Bentrok Para Pendekar 7
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bagian 7
Bentrok Para Pendekar Karya dari Gu Long
"Aku paling senang bila orang mengatakan kakiku bagus, kalau kau pria, akan kusuruh kau mengelus kakiku."
"Sayang aku bukan ...."
Kata Sim Bik-kun, suaranya amat lirih.
Apakah karena ia merindukan Siau Cap-it Long? Sayang kau bukan Siau Cap-it Long.
Sayang sekali anda juga bukan Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long dimanakah kau berada? Kenapa sampai sekarang belum ada beritamu? Cahaya rembulan lebih terang.
Namun air muka mereka lebih guram.
Dari tengah danau kembali berkumandang nyanyian merdu, suaranya nyaring bening, diselingi cekikikan geli nan mengasyikan, sang penyanyi yakin adalah soprano yang cantik lagi rupawan.
Ternyata nyanyian dan gelak tawa berkumandang dari arah Cui-gwat-lo di kejauhan sana.
Bayangan orang banyak tengah berpesta kelihatan samar dari kejauhan.
Hong Si-nio mendadak tertawa riang, katanya.
"Sayang dalam dua hari ini kita sibuk, kalau tidak, kita terjang ke atas ikut minum beberapa cawan."
Sim Bik-kun berkata.
"Kau tahu siapa yang mengadakan perjamuan di atas kapal?"
"Aku tidak tahu."
"Siapa pengundangnya kau tak tahu, berani kau naik ke sana?"
"Peduli siapa dia, dia pasti mau menyambut kehadiranku."
"Kenapa?"
"Sebab kita ini perempuan, kalau lelaki sedang minum arak, melihat perempuan yang enak dipandang datang, dia pasti senang menyambut kedatangannya."
"Sepertinya kau amat berpengalaman?"
"Terus terang saja, kejadian seperti itu, entah berapa puluh kali pernah kulakukan."
Sim Bik-kun mengawasinya, mengawasi bola matanya yang bersinar, mengawasi lesung pipitnya yang menggiurkan, akhirnya ia menghela napas.
"Sayang aku bukan lelaki, kalau tidak, aku rela menjadi binimu."
Hong Si-nio, tertawa.
"Kalau engkau lelaki, aku juga senang menjadi istrimu."
Walau sedang tertawa, tapi tawanya tampak sendu.
Mereka merindukan Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long, Siau Cap-it Long kenapa kau selalu membikin orang kasmaran, ingin melupakanmu, hati malah risau, membuang pikiran melupakanmu juga tak mungkin.
Sekonyong-konyong dari arah tanggul seseorang memanggil.
"Tukang perahu, bawa perahumu kemari."
Hong Si-nio menghela napas.
"Nah, kita dapat obyekan, nasib kita agak mujur hari ini."
Sim Bik-kun berkata.
"Sebagai tukang perahu, dia membutuhkan tenaga kita, jangan rezeki ini ditolak."
"Betul, masuk akal,"
Seru Hong Si-nio seraya melompat ke depan meraih galah, sekali mengerahkan tenaga, perahu meluncur kencang ke arah tepian.
"Kau bisa mengendalikan perahu ini?"
Tanya Sim Bik-kun.
"Delapan belas macam senjata semua dapat kumainkan dengan mahir, memangnya hanya mengayuh aku tidak mampu?"
Sim Bik-kun tertawa geli, tanyanya.
"Adakah sesuatu yang tidak mampu kau lakukan?"
"Ada satu."
"Apa itu?"
"Selamanya aku tidak suka berpura-pura, aku tidak perlu merasa malu."
Yang mau naik perahu ada tiga orang. Dengan rasa riang Hong Si-nio berkata.
"Kalau orang-orang Kangouw dikumpulkan di sini, lalu berbaris lewat di mukaku, tiap tiga orang, paling sedikit ada satu orang yang kukenal."
Dalam hal ini Hong Si-nio memang tidak membual.
Ia kenal satu di antara ketiga orang itu.
Seorang lelaki bermata sipit, berpenampilan keren, mengenakan jubah panjang, memegang kipas yang digoyang-goyang, penampilannya mirip pelajar.
Gelarnya memang Pwe-bing Suseng, pelajar pencabut nyawa.
Kipas lipat di tangannya itu adalah gaman yang diandalkan.
Dalam kalangan Bulim, tokoh silat yang memakai kipas lempit sebagai senjata memang jarang.
Pwe-bing Suseng Su Jiu-san adalah salah satu di antara tokoh yang disegani itu.
Orang yang berkawan atau bergaul dengannya tentu bukan sembarang tokoh.
Siau Cap-it Long sering bicara.
"Dari sekian banyak insan persilatan, paling sedikit setengah di antaranya dikenal Hong Si-nio, setengah di antara mereka juga mengenal Hong Si-nio."
Tapi ketiga orang ini semua tidak mengenalnya, Su Jiu-san pun tidak mengenalnya, maklum cuaca remangremang, bentuk rupanya kini juga sudah berubah, sebab siapa mengira Hong Si-nio bisa jadi tukang perahu di Se-ouw.
"Tuan-tuan mau kemana?"
Tanya Hong Si-nio.
"Cui-gwat-lo,"
Katanya Su Jiu-san.
"kau tahu dimana Cui-gwat-lo?"
Hong Si-nio lega, tempat lain di sekitar Se-ouw jelas ia tidak tahu, Cui-gwat-lo jelas ia sudah tahu.
Su Jiu-san sudah mencari tempat duduk di haluan, diam-diam ia memperhatikan tukang perahu yang cewek ini, terakhir ia mengawasi kaki orang, tiga laki-laki itu semua mengawasi kakinya.
Hong Si-nio tidak bisa melarang orang mengawasi kakinya, namun hatinya amat gemas dan keki melihat cara mereka memandang, rasanya seperti ingin menjahit mata mereka saja.
Sebab ia sendiri maklum, tukang perahu perempuan yang sepanjang tahun bekerja keras di atas air, tak mungkin memiliki sepasang kaki semulus, putih dan menggiurkan seperti kakinya, maka ia harus berusaha mengalihkan perhatian mereka, celakanya otaknya seperti bebal, tiada akal terpikir olehnya.
Sementara sorot mata ketiga orang ini seperti tajamnya paku memantek sepasang kakinya.
Untunglah dari Cui-gwat-lo yang besar dan benderang itu berkumandang gelak tawa ramai disertai tepuk tangan yang gegap gempita, disusul suara nyanyian berkumandang lagi, suaranya keras berisi, bukan penyanyi perempuan, tapi seorang lelaki dengan nada tinggi membawakan lagu romantis nan mengasyikan.
Mendadak Su Jiu-san tertawa dingin.
"Eh, tampaknya dia amat gembira."
Laki-laki setengah umur bermuka kuning temannya itu menanggapi.
"Sepertinya sejak tanggal lima, dia mulai mengadakan pesta, hari ini sudah tujuh hari, pesta-pora belum juga usai."
Seorang lelaki yang lain menimbrung.
"Maka aku mengaguminya."
Lelaki ini bertubuh kekar, brewok lagi.
"Kau mengaguminya?"
"Siapa pun dia, setelah tujuh hari pesta mabuk-mabukan, masih punya semangat membawakan lagu seriang itu, aku akan mengaguminya."
Lelaki muka kuning mengejek dingin.
"Darimana kau tahu dia sudah berpesta-pora selama tujuh hari?"
"Sebab aku tahu dia seorang yang pasti mabuk tiap kali menyentuh arak,"
Kata si brewok. Mengawasi kemilau cahaya di permukaan air danau, sorot mata Su Jiu-san seperti berusaha menyelami persoalan, katanya dengan perlahan.
"Entah berapa cewek yang dia panggil untuk teman minumnya?"
"Tergantung berapa banyak tamu yang dia undang,"
Ujar lelaki setengah umur bermuka kuning.
"Orang-orang gagah di wilayah Kanglam, sepertinya dia undang seluruhnya."
"Apa tujuannya?"
"Siapa tahu."
Seorang mengundang tamu makan minum, sang tamu tidak tahu untuk apa pengundang mengadakan pesta, ini kejadian aneh, pengundangnya lebih aneh.
Walau kepala menunduk, tapi sorot mata Hong Si-nio benderang.
Siapakah tuan rumah yang mengadakan pesta? Apakah Thian Sun? Mengapa mengundang semua insan persilatan di daerah Kanglam? Memangnya punya maksud tertentu atau hanya jebakan belaka? Jebakan untuk membunuh mangsa? Terbayang dalam ingatan Hong Si-nio akan pembunuhan di Pat-sian-cun beberapa waktu lalu, ingin rasanya dia melarang Su Jiu-san dan kawan-kawan naik ke kapal pesiar itu.
Namun ia sendiri ingin melihat keadaan di sana, dia pun ingin tahu siapa tuan rumah penyelenggara pesta.
Hong Si-nio menghela napas panjang.
Di atas kapal mendadak tak terdengar lagi suara orang berpesta-pora, rupanya sedang mengawasinya dengan mata melotot, bukan sedang mengawasi kakinya yang mulus, tetapi sedang mengawasi wajahnya.
Untung dia mengenakan topi lebar, hingga sebagian wajahnya tertutup.
Ia pun menundukkan kepala.
Walaupun mata Su Jiu-san sipit, ternyata mulutnya sangat lebar.
Mendadak ia tertawa tergelak, serunya.
"Aku Su Jiu-san."
Dengan kepala masih tertunduk, Hong Si-nio memanggilnya.
"Su-toaya!"
"Jangan kau panggil aku Su-toaya, panggil saja aku Su-jiya,"
Kata Su Jiu-san, lalu lanjutnya.
"Dia inilah Hotoaya, Hou Bu-pe."
Lelaki setengah umur berwajah kuning manggut-manggut. Terpaksa Hong Si-nio memanggilnya.
"Ho-toaya!"
Sudah jelas tampangnya seperti orang berpenyakitan, tetapi namanya justru Bu-pe, tak berpenyakit, sungguh menggelikan, demikian batin Hong Si-nio.
"Akulah Ong-losam, Ong Bing,"
Timbrung lelaki brewok itu. Hong Si-nio menahan geli, agaknya Ong-losam ini lebih sopan dibanding kedua rekannya.
"Nona, siapa namamu?"
Tanya Su Jiu-san.
"Ah, aku yang rendah hanyalah seorang tukang perahu,"
Sahut Hong Si-nio.
"Sekalipun kau seorang tukang perahu kan juga punya nama."
"Rasanya tak perlu aku mengatakannya."
"Bukankah kita sudah naik di atas perahu yang sama, ini namanya kita berjodoh, untuk apa kau sembunyikan namamu?"
Sungguh orang ini sangat memuakkan, menyebalkan, pantas saja dijuluki Pwe-bing Suseng, pelajar pencabut nyawa. Hou Bu-pe menukas.
"Biasanya perempuan suka malu menyebut namanya di hadapan laki-laki."
"Kelihatannya dia bukanlah seorang perempuan pemalu."
"Buat apa kau memaksanya memberitahu namanya, kalau dia tidak mau menyebut nama sendiri, ya sudahlah,"
Sela Ong Bing. Su Jiu-san menatap Hong Si-nio lekat-lekat, katanya pula.
"Mengapa kau enggan menyebut namamu?"
"Aku tidak berani,"
Teriak Hong Si-nio.
"Kau takut asal-usulmu ketahuan?"
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hong Si-nio tertawa dingin.
"Memangnya seorang tukang perahu punya asal-usul apa yang memalukan."
"Memangnya kau tukang perahu tulen?"
"Tentu."
"Tampaknya tidak mirip."
"Apanya yang tidak mirip?"
"Semuanya tidak mirip."
"Lalu aku mirip apa?"
Dengan mengertak gigi Hong Si-nio tertawa dingin.
Mendadak Su Jiu-san melompat bangun sambil mementang kipas lipatnya.
Jari-jari tangan Hong Si-nio terkepal kencang.
Ia merasakan niat jahat lelaki di hadapannya ini.
Sinar mata Su Jiu-san memancarkan sinar buas.
Apapun yang akan dilakukan lelaki itu, Hong Si-nio sudah bersiap untuk melancarkan serangan, berniat melancarkan tendangan terlebih dulu, kalau bisa sekali tendang membuat musuh langsung roboh terkapar.
"Kita sudah tiba di Cui-gwat-lo!"
Teriak Sim Bik-kun tiba-tiba.
Ketika Hong Si-nio berpaling, benar saja, perahu mereka telah berada di dekat kapal pesiar besar itu.
Kapal pesiar yang terang benderang disinari cahaya lentera, suara musik pun berkumandang dari atas loteng, sedangkan di bagian bawah tampak sunyi sepi, rupanya seluruh penumpang sedang berkumpul di ujung geladak.
Ada sekitar 30-an orang yang berkumpul di situ, tampaknya mereka sedang berbisik-bisik, entah apa yang dibisikkan.
"Mengapa mereka tidak berkumpul di ruang dalam?"
Demikian pikir Hong Si-nio penuh keheranan. Siapa penyelenggara pesta? Mengapa tidak berkumpul di dalam? Su Jiu-san mengawasinya, tiba-tiba tanyanya.
"Kau sanggup melompat ke atas kapal?"
Hong Si-nio menggeleng.
"Kau tak ingin melihat keramaian di sana?"
Kembali Hong Si-nio menggeleng.
"Kau tidak menyesal?"
"Kenapa mesti menyesal?"
Su Jiu-san tertawa, katanya.
"Karena penyelenggara pesta adalah orang yang ingin dilihat siapa pun."
"Siapa?"
"Siau Cap-it Long!"
XXII.
PESTA DI CUI-GWAT-LO Siau Cap-it Long! Ternyata tuan rumah penyelenggara pesta adalah Siau Cap-it Long.
Pemilik kapal mengundang Lian Shia-pik bersua di sini, ternyata dia pun sedang menyeienggarakan pesta.
Apakah semuanya ini hanya kebetulan? Atau dia memang sengaja mengatur hal ini? Dia tahu di antara sepuluh jago di dunia persilatan, sembilan orang adalah musuh bebuyutannya, mengapa dia tetap menyelenggarakan pesta di situ, bahkan mengundang seluruh musuh bebuyutannya? Hong Si-nio tertegun.
Su Jiu-san tidak menggubrisnya, sembari menggoyang kipas ia melompat naik ke atas kapal.
Hou Bu-pe serta Ong Bing mengikut di belakangnya.
Sebagian besar kawanan jago di atas geladak segera maju menyambut kedatangannya, pergaulan Su Jiusan memang sangat luas.
Tapi dimana Siau Cap-it Long? Mengapa dia tidak menyambut kedatangan tamunya? Hong Si-nio mulai menyesal, mengapa tidak ikut naik ke sana.
Sim Bik-kun menghampirinya, tanyanya lirih.
"Kau kenal orang she Su itu?"
"Hm!"
"Apakah mengenalimu?"
"Rasanya begitu."
Setelah sangsi sejenak, kembali Sim Bik-kun bertanya.
"Menurut kau, apakah dia sengaja bergurau denganmu?"
"Aku rasa dia tidak berani,"
Sahut Hong Si-nio.
"Lalu ... apakah benar penyelenggara pesta itu Siau...."
Berputar biji mata Hong Si-nio, tukasnya.
"Kau berjaga di sini, sementara aku akan menyusup masuk lewat buritan perahu."
Cui-gwat-lo ternyata lebih besar dan lebih tinggi dari kapal yang ditumpanginya.
Hong Si-nio mendekam di atas wuwungan kapal sambil mengawasi ke bawah, namun tidak nampak sesuatu gerakan apapun di atas loteng kapal pesiar itu, dia dapat melihat jelas semua orang yang sedang berkumpul di geladak.
Dari tiga puluhan orang yang hadir, paling tidak dia kenal empat-lima belas orang di antaranya.
Seorang kakek berambut putih kurus, kecil dan pendek sedang berbincang dengan Hou Bu-pe.
Hong Si-nio segera mengenali orang itu, Ciangbunjin Sing-gi-bun aliran selatan, si monyet sakti Hu It-gwan.
Biarpun orang ini belum terhitung jagoan yang berilmu tinggi, namun posisi dan kedudukannya dalam dunia persilatan sangat tinggi.
Namun terlihat dia sangat menghormat pada Hou Bu-pe.
Hong Si-nio tidak tahu orang macam apa Hou Bu-pe, darimana pula asal-usulnya? "Sudah lama aku mendengar dan mengagumi nama besar Hou-sianseng, sayang baru bertemu denganmu sekarang,"
Terdengar Hu It-gwan berkata sambil tertawa.
"Selama ini memang tidak banyak orang yang bisa bertemu denganku,"
Sahut Hou Bu-pe dingin.
"Jadi Hou-sianseng memang sudah lama tak pernah terjun lagi dalam dunia persilatan?"
Hou Bu-pe manggut-manggut, lalu katanya.
"Karena aku terluka oleh pukulan To-pik-eng-ong (Raja elang berlengan tunggal) hingga aku harus merawat luka selama lebih 15 tahun."
Mendengar ucapannya ini hampir Hong Si-nio melompat bangun saking kagetnya, teringat olehnya asal-usul seorang kosen yang telah lama menghilang.
Dulu, Ciangbunjin partai Sian-thian Bu-khek-pay, Tiongciu-tayhiap Tio Bu-khek, mempunyai Sute bernama Ho Bu-kong, ilmu silatnya sangat tinggi, belum lama ia terjun dalam dunia persilatan, tahu-tahu jejaknya hilang tak berbekas.
Kemungkinan Hou Bu-pe ini adalah Ho Bu-kong.
Tio Bu-khek yang berjuluk pendekar besar itu sesungguhnya adalah seorang Kuncu gadungan dan berjiwa munafik, dia sendiri pada akhirnya tewas di tangan Siau Cap-it Long dalam pertarungan memperebutkan golok jagal rusa.
Kini secara tiba-tiba Hou Bu-pe muncul di sini, apakah kemunculannya ini bermaksud untuk membalas dendam? To-pik-eng-ong adalah salah seorang jago tangguh yang ditugaskan oleh Tio Bu-khek untuk melindungi golok jagal rusa, namun dia sendiri juga tewas secara mengenaskan.
Apakah Hou Bu-pe tahu akan rahasia dibalik peristiwa itu? Hong Si-nio tak melihat perubahan mimik wajahnya, tapi ia yakin parasnya pasti merah padam.
Dalam keadaan seperti ini tak mungkin ia terus membual di depan Hou Bu-pe, ia mulai mencari akal untuk ngacir dari tempat ini.
Belum sempat ia angkat kaki, Ong Bing sudah menarik tangannya sambil berkata.
"Di kapal ini tersedia arak dan daging, mengapa kalian tidak menikmatinya?"
Hong Si-nio sudah menduga akan pertanyaan ini.
Hu It-gwan hanya diam saja, terhadap Ong Bing ia tidak akan sungkan seperti terhadap Hou Bu-pe.
Walau Ong Bing berangasan dan kasar, namun ia bukanlah orang bodoh, mengetahui sikap orang yang dingin, ia menegur sambil melotot.
"Kau hanya kenal pada Hou-toako, memangnya kau tidak mengenali aku?"
"Memangnya kau ini siapa?"
Sahut Hu It-gwan.
"Aku bernama Ong Bing, seorang Hwesio yang tak terkenal."
"O!"
"Aku hanyalah seorang Hwesio yang diusir dari Siau-lim-si."
Hu It-gwan tidak menanggapi, hanya tertawa dingin. Tiba-tiba Ong Bing menunjuk hidung sendiri, katanya.
"Akulah si Hwesio liar yang nyaris menghancurkan ruang Lo-han-tong kuil Siau-lim-si, akulah si Hwesio baja yang tidak mampus walau sudah digebuk seratus delapan puluh kali pukulan toya."
Berubah hebat paras muka Hu It-gwan.
Rupanya ia telah salah menduga orang.
Hong Si-nio pun tidak kalah terperanjatnya.
Mengapa Hwesio liar ini bisa muncul di sini? Apakah dia datang untuk menghadapi Siau Cap-it Long.
Tanpa mempedulikan Ong Bing yang masih tercengang, Hu It-gwan berkata sambil menghela napas.
"Tidak sembarang orang boleh naik ke kapal itu."
"Memangnya kalian bukan tamu yang diundang Siau Cap-it Long?"
"Justru kami adalah tamu undangannya."
"Kalau kalian adalah tamunya, kenapa tak boleh masuk ke dalam?"
Hu It-gwan ragu-ragu sejenak, kemudian sahutnya sambil tertawa.
"Tamu undangan banyak macamnya, sebab tujuan kedatangan setiap orang berbeda."
"Lalu apa tujuan kedatanganmu?"
"Aku datang untuk bertamu."
"Kalau bertamu tak boleh masuk, lantas manusia macam apa yang boleh masuk?"
"Orang yang datang untuk membunuhnya!"
"Hanya orang yang ingin membunuhnya baru boleh masuk untuk minum arak?"
Tanya Ong Bing melengak.
"Betul."
"Siapa yang omong begitu?"
"Dia sendiri."
Tiba-tiba Ong Bing mendongakkan kepala dan tertawa, serunya.
"Bagus! Siau Cap-it Long si bocah keparat, kau memang hebat."
Di tengah kumandang gelak tawanya yang nyaring, dia beranjak dari situ dan menerjang ke ruang perahu dengan langkah lebar. Lekas Su Jiu-san menarik tangannya.
"He, mengapa kau menarik tanganku, bukankah kita datang untuk membunuhnya?"
Tegur Ong Bing dengan kening berkerut.
"Sekarang belum tiba saatnya."
"O, karena itu kita tidak boleh masuk untuk minum arak?"
"Di luar geladak begitu banyak sahabat, apa artinya bila kau masuk seorang diri?"
Ong Bing merasa tak puas mendengar perkataan itu, namun dia tidak membantah dan tidak berusaha lagi menyerbu ke dalam. Meskipun begitu ia masih mengomel.
"Hanya orang yang ingin membunuhnya yang boleh masuk untuk minum arak, keparat... bila kau bukan telur busuk tentu kau memang punya kemampuan."
Sebenarnya Siau Cap-it Long seorang keparat atau telur busuk? Hong Si-nio pun sering bertanya kepada diri sendiri, entah sudah berapa puluh kali.
Sekonyong-konyong dari ruang bawah loteng terdengar suara orang terbatuk-batuk, rupanya ada seorang yang sedang duduk di ruangan situ sambil menenggak arak, mungkin karena kurang hati-hati hingga tersedak.
Hanya orang yang ingin membunuhnya yang boleh masuk untuk minum arak.
Jadi orang ini datang untuk membunuhnya.
Nyali siapa yang begitu besar hingga berani datang secara terang-terangan untuk membunuh Siau Cap-it Long? Hong Si-nio jadi ingin tahu orang macam apa dia.
Sayang dia tak dapat melihatnya.
Orang itu berdiri membelakangi jendela hingga wajahnya tak terlihat.
Hong Si-nio hanya bisa melihat orang itu memakai baju biru yang sudah luntur dan ada beberapa tambalan.
Dengan santainya orang itu masih makan dan minum.
Siapakah dia? Siapa pun orangnya, dengan penampilannya yang santai dan keberaniannya untuk datang secara terangterangan, jelas dia bukan sembarang tokoh.
Di dalam maupun di luar geladak tak nampak bayangan Siau Cap-it Long, kemana perginya dia? Perlahan-lahan Hong Si-nio merambat turun kembali ke perahunya sendiri, tampak Sim Bik-kun menunggu dengan cemas dan gelisah.
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau telah berjumpa dengannya?"
Hong Si-nio menggeleng.
"Tapi aku yakin dia pasti berada di kapal itu."
"Kenapa?"
"Sebab hanya dia yang bisa melakukan perbuatan semacam ini,"
Sahut Hong Si-nio sambil menghela napas.
"Perbuatan apa?"
Hong Si-nio tertawa getir.
"Dia telah mengundang tiga-empat puluh orang untuk berpesta, namun khusus untuk orang yang bermaksud membunuhnya."
"Mengapa dia berbuat begitu?"
"Siapa yang tahu, perbuatannya memang selalu membingungkan orang, biar berpikir sampai kepala pecah juga belum tentu orang lain bisa menebaknya."
Padahal dia bukannya tidak tahu sama sekali.
Siau Cap-it Long sengaja berbuat begitu karena dia pun tahu tak seorang pun di antara para tamunya itu yang bermaksud membunuhnya.
Dia hanya ingin tahu, ingin membuktikan, berapa banyak orang yang ingin membunuhnya.
Semua perbuatan Siau Cap-it Long hanya Hong Si-nio seorang yang paham, di kolong langit ini tiada orang kedua yang jauh lebih memahami Siau Cap-it Long ketimbang dirinya.
Hanya saja dia enggan mengutarakan keluar.
Apalagi di hadapan Sim Bik-kun.
Dia berharap Sim Bik-kun jauh lebih memahami Siau Cap-it Long ketimbang dirinya.
Dari ruang kapal pesiar kembali berkumandang suara seruling dan irama lagu, perlahan Sim Bik-kun mendongakkan kepala, mengawasi jendela yang terang benderang dengan termangu, sorot matanya berubah sendu.
Hong Si-nio tahu apa yang sedang dia pikirkan.
Benarkah dia berada di atas loteng? Berapa banyak orang yang menemaninya? Siapa saja yang sedang menemaninya? Gara-gara cinta, orang mudah berubah jadi pencemburu dan banyak curiga? Diam-diam Hong Si-nio menghela napas panjang, tiba-tiba katanya.
"Aku ingin naik lagi ke atas kapal untuk melihat keadaan."
"Tapi ... tapi bukankah Su Jiu-san telah mengenalimu?"
Kata Sim Bik-kun ragu.
"Kalau dia sudah mengenaliku, kenapa pula aku harus menghindarinya?"
Sim Bik-kun tidak bicara lagi.
Sebenarnya ia tidak setuju dengan perbuatan Hong Si-nio, namun apa daya, ia tak mampu mencegahnya.
Bagaimanapun juga mereka adalah dua orang perempuan yang berbeda watak, pandangan mereka terhadap suatu persoalan juga selalu berbeda.
Hong Si-nio tak pernah menghindari suatu persoalan ataupun kehendaknya, apapun resikonya.
Mendadak Sim Bik-kun berbisik.
"Aku ikut!"
"Kau?"
"Kalau kau boleh ke sana, mengapa aku tak boleh?"
Dengan perasaan terkejut Hong Si-nio mengawasi wajahnya, sorot matanya memancarkan senyum kegembiraan.
Ternyata Sim Bik-kun telah berubah.
Dia seakan sudah mendapatkan sesuatu benda yang sebelumnya mustahil dimilikinya, yaitu keberanian! "Mari kita pergi bersama,"
Ajak Hong Si-nio sambil menarik tangannya.
"tempat yang bisa kudatangi, tentu saja kau pun boleh ke sana."
Hong Si-nio segera melompat naik ke geladak kapal pesiar.
Sim Bik-kun segera menyusul di belakangnya.
Ternyata ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi, ilmu senjata rahasia warisan keluarganya terlebih sangat hebat, namun setiap kali bertarung, dia sering mengalami kekalahan.
Mungkin hal ini disebabkan dia tidak memiliki keberanian.
Tanpa keberanian, setinggi apapun ilmu silatnya menjadi tak berguna.
Ketika melihat ada dua orang wanita yang berdandan sebagai tukang perahu tiba-tiba melompat naik ke atas kepal dengan Gin-kang yang hebat, tentu saja menimbulkan perasaan terkejut bagi semua orang.
Tapi Hong Si-nio sama sekali tak ambil peduli.
Ia hanya menyapa Su Jiu-san, yang lain tak digubrisnya.
Su Jiu-san mendekatinya sambil menggoyang kipas lipatnya, sorot mata semua orang tertuju pada dirinya.
Semua kenalan Su Jiu-san memang lebih baik dihindari, karena orang ini tersohor gemar membunuh orang, apalagi di sampingnya ada Hwesio baja yang kebal terhadap senjata.
"Akhirnya kau datang juga,"
Sapa Su Jiu-san.
"Hm!"
"Sudah kuduga, kau pasti akan datang,"
Kembali kata Su Jiu-san sambil tertawa.
"Oya?"
"Bukan suatu pekerjaan yang gampang bagi seseorang untuk menipu sahabat lama dengan menyaru muka."
"Apalagi terhadap seorang sahabat lama macam kau,"
Sambung Hong Si-nio. Gelak tawa Su Jiu-san semakin riang.
"Oleh sebab itu sedari tadi kau sudah mengenaliku?"
Kata Hong Si-nio lagi. Su Jiu-san manggut-manggut, katanya lagi.
"Tapi aku pun merasa tak paham akan suatu hal."
"Hal yang mana?"
"Darimana kau tahu kalau Siau Cap-it Long ada di sini?"
Bisik Su Jiu-san dengan suara lirih. Hong Si-nio segera menarik muka, sahutnya ketus.
"Kenapa aku harus tahu kemana Siau Cap-it Long pergi, memangnya aku ini ibunya?"
Sekali lagi Su Jiu-san tertawa tergelak.
"Aku pun tak sudi mengurus tujuanmu datang kemari."
"Tentu saja,"
Sahut Su Jiu-san tergelak.
"memangnya kau emakku?"
"Aku hanya ingin kau melakukan satu hal untukku."
"Katakan saja."
"Aku hanya ingin kau menemani aku, kemana pun aku pergi."
Su Jiu-san mengawasinya dengan terperangah, di luar dugaan, tapi dia pun merasa gembira. Kembali Hong Si-nio melotot sekejap, bisiknya.
"Aku hanya ingin kau merahasiakan asal-usulku."
Setelah memandang perempuan itu sekejap, akhirnya Su Jiu-san menghela napas panjang, katanya.
"Sudah kuduga, kedatanganmu ini takkan menguntungkan bagiku."
Lalu dengan memicingkan mata dia melirik sekejap ke arah Sim Bik-kun yang berada di belakang perempuan itu, tanyanya lagi.
"Siapa dia?"
"Kau tak perlu tahu, aku ingin bertanya, kau mau membantu atau tidak?"
"Boleh tidak kalau aku menolak?"
"Tidak bisa."
"Kalau tak bisa, buat apa kau bertanya lagi padaku?"
Sahut Su Jiu-san sambil tertawa getir. Hong Si-nio tertawa, ujarnya dengan wajah berseri.
"Kalau begitu temani aku ke sana, aku ingin ke sana."
"Mau apa kau ke sana?"
"Aku hanya ingin tahu siapa yang sedang duduk di situ sambil minum arak?"
"Kau tak bakal tahu."
"Kenapa?"
"Sebab dia memakai penutup wajah."
Orang itu ternyata memakai topeng kulit manusia yang lebih mirip sebuah penutup muka.
Karena topeng ini rata sama sekali permukaannya, tak ada kerutan wajah, juga tak nampak hidung, mata maupun mulut, yang terlihat hanya dua buah lubang.
Dari balik lubang itu memancar sinar mata yang tajam.
Orang itu nampak santai, tapi karena dia mengenakan topeng hingga tampak misterius.
"Jadi kau pun tak tahu siapa orang itu?"
Tanya Hong Si-nio. Su Jiu-san menggeleng, sahutnya tertawa getir.
"Cara yang dipergunakan orang ini jauh lebih mujarab ketimbang menyamar, biar bininya datang juga belum tentu bisa mengenalinya."
"Kalau kau sudah berani datang, kenapa tak berani menjumpai orang itu?"
Tanya Hong Si-nio dengan kening berkerut.
"Pertanyaan ini seharusnya kau ajukan kepadanya, setelah memperoleh jawabannya baru memberitahukan kepadaku."
"Siau Cap-it Long maksudmu?"
"Betul, seharusnya kau tanyakan persoalan ini kepada Siau Cap-it Long, aku sendiri pun ...."
Mendadak ucapannya berhenti di tengah jalan, sorot matanya segera beralih ke arah tangga loteng kapal itu.
Seseorang dengan langkah mantap sedang menuruni tangga.
Orang itu memiliki perawakan tubuh kekar, gagah dan lincah.
Dia mengenakan jubah hitam dari sutera yang halus, sebilah golok tersoreng di pinggangnya.
Golok jagal rusa! Akhirnya Siau Cap-it Long muncul! Meskipun berdiri di antara orang banyak, dia masih tampak kesepian dan lelah.
Namun sepasang matanya mencorong terang dan dingin.
Setiap kali melihat sorot matanya, timbul perasaan aneh dalam hati Hong Si-nio.
Manis, kecut atau bahkan getir.
Orang lain tentu tak paham, bahkan dia sendiri juga susah membedakan.
Lalu bagaimana dengan Sim Bik-kun? Setelah melihat Siau Cap-it Long muncul, bagaimana pula perasaan Sim Bik-kun? Mereka hanya berdiri termangu, tidak memanggil, juga tidak masuk ke dalam.
Sebab keduanya tak ingin memanggil duluan, siapa pun tak ingin memperlihatkan perubahan perasaannya.
Bagaimanapun juga mereka adalah wanita, wanita yang sudah terpeleset dan jatuh ke dalam lembah percintaan.
Apalagi selain mereka, di sekeliling tempat itu masih terdapat banyak orang yang sedang memandangnya.
Siau Cap-it Long sama sekali tidak berpaling ke arah mereka, dia bahkan tidak menaruh perhatian.
Sorot matanya mengawasi manusia berbaju hijau yang mengenakan penutup wajah, tegurnya.
"Kau datang untuk membunuhku?"
Orang berbaju hijau itu mengangguk.
"Dan kau tahu kalau aku berada di atas loteng?"
"Hm!"
"Kenapa tidak langsung naik ke atas dan turun tangan?"
"Aku tidak ingin terburu-buru."
"Benar, membunuh orang memang tak bisa dilakukan dengan terburu-buru,"
Siau Cap-it Long mengangguk.
"Itulah sebabnya aku tak pernah terburu-buru bila ingin membunuh seseorang."
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tampaknya kau mengerti cara membunuh orang."
"Kalau aku tidak mengerti, mana mungkin datang kemari untuk membunuhmu?"
Sela orang berbaju hijau itu dingin. Siau Cap-it Long tertawa. Biarpun sedang tertawa namun sorot matanya justru tampak dingin dan berkilat, ditatapnya orang berbaju hijau itu dan katanya.
"Topengmu itu jelek sekali."
"Sekalipun jelek, namun besar manfaatnya."
"Kalau kau memang punya nyali untuk membunuhku, kenapa tak berani memperlihatkan wajah aslimu?"
"Sebab aku datang untuk membunuh, bukan untuk bertemu denganmu."
"Bagus, bagus sekali,"
Siau Cap-it Long tertawa.
"Apanya yang bagus?"
"Kau memang seorang yang menarik, sungguh jarang ada orang datang untuk membunuhku,"
Setelah menghela napas, lanjutnya.
"sayang terlalu banyak orang yang tak tahu diri di dunia ini, terlebih orang yang tak punya nyali."
"Orang yang tak punya nyali?"
"Aku sudah menyiapkan hidangan dan arak cukup banyak, tak disangka hanya kau seorang yang berani datang."
"Mungkin orang lain tak ingin membunuhmu."
Siau Cap-it Long tertawa dingin.
"Mungkin orang lain ingin membunuhku, tetapi tidak berani secara terang-terangan, hanya berani membokong orang dengan cara licik."
Baru selesai ia berkata, dari luar ruangan telah menerjang masuk seseorang, dia adalah seorang lelaki berkumis paku dan berwajah hitam.
"Aku bernama Ong Bing,"
Teriaknya keras.
"Kau pun datang untuk membunuhku?"
Tanya Siau Cap-it Long sambil menatap wajahnya, senyuman kembali terlintas di balik sorot matanya.
"Sekalipun aku tidak berniat membunuhmu, tapi sekarang aku harus membunuhmu."
"Kenapa?"
"Karena aku tak tahan melihat lagakmu yang memuakkan."
"Bagus, tak disangka kembali muncul seorang yang menyenangkan."
"Hm, walaupun orang yang menyenangkan sangat banyak, orang yang memuakkan justru hanya aku seorang,"
Terdengar seseorang tertawa dingin.
"Siapa?"
"Aku!"
Seseorang perlahan-lahan berjalan masuk, wajahnya kaku kuning kepucat-pucatan, orang ini adalah Hou Bu-pe.
"Kau adalah orang yang tak menyenangkan?"
Tanya Siau Cap-it Long. Paras muka Hou Bu-pe tetap kaku tanpa perubahan. Kembali Siau Cap-it Long menghela napas panjang.
"Tampaknya kau memang orang yang tidak menyenangkan."
"Orang yang datang untuk membunuhmu mungkin banyak jumlahnya, namun yang mampu membunuhmu rasanya hanya satu orang,"
Tiba tiba Hou Bu-pe berkata.
"O ya?"
"Kalau kau sudah tahu cepat atau lambat akhirnya kau bakal mati, kenapa kau malah menganggap dia menyenangkan?"
"Apakah orang itu adalah kau?"
"Hm!"
Lagi-lagi Siau Cap-it Long tertawa.
"Tapi sebelum aku turun tangan, terlebih dulu aku akan mewakilimu membunuh seseorang,"
Kembali Hou Bu-pe berkata.
"Kenapa?"
"Sebab kau telah mewakiliku membunuh seseorang."
"Siapa?"
"To-pik-eng-ong!"
"Dia bukan tewas di tanganku?"
"Peduli apapun yang telah terjadi, yang pasti dia tewas gara-gara kau"
"Oleh karena itu kau hendak mewakiliku membunuh orang?"
"Benar."
"Siapa yang akan kau bunuh?"
"Terserah siapa pun yang ingin kau bunuh."
Siau Cap-it Long menghela napas panjang, katanya perlahan.
"Tampaknya kau adalah orang yang bisa membeda budi dan dendam secara jelas."
Hou Bu-pe tidak menjawab, dia hanya tertawa dingin.
"Kapan kau akan membunuhku?"
Tanya Siau Cap-it Long lagi.
"Terserah kau."
"Jadi kau tidak terburu-buru?"
"Cukup lama aku menunggu, apa salahnya kalau menunggu beberapa hari lagi."
"Apa kau bersedia menunggu hingga bulan purnama lewat?"
"Kenapa harus menunggu setelah bulan purnama lewat?"
Siau Cap-it Long tersenyum.
"Bulan purnama di danau Se-ouw sangat indah, kalau sudah mampus, bukankah kejadian ini sangat tidak menarik?"
"Malam ini bulan purnama."
"Itulah sebabnya kau tak perlu menunggu terlalu lama."
"Baik, akan kutunggu!"
"Asal di sini tersedia arak, biarpun harus menunggu beberapa hari lagi juga tidak soal"
Ong Bing menambahkan.
"Bagus, hidangkan arak!"
Seru Siau Cap-it Long sambil tertawa tergelak. Arak pun segera disuguhkan. Dengan cepat Ong Bing menenggak tiga cawan arak, mendadak teriaknya sambil menggebrak meja.
"Kalau arak sudah dihidangkan, mana dagingnya?"
Maka daging pun dihidangkan. Tiba-tiba orang berbaju hijau menggebrak meja sambil berseru pula.
"Setelah arak dan daging dihidangkan, mana nyanyiannya?"
Suara irama musik pun berdendang membelah keheningan di kapal itu, menyusul kemudian terdengar seseorang bersenandung. Siau Cap-it Long mendongakkan kepala sambil tertawa tergelak.
"Seorang lelaki sejati dapat menikmati kehidupan dengan gembira begini, mati pun tak perlu menyesal, apalagi dapat menikmati lagu sambil menenggak arak."
Suara kecapi dari atas loteng berdentang makin cepat.
Siau Cap-it Long mencabut golok, kemudian mulai menari mengikuti irama lagu.
Cahaya golok memancar memenuhi angkasa bagaikan naga sakti sedang bermain, sama sekali tak nampak bayangan tubuhnya.
Semua orang yang hadir di atas geladak kapal terpana, tapi ada seorang yang paling terpana? Sim Bik-kun? Atau Hong Si-nio? Dia terpana sampai air mata mengucur deras.
Mengapa dia tidak melihat kehadiranku? Su Jiu-san dapat mengenaliku, mengapa dia tidak? Apakah dia telah melupakan kami berdua? Atau memang selamanya dia tak pernah menaruh perhatian terhadap wanita? Ia gembira, juga kecewa, campur aduk perasaannya.
Mengapa tidak dirinya saja yang menegurnya terlebih dulu? Hong Si-nio sudah bukan perempuan macam itu, ia telah berubah.
Mungkinkah mulai berubah sejak pertemuan malam itu? Mungkinkah dirinya telah berubah menjadi seorang perempuan sejati sejak malam yang tak terlupakan itu? Cahaya golok yang berkilauan menyinari wajahnya, namun justru sinar matanya berubah menjadi redup.
Dia tidak merasakan pada saat itu Sim Bik-kun sedang mengawasinya.
Dia sedang mengenang kehangatan, kemesraan, kepedihan dan kegembiraan ketika masih bersamanya.
Lalu apa yang sedang dipikirkan Sim Bik-kun? Tiba-tiba berkumandang suara pekikan naga, suara pekikan yang memekakkan telinga.
Cahaya rembulan kembali bersinar terang.
Sementara golok itu sudah disarungkan kembali.
Siau Cap-it Long duduk sambil mengangkat cawan, parasnya berubah jadi tenang, seakan tak pernah terjadi sesuatu apapun.
Menyaksikan permainan golok yang begitu hebat, seketika peluh Ong Bing bercucuran di jidat sebesar kedelai.
Apakah benar yang dimainkan itu adalah ilmu golok? Apakah benar ilmu golok itu dimainkan seorang diri? Saking gugupnya Ong Bing menyambar poci arak di meja, langsung ditenggaknya habis, setelah itu barulah ia menghela napas panjang, saat itulah baru ia sadar bahwa di hadapannya telah berkurang seorang.
Meskipun paras Hou Bu-pe yang berwarna kuning pucat masih tanpa perubahan, namun diam-diam ia pun membesut keringat yang menetes dijidatnya.
Ong Bing berpaling ke arahnya, menuding tempat duduk di hadapannya yang telah kosong.
Hou Bu-pe hanya menggeleng.
Tak seorang pun yang melihat sejak kapan orang berbaju hijau itu pergi dari situ, tak ada yang tahu dia pergi lewat mana.
Kapal itu berlabuh di tengah danau, kemana dia bisa pergi? Mendadak terdengar orang berteriak.
"Coba lihat perahu itu!"
Perahu itu sebenarnya adalah perahu Hong Si-nio, sebelumnya perahu itu sudah diikat pada kapal dengan seutas tali.
Hong Si-nio terhitung wanita yang gegabah, namun Sim Bik-kun termasuk yang amat teliti, sebelum meninggalkan perahu tadi, dia telah mengikatkan tali di ujung perahunya dengan tiang di atas Cui-gwat-lo.
Kini tali pengikat itu sudah diputus orang, sementara perahu itu sedang bergerak perlahan menuju ke tepi danau.
"Bocah itu pasti berada di atas perahu."
"Biar aku pergi mencarinya."
"Buat apa dicari?"
"Aku hanya ingin tahu orang macam apakah dia? Mengapa dia pergi begitu saja dari sini?"
Ternyata yang bicara adalah seorang lelaki kekar berwajah keren, seorang Hohan dari Tay-ouw, si macan kumbang air Ciang Hing.
Baru saja dia ingin melompat ke depan, mendadak seorang berjalan keluar dari sisi ruang perahu sambil menggendong tangan, orang itu adalah orang berbaju hijau yang misterius itu.
Ternyata dia tidak melarikan diri.
Ciang Hing tertegun.
Hampir semua yang hadir ikut tertegun.
Orang berbaju hijau itu sudah siap masuk kembali ke dalam ruang perahu, dia melirik perahu itu sekejap, tiba-tiba sambil membalik badan dia membuat gerakan menarik, sepasang tangannya dicakarkan berulang kali di tengah udara ke arah perahu yang sedang bergerak pelan itu.
Perahu yang sudah mulai menjauhi kapal secara tiba-tiba kembali mendekati kapal pesiar itu.
Seketika paras muka Ciang Hing berubah hebat, demikian pula paras semua orang yang hadir di situ.
Ciangbunjin Sing-gi-bun Hu It-gwan yang lama tak bersuara tiba tiba menarik napas panjang, kemudian serunya.
"Bukankah ilmu ini adalah Tiong-lo-hui-hiat Kun-goan-it-khi-sin-kang yang sangat hebat itu?"
Begitu mendengar ucapan itu, seketika semua orang terperanjat.
Orang berbaju hijau itu sama sekali tidak memandang ke arah mereka, melirik pun tidak, sembari menggendong tangan dia masuk kembali ke ruang perahu dan duduk seperti tadi.
"Ilmu golok yang hebat!"
Katanya pada Siau Cap-it Long sambil mengangkat cawan.
"Ilmu khikang yang hebat!"
Balas Siau Cap-it Long sambil mengangkat pula cawannya. Sekali teguk orang berbaju hijau menghabiskan isi cawannya, kemudian pujinya.
"Arak bagus!"
"Ilmu golok bagus, ilmu khikang bagus, arak pun bagus, ada tidak yang tak bagus?"
"Ada!"
"Apa yang tak bagus?"
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Golok sudah keluar dari sarung, namun tak menjumpai darah, itulah tidak bagus."
"Ada yang lain?"
Tanya Siau Cap-it Long tenang.
"Mengendalikan perahu dengan khikang hanya akan membuang tenaga saja, suatu perbuatan yang tidak cerdas."
"Ada lagi?"
"Dalam cawan ada arak tapi telinga tak mendengar suara nyanyian, inilah tidak menggembirakan."
"Bagus, bagus, sungguh menggembirakan, kalau tidak minum sampai mabuk, percuma disuguh arak wangi,"
Katanya sambil tertawa, lalu ia pun bertepuk tangan, maka lagu pun kembali didendangkan memecah keheningan malam.
Untuk ketiga kalinya Hong Si-nio mendengar suara nyanyian yang merdu ini, akhirnya dapatlah ia mengenali suara gadis yang mendendangkan lagu itu.
Pin-pin! Ya, pasti Pin-pin.
Ternyata Siau Cap-it Long berhasil juga menemukan gadis itu.
Mendadak muncul suatu perasaan aneh dalam hati Hong Si-nio, dia tak tahu perasaan itu pertanda gembira atau sedih? Saat itulah Sim Bik-kun menarik ujung bajunya.
Ia pun menempelkan mulutnya di sisi telinga perempuan ini sambil bertanya.
"Ada apa?"
"Orang ini bukan yang tadi,"
Bisik Sim Bik-kun lirih.
"Orang yang mana?"
"Orang berbaju hijau itu."
Berubah paras muka Hong Si-nio. Kembali Sim Bik-kun berkata.
"Biarpun pakaian dan penutup muka yang dikenakan sama, namun orangnya telah berubah."
"Kau dapat melihatnya?"
"Hm."
"Dimana letak perbedaannya?"
"Tangan orang ini jauh lebih kecil dan kukunya sedikit lebih panjang daripada orang tadi."
"Kau yakin tidak salah?"
Ia baru sadar, mestinya pertanyaan ini tidak perlu diajukan, karena ia tahu watak Sim Bik-kun.
Hal yang tak diyakini takkan diutarakannya.
Mengapa orang berbaju hijau itu harus bertukar diri? Rencana busuk apalagi yang akan dilakukannya selain ingin membunuh Siau Cap-it Long? Tak tahan Hong Si-nio bertanya.
"Kau tahu siapa orang itu?"
"Tidak."
"Aku pun tidak tahu siapa dia, tapi semestinya bisa kutebak siapakah orang ini."
"Kenapa?"
"Tidak banyak tokoh dunia persilatan yang berhasil menguasai ilmu khikang sehebat itu."
"Mungkin saja tenaga khikangnya juga palsu,"
Kata Sim Bik-kun setelah termenung sejenak.
"Palsu?"
"Bukankah mereka datang berdua? Bisa saja salah satu di antara mereka mendorong perahu itu dari dalam air."
"Jadi mereka sengaja main sandiwara untuk menakut-nakuti orang?"
"Hm."
"Tapi Hu It-gwan terhitung jago kawakan, masakah dia tak curiga terhadap orang ini?"
"Mungkin saja dia bersekongkol dengan mereka."
Hong Si-nio tertegun. Tiba-tiba saja dia sadar bukan saja Sim Bik-kun berubah jadi pemberani, dia pun berubah jadi semakin pintar. Seringkali kepintaran ibarat sebilah golok tajam, makin sering diasah akan makin tajam dan berbahaya.
"Cring", tiba-tiba suara kecapi berhenti, suara nyanyian pun ikut berhenti. Ketika senar kecapi terputus, suasana keliling tempat itupun berubah jadi hening, sepi. Entah sudah lewat lama kemudian, perlahan orang berbaju hijau itu berkata.
"Senar kecapi putus nyanyian pun terhenti, tidak bagus."
Mendadak Siau Cap-it Long melompat bangun. Kembali orang berbaju hijau itu berkata.
"Senar kecapi sudah putus, tapi tetap ngotot untuk dimainkan, tidak cerdik."
Siau Cap-it Long duduk kembali di tempat semula.
"Tamu sudah kehilangan gairah, perjamuan sudah waktunya buyar, tidak menggembirakan."
Siau Cap-it Long menatap tajam orang itu, ujarnya dingin.
"Banyak mulut banyak bencana, banyak mulut pasti celaka, tidak bagus dan tidak cerdas."
"Benar."
Kemudian orang berbaju hijau itu bungkam, bahkan mata pun dipejamkan. Siau Cap-it Long mengangkat cawannya, tapi segera diletakkan kembali, wajahnya yang semula berseri kini berubah serius, mendadak sambil bangkit berdiri katanya.
"Siapa yang ingin pergi silakan pergi, yang ingin tetap tinggal silakan tetap tinggal, aku sudah mabuk, ingin tidur, aku benar-benar mabuk."
"Hm, aku sudah datang, kau tak boleh mabuk,"
Mendadak seseorang menimpali dengan suara dingin.
XXIII.
TAMU BERBAJU PUTIH DAN NYANYIAN DUKA Di geladak kapal, tak seorang pun bicara.
Di ujung geladak pun lengang.
Hening! Lalu darimanakah suara itu? Suara itu datang dari tengah danau.
Di antara riak air di permukaan danau, di bawah cahaya rembulan yang terang benderang, di mana orang itu? Di kejauhan sana, nun jauh di sana tcrlihat sebuah lentera, perahu dan sesosok bayangan manusia.
Biarpun orang itu masih jauh di sana, namun suaranya terdengar jelas seperti di kepala ini.
Memang orang kalau sudah sempurna tenaga dalamnya, tidak akan sulit melakukan hal itu.
Yang mengherankan justru ia dapat mendengarkan percakapan di kapal itu.
Siapakah dia? Tak seorang pun tahu.
Perahu kecil itu ibarat selembar daun teratai yang terapung di permukaan air, bergerak lambat sekali.
Siau Cap-it Long pun sudah melihat perahu kecil di tengah danau, dia pun sudah melihat bayangan manusia yang berada di atas perahu.
Tiba-tiba serunya sambil tertawa.
"Kalau sampai kau pun ikut datang, mana mungkin aku tidak mabuk?"
Ucapan itu tidak terlalu keras tapi bergema sampai jauh.
"Tidak boleh!"
"Kenapa?"
"Ada tamu datang dari jauh, masakah tuan rumahnya mabuk?"
"Tamu dari jauh? Darimana?"
"Di antara ombak yang menggulung, di balik awan tebal."
Siau Cap-it Long tidak bertanya lagi, sebab perahu itu sudah semakin dekat.
Terlihat seorang berdiri di bawah cahaya lentera.
Seorang berbaju putih, berdiri bagaikan sukma gentayangan, tangannya memegang sebuah panji berwarna putih pula.
Apakah panji putih pengundang sukma? Sukma gentayangan siapa yang akan diundangnya? Ternyata perahu kecil itupun berwarna putih, seakan sedang tenggelam secara perlahan.
Ciang Hing yang berdiri paling depan tiba-tiba menjerit, raut mukanya mengejang keras, teriaknya.
"Setan ... yang datang bukan manusia tapi setan!"
Selangkah demi selangkah dia mundur ke belakang dan mendadak tubuhnya roboh terkapar.
Jago tangguh yang sudah lama malang melintang di danau Tay-ouw ini ternyata jatuh semaput lantaran kaget.
Tak seorang pun yang menghampirinya ataupun berusaha memayang tubuhnya.
Semua berdiri kaku, jari tangan basah oleh keringat dingin, bahkan ujung jari pun jadi dingin.
Sekarang semua dapat melihat dengan jelas, ternyata perahu yang digunakan orang berbaju putih itu adalah perahu yang terbuat dari kertas.
Perahu kertas yang biasanya dibakar dan dilarung ketika memperingati kematian hari ketujuh seseorang.
Paras muka Hong Si-nio turut berubah.
"Yang datang bukan manusia, tapi setan!"
Kalau dia manusia hidup yang terdiri dari darah dan daging, mana mungkin bisa menyeberangi danau dengan menumpang perahu kertas? "Di antara ombak yang menggulung, di balik awan tebal."
Jangan-jangan dia memang datang dari neraka? Apa benar di dunia ini ada setan? Hong Si-nio tidak percaya.
Selama hidup ia tak percaya dengan segala macam dongeng atau omong kosong, dia selalu melihat kenyataan.
Dia hanya percaya satu hal.
Terlepas orang itu sctan atau manusia, yang pasti dia sangat menakutkan.
Peduli darimana dia, kehadirannya adalah untuk membunuh Siau Cap-it Long.
Angin malam di musim gugur berhembus lembut.
Ketika angin lembut berhembus lewat, menggoyang perahu kertas itu hingga tenggelam ke dasar danau.
Tapi anehnya, orang di atas perahu itu tidak ikut karam.
Kini dia sudah tiba di atas Cui-gwat-lo.
Ruang kapal pesiar itu masih terang benderang, di bawah sorot lentera, semua dapat melihat tampang orang itu dengan jelas.
BENTROK PARA PENDEKAR Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 15 Perawakan tubuh tidak tinggi, juga tidak pendek, rambutnya beruban, tidak mempunyai kumis atau jenggot.
Mukanya pucat pasi dan berbentuk aneh, seperti habis dihajar orang.
Sehingga tampak lucu.
Tapi semua orang tidak berani tertawa melihat muka yang lucu ini, yang mereka lihat adalah sepasang mata yang dingin mengerikan.
Matanya tak berbiji dan berwarna kuning, seluruhnya bola matanya berwarna putih.
Orang yang pernah melihat mata seperti ini, pasti seumur hidup takkan melupakannya.
Sedangkan panji yang digenggamnya bukanlah panji pengundang sukma, tapi panji tukang ramal yang bertuliskan, 'Ke atas menembus nirwana, ke bawah menyambangi neraka'.
Ternyata orang itu adalah seorang peramal buta.
Setelah melihat dari dekat, barulah semua orang merasa lega.
Namun semuanya melupakan satu hal, manusia kadang lebih menakutkan daripada setan.
Siau Cap-it Long duduk kembali di bangkunya.
Terlepas si buta ini benar-benar buta atau tidak, paling tidak dia adalah seorang yang luar biasa.
Bila ada orang buta datang mencarimu dengan menumpang perahu kertas, perahu untuk sembahyang orang mati, tentu saja dia datang dengan maksud jahat.
Tentu saja kau pun tak perlu berdiri di luar pintu menyambut kedatangannya.
Apalagi Siau Cap-it Long jarang berdiri.
Perlahan-lahan si buta berjalan mendekat, ternyata dia tidak menggunakan tongkat bambunya untuk menuntun jalan.
Orang buta memiliki tanda khusus, Siau Cap-it Long dapat mengenalinya sekali pandang saja.
Kalau dia memang seorang buta, kenapa bisa datang sendiri ke tempat itu? Apakah disebabkan cahaya lentera yang memancar dari kapal pesiarnya yang kelewat terang hingga dapat dirasakannya? Bukankah perasaan orang buta selalu lebih tajam ketimbang orang biasa? Orang buta itu berjalan dengan lambat, tapi langkahnya mantap.
Semua orang yang berkumpul di geladak menyingkir ke samping memberi jalan.
Waktu lewat di antara orang banyak, lagaknya acuh seakan seorang raja yang lewat di antara para hambanya.
Belum pernah Siau Cap-it Long berjumpa dengan orang buta sesombong dan sejumawa ini, seandainya dia tidak buta pun belum tentu akan memandang sebelah mata terhadap semua yang hadir.
Seandainya dia benar-benar bisa melihat, mungkin tak seorang manusia pun di dunia ini yang dipandang sebelah mata olehnya.
Tentu selama ini dia telah banyak melakukan perbuatan yang membuatnya merasa bangga, lalu apa yang pernah diperbuatnya? Bila benar ia telah melakukan suatu perbuatan yang membuatnya bangga, tentu adalah suatu perbuatan besar, bila perbuatan yang menggemparkan pastilah banyak orang yang tahu.
Namun sekarang tak seorang pun yang tahu asal-usulnya, bahkan Hong Si-nio pun tak mengenalnya.
Hong Si-nio mempunyai firasat buruk mengenai kedatangan orang buta itu, dia pasti akan mendatangkan bencana atau kematian.
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di luar pintu ruang kapal, tergantung empat buah lentera.
Waktu itu si buta sudah berjalan hingga di bawah lentera.
"Berhenti!"
Seru Siau Cap-it Long tiba-tiba.
Si orang buta itu langsung berhenti, berdiri tegak lurus.
Sekalipun berdiri di bawah cahaya lentera yang terang benderang, namun sama sekali tak terlihat adanya debu atau kotoran yang menodai sekujur badannya.
Selama hidup belum pernah Siau Cap-it Long berjumpa dengan orang buta sebersih ini.
Saat itu si buta sedang menunggu dia bicara.
"Tahukah kau tempat apakah ini?"
Tanya Siau Cap-it Long. Si orang buta menggeleng.
"Kau tahu siapakah aku?"
Kembali orang buta itu menggeleng.
"Kalau begitu, tidak seharusnya kau datang kemari."
"Tapi sekarang aku telah datang."
"Mau apa kau datang kemari?"
"Aku adalah seorang buta."
"Sudah kulihat, kau memang buta."
"Orang buta selalu banyak mendengar persoalan yang tak pernah didengar orang lain."
"Apa yang telah kau dengar?"
"Irama musik dan nyanyian."
"Berarti kau tahu tempat ini adalah Se-ouw?"
Si buta mengangguk.
"Suara musik dan nyanyian ada dimana-mana,"
Ujar Siau Cap-it Long.
"Tapi irama musik dan nyanyian yang kudengar tadi sama sekali berbeda."
"Berbeda?"
"Beda sekali bila dibandingkan suara nyanyian lain."
"Dimana letak perbedaannya?"
"Ada irama lagu yang sedih, yang gembira, ada pula yang tenang penuh kebahagiaan, ada yang penuh dengan luapan emosi dan amarah,"
Katanya perlahan.
"seandainya kau pun buta seperti aku, dapat dipastikan kau akan mengerti banyak kejadian aneh dan menarik hati di balik irama lagu itu."
"Lantas apa yang kau tahu?"
"Bencana dan tragedi!"
Siau Cap-it Long mengepal kencang.
"Suara angin menjelang badai pasti berbeda dengan suara angin kala tenang, jeritan binatang buas di kala ajal juga berbeda di kala damai,"
Ujar si buta dengan memiringkan kepala.
"seorang kalau hendak kena bencana, bisa dirasakan dari irama nyanyian yang didendangkan, aku dapat merasakan hal itu."
Berubah paras Siau Cap-it Long. Si buta melanjutkan omongannya.
"Bencana ada kecil ada besar, bencana kecil paling mendatang kematian bagi diri sendiri, bencana besar bisa menyangkut jiwa orang lain yang tak berdosa."
"Kau tidak kuatir akan ikut terseret dalam bencana ini?"
Jengek Siau Cap-it Long.
"Kedatanganku ini justru hendak melihat keramaian."
"Keramaian apa?"
"Nona yang membawakan nyanyian itu."
Sungguh aneh, seorang buta dengan menumpang sebuah perahu kertas, khusus datang hanya untuk melihat orang menyanyi.
Siau Cap-it Long hanya diam saja.
Si buta juga diam.
Semua hadirin juga diam, mereka tahu apa yang dikatakannya memang tidak untuk bergurau.
"Kau benar-benar buta?"
Tanya Siau Cap-it Long sambil menatapnya tajam. Si buta mengangguk.
"Masakah seorang buta bisa melihat?"
Tanya Siau Cap-it Long.
"Orang buta memang tak bisa melihat,"
Katanya dengan tertawa penuh kepedihan, mukanya berkerut-kerut. Saat itulah Siau Cap-it Long merasa seperti pernah bertemu dengan orang ini, tapi justru saat ini tidak teringat siapa gerangan dia.
"Tetapi orang buta justru dapat melihat apa yang tak bisa dilihat orang biasa,"
Kata si buta.
"Bencana maksudmu?"
Sela Siau Cap-it Long. Si buta manggut-manggut, lalu berkata.
"Karena itulah aku kemari, ingin kutahu bencana macam apa yang bakal terjadi."
Siau Cap-it Long tertawa.
"Kenapa kau tertawa?"
Tegur si buta. Tawa Siau Cap-it Long makin keras.
"Bencana itu bukan sesuatu yang menggelikan,"
Seru si buta.
"Aku justru sedang menertawakan diriku sendiri."
"Kenapa?"
"Sebab selama ini belum pernah kudengar hal yang tak masuk akal ini."
Ternyata ada orang yang bisa menggerakkan hati Siau Cap-it Long.
Biasanya Hong Si-nio pun tak sanggup menahan rasa gelinya dan akan tertawa terbahak-bahak.
Sekarang ia tak berani tertawa, tak mampu tertawa.
Sebab dia tahu kejadian ini memang bukan suatu hal yang menggelikan.
"Apakah yang sedang menyanyi itu Pin-pin?"
Bisik Sim Bik-kun.
"Hm."
"Kau bilang Pin-pin sakit parah, bahkan mengidap penyakit yang tak bisa diobati."
"Hm."
Setelah menghela napas panjang, Sim Bik-kun berkata pula.
"Apakah benar si buta ini bisa melihat suatu kejadian hanya dari mendengar suara nyanyiannya?"
Hong Si-nio diam, tak menjawab. Bukannya dia tak mau menjawab, tapi memang dia tak bisa menjawab. Kejadian ini memang tak masuk akal, namun justru benar-benar terjadi. Setelah lewat beberapa lama, ia pun menghembuskan napas panjang, katanya.
"Aku hanya berharap dia tidak melihat kejadian yang lain."
Bencana yang mereka hadapi memang sudah kelewat banyak.
Lalu apalagi selain bencana yang bisa dilihat si buta ini? Orang mengatakan Hong Si-nio itu liar dan galak, lebih mirip seorang lelaki, bahkan caranya minum lebih hebat dari lelaki.
Namun tiada yang mengatakan dia tidak cantik, dan sesungguhnya memang dia seorang yang cantik.
Perempuan, biasanya selalu beranggapan bahwa dirinya terlebih cantik dari orang lain.
Namun berbeda dengan Hng Si-nio, dia beranggapan Sim Bik-kun terlebih cantik daripada dirinya, bahkan tiada yang lebih cantik darinya.
Namun sekarang anggapannya itu tidak benar, sebab sekarang dia menyaksikan ada seorang perempuan lain yang lebih cantik ....
Pin-pin! Kecantikannya seakan mampu menyedot sukma setiap orang yang menyaksikannya.
Saat itu Pin-pin sedang menuruni tangga, mukanya pucat dan sayu.
Si buta berdiri di hadapannya, seakan sedang mengawasinya.
"Apa yang kau lihat?"
Tanya Siau Cap-it Long. Si buta masih diam, lama kemudian baru menjawab.
"Aku melihat sebuah rawa, rawa di lembah curam, tak ada kehidupan di sana...."
Tiba-tiba mukanya bercahaya, kemudian lanjutnya.
"Tapi di tengah rawa itu ada seorang wanita."
Apakah yang ia maksudkan dengan rawa di lembah curam itu adalah lembah penyiksaan itu? Apakah yang ia maksudkan dengan seorang wanita itu adalah Pin-pin yang didorong oleh Thian-kongcu? Darimana ia bisa tahu semua ini? Siau Cap-it Long menarik napas panjang, tanyanya.
"Apalagi yang bisa kau lihat?"
Si buta bergumam lagi.
"Aku lihat wanita itu merambat naik, tampaknya ia sedang sakit, sakit parah ..."
Setelah menghembuskan napas, lanjutnya.
"Tampaknya dia akan segera jetuh ke bawah, tapi mendadak ada sebuah tangan, tangan yang menariknya ke atas."
"Tentunya tangan seorang lelaki."
"Kini tangan itu sedang menggenggam sebilah golok yang aneh, sedang si wanita sedang menyanyi di sisinya, tapi mendadak senar kecapi putus dan dia tersungkur ke tanah."
"Apakah wanita yang sedang menyanyi itu adalah wanita di rawa itu?"
Tukas Siau Cap-it Long.
"Benar."
"Kau yakin? Dan kau dapat melihat wajahnya?"
"Aku tak bisa melihat wajahnya,"
Sahut si buta ragu sejenak.
"tapi dapat kulihat ada toh (noda sejak lahir) hijau setelapak tangan di pantat kirinya."
Belum habis ucapannya, paras muka Pin-pin seketika berubah hebat, kagetnya bukan main seakan dia didorong ke dasar jurang yang dalam.
Sebetulnya dia bukanlah seorang wanita yang mudah kaget ataupun takut, bahkan keteguhan hatinya melebihi baja, itulah sebabnya dia masih hidup sampai sekarang.
Tapi sekarang mengapa ia nampak begitu takut? Apakah memang di pantat kirinya ada toh hijau itu? Tersungging senyuman aneh di bibir si buta, katanya pula.
"Ternyata aku tak salah lihat, aku tahu, aku tak bakal salah lihat...."
Perlahan si buta membalikkan tubuh hendak beranjak pergi, tapi mendadak tongkatnya ditusukkan ke tenggorokan Pin-pin.
Pin-pin tak bergerak, juga tak berusaha menghindar.
Sekujur tubuhnya seakan kaku, jangankan menghindar, bergerak pun tak mampu.
Semua orang menyaksikan tongkat si buta menusuk ke arah tenggorokan Pin-pin secepat kilat, namun tenggorokan Pin-pin masih seperti keadaan semula, tanpa terluka sedikit pun.
Untung di sampingnya ada Siau Cap-it Long, kecuali dia, siapa yang mampu menyelamatkan jiwanya? Tak ada yang melihat bagaimana ia turun tangan, namun si buta dapat merasakannya.
Ia rasakan ada segulung tenaga menyerang bawah ketiaknya, dalam keadaan seperti itu, apabila ia tidak menarik tusukan tongkatnya, tentu dadanya akan remuk terhajar.
Si buta melompat mundur sejauh tujuh-delapan kaki, namun Siau Cap-it Long telah berdiri di depan pintu, menghadang jalan perginya.
Golok jagal rusa masih tetap berada di sarungnya.
Tapi semua orang bisa merasakan hawa membunuh yang terpancar.
Si buta membalik tubuh dan berdiri berhadapan dengan Siau Cap-it Long, mukanya yang perot kaku membesi.
Dia tahu, orang yang berada di hadapannya ini takkan membiarkan dirinya berlalu dari situ dalam keadaan hidup.
"Kau telah salah sasaran,"
Kata Siau Cap-it Long.
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oya?"
"Yang ingin kau bunuh kan aku."
"Kau suruh aku membunuhmu?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Karena kau sudah datang ke sini."
"Dan kau pun ingin membunuhku?"
Siau Cap-it Long tidak menyangkal. Si buta tertawa, ujarnya hambar.
"Padahal walau aku tak ingin membunuhmu, kau pun bisa membunuhku."
Sambil menatap wajah si buta, muncul perasaan aneh dalam hati Siau Cap-it Long, rasanya dia pernah bertemu dengan orang ini, tapi seketika tidak teringat siapakah dia? Tangannya mulai meraba golok di pinggangnya.
"Sudah kukatakan, mesti aku buta, tapi bisa melihat apa yang orang lain tak bisa melihat,"
Kata si buta.
"Sekarang apa yang kau lihat."
"Kusaksikan ada tangan menggenggam golok."
Siau Cap-it Long tidak kaget, kenyataan memang begitu.
"Aku pun melihat kau bertekad membunuhku,"
Lanjutnya. Siau Cap-it Long tertawa dingin.
"Seandainya peristiwa ini terjadi dua tahun yang lalu, kau pasti akan membiarkan aku berlalu, tapi sekarang kau telah berubah."
"Jadi dua tahun lalu kita pernah bertemu?"
Tanya Siau Cap-it Long.
"Umpama kita pernah bertemu, kuyakin dua tahun yang lalu kau bukan manusia semacam ini."
"Apa lagi yang kau lihat?"
"Aku lihat segumpal darah, di tengah genangan darah terdapat kutungan tangan, dalam genggaman kutungan tangan itu terdapat sebilah golok."
"Dapat kau lihat darah siapakah itu?"
"Darah siapa?"
Si buta tertawa, lanjutnya.
"tentu saja darahmu, tangan dan golokmu."
Siau Cap-it Long mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Kematian bukan sesuatu yang menggelikan,"
Tegur si buta.
"Yang kutertawakan kali ini adalah kau"
"Kenapa?"
"Sebab kali ini kau telah salah melihat."
Golok jagal rusa masih berada dalam sarungnya.
Golok belum dilolos, namun hawa membunuh makin tebal.
Perlahan-lahan orang buta itu meletakkan kain putih di tangan kanannya, tiba-tiba ia melejit ke udara dan berjumpalitan beberapa kali, tongkat bambu ditusukkan ke depan.
Ketika melancarkan serangan, tongkat bambu yang lurus kaku itu bergetar dan meliuk-liuk, seakan berubah seperti ular.
Seekor ular berbisa! Seekor ular berbisa yang hidup! Ketika pertama kali melihat ular berbisa, waktu itu Siau Cap-it Long baru enam tahun.
Yang dia jumpai adalah seekor ular derik yang ekornya bisa berbunyi keras.
Itulah untuk pertama kalinya dia digigit ular, juga merupakan terakhir kalinya.
Setelah itu, asal dia melihat sekilas, dengan cepat ia dapat membedakan jenis ular berbisa.
Untuk menghadapi kawanan binatang melata ini hanya ada satu cara, yaitu menghantam bagian tujuh inci di belakang kepala yang paling mematikan.
Selama ini dia tak pernah meleset, tak pernah gagal.
Tapi kini dia gagal menemukan bagian itu, dia tak tahu dimana letaknya.
Ular berbisa di tangan si buta ini jauh lebih berbahaya dari ular berbisa yang pernah dijumpainya.
Kecuali si bangsawan Siau-yau-hou Thian-kongcu, ternyata orang buta ini merupakan lawan yang paling menakutkan, lawan tangguh yang selama hidup belum pernah dijumpainya.
Dia tahu, dalam keadaan seperti ini dia harus tenang.
Ketika tongkat bambu yang menyerupai ular berbisa itu menusuk tiba, dia sama sekali tidak bergerak.
Mengapa dia tidak bergerak? Tidak bergerak itu berarti apa? Tidak bergerak berarti bergerak! Bukankah teori itu adalah rahasia paling tinggi dari ilmu silat? Serangan tongkat si buta dari sungguhan berubah menjadi serangan tipuan, tongkatnya berubah seakan menjadi belasan tongkat yang mengancam bersama.
sehingga sulit membedakan mana yang serangan sungguhan dan mana yang tipuan.
Bergerak berarti tidak bergerak.
Bayangan tongkat bambu seolah membeku menjadi selapis bayangan semu yang membingungkan, selapis kabut cahaya yang mengambang.
Kini Siau Cap-it Long mulai bergerak.
Tiba-tiba tubuhnya melompat sejauh delapan kaki.
"Tok, tok, tok", tongkat si buta menutul di lantai ruang kapal, tahu-tahu lantai kapal telah bertambah belasan lubang.
Siau Cap-it Long menghembuskan napas panjang.
Sekonyong-konyong tongkat bambu berbalik menyerang ke atas, lalu menyapu secepat kilat.
Sebenarnya tempat dimana Siau Cap-it Long berdiri lebih menguntungkan ketimbang si buta, namun siapa tahu lengan si buta pun seakan ikut berubah menjadi seekor ular berbisa, meliuk-liuk sesuka hatinya.
Lekas Siau Cap-it Long mundur ke belakang sambil melancarkan tendangan.
Sekilas gerakan ini sangat sederhana, namun justru tongkat si buta kena tertendangan dengan telak hingga mencelat.
Agaknya si buta tak menyangka akan gerakan ini.
Cepat ia berputar untuk melindungi bagian tubuhnya yang lemah, lalu telapak tangan kiri membacok kaki Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long menarik kakinya dan berdiri tegak di ruang geladak, kemudian ia sodokkan kepalannya ke hidung lawan.
Gerakannya masih biasa saja dan sederhana.
Siapa pun pasti menduga si buta akan dengan mudah menghindarinya, namun siapa sangka tiba-tiba pipi kirinya terasa sakit.
Ternyata pukulan Siau Cap-it Long yang sederhana itu telah bersarang di wajahnya yang jelek itu.
Si buta berjumpalitan di udara dan kembali berputar.
Jarang ada orang yang bisa melakukan gerakan semacam itu.
Sekarang tahulah Siau Cap-it Long siapakah si buta ini.
Pin-pin pun tahu.
Seketika berubah hebat wajah kedua orang ini seakan melihat sukma gentayangan.
Dalam waktu singkat tubuh si buta yang masih berputar itu menerobos jendela dan melayang keluar.
Terdengar kumandang suaranya di kejauhan.
"Ilmu silatmu sudah bertambah maju dibanding dua tahun silam, hanya sayang ...."
Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara "Byuur."
Cahaya rembulan masih bersinar terang, gelombang air segera menghiasi permukaan danau, namun bayangannya sudah lenyap.
Paras Pin-pin seketika pucat, segera Siau Cap-it Long menggenggam tangannya yang dingin membeku.
Seketika suasana menjadi hening, bahkan suara napas pun tak terdengar.
Setelah lewat beberapa lama, dengan menghela napas Ong Bing berkata.
"Sungguh lihai ilmunya."
Semua tahu jurus serangan yang dilancarkan si buta sungguh lihai dan mematikan dengan perubahan yang luar biasa.
Jarang ada orang yang bisa menghindari serangan itu, namun Siau Cap-it Long berhasil mengalahkannya, walaupun dengan jurus yang sangat umum dan sederhana.
XXIV.
MABUK CINTA Telaga Se-ouw ditimpa cahaya rembulan, indah mempesona.
Siapa orang yang mampu mengubah watak Hong Si-nio? Jantung Hong Si-nio masih berdebar dengan kencang.
Debar jantungnya bukan dikarenakan pertarungan itu, namun sekarang dilihatnya Siau Cap-it Long sedang merangkul Pin-pin naik ke loteng.
Bagaimana pun ia seorang perempuan.
Dia sanggup mengorbankan diri demi orang, namun tak sanggup mengendalikan perasaan hatinya.
Bagaimana pula perasaan Sim Bik-kun? Dengan tertawa paksa ujar Hong Su-nio perlahan, Dia memang gadis yang mearik dan patut dikasihani."
Sim Bik-kun memandang ke tempat jauh, seakan hatinya juga berada di sana, lama kemudian baru dia menjawab sambil menunduk.
"Ya, aku tahu."
"Apakah sekarang kita akan naik dan mencarinya."
Sim Bik-kun tampak sangsi dan tidak menjawab. Hong Si-nio tidak bertanya lagi karena dilihatnya Ong Bing sedang beranjak menghampiri mereka. Dilihatnya Ong Bing celingukan seakan ada yang dicarinya.
"Siapa yang kau cari?"
Tegur Hong Si-nio.
"Loji."
Kini Hong Si-nio baru sadar kalau Su Jiu-san sudah tidak ada di sana. Perahunya yang tadi ditarik balik terlihat sedang berlayar menjauh, sebagian besar para jago pun sudah pergi. Sisanya ada yang sedang tiduran atau sedang menikmati arak.
"Mana Su-loji?"
Kembali Ong Bing bertanya.
"Mana aku tahu, dia toh bukan anak kecil yang harus diawasi terus, kalian pun tak pernah menyerahkan dia padaku,"
Jawab Hong Si-nio sambil menarik muka. Ong Bing melengak, katanya.
"Masakah dia pergi bersama orang lain?"
"Kenapa tidak kau periksa ke dalam?"
"Bagaimana denganmu?"
"Aku punya urusan sendiri, kau tak perlu ikut campur."
Ia pun menarik tangan Sim Bik-kun dan diajak masuk ke dalam ruang kapal.
Sekarang ia tahu, ternyata Sim Bik-kun bukan jenis perempuan yang dapat mengambil keputusan.
Sebenarnya ia masih mempunyai banyak persoalan yang perlu ditanyakan kepadanya.
Dengan terkejut Ong Bing mengawasi mereka yang sedang berjalan masuk ke ruang kapal, tak tahan teriaknya.
"He, mau apa kalian? Kalian pun datang untuk membunuh Siau Cap-it Long?"
Hong Si-nio tidak menanggapi. Tiba-tiba terdengar ada seseorang menjawab.
"Sekalipun semua orang ingin membunuh Siau Cap-it Long, namun kedua perempuan ini adalah kekecualian."
Cepat Ong Bing berpaling, segera ia tahu yang bicara adalah Hu It-gwan.
"Mengapa mereka terkecuali?"
Tanya Ong Bing penasaran.
"memangnya kau tahu mereka itu siapa?"
Sahut Hu It-gwan dengan tersenyum licik.
"Kalau mataku belum lamur, perempuan yang bicara tadi adalah Hong Si-nio."
Bukan main kaget Ong Bing. Nama Hong Si-nio memang selalu mengagetkan orang yang mendengar.
"Kau pernah mendengar nama perempuan ini bukan?"
Kembali Hu It-gwan bertanya.
"Darimana kau mengenalinya?"
Kembali Hu It-gwan tertawa.
"Sekalipun perempuan ini susah dihadapi, namun ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, ilmu menyarunya pun jelek sekali."
"Lalu siapa perempuan yang satunya?"
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak tahu, siapa yang sudi berjalan berendeng dengan perempuan siluman itu?"
"Apakah kau melihat Su-loji?"
"Ya, memang tadi aku melihat dia."
"Sekarang dimanakah dia?"
"Kalau Hong Si-nio saja tidak tahu kemana dia pergi, darimana aku tahu,"
Kembali Hu It-gwan tertawa. Tawanya sunggu mirip rase, licik.
"Apakah dia ikut pergi bersama perahu itu?"
Hu It-gwan menggeleng.
"Aneh, masakah orang segede itu bisa lenyap secara mendadak,"
Kata Ong Bing dengan kening bekernyit.
"Menurut apa yang aku tahu, orang yang sering berhubungan dengan Hong Si-nio, seringkali lenyap tak keruan parannya."
"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?"
Bentak Ong Bing sambil melotot. Hu It-gwan tersenyum.
"Kapal di atas air, orang di atas kapal, kalau orangnya tidak berada di kapal, lantas dia dimana?"
Tiba-tiba Ong Bing menerjang ke depan dan langsung menceburkan diri ke danau. Melihat hal ini Hu It-gwan menghela napas panjang, gumamnya.
"Agaknya orang ini tidak bodoh, kali ini dia menemukan tempat yang tepat."
Ruang di atas loteng perahu tidak terlalu besar, biarpun begitu pajangannya cukup menawan.
Tempat lilin terbuat dari perak, cahaya lentera masih menyinari seluruh ruangan kapal.
Siau Cap-it Long berdiri terpekur di depan jendela, memandang kegelapan malam, entah apa yang sedang dipikirkan.
Mungkin dia terbayang kembali lembah yang mengerikan itu.
Tak ada perubahan pada wajahnya, namun Pin-pin dapat menebak apa yang sedang dipikirkan lelaki ini.
Selama ini ia tidak mengganggunya.
Setiap kali ia termenung, dia memang tidak pernah mengganggu ketenangannya.
Sebetulnya dalam hatinya penuh dengan persoalan yang ingin ditanyakannya, bahkan persoalan yang tak terlupakan dan sangat menakutkan.
Cahaya ketakutan masih terbayang di wajahnya, setiap kali ia pejamkan mata, selalu terbayang mimik aneh si buta itu.
Keheningan menyelimuti suasana di kapal itu.
tiba-tiba terdengar ada orang berbicara.
Tak jelas apa yang dibicarakan, tapi dilihatnya ada dua orang sedang berjalan ke atas loteng.
Dua orang yang berdandan sebagai tukang perahu.
Sekilas dikenalinya salah seorang adalah Hong Si-nio.
Kebetulan Hong Si-nio pun sedang menatap ke arahnya, tanyanya.
"Apakah benar di pantatmu ada toh hijau?"
Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan Hong Su-nio.
Setiap orang dapat mendengar pertanyaan itu dengan jelas, namun tak ada yang menduga pertanyaan apa yang pertama kali akan diajukan Sim Bik-kun.
Padahal banyak yang ingin diucapkan Sim Bik-kun, namun dia tetap saja diam.
Sebetulnya ingin dia menerjang maju dan menjatuhkan dirinya dalam pelukan Siau Cap-it Long.
Namun tidak ia lakukan, ia hanya diam dan berdiri menjublek di belakang Hong Si-nio.
Pin-pin pun tak menjawab pertanyaan Hong Si-nio.
Hong Si-nio pun tak bertanya lebih lanjut.
Akhirnya Siau Cap-it Long memutar tubuh berhadapan dengan mereka.
Ia tahu sedang berhadapan dengan siapa, namun sekarang ia hanya memandangi kaki sendiri.
Tak tahu apa yang harus diucapkannya, ketiga perempuan ini penting dalam kehidupannya.
Salah satunya adalah kekasih hatinya, demi perempuan ini ia telah merasakan berbagai penderitaan dan siksaan, bahkan siap berkorban demi dirinya.
Seorang lainnya adalah penolong dirinya, yang seorang lagi telah menyerahkan segalanya bagi dirinya.
Mereka bertiga telah mengorbankan segalanya bagi dirinya, kini secara tiba-tiba berkumpul bersama di sini, sekarang apa yang bias ia perbuat.
Ombak di luar tenang, perasaan orang dalam ruang kapal justru bergelora.
Tiba-tiba Hong Si-nio tersenyum dan berkata.
"Tampaknya penyamaran kami sangat bagus, sampai Siau Cap-it Long sendiri tidak mengenali kami."
Siau Cap-it Long tertawa.
"Untung aku masih mengenali suaramu."
"Kalau kau sudah mengenali kami, kenapa tidak menyuguh arak?"
Tegur Hong Si-nio sambil bertolak pinggang.
Siau Cap-it Long segera menuang arak, sewaktu menuang ia melirik ke arah Hong Si-nio.
Dia tahu Hong Si-nio takkan membiarkan dirinya sengsara, ia lebih suka diri sendiri tersiksa dan menderita.
Hong Si-nio mendekatinya, mengangkat cawan arak itu dan ditenggaknya habis, setelah itu katanya.
"Arak bagus!"
Tentu saja arak bagus.
"Arak ini adalah Li-ji-ang berusia 30 tahun,"
Katanya tertawa.
"kalau ingin menikmati arak jenis ini paling enak kalau ditemani masakan kepiting dari Yang-ting-ouw."
"Akan kumasakkan kepiting untuk teman arak,"
Kata Pin-pin tiba-tiba sambil bangkit berdiri.
"Aku ikut,"
Seru Hong Si-nio.
"masalah kepiting rasanya aku lebih pintar dari kau."
Bila mereka berempat berkumpul, tentunya tempat itu akan terasa sempit.
Kesempatan ini digunakan mereka berdua untuk mengundurkan diri dari situ.
Mereka sengaja memberi kesempatan kepada Siau Cap-it Long dan Sim Bik-kun untuk saling bicara.
Namun Sim Bik-kun hanya berdiri mematung, memandang ke tempat jauh dengan pandangan kosong.
Akhirnya Sim Bik-kun berkata dengan suara perlahan.
"Di meja sudah ada kepiting."
Di atas meja memang sudah tersedia kepiting.
Pin-pin dan Hong Si-nio tahu hal ini.
Mereka tak habis mengerti mengapa Sim Bik-kun justru tak membiarkan mereka pergi agar dirinya bisa bicara berdua dengan Siau Cap-it Long.
Apakah ia tak ingin bicara dengan Siau Cap-it Long? Atau dia tak berani? Pada wajah Siau Cap-it Long tampak sedih, namun ia tetap tersenyum.
"Kepiting itu masih hangat, memang cocok untuk teman minum arak."
Arak sudah mengalir ke dalam perut, namun kemurungan tetap saja menyelimuti hati masing-masing. Hong Si-nio tetap tertawa, bicara juga paling banyak, apalagi setelah meneguk beberapa cawan arak. Katanya.
"Apakah benar di tubuhmu ada toh hijau?"
Harusnya dia tak perlu bertanya, semua orang tahu apa yang dikatakan si buta itu adalah benar. Dengan tertunduk, terpaksa Pin-pin menjawab lirih.
"Benar!"
"Apakah benar berada di pantat?"
Muka Pin-pin merah jengah, dengan tersipu dia menunduk makin dalam.
Sebenarnya hal ini merupakan rahasia pribadinya.
Lalu dari-mana si buta tahu? Hong Si-nio berpaling mengawasi muka Siau Cap-it Long, seakan bertanya apakah dia tahu juga akan hal ini? Wajah Pin-pin semakin jengah, ujarnya.
"Kecuali ibuku, hanya ada satu orang lain yang tahu."
"Siapa?"
Tanya Hong Si-nio segera.
"Kakakku."
"Siau-yau-hou?"
"Ya."
Hong Si-nio melengak.
"Setelah ibu meninggal, hanya tinggal dia seorang yang tahu akan rahasia ini,"
Ujar Pin-pin. Dia bicara dengan tegas, dia memang bukan jenis perempuan yang sembrono.
"Bukankah kakakmu sudah mati?"
Wajah Pin-pin semakin memucat, terbias rasa takut dan ngeri, ia hanya diam saja. Hong Si-nio kembali bertanya.
"Setelah kakakmu mati, apakah rahasia ini tidak diketahui orang lain lagi?"
Pin-pin tetap bungkam, ia hanya melirik ke arah Siau Cap-it Long sekejap.
Muka Siau Cap-it Long ikut memucat, terpancar rasa ngeri di balik matanya.
Peristiwa apa yang membuatnya ngeri? Apakah peristiwa yang sama seperti yang dialami Pin-pin? Hong Si-nio sebentar melihat ke arahnya, lalu memandang Pin-pin, tanyanya.
"Sebetulnya apa yang kalian pikirkan?"
"Tidak ada yang kami pikirkan,"
Jawab Pin-pin dengan tersenyum paksa.
"Jadi kalian menduga Siau-yau-hou belum mati?"
Desak Hong Si-nio.
Pin-pin bungkam.
Siau Cap-it Long juga diam.
Keduanya seakan mengakui dugaan itu.
Melihat perubahan mimik kedua orang ini, Hong Si-nio ikut bergidik.
Dia kenal siapakah Siau-yau-hou.
Orang ini memang lihai, tak ada persoalan yang tak sanggup dia lakukan.
Tidak heran, seandainya ada orang yang bisa bangkit dari kematian, maka orang itu adalah dirinya.
Siau Cap-it Long hanya menyaksikan tubuhnya tercebur ke dalam jurang, tapi dia tidak melihat jasadnya.
Kembali Hong Si-nio meneguk secawan arak, lalu berkata dengan tersenyum.
"Rasanya tak mungkin si buta itu adalah dia."
"Kenapa?"
Tanya Siau Cap-it Long.
"Sebab Siau-yau-hou orang cebol, sedang si buta tidak."
"Mungkin saja dia bukan orang cebol sejak lahir."
"Bagaimana bisa begitu?"
"Sekarang baru aku tahu, mustahil seorang cebol bisa meyakinkan ilmu silat sedemikian lihai."
"Yang jelas dia seorang cebol."
Siau Cap-it Long menepekur sejenak, kemudian tanyanya.
"Apakah kau pernah mendengar bayi khikang dari agama To?"
Tentu saja Hong Si-nio pernah mendengar.
Setiap orang yang berlatih ilmu kebatinan, pasti memiliki tenaga murni, bila tenaga murni sudah terbentuk, maka wujudnya seperti bayi, bayi inilah yang seringkali keluar dari badan kasarnya untuk berkeliaran.
Orang berwujud bayi inilah yang disebut bayi khikang.
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi itu hanya ada dalam dongeng."
"Benar, tapi dongeng bukannya tanpa dasar dan fakta."
"Fakta bagaimana?"
"Konon ada semacam kepandaian, bila dilatih sempurna, maka tubuhnya bisa menyusut bagai seorang bocah,"
Siau Cap-it Long menjelaskan.
"kepandaian itu disebut Kiu-coan-huan-tong."
"Pernah kau saksikan kepandaian ini?"
"Belum."
"Jadi kepandaian inipun cuma dongeng belaka?"
"Mungkin saja."
"Kau pun menduga Siau-yau-hou menguasai kepandaian ini?"
"Jika ada orang yang berhasil melatih kepandaian ini, orang itu pastilah dia."
Hong Si-nio tak sanggup tertawa lagi.
"Bila ada orang menguasai kepandaian itu hingga puncak kesempurnaan, ketika terluka, tenaga murninya pasti akan buyar."
Hong Si-nio tetap diam, hanya mendengarkan. Siau Cap-it Long melanjutkan.
"Kalau orang yang menguasai kepandaian itu terluka parah, maka wujudnya akan kembali pada bentuk sebenarnya."
Setelah menghela napas, katanya pula.
"Pin-pin bukan orang cebol, ketika dia mulai tahu urusan, Siau-yau-hou sudah menjadi jagoan."
"Karena itu kau beranggapan Siau-yau-hou bukan orang cebol, tapi karena menguasai kepandaian semacam itu?"
Kata Hong Si-nio.
"Hm."
"Karena dia jatuh ke jurang dan terluka parah, maka wujudnya kembali seperti semula?"
Siau Cap-it Long diam tanpa menjawab, hakikatnya dia sudah beberapa kali menghadapi peristiwa yang tidak masuk akal. Sebenarnya Hong Si-nio ingin tertawa, namun melihat perubahan wajah orang, dia pun urung tertawa.
"Jadi kau tetap menduga si buta itu adalah Siau-yau-hou?"
"Mungkin saja."
"Apa dasarnya?"
"Kecuali Siau-yau-hou, si buta ini terhitung jagoan tangguh yang pernah kuhadapi, bukan saja serangannya aneh dan lihai, lengannya bisa meliuk-liuk seperti ular."
Hong Si-nio percaya, ia sendiri ikut menyaksikan.
"Ilmu itu disebut Yoga,"
Siau Cap-it Long menjelaskan.
"Yoga!?"
"Ya, berasal dari Thian-tok (India)."
"Jadi kepandaian si buta dari Thian-tok?"
"Paling tidak ia pernah belajar Yoga, konon ilmu Kiu-coan-huan-tong juga berasal dari Thian-tok."
"Lalu apalagi?"
"Wajah si buta tidak keruan, biji matanya sudah berubah menjadi kuning, mungkin ia telah minum racun Kimkwa- lo, rumput beracun yang hanya tumbuh di lembah pembunuh."
Rumput beracun Kim-kwa-lo tumbuh di sepanjang tebing lembah, bila layu bisa dipakai sebagai bahan pewarna, biasanya dipergunakan orang Tibet.
Jubah kaum Lhama berwarna kuning memakai bahan ini.
Kim-kwa-lo termasuk jenis rumput langka dan beracun jahat.
"Jadi orang yang telah minum racun Kim-kwa-lo mukanya jadi begitu?"
"Kalau tidak mampus, biasanya akan berubah seperti itu."
Hong Si-nio menghela napas panjang, katanya.
"Tampaknya apa yang kau ketahui lebih banyak ketimbang diriku."
Siau Cap-it Long kembali tertawa paksa, sahutnya.
"Belakangan ini aku banyak membaca buku."
"Tak kusangka kau ada waktu untuk membaca."
"Ilmu silatku pun banyak bertambah maju."
"Pernah kudengar dari si buta."
"Jika ia tak pernah menempurku, darimana dia tahu?"
Setelah menghela napas ia menambahkan.
"Yang jelas tiada seorang pun yang bisa melihat hal yang tak bisa dilihat orang lain."
"Kecuali Siau-yau-hou, tak ada orang kedua yang tahu rahasia Pin-pin."
Siau Cap-it Long terdiam. Tangan Hong Si-nio berkeringat dingin.
"Jangan-jangan orang yang dipelihara anjing adalah dia?"
"Orang yang dipelihara anjing?"
"Tiong-cu dari Thian-tiong itu."
"Kau pun tahu soal Thian-tiong?"
"Biarpun buku yang kubaca tidak banyak, tapi persoalan yang kuketahui justru tidak sedikit,"
Kata Hong Sinio sambil tertawa. Setelah menenggak beberapa cawan arak kembali ia melanjutkan.
"Bukan hanya soal Thian-tiong, ketuanya si anjing kecil juga sudah kuketahui."
"Darimana kau tahu?"
"Tentunya ada yang memberitahu padaku."
"Siapa?"
"Toh Lin."
"Siapa Toh Lin itu?"
"Orang yang mengajakku naik perahu delapan dewa."
"Perahu delapan dewa?"
"Masakah kau tak tahu perahu delapan dewa?"
"Tidak tahu."
"Belum pernah kau naik perahu itu?"
"Belum."
Hong Si-nio tertegun dibuatnya, apa yang diucapkan Siau Cap-it Long selamanya adalah benar. Ia heran bagaimana Siau Cap-it Long bisa tidak tahu.
"Ingatkah kau ketika mereka mengundangmu minum arak di atas perahu?"
"Ya."
"Nah, perahu itu adalah perahu delapan dewa."
"O, begitu, tapi aku tidak mengunjungi perahu mereka."
"Kenapa?"
"Karena penunjuk jalan yang membawaku ke sana tiba-tiba berubah pikiran."
"Kenapa?"
"Karena dia takut aku mampus dibokong orang."
"Siapa orang itu?"
"Seorang pemuda pengantar surat."
"Maksudmu Siau Cap-ji Long?"
Siau Cap-it Long manggut-manggut.
"Padahal sudah kuduga pastilah dia, Siau Cap-ji Long mana tega menyaksikan Siau Cap-it Long mampus,"
Setelah tersenyum sejenak lanjutnya.
"dan kalau bukan dia, siapa yang sudi membantu Siau Cap-it Long."
Dengan tertawa getir Siau Cap-it Long menyela.
"Tapi tak kusangka bisa bersahabat dengan dia."
"Dia tidak jadi membawamu ke sana, lantas diajak kemana?"
"Mencari seseorang."
"Pin-pin?"
Tentu saja Pin-pin.
Demi Pin-pin siksaan apapun akan dihadapinya.
XXV.
PERMAINAN KEMATIAN Siau Cap-it Long bukanlah orang yang mandah dituntun, tapi demi Pin-pin apapun akan dilakukannya.
Pin-pin menundukkan kepala.
Sim Bik-kun juga menundukkan kepala.
Hong Si-nio mengangkat cawan arak.
Siau Cap-it Long pun mengangkat cawan.
Namun cawan-cawan itu sudah kosong.
Akhirnya Hong Si-nio pula yang mulai buka suara, katanya pada Pin-pin.
"Hari itu, mengapa kau menghilang secara tiba-tiba?"
"Aku tak biasa minum arak, maka sedikit mabuk, lalu aku minum teh untuk mengurangi pengaruh arak ...."
Siapa tahu setelah minum teh justru dia tak sadarkan diri.
Yang mencampuri teh dengan obat bius adalah Hamwan Sam-seng, namun yang membawa pergi adalah Hamwan Sam-coat.
Mereka persembahkan Pin-pin kehadapan si Raja hiu.
Raja hiu ini justru tidak makan manusia, terhadap Pin-pin pun sikapnya sangat sungkan.
"Tampaknya dia ingin memanfaatkan diriku untuk memeras Siau-toako melakukan sesuatu tugas, makanya dia menahan aku,"
Kata Pin-pin dengan menunduk, waktu menyebut "Siau-toako"
Nadanya sungguh mesra.
"Siau Cap-ji Long tak tahu tempat dimana aku dikurung,"
Lanjut Pin-pin dengan lirih.
"tapi tak kusangka justru dialah yang mengajak Siau-toako mencariku."
Sim Bik-kun tetap diam seakan tidak mendengar. Hong Si-nio menghela napas, katanya.
"Tak kusangka si Raja hiu punya murid seperti itu."
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya.
"Muridnya itu tidak termasuk orang baik, tapi apakah juga termasuk sahabat yang baik?"
Siau Cap-it Long tak menjawab, hanya tersenyum getir. Kembali Siau Cap-it Long mengangkat cawannya, cawan yang sudah diisi arak. Mata Hong Si-nio semakin terang, katanya pula.
"Kau tak pernah ke perahu delapan dewa, namun aku pernah ke sana."
"Jadi kau bertemu si Raja hiu?"
"Ya, tapi dia tiak melihat aku."
"Kok bisa begitu?"
"Sebab orang mati tak bisa melihat."
"Jadi si Raja hiu sudah mati?"
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berubah paras Siau Cap-it Long.
"Bukan hanya dia yang mati, semua orang yang tercantum dalam undangan semuanya sudah mati, kecuali Hoa Ji-giok."
"Siapa yang membunuh mereka?"
"Seharusnya adalah kau."
"Aku?"
"Orang lain beranggapan begitu."
Siau Cap-it Long tertawa getir. Hong Si-nio melanjutkan.
"Senjata yang dipakai membunuh adalah sebilah golok, bahkan hanya dengan sekali bacokan."
"Memang kecuali aku, siapa yang bisa membunuh si Raja hiu hanya dengan sekali bacokan?"
"Ya begitulah, siapa pula yang bisa membunuh Hamwan Sam-seng dengan sekali tebasan?"
"Kau tak bisa menebaknya?"
Hong Si-nio menggeleng, katanya pula.
"Memangnya kau bias menebak?"
"Buat apa aku pikirkan, kejadian semacam ini bukan yang pertama kali bagiku."
Hong Si-nio mengawasinya.
Kemudian mengangkat cawan untuk menutupi wajahnya, dia sama sekali tak berpaling ke arah Sim Bik-kun.
Apakah Sim Bik-kun sedang mengawasinya? Bagaimana perasaannya jika orang yang dicintainya difitnah orang? Tiba-tiba Siau Cap-it Long bertanya.
"Bagaimana kalian bisa sampai ke sini?"
"Untuk memenuhi sebuah undangan."
"Undangan siapa?"
"Undangan seseorang."
"Siapa?"
"Manusia yang dipelihara anjing."
"Si pengundang tentunya dua orang bukan?"
"Hm."
"Lalu siapa yang satunya?"
Hong Si-nio meneguk araknya, kemudian baru menjawab.
"Lian Shia-pik."
Siau Cap-it Long terdiam. Siau Cap-it Long memang merasa malu dan menyesal bila bertemu dengan orang ini. Hong Si-nio pun melanjutkan ucapannya.
"Dimanakan mereka berjanji untuk bertemu? Bisakah kau duga?"
Siau Cap-it Long menggeleng.
"Di sini."
"Di kapal Cui-gwat-lo?"
"Saat bulan purnama di kapal Cui-gwat-lo."
Bulan masih bulat.
Siau Cap-it Long memandang rembulan, kemudian menunduk.
Ia tidak bertanya darimana Hong Si-nio tahu akan hal itu, juga tidak bertanya kepada Sim Bik-kun kenapa ia meninggalkan Lian Shia-pik.
Ia hanya menduga Lian Shia-pik pasti mempunyai hubungan dengan semua peristiwa keji itu.
Sekarang Lian Shia-pik akan datang ke sini, sedangkan Sim Bik-kun berada pula di sini, ia tak berani membayangkan apa yang bakal terjadi.
Tiba-tiba Sinm Bik-kun berdiri, sambil memandang rembulan katanya.
"Waktu sudah hampir pagi, seharusnya aku pergi dari sini."
Seketika perasaan Siau Cap-it Long menjadi dingin.
Seharusnya memang ia tidak berada di sini.
Tapi kemana ia bisa pergi? Siau Cap-it Long mengawasi cawannya yang sudah kering.
Sim Bik-kun tidak memandangnya, sekejap pun tidak.
Siapa bilang ia tidak sedih? Siapa bilang ia tidak menderita? Namun tidak mungkin baginya untuk tetap tinggal.
Tiba-tiba Hong Si-nio melotot ke arahnya.
"Kau benar-benar akan pergi?"
"Walau kita datang berdua, tapi aku bisa pergi sendiri."
"Kau akan pergi seorang diri?"
"Ya."
Hong Si-nio menggebrak meja.
"Tidak boleh jadi!"
"Kenapa tidak boleh?"
"Kau belum menemani aku minum arak, masakah mau pergi begitu saja? Tak nanti kubiarkan kau pergi."
Sim Bik-kun terperanjat, lalu tertawa paksa.
"Jangan-jangan kau sudah mabuk."
"Peduli aku mabuk atau tidak, kau tak boleh pergi dari sini,"
Seru Hong Si-nio melotot. Sim Bik-kun menggenggam tangannya.
"Kalau kau memaksaku minum, aku akan minum, kemudian aku tetap akan pergi."
"Kita datang berdua, seharusnya juga pergi bersama."
"Kalian berdua tidak boleh pergi,"
Mendadak terdengar seorang membentak nyaring.
Semua orang tahu watak Hong Si-nio, dia bilang mau datang pasti datang, bilang pergi pasti pergi, siapa sanggup menghalanginya, walau diancam dengan golok ia takkan peduli.
Siau-yau-hou pun tak sanggup menghalanginya, namun kini ada orang melarangnya pergi.
Dengan tersenyum Hong Si-nio mengawasi orang itu, ternyata adalah Ong Bing yang sedang berjalan menaiki tangga.
Seluruh tubuh Ong Bing basah kuyup, wajahnya masih tetap dingin kaku.
"Barusan kau yang berteriak?"
Tegur Hong Si-nio.
"Hm."
"Kau melarang aku pergi?"
"Hm."
"Tahukah kau mengapa aku masih duduk di sini?"
Ong Bing melotot padanya.
"Hong Si-nio melanjutkan.
"Karena aku memang tidak ingin pergi."
"Sekarang ingin pergi pun tak mungkin bisa pergi."
"Kenapa? Memangnya kau ingin menahan aku?"
Jengek Hong Si-nio sambil memicingkan mata.
"Hm."
"Sayang, kaki ini tumbuh di badanku, ketika aku ingin pergi, siapa pun takkan mampu menahannya."
"Biarpun kaki itu tumbuh di badanmu, bila kakimu itu yang ingin pergi, aku akan memotongnya,"
Kata Ong Bing dingin.
"Jadi kalau aku ingin pergi, kau akan memotong kedua kakiku?"
"Hm."
Setelah menghela napas Hong Si-nio berujar pula.
"Bila perempuan kehilangan kaki, betapa jeleknya dia."
Ong Bing tertawa dingin, katanya.
"Paling tidak lebih bagus daripada seorang lelaki yang wajahnya dipenuhi lubang."
"Tak kulihat ada lubang di wajahmu."
"Itu disebabkan aku tak pernah berhubungan dengan dirimu"
"Lantas siapa yang pernah berhubungan dengan aku?"
"Su-loji."
"Su Jiu-san?"
"Masakah sudah kau lupakan dia?"
"Apakah di wajahnya ada lubang?"
"Mengapa tidak kau lihat sendiri,"
Kata Ong Bing tertawa dingin.
* * * * * Di wajah Su Jiu-san memang telah bertambah dengan beberapa lubang, lubang bekas luka yang mematikan.
Perasaan Hong Si-nio ikut sedih, bagaimanapun Su Jiu-san cukup dikenal olehnya, kesannya termasuk baik.
Tak tahan lagi Hong Si-nio bertanya setelah menghela napas panjang.
"Dimana kau temukan dia?"
"Dalam air."
"Kukira tadi dia sudah pergi dari sini,"
Kata Hong Si-nio lirih.
"tak kusangka...."
Ong Bing mengepal tinjunya, serunya.
"Kau pasti tak akan mengira ada orang melempar dia ke dalam air bukan?"
"Benar, sama sekali tak kuduga."
"Kau tak tahu siapa yang telah membunuhnya?"
Hong Si-nio hanya menggeleng. Ong Bing bertambah gusar.
"Kalau kau tidak tahu, memangnya siapa yang tahu?"
Dengan kaget Hong Si-nio mengawasinya.
"Kenapa harus aku yang tahu?"
"Karena kaulah pembunuhnya,"
Damprat Ong Bing beringas. Hong Si-nio tertawa lagi, namun mimik tawanya tidak wajar. Siapa pun dia kalau dituduh sebagai pembunuh, pasti takkan bisa tertawa secara wajar. Dari samping Hou Bu-pe sejak tadi mengawasinya, mendadak ia bertanya.
"Bukankah kau sudah lama kenal Su Jiu-san?"
"Orang yang kukenal memang banyak."
"Bukankah dia juga sudah mengenalmu sejak kau datang?"
Hong Si-nio mengangguk.
"Bukankah sejak tadi ia selalu membuntutimu?"
Hong Si-nio mengiakan.
"Kalau dia selalu di sampingmu, kalau ada orang membunuhnya, mungkinkah engkau tidak tahu?"
Mendadak Hong Si-nio berjingkrak gusar, semprotnya.
"Sudah kubilang tidak tahu, ya tidak tahu."
Ia berjingkrak gusar, lebih garang dibanding Ong Bing, suaranya juga lebih keras dibanding teriakan Ong Bing.
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jelas kelihatan ia sedang gugup.
Maklum Hong Si-nio tidak tahu dan susah menduga kecuali dirinya siapa yang mampu membunuh Su Jiusan di atas kapal ini, lalu membuangnya ke dalam air.
Yang pasti Su Jiu-san bukan jago yang gampang dihadapi.
"Aku tahu,"
Mendadak Siau Cap-it Long bicara. Hou Bu-pe mengerut kening.
"Kau tahu apa?"
"Paling tidak aku tahu satu hal,"
Ujar Siau Cap-it Long.
"Coba jelaskan,"
Kata Hou Bu-pe.
"Yang pasti tiada seorang pun di dunia ini yang berdiri diam mematung di tempatnya terus, apalagi membiarkan orang lain membuat lubang di mukanya, kecuali dia itu patung kayu,"
Sampai di sini Siau Cap-it Long tertawa, lalu melanjutkan.
"Su Jiu-san jelas bukan patung kayu, satu-satunya tokoh kosen di Kangouw yang mewarisi ilmu murni dari Thi-san-bun. Kalau sekarang ada orang menciptakan buku daftar senjata, kipas besinya itu mungkin masuk tiga puluh besar di antaranya."
"Sepertinya tidak sedikit yang engkau ketahui,"
Jengek Hou Bu-pe.
"Aku juga tahu, umpama benar dia sebuah patung kayu, bila dilempar orang ke dalam air, tentu menimbulkan suara yang cukup keras. Aku yakin yang hadir di sini tiada yang tuli, kenapa kalian tidak mendengar orang tercebur ke dalam air?"
"Coba kau jelaskan,"
Jengek Hou Bu-pe.
"Sebab dia tidak mati di atas kapal ini."
"Kalau tidak mati di atas kapal, memangnya mati dimana?"
Teriak Ong Bing penasaran.
"Di dalam air,"
Ujar Siau Cap-it Long.
"Dalam air?"
Seru Ong Bing pula.
"Membunuh orang dalam air pasti tidak menimbulkan suara, maka orang yang berada di atas kapal tidak ada yang mendengar apa-apa."
"Tadi jelas dia masih berada di atas kapal, kenapa mendadak bisa berada dalam air?"
Semprot Ong Bing.
"Tadi jelas aku berada di loteng, kenapa mendadak berada di lantai bawah?"
"Kau sendiri yang turun bukan?"
"Kalau aku sendiri bisa turun dari loteng, kenapa dia sendiri tidak bisa turun ke air?"
Ong Bing melenggong.
"Baik-baik ada di kapal untuk apa dia turun ke air?"
"Hal ini aku tidak tahu, kalau bisa, ingin aku tanya padanya."
Ong Bing tertawa dingin.
"Sayang dia tidak bisa menjelaskan kepadamu."
"Orang ini jelas tidak mungkin menjelaskan kepadaku, tapi Su Jiu-san...."
"Kau tidak yakin kalau orang ini adalah Su Jiu-san?"
Tanya Ong Bing.
"Kau yakin dia adalah Su Jiu-san?"
"Jelas yakin."
"Apa dasarmu kau yakin kalau ini mayat Su Jiu-san?"
BENTROK PARA PENDEKAR Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 16 Ong Bing melenggong.
Pakaian orang ini memang mirip Su Jiu-san, tapi raut wajahnya jelas tidak bisa dikenali lagi.
Maklum siapa pun dia kalau mukanya berlubang besar, tampangnya tentu berubah mengerikan dan susah dikenali wajah aslinya.
Kata Siau Cap-it Long lebih jauh.
"Tiba-tiba Su Jiu-san menghilang, tahu-tahu engkau mengangkat mayat ini dari dalam air, maka engkau beranggapan orang ini adalah Su Jiu-san, padahal...."
"Padahal kenapa?"
Tanya Ong Bing. Tawar suara Siau Cap-it Long.
"Padahal kau sendiri sekarang tidak yakin kalau mayat ini adalah Su Jiu-san."
Ong Bing tidak bisa menyangkal. Mendadak ia sadar bahwasanya dirinya tidak yakin, tidak punya bukti, tiada pegangan berani memastikan kalau mayat ini adalah Su Jiu-san. Hou Bu-pe berkata dingin.
"Sepertinya kau beranggapan Su-loji sendiri yang turun ke air untuk membunuh orang ini, lalu didandani mirip dirinya, supaya orang beranggapan dirinya sudah mampus."
"Apa hal itu tidak mungkin?"
"Kenapa dia berbuat demikian? Kenapa mengelabui kami?"
"Silakan kau bertanya sendiri kepadanya,"
Ujar Siau Cap-it Long kalem.
"kecuali dirinya, kurasa tiada orang bisa memberi penjelasan kepadamu."
"Ada sebuah perkataan ingin aku tanyakan kepadamu,"
Desis Hou Bu-pe. Siau Cap-it Long sedang mendengarkan. Beringas sikap Hou Bu-pe, suaranya meninggi.
"Kalau mayat ini bukan Su Jiu-san, lalu dimana Su Jiu-san sekarang?"
Siau Cap-it Long belum menjawab, seorang telah menjawab pertanyaan itu.
"Orangnya ada di sini."
Seorang perempuan yang berpendidikan, perempuan bangsawan, kalau orang sedang bicara, biasanya tidak berani menyeletuk bicara, tak berani campur bicara.
Selama ini Sim Bik-kun dikenal sebagai perempuan dari keluarga bangsawan, tapi kali ini ia berani melanggar kebiasaan.
"Dia ada di sini,"
Wajahnya pucat, tapi sorot matanya memancar terang, menatap seorang dengan tajam.
"Orang inilah Su Jiu-san. XXVI. TERBONGKAR KEDOKNYA Kalau insan persilatan di Kangouw bilang banyak kaum Bulim mengenal Sim Bik-kun, komentar ini rasanya berlebihan, terlalu dibesar-besarkan. Insan persilatan yang mengenal dirinya, yakin tidak kalah banyak dibanding mereka yang mengenal Hong Si-nio. Bukan saja tahu bahwa Sim Bik-kun adalah wanita tercantik di Bulim, siapa pun tahu dia adalah perempuan suci anak bangsawan yang patuh aturan keluarga. Orang tahu dan yakin perempuan yang punya watak sesuci dia pasti tidak akan sembarang bicara, dan takkan berbohong. Kalau tidak yakin, jelas ia tidak akan sembarang bicara. Apa benar orang ini adalah Su Jiu-san? Pandangan seluruh hadirin beralih ke arah yang dituding Sim Bik-kun, mereka melihat seraut wajah yang aneh. Seraut wajah tanpa alis, tanpa hidung dan tanpa mulut. Seraut wajah kaku mirip topeng kayu. Yang dituding Sim Bik-kun ternyata bukan lain adalah si baju hijau yang bertutup muka. Yang hadir hanya sekilas memandangnya terus berpaling, siapa pun tak sudi lama-lama memandangnya. Wajah itu tanpa mimik, hanya ada dua lubang, dua lubang hitam dan dalam. Sepasang bola mata dalam lubang kelihatan bercahaya, tajam bagai ujung senjata yang siap membuat lubang di tubuh orang. Hou Bu-pe tidak memandangnya lebih lama, ia berpaling mengawasi Sim Bik-kun, lalu bertanya.
"Kau bilang dia adalah Su Jiu-san?"
Dengan kencang Sim Bik-kun menggenggam jari-jari tangannya, kepalanya mengangguk. Hou Bu-pe tertawa dingin.
"Tapi waktu kami naik ke atas kapal, dia sudah berada di atas kapal."
"Orang yang tadi itu bukan dia."
"Bukan dia?"
Seru Hou Bu-pe. Hong Si-nio menimbrung.
"Waktu Siau Cap-it Long menari dengan goloknya tadi, orang ini sudah berganti yang lain."
Hou Bu-pe mengerut kening, tidak percaya.
"Bukankah orang ini tadi pernah mcnghilang sejenak?"
"Ya."
"Waktu dia kembali, orangnya sudah berganti orang lain."
"Berganti Su Jiu-san maksudmu?"
"Aku tidak bisa membedakan,"
Sahut Hong Si-nio.
"tapi Sim ... kalau temanku ini bilang orang ini adalah Su Jiu-san, maka dia pasti benar."
"Dia ...."
Hou Bu-pe sangsi. Segera Hong Si-nio menambahkan.
"Kalau tidak percaya, kenapa tidak kau buka tutup mukanya."
Tak urung Hou Bu-pe berpaling mengawasinya dua kali. Muka yang ditutup itu jelas tidak kelihatan mimiknya, tapi dua bola mata yang setajam gurdi dalam lubang itu berubah menjadi lebih gelap, lebih dalam dan menakutkan.
"Kalau benar kau bukan Su Jiu-san, kenapa tidak kau perlihatkan wajah aslimu supaya dilihat orang banyak,"
Demikian kata Hong Si-nio. Tak kuat menahan emosi, mendadak Ong Bing berkata.
"Kalau betul kau adalah Su-loji, cobalah kau bicara, jelek-jelek kita adalah saudara senasib sepenanggungan, memangnya aku membantu orang luar untuk memojokkanmu malah?"
Mendadak si baju hijau menghardik keras.
"Babi."
Ong Bing melenggong.
"Apa kau bilang?"
Dingin suara si baju hijau.
"Aku bilang kalian adalah babi."
Mata Ong Bing membelalak lebar, berdiri terkesima seperti tidak mendengar atau mengerti perkataannya. Maklum reaksi lelaki ini memang tidak secepat orang lain. Si baju hijau berkata.
"Sebaliknya kalian tahu siapa perempuan ini?"
Yang dituding adalah Sim Bik-kun. Tadi Hong Si-nio sempat mengucap satu huruf "Sim", tapi semua yang hadir tiada yang memperhatikan. Si baju hijau berkata.
"Dia inilah Sim Bik-kun. Perempuan yang meninggalkan keluarga lantaran kepincut Siau Cap-it Long, demi Siau Cap-it Long, suami sendiri boleh dijual, lalu apa yang dia ucapkan kalian mau mempercayainya?"
Rona muka Sim Bik-kun kelihatan pucat pias, namun sikapnya tampak tenang dan tegar.
Beberapa kali Hong Si-nio bermaksud menukas perkataan si baju hijau, tapi ditarik olehnya.
Cahaya lampu menyinari wajahnya, kali ini ia tidak menundukkan kepala lagi, malah mengangkat kepala membusung dada.
Sepertinya ia merasakan persoalan ini sudah bukan hal yang memalukan bagi dirinya.
"Berdasar apa kau bilang aku adalah Su Jiu-san, kau punya bukti apa?"
"Mukamu itu buktinya."
"Kau pernah melihat mukaku?"
"Berani kau membuka kedokmu supaya hadirin bisa melihat wajahmu?"
"Aku sudah bilang, kedatanganku kemari bukan untuk ditonton orang."
"Kau datang untuk membunuh orang?"
"Betul."
"Sekarang saatnya kau membunuh orang?"
"0? Ya."
"Begitu tutup mukamu dibuka, paling sedikit ada seorang akan roboh terkapar."
"Siapa?"
"Kalau bukan aku, pasti engkau."
"Kalau aku bukan Su Jiu-san, kau rela mati?"
"Akur."
Si baju hijau tertawa dingin, jengeknya.
"Putusan ngawur kurang bijaksana, kau pasti mampus."
"Memangnya sedang kutunggu."
"Kenapa tidak kau kemari membuka sendiri kedokku? Tidak berani bukan?"
Sim Bik-kun tidak bicara lagi, tapi kakinya melangkah menghampiri.
Siau Cap-it Long menarik napas pendek, sampai sekarang baru ia menyadari Sim Bik-kun ternyata sudah berubah.
Awalnya ia pantang bicara menyinggung perasaan orang, tapi apa yang tadi diucapkan sungguh amat tajam, setajam ujung golok.
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahwasanya Sim Bik-kun adalah perempuan yang lemah lembut, tapi sekarang berubah menjadi wanita yang penuh tekad dan pemberani.
Siau Cap-it Long mengawasinya melangkah ke sana, tidak mencegah atau merintanginya, sebab hatinya teramat bangga.
Bangga akan keberaniannya, bangga oleh tekadnya yang teguh.
Betapapun sekarang dia sudah berdiri, bukan orang yang berdiri dipapah orang lain, tapi beidiri dengan tenaga dan kekuatan sendiri, berdiri dengan dua kaki sendiri.
Tak tahan Hong Si-nio berteriak memperingati.
"Awas, hati-hati dia membokongmu."
Tanpa berpaling Sim Bik-kun menjawab.
"Dia tidak berani."
"Kenapa?"
Tanya Hong Si-nio.
"Sebab aku sudah melihat jelas wajah aslinya, juga tahu siapa majikannya."
"Siapa?"
Tanya Hong Si-nio.
"Yaitu...."
Baru sepatah kata, dari luar kabin mendadak seorang menerjang masuk seraya berteriak.
"Nona Sim, buat apa kau tempuh bahaya. Biar aku saja yang menyingkap kedoknya."
Habis perkataannya, orang itu sudah berada di depan si baju hijau, tubuhnya kurus pendek, gerak-geriknya selincah kera, siapa lagi kalau bukan Ciangbunjin Sing-gi-bun aliran selatan, Jong-wan Hu It-gwan.
Melihat Hu It-gwan menerjang ke depannya, sepasang bola mata si baju hijau yang tersembunyi tampak mengkeret ngeri, kelihatan lebih kaget dibanding orang lain.
"Kau ...."
Sepertinya dia ingin bicara. Tapi Hu It-gwan bergerak lebih cepat, secepat kilat meraih tutup mukanya. Maka terdengar suara "Plok"
Yang keras, lelatu api berpijar, tutup muka yang terbuat dari kayu tebal itu mendadak pecah berantakan.
Jerit kesakitan berkumandang dalam kabin, cepat sekali Hu It-gwan berjumpalitan mundur di tengah udara, dimana tangannya membalik, ia taburkan segenggam Siang-bun-ting, lalu dengan gerakan Hwi-niao-to-lin (burung terbang pulang ke hutan), tubuhnya siap menerobos jendela.
Betapa telengas scrangannya, sungguh tepat dan cepat, semua yang hadir tak menduga sebelumnya.
Terutama Siang-bun-ting atau paku pelenyap sukma yang ditaburkan itu teramat ganas dan jahat, tiga belas bintik sinar seluruhnya diarahkan ke tubuh Sim Bik-kun.
Sudah dalam perhitungannya, Siau Cap-it Long dan lain-lain pasti berusah menyelamatkan jiwa Sim Bik-kun lebih dulu, dan tidak sempat memperhatikan dirinya lagi.
Tapi ia melupakan si baju hijau yang sudah ia robohkan, ia menilai rendah seorang yang kecundang oleh perbuatan kejinya.
Muka si baju hijau babak-belur tak keruan, berlepotan darah, karena menahan kesakitan, tubuhnya bergetar dan menggigil, dua tulang pundaknya hancur.
first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 21:44:42
Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam -- Khu Lung Duri Bunga Ju -- Gu Long Sukma Pedang -- Gu Long