Ceritasilat Novel Online

Bara Naga 8


Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 8




   Bara Naga Karya dari Yin Yong

   
Tapi dia tidak bertanya, di sinilah letak kebesaran jiwa Kun Sim-ti dan dalam hal ini dia lebih unggul dari wanita yang lain.

   Siang Cin memandang jauh ke bawah, ke arah Ceng-siong-san-ceng, cahaya obor masih kelihatan bergerak kian kemari, perkampungan besar itu seperti diliputi suasana tegang dan dibungkus kabut hitam, se olah2 mereka ingin mengaduk setiap jengkal tanah di sana untuk menemukan jejak Siang Cin.

   Pau Seh hoa menepuk pundaknya, katanya.

   "Kongcuya, tak perlu memandang ke sana lagi, aku tahu apa yang sedang kau pikirkan. Sekarang lebih penting kita cari tempat untuk menyembuhkan luka2 ini, apalagi kita harus sembunyi dan menghindari kejaran musuh."

   Memandang bayang2 hitam di puncak kejauhan Siang Cin mengangguk, katanya dengan rasa lelah.

   "Kau betul, memang itulah yang kita perlukan sekarang."

   Dengan tertatih saling gandeng mereka, maju terus di lereng pegunungan yang belukar ini, lambat dan sukar sekali perjalanan yang harus mereka tempuh.

   tapi mereka tetap maju ke depan, menuju ke pinggir gunung, ke arah datangnya sang fajar.

   Ya, tak lama lagi hari akan terang tanah.

   Lereng bukit itu berserakan batu2 gunung, di belakang lereng sana adalah sebuah bukit yang penuh semak belukar, di bawah lereng adalah sebidang hutan yang daun pohonnya sudah sama rontok, di antara hutan dan serakan batu2 gunung itu terdapat sebuah jalan pegunungan yang melingkar menjurus ke atas.

   Tatkala itu, suasana sekeliling sunyi senyap.

   Di antara batu2 yang berserakan di lereng itu terdapat sebuah batu padas besar yang datar licin, bagian atasnya mencuat keluar seperti tergantung di tengah lereng, di bawah batu padas raksasa ini ada pula puluhan batu2 besar kecil yang ditumpuk mirip sebuah dinding yang tidak teratur, sementara batu padas yang mencuat keluar kebetulan mengalingi sinar matahari, dapat untuk berlindung dari angin dan hujan, dilihat dari luar sukar diketahui apa dan bagaimana keadaan di balik tumpukan batu itu, tapi dari celah2 batu orang dapat melihat keadaan di luar dengan jelas.

   Sekarang Siang Cin, Kun Sim-ti, Pau Seh hoa berlima tengah beristirahat di sini, Siang Cin menggelendot pada sebuah batu, ber-malas2 dengan setengah memejamkan mata.

   Kun Sim ti rebah tenang di sampingnya, An Lip dan bakal isterinya duduk setengah rebah di ujung kaki 101 batu, sedang Pau Sehhoa mondar mandir sambil menggerutu entah apa yang membuatnya gelisah.

   Hawa sejuk nyaman, kadang kala terdengar juga kicau burung, tapi gema suaranya seperti berada di tempat jauh.

   "Sret". Pau Seh-hoa berludah, dengan gelisah dia mendekat ke samping Siang Cin, lalu berduduk, Siang Cin membuka mata memandangnya, muka Pau Seh-hoa bukan saja kurus kering tapi juga berwarna kuning dan kuyu, bibirnya yang pecah tampak putih tak berdarah, sementara kedua matanya tampak cekung, rambut yang memang awut2an itu tampak bagai rumput kering, sikap dan gerak geriknya kelihatan loyo dan lemas. Siang Cin menghela napas, katanya.

   "Lo Pau, melihat keadaanmu, sungguh aku ikut bersedih."

   Pau Seh-hoa tergelak2 dengan suara kering, katanya sambil unjuk giginya yang kuning.

   "Sudahlah, kau yang cakap ini kini juga tidak lebih bagus daripadaku, pendeknya, derita yang kita alami sudah cukup kenyang."

   Siang Cin mengawasi angkasa dengan memicingkan mata, agak lama kemudian baru dia berkata.

   "Memang benar, Ceng-siong san-ceng memang teramat kejam, tapi akupun lebih suka berhadapan dengan musuh macam begini, karena hal itu akan membuatku tidak mengenal kasihan lagi dikala menuntut balas kelak. Memang mereka bekerja dengan sempurna, sempurna dalam kekejaman."

   Pau Seh-hoa menggeram tertahan.

   "Kongcu,"

   Katanya kemudian,"

   Kau hanya tahu bahwa mereka menghajarku tiga kali, saking kelaparan mataku ber-kunang2, mereka membawa kelelawar untuk menghisap darahku, tapi masih ada satu yang belum kau ketahui .......

   "

   Tenang Siang Cin memandang Pau Seh-hoa, tanyanya.

   "Apa pula yang satu ini?"

   Muka Pau Seh hoa tampak berkerut, dengan penuh dendam dia mengepal kedua tinjunya, pelan-pelan kepalanya tertunduk, rambutnya yang panjang awut2an menutupi jidatnya, sementara matanya terlongong mengawasi ujung kaki tanpa bergeming, belum pernah Siang Cin melihat kelakuan Pau Seh-hoa seperti ini selama dia kenal dan bergaul dengan dia selama puluhan tahun.

   Dia tahu kecuali temannya ini mengalami suatu pukulan lahir batin yang kelewat batas, atau mungkin suatu penghinaan besar, jelas dia tidak akan bersikap seaneh ini.

   Pelan2 Siang Cin mengusap bahunya, katanya.

   "Ceritakan padaku, Lo Pau, pengalaman yang satu itu. Bila ada yang terhina dan hal yang memalukan, biar aku ikut meresapi dan memperoleh bagiannya."

   Pelan2 Pau Seh hoa angkat kepalanya yang bergetar, sekuatnya dia menekan gejolak emosinya, lama kemudian baru dia membuka mulut sambil tertawa.

   "Bukannya tak boleh kuceritakan pengalamanku itu, cuma setiap kali aku teringat adegan itu, sungguh ingin rasanya aku membenturkan kepalaku supaya mampus saja seketika."

   "Katakan Lo Pau, dengan cara apa mereka menyiksamu?"

   Menarik napas dalam2, seperti berusaha menekan darahnya yang mendidih, setelah bungkam sekian saat, Pau Seh-hoa mengawasi Siang Cin dengan tersenyun getir, lalu katanya.

   "Mereka paksa aku menelan pil berwarna merah, setiap kali ada orang yang masuk bersama. Ternyata kepandaian kedua keparat ini tidak lemah, mereka menutuk Hiat-toku lebih dulu sehingga aku tak bisa meronta, pil merah itu rasanya getir dan wangi, karena pernah aku mempelajari ilmu pengobatan, maka aku tahu bahwa obat itu kemungkinan adalah obat perangsang pembangkit nafsu, cuma tak pernah kuduga bahwa mereka bakal menggunakan obat perangsang yang khasiatnya 102 begitu besar dan kuat, apalagi sekaligus mereka mencekok aku lima butir, lalu aku diseret keluar lorong, di sana ......sudah menunggu tiga orang perempuan yang genit, secara kekerasan mereka membelejeti pakaianku, di tengah tawa cekikik jari tangan yang halus menggelitik badanku, satu persatu aku membawakan adegan yang memalukan, lebih rendah daripada hewan, aku merasakan lebih terhina dari seekor anjing, lebih bodoh dari babi, sungguh aku hampir kehilangan perikemanusiaan .......

   "

   Siang Cin mendengarkan dengan diam dan tenang, tidak menampilkan perasaan apapun, sesaat kemudian baru dia berkata perlahan.

   "Mereka sengaja hendak menguras tenaga murnimu sekaligus untuk menghinamu pula, Lo Pau, beberapa kali mereka memaksamu melakukan hal itu setiap harinya?"

   "

   "Timbul rona merah pada muka Pau Seh hoa yang kempot, giginya gemertak, katanya dengan geram.

   "Empat kali atau lima kali."

   Menatap lembut dan lengang, Siang Cin baru berkata.

   "Lo Pau, aku tidak senang menghibur dengan kata2 yang tak berguna, memang suatu penghinaan yang kelewat batas, bila aku sendiri yang mengalami, akupun tak tahan, apakah beberapa perempuan itu tahu akan cara mengisap sari kejantananmu?"

   Gemetar kulit muka Pau Seh-hoa yang kurus, katanya mengangguk.

   "Mungkin saja, setelah berakhir, aku pasti merasa amat letih, kehabisan tenaga sampai pingsan beberapa kali, tulang sekujur badan seperti terlepas, ada kalanya untuk bernapaspun terasa sesak."

   Diam sesaat lamanya, akhirnya Siang Cin bertanya.

   "Apakah Kun cici dan isteri An Lip tahu akan hal ini?"

   Pau Seh-hoa menggeleng, katanya.

   "Tidak tahu, tapi An Lip agaknya dapat meraba."

   Terbayang tekad menuntut balas pada sorot mata Siang Cin, katanya penuh pengertian.

   "Waktu kau dipaksa melakukan itu. kecuali ketiga perempuan itu siapa pula di antara mereka yang menonton dari samping? Maksudku mereka yang tersangkut langsung dengan kejadian ini."

   "Kecuali ketiga perempuan itu, yaitu kedua raksasa dan dua orang keparat yang memaksaku menelan pil merah itu, kedua jahanam itu berperawakan tinggi kurus, seorang bercodet di ujung kanan matanya, seorang bermuka burik, usianya sekitar tiga puluhan, wajah kedua orang jelas tak bermoral ...."

   "Kau tidak salah lihat dan keliru mengingatnya?"

   Siang Cin menegas. Menggeram dalam tenggorokan Pau Seh-hoa.

   "Umpama mereka hancur lebur jadi abu tetap bisa kukenali wajah kedua binatang yang berkedok manusia itu, selama aku tidak mati, pasti takkan pernah kulupakan."

   Siang Cin mengangguk, ujarnya.

   "Makhluk aneh penjaga pintu sudah kusingkirkan, kini tinggal kedua orang berwajah buruk itu yang masih hidup, kecuali itu, kita harus mencari tahu siapa orang di belakang layar yang menjadi biang keladi kejadian ini?"

   Seperti mendadak maklum ke mana arti perkataan Siang Cin, Pau Seh-hoa bertanya pelan.

   "Menurut pendapatmu, Kongcuya?"

   "Maksudku mereka takkan lama mengenang kejadian itu, mereka harus melupakannya, cara untuk membikin mereka melupakan hal itu amat mudah kukira tak usah kujelaskan, tentunya kau sudah mengerti."

   "O, ya, Kongcuya, kulihat kau se-olah2 terbungkus darah, kenapa jarimu bengkak dan membusuk? Demikian pula kulit daging dadamu seperti terkelupas .......

   "

   Siang Cin menekuk jarinya dan berkata.

   "Mereka menusuk kuku-jariku dengan jarum baja yang telah dilumuri racun, menggunakan semacam alat penghisap untuk 103 menyedot kulit dagingku. lalu garam dipoleskan pada luka2 badanku, masih ada pula cara2 keji lain, segan aku membicarakannya ...."

   Gemeretak gigi Pau Seh hoa menahan dendam kebencian, desisnya beringas.

   "Kita akan mencuci dendam dan penghinaan ini dengan darah mereka...."

   Secara ringkas Siang Cin ceritakan pengalamannya dan bagaimana dia berhasil lolos kembali, akhirnya dengan letih dia berkata.

   "Racun bius yang mereka gunakan dalam gubuk mungil itu amat lihay, boleh dikatakan tidak berbau dan tak berwarna, tahu2 kita semua sudah terpedaya, lain kali kita harus jauh lebih hati2 dalam hal ini ...."

   Pau Seh-hoa mengangguk dan berkata.

   "

   Gadis tadi kau memanggilnya Sek Pin? Apakah dia adik Sek Kui, si anjing buduk itu?"

   Siang Cin tertawa.

   "Betul"

   Sahutnya.

   "Kenapa dia suka rela menempuh bahaya menolong kita, semua ini sungguh luar biasa ...."

   Setelah menepekur agak lama dia angkat kepala. Melihat Siang Cin seperti lagi tertawa tapi tidak tertawa, maka tokoh Kangouw yang keras hati ini lantas berseloroh.

   "Nah, tentu kau bocah bergajul ini yang memikat anak perawan orang, orang hanya tahu bahwa tanganmu gapah terhadap musuh, tapi tiada yang tahu bahwa dalam main pat-gulipat kau juga cukup ahli, dalam keadaan begitu kau masih sempat mengembangkan bakatmu, sungguh aku tak berani membayangkannya. Dari sikapnya terhadapmu, menurut pengamatanku, se-olah2 kalian sudah bersahabat puluhan tahun."

   Mengawasi kesepuluh jari2nya yang bengkak menghitam, Siang Cin berkata prihatin.

   "Lo Pau, apakah luka di muka Kun-cici bisa disembuhkan?"

   Serta merta Pau Seh-hoa menoleh ke arah Kun Sim-ti yang rebah di sebelah sana, sahutnya ragu2.

   "Sukar dikatakan, tapi besar kemungkinan bisa disembuhkan ...."

   Menggigit bibir, Siang Cin berkata sungguh2.

   "Peduli dengan imbalan apapun atau dengan segala pengorbanan harus kuperjuangkan harapan yang ada itu Lo Pau, ini bukan untukku, tentunya kau tahu, bagi seorang perempuan betapa besar arti wajahnya, karena kecantikan menyangkut watak pembawaan perempuan."

   "Aku mengerti,"

   Ujar Pau Seh hoa sambil meng-gosok2 tangan "Kongcuya, aku akan berusaha,"

   Lalu dia meraba2 perut, kebetulan perutnya berkeruyukan, dengan tertawa dia berkata.

   "Kongcu, perut yang kurangajar ini mulai menggerutu ... ."

   Belum habis Pau Seh-hoa bicara, tiba2 Siang Cin memberi tanda supaya dia menaruh perhatian, lalu berpaling serta mendengarkan dengan seksama.

   Dengan hati2 Pau Seh hoa merambat ke sana dan mengintip lewat celah2 batu, kecuali beberapa kali terdengar kicauan burung, di luar sepi dan kosong tak terlihat apapun.

   Tapi Siang Cin masih mendengarkan penuh perhatian, sikapnya serius tak bergerak.

   Sembari melongok Pau Seh-hoa berkata lirih.

   "Kukira kau melihat setan di siang hari bolong, tiada gerakan apa2 di luar sana .....

   "

   Belum lenyap suaranya, kulit mukanya tiba2 mengencang, tidak salah, sayup2 memang didengarnya suara derap tapal kuda yang lagi mendatangi, masih jauh sekali se-akan2 derap kuda yang datang dari balik awan.

   Berpaling cepat, Pau Seh-boa menuding ke arah datangnya suara, Siang Cin sedikit manggut, katanya.

   `Berapa jauh kira2 tempat ini dari Ceng siong-san-ceng?"

   Berpikir sebentar akhirnya Pau Seh-hoa berkata.

   "Kurang lebih dua puluh li atau tiga puluh li."

   Ber- kedip2 Siang Cin, katanya lirih.

   "Apa kau masih mampu beraksi, Lo Pau?"

   Pau Seh- hoa meringis, katanya.

   "Sudah tentu, cuma jauh tidak sehebat biasanya."

   Siang Cin tertawa getir, katanya.

   "Kalau yang datang musuh, lindungilah Kun-cici, kalian harus mundur ke atas gunung biar aku yang mengadang mereka, 104 jangan membantah, soalnya kondisiku sekarang lebih kuat daripadamu dan lagi untuk lari aku bisa lebih cepat, betul tidak?"

   Bergetar bibir Pau Seh-hoa, apa boleh buat akhirnya dia berkata.

   "Baiklah, tapi kau harus tahan hidup, aku tidak mengharapkan kawan yang masih muda, belum lagi menikmati kebahagiaan berumah tangga sudah mangkat . , .."

   Menepuk bahu Pau Seh-hoa, Siang Cin tertawa, ucapnya.

   "Sudah tentu, memangnya aku ingin mati."

   Maka Pau Seh-hoa mendekati An Lip berdua supaya mereka bersiap, Sang Cin juga membangunkan Kun Sim ti, kini suasana terasa mencekam, hawa pegunungan seperti menjadi beku, lapat2 bau anyir darah seperti tercium pula.

   Derap tapal kuda yang ramai itu semakin nyata dan keras beradu dengan batu2 pegunungan, dengan cermat Siang Cin mengintip keluar dari celah2 batu, Kun Sim-ti menggelendot di sampingnya, sekujur badan terasa lemas dan gemetar.

   Nah, itu dia, sudah datang semakin dekat, kini sudah kedengaran dengus napas kuda yang kepayahan.

   Pau Seh hoa menggertak gigi sambil menengadah, sinar matanya memancarkan rasa dendam kesumat, jari2nya terkepal kencang se-akan2 ingin meremas hancur batok kepala musuhnya.

   Di bawah lereng bukit yang terdapat batu berserakan itu, pada jalan pegunungan yang melingkar berliku itu, dari pengkolan sebelah kiri tertampaklah debu mengepul tinggi, penunggang kuda pertama kini sudah kelihatan.

   "Nah itu, sudah terlihat,"

   Ucap Siang Cin lirih sambil berpaling memberi tanda.

   Lekas dia berpaling ke sana lagi, dalam sekejap itu dilihatnya sepuluhan penunggang kuda telah muncul, di belakang masih ada, dari suaranya kemungkinan ada lima puluhan lebih penunggang kuda.

   Semua penunggang kuda mengenakan pakaian ringkas warna putih mengkilap terbuat dari sutera, semuanya mengenakan mantel seragam dari warna yang sama, semuanya memelihara rambut panjang, hingga semampir di belakang pundak, jidat dilingkari gelang emas, di belakang punggung mereka memanggul jenis senjata yang sama pula, yaitu golok besar yang melengkung dengan sarung kulit harimau, tumbak pendek bersula dua terpegang miring di depan dada, kelihatan dandanan rombongan orang ini amat aneh dan menyolok, tapi barisan ini nyata membawa wibawa keperkasaan.

   Pemimpinnya adalah tiga orang yang luar biasa, seorang bermuka putih halus, berkumis dan jenggot hitam, berusia pertengahan umur, seorang pemuda berwajah bersih dengan sikapnya yang dingin, orang ketiga mungkin buta sebelah matanya, dengan secuil kain bundar yang bertali dia menutup matanya itu, tepat di tengah alisnya melintang kebawah pipi sebuah garis bekas luka yang berwarna merah, diantara ketiga orang ini, tampang orang terakhir inilah yang paling jelek, tak ubahnya seekor binatang liar yang ganas, buas dan sukar dijinakkan.

   Memang rombongan berkuda ini ada lima puluhan lebih, setiba di bawah lereng batu berserakan itu, laki2 pertengahan umur yang memelihara jenggot pendek itu tiba2 mengangkat tinggi tangan kanannya, maka barisan berkuda itupun berhenti, dengan pandangan penuh tanya matanya menjelajah ke arah lereng, lalu kepada dua orang di kanan-kirinya entah membisiki apa2.

   Cahaya mentari nan cemerlang di pagi hari ini menerangi barisan berkuda ini, pakaian mereka yang putih mengkilap memancarkan cahaya bersih yang menyilaukan mata.

   Mengerut kening Siang Cin di belakang batu, katanya pelahan.

   "Mereka bukan orang Ceng siong-san ceng ... ." 105 Sambil berjongkok Pau Seh-hoa berkata dingin.

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mereka sudah berhenti?"

   Sorot mata Siang Cin tertuju keluar, katanya bingung.

   "Ya, kita tidak meninggalkan jejak apa2 sehingga menimbulkan perhatian mereka bukan? Dandanan orang2 ini rada aneh, selamanya belum pernah kulihat dan belum pernah dengar. .. ."

   Pelan2 Pau Seh hoa mendekat, iapun mengintip keluar, sesaat kemudian baru berkata penuh curiga.

   "Aneh, memangnya mereka ini orang2 gagah dari mana? Gelagatnya mereka akan naik kemari mengadakan pemeriksaan, memangnya mereka suka iseng ...."

   Sembari berpikir Siang Cin berkata pelan2.

   "Berhadapan dengan mereka lebih mending dari pada orang2 Cong siong-san ceng. Kukira, bila mereka bukan makhluk2 aneh yang bertabiat nyentrik, mungkin kita bisa mengadakan kontak dan bicara secara damai ...."

   "Crot", Pau Seh-hoa berludah, desisnya benci.

   "peduli mereka siapa, bila berani cari gara2, biar dia nanti rasakan kelihayanku ...

   "

   Tiba2 Siang Cin mengulap tangan, katanya.

   "Awas hati2, mereka sudah naik kemari."

   Pau Seh-hoa coba melongok ke bawah lereng, setengah dari penunggang seragam putih itu sudah turun dari kuda, di bawah pimpinan si pemuda berwajah kaku dingin, mereka membentuk setengah lingkaran terus merambat ke atas.

   Diam dan seksama Siang Cin mengawasi orang2 baju putih yang tidak terang asal-usulnya dari tumpukan batu, setengah lingkaran itupun menyurut kecil, kini jelas terlihat muka mereka, mimik muka yang sukar dijajaki ke mana alam pikiran mereka tertuju.

   "Apa keinginan mereka?"

   Tanya Pau Seh-hoa sambil menelan ludah.

   "Apa pula yang hendak dilakukannya?"

   Se-konyong2 salah seorang berbaju putih menjerit girang, waktu Siang Cin menoleh kesana, tangan orang itu tengah teracung tinggi memegang sebuah benda, itulah sobekan ujung pakaian warna hijau pupus yang berlepotan darah, secuil kain dari sobekah baju perempuan.

   Dari warna kain itu jelas itulah sobekan dari gaun yang dipakai Kun Sim-ti.

   Kun Sim-ti yang ada di samping Siang Cin bergetar, dengan jari2nya yang halus runcing dia meraba bagian gaunnva yang robek, memang di bawah ujung kiri terobek secuil.

   "Tak usah kuatir,"

   Siang Cin menepuk bahu Kun Sim-ti.

   "Kak, urusan toh harus diselesaikan, tiada yang perlu ditakuti."

   Orang2 baju putih di luar itu sudah berhenti, pandangan mereka penuh waspada akan keadaan sekeliling, pandangan mereka tertuju ke arah tumpukan batu yang melingkar di atas sana, entah sejak kapan golok besar melengkung di punggung mereka sudah dicabut keluar, jenis golok melengkung panjang besar ini, berpunggung tebal dan berat, mata goloknya tajam luar biasa, dari pinggang golok sampai keujungnya berbentuk melengkung bak bulan sabit, sekilas pandang kelihatan jauh lebih menyeramkan dari senjata umumnya.

   - -"

   Dengan golok yang mengkilap tajam itu mereka berdiri pada posisi yang paling menguntungkan, leluasa dan cepat untuk melancarkan serangan ke dalam sela2 batu yang berserakan itu.

   Posisi macam ini cukup dimengerti oleh Siang Cin, dengan penuh perhatian dia mengawasi gerak gerik orang2 baju putih.

   "Kongcu,"

   Kata Pau Seh-hoa dengan suara tertahan.

   "agaknya takkan terhindar ... ." 106 "Memangnya, kapan kita pernah menghindar,"

   Jengek Siang Cin.

   "kita hanya menunggu, Lo Pau, hanya menunggu kesempatan."

   Mendadak di luar berkumandang sebuah suara, suara kasar, kaku dan dingin.

   "Sahabat di balik batu berserakan itu, dengarkanlah, bila kalian kawanan gerombolan Hek-jiu-tong. silakan lekas keluar saja, muslihat kalian takkan bisa mengelabuhi Bu-siang-pay dari padang rumput di kaki Kiu-jin-san."

   "Bu-siang- pay", ketiga huruf ini laksana tiga bola emas yang menggelinding masuk telinga Siang Cin, sekilas dia melenggong, katanya pelahan.

   "Inikah orang2 Bu-siang-pay? Em, pernah kudengar namanya, cuma tiada kesempatan melihat ....""

   Pau She hoa membasahi bibir, denga serak ia berkata.

   "Keparat, apakah Bu-siang-pay kurang puas merajai sekitar Kiu-jin-san dan padang rumput, untuk apa pula lari ke sini dan berkaok2 lagi?"

   Belum Siang Cin menjawab, suara kaku dingin tadi berkunrandang pula.

   "Bila sahahat di belakang batu bukan orang2 Hek-jiu-tong, maka silakan buktikan bahwa kalian tidak bermusuhan, silakan keluar untuk berbincang beberapa patah kata"

   Kembali Pau Seh hoa memaki dengan suara palahan.

   "Bedebah. bocah ingusan berani bertingkah di sini ...."

   Setelah menepuk kedua pipi Kun Sim-ti, lalu Siang Cin berkata kepada Pau Seh-hoa.

   "Lo Pau, perhatikan baik2, aku akan keluar."

   "Hati2 ...."

   Lekas Pau Seh-hoa berseru.

   Sekali enjot tubuh, dengan enteng Siang Cin melejit ke atas tumpukan batu, pakaiannya yang rombeng melambai tertiup angin, mengelus luka2 di muka dan badannya yang masih berlepotan darah kering, tak ubahnya seorang panglima perang yang baru saja berhasil menjebol kepungan musuh.

   Orang berbaju putih seketika terbeliak, serentak mereka menggeram, golok melengkung serempak bergerak melintang di depan dada dan siap tempur.

   Dingin saja Siang Cin memandang orang2 baju putih itu, sikapnya kelihatan gagah, keras dan angkuh.

   Pemuda berwajah kaku dingin itu agaknya terpengaruh juga oleh sikap perwira Siang Cin, sesaat dia melenggong, lalu maju selangkah ke depan, katanya dengan ketus.

   "Sahabat, mohon tanya siapa namamu yang mulia?"

   Sekilas menatap muka orang, Siang Cin menjawab dengan tenang dan singkat.

   "Aku she Siang."

   Bimbang sebentar, pemuda itu bertanya pula.

   "Kawanan Hek-jiu-tong apakah ada sangkut paut dengan saudara Siang?"

   "Apa itu Hok jiu-tong, selamanya tidak kenal,"

   Sahut Siang Cin dengan tersenyum.

   Si pemuda lantas memandang ke bawah, ke arah kawan2nya, terpancar cahaya kemilau dari gelang emas yang melangkar di kepalanya, orang2 baju putih yang berada di lereng bukit agaknya juga sudah tahu keadaan di atas, bayangan seorang tampak melompat turun dari kuda dengan beberapa kali lompatan secepat terbang terus melambung ke atas.

   Mata Siang Cin amat tajam, sekilas pandang dia sudah melihat jelas, pendatang ini adalah laki2 pertengahan umur bermuka putih dengan jenggot pendek itu.

   Cepat sekali laki2 ini sudah hinggap di samping si pemuda, sikapnya gagah, lekat2 dia menatap Siang Cin, lalu berkata lirih dengan si pemuda, akhirnya di menghadap kemari serta menjura, katanya "Cayhe Loh Bong-bu, Cuncu Hiat ji-bun dari Bu siang-pay di padang rumput di kaki Kiu jin san"

   Mendengar orang memperkenalkan diri, timbul rasa simpatik Siang Cin, tapi juga meningkatkan kewaspadaannya, dia tahu Bu siang-pay adalah organisasi besar, berdisiplin keras dan terkordinir dengan baik dan rapi, jago2 kosen tak terhitung jumlahnya, kekuatannya besar dan pengaruhnya luas, ,jabatan Cuncu dalam Bu-siang-pay kira2 setingkat dengan jabatan Tongcu dari Pang atau Pay yang 107 ada di Tionggoan, jabatan yang tinggi, agung dan berwibawa, kalau tidak memiliki Kungfu yang lihay takkan mungkin bisa menduduki jabatan tinggi ini.

   Setelah membalas hormat, Siang Cin berkata kalem.

   "Sudah lama kudengar kebesaran Bu siang-pay, syukur hari ini berjumpa di sini."

   Loh Bong-bu tertawa ramah, katanya.

   "Dari laporan kawan kami, Ceng yap-cu, katanya tuan she Siang?"

   "Ya, itulah she ku yang asli,"

   Sahut Siang Cin tersenyum. Berpikir sebentar, dengan hati2 Loh Bong-bu berkata pula.

   "Seharusnya tidak pantas kutanyakan, tapi bolehkah Cayhe tahu kenapa keadaan Siang-heng begini rupa, kelihatan letih dan kotor?"

   Dari rangkaian kata orang yang hati2 diucapkan, Siang Cin merasa geli dan menaruh simpatik, segera Siang Cin berkata.

   "Soal sederhana, di tengah jalan bentrok dengan musuh, dalam keadaan terkepung oleh musuh yang berjumlah lebih banyak, adalan jamak kalau mengalami cidera seperti ini, beginilah jadinya keadaan kami."

   Loh Bong-bu mengawasi Siang Cin dengan rasa kasihan dan kagum, katanya dengan tulus hati.

   "Siang heng, meski kita baru saja kenal, tapi pepatah bilang di empat penjuru lautan semuanya adalah saudara, Apalagi bila di tengah jalan melihat keadaan ganjil lantas melolos senjata dan memberi bantuan adalah kewajiban setiap insan persilatan kita, mungkin Cayhe terlalu semberono, tapi bila Siang-heng ada kesulitan, Cayhe ingin sekadar membantumu. Siang-heng, melihat keadaanmu sekarang, agaknya ada kesulitan apa2 yang tidak ingin kau utarakan .......

   "

   Tanpa berkesip Siang Cin pandang orang, demikian dengan tulus Loh Bong-bu balas memandangnya, keduanya saling menyelami relung hati masing2 yang paling dalam. Lama sekali, akhirnya Siang Cin tersenyum, katanya.

   "Loh-cuncu, lebih dulu Cayhe menyampaikan rasa terima kasih."

   Loh Bung-bu tertawa, katanya riang.

   "Tidak, sebaliknya Cayhe yang harus berterima kasih dan bersyukur bahwa Siang-heng sudi merendah diri bersahabat denganku, bolehkah Caybe tahu nama besar Siang heng?"

   Siang Cin tertawa, lekas dia merangkap kedua tangan, katanya.

   "Siang Cin."

   Dua patah kata yang datar ini bagi pendengaran Loh Bong-bu seperti bunyi guntur di siang bolong, ia tergetar melongo, katanya kemudian.

   "Siang ........Siang Cin? Siang Cin si Naga Kuning?"

   "Itulah julukan yang diberikan teman2 Kangouw, jangan dianggap .......

   "

   "Siang-heng,"

   Tukas Loh Bong-bu sambil mengawasi Siang Cin.

   "tak perlu Cayhe mengagulkan kau, nama orang dan bayangan pohon, semua ini tak mungkin dipalsukan, nama besar Siang-heng menggetarkan Bu lim, tersiar luas di utara dan selatan sungai besar, sekalipun ada yang tidak tahu keperkasaan Naga Kuning menjagoi tiga sungai lima danau, tapi siapa pula yang tidak maklum bahwa keganasan Naga Kuning justeru menggetar nyali setup insan persilatan? Tapi Siang-heng, siapa pula yang mampu membuatmu begini rupa?"

   Dengan tertawa getir Siang Cin berkata.

   "Berkecimpung di kalangan Kangouw, logis kalau adakalanya mengalami nasib jelek, ini tidak terhitung sia2 ..."

   "Mohon penjelasan,"

   Pinta Loh Bong-bu. Sambil menggosok telapak tangan, tenang2 Siang Cin mulai bicara.

   "Cayhe ada dua musuh, suatu ketika menyamar sebagat orang yang terluka dan dikejar musuk serta minta perlindungan padaku, Cayhe menerima mereka. Tak nyana kami terjebak oleh muslihat yang menggunakan obat bius berkadar keras, tidak kepalang derita yang kami alami, tapi dengan akal akhirnya Cayhe berhasil menjebol penjara. Sudah tentu setelah mengalami pertempuran sengit, dalam kondisi yang payah kami mengalami luka2 seberat ini."

   Loh Bong-bu naik pitam setelah mendengar cerita Siang Cin, katanya.

   "Membokong 108 orang dengan cara keji dan rendah semacam itu mana boleh dianggap Enghiong? Siang-heng, kawan dari aliran manakah yang melakukan perbuatan rendah dan kotor itu?"

   Siang Cin berkata pelahan.

   "Ceng-siong-san-ceng!"

   "Ceng-siong-san-ceng? Sungguh memalukan,"

   Teriak Loh Bong-bu dengan mendelik gusar.

   "Ha It can juga terhitung tokoh yang disegani dalam Bu lim, sampai hati juga dia berbuat sehina ini, Siang-heng, cara bagaimana kau sampai bermusuhan dengan mereka?"

   "Ha It cun Cengcu dari Ceng siong-san ceng adalah saudara angkat Kongsun Kiau-hong, Kongsun Kiau hong ada permusuhan dengan Cayhe, Ha It-cun hanya bantu menuntut balas. Di samping itu, masih ada pula seorang nona yang bernama Kiang Ling, mungkin putera Ha It-cun ada main cinta dengan budak ini, pantas kalau dia ikut campur permusuhan ini."

   Berpikir sejenak akhirnya Loh Bong-bu berkata.

   "Siang-heng, orang bersahabat mengutamakan keluhuran budi dan kejujuran, meski kita buru berkenalan, tapi sudah lama Cayhe mengagumimu, jika Siang-heng sudi, Cayhe akan pimpin anak buahku ke Ceng-siong-san-ceng untuk bantu kau menuntut balas."

   Lekas Siang Cin merangkap kedua tangan, katanya haru dan berterima kasih.

   "Loh cuncu, orang she Siang menerima tawaranmu dengan senang hati, cuma permusuhan ini akan Cayhe selesaikan sendiri, Ceng siong-san-ceng bukannya sarang harimau rawa naga, paling2 mereka hanya pandai main muslihat, tak perlu Loh-cuncu merepotkan diri"

   Loh Bong-bu menggoyang tangan, katanya "Siang heng, jangan berkata demikian, maksudku hanya ingin mempererat persahabatan, bagaimana kalau Cayhe perintahkan anak buahku bantu teman-teman Siang-heng turus gunung dan merawat luka2nya di kota?"

   Siang Cin melengak, tanyanya.

   "Dari mana Cuncu tahu kalau temanku perlu perawatan?"

   Loh Bong-bu ter gelak2, katanya.

   "Bukankah Siang-heng tadi menjelaskan bahwa teman2mu juga tersangkut dalam perkara ini? Kita bicara sekian lamanya, belum juga terlihat teman2mu muncul, mungkin karena luka2nya cukup berat. Kalau tidak tentu sejak tadi sudah keluar."

   Siang Cin tertawa tawar, katanya.

   "Baiklah, terima kasih."

   Dengan tertawa Loh Bong bu lantas berseru kepada anak buahnya.

   "Lo Ce, perintahkan membawa usungan kulit biruang kemari, siapkan tenaga untuk membawa Siang tayhiap dan kawan2nya."

   Lalu dengan tertawa dia berkata kepada pula Siang Cin.

   "Siang heng, berapa temanmu?"

   "Empat orang,"

   Sahut Siang Cin. Loh Bong-bu berpaling pula ke arah si pemuda yang berjuluk Ceng-yap cu(si daun hijau) dan bernama Lo Ce, katanya.

   "Siapkan empat usungan."

   Cepat Lo Ce mengiakan dan lari ke bawah, sekali bergerak Loh Bong-bu melompat naik ke samping Siang Cin, maka iapun dapat melihat keadaan di balik tumpukan batu. Tertawa getir Siang Cin berkata.

   "Lo Pau, inilah Loh cuncu, ketua Hiat ji-bun dari Bu-siang-pay."

   Dengan payah Pau Seh-hoa menggeser badannya, katanya.

   "Kami ini Lung pan cu Pau Seh-hoa terimalah hormatku."

   Lekas Loh Bong-bu balas menghormat, serunya girang.

   "Bagus, kiranya pendekar 109 aneh dari Hau-keh-san, Pau heng, selamat bertemu."

   Setelah menghela napas Pau Seh hoa berkata.

   "Jangan sungkan, sejak lama aku juga sudah dengar nama besar Cap kau-hwi-ce Loh-cuncu, cuma sayang sekarang bertemu di tempat dan dalam keadaan begini, sungguh Lo Pau amat menyesal."

   Loh Bong-bu melompat turun, katanya sambil membungkuk.

   Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pau-heng, terlalu berat kata2mu. kaum persilatan mana yang tak pernah kecundang? Bahwa kau masih bisa bangkit kembali itulah seorang Enghiong sejati."

   Sementara itu Ceng-yap cu Lo Ce telah kembali dengan membawa puluhan laki2, tiap dua orang membawa sebuah usungan yang terbuat dari kulit biruang. Sejenak melihat cuaca, Loh Bong bu berkata.

   "Siang heng, apakah sekarang juga kita boleh berangkat?"

   "Cayhe masih kuat bertahan, tak perlu lima usungan, empat saja cukup."

   Kata Siang Cin.

   "Siang heng,"

   Bujuk Loh Bong bu.

   "lukamu sendiri juga tidak ringan ...."

   Dengan tegas berkatalah Siang Cin.

   "Selama hidup manusia harus berani mengalami pukulan lahir batin, kalau sanggup bertahan, maka bertahanlah sekuat tenaga, kalau tidak, sekali ambruk, untuk merangkak bangun lagi tentu akan memakan banyak tenaga."

   Lekat tatapan Loh Bong bu, dari kata2 Siang Cin ia seperti memahami sesuatu, tapi Loh Bong-bu tidak bicara, segera dia perintahkan anak buahnya memapah Kun Sim ti, An Lip dan isterinya ke atas tandu, semula Pau Seh-hoa menolak, tapi akhirnya dia menurut juga.

   Setelah berputar keluar dari serakan batu di samping gunung, anak buah Bu-siang-pay yang memikul usungan, di bawah pimpinan Ceng-yap-cu Lo Ce dengan tenang mereka turun dari lereng bukit itu, Siang Cin dan Loh Bong-bu berjalan di belakang.

   Sementara itu, si mata satu dari anak buahnya yang masih menunggu di bawah sana sudah turtrn dari kuda dan menyambut kedatangan mereka.

   Loh Bong-bu memanggil si mata tunggal, katanya sambil tertawa.

   "Te Yau, kuperkenalkan seorang Enghiong."

   Si mata tunggal hanya menatap Siang Cin sekejap tanpa memperlihatkan perasaan apa2, codet di mukanya tampak berkerut, dengan langkah ogah2an dia melangkah maju dan menjura, katanya.

   "Poan-hou-jiu Te Yau dari Hiat ji-bun Bu-siang-pay."

   Timbul juga perasaan iba Siang Cin, sedikitpun tiada rasa marah akan sikap orang, karena dia maklum, seorang yang badannya mengalami cacat atau kekurangan pasti akan mempunyai tabiat yang aneh pula, entah suka menyendiri atau bersikap kaku dingin, yang terang mereka punya kebiasaan tidak suka bergaul dengan orang banyak, kebanyakan mereka memencilkan diri, seperti membangun lingkungannya sendiri, untuk menutupi kekurangan pribadinya ini, maka sikapnya sering angkuh dan kasar.

   Loh Bong-bu melotot kurang senang, sekalipun Siang Cin sudah merangkap tangan, katanya, menjura.

   "Sungguh beruntung dapat bertemu dengan To heng, Cayhe Naga Kuning Siang Cin."

   Mata kanan Te Yau yang tunggal mendadak terbeliak, terpancar cahaya aneh dari mata tunggalnya, itulah pancaran rasa kaget, heran dan terharu pula, dengan darah bergolak dia maju setapak, Siang Cin ditatapnya lekat2, sesaat kemudian, sikapnya berubah bagai seorang lain, serunya riang.

   "Kau, kau ini Naga Kuning?" 110 . Loh Bong-bu membentak gusar.

   "Te Yau, jangan kurang ajar."

   Siang Cin mengangguk, katanya ramah.

   "Betul, memang Cayhe adanya."

   Tenggorokan Te Yau berbunyi keruyukan saking terharu, lekas dia berputar ke arah Loh Bong-bu dan memohon dengan sangat.

   "Cuncu, kukira kini saatnya tiba untuk melampiaskan keinginanku yang terkatung selama beberapa tahun ini, harap Cuncu suka meluluskan ...."

   Loh Bong-bu mengerut kening, katanya serba susah.

   "Tidak boleh, tidakkah kau lihat Siang-heng dalam keadaan terluka ... ."

   Tergerak hati Siang Cin, sedikit banyak dia dapat menangkap arti percakapan kedua orang, maka dengan tenang dia berkata.

   "Loh-cuncu, bile Te-heng memerlukan tenaga bantuanku, boleh silakan terangkan saja, sedikit luka luar ini tidak terhitung apa2"

   Ragu sebentar, Loh Bong bu mengelus jenggot, lalu katanya pelan2.

   "Siang-heng, soal ini agak ....ya, agak menyulitkan, ada Ngo-coat (lima kampiun) di bawah pimpinanku, bicara terus terang setiap orangnya memiliki kepandaian khas yang tidak lemah, tapi persoalan justeru terletak pada kepandaian khusus itulah, apa lagi usia mereka masih muda, berdarah panas lagi, di samping sombong dan jumawa ....suatu ketika, kira2 tiga tahun yang lalu, seorang diri Te Yau berlatih di lapangan di pinggir hutan di padang rumput besar, Poan hou-jiu yang dia yakinkan memang cukup terkenal, di kala dia berlatih itulah, Ho-lothau yang suka iseng mendadak berlari datang serta tertawa sambil tepuk tangan, Te Yau tanya apa yang dia tertawakan, dengan suara yang di-bikin2 Ho-lothau menerangkan.

   "Te lote, Kungfu yang kau yakinkan memang cukup lihay. Tapi bila Poan-hou jiu yang kau latih ini kebentur dengan Joan-ciang si Naga Kuning Siang Cin, pasti kau akan kecundang. Poanhou-jiu yang kau yakinkan ini mengutamakan kecepatan dan sukar diraba, tapi Joan-ciang yang diyakinkan si Naga Kuning Siang Cin itu juga mengutamakan cepat dan aneh, tapi Kungfu yang orang latih justeru jauh lebih hebat daripada apa yang kau latih sekarang"

   Sudah tentu mendengar olok2 ini Te Yau amat marah, ia lupa berlatih dan berlari pulang.

   Sejak tiga tahun yang lalu ke mana saja dia berada pasti mencari jejakmu, begitu besar keinginannya untuk bertanding, untuk ini entah berapa kali aku pernah menegurnya, tapi tekadnya begitu besar ...."

   Siang Cin tertawa, katanya.

   "Ah, Te-heng terlalu percaya obrolan orang lain, Cayhe hanya bernama kosong belaka, terhitung apa kepandaian yang kuyakinkan ini, mana bisa dijajarkan dengan Kungfu Te-heng?"

   Merah muka Te Yau, katanya penuh permohonan.

   "Tidak, Siang tayhiap terlalu sungkan, bagaimana juga Cayhe mohon kepada Siang-tayhiap untuk memberi kesempatan menjajal ilmu yang pernah kuyakinkan ini, supaya hatiku bisa tenteram dan takluk lahir batin."

   "Te-heng"

   Kata Siang Cin dengan rendah hati.

   "kukira urungkan saja niatmu, kau akan kecewa? Dengan kecewa Te Yau memandangi Loh Bong-bu. Loh Bong-bu menggeleng, katanya.

   "Ah dasar Ho lothau yang banyak mulut, banyak tingkah ... ."

   "Lo-cuncu,"

   Tanya Siang Cin.

   "siapakah Ho-lothau yang kausebut itu?"

   Belum Lo Bong bu menerangkan Te Yau sudah mendahului.

   "Ho-lothau adalah Yu hun-hou-cay Ho Siang-gwat, Cong-tong cu dari Bu siang-pay kami."

   Dengan tertawa getir Siang Cin berkata.

   "Usia Ho Siang-gwat sudah 70, beliau adalah Locianpwe, kenapa dia membuat gara2 terhadap angkatan muda."

   Losiansing ini juga terlalu tinggi menilai Cayhe?"

   "Siang-heng,"

   Ucap Loh Bong-bu sungguh2.

   "Ho-lothau memang bertabiat aneh, senang dan marah tidak 111 menentu, sampaipun Ciangbunjin kami juga kewalahan terhadapnya. Tapi terhadapmu dia betul amat kagum, kalian belum pernah ketemu, tapi dalam kehidupan se-hari2 dia selalu menyatakan kekagumannya terhadapmu, semua ini memang kenyataan, bukan dihadapan Siang hrng sengaja aku membual?"

   Siang Cin hanya angkat pundak saja. Maka Te Yau mendesak pula.

   "Siang-tayhiap, harap engkau suka memberi muka padaku, jangan tolak permohonanku .....

   "

   Siang Cin berpaling ke arah Loh Bong-bu, dilihatnya Loh Bong-bu tertnwa, katanya kikuk.

   "Andaikata Siang-heng mau memberi petunjuk, baiklah, boleh kau hajar adat bocah ini ...., cuma, tentunya akan menyulitkan Siang-heng .....

   "

   Baru Siang Cin mau bicara, Te Yau telah menimbrung pula sambil menjura.

   "Siangtayhiap, kecuali kagum pada kepandaianmu yang tinggi, dengan ini akan sekaligus menguji sampai di mana taraf kepandaian yang telah kuyakinkan selama ini, se-kali2 tiada niat buruk apa2, untuk ini harap Siangtayhiap maklum dan suka memberikan pelajaran untuk memperluas pandanganku yang cupet ini ... ."

   Bong-bu berdehem, katanya.

   "Siang-heng cobalah kau pertimbangkan apakah bisa kau terima .... ."

   Pau Seh hoa rebah di usungan di sebelah, tak tahan lagi ia menyeletuk.

   "Kongcuya, coba kau perlihatkan dua gerakan saja, kan tidak suruh kau menggantung diri, cara ini juga biasa bagi setiap insan persilatan yang berkecimpung di Kangouw, peduli kalah atau menang nanti, cukup dia kali bergelak tawa dan urusanpun berakhirlah?"

   Loh Bong bu tertawa, katanya.

   "Ucapan Pau-heng memang tepat, anggaplah untuk menambah pengalaman kita semua."

   "Terlalu berat kata2 Loh-cuncu ......"

   Ucap Siang Cin, lalu dia berpaling kepada Te Yau, katanya.

   "Te heng, kuharap nanti kau tidak kecewa . Te You berjingkrak girang, serunya.

   "Jadi engkau meluluskan?"

   Kata Siang Cin terpaksa.

   "Begitu besar hasrat kalian, Cayhe jadi tidak enak untuk menolak?"

   Te Yau berseru girang dengan merangkap kedua tangan.

   "Kalau begitu, terimalah hormatku."

   Ia membungkuk tubuh, tidak tampak tubuhnya bergerak, lutut juga tidak tertekuk, tapi bagai busur melenting tahu2 tubuhnya meluncur ke depan dengan gerakan yang indah dan hinggap di atas batu padas.

   Pelan2 Siang Cin melangkah maju, sementara Loh Bong bu memberi aba2 kepada anak buahnya agar minggir sehingga terluang tanah lapang sebagai arena.

   Lima puluhan pasang mata tanpa berkedip tertuju ke dalam arena, semua tahan napas dan menunggu dengan berdebar, wajah mereka tampak serius, meski katanya pertandingan ini hanya saling ukur kepandaian, tapi bagi setiap orang persilatan sama tahu kalah menang dari hasil pertandingan ini akan sama dengan pertempuran umumnya.

   Sebelah kaki Siang Cin memancal enteng, dengan ringan tubuhnya lantas melayang ke atas sebuah batu yang berjarak dengan tempat Te Yau berdiri kira2 setombak lebih.

   Hawa masih sejuk, mentari masih memancarkan cahayanya yang hangat, Tapi ujung hidung Poan-hou-jiu Te Yau telah basah oleh butiran keringat kecil2, mantel luarnya sudah dicopot, kedua mata tanpa berkesip mengawasi Siang Cin, gelang emas di jidatnya tampak mengkilap tersorot sinar matahari.

   Rebah di atas usungan, dengan penuh perhatian Kun Sim-ti juga menonton, sebetulnya ia tidak menginginkan pertandingan seperti ini dikala kondisi Siang Cin masih seburuk itu.

   Loh Bong-bu mengelus jenggotnya yang pendek, pelan2 dia menggeser mendekati Siang Cin, dengan suara rendah dan memohon dengan setulus hati.

   "Siang-heng, cukup saling sentuh saja."

   Siang Cin berpaling dengan tertawa, katanya lirih.

   "Harap Te-heng bermurah 112 hati."

   Loh Bong bu mundur keluar gelanggang, di mana Te Yau telah menjura, katanya.

   "Silakan Siangtayhiap."

   Siang Cin angkat sebelah tangan, katanya tertawa.

   "Silakan Te-heng."

   Badan yang kurus sedikit berjongkok, kaki Te Yau seperti terpasang pegas yang berdaya pantul keras, tiba2 ia melenting ke atas, dengan membawa segulung angin yang dahsyat ia menubruk turun, betapa cepat dan tangkas gerakannya.

   Siang Cin berdiri tegak dan tenang, setelah bayangan lawan melambung ke atas dan menukik ke arahnya, baru Siang Cin sedikit goyang tubuh ke kanan, pada saat itu Te Yau telah menghardik seraya melontarkan pukulannya, selarik cahaya setengah lingkar menyambar dengan ganas, begitu Siang Cin bergoyang ke kanan, cahaya itupun ikut berganti haluan ke kanan, sambil terapung di udara ternyata kedua kaki Te Yau dapat bergerak dengan leluasa, ia memancal lalu tubuhnya bergulung dalam lingkaran kecil di udara, sementara telapak tangannya kembali menghantam, dalam sekejap sudah berada di pinggir telinga Siang Cin.

   Siang Cin mengegos, hanya sekejap Te Yau merasa pukulan lawan yang berlapis dan bersusun rapat itu bagai gelombang samudra menerpa ke arahnya, cepat dan berputar ke kiri terus melayang ke sana, bayangan tangan yang bergerak sambung menyambung itu tahu2 sirna, keduanya bergerak sama cepat dan menakjubkan sekali, memang nyata jago kosen sama2 tinggi ilmunya.

   Maka telapak tangan saling gempur dengan telapak tangan di udara, bayangan saling gubat di angkasa, terdengar rangkaian suara tepukan yang ramai, di tengah bayangan yang menari itu, dua sosok bayangan orang tahu2 melorot turun kedua arah yang berlawanan serta jumpalitan dengan gaya masing2 yang mempesona, belum lagi kaki menyentuh bumi, tahu2 keduanya berputar balik dan saling labrak pula.

   Sementara itu, tanpa berkedip Loh Bong-bu mengikuti pertempuran di udara itu, diam2 ia menggeleng kepala.

   Bayangan kedua orang di udara bagai gumpalan asap samar2 saling berkelebat, belum lagi pandangan penonton sempat mengikuti apa yang terjadi, kedua orang ini sudah melayang turun dengan gagah indah dan tenang, baru kaki mereka menyentuh tanah, berkumandang suara tepukan yang keras, ini berarti kecepatan gerak mereka sudah melampaui kecepatan suara, maka setelah mereka turun baru ledakan pukulan berkumandang di udara.

   Nampak jelas butiran keringat di wajah Te Yau, air mukanya tampak bersemu merah, deru napasnya juga lebih kasar dari biasanya, dalam dua kali bentrokan singkat ini, keduannya seperti baru saja mengalami suatu pertempuran sengit yang lama dan menghabiskan seluruh kekuatannya, dia lesu dan nampak pula merasa malu.

   Sementara Siang Can berdiri tenang di samping sana, sikapnya wajar dan adem ayem seperti tak pernah terjadi apa2, se olah, sejak tadi dia memang berdiri di sana dengan bebas tanpa bergeming sedikitpun.

   Kini dia tengah mengebut debu yang melekat dipakaiannya yang telah koyak2 itu, sikapnya.

   ke-malas2an tapi juga gagah.

   Bergelak tawa Loh Bong-bu memapak maju sambil mengacungkan jempol, serunya."Bagus, bagus, sekali, Siang-heng, Cayhe hari ini betul2 terbuka matanya, dalam gerakanmu tadi cepatnya bagai terbang.

   Haha, se-olah2 sekaligus ada puluhan orang yang bantu kau menggerakkan tangan kakimu .....

   "Loh-cuncu terlalu memuji," ,ucap Siang Cin.

   "Soalnya Te heng sudi mengalah padaku." 113 Semakin jengah Te Yau, ia mengencangkan ikat pinggangnya, dengan tergagap ia berkata.

   "Siang-tayhiap, apa yang dikatakan Ho-cuncu memang tidak salah, engkau memang jauh lebih kuat daripadaku."

   Sambil menggoyang tangan Siang Cin berkata.

   "Pelajaran silat hakekatnya tiada batasnya, masing2 memiliki kelebihan kelihayannya sendiri2, siapapun takkan berani menyatakan dia lebih unggul daripada yang lain. Te-heng, dengan tarap yang telah kau capai ini, sudah harus dibanggakan."

   Dengan rasa ikhlas dan kagum Te Yau melangkah maju, katanya dengan hormat.

   "Siang-tayhiap, dalam pertempuran tadi meski dua kali kita saling gempur, hakikatnya aku telah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuanku, seluruhnya Cayhe melancarkan sembilan kali pukulan, tapi engkau melancarkan belasan kali, dalam waktu yang sama, dalam situasi dan kondisi yang sama pula, jelas sekali bahwa taraf kepandaianmu jauh melampauiku, sungguh2 Cayhe merasa tunduk lahir batin, malah menurut hematku, engkau belum lagi mengerahkan seluruh kekuatanmu ......"

   Siang Cin tersenyum, katanya.

   ."Ya, kira2 hantya begitu sajalah, bahwasanya Cayhe juga tidak memiliki apa2 yang melampaui orang lain ......" - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Apakah Siang Cin menerima bantuan pihak Bu siang-pay untuk menuntut balas pada Ceng siong san-ceng? Organisasi macam apakah Hek jiu-tong atau gerombolan tangan hitam dan apa latar belakang permusuhannya dengan pihak Bu siang-pay? Bacalah

   Jilid ke 7 - 114

   Jilid 07 Sesungguhnya apa yang dirasakan Te Yau memang tepat dan benar2 terjadi, dikala bertanding tadi Siang Cin memang belum lagi mengerahkan seluruh kekuatannya, paling2 dia hanya melancarkan salah satu kepandaiannya yang lihay dan aneh, yaitu Kui-ing cap sa-sek (tiga belas gerak bayangan setan) untuk menandingi Poan-hou-jiu kebanggaan Te Yau, hakikatnya dia belum menggunakan Joanciang yang khas, karena dalam Bu-lim orang hanya tahu bahwa Joan-ciang (ilmu pukulan lunak) yang diyakinkannya itu sangat hebat, aneh dan mengerikan, tapi jarang orang tahu bila dia sudah mengembangkan Joan-ciang, sebelum tangannya mencium darah takkan berhenti.

   Dalam pertandingan persahabatan ini.

   jelas bukan tempat baginya untuk mengembangkan Joan-ciang.

   Loh Bong-bu tertawa, katanya;

   "Te Yau, adakah terasa olehmu bahwa tak ada tapi tenaga tidak memadai pada dirimu? Terutama gerak kaki tangan se akan2 terkekang oleh lawan dan tak mampu mengembangkannya."

   Merah muka Te Yau, tapi dia mengangguk dengan jujur, dengan nada malu2 dia berkata.

   "Sekarang baru benar2 kusadari apa yang diibaratkan seperti kunang2 dibanding rembulan ......"

   Loh Bong-cu ter-gelak2, katanya.

   "Anak muda, kecundang di tangan Siang-heng bukanlah hal yang memalukan, betapa banyak jago kosen yang pernah roboh di tangahnya, di antaranya tidak sedikit pula tokoh2 jauh lebih hebat daripadamu."

   Cepat Siang Cin berkata.

   "Ah, Loh-cuncu, laki2 sejati tidak perlu mengagulkan diri, soal ini tidak perlu dibicarakan pula ......"

   Te Yau membungkuk hormat, katanya.

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siang tayhiap, kalau tidak ke pesisir takkan tahu betapa luasnya langit, kalau tidak memanjat gunung takkan tahu betapa tingginya gunung, banyak terima kasih atas pengajaranmu ini, selanjutnya Cayhe pasti akan rajin berlatih untuk mengejar kemajuan yang lebih tinggi."

   Lega hati Siang Cin melihat watak Te Yau yang berjiwa besar ini, dia genggam tangan Te Yau, katanya.

   "Bicara soal watak sebagai manusia, Te-heng, kau jauh lebih tinggi daripada kepandaian silatmu."

   Ingin Te Yau bicara, tapi dirasakannya tangan Siang Cin yang menggenggam tangannya menjejalkan sesuatu entah apa, diam2 dia memeriksanya, ia terkejut, kiranya ujung tombaknya yang telah putus sebagian, letak kutungan ujung tombak itu tampak rata dan licin seperti dibacok putus oleh sebuah golok pusaka.

   Tapi Te Yau tahu yang memapas kutung ujung tombak pasti bukan golok pusaka, tapi adalah telapak tangan Siang Cin.

   Sudah tentu dia lebih maklum lagi, bila Siang Cin mau mencelakai jiwanya, maka sejak tadi dia sudah takkan berdiri di sini, 115 dia menatap Sang Cin, mata tunggalnya tampak mencorong penuh rasa kekaguman.

   haru, terima kasih, heran dan kaget pula.

   Di sana Loh Bong-bu telah melihat cuaca pula, katanya.

   "Siang-heng, kita boleh berangkat, kalau tertunda lebih lama kita bisa terlambat tiba dikota."

   Sampai di sini seperti tidak tahu apa2, dia menambahkan.

   "Te Yau, lekas kau kenakan mantelmu, pakaianmu basah kuyup melekat badan, nanti masuk angin."

   Te Yau melengak segera dia maklum, ia menyengir lekas dia membalik mengambil mantel serta mengenakannya.

   kini Te Yau tahu bahwa Loh Bong-bu sudah melihat ujung tombaknya terpapas kutung.

   Bahwa Cap-kiu-hwi-ce dapat mencapai kedudukannya yang tinggi sekarang, pandanganya tentu saja sangat tajam.

   Seorang laki2 baju putih menghampiri dengan menuntun seekor kuda kuning yang gagah, setelah mengucap terima kasih Siang Cin segera mencemplak ka punggung kuda, Loh Bong-bu memberi aba2 agar rombongannya berangkat, di belakang ada delapan kuda dengan masing2 dua kuda mengangkut satu usungan, karena kuda2 itu sudah terlatih baik maka orang2 yang rebah di atas usungan bisa tidur tenang dan tidak merasakan goncangan keras.

   Dengan gembira Loh Bong bu berkata.

   "Siangheng, tiga puluh li lagi kita akan tiba di Ho thau-toh, di sana kita bisa makan dan istirahat, kemudian kita dapat bermalam di Lam-tin, di sana ada beberapa hotel besar bersih dengan serpis yang memuaskan."

   "Baiklah.."

   Ucap Siang Cin.

   "keadaanku memang perlu mencari tempat untuk melepaskan lelah."

   Sampai di sini tiba2 dia menambahkan.

   "Loh-cuncu, agaknya kalian bermusuhan dengan Hek-jiu-tong (komplotan tangan hitam)?"

   "Betul,"

   Ucap Loh cuncu setelah berdiam sebentar.

   "kalau dikatakan memang memalukan. Di padang rumput yang luas itu kami mendirikan sebuah Toa-bong-ceng (perkampungan). Bahwasanya Toa bong-ceng merupakan pusat kekuasaan Busiang pay kami, Bu-siang-lan-tai di depan Toa-bong-ceng dan Ceng-hun kek d! Kiu jin-san hanya merupakan cabang belaka ......."

   Setelah berpikir sejenak kemudian Loh Bong-bu berkata pula.

   "Se giok lau di Toa bong-ceng adalah tempat tinggal pribadi Ciangbunjin yang terlarang bagi siapa saja, sementara keluarga Ciangbunjin seluruhnya tinggal di Se-giok-lau itu ....."

   Agaknya Loh Bong bu ragu2 untuk melanjutkan uraiannya, setelah batuk2 dua kali akhirnya dia berkata pula.

   "Ai, soal ini sebetulnya tidak enak dibicarakan, walau dalam Bu lim sekarang sebagian telah dengar berita jelek ini, tapi kami mendapat perintah sedapat mungkin menutup persoalan ini."

   "Kalau begitu, lebih baik tak usah kau terangkan,"

   Kata Siang Cin. Loh Bong bu tertawa kikuk, katanya.

   "Siangheng jangan salah mengerti, umpama sekarang Cayhe tidak bicarakan soal ini dengan kau, cepat atau lambat Siang heng juga akan tahu, cuma Cayhe merasa bila membicarakan soal ini, hati menjadi dongkol dan penasaran ........"

   Setelah celingukan dia melanjutkan dengan suara lebih lirih.

   "Tiga tahun yang lalu dalam perjalanan pulang ke Toa-bong-ceng, Ciangbunjin pernah menolong seorang yang rebah terluka di tengah hujan salju, orang itu sudah kempas-kempis tinggal menunggu ajal, tapi Ciangbunjin menolongnya dan dibawa pulang, dengan susah payah merawat dan mengobati luka2nya sampai sembuh, dia memang seorang yang cakap dan ganteng, berotak encer dan cerdik pandai, bibir merah gigi putih, siapa saja pasti merasa senang dan simpatik padanya, maka Ciangbunjin menjadikan dia kacung di kamar bukunya, kerjanya hanya meladeni segala keperluan pribadi Ciangbunjin di Se-giok-lau. Ai, siapa tahu bahwa pemuda cakap itu hanya luarnya manis hatinya jahat, manusia rendah budi berhati binatang. Selama tiga tahun 116 ini, bukan saja dengan akalnya yang licin dan mulutnya yang manis ......ah, lebih tepat kalau dikatakan menghasut dan memikat, bukan saja keparat itu berhasil memikat puteri tunggal Ciangbunjin malah Ci-giok-cu ( mutiara ungu ) milik Ciangbujin yang disimpan ditempat rahasia itupun dicurinya. Sudah tentu bukan kepalang gusar Ciangbunjin, maka kami beramai memperoleh perintah untuk mengejar keparat itu, Ciangbunjin ada pesan, mati atau hidup kami harus menyeretnya pulang .......

   "

   Lalu apa sangkut pautnya soaI ini dengan Hek-jiu- tong?"

   Tanya Siang Cin. Loh Bong-bu meng-geleng2 katanya.

   "Hasil penyelidikan kami setelah menghabiskan banyak tenaga dan pikiran, eh, kiranya bocah keparat itu adalah tokoh ketiga Hek-jiu-tong. Bahwa dia rebah terluka di atas salju dulu itu bukan lantaran dilukai oleh kawanan begal melainkan terluka oleh musuh yang mencegatnya di tengah jalan. Dua bulan yang lalu, kami bertiga kelompok ditugaskan mengejarnya ke Tionggoan, tapi selama ini bayangan bocah itu tak pernah kami jumpai, pada hal sudah tujuh kali kami bentrok secara langsung dengan orang2 Hek jiu-tong, komplotan jahat itu memang mahir menggunakan senjata rahasia beracun dan menyerang dengan akal licik pula. Tadi waktu kami lewat dilereng bukit, karena melihat keadaan di sana cukup berbahaya, kuatir terjebak musuh, maka kami berhenti mengadakan pemeriksaan ala kadarnya, rupanya memang ada jodoh dan berkenalan dengan Siang-heng ...."

   

Setan Harpa -- Khu Lung/Tjan Id Bara Maharani -- Khu Lung Rajawali Sakti Dari Langit Selatan -- Sin Long

Cari Blog Ini