Ceritasilat Novel Online

Mencari Tombak Kiai Bungsu 10

Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan Bagian 10





Tanya salah seorang diantaranya.



Dua orang pencegat tadi tertawa. Sementara kuda mereka meringkik perlahan, salah seorang maju dan berkata :



- Kalian siapa ? -



Tiga utusan itu saling berpandangan dan ketika diperhatikan, pada pergelangan tangan kiri dua orang itu terlihat mengenakan gelang lawe berwarna kuning. Namun itu tidak terlalu menarik perhatian para utusan. Hanya cara pakaian yang mereka pergunakan itu yang menarik, sebab jelas pakaian mereka tak berbeda sebagai pakaian yang mereka pakai, yakni orang-orang Demak juga. Berpikir begitu salah seorang menjawab juga :



- Aneh. rasanya kita berasal dari daerah yang sama. Bukankah kalian juga dari Demak ?



Dua orang itu tertawa.



- Apakah aneh jawabanku ? -



Bertanya utusan itu pula.



- Kalian benar orang Demak. Tetapi kami berdua, bukan! -



- Jadi, siapa kalian ? -



- He, bukankah kau belum menjawab pertanyaanku ? -



- Ah kalian rupanya sengaja mencari permusuhan. Bukankah

sudah jelas kami orang Demak ?



Kedua orang itu nampak marah. Dan ketika salah seorang kemudian memberi tanda, mereka maju bersama dan mencabut pedang yang disembunyikan dibalik pakaian.



- Kalian banyak rewel, mari kita mengadu senjata ! -



Tantangnya. Lalu terdengar seruan keras dan timbullah kemudian pertempuran ditempat itu.



Para utusan Demak tak habis mengerti ternyata ada orang orang Demak yang memusuhi orang sendiri. Tetapi mereka tak lagi sempat berpikir terlalu lama, karena serangan kedua orang itu ternyata kuat dan bertubi-tubi datangnya.



Benturan-benturan senjata pedang mereka segera terlihat semakin keras dan seru.



Namun setelahnya pertempuran berjalan lama, mulai terlihat ketiga utusan Demak itu terdesak. Sekalipun jumlah mereka lebih satu tetapi kepandaian kedua penyerangnya menang jauh diatas. Dan gerakan-gerakan pedang kedua orang itu amat cepat serta serangan-serangan yang dilancarkan bergelombang menindih dengan gencar.

- Menyerahlah ! Kalian tak akan menang menghadapi kami !



Seru dua orang itu. .



Tak terdengar jawaban. Ketiga utusan tak sudi menyerah begitu saja. Mereka tahu kuwajiban mereka amat penting. Tetapi napas ketiganya telah mulai terlihat memburu. Gerakan tempur mereka setelahnya berjalan beberapa saat terlihat melemah dan kacau.



Tak mengherankan, karena ketiga utusan tadi hanyalah prajurit-prajurit biasa Yang bertugas sebagai kurir dalam istana.



Pada suatu saat salah seorang diantaranya mengeluh ketika pundaknya terbabat pedang lawan. Dan sebelum ia sempat menghindar pula. Pedang lawan menyayat pahanya dan darah membasahi luka luka itu.

- Kau mundur dulu !



Kawannya memperingatkan.



Namun sebuah babatan yang lebih cepat berkelebat hingga yang baru saja berseru itupun terpaksa menutup mulut karena pahanya juga menjadi sasaran senjata lawan, sekaligus kudanya meringkik keras karena perutnya tergores oleh serangan senjata itu pula.



- Menyerahlah, kalian tak akan mampu melawan kami !



Kata Penyerang penyerangnya. Dan kedua semakin memperhebat serangan tak mau lagi memberi kesempatan utusan tadi melakukan serangan balasan. Hingga kini keduanya hanya mampu bertahan.



Dua orang telah terluka. Tinggal seorang masih belum tersentuh senjata.



Namun yang satu inipun terlihat mulai kepayahan benar. Hatinya di liputi kecemasan. Maka ia mulai berpikir untuk melarikan diri. Bukan takut mati diujung senjata lawan. Tetapi ia harus menyampaikan perintah Raden Trenggana pada Tumenggung Santa Guna. Bagaimanapun caranya perintah itu harus ia sampaikan. Sebab hari penobatan tinggal dua hari lagi. Maka diam-diam ia mengatur siasat. Segera ia majukan kuda dan sambil melindungi dirinya mendekati kawan-kawannya yang masih bertahan mati-matian dan berkata :



- Kalau kita memang tak mampu melawan, menyerahlah kawan. Biar bangsat itu senang dan . . . . . .



- Trang!



Sebelum habis perkataannya pedangnya terlepas oleh babatan senjata lawannya.



Dua orang kawannya kaget mendengar kata-kata itu. Tak mungkin mereka harus menyerah. Tetapi ketika mereka melirik kawannya itu memberi tanda dengan kedipan mata. Maka tahulah apa maksud kawan itu. Merekapun siap melakukan perintah tadi.



Dalam pada itu seorang yang masih belum terluka dan kehilangan pedangnya itu tiba-tiba maju dan dengan dada terbuka ia menubruk lawan.



Tentu saja perbuatan itu tidak diduga sedikitpun oleh dua lawannya. Mereka tak menyangka utusan itu akan berlaku nekad bunuh diri. Sebab dengan dada terbuka ia pasangkan untuk dicacah oleh senjata lawan. Maka karena terkejut, kedua penyerang menjadi raguragu. Ketika pedang telah terlanjur berkelebat, senjata itu digerakkan sedikit miring dan dada yang terbuka itupun tak dapat dihindarkan lagi termakan senjata panjang lawan dan orangnya menjerit keras untuk kemudian jatuh terbanting dari atas kudanya tertelungkup tak bergerak lagi.



Dua kawannya kaget, mereka menjadi gelisah. Namun kedua penyerangnya bergerak cepat. Keduanya melancarkan serangan mematikan, dan tiba-tiba dua penyerangnya meloncat hampir bersamaan menerkam dua orang utusan itu hingga mereka jatuh bergulingan dari atas punggung kuda. Lalu dengan sigap dua utusan tadi diringkus untuk kemudian tubuh mereka ditelikung oleh tali tambang yang telah mereka bawa sebelumnya. Dua orang utusan itu dengan luka-lukanya tak berdaya sehingga ketika tubuh mereka diikatkan pada sebatang pohon keduanya tak melawan pula. Lalu ketika salah seorang diantara penyerangnya merobek baju dan mengambil surat perintah dari Raja Demak mereka tak lagi dapat mencegah.



Kedua penyerang tadi menyeringai ketika mengetahui isi gulungan berisi perintah Raden Trenggana yang memerintahkan Tumenggung Santa Guna agar membawa kembali tentaranya ke Kotaraja.



- Benar dugaan kita.



Kata salah seorang penyerang itu. Lalu setelahnya bersepakat, dua orang itu meloncat keatas kudanya dan mengaburkan binatang itu dengan cepat meninggalkan utusan-utusan yang terikat tak berdaya.



- Mengapa tidak kau habisi saja nyawa kedua orang itu? --



Tanya salah seorang diantara mereka.



- Tak dibunuhpun mereka tak lagi mampu pergi. Dan sebentar lagipun mereka akan menjadi mayat. Seorang telah tewas dan dua orang itu akan segera mampus pula. Sudahlah! -



- Lalu bagaimana kita sekarang? -



- Beritahu Tuanku Rangga Permana secepatnya. Kita berhasil baik kali ini. Sampai hari penobatan nanti Tumenggung Santa Guna tak akan mungkin datang ke Demak. Dan itu memberi kesempatan Tuanku Rangga Permana untuk mengirim tentara kita. Mereka akan menyamar sebagai prajurit Demak yang ada di perkemahan itu.



Kawannya menganggukkan kepala tanda mengerti.



- Eh, apakah kawan-kawan kita seluruhnya telah diberitahukan hal ini? ,_



- Mereka rata-rata telah menerima perintah rahasia dan siap menghadapi hari penobatan itu. Bukankah sejak hari-hari belakangan ini kawan-kawan kita yang telah menyusup di Kotaraja berhasil

memecah belah orang-orang Demak dan menimbulkan keributan? Pendeknya usaha kita berhasil baik. Kelak jika hari penobatan tiba, kawan-kawan kita yang ada di dalam kota dan disudut-sudut kota Demak akan bergerak. Sedang tentara samaran yang mengaku sebagai prajurit Tumenggung Santa Guna akan berada dibangsal. Saat itu Rangga Permana akan berada di dekat Trenggana.



Kawannya mengangguk pula.



- Kau jangan lupa.



Kata kawannya pula.



- Peringatkan kawan lain jika masuk Demak harus mengenakan tanda benang lawe kuning itu pada pergelangan tangan kirinya. Agar mudah membedakan diantara prajurit Demak sendiri. _



Keduanya segera tertawa pula. Hatinya girang berhasil menyelesaikan kuwajiban itu. Ada harapan akan mendapat hadiah, atau bahkan akan segera naik pangkat mereka.



Dilarikannya kuda-kuda mereka semakin cepat seraya membawa gulungan surat perintah untuk Tumenggung Santa Guna yang mereka rampas tadi.



Sementara itu salah seorang utusan yang tertelungkup tadi tiba tiba bangkit. Ia tersenyum. Sesungguhnya ketika ia tadi diserang sengaja menubrukkan dada pada pedang lawannya, ia hanya berpura-pura. Namun demikian ia telah mempertaruhkan jiwanya. Untung-untungan ia berbuat demikian, sebab jika lawan benar-benar menusukkan senjata tentulah jiwanya akan melayang. Tetapi untunglah lawan tadi menjadi ragu-ragu hingga serangan senjata itu hanya berhasil menggores kulit dadanya lalu ia berpura-pura jatuh terbanting dan tak bergerak pula. Baru setelah merasa yakin lawan-lawannya meninggalkan tempat itu ia bangkit, lalu ditolongnya dua kawannya yang terluka diikat pada batang pohon itu.



- Kita harus secepatnya meninggalkan tempat ini. -Katanya



- Biar mereka berhasil merampas surat perintah itu, kita harus segera memberitahu gusti Tumenggung Santa Guna.



Dua kawannya tidak menjawab. Mereka masih lemah dan akibat luka-lukanya mereka tak lagi dapat berjalan dengan baik. Hanya berkat semangatnya yang tak pernah padam sajalah membuat ketiga orang utusan itu meneruskan perjalanan yang tidak lama lagi sudah mencapai tempat tujuan.

Pada saat tadi ketika utusan tadi dengan susah payah melanjutkan perjalanan, Sentanu tengah menghadap Raden Trenggana diistana.



- Tentunya kau mengetahuinya. -

Kata Raden Trenggana.



- Saat hari penobatan semakin dekat, pastilah keadaan akan semakin terlihat panas. Tidak mustahil hari itu akan terjadi keributan. Aku telah merasakan hal itu Sentanu. Seakan ada yang berbisik dihatiku bahwa sesuatu yang hebat akan terjadi. Oleh karena itulah, sengaja aku memanggilmu. Kau bertiga dengan saudaramu aku perintahkan untuk melindungi istana pada saat penobatan itu.



Sentanu menganggukkan kepala.



- Hamba sekalian tentu siap Tuanku.



Jawabnya.



- Ya, -



Sahut Raden Trengggana.



- Tetapi saudaramu itu, tentu saja mereka harus memperlihatkan kemampuannya dalam tata tempur yang baik. Aku telah menyaksikan kemampuanmu, tetapi mereka berdua, aku masih belum dapat menjajagi. Karena itu perintahkan mereka esok pagi keluar dapg istana. Kita keluar berempat kehutan kecil ditimur kota untuk berlatih dengan mereka. -



Sentanu kaget. Namun segera dapat menangkap maksud Raden Trenggana. Raja Demak itu ingin menguji kepandaian Pamasa dan Wijaya.



Diam-diam hatinya berdebar girang. Sebab kepercayaan yang dilimpahkan oleh Raden Trenggana ternyata sangat besar.



- Hanya berempat Tuanku?



Tanyanya.



- Berempat cukup. Jangan membuat perhatian orang pada kita. Saat seperti ini bukan waktunya untuk menguji calon pengawal istana. Maka esok kita keluar secara diam-diam dengan 'menyamar. Akupun akan berlaku sebagai rakyat biasa agar tak menimbulkan kecurigaan pada siapapun. Dan kau ingat Sentanu, pada waktu yang demikian, keselamatan seorang Raja amat terancam. Sebab tidak mustahil banyak musuh mengintai. Oleh karenanya akan lebih leluasa dan selamatlah jika aku berada diluar istana dengan menyamar sebagai rakyat kebanyakan. Nah kau bersiap dan beritahukan kedua saudaramu. -



sentanu menganggukkan kepala dan minta diri mundur dari hadapan Raja Demak itu.



- Apa perintah Tuanku Trenggana kang Sentanu? -



Tanya Wijaya ketika melihat Sentanu muncul dari dalam istana. Kedua saudara itu semenjak tadi telah menunggu diluar regol ketika Sentanu dipanggil menghadap.




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


- Kita bersiap melakukan sesuatu. -



Jawab Sentanu.

- Esok pagi kalian mengikuti Tuanku Trenggana ke hutan kecil ditimur itu. -



- He, mau apa kita kesana?



Bertanya Pamasa dengan heran.



- Ah, kalian mengapa jadi bodoh. Bukankah Tuanku Trenggana belum mengenal kalian? Tentu saja Tuanku ingin menyaksikan kemampuan kalian berdua. Sebab harapan untuk kita adalah menjadi pengawal istana.



Hampir bersorak kedua saudara itu menyatakan girangnya.



- Berapa orang penguji kita kang? --



- Tak banyak, satu orang! _



- Ah tidak berat. Satu orang akan dapat kita layani dengan baik!



Seru Wijaya girang.



- Jangan. takabur. --



Tukas Sentanu.

- Kalian jangan takabur dan merasa diri terlalu berlebih. Sebab dengan memelihara perasaan itu malah akan melemahkan kita dan mengurangi kewaspadaan. Dan apakah kau tahu siapa penguji itu? -_



- Ya, tentu saja kepala pengawal istana dalam yang terkenal itu!



- Ah kau keliru! Justru Tuanku Trenggana sendirilah yang akan menguji kemampuan kalian dalam ulah kanuragan dan aji jaya kawijayan.



- He,! Tuanku Trenggana sendiri?! -



Pamasa dan Wijaya berseru kaget hampir benbareng. Sentanu mengangguk seraya tersenyum.



- Sudahlah. Kalian bersiap baik-baik. Perlihatkan keperwiraan dan kejujuran dalam suatu tata tempur yang baik. Tuanku Trenggana akan dapat memberikan penilaian yang adil. -



Tak tahulah Sentanu bahwa kedua saudaranya tiba-tiba jadi kebat kebit hatinya. Perasaan mereka menjadi ciut mendengar Raja Demak itu sendiri yang akan menguji kepandaian mereka. Namun keduanya tak berkata pula dan mereka bertiga segera masuk kegedung kediaman yang disediakan untuk mereka.



Tentu saja ketiga anak muda itu merasa gembira. Semula mereka diikutkan oleh Tumenggung Santa Guna dalam barisan tentara yang dikirim ke Demak kembali. Tetapi tak diduga ketiganya telah bertemu dengan Raden Trenggana hingga kini nasib baik membawa mereka semakin dekat dengan Raja Demak itu.



Pagi hari setelah subuh mulai menipis, terlihatlah empat orang keluar dari regol belakang istana lalu dengan bergegas keempat orang itu berjalan meninggalkan istana ketimur. Dan ketika seorang penjaga mengetahui siapa yang lewat, dengan kaget memberi hormat lalu perintah perintah dan pesan yang diucapkan orang itu diiyakan penjaga itu membalikkan tubuh kembali ke tempatnya berjaga. Lalu empat orang tadi melanjutkan langkahnya.



- Kita baru akan kembali setelahnya matahari terbenam. -



Kata salah seorang diantara empat orang itu yang tak lain adalah Raden Trenggana.



Mudah ditebak. Tiga orang yang lain adalah Sentanu dengan Pamasa dan Wijaya. Mereka menyahut dan menyatakan akan taat perintah.



- Jangan perlihatkan kalian sebagai prajurit. Kita bersikap biasa dan ingat. Jangan bertindak melihat sesuatu kejadian. Sebab dengan begitu akan membongkar siapa kita. Dan akan berbahaya sekali kalau musuh mengetahui aku berada diluar istana. Kecuali terpaksa, kita baru akan bertindak terang terangan. --



Ketiga orang muda itu kembali mengiyakan. Dan mereka terus berjalan menyusuri jalan-jalan sunyi yang masih belum banyak dilalui orang.



Sengaja Raden Trenggana memilih jalan-jalan sunyi agar sebelum jauh dari istana tak ada yang mencurigai mereka yang kini mengenakan pakaian sebagai rakyat kebanyakan.



Ketika matahari mulai memancarkan semburat kemerah merahan diarah timur, keempat orang itu telah meninggalkan istana lebih jauh lagi. Dan kini mereka berjalan melalui jalan yang telah mulai banyak dilewati orang-orang yang menuju ke kota. Terdengar percakapan dipagi hari itu. Rakyat ternyata masih meperbincangkan hal penobatan di istana.



- Kita harus menyaksikan. Bukankah kau belum pernah melihat Tuanku Trenggana?



Kata salah seorang diantara mereka.



- Ya, tentu saja. Tapi aku takut. Aku mendengar di kota banyak terdapat orang jahat. Malah belum lama ini aku mendengar cerita kawan kita disebrang dusun itu, dikota terjadi perkelahian dan banyak yang mati.



Sahut temannya.



- Ah tak apa, kalau kita-tidak memulai, tentu tak akan ada yang mengganggu.



Raden Trenggana yang mendengar percakapan itu tak urung merasa bersedih juga. Kalau rakyat telah mulai dijangkiti perasaan takut dan tak tentram, maka haruslah hal itu dihilangkan. Raden Trenggana menginginkan rakyat jangan takut bepergian kemanapun, maka salah satu upaya yang sedang ditempuh adalah mengembalikan ketentraman yang terlihat mulai terancam.



Kepergian Raden Trenggana berempat itu selain dengan maksud ingin mengetahui kemampuan Pamasa dan Wijaya, sebenarnya mempunyai rencana yang lebih dari itu. Sudah barang tentu sebagai seorang yang mengerti baik dalam ulah kanuragan, Raja Demak itu telah dapat mengukur seberapa tinggi kemampuan dua anak muda itu. Dengan hanya melihat gerak gerik dan sinar mata sudah dapat diduga kemampuan seseorang. Namun karena tujuan yang sesungguhnya adalah ingin mengetahui keadaan rakyat seraya menyelidiki sesuatu yang selama ini dirasakan tidak sewajarnya. Raja Demak itu merasa yakin ada musuh yang tengah memancing serta menyusupkan rasa permusuhan dalam hati rakyat Demak satu dengan yang lainnya. Maka sekalipun Raden Trenggana telah menyebar banyak prajurit sandi, namun ia masih ingin mengetahui dengan mata kepala sendiri apa yang sesungguhnya tengah dirasakan oleh rakyat dan apa yang selalu menjadi sebab timbulnya keributan dan permusuhan. Karena sebagai seorang yang cukup banyak makan pengalaman Raden Trenggana dapat menduga ada musuh tengah melancarkan api permusuhan dihati rakyat. Bahkan tak mustahil nyawanya sebagai seorang penguasa di Demak tengah terancam. Maka justru karena tahu kemampuan Sentanu dengan dua saudaranya dapat di andalkan, Raden Trenggana memilih mereka sebagai kawan sekaligus menjadikan pengawal dalam perjalanan itu.



Pada saat Raden Trenggana tengah berjalan itu, tiba-tiba dari arah muka memanggil tiga orang perempuan setengah tua dan seorang lelaki. Mereka adalah pedagang sayur yang tengah menuju ke kota.



- Kisanak mau kemana?



Tanya perempuan itu.



- Ah, kami hanya akan menjenguk kerabat di sebrang padukuhan ditimur itu. -



Jawab Raden Trenggana.



- Ya, kalau demikian, kami sarankan kalian jangan melintasi hutan dimuka itu. Berbeloklah melewati jalan yang kami tempuh tadi, kekanan.

- Ada apakah di hutan itu?



Bertanya Raden Trenggana heran.



- 0, kisanak tentunya orang jauh, belum hapal dengan tempat ini. Dihutan itu seringkali terjadi pembegalan. Kawan-kawan kami telah banyak yang menjadi korban kejahatan begal-begal itu. Bahkan ada yang terbunuh oleh mereka.



Raden Trenggana. berpandangan dengan orang-orangnya.



- 0, baiklah. -



Jawabnya kemudian.



- Terimakasih atas peringatan itu. Kami akan memperhatikan saran itu. Terimakasih.



- Ya, berhati-hatilah kisanak! -



Kata orang-orang itu pula lalu mereka melanjutkan perjalanan pula.



- Kau dengar Sentanu? Bagaimana pendapat kalian?



Tanya Raja Demak itu kemudian.



- Menurut hemat hamba yang bodoh Tuanku, kita ikuti saja petunjuk orang tadi. Tak usah Tuanku melewati jalan itu. Tetapi kita melingkar dan mendatangi dari arah belakang mereka. Lalu kita lihat apa yang akan mereka lakukan. Lagi pula. kalau benar ada

begal-begal itu disana, tentulah tak hanya ditempat itu mereka ber diam. Sebab kalau hanya disatu tempat mereka sembunyi dan rakyat telah hapal jalan, mereka tak akan peroleh mangsa. Tak ada yang melalui jalan itu.



Raden Trenggana menimbang sejenak, baru kemudian berkata:



- Kau benar. Mari kita melingkari jalan hutan itu dan kita lihat apa yang akan mereka lakukan terhadap kita. Kalau benar ada selayaknya mereka dihukum mengganggu ketentraman rakyat.



Dengan adanya berita itu Raden Trenggana semakin merasa yakin bahwa diluar istana rakyat masih mengalami banyak penderitaan dan kekurangan.



Pertentangan dan permusuhan ternyata masih banyak terjadi dimana-mana. Lebih-lebih benturan yang selalu terjadi antara rakyat yang memeluk agama Hindu dengan pengikut-pengikut Islam.



Keempat orang itu melarikan kudanya melalui jalan hutan dan melingkari jalan yang ditunjukkan oleh orang-orang pedusunan tadi. Di jalan itu terlihat kesunyian pula. Karena jalan yang tak biasa dilalui oleh manusia. Akan tetapi kalau saja mereka telah menempuh beberapa tikungan lagi akan tibalah dimana sedang terjadi sesuatu yang hebat.



Pada saat empat orang itu masih melarikan kudanya dipagi yang masih terasa dingin oleh kabut, tiba-tiba mereka terkejut ketika mendadak berkelebat kearah mereka dua bayangan hitam dan langsung bayangan itu menghadang mereka dengan sikap mengancam.



Raden Trenggana bergerak cepat, sebatang tombak panjang ia genggam erat-erat siap menghadapi lawan. Akan tetapi Sentanu dengan dua saudaranya tidak sekaget itu. Sebab yang muncul dihadapan mereka adalah dua sosok harimau loreng sebesar anak sapi yang kini menghadang dimuka dengan sikap mengancam seraya mengeluarkan bunyi geraman memusuhi.



Pandangan Sentanu yang tajam segera mengenal siapa mereka.Maka dengan sigap ia loncat turun dari punggung kudanya dan menegur seraya tertawa :





- Eh, kalian membikin kami terkejut saja. Dimana Ken Rati?



Kedua harimau tadi hampir saja menubruk kearah Sentanu ketika loncat turun tadi. Tetapi ketika anak muda itu menegur demikian, binatang hutan itu tak jadi mlakukan niatnya,kedua nya segera mengenal siapa yang ada didepannya. Maka keduanya maju dan mendekam, lalu menggerang perlahan menyatakan kegembiraannya. Saat itulah Wijaya dan Pamasapun telah berloncatan turun. Mendekati mereka.



Raden Trenggana tak habis herannya. Kalau tadi agak terkejut melihat munculnya harimau yang tiba-tiba, sekarang kekagetan itu berganti menjadi rasa kagum ketika Sentanu mengusap-usap kepala dua raja hutan itu. Lalu Raden Trenggana mengikuti loncat turun mendekat.



- Tuanku, mereka adalah kawan-kawan hamba. -



Kata Sentanu. Lalu ia tuturkan harimau milik Ken Rati yang di temukan di perkemahan ketika mengganggu prajurit yang tengah berada bersama Tumenggung Santa Guna. Raden Trenggana mengangguk2.



- Dimana sekarang gadis itu? -



Tanyanya. Tetapi Sentanu kembali mengulang pertanyaan itu pada kedua binatang hutan yang hanya menjawab sambil menggerang dan menggelengkan kepala.



Akan tetapi harimau jantan tadi tiba-tiba loncat dan kabur berlari kemuka. Tentu saja si betinapun loncat dan mengikuti berlari dengan mengaum panjang seakan marah mencium sesuatu.



- Kita ikuti mereka tuanku! -



Kata Sentanu. Dan Raden Trenggana tanpa menjawab telah meloncat kepunggung kudanya lalu melarikan binatang itu menyusuri kedua harimau tadi. Demikian pula Sentanu bertiga saudaranya mengikuti dan mereka kaburkan kudanya kearah larinya raja hutan tadi.



Pada saat itu matahari telah mulai terlihat bersinar lebih terang. Cahayanya menerobos dedaunan dihutan yang tidak terlalu lebat itu hingga sekelilingnya tampak terang dan menyegarkan.



Tak lama mereka tiba dimulut hutan, dan sewaktu hampir memasuki sebuah tanah lapang, pandangan mereka terbentur pada suatu tempat yang menimbulkan rasa heran dan kaget. Disana terlihat banyak gubug dan rumah-rumah tinggal.

- Sebuah perkampungan kecil! -



Desis Pamasa. Tetapi yang menarik adalah tidak jauh ditempat itu terlihat seorang gadis tengah mengadu senjata dengan lima orang laki-laki yang nampak garang.



Kepandaian lima orang itu terlihat lumayan dan mereka dengan gerakan-gerakan mengagumkan memainkan senjata mengurung sigadis yang juga menggunakan sepasang pedang. Hanya senjata si gadis terlihat lebih pendek dibanding dengan pedang ditangan kelima orang itu.


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo




Beberapa gerakan, Raden Trenggana dengan ketiga pengawalnya telah dapat mengukur bahwa kepandaian si gadis menang jauh dibanding para pengeroyoknya. Dan rupanya pertempuran itu telah berjalan lama, sebab nampak kelima orang tadi telah berkeringat, meskipun hari masih pagi dan udara terasa dingin. Sedang gadis itu tak sedikitpun terlihat terdesak, bahkan gerakan pedangnya seakan hanya main-main dan sembarangan .



- Kalian benar sombong, -



Kata sigadis seraya masih mainkan senjatanya melayani kelima orang itu.



- Masakan dengan kepandaian yang sedemikian kalian ingin memusuhi Demak. Bukankah terlalu gegabah dan bodoh? -



- Diam!



Bentak salah seorang pengeroyoknya. Tetapi saat itulah tiba-tiba harimau jantan yang telah berada ditempat itu lantas mengaum keras dan menyerang kelima orang itu. Hingga mereka kaget melihat munculnya harimau hutan yang tiba-tiba saja telah berada ditempat itu. Dan harimau betina melihat jantannya menyerang, tanpa diperintah pula bergerak dan ikut menyerang orang-orang itu. Maka terjadilah kemudian pertempuran antara kelima orang itu dengan binatang hutan yang nampak garang dan menyeramkan.



Sepasang raja hutan itu tentu saja akan dengan mudah mendesak kelima lawannya yang kini berserabutan dan gerakan pedangnya menjadi kacau. Sedang si gadis telah semenjak tadi loncat mundur dan kini ia memperhatikan perkelahian kelima orang itu. Namun agaknya si gadis masih belum melihat munculnya Raden Trenggana dengan ketiga anak muda tadi. Bahkan dengan gembira gadis itu berseru seraya mengejek :



- Bagus, eh! Jangan kau bunuh orang-orang itu! Candra Muki!



Dalam waktu singkat kelima orang tadi telah berloncatan dan ketika merasa bahwa lawan memang tak terkalahkan, kelima orang itu tanpa berunding tiba tiba berloncatan dan kabur melarikan diri. Namun harimau jantan menggeram hebat dan sekali loncat dua orang yang tengah berusaha melarikan diri menjerit keras ketika punggung mereka kena diterkam binatang itu, sedang sewaktu si betina hampir loncat pula, sekonyong-konyong berkelebat sebuah bayangan dan sebuah serangan dahsyat menghantam harimau betina hingga raja hutan itu terlempar beberapa langkah dan bergulingan.



Melihat itu si gadis menjadi kaget. Baru sadar ia kalau ditempat itu ada orang. Namun ia menjadi marah lalu dengan gerakan kilat iapun meloncat dan menghadang orang yang baru saja menyerang harimau betina.



- Kau! Awas jaga kepalamu!



Seru si gadis yang bukan lain adalah Ken Rati menyerang dengan pedangnya bertubi-tubi.



Orang itu yang bukan lain adalah Raden Trenggana kaget juga. Gerakan si gadis yang tak terduga ternyata amat kuat dan cepat. Maka ia loncat ketika tikaman senjata itu hampir saja menabas kepalanya.



Raden Trenggana yang timbul rasa tak teganya melihat kedua harimau hutan menyerang kelima orang yang hampir kehabisan tenaga ketika melihat dua orang telah roboh diterkam si jantan, turun tangan menolong sewaktu melihat betinanya juga menerkam. Namun ia tak menduga kini sigadis malah menyerangnya. Dan gerakan gadis itu cukup kuat, bahkan serangan-serangannya amat cepat dan terasa aneh gerakan pedang yang kini mengurung.



Sentanu yang sejak semula telah mengenal Ken Rati jadi kaget melihat kejadian itu. Maka ia segera berseru keras :



- He, Rati jangan lakukan itu! Hentikan seranganmu. Kau tengah berhadapan dengan Tuanku Trenggana. Hentikan!



Ken Rani baru sadar sewaktu ia melirik, mengetahui yang berseru adalah Sentanu yang telah dikenalnya. Bahkan ia menjadi terkejut ketika mendengar orang yang tengah diserang adalah Raden

Trenggana. Maka dengan sebat ia loncat mundur. Lalu dengan pandang tajam ia menatap lawannya, lalu bergantian memandang Sentanu.



- Benarkah kata-katamu? -



Tanya Ken Rati.



- Apakah aku harus berbohong padamu?



Jawab Sentanu.



Ken Rati menyarungkan pedangnya, lalu membungkuk memberi hormat.



- Ampun tuanku jika benar tuanku adalah Raden Trenggana. Hamba sungguh tak memasang mata. -



Raden Trenggana tertawa.



- Kau sungguh hebat. Aku kagum padamu. -



Katanya. Tetapi Ken Rati tak berkata lagi. Ia memanggil kedua harimaunya. Sementara tiga orang lawannya telah melarikan diri. Hanya dua orang yang terlihat tak mampu bangkit akibat luka-lukanya oleh serangan harimau jantan tadi. . .



Sentanu segera menuturkan pada Raden Trenggana siapa Ken Rati yang telah ia kenal.



- Mengapa terjadi perkelahian? Bagaimana kau bisa menghadapi mereka seorang diri? -



Bertanya Raden Trenggana setelahnya mengerti siapa si gadis.



- Tuanku, mereka seharusnya tuanku bawa ke kotaraja. Hamba hanya kebetulan saja bertemu kelima orang disini. Semula hamba hanya ingin beristirahat. Dan ketika kedua binatang piaraan hamba itu tengah mencari makan di hutan., muncul lima orang itu dan mereka langsung menyerang hamba dengan maksud buruk. Bahkan ketika hamba mengatakan akan memberitahukan kejahatan mereka ada diantaranya mengatakan mereka justru sedang berusaha membunuh tuanku. Nah, kini tuanku boleh bertanya. Mereka adalah orang-orang yang tengah berusaha mmghancurkan Demak.



Raden Trenggana terdiam. Maka Sentanu bergerak dan sekali loncat ia telah menerkam salah seorang diantaranya lalu diseretnya orang itu kehadapan Raden Trenggana. Orang itu jatuh terduduk dengan muka menahan sakit akibat luka-lukanya.



Raja Demak itu sekilas dapat menduga orang yang kini ada di hadapannya adalah benar seorang yang berniat melawan.



- Panggil satunya!



Perintahnya kemudian.



Tanpa menunggu perintah kedua kali, Pamasa telah loncat dan menyeret kawannya lalu didorongnya orang itu kedekat Raden Trenggana pula.



- Kalian jawab dengan jujur.



Kata Raden Trenggana kemudian.



- Benarkah kata gadis itu, kalian memusuhi Demak?



Dua orang itu hampir berbareng tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut hingga keningnya mencium tanah dan seraya menangis berkata



- Ampunilah hamba utanku. Benar kata-kata tuanku. Tetapi hamba hanya orang-orang yang sekedar menerima perintah . . . . jadi . . . . . ampuni kami . . . . . kami akan kembali tanpa melawan pula. ....ampun.....tuanku.....



Raden Trenggana tertawa. Lalu:

- Kalian dari Majapahit ? -



- Ya, ya, hamba sekalian dari Majapahit. -



- Apa tugas kalian berada di tempat ini?



- Kuwajiban hamba menghubungi kawan-kawan yang ada di sini dan menghubungi Majapahit melaporkan keadaan mereka. -



- Hmm. . . . . .jadi kawan kalian banyak yang telah berada di Demak? _



- O, apakah kalau hamba mengatakan yang sebenarnya tuanku tak akan menjatuhkan hukuman pada hamba? -



Bertanya salah seorang diantara mereka.



- Katakanlah! -



Kata Raden Trengganu.



Kedua orang itu saling berpandangan, salah seorang berkata :



- Kau ceritakan! -



- Jangan, kau saja katakan sesungguhnya!



Jawab kawannya.



Keduanya nampak ragu-ragu. Tetapi ketika pandangan mereka beradu dengan sorot mata Raden Trenggana, keduanya tertunduk dengan gelisah.



- Bagaimana? Kalian katakan lekas! Kami tak ada waktu lagi.



- Baik tuanku, sesungguhnya ratusan kawan hamba telah menyusup ke Demak ini. Bahkan banyak diantaranya telah memasuki sudut-sudut penting di kota. Tidak sedikit tuanku, dan . . . . .



- o ya, -



Tukas Raden Trenggana.



- Mereka bermaksud mengepung Demak secara diam-diam dan menyerang dari dalam?



- Ya, lanjutkan bagaimana rencana kalian setelahnya memasuki kota! -



- Tentu saja kawan-kawan hamba adalah prajurit pilihan dan mereka menurut laporan prajurit sandi telah hampir berada ditiap sudut jalan penting dan pada hari penobatan tuanku kawan-kawan hamba telah akan berada didekat tuanku. Maka disanalah tuanku akan dibunuh. -



Raden Trenggana terdiam. Agak terkejut juga hatinya. Tak menduga lawan akan melakukan siasat demikian. Tetapi tak terlalu mengherankan Sebab pada hari penobatan itu hampir seluruh rakyat akan diperbolehkan mendekati Raja. Dan saat itulah musuh bisa saja melakukan serangan.



- Oh ya, kalian cukup berbaik hati. Tetapi tentunya kalian juga tahu bagaimana cara kalian membedakan antara kawan-kawanmu dari Majapahit dengan rakyat Demak sendiri? _



Hampir berbareng kedua orang itu mengangkat lengan kiri mereka dan berkata :



- Ini tuanku! Kawan-kawan seluruhnya mengenakan ciri gelang lawe berwarna kuning.



Raden Trenggana menganggukkan kepala dan tersenyum.



- Bagus kalian memang berbudi.



Katanya. Dan kedua orang itu girang. Timbul harapan mereka akan dilepas, bahkan bisa jadi akan menerima hadiah.



- Nah, kalian berdirilah" !



Perintah Raden Trenggana kemudian.



Kedua orang itu cepat berdiri. Sekalipun susah payah.



- Terimakasih tuanku, terimakasih hamba sekalian telah terbebas. Bolehkah hamba pergi sekarang?



Kata mereka seraya mengangguk-anggukkan kepala.



Akan tetapi bagai kilat Raden Trenggana tiba-tiba saja telah mencabut keris pusakanya dan hanya dengan dua kali gerakan senjata itu menghunjam diulu hati kedua orang itu. Dan sekalipun keduanya masih tergolong mampu menghindar, tetapi karena cepatnya gerakan Raden Trenggana dan lagi mereka tak menduga hal itu maka tanpa dapat dicegah kedua orang itu roboh hampir berbareng oleh serangan Raden Trenggana dan bergerak-gerak sebentar untuk kemudian menghembuskan napasnya ditempat itu.




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Ken Rati, bahkan Sentanu dengan saudaranya kaget dan mereka tak menduga sedikitpun Raden Trenggana akan melakukan itu. Tetapi tak satupun bergerak. Baru sesudahnya Raden Trenggana menyarungkan kembali keris itu, Sentanu maju dan berkata :



- Tuanku bunuh mereka? Bukankah akan lebih berguna seandainya mereka dihidupi?



Raden Trenggana menggelengkan kepala.



- Kau keliru Sentanu.



Jawabnya.



- Aku tak senang dan kebencian timbul terhadap orang-orang yang bersikap pengecut. Mereka minta-minta ampun. Bahkan tak malu-malu berkhianat terhadap Majapahit. Sekalipun itu menguntungkan kita, tetapi berkhianat aku tidak menyukainya. Maka lebih baik orang-orang seperti mereka dihabisi jiwanya. Kalau tadi mereka bungkam dan tidak membukakan rahasia itu dan melawan kita, aku malah akan memberinya ampun dan melepaskan. Kita harus dapat menghargai orang orang yang memiliki keberanian dan sikap jantan, Sentanu. Dan kau ingat kalau saja mereka kita hidupi dan kita pergunakan. Tidak mustahil mereka juga akan berkhianat terhadap kita. -



Sentanu menganggukkan kepala. Ia mengerti sekarang mengapa kedua orang itu harus tewas diujung senjata Raden Trenggana.



- Nah, kini kita harus waspada. Kita perhatikan siapa-siapa yang mengenakan ciri dengan gelang lawe kuning itu.



Tiba-tiba Raden Trenggana teringat sesuatu.



- Eh kemana gadis itu? _



Sentanu baru ingat Ken Rati, maka iapun menoleh kekanan kiri, tetapi si gadis telah tak nampak batang hidungnya bersama kedua ekor harimau pengikutnya.



- Ia pergi sejak tadi tuanku. -



Berkata Wijaya.



- Kalian tidak mencegahnya. Aku kagum dengannya.



- Dicegahpun tak akan dapat tuanku.



Jawab Sentanu. Lalu ia ceritakan perihal si gadis yang pernah menimbulkan kegemparan dalam perkemahan Prajurit Demak. Tapi sementara itu diam-diam Sentanu heran. Ken Rati ternyata diluar dugaannya. Gadis itu tidak selemah yang ia duga. Bahkan ia merasa kepandaian gadis itu berada lebih tinggi diatasnya. Jelas tadi ia melihat gerak-geriknya sewaktu menghadapi para pengeroyoknya. Tetapi ia tak berkata sesuatu.



- Kita rawat mereka.



Kata Raden Trenggana menunjuk mayat kedua orang tadi.



Sesudah itu Raden Trenggana memerintahkan melanjutkan perjalanan.



- Kemana tujuan kita tuanku?



Bertanya Sentanu.



- Kita akan menyaksikan keadaan ditengah rakyat. Kalian berhati hatilah. Agar kita tak diketahui mereka. Dan sekarang bukan saatnya menguji kalian lebih jauh. Kita lanjutkan saja dengan menyelidiki keadaan rakyat. Siapa tahu mereka dalam bahaya. -



Sentanu tak membantah pula. Mereka kemudian meninggalkan tempat itu.



Raden Trenggana melihat kehidupan ditengah rakyat Demak. Disana sini terlihat orang sibuk menyiapkan hari penobatan. Dan rakyat tetap terlihat girang. Tak sedikitpun terlihat ada kecemasan yang mengambang dalam wajah dan sinar mata mereka. sekalipun terjadi beberapa kali benturan senjata.



Namun, ketika Raden Trenggana memperhatikan dengan lebih teliti. Dimana-mana terlihat adanya orang-orang yang mengenakan gelang lawe berwarna kuning. Hampir ditiap sudut kota dan ditiap keramaian ada orang-orang semacam itu. Sukar membedakan mereka dengan orang Demak. Cara berpakaian, dan gerak-gerik mereka tak berbeda dengan yang lain. Ditengah pasar, dijalan dan ditiap tempat ada saja orang-orang itu. Dan tentu saja mereka menyembunyikan senjata-senjata dibalik baju, atau pada kantung-kantung yang mereka bawa.



Raden Trenggana banar2 kaget melihat kenyataan itu. Tak bisa dibayangkan jika tiba-tiba saja timbul perang. Rakyat tentulah akan kesulitan melawan orang orang itu. Mereka yang menyusup itu tentulah prajurit-prajurit pilihan. Sedang lawan mereka hanyalah rakyat kecil yang tidak mengerti tata tempur dengan baik. Maka sepanjang jalan Raja Demak itu tak banyak berkata. Demikian pula yang mengiringkannya. Dalam hati dan pikiran mereka berkecamuk gelisah dan khawatir.



- Ternyata Majapahit cukup cerdik Sentanu. -



Kata Raden Trenggana ketika berada ditempat sunyi. ...



- Mereka telah bergerak lebih cepat. Dan kini seakan Demak telah berada dalam tangan mereka. Dan rakyat tak menyadari ada yang sedang mengancam keselamatan mereka. -



- Apa rencana tuanku untuk menghadapi mereka? -



Bertanya anak muda itu.



- Tunggu kita tiba kembali di istana. Kita rundingkan dengan sesepuh dan para panglima. Sewaktu-waktu bisa meletus keributan dan sekali salah langkah kita, maka dalam sekejap Demak akan menjadi neraka dan lautan api serta banjir darah tak akan bisa dihindarkan.



Sentanu menganggukkan kepala. Ia dapat memahami perasaan Raden Trenggana. Ia sendiri menyaksikan ratusan orang-orang mengenakan benang lawe pada pergelangan tangannya ada diseluruh sudut kota Demak dan hampir ada ditiap jengkal tanah ketika itu.



Terlalu mengejutkan yang dilihat oleh Raden Trenggana. Munculnya orang-orang dengan gelang lawe itu memperlihatkan kecerdikan orang Majapahit. Dalam waktu singkat Demak rasanya telah hampir berada dalam genggaman lawan. Sejauh mata memandang diseluruh tlatah Demak, terlihat orang-orang itu. Rakyat tidak menyadarinya. Raden Trenggana tahu apa artinya itu. Maka tanpa banyak bertindak yang menimbulkan kecurigaan, Raden Trenggana perintahkan Sentanu dengan yang lain untuk kembali keistana.



- Berhati-hatilah. Jangan mereka sampai tahu siapa kita yang sebenarnya.



Sentanu menganggukkan kepala. Demikian pula Wijaya dan Pamasa.



- Tetapi bukankah tuanku berniat untuk menyaksikan kemampuan dua saudara hamba ini?



Bertanya Sentanu.



Namun Raja Demak itu hanya menggelengkan kepala.



- Aku sudah tahu siapa kalian. Tak perlu lagi dilakukan.



Dengan bergegas, mereka melarikan kudanya kembali menuju kota dan menjelang senja hari akan segera mencapai tujuan, untuk kemudian menyelinap diantara bangunan istana, tanpa banyak orang yang mengetahui.



Sentanu berdebar hatinya. Bukan ia tidak tahu apa yang tengah terjadi di lingkungan Rakyat Demak. Bencana menganga dihadapan mereka. Sewaktu-waktu ada tanda dari lawan, bisa dipastikan orang orang dengan gelang lawe itu akan bergerak dan menyerang rakyat yang tidak bersenjata. Maka bisa dibayangkan jika hal itu terjadi.



Dalam pada itu orang-orang Majapahit yang merampas surat perintah dari ketiga utusan Raden Trenggana yang hendak diberikan pada Tumenggung Santa Guna telah tiba disuatu tempat di Tlatah timur.



Saat itu terlihat tiga orang tengah bercakap. Sebuah gubug dipinggir hutan menjadi tempat mereka. Dan salah seorang diantaranya melihat dua orang itu, muncul, cepat berdiri.



- Bagaimana?



Tanyanya.



Dua orang itupun membungkuk memberi hormat, lalu salah seorang diantaranya berkata girang.



- Kita berhasil tuanku, kali ini prajurit Demak dapat kita kelabui. Trenggana memerintahkan menarik tentaranya yang masih berada dihutan Purwodadi. Tetapi kurir mereka kita selesaikan. Inilah surat perintah itu tuanku!



Seorang yang ada ditempat itu yang bukan lain adalah Rangga Permana bersinar mukanya. Ia terima gulungan surat perintah dari orang itu.



- Bagus!



Serunya.



- Dengan demikian Tumenggung Santa Guna tak akan pernah mengetahui adanya perintah ini. Sampai hari penobatan tentaranya tak akan kembali masuk Kota. Nah, kita akan dapat mengirim tentara kita. Menyamar sebagai prajurit Tumenggung itu dan.....ha....ha....ha.. .rencana kita ternyata berjalan sebagus ini.

Bagaimana pendapatmu Ki Ageng ?



Seorang tua yang ada ditempat itu berdehem kecil.



- Ah, anakmas jangan terlalu cepat bergirang. Trenggana bukan lagi anak kemarin sore. Sekalipun kita telah berhasil menyusupkan prajurit kesana. Selayaknya anakmas tetap berhati-hati.



- He, kau jangan membuat kita berkecil hati Ki Ageng! -



Desah Rangga Permana.Dan orang tua yang bernama Ki Ageng Semanding itu tertawa.



- Bukan, bukan maksudku berniat demikian. Coba anakmas tanyakan pendapat Madi Alit.



Rangga Permana terdiam. Namun Madi Alit yang ada ditempat itu tersenyum. Dalam hati membenarkan pendapat Ki Ageng Semanding,



Ternyatalah Madi Alit setelahnya bertemu Rangga Permana dan mengetahui rencana penyerangan tentara Demak ke Majapahit, bertindak cepat. Madi Alit kemudian memberikan pendapatnya menyusupkan orang-orang Majapahit ke kotaraja lawan. Madi Alitlah yang kemudian memulai memasukkan orang-orang Majapahit ke Demak, menyamar sebagai rakyat Demak. Dengan tanda pengenal gelang lawe berwarna kuning orang Majapahit itu akan dapat saling mengenal kawan sendiri.

Sementara itu pada hari penobatan, orang Majapahit akan sudah berada didekat Trenggana. Dan saat itulah Trenggana akan di serang dan istana akan dapat dihancurkan dengan diam-diam dan mendadak. _



- Bagaimana? -



Bertanya Rangga Permana.



Madi Alit tersenyum.



- Pendapat Ki Ageng ada benarnya. Namun kita telah cukup matang dengan persiapan ini. Secepatnya kita mintakan kawan-kawan lain. Mereka kita kirim dengan mengaku sebagai prajurit Demak yang ada di hutan Purwodadi.



Rangga Permana menganggukkan kepala.



- Ya, kali ini Demak akan jatuh. Setidak tidaknya kita dapat merobek Demak sebagian.



Katanya.



- Kita siapkan sekarang Ki Ageng? -'



- Aku siap anakmas -Kuwajiban pertama. -



Ketiga orang itu mengangguk senang. Lalu keluar dan perintah-perintah dilakukan.



Diam diam dalam hati Madi Alit berdebar juga. Ialah yang telah menyarankan Rangga Permana melakukan penyerangan ke Demak dengan cara demikian itu. Dan hatinya cukup merasa girang jika Trenggana akan dapat dipukul hancur. Dan tentu saja dengan munculnya Madi Alit menjadi kawan bagi Majapahit, menimbulkan kegirangan besar. Prabu Udhara yang mengandalkan kekuatan Majapahit terakhir pada Rangga Permana dan orang-orang yang masih bersedia membela Negri Hindu itu dapat melihat bahwa Madi Alit merupakan tenaga bantuan yang amat besar. Demak diperhitungkan akan segera terpukul oleh rencana mereka. Dan jika saja Trenggana dapat ditewaskan dalam penyerangan itu berarti Majapahit tak usah banyak mengecewakan tentaranya. Maka timbul rasa kagum pada Madi Alit yang telah berhasil menyusupkan orang-orangnya ke Demak. Bahkan menurut keterangan prajurit sandi yang selalu menyaksikan kemajuan orang-orang yang ada di Demak itu, menyatakan Demak masih belum menyadari bahaya dan kekuatan lawan. Maka satu impian membayangkan Demak akan robek oleh serangan Majapahit semakin jelas. Hanya dengan menggunakan sedikit tenaga, Demak akan terkejut tanpa sempat membela dirinya.



(Bersambung Jilid 8)



****









****




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Mencari Tombak Kiai Bungsu



Karya RS Rudhatan



Jilid 8



Cetakan Pertama 1976



Gambar Luar : Wid Ns



Gambar Dalam : Wid Ns



Penerbit : Muria



Yogyakarta



Hak Cipta dilindungi Undang Undang



*****



Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya



(https://m.facebook.com/Sing.aditya)



Juru Potret : Awie Dermawan



(https://m.facebook.com/awie.dermawan)



Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo



(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)



Back up file : Yons



(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)



(Team Kolektor E-Book)



(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)



*******



RADEN TRENGGANA girang ketika dua orang prajurit datang menghadap.



- Jadi kalian utusan Tumenggung Santa Guna?-



Dua orang prajurit itu mengangguk.



- Benar tuanku. Kini Gusti Tumenggung masih dalam persiapan untuk membawa prajurit tuanku kemari. Dan hamba berdua

diperintahkan memberitahu terlebih dahulu agar tuanku tidak menunggu terlalu lama.



- Bagus. Berapa orang kau bawa sekarang ini?



Bertanya

pula Raden Trenggana.



- Hamba baru membawa seratus kawan hamba. Kini mereka

masih berada di alun-alun menunggu perintah tuanku. _



- Ya, nah kau Pamasa dan Wijaya, kuserahkan prajurit itu

dibawah pimpinanmu. Kuharap mereka selekasnya berada di lingkungan tembok dalam istana. Manakala hari penobatan tiba, kawan-

kawanmu itu kuperintahkan berada di dalam lingkungan tembok

dalam yang menghubungkan istana dengan bangsal ini.-



Kedua orang prajurit itu menganggukkan kepala. Sedang Pamasa dan Wijaya menggamit mereka, diajaknya keluar menjemput

prajurit yang baru tiba.



- Perintahkan orang-orangmu untuk beristirahat di gandok

timur. -



Kata Wijaya.



- Tuanku Trenggana telah memerintahkan

mempersiapkan tempat itu sejak kemarin dulu._



- Kalian berdua siapa? -



Bertanya dua orang prajurit itu.

Pamasa tertawa.



- Kalian belum mengenal kami?



- Tentu saja! -



Jawabnya.



- Sebab kami adalah orang-orang baru dilingkungan Demak.



Sesudahnya Pamasa dan Wijaya diperkenalkan oleh dua orang prajurit itu pada keseratus orang yang masih menunggu di alun-alun,

mereka diperintahkan segera menempati gandok yang disediakan.

Dan diperintahkan untuk segera berkumpul pula menerima perintah

dari kedua pemimpin barunya.

Wijaya, dalam perjalanan kembali kegedungnya, menggamit

Pamasa.



- Bagaimana pendapatmu tentang prajurit itu kang?



- Tentunya sama dengan yang kau pikir!



- Ah, kau pura-pura menutup mata kang Pamasa.



kata Wijaya



- Ah apa pula yang kau maksudkan? -



Tanya Pamasa.



- He, apa itu?-



menggerutu

Pamasa tertawa. Ia tahu apa yang tengah dipikir adiknya.



- Ya, aku merasa heran.

Mereka tak mengenal kita berdua, bukan?

Itulah. Ha.... ha...

ha

tak apalah. Mereka akan mudah kita jebak.-



- Kita beritahu kang Sentanu?



- Tentu saja!



*****



- Cepat, kita harus mencegah bahaya ini menjalar semakin

jauh kedalam istana.-



Sentanu menganggukkan kepala mendengar penuturan kedua

saudaranya.



- Tetapi tuanku Trenggana terlanjur memerintahkan mereka

mengawal dibagian lingkungan tembok dalam. -



Kata Sentanu.



- Itu masih besok akan mereka lakukan kang._



- Tetapi mulai sekarang mereka akan dapat memulai rencana

jahatnya.



- Ya, beruntunglah kita. Kalau benar mereka prajurit tuanku Tumenggung Santa Guna, bagaimana bisa tidak mengenal kita bertiga? -



Kata Pamasa menyatakan keheranan pula.



- Dua orang prajurit yang menghadap tuanku Trenggana tadi. Bukankah jelas melihat kita bertiga? Tak terlihat perubahan air mukanya. Maka aku curiga. Lebih heran dan yakin mereka bukan prajurit Demak ketika aku berdua Wijaya menemui mereka di alun alun. Tak seorangpun terlihat pernah mengenal. Ya, sekalipun kita dalam barisan bertugas sebagai tukang ransum, tapi bukankah hampir semua prajurit telah mengenal kita?



- Sudahlah, kita beritahu tuanku Trenggana. -



Kata Sentanu kemudian.



Raden Trenggana terkejut.


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo




- Apa katamu? Mereka bukan prajurit Demak? Bagaimana mungkin ini? _



Sentanu menggeser duduknya.



- Benar tuanku. Kami yakin. Sebab jika benar mereka adalah prajurit Demak, tentu telah mengenal hamba bertiga yang lama berada dalam barisan pasukan Santa Guna.-



- Kalian lihat ada yang mengenakan ciri dengan gelang lawe itu? -



- Tidak ada. tuanku. -



Sahut Pamasa.



- Tetapi bukankah dapat mereka pakai manakala pecah pertempuran dengan prajurit tuanku?



Raden Trenggana mengangguk-angguk.



- Kalau demikian ketiga orang utusan yang membawa perintah tentu dibegal mereka. Sebaiknya kau Pamasa dan Wijaya secepatnya pula membawa prajurit yang ada disana kembali ke Demak. Berhati-hatilah kalian dalam perjalanan. Waktu telah mendesak. Maka lakukan dengan cepat. -



Pamasa berdua Wijaya bangkit. Tanpa membantah keduanya telah bersiaga untuk berangkat.



Namun dalam pada itu tiba-tiba muncul seorang prajurit jaga,



- Tuanku, Gusti Santa Guna ingin menghadap. -



Kata prajurit itu.



- Paman Santa Guna? Lekas bawa masuk!



Seru Raden

Trenggana.

Tak lama terlihat Tumenggung Santa Guna muncul diiringkan

dua orang prajurit.



- Ah paman, selamat datang paman! -



Seru Raden Trenggana. Dan tumenggung itu tertawa, kemudian membungkuk memberi

hormat. Tetapi ketika matanya tertumbuk dengan Sentanu dan Pamasa serta Wijaya yang baru saja berdiri. Kaget dan heran hati Tumenggung itu.



- Kalian, berada disini? Bukankah kuperintahkan bergabung

dengan kawanmu kembali? Ah, kalian membikin pusing aku.



- Ampun tuanku. -



Kata Sentanu.



- Hamba sesungguhnya

ingin segera kembali setelahnya kuwajiban itu. Tetapi hamba terlanjur bertemu tuanku Trenggana dan terbawa kemari.



Raden Trenggana tertawa. Maka Tumenggung Santa Guna tak

berkata padanya lagi.



- Celaka tuanku. Utusan tuanku yang membawa perintah di

begal orang Majapahit. Mereka berhasil mengetahui perintah tuanku. Hanya untung utusan tuanku cukup tangguh. Sekalipun mereka

menyandang luka berat, ketiganya masih berhasil menemui hamba

dan menyampaikan perintah tuanku dengan lisan. Maka hamba secepatnya menyusul kemari.



- Ya, kami tahu. Dimana utusan yang berani itu paman?



- Mereka masih lemah akibat luka-lukanya. Kini dirawat oleh

prajurit di perkemahan.



Raden Trenggana kembali menganggukkan kepala.



- Jadi paman datang sendirian?!



- Tidak, tidak tuanku. Hamba bawa seluruh prajurit. Tetapi

mereka akan tiba pada malam hari nanti. Sebab hamba khawatir

jika siang tiba disini akan menimbulkan kekagetan dihati rakyat. -



- Bagus!-



Raden Trenggana kembali menganggukkan kepala dan memuji.

Sentanu bertiga saudaranya tak luput memuji kecerdikan Tumenggung itu pula. Sekalipun dalam hati merasa geli melihat Tumenggung Santa Guna heran melihat mereka bertiga ada disitu



- Jadi hamba berdua tiak jadi berangkat tuanku? -



Tanya Pamasa.



- Ah, anak bodoh! Bagaimana kalian ingin berangkat jika yang mau dicari sudah ada disini?



***



Demakpun segera menyadari. Musuh telah menyusup demikian jauh. Maka Raden Trenggana mempersiapkan pertahanan dengan lebih rapi. Ada yang terasa di hati Raja Demak itu, lawan rupanya telah memiliki kembali kekuatannya. Namun dengan adanya Sentanu serta yang lain-lainnya Raden Trenggana merasa Demak tidak akan mudah dipukul.



Sampai ketika hari-hari berikutnya telah genap menuju saat penobatan, Raden Trenggana telah merubah segala perintah. Tidak lagi sekedar ingin menyaksikan rakyat memperlihatkan kesetian dan kecintaan padanya, namun seluruh beteng dan lapisan prajurit dikerahkan ditiap tempat. Bahkan ditiap ada seseorang mengenakan gelang lawe, tentulah disana ada prajurit Demak, mengawasi mereka secara diam-diam.



Satu demi satu adipati taklukan berdatangan dan mereka mempersembahkan upeti dan kuwajiban pajak mereka pada Demak sebagai tanda menakluk. Hingga Demak semakin terlihat ramai. Kehidupan benar-benar nampak meriah. Tak ubahnya rakyat tengah menghadapi musim baru yang menimbulkan harapan baru dalam hati dan perasaan.



Saat itu, Sentanu tiba-tiba muncul digandok dimana prajurit yang mengaku sebagai Prajurit Tumenggung Santa Guna berada. Sesungguhnyalah keseratus orang prajurit itu tidak akan menduga bahwa rencana mereka telah tercium terlebih dahulu. Bahkan kini ketika Sentanu muncul mereka masih tak mengira bahwa bahaya mengancam mereka. Maka kepala prajurit maju dan berkata :



- Ada perintah apakah kisanak, datang pada saat begini? -



Tetapi Sentanu tidak segera menjawab. Melainkan ia melambaikan

tangan pada mereka, baru setelahnya ia memandang berkeliling, menjawab :



- Ada berita gembira buat kalian. Sementara kalian menunggu kawan yang lain datang, kalian seluruhnya diperintahkan untuk berpindah ke bangsal timur. Disana ada pesta kecil yang disiapkan secara khusus untuk kalian. Kita kesana. Tuanku Trenggana sudah menunggu di bangsal itu. -



Kepala prajurit menatap Sentanu dengan heran. Ada perasaan tak enak juga dalam hatinya. Tetapi ia yakin kepalsuannya belum terbongkar. Maka ia perintahkan orang-orangnya untuk berangkat. Dan mereka kemudian mengikuti Sentanu berjalan yang ternyata membawa mereka berkeliling istana. Lalu membelok dan agaknya jalan yang ditempuh kini menuju keluar lingkungan istana.



- Eh, kita kemana kisanak?



Tanya kepala prajurit.



- Rasanya kita berputar-pudar. Begitu jauhkah bangsal yang kau katakan itu? --



- Tidak! Tuanku Trenggana sedang menunggu.



- Tetapi rasanya kita telah berjalan demikian jauh. -



- Benar dugaanmu. Tetapi mengapa kau menjadi heran? Bukankah memang demikian keadaan istana? Bukankah kalian juga tahu bahwa tuanku Trenggana selalu membuat beteng dan lorong yang melingkar-lingkar? Sengaja buat membikin bingung lawan kalau ada yang berani menyatroni, bukan? .



Kepala prajurit itu tak berkata pula. Ia sadar kini. Kalau tak ingin rahasianya terbuka, tidak seharusnya ia menyatakan herannya. Bahkan ia harus berpura pura sudah hapal dengan keadaan di

istana itu. Maka ia tak mau banyak berkata lagi, kecuali mengikuti kemana Sentanu membawanya.



Seperti yang dikatakan oleh Sentanu, Demak memang memiliki jalan dan lorong rahasia. Maka tentu saja ketika seratus orang prajurit itu ia bawa masuk menuruti petunjuk yang telah diterimanya, mereka menjadi heran juga. Rasanya memang telah terlalu lama berjalan dan berputar-putar.



Pada suatu saat, mereka tiba dimulut sebuah lorong lain yang lebih sempit. Lorong yang panjang dan gelap.



- Kita lewat lorong ini. -



Kata Sentanu.



- Hati-hati kalian . berjalan, lorong itu licin!





Prajurit musuh yang ada dihadapan Sentanu itu memandang heran. Lorong itu sangat sempit. Hanya satu orang saja yang dapat masuk dan berjalan kedalamnya. Jadi mereka harus berjalan satu demi satu.



- Ayo kita masuk!



Kata Sentanu pula. Ia melihat kebimbangan dalam wajah mereka. Maka ia semakin percaya mereka bukan orang Demak.



Ketika itu muncul seorang prajurit juga. Ia membawa dua obor lalu diberikannya satu obor itu pada Sentanu. Sentanu kemudian memerintahkan prajurit Demak itu berjalan.



- Kau berjalan dimuka! --katanya.



Maka prajurit itupun berjalan masuk lorong sempit itu. Lalu diikuti oleh prajurit lain dan satu demi satu mereka berjalan memasuki lorong itu.



Pembawa obor itu berjalan agak cepat. Tentu saja karena ia telah hapal dengan lorong itu. Ada kira-kira seratus langkah panjang lorong itu ketika pembawa obor terlihat telah keluar dari lorong disebelah ujung satunya. Sedang Sentanu berjalan membawa obor satunya, mengikuti langkah kepala prajurit yang berjalan paling akhir dibelakang orang-orangnya.



Setelah prajurit yang berjalan duluan terlihat keluar lorong, menyusul yang dibelakangnya. Keluar dengan menarik napas lega.



Akan tetapi baru saja ia berbuat demikian, tiba-tiba sebuah tangan yang kuat menyambar lehernya dengan cepat. Orang itu mau berteriak karena kaget. Tetapi mulutnya keburu ditekap oleh tangan itu. Dan sebelum ia tahu apa yang terjadi. Tubuhnya telah diseret menjauh dan dua orang mengikat tubuhnya dengan tali kuat. Orang itu kemudian didorong hingga jatuh terduduk dengan tak mampu berbuat apapun. Prajurit itu sadar, ia terjebak. Bahkan kawan-kawannya juga terjebak oleh anak muda yang bernama Sentanu itu. Sebab ketika ia layangkan pandang, sekelilingnya terlihat prajurit Demak dalam sikap tempur yang sempurna. Ada seratusan orang bersenjata ditempat itu, namun mereka tak bergerak. Dan ketika ia melirik melihat mulut lorong dimana tadi ia keluar, hatinya menjadi marah. Di mulut lorong itu berdiri dua orang anak muda gagah. Sedang prajurit pembawa obor tadi terlihat masih berdiri tidak jauh dari kedua

anak muda itu. Dugaannya kemudian menjadi benar. Dua anak muda yang berdiri dimulut lorong itulah yang tadi meringkusnya dengan mendadak. Iapun kemudian menduga kawannya juga akan mengalami nasib sama. Dan benarlah. Dari mulut lorong itu muncul pula seorang kawannya, keluar.



Dan seperti nasib orang pertama, prajurit Majapahit itu tiba-tiba merasakan sebuah tangan kuat menyambar lehernya, kemudian ia kena diringkus dengan mudah oleh orang-orang Demak dan diseret ketempat kawannya yang terjebak lebih dahulu.



Kedua orang itu sadar bahaya mengancam kawan-kawannya yang masih berada dalam lorong gelap itu. Akan tetapi mereka tidak dapat berbuat apapun. Dan diam-diam mereka kagum pada dua orang yang kini kembali menunggu dimulut lorong itu. Keduanya tentulah orang-orang berkepandaian. Sebab kalau tidak, bagaimana dengan mudahnya meringkus mereka tadi?



Dan tentu saja, kedua anak muda itu tak lain adalah Pamasa dan Wijaya. Dengan mengandalkan kepandaian yang dimiliki, keduanya akan dengan mudah meringkus prajurit yang keluar satu demi satu dari lorong itu, kemudian menyerahkan pada prajurit Demak yang telah siaga ditempat itu.




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Hampir separuh prajurit Majapahit itu kena ditangkap tanpa dapat melakukan perlawanan. Akan tetapi ketika Pamasa kembali akan melakukan gerakan menangkap seorang yang keluar dari lorong itu, ternyata lawannya agak berbeda dari yang terdahulu. Orang yang berjalan dimuka itu telah merasa curiga. Setiap kali seorang kawannya keluar mereka tak terlihat lagi bayangannya. Hilang bagai ditelan bumi.



- Mustahil terjadi begitu.



Pikirnya.



- Seharusnya mereka menunggu yang masih ada dalam lorong, dan setidaknya satu atau dua akan terlihat dimulut lorong itu.



Namun satupun tidak. Maka ia menjadi curiga. Dan karenanya ia melangkah dengan berhati-hati, dan diam diam ia mencabut senjatanya.



Saat itulah, ketika orang itu keluar, Pamasa yang telah menunggu bergerak cepat akan tetapi karena yang diserang telah bersiap. melihat gerakan Pamasa, ia berkelit dengan sebat.



- Curang!



Serunya. Lalu ia loncat kembali masuk kedalam lorong.



Dengan kejadian itu prajurit yang masih berada dalam lorong terkejut.



- Hati-hati kawan, kita terjebak! -



Seru prajurit yang dimuka itu. Maka ributlah mereka. Hatinya gelisah. Sadar benar bahwa rupanya mereka telah terjebak oleh Sentanu.



Dalam pada itu Pamasa dan Wijaya yang melihat kegagalan serangannya, cepat bersiaga. Mereka memberi tanda prajurit yang ada ditempat itu agar bersiap pula. Menunggu kalau-kalau orang-orang dalam lorong itu berhamburan keluar. Tetapi mereka masih tak 'bergerak. Yakin orang-orang dalam lorong itu tak akan mampu berbuat banyak. Sebab lorong yang sempit hanya dapat dilalui satu orang saja. Hingga tak mungkinlah mereka akan keluar secara serentak. Maka ditunggunya dengan tenang.



Sementara itu orang-orang Majapahit yang berada dalam lorong itu semakin ribut. Dan kepala perajurit yang berjalan dimuka Sentanu, tiba-tiba membalikkan tubuh dan menyerang Sentanu.



- Kau licik! -



Geramnya. Tetapi Sentanu menggerakkan obor itu dan mundur cepat kebelakang berusaha keluar kembali dari lorong itu. Kepala prajurit mengejar diikuti oleh yang lain.



Tetapi Sentanu yang telah tiba dimulut lorong berseru keras:

- Berhenti. Kalau ingin selamat jangan keluar. Kalian akan terancam!



Namun kepala prajurit itu tak mengindahkan kata-kata Sentanu. Ia mengejar dengan senjata terhunus. Dan bagai kilat begitu tiba diluar lorong, ia serang Sentanu.



Yang diserang menggerakkan obor yang masih dipegang. Maka segera terjadi gempuran hebat ditempat itu. Hanya Sentanu tak mau mengulur waktu. Ia gerakkan obornya dengan cepat. Dan tentu saja kepala prajurit itu bukan lawannya, karena dalam waktu hanya beberapa kali gerakan ia telah dibikin tak berdaya oleh Sentanu lalu

dengan mudah diringkus, dan menyeret orang itu kemulut lorong dan berseru keras :



- Hei, kalian menyerahlah. Pemimpinmu telah menyerah, kalau masih berkeras melawan, kalian akan sia-sia. Seluruh tempat ini telah dikepung, menyerahlah!



Orang-orang yang masih ada dalam lorong terkejut. Mereka sadar pemimpinnya telah tertawan. Maka tak ada pilihan lain, mereka berloncatan keluar dan membuang senjata menyerahkan diri.



Ketika mereka memandang, ditempat itu telah siaga dengan puluhan prajurit Demak bersenjata.



Dalam waktu yang bersamaan, dimulut lorong yang lain, Pamasa dan Wijaya telah berhasil menggiring orang-orang yang keluar dari situ.



- Kau curang. -



Kata kepala prajurit ketika Sentanu mendekatinya. Tetapi sentanu mencoba tertawa.



- Siapa curang? Bukankah kalian yang memulainya? Kalau saja kalian berhasil masuk kraton dengan cara menggelap ini, bukankah itu lebih dari curang? Kau bersyukurlah, bahwa kami orang Demak tidak berniat membunuh. Kalau saja kami mau menurunkan tangan menghabisi nyawa kalian, apa susahnya? Seratus orang kawan-kawanmu akan dengan mudah dihancurkan oleh tentara Demak. Tetapi karena Tuanku Trenggana menghendaki kalian hidup hidup maka sengaja untuk menghindari perlawanan kalian sengaja aku giring melewati lorong ini. Sebab tanpa demikian, kalian tentu akan melawan, dan itu hanya akan menimbulkan pertumpahan darah.



Kepala prajurit itu tak berkata lebih banyak. Sementara Sentanu memerintahkan prajurit lain membawa mereka sebagai tawanan pertama .Seratus orang prajurit yang dikirim Rangga Permana itu menjadi tak berdaya. Mereka kena ditangkap sebelum berbuat sesuatu di istana.



Demak telah mengetahui seluruh rencana yang akan dilakukan oleh orang-orang Majapahit. Maka persiapan dilakukan dengan secermat mungkin .



Malam harinya, dari istana, keluarlah sepasukan besar prajurit Demak. Mereka berbondong keluar tanpa mengenakan pakaian keprajuritan. Barisan Demak ini bergerak keluar kota dengan melalui jalan rahasia dibelakang istana. Bergerak keluar menuju pinggiran kota.



Esok pagi adalah saat penobatan Raden Trenggana sebagai Sultan Demak. Maka untuk mendahuluinya digerakkan pasukan yang nampak bersiaga untuk menghadapi bahaya itu. Dan inilah rencana Raden Trenggana yang cerdik dan cekatan.



Barisan pasukan Demak dalam jumlah tidak sedikit itu sengaja dibawa keluar kotaraja. Tanpa mengenakan pakaian kaprajuritan. Kalau orang memperhatikan, seluruh tentara Demak itu memakai gelang lawe, tak ubahnya orang-orang Majapahit yang telah diselundupkan ke Demak.



Dua orang pemimpin yang kini berjalan dimuka ternyata adalah Pamasa dan Wijaya. Mereka inipun mengenakan gelang lawe itu. Dan ketika pasukan telah hampir mendekati tapal batas, Pamasa memberikan perintah untuk berhenti.



- Kawan, berhati-hatilah. Kita akan mulai rencana dari tempat ini. Kita akan berpencar dengan masing-masing kelompok yang telah ditentukan. Dan kalian akan menyebar keseluruh kota, ajak orang orang Majapahit yang tentu akan mengenakan gelang lawe itu. Percayalah, mereka akan mengira kita sebagai kawannya. Berusahalah menggiring mereka ketengah hutan ditimur itu. Dan kita akan segera berkumpul disana pada tengah hari nanti. Berusahalah seluruh orang yang nampak mengenakan gelang lawe itu mengikuti kalian kehutan itu. Dan satu-satunya tanda untuk membedakan kalian dengan mereka adalah ikat pinggang lawe kuning itu. Orang Majapahit hanya mengenakan gelang lawe, sedang kalian adalah gelang dengan ikat pinggang itu. Nah, berhati-hatilah. Kita mulai menyebar sekarang!



Maka prajurit Demak itupun tanpa bersuara mengambil jalan memisah. Mereka saling bergabung dengan kelompok masing-masing untuk kemudian berpencar. Dan sebelum matahari terbit, mereka telah menyebar diseluruh kota dan disudut-sudut jalanan, mencari

orang-orang yang nampak mengenakan gelang lawe kuning.



Bersamaan dengan terbitnya sang surya Demak seakan bangkit dari tidur yang lelap. Cerah dan riang seluruh kota. Penobatan Raden Trenggana akan dilakukan. Dan ditiap sudut kota telah nampak indah dengan hiasan berwarna warni. Sedang dari penjuru pedesaan, terlihat masih banyak rakyat berbondong menuju kota, untuk sekedar melihat roman muka Raden Trenggana yang baru dikenal namanya.



Kesibukan dalam istana tak kalah dengan yang diluar. Nampak punggawa dan pembantu istana dengan tugasnya masing-masing mempersiapkan saat penting itu. Sedang prajurit-prajurit jaga nampak pula bersiaga sepenuhnya.



Dalam waktu yang bersamaan, orang-orang Majapahit yang sejak jauh hari telah menunggu-nunggu saat penobatan itu berdebar girang. Maka mereka saling berunding sesama kawan, dan terlihatlah mereka ikut sibuk membicarakan saat penobatan itu.



Tiba-tiba muncul dua orang muda. Tetapi ketika melirik, dua orang muda itu mengenakan gelang lawe pada pergelangan tangan kiri, mereka tersenyum dan mengangguk. Dua anak muda itupun juga menganggukkan kepala. Tetapi kalau diteliti, ternyata dua anak muda yang baru datang itu selain mengenakan gelang lawe, pinggang mereka mengenakan tali lawe melingkar. Namun itu tak diperhatikan oleh orang-orang terdahulu.



- Ada berita apakah?



Bertanya orang-orang tadi pada dua pemuda itu yang bukan lain adalah Pamasa dan Wijaya.



- Berita penting. --



Kata Pamasa berbisik.



- Dimana pemimpin kalian? '



- Pemimpin sedang mempersiapkan kawan-kawan.



Sahut orang itu.



- Antarkan aku padanya. Aku membawa perintah dari tuanku Rangga Permana.



Kata Pamasa pula.



Tanpa banyak bertanya orang itu memberi isyarat agar Pamasa berdua Wijaya mengikutinya. Dan keduanya segera mengikuti dengan hati bertanya-tanya. Mau dibawa kemana.

Hanya melewati beberapa kali tikungan, mereka tiba disudut kota. Dan sebuah warung nampak terhampar. Warung itu nampak belum lama adanya. Bangunan masih baru.



Tetapi bukan main larisnya!



Banyak yang bertengger diwarung, bahkan hampir penuh mereka terlihat girang dan makan makan sambil mengobrol dengan bersemangat. Hingga pemilik warung itu nampak sibuk melayani.





Namun Pamasa dan Wijaya segera melihat kejanggalan di warung itu. Pemiliknya tampak sibuk, tetapi tersenyum aneh. Dan gerakan tangan yang kaku ketika melayani langganan terlihat nyata. Membuktikan ia bukan seorang pemilik warung yang biasa melayani pembeli. Melainkan lebih cocok disebut sebagai seoran prajurit yang biasa menggerakkan tombak dalam perkelahian. Dan ketika Pamasa memperhatikan dengan lebih seksama, nyatalah seluruh pembeli yang berkerumunan itu mengenakan gelang lawe pada lengan kirinya. Maka sadarlah mereka adalah prajurit Majapahit.



Dan Pamasa semakin mendekati dugaannya. Ia dibawa orang-orang yang membawanya melangkah memasuki warung hingga seluruh mata menatap pada kedua anak muda itu. Pamasa tersenyum, menganggukkan kepala. Dan semua yang memandang membalas tersenyum ketika melirik pergelangan kiri kedua anak muda itu mengenakan gelang lawe.



Pamasa segera masuk dan matanya beradu pandang dengan seseorang yang rupanya adalah pemimpin mereka.



- Kau siapa? -



Tanya orang itu melihat munculnya Pamasa dan Wijaya.



- Kisanak, aku adalah utusan Tuanku Rangga Permana, Saat ini dalam istana telah bersiaga seratus orang prajurit pilihan yang mengaku sebagai prajurit Tumenggung Santa Guna. Seperti kalian tentu mengetahuinya, mereka bertugas menyerang musuh dan membunuh Raja Demak yang baru itu. Dan saat ini pula tuanku Rangga Permana akan memasuki kota. Untuk itu aku berdua diperintahkan memberitahu kalian agar secepatnya menyingkir lebih dahulu kepinggiran kota. Dan kalian diperintahkan masuk hutan tutupan ditimur. Disana tuanku Rangga Permana akan memberikan perintah yang terakhir sebelum melakukan penyerangan.



- He, bagaimana bisa terjadi? Bukankah kita diperintahkan menunggu isyarat? '



- Itu benar.



Sahut Pamasa cepat.



- Tetapi ini perintah terakhir sebelum penyerangan. Kalian belum mengetahui perkembangan yang terjadi. -



- Ah, bagamana mungkin? ............



- Ya. kalian boleh percaya boleh tidak. Bagiku yang penting telah menyampaikan perintah itu. Terserah kalian mau berbuat apa. --



Orang itu ragu-ragu. Tetapi sebentar kemudian ia perintahkan orang-orangnya mengikuti. Dan dalam waktu singkat puluhan orang ini berjalan dengan diam-diam menuju hutan yang ditunjukkan Pamasa.



Dalam waktu yang bersamaan, pada kelompok lain, terlihat

prajurit Majapahit yang mengenakan gelang lawe itu. Bahkan ketika rombongan yang mengenakan gelang lawe nampak menuju suatu tempat, yang lain menjadi heran.



- Ada apa. mereka berjalan tergesa-gesa.



Bertanya salah seorang.



- Entah. Mari kita tanya mereka. -



- Eh kalian mau kemana? -



Tanyanya kemudian. Dan orang orang yang berjalan menyahut :



- Kita diperintahkan berkumpul dihutan timur kota itu.



- O, begitu ......... hayo kita ikut mereka!



Maka dalam waktu singkat hampir semua orang yang mengenakan gelang lawe habis dari seluruh sudut kota menuju hutan tutupan ditimur.



Sementara itu Sentanu yang berada didalam kota mengawasi istana, girang hatinya. Sebab diantara kerumunan rakyat yang nampak, tak terlihat lawan lawan yang dicurigai. Ia yakin orang-orang Majapahit yang semula ada dalam kota berhasil dibawa oleh orang Demak ke hutan Tutupan. Maka kota dan istana akan bersih dari lawan. Ada, masih banyak terlihat yang mengenakan gelang lawe, namun mereka itu juga mengenakan gelang yang sama pada

pinggangnya.




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Saat itulah ditengah kota muncul tiga orang berjalan dengan tergesa-gesa. Dua diantaranya masih nampak muda. sekalipun yang seorang bukan muda lagi, namun nampak gagah. Hanya satunya muda benar. Sedang seorang lagi adalah seorang yang lebih pantas

disebut kakek. Tetapi sekalipun kakek itu membawa tongkat tetapi gerakan kakinya ketika berjalan memperlihatkan ia bukan seorang sembarangan. Dan ketiganya bukan lain adalah Rangga Permana, sedang seorang lagi adalah Pangeran Pajajaran Madi Alit dengan Ki Ageng Semanding.



Ketiganya bergirang ketika melihat disana-sini terlihat orang orang mengenakan gelang lawe. Namun sedikitpun tak akan mengira bahwa mereka bukan lagi anak buahnya yang sedang bersiaga. Maka ketiganya terus berjalan, lalu mendesak diantara kerumunan banyak orang menuju kota yang mulai penuh pula oleh rakyat Demak yang akan menyaksikan penobatan Raden Trenggana.



- Rencana kita berhasil baik.



Kata Rangga Permana pada Ki Ageng Semanding.



Dan orang tua itu tertawa.



Ketiganya tiba diregol. Disana rakyat terlihat telah berdesakan ingin masuk. Sedang prajurit jaga nampak kewalahan menghadapi keinginan itu.



Rangga Permana semakin besar hati ketika ditiap tempat ia masih melihat orang-orang yang mengenakan gelang lawe itu. Maka iapun semakin jauh maju dan berusaha mendekati bangsal dimana Raden Trenggana akan berada. Perbuatan itu diikuti oleh Madi Alit dan Ki Ageng Semanding. Yang tentu saja dengan kekuatan dan kepandaian ketiga orang itu, mudah saja mereka menembus rakyat yang berdesakan untuk maju dan ketiganya makin dekat saja dengan bangsal itu. '



Bersamaan dengan itu, terdengar suara gong dipukul hingga suaranya berdengung menggema dengan keras kesekitar tempat itu. Dan rakyat semakin bergerak maju. Pertanda itu memperingatkan bahwa Sultan Demak akan segera muncul dibangsal. Dan ketika Rangga Permana melayangkan pandangan kesekeliling bangsal, selalu terlihat prajurit yang nampak berjaga dengan tegap dan siaga. Terlihat para Adipati Taklukan yang duduk bersila menunggu. Maka mata Rangga Permana segera mencari seratus prajurit yang telah dikirim untuk berada dekat dengan Raden Trenggana. Dan pandangannya segera bertemu dengan yang dicari. Dikiri kanan bangsal terlihat kelompok prajurit jaga. Mereka jelas mengenakan gelang lawe itu. Rangga Permana menarik napas lega. Sedang disekeliling tempat itu juga menyaksikan orang-orang mengenakan gelang lawe serupa. Cuma Rangga Permana tak akan menduga bahwa orang-orang itu bukan lagi prajuritnya, melainkan mereka adalah prajurit Demak sendiri yang diperintahkan agar bersiaga sebagai prajurit lawan, untuk mengelabuhi musuh yang akan datang. Dan Rangga Permana tak menyadari hal itu. Maka ia menggamit Madi Alit yang berada agak jauh dengannya.



Rencana telah disusun dengan sempurna. Pada saat Trenggana muncul dan penobatan selesai, setelah ia memberi isyarat, Madi Alit akan menyerang Trenggana, bersama dengan orang-orang yang telah diperintahkan menyerang prajurit dan pengawal. Tinggal beberapa saat lagi saja.



Ketika gong kembali berbunyi untuk ketigakalinya, seluruh rakyat yang berada ditempat itu makin mendesak maju. Pertanda Raden Trenggana akan muncul. Dan benarlah, yang dinanti terlihat muncul diapit oleh dua punggawa sedang di belakangnya mengiringi prajurit dan pengawal yang lain, sementara para sesepuh terlihat mengenakan pakaian kebesaran mengiringkan Raden Trenggana yang mengenakan kebesaran pula.



Namun demikian rakyat belum melihat wajah sesungguhnya dari sultan Demak itu, karena mukanya masih tertutup dengan selembar kain kuning. Berjalan perlahan menuju singgasana dengan dituntun deh dua orang pengawal istana .



Kalau semula rakyat terdengar hiruk pikuk, mendadak jadi terdiam ketika raja Demak itu telah duduk dan upacara sesaji segera akan dimulai.



Dalam pada itu Rangga Permana telah meraba ujung kerisnya .Matanya memberi tanda pada Madi Alit yang juga telah mengangguk. Sedang Ki Ageng Semanding telah lenyap entah menyelinap ke mana. Rangga Permana yakin, sekali ia bergerak, seluruh prajurit dan orang orang yang mengenakan gelang lawe kuning itu akan bergerak dan menyerang rakyat. Diharap akan segera pecah kekacauan

dan saat itulah Trenggana akan menjadi mayat oleh serangan Madu Alit dan Ki Ageng Semanding, Sebab bukankah para pengawal yang tampak ada di dekat Raden Trenggana juga mengenakan gelang lawe itu ?



Ah, Rangga Permana yakin Raja Demak itu telah tak mampunyai seorangpun pengawal. Hanya ia tak menduga bahwa segala rancananya telah berbalik. Seperti ia tak menduga bahwa gerak-geriknya semenjak tadi sudah diperhatikan oleh dua pasang mata yang bersinar tajam. Seorang diantaranya adalah Sentanu.



Sentanu sejak tadi sengaja berdiri diantara kerumunan rakyat. Ketika Rangga Permana muncul bertiga dengan Madi Alit dan Ki Ageng Semanding. ia telah merasa curiga. Lebih-lebih sewaktu tanpa sengaja Rangga Permana mendorong pinggangnya dalam berdesakan tadi. Maka Sentanu segera mengenal siapa mereka. Ia segera mengamit seorang lelaki gagah yang berdiri tak jauh darinya. orang itu mengerling tanda mengerti isyarat yang diberikan Sentanu .



Maka keduanya segera memperhatikan ketiga orang yang telah menyebar berjauhan itu. Menitik gerak geriknya segera Sentanu mengenal siapa mereka. Bahkan ketika Rangga Permana memberi Isyarat Madi Alit, Sentanu melihatnya pula. Namun Sentanu tak menduga ketika secara tiba-tiba Rangga Permana mencabut kerisnya dan menggerakkan senjata itu menikam seorang yang berada dimukanya.



Orang itu menjerit kaget kemudian roboh mandi darah. Bertepatan itu Rangga Permana loncat, demikian pula Madi Alit. Akan tetapi sebelum Rangga Permana sempat berbuat lebih jauh seseorang

telah meloncat dengan cepat mengejarnya.



Rakyat sejenak kaget dengan terbunuhnya seorang oleh Rangga Permana. Namun segera mereka menyadari ada seorang tengah berusaha mengacau.



Sebelum hilang kekagetan mereka, Rangga Permana menjadi kaget pula ketika merasa ada yang mengejarnya. Bahkan ia menjadi tak habis mengerti.



Mengapa prajurit dan orang-orang yang mengenakan gelang lawe itu tidak ikut menyerang ?



Bukankah isyarat sebagai perintah melakukan penyerangan sudah dilakukan ?



Sebelumnya Rangga Permana memerintahkan agar seluruh yang ada di Demak ikut menyerang jika ia menikam salah seorang yang ada didekatnya. Tetapi bukan saja tak seorangpun bergerak mengikuti perbuatannya, bahkan orang-orang yang mengenakan gelang lawe dilihatnya melindungi rakyat dan menentramkan ketakutan mereka.



Demikian pula Madi Alit, sewaktu ia baru saja akan bergerak menyerang Raden Trenggana , ia berseru girang. Sebab salah seorang pengawal tiba-tiba menangkap tubuh orang yang sedang duduk disinggasana Demak itu lalu didorongnya kearah Madi Alit yang telah meloncat kebangsal menyambar dengan keris pusakanya. Maka tanpa dapal dicegah tubuh itu termakan oleh Keris ditangan Madi Alit dan orangnya menjerit lalu roboh terguling. Rangga Permana yang masih berada dekat tak sadar berseru girang. Ia gembira melihat Madi Alit berhasil menewaskan lawannya. Akan -tetapi ketika seorang tua yang bukan lain Ki Ageng Semanding loncat merenggut tutup mukanya, ia berseru kaget. Sebab yang terbunuh bukan Raden

Trenggana, melainkan kepala Prajurit yang telah berhasil diringkus oleh Sentanu dilereng istana. Tapi keheranan Rangga Permana tak sempat berlangsung lama. sebab orang yang mengejarnya telah dekat dan sekaligus menyerang dengan hebat.



Madi Alit yang berhadapan dengan Santanu menjadi heran seluruh prajurit yang mengenakan gelang lawe ternyata tidak melawan Demak, malah mereka terlihat melindungi orang-orang istana.



Akan tetapi ia tak sempat berpikir terlalu lama, karena serangan Sentanu telah sampai dan hampir saja mengenai mukanya kalau saja ia tidak cepat berkelit dengan sebat.



- Kau salah duga sobat!



Kata Sentanu sambil masih melancarkan serangan pada Madi Alit.



- Seluruh orangmu telah kami tawan, kini kalian hanya bertiga. Kami seluruh prajurit siap untuk menghancurkan. Maka kau menyerahlah sebelum menyesal.



Madi Alit kagum juga. Serangan Sentanu amat kuat dan bertenaga. Namun ia tak akan mundur. Maka sambil masih berloncatan menghindarkan diri dari serangan Sentanu iapun berkata.



- Ya, kami memang bodoh. Ternyata Demak lebih unggul hingga mengetahui rencana ini. Hanya jangan harap kau akan bisa menangkapku dengan mudah. Bukan saja dirimu. Bahkan gurumu ki Ageng Semu tak akan mampu melawan.



Sentanu heran lawannya mengenal dirinya.



- He, jangan kau menakut-nakuti dengan bualanmu itu! -



- Hem ......... kau bodoh. Siapa membual? Aku Orang Pajajaran tak akan mendustaimu. Dan aku tak tahu apa yang akan dilakukan oleh Mpu Sugati dan Aki Kerancang kalau ia melihat kau berani kurang ajar melawanku begini.



Sentanu merandek. Ia bertambah heran lawannya menyebut pula Aki Kerancang, ayahnya yang telah lama ia tinggalkan bahkan disebutnya Mpu Sugati gurunya yang pernah mendidiknya di dusun dan mengajarnya membuat senjata. Malahan saat ini ia berada di Demak adalah sebagai upaya menebus dosa akibat melanggar perintah orang tua sakti Mpu Sugati itu. Maka Sentanu menjadi ragu ragu dan serangannya mengendur.



Namun akibatnya sungguh hebat. Madi Alit yang dalam keadaan biasapun sudah barang tentu sulit dilawan oleh Sentanu, melihat anak muda itu terpengaruh kata katanya bergerak cepat. Ia tadinya hanya menduga duga bahwa lawannya adalah Sentanu. Ternyata dugaannya benar. Maka ia bergerak cepat, sekaligus dua tangannya bergerak cepat.



- Kau bodoh dan cengeng, terimalah! ........ .



dan



- Blug...



Sentanu tepat termakan lambungnya oleh serangan itu hingga ia terpental membentur orang-orang yang masih ribut ketakutan. Dan Madi Alit yang melihat tak akan ada harapan untuk melawan pula. ia berlari menerobos keluar lalu mengerahkan kesaktiannya dan ia berlari keluar menerobos kerumunan banyak orang dan menghilang dengan cepat, meninggalkan istana.



Dalam pada itu Rangga Permana menjadi sadar, lawan yang mengejarnya ternyata kuat dan tangguh. Dan ia baru mengenal secara pasti bahwa lawan itulah yang ternyata Raden Trenggana. Dan kini ia terdesak hebat oleh serangan Raja Demak itu.



Pada saat Rangga Permana berhal demikian itu, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan menghantam Raden Trenggana dengan

hebatnya. Akibat serangan itu Raja Demak tadi terpaksa meloncat

mundur. Dan bersamaan dengan itu Rangga Permana merasa tangannya disahut oleh seseorang yang bukan lain adalah Ki Ageng

Semanding. Lalu diseretnya Rangga Permana berlari meninggalkan

tempat itu menyusul Madi Alit.

Semula, Raden Trenggana bermaksud mengejar mereka, tetapi

ketika dilihatnya Sentanu terduduk menderita luka akibat serangan

Madi Alit, mengurungkan niatnya. Dengan cepat ditolongnya anak

muda itu, kemudian dibawanya masuk kedalam.

Rakyat Demak yang semula ingin menyaksikan penobatan itu

menjadi takut-takut. Sekalipun masih banyak yang tak mengalami

perasaan itu, tetapi Raden Trenggana telah memerintahkan seluruh

punggawa agar melindungi mereka seraya diperintahkan menyusulkan bantuan ke hutan tutupan ditimur.

Raden Trenggana bernapas lega, api pertempuran hampir saja

membakar kota Demak, jika saja tak berhasil menggiring orang

Majapahit ke hutan tutupan ditimur kota.

Namun demikian bukan mustahil pertempuran tetap akan terjadi di

hutan itu. Maka Raden Trenggana memerintahkan tentara Demak

menyusul setelahnya merasa yakin kota tak akan terjadi kerusuhan.

Sentanu menyatakan kesediaannya untuk menyusul pula.



- Kau masih terluka. _



Kata Raden Trenggana. Tetapi Sentanu tertawa.



- Hanya sedikit sakit, tuanku. Hamba merasa akan segera pulih jika saja hamba menghadapi lawan-lawan itu.



Maka Raden Trenggana tak menahan keinginan anak muda itu

pula. Dan dengan menunggang kudanya Sentanu menyusul Pamasa

dan Wijaya yang berhasil membawa barisan musuh kehutan tutupan

ditimur kota.

Demikian, pada saat yang hampir bersamaan, dihutan itu terjadi keributan. Orang-orang Majapahit yang semula berkumpul dihutan tutupan itu merasa heran. Dalam jumlah besar mereka mendatangi hutan itu dari berbagai arah.



Namun ketika pemimpin-pemimpin mereka tak melihat Rangga Permana, mereka menjadi curiga.



- Kita terjebak. Mereka tadi bukan kawan kita.



Seru mereka.



- Ya, kita tertipu, hayo kita serang mereka sekarang juga.

Namun sebelum mereka berbalik kembali, tentara Demak yang telah bersiaga menghujani mereka yang ada dalam hutan itu dengan panah panah berapi. Hutan itu telah dikepung melingkar. Dan jumlah tentara Demak cukup besar berlipat dari jumlah orang-orang itu. Maka pertempuran menjadi seru dan orang Majapahit yang terjebak kedalam hutan itu benar terdesak. Namun mereka cukup gagah berani. Tak sedikitpun ada niat melarikan diri. Yang demikian tidak mengherankan, sebab orang-orang yang dikirim ke Demak adalah prajurit Majapahit pilihan yang tangguh dan bisa diandalkan. Hanya karena Demak telah mengetahui rahasia dan rencana mereka sajalah membuat orang-orang itu berhasil ditipu untuk berkumpul di hutan tutupan dan prajurit Demak berhasil mengepung dengan kekuatannya yang berlipat ganda.



Pamasa dengan Wijaya merasa girang melihat hasil serbuan dan prajurit Demak bertambah semangat seakan kemenangan telah mereka capai dengan gampang tanpa menimbulkan kekeruhan dikalangan rakyat.



Namun dalam pada itu Rangga Permana bertiga Ki Ageng Semanding dan Madi Alit telah menaruh kecurigaan. Seluruh prajurit yang dikirim ternyata berhasil dibikin lumpuh oleh Demak. Maka mereka sesudahnya merampas kuda dari prajurit Demak, melarikan binatang itu dengan cepat. Bukan mereka takut melakukan perlawanan, tetapi tak akan banyak berguna, sebab dengan hanya bertiga, apalah artinya bagi kekuatan Demak yang tangguh?



Maka mereka berniat kembali ke timur.



Saat ketiganya melarikan kudanya itulah tanpa disengaja telah melewati hutan tutupan, dan karena tertarik dengan pertempuran yang terjadi mereka memasuki hutan itu. Dan alangkah kaget ketika diketahui ternyata mereka adalah prajurit-prajurit Majapahit yang tengah menghadapi perlawanan Demak. Maka tanpa banyak berkata ketiga orang itu mengambil sikap dan turun tangan menyerang prajurit Demak yang telah bertambah semangatnya.



Dengan munculnya ketiga orang itu tentu saja membuat prajurit Majapahit yang semula telah hampir kehilangan semangat timbul pula semangat dan kekuatan baru. Mereka bersorak sorai dengan gegap gempita. Sekalipun jumlahnya kalah berlipat dengan tentara Demak, tetapi semangat telah mereka dapatkan pula hingga dengan gencar kembali mereka melakukan perlawanan.



Pamasa terkejut melihat perubahan itu, ia tak melihat munculnya ketiga pemimpin Majapahit ditengah tentaranya itu. Namun sebaliknya ia melihat Sentanu mendatangi dengan menunggang kuda dan langsung turun tangan membantu tentara Demak yang masih melakukan penyerangan dengan gigihnya.



Sentanu cepat memberi tanda pada Pamasa dan Wijaya ketika matanya melihat Rangga Permana dan Madi Alit telah ada ditempat itu. Dan ketika Rangga Permana tiba-tiba terlihat maju, Sentanu memberi tanda agar Pamasa maju menghadapinya. Maka Pamasa bergerak dan menyambut serangan Rangga Permana dengan'garang. Dan sementara para prajurit semakin gencar mengadu senjata, Pamasa telah terlibat dalam suatu pertempuran dengan Rangga Permana yang menyambut orang Demak itu dengan gagah berani. Pamasa cukup bertindak hati-hati sebab tahu lawannya adalah seorang yang mumpuni, terlihat dari gerak geriknya.



Pada suatu saat pedang ditangan Pamasa berkelebat menyerang membuat Rangga Permana terkesiap hatinya. Gerakan pedang itu amat kuat bertenaga. Namun ia tidak merasa jerih, maka iapun gerakkan pedang pula menyambut serangan itu. Dan



- Trang!



Bunga api berpijar sesaat akibat benturan senjata keduanya. Namun segera disusul oleh serangan berikutnya yang tak kalah dahsyat.



Diam-diam Rangga Permana merasa kagum juga. Serangan pedang lawannya amat kuat dan cepat. Bergerak laksana air bah menggulung dan mendesak tempat-tempat berbahaya ditubuhnya. Maka iapun mengerahkan kemampuan berusaha mengimbangi gerakan senjata lawannya yang masih muda. Namun sebaiknya, Pamasapun diam-diam mengakui keunggulan lawannya. Maka ia amat berhati

hati dan tak mau gegabah menyerang tanpa perhitungan. Dan benarlah kemudian ilmu serangan simpanan yang jarang dipergunakan.



Dan kedua orang itu semakin nampak gencar saling serang. Ditengah terdengarnya suara hiruk pikuk dan gemerincingnya senjata para prajurit yang bertempur, keduanya terlihat saling berusaha menjatuhkan.

Bagaimanapun tingginya kepandaian Rangga Permana, namun


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Pamasa bukan seorang yang mudah dijatuhkan. Kesempurnaan dan

pengalaman tempurnya telah membawanya kepada satu tingkatan

yang membuatnya sukar untuk dijatuhkan begitu saja. Namun demikian pula Rangga Permana juga tergolong seorang yang telah mencapai tingkat tinggi.

Namun pada akhirnya satu gerakan kaki Pamasa berhasil menyambar lambung Rangga Permana dengan hebat hingga orangnya

terpental jatuh dari atas kudanya. Hal itu membuat Rangga Permana

heran dan kagum. Rasa sakit menyerang lambung itu. Tak ia duga

akhirnya lawannya yang masih muda berhasil menyerang demikian

rupa. Tetapi Rangga Permana segera bangkit dan maju pula dengan

senjata telanjang.

Pamasa yang melihat lawan telah tak lagi berada diatas kuda,

iapun meloncat turun dari kudanya. Tapi pada saat Pamasa loncat

turun itu Rangga Permana telah mengirimkan serangan dengan lebih dahsyat mengarah lambung dan leher Pamasa hingga tanpa dapat dicegah, Pamasa terancam jiwanya. Namun bukan Pamasa jika ia tak

mampu menghindarkan diri serangan itu. Pedangnya ia gerakkan berputar dengan cepat menyambut serangan itu-



- Trang! _



Kembali dua

senjata beradu hingga mengeluarkan percikan bunga api. Dan akibat

bertemunya dua senjata itu Pamasa terdorong oleh benturan itu

hingga dari itu ia mampu meloncat dengan meminjam tenaga dorongan lawan untuk kemudian berjungkir balik dan jatuh dalam keadaan berdiri.



- Bagus!-



Rangga Permana berseru memuji. Sekaligus ia lancarkan serangan simpanan dengan lebih gencar. Dan Pamasa terkejut

ketika Rangga Permana tiba-tiba berubah dengan mendadak, terasa

serangannya kini dirasakan berat menindih dirinya. Namun ia berusaha

menahan. Rangga Permana memang menang jauh

diatasnya. Ketika kembali dua serangan bertemu,



- Trang! Duk!

Duk!



Dua tenaga bertemu, dan pedang Pamasa terlempar ke

udara. Tidak itu saja. Rangga Permana bergerak sebat. Serentetan

serangan ia lakukan dan tanpa dapat mengelak Pamasa kena oleh serangan itu hingga ia terpental sejauh enam tombak bergulingan.

Pamasa kaget. Tubuhnya terasa lemah. Tenaga Rangga Permana

yang dilambari kekuatannya telah mampu membuat saudara angkat

Sentanu itu harus menyerah. Namun sebelum Rangga Permana kembali melancarkan serangan, puluhan prajurit telah meluruk menolong

Pamasa, diangkatnya keluar pertempuran, dan puluhan prajurit lain

mengurung Rangga Permana dengan bersemangat.

Wijaya yang berada tak jauh dari tempat itu kaget melihat saudaranya roboh oleh lawan. Akibat dari itu ia menjadi lengah. Sehingga ketika seorang prajurit lawan membabatkan pedangnya Wijaya

tak mampu mengelak, pedang itu telah merobek pundaknya hingga

mengucurkan darah.

Wijaya menjadi sadar. Dan begitu terasa ada darah mengalir dari pundaknya, ia pacu kudanya maju dan hanya dengan dua kali gerakan saja prajurit yang tadi menyerang secara menggelap didupak

terpental sekaligus ia sambar prajurit itu dengan gendewa yang dibawanya hingga prajurit itupun tak sempat lagi mengeluh, roboh dengan nyawa putus.

Sementara itu hujan panah masih terus dilancarkan oleh prajurit-prajurit Demak, menyerbu ketengah pertempuran dan korban tak

lagi dapat dihindarkan. Prajurit Majapahit semakin menipis dan jumlah mereka nyata berkurang. Sekalipun tentara Demak pun juga banyak yang jatuh korban, namun semangat mereka berlipat dari lawannya,

Dibagian lain dalam hutan itu, terlihat pula pemandangan yang

tak kalah hebatnya. Seseorang terlihat bergerak dengan aneh. Diatas

kudanya seorang muda tampan terlihat memegang sebuah tombak

pendek. Dan orang itu yang ternyata adalah Madi Alit, nampak berwibawa dan berpengaruh gerak geriknya. Membuat para prajurit mundur dengan perasaan takut ketika berhadapan dengan pangeran dari

Pajajaran itu.





Tombak pendek ditangan Madi Alit itu nampak bercahaya kebiru-biruan memancarkan pengaruh gaib. Setiapkali ada seorang mendekat, hatinya bergetar dan kecut tanpa tahu sebabnya. Maka Madi Alit menjadi agak leluasa.



Wijaya bergerak mendekati Madi Alit, ia heran dengan pengaruh yang dipancarkan orang itu. Ia tahu senjata ditangan lawan itu akan sulit dilawan, namun ia majukan kudanya mendekat dengan tabah.



Sesungguhnyalah Madi Alit tergolong seorang yang telah mampu menguasai daya pikir dan batin yang tangguh. Sebagai seorang muda yang semenjak kecil telah menjelajahi tempat-tempat bertapa di tlatah Pajajaran dulunya (jilid ke I) Madi Alit telah memperoleh suatu kekuatan yang sukar terlawan. Ia telah mampu menguasai daya ciptanya demikian rupa, sehingga alam ceciptan yang ia timbulkan dapat saja ia ujudkan kedalam bentuk lahir. Maka bagi seorang Madi Alit, mudah saja ia melakukan serangan dari jarak jauh dengan mengirim pancaran kekuatan batin yang ia miliki. Dan kini kekuatan itu ia pergunakan mendorong keluar mujijat tombak pusaka yang ada ditangannya. Tombak pusaka yang jarang ia pergunakan. Sebuah senjata ampuh milik ibundanya yang ia terima di Pajajaran. Dan kini senjata itu ia pergunakan menghalau lawan dengan secara aneh.



Sekalipun Madi Alit tak berniat menghancurkan lawannya, namun

karena ia merasa lawan berjumlah lebih banyak maka ia keluarkan tombak pusaka itu.



Dan ketika Madi Alit menggerakkan tombak itu, hampir seluruh mata yang memandang menjadi terpana. Bahkan barisan panah prajurit Demak tiba-tiba menghentikan serangan dan mereka turunkan gendewanya bagaikan kena pesona. Kekuatan pengaruh yang di pancarkan oleh tombak pusaka itu demikian kuatnya, hingga untuk beberapa saat mana menjadi hening. Pertempuran terhenti dan setiap orang terpaku ditempatnya bagai kena sihir.



Melihat kejadian itu Wijaya tak tahan. Iapun merasakan pengaruh aneh senjata ditangan Madi Alit itu. Tetapi untuk beberapa saat ia berhasil menguasai perasaannya yang terguncang. Maka dimajukannya kudanya mendekati Madi Alit. Namun kurang sepuluh tindak tiba tiba kudanya miringkik dan tak mau maju pula.



Wijaya kaget. Dipaksanya, namun binatang itu tak mau sedikitpun diajak maju. Maka Wijaya terpaksa meloncat turun dan langsung ia serang Madi Alit yang masih memegang tombaknya.



Terjadilah kemudian sesuatu yang hebat. Dalam keadaan biasa tanpa memegang senjata pusakapun Wijaya tak akan mampu melawan Madi Alit. Dan dalam keadaan demikian, Madi Alit tak akan banyak mengalami kesulitan melawan Wijaya. Karena ketika serangan anak muda itu tiba, Madi Alit telah menggerakkan tombaknya dengan cepat. Dan Wijaya harus membayar keberaniannya dengan berat. Ketika tombak lawan bergerak menyambar, terasa oleh Wijaya angin dingin menyambar. Wijaya menggigil dan kaget. Tubuhnya terasa bagai diguyur air dingin luar biasa. Ia terhuyung dengan lemah. Namun ia tak mau menyerah. Dikerahkan semangat dan kemampuannya. Iapun maju kembali dan melancarkan serangan, sekalipun semangatnya sebenarnya telah mulai runtuh. Akan tetapi Madi Alit yang melihat lawan tak mau menyerah, mendadak bergerak terlebih dahulu. Ia lancarkan serangan dengan lebih cepat. Dan tombaknya bergulung berputar dengan dahsyat.



Wijaya tak dapat berbuat banyak. Ia seakan melihat diujung tombak itu seorang dewa tengah melawan dirinya. Maka tentu saja Wijaya tak mampu bertempur dengan baik. Hingga ketika Madi Alit menggerakkan tangan menyerang pula, Wijaya telah tak mampu menahan dan akibat serangan itu ia terlempar keras dan terbanting tak sadarkan dirinya.



Sentanu yang telah muncul ditempat itu terkejut melihat kehebatan Madi Alit. Dan ketika dua saudaranya telah tak berdaya, ia mengambil keputusan cepat. Dibunyikan tanda bagi prajurit Demak. Agar mereka mundur dan kembali kekotaraja.





Prajurit Demak mendengar isyarat dari Sentanu, bertindak cepat. Mereka berloncatan dan mundur berusaha menyingkir dari tempat itu. Semula orang-orang Majapahit bermaksud menyerang dan mengejar. Tetapi Madi Alit memerintahkan agar berhenti dan tidak melakukan pengejaran.



- Kita kembali. -



Kata Madi Alit pada Rangga Permana.



- He, mengapa kembali? Bukankah kita telah hampir mendapat kemenangan?



- Kemenangan? Kemenangan atas para prajurit itu? Tak banyak berguna. Sudahlah, kita kembali dan menyusun rencana lebih bagus. Sebab kemenangan ditempat ini tak akan banyak berguna.



Akhirnya Rangga Permana memerintahkan seluruh prajuritnya kembali dan kawan mereka yang terluka diangkutnya.



- Bagaimana rencana dan muslihat kita bisa diketahui orang Demak itu? ---



Rangga Permana tak habisnya bergumam dan menyesali



- Ah, tentu ada seorang linuwih disana.



Tukas Madi Alit.



- Pemuda yang datang belakangan memerintahkan kembali tadi nampak

benar memiliki kemampuan luar biasa. Kau lihat, dia bernama Sentanu. Tentu ia memegang pengaruh di Demak. -



Rangga Permana menggelengkan kepala.



- Ah, kau belum mengenal Demak.



Katanya.



- Dia bukan orang Demak. Bahkan bukan prajurit rasanya. Dalam penobatan tadi tetunggul-tetunggul Demak masih belum kelihatan muncul. Tentu mereka berjaga didalam istana.



- Tetapi, kita tak boleh menganggap ringan terhadap anak muda bernama Sentanu itu. Bahkan dua orang pemimpin yang kita taklukkan tadipun nampak berilmu. _



Dan Madi Alit tiba-tiba teringat seseorang.



- Masih ada seseorang yang harus kita perhitungkan. Kau

belum mengetahuinya. Ia begitu kuat dan sukar terlawan. -



Katanya.



- He, siapa? -



Rangga Permana bertanya.



- Aku pernah bertempur dengannya. -Seorang gadis muda cucu Mpu Sugati yang terkenal.



- Hmmm. ....... -



Rangga Permana menarik napas dalam-dalam. Betapapun banyak lawan tangguh ia tak mundur dan tak sudi menjadi taklukan Demak.



Dan mereka terus berjalan kembali ke timur. Sedang Madi Alit sudah membayangkan yang disebutnya sebagai cucu Mpu Sugati, yakni putri seorang prajurit Demak bemama Sasadara yang mengaku bernama Ken Rati. Ya, Madi Alit teringat gadis itu hingga sepanjang perjalanan si gadis mengikuti diruang matanya. Ken Rati, Ken Rati yang semula berkawan, terpaksa harus berpisah setelahnya mengetahui mereka bermusuhan dan bertentangan kehendak.



Pagi hari ketika matahari belum menampakkan dirinya dengan sempurna, dihutan pegunungan dimana kabut masih menyaput permukaan bumi yang lengang, terlihat seorang anak-anak berlari-larian dengan gembira, menuruni jalan gunung. Kakinya yang kecil bergerak-gerak lincah dan bersemangat. Turun dengan gerakan yang baik dan indah dipandang. Mata si anak bersinar dengan bola mata hitam, sedang mulut dan hidungnya yang indah mengembang dan bergerak-gerak pula ketika berlari itu. Dan meskipun gerak kaki yang kecil ramping itu bertelanjang tanpa mengenakan alas kaki, tetapi anak itu berlari dengan cepat. Sekali-kali terlihat ia meloncat-loncat. Maka kendati pagi hari benar, anak itu terlihat berkeringat tubuhnya. Dadanya yang telanjang basah oleh keringat itu. Dan kalau saja saat itu ada orang lain, tentulah akan dapat mengira ngira berapa usia si anak. Tak lebih dari enam tahun. Beroman bagus dan kuning. Dan matanya itulah yang nampak mengagumkan. Pandangannya amat polos dan mata itu bersinar indah bagai bintang pagi, namun tajam menyorot dan menimbulkan kekaguman.



Anak itu terus berlari. Tak sedikitpun ada rasa takut ketika berlarian turun gunung, sekalipun dikanan kirinya banyak jurang menganga dan batu-batu terjal dijumpai dalam berlari itu. Barulah ketika semakanan nasi lamanya, anak itu tiba-tiba berhenti. Di mukanya terhampar sebuah dataran yang tidak terlalu luas. Anak itu berhenti disana, lalu ia mendekati batu besar yang ada ditempat itu, kemudian menjatuhkan dirinya diatas batu itu lalu dengan tapak tangannya ia membersihkan batu besar dan rata itu dari embun yang membasah. Dan si anak duduk bersila diatasnya.



Terlihat kemudian anak itu menarik 'napas dalam-dalam dan matanya merem untuk beberapa saat lamanya. Saat itulah matahari menyinarkan cahaya, menerobos cahaya itu lewat celah dedaunan dan pohonan yang banyak terdapat disana. Dan kebetulan si anak membelakangi cahaya matahari, hingga punggungnyapun mulai dijilati oleh sinar matahari itu. Tetapi si anak tak bergerak. Ia masih duduk bersila dengan tak bergerak sedikitpun. kecuali dadanya terlihat turun naik, selaras dengan tarikan napas ketika ia menghirup dan melepaskan panasnya.



Anak itu nampak bersemangat benar. Ia terus menerus menghirup kemudian melepaskan sumber dan daya hidup melalui hidung yang nampak mengembang. Agak lama anak itu duduk bersila demikian, mengatur napas hingga dadanya bergerak gerak turun naik dengan tegar. Tubuh kecil diatas batu hitam itu nampak teguh dan anggun, seakan batu karang yang tak tergoyahkan oleh gelombang laut yang menghantam bergelora.



ketika anak itu masih dalam keadaan demikian, mulai ramai tempat itu dengan kicau burung yang bercuitan riuh menyambut munculnya matahari dihutan itu, dari arah kejauhan terdengar suara mengetuk-ngetuk bagai orang memukuli batu gunung. Namun kalau orang memperhatikan benar, suara itu ternyata adalah enam 'kaki kuda yang berlari perlahan sedang turun gunung. Dalam suasana pagi yang hening dan sunyi itu suara kaki kuda tadi amat jelas terdengar, bahkan gemanya memantul dengan lebih keras.



Tak berapa lama kemudian suara kaki kuda itu semakin terdengar jelas. Dan dari arah jalan dimana anak tadi muncul, terlihat kuda yang mendatangi itu juga turun dengan perlahan. Dan dipunggung kuda itu nampak seorang wanita muda memegang tali kendali akan tetapi rupanya mendengar suara kuda yang mendatangi itu anak tadi tiba-tiba loncat dan bersembunyi didalam gerumbul semak yang ada tak jauh dari tempatnya duduk.



- Eh, Mundarang, bengal kau! -



Terdengar seruan wanita muda itu ketika melihat anak tadi loncat kedalam semak. Maka wanita itu loncat turun dari punggung kudanya, dan dengan beberapa kali loncatan telah berada dekat semak itu.



- Mundarang, ayo kau keluar! Kakek menunggu diatas! -



Seru wanita itu pula. Namun tak ada jawaban. Ditunggunya beberapa saat. Tapi yang sembunyi dalam semak itu tak menyahut sedikitpun. Dengan demikian si wanita tadi bertindak, ia maju dan menguak gerumbul semak yang lebat itu. Tetapi si anak telah tak ada. Wanita itu menoleh dengan heran. Mencari-cari.



- Ibu, aku ada disini!



Terdengar seruan kecil. Dan wanita muda itu menoleh pula kebelakangnya.


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Ah, anak itu telah berada disebatang pohon kecil. Rupanya sewaktu menyusup ke dalam semak tadi anak itu merangkak dengan cepat kemudian memanjat pohon kecil itu.



- Ha, kau memang nakal! -



Wanita muda itu berseru pula.



- Turun!



Tetapi bersamaan dengan itu wanita tadi telah bergerak cepat berkelebat dan loncat menangkap lengan si anak yang masih bertengger diatas dahan yang paling rendah. Anak yang di panggil Mundarang itu tertawa dan loncat menghindar dengan turun kebawah. Namun rupanya hal itu telah diperhitungkan oleh Wanita muda tadi, sebab gerakan si anak yang gesit dan lincah ternyata tak berhasil menghindar dari tangkapan wanita itu. Ketika Mundarang loncat kebawah dengan maksud mengelak, wanita muda itu telah bergerak lebih cepat, hingga bukannya lolos dari tangkapan, sebaliknya Mundarang malah masuk kedalam pelukan Wanita itu.



- Anak nakal, ayo kita kembali!



Anak itu tertawa, tetapi ia sembunyikan mukanya kedalam dada wanita itu.



- Ayo kau naik sendiri! -



Kata si wanita. Dan anak itupun melorot turun dari pelukan. Dengan gembira kemudian wanita muda itu memegang lengan si anak, membantunya naik ke punggung kuda. Sesudahnya barulah wanita itupun naik duduk dibelakang anak itu.



- Pulang Lawung! -



Kata wanita itu pada kudanya dan binatang itu rupanya mengerti, membalikkan tubuh kemudian berjalan naik kembali, melewati jalan sempit dengan jurang dan batu-batu gunung yang banyak terdapat disitu.



- Hari ini kau nampak rajin berlatih. -



Kata wanita itu selagi mereka masih dalam perjalanan naik itu.



- Kakiku masih sakit. -



Sahut si anak.



- Ya, beritahu kakek nanti. Kau harus berhati-hati jika berloncatan diatas batu yang dibuat kakek itu. Tetapi jangan takut. Kelak kau tentu akan dapat melakukan itu. Tentu kau akan melebihi ayah dan kakekmu. -



- Kapan aku diperbolehkan mencari ayahku, Ibu?



Tanya si anak.



- Entah, terserah kakek, tetapi tentu saja kalau kau sudah besar benar' -



- Ya, aku juga sudah besar Ibu,ayahku tentu akan senang melihat aku begini. Dimanakah harus mencarinya?



Wanita itu terdiam untuk beberapa saat.



- Dimana Ibu? -



Si anak bertanya pula membuat wanita

itu terpaksa harus tersenyum.



- Kau boleh mencarinya di Demak. -



Sahutnya kemudian.



- Ya, Demak. Jauhkah Demak itu?



- Jauh. tetapi, dengan menunggang si Lawung ini kau akan cepat tiba disana. .



- Ayah dulu juga menunggang si Lawung?



- Kapan? -



- Waktu ayah pergi ke Demak itu, ayah juga menunggang Lawung ya., Bu?



Tetapi wanita itu menggelengkan kepalanya. Si anak menoleh kebelakang, berusaha menatap ibunya.



- Mengapa tidak membawa Lawung Bu bukankah ayah juga pandai menunggang kuda?



- Ya, ayahmu pandai menunggang kuda. Tetapi kuda ayahmu lebih gagah dan besar dari Lawung ini, Mundarang.



Anak itu terdiam, Rupanya membayangkan kuda ayahnya yang dikatakan lebih gagah dari si Lawung,



- Bu. Kita larikan si Lawung!



Tiba-tiba anak itu berkata

dan sebelum wanita muda tadi menjawab, kuda itu telah dibedal

hingga berlari dengan cepat naik keatas dan kedua penunggangnya berguncang-guncang dibuatnya.



Ternyata anak itu cekatan dan tangkas mengendarai kuda itu sekalipun tangannya kecil kuda itu cukup tahu dengan tuannya, dan si anak yang pandai menunggang kuda membawa binatang itu berlari, dan ibunya yang berada di belakang, tak banyak berkata. Ia juga ikut memegang tali kendali dan diam-diam rupanya wanita muda itu berbangga dengan Mundarang. Nampak matanya bersinar. Dadanya tentu berbunga-bunga memiliki seorang anak demikian .



Siapakah sesungguhnya kedua ibu dan anak itu?



Kalau saja orang memperhatikan, dengan mudah akan mengenal si wanita. Sebab tidak lain ia adalah Mirah Sekar anak Adipati Tamponi yang setelahnya terjatuh kedasar jurang, berpisah dengan Sentanu lalu dipelihara oleh seorang tua yang mengaku sebagai anak dari Ki dalang Dharmapara bernama Guru Bantu. Mirah Sekar kemudian berguru pada orang tua itu. Tetapi seperti telah dipaparkan Mirah Sekar ketika pertama berada dengan orang tua itu ia telah mengandung benih dari Pemuda Sentanu (Baca jilid 6).


Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang Kisah Tiga Kerajaan Sam Kok Romance Of Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa

Cari Blog Ini