maksudmu dengan menyertaiku paman?



Tanya Raden Mundingwangi pula.



- Ampun gusti, percayalah, kami semata mata hanya ingin menyertai dan menemani Raden. Sebab kami merasa tak tega hati membiarkan Raden seorang diri meninggalkan kesenangan di istana. Kabulkanlah Raden! --




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


- Ya, ya, aku. mengerti. Tetapi kalian juga tentunya mengetahui bahwa kepergianku tanpa arah dan tujuan. Aku ingin pergi ke manapun aku kehendaki. Sebaliknya kembalilah kalian semua ke Kraton, jangan pikirkan diriku. Aku hanya mengucapkan banyak terimakasih atas kesediaan kalian mengikutiku.



- Kembalilah kalian ke kraton! --



Perintah Raden Mundingwangi. Tetapi Sukerta maju dan berlutut dihadapan Raden Mundingwangi sambil berkata :



- Baiklah Raden, kalau Raden tidak mau mengabulkan permintaan kami ini. Raden boleh pergi meninggalkan kami, tetapi kami akan berada disini, apapun yang terjadi kami tak akan mau beranjak dari tempat ini sampai semua menemui ajal dan mati! ---



- Lihatlah raden! Teman teman hamba telah bertekad semua.



Prajurit yang berada dibelakangnya tiba tiba serentak ikut berlutut semua ,



- Lihatlah raden! Teman teman hamba telah bertekad semua. Merekapun akan berlutut terus di sini sampai mati jika Raden tak mau mengabulkan permintaan kami, dan raden boleh pergi tetapi perkataan kami akan kami buktikan benar benar! -



Raden Mundingwangi kaget.Benar ia melihat duapuluhlima prajurit pengawal itu berlutut tak bergerak. Dan Raden Mundingwangi tahu benar. Mereka adalah pengawal pengawal setia. Maka bukan tak mungkin mereka akan membuktikan kata katanya. Mendengar begitu tiba tiba dua butir air mata meloncat dari pelupuk mata Raden Mundimgwangi. Hatinya bergetar karena terharu melihat kesetiaan para prajurit yang ingin menyertainya itu. lebih lagi hati Raden Mundingwangi bagai dirayapi perasaan haru yang dahsyat. Ia teringat kepada ibundanya, teringat adindanya dan para kerabat keraton yang lain.Kini dirinya adalah seorang manusia sebatangkara yang telah tak diakui lagi sebagai putra Raja. Namun prajurit prajurit itu telah menyatakan kesediaan untuk ikut serta dengannya. Maka sesudah berpikir sejenak, Raden Mundingwangipun berkata :



- Baiklah, bangunlah kalian semua! Aku menuruti semua permintaan kalian, tetapi jangan salahkan siapapun jika kalian kelak hidup menderita menyandang papa sengsara. Bangunlah paman! Aku mau berangkat sekarang juga!



Maka akhirnya Raden Mundingwangi meneruskan perjalanan pula dengan diikuti oleh duapuluhlima prajurit pengawal yg ikut lolos meninggalkan kemewahan meninggalkan kemewahan keraton Pajajaran. Dan kini terlihat Raden Mundingwangi menunggang seekor kuda hitam yang sengaja dibawa eleh Sukerta.



Terlihatlah kuda kuda itu berlari keras mencongklang meninggalkan debu yang beterbangan memenuhi sepanjang jalan yang mereka lalui. Hingga seakan akan mereka adalah prajurit prajurit yang tengah maju ke medan pertempuran.



Sesudah melalui perjalanan yang agak lama sampailah Raden Mundingwangi di sebuah gunung yang tampaknya amat angker serta jarang didatangi oleh manusia.



- Berhentilah paman! -



Serunya dengan suara lemah pada prajurit prajurit yang menyertai. Namun tiba tiba Raden Mundingwangi tubuhnya terguling dari atas pinggang kudanya. Ternyata lukanya akibat senjata Baginda Mahesa Tambreman amat membikin lemah. Sejak pertama ditahan rasa sakit yang menyerang dengan hebat itu. Akan tetapi sesudah melalui perjalanan jauh rasa sakit mencapai puncaknya dan Raden Mundingwangi tak tahan pula hingga iapun roboh dan pingsan.



secepat kilat Sukerta yang melihat tuannya roboh,loncat menangkap kemudian beberapa kawannya memabout membawa Raden Mundingwangi ke sebuah tempat yang agak teduh dan terlindung. Sementara itu. hari telah mulai berganti menjadi gelap. Dengan cekatan prajurit membuat tempat tempat sederhana dengan ranting ranting kayu guna tempat mengaso bagi mereka, kemudian menyalakan api dengan kayu kering yang mereka dapatkan di tenpat itu.



Dalam pingsan itu, Raden Mundingwangi telah mulai merasa sadar akan dirinya. Sesudah dirawat oleh Sukerta, perlahan lahan sakitnya berkurang. Untunglah, kalau bukan ia yang terkena senjata itu, pastilah sejak tadi nyawanya telah melayang, Namun segera Raden Mundingwangi memejamkan mata pula dan tak lama seperti tertidur nyenyak. .



Sesudahnya dirawat beberapa waktu kemudian Raden Mundingwangi kemudian memerintahkan prajurit-prajurit yang mengikutinya agar beristirahat. Hati Raden Mundingwangi masih diganggu oleh kejadian dalam kraton dan perkelahian dengan ayahandanya Baginda Mahesa Tambreman benar membuatnya gelisah. Ia telah merasa menerbitkan satu perbuatan dosa yang layak menerima hukuman rangket seratus kali. Namun dalam pada itu dalam benak pangeran muda Pajajaran ini juga merasakan sebuah rasa gembira yang tak terhingga. Ia merasa lepas dari kungkungan tembok kraton. Bagaikan seekor burung pergi peninggalkan sangkarnya. Karena yang demikian malah bagi Raden Mundingwangi seakan lebih mendekatkan tujuan yang dikehendakinya. Kehidupan dalam kraton tidak menimbulkan apa-apa bagi dirinya. Ia lebih menginginkan kehidupan yang lain. kemewahan dan serba kecukupan tidak lagi mampu menimbulkan kebahagiaan dalam dirinya. Terlebih sesudah bertemu dengan orang tua yang mengaku bernama Seda Paningal benar benar menimbulkan getaran aneh dalam dadanya manakala mengingat pertemuan dengan orang tua itu.



- Paman! -



Serunya memanggil pembantunya sesudah genap dua hari mereka berada dipegunungan itu.



Yang dipanggil datang mendekat.



- Ada perintah apakah Raden memanggil paman? tanya Sukerta.



- Perintahkan kawaan kawan bersiap untuk meninggalkan tempat ini .Kita pergi kearah timur dan mencari sebuah dusun terlebih dulu untuk bertukar pakaian. Sebab dengan masih demikian akan menyulitkan perjalanan.



Sukerta mengangguk, ia maklum dengan apa yang dimaksud

junjungannya.Dengan masih mengenakan tanda tanda prajurit Pajajaran, pastilah hanya akan menyulitkan saja. Maka segera ia memerintahkan kawan-kawannya agar bersiap untuk berangkat meneruskan perjalanan.



Tiga hari kemudian Raden Mundingwangi harus melintasi sebuah tanah lapangan dan bulak yang cukup panjang. Namun seluruh prajurit yang mengikutinya tidak sedikitpun nampak terlihat mengeluh atau memperlihatkan rasa enggan dalam perjalanan itu. Malah diantara mereka seringkali terdengar senda gurau satu dengan yang lain, membuat perjalanan itu tidak terasa beratnya.



- Paman, agaknya di muka itu terdapat sebuah pedesaan. Kita percepat sedikit langkah agar sebelum matahari terbenam nanti sudah mencapai desa dimuka itu.



Sukerta mengangguk mendengar perkataan tuannya. Dan iapun memberi tanda pada orang-orangnya agar mempercepat langkah kaki kuda mereka hingga terdengar derap kaki binatang-binatang itu berkoplakan riuh seraya meninggalkan debu yang beterbangan dibelakangnya.



- Perlahan sedikit! -



Raden Mundingwangi mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

- Jangan terlalu gaduh, nanti menimbulkan ketakutan pada penduduk desa itu. '



Tepat menjelang senjahari, rombongan itu tiba di pintu regol pedesaan. Tetapi yang membuat rombongan dari pajajaran merasa heran adalah ternyata di mulut pedesaan telah menanti serombongan orang dengan mengenakan pakaian kebesaran kampung. Dan ditengah diantara mereka terlihat pembesar-pembesar dan tetua kampung.



Raden Mundingwangi tak habis berpikir melihat hal itu.



- Apakah yang mereka tunggu? -



Tanyanya dalam hati. Akan tetapi karena nampaknya sudah tidak ada kesempatan untuk berbalik

kembali sebab orang-orang desa itu telah terlanjur melihat kedatangannya. Maka Raden Mundingwangi terus melangkahkan kuda tunggangnya kearah mereka. Lagi pula karena ia tidak bermaksud buruk tentulah tak akan terjadi apa-apa. Tetapi,



- Apakah Ayahanda Prabu telah memerintahkan mereka pula agar menangkapku? -



Tanya Putra mahkota itu pula dalam hatinya.



- Kalau benar demikian, apa boleh buat. Jika mereka benar mau menangkapku, aku akan melawan. Tetapi prajurit prajurit itu? Apa yang harus kuperintahkan kepada mereka? Harus menyerang? Ataukah membiarkan saja ditangkap orang-orang itu?



Ia masih belum dapat memberikan perintah apapun sampai jarak semakin pendek dengan orang-orang yang terlihat menunggu dipintu regol itu.



Rombongan dari Pajajaran menjadi heran dan bernapas lega sesudah dekat, orang-orang yang menunggu itu tiba-tiba membungkuk memberi hormat. Maka ketika Raden Mundingwangi memberi isyarat agar turun, para prajurit itupun berloncatan turun dari atas punggung kudanya -



- Selamat datang Raden!



Tetua kampung itu maju seraya memberi hormat.



- Kami telah menunggu sejak kemarin



Sambung orang itu pula.



- O, paman menunggu kedatangan-kami? -



Tanya Raden Mundingwangi heran.



- Apakah paman semua disini telah mengetahui bakal datangnya kami ditempat ini? -



- Kalau benar, tentulah Ayahanda Prabu Mahesa Tambreman telah memberikan perintah agar menangkap diriku, bukan?



- 0, bukan demikian Raden! -



Tetua kampung itu cepat memotong perkataan Raden Mundingwangi.



- Kami disni masih belum mendengar perihal yang Raden katakan itu. Tetapi benar kami telah mendengar Raden akan melalui dusun kami ini dan kami semua diperintahkan agar menyambut kedatangan Raden junjungan kami di sini.



Yang mendengar perkataan tetua kampung menjadi heran.

Siapa memberi tahukan kedatangan mereka?



Maka Raden Mundingwangi cepat menyahut :



- Sebentar paman, siapakah yang memberitahukan kalian bahwa kami akan melewati tempat ini? -



- Kami juga belum mengetahui dengan sebenarnya siapa tetapi tiga hari yang lalu kami kedatangan Seorang tua yang menyebut namanya Seda Paningal. Dia memberikan khabar bakal lewatnya Raden ditempat ini. Sebab menurut orang tua itu Raden tengah mengemban kewajiban mencari adanya Tombak pusaka Kyai Bungsu guna menolong melepaskan manusia dari kesengsaraan dan papa cintraka.



Raden Mundingwangi terdiam. Takjubnya timbul mendengar nama Seda Paningal disebut tetua kampung itu.



Siapa orang tua itu?



Pikirnya. Namun timbul rasa hormat dan kagum pada orang tua itu. Diam

diam dalam hati putra Pajajaran ini memujikan kepada dewa-dewa terhadap adanya orang tua yang pernah menemui dirinya dulu itu. Sedang tekadnya menjadi semakin bulat mendengar keterangan tetua kampung yang memberitahu bahwa orang tua itu telah ikut membantu.



- Baiklah paman, aku merasa bersukur terhadap kalian yang telah menunjukkan kebaikan dan keluhuran budi terhadap kami semua. Eh, paman tempat ini bernama apakah? -



Tanyanya kemudian.



- Seperti Raden ketahui. --jawab tetua kampung itu menerangkan. -



- Ini masuk wilayah Banten disebut orang Gunung Karang, dan dusun ini disebut juga dusun Karang. Marilah Raden, dan kisanak sekalian agar sudi singgah dan beristirahat didusun kami! -



- Ya, atas nama Dewa-dewa kami mengucapkan sukur dan terimakasih atas kebaikan kalian. -Jawab Raden Mendang.



Kemudian diajaknya para prajurit yang menyertai masuk kedalam pedusunan yang lalu diiringkan oleh rakyat yang menyambut dipintu regol kampung tadi.



Orang-orang dipedesaan Karang lalu menjadi sibuk, segala persiapan dilakukan untuk menjamu kedatangan orang-orang Pajajaran. Penduduk berbondong datang hanya ingin menyaksikan wajah Raden Mundingwangi sang Putra Mahkota Pajajaran anak sulung Prabu Mahesa Tambreman yang kini berada ditempat mereka. Tetua kampung sibuk mengatur dan memberi perintah kesana kemari. Pesta kecil telah diatur untuk menyambut rombongan yang sedang menjadi tamu mereka.



setelah segala persiapan masak, para tamu d persilahkan duduk di bangsal kampung, dihadap segala tetua dusun Karang sedang rakyat banyak diperbolehkan menyaksikan dari kejauhan seraya menikmati pesta kenduri selamatan menyambut putra mahkota itu. Yang tengah di Jamu menjadi gembira. Lelah perjalanan habis sesudah cukup beristirahat dan membaringkan diri. Dan kini berhadapan dengan segala tetua kampung dibangsal desa membuat kegembiraan semakin bertambah. Maka segala hidangan tanpa ragu dinikmati sepuas-puasnya. Hanya Raden Mendang nampak tidak banyak bersantap. Waktunya lebih banyak terlibat dipergunakan berbincang-bincang dengan tetua kampung yang semenjak tadi selalu berada didekatnya.



- Paman sekalian.



Raden Mendang ( Raden Mendang = Raden Mundingwangi ) membuka percakapan



- Sesungguhnya ada satu pertanyaan yang terpendam semenjak tadi ingin kuutarakan. Yakni bagaimana bisa terjadi orang tua yang mengaku bernama Seda Paningai itu datang kepada paman dan memerintahkan menyambut kedatanganku. --



Mendengar itu tetua kampung memandang heran. Lalu katanya:



- Ah, Raden! Mengapa paman harus menjawab pertanyaan Raden yang demikian? Bukankah Raden akan lebih mengetahuinya daripada paman sendiri? karena sependengaran paman, orang tua itu hanya menyebutkan bahwa Raden akan lewat di dusun kami di sini dan kami berkewajiban memberikan bantuan dan penginapan manakala Raden berkenan bermalam di tempat ini.



- Ya, ya, lalu apa pula yang dikatakan orang tua itu?



Tukas Raden Mendang kemudian.



- Menurutnya, Raden tengah mengemban kewajiban mencari adanya tombak Kyai Bungsu yang akan mampu menolong kesengsaraan dan papa cintraka seluruh kawula di tanah Jawa ini. Sebab menurut perkataan orang tua itu seluruh umat dialam penglihatan ini akan mengalami kehancuran dan memperoleh malapetaka. Dan yang mampu menolak hanyalah Tombak Kyai Bungsu itu. Yang Maha Agung menurut orang tua itu telah memberikan ketentuan bahwa jalan keselamatan hanya pada Tombak Pusaka Kyai Bungsu.



Raden Mendang termenung mendengar penuturan itu. Dalam hati iapun membenarkan pendapat tetua kampung.



- Hanya yang paman herankan, bagaimana upaya Raden mencari karena sampai saat inipun Raden masih belum mengetahui dimana adanya Tombak Kyai Bungsu itu. Sedang dalam perjalanan kini seringkali timbul bencana, perampokan kerapkali terjadi. Belum terhitung jalan yang sukar dan perjalanan jauh penuh bahaya dan rintangan. Seperti yang Raden ketahui, untuk tlatah Banten saja merupakan daerah berbahaya penuh bencana. Untuk ditempuh dengan pengawal yang sedikit, tak ubahnya seperti mengantar nyawa ke kandang macan.




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


- Benar yang paman katakan! -



Sahut Raden Mendang.



- Bahaya selalu menghadang disepanjang perjalanan dalam menempuh dan mencari tujuan yang belum ketahuan dimana letaknya. Tetapi tekadku sudah bulat. Aku menaruh kepercayaan besar terhadap perkataan orang tua itu. Dan keprihatinanku melihat nasib sengsara yang akan menimpa kawulaku serta akan menimpa seluruh umat tidak merelakan jika Tombak Kyai Bungsu tidak diketemukan. Apapun yang terjadi paman, Kiai Bungsu akan kucari. Karena aku mempunyai keyakinan Seda Paningal tentu utusan para Dewa yang akan membangun kejayaan dan kebahagiaan di tanah Nusantara ini.



Yang mendengarkan tertunduk dengan perasaan masih diliputi keheranan. Maka Tetua kampung itupun kembali berkata :



- Sesungguhnya masih juga belum hilang segala perasaan heran kami Raden. Mengapakah gerangan Raden yang harus memikul beban berat ini? Apakah di seluruh Pajajaran telah tidak ada lagi orang-orang pinunjul yang sekiranya mampu mengarungi perjalanan yang berat ini? Sebab menurut pemikiran paman. Raden seharusnya tinggal tenang di Kraton dan menggantikan ayahanda Prabu memimpin Rakyat gusti di Pajajaran. Dan peristiwa papa sengsara yang disebut bakal menimpa umat manusia dan seluruh kawula di tanah Jawa dan Pajajaran apakah tidak terdapat lagi senjata panangkal ampuh yang lain? Sehingga Raden harus mencari Tombak Kyai Bungsu yang belum ketahuan dimana adanya. Dan Seda Paningal itu siapakah sehingga seakan di Pajajaran tidak terdapat lagi orang lain yang mumpuni menolak bencana yang akan datang? -



Raden Mundingwangi tersenyum mendengar perkataan Tetua kampung demikian itu. Ia memahami sampai dimana perasaan mereka maka berkatalah Raden Mendang dengan masih membentuk senyum di bibirnya :



- 0 Paman sekalian. Semula akupun memiliki pemikiran seperti paman sekalian ini. Tetapi jika kita menimbang dengan hati Wening akan mengetahui bahwa segala jejenggul dan kesaktian yang dimiliki Pajajaran tak lain hanyalah merupakan pemunah barang lahir. Segala rasa sakit dan cela yang disandang kulit akan musnah oleh daya perbawa dan kesaktian yang dimiliki Pajajaran. Namun menurut ilapat yang kuterima, Tombak Kyai Bungsu selain akan merupakan pemunah sakit lahir, tetapi juga akan menjadikan timbulnya barang yang berisi. Bukan hanya barang yang kasat mata. Namun juga benda yang berbobot yang mampu mengangkat derajat manusia ke alam luhur yang lebih tinggi. Yang tengah kucari adalah petunjuk yang berisi "Pengertian". Dan yang ini hanya bisa dicari dengan "lelaku"

dengan upaya. Benar juga yang paman katakan jika mengingat banyaknya bahaya yang menghadang disepanjang perjalanan, tentu akan membuat ciutnya hati dan mengecilnya semangat. Tetapi tebusan yang akan kutempuh akan menghasilkan sesuatu yang besar sekali faedahnya. -



Yang mendengar kembali terdiam. Nampaknya memang ada juga yang merasa sependapat dengan perkataan Raden Mundingwangi itu.



- Kemudian kepada para prajurit yang masih tetap ingin menyertai perjalananku, aku memberitahukan bahwa mulai saat ini agar leluasa dalam menempuh perjalanan mencari adanya Tombak Kyai Bungsu, aku akan melepaskan segala kebesaran dan menggantinya dengan pakaian seperti yang dipakai kawulaku di dusun Karang ini. Namaku bukan lagi seperti gelar putra mahkota Pajajaran. tetapi sebutlah aku Pangeran Madi Alit., dan kalian semua sebagai pengikutku kuperintahkan pula agar mengganti segala pakaian keprajuritanmu dengan pakaian kebanyakan.



Para prajurit mengiyakan perintah Raden Mundingwangi. Sedang Tetua kampung memerintahkan kepada orang-orangnya agar menyiapkan pakaian yang akan dipergunakan oleh Raden Mendang dengan prajurit-prajuritnya.



- Nah kepada paman semua kutitipkan pakaian kerajanku di sini dan sebagai tanda sukur dan temnakasihku atas kesediaan kalian menyambutku maka kelak akan kutebus dengan segala kebaikan dan kudoakan kepada dewa-dewa agar anak turun dusun Karang terjaga dari bencana dan kesengsaraan.



Sesudah berkata demikian, upacara itupun diakhiri dan semua yang menjadi tamu mengundurkan diri menuju penginapan yang telah disediakan oleh orang-orang dusun itu.



Esoknya sebelum matahari terbit Raden Mendang memerintahkan orang orangnya berangkat meninggalkan Dusun Karang kembali guna melanjutkan perjalanan.



Suara kaki-kaki kuda terdengar memecah sepinya pagihari ketika binatang-binatang itu membawa tuannya meninggalkan dusun Karang. Kini Pangeran Madi Alit berada paling depan diapit oleh pengawal pengawalnya yang setia, kemudian yang lain menyusul mengiringi dari belakang. Dan ketika regol pedesaan telah jauh tertinggal dibelakang, Madi Alit memerintahkan pengikutnya membedal kudanya mempercepat jalan. Maka dalam cahaya matahari yang masih semburat merah di ufuk timur berlarilah kuda-kuda tunggangan itu melesat menuju arah terbitnya sanghyang bagaskara.



Kira-kira semakanan sirih kemudian rombongan telah jauh dari dusun Karang, dan kini kembali memasuki hutan lebat yang membentang di muka dengan segala keangkeran dan keseramannya.



Pangeran Madi Alit memberi tanda agar berhenti. Kemudian membuka perkataan :



- Cobalah separuh dari kalian berjalan lebih dulu menyelidiki ke dalam hutan itu. Adakah jalan yang sekiranya bisa ditempuh. Aku menyusul dibelakang. Tetapi berhati-hatilah kalian jangan gegabah dengan tindakan. -



Tanpa menunggu diperintah duakali, sepuluh orang pengawal majukan kudanya kemudian masuk menerobos kegelapan hutan itu. Sementara Madi Alit dengan yang lain menunggu di luar hutan.



- Paman.



Katanya kepada Sukerta.



- Apakah Paman tidak mengenal jalan terdekat selain melewati hutan ini? -



- ampun gusti. paman tahu namun itu bukan jalan terdekat .Menurut perkiraan paman justru melintasi hutan ini kita akan lebih cepat mencapai bulak dan jalan terbuka.



Semuanya terdiam. Mereka menunggu isyarat dari kawan-kawannya yang tengah masuk kedalam hutan itu. Tetapi ketika ditunggu beberapa lama tidak satupun mereka kembali terlihat, malahan suara sedikitpun tidak terdengar. Mulailah pikiran menjadi gelisah. Sampai ketika matahari telah mulai tinggi, masih belum terlihat tanda tanda apapun dari yang masuk kedalam hutan.



Agaknya melihat orang-orangnya, menjadi gelisah Pangeran Madi Alit merasa tidak tega, maka ia memberi tanda sambil berkata



- Hayo kita susul mereka!



Dan tanpa menunggu sambutan ia telah membedal kudanya lebih dulu masuk menerobos ke dalam hutan menyusul prajuritnya yang telah masuk ke hutan lebih dulu.



Sadarlah kini. Ternyata bahwa hutan itu sungguh rumit dan menakutkan. Onak dan duri menghadang disepanjang jalan sehingga dalam sekejap banyak diantara tubuh para pengikut itu menjadi hancur dimakan duri dan dahan tajam. Sedang kuda-kudanya tidak sempat bergerak dengan leluasa. Akan tetapi semuanya tidak menjadi takut, mereka terus maju dan dengan senjata yang ada membuka jalan seraya mengikuti jejak orang-orang yang terdahulu.



Ketika mereka tengah membuka jalan hutan, sekonyong-konyong terhampar di muka mereka sebuah lapangan. Dan disebalik lapangan itu terlihat sebuah bangunan batu bersusun mirip dengan sebuah gua namun jelas merupakan tempat tinggal manusia.



Pangeran Madi Alit tercengang melihat bangunan dalam hutan yang tidak diduganya itu. Namun dimanakah anak buahnya yang masuk tadi, mungkin berada dalam gua itu.



Dan apa yang tengah mereka lakukan disana?



Tak habis-habisnya pertanyaan itu mengaduk dalam kepala setiap yang melihat. Dan agaknya, karena tak sabar ingin mengetahui apa yang terdapat dalam gua batu bersusun itu, para pengawal telah majukan kudanya dan menghampiri bangunan yang terlihat dimuka. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika melintasi tanah lapang itu tiba-tiba terasa angin dingin menyerang tubuh mereka. Mereka menjadi kaget dan ingin berbalik. Lebih-lebih ketika kemudian terlihat oleh mereka tumpukan mayat-mayat kawannya

menggelelak di dekat bangunan gua batu itu, namun terlambat. Sebelum mereka sempat bergerak. puluhan panah melesat dari dalam gua dengan kecepatan mengejutkan serta desingan angin tajam dari suara yang ditimbulkan mendirikan bulu kuduk.



Para pengawal mengangkat senjata menangkis serangan panah yang tiba-tiba itu. Akan tetapi agaknya nasib naas harus mereka sandang ditempat itu. Tangkisan dengan senjata dan pedang tidak banyak berarti sebab hujan panah yang menyerang ditengah lapangan terbuka cukup hebat dan aneh.



Maka tanpa dapat dicegah, korban berjatuhan terkena sambaran senjata gelap berasal dari dalam gua batu itu.



Melihat orang-orangnya tewas sedemikian rupa, Pangeran Madi Alit menjadi tidak sampai hati. Kudanya dikeprak maju seraya mencabut kerisnya dipergunakan melindungi tubuh dari hujan panah yang masih belum berhenti. Namun baru saja ia bergerak, kembali anak buahnya berjatuhan .Bahkan Sukerta terlihat roboh dengan dada tertembus sebatang panah sedang lehernya termakan dua panah sekaligus pada tempat yang sama.



Madi Alit berpikir, agaknya penghuni yang masih berada dalam gua itu berjumlah banyak dan memilki ilmu panah yang hebat. Ia-nya memang merasa belum tentu tewas oleh hujan panah lawan yang masih bersembunyi. Tetapi untuk selamat dengan mudah agaknya juga sulit. Apalagi kini orang orangnya telah tewas tanpa sisa yang membuktikan ilmu panah orang dalam gua itu amat tinggi dan hebat. Maka ia mencari jalan sebaik mungkin untuk dapat masuk kedalam gua batu diantara sambaran panah lawan.



Tiba-tiba hujan panah berhenti ketika di luar hanya tinggal seorang lawan. Maka kesempatan itu tidak disia-ajakan oleh Pangeran Madi Alit yang segera loncat masuk ke dalam gua batu. Tetapi



sing! Sing!



kembali dua anak panah melesat ke arah dada dan leher. Namun yang tengah loncat masuk sudah memperhitungkan hal itu. Madi Alit merendahkan tubuh dengan sebat seraya kerisnya bergerak hingga



Tak! tak! dua batang panah itu runtuh oleh tangkisannya.



Dan kini iapun berhasil masuk kedalam gua batu. Tiba-tiba



- Berhenti! Ingin mampus masuk kemari?! terdengar bentakan nyaring membuat Madi Alit harus berhenti dan memperhatikan orang itu. Ternyata didepannya berdiri seorang kate memegang gendewa dan kantung kulit berisi puluhan anak panah.



-Ah, kau! --



Seru Madi Alit menahan marah melihat orang itu.



- Apa salah kami sehingga kau membinasakan kawan-kawanku yang tidak berdosa? -



Orang kate itu ,tertawa mengejek.



- Siapa salah?



Katanya



- Kalian datang ketempat ini tanpa seijinku. Maka terpaksa aku mencabut nyawa mereka.



Pangeran Madi Alit tidak berkata sepatapun. Dengan sekuat tenaga ia menahan amarahnya yang telah naik sampai keatas dada.

Apapun soalnya, orang orangnya telah tewas dengan cara sedemikian mudah oleh seorang kate yang kini berdiri dihadapannya. Maka dari rasa kasihan dan kecintaan kepada para pengawal yang setia itu, untuk kali ini agaknya Putra Pajajaran ini tidak akan mau memberi ampun pada si Kate yang masih memandang kepadanya dengan mengejek. Maka disarungkannya kerisnya kedalam warangka. Dan ia maju menegur dengan suara ditahan agar tidak terlihat amarahnya yang menggelegak dalam dada.



- Sayang sekali, kau tidak melihat siapa yang kini ada dihadapanmu. Kau tidak mengenal siapa orang baik-baik dan siapa yang pantas untuk diganggu. Jangan menyesal jika akhirnya aku akan mengenyam buah perbuatanmu membinasakan orang-orangku yang tidak berdosa, nah sebutlah namamu sebelum engkau mengetahui siapa yang ada didepanmu! , '



Si Kate mundur setindak. Ia heran. Prabawa orang yang berdiri dihadapannya ternyata demikian hebat. Hatinya bergetar mendengar kata-kata yang meskipun bernada halus tetapi mengandung ancaman dan kemarahan. Namun si kate agaknya tidak mau mengalah. Dirinya terlanjur merasa memiliki kelebihan. Maka meskipun hatinya masih kebat-kebit melihat orang muda didepannya itu ternyata tenang dan menatap kearahnya dengan tajam, ia kuatkan hatinya yang berdebar dengan mengucap dengan suara keras:



- orang muda, jangan mencoba menggertak aku dengan kata-katamu. Aku si kate telah puluhan tahun menghuni tempat ini dan tak seorangpun mampu melawan kehebatan ilmu panahku.Dan kini kau yang masih hijau ingin mencoba menggertakku? Jangan kau anggap aku kanak-kanak sobat! Lihatlah kehebatan ini! -



Dan habis mengucap demikian si kate tiba tiba menarik gendewanya dengan lima batang anak panah membidik kearah luar dinding gua. Dan kelima anak panah itupun keluar melesat bagai kilat menyambar menimbulkan suara desingan tajam.



Madi Alit ternganga, timbul kagum melihat kehebatan orang. Ternyata kelima anak panah itu menyambar tepat dan menancap pada lima batang ranting pohon yang ada diluar gua. Tapi tidak berhenti sampai di situ saja, sebab si kate begitu kelima anak panahnya berhasil menancap pada ranting-ranting pohon itu cepat menyusulkan lima batang panah kembali dan lima anak panah ini menghantam panah panah yang terdahulu, hingga kelima panah itupun runtuh ketanah terkena sambaran yang tepat itu.



- Dan yang sekarang adalah ini!



Tiba-tiba si kate berseru keras seraya loncat dan menghantam Madi Alit dengan gendewa yang dipegang. Tapi yang diserang telah menduga akan hal itu. Ia marah melihat kelicikan lawan menyerang tanpa memberitahu. Maka ia merendahkan tubuh berkelit. Tak terduga, si kate cukup hebat dan kuat. Ketika Madi Alit menunduk itu tiba-tiba kakinya menyambar lambung anak muda itu. Hingga yang diserang agak terkejut. Namun putra Pajajaran ini cukup tangguh iapun loncat mundur dengan cepat sehingga segala serangan si kate makan angin.



Namun agaknya si kate masih ingin menyerang dengan cepat. Begitu Madi Alit loncat mundur si kate bergerak, dan lima batang panah melesat cepat mengarah tempat-tempat berbahaya di tubuh lawannya.



Tidak ada jalan lain. Madi Alit melihat datangnya serangan yang bertubi-tubi lantas loncat berjumpalitan kemudian mencabut kerisnya kembali menangkis serangan anak panah lawan. Hingga ketika terjadi benturan keris dengan panah-panah itu terdengar suara berkeretakan dan panah-panah itupun runtuh tanpa sempat menyentuh kulit Madi Alit.



Si kate agaknya menjadi kaget melihat serangannya kembali gagal maka ia kembali pentang gendewa dan menghujani panah ke arah lawannya. Puluhan anak panah meluncur deras menghujan dari berbagai jurusan. Ternyata kehebatan si kate cukup tinggi hingga panah-panah itu mampu mengurung Madi Alit dengan cara aneh.



Dari kemarahan yang semenjak tadi ditahan, kini bagi Madi Alit agaknya tak ada pilihan lain. Kecuali memperlihatkan kepandaian dan balas menyerang. Maka dalam hujan panah dari si kate, ia loncat kemuka seraya menghindarkan diri

dari serangan panah dan kerisnya diangkat tinggi-tinggi sambil mengerahkan tenaga batin dan kekuatan terpendam yang ia miliki.



Sekalipun masih berusia muda, namun berkat ketekunan dan kemauannya menggembleng diri dalam olah kanuragan dan segala ilmu tata kelahi yang matang, menjadi tidak mudah begitu saja dipukul mundur oleh si kate. Terlebih kekuatan dan kemampuan batin yang dimiliki. Semenjak muda remaja semasa masih menjadi putra Pajajaran. Madi Alit adalah seorang muda yang lebih banyak gemar pada ulah tapa dan mendalami ilmu batin. Keinginannya hidup menyepi dan kebiasaan menjauhi dunia kebendaan membuat anak muda itu sukar diduga oleh lawan. Maka si kate yang semula mengira lawannya adalah seorang biasa, menjadi kecele. Maka sebelum sempat si kate menyadari apa yang akan terjadi, tiba-tiba matanya terbentur oleh cahaya aneh yang keluar dari ujung keris lawannya. Cahaya itu melesat dan langsung menyerang kedua matanya hingga merasakan buta ia menatap cahaya itu. Kuning biru bercampur merah darah menyakitkan. Si kate mencoba mengalihkan pandangannya, namun terlambat. Kilatan cahaya itu terlanjur menusuk matanya hingga tak mampu si kate membukanya kembali. Bertepatan dengan itu Panah panah si kate yang semula masih menyerang, tiba-tiba runtuh ketika bertemu dengan kilatan aneh senjata itu.



- Haaa. ah... -si kate mundur berputar-putar seraya menekap kedua matanya yang sakit dengan tiba-tiba. Pangeran itu masih tidak menurunkan kerisnya yang diangkat tinggi-tinggi. Sampai beberapa saat si kate berputar-putar dan menggerang kesakitan mengaduh-aduh. Tiba-tiba, si kate loncat maju dan sebelum Madi Alit tahu apa yang akan diperbuat lawannya itu, terdengar suara keras berdetak. Dan si kate jatuh mendeprok roboh berlumuran darah. Ternyata karena putus asa dan tak tahan menderita kesakitan pada matanya, si kate mengambil keputusan nekad dengan membenturkan kepalanya pada dinding batu gua hingga menimbulkan suara berdetak keras dari putuslah nyawa si kate. Darah mengalir dari luka di kening dan kepalanya.



- Ya dewa yang Agung! -



Seru Madi Alit melihat kejadian itu.



- Kau tewas oleh buah perbuatanmu sendiri.



Gumamnya

pula. Dan untuk sesaat Madi Atlit termenung berdiri termangu mangu ditempatnya. Kemudian dirawatnya mayat orang-orang, dikubur ditempat itu bersama mayat si kate.



Sesudah mayat2 itu dirawat, Pangeran Madi Alit meninggalkan tempat itu menuntun kudanya perlahan-lahan menuruni lereng pebukitan. Hutan yang membuat anak buahnya menemui ajal telah berada dibelakangnya. Sengaja kudanya dituntun, ia merasa kasihan melihat binatang itu kepayahan. Maka sesudah ia mencarikan tempat tempat yang terdapat rumput-rumput hijau agar kuda itu makan dan beristirahat, dilanjutkannya perjalanan menuju kearah timur.



Orang muda ini kadangkala menitikkan air mata. Ia merasa telah menimbulkan satu kesalahan yang menyebabkan tewasnya para prajurit yang mengikutinya semenjak lolos dari Pajajaran. Terbayang mereka yang dengan'segala kesetiaan dan kerelaan semata-mata karena kecintaan terhadap dirinya telah tewas tanpa mampu ia mencegah. Meskipun sebab kematian mereka juga dikarenakan kecerobohan bertindak melawan panah-panah gelap si kate, namun tetap mereka adalah orang-orang pertama yang mengikuti, mengawani dalam perjalanan dan mereka telah ikut menanggung hidup papa meninggalkan kemewahan istana. Dan kini kawan satu-satunya yang tinggal hanyalah kuda itu saja. Maka dengan penuh perhatian bagai kepada sesama manusia ia membawa kudanya berjalan. Jika nampaknya kuda itu telah segar kembali dan sesudahnya mencari minum di sendang atau sungai kecil, Pangeran itu menunggangi binatang itu pula. Namun tetap kuda itu berjalan perlahan, hanya kadangkala saja ia melarikan binatang tunggangan itu dengan cepat.



Pangeran Pajajaran itu masih 'berpikir dimana ia akan dapat menemukan adanya Sunan Seda Paningal dan Tombak pusaka Kyai Bungsu. Bagaikan gila rasanya'sepanjang hari hatinya dirundung kerinduan untuk dapat menemukan yang dicari. Ia tidak mengerti mengapa dengan secara aneh, sesudah bertemu dengan Sunan Seda paningal yang datang kepadanya dulu, hatinya bagai kena pesona dan kepercayaannya menuntun tekad dan kemauannya hingga tanpa memilih telah mengambil keputusan untuk mendapatkan yang dicari.



Semejak mudanya semasa masih menjadi putra Pajajaran, Pangeran Madi Alit telah menginginkan dapat memberikan jalan kepada manusia dan seluruh kawula Pajajaran agar dapat mencapai kebahagiaan dan ketentraman batin. Sebab semenjak lama dan dalam waktu yang panjang rakyat hanya mengalami perang. Perang yang tidak berhenti. Perang dan perang yang menimbulkan banyak korban dan menghabiskan nyawa manusia.



Getaran aneh terasa dalam dirinya manakala mengenang orang tua yang menemui dirinya dan mengaku sebagai Sunan Seda Paningal. Bagai dituntun oleh tenaga gaib ia lolos dari istana meninggalkan kemewahan dan kemuliaan. Meninggalkan ayahanda dan segenap kerabat, semata mengemban keinginan untuk menyelamatkan kawula dan umat yang tengah dicengkam oleh kegelisahan serta ketakutan, dibayang-bayangi oleh bencana yang setiap saat bisa menjelma dalam hidup mereka. Pangeran yang waskitha itu mengetahui dari isyarat Dewa-dewa bahwa alam marcapada ini dalam waktu yang tidak lama akan hancur oleh kutukan yang maha kuasa. Namun semua itu dapat dihindarkan jika kelak datang seorang pandai yang mengirimkan bala keselamatan. Beberapa kali pula menerima ilapat bahwa orang yang ditunggu telah tiba, namun dimana adanya masih harus dicari. Maka dengan datangnya tanda-tanda yang dikirim dalam penglihatan gaibnya dan diterimanya perintah agar mencari tombak pusaka Kyai Bungsu, membuat hatinya semakin kuat dan niatnya akhirnya diwujudkan dengan pergi meninggalkan istana.



Madi Alit tiba disebuah bukit kecil yang disekitarnya banyak terdapat rumput-rumput hijau dan segar. Maka kembali kudanya ia lepas agar beroleh kesempatan makan dan beristirahat pula.



Sementara binatang itu makan rumput disitu, ia mencari tempat teduh. Dan ditempat yang agak terlindung ia merebahkan punggungnya bersandar kesebuah pohon.




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


- O, nikmatnya bersandar demikian. Rasa lelah dan capai memperoleh tempat keteduhan, maka tanpa sadar rasa kantuk sedikit mulai menyerang sang Pangeran. Namun sebagai seorang yang berilmu kendatipun ia mulai diserang kantuk, namun kesadaran masih ia miliki dan masih dalam keadaan berjaga. Tetapi tiba-tiba kepalanya terasa berat hingga tak kuasa mendongak atau mengangkat. Matanya tak mampu terbuka, tubuhnya terasa ringan dan bagai dilemparkan kesebuah alam yang jauh entah dimana merasa dirinya demikian nikmat dan terlempar ke alam yang jauh dari alam hidup kasarnya.



Dalam keadaan antara sadar dengan tidak, sekonyong konyong merasa seakan ia masih bersama dengan orang-orangnya, prajurit dari Pajajaran, tanpa sadar ia dituntun pada penglihatan gaib kealam impian.



Rasa-rasanya ia masih berada di Gunung Karang di Banten. Seluruh perajurit yang mengikuti semenjak dari kraton berkumpul didekatnya. Tanpa diduga, sekonyong-konyong terasa tanah bergerak dan terdengar letusan berkali-kali memekakkan telinga. Terjadi gempa bumi hebat. Pohon-pohon berderak hebat batu beterbangan dan dari arah kejauhan terdengar suara letusan berkali-kali bagi gunung gugur.Angin menyapu dengan dahsyat dan debu serta batu-batu kecil menghambur bagai diaduk oleh kekuatan raksasa tempat itu bergoncang. Kegaduhanpun timbul.



Pangeran Madi Alit loncat, dalam pandangannya seluruh prajurit Pajajaran datang dan minta perlindungan kepadanya.



- Kalian tenanglah, ini tentu kehendak para dewa!



Ujarnya.



- Cepat kita menyingkir dari tempat ini gusti! -



Seru salah seorang prajuritnya.



- Tidak usah cemas, keributan ini segera akan berakhir, kalian jangan khawatir, tentu sesuatu akan terjadi --



Katanya pula menghibur orang-orangnya.



Namun ketika itu gempa nampak semakin hebat dan menakutkan. Pepohonan mulai banyak terlihat roboh sehingga terdengar suara kegaduhan yang mengerikan, sementara angin menerbangkan batu dengan pasir dan debu tebal. Tanah bergoyang dan seluruh prajurit berlarian kesana kemari ketakutan mencari tempat perlindungan. Namun kemanapun mereka beranjak,tanah tempat berpijak tidak mau menerima dan karena kerasnya goncangan banyak diantara mereka terlempar berkali-kali dan jatuh roboh.



Hujan debu batu dan pasir tidak mau mereda. Pohon-pohon telah semakin banyak yang tumbang. Para prajurit Pajajaran semakin gelisah ketakutan.



Pangeran Madi Alit yang jatuh tenggelam dalam alam mimpi masih belum sadar akan dirinya. Ia terbawa oleh pemandangan

keributan gempa dan kejadian alam yang mengerikan itu. Dalam pandangannya, terlihat anak buahnya berlarian kesana kemari ketakutan.



Keributan yang tiba-tiba itu sekonyong konyong disusul oleh mendung tebal, menutup langit diatas mereka. Gelap dan pekat menyelimuti tempat itu sementara goncangan mulai agak mereda.



Pangeran Madi Alit yang melihat orang-orangnya nampak cemas dengan kejadian itu berkata :



- Kalian tenanglah, tentu akan terjadi sesuatu. Aku yakin semua ini hanyalah merupakan isyarat dari Dewa dewa mengenai bakal timbulnya suatu peristiwa di tanah Jawa ini.



Baru saja Pangeran Madi Alit menutup kata-katanya, gempa yang disertai angin ribut itu tiba-tiba reda, tetapi awan gelap berganti menutup diatas langit sehingga sekitar tempat itu menjadi gelap gulita. Tetapi sekonyong-konyong dari arah timur terlihat cahaya berkelebat menyorot keangkasa. Sorot itu berwarna putih cemerlang menjulang bagai hendak menembus langit.



Pangeran Madi Alit dengan prajurit-prajuritnya tertegun menatap kearah cahaya itu.



- Ah kiranya sampailah waktunya bagiku untuk melaksanakan dharma yang lebih utama! -



Kata Pangeran Madi Alit seperti kepada dirinya sendiri. Dan semua prajurit mendengar dengan jelas kata kata itu. Tetapi mereka diam tidak berani bertanya, kecuali memandang junjungannya yang masih memandang ke arah cahaya yang masih menyorot kelangit itu.



Tiba-tiba Pangeran itu berkata :



- Nah, kalian yang masih ingin menyertaiku marilah berangkat kearah cahaya itu. Disana kelak kalian akan menemukan kebahagiaan dan kehidupan yang abadi.



Tiba-tiba Pangeran Madi Alit bergerak dan lenyap dari tempat itu berlari menuju kearah munculnya cahaya cemerlang yang menyorot ke angkasa itu. Para prajurit tertegun, tetapi Sukerta yang terlebih tua lebih cepat bertindak;



- Hei apalagi yang kalian tunggu? Hayo kita susul! -



Dan Sukertapun berkelebat menyusul Pangeran, yang kemudian diikuti oleh lain-lainnya berlari meninggalkan tempat itu.



Pangeran Madi Alit berlari mengerahkan kepandaiannya, tanpa berhenti dan tidak menoleh sedikitpun. Tetapa para prajurit yang masih terhitung rendah kepandaiannya, banyak yang mengeluh tertinggal jaun di belakang, kecuali Sukerta dan beberapa yang mampu mengikuti Pangeran berlari cepat, melintasi hutan dan melompati tempat-tempat berbahaya ditepi-tepi jurang.



Puluhan pal telah mereka lewati. Sementara beberapa orang sudah mulai roboh di tengah jalan. Mereka tak lagi kuat menyusul junjungannya yang berlari tanpa berhenti menuju arah munculnya cahaya cemerlang yang menyorot ke langit itu.



Sesudah melewati ratusan pal Pangeran Madi Alit menempuh perjalanan ke arah timur, sampailah di Banyumas dan ketika tiba di gunung Panungkulan, tiba-tiba cahaya itu hilang lenyap. Pangeran terkejut dan heran. Dipandangnya gunung Panungkulan yang berdiri tegak dihadapannya itu. Dan Pangeran Madi Alit menduga mungkin matanya tertutup oleh tingginya Gunung itu, maka dengan segera Pangeran Madi Alit loncat dan menerobos keatas gunung dengan niat mengusut darimana munculnya cahaya aneh yang dilihatnya. Bagi Pangeran Madi Alit yang berkepandaian tinggi, tak akan terlalu sulit mendaki gunung Panungkulan, sekalipun masih dipenuhi oleh hutan lebat dan jalan terjal serta rumit. Namun Pangeran itu terus mendaki keatas. Dan dengan mengandalkan kepandaiannya, dalam sekejap Pangeran telah tiba disebuah puncak yang agak datar dan luas. Tetapi cahaya itu kini tak lagi dapat ia ketemukan. Pangeran menjadi penasaran juga. Ia loncat ke tempat yang lebih atas. Tetapi sebelum niatnya mendaki lebih keatas tercapai, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat dihadapannya, dan tahu-tahu seseorang lelaki bertubuh tinggi dengan hidung sedikit agak bengkok bagai paruh betet berdiri memandang Pangeran dan menyapa :



- Berhenti!



- Siapakah engkau ini dan mengapa tiba-tiba menghentikan perjalananku?



Si orang bertubuh tinggi melengak juga. Ternyata Pangeran tidak mengacuhkan kata-katanya, malahan berbalik menegur menyalahkan ianya yang dikatakan mencegat perjalanan Pangeran itu.



- Bagus sahabat, aku memang kagum dengan kepandaianmu, tetapi baiklah kalau benar engkau ingin mengetahui siapa diriku. Aku datang dari tanah Hindu, namaku Raja Kunda, tetapi tugasku yang

terpenting untukmu adalah menyampaikan sebuah berita gembira dari junjunganku Kanjeng Nabi Muhammad, agar kau dan semua penduduk tanah Jawa menjadi pengikut beliau. berbahagialah jika kau mau menerimanya.



Pangeran Madi Alit bertambah terkejut. Pernah ia mendengar nama Muhammad yang menyebarkan agama baru itu dari pedagang pedagang Negri Perlak yang berkunjung ke Pajajaran. Bukan itu saja, bahkan Pangeran Madi Alit mengetahui juga bahwa sebagian negri-negri di pesisir utara telah memeluk dan mengakui agama baru yang bernama Islam itu. Malah Majapahit sendiri mulai kalah pengaruh dengan ajaran asing yang dibawa saudagar-saudagar Perlak itu. Tetapi Pangeran Madi Alit yang sejak kecil telah menganut Hindu, mana mau menukar ajaran asing yang baru didengar namanya itu. Lebih lagi melihat munculnya si orang bertubuh tinggi yang mengaku bernama Raja Kunda itu .Pangeran Madi alit mulai merasa tidak senang hatinya. Tadipun ia menganggap orang telah merintangi jalan dan menghambat niatnya mencari cahaya cemerlang yang kini telah hilang itu.



Maka katanya :



- Baiklah, aku tahu dengan niatmu. Tetapi menyingkirlah dan jangan mengganggu aku mencari cahaya gaib yang muncul dari gunung ini!





- Ho, jadi engkau tengah mencari cahaya gaib itu? ha ha ha alangkah bodohnya. Aku melihat dari gerak gerikmu aku dapat mengetahui bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi. Tetapi mengapa tertipu oleh suatu peristiwa gaib demikian? Ah sayang! Sayang! Benar akupun melihat cahaya itu muncul dari gunung ini, tetapi tidaklah selayaknya engkau mengusut seolah olah ia adalah benda yang dapat dihampiri dan diraba. Ketahuilah, cahaya itu adalah wujud gaib yang hanya dapat diraba dengan mata batin dan oleh ketajaman rasa dan cipta. Mengapa heran sahabat? Bukankah Gunung inipun disebut orang Gunung Cahyana? Nah, jangan bersusah payah mencari benda yang sebenarnya ada di dalam hati dan jiwamu sendiri. Berhentilah Sahabat. Dan ikutilah aku, aku akan menuntunmu kepada suatu tingkatan. kepandaian yang sukar diukur oleh mata dan perasaan manusia biasa.



Pangeran Madi Alit terbelalak matanya. Diam-diam hatinya mulai merasa panas juga. Jelas ia dipandang rendah oleh orang itu. Maka berkatalah ia



- Baik sahabat, aku tak akan marah dengan kata-katamu demikian itu, tetapi aku Pangeran Madi Alit belum pernah mau menyerah sebelum membuktikan kepandaian orang.



Mendengar jawaban demikian si orang berhidung betet itu tertawa lebar. .



- Ya, ya. aku mengerti! Aku mengerti! Tetapi bagus juga sebutan namamu!

'



- Cukup! Aku tak ingin kau berpanjang lebar dengan kata katamu. Aku hanya ingin agar kau secepatnya menyingkir dari sini dan membiarkan aku naik keatas. -



Kata Pangeran Madi Alit ketus.





- Bagus! aku tahu itu, tetapi aku ingin menjajal kepandaian putra Pajajaran. Nah, kau seranglah aku! Aku akan senang berkenalan denganmu di sini.



Pangeran Madi Alit semakin heran mendengar orang itu tahu

asal usulnya. Tetapi ia tak berpikir lebih lama lagi. Tahu orang agaknya berilmu tidak sembarangan, Pangeran Madi Alit membuka serangan dengan majukan kedua tangan dengan jari jari terbuka menyambar pundak orang itu, dengan maksud sekali cengkeram membikin lawan mundur atau menyingkir dari tempatnya. Tetapi yang diserang tiba-tiba berseru :

- Sebuah gerakan bagus! -



Tetapi sekonyong konyong orangnya lenyap dari hadapan mata Pangeran. Dan sebelum tahu apa yang akan terjadi, tiba tiba Pangeran Madi Alit merasa pundaknya terdorong dari samping. Ia merasakan dorongan itu begitu kuat. Maka secepat kilat ia berputar berusaha mengelak menahan dorongan itu, tetapi entah mengapa tiba-tiba sebuah lengan menyentuh pundaknya yang lain dan mendorongnya pula. Maka kali ini Pangeran Madi -Alit tak sempat mengelak hingga tubuhnya berputar keras, bahkan hampir saja ia jatuh terguling oleh kerasnya dorongan yang aneh itu.



Pangeran Madi Alit merah mukanya. Ia melihat Raja Kunda masih berdiri dengan tenang menatap ke arah dirinya seakan tak pernah terjadi sesuatu. Dengan begitu Pangeran merasa terkejut. Dan secepat kilat ia maju pula sekaligus dengan melancarkan serangan dengan tendangan-tendangan berantai ke arah lawan yang nampaknya tak bisa dipandang ringan itu.



Melihat datangnya serangan yang cepat bertenaga itu, Raja Kunda bergerak. Dan entah dengan cara bagaimana Pangeran Madi Alit tidak melihat jelas, tetapi tahu-tahu serangannya dapat dipunahkan lawan dan mengenai tempat kosong. Bahkan ketika ia memutar lengannya, hampir saja lengan itu tertangkap. Untung ia cukup gesit dan lincah hingga tangkapan itu berhasil ia hindarkan.



Pangeran Madi Alit merasa lawannya adalah seorang yang berilmu tinggi. Maka ia cabut keris pusakanya dengan maksud digunakan menyerang dan menyelesaikan pertempuran. Akan tetapi sekonyong2 ia sadar, dan terjaga dari mimpi. Maka bukan main kaget dan herannya. Seluruh pemandangan bersama para prajuritnya hilang lenyap kembali. Dan Marcu Kuda tidak terlihat batang hidupnya .

Sedang didekatnya kuda tunggangnya nampak tenang tenang menunggu ia tertidur tadi.



- Aih aku bermimpi! -



Gumamnya seorang diri.



- Apa gerangan yang terjadi? -



Maka sesudah sadar kembali dengan apa yang dialami dalam mimpinya tadi, ia perlahan bangkit berdiri. Sesudah mengucapkan beberapa patah kata pujian kepada dewa Brahma, dihampirinya kudanya, kemudian dielus-elusnya perut kuda itu sejenak seraya merenungkan kejadian yang baru saja dialami. Tetapi sebentar kemudian ia berkata pada kuda itu :



- Hayo kita lanjutkan perjalanan kita!



Madi Alit loncat keatas punggung kudanya, kemudian seraya masih merenung dan mengingat-ingat mimpi tadi binatang itu dikepraknya berlari2 kecil meninggalkan. tempat itu.



Pangeran Madi Alit terus membedal kudanya menuju ke arah timur. Sampai tengah hari tiba di sebuah tanah lapang yang agak luas di punggung perbukitan. Terlihat kembali kudanya kelelahan berlari tidak berhenti. Maka ia menghentikan lari kudanya, kemudian turun dan menuntun binatang itu mencari tempat yang agak teduh untuk beristirahat.



- Kasihan benar kau! -



Kata Pangeran Madi Alit Kepada kudanya seraya menepuk Leher binatang itu.



- Mungkin dimuka ada pedusunan, biarlah kau akan kutinggalkan disana agar dapat dirawat orang-orang dusun itu. Biar aku berjalan sendiri dan engkau tak akan ikut menanggung berat dan susah.



Binatang itu meringkiik perlahan, agaknya mengerti dengan ucapan tuannya. Dan kaki belakangnya menghentak-hentak ketanah, sepertinya ingin mengatakan Tidak usah begini tuan, biarlah aku mengikutimu kemanapun pergi.

Pangeran Madi Alit melepas kantongnya yang masih tergantung pada kuda itu. Lalu melepaskan binatang tadi agar mencari tempat beristirahat. Sedang ia menghampiri tempat keteduhan. Namun ketika tangannya merogoh kantongan yang dibawa. Madi Alit mengerutkan kening. Ia merasa ada sesuatu yang tidak wajar. Maka cepat tangannya merogoh menarik keluar kantong sebuah buntelan daun pisang. Ia mengamati sebentar buntalan itu Tak diingatnya bahwa semenjak meninggalkan Dusun Karang ia memperoleh bekal makan. Namun tak diingatnya, sehingga kini makanan itu menjadi basi dan berbau. Madi Alit mendongak memandang kearah burung burung bangkai yang terlihat banyak beterbangan diangkasa. Maka dengan perasaan berat buntalan itu dilemparnya kearah semak-semak dimukanya. Tepat, ketika isi buntalan itu menghambur keluar, sekawanan burung bangkai yang berada diatas meniup turun berebutan menyerang makanan yang dilemparkan hingga terdengar suaranya bercuitan hiruk pikuk. Agaknya burung-burung itu kelaparan benar.



Madi Alit terduduk bersandar kesebuah pohon. Hatinya merasa senang melihat pemandangan dimukanya. Melihat burung-burung kelaparan itu berebut makan ,ia merasa beruntung. Kalau tadi sewaktu melempar makanan itu ia berat hati, kini perasaan itu hilang. Diperhatikannya gerak-gerik burung-burung itu yang dalam sekejap telah menyantap habis makanan yang diberikan Pangeran itu.



Pada saat ia memperhatikan pemandangan itu, tanpa diduga, sekonyong-konyong kawanan burung itu terbang dengan tiba-tiba berhamburan dengan terkejut. Seakan ada hal yang menimbulkan ketakutan mereka .



Pangeran Madi Alit tak kurang herannya.



Mengapa burung burung itu tiba-tiba saja terbang bagai digertak binatang liar?



Mata Pangeran yang menatap kearah semak itu segera melihat sesuatu yang menimbulkan kekagetan dalam hatinya. Pantas burung-burung itu kabur.



Pikirnya dalam hati.



Dan iapun cepat loncat bangun. Karena dari arah semak-semak tadi meluncur keluar seekor ular sebesar pohon pucang. Agaknya binatang itulah yang membikin kaget kawanan burung bangkai tadi.



Belum hilang rasa heran dan kaget, tiba-tiba dari belakang ular itu muncul pula seekor yang lain. Agaknya jantan dengan betina. Pangeran Madi Alit mundur mencari jalan untuk menyelamatkan diri. Sebab bagaimanapun menghadapi dua ekor binatang besar itu bukan hal yang mudah. Seekor yang keluar lebih dulu tanpa menunggu telah meluncur maju kearahnya diikuti ular betina yang 'berada dibelakangnya.



Pangeran itu loncat mundur menjauh, namun si ular agaknya memiliki kehebatan luar biasa. Dalam sekejap telah hampir berhasil menyusul mangsanya yang mundur dan lari.



Dalam berlari menghindarkan diri dari kejaran ular itu, sekonyong-konyong telinga Pangeran Alit mendengar suara ringkik kuda yang mengejutkan. Dan ketika ditolehnya, betapa kaget hati putra Pajajaran ini karena seekor harimau kumbang telah hinggap dipunggung kuda itu tengah merobek binatang tunggangan tadi yang dalam waktu singkat segera roboh ketakutan untuk kemudian mati akibat serangan harimau kumbang yang dahsyat.



Madi Alit bergidik juga melihat kejadian itu. Tetapi belum hilang kagetnya pula, tiba-tiba telinganya bergetar ketika terdengar auman hebat harimau kumbang dari arah lain. Ternyata seekor harimau kumbang muncul pula dari balik pebukitan. Agaknya mencium bau darah kuda yang telah robek dan mati itu. Namun ketika harimau satunya ini melihat ia yang berdiri loncat menghampiri dan memapak dari arah belakang.



Sementara itu dua ekor ular sebesar pohon pucang tadi telah semakin dekat yang kini juga telah dikepung dua harimau kumbang di belakangnya. Maka tidak ada jalan lain, ia cabut kerisnya kemudian bersiap menunggu serangan ular dimukanya seraya memperhitungkan apa yang akan terjadi dan apa yang akan dilakukan. Kali ini ia merasa lawannya benar benar tidak ringan.




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Bagai kiLat menyambar dua ekar ular itu melesat maju menyambar. sementara ia menjadi mengangkat keris berusaha monghindar, dari arah belakang dua macan Kumbang itu bersamaan mengaum hebat dan menubruk ke arah dirinya. Madi Alit hilang kesadaran sejenak. Dan ia meramkan mata sebab merasa waktunya tidak banyak untuk dapat luput dari bahaya.



Terdengarlah suara auman panjang dua harimau kumbang itu hingga suaranya bagai hendak membikin runtuh gunung bertepatan dengan mendengar suara menguak panjang mengerikan dari dua ular raksasa yang menyerang. Namun Madi Alit menjadi heran, suara suara itu meskipun hebat dan menakutkan tetapi terasa aneh. Sebab seperti suara binatang yang menderita kesakitan hebat.Untuk kemudian segera tidak terdengar suara apapun. Sedang dirinya tidak mendapatkan cidera sedikitpun. Maka tak habis herannya.



Madi Alit segera melihat dan memperhatikan sekelilingnya. Hatinya menjadi heran dan tak habis mengerti. Dua macan kumbang tadi telah melingkar menggeletak mati dan dua ekor ular tadipun kini sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Dan ketika ia perhatikan lebih lanjut, ternyata kepala ular jantan dan leher ular betina telah tertembus oleh anak panah. Sedang ketika dua harimau kumbang ia tatap dengan seksama, ternyata juga leher dan kepala tertembus anak panah yang sama.



Tahulah ia bahwa ada yang telah turun tangan menolong. Maka ia memandang kesekeliling mencari siapa yang berbuat membunuh binatang binatang itu dengan cara demikian mengagumkan.



Dari balik pohon, muncul seorang setengah tua memegang gendewa dan dipunggung terlihat -menyembul kantong panah memandang kepadanya dengan tersenyum. Pangeran Alit menatap sejenak, kemudian membungkuk memberi hormat seraya menyapa :



- 0 jadi kisanak inilah yang telah sudi turun tangan menolong membunuh binatang-binatang itu"

-



Orang setengah tua itu loncat maju dan tertawa lebar menghampiri dan menjawab dengan kata kata yang keras dan kasar.



- Ya benar aku yang membunuh binatang-binatang itu, karena memang kegemaranku memburu binatang hutan. Agaknya hari ini aku beruntung sekaligus mendapat mangsa empat ekor, dan besar besar. Tentu ia akan membuat senang orang-orang didusunku. -



Pangeran mendekat, kemudian berkata pula :

- Terimakasih kisanak, mungkin kalau tidak ada kisanak aku sudah menjadi mayat.



- Eh, .eh! Mengapa berterimakasih kepadaku? -



Jawab orang itu sambil menggoyang-goyangkan tapak tangannya.



- Jangan berbuat begitu kisanak! Tidak usah kau mintapun aku tentu membunuh binatang-binatang itu karena memang sudah kewajibanku memburu mereka.



- Benar katamu kisanak.



Jawab Pangeran pula



- Tetapi jika kedatanganmu tidak tepat pada waktunya pastilah nyawaku sudah melayang oleh binatang-binatang itu.



- Ya, ya, sudahlah! Itu tidak penting. Hanya aku menjadi heran, kisanak ini siapakah dan tengah menuju kemana?



Tanya orang tua itu akhirnya.



- Aku? Aku sendiri masih belum tahu kemana arah yang aku tuju. Tetapi aku tengah mencari adanya sebuah Tombak Pusaka yang disebut Kyai Bungsu. -



- He kiyai Bungsu? dimana dia adanya?



- Aku masih belum mengetahui kisanak, tetapi ia dibawa oleh seorang tua yang bernama Seda Paningal.



- Aneh! Kau aneh, mencari benda yang belum ketahuan dimana adanya. Tetapi menilik pakaian dan sikap dan katamu, engkau terlihat bukan orang jahat. Tetapi aku heran, mengapa tidak membawa kawan dalam perjalanan. Bukankah kini sedang musim kekacauan? Berbahaya berjalan sendiri tanpa tujuan yang pasti.





- Benar yang kau katakan kisanak, tetapi sudah menjadi tekad dan niatku untuk mencari Sunan Seda Paningal dengan Kyai Bungsu karena menurut perjanjian yang kuterima, pusaka itu akan dapat

dipergunakan membangunkan kejayaan kebahagiaan dan kejayaan Umat diseluruh tanah Jawa. Eh, kisanak, sesungguhnya aku merasa kagum dengan kepandaianmu. bagaimana kisanak dapat membunuh binatang binatang itu hanya dengan sekali serang? -



Mendengar pertanyaan demikian si orang tua tadi tertawa keras. Terlihat sikapnya yang polos, kata-katanya kasar tetapi nampak jujur.



- Ha ha... ha...... tidak heran! Tidak heran jika kau bertanya demikian .Tetapi bagiku pekerjaan membunuh binatang dengan cara demikian bukan lagi merupakan pekerjaan sulit. Hanya dengan pentang gendewa memasang empat anak panah, sudah cukup membikin binatang itu pesiar kepada dewa-dewanya. Ha...... ha... ha. Dan sebentar lagi mereka pesiar kedalam belanga!





Mau tidak mau Pangeran Madi Alit menjadi tersenyum mendengar kelakar orang itu.



- Tetapi eh kisanak. aku sungguh tidak habis mengerti dengan kemauanmu. Kisanak masih begini muda, ingin menempuh perjalanan yang tidak menentu ujung pangkalnya. Apakah yang diharapkan dengan itu? Kaiau kisanak hanya menginginkan tombak pusaka, marilah jika kisanak bersedia menerima, aku menyimpan sebuah tombak peninggalan leluhurku. Biarlah kisanak bawa jika mau.



- O. terimakasih atas kebaikan itu.



Cepat Pangeran memotong perkataan orang itu.



- Bukan maksudku demikian, aku tidak ingin mengganggu kisanak lebih jauh. Terimakasih atas pertolongan tadi, dan kini ijinkanlah aku melanjutkan perjalanan kembali.



- O, terimakasih atas kebaikan itu.





Pangeran Madi Alit kemudian berjalan meninggalkan orang itu. Namun sekira sepuluh tindak, ia menoleh pula. Dan alangkah kaget ketika dilihatnya orang kasar itu menangis. Air matanya mengalir dengan derasnya membasahi pipinya yang hitam.



Pangeran Madi Alit tercengang.Dihampirinya kembali orang tua itu dan bertanyalah ia



- Eh, paman! Mengapa paman jadi menangis?



Orang itu cepat menghapus airmata yang membasahi pipinya.Ditatapnya wajah orang muda ,yang berdiri dihadapannya dan memandang keheranan itu. -



- Maafkan kisanak. -



Jawab orang itu kemudian.



- Aku malu sebenarnya meruntuhkan air mata. dihadapanmu.



- Ya ya, katakan mengapa paman menangis sedih? .



- Sebenarnyalah kisanak, ketika kisanak menyebut-nyebut tombak pusaka Kiai Bungsu itu, paman jadi teringat kepada anak paman yang kini tengah menjalani hukuman.



- Hukuman? Mengapa ia dihukum dan oleh siapa?



Pangeran Madi Alit bertanya keheranan.



- Hayolah kisanak singgah digubugku, akan paman kisahkan awal kejadian itu dan paman berharap kisanak akan dapat menolong anak itu.



Pangeran Madi Alit termenung sejenak. Ia menimbang-nimbang permintaan orang itu.



Sesudah akhirnya menimbang demikian disetujuinya pemintaan pemburu itu dengan mengatakan :



- Baiklah paman, aku akan ikut ke tempat tinggalmu.



Pemburu itu mengangguk serta mengucapkan terima kasih, kemudian memanggil orang-orang dusun lalu diperintahkan membawa bangkai harimau dan ular yang telah menjadi korban panahnya tadi.



Madi Alit mengikuti dari belakang. Dan ditengah berjalan itu ia berkata pula:



- Paman, aku akan senang mendengar kisah anakmu. Tetapi untuk memberikan pertolongan, aku kurang yakin apakah aku mampu. Karena menolong diri sendiri saja kalau tidak paman turun tangan membunuh binatang-binatang itu tentu tak akan sanggup rasanya. -



- Ha, kisanak jangan merendahkan diri dengan keterlaluan -



Kata orang tua itu.



- Aku Aki Kerancang cukup bermata awas. Bisa melihat mana yang berisi dan mana yang kosong. Tadipun aku membunuh binatang-binatang yang hendak menyerangmu, bukan terdorong karena ingin menolong. Aku tahu kisanak akan mampu menjaga diri sendiri dari serangan binatang ini. Namun karena aku melihat binatang buruan, jadinya tak tahan jika membiarkan mereka mati tidak oleh panah-panahku.

Orang tua yang bernama Aki Kerancang itupun tertawa.



Madi Alit menjadi geli. Orang ini memang aneh. Pikirnya. Baru Juga menangis sedih sewaktu membicarakan anaknya. Namun sebentar kemudian berbalik tertawa-tawa-gembira.



Tak lama Madi Alit telah dibawa oleh Aki Kerancang kegubugnya. Dalam waktu singkat, hampir seluruh orang dusun datang berbondong-bondong ke rumah Aki Kerancang ketika tersiar berita pemburu itu berhasil menewaskan empat binatang besar. Lagi pula mendengar Aki Kerancang pulang bersama seorang asing yang bermuka tampan.Maka rakyat kampung itupun datang kecuali ingin menyaksikan hasil buruan .Aki Kerancang juga ingin melihat tamu yang menjadi tamu dirumah Aki itu.



Pangeran Madi Alit tercengang melihat datangnya rakyat yang membanjir ingin bertemu dan melihat dirinya. Diam-diam hati kecil pangeran ini tergugah. Kalau tadinya di kraton ia tak akan dapat menikmati peristiwa semacam itu maka kini ditengah pedusunan yang terpencil ia peroleh pengalaman baru yang belum pernah dikecapnya.



Berada ditengah orang dusun yang memandangnya dengan kagum dan penuh sorot mata persaudaraan.



Ditengah perjamuan Aki Kerancang memaparkan kisahnya :



- Dulunya, tiga bulanan sebelum ini, dusun ini termasuk dusun yang subur kisanak.

- Seperti yang kisanak saksikan sendiri, kini sekitar desa ini juga masih terlihat tanda kesuburan itu. Maka penduduk daerah ini rata-rata hidup berkecukupan. Malah banyak pula orang-orang Majapahit yang berdatangan dan pindah menetap didaerah ini.



Aki itu berhenti sejenak, ia menghela nafas perlahan. Kemudian melanjutkan perkataan :



- Namun agaknya karena keadaan yang menyenangkan itulah maka tiba-tiba saja muncul perampok Lodaya yang membawa anak buahnya menyerang dan membakar orang dusun ini seraya merampas harta benda dan milik penduduk. Tetapi untunglah ketika itu paman yang ketika itu masih tengah berada diluar dusun segera datang. Mendengar adanya perampokan itu paman menjadi marah, Maka segera para perampok itu paman serang. Cuma sayang sekali, paman hampir saja mati di ujung senjata Lodaya yang ternyata berilmu tinggi. Bukan aku takut, tetapi mengingati jumlah mereka cukup banyak, paman jadi melarikan diri dengan menderita luka-luka parah. Ditengah perjalanan dalam keadaan terluka itu aku bertemu dengan seorang mPu yang merantau dari Majapahit bernama mPu Sugati. Paman ditolong olehnya. Dan sesudahnya mendengar penuturan paman perihal kejadian merajalelanya rampok Lodaya itu, agaknya mPu Sugati menjadi kasihan dan kemudian berjanji akan membasmi gerombolan perampok itu



Janji mPu Sugati ditepati, berdua dengan paman, mPu Sugati mendatangi rampok itu dan dengan kepandaiannya yang mengagumkan akhirnya rampok Lodaya dapat dihancurkan sehingga melarikan diri dan bubar meninggalkan Wilayah Pajajaran. Semenjak itulah maka dusun ini kembali aman dari gangguan rampok itu.



Untuk kesekian kalinya Aki Kerancang berhenti pula bercerita. Dan sesudah berdiam beberapa saat, ditengah pesta jamuan menyambut Pangeran Madi Alit itu, Aki Kerancang melanjutkan kisahnya pula.



- Dalam pada itu mPu Sugati ternyata tertarik untuk tinggal di daerah pedusunan ini. mPu Sugati kemudian membangun gubug pondoknya di bukit sebelah utara di tepi hutan sebelah sana.



Sementara itu pula Aki Kerancang mempunyai seorang anak lelaki yang diberinya nama Sentanu. Sentanu ini memiliki kepandaian yang mengagumkan. Sejak kecil sebagai anak seorang pemburu. ia memang telah mendapat didikan ayahnya memegang senjata dan panah. Kepandaiannya membuat heran Aki Kerancang. Sebab Sentanu memiliki kemampuan lebih dari ayahnya. Namun untuk menjadi pemburu Sentanu rupanya tidak merasa tertarik. Melainkan ia lebih senang pergi keluar dusun, mengembara dari satu tempat ke tempat lain di desa-desa sekitarnya.



Sentanu dikenal sebagai seorang pemuda tampan yang berbudi pekerti menyenangkan. Namun ia lebih -dikenal sebagai seorang muda yang aneh.Kebiasaannya adalah bergumul dengan batu-batu kali. Dimanapun ia berada, tentulah berserakan adanya batu-batu yang dibuatnya menjadi patung. Maka tidak mengherankan jika sekeliling rumah Sentanu bertebaran banyak patung-patung yang indah dan menakjubkan.



Agaknya karena kepandaiannya itulah maka mPu Sugati menjadi tertarik kepada Sentanu yang pada suatu saat menjumpai anak itu tengah berada ditepi sungai Cisadane memahat batu-batu kali.



mPu Sugati menggelengkan kepala ketika dilihatnya seorang anak muda tengah memahat batu. Bukan dengan pisau atau senjata pemahat. Namun menggunakan kekuatan kuku-jari tangannya.



- Eh anak, apakah yang tengah kau lakukan itu?



Tanya mPu Sugati sewaktu bertemu anak itu.



Sentanu menoleh dengan terkejut. Tak diduganya ada seorang tua yang telah mendekat. Maka untuk sejenak ia tatap orang itu. Baru kemudian menjawab seraya kembali tangannya meraih patung batu yang sedang dikerjakan.



- Seperti yang kau lihat orang tua, aku sedang membuat patung ini.



- Ya, aku tahu tetapi 'patung apakah itu? -



Tanya mPu Sugnti pula. .


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo




- Aku membikin Dewi Tara.



- Bagus.! Kau hebat anak ! Tetapi sayang bekerja tidak menggunakan pemikiran.



Sentanu mendelik mendengar perkotaan mPu Sugati yang demikian.



- Apa katamu?! Tidak menggunakan pikiran? -



Katanya marah.



- Itulah yang kukatakan! Kau memang memiliki kemampuan dasar yang hebat anak muda. Tetapi kemampuan itu tidak kausadari. Sebagai bukti kau kini menjadi marah aku menegur demikian. Sebab hal itu membuktikan hati dan rasamu tidak terbuka. Kau lebih banyak dikuasai oleh nafsu dan tindak yang tidak sadar.



Sentanu menjadi marah mendengar perkataan itu. Ia tidak tahu siapa orang tua yang datang-datang menegur dan menyalahkan dirinya.



- Cukuplah kata-katamu itu! -



Katanya kemudian. .



- Aku tidak memulai memancing pertengkaran denganmu. Tetapi kaulah yg menimbulkan rasa marah dalam diriku. -



- Eh, sabar anak muda !'--mPu Sugati mundur seraya berkata pula.



- Benar yang kau katakan, tetapi aku sengaja datang untuk memancing kemarahanmu agar terkuras keluar dan habis sehingga kau tak akan dapat marah pula kepada siapapun. -



Tiba-tiba Sentanu menangis tersedu-sedu. Tetapi pancaran matanya memerah memandang mPu Sugati.



- Kau jahat! mengganggu orang, biarlah kau mampus saja! -

Dan Sentanu tiba-tiba melemparkan patung batunya menyerang mPu Sugati dengan bernafsu. Tentu saja mPu Sugati loncat menghindarkan diri dari serangan anak muda itu. Akan tetapi Sentanu memang hebat begitu mPu Sugati menghindar, ia menerjang pula dan kini dengan ke dua tangan kosong ia melancarkan serangan kearah orang tua itu. Cuma mPu Sugati yang mengetahui siapa Sentanu, tidak berniat mencelakakan. Ia hanya menghindar dan menahan serangan itu. Sampai kemudian Sentanu merasa lelah dan kepayahan. Keringatnya mengalir deras membasahi tubuhnya. Dan sampai sebegitu jauh ia masih belum berhasil menyentuh kulit atau tubuh lawan yang diserangnya mati-matian.



- Cukup Sentanu!



Tiba-tiba mPu Sugati mengangkat tangan dan dengan sekali loncat mPu Sugati berhasil meringkus Sentanu kemudian hanya dengan sedikit menekan pundak anak itu, Sentanu roboh dan bertekuk lutut dihadapannya.



Sejak saat itulah Sentanu tunduk dan merasa takluk oleh mPu Sugati. Kemudian iapun dibawa oleh orang tua itu kepondoknya diambil murid.



Dalam waktu singkat Sentanu semakin bertambah pesat dalam ilmu kanuragan dan tata batin berkat didikan yang diberikan oleh

mpu Sugati. Sentanu kini menjadi semakin dewasa.Pertumbuhan badannya mengagumkan. Kesaktiannya berlipat dari kepandaian semula. Ternyata mPu Sugati selain seorang mPu yang linuwih, pun memiliki kehebatan sebagai seorang ahli tempur yang baik. Dan Sentanu telah berubah banyak dari semula. .



Namun keadaan ternyata menghendaki lain.



Pada suatu saat mPu Sugati tengah menyelesaikan sebilah keris luk sembilan belas yang diberinya nama Kiai Kacaran. Dengan dibantu oleh Sentanu mPu Sugati siang malam mengerjakan keris itu tidak mengenal berhenti. Dan mPu Sugati membuat keris dari bahan besi aji yang disebutnya besi aji Grasak bercampur Tapel. Kedua jenis besi ini oleh mPu Sugati dikatakan pada Sentanu -:



- Berhati-hatilah Sentanu. kedua besi aji ini memiliki watak keras, sebab terbikin dari mengerasnya batukarang dan tanah. Berwarna hitam, kering dan keras. Kelak Sentanu, Jika keris ini jadi ia akan membawa bertuah sebab memiliki watak baik. Namun keris luk sembilan belas ini akan mempunyai watak mudah terkejut. Artinya ia akan mudah mencium hawa darah manakala pemegangnya tidak berhati-hati. Apalagi jika kita menempanya dengan penuh nafsu dan terburu-buru ingin segera selesai





- Tetapi guru.

Jawab Sentanu.

- Darimanakah asalnya guru memperoleh besi aji itu. '?



- O, baiklah Sentanu. Tadinya aku belum memaparkan darimana aku memperoleh bahan keris Kiai Kacararn ini. Aku mendapatkannya sebagai hadiah seorang sahabat di Majapahit. Namun bentuknya masih berupa tombak yang disebut Kiai Baru Panatas. Semula aku hendak menyimpannya dalam bentuk itu. Namun tiba-tiba aku ada pikiran untuk membentuknya menjadi keris yang lebih enak dipakai dan mudah membawanya. Hati-hatilah Sentanu. tombak itu memiliki pengaruh aneh dan seperti kukatakan ia memiliki watak keras dan mudah terkejut. Jangan gegabah dalam menyentuhnya.



Sentanu terkejut ketika gurunya memperlihatkan tombak yang disebutnya Kiai Baru Panatas itu. Ujung tombak berbentuk bagai pasopati, papar dan gepeng bergigir ditengah. Berwarna hitam mengkilat. Sentanu bergidig. Terasa pengaruh dan hawa dingin ketika ia coba menyentuh senjata itu. Namun yang kini ia pegang sudah tidak lagi berujud utuh sebagai tombak. Karena pada bagian yang disebut adha adha telah hilang sedang bagian ujung senjata itu telah dirubah oleh mPu Sugati menjadi bahan keris Kiai Kacaran. Sehingga tinggal sisasisa saja. Tombak itu menjadi tidak utuh pula. Namun pengaruh kehebatan gurunya yang mampu menguasai senjata-senjata pusaka dan membentuknya menjadi keris Kiai Kacaran yang tengah dikerjakan.



Dalam pada itu, mPu Sugati telah menitipkan kepada Sentanu segala pembuatan keris Kiai Kacaran. Ia dipesan untuk tetap melanjutkan menyelesaikan senjata itu, sebab mPu Sugati hendak meninggalkan pondok mencari bahan lain.



- Aku tinggalkan dirimu sendiri disini Sentanu. -



Kata mPu Sugati berpesan.



- Kau boleh menyelesaikan Kiai Kacaran seorang diri. Tetapi ingat aku berpesan benar Sentanu, sisa tombak Kiai Baru Panatas jangan kau sentuh sedikitpun. Ia saat ini tengah dalam ketegangan yang dahsyat. Sedikit saja ia terpegang oleh darah muda maka sifat terkejutnya akan bangun. Dan jika sudah demikian maka ia akan banyak menimbulkan bencana dan kesengsaraan pada yang memegangnya. Lebih lagi jika tercium olehnya bau darah manusia. Ingatlah baik-baik akan hal ini Sentanu. -



Sentanu menyatakan kesediannya menepati pesan dan larangan gurunya itu. Maka sesudah mPu Sugati mempersiapkan segala bahan pembuatan keris Kiai Kacaran, ditinggalkannya Sentanu sendirian. Sedang sepeninggal mPu Sugati Sentanu segera bersiap untuk menyelesaikan pembuatan keris itu.



Siang malam Sentanu bekerja dengan hati-hati dan cermat. Anak muda yang memiliki kemampuan pahat mengherankan ini kiranya tidak meleset diambil murid oleh mPu Sugati yang awas matanya. Sehingga kemampuannya itu dapat ia bekaskan pada senjata-senjata yang pernah dibuatnya bersama mPu Sugati. Menjadikan bentuk-bentuk keris dan senjata yang dibikin oleh Sentanu terlihat indah dan mengagumkan. Namun dibalik keindahan itu Sentanu masih mampu memberikan jiwa kepada senjata-senjata yang diciptakannya.



Pada saat mPu Sugati tengah tidak berada ditempat itulah tiba tiba Kepala rampok Lodaya muncul kembali dan menyerang dusun dengan mengerahkan anak buahnya berlipat banyak dari serangan-serangan yang terdahulu. Dan kali ini perampok-perampok itu bertindak lebih kejam dan biadab. Hampir tidak ada sisa yang dibiarkan selamat. Wanita dan gadis-gadis ditangkap dan disiksanya sesudah dipergunakan sebagai alat pelampias nafsu binatangnya. Harta benda tak terhitung.



Sentanu yang masih sibuk dengan kewajibannya menempa keris Kacaran yang diperintahkan oleh gurunya, menjadi kaget ketika orang-orang kampungnya berlari kepadanya dengan muka pucat dan ketakutan.



- He, mengapa paman-paman sekalian datang dengan cara demikian? -



Orang-orang itu maju dan hampir berbareng mereka menceritakan perihal datangnya rampok Lodaya yang mengamuk kemudian membikin habis seluruh isi dusun.



- Sentanu! Lekas panggil gurumu, kalau tidak jiwa kita akan terancam oleh kekejaman rampok-rampok itu!



Sentanu berdiri dan berkata :



- Kalau hanya mereka yang datang, tak usah guru, aku sendiri akan menghadapi. Hayo bawalah aku kesana.


Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat Pendekar Naga Putih 03 Algojo Gunung Pendekar Bayangan Sukma Tiga Ksatria

Cari Blog Ini