Ceritasilat Novel Online

Pedang Langit Dan Golok Naga 35


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 35




   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung

   
"Kau bilang di hatimu tidak gusar, kalau di mulut bilang tak gusar"

   "Baiklah, di dalam hatiku juga aku tidak gusar."

   Nona itu lantas menggenggam keras. "Goe koko!"

   Ia berkata sungguh-sungguh.

   "Aku datang dari Tionggoan yang berlaksa li sampai di wilayah Barat ini, maksudku ialah untuk mencari dia. Mulanya aku masih dapat mendengar sedikit kabar tentangnya, lalu setibanya di sini ia bagaikan sebuah batu yang tenggelam dalam lautan besar, sedikitpun tak kudengar lagi kabarnya. Maka itu, kalau nanti kakimu sudah sembuh aku minta kau membantuku mencari dia, sesudah itu baru aku menemani kau pesiar ke gunung dan sungai! Tidakkah ini bagus?" Boe Kie tidak dapat menahan rasa tidak senangnya, hingga ia mengeluarkan suara di hidung.

   "Hmm."

   "Kau sudah menerima baik, kau sudah berjanji tidak akan gusar,"

   Kata si nona.

   "Apakah ini bukan tandanya gusar?"

   "Baiklah, aku nanti membantu kau mencari dia!"

   Kata Boe Kie. Kembali si nona girang secara mendadak. "Goe koko, kau baik sekali,"

   Dia berseru. Lantas ia memandang jauh ke depan, ke arah di mana langit dan bumi bertemu, hatinya bergetar. Dengan perlahan dia berkata.

   "Jikalau nanti kita dapat menemukan dia, dia akan berpikir bahwa aku telah mencari dia lama sekali, dia tidak akan mengusir aku. Apa yang dia bilang, aku akan melakukannya. Pendek kata, aku akan turut segala perkataannya!"

   "Sebenarnya kekasihmu itu ada kebaikkan apa?"

   Tanya Boe Kie.

   "Kenapa kau sampai selalu memikirkannya saja?"

   Ditanya begitu, si nona tertawa. "Apa kebaikkannya?"

   Katanya.

   "Mana dapat aku menerangkan? Goe koko, aku tanya apakah kita dapat mencari dia? Umpama kata kita dapat mencari, apakah dia bakal mencaci dan memukulku?"

   Tidak senang Boe Kie melihat orang demikian tergila- gila, akan tetapi ia pun tidak mau membuatnya tidak bergembira, maka ia berkata perlahan, seperti bersenandung.

   "Asal hati manusia keras bagaikan emas, di atas langit atau di dalam dunia pasti orang dapat saling bertemu!"

   Mulut mungil si nona bergerak perlahan, air matanya berlinang. Ia mengulangi dengan perlahan.

   "Asal hati manusia keras bagaikan emas, di atas langit atau di dalam dunia pasti orang dapat saling bertemu."

   Boe Kie mendengar suara si nona, katanya di dalam hati. "Nona ini demikian tergila-gila terhadap kekasihnya, jikalau di dalam dunia ini ada seorang yang demikian memikirkan aku, biar dalam hidupku lebih menderita lagi aku rela."

   Ia memandang ke arah timur laut, di atas salju ia melihat tapk kakinya Cie Jiak dan Bin Koen, ia melamun pula. "Jikalau tapak kakinya B in Koen itu tapak kakiku, dapat berjalan bersama nona Cioe."

   Ia terbangun dari lamunannya dengan kaget. Mendadak ia mendengar suara keras dari si nona.

   "Hayo! Lekas! Mari kita pergi. Kalau terlambat, nanti tak keburu!"

   "Apa?"

   Tanya Boe Kie masih gelagapan. "Nona muda dari Go Bie-pay itu tidak mau bertempur sama aku,"

   Kata si nona.

   "Ia berpura-pura terluka, tetapi lain dengan Teng Bin Koen, dia bilang dia mau menangkap kita untuk dibawa kepada gurunya. Itu berbahaya. Mestinya Biat Coat Soe-thay berada di dekat sini. Pendeta wanita bangsat yang tua itu paling mau menang sendiri, mana bisa dia tidak datang kemari?"

   Boe Kie terkejut, ia pun kuatir. Ia ingat kekejamannya Biat Coat Soe-thay ketika ia menghajar mati Kie Siauw Hoe dengan sebelah tangannya. "Memang dia sangat hebat, kita tidak dapat melawannya,"

   Katanya. "Apakah kau pernah bertemu dengan dia?"

   "Bertemu, itulah belum, tapi dia ketua Go Bie-pay, dia bukan sembarangan orang."

   Nona itu mengerutkan alis.

   Hanya sebentar, ia lantas bekerja.

   Ia mengumpuli beberapa kayu yang kuat, ia ikat itu dengan tali babakan pohon.

   Segera setelah selesai, membuat semacam kursi bagaikan kereta.

   Tanpa bilang apa-apa ia lantas menggendong Boe Kie, untuk duduk di dalam kursi itu, yang ujungnya diikatkan tali panjang, sesudah itu ia terus tarik bawa pergi berlari-lari! Kencang larinya.

   Sambil duduk di kereta salju, Boe Kie mengawasi gadis desa yang tabiatnya aneh itu.

   Dia lari dengan lincah.

   Dia lari terus menerus, tak hentinya sampai kira-kira empat puluh li.

   Sama sekali tidak terdengar nafasnya menghela.

   Ia kagum akan kemahiran ilmu ringan tubuh si nona itu.

   Tapi ia merasa tidak enak hati.

   "Eh, berhenti dulu!"

   Katanya.

   "Kau beristirahatlah!"

   Nona itu tertawa, ia menyahuti.

   "Siapa eh, eh? Apakah aku tidak punya nama?"

   "Kau tidak mau memberitahukan namamu, apa yang aku bisa? Kau menghendaki memanggilmu si nona jelek, tapi aku merasa kau bagus dilihat."

   Nona itu tertawa, lalu berhenti berlari. Dia menyingkap rambutnya. "Baiklah, sekarang aku memberitahukan kepadamu!"

   Katanya.

   "Taka pa aku bilang padamu. Aku dipanggil Coe Jie."

   "Coe Jie! Coe Jie!"

   Kata Boe Kie.

   "Sungguh benar satu anak mustika!"

   "Fui!"

   Nona itu meludah.

   "Namaku bukannya Coe dari Tin Coe yang berarti mutiara, hanya Coe dari Tin-coe, yaitu laba-laba!" Boe Kie tercengang. "Mana ada orang yang pakai huruf Coe untuk namanya?"

   Katanya. Ia heran nona itu memakai nama Coe itu, hingga ia menjadi Coe Jie (anak Coe atau si Coe). "Itu justru namaku!"

   Kata si nona.

   "Umpama kata kau takut, nah, tak usahlah kau memanggilnya!"

   "Apakah itu nama pemberian ayahmu?"

   Boe Kie bertanya. "Jikalau ayahku yang memberikannya, kau piker, apakah kau kira aku suka menerimanya?"

   Si nona membalas.

   "Ibuku yang memberikannya. Ibu mengajarkan ilmu silat Cian Coe Cit-hoe choe, maka ia bilang, aku baiknya memakai nama ini."

   Terkesiap Boe Kie mendengar disebutnya ilmu silat Cian Coe Ciat-hoe choe itu. "Aku mempelajari itu dari kecil,"

   Si nona menjelaskan tanpa diminta.

   "Sampai sekarang aku belum dapat menyempurnakan. Jikalau aku sudah mahir maka tak usahlah kita takut pula pada Coat Soe-thay si pendeta wanita bangsat itu. Maukah kau melihatnya?"

   Sembari berkata begitu, Coe Jie merogoh ke dalam sakunya, untuk menarik keluar sebuah kotak dari emas, yang ia terus buka tutupnya dan di dalam itu lantas terlihat dua ekor laba-laba, yang tubuhnya berkotak-kotak.

   Punggung laba-laba itu bertitik-titik belang, bertotolan seperti bunga sulaman.

   Yang aneh pula kalau biasanya berkaki delapan, kedua binatang ini berkaki masing-masing dua belas.

   Boe Kie terkejut.

   Mendadak ia ingat Tok Kang, Kitab Racun karangannya Ong Lan Kouw.

   Di dalam kitab itu antaranya ada ditulis.

   "Laba-laba itu ada yang belang. Itulah yang beracun sekali. Laba-laba dengan sepuluh kaki ialah yang paling beracun tak ada bandingan, siapa kena digigit dia tak akan ketolongan lagi."

   Kali ini laba-laba berkaki dua belas pasti mereka lebih beracun daripada yang kakinya sepuluh. Sebab di dalam kitab tersebut tidak ada disebut-sebut. Si nona ketawa melihat kawannya ketakutan. "Kau ahli, kau tahu kegunaannya laba-laba mustika ini!"

   Ia berkata.

   "Kau tunggu sebentar!"

   Ia simpan kotaknya itu lantas ia lari menghampiri sebuah pohon besar, untuk lompat naik ke atasnya.

   Di situ ia berdiam lama di cabang yang tertinggi, untuk memandang sekitarnya.

   Ia seperti melihat atau mencari sesuatu.

   Setelah itu ia lompat turun lagi.

   "Mari kita pergi pula barang selintasan,"

   Ia berkata. "Perlahan-lahan saja kita bicara tentang laba-laba.

   "Ia lantas menarik pula kereta saljunya bermuatan manusia. dia berlari-lari kira-kira tujuh atau delapan li, hingga mereka tiba di sebuah lembah. Di sini ia turunkan Boe Kie dari kereta istimewanya itu, sebagai gantinya, dia memuat beberapa buah batu besar. Lantas ia menarik pula, berlari- lari. Akhirnya ia lari ke tepi jurang, di situ ia berhenti dengan tiba-tiba, keretanya dilepaskan, maka kereta itu bersama batunya terjun ke dalam jurang yang dalam, terdengar suara berisik dari jatuhnya kereta. Boe Kie heran, ia mengawasi kelakuan nona itu. Ketika ia melihat ke salju, tempat yang tadi menjadi jalanan mereka, ia mendapatkan dua baris tapak kereta salju itu. Ia cerdas dan ia lantas mengerti. Maka di dalam hatinya ia berkata. "Nona ini sangat cerdik. Jikalau Biat Coat Soe-thay menyusul kita, setibanya di sini, tentu dia bakal menyangka bahwa kita jatuh mati ke dalam jurang itu."

   Coe Jie lantas kembali. "Mari naik ke atas punggungku!"

   Ia berkata kepada kawannya, di depannya ia berjongkok. "Kau hendak menggendong aku?"

   Tanya Boe Kie.

   "Tubuhku berat, kau bakal sangat letih."

   Nona itu mengawasi, matanya melotot. "Kalau aku letih aku pasti bisa tahu?"

   Ujarnya. Boe Kie terdiam, ia naik ke punggung nona itu, kedua tangannya merangkul leher si nona perlahan-lahan tanpa bertenaga. "Apa kau takut merangkul aku keras-keras hingga mati tercekik?"

   Kata nona itu tertawa.

   "Kau merangkul begini pelan dan kakimu menjepit orang enteng sekali, kau membuat leherku geli saja!"

   Boe Kie yang polos, melihat kepolosan si nona ia menjadi girang.

   Ia lantas merangkul erat-erat dan kedua kakinya menjepit keras.

   Mendadak saja si nona bergerak, untuk melompat naik ke atas pohon.

   Pohon itu mengarah ke arah barat, di sana terdapat barisan pohon lainnya.

   Bagaikan kera gesit, dengan cepat nona itu berlompatan dari pohon yang satu ke pohon yang lain, untuk jauh meninggalkan tempat di mana barusan singgah.

   Boe Kie kagum bukan main.

   Nona itu bertubuh kecil, tapi nyata dia kuat sekali.

   Tubuhnya dapat dibawa berlompatan dan berlari-lari dengan ringan.

   Setelah melewati kira-kira delapan puluh pohon, hingga mereka sudah pergi jauh.

   Baru nona itu melompat turun, hingga sekarang mereka berada di pinggiran sebuah gunung.

   Di situ Boe Kie diturunkan dengan hati-hati.

   "Di sini kita membangun gubuk kerbau!"

   Kata nona itu tertawa.

   "Tempat ini baik!"

   "Gubuk kerbau?"

   Boe Kie heran.

   "Untuk apakah gubuk kerbau?"

   Si nona tertawa. "Memang gubuk kerbau!"

   Katanya.

   "Gubuk untuk menempatkan seekor kerbau yang besar! Bukankah kau bernama A Goe, si kerbau?"

   Boe Kie tersentak, lantas ia pun tertawa. Nona itu sedang bergurau. Memang namanya A Goe, berarti kerbau. "Bila begitu, tak usahlah,"

   Ia berkata.

   "Empat atau lima hari lagi, kakiku tentu sudah sembuh banyak, aku dapat berjalan meskipun dipaksakan."

   "Hm, dipaksakan!"

   Kata si nona, tersenyum.

   "Kau sudah jadi si jelek tidak karuan, kalau nanti kaki kerbaumu pincang, apa itu bagus dilihat?"

   Habis berkata, si nona kembali bekerja.

   Dengan cabang pohon yang berdaun, ia menyapu salju di batu gunung.

   Mengertilah Boe Kie bahwa si nona sangat memperhatikannya.

   
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Itulah bukti dari kata-katanya.

   "kalau nanti kaki kerbaumu pincang, apa itu bagus dilihat?"

   Tanpa terasa hatinya jadi tergerak.

   Iapun lantas mendengar nona itu berjanji perlahan, berjanji sambil bekerja.

   Dia tidak usah membuang waktu lama akan dapat membangun gubuk yang beratap alang-alang.

   Gubuk itu cukup besar untuk mereka berdua bernaung di dalamnya.

   Tapi Coe Jie masih bekerja terus.

   Sekarang ia mengangkut salju tak hentinya.

   Ia menutup gubuk dari atas atap, lalu ke bawah di sekitarnya.

   Di lain saat, dari tempat jauh gubuk itu tidak kelihatan lagi, kecuali sebagai gundukan salju.

   Kembali Boe Kie menjadi kagum.

   Habis bekerja, Coe Jie mengeluarkan sapu tangan untuk menyusut keringatnya.

   Setelah bekerja begitu berat, tubuhnya kepanasan hingga ia mengeluarkan peluh.

   Namun ia tidak duduk beristirahat.

   "Kau tunggu di sini!"

   Katanya.

   "Aku hendak pergi mencari makanan!"

   "Kau beristirahat dulu,"

   Boe Kie berkata.

   "Aku belum lapar, kau boleh menunggu sebentar lagi. Kau terlalu letih."

   Nona itu mengawasi. "Jikalau kau hendak memperlakukanku dengan baik kau harus sungguh-sungguh baik,"

   Dia berkata.

   "Manis di mulut saja buat apa?"

   Lantas ia pergi berlari memasuki hutan.

   Boe Kie terpaksa berdiam.

   Ia merebahkan dirinya di batu gunung, yang terkurung gubuknya itu.

   Ia sekarang mempunyai kesempatan untuk memikirkan kelakuan si nona yang polos itu, yang suaranya halus, yang gerak- geriknya genit.

   Saking polosnya nona itu gampang gusar.

   Mestinya gerak-gerik itu dipunyai seorang nona cantik, tetapi dia berwajah jelek sekali.

   Tapi ia lantas ingat kata- kata ibunya di saat hendak menghembuskan nafas terakhir.

   Kata ibu.

   "Wanita itu, makin cantik makin pandai dia menipu orang maka terhadap wanita cantik kau harus semakin berhati-hati menjaga diri!"

   Coe Jie jelek, tapi dia baik sekali,"

   Pikirnya.

   "Aku mempunyai niat mengambil dia sebagai kawan hidupku, tapi dia mempunyai paca r sendiri jadi tidak menaruh hati padaku." Tanpa terasa, lama juga Boe Kie berpikir, lantas ia melihat si nona kembali dengan tangannya menenteng dua ekor ayam hutan.

   Tanpa bicara nona itu bekerja menyalakan api, membakar ayam itu, hingga mereka mencium bau yang wangi, yang membangkitkan selera makan.

   "Mari makan!"

   Kata si nona akhirnya. Ia memberikan seekor pada kawannya. Tanpa sungkan Boe Kie makan ayam itu. Ia pun makan dengan cepat. "Ini masih ada,"

   Kata si nona sambil tertawa. Ia melemparkan sisa dua potong kaki ayam. Boe Kie malu hati, hendak ia menolak. Tapi si nona gusar. "Kalau mau makan, makanlah!"

   Katanya ketus.

   "Siapa berpura-pura baik terhadapku, mulutnya lain hatinya lain, nanti kita tikam tubuhnya hingga berlubang!"

   Tanpa banyak bicara Boe Kie makan ayam itu.

   Kemudian, untuk mencuci mulutnya, ia pakai salju tebal sebagai air.

   Lengan tangan bajunya menyusut kering mulutnya berikut mukanya.

   Kebetulan Coe Jie berpaling ketika ia melihat muka orang, dia tersentak kemudian mengawasi, Boe Kie heran, ia menjadi curiga.

   "Kenapa?"

   Ia bertanya. "Usiamu berapa?"

   Tanya si nona tanpa menjawab. "Baru dua puluh tahun tepat."

   "Ah, kau lebih tua dua tahun daripada aku. Mengapa kumismu sudah tumbuh begitu panjang?" Boe Kie tertawa. "Dari kecil aku hidup sendirian di gunung,"

   Sahutnya.

   "Belum pernah aku ketemu orang, maka itu aku tidak berpikir untuk cukur."

   Coe Jie merogoh sakunya untuk mengeluarkan sebilah pisau kecil yang bergagang emas. "Mari!"

   Katanya.

   Lantas dengan memegangi muka orang, ia mulai mencukur.

   Boe Kie diam saja.

   Ia merasa pisau yang tajam itu mencukur kumisnya.

   Ia merasakan juga tangan yagn halus dan lemas dari si nona.

   Tanpa terasa, hatinya dag dig dug Habis mencukur kumis dan janggut, Coe Jie mencukur terus tenggorokan.

   Tiba-tiba ia tertawa dan berkata.

   "Asal aku menggunakan sedikit saja tenaga, aku bisa memotong lehermu ini, maka terbanglah jiwamu! Kau takut tidak?"

   "Mati atau hidup, aku terserah pada kau, nona,"

   Sahut Boe Kie.

   "Mati di tanganmu, menjadi setanpun aku senang!"

   Coe Jie membalik pisaunya, dan menekan keras ke leher. Mendadak ia membentak.

   "Nih, jadilah kau setan yang senang!"

   Boe Kie kaget, tak sempat ia melawan. Tapi ia tak merasakan sakit, maka ia tersenyum. "Senangkah kau?"

   Tanya si nona tertawa. Pemuda itu tertawa, ia mengangguk. Baru ia tahu bahwa ia dipermainkan. Habis mencukuri muka orang, Coe Jie mengawasi. Ia bengong saja. Beberapa lama, lalu terdengar helaan nafasnya. "Eh, kau kenapa?"

   Tanya Boe Kie heran.

   Nona itu tak menyahuti, ia lantas memotong rambut orang, untuk dibikin sedikit pendek, setelah itu ia membuat konde.

   Sebagai tusuk kondenya, ia meraut cabang pohon.

   Diriasi begitu, walaupun pakaiannya butut, Boe Kie tampak cakap dan gagah.

   Lagi-lagi si nona menghela nafas.

   "Goe koko,"

   Katanya perlahan, kagum.

   "Aku tidak sangka, kau sebenarnya berwajah begini tampan."

   Boe Kie cepat menyahut, nona itu tentu menyesali wajahnya sendiri, maka ia berkata.

   "Di dalam dunia ini, apa yang bagus, di dalamnya suka mengeram apa yang jelek. Burung merak begitu indah bulunya tapi nyalinya beracun. Jengger burung boo yan merahpun bagus sekali tapi racunnya bukan main. Demikian binatang lainnya, seperti ular, bagus dilihatnya tapi jahatnya berlebihan. Wajah tampan apa faedahnya? Yang penting hatinya baik."

   Mendengar itu si nona tertawa dingin. "Hati baik apa faedahnya?"

   Ia tanya.

   "Coba kau jelaskan!"

   Ditanya begitu, Thio Boe Kie tidak segera dapat menjawab. Dia tersentak sejenak. "Siapa berhati baik, dia tak dapat melukai orang,"

   Katanya kemudian. "Tidak mencelakai orang apakah kebaikannya?"

   Tanya Coe Jie. "Jikalau kau tidak membunuh orang maka hatimu menjadi tenang,"

   Boe Kie menjelaskan. "Jika aku tidak mencelakai orang, hatiku justru tidak tenang,"

   Kata si nona.

   "Kalau aku mencelakai orang hingga hebatnya bukan kepalang hatiku barulah tenang dan girang."

   Boe Kie menggelengkan kepala.

   "Itu artinya kau merampas peri keadilan!"

   Katanya. Si nona ketawa dingin. "Kalau bukan mencelakai orang, apa gunanya aku belajar ilmu Cian Coe Ciat-hoe coe?"

   Katanya.

   "Kenapa aku mesti menyiksa diri, hingga menderita tak habisnya? Apa itu untuk main-main saja!"

   Habis berkata ia mengeluarkan kotak kemalanya, membuka tutupnya dan memasukkan kedua telunjuknya ke dalam kotak tersebut.

   Sepasang laba-laba belang dalam kotak bergerak perlahan-lahan, lantas mereka menggigit kedua telunjuk itu.

   Si nona menarik nafas dalam-dalam, kedua lengannya gemetaran, tandanya ia mengerahkan tenaga dalamnya melawan isapan laba-laba itu.

   Kalau si laba-laba mengisap darah si nona, maka si nona menyedot masuk racun kedua binatang itu ke dalam darahnya.

   Boe Kie mengawasi saja.

   Ia melihat wajah si nona bersungguh-sungguh, di kedua pelipisnya muncul warna hitam, lantas nona itu mengertak gigi, tandanya ia menahan sakit.

   Selama sejenak, dari hidungnya keluar keringat menetes.

   Sekian lama Coe Jie melatih ilmu itu.

   Sesudah kedua laba-laba mengisap puas darahnya, keduanya lantas melepaskan gigitannya, merebahkan dirinya untuk terus tidur pulas.

   Cahaya hitam di pelipis Coe Jie lenyap dengan cepat, kulitnya menjadi segar kembali.

   Dia menghela nafas, Boe Kie merasakan hawa nafas itu berbau harum, hanya berbeda, ia merasa kepalanya pusing mau pingsan.

   Itulah tandanya hawa itu beracun hebat.

   Coe Jie yang meram sejak mula, membuka kedua matanya.

   Ia tersenyum.

   "Sampai bagaimana latihan itu baru sempurna?"

   Tanya Boe Kie. "Setiap laba laba ini,"

   Menyahut si nona.

   "mestinya tubuhnya dari belang menjadi hitam, dari hitam menjadi putih. Dengan begitu habislah racunnya dan mati dengan sendirinya. Racunnya masuk dalam telunjukku. Untuk menjadi sempurna, aku mesti menghabiskan seribu laba laba. Untuk mencapai puncak kesempurnaan, aku harus menghabiskan lima ribu sampai selaksa ekor masih belum cukup."

   Boe Kie heran, hatinya jeri. "Dari mana didapatkan begitu banyak laba laba belang?"

   Tanyanya. "Di satu pihak dia mesti dipelihara, supaya dia dapat beternak,"

   Menyahut Coe Jie.

   "Dilain pihak dia mesti dicari di temapt kehidupannya."

   Boe Kie menghela nafas. "Dikolong langit terdapat banyak sekali ilmu kepandaian, mengapa mesti menyakinkan yang begitu beracun?"

   Katanya. Si nona tertawa dingin.

   "Memang amat banyak ilmu kepandaian di kolong langit ini, tetapi tidak ada satu yang dapat melawan Ciat hoe cioe ini."

   Katanya.

   "Kau jangan anggap tenaga dalammu sudah mahir, jikalau nanti aku telah berhasil melatih, tidak nanti kau dapat bertahan, untuk satu tusukan saja telunjukku ini!"

   Sambil berkata, si nona menusuk batang pohon didekatnya. Sebab dia belum mahir dengan ilmunya itu, jarinya hanya masuk setengah dim. "Kenapa ibumu mengajar ilmu ini?"

   Boe Kie tanya pula. Ia heran.

   "Apakah ibumupun mempelajarinya juga?"

   Mendengar disebut ibunya, mata Coe Jie tiba2 bersorot tajam dan bengis, bagaikan seekor raja hutan hendak menerkam manusia, ia lantas berkata nyaring.

   "Siapa mempelajari Cian coe Ciat hoe cioe ini, setelah ia menghabiskan delapan ratus ekor, hingga tubuhnya sudah penuh dengan racun, romannya berubah, dan setelah seribu ekor, romannya akan bertambah jelek. Ibuku telah menghabiskan hampir lima ratus ekor ketika ia bertemu ayahku. Ia kuatir ayah tak menyukainya karena romannya sangat jelek, ia terpaksa menghentikan latihannya. Kesudahannya ia menjadi wanita tanpa tenaga, tenaganya lenyap, umpama kata, ia tak sanggup menyembelih seekor ayam. Benar ia menjadi cantik tapi iapun lantas dihinakan madunya serta kakakku. Ia tak dapat melawan, hingga akhirnya ia membuang jiwanya. Maka hm! Apa gunanya paras elok? Ibuku seorang wanita sangat cantik dan halus, tapi sebab tak mendapat anak laki laki, ayahku menikah pula."

   Sinar mata Boe Kie menyapu wajah nona itu.

   "Jadinya kaukau mempelajari ilmu."

   Katanya perlahan. "Benar!"

   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Si nona menyahut cepat.

   "Karena belajar ilmu ini, romanku jadi jelek begini, hingga laki laki tak berbudi itu tidak memperdulikan lagi padaku. Jikalau nanti pelajaranku selesai, akan kucari padanya. Bila disisinya tidak ada lain wanita, ya sudah saja."

   "Kau toh belum menikah dengannya?"

   Tanya Boe Kie. "Bukankah diantara kamupun tidak ada janji ikatan jodoh? Hanya.hanya"

   "Omonglah terus terang!"

   Kata si nona.

   "Takut apa? Bukankah kau hendak membilang bahwa aku menyintai dia sepihak saja, ialah hanya pihakku sendiri? Apa salahnya? Aku telah menyintai dia, maka aku larang dia mempunyai lain pacar! Dia tak berbudi, biarlah dia nanti merasai telunjukku ini, telunjuk Cian Coe Ciat-hoe cioe!"

   Boe Kie tersenyum.

   Ia tidak mau mengadu omong pula.

   Di dalam hatinya, ia merasa, bahwa Coe Jie bertabiat luar biasa sekali.

   Baik, ia sangat baik, tapi selagi gusar ia sangat galak dan tidak mengenal aturan lagi.

   Ia menjadi ingat pula kata2 guru besarnya, paman gurunya yang kesatu dan kedua, bahwa di dalam Rimba Persilatan ada perbedaan antara yang sesat dan yang lurus, maka ia percaya Cian Coe Ciat hoe cioe ini ialah pelajaran sesat, bahwa ibunya Coe Jie mungkin seorang sebangsa siluman.

   Karena ini, tanpa berasa, ia menjadi rada jeri terhadap si nona Coe Jie tak mendapat tahu apa yang orang pikir, ia berlari lari keluar dan kedalam, mondar mandir, memetik berbagai macam bunga, maka dilain saat gubuk mereka telah terpajang rapih, menarik hati untuk dipandang.

   "Coe Jie"

   Kata Boe Kie.

   "Setelah sakit kakiku sembuh, aku nanti pergi mencari daun obat obatan untuk mengobati bengkak mukamu yang beracun itu.."

   Mendengar itu, si nona nampaknya ketakutan. "Tidak, tidak!"

   Katanya "Aku telah menyiksa diri sekian lama, baru kuperoleh kepandaian seperti ini! apakah kau hendak memusnahkan kepandaianku?"

   "Bukan!"

   Katanya cepat.

   "Mungkin kita dapat memikir semacam obat. Memakai mana kepandaianmu boleh tak usah lenyap, asal keracunan di muka saja yang hilang tak berbekas". "Tidak dapat!"

   Si nona berkata pula.

   "Bila ada semacam obat atau cara, mustahil ibuku tak mendapat tahu? Kepandaian ini adalah kepandaian turunan. Kupikir, yang bisa berbuat itu mungkin Cuma Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe yang lihay ilmu pengobatannya, hanya sayang banyak tahun dia telah meninggal dunia". "Kau kenal Ouw Ceng Goe?"

   Tanya Boe Kie. Coe Jie mementang matanya, ia kelihatannya heran. "Apa?"

   Katanya.

   "Adakah aneh untuk mengetahui dia? Nama Tiap Kok Ie Sian toh memenuhi seluruh negara! Siapakah yang tidak tahu?"

   Ia menghela nafas, dan ia berkata pula.

   "Taruh kata dia masih hidup, apakah gunanya itu? Dialah yang dijuluki Melihat kematian tak menolong!"

   Boe Kie tidak membilang apa apa, akan tetapi didalam hatinya, ia berkata "Nona ini sangat baik terhadapku, mesti aku balas kebaikkannya ini.

   dia tidak tahu semua kepandaiannya Tiap kok iIe sian telah diwariskan kepadaku.

   Baiklah, sekarang aku jangan membilang apa2 padanya, hanya dibelakang hari nanti, aku dayakan untuk mengobati mukanya ini, supaya dia kaget dan girang!".

   Selama itu, langit sudah gelap, maka keduanya lantas rebah bersandar di batu gunung untuk tidur.

   Boe Kie dapat pulas, hanya tengah malam, ia mendusin dengan tiba tiba, telinganya mendengar tagisan isak2 tertahan.

   Ketika ia membuka matanya, kawannya lagi menangis sedih.

   Ia mengulur tangannya meraba pundak nona itu, menepuk dua kali.

   "Jangan nangis, Coe Jie"

   Ia menghibur.

   "Jangan bersusah hati."

   Tapi justru karena ditegur, Coe Jie tidak dapat menahan lagi kedukaannya. Dengan menyenderkan kepalanya dipundak orang ia menangis mengerung2. "Kau kenapa Coe Jie?"

   Boe Kie tanya perlahan.

   "Ada apa? Apakah kau ingat ibumu? Benarkah?"

   Coe Jie menggangguk perlahan. "Ibu telah menutup mata."

   Katanya.

   "Aku jadi sebatang kara. Siapa juga tidak menyukai aku.., siapa juga tidak mau baik denganku"

   Boe Kie menggunakan tangan bajunya untuk mengelap air mata nona itu. "Aku menyukai kau, aku dapat berlaku baik terhadapmu,"

   Sahut Coe Jie.

   "Orang yang kucintai tidak perdulikan aku, ia memukul aku, iapun mau menggigit aku.."

   "Lupakan laki2 tidak berbudi itu,"

   Kata Boe Kie "Aku akan menikah dengan kau, seumurku nanti akan perlakukan kau dengan baik."

   "Tidak! Tidak!"

   Coe Jie berseru.

   "Tidak dapat aku melupakan dia! Jikalau lagi sekali kau menganjurkan aku melupakan dia, untuk selamanya aku tidak akan peduli padamu!". Boe Kie heran, malu dan jengah. Syukur cuaca gelap, jika tidak, akan terlihat mukanya yang merah. Keduanya berdiam. "A Goe koko, apakah kau gusar padaku?"

   Kemudian nona itu bertanya. "Aku tidak gusar, aku hanya menyesalkan diriku sendiri."

   Jawabnya.

   "Tidak selayaknya aku bicara seperti barusan padamu". "Tidak, tidak demikian. Kau bilang kau suka menikah denganku, bahwa seumurmu kau hendak perlakukan baik padaku. Senang aku mendengar kata2mu itu. Coba kau mengulangi sekali lagi."

   Tapi Boe Kie menjadi tidak senang. "Kau tidak dapat melupakan orangmu itu perlu apa aku bicara lagi?"

   Katanya. Coe Jie mencekal tangannya Boe Kie dan berkata dengan suara lemah lembut.

   "A goe koko, jangan kau gusar. Aku mengku bersalah. Kalau kau benar2 menikah denganku, kubisa membutakan kedua matamu dan mungkin juga, aku akan mengambil jiwamu". Boe Kie kaget.

   "Apa kau kata?"

   Ia menegas.

   "Sesudah kedua matamu buta, kau tak akan bisa melihat lagi romanku yang jelek"

   Katanya perlahan "Kau tak akan bisa lagi memandang lagi wajah nona Cioe dari Goe Bie pay yang cantik manis. Andaikata, sesudah buta, kau masih juga belum dapat melupakan dia. Aku akan membinasakan kau dan kemudian mengambil jiwa sendiri."

   Ia memberi jawaban yang hebat itu dengan suara tenang2 saja, seolah2 apa yang dikatakannya adalah hal yang wajar. Waktu mendengar "nona Cioe dari Goe Bie pay"

   Jantung Boe Kie memukul terlebih keras. Mendadak, baru saja Coe Jie selesai bicara di kejauhan terdengar suara seorang tua. "Nona Cioe dari Goe Bie pay mempunyai hubungan apakah dengan kamu berdua?"

   Coe Jie melompat bangun.

   "Biat Coat Soe thay!"

   Bisiknya. Tapi, biarpun ia hanya berbisik, perkataannya sudah didengar oleh orang itu yang lantas saja menjawab.

   "Benar, Biat Coat Soe thay"

   Waktu orang itu berbicara pertama kali, ia masih berada jauh tapi waktu bicara kedua kali, ia sudah berada disamping gubuk.

   Coe Jie mengenal bahaya.

   Ia sebenarnya ingin kabur dengan mendukung Boe Kie, tapi sudah tidak keburu lagi.

   Sesaat kemudian, orang itu membentak dengan suara dingin.

   "Keluar! Apa kamu mau bersembunyi seumur hidup?"

   Sambil memapah dan menyekel tangan Boe Kie, Coe Jie menyingkap tirai rumput dari gubuknya dan bertindak keluar.

   Dalam jarak kira2 setombak dari gubuknya, berdiri seorang pendeta tua yang rambutnya putih dan ia itu memang bukan lain daripada Ciang boen jin Goe bie pay Biat coat Soethay.

   Dari sebelah kejauhan mendatangi dua belas orang yang kemudian berdiri berjejer di kedua samping pendeta wanita itu.

   Mereka itu adalah murid2 Goe bie pay empat nie kouw (pendeta wanita) empat orang wanita biasa dan empat laki2 yang berdiri di barisan belakang dan diantaranya mereka terdapat Teng Bin Koen dan Cioe Cie Jiak.

   Dalam kalangan Goe bie pay selama beberapa turunan, yang memegang tampuk pimpinan selalu wanita dan murid lelaki tidak pernah diberikan pelajaran ilmu silat yang paling tinggi, sehingga oleh karenanya, kedudukan murid lelaki lebih rendah daripada murid wanita.

   Dengan sorot mata dingin, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Biat Coat Soethay mengawasi Coe Jie.

   Mengingat kebinasaan Kie Siauw Hoe, Boe Kie sangat berkuatir.

   Sambil menyandarkan diri di punggung Coe Jie, diam2 dia mengambil keputusan, bahwa jika si pendeta wanita menyerang, mestipun mesti binasa, ia akan mengadu jiwa.

   Beberapa saat kemudian, seraya mengeluarkan suara di hidung, Biat Coat mengenok ke arah Tian Bin Koen dan bertanya "Apa budak kecil itu?"

   "Benar!"

   Jawabnya. Tiba2.

   "Krak!....krak!...."

   Coe Jie mengeluarkan suara kesakitan, tulang kedua pergelangan tangannya patah, dan ia rebah dalam keadaan pingsan.

   Boe Kie sendiri terpaku dan ternganga.

   Ia hanya melihat berkelebatnya bayangan warna abu2 dan Coe Jie sudah terguling.

   Dengan kecepatan luar biasa ia menyerang, dan dengan kecepatan luar biasa pula, ia balik ke tempatnya yang semula, dimana ia kembali berdiri tegak bagaikan satu pohon tua di tengah malam yang sunyi itu.

   Gerakan yang secepat itu sudah mrengaburkan mata Boe Kie yang jadi terkesima dan hanya bisa mengawasi tanpa berdaya.

   Sesudah memperlihatkan kepandaiannya, denga sorot mata bengis Biat Coat mengawasi Boe Kie.

   "Pergi!"

   Bentaknya. Cioe Ci Jiak maju setindak dan berkata seraya membungkuk.

   "Soehoe ia tidak dapat berjalan, mungkin kedua tulang betisnya patah."

   "Buatlah dua buah soat kio untuk membawa mereka", memerintah sang guru (Soat kio semacam kereta salju tidak beroda). Murid2 itu mengiakan dan kecuali Teng Bin Koen yang belum sembuh dari lukanya, mereka segera melakukan apa yang diperintah. Sesudah selesai, dua orang murid wanita lalu mengangkat Coe Jie dan lalu menaruhnya di kereta yang satu, sedang dua orang murid pria menaruh Boe Kie di kereta yang lain. Sambil menyeret kedua kereta itu, mereka mengikuti Biat Coat ke arah barat. Dengan penuh kekuatiran, Boe Kie memasang kuping untuk mendengari gerak gerik Coe Jie. Sesudah melalui belasan li, barulah ia mendengar rintihan si nona.

   "Coe Jie bagaimana keadaanmu?"

   Tanyanya dengan suara nyaring. "Apakah kau mendapat luka didalam?". "Dia mematahkan pergelangan tanganku. Tapi aku tidak mendapat luka di dalam"

   Jawabnya. "Bagus"

   Kata Boe Kie.

   "Gunakanlah sikut kiri untuk membentur lengan kananmu, tiga coen lima hoen dibawah tekukan lengan. Sesudah itu, gunakanlah skut kananmu untuk membentur lengan kiri, tiga coen lima hoen dibawah tekukan lengan. Dengan berbuat begitu, rasa sakit akan berkurang". "Sebelum Coe Jie menjawab, Biat Coat sudah mengeluarkan suara "Ih!"

   Dan mengawasi Boe Kie dengan mata mendelik "Bocah! Kau mengerti ilmu ketabiban."

   Katanya "Siapa namamu?"

   "Aku she Can, namaku A Goe"

   Jawabnya. "Siapa gurumu?"

   Tanya pula si nenek. "Guruku adalah tabib kampungan"

   Menerangkan si Boe Kie.

   "Biarpun kuberitahukan namanya, Soethay pasti takkan mengenal namanya". Biat Coat mengeluarkan suara di hidung dan tidak mendesak lagi. Sampai fajar menyingsing barulah rombongan itu mengaso dan makan makanan kering, Cioe Jiak membawa beberapa bakpauw dan memberikannya kepada Boe Kie serta Coe Jie. Melihat Boe Kie yang sesudah di cukur, barulah menjadi pemuda tampan, diam2 ia merasa heran dan kagum. Sesudah mengaso kurang lebih dua jam, mereka meneruskan perjalanan ke arah barat. Sesudah berjalan tiga hari, Boe Kie menarik kesimpulan, bahwa dalam perjalanan itu, rombongan Goe Bie Pay mempnyai tugas yang sangat penting. Baik waktu berjalan, maupun waktu mengaso, kecuali sangat perlu semua orang menutup mulut rapat2. seolah2 mereka manusia gagu. Tapi tugas apakah yang mau ditunaikan mereka? Boe Kie tak dapat menjawab. Selama beberapa hari itu tulang betis Boe Kie yang patah sudah bersambung pula seperti sedia kala dan ia sebenarnya sudah dapat berjalan lagi. Tapi ia saja tidak memperlihatkan kesembuhannya itu, malah ia sering merintih untuk mengelabui Biat Coat. Ia ingin menunggu kesempatan baik untuk kabur bersama2 Coe Jie. Kesempatan itu belum datang, sebab mereka masih berjalan di tanah datar. Sehingga kalau kabur belum jauh ia tentu sudah dibekuk lagi. Maka itu, ia bersabar terus. Pada waktu mengaso ia mengobati luka Coe Jie dan Biat Coatpun tidak menghalang-halanginya. Sesudah selang dua hari lagipada suatu lohor, rombong Biat Coat tiba di gurun pasir. Selagi enak berjalan, sekonyong2 terdengar suara tindakan kuda yang mendatangi dari sebelah barat. Biat Coat segera memberi perintah dengan gerakan tangan dan semua murid lalu menyembunyikan diri di belakang bukit pasir. Dua diantaranya menghunus pedang pendek dan mengarahkan ujungnya ke arah punggung Boe Kie dan Coe Jie . sudah terang mereka mau menyerang musuh dan kalau dua tawanan berani berteriak, kedua pedang pendek itu pasti digunakan. Tak lama kemudian, kuda2 itu sudah mendekati. Melihat tapak2 kaki, para penunggang kuda menahan tunggangannya. Tiba2 Ceng she Soethay mengangkat hud im (kebutan yang dapat digunakan sebagai senjata) dan dengan serentak sebelas murid Goe Bie pay melompat keluar dari belakang bukit pasir. Boe Kie mengawasi dan melihat empat penunggang kuda yang semuanya mengenakan jubah warna putih. Sambil membentak keras; keempat orang itu lalu mencabut senjata dan pertempuran lantas saja terjadi. "Semua siluman dari Mo Kauw! Satupun tak boleh di kasih lolos!"

   Teriak Ceng she.

   Walaupun dikepung musuh yang berjumlah lebih besar, keempat orang itu melawan dengan gagahnya.

   Tapi kedua belas murid Goe Bie pay yang kali ini mengikut Biat Coat ke See hek adalah murid2 pilihan.

   Baru bertempur tujuh delapan jurus, tiga anggota Mo kouw sudah roboh dari tunggangannya, sedang yang keempat, sesudah melukai seorang murid Goe Bie, coba melarikan diri.

   Tapi baru saja kabur beberapa tombak, ia telah kena dicandak Ceng hian.

   "Turun kau!"

   Bentak si nie kouw seraya mengebut betis kiri orang itudengan hudtimnya.

   Dia coba menangkis dengan goloknya.

   Bagaikan kilat Ceng hian mengubah pukulannya dan mengebut kepala musuh.

   Pukulan yang hebat itu hampir tepat pada sasarannya dan orang itu terguling dari kudanya.

   Tapi orang itu a lot dan nekat.

   Dalam keadaan terluka berat, ia masih bisa balas menyerang dengan tujuan untuk mati bersama2 musuhnya.

   Sambil mementang kedua tangannya ia menubruk.

   Untung saja Ceng hian keburu berkelit dan mengebut dadanya.

   Pada saat itulah, tiga ekor merpati putih terbang dari sangkarnya yang tergantung di leher kuda.

   "Jangan main gila!"

   Bentak Ceng Hian seraya mengibas lengan jubahnya dan tiga butir thie lian coe (biji teratai besi) menyambar kearah tiga burung itu.

   Dua diantaranya jatuh, tapi yang satu dapat terbang terus sebab si jubah putih berhasil memukul sebutir thie lian coe dengan busur besinya.

   
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Semua murid Goe bie menimpuk dengan senjata rahasia mereka, tapi burung itu sudah terbang jauh.

   Ceng Hie mengibas tangan kirinya dan empat murid lelaki lalu menyeret keempat musuh yang roboh itu, tapi kemudian berdiri tegak di hadapan kakak seperguruannya.

   Selama pertempuran, Biat Coat hanya mengawasi sebagai penonton, iapun tak bergerak waktu murid2nya menimpuk burung dengan senjata rahasia.

   "Terhadap Coe jie dia turun tangan sendiri, suatu tanda bahwa ia memandang tinggi terhadap Coe Jie", kata Boe Kie didalam hati. Mungkin sekali karena patahnya tulang pergelangan tangan Teng Bin Koen. Kalau mau, dengan mudah ia akan bisa membinasakan merpati yang ketiga, mengapa dia diam saja?". Mana waktu itu Ceng hie, Ceng Hian dan murid2 utama lainnya sudah mendapat nama besar dalam rimba persilatan. Satu saja sudah cukup untuk menghadapi gelombang besar. Maka itulah dalam menghadapi beberapa murid Mo kouw, Biat Coat tidak perlu turun tangan sendiri. Bahwa Ceng hie dan Ceng hien sudah turun ke dalam gelanggang, pada hakekatnya berarti memandang tinggi kepada beberapa musuh itu. Sementara itu, seorang murid wanita sudah menjemput kedua bangkai merpati itu dan mencopot sebuah bumbung kecil yang melekat pada kaki seekor burung. Ia mengeluarkan segulung kertas dari bumbung dan menyerahkannya kepada Ceng hie yang lalu membuka dan membacanya.

   "Soehoe", kata Ceng hie.

   "Mo kauw sudah tahu rencana untuk mengepung dan membasmi Kong ben teng, surat ini adalah untuk meminta bantuan dari Peh bie kauw."

   Sebahis berkata begitu, ia membaca lagi surat yang satunya.

   "Isinya sama jua"

   Katanya.

   "Sungguh sayang yang seekor dapat mloloskan diri."

   "Sayang apa?"

   Kata sang guru dengan suara dingin. "Makin banyak mereka berkumpul, makin baik lagi. Tak usah berabe mencari cari mereka di berbagai tempat". Mendengar disebutkannya nama "Peh bie kauw"

   Boe Kie terkejut.

   "Kouw coe Peh bie kauw adalah kakek luarku."

   Pikirnya.

   "Hm!....Sombong sungguh nenek bangkotan itu belum tentu ia dapat melawan gwakong."

   Semula ia menunggu2 kesempatan untuk kabur bersama2 Coe Jie. Tapi sekarang ia membatalkan niatnya itu sebab ingin menyaksikan keramaian yang bakal terjadi. "Siapa lagi yang diundang kamu?"

   Ceng hie bertanya kepada keempat tawanannya dengan suara bengis. "Mengapa kamu tahu, bahwa enam partai akan membasmi Mo Kauw?"

   Sekonyong2 keempat orang itu tertawa terbahak2 dengan muka menyeramkan. Sehabis tertawa, dia roboh serentak dan tidak berkutik lagi. Semua murid Goe bie terkejut, dua diantaranya membungkuk untuk menyelidiki.

   "Soe cie!"

   Teriak mereka.

   "Semua mati!". Sambil mengawasi muka keempat mayat itu, Ceng hian berkata dengan nada gusar.

   "Mereka makan racun. Racun itu sangat hebat". "Geledah badannya!"

   Memerintah Ceng hie. Empat murid lelaki segera membungkuk dan menggerakkan tangan untuk merogoh saku mayat. "Hati hati!"

   Kata Coe Cie Jiak.

   "Didalam saku mungkin tersembunyi benda beracun". Keempat lelaki itu terkejut. Mereka segera merobek saku mayat2 dengan menggunakan golok dan benar saja, dalam setiap saku terdapat seekor ular kecil yang sangat beracun. Tanpa peringatan nona Cioe, mereka tentu sudah binasa. "Hari ini untuk pertama kali kamu berurusan dengan orang2 agama siluman"

   Kata Biat Coat dengan suara dingin.

   "Mereka berempat hanyalah orang2 yang tidak ternama tapi sudah begitu beracun. Kalau bertemu dengan jago2 Mo kauw apakah kamu masih bisa pulang ke Go bie dengan masih bernafas?"

   Ia mengeluarkan suara di hidung dan berkata pula "Ceng hie kau sudah cukup tua, tapi kau masih tetap sembrono.

   Kau masih kalah dari Cioe Jiak".

   Paras muka murid itu berubah merah dan ia membungkuk untuk menerima teguran sang guru.

   Malam itu mereka bermalam di gurun pasir dengan menyalakan sebuah perapian yang cukup besar.

   Dengan bergilir mereka membuat penjagaan karena mereka tahu, bahwa daerah itu adalah tempat keluar masuknya orang2 Mo kauw.

   Kira2 tengah malam dari kejauhan tiba2 terdengar keleneng unta yang mendatangi ke arah mereka.

   semua orang tersadar dan bersiap sedia.

   Suara keleneng itu semula mendatangi dari arah barat daya, tapi sesaat kemudian suaranya berpindah ke barat laut.

   Beberapa saat kemudian, sura itu muncul di sebelah timur laut.

   Semua murid Goe bie heran tak kepalang.

   Bagaimana bisa begitu? Biar bagaimanapun jua, seekor unta takkan bisa lari secepat itu, sebentar ke barat, sebentar ke timur dan sebagainya.

   Suara keleneng makin nyaring, suatu tanda unta itu sudah mendekati.

   Mendadak suara itu terdengar gencar sekali, seperti juga binatang itu kabur dengan kecepatan luar biasa.

   Orang2 Goe bie yang baru pernah menjelajah lautan pasir, jadi bingung dan berkuatir.

   "Sahabat! Perlihatkan dirimu!"

   Teriak Biat Coat.

   "Permainan gilamu bukan perbuatan seorang berilmu."

   Suara yang disertai Lweekang itu menempuh jarak beberapa li dan benar saja, sesudah si nenek berteriak suara keleneng tidak terdengar lagi.

   Sampai pagi tidak terjadi sesuatu yang luar biasa.

   Malamnya kira2 tengah malam, suara keleneng terdengar pula, sebentar jauh sebentar dekat, sebentar disana, sebentar di sini.

   Biat coat berteriak lagi.

   Tapi kali ini teriakannya tidak mempan lagi.

   Suara keleneng tidak menghiraukannya.

   Selang beberapa lama, sesudah puas mengganggu, suara itu menghilang dengan tiba2.

   Boe Kie dan Coe Jie saling mengawasi sambil tersenyum.

   Biarpun tak dapat memecahkan keanehan suara itu, mereka tahu, bahwa itu semua adalah perbuatan orang pentolan Mo kauw.

   Bahwa orang2 Goe bie jadi kebingungan sangat menyenangkan hati mereka.

   Dengan rasa mendongkol Biat Coat mengibaskan diri untuk mengaso.

   Tak lama kemudian suara keleneng terdengar lagi, tapi orang2 Goe bie tidak memperdulikannya.

   Selang beberapa lama suara itu menuju ke utara dan lalu menghilang.

   Si unta rupanya tahu, bahwa gangguannya tidak digubris lagi.

   Pada keesokan paginya semua orang berkemas untuk berangkat.

   Sekonyong2 Boe Kie dan Coe Jie mengeluarkan suara tertahan sebab didekat mereka kelihatan berbaring seorang tak dikenal yang sedang menggeras.

   Tubuh orang itu, dari kepala sampai di kaki, tertutup dengan selimut seolah2 sesosok mayat.

   Semua murid Goe bie terkesinap.

   Guru mereka memiliki kepandaian yang sangat tinggi.

   Setiap desiran angin, bahkan jatuhnya selembar daun, tak akan lolos dari pendengarannya.

   Mana bisa seorang manusia menyatroni tanpa diketahui? Dilain saat, dua murid Goe bie sudah menghunus pedang dan mendekati orang itu.

   "Siapa kau?"

   Bentaknya.

   Tapi orang itu terus mendekur.

   Dengan ujung pedang, salah seorang menyontek selimut dan yang sedang tidur pulas ternyata seorang pria yang menggenakan jubah panjang.

   Ceng hie mengerti, bahwa seorang yang mempunyai nyali begitu besar tentulah bukan sembarangan orang.

   Ia maju setindak dan bertanya "Siapa tuan? Perlu apa tuan datang kesini?"

   Tapi ia tetap tak memperdulikan suara menggarosnya semakin keras. Melihat lagak orang itu yang dianggap sangat kurang ajar, Ceng hian naik darahnya. Dengan gusar ia mengangkat hudtim dan menghantam pinggangnya. "Hurrrrr"

   Semua orang terkesinap dan mendongak ke atas. Apa yang sudah terjadi? Entah bagaimana, hudtim Ceng hian suthay terbang keatas, terbang lurus sampai tingginya belasan tombak. Tiba2 terdengar teriakan Biat Coat.

   "Ceng hian, awas!" Hampir berbareng dengan teriakan itu, tubuh si jubah panjang sudah melesat beberapa tombak jauhnya dan apa yang hebat, Ceng hian telah tertawan! Sambil mendukung tawanannya, lelaki itu lari bagaikan terbang. Ceng hie dan seorang saudari seperguruannya yang bernama Souw Bong Ceng, segera menghunus senjata dan terus mengubar. Tapi gerakan orang itu cepat luar biasa dan dalam sekejap, dia sudah lari jauh. Seraya mengeluarkan siulan nyaring, Biat coat turut mengubar sambil mencekal Ie Thian Kiam. Kepandaian Ciang boenjin dari Goe bie pay tentu saja lain dari pada yang lain. Dalam beberapa saat saja, Biat coat sudah melewati kedua muridnya dan dilain detik, sinar hijau dari Ie hian kiam menyambar punggung si jubah panjang. Tapi orang itu mempunyai kegesitan yang menakjubkan. Bagaikan kilat, ia berhasil menyelamatkan diri dari tikaman yang dahsyat itu. Biarpun sedang mendukung Ceng hian, kecepatan lari si jubah panjang ternyata tidak kalah dari pengejarnya. Bukan saja begitu, ia bahkan juga seakan2 seperti mau memperlihatkan kepandaiannya, karena sebaliknya daripada kabur terus, ia lari berputaran, memutari murid2 Go bie pay yang menonton dengan mulut ternganga. Beberpa kali Biat coat menikam, tetapi tikamannya selalu jatuh di temapt kosong. Sesudah main udak2an, barulah hudtim Ceng hian jatuh ke tanah. Sesaat itu, Ceng hie dan Souw Bong Ceng sudah berhenti mengubar dan bersama saudari saudara seperguruannya, mereka mengawasi ubar2an itu sambil menahan nafas. Kedua tokoh itu berlari2 bagaikan terbang dengan menggunakan ilmu ringan badan. Betapa tinggi ilmu mereka dapat membayangkan dengan melihat kenyataan, bahwa debu dan pasir tidak beterbangan akibat injakan kaki mereka. dengan hati berdebar2 murid2 Go bie mengawasi Ceng hian yang dibawa lari tanpa berkutik. Semua orang tahu, bahwa kakak seperguruan itu berkepandaian tinggi dan sudah mewarisi sebagian besar ilmu guru mereka. Cara bagaimana ia bisa dibekuk secara begitu mudah dan sudah ditawan, sedikitpun tidak berdaya lagi? Sebenarnya mereka ingin sekali mencegat musuh yang tengah diubar itu. Tapi mereka tidak berani berbuat begitu, karena kuatir digusari sang guru, sebab bantuan tersebut berarti merosotnya nama besar Biat coat suthay. Maka itulah mereka hanya menonton dengan mata terbelalak. Dalam sekejap si jubah panjang dan Biat coat sudah membuat tiga putaran. Meskipun si nenek sudah mengeluarkan seantero kepandaiannya, ia tetap tidak dapat menyusul musuh. Jarak antara mereka tidak berubah. Biat Coat masih ketinggalan beberapa kaki di belakang si jubah panjang. Dengan mengingat, bahwa orang itu berlari2 sambil mendukung Ceng hian yang beratnya kira2 seratus kati, maka dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa dalam ilmu ringan badan, ia lebih unggul setingkat daripada si nenek kouw tua. Sesudah menonton beberapa lama, Boe Kie menarik ujung baju Cio Jie seraya berbisik "Mari kita kabur". "Tidak, keramaian ini tidak bisa tidak ditonton sampai habis"

   Jawab si nona.

   Pada waktu mereka lari pada putaran keempat, orang itu tiba2 memutar badan dan melemparkan Ceng hian kearah gurunya.

   Karena merasa sambaran angin yang sangat dahsyat, buru2 Biat coat menghentikan tindakannya dan mengarahkan tenaga Cian kin (Tenaga seribu kati).

   Akan kemudian, sambil mengarahkan Lweekang, ia menyambuti tubuh muridnya.

   Orang itu tertawa terbahak2.

   "Enam partai besar mau mengepung dan membasmi Kong beng teng!"

   Katanya "Ha..hahaMungkin tak begitu gampang!"

   Sehabis berkata begitu, lari ke jurusan utara.

   Waktu ubar2an debu dan pasir sama sekali tak bergerak.

   Tapi sekarang, di jalanan yang dilaluinya pasir kuning mengepul ke atas, seolah2 seekor naga kuning yang menutupi bayangnya.

   Semua murid Goe bie segera menghampiri dan berdiri di sekitar guru mereka.

   Paras muka Biat Coat merah padam.

   Ia berdiri tegak sambil mendukung Ceng hian tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

   "Ceng hian Soecie!...."

   Mendadak Souw Bong Ceng berseru. Ternyata Ceng hian sudah tak bernyawa lagi, mukanya kuning dan pada tenggorokannya terdapat luka. Semua murid wanita lantas saja menangis keras. "Nangis apa?"

   Bentak sang guru.

   "Kubur dia!"

   Semua orang segera berhenti menangis dan lalu mengubur jenasah Ceng Hian. Sesudah penguburan selesai, sambil membungkuk Ceng Hie berkata.

   "Soehoe, siapa manusia siluman itu? Kami harus mengenal dia untuk membalas sakit hatinya Ceng Hian Soemoay."

   "Kalau tak salah, dia adalah Ceng Ek Hok Ong, yaitu salah seorang raja (Ong) dari Mo Kauw,"

   Jawabnya dengan suara dingin.

   "Sudah lama kudengar, bahwa ilmu ringan badan orang itu tiada bandingannya di dunia. Nama besarnya ternyata bukan omong kosong. Kepandaiannya banyak lebih tinggi daripada aku." (Ceng Ek Hok Ong raja kelelawar bersayap hijau) Semenjak menyaksikan kekejaman Hiat Coat Soethay, Boe Kie membenci nikouw tua itu. Tapi sekarang ia merasa kagum dan mengakui, bahwa ia masih kalah jauh dari si nenek. Dalam menghadapi kecelakaan, nenek itu masih bisa berlaku begitu tenang dan masih bisa memuji kepandaian musuhnya. Sikap itu adalah sesuai dengan kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi dari sebuah partai persilatan yang besar. "Hm!... dia sama sekali tak berani beradu tangan dengan Soehoe dan terus lari ngiprit,"

   Kata Tang Bin Kun dengan suara marah yang dibuat-buat.

   "Enghiong apa dia?" (Enghiong orang gagah) Sang guru mengeluarkan suara di hidung. Mendadak tangannya melayang dan menggaplok mulut si perempuan she Teng. "Aku tak dapat menyusul dia dan tak dapat menolong jiwa Ceng Hian,"

   Kata Biat Coat.

   "Dialah yang menang. Siapa menang siapa kalah semuanya orang tahu. Nama enghiong diberikan oleh orang lain. Apakah kita bisa memberi julukan Enghiong pada diri sendiri?"

   Selembar muka Teng Bun kemerah-merahan, bahana malunya. Ia membungkuk seraya berkata.

   "Murid salah, murid tahu kesalahan sendiri."

   "Soehoe, siapa itu Ceng Ek Hok Ong?"

   Tanya Ceng Hie. "Bolehkah Soehoe memberi penjelasan kepada kami?"

   Biat coat tak menjawab.

   Ia mengibaskan tangannya sebagai perintah supaya rombongannya meneruskan perjalanan.

   Sesudah toasuci mereka membentur tembok, murid-murid yang lain tentu saja tak berani banyak bicara.

   Mereka segera berjalan dengan hati duka.

   Malam itu mereka menginap di samping sebuah bukit pasir dan membuat sebuah perapian yang besar.

   Bagaikan patung, Biat Coat mengawasi tumpukan api yang berkobar- kobar.

   Boe Kie mengerti bahwa nenek itu bersusah hati.

   Go Bie Pay adalah sebuah partai persilatan yang namanya tersohor di kolong langit.

   Kali ini dengan membawa jago- jago partai tersebut Biat coat menjelajahi wilayah barat (See Ek).

   Tapi sebelum bertempur, salah seorang muridnya yang berkepandaian tinggi sudah mesti mengorbankan jiwa.

   Bukankah kejadian itu menyedihkan dan memalukan? Melihat guru mereka belum tidur, semua murid juga tidak berani tidur.

   Kurang lebih mereka satu jam tanpa mengeluarkan sepatah kata.

   Tiba-tiba Biat Coat mendorong dengan kedua tangannya dan "Bttt "

   Api yang berkobar-kobar itu menjadi padam. Boe Kie terkejut. "Tenaga dalam Loo Nie itu sungguh hebat,"

   Pikirnya.

   Mereka sekarang berada dalam kegelapan, tapi tak satupun berani bergerak.

   Gurun pasir itu sunyi bagaikan kuburan, sedang sinar rembulan yang remang-remang memberikan pemandangan yang mendukakan hati.

   Melihat keadaan begitu, dalam hati Boe Kie muncul rasa kasihan.

   "Apakah Go Bie Pay akan hancur namanya di wilayah barat?"

   Tanyanya dalam hati. "Apakah rombongan jago-jago ini akan terbasmi musnah seanteronya?"

   Mendadak Biat coat membentak.

   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Padamlah api siluman! Musnahlah api iblis!"

   Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula dengan suara perlahan.

   "Mo Kauw (agama iblis) memandang api sebagai nabi dan memuja api sebagai malaikat sesudah Yo Po Thian, Beng Coen Kauwcoe atau pemimpin agama meninggal dunia. Mo Kauw tak mempunyai lagi Kauw Coe. Kedua Kong Beng Soe Cia, keempat Hoe Kauw Hoat Ong dan kelima Ciang Kie Soe yaitu Kin Bok Soei Hwee dan Touw semua ingin merebut kedudukan pemimpin dan mereka jadi bermusuhan saling membunuh. Oleh karena adanya kejadian itu, Mo Kauw jadi lemah. Mungkin memang sudah ditakdirkan, bahwa partai yang lurus bersih akan menjadi makmur sedang kaum siluman dan kaum sesat akan musnah. Kalau di dalam Mo Kauw tidak terjadi perpecahan tak gampang orang bisa menggempurnya. (Beng Coen Kauwcoe pemimpin agama, Kong Beng Soe Cia utusan terang benderang, Hoa Kauw Hoat Ong Raja Pelindung Agama, Ciang Kie Soe utusan yang memegang bendera, bendera itu berjumlah lima, yaitu Kim, Bok, Soei, Hwe, dan Touw. Nama-nama itu adalah pangkat-pangkat dalam Beng Kauw atau agama terang. Orang-orang luar .. Semenjak Boe Kie . Maka setiap kali ia menanyakan kedua orang tuanya selalu mengaget dan memperlihatkan rasa tidak senang. Ayah angkatnya pun tidak memberi keterangan. Maka itu sampai sekarang ia masih belum tahu apa sebenarnya Mo Kauw. Waktu ia mengikuti Thay Soehoe Thio Sam Hong, orang itu juga sangat membenci Mo Kauw. Saban-saban nama "agama"

   Itu disebutkannya si kakek selalu memberi nasihat dan peringatan keras bahwa ia tidak boleh dekat-dekat dengan orang Mo Kauw.

   Belakang ia bertemu dengan Ouw Ceng Goe, Ong Lan Kouw, Siang Gie Coen, Cie Tat, Coe Goan Ciang dan yang lain dan mereka itu adalah anggota- anggota Mo Kauw.

   Ia mendapat kenyataan, bahwa mereka oleh karenanya mau tidak mau ia harus menarik kesimpulan, bahwa lagak lagu orang-orang itu agak aneh dan sukar dimengerti oleh orang luar.

   Sekarang, demi mendengar peraturan Biat Coat semangatnya lantas saja terbangun dan dia segera memasang kuping dengan sepenuh perhatian.

   Biat Coat meneruskan penuturannya.

   "Dari satu ke lain keturunan, seorang Beng Coen Kauwcoe memegang serupa benda yang merupakan semacam tanda kekuasaan. Benda itu dinamakan Seng Hwee Leng (tanda kekuasaan Api Nabi). Tapi pada waktu Kauw Coe turun ke tigapuluh satu memegang pimpinan, entah bagaimana Seng Hwee Leng itu hilang. Maka itu Kauw Coe-Kauw Coe yang belakangan sudah tak punya tanda kekuasaan , walaupun ia memiliki kekuasaan sebagai pimpinan tertinggi. Yo Po Thian mati mendadak, entah diracuni, entah dibunuh orang. Tak seorangpun yang tahu jelas. Dalam kalangan Mo kauw lantas saja terjadi kekalutan. Sebab mati mendadak, Yo Po Thian tidak menunjuk ahli warisnya. Dalam Mo Kauw terdapat banyak sekali orang pandai, sehingga yang pantas menjadi Kauw Coe, sedikitnya ada lima atau., namanya Wi It Siauw bergelar Ceng Ek Hong Ong."

   Murid-murid Go Bie saling mengawasi.

   Nama Ceng Ek Hok Ong Wi It Siauw belum pernah didengar mereka.

   Sesudah berdiam sejenak, Biat Coat berkata pula orang itu belum pernah datang ke Tionggoan.

   Sepak terjang orang-orang Mo Kauw aneh dan sembunyi-sembunyi sehingga walaupun kepandaiannya sangat tinggi, namanya tidak dikenal di daerah Tionggoan.

   Tapi Peh Bie Eng Ong In Tian Ceng dan Kim Mo Say Ong Cia Soen sudah dikenal kamu, bukan?"

   Boe Kie terkejut sedang Cu Ji mengeluarkan seruan tertahan. Biat Coat melirik mereka dengan sorot mata tajam. "Soehoe apakah kedua orang itu anggota Mo Kauw?"

   Tanya Ceng Hie dengan suara heran.

   "Keempat raja (ong) dari Mo Kauw adalah Cie, Peh, Kim dan Ceng (Ungu, putih, kuning emas, dan hijau) menerangkan sang guru.

   Peh Bie seorang raja dan Ceng Ek pun seorang raja.

   Ceng Ek berkedudukan paling rendah, tapi kepandaiannya sudah disaksikan.

   Maka itu betapa tinggi kepandaian Peh Bie dan Kim Mo dapatlah ditaksir- taksir.

   Karena sakit hati, Kim Mo Say Ong jadi seperti orang gila dan melakukan perbuatan-perbuatan durhaka.

   Pada dua puluh tahun berselang, dengan mendadak ia membunuh orang tidak berdosa.

   Sekarang orang tidak tahu kemana dia pergi dan menjadi sebuah teka-teki dalam rimba persilatan.

   Mengenai In Thian Ceng, sesudah gagal dalam merebut pimpinan dalam Mo Kauw, dalam gusarnya ia mendirikan Peh Bie Kauw.

   Dia sakit penyakit ingin menjadi pemimpin agama.

   Semula kita menduga bahwa sesudah meninggalkan Mo Kauw, In Thian Ceng sudah putus hubungan dengan Kong Beng Teng.

   Tak dinyana, waktu menghadapi bahaya, Kong Beng Teng masih sudi meminta pertolongan Peh Bie Kauw."

   Mendengar itu, Boe Kie jadi bingung dan berduka.

   Ia tahu, bahwa sepak terjang ayah angkatnya dan kakek luarnya aneh-aneh dan sesat sehingga mereka dibenci oleh orang-orang dari partai lurus bersih.

   

Rumah Judi Pancing Perak -- Khu Lung Pendekar Pemanah Rajawali -- Jin Yong Kait Perpisahan -- Gu Long

Cari Blog Ini