Pedang Kayu Cendana 4
Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH Bagian 4
Pedang Kayu Cendana Karya dari Gan K H
Pemuda ini bukan lain adalah Pakkiong Yau-liong, selama setahun belakangan ini dengan sebatang ruyung lemas singa emasnya telah melalap seluruh jago- jago silat kilas tinggi diwilayah utara dan selatan sungai besar.
Selama setahun ini dia menguber jejak pembunuh ayahnya.
Karena Pakkiong Yau-Liong adalah putera jago pedang nomor satu di Kangpak sepuluh tahun yang lalu Bok-kiam-Tiong-siau Pakkiong Bing.
Setahun yang lalu setelah menamatkan pelajarannya di Hun-seng, dia sudah mulai usaha mencari jejak pembunuh ayahnya, Musuh utamanya sudah tentu adalah Toh bing-sik-mo yang merebut pedang pusaka milik ayahnya...
yaitu pedang Kayu cendana.
Dari pesan ayahnya sebelum ajal, dia tahu Toh- bing-sik-mo membungkus tubuhnya dengan perban, bersenjata gendewa dan anak panah merah, dan masih ada lagi keistimewaannya rambut kepalanya merah.
Setengah tahun sudah menjelang setelah dia mengembara di Kangouw, jangan kata menemikan Toh- bing-sik-mo yang membungkus tubuh dengan perban, sampaipun musuh- musuh besar ayahnya dimasa hidupnya dulu, Hiat- dan Tou Pitlip juga tak karuan parannya.
-o0dw0o- Se-konyong2 dia menghardik sekali, pedang pusaka di tangannya kembali menyerang dengan jurus Lui-sim tim-te, selarik dingin bagai samberan kilat membawa deru angin yang ganjil membelah kearah Toh-hing sik-mo.
Toh-bing sik-mo tetap tidak bergerak dipunggung kudanya, tapi tangan kiri menepuk kuda, kuda putih itu segera mendongak sambil melangkah maju selangkah, maka dia terhindar dari tebasan hawa pedang Tio Swat- in, kembali dia membalik pergelangan tangannya, bayangan merahpun berkelebat, dengan sejurus Le-cu-cian-cian-toh, ujung gendewanya yang runcing ternyata mengeluarkan desis angin melengking, secepat halilintar mendahului menutuk keJian-kin-hiat dipundak Tio Swat- in- Serangan pedang Tio swat- in mengenai tempat kosong, tahu2 ujung gendewa lawan telah menutuk tiba, lekas dia menikam kedepan dipunggung kuda sehingga tubuhnya merapat dengan leher kuda, pedang di tangan bergerak mengikuti gerak gerik rubuhnya, dimana lengannya ditarik dan diulur kedepan, dengan jurus Han-bwe-ro-ci, tajam pedangnya mengiris kain- kain perban yang membungkus tubuh Toh-bing-sik-mo.
Tubuh Toh-bing-sik-mo tetap tidak bergerak.
tetap dalam gaya semula, kaku dan seperti sukar bergerak.
tapi dikala dia menekan tangan, gerakan gendewa ditangannya ternyata telah berubah menjadi tipu Ih-pau-say jian-sin, gendewa merah berubah gulungan bayangan merah seperti hendak melilit lengan Tio Swat in- Gerak permainannya ternyata begitu cepat dan tangkas, hakikatnya dua gerakan merupakan satu jurus, landasan tenaga yang disalurkan ternyata juga berubah dari kuat jadi lunak, dari lunak bisa berubah kuat pula.
Dikala Tio Swat-ia mendorong ujung pedang kemuka, berbareng deru tenaga gendewa lawan telah menggulung tiba,jelas dirinya tiada kesempatan untuk melukai lawan pula lebih penting menjaga keselamatan diri sendiri, maka tersipu-sipu dia berusaha menarik senjata serta berkelit.
Namun kecepatan gerakannya ternyata masih kalah cepat dari serangan ujung gendewa lawan, tahu-rahu gendewa runcing itu telah menyentuh bajunya, dia insyaf lengan kanannya ini bakal putus atau paling ringan cacat untuk selamanya.
Lalu dengan bekal apa pula kelak dia akan menuntut balas pula.
Maka diam-diam dia berteriak dan meratap dalam hati.
"Ayah, jangan kau salahkan aku, aku sudah berusaha sepenuh tenaga ..."
Akan tetapi, kejadian didunia ini kadang kala susah diukur oleh nalar manusia biasa, pada detik yang menentukan itu, tampak sorot mata Toh-bing-sik-mo memancarkan cahaya yang ganjli, mendadak dia hentikan gerakan tangan kanan serta menekannya kebawah dan "cret"
Sebuah batu besar disamping sana seketika hancur menjadi korban sebagai ganti lengan Tio Swat in karena kena tuding ujung gendewanya.
Padahal Tio Swat- in sudah rasakan lengannya seperti ditindih benda berat ribuan kati, sehingga di waktu lawan menghentikan gerakan serta menekannya turun kesamping, dia juga merasakan lengannya seperti ketarik keluar pula, namun tekanan itu sirna seketika.
Lekas Tio swat-in menegakkan tububnya, sementara kuda tunggangannya meringkik sambil angkat kaki depannya memutar haluan kearah lain- Lekas Tio Swat-in kerahkan tenaga murninya menembus seluruh urat nadi ditubuhnya, ternyata tanpa gangguan dan mencapai klimak yang diharapkan, tahulah dia bahwa dirinya tidak cidera apa-apa.
Toh-bing-sik-mo berduduk kaku di atas kudanya, sorot matanya yang dingin setajam pisau tetap menatap Tio Swat-in tanpa berkesip.
tatapan peringatan untuk terakhir kali supaya jangan mengabaikan jiwa raga sendiri.
Tio Swat-in melenggong, sekilas dia melerok kearah Toh-bing-sik-mo yang berada setombak disamping sana, rasa takut masih menghantui sanubarinya terhadap mayat hidup yang menyeramkan dan berkepandaian tinggi ini, dia ridak berani menatapnya, apa lagi beradu pandang dengan cahaya matanya yang berwibawa, dia kuatir rasa takut akan semakin merasuk jiwa dan hatinya, sehingga jerih payahnya selama sekian tahun di bawah gemblengan sang guru akan sia-sia.
Sebetulnya dia amat berani.
Konon Toh-bing-sik-mo bertangan gapah berhati culas, kenapa hari ini terhadapku dia begini lembut dan menaruh belas kasihan, jangan kau coba menanam budi atas diriku supaya aku membatalkan niatku menuntut balas kematian ayahku.
Hm, jangan kau kira persoalan dapat dibereskan semudah ini.
Dendam kesumat memang lebih merasuk sanubarinya dari pada rasa takut itu, maka dia kertak gigi serta keprak kudanya menerjang pula kearah Toh-bing-sik-mo.
pedang ditangan kini menyerang dengan jurus Pak-hun-jut-jo, berbareng telapak tangan kiri ikut membelah dengan tipu Liu-am-hwa bing, dua jurus secara bersusun menjadi dwi tunggal, sehingga antara hawa pedang dan angin pukulannya merupakan kekuatan gabungan yang dahsyat, bukan kepalang perbawa serangan kali ini.
Lekas Toh-bing-sik-mo tarik tali kekang sehingga kudanya menyurut mundur sejauh mungkin.
Sudah tentu serangan Tio Swat- in untuk kesekian kalinya gagal pula, lekas dia tarik kuda serta membelokkan arah, sinar pedang berkelebat pula, sekalian dia gunakan jurus Hu Tiou-ciang-Liong-gay.
pedangnya seperti lambat tapi juga cukup cepat menabas kearah Toh-bing sik-mo.
Dengan gerakan santai Toh bing sik-mo angkat gendewanya.
dengan jurus cui-Liong-tio-thian-yong, dia sambut serangan pedang Tio Swat-in- Kelihatannya gerakannya kedua pihak amat lamban, namun tenaga yang dikerahkan ternyata sangat dahsyat, dikala pedang dan gendewa sudah hampir saling bentur itu.
Tiba-tiba Tio Swat-in merubah gaya pedangnya dengan jurus Hwi-rim ceng-tam, sinar pedangnya berkelebat miring kekiri sementara kuda atau tubuhnya bergerak ke samping, laksana samberan kilat pedangnya sudah meluncur ketenggorokan Toh-bing-sik-mo.
Satu jurus dua gerakan, yang satu cepat yang lain lambat, pertama gerakan pancingan menyusul serangan telak yang mematikan, gerak serangannya ternyata amat ganjil dan lucu serta sukar diduga.
Bahwa gendewanya mengenai tempat kosong, sementara serangan pedang lawan sudah menabas tiba, karuan Toh-bing-sik-mo kaget juga dibuatnya, sekalian dia merebahkan tubuh kedepan sehingga tubuhnya hampir mendekam dileher kuda, syukur masih sempat dia meluputkan diri, namun keadaannya sudah cukup runyam Karena memandang enteng lawannya, hampir saja Toh bing-sik-mo termakan oleh pedang Tio Swat-in, karuan dia naik pitam, sorot matanya seketika mencorong gusar, gelak tawanya yang mengandung getaran dahsyat kembali berkumandang dari mulutnya.
Bila orang lain mungkin sudah menjadi korban keganasan pedang Tio Swat-in, tapi Toh-bing-sik-mo memang memiliki kelebihan yang luar biasa.
Ditengah kumandang gelak tawanya itu, Toh-bing sik-mo yang dibalut perban itu, tubuhnya mendadak berubah seringan asap.
gerak-geriknya yang semula kaku kini ternyata indah gemulai, mumbul pelan2 terapung keatas udara, itulah Ginkang tiada taranya dari Bulim yang sudah lama putus turunan Yan-ting-bun-siang-hun.
Waktu mengikuti pelajaran gurunya Hwi-khong Loni, pernah Tio Swat-in mendengar cerita dari gurunya tentang Ginkang yang dinamakan Yan-ting-hun-Slong-hun (mega bergolak diatas awan), ternyata hari ini dia saksikan Ginkang tiada taranya itu didemonstrasikan oleh Toh-bing-sik mo, betapa hatinya takkan kaget dan ciut nyalinya, wajahnya seketika berubah pucat pasi.
Dikala Tio swat-in melenggong sekejap itulah, tubuh Toh-bing-sik-mo yang mengapung mumbul keatas itu seperti merandek pula, disusul dengan perubahan gerak dengan Sin-liong-wi-khong-coan, tubuh yang terapung di tengah udara itu mendadak berputar cepat laksana gangsing, gendewa ditarikan pula dengan jurus Hun jui sik cau ang, bayangan putih terbaur dalam libatan sinar merah, dengan membawa deru kencang yang tak terbendung, laksana gugur gunung langsung menindih keatas kepala Tio Swat-in- Meski Tio Swat-in memiliki Kungfu setinggi langit, kini dia tak mampu lagi mengembangkan bakat kemahirannya karena desakkan Toh-bing sik-mo, karuan disamping rasa takut merasuk hati, hatinyapun kecewa dan putus asa, tanpa kuasa air mata telah bercucuran dari kedua matanya.
Tapi Kungfu lawan yang satu ini memang hebat luar biasa, apa boleh buat terpaksa dia pasrah nasib saja? Akhirnya terbetik sebuah keinginan dalam benaknya.
"Menuntut balas jelas aku tidak mampu lagi, dari pada mati konyol di tangan musuh lebih baik aku bunuh diri saja."
Maka sambil memejamkan mata segera dia angkat pedang terus menggorok leher sendiri.
Hujan masih rintik-rintik, angin tetap menghembus kencang, alam semesta seakan ikut berduka cita akan tragedi yang berlangsung, mungkin juga ikut bersimpati akan nasib yang menimpa Tio Swat-in, Sang surya yang semestinya sudah menongol diufuk timur juga seperti malu-malu untuk menampakkan dirinya, sehingga cuaca dilembah mega hijaU tampak masih remang-remang lembab, bau darah yang tebal dalam lembah tetap tak tercuci bersih datangnya hujan ini.
"Trang"
Entah apa yang terjadi, dikala Tio Swat-in angkat pedangnya sambil memejamkan mata ternyata pedangnya telah tersampuk pergi.
Didengarnya sebuah helaan napas panjang dari lawannya.
Dengan kejut heran Tio Swat-in membuka matanya, dilihatnya Toh bingsik-mo telah bercokol kembali dipunggung kuda putih, matanya terpejam seperti menepekur entah gerangan apa yang merisaukan hatinya? Pelan-pelan dia membelokan kudanya, tanpa angkat kepalanya lagi dia berniat tinggal pergi.
Sudah tentu Tio swat-in takkan paham apa maksud Toh-bing-sik-mo serta menyelami perasaannya, air matanya sudah bercucuran tercampur air hujan- Dia harus menuntut balas, ini sudah merupakan tekat yang tak boleh di tawar lagi, meski jiwa raga sendiri harus di korbankan pula .
Menuntut balas, meski dia tahu dirinya bukan tandingannya Toh-bing-sik-mo.
Tio Swat in membatin .
"Mau pergi, jangan kira begini mudah, meski kau tidak mau membunuhku, aku tidak terima kebaikkanmu, kalau bukan aku yang mati, biar kau yang mampus hari ini. Sebelum aku mati, jangan harap kau bisa pergi dari sini."
Maka dia menghardik sambil mengeprak kuda.
"Lari kemana?"
Pedang ditangan menyerang dengan jurus Kim-si-jao-hoan membelah ke tengkuk Toh-bing-sik-mo.
Toh-bing-sik-mo menoleh, tampak kedua matanya menyala gusar seperti api las yang benderang, loroh tawanya berkumandang pula, nadanya jelas mengandung kemarahan, tubuhnya tampak bergeser kesamping sambil angkat gendewa dengan jurus ceng-han-hwi-joh-ing, tenaga besar yang dikerahkan ternyata luar biasa bayangan, geadewa seperti berubah ribuan banyaknya sama mengepruk ke batok kepala Tio swat-in- Memang Tio Swat-in sudah nekat adu jiwa, maka dia tidak menyingkir atau berkelit, serangan ditekuk terus membalik, sekaligus dia- menyerang pula dengan jurus Loh yap-kun-kin yang diserang kali ini adalah muka Toh-bing sik-mo.
Jikalau Toh-bing-sik-mo benar-benar memukulnya dengan gendewa, umpama dia tidak mati pasti juga remuk parah oleh pedang pusakanya ini, keCuali dia benar-benar mayat hidup bukan manusia tulen.
Agaknya Toh-bing-sik-mo segan mengadu jiwa, apa lagi dengan cara membabi buta dan nekat seperti kerasukan setan, tidak kenal kapok lagi.
Mendadak dia jejak perut kudanya serta mengepraknya mundur berkelit.
Maka merekapun bertempur saling serang dan berkutet cukup sengit.
Cahaya merah dan sinar putih seperti saling lilit dan gubat didalam lembah yang mulai benderang, angin bergolak seperti ada angin lesus yang berpusar dilembah sebelah sini.
Lekas sekali belasan jurus telah lalu, rasa malu, dendam dan penasaran Campur aduk dalam benaknya sehingga serangannya seperti menggila.
Toh-bing-sik-mo memang kewalahan dibuatnya, namun keadaan Tio Swat-in sendiri juga sudah kepayahan, badannya yang memang basah kuyup lebih basah lagi oleh keringat, napasnyapun ngos-ngosan.
Tiba-tiba Tio Swat-in menghardik pula, gaya pedangnya tiba-tiba berubah lincah dan enteng, dengan jurus Ngo-Liong-pi-i, gerak pedangnya pelan dan mantap.
batang pedangnya berubah menjadi lima jalur bayangan, dibawah tekanan tenaga murninya, pedang pusaka itupun menguarkan hawa pedang yang tajam, pedang rampak berayun setengah lingkaran membelah miring kepinggang Toh-bing-sik-mo.
Bukan saja gerakannya aneh, Cepat juga lihay.
Begitu melihat gaya pedang lawan, Toh bing sik-mo seperti sudah tahu bahwa jurus serangan pedang kali ini bukan jurus sembarangan, lekas dia tarik tali kekang kuda, maksudnya hendak melompat menyingkir sekaligus meluputkan diri dari serangan lihay ini.
Tapi tak pernah terpikir oleh Toh-bing-sik-mo bahwa kaki depan kudanya justru terjeblos ke dalam lumpur sehingga gerak geriknya kurang leluasa, meski dia sudah tarik tali kekang dan membelokkan kepalanya kesamping, tapi gerakan kudanya sedikit merandek, padahal sinar pedang yang dingin itu sudah menyerang tiba.
Sudah tentu Toh-bing sik-mo kaget, dalam detik-detik yang gawat ini, dia tidak sempat berpikir lagi, secara reftek dia angkat gendewanya mengembangkan Siang-hoan-coat, gerakan peranti membela diri disaat kritis oleh serangan musuh yang berbahaya.
Dimana dia tekan pergelangan tangan, dua jurus satu gerakan, yaitu cu-pi-sam-siau-hap dan ii-bu-ngo sekalian, bersatu padu dilancarkan- Sudah jelas bagi Tio Swat-in bahwa pedangnya sudah membelah, betapapun cepat gerakan Toh-bing-sik-mo, jelas dia takan bisa berkelit lagi, sudah tentu bukan main senang hatinya.
Mendadak dilihatnya orang angkat miring gendewa serta menekannya turun, seketika tubuh Toh-bing-sik-mo seperti dibungkus oleh tabir merah yang menyala, dari lingkaran cahaya itulah merembes keluar segulung tenaga lunak, pedang Tio Swat-in tanpa kuasa kena dituntun minggir sehingga tabasannya miring kesamping seperti menepis permukaan tabir merah.
Karuan bukan kepalang rasa kejut Tio-Swat-in, dia tidak habis mengerti bahwa gerakan gendewa Toh bing sik mo ternyata begitu aneh menakjupkan, secara mudah ngo-hong pi-i ajaran gurunya yang paling dibanggakan telah dipunahkan demikian saja.
Harus diketahui bahwa Ngo liong-pi-i ajaran Hwi khong Loni harus dilancarkan dengan landasan Lwekang yang kuar, gerakan seperti lamban tapi kenyataan pesat sekali, dikaIa melancarkan serangan pedang mula pertama, tenaga dalam sudah dikerahkan sehingga sekali gentak pedangnya itu berpeta menjadi lima jaIur pedang, sekaligus bisa menyerang lima Hiatto mematikan ditubuh lawan, walau bayangan pedang menjadi lima jalur, namun sekaligus mengincar kesasaran yang sama dan telak.
Ngo Hong pi-i merupakan karya ciptaan Hwi-khong Loni selama puluhan tahun, hasil jerih payahnya setelah mencangkok dan mengkombinasikan ilmu pedang dari berbagai perguruan silat dan sukar dilawan atau dipunahkan.
Bahwa gaya pedangnya menyelonong ke samping, sudah tentu Tio Swat-in amat kaget, tapi keajaiban gerak Siang-hoan coat yang di lancarkan Toh-bing-sik-mo ternyata tidak sampai di situ saja, tenaga lunak yang merembes keluar sehingga menggetar miring gerak pedang Tio Swat-in paling hanya setengah dari kekuatan cu-pi-sam-siaw-hap saja, dimana pergelangan tangannya sedikit menyendal pula, hun-sia-ngo-sik-lian telah dilancarkan pula, gendewa yang merah itu telah menimbulkan tabir merah, padahal tenaga amat besar, namun sedikitpun tidak menimbulkan gejolak hawa atau deru angin yang mengejutkan, yang terang Tio Swat-in merasa dirinya seperti diterjang angin badai yang deras.
Bahwa pedangnya didesak minggir Tio Swat-in amat kaget, di kala rasa kaget itu belum lenyap.
tabir Cahaya yang melindungi tubuh Toh bing sik-mo ternyata dalam melebar menjangkau jarak tertentu laksana segumpal lembayung yang benderang menindih kearah dirinya, tenaga murni sedemikian kokohnya, tetapi tidak membawa deru angin sedikitpun, berapa hebat, menakjupkan permainan jurus- jurus yang mendekati ajaib ini, sungguh tak pernah ada bandingannya dikolong langit ini.
Terasa oleh Tio Swat- in, cahaya merah dari tabir gendewa yang berlapis- lapis itu agaknya membawa daya tarik yang memikat sanubarinya, pelan-pelan dan samar-samar semakin nyata, begitu indah mempesona.
Dia tahu bila dirinya disentuh sedikit saja oleh tabir lembayung yang menyala itu, meski hanya tersentuh sedikit saja, bila tidak mati juga pasti terluka parah.
Tapi dia tak mau berkelit lagi, yang benar, umpama dia nekad mau berkelit meski harus mengorbankan jiwa juga tidak mampu lagi.
Sekarang tiada yang perlu dipikirkan lagi, dengan melongo dia mengawasi tabir cahaya yang mengasyikkan ini, semakin dekat dan mendesak semakin maju, dengan tenang dia menunggu elmaut akan merenggut jiwanya, seolah-olah segala kerisauan, derita dan kerawanan hatinya himpas menyeluruh.
Dipinggir jurang antara mati dan hidup ini, jarang ada manusia yang bisa bersikap secara tenang menghadapi kenyataan ini, wajar dan damai seperti Tio Swat-in- Pada detik-detik yang amat kritis serta pendek itu, sekonyong-konyong bayangan merah sirna tanpa bekas, darah pun muncrat disertai cairan putih kental pula disusul suara gedebukan jatuhnya kuda dan penunggangnya dipecomberan dalam lembah.
Kejadian sungguh teramat cepat dan di luar dugaan, terdengar Tio Swat-in menghardik pula dimana pedangnya berkelebat, mendadak dia menubruk pula kearah Toh-bing sik-mo.
Ternyata karena gregeten, tanpa sadar Toh-bing-sik-mo melancarkan Siang hoan-coat yang peranti melindungi badan sekaligus untuk menyerang musuh.
Sudah jelas Tio Swat in sudah pasti bakal menjadi korban dari jurus cu-pi-sam siau-hap dan Hun-sia-ngo-sik-lian, tapi pada detik-detik yang menentukan itu, dilihatnya wajah Tio Swat-in yang pucat dengan air mata bercucuran, bibirnya terbuka sedikit seperti delima merekah, sorot matanya melotot membayangkan keluruhan budi dan kejujuran nan polos, sebuah pikiran berkelebat dalam benaknya.
Tapi dalam detik-detik yang menentukan ini sudah tiada tempo untuk mempertimbangkan lagi, lekas dia tekan dan putar pergelangan tangannya, meski jurus yang dilancarkan tak mungkin dibatalkan, namun gendewa yang sudah kecabut digerakkan itu masih sempat dituntunnya minggir dan "Plak"
Dengan telak mengetuk kepala kuda Tio swat in, kepala pecah darah muncrat bercampur otaknya yang hancur mumur.
Tiga kali Toh-bing-sik-mo membatalkan niatnya membunuh Tio swat- in, meski korbannya ini sudah tidak mampu apa-apa dan pasrah nasib, entah apa sebabnya, dia sendiri juga tidak tahu, sudah tentu Tio Swat-in sendiri juga tidak habis herannya.
Bahwa jiwanya putar balik dari neraka dan selamat tanpa kurang suaru apapun, sungguh amat ruwet perasaan Tio Swat-in, dia tidak kaget atau senang, juga tidak membenci atau makin ragukan nasib sendiri, yang terang perasaannya amat tertekan seperti ada sesuatu yang mengganjel sanubarinya, hatinya amat sedih dan rawan, badannya seperti tidak enak, dia ingin berteriak^ ingin menggembor sejadi-jadinya, ingin nangis dan mau tertawa pula, tapi tiada suara keluar dari mulurnya.
Kini dia tidak perlu takut lagi menghadapi kenyataan ini, dia harus melampiaskan seluruh tumpuan perasaan harinya, sudah tentu seluruh pelampiasan gejolak hatinya itu dia salurkan pada pedang di tangannya, kepada Toh-bing-sik-mo yang dianggapnya sebagai musuh besar pembunuh ayahnya, meski orang tiga kali membatalkan niatnya membunuh dirinya, tapi sakit hati orang tua apapun yang terjadi tak boleh di abalkan.
Maka dia menghardik pula serta menubruk kearah Toh-bing-sik-mo pula, disaat tubuh terapung pedangnya berkelebat membelah kepala Toh-bing sik-mo, serangannya sudah tidak pakai aturan lagi.
Perasaan Toh-bing-sik-mo agaknya amat ruwet dan ada ganjelan hati yang sUkar dikemUkakan.
Deru tebasan pedang terdengar nyata namun Toh-bing-sik, mo tetap memejam mata serta menunduk kepala, hanya tangan kanan mendadak terangkat dengan jurus Ui-Liong hoan- hoan-sin, gendewa merah ditangannya kembali menciptakan selarik bayangan merah memapak kearah tebasan pedang Tio Swat-in- "Trang"
Benturan keras menimbulkan suara dengung panjang dari getaran batang pedang pusaka, Tio Swat-in bagai dahan pohon yang gemulai ditiup angin- Lalu, badannya Limbung dan gentayangan sejauh satu tombak lebih.
Begitu melayang, jatuh setombak lebih, kembali Tio Swat-in meiengak kaget, terasa getaran yang ditimbulkan dari tangkisan gendewa lawan meski kuat ternyata lunak, sehingga dirinya tidak terluka sedikitpun, Lengan pun tidak pegal atau linu sedikitpun.
Sudah tentu Tio Swat-in tidak sempat berpikir kenapa dirinya tidak kurang suatu apa, kenyataan memang dia tidak mau menggunakan otaknya, begitu kaki menyentuh bumi, melihat Toh-bing-sik-mo memutar kudanya hendak pergi, kembali dia menggembor panjang kaki menjejak bumi tubuhnya melejit tinggi menubruk pula kearah Toh-bing-sik-mo.
Toh-bing-sik-mo sudah congklang kudanya.
mendengar gemborannya seketika dia menoleh dan membelokkan kudanya pula meng hadapi Tio Swat-in yang menubruk datang secara berhadapan pula.
Bola matanya kini mendelik gusar, hanya bola matanya yang kentara dibelakang perbannya itu yang bisa menampilkan perasaan hatinya, nafsu membunuh seperti telah merasuk hatinya, agaknya dia membatin.
"Hm, cewek yang tidak tahu diri, diberi hati merogoh ampla, beberapa kali aku batalkan niat jahatku terhadapmu, kau justru tidak insyaf malah mendesakku begini rupa, terpaksa aku..."
Tapi kejap lain, cahaya mata yang mencorong penuh nafsu itu sirna, secara diam-diam benaknya berpikir juga .
"Mungkin seperti juga diriku, dia membekal dendam kesumat keluarganya. Kenapa aku harus membunuh orang ? Bukankah karena terpaksa juga. Sekarang kalau aku juga bunuh dia, untuk apa tadi aku berulang kali mengabaikan kesempatan untuk membunuhnya?"
Dikala benak Toh-bing-sik-mo bekerja itulah, Tio Swat-in sudah menubruk tiba dari tengah udara, pedangnya berputar laksana kitiran seperti ingin melindas batang lehernya.
Toh-bing-sik-mo duduk kaku dipunggung kudanya, kelopak matanya terpejam, padahal Tio Swat-in tinggal lima kaki lagi diatas kepalanya, mendadak kedua telapak tangannya terbalik, satu menggapai dan yang lain menepuk.
Tanpa mengeluarkan angin atau suara, tahu-tahu tubuh Tio Swat-in terlempar pergi sejauh dua tombak lebih, dorongan tenaga deras yang melempar tubuhnya mendadak terputus ditengah jalan, dan "Blang"
Dengan keras tubuhnya terbanting jatuh ditanah, pedangpun terlepas dari pegangannya.
Bu siang ciang yang pernah menggetarkan Bulim sejak sepuluh tahun yang lalu waktu Toh-bing-sik-mo menampilkan diri, hari ini kembali menunjukkan kehebatannya dengan menggetar pergi Tio Swat- in secara enteng dan lunak.
lalu ditengah jalan dia tarik tenaganya sehingga sang korban terbanting cukup kuat, dengan cara terakhir inilah baru dia sempat meloloskan dirinya.
Sekilas masih sempat Toh-bing-sik-mo membuka matanya menatap kearah Tio Swat-in, akhirnya dia menarik napas dalam-dalam lalu membelokkan kudanya dicongklang pergi.
Lekas Tio Swat in merangkak berduduk lalu bersimpuh mengerahkan hawa murni ke seluruh urat nadi, ternyata hawa murni berjalan lancar menembus keseluruh badan dan merembes keluar melalui pori-pori tubuhnya berubah uap putih, maka tahulah dia bahwa dirinya tidak cidera apapun, kecuali rubuhnya berlepotan lumpur karena jatuh ditanah pecomberan- Sayang Toh-bing sik-mo sudah mencongklang kudanya dan pergi jauh, duduk ditanah ya becek hatinya gundah dan ruwet, tanpa terasa air mata bercucuran- Hujan masih rintik-rintik, air lumpur bercampur darah kental kudanya yang sudah jadi mayat takjauh berada disampingnya, suasana jadi amat sunyi merawankan hati.
"Tio Swat in, jangan kau biarkan musuhmu pergi, kau harus menuntut balas, ya, menuntut balas "
Suara hatinya seketika mengobarkan semangatnya. Kematian ayahnya yang mengenaskan kembali terbayang dalam benaknya. Diam-diam hatinya berteriak.
"Tio Swat-in, jangan kau biarkan dia pergi, sudah sepuluh tahun kau menunggu dan sekarang memperoleh kesempatan baik ini.... mungkin jejaknya akan lenyap pula dari bumi ini, lalu kapan dan dengan cara apa kau harus menuntut balas kematian ayahmu supaya arwahnya tentram dialam baka ? Ibumu masih mengharap kau lekas pulang setelah berhasil menuntut sakit hati ayahmu...... ayo kejar, ke..."
Suara tik tak tik tak dari derap kuda putih Toh-bing-sik-mo mendadak sirap, Bong-hun-kok kembali diliputi kesunyian.
Tapi darah justeru mendidih dirongga dada Tio Swat-in, seperti serigala yang haus darah, seperti banteng ketaton saja dia raih pedangnya terus mengudak kedepan kemana tadi Toh bing-sikmo melenyapkan dirinya Pandangannya remang-remang, suaranya sudah serak^ tubuhnya kotor berlepotan lumpur, air matanya sudah campur aduk dengan air hujan, tapi semua itu tidak penting, sekarang dia hanya tahu nekad dan ingin mengadu jiwa, menyandak musuh keparat Toh- bing-sikmo serta membantainya seperti mencacah cacing.
Tiba-tiba dia menghentikan langkah larinya yang bergontai seperti orang mabuk, pelan-pelan dia seka air mata serta kucek-kucek mata pandangannya memang tidak kabur, kenyataan didepan mata membuatnya melongo.
Cuaca tetap lembab dan guram, angin masih menghembus kencang, hujan tetap rintik-rintik.
Dua ekor kuda sama tinggi tegap dan berbulU putih mulus pula sedang berhadapan sambil angkat kepalanya, dipunggung kedua kuda putih duduk dua mayat hidup dengan dandanan yang mirip pula satu sama lain, seluruh tubuh dibungkus perban, hanya kedua bola mata mereka saja yang tampak mencorong saling pandang.
Dalam lembah yang guram lembah ditengah hujan angin, kedua orang sirna saling tatap tanpa mengeluarkan suara, tiada satupun yang bergerak seolah-olah mereka bukan lagi makhluk hidup yang mampu menggerakkan anggota badannya.
Keheningan ini mungkin merupakan perlambang kesunyian sekejap menjelang datangnya hujan badai, perang tanding bakal terjadi duel akan menentukan siapa menang dan siapa kalah, siapa tulen dan mana yang palsu dari kedua mayat hidup yang menyerupai mumi ini.
"Eh, dua Toh-bing sik-mo."
Demikian teriak Tio Swat-in dalam hati.
Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah yang terjadi, mungkinkah ?"
Akhirnya dia berdiri bingung.
Mendadak kedua mumi sama menegadah mengeluarkan suara loroh tawa yang berbeda memecah kesunyian, yang satu bernada sedih pilu dan penuh perasaan lega, yang lain bernada tinggi kereng seperti pekik setan- Pendek kata siapa mendengar kedua macam gelak tawa ini pasti merinding bulu kuduknya.
Tiba-tiba gelak tawa kedua mumi sama-sama sirap.
namun gema tawanya masih mendengung dalam lembab, hawa udara yang lembab basah ini diliputi ketegangan yang telah memuncak.
Tampak kedua mumi sama-sama mengangkat tangan menanggalkan gendewa merah masing-masing, pelan-pelan meloloskan sebatang anak panah serta memasang di busurnya lalu pelan-pelan ditariknya serta membidik, kedua mumi sama-sama melotot tanpa mengeluarkan suara, agaknya mereka akan menentukan siapa tulen dan mana yang palsu dalam duel adu memanah.
Ketegangan semakin memuncak dengan semakin kencangnya busur di tarik lebar.
Demikian pula rasa heran Tio Swat-in semakin tebal, hatinya dag dig dug, matanya ter beliak, batinnya.
"Agaknya mereka saling bermusuhan, lalu siapa kah pembunuh ayahku ? Kenapa pula mereka masing-masing sama ah, persetan biar mereka saling labrak dan bunuh membunuh, seorang yang ketinggalan hidup, lebih gampang aku membereskan dia."
"Tapi kalau yang menang dan masih hidup itu bukan musuh pembunuh ayahnya, lalu bagaimana baiknya ? Bukankah berarti aku tak berhasil menuntut balas dengan kedua tanganku sendiri ? Lalu bagaimana aku harus..."
Sudah tentu Tio Swat-in makin bingung. Tapi kenyataan justetu tidak memberi kesempatan untuk dia banyak pikir.
"cret"-"cret"
Bunyi busur hampir berbareng melepas anak panah yang telah dibidikkan, pula larik sinar merah, yang satu kencang yang lain lambat meluncur kearah musuh laksana kilat menyamber.
"Ting"
Tahu-tahu kedua anak panah itu terpeCah balik pula kearah datangnya masing-masing, jadi begitu dua panah saling bentur kekuatan daya luncurnya telah memental balik panah itu mundur kearah pembidiknya.
Sudah tentu Tio Swat-in di samping takjup merasa heran dan kaget pula, pikirnya.
"Ilmu dari aliran manakah ini ? Bidikannya ternyata begitu tepat, dan lagi tenaga yang dikerahkan juga teramat padat dan keras, sungguh mengejutkan."
Dilihatnya kedua mayat hidup sama-sama mengangkat tangannya menangkap anak panah masing-masing yang meluncur mundur.
Sekonyong-konyong Toh-bing-sik-mo yang membelakangi Tio Swat in mengeluarkan suara pekik yang mengerikan, kuda mendadak dikeprak maju terus menerjang kearah Toh-bing-sik-mo didepannya, dimana tangan kiri bergerak dengan jurus Hong-jui-Cui-Liong-kak.
panah merah yang runcing ditangannya menus uk ke ciat-hou-hiat diatas jidat lawan, sementara tangan kanan terbalik, dengan jurus Bong ham yau-yam-ih, sinar merah berkelebat, bayangan gendewa bersusun memberondong kemuka lawan, serangan keji cepat dan lihay dilandasi tenaga yang kuat pula.
Begitu melihat jurus serangan Toh-bing-likmo ini Tio Swat-in lantas tahu bahwa Toh-bing sik-mo yang menyerang duluan ini adalah lawan yang tadi bergebrak dengan dirinya, melihat betapa indah dan lihay gerak rubuh orang diam-diam dia memuji dalam hati, diam-diam hatinya merasa simpatik terhadap yang satu ini.
Bahwa Toh-bing-sik-mo yang satu ini lihay kungfunya, demikian pula Toh-bing sik-mo lawannya itu tidak kalah lihaynya.
Tampak sekali berkelebat beruntun dia meluputkan diri dari dua jurus serangan lawan yang gencar.
Gendewa merah ditangan kanannyapun balas menyerang dengan jurus Hiap-san-cau-hay (menggrmpUr gunung menguruk laut), damparan angin kuat menimbulkan deru angin yang keras, sehingga hujan rintik-rintik seperti tersibak jauh kesamping.
Loroh tawa bergema dalam lembah, Toh-bing-sik-mo yang menyerang dahulu tadi tampak berkelebat minggir, gempuran dahsyat itu berhasil dihindarkan.
Berbareng telapak tangan terbalik terus mengubah jurus serangan, Pat hong-cui-khi-siang Ngo-sekssip-hwi-hong, gendewa dan batang panah bergerak sama, kembali dia menyerang dua jurus sekaligus dengan gempuran telak.
Kedua Toh hmg-sik-mo adalah jago- jago Kungfu yang paling top didunia persilatan, maka pertempuran ini berjalan amat seru dan setanding, kadang-kadang cepat tiba-tiba lamban, perobahannya tidak menentu dan sukar diraba, gendewa dan batang panah yang merah berpadu dengan bayangan tubuh mereka yang putih tampak menyolok, namun mengaburkan pandangan.
Dalam sekejap lima puluh jurus telah lewat, setelah serang menyerang secara gencar itu kedudukan masing-masing sama kokoh, setapakpun tiada yang tergeser dari kedudukan semula.
Sekonyong-konyong Toh bing-sik mo yang membelakangi Tio Swat-in dan yang mendahului menyerang tadi, tampak berputar di-punggung kuda, kedua tangan terangkat tinggi diatas kepala, gendewa merah ditangannya tampak menaburkan bayangan merah berputar dua lingka dimana dia menekan pergelangan tangan, dengan jurus Ham-kong-yau-leng-tian, King-khi ping ceng-hong, kembali melancarkan dua jurus serangan sekaligus, cara dan gaya serangannya amat berbeda dengan permainan silat umumnya, anehnya kekuatannya amat besar.
Tio Swat-in yang menyaksikan diluar gelanggangpun merasakan kedahsyatan dari perbawa serangan berantai ini, diam-diam dia sudah membatin dalam hati.
"Nah, kali ini pasti dapat dibedakan siapa kuat dan mana bakal kalah."
Gendewa dan anak panah kelihatannya sudah hampir mengena sasaran, maka tampak Toh-bing-sik-mo yang satu tiba-tiba menjatuhkan diri hingga tubuhnya rapat dengan punggung kuda, tiba-tiba kuda tunggangannya itu berjingkrak berdiri dengan kaki belakang sambil berputar, secara mudah serangan gencar dan dahsyat itu telah dihindarkan begitu saja.
Tapi sambil berkelit ternyata kedua tangannya juga tidak tinggal diam, dimana dia menggentak tangan "Sret"
Selarik sinar merah tahu-tahu menerjang kepala kuda lawan- Padahal serangan lawan sudah kebacut dilontarkan dengan tenaga penuh, meski serangan dan gaya tubuh itu berhasil dikendalikan tapi sudah tidak sempat mengeprak kuda untuk berkelit atau menangkis dengan tipu apapun- Darah muncrat, sebatang panah merah tampak menancap miring dikepala kuda putih kontan kaki depan kuda itu tertekuk, tubuh-nyapun terkapar jatuh tanpa meronta sedikit-pun, jiwanya melayang seketika.
Dikala kuda terpanah dan roboh terkapar tampak sesosok bayangan putih dengan disertai gerangan murka, laksana segumpal asap tiba-tiba mumbul keatas, itulah Ginkang tingkat tinggi yang sudah putus turunan sejak seratusan tahun yang lalu, Yan-heng-hun-siang-in (asap bergolak diatas mega) Setelah mencapai ketinggian maksimal di tengah udara tubuhnya yang terapung itu berputar dengan gaya yang indah terus menukik dengan jurus Sin Liong-whi-khong-coan, laksana seekor naga perkasa Langsung menubruk kearah lawan- Berapa hebat dan mentakjupkan gerakan Toh-bing-sik-mo yang satu ini, sungguh membuat Tio Swat-in yang menyaksikan menghela napas gegetun.
Bahwa panahnya berhasil membunuh kuda lawan, cukup menggirangkan tapi juga mengecewakan, girang karena kuda tunggangan lawan telah mati, kecewa karena tujuan utama adalah penunggang bukan kudanya, tahu-tahu dilihatnya lawan melambung keatas, dimana segumpal bayangan merah laksana kobaran api dengan deru angin keras yang mengejutkan tiba-tiba telah menindih dari atas.
Karuan kagetnya bukan main, tubuhnya yang baru saja tegak tersipu-sipu mendoyong kesamping sambil menarik tali kekang pikirnya hendak membawa kudanya menyingkir.
Bahwa dia bisa berkelit cepat, jiwanya selamat, tapi serangan musuh dari atas ternyata tidak kalah cepatnya, begitu kudanya berjingkrak berdiri dengan kepalanya terangkat tinggi, seketika terjadi hujan darah yang muncrat sama-sama kepala kuda di kepruk pecah oleh gendewa merah, tanpa meringkik kuda itupun terbanting roboh binasa.
---ooo0dw0ooo--- 5 TIDAK lantaran kehilangan kuda tunggangan kedua mumi ini lantas menghentikan perkelahiannya, mereka kelihatan semakin kalap dan menyerang dengan nekad, ini dapat dibuktikan dari gelak tawa.
Demikian pula bola mata mereka merah membara, agaknya terlalu besar tekad mereka untuk membinasakan lawannya.
Terutama Toh-bing sik-mo yang tadi membelakangi Tio Swat-in, serangannya tampak begitu gencar dan lebih ganas, keadaannya tidak ubahnya waktu Tio Swat-in melabraknya tadi, seolah-olah Toh-bing-sik-mo lawannya itu adalah musuh besarnya yang harus dibunuhnya seketika.
Tio Swat-in masih berdiri terlongong, ingin turut campur, tapi tidak tahu dari mana dia harus mulai, hasratnya pun besar untuk membunuh Toh-bing-sik-mo, tapi dia juga tahu dirinya belum mampu, namun apakah dirinya harus membuang kesempatan baik untuk menuntut balas kematian sang ayah yang penasaran sejak sepuluh tahun lalu ? Sesaat hatinya bimbang dan tak tahu apa yang harus dia lakukan- Hujan rintik makin deras, anginpun berhembus kencang.
Ditengah hujan rintik dengan hembusan angin kencang itu, dari luar lembah terdengar dua ekor kuda yang dibedal kearah sini.
Tio swat-in heran, hatinya bertanya-tanya siapa yang datang dan apa akibat kedatangan pula orang lain- Lekas sekali lari kuda yang acak-acakan itu semakin dekat, diam-diam hatinya memperoleh firasat sesuatu yang luar biasa pasti akan terjadi.
Dalam pada itu kedua Toh-bing-sik-mo yang lagi bertarung itu tetap berhantam dengan sengit seperti tidak mendengar kedatangan dua ekor kuda yang dilarikan kencang.
Tio swat-in mawas diri, dia merasa dirinya harus menyingkir dari medan laga ini, entah mengapa indranya yang keenam seperti mendapat petunjuk bahwa derap kaki kuda yang acak-acakan ini bakal mendatangkan malapetaka yang tidak menguntungkan- Niat sudah timbul, sayang sebelum dia bertindak.
air lumpur tampak muncrat, dua ekor kuda tahu tahu sudah berlari tiba, penunggangnya cukup mahir pegang kendali, setelah meringkik keras kedua kuda itu akhirnya berhenti.
Diatas punggung seekor kuda bercokol seorang kakek bertubuh kurus kecil, kulit mukanya kering semu coklat, mengkilap lagi sehingga kelihatan seram, kupingnya tinggal satu, tapi sorot matanya tajam, Thay-yang-hiat tampak menonjol besar, sekilas pandang orang sudah tahu bahwa kakek kurus kecil ini seorang ahli tenaga dalam yang tangguh.
Kuda yang lain ditunggangi perempuan cantik berusia tiga puluhan, alisnya lentik, matanya mengerling tajam dan pelarak pelorok, gerak-geriknya tampak genit.
Mengawasi dua Toh-bing-sik-mo yang lagi berhantam sengit diatas tanah, kakek kurus kecil tiba-tiba bergelak tawa aneh, seolah-olah dia tidak ambil perhatian dan ketarik oleh kejadian didepan mata.
Namun diam-diam berpikir.
"Bukankah mahluk aneh bergendewa merah ini dahulu pernah bertemu sekali dengan aku di Biau-kiang dua puluh tahun yang lalu Jadi Toh-bing sik-mo yang terakhir ini membuat geger dunia persilatan dan mengganas di lembah ini adalah perbuatan jailnya. Selama dia hidup diBiau-kiang, sejak kapan dia masuk kewilayah Tiong toh, kenapa berdandan seperti itu, sekaligus muncul dua lagi."
Agaknya kakek kurus kecil ini jauh lebih tahu dari Tio Swan-in akan asal usul Toh-bing-sik-mo meski tidak jelas sekalinya. namun dia lebih heran dan tidak habis mengerti di banding Tio Swat-in- "Pletak"
Mendadak dua Toh-bing-sik-mo melompat mundur bersama, sebelum berpijak diatas bumi, tiba-tiba selarik bayangan merah telah meluncur lepas dari tangan, kiranya gendewa patah, dan anak panah telah ditimpukkan kearah Toh^bing-sik-mo yang lain.
Begitu gendewa saling bentur, tanpa kuasa tubuh mereka tergentak mundur beberapa langkah, celaka adalah gendewa milik Toh-bing sik-mo yang merangsak sengit patah menjad dua, memangnya dia sudah merasa bersenjata gendewa dan anak panah tidak mencocoki permainannya, saking marah dan penasaran, segera dia timpukkan kuningan gendewa dan panahnya.
Begitu lawan berkelit disertai pekik gusar dengan menggentak kedua lengannya, maka terdengarlah suara berisik, seluruh kain perban putih yang membungkus tubuhnya peretelan putus berkeping-keping oleh getaran tenaga dalamnya, dibawah hembusan angin kencang cuilan kain-kain putih itu tertiup beterbangan- Di tengah hujan rintik, tampak berdiri seorang pemuda berwajah tampan kaku dingin,alisnya tebal, kulitnya putih, tanpa marah pun kelihatan berwibawa, apa lagi dalam keadaan angkara murka menghadapi musuhnya, sungguh sikapnya yang gagah cukup menciutkan nyali.
Pemuda ini bukan lain adalah Pakkiong Yau-liong, selama setahun belakangan ini dengan sebatang ruyung lemas singa emasnya telah melalap seluruh jago- jago silat kilas tinggi diwilayah utara dan selatan sungai besar.
Selama setahun ini dia menguber jejak pembunuh ayahnya.
Karena Pakkiong Yau-Liong adalah putera jago pedang nomor satu di Kangpak sepuluh tahun yang lalu Bok-kiam-Tiong-siau Pakkiong Bing.
Setahun yang lalu setelah menamatkan pelajarannya di Hun-seng, dia sudah mulai usaha mencari jejak pembunuh ayahnya, Musuh utamanya sudah tentu adalah Toh bing-sik-mo yang merebut pedang pusaka milik ayahnya...
yaitu pedang Kayu cendana.
Dari pesan ayahnya sebelum ajal, dia tahu Toh- bing-sik-mo membungkus tubuhnya dengan perban, bersenjata gendewa dan anak panah merah, dan masih ada lagi keistimewaannya rambut kepalanya merah.
Setengah tahun sudah menjelang setelah dia mengembara di Kangouw, jangan kata menemikan Toh- bing-sik-mo yang membungkus tubuh dengan perban, sampaipun musuh- musuh besar ayahnya dimasa hidupnya dulu, Hiat- dan Tou Pitlip juga tak karuan parannya.
-o0dw0o- Berkat kepandaian yang tiada tandingan kaum persilatan memberi julukan Kim-ni-sin-jio (ruyung sakti singa emas), sayang jejak musuh besar belum juga berhasil ditemukan, hal ini membuatnya patah semangat dan keCewa.
Hidupnya jadi kelantang keluntung, namun pada setiap kesempatan tak lupa dia mencari berita.
Agaknya Yang Maha Kuasa memang maha pemurah, didalam suatu kesempatan yang tidak terduga, walau jejak Toh-bing- sik- mo belum juga ditemukan, dia mendapat berita tentang Hiat ciang Tou Pit lip yang menantang musuhnya berduel di Ceng-hun-kok untuk menuntut balas kematian muridnya.
Ceng-cun-kok adalah tempat dimana Toh bing-sik-mo muncul dan mengganas sehingga lembah itu diganti namanya menjadi Bong-hun-kok.
sejauh mana nama itu masih segar didalam ingatan Pakkiong Yau Liong.
Entah dari mana datangnya ilham, tiba-tiba dia mendapat akal, berkeputusan untuk menyamar jadi Toh- bing-sik-mo, dengan nama Toh- bing-sik-mo dia akan membunuh siapa saja yang lewat di Ceng-hun-kok.
Caranya memang tepat dia menggunakan kelemahan watak manusia yang suka menang dan jaga gengsi untuk memancing Toh- bing-sik-mo asli keluar dari kandangnya.
Sesuai yang digambarkan ayahnya tentang bentuk dan keadaannya, dia menyamar jadi Toh- bing-sik-mo, demikian pula kuda putih, gendewa besar dan anak panah merah.
Hasilnya memang cukup memuaskan, dia berhasil memanah mati Hiat-ciang Tou Pit lip malah dalam keadaan terpaksa tak sedikit pula gembong-gembong penjahat yang telah dibunuhnya juga .
Maka lembah yang semua sudah direhabilitir kembali jadi Ceng-hun-kok terpaksa di robah pula menjadi Bong-hun-kok (lembah pelenyap sukma), setiap peristiwa yang terjadi dalam lembah pasti menggemparkan dunia persilatan, lalu siapa pula yang berani lewat lembah sempit itu.
Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan, demikian seterusnya, orang yang lewat Ceng-hun-kok semakin jarang.
Tapi Pak kiong Yau-Liong menunggu dengan sabar dan tekun.
Karena dia percaya perhitungannya pasti tidak akan meleset, sebelumnya dia sudah menyelidik daerah ini, bila dirinya adalah Toh- bing-sik-mo yang dahulu pernah mengganas disini, lalu mendengar seseorang menyaru dirinya melakukan pembunuhan seperti yang pernah dia lakukan dahulu di Ceng hun-kok, dia yakin Toh- bing-sik-mo yang asli itu pasti akan meluruk datang.
Karena adanya keyakinan ini maka selama ini dia masih menunggu dengan penuh harapan tak nyana dia harus menghabiskan waktu setengah tahun.
Akhirnya saat yang dinantikan, dikala hujan rintik-rintik fajar menyingsing ini, setelah dia dliabrak oleh Tio Swat in, penantiannya ternyata menjadi kenyataan, perhitungannya sudah terbukti.
Toh- bing-sik-mo yang tulen muncul di-depan matanya, inilah musuh pembunuh ayah nya yang diubernya selama ini.
Dia menekan gejolak hatinya, melabrak Toh- bing-sik-mo seperti Tio Swat- in tadi melabrak dirinya, ratusan jurus telah lewat, usahanya masih jauh dari berhasil membunuh musuh ayahnya ini, malah gendewa dan panahnya tergetar putus, bahwa gusarnya, dikala melompat mundur, kutungan gendewa itu dia timpukkan seperti melepaskan senjata rahasia.
Dikala Toh-bing sik-mo berkelit menyelamatkan diri, dengan kekuatan tenaga dalam nya dia menggetar hancur perban yang membalut seluruh tubuhnya.
Persoalan sudah nyata, dia merasa tidak perlu menyaru lagi, setelah menggetar hancur perban yang mengikat kebebasannya, kini dia mengeluarkan senjatanya, dengan ruyung lemas singa emas Toh- bing-sik-mo harus di mampuskan untuk menuntut balas kematian ayahnya, sekaligus merebut balik pedang Kayu Cendana.
Sepasang bola matanya merah membara, dengan tajam dia pandang Toh- bing-sik-mo, mukanya beringas diliputi hawa nafsu yang sadis.
Pakkiong Yau-Liong meraung keras menimbulkan gema suara mendengung dalam lembah.
Tampak tangannya terbalik sinar emaspun berkelebat, sebatang ruyung emas lemas dengan ujungnya berkepala singa disendalnya kaku lurus ke depan.
Ruyung emas yang lemas itu dibawah landasan tenaga dalamnya kini menjadi kaku laksana sebatang tombak.
panjangnya ada empat kaki, diujung kepala singa yang terbuka mulutnya menjulur dua ujung runcing berwarna emas dan perak perpaduan warna yang serasi sekali.
Tangan kanan Pakkiong Yau-Liong diulur dan ditarik, ujung tombak bergetar memetakan sekuntum cahaya kemilau dengan putaran dua lingkar.
Sebelum lenyap dua kuntum cahaya kemilau itu, tubuh Pakkiong Yau-Liong sudah berkelebat, dengan gerak Ui- Liong- hoan-hoan-seng tubuhnya tiba-tiba melejit, kelihatannya lamban kenyataan pesat sekali menubruk kearah Toh- bing-sik-mo.
Dalam waktu yang sama, sebuah lengking suara tinggi menembus angkasa, bayangan seorang dengan kecepatan luar biasa tahu-tahu menerjang kearah Pakkiong Yau-Liong.
Sementara itu Pakkiong Yau -Liong sedang terapung ditengah udara, tiba-tiba bayangan terasa menjadi gelap disebelah kiri, sesosok bayangan orang dengan deru angin keras menerjang kearah dirinya.
Mau tak mau Pakkiong Yau-Liong terperanjat 'Cepat amat' demikian teriaknya dalam hati.
Begitu kedua tangan menyilang Pakkiong Yau-Liong pindahkan ruyung lemasnya ketang kanan, dengan jurus Jio si-kim-yong-joh, tampak dimana tabir cahaya kemuning mengemban ruyung singa emas nya tahu-tahu menyongsong terjangan bayangan itu dengan tusukan.
Pindah tangan serta melancarkan serangan tombaknya, boleh dikata dilakukan dalam sedetik oleh Pakkiong Yau- Liong, kecepatan gerak serangannya sebat sekali, tapi gerakan tubuh orang yang menerjang itupun cepat dan aneh.
Baru saja ujung tombak Pakkiong YauLiong menusuk.
bayangan orang tahu-tahu sudah berkisar kedepannya.
Hakikatnya Pakkiong Yau-Liong tidak tahu lawan menggunakan gerakan apa-apa, karuan dalam hati dia mengeluh dan memuji.
Tahu-tahu sejalur angin tajam telah menerjang lambungnya, Pakkiong Yau-Liong tidak berani ayal, lekas tubuhnya ditekuk lalu diluruskan pula dengan gaya Yan-teng hun-siang-in, tubuh yang terapung itu mendadak melejit lebih tinggi lagi hampir dua tombak.
lalu dengan gaya yang tidak berobah dari ketinggian tempatnya dia menukik turun tetap menerjang kearah Toh- bing-sik-mo, gerakannya luwes indah, perobahannya pun menakjupkan.
Dua orang ini sama-sama terapung diudara, masing-masing melancarkan sejurus serangan, dengan perobahan gaya dan gebrakan pula, kejadian padahal hanya singkatsaja.
Pak kiong Yau-Liong mengutamakan menuntut balas pada musuh besar, bahwasanya siapa yang menyergap dirinya ditengah jalan tidak diperhatikannya, sebenarnya memang tidak sempat, yang terang tubrukkannya sudah mencapai atas Toh-bing sik-mo, kembali dia pindah ruyung lemas ketangan kiri, dikala tubuhnya bersalto, ruyung lemas itu tiba-tiba menyelonong turun dengan seringan Jiong-ce-hoan-gwa-hong, bayangan ruyung tampak berlapis- lapis disertai bintik-bintik perak yang dingin berputar mengelilingi Toh- bing-sik-mo terus menungkrup laksana jala.
Padahal serangan mematikan atau paling tidak luka parah, tetapi gaya serangan nya ternyata biasa.
Dikala tusukan tombak hampir mengenai sasaran, tiba-tiba Toh-bing-sik mo merendahkan tubuh, dimana tubuhnya berkelebat, dua langkah dia menerobos kedepan, berbarengan gendewanya disendal dengan jurus Kim-hong-sik-je, bayangan gendewa bertaburan membawa deru kencang yang tajam membelah kearah Pakkiong Yau-Liong yang bergelantung di tengah udara.
Bola mata Toh- bing-sik-mo memancarkan cahaya biru kemilau nan buas, ingin rasa nya dalam segebrak ini bukan saja menamatkan serangan Pakkiong Yau-Liong yang telah memancingnya keluar kandang, sekaligus membelah nya mampus.
Lengking suara tadi bergema pula diangkasa, sesosok bayangan tadi dengan kecepatan kilat telah menerjang pula kearah Pakkiong Yau-Liong, belum tiba orangnya, tapi deru pukulan tangannya sudah menerjang tiba lebih dulu.
Padahal tubuh Pakkiong Yau-Liong masih terapung, jadi seperti bergelantung ditengah udara, bukan saja gendewa Toh- bing-sik-mo telah membelah kearah dirinya terasa terjangan serumpun angin keras menyergap pula dari samping, menghadapi serangan bertubi-tubi yang dahsyat ini, jikalau Pakkiong Yau-Liong tidak mampus juga pasti luka berat.
Tapi Pakkiong Yau-Liong memang cerdik dan cekatan, perhitungan memang sudah dia siagakan dalam menghadapi berbagai masalah dikala dirinya menyerang, resiko juga telah dipikirkan, kalau tidak mana berani dia menggunakan serangan gaya tubuh yang menghabiskan tenaga, sekaligus juga berbahaya bagi jiwa sendiri.
Tampak tubuh Pakkiong Yau-Liong tahu-tahu membalik, tubuhnya jadi menghadap ke langit, dimana pergelangan tangannya dipelintir, ruyung lemasnya tetap memantek ke gendewa Toh-bing sik-mo, gerak perobahannya begitu aneh dan jarang ada, gerak geriknyapun lincah dan tangkas.
'Trak' suaranya cukup keras, meminjam tenaga benturan dari ruyungnya yang melengkung, sebat sekali dia bersalto pergi sejauh satu tombak, sekaligus dia telah meluputkan diri dari sergapan orang lain- Sedetik begitu kaki Pakkiong Yau-Liong menyentuh bumi, dia sudah melihat jelas siapa penyergap dirinya, itulah seorang kakek tua aneh bertubuh kurus kecil pendek.
dan hanya punya satu telinga.
Dengan muka beringas tampak dia berdiri bertolak pinggang, matanya menyala molotot kepada Pakkiong Yau-Liong.
Adanya ruyung lemas singa emas ditangan Pakkiong Yau-Liong, menyaksikan dua gerakan tubuh yang bergaya seindah tadi yang di demonstrasikan pemuda tanggung ini, diam-diam kakek aneh bermata juling dengan telinga tunggal ini sudah berani memastikan bahwa Pakkiong Yau Liong pasti punyahubungan erat dengan Biau-hu Suseng.
Maka dia berkeputusan untuk mencari tahu seluk beluk persoalannya.
Sebaliknya Pakkiong Yau-Liong heran dan tak habis mengerti, dikala musuh besar didepan mata, sudah tentu tiada waktu untuk memecah perhatian, kenapa kakek aneh ini turut campur ikut menyerang dirinya.
Tetapi dia merasakan bahwa Kungfu kakek ini masih berada diatas kemampuannya sendiri, tentu punya nama dan kedudukan tinggi diBulim, tapi dalam waktu dan situasi sekarang tiada tempo dia pikirkan soal ini.
Begitu ujung kaki menutul bUmi, tubuhnya bergerak menubruk pula kearah Toh-bing sik-mo.
Baru saja dia bergerak, kakek kurus pendek itupun meraung pula terus menerjang kearah Pakkiong Yau-Liong, Dua orang sama-sama terapung dan saling tumbuk.
"Blang"
Bayangan mereka terpental mundur setombak jauhnya, tampak Pakkiong Yau-Liong limbung beberapa langkah baru berhasil menguasai tubuhnya, diam-diam hatinya mengeluh dan memuji, pukulan lawan memang hebat dan dahsyat.
Mendelik tatapan mata kearah kakek kurus pendek.
hatinya kesal, juga benci dan gusar karena kakek kurus ini berulang kali menghalangi usahanya menuntut balas.
Setelah menarik napas, Pakkiong Yau-liong tekan perasaannya, katanya dengan suara rendah.
"Cianpwe ini berulang kali menghalangi Cayhe. entah apa maksudnya ? Mohon penjelasan."
Kakek kurus kering bertelinga tunggal tiba-tiba terloroh sambil menengadah, dia menarik muka dan menatap Pakkiong Yau-Liong dengan sorotan mata tajam, suaranya melengking dingin.
"Kau tahu siapa aku ?"
Bergidik bulu kuduk Pakkiong Yau-Liong pikirnya.
Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkinkah kakek ini adalah Tok-ni-kau-hun si Ping ji benggolan penjahat dari kalangan hitam ?"
Lalu dia perhatikan perawakan orang serta tampangnya yang tepos dan matanya yang juling, terutama kupingnya yang tinggal satu akhirnya dia yakin bahwa dugaannya tidak meleset.
Maka sadarlah dia bahwa urusan hari ini tidak mudah diselesaikan begitu saja.
Senyuman Dewa Pedang -- Khu Lung Rahasia Bukit Iblis -- Kauw Tan Seng Pedang Dan Kitab Suci -- Khu Lung