Ceritasilat Novel Online

Mencari Tombak Kiai Bungsu 11

Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan Bagian 11





Dan benih yang kemudian terlahir itu maujud dalam bentuk sebagai si anak tampan Bagus Mundarang yang kini berada berdua dengan Mirah Sekar di atas punggung kuda itu.



Tentu saja kegirangan Mirah Sekar mendapatkan seorang tua berbudi sebagai Guru Bantu, menimbulkan harapan baru dalam hatinya. Bahkan ketika Mundarang lahir, bagi Mirah Sekar menjadi tumpuan segalanya.



Mencurahkan segala kasih sayangnya pada anak itu. Dan berkat didikan yang diberikan oleh Guru Bantu maupun ibunya .Mundarang telah tumbuh sebagai seorang kanak-kanak yang kuat dan pandai. Bahkan rasanya guru dari Mirah Sekar sendiri yakni Nyi Ageng Maloka tak akan mampu mendidik Mundarang sedemikian rupa. Semenjak kecil Mundarang telah digembleng secara teratur oleh kedua kakek di bantu Mirah Sekar. Hingga tak mengherankan dalam usia enam tahun Mundarang telah mampu melindungi diri sendiri. Sekalipun ia masih bertulang muda, namun kepandaiannya tak akan mudah diimbangi oleh seorang dewasa sekalipun. Tubuhnya telah tumbuh dibawah didikan alam dan latihan berat yang diberikan oleh kakek dan ibunya. Bahkan Guru Bantu telah pula memberikan pengetahuan batin semenjak Mundarang dianggap mengerti dengan kehidupan yang selaras dengan alam pikirannya yang masih kanak-kanak. Sedang Mirah Sekar melatih anak tunggalnya itu dengan pengetahuan dan ilmu tulis. Hingga meskipun Mundarang hidup ditengah gunung, jauh dari keramaian kota Demak, namun ia telah memiliki dasar-dasar pengetahuan dan kemampuan tinggi. Lahir dan batin. Dan berbanggalah Mirah Sekar manakala menyaksikan anak itu memperlihatkan hasil didikan kedua orang tua yang mengasihi dengan sepenuh rasa dan perhatian itu.



Dalam pada itu Mundarang berkat didikan kakek itu ternyata mewarisi sifat dan kebiasaannya. Ia juga banyak bergaul dengan penduduk pedusunan yang ada disekitar tempat Guru Bantu tinggal. Ke dermawanan Mundarang yang masih kecil seringkali merebut hati orang. Bahkan teman sepermainan Mundarang disekitar pedusunan, amat banyak. Ia seringkali harus berlama-lama bermain, dan sering kali Mirah Sekar mencari dan mengajaknya pulang.



Maka tak mengherankan, jika seluruh penduduk yang semula telah mengenal baik siapa orang tua yang tinggal dibalik gunung ini maka kini bertambah girang mengenal cucu yang bernama Mundarang. Karena sejak kecil anak itu telah memperlihatkan watak dan kebiasaan yang terpuji. Nampak benar Mundarang selalu melindungi kawan yang lemah bahkan selalu memihak siapa yang dianggapnya benar. Mundarang telah tampil sebagai kanak-kanak telah mampu membedakan yang buruk dan baik.



Sementara itu kedua ibu dan anak tadi telah tiba dibagian puncak. Ketika Mundarang yang duduk dimuka melihat seorang tua berdiri dijalan, ia menghentikan kudanya.



- Aku turun Ibu! _



Serunya. Lalu sebelum Mirah Sekar sempat turun lebih dulu, Mundarang telah loncat turun dan berlari mendekati si kakek.



- Anak nakal, kemana saja kau sepagi ini?! -



Kakek itu tertawa dan tangannya bergerak seakan mau memukul kepala Mundarang dan agaknya sekalipun gerakan tangan itu perlahan akan bisa membikin pusing jika kepala kena terpukul. Tetapi Mundarang yang telah kenal dengan kebiasaan kakeknya bergerak cepat. Sebelum tangan

itu menyentuh dirinya, ia telah berkelit hingga pukulan itu lewat disisi telinganya.



Tetapi si kakek tak mau sudah. Kakinya ganti bergerak cepat ketika Mundarang berkelit itu. Kakek itu berusaha menyerang kaki Mundarang. Namun Mundarang kecil meloncat mumbul dan sebelum orang tua itu sempat bergerak pula, tahu-tahu Mundarang telah memeluk leher kakeknya. Tak mau melepaskan dan mukanya dibenamkan pada leher itu.



- Ha ...... ha ., he Kau benar nakal dan pintar! Ah, Sekar bagaimana kau jadi bisa mempunyai anak seperti ini ...... ha ...... ha -



Lalu Mundarang diangkatnya tinggi-tinggi dan si kakek tiba-tiba menggerakkan tangan dengan kuat, dilemparnya tubuh Mundarang kemuka hingga terlempar dengan deras.



Tetapi anak itu sigap dan tangkas. Merasa tubuhnya dilempar, ia sadar dan cepat mengambil keseimbangan, dan ketika tubuhnya merasa menyentuh tanah, sebelum terbanting Mundarang bergulingan berputar beberapa kali, lalu dengan gerak mengagumkan tahu-tahu telah loncat berdiri dengan muka bersinar.



Pada saat itu Mirah Sekar tersenyum. ia tatap Mundarang. dan si anak loncat kemuka mendekati kakeknya pula..



- Kemari! -



Perintah orang tua itu. Ketika Mundarang terlah dekat kakek itu berkata perlahan.



- Eh Mundarang, kau harus lebih cepat ketika menghindar dari pukulanku tadi. Gerakanmu lamban dan bagian dadamu masih terbuka. Kalau saja tadi aku bersungguh-sungguh menyerang, sekalipun kepalamu selamat karena kau berkelit, tetapi dadamu lowong, membuat lawan akan mudah menyerang bagian itu. Dan sewaktu kau bergulingan jangan menunggu sampai tubuhmu menyentuh tanah. Bahkan begitu kau merasa terlempar seharusnya kau berusaha berputar diudara, dan menjatuhkan diri, begitu menyentuh tanah kau cepat berguling. Maka tentu saja kau masih harus banyak melatih diri.



Mundarang menganggukkan kepala ia menyatakan akan menuruti nasehat itu. Karena ia terbiasa diperintah demikian, Mundarang tak banyak membantah, lagi pula ia percaya kakeknya memang mengetahui hal itu.



- Nah, sekarang kau bersihkan badanmu. sesudah itu kita berktampul. Ada yang-akan aku rundingkan dengan kalian. ....



Mundarang tertawa, lalu ia loncat dan berjalan pergi, diikuti Mirah Sekar turun ke tempat tinggalnya dengan bangunan baru dan petamanan yang indah disitu.



- Sekar.



Berkata orang tua itu setelahnya mereka bertiga berkumpul.



- Rupanya saat inilah yang telah kutunggu semenjak lama. Hari-hari inilah sesungguhnya merupakan hari perjanjian antara aku dengan gurumu Nyi Ageng Maloka dengan Ki Ageng Semu. Mereka tentu akan mencariku ditempat ini. Sebab bagi kami orang-orang tua ada yang akan dirundingkan ditempat ini. Seperti kau ketahui Sekar. tempat ini adalah tempat rahasia yang tak akan mudah diketemukan oleh siapapun. Bahkan kau sendiri jika bukan karena terjatuh ketika mengambil buah merah itu tak dapat masuk kemari. Namun demikian karena kami orang-orang tua telah berjanji dulunya, kami akan mengadakan pertemuan ditempat ini. Sekaligus berunding untuk menentukan siapa yang harus mewarisi ilmu tinggalan Bapa Dharmapara. Semula Sekar, akn berjanji akan menurunkan ilmu itu kepadamu. Sebab hanya orang-orang yang sedang mengikat tali asmara sajalah yang dapat menerima tinggalan itu. Tetapi karena ternyata kau terlanjur memiliki Mundarang, dengan terpaksa ilmu tinggalan Bapa Dharmapara tak dapat kuberikan padamu. Namun demikian, jangan berkecil hati, sebab dengan kemampuan yang telah kau miliki dari gurumu Nyi Ageng Maloka, kau telah mampu melawan siapapun.



Mirah Sekar mengangguk-anggukkan kepala. Ia dapat memahami perkataan orang tua itu. Bahkan telah seringkali hal itu diulang.



- Jadi paman akan meninggalkan tempat ini?



- Ya, untuk beberapa hari saja. Kau jaga Mundarang dan tempat ini baik-baik



- Akan pergi kemanakah kakek?



Bertanya Mundarang.



Guru Bantu tersenyum, ia mengelus kepala anak itu.



- Ah, nanti kuberitahu sesudahnya aku kembali.



Jawabnya



- Kalau ke Demak, mengapa kakek tidak mengajakku?



- Ah bukan ke Demak Mundarang. Kakek mau mencari kakekmu yang lain. Kau tinggal lebih dahulu berdua ibumu disini. Setelah kakek kembali kau boleh pergi ke Demak kalau kau mau, _,



- Ah, benar itu?



Mundarang berseru girang.



- Tentu saja kau boleh mencari ayahmu.



- Ya, tentu aku akan mencarinya. Aku sudah besar, bukan?



Orang tua itu tertawa. Namun ketika ia melirik Mirah Sekar, nampak wanita muda itu tertunduk. Tentu saja orang tua itu tahu. Bahwa Mirah Sekar bersedih.



Sebab siapakah sesungguhnya yang tahu dimana adanya Sentanu?



Mirah Sekar terpisah dari Sentanu ketika terjatuh meraih buah merah dihutan dan terjun masuk kedalam jala yang di,pasang Guru Bantu. Sejak itu tak lagi mereka keluar dari sana, maka keduanya sesungguhnya tak dapat memastikan apakah Sentanu ada di Demak atau tidak. Hanya dugaan bahwa anak muda itu di sana, sebab Mirah Sekar tahu Sentanu tengah berusaha masuk tamtama sebelum terpisah dengannya dulu itu. Hanya karena tak ingin mengecewakan Mundarang sajalah, mereka selalu mengatakan bahwa Sentanu, ayah anak itu ada di Demak.



- Tahukah ia kalau anaknya telah demikian besar?



Pikir Mirah Sekar membayangkan Sentanu.



- Mundarang, karena saatnya hampir tiba bagimu untuk segera turun gunung dan mencari orang tuamu, kau harus rajin berlatih. -



Kata orang tua itu pula. Lalu disambungnya.



- Selama aku tidak berada ditempat ini kau harus menjaga ibumu, turut nasehat dan perkataannya. Kelak jika kau berada ditengah rakyat ramai, kau akan bisa memperlihatkan sikap dan kejujuran sebagai seorang jantan yang membela kebenaran. Ingat itu! _



- Ya, aku akan turut perkataanmu kakek. -



Jawab Mundarang. Dan orang tua itu mengelus-elus rambut cucunya yang masih kecil. Diam-diam dihati Guru Bantu membersit perasaan bangga pada cucunya itu. Ia anggap anak kecil itu telah cukup memiliki dasar pengetahuan dan ilmu.Kelak jika dewasa tinggal menempa dengan didikan yang lebih baik, maka diharapkan Mundarang akan menjadi seorang kuat lahir dan batinnya. Dan setelahnya beberapa lama mereka terdiam, orang tua itu berkata pula.



- Nah, sebagai tanda kau harus tetap rukun dengan seluruh penduduk pedesaan yang ada disekitar tempat ini. Aku bermaksud mengajakmu berkeliling kedesa-desa itu. Sekaligus aku ingin menitipkan dirimu pada mereka. ....





Mundarang bersinar matanya mendengar perkataan itu.



- Kakek mau mengajakku berkeliling pedusunan? -



- Ya, hanya untuk pamit pada mereka dan menitipkan dirimu, agar kau tak berbuat nakal.



Dan Mundarang bersorak, ia pegang-pegang jenggot kakeknya dengan senang.

- Menunggang si LaWung kek?!



Tanya Mundarang pula.



- Sesukamu. -



- Ya, kita ajak dia tentu senang.



Dan Mundarang tanpa menunggu tiba-tiba saja berlari keluar, dicarinya kudanya si Lawung sementara kakeknya berkata pada Mirah Sekar.



- Hati-hatilah menjaga Mundarang Sekar, ia masih terlampau muda sengaja aku akan mengajak ia berkeliling pedusunan sebab selama ini kubiarkan ia bermain sendiri. Sekaligus aku ingin menitipkan anak itu pada orang-orang dusun itu manakala Mundarang ada diantara mereka. Bukankah Mundarang terlalu sering nakal dan mengganggu?



- Mereka sesungguhnya sayang pada anak itu. -



Jawab Sekar.



- Ya, ya, aku tahu, tetapi kita sebagai orang tua tidak selayaknya membiarkan Mundarang berbuat semaunya. Biarlah orang-orang dipedusunan itu merasa bahwa kita menitipkan Mundarang pada mereka. Bukankah tak ada buruknya. Dan aku ingin Mundarang bisa bepergian berdua denganku, karena aku akan secepatnya meninggalkan tempat ini untuk beberapa lamanya. Hanya pesanku kau awasi baik baik anakmu itu. -



Mirah Sekar menganggukkan kepalanya.



Orang tua itu segera bertindak keluar, diluar terlihat Mundarang yang sudah berada di punggung kudanya mengelus-elus rambut surai binatang itu.



- Hayo kita berangkat. --



Kata Guru Bantu. Lalu ia meloncat kepunggung kuda itu duduk di belakang Mundarang.



- Ayo Lawung, kita pesiar dengan kakek.



Kata Mundarang dengan tertawa. Dan orang tua itu tersenyum. Maka dibedallah kuda itu yang segera berlari mencongklang membawa kakek dan anak itu turun melewati jalan gunung menuju pedusunan yang ada dibawah.



Sesungguhnya Guru Bantu dapat langsung membawa Mundarang melewati jalan tembus yang ada seperti ketika membawa Mirah Sekar pertama kali dulunya, namun karena orang tua itu menginginkan Mundarang dapat melingkari jalan gunung. sengaja membawa kuda turun melewati jalan itu. Dan Mundarang girang, ia banyak berbicara dan banyak bertanya.



Dijalan itu terlihatlah cucu dan kakek yang menunggang si Lawung mencongklang dengan anggun. Kuda jantan gagah itu nampak pula gembiranya. Ia terlalu biasa membawa dua orang itu, lebih-lebih dengan Mundarang yang biasa bermain sampai jauh dengannya Maka si Lawung terasa keduanya terlalu sayang, hingga binatang itu seakan ingin membalas budi baik mereka dengan setia dan menuruti kemanapun kemauan tuannya.



Gunung itu seakan bergetar ketika si Lawung dengan gagah dan geraknya yang anggun membawa kedua tuannya diatas punggungnya. Dan ketika mereka telah turun ditempat terbuka dan datar, binatang itu berlari lebih cepat menuruti arah isyarat yang diberikan oleh Mundarang.



Dan karena cepat serta tangkasnya si Lawung membawa mereka, tidak selang lama mereka mulai memasuki tlatah Padukuhan Gilang yang ada didekat pertapaan Guru Bantu.Dan orang-orang yang kemudian berpapasan dengan mereka berseru girang menyapa dan menghormat dengan senyum lebar. Hal itu tak mengherankan, karena

Guru Bantu sejak lama telah dikenal baik oleh seluruh penduduk di Padukuhan itu. Karena orang tua itu demikian baik dan selalu menolong mereka dengan berbagai uluran kebaikan, bahkan seluruh hasil berladang dan bertanam banyak diberikan pada penduduk di padukuhan, pada rakyat disekitarnya.Karena itu kemudian disebut dengan gelar Guru Bantu. Sejak saat itulah ia terkenal dengan sebutan itu. Karenanya, ketika orang tua itu terlihat berkuda dengan Mundarang. siapapun, bahkan yang tengah bekerja di pesawahan dan dikebun berdatangan. mereka kemudian berkerumun mengelilingi kedua cucu dan kakek itu.



- 0, guru Hendak kemanakah guru sepagi ini? '



Tanya salah seorang.




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


- Singgahlah digubug saya guru, hamba akan hidangkan nasi ketan yang kemarin baru panen itu.



kata yang lain.



- Hei, hei Mundarang, mengapa kali ini begitu manja, mengajak kakek berjalan-jalan?! Mau kemanakah?



Kata yang lain pula.



- Selamat datang guru, lama saya kangen dengan guru. Terima kasih dengan pemberian guru yang dikirim oleh Ayu Mirah Sekar!



Dan banyaklah perkataan-perkataan mereka hingga orang tua itu tak sempat menjawab satu persatu, hanya melambaikan tangan dan berseru berulang-ulang:



- Terima kasih! Terima kasih! Kalian

sangat baik. Selamat, selamatlah kalian



Dan Mundarang tertawa-tawa, ketika banyak orang mencowel pipinya atau pahanya, bahkan ketika seorang tua dengan tangan kotor mencubit dada anak yang telanjang itu, ia tertawa mengikik.



Namun ketika orang semakin banyak berkumpul mengelilingi, Guru Bantu malah memerintahkan mereka berkumpul. Setelahnya ada seratusan orang berada ditempat itu, orang tua itupun berkata :



- Saudara-saudaraku. Sebenarnyalah, sengaja aku datang pada kalian. Aku sudah kangen juga, terlalu lama aku berada dipertapaan maka aku ingin bertemu dan berkumpul seperti ini. Tetapi baiklah kita menuju kerumah Kepala Padukuhan. Hayo kita kesana. Bagi yang tengah bekerja, jangan tinggalkan pekerjaan itu, tak ada yang terlalu penting. Hanya karena aku ingin pamitan pada kalian dan menitipkan anak nakal ini!



- He, guru mau kemanakah? -



Tanya mereka hampir serentak.



- Tidak ada yang penting untuk diketahui, hanya itu, tidak lama aku juga kembali. Ijinkan aku akan kerumah Kepala Padukuhan diujung dusun itu. -



- Ya, kami akan ikut denganmu Guru......! Kami akan iringkan Guru kerumah Kepala Padukuhan



Seru orang-orang itu.



Guru Bantu tak dapat menolak pula, maka ia perintahkan Mundarang membawa kudanya sedang ia meloncat turun, kemudian berjalan bersama-sama orang-orang pedusunan itu. Akan tetapi, ketika kakeknya turun itu Mundarang tiba-tiba juga loncat turun.



- Aku ingin berjalan juga kek. -



Katanya. Dan orang tua itu tak melarang, maka Mundarang berjalan diiringkan orang banyak.



- Eh Lawung.



Kata Mundarang kemudian.



- Kalau kau ingin berlari-larian, pergilah lebih dahulu kerumah kepala Padukuhan diujung dusun. Kau tunggu kami disana! -



Kuda jantan si Lawung meringkik perlahan, ia tahu maksud tuan kecil itu. Maka si Lawung yang telah terlatih dan terbiasa itu tanpa diperintah duakali berlari mencongklang dan kabur sendirian menuju tempat yang dikatakan oleh Mundarang.



Guru Bantu tersenyum. Diam-diam ia memuji tabiat cucunya. Sebab dengan begitu kakek itu bisa menilai bahwa Mundarang telah memahami keinginan si kuda yang sesungguhnya lebih senang diumbar dan berlari. Maka dibiarkan saja ketika si Lawung pergi meninggalkan mereka. Dan iring-iringan itu terus berjalan. Nampak sekali betapa mereka disegani serta dihormati oleh banyak orang diseluruh Padukuhan itu.



- Kalian tolong jaga dan awasi cucuku kalau aku belum kembali.



Kata Guru Bantu pada orang-orang itu.



- Ia harus dijewer kalau nakal dan mengganggu.



Sambungnya pula.



Dan orang banyak tertawa. Mereka tahu Mundarang adalah scorang kanak-kanak yang baik dan penurut.



Benar seringkali Mundarang mengajari teman sepermainan untuk memanjat2 pohon. Bahkan banyak kebun buah dijelajahi oleh Mundarang dengan kawan-kawan mainnya didusun itu. Tetapi pemiliknya bukan marah, sebaliknya merasa senang dan membiarkan anak itu menghabiskan seluruh buah miliknya. Sebab siapapun tahu Gnru Bantu telah memiliki lebih banyak kebun buah dan ladang palawija. Dan hampir setiap memetik hasil penduduk padukuhan itu akan mendapat bagian. Maka tak akan terjadi orang marah pada Mundarang. Dan Mundarang, selain memiliki watak terpuji, ternyata juga gemar melindungi kawan. Bahkan ia banyak mengalah.Kalau saja ada seorang yg lebih besar memukul anak lebih kecil, tentu Mundarang akan menghajar anak nakal itu. Dan sudah barang tentu tak ada anak sebaya dipadukuhan itu yang mampu melawan Mundarang.



siapakah diantara mereka mampu melawan anak murid Guru Bantu dan anak tunggal Mirah Sekar yang berilmu tinggi?



Namun Mundarang sekalipun masih kanak-kanak, ia telah diajar untuk selalu berendah hati. Tidak memamerkan kebisaan serta keandalan.. Hingga tak mengherankan jika Mundarang selalu disenangi kawan-kawannya. Bahkan anak tunggal Mirah Sekar itu kerapkali melatih dan mengajar kawan mainnya dengan ilmu bela diri dan tata kelahi. Seakan ia menjadi guru kecil diantara teman-temannya di Padukuhan itu.



- Selamat datang guru



Sambut Kepala Padukuhan ketika rombongan besar itu memasuki pekarangan rumahnya.



Dan ramailah tempat itu. Orang berdatangan semakin banyak dan mereka rata-rata ingin berdekatan dengan kedua kakek dan cucu itu.



Namun ketika mereka masuk kedalam gandok, dirumah kepala Padukuhan itu terlihat sedang menerima banyak tamu yang jelas adalah orang-orang pendatang. Ada sekira duapuluhan orang didalam itu, duduk diatas tikar lampit. Sedang diruang yang lain terlihat masih ada sekitar tigapuluhan orang. Didekat mereka nampak seperangkat gamelan lengkap.



- Ah, maafkan kedatanganku mengganggu.



Kata Guru Bantu pada Kepala Pendukuhan itu.



- Rupanya kau sedang menerima kunjungan sanak jauh. -



- 0, tidak mengapa guru, mereka adalah sanak jauh yang sengaja akan menetap sementara di Padukuhan kita ini.



Kepala Padukuhan itu menjadi sibuk. Ia memerintahkan pembantu-pemhantunya mempersiapkan tikar lagi, dan orang-orang pedusunan yang tadi mengikuti Guru Bantu dipersilahkan duduk diluar setelahnya digelar dengan tikar pula. Dan Mundarang segera menghilang. Karena anak itu bertemu dengan teman-teman sepermainannya. Mereka berlarian menuju hutan kecil yang ada tak jauh dari rumah Padukuhan itu.



Tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda. Dan Mundarang tahu. Si Lawung telah berada dikandang belakang rumah Kepala Padukuhan. Anak itu mendekati kudanya.



- Eh, Lawung, kau tunggu disini saja. Kakek ada didalam, dan aku mau mencari buah kenari dihutan itu. Tinggal saja Lawung!



Dan Mundarang segera meloncat diikuti kawan-kawan kecil lainnya.



Dalam pada itu Guru Bantu telah diterima oleh Kepala Padukahan yang Segera berdiri berkata pada tetamunya yang datang lebih dahulu.



- Ki sanak sekalian, aku perkenalkan. Dia ini adalah Guru Bantu seorang sesepuh yang telah lama menetap disini. Seorang budiman dan linuwih yang .........



- Eh maaf kisanak!



Guru Bantu berdiri dan memotong perkataan kepala Padukuhan itu.



- Adi Jamus ini berlebihan dan terlalu memuji. Aku adalah seorang tua biasa yang memang telah lama menetap disini. Dan aku perkenalkan, orang disini memanggilku dengan sebutan Guru Bantu. Maka kiranya kalau kalian tidak berkeberatan aku yang tua sangat ingin mengetahui sebutan kisanak sekalian dan dari mana asal, sebab tentu saja dengan saling mengenal aku yang tua ini berharap akan mendapat tambah sanak kadang.



Kepala Padukuhan memberi tanda agar tetamunya memperkenalkan diri. Dan dua orang yang agaknya pemimpin mereka berdiri. Seorang diantaranya berumur sekitar empat puluhan tahun mengucap dengan suara cukup keras.



- Ya, kami ingin memberitahukan. Kami seluruhnya adalah rombongan teledek. Dan kami berdua yakni aku sendiri bernama Ganti, sedang adik seperguruanku ini bernama Supala, adalah pemimpin rombongan. Kami berjumlah lima puluh orang lelaki dan sepuluh orang perempuan. Sengaja datang mengunjungi Padukuhan ini dengan maksud memberikan hiburan pada rakyat. Untuk ganti telah kami hanya akan sekedar meminta sumbangan nafkah dan pangan dari Sanak Padukuhan ini. _



Seluruh pendengar ditempat itu hampir berbareng berseru perlahan dengan girang. Mereka lama tak didatangi rombongan teledek dan penari. Maka mendengar perkataan itu tentu saja mereka menjadi gembira. Akan tetapi Guru Bantu diam-diam mengerutkan kening, sebagai seorang yang banyak berpengalaman dan memiliki pandangan tajam, orang tua itu bukan tidak tahu bahwa sikap dan gerak-gerik orang-orang itu tampak mencurigakan. Bahkan kedua pemimpin mereka yang tadi mengaku bernama Ganti dan Supala, jelas tindak tanduknya menyimpan maksud tersembunyi. Dan jelas keduanya terlihat

memiliki kemampuan tempur tinggi. Tetapi orang tua itu tak berkata sedikitpun. Sampai ketika Kepala Padukuhan telah menghidangkan penganan dan jamuan, kedua pemimpin rombongan teledek memerintahkan orang-orangnya mempersiapkan gamelan yang mereka bawa. lalu serombongan penabuh diperintahkan memainkan gamelan itu di ruang tengah sebagai pembuka kedatangan mereka di padukuhan itu.



Dengan terdengarnya suara gamelan itu, kalau semula Padukuhan itu sunyi dan tenang, tentu saja menimbulkan suasana gembira dan meriah. Orang pedusunan menjadi gembira. Dan mereka berdatangan ketika mendengar suara gamelan yang ditabuh dengan indahnya itu. Semakin hari siang yang datang bertambah banyak, bahkan seluruh rakyat mulai berkumpul ditempat itu.



Namun Guru Bantu segera meminta diri, ketika dicarinya Mundarang tak bertemu, orang tua itu pergi dan meninggalkan pesan pada si Lawung .



- Kau bawa Mundarang kembali Lawung, aku berangkat lebih dahulu.



Dan kakek itu kemudian meninggalkan Padukuhan setelahnya minta ijin kepala Padukuhan.



Guru Bantu diam-diam merasakan firasat tak enak dalam pikirnya. Ada sesuatu akan terjadi. Maka bergegas orang tua itu menuju

pertapaannya



- Kemarilah Sekar. ---



Katanya setelahnya tiba. Dan Mirah Sekar berdebar. Tak biasanya orang tua itu berhal demikian. Nampak ada sesuatu yang sedang dipikir benar. Maka cepat ia mendekat tanpa banyak berkata.



- Rupanya memang tak akan ada segala sesuatu yang langgeng dialam ini. -



Katanya setelah menarik napas dalam-dalam dihadapan Mirah Sekar. Lalu:



- Dusun itu Sekar, bahkan seluruh padukuhan itu akan mengalami perubahan dalam waktu dekat ini.



Orang tua itu memaparkan perihal datangnya rombongan penari dan teledek di rumah kepala Pedukuhan tadi.



Mirah Sekar mendongakkan kepalanya dan bertanya.



- Bukankah hal itu malah akan membikin senang sanak padukuhan ? _



- Ha., kau tidak tahu sekar, aku melihat dengan mata kepalaku. Dan bisa dijajagi siapa mereka sebenarnya. Aku tidak yakin mereka akan benar-benar sekedar memberikan hiburan pada rakyat dusun ini. Sayang, sayang sekali aku harus meninggalkan tempat ini. Tak bisa ditunda Sekar. Maka aku hanya berpesan, kau berhati-hatilah mengawasi Mundarang. Ialah yang paling banyak bermain didusun itu. Tempat kita disini tak akan mungkin dapat diketahui oleh orang lain. Tetapi dusun itu, ya dusun yang sejak aku berada ditempat ini merupakan dusun yang tenang dan tentram penduduknya. Dusun yang hanya dipenuhi dengan kerukunan kegotong royongan dan persaudaraan, dusun yang selalu teduh dan aman jauh dari maksiat dan keributan, rupanya harus berganti menjadi dusun yang terbakar oleh kekacauan yang dibawa oleh orang orang itu. Tidak Sekar, aku tak akan keliru menebak siapa mereka. Namun karena rupanya telah menjadi garis hal itu akan terjadi. Hanya itulah pesanku, kau turutlah menjaga rakyat pedusunan itu. Kaulah yang harus melindungi mereka kalau kalau terjadi keributan yang mengancam ketentraman mereka. Kuwajibanmu berat Sekar, selain kau harus melindungi rakyat banyak, kau harus melindungi anakmu Mundarang, sekalipun Mundarang telah mampu menjaga diri sendiri, tak akan mudah orang mencelakakan dirinya, tetapi ia masih terlampau kecil. Sepandai-pandainya Mundarang. ia masih belum masak dalam tindak dan kelakuannya.



Mirah Sekar berdebar hatinya. Ia belum pernah mendengar Orang tua itu sedemikian khawatir dan cemas hatinya. Maka ia berjanji akan mematuhi segala perintah orang tua itu.



- Malam nanti aku berangkat. Entah kapan akan kembali. Hanya saja aku berharap segera sudah selesai kuwajiban yang harus kulakukan. Sedang untuk membantu kalian, aku telah perintahkan tiga orang muda dari dusun untuk turut menjaga dan menemani kalian

ditempat ini. Esok pagi ketiganya akan mulai berada disini.



Mirah Sekar menganggukkan kepala.



Ketika itulah muncul Mundarang menunggang si Lawung tetapi kali ini Mundarang nampak berkerut mukanya, dan suram wajah anak itu. .



- Kau kembali begitu cepat, tidak melihat gamelan dirumah itu? -



Bertanya Guru Bantu. Tetapi Mundarang menggelengkan kepala.



- Tidak, aku tak ingin melihat mereka. Mereka sombong dan kasar. -



Katanya.



- Eh kemari kau anak manis.

Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo




Mirah Sekar meraih kepala anak itu. Lalu si anak yang segera merebahkan kepala dipangkuan Mirah Sekar dielus kepalanya dengan pelahan.



- Kau tidak boleh berprasangka buruk pada orang lain, Mundarang.



kata Mirah Sekar.



- Belum tentu mereka kasar dan sombong, bukan? -



Mundarang mendonggakkan kepala, untuk beberapa saat ia menatap muka Mirah Sekar.



- Ibu apakah kau tak percaya? Aku melihat sendiri perbuatan mereka, Kalau kakek mengijinkan, aku akan ceritakan padamu.



Kata anak itu.



- Katakan Mundarang, apa yang terjadi? Tetapi jangan kau tambah dan kurangi dari kejadian yang telah kau lihat dan alami.



- Begini kek.



Mundarang memulai ceritanya. Ia gerak-gerakkan tangan ketika bercerita dihadapan kedua orang tuanya itu.



- Sewaktu kakek tadi ada dalam rumah Kepala Padukuhan itu, aku dengan Rambat, anak tukang pisau itu, dan dua teman lain yakni Jayus dan Santang pergi mencari buah kenari. Banyak aku dapat buah kenari dengan cara melempar menggunakan batu. Kantungku bahkan kantung teman Mundarang yang lain itu penuh dengan buah kenari itu. Tetapi aku tiba-tiba saja mendengar suara gamelan maka aku ajak teman yang lain berlari ingin mengetahuinya.



- He. Santang, itu ada suara gamelan. Kau dengar, bukan? -



Kata Mundarang.



- Hayo kita melihat '



Anak-anak itu heran. Jarang sekali mereka mendengar suara gamelan yang ramai dan meriah.



- Ayo!



ajak Santang kemudian dan mereka berlari menuju rumah Kepada Padukuhan. Namun setibanya disebrang tegalan tiba tiba mereka berpapasan dengan lima anak lagi dan mereka meminta buah kenari yang dibawa anak-anak itu.



- Berikan kenarimu sebagian Rambat, punyamu lebih banyak. -



Kata Santang. Dan Rambat memberikan sebagian buah kenari yang diperolehnya itu pada temannya.



- Ini punyaku ambil buat kalian semua, bagi! -



Kata Mundarang tiba-tiba. Dan rupanya karena melihat perbuatan Mundarang itu-maka Rambat dengan Santang malahan memberikan pula kenarinya.



- Nah, kalian juga boleh ambil kenari, ambil saja semua!



Maka berebutanlah anak-anak itu menerima buah kenari dari ketiga anak itu. Namun tiba-tiba dua anak yang tergolong paling besar dan bertubuh lebih besar dari Mundarang, merebut paling banyak buah kenari hingga kawan-kawannya berteriak marah.



Tetapi kedua anak itu tak senang hatinya. Anak tadi ia gubat hingga terjerembab dan mulutnya mengeluarkan darah.



Santang maju melerai.



- He, kalian jangan curang. Bagi yang adil! -



Katanya



- Ya, kalian sudah kami beri, masih mau merampas semua ya,



- Jangan curang! -



Sahut Rambat pula.



Namun kedua anak tadi nampak tak mau mengalah, mereka maunya meminta lebih banyak kenari itu. Dan tanpa berkata tiba-tiba buah kenari itu ia lemparkan kemuka Rambat dan Santang, hingga kedua anak tadi kaget. Tentu saja sakit rasanya. Bahkan bukan itu saja. Kedua anak yang paling besar itu tiba-tiba menyerang Rambat dan Santang dengan kayu pemukul.



- Aduh ! _



Rambat mengaduh dan keningnya berdarah. Dan Santang agaknya sempat mengelak hingga kayu pemukul yang dipegang anak satunya tak mengenai badannya. Tetapi karena kerasnya pukulan, kayu itu melenceng dan tepat menggebuk punggung Mundarang. (



- Bug!



Mundarang terhantam oleh pemukul itu. Tetapi ia tak bergerak. Dan sebelum ia berbuat apa-apa tiba-tiba kedua anak

yang meminta kenari lebih banyak tadi menyerang Rambat dan Santang kembali.



- Jangan berkelahi!



Mundarang melerai. Tetapi keduanya malah membalikkan badan dan menyerang Mundarang hampir berbarengan. Tentu saja Mundarang yang sejak tadi marah karena kedua kawannya diserang berusaha melawan. Sebagai cucu dari Guru Bantu yang memiliki kepandaian tinggi serangan demikian tak akan berarti banyak. Maka hanya dengan duakali gerakan lengan, kayu-kayu pemukul yang menyerang dirinya berhasil terlempar bahkan memukul penyerangnya sendiri hingga mereka mengaduh dengan kening berdarah dan sebelum tahu apa yang akan dilakukan, Santang dengan Rambat telah balas menyerang menghantam perut kedua anak lawannya itu bertubi-bibi. Hingga semakin menjerit dan menangislah mereka.



Kejadian itu membuat anak-anak yang tadi berebutan buah kenari menyingkir dan mereka takut melihat temannya berkelahi dan keningnya berdarah.



- Ada apa ini?! -



Tiba-tiba terdengar seruan keras,dan tiga orang lelaki tinggi besar tahu-tahu telah berada ditempat itu. Seluruh anak-anak yang ada menjadi kaget. Mereka menyingkir dengan ketakutan. Ketiga orang itu mereka kenal.



- He, apa yang terjadi?! -



Bentak salah seorang diantara tiga orang yang baru datang tadi.



Dan Rambatlah yang maju.



- Mereka yang mulai. --



Katanya.



- Kami bertiga, Santang, dengan Mundarang membagi buah kenari. Dan mereka berebut. Sedang dua anak tadi minta lebih banyak. Kami berkata mereka harus adil membaginya, tetapi malah kami dipukul dengan kayu itu. -



Ketiga orang itu tertawa keras. Bahkan seorang diantaranya seperti ngakak ketawa bagai iblis kesiangan.



- Ha ...... ha ... ha ., kalian benar-benar berani dan lucu. Eh, hayo kalau demikian kalian harus berkelahi lagi. Ayo aku ingin lihat kalian berkelahi, lekas!



Dan sebelum anak-anak tahu apa yang terjadi, orang-orang itu telah mengeluarkan cambuk panjang, dan menggerakkan cambuk itu keudara.



- Tar! Tar! Tar!



terdengar lecutan-lecutan keras meretas diudara. Dan secara tak terduga seluruh kanak-kanak yang ada ditempat itu telah tergiring membuat lingkaran.



- Ayo kalian berkelahi. lagi! Ayo lekas!



Dan Rambat tahu-tahu telah ditangkap, kemudian oleh orang itu ia didorong maju ketengah.



- Dan kau, hayo maju lawan dia!



Lalu orang itu menangkap salah seorang diantara anak yang terluka keningnya tadi. Maka dua jago kecil berhadapan dengan muka takut.



- Hayo berkelahi lekas!



Kata orang itu berulang-ulang.



- Oh ya, tambah sepasang lagi, tentu ramai dan menyenangkan! Kau maju sini! -



Bentaknya lalu seorang lagi yakni Santang ditarik dengan paksa maju.



- Lawannya kau!



Orang itu menuding Mundarang.



- Hayo

maju! Kau takut? Ha ......... ha ......... tidak usah takut, ini hanya berkelahi kecil-kecilan. Kalian adalah ayam-ayam cilik yang berani berkelahi, bukan? Nah, hayo ayo kau maju ... maju kataku!



Orang itu membentak keras pada Mundarang yang sejak tadi telah menggigit bibir menahan marah. Ia merasa belum kenal dengan orang kasar yang datang-datang berteriak dan mengadu mereka bagai ayam aduan itu. Namun ketika ia tiba-tiba ditarik, hampir saja Mundarang jatuh terjerembab. Tetapi ia segera dapat menguasai keseimbangannya pula.



- E, ayo lekas kalian mengapa menjadi takut? Bukankah tadi sudah baku hantam? _.



Mundarang tiba-tiba berteriak. Tangannya yang kecil ia kepalkan.



- Tunggu dulu! -



Serunya.



- Aku mau berkelahi tetapi dengan syarat.



- Apa katamu? Kau anak kecil ini minta syarat? Apa syarat itu? _



- Syaratnya, kalian lawan dahulu aku satu persatu, baru kami akan berkelahi. Itupun kalau kalian bisa menang.



Ketiga orang tadi terdiam. Heran mereka mendengar tantangan berani anak kecil itu. Namun tiba-tiba meledaklah ketawa mereka. Dan sambil memegangi perutnya karena geli, mereka ketawa keras

dan berputar-putar.



- Ha .. ha.. he.. he.. ha. Kau anak yang masih bau pupuk lempuyang ini berani menantang kami? Ha ...... ha ...... lucu!"



Akan tetapi Mundarang yang telah tak mau menahan diri, segera bertindak. Sementara tiga orang itu masih tertawa-tawa geli sambil berputar-putar, ia pungut kayu pemukul tadi lalu dengan gerakan cepat ia sodokkan kayu tadi beruntun dan menyambar perut ketiga orang itu bergantian.



Tentu saja akibat tak menduga, ketiga orang tadi tak sempat menghindar. Perut mereka secara bergantian kena disodok oleh kayu ditangan Mundarang dan tanpa ampun ketiganya terdorong mundur dan jatuh terlentang kesakitan.


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo




Anak-anak yang melihat ganti tertawa geli. Mereka melihat pemandangan lucu.



Tetapi dua orang diantaranya tiba-tiba bangkit dan kini dengan sorot mata marah mereka mendekati Mundarang. Dan kini sikapnya tak lagi main2. Tanpa berunding tiba-tiba saja kedua orang itu menubruk Mundarang berbareng.



Tetapi Murid Guru Bantu dan anak tunggal Mirah Sekar itu telah melihat serangan. Sebagai seorang anak yang mengerti tata tempur bahkan telah mewarisi kemampuan dasar ilmu tinggi, gerakan kedua orang itu tak ia hiraukan. Bahkan ketika serangan hampir tiba, secara mendadak Mundarang menyambut tubrukan keduanya dengan satu loncatan dan kedua kakinya melayang deras menghantam muka dua orang itu dan ...... .



- Ahg! Aduh ...... Bug! Bug!



Keduanya terpelanting jatuh bergulingan mengaduh aduh.Sedang Mundarang telah berdiri dengan tenang.

Seorang lagi melihat hasil serangan anak kecil itu menjadi kaget. Sadarlah ia bahwa anak itu tak bisa dianggap ringan, maka ia melolos sebatang pedang yang sejak tadi ia sembunyikan dibalik baju. Lalu meloncat dan menabas leher Mundarang dengan keras.



Namun tentu saja Mundarang tak akan mudah disentuh senjata' lawan yang baginya masih terhitung dibawah kemampuannya. Hingga ketika babatan pedang lawan itu menyambar leher, Muadarang

merendahkan tubuh dengan cepat sekaligus kakinya melayang kemuka dan kemudian tepat menghantam kelangkangan orang itu yang sekalipun kecil namun bertenaga besar. Dan belum juga orang itu dapat berdiri tegak, Mundarang telah menyambar kayu pemukul dan dengan hanya gerakkan kayu perlahan, lambung orang itu ia dorong hingga terjengkang mengaduh-aduh.



Tetapi rupanya perkelahian itu telah memancing perhatian banyak orang dusun yang juga berdatangan karena mendengar suara gamelan tadi. Dan mereka kaget ketika tahu bahwa ketiga orang itu telah berkelahi dengan Mundarang. Namun ketika oleh Rambat dan Santang diberitahukan awal mulanya, mereka menarik napas lega.



Dan setiap mereka tak akan heran dengan sepak terjang Mundarang sebab kemampuan anak itu telah dikenal oleh seluruh orang pedukuhan itu. Hanya kemudian ketiga orang tadi ditolong dan setelahnya 'diketahui mereka adalah rombongan orang-orang yang baru datang di rumah Kepala Padukuhan itu, ketiganya diangkut kesana.



- Itulah Kek, terpaksa aku melawan mereka. Sebab kalau tidak tentu saja aku dengan teman-teman itu akan diadu seperti ayam oleh mereka. -



Kata Mundarang mengakhiri ceritanya dihadapan Mirah Sekar dan kakeknya.



- Yang Maha Agung, kiranya keributan telah dimulai. Ah Mundarang, baru saja aku berpesan pada ibumu agar tidak memancing permusuhan. Tetapi rupanya yang terjadi lain dengan yang kuhendaki. -.



- Tetapi mereka yang memulai. -



Bantah Mundarang.



- Ya, ya, aku tahu, aku tahu mereka memulai. Tetapi bukan hal itu yang kuprihatinkan. Apapun soalnya, api kecil telah dinyalakan. Dan api yang kecil dan sedikit itu akan segera membakar seluruh wilayah padukuhan itu. Dan rakyat yang lemah itulah yang sedang kupikirkan bagaimana menyingkirkan mereka dari kobaran api itu .Kau mengerti . bukan ? '



Mundarang menganggukkan kepala. Ia mengerti apa yang di maksud oleh kakeknya. Namun ia tak berani berkata pula .

Untuk beberapa saat kemudian Guru Bantu berkata pula



- Sudahlah. Yang terjadi biar akan terjadi. Aku tetap tak dapat

menunda kepergianku. Malam ini aku akan berangkat. Pendeknya

keselamatan rakyat padukuhan itu aku serahkan pada kalian berdua

untuk turut menjaganya. Semoga aku telah kembali sebelum segalanya menjalar lebih besar. Kalian berhati-hati. Jangan bertindak

gegabah. Seyogyanya kalian tetap berpikiran jernih, jangan terjerat

oleh napsu dan kesombongan, bahkan jangan tertipu oleh hawa amarah yang selalu mudah muncul dalam hati. Rasa amarah jika tak

terkendalikan hanya akan membinasakan diri sendiri. Nah, selamat

tinggal, aku berangkat. Semoga Yang Maha Agung memberkati kalian

berdua, juga seluruh penduduk Padukuhan itu. Nah, Sekar. kau jaga

anakmu baik-baik!



Mirah Sekar berlutut dihadapan Guru Bantu, demikian juga

Mundarang mengikuti perbuatan ibunya. Tetapi ketika mereka mendonggak pula, orang tua itu telah tak ada dihadapan mereka. Untuk

beberapa saat Mirah Sekar temangu-mangu ditempatnya. Kembali

ia rasakan betapa sunyi alam raya ini. Ia teringat ketika terjatuh

kedalam jala yang dipasang orang tua itu, ingat ketika ia ditolong

bahkan ingat saat-saat mendebarkan dimana ia mengandung benih

Sentanu yakni yang kini bernama Bagus Mudarang itu. Dan ingat

serentetan budi dan kebaikan orang tua yang kemudian mengasuh,

mendidik Mundarang dengan kasih sayang, bahkan telah menanamkan kemampuan lahir dan batin pada anak tunggal yang dimilikinya

itu.

Tiba-tiba Mirah Sekar terisak. Ia ingat Sentanu, ingat pertemuan dan awal ia menjumpai anak muda itu di kadipaten Wanabaya

dulunya. Dimana Sentanu dengan mempentaruhkan jiwanya telah

menyelamatkan ia dari cengkeraman adipati Wilapribrata.



- Ibu, kau menangis?-



Tiba-tiba Mundarang bertanya, membuat Mirah Sekar cepat menghapus air matanya.



- Tidak, aku ingat kakekmu yang pergi sendirian!



- Tapi mengapa kau menangis ?-



- Ya. aku kasihan kakekmu sendirian. Tentu ia merasa kesepian tanpa kawan.-



Kata Mirah Sekar kemudian.



- Tidak kakek tak akan kesepian ibu, karena kakek seringkali

mengatakan padaku. Seseorang harus berani menghadapi segala kejadian dalam hidupnya dengan gembira dan berani. Ya, kakek bilang

aku harus tabah dengan segala pahit getir bahkan segala penderitaan. Dan kesepian, kata kakek tak akan terjadi kalau orang mau

memikirkan hidup dan nasib orang lain. Maka tentu kakek tak akan

kesepian.



- Ya, ya, kakekmu benar, kau pintar masih ingat nasehat itu.



- O ya, dan kakek melarang aku menangis, ibu. Apakah kau

belum pernah dilarang kakek untuk tidak menangis?-



Tanya Mundarang pula. Dan Mirah Sekar terpaksa senyum mendengar perkataan anaknya.



- Memang anak lelaki tak boleh meruntuhkan air mata.



Katanya kemudian.



- Dan Ibu bukan anak lelaki, jadi boleh menangis ?



- Ya. menangis boleh tetapi tak boleh mudah menangis dan

kau tentu saja tak akan menangis, bukan ?



- Tidak, tidak. Aku mau meniru ayah. Ibu katakan ayah tak

pernah menangis, bukan ?



Mirah Sekar tak lagi menjawab, melainkan ia peluk anaknya iti.



- Sudahlah. Kita tidur. Sudah mulai gelap.



Katanya.

Saat itu muncul ketiga orang dusun yang telah diperintahkan

menemani Mirah Sekar dan Mundarang. Mereka datang membawa

obor.

Mirah Sekar menyambut dengan tertawa. Ketiganya segera di

perintahkan masuk dan mereka di dalam saling berbincang. Seorang

diantaranya menemani Mundarang yang tidur tidak jauh dari kamar

Mirah Sekar. Dua orang lagi duduk berjaga sementara Mirah Sekar

telah masuk kekamarnya dan mulai lelap dengan impiannya tentang

Sentanu, tentang Mundarang dan tentang Demak, dan tentang segalanya yang pernah ia alami.



Sementara itu dirumah Kepala Padukuhan terjadi kegemparan

Ketiga orang yang telah terluka sewaktu bertempur dengan Bagus

Mundarang ternyata adalah anak buah yang ikut dalam rombongan

penari teledek itu.

Ganti dan Supala marah mendengar ketiganya dirobohkan oleh

seorang anak kecil.



- Bagaimana bisa terjadi hal itu?-



Tanya Supala dengan

geram:



- Aku tidak tahu, tetapi anak iblis itu benar hebat. Aku menduga tentu ia dibantu secara menggelap oleh seseorang.



kata

mereka.



- Kita harus balas penghinaan ini.



Geram Supala. Lalu ia

panggil Kepala Padukuhan itu.



- Kau tentu tahu siapa anak kecil yang berani kurang ajar

itu!-



Katanya dengan marah. Dan Kepala Padukuhan itu tentu

saja menjadi pucat. Ia tak menduga tetamunya akan kasar. Dan tentu

saja ia tak percaya jika, Mundarang menyerang mereka tanpa sebab.

Sudah bisa ditebak tentu ketiganya yeng memulai memancing perkelahian. Karena Kepala Padukuhan itu juga mengetahui Mundarang

mustahil akan menyerang sebelum orang mendahului berbuat jahat

atau mengganggu



- Ah kalian bersabarlah kisanak. Aku yakin tentunya orangmu

telah berbuat kesalahan, karena aku tahu benar siapa anak itu. Ia

tak akan mengganggu orang kalau saja tak ada orang berbuat salah.



- He, apa katamu?!-



Dan




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


- plak!



Ganti telah menyambar

dengan pukulan keras pada kepala padukuhan itu hingga orangnya

jatuh terduduk dengan keras.



- Kau jangan sekali-sekali mencoba menyalahkan orang-orangku, Ingat aku hanya ingin anak itu dibawa kemari sampai esok hari,

jika tidak, seluruh penduduk padukuhan ini akan kubikin habis.



Kepala padukuhan itu berdiri dengan takut. Ia menyesal bahwa

Guru Bantu telah pergi meninggalkan mereka. Kalau saja orang tu

itu ada disitu, tak akan terjadi hal yang menimbulkan ia harus menderita malu dipukul orang yang tak dikenalnya



Dan malam itu ia telah dipaksa menjamu seluruh tetamu yang

ternyata kasar dan kurang ajar. Sedang seluruh penduduk yang ada

disitu dipaksa untuk tidak pulang. Mereka dipaksa mendengarkan

gamelan yang ditabuh semalaman tanpa berhenti.

Diam-diam Kepala Padukuhan itu memerintahkan orangnya

untuk datang menemui Guru Bantu dan minta agar menolong mereka

dari cengkeraman orang-orang tak dikenal itu. Namun penduduk yang

tadi mendengar Guru Bantu pamit, memberitahukan hal itu:



- Tentu orang tua itu tak ada ditempatnya. -



Kata mereka.



- Celaka !Lalu apa yang kita lakukan?-



- Tunggu saja sampai esok, tentu Ayu Mirah Sekar akan

datang.



- Menghadapi orang sebanyak itu, apakah ia mampu ?



- Entah, aku belum pernah melihat ia memegang senjata. Tetapi sebagai murid orang tua itu tentu ia bisa. Bukankah kau lihat

sendiri Bagus Mundarang, kecil-kecil ia telah mewarisi kepandaian

kakeknya. Tidak mustahil jika Ayu Mirah Sekarpun akan dapat berbuat itu. Sudahlah, Kita bersabar sampai esok hari. Malam ini jangan membangkang, turuti kemauan mereka, asal tidak mengganggu

keselamatan saja. Kita biarkan.



Dan rupanya gamelan yang ditabuh semalaman itu sengaja dilakukan karena mereka hendak minum-minum. Dan sampai tengah

malam kemudian mereka mulai berjatuhan dalam pengaruh air tuak

yang keras. Dan ternyata kemudian kesepuluh penari wanita yang

mereka bawa adalah merupakan alat bagi mereka untuk pelesiran

secara bergantian. Semalam penuh rumah kepala Padukuhan itu berubah menjadi hiruk pikuk dengan suara tertawa dan suara-suara dari

mulut yang mabuk oleh minuman tuak.

Sementara ada diantaranya yang tanpa malu serta sungkan lagi

menarik-narik wanita-wanita yang dibawa dengan napsu gilanya.

Maka dengan ditingkah oleh suara gamelan yang mengalun semalaman itulah mereka berpesta pora, dan rumah itu dijadikan ajang

kebejatan mereka tanpa kenal malu. Membuat penduduk yang menyaksikan satu demi satu meninggalkan tempat itu dengan perasaan

marah dan dendam yang ditahan-tahan.



Akhirnya matahari yang ditunggu oleh penduduk Padukuhan

itu muncul juga. Sinarnya nampak cerah dan panas hangat mengusir

embun yang semalaman turun membasahi tanah di seluruh Padukuhan

itu.

Seperti hari-hari yang telah berlalu sebelumnya, seluruh tlatah

padukuhan itu terlihat tenang dan tentram. Sawah dan pategalan

terhampar dengan damai, sedang burung yang biasa menyambut pagi

hari telah mencicit riuh rendah bersahutan.

Akan tetapi dibalik segala kedamaian itu dalam hati rakyat sejak

semalaman telah terjadi pergolakan hebat. Semalaman mereka tak

tidur. Dan sekalipun dengan saling berbisik, mereka sibuk membicarakan kedatangan tetamu tak diundang yang ada dirumah kepala Padukuhan. Tak satupun luput dari percaturan dari mulut kemulut. Dan

sementara rasa takut juga mulai menyelinap dihati mereka. Sebab

nampak sekali kegarangan serta keganasan rombongan yang mengaku

sebagai rombongan penari teledek itu. Rasanya ada mulut buaya

tengah menganga dihadapan mereka, siap menelan tanpa kenal ampun dan kasihan.

Ketika matahari telah sedikit meninggi, terlihat kesibukan lain.

Tetamu yang tinggal di rumah Kepala Padukuhan itu memerintah

penduduk mencari kayu dan bambu. Lalu mereka memerintahkan

membuat sebuah panggung besar ditanah lapang tidak jauh dari ujung

padukuhan yang banyak dilalui orang.

Panggung itu dibuat besar, dan seperangkat gamelan yang mereka

bawa ditaruh disana, lalu diatas panggung itu mereka menabuh gamelan itu seperti pada malam pertama mereka menginap dirumah

Kepala Padukuhan.

Dengan ditabuhnya gamelan ditempat itu, maka terdengarlah

suara gamelan itu sampai jauh, kedusun-dusun yang berdekatan di

sekitar tempat itu. Maka rakyat yang masih belum mengetahuinya

berdatangan dengan heran. Dan mereka takjub ketika dilihatnya

sebuah panggung telah berdiri dengan megahnya ditanah lapang dan

serombongan penabuh tak henti-hentinya membunyikan gamelan itu.



Orang-orang pedusunan tak mengerti apa maksud mereka dengan mendirikan panggung itu. Tetapi karena suara gamelan itu memang bagus, mereka mau atau tidak terpaksa menjadi senang. Dan

karena sampai dengan hari itu seluruh rombongan tak lagi bertindak

kasar, kecuali mereka minta dengan paksa jamuan makan dari orang

di Padukuhan itu. Rakyat masih rela menyerahkan makanan guna

menjamu mereka itu, secara bergantian. Dan sebagai gantinya mereka

diperbolehkan mendengar dan melihat teledek diatas panggung

menari.

Namun setelahnya beberapa waktu berjalan, rakyat diseluruh

padukuhan mulai terlihat guncang. Kalau semula hidup mereka tenang dan tentram, kini sedikit demi sedikit mereka mulai dipengaruhi

adanya rombongan itu. Kerja mereka sekarang hanya bermalas-malasan mendengarkan gamelan dan menonton para penari teledek

diatas panggung bergoyang mengikuti irama gamelan itu. Dan setiap

kali mereka masuk rela dipungut imbalan tinggi. Bahkan banyak yang

telah menyerahkan harta bendanya dan barang berharga seperti emas

dan perak telah diserahkan pula pada mereka.

Bukan itu saja, bahkan kalau tadinya para suami didusun itu

adalah suami yang rajin dan tekun bekerja, sekarang telah berubah

benar. Waktunya banyak dihabiskan untuk menyaksikan para teledek

menari diatas panggung itu, semalaman.



Dan tak sedikit pula yang

ikut terhanyut kedalam kelakuan minum tuak dan mabuk-mabukan.

Akan tetapi yang lebih parah dan menyedihkan adalah tak sedikit pula yang kemudian tergila-gila pada para teledek yang memang

cantik menarik. Dan kaum lelaki diseluruh padukuhan itu hanyut

kedalam keroyalan dengan para teledek itu. Selain mabuk kepayang

menyaksikan keindahan gerak tari mereka, mereka juga telah hanyut

kedalam bius asmara dan napsu pada kecantikan para teledek, hingga

relalah mereka tak pulang kerumah sendiri asalkan para teledek itu

masih dalam pelukan mereka sehari semalaman sepanjang waktu.

Maka mulailah kini terdengar keluh kesah dan bahkan jerit tangis

para istri dan kanak-kanak yang tertimpa oleh kejahatan naspu yang

mengeram dalam hati mereka.



Maka tidak terasa dalam waktu cepat seluruh kekayaan dan harta

milik yang semula dipunyai oleh padukuhan itu menjadi habis. Sedikit

demi sedikit tetapi pasti seluruh kekayaan penduduk mulai berpindah

kepada Ganti dan Supala dengan anak buahnya. Sebab kini para

suami dengan rela bahkan dengan mencuri harta milik keluarga, istri

bahkan anaknya lalu diserahkan pada para teledek, malah kepada

rombongan itu mereka mementingkan daripada kepentingan keluarga

mereka sendiri.Keluh kesah dari para istri yang semula hanya terdengar dalam

rumah dibawah atap masing-masing keluarga, lama kelamaan mulai

terdengar diluar, bahkan semakin jauh terdengarnya sampai bergema

keseluruh daerah pedusunan yang lain. Karena bencana itu telah

menjalar sedemikian cepat.

Kalau saja para suami hanyut dan terbius dengan kenikmatan

bergaul dengan para teledek, dan mereka tenggelam kedalam irama

gamelan itu, maka sebaliknya anak buah Ganti dan Supala balas

memasuki dusun dan dari rumah kerumah dengan paksa mereka merampas penghuni rumah itu. Bukan saja harta benda yang dapat

mereka rampas dengan kekerasan, bahkan para istri telah mulai mereka ganggu. Maka wanita dan gadis di padukuhan itu tak lagi bisa

tidur dengan tentram. Karena sewaktu-waktu akan muncul anak buah

Supala, menculik dan mengganggu, memperkosa gadis dan wanita

wanita dusun dengan cara yang gampang menimbulkan kemarahan

serta menerbitkan hati dendam dikalangan kaum wanita disitu. Dan

tak terhitunglah yang telah dengan menyedihkan membunuh dirinya

sendiri setelahnya ternoda oleh perbuatan iblis dalam wujud anak

buah Supala dan rombongannya.

Rupanya firasat yang dirasakan oleh Guru Bantu benar adanya.

Ketentraman serta udara damai dusun-dusun disekitar pertapaan itu

mulai dibakar oleh bencana dan kesedihan. Karena itulah membuat

kepala Padukuhan tak lagi berdaya. Ia tak lagi mampu berbuat apapun. Segala tindakan pencegahan hanya akan menimbulkan bencana

yang lebih besar. Maka semakin nampak murung dan bersedih hatilah

kepala padukuhan menyaksikan keadaan rakyat yang dicengkam oleh keruntuhan itu. Dan laki-laki setengah baya itu duduk dengan

wajah gelap. Ia telah semenjak kemarin malam tak lagi kembali kerumahnya. Seluruh miliknya telah dibayarkan pada Supala dengan anak

buahnya, Dan sisa miliknya tinggal satu-satunya yakni anak dan istri

yang kini masih berada di rumahnya. Beruntunglah kalau mereka tak

diganggunya pula.

Harapan kepala padukuhan itu kini hanya bergantung pada kedatangan Guru Bantu. Semula ia berharap Mirah Sekar akan turun dan

membantu mareka. Namun sampai saat itu tak terlihat sedikitpun

mereka keluar.



- Eh Paman, sedang berbuat apakah kau berada disini?


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo




Terdengar sebuah suara menegur. Membuat kepala Padukuhan ita

melonjak kaget. Tetapi ketika ia melihat yang datang, wajahnya bersinar sinar. Dihadapannya berdiri seorang anak lelaki yang telah dikenal

baik-baik.



- Ah Mundarang, Bagus Mundarang. Kau lama tidak turun.

Bagaimana Ajeng Mirah Sekar Ibumu ? Semoga Yang Maha Kuasa

melindungi orang tuamu itu, Mundarang!



- 0, terimakasih paman, ibu dalam sehat. Bagaimana dengan

paman? Dan kawan-kawan Mundarang adakah masih sering kehutan

mencari kelinci?



- ya mereka masih ada Mundarang, tetapi tak lagi seperti dahulu. Kini mereka selalu cemas dan gelisah.



- Ho, ada apakah ? Mengapa begitu paman?-



Kepala padukuhan itu tak segera menjawab, ia menatap kanak

kanak yang bermata indan itu, untuk beberapa lama ia menimbang.



Adakah pantas ia menyatakan keluhan dihadapan anak yang masih

belum cukup umur itu ?



Tetapi mengingat Mundarang juga tergolong

berilmu, namun ia juga sangsi.



Apakah seorang Mundarang akan

sanggup, menolongnya keluar dari kesulitan yang sedang diderita oleh

penduduk padusunan itu ?



Ia ragu dan bimbang.



- Eh paman, mengapa diam ? Bagaimana nasib kawan Mundarang semuanya? Apakah mereka sakit. Baik aku akan menengok

mereka kalau demikian._



- Oh, tidak demikian Mundarang. -



Kepala Padukuhan itu

cepat menyahut.



- Mereka baik-baik saja.



- Lalu bagaimana maksud paman, mengapa paman nampak ragu

menceritakan tentang mereka ?



Untuk beberapa saat kemudian kepala padukuhan masih menimbang-nimbang. Namun pada akhirnya ia berkata.



- Baiklah Mundarang. Kau sangat cendik dan bisa menerka

yang kupikir dengan tepat. Tentu saja kau lama tak pernah turun,

maka tak mengetahui apa yang tengah terjadi



- Ya, katakan paman, aku akan mendengarkan.-



- Tentu kau masih ingat rombongan teledek yang ada dirumahku, bukan ?

Ah, itulah yang menjadi sebab.



Maka dipaparkan oleh

kepala padukuhan itu segala yang telah terjadi dan sedang dialami

oleh penduduk padukuhan itu.

Pada akhir kalimat. Mundarang tiba-tiba meloncat. Ia kepalkan tangannya yang kecil, geram dan marah.



- Kalau demikian, mengapa paman tidak mengatakan sejak

kemarin dulu? Biarlah aku yang akan mengusir mereka, paman!-



- Tunggu dulu! -



Kepala Padukuhan itu menjadi kaget. Tak

ia duga Mundarang akan berkata demikian, ia lalu mengangkat tangan

dan berkata pula:



- Kau jangan terburu napsu, Mundarang, apa

yang akan kau lakukan? Jumlah mereka banyak. Sebaiknya kau meminta pertimbangan ibumu lebih dahulu. _



- Ah paman jangan takut. Kau tunggu disini paman, aku akan

usir mereka sekarang juga. Tunggulah aku akan memberitahu paman

jika mereka telah kubikin bubar dan pergi dari dusun ini!



Dan tanpa

menunggu pula Mundarang tiba-tiba loncat dan berlari-lari turun

dan menuju letak panggung para teledek berada.

Panggung yang besar terletak dekat ujung padukuhan itu selalu

ramai. Terutama pada malam hari dengan lampu obor menyala. Akan

tetapi pada siang hari, panggung itu sepi, hanya dibagian dalam dibalik panggung itu banyak terdapat lelaki padusunan dan anak buah

Ganti dan Supala yang tengah berpesta tak hentinya.



Banyak orang merasa heran ketika berpapasan dengan Mundarang. Teguran-teguran mereka tak lagi terdengar oleh anak itu. Maka karena heran mereka melihat tingkah Mundarang yang tidak seperti biasanya, banyak kemudian orang pedusunan yang ikut berlari-lari mengikuti Mundarang menuju letak panggung itu. Dan semakin jauh, makin bertambahlah orang yang mengikutinya. Bahkan terlihat pula anak anak kawan permainan Mundarang.



- Kau mau kemana Mundarang?



Tanya mereka.



- Jangan bertanya dahulu.



Jawab anak itu.



- Nanti kuberitahu.



- Ya, tetapi kau mau kemana?



Tanya mereka pula sambil mengikuti Mundarang berlari-lari.



Dalam waktu singkat ratusan orang telah mengikuti anak itu. Dan keheranan mereka bertambah ketika melihat anak itu ternyata menuju panggung. Tetapi tak seorangpun kini bertanya. Mereka menunggu apa yang akan dilakukan oleh Mundarang.



Setibanya dibawah panggung itu Bagus Mundarang berhenti akan tetapi tak terlihat seorangpun. Ia menjadi bimbang. Saat itulah muncul kepala Padukuhan dan berbisik padanya.



- Mereka ada dibalik panggung itu, didalam!



Dan Mundarang mengangguk. Cepat ia bergerak dan dengan cekatan ia panjat panggung yang setinggi orang dewasa itu. Matanya lalu mencari-cari pula. Diatas panggung itu terpampang dengan megah sebuah kain bertuliskan Warna emas yang memperlihatkan nama rombongan teledek dan penari. Maka Mundarang loncat dan dengan gerakan indah ia berhasil mumbul lalu tangannya menyambar kain panjang itu, dan



- Breeet....... breeet ...... breet!



Kain itu robek dan dirobek dengan marah hingga hancur berhamburan. Bersamaan dengan itu sebuah tiang penyangga yang tadi menjadi tempat kain 'itu bergantung roboh dan menerbitkan bunyi keras diatas panggung .



Rupanya karena mendengar suara benda jatuh itulah anak buah Supala berloncatan dengan kaget. Tetapi mereka semakin kaget dan heran ketika dilihatnya seorang anak telah merobek hancur kain panjang itu.





- He mengapa kau berani mati datang merusak? -



Tanya salah seorang dengan bentakan keras. Namun Mundarang bertolak pinggang. Dan tentu saja ia nampak lucu. Seorang anak kecil bertolak pinggang dihadapan banyak lelaki dewasa.



- Gila. siapa kau? Anak siapa kau berani mengacau?! -



Mundarang membuka perkataan tak kalah keras, sekalipun suaranya lebih kecil namun jelas terdengar oleh semua orang yang berada dibawah panggung.



- Hei, kalian dengarlah. Sengaja aku merobek kain panjang itu dengan maksud memperingatkan kalian agar dalam waktu satu hari kalian enyah dari dusun ini, dan tinggalkan harta benda yang telah kalian dapat dari penduduk disini! Nah, aku tunggu sampai esok siang. Kalau tidak jangan harap kalian akan selamat meninggalkan dusun ini. -



- Ha ha... ha... sinting! ha... ha... ha -



Terdengar suara tertawa hampir berbareng. Mereka yang mendengar merasa lucu dan geli oleh tantangan si kecil Mundarang.



- He... he... kau anak kecil ini apa katamu? he siapa yang menyuruhmu melakukan ini? Apakah orang itu sudah gila menyuruh anak-anak mengacau disini? Ha.... ha... ha... lucu! Lucu. Ha ha hugh aduh!



Sekonyong suara tertawa itu berganti dengan suara mengaduh keras ketika dengan gerakan kilat Mundarang menyerang lambung orang itu yg langsung tanpa dapat megelak orangnya roboh muntah darah.



Kawan-kawannya kaget. Tak diduga si anak akan dapat berbuat demikian. Maka mereka berloncatan maju benbareng. Tetapi Bagus Mundarang yang merasa marah, tak tanggung-tanggung melakukannya walaupun ia masih belum tergolong dewasa, namun dasar pendidikan yang diberikan Guru Bantu dengan Mirah Sekar adalah ilmu-ilmu tingkat tinggi. Maka mereka yang memiliki kepandaian biasa sudah barang tentu akan mudah dirobohkan tanpa dapat banyak melawan.



Dan ketika Mundarang bergerak, bagai burung walet ia merangsek dan sekaligus lima orang tinggi besar lawannya menjerit, dangan ulu hati atau kelangkangan dan perut terhantam kekuatan tersembu nyi yang dimiliki Mundarang dalam kekuatan lengannya yang kecil dan mereka roboh satu demi satu tanpa dapat bangun kecuali merintih kesakitan.



Akan tetapi mendengar suara ribut-ribut itulah bermunculan banyak anak buah Supala yang lain. Mereka segera sadar lawan yang kecil itu amat berbahaya. Maka mereka mencabut senjata lalu berbareng menyerang Mundarang. Mundarang tak urung kerepotan juga menghadapi lawan yang puluhan jumlahnya. Ia berloncatan dengan tangkas. Berloncatan diantara sambaran senjata lawan yang berseliweran dengan deras.



Pada saat Mundarang berhal demikian itulah, tiba-tiba terdengar kesiur angin tajam menuju padanya. Semula Mundarang mengira sebuah senjata tengah menyerang dirinya dari belakang. Maka dengan gerakan indah ia membalik lalu menangkap senjata itu. Tetapi ketika ia perhatikan ternyata sebuah gendewa panah dengan sekantung penuh anak panah. Mundarang berseru girang. Diam-diam ia berterima kasih pada sipemberi gendewa dan panah itu. Dan Mundarang tahu orang itu tentu adalah Mirah Sekar, ibunya sendiri. Dan Mundarang setelahnya mendapatkan senjata itu loncat mundur menjauhkan diri dari para penyerangnya. Namun mereka ternyata tak mau melepaskan lawan itu begitu saja. Dengan berbareng mereka terus melancarkan serangan.



Namun nasib naas hinggap dan menerkam mereka. Karena Mundarang sewaktu loncat mundur menjauh tadi telah pasang lima batang anak panah dan ketika mereka meluruk maju, lima batang panah tajam itu menyambar dengan dahsyat dan terdengar jerit ngeri disusul oleh robohnya kelima orang lawan. Dan tidak berhenti disitu, Mundarang masih bergerak, dan sekali lagi terdengar jerit ngeri ketika kembali lima orang roboh dengan luka tersambar anak panah yang dilepas Mundarang.



Yang lain, ketika melihat kejadian itu menjadi ciut hati dan semangat mereka runtuh. Maka mereka berloncatan dan tak lagi bergerak. Sebab kini mereka sadar lawan itu bukan lagi mudah dijatuhkan.



Dan Mundarang melihat tak ada lagi yang melawan, mengangkat gendewanya tinggi2 dan berseru keras :



- Ingat, beritahukan pada pemimpin kalian, jika sampai esok siang panggung ini masih berdiri dan kalian tak mau enyah dari dusun ini aku akan membikin habis semuanya tanpa ampun.



Lalu Mundarang meloncat turun kebawah. Dan terdengarlah seruan-seruan kaget dan heran dari orang-orang yang menyaksikan kehebatan Mundarang diatas panggung itu. Selama ini sekalipun pernah menyaksikan Mundarang berkelahi, namun tak sehebat seperti yang ia lakukan diatas panggung melawan banyak lawan bersenjata itu. Diam-diam mereka semakin kagum pada anak itu.


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo




Kepala padukuhan segera mapag Mundarang, dipeluknya anak itu dengan girang. Tetapi dalam pada itu ia berbisik :



- Kau berhati-hatilah Mundarang, pemimpin mereka sedang tak ada disini. Kalau mereka datang, ia tentu akan membuat balasan padamu. Maka berhati-hatilah.



- Jangan takut paman, masih ada ibuku yang akan melawan mereka kalau aku kalah. -



Kepala padukuhan itu mengangguk-anggukkan kepala.



Mundarang mencari-cari Mirah Sekar. Sejak tadi ia tak melihat akan tetapi ia merasa yakin ibunyalah yang tadi melemparkan gendewa kepadanya. Namun karena menduga ibunya sengaja menyembunyikan diri .Mundarang tak mencari lebih jauh. Dan ketika itu tiba tiba muncul kudanya Lawung lari mencongklang menghampiri dirinya.



- Eh, Lawung, kau kemari?



Mundarang berseru girang. Ia lari menyambut 'binatang itu, lalu naik keatas punggung dan setelahnya berpamitan pada kepala padukuhan tadi ia larikan binatang itu kembali ketempat pertapaan.



- Tentu ibu yang mengirim si Lawung.



Pikirnya.



Dan dugaannya segera terbukti, sebab ditikungan sunyi tiba-tiba muncul Mirah Sekar. Mundarang tertawa.



- Ibu!



Serunya. Dan Mirah Sekar mendekat, kemudian setelah si Lawung berhenti .Wanita itu naik pula kepunggung Lawung yang segera berlari pula meninggalkan tempat itu.



Mirah Sekar mengangguk. Ia bangga dengan Mundarang. Sekali pun dalam hati ia merasa cemas jika anak tunggal yang dikasihinya itu mendapat cidera.



Ketika si Lawung telah hampir naik kepuncak pula, tiba-tiba terdengar suara keras dari belakang :



- Hei berhenti kalian! -



Dan Mirah Sekar menengok terlebih dahulu.



- Mereka datang mengejar.



Katanya.



- Kita berhenti dan bereskan sekalian Ibu.



Kata Mundarang.



- Seperti ayahnya, berani dan gagah sikapnya



Kata Mirah Sekar dalam hati. Ia tersenyum melihat Mundarang bersemangat. Maka ia tarik kendali si Lawung dan kuda itu berhenti.



Debu mengepul tebal ketika orang-orang itu berhenti. Dua orang diantaranya adalah Ganti dan Supala. Mereka menatap kedua ibu dan anak itu dengan heran.



- Manakah lawan kita?



Bertanya Ganti dengan berang pada anak buahnya yang tadi dibikin babak belur oleh Mundarang. Dan mereka serentak menuding pada Mundarang.



Ganti mendelikkan matanya. Ia hampir tak percaya ketika menatap wajah Mundarang yang kekanak-kanakan. Rasanya ia tak percaya jika anak tampan itu yang berhasil menjatuhkan anak buahnya. Sedang satunya adalah seorang wanita muda cantik menarik dan matanya yang bersinar memancarkan pesona kuat dihati lelaki yang melihatnya itu. Maka siapa akan percaya jika merekalah yang telah mengganggu anak buahnya. Bahkan rasanya tak akan sampai hati melukai kulit Mirah Sekar yang halus jika terjadi perkelahian. Dan anak kecil yang matanya bersinar indah itupun.



Ah... sulit mereka percaya bahwa lawannya yang dicari adalah dia.



Tetapi karena seluruh orangnya mengatakan demikian, tak ada pilihan lain. Kedua pemimpin itu maju dan mencabut golok panjang yang mereka bawa.



- Kau turun dan lawanlah kami berdua tikus kecil! -



Tantang mereka.



- Ah, apakah kalian memanggil diriku? ..



Bertanya Mundarang sambil senyum-senyum.



- Bangsat, kau turun dan serahkan kepalamu untuk menggantikan kawan-kawan kami yang tewas olehmu. -



- Ah, siapa yang tewas? Adakah kawanmu tewas? Mengapa tanya dan marah padaku? -



Mundarang masih tertawa sambil duduk diatas kudanya.



- Kurang ajar, hayo turun dan serahkan kepala kecilmu itu! --



- Maaf tuan berkepala besar.



Sahut Mundarang.



- Tentu saja aku keberatan menyerahkan kepalaku. Bukankah itu tidak adil?

kalau kawan-kawanmu tewas itu sebabnya karena mereka jemu pada

pemimpin seperti kalian, hingga mereka memilih berpisah. Jadi mengapa marah dan menuntut ganti rugi, eh namamu juga Ganti, bukan? Pantas kau minta ganti rugi dariku, hu ...... hu ..... . -



Mundarang menahan ketawanya.



- Kurang ajar! Mampuslah kau! -



Dan sebatang golok besar menyambar hebat pada Mundarang. Namun si Lawung yang cukup tahu bahwa tuannya dalam bahaya, meringkik dan mundur hingga babatan golok itu leWat makan angin. Namun Supala juga maju dan menyerang, ia putar golok panjangnya lalu dengan sebat bagai angin puyuh goloknya menyambar mengancam leher.



- Kau menyingkir Mundarang, mereka lawanku! -



Kata Mirah Sekar. Sekaligus ia loncat kebawah dan pedangnya ia lolos seraya digerakkan berputar menangkis serangan golok lawan dan......



- trang! Trang!



lelatu menyiprat dari akibat benturan dua senjata tajam. Namun Supala merasa tangannya bergetar. Tapak tangan itu Menjadi sakit. Sedang Ganti sebelum saudaranya maju pula, ia telah menyerang Mirah Sekar dengan lebih dahsyat. Dan terjadilah perang tanding tak seimbang ditempat itu. sungguh tak selaras perkelahian itu. Seorang wanita muda berhadapan mengadu senjata dan dikeroyok dua orang tinggi besar bersenjata.



Namun segera terlihat bahwa keduanya kalah jauh dibanding Minah Sekar. Maka hanya dalam beberapa kali gebrakan keduanya mulai terlihat terdesak hebat. Keringat mereka telah bertetesan.



Pada suatu saat ketika dua batang golok itu beradu dengan senjata Mirah, pedang itu menempel lalu dengan berputar kedua golok ditekan dan dipukul keras hingga terpental lepas dari tangan kedua pemiliknya.



Supala dan Ganti heran dan kaget. Tak diduga mereka mudah saja ditaklukkan oleh seorang wanita muda. Namun sebelum mereka sempat bertindak pula, tiba-tiba Mirah Sekar memutar pedangnya dengan cepat. Bagai kitiran senjata panjang itu mengancam, lalu wes, wuut!



Tiba-tiba leher dan pundak Ganti tersambar oleh senjata itu dan ia mengeluh dan loncat mundur. Sedang Supala lebih hebat. Dalam beberapa kali gerakan Mirah Sekar berhasil merobek baju yang dipakai olehnya dan dada serta punggungnya tiba-tiba saja telah kena digores oleh senjata ditangan dan satu babatan merobek pahanya, hingga orang itu mengeluh tertahan, lalu loncat mundur.



Saat itulah tiba-tiba Mundarang bergerak, ia serang orang itu dengan tendangan beruntun dan ternyata kecepatan gerak Mandarang tak tertangkap mata. Maka tak ampun keduanya terlempar jatuh dan luka-luka.



Namun Supala telah loncat berdiri. Diikuti oleh Ganti.



- Nah, kalian pergi dan jangan ganggu dusun ini.



Kata Mirah Sekar kemudian.



- Huh, kalian tunggu pembalasanku.



Kata Supala.



- Pergilah, hayo lekas dan kalian jangan harap akan hidup kalau esok siang panggung itu masih berdiri disana. -



Katanya. Dan ketika kedua pemimpin itu beranjak dengan ragu-ragu, Mundarang kembali loncat dan kedua kepalan kecilnya bekerja cepat.



- Plak bug! Bug! -



Kedua orang itu tak dapat lagi berkelit. Maka tak seorangpun diantara anak buahnya yang ada membantunya. Belum juga bergerak, mereka sudah ketakutan.



Ganti dan Supala menahan sakit. Ia perintahkan orang-orangnya pergi balik. Sakit dan luka-lukanya akibat serangan Mirah Sekar tak begitu ia rasakan. Tetapi sakit dalam hatinya akibat malu dibikin tak berdaya dihadapan banyak orang itulah yang membuat ia merasa lebih sakit.



Sesungguhnyalah, jika saja mereka mau mengakui keunggulan Mirah Sekar, tak akan demikian sakit hati mereka itu. Sebab jelas Mirah Sekar bukan lawannya. Karena hanya dengan sedikit membuka mata dan pikiran, sejak pertama melihat gerakan wanita muda itu, seharusnya mereka telah mengetahui lawannya bukan tandingan mereka.



Dan akibat itu tentu saja orang lain yang akan menjadi korban. Ganti dan Supala dalam perjalanan menuju tempatnya memerintahkan anak buahnya merampas lebih banyak harta milik penduduk Padukuhan. Dan sepanjang jalan mereka memukul dan menganiaya orang-orang lemah yang tak berdosa itu. Hingga jerit tangis terdengar disepanjang jalan yang mereka lalui.



- Tolong! Aduh jangan! Jangan ambil! .........



Terdengar jerit penduduk.



- Huh mampuslah kalian! -



Dan



- plak bug! Blug! Hiyaa... blug? -



- Aduh ...... jangan ..... . tolong ......



- Lepaskan! Kalian bangsat kejam, huh! Tak sudi aku aduh!



Dan tiba tiba api berkobar. Rumah penduduk dibakar oleh mereka hingga keributan yang sudah menjelma semakin menjalar meluas. Di pekarangan rumah penduduk banyak terlihat wanita-wanita diseret dan milik mereka dirampas dengan kekerasan. Jerit tangis semakin meninggi dan menyayat hati yang mendengarkan.



Agaknya nasib anak buah Ganti dan Supala telah dibuat sendiri oleh mereka. Mereka telah memilih nasib dengan perbuatannya itu. Karena pada saat mereka baru saja melakukan kekejaman atas penduduk di padukuhan sebelah selatan, tiba-tiba muncul Mirah Sekar dan ditangan wanita muda itu sebatang pedang. Yang tanpa menunggu bergerak sebat berloncatan menyerang perampok yang tak mengenal perikemanusiaan.



Kehebatan Mirah sekar benar bukan lawan mereka, maka dalam beberapa gebrakan tiga orang terjungkal lewat senjata itu.



Mirah Sekar tak lagi berlaku lemah. Ia keraskan hati melihat penduduk disiksa. Maka murid Nyi Ageng Maloka itupun berloncatan kesana kemari. Dan dimanapun ia bergerak tentu seorang anak buah lawan roboh dan terluka.




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dalam pada itu diatas punggung si Lawung terlihat Mundarang melepaskan panah-panahnya dengan gencar dan banyak lawan telah roboh oleh serangan itu.



Mirah Sekar tiba-tiba teringat sesuatu. Ia mencari kedua pemimpin mereka. Maka ia loncat berlari kepanggung. Dugaannya ternyata benar. Ganti dan Supala sibuk membenahi barang-barang rampasannya.



- Hm, kalian pengecut. Letakkan barang itu dan kalian maju berlutut kemari! -



Bentak Mirah Sekar.



Ganti dan Supala kaget. Tak diduganya wanita itu telah ada didepan mereka. Akan tetapi karena merasa tak ada jalan lain, kedua

orang itu mencabut senjatanya pula. Dan golok-golok panjang mereka berkelebatan menyerang Mirah Sekar.



Kali ini Mirah Sekar tak mau memberi hati dan bersikap lemah pada mereka. Maka pedangnya ia putar dengan hebat mengurung gerakan senjata lawannya itu. Mirah Sekar menang jauh dan kegesitan tubuhnya bergerak, menolong benar. Hingga dalam gebrakan-gebrakan itu Ganti dan Supala cepat terdesak. Mereka tinggal mundur-mundur tanpa mampu menyerang pula. Lagi pula akibat lukanya oleh Mirah Sekar tadi, keduanya benar dipojokkan pada kekalahan yang mereka takuti.



Pada suatu ketika Mirah Sekar mengeluarkan sesuatu dari balik pakaian. Ia telah siapkan benda itu sejak mulanya. Dan ketika Supala berbareng Ganti menyerang dengan goloknya, Sekar telah memperhitungkan hal itu. Maka ia bergerak dan duakali gerakan dengan pedangnya, kedua golok lawan itu terpental keras, melayang lepas dan jatuh berdencing menimpa batu.



Ganti dan Supala kaget. Hatinya makin ciut. Dan timbul niat untuk kabur. Tapi Sebelum niat itu terjadi, Mirah Sekar menggerakkan benda yang tadi ia keluarkan. Rupanya adalah seutas tali panjang. Tali itu melayang dengan cepat bagai seekor ular hidup menyerang Ganti dan Supala.





Kedua orang itu kaget. Mereka bermaksud menghindar dengan

loncat menjauh. Akan tetapi tali itu seakan hidup dan bermata, Sebab tiba-tiba terulur lebih panjang, dan ujungnya meliuk-liuk menyambar lebih cepat. Dan... . tanpa dapat dicegah pula Ganti dan Supala kena dilibat oleh tali itu. Dan hampir berbareng keduanya jatuh

tersungkur ketika Mirah Sekar menarik tali itu dengan kuat.

Ganti dan Supala berontak, akan tetapi tali itu demikian kuat.

Tenaga mereka tak mampu melepas dari jiratan tali terbuat dari jenis

kulit yang kuat dan liat.

Dengan sigap Mirah Sekar menggiring kedua orang itu.



- Berdiri!--



Perintahnya. Dan Supala dengan Ganti tak membantah.



- Hayo kau bawa orangmu semua pergi dari dusun ini!



Maka terlihatlah, kemudian, pemandangan yang mengenaskan. Ganti

dan Supala, dengan diikuti oleh orang-orang yang masih hidup berjalan pergi keluar dari Padukuhan tanpa membawa sedikitpun barang

yang mereka rampas dari penduduk. Sedang yang luka mereka bawa

pula setelahnya merawat kawan-kawannya yang tewas.

Tak urung mereka diantar oleh penduduk pedusunan itu sampai

dibatas tlatah.

Namun sebelum mereka meninggalkan tempat itu, Supala masih

sempat berkata pada Mirah Sekar yang berjalan menggiring mereka

dengan pedang telanjang.



- Huh, jangan kau bergirang lebih dulu, tunggu aku akan panggil seseorang yang akan melumat habis kesombonganmu, huh!-



Mirah Sekar tak menjawab. Ia hanya mendengus lewat hidung.

Dan Supala meludah



- Cuh!



Tetapi Mirah, Sekar tak meladeni lagi, ia tinggalkan orang, itu

lalu mengawasi sampai kesemua orang itu, lenyap ditelan punggung

perbukitan disebelah sana.

Kepala padukuhan mengucapkan terimakasih pada kedua ibu

dan anak. Namun Mirah Sekar tak banyak berkata, Ia memerintahkan harta benda rakyat dikembalikan pada yang berhak. Dan kepala

padukuhan itu berusaha menyadarkan para suami yang tadinya terbius oleh para teledek.



Mirah Sekar kembali kepertapaan. Namun diam diam hatinya rusuh dengan rasa khawatir. Ia cemas mengingat peristiwa tadi. Sebab mendengar ancaman Supala tadi, Mirah Sekar menduga tentulah ia mempunyai seseorang yang diandalkan. Bukan ia takut karena ancaman itu. Tetapi ia memikirkan nasib Mundarang. Karena bisa jadi keselamatan anak itu akan terganggu. Dan apabila benar ancaman itu dibuktikan, bagaimana pula dengan penduduk di Padukuhan itu, mereka tak akan mampu membela diri dari serangan gerombongan bersenjata seperti mereka.



Ya. kalau saja Mirah Sekar masih ada ditempat itu, bahkan kalau saja Guru Bantu pamannya juga ada, tak akan sulitlah melindungi penduduk padukuhan itu.

Tetapi apakah ia mampu selamanya berdiam ditempat itu?



Tidak!



Mirah Sekar telah mempunyai rencana. Ia berencana keluar dan turun gunung. Bahkan Mundarang harus mencari ayahnya, Sentanu di kotaraja Demak. Dan tentu saja Mirah Sekar kalau saja belum bertemu Sentanu, ia ingin tinggal di kadipaten Wanabaya dengan saudara tuanya Adipati Taruna.



Maka berpikir demikian itulah Mirah Sekar menjadi cemas hatinya. Dan kini ia hanya menunggu datangnya Guru Bantu dan kepadanyalah ia akan paparkan segala perasaan itu, kelak jika paman guru itu datang di pertapaan.



Siapakah sesungguhnya Ganti dan Supala yang baru saja digiring mundur oleh Mirah Sekar dan Mundarang dari Padukuhan itu?



Keduanya adalah anak murid pembantu dari Ki Ageng Semanding tetunggul di Majapahit, tangan kanan Rangga Permana dan Prabu Udhara. Sengaja mereka dikirim oleh orang tua itu, guna mencari seseorang yang sejak lama menjadi incaran Ki Ageng Semanding. Dan sekaligus mereka diperintahkan untuk mencari suatu daerah pemukiman baru ditlatah Demak. Sebab dengan maksud-itu Ki Ageng Semanding bermaksud agar mereka dapat membuat suatu daerah perbentengan seperti halnya Supit Urang yang sampai saat itu masih belum berhasil dihancurkan oleh Demak. Beteng Supit Urang yang terletak diwilayah Singhasari akan dijadikan duanya di tlatah Demak. Maka diperintahkan Ganti dan Supala mencari daerah itu.



Dan ketika mereka kemudian menemukan padukuhan itu, mereka merasa girang, sebab sesudahnya dipelajari dengan lebih seksama,

tempat itu akan cukup memadai dipergunakan sebagai tempat pemukiman dan sekaligus dibuat sebagai letak pertahanan yang kuat. Akan

tetapi tak diduga oleh mereka bahwa ditempat itu mereka bertemu

dengan Mirah Sakear dan Mundarang. Dan justru mereka menghancur leburkan rencana dan kemenangan mereka atas padukuhan itu.

Tentu saja padukuhan itu letaknya amat bagus dan kuat manakala dipergunakan sebagai daerah perbentengan. Kalau tidak tentu

saja Guru Bantu tak akan mencari tempat itu dan menggunakan sebagai pertapaannya selama bertahun-tahun. Maka Ganti dan Supala

kendati menyandang luka dan dilabrak habis oleh lawan, namun mereka bertekad akan merebut kembali daerah padukuhan itu.

Mereka akan bawa Ki Ageng Semanding. Kalau orang tua itu benar

mau turun tangan, apakah sulitnya menaklukkan kedua ibu dan anak

itu?



Maka sekalipun mereka letih dan sakit, namun niatnya harus

kesampaian. Ki Ageng Semanding akan diberitahukan dan minta pada orang tua itu untuk merebut padukuhan itu.

Sementara itu Mirah Sekar menyadari bahaya yang mengancam

penduduk Padukuhan. Maka ia menemui kepala padukuhan dan berkata dengan keyakinan sepenuhnya.



- Kita harus berani mengumpulkan rakyat padukuhan ini, bahwa semua anak lelaki dan kaum lelaki semuanya harus berlatih membela dirinya. Mereka harus mengerti tata tempur yang baik, hingga

sewaktu ada musuh mengganggu mereka akan bisa mempertahankan

padukuhan ini dengan tenaga sendiri.



Kepala Padukuhan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia

mengakui kebenaran perkataan Mirah Sekar.

Dalam pada itu Mirah Sekar memanggil Mundarang, diajaknya anak itu ke pertapaan Guru Bantu. Mirah Sekar memperlihatkan

tempat-tempat yang selama ini belum dilihat anak itu.



- Mundarang.-



Kata Mirah Sekar.



- Kau harus masih banyak

berlatih. Terlanjur kau menyerang Ganti dan Supala dengan orang

orangnya._



- Aku tidak takut, bu ! -



Mundarang memotong perkataan. Tangannya mengepal dan mukanya membayangkan kemarahan.



- Mereka kejam. Kalau tidak dihajar kasihan orang-orang pedusunan itu.



- Oh, kau benar. Kau benar Mundarang. -



Mirah Sekar memeluk kepala anaknya.



- Tapi kau masih belum mengerti dengan orang-orang seperti mereka. Sudahlah, kelak jika Kakek datang kau boleh bertanya tentang mereka. --



- Kakek tahu ? _



- Ya, tentu tahu. Kakekmu banyak berpengalaman.



- Kalau saja ayah ada disini.. tentu mereka tak berani mengganggu kita. _?



Kata anak itu pula. Dan Mirah Sekar berdebar. Ia tak menduga Mundarang akan menyebut-nyebut ayahnya. Maka melayanglah bayangan bayangan dari ingatan pikiran Mirah Sekar. Bermunculan segala yang telah ia alami dengan Sentanu. Ia terlanjur memberitahukan siapa ayah anak itu. Dan tentu saja Guru Bantu yang juga mengasuh bahkan mendidik Mundarang, telah memberi tahu banyak tentang Sentanu.



Namun demikian dalam hati Mirah Sekar, tumbuh semacam kebimbangan. Ia tak meyakini.



Apakah Sentanu tahu bahwa ia telah menurunkan seorang anak lelaki ?



Bukankah Sentanu, ya Sentanu hanya sekejap berkumpul dengannya pada saat ia kelaparan berdua murid KiAgeng Semu itu ditepi sungai saat mana kemudian Mirah Sekar mengikuti Sentanu mencari jalan naik pegunungan dan terjatuh kedalam jurang.



(Bersambung jilid 9)



*****



Mencari Tombak Kiai Bungsu



Karya RS Rudhatan



Jilid 9



Cetakan Pertama 1976



Gambar Luar : Wid Ns



Gambar Dalam : Wid Ns



Penerbit : Muria



Yogyakarta



Hak Cipta dilindungi Undang Undang


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo




*****



Buku Koleksi : Aditya Indra Jaya



(https://m.facebook.com/Sing.aditya)



Juru Potret : Awie Dermawan



(https://m.facebook.com/awie.dermawan)



Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo



(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)



Back up file : Yons



(https://m.facebook.com/yon.setiyono.54)



(Team Kolektor E-Book)



(https://m.facebook.com/groups/1394177657302863)



*******





MIRAH SEKAR selalu membayangkan ketika ia meraih buah

merah yang disengaja dipasang oleh Guru Bantu.



Dan Sentanu, bagaimana nasibnya?



Mirah Sekar masih tak mengetahuinya. Hanya dari

Paman guru yang menolong dan mengasuhnya itulah. Sekar mendengar Sentanu telah masuk ke Demak. Bahkan terakhir ia mendengar bahwa Sentanu telah berada di istana Demak.



- Disinilah dulu ibumu terjatuh, Mundarang.



Kata Mirah

Sekar ketika membawa anak itu ketempat semula ia ditemukan

oleh Paman gurunya.

Mundarang mengangguk-angguk. Ia telah mendengar kisah itu.



- Kakek pandai memasang jala itu ya Bu?



Tanyanya.



- Kakekmu selalu pandai. -



Jawab Sekar.



- Tapi kata kakek, masih ada yang melebihi kepandaiannya

lagi.



Kata Mundarang pula. Dan Mirah Sekar tertawa.



- Tentu, tentu saja. Bukankah kau diberitahu kakek, diatas

orang pandai, masih ada yang lebih pandai lagi, bukan?



- Ya,-



Dan Mundarang mengangguk pula.



- Jadi kakekmu yang pandai, masih ada yang melebihi kepandaiannya.



- Dengan ayah, mana yang lebih pandai. bu ?



- Hi hi tentu saja kakekmu lebih pandai,-



- Dengan guru ayah?



- Ah, kata kakekmu, mereka masih bersaudara, dan kakek tak

pernah mengatakan itu. Sudahlah. Kau harus hati-hati, Mundarang.

Kelak jika kau telah dijinkan kakek untuk meninggalkan tempat

ini, kau akan bisa menjaga dirimu dengan baik.



Saat kedua ibu dan anak bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar

suara orang berdatangan, Suara mereka jelas terdengar oleh Mirah

Sekar dan Mundarang



- sst, ada orang datang.--



Sekar menarik Mundarang.



- Siapa ?-



- Tentu bukan orang padusunan, kalau mereka, tak berani

datang tanpa ijin kakekmu.



Sekar berdebar. Ia tahu yang bermunculan tentulah bukan

orang-orang biasa. Sebab selain mereka bercakap-cakap dengan

suara keras, gerak gerik dan langkah kaki mereka terasa lain dari

orang kebanyakan. Mirah Sekar yang telah berpengalaman berada

di tempat itu, dapat membedakan gerak-gerik orang-orang yang

mendatangi. Gema yang dipantulkan oleh tebing dan jurang disekitarnya, telah ia hapal dengan baik. Maka tak terasa, ia memegang

gagang pedang.

Tetapi Mirah Sekar menggamit Mundarang.



- Kita masuk!



Katanya.



- Tidak keluar menyambut orang-orang itu, Ibu?

Biarkan mereka mencari. Kalau kita telah berada didalam,

siapa mampu menemukan tempat kita disini?



- Bukankah kakekmu

membuat tempat ini demikian rumit dan penuh rahasia?



- Tapi aku ingin keluar dan mengusir mereka. -



Mundarang

masih membantah.



- O, kau jangan sembrono Mundarang! Mendengar gerak

langkah kaki mereka, jelas membayangkan gerakan orang-orang berilmu tinggi.



- Aku tidak takut, kita keluar dan usir mereka!



Mirah Sekar mencoba tersenyum. Bukan ia takut keluar, tapi

Mirah Sekar tahu yang berdatangan adalah orang - orang berilmu

tinggi. Terdengar dari langkah kaki dan suara mereka yang berkata

kata dengan tarikan napas kuat. Mungkin baginya, masih akan mampu melindungi diri sendiri.



Tapi Mundarang?



Mirah Sekar tahu

anaknya, sekalipun memiliki dasar tata tempur

anak itu masih hijau, bahkan kesempurnaan ilmu kepandaiannya

masih jauh dibanding dirinya sendiri. Maka Wanita muda itu tak

akan mengijinkan Mundarang keluar.



- Kita keluar saja,-



Mundarang masih mendesak.



- Tidak Mundarang, kau akan mambantah perintah ibumu?



Mundarang terdiam dengan tiba-tiba. Perkataan Mirah Sekar

membuatnya tak berkata. Sebab Mundarang tak berani disebut

,Membantah' perkataan Ibunya. Semenjak kecilnya telah dididik

untuk menurut perkataan guru dan ibu. Maka ia menjatuhkan diri

kedalam pelukan Mirah Sekar.



-Tidak, aku tidak akan membantah, aku menurut perkataan-mu!



Katanya. Dan Mirah Sekar mengusap kepala anaknya.



- Percayalah pada ibumu Mundarang, kita akan selamat tanpa mengganggu mereka. Dan mereka tak akan mampu masuk ketempat ini. Sementara itu kita tunggu saja kedatangan kakekmu agar

kakeklah yang menyelesaikan.



Mundarang tak lagi membantah.

Perasaan bangga merayap kedalam hati Mirah Sekar. Anaknya


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


demikian patuh. Maka tanpa banyak berkata Mundarang berjalan

masuk.

Pertapaan yang dibangun oleh Guru Bantu memang mengagumkan. Sebuah tempat dalam celah gunung. Dari atas tebing di

jalan kepuncak, terlihat sebagai dasar jurang yang dalam tanpa dasar. Tak terlihat jalan menuju ketempat itu. Dari arah lain, memiliki banyak jalan menghubungkan dengan pedusunan disekitarnya.

Seluruh jalan dan tempat itu hanya Guru Bantu dengan Mirah Sekar

yang mengetahuinya. Bahkan penduduk Padukuhan disitu tak seorangpun tahu. Hanya mereka yang menjadi orang kepercayaan

orang tua itu sajalah yang juga mengetahuinya.





Maka sekalipun tinggi kemampuan seseorang dalam tata tempur, namun untuk dapat memasuki pertapaan itu merupakan suatu

perkerjaan yang tak mudah dilakukan. Hingga tak sekalipun Guru

Bantu mengalami gangguan, dari manapun.

Mirah Sekar tak perdulikan keadaan diluar. Ia sengaja kemudian melatih Mundarang dalam tata tempur dan ulah kanuragan yang

lebih tinggi. Diam-diam Mirah Sekar menginginkan itu dapat melebihi kepandaian ayahnya, bahkan kepandaian siapapun. Maka ia

memberi banyak petunjuk dan latihan pada anak itu.

Namun dalam pada itu, pembantu-pembantu dari pedusunan

yang diperintahkan membantu Mirah Sekar dengan Mundarang

memberitahukan kejadian yang mengejutkan kedua ibu dan anak

itu-



- Apakah Ganti dengan Supala ada diantara mereka?-



Bertanya Mirah Sekar.

Jawab orang-orang itu.



- Kami tidak mengetahui dengan

pasti. Hanya jumlah mereka tidak sebanyak yang dibawa Ganti dengan Supala itu.



- Apa yang telah mereka lakukan?



Bertanya pula perempuan

muda itu.



- Mereka tidak mengganggu kami.



Sahut orang-orang itu,



- mereka mendirikan arena melingkar yang aneh, juga membawa seperangkat gamelan seperti yang dilakukan Supala dan Ganti.



Mirah Sekar termangu-mangu. Untuk beberapa saat lamanya

ia tidak mengucap. Hatinya diliputi gelisah dan khawatir. Tentu

saja Mirah Sekar menduga bahwa orang-orang yang disebut itu adalah orang segolongan Ganti dan Supala. Tentu merekalah yang pernah ia dengar langkah kakinya.



- Kalau Paman Guru ada.



Gumamnya tanpa sadar



- Ajeng Sekar tak usah cemas.



Kata orang padusunan iu



- Mereka tidak mengganggu. Kami kira mereka tak akan menimbulkan kesengsaraan pada rakyat Padukuhan ini.



- Kalian terlalu baik



Jawab Wanita muda itu.



- Tapi

tidak seharusnya kita lengah!-



Orang-orang itu tidak lagi banyak berkata.

Namun dalam hati

mereka juga membenarkan ucapan Mirah Sekar. Dan ketika mereka

akan berlalu Mirah Sekar berkata berbisik:



- Kalian jangan memberitahu Mundarang tentang mereka,

anak itu bisa menuruti kemauan sendiri.



orang-orang itu mengangguk dan berjanji mematuhi perintah

itu.

Malam harinya Mireh Sekar keluar dari tempatnya. Dengan

mengenakan pakaian ringkas, ia berlari turun bukit. Pedangnya ia

sembunyikan dibalik pakaian. Mirah Sekar sengaja mencari waktu

malam hari. Ia telah memperhitungkan bahwa orang-orang yang

berdatangan di Padukuhan itu bukan sembarangan. Maka ia tidak

mau tertindak gegabah. Ia menduga meraka tentu mencari dirinya

dengan Mundarang, sebab kalau mereka benar adalah orang-orang

yang dibawa oleh Ganti dan Supala, tentulah kepandaian mereka di-

atas kedua orang itu. Maka dengan perhitungan itu Mirah Sekar bertindak hati-hati. Ia tidak mau sengaja muncul pada siang hari, sebab belum tahu dengan pasti kekuatan yang harus ia berikan untuk

menghadapi mereka, Lebih lagi ia mendengar orang-orang itu tidak

mengganggu penduduk. Jadi Mirah Sekar menganggap tidak terlalu

mendesaknya agar muncul membantu orang2 dusun itu. Maka malam harinya ia sengaja turun dan menyelidiki.

Mirah Sekar menuju tanah lapang diujung Padukuhan, dimana

Ganti dengan Supala pernah mendirikan panggung besar. Disana

Mirah Sekar kaget. Dari tempat ketinggian, ia melihat batang-batang bambu berdiri ditanam membentuk lingkaran. Batang bambu

itu merupakan pagar melingkar. Dan Ia memperkirakan luas lingkaran pagar bambu itu lebih dari luas bangsal Kadipaten Wanabaya.

Mirah Sekar tak habis mengerti dengan adanya batang-batang

bambu itu. Lalu ia layangkan pandang ketempat lain. Panggung di-

mana pernah dibuat Ganti denga anak buahnya ternyata kembali

berdiri, bahkan disana terpajang dengan lebih bagus. Ditengah pada

panggung itu Mirah Sekar melihat seperangkat gamelan, ditutup kain

hitam. Berbeda dengan cara Supala meletakkan gamelan itu. Kini

diletakkan ditengah panggung. Namun Mirah Sekar sekalipun bertanya tanya dalam hati, tak memperhatikan lebih jauh. Ia mencari kalau-kalau ada seseorang terlihat ditempat itu. Akan tetapi sampai

beberapa lamanya ia tak melihat seorangpun.

Mungkin mereka dibalik panggung itu.



Pikirnya. Dan

Mirah Sekar kemudian melompat turun. Ia berlari kecil kebawah,

menuruni tanah berbatu-batu. Ingin ia menyaksikan dari dekat siapa yang datang membuat panggung itu kembali. Sementara ia berlari itu, hatinya bertambah yakin orang-orang itu memiliki kepandaian lebih tinggi dari Ganti dan Supala, melihat cara mereka memasang gamelan diatas panggung itu, Sekar tahu mereka sengaja

menantang dirinya. Wanita muda ini tidak merasa jerih kalau saja

ia terpaksa bertempur. Tapi, mengingat anaknya, hati wanita ini tak

urung digerayangi perasan cemas juga. Mundarang masih terlalu

muda untuk dapat mengetahui segala cara yang dilakukan oleh

orang-orang tua dalam setiapkali terjadi perkelahian. Mundarang

masih jauh dari sempurna menghadapi orang-orang tua yang telah

banyak berpengalaman. Lebih-lebih menghadapi lawan yang tak

mau menjunjung tinggi tata tempur ksatria. Mundarang masih terlalu kecil untuk dapat mengetahui kecurangan-kecurangan yang tersembunyi dari lawan-lawannya. Maka Mirah Sekar diam-diam menyusun rencana untuk tidak melibatkan Mundarang jika saja timbul pertempuran dengan orang orang itu.

Setelah ia berkeliling Mirah Sekar segera lompat dan berniat

kembali. Sementara hari mulai terlihat tanda-tanda mendekati fajar.

Mirah Sekar berlari-lari kecil menuju puncak.

Namun tiba-tiba ia mendengar suara seseorang, tertawa perlahan dibelakangnya. Mirah Sekar menghentikan langkah dengan mendadak. Ditunggunya orang yang tertawa dibelakangnya itu tanpa

menoleh, Tapi alangkah terkejutnya. Suara tertawa itu kini tiba-tiba

di depannya, sigap Mirah Sekar lompat kesamping dan punggungnya

ia tempelkan ke batang pohon yang ada didekatnya. Matanya mencari-cari arah suara itu. Sorot mata itu menembus kegelapan, kalau kalau terlihat

orang yang tertawa tadi. Namun kembali ia kaget

Sebab suara tertawa itu kembali terdengar diarah lain, bahkan kemudian semakin heran ia sebab bukan lagi dari belakang atau depan, melainkan dari segala arah suara itu terdengar tertawa. Seakan

puluhan orang tertawa mengelilinginya berganti-ganti.



Mirah Sekar sadar. Seorang berilmu tinggi tengah ada didekatnya. Maka tanpa menunggu lagi ia cabut pedangnya dan sambil

masih menempelkan punggung kebatang pohon itu ia bersiap menghadapi segala sesuatu. Ia tak bergerak. Sekar tahu orang jauh melebihi dirinya, dalam hal kepandaian. Maka ia tak mau bergerak.

Ia akan menunggu serangan, sebab masih belum tahu dari mana

orang itu tertawa. Kalau ia menyerang lebih dahulu, selain belum

mengetahui tempat orang itu berada, juga Ia akan kerepotan sebab

suara tertawa itu sekalipun tidak keras, namun panjang dan bertenaga. Bahkan mendirikan bulu roma manakala orang tak tahan

mendengar suara itupun akan segera roboh karena takut dan kekuatan yang menggelitik dalam telinga dan perasaan,

Mirah Sekar masih tak bergerak. Ia pusatkan perhatian dan kekuatan. Berusaha sekuatnya menekan pengaruh suara tertawa yang

hampir membawanya hanyut. Diam-diam murid Nyi Ageng Maloka

ini mengerahkan kemampuan batin dan berusaha membentengi diri

dari pengaruh suara lawan yang masih belum kelihatan, pedangnya

menempel dimuka dadanya.

Rupanya orang itu tahu bahwa Mirah Sekar tak mudah dirobohkan dengan cara itu. Lebih-lebih ketika mengetahui wanita muda itu tak bergerak sedikitpun. Maka tiba-tiba ia menghentikan suara tawanya. Kembali tempat itu sunyi dan lengang. Namun Mirah

Sekar masih tak bergerak. Ia tak mau bertindak gegabah. Sampai

beberapa lamanya masih tak bergerak dan beranjak dari tempatnya.

Itulah yang membuat orang yang masih sembunyi itu jadi mendongkol.



- He, kemari kau



terdengar suara dari samping kanan



- Ah, kau tuli rupanya.



Kembali terdengar suara. Mirah Sekar yang dipanggil tak menyahut. Bergerakpun tidak.



- Gila! Kau mendengar suaraku, ha?!

Kemari!



- Huh!



Sekar menyahut pendek.



Terdengar kembali suara itu. Getaran yang terdengar terasa berat dan berpengaruh


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo




- Kemari, kau takut? Ah rupanya pengecut saja kau anak muda. Percuma kau membawa-bawa senjata itu, kemarilah!



Namun Mirah Sekar masih tak bergerak, tiba-tiba berkelebat

sebuah bayangan menyerang seraya berseru:



- Awas!



Dan angin

santar menyorang menggulung Mirah Sekar dengan kuat.



Murid

Nyi Ageng Maloka itu sebat bergerak. Begitu ia melihat bayangan

menyambar kearahnya, tubuhnya ia gerakkan kemuka dan Sekar

bergulung maju sebab terasa sambaran angin lawan cukup kuat dan

bertenaga.

Maka terlihat dalam cahaya remang menjelang terang tanah

itu seorang melayang bagai burung garuda menyambar mangsa, dan

seorang lagi bergulung kebawah bagai terengiling dan pedang Mirah Sekar sekaligus membabat lawan yang ada diatasnya.



- Trang



Terdengar suara senjata beradu, dan pedang Mirah Sekar terlempar keras dari tangannya. Sakit dan panas telapak tangan itu. Cepat

ia loncat berdiri dan bersiaga. Hatinya kaget sekali bergerak lawan

berhasil membuat pedangnya terlempar. Namun lebih kaget hati

Mirah Sekar, sebab penyerangnya tak kelihatan. Entah menghilang

kemana. Maka diam-diam hatinya memuji. Lawannya benar bukan

sembarangan, sebab sambil menyerang dan sementera tadi ia bergulingan, lawannya telah lenyap bagai hantu ditelan bumi. Namun

ia segera loncat dan pungut kembali senjatanya yang terlempar. Ia

sarungkan kembali senjata itu, lalu Mirah Sekar loncat berlari tanpa

perdulikan lawannya yang telah lenyap dari hadapannya. Mirah

Sekar tak mau melayani lebih jauh. Jelas lawan menang diatasnya.

Lebih-lebih keadaan masih gelap hingga tak leluasa baginya melakukan perkelahian dengan orang itu.

Tetapi begitu Mirah Sekar berloncatan beberapa langkah, sambaran angin kembali terasa dan bayangan hitam tadi kembali menyerang dengan pukulan kearahnya.

Mirah Sekar kaget juga. Tapi ia waspada. Begitu terasa orang

muncul, ia telah bergerak lebih dahulu dan menyerahg orang itu

hingga dua serangan bertemu.



- Dug!



Tangan kedua orang itu

beradu keras, dan Sekar mengeluh tertahan, lengannya sakit luar

biasa dan ia terpental kebelakang beberapa tindak, bahkan hampir

saja ia terguling kalau tidak segera menguasai diri sekuat tenaga.



- Kau sungguh hebat

dan kuat.....



Terdengar orang itu tertawa. Dan Sekar kini melihat

sesosok tubuh berdiri dihadapannya dengan jubah hitam yang melambai-lambai ketika bergerak tadi. Tapi ia tak mau berpanjang

waktu. Dengan gerakan kilat Sekar meluruk dan melancarkan serangan dengan pedangnya.

Angin bersiutan ketika senjata ditangan murid Nyi Ageng Maloka itu menyambar-nyambar. Namun lawannya tertawa pelahan,

dan hanya dengan beberapa kali loncatan orang itu telah mumbul dikejar oleh serangan senjata panjang ditangan Mirah Sekar, membuat orang itu terus meloncat-loncat, dan sekali-sekali ia berjungkir

balik dengan gerakan aneh dan mengagumkan

hati.

Mirah Sekar sadar. Lawan tak akan dapat ia kalahkan. Maka

ia gerakkan pedang dengan lebih cepat hingga bergulung hebat. Dan

suatu saat senjata itu meluncur maju bagai anak panah mengarah

tubuh lawan. Tapi orang itu lebih cepat, ia loncat mumbul pula dan

melayang menjauh dari Mirah Sekar.

Saat itu Mirah Sekar bertindak cepat. Ia loncat mundur dan

pergi meninggalkan tempat itu.



- Kalau kau benar jantan, biarkan aku pergi -



Serunya.



- Aku tahu kau adalah jago yang dipanggil oleh orang macam Ganti

dan Supala. Tapi jangan anggap aku takut dengan orang-orang macam kalian -



- He.........he...... .he....... kau cerdik dan pintar menebak.

Tapi apakah kau akan berani melanjutkan pertempuran ini?-



- Huh. Sejak pertama aku sudah mengendus maksud burukmu dipadukuhan ini. Tantanganmu dengan mendirikan panggung

itu, aku tahu dan jangan anggap aku lari. Tunggu saatnya panggung

itu kuhancurkan sekali lagi.

Eh, ya, baik! Baik! Aku akan tunggu kedatanganmu dipanggung dan aku ingin saksikan kepandaianmu. Nah, jangan tidak datang!



Dan bayangan itu berkelebat pergi.

Mirah Sekar menarik napas lega. Ia kagum orang itu amat tangguh dan kuat. Bahkan ia masih belum mampu melihat wajah sesungguhnya, hanya bayangan hitam sajalah yang berhasil ia lihat tadi.

Tapi ia tak bepikir lebih lama. Bergegas ia kembali ketempatnya,

sambil merasakan kecamasan yang makin menyergap di hatinya.

Sebab, menilik kepandadan orang, tak mustahil kawan-kawannya

masih banyak, sekurangnya sejajar dengan orang itu.



Ah, Mirah Sekar menarik napas lagi,



- Kapan Guru datang?



Tanyanya dalaim hati. Diam-diam ia khawatir atas nasib

penduduk dan anaknya.



- Tapi aku akan mengadu senjata kalau mereka mengganggu,

huh!



Dan Sekar terus berloncatan lari naik kembali ke pertapaan

Paman gurunya.

Mirah Sekar hampir saja bergerak menyerang, ketika ia berlari

itu, sesosok tubuh berloncatan kearahnya. Tapi segera ia sadar ketika melihat jelas siapa orang itu.



- Ibu, kau kucari, kemana sepagi ini?



Bertanya orang itu

yang tak lain adalah Bagus Mudarang.Tapi Mirah Sekar tak banyak

berkata. Segera ia tangkap lengan anaknya, ditariknya sambil berkata



- kau jangan nakal Mundarang, hayo masuk!



Mudarang tak membantah. Terasa tubuhnya hampir melayang

ketika Mirah Sekar menariknya sambil berlari kedalam itu. Namun

dalam kepala anak itu penuh prasangka dan dugaan yang membuatnya tak puas.



Tadi ketika ia terbangun, ditengoknya ibunya, telah tak ada di

tempatnya. Maka ia menanyakan pada pembantunya.



- Ajeng Sekar keluar sejak tadi.-



Jawab. pembantu itu.



- Keluar? Apa pesannya?



Bertanya Mundarang.



- Tidak, tidak ada pesan.



- ya, ya, tentu Ibu kesana.



Gumam Mundarang kemudian, Maka tanpa banyak berkata ia keluar dan menuju jalan

turun bukit lewat celah lain.



- Mau kemana gus? _



Pembantunya mencegah .



- Jangan

pergi, nanti kami sekalian ditegur Ajeng Sekar.



- Mengapa begitu? Kalian diperintah untuk melarang aku

pergi?



- Tidak! Tidak begitu, tapi jangan pergi sebelum Ajeng datang



- Kalian jangan takut, aku hanya ingin melihat-lihat di padukuhan ada apa. -



Lalu Mundarang berlari pergi meninggalkan

pembantu-pembantunya yang melongo tanpa mampu mencegah kepergiannya.

Saat itulah muncul Mirah Sekar yang langsung mengajak Mundarang balik kembali. Mirah Sekar bukannya tidak tahu anaknya

tentu bersungut-sungut dibawa kembali. Tapi ia tak perdulikan.

Di dalam, Mundarang kaget.



- Ibu berkelahi, dengan siapa?


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo




Tanyanya.

Mirah Sekar tak heran kalau Mundarang tahu ia habis berkelahi, sebab mukanya nampak menegang dan rambut yang terurai

belum sempat dibenahkan.



- Dengan siapa ibu berkelahi? Tentu ia tinggi ilmunya, benarkah?



Mirah Sekar tak menjavab. Tapi Mundarang meraih pedang

yang baru diletakkan oleh Mirah Sckar, lalu dicabutnya senjata itu

dari sarungnya.



- Hebat!



Mundarang bersera kaget.



- Lihat! Pedang ini

rusak!



Mirah Sekar kaget pula. Ia rebut senjata dari tangan anaknya,

lalu diamatinya dibawah cahaya lampu obor. Ternyata mata pedangnya pecah-pecah dan sempal sepanjang tiga jari.

Mirah Sekar ingat benturan senjatanya dengan milik lawan

yang menyebabkan pedang itu terlempar tadi. Namun ia tak menduga bahwa pedangnya akan mengalami rusak demikian. Ia tak tahu senjata apa yang digunakan lawan menggempur pedangnya. Tapi

Sekar tahu tentu senjata itu luar biasa. Kalau tidak bagaimana dapat membuat pedangnya sempal dan rusak demikian?



Padahal pedang itu adalah, buatan Paman gurunya, kuat dan ampuh. Maka Sekar menarik napas dalam dalam.



- Mengapa ibu tadi tak mengajakku?



Tanya Mundarang

seraya memegang lengan ibunya.



- Kalau aku ada kita bisa menggempur orang itu berdua, dan pedang ini tak akan rusak demikian.



- Ah, Mundarang. Apakah kau suka menggempur lawan dengan

mengeroyok?--



Tanya Mirah Sekar, dan tangannya mengusap kepala anak itu.



- Tidak, aku tak suka itu. Tapi kalau lawan berilmu tinggi,

kita boleh mengeroyok, bukan?



- Ya, mungkin boleh. Tapi ada jalan lain yang lebih baik lagi



- Jalan lebih baik? Bagaimana caranya?-



- Belajar dan berlatih dengan lebih tekun serta rajin, tentu

kepandaian kita akan naik, kalau telah mencapai tingkatan tinggi,

tentu tak mudah dikalahkan, bukan?



- Ya, ya.



Mundarang mengangguk-angguk



- Nah, kau harus rajin berlatih dan ulet lagi, Mundarang,-



- Lawan itu, apakah ia menang darimu?



- Ya, ia menang jauh.



- Dan Ibu lari?



- O, tidak. Kita tidak boleh lari karena takut.



- Ya, kakek bilang begitu. Tapi mengapa Ibu kembali, apakah orang itu membiarkan ibu begitu saja?



- Tidak, aku adakan perjanjian untuk bertempur lagi.



- Kapan? Kapan perjanjian itu? Aku ikut!



- Ah, Mundarang, jangan banyak bertanya dahulu, kita masuk dan kita merlatih, lagi. Kau tidak boleh sombong dan menganggap dirimu telah pandai. Sebab masih banyak orang pandai didunia

in. Juga lawan-Jawan itu. Kalau kita sembrono, bisa kita celaka.

Kau berlatih saja dahulu. Nanti aku beritahukan hari perjanjian itu,

dan kau boleh ikut kalau mau.



Mundarang tak lagi membantah.

Hari-hari berikutnya, Padukuhan itu kembali diguncang oleh

kedatangan orang-orang yg mendirikan Pagar Bambu dan panggung

itu. Penduduk yang semula masih takut-takut, semakin hari bertambah berani mondekati. Ternyatalah makin hari berduyun-duyun orang

datang dan menyaksikan permainan orang-orang itu. Bunyi gamelan

yang tadinya mengingatkan pada tindak-tanduk, Ganti dan Supala

semakin hari makin hilang. Rakyat Padukuhan telah berdatangan lebih banyak. Dan setiap kali terdengar sorak sorai mereka, gegap

gempita. Maka riuh rendah rakyat Padukuhan dibuatnya. Apa yang

mereka saksikan dalam kurungan pagar bambu yang dibuat itu.

Rakyat nampak girang dan tertawa-tawa. Kadang-kadang terdengar-

teriakan-teriakan -mereka bersahut-sahutan



- Ayo seruduk yak....ha...ha..



- Mampus! Mampus!



- He, ini kakimu menginjak .kurang ajar!

hay.



- Oh bodoh!

ih. kau ini teriak ditelinga orang! Sana dalu!



- Ahai ....ayo serang terus... ayo serang....



- Jaga mulutmu, kau juga teriak seenak maumu sendiri..



- He, diam semua! Kalian malahan ribut. Lihat tuh belang jadi ketakutan, ah

aku kalah lagi...



Dan orang-orang makin, berdesakan. Keriuhan tempat itu benar-benar merubah pemandangan, Kalau semula tempat itu lengang,

bahkan setelahnya Mirah Sekar mengusir Ganti dan Supala dengan

anak buahnya, tempat itu benar-benar menjadi sunyi dan menakutkan.

Tetapi kini bukan lagi sunyi, sebaliknya berubah menjadi arena teriakan dan seruan orang-orang itu. Tak ubahnya mereka menyaksikan

adu ayam, berteriak teriak. Bahkan rasanya hampir tak muat

tempat itu oleh kerumunan orang-orang Padukuhan yang mengelilingi pagar bambu itu. Sekalipun dari tempat ketinggian, mereka banyak yang dapat melihat ketempat kerumunan itu tapi tak urung

masih berjubal berdesakan disekeliling pagar bambu seraya masih

berteriak-teriak dan tertawa gembira. Hampir terguncang tempat itu

manakala terdengar seruan dan sorak berbarengan. Bagai gompa saja

tempat itu bergeletar akibat sorakan-sorakan mereka.



Dalam pada itu terlihat seorang anak lelaki berlari mendekati.

Lalu dengan sigap anak itu turut mendesak orang yang berkerumun

mengelilingi pagar bambu. Kekuatannya mengagumkan juga. Tangannya yang kecil mendesak maju, membuat orang-orang menyingkir. Kerumunan mereka terkuak oleh tenaga si anak lelaki yang

nampak kuat.



- Ah, Gus Mundarang. Hayo kau masuk dan melihat dimuka!



Terdengar seseorang berseru ketika melihat yang mendesak adalah Mundarang.


Dewa Linglung 17 Munculnya Keris Kiyai Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie

Cari Blog Ini