Dendam Iblis Seribu Wajah 2
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 2
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya dari Khu Lung
Jurang kematian semakin menganga lebar! Keadaan sudah sedemikian gawat! Untuk sesaat, keadaan semakin menegangkan.
Kiau Hun yang terdorong oleh telapak tangan Ciu Cang Po merasa lengannya ngilu.
Tapi dia tidak mengalami luka sedikitpun.
Matanya menatap suhunya yang sedang menggerakkan tongkat untuk menghantam kepala Tan Ki.
Hatinya terkesiap sekali.
Dia menggertakkan rahangnya erat-erat.
Tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung menerjang ke depan.
Gerakannya itu begitu cepat bagai sambaran kilat.
Tepat pada saat itu juga, hatinya telah mengambil sebuah keputusan.
Tampak gadis itu mengulurkan telapak tangannya dan menghantam pergelangan tangan Ciu Cang Po.
Serangannya ini mengandung seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya.
Kehebatan maupun kecepatannya benar-benar mengagumkan.
Gerakannya yang tiba-tiba ini sama sekali di luar dugaan Ciu Cang Po.
Bermimpi pun dia tidak pernah kalau muridnya berani melakukan hal tersebut.
Tiba-tiba dia merasa pergelangan tangannya tergetar, tongkatnya pun melesat dari sasaran dan menghantam tepat di atas tiang kayu di samping Tan Ki.
Praak! Terdengar suara gemuruh, pecahan kayu berhamburan.
Tiang penyangga loteng itu patah seketika.
Beberapa orang langsung tertegun.
Ciu Cang Po tidak pernah membayangkan muridnya berani menentangnya secara terang-terangan.
Bahkan menghantam pergelangan tangannya.
Meskipun tenaga dalamnya tinggi sekali, namun pukulan yang tidak terduga-duga itu membuat tangannya menjadi sakit.
Bahkan Tan Ki juga ikut terpana.
Dia tidak menyangka bahwa seorang gadis yang tidak mengenalnya berani mengkhianati guru sendiri untuk menyelamatkan dirinya dari kematian.
Perlu diketahui, bahwa di dunia Bulim ada sebuah peraturan yang amat keras, yakni tidak boleh mengkhianati guru sendiri.
Tidak perduli siapapun orangnya, hukumannya tetap kematian.
Dosa ini lebih berat dari pada membangkang terhadap orangtua sendiri.
Dalam keadaan panik, Kiau Hun langsung turun tangan menyelamatkan Tan Ki, namun dirinya sudah melanggar dosa yang paling berat di mana dia harus menebusnya dengan kematian.
Yang lainnya menjadi tertegun akan perubahan yang mendadak ini.
Sebaliknya sikap Kiau Hun justru demikian tenang seakan tidak pernah terjadi apapun.
Penampilannya yang acuh tak acuh membuat rasa amarah Ciu Cang Po semakin meluap.
Apa yang kau lakukan?"
Bentaknya kesal. Tampaknya Kiau Hun agak menyesal juga. Perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya dan tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Begitu marahnya Ciu Cang Po sampai
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
sampai rambutnya yang berwarna putih berjingkrakan ke atas. Mulutnya mengeluarkan suara tertawa dingin.
"Bagus muridku yang baik juga berani menentang aku sekarang."
Katanya.
Hati Kiau Hun terasa pedih.
Air matanya langsung mengalir dengan deras membasahi pipi.
Dalam keadaan terdesak, seseorang pasti akan membayangkan banyak persoalan.
Terlebih-lebih masa lalunya.
Saat itu juga, berbagai ingatan melintas di benak gadis itu.
Sejak kecil, dia sudah yatim piatu.
Dia menjual dirinya kepada keluarga Liu sebagai seorang budak.
Sejak kanak-kanak dia sudah biasa mendengar omelan dan berbagai caci maki.
Dia tidak mempunyai hak untuk berbicara ataupun kebebasan sama sekali.
Setelah dewasa, Siocia menerimanya sebagai pendamping.
Kehidupannya berubah lebih layak.
Mei Ling sangat baik kepadanya.
Gadis itu juga menganggapnya seperti saudara sendiri.
Dari seorang budak yang bekerja serabutan, dia mengganti profesi menjadi sahabat karib nonanya.
Sebetulnya dia sudah harus merasa cukup puas.
Hatinya menuntut lebih.
Dia masih terus merasa ti-dak ada sedikitpun kebebasan.
Perasaan rendah diri menyelimuti hatinya.
Entah pada tahun berapa, Ciu CangPo yang berwatak aneh dan keras menerima Mei Ling sebagai murid.
Dia mengatakan bahwa baik Mei Ling maupun Kiau Hun samasama memiliki bakat yang tinggi untuk belajar silat.
Tetapi dia hanya menerima Mei Ling sebagai murid.
Sedangkan dirinya tidak.
Mengapa? Mengapa harus pilih kasih? Tentu saja.
Dirinya hanyalah seorang pelayan yang berkedudukan rendah, sedangkan Mei Ling adalah nona besar.
Kedudukan mereka sudah jauh berbeda.
Apalagi Mei Ling merupakan putri tunggal Bu Ti Sin-kiam seorang pendekar yang namanya sudah terkenal di mana-mana.
Semuanya itu merupakan kelebihan sang nona.
Dia sendiri, tidak ada yang dapat dibanggakannya.
Setelah dia memohon terus menerus, akhirnya Ciu Cang Po bersedia juga menerimanya sebagai murid yang tidak diangkat secara resmi.
Hal ini justru membuat perasaan rendah dirinya semakin mendalam.
Tetapi selama ini dia memendamnya dalam hati.
Dia tidak menunjukkannya di hadapan siapapun.
Saat ini, hanya karena sepatah ucapan Ciu Cang Po yang membuatnya teringat akan nasib dan riwayat hidupnya, untuk sesaat hatinya digelayuti keperihan yang tidak terkirakan.
Tanpa dapat di tahan lagi air matanya mengucur dengan deras.
Perlahan-lahan Kiau Hun mendongakkan kepalanya.
Di pipinya masih terlihat bekas air mata.
"Tecu belum mengenal orang ini secara mendalam. Tetapi hati Tecu tidak rela melihatnya terluka ataupun mati di tangan Suhu. Hal ini disebabkan semacam perasaan yang aneh. Tecu tidak dapat menerangkannya"
Mendengar ucapannya, Ciu Cang Po terkejut sekali.
Hatinya tergetar.
Diam-diam dia berpikir.
Rupanya kau sudah jatuh cinta kepada orang ini, tapi dirimu sendiri masih tidak menyadarinya? Tanpa sadar, dia mengangkat tangannya dan mengelus wajahnya sendiri.
Wajah yang sangat buruk dan menyebalkan Siapa yang sangka kalau tiga puluh tahun yang lalu, wajahnya itu tidak kalah cantiknya dengan wajah Kiau Hun maupun Mei Ling sekarang? Siapa yang nyana kalau wajahnya dulu pernah membuat puluhan laki-laki tergila-gila? Memang benar, dahulunya dia adalah seorang gadis yang cantik jelita.
Banyak sekali tokoh-tokoh Bulim yang menaruh hati kepadanya.
Kemudian, dia mencurahkan seluruh cinta kasihnya kepada seorang pemuda.
Tetapi pemuda itu mengkhianatinya.
Orang itu bukan saja merenggut kesucian dirinya, tetapi juga membuat wajahnya menjadi rusak seperti sekarang ini.
Dari seorang wanita yang cantik jelita, dia berubah seperti seorang nenek sihir yang menyeramkan.
Perasaan sakit dalam hatinya tidak teruraikan oleh kata-kata! Setiap kali teringat akan hal ini, ingin rasanya dia membunuh habis seluruh laki-laki yang ada di dunia ini.
Justru karena hal ini pula, ketika Tan Ki berjalan keluar sampai di halaman dan tanpa sengaja membentur tubuhnya, dia menjadi kalap.
Yang satu berwatak keras dan tinggi hati.
Yang seorang lagi menderita sakit di hati dan membenci kaum lakilaki.
Karena beberapa patah ucapan yang tidak menyenangkan, mereka langsung berkelahi.
Ciu Cang Po merenungi masa lalunya.
Dia seakan tidak mendengarkan kata-kata selanjutnya yang diucapkan oleh Kiau Hun.
Tiba-tiba terdengar suara Mei Ling yang lembut "Hun moay, kau tidak boleh kurang ajar kepada Suhu.
Cepatlah minta maaf kepada dia orangtua."
Kiau Hun menundukkan kepalanya dalam-dalam. Air matanya masih terus mengalir.
"Tecu menolong orang ini sehingga tanpa sadar menyalahi Suhu. Biar bagaimanapun Tecu menjelaskan, dosa ini sudah tidak terelakkan. Tecu bersedia menerima hukuman dari Suhu."
Wajah Ciu Cang Po dingin sekali.
"Sejak hari ini, kau bukan muridku lagi. Pergilah!"
Ciu Cang Po mengangkat tongkat di tangannya dan mengarahkannya ke ubun-ubun Kiau Hun.
Tentu saja nenek itu bermaksud memusnahkan seluruh ilmu silat yang dimilikinya.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang memekakkan telinga.
Serangkum tenaga yang dahsyat menyusul setelah suara bentakan dan terhantam ke arah Ciu Cang Po.
Perubahan ini memang terjadi secara mendadak, tetapi Ciu Cang Po seakan telah menduganya.
Dengan marah dia membentak "Bocah busuk, kau benar-benar ingin mati?"
Tongkatnya segera bergeser dan disapukan ke samping.
Kekuatan tenaganya mengandung kekejian yang tidak terkirakan.
Tan Ki menarik kembali jurus serangannya dan mundur beberapa langkah.
Dia mengerti keadaannya sekarang sangat lemah.
Tenaga dalamnya hampir musnah.
Mana mungkin dia berani mengadu kekerasan dengan nenek tua itu? Namun gerakannya tadi sudah menyelamatkan Kiau Hun dari kecacatan tubuh yang akan dialaminya apabila ilmu silatnya dimusnahkan oleh Ciu Cang Po.
Keadaan semakin menegangkan.
Mei Ling melihat keadaan semakin lama semakin kacau.
Ingin rasanya dia mencegah, tetapi tidak tahu harus berbuat bagaimana.
Dia masih berdiri di sudut dengan mata jelalatan dan hati cemas.
Begitu pandangannya beralih, dia melihat Tan Ki dan Ciu Cang Po sudah mulai bergebrak.
Dalam sesaat, suara sapuan tongkat dan hantaman telapak tangan terdengar silih berganti.
Tenaga dalam Tan Ki masih terpaut jauh dengan Ciu Cang Po.
Dengan tangan kosong menghadapi tongkat nenek kurus, dia semakin terjepit keadaannya.
Setelah belasan jurus, dia mulai terdesak dan kondisinya mulai membahayakan.
Waktu merayap dengan perlahan-lahan.
Hawa kematian semakin terasa.
Secara menyolok dapat terlihat jelas, bahwa yang akan kalah dalam pertarungan ini pasti Tan Ki.
Air mata Kiau Hun mengalir semakin deras.
Dia berdiri mematung tanpa bergerak sedikitpun.
Pikirannya seperti melayang-layang.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kadang-kadang bibirnya tersenyum.
Kadang-kadang wajahnya kembali muram.
Ada kalanya dia mengangguk seorang diri.
Tampaknya dia masih belum menyadari bahwa Tan Ki dan Ciu Cang Po sudah mulai bergebrak.
(Bersambung ke
Jilid 3)
Jilid .
3 Dia sedang membayangkan kehidupannya di masa mendatang.
Bencana? Keberuntungan? Kesedihan yang menggerogoti seumur hidup? Atau kebahagian yang abadi? Dia tidak tahu.
Dia juga tidak dapat menduganya, tetapi dia rela membayangkannya dengan khayalannya sendiri.
Hanya Mei Ling yang berdiri sambil meremas-remas jari tangannya.
Matanya terpaku memandangi perkelahian di antara kedua orang tersebut.
Dia khawatir gurunya akan dikalahkan, namun dia juga tidak ingin melihat pemuda itu terluka.
Tidak ada perasaan yang istimewa dalam hatinya.
Dia hanya merasa siapapun yang terluka atau berdarah, tetap bukan hal yang menyenangkan.
Tiba-tiba terdengar Ciu Cang Po mengeluarkan suara tertawa dingin.
Tongkatnya langsung dihantamkan ke depan.
Kekuatannya, sapuannya, mengandung kekejian yang dahsyat.
Dia melihat Tan Ki tidak mempunyai kesempatan untuk menghindarkan diri lagi.
Dalam sekejap mata anak muda itu pasti akan terluka parah.
Hatinya terkejut sekali.
Tanpa sadar Tan Ki mengeluarkan seruan terkejut "Aduh!"
Suara teriakannya membuat Kiau Hun tersentak dari lamunannya.
Cepat-cepat dia menolehkan kepalanya memandang.
Kejadiannya terlalu cepat! Terdengar suara jeritan dari mulut Tan Ki.
Lengan kirinya memutar di udara dan tibatiba telapak tangannya menghantam.
Jurus Tian Ping Tiang Ciang (Prajurit dan Jenderal Langit) yang dikerahkan sangat aneh.
Telapak tangannya meluncur dengan gerakan yang berubah-ubah.
Kadang-kadang seperti menepuk, kadang-kadang seperti mencengkram.
Ciu Cang Po merasa jurus yang dilancarkannya berbeda dengan orang lain.
Seumur hidup dia belum pernah melihat jurus seaneh ini.
Bayangan tangannya berubah menjadi puluhan.
Dia sendiri tidak mengerti bagian tubuh sebelah mana yang diincar oleh anak muda itu.
Hatinya menjadi tercekat.
Cepat-cepat dia menarik kembali serangannya.
Dia tidak tahu bahwa ilmu yang digunakan oleh Tan Ki adalah salah satu jurus dari Tian Si Sam-sut.
Dia hanya merasa kekuatan serangan ini kuat bukan main dan benar-benar di luar dugaannya.
Kenyataan ini membuatnya kebingungan bagaimana harus mengelakkan diri ataupun menangkis.
Ternyata anak muda ini mempunyai beberapa macam kepandaian yang dapat diandalkan, pikirnya dalam hati.
Begitu pikirannya tergerak, perasaan memandang ringan lawannya tersapu bersih dalam hati.
Dia memusatkan perhatian dengan sungguh-sungguh dan menyerang dengan tongkatnya kembali.
Serangannya ini lebih hebat dari yang pertama.
Dia telah melipatgandakan tenaga dalamnya.
Dalam sekejap mata saja Tan Ki sudah terdesak sampai mengucurkan keringat dingin.
Dia hampir kehabisan tenaga untuk membalas serangan.
Dalam keadaan yang genting, kembali dia melancarkan jurus Tian Si Sam-sut yang lain yakni Tian Lo-te Bang (Jerat Langit dan Bumi).
Jurus ini tidak kalah aneh dengan yang sebelumnya.
Lagi-lagi Ciu Cang Po menjadi kelabakan dan terpaksa menarik kembali serangannya.
Beberapa jurus berlalu lagi.
Semakin lama hati Ciu Cang Po semakin cemas.
"Kalau begini terus, sampai kapan aku bisa mengalahkannya? Jangan kata membunuhnya, untuk menyentuh ujung lengan bajunya saja tidak ada peluang sama sekali."
Katanya dalam hati.
Tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benaknya.
Dia seperti sudah menemukan akal yang baik.
Di wajahnya tersirat hawa pembunuhan yang tebal.
Cepat-cepat dia himpun tenaga dalamnya dan menanti kesempatan yang baik.
Ketika telapak tangan Tan Ki meluncur ke arahnya, tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke bagian punggung anak muda itu.
Sambil meraung terdengar raungan yang keras dan sebuah dengusan berat dalam waktu yang hampir bersamaan.
Tampak Tan Ki memuntahkan darah segar dua kali berturut-turut kemudian tubuhnya terhempas di atas tanah.
Rupanya ketika Ciu Cang Po bergerak dengan cepat, hatinya sudah curiga.
Dia segera memutar tubuhnya dan menghantamkan telapak tangannya.
Dengan meraung keras, Ciu Cang Po menggerakkan tangannya dan telapak tangannya menghantam dengan kekuatan penuh yang telah dihimpun sebelumnya.
Tenaga dalam kedua orang itu memang terpaut terlalu jauh.
Dengan cara mengadu pukulan mengandalkan keras lawan keras, otomatis Tan Ki yang mendapat kerugian besar.
Itulah sebabnya dia langsung memuntahkan darah segar sebanyak dua kali.
Baik Kiau Hun maupun Mei Ling terkejut setengah mati.
Keduanya langsung menjerit kaget.
Kiau Hun terlebih-lebih tidak dapat menahan perasaan hatinya.
Air matanya yang sudah mengering mulai mengalir lagi.
Dikiranya Tan Ki sudah mati.
Tanpa berpikir panjang lagi, dia berlari menghambur ke samping anak muda itu dan memeluknya sambil menangis meraung-raung.
Suara tangisannya lebih mirip ratapan kepiluan hatinya.
Mei Ling tidak tahu bahwa cinta kasih Kiau Hun sudah tercurah pada anak muda tersebut.
Senjata atau golok yang setajam apapun tidak akan bisa memutuskan benang kasih yang ada dalam hatinya.
Dia malah mengira Kiau Hun merasa berhutang budi karena anak muda itu tadi telah menolongnya.
Ciu Cang Po berdiri tanpa bergeming sedi-kitpun.
Wajahnya kelam dan tidak enak di lihat.
Tiga puluh tahun yang lalu, dia juga pernah menangis meratap sedemikian rupa.
Dia tidak menyangka kalau tiga puluh tahun kemudian, dia akan menyaksikan pemandangan yang serupa di depan matanya.
Malam semakin larut.
Di luar jendela yang terlihat hanya kegelapan.
Seakan sedang meratapi nasib manusia yang demikian tragis dan menyayat hati.
Tanpa sadar Ciu Cang Po menarik nafas panjang.
Nasib yang dialami Hun Ji hampir sama dengan apa yang kualami tiga puluh tahun yang lalu.
Dia sudah cukup menderita.
Mana boleh aku menepuk ubun-ubunnya untuk memusnahkan ilmu silatnya.
Bukankah hal ini berarti menambah penderitaan yang telah ia rasakan sekarang? pikirnya dalam hati.
Sembari berpikir, matanya melirik ke arah gadis itu.
Kiau Hun sudah menghentikan ratapannya.
Wajahnya yang cantik saat itu seperti tidak memiliki perasaan apa-apa.
Dia sudah memastikan apa yang akan dilakukannya dan tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi.
Kemudian, tampak gadis itu mengulurkan tangannya dan membopong tubuh Tan Ki.
Perlahan-lahan dia berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Langkah kakinya terasa demikian berat.
Lentera yang tergantung bergoyang-goyang.
Seperti sedang menggelengkan kepala melihat cinta kasih kedua pemuda-pemudi itu yang demikian mengenaskan *** ( )*** Bagian 4
"Mau ke mana kau?"
Bentak Ciu Cang Po. Kiau Hun yang baru sampai di depan pintu segera menghentikan langkah kakinya.
"Tecu akan mencari tabib yang sakti untuk mengobatinya"
Kata-katanya berhenti. Sinar matanya beralih sekilas ke arah Mei Ling.
"Di dalam rumah Siocia, Tecu masih merupakan murid engkau orangtua. Tetapi setelah melangkah keluar dari pintu ini, kita tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi terhadap perhatian dan kasih sayang yang telah Suhu curahkan, Tecu tidak akan melu-pakannya seumur hidup."
Perlahan-lahan dia membalikkan badan dan melangkah pergi.
Kata-katanya itu diucapkan dengan nada yang datar, dia seolah sudah tidak perduli lagi terhadap mati hidupnya sendiri.
Meskipun Ciu Cang Po sudah cukup berpengalaman di dunia Kangouw, tetapi menghadapi urusan seperti ini, dia juga tidak tahu bagaimana harus menyelesaikannya.
Mei Ling segera maju beberapa langkah.
"Hun Moay, tunggu dulu!"
Panggilnya. Kiau Hun memalingkan kepalanya. Bibirnya mengulum seulas tertawa yang sumbang.
"Suhu sudah tidak menginginkan aku, untuk apa lagi Siocia memanggilku?"
"Tidak, tidak. Suhu hanya sedang emosi karena perbuatanmu. Maka dia mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hatimu. Nanti kalau hawa amarahnya sudah padam, pasti dia masih menganggap kau sebagai muridnya."
Kata Mei Ling gugup.
"Maksud baik Siocia, budak hanya dapat mengenangnya dalam hati. Tapi watak Suhu bukannya kau tidak tahu. Apa yang sudah diucapkannya, selamanya tidak pernah di tarik kembali"
Mei Ling menarik nafas panjang.
"Sebetulnya, kau tidak perlu memukul Suhu hanya untuk menolong orang itu."
Kembali Kiau Hun tertawa sumbang.
"Demi dirinya, aku rela berkorban apa saja."
Mei Ling jadi tertegun mendengar ucapannya. Dia merasa heran sekali.
"Kenapa? Kau toh tidak ada hubungan apa-apa dengannya?"
Nada suaranya seakan tidak mempercayai kata-kata Kiau Hun.
Kiau Hun tertawa getir.
Dia tidak mengatakan apa-apa.
Perlahan-lahan dia membalikkan tubuhnya dan meneruskan langkah kakinya.
Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan berkelebat dan Ciu Cang Po sudah menghadang di depan pintu.
"Letakkan anak muda itu!"
Katanya tegas.
"Suhu, dia sudah terluka sedemikian parah. Apakah kau benar-benar menginginkan kematiannya baru merasa puas?"
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku bilang letakkan!"
Bentak Ciu Cang Po. Watak orang ini keras sekali. Kata-kata yang telah diucapkannya tidak pernah bisa dirubah oleh siapapun. Mei Ling mengerti sekali sifat gurunya. Tampak dia menarik nafas panjang.
"Hun Moay, letakkan orang itu."
Kiau Hun merasa bimbang sejenak. Tadinya dia sudah hampir meletakkan tubuh Tan Ki di atas tanah, tapi tiba-tiba dia menggertakkan giginya erat-erat.
"Tidak!"
Sahutnya tegas.
"Bagus sekali, kau juga berani membantah apa yang akan kulakukan!"
Kata Ciu Cang Po.
Di wajahnya mulai tersirat hawa pembunuhan.
Kiau Hun seakan sudah dapat menduga bahwa sebentar lagi pasti akan terjadi sesuatu yang mengerikan, namun penampilannya demikian datar dan tenang.
Tidak tampak sedikitpun ketakutan menjelang kematian.
Begitu paniknya Mei Ling sampai-sampai dia terus menggigit bibirnya sendiri.
Hatinya terkejut sekali tetapi dia tidak tahu harus berbuat apa.
Tendengar suara dengusan dingin dari hidung si nenek kurus.
Tongkat di tangannya langsung dikibaskan ke kepala Kiau Hun.
Hati Mei Ling tercekat melihat keadaan itu.
Tanpa sadar mulutnya mengeluarkan suara seruan terkejut.
Kiau Hun sama sekali tidak menghindar.
Dia hanya memejamkan sepasang matanya rapat-rapat dan menunggu datangnya dewa kematian.
Sebetulnya hati gadis ini sadar sekali, biarpun dia berusaha menghindar, tetapi tetap saja dia bukan tandingan Suhunya.
Dari pada dia melanggar dosa melawan guru, lebih baik dia menghadapi kematian dengan perasaan tenang.
Tampak tongkat Ciu Cang Po dengan gerakan yang cepat serta keji menyapu datang.
Tiba-tiba Terdengar suara tertawa yang panjang berkumandang memenuhi seluruh ruangan.
Sesosok bayangan berkelebat di depan mata dan melewati bahunya.
Kumandang suara itu datangnya begitu mendadak.
Gerakan tubuh orang itu tidak terduga-duga.
kembali terdengar suara benturan yang tidak seberapa keras, dan tahu-tahu Ciu Cang Po bersuit marah sambil mundur tiga langkah.
Hatinya tergerak, dia tahu di tempat itu telah kedatangan seorang tokoh berilmu tinggi.
Pandangan matanya beralih, di hadapannya telah berdiri seseorang, rambutnya riapriapan.
Sebelah lengan bajunya koyak sebagian.
Dia adalah seorang pengemis, pakaiannya penuh tambalan.
Tetapi karena dia berdiri membelakangi Ciu Cang Po, nenek kurus itu tidak dapat melihat bagaimana tampang orang itu.
Ciu Cang Po memperhatikan orang itu lekat-lekat.
Hatinya terkejut sekali.
Serangan yang dilancarkannya tadi paling tidak mengandung kekuatan sebesar ribuan kati.
Tetapi dengan mudah orang ini dapat menahan serangannya sehingga buyar begitu saja.
Pengalamannya mengatakan bahwa orang ini bukan tokoh sembarangan dan bukan lawan yang dapat dipandang ringan.
"Siapa kau?"
Bentaknya dengan suara keras.
"Pengemis tua! Orang-orang biasa memanggilku si lengan koyak. Lengan bajuku yang koyak inilah yang menjadi lambang diriku."
Timbul sedikit perasaan tegang dalam hati Ciu Cang Po.
"Rupanya salah satu dari dua tokoh sakti di dunia. Nenek tua benar-benar beruntung dapat berjumpa denganmu di tempat ini!"
Cian Cong mengibas-ngibaskan tangannya.
"Sudahlah, sudahlah. Tidak usah berbasa basi"
Dia memperhatikan sejenak tongkat aneh di tangan si nenek kurus.
"Apakah kau yang dipanggil Ciu Cang Po?"
"Tidak salah!"
"Sebetulnya apa kesalahan kedua bocah cilik ini sehingga kau ingin membunuh mereka? Si pengemis tua sudah hidup sampai setua ini. Kecuali makan dan minum, apapun tidak ada yang bisa kukerjakan. Tadi aku mendengar suara ribut-ribut, aku masih mengira pasangan pengantin baru sedang bertengkar maka sengaja aku menyelinap ke tempat ini untuk menyaksikan keramaian. Tidak tahunya seekor kucing tua sedang menghina dua ekor tikus kecil. Malah tampaknya bangga sekali. Si pengemis tua paling tidak biasa melihat pemandangan seperti ini. Oleh karena itu, aku terpaksa untuk menanyakan persoalannya sampai jelas."
Kata Cian Cong panjang lebar. Ciu Cang Po tertawa dingin.
"Ini merupakan urusan pribadi keluarga kami, kau tidak perlu turut campur!"
Sahutnya ketus.
"Biar bagaimanapun si pengemis tua tetap ingin mencampuri urusan ini. Tidak bisa tidak, harus ikut campur!"
Teriak Cian Cong.
Tampaknya dia seperti mengerti sekali kebiasaan Ciu Cang Po yang aneh dan angkuh.
Sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang membuat amarahnya meluap.
Benar saja! Ciu Cang Po sampai menjingkrakkan kakinya berkali-kali saking jengkelnya.
"Bagaimana kalau aku tidak mengijinkannya?"
"Kalau perlu, kita tentukan lewat perkelahian."
Sahut Cian Cong.
Watak orangtua yang satu ini agak angin-anginan.
Urusan main tinju atau pukul baginya merupakan pekerjaan yang ringan.
Atau mungkin semacam rekreasi yang menyenangkan.
Selesai berkata, wajahnya masih tetap tersenyum simpul seperti orang yang tidak serius menantang lawannya.
Tidak tampak sedikitpun kecemasan tersirat pada mimik wajahnya.
Pandangan Kiau Hun terpusat pada diri orangtua tersebut.
Sinar matanya menyorotkan perasaannya yang kagum sekali.
Kalau aku mempunyai setengah dari sikapnya yang tenang dan santai saja, apabila bertemu dengan musuh tangguh kelak, berarti aku sudah menang satu langkah, pikirnya dalam hati.
Baru saja pikirannya tergerak, tiba-tiba dia merasa tubuh yang digendongnya bergeliatgeliat.
Rupanya Tan Ki sudah siuman dari pingsannya.
Tampaknya dia sama sekali tidak membayangkan kalau dirinya tersadar dari pingsan bisa berada dalam bopongan seorang gadis.
Begitu matanya memandang, wajahnya merah padam seketika.
Perlahan-lahan ia berusaha memberontak dan kemu-dian turun dari gendongan Kiau Hun.
Dalam keadaan panik, dia terlupa akan luka dalam yang dideritanya.
Ketika sepasang kakinya menginjak tanah, dia merasa dadanya sakit sekali.
Hampir saja dia terjungkal ke atas tanah.
Untung saja jarak Mei Ling tidak jauh dengannya.
Begitu melihat keadaan Tan Ki, tangannya bergerak dengan cepat.
Dia mengulurkan pergelangan tangannya dan mencekal anak muda itu, meskipun demikian, Tan Ki sudah kesakitan sehingga mengucurkan keringat dingin.
Kepalanya berdenyutdenyut.
Tiba-tiba Mei Ling tersadar bahwa dirinya adalah seorang gadis suci, tentu tidak pantas memeluk laki-laki seperti itu, wajahnya berona merah, cepat-cepat dia melepaskan tangannya dan mundur setengah langkah.
Meskipun dia masih polos, tetapi segulungan perasaan jengah sebagaimana layaknya seorang gadis tetap saja ada dan hal ini membuat wajahnya jadi tersipu-sipu.
Dengan santai Kiau Hun berjalan menghampiri.
Dia memegang tangan Tan Ki dan berdiri berendengan.
Walaupun di sekitarnya terdapat beberapa orang tetapi dia tidak merasa malu sedikitpun.
Selamanya dia selalu beranggapan, seorang gadis atau wanita juga mempunyai hak untuk menunjukkan rasa senangnya.
Apa yang ingin dilakukan kontan dilakukannya tanpa berpikir dua kali.
Ia merasa tidak perlu berpura-pura, yang akhirnya menyesal sendiri.
Asal perbuatan yang tidak melanggar hukum Thian, boleh saja dilakukan sesuka hati.
Kedua gadis itu tumbuh besar bersama sejak kanak-kanak, tapi cara dan sikap dalam melakukan sesuatu jauh berlainan.
Kalau Mei Ling pemalu dan takut-takut dalam bertindak, maka Kiau Hun supel serta romantis.
Tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar! Di antara Cian Cong dan Ciu Cang Po telah beradu tenaga dalam.
Begitu kerasnya sehingga meja dan kursi dalam kamar itu beterbangan ke mana-mana.
Kedua orang ini telah beradu keras lawan keras.
Ciu Cang Po merasa telapak tangannya menjadi panas, lambat laun terasa nyeri yang berdenyut-denyut.
Serangkum tenaga berarus deras menerpa datang dan tanpa dapat menahan diri lagi, dia tergetar mundur setengah langkah.
Sedangkan di pihak Cian Cong, sepasang alisnya mengerut.
Tubuhnya bergoyanggoyang sejenak.
Begitu keduanya mengadu telapak tangan, kalah menang sudah dapat ditentukan.
Ilmu silat kedua orang ini sebetulnya hampir seimbang.
Hanya Cian Cong lebih tinggi segaris.
Untuk sesaat keduanya berdiri terpaku dengan mata saling pandang.
Mereka tidak bergeming sedikitpun.
Keduanya terpana oleh kehebatan ilmu silat yang dikuasai masingmasing lawannya.
Tentu saja mereka sadar telah bertemu dengan lawan yang setanding.
Tampak kedua pasang mata mereka menyorotkan sinar tajam bagai kilatan cahaya dan menatap lekatlekat pada lawannya.
Mata mereka mendelik tanpa berkedip sama sekali.
Apabila tokoh silat kelas tinggi saling bergebrak, kejadiannya berlangsung dengan cepat.
Begitu telapak tangan beradu, diri mereka segera berpencar kembali.
Dalam sekejap mata, mati hidup sudah dapat ditentukan.
Mereka berdua merupakan tokoh kelas tinggi yang sudah sulit dicari tandingannya di dunia ini.
Mereka sadar kelihaian masing-masing.
Maka dari itu, setelah memencarkan diri, mereka segera menghimpun tenaga kembali dan bersiap-siap untuk melancarkan serangan.
Awan bergerak dan angin berhembus.
Pertandingan yang hebat segera akan berlangsung.
Setelah gelombang tegang yang pertama, kali ini malah terasa suasana sunyi mencekam.
Tidak ada seorangpun yang membuka suara.
Waktu merayap perlahan-lahan Kedua tokoh kelas tinggi itu masih tidak bergerak sedikitpun.
Siapapun di antara keduanya tidak ada yang sudi mendahului lawannya melancarkan serangan.
Mereka bagai mengadu tingkat kesabaran dalam hati masing-masing.
Diam-diam Kiau Hun melirik Tan Ki.
Pemuda itu sedang menatap Mei Ling dengan terpesona.
Matanya sampai tidak berkedip.
Dari sinar matanya menyorot cahaya yang aneh.
Hati gadis itu menjadi tertegun.
Harapannya yang bergairah menjadi mendatar setengahnya.
Dia tidak habis mengerti, dia sudah dua kali menempuh bahaya untuk menolong pemuda ini, tetapi mengapa perhatiannya kepada Siocia lebih besar dan kesannya lebih dalam? Kenapa? Apakah pemuda, ini juga belum paham, walaupun dia sudah mencetuskan perasaannya lewat perbuatan dengan terang-terangan? Rasanya mustahil kalau dia tidak mengerti! Kalau dikatakan bahwa pemuda itu merasa dia menyebalkan, mengapa dia membiarkan tangannya dipegang? Akh betul, Siocia adalah keturunan orang yang berada dan tokoh terkenal, sedangkan aku hanya seorang pelayan yang menjual dirinya pada keluarga tersebut Dengan membawa pikiran demikian, hatinya langsung merasa pedih dan hancur seketika.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya dia mengerti, pandangan orang di dunia ini hanya berdasarkan kulit luarnya saja.
Dengan menempuh bahaya, Kiau Hun telah menyelamatkan Tan Ki sebanyak dua kali.
Tetapi kesan yang ditimbulkannya toh masih kalah dengan asal-usul Mei Ling.
Padahal kesohoran dan kekayaan baginya hanya merupakan nama kosong saja.
Riwayat hidup Kiau Hun sangat mengenaskan.
Perasaan rendah diri di dalam hatinya otomatis lebih hebat daripada orang lain.
Dengan membawa pikiran demikian, tanpa sadar dia melepaskan pegangannya pada tangan Tan Ki.
Perlahan-lahan dia melangkah mundur dua tindak.
Barusan dia sudah membayangkan hal-hal yang indah.
Dia bersedia melewati hidup ini dengan Tan Ki selama-lamanya.
Berdua sampai tua dan tidak terpisahkan lagi Tetapi pada saat ini, ketika dia melepaskan genggaman tangannya dan melangkah mundur, hatinya pun hancur berkeping-keping.
Tan Ki tidak bergeming sedikitpun.
Tadinya dia bersandar pada diri Kiau Hun.
Tetapi waktu ini, matanya sedang terpaku menatap Mei Ling.
Dia malah tidak merasakan ketika Kiau Hun melepaskan genggamannya.
Kiau Hun merasa hatinya dilanda serangkum kepedihan.
Air mata sebesar kacang kedelai menetes turun membasahi pipinya.
Dia merasa kedudukannya lebih rendah daripada orang lain.
Nasib juga seakan dipermainkan oleh kedudukannya Otaknya melintas banyak penderitaan yang dialaminya, tanpa sadar dia tertawa sumbang.
Tawa di sudut bibirnya melambangkan ratusan kuntum bunga yang berguguran.
Pilu dan sendiri Perlahan-lahan dia mengangkat lengan bajunya untuk menghapus air mata yang berderai di pipinya.
"Selamat tinggal, kekasih pujaanku"
Ratapnya dalam hati.
Pinggangnya yang kecil melenggok, sebentar saja dia sudah menghambur keluar dari kamar tersebut.
Dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah menghilang.
Seorang gadis yang malang telah pergi.
Kepergiannya tanpa menimbulkan suara sedikitpun.
Juga tidak seorangpun yang menahan kepergiannya.
Seumur hidup dia belum pernah mencelakai siapapun.
Tetapi, ketika dia pergi secara diam-diam, hatinya yang hancur berkeping-keping pun mengikuti langkah kakinya yang berat.
Sementara itu, di dalam kamar berkumandang dua kali suara yang menggelegar! Cian Cong dan Ciu Cang Po sudah mengadu pukulan lagi.
Keduanya merupakan tokoh kelas tinggi dunia Bulim.
Kehebatan serangan maupun kekuatan tenaga dalam serta cara memukul maupun menahan diri, tidak ada satu pun yang dapat dipandang ringan dan semuanya mengandung kekejian yang mengerikan.
Suara pukulan menghempas-hempas.
Bayangan tongkat membuat mata berkunangkunang, tampak bayangan kedua orang itu kadang melesat ke udara dan kadang melayang turun kembali.
Kadang berputaran dengan cepat dan kadang berjungkir balik membuat salto di udara.
Mei Ling terpesona sekali memandang pertandingan tersebut.
Berkali-kali tanpa sadar dia bertepuk tangan dan berseru.
Bagus! Pandangan mata Tan Ki masih terpusat pada wajahnya.
Seakan dia sedang mencari sesuatu yang masih belum ditemukannya sejak tadi.
Tiba-tiba Mei Ling memalingkan wajahnya dan menatap ke arahnya.
Saat itu juga dua pasang mata bertemu.
Mereka berdua merasa hatinya tergetar.
Cepat-cepat keduanya memalingkan wajah ke arah yang lain.
Dalam waktu yang bersamaan, mereka berdua merasakan wajahnya menjadi panas dan rona merah menjalar sampai ke leher.
Mereka bagaikan baru meminum beberapa cawan arak dan hatipun berdebar-debar.
Sampai saat itu, Tan Ki.
baru menyadari kepergian Kiau Hun.
Mulutnya mengeluarkan suara seruan terkejut dan dia segera membalikkan tubuhnya meninggalkan tempat tersebut.
Dia sadar isi perutnya terluka cukup parah.
Itulah sebabnya dia tidak berani berlari namun berjalan perlahan-lahan.
Mei Ling tidak tahu untuk apa dia keluar dari ruangan tersebut.
Hatinya menjadi penasaran dan dia pun membuntuti dari belakang.
Toh Suhunya sedang bertanding dengan Cian locianpwe.
Ilmu silat keduanya hampir seimbang.
Dalam waktu yang singkat, tentu sulit menentukan siapa yang akan kalah dan siapa yang akan meraih kemenangan.
Di bagian depan, Tan Ki melangkah dengan perlahan-lahan.
Dalam sekejap mata dia sudah sampai di taman bunga.
Tampak cahaya keperakan berkilauan, ratusan bintang bertaburan di langit.
Sungguh malam yang indah.
Segulungan angin yang lembut membawa keharuman bunga yang berlainan jenis.
Di dalam taman itu ditanami bermacam-macam jenis bunga yang indah.
Pemandangannya membuat orang terlena.
Tan Ki seperti tidak tertarik dengan keindahan pemandangan yang terbentang di hadapannya.
Dia hanya ingin menemukan Kiau Hun secepatnya.
Dia berjalan lagi beberapa depa.
Ehem! Begitu matanya memandang, tampak sesosok bayangan hitam berdiri mematung di bawah sebatang pohon yang rimbun.
Dia adalah seorang gadis yang berdiri memunggunginya.
Badannya langsing.
Tampaknya usia orang ini tidak lebih dari delapan belas atau sembilan belas tahunan.
"Cen kouwnio!"
Panggil Tan Ki sambil menghambur ke arahnya.
Dia tidak berani berteriak terlalu keras karena takut akan mengejutkan Bu Ti Sin-kiam Liu Seng.
Kalau sampai asal-usulnya terbongkar, tentu akan datang banyak kesulitan bagi dirinya.
Oleh karena itu sapaanya hanya lirih saja.
Mendengar panggilannya, gadis itu membalikkan tubuh.
Begitu Tan Ki memandang, dia menjadi tertegun.
Pinggangnya memang ramping dan kecil.
Pakaiannya berwarna hitam.
Di punggungnya terselip sebatang pedang panjang.
Sepasang matanya menatap Tan Ki dengan curiga.
Tapi dia bukan Kiau Hun yang dicari oleh anak muda tersebut.
Setelah tertegun beberapa saat, lambat laun Tan Ki mengundurkan langkah kakinya.
"Tunggu dulu!"
Terdengar suara bentakan gadis itu yang dingin dan berat.
Hati Tan Ki tergetar.
Namun dia segera menghentikan langkah kakinya.
Tampaknya nyali gadis berpakaian hitam itu sangat besar.
Dia langsung melangkahkan kakinya menghampiri.
Dalam jarak kira-kira tiga empat cun, dia berhenti.
"Apa hubunganmu dengan keluarga Liu?"
Tanyanya ketus.
"Tidak ada hubungan apa-apa."
Sahut Tan Ki. Perlahan-lahan bibir gadis itu mengembangkan seulas senyuman.
"Bagaimana caranya membuktikan bahwa kata-katamu itu bukan dusta belaka?"
Tan Ki menjadi termangu-mangu.
"Mengapa harus dibuktikan? Aku dan engkau toh tidak saling mengenal"
Dia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan kembali.
"Aku sedang mencari seseorang."
Tiba-tiba gadis itu tertawa dingin.
"Seumur hidupku, paling jarang aku sembarangan berbicara dengan orang lain. Malam ini aku melanggar pantangan dan berbicara agak banyak denganmu. Lebih baik kau tinggalkan tempat ini secepatnya. Jangan sampai menempuh bahaya yang tidak diinginkan. Aku lihat usiamu masih muda, tidak tampak seperti orang Kangouw. Itulah sebabnya aku menasehatimu. Urusan malam ini sangat berbahaya dan lain dari biasanya"
"Benar?"
Mendengar ucapannya, Tan Ki terkejut sekali.
"Kemungkinan iblis yang gemar membunuh orang itu akan datang kembali. Aku justru sedang menantikannya di sini."
Sahut gadis itu.
"Apakah yang Kouwnio maksudkan adalah Cian bin mo-ong?"
"Tidak salah."
Diam-diam Tan Ki menghela nafas lega. Mimiknya yang tegang pun rada mengendur. Aku justru sedang berdiri di hadapanmu. katanya dalam hati. Sementara itu, gadis berpakaian hitam mengibaskan tangannya perlahan-lahan.
"Cepat pergi, jangan mengoceh sembara-hgan di sini."
Tampaknya watak gadis ini sangat tidak sabaran.
Malah terkesan agak angkuh.
Ketika berbicara wajahnya sudah mulai tampak garang.
Kalau saat itu Tan Ki masih tidak pergi juga, kemungkinan akan mendapat gebukan darinya.
Oleh karena itu, Tan Ki segera mengembangkan seulas senyuman dan membalikkan tubuh meninggalkan tempat tersebut.
Tujuannya hanya ingin mencari Kiau Hun, dia tidak ingin ada masalah lain yang timbul.
Lagipula luka dalamnya masih belum sembuh.
Tenaganya pun masih belum dapat dikerahkan sepenuhnya.
Tampaknya dia masih belum sadar kalau Mei Ling masih membuntutinya dari belakang.
Setelah mencari kurang lebih sepeminuman teh lamanya, akhirnya dia melihat bayangan hitam seorang gadis.
Gadis itu terus mondar-mandir di bawah tembok pekarangan.
Dia memang Kiau Hun adanya.
Tampangnya mengenaskan sekali.
Perasaannya bagaikan tertekan.
Tiba-tiba Tan Ki merasa jantungnya berdebar-debar.
Hatinya tegang sekali.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah bimbang sejenak, akhirnya dia melangkah perlahan-lahan mendekati.
"Cen Kouwnio."
Panggilnya lembut.
Mulut gadis itu mengeluarkan suara desahan dan tubuhnya seperti bergetar.
Hatinya merasa terharu.
Banyak sekali kata-kata yang ingin diucapkannya, tetapi tidak ada sepatahpun yang keluar dari mulutnya.
Tan Ki juga memandanginya dengan termangu-mangu.
Dia tidak tahu harus bagaimana memulai percakapan.
Di bawah sorotan cahaya rembulan, dua bayangan tubuh rebah di atas rerumputan tanpa bergeming sedikitpun.
Sinar mata keduanya saling tatap menatap.
Mereka seakan sedang mengukir wajah lawan jenisnya agar terlekat di dalam hati.
Sampai lama tidak ada seorangpun yang membuka suara.
Dalam keheningan saat ini suasana menjadi mencekam.
Begitu sunyinya sehingga terdengar desahan nafas dan degupan jantung kedua orang tersebut.
Perasaan kaum perempuan biasanya memang lebih peka.
Mei Ling yang bersembunyi di balik gunung-gunung buatan mendadak mengerti apa yang sedang berlangsung di hadapannya.
Dia merasa bergairah menghadapi situasi seperti ini.
Juga merasa penasaran.
Tetapi hatinya sangat baik dan sifatnya polos, maka dia seperti samar-samar mengerti tentang urusan hati laki-laki dan perempuan.
Dia tidak pernah membayangkan yang bukan-bukan.
Lama! Lama sekali Tan Ki mencoba membangkitkan keberaniannya.
"Cen Kouwnio, atas budi pertolonganmu tadi, suatu hari pasti akan kubalas"
"Apakah hanya beberapa patah kata itu yang ingin kau ucapkan kepadaku?"
Tan Ki mendongakkan kepalanya.
Dia tiba-tiba merasa bahwa dalam pancaran sinar mata Kiau Hun terkandung perasaan yang hangat dan penuh harapan.
Hatinya perlahanlahan mulai tergetar.
Cepat-cepat dia palingkan wajahnya ke tempat lain dan tidak berani memandang lagi ke arah Kiau Hun.
Setelah hening sesaat lagi, tiba-tiba telinganya mendengar suara yang lembut namun mengenaskan.
"Tan Siangkong, kau kira mengapa aku menempuh bahaya kematian untuk menolong dirimu?"
"Atas perhatian Kouwnio yang dalam, Cayhe pasti akan membalasnya."
Sahut Tan Ki.
Kiau Hun tahu dia sengaja mengalihkan diri dari pokok pertanyaannya.
Yang dijawabnya malah urusan yang lain.
Tanpa sadar dia mengembangkan seulas senyuman yang pilu.
Perlahan-lahan dia menarik nafas panjang.
Dia mengerti bahwa Tan Ki tidak mempunyai perasaan apapun terhadap dirinya.
Tentu saja, hal ini karena riwayat hidupnya yang hina dan membuat orang lain menganggapnya rendah.
Tapi bagaimanapun dia tidak habis pikir mengapa dirinya bisa mencintai pemuda itu demikian dalam? Kenapa? Apakah percintaan antara seorang pemuda dan pemudi demikian rumitnya dan begitu anehnya sehingga dia sendiri tidak sanggup memberi penjelasan kepada dirinya sendiri? Orang dulu sering mengatakan jatuh cinta pada pandangan pertama, mungkin hal inilah yang terjadi pada diriku sekarang. pikirnya dalam hati.
Mengingat hal itu, kembali dia tertawa getir.
Tampangnya menjadi muram tanpa semangat sedikitpun.
Tiba-tiba dia seperti mengingat suatu hal, bibirnya tersenyum.
"Tan Siangkong, kau mengatakan bahwa kau kelak akan membalas budiku. Entah bagaimana cara kau membalasnya?"
Tanyanya. Tan Ki benar-benar merasa di luar dugaan bahwa dia akan mengajukan pertanyaan seperti itu. Dia tertegun beberapa saat.
"Satu budi dibalas satu kali. Ini sudah pasti. Tetapi bagaimanapun harus dilihat dari situasi yang akan dihadapi kelak. Sekarang ini apabila Cayhe disuruh menjelaskan, tentu saja belum bisa."
Sahutnya kemudian. Kiau Hun tersenyum.
"Tidak usah menunggu sampai kelak. Sekarang juga sudah ada, asal kau bersedia saja."
Katanya.
"Cayhe bersedia mendengar penjelasan Kouwnio. Asalkan Cayhe dapat melakukannya, tentu permintaan Kouwnio tidak akan ditolak."
Kiau Hun mengangkat tangannya dan merapikan rambutnya yang terurai angin. Tampak mimik wajahnya seperti tersipu-sipu.
"Aku tidak menginginkan apa-apa darimu. Hanya hanya ingin memeluk dirimu sekejap."
Katanya dengan suara lirih.
Wajah gadis itu menjadi merah padam, kepalanya tertunduk dalam-dalam dan seperti orang yang kemaluan.
Tan Ki sama sekali tidak membayangkan bahwa kata-kata seperti itu dapat terucap dari mulut seorang gadis.
Hatinya terkejut sekali.
Untuk sesaat dia tidak sanggup menyahut sepatah katapun.
Kiau Hun tetap menunggu.
Lama sekali dia tidak mendapat jawaban dari Tan Ki.
Perlahan-lahan dia mendongakkan wajahnya dan bertanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
"Tan Siangkong, apakah kau tidak bersedia memenuhi permintaanku?"
Suaranya demikian pilu, bagai ucapan syair seseorang yang sudah putus asa.
Siapa pun yang mendengarnya pasti turut merasa pilu.
Sinar mata Tan Ki bertemu pandang dengannya sekilas.
Tiba-tiba dia menyadari bahwa sorotan matanya mengandung harapan yang besar.
Juga tersirat kepedihan yang tidak terkatakan, hatinya menjadi lemah, dia tidak tega menyakiti perasaan gadis itu.
Oleh karena itu cepat-cepat dia memejamkan matanya dan menarik nafas panjang.
"Baiklah, aku bersedia memenuhi permintaanmu"
Belum lagi ucapannya berhenti, tiba-tiba dia mengendus keharuman yang terpancar dari rambut Kiau Hun.
Matanya dipejamkan rapat-rapat, dia tidak dapat melihat pemandangan apapun.
Namun dia tetap seorang manusia hidup yang mempunyai perasaan peka.
Dia merasa di dadanya menempel sesosok tubuh yang lembut.
Yang mana dengan perlahan-lahan bersandar padanya.
Perasaannya bagai dihinggapi kegairahan yang panas dalam waktu seketika.
Dikatupnya rahangnya erat-erat.
Hawa murni ia himpun segera.
Diam-diam dia berusaha mengosongkan pikiran agar gairah yang tidak menentu dapat tersapu bersih.
Namun biar bagaimanapun Tan Ki juga seorang perjaka yang belum pernah berpelukan dengan seorang perempuan.
Meskipun dia sudah berusaha sekuat kemampuan, perasaan aneh itu tidak dapat dihilangkan sampai tuntas.
Dia merasa gadis itu memeluknya demikian erat seperti takut sekali kehilangan dirinya.
Sambil memeluk anak muda itu erat-erat, perlahan-lahan Kiau Hun mendongakkan wajahnya.
Matanya menatap Tan Ki lekat-lekat dengan pandangan sayu dan kelopak mengembangkan air mata.
Dia seakan takut Tan Ki akan lenyap dari pandangannya Tetapi, apa yang diharapkannya, pada saat itu juga telah memberinya kepuasan yang tidak terkirakan.
Lambat laun, bibirnya mengembangkan seulas senyuman penuh penderitaan.
Hatinya sadar, kelak dia harus meninggalkan anak muda ini untuk selamalamanya.
Dia berharap dapat memperoleh kelembutan dan kasih sayang sesaat dari pelukan itu.
Kelak, dia tidak mungkin punya harapan dari permohonan lagi, dia ingin menggunakan waktu yang singkat ini dan menjadikan kenangan yang tidak akan terlupakan olehnya seumur hidup.
Cahaya rembulan yang terang menyoroti bayangan mereka.
Satu panjang dan yang satu pendek Mei Ling melihat apa yang sedang berlangsung di hadapannya dari tempat persembunyiannya.
Sepasang matanya yang indah membelalak lebar-lebar.
Semacam perasaan yang aneh seperti kehampaan tiba-tiba merasuki hatinya.
Lambat laun dia merasa wajahnya menjadi panas membara.
Dia sendiri tidak dapat menguraikan apa yang tersirat di hatinya saat itu.
Dia hanya merasa bahwa yang terpendam dalam hatinya pasti adalah sesuatu hal yang memalukan.
Kemudian, pandangan di depan matanya membuat hatinya berdebar-debar, jantungnya berpacu dengan cepat.
Dia merasa bergairah namun jengah.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, perlahan-lahan Tan Ki mendorong tubuh Kiau Hun.
"Cen Kouwnio, ke mana tujuanmu setelah ini?"
Tanyanya lembut. Kiau Hun tertawa sumbang.
"Suhu sudah mengusir aku dari pintu perguruan. Aku sendiri juga tidak tahu ke mana tujuanku. Pokoknya di mana aku sampai, di sanalah tujuanku."
Sahutnya pilu.
"Di mana orangtuamu?"
"Mereka sudah meninggal."
Tan Ki menarik nafas panjang.
"Meskipun kolong langit ini luas sekali, jalanan juga sangat panjang. Tetapi kau tidak mempunyai rumah untuk kembali"
Pada saat itu juga, perasaan ibanya terhadap Kiau Hun terbangkit seketika. Setelah berhenti sejenak dia baru meneruskan kembali kata-katanya.
"Sama halnya dengan diriku, aku juga termasuk yatim piatu. Meskipun aku mempunyai seorang kakak misan yang menikah di daerah Barat, sayangnya sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengannya. Entah sekarang dia masih hidup atau sudah mati."
"Apakah Tan Siangkong bermaksud mencarinya?"
Tanya Kiau Hun.
"Betul."
Hati Kiau Hun menjadi gembira.
"Bagaimana kalau kita jalan bersama?"
Tukasnya segera.
Watak gadis ini sangat terbuka.
Apa yang dipikirkannya dalam hati langsung dicetuskannya keluar.
Lagipula, Tampaknya dia masih belum putus asa mendekati Tan Ki.
Cintanya yang dalam kemungkinan sudah mencapai titik akhir.
Siapa kira, sikapnya yang berani dan terus terang justru membuat Tan Ki merasa tidak tenang.
Dia menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Urusan ini boleh sih boleh saja, tetapi di daerah ini aku masih ada beberapa macam urusan yang harus diselesaikan"
Kiau Hun tidak membiarkan dia melanjutkan kata-katanya.
"Aku bisa menunggu."
Tukasnya cepat.
Mendengar ucapannya, Tan Ki merasa serba salah.
Biar bagaimana dia merupakan wujud asli dari Cian bin mo-ong, mana mungkin dia membiarkan orang tahu identitas dirinya.
Apabila dia berjalan bersama-sama gadis itu, ada kemungkinan rahasianya bisa terbongkar.
Namun melihat tampangnya yang mengenaskan dan penuh harapan, dia merasa tidak sampai hati menolaknya.
Di tundukkannya kepala dalam-dalam sambil berpikir.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya dia menarik nafas panjang.
"Boleh juga, sementara ini kau cari penginapan di tengah kota dan tunggu di sana. Setelah urusanku selesai, aku akan menemuimu di tempat itu."
Kiau Hun segera tersenyum manis.
"Baik, aku akan menunggumu. Sehari kau tidak datang, aku menunggumu satu hari. Sepuluh hari kau belum datang, aku akan menunggumu sepuluh hari. Seumur hidup kau tidak datang, aku akan menunggumu seumur hidup."
Sahutnya. Air matanya yang sebesar kacang kedelaipun menetes turun dengan deras. Tan Ki mengulurkan tangan kanannya dan dengan lembut mengusap air mata di pipinya.
"Jangan curiga, aku bukan manusia semacam itu."
Katanya menghibur. Sembari menangis, Kiau Hun mengembangkan seulas senyuman.
"Aku pergi sekarang, aku akan menunggu di sebelah barat kota setiap hari."
Dia membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.
Sekejap saja bayangannya sudah menghilang dari pandangan.
Orangnya memang sudah pergi, tetapi cinta kasihnya yang dalam masih tertinggal.
Tan Ki memandangi bayangan punggungnya sampai menghilang di kejauhan.
Dia berdiri termangu-mangu sesaat.
Kemudian dia melangkahkan kakinya yang berat dan kembali ke rumah Mei Ling.
Dia masih tidak sadar bahwa Mei Ling sudah mendahuluinya beberapa saat.
Sekejap mata dia sudah sampai di kamar gadis itu.
Begitu mata memandang, dia melihat Cian Cong dan Ciu Cang Po masih bertarung dengan sengit.
Ini merupakan pertarungan kelas tinggi di antara dua tokoh yang namanya sudah menggetarkan dunia persilatan! Meskipun dalam hal tenaga dalam Cian Cong masih menang setingkat dari Ciu Cang Po, tetapi mengenai jurus pukulan ataupun tendangan, sulit membandingkan siapa yang lebih hebat diantara keduanya.
Sampai saat ini, ribuan jurus telah berlalu, namun masih belum tampak pihak mana yang akan tumbang terlebih dahulu.
"Bertarung dengan cara seperti ini, sampai kapan baru ada penyelesaiannya?"
Kata Tan Ki dalam hati.
Pikirannya masih bertanya-tanya, tiba-tiba Ciu Cang Po mengeluarkan suara suitan panjang.
Tongkatnya yang aneh melancarkan tiga jurus berturut-turut, Cian Cong sampai terdesak mundur sejauh dua langkah.
Nenek itu pun segera melesat keluar dari arena.
"Tunggu dulu! bentaknya. Cian Cong mendelikkan sepasang matanya lebar-lebar.
"Teriak apa, si pengemis tua masih belum puas berkelahi!"
Sahutnya kesal. Wajah Ciu Cang Po semakin kecut. Dia menunjuk ke arah luar jendela.
"Coba kau lihat, sekarang sudah waktu apa?"
Cian Cong mengikuti arah telunjuknya. Tanpa sadar mulutnya berseru terkejut.
"Akh rupanya sudah pagi. Masa bodoh! Pokoknya kita harus bertarung lagi sebanyak tiga ratus jurus!"
Sepasang telapak tangannya memutar, dia sudah bersiap-siap melancarkan sebuah serangan. Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang lantang "Locianpwe, harap berhenti sebentar!"
Kumandang suaranya masih belum sirap, dari luar kamar telah terdengar suara derap langkah kaki.
Tampak bayangan berkelebat, secara berturut-turut masuk tiga orang ke dalam kamar itu.
Tan Ki menolehkan kepalanya.
Pertama-tama masuk Bu Ti Sin-kiam Liu Seng ke dalam kamar dengan tergesa-gesa.
Ciong San Suang-siu, Cu Mei dan Yi Siu mengikuti di belakangnya.
Tenyata Cian Cong mempunyai sikap yang ugal-ugalan.
Dia tidak pernah memperdulikan segala tata krama atau etiket.
Seorang diri dia berjalan ke taman bunga dan kemudian duduk terkantuk-kantuk di tempat tersebut.
Tadi malam secara berturutturut Ciu Cang Po memukul hancur tiang penyangga loteng dan beberapa pot bunga serta pajangan di dalam kamar Mei Ling.
Kegaduhan itu membuat si pengemis sakti yang paling benci segala macam kejahatan jadi tergugah.
Oleh karena itu, dalam keadaan yang membahayakan, dia keburu muncul sehingga jiwa Kiau Hun dan Tan Ki sempat tertolong olehnya.
Tetapi, meskipun dia sudah lama menggetarkan dunia persilatan serta dikagumi orang banyak, namun dia mempunyai semacam kebiasaan yang menyebalkan.
Yaitu gaya hidupnya yang santai.
Dia boleh tidak tidur atau berkelahi selama tiga hari tiga malam.
Tetapi kalau suruh orangtua ini tidak makan setengah harian saja, dia merasa lebih baik dibunuh mati.
Belum lagi seleranya yang tinggi.
Dia tidak dapat makan kalau tidak ada daging ayam, ataupun arak bagus.
Setiap hari menjelang pagi, selera makannya justru bertambah besar.
Secara diam-diam dia menyelinap ke dalam dapur dan makan serta minum sepuasnya.
Dengan demikian dia baru dapat mempertahankan diri dan tidur nyenyak.
Kalau tidak, entah rumah makan besar atau kedai arak mana yang akan tertimpa kesialan karena dapur mereka kebobolan.
Pemilik rumah makan atau kedai tersebut malah mengira kalau tempat mereka telah digerayangi siluman serigala.
Liu Seng paham sekali kebiasaan orangtua ini, itulah sebabnya setiap malam dia menyuruh para pelayannya menyiapkan hidangan yang lezat serta arak yang harum di dapur.
Siapa tahu pagi ini ketika dia melongok ke dapur, hidangan dan arak masih belum tersentuh sedikitpun.
Berdasarkan pengalamannya yang luas, Liu Seng segera merasa telah terjadi sesuatu yang tidak beres.
Dengan tergesa-gesa dia mengajak Ciong Sang Suang-siu mencari ke taman bunga.
Kebetulan dia mendengar suara perkelahian dan segera menuju kamar Mei Ling.
Ciu Cang Po melihat pihak lawannya telah kedatangan bala bantuan, langsung tertawa dingin.
Tapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
*** ( )*** BAGIAN V "Hayo jawab, hayo jawab! Nenek pengemis, si pengemis tua sedang menunggu kau membuka mulut emasmu!"
Cian Cong memalingkan wajahnya sambil mendelik lebar-lebar.
"Urusan si pengemis tua kalian jangan ikut campur!"
Bentaknya. Sekali lagi Ciu Cang Po tertawa dingin.
"Kentungan ketiga malam ini, aku akan menantikanmu di sebelah Barat kota, tepatnya di rumah makan Cui Sian Lau!"
Mata nenek itu segera beralih pada diri Tan Ki.
"Terlalu enak membiarkan kau hidup sehari lagi!"
Gumamnya sambil melotot.
Tubuhnya berkelebat dan dalam sekedipan mata dia sudah menghilang dengan menerobos jendela kamar.
Kegesitan dan kecepatan gerakannya membuat para hadirin meleletkan lidah saking kagumnya.
Terdengar Cian Cong bersin satu kali.
Dia mengelus-elus perutnya dan bergumam seorang diri.
"Kalau tidak berkelahi, cacing arak si pengemis tua ini mulai bertingkah lagi."
Tentu saja Liu Seng mengerti bahwa ucapan itu ditujukan kepadanya. Dia segera menjura dalam-dalam.
"Sekarang juga Boanpwe akan menyuruh para pelayan menyiapkan."
Dia langsung membalikkan tubuh dengan maksud menepati ucapannya.
Tiba-tiba terdengar Cian Cong berkata "Bagus sekali, si pengemis tua kalau sudah datang malasnya, rasanya sudah tidak kepingin bergerak sedikitpun.
Suruh saja pelayanmu mengantarkan makanan dan arak ke mari."
Liu Seng langsung tertegun mendengar ucapannya. Tingkahnya jadi serba salah.
"Ini ini kamar peristirahatan putri"
Cian Gong langsung mendelik lebar-lebar. Dengan tampang tidak senang dia berkata "Apa sih kamar peristirahatan atau kamar tidur, kalau si pengemis tua hatinya senang, mungkin bocah perempuan ini akan diterima sebagai murid."
Tanpa memperdulikan yang lainnya, dia langsung menjatuhkan diri di atas tempat tidur Mei Ling.
Tempat tidur itu indah dan kasurnya lembut dengan kelambu yang terbuat dari kain sulaman yang mahal.
Tanpa memperdulikan pakaiannya yang kotor dan koyak, seenak perutnya dia rebah dan memejamkan mata, kenikmatan.
Liu Seng menundukkan kepalanya sambil merenung tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Perlahan-lahan Cu Mei menjawil ujung lengannya sembari memberi isyarat dengan kedipan mata.
Akhirnya ketiga orang itu keluar dari kamar tersebut.
Cian Cong melepaskan kendi arak dari selipan ikat pinggangnya.
Mula-mula dia meneguk arak sebanyak dua tegukan dan kemudian ditutupnya kembali, lalu diletakkan di belakang kepala sebagai bantal.
"Bocah perempuan, ke mari dan tonjokkan paha si pengemis tua yang terasa pegal ini!"
Teriaknya. Mendengar permintaannya, Mei Ling segera menghampiri. Dia duduk di tepi tempat tidur dan memukul paha Cian Cong dengan kepalan tangannya yang mungil secara bergantian.
"Bocah busuk, apakah lenganmu tidak patah terkena pukulan si nenek pengemis tadi?"
Teriak Cian Cong dengan nada menggerutu.
Tan Ki mengiakan dengan suara lirih.
Dengan tergesa-gesa dia menghampiri.
Tapi karena Mei Ling menghalangi jalannya, dia terpaksa melepaskan sepatu dan naik ke atas tempat tidur.
Dia mengendus serangkum bau harum yang samar-samar.
Keletihannya sepanjang malam bagai sirna dan pikirannya jadi ikut tergetar.
Sudah tentu bau harum itu terpancar dari tubuh Mei Ling.
Cian Cong memperhatikan dirinya dari atas kepala sampai ke bawah kaki.
Tiba-tiba sepasang alisnya menjungkit ke atas.
"Bocah cilik, usiamu masih begitu muda, mengapa memakai jubah semacam itu? Mana lebar mana kedodoran, seperti yang biasa dikenakan oleh orangtua. Ketika pertama kali melihat dirimu, si pengemis rasanya tidak asing, tetapi sekarang malah lupa siapa yang memakai jubah seperti ini."
Hati Tan Ki tercekat.
Orangtua ini tampaknya ugal-ugalan, tetapi sikapnya teliti seekali.
Sekali lihat saja dia sudah tahu bahwa pakaian ini bukan milikku.
Untung saja dia masih belum menyadari bahwa aku yang menyamar sebagai Tian Tai Tiau-siu.
Saat itu aku juga mengenakan pakaian yang sama. pikirnya dalam hati.
Hatinya tergerak, mulutnya malah tidak berani menyahut sepatah katapun.
Dia tidak ingin Cian Cong sampai memperpanjang masalah itu yang akhirnya rahasia samarannya mungkin akan terbongkar.
Terdengar Cian Cong menghembuskan nafas panjang.
"Si pengemis tua sudah bertahun-tahun tidak pernah merasakan kesenangan seperti ini. Ah rasanya nyaman sekali"
Tiba-tiba sepasang alisnya mengerut kembali. Dia seperti teringat akan sesuatu hal. Cepat-cepat dia melanjutkan kata-katanya.
"Tadi malam ketika kau menyelinap pergi, apakah kau bertemu dengan seorang gadis berpakaian hitam yang dipunggungnya terselip sebatang pedang panjang? Kalau si pengemis tua tidak salah menerka, kau pasti kena caci makinya."
Tan Ki tidak menyangka bahwa Cian Cong yang sedang bertarung dengan sengit tadi malam masih sempat melihat dengan jelas apa yang terjadi di sekitarnya. Hatinya terkejut sekali.
"Apa? Locianpwe telah menyaksikan semuanya?"
Cian Cong tertawa lebar.
"Kalau si pengemis tua sudah menyaksikan terlebih dahulu baru berbicara, namanya bukan kepandaian lagi."
Tan Ki menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Ketemu sih memang benar, tetapi tidak terkena caci makinya."
"Gadis berpakaian hitam itu, di daerah Utara, Barat dunia Kangouw paling terkenal sebagai manusia yang tidak kenal aturan. Siapapun yang bertemu dengannya berarti di timpa kesialan, kalau hanya memaki beberapa patah kata saja masih tidak aneh."
"Kalau mendengar ucapan Locianpwe, tampaknya kena caci maki gadis itu beberapa patah kata adalah hal yang lumrah. Kalau Boanpwe tidak melihat dia seorang gadis, ingin rasanya memberi pelajaran sedikit biar jera."
"Gadis itu paling susah dihadapi, lebih baik kau jangan mencari gara-gara dengannya."
Kata Cian Cong.
"Apakah Locianpwe mengenalnya?"
Cian Cong mengambil hiolo araknya kembali dan meneguk setegukan besar. Bibirnya tersenyum.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Si pengemis tua tidak takut langit dan bumi, tapi terhadap bocah perempuan ini justru kepala selalu pusing. Aku saja tidak berani mencari perkara dengannya, kau terlebih-lebih tidak boleh. Kalau tidak, pasti akan ketemu batunya"
Sikap Tan Ki pada dasarnya keras kepala dan angkuh. Mendengar nada bicaranya yang begitu hebat menggembar-gemborkan kegalakan si gadis berpakaian hitam, semangatnya malah terbangkit dan semakin penasaran.
"Kalau begitu, apabila kelak bertemu dengannya lagi, Boanpwe justru ingin meminta pelajaran darinya."
Cian Cong tertawa terbahak-bahak.
"Emosi si bocah busuk ini cepat juga terbangkitnya oh ya, kita sudah bicara panjang lebar, si pengemis tua masih belum tahu siapa namamu dan nama gurumu yang mulia?"
"Boanpwe She Tan dengan nama tunggal Ki. Sedangkan nama Suhu nama Suhu"
Tan Ki menjadi gagap gugup menjawab pertanyaannya.
Ilmu silat Tan Ki secara keseluruhan didapatkan dari hasil curian di kuburan para ketua Ti Ciang Pang.
Mana mungkin dia mempunyai guru atau nama perguruan yang dapat disebutkannya? Kalau dia di suruh asal sebut sebuah nama saja, tentunya kebohongannya pasti bisa terbongkar seketika.
Cian Cong hanya mengucapkan sepatah Oh dan tidak mendesaknya lebih lanjut.
Kemudian tampak orangtua itu menundukkan kepalanya seakan ada suatu pikiran rumit yang melintas di benaknya.
Mimik wajahnya itu malah membuat perasaan Tan Ki semakin tidak tenang.
Beberapa malam yang lalu aku menyamar sebagai Tian Tai Tiau-siu, pakaian inilah yang kukenakan malam itu.
Apakah dia tiba-tiba teringat siapa yang mengenakan pakaian ini? tanyanya dalam hati.
Pikirannya melayang-layang.
Semakin direnungkan rasanya semakin benar.
Tanpa terasa tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.
Sebelum dirinya terluka saja, dia sudah bukan tandingan Cian Cong.
Saat ini apabila terjadi perkelahian tentu dia tidak bisa melepaskan diri lagi dari maut.
Tiba-tiba terdengar lagi suara langkah kaki yang riuh.
Tiga orang pelayan masuk ke dalam kamar dengan membawa berbagai hidangan.
Liu Seng dan Ciong San Suang Siu mengiringi dari belakang.
Tan Ki memperhatikan situasiyang dihadapinya.
Diam-diam hatinya berpikir lagi.
"Kalau si pengemis tua itu sudah mengetahui atau curiga dengan identitas diriku, atau terus mendesak aku dengan berbagai pertanyaan, kemungkinan lama-lama rahasiaku akan ketahuan juga. Waktu itu apabila aku berniat meloloskan diri, tentu tidak sempat lagi."
Karena mempunyai pikiran seperti itu, cepat-cepat dia berdiri dan menjura dalam-dalam.
"Boanpwe mohon diri."
Cian Cong segera meletakkan cawan arak di tangannya dan mendongakkan wajahnya.
"Kau hendak ke mana?"
Wajah Tan Ki merah padam. Hatinya tetap merasa tidak tenang, tetapi dia berusaha untuk tidak menunjukkannya.
"Di sebelah Barat kota ada seorang teman yang sedang menunggu aku. Boanpwe sudah sepanjang malam tidak kembali, tentunya teman itu akan tidak tenang memikirkan aku"
Cian Cong tertawa lebar.
"Rasanya yang tidak tenang bukan temanmu itu."
Hati Tan Ki berdebar-debar.
Dia semakin yakin Cian Cong sudah mengetahui identitas dirinya.
Dia mana tahu kalau Cian Cong yang mempunyai mata awas melihat Kiau Hun pergi dan tidak kembali lagi.
Kemudian dia juga melihat Mei Ling yang mengikuti di belakangnya, kembali dengan wajah, bermuram durja.
Orangtua yang berpengalaman luas itu segera dapat menduga bahwa terjadi sesuatu diantara ketiga orang itu bukan karena dia telah berhasil mengungkap identitas diri Tan Ki.
Sementara itu, tampak Tan Ki membalikkan tubuh dan bergegas meninggalkan kamar itu.
Liu Seng serta rekan-rekannya mengira dia saling kenal dengan Cian Cong, maka dari itu mereka tidak menghalangi kepergiannya, malah memberi jalan dengan bergeser agar dia dapat melewati pintu kamar.
Tiba-tiba tubuh Tan Ki yang menghambur keluar dengan tergesa-gesa tadi, mendadak surut kembali seakan melihat sesuatu yang di luar dugaannya.
Orang-orang yang ada di dalam kamar itu jadi tertegun.
Begitu mata memandang, di ambang pintu, entah sejak kapan telah berjalan masuk seorang gadis berpakaian hitam.
Dengan mimik wajah yang datar dan dingin, dia menghampiri Cian Cong.
Bibirnya langsung tersenyum mengejek.
"Hm, sebagai seorang tokoh angkatan tua dunia Bulim, ternyata bisa mengeluarkan ocehan yang bukan-bukan dengan menceritakan keburukan diriku. Benar-benar orangtua yang tidak waras!"
Makinya. Mendengar ucapannya, si pengemis sakti langsung menoleh ke arah Tan Ki dan menjungkitkan sepasang alisnya. Gadis berpakaian hitam itu juga menoleh ke arah Tan Ki serta menggerak-gerakkan bibirnya bagai berkata kepada dirinya sendiri.
"Sudah sebesar ini, di belakang punggung orang masih berkicau terus. Seperti tidak rela mengalah kepada generasi yang lebih muda. Kalau disiarkan keluar, tentu akan menjadi bahan tertawaan."
Kata-katanya ini diucapkan dengan santai dan wajar, tapi orang yang bersangkutan tentu akan merasa sakit hati.
Perlahan-lahan Tan Ki melirik Cian Cong sekilas.
Tampak orangtua itu malah mengalihkan wajahnya ke tempat lain seakan tidak mendengar apa yang dikatakan oleh gadis berpakaian hitam itu.
Melihat keadaannya, Tan Ki segera sadar bahwa orangtua ini benar-benar enggan berurusan dengan si gadis.
Diam-diam hatinya tergerak.
Dengan kedudukan si pengemis tua sebagai tokoh kelas tinggi dan sikapnya yang ugalugalan, mengapa terhadap gadis berpakaian hitam ini malah demikian segan dan mengalah? pikirnya bingung.
Apakah kata-kata Cian Cong tentang gadis ini bahwa dia merupakan orang yang paling sulit dihadapi benar adanya? Hatinya rada kurang percaya.
Tanpa sadar dia menoleh beberapa kali ke arah gadis tersebut.
Tampaknya gadis berpakaian hitam itu juga sangat memperhatikan Tan Ki.
Begitu pemuda tersebut menoleh, dia langsung mendelikkan matanya lebar-lebar.
"Apa yang kau lihat?"
Bentaknya dengan nada marah. Mendengar bentakannya, tanpa terasa wajah Tan Ki menjadi merah saking jengahnya. Tapi dia memang merupakan seorang manusia yang tinggi hati. Kata-kata gadis itu membuat amarahnya meluap seketika.
"Apapun yang ingin kulihat, rasanya tidak ada hubungannya dengan dirimu."
Sahutnya ketus.
Rupanya si gadis tidak menyangka Tan Ki akan memberi jawaban seperti itu.
Dia jadi tertegun beberapa saat "Tentunya kau belum tahu siapa aku sehingga berani berbicara dengan aku dengan nada membentak seperti tadi.
Kalau kau sudah tahu, pasti kau tidak akan seberani itu"
Tan Ki tertawa dingin.
"Lihat tampangmu yang begitu sombong dan tidak sopan terhadap angkatan yang lebih tua. Kalau saja kau seorang laki-laki, aku pasti akan memberi pelajaran yang keras untukmu."
Gadis berpakaian hitam itu seperti tidak percaya. Wajahnya menyiratkan mimik seperti orang yang sedang tertawa tapi tidak bisa.
"Kau berani?"
"Mengapa tidak berani?"
Bentak Tan Ki kembali. Gadis berpakaian hitam itu menarik nafas perlahan-lahan. Dia menatap wajah Tan Ki sampai lama sekali.
"Sejak keluar dari rahim ibu, aku belum pernah menerima hinaan apapun. Di seluruh dunia ini, orang yang berani memaki aku secara terang-terangan, aku rasa kaulah orang yang pertama"
"Kalau begitu aku malah harus merasa bangga."
Sahut Tan Ki tenang. Gadis berpakaian hitam itu mengedarkan pandangannya ke orang-orang di dalam kamar. Kemudian dia memalingkan wajahnya.
"Kau berani memaki aku secara terang-terangan, mungkin karena kau anggap ada beberapa orang yang dapat kau andalkan. Aku justru ingin melihat sampai di mana kehebatanmu itu!"
Begitu bentakannya sirna, tubuhnya yang kecil dan langsing langsung melesat ke udara dan ketika pergelangan tangannya memutar, secara berturut-turut dia melancarkan tiga buah serangan dan delapan buah totokan.
Sebetulnya serangan ini berjumlah empat jurus.
Kecepatannya bagai cahaya kilat.
Meskipun dia melancarkan serangannya satu per satu, namun begitu cepatnya sehingga tampak dikerahkan dalam waktu yang bersamaan dan seakan ada empat telapak tangan yang sedang mengincar diri Tan Ki.
Hati anak muda itu sampai tercekat melihat keadaan ini.
Dia merasa penasaran.
Usianya masih begitu muda, namun kungfunya sudah demikian hebat.
Benar-benar suatu hal yang jarang terdengar maupun dijumpai.
Kalau ia belum terluka, tentu tidak ada hal yang perlu ditakutinya.
Tapi kenyataan yang terpampang di depan mata, justru lukanya masih belum sembuh.
Tentunya dia belum bisa menggunakan anggota tubuh maupun tenaga dalamnya dengan leluasa.
Hatinya menjadi panik.
Dengan gugup dia mundur beberapa langkah.
Diam-diam dia merasa heran.
Mengapa ilmu silat gadis ini hampir mirip dengan ilmu yang aku pelajari? tanyanya dalam hati.
Tampak di wajahnya tersirat perasaan yang tidak tenang.
Sementara Cian Cong sedang merasa cemas sekali.
Sepasang alisnya mengerut erat-erat.
Mulutnya tidak mengeluarkan sepatah katapun.
Dia takut Tan Ki tidak memperdulikan cara turun tangannya sehingga gadis berpakaian hitam itu akan terluka.
Tapi dia juga sadar bahwa gadis ini sangat licik serta keji.
Sedikit-sedikit selalu main bunuh.
Ada kemungkinan Tan Ki yang akan terluka di tangannya.
Matanya perlahan-lahan mengedar, dia melihat Liu Seng dan Ciong San Tiau Siu bertiga juga menyiratkan perasaan khawatir yang sama dengan dirinya.
Wajah mereka tampak tegang.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan gadis itu "Jangan lari!"
Pergelangan tangannya bergerak, sekaligus dia melancarkan dua belas pukulan.
Tampak bayangan telapak tangan yang banyak seperti ombak yang menghempas-hempas.
Suara gemuruh angin yang ditimbulkannya berderu-deru.
Seluruh ruangan itu sampai dipenuhi terpaan angin dari telapak tangannya.
Tan Ki menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba dia melangkah mundur tiga langkah.
Dia mengerti luka dalamnya masih belum sembuh.
Kalau bisa dia tidak ingin menyambut serangan gadis itu dengan kekerasan.
Siapa tahu sikap gadis itu sungguh bera-ngasan.
Dia tidak senang melihat Tan Ki seakan menghindarkan diri dari serangannya.
Secara mendadak dia menarik kembali sepasang tangannya.
Dengan posisi menahan di depan dada, tahu-tahu dia melancarkan sebuah pukulan.
Serangan ini mengandung tenaga yang sepenuhnya.
Begitu dilancarkan, kekuatannya bukan alang kepalang.
Terpaan angin yang timbul dari pukulannya bagai badai yang melanda dan sulit dibendung.
Meskipun kamar Mei Ling ini cukup luas, namun besarnya paling-paling dua depaan.
Sedangkan Tan Ki sudah mundur dua kali berturut-turut.
Punggungnya sudah menempel pada meja rias yang terdapat dalam kamar tersebut.
Melihat datangnya serangan yang hebat itu, dia tidak mempunyai tempat untuk melindungi diri lagi.
Hawa amarah dalam hatinya jadi meluap.
Dengan menggertakkan gigi erat-erat, dia melancarkan sebuah pukulan.
Dalam sekejap mata waktu yang sesaat itu begitu cepatnya sehingga mata para hadirin menjadi berkunang-kunang.
Telinga mereka mendengar suara dengusan sebanyak dua kali yang saling susul menyusul.
Bayangan manusia berpencaran ke kiri dan kanan, di susul dengan sebuah suara yang menggelegar.
Gadis berpakaian hitam yang pertamatama terhem-pas ke atas lantai kamar.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah Tan Ki pucat pasi.
Di sudut bibirnya terlihat tetesan darah.
Tampangnya kusut.
Seperti orang yang sudah tidak tidur selama tiga hari tiga malam.
Dia berdiri dengan tubuh bersandar pada meja rias.
Perubahan yang mendadak ini, benar-benar di luar dugaan setiap orang.
Penglihatan Cian Cong sangat tajam.
Meskipun dengan jelas dia melihat keduanya beradu pukulan, tapi walaupun hatinya berniat menolong, namun sudah terlambat.
Dia terkejut sekali melihat kenyataan yang terpampang di depannya.
"Celaka!"
Serunya sambil menggerakkan tubuh dan melesat ke depan.
Tiba-tiba terlihat wajah Tan Ki berubah hebat.
Begitu mulutnya terbuka, dua kali berturut-turut dia memuntahkan darah segar.
Sepasang matanya membelalak dan diapun terkulai jatuh entah dalam keadaan masih hidup atau sudah mati.
Perubahan yang saling susul menyusul ini terjadinya begitu cepat sehingga sulit diuraikan dengan kata-kata.
Hal ini membuat orang-orang tidak sempat memberi pertolongan.
Walaupun Cian Cong yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi juga menjadi kalang kabut menghadapi situasi seperti ini.
Dia tidak tahu pihak mana yang harus ditolongnya terlebih dahulu.
Untuk sesaat, Liu Seng beserta rekannya juga menjadi termangu-mangu.
Untung Cian Cong lebih sigap.
Setelah rasa terkejutnya hilang, dia mengatur nafasnya sejenak dan berpikir matang-matang.
Pertama-tama dia menghambur ke arah gadis berpakaian hitam.
Dia membungkukkan tubuh dan mengulurkan tangannya ke arah dada gadis berpakaian hitam tersebut.
Belum lagi tangannya sempat menjamah ke arah yang ditujunya, tiba-tiba gerakannya terhenti.
Tampaknya dia teringat sesuatu hal dan membatalkan niatnya.
Sepasang alisnya bertaut erat.
Setelah tertegun sesaat, akhirnya dia menolehkan kepala dan menggapai ke arah Mei Ling.
"Bocah perempuan, coba kau ke mari dan tempelkan telapak tanganmu pada dadanya. Lihat apakah jantungnya masih berdenyut atau tidak?"
Perintahnya.
Mei Ling tersenyum simpul.
Begitu baru benar.
Aku kira saking paniknya kau ingin menolong orang sehingga bagian terpenting dari tubuh seorang gadis juga akan kau jamah begitu saja! pikirnya dalam hati.
Tiba-tiba wajahnya menjadi merah padam.
Diam-diam dia memaki dirinya sendiri lalu bergegas berjalan menuju ke tempat si gadis berpakaian hitam seperti yang diperintahkan oleh Cian Cong.
Dia mengulurkan tangannya dan menempelkannya ke dada gadis itu.
"Masih berdenyut, namun sudah lemah sekali."
Sahutnya. Mendengar ucapannya, Cian Cong sampai menghentak-hentakkan kakinya sambil menggerutu panjang lebar.
"Bocah bagus, tidak perduli pukulan tangan sendiri ringan atau berat malah berani melukainya sedemikian parah. Nanti kalau kakek moyangnya datang, kita terpaksa harus mengadu tinju sampai puas!"
Mendengar nada bicaranya, dia seperti pusing sekali menghadapi masalah ini.
Kepalanya digelengkan berkali-kali.
Baru saja ucapannya selesai, tiba-tiba sebuah suara yang dingin berkumandang dari depan pintu "Rupanya Cian Cong masih mempunyai gairah sehebat itu?"
Suara ini datangnya mendadak sekali.
Tanpa sadar Cian Cong berseru terkejut.
Cepatcepat dia membalikkan tubuhnya dan mengalihkan pandangan ke depan pintu Di ambang pintu, entah sejak kapan telah berdiri seorang laki-laki yang tua dan bertubuh kurus.
Dia mengenakan jubah berwarna hijau, wajahnya bersih dan tenang.
Tetapi penampilannya menimbulkan kesan bahwa dia bukan orang yang mudah didekati, bahkan agak angkuh.
Tampak di ujung lengan baju sebelah kiri, tersembul sebuah telapak tangan yang mengeluarkan kilauan cahaya yang menyolok mata.
Pertama-tama Cian Cong tertegun agak lama.
Kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
"Lok Laotao (bapak tua) jangan bergurau, kita sudah lama sekali tidak berjumpa lho!"
Orangtua berjubah hijau itu tertawa dingin.
"Masih lumayan, hengte masih belum masuk liang kubur, akhir-akhir ini Cian heng rasanya"
Begitu matanya beredar, dia langsung mengeluarkan seruan terkejut.
Tidak terlihat bagaimana caranya bergerak, tahu-tahu orangnya sudah sampai di samping gadis berpakaian hitam.
Ketinggian ilmu ginkang yang diperlihatkannya, membuat wajah Liu Seng beserta Ciong San Tiau Siu berubah hebat.
Pandangan mereka sampai berkunang-kunang.
Begitu penglihatan dialihkan kembali, tampak tubuh orangtua berjubah hijau itu bergetar keras.
Dia seperti baru saja mendapat pukulan bathin yang hebat.
Terdengar suara ratapannya yang pilu dengan suara parau dan tersendat-sendat.
"Ingji, oh Ingji, kau pergilah. Setelah kau mati, Kong kong pasti akan membunuh seratus tokoh Bulim sebagai korban untukmu dan teman di saat penguburanmu."
Hati Cian Cong tercekat sekali.
"Hei, Lok laotao, masa nyawa cucu perempuanmu bernilai begitu tinggi?"
Teriaknya kesal. Begitu kesal dan sedihnya orangtua berjubah hijau sampai mengeluarkan suara tertawa yang panjang.
"Kau kira siapa dan apa kedudukan cucu perempuanku ini. Biarpun seratus atau seribu lembar nyawa tokoh Bulim juga hanya pantas dibandingkan dengan selembar bulu kakinya saja!"
Cian Cong ikut-ikutan tertawa dingin.
"Nyawa cucu perempuanmu begitu berharga, apakah nyawa orang lain bukan nyawa juga, tapi sampah?"
Sahutnya kesal.
Tampaknya kesedihan orangtua berjubah hijau sudah mencapai puncaknya.
Emosi yang meluap-luap dalam hatinya tiada tempat untuk disalurkan.
Oleh karena itu, dia mengangkat telapak tangannya dan menghantam meja bundar di tengah ruangan yang terbuat dari kayu.
Terdengar suara geprakan yang keras, meja itu pun sompal bagian ujungnya.
Matanya mendelik lebar-lebar.
Sinar matanya mengandung api yang berkobar-kobar.
"Siapa yang membunuh cucu perempuanku yang baik?"
Tanyanya marah.
Nada suaranya melengking tinggi.
Bagai ratapan dan tangisan setan-setan di malam hari.
Orang yang ada di dalam ruangan kecuali Cian Cong, tidak ada satupun yang tidak tergetar.
Bulu kuduk mereka seakan merinding semua.
Cian Cong malah tertawa lebar.
"Kau datang-datang langsung marah-marah seperti orang gila, bukannya lihat dulu keadaan dengan jelas. Apakah kau yakin cucu perempuan kesayanganmu itu benar-benar sudah mati? Hm, tindakanmu yang membabi buta itu, apa pantas menjabat sebagai pangcu dari Ti Ciang Pang yang tersohor itu?"
Sindirnya tajam.
Kata-katanya yang terakhir, membuat Liu Seng serta rekan-rekannya terperanjat.
Hati mereka tergetar Diakah pangcu dari Ti Ciang Pang? Tokoh yang gerak-geriknya bagai naga sakti? Perlu diketahui bahwa Ti Ciang Pang adalah sebuah perkumpulan yang menjunjung tinggi keadilan.
Beberapa tahun ini kebesaran nama mereka benar-benar ibarat matahari yang terbit di pagi hari.
Kekuasaan mereka sudah tersebar luas.
Kehebatan mereka menjadi buah bibir di mana- mana.
Kebesaran nama perkumpulan ini boleh dikatakan malah lebih hebat dari lima partai besar.
Sedangkan pangcu dari Ti Ciang Pang, dalam pandangan tokoh-tokoh Bulim lainnya, seperti seorang tokoh yang misterius, berwibawa, angker membuat mereka berperasaan seakan suatu benda pusaka yang hanya boleh dilihat namun tidak boleh tersentuh.
Justru pada saat ini, ketiga orang itu melihat wajah asli pangcu Ti Ciang Pang ini.
Tentu saja mereka merasa terkejut dan penasaran.
Tanpa sadar mereka malah melihat terus berkali-kali.
Sementara itu, tampak pangcu Ti Ciang Pang yang bernama Lok Hong itu membungkukkan tubuhnya dan memeriksa hembusan nafas dari hidung si gadis berpakaian hitam.
Setelah agak lama, akhirnya dia menghela nafas lega.
Tampangnya yang tadi tegang juga sudah jauh mengendur.
Bibirnya tersenyum.
"Kalau bukan disadarkan oleh kata-kata Ciang heng, hengte hampir saja berbuat kesalahan besar."
Cian Cong ikut-ikutan menarik nafas panjang.
"Lok Laotoa, apapun yang kau perbuat selama ini, selalu menerbitkan kekaguman di hati si pengemis tua ini.
Tapi terhadap-cucu perempuanmu ini, tampaknya kasih sayangmu agak berlebihan.
Seandainya dia kehilangan selembar rambutnya saja, mungkin lebih baik kau kehilangan seluruh janggutmu yang panjang itu."
Gerutunya.
Lok Hong hanya tersenyum simpul.
Dia tidak memperdulikan ocehan Cian Cong.
Pa-da dasarnya sikap orang ini berjiwa lapang.
Kalau marah hanya sebentar.
Sesudahnya dia akan kembali seperti biasa lagi.
Sekarang tampak dia mengangkat sebelah telapak tangannya kemudian menempelkannya pada punggung si gadis berpakaian hitam.
Setelah lewat beberapa saat, mula-mula terdengar suara keluhan dari mulut si gadis berpakaian hitam, perlahan-lahan matanya membuka dan sadarkan diri.
Sedangkan luka yang diderita Tan Ki lebih parah.
Oleh karena itu, sadarnya lebih lama daripada sang gadis.
Lok Hong menggendong si gadis berpakaian hitam dan berdiri.
Tangannya diselusupkan ke balik pakaian, lalu dikeluarkannya sebutir pil yang lalu dimasukkan ke dalam mulut si gadis, bibirnya tersenyum.
"Anak baik, yang pintar ya. Biar Yaya menyayangimu."
Katanya.
Tangannya terulur untuk mengelus-elus kepala gadis itu.
Sikapnya lembut sekali, tak terlihat lagi tampangnya yang garang seperti pembunuh tadi.
Gadis berpakaian hitam menatap ke arah kakeknya.
Pertama-tama dia agak tertegun sampai tidak dapat mengucapkan sepatah katapun.
Setelah mendengar ucapan kakeknya yang menyentuh hati, dia langsung membuka mulut dan menangis meraung-raung.
Tangannya menuding Tan Ki yang baru merangkak bangun.
"Dia dia menghina aku"
Katanya. Lok Hong tersenyum simpul.
"Nyali bocah ini sungguh besar. Beraninya dia menghina cucu perempuanku yang baik. Coba kau lihat, Yaya akan mengajar adat padanya!"
Begitu kata-katanya selesai, sebelah tangannya bergerak dan menghantamkan sebuah pukulan.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kecepatannya bagai kilat Tan Ki sedang memperhatikan tanya jawab antara kakek dan cucu tersebut.
Tiba-tiba dia merasa pipinya ditempeleng dengan keras.
Baru saja dia hendak mengangkat tangannya untuk menangkis, telapak tangan Lok Hong sudah mendarat di pipi kirinya dan tahu-tahu orangtua itu sudah kembali mengelus-elus kepala si gadis berpakaian hitam.
Benar-benar datang tanpa wujud, pergi tanpa jejak.
Kecepatannya membuat orang terkesiap.
Pukulannya ini menimbulkan suara keras.
Tetapi tenaga yang terkandung di dalamnya justru lembut.
Tan Ki meraba pipinya dan termangu-mangu.
Dengan adatnya yang tinggi hati dan keras kepala, ternyata dia tidak berani maju dan melawan orangtua itu.
Rupanya, dia sudah melihat telapak tangan kiri Lok Hong yang mengeluarkan cahaya berkilauan, dia tahu lambang itu merupakan ciri khas Ti Ciang Pang! Ilmu silat yang dimilikinya merupakan hasil curian dari perkumpulan orangtua itu.
Kalau sampai dia bergerak, tentu asal-asul ilmunya akan diketahui oleh orangtua tersebut.
Kalau sampai membuat Lok Hong kalap, biarpun Tan Ki mempunyai sepuluh lembar nyawa juga tidak akan bisa menahan diri terhadap satu hantamannya! Oleh karena itu, meskipun pukulan telapak tangan Lok Hong tadi membuat hawa amarah di dalam dadanya meluap, tapi dia tetap berusaha menahan emosinya dan tidak berani mengambil tindakan apa-apa.
Melihat kedua kakek dan cucu itu saling menyayangi dan tampak begitu berbahagia, tiba-tiba hatinya merasa hampa dan pedih.
Kenyataannya, dia hanya seorang anak yatim piatu.
Seorang pemuda yang malang! Ayahnya yang baik hati dan mengasihinya telah dibunuh oleh empat puluh delapan tokoh persilatan dengan senjata rahasia yang berbeda.
Kematiannya begitu mengenaskan dan penuh penderitaan.
Sedangkan ibunya Dia adalah seorang perempuan yang akh! Dia tidak berani memikirkan lebih lanjut.
Hal itu merupakan peristiwa yang menyakitkan hati! Tiba-tiba terdengar Cian Cong tertawa terbahak-bahak.
"Lok Laotoa, cucu perempuanmu ini benar-benar berangasan sekali. Si pengemis tua tidak pernah takut terhadap langit dan bumi tetapi justru pusing kepala kalau menghadapinya."
Hatinya seperti mempunyai pertimbangan sendiri sehingga tidak mengatakan mengapa cucu perempuan Lok Hong sampai berkelahi dengan Tan Ki. Lok Hong tersenyum lembut.
"Cian Heng menyalahkan hengte memang tidak salah. Tetapi kau juga tahu, sejak kedua orangtuanya menghilang, dia jadi sebatang kara tanpa tempat berlindung. Sungguh kasihan. Hente sudah hidup sampai setua ini, juga tidak tahu kapan akan kembali ke sisi-Nya. Kalau tidak menyayanginya, siapa lagi yang akan menaruh perasaan iba kepadanya?"
Sebetulnya Cian Cong masih ingin berbicara lagi, tapi tiba-tiba dia berpikir.
Orang ini mempunyai perasaan kasih yang dalam.
Hal itu merupakan ungkapan yang wajar dan sikap seseorang tidak mudah diubah.
Untuk apa aku berkata panjang lebar? Berpikir demikian, perlahan-lahan dia menarik nafas dalam-dalam.
Mulutnya pun tidak mengeluarkan sepatah kata lagi.
Sementara itu, Tan Ki berjalan menghampiri Cian Cong serta mengucapkan terima kasih atas pertolongannya.
Sekalian dia memohon diri.
Tepat sekali dia membalikkan tubuh dan bermaksud meninggalkan ruangan itu, mendadak terdengar panggilan gadis berpakaian hitam.
"Yaya, suruh dia berhenti dulu."
"Kenapa? Yaya tadi sudah menempelengnya dengan keras, apa kau masih belum merasa puas?"
"Tidak mau, pokoknya aku tidak akan membiarkan dia pergi sekarang."
Sahut si gadis berpakaian hitam. Lok Hong tersenyum simpul.
"Hati anak perempuan paling sulit ditebak. Tiba-tiba kau ingin menahan seorang pemuda, sebetulnya apa yang terkandung dalam hatimu?"
Mulutnya menggerutu tetapi dia tetap menoleh kepada Tan Ki dan berkata.
"Kalau cucu perempuanku sudah berkata demikian, lebih baik kau jangan pergi dulu untuk sementara. Berdirilah di situ diam-diam."
Nada bicaranya seperti sebuah perintah yang tidak boleh dibantah.
Terdengar suara dengusan dari hidung Tan Ki, namun dia menuruti juga kata-kata Lok Hong dan menghentikan langkah kakinya.
Luka yang dideritanya cukup parah, sedangkan tadi Cian Cong belum menyembuhkannya sampai tuntas.
Oleh karena itu, dia pasti sulit melarikan diri dari tempat itu.
Lagipula dia juga takut kartunya terbuka oleh Lok Hong.
Akhirnya dia terpaksa menahan rasa amarah dan berdiri tanpa bergeming sedikitpun.
Terdengar suara si gadis berpakaian hitam yang datar dan ketus.
"Terimalah, ini adalah obat penyembuh luka dalam. Dengan meminumnya, lukamu akan lebih cepat sembuh."
Sambil berbicara, dia melemparkan sesuatu benda kecil berwarna kehitaman ke arah Tan Ki.
Watak anak muda itu sangat keras.
Setelah menyambut obat tersebut, tadinya dia bermaksud membuangnya agar hati gadis itu menjadi mangkel.
Tetapi pikirannya segera tergerak.
Keadaannya sekarang kurang menguntungkan apabila dia tetap berkeras.
Oleh karena itu, setelah tertawa dingin dua kali, dia memasukkan obat itu ke dalam mulut dan menelannya.
Tampang gadis berpakaian hitam sepertinya kurang senang.
"Aku sudah memberikan obat kepadamu, tetapi kau malah kurang senang."
"Tidak salah. Aku memang membencimu, benci sekali!"
"Apa yang kau katakan? Coba ulangi sekali lagi!"
Bentak si gadis berpakaian hitam.
"Benci!"
Si gadis berpakaian hitam marah sekali.
"Bagus! Kau berani memaki aku. Mari kita ulangi lagi perkelahian kita tadi!"
Lok Hong tersenyum simpul.
"Lahir sebagai orang dari keluarga Lok, mana boleh menerima hinaan orang begitu saja. Anak baik, pukullah dia beberapa kali biar hatimu puas. Yaya justru ingin lihat sampai di mana kehebatan anak muda ini dan berasal dari perguruan mana dia."
Mendengar ucapannya, hati Tan Ki tergetar.
Dalam keadaan terkejut, tiba-tiba dia mendengar suara keplakan sebanyak dua kali.
Tahu-tahu kedua belah pipinya telah ditempeleng oleh si gadis berpakaian hitam.
Watak gadis ini sungguh berangasan dan adatnya juga keras kepala.
Pertama dia kesal terhadap kata-kata yang diucapkan oleh Tan Ki, kedua dia mengira keberanian anak muda itu karena merasa mempunyai tulang punggung yang kuat.
Padahal dia sendiri yang mengandalkan kakeknya sehingga berani berbuat semena-mena.
Sekaligus dua tamparan dia hadiahkan kepada Tan Ki, namun tampaknya dia masih belum puas.
Tangannya bergerak dan dia menampar Tan Ki sekaligus empat lima kali.
Pada saat itu juga, tampak wajah Tan Ki membengkak satu kali lipat.
Tampangnya jadi lucu namun mengenaskan.
Bekas-bekas jari tangan tertera nyata di kedua belah pipinya.
Namun Tan Ki tidak mengumpat maupun mendengus sedikitpun.
Diam-diam dia berkata dalam hati.
Baiklah, kau boleh pukul sepuas hatimu.
Kelak apabila kau terjatuh ke tanganku, aku akan menagih hutang ini berikut bunganya sekalian! Setelah memukul beberapa kali, rasa amarah dalam hati gadis itu agak berkurang, dia melihat Tan Ki tidak menghindar atau menangkis pukulannya dan wajahnya sudah menjadi bengkak dan merah.
Hatinya terasa tidak tega melanjutkan lagi.
Perlahan-lahan dia menarik nafas panjang.
"Kau harus tahu sifatku, lain kali jangan sengaja memanas-manasi hatiku lagi."
Katanya menasehati. Tan Ki mendengus dingin. Dia tetap tidak mengucapkan sepatah katapun. Kekerasan adatnya benar-benar jarang ditemui pada orang lain. Sementara itu, terdengar Cian Cong bertanya kepada Lok Hong.
"Mengapa kau bisa datang ke tempat ini?"
Lok Hong memperdengarkan segulungan suara tawa yang getir.
"Tidak khawatir ditertawakan oleh Cian Heng, hengte menempuh jarak sejauh ribuan li, tujuan utamanya adalah untuk mencari cucu perempuanku ini."
"Apa? Jadi dia itu kabur dari rumah?"
"Justru itulah. Sepanjang hari sepanjang malam dia terus ribut ingin mencoba ilmu silat yang dimiliki oleh Cian bin mo-ong yang namanya menggetarkan rimba persilatan. Hengte takut terjadi sesuatu di luar dugaan pada dirinya, maka terpaksa melindungi secara diam-diam. Juga sekalian menggunakan kesempatan ini untuk menjajal kepandaian Cian bin mo-ong yang katanya hebat sekali itu."
Mendengar sampai di sini, hati Tan Ki merasa terkejut sekaligus senang. Dia tidak menyangka namanya akan terkenal sampai daerah barat daya di mana terletak pusat markas Ti Ciang Pang.
"Kalau Tia (ayah) sampai tahu urusan ini, di alam baka dia pasti akan merasa bangga sekali."
Pikirnya dalam hati.
Sayang sekali ayahnya sudah meninggal.
Bahkan mati terbunuh dengan cara yang demikian mengenaskan serta menyayat hati! Begitu pikirannya tergerak ke masalah itu, tanpa terasa kelopak matanya membasah dan air mata pun hampir menetes turun.
Dia menggertakkan giginya erat-erat.
Dia tidak sudi meneteskan air mata di tempat itu.
Dia mempunyai kekerasan hati yang hampir tidak dimiliki oleh orang lain.
Baginya orang yang gampang menguraikan air mata adalah orang yang rendah dan lemah serta tidak sanggup melakukan pekerjaan besar.
Sementara itu, Lok Hong sedang berpamitan kepada Cian Cong.
Tan Ki memang berharap agar kakek dan cucunya itu segera meninggalkan tempat tersebut.
Namun tiba-tiba telinganya mendengar kembali suara Lok Ing.
"Yaya, ajak orang ini pergi dengan kita."
Mendengar ucapannya, sukma Tan Ki seperti melayang setengahnya. Tanpa sadar tubuhnya gemetar. Dia merasa marah sekali.
"Sebetulnya apa yang terkandung dalam hatimu? Mengapa kau memaksa dan mendesak aku sedemikian rupa?"
Teriaknya kesal. Lok Hong tersenyum lebar.
"Dia ingin mengajak engkau, tentu tidak bermaksud mencelakaimu. Mengapa harus takut? Aku rasa Cian Locianpwe juga setuju dengan usul ini, bukankah demikian Cian Heng?"
Cian Cong cepat-cepat menganggukkan kepalanya.
"Betul, betul. Kau bocah cilik ini ikut dengan Lok Kouwnio, pasti akan memperoleh manfaat yang besar. Pasti tidak mengalami kerugian apapun."
Dengan demikian, kakek dan cucu She Lok itupun meninggalkan tempat tersebut dengan menyeret Tan Ki.
Ketika hendak berangkat, berkali-kali Tan Ki menoleh ke arah Mei Ling seakan berat berpisah dengan gadis itu.
Mei Ling hanya tersenyum simpul dan tidak menunjukkan reaksi apapun.
Tentu saja dia tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Tan Ki, hanya kesan pemuda tersebut dalam hatinya tidak terlalu buruk.
Diam-diam Tan Ki menarik nafas panjang.
Dia juga tidak mengatakan apa-apa.
Dia merasa gadis itu bagai rembulan di atas langit.
Demikian cemerlang dan indah tapi manusia hanya dapat memandang namun tidak dapat menyentuhnya sambil berpikir, ketiga orang itu pun meninggalkan gedung keluarga Liu.
Kurang lebih satu kentungan telah berlalu, mereka sampai di sebuah bukit yang tidak berapa tinggi.
Di sana terdapat sebuah pondok yang atapnya dialasi dengan daun rumbia.
Kemungkinan besar merupakan tempat tinggal sementara.
bagi kakek dan cucu dari keluarga Lok tersebut.
Gadis berpakaian hitam Lok Ing berusaha memancing pembicaraan dengan Tan Ki sepanjang perjalanan.
Tidak tahunya, pemuda itu tetap berdiam diri.
Dia tidak menyahut sepatah katapun.
Saking kesalnya, gadis yang keras hati ini sampai memalingkan wajahnya ke arah lain dan tidak mau melayani Tan Ki lagi.
Setelah masuk ke dalam pondok tersebut, Lok Ing turun tangan sendiri ke dapur menyiapkan sarapan pagi untuk Tan Ki.
Tampaknya hati gadis itu sedang merencanakan sesuatu sehingga sikapnya terhadap pemuda itu berubah menjadi lembut dan penuh perhatian.
Gaya bicara maupun tingkah lakunya jauh berbeda dengan tadi malam.
Sudah dua hari satu malam Tan Ki tidak mengisi perutnya dengan air ataupun makanan.
Oleh karena itu dia tidak sungkan lagi.
Cepat-cepat dihabiskannya sarapan yang disediakan oleh Lok Ing.
Gadis itu juga menyediakan kamar tidur untuknya bahkan membawakan sebaskom air hangat untuk membasuh muka.
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benar-benar sebuah penampilan yang meyakinkan.
Begitu lembut dan penuh perhatian! Diam-diam Tan Ki merasa geli, dia tahu gadis itu pasti mempunyai rencana tertentu atau ada suatu hal yang diinginkan Lok Ing dari dirinya.
Tapi dia tidak habis pikir apa itu dan mengapa? Yang aneh justru sikap Lok Hong terhadap gerak-gerik yang dilakukan oleh cucu perempuannya seperti orang yang masa bodoh.
Kadang-kadang dia malah sengaja keluar dari pondok tersebut dan membiarkan mereka berdua.
Pada saat tengah hari, Lok Hong mengatakan bahwa ada urusan yang harus diselesaikannya.
Dengan tergesa-gesa dia keluar dari pondok tersebut.
Lok Ing juga tidak menanyakan maksud kepergiannya.
Dia menunggu sampai Tan Ki tertidur pulas baru bersedia meninggalkannya.
Karena dia sendiri yang memaksakan kehendaknya agar Tan Ki ikut mereka.
Maka dari itu dia khawatir Tan Ki akan melarikan diri apabila dia tidak menjaga dengan ketat.
Satu hari telah berlalu, akhirnya tiba saat bagi para manusia untuk masuk ke dalam peraduan.
Malam ini kembali tidak terlihat cahaya rembulan, bintang-bintang menjauhkan diri sehingga yang tampak hanya bekas yang samar-samar.
Pemandangan di sekeliling terselubung oleh kegelapan.
Benda-benda yang jaraknya lebih dari tiga depa sudah tidak tertangkap oleh penglihatan lagi.
Dari jauh terdengar suara kentungan diketuk.
Hanya berbunyi satu kali.
Saat ini berarti sudah lewat tengah malam.
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam, dengan kegesitan seekor kucing mengendap-endap ke arah kamar tidur Tan Ki.
Potongan badan orang itu kecil dan langsing.
Tidak usah ditanya sudah pasti ia seorang perempuan.
Angin malam berhembus semilir, keadaan di sekeliling tetap sunyi.
Di tempat ini, ternyata sedang berlangsung peristiwa Fan Jai Hwa.
Biasanya kaum lakilaki yang mengendap-endap ke kamar seorang gadis untuk merusak kesuciannya.
Orang ini umumnya disebut Jai Hwa Cat alias maling pemetik bunga.
Tetapi yang akan terjadi saat ini justru kebalikannya.
Seorang perempuan yang mengendap-endap ke kamar seorang pemuda untuk memperko-sanya.
Maka dari itu disebut Fan Jai Hwa yang berarti kebalikannya.
Seorang perempuan mencari kesenangan dari laki-laki dengan cara seperti ini.
Sungguh memalukan! Benar-benar perbuatan yang rendah! Tidak seharusnya Lok Ing menotok urat darah tidur Tan Ki ketika meninggalkannya.
Sekarang dia jadi pulas tidak sadar apapun.
Tentu saja dia juga tidak bisa memberikan perlawanan.
Siapa perempuan itu? Mungkinkah Lok Ing yang pura-pura keluar dari kamar dan masuk lagi dengan mengendap-endap? Mungkinkah dia yang melakukan perbuatan serendah itu? Tidak! Kakek moyangnya merupakan salah satu dari tokoh sakti di dunia Bulim.
Namanya direndengkan dengan Cian Cong.
Kewibawaannya sebagai pangcu dari Ti Ciang Pang sudah menggemparkan dunia Kangouw.
Walaupun ada kemungkinan Lok Ing bisa melakukan perbuatan demikian, tapi Lok Hong tidak mungkin membiarkan cucu perempuannya ini merusakkan nama baik keluarga Lok yang telah dipupuk dengan susah payah selama ini.
Kalau begitu siapa? Apakah Mei Ling yang polos dan kekanak-kanakan? Apakah Kiau Hun yang cintanya berkobar-kobar? Memang betul, siapapun di antara mereka, kemungkinannya ada.
Tetapi kalau ditilik dari latar belakang kehidupan mereka dan pendidikan yang mereka kenyam selama ini, rasanya tidak mungkin mereka melakukan perbuatan yang demikian tidak tahu malu.
Siapakah orangnya? Siapa? Hal ini seperti sebuah permainan teka-teki yang membutuhkan jawaban.
BAGIAN VI Malam semakin larut.
Di sekitar hening mencekam.
Beberapa buah pondok yang terdapat di daerah itu begitu sunyinya bagai areal pekuburan.
Tampak gerakan perempuan itu begitu lincah dan cepat luar biasa.
Begitu kakinya mendarat di tanah, tidak terdengar suara sedikitpun.
Tapi nyalinya juga sangat besar.
Krek! Jendela kamar dibuka, diapun menyelinap ke dalam.
Ketika Lok Ing meninggalkan Tan Ki, sebelumnya dia sudah menotok urat darah tidur dan gagu pemuda itu.
Suara deritan jendela yang didorong oleh perempuan itu cukup jelas.
Tapi tetap saja Tan Ki tidak sadarkan diri.
Sepasang mata perempuan itu jelalatan ke sana ke mari.
Dia memperhatikan isi ruangan tersebut.
Dia menyalahkan lampu minyak yang tergantung di dinding.
Ruangan kamar yang tadinya gelap gulita itu, lambat laun menjadi agak terang.
Di bawah sorotan lampu yang remang-remang, masih tertampak raut wajah perempuan tersebut.
Usianya sekitar dua puluh empat tahunan.
Tampangnya cantik jelita.
Di antara kedua alisnya terdapat sebuah andeng-andeng berwarna hitam.
Tanda itu seperti melambangkan kegenitan, kegairahan yang bergelora.
Ketika dia melihat Tan Ki, kakinya maju lagi dua langkah, kemudian dia duduk di sisi tempat tidur, matanya bersinar terang, dia menatap Tan Ki lekat-lekat.
Diperhatikannya mulut, hidung, mata, alis seluruh raut wajah Tan Ki dengan pandangan yang tidak bosan-bosannya.
Tiba-tiba, terdengar suara tertawanya yang ringan, dia mengulurkan tangannya dan mengusap wajah Tan Ki sebanyak dua kali.
Gerakannya santai, seperti tidak ada perasaan jengah ataupun malu sedikitpun.
Suara tertawanya yang bebas malah membuat hati orang yang mendengarnya jadi berdebar-debar.
Mendadak tangannya menepuk, dia telah membebaskan urat darah Tan Ki yang tertotok.
Lambat laun, dia tersadar dari totokannya.
Begitu mata memandang, ternyata di hadapannya adalah seorang perempuan, tentu saja dia merasa hal itu di luar dugaan dan terkejut sekali.
"Siapa kau?"
Bentaknya. Perempuan itu tertawa dengan santai.
"Orang yang datang untuk menolongmu."
Sahutnya tenang.
"Menolong aku? Kau tidak takut tertangkap basah oleh Lok Locianpwe?"
"Mereka sedang tidak ada."
Tiba-tiba Tan Ki teringat, kentungan ketiga malam ini, Cian Cong dan Ciu Cang Po telah berjanji untuk bertemu di Cui Sian Lau.
Mereka akan bertarung sekali lagi.
Tentunya kakek dan cucu dari keluarga Lok itu ikut menyaksikan keramaian tersebut.
Mulutnya segera mengeluarkan suara.
"oh!"
Satu kali kemudian menundukkan kepalanya merenung. Kemudian telinganya menangkap lagi suara perempuan itu yang lembut.
"Hengte, kau diringkus oleh Lok Laotao ke tempat ini, mengapa kau tidak berusaha untuk melarikan diri?"
Panggilan Hengte yang keluar dari mulutnya, terdengar demikian mesra.
Tampaknya perempuan ini sangat terbuka dan tidak malu-malu.
Tetapi dalam pendengaran Tan Ki justru menyeramkan dan membuat wajahnya menjadi merah padam.
Hatinya menjadi tidak tenang.
Dia tertegun beberapa saat.
"Isi perutku terluka sehingga sulit menggerakkan anggota tubuh dengan leluasa."
Sahutnya kemudian.
"Hengte, aku mempunyai akal untuk menyembuhkan luka dalammu, tetapi"
Dia sengaja menghentikan kata-katanya di tengah jalan dan membungkam.
"Tetapi apa?"
Tanya Tan Ki cepat. Perempuan itu tersenyum misterius.
"Aku akan menyembuhkan luka dalammu. Tetapi setelah dirimu sembuh kau harus melakukan sesuatu hal sebagai imbalannya."
Tan Ki termenung sejenak, kemudian dia menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, asal bukan perbuatan membunuh orang atau mencelakakan orang, tetapi urusan yang masuk akal, aku tentu akan melakukannya dengan sekuat kemampuan."
Baru saja ucapannya selesai, hidungnya mengendus serangkum keharuman yang samar-samar.
Perlahan-lahan membuai perasaannya.
Ternyata gadis itu sedang menggeser tubuhnya agar lebih dekat lagi dengan Tan Ki.
Pada saat itu, musim panas sudah mencapai pertengahannya.
Udara memang agak panas.
Perempuan itu mengenakan pakaian tanpa lengah dan agak tipis.
Tampak sepasang lengannya yang putih dan indah.
Gulungan angin yang membawa keharuman langsung menerpa indera penciuman Tan Ki.
Tan Ki merasa kulit tubuh perempuan itu menempel dengan tubuhnya.
Sejuk dan lembut.
Sekumpulan perasaan yang sulit diuraikan memenuhi hatinya.
Pikirannya seperti bergelora, wajahnya terasa panas dan dia langsung mengerutkan sepasang alisnya dengan pikiran yang tidak tenang.
Mengapa urusan yang terjadi beberapa hari ini, selalu ada kaitannya dengan kaum perempuan dan selalu yang bukan-bukan saja? pikirnya dalam hati.
Tiba-tiba terlihat perempuan itu tersenyum lembut.
Tangannya bergerak dan secara berturut-turut dia menepuk tiga puluh enam urat nadi Tan Ki.
Gerakannya ini tentu saja mengandung maksud tertentu.
Ketika dia selesai menepuk ketiga puluh enam urat nadi di tubuh Tan Ki, wajahnya langsung menjadi merah padam dan keringatnya yang harum mengalir dengan deras.
Dia mengeluarkan tiga butir pil dari balik sakunya yang kemudian disuapkan ke mulut Tan Ki.
Setelah itu dia mengatur nafasnya sejenak dan tersenyum.
"Hengte, kau boleh menarik nafas beberapa kali. Coba lihat apakah masih merasakan sesuatu di dalam tubuhmu?"
Katanya.
Tan Ki menuruti kata-katanya dan menarik nafas beberapa kali.
Dia merasa hawa murninya beredar dengan lancar, begitu pula aliran darah dalam tubuhnya.
Ternyata luka dalamnya sudah sembuh secara tuntas.
Hatinya gembira sekali.
Dia cepat-cepat turun dari tempat tidur dan menjura dalam-dalam kepada perempuan tersebut.
"Terima kasih atas budi pertolongan Toa-ci, Siaute tidak tahu bagaimana harus membalasnya."
Perempuan itu mengangkat lengan bajunya untuk menutupi mulutnya. Dia tertawa terkekeh-kekeh.
"Jangan gembira dulu, meskipun pengobatanku ini sangat manjur, tetapi bukan berasal dari aliran yang lurus. Dalam dua belas kentungan kau tidak boleh sembarangan menggerakkan hawa murni dalam tubuhmu ataupun bergebrak dengan orang. Kalau tidak, luka lama akan kambuh kembali bahkan lebih parah dari yang pertama. Kalau sampai hal ini terjadi, walaupun si tabib sakti Huo To hidup kembali, dia juga tidak dapat memberikan pertolongan apa-apa."
Tan Ki tertegun mendengar ucapannya.
"Benar?"
Perempuan itu tersenyum simpul.
"Buat apa aku membohongimu?"
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Matanya menyiratkan cahaya yang penuh gairah.
"Udara panas sekali."
Katanya kemudian.
Terdengar suara, Bret! Tahu-tahu dia telah membuka kancing bajunya.
Sesaat kemudian terlihatlah kutangnya yang berwarna merah menyolok mata.
Rupanya dia benar-benar membuka pakaiannya yang sebelah atas.
Wajahnya menghadap cahaya lampu, terang berkilauan.
Membuat gairah dalam hati jadi terbangkit.
Hati Tan Ki berdebar-debar melihatnya, wajahnya yang tampan jadi merah padam.
Sejak dilahirkan, dia belum pernah melihat tubuh seorang perempuan.
Bahkan kali ini, mungkin merupakan pemandangan yang baru baginya.
Serangkum bau yang harum terendus lewat hembusan angin.
Dengan berani perempuan itu mengulurkan tangannya dan memeluk leher Tan Ki.
Kulit tubuh saling bersentuhan, pelukan yang lembut dan menyegarkan.
Perasaan di hatipun terasa aneh.
Tan Ki jadi terbuai.
Pandangan yang tertangkap oleh matanya hanya semacam kehangatan dan selembar wajah yang cantik.
Dia merasa hampir tidak dapat mempertahankan diri lagi.
Segulung arus birahi seperti mengalir ke atas otaknya.
Nafasnya mulai memburu, matanya mulai memancarkan sinar yang membara! Telinganya kembali menangkap suara tawa perempuan itu yang genit.
Bagai irama pembetot sukma.
Tiba-tiba dengan gerakan yang mendadak dia memeluk pinggang perempuan tersebut, matanya yang membara menatap wajah perempuan itu lekat-lekat.
Tepat pada saat itu, dia merasa perempuan itu demikian menawan hati dan mempunyai keistimewaan yang tidak dapat diuraikan dengan katakata.
Dia merasa setiap tetes keringat yang membasahi wajah perempuan itu bagaikan puluhan bunga yang bermekaran.
Hal mana membuat orang yang melihatnya jadi jatuh hati.
Dia jadi termangu-mangu seketika.
Lama-lama sekali, tidak ada sepatah ucapanpun yang keluar dari bibir mereka.
Kamar itu menjadi senggang, tiada suara yang terdengar, udara bagai diselimuti semacam kegairahan yang tidak terkendalikan! Tan Ki sudah terbuai oleh pemandangan indah di depan matanya.
Pikirannya mulai kacau.
Dia hampir tidak dapat mengendalikan gelombang ombak yang menghempashempas perasaannya.
Tiba-tiba dia mengencangkan pelukannya.
Seluruh tubuh perempuan itu yang lembut dan mungil otomatis terjerembab dalam pelukannya.
Manusia Yang Bisa Menghilang -- Khu Lung Anak Naga -- Chin Yung Golok Kumala Hijau -- Gu Long