Ceritasilat Novel Online

Mencari Tombak Kiai Bungsu 12

Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan Bagian 12





- Beri jalan sedikit, Gus Mundarang mau nonton. Hei, beri

jalan itu!



Seru seorang yang lain,



- Ya, masuk saja kemari! -

Kata yang lain.



- Sini saja gus, dekat saya, bisa jelas! -



Seru yang lain pula.

Tapi Mundarang tidak banyak berkata. Ia terus maju mencari

tempat dimuka, Banyak yang menyisih melihat Mundarang muncul.

Bahkan anak-anak sebayanya berlarian mendekati ketika melihat

munculnya anak tunggal Mirah Sekar itu.

Mundarang kaget. Ia ternganga heran ketika tiba dimuka. Dalam kurungan pagar bambu itu ia melihat pemandangan yang belum

pernah Ia saksikan. Seekor Babi hutan sebesar harimau tengah berkelahi dengan garangnya melawan tujuh ekor anjing yang menyalak-

nyalak dan menyambar-nyambar padanya.

Mundarang melihat dipinggir seekor anjing hitam telah tewas.

Dan ketika itulah ketujuh anjing yang lain masih menyalak-nyalak

mengelilingi babi hutan yang dengan garang memasang taring kemudian

seraya mengawasi lawan-lawannya yang tak henti-hentinya menyalak dan menyambar-nyambar padanya.

Mundarang hampir ikut bersorak ketika tiba-tiba Babi hutan

itu bergerak meluruk maju dengan serudukan hebat. Anjing-anjing

Yang menjadi lawannya mencar sambil menyalak, tapi sebentar kemudian seekor berbulu coklat menyambar leher babi hutan itu dari

samping dengan giginya. Binatang itu menguik keras, tapi seekor

anjing lain terpelanting oleh babi hutan dengan taringnya hingga anjing itupun menguik keras kesakitan terpental, dan bergulingan.



Namun anjing dengan bulu coklat itu masih hinggap dileher

babi hutan dengan, giginya menghunjam dan anjing lain menyalak

nyalak seraya menyambar dari, kanan kiri.



- Ayo! Ayo, terus.. hayo he hitam bantu kawanmu

itu.



Orang-orang masih berteriak-teriak gegap gempita. Dan Mundarang berdiri dengan kagum. Ia melihat pemandangan menarik

hatinya. Perkelahian itu sungguh aneh baginya. Ia belum pernah

menyaksikan orang mengadu binatang-binatang semacam itu. Maka

matanya tak berkedip bahkan sekali-sekali Mundarang ikut bersorak kalau ada seokor anjing berhasil menyerang atau melukai babi

hutan itu.



Pada suatu saat anjing berbulu coklat yang berhasil menanamkan gigi keleher babi itu, mengulang perbuatannya. Akan tetapi

sebelum niatnya kesampaian. Babi hutan itu telah menyambut dari

arah samping dan taringnya yang panjang menyambar perut anjing

itu. Tak dapat dihindarkan perut binatang itu robek dan terdengar

lengkingan panjang ketika anjing itu kembali diseruduk hebat dan

moncongnya hancur oleh serudukan babi hutan yang semakin nampak garang dan ganas. Lengkingan itu akhirnya terhenti dan tubuh

anjing bulu cokelat itupun menggeletak tanpa nyawa



- Haik! Haik. Gug!.Gug!.

Ayo, serang lagi! Ayo jangan takut



Tinggal enam ekor lagi anjing yang menyalak-nyalak menyerang. Namun tiga diantaranya telah luka-luka. Hanya rupanya binatang-binatang itu tak mau menyerah. Dan orangpun melihat tubuh

babi hutan itu telah penuh dengan luka-luka dan robek akibat jambretan gigi-gigi anjing yang berkali-kali menyerangnja.



- Hung ....gug...gug



Babi hutan besar itu menyuruk hebat pula kemuka. Namun tiga ekor anjing tiba-tiba secara berbareng telah menyerang dari samping dan belakang. Seekor diantaranya. menyerang, namun meleset

hingga terguling sendiri, Sedang dua ekor yang lain berhasil, menyambar punggung, dan seekor loncat menerkam bebokong binatang

hutan itu



- Hug!-



Akan tetapi binatang hutan itu benar-benar tangguh dan kuat.

Sekalipun tubuhnya telah penuh oleh luka dan kulitnya robek disana-sini, dan dua ekor anjing masih menempel dibelakang tapi ia maju

dengan gesit. Seekor diantaranya berhasil jatuh terguling ketika babi itu menggerakkan tubuh sekaligus menyuruk maju kemuka. Tepat,

ketika seekor anjing menyalak binatang hutan itu menyambar dengan

serudukan hebat dan lawannya menguik hebat lalu melengking

gonggongan panjang, untuk kemudian terguling dengan nyawa terlepas ketika taring binatang hutan itu merobek leher si anjing yang

kelelahan.

Tinggal dua ekor lagi. Dua ekor yang lain telah berlari-lari mengelilingi pagar bambu. Rupanya jera menghadapi babi hutan yang

tak terkalahkan itu. Namun tentu saja dua ekor anjing itu tak terkalahkan itu. Namun tentu saja dua ekor anjing itu tak berhasil keluar sebab bambu yang dipatok memagagarinya terlalu rapat untuk

tubuhnya.



- Tak berguna kalian hidup!



Terdengar seruan keras dan

dua batang senjata tajam melesat kedalam kurungan, dua ekor anjing yang telah ketakutan itu menguik hebat dan tubuhnya tersungkur oleh serangan dua batang pisau yang langsung menancap dileher keduanya.

Mundarang kaget. Ia hanya mendengar suara seruan tadi dan

matanya masih melihat dua sinar berkelebat menyerang anjing-anjing

itu. Tapi Mundarang tak berhasil mencari siapa orangnya yang melepaskan senjata-senjata itu.

Seruan dan teriakan-orang orang yang menyaksikan adu binatang itu semakin riuh rendah ketika babi hutan tadi berhasil membikin dua ekor anjing terakhir tersungkur dan menguik-nguik kesakitan.

Dua ekor binatang itu tak kuasa bangkit lagi, sekalipun tidak

tewas, tetapi luka-Juka akibat serudukan babi hutan dan serudukan

terakhir yang menyebabkan tubuh mereka hancur tercacah itu membuat dua binatang tadi tak mampu bangkit, kecuali menguik-nguik

panjang kesakitan, menimbulkan iba yang mendengar.



Dalam pada itu Mundarang melihat binatang hutan yang berhasil mengalahkan delapan ekor lawannya itu mengendus-endus dan

berlari mengelilingi patok bambu.

Muncul seorang setengah baya. Ia bendiri ditempat ketinggian

di panggung. Tepat ketika orang itu mengangkat tangan, semua orang

yang semula riuh rendah suaranya tiba-tiba berhenti. Tak sedikitpun terdengar suara mereka, hingga keadaan menjadi berbalik sepi

. Mundarang heran. Bagai kena sihir orang banyak diam menunggu

yang akan dikatakan oleh orang setengah baya itu.



- Kisanak sekalian.



Terdengar orang itu berkata.



- Ini

adalah yang kesembilan kalinya kita adu binatang itu. Nah, untuk

aduan kesepuluh, kalian boleh mencari sebanyak-banyaknya anjing

yang layak diadu dengan babi hutan itu. Tetapi ingat dalam aduan

kesepuluh nanti kalian yang mengikutkan anjingnya untuk melawan

babi itu harus menyerahkan tanah sawah yang dimiliki, sesuai dengan perjanjian yang telah kalian sepakati. Nah,kalian boleh datang

hari Wage esok lusa dengan membawa anjing-anjing piaraan kalian

itu.



Lalu orang itu melompat turun. Sementara itu Mundarang melihat babi hutan tadi telah digiring oleh dua orang dibawa keluar dari

kurungan pagar bambu itu. Sedang bangkai anjing yang tewas telah

diangkut keluar pula.



- Apa kata mereka?-



Mundarang bertanya pada Rambat

dan Santang yang kebetulan juga ada di tempat itu.



- Mereka minta tanah sawah apa artinya itu semua?-



- Kau, belum tahu Mundarang.



Jawab Santang.



- Memang itu taruhannya!.



Rambat menyambung.



- Taruhan ?-



- Ya, itu taruhan, kau belum tahu?



Mundarang menggelengkan kepala.



- Aku baru kali ini turun melihat aduan itu. -



Katanya kemudian.



- Tapi memang aduan yang menyenangkan Mundarang.



Sahut Rambat pula.



- Menyenangkan, tapi taruhan itu, bagaimana mereka bisa melakukan ?-



- Dulunya.-



Rambat menjelaskan.



- Mula pertama kita

heran aduan aneh itu. Kata orang mereka datang dari Pajajaran.




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


- Ah, kata ibuku mereka orang Majapahit Santang.



Sahut

Mundarang.



- Mungkin, mungkin juga.Jawab Rambat.



- Kakekku

juga mengatakan demikian. Malah kata orang mereka juga teman

dari Ganti dan Supala itu.

Tapi bagaimana bisa mereka beraruh?

Itulah. Seperti kukatakan tadi, pertamakali mereka mengundang penduduk untuk melihat aduan binatang. Mereka mengadu

lima ekor anjing dengan seekor babi hutan itu. Tentu saja orang senang menyaksikan aduan aneh yang belum pernah mereka lihat.



- Dan lima ekor anjing itu tewas?



- Ya, babi hutan itu memang kuat.



Bertanya Mundarang.



- Lalu ?



- Lalu rakyat disuruh mencari anjing. Mereka kemudian menyediakan taruhan besar.



- Taruhan, apa taruhan mereka?



- Mereka memiliki banyak emas.



- Dan orang pedudukuhan?



- Orang padukuhan yang mengadukan anjing miliknya melawan babi hutan itu akan memperoleh emas kalau anjingnya menang.

Tapi tak seseorangpun menang. Dan sampai tadi, aduan yang kau lihat, telah tewas enam puluh ekor anjing dari Padukuhan kita ini



- Enampuluh ? Ah,..-



- Benar, babi hutan itu amat aneh dan kuat. Ia tidak kalah

oleh keroyokan anjing-galak sekalipun,



- Dan taruhan tanah sawah itu, bagaimana ?



- Ya mereka yang ikut bertaruh rupanya menjadi kegiatan.

Sampai dengan aduan kedelapan kemarin mereka telah mempertaruhkan sebagian tanah sawah. Bahkan ada yang telah menyerahkan

tanah itu. Dan yang belum masih akan mengadu untung dengan aduan kesepuluh nanti. _



Mundarang termangu-mangu. Seklipun anak kecil, namun dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kendati

ia tidak mengerti benar, tetapi Mundarang tahu dari kakeknya, bahwa bertaruh adalah buruk. Apalagi jika tanah sawah dipergunakan

untuk itu.



- Mereka akan jatuh miskin Mundarang.



Kata Mirah Sekar ketika Mundarang memaparkan pengalamannya melihat aduan

itu.



- Untuk apa mereka meminta tanah sawah?



Tanyanya.



-Tentu saja bukan maksud untuk memiliki kekayaan Mun-

darang, tapi ada maksud lain mereka. Sudahlah, kau berhati-hatilah

menonton adaun itu. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi yg

tidak bisa diperlakukan sembarangan.-



Mundarang menganggukkan kepalanya. Namun dalam hati

anak itu masih merasakan perkelahian antara babi hutan dengan anjing-anjing tadi. Dan ia bayangkan perkelahian binatang-binatang

itu. Mundarang senang melihat aduan menarik. Tapi mengingat tanah sawah yang akan ditaruhkan, ia khawatir. Tetapi siapa tahu

babi hutan itu akan dapat dikalahkan oleh anjing-anjing orang Padukuhan?



Mengingat itu Mundarang teringat sesuatu. Lalu dengan

berlari-lari Mundarang mendatangi Kepala Padukuhan.



- Kau, ada kepentingan apakah kemari?



Bertanya Kepala

Padukuhan itu dengan heran.



- Paman, saya ingin bertanya. Tak adakah anjing di Padukuhan kita yang kuat dan ampuh?



Tanyanya.

Kepala Padukuhan itu heran.



- Apa maksudmu? Kau ingin ikut bertaruh dengan orang

orang Pajajaran itu, Mundarang?



- Tidak, tidak. Tapi saya ingin mengetahui tak adakah anjing

di Padukuhan kita yang dapat mengalahkan babi hutan itu ?



- Ah, kau rupanya tertarik juga.



Jawab Kepala Padukuhan

itu kemudian.



- Ketahuilah Mundarang, di Padukuhan kita telah

habis anjing yang tangguh dan pandai. Bahkan aduan itu telah mendatangkan anjing dari lain Padukuhan. Lagipula babi hutan itu amat

kuat.



Mundarang terdiam. Hatinya kecewa.



- Kalau ada yang baik, aku akan ikuti aduan itu.-



Katanya.



- Kau mau bertaruh dengan mereka?



- Apa salahnya?



- Kau tak akan menang!



- Kita tak boleh bertindak untuk sesuatu yang tak pasti, paman. Makanya aku ingin mencari anjing-anjing yang akan kuadukan dengan babi hutan itu, dan pasti akan menang!-



Kepala Padukuhan itu terdiam. Diam-diam dalam hati ia memaklumi perkataan Mundarang



- Tapi sayang, sayang sekali Mundarang, di Padukuhan ini

telah habis binatang-binatang itu. Namun kalau kau mau mencarinya dibawah gunung, diselatan sungai itu kau akan dapat mencari-

binatang yang kau maksudkan...-



-Kesana ?



Mundarang melengak.



- Berjalan bersama si Lawung, saya baru akan dapat kembali setelah empat hari, paman. Sedang aduan itu tinggal sehari lagi-



Kepala Padukuhan itu mengangkat bahu.



- Apa daya Mundarang,-



Keluhnya.

Dan Mundarang terdiam lagi.

Ketika itu tiba-tiba orang berlarian dengan muka ketakutan.

Mundarang hampir ikut berlari ketika melihat puluhan orang ke Padukuhan itu. Tapi melihat Kepala Padukuhan tak bergerak dari tempatnya, ia batalkan maksudnya. Dan orang semakin banyak bermunculan.



- Cepat, lekas tolong mereka . Lekas hah hah uh...-



Napas mereka putus-putus dan muka-muka yang pucat ketakutan

menimbulkan keheranan di hati Kepala Padukuhan itu.



- Apa yang terjadi?-



Tanyanya pada salah seorang



- Hu... uhh ada,.. ada... lekas pergi.. huh... huh



- Eh ! Tenang, apa yang terjadi,?



Kepala Padukuhan bertanya kembali seraya memegang pundak orang itu. Sedang puluhan

orang lain masih terlihat ketakutan.



- Mengapa kalian ketakutan, apa yang terjadi



Diguncangnya pundak orang itu



- Ada... huh... huh... ada dua harimau ngamuk... huh


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


lekas pergi... pergi... kita huh.



sadarlah Kepala Padukuhan.



- Harimau

? Ah. kalian mengapa jadi penakut

Bukanlah

sering kalian melihat harimau di pedukuhan ini ?



Seorang yang telah nmmpak lebih tenang maju dan berkata



- Ya, katamu benar. Tapi dua harimau itu luar biasa. Mereka

keluar masuk padusunan dengan garang. Tentunya mereka dilepas

oleh orang orang Pajajaran itu

Kita tangkap, hayo lekas siapkan tali dan kurungan !-



Kata kepala Padukuhan itu. Dan bergegas orang membuat perangkap,

lalu berbondong bondong mereka menuju padusunan dimana binatang hutan itu muncul.

Kepala Padukuhan terperanjat, hatinya tercekat juga. Dan binatang hutan yang membuat orang pedusunan berlari dan bubar itu

tengah mendekam dibawah pohon beringin ditengah jalan menuju

puncak pertapaan Guru Bantu. Maka Kepala Padukuhan memerintahkan orang-orangnya untuk tidak bergerak. Dan diperintahkan sebagian memencar kemudian memanjat pohon disekeliling dua raja

hutan itu .Lalu ia sendiri memasang perangkap dan tali-tali yang

telah dibawanya. Namun dalam pada itu hati Kepala Padukuhan

itu berdebar, juga. Dua harimau yang dilihatnya kali ini berbeda

dengan binatang hutan lain yang pernah ia lihat. Kecuali besar

tubuhnya, juga nampak berpengaruh dan menakutkan



- Mundarang Jangan dekat !



Tiba-tiba kepala Padukuhan itu berteriak kaget. Sebab Mundarang mengikuti mereka

mendadak loncat mendekati binatang-binatang itu. Tapi terlambat

. Sebab Mundarang telah melompat, kemuka. Sedang dua harimau itu

melihat orang muncul, bangkit dan menggeram.

Tak seorangpun yang menyaksikan kejadian itu tidak berdebar

dan cemas. Mereka tahu Mundarang memiliki kepandaian. Tetapi tubuh Mundarang dibanding dengan kedua raja hutan itu. ah mereka

tak berani membayangkan jika Mundarang diterkam oleh keduanya.



Namun terlambat. Sebab Mundarang rupanya tak takut dengan kedua Raja hutan itu. Ditangannya ia memegang gulungan tali. Lalu dengan membungkuk Mundarang menggerakkan tali itu. Digoyang-goyangkan kemuka binatang-binatang yang telah berdiri dan menggeram. Tak terasa orang-orang pedusunan yang melihat itu memegang

senjata yang mereka bawa. Siap kalau-kalau binatang itu loncat menyerang.

Seekor diantaranya maju melihat tali yang digoyangkan Mundarang. dilemparnya kemuka.

Tali itu melayang menyerang leher Harimau jantan.

Kepandaian Mundarang pantas dipuji. Tali panjang yang ia

lenmparkan kemuka binatang itu bergerak bagai ular hidup dan bergetar ujungnya menyerang leher harimau jantan, dan....... tepat

menjirat leher binatang itu. Lalu sigap Mundarang menarik dengan

kuat. Namun diluar perhitungan. Ketika ia menarik tali itu, harimau

jantan yang lehernya telah terjirat kolongan tali, mengaum hebat dan

menerjang kemuka. Loncatan harimau jantan sungguh dahsyat. Getaran suaranya mendirikan bulu roma, dan loncatan bagai garuda

mengaduk langit itupun menerbitkan suara-suara jeritan hebat dari

orang-orang yang melihatnya.

Mundarang sadar bahaya mengancam dirinya. Begitu ia melihat

binatang itu meloncat menerjang, ia berguling kebelakang dengan

cepat hingga loncatan harimau jantan itu lewat diatas tubuhnya. Dan

tali yang masih ia pegang, ditariknya sambil kemudian loncat berdiri. Akibatnya harimau jantan itu tertarik dengan kuat. Tapi rupanya tenaga yang dikerahkan Mundarang kalah jauh dongan tenaga

lawannya. Begitu harimau itu merasa lehernya makin terjirat dan

tubuhnya kena ditarik, ia berlari kesamping dan Mundarang jatuh

terguling akibat kuatnya tenaga binatang itu. Tetapi karena Mundarang tak mau melepaskan tali, ia jadi terseret ketika raja hutan

itu tiba-tiba berlari berputar-putar.

Orang-orang menjerit kaget dan cemas. Harimau itu masih berlari berputar dan Mundarang terseret hebat. Tetapi rupanya Mundarang masih mampu menguasai dirinya. Ia berhasil berdiri. Tapi

karena tenaga lawannya menang lebih kuat, Mundarang terpaksa

harus meloncat-loncat mengikuti lari binatang itu.



Ketika Mundarang ada dalam keadaan demikian, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dan sebuah sinar terlihat membabat tali yang

dipegang Mundarang. Tali itu putus dengan tiba-tiba. Mundarang

hampir terpelanting karena tali yang putus. Tetapi bayangan itu cepat

bergerak dan menyambar tubuh Mundarang hingga jatuh kedalam

pelukannya. Bayangan itu bergerak minggir seraya mengangkat Mundarang.



- Ibu.........-



Mundarang kaget ketika melihat siapa orng

itu.

Dan orang banyak berseru lega melihat Mundarang selamat.



- Jangan gegabah Mundarang. -



Mirah Sekar menegur



- Bukan begitu caranya menangkap harimau.



Dan Kepala Padukuhan tiba-tiba memerintahkan orang-orangnya mengurung kedua

harimau itu.



- Tahan! Tunggu dulu!?



Mirah Sekar lompat mencegah.



- Jangan diganggu.-



Katanya kemudian. Tapi karena ia melihat muka orang-orang itu heran, Mirah Sekar memberi tanda lalu

berkata:



- Kalian tidak melihat? Kedua binatang itu agaknya bukan

sembarang harimau. Kalian lihat tadi ketika Mundarang menyerang

dengan talinya? Hanimau satunya itu tidak ikut menyerang, bahkan

ia mendekam dengan enaknya menyaksikan kawannya berkelahi

Dan kalian perhatikan ketika harimau jantan mempermainkan Mundarang dengan berlari-lari memutar tadi? Kalau mereka harimau

biasa tak akan terjadi yang demikian. Jelas keduanya adalah milik

orang-orang berilmu tinggi yang mengerti tata kelahi seperti manusia.-



Kepala Padukuhan mengangguk-angguk. Demikian juga yang

lain. Baru sadar mereka.



- Lalu apa yang harus kita lakukan? -



Tanya kepala Padukuhan itu.

Mirah Sekar tersenyum. Lalu ia melompat kedekat harimau

yang kini telah kembali mendekam ditempat semula. Mirah Sekar

mengangkat tangan, lalu berkata:



- Kalian tentu dengar perkataanku, kawan! Kalau dugaanku

benar kalian bukan harimau sembarangan yang datang dari hutan,

kalian tentu mengerti perkataanku. Kami tidak berniat memusuhi

kalian dan tak akan mengganggu. Tetapi kalian jangan pula mengganggu kami. Kami akan bersahabat. Nah, kalian lihat pedang ini ?



Dan Mirah Sekar mengangkat pedangnya,



- Ia akan menabas

leher kalian jika kalian memusuhi kami. Tapi jika kalian mau

bersahabat, datang dan majulah kemari!



Orang-orang menunggu dengan hati berdebar. Dan Mirah Sekar

menunggu pula dengan senjata telanjang siap ditangan. Dan terjadilah keanehan bagi orang-orang itu, ketika kedua binatang hutan itu

tiba tiba menggeram lalu meloncat maju. Mirah Sekar masih tak

bergerak, tapi senjatanya siap kalau harimau itu menyerang. Namun

kedua harimau itu tiba-tiba mendekam dibawah kaki Mirah Sekar.

Orang banyak bersorak girang dengan mendadak melihat perbuatan harimau itu. Mundarang loncat maju kemudian dipeluknya

leher harimau jantan yang tadi mempermainkan dirinya. Kemudian

melepaskan tadi yang masih melilit dileher binatang itu.

Melihat perbuatan Mundarang, orang banyak maju hampir berbareng dan mereka berebutan memegang kepala dan tubuh kedua

harimau itu. Mereka girang dan kagum, Baru kali ini mengalami

peristiwa ganjil. Dua raja hutan yang ganas dan menakutkan, tiba-

tiba tunduk dan menurut ketika muncul Mirah Sekar. Mereka mengira Mirah Sekar memiliki kesaktian luar biasa. Namun sebaliknya

Mirah Sekar tertawa. Ia tahu tentu kedua harimau itu milik seseorang yang berilmu tinggi.



Tapi siapakah dia?



Mirah Sekar masih

belum mengetahuinya. Hanya ia merasa yakin orang itu ada tidak

jauh dari tempat itu. Maka Mirah Sekar memasang mata melihat

kalau-kalau muncul orang itu.

Pada saat Mundarang dengan orang-orang padusunan masih

mengerumuni dua raja hutan itu, tiba-tiba terdengar suara anjing-

anjing menyalak. Suara itu demikian kerasnya hingga mengejutkan

orang banyak. Tetapi kekagetan mereka lebih hebat ketika tiba-tiba

dua harimau itu meloncat pergi hingga orang-orang yang semula mengerumuni terpental oleh tabrakan binatang hutan tadi dan bergulingan. Disangkanya harimau itu menyerang. Tapi rupanya tidak.

Mereka menarik napas lega.

Yang diduga Mirah Sekar terjadi. Ketika salak anjing makin

dekat, muncul ditempat itu seorang gadis, seusia dibawah dirinya.

Si gadis yang cantik dengan pakaian ringkas pejalan jauh itu, menuntun empat ekor anjing sebesar kambing jantan berbulu hitam,

Dan dua harimau tadi mendekati gadis itu yang telah

heran melihat kerumunan orang banyak.


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Mirah Sekar sadar. Segera ia maju dan memberi hormat



- Ah kiranya kaulah pemilik kedua harimau gagah iu. Perkenalkan kami adalah penduduk di Padukuhan ini.

Gadis itu tertawa. Ia ikatkan tali yang dibawanya pada sebatang

pohon didekatnya. Empat ekor anjing yang terikat oleh tali itu menyalak-nyalak tak hentinya melihat banyak orang.



- Eh, kalian diam jangan ribut !-



Kata gadis itu pada anjing-

anjingnya yang kemudian terdiam menuruti perintah. Lalu gadis itu

maju kembali.



- Terimakasih, aku harap kedua piaraanku tidak mengganggu

kalian disini.-



Katanya.

Kepala pedukuhan merah mukanya, Ia maju dan berkata



- Ah maafkan. Kamilah yang bersalah. Sungguh kedua binatang itu tidak mengganggu. Tetapi karena orang dusun ketakutan,

kami tadinya bermaksud menangkap dan membunuh mereka. Untung muncul Ajeng Mirah Sekar yang mencegah. Ya, maafkan kami,

sebab kami tak mengetahuinya, kedua binatangmu itu baik dan

berbudi, mereka malah bersahabat. Terimakasih, terimakasih!-



Tiba-tiba harimau jantan mengaum dan loncat maju mendekat

kepada kepala padukuhan itu. Lalu diciuminya kaki kepala Padukuhan. Orangnya membungkuk dan mengusap kepala binatang itu.



- Terimakasih, kalian amat baik.



Katanya.



- Hayo kita

kembali ke Padukuhan, dan kami persilahkan kisanak untuk singgah

digubug kami.



Katanya pada gadis itu.

Maka berbondong-bondong mereka menuju rumah kepala padukuhan, Dan tempat itu kembali menjadi ramai oleh kedatangan

orang-orang dusun yang mendengar munculnya dua harimau dengan

seorang gadis cantik ke rumah kepala Padukuhan.

Diam-diam Mirah Sekar mengagumi kecantikan gadis itu. Namun lebih dari itu, Mirah Sekar mengagumi kehebatannya. Sebab

dari gerak-geriknya Mirah Sekar dapat menduga orang itu memiliki

kemampuan tinggi, bahkan rasanya jauh diatas kepandaian sendiri.



- Ah, kalian jangan memujiku.



Kata gadis itu dirumah kepala Padukuhan,



- Namaku Ken Rati. Sengaja aku datang ketempat

ini barena mendengar adanya aduan babi hutan disini. Tetapi karena

aku melihat tak ada lagi anjing kuat disini, aku turun kembali dan

mencari di padukuhan lain dan menemukan empat ekor anjing pilihan

itu, Maksudku ingin mengalahkan babi hutan milik orang-orang

Pajajaran itu.



- Kau ingin bertaruh?--



Kepala Padukuhan bertanya.



- Bukan, tapi ingin menyelamatkan kalian dari kejahatan mereka. Kalian rupanya tidak tahu siapa mereka sesungguhnya.



- Tunggu dulu. -



Mirah Sekar menyahut.



- Kita berterima-

kasih dengan kedatanganmu. Namun ketahuilah kami telah mengetahui sepak terjang mereka sejak pertama disini. -



Lalu dipaparkan

perihal Ganti dan Supala yang menimbulkan kekacauan. Kemudian



- Merekalah yang sekarang rupanya menggantikan perbuatan Ganti dan Supala



Ken Rati termangu-mangu. Hatinya marah. Namun mengingat

bahwa mereka adalah orang-orang Majapahit dan Pajajaran, ia terpukul. Terbayang olehnya Pangeran Madi Alit yang berada di pihak

Majapahit. Sedang ia sendiri masih belum berhasil menemukan

seorang bernama Sasadara di Demak. Semula Ken Rati tengah dalam

perjalanan, dan ia mendengar adanya aduan Babi hutan itu dari

orang orang dusun. Tetapi setelahnya menyaksikan sendiri, tahulah

gadis itu bahwa orang-orang yang mendirikan panggung dan memasang gamelan mengadakan aduan itu bukan sekedar mencari nafkah

dan menghibur penduduk Padukuhan. Bahkan ia melihat mereka

merencanakan sesuatu yang hebat. Maka tak heran Ken Rati mendengar penuturan Mirah Sekar perihal munculnya Ganti dan Supala.



- Berhati-hatilah. Mereka orang kuat dan pilih tanding. Maka

sengaja aku mencari anjing-anjing itu untuk membunuh babi hutan

mereka, Maksudku hanya ingin memancing dan mengetahui kehendak

mereka kalau binatang taruhan itu berhasil dibunuh.



- Anjingmu bagus, biar aku yang bawa -



Tiba-tiba Mundarang muncul membawa empat binatang itu, menyalak-nyalak dengan

kerasnya.



- Mundarang!



Mirah Sekar menegur. Tapi Ken

Rati tertawa.



- Anak itu cerdik dan berani.



Pujinya. Dan Mundarang

menatap Mirah Sekar dan Ken Rad berganti-ganti.



- Kau bawalah, mereka galak. Berhati-hati saja.-



- Kita bawa dan adu dengan babi hutan itu, tentu ia akan

tersuruk-suruk dengan anjing ini. -



Gumam Mundarang, lalu dibawanya binatang-binatang itu keluar.

Dalam pada itu Mirah Sekar telah demikian dekat dengan Ken

Rati. Keduanya segera merasa ada kecocokan satu dengan yang lain.

Bahkan penduduk Padukuhan itu telah merasa girang pula bertemu

dengan gadis itu. Dan Ken Rati dibawanya menginap di rumah Kepala Padukuhan sambil mempersiapkan aduan yang akan dilakukan.

Diam-diam kedua wanita muda itu saling mengagumi.

Pada harinya, tempat aduan yang dibuat oleh orang-orang Majapahit kembali penuh sesak oleh penduduk. Bukan saja dari Padukuhan itu, tapi dari lain Padukuhan berduyun orang datang ingin

menyaksikan kembali aduan yang dirasa aneh dan menarik. Orang

telah berdiri mengelilingi tempat aduan dari pagar bambu itu. Di

tempat ketinggian penuh sesak. Dan suara gamelan yang dipukul

sejak pagi hari diatas panggung telah terdengar menambah meriahnya

suasana. Rakyat nampak gembira, disana sini ramai orang membicarakan aduan itu.



- Kali ini adalah aduan terakhir.



Kata seorang yang tengah

berjalan cepat menuju gelanggang



- Bukan saja terakhir, tanah sawah penduduk Padukuhan telah

dipertaruhkan besar-besaran.

Sahut yang lain.



- Kalau babi hutan itu masih tak terkalahkan. tanah sawah di padukuhan ini akan menjadi milik mereka.



- Gila, mereka beraninya bertaruh.-



Yang lain menyahuti



- Menurutmu, apakah kali ini akan ada yang dapat mengalahkan binatang butan itu?



- Emm... entahlah kalau ada tentu saja datang datang dari Padukuhan lain. Sebab di padukuhan ini telah habis anjing-arjing

terbaik.



- Terlanjur, sebab aduan telah dilakukan berkali-kali



- Kalau babi hutan itu menang, ah, kemana mereka akan

menempatkan hidupnya lagi? Bukankah tanah sawah mereka

tentu akan diminta oleh orang-orang itu.



- Yah, bodohnya mereka.



- Bertaruh ?



- Aku tak suka.-




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


- Melihat aduan kau senang!-



- Ya, melihat. Tapi aku tak mau bertaruh. Lagi pula aku tak

punya aning baik untuk diadu dengan babi hutan itu._



Dalam pada itu seorang yang biasa berdiri diatas panggung telah berkali-kali mengeluarkan tantangan pada penduduk yang membawa anjingnya untuk maju dan melepas anjing itu kedalam kurungan

aduan. Tetapi menunggu beberapa lama, tak juga muncul orang

orang yang diharap membawa binatang untuk diadu.

Gamelan terus dipukul. Sampai tengah hari masih tak muncul

orang-orang yang membawa anjing untuk diadu dengan babi hutan

itu. Maka orang tadi berdiri kembali diatas panggung. Lalu dengan

suara keras, ia berseru:



- Kisanak sekalian, rupanya telah tak seorangpun berani mengajukan tantangan. Dengan demikian kami akan tabuh gong sepuluh

kali sebagai tantangan terakhir. Kalau masih ada yang berani mengadukan anjingnya, kami harap segera maju. Tetapi jika sampai pukulan gong kesepuluh tak ada juga yang muncul kami anggap kelima

puluh penantang yang telah kalah dalam aduan yang lewat telah

menyerah. Dan kami berhak mengambil sawah mereka -



Orang banyak kecewa. Mereka bermaksud menonton aduan.

Tetapi tak muncul juga binatang yang akan melawan babi hutan itu.

Berarti aduan tak akan terjadi. Dan mereka telah menggerutu, hingga

suara mereka terdengar bagai lebah bersahutan, sementara gamelan

terus ditabuh.

Matahari semakin meninggi ketika orang banyak hampir tak

sabar menunggu munculnya lawan babi hutan iu, tiba-tiba terdengar

suara anjing menyalak-nyalak. Yang melihat kaget bercampur girang

ketika dilihatnya muncul seorang kanak-kanak menuntun empat ekor

anjing berbulu hitam bertubuh bagus dan gagah.

Empat ekor binatang itu terus menyalak-nyalak melihat banyak

orang dimukanya. Namun kanak-kanak yang tak lain adalah Mundarang menuntun mereka kedekat panggung. Banyak orang kemudian

berseru girang melihat munculnya empat ekor binatang itu, sebab

mereka segera akan melihat aduan yang menarik itu. Sorak sorai

kemudian bergema disekitar tempat itu.



- Bagus! Horee.

maju terus.pasti menang



- Ah bagus binatang itu, galak dan lincah nampaknya.



Gumam yang lain.



- Belum tentu, babi itu nampak sehat dan makin gemuk saja

hari ini. Lihat ia mengendus-ngendus tak sabar menunggu munculnya lawan. -



Kata yang lain pula. Tetapi orang-orang Padukuhan

yang telah mengenal Mundarang merasa beran melihat munculnya

anak itu



- Eh kau Mundarang?! Bagaimana kau mau ikut bertaruh ?

Apakah guru sudah datang dan mengijinkan ?



Mundarang tersenyum, tetapi tak menjawab pertanyaan itu.



- Mundarang kau mau bertaruh? Ah, babi hutan itu amat...



Tetapi anak itu masih tak membuka percakapan. Dituntunnya

anjing-anjing yang dibawanya lebih kedekat panggung. Ketika dilihatnya orang tadi muncul berdiri diatas panggung, Mundarang berseru keras



- E, kau lihat ! Aku mau mengadu binatangku ini dengan babi

hutanmu itu. _



Orang diatas panggung tertegun sejenak. Heran, seorang anak

lelaki menuntun anjing dibawah panggung itu terlihat tampan dan

sorot matanya tajam, menimbulkan kesan kagum padanya.



- Kau berani?



Tanyanya kemudian.



- Tak usah bertanya, aku sudah kemari



Jawab Mundarang



- Taruhanmu?-Juga tanah sawah? Apakah kau sudah

memberitahukan orang tuamu?



- Sudah Sudah ! Jangan khawatir. Tapi kalau babi hutanmu

kalah, aku minta taruhan darimu yang lebih besar. Bukankah ini

aduan terakhir?



- Hm...apa mintamu ! Katakan!



Mundarang tertawa. Dan orang banyak yang terdiam sejak tadi

memasang telinga baik-baik. Mereka ingin mendengar taruhan yang

diminta dari orang itu.



- Satu.



Kata Mundarang kemudian.



- Kau harus kembalikan semua tanah sawah milik penduduk yang telah kalah dalam

aduan. Dua, seperangkat gamelan milikmu harus diberikan pada kami

rakyat padukuhan ini. Tiga, seluruh harta milikmu ditinggal dan

berikan kami. Empat, kalian dengan semua orang-orang harus

enyah dari padukuhan ini serta bersumpah tak akan mendatangi

tempat kami ini lagi itu saja!



- ha ha ha kau lucu...lucu...tak ada yang mengajukan tawaran sepertimu... ha ha... ha...



Orang itu tertawa-tawa. Tapi Mundarang tak memperdulikan. Ia

membungkuk mengusap-usap empat anjing yang dibawanya



- Bagaimana? Kau terima?"-



Tanyanya setelah orang itu

berhenti tertawa.



- Dan taruhanmu?



Tanya orang itu kemudian.



- Katakan dulu kau terima tidak ?!



Mundarang ganti

bertanya.



- Gila! Aku terima!--



- Bagus, terimakasih!



Sahut Mundarang



- Hayo kita mulai!



- He, tunggu dulu ! Bagaimana taruhanmu? Berapa besar ?



- Taruhan apa?-



Mundarang bertanya dan matanya bergerak-gerak lucu.



- Gila! Kau mau taruhan berapa besar



- He, kau jangan permainkan aku!-



- Tapi kau sudah menyetujuinya, bukan?



Orang itu loncat turun kedekat Mundarang



- Sudah kukatakan!-



Mundarang berkata.



- Ya, tapi itu taruhan yang kau minta dariku. Kini aku ingin

tahu lebih dahulu berapa besar taruhan yang akan kau berikan kalau

anjing-anjingmu kalah?-



- Ah, itu urusan nanti, bukan? Anjingku belum kalah.



- Gila! Tapi kau harus katakan dulu!



- Toh aku belum tentu kalah olehmu, bukan? Anjing-anjingku


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


masih segar dan tangkas, bankan merekapun berani menggonggong

dirimu. Lihat! , hayo kalian menyalaklah hitam ! Hayo



Dan

Mundarang memberi isyarat anjing-anjing itu, maka menyalaklah

mereka keras-keras kepada orang itu;



-Hug! Hug! Hug!

Hugw



Dan orang banyak yang menyaksikan tertawa keras, melihat

itu. Orang tadi merah mukanya. Namun ditahan kemarahan yang timbul dalam dadanya. Ia maju dan berkata pula.



- Kau harus katakan dulu, kalau tidak aduan tidak jadi dilakukan



- Kalau aku tak mau mengatakan aduan tidak dilakukan?-



Mudarang menegas.



- Tentu! Tentu batal!



- Kalau demikian kau kalah, sebab tak melayani tantangan.

Dan kau harus kembalikan tanah sawah milik penduduk.



- Kau jangan curang anjing kecil!-



Orang itu marah.



- Aku

sudah katakan taruhan yang kau minta. Sedang kau tak mau menyebutkan berapa berapa taruhanmu. Tidak adil !



- Eh, siapa bilang tidak adil ? Salah kau sendiri mau menjawab

pertanyaanku dan menyetujuinya. Sedang kalau aku tak mau menjawab juga bukan salahku, bukan?-Sudahlah kau berani tidak?

Kalau ada yang menantang kau tak melayani artinya kau mengaku

kalah. Itu bunyi aturan yang kau katakan sejak semula. -



Saat keduanya bertegang, muncul seorang tua menyeret tongkatnya. Ia tertawa pada Mundarang dan mendekati mereka.



- Kau pintar anak, jangan ribut. Kami terima tantanganmu

Nah kau masukkan anjingmu kedalam kurungan. Kita mulai aduan

setelahnya gong berbunyi.

Mundarang tertawa. Orangtua yang baru muncul itu senyum

ramah padanya. Janggutnya yang sedikit panjang menimbulkan ingatan Mundarang pada kakeknya. Dan memang sebaya kiranya orang

tua itu



- Eh, terimakasih. Kau ternyata lebih pintar kek!



Katanya

lalu ia bawa anjing-anjingnya ke dalam kurungan bambu dan begitu

gong berbunyi, anjing-anjing itu dilepas oleh Mundarang.

Orang banyak segera berhenti bergumam. Mereka manahan napas, kali ini adalah aduan terakhir yang diawali dengan ketegangan

itu. Bagi orang yang menyaksikan telah timbul keheranan dengan

munculnya Mundarang. Namun segera mereka bersorak ketika empat

anjing itu mulai berlaga dengan babi hutan yang bertubuh lebih besar.



-Hug! Hug

Hug



Namun kali ini yang terjadi lain. Empat ekor anjing hitam itu

ternyata memiliki kehebatan tak terkirakan.



Pada suatu saat babi itu menyuruk kencang menyerbu kearah

empat anjing lawannya. Tetapi empat binatang berbulu hitam itu

mencar tiba-tiba dan dua ekor diantaranya menyambar dari arah

samping dan menghunjamkan giginya kepunggung babi hutan itu.

Akibatnya babi itupun menguik-nguik hebat dan darah telah bercucuran dari akibat luka-lukanya. Saat binatang itu kesakitan, tiba

tibi dua ekor anjing yang lain, menyambar dengan berani dari samping kanan kiri dan leher babi itu menjadi sasaran.



Anehlah!



Keempat ekor anjing itu menempel lawannya. Babi hutan kesakitan menguik-ngaik berputar-putar dengan empat

lawan yang tak mau melepaskan gigitan dan cengkeramannya. Bahkan semakin binatang itu meronta, empat lawannya makin kuat

mencengkeramkan gigi. Sedang darah semakin banyak mengalir dan

debu berterbangan akibat, binatang itu berputar-putar hebat disekeliling pagar bambu yang mengurungnya.

Orang banyak segera bersorak gegap gempita melihat kehebatan empat anjing yang tangkas dan hebat iu. Dan tak seorangpun

tahu, bahwa empat ekor anjing itu ketika ditemukan oleh Ken Rati,

selain karena memiliki tulang baik oleh gadis yang berpengalaman

itu ditarik salah sebuah urat ditubuh mereka, hingga membuat binatang itu semakin garang dan ganas bagai srigala liar. Lebih lagi

setelahnya darah menetes dari tubuh babi hutan. keempat binatang

itu makin garang mencium bau darah. Tak mengherankan. Ken

Rati dari Mpu Sugati memperoleh ilmu merubah sifat binatang hanya dengan merubah susunan syaraf dan memijit-mijit bagian tubuh binatang itu. Maka empat ekor anjing itu kini benar berubah

dahsyat dan garang melebihi srigala lapar dan kehebatan gerakannya melebihi babi hutan itu. Tak ubahnya mereka adalah empat

harimau jantan. Maka sudah barang tentu babi hutan itu tak mampu menandingi lawannya dan ia tinggal mampu berputar-putar sedang darah semakin banyak bertetesan. Debu mengepul hebat dan

suara babi hutan yang menguik-nguik kesakitan lambat atau cepat

namun pasti segera akan berubah menjadi kematiannya.

Benarlah. Ketika orang telah kembali terdiam dan berdebar

menyaksikan akhir dari pergulatan empat anjing dengan babi hutan

itu tiba-tiba berseru ketika babi hutan itu terguling dan roboh. Namun empat lawannya tak mau tinggal diam. Babi itu diseret-seret

dengan ganas muka serta tubuh bancur dan robek-robek.

Saat itu tiba-tiba terdengar pula seruan kaget dan lengkingan

suara empat anjing hitam itu.



Tetapi orang banyak berseru kaget dan heran ketika empat

anjing tadi melengking panjang dan roboh terguling hampir berbareng dan tewas tak berkutik. Sedang babi hutan itu masih mendengus-dengus meregang nyawa.

Tak seorangpun mengeluarkan suara. Mereka yang menyaksikan terdiam. Tak diduganya empat anjing yang semula nampak garang dan telah hampir menewaskan lawannya tiba-tiba terjungkal

dan mati.

Namun seruan kaget segera terdengar dan Mundarang tahu-

tahu telah meloncat masuk kedalam kurungan, lalu dengan sekali

gerakkan kakinya yang kecil, ia injak kepala babi butan yang tengah

melawan maut itu hingga remuk dan melesak ketanah.

Bersamaan dengan itu si orang yang berdiri diatas panggung

berseru keras;



- Kau kalah! Binatangmu mati lebih dahulu. Kau harus

serahkan barang taruhanmu pada kami.-



Tetapi Mundarang kembali loncat dan ia patahkan sebatang-

bambu kecil dari kurungan itu, lalu berlari dan loncat keatas panggung. Ditatapnya orang itu dengan sorot mata marah



- Kau kalah!-



Kata orang itu pula.



- Huh, siapa kalah?-



Mundarang berapi matanya.



-Kau

curang ! Siapa tidak melihat banwa hampir saja babi hutanmu kalah. Tetapi secara licik ada diantara kawan-kawanmu yang melepaskan pisau dan membunuh empat anjingku dengan sembunyi.

Lekas kau suruh kawanmu itu keluar, kalau tidak kau harus mengganti nyawa empat ekor anjing piaraanku itu.



Orang itu mundur. Hatinya berdetak juga melihat mata Mundarang yang berapi-api. Sekalipun kanak-kanak, namun telah ada

orang yang membisiki padanya bahwa Mundaranglah yang membikin Ganti dan Supala babak belur. Maka ia mundur dan khawatir juga



- Lekas suruh keluar orang itu!



Mundarang mengacungkan batang bambu yang dibawanya kemuka orang itu.



- Lekas! Sebelum aku bertindak sendiri dan mengampuni kelicikan kalian. Suruh keluar orang itu! _



Orang itu tak menyahut. Ia mundur-mundur. Tangannya meraba pinggang, Dan Mundarang tahu dibalik pakaian itu ada senjata. Tiba-tiba Mundarang bergerak, loncat kesamping. Batang

bambu yang dibawanya memukul kain yang ada diatas panggung

itu. Dan terdengar jerit ngeri ketika sesosok tubuh melayang keluar dan mukanya hancur berdarah oleh sabetan batang bambu

ditangan Mundarang, dan sekantung pisau dari orang itu tumpah

berhamburan.

Orang tadi mundur dengan pucat melihat kehebatan Mundarang, kagum anak itu tahu ada orang sembunyi melepas pisau pada

anjing-anjingnya, bahkan dengan sekali serang berhasil menghajar

kawannya itu. Tapi ia tak merasa takut, sebab masih banyak orang

orang yang diandalkan dibalik panggung. Maka ia serang Mundarang.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba berkelebat bayangan lain dan

tiga orang maju menyerang Mundarang dengan senjata telanjang.

Akibatnya Mundarang kerepotan juga. Dua lawan yang baru

muncul ternyata berkepandaian diatasnya. Lagi pula Mundarang terlalu kecil bagi mereka. Maka batang bambu ditangan anak itu telah

hancur karena benturan-benturan dengan senjata lawannya. Sedang Mundarang tinggal berloncatan mundur.



Saat itulah berkelebat bayangan lain dan dua orang wanita.

Begitu menginjakkan kaki ke

duanya bergerak dan pedang-pedang yang dibawa telah bergulung



-Kau turun Mundarang!-




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Mirah Sekar yang datang bersama Ken Rati memerintahkan anak itu.

Mundarang loncat turun tanpa membantah. Dan Kepala Padukuhan menyambut kemudian dibawanya Mundarang kedekat

orang-orangnya.

Dalam pada itu kedua wanita muda tadi masih menggerakkan

senjatanya menyerang lawan. Rupanya menghadapi keduanya itulah lawannya tak berkutik, sebab kehebatan mereka jauh diatas.

Maka dalam waktu singkat, Mirah Sekar dan Ken Rati telah mendesak tiga orang lawannya, sampai mereka mepet kedekat gamelan

yang ada diatas panggung.



- Kalian curang, kalau tidak bagaimana bisa terjadi keributan!



Mirah Sekar menegur.



- Kalian menyerah dan mengaku

kalah kemudian mematuhi perjanjian semula. Kalau tidak jangan

anggap kami keterlaluan mendesak dan melukai kalian._



Tetapi ketiga orang itu tak mau mendengar perkataan. Bahkan mereka makin garang menyerang seraya melancarkan ilmu

simpanan. Akan tetapi, tentu saja mereka bukan lawan Mirah Sekar den Ken Rati. Ketika dua wanita itu tahu lawan keras kepala,

keduanya saling memberi tanda. Dan senjata mereka bergulung

makin cepat mengurung lawannya.

Pada suatu saat Mirah Sekar menggerakkan senjata lebih cepat dan dua orang sekaligus menjerit dengan paha dan pundak robek oleh pedangnya. Lalu disusul dengan gerakan kilat Mirah Sekar mengerjakan kakinya, dan... tubuh dua orang itu terpental jatuh tersungkur dibawah panggung.

Bersamaan dengan itu Ken Rati telah menggerakkan pedang

pula. Terdengar jerit menyusul ketika lawan yang tinggal seorang

robek pula kedua pahanya dan seperti kedua kawannya orang itupun roboh terpelanting kebawah panggung akibat gempuran Ken

Rati.

Orang berseru dan mundur. Sejak semula telah banyak yang

menyingkir melihat timbulnya perkelahian diatas panggung. Tetapi

ketika melihat kedua wanita muda yang telah mereka kenal itu

berhasil merobohkan lawan, apa yang akan terjadi kemudian.



Mirah Sekar mengerling pada Ken Rati.

Ken Rati tahu maksud itu. Maka ia loncat kedalam dan menuju balik panggung. Sedang Mirah Sekar menunggu diatas panggung mengawasi sekelilingnya, Tak bergerak.

Saat Ken Rati loncat masuk kebalik panggung, seorang tua

berjanggut putih yang tadi berbicara dengan Mundarang sebelum

aduan dimulai, muncul sekaligus menyabetkan tongkatnya pada

gadis itu.



- Curang!



Ken Rati berseru kaget dan loncat mundur

kembali.



- Kau hebat dan mengagumkan!--



Orang tua itu berseru

memuji ketika Ken Rati loncat mundur tadi.



- Jaga serangan!



Ken Rati berseru kembali dan sepasang

pedang yang ia bawa meluncur maju mengarah dada dan perut

orang tua itu.



- Sabar, jangan terburu napsu! -



Orang tua itu berseru

sambil tertawa dan mengangkat tongkat menangkis serangan Ken

Rati



- Ah!-



Ken Rati berseru tertahan. Benturan senjatanya

ketika beradu dengan tongkat orang tua iu membuat tapak tangannya mengeletar dan sakit. Namun ia tak takut. Dengan merubah

serangan kembali ia lancarkan gempuran-gempuran hebat pada

orang tua itu.

Namun rupanya Ken Rati harus mengakui keunggulan lawannya. Sebab tanpa banyak bergerak ,orang tua itu menyambut serangan-serangan Ken Rati hanya dengan ujung tongkatnya. Terlihatlah gencarnya serangan Ken Rati menggulung mengurung lawan. Namun setiap kali serangan serangan si gadis bertemu dengan

ujung tongkat orang tua itu, Ken Rati tergempur hebat dan pertahanannya punah. Sampai ia merasakan kelelahan.

Mirah Sekar yang tadinya menonton tiba-tiba loncat maju

dan menyerang orang tua itu. Gerakannya tak kalah cepat dengan

Ken Rati. Babatan dan gempuran senjatanya kuat bertenaga.



- Bagus....kalian memang mengagumkan tak percuma aku datang kemari. Hoh..... pantas Ganti dan Supala tak berdaya. Layak kau begini hebat.



Tetapi kedua wanita itu tak menggubris perkataan lawannya.

Keduanya melancarkan serangan tanpa putus dan gempuran demi

gempuran bergelombang mengurung hebat. Tetapi orang tua itu

benar2 tangguh. Keroyokan kedua wanita itu tak terlalu membikin

kesulitan dirinya. Tongkatnya masih tenang dan mantep melayani

kedua wanita yang semakin garang



- Eh, anak-anak manis...... tentu saja kalian tak akan menang melawanku. Baik kita adakan pertandingan dengan cara lain.



Orang tua itu berkata sementara sambaran senjata lawannya masih

berkelebatan menyerang.



- Crak! Crak!



Tongkatnya tiba-tiba terbabat pedang Ken

Rati dan hancur ujungnya.



- Bagus!



Orang tua itu memutar tongkat pula dan menyabet Mirah Sckar.



- Wuuut. Wuut!



Mirah Sekar loncat kesamping.



- Jangan anggap kami takut!



Katanya seraya balas menyerang.



- Crak!



Tunggu dulu! Orang tua itu berseru pula ketika

kembali pedang Ken Rati membabat.



- Kita bertanding jujur. Kalian boleh..



- Jangan banyak cakap. jaga pedang!



Dan



- crak-crak!



Kembali dua batang pedang membabat ujung tongkat hingga senjata

itu makin pendek saja. Mirah Sekar tersenyum, Ia berhasil membabat ujung tongkat bersamaan dengan Ken Rati



- Kalian terburu napsu, tunggu dan dengar perkataanku!



- Awas!



Ken Rati kembali menyerang dengan lebih gencar

dan Mirah Sekar menyusulkan serangan dari samping dan angin

bersiutan ketika senjata-senjata itu mengurungnya.



- Ah, kalian jangan gogabah dan tak mau bicara.....



- Dug!



Terdengar seruan keras ketika kepalan kiri Mirah

Sekar berhasil mendarat dipundak orang tua itu hingga yang diserang hampir terhuyung kemuka. Namun orang tua itu benar tangguh. Begitu ia terdorong, ia putarkan badan dan sekaligus tongkatnya menyambar kedua lawannya.



- Wuut!



Ken Rati loncat

mumbul berjungkir balik dan Mirah Sekar karena tak ada kesempatan menghindarkan gerakan pedang dengan mengerahkan tenaga

menangkis tongkat dan



- crak. Duk



Mirah Sekar tegempur hebat

kebelakang hampir terpental. Sedang orang tua itu hanya terdorong

beberapa tindak.

Mirah Sekar rasakan telapak tangannya sakit akibat benturan

itu. Tapi ia tahan dan kuatkan hati. Kembali ia serang berbareng

Ken Rati yang telah kembali maju dengan senjatanya.



- mundur dan dengar perkataanku. _



- Tak akan menang! Kalian tak akan menang melawanku,


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo




Tetapi kedua wanita muda itu tak menggubris. Mereka terus maju mengerubut dengan semangat menyala-nyala.



- Dasar perempuan, bandel!



Orang tua itu berseru, lalu

tiba-tiba loncat mundur sambil berjungkir kebelakang lalu menjatuhkan diri dalam keadaan berdiri. Lalu ia angkat tangan kiri dan

berkata keras



- Berhenti! Aku tak mau melayani kalian bertempur lagi.

Tapi kalau kalian penasaran, besok siang boleh datang ketempat

ini dan kita mengadu senjata pula sampai ada yang menyerah kalah

atau tewas



- Ah kau licik. Alasan untuk melarikan diri bukan? Hayo

lawan kami sampai ada yang tewas diantara kita sekarang juga!



Ken Rati maju dan menudingkan senjatanya.



- Kurang ajar -



Orang tua itu berseru karas dan tongkatnya

ia geraklan dan



- Brak !



Papan tebal panggung itu hancur

berlobang



- Siapa mau melarikan diri? Aku datang kemari bukan untuk lari, malah akan menguasai daerah ini selamanya, mengerti ?

Nah, tinggal kalian turuti tidak. Sampai besok siang bertemu di-

sini



Lalu orang tua itu loncat mundur dan berkelebat lari meninggalkan panggung.



Ken Rati loncat berbareng dengan Mirah Sekar mengejar.

Tetapi orang tua itu telah lenyap. Dan ketika mereka mengaduk isi

panggung, tak seorangpun ditemukan. Bahkan orang-orang tadi telah

tak terlihat bekasnya.



- Mereka kabur ketika kita bertempur itu.

Mirah Sekar

bergumam.



- Licik.



Ken Rati menyahut.



- Baik kita datang besok siang dan buktikan parkataannya.

Tapi rasanya orang tua itu memang bukan lawan kita.-



Mirah Sekar berkata pula.



- Aku sependapat dengan itu. Tapi dengan kita maju berdua,

bukan mudah baginya mengalahkan kita.



- Ya, tetapi berhati-hatilah,_



Mirah Sekar memerintahkan orang-orang bubar dan meninggalkan tempat.



- Siapa orang tua itu?



Mirah Sekar bertanya.



- Tentu orang Majapahit.



Sahut Ken Rati.



- Ia hebat, bukan?



Mundarang bertanya pula. Dan Ken

Rati tiba-tiba teringat bayangan yang pernah menyerangnya pada

malam hari ketika ia menyelidiki tempat aduan itu. Sadarlah ia.

Menitik bentuk tubuh tentu orang tua itulah yang menyerangnya

malam itu. Mirah Sekar berdebar juga. Tadi ia merasakan kehebatannya. Dan malam hari itu ia tahu lawan bukan sembarangan. Bahkan

agaknya hanya paman Guru atau gurunya sendiri yang akan mampu

melawannya.



- Tapi aku harus maju dan menggempurnya besok. Apapun

yang akan terjadi



katanya dalam hati.

Mirah Sekar membawa orang-orang ke rumah Kepala Padukuhan dan merundingkan siasat menghadapi lawan-lawan diatas panggung itu.

Namun ketika rombongan itu memasuki regol rumah kepala

Padukuhan, Mirah Sekar hampir menjerit kaget dan girang, ketika

matanya menangkap si Lawung, kuda milik Mundarang yang terikat

dimuka rumah itu, Dugaannya kuat dan bergegas ia loncat mendahului masuk kedalam pendapa rumah itu



- Paman guru!



Mirah Sekar menubruk dan hatinya memukul girang sebab orang yang ia tubruk adalah Guru Bantu.



- Bagus ! Kalian telah datang, aku menunggu sejak tadi



Kata orang tua itu.



- Mana Mundarang?-



- Kakek!-



Mundarang berlari dan ikut merangkul orang tua itu.



- Bagus Bagus ! Kalian baik-baik saja, bukan ?



- Kau tidak melihat aduan kek, tetapi mereka curang!



Mundarang tertawa-tawa.

Kata anak itu lucu.



- Ya, ya, aku tahu, aku tahu. -



Kata Guru Bantu.

Lalu dipaparkan oleh Mirah Sekar dan kepala Padukuhan perihal munculnya Ganti dan Supala dan datangnya orang-orang yang

mengadakan aduan binatang itu.



- Aku tahu, aku tahu kalian akan melakukan semuanya. _



- Tetapi orang tua yang menempur kalian tadi, bukan lawanmu. Ia

adalah Sunan Langgar orang pertama setelahnya paman gurumu

Ki Ageng Semanding di Majapahit._



- sunan Langgar?!-



Mirah Sekar hampir melonjak. Teringatlah ia akan cerita Sentanu yang mengatakan pernah hampir

bertempur dengan orang tua itu. (baca Jilid 4)-



- Pantas ia hebat.



Pikirnya.



- Dan kalau aku tak salah lihat, gadis itu tentulah murid si

orang tua bernama Mpu Sugati. Benarkah ?



Ken Rati kaget. Tentu saja tebakan orang tua itu benar. Maka

ia membungkuk dan mengiyakan.



- Orang tua itu adalah kakekku.



Katanya.



- Yang Maha Agung ! Pantas kepandaianmu tidak dibawah

Sekar. Bagaimana keadaan kakekmu kini?



- Kakek ada di Padepokan. Ia baik-baik saja.



- Syukur... . syukur.... kakekmu pantas dipuji. Ia baik dan

linuwih dari yang lain. Aku terlalu lama menyembunyikan diri dari

dunia ramai, jadi tak mendengar banyak tentang kakekmu.



- Kek, kau harus ikut menggempur mereka.




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Mundarang

tiba-tiba berkata.



- Menggempur siapa katamu?



- Mereka orang Majapahit itu.-



- Ah, bukan begitu Mundarang. Yang menjadi lawanku hanyalah orang-orang yang bertindak keliru dan menjadi pengganggu

orang baik-baik. Jadi bukan Majapahit atau Demak atau siapapun.

Sebaliknya, sekalipun ia orang yang kucintai, kalau tindakannya

sesat, ia akan berhadapan denganku._



- Mereka juga sesat kek. Bertaruh dan mengajak penduduk berbuat jahat dan maksiat.



Orang tua itu tertawa. Diusapnya kepala cucu yang disayang itu.



- Tapi apakah sesungguhnya yang menjadi sebab mereka tiba-tiba datang ketempat ini Guru? Bukankah Padukuhan kita adalah Padukuhan terpencil dan tidak terdapat hal-hal yang menarik

orang ?-



Mendengar perkataan kepala Padukuhan itu, Guru Bantu

menghela napas dalam-dalam. Baru sesudahnya ia berkata.



- Itulah! Itulah yang kutakutkan semenjak dulu. Akulah

sesungguhnya yang merasa berdosa dan salah. Sebab kedatangan

mereka tentunya mencari diriku._



- Mencarimu kek ?



Tanya Mundarang.



- Ya. ya, mereka tentu mencari itu. Kau ingat yang kusebutkan padamu Sekar. Ingat ketika kau terjatuh kedalam jala yang

kupasang itu ? Bukankah aku katakan bahwa aku menerima titipan

dari orang tuaku Bapa Dalang Dharmapara untuk menurunkan

sebuah ilmu kasampurnan jati pada murid yang berjodoh ?

Semula

aku inginkan dirimu mewarisi ilmu itu. Tetapi karena kau terlanjur

memiliki Mundarang, gugurlah niat menurunkan ilmu itu, sebab ia

tidak lagi tepat untukmu. Dan rupanya kabar tentang ilmu peninggalan Bapa Dalang Dharmapara itu terdengar oleh orang luaran.

Dan aku telah mendengar sejak lama banyak orang berniat merampas ilmu itu dari tanganku.



- Lalu darimanakah mereka tahu tentang ilmu itu? Bukankah

selama ini kau menyembunyikan diri ditempat ini?-



Bertanya pula Sekar.



- Oho, tentu saja mereka akan tahu. Bukankah Ki Ageng Semanding tahu paling banyak tentang rahasia ini? Bukankah kau juga

mengetahuinya, bahwa orang tua itu adalah adik seperguruan Ki

Ageng Semu dan kakak seperguruan gurumu sendiri Nyi Ageng Maloka? Ah, tentu saja ia akan tahu benar, Sekar



- Lalu Sunan Langgar itu?



- Ia orang dekat paman gurumu ki Ageng Semanding, tak heran jika ia mencari sampai ketempat ini. Dan kalian jangan lupa

bahwa bukan saja orang-orang yang kusebutkan tadi yang berniat

mencariku. Masih banyak yang lain yang menginginkan diriku, dan

sudah barang tentu mereka menginginkan apa yang kumiliki saat

ini.Sudahlah, besok aku maju menemui orang tua itu. Ia bukan

tandingan kalian.



Dan Sunan Langgar jadi kaget ketika ia menunggu

munculnya Mirah Sekar dan Ken Rati, muncul Guru Bantu.



- He

Tentu kau tak akan menyia nyiakan kesempatan begus ini, bukan?



Katanya. Tapi Guru Bantu tertawa .



- Aku tahu kau akhirnya tentu akan tiba ditempat ini.



Jawab orang tua itu.



- Tetapi bukankah ada harinya sendiri bagi kita

yang tua-tua untuk bermain-main?

Aha, mengapa begitu bodoh? Bukankah waktu itu akan datang sendiri? Mumpung kita bertemu, mengapa harus disia-siakan?

Sunan Langgar.

- Ada perjanjian diantara kita orang-tua

bahwa kita boleh mengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit. Tetapi

bukan sekarang. Kalau kau mau menunggu beberapa purnama lagi.

waktu itu akan datang dan siapa tahu kau akan berhasil meraih kehendakmu dalam pertarungan kelak?-



- Heh, he, lalu apa maksudmu kemari?-



- Tentu saja untuk memperingatkan dirimu. Kalau kau mau,

tinggalkan tempat ini dengan damai. Dan kita memperhitungkan kelak jika tiba saat perebutan itu.



Sunan Langgar tertawa keras,



- Ya, apa boleh buat. Aku turuti kata-katamu. Tetapi aku

masih ingin menjajal anak-anak manis yang kemarin menempurku.

Nah, kau suruhlah mereka maju kemari!



- Tidak bisa begitu, kau keliru. Kalau kau mendesak agar

mereka maju menghadapimu, sama dengan kau menantang aku turun tangan melayani permainanmu.



- He, mengapa kau membela, ada hubungan apa kau dengan

mereka?



- Kau perlu mengetahuinya, bukan? Mereka adalah muridku.



- Muridmu ? Ah, pantas. Tak malu kalau aku harus berkeringat menghadapi mereka. Tapi undanglah anak-anak itu kemari

sudahnya aku akan turuti kemauanmu??



- Ah, kau orang tua terlalu usil. Tapi baik, baik. Mereka ada

disini. Nah, Sekar dan kau Rati, bukankah kalian tidak jerih

renghadapi tongkat Sunan Langgar itu? Majulah anak-anak!



Mirah Sekar tak banyak berkata. Ia loncat kemuka dan naik

panggung, lalu diikuti Ken Rati.



- Tentu, tentu aku tak takut dengan tongkatmu, hayo kau majulah!



Gadis itu menantang.



- Bagus! pantas dipuji.

Lalu orang tua itu memberikan

isyarat agar gamelan dibunyikan.

Orang yang menonton dibawah beringsut maju. Penduduk yang

kemarin mendengar perjanjian perkelahian telah mulai berdatangan

sejak pagi hari. Rata-rata mereka telah mengetahui kehebatan Mira

Sekar dan menyaksikan adu kepandaian seperti itu sungguh jarang

sekali mereka lihat. Bahkan belum tentu satu kali dalam hidup. Maka panggung itu tetap penuh sesak, malah nampak lebih penuh dari

ketika aduan babi hutan.



Sementara itu diatas panggung orang melihat dua orang perempuan cantik itu tengah bersiap. Mirah Sekar tampak lebih tua sedikit dibanding Ken Rati, namun kecantikan keduanya masih nampak jelas. Dengan memakai pakaian ringkas, nampak gagah dan berisi kedua wanita diatas panggung itu.



- Hayo kau serang!



Sunan Langgar menantang.



- Awas!



Ken Rati mendahului dan pedangnya berputar

menyerang maju. Mirah Sekar belum bergerak. Dan Sunan Langgar

melihat serangan miringkan kepala sedikit, dan pedang itu lewat

disamping leher.

Tetapi Ken Rati cepat menggerakkan senjata itu kesamping

mengancam kepala orang tua itu. Mata pedang menggeletar berkeredepan membuat Sunan Langgar terpaksa egos berkelit seraya menundukkan kepala dan



- Hayo kau maju



Tongkatnya menerjang Mirah Sekar sambil berkelit itu.

Mirah Sekar tak menduga datangnya serangan, ia loncat dan

gerakkan pedang pula menyerang. Saat itu Ken Rati yang melihat

serangannya gagal, bahkan orang tua itu masih sempat menyerang

Mirah Sekar, kaget juga. Tapi segera ia susulkan serangan serangan berantai, panjang dan bergelombang. Padangnya berkelebatan

mengancam lawan. Sedang Mirah Sekar menggerakkan senjata dengan lebih pelahan, namun justru Sunan Langgar tahu serangan itu

lebih berbahaya dibanding serangan Ken Rati. Sebab Mirah Sekar

mengerahka kekuatan tersembunyi lewat gencaran senjata padanya

itu.

Terlihatlah dua perempuan cantik itu berloncatan dan orang

menyaksikan sambaran dan kelebatan pedang keduanya mengejar

den mengancam Sunan Langgar hingga jubah panjang orang tua itu


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


hingga berkibaran diantara sambaran senjata Ken Rati dan Mirah

Sekar



- Bagus!



Sunan Langgar berkali-kali menyatakan pujian.

Namun kedua lawannya tak perduli, serangan mematikan masih

gencar dilancarkan.



Suatu saat senjata panjang mereka berkelebat berbareng menabas leher, sekaligus bagian bawah orang tua itu. Dan yang diserang sekonyong loncat dan mumbul keudara setinggi tiga tombak.

Saat itu dua senjata lawan menyusul dengan kecepatan kilat bagai

ular senduk menerjang mangsa. Akan tetapi tak percuma Sunan

Langgar sebagai orang linuwih. Begitu melihat senjata menyerang,

tadipun ia hanya akan pamerkan kehebatan, maka tongkatnya berputar, dan sementara masih diudara itu tongkatnya menggeletar di

tangan dan



- trak ! Trang! Trang....



Kedua senjata milik Mirah

Sekar dan Ken Rati terlempar melayang lalu jatuh membentur batu

dibawah panggung.



Lalu Sunan

Langgar gerakan tongkat sambil meluncur kebawah kembali. Tongkat itu menyuruk hebat mengancam dada Ken Rati, sedang ujung-

satunya bisa ditebak akan makan pinggang Mirah Sekar yang masih terkejut karena pedangnya lepas.



- Kau harus menyerah anak manis..



Sekalipun Mirah Sekar dengan Ken Rati adalah orang-orang

tergolong berilmu tinggi, namun menghadapi orang tua itu mereka

masih harus banyak belajar. Maka ketika tongkat menyuruk kebawah, mereka berusaha meloncat menghindar. Tetapi Sunan Langgar begitu menapak ketanah dan tongkatnya hampir menyentuh lawan, putar senjata itu dengan gerakan cepat dan aneh. Tak dapat

dihindarkan lagi, Mirah Sekar berdua Rati tiba-tiba terhajar dengan

hebat pada punggung dan pahanya-



- Bug plak !



Dan keduanya

mengeluh pendek ketika tubuhnya terpukul senjata lawan hingga

terbanting berdebam.

Sunan Langgar tertawa, melihat lawan roboh, tongkatnya kembali bergerak cepat dan Mirah Sekar dengan Ken Rati tak mampu

bangkit melihat datangnya serangan, tak bergerak sedikitpun, tapi

matanya menyala marah melihat orang tua itu, menggerakkan tongkat kearah mereka.

Saat itu berkelebat dalam pikiran Sunan Langgar untuk membikin habis nyawa kedua lawannya yang muda. Maka tongkatnya

bergerak memukul kepala kedua lawannya sekaligus. Tetapi sebelum tongkat itu berhasil menyentuh kepala mereka, sebuah bayangan bergerak cepat dan muncul diatas panggung, sekaligus menerjang

tongkat itu dan.



- Dug!



Sunan Langgar tergempur hebat dan tongkatnya mental berbalik kebelakang dengan keras sedang ia terhuyung mundur tiga tindak.



- Curang! Kau menipu!



Terdengar kemudian suara Guru

Bantu yang datang menolong kedua orang muda itu.



Sunan Langgar tertahan-tahan maju. Ia menatap orang tua

yang berhasil membuat tongkatnya mental balik itu.

Katanya



- Hm, kau rupanya mau ikut campur juga kakek tua!-



- Ah, ah, kaulah yang terlalu pikun. -



Sahut Guru Bantu.



- Mereka bukan lawanmu, tadipun bukankah karena kau hanya

ingin main-main maka mereka melayani kau berkelahi. Tapi tak

nyana, kau secara licik dan curang malah ingin menewaskan mereka

yang sudah tak mampu melawan. Aha. kalau memang kau gatal

tangan, boleh kau jajalkan tongkatmu padaku. Kita tua sama tua!



Mirah Sekar kaget. Belum pernah ia menyaksikan paman Gurunya itu marah demikian. Nampak janggutnya seakan menegang

dan sorot matanya membara. Sekar tak pernah melihat itu. Biasanya Paman guru itu amat ramah dan mukanya memancarkan kedamaian.



Tapi sekarang?



Lain sekali.

Sunan Langgar tertawa sinis. Ia pukulkan tongkat kelantai

panggung.



- Kau mau melawanku? Boleh! Boleh kau maju. Kau kira

aku merasa jerih menghadapimu? Sejak dulupun tidak, bukan?-



Sunan Langgar timbul kesombongannya. Ia ingat Guru Bantu

sejajar tingkat kepandaian dengannya, Maka ia berani menantang

dengan nada mengejek. Tapi orang tua ini tidak menyadari, Guru

Bantu telah mengasingkan diri dipegunungan selama bertahun-tahun,

jarang turun kedunia ramai. Sudah barang tentu kalau saja Sunan

Langgar tidak sedang diliputi napsu dan kesombongan, ia akan tahu

tentu Guru Bantu telah maju pesat dibanding puluhan tahun yang

lalu. Namun ia tak menyadari itu, maka dipukul-pukulkan tongkatnya ke papan panggung berkali-kali.



- Hayo kau maju!



Tantangnya dengan mengejek



- Ah, kau makin tua bukan makin sadar akan dosa, malah

kau mencari penyakit menanamkan permusuhan.



Guru Bantu

bergumam.



- Ketahuilah, aku telah lama tak ingin berkelahi dengan siapapun. Tetapi menghadapi kecurangan dan penghinaan tentu saja aku tak akan tinggal diam. Nah, sekedar untuk mendidik

kesombonganmu, kau kuberi waktu untuk menyerang dengan tongkatmu. Aku tak akan menggerakkan tangan. Kalau kau mampu menyentuh kulitku dengan senjatamu itu aku akan berlutut dan menjadi muridmu



Sunan Langgar merah mukanya. Ia merasa direndahkan dengan tantangan demikian itu. Maka ia maju dan membentak.



- Kau benar sombong dan takabur, baik, aku akan buktikan

bahwa tongkatku hanya dalam beberapa gerakan akan dapat membuat kepalamu lepas dari tempatnya. Nah, awas jaga serangan!



Dan orang tua itu menerjang hebat. Angin menyambar ketika tongkat bergerak. Tetapi Guru Bantu membuktikan kata-katanya. Kedua

tangannya bersidekap. Ketika tongkat lawan menerjang itu ia geser

kaki dengan cepat dan sedikit merendah, maka tongkat lewat dengan cepat diatas kepalanya



- Awas!



Sunan Langgar kembali menyerbu dan kini tongkatnya menderu berputar diatas kepala Guru Bantu. Namun kembali hanya dengan menggeser letak kaki tongkat itu selalu lewat, menyentuhpun tidak.

Terlihatlah kemudian pemandangan aneh. Sunan Langgar berloncatan menyerang dengan gencar, namun Guru Bantu hanya

menggeser kaki dan kadang merendahkan sedikit tubuh atau miringkan badan, serangan tongkat itu selalu lewat dan makan tempat

kosong. Kedua jago tua yang nampak gagah itu mulai terlihat

semakin seru berlaga. Akan tetapi kalau orang memperhatikan dengan lebih teliti, akan segera mengetahui bahwa Sunan Langgar

mulai terlihat kepayahan. Kalau semula ia masih garang dan sombong, dan konsentrasi penyerangan masih teratur dan kuat, maka

kini mulai nampak kacau dan sembarangan. Napasnya memburu

hebat dan keringat membasahi jidat serta lehernya. Hanya suara

sambaran tongkatnya masih menderu hebat.



Diam-diam dalam hati orang tua itu timbul gelisah juga. Ia

merasa ada yang tidak selumrahnya pada diri Guru Bantu. Rasanya

ia telah melakukan serangan dengan dahsyat dan kuat dilambari

ilmu dan kepandaiannya yang jarang terkalahkan. Tapi menghadapi

Guru Bantu, ia merasakan aneh dan kecutlah hatinya. Sunan Langgar ingat. Diseluruh telatah Tanah Jawa, hanya orang macam Ki

Ageng Semu, Nyi Ageng Maloka, atau Mpu Sugati sajalah yang

imbang kepandaian dengannya. Juga Ki Ageng Semanding dan

Guru Bantu ia anggap sejajar. Tapi kini ia menyaksikan hal diluar

dugaan. Guru Bantu telah berubah sejak bertahun-tahun tak bertemu. Terbayanglah, ketika pada masa mudanya ia menyaksikan

kehebatan serupa itu. Sunan Langgar teringat seorang linuwih di

Majapahit bernama Dalang Dharmapara. Mengingat itu tercekatlah

hatinya. Guru Bantu adalah anak dari Dalang itu. Tentu saja ia

mewarisi kepandaiannya.

Mengingat yang demikian, Sunan Langgar mengambil keputusan cepat. Maka dengan lebih gencar ia berusaha sekuat kemampuannya menindih Guru Bantu dengan tongkatnya. Akibat itu terlihatlah kedua orang tua itu saling bergerak. Guru Bantu juga berloncatan masih dengan sedakap dan melipat tangan. Terlihat gagah

diantara sambaran tongkat Sunan Langgar yang menyambar-nyambar

mengeluarkan angin dan bunyi dahsyat menakutkan.

Dalam pada itu Mirah Sekar dan Ken Rati berangsur pulih

kekuatannya. Rasa sakit akibat gempuran Sunan Langgar, telah

membaik. Keduanya bangkit. Sejak tadi kedua orang itu kagum

dan heran menyaksikan perkelahian yang belum pernah mereka

lihat. Kehebatan Sunan Langgar dengan tongkatnya benar-benar

mengejutkan. Tentu saja keduanya merasa melawanpun pastilah

akan roboh dalam waktu singkat oleh orang tua itu. Namun sebaliknya kekaguman mereka pada Guru Bantu tak kurang-kurangnya.

Gerakan Guru Bantu menghindarkan diri dari sambaran tongkat

lawan membuat keduanya mengiri dan kagum.


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dalam pada itu Sunan Langgar bukan tak tahu kedua wanita

muda itu telah bangkit. Timbul pikiran dalam kepala orang tua itu.

Ia tahu rupanya tak akan mampu meruntuhkan pertahanan Guru

Bantu sekalipun ia kerahkan kepandaian berlipat ganda. Sunan

Langgar sebagai seorang tua yang banyak berpengalaman tahu

lawannya telah menang jauh diatasnya sejak sembunyi bertahun-

tahun. Itupun belum melakukan serangan balasan. Tetapi untuk

mundur, ia tak sudi. Maka Sunan Langgar ingin memecah perhatian

Guru Bantu agar ia berhasil barang sekali memukul lawannya.

Berpikir begitu, Sunan Langgar menyodok pinggang Guru

Bantu dengan mengerahkan kekuatan sepenuhnya. Namun Guru

Bantu kembali memutar tubuh hingga tongkat itu kembali mengenai tempat kosong. Namun Sunan Langgar yang telah memperhitungkan tindakannya, begitu Guru Bantu memutar tubuh menghindar, ia teruskan sambaran tongkatnya menerjang Mirah Sekar dan

Ken Rati dengan tak terduga.

Kedua wanita itu hampir berbareng mengelak cepat. Terkejut

melihat serangan cepat tak terduga itu. Namun karena sakit masih

mengeram dalam tubuh, gerakan keduanya limbung dan tak sempurna.



- Curang!-



Guru Bantu kaget melihat gerakan tongkat

lawannya menyerang anak-anak muda itu. Maka sebelum tongkat

menyentuh tubuh Sekar dan Rati, Guru Bantu bergerak cepat. Tangannya bekerja sambil meloncat. Maka dengan gerakan aneh tongkat ditangan Sunan Langgar berhasil ia rebut, hingga orangnya

tertarik maju terhuyung-huyung.

Semula Sunan Langgar masih mempertahankan tongkat itu.



Tetapi tarikan Guru Bantu kuat luar biasa, maka tak ampun senjatanya kena dirampas oleh lawan.

Pada saat Sunan Langgar masih terhuyung kemuka, Guru Bantu

menggerakkan tongkat rampasan dari bawah menyapu keatas kearah Sunan Langgar. Dan orang tua itu bermaksud mengelak.

Namun akibat ia terhuyung mendadak akibat tarikan tadi dan

gerakan tongkat itupun cepat luar biasa, maka tak ampun lagi

tongkat yang digerakkan Guru Bantu menerjang menyapu dari

bawah masuk kedalam ketiaknya.



- Agh



Sunan Langgar terlempar keatas beberapa

kaki karena kuatnya sapuan senjata itu dan segera terlempar jatuh

dengan mengaduh. Ketiaknya bagai dibakar dan dilolosi otot-ototnya. Lumpuh dan rasa sakit hebat menggerayanginya.



Guru Bantu melempar tongkat itu kedekat pemiliknya seraya

berkata :



- Kau masih kuampuni. Kalau tadi kau tidak berbuat curang,

tentu kita masih bersahabat. Tapi kau telah mulai. Maka beruntung aku hanya membikin lumpuh tangan kirimu.-



Sunan Langgar meringis menahan sakit. Mukanya memancarkan kemarahan. Dendam mulai membakar dadanya.



- Nah, kuberi waktu sampai esok siang, kau bawa pergi

orang-orangmu dari padukuhan ini. Kalau tidak, jangan harap aku

akan berhati lemah.



Lalu Guru Bantu memberi isyarat pada orang-orangnya untuk

meninggalkan tempat itu. Mirah Sekar berdua Ken Rati telah di

bantu orang-orang pedusunan berjalan meninggalkan tempat itu.

Maka berulanglah pemandangan seperti halnya ketika Ganti

dan Supala meninggalkan padukuhan diusir Mirah Sekar. Sunan

Langgar memerintahkan orang-orang meninggalkan tempat itu dengan hati dendam, menyala berkobar-kobar.



- Aku bersumpah akan menghirup darah kakek tua itu.



Katanya berkali-kali.

Dan Guru Bantu kembali membenahkan keadaan serta kekacauan yang telah terlanjur timbul di Padukuhan. Samentara itu ia

memperingatkan Mirah Sekar dan yang lain.



- Api semakin besar menyala Sekar. Kiranya kita tak akan

aman lagi berada ditempat ini. Aku tahu banyak orang-orang berilmu tengah menuju kemari mencariku.

Dan semenjak aku meninggalkan tempat ini aku telah banyak

mendengar kabar Majapahit semakin kuat. Demakpun bertambah

kuat. Dan api peperangan akan menyala ditlatah timur kelak. Maka

aku segera akan keluar meninggalkan tempat ini. Kalian bertiga, Ken

Rati dengan kau berangkatlah ke Demak. Masuklah keistana dengan cara apapun.



- Dan Mundarang ?-



Sekar bertanya.



- Mundarang akan pergi bersamaku. _



- Kemanakah Paman ?



Sekar makin cemas. Ia takut berpisah dengan anaknya itu.



- Tentu saja yang tahu hanya Yang Maha Agung karena aku

akan membawa Mundarang, sabab aku masih belum mempunyai tujuan, Sekar. Tapi percayalah, Mundarang akan kujaga baik-baik. Kelak kita akan bertemu. Percaya saja dengan kehendak Sang Pencipta,

mulai besok kalian berangkatlah berdua.



- Padukuhan ini akan hancurkah Paman?



Bertanya pula

Ken Rati.



- Ah, kau jangan khawatir. Ada tangan gaib yang akan menjaga keutuhan Padukuhan ini. Lawan hanya mencariku saja. Selain

itu tak akan diganggu. Sudahlah, hal itu serahkan pada kekuasaan

Yang Maha Kuasa._



- Sebab api besar telah mulai menyala. Aku melihat api itu akan

membakar tlatah timur kemudian kebarat menghanguskan segala sesuatu yang tidak mau menuruti kemauannya. Demak hanya akan

menjadi perantara saja. Namun dalam pada itu kekuasaan Trenggana dan keselamatan Sultan Demak yang baru itu akan ditentukan

dari mulainya berkorbar peperangan kelak dengan Majapahit. Maka kau selekasnya mencari Sentanu. Dan Rati, kelak kita akan bertemu pula. Semoga aku dipertemukan dengan kakekmu mPu Sagati.

Ia adalah seorang pinunjul yang selalu kukagumi.



Mirah Sekar tak membantah lagi. Demikian pula Ken Rati. Ia menaruh hormat dan kagum pada Guru Bantu. Kedua wanita muda ini

dalam waktu singkat telah menjadi dekat, tak ubahnya saudara. Bahkan ketika Ken Rati memaparkan pertemuannya dengan Sentanu di

kemah tumenggung Santa Guna, membuat Mirah Sekar makin menaruh sayang padanya. Mereka segera menjadi dua orang yang selalu

sejalan. Bahkan Mirah Sekar semakin kagum ketika mendengar dari

Guru Bantu bahwa Ken Rati jauh menang diatas kepandaiannya di

banding dirinya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Guru Bantu menyerahkan

pertapannya yang selama bertahun-tahun ia tempati pada kepala

Padukuhan untuk dipergunakan oleh penduduk Padukuhan itu.



- Guru mau kemanakah ?-



Bertanya kepala Padukuhan dengan heran.



- Aku masih belum mengetahui kemana tujuan. Tetapi ada

yang harus kuselesaikan. Aku masih mengemban Dharma kehidupan yang dipikulkan kepundakku, Dan perjalanan kali ini harus ditempuh dengan laku yang, berlainan dengan ditempat ini



- Tetapi Guru akan kembali ke Padukuhan ini, bukan ?



- Ya, tentu saja. Tentu aku ingin kembali. Tetapi kapan waktu itu masih belum dapat kukatakan.



- Sesungguhnya apakah yang menyebabkan Guru meninggalkan Padukuhan ini ?



- Ah, tentu kau belum mengetahuinya. Tapi kukatakan sesungguhnya aku adalah api yang menyala, di Padukuhan ini, Nyala

kecil yang sekali sekali menjadi penerang bagi kalian. Akan tetapi

api itu rupanya tertiup angin dan mulai menyala membakar benda

sekitarnya, membesar dan membakar, lambat atau cepat namun

pasti. Maka sebelum api itu membakar kalian, aku akan menyingkir lebih dahulu. Aku akan mencari tanah luas dan padang yang tak

tertembus oleh nyala itu. Kesanalah aku akan memadamkan api yg

mulai membakar itu.



- Ah, Guru.



- Ya, itulah maksudku, kalian tentu mengetahuinya.Maka biarkan aku berangkat dengan ketenangan dan antarkan aku dengan keikhlasan yang dalam .



- Lalu Ajeng Mirah Sekar?



- Ia telah berangkat lebih dahulu ke Demak.



- Demak kata Guru mulai berangkat menyerang Majapahit.



- Ya, ya. Demak memang telah siaga untuk itu.



- Maka Sekar kesana iapun mengemban kuwajiban menyelamatkan orang-orang yg

layak diselamatkan dari api peperangan itu.



- Mundarang ? Apakah akan mengikuti Guru?-



- Mundarang ikut denganku. Ia masih harus banyak belajar

untuk mengenal kehidupan, sejati dalam penglihatan, ini


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo




Esoknya Guru Bantu telah membawa Mundarang menunggang

si Lawung untuk turun gunung meninggalkan pertapaan. Kuda jantan itu

berlari mencongklang membawa kedua tuannya. Tiba dijalan datar yang rata, kuda itu diperintahkan berlari cepat, maka bagai terbang si Lawung menggerakkan kaki berlari hingga mengaduk

debu yang mengebul dibawah kaki-kakinya.

Mundarang tertawa-tawa. Hatinya amat senang si Lawung berlari cepat seakan berlomba dengan angin. Kuda itupun nampak gembira. Ia berlari tanpa kenal lelah. Melompati jurang2 kecil bagi

si Lawung adalah pekerjaan mudah. Tubuhnya yang tegar dan gagah, anggun dalam berlari itu. Dikejarnya segala yang nampak di

muka, hingga si Lawung tak kenal berhenti. Makin lama bertambah

cepat ia berlari. Mundarangpun semakin gembira.

Guru Bantu tidak banyak berkata. Ia biarkan Mundarang tertawa-tawa bercanda dengan kuda itu.



- Eh Lawung, kau berlari kurang cepat, ayuh lekas sedikit.



Kata Mundarang dan lengannya memeluk leher binatang itu. Kuda jantan itupun seakan mengerti maksud Mundarang. Maka menggerakkan kaki dengan lebih cepat. Sekuat tenaga ia berlari menempuh perjalanan pengunungan, turun berlari dan debu masih mengepul dibawah kaki-kakinya.



- Lawung, kau memang hebat. Kalau aku bisa berlari seperti

kau tentu kuajak berlomba. -



Kata Mundarang pula.

Terlihatlah kedua orang tua dengan anak itu terbang dibawa

kudanya. Tak hentinya mereka tertawa. Dan rupanya Si Lawung

juga tak Kenal lelah. Setengah seharian mereka berlari tanpa berhenti. Keringat mulai membasahi tubuh kuda itu. Namun ia masih

belum memperlihatkan tanda kelelahan.



- Disana ada sungai Mundarang, kita berhenti. Biar Si Lawung istirahat. _



Kata Guru Bantu ketika mereka kembali menempuh jalan datar, dan gunung tempat orang tua bertapa itu telah tertinggal jauh dibelakang.



- Kita berhenti disana Lawung.



Mundarang meneruskan perkataan kakeknya.



- Kita istirahat disungai itu. Kau haus, bukan?-



Kuda jantan itu meringkik dan mengurangi kecepatannya berlari.

Dimuka mereka segara terlihat sungai mengalir. Sekalipun

tidak besar, namun airnya jernih. bunyi gemericik yang memecah

kesunyian tempat itu membuat Mundarang segera melompat turun.



- Kesana kek! -



Serunya. Dan Mundarang berlari kecil menyusuri tepian sungai yang banyak ditumbuhi rumput segar. Guru

Bantu memerintahkan si Lawung mengikuti Mundarang. Kuda itu

menurut berjalan dengan meringkik pelahan. Agaknya girang melihat banyak rumput gemuk dan segar.

Dan sementara kuda itu kemudian makan rumput, Mundarang

masih merendam tubuhnya di air sungai, Guru Bantu naik keatas

tebing dan melayangkan pandangan sekeliling. Lalu setelahnya beberapa lama ia berhasil demikian, turun pula. Mundarang telah duduk

diatas batu, bercakap-cakap dengan kudanya. Anak itu nampak

selalu senyum dan sekali-sekali terlihat mengusap leher kuda itu.

Mundarang yang duduk diatas batu besar, dengan mudah dapat memegang surai dan leher si Lawung



- Kau sudah kenyang Lawung? Senang ya dapat rumput segar. Aku juga senang tak usah terlalu lelah mencarikan rumput itu.



Dan kuda itu menggoyangkan leher berkali-kali hingga keliningan perunggu yang ada diatas surainya berbunyi nyaring



- Ya, kau sudah kenyang, tapi aku masih lapar, Lawung!-



Kata Mundarang pula.



- Entah Kakek kemana, aku mau makan

dengan kakek. Kau mau makan lagi ya?



- Makanlah Mundarang, kau buka bekal itu!



Terdengar

suara dibelakangnya. Dan Mundarang kaget, ia membalikkan tubuh.

Dilihatnya kakeknya berdiri dibelakangnya dengan tersenyum.



- Kau mendengar perkataanku kek?-



Katanya.

Guru Bantu tertawa.



- Kau buka buntalan itu!



Perintahnya. Dan Mundarang

meraih buntalan yang dibawa. Beberapa potong singkong rebus

dan jagung ada didalamnya .Tapi Mundarang telah mengambil bungkusan daun pisang.



- Ikan bakar kek!



Serunya. Mundarang tertawa lebar.

Nasi putih dan ikan bakar menantang, seleranya.



- Kakek makan ini. -



Mundarang mengangsurkan bungkusan lain.



- Nanti aku makan. _



Sahut kakeknya.



- Kalau kakek tidak makan, aku juga tak makan.



kata Mundarang .Seraya membungkus kembali panganan itu.



Guru Bantu tertawa. Diraihnya sepotong jagung. Lalu dikunyahnya pelahan.



- Kau makanlah!



Katanya. Dan Mundarang tertawa pula.

Ia buka dan santap habis nasi dengan ikan bakar itu. Dan sementara makan Mundarang memperhatikan kakeknya yang mengunyah

butir-butir jagung rebus diam-diam Mundarang senang melihat

orang tua itu berhal demikian. Sebab menurut Mirah Sekar, banyak

orang setua kakeknya telah habis giginya, Tetapi Guru Bantu masih

lengkap bahkan utuh dan kuat giginya.



- Kita kemana kek'?



Bertanya anak itu setelahnya selesai

menyantap bekalnya.



- Aku rasa kita bisa tinggal disini sampai esok pagi Mundarang. Siangnya kita lanjutkan, perjalanan ketimur. Kau lihat, di

sana, ada tebing menjorok kedalam. Bersih, dan terang tempat itu.

Kita bisa tinggal disana sampai esok pagi, Biar Lawung juga pulih

tenaga dan semangatnya. Ia tentu lelah berlarian setengah harian

tadi.



- Kita sesungguhnya mau kemana kek ? Bukankah kakek

berjanji akan membawaku ke Demak? Apakah ini jalan menuju

Demak?



- Ya, tentu kau akan kuantar ke Demak. Tetapi bukan

besok pagi. Kau masih harus banyak belajar Mundarang. Maka

sambil berjalan aku bermaksud melatihmu dengan lebih baik. Agar

jika kau dewasa kepandaianmu makin sempurna.



- Tapi bukankah berlatih sebenarnya bisa dilakukan di pertapaan ?



- Benar. Tapi kau tahu, selain pertapaan mulai terancam

oleh orang-orang yang memusuhi kita, juga aku bermaksud mengajakmu mengetahui keadaan diluar pertapaan.-



- Tapi bukankah kakek tidak takut dengan musuh ? Mengapa

harus pergi Kek ?



- Mundarang, musuh tidak harus ditakuti. Tetapi setiap orang

harus bertindak dengan perhitungan dan berhati-hati. Lebih-lebih

kalau musuh banyak memiliki kawan yang tidak sembarangan.-



- Kenapa kakek punya musuh? Kakek pernah berkata sebaiknya kita tidak membuat permusuhan, bukan ?



Guru Bantu tertawa juga. Ia terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan Mundarang yang selalu ingin tahu banyak.



- Ya, setiap manusia tentu punya musuh Mundarang. Selama

kita hidup didunia ini tentulah ada saja orang lain yang tidak menyukai kita.



- Kalau hidup menjadi orang baik-baik tentu tak ada musuh

bukan? Kata Ibu begitu, Kek!



- Oho, tentu saja ibumu benar. Tapi menjadi orang baik

bukan tidak ada musuhnya. Malah makin banyak yang memusuhi.


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Orang baik-baik yang memusuhi tentu orang-orang yang senang

berbuat salah. Dan orang-orang demikian itu malah berbahaya

daripada musuh yang berwatak baik. Mundarang,



Mundarang terdiam. Agaknya memikirkan perkataan itu.



- Kek.-



Katanya kemudian.



- Kalau kita kuat dan berilmu tinggi. sekalipun ada musuh, tentu tak bisa dicelakakan, bukan?

Sebabnya ?

Bukankah kita tak bisa dikalahkan?



- Aha, ah, bukan begitu. Kalaupun kau pandai dan berilmu

tinggi, tentu masih ada yang lebih tinggi darimu. Dialam raya ini

tak ada yang berilmu sempurna. Hanya Yang Maha Pencipta sajalah yang memiliki kesempurnaan tanpa cacat cela.



- Lalu siapakah orang yang paling kuat didunia ini Kek?



- Orang paling kuat, kakek tidak bisa menyebutkan siapa.

Tetapi musuh yang paling sukar dilawan kakek tahu



- Siapa? Siapa musuh itu Kek, apakah kakek juga tak kuat

melawan musuh itu?



Guru Bantu tertawa.



- Musuh itu Mundarang.



Katanya



- Adalah napsu dan

kekuatan yang ada dalam hatimu sendiri. Napsu itulah musuh

yang paling sulit dikalahkan. Justru ialah yang seringkali menjerumuskan orang kedalam jurang kesengsaraan dan kenistaan. Mata

pedang bisa dilawan dengan mudah, tapi musuh dalam ujud napsu

itu yang sulit dilawan. Sebab ia selalu bersembunyi. Kadang sukar

ditemukan, tahu-tahu telah menjerat leher dan membunuhnya kemudian melemparkan kita kedalam kehinaan.



- Tapi kata kakek, setiap lawan ada lawannya. Setiap penyakit ada jampinya. Setiap bisa ada pemunahnya. Lalu bagaimana

lawan dari napsu itu?



- Oho, tentu saja ada Mundarang. Hanya orang harus tahu

cara-caranya yang tepat dan benar. Kita harus mau mempelajari

watak napsu itu sendiri. Napsu tidak selamanya buruk. Ada napsu

baik. Namun dengan kita mau mempelajari segala sifat napsu yang

ada dalam diri kita masing-masing, kita akan dengan mudah bisa

meneranginya, bahkan menghancur leburkan jika napsu itu menjadi

barang yang mencelakakan diri kita. Antara lain dengan cara mengenal diri sendiri.



Mundarang melongo mendengar perkataan Guru Bantu. Dan

kakeknya tahu tidak seluruh perkataannya dapat dimengerti oleh

anak itu. Namun orang tua itu tahu ada bagian-bagian kecil yang

juga meresap kedalam pemikiran Mundarang. Guru Bantu tahu, ia

mampu memindahkan kedalam jiwa dan kesadaran Mundarang hal-

hal yang tidak tertangkap dalam tata lahir. Maka betapapun Mundarang menurut tataran lahir belum mampu menangkap keterangan

demikian, tapi Guru Bantu yakin Mundarang menangkapnya dengan

indera keenam, lalu disimpannya kedalam bawah sadar yang akan

banyak berguna manakala telah tumbuh kesadaran dan jiwa dewasa

anak itu.



Dengan cara-cara demikian Guru Bantu ingin menanamkan

keperwiraan dalam diri Mundarang, dengan cara itu Guru Bantu

telah melanjutkan upaya mendewasakan cucunya. Mengisinya dari

kekosongan pada "nas" yang akan merubah murid itu menjadi

manusia dewasa yang kuat lahir dan batinnya.

Sementara itu Guru Bantu juga tak lupa memberikan ulah

kanuragan pada tataran yang lebih tinggi dari yang telah dimiliki

Mundarang. Guru Bantu menurunkan tata cara pertahanan diri

yang sempurna. Dengan melatih anak itu sejak kecil, Guru Bantu

ingin ilmu yang diserap oleh Mundarang akan berangkat dewasa

bersama-sama dengan pertumbuhan Mundarang sebagai manusia

yang mampu membela diri dan membela kepentingan lain orang,

sesamanya.

Maka tak heran, jika Mundarang dalam usia semuda itu telah

melebihi anak sebayanya. Tempaan yang ia peroleh rupanya membuat Mundarang tumbuh lebih dari yang lain. Bukan saja dalam

kemampuan lahir, namun kemampuan dibalik yang kasat matapun

ia peroleh dari orang tua itu. Guru Bantu telah memberikan segalanya pada tataran yang semestinya. Orang tua itu bukannya ingin

memperkosa pertumbuhan jiwa si anak, tetapi setidaknya ia telah

menanamkan kelebihan pada diri Mundarang, sesuai dengan pertumbuhan kedewasan seusia anak itu.

Maka seraya ia membawa Mundarang mengembara dari satu

tempat ketempat lain, Garu Bantu bertambah yakin bahwa anak

murid itu semakin mampu menguasai ilmunya. Diajarnya Mundarang sambil ia menyaksikan kehidupan senyatanya pada rakyat

kecil. Sekalipun anak itu telah menyaksikan kehidupan di Padukuhan namun dalam pengembaraan itu bertambah banyak yang dilihat,

bertambah banyak yang menimbulkan semangat dan menerbitkan

kedewasaan sikap pada diri anak itu. Guru Bantu mengajarkan bagaimana kehidupan rakyat dan bagaimana membedakan barang baik

dan yang batil. Dan Mundarang menerima dengan segala pengertiannya.

Pada suatu saat Mundarang meninggalkan Guru Bantu yang

tengah berada ditepian sungai. Anak itu telah meminta diri pada

kakek itu untuk membawa si Lawung berjalan naik dan keliling

tempat disekitar itu.



- Kau berhati-hati Mundarang. Disini jauh dari Padesan. Jangan sembarangan berkata manakala kau bertemu seseorang. Dan

kau antarkan kepadaku kalau ada orang-orang yang kau anggap

usil padamu._



Dan Mundarang berjanji untuk menuruti perintah tu. Maka

ia bawa kudanya berlari naik dan melarikan binatang itu lebih cepat dari biasanya. Mundarang girang. Si Lawung telah bertambah

gemuk dan tangkas. Rupanya kuda itu juga merasa senang mengikuti kedua tuannya yang kasih dan memelihara dengan baik.



- Kita memutari jalan itu Lawung, aku ingin melihat bukit.

kecil disana itu.



Kata Mundarang. Dan si Lawung meringkik keras. Ia tahu perkataan tuan kecilnya. Maka binatang itupun segera

menggerakkan kakinya untuk berlari dengan lebih cepat. Dilewati tebingnya jalan-jalan menurun pegunungan diantara celah tebing-tebing

yang menjulang tinggi dikanan kirinya. Sebentar kemudian jalan

berbatu-batu itupun menanjak naik. Semakin lama tanjakan makin

naik dan sulit. Berkelok-kelok dan disepanjang jalan batu berserakan menghambat gerak lari si Lawung. Namun binatang itu masih

tegap dan berjalan naik lebih keatas melalui jalan berkelok-kelok

disitu. Sekalipun jalan rumit, namun Mundarang percaya kudanya

mampu melewatinya, maka ia tak menghentikan binatang itu berjalan. Mundarang ingin mengitari tempat itu dan melihat kesekeliling. Ada sesuatu yang menarik dalam hati anak itu untuk mendaki.

Kedua makhluk itu terus berjalan naik keatas. Dan ketika jalan tiba-tiba berubah semakin sulit ditempuh, Mundarang menghentikan kudanya.



- Berhenti Lawung. -



Katanya. Dan mata anak kecil itu

melihat jalan buntu .Dimukanya terlihat banyak tumbuh semak belukar dan disekitarnya banyak ditumbuhi lumut, basah dan licin.

Rupanya tak pernah dijamah kaki manusia. Namun untuk kembali

turun, Mundarang ragu-ragu. Dilayangkan pandang kesekeliling,

tak ada lagi jalan lain, Maka Mundarang turun dari punggung kudanya.



- Kau tunggu disini Lawung, aku mau mencari jalan untuk

dapat naik lagi-



Katanya. Lalu ia meloncat kemuka, keatas sebuah batu besar yang ada disitu. Dan Mundarang berloncatan pula

kemuka. Lalu ia mencoba menapakkan kaki kesemak belukar di

mukanya. Lembab dan dingin terasa ditelapak kakinya. Hampir saja

ia menarik telapak kaki itu. Tapi diurungkan niatnya. Dan Mundarang melangkah lebih maju.



- Awas! Jangan maju!--



Sekonyong-konyong terdengar seruan pelahan namun kuat berpengaruh ditelinga Mundarang, membuat anak itu merandek dan menghentikan langkah kaki dengan tiba-tiba. Namun Mundarang yang merasa belum mengenal suara

orang tidak menoleh. Ia tahu suara itu datang dari belakangnya..



- Kau siapa?



Tanyanya masih tidak bergerak dan tak menoleh kebelakang.



- Anak baik, jangan melangkah kemuka. Tiga kaki dimukamu adalah jurang dalam yang mengerikan. Tubuhmu bisa hancur

lumat kalau terjerumus kedalamnya.



Terdengar kembali suara

itu lebih pelahan.



- Aku tidak percaya,



Sahut Mundarang pula.



- Kalau kau

tidak mau menyebut siapa dirimu, aku tak akan mempercayai kata-katamu.




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


- Ha..

ha. . . . .. . ..

ha.. . . . .

berani-sekali

kau .



Jawab orang dibelakangnya itu pula.



- Kau kembali kemari dan pandang aku lebih dahulu agar kau

dapat percaya kepadaku!



Namun Mundarang masih tak menoleh.



- Jawab dahulu siapa namamu! -



Katanya.



- Kalau tidak, aku

akan loncat kemuka



- Kau akan terjatuh kedalam jurang anak baik! Kembalileh

kemari!



- Ya, aku akan berbalik, tapi sebut dulu siapa dirimu!



- Ah, kau keras kepala, mengapa tak menurut perkataan

orang tua?



Tetapi Mundarang tak menggubris perkataan itu. Bukan saja

ia melangkah maju, bahkan ia buktikan kata-katanya dan loncat ke

muka. Akan tetapi sebelum tubuhnya meluncur maju, sebuah bayangan berkelebat dan Mundarang merasakan pundaknya dicengkeram oleh sebuah tangan dan ia merasakan kemudian tubuhnya

bergulingan kebawah kedekat kudanya berada.

Mundarang cepat lompat bangun. Ia marah melihat perlakuan

orang padanya. Maka ia membalikkan badan dan melihat seseorang

berdiri dimukanya dengan tersenyum. Namun Mundarang segera

menundukkan mukanya ketika pandang mata beradu dengan sorot

mata orang itu. Sorot mata yang tajam dan berpengaruh memancar

kearahnya. Mundarang merasakan dadanya berdebar dan gelisah.

Namun segera ia mendongak dengan perlahan menatap orang itu.

Dimukanya berdiri seorang tua berjanggut panjang. Tak jauh berbeda dengan Kakeknya, Hanya orang tua itu sedikit nampak lebih

rapi pakaiannya yang hanya merupakan kain berwarna coklat melilit diseputar tubuhnya.



- Kau keras kepala anak baik



Kata orang tua itu.



- Aku

tidak menipumu. Lihat!



Dan orang tua itu kemudian maju kemuka. Dirabanya sebuah batu besar lalu dengan membungkukkan

badan orang tua itu mendorong batu besar tadi. Hingga akibat dorongannya batu itu menggelinding maju, lalu dengan dibantu oleh

tenaga dorongannya kembali, batu besar itu tiba-tiba meluncur dan

ketika berada diantara semak-semak yang tadi diinjak Mundarang

batu besar itu terjatuh dan lenyap, kemudian Mundarang mendengar

suara berderak-derak ketika batu besar itu terjun kedalam jurang

yang ditutup oleh semak-semak dimukanya itu.

Mundarang ternganga. Tak ia duga benar dimukanya jurang

dalam.



- Kau percaya bukan?



Orang tua itu bertanya. Dan Mundarang cepat membungkuk menghaturkan terimakasih.



- Anak baik, anak baik. Kau benar berani dan gagah. Kau

mau kemana mendatangi tempat ini ? -



orang tua itu kemudian bertanya



- Aku ? Aku hanya ingin melihat lihat saja.-



Jawab Mundarang.



- Dan kau siapakah? Adakah kau penghuni pegunungan ini?



- He.. . he. . he

tentu saja aku bukan penghuni pegunungan ini. Aku juga pejalan jauh sepertimu. -



- Kau siapa?



Bertanya pula anak itu.



- Ah, kau rupanya selalu ingin tahu, Orang banyak menyebutku mPu Sugati., Sengaja aku berada ditempat ini, sebab aku menunggu saudara-saudaraku. Nah. hayo sekarang kau bawa aku ke-

tempat gurumu berada.-



Mundarang kaget mendengar ajakan mPu Sugati



- Kau tahu aku kemari dengan kakekku?



- Oho, tentu aku tahu. Karena tidak mungkin seorang berani

seperti akan datang seorang diri ditempat semacam ini. Ayo bawalah aku ketempat kakekmu. Kita bersahabat sejak duhu.



Mundarang ragu-ragu.



- Kalau kau musuh kakek, tentu aku akan ikut melawanmu!

-



Katanya kemudian.



- Ha. . . ha. . . ha. jangan takut. Kalau aku nanti memusuhi kakek dan gurumu, jangan takut. Kakekmu tentu akan dengan mudah mengalahkan aku, bukan?



Mundarang tak lagi membantah. Timbul percayanya. Karena

dalam hati anak itu tak merasa ada kecurigaan melihat sikap dan

tutur kata mPu Sugati. Maka ia perintahkan Lawung mendekat.



- Kita naik si Lawung.-



Katanya.



- Kau naik lebih dahulu



- He, mengapa aku harus naik lebih dahulu?



mPu Sugati

bertanya



- Bukankah kau yang memiliki kuda ini ?-



- Tidak ! Tidak begitu. Aku yang memiliki, jadi sudah terlalu sering menaiki si Lawung. Sedang kau adalah tamuku, aku harus

menghormat tamu lebih dahulu.



Kata Mundarang pula.



- ha ha ha ....siapa bilang aku tamumu...pegunungan ini bukan punyamu dan tempat ini punya semua makhluk hidup..kau aneh.



- Eh, mengapa kau tertawa?



Mundarang ingin marah.



- Aku tidak menyebut-nyebut pegunungan ini punyaku, bukan ? Kau

kuanggap tamu adalah karena kau tamu diatas punggung si Lawung.

Karena kuda itu aku yang punya, maka kau tamu jadinya.-



- Ha,. .ha.. . kau pintar, cerdik benar kau ! Tapi sudahlah,

kau naik sendiri dan aku akan berjalan mengikutimu. Aku terbiasa

jalan kaki._



- Tidak, kalau kau tak mau naik kuda ini, aku juga akan berjalan. Biar si Lawung berlari sendiri ketempat kakek. Dan aku mengantarmu berjalan._



- Eh ! Bagaimana bisa begitu ?-



mPu Sugati heran juga.



- Kita sama-sama jalan. Bukankah kau sahabat kakekku?

Senang kita kecap bersama dan susah kita rasakan bersama juga.



- Ah, ah, baiklah hayo kita naik berdua.



Mpu Sugati tertawa. Diam diam ia kagum terhadap Mundarang. Maka dalam waktu singkat kedua telah berada di punggung kuda itu.



- Kuda bagus!




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Mpu Sugati berseru memuji ketika binatang itu berlari kencang melewati jalan pegunungan dicelah tebing-

tebing tinggi dan terjal itu.



- Kau tahu siapa kakekku?



Bertanya Mundarang dalam

perjalanan turun itu.



- Tentu, tentu saja aku tahu. Hanya dengan melihat gerak gerik ketika berlompatan dan berjalan tadi. Kalau kau bukan murid

Sahabat tuanku Guru Bantu, sebut aku orang tua yang telah Pikun



- Hei, kau juga pintar menebak. -



Dan Mundarang tertawa-tawa senang.



- Tapi bagaimana kau bisa menebak dengan tepat itu? Tentu kau sudah melihat aku berdua kakek ditepi sungai itu!



- He, tentu tidak. Sebab yang memiliki ilmu gerak seperti yang kau miliki bisa dihitung. Kalau kau murid Ki Ageng Semu, jelas bukan.



Mpu Sugati hanya ingat bahwa bekas muridnya, Sentanu telah diambil murid Ki Ageng Semu. Sedang Nyi Ageng Maloka mengambil Murid Mirah Sekar. Lalu Ki Ageng Semanding

yang dianggap memiliki kepandaian serupa berada di Majapahit.



- Jadi kau tentu murid orang tua itu, tidak lain.-



Katanya.

Mundarang tertawa senang. Dan kuda itu harus mencongklang

berlari turun dengan gembira menuju tepian sungai dimana Guru

Bantu berada.

Dalam pada itu ditepian sungai Guru Bantu masih menunggu

munculnya Mundarang. Ketika Mundarang tiba di tempat itu, ia

menghentikan kuda dengan tiba-tiba sebab rupanya kakeknya tidak

lagi sendirian, Mundarang melihat dua orang tua lagi berdiri di

samping Guru Bantu. Seorang adalah perempuan tua senyum-senyum memandang kepadanya.

Ia jadi berdiam mematung diatas punggung si Lawung menatap kearah orang tua itu.



- He, kemari! Apa yang kau takuti?



Tiba tiba berseru salah seorang diantaranya. Mundarang sadar. Maka ia majukan kudanya mendekat, lalu turun dan menghampiri kakeknya.



- Mundarang, beri hormat, mereka adalah kakekmu juga!



Kata Guru Bantu.

Mundarang ragu-ragu. Untuk beberapa saat ia tak melakukan

perintah itu. Ditatapnya dua orang kakek dan seorang perempuan



- Ayo Mundarang, mereka orang sendiri!-



Guru Bantu berkata.



- Ayo Mundarang, mereka orang sendiri!



Guru Bantu memandang kepadanya dengan roman bersinar itu

berkata pula



- Siapakah mereka ini kek?



Mundarang bertanya.



- Eh, kau bocah berani juga ya? Kami adalah kakek dan nenekmu!_



Perempuan tua itu berkata tiba-tiba sambil tertawa. Tapi

Mundarang memandang kakeknya.



- Ya, mereka juga kakekmu anak baik!



Terdengar suara

dibelakangnya. Mundarang menoleh. Baru ia ingat orang tua yang

mengaku bernama Mpu Sugati yang datang berdua dengannya tadi.



- Ya, ya mereka orang sendiri Mundarang,



Guru Bantu

berkata pula.



- Kau sudah mengetahui siapa yang datang denganmu itu, bukan? Ia adalah Mpu Sugati. Yang ini,



Guru Bantu

menuding kakek disebelahnya,



- Ia Ki Ageng Semu, keduanya

adalah guru dari ayahmu.



- Eh dengar!



Perempuan tua itu tiba-tiba berkata menengahi



- Aku adalah guru dari ibumu Mirah Sekar, jadi kau cucuku

Mundarang!



- Kau siapa?-



Mundarang bertanya.



- Eh siapa apa?



- Namamu?



Perempuan tua itu melengak heran.



- Hu, aku dipanggil orang dengan sebutan Nyi Ageng Maloka!



Tiba-tiba Nyi Ageng Maloka bergerak, Mundarang tak tahu

apa yang akan diperbuat, tapi tiba-tiba saja tubuhnya telah kena didekap orang tua itu, lalu diangkatnya tinggi-tinggi seraya tertawa.



- Bagus! Kau anak baik dan berani!..... he...... he.

tidak percuma Guru Bantu mendidikmu.........-



Mundarang kaget jadinya. Ia ingin berontak dari cengkeraman

orang tua itu. Tapi Nyi Ageng Maloka tiba-tiba saja melemparkan

Mundarang ke arah Ki Ageng Semu, sambil berseru:



- He. kakek tua, coba kau rasakan betapa lembut anak ini !



Mundarang makin kaget. Ketika tubuhnya terlempar itu ia berusaha menjaga keseimbangannya agar tidak terbanting. Namun sia-

sia. Tenaga Nyi Agong Maloka amat aneh dan kuat. Hingga ia hanya merasakan luncuran tubuhnya dengan kuat.

Tetapi sebelum ia sadar dengan apa yang terjadi, sekonyong-konyong Ki Ageng Semu telah bergerak pula dan menangkap Mundarang dengan ke dua lengan terbuka



- Anak baik, anak baik! Kau segagah ayahmu!



Seru orang

tua itu.



- Ya, secerdik ibunya!



Nyi Ageng Maloka menimbrung

perkataan pula.



Mundarang tersipu mendengar perkataan orang-orang tua itu.

Maka cepat ia membungkuk memberi hormat bergantian kepada mereka. Baru ia sadar bahwa orang-orang itu adalah guru dari kedua

orang tuanya sendiri.



- Eh, kau juga mengapa bisa berada ditempat ini?



Nyi

Ageng Maloka bertanya kepada Mpu Sugati yang masih tersenyum

memandang Mundarang. Dan orang itu menoleh.



- Aku? Tentu saja sama dengan kalian, ingin bertemu saudara

seperguruanmu itu!



Sahutnya sambil menunjuk Guru Bantu.



- Ah kau undang juga dia? -



Nyi Ageng Maloka bergumam.

Guru Bantu tertawa. Cepat ia berkata.



- Jangan salah paham, sengaja aku undang kalian datang di-

tempat ini, sebab selain kita telah saling memendam rindu sejak bertahun-tahun, ada hal-hal yang mesti kita selesaikan sekarang ini.



- Semula aku akan menyelesaikan keributan yang timbul seorang diri.


Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo




Kata Guru Bantu melanjutkan perkataan.



- Tetapi

setelahnya aku menyaksikan keadaan rakyat dan Demak yang nampak semakin gigih menaklukkan tlatah timur, sedang disana banyak

bertengger orang-orang tua yang tak bisa dianggap ringan, maka kalian kupanggil berkumpul ditempat ini. Yang pasti, kita mempunyai

kuwajiban untuk turun tangan. Mpu Sugati masih harus menolong

cucunya Ken Rati menemukan ayahnya di Demak. Dan kalian berdua telah mendengar murid-muridmu Sentanu dengan Mirah Sekar

berada di Demak pula.



- Ya, bahkan aku mendengar tentara Demak telah berangkat

ke Timur mengerahkan kekuatannya untuk merobohkan pertahanan

Supit Urang. -

Kata Nyi Agung Maloka.



- Tentu, akupun tahu kali ini serangan Demak besar-besaran.



Sahut Ki Ageng Semu pula.



- Dan Trenggana telah meminta bantuan tentara Banten. Aku tahu itu._



- Tidak hanya tentara Banten, Bahkan aku dengar Sultan

Banten datang sendiri ke Demak membawa armada laut untuk menghancurkan sisa negri Majapahit itu.-



Kata Mpu Sugati.



- Itulah! Itulah sebabnya aku benar menginginkan kita bisa

bertindak. Setidaknya kita menghindarkan rakyat dari malapetaka

peperangan.



Kata Guru Bantu.



- Jadi?_



- Kita berangkat ke Majapahit dan temui Ki Ageng Semanding dan Rangga Permana. Kita bujuk mereka agar berdamai dengan

Demak. Aku akan menghadap Prabu Udhara di Majapahit agar mau

menghentikan perlawanan kepada Demak. Bukankah kita orang

orang tua ini masih memiliki wibawa terhadap mereka? Dan Mpu

Sugati bisa menahan Raden Trenggana agar menunda penyerangan

itu. Sedang Nyi Ageng Maloka berdua Ki Ageng Semu menemui

Rangga Permana dan Ki Ageng Semanding, setidaknya kalian masih

seperguruan, aku berharap ia akan menerima perkataan dan menghentikan peperangan.



Orang-orang tua itu terdiam mendengar perkataan Guru Bantu yang ternyata paling tua diantara mereka. Diam-diam dalam hati

orang orang tua yang arif dan waspada itu telah merasakan alamat

buruk bagi Demak dalam penyerangan ke tlatah timur itu. Maka mereka tak membantah pendapat dan perkataan Guru Bantu .Lebih-

lebin Ki Ageng Semu dan Nyi Ageng Maloka. Keduanya masih tergolong adik seperguruan dari orang tua itu.



(Baca jilid ke V).



Dan

secara cepat mereka telah saling sepakat melakukan kuwajiban masing-masing.



- Nah, kita berpisah sekarang, kita bisa bertemu di Timur mudah mudahan Yang Maha Agung melindungi kita semua. Ayo Mundarang, kita berangkat!-



Mundarang yang semenjak tadi memperhatikan orang-orang tua

berunding, mengangguk, lalu ia membungkuk memberi hormat pada ketiga orang tua tadi dan meminta diri.



- Selamat! Selamatlah Mundarang, kita masih akan bertemu

lagi!



Kata Ki Ageng Semu. Dan Mundarang merasa lengannya

ditarik Guru Bentu. Tak lama kedua kakek dan cucu itu telah berada di punggung si Lawung pula. Lalu binatang itupun berlari keras meninggalkan tepian sungai itu.



- Hayo berangkat!



Nyi Ageng berseru pula dan melangkah

pergi sedang kedua kakek yang lain, melangkah pula mengambil jalan berbeda.





Sementara itu Mirah Sekar yang berangkat berdua dengan Ken

Rati, mulai memasuki Kotaraja Demak. Akan tetapi keduanya heran

melihat kehidupan Demak yang sunyi. Sebagai dua orang yang memilki pengetahuan tempur tinggi, kedua wanita muda itu tak banyak menemui kesulitan dalam perjalanan. Namun kesunyian Demak

benar membuat keduanya heran dan cemas.



- Rupanya tuanku Trenggana telah berangkat ke Timur.-



Gumam Mirah Sekar.

Ken Rati berdebar juga. Harapan untuk bertemu dengan ayahnya di Demak semakin menipis kembali. Selain ia masih belum mengetahui apakah ayahnya benar ada di Demak, ia masih harus menemui kesulitan lagi kalau seluruh prajurit telah diberangkatkan ke

Timur. Tetapi melihat kehidupan di Demak itu ia juga menduga hal

yang sama dengan Mirah Sekar. Rakyat masih terlihat dengan segala

pekerjaan, dan kuwajibannya. , Tetapi pasar-pasar nampak lebih sunyi. Muka-muka yang murung dan cemas dari para wanita serta

anak anak menandakan kesedihan ditinggal para suami yang ikut

ke timur. Mereka adalah istri-istri prajurit.



- Kita masuk istana?



Mirah Sekar bertanya ketika mereka

tiba ditepian alun-alun.



Ken Rati berdebar juga. Ia teringat ketika memasuki Demak

dan bertemu dengan Pangeran Madi Alit.



- Bagaimana?



Kembali Mirah Sekar bertanya.



- Kita ke Istana?



- Sesukamu! Aku akan ikut. -



Jawab Ken Rati.

Maka Mirah Sekar majukan kuda tunggangannya pula, menyebrangi alun-alun diikuti Ken Rati. Lalu mereka memutari regol istana dan memasuki regol timur.



Di pintu itu nampak berjaga jaga dua orang prajurit dengan

tombak panjang siap disamping tubuh.



Mirah Sekar mendekati kedua penjaga itu, sedang Ken Rati

masih mengikuti dari belakang.

Kedua penjaga regol heran dan melongo melihat munculnya

kedua wanita muda yang tak diduganya itu. Mereka heran. Kedua

wanita cantik tiba-tiba muncul didekat mereka. Mengenakan pakaian ringkas sebagai pejalan jauh. Dan melihat sikap keduanya duduk

dipunggung kuda, bisa ditebak keduanya mengerti tata tempur dan

berilmu.

Mirah Sekar loncat turun dari punggung kuda dan menghampiri kedua penjaga itu lalu menyapa perlahan:



- Maafkan kami kisanak, bisakah kiranya kami masuk dan

menemui Tuanku Trenggana?



Kedua penjaga itu masih menatap Mirah Sekar dengan melongo. Sungguh tak mereka duga kedatangan kedua perempuan itu.

Akibatnya perkataan Mirah Sekar tak terdengar oleh mereka.



- Dungu!?



Ken Rati habis sabar. Ia loncat turun pula, lalu

ditangkapnya batang tombak yang dipegang penjaga itu, diguncangnya seraya menegur keras



- Dengar! He, kalian tuli ya?!



Yang dipegang tombaknya sadar. Ditariknya senjata itu dan ia mundur dengan mendelikkan mata.



- Ah kalian siapa?-



Satunya bertanya dengan masih heran.

Mirah Sekar tersenyum, Lalu berkata menyahut.



- Tolong kami kisanak, perkenankan kami masuk untuk menemui tuanku Trenggana.



- Tuanku Trenggana? He, kalian siapa dan ada kepentingan apakah?



Kedua penjaga itu mulai sadar dan berkata agak keras. Tapi

Mirah Sekar masih senyum dan mencoba memberikan penjelasan.



- Kami adalah orang-orang jauh yang ingin menghadap tuanku Trenggana, ijinkan kami masuk.



- Tuanku Trenggana tidak ada! -



- Tidak ada?--



- Ya, apakah kalian tidak mendengar, seluruh tentara Demak telah berangkat ke timur dan tuanku Trenggana tentu saja menyertai pasukan itu.




Mencari Tombak Kiai Bungsu Karya RS Rudhatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Mirah Sekar berpandangan dengan Ken Rati.



- Jadi tak seorangpun yang tinggal?



Bertanya wanita itu

pula.



- Tidak, tidak ada._



-Lalu yang mendapat wewenang memegang negri? Tentu ada,

bukan?-



- Hem, ya ada. Tuanku Pangeran Mukmin memegang tampuk negeri selama Trenggana tak ada di Demak.



- Tuanku Pangeran Mukmin?



- Ya, adik tuanku Trenggana sendiri.



- Baik, kalau demikian ijinkan kami menghadap.



Sementara itu seorang diantara penjaga itu diam-diam memandang Ken Rati dengan kagum. Gadis itu demikian memikat hatinya,

Bibirnya yang kecil memerah bergerak-gerik dan raut muka gadis

itu menggoda tak hentinya dalam hati. Maka diam-diam ia menyenggol pinggang kawannya. Yang disenggol rupanya mengerti maksud

kawannya. Maka ia tersenyum dan berkata pula



- Kalian ingin menghadap tuanku Mukmin? Boleh! Boleh saja. Tapi kalian harus, memberikan imbalan kepada kami.



Mirah Sekar mengerutkan kening mendengar perkataan itu.



- Apa maksudmu?



Tanyanya.



- Hm, kau belum tahu juga. Negri saat ini dalam keadaan

bahaya. Setiap orang yang memasuki istana tentu saja harus diperiksa dengan teliti. Apalagi kalian orang asing. Tapi...... tapi kalau saja kalian mau memberi upah pasti kami akan memperlonggar

penjagaan, dan kalian bisa masuk dengan aman. _



Mirah Sekar semakin tak mengerti dengan maksud perkataan

itu. Dan tentu saja ia tak akan mengerti, sebab menurut perkiraan

kedua penjaga itu. Mirah Sekar dengan Ken Rati adalah orang-orangnya Pangeran Mukmin dan Pangeran Timur yang sedang ada di


Hartanya Penghianat Serial Oey Eng Si Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Wiro Sableng 175 Sepasang Arwah Bisu

Cari Blog Ini