Ceritasilat Novel Online

Pendekar Satu Jurus 15


Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Bagian 15




   Pendekar Satu Jurus Karya dari Gan K L

   
Para jago berseru kaget, tapi kesembilan orang yang masing-masing mendapat dua kali tamparan itu bukan saja tidak berubah wajahnya, malahan serentak memberi hormat sambil menvahut "Hamba sudah mendengar!"

   "Kalau sudah mendengar, mengapa tidak kalian jawab pertanyaan Tham-lopiautau itu?"

   Kesembilan orang itu serentak berpaling dan memberi hormat kepada Tham Beng, lalu menyahut berbareng.

   "Raja menghadiahkan kematian bagi patihnya dan sang patih tak berani hidup, ayah memerintahkan anaknya mati, anak tak berani tidak mati, Siang toako baik budi kepada kami melebihi raja dan ayah, maka kami bersembilan dengan kerelaan hati bersedia mengorbankan jiwa bagi Siang-toako"

   Sepanjang mengucapkan kata-kata itu mereka bersembilan selalu membuka mulut bersama dan tutup mulut berbareng, jelas sudah terlatih dengan baik. Liong-heng-pat ciang tersenyum, dia lantas menjura kepada Siang lt-ti sambil berkata.

   "Siangpangcu, maaf bila aku banyak urusan!"

   Pelahan ia kembali ke tempatnya semula, diam-diam dia menghela napas sambil berpikir.

   "Tak kusangka manusia yang aneh dan licik ini juga mempunyai anak buah yang rela berkorban baginya!"

   Dalam pada itu si Ayam Emas tambah bangga, ditatapnya Cian Hui yang sedang termenung itu lekat-lekat, lalu katanya seraya tertawa.

   "Cian-cengcu, apakah engkau sedang memaki kesembilan saudara ekor-ayamku ini terlalu goblok sehingga tidak setimpal untuk ditandingkan dengan anak buahmu?"

   "Ah, perkataan Siang-pangcu terlalu berlebih-lebihan."

   Cian Hui tertawa "tapi..."

   "Kalau begitu,"

   Potong Siang It-ti.

   "biarlah cayhe suruh kesembilan ekor-ayam ini mendemonstrasikan sedikit kejelekannya di hadapan Cengcu"

   Sambil berpaling dia lantas memberi tanda "Pergi sana!"

   Ke sembilan orang itu mengiakan, sekejap saja seluruh halaman telah dipenuhi oleh kain warna warni yang berkeliaran kian kemari, gerakan mereka lincah seperti kupu-kupu yang terbang di antara bunga, pada mulanya kawanan jago itu menyangka ke sembilan orang itu sedang mendemonstrasikan kegesitan mereka, tapi mendadak terdengar suara bentakan, menyusul kesembilan orang ini lantas berkumpul kembali di depan ruangan, hanya di tangan pemimpin mereka telah bertambah dengan sebatang toya besi.

   Bayangan mereka kembali berpisah, kesembilan orang itu memegangi ujung tongkat besi itu.

   empat orang di sebelah kiri dan empat orang di sebelah kanan, ketika orang yang ada di tengah itu membentak lagi, orang-orang itu lantas membetot dan tongkat besi itupun tertarik hingga makin panjang, gemuknya berubah seperti kawat, dari sini dapat terlihat betapa hebat tenaga betotan kedelapan orang itu.

   "Putus"

   Bentak orang yang berada di tengah itu tiba-tiba, telapak tangannya lantas membacok ke bawah Tongkat besi yang sudah berubah seperti kawat itu seketika juga patah jadi dua.

   Tepuk tangan dan sorak-sorai memuji bergema memenuhi seluruh ruangan, ke sembilan orang itu segera memberi hormat dan berjalan kembali ke hadapan Siang It-tu air muka mereka tetap tenang.

   Terkesiap juga si Tangan Sakti Cian Hui, kendatipun kungfu kesembilan orang itu tergolong ilmu kasaran dan jauh kalau dibandingkan dengar jagoan lwekang, tapi ia pun menyadari bahwa anak buahnya yang bertenaga setaraf itu tak banyak jumlahnya.

   Meskipun dia tinggi hati namun tak sampai keblinger, sudah tentu dia tak mau mengorbankan sembilan anak buahnya dalam suatu pertaruhan yang belum tentu ada harapan untuk menang.

   Walaupun begitu ia juga harus menjaga harga diri, gengsi dan kedudukannya apalagi ditantang di depan umum, bagaimanapun juga dia tak dapat mengabaikan tantangan Kim-keh Siang It-ti yang berbau ejekan itu.

   Sementara ia masih ragu-ragu, Liong-heng-bat-eiang Tham Beng berkata pula sambil tersenyum.

   "Cian-cengcu, kalau engkau yakin bahwa kemenangan pasti berada pada pihakmu, sekalipun taruhan ini luar biasa, kenapa tidak kuterima tantangannya?"

   Cian Hui terpojok, terpaksa ia menjawab dengan terbahak-bahak.

   "Hahaha... benar, benar!"

   Sambil bertepuk tangan dia lantas berpaling Yu Peng, coba keluar dan lihatkan ada berapa orang saudara kita yang mau datang kemari?"

   Yu Peng, laki-laki baju hitam yang selalu berdiri di belakangnya itu segera mengiakan dan mengundurkan diri dengan air muka yang agak berubah.

   Melihat itu, Kim-keh Siang It-ti terbahak-bahak "Hahaha, orang she Siang paling gemar berjudi, baru hari ini betul-betul ketemu tandingannya!"

   Cian Hui tidak berkata apa-apa.

   beruntun ia tenggak tiga cawan arak.

   Semua orang mulai gelisah dan tak tenang, mereka ingin tahu siapakah yang akan keluar sebagai pemenang dalam taruhan itu.

   Mereka pun ikut tegang bagi Cian Hui, malahan ada yang berpikir Kungfu Hui-taysianseng pasti lihay sekali, kalau tidak, Cian Sin-jiu yang cerdik masa berani bertaruh baginya.

   Semua orang saling pandang seolah-olah mereka pun terlibat dalam pertaruhan ini dengan jantung berdebar mereka memandang keluar pintu, mereka tak tahu harus menunggu berapa lama lagi dan apakah Hui-taysianseng akan masuk kembali ke ruangan itu? Di mata sekian banyak orang hanya Cian Hui yang tak pernah menengok ke pintu walau hanya sekejap saja, sebab dia tahu dengan jelas bahwa mengharapkan masuknya kembali Huitaysianseng melalui pintu tersebut sama dengan menantikan munculnya seekor ikan paus di daratan, hakikatnya tidak mungkin terjadi.

   Demkianlah, di tengah ketegangan itu, malam terasa tiba lebih cepat daripada hari biasa, cahaya lampu sudah menerangi seluruh ruangan.

   Tiba-tiba dan luar muncul sesosok bayangan, suasana jadi semakin tegang, orang ingin tahu Hui Giok yang muncul atau Leng-kok-siang-bok yang kembali, tapi orang itu ternyata tak lain daripada Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong.

   Begitu melangkah masuk ke dalam ruangan dia lantas berseru sambil tertawa nyaring- "Sungguh berbahaya, hampir saja aku ketinggalan dalam permainan yang menarik ini!"

   "Benar, benar!"

   Jawab si Ayam emas sambil berbangkit, tampaknya hari ini Cian-cengcu sedang keranjingan bertaruh, bila Na-heng tidak ikut serta dalam pertaruhan ini, mungkin di kemudian hari kau tak akan menemukan lagi kesempatan bertaruh sebagus ini."

   Na Hui-hong tertawa, sebetulnya aku bukan seorang penjudi, tapi ketika mendengar kabar, kakiku seperti tiba-tiba tumbuh sayap dan tanpa kusadari terus berlari kemari.

   Ketika ia menengadah, Cian Hui sedang memandangnya dengan senyuman kaku, hal ini membuat gelak tertawanya bertambah nyaring, pikirnya.

   "Cian Hui, wahai Cian Hui, orang cerdik seperti kau juga bisa berbuat tolol. Hmm, jika tidak kubikin kau bangkrut, hehehe mulai detik ini jangan panggil aku sebagai Jit-giau-tui-hun. Maka dengan tersenyum dia berkata.

   "Barusan, ketika Yu-koankeh mengumpulkan jago berani mati di luar, baru ku tahu Siang-heng telah menemukan sistem taruhan yang unik ini, sayang sekali Siaute tidak memiliki modal taruhan semacam itu, maka aku hanya membawa lima ratus selongsong perak untuk bertaruh dengan Cian heng, tapi apabila Cian-heng merasa jumlah ini terlalu sedikit, di kota Soh-ciu aku masih punya sebidang tanah dan bangunannya, sekalipun kalah besarnya dengan Long bong-san-ceng, tapi rasanya cukup sebagai modal taruhan Nah, Biar kusodorkan semua itu untuk bertaruh denganmu!"

   Dia bicara dengan seenaknya, seakan-akan seorang anak nakal yang bertaruh dengan kacang saja.

   Tapi semua orang lantas berseru kaget.

   malahan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng juga berubah air mukanya.

   Maklumlah, lima ratus longsong perak sama dengan lima puluh laksa tahil perak, ditambah lagi perkampungan Jit-giau-san-cengnya yang termasyhur di dunia persilatan, nilainya sungguh sangat mengejutkan.

   Na Hui-hong melirik sekejap sekitarnya, lalu ujarnya lagi sambil tertawa.

   "Selama hidupku tak pernah berjudi, tapi sekali berjudi harus berjudi sampai puas, sekalipun hartaku ludes semua juga rela, paling banter bekerja keras sepuluh tahun lagi ... Hahaha, saudara Cian, kenapa kau tidak berbicara?"

   Cian Hui melengak. seperti baru sadar dari impian dia berpaling dan tertawa.

   "Hahaha, meskipun taruhan yang kuselenggarakan ini hanya bersifat iseng, rupanya kalian semua telah bertaruh dengan sungguh-sungguh "

   "Memangnya kau anggap taruhanku tidak sungguh-sungguhan."

   Tanya Jit-giau-tui-hun dengan kurang senang.

   Meski Cian Hui masih bersenyum, tari sorot matanya penuh rasa benci, andaikata sinar matanya dapat melukai orang, mungkin Na Hui hong sudah mati beberapa kali.

   Maklumlah, kalau taruhan tadi belum menjadi soal bagi Cian Hui, tapi taruhan Na Hui hong sekarang cukup membuat seseorang menjadi bangkrut dan jatuh miskin, sekalipun Cian Hui terhitung seorang tokoh Lok-lim yang kaya, tapi oleh karena dia sangat royal, maka tabungannya tidak seberapa banyak, dalam gudang paling banyak juga cuma tersedia hanya puluh laksa tahil perak.

   Na Hui-hong ini seakan-akan dapat menaksir kekayaan yang dimilikinya maka dia mengajukan pertaruhan seperti itu, dengan tujuan supaya Cian Hui jatuh pailit, bahkan dia ingin menangkan pula tempat tinggal Cian Hui sehingga kalau bisa lawannya akan dibikin tidur di emper rumah orang Cian Hui bukan orang bodoh, sudah tentu dia paham maksud lawannya, bisa dibayangkan betapa gemas dan bencinya, dalam hati dia menyumpah.

   "Na Hui-hong, wahai Na Hui-hong aku tak pernah bermusuhan dengan dirimu, mengapa kau bertindak sekeji itu kepadaku? Hmm, bila suatu ketika kau terjatuh ke tanganku , .. hnim, hm..."

   Tapi dia lantas tertawa, katanya.

   "Aku tak bermaksud demikian, masa tidak percaya pada Na heng, tapi kau pun harus tahu, medan judi sama seperti medan tempur sekali orang terjun ke gelanggang pertaruhan, sekalipun saudara sekandung juga harus membuat perhitungan dan lagi di medan judi yang diutarakan adalah taruhan nyata kalau cuma omong kosong tanpa bukti hitam di atas putih. rasanya rasanya tidak masuk hitungan..."

   Tiba-tiba ia menemukan alasan yang tepat untuk menolak tantangan Na Hui-hong maka ia tertawa senang.

   "Ucapan Cian-heng memang tepat, taruhan harus ada barangnya,"

   Na Hui hong tertawa, Maka kebetulan sudah kubawa lima puluh laksa tahil perak itu, meskipun tidak berada dalam sakuku, tapi dalam waktu satu jam sudah bisa dibawa kemari sedangkan mengenai perkampunganku itu sekarang juga akan kubuatkan surat kontrak, para jago persilatan lain boleh bertindak menjadi saksi untuk ini ingin kuminta bantuan Tham-lopiautau dan Siang pangcu agar suka menjadi wasit, siapa yang kalah, dalam waktu setengah bulan harus mengosongkan perkampungannya dan menyerahkan kepada pihak yang menang...

   Hahaha, ucapan saudara Cian memang benar siapa yang terjun ke arena perjudian, sekalipun saudara sekandung juga mesti bikin perhitungan Hahaha..."

   Kim-keh Siang It-ti merasa mendapat kesempatan, segera ia menimpali.

   "walaupun Siaute bukan orang yang suka mencari urusan, tapi jabatan sebagai penengah ini pasti kuterima."

   "Betul, bila Na-tayhiap menghargai diriku tentu saja aku pun tidak menolak."

   Sambung Liong heng-pat-ciang Tham Beng sambil tersenyum.

   Sin-jiu Cian Hui berdiri tertegun seperti patung, tiba-tiba ia cabut kipasnya dan menggoyangkannya dengan keras lalu menyimpan kembali kipasnya terus menenggak beberapa cawan arak.

   Sekalipun dia seorang tokoh persilatan yang hebat, tapi harta benda yang dikumpulnya dengan susah payah selama bertahun-tahun bakal ludes di atas meja pertaruhan dan jelas tak ada harapan untuk menang, bagaimanapun tebal imannya tidak urung berubah juga air mukanya.

   Semua orang memandangnya dengan menahan napas, demikian tegangnya sehingga suara bisik-bisik pun ikut lenyap, keadaan menjadi sunyi, Mendadak Cian Hui terbahak-bahak.

   "Baik baik! Kalau saudara Na berniat untuk bertaruh tentu saja aku akan mengiringimu dengan senang hati."

   Sambil mengulapkan tangannya dia berseru lagi.

   "Siapkan alat tulis..."

   Seorang Piautau yang terkenal bertulisan bagus didorong keluar untuk menulis surat kontrak tapi sewaktu dia mengambil pit dan mulai menulis, jelas tangannya gemetar keras.

   Cian Hui berdiri kaku menyaksikan di samping, meski pengaruh arak memperkuat ketabahannya tak urung keringat membasahi jidatnya.

   Apalagi ketika tiba gilirannya untuk membubuhi tanda tangan, butiran keringat sebesar kacang kedelai mengucur keluar, hal ini membuat para jago yang hadir itu merasa tercengang.

   "Heran, biasanya Cian Sin-jiu selalu tenang, kenapa sikapnya sekarang tampak gugup?"

   Andaikan mereka tahu bagaimana perasaan Cian Hui ketika itu, mungkin tak ada orang yang berpendapat demikian, Sampai-sampai Liong-heng-pet-ciang juga merasa heran.

   Setelah surat kontrak diteken, dua lembar kertas itu berikut kedua lembar cek tadi ditaruh di bawah nampan yang berisi uang emas itu.

   Cian Hui kelihatan gelisah, sebentar duduk dan sebentar berdiri.

   Sinar mata kawanan jago pun tak berkedip mengawasi pintu.

   Yu Peng, si kepala rumah tangga Long bong san-ceng mendadak lari masuk, sekalipun jelas tahu siapa yang muncul toh jantung semua orang berdebar keras.

   Maka setiap ada bayangan orang muncul dan luar, semua orang lantas menjadi tegang.

   Sesudah berlari masuk, segera Yu Peng berseru.

   "Saudara kita semuanya siap jual nyawa bagi Cengcu, lantaran jumlahnya terlalu banyak maka hanya kupilihkan sembilan orang. Jit-giau-tui-hun tertawa dingin.

   "Hehe, Cian heng memang disayang anak buah . hehe..."

   Padahal ia saksikan sendiri di luar kebanyakan anak buahnya enggan mempertaruhkan nyawa secara sia-sia. Merah wajah Cian Hui mendengar sindiran itu dia lantas berteriak, Suruh mereka masuk."

   Terdengar sembilan orang laki-laki berbaju hitam mengiakan dan berlari masuk ke dalam ruangan dan tepat berhadapan muka dengan kesembilan orang berbaju warna-warni tadi, ketika delapan belas pasang mata saling bertemu, terjadilah saling pandang dan entah apa yang mereka pikirkan di dalam hati.

   Kim-keh Siang It-ti memperhatikan wajah ke sembilan orang itu, sekilas pandang saja dia tahu bahwa Sin-jiu Cian Hui memang tidak malu sebagai seorang tokoh persilatan, kekuatan yang terhimpun di pihaknya ternyata bukan kaum keroco.

   Gerak-gerik kesenbilan laki-laki berbaju hitam nampak tangkas, hanya saja mereka tidak setenang anak buahnya.

   "Bagus... bagus..."

   Cian Hui mengangguk berulang kali, dia berpaling dan membisikkan sesuatu kepada Yu Peng. Kim-keh Siang lt-ti lantas tertawa dingin.

   "Hehe, saudara Na, tahukah kau, apabila hari ini aku kalah urusan masih mendingan, tapi kalau menang hem, untuk keluar dan sini mungkin akan jauh lebih sukar daripada waktu masuk kemari tadi!"

   Hebat perubahan air muka Cian Hui, ia pun tertawa dingin.

   "Hehehe, saudara Siang, masa kau begitu pandang hina atas diriku ini?"

   "O, niat jahat untuk mencelakai orang jangan sekali kali ada, tapi hati-hati terhadap segala kemungkinan jangan sekali lengah, itulah ajaran kuno yang sudah kita ketahui bersama."

   Berkerutlah kening Cian Hui, katanya dengan lantang.

   "Yu Peng, coba jelaskan kepada mereka, apa yang barusan kukatakan kepadamu?"

   "Cengcu memerintahkan pada hamba agar mempersiapkan ganti rugi untuk keluarga ke sembilan saudara ini!"

   Sahut Yu Peng dengan kepala tertunduk.

   Mendadak Jit-giau-tui-hun terbahak-bahak "Hahaha., ..

   menang atau kalah belum jelas, kenapa Cian-heng malahan sudah mengharapkan kemenangan bagi orang lain dan melenyapkan wibawa pihak sendiri?" - Habis berkata kembali ia menengadah dan terbahak-bahak.

   Jit-giau-tongcu Go Beng-si juga ikut sedih meski ia tak senang pada sifat Cian Hui yang jelek tapi iba juga menyaksikan keadaannya dipandang nya sekejap barang taruhan di meja, lalu ditatapnya juga kedelapan belas orang itu kemudian ia berkata sambil menghela napas panjang.

   "Terlepas dari siapa yang akan menang, tapi selama hidup Cian cengcu bisa bertaruh sebesar ini, betapapun engkau harus merasa bangga!"

   Cian Hui tersenyum dengan perasaan berterima kasih.

   "Go-siauhiap..."

   Belum lanjut ucapannya.

   Tiba-tiba dari samping berkumandang suara tertawa dingin yang tak enak didengar serentak para jago mengalihkan perhatian mereka ke arah sana, ternyata suara tertawa dingin itu berasal dan Tham Bun-ki, puteri kesayangan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, di bawah cahaya lampu wajahnya yang jelita itu rada pucat tapi matanya yang hening tampak buram.

   Dengan termangu-mangu ia memandang tangan sendjri yang halus, sorot mata ratusan orang itu seperti tidak dirasakannya sama sekali.

   "Kalau pertaruhan ini disebut pertaruhan terbesar hm, kukira pertaruhan terbesar di dunia ini akan terlampau banyak?"

   Katanya dingin.

   Dia seperti bergumam sendiri, seakan-akan tak tahu kalau beberapa patah-katanya yang singkat itu telah menghebohkan semua orang.

   Air muka Sin-jiu Cian Hui berubah hebat, Kim-keh Siang It ti dan Jit-giau Lui hun Na Hui-hong saling berpandang dengan bingung, sementara Liong-heng pat-ciang mengernyitkan alis.

   Akhirnya Liong-heog pat-ciang juga yang menegur puterinya.

   "Anak Ki, jangan sembarangan berbicara?"

   Dia sangat menyayangi Bun-ki, betapapun ia merasa berat untuk mengomelinya di depan umum.

   Tak terduga Bun-ki tetap kaku, sikapnya tetap dingin seakan-akan tidak mendengar teguran sama sekali.

   Jit-giau tui-hun Na Hui-hong tak sabar lagi dia lantas berseru- "Jadi maksud nona Tham masih ada cara taruhan lain yang jauh lebih hebat?"

   "Ya, benar"

   Gadis itu menyahut dengan dingin dan perlahan bangkit berdiri.

   "Duduk"

   
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kembali Tham Bcng membentak. Tapi keadaan Bun-ki sekarang bagaikan orang linglung, pelahan ia menghampiri Sin-jiu Cian Hui. Tampaknya pemilik Long-bong-san-ceng ini pun terpengaruh oleh sikap si nona yang aneh itu serunya.

   "Nona Tham, kau ...."

   "Aku hendak bertaruh sesuatu denganmu, ba rang taruhan itu jauh lebih berharga daripada benda apapun, beranikah kau terima tantanganku ini?"

   Sekali lagi Na Hui-hong dan Siang It-ti saling pandang, sorot mata mereka terpancar rasa gembira yang meluap, sementara para jago yang memenuhi ruangan itu pun ikut berdiri semua, malahan Tonghong-ngo-hengte yang selama ini cuma berpeluk tangan belaka juga ikut bangkit, beratus pasang mata sama tertuju ke atas tubuh si nona yang aneh itu.

   Dengan pandangan setengah bertanya Sin-jiu Cian Hui berpaling sekejap ke arah Tham Beng.

   Tapi dalam keadaan demikian Tham Beng sendiri tak dapat memaksa puteri kesayangannya pergi dan situ, apalagi ia pun mengharapkan Cian Hui jatuh bangkrut maka setiap tindakan yang bisa mendatangkan kerugian bagi Cian Hui semakin baik baginya, ditambah lagi dia yakin Cian Hui tiada harapan untuk memenangkan pertaruhan tersebut, maka bukan saja ia tidak memberikan reaksi, bahkan mengerling pun tidak.

   Dengan dingin Bun-ki menatap Cian Hui, ketajaman matanya seperti seekor kucing di tengah kegelapan yang sedang memandang hina dan mengejek seekor tikus yang sudah tak berdaya.

   Karena terdesak, akhirnya Cian Hui menghela napas panjang.

   "Nona. kalau kau berminat untuk bertaruh, katakan saja apa barang taruhannya!"

   "Jika kau setuju bertaruh baru akan kusebut kan!"

   "Bila nona tidak menerangkan lebih dulu, darimana orang she Cian bisa menjawab mau atau tidak?"

   Menyaksikan kegugupan orang, Bun-ki tertawa dingin "Hehehe? jadi kau tidak ada keberanian untuk menerima tantangan bertaruh dan seorang perempuan?"

   Cian Hui mengusap keringat yang membasahi jidatnya, tokoh persilatan yang tersohor ini entah sebab apa ternyata merinding menghadapi tantangan nona ini.

   Setelah termenung sebentar, tanyanya dengan gugup seandainya aku tidak memiliki benda itu? "Kau pasti punya?"

   Tukas Bun-ki singkat.

   Kontan kawanan jago yang hadir di situ merasa jantung berdebar keras seakan-akan mau melompat keluar dan rongga dadanya.

   Dengan pandangan tajam Sin-jiu Cian hiu menyapu pandang sekejap sekeliling ruangan, tibatiba ia membusungkan dada, ia pikir masa aku kena di gertak oleh puteri musuh bebuyutanku?"

   Berpikir demikian, ia lantas berseru dengan tantang "Kalau begitu, baiklah! Apa pun yang hendak nona pertaruhkan pasti akan kuterima.

   Di luar ia berkata demikian dalam hati ia berpikir "Bagaimanapun juga pertaruhan tadi sudah cukup untuk bikin aku bangkrut bila ditambah lagi juga tak menjadi soal!"

   Bun-ki tertawa dingin.

   "Hehe. yang hendak kupertaruhkan denganmu adalah..."

   Ia sengaja berhenti sebentar, matanya yang dngin itu menyapu pandang sekeliling ruangan. Semua orang menahan napas, sementara nona itu melanjutkan ucapannya sepatah demi sepatah "Yang hendak kupertaruhkan adalah sepasang matamu!"

   Kawanan jago yang menakut napas serentak berseru kaget.

   Air muka Tham Bun-ki yang pucat tapi cantik masih tetap kaku tanpa perubahan katanya, lebih jauh dengan dingin, pertaruhan kita ini berakhir sampai tengah hari esok, pada waktu itu pertarungan antara Hui Giok dengan Leng-kok-siang bok tentu sudah berakhir begitu bukan?"

   Dengan ragu Cian Hui menjawab Ya, kukira... kukira memang begitulah!"

   Perhatian pura jago kembali beralih ke wajah Tham Bun-ki, gadis itu berkata lagi dengan dingin "Pada saat Hui Giok muncul kembali di ruangan ini kedua mataku segera akan kucukil keluar dan kupersembahkan kepadamu, tapi bila sebaliknya yang terjadi , hm, sekalipun tidak kuterangkan tentunya kau pun tahu..."

   Kata itu diucapkan dengan suara dingin kaku tanpa emosi, seakan-akan sepasang mata yang dipertaruhkannya itu bukan miliknya sendiri.

   Semua orang sama menarik napas dingin, kendatipun mereka adalah manusia yang mencari sesuap nasi di ujung golok, tapi sepanjang hidupnya belum pernah menemui seorang gadis sedingin itu, segera ada yang melirik ke arah Liong-heng-pat-ciang, mereka mengira Tham Beng pasti akan terkejut setelah mendengar taruhan yang diajukan puteri kesayangannya itu.

   Ternyata Tham Beng tetap tenang saja, malahan ia duduk sambil mengelus jenggotnya, tentu saja tak seorang pun yang bisa menebak apa yang sedang dipikir tokoh persilatan ini.

   Tham Beng bukan orang yang ceroboh, justeru karena dia yakin Hui Giok pasti bukan tandingan Leng-kok-siang-bok, maka ia hanya membungkam saja, malahan kalau ada orang hendak bertaruh kepalanya juga dia akan menerimanya.

   Karena itulah ia tidak kaget atau menegur tindakan puterinya itu, malah diam-diam ia memuji kebagusan ide itu ia merasa gadis itu pandai memanfaatkan kesempatan, keenceran otaknya sedikit pun tidak di bawahnya.

   Padahal, tokoh persilatan yang tersohor ini mana dapat menebak isi hati puterinya yang sebenarnya.

   Hanya Jit-giau tongcu Go Beng-si saja yang diam-diam menghela napas, pikirnya.

   "Ai, agaknya kepergian saudara Hui tadi telah sangat menyakiti hati nona ini, andaikata dia menang, mungkin nona ini benar-benar akan mengorek keluar sepasang matanya, sebab ia sudah tak ingin berjumpa lagi dengan pemuda itu!"

   Seperti orang yang kehilangan semangat, lama sekali Sin jiu Cian Hui berdiri termangu-mangu tapi akhirnya dia tertawa terkekeh-kekeh.

   "Hehehe sebenarnya buat apa nona pertaruhan sepasang matamu itu dengan diriku? Ketahuilah bahwa sepasang mataku ini tidak seberapa berharga, tapi bila Hui-taysianseng menang dan nona harus mengorek matamu yang jeli itu, O sungguh bikin hatiku tak tega! Hehehe . bukankah begitu saudara sekalian?"

   Ia berharap dengan kata2 yang ringan itu dapat menutupi perasaan sendiri yang tegang, ia pun berharap dengan kata2 itu bisa menggerakkan hati Tham Bun-ki agar membatalkan niatnya, selain daripada itu ia pun berharap bisa memancing simpati orang lain terhadapnya.

   Benarkah demikian..."

   Jengek Bun-ki, tiba-tiba air mukanya berubah hebat, serunya.

   "Andaikata Hui Giok menang, bukan saja mataku akan kukorek keluar lidahku juga akan kupotong, sebab aku tak sudi bertemu dan berbicara lagi dengan dia. Semua orang tercengang, siapa pun tak tahu apa sebabnya sikap nona itu mendadak berubah begitu? Hanya Jit-giau-tongcu Go Beng-si saja yang memahami duduknya perkara, hanya dia yang menghela napas penuh rasa iba. Karena dia tahu, gadis yang biasa dimanja, gadis yang berwatak keras dan suka menang itu, akhirnya mengutarakan juga perasaan yang sebenarnya. Waktu itu, perhatian semua orang dalam ruangan sama tertuju kepada Tham Bun-ki seorang orang-orang yang ada di halaman juga berkerumun ke depan pintu ruangan, beratus pasang mata tertarik oleh si nona, siapapun tidak memperhatikan bahwa dari luar diam-diam telah muncul sesosok bayangan, bayangan yang bergeser perlahan seperti badan halus. Karena ucapan Tham Bun-ki itu, dia telah menghentikan langkahnya, lantaran ucapan si gadis pula ia menghela napas sedih, bintang yang bertaburan di angkasa, cahaya lampu dalam ruangan menyinari raut wajahnya. Itulah wajah yang pucat, wajah yang putih seperti wajah badan halus ia berdiri ragu di luar pintu lama dan lama sekali. Akhirnya dia membusungkan dada, ia menyisihkan kerumunan orang di sekitar pintu dan perlahan masuk ke dalam ruangan. Semua orang yang berada dalam ruangan masih memandangi Tham Bun-ki dengan kesima, kemudian entah siapa yang mulai dulu, tiba-tiba terdengar jeritan kaget memecah kesunyian.

   "Hui... ..Hui...."

   Walau hanya satu kata, tapi daya teriaknya jauh melebihi berita dunia kiamat, pandangan setiap orang, termasuk juga Tham Bun-ki, seperti orang kena sihir, semuanya beralih ke arah pintu.

   Orang yang berkerumun waktu itu sudah menyingkir seperti kena tenung, dalam sekejap terbukalah sebuah jalan lewat yang lebar.

   Lalu seorang pelahan berjalan masuk melalui jalan yang lebar dan lengang itu.

   Meski langkahnya sangat pelahan tapi suara langkah kakinya yang pelahan seolah-olah berubah menjadi suara kapak raksasa yang membelah bukit menggetar hati mereka.

   Setelah keheningan, akhirnya meledak sorak-sorai yang gegap gempita, beratus orang serentak berseru.

   "Hui taysianseng!"

   Kejutan yang tak terkirakan dahsyatnya itu membuat Kim keh Siang It-ti dan Jit giau-tui-hun Na Hui-houg lupa akan kekecewaan mereka, membuat Sin-jiu Cian Hui lupa bersorak kegirangan membuat Jit-giau-tongcu Go Beng-si lupa menyongsong rekannya dan membuat Tham Bun-ki lupa atas taruhannya.

   Air muka Hui Giok tampak pucat, dirundung kekecewaan, seperti juga air muka Tham Bun-ki tadi.

   Hanya sorot matanya tidak seterang mata Tham Bun-ki, sebab perasaan Bun-ki waktu itu adalah gusar dan benci sebaliknya perasaan Hui Giok sekarang hanya kecewa dan putus asa.

   Sin-jiu Cian Hui memandang pemuda itu dengan termangu, ia tak tahu harus bergembira atau kecewa, meski taruhan tadi merupakan suatu jumlah pertaruhan yang luar biasa, tapi sampai detik terakhir ia belum pernah mengharapkan kemenangan Hui Giok, seperti juga Tonghong-ngo-heogte yang tidak mengharapkan dia kalah dan mati.

   Tapi akhirnya Cian Hui bersorak juga dengan gembira.

   Siang It-ti dan Na Hui-hong saling pandang dengan lesu, Liong-beng-pat-ciang bangkit berdiri, Go Beng-si lari ke depan menghampiri rekannya dan Tham Bun-ki, dengan tangan yang gemetar segera hendak mencolok kedua biji matanya sendiri.

   "Anak Ki!"

   Bentak Liong-heng-pat ciang, dengan cepat ia tutuk jalan darah di pinggang puteri kesayangannya.

   Bun-ki berkeluh tertahan pelahan ia roboh ke dalam pangkuan ayahnya.

   Keadaan Hui Giok waktu itu bagaikan sebuah planet yang jatuh ke bumi, semua perhatian, pandangan semua orang sama tertuju padanya, sampai berkumandangnya suara bentakan dan keluhan tertahan, orang2 itu baru sama-sam berpaling.

   Sin-jiu Cian Hui menjapu pandang sekeliling, katanya dengan dingin.

   pertaruhan tadi bukanlah usulku, harap Tham-lopiautau jangan melupakan nya dengan begitu saja!"

   "Apa maksudmu?"

   Jengek Liong heng-put-ciang dengan air muka berubah hebat.

   "Hahaha, memangnya Tham-tay enghiong yang mengutamakan kebajikan dan kebenaran tak takut ditertawakan oleh setiap umat persilatan?"

   Cian Hui tertawa bergelak. Sambil tertawa ia berpaling dan ujarnya lagi "Hui-heng, ada beberapa orang yang punya mata tapi tak bisa melihat, mereka tidak percaya engkau dapat mengalahkan Leng kok siang-bok"

   Selangkah demi selangkah Hui Giok maju ke depan, air mukanya kaku tanpa emosi, tiba-tiba tukasnya dengan dingin.

   "Siapa bilang aku menang?"

   "Habis, apakah Hui heng kalah?"

   Cian Hui berseru kaget.

   Perasaannya sekarang sungguh sukar dilukiskan oleh siapa pun, ketika mendengar Hui Giok menang hatinya merasa agak kecewa, tapi dalam kekecewaan tersebut ia pun merasa sedikit gembira, sekarang demi mendengar Hui Giok kalah, iapun merasa kecewa, meski dibalik kekecewaan terdapat pula sedikit rasa gembira, jadi perasaannya ketika itu sebetulnya gembira atau kecewa, dia sendiripun tidak dapat menjawabnya dengan pasti.

   Perasaan para jago waktu itu pun sebentar sedih sebentar girang, hanya Liong-heng pat-ciang Tham Beng saja diam-diam mengembus napas lega setelah didengarnya Hui Giok tidak menang.

   Didengarnya Kim-keh Siang It-ti dan Jit-giau tui-hun Na Hui hong sekali lagi saling pandang, wajah mereka pun mengunjuk rasa girang.

   Siapa tahu Hui Giok lantas menjawab lagi dengan dingin "Siapa bilang aku kalah?"

   Kembali terjadi kegaduhan suasana, ruangan yang semula sunyi senyap bagaikan kuburan itu kini berubah jadi gaduh sekali.

   "Tenang! Tenang! Harap saudara sekalian tenang dulu"

   Teriak Cian Hui. Meskipun bentakan itu cukup berhasil namun nasib banyak juga orang bersuara di sana sini Sin-jiu Cian Hui menunggu cukup lama, akhirnya dia menghela napas dan bertanya.

   "Hui-heng, sebenarnya kau menang atau kalah"

   "Menang. Menang?"

   Jawab Hui Giok kaku seketika Tham Beng, Siang It-ti dan Na Hui hong merasa cemas.

   "Eh, kalah, kalahl"

   Sambung Hui Giok pula tiba-tiba jawaban yang tak keruan ini membuat Cian Hui berkerut kening, diam-diam ia menyumpah Sialan, mungkin orang ini sudah sinting?"

   "Ya menang, ya kalah...."

   Hui Giok menambahkan dengan senyuman yang aneh dan sukar diraba -ooOoo- - ooOoo- Kiranya setelah meninggalkan Long-bong-san ceng tadi, Hui Giok tidak pedulikan apakah Leng kok-siang-bok akan menyusulnya atau tidak, dia hanya berjalan dengan kepala tertunduk seperti seorang yang sedang berjalan-jalan mencari angin sedangkan Leng-kok-siang-bak yang berwatak aneh itu mengintilnya di belakang, sama sekali tidak mendesaknya.

   Setelah mengitari tempat pemberhentian kereta di depan pintu perkampungan dia kembali menuju ke hutan yang sepi dan rimbun itu.

   "Cuaca dalam bulan lima benar-benar menawan hati!"

   Ia memandang burung yang berkicau di dahan pohon, diam diam ia bergumam, perasaannya terasa tenang, sama sekali tidak rasa gugup akan menghadapi maut, juga bukan ketenangan semacam orang yang pasrah nasib ketenangannya waktu itu adalah ketenangan yang sangat aneh.

   Leng-kok-siang-bok saling pandang dengan heran bahwa anak muda itu sedemikian tenangnya Tiba-tiba Hui Giok berpaling dan berkata.

   "Apakah kalian setuju bila kita bertarung di sini saja?"

   Leng Ko-bok berdehem, setelah mengerling sekejap kearah Leng Han-tiok, jawabnya "Tempat ini sangat bagus!"

   Bagus, jika demikian kalian berdua boleh segera turun tangan!"

   Ucap Hui Giok dengan tersenyum.

   "Baik..."

   Leng Han-tioJc juga berdehem sambil berpaling dan menatap Ko-bok lekat-lekat, meski tidak mengucapkan sepatah katapun, tapi dari pandangan tersebut dapat diketahui bahwa meminta agar Leng Ko-bok yang maju lebih dulu.

   Dengan suara berat Leng Ko-bok berseru "Oh, lebih baik kau saja yang maju!"

   "Aku?"

   Leng Han-tiok tergagap.

   "Ya, kau yang harus turun tangan lebih dulu!"

   Ternyata kedua bersaudara itu tak seorangpun yang bersedia melaksanakan tugas batas dendam yang pada hakikatnya adalah suatu perbuatan yang pantas sekalipun mereka sendiri tahu bahwa untuk mewujudkan keinginan tersebut dapat dicapainya dengan sangat mudah.

   Leng Han-tiok seperti terpaksa, dengan perasaan apa boleh buat ia menghela napas panjang "baiklah biar aku yang maju saja!" - selangkah demi selangkah dia lantas maju ke depan pemuda itu.

   "Silahkan!"

   Ujar Hui Giok sambil tersenyum.

   Waktu Leng Han-tiok menengadah dilihatnya betapa gagah dan wajar sikap anak muda itu dengan mengulum senyum, seakan-akan seorang jago kelas tinggi yang sedang berhadapan dengan seorang musuh yang tak tahu diri, seandainya dia tidak mengetahui sampai di manakah kelihaian Kungfu anak muda itu, tentu dia akan menghadapi lawannva dengan lebih hati-hati.

   Tapi.

   sikapnya sekarang seakan-akan tidak bergairah untuk berkelahi katanya dengan tak acuh kenapa kau tidak menyerang dulu?"

   Hui Giok tersenyum "Aku tiada bermaksud berkelahi dengan kalian, adalah kalian yang menantang aku bertarung, tentu saja kau yang harus turuno tangan duluan"

   Leng Han-tiok mengangguk, agaknya ia setuju dengan alasan lawan "Kalau begitu, biarlah aku menyerang dulu"

   Katanya kemudian.

   Setelah berdehem, dia maju selangkah ke muka, lalu ayun telapak tangannya dan memukul pemuda itu, serangannya ini sama sekali tak bertenaga, bahkan arah serangan dan ketepatan waktu juga tidak diperhatikan seperti seorang ibu yang enggan memukul putera-puterinya, yang ia sendiri sebenarnya sayang untuk memukulnya.

   Hui Giok tertegun dia angkat tangannya untuk menangkis, Leng Han tiok pun menarik kembali serangannya, lalu mengangkat tangan yang lain untuk memukul lagi dengan tak bersemangat.

   Hui Giok melenggong tapi ia menangkis juga dengan pelahan seperti apa yang dilakukan semula.

   Leng Han-tiok ganti tangan dan memukul lagi tanpa semangat.

   Hui Giok mundur selangkah, sekali ini ia pun enggan menangkis.

   "Eh, kenapa tidak kau balas seranganku?"

   Leng Han-tiok segera berteriak "Bukankah sudah kulepaskan serangan balasan!"

   Sahut Hui Giok, segera ia melancarkan suatu pukulan balasan.

   Leng Han-tiok menangkis, hanya sekali bergerak saja tangannya telah mengunci urat nadi pergelangan tangan Hui Giok.

   Tapi ia cuma membentuk saja, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia putar badan dan berlalu dari situ.

   Setibanya di depan Leng Ko bok.

   ia berdiri termangu sekian lamanya, kemudian berkata dengan suara keras.

   "Bila kau hendak membalas sakit hati, kenapa tidak turun tangan sendiri Aku . aku... lelah sekali..."

   Di balik sinar mata Leng Ko-bok yang tajam seakan-akan terlintas secercah senyuman, dia mengangguk.

   "Baik, baik, biar aku yang maju!"

   Setibanya di depan Hui Giok, pelahan ia menggulung lengan bajunya, tapi sama sekali tidak ada niat untuk turun tangan Melihat tingkah laku kedua orang itu, Hui Giok merasakan kehangatan, ia tak menyangka di balik tubuh kedua orang aneh yang dingin dan kaku itu terdapat juga perasaan hangat insani.

   Lama sekali Leng Ko-bok menggulung lengan bajunya seakan-akan pekerjaan menggulung lengan baju adalah pekerjaan yang lebih sulit daripada pekerjaan apa pun jua.

   Melihat itu, sorot mata Leng Han-tiok juga memancarkan setitik senyuman, tapi ia menegur dengan dingin.

   "Tanpa gulung lengan baju kan juga bisa bertarung?"

   Leng Ko-bok berpaling sambil melotot sekejap, akhirnya dia mengangkat juga telapak tangannya dan menyerang.

   Kali ini Hui Giok memandangi datangnya telapak tangan itu dengan termangu, ia tidak berkelit atau menangkis.

   Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ketika serangan itu mencapai tengah jalan tiba-tiba Leng Ko-bok menarik kembali telapak tangannya, lalu bergumam "Tak bisa, tidak bisa Lebih baik kami bunuh habis semua orang yang berada di Long-bong-san-ceng daripada mengadu kepandaian dengan seorang yang tak mengerti ilmu silat Loji, betul tidak ?"

   "Betul... betul!"

   Sambil maju Leng Han-tiok membenarkannya. Setelah melenggong sejenak, tiba-tiba Leng Ko-boh berkata lagi dengan suara lantang.

   "Tapi Leng-kok-siang-bok adalah jagoan terhormat kami rela dihina orang dengan begitu saja, gurunya tak ditemukan muridlah yang dituntut hal ini adalah kejadian yang umum. Betul tidak Loji?"

   "Betul, betul...

   "

   Kembali Leng Ko bok mengangguk.

   "lalu bagaimana sekarang?"

   Setelah termenung lagi sejenak akhirnya dia berpaling dan berkata kepada Hui Giok "Meski kau tak pandai bersilat tapi kepandaian lain tentunya ada bukan?"

   Hui Giok mengangguk tanpa sadar." "Kalau begitu pilihlah salah satu jenis kepandaian yang kau kuasai untuk dipertandingkan dengan kami"

   Ucap Leng-Ko-bok pula.

   "baik kepandaian main kecapi, main catur, melukis atau menulis pendek kata baik soal Bun (sastra) maupun Bu (silat), boleh kau pilih secara bebas!"

   Sekarang kedua bersaudara itu benar-benar tidak berniat lagi mencelakai jiwa Hui Giok, maka mereka sengaja mengusulkan cara lain untuk menyelesaikan perkasa mereka.

   Padahal, kecuali ilmu silat kepandaian lain tak banyak yang mereka kuasai.

   Tapi setelah Hui Giok termenung, disadarinya bahwa kecuali ilmu silat ia pun tidak menguasai kepandaian lainnya, Sejak kecil ia hidup sebatangkara, sampai dewasa pun berkat kebaikan orang-orang Hui-liongpiaukiok yang memeliharanya.

   Sebagai orang persilatan, kecuali ilmu silat pemuda itu tak pernah mendapat kesempatan untuk belajar kepandaian bermain khim bermain catur bersyair dan lain sebagainya.

   Selama ini, kecuali dua tiga

   Jilid kitab yang pernah dibaca kecuali pekerjaan kasar yang dilakukannya, setiap hari sebagian besar waktunya hanya dihabiskan dengan berduduk di undak2an rumah dan memandang awan di udara sambil melamun.

   Kemudian, setelah ia minggat dan Hui-liong-piaukiok, hidupnya makin sengsara, ia harus bergelandangan banting tulang untuk menyambung hidup, dalam lingkungan kehidupan yang serba susah begitu tentu saja lebih-lebih tak mungkin baginya untuk belajar kepandaian apa pun, kalau pun ada, siapa yang bersedia mengajarnya.

   Lama sekali ia berdiri dengan termangu, makin dipikir makin sedih, ia benci pada ketidak becusan sendiri, ia benci pada kebodohannya, begitu benci sehingga hati terasa sakit.

   Ketidak becusan, ketidak tahuan sungguh sesuatu yang mengerikan.

   Tak aneh kalau pemuda itu membenci terhadap diri sendiri, tapi pemuda itu melupakan sesuatu, bahwa meski dia tidak memiliki kepandaian dan pengetahuan seperti orang lain, sebenarnya ia memiliki sebuah hati yang bajik dan bijak.

   Dengan sedih pemuda itu menghela napas.

   "Ai terus terang kukatakan, selama hidupku ini, aku... aku..."

   Ia tak mampu meneruskan ucapannya sebab air mata hampir saja bercucuran.

   "Masa kau tidak bisa apa-apa?"

   Tanya Leng Ko-bok dengan melengak.

   Hui Giok berusaha menahan cucuran air matanya, ia mengangguk pelahan.

   Leng kok-siang-bok saling pandang sekejap ketika sorot mata mereka beralih lagi ke arah Hui Giok, selain rasa heran dan kagum tadi, kini bertambah pula dengan perasaan hangat dan kasihan.

   Ketika angin berembus sepoi-sepoi, kedua orang bersaudara itu tiba-tiba duduk bersila di tanah mereka memandang ke dalam hutan dengan termangu.

   Sejak kecil nasib mereka berdua sangat buruk karena itu terciptalah watak yang menyendiri dan benci kepada sesamanya, tercipta juga sikap dingin kaku dan aneh.

   Tapi sekarang, mereka melihat penderitaan anak muda ini ternyata lebih mengenaskan daripada nasib mereka, tapi pemuda itu menerima semua itu dengan pasrah nasib, dia hanya bersedih bagi dirinya sendiri, tiada rasa dendam pada orang lain padahal semestinya jauh memiliki perasaan dendam kepada orang lain seperti apa yang mereka rasakan.

   Daun hijau yang masih segar rontok terembus angin, memandangi daun yang gugur ini, tibatiba ia merasakan kehidupan pribadinya seperti daun yang rontok sebelum waktunya itu.

   "Asal aku diberi kecerdikan dalam sehari saja, agar aku dapat menikmati betapa indahnya kehidupan ini. sekali pun harus mati aku akan mati dengan tertawa."

   Senja sudah hampir tiba, ketiga orang tua dan muda sedang meresapi apa artinya kehidupan, mereka lupa akan waktu yang berlalu dengan cepat.

   Ketika terdengar bunyi burung gagak yang tebang kembali ke sarangnya, tiba-tiba satu ingatan terlintas dalam benak Leng Han-tiok.

   wajahnya yang dingin kaku menampilkan rasa gembira.

   Akhirnya dia teringat pada sesuatu masalah yang menggirangkan.

   Malam pun menyelimuti bumi, bintang bertebaran melancarkan sinarnya yang redup.

   Dengan wajah berseri Leng Han tiok berpaling.

   "Apa yang kau girangkan?"

   Leng Ko-bok menegur dengan dingin.

   "Jika kita tak dapat beradu silat dengan dia, kitapun tak dapat mengampuni dia dengan begitu saja..."

   Teriak Leng Han tiok.

   "tapi selain ilmu silat dia tak bisa apa-apa..."

   "Ya benar,"

   Leng Ko-bok menjawab dengan tak bersemangat "aku tak habis mengerti, urusan apa yang membuat hatimu bergirang?"

   Sekarang aku berhasil menemukan satu cara yang sangat bagus sekali!"

   Ucap Leng Han-tiok dengan tersenyum. Ia bangkit dan menepuk pelahan bahu Hui Giok, katanya lebih jauh.

   "Kulihat meski usiamu masih muda, tapi perkataanmu sangat jujur. tak nanti kau berbohong bukan?"

   Dengan tercengang Hui Gjok menengadah.

   "selamanya ini belum pernah berbohong"

   Katanya dengan tergagap.

   "Bagus!"

   Leng Han-tiok mengangguk tentunya kau pun benar-benar tak bisa apa-apa bukan?"

   Kembali Hui Giok mengangguk sedih.

   "Walau begitu, kami tetap akan bertanding denganmu!"

   Ujar Leng Han tiok lebih jauh.

   "bila kau kalah bertaruh, maka sebagaimana mestinya kau harus membayar penghinaan yang pernah dilakukan gurumu terhadap kami itu."

   Hui Giok membusungkan dada, tapi sebelum menjawah, Leng Ko-bok berkerut dahi sedang Leng Han-tiok tersenyum, tiba-tiba katanya lagi.

   "Sejak hari ini, setiap waktu setiap saat kami akan mengajarkan pelbagai kepandaian padamu, jika kau tak dapat mempelajarinya dalam waktu paling singkat, maka kaulah yang kalah dalam pertaruhan ini."

   Leng Ko-bok berkerut kening pula, sedang Hui Giok dengan wajah berseri segera berteriak "Benarkah itu?"

   Senyum yang semula menghiasi wajah Leng Han tiok tiba-tiba berubah dingin dan kaku pula katanya lagi.

   "Jangan keburu senang dulu, tidak gampang urusan ini dikerjakan. Ketahuilah pelajaran yang hendak kami ajarkan bukan melulu ilmu silat saja tapi termasuk juga kepandaian lain seperti memetik khim, bermain catur, membuat sajak dan melukis. pokoknya semua kepandaian yang kami ajarkan harus dapat kau kuasai dalam waktu paling singkat, kalau tidak maka siksaan dan penderitaan yang akan kau terima mungkin lebih parah daripada apa yang kau bayangkan sekarang,"

   Hui Giok berpaling.

   ia tahu hati kedua orang ini tidak sedingin wajah mereka, apalagi dengan menggunakan kesempatan itu mereka bermaksud merangsang semangatnya agar maju ke depan, siapa yang akan percaya kalau kehangatan semacam ini muncul dari Leng-kok-siang bok yang termasyhur"

   Betapa pun pemuda itu merasa berterima kasih dan juga gembira di samping rasa kuatir, ia tak tahu apakah dengan kebodohannya, dapat mempelajari pengetahuan baru itu? Leng-kok-siang-bok saling pandang sekejap, lalu berkatalah Leng Han-tiok.

   "Bersediakah kau menerima cara bertanding semacam itu?"

   Sedapat mungkin Hui Giok mengendalikan pergolakan perasaannya, sebab dia tak ingin menunjukkan rasa gembira dan terima kasihnya di hadapan kedua orang aneh ini.

   "Baik!"

   Katanya kemudian, walaupun hanya sepatah kata, namun di situlah seluruh perasaannya dilimpahkan keluar.

   "Kalau begitu, mulai sekarang kau harus ikut kami,"

   Kata Leng Ko-bok.

   "Ya, aku tahu!"

   Anak muda itu mengangguk.

   "Adakah urusan yang perlu kau selesaikan dulu di Long-bong-sanceng?"

   Leng Han-tiok bertanya. Sebenarnya Hui Giok ingin mengatakan "Tidak ada!"

   Sebab ia hanya sebatangkara, tiada sanak tanpa keluarga. Tapi kemudian ketika ia teringat akan kekuatiran Go Beng-si dan Tham Bun-ki atas dirinya, segera sahutnya "Harap kalian tunggu sejenak di sini, sebentar aku akan kembali!"

   Pergilah pemuda itu diiringi pandangan Leng kok-siang-bok dengan senyuman hangat.

   "Aku merasa kehidupan kita belakangan ini terlalu kesepian,"

   Kata Leng Ko-bok kemudian sambil tersenyum.

   "memang ada baiknya kalau kita bawa serta bocah ini. ia tidak punya sanak tanpa keluarga, lagipula seorang anak laki-laki, berbeda dengan Bun ki, meski dia seorang anak baik, namun sayang banyak peraturan mengalangi hubungan kita dengan dia!"

   "Bukan cuma begitu saja..."

   Sambung Leng Han tiok sambil tersenyum "kitapun dapat menyelamat kan bocah itu dari rencana busuk si Cian Hui.

   Bayangkan sendiri, mereka telah mengangkat seorang bocah seperti dia menjadi Kanglam Bengcu.

   mustahil di balik semua itu tiada rencana busuk namanya? kulihat bocah itu seorang yang berbakat tentu banyak yang bisa dia pelajari selama mengikuti kita berdua."

   Leng Ko-bok termenung sejenak, lalu berkata "Padahal, kalau kita tinjau dari watak serta caranya menghadapi orang, bocah itu memang lebih cocok menjadi Lok-lim-bengcu daripada siapa pun jua."

   "Ya. dia memang cocok menjadi Bengcu"

   Tukas Leng Han-tiok.

   "sayang dia terlalu ramah, terlalu bajik, mana bisa menghadapi kelicikan manusia2 licin itu!"

   Tiba-tiba Leng Ko-bok tertawa.

   "Tahukah kau betapa licik dan busuknya suatu rencana keji mungkin berguna terhadap orang lain tapi dihadapan kebajikan dan kemuliaan, kebusukan itu justru akan musnah dengan sendirinya, ibaratnya.... Ibaratnya..."

   Ia merenung sesaat rupanya sedang putar otak untuk mencari ungkapan yang dirasakan paling cocok.

   "ibaratnya salju bertemu dengan matahari maksudmu?"

   Sambung Leng Han-tiok sambil tertawa "Ya, betul!"

   Leng Ko-bok ikut tertawa.

   "Ibaratnya salju bertemu matahari. Tiba2 mereka teringat akan sesuatu, bukankah hati mereka yang dingin dan beku dibuat cair setelah berjumpa dengan Hui Giok? Senyum yang menghiasi wajah mereka pun tambah cerah. Pembicaraan mereka berdua di depan orang dan pada waktu tiada orang lain memang sangat berbeda, sayang Hui Giok telah pergi jauh dan tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Dengan langkah lebar dan penuh kegembiraan anak muda itu meneruskan perjalanan teringat akan betapa banyak pengetahuan baru yang akan didapatkan ingin rasanya kakinya bersayap sehingga perjalanan bisa dilakukan secepatnya. Angin malam di bulan lima terasa sejuk dan nyaman, semua peristiwa yang tidak menyenangkan seolah-olah ikut menjadi buyar musnah mengikuti embusan angin itu. Terhadap kesedihan, ketidak beruntungan dan sakit hati ia paling mudah melupakannya. mungkin hal ini dikarenakan ia masih muda, memiliki hati yang bajik dan bijak. Ketika memasuki perkampungan Long-hon san-ceng, ia temukan suasana yang begitu tenang begitu hening, walau kereta dan kuda masih memenuhi di luar pintu perkampungan namun keheningan yang mencekam terasa sangat aneh, terasa begitu banyak manusia vang berjubel di depan pintu ruangan. Dia heran, apa gerangan yang terjadi di dalam peristiwa apa yang sedang berlangsung di situ. Seketika suatu perasaan tak enak timbul dalam hatinya, tiba-tiba ia mendengar suara Tham Bun-ki, mendengar perkataannya yang menyakitkan hati meski ia suka memaafkan kesalahan orang lain, meski ia dapat menahan penderitaan namun ucapan Tham Bun-ki yang tak berperasaan itu dirasakannya se-akan2 berpuluh batang jarum tajam menancap di hatinya. Akhirnya dia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan membawa perasaan yang terluka. -oo0oo~ - oo0oo- Kini ia berdiri di tengah ruangan itu, untuk pertama kalinya selama hidup hatinya merasa terluka. Cinta memang paling mudah melukai dibandingkan urusan lain. Luka yang dirasakannya sekarang berbeda dengan kesedihan yang dirasakannya tadi, sedih karena ketidak becusannya... meski kedua-duanya sama-sama menimbulkan sakit yang menyiksa, tentu saja semua orang tidak memahami perasaannya, mereka hanya memandangnya dengan terbelalak, memandang bibirnya yang gemetar dan menunggu keterangannya, menangkah atau kalahkah. Saat penantian tentu saja merupakan saat yang mendebarkan dan menggelisahkan, terutama bagi Siang It-ti dan Cian Hui sekalian/ "Menangkah? atau kalahkah? Hui Giok memandang sekejap wajah orang yang diliputi kegelisahan itu, tiba-tiba dari lubuk hatinya timbul semacam perasaan yang memandang hina, perasaan yang memandang rendah terhadap sesama manusia yang selama ini belum pernah di rasakannya.

   "Dalam tiga tahun, kalian tidak akan tahu hasil pertarungan ini!"

   Katanya kemudian dengan tenang. Semua orang melenggong, mereka tak mengerti apa yang dimaksudkan pemuda itu.

   "Sebab aku sendiri pun belum tahu hasilnya!"

   Hui Giok menyambung kata katanya dengan kaku. Kemudian ia beranjak seakan-akan hendak tinggalkan ruangan itu. Sin-jiu Cian Hui, Kim-keh Siang It ti dan Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong serentak membentak dengan singkat mereka bertanya.

   "Apa yang terjadi sebenarnya?"

   Secara ringkas Hui Giok lantas menerangkan sebab-sebabnya, ia beranggapan, setelah terjadi pertaruhan yang besar dan luar biasa ini mereka berhak untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.

   Dia ingin menjadi seorang yang adil.

   Untuk sesaat, semua orang sama termangu-mangu, melongo tercengang.

   Pertaruhan mereka memang kejadian yang luar biasa, tapi cara pertarungan antara Hui Giok dengan Leng kok-siong-bok lebih hebat lagi.

   Semua orang hanya bisa saling pandang, siapa pun tak tahu bagaimana harus menyelesaikan urusaan ini.

   Liong-heng-pat-ciang berkerut kening, ia memandang sekejap barang pertaruhan di atas meja, lalu melirik putrinya yang berada dalam rangkulannya, kemudian, sesudah berdehem ia berkata dengan suara yang berat.

   "Kalau memang begitu lebih baik kita batalkan saja semua pertaruhan ini! Anggaplah uang perak di meja itu adalah sumbanganku untuk anak buah Cian-cengcu!"

   Kemudian sambil berpaling ke arah Hui Giok ia menambahkan "Lebih baik kau batalkan pertandinganmu yang aneh itu! ikut pergi saja padaku."

   "Ucapan yang telah keluar dari mulut tak mungkin dijilat kembali janji tetap tinggal janji"

   Kata Hui Giok dengan tegas Cian Hui melirik sekejap Bun-ki yang mendekap di pangkuan Tham Beng itu, tiba-tiba sorot matanya berubah jadi kejam seperti ular berbisa. "Ya, betul"

   Teriaknya cepat.

   "janji yang telah diucapkan tak bisa ditarik kembali!"

   Dengan cepat Siang lt-ti dan Na Hui-hong bertukar pandang sekejap, lalu ikut berteriak, Betul, pertaruhan ini tak dapat dibatalkan lagi, harus dilanjutkan sampai akhir!"

   Air muka Liong-heng-pat-ciang berubah kelam, sedangkan Go Beng-si berbisik-bisik bicara dengan Hui Giok.

   Suasana kembali menjadi gaduh, semua orang ramai membicarakan persoalan ini.

   Jit-giau-tui-hun Na Hui Hong merenung sejenak, tiba-tiba dia berseru dengan lantang, Sebelum menang atau kalah menjadi jelas, semua barang mestika yang dijadikan taruhan harus disimpan oleh seseorang, siapapun dilarang menyentuhnya sebelum keputusan terakhir."

   Ia melirik sekejap ke arah Siang It ti, kemudian melanjutkan "ltu berarti termasuk juga kedelapanbelas saudara yang dijadikan taruhan, mereka tak boleh sembarangan bergerak, seperti benda mestika lainnya, mereka diawasi dan diserahkan kepada seseorang, sampai menang atau kalah akhirnya diketahui."

   Berbicara sampai di sini, dia menjura keempat penjuru dan berseru lagi dengan lantang.

   "Sahabat-sahabat sekalian. adilkah usulku ini?"

   Para jago kembali berbisik ada yang mempertahankan kebetulannya ada pula yang segera berteriak.

   "Pertaruhan beginilah baru menarik hati!"

   "Ya, pertaruhan seperti inilah baru pertaruhan yang paling adil."

   Sambung yang lain. Tapi ada orang yang bertanya.

   
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lantas bagai mana caranya untuk menyelesaikan bendabenda mestika itu?"

   Dengan pandangan tajam Jit-giau-tui-hun memandang ke arah Tonghong-ngo-hengte yang duduk tenang di sudut kemudian sahutnya segera dengan senyum, Nama besar Tonghong-ngohengte sudah tersohor didunia persilatan, Hui-leng-po juga merupakan tempat suci bagi umat persilatan, apalagi nama besar Tonghong-lopocu dikenal siapa pun, kalau bukan mereka berlima yang kita serahi tugas ini.

   siapa lagi yang cocok? Meskipun pertaruhan ini hanya suatu permainan, tapi kurasa Hui-leng-po adalah tempat yang paling aman dan adil untuk menyimpan barang taruhan itu setuju tidak?"

   Pertanyaan itu tidak diajukan kepada Tham Beng, tidak juga kepada Cian Hui dan lain-lain, tapi langsung diajukan kepada kawanan jago yang memenuhi seluruh ruangan, sebab dia tahu suara yang terbanyak itulah keputusan sehingga sukar di bantah lagi.

   Benar juga, kawanan jago itu segera memberikan dukungan sepenuhnya, Tonghong-ngohengte berbangkit untuk menyatakan rasa terima kasihnya, mereka hendak menolak tapi melihat wajah berseri semua orang, terpaksa mereka menerimanya tanpa banyak bicara.

   Keadaan Sin-Jiu Cian Hui paling serba salah waktu itu, ia merasa dirinya betul-betul mencari penyakit buat diri sendiri tapi nasi sudah menjadi bubur, terpaksa sambil bertepuk tangan ia berseru dengan lantang.

   "Kalau begitu, lantas bagaimana dengan pertaruhan nona Tham?"

   Air muka Liong-heng-pat-ciang Tham Beng berubah hebat, cepat ia menyela.

   "Dia masih muda, masa perkataannya yang melantur juga kalian anggap sungguh-sungguh?"

   "Jika dia bicara melantur mengapa Tham-piautau tidak mencoba untuk mengalanginya tadi?"

   Tukas Sm-jiu Cian Hui dengan ketus.

   "apakah lantaran tadi Tham-lopiautau yakin benar akan menang, maka sengaja membungkam dan sekarang setelah tiada keyakinan untuk menang lantas ingin memungkir ucapannya?" "Kurang-ajar!"

   Teriak Liong-heng pat-ciang dengan gusar.

   "selama puluhan tahun belum pernah ada orang berani berbicara sekasar ini terhadapku, Cian-cengcu jangan lupa, aku sudah kelewat sungkan padamu"

   Perkataan Cian Hui barusan secara telak mengenai sasarannya, memang demikianlah jalan pikiran Tham Beng tadi, betapa malu dan mendongkolnya Tham Beng setelah isi hatinya dibongkar secara blak-blakan di hadapan orang banyak.

   

Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan -- Chin Yung Legenda Bunga Persik -- Gu Long Sepasang Golok Mustika -- Chin Yung

Cari Blog Ini