Ceritasilat Novel Online

Dendam Iblis Seribu Wajah 1


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 1



Dendam Iblis Seribu Wajah Karya dari Khu Lung

   


   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com Dendam Iblis Seribu Wajah Karya .

   Khu Lung Prolog Tiada bintang, tiada rembulan, tiada suara apapun.

   Gelap Apa pun tidak terlihat, pegunungan yang senyap, di tengah malam yang pekat.

   Tiba-tiba sekilas cahaya melintas di atas langit.

   Daerah pegunungan yang sunyi tersorot sekejap.

   Eh apa itu? Sesosok bayangan hitam sedang merayap di tengah pegunungan! Apa yang sedang dilakukannya di tengah malam sesunyi ini? Tidak ada seorang pun yang tahu.

   Yang terdengar hanya suara hembusan angin yang sepoi-sepoi diiringi suara nafas yang tersengal-sengal.

   Kedua macam suara itu lebih mirip keluhan yang tragis, membayangkan gelombang badai yang akan melanda dunia persilatan di kemudian hari.

   Dari kilasan cahaya tadi, dapat terlihat bahwa usia orang itu paling banter baru menginjak dua belasan.

   Di atas kepalanya terdapat sedikit jambul, wajahnya bersih dan tampan.

   Dengan menggertakkan giginya, dia memanjat terus.

   Meski pun susah payah, tapi tampaknya tekad bocah ini keras juga.

   Sedikit demi sedikit dia merayap ke atas.

   Pegunungan ini sangat terjal.

   Banyak terdapat batu-batu yang tajam.

   Belum lagi jurang yang dalam.

   Kalau melihat dari atas bebatuan yang runcing itu akan tampak bagai bilahan-bilahan pedang.

   Bocah itu rasanya tidak mengerti ilmu silat.

   Baru sampai pertengahan saja telapak tangannya sudah penuh dengan luka sehingga darah mengalir dengan deras.

   Bahkan pada tempat di mana tangannya bertumpu, terlihat bekas jejak darah yang ditinggalkannya.

   Betapa mengenaskan melihat kebulatan tekad bocah tersebut! Tapi dia sama sekali tidak menyerah.

   Giginya digertakkan semakin erat.

   Ia sampai menggigit bibirnya sehingga berdarah.

   Dia mempertahankan diri sekuat kemampuannya.

   Setindak demi setindak dia terus mendaki daerah alam yang berbahaya.

   Setiap waktu ada saja kemungkinan maut mengintai.

   Didakinya terus pegunungan itu meskipun dia sendiri tidak tahu apakah dirinya masih sanggup atau tidak.

   Angin pegunungan berhembus kencang, membuat pakaiannya yang sudah koyak di sana sini berkibaran.

   Terdengar suara dari kibaran bajunya yang terhempas-hempas.

   Dia tidak merasa kedinginan.

   Keringat menetes dengan deras di keningnya.

   Nafasnya semakin memburu.

   Dia masih seorang bocah cilik.

   Dia juga tidak mempunyai tenaga seperti sebuah mesin.

   Baru setengah perjalanan dia sudah merasakan tubuhnya letih sekali, urat-uratnya terasa seperti mengencang dan hampir putus.

   Namun demikian di dalam hatinya dia punya niat besar yang mendukung apa yang dilakukannya, perasaan gentarnya pun sirna dan tekadnya semakin membara.

   Dia paham sekali bahwa masih banyak urusan yang harus diselesaikannya.

   Dia sadar masih panjang perjalanan hidup yang harus ditempuhnya.

   Tanpa memperdulikan segala bahaya yang mungkin akan dihadapinya, dia terus mendaki menuju puncak gunung tersebut.

   Sebetulnya, apa yang hendak dilakukannya? Rupanya puncak pegunungan ini merupakan tempat suci sebuah perkumpulan yang bernama Ti Ciang Pang yang sangat disegani dunia Kangouw.

   Sebuah goa tua yang terdapat di bagian paling puncak merupakan tempat bersemayamnya jenasah-jenasah para leluhur perguruan tersebut.

   Pada suatu hari, tanpa sengaja bocah ini menolong seorang tua tanpa nama yang sedang terluka parah.

   Sebelum menutup mata, orangtua ini sempat memberikan sebuah kitab yang mengandung pelajaran cara merias wajah.

   Orangtua ini juga memberitahukan kepadanya tentang kuburan para leluhur Ti Ciang Pang ini.

   Ternyata setiap pangcu generasi demi generasi, apabila sudah mengetahui bahwa ajalnya telah dekat, harus mengikuti peraturan perkumpulan mereka, yaitu masuk ke dalam goa tua tersebut untuk menunggu ke-matian.

   Meskipun ada pangcu-pangcu yang mati dalam pertarungan atau pun musibah lainnya, mayat mereka juga harus dibawa oleh beberapa orang murid Ti Ciang Pang tersebut dan dimasukkan ke dalam goa.

   Bahkan beberapa murid yang terpilih untuk membawa mayat pangcu mereka ke dalam goa, juga tidak boleh kembali dalam keadaan hidup-hidup.

   Ini merupakan peraturan Ti Ciang Pang yang sudah berlangsung selama ratusan tahun.

   Tentu saja setiap pangcu yang mati pasti mempunyai benda-benda pusaka kesayangan mereka yang dibawa sekalian agar dapat dikuburkan bersama jenasah mereka nanti.

   Benda-benda pusaka tersebut terdiri dari berbagai macam jenis.

   Ada pedang pusaka, ada senjata rahasia yang mereka gunakan semasa hidup.

   Tidak sedikit yang melukiskan ilmuilmu andalannya di dinding goa sambil menunggu kematian.

   Sejak Ti Ciang Pang didirikan, jumlah pangcu yang menjabat perkumpulan tersebut seluruhnya sudah berjumlah enam puluh empat angkatan.

   Otomatis goa tua itu menjadi semacam tempat harta pusaka perkumpulan tersebut.

   Akhirnya tempat itu juga menjadi daerah terlarang bagi umat Bulim dan tempat suci yang tidak boleh diinjak oleh para murid Ti Ciang Pang sendiri.

   Siapa pun yang ketahuan naik ke puncak gunung itu pasti akan mendapat hukuman mati.

   Hal ini sudah menjadi ketentuan yang diketahui oleh semua orang di dunia Kangouw.

   Tetapi tujuan bocah ini naik ke atas puncak gunung tersebut justru untuk menyelinap ke dalam goa dan mencuri belajar ilmu Ti Ciang Pang yang sakti.

   Dia tidak mengerti ilmu silat sama sekali.

   Kalau dia datang secara terang-terangan tentu dalam sekejap saja dia sudah ketahuan oleh para penjaga pegunungan itu, yang kebanyakan berilmu tinggi.

   Itulah sebabnya dia memilih waktu malam hari dan mengambil jalan memutar yang jauh lebih berbahaya agar jejaknya tidak sampai kelihatan.

   Dapat dikatakan bahwa sekarang ini dia sedang mengadakan pertaruhan dengan nyawanya sendiri.

   Dia terus mendaki sedikit demi sedikit Ketika tenaganya mulai terkuras habis, matanya terasa berkunang-kunang dan keempat anggota tubuhnya bagai menjadi kaku, dan dia merasa tidak sanggup meneruskan lagi, dia berhenti dahulu untuk beristirahat.

   Angin malam masih menderu-deru.

   Di sekitar hanya ada kesunyian yang menemani.

   Dalam kegelapan seperti ini, yang terdengar hanya nafasnya yang tersengal-sengal.

   Dia tahu sekarang ini dia sudah meninggalkan kaki gunung sejauh ratusan depa.

   Apabila dia menundukkan kepalanya unttuk melihat ke bawah, mungkin dia akan jatuh pingsan saking takutnya.

   Oleh karena itu, dia tidak berani melirik sedikitpun.

   Dengan menggenggam eraterat batu-batu yang bertonjolan, dia mengatur nafasnya sesaat sebelum mulai mendaki lagi.

   Setelah berdiam diri sekian lama, tiba-tiba terdengar suara gumaman yang tidak jelas dari mulutnya "Tan Ki, oh Tan Ki! Kau tidak boleh putus asa.

   Dakilah terus.

   Di atas puncak gunung ini ada berbagai macam kepandaian yang kau dambakan.

   Semuanya dapat membuat citacitamu terkabul.

   Kelak kau akan menjadi orang yang terkenal.

   Namamu akan menggetarkan dunia Kangouw.

   Kau bisa belajar silat yang tinggi sehingga kau dapat membalas dendam dengan kedua tanganmu sendiri"

   Teringat akan dendam kematian ayahnya tiba-tiba darah dalam tubuhnya seperti menggelegak.

   Semangatnya bagai terpacu seketika.

   Rasa sakit pada telapak tangan dan pegal-pegal di sekujur tubuhnya seperti sirna tertiup angin malam.

   Betul! Dia ingin membalas dendam.

   Dia harus membunuh empat puluh delapan orang musuhnya.

   Satupun tidak boleh dibiarkan hidup! Maka dari itu, dia segera menghimpun seluruh kekuatannya.

   Dengan tekad yang membara dia mulai mendaki lagi.

   Dengan susah payah dia naik setindak demi setindak.

   Di dalam hatinya dia terus berseru! Naik! Naik! Naik! Naik! *** ( )*** Bagian I Sepuluh tahun kemudian Dunia Kangouw yang selama ini tenang dan damai tiba-tiba saja dilanda gelombang badai yang dahsyat.

   Seorang algojo muncul entah dari mana.

   Persis seperti malaikat maut yang mencabut nyawa orang-orang yang dipilihnya.

   Siapa namanya, tidak ada seorang pun yang tahu.

   Asal-usulnya, terlebih-lebih tidak ada yang tahu.

   Belum pernah ada seorangpun yang sempat melihat wajahnya yang asli.

   Ilmu silatnya yang tinggi sulit diukur dan keahliannya dalam merias wajah disadari oleh setiap orang.

   Tiba-tiba dia muncul sebagai seorang kakek-kakek tua.

   Kemudian beberapa hari kemudian, dia berubah menjadi seorang pemuda belasan tahun.

   Datang tanpa bayangan, pergi pun tidak meninggalkan jejak.

   Orang yang berbentrok dengannya, mati satu per satu.

   Orang yang tidak ada urusan apa-apa dengannya juga mengandung perasaan was-was.

   Tetapi setiap kali dia muncul, di samping mayat yang telah dibunuhnya pasti terdapat tulisan yang berbunyi Cian bin moong alias Iblis Seribu Wajah.

   Dalam jangka waktu yang pendek, yakni tiga bulanan, tokoh-tokoh Bulim yang mati di tangan Cian bin mo-ong sudah berjumlah dua puluhan orang.

   Jumlah ini sebetulnya tidak dapat dibilang terlalu besar.

   Yang mengejutkan justru setiap korbannya merupakan tokoh yang mempunyai nama besar di masa itu.

   Hal inilah yang membuat perasaan tokoh-tokoh Kangouw lainnya menjadi kalut.

   Ti Ciang Pang yang selama ini sangat disegani ikut terguncang mendengar kemunculan orang ini.

   Belum lagi lima partai besar lainnya.

   Bahkan para tokoh yang bergerak sendirisendiri tanpa ikatan dengan perguruan mana pun ikut ramai membicarakan kemunculan orang ini yang sedemikian tiba-tiba.

   Mereka semua merasa was-was.

   Jangan-jangan besok adalah giliran mereka untuk menerima kematian.

   Hal ini seperti hari-hari menjelang kiamat bagi tokoh-tokoh dunia Kangouw.

   Cian bin mo-ong! Cian bin mo-ong! Asal nama ini muncul, pasti ada mayat yang bergelimpangan.

   Kehadiran orang ini bagaikan angin topan yang memporak-porandakan seluruh Bulim, menyiutkan nyali setiap tokoh yang namanya agak terkenal.

   Dari setiap korban yang jatuh, dapat dibuktikan bahwa sasarannya adalah orang-orang yang mempunyai nama cukup besar di dunia Kangouw.

   Dalam waktu tiga bulan saja, dia sudah membuat dunia Bulim menjadi sebuah tempat yang mengerikan dan seolah tiada lagi wilayah yang aman untuk bersembunyi.

   Sasarannya pun berbeda-beda.

   Kadang terdengar korbannya ada di daerah Selatan, kemudian tiba-tiba di daerah Utara pun terjadi hal yang sama.

   Semua ini membuat orang menduga-duga, apa sebetulnya alasan Cian bin mo-ong membunuh orang-orang yang kadang-kadang tidak ada kaitannya sama sekali.

   Akhirnya Pada suatu malam yang berangin kencang dan tiada rembulan, gelombang badai yang melanda dunia Bulim ini pun mencapai puncaknya *** Kota tua Lok Yang.

   Di tengah malam yang mencekam, seharusnya orang-orang sedang terlelap dalam mimpi.

   Tapi di Utara kota itu terdapat sebuah gedung yang megah dan saat ini tampak dua buah lentera besar tergantung tinggi.

   Tampak bayangan manusia tidak henti-hentinya memasuki gedung rumah tersebut.

   Hal ini membuat orang menduga-duga.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kalau keluarga ini bukan sedang berkabung atau mengadakan pesta besar-besaran, tentu ada urusan penting yang sedang berlangsung.

   Tepat pada saat itu, tampak dua sosok bayangan melesat bagai angin dan berhenti di depan pintu gerbang gedung megah tersebut.

   Meskipun di dalam gedung ini terlihat orang-orang hilir mudik dengan sibuk.

   Tetapi di depan pintu gerbangnya justru sunyi seakan tidak sedang berlangsung apa-apa.

   Tidak tampak seorang penjaga pun di depan pintu gerbang tersebut.

   Mata kedua orang ini mengedar sekilas.

   Wajah keduanya langsung tertegun.

   Di bawah cahaya lentera yang suram, tampak bahwa kedua orang ini merupakan pasangan yang aneh, yang satu bertubuh tinggi sedangkan yang lainnya pendek sekali.

   Mereka berdiri berendengan.

   Orang yang berdiri di sebelah kiri berdandan seperti pelajar.

   Wajahnya agak pucat.

   Tampangnya biasa-biasa saja, sulit menentukan berapa usia orang itu yang sebenarnya.

   Tangan kanannya mengibaskan sebatang kipas dengan perlahan-lahan.

   Gayanya santai sekali.

   Sedangkan orang yang di sebelahnya sangat pendek.

   Tinggi kepalanya hanya mencapai pinggang si pelajar tadi.

   Tubuhnya gemuk.

   Raut wajahnya bulat dan warnanya merah sekali.

   Dari sepasang matanya yang sipit memancar sinar tajam seperti kilat.

   Tiba-tiba dari dalam gedung terdengar suara teriakan.

   "Ciong San Suang-siu tiba!"

   Kata-kata itu saling bersahutan sehingga sampai ke dalam gedung.

   Kewibawaan yang diperlihatkan ternyata tidak dapat dipandang ringan juga.

   Tidak lama kemudian terdengar suara sahutan dari dalam yang sambung menyambung sampai keluar seperti sebelumnya.

   "Silahkan masuk!"

   Melihat keadaan ini, alis kedua orang tersebut tanpa terasa terjungkit ke atas.

   Wajah mereka menyiratkan perasaan kurang senang.

   Bukan saja kedua orang ini merupakan tokoh yang sudah terkenal, bahkan nama mereka pun tidak berada di sebelah bawah tuan rumah itu sendiri yakni Bu Ti Sin Kiam alias si Pedang Sakti tanpa lawan Liu Seng.

   Orang itu sudah mengirimkan undangan kepada mereka berdua.

   Seharusnya tidak perlu begitu banyak lagak sampai-sampai mempersilahkan mereka masuk hanya dengan dua patah kata saja.

   Seandainya mereka masuk begitu saja, bukankah mereka akan kehilangan pamor? Tetapi orang sudah mengirimkan undangan, biar bagaimana pun niatnya baik.

   Untuk sesaat, kedua orang itu merasa bimbang.

   Masuk salah, tidak masuk mereka sudah sampai di depan pintu.

   Sedangkan gengsi mereka mempertahankan diri agar jangan masuk begitu saja.

   Justru ketika mereka sedang diselimuti keraguan itulah, tampak seorang Lao Koan-ke (Kepala Pelayan) keluar dengan tergopoh-gopoh kemudian membungkukkan tubuhnya memberi hormat.

   "Majikan hamba sedang melayani tamu sehingga tidak dapat menyambut dari jauh. Harap jiwi toaya dapat memaklumi. Silahkan masuk! Silahkan masuk!"

   Sapanya sambil tersenyum simpul. Terdengar suara dengusan dari hidung si gemuk pendek. Bibirnya mengulum seulas senyuman dingin.

   "Mungkin tamu yang di temani Liu Loji lebih terkenal dan mempunyai nama yang lebih besar dari kami dua bersaudara,"

   Sindirnya tajam. Kata-kata ini sungguh blak-blakkan. Wajah Lao Koanke tadi sampai merah padam. Dengan wajah ketakutan kembali ia membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.

   "Tidak, tidak! Apabila jiwi toaya masuk ke dalam tentu akan mengerti sendiri,"

   Dia langsung mengulapkan tangannya mempersilahkan kedua tamu tersebut.

   Orang gemuk pendek tadi mendengus sekali lagi.

   Dia melangkahkan kakinya lebar-lebar berjalan ke dalam gedung.

   Setelah melewati tiga buah ruangan, mereka sampai di sebuah aula yang besar sekali.

   Kedua orang itu memandang ke sekeliling sekejap.

   Tanpa sadar keduanya menjadi tertegun.

   Tampak di dalam aula tersebut telah di penuhi tamu-tamu sejumlah empat lima puluh orang.

   Di antara orang-orang itu ada sebagian yang mereka kenal.

   Ada sebagian lagi yang jumpa pun belum pernah.

   Tetapi sebagian besar yang mereka kenal merupakan tokohtokoh ternama yang telah menggetarkan dunia persilatan pada jaman itu.

   Setelah tertegun beberapa saat, tiba-tiba dalam hati keduanya segera merasa bahwa urusan malam ini pasti genting sekali sehingga begitu banyaknya tokoh terkemuka yang berkumpul di dalam gedung ini.

   Hawa pembunuhan yang tebal bagai memenuhi seluruh aula tersebut.

   Pada wajah setiap orang tampak ketegangan yang berusaha di tutup-tutupi.

   Suasananya juga sangat mencekam.

   Tidak ada seorang pun yang bercakap-cakap dengan santai.

   Tiba-tiba Bu Ti Sin Kiam Liu Seng yang duduk di kursi tuan rumah tampak berdiri dan tertawa lebar.

   "Jiwi pasti sudah menunggu agak lama. Silahkan duduk!"

   Katanya. Baru saja ucapannya selesai, dari luar berkumandang lagi suara sahutan yang sambung menyambung seperti tadi.

   "Tian Tai Tiau-siu (Tukang pancing dari Tian Tai) tiba!"

   "Cepat persilahkan!"

   Kata Liu Seng segera berganti haluan.

   Tenaga dalam orang ini cukup tinggi juga.

   Begitu suaranya keluar, terdengarnya seperti gendang yang bertalu-talu dan bergema ke seluruh aula tersebut.

   Kemudian seorang lakilaki bertubuh tegap yang berdiri di bagian pintu segera mengikutinya berteriak.

   "Cepat persilahkan masuk!"

   Suara sahutan itu pun kembali sambung menyambung sampai ke depan pintu gerbang.

   Hal inilah yang membuat suasana yang tegang itu mengandung keseriusan dan kewibawaan yang dalam.

   Saat itu Ciong San Suang-siu baru tahu, Liu Seng menemani sekian banyak tamu.

   Otomatis dia tidak sempat menyambut setiap tamu dan mengantarkannya ke dalam.

   Setelah tahu apa sebabnya Liu Seng tidak menyambut mereka sendiri, keduanya tidak marah lagi.

   Pada dasarnya kedua orang itu memang merupakan pendekar-pendekar yang gagah dan berhati lapang.

   Mereka malah tertawa terbahak-bahak menanggapi kesalahpahaman perasaan mereka sendiri.

   Setelah tertawa-tawa Ciong San Suang-siu pun duduk di kursi yang masih kosong.

   Sambil menyapa beberapa orang kenalan mereka, otak keduanya terus memikirkan kejadian yang akan mereka hadapi malam ini.

   Rupanya Bu Ti Sin-kiam Liu Seng adalah seorang tokoh tua di dunia persilatan.

   Nama besarnya telah berkumandang di mana-mana.

   Tetapi selama belasan tahun ini, dia telah mengasingkan diri dan tidak turut campur lagi dalam urusan dunia Kangouw.

   Tiba-tiba tiga bulan yang lalu, dia mengirimkan surat undangan kepada para sahabat lamanya yang sealiran agar berkumpul di.

   gedung rumahnya malam ini.

   Hal ini membuktikan bahwa ada urusan penting yang ingin disampaikannya kepada mereka semua.

   Sementara itu, dari halaman luar berjalan masuk seorang yang bertubuh tinggi kurus.

   Kepalanya ditutupi sebuah topi pandan.

   Orang ini tidak asing bagi para hadirin yang ada dalam aula tersebut.

   Karena dialah Tian Tai Tiau-siu yang tersohor.

   Nama asli orang ini adalah Kok Hua-hong.

   Sebagai tuan rumah, Liu Seng cepat-cepat bangkit dari tempat duduknya dan menyambut.

   "Kok heng telah menempuh jarak ribuan li untuk memenuhi undangan siaute. Tentunya Kok heng sudah merasa lelah, silahkan duduk dan beristirahat."

   Sapanya sambil tersenyum. Kok Hua-hong mendengus dingin satu kali. Mimik wajahnya datar sekali.

   "Tidak diundang pun, aku tetap akan datang."

   Nada suaranya begitu ketus sehingga membuat para hadirin merasa di luar dugaan.

   Liu Seng sendiri ikut tertegun.

   Para tamu yang hadir malam itu merasa heran.

   Selamanya Kok Hua-hong adalah seorang manusia yang berjiwa besar.

   Sehari-harinya murah senyum dan ramah terhadap siapapun.

   Sikapnya yang demikian ketus, belum pernah ditemui oleh para kenalannya.

   Dengan membawa pikiran demikian, tanpa sadar mata para hadirin menjadi terpusat pada dirinya.

   Kok Hua-hong sendiri tampaknya tidak memperhatikan orang lainnya.

   Dengan sikap dingin ia berjalan menuju sebuah kursi yang kosong dan duduk menyendiri.

   Matanya dipejamkan seakan sedang melepas lelah.

   Sikapnya itu menunjukkan keangkuhan dan kesinisan yang tidak terkira.

   Orang yang menatapnya merasa bergidik dan timbul kesan sebagaimana orang yang tidak mudah didekati oleh orang lain.

   Melihat sikap Kok Hua-hong, tanpa sadar sepasang alis Liu Seng terjungkit ke atas.

   Kemarahan dalam hatinya mulai meluap.

   Diam-diam dia berpikir dalam hati.

   "Baru beberapa tahun tidak bertemu, ternyata orang dapat berubah sedemikian banyak!"

   Setelah merenung sesaat, terpaksa dia menelan kembali kemarahan dalam hatinya.

   Urusan yang sedang mereka hadapi bukan masalah perorangan tetapi menyangkut keselamatan seluruh Bulim.

   Bagaimana pun dia harus berpikir panjang sebelum mengumbar emosinya.

   Apalagi kali ini dia sendiri yang bertindak sebagai tuan rumah yang mengundang kedatangan tamu-tamu ini.

   Tidak lama kemudian datang beberapa tamu tingkatan Cianpwe yang juga diundang oleh Liu Seng.

   Tuan rumah segera mengedarkan pandangannya.

   Dia merasa para tamu yang diundangnya sudah hampir semua hadir di tempat itu.

   Maka dari itu dia segera berdiri dan menjura ke sekitarnya.

   "Dunia Bulim yang sudah lama tenang, tiba-tiba dilanda badai yang dahsyat. Cuwi hengte pasti sudah dapat menerka tujuan orang she Liu mengundang kedatangan kalian malam ini. Padahal sebelumnya aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mencampuri lagi urusan dunia Kangouw. Tetapi apa yang terjadi saat ini demikian genting sehingga aku terpaksa mengirimkan undangan pada saudara sekalian."

   "Tentu saja untuk menghadapi Cian bin mo-ong yang merupakan musuh para sahabat dunia Kangouw!"

   Sahut beberapa tamu serentak.

   "Orang seperti itu tidak boleh dibiarkan merajalela!"

   Teriak yang lainnya. Liu Seng menganggukkan kepalanya.

   "Tidak salah. Untuk menghadapi Cian bin mo-ong. Kedatangan orang ini seperti angin saja. Kekejiannya dalam turun tangan, boleh dibilang seumur hidup aku baru pernah menemuinya"

   Berkata sampai di situ, tiba-tiba dia seperti teringat akan sesuatu. Dengan wajah muram dia menarik nafas panjang.

   "Ilmu silat Cian bin mo-ong ini entah sudah sampai taraf bagaimana tingginya. Kalau dibayangkan memang mengerikan. Para sahabat sekalian, tetapi ada satu hal lagi yang membuat kita lebih-lebih penasaran. Yakni, adakah orang-orang yang tahu asal-usul orang ini atau wajah asli orang ini?"

   Mendengar ucapannya, para tamu yang hadir tertegun semua.

   Tidak ada seorangpun yang dapat menjawab pertanyaan tersebut, karena mereka memang tidak ada yang tahu.

   Riwayat hidup Cian bin mo-ong bagai sebuah teka-teki, bagai sebuah tempat yang diselimuti kabut sehingga orang harus meraba-raba untuk mengetahui sekitarnya.

   Orang yang pernah bertemu dengannya sudah mati.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Orang yang tidak pernah bertemu dengannya, meskipun Cian bin mo-ong berdiri di depannya, dia juga tidak akan mengenali.

   Ilmu merias wajah Cian bin mo-ong sudah mencapai taraf yang sedemikian hebatnya sehingga sulit diuraikan dengan kata-kata.

   Hanya dalam waktu beberapa detik, dia sanggup merubah wajahnya.

   Karena tidak ada satu pun yang mengeluarkan suara, seluruh aula besar itu menjadi hening seketika.

   Rupanya nama Cian bin mo-ong telah menanamkan ketakutan yang dalam di hati setiap orang.

   Kemungkinan apabila ada orang yang mengetahui asal-usul maupun wajah aslinya, orang itu juga tidak berani membuka mulut.

   Terdengar suara berdehem dan terbatuk-batuk dari mulut si pendek gemuk yang merupakan Loji dari Ciong San Suang-siu "Tiga hari yang lalu, hengte pernah bertemu sekali dengan Cian bin mo-ong, pada saat itu"

   Baru berkata beberapa patah, di wajah Cu Mei, si gemuk pendek itu tersirat rasa ketakutan yang dalam, tubuhnya bergetar. Setelah terdiam beberapa saat dia melanjutkan kembali kata-katanya.

   "Pada saat itu, di puncak bukit Ciong San berkumpul kurang lebih empat puluh enam orang jago-jago kelas tinggi. Orang-orang ini terdiri dari para murid lima partai besar. Masing-masing mem-punyai keahlian dalam berbagai ilmu silat. Nama mereka sudah terkenal di seluruh penjuru dunia. Tadinya hengte mengira telah terjadi persengketaan di antara lima partai besar. Hati hengte terkejut sekali. Kemudian setelah mendapat penjelasan dari Pun Bu Taisu yang berasal dari Siau Lim Pai, baru hente mengerti duduk persoalan sebenarnya. Rupanya mereka sedang menantikan kedatangan Cian bin mo-ong untuk mengadu kepandaian"

   Mendengar ucapan Cu Mei si pendek gemuk, di depan mata para tamu yang lainnya seakan tampak bayangan Cian bin mo-ong yang menyeramkan.

   Tetapi bayangan orang ini sedemikian samar sehingga tidak ada seorangpun yang sanggup melukiskan rupanya yang jelas.

   Pikiran merekapun ikut terpengaruh cerita Cu Mei tadi.

   Perasaan mereka menjadi tegang karena ingin mengetahui cerita selanjutnya.

   Situasi dalam ruangan ini semakin mencekam dan tanpa sadar mereka merasakan keseraman yang tidak terkatakan.

   Terdengar lagi helaan nafas Cu Mei yang berat sebelum meneruskan kata-katanya "Para murid kelima partai besar menunggu kurang lebih satu keuntungan.

   Tetapi yang datang bukan Cian bin mo-ong malah Ciang Bunjin Bu Tong Pai, Fei Wan Cu yang muncul secara tidak terduga-duga.

   Fei Wan Cu tiba-tiba menyeruak di antara orang banyak dan menghantamkan pukulannya secara kalang kabut.

   Secara berturut-turut delapan belas orang dibunuhnya dalam waktu sekejap.

   Untuk sesaat, para murid lima partai besar menjadi gempar.

   Hengte sendiri terkejut setengah mati.

   Mungkinkah Fei Wan Totiang tibatiba kerasukan setan serta pikirannya kacau sehingga tidak mengenali rekan-rekannya sendiri?"

   Hati Liu Seng tercekat mendengar ceritanya.

   "Itu tidak benar! Ciang Bunjin Bu Tong Pai itu mungkin samaran Cian bin mo-ong?"

   Katanya gugup.

   "Siapa bilang bukan? Tetapi karena keahlian merias wajah orang ini sudah sedemikian hebatnya sehingga hengte sendiri yang kenal baik dengan Fei Wan Totiang tidak berhasil membongkar kedoknya. Sedikitpun tidak tampak perbedaan dengan yang aslinya"

   Wajah Liu Seng semakin kelam. Kepalanya tertunduk sesaat seakan sedang merenungkan sesuatu yang pelik.

   "Bagaimana dengan ilmu silatnya?"

   Cu Mei menarik nafas panjang.

   "Bukannya hengte memuji iblis itu. Ilmu silat yang dimiliki Cian bin mo-ong memang tinggi sekali. Malah lebih hebat daripada Fei Wan Totiang yang asli. Hengte sudah terjun dalam dunia Kangouw sejak empat puluh tahun yang lalu, meskipun ilmu silat tidak terlalu hebat, tetapi pengalaman sudah dapat dikatakan lumayan. Mungkin saat ini orang yang dapat menandinginya dapat dihitung dengan jari. Bayangkan saja, para anggota kelima partai besar yang berkumpul saat itu ada empat puluh enam orang, tetapi mereka toh tidak sanggup menahan seorang Cian bin mo-ong malah delapan belas orang diantara-nya menjadi korban."

   Sebetulnya Cu Mei masih ingin melanjutkan kata-katanya, tetapi dia merasa bahwa ucapannya hanya akan menjatuhkan pamor lima partai besar.

   Itulah sebabnya dia tidak jadi meneruskan isi hatinya.

   Tetapi meskipun demikian, sebagian besar tamu yang hadir sudah dapat menerka apa yang ingin diucapkannya.

   Wajah mereka tampak kusut dan kelam.

   Mereka sudah dapat membayangkan sampai di mana kehebatan Cian bin mo-ong yang akan mereka hadapi itu.

   Wajah Liu Seng juga berubah hebat.

   Sepasang alisnya berkerut.

   Mulutnya menyiratkan seulas tertawa yang sumbang.

   "Kalau demikian, gedung keluarga Liu ini seakan menjadi ajang pengorbanan."

   Cu Mei menjadi tertegun mendengar ucapannya.

   "Mengapa?"

   Tanyanya bingung.

   "Karena Cian bin mo-ong justru hendak menyambangi gedung rumahku malam ini,"

   Sahut Liu Seng.

   Ucapan yang singkat tetapi sanggup membuat hati setiap tamu yang hadir menjadi terkesiap.

   Seakan di dalamnya terkandung segulung kekuatan yang tidak berwujud dan membuat wajah mereka berubah hebat.

   Tidak ada satupun yang tidak terkejut mendengarkan keterangan tersebut.

   Untuk sesaat, suasana dalam ruangan itu seperti diselimuti hawa pembunuhan yang tebal.

   Empat huruf Cian bin mo-ong seperti mewakili para iblis yang gemar membunuh manusia tanpa diketahui sebab musababnya.

   Nyali para pendekar menjadi ciut seketika Ilmu silat orang ini demikian tinggi, lagipula dia pandai ilmu merias wajah.

   Boleh dibilang, ada saja kemungkinan bahwa saat ini dia sudah merias wajahnya menjadi salah satu tamu di dalam aula tersebut.

   Namun tidak seorangpun yang menyadarinya.

   Para tamu yang mempunyai pikiran demikian, tanpa terasa saling melirik satu dengan yang lainnya.

   Mereka menjadi curiga setiap orang yang duduk di sampingnya.

   Janganjangan orang itu adalah samaran Cian bin mo-ong si iblis pembunuh itu.

   Justru ketika pikiran setiap orang sedang bertanya-tanya, terdengar kembali helaan nafas berat Liu Seng, si tuan rumah.

   "Sejak tiga bulan yang lalu, Cian bin mo-ong telah mengirim sepucuk surat yang isinya menyatakan bahwa malam ini dia pasti akan hadir di dalam rumahku ini. Pertama-tama dia ingin bertanya jelas tentang Am Gi (senjata rahasia) hengte, yakni Hek Hong Ciam (jarum kumbang hitam), baru kemudian mencabut nyawa hente. Katanya untuk membalaskan dendam ayahnya. Aih! Siaute sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan selama belasan tahun. Seandainya pada tempo dulu pernah terjadi persilisihan dengan seseorang, rasanya juga tidak mungkin sekarang baru datang mencari siaute untuk membalaskan dendamnya"

   Belum lagi ucapannya selesai, Tian Tai Tiau-siu yang duduk di sudut sendirian langsung memperdengarkan suara dengusan dingin dari hidung.

   "Maksudmu kau sudah menggantungkan pedang selama belasan tahun dan selama itu tidak pernah mencampuri urusan dunia Kangouw lagi?"

   Tanyanya dengan nada sinis.

   "Tidak salah!"

   Sahut Liu Seng tegas.

   "Apakah kata-katamu itu bukan diucapkan karena keadaanmu yang sedang terdesak?"

   Tanya Tian Tai Tiau-siu kembali. Nada suaranya seakan tidak percaya. Dengan bibir mencibir dia meneruskan ucapannya.

   "Seandainya Cian bin mo-ong benar-benar akan datang malam ini untuk menanyakan perihal senjata rahasiamu, pasti dia mempunyai alasan yang kuat. Jangan-jangan di balik hal ini ada sesuatu yang sengaja kau tutuptutupi!"

   Terhadap kata-kata yang menyakitkan hati itu, Liu Seng benar-benar merasa di luar dugaan. Wajahnya berubah hebat.

   "Siaute harap kata-kata Kok heng jangan keterlaluan. Hek Hong Ciam memang senjata rahasia andalan keluarga Lu. Selama ini hanya diwariskan kepada putera dan tidak pernah kepada anak putri. Meskipun siaute mempunyai seorang putri, tapi ilmu ini belum pernah diajarkan kepadanya!"

   Wajah Kok Hua-hong dingin sekali.

   Dia terdiam sesaat.

   Seakan ada sesuatu yang sedang direnungkannya.

   Perlahan-lahan kepalanya mendongak ke atas dan menatap lentera-lentera yang tergantung di sana.

   Pada waktu itu, para tamu dapat merasakan bahwa penampilan Kok Hua Hong ini sangat lain dari biasanya.

   Sikapnya angkuh dan menyiratkan ketinggian hatinya.

   Kalau dibandingkan dengan sikapnya dahulu, sungguh jauh berbeda.

   Tidak ada seorangpun yang mengerti apa sebabnya orang ini dapat berubah demikian drastis! Dengan demikian, dalam seketika Kok Hua-hong menjadi tokoh yang aneh dan menarik perhatian.

   Pandangan setiap tamu yang hadir semuanya terpusat pada orang ini.

   Seakan seluruh kesombongan, keanehan, kejanggalan yang ada di dunia ini sekarang tertumpu pada diri orang tersebut.

   Sinar mata Liu Seng juga tidak terlepas sedikit pun dari pada Kok Hua-hong.

   Tiba-tiba tubuhnya menggigil.

   Dia merasa orang yang satu ini telah berubah menjadi orang lain yang menyeramkan.

   Apanya yang tidak sama? Justru dia tidak dapat mengatakannya.

   Hanya nalurinya yang membisikkan sesuatu yang janggal pada diri orang itu.

   Tepat pada saat itu, Kok Hua-hong mengeluarkan suatu benda dari balik pakaiannya dan kemudian meletakkannya di atas meja.

   Mulutnya memperdengarkan suara tawa yang dingin.

   "Kalau kau mengatakan Hek Hong Ciam hanya diturunkan kepada anak laki-laki dan tidak kepada anak perempuan, di balik semua ini pasti ada apa-apanya. Tentunya sesuatu yang mencurigakan. Kalau boleh aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Mengapa benda ini dapat tertancap pada diri Tan Ciok-san sepuluh tahun yang lalu kalau kau memang sudah mengundurkan diri dari dunia Kangouw selama belasan tahun? Hm katakatamu itu terlalu menganggap bodoh orang lain!"

   Liu Seng mengedarkan matanya. Hatinya menjadi terkesiap. Benda yang tergeletak di atas meja memang Hek Hong Ciam yang merupakan senjata rahasia andalan keluarganya. Wajahnya berubah semakin kelam.

   "Bagaimana Kok heng bisa mempunyai senjata ini?"

   Tanyanya tanpa sadar..

   Kok Hua Hong tertawa dingin.

   Wajahnya tetap tidak menunjukkan perasaan apa-apa.

   "Bukankah aku sudah mengatakan bahwa Hek Hong Ciam tersebut tertancap pada tubuh Tan Ciok-san? Senjata rahasia ini memang diambil dari tubuhnya dan sudah tersimpan selama sepuluh tahun."

   Liu Seng sampai termangu-mangu mendengar kata-katanya.

   Hal yang sama sekali di luar dugaan justru terjadi pada saat ini.

   Pikirannya langsung bekerja.

   Sebuah ingatan melintas di benaknya.

   Dia sama sekali tidak percaya bahwa sepuluh tahun yang lalu dia pernah menggunakan Hek Hong Ciam dan sekarang dia sudah melupakannya.

   Dia toh belum terlalu tua untuk disebut pikun.

   Wajahnya semakin kelam.

   "Kau berbohong! Tidak di sangka Tian Tai Tiau-siu yang namanya sudah menggetarkan dunia persilatan dapat mengucapkan fitnahan yang sengaja hendak mengacaukan pertemuan ini!"

   Bentaknya marah.

   "Maksudmu cayhe hanya mengada-ada?"

   Tanya Kok Hua-hong tenang.

   "Walaupun tidak demikian, pasti kau mengandung maksud tertentu. Siaute sudah mengasingkan diri selama belasan tahun. Meskipun ilmu silat masih tidak dilupakan begitu saja dan terus berlatih tetapi sama sekali belum pernah menyentuh Hek Hong Ciam. Bagaimana mungkin membunuh orang dengan senjata rahasia tersebut apabila menyentuhnya saja tidak? Lagipula, walau pun Tan Ciok-san merupakan tokoh Kangouw yang tidak tergolong sesat maupun lurus, tetapi dengan aku orang she Liu selamanya tidak ada permusuhan apa-apa. Bagaimana mungkin bisa terjadi perkelahian diantara kami?"

   Sahut Liu Seng tegas. Wajah Kok Hua-hong berubah hebat mendengar ucapannya. Dia langsung bangkit dari tempat duduknya dan menuding kepada Liu Seng.

   "Kalau benar begitu, bagaimana Hek Hong Ciam ini bisa terjatuh ke tanganku? Tolong kau jelaskan bagaimana senjata rahasia ini bisa tertancap di tubuh Tan Ciok-san?"

   Pertanyaannya itu laksana tudingan langsung.

   Liu Seng sampai tertegun dan tidak sanggup mengatakan apa-apa.

   Kenyataannya, dia memang tidak habis pikir bagaimana senjata rahasia andalan keluarganya bisa terjatuh ke pihak lawan.

   Senjata rahasia ini pula yang membuat namanya terkenal di dunia Kangouw berpuluh tahun yang silam.

   Ilmu yang satu ini sangat khas dan unik.

   Tidak sembarang orang dapat melontarkan senjata rahasia semacam itu.

   Ucapan Kok Hua-hong juga membuat para tamu yang lainnya menjadi curiga dan bertanya-tanya.

   Kemudian, tampak Kok Hua-hong melangkah setindak demi setindak mendekati Liu Seng.

   Wajahnya menyiratkan hawa pembunuhan yang tebal.

   Untuk sesaat, suasana yang mencekam seperti menunggu bom waktu yang akan meledak setiap waktu.

   Para tamu yang lain mengerti bahwa Kok Hua-hong segera akan turun tangan.

   Tetapi tidak seorangpun yang sanggup menghalangi.

   Karena urusan ini termasuk masalah pribadi dan mungkin di dalamnya juga terkandung misteri yang belum terungkapkan sehingga mereka merasa tidak enak hati untuk turut campur.

   Dalam keadaan yang genting di mana hati para hadirin sedang tegang, terdengar tarikan nafas Liu Seng yang berat.

   "Siaute mengundang kehadiran para sahabat sekalian, sebetulnya ingin mendapat dukungan untuk menghadapi Cian bin mo-ong.

   Siapa sangka urusan Hek Hong Ciam ini malah menimbulkan perasaan curiga kalian.

   Karena bukti nyatanya memang ada, meskipun siaute terjun ke sungai Huang ho juga tidak dapat melepaskan diri dari masalah ini.

   Tetapi, berdasarkan nama baik keluarga kami yang telah dipupuk selama ratusan tahun.

   Siaute berani menjamin bahwa sepuluh tahun yang lalu siaute tidak merasa pernah menggunakan Hek Hong Ciam ini untuk membunuh siapapun."

   Dalam keadaan terdesak, Liu Seng mengucapkan kata-kata yang asal- asalan saja.

   tetapi justru menimbulkan manfaat yang besar.

   Ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir, pada wajahnya tersirat kepedihan yang tidak terkirakan.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kok Hua-hong tertawa dingin.

   "Di dunia ini terlalu banyak manusia licik yang pandai berpura-pura. Kata-kata yang saudara ucapkan tadi mungkin dapat mengelabui anak kecil berusia tiga tahun, tetapi aku sama sekali tidak mempercayainya!"

   Sahutnya ketus.

   "Jadi kau tetap ingin bergebrak denganku?"

   Sekali lagi Kok Hua-hong mendengus dingin.

   "Kalau tidak memaksa dengan kekerasan, mungkin Liu Lo Enghiong tidak bersedia mengatakan yang sebenarnya!"

   Terdengar suara angin berdesir, tahu-tahu dia melancarkan sebuah serangan yang dahsyat.

   Dapat dibayangkan bagaimana hebatnya serangan orang ini.

   Bahkan cawan-cawan teh yang tergeletak di atas meja dan saat itu memisahkan mereka langsung jatuh berderai karena hempasan angin yang kencang dan menimbulkan suara kerontangan yang bising.

   Tenaga dalam orang ini rupanya juga tidak dapat dipandang enteng.

   Hati Liu Seng terkesiap.

   "Hebat sekali tenaga dalam orang ini!"

   Serunya dalam hati.

   Tangan kanannya langsung diangkat dan menyambut serangan Kok Hua- hong.

   Hantaman ini dilancarkan dalam keadaan terdesak.

   Tiba-tiba terdengar suara Blamm! Yang memekakkan telinga.

   Kedua rangkum tenaga yang dahsyat saling beradu.

   Tubuh mereka terhuyung-huyung, tetapi kaki mereka tidak bergeser setengah langkah juga.

   Kemudian terlihat dua bayangan berkelebat di mana kedua orang ini langsung memisahkan diri ke samping, disusul berpuluh bayangan lainnya yang melintas ke sana kemari.

   Rupanya ketika kedua orang itu bergebrak, para tamu yang lainnya khawatir akan terhempas oleh angin yang timbul dari pukulan mereka.

   Oleh karena itu mereka segera menggeser serabutan dan keadaan pun menjadi gempar seketika.

   Sinar mata Liu Seng terus tertumpu pada diri lawannya.

   Dia tidak berkedip sama sekali.

   Tampaknya Liu Seng juga tidak berani memandang ringan lawannya.

   Setelah beradu pukulan satu kali, dia segera menyadari bahwa kekuatan lawannya tidak berada di sebelah bawah dirinya sendiri.

   Kali ini dia benar-benar bertemu dengan musuh yang seimbang.

   Di pihak satunya, Kok Hua-hong seperti mempunyai pikiran yang tersendiri.

   Sepasang alisnya terjungkit ke atas.

   Dalam keadaan yang genting seperti itu, hidungnya mengendus bau harum daging dan arak.

   Dalam waktu yang bersamaan, Liu Seng juga mendongakkan kepalanya.

   Tampaknya dia juga sudah mempunyai perasaan yang sama.

   Sebab dia langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

   Sementara itu, para tamu yang lainnya juga ikut tertegun.

   Mungkin mereka juga sedang terheran-heran.

   Tiba-tiba terdengar suara tawa terbahak-bahak yang berkumandang memenuhi seluruh ruangan tersebut.

   Suara itu demikian keras sehingga menggetarkan gendang telinga setiap orang yang mendengarnya.

   Tampak sesosok bayangan berkelebat.

   Kibasan lengan baju berkibar- kibar.

   Di tengahtengah Liu Seng dan Kok Hua-hong telah berdiri seseorang.

   Perubahan ini benar-benar di luar dugaan semua orang.

   Ketika mata mereka menatap orang tersebut, tidak ada satu pun yang tidak menunjukkan perasaan terkejut.

   Tanpa sadar Liu Seng dan Kok Hua-hong juga sampai mundur dua langkah.

   Gerakan mereka otomatis terhenti.

   *** ( )*** Bagian 2 Ketika mata mereka beralih, keduanya melihat di hadapan mereka telah berdiri seorang laki-laki yang sudah tua sekali.

   Rambutnya sudah putih semua.

   Pakaiannya penuh tambalan dan sikapnya sungguh menyebalkan.

   Tangan kanannya memegang sebuah paha ayam yang hanya sisa tulangnya saja.

   Sedangkan tangan kirinya menggenggam sebuah kendi arak.

   Mulutnya mengeluarkan suara tawa terkekeh-kekeh.

   Melihat kehadiran orang ini, hampir sebagian besar para hadirin mengeluarkan suara seruan terkejut.

   "Po Siu-cu Cian Cong (si lengan koyak Cian Cong)!"

   Wajah Liu Seng juga berubah hebat.

   Tetapi perubahan wajahnya bukan menunjukkan ketakutan tetapi kegembiraan yang di luar dugaan.

   Tampang orang ini seperti pengemis, raut wajahnya seperti monyet.

   Benar-benar membuat sebal siapapun yang memandangnya.

   Tetapi sejak enam puluh tahun yang silam, namanya sudah menggetarkan dunia Kangouw.

   Orang ini juga disebut sebagai salah satu dari tokoh teraneh zaman itu.

   Siapa sangka hari ini, enam puluh tahun kemudian, secara di luar dugaan dia bisa memunculkan diri.

   Bagaimana hal ini tidak membuat para hadirin terkejut dan gembira? Dengan tergesa-gesa Liu Seng maju ke depan dan menjura penuh hormat.

   Belum lagi dia sempat membuka mulut, Cian Cong sudah mendengus berat, matanya langsung mengerling ke arah lain.

   "Pengemis tua paling benci segala peradatan, pergi sana!"

   Katanya kesal.

   Biar bagaimanapun, Liu Seng merupakan tokoh yang sudah berpengalaman.

   Dia mengerti tokoh aneh yang sudah lama menghilang dari dunia Kongouw ini tidak menyukai segala macam tata krama.

   Oleh karena itu dia hanya mengembangkan seulas senyuman dan menepi ke samping.

   Namun sikapnya tetap terlihat penuh hormat kepada Cianpwe tersebut.

   Begitu matanya memandang, dia melihat paha ayam di tangan orangtua ini hanya tinggal tulangnya saja, tetapi tokoh tersebut masih menggerogotinya dengan nikmat.

   Sampai rasanya sudah tidak ada lagi, dia baru rela memasukkannya kembali ke dalam saku pakaian.

   Sepasang matanya yang menyorotkan kilatan cahaya segera beralih kepada para hadirin kemudian berhenti pada diri Tian Tai Tiau-siu.

   "Apakah kau yang bernama Kok Hua-hong dan bergelar Tian Tai Tiau- siu?"

   Tanyanya dengan nada berat. Kata-kata ini diucapkan dengan perlahan namun mengandung kewibawaan yang tidak terkirakan. Hati Kok Hua-hong langsung berdebar-debar. Perasaannya menjadi tidak tenang. Tetapi dia berusaha menenangkan hatinya yang kacau.

   "Aku memang Kok Hua-hong. Entah Locianpwe ada petunjuk apa?"

   Sepasang alis Cian Cong tampak berkerut. Tampaknya dia mempunyai masalah yang berat yang tidak dapat dipecahkannya. Sejenak kemudian terlihat dia menyunggingkan seulas senyuman.

   "Mengherankan! Pengemis tua sudah lama sekali berkecimpung di dunia persilatan. Hal aneh apapun sudah pernah aku jumpai. Tetapi tidak ada yang lebih aneh dari kejadian malam ini!"

   Mendengar ucapannya, hati Kok Hua-hong semakin kalut.

   Wajahnya berubah hebat seketika.

   Tanpa sadar kakinya mundur dua langkah.

   Melihat gayanya, rasanya dia sudah menghimpun tenaga dalam dan siap melancarkan serangan.

   Sinar mata Cian Cong kembali beredar kepada para hadirin.

   Dia mengeluarkan suara tertawa yang terbahak-bahak.

   Kepalanya menoleh ke arah dinding pekarangan yang tinggi.

   "Hei, turunlah!"

   Teriaknya dengan suara lantang.

   Baru saja ucapannya selesai, dari atas dinding pekarangan melayang turun seseorang.

   Gerakannya sangat cepat.

   Tubuhnya mendarat di atas tanah tanpa menimbulkan suara sedikitpun.

   Kepalanya ditutupi dengan sebuah topi pandan.

   Di pundaknya memanggul sebatang kail yang panjang.

   Siapa lagi kalau bukan Tian Tai Tiau-siu Kok Hua-hong? Begitu mata para hadirin memandang ke arah yang sama, tanpa sadar mereka mengeluarkan suara terkejut dalam waktu yang bersamaan.

   Benar-benar mengherankan! Aneh sekali! Kalau saja mereka tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentu mereka tidak akan percaya bahwa keanehan yang terlihat itu adalah kenyataan.

   Namun buktinya sudah terpampang jelas di depan mata.

   Dua orang Tian Tai Tiau-siu yang persis sama.

   Sekarang mereka berdiri berhadapan.

   Biarpun mereka membelalakkan mata selebar-lebarnya, tetap saja sulit menemukan perbedaan di antara mereka.

   Entah yang mana yang asli dan mana yang palsu! Untuk sesaat terjadi kegemparan di antara para hadirin.

   Puluhan pasang mata menoleh ke kiri dan ke kanan.

   Semakin dilihat hati mereka semakin bingung.

   Wajah mereka pun menyorotkan sinar tertegun.

   Sahabat lama Tian Tai Tiau-siu sekalipun, tetap merasa heran dan tidak dapat membedakannya.

   Suasana tidak mencekam seperti tadi lagi namun hati para hadirin masih menyimpan ketegangan yang dalam.

   Tiba-tiba terdengar suara tawa yang dingin dari mulut Cian Cong.

   "Siapa kau sebenarnya?"

   Tokoh itu membentak dengan suara marah. Yang ditudingnya tentu saja Tian Tai Tiau-siu yang tadi bergebrak dengan Liu Seng. Tampak wajah orang itu beberapa kali berubah dalam waktu yang sekejap saja.

   "Aku adalah aku, memangnya siapa lagi?"

   Sahutnya tenang. Di dalam nada suaranya tetap terkandung keangkuhan. Tampaknya Cian Cong tidak menduga akan diberikan jawaban yang demikian. Dia menjadi tertegun seketika. Tiba-tiba dia mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahakbahak.

   "Meskipun si pengemis tua ini paling membenci kejahatan, tetapi lebih benci lagi terhadap orang-orang yang suka menyembunyikan diri seperti kura-kura. Saudara bukan saja menyembunyikan kepala memperlihatkan ekor, malah sikapmu itu demikian sombong. Benar-benar membuat mata tua ini tidak sanggup melihatnya lebih lama!"

   Orang itu hanya mendengus sekali. Tampaknya dia sedang berpikir bagaimana menjawab perkataan tokoh tua tersebut. Cian Cong segera membuang muka dan mencibirkan bibirnya.

   "Kau tidak perlu memutar otakmu lagi. Lebih baik biarkan si pengemis tua ini yang mengatakan identitas dirimu. Iblis nomor satu Cian bin mo-ong yang namanya menggetarkan hati setiap sahabat dunia Kangouw, aku rasa tidak salah lagi pasti kau adanya!"

   Tampaknya orang itu terkejut sekali. Tanpa sadar kakinya sampai mundur satu langkah.

   "Bagaimana kau bisa tahu?"

   Cian Cong tertawa dingin.

   "Kau sudah mengaku? Si pengemis tua ini mempunyai keahlian melihat raut wajah orang. Urusan sekecil ini saja tidak mungkin dapat mengelabui mata tua ini!"

   Dia merandek sejenak. Hatinya seperti sedang diliputi kebimbangan.

   "Enam puluh tahun sudah, bukan saja si pengemis tua tidak melanggar ketentuan dunia Bulim, si pengemis tua ini juga pantang membunuh. Tetapi demi Cian bin mo-ong, terpaksa aku berkecimpung lagi di dunia Kangouw dan membuka pantangan demi kesejahteraan orang banyak!"

   Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba tampak Cian bin mo-ong mengangkat lengan bajunya untuk menutupi bagian wajah.

   Dengan perlahan-lahan dia membalikkan tubuh dan memutar satu kali.

   Ketika tubuhnya balik pada posisi semula, tangannya pun diturunkan.

   Para hadirin terkejut setengah mati.

   Dalam sesaat, dia bukan lagi seorang tua yang berwajah welas asih.

   Raut wajahnya sudah berubah menjadi seorang laki-laki setengah baya yang bermata sipit.

   Wajahnya garang menyeramkan.

   Dalam sekejap mata, dia sudah merias wajahnya dan berganti rupa menjadi orang lain.

   Keahlian merias wajah dan kecepatan gerakan tangannya sungguh mengagumkan.

   Semuanya terjadi dalam waktu beberapa detik saja.

   Tanpa sadar Cian Cong memandang dengan terpesona.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mulutnya langsung mengeluarkan suara pujian.

   "Sungguh ilmu merias wajah yang hebat! Kalau bukan secara kebetulan si pengemis tua menolong Kok Hua-hong yang jalan darahnya tertotok sehingga tidak sadarkan diri. Tentu sampai sekarang si pengemis tua masih belum berhasil membongkar kedokmu itu!"

   Cian bin mo-ong tertawa sumbang. Ilmuku yang satu ini, apabila mudah dibuka kedoknya oleh orang lain, tentu aku tidak akan mendapat julukan "Iblis Seribu Wajah."

   Wajah Cian Cong agak kelam mendengar ucapannya.

   "Untuk ilmu yang satu ini, si pengemis tua sudah berterus terang menyatakan kekagumaan. Tetapi entah bagaimana dengan ilmu silatmu?"

   Tantangnya secara halus.

   Sepasang alis Cian bin mo-ong langsung mengerut.

   Diam-diam dia berpikir di dalam hatinya "Ilmu silatku ini merupakan hasil curian dari kuburan para angkatan tua Ti Ciang Pang.

   Selama sepuluh tahun aku telah berlatih tanpa mengenal lelah.

   Meskipun sejak berkecimpung di dunia Kangouw, masih belum menemukan tandingan, tetapi sampai di mana sebetulnya ketinggian ilmu silat yang kumiliki, aku sendiri tidak tahu.

   Mengapa aku tidak menggunakan kesempatan ini untuk menguji diriku sendiri? Orang di hadapanku ini disebut sebagai salah satu dari dua tokoh teraneh di dunia ini.

   Baik ilmu silat maupun tenaga dalam pasti sudah mencapai taraf yang hebat sekali.

   Seandainya aku bisa mengalahkan orang ini, tentu harapan untuk membalas dendam ayah akan mudah terlaksana."

   Begitu pikirannya tergerak, dia langsung mengeluarkan seulas senyuman yang mantap.

   "Boanpwe justru ingin mencoba meminta pelajaran dari Locianpwe. Tempat ini agak sempit. Lebih baik kita mengadu kepandaian di luar pekarangan saja!"

   Baru saja ucapannya selesai, tidak tahu bagaimana dia menggerakkan kakinya, tahutahu tubuhnya sudah melesat keluar dari ruangan tersebut dan melayang turun di tengah pekarangan.

   Cian Cong tertawa terbahak-bahak.

   Tubuhnya pun menyusul melayang turun di hadapan Cian bin mo-ong.

   Gerakan tubuhnya begitu cepat bagaikan kilat.

   Tidak ada seorangpun yang melihat bagaimana dia menggerakkan tubuhnya.

   Hanya sekelebat bayangan yang melintas di depan mata mereka.

   Cian bin mo-ong tahu bahwa orang yang ada di hadapannya adalah salah satu dari dua tokoh sakti yang telah menggetarkan dunia persilatan.

   Sinar matanya menatap lekat-lekat.

   Dia sama sekali tidak berani memandang ringan lawannya ini.

   Secara diam-diam dia menghimpun tenaga dalamnya yang kemudian disalurkan pada kedua belah tangan.

   Mata Cian Cong sendiri juga mendelik lebar-lebar.

   Sinarnya yang tajam tertumpu pada diri lawan.

   Dia malah tidak berkedip sama sekali.

   Sepenggal bulan dengan merayap perlahan-lahan muncul dari balik awan kelabu.

   Sinarnya yang redup menyoroti dua sosok tubuh yang berdiri berhadapan tanpa bergerak sedikitpun.

   Keduanya bagai dua patung kayu yang baru saja dibuat oleh orang-orang yang berkumpul di sana.

   Tampak kerumunan orang berbondong-bondong keluar dari dalam aula.

   Mereka memencarkan diri di sekeliling pekarangan ini.

   Berpuluh pasang mata dalam waktu yang bersamaan terpusat pada diri kedua orang yang berdiri berhadapan.

   Mereka seakan merasa bahwa waktu berlalu dengan lama sekali dan mereka mulai penat menunggu.

   Perlu diketahui bahwa si Lengan koyak Cian Cong merupakan tokoh yang sudah menggetarkan dunia Kangouw sejak enam puluh tahun yang silam.

   Kebesaran namanya maupun kehebatannya, tidak ada seorang ta-mu yang hadirpun dapat menandingi.

   Mereka malah dapat dikatakan merupakan dua angkatan lebih muda dari padanya.

   Sedangkan, Cian bin mo-ong belum lama muncul di kancah dunia persilatan.

   Kalau dihitung-hitung mungkin belum ada setengah tahun.

   Tetapi tindakannya selama ini yang tidak kenal ampun terhadap orang-orang yang dianggap sebagai musuhnya, sudah diketahui oleh para hadirin.

   Empat huruf Cian bin mo-ong saja sudah mewakili kericuhan yang terjadi di dunia Bulim akhir-akhir ini.

   Kemunculannya bagai badai dahsyat yang melanda.

   Gelombang ke-kacauan yang dibuatnya menimbulkan kekuatan yang mengerikan para tokoh dunia Kangouw sendiri.

   Sekarang kedua orang yang tidak tersangka-sangka berdiri berhadapan sebagai musuh.

   Yang satu merupakan tokoh aneh yang sudah lama menghilang dari dunia Kangouw, sedangkan yang satunya merupakan tunas baru tetapi sudah cukup menggemparkan.

   Saat itu mereka berdua di hadapkan dengan duel antara hidup dan mati! Siapa yang akan menang? Siapa yang akan kalah? Hal ini justru merupakan pertanyaan yang jawabannya sedang dinantikan oleh para hadirin.

   Juga merupakan masalah yang ingin segera diketahui oleh mereka semua.

   Suasana semakin mencekam.

   Perasaan setiap orang tanpa terasa dilanda ketegangan.

   Setelah terdiam beberapa saat, tampaknya Cian bin mo-ong tidak sabar.

   Mulutnya mengeluarkan suara bentakan keras.

   Dengan gaya kedua tangan menahan di depan dada dia melancarkan pukulannya.

   Serangannya ini benar-benar dahsyat.

   Walaupun gerakan Cian bin mo-ong sendiri tampaknya tidak terlalu gencar namun mengandung segulung arus tenaga yang menimbulkan angin keras.

   Rasanya serangannya kali ini lebih kuat satu tingkat dibandingkan dengan yang pertama ketika bergebrak dengan Liu Seng tadi.

   Cian Cong tertawa dingin.

   Kedua belah tangannya langsung direntangkan ke depan dan menyambut datangnya serangan Cian bin mo-ong.

   Dua gulung tenagapun langsung saling beradu.

   Yang satu mengandalkan kekerasan sedangkan yang lainnya menggunakan daya yang lembut.

   Cian bin mo-ong segera merasakan rangkuman tenaga dalamnya yang dahsyat seperti tertelan oleh tenaga lembut pihak lawan.

   Tenaganya sendiri seakan buyar seketika.

   Hatinya menjadi terkesiap.

   "Entah ilmu apa yang digunakan pengemis tua ini. Mengapa tenaga dalamku seperti buyar begitu menyentuh telapak tangannya dan tidak berwujud sama sekali?"

   Tanyanya dalam hati.

   Meskipun pikirannya tergerak, tetapi dia tidak berhenti begitu saja.

   Cepat-cepat dia melangkah mundur tiga tindak kemudian menghimpun tenaganya kembali dengan menarik nafas dalam-dalam.

   Setelah itu dia melancarkan lagi sekaligus tiga buah pukulan.

   Ilmu silat orang ini merupakan hasil curian dari kuburan para Ciang Bunjin Ti Ciang Pang.

   Kehebatannya benar-benar tidak dapat dibandingkan dengan sembarang orang.

   Begitu serangannya dilancarkan, tenaga yang terkandung dalam setiap pukulan selalu bertambah kuat dibandingkan dengan yang sebelumnya.

   Wajah Cian Cong semakin serius.

   Tampak tubuhnya berkelebat dan dia berhasil menghindarkan diri dari dua pukulan Cian bin mo-ong.

   Kemudian mulutnya mengeluarkan suara bentakan keras.

   Tangannya terangkat ke atas dan disambutnya serangan ketiga dari lawannya.

   Pukulannya kali ini mengandung tenaga dalam yang telah dilatihnya selama puluhan tahun.

   Dia memang sengaja mengadu dengan kekerasan.

   Maksudnya ingin menguji sampai di mana kekuatan Cian bin mo-ong itu sebetulnya.

   Kejadiannya hanya sekejap mata.

   Kecepatannya membuat mata para hadirin berkunang- kunang.

   Begitu serangannya yang terakhir dilancarkan, Cian bin mo-ong segera merasakan telapak tangannya seakan membentur lempengan baja.

   Getarannya membuat pergelangan tangannya menjadi sakit.

   Serangkum tenaga tidak berwujud seperti menolak dari pukulan Cian Gong.

   Hatinya terkejut sekali.

   Keringat menetes dari keningnya.

   Tibatiba dia merasa hempasan angin yang terbit dari pukulan lawannya dengan perlahan menyentuh bagian dadanya.

   Langkahnya menjadi goyah seketika.

   Tubuhnya terhuyunghuyung tanpa dapat dikendalikan.

   Begitu kedua telapak tangan saling membentur, mereka sama-sama menyadari tenaga dalam siapa sebetulnya yang lebih tinggi.

   Terdengar Cian Cong tertawa terbahak-bahak.

   "Cian bin mo-ong yang menggetarkan dunia Bulim, toh tidak lebih dari sedemikian saja. Coba sambut lagi tiga pukulan si pengemis tua ini!"

   Bentaknya dengan suara keras.

   Ucapannya selesai, tiga jurus langsung dilancarkan.

   Rupanya dari benturan tadi dia sudah dapat memaklumi sampai di mana ketinggian ilmu silat orang tersebut.

   Tenaga dalam yang dilancarkan oleh Cian bin mo-ong memang dahsyat tidak terkirakan.

   Tetapi sebetulnya hanya merupakan tong kosong yang nyaring bunyinya.

   Begitu membentur tenaga yang lebih kuat, maka tenaga dalam orang itu pun melemah bagai semangka yang hampir membusuk, dapat dilihat tetapi tidak enak dimakan.

   Tampaknya kekuatan tenaga dalam orang ini tidak dilatih sebagaimana mestinya sehingga kekuatannya tidak dapat menambal kelembutan tenaga dalam yang dilancarkan oleh Cian Cong tadi.

   Dia belum mencapai tahap di mana kelembutan dan kekerasan dapat disatukan.

   Itulah sebabnya Cian bin mo-ong tidak dapat mengendalikan keseimbangannya begitu terhantam pukulan Cian Cong sehingga tubuhnya menjadi ter-huyung-huyung dan hampir terjatuh di atas tanah.

   Tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan yang riuh timbul dari kerumunan para penonton.

   Mereka merasa kagum sekali terhadap ilmu silat yang dikuasai oleh Cian Cong.

   Tanpa sadar mereka mengeluarkan suara pujian dan rasanya ingin sekali meminta tokoh tua tersebut untuk sekali hantam dengan keras di mana Cian bin mo-ong akan terbunuh seketika.

   Tentunya hal ini akan membuat perasaan mereka gembira tidak terkirakan.

   Pertarungan ini sungguh sulit ditemui untuk kedua kalinya.

   Mereka yang sedang berhadapan merupakan orang-orang yang namanya sudah menggetarkan dunia Kangouw meskipun dalam penilaian yang berbeda.

   Mata mereka sampai berkunang-kunang menyaksikannya.

   Sedangkan perasaan dalam hati tetap dilanda ketegangan, ketakutan bahkan kekaguman.

   Tingginya ilmu silat Cian bin mo-ong benar-benar di luar dugaan mereka.

   Apabila malam ini tidak ada tokoh tua seperti Cian Cong yang menampilkan diri, entah apa akibat yang akan mereka hadapi.

   Dalam sekejap mata, lima puluhan jurus telah berlalu.

   Boleh dikatakan hal ini cukup mengherankan.

   Meskipun Cian bin mo-ong kehilangan tenaga dalam untuk menghadapi lawannya, namun setiap kali dalam keadaan terdesak dia langsung menjalankan sebuah jurus yang aneh.

   Hal ini membuat tokoh tua Cian Cong terpaksa menarik kembali serangannya dan kehilangan kesempatan melukai musuhnya.

   Memang aneh sekali.

   Gerakan yang dilakukan orang itu tidak sama dengan umumnya.

   Begitu melihat datangnya serangan, dia tidak mengulurkan tangan untuk menahan maupun memukul.

   Bahkan bagian tubuh yang seharusnya dilindungi dibiarkan terbuka.

   Hanya pergelangan tangannya yang bergerak sedikit namun mengandung kekuatan yang aneh.

   Sehingga setiap kali Cian bin mo-ong melancarkan jurus tersebut, mau tidak mau Cian Cong berpikir untuk menyelamatkan dirinya sendiri terlebih dahulu.

   Dia tidak berani mencoba-coba meskipun kekuatan orang itu meragukan.

   Dengan demikian serangannya pun terpaksa ditarik kembali.

   Rupanya Cian bin mo-ong memang merupakan bocah cilik yang dikisahkan pada awal cerita ini, Tan Ki.

   Setelah mendapat petunjuk dari orangtua yang pernah ditolongnya, dia langsung menempuh bahaya menyelinap ke goa di mana para Ciang Bunjin Ti Ciang Pang dikuburkan.

   Akhirnya dia memang berhasil masuk ke dalam goa tersebut bahkan sempat mencuri belajar enam puluh empat jenis ilmu silat yang tersimpan di dalamya.

   Saat itu usianya masih belia sekali.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Melihat sebatang seruling kuno yang ada di sana, dia langsung mengambilnya dan menyimpannya secara diam-diam, terhadap benda pusaka ataupun harta benda lainnya dia tidak tertarik sama sekali.

   Selama puluhan tahun, dia melatih semua ilmu itu satu per satu sampai berhasil.

   Hanya ada sebuah kitab pelajaran silat yang membuat kepalanya pusing tujuh keliling.

   Kitab itulah yang tidak berhasil dipelajarinya.

   Namun berkat kecerdasan otaknya dia dapat menghapalkan isi kitab tersebut secara luar kepala.

   Ti Ciang Pang sudah berdiri selama enam puiuh empat angkatan.

   Ciang Bunjin yang sekarang, Lok Hong merupakan ketua angkatan keenam puluh empat.

   Dia masih hidup dalam keadaan segar bugar dan otomatis tidak mungkin dibawa ke goa kuburan tersebut untuk menanti kematian.

   Biasanya para tokoh di dunia Bulim selalu mengumpulkan semua ilmu kepandaiannya di dalam satu

   Jilid kitab.

   Jarang ada orang yang menuliskannya sampai dua jilid.

   Sekarang Ti Ciang Pang sudah berlangsung selama enam puluh empat generasi.

   Ketua yang telah meninggal seluruhnya berjumlah enam puluh tiga orang.

   Tetapi terangterangan Tan Ki mendapatkan enam puluh empat

   Jilid kitab ilmu silat. Hal ini menandakan bahwa di dalam goa kuburan itu sebenarnya telah kelebihan satu

   Jilid kitab.

   Kitab yang lebih itu, justru merupakan kitab ilmu pernafasan yang tidak dapat dipahami oleh Tan Ki.

   Bukan anak muda itu saja yang tidak mengerti akan hal ini, bahkan Lok Hong sebagai Ciang Bunjin generasi keenam puluh empat sendiri tidak mengetahuinya.

   Kitab ini sebetulnya sangat tipis.

   Halamannya hanya berjumlah delapan belas lembar.

   Delapan halaman yang di depannya merupakan ilmu pernafasan dari perut.

   Meskipun Tan Ki mengerti membaca dan menulis.

   Tetapi karena tidak ada orang yang memberi petunjuk kepadanya, maka dia tidak dapat memahami secara mendalam.

   Apalagi sepuluh lembar belakangnya yang terdiri dari dua macam ilmu silat.

   Yang pertama bernama Tian Si Samsut (Tiga jurus bentangan langit) dan yang kedua bernama Te Sa Jit-sut (Tujuh jurus hamparan tanah).

   Tampaknya kedua ilmu tersebut merupakan pelajaran silat tingkat tinggi.

   Meskipun karena adanya gambar-gambar yang menerangkan cara menjalankan Tian Si Sam-sut, maka dia bisa belajar sedikit-sedikit, tetapi terhadap Te Sa Jit-sut dia benar-benar buta sama sekali.

   Hal ini bukan berarti dia tidak mencobanya.

   Selama sepuluh tahun entah sudah beribu kali dia mencoba menguraikan ilmu tersebut, tetapi tampaknya dia tidak mendapatkan hasil apa-apa.

   Saat ini dia terdesak oleh pukulan yang dilancarkan oleh Cian Cong sampai kalang kabut.

   Keadaannya sudah gawat sekali.

   Dia sadar apabila diteruskan, tentu dirinya akan celaka.

   Berbagai macam ilmu yang pernah dipelajarinya tetap tidak berhasil melumpuhkan serangan tokoh tua itu.

   sehingga tanpa sadar dalam keadaan terpaksa, tanpa perduli ada manfaatnya atau tidak, secara serampangan dia menjalankan Tian Si Sam-sut tersebut.

   Siapa sangka ketiga jurus bentangan langit itu justru merupakan ilmu perlindungan diri tahap tertinggi.

   Walaupun asal tubruk, nyatanya hasilnya tepat sekali.

   Cian Cong merasakan berpuluh jari tangan melintas di depan matanya.

   Dia sama sekali tidak mendapat akal untuk memecahkan serangan tersebut.

   Dengan demikian dia terpaksa menarik kembali pukulan yang dilancarkannya tadi.

   Biarpun dia berusaha menyerang kembali, kejadiannya tetap menimbulkan hasil yang sama.

   Meskipun ilmu yang dikerahkan oleh Tan Ki hanya terdiri dari tiga jurus, tetapi bolakbalik dia tetap dapat menghindarkan diri dari serangan Cian Cong.

   Dengan demikian ratusan jurus telah berlalu tanpa mereka sadari.

   Bagi Cian Cong sendiri, semakin dilanjutkan hatinya semakin penasaran, semakin lama dia semakin terkejut.

   Dengan nama besar yang telah dipupuknya selama ini dia telah dijuluki salah satu dari dua tokoh tersakti di dunia Kangouw saat ini, tetapi tetap tidak sanggup mengalahkan Cian bin mo-ong.

   Kemungkinan besar, di dalam dunia Kangouw saat ini, kecuali beberapa tokoh yang sudah mengasingkan diri, tidak ada orang lagi yang sanggup menandinginya.

   Meskipun dia tahu bahwa ilmu silat Cian bin mo-ong cukup tinggi tetapi belum terlatih secara sempurna, namun dia tidak tahu kalau orang ini masih mempunyai dua macam ilmu simpanan yang merupakan gabungan yang dahsyat.

   Seandainya Tan Ki berhasil mempelajari kedua macam ilmu tersebut.

   Kemungkinan besar di dunia Kangouw tidak ada orang lagi yang sanggup menandinginya.

   Sayangnya Tan Ki sendiri tidak tahu bahwa ilmu Te Sa Jit-sut adalah sejenis ilmu yang sangat hebat.

   Malah terhadap Tian Si Sam-sut, dia hanya mengerti kulit luarnya saja.

   Sementara itu, pikiran si pengemis sakti Cian Cong segera tergerak, hawa pembunuhan pun memenuhi hatinya.

   Dia langsung mengangkat lengan kanannya.

   Dari mulutnya terdengar suara bentakan yang keras dan sebuah pukulan pun dihantamkan ke depan.

   Orang ini sudah hampir enam puluh tahun mengasingkan diri di pegunungan yang sunyi.

   Setiap hari dia berlatih ilmu silat dan mencoba menyingkap setiap rahasia ilmu yang ada di dunia ini.

   Serangannya kali ini dilancarkan dengan tenaga yang telah dilatihnya selama ini sehingga kehebatannya bisa dibayangkan.

   Dalam waktu yang singkat segera terdengar jeritan mengerikan yang berkumandang memekakkan telinga.

   Tubuh Tan Ki langsung terpental hingga jauh dan memuntahkan darah segar sebanyak dua kali sebelum menghempas tanah.

   Dia sudah kalah.

   Namun kekalahannya dialami dengan kegemilangan.

   Pengemis sakti Cian Cong sudah lama menggetarkan dunia Kangouw.

   Sebagai seorang anak muda yang baru berkecimpung di dunia persilatan, kekalahan yang dialami Tan Ki sama sekali tidak memalukan.

   Pada wajah setiap tamu yang hadir malam itu, terlihat sinar kegembiraan.

   Bibir mereka menyunggingkan seulas senyum kepuasan.

   Tampaknya kematian Tan Ki membawa ketenangan dan keriangan yang luar biasa pada diri mereka.

   Hanya wajah Cian Cong yang bertambah kelam.

   Dia berdiri di tempatnya tanpa bergeming sama sekali.

   Hatinya sangat menyayangkan.

   Seorang tunas muda berilmu tinggi harus mengorbankan nyawa di bawah telapak tangannya.

   Entah berapa banyak ilmu yang harus hilang karena kematian orang ini.

   Sekelompok awan kelabu tiba-tiba melintas di atas kepala para hadirin.

   Keadaan di pekarangan tersebut pun menjadi gelap seketika.

   Dalam hati para tamu menyelinap serangkum firasat yang tidak enak.

   Jangan-jangan Cian bin mo-ong masih belum mati, pikir mereka di dalam hati.

   Mata mereka segera beralih.

   Entah sejak kapan, dengan susah payah Tan Ki sudah merangkak bangun.

   Di sudut bibirnya masih terlihat bekas darah yang mengalir.

   Dia sama sekali tidak bermaksud menghapusnya.

   Malam yang gelap menimbulkan perasaan yang mencekam di dalam hati.

   Tampang Tan Ki saat itu malah menambah keseraman suasana malam itu.

   Tanpa sadar para hadirin melangkah mundur tiga tindak.

   Tubuh mereka menggigil dan bulu kuduk mereka meremang.

   Biar bagaimana pun, nama Cian bin mo-ong masih juga membuat hati mereka tergetar, meskipun pada saat itu dia sedang terluka parah.

   Dengan sebuah telunjuk saja sia-papun dapat mendorongnya hingga terjatuh di atas tanah, tetapi kebesaran nama Cian bin moong selama setengah tahun ini telah menanamkan semacam kengerian di dalam sanubari mereka.

   Hal ini membuat mereka tidak berani mengambil tindakan apa-apa.

   Tepat pada saat itu, Ciong San Suang-siu, Yi Siu dan si gemuk pendek Cu Mei tampak melayang keluar dari kerumunan orang banyak.

   Sepasang alis Tan Ki langsung terjungkit ke atas.

   "Apa yang akan kalian lakukan?"

   Tanyanya dengan nada dingin dan ketus. Suaranya demikian lemah seakan tidak mengandung tenaga sama sekali, tetapi nadanya tetap dingin dan angkuh. Mendengar kata-katanya, Yi Siu langsung tertawa lebar.

   "Hengte tidak tahu diri, ingin meminta pelajaran barang beberapa jurus dari saudara."

   "Aku aku sedang terluka parah"

   "Masa? Kalau begitu malah kebetulan sekali. Hengte tidak perlu mengeluarkan tenaga banyak untuk membunuhmu. Hal ini malah memudahkan pekerjaanku, lagipula sejak hari ini dunia Bulim akan tenang kembali."

   Selesai berkata, tangan kanan Yi Siu langsung terangkat ke atas.

   Tenaga dalam sudah disalurkan pada telapak tangan dan dia bermaksud melancarkan pukulannya.

   Tiba-tiba sepasang mata Tan Ki membelalak lebar-lebar.

   Sinar matanya menyorotkan cahaya kilat yang tajam dan mendelik ke arah Yi Siu.

   Di dalam matanya seakan terkandung kewibawaan yang besar dan kekuatan yang aneh.

   Hati Yi Siu tergetar dibuatnya.

   Tanpa sadar kakinya mundur satu langkah.

   Tampak bibir Tan Ki menyunggingkan seulas senyuman yang dingin.

   "Membunuh seseorang yang tidak sanggup memberikan perlawanan, termasuk pendekar macam apa kau ini?"

   Dalam keadaan emosi, Yi Siu sama sekali tidak memikirkan persoalan ini. Sekarang dia menjadi tertegun.

   "Betul! Lohu selalu menganggap diri sendiri sebagai pendekar yang menjunjung tinggi keadilan. Sekarang Cian bin mo-ong sedang terluka parah. Biarpun dia seorang manusia yang dosanya tidak terampunkan, Lohu juga tidak boleh membunuhnya begitu saja. Hal ini tentu akan menjadi bahan tertawaan para sahabat dunia Kangouw lainnya."

   Katanya dalam hati.

   Pikirannya masih bergerak, hatinya sudah mulai bimbang.

   Tepat pada saat itu terdengar kembali suara Tan Ki "Seandainya saudara takut akan pembalasan dendam di hari nanti, lebih baik mencabut rumput sampai ke akar-akarnya dari sekarang juga.

   Jangan sampai setiap malam saudara di datangi mimpi buruk.

   Angin bertiup, rumputpun akan tumbuh kembali."

   Yi Siu merenung sesaat. Akhirnya dia tersenyum.

   "Kau tidak perlu menggunakan tipu muslihat untuk memanas-manasi hatiku. Dilepaskan atau tidaknya dirimu, ada Cian locianpwe yang akan menentukan. Juga ada Liu heng sebagai tuan rumah yang lebih berhak memutuskan. Hal ini bukan hengte yang dapat menentukan."

   Dengan perlahan-lahan dia menarik tangan Cu Mei dan mengajaknya mengundurkan diri ke tempat semula.

   Mendengar ucapannya, diam-diam Liu Seng mendengus di dalam hati.

   Bagus benar, dengan beberapa patah kata saja kau mengelakkan diri dan menjatuhkan tanggung jawab pada diriku. katanya membathin.

   Setelah merenung sesaat, Liu Seng langsung menjura kepada Cian Cong.

   "Bagaimana menyelesaikan masalah ini, boanpwe serahkan saja kepada locianpwe."

   Katanya.

   Begitu matanya memandang, dia melihat Tan Ki sudah membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu dengan langkah terhuyung-huyung.

   Kakinya seperti berat sekali sehingga jalannya pun sangat lambat.

   Para tamu yang menatap kepergiannya merasa kesal tapi tidak berani mengucapkan sepatah katapun.

   Mereka harus memandang muka Cian Cong dan lagipula masih tergetar akan kebesaran nama Cian bin mo-ong.

   Nyatanya tidak ada seorangpun yang berani turun tangan menghalangi kepergiannya.

   Berpuluh pasang mata menatap kepergiannya.

   Sesosok bayangan punggung yang tegar menjauh dengan perlahan-lahan.

   Diam-diam hati Cian Cong merasa kesepian yang tidak dapat dijelaskan.

   Dia menarik nafas dalam-dalam.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Biarkanlah dia pergi. Orang ini sudah terhantam pukulanku. Isi perutnya sudah terluka parah. Meskipun dia dapat merawatnya sampai sembuh. Dalam jangka waktu tiga bulan, belum tentu ilmu silatnya dapat pulih seperti sedia kala. Untuk sementara ini tidak perlu khawatir dia akan berbuat sesuatu yang menggemparkan"

   Sepasang alis Liu Seng tampak berkerut.

   "Bagaimana kalau sudah lewat tiga bulan?"

   Tanyanya penasaran. Cian Cong tertawa bebas.

   "Si pengemis tua sudah mempunyai pikiran tersendiri untuk mengatasi masalah ini. Untuk sementara kalian tidak perlu banyak bertanya."

   Selesai berkata, dia tidak menunggu jawaban dari Liu Seng lagi, orang-tua itu langsung membalikkan tubuh dan keluar dari pekarangan tersebut.

   Liu Seng dan Ciong San Suang-siu saling lirik sekilas.

   Bibir mereka menyunggingkan seulas senyuman pahit, tetapi langkah kaki mereka justru menuju ke dalam ruangan.

   *** Di bawah cahaya rembulan yang redup, sesosok bayangan tampak bergerak perlahan.

   Dia adalah Cian bin mo-ong, si anak muda Tan Ki! Saat itu dia masih belum merubah wajahnya yang asli.

   Tampangnya masih jelek dan menyeramkan.

   Sungguh membuat hati sia-papun yang melihatnya menjadi muak.

   Dalam keadaan seperti itu dia sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk merubah riasan wajahnya.

   Meskipun dia memiliki kepandaian yang tinggi dalam ilmu merias wajah, tetapi dia tidak bisa menutupi rasa sakit yang diderita akibat luka dalamnya yang parah.

   Di bawah sorotan cahaya rembulan, tampak keringat dingin menetes terus dari keningnya.

   Tan Ki merupakan seorang manusia berhati baja.

   Dengan menggertakkan gerahamnya erat-erat, dia terus mempertahankan diri melangkah.

   Hatinya terus mengeluh.

   "Aku tidak boleh lemah. Aku tidak boleh tumbang begitu saja. Masih banyak urusan yang harus aku selesaikan! Kalau aku sampai terjatuh, maka selamanya aku tidak akan sanggup bangun lagi"

   Dengan membawa tekad yang membara, persis seperti sewaktu dia mendaki puncak gunung yang menuju goa kuburan Ti Ciang Pang, dia terus melangkah tanpa memperdulikan rasa sakit yang semakin terasa.

   Kakinya limbung, tubuhnya gontai dan terhuyung-huyung.

   Dia sendiri tidak tahu arah mana yang ditempuhnya.

   Dia hanya mengikuti langkah kakinya saja Perlahan-lahan dia mulai merasakan sepasang matanya berkunang-kunang.

   Pandangannya menjadi tidak jelas.

   Benda-benda pada jarak tiga cun saja sudah tidak terlihat lagi olehnya.

   Apa yang tertangkap oleh bola matanya hanya bayangan-bayangan.

   Dewa kematian seakan telah menggapaikan tangan memanggilnya dan mendekatinya dengan perlahan-lahan.

   Dia merasa tidak ada kekuatan lagi.

   Meskipun niatnya tetap bergejolak, namun tenaganya sudah terkuras habis.

   Dia benar-benar tidak sanggup lagi Kakinya masih diseret selangkah demi selangkah.

   Dia menggertakkan giginya erat-erat.

   Dia masih berusaha meneruskan langkah kakinya.

   Dicobanya membusungkan dada, tubuhnya malah mengayun-ayun.

   Akhirnya dia terjatuh juga di atas tanah.

   Dia jatuh tidak sadarkan diri! *** ( )*** Entah berapa lama sudah berlalu.

   Perlahan-lahan dia mulai sadar.

   Indera penciumannya segera mengendus serangkum keharuman yang menyegarkan.

   Matanya mulai membuka, lambat-lambat dia membiasakan diri.

   Akhirnya dia melihat dirinya berada dalam sebuah kamar yang mewah.

   Saat itu dia sedang terbaring di atas tempat tidur dan ditutupi sehelai selimut yang tebal.

   Ruangan itu sendiri ditata dengan apik.

   Suasananya membuat orang tidak ingin meninggalkan kamar tersebut.

   Yang anehnya, di sebelah kiri meja ukiran terdapat pula sebuah meja rias.

   Tentunya kamar ini milik seorang gadis.

   Tan Ki demikian terkejutnya melihat kenyataan ini.

   Mengapa aku bisa berada di dalam kamar ini? tanyanya dalam hati.

   Perlahan-lahan dia membangkitkan tubuhnya dan berusaha bangun.

   Namun serangkum rasa nyeri yang tidak terkatakan langsung terasa olehnya.

   Seluruh tulang belulang dalam tubuhnya bagai patah berserakan.

   Aliran darahnya terasa ngilu bagai dirayapi ribuan semut.

   Tanpa tertahankan lagi, dia menjerit kesakitan.

   Kejadiannya hanya sekejap mata.

   Namun keningnya langsung dibasahi keringat dingin saking sakitnya.

   Nafasnya sampai tersengal-sengal.

   Tiba-tiba, telinganya menangkap nada suara yang merdu "Kau sudah sadar?"

   Kata-kata ini diucapkan dengan nada lembut.

   Orang yang mendengarnya serasa terbuai dan mendapat perhatian yang besar.

   Perlahan-lahan Tan Ki mendongakkan wajahnya.

   Orang yang berdiri di hadapannya ternyata seorang gadis yang cantik jelita! Dandanannya tidak menyolok, bentuk alisnya indah, matanya bersinar lembut, begitu cantiknya sampai sulit diuraikan menjadi kata-kata.

   Penampilan gadis itu begitu polos sehingga membuat dirinya semakin menawan.

   Hati Tan Ki menjadi terlonjak.

   Wajahnya menjadi merah padam.

   Dia menganggap dirinya sebagai seorang pendekar sejati.

   Tetapi dia justru begitu tidak sopan memandang seorang gadis dengan terpana.

   Dia merasa malu dengan sikapnya sendiri sehingga cepatcepat memalingkan wajahnya dan tidak berani memandang lagi.

   Gadis itu mencibirkan bibirnya.

   Terdengar suara tawanya yang halus.

   "Rupanya kau ini pemalu juga,"

   Katanya. Tan Ki merasa telinganya menjadi panas. Kepalanya ditundukkan rendah-rendah.

   "Di mana ini?"

   Tanyanya lirih.

   "Tentu saja rumahku. Siang tadi aku menemukan kau tergeletak pingsan di taman. Cepat-cepat kupanggil pelayan untuk menggotongmu ke mari. Suhu pernah mengatakan bahwa menolong orang adalah perbuatan yang baik"

   Tan Ki memaksakan seulas senyuman di bibirnya.

   "Terima kasih atas bantuan kouwnio, kelak pasti akan kubalas."

   Baru berkata sampai di situ, tiba-tiba dia seperti teringat akan sesuatu.

   Tanpa sadar bibirnya mengeluarkan seruan, dia langsung mengangkat tangan dan meraba wajahnya.

   Perbuatan yang tidak terduga-duga itu membuat sang gadis terkejut sekali.

   "Apa yang tidak beres?"

   Tanyanya gugup. Tampak Tan Ki menghela nafas lega.

   "Tidak apa-apa."

   Dia memang ahli sekali dalam ilmu merias wajah.

   Dia dapat merubah wajahnya hanya dalam waktu beberapa detik saja.

   Tetapi obat itu hanya dapat dipergunakan dalam jangka waktu dua belas kentungan.

   Selewatnya waktu itu, dia akan kembali pada wajah aslinya.

   Sedangkan Tan Ki tidak tahu sudah berapa lama dia tidak sadarkan diri.

   Barusan ingatan itu terlintas di benaknya, untung saja daya kerja obat itu masih belum luntur.

   Wajahnya saat itu masih jelek dan menyeramkan seperti sebelumnya.

   Terdengar suara tawa yang merdu dari mulut gadis itu.

   "Mengapa kau bisa terluka?"

   Sikap gadis ini sangat wajar.

   Suara tawanya bagai irama lonceng yang merdu.

   Keseluruhan dirinya sangat mempesona.

   Hati Tan Ki jadi berdebardebar.

   Semacam perasaan yang sulit dilukiskan menyelinap di sanubarinya.

   Cepat-cepat dia menenangkan perasaannya.

   "Cayhe terluka oleh pukulan si Lengan Koyak Cian Cong,"

   Sahutnya lirih.

   "Aduh memangnya kau anggap siapa Cian Locianpwe itu, mengapa kau sampai berkelahi dengannya? Setahuku, dia paling membenci kejahatan dan selalu membela kebenaran. Kalau begitu, tentunya kau ini orang jahat"

   "Di bilang terlalu baik, tidak, tetapi juga tidak terlalu jahat."

   Sahut Tan Ki. Mendengar kata-katanya, gadis itu langsung tertawa cekikikan.

   "Cara bicaramu lucu juga,"

   Begitu tertawa, tampaklah dua baris giginya yang putih bersih.

   Bentuknya juga indah dan di bawah sorotan cahaya lampu minyak yang terdapat di atas meja malah tampak berkilauan.

   Rupanya hari sudah menjelang malam.

   Sinar mata Tan Ki bertemu dengan pandangan gadis itu.

   Perasaan yang aneh tadi kembali merayap dalam hatinya.

   Perasaannya menjadi bergejolak, pikirannya seperti melayang-layang sehingga dia sendiri tidak tahu pasti apa yang sedang melintas di benaknya.

   Justru ketika dia sedang termenung-menung itulah, terdengar kembali suara tawa gadis itu yang merdu.

   "Aku ada sedikit urusan dan ingin keluar sebentar. Apabila kau menginginkan sesuatu, kau boleh berteriak saja. Oh ya, namaku Mei Ling"

   Tiba-tiba dari luar terdengar suara langkah kaki yang membuat kata-katanya terputus.

   Angin yang berhembus membawa serangkum keharuman yang lain.

   Tahu- tahu di dalam kamar itu sudah bertambah seorang gadis yang juga sangat rupawan.

   Sepasang alisnya lebat dan hitam.

   Pinggangnya kecil sekali seperti bisa putus apabila dia melenggok terlalu kencang.

   Penampilannya lebih lincah dan matanya berbinar-binar.

   Dia memakai gaun panjang dengan motif kembang-kembang.

   Tampak dandanannya seperti seorang hamba pelayan.

   Mei Ling tersenyum-senyum, jari telunjuknya menuding ke arah gadis tersebut namun wajahnya menatap Tan Ki.

   "Dia bernama Cen Kiau-hun. Kedudukannya memang disebut pelayan, tetapi hubu-ngan kami sudah seperti saudara kandung. Sejak kecil kami dibesarkan bersama-sama."

   Katanya menjelaskan. Tampaknya pelayan bernama Kiau Hun itu tidak suka melihat tampang Tan Ki yang jelek. Sepasang alisnya mengerut ke atas.

   "Dia toh sudah sadar, mengapa tidak disuruh pergi saja?"

   Gerutunya sebal.

   "Aku sudah mencekokinya dengan tiga butir pil Siau Fan-tan. Meskipun orangnya sudah sadar, tapi luka dalamnya belum sembuh sama sekali. Walaupun dia dapat berjalan, tetapi lukanya parah sekali. Di mana dia dapat mencari tempat peristirahatan yang tenang. Apalagi tidak ada orang yang merawatnya. Bukankah sama saja kau menyuruh dia menunggu kematian?"

   Sahut Mei Ling. Kiau Hun terlihat panik sekali mendengar kata-katanya.

   "Aduh, Siocia membiarkan dia di tempat ini bukan jalan yang baik. Nanti kalau Suhu datang"

   Dia seperti teringat akan sesuatu yang tidak boleh dibicarakan. Kata-katanya jaili terhenti seketika.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Benar mengapa aku sampai melupakan hal ini? Seumur hidupnya, Suhu paling benci orang laki-laki. Kalau sampai dia melihat orang ini, tentu urusannya bukan main-main lagi. Jadi kita harus bagaimana?"

   Sahu Mei Ling gugup. Kiau Ilun merenung sejenak. Tiba-tiba matanya bersinar terang.

   "Aku ada akal, tapi terpaksa membiarkan dia menderita beberapa saat."

   Baru saja ucapannya selesai, dia maju dua langkah, dengan mendadak tangannya terulur dan menotok.

   Gerakan tangan gadis ini sangat cepat.

   Tetapi kalau pada hari biasa, mungkin Tan Ki masih bisa mengelakkannya, namun ke-adannya sekarang sedang terluka parah.

   Tubuhnya tidak dapat digerakkan dengan leluasa.

   Tiba-tiba dia merasa dua urat darah di bagian pinggangnya seperti kesemutan, belum lagi sempat mulutnya mengeluarkan suara keluhan, orangnya sudah jatuh tidak sadarkan diri.

   Kiau Hun telah menotok urat nadi bisu dan tidurnya.

   Dengan bekerja sama, mereka berdua menggotong tubuh Tan Ki dan menyelusupkannya ke bawah tempat tidur.

   Setelah itu alas tempat tidur tersebut dirapikan kembali sehingga tubuh Tan Ki tidak terlihat sama sekali.

   Kiau Ilun langsung tertawa terkekeh-kekeh.

   "Biar dia tidur dengan nyenyak.

   Lagipula dia juga tidak dapat bersuara.

   Meskipun pendengaran Suhu sangat tajam, juga tidak mungkin mengetahui bahwa ada orang yang disembunyikan di bawah kolong tempat tidur."

   Keduanya pun tersenyum dengan saling berpandangan.

   *** Keesokan paginya, kedua gadis itu mengantarkan kepergian Suhunya sampai di depan halaman.

   Setelah itu mereka masuk kembali ke dalam kamar dan menyeret Tan Ki keluar dari kolong tempat tidur.

   Begitu mata mereka memandang, keduanya langsung berseru terkejut.

   Bahkan mereka sampai melangkah mundur beberapa tindak.

   Sesuatu yang aneh telah terjadi! Yang dilihat oleh mereka bukan lagi laki-laki bertampang jelek dan menyeramkan tadi malam, tetapi yang sekarang diseret keluar dari kolong tempat tidur justru seorang pemuda yang tampan sekali.

   Alisnya berbentuk golok, hidungnya mancung dengan bibir yang tampak indah dipandang.

   Pakaiannya masih sama dengan laki-laki yang kemarin, tetapi kedua gadis itu hampir tidak dapat percaya kalau dia merupakan orang yang sama.

   Untuk sesaat, keduanya tidak dapat mengatakan apa-apa.

   Keduanya berdiri tertegun dengan mata saling pandang.

   Sekian lama mereka terdiam.

   Kejadian ini terlalu aneh.

   Mereka tidak tahu kalau Tan Ki menggunakan sejenis obat untuk merias wajah.

   Setelah waktunya habis, wajahnya akan kembali seperti semula.

   Lama lama sekali.

   Akhirnya Mei Ling tertawa merdu.

   "Orang ini benar-benar pintar membuat wajah setan untuk menakuti kita. Ayoh kita angkat dia ke atas tempat tidur dan tanyakan masalah ini sampai jelas."

   Katanya.

   Saat itu juga, rasa sebal dan benci di dalam Kiau Hun seperti sirna entah ke mana.

   Malah ada semacam perasaan aneh yang menghinggapi hatinya, seperti jantungnya berdegup dengan cepat dan perasaannya juga tersipu-sipu.

   Kalau anda adalah seorang gadis, tentu anda tahu bagaimana perasaan Kiau Hun saat itu.

   Mungkin semacam gairah yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

   Sejak kecil Kiau Hun dibesarkan bersama-sama Mei Ling.

   Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, yang mereka lakukan hanya membaca syair atau memetik harpa di dalam kamar.

   Kadang-kadang mereka bermain di taman rumah itu, seperti berlari-larian atau menangkap kupu-kupu.

   Mereka jarang bertemu dengan orang asing.

   Paling-paling para pelayan laki-laki dalam gedung itu.

   Tetapi mereka semua adalah penduduk desa yang tidak mampu dan kasar.

   Sedangkan Kiau Hun merasa dirinya cukup cantik dan berpendidikan cukup, apalagi Mei Ling menganggapnya sebagai saudara sendiri, mana mungkin dia memandang sebelah mata terhadap para laki-laki yang bekerja di dalam gedung tersebut.

   Di tambah lagi Suhu mereka yang mempunyai adat aneh.

   Dia sangat membenci kaum laki-laki.

   Sedangkan Mei Ling lebih suka menyendiri setelah menginjak remaja.

   Gadis itu tekun sekali berlatih ilmu silat.

   Dia bahkan jarang bertemu dengan ayahnya sendiri.

   Hal ini membuat Kiau Hun merasa kesepian.

   Taman belakang di mana Mei Ling tinggal tidak pernah diinjak orang lain.

   Ketika mereka masih kecil, mereka sering main bersama-sama.

   Saat itu Kiau Hun masih belum merasakan apa-apa.

   Namun setelah menginjak usia dewasa, hatinya semakin bergejolak.

   Seakan ada sesuatu perasaan yang terpendam di dalam hatinya.

   Namun karena dia giat berlatih ilmu silat, perasaan itu masih dapat ditekannya.

   Gejolak dalam hatinya menjadi samar-samar saja.

   Tetapi begitu melihat Tan Ki, seluruh hatinya langsung terpaut pada anak muda tersebut.

   Perasaan dalam hatinya yang terpendam selama ini seakan meledak seketika.

   Sebetulnya keadaan ini tidak berbeda dengan perasaan Tan Ki ketika pertama kali melihat Mei Ling.

   Hanya bedanya, kalau yang laki-laki hampir sepuluh tahun berdiam di pegunungan yang sunyi dan berlatih ilmu silat tanpa mengenal waktu karena memendam dendam bagi ayahnya.

   Sedangkan yang perempuan seperti dipingit sehingga merasa hatinya hampa dan kesunyian.

   Namun diantara kedua laki-laki dan perempuan tersebut, masing-masing mempunyai kekaguman dan niat yang berbeda.

   Di antara mereka bertiga, hanya Mei Ling yang paling lugu dan polos.

   Dia sama sekali tidak mengetahui kalau dalam waktu semalam saja di dalam hati kedua orang telah tumbuh benih asmara yang tujuannya berbeda.

   Pertama-tama melihat Tan Ki, Kiau Hun memang terkejut setengah mati.

   Tetapi setelah rasa terkejutnya hilang, hatinya dipenuhi perasaan kagum dan terpesona akan ketampanan wajah anak muda tersebut.

   Akhirnya kedua orang itu tersentak dari lamunan dan menggotong Tan Ki ke atas tempat tidur.

   Meskipun Mei Ling adalah seorang gadis yang polos serta lincah, namun dalam masalah hubungan antara laki-laki dan perempuan, dia tetap berpegang teguh pada adat yang kolot.

   "Hun moay, kau bebaskan dirinya dari totokanmu."

   Katanya dengan tersipu-sipu.

   Kiau Hun tersenyum manis.

   Tangannya terulur perlahan dan dia menepuk dua kali pada tubuh Tan Ki.

   Terdengar suara keluhan dari mulut anak muda tersebut.

   Lambat laun dia tersadar.

   Sinar matahari yang terang membuat matanya silau.

   Hampir saja dia tidak dapat membuka sepasang matanya.

   Setelah lewat beberapa saat, dia baru mulai dapat melihat lebih jelas.

   Tampak dua orang gadis yang cantik jelita berdiri di hadapannya.

   Yang satu lembut dan tersipu-sipu.

   Sedangkan yang satunya lagi supel dan sikapnya agak terbuka.

   Pemandangan ini membuat perasaan Tan Ki seakan masih terbuai di alam mimpi.

   Dia berusaha menenangkan hatinya.

   Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya "

   Dia memberanikan diri membuka mulut.

   "Di mana ini?"

   Pertanyaannya tetap sama dengan tadi malam. Tetapi adanya sinar mentari membuatnya sadar bahwa satu hari telah berlalu. Kiau Hun tertawa lebar.

   "Lok Yang. Gedung keluarga Liu di Lok Yang."

   Sahutnya. Mendengar kata-katanya, Tan Ki terkejut sekali. Badannya langsung bangkit tegak.

   "Lok Yang? Apa hubunganmu dengan Bu Ti Sin-kiam Liu Seng?"

   Tanyanya cepat.

   "Beliau adalah ayahku."

   Sahut Mei Ling.

   Wajah Tan Ki berubah hebat mendengar keterangannya.

   Untuk sesaat dia menjadi termangu-mangu bagai sebuah patung.

   Tampaknya dia seperti mendapat pukulan bathin yang hebat.

   Mulutnya terbuka lebar tapi tidak ada sepatah katapun yang keluar.

   Dia adalah putri musuhku, bagaimana aku bisa membiarkan dia merawat luka dalamku ini? pikirnya dalam hati.

   Begitu pikirannya tergerak, entah mendapat tenaga dari mana, tiba-tiba dia melonjak turun dari atas tempat tidur.

   Gerakannya yang tidak disangka-sangka itu benar-benar di luar dugaan Mei Ling maupun Kiau Hun.

   Keduanya terkejut setengah mati.

   "Apa yang akan kau lakukan?"

   Kata-kata yang mereka ucapkan sama. Namun maksud hati mereka berbeda. Kalau Mei Ling digugah oleh perasaan kependekarannya sehingga mencemaskan keadaan Tan Ki, Kiau Hun malah menganggapnya sebagai kekasih hati. Tan Ki tertawa sumbang.

   "Tidak usah perdulikan aku!"

   Sahutnya ketus. Mei Ling menjadi panik sekali.

   "Luka dalammu belum sembuh. Apabila banyak bergerak, kemungkinan akan menjadi parah kembali."

   Katanya gugup. Dengan gaya kenes, Kiau Hun segera menghadang di depan Tan Ki.

   "Harap Siangkong naik kembali ke atas tempat tidur. Meskipun kami kakak beradik tidak mengerti ilmu pengobatan, tetapi kami pasti akan mencarikan obat yang mujarab bagimu"

   Sikap Tan Ki sangat keras kepala. Apa yang ia yakin tidak boleh dilakukan, tidak ada seorangpun yang dapat mengubah niatnya. Melihat Kiau Hun menghadang di depannya, hawa amarah dalam hatinya meluap seketika.

   "Minggir!"

   Kakinya melangkah, dan menerjang ke depan.

   Kiau Hun tahu, apabila dia turun tangan, pasti Tan Ki akan berhasil tercekal olehnya.

   Namun dia takut hal ini malah akan menimbulkan kesalahpahaman dalam hati anak muda tersebut.

   Lagipula, apabila dia sampai kesalahan tangan, luka Tan Ki akan lebih parah lagi.

   Melihat Tan Ki menerjang ke arahnya, dia malah tidak berani sembarangan turun tangan, hanya tubuhnya menggeser ke samping memberi jalan untuk anak muda itu.

   Dalam sekejap mata saja tubuh Tan Ki sudah melesat keluar dari kamar tersebut.

   Hati Kiau Hun panik sekali.

   Untuk sesaat dia tidak dapat menentukan apa yang harus dilakukannya.

   Kelopak matanya membasah, tanpa terasa air matanya mengalir dengan deras.

   Mei Ling hanya memandang punggung Tan Ki dengan termangu-mangu.

   Dia juga tidak tahu harus berbuat apa.

   Dia tidak mempunyai pengalaman sama sekali.

   Menghadapi keadaan seperti ini, dia malah bertambah bingung.

   Dia juga mencemaskan keadaan Tan Ki.

   Dia masih belum menyadari bahwa Kiau Hun sudah panik sampai mengeluarkan air mata.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tampak bayangan tubuh Tan Ki terhuyung-huyung di ujung tangga.

   Hampir saja dia terhempas jatuh di atas tanah.

   Kedua gadis itu terkejut setengah mati, dalam waktu yang bersamaan keduanya berserabutan menerjang keluar.

   Rupanya ketika Tam Ki menerjang keluar dari kamar tersebut, dia hanya mengandalkan perasaannya yang dipenuh emosi.

   Juga karena hatinya yang angkuh serta tidak sudi menerima pertolongan dari putri musuhnya.

   Tetapi karena dia terhantam pukulan Cian Cong sehingga terluka parah, meskipun Mei Ling sudah berusaha menyalurkan hawa murni ke dalam tubuhnya, tetapi lukanya masih belum sembuh sama sekali.

   Karena sikapnya yang keras kepala, dia langsung menerjang keluar dari kamar.

   Tiba-tiba tenaganya seperti membuyar.

   Kedua kakinya lemas dan tidak mau diajak berkompromi.

   Setelah menge-luarkan suara jeritan, tubuhnya langsung terguling di undakan tangga dan menggelinding sampai ke bawah.

   Begitu terjatuh, kepalanya langsung terasa pusing tujuh keliling, matanya berkunangkunang.

   Seluruh aliran darah dalam tubuhnya seakan bergejolak.

   Ketika Mei Ling dan Kiau Hun sedang terkejut, dia sudah terguling jatuh ke lantai bawah.

   Terdengar suara seperti orang muntah, tahu-tahu Tan Ki sudah menyemburkan segumpal darah segar.

   Biji matanya bergerak-gerak.

   Dia jatuh tidak sadarkan diri lagi.

   Lukanya yang masih belum sembuh menjadi parah kembali.

   Perubahan mendadak ini, sejak semula memang sudah berada dalam dugaan kedua gadis tersebut.

   Tetapi mereka tidak mengira terjadinya demikian cepat.

   Terdengarlah suara seruan terkejut dari mulut mereka yang keluar dalam waktu bersamaan.

   Tanpa bersepakat terlebih dahulu, keduanya langsung menghambur ke bawah.

   Ilmu ginkang Mei Ling lebih tinggi.

   Dia yang sampai dahulu di sisi Tan Ki.

   Dia membungkukkan tubuhnya dengan maksud membopong anak muda tersebut.

   Tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benaknya.

   Antara laki-laki dan perempuan ada batas tertentu yang tidak boleh dilanggar.

   Dengan panik dia menyurutkan kembali tangannya yang sudah terulur.

   Pada saat yang sama, wajahnya tampak merah padam.

   Dengan tersipu-sipu dia menundukkan kepalanya dan tidak berani memandang ke arah Tan Ki.

   Kiau Hun yang menyusul di belakang tidaklah demikian halnya.

   Dia langsung membopong tubuh anak muda itu tanpa memperdulikan urusan lainnya.

   Perlahan-lahan dia membawa anak muda itu kembali lagi ke atas loteng.

   Dia merasa pangkal lengan, tangan dan dadanya menempel dengan tubuh anak muda itu.

   Ada semacam perasaan yang aneh bergejolak dalam hatinya.

   Darahnya seakan berdesiran.

   Wajahnya menjadi merah seketika.

   Perasaannya menjadi tidak tenang.

   Dia sendiri tidak mengerti apa yang dirasakannya, namun perasaan itu sulit sekali dihilangkan.

   *** Bagian 3 Di bagian atas telah diceritakan tentang Tan Ki yang menerjang keluar dari kamar dalam keadaan emosi sehingga bergulingan di atas tanah dan jatuh tidak sadarkan diri lagi.

   Dalam keadaan pingsan, tentu saja Tan Ki tidak dapat mengingat apapun.

   Entah berapa lama dia tidak sadarkan diri, ketika matanya membuka, samar-samar dia melihat sesosok bayangan yang duduk dihadapannya.

   Dia adalah si gadis pelayan yang cantik, Kiau Hun.

   Keringatnya yang harum terus menetes, nafasnya memburu, wajahnya merah padam.

   Di bawah sorotan lampu yang remang-remang, wajahnya tampak jauh lebih cantik.

   Rupanya dia sedang menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh Tan Ki.

   Maksudnya tentu saja untuk membantu agar luka dalam yang diderita pemuda itu dapat segera disembuhkan.

   Mei Ling berdiri di sudut kamar.

   Sepasang tangannya meremas-remas sehelai sapu tangan.

   Bibirnya digigit-gigit sendiri, tampaknya dia juga sangat mengkhawatirkan keadaan Tan Ki.

   Saat itu sudah menjelang malam, kegelapan mulai menyelimuti luar jendela.

   Lampu minyak yang dipasang di atas meja bergerak-gerak, suasana yang sudah tegang menjadi semakin menegangkan.

   Lama sekali.

   Terdengar Kiau Hun menarik nafas panjang.

   Diangkatnya lengan baju untuk menghapus keringat yang membasahi kening dan dahinya.

   Kemudian dia menolehkan kepala dan berkata kepada Mei Ling "Siocia, mari, kau beri sedikit bantuan kepadanya."

   Mendengar ucapannya, Mei Ling menjadi serba salah. Untuk sesaat dia termangumangu.

   "Ini ini"

   Watak gadis ini masih seperti kekanak-kanakan.

   Tapi dia memegang teguh sekali pendirian bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh bersentuhan, kecuali mereka suami isteri.

   Dia merasa tidak pantas menempelkan tangan pada tubuh seorang pemuda yang tidak dikenalnya meskipun untuk membantunya menyembuhkan luka dalam.

   Oleh karena itu dia hanya berdiri termenung tanpa berani melangkahkan kakinya mendekati.

   Kiau Hun tidak sabar melihat sikapnya.

   Terpaksa dia mengerahkan tenaga membantu Tan Ki menyembuhkan luka dalam seorang diri.

   Sebetulnya dia sudah merasa lelah sekali.

   Tetapi dia terus menempelkan telapak tangannya ke dada Tan Ki untuk membuyarkan darah yang membeku di tempat tersebut.

   Tiba-tiba terdengar suara keroncongan dari perut Tan Ki.

   Seperti juga suara air yang beriak-riak.

   Mei Ling seperti teringat sesuatu hal.

   Mulutnya mengeluarkan suara terkejut.

   "Aduh dia sudah sehari semalam tidak mengisi perutnya dengan sebutir nasi pun.

   Mungkin saking laparnya dia bisa jatuh pingsan!"

   Teriaknya gugup.

   Tanpa menunggu jawaban dari Kiau Hun, dia segera berlari keluar dari kamar dengan tergesa-gesa.

   Tidak berapa lama kemudian dia sudah kembali lagi dengan sebuah mangkok keramik di kedua tangannya.

   Saat itu, luka Tan Ki sudah sembuh seba-giannya.

   Meskipun dia sekarang menggunakan wajah aslinya, tetapi kedua gadis di hadapannya tidak tahu kalau dialah yang di sebut Cian bin mo-ong yang namanya menggetarkan hati setiap orang Kangouw.

   Mei Ling meletakkan mangkok keramik tersebut di atas meja.

   Bibirnya mengembangkan seulas senyuman yang manis.

   "Sudah sehari semalam kau tidak makan apa-apa. Aku sengaja membuatkan semangkok sup biji teratai untukmu. Makanlah selagi masih hangat. Dengan demikian tubuhmu akan kuat kembali."

   Tan Ki mendengus dingin.

   "Aku tidak mau makan!"

   Sahutnya ketus. Nada suaranya begitu datar, seolah dia adalah seorang manusia yang tidak mempunyai perasaan sama sekali. Mendengar nada suara dan kata-katanya, kedua gadis itu jadi tertegun.

   "Kenapa?"

   Tanya mereka serentak. Tampang anak muda itu juga begitu dingin. Dia mengalihkan mukanya ke arah lain dan tidak memandang kedua gadis itu sedikitpun. Perasaan Kiau Hun lebih peka. Dia segera dapat menduga apa yang tersirat di dalam hati Tan Ki.

   "Siangkong, tampaknya kau mempunyai anggapan yang buruk terhadap keluarga Liur tanyanya cepat. Tan Ki hanya tertawa dingin. Belum lagi dia mengucapkan apa-apa, sudah terdengar seruan terkejut dari mulut Mei Ling.

   "Betul. Kemungkinan besar ada ganjalan yang tidak menyenangkan antara dirinya dengan ayahku."

   "Urusan kemarin"

   Sebetulnya Tan Ki ingin mengungkapkan identitas dirinya, tetapi tiba-tiba dia teringat dirinya sedang terluka parah dan sekarangpun belum sembuh sama sekali.

   Kalau sampai kedua gadis itu mengeroyoknya, dia pasti tidak dapat menahan sekali saja pukulan mereka.

   Maka begitu pikirannya tergerak, ucapannya pun dihentikan setengah jalan.

   Kiau Hun malah merasa penasaran.

   Dia langsung mendesak anak muda itu.

   "Ada apa dengan urusan kemarin?"

   Tan Ki tidak tahu kedua gadis itu selalu dipingit di dalam rumah.

   Mereka tidak banyak mengetahui urusan luar.

   Kehadiran Cian bin mo-ong yang menggemparkan tadi malam pun, mereka tidak tahu sama sekali.

   Tetapi Tan Ki mengira mereka pura-pura bodoh.

   Oleh karena itu, dia langsung tertawa dingin.

   "Urusan kemarin boleh kau tanyakan saja pada orangtuamu."

   Selesai berkata, dia langsung bangkit dari tempat tidur.

   Tetapi lukanya masih belum sembuh, di tambah lagi perutnya sudah kosong sehari semalam, begitu kakinya mencapai tanah, dia langsung merasa kepalanya pening.

   Anggota tubuhnya lemas sekali.

   Kakinya limbung, hampir saja dia terjatuh kembali.

   Namun Tan Ki memang mempunyai sikap yang tinggi hati.

   Dia tidak sudi menunjukkan kelemahannya di hadapan kedua gadis tersebut.

   Oleh karena itu, dia menggertakkan giginya erat-erat.

   Dipaksakannya kakinya untuk terus melangkah.

   Dia merasa bagian dadanya perih sekali.

   Kadang-kadang menghilang dan terkadang timbul kembali.

   Tanpa sadar, sepasang alisnya mengerut menahan sakit.

   Keringat dingin menetes dari keningnya.

   Hati Kiau Hun panik sekali.

   Dia tidak memperdulikan tata krama lagi.

   Tangannya terulur dan mencekal lengan Tan Ki.

   "Kau tidak boleh pergi!"

   Katanya gugup. Pikiran Tan Ki sedang melayang-layang. Dia seakan tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Kiau Hun.

   "Apa?"

   Setelah berkata, Kiau Hun agak menyesal.

   Wajahnya merah padam.

   Siapa sangka Tan Ki malah tidak mendengar dengan jelas sehingga menanyakan sekali lagi.

   Hal ini membuatnya semakin malu.

   Hatinya berdebar-debar.

   Tanpa sadar dia melepaskan cekalan tangannya pada lengan anak muda tersebut.

   Kepalanya tertunduk dan tidak sepatah katapun terucap dari bibirnya.

   Begitu cekalan Kiau Hun terlepas, Tan Ki langsung menerobos keluar dari kamar.

   Mei Ling seperti sedang memikirkan sesuatu.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dia memandangi bayangan punggung Tan Ki dengan termangu-mangu.

   Tetapi dia tidak menghalanginya.

   Kiau Hun semakin panik.

   "Siocia, masa kau biarkan dia pergi begitu saja?"

   Tanyanya bingung. Mei Ling menarik nafas panjang.

   "Kalau dia memang berniat meninggalkan tempat ini, biarkanlah dia pergi."

   Katanya lirih.

   Kiau Hun tertegun.

   Segulung perasaan yang pedih menyelimuti hatinya.

   Kelopaknya membasah.

   Air matanya hampir mengalir.

   Dia sadar dirinya tidak ingin berpisah dengan anak muda tersebut.

   Tetapi dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

   Tampaknya seluruh cinta kasih gadis itu ikut terbawa oleh kepergian Tan Ki.

   Begitu dia menolehkan kepalanya, dia melihat Mei Ling masih tetap termenung.

   Dia tidak tahu apa yang dipikirkan oleh gadis itu.

   Tapi dia menduga tentunya sebuah urusan yang penting dan janggal baginya.

   Suasana di dalam kamar terasa pengap.

   Kepedihan seakan tidak mau ketinggalan mengiringi.

   Kedua gadis itu tidak ada sa-tupun yang membuka mulut.

   Dengan mata terbelalak mereka memandang ke arah pintu.

   Dia sudah pergi dia sudah pergi hati keduanya seakan tidak berhenti mengeluhkan kata-kata yang sama.

   Tiba-tiba terdengar suara Blamm! Yang keras, disusul dengan sesosok tubuh yang terhempas masuk.

   Kemudian tubuh itu bergulingan dua kali dan menggelinding lagi ke bawah tangga.

   Perubahan ini membuat keduanya terkejut.

   Dalam waktu yang bersamaan, terdengar seruan dari mulut mereka.

   Begitu mata memandang, rasa terperanjat semakin merayap di hati mereka.

   Orang yang terhempas jatuh itu tidak lain dari pada Tan Ki yang baru melangkah keluar tadi.

   Tampak matanya mendelik lebar-lebar.

   Rahangnya digertakkan erat-erat.

   Mulutnya membuka, segumpal darah segar langsung muncrat keluar.

   Sepanjang undakan tangga terciprat semua.

   Sungguh suatu pemandangan yang mengerikan! Kejadian ini berlangsung dalam sekejap mata.

   Kedua gadis itu masih merasa terkejut.

   Belum lagi mereka mengerti apa yang telah terjadi, kembali sesosok bayangan berkelebat dan satu orang lagi masuk ke dalam ruangan.

   Rambutnya sudah memutih semua, panjang tergerai sampai ke bahu.

   Tubuhnya kurus sekali.

   Dia mengenakan pakaian bermotif kembang-kembang berwarna hijau.

   Tangannya membawa sebuah tongkat berbentuk aneh, wajahnya jelek sekali.

   Persis seperti burung gagak yang dikatakan sebagai burung pembawa berita kematian.

   Mei Ling dan Kiau Hun yang melihat munculnya nenek tersebut, terkejut setengah mati.

   Keduanya langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapannya.

   "Suhu!"

   Panggil mereka serentak. Nenek tua itu mendengus satu kali. Dia tidak menyahut panggilan mereka. Tangannya malah menunjuk ke arah Tan Ki.

   "Nenek kira kau mempunyai kehebatan yang tidak terkirakan. Tidak tahunya kebisaanmu hanya sedemikian saja."

   Tan Ki marah sekali mendengar ucapannya.

   "Mau bunuh, silahkan! Tidak perlu banyak omong. Kalau kau terus memaksa, aku akan memaki-maki dirimu!"

   Nenek tua itu tertawa dingin.

   "Bagus sekali, aku Ciu Cang Po (Nenek kurus bertongkat) ingin melihat sampai di mana kerasnya tulang belulangmu!"

   Tongkatnya yang aneh langsung diangkat ke atas.

   Terdengar suara hembusan angin yang keras dan tongkatnya segera menyapu ke arah Tan Ki.

   Tenaga dalamnya sangat hebat.

   Begitu melancarkan serangan, kecepatannya bagai kilat.

   Suara angin yang timbul menderu-deru.

   Mei Ling dan Kiau Hun melihat gurunya turun tangan dalam keadaan marah.

   Tanpa sadar keduanya berseru terkejut.

   Mereka langsung berdiri.

   Tetapi gerakan tangan Ciu Cang Po demikian cepat.

   Seadainya mereka berniat menolongpun pasti tidak keburu lagi.

   Hati mereka tercekat.

   Tangan keduanya langsung terangkat ke atas dan tidak berani melihat apa yang bakal terjadi.

   Mereka sadar serangan gurunya ini paling tidak mengandung kekuatan sebesar ribuan kati.

   Biarpun tulang Tan Ki lebih keras lagi juga tidak akan sanggup menahannya.

   "Habislah tamatlah riwayatnya kali ini"

   Kata mereka di dalam hati.

   Dalam sekejap mata, suara angin yang timbul dari tongkat Ciu Cang Po memenuhi seluruh ruangan tersebut.

   Dia melihat anak muda itu tetap memejamkan matanya dengan tenang.

   Dia tidak berusaha mengelak atau menghindar.

   Hatinya penasaran sekali.

   Pergelangan tangannya memutar, dengan panik dia menarik kembali serangannya.

   Mei Ling dan Kiau Hun mengintip dari balik lengan baju.

   Melihat keadaan yang sudah berubah, hati mereka menjadi agak lega.

   Keduanya menarik nafas dalam-dalam.

   Kemudian sinar mata merekapun saling pandang.

   Terdengar suara bentakan Ciu Cang Po yang memekakkan telinga.

   "Mengapa kau tidak menghindar ataupun menyambut seranganku? Apakah kau benarbenar tidak takut mati?"

   "Kematian bagiku tidak ada yang perlu ditakuti."

   Sahut Tan Ki tenang.

   "Benar?"

   Tanya Ciu Cang Po kurang percaya.

   "Kalau kau sanggup turun tangan terhadap seseorang yang tidak bisa melawan, mengapa tidak coba-coba saja? Aku orang she Tan mengaku diri sendiri sebagai laki-laki sejati. Apabila aku mengerutkan kening sedikit saja, anggaplah aku sebagai binatang anjing yang paling menjijikkan."

   Watak Ciu Cang Po juga sangat sombong. Mendengar ucapan Tan Ki, hawa amarah dalam dadanya meluap seketika.

   "Bagus! Biar nenek tua lihat sampai di mana kekerasan hatimu!"

   Bentaknya keras.

   Terdengar lagi suara angin berhembus.

   Dengan sekuat tenaga Ciu Cang Po menghantamkan tongkatnya.

   Kalau saja tongkat tersebut sampai mengenai tubuh Tan Ki, anak muda itu pasti akan mati dengan kepala gepeng.

   Dalam keadaan genting tiba-tiba tubuh Kiau Hun melesat ke depan secepat kilat.

   "Suhu, tunggu dulu!"

   Teriaknya gugup. Ciu Cang Po marah sekali.

   "Minggir!"

   Bentaknya.

   Telapak tangan kirinya menghantam.

   Tubuh Kiau Hun terdorong.

   Sedangkan tongkat di tangan kananya terus meluncur mengancam kepala Tan Ki.

   


Antara Budi Dan Cinta -- Gu Long Rahasia Iblis Cantik -- Gu Long Lima Jago Luar Biasa -- Sin Liong

Cari Blog Ini