Ceritasilat Novel Online

Pedang Langit Dan Golok Naga 54


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 54




   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung

   
Katanya.

   "Kami kuatirkuatir mereka menyatroni lagi untuk menolong tawanan itu. Maka itu kami berdua telah mengambil keputusan untuk bermalam di sini guna menjaga diri. Kasur itu kasur Kouw Tay-soe."

   Tio Beng girang sekali.

   "Sebenarnya aku sendiri memang ingin sekali meminta bantuan Lok Sianseng dan Kouw Tay- soe untuk menjaga menara ini,"

   Katanya sambil tertawa, "Tapi aku belum berani membuka mulut sebab menganggap bahwa dengan meminta begitu aku minta terlalu banyak.

   Aku sungguh merasa girang bahwa tanpa diminta kalian berdua sudi mengeluarkan tenaga begitu besar.

   Kouw Tay-soe, dengan adanya Lok Sianseng, kurasa kawanan siluman tidak akan berani mengacau.

   Biarlah kau sendiri ikut aku."

   Seraya berkata begitu ia memegang tangan Hoan Yauw. Hoan Yauw tidak bisa meloloskan diri lagi. Jalan satu- satunya adalah menyerahkan bungkusan kepada Lok Thung Kek yang lalu menyambuti.

   "Baiklah aku menunggu kau di menara,"

   Kata si kakek. "Soehoe, mari teecoe yang membawanya,"

   Kata Yoe liong coe. "Tak usah,"

   Kata sang guru sambil tertawa.

   "Aku ingin mengambil hati Kouw Tay-soe. Tugas ini harus dipanggul olehku sendiri."

   Di dalam hati Hoan Yauw mengutuk si kakek.

   Tiba-tiba ia menepuk bungkusan itu.

   Baik juga Han-kie sudah tertotok jalan darahnya sehingga tepukan itu tidak mengakibatkan teriakan.

   Tapi Lok Thung Kek sudah ketakutan setengah mati.

   Ia tidak berani bercanda lagi dan sesudah membungkuk kepada majikannya ia segera melangkah masuk ke dalam menara.

   Diam-diam ia sudah memperhitungkan tindakannya.

   Begitu ia tiba di atas menara, ia akan mengeluarkan Han-kie dari bungkusannya dan membungkus sebuah kasur dengan sprei itu.

   Andaikata Kouw Tauw-too mengadu kepada Tio Beng biarpun mesti mati ia tak akan mengaku.

   Dengan rasa bingung dan heran, Hoan Yauw mengikuti Tio Beng keluar dari Ban hoat sie.

   Ke mana nona itu mau pergi? Sambil memakai tudung yang semula tergantung di punggungnya Tio Beng berbisik,"

   Kouw Tay-soe, mari kita menemui si bocah Boe Kie."

   Hoan Yauw terkejut dan melirik si nona.

   Ia mendapati kenyataan bahwa muka nona Tio Beng bersemu dadu, sikapnya seperti orang malu bercampur girang.

   Hati Hoan Yauw jadi lega.

   Ia lantas saja ingat pertemuan malam itu di Ban hoat sie antara kedua orang muda itu.

   Cara-cara mereka bukan seperti musuh besar.

   Tiba-tiba ia sadar.

   "Aha!"

   Serunya di dalam hati.

   "Mungkin sekali Koen-coe mencintai Kauwcoe."

   Sejenak kemudian ia berpikir.

   "Tapitapi mengapa dia mengajak aku dan bukan Hian- beng Jie lo yang menjadi orang kepercayaannyaAku tahu, aku gagu dan tidak bisa membocorkan rahasia. Ya! Itulah sebabnya."

   Berpikir begitu, ia manggut-manggutkan kepalanya dan tersenyum. "Mengapa kau tertawa?"

   Tanya si nona.

   Kouw Tauw-too menggerak-gerakkan kedua tangannya dalam isyarat bahwa biarpun harus masuk ke dalam sarang harimau ia akan turut serta dan melindungi keselamatan si nona.

   Tio Beng tidak buka suara lagi dan lalu berjalan mengikuti si gagu.

   Tak lama kemudian tiba di depan penginapan Boe Kie.

   "Koen-coe benar-benar hebat,"

   Pikir Hoan Yauw.

   "Ia sudah tahu tempat penginapan Kauwcoe."

   Mereka segera masuk ke dalam.

   "Kami ingin bertemu dengan seorang tamu she Can,"

   Kata Tio Beng kepada pengurus hotel.

   Si nona tahu bahwa dalam rumah penginapan itu Boe Kie menggunakan nama "Can Ah Goe".

   Seorang pelayan segera masuk ke dalam untuk memberitahukan Boe Kie.

   Pemuda itu sedang bersemedi sambil menunggu tanda api di kelenteng Ban hoat sie.

   Mendengar kedatangan seorang tamu, ia merasa heran dan segera pergi ke ruangan tengah.

   Melihat Tio Beng dan Hoan Yauw ia kaget.

   "Celaka!"

   Ia mengeluh.

   "Mungkin rahasia Hoan Yoe Soe bocor dan Tio Kauwnio datang untuk berhitungan denganku."

   Ia menyoja dan berkata.

   "Maaf! Karena tak tahu Kauwnio datang berkunjung aku sudah tidak keburu menyambut."

   Tio Beng balas memberi hormat.

   "Tempat ini bukan tempat bicara,"

   Katanya dengan suara perlahan.

   "Mari kita pergi ke sebuah rumah makan kecil untuk minum tiga cawan arak."

   Tio Beng berjalan lebih dulu.

   Di seberang rumah penginapan lewat lima rumah terdapat sebuah rumah makan kecil dengan hanya beberapa meja kayu.

   Karena sudah malam, di rumah makan itu tidak terdapat tamu lain.

   Tio Beng segera memilih sebuah meja di ruang tengah dan duduk berhadapan dengan Boe Kie.

   Hoan Yauw tertawa dalam hati.

   Ia menggerak-gerakkan kedua tangannya memberi isyarat bahwa ia ingin minum arak di ruangan depan dan Tio Beng segera manggutkan kepalanya.

   Sesudah Kouw Tauw-too keluar, si nona lalu memanggil pelayan dan memesan tiga kati daging kambing serta dua kati arak putih.

   Boe Kie merasa sangat heran.

   Nona itu bagaikan pohon bercabang emas dan berdaun giok.

   Mengapa dia mengajaknya makan minum di dalam rumah makan yang kecil dan kotor? Apa maksudnya? Sementara itu si nona sudah mengisi dua cawan arak.

   Sesudah meneguk salah sebuah cawan, ia berkata sambil tertawa.

   "Nah! Arak ini tidak beracun. Kau boleh minum dengna hati lega!"

   Seraya berkata begitu, ia menaruh cawan yang isinya sudah dicicipinya di hadapan Boe Kie. "Ada urusan apa nona mengajak aku kemari,"

   Tanya Boe Kie. "Minum dulu tiga cawan baru kita bisa bicara,"

   Jawabnya.

   "Untuk kehormatanmu, aku minum lebih dahulu."

   Ia mengangkat dan mengeringkan isi cawannya.

   Boe Kie pun segera mengangkat cawannya.

   Tiba-tiba hidungnya mengendus bau yang sangat harum.

   Di bawah sinar lampu di pinggir cawan, samar-samar ia melihat tapak bibir yang berwarna merah.

   Dari bau harum itu, duri Yanciekah? Dari badan si nonakah? Hatinya berdebar-debar tapi ia segera meneguk cawannya.

   "Kita minum dua cawan lagi,"

   Kata Tio Beng.

   "Kutahu kau selalu curiga. Maka itu isi setiap cawan akan lebih dahulu dicicipi olehku."

   Boe Kie membungkam.

   Di dalam hati, ia memang merasa jeri terhadap nona Tio yang mempunyai banyak akal bulus, ia merasa senang bahwa setiap cawan yang disuguhkan kepadanya diminum lebih dahulu oleh si nona sehingga dengan demikian ia tak usah menempuh bahaya.

   Tapi minum arak yang sudah diteguk oleh seorang wanita mengakibatkan perasaan yang sukar dilukiskan dalam hatinya.

   Ketika ia mengangkat muka, si nona ternyata sedang mengawasi dengna bibir tersungging senyum dan pipi berwarna dadu.

   Buru-buru Boe Kie melengos.

   "Thio Kauwcoe,"

   Kata Tio Beng dengan suara perlahan.

   "Apa kau tahu siapa sebenarnya aku?"

   Boe Kie menggelengkan kepala. "Hari ini aku akan berterus terang,"

   Katanya pula. "Ayahku ialah Jie lam ong yang berkuasa atas seluruh angkatan perang kerajaan. Aku wanita Mongol, namaku Mingming Temur. Tio Beng adalah nama Han yang dipilih olehku. Hong-siang telah menganugerahkan aku gelar Siauwbeng Koen-coe."

   Kalau bukan sudah diberitahukan oleh Hoan Yauw, Boe Kie tentu akan merasa kaget. Bahwa si nona sudah bicara terus terang adalah sangat luar biasa. Sebagai manusia yang tidak bisa berpura-pura pemuda itu tidak menunjukkan rasa kaget. Tio Beng heran.

   "Mengapa kau tenang saja?"

   Tanyanya. "Apa kau sudah tahu?"

   "Bukan,"

   Sahutnya.

   "Tapi sejak awal aku sudah menduga. Kau seorang wanita muda belia tapi kau bisa menguasai tokoh-tokoh ternama dalam Rimba Persilatan. Sejak awal aku sudah menduga bahwa kau bukan sembarang orang."

   Nona Tio mengusap-usap cawan arak. Untuk beberapa saat, ia tidak mengeluarkan sepatah kata. Akhirnya ia berkata dengan suara perlahan.

   "Thio Kongcoe, aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan dan kuharap kau suka menjawab dengan setulus hati. Bagaimana sikapmu apabila aku membunuh Cioe Kauwnio?"

   "Cioe Kauwnio tidak berdosa terhadapmu,"

   Jawabnya dengan suara heran.

   "Mengapa kau mau bunuh dia?"

   "Ada orang-orang yang tidak disukai aku dan aku segera membunuh mereka,"

   Kata si nona.

   "Apa kau kira aku hanya membunuh orang yang berdosa terhadapku? Ada manusia yang berdosa terhadapku tapi aku tidak membunuh mereka. Seperti kau sendiri, apakah dosamu terhadapku belum cukup besar?"

   Sambil berkata begitu, sinar matanya menunjukkan sinar bercanda. Boe Kie menghela nafas.

   "Tio Kauwnio,"

   Katanya.

   "Aku berdosa terhadapmu karena terpaksa. Aku bagaimanapun selalu tak dapat melupakan budimu yang sudah menolong Sam soe-peh dan Liok soe-siok ku."

   Tio Beng tertawa dan berkata.

   "Kau seorang yang berotak miring. Jie Thay Giam dan In Lie heng terluka karena perbuatan orang-orangku. Tapi kau bukan saja tidak menyalahkan aku bahkan kau menghaturkan terima kasih."

   "Sam soe-peh terluka kira-kira dua puluh tahun yang lalu dan pada waktu itu kau belum lahir,"

   Kata Boe Kie. "Tapi biar bagaimanapun juga, orang-orang itu adalah kaki tangan ayahku dan kalau mereka kaki tangan ayahku merekapun menjadi kaki tanganku,"

   Kata si nona.

   "Ah! Kau coba menyimpang dari pokok pembicaraan. Aku Tanya, jika aku membunuh untuk membalas sakit hati?"

   Boe Kie berpikir sejenak.

   "Aku tak tahu,"

   Jawabnya. "Mengapa tak tahu?"

   Desak si nona.

   "Kau tidak mau bicara terus terang bukan?"

   
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ayah dan ibuku mati karena didesak orang,"

   Kata Boe Kie dengan suara berduka.

   "Hari itu di gunung Boe tong san, di hadapan jenazah kedua orang tuaku, aku telah bersumpah bahwa di kemudian hari sesudah aku besar, aku akan membalas sakit hati. Aku mengingat muka orang- orang Siauw liem, Go bie, Koen loen dan Khong tong-pay yang waktu itu berada di Boe tong. Saya masih kecil dan hatiku penuh dengan kebencian. Tapi sesudah aku besar, sesudah aku memperoleh lebih banyak pengetahuan, sakit hatiku kian lama kian berkurang."

   "Pada hakekatnya aku tak tahu siapa yang sebenarnya sudah mencelakai kedua orang tuaku. Saya tidak boleh menuduh Khong tie Siansoe, Thie kim Sianseng dan tokoh- tokoh lain. Aku tidak boleh menuduh kakek atau pamanku (In Ya Ong), aku bahkan tidak pantas menuduh orang- orangmu seperti A-toa, A-jie, Hian-beng Jie lo dan yang lainnya. Selama beberapa hari aku merenungkan hal itu dalam pikiranku. Apabila manusia tidak saling bunuh, apabila semua manusia hidup damai dan bersahabat, bukankah kehidupan akan menjadi lebih berarti daripada sekarang ini?"

   Pikiran itu sudah lama berada dalam otaknya tapi sebegitu jauh belum pernah ia utarakan kepada orang lain.

   Malam itu entah bagaimana ia membuka isi hatinya kepada Tio Beng dalam rumah makan kecil itu.

   Sesudah bicara, ia sendiri malah merasa heran mengapa ia sudah bicara begitu.

   Tio Beng tahu bahwa Boe Kie bicara sungguh-sungguh.

   "Hatimu sangat mulia,"

   Katanya sesudah berdiam beberapa saat.

   "Manusia seperti aku tidak bisa berbuat seperti kau. Kalau ada orang membinasakan ayah dan kakakku, aku bukan saja akan menumpas keluarganya tapi bahkan membasmi sahabat-sahabat dan kenalan-kenalannya."

   "Aku pasti akan merintangi."

   "Mengapa begitu?"

   "Karena lebih banyak kau membunuh manusia, lebih besar dosamu dan lebih berbahaya keadaanmu. Tio Kauwnio, bilanglah terus terang, apa kau pernah membunuh orang?"

   "Sampai kini, belum. Tapi sesudah aku lebih tua, aku akan membunuh banyak sekali manusia. Leluhurku Kaisar Genghiz Khan, Kubilai-khan dan yang lain. Sungguh sayang aku seorang wanita. Kalau lelakihuh huh! Aku pasti akan melakukan sesuatu yang maha besar."

   Ia menuang arak ke cawannya dan meneguk isinya. Setelah itu, ia tertawa dan berkata pula.

   "Thio Kongcoe, kau belum menjawab pertanyaanku."

   "Bila kau membunuh Cioe Kauwnio atau salah seorang sahabatku maka aku takkan menganggapmu sebagai sahabat lagi,"

   Jawabnya.

   "Aku tak mau bertemu muka lagi selama-lamanya dan jika bertemu juga aku takkan mau bicara lagi denganmu."

   "Dengan demikian, kau kini menganggapku sebagai sahabatmu, bukan?"

   Tanya si nona dengan suara dingin. "Andaikata aku membenci kau, aku tentu sungkan minum bersama kau di tempat ini,"

   Sahutnya.

   "Hai!...Aku merasa sukar untuk membenci orang. Di dunia ini, manusia yang paling dibenci olehku adalah Hoen-goan Pel lek-cioe Seng Koen. Tapi setelah dia mati aku berbalik merasa kasihan di dalam hati, seolah-olah aku mengharap supaya dia tak mati."

   "Bagaimana perasaanmu, andaikata besok aku mati?"

   Tanya Tio Beng.

   "Di dalam hatimu kau tentu berkata.

   "Terima kasih kepada Langit dan Bumi, musuh yang kejam sudah mampus dan aku boleh tidak usah terlalu pusing."

   Kau tentu berpikir begitu bukan?"

   "Tidak! Tidak! Aku sama sekali tak mengharapkan kematianmu.

   Tidak! Wie Hok Ong hanya menakut-nakuti kau, mengancam untuk menggores mukamu.

   Bicara terus terang, aku merasa sangat kuatir.

   Tio Kauwnio, kuharap kau tidak menyulitkannya lebih lama.

   Lepaskanlah tokoh- tokoh keenam partai itu.

   Marilah kita hidup damai.

   Bukankah kehidupan begitu lebih bahagia daripada bermusuhan yang berlarut-larut?"

   "Bagus! Akupun mengharapkan itu.

   Kau seorang Kauwcoe dari Beng-kauw.

   Perkataanmu berharga bagaikan emas.

   Pergilah kau memberitahukan supaya mereka semua mengabdi kepada kerajaan.

   Ayahku akan melaporkan kepada Hong-siang agar mereka diberi anugerah."

   Boe Kie menggelengkan kepala dan berkata dengan suara perlahan.

   "Kami bangsa Han mempunyai suatu tekad. Tekad itu ialah mengusir kekuasaan Mongol dari bumi bangsa kami."

   Tiba-tiba si nona bangkit.

   "Apa?"

   Tegasnya.

   "Kau berani mengeluarkan kata-kata itu? Apakah itu bukan berarti pemberontakan?"

   "Aku memang sudah memberontak,"

   Jawabnya.

   "Apa kau belum tahu?"

   Lama sekali si nona mengawasi wajah Boe Kie. Perlahan-lahan sinar kegusaran menghilang dari paras wajahnya dan berganti dari sinar kedukaan dan putus harapan. Perlahan-lahan ia duduk dan berkata dengan suara parau.

   "Aku sudah tahu. Aku hanya ingin dengar kepastiannya dari mulutmu sendiri."

   Boe Kie berhati lemah.

   Melihat kedukaan si nona ia terus merasa berduka.

   Kalau dapat, ia bersedia untuk menuruti segala kemauan nona Tio.

   Hanya urusan itu adalah urusan nusa dan bangsa maka ia harus tetap kokoh pada pendiriannya, ia tak tahu bagaimana caranya menghibur Tio Beng dan ia membungkam sambil menundukkan kepala.

   Selang beberapa lama ia berkata.

   "Tio Beng Kauwnio, sekarang sudah larut malam. Biarlah aku mengantar kau pulang."

   "Apakah kau tak sudi menemani aku duduk-duduk di sini lebih lama lagi?"

   "Bukan! Kalau kau masih ingin minum dan berbicara aku bersedia untuk menemani terus." Tio Beng tersenyum.

   "Kadang-kadang aku melamun,"

   Katanya.

   "Andaikata aku bukan seorang Mongol, bukan seorang putri pangeran tapi hanya seorang wanita Han biasa seperti Cioe Kauwnio, mana yang lebih cantik."

   Boe Kie terkejut, ia tak duga si nona bakal mengajukan pertanyaan begitu.

   Tapi hal ini tidak mengherankan.

   Tio Beng adalah seorang Mongol yang beradat polos.

   Tanpa merasa pemuda itu mengawasi wajah si nona yang sangat ayu dan tanpa merasa pula ia berkata.

   "Tentu saja kau lebih cantik."

   Mata Tio Beng bersinar girang, ia menyodorkan tangan kanannya dan mencekal tangan Boe Kie.

   "Thio Kongcoe apakah kau merasa senang jika kau sering-sering bertemu denganku?"

   Tanyanya dengan suara lemah lembut.

   "Apakah kau sudi datang pula jika aku mengundang kau minum arak lagi di rumah ini?"

   Jantung Boe Kie memukul keras. Sesudah menentramkan hatinya ia menjawab.

   "Aku tidak bisa berdiam lama-lama di sini, beberapa hari lagi aku harus pergi ke Selatan."

   "Perlu apa kau pergi ke Selatan?"

   "Kurasa kau bisa menebak sendiri. Kalau aku memberitahukan maksudku kau tentu akan gusar."

   Tio Beng mengawasi keluara jendela memandang sang rembulan dengan sinarnya yang putih bagaikan perak. Tiba- tiba ia berkata.

   "Thio Kongcoe kau telah berjanji untuk melakukan tiga permintaanku. Apa kau masih ingat?"

   "Tentu saja masih ingat. Nona boleh memberitahukan dan dalam batas kemampuanku, aku akan melakukan perintahmu."

   Si nona menatap wajah Boe Kie dan berkata.

   "Sekarang aku baru mempunyai sebuah permintaan, aku minta kau mengambil golok To-liong to."

   Boe Kie tahu bahwa permintaan yang diajukan Tio Beng pasti bukan permintaan yang mudah dilakukan. Tapi ia sama sekali tak menduga bahwa permintaan pertama sudah begitu sukar. Melihat paras Boe Kie yang menunjukkan rasa susah hati. Tio Beng bertanya.

   "Bagaimana? Apa kau tak sudi melakukan permintaanku? Apakah dilakukannya permintaan itu melanggar sifat kesatriaan dalam Rimba Persilatan?"

   "Sebagaimana kau tahu, To-liong to adalah milik ayah angkatku, Kim mo Say Ong Cia Tay-hiap. Tak dapat aku mengkhianati Giehoe dan menyerahkan golok itu kepadamu."

   "Aku bukan menyuruh kau mencuri, merampas atau menipu. Akupun bukan ingin memiliki golok itu. Aku hanya minta kau meminjamnya dari ayahmu dan memberikannya kepadaku supaya aku bisa bermain-main dengan golok itu untuk satu jam lamanya. Sesudah satu jam, aku akan memulangkannya kepada Cia Tay-hiap. Kalian berdua adalah ayah dan anak. Apa bisa jadi Cia Tay-hiap akan tak sudi untuk meminjamkannya dalam jangka waktu hanya satu jam. Aku bukan ingin merampas harta benda atau membunuh manusia. Apakah hal itu melanggar kesatriaan dalam Rimba Persilatan?"

   "Biarpun namanya tersohor, To-liong to sebenarnya tidak terlalu luar biasa hanya lebih berat dan lebih tajam dari golok biasa."

   "Dalam Rimba Persilatan terdapat kata-kata sebagai berikut. Boe lim cie coen po to to liong, hauw leng thian hee boh kam poet ciong, ie thian poet coet swee ie ceng hong (Yang termulia dalam Rimba Persilatan, golok mustika membunuh naga, perintahnya di kolong langit tiada manusia yang berani tidak menurut, ie thian tidka keluar siapa yang bisa melawan ketajamannya). Ie thian kiam berada dalam tanganku terlihat seperti To-liong to. Kalau kau tidak percaya padaku untuk melihat golok mustika itu, kau boleh berdiri di sampingku. Dengan memiliki kepandaian yang begitu tinggi kau tak usah takut bahwa aku main gila terhadapmu."

   Mendengar keterangan itu, Boe Kie berpikir.

   Sesudah rombongan keenam partai tertolong memang ia juga ingin segera berangkat untuk mengajak ayah angkatnya pulang ke Tiongkok supaya orang tua itu bisa menduduki kursi Kauwcoe.

   Kalau nona Tio hanya ingin melihat-lihat golok itu dalam waktu satu jam biarpun dia mau main gila, dengan penjagaan yang hati-hati mungkin tak kan terjadi sesuatu yang tak diinginkan, ia ingat bahwa menurut ayah angkatnya di dalam golok tersebut bersembunyi rahasia pelajaran ilmu silat yang sangat tinggi.

   Ayahnya telah mendapatkan To-liong to sebelum kedua matanya buta.

   Tapi sebegitu lama orang tua itu, yang berotak sangat cerdas masih belum bisa memecahkan rahasia tersebut.

   Maka itu, dalam waktu satu jam nona Tio rasanya takkan bisa berbuat banyak.

   Selain itu, ayah angkatnya dan ia sudah berpisah kurang lebih sepuluh tahun.

   Mungkin sekali dalam sepuluh tahun ayah angkat itu sudah berhasil menembus tabir rahasia dari To-liong to.

   Melihat Boe Kie belum juga menjawab, Tio Beng tertawa.

   "Kau tidak sudi meluluskan?"

   Tegasnya.

   "Terserah padamu, aku ingin mengajukan permintaan lain, permintaan yang lebih sukar."

   Boe Kie tahu bahwa Tio Beng pintar dan banyak akalnya. Apabila nona itu mengajukan permintaan lain yang lebih sulit, ia lebih takkan bisa memenuhi janji. Maka itu, buru-buru ia menjawab.

   "Baiklah! Aku bersedia untuk meminjamkan To-liong to kepadamu. Tapi kita berjanji pahit dulu, aku hanya meminjamkan dalam jangka waktu satu jam. Manakala kau berani main gila, berani coba-coba merampasnya, aku tentu takkan tinggal diam."

   "Akur! Aku tak bisa bersilat dengan golok. Perlu apa aku inginkan golok yang berat itu? Andaikata kau menghadiahkannya kepadaku dengan segala kehormatan, belum tentu aku sudi menerimanya. Kapan kau mau berangkat untuk mengambilnya?"

   "Dalam beberapa hari ini."

   "Bagus. Akupun akan segera berkemas. Jika kau sudah menetapkan tanggalnya, harap kau segera memberitahukan padaku."

   Boe Kie terkejut.

   "Kau mau ikut?"

   Tanyanya.

   "Tentu saja, kudengar ayah angkatmu berdiam di sebuah pulau terpencil.

   Jika orang tua itu tidak mau pulang, apakah kau mesti berlayar berlaksa li untuk mengambil golok itu dan menyerahkannya kepadaku dalam jangka waktu satu jam dan kemudian kau harus melakukan perjalanan berlaksa li lagi untuk memulangkannya dan sesudah itu pulang ke Tiong goan? Itu terlalu gila!"

   Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya.

   Pelayaran menyeberangi samudera penuh dan masih merupakan sebuah pertanyaan, apa ia bisa mencapai pulau Peng hwee to atau tidak.

   Sekali jalan saja masih belum tentu, apalagi sampai tiga kali.

   Perkataan Tio Beng mungkin sekali benar.

   Sesudah berdiam di pulau itu selama puluhan tahun, juga belum tentu ayah angkat mau pulang ke Tiong goan.

   Sesudah berpikir beberapa saat ia berkata.

   "Angin dan ombak samudera tidak mengenal kasihan. Perlu apa nona pergi menempuh bahaya itu?"

   "Kalau kau boleh menempuh bahaya, mengapa aku tidak boleh?"

   Si nona balas bertanya. "Apakah ayahmu sudi meluluskan?"

   "Ayah menyuruh aku memimpin jago-jago Kang ouw dan selama beberapa tahun aku pergi ke berbagai tempat tanpa pengawalan ayah."

   Mendengar keterangan Tio Beng "ayah menyuruh aku memimpin jago-jago Kang ouw"

   Tiba-tiba Boe Kie ingat sesuatu. "Dalam usaha menyambut Gie hoe entah kapan aku bisa kembali,"

   Pikirnya.

   "Jika dia menggunakan tipu memancing harimau dari gunung dan dengan menggunakan kesempatan itu dia menyerang Beng-kauw secara besar-besaran keadaan bisa berbahaya.

   Tapi kalau dia ikut aku, kaki tangannya pasti tidak akan berani bergerak sembarangan."

   Berpikir begitu lantas saja mengangguk dan berkata.

   "Baiklah, begitu aku sudah menetapkan tanggal keberangkatan, aku akan segera memberitahu kau."

   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Belum habis ia bicara, dari jendela mendadak terlihat sinar api yang kemerah-merahan diikuti dengan teriak- teriakan di tempat jauh. Tio Beng melongok keluar.

   "Celaka!"

   Ia mengeluh. "Menara Ban hoat sie kebakaran! Kouw Tay-soe! Kouw tay-soe!"

   Ia berteriak berulang-ulang tapi Kouw Tauw-too tak muncul.

   Ia pergi ke ruang depan ternyata pendeta itu sudah tidak kelihatan lagi baying-bayangnya.

   Menurut keterangan pengurus rumah makan, Kouw Tauw-too sudah pergi lama sudah kira-kira dua jam.

   Bukan main rasa herannya si nona tapi ia masih belum menduga bahwa si pendeta telah mengkhianatinya.

   Sementara itu, melihat sinar api yang berkobar-kobar di atas menara.

   Boe kIe jadi kuatir akan keselamatan paman- pamannya dan tokoh lain yang baru saja kembali Lweekang mereka.

   "Tio Kauwnio, aku tak bisa menemani lebih lama lagi,"

   Katanya. Seraya berkata begitu, ia melompat ke luar jendela. "Tunggu! Aku ikut!"

   Seru si nona.

   Tapi ketika ia keluar dari jendela, Boe Kie sudah hilang dari pandangan.

   Sekarang marilah kita lihat Lok Thung Kek yang sesudah Koen-coe dan Kouw Tauw-too berlalu, dengan hati lega ia merangkul Han-kie ke kamar Yoe liong coe, yang terletak di tengah-tengah lantai ketujuh.

   "Kau tunggu di luar, tak seorangpun boleh masuk ke sini,"

   Kata si kakek kepada muridnya. Begitu Yoe liong coe keluar, ia segera membuka bungkusan dan mengeluarkan Han-kie yang paras mukanya pucat dan sinar matanya menunjukkan duka besar.

   "Sesudah berada di sini, kau tak usah takut,"

   Bujuk si kakek.

   "Aku tentu akan memperlakukan kau baik- baik."

   Ia belum berani membuka jalan darah si cantik sebab kuatir dia berteriak.

   Sesudah menaruh Han-kie di ranjang Yoe liong coe, ia menurunkan kelambu dan kemudian mengambil satu kasur yang lalu dibungkus dengan sprei yang tadi membungkus tubuh si cantik.

   Ia menaruh bungkusan itu di samping ranjang.

   Lok Thung Kek adalah orang yang sangat berhati-hati.

   Buru-buru ia keluar dari kamar itu dan memesan Yoe liong coe bahwa tak seorangpun boleh masuk ke dalam kamar.

   Ia tahu muridnya sangat taat kepadanya dan pesan itu pasti takkan dilanggar.

   Sesudah beres menyembunyikan Han-kie, ia lalu memikirkan tindakan selanjutnya.

   "Bila aku mau Kouw Tauw-too menutup mulut, aku harus membalas budi kepadanya,"

   Pikirnya.

   "Jalan satu-satunya adalah melepaskan si nenek kecintaannya dan anak perempuannya.

   Untung juga Kauwcoe Mo-kauw telah mengacau di sini dan pengacau itu ada sangkut pautnya dengan Cioe Kauwnio.

   Sesudah menolong, aku bisa mengatakan bahwa kedua orang itu ditolong oleh si Kauwcoe Mo-kauw.

   Koen-coe pasti takkan curiga dan tak akan menyalahkanku sebab Kauwcoe memang mempunyai kepandaian yang sangat tinggi."

   Sesudah mengambil keputusan, ia segera pergi ke kamar tahanan Biat Coat Soethay.

   Semua murid wanita Goe bie-pay ditahan di lantai empat sedang Biat Coat sendiri mengingat kedudukannya sebagai seorang ciang boen jin, ditahan sendirian di dalam sebuah kamar.

   Lok Thung Kek memerintahkan penjaga membuka pintu dan ia lantas masuk ke dalam.

   Pendeta wanita itu ternyata sedang bersemedi seraya memejamkan matanya.

   "Biat Coat Soethay, apa kau baik?"

   Tegur si kakek. Perlahan-lahan Biat Coat membuka kedua matanya. "Baik apa?"

   Katanya dengan suara dongkol. "Kau sangat keras kepala,"

   Kata Lok Thung Kek.

   "Coe jin mengatakan bahwa tak guna kau diberi hidup lebih lama lagi dan ia sudah memerintahkan aku untuk mengirim kau ke dunia baka."

   "Baiklah,"

   Kata si nenek dengan suara tawar.

   "Tapi tak perlu tuan turun tangan sendiri. Aku hanya ingin meminjam sebatang pedang pendek. Di samping itu, sebagai keinginanku terakhir kuminta tuan sudi memanggil muridku Cioe Cie Jiak. Aku ingin bicara dengannya."

   Lok Thung Kek mengiyakan. Ia keluar dan memerintahkan seorang penjaga untuk membawa nona Cioe.

   "Cinta ibu dan anak memang tak sama dengan cinta lain,"

   Pikirnya. Beberapa saat kemudian, Cie Jiak sudah datang.

   "Lok Sianseng,"

   Kata Biat Coat.

   "Kumohon kau keluar dulu. Pembicaraan kami tidak memakan waktu yang lama."

   Sesudah si kakek berlalu, Cie Jiak merapatkan pintu lalu menubruk gurunya.

   Ia menangis sesegukan.

   Biarpun Biat Coat berhati besi tapi pada saat itu, pada detik-detik perpisahan untuk selama-lamanya hatinya seperti disayat sembilu.

   Ia mengusap-usap rambut muridnya.

   Nona Cioe tahu bahwa gurunya takkan bicara panjang- panjang.

   Maka itu, lebih dulu ia menceritakan bagaimana caranya ia sudah ditolong Boe Kie dan kedua kawannya.

   Alis si nenek berkerut.

   Selang beberapa saat ia berkata.

   "Mengapa ia hanya menolong kau, tidak menolong yang lain?"

   Muka si nona berubah merah.

   "Entahlah,"

   Jawabnya. "Hmm! Bocah itu terlalu jahat,"

   Kata sang guru dengan suara gusar.

   "Dia kepala siluman dari kawanan siluman Mo-kauw. Tak mungkin dia mempunyai hati yang baik. Dia memasang jaring untuk menjaring kau."

   "Diadia memasang jaring apa?"

   Tanya si nona dengan suara heran. "Kita adalah musuh kawanan Mo-kauw,"

   Terang sang guru.

   "Dengan Ie thian kiam aku telah membunuh banyak sekali siluman. Mereka sangat membenci Go bie-pay. Mana bisa jadi mereka benar-benar mau menolong? Siluman she Thio itu jatuh hati kepadamu, diam-diam dia menyuruh orang menangkap kita dan kemudian untuk mengambil hati, dia sendiri yang menolong kau." "Tapi Soehoe,"

   Kata si nona dengan suara lemah lembut. "Kulihatia tidak berpura-pura."

   Si nenek lantas naik darah.

   "Apa kau kata?"

   Bentaknya.

   "Rupanya kau telah mengikuti contoh si binatang Kie Siauw Hoe dan sudah jatuh cinta kepada siluman itu. Kalau aku masih bertenaga, dengan sekali hantam aku sudah mengambil jiwamu."

   Cie Jiak ketakutan, dengan tubuh gemetar ia berkata.

   "Murid tak berani."

   "Apa sungguh-sungguh tidak berani atau kau hanya mencoba memperdaya gurumu?"

   "Murid sungguh-sungguh tak berani melanggar ajaran Soehoe."

   "Kalau begitu, kau berlututlah dan bersumpah."

   Nona Cioe segera menekuk kedua lututnya tapi ia tak tahu sumpah apa yang harus diucapkan olehnya. Kata Biat Coat.

   "Kau harus bersumpah begini. Aku, Cie Jiak bersumpah kepada Langit bahwa kalau di kemudian hari aku jatuh cinta kepada Kauwcoe Mo-kauw Thio Boe Kie dan menjadi suami istri dengan dia, maka roh kedua orang tuaku yang sekarang berada di alam baka akan merasa tidak aman. Sedang guruku Biat Coat Soethay akan menjadi setan yang jahat dan akan mengganggu aku seumur hidup. Apabila dari perkawinan itu terlahir anak maka semua anak lelaki akan menjadi budak, anak perempuan akan menjadi pelacur."

   Tak kepalang kagetnya nona Cioe.

   Ia orang yang berwatak lemah lembut dan di dalam lubuk hatinya terdapat kasih sayang terhadap sesama umat manusia.

   Tapi sekarang ia harus mengucapkan sumpah yang begitu hebat.

   Sumpah yang menyebut roh kedua orang tuanya, sumpah yang menyeret juga anak-anaknya yang belum lahir.

   Tapi melihat sinar mata gurunya yang berkilat- kilat, ia tidak berani membantah.

   Dengan kepala puyeng dan dengan suara parau, ia mengucapkan kata-kata yang diucapkan Biat Coat.

   Sesudah muridnya itu bersumpah begitu berat, paras si nenek berubah lunak.

   "kau bangunlah, katanya. Dengan air mata bercucuran, Cie Jiak lantas bangun berdiri. Sesaat kemudian, Biat Coat berkata pula dengan suara halus bercampur rasa terharu yang sangat besar.

   "Cie Jiak, aku bukan sengaja menekan kau. Setiap tindakanku adalah untuk kebaikanmu sendiri. Kau masih berusia muda dan mulai dari sekarang, gurumu tidak bisa memilik kau lagi. Apabila kau mengikuti contoh Kie Soecimu, maka di alam baka, gurumu tak akan merasa senang. Disamping itu, ada sesuatu yang sangat penting. Apapula gurumu sekarang ingin menyerahkan tanggung jawab yang sangat berat di atas pundakmu, sehingga kau sedikitpun tak bisa berlaku sembarangan. Seraya berkata begitu, ia mencabut sebuah cincin besi dari telunjuk kirinya dan berdiri tegak.

   "Murid wanita Go Bie Pay, Cioe Cie Jiak, kau berlututlah untuk menerima amanat! katanya dengan suara angker. Cie Jiak terkejut dan segera menekuk lututnya. Sambil mengangkat cincin besi itu tinggi-tinggi, Biat Coat Soethay berkata pula. "Ciang Boen Jin Go Bie Pay turunan ketiga pendeta wanita Biat Coat, dengan ini menyerahkan kedudukan Ciang Boen Jin kepada murid wanita turunan keempat, Cioe Cie Jiak. Tak kepalang kagetnya nona Cioe. Sedang kepalanya masih pusing sebagai akibat pengucapan sumpah yang berat itu, ia mendapat lain kekagetan hebat. Ia hanya mengawasi sang guru dengan mulut ternganga dan mata membelalak. "Cioe Cie Jiak, keluarkan tangan kirimu untuk menerima cincin besi sebagai tanda Ciang Boen Jin dari partai kita, kata pula si nenek. Bagaikan seorang linglung, si nona menyodorkan tangan kirinya dan sang guru segera memasukkan cincin itu ke telunjuknya. Sekarang baru Cie Jiak bisa membuka suara.

   "soehoe katanya dengan suara bergemetar, teecoe masih sangat muda dan belum lama belajar ilmu, cara bagaimana teecoe bisa memikul beban yang begitu berat? Soehoe jangan berkata begitu, dengan sesungguhnya teecoe tak dapat "

   Ia tak dapat meneruskan perkataannya dan sambil menangis ia memeluk kedua betis gurunya. Mendengar suara tangisan, Lok Thung Kek yang sudah sangat tidak sabaran, lantas saja mengetuk pintu.

   "Hei! Apa belum beres? teriaknya. "Jangan rewel! bentak Biat Coat. Ia mengawasi si murid dan berkata dengan suara menyeramkan.

   "Cie Jiak, apakah kau membantah perintah gurumu? tanpa menunggu jawaban, ia segera menyebutkan peraturan dan larangan bagi seorang Ciang Boen Jin Go Bie Pay dan menyuruh murid itu menghafal larangan tersebut. Nona Cioe jadi makin bingung. Dengan air mata bercucuran, ia berkata.

   "soehoe, teecoe. Sungguh- sungguh. Tak. Sanggup "

   "Cie Jiak!? bentak si nenek dengan gusar.

   "Apa benar- benar kau mau membantah perintahku? Seorang murid yang melawan kemauan guru adalah murid yang menghina guru, tapi meskipun suaranya keras hatinya sedih seperti tersayat pisau. Ia merasa kasihan terhadap muridnya itu. Ia bakal segera meninggalkan dunia ini dan secara mendadak ia menaruh beban seberat itu di atas bahu seorang wanita muda yang lemah. Memang mungkin sekali Cie Jiak tidak menunaikan tugasnya secara memuaskan. Akan tetapi ia tahu, bahwa diantara murid-murid Go Bie Pay, nona Cioe- lah yang paling cerdas otaknya. Demi kepentingan dan kemakmuran Go Bie Pay, hanyalah dia seorang yang pantas menjadi Ciang Boen Jin. Ia dapat membayangkan, bahwa sesudah ia pulang ke alam baka, murid kecil itu akan menghadapi macam-macam kesukaran dan penderitaan. Mengingat begitu, bukan main rasa dukanya. Dengan kedua tangan ia membangunkan Cie Jiak yang lalu dipeluknya.

   "Cie Jiak, katanya dengan suara lembut.

   "kau dengarlah, bahwa aku sudah menyerahkan kedudukan Ciang Boen Jin kepadamu dan bukan salah seorang dari para kakak seperguruanmu adalah bukan karena aku memilih kasih. Sebab musababnya ialah seorang Ciang Boen Jin partai kita harus memiliki ilmu silat yang sangat tinggi yang dapat bersaing dengan lain-lain partai. "tapi soehoe, kata Cie Jiak.

   "ilmu silat teecoe kalah jauh dari para suci. Biat Coat tersenyum.

   "kepandaian mereka sangat terbatas, katanya.

   "Sesudah mencapai batas tertentu, mereka sukar bisa maju lebih jauh. Inilah soal bakat yang tak dapat diubah dengan tenaga manusia. Biarpun sekarang ilmu silatmu masih kalah jauh dari para sucimu, tapi di hari kemudian kepandaian yang bakal dimiliki olehmu tak dapat diukur bagaimana tingginya, Hm tak dapat diukur bagaimana tingginya. Dalam bingungnya. walaupun mendengar, Cie Jiak tak bisa menangkap maksud perkataan sang guru. Sesaat kemudian Biat Coat mendekati muridnya dan berbisik di kuping si nona.

   "kau sekarang Ciang Boen Jin partai kita dan adalah kewajibanku untuk memberitahukan suatu rahasia besar kepadamu. Couwsoe pendiri partai kita ialah Kwee Liehiap, puteri kedua Tay Hiap Kwee Ceng. Pada waktu tentara goan merampas kota Siang Yang, dalam peperangan yang sangat hebat, Kwee Tayhiap gugur untuk nusa dan bangsa. Sebelum melepaskan napasnya yang penghabisan, ia memberitahukan rahasia besar ini kepada Couwsoe Kwee Liehiap. Pada jaman itu, nama Kwee Tayhiap menggetarkan seluruh dunia. Ia memiliki dua rupa ilmu yang sangat istimewa, pertama ilmu perang dan kedua ilmu silat. Isteri Kwee Tayhiap adalah Oey Yong, Oey Liehiap seorang wanita yang pintar luar biasa. Siang-siang ia sudah menduga, bahwa kota Siang Yang pasti akan dirampas oleh tentara goan yang sangat kuat. Kedua suami isteri itu telah mengambil keputusan untuk membalas budi negara dengan mengorbankan jiwa. Inilah keputusan yang biasa diambil oleh kesatria-kesatria yang bersetia kepada negara. Tapi bukankah sayang sekali apabila dua rupa ilmu Kwee Tayhiap turut menjadi musnah? Apapun Oey Liehiap sudah menduga, bahwa orang mongol akan menguasai Tiongkok dan hal itu pasti akan menimbulkan rasa penasaran dalam hati segenap bangsa Han. Disatu waktu bangsa Han tentu akan memberontak untuk menggulingkan pemerintah penjajahan. Pemberontakan itu akan merupakan peperangan hebat. Manakala saatnya tiba, maka kedua ilmu Kwee Tayhiap akan berguna besar, Oey Liehiap merundingkan hal ini dengan suaminya. Akhirnya mereka mengambil suatu keputusan. Ia mengundang tukang yang pandai betul dalam pembuatan senjata. Tukang itu melebur Hian Tiat Kiam, milik Yo Ko Tay Hiap, dan dengan menambahkannya dengan emas murni dari daerah barat, ia membuat Ie Thian Kiam. Cie Jiak terkejut, ia mengenal Ie Thian Kiam dan sudah lama ia mendengar nama To Liong To. Tapi baru sekarang ia mengetahui sejarah kedua senjata mustika itu. Biat Coat melanjutkan penuturannya. "Dengan menggunakan waktu sebulan, Oey Liehiap dan Kwee Tayhiap menulis ilmu perang dan ilmu silat yang kemudian disembunyikan dalam pedang dan golok itu. Yang disembunyikan di dalam To Liong To adalah ilmu perang. Golok itu dinamakan To Liong. Nama itu mengandung arti bahwa di kemudian hari, orang bisa mendapatkan kitab ilmu perang di dalam golok tersebut harus mengusir Tat Coe dan membunuh kaisar Tat Coe. Yang disembunyikan di dalam Ie Thian Kiam ialah kitab ilmu silat, antaranya yang paling berharga adalah Kioe Im Cin Keng dan Hang Liong Sip Pat Ciang. Kedua suami isteri mengharap, supaya di belakang hari, orang yang mendapatkannya bisa berbuat kebaikan terhadap sesama manusia, bisa menumpas kejahatan dan menolong rakyat. "Sesudah pembuatan pedang dan golok mustika itu selesai. Oey Liehiap menyerahkan To Liong To kepada Kwee Kong (paduka Kwee) Poh Louw dan Ie Thian Kiam kepada Kwee Couw Soe. Tak usah dikatakan lagi, Kwee Couw Soe telah mendapat pelajaran ilmu silat dari ayah dan ibunya, sedang Kwee Kong Poh Louw mendapat pelajaran ilmu pedang dari kedua orang tuanya. Tapi Kwee Kong Poh Louw gugur bersama-sama ayah dan ibunya. Bakat Kwee Couw Soe tidak sesuai dengan pelajaran ilmu silat dari ayahandanya. Maka itulah sebabnya mengapa ilmu silat partai kita berbeda dari ilmu silat Kwee Tayhiap. Dari para kakek seperguruannya, Cie Jiak memang sudah mendengar cara bagaimana berbagai pa rtai persilatan berebut To Liong To, sehingga belakang mereka naik ke Boe Tong dan sebagai akibatnya, kedua orang tua Boe Kie sampai membunuh diri. Sekarang baru ia tahu, bahwa pedang dan golok itu mempunyai sangkut paut yang sangat rapat dengan Go Bie Pay. Sementara itu, Biat Coat Soethay melanjutkan penuturannya.

   "selama kurang lebih seratus tahun, di dalam rimba persilatan timbul gelombang hebat. Beberapa kali, pedang dan golok itu menukar majikan. Belakangan orang hanya tahu, bahwa To Liong To adalah "Boe Lim Cie Coen (yang termulia dalam rimba persilatan) dan yang dapat menandinginya hanyalah Ie Thian Kiam, tap i orang tak tahu mengapa golok itu dipandang sebagai "Boe Lim Cie Coen Kwee Kong Poh Louw mati muda. Ia tak punya keturunan dan tak punya murid yang bisa mewarisi kepandaiannya dan rahasia besar itu. Maka itulah, hanya Couw Soe seorang yang tahu rahasia itu. Selama hidupnya, Couw Soe telah beruasaha sekuat tenaga untuk mencari To Liong To, tapi semua usahanya tinggal sia-sia. Pada waktu mau meninggal dan CouwSoe telah memberitahukan rahasia ini kepada Insoe (guruku yang besar badannya) It Ceng SoeThay. Insoe adalah seorang yang sangat mulia dan lemas hatinya. Ia mempunyai seorang murid durhaka. Belakangan bukan saja To Liong To tidak dicari, bahkan Ie Thian Kiam dicuri oleh soecieku itu yang mempersembahkannya kepada kaisar Goan. Insoe sangat berduka dan mati mereras. Sebelum menutup mata, ia juga memerintahkan supaya aku mengambil pulang kedua senjata mustika itu. "Ah, kalau begitu teecoe mempunyai seorang soepeh yang kurang baik. Kata Cie Jiak. Paras muka Biat Coat lantas saja berubah dingin bagaikan es.

   "Kau masih memanggil Soepeh kepada manusia pengkhianat itu? katanya dengan suara gusar. Si nona menundukkan kepalanya dan tidak berani menjawab. "Akhirnya murid pengkhianat itu tidak terlolos dari tanganku. Kata pula Biat Coat.

   "Karena hatinya jahat, ilmu silatnya tak terlalu tinggi. Kau boleh merasa bangga bahwa gurumu tak menyia-nyiakan pesan Soecouw-mu. Pada akhirnya aku berhasil membersihkan rumah tangga kita. (membersihkan rumah tangga kita berarti menyingkirkan kejahatan dalam kalangan sendiri) "Membersihkan rumah tangga kita? menegas si nona. Paras muka Biat Coat berkelebat sinar kebanggaan dan kekejaman.

   "Benar, katanya dengan suara angkuh.

   "Di kaki gunung Gak Louw San, di daerah kota Tiang See, aku menyandak manusia durhaka itu dan dengan pukulan Pwee Hoa Pwee Yan (bukan bunga, bukan asap) aku menikam jantungnya. Dahulu, dialah orang yang mengajarkan pukulan itu. Dia pernah mengejek diriku dengan mengatakan, bahwa seumur hidup, aku tidak akan bisa menggunakan pukulan tersebut. Pada malam itu, di bawah sinar rembulan, aku sebenarnya sudah bisa mengambil jiwanya dalam dua ratus jurus. Tapi sebab aku bertekad untuk membinasakannya dengan Pwee Hoa Pwee Yan, maka sesudah bertempur kurang lebih tiga ratus jurus, barulah aku berhasil. Huh! Huh!... itulah kejadian dua puluh tahun berselang. Cie Jiak bergidik. Entah mengapa, di dalam lubuk hatinya muncul perasaan kasihan terhadap soepeh yang berkhianat itu. Tiba-tiba Lok Thung Kek memukul-mukul pintu.

   "Hei! Sudah beres belum? teriaknya.

   "aku tidak bisa menunggu lagi. "Tak lama lagi,? sahut Biat Coat.

   "kau tunggulah. Sesudah itu, ia berkata lagi di kuping muridnya.

   "Waktu sudah mendesak, kita tak dapat membicarakan lagi hal yang penting. Belakangan, Ie Thian Kiam dihadiahkan kepada Jie Lam Ong oleh kaisar Goan. Aku berhasil mencurinya dari gedung raja muda itu. Hanya sungguh sayang, aku terjebak dan pedang itu jatuh ke tangan Mo Kauw. "Bukan, membantah si murid.

   "Ie Thian Kiam dirampas oleh Tio Kouw Nio. Biat Coat mendelik. Sambil mengeluarkan suara di hidung, ia berkata.

   "Apa kau tidak tahu bahwa perempuan she Tio itu adalah kawannya si Kauw Coe Mo Kauw? Apa sampai pada detik ini kau masih tidak percaya perkataan gurumu? Nona Cioe memang tidak percaya, tapi ia tidak berani membantah lagi. "Cie Jiak, kau dengarlah, kata pula sang guru.

   "Dalam memilih kau sebagai Ciang Boen Jin, gurumu mempunyai suatu maksud yang dalam. Aku jatuh ke dalam tangan orang jahat, sehingga nama besarku yang didapat selama puluhan tahun musnah laksana disapu air. Aku sendiri memang tak sudi keluar dari menara ini dengan masih bernapas, penjahat cabul she Thio itu punya niatan tidak baik atas dirimu. Tapi menurut pendapatku, dia tidak akan mengambil jiwamu. Sekarang aku memerintahkan kau untuk berlagak membalas cintanya dan kemudian begitu mendapat kesempatan, kau rampas pedang Ie Thian Kiam. Golok To Liong To ada di tangan Cia Soen, ayah angkat penjahat she Thio itu. Biar bagaimana jua pun, bocah itu tidak akan membuka rahasia dimana adanya Cia Soen. Tapi di dalam dunia terdapat manusia yang bisa memaksa dia mengambil golok tersebut.? Cie Jiak tahu, bahwa seorang manusai itu dimaksudkan dirinya sendiri. Ia kaget bercampur malu, girang bercampur takut. "Orang itu adalah kau sendiri,? kata pula sang guru. Aku memerintahkan kau mengambil pulang pedang dan golok mustika itu dengan menggunakan kecantikanmu. Aku tahu, tindakan ini memang bukan tindakan seorang kesatria. Akan tetapi dalam usaha besar, orang tak perlu menghiraukan soal-soal remeh. Cobalah kau pikir, Ie Thian Kiam berada dalam tangan si perempuan She Tio, sedang To Liong To jatuh ke dalam tangan bangsat Cia Soen. Jahat bertemu dengan jahat, pedang bertemu dengan golok. Apabila mereka berhasil mengambil ilmu perang dan ilmu silat Kwee Tayhiap, betapa besar penderitaan umat manusia di kolong langit ini. Disamping itu usaha mengusir penjahat Tat Coe pun akan menjadi lebih sukar lagi. Cie Jiak, kutahu, bahwa beban yang ditaruh di atas pundakmu terlampau berat. Sebenar-benarnya aku merasa tak tega untuk memerintahkan kau memikul yang berat itu. Tapi apakah adanya maksud tujuan orang-orang seperti kita dalam mempelajari ilmu silat? Cie Jiak, demi kepentingan rakyat di seluruh negeri, aku memohon kepada kau.? Seraya berkata begitu, ia berlutut di hadapan muridnya. Tak kepalang kagetnya nona Cioe. Buru-buru iapun menekuk kedua lututnya dan berseru dengan suara parau.

   "soehoe!...

   "

   "Ssst! Perlahan sedikit, jangan sampai penjahat di luar mendengarkan pembicaraan kita. Apa kau sudi meluluskan permintaanku? Sebelum kau meng-iya-kan aku, aku tidak akan bangun.? Cie Jiak merasa kepalanya puyeng. Dalam waktu sependek itu, gurunya telah mengeluarkan tiga perintah sulit. Pertama, ia diperintah untuk mengangkat sumpah berat, bahwa ia tidak akan mencintai Boe Kie. Kedua, ia diperintah menerima kedudukan Ciang Boen Jin dari Go Bie Pay. Akhirnya ia diperintah memancing Boe Kie dengan kecantikannya untuk merampas pulang To Liong To dan Ie Thian Kiam. Sebagai seorang wanita muda belia yang berarti sangat lemah, ia sungguh-sungguh tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Kepalanya berrputar, matanya berkunang-kunang, ia hampir pingsan. Cepat-cepat ia memejamkan kedua matanya dan menggigit bibir untuk coba mempertahankan diri. Tiba-tiba ia merasa bibirnya sakit dan ia membuka kedua matanya. Sang guru masih terus berlutut.

   "Soehoe bangunlah!? katanya sambil menangis. "Apakah kau sudi meluluskan permintaanku?? tanya Biat Coat pula. Dengan air mata mengucur, si nona menggut- manggutkan kepalanya. Biat Coat mencekal pergelangan tangan muridnya erat- erat dan berbisik.

   "Sesudah merampas pulang To Liong To dan Ie Thian Kiam, kau harus segera pergi ke tempat sepi, ke tempat yang tak ada manusianya. Dengan sebelah tangan mencekal golok dan sebelah tangan memegang pedang, kau harus mengerahkan tenaga dalam dan saling membacokkan kedua senjata itu. Bacokan itu akan mematahkan atau memutuskan golok dan pedang dengan berbareng. Sesudah itu, barulah kau bisa mengambil pit-kip (kitab) yang disembunyikan di dalam kedua senjata itu. Cie Jiak, inilah cara satu-satunya untuk mengambil kedua kitab yang berharga itu. Sampai disitu tamatlah riwayat To Liong To dan Ie Thian Kiam. Apa kau ingat pesananku?? walaupun berbicara dengan suara berbisik-bisik, paras muka Biat Coat angker dan kereng. Si murid mengangguk. "Cara itu, cara yang diambil kedua pit-kit merupakan rahasia terbesar dari partai kita.? Kata pula sang guru. "Semenjak Oey Liehiap mewariskan tentang rahasia kitab ini kepada Kwee SoeCouw, hanyalah Ciang Boen Jin dari partai kita yang mengetahuinya. To Liong To dan Ie Thian Kiam adalah senjata mustika. Andaikata seseorang bisa memiliki kedua senjata itu dengan berbareng, ia pasti tak akan berlaku begitu gila untuk merusakkan kedua-duanya. Sesudah memiliki kitab ilmu perang, kau harus mencari seorang pecinta negeri yang berhati mulia untuk mewarisi kitab tersebut. Sebelum menyerahkannya, kau harus menyuruh dia bersumpah, bahwa dengan segala usaha dan kepandaiannya, dia akan mencoba untuk mengusir kaum penjajah. Kitab ilmu silat harus dipelajari olehmu sendiri. Dalam seluruh penghidupannya, gurumu mempunyai dua angan-angan, yang pertama adalah mengusir Tat Coe dan merampas pulang negara kita. Yang kedua adalah mengangkat derajat Go Bie Pay sedemikian rupa sehingga partai kita berada di sebelah atas Siauw Lim , Boe Tong dan lain partai. Sehingga partai kita menjadi partai yang paling terutama dalam rimba persilatan. Kedua angan itu memang sukar tercapai. Tapi sekarang kita sudah melihat satu jalanan. Apabila kau mentaati pesan gurumu, belum tentu kau tidak akan berhasil, di alam baka gurumu akan merasa sangat berterima kasih terhadapmu. Baru ia sampai di situ, pintu sudah digedor oleh Lok Thung Kek. "Masuklah! kata Biat Coat. Pintu terbuka, tapi yang masuk bukan Lok Thung Kek. Yang masuk adalah Kouw Touwtoo. Biat Coat tidak menjadi heran. Baginya Lok Thung Kek atau Kouw Touwtoo tidak berbeda.

   "Bawa anak itu keluar, katanya sambil mengibaskan tangan. Ia tidak mau muridnya menyaksikan waktu ia membunuh diri. Karena khawatir si murid tidak dapat mempertahankan diri. Namun diluar dugaan Kouw Touwtoo mendekati dan berbisik.

   "telanlah obat pemunah ini. Sebentar, kalau di luar suara ribut, kau harus turut menerjang keluar. Biat Coat heran dan bingung.

   "Siapa tuan? tanyanya. "Mengapa tuan menyerahkan obat pemunah kepadaku? "Aku dari Kong Beng Yoe Soe dari Beng Kauw dan aku bernama Hoan Yauw. Aku berhasil mencuri obat ini dan aku sengaja datang untuk menolong Soe Thay, jawabnya. Darah si nenek lantas saja meluap.

   "Penjahat Mo Kauw! bentaknya. "Sampai saat ini kau masih coba mempermainkan aku? Hoan Yauw tertawa.

   "Baiklah! katanya.

   
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku tak membantah anggapanmu. Apa kau mempunyai nyali untuk menelannya? Begitu masuk di perut, racun ini akan memutuskan isi perutmu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, si nenek menyambut bubuk yang diangsurkan kepadanya, membuka mulut dan lalu menelannya. "Soehoe soehoe!... teriak Cie Jiak. "Jangan ribut! bentak Hoan Yauw.

   "Kaupun harus menelan racun ini. Si nona terkejut, tapi ia tak berdaya karena badannya sudah dipeluk dan mulutnya dibuka. Dengan cepat, Hoan Yauw memasukkan bubuk obat dan menuang air ke dalam mulut si nona sehingga obat pemunah itu lantas saja masuk ke dalam perut. Tak kepalang gusarnya Biat Coat. Matinya Cie Jiak berarti musnahnya segala harapan. Dengan kalap, ia menubruk Hoan Yauw, tapi sebab tak punya tenaga dalam, ia segera kena dirobohkan. "Semua pendeta Siauw Lim dan jago-jago Boe Tong sudah menelan racunku itu. Kata Hoan Yauw sambil menyeringai.

   "Apa orang Beng Kauw manusia jahat atau manusia baik, kau segera akan mengetahui. Seraya berkata begitu, ia melompat keluar dan mengunci pintu. Ajakan Tio Beng untuk mencari Boe Kie sangat membingungkan Hoan Yauw. Bagaimana ia dapat menunaikan tugas untuk merampas obat pemunah? Maka itu, setelah mendapat permisi dari Tio Beng untuk minum arak di ruangan depan, ia segera kabur ke Ban Hoat Sie. Tanpa membuang waktu, ia mendaki menara sampai ke lantai paling atas, dimana ia bertemu dengan Yoe Liong Coe yang sedang menjaga di luar kamar sendiri. Melihat Hoan Yauw, Yoe Liong Coe menyambut dengan hormat.

   "Kouw Touwtoo, katanya sambil membungkuk. Hoan Yauw manggut-manggutkan kepalanya.

   "Kurang ajar si tua bangka,? katanya di dalam hati.

   "Muridnya disuruh menjaga di luar, sedang dia sendiri bercinta-cintaan dengan selir Ong Ya. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini. Ia melangkah berjalan melewati Yoe Liong Coe dan tiba- tiba, secepat kilat, jari tangannya menotok jalan darah di kempungan murid kepala Lok Thung Kek. Jangankan Yoe Liong Coe tidak berwaspada, sekalipun siap sedia, belum tentu ia bisa meloloskan diri dari totokan Hoan Yauw. Begitu tertotok, badannya tak bisa bergerak lagi dan ia mengawasi si pendeta dengan mata membelalak. Kedosaan apa yang sudah diperbuatnya? Apakah ia berlaku kurang hormat? Hoan Yauw segera mendobrak pintu dan melompat ke dalam. Sebelum kakinya hinggap di lantai, tangannya menghantam tubuh yang berbaring di ranjang. Ia tahu, bahwa Lok Thung Kek berkepandaian tinggi dan kalau ia tidak membokong dengan pukulan yang membinasakan, ia harus melakukan pertempuran lama dan belum tentu ia bisa menang. Maka itu, dalam pukulan itu, ia menggunakan seantero tenaganya. "Buk! kasur pecah dan kapas berhamburan. Tapi waktu membuka kasur, ia kaget, sebab ia hanya melihat sesosok tubuh, yaitu Han Kie yang sudah binasa dengan mengeluarkan darah dari hidung dan mulutnya. Lok Thung Kek sendiri tak kelihatan bayangan-bayangannya. Setelah memikir sejenak, buru-buru Hoan Yauw keluar dan menyeret masuk Yoe Liong Coe yang kemudian digulingkan masuk ke kolong ranjang. Sesudah itu, ia merapatkan pintu dan menunggu. Beberapa saat kemudian, ia mendengar teriakan Lok Thung Kek.

   "Liong Jie! Liong Jie! panggilnya dengan suara gusar. "Kemana kau? Sebagaimana diketahui, si kakek telah dijemur Biat Coat. Dengan mendongkol, ia menunggu di luar kamar. Karena tak tahu sampai kapan si nenek baru selesai bicara dengan muridnya, ia segera mengambil keputusan untuk menengok Han Kie dan sebentar kembali lagi. Setibanya di depan kamar Yoe Liong Coe, ia marah besar karena murid itu tak mentaati perintahnya. Ia menolak pintu. Hatinya agak lega karena di dlam kamar tak terjadi perubahan dan si cantik masih berbaring di ranjang dengan tubuh tertutup kasur. Setelah menapal pintu, ia berkata sambil tertawa.

   "Nona cantik, aku akan membuka jalan darahmu. Tapi aku mengharap kau tak mengeluarkan suara. Seraya berkata begitu, ia memasukkan tangannya ke bawah kasur untuk menotok punggung Han Kie. Mendadak, mendadak saja, ia merasa pergelangan tangannya dicengkeram dengan jari-jari tangan yang keras bagaikan besi dan berbareng tenaganya habis. Kasur tersingkap dan dari bawah kasur keluar seorang pendeta rambut panjang, Kouw Touwtoo! Dengan tangan kanan mencekal pergelangan tangan si kakek, Hoan Yauw segera menotok sembilan belas hiat utama sekujur badan Lok Thung Kek, sehingga jago itu benar-benar tidak berdaya lagi dan hanya bisa mengawasi musuh dengan mata melotot. Sambil menuding hidung si kakek, Hoan Yauw berkata.

   "tua bangka! Aku tak pernah mengubah she atau menukar nama. Aku adalah Kong Beng Yoe Soe dari Beng Kauw, Hoan Yauw namaku. Kau sudah kena ditipu olehku dan Cuma-Cuma saja kau selalu membanggakan diri sebagai manusia yang pintar dan cerdas. Sebetulnya kau tak lebih dan tak kurang daripada manusia goblok. Kalau kini aku akan membunuhmu, aku mengampuni jiwamu, jika kau mempunyai nyali, di belakang hari kau boleh mencari Hoan Yauw untuk membalas sakit hatimu. Sebab kuatir Lok Thung Kek berhasil membuka jalan darahnya dengan jalan menggunakan Lweekang sendiri. Sesudah berkata begitu, ia menghantam kaki tangan si kakek sehingga tulang- tulangnya patah. Hoan Yauw adalah seorang anggota Beng Kauw yang masih memiliki Sia Khie (sifat-sifat sesat) Sesudah mematahkan tulang si kakek, ia masih belum merasa puas. Sambil menyeringai, ia membuka pakaian Lok Thung Kek dan merendengkannya dengan mayat Han Kie kemudian menggulung dua sosok tubuh itu. Satu manusia hidup, dan satu mayat dengan satu kasur. Sesudah itu, barulah ia mengambil kedua tongkat Lok Thung Kek, membuka salah sebuah cabang tanduk menjangan dan menuang semua obat pemunah. Dengan hati gembira, dia segera pergi ke berbagai kamar tahanan dan membagi obat kepada Kong Boen Taysoe, Song Wan Kiauw, Jie Lian Cioe, dan yang lain-lain. Dalam memberi pertolongan, beberapa kali ia harus menerangkan secara panjang lebar kepada orang-orang yang bersangsi, sehingga ia harus menggunakan waktu banyak sekali. Kamar yang paling akhir dikunjungi ialah kamar Biat Coat Soethay. Melihat sikap si nenek, ia sengaja mengeluarkan kata-kata yang membangkitkan hawa amarah. Dengan berbuat begitu, hatinya senang, sebab pada hakikatnya ia membenci pemimpin Go Bie Pay itu yang pernah membinasakan banyak anggota Beng Kauw. Tapi baru saja tugasnya selesai dan hatinya tergirang- girang, sekonyong-konyong di kaki menara terdengar teriakan-teriakan ramai. Dengan kaget, ia mamasang kuping. Diantara suara ramai-ramai itu, ia menangkap teriakan Ho Pit Ong.

   "Kouw Touwtoo mata-mata musuh! Tangkap! Tangkap dia!? Hoan Yauw mengeluh.

   "Celaka! Siapa yang menolong bangsat itu?? ia menengok ke bawah dan melihat, bahwa menara itu sudah dikurung oleh Ho Pit Ong dan sejumlah besar boesoe. Hampir berbareng, dua batang anak panah yang dilepaskan oleh Soem Sam Hwie dan Lie Sie Coei menyambar dirinya.

   

Duel Di Butong -- Khu Lung Elang Terbang Di Dataran Luas -- Tjan Id Rajawali Sakti Dari Langit Selatan -- Sin Long

Cari Blog Ini