Ceritasilat Novel Online

Pendekar Satu Jurus 2


Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Bagian 2




   Pendekar Satu Jurus Karya dari Gan K L

   
Keruan mereka terkejut dan segera berpisah ketika mereka berpaling dan tahu siapakah yang muncul disitu, serta merta muka mereka menjadi pucat saking terkejutnya sukma serasa meninggalkan raganya.

   Orang yang muncul pada saat yang tidak mereka harapkan ini ternyata tak lain adalah Liong heng pat ciang Tham Beng orang tua ini berdiri disamping mereka dengan wajah sedingin es.

   Sekalipun Bun Ki biasa dimanja namun sekarang ia ketakutan, jantung berdebar keras, mukanya sebentar merah sebentar pucat, kepalanya yang tertunduk tak berani lagi didongakkan.

   Hui Giok lebih kelabakan lagi, mukanya lebih merah daripada kepiting rebus tangannya garuk sana sini dengan tak tenang, seolah2 tak tahu kemana harus menaruh kedua tangannya itu.

   Setajam sembilu sorot mata Tham beng menatap mereka tiba berpaling dan membentak.

   "Anak Ki, kembali ke kamar!" - kemudian tanpa bicara lagi, dengan langkah lebar ia berlalu dari sana. Dengan murung Bun Ki mengikuti di belakang ayahnya baru berjalan beberapa langkah ai tak tahan ia berpaling dan memandang sekejap ke arah Hui Giok seluruh hatinya waktu itu tanpa disadari telah diletakkan pada diri anak muda itu. Hui Giok masih berdiri bingung di sana, tatapan Tham Bun Ki sewaktu mau pergi takkan dilupakan untuk selamanya terutama air mata yang mengembang di kelopak mata si nona membuat pemuda itu menderita, hatinya pedih bagaikan disayat2.

   "Akulah yang salah, akulah yang membikin susah dia"

   Demikian ia berpikir, menyusul lantas ia berpikir pula.

   "paman Tham Beng pasti menganggap aku terlampau bodoh, tak pantas mendapat puterinya, maka ia marah, dasar aku sendiri tak becus, kalau aku pintar atau lebih cerdik daripada sekarang, bukankah aku bisa hidup lebih bahagia."

   Lama sekali ia termangu2 ketika memandang ke tanah dan kebetulan ditemuinya seekor semut sedang mengangkat bangkai serangga yang jauh lebih besar daripada tubuhnya, meski begitu dengan susah payah tapi penuh semangat semut itu menyeret dan menariknya selangkah demi selangkah.

   Pemuda itu tertegun, semut itu diperhatikan lebih seksama seketika itu juga timbul suatu kekuatan yang sebelumnya tak pernah terlintas dalam benaknya.

   "Walaupun aku agak bodoh tapi aku harus mempunyai cita2 untuk masa depanku sendiri. Laki2 macam apakah aku ini bila setiap hari hanya berdiam dirumah orang dan makan menganggur. Jika keadaan seperti ini dilanjutkan sungguh malu aku terhadap orang tua yang telah tiada, akupun malu terhadap adik Ki, malu terhadap diriku sendiri."

   Ia mengepal kedua tinjunya dengan semangat yang menyala2 ia berpikir lebih jauh.

   "aku harus menerobos keluar dari tempat ini. Pergi mengembara dan mengadu untung bila aku berhasil dengan segala kecemerlangan aku akan kembali lagi kesini. Saat itu paman Tham Beng tentu tak akan menganggap diriku anak tak becus lagi, siapa tahu kalau dia akan mengizinkan aku berkumpul dengan adik Ki."

   Setelah timbul pikiran demikian, tiba2 ia merasa sekujur badannya penuh semangat hidup yang berkobar, ia merasa seakan2 tak betah berdiam lebih lama lagi disini, tentu saja tak terpikir olehnya betapa sengsaranya nanti bila hidup sebatang kara didunia yang luas ini tanpa sanak tanpa keluarga.

   "Bila siau-sumoay tahu aku pergi, ia tentu akan sedih", demikian ia jadi teringat kepada Wan Lun Tin namun ingatan lain cepat melintas pula dalam benaknya.

   "Tapi kalau kelak aku pulang dengan sukses bukankah sepuluh kali lipat dia akan gembira."

   Dengan wataknya yang keras apa yang sudah diputuskan selamanya takkan berubah lagi.

   Ia tiada memikirkan akibatnya lagi, apakah ia akan gagal dan mengalami kesukaran semuanya tak dipikirkan.

   Yang dipikirnya sekarang adalah suatu harapan yang berkobar, harapan itu telah menguasai jiwanya, ia tak ingin rencananya mendapatkan rintangan apapun, ia menengadah dan memandang dinding pekarangan yang terbentang di atas.

   Ia tahu daerah di luar tembok pekarangan itu bukan milik perusahaan Hui liong Piaukiok lagi.

   Ia lari ke bawah dinding pekarangan itu , sekuat tenaga ia melompat ke atas dan berusaha melintasi dinding itu.

   Sayang tenaganya tidak memadai, hakikatnya ia tak punya dasar ilmu meringankan tubuh, tentu saja dinding setinggi beberapa meter tak mampu dilampaunya..."Bluk"

   Ia terperosot jatuh ke tanah, pantat terasa sakit.

   Pemuda itu tak kapok ia bangkit kembali tanpa membersihkan debu yang menodai bajunya dia melompat lagi ke atas.

   Kali ini tangannya berhasil meraih ujung dinding, ia memegangnya erat sekali dan sekuat tenaga merambat ke atas dinding perkarangan itu.

   Di luar dinding sekarang adalah sebuah lorong waktu itu kebetulan ada seorang penjual sayur sedang lewat di bawahnya dengan kaget bercampur keheranan ia menengadah dan memandangnya sekejap namun tidak memperhatikan kemudian lantas berlalu.

   Hui Giok menggigit bibir meskipun jarak tembok pekarangan dengan permukaan tanah cukup tinggi namun ia tak perduli segera ia melompat ke bawah.

   Tindakan anak muda itu hanya terdorong oleh emosi ia tak pernah mempertimbangkan bagaimana akhirnya hidup sebatang kara di dunia yang luas apa yang terpikir olehnya hanyalah bagaimana caranya meninggalkan Hui Liong Piaukiok secepatnya.

   Ia pejamkan mata dan melompat ke bawah "bluk"

   Kembali badannya bergetar keras hingga terasa sakit untung kali ini ia tak sampai terjungkal.

   Lorong ini tidak terlalu lebar tapi membentang panjang.

   Hui Giok menimbang sebentar ia tahu bila berbelok ke kiri akan sampai ke pintu gerbang Hui liong piaukiok maka memutuskan menuju sebelah kanan lorong panjang itu.

   Perasaannya sekarang diliputi kegembiraan meski belum tahu apa yang akan terjadi pada masa depannya, tapi benaknya penuh khayalan yang muluk sebab kenyataan belum lagi menyulitkannya, persoalan orang hidup masih belum menjadi beban pikirannya.

   Setelah keluar dari lorong itu ia sampai di sebuah jalan lebar yang beralaskan batu hijau jalan itu kembali membentang ke kiri dan kanan karena tanpa tujuan maka ia belok ke sebelah kanan.

   Waktu itu hari masih pagi tidak banyak orang berlalu lalang di jalanan dari depan sana muncul sebuah tandu yang digotong oleh delapan orang.

   Di depan tandu terdapat orang yang membawa papan yang bertuliskan tenang dan menyingkir, ia tahu itulah pembesar yang pulang dari menghadap raja di istana, pemuda itupun menyingkir ke tepi jalan dan membiarkan tanda itu lewat.

   Gorden pada tandu itu tertutup rapat, tak namapk jelas siapa yang duduk didalamnya, dengan perasaan heran pemuda itu berpikir.

   "Saat ini entah apa yang sedang dipikirkan oleh orang yang duduk di dalam tandu itu."

   Tapi akhirnya ia mendapatkan jawaban yang rasanya cocok.

   "Yang dipikirkannya pasti tak lain daripada nama dan kedudukan". Ia tertawa sendiri ia merasa keadaannya jauh lebih gembira, jahu lebih bahagia daripada orang yang duduk didalam tandu kebesaran itu, sebab paling tidak ia bebas sepenuhnya leluasa dan tidak terikat oleh segala tata cara kehidupan yang kolot itu. Hatinya bagaikan tumbuh sayap ia ingin terbang ke tempat yang jauh. Pakaiannya waktu itu berwarna biru air sepatunya terbuat dari kulit yang tipis, itulah dandanan untuk berlatih silat untuk berjalan terasa enteng dan nyaman. Setelah keluar dari jalan itu, sampailah Hui Giok di sebuah pasar yang ramai, banyak orang berbelanja di sana suasana gaduh dan bising. Ia melanjutkan perjalanan ke depan, perasaannya enteng dan riang, tak lama kemudian perutnya terasa lapar. Inilah persoalan pertama yang menyangkut kenyataan orang hidup mulai memusingkan kepalanya, aneka macam penganan dijajakan di pasar, ada siomay, kueh lapis, dan aneka macam makanan terkenal lainnya di kota peking yang biasanya sangat disukainya semuanya itu membuat perutnya tambah lapar, air liur sampai menetes dia ingin membeli dan makan sepuasnya. Tapi sekeping uangpun tak dimilikinya, ia hanya bisa melihat dan tak dapat menikmatinya. Untuk pertama kalinya ia mulai merasakan betapa berharganya uang betapa sengsara dan tersiksanya orang yang tak beruang. Sejak munculnya persoalan ini pelbagai masalah lain yang menyangkut kenyataan orang hidup mulai berkecamuk dalam benaknya. Hidup adalah masalah terpenting yang dihadapi setiap manusia untuk mempertahankan kehidupan seseorang tak boleh kekurangan sesuatu yakni uang. Sebab uang seakan2 mewakili segala apa yang ada di dunia ini.

   "Bagaimana caraku mempertahankan hidup". Hui Giok mulai risau, jangankan soal lain, untuk memecahkan soal ini perut hari inipun ia tak mampu, apalagi masalah lain yang lebih pelik? Maka ia mulai takut dan panik. Melihat dandanannya yang lumayan, banyak penjajah makanan yang menawarkan barang dagangannya, tapi ia hanya menggeleng kepala saja, sudah tentu ia sangat ingin beli makanan yang lezat itu? Tapi apa daya, napsu makan ada uang punya. Perutnya makin terasa lapar hingga terasa pedih, hati Hui Giok juga tambah bingung, ia berpikir lagi.

   "Tengah hari ini aku bisa berpuasa tapi malam nanti kan aku harus makan umpama dengan esok? Dan lusa."

   Ia menghela napas panjang kecuali melakukan sedikit pekerjaan kasar yang sama sekali tak berguna ia tak mempunyai kepandaian lain untuk mencari nafkah.

   Anak muda itu mulai rada menyesal, tapi apa yang telah diputuskan tak akan berubah untuk selamanya..

   "Lebih baik mati kelaparan, daripada berubah keputusan yang telah kulakukan."

   Ia berjalan mengikuti arus manusia di sekitar tempat itu, namun arus pikiran yang berkecamuk dalam benaknya berpuluh kali lebih kalut daripada arus manusia itu.

   Tiba2 ada seorang menepuk bahunya, dengan bingung ia berpaling, tampak seorang laki2 bertampang jelek sedang tersenyum padanya.

   Yang lebih aneh lagi adalah pada saat itu ia tak dapat menguasai dirinya serta merta diikutinya kemana orang itu pergi.

   Ketika orang itu berjalan cepat ia pun ikut jalan cepat, bila orang itu berjalan lambat iapun lambat, meski kesadarannya masih baik namun tubuhnya seakan2 tak mau menurut perintah lagi.

   Laki2 bertampang jelek itu berjalan keluar kompleks pasar, setelah berputar kesana kemari akhirnya masuk ke sebuah lorong yang sempit bangunan rumah yang berderet di lorong ini semuanya rendah tapi berloteng, begitu sempitnya lorong sehingga benda yang berada di dalam jendela rumah seberang bisa diambil dari rumah yang lain.

   Setiba di beberapa rumah terakhir di ujung lorong itu, laki2 tadi memasuki sebuah pintu kecil, sementara Hui Giok sendiri bagaikan kena guna2 terus ikut masuk pula ke dalam.

   Rumah itu kecil lagi berbau busuk, beberapa orang perempuan yang berdandan seperti siluman duduk di bawah loteng dan sedang bersenda gurau dengan suara keras, sedikitpun tidak menunjukkan sifat kewanitaannya.

   Tatkala Hui Giok masuk mengikuti laki2 itu perempuan itu maju mengerumuninya dengan jahil mereka meraba dan mencolek tubuh Hui Giok seorang diantaranya memuji.

   "Ehm, bagus juga barang dagangan ini."

   Ada pula yang meraba wajah Hui Giok dan berkata sambil tertawa."

   Coba kalian lihat, kulit barang dagangan ini lembut sekali, mukanya bulat telur seperti akan pecah bila tersentuh kalau didandani tanggung dia akan persis perempuan asli."

   Dalam keadaan linglung Hui Giok merasa marah, akan tetapi benaknya terasa kusut, perasaan marahpun tidak terlampau jelas baginya. Laki2 tadi kelihatan bangga didorongnya perempuan yang makin lama makin jahil itu serunya berkata."

   Aku akan naik ke loteng untuk membantu mendandani dia."

   Lalu ia tertawa lebar sehingga kelihatan sebaris giginya yang kuning terlampau banyak keju itu.

   Laki2 itu naik ke loteng Hui Giok juga ikut mereka masuk ke sebuah kamar, besar sekali ruangan itu tapi kecuali sebuah pembaringan besar tidak nampak benda yang lain.

   Sesudah itu Hui Giok berada di dalam ruangan.

   Laki2 itu segera menggerayangi sekujur badannya dari atas sampai ke bawah lalu mengembuskan napas panjang seakan2 merasa sangat puas.

   Dari dalam sebuah peti kayu yang berada di kolong pembaringan ia mengambil keluar beberapa stel pakaian perempuan, setelah diukur dengan badan Hui Giok akhirnya ia memilih satu stel baju berwarna merah dan diletakkan di atas pembaringan sedangkan baju lainnya disimpan kembali ke dalam peti.

   Kemudian ia membantu Hui Giok tukar baju merah itu, kemudian anak muda itu didorong ke atas pembaringan lalu ia keluar ruangan itu sambil menutup pintunya dan menguncinya dari luar.

   Dalam keadaan begini Hui Giok ibaratnya sesosok mayat yang kehilangan suka, ia tak bisa melawan tak bisa meronta tak bisa berbuat apa2 benaknya dirasakan kosong, hanya lamat2 dirasakan kejadian ini aneh.

   Sejak didorong ke atas pembaringan, ia tak berubah posisi bergerak sedikitpun tidak, entah berapa lama sudah lewat dalam keadaan begitu.

   Akhirnya pintu terbuka dan masuklah seorang laki2 gemuk setelah memperhatikan Hui Giok sekejap kepalanya melongok keluar dan berbicara beberapa kata dengan orang di luar, kemudian "blang"

   Pintu ditutup rapat.

   Kendati sudah begitu Hui Giok sama sekali tidak paham apa yang telah berlangsung ini meski pikirannya tidak sadar pemuda itu merasakan juga gelagat yang kurang beres, saying sekujur badannya terasa lemah tak bertenaga, sedikitpun tak mampu melakukan perlawanan.

   Tampaknya laki2 gemuk ini sudah ahli dan berpengalaman dalam bidang ini setelah mengamati wajah Hui Giok dengan sempoyongan ia keluar ruangan itu, kemudian muncul kembali dengan membawa air bersih setelah diminum lalu disemburkan ke muka Hui Giok.

   Rupanya si gemuk tahu Hui Giok terpengaruh dan tak sadar, ia merasa permainannya nanti akan kurang hot bila lawannya tak beres, maka ia menyadarkan dulu anak muda ini, tak tahunya tindakan ini justeru telah menolong Hui Giok malah.

   Setelah disemprot air segar, Hui Giok sadar kembali dari pengaruh Poh ho jiu hoat sebab air adalah satu2nya obat penawar bagi orang terpengaruh oleh tenaga gaib itu.

   Lalu si gemuk mulai menggerayangi lagi tubuh Hui Giok dan hendak menelanjangi anak muda itu, tapi Hui Giok sekarang bukan lagi Hui Giok tai tangannya telah pulih kembali, meski ia tak tahu apa gerangan yang akan dilakukan orang itu kepadanya tapi ia tahu perbuatannya pasti perbuatan yang tidak baik.

   Dalam keadaan mabuk arak si gemuk merayu.

   "O, sayang jangan takut, mari! Ayolah kemari!"

   Hui Giok jadi gusar ia melompat bangun dari pembaringan tapi si gemuk itu berkata lagi sambil tertawa lebar."

   Anak manis, sayangku, kau mau apa? Hayolah......mari......"

   Belum habis ucapannya plok bogem mentah Hui Gok telah bersarang di hidungnya sehingga si gemuk menjerit kesakitan saking sakitnya sampai air matapun ikut bercucuran.

   "Anak busuk, kau sudah gila!"

   Makinya.

   Hui Giok juga tambah murka sekali lagi ia hantam muka si gemuk.

   Ilmu silatnya memang cetek tapi sebagai seorang pemuda yang sudah bertahun berlatih kungfu dengan sendirinya baik badan maupun tenaga jauh lebih kuat dari orang biasa, mana si gemuk mampu menahan jotosannya itu.

   Dengan gusar Hui Giok menggebuk beberapa kali lagi sehingga si gemuk menjerit seperti babi disembelih, teriaknya sambil merintih kesakitan "Aduh mak! Tolong! Tolong."

   Suara langkah kaki yang ramai berkumandang dari arah tangga loteng, menyusul dua orang laki2 kekar bergegas naik ke tempat kejadian, agaknya mereka adalah tukang pukul sarang pelacuran.

   Tapi si gemuk tadi telah mengunci pintu kamar itu dari dalam maka kedua tukang pukul itu jadi kelabakan di luar dan tak bisa berbuat apa.

   Pada saat itu Hui Giok masih terus menghajar si gemuk dengan pukulan bertubi2 si gemuk semakin menjerit makin keras karena kesakitan.

   Akhirnya suara jeritannya makin lemah makin lirih, tampaknya ia tak tahan lagi dan bisa mampus hal ini semakin mencemaskan kedua tukang pukul yang kelabakan di luar pintu itu.

   Untuk menjaga keamanan langganan nya maka dua orang itu akhirnya mendobrak pintu dan menerobos ke dalam ruangan.

   Saat itu Hui giok sedang menunggangi badan si gemuk orang ini telah kenyang dihajar, keadaannya sudah lemas dan kempas kempis serentak kedua tukang pukul tadi memaki.

   "Bajingan cilik, apa kau sudah bosan hidup."

   Dengan telapak tangan mereka yang lebar, kedua tukang pukul itu menerkam dan menarik kuduk baju Hui Giok terus menyeretnya turun.

   Hui Giok masih muda, ilmu silatnya juga Cuma begitu2 saja, ditambah pula perawakannya tidak tinggi besar, tentu saja ia bukan tandingan kedua tukang pukul yang berbadan gede kerbau itu, dengan mudah saja ia ditangkap dan diangkat.

   Kamar itu terlalu sempit kedua tukang pukul itu tak leluasa mendemonstrasikan kekuatannya di situ, maka mereka seret keluar pintu lalu ayun telapak tangannya hendak menempeleng.

   "Anak jadah."

   Makinya.

   "Tidak kau Tanya2 dulu tempat apakah sini? Hm, kau berani main gila pingin mampus barangkali."

   Di bawah cengkeraman kedua tukang pukul yang bertenaga kerbau ini, Hui Giok sama sekali tak dapat berkutik, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah seorang pemuda yang pernah belajar silat, dalam keadaan kepepet, mendadak sikutnya menyodok ke belakang.

   "duk duk"

   Iga kedua tukang pukul itu tersikut telak.

   Kedua tukang pukul menjerit kesakitan dengan sendirinya cengkeraman merekapun mengendur.

   Hui Giok segera manfaatkan kesempatan utk melarikan diri tapi kedua orang itu tidak mau melepaskannya, sambil mengejar mereka memaki .

   "Bangsat, hari ini tuanmu harus memberi hajaran setimpal padamu!"

   Hui Giok tahu dirinya bukan tandingan kedua orang itu, diam2 ia mengeluh ia memandang di sekitarnya mendadak dilihatnya sebuah jendela terbentang lebar di serambi sana.

   Pada waktu ia dibawa ke atas loteng tadi dalam keadaan lamat2 ia tak tahu bangunan rumah itu terdiri dari tingkat atas dan tingkat bawah karenanya sewaktu melihat ada jendela ia lantas berpikir apapun yang akan terjadi biarlah ku lompat keluar jendela ini! Sementara itu kedua tukang pukul tadi telah menerjang tiba dengan garangnya, cepat tangan kirinya bertahan dan kepalan tangan menghantam dada orang yang berada di depan.

   Setelah tersikut dan kesakitan tadi laki2 itu tak berani bertindak gegabah lagi, melihat tibanya pukulan ia tangkis dengan satu tangan kemudian dengan tangan yang lain ia balas menghantam pundak Hui Giok.

   Tak tahunya anak muda itu telah mempunyai perhitungan sendiri meski bahunya terhajar ia sama sekali tak perduli tiba2 ia mendak ke bawah terus menerobos lewat dan melompat ke atas jendela dengan sekuat tenaga tanpa berpaling atau memandang ke bawah lagi ia loncat ke bawah.

   Untung loteng itu tidak terlampau tinggi meski begitu ketika kakinya menyentuh tanah sekujur badan tergetar keras, hilang imbangan badannya ia jatuh terduduk di tanah.

   Tentu saja bantingan ini cukup keras tapi apa yang terpikir olehnya sekarang adalah bagaimana caranya kabur dari situ secepatnya maka tanpa memikirkan lagi rasa sakit di pantatnya, ia merangkak bangun, tanpa membedakan arah lagi ia lari terbirit2 ke depan.

   Lorong ini adalah tempat yang paling mesum di kotaraja ini, pada waktu itu banyak sekali kaum bencong yang bukan laki dan bukan perempuan duduk cari angin disekitar lorong itu, ketika melihat ada orang melompat turun dari loteng kemudian kabur dalam hati masing2 mempunyai perhitungan sendiri, maka tak ada yang merasa kaget, tak seorangpun yang mengalangi larinya Hui Giok.

   Inilah solidaritas perasaan senasib.

   Sekalipun orang itu melakukan perbuatan amoral, melakukan pekerjaan kotor namun siapakah yang suka bekerja dengan hati yang rela? Kalau bukan dipaksa oleh keadaan, siapakah yang sudi melakukan pekerjaan semacam itu.

   Hui Giok merasa pandangan menjadi gelap namun tetap lari dan lari terus, akhirnya berhasil juga anak muda itu lolos dari lorong yang sempit.

   Entah berapa lama dia berlari, orang di jalan memandangnya dengan keheranan, dan menganggap dia sebagai perempuan gila untunglah penduduk ibukota umumnya bersifat sederhana dan tidak suka ikut campur urusan orang lain maka tak seorangpun yang menegurnya.

   Akhirnya anak muda itu merasa tak kuat berlari lagi, ia coba berpaling setelah yakin tak ada yang mengejar, ia baru menghentikan larinya, napasnya tersengal2 terbayang olehnya peristiwa yang baru dialaminya setelah dipikir kembali ia merasa benar2 seperti mendapat impian buruk, dengan usianya yang masih muda, ia tak tahu perbuatan mesum apakah tadi.

   Ia melanjutkan perjalanannya ke depan perasaannya mulai tenang kembali ke empat anggota badannya mulai terasa lemas, entah karena ketakutan yang melampaui batas atau disebabkan terlalu lapar.

   Ia mencoba memperhatikan keadaan sekitarnya, kiranya tanpa disadari ia telah berada di bagian kota yang dihuni lapisan masyarakat miskin, rumah2 yang berserakan di sekitar tempat itu kebanyakan terbuat dari papan yang kasar mereka yang berdiam di situpun merupakan masyarakat jembel.

   Tiba2 Hui Giok merasa pandangan semua orang tertuju ke arahnya, ia sendiri ikut menunduk dan melihat.

   Sekarang baru ditemukan letak keanehan yang menjadi daya tarik pandangan orang banyak itu, rupanya saat itu ia masih mengenakan baju perempuan dengan sepatu orang lelaki.

   Dandanan semacam itu sudah tentu kelihatan aneh dan lucu, sayang tak ada cermin sehingga ia tak tahu bagaimanakah mukanya saat itu, tapi yang jelas pasti mengenaskan dan tak keruan.

   Ada anak kecil dan perempuan yang mengolok dirinya sambil tertawa tapi Hui giok hanya tunduk kepala dengan muka merah, secepatnya ia menjauhi cemoohan orang2 itu.

   Memang begitulah pembawaan manusia bila dirinya merasa tak pantas dilihat orang segera dia menuju ke tempat yang jauh dari manusia.

   Makin jauh Hui Giok menuju ke tempat yang sepi waktu itu malam sudah tiba, meski berada di musim semi namun angin malam yang berhembus mendatangkan rasa dingin, diantara suara jangkrik dan bunyi serangga lain, lambaian rumput yang baru tumbuh pikiran Hui Giok bergolak ibarat air bah yang membanjir.

   Dunia seluas ini, tiada sanak tanpa keluarga ia tak tahu kemana harus pergi, sedikit lemah pendirian Hui Giok ia bisa segera kembali ke Hui liong piaukiok sebab disana paling sedikit dia akan hidup aman.

   
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tapi sebagai pemuda yang keras hati, Hui Giok rela menderita rela kedinginan dan kelaparan dari pada kembali ke Hui liong Piaukiok ia merasa matanya agak basah air mata serasa ingin meleleh keluar, tapi cepat ia mengendalikan rasa ingin menangis ia merasa menangis bukanlah perbuatan seorang laki2 sejati.

   Tiba2 didengarnya di belakang seperti ada orang bicara dengan bisik2 dilihatnya beberapa sosok bayangan orang sedang mengikutinya, dalam keadaan samar2 kegelapan malam, ia tak tahu apa maksud mereka.

   Jantungnya mulai berdebar keras, pengalamannya membuat anak muda ini ibaratnya burung yang nyaris kena bidikan, ia kuatir, takut dan ngeri terhadap segala apa yang mungkin terjadi ia kuatir akan tertimpa kemalangan lagi, maka ia berjalan setengah berlari2, ingin cepat2 meninggalkan orang2 itu.

   Akan tetapi bila ia berjalan cepat, orang2 iu mengikutinya dengan cepat, jarak mereka kian mendekat, Hui Giok mula mengeluh, pikirnya.

   "Nasib! Mengapa aku selalu menemui kejadian2 yang menyebalkan ini."

   Karena melamun jalannya jadi kurang hati2 kakinya tersandung sebutir batu, anak muda itu jatuh terjerembab.

   Gelak tertawa berkumandang dari belakang menyusul beberapa sosok bayangan manusia yang berbaju kotor usia mereka masih muda, kepala memakai topi semangka, lengan baju bergulung tinggi2, dilihat dari tingkah laku mereka bisa disimpulkan bahwa orang2 ini adalah sebangsa buaya atau dicokot, bajingan yang kerjanya hanya mengganggu orang.

   Sebelum Hui Giok sempat merangkak bangun berandal2 itu terus menyerbu maju, ada yang menahan badannya, ada yang meraba dan menggerayangi sambil mengucapkan kata2 cabul.

   Tergerak pikiran Hui Giok tahulah dia maksud berandal2 itu.

   "Kiranya mereka menyangka aku ini perempuan."

   Ia mendongkol, geli dan juga gelisah, sekuat tenaga dicobanya meronta untuk melepaskan dari tindihan berandal2 itu, tapi tenaga mereka terlalu kuat, apalagi masih muda2 dan jumlahnya bukan cuma seorang, sekalipun ia sudah berusaha meronta sepenuh tenaga, toh sama sekali tidak mendatangkan hasil apa2.

   Gelak tertawa beberapa orang berandal itu semakin lama semakin keras, makin lama semakin jalang, tingkah laku mereka mulai kurang, ada yang mulai menggerayangi pantatnya ada pula yang menarik celananya, sambil bekerja merekapun menggerundel."

   Sudah beberapa hari ini bokek, hehehe, siapa tahu dari langit melayang turun nona manis ini buat kita, ini namanya rejeki nomplok."

   Hui Giok mulai berteriak saking paniknya dalam keadaan begini ia hanya bisa berteriak meminta tolong belaka. Diam2 ia pun menggerutu akan kebodohan sendiri."

   Kalau ilmu silatku terlatih baik, siapa yang berani lagi mempermainkan diriku."

   Sekuatnya ia mendepak seorang jatuh tersungkur, tapi yang lain segera menubruk dan kembali menindih di atas tubuhnya.

   Pada saat gawat begini, untunglah dari kejauhan berkumandang suara derap kaki kuda, suara itu kedengarannya sangat menusuk telinga ditengah keheningan malam.

   "Ada orang!"

   Beberapa berandal itu berbisik, mereka hentikan aksinya dan pasang kuping mendengarkan. Diam2 Hui Giok bersyukur namun ia takut orang itu tidak dating ke arah sini, maka ia lantas berteriak, tapi seorang cepat mendekap mulutnya sambil mengancam."

   Berani berteriak, segera kubunuh kau!"

   Derap kaki kuda itu makin menjauh dan lalu begitu saja, sementara berandalan2 tadi mulai lagi dengan operasinya, Hui Giok Panik sekali dan tak tahu apa yang harus dilakukan, ingin meronta, tapi tangan dan kaki terasa tak bertenaga.

   Tiba2 suara derap kaki kuda tadi berkumandang lagi, kali ini menuju arah sini, ini menyebabkan berandal2 itu kaget dan gugup, tapi mereka tidak menyingkir, mereka tak taku karena jumlahnya lebih banyak, seorang diantara mereka berkata."

   Kalau orang itu berani mencampuri urusan kita, bersama kita sikat dia!"

   Baru selesai berkata, seekor kuda sudah muncul secepat terbang. Kuda itu putih mulus dan gagah setelah berputar satu lingkaran di depan berandal itu, kemudian penunggangnya menegur dengan lantang."

   Siapa kalian? apa yang kalian lakukan di sini."

   Hui Giok kegirangan, betapapun datanglah penolongnya.

   "Keparat, siapa pula kau?"

   Hardik berandal itu."

   Kalau tahu diri, jangan coba2 mencampuri urusan tuanmu, sebelum terlambat kuanjurkan padamu cepatlah pergi dari sini....."

   Belum habis ucapan berandal itu.

   "Tarr"

   Tahu cambuk orang telah mampir di kepalanya, ia menjerit kesakitan dan melompat bangun. Suasana kalut, beberapa berandalan itu ikut marah, mereka menyerbu ke muka sambil memaki."

   Sialan, kau berani memukul orang."

   Seorang hendak menarik tangan, yang lain membetot kaki mereka hendak menarik penunggang itu agar jatuh terjungkal ke tanah.

   Penunggang kuda itu menjadi gusar, sambil membentak cambuknya menyebat tubuh berandal tersebut.

   Jangan sangka cambuk itu kecil, ketika mengenai tubuh orang2 itu ternyata membawa kekuatan besar, kontan berandal itu menjerit kesakitan.

   Dipihak lain Hui Giok sudah bangun berduduk di bawah cahaya bintang samar2 ia lihat penunggang kuda itu adalah seorang sastrawan, usianya tidak terlampau besar, ini dapat didengar dari suaranya meski begitu ia dapat menghajar berandal2 itu hanya dengan sebuah cambuk yang kecil, gagah perkasa bagaikan malaikat dari langit, dalam hati Hui Giok sangat kagum, ia tahu kungfu orang ini pasti tinggi sekali.

   Berandal2 itu memang bandel, sudah dihajar sampai terguling di tanah, mereka belum kabur, malahan mencaci maki dengan kata2 yang kotor."

   Hayo pukul terus, pukul lagi sesukamu."

   Tubuh yang bergulingan di atas tanah itu tiba2 menerjang ke samping kuda dan merangkul kakinya, tak terduga kuda itu bukan kuda biasa, mendadak kakinya mendepak sehingga orang itu mencelat terbanting mampus.

   Penunggang kuda itupun marah, cambuknya tiba2 digunakan menutuk, cambuk yang lemas tahu2 menegang lurus di tangannya, diiringi desing angin tajam, ia tutuk "Koh cing hiat"

   Di pundak salah seorang.

   Cara menutuk jalan darah dengan senjata lemas terhitung suatu kepandaian yang sangat jarang ditemui di dunia persilatan, apalagi senjata yang dipakai adalah cambuk kuda, ini lebih hebat lagi.

   Selama hidup belum pernah kaum berandal itu melihat jago silat selihay ini, hanya sekejap saja dua orang sudah tertutuk roboh dan tak dapat bangun.

   Melihat rekannya tak berkutik lagi, berandal lainnya baru terperanjat, mereka lari tunggang langgang sambil berteriak."

   Ada pembunuhan! tolong, ada pembunuhan?"

   Meski ilmu Hui Giok tidak tinggi, tapi dia dilahirkan dan hidup dalam lingkungan keluarga persilatan sudah banyak yang ia dengar dan lihat selama ini, ia cukup kenal kualitas orang yang di depannya ini, dalam hati diam2 ia berpikir."

   Orang ini sungguh lihay kungfunya."

   Sementara itu si penunggang kuda tadi sedang mengawasi bayangan kawanan berandal2 yang kabur itu sambil tertawa dingin.

   Hui Giok lantas berdiri, dia ingin menyatakan terima kasihnya kepada orang itu, ketika menengadah dan melihat sekejap badan orang itu putih mulus, matanya besar bersinar terang, meski dalam kegelapan sorot matanya seolah2 gemerdep dan sedang memandang dirinya.

   Seketika timbul rasa rendah diri Hui Giok.

   Lama sekali orang itu mengamatinya, kemudian bertanya.

   "Dimanakah rumahmu?"

   Hui Giok jadi bingung pelbagai kemurungan berkecamuk dalam benaknya, ia tidak menjawab tapi berpikir.

   "Tampaknya selisih umur antara orang ini dengan aku hanya sedikit tapi kungfunya berlipat kali lebih hebat dari aku. Ai, terhitung manusia apakah aku ini? Aku tak punya apa2, tak punya sanak, tak punya rumah, ilmupun tak ada....."

   Begitulah ia tertunduk sedih. Karena Hui Giok tidak menjawab, dengan tak sabar orang itu menegur lagi.

   "Apa kau tak punya rumah? Kenapa tidak menjawab."

   Hui Giok mengangguk dan menjura dalam2 setelah itu tanpa mengucapkan sepatah katapun dia lantas berlalu dari sana.

   Rasa duka hatinya saat ini sungguh sukar dilukiskan, ia merasa tenggorokannya seolah2 tersumbat satu patah katapun tak sanggup diutarakannya.

   Memandangi bayangan punggung anak muda itu, air muka si penunggang kuda yang semula kaku tanpa emosi tiba2 terlintas perasaan iba dan kasihan.

   Diketuknya pelana kuda dengan cambuknya hatinya sangat gelisah mendadak ia berseru."

   Hei, anak perempuan kembali ke sini."

   Hui Giok berhenti dia tahu "anak perempuan"

   Yang dimaksud ialah dirinya, namun dia enggan memberi penjelasan, sebab keadaannya sangat memalukan, bagaimana ia harus menjawab andaikata orang itu menanyakan mengapa ia mengenakan baju perempuan.

   Dasar wataknya memang keras dan suka menang, ia enggan menerima belas kasihan orang lain, lebih2 ia benci terhadap cemoohan orang.

   Tapi akhirnya ia putar balik juga dan berdiri di depan orang itu, setelah memandanginya sejenak kelihatan rada terkejut dan keheranan tiba2 ia berkata."

   Bila kau tak punya rumah maukah kau ikut bersamaku."

   Ia menengadah dan menghela napas panjang lalu sambungnya ."

   Sebab aku pun tak punya rumah."

   Logatnya adalah logat daerah Kanglam, bicaranya singkat dan cepat, suaranya mengandung perasaan sedih, menimbulkan rasa simpatik Hui Giok. Tapi sebelum ia mengucapkan sesuatu, orang itu telah berkata lagi.

   "Selain itu, dapat pula kuajarkan ilmu silat padamu agar kelak kau tidak dipermainkan orang lagi. Tapi berapa banyak yang dapat kau raih akan bergantung pada bakat dan kepintaranmu sendiri."

   Dibalik perkataannya seakan2 hendak menyatakan ilmu silat yang dimilikinya terlampau dalam sehingga sulit untuk dipelajari keseluruhannya oleh orang lain.

   Hui Giok sangat gembira, mukanya berseri tapi tatkala ingatan lain terlintas dalam benaknya cepat ia berkata dengan tersipu2."

   Tapi aku terlampau bodoh, berlatih segiatnya tetap tiada kemajuan apa."

   "O, jadi kau pernah belajar silat?"

   Tanya itu dengan heran. Hui Giok mengangguk.

   "Hm, siapa bilang kau bodoh?' dengus orang itu.

   "Dari siapa kau peroleh belajar silat."

   "Liong heng pat ciang Tham Beng!"

   Jawab Hui Giok, dia menyangka setelah nama besar itu disebut, niscaya orang akan kaget. Siapa tahu orang tetap cuma mendengus saja"

   "Huh, manusia macam apa dia?"

   Hui Giok jadi tertegun malah, maklumlah nama maupun kedudukan Liong heng pat ciang Tham Beng ketika itu boleh dikatakan luar biasa, tapi orang ini justru bersikap sinis setelah mendengar nama Tham Beng, lalu siapakah gerangan orang ini.

   "Mungkinkah ilmu silatnya lebih tingi daripada paman Tham Beng?"

   Pikir Hui Giok. Tapi kelihatannya orang masih muda tak mungkin ilmu silatnya mencapai taraf setinggi itu. Tampaknya berangasan watak orang ini, ia berseru pula dengan tak sabar."

   Bagaimana, kau mau ikut aku tidak?"

   "Apa salahnya kuikut orang ini ?"

   Demikian Hui Giok berpikir lagi.

   "Siapa tahu dengan belajar ilmu silat kepadanya aku benar2 berhasil dan tercapai apa yang aku cita2kan...."

   Tapi ia tak berani berpikir lebih jauh, sebab semua itu hanya khayalan saja.

   Hui Giok mengangguk akhirnya, orang itupun tak bicara lagi, ia angkat cambuknya dan melarikan kuda itu beberapa langkah ke depan kemudian tangannya meraih ke bawah, dirangkulnya pinggang Hui Giok.

   Hui Giok merasakan pinggangnya mengencang tahu2 badannya mengapung ke atas dan berduduk di depan orang itu.

   Sayang Hui Giok masih terlampau muda, banyak persoalan tak dapat dipertimbangkannya dengan baik, andaikata ia masih berpikir dengan seksama dengan dandanannya dan keadaan sekarang, orang itu pasti telah menganggapnya perempuan asli, malahan sekarang orang mengajaknya pergi bersama, memeluk pula pinggangnya erat2 bukankah itupun menandakan orang mempunyai maksud tertentu terhadap dirinya.

   Hui Giok duduk di depan, kuda itu lari seperti terbang di awang2 selama hidup baru pertama kali ini ia naik kuda dengan kecepatan seperti itu, hatinya menjadi riang.

   Ngebut memang suatu kenikmatan.

   Lebih lagi bagi orang yang suka akan ketegangan dan rangsangan.

   Anak muda itu pejamkan matanya untuk dinikmatinya perasaan yang baru pertama kali ini baru dirasakan selama hidupnya, sementara hidungnya mengendus bau harus yang tipis, bau harus yang timbul dari tubuh si penunggang kuda yang berada dibelakangnya.

   "Aneh benar bau badan orang ini bagaikan harum anak perempuan"

   Demikian pikir Hui Giok dengan heran.

   Selagi heran orang yang berada di belakang itu telah berkata dengan nada dingin "Sebagai anak perempuan kau sebelum melakukan kau harus berpikir masak dan berhati, selanjutnya jangan suka ngelayap seorang diri sebelum ilmu silatnya berhasil diyakinkan dengan baik, mengerti!"

   Hui Giok menyengir serba salah dan tak menjawab. Orang itu kembali berkata .

   "hari ini, tanpa banyak omong kau terus ikut pergi bersamaku untung ketemu aku, coba orang lain, bisa kau dilalap orang lain."

   "Aku.....Aku....... Hui Giok ingin memberi penjelasan namun sukar berucap.

   "Sudah, tak perlu banyak bicara lagi!' kata orang dengan bengis, suaranya enak didengar tapi keras ditambah lagi mengandung nada yang mengancam mau tak mau anak muda itu terpaksa tutup mulut.

   "Selanjutnya kau boleh sebut aku guru"

   Kata si penunggang kuda.

   Lalu kuda itu kembali ngebut ke depan, udara kian gelap dan suasana bertambah sepi, mungkin sudah dekat tengah malam.

   Hui Giok tak tahu mereka akan menuju kemana orang itu tak bicara, ia pun tak berani bertanya.

   Entah berapa lama sudah lari, tiba2 dilihatnya dikejauhan ada sinar lampu, mungkin di sana adalah sebuah kota.

   Kuda itu masih ngebut terus, setelah dekat dengan cahaya lampu itu baru mengendur larinya sekarang Hui Giok dapat melihat dengan jelas tempat itu memang betul sebuah kota, bahkan cukup ramai suasananya sebab ditengah malam begini sinar lampu masih terang benderang.

   Semenjak berada di Peking, Hui Giok belum pernah keluar rumah, sudah tentu iapun tak tahu kota manakah yang disinggahi ini.

   Mereka masuk ke dalam kota kuda dijalankan pelan.

   Orang itu menarik tali kendali.

   Tiba2 Hui Giok merasakan badan orang menempel punggungnya itu lembek sekali, ia menjadi heran.

   "Aneh, ilmu silatnya begini tinggi, kenapa badannya begini lembek?"

   Kuda berhenti di depan sebuah hotel yang besar, orang itu melompat turun dari kudanya. Hui Giok juga ikut melompat turun ia di daerah utara, menunggang kuda tentu bukan asing baginya.

   "Kau mahir naik kuda?"

   Orang itu bertanya dengan agak heran, tapi sebelum Hui Giok menjawab ia sudah mendahului melangkah ke dalam hotel itu.

   Pelayan hotel umumnya sudah berpengalaman terhadap setiap tamu yang dihadapinya, maka ketika penunggang kuda itu muncul dengan bajunya yang perlente serta kudanya yang bagus, cepat ia menyongsong, lalu diiringi tertawanya yang dibuat2 ia berkata."

   Hehehe, apakah tuan tamu cari kamar?"

   Dengan tak sabar "Paman Leng"

   Mengangguk "Kenapa nyonya tidak ikut masuk?"

   Pelayan itu bertanya lagi.

   Kiranya Hui Giok masih berdiri di depan pintu.

   Dongkol dan geli juga dia mendengar orang menyebutnya sebagai nyonya namun ia pun tak dapat memberi penjelasan, terpaksa ikut masuk ke dalam.

   Dengan melongo heran pelayan itu mengawasi kaki Hui Giok, rupanya ia heran melihat sepatu yang dipakai anak muda itu.

   Mau tak mau paman Leng ikut memandang ke arah yang membuat heran pelayan tiu, demi melihat kaki dan sepatunya seketika iapun berkerut kening.

   Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hui Giok menyengir dengan tersipu, baru sekarang dia dapat melihat dengan jelas paman Leng.

   "Cakap amat orang ini!"

   Diam2 ia memuji didalam hati.

   Ternyata paman Leng ini beralis panjang lentik, sinar matanya bening tajam, mulutnya tidak terbilang kecil tapi bukan mulut yang besar, sedang, begitulah.

   Malah hidungnya juga mancung boleh dikatakan jauh lebih cakap dari Hui Giok.

   Ketika paman Leng melihat Hui Giok sedang mengawasinya tanpa berkedip, diam2 dia heran, pikirnya."

   Aneh benar sikap anak perempuan ini?"

   Bagaimanapun juga tentu tak pernah terpikir olehnya bahwa gadis yang nyaris diperkosa kaum berandal itu sebenarnya cuma gadis gadungan. Dalam pada itu si pelayan telah berkata lagi sambil tertawa.

   "Hehehe, kamar2 kami sudah penuh semua, hanya tinggal satu, bagaimana kalau kalian ambil saja, kamar itu cukup bersih dan tenang....."

   Ia tidak bicara dengan munduk2 lagi seperti tadi, sedikit banyak pelayan ini sudah melihat ada sesuatu yang tak beres atas kedua orang tamunya ini, maka sikapnya tidak seramah dulu.

   "Baik bawa kami ke atas."

   Seru paman leng tak sabar.

   Sedari kecil Hui Giok sudah biasa tidur sekamar dengan orang lain, maka iapun tidak keberatan atau merasa tak leluasa untuk bermalam dengan si penunggang kuda yang bernama paman leng ini, ia lupa bahwa dandanannya sekarang adalah seorang anak gadis, degan sendirinya orang memandang mereka berdua sebagai satu lelaki dan satu perempuan.

   Mengapa paman Leng mengajak dia tidur sekamar? Apakah mungkin paman leng inipun mengidap semacam penyakit aneh.

   Baru saja masuk ke kamar, paman leng sudah tak sabar dan mengusir pelayan itu lekas pergi, lalau sambil mengunci kamar ia berkata."

   Buka pakaianmu dan lalu tidur, besok pagi2 kita harus melanjutkan perjalanan lagi!"

   Hui Giok menjadi kikuk hal ini bukan disebabkan apa2 melainkan kuatir nanti paman leng bertanya kepadanya mengapa dia mengenakan baju perempuan bilamana jenis aslinya terlihat.

   Berbeda dengan paman leng, ia salah artikan kekikukan anak muda itu, ia berkata dengan tertawa."

   Apakah kau malu membuka baju di depanku? Jangan kuatir sebentar lagi kau akan tahu biarpun telanjang di depanku juga tidak menjadi soal."

   Sambil berkata dia lantas mengusap2 mukanya dan melepaskan pakaian sendiri, bukan jubah luarnya saja yang dicopot, malahan dalam juga ditanggalkan.

   Waktu itu Hui Giok sedang bingung apakan harus menjelaskan musibah yang menimpa dirinya atau tidak, tapi ketika ia menengadah dan menyaksikan pemandangan yang luar biasa itu, seketika jantungnya melompat keluar dari rongga dadanya.

   Kiranya setelah buka pakaian, terlihatlah semua anggota tubuh paman Leng pantatnya yang padat dan payudara yang montok dai ternyata seorang perempuan.

   Perempuan itu sama sekali tidak memperhatikan perubahan air muk Hui Giok sambil menggerundel ia seperti memberi nasihat pula.

   "Nah, tentu sekarang kautahu apa yang kumaksudkan tadi, sesungguhnya aku ini bukan lelaki."

   Setelah mendengus ia menambahkan lagi."

   Hm, bila aku ini lelaki, tentu kau bisa runyam!"

   Semenjak keluar dari rahim ibunya, belum pernah melihat perempuan bertelanjang bulan dihadapannya, dapat dibayangkan betapa kikuknya Hui Giok sekarang, jantungnya berdebar seakan2 melompat keluar dari rongga dadanya, muka yang sudah merah makin membara, ia tertunduk dengan ketakutan, sekejap saja tak berani melirik paman Leng yang berada dalam keadaan yang mengerikan.

   Tiba2 paman Leng tertawa, katanya.

   "rupanya aku ada jodoh dengan kau! Sejak pertama kali melihat kau, aku lantas merasa kasihan dan menaruh simpatik pada penderitaan yang kau alami. Kau hidup sebatangkara dan sering dipermainkan orang, maka kuputuskan untuk menerima kau sebagai muridku, jangan kau anggap kejadian ini begini mudah dan sederhana, kelak biar kau ceritakan kepada orang lain akan peristiwa ini, belum tentu mereka mau percaya pada ceritamu."

   Hui Giok coba menengadah seketika matanya mendengung dan matanya silau oleh pemandangan "seram"

   Dihadapannya, merah mukanya menjalar sampai keleher, cepat ia menunduk lebih rendah.

   Kiranya sekarang paman Leng betul 100% telanjang bulat tanpa sehelai benang menempel di tubuhnya, tertampaklah garis tubuh yang indah, payudaranya yang montok, pinggulnya yang gempal serta pahanya yang mulus dan.......semuanya, menawan dan merangsang.

   "kau jangan heran,"

   Kembali paman Leng berkata ketika dilihatnya Hui Giok tertunduk jengah "Sejak kecil aku sudah terbiasa tidur dalam keadaan begini," - ia tertawa, kemudian menambahkan.

   "Kau kan sudah dewasa, kenapa malu2 kucing? Hayo lepaskan pakaianmu dan tidur! Sesudah kau tahu aku adalah perempuan tulen, apalagi yang kau takuti!"

   "Pa......paman.....paman leng.....cep...cepatlah ber.....pakaian, aku....aa...aku...aku ini lelaki!"

   Seru Hui Giok akhirnya dengan gelagapan.

   "Apa kau bilang?"

   Teriak paman Leng kaget, pengakuan itu serasa halilintar membelah bumi di siang hari bolong, ia terhuyung mundur selangkah.

   "Aku adalah laki2 tulen!"

   Hui Giok mengulangi lagi pengakuannya,"

   Aku......"

   Sebelum kata2 itu selesai diucapkan, paman Leng melompat ke depannya, sebelum Hui Giok mengetahui apa yang akan dilakukan orang tahu2 badannya terasa kaku dan tak bisa berkutik lagi.

   Secepat kilat paman Leng meraba dadanya tapi blong, dada itu datar seperti lapangan, tanpa tonjolan barang sedikitpun, jelaslah sudah bahwa perempuan yang disangkanya semula itu memang sebetulnya seorang lelaki.

   Merah padam mukanya, kontan tangannya melayang dan "Plak", ia menghadiahkan suatu tamparan di pipi Hui Giok.

   "Kunyuk,! Kau ingin mampus?"

   Bentaknya gusar.

   "Berani kau permainkan nyonyamu!"

   "Siapa permainkan kau?"

   Keluh Hui Giok di dalam hati, dia ingin memberi penjelasan sebab2 kejadian itu, tapi sepatah katapun sukar diucapkan.

   Paman Leng tundukkan kepalanya, dilihatnya mata Hui Giok masih melotot ke tubuhnya dia hadiahkan pula sebuah tempelengan lagi, mukanya berubah makin merah, semerah buah apel yang sudah masak, dengan gerakan paling cepat, ia menyambar jubah luar dan dikenakannya.

   "Kunyuk! Dia mendamprat pula .

   "Kalau tidak kumampuskan kau, aku tidak perlu disebut Leng Gwat Siancu lagi!"

   Bila orang lain mendengar nama Leng gwat siancu dalam keadaan seperti sekarang, mustahil kalau tidak jatuh kelengar.

   Kiranya belasan tahun terakhir ini di dunia persilatan telah muncul seorang jago termashur, orang itu bernama Jian jiu suseng (sastrawan bertangan seribu), jejaknya misterius dan sukar dijajaki tapi ilmu silatnya hebat luar biasa, apa yang dilakukan selalu mengikuti suara hati sendiri tanpa mempedulikan apakah orang akan mengatakan perbuatannya itu sesat atau mulia, tidak juga ada orang yang tahu siapa nama aslinya, sebab belum pernha ada orang yang melihat wajah aslinya.

   Selama ini ia memegang teguh satu prinsip hidupnya yakni.

   "Bila orang tidak mengganggunya maka ia pun tak akan menyatroni orang tapi sekali orang cari gara2 padanya, maka jangan harap kau akan lolos dari cengkeramannya. Setiap orang akan mengacungkan jempol dan menunjukkan sikap hormat bila membicarakan Jian Ju Suseng, tapi banyak pula yang segan dan ketakutan mendengar nama besarnya. Leng gwat siancu yang dijumpai Hui Giok ini tak lain istri Jian Ju Suseng kabarnya ia lebih ganas dari suaminya. Kemudian entah apa sebabnya suami istri telah bercerai, hubungan antara Leng gwat siancu dengan Jian ju suseng putus, semenjak itu jejak Jian ju suseng tiba2 lenyap dari dunia persilatan sementara Leng gwat siancu sendiri makin sering berkelana kesana kemari, jejaknya sukar diketahui, sebab ia gemar berdandan sebagai laki2 kadangkala sebagai perempuan, siapa berani menyalahi dia berarti jiwa seseorang bisa melayang setiap saat, maka banyak orang berusaha menghindari sejauh2nya bila berjumpa dengan dia. Jangan orang lain dengan kedudukan dan ilmu silat Long heng pat ciang Tham Beng saja air mukanya juga akan berubah hebat bila membicarakan suami istri itu, maka dapat dibayangkan sampai dimana kehebatan dan keganasan kedua orang itu. Dan sekarang secara kebetulan Hui giok jumpa Leng gwat siancu malahan terjadi peristiwa yang sukar diberi penjelasannya, kalau menurut watak Leng gwat siancu di masa lampau mustahil anak muda itu tak dicabut olehnya. Rasa menyesal, malu dan tak tenang terpancar dari sorot matanya, namun tidak ada tanda2 akan memohon dan merengek supaya diampuni, sebab memang begitulah watak anak muda itu, sekalipun golok dipalangkan di tengkuknya, dia tak akan memohon kepada orang lain biarpun cuma sepatah kata. Warna merah di wajah Leng gwat siancu belum lenyap kecuali suaminya belum ada yang pernah melihat tubuhnya dalam keadaan telanjang, malahan beberapa tahun belakangan ini hampir tak seorangpun yang melihatnya lagi termasuk juga suaminya. Tapi sekarang, seorang pemuda yang dikenalnya telah memandangnya sampai puas sekujur badannya yang telanjang tentu saja dia marah tapi entah mengapa tiba2 timbul perasaan lain yang sukar dilukiskan. Perasaan aneh ini justru membuatnya tidak tenang dan semakin mendorong niatnya akan membunuh Hui Giok, untuk ini baginya boleh dikatakan sangat mudah, cukup sekali angkat tangan saja, tapi aneh ia merasa sangsi untuk turun tangan. Dari pancaran sinar mata Hui Giok ia menemukan semacam ketulusan yang belum pernah ditemuinya selama ini, ketulusan ini membuat hatinya tergerak. Sejak kecil Leng Gwat siancu hidup sebatang kara tapi berjiwa angkuh dan tinggi hati, watak semakin aneh lagi setelah ia menikah dengan Jian Ju suseng. Cinta suaminya itu ternyata tidak murni, tidak setia, setelah hal ini diketahui olehnya, dengan membawa kemarahan yang tak terperikan ia minggat meninggalkan suaminya. Sejak perpisahan itu ia tambah membenci kaum lelaki, ia memandang tiap lelaki yang ada di dunia ini sebagai musuh besarnya. Tapi sekarang ketika ia menemukan ketulusan sinar mata Hui Giok hatinya goyah kembali. Maklumlah setiap manusia di dunia ini bisa saja menipu perasaan cinta dari orang lain dengan pelbagai cara tapi hanyalah perasaan yang tulus akan memperoleh perasaan yang tulus pula. Hanya ketulusan yang dapat mengharukan orang lain, menggerakan perasaan orang lain. Leng Gwat siancu telah angkat telapak tangannya keatas tapi entah cara bagaimana, mendadak arahnya berubah tahu2 ia hanya menepuk Giok tin di belakang kepala Hui Giok. Hui Giok menghembuskan napas dalam2 ia tahu jalan darahnya tadi ditutuk orang.

   "Sebenarnya siapakah kau?"

   Dengan ketus dan sorot mata yang dingin kembali Leng gwat siancu menegur.

   Meski Hui Giok tajhu jalan darahnya tadi tertutuk, tapi ia tak tahu kalau jiwanya bar saja lolos dari ujung tanduk sebag biasanya teramat sedikit orang yang dapat lolos dari cengkraman Leng gwat siancu.

   Lama juga anak muda itu terpekur, akhirnya ia berkisah menceritakan asal usulnya dan semua peristiwa di dalamnya.

   Leng gwat siancu (Dewi rembulan dingin) Ay cing memang berwajah dingin dan kaku, tindak tanduknya keji, caranya membunuh orang tak kenal ampun, namun sesungguhnya iapun perempuan yang berjiwa hangat, berperasaan halus, hanya perasaan itu jarang diperlihatkan kepada orang lain.

   Banyak orang di dunia ini mengalami nasib yang jauh lebih buruk dan menyedihkan daripada Hui Giok, Ay Cing tak pernah bertanya dan peduli tak pernah menaruh perhatian tapi sekarang setelah kisah hidup Hui Giok keadaan ikut berubah.

   Perasaan manusia terkadang memang dapat berubah mengikuti sasarannya, suatu peristiwa yang sama, tapi terjadi pada dua orang yang berbeda maka kesan yang timbul juga akan berbeda.

   Hui Giok adalah pemuda yang tak pernha bicara, apalagi pada dasarnya ia memang tak pernah banyak bicara, maka setiap perkataannya selau diutarakan dengan singkat, tegas dan menggetarkan perasaan orang.

   Ucapan orang yang tak suka banyak bicara memang sering lebih mengena dan mempesona pendengarnya.

   Sekarang rasa malu, kiku tak tenang yang tadi berkecamuk dalam hati kedua orang itu hilang tak berbekas, sebagai gantinya antara mereka timbul perasaan simpatik dan saling mengerti yang mendalam.

   Ay Cing tak pernah membuka rahasia hidup selama ini, tapi ia toh menyinggungnya sedikit, sekalipun secara samar2 katanya dengan menghela napas panjang.

   "Kau jangan berduka, apa yang pernah ku alami dalam kehidupan masa lalu jauh berbeda dengan nasibmu kau sama sekali tak bodoh, asal mau berlatih dengan tekun dan rajin siapa tahu ilmu silatmu di kemudian hari jauh lebih tangguh daripada diriku? Biarlah soal ini kita bicarakan lagi di kemudian hari."

   Walau hanya ucapan yang singkat, tapi menegaskan Ay Cing ini sudah melebihi janji seribu kata bagi Hui Giok anak muda ini tidak mempunyai nafsu berahi terhadap perempuan yang usianya hampir satu kali dari usianya lebih tua daripadanya ini, tapi suatu perasaan yang sukar dilukiskan diam2 bersemi dihati.

   Perasaan ini mirip perasaan kasih sayang anak terhadap ibunya sudah bertahun2 lamanya perasaan ini tak pernah timbul dalam hati Hui Giok.

   Leng gwat siancu kelihatan agak lelah kedatangannya ke utara dengan tergesa2 ini bukan lantaran hendak berpesiar atau mengunjungi sahabat, ia sedang menghindarkan pengejaran seorang musuh yang sangat lihay sepanjang perjalanan ia tak mudah berhenti dan beristirahat tentu saja ia sangat lelah.

   Beberapa kali ia menguap matanya terasa sepat dan mengantuk akhirnya ia berkata.

   "lekas tidur!" - tapi setelah perkataan itu diutarakan kembali pipinya bersemu merah, sebab teringat oleh nya bahwa bagaimanapun juga pihak lain adalah seorang laki2. tiba 2 terdengar bunyi pelahan pintu kamar secepat kilat Ay Cing melompat ke ambang pintu setelah membetulkan pakaiannya cepat ia membuka pintu, tapi suasana tetap hening, di luar tak nampak sesosok bayangan apapun, bahkan serambi panjang juga sepi tak tampak bayangan orang. Angin malam berembus mengibarkan ujung bajunya dengan muka merah cepat perempuan itu menarik bajunya agar jangan sampai tersingkap, kemudian berpaling dan melirik sekejap ke Hui Giok. Kemana arah pandangannya menuju, kembali ia tersentak kaget. Saat itu Hui Giok telah menyapa dengan suara tertahan.

   "Pa......Paman Leng, tentunya engkau sangat capek, beristirahatlah dahulu biar aku berdiri saja diluar sini, kan sebentar lagi fajar!"

   Ay Cing tidak menjawab seakan2 tidak mendengar perkataannya ia tertunduk seperti memikirkan sesuatu tiba2 ia berkata dengan gemas ."

   Hm, rupanya kalian, barangkali kalian sudah bosan hidup!".

   Hui Giok memandang perempuan itu dengan bingung, ia tercengang mengapa Ay Cing mengucapkan kata2 yang sama sekali tak dipahaminya.

   Tampaknya Ay Cing juga mengetahui kecengangan orang, ia tersenyum sambil menunjuk ke dua pintu kamar .

   "Coba kau lihat!"

   Hui Giok juga terkejut dilihatnya sebuah gambar berbentuk bintang yang dilukis dengan kapur tertera jelas di daun pintu kamar itu.

   Sudah cukup lama anak muda itu hidup perusahaan pengawalan barng, banyak pula ia dengar cerita dunia persilatan dari para piautau yang lebih tua, maka setelah melihat tanda gambar yang tertera di pintu itu tahulah dia bahwa ada suatu komplotan penjahat meninggalkan pemberitahuan sebelum melakukan pekerjaan mereka.

   Atau dengan perkataan lain, komplotan penjahat seolah berkata demikian.

   "Barang ini sudah kami pesan, orang lain jangan coba menyerobotnya!"

   "Apakah kau tahu siapakah mereka?"

   Tanya Hui Giok. Ay Cing mengangguk sahutnya sambil menunjuk gambar bintang itu.

   "Coba perhatikanlah dengan seksama, apakah bintang itu terdapat sesuatu yang aneh!"

   Hui giok memeriksanya dengan cermat anak muda ini sebenarnya cerdik tapi lantaran mendapat pengekangan selama bertahun2 sehingga kehilangan kepercayaan dalam kemampuan dirinya sendiri, ibaratnya sepotong batu permata yang belum digosok, sebelum digarap oleh seorang ahli takkan terpancar sinarnya.

   

Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Pedang Abadi -- Khu Lung Merpati Pedang Purba -- Kauw Tan Seng

Cari Blog Ini