Ceritasilat Novel Online

Dendam Iblis Seribu Wajah 20


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 20



Dendam Iblis Seribu Wajah Karya dari Khu Lung

   

   Wajahnya menyiratkan perasaan bimbang.

   Kedua orang itu terdiam untuk sekianlama, mereka saling pandang tanpa mengucapkan sepatah katapun.

   Tan Ki merasa dengan berdiam diri seperti ini, rasanya bukan tindakan yang baik.

   Akhirnya dia mengungkit kembali masalah yang tadi.

   "Mengapa kau tidak meninggalkan jalan yang sesat dan kembali menjadi orang baikbaik saja?"

   Kiau Hun tertawa getir.

   "Sekarang baru mengatakan semua ini, memangnya masih belum terlambat? Meskipun aku mempunyai niat demikian, tetapi pelaksanaannya justru tidak semudah berbicara saja.

   "Mengapa sulit? Apakah mereka mengancam dirimu sehingga kau tidak dapat melepaskan diri dari pihak Lam Hay Bun?"

   "Tidak juga."

   "Sebetulnya apa yang terkandung dalam hatimu, aku benar-benar tidak dapat menduganya."

   Kiau Hun tersenyum tipis. Dia mengusap bekas air mata yang masih membasahi pipinya.

   "Kalau kau dapat menduga apa yang kupikirkan, tentu kau tidak akan menikahi Liu Mei Ling, bekas nonaku itu."

   Mendengar kata-katanya, sekali lagi Tan Ki tertegun. Dia merasa seperti ada sebuah batu yang berat menggelayuti hatinya sehingga dia tidak sanggup mengutarakan bagaimana perasaannya saat itu.

   "Apakah kau merasa hatimu gundah sekarang ini?"

   Tanya Kiau Hun kembali. Tan Ki menarik nafas panjang-panjang.

   "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan."

   Sahutnya terus terang. Baru saja ucapannya selesai, tiba-tiba dari mengejar si gadis yang mengenakan cadar tadi?"

   Tan Ki membalikkan tubuhnya. Dia sengaja mengalihkan pokok pembicaraan.

   "Bagaimana keadaan di dalam goa?"

   "Masih lumayan. Setelah diborehkan obat, luka Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe tidak mengalirkan darah dan tidak perlu dikhawatirkan lagi. Sedangkan Yang Jen Ping, Goan Yu Liong dan Ban Jin Bu juga sudah menyusul ke sana."

   Tan Ki hanya menganggukkan kepalanya. Si pengemis cilik kembali melanjutkan katakatanya.

   "Si pengemis cilik tidak ingin banyak bicara. Tetapi Sam-siokmu meminta aku menyampaikan kepadamu bahwa pertandingan perebutan kedudukan Bulim Bengcu sudah di mulai. Kau harus muncul di sana secepatnya. Apabila kesempatan ini terlewati, maka harapanmu untuk merebut kedudukan itu tipis sekali. Cepatlah ke sana, urusan lainnya kau tidak perlu ikut campur lagi."

   "Tian Bu Cu Locianpwe sedang menutup diri, tugas menjaga pintu batu terpaksa kuserahkan kepada Cu-heng."

   Kata Tan Ki.

   Baru saja ucapannya selesai, tubuhnya sudah berkelebat pergi menuju ruang pertandingan.

   Dalam sekejap mata, dari kejauhan sudah terlihat kerumunan orang banyak.

   Jumlahnya mungkin di atas seratus orang.

   Tetapi meskipun tempat itu dipenuhi orang ramai, tetapi suasananya justru begitu mencekam tanpa terdengar suara sedikitpun.

   Tan Ki menyeruak di antara kerumunan orang banyak.

   Sambil mengatur pernafasannya dia memperhatikan beberapa saat.

   Ada beberapa orang yang sempat melihat bagaimana dia melukai utusan pihak Lam Hay dengan sebatang pedang sulingnya.

   Orang-Orang ini segera membagi diri menjadi dua bagian dan membuka jalan agar dia dapat lewat.

   Hal ini menandakan rasa kagum di dalam hati mereka.

   Seraya memberi salam kepada orang-orang itu, Tan Ki terus berjalan sampai barisan terdepan.

   Begitu pandangan matanya di alihkan ke tengah arena, dia melihat Goan Siong Fei dengan pecut lembutnya sedang menghadapi seorang kakek bungkuk bersenjatakan sebatang potlot besi.

   Mereka sedang bertarung dengan sengit.

   Cahaya yang terpancar dari ujung pecut Goan Siong Fei yang diganduli oleh sebuah logam berwarna keputihan dan bayangan potlot besi memenuhi tengah arena.

   Kedua orang ini merupakan pendekar pedang tingkat delapan yang sudah mempunyai nama di dunia Kangouw.

   Tenaga dalam mereka sudah mencapai taraf yang cukup tinggi.

   Jurus-jurus yang mereka kerahkan telah dilatih dengan matang.

   Baik pecut lemas maupun potlot besi selalu ditujukan ke arah jalan darah yang penting di bagian tubuh lawan.

   Semakin lama gerakan mereka semakin cepat, sehingga orang-orang yang menyaksikannya merasa pandangan mereka seperti berkunang-kunang.

   Tepat pada saat itu, dari luar masuk seorang nenek yang rambutnya sudah penuh dengan uban.

   Setiap kali ia melangkah, tongkat besinya menimbulkan suara berdentum di atas tanah.

   Gerakannya seperti orang yang santai, tetapi dalam sekejap mata dia sudah sampai di hadapan Yibun Siu San.

   Orang ini sama sekali tidak asing bagi Tan Ki.

   Dia adalah pendekar pedang tingkat sembilan yang selama beberapa hari ini tidak kelihatan batang hidungnya, juga merupakan bekas guru Kiau Hun dan Mei Ling, yakni Ciu Cang Po.

   Melihat tampangnya yang dekil dan wajahnya yang penuh debu, dapat diduga bahwa dia baru saja kembali dari perjalanan yang cukup jauh.

   Tan Ki segera merasa bahwa kepulangan Ciu Cang Po ini pasti membawa berita yang sangat penting, cepat-cepat dia menghambur ke depan mendekati nenek itu.

   Cian Cong langsung mengeluarkan suara tawanya yang bebas.

   "Si nenek pengemis ini pasti sudah letih sekali!"

   Yibun Siu San segera memerintahkan orang mengambil lagi sebuah kursi dan mempersilahkan nenek itu duduk di sana. Siapa nyana nenek itu malah menggelengkan kepalanya dan tidak bersedia langsung duduk. Wajahnya tampak kelam sekali.

   "Nenek tua menerima tugas berat dan menyampingkan dendam pribadi dengan meninggalkan bukit Tok Liong-hong ini. Aku menghubungi pihak lima partai besar agar segera mengirimkan bala bantuan ke sini sekaligus mengintai gerak-gerik pihak Lam Hay serta Si Yu. Beberapa hari pertamanya, aku masih bisa keluar masuk dengan bebas, tidak ada seorangpun yang sempat memergoki perbuatanku itu. Tidak tahunya beberapa hari yang lalu, ketika aku sedang menyelidiki seorang diri"

   Sepasang alis si pengemis sakti Cian Cong langsung berkerut-kerut mendengar ceritanya.

   "Apakah si nenek pengemis menemui kesulitan?"

   Ciu Cang Po langsung mendengus dingin.

   "Sampai di mana tingginya ilmu si nenek tua ini, dapatkah kau jelaskan dengan terperinci?"

   Rupanya si pengemis sakti Cian Cong tidak menduga kalau akan mendapat pertanyaan seperti ini. Untuk beberapa saat dia jadi tertegun, kemudian dia memejamkan matanya merenung sebentar.

   "Tinggi rendahnya ilmu kepandaian si nenek pengemis, apabila hendak dijelaskan secara terperinci sebetulnya sulit sekali. Tetapi si pengemis tua mengakui bahwa kau memang bernyali besar dan banyak akalnya. Sedangkan tenaga dalammu hampir seimbang dengan si pengemis tua. Tempo hari di atap gedung Cui Sian-lau, si pengemis tua kebetulan mendapat peluang bagus dan dengan jurus Lengan Pakaian Beterbangan Masuk ke Dalam Hutan, baru bisa memaksakan diri mengalahkan dirimu. Secara kasarnya, boleh dibilang kepandaianmu itu di bawah tiga orang, di atas laksaan orang."

   Wajah Ciu Cang Po yang sudah penuh keriput jadi merah jengah mendengar pujiannya.

   "Kalian semua tentunya sudah tahu bahwa watak nenek tua ini picik dan ingin menang terus. Terhadap siapapun tidak sudi mengalah. Tetapi beberapa malam yang lalu ketika kepergok, ternyata aku dikalahkan dalam tujuh jurus saja."

   Sembari berkata, dia mengangkat lengan kirinya.

   Begitu pandangan mata orang memperhatikan, ternyata lengan pakaiannya sudah koyak sepanjang empat cun.

   Setelah lewat dua hari bekas luka berdarah masih menimbulkan warna kehitaman.

   Wajah Yibun Siu San jadi kelam seketika.

   "Siapa sebetulnya yang melukaimu itu?"

   Hatinya memang terkejut setengah mati, orang yang dapat melukai Ciu Cang Po dalam tujuh jurus benar-benar tidak dapat dianggap enteng.

   Tetapi dia memang tidak malu disebut sebagai tokoh tua yang sudah banyak pengalaman di dunia Kangouw.

   Meskipun terkejut, tetapi penampilannya masih menunjukkan ketenangan.

   "Dia adalah seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh tiga tahunan. Aku melihat Bun Bu-siang Cia Tian Lun, Tong Ku Lu beserta tiga tongcu lainnya bersikap hormat sekali kepada orang ini. Tadinya aku mengira dialah sang tocu dari Lam Hay Bun pribadi. Tetapi kenyataannya bukan, dia merupakan murid tunggal tocu besar tersebut, namanya Hua Pek Cing."

   Mendengar kata-katanya, tanpa dapat ditahan lagi berpasang-pasang alis dari para jago tingkat sembilan dan Tan Ki langsung menjungkit ke atas.

   Serentak mereka menundukkan kepala merenung.

   Sebab mereka tahu pasti bahwa watak Ciu Cang Po sangat keras dan tidak sudi mengaku kalah kepada siapa saja.

   Tanpa alasan yang pasti, dia tidak mungkin mengucapkan kata-kata yang merendahkan derajatnya sendiri.

   Kalau Hua Pek Cing memang murid tunggal Toa Tocu, tetapi hanya dalam tujuh jurus dia berhasil melukai Ciu Cang Po, dengan demikian Yibun Siu San, Cian Cong beserta Lok Hong yang hanya menang satu garis dari Ciu Cang Po, tentu masih terpaut jauh apabila dibandingkan dengan tocu dari Lam Hay Bun sendiri.

   Tan Ki pribadi juga mempunyai pikiran bahwa apabila pihak Lam Hay dan Si Yu bergabung menjadi satu kekuatannya tidak dapat dianggap main-main, pengaruhnya pasti besar sekali.

   Kalau ditilik dari tokoh-tokoh yang datang tadi malam saja, paling tidak masih ada empat tokoh tingkat sembilan yang belum menampakkan diri.

   Sedangkan jago-jago lainnya entah masih berapa banyak lagi.

   Ditinjau dari keadaan ini, seandainya kedua pihak berhadapan secara terang-terangan, meskipun di puncak bukit Tok Liong-hong banyak jago-jago daerah Tiong-goan, kemungkinan tetap masih bukan tandingan pihak Lam Hay.

   Satu-satunya jalan hanyalah mengajak lima partai besar ikut bergabung melawan golongan sesat yang ingin menguasai Tionggoan tersebut.

   Namun siapa yang sanggup melawan pimpinan mereka yang paling lihai itu? Tan Ki berusaha mengingat satu per satu tokoh berilmu tinggi yang pernah diketahuinya.

   Tanpa dapat ditahan lagi dia tertawa pahit, karena meskipun orang berilmu tinggi di puncak bukit Tok Liong-hong ini cukup banyak, namun orang yang benar-benar dapat menandingi tocu besar dari Lam Hay Bun itu, kemungkinan hanya tokoh sakti dari Bu Tong San, yakni Tian Bu Cu Locianpwe.

   Sejak tadi Lok Hong duduk di samping tanpa mengucapkan sepatah katapun.

   Tiba-tiba terdengar dia mengajukan pertanyaan kepada Ciu Cang Po.

   "Kau mengatakan bahwa jejakmu berhasil dipergoki pihak musuh, malah setelah terjadinya pertarungan sengit, kau terluka dalam tujuh jurus. Entah bagaimana kau bisa melarikan diri belakangan?"

   "Si nenek tua mengira pertarungan tersebut boleh dibilang untuk yang terakhir kalinya. Meskipun sudah terluka, aku tetap tidak mau mengaku kalah. Aku pikir lebih baik mengadu jiwa dengan orang itu. Rupanya walaupun tenaga dalam cukup tinggi, tetapi dalam gerakan dan jurus-jurus serangan, aku masih bukan tandingan Hua Pek Cing. Baru bertarung dengan nekat sebanyak tiga jurus, ujung pedangnya sudah menunjuk ke bagian yang penting di dadaku."

   Mendengar sampai di sini, hati orang-orang gagah tidak ada satupun yang tidak tercekat.

   Meskipun sekarang ini orangnya sendiri masih berdiri dalam keadaan sehat di depan mata, tetapi membayangkan kejadian yang dialaminya saat itu, hati mereka tidak urung bergidik juga.

   Setelah berhenti sejenak, Ciu Cang Po melanjutkan kembali kata-katanya.

   "Keadaan waktu itu gawat sekali. Si nenek tua sendiri maklum bahwa tidak mungkin bisa meloloskan diri dari kematian. Meskipun ada niat mengadu jiwa dan mengorbankan diri dalam pertarungan, namun semuanya sudah terlambat. Baru saja aku memejamkan mata menunggu datangnya malaikat elmaut, tiba-tiba telinga ini mendengar suara benturan logam, nadanya begitu keras sehingga hatipun ikut terguncang. Bunga api memercik ke mana-mana. Aku segera menenangkan hatiku dan memperhatikan dengan seksama. Hua Pek Cing yang berilmu aneh dan dalam sepuluh jurus sanggup merenggut selembar nyawaku, ternyata terdesak mundur sejauh empat langkah oleh seorang gadis ingusan!"

   Mulut Cian Cong sampai terbuka lebar-lebar. Pandangan matanya menyiratkan rasa penasaran yang tidak terkatakan.

   "Masa ada kejadian seperti itu?"

   Ciu Cang Po tertawa dingin.

   "Si nenek tua dapat meloloskan diri dari tangan malaikat elmaut sehingga selembar nyawa tua ini dapat dipertahankan, justru berkat pertolongan si gadis cilik itu. Percaya atau tidak, terserah. Si nenek tua juga tidak ingin mengoceh banyak-banyak!"

   Yibun Siu San maklum di antara kedua orang ini masih tersimpan rasa mendongkol karena pertarungan tempo hari.

   Dia khawatir urusan akan jadi panjang dan timbul perteng-karan yang tidak diinginkan.

   Oleh karena itu, cepat-cepat dia mengembangkan seulas senyuman.

   "Cayhe percaya sepenuhnya atas apa yang kau katakan. Tentu semuanya diucapkan dari hati yang paling dalam. Tetapi gadis cilik itu ternyata berilmu demikian tinggi dan sanggup menggetarkan pedang Hua Pek Cing, sebetulnya memang membuat orang terkejut mendengarnya."

   "Seandainya gadis cilik itu hanya menolong aku pergi dari tempat itu dan tidak ada urusan lainnya lagi, tentu orang-orang juga belum tentu percaya atau merasa terkejut."

   Sinar matanya yang tajam menyapu ke sekeliling sekilas kemudian berhenti pada wajah Tan Ki. Dia melanjutkan kembali kata-katanya.

   "Gadis cilik itu menitip pesan kepada si nenek tua. Dia mengeluarkan sebatang pedang pusaka yang selalu dibawanya dan meminta aku menyerahkannya kepada Tan Ki sebagai hadiah darinya. Dalam waktu yang bersamaan dia juga menitipkan sepucuk surat agar dibaca olehnya."

   Seraya berkata, dari dalam lengan bajunya yang longgar dia mengeluarkan sebatang pedang kuno berwarna kehitam-hitaman.

   Kalau diperhatikan, mungkin usia pedang itu sudah lebih dari dua ratus tahunan.

   Telapak tangannya menggenggam sepucuk surat berwarna merah jambu yang kemudian diserahkannya kepada Tan Ki.

   "Gadis cilik itu pasti mengenal baik dirimu. Tanpa merasa berat sedikitpun dia menghadiahkan pedang pusaka ini kepadamu. Meskipun si nenek tua mendapat pertolongan darinya, tetapi sebetulnya dia melakukannya karena memandang dirimu."

   Tan Ki segera membuka surat itu dan membacanya.

   Dia melihat di atas kertas berwarna putih tertera tulisan yang indah dan rapi.

   Secara garis besarnya, isi surat itu menyatakan.

   Peristiwa melukai Liok Giok yang tanpa sengaja sudah berlalu dan tidak usah dipikirkan lagi.

   Dia sudah mengikuti majikannya kembali ke Tian San, Kali ini mereka menuju ke selatan dengan maksud mengambil rumput obat-obatan.

   Tanpa sengaja menolong Ciu Cang Po merupakan kejadian yang tidak terduga olehnya sendiri.

   Mendengar dari nenek itu bahwa Tan Ki masih ada di puncak bukit Tok Liong-hong untuk ikut dalam perebutan Bulim Bengcu dan dia terpaksa harus memohon diri secepatnya.

   Dia sendiri tidak mempunyai apa-apa sebagai hadiah kecuali sebatang pedang pusaka itu.

   Pedang itu sendiri merupakan pemberian majikannya yang diberi nama Pedang Penghancur Pelangi.

   Apabila ada kesempatan, dia akari berusaha menemui Tan Ki.

   Tan Ki melihat isi surat itu mengandung ketulusan hati yang tidak terkirakan.

   Bahkan setelah mengetahui bahwa dia akan ikut dalam pertandingan perebutan kedudukan Bulim Bengcu, gadis itu tidak perduli akan mendapat omelan dari majikannya dengan menghadiahkan pedang pusaka.

   Perasaan hati yang tulus ini membuat hati Tan Ki terharu sekali.

   Sepasang tangannya sampai gemetar dan hampir saja surat itu terlepas dari genggaman tangannya.

   Sambil melihat perkembangan yang terjadi di atas arena pertandingan, Yibun Siu San juga memperhatikan tampang wajah Tan Ki saat itu.

   Melihat wajahnya menyiratkan rasa haru yang dalam, tanpa dapat menahan diri lagi dia segera bertanya.

   "Apakah kau mengenal gadis cilik itu?"

   Tan Ki menganggukkan kepalanya berkali-kali.

   "Dialah pelayan si gadis berpakaian putih yang merupakan pemilik Liok Giok yang pernah dilukai keponakanmu ini tanpa sengaja."

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Terdengar suara desahan dari mulut Yibun Siu San.

   "Tampaknya perempuan yang kau kenal tidak sedikit juga jumlahnya."

   Wajah Tan Ki jadi merah padam. Dia tidak berani menyahut sepatah pun.

   "Apa yang tertulis dalam suratnya itu?"

   Tanya si pengemis sakti Cian Cong.

   "Hal yang biasa-biasa saja, tidak ada keistimewaan apa-apa."

   Tiba-tiba terdengar Ciu Cang Po menukas.

   "Apakah nona cilik itu tidak mengungkit soal Lam Hay dan Si Yu yang akan menggempur Tok Liong-hong?"

   Tubuh Yibun Siu San dan Cian Cong agak bergetar mendengar kata-katanya. Serentak mereka bertanya.

   "Kapan mereka akan menggempur kita?"

   "Sore ini!"

   Sahut Ciu CangPo sambil mengalihkan wajahnya bertanya kepada Tan Ki.

   "Apa lagi yang dikatakannya?"

   "Tidak ada lagi, dia hanya mengatakan apabila ada kesempatan akan menemui Boanpwe."

   Tiba-tiba terdengar suara benturan senjata yang memekakkan telinga.

   Ternyata pecut lemas Goan Siong Fei dan potlot si orangtua bungkuk putus dalam waktu yang bersamaan.

   Kedua sosok tubuh mereka juga langsung memencar.

   Rupanya Goan Siong Fei mengadu kekerasan dengan orangtua bertubuh bungkuk itu.

   Keduanya sama-sama mengerahkan tenaga dalam ke arah senjata masing-masing sehingga kedua senjata tidak dapat mempertahankan diri lalu putus menjadi dua bagian.

   Perubahan yang mengejutkan ini benar-benar di luar dugaan, dengan demikian katakata Tan Ki jadi terhenti.

   Baik Yibun Siu San, Lok Hong, Cian Cong dan Ciu Cang Po segera memalingkan wajahnya melihat ke tengah arena.

   Sementara itu, Ceng Lam Hong yang berdiri di belakang Yibun Siu San tampak maju ke depan.

   Dia mengambil Pedang Penghancur Pelangi pemberian Mei Hun dan diserahkannya kepada Tan Ki.

   "Simpanlah pedang ini baik-baik, mungkin nanti kau memerlukannya."

   Sembari tersenyum simpul, Tan Ki menyambut pedang itu.

   Pandangan matanya kembali beralih ke tengah arena.

   Rupanya Goan Siong Fei sudah, berniat menyelesaikan pertarungan secepat mungkin.

   Pecut lemasnya yang terputus segera dibuang ke atas tanah.

   Dalam waktu yang bersamaan, telapak tangan kirinya menjulur keluar dan mengirimkan sebuah serangan.

   Kakek tua bertubuh bungkuk itu menggeser tubuhnya sedikit.

   Dia mengelak dari serangan Goan Siong Fei, mulutnya mengeluarkan suara bentakan.

   Dengan jurus Awan Bergerak Menutupi Rembulan, dia membalas serangan Goan Siong Fei.

   Terdengar suara benturan, kedua orang itu mengadu tenaga dalam dengan kekerasan.

   Masing-masing tergetar mundur sejauh satu langkah.

   Goan Siong Fei bernyali besar, begitu mundur dia langsung maju lagi.

   Sepasang telapak tangannya dirapatkan.

   Dengan jurus Dua Rangkum Angin Menerpa Telinga, dia melancarkan sebuah serangan.

   Dalam waktu yang bersamaan, kaki kanannya mengirimkan sebuah tendangan.

   Sasarannya bagian perut si kakek bungkuk.

   Sekali maju dia mengerahkan dua jurus sekaligus.

   Serangannya hebat bukan main.

   Diam-diam hati si kakek bungkuk merasa terkejut bukan kepalang, pikirannya tergerak.

   Orang ini pemberani sekali, benar-benar manusia yang jarang terlihat di dunia ini.

   Ketika mengadu kekerasan tadi, kelihatannya tidak ragu sama sekali.

   Padahal tenaga dalamnya tidak lebih tinggi dari diriku, tetapi mengapa tanpa mengatur pernafasan sama sekali, dia berani melancarkan serangan kembali? Justru ketika pikirannya masih tergerak, sepasang telapak tangan dan tendangan Goan Siong Fei sudah hampir mencapai dirinya.

   Apabila si kakek bungkuk ingin mengelakkan serangan tersebut, pasti sudah terlambat.

   Akhirnya dia terpaksa menghimpun hawa murninya dan dengan posisi menahan di depan dada, dia menghantamkan sepasang telapak tangannya ke depan.

   Dengan jurus Dua Naga Mencipratkan Air, dia merentangkan sepasang tangannya.

   Sekali dia menyambut serangan Goan Siong Fei dengan kekerasan.

   Dalam waktu yang bersamaan, kaki kanannya juga menyapu ke depan, dengan berani dia menyambut tendangan Goan Siong Fei.

   Terdengar lagi suara keras yang menggelegar, dua pasang tangan dan sepasang kaki kembali beradu.

   Tenaga dalam kedua orang ini boleh dibilang seimbang.

   Orang-orang gagah yang melihatnya sampai tercekat.

   Diam-diam mereka berpikir dalam hati.

   Cara berkelahi tanpa memperdulikan mati hidup diri sendiri, benar-benar baru terlihat kali ini saja Terdengar suara tertawa dingin dan dengusan berat dalam waktu yang bersamaan.

   Kedua orang itu sama-sama tergetar mundur sejauh tiga langkah.

   Secara berturut-turut sebanyak dua kali mereka mengadu kekerasan.

   Hal ini membuat hawa murni dalam tubuh mereka terkuras banyak.

   Aliran darah beredar semakin cepat dan nafaspun tersengalsengal.

   Keringat membasahi seluruh wajah mereka dan terus menetes turun.

   Tan Ki yang menyaksikan hal ini diam-diam mengerutkan sepasang alisnya.

   Selama beberapa bulan terakhir ini, dia sudah menjumpai banyak kejadian aneh.

   Pengetahuannyapun semakin luas.

   Dia tahu ilmu kedua orang itu setali tiga uang.

   Sulit membedakan siapa yang lebih unggul.

   Apabila terus bertarung dengan mengadu kekerasan seperti sekarang ini, paling-paling kedua pihak sama-sama rubuh dalam keadaan terluka.

   Hatinya berniat memecahkan masalah mereka, tiba-tiba telinganya mendengar suara siulan yang panjang.

   Nadanya bagai burung merak yang melengking murka.

   Tanpa dapat ditahan lagi dia segera mendongakkan kepalanya.

   Justru dalam waktu sekejap mata itulah, di samping Goan Siong Fei sudah bertambah seorang gadis berpakaian merah.

   Tampak gadis itu berkulit halus dengan sepasang bibir yang menantang.

   Pakaiannya yang berwarna merah membungkus tubuhnya dengan ketat sehingga setiap lekuk tubuhnya kentara jelas.

   Kecantikannya menyiratkan kematangan.

   Gadis ini sama sekali tidak asing bagi Tan Ki.

   Dialah Kiau Hun yang memihak ke Lam Hay Bun.

   Setelah melihat jelas, hati Tan Ki tercekat bukan kepalang.

   Dia segera mengedarkan pandangan matanya.

   Ternyata dia melihat Oey Ku Kiong dengan pakaian putih berdiri di antara kerumunan orang banyak.

   Hanya saja saat ini dia sudah melepaskan cadar penutup wajahnya.

   Kemunculan Kiau Hun yang tidak terduga-duga itu tampaknya membuat Goan Siong Fei beserta si kakek bungkuk jadi tertegun beberapa saat.

   Otomatis telapak tangan mereka ditarik kembali kemudian keduanya mencelat mundur ke belakang.

   Kiau Hun menatap kedua orang itu sambil tersenyum simpul.

   Senyumannya mengandung gaya yang kenes dan matanya menyorotkan sinar tajam menusuk sehingga kedua laki-laki yang memandangnya merasa jengah sendiri.

   Mereka cepat-cepat memalingkan wajahnya dan tidak berani melihat lebih lama.

   Telinga mereka menangkap suara yang merdu.

   "Dengan segenap kemampuan kalian terus bertarung. Apalagi sama-sama menyambut serangan, musuh dengan kekerasan. Tentunya hawa murni di dalam tubuh kalian sudah banyak membuyar dan tubuhpun letih sekali. Mungkin sudah waktunya kalian beristirahat sebentar."

   Goan Siong Fei mendengar nada suaranya begitu lembut dan merdu.

   Seluruh tubuhpun benar-benar terasa letih.

   Matanya terasa mengantuk.

   Begitu dia menolehkan kepalanya, dia melihat juga terpikat oleh suaranya yang lembut.

   Matanya hampir tidak bisa dibuka Tiba-tiba hatinya jadi tergerak, cepat-cepat dia mengeluarkan suara bentakan dan mencelat ke atas.

   "Perempuan siluman berani main-main, lihat seranganku!"

   Telapak tangannya langsung menghantam ke depan. Kiau Hun mencelat mundur ke belakang. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman.

   "Kau benar-benar sudah letih, jangan sembarangan mengumbar hawa amarah dalam hatimu."

   Sekonyong-konyong kepala Goan Siong Fei terasa pening.

   Tenaga dalamnya tidak dapat dikerahkan lagi.

   Hatinya terkejut setengah mati, cepat-cepat dia menghimpun hawa murninya dan mengeluarkan suara siulan yang panjang.

   Dengan demikian pikirannya menjadi jernih kembali.

   Telapak tangan kirinya langsung mengerahkan jurus Membangun Jembatan Besi, dilancarkannya sebuah serangan ke depan.

   Dalam waktu yang bersamaan kaki kirinya melayang, sekaligus dia mengerahkan dua buah serangan.

   Sementara itu, si kakek bungkuk juga baru tersentak sadar.

   Dia segera menyadari gadis berpakaian merah itu menggunakan semacam ilmu yang disebut Ilmu Pembetot Sukma, dengan demikian dia dan Goan Siong Fei seperti dihipnotis.

   Untung saja tenaga dalamnya cukup kuat, pengetahuannya juga luas sekali.

   Begitu merasa curiga, dia langsung menenangkan pikirannya.

   Mulutnya juga mengeluarkan bentakan yang keras dan dengan posisi tangan menahan di depan dada, sepasang telapak tangannya mengirimkan serangan ke depan! Empat buah tangan dan sebuah kaki yang mengirimkan serangan segera menimbulkan suara angin yang menderu-deru.

   Serangan ini mengandung tenaga yang kuat, sasarannya bagian dada, pinggang dan perut Kiau Hun.

   Kiau Hun memperdengarkan suara tawa yang dingin.

   "Cepat juga kalian tersadar."

   Sindirnya.

   Meskipun kata-kata itu diucapkan dengan datar, namun terdengar di telinga justru tajam menusuk.

   Tampak pakaiannya yang merah berkibar-kibar.

   Semua serangan yang ditujukan kepadanya ternyata mengenai tempat yang kosong.

   Debu-debu beterbangan, rumputrumput di sekitar mereka melambai-lambai.

   Tahu-tahu orangnya sudah mencelat ke samping sejauh lima langkah.

   Goan Siong Fei jadi termangu-mangu.

   Sesaat kemudian tubuhnya mencelat ke udara, telapak tangannya yang kanan menghantam dan jari tangan kirinya mengirimkan totokan.

   Dalam waktu yang singkat dia melancarkan serangan sebanyak dua belas jurus.

   Sedangkan si kakek bungkuk mengimbangi serangannya dengan melancarkan tiga buah pukulan.

   Kedua orang itu dari musuh malah menjadi kawan.

   Mereka bergabung menghadapi seorang lawan.

   Tampak telapak tangan membentuk bayangan dalam jumlah yang tidak terkirakan, angin yang terpancar dari serangan mereka tajam sekali.

   Setiap jurus yang dikerahkan mengandung kedahsyatan yang tidak terkirakan.

   Sasarannya selalu bagian tubuh yang membahayakan.

   Mereka maklum kemunculan Kiau Hun di tengah arena tentunya mengandung niat ikut merebut kedudukan Bulim Bengcu, tetapi tidak seharusnya dia menggunakan ilmu sesat begitu terjun ke tengah arena.

   Dia menghipnotis kedua lawannya agar terpengaruh pada apa yang dikatakannya.

   Oleh karena itu, hawa amarah Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk jadi meluap dan dari musuh keduanya malah bersatu menghadapi Kiau Hun.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tampak Kiau Hun tersenyum simpul, bibirnya kembali bergerak-gerak mengucapkan kata-kata yang bernada merdu.

   "Kalian boleh menyerang sesuka hati. Kalau dalam sepuluh jurus aku tidak dapat mengalahkan kalian sampai merasa takhluk, otomatis aku akan mengundurkan diri!"

   Seandainya ucapan ini dicetuskan oleh orang lain, tentu tidak ada orang yang menganggap sebagai kata-kata yang pongah.

   Tetapi karena yang mengucapkannya justru seorang gadis yang demikian muda, orang-orang gagah yang mendengarnya tidak ada satupun yang tidak mengerutkan alisnya dan berubah wajahnya.

   "Perkataan nona tidak perlu demikian congkak. Aku si orangtua sudah lama berkecimpung di dunia Kangouw, tetapi belum pernah bertemu dengan seorang gadis yang begitu sombong dan menganggap dirinya hebat sekali seperti engkau ini!"

   Wajah Kiau Hun langsung berubah mende ngar perkataannya. Tampangnya dingin dan datar.

   "Karena ucapan yang kau keluarkan ini, aku malah akan mengutungkan sebelah telingamu sebagai hukuman!"

   Tangan kirinya menekuk sedikit.

   Entah bagaimana caranya dia melakukan gerakan, tahu-tahu sebilah pedang pendek yang berkilauan telah tergenggam dalam telapak tangannya.

   Walaupun pedang itu sangat pendek, tetapi cahayanya justru terang sekali.

   Saat itu juga, orang-orang gagah merasa ada serang-kum hawa dingin yang menyebar dari tengah arena.

   Goan Siong Fei memalingkan kepalanya menatap ke arah si kakek bungkuk.

   Mulutnya mengembangkan tawa yang getir.

   Kedua orang itu sudah lama berkecimpung di dunia Kangouw, bukan saja pengetahuan mereka luas sekali, pengalamanpun banyak tidak terkirakan.

   Sekali lihat saja, mereka segera mengetahui bahwa pedang pendek di tangan Kiau Hun tajam sekali dan pasti dapat memotong besi dalam sekali tebasan.

   Oleh karena itu, mereka segera meningkatkan kewaspadaan dan berhati-hati menghadapi lawannya.

   Tiba-tiba terdengar suara bentakan dari mulut si kakek bungkuk.

   Tubuhn3ra berputar satu kali kemudian melesat ke depan.

   Tangan kanannya mengirimkan sebuah pukulan, suara angin yang ditimbulkannya berdesir-desir.

   Sementara itu telapak kirinya mengerahkan jurus Sungai Membeku Menjadi Es.

   Serangannya membawa suara siulan angin yang mendesing, dengan sengit ditujukannya ke dada Kiau Hun.

   Melihat hal itu Yibun Siu San menggeleng-geleng kepalanya sambil menarik nafas panjang.

   Dia menggumam seorang diri.

   "Meskipun serangannya keji dan dahsyat, tetapi menghadapi senjata lawan yang tajam dan langka itu, belum apa-apa dia sudah kalah satu tingkat."

   Ternyata apa yang diduganya sama sekali tidak salah.

   Walaupun Kiau Hun merasa rada terkejut melihat dia masih sanggup melancarkan serangan yang begitu hebat meskipun sudah bertarung dengan si kakek bungkuk, cukup lama, tetapi dia tidak bergerak atau mencelat mundur sama sekali.

   Hanya perge-langan tangannya saja yang memutar, ujung pedang yang memancarkan hawa dingin meluncur ke depan sehingga si kakek bungkuk terdesak mundur dan tidak berani menyambut dengan kekerasan.

   Tan Ki mulai tidak sabar melihat keadaan itu, dia menoleh kepada Yibun Siu San.

   "Siok-siok, cara bertarung seperti ini sama sekali tidak adil."

   Sekali lagi Yibun Siu San menarik nafas panjang.

   "Dengan tangan kosong kedua orang itu menghadapi lawan yang menggunakan senjata pusaka, tentu saja tidak adil. Tetapi dengan dua melawan satu orang, apabila mengerahkan segenap kemampuannya, boleh dibilang seimbang juga."

   "Namun, kita tidak boleh membiarkan dia mendapatkan kedudukan Bulim Bengcu!"

   "Mengenai hal ini aku tahu, pihak Lam Hay dan Si Yu akan menyerang kita sore ini juga. Bukan saja kita harus secepatnya memilih seorang Bulim Bengcu agar dapat merundingkan masalah ini dan mengatur persatuan menghadapi musuh, kita juga harus membuat peraturan baru supaya posisi kita lebih kuat. Tetapi, kecuali engkau seorang, pamanmu ini benar-benar tidak tahu siapa lagi yang cocok menduduki jabatan tersebut. Justru tergantung dari dirimu sendiri berhasil atau tidaknya."

   Tan Ki mendongakkan wajahnya dan menghembuskan nafas panjang.

   "Keponakan akan berusaha sekuat tenaga, kalah atau menang terpaksa melihat nasib!"

   Tiba-tiba terdengar Lok Hong menukas pembicaraan mereka.

   "Kau mendapatkan ilmu silatmu dengan mencuri dari dalam goa leluhur lohu. Apabila kau sampai gagal merebut jabatan Bulim Bengcu, lohu akan mempereteli tulang belulang di dalam tubuhmu dan meminta kembali ilmu silat yang kau miliki!"

   Justru pada saat mereka berbincang-bincang, ternyata keadaan di tengah arena telah terjadi perubahan yang besar.

   Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk sudah bertarung cukup lama, hawa murni dalam tubuh mereka sudah terkuras banyak.

   Di lain pihak, sebilah pedang pusaka di tangan Kiau Hun bagai naga sakti yang mengamuk, hal ini menambah kekuatannya.

   Di mana ujung pedangnya yang memancarkan hawa dingin menyerang, kedua orang itu tidak berani langsung menyambutnya.

   Apabila bukan mencelat mundur, mereka pasti menghindarkan diri ke samping.

   Dengan demikian mereka menjadi sulit mendekati tubuh Kiau Hun.

   Empat jurus telah berlalu.

   Bukan hanya orang-orang gagah yang menjadi penonton yang merasakan bahwa senjata di tangan Kiau Hun sangat tajam dan kedudukannya menjadi kuat, bahkan Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk juga sudah merasa bahwa mereka tidak mempunyai harapan untuk menang.

   Walaupun mereka bersatu menghadapi lawan dan tenaga dalam yang ada lebih hebat satu kali lipat lagi dari sekarang, tetap saja sulit menghadapi kedahsyatan pedang pendek tersebut.

   Hati mereka sudah merasa was-was.

   Menilik dari keadaan mereka sekarang ini, kemungkinan tidak sampai sepuluh jurus mereka akan berhasil dikalahkan oleh si gadis berpakaian merah itu.

   BAGIAN XLVIII Sementara itu, tampak Kiau Hun menyapu ke depan dengan pedang pendeknya, cahaya hijau berpijar-pijar.

   Secarik sinar memanjang sampai satu depan, persis seperti pelangi yang menggantung di langit, gerakannya dengan cepat meluncur ke arah si kakek bungkuk.

   Si kakek bungkuk memang tidak berani menghadapi senjata lawan secara berhadapan, tubuhnya berputar setengah lingkaran kemudian melesat mundur ke belakang dua langkah.

   Tampaknya Kiau Hun sejak semula sudah menduga bahwa dia akan melakukan gerakan ini.

   Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara bentakan yang nyaring, gerakan pedang di tangannya tahu-tahu berubah arah dan meluncur ke urat nadi di dada Goan Siong Fei.

   Dalam satu jurus, sekaligus dia melancarkari serangan kepada kedua orang itu.

   Perubahan gerakannya begitu cepat dan serangannya keji bukan main.

   Orang-orang gagah yang berkumpul di sana melihatnya sampai mata mereka membelalak dan mulut melongo.

   Hatipun terasa bergidik.

   Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk adalah tokoh-tokoh yang sudah mempunyai nama di dunia Kangouw.

   Sekarang mereka melihat kenyatan bahwa biarpun bergabung, tetap saja mereka tak sanggup menghadapi seorang gadis muda.

   Rasanya pamor mereka jatuh dan tidak ada muka menghadapi orang lain.

   Rasa malu dan marah membaur menjadi satu dalam dada.

   Tanpa sadar mereka berdua saling melirik sekilas, tiba-tiba muncul keinginan untuk mengadu jiwa dengan gadis ini.

   Mula-mula Goan Siong Fei membentak dengan suara keras, tubuhnya berkelebat dan melesat ke depan.

   Tangan kanannya membentuk cakar, dengan keji dia melancarkan cengkeraman ke dada Kiau Hun, sedangkan telapak tangan kirinya membawa serangkum angin yang kencang.

   Dengan jurus Mencari Jarum di Dasar Lautan, dia menghantam ke arah pusar gadis tersebut.

   Wajah Kiau Hun menjadi merah padam melihat serangannya yang keji.

   "Ke mana tujuan seranganmu? Kurang ajar!"

   Pedang pendek di tangannya langsung digetarkan, segera terlihat cahaya kilat yang dingin dengan ukuran besar sekali.

   Begitu terangnya sehingga menyilaukan mata, serangannya yang dahsyat membentuk perisai yang berkilauan dan menghantam ke arah wajah Goan Siong Fei.

   Sepasang mata Goan Siong Fei yang tajam sekali ternyata sulit menentukan ke bagian mana serangan itu ditujukan.

   Tadinya dia sudah bertekad untuk gugur secara perkasa sehingga serangan yang dilancarkannya tidak main-main, kalau bisa kedua belah pihak sama-sama terluka.

   Dengan demikian meskipun kalah, pamornya tidak sampai jatuh.

   Tahu-tahu Kiau Hun memaki dirinya dengan wajah merah padam dan mungkin kemarahan gadis itu jadi meluap dan menyerangnya dengan jurus yang tidak kepalang tanggung kejinya.

   Dia sendiri bagai tersentak sadar bahwa kedua serangannya tadi bisa dianggap kotor dalam, pandangan orang lain.

   Begitu pikirannya tergerak, cepat-cepat dia menjungkirbalikkan tubuhnya.

   Dengan jurus Ikan Lele Melompat-lompat, dia langsung mencelat mundur sejauh delapan sembilan langkah.

   Baru saja kakinya mendarat di atas tanah, dia segera mengalihkan pandangan matanya.

   Tampak sinar kehijauan melesat secepat kilat dan menimbulkan hawa dingin yang terasa menyusup ke dalam tulang.

   Kemudian ketika pedang itu ditarik kembali, terlihatlah hujan darah yang memercik ke mana-mana, disusul segera dengan suara jeritan ngeri si kakek bungkuk.

   Orangtua itu mencelat mundur sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

   Darah segar masih merembes dari tangan kirinya dan jatuh menetes ke atas tanah.

   Kiau Hun memperdengarkan suara tawa yang dingin sekali.

   Pedangnya menuding ke arah si kakek bungkuk.

   "Aku memotong sebelah telingamu sebagai peringatan! Lihat apakah lain kali kau masih berani sembarangan mengoceh dan bersikap kurang sopan terhadap diriku!"

   Mendengar nada kata-katanya yang ketus dan sombong, orangtua bungkuk itu terpaksa menahan sakit dan kesal dalam hatinya.

   Seluruh tubuhnya sampai tergetar hebat dan untuk beberapa lama dia malah berdiri dengan wajah termangu-mangu.

   Sesaat kemudian tampak dia menghentakkan kakinya di atas tanah dan berkata dengan nada penuh kebencian.

   "Lohu hari ini kalah di bawah pedang nona, aku hanya dapat menyalahkan kepandaian sendiri yang tidak bisa menandingi ilmu yang dimiliki orang lain. Mulai sekarang di dunia Kangouw tidak ada lagi manusia seperti aku ini. Sisa hidupku biar dilewatkan di tempat terpencil dan hanya ditemani batu-batu serta rerumputan!"

   Sembari berkata, tubuhnya melesat, tahu-tahu dia bukan maju ke depan malah mencelat ke belakang sejauh satu depa lebih.

   Setelah itu baru dia membalikkan tubuhnya, terdengar suara raungan yang pilu seiring dengan bayangan punggungnya yang semakin menjauh.

   Sekali turun tangan saja Kiau Hun berhasil menggetarkan Goan Siong Fei dan melukai si kakek bungkuk sehingga mengundurkan diri dari arena pertandingan tersebut.

   Orangorang gagah yang berkumpul di tempat itu sampai saling pandang dan suasana hening mencekam.

   Tidak terdengar suara sedikitpun.

   Kedua tokoh yang menghadapi Kiau Hun tadi merupakan pendekar pedang tingkat delapan yang sudah mempunyai nama besar di dunia Kangouw.

   mereka juga merupakan pesertapeserta yang mempunyai harapan besar untuk meraih kedudukan Bulim Bengcu.

   Ternyata dalam beberapa jurus saja, satu dapat dikalahkan dan yang lainnya terluka.

   Kejadian ini menimbulkan perasaan kagum juga di hati orang-orang gagah akan ketinggian ilmu silat yang dimiliki Kiau Hun.

   Kenyataan ini merupakan hal yang belum pernah mereka dengar apalagi saksikan dengan mata kepala sendiri.

   Sinar mata Kiau Hun perlahan-lahan mengedar ke arah orang-orang gagah yang berkumpul di tempat tersebut.

   Melihat pandangan mata mereka menyiratkan perasaan kagum, tanpa dapat ditahan lagi bibirnya mengembangkan senyuman manis.

   Sikapnya sengaja dibuat sekenes mungkin dan berkali-kali dia merapikan rambutnya yang terurai karena tiupan angin.

   "Siapa lagi yang berniat terjun ke arena memberi pelajaran kepada Siauli?"

   Suaranya sudah berhenti agak lama, tetapi tetap tidak ada seorangpun yang memberikan reaksi.

   Suasana di sekitar hanya diliputi kesunyian yang mencekam.

   Seakan di tempat yang begitu luas tidak terdapat seorang ma-nusiapun.

   Angin berhembus semilir, tiba-tiba terdengar suara tambur ditalu satu kali.

   Nadanya begitu keras sehingga memecahkan keheningan yang mendirikan bulu roma itu! Ini merupakan peraturan yang telah ditetapkan dalam penyelenggaraan pertemuan kali ini.

   Apabila tambur berbunyi sampai tiga kali, tetap tidak ada orang yang turun ke tengah arena menantang gadis itu, maka kedudukan Bulim Bengcu kali ini jatuh ke tangan Kiau Hun.

   Hal ini tidak bisa diganggu gugat lagi.

   Ceng Lam Hong menyenggol tangan anaknya dan berkata dengan suara lirih.

   "Anak Ki, suara tambur sudah terdengar, mengapa kau masih diam di sini dan tidak turun ke tengah arena?"

   "Ibu"

   Hatinya bagai diliputi kebimbangan yang dalam, namun dia tidak tahu bagaimana harus mengutarakannya di hadapan ibunya itu.

   Setelah memanggil satu kali, tiba-tiba dia menggelengkan kepalanya dan tidak jadi meneruskan ucapannya.

   Ceng Lam Hong bertambah panik melihat sikapnya itu.

   "Kau anak ini memang keterlaluan! Entah apa yang dipikirkan dalam hatimu, aku sungguh tidak mengerti. Kau harus tahu bahwa dendam kematian ayahmu masih belum terbalas. Hanya dengan mendapatkan kedudukan Bulim Bengcu kau baru dapat membasmi si raja iblis Oey Kang!"

   Tan Ki tetap menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Pernahkah ibu mendengar orang menyebut nama Cian Bin Mo-ong?"

   Tanyanya dengan suara rendah.

   "Pernah Yibun Sam-siokmu menceritakannya sedikit. Dalam keadaan gawat seperti sekarang ini, kau malah bertanya yang bukan-bukan!"

   "Aku khawatir dia ada di antara kerumunan orang banyak dan mungkin akan ikut dalam perebutan Bulim Bengcu."

   Sepasang alis Ceng Lam Hong langsung menjungkit ke atas mendengar kata-katanya.

   "Apakah kau mengenal orang itu?"

   Tan Ki hanya tertawa pahit, dia sengaja tidak menyahut pertanyaan ibunya. Telinganya kembali menangkap suara Kiau Hun.

   "Pertemuan seperti ini langka sekali, apakah saudara-saudara sekalian benar-benar kehilangan rasa percaya diri untuk menghadapi seorang gadis muda seperti aku?"

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ucapannya selesai, tetap tidak ada orang yang menyahut sepatah katapun.

   Tong! Sekali lagi suara tambur berbunyi, kumandangnya sampai lama sekali menyusup di telinga orang-orang gagah yang hadir di tempat tersebut.

   Waktu perlahan-lahan merayap, sinar mata orang-orang gagah menyorotkan keraguan hati mereka, tangan mereka sampai berkeringat dingin.

   Mereka memperhatikan tengah arena dengan menahan nafas.

   Setiap detik yang berlalu lebih mencekam daripada sebelumnya ketika Kiau Hun bertarung dengan Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk.

   Sebab tiga menit lagi, seandainya tidak ada orang yang terjun ke tengah arena, maka di dunia Bulim untuk pertama kalinya muncul seorang Bulim perempuan.

   Perasaan hati Tan Ki galau sekali, tangan kirinya menggenggam Pedang Penghancur Pelangi pemberian Mei Hun.

   Tampaknya dia ragu-ragu mengambil keputusan.

   Yibun Siu San, Cian Cong dan Lok Hong menatap ke arahnya dengan perasaan khawatir.

   Hal ini m alah membuat hati Tan Ki semakin bimbang.

   Beberapa ratus pasang mata memperhatikan diri Kiau Hun.

   Dalam hati orang-orang gagah merasa saat sekarang ini suasana terasa tegang bukan main.

   Laki-laki yang memukul tambur mendongakkan kepalanya menatap langit.

   Perlahan-lahan tangannya terangkat ke atas dan dipukulnya tambur di hadapannya! Tong! Suara tambur kembali terdengar untuk ketiga kalinya.

   Nadanya begitu keras sehingga hati orang yang mendengarnya menjadi tergetar.

   Lambat laun secercah senyuman lebar menghias di wajah Kiau Hun.

   Wajahnya tampak berseri-seri.

   Justru di saat tambur baru dipukul, tiba-tiba tubuh Tan Ki berkelebat.

   Dia melesat ke depan secepat kilat.

   Saat ini ilmu silat anak muda itu sudah tergolong jago kelas satu.

   Pikirannya baru tergerak dan dia langsung mengambil keputusan, tubuhnya segera melesat ke depan dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Kiau Hun.

   Boleh dibilang dalam waktu yang bersamaan, dari luar arena terdengar suara siulan panjang.

   Nadanya melengking dan berkumandang ke dalam gendang telinga.

   Tahu-tahu pandangan mata menjadi samar, suara angin berdesiran, sesosok bayangan bagai bintang jatuh melayang turun dengan kecepatan kilat.

   Tan Ki menjadi tertegun, cepat-cepat dia mengalihkan pandangan-matanya.

   Orang yang baru muncul sama sekali tidak asing baginya.

   Dialah Liang Fu Yong yang mendapat warisan ilmu dalam satu malam oleh Tian Bu Cu, si tokoh sakti dari Bu Tong San.

   Tampak wajahnya bersinar terang, matanya menyorot tajam.

   Dibandingkan dengan sebelumnya bagai dua orang yang berlainan.

   Tan Ki tahu dia mendapat ilmu sakti dari Tian Bu Cu dalam semalaman saja.

   Sudah pasti tenaga dalamnya berlipat ganda dibandingkan dengan sebelumnya.

   Cepat-cepat dia menenangkan perasaan hatinya dan mengembangkan seulas senyuman manis.

   Kiau Hun tertawa dingin menatap kedua orang itu.

   "Untuk apa kalian naik ke atas panggung pertandingan ini?"

   Liang Fu Yong mengulurkan tangannya ke belakang punggung dan mencabut sebatang pedang berwarna hijau. Dia menolehkan kepalanya kepada Tan Ki.

   "Adik Ki, lebih baik kau berbincang-bincang saja dengan suhuku. Babak ini biar aku yang mencobanya terlebih dahulu."

   Tan Ki memalingkan kepalanya, dia melihat tampak Tian Bu Cu pucat pasi.

   Tampaknya orangtua itu telah menguras pikiran dan tenaga untuk mewariskan ilmu kepada Liang Fu Yong.

   Wajahnya seperti orang yang baru sembuh dari sakit parah.

   Langkah kakinya lambat dan saat itu sedang menuju ke tempat duduk yang ada di dekat Yibun Siu San.

   Si pengemis cilik Cu Cia, Sam Po Hwesio dan dua orang gadis bercadar hitam berdiri di belakang para Cianpwe ini.

   Tan Ki segera menggelengkan kepalanya dan tersenyum simpul.

   "Dalam waktu satu malam Tian Bu Cu Lo-cianpwe mewariskan ilmu sakti kepadamu. Tentunya hawa murni dalam tubuhnya banyak terkuras. Aku tidak ingin mengganggu ketenangan beliau. Apabila kau tetap ingin bertanding dalam babak ini, biar aku berdiri di samping sebagai penonton saja."

   Perlahan-lahan dia melangkah mundur empat tindak dan berdiri dengan tangan memeluk pedang pemberian Mei Hun. Kiau Hun tertawa dingin mendengar percakapan mereka.

   "Tambur sudah berbunyi sebanyak tiga kali. Kedudukan Bulim Bengcu sudah menjadi hak diriku, apalagi yang ingin kalian perebut kan?"

   Liang Fu Yong mengejap-ngejapkan sepasang matanya yang lebar. Bibirnya tersenyum simpul.

   "Aku hanya merasa kurang puas. Lagipula nona menggunakan sebatang pedang pusaka untuk menghadapi kedua orang tadi. Andaikata menang juga tidak ada yang perlu dibanggakan."

   Sepasang alis Kiau Hun langsung menjungkit ke atas. Hal ini menandakan hawa amarah dalam dadanya sudah terbangkit saat itu juga.

   "Kau sengaja ingin mencari gara-gara? Lagipula, apakah kau lupa bahwa dalam perebutan kedudukan Bulim Bengcu kali ini, lima partai besar tidak boleh ikut serta. Sedangkan kau merupakan murid Tian Bu Cu dari Bu Tong Pai yang termasuk anggota lima partai besar. Dengan demikian kau tidak mempunyai peluang untuk"

   Liang Fu Yong tetap tersenyum lembut.

   "Sayangnya aku merupakan murid tidak resmi dari orangtua itu, jadi bukan anggota dari kelima partai besar. Dalam hal ini kau tidak mempunyai alasan untuk melarang aku mengikuti pertandingan ini. Kalau kau masih tidak mau turun tangan juga, jangan salahkan kalau aku memaksa dengan kekerasan!"

   Begitu ucapannya selesai, pergelangan tangannya langsung memutar. Dengan jurus Gadis Menghias Wajah, dia melancarkan sebuah serangan. Kiau Hun marah sekali melihat tingkah lakunya yang seakan memaksa itu.

   "Budak hina berani sesumbar! Aku justru tidak percaya dalam semalaman saja Tian Bu Cu bisa mengajarkan ilmu sakti kepadamu!"

   Pedang pendeknya bergerak, tampak cahaya hijau berkilauan.

   Tenaga dalam yang terpancar kuat bukan main.

   Dia melancarkan serangan sambil menangkis, terdengar suara benturan logam yang berdenting tiada hentihentinya.

   Percikan api karena gesekan kedua senjata berpijaran di udara.

   Masing-masing tergetar mundur sebanyak satu langkah.

   "Ilmu pedang yang bagus!"

   Teriak Liang Fu Yong.

   Tubuhnya menggeser sedikit, kemudian dengan berani dia menerobos ke dalam sinar pedang Kiau Hun.

   Pedangnya sendiri menimbulkan bayangan bunga-bunga yang tidak terhitung jumlahnya.

   Dia menebas dari atas ke bawah.

   Kiau Hun melihat serangan perempuan itu demikian gencar, dia sendiri tidak berani menganggap remeh.

   Cepat-cepat dia mengempos tenaga dalamnya dan sekonyongkonyong mencelat mundur ke belakang sejauh tiga langkah.

   Liang Fu Yong terus mendesak ke depan, pedangnya menyabet ke sana ke mari, dalam waktu yang singkat secara berturut-turut dia melancarkan tiga serangan.

   Terdengarlah serentetan suara benturan logam, tubuh kedua orang itu kembali mencelat mundur sejauh beberapa langkah.

   Pertarungan antara kedua orang itu baru berlangsung beberapa jurus, tetapi orang-orang yang hadir di tempat itu dapat merasakan bahwa perkelahian mereka sengit sekali.

   Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan masing-masing.

   Tampaknya saja setiap jurus yang mereka mainkan tidak mengandung keistimewaan apa-apa, tetapi sebetulnya justru serangan yang ditujukan kepada lawannya sangat keji.

   Hidup dan mati bagai telur di ujung tanduk yang dapat ditentukan setiap saat.

   Wajah Kiau Hun yang tadinya tenang mulai kelihatan kelam.

   Dengan memusatkan seluruh perhatiannya, dia berdiri tegak dengan pedang melintang di depan dada.

   Liang Fu Yong juga berdiri di hadapannya kurang lebih lima langkah dengan sepasang mata memperhatikan lawannya lekat-lekat.

   Sikapnya juga serius sekali dan tidak berani ayal menghadapi musuh yang tangguh ini.

   Rupanya gebrakan yang beberapa jurus itu, membuat keduanya sadar bahwa hari ini masing-masing telah menemukan lawan yang seimbang.

   Seandainya tadi malam Liang Fu Yong tidak mendapat warisan ilmu dari Tian Bu Cu yang membuat tenaga dalamnya bertambah satu kali lipat dan jurus-jurus ilmu pedangnya jauh lebih matang, mungkin saat ini dia sudah terluka parah di bawah pedang Kiau Hun.

   Tempat yang luas itu menjadi sunyi senyap tanpa terdengar suara sedikitpun.

   Tan Ki yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan juga mulai merasa gelisah.

   Hatinya khawatir sekali.

   Tangan kirinya mengenggam Pedang Penghancur Pelangi erat-erat.

   Keringat dingin terus mengucur membasahi keningnya.

   Liang Fu Yong menarik nafas panjang-panjang, baru saja dia mengerahkan tenaga dalamnya secara diam-diam dan siap melancarkan sebuah serangan, tiba-tiba telinganya mendengar suara Kiau Hun yang merdu dan lembut.

   "Kau sudah terluka oleh pukulan Telapak Dingin milikku. Kalau tidak cepat-cepat mengerahkan hawa murni mendesak keluar racun dingin tersebut, dalam dua belas kentungan seluruh urat darah dalam tubuhmu akan mulai membeku. Tidak sampai tiga bulan racun dingin akan menyerang jantung dan jiwamu tidak akan tertolong lagi!"

   Nada suaranya begitu dingin dan menyeramkan, membuat orang-orang yang mendengarnya timbul perasaan tidak enak.

   Perasaan Liang Fu Yong sendiri sampai tergerak mendengar suaranya.

   Dia mendongakkan kepalanya menatap gadis itu, tampak Kiau Hun berdiri di hadapannya dengan tampang keren serta berwibawa bagai sebuah patung dewi khayangan.

   Matanya memandang Liang Fu Yong lekat-lekat dan tidak berkedip sedikitpun.

   Pandangan mata mereka bertemu, tiba-tiba jantung Liang Fu Yong berdebar-debar.

   Serangkum hawa dingin seperti merasuk dalam hatinya.

   Tanpa sadar tubuhnya menggigil dan bulu kuduknya meremang semua.

   Telinganya kembali terdengar suara yang dingin seperti es itu.

   "Racun dalam tubuhmu parah sekali. Apabila kau tidak duduk dan mengerahkan hawa murni secepatnya, dalam waktu dua kentungan, pasti kau akan merasakan penderitaan yang hebat karena urat nadi dalam tubuhmu mulai membeku!"

   Mendengar kata-katanya, tanpa sadar sekali lagi Liang Fu Yong mendongakkan wajahnya menatap Kiau Hun.

   Dua pasang mata bertemu pandang, kembali jantungnya berdebar-debar.

   Serangkum hawa dingin meluap dalam dadanya.

   Tampak Kiau Hun tersenyum simpul.

   Namun di balik senyumannya terkandung keseraman yang mengerikan.

   Saat itu juga seluruh tubuh Liang Fu Yong terasa lemas, hatinya bergidik.

   Tan Ki merasa sikap Liang Fu Yong semakin lama semakin kurang beres.

   Pandangan mata perempuan itu begitu kosong seakan orang yang kesadarannya hilang.

   Namun dia justru melotot tanpa berkedip sekalipun.

   Wajahnya menunjukkan keletihan yang tidak terkirakan.

   Diam-diam dia mengerutkan sepasang alisnya.

   Kemudian dia mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya dan berteriak sekeras mungkin.

   "Cici Liang!"

   Suaranya begitu lantang sehingga menggelegar dan menggetarkan gendang telinga bagi orang yang mendengarnya.

   Pikiran Liang Fu Yong seperti tersentak, matanya yang mendelik lebar-lebar segera dipejamkan.

   Dia mengatur pernafasannya untuk beberapa saat.

   Kemudian terdengar dia membentak dengan suara nyaring.

   Pedangnya digerakkan, timbul bayangan bunga-bunga dan cahaya dingin.

   Dengan cepat dia mengirimkan sebuah serangan.

   Kiau Hun segera memainkan jurus Im dan Yang Berbalik Arah.

   Ditahannya serangan Liang Fu Yong yang dahsyat, orangnya sendiri malah mencelat ke belakang.

   Matanya mendelik ke arah Tan Ki lebar-lebar.

   Mulutnya kembali berbicara dengan nada dingin.

   "Lukamu parah sekali. Kalau kau masih tidak mau mendengar nasehatku untuk duduk dan beristirahat, jangan menyesal apabila sudah terlambat!"

   Begitu mendengar nada suara yang menyeramkan itu, setiap patah katanya bagai menggetarkan kalbu.

   Tiba-tiba seluruh kekuatannya lenyap.

   Otomatis serangan yang ia lancarkan pun jadi melemah.

   Hatinya sadar bahwa Kiau Hun menggunakan semacam ilmu untuk mempengaruhi pikirannya.

   Dia sendiri tidak sanggup memberontak, sedangkan pengaruh suara itu semakin menjadi-jadi.

   Jantungnya berdebar-debar, tubuhnya lemas sekali.

   Kapan waktu saja dia bisa terkena serangan Kiau Hun.

   Oleh karena itu dia segera berteriak dengan gugup.

   "Adik Ki, cepat ke mari! Aku tidak sanggup lagi!"

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Belum lagi suaranya sirap, tiba-tiba dia melihat tubuh Kiau Hun berkelebat, dengan kecepatan kilat lawannya itu menerjang ke arahnya.

   Pedang pendek di tangan Kiau Hun menimbulkan cahaya kehijauan, serangannya digerakkan dari atas ke bawah.

   Belum lagi pedangnya sampai, segulung demi segulung hawa dingin sudah menerpa wajah Liang Fu Yong.

   Sinar mata Kiau Hun yang aneh membuat tubuh Liang Fu Yong lemas dan tidak bisa mengerahkan tenaga dalamnya sedikitpun.

   Serangan Kiau Hun yang dahsyat ini sudah pasti dia tidak sanggup menahannya.

   Melihat cahaya hijau bertebaran dan memenuhi atas kepalanya, tanpa sadar Liang Fu Yong menarik nafas panjang.

   Dia memejamkan matanya menunggu datangnya dewa kematian.

   Justru pada saat yang kritis ini, terasa ada serangkum angin kencang menerpa menerjang di sisi tubuhnya.

   Telinganya mendengar suara benturan logam.

   Dalam waktu sekejap mata, angin tadi tidak terasa lagi dan keadaan menjadi normal kembali.

   Begitu dia membuka matanya, Tan Ki sudah berdiri di sampingnya dengan pedang terentang seakan melindungi dirinya.

   Wajah Kiau Hun langsung berubah hebat.

   Dengan nada dingin dia berkata.

   "Tampaknya kau memang selalu menghalangi apapun yang kuperbuat. Entah apa maksudmu yang sebenarnya?"

   Tan Ki menolehkan kepalanya dan berkata kepada Liang Fu Yong.

   "Lebih baik cici beristirahat dulu, biar aku saja yang menghadapinya."

   Liang Fu Yong mengiakan dengan suara lirih. Perlahan-lahan dia mengundurkan diri dari arena pertandingan. Tan Ki menunggu sampai dia keluar dari arena tersebut, kemudian baru mendongakkan wajahnya. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman.

   "Tidak perlu berbicara hal yang tidak penting. Yang kita perebutkan adalah kedudukan Bulim Bengcu, lebih baik diselesaikan secepatnya agar sama-sama merasa puas! Tiba-tiba Kiau Hun menyimpan pedang pendeknya ke dalam selipan ikat pinggangnya. Bibirnya tersenyum manis.."Aku tidak ingin menggerakkan pedang atau golok dengan dirimu yang bisa mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah yang mengenaskan."

   Tan Ki sudah tahu bahwa pihak Lam Hay telah bergabung dengan pihak Si Yu dan akan melakukan penyerangan sore nanti.

   Meskipun saat ini di bukit Tok Liong-hong telah berkumpul dua ratusan tokoh hitam putih yang berilmu cukup tinggi, tetapi seekor ular tidak mungkin hidup tanpa kepala.

   Kalau tidak cepat-cepat memilih seorang Bulim Bengcu, kumpulan orang-orang itu bagai domba yang kehilangan gembalanya.

   Pasti mereka tidak akan berhasil menahan datangnya serangan musuh.

   Begitu pikirannya tergerak, cepatcepat dia memasukkan kembali Pedang Penghancur Pelangi-nya dan tersenyum simpul.

   "Waktu sangat berharga. Setiap detik harus dipergunakan sebaik mungkin. Aku tidak ingin berdebat dengan dirimu. Kalau kau memang tidak bersedia menggunakan pedang, biar kita bertarung dengan tangan kosong saja!"

   Seraya berkata, diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya kemudian tanpa menunda waktu lagi dia melancarkan sebuah serangan.

   Serangkum angin yang tidak berwujud menerpa ke depan, orangnya sendiri ikut melesat bagai kilat.

   Kiau Hun mengira ucapannya tadi meskipun dikeluarkan dengan tenang tetapi mengandung sindiran yang tajam, tentu dia berhasil mendesak Tan Ki sehingga kehabisan alasan untuk bergebrak dengannya.

   Dengan demikian kedudukan Bulim Bengcu pasti berhasil diraihnya dengan mudah.

   Dia tidak menyangka kalau Tan Ki malah menyimpan pedangnya dan menyerangnya dengan tangan kosong.

   Untuk sesaat dia jadi termanguma- ngu.

   Dia merasa ada hawa panas yang berkobar dalam dadanya.

   Hatinya merasa marah sekali.

   Diam-diam dia berpikir.

   Padahal aku hanya mengingat hubungan kita di masa lalu.

   Oleh karena itu aku selalu mengalah kepadamu.

   Kau kira aku benar-benar takut kepadamu? Sepasang alisnya langsung menjungkit ke atas.

   Kedua tangannya langsung dihantamkan ke depan, dengan keras dia menyambut datangnya angin serangan Tan Ki yang dahsyat.

   Tan Ki merasa getaran tenaga tolakan Kiau Hun begitu kuat, diam-diam hatinya merasa kagum.

   Tidak disangka dia juga mempunyai tenaga dalam yang begitu kuat, tidak heran di depan Pek Hun Ceng dengan mudah dia dapat melukai Ciu Cang Po. Dia mendongakkan kepalanya memandang, tampak Kiau Hun sedang mendelikkan sepasang matanya menatap ke arahnya lekat-lekat.

   Pandangan mata mereka bertaut, tanpa dapat ditahan lagi hatinya tergetar.

   Tan Ki merasa ada sesuatu yang aneh terpancar dari matanya.

   Begitu tajamnya sehingga menusuk kalbu hatinya.

   Jantungnya langsung berdebar-debar, cepat-cepat dia memejamkan dan mengerahkan hawa murninya agar dapat mempertahankan kesadarannya.

   Tenaga dalamnya kuat sekali, begitu hawa murni dalam tubuhnya dikerahkan, hatinya menjadi tenang kembali.

   Diam-diam dia berpikir.

   Ilmu apa ini? Apakah di dalam pelajaran silat juga ada ilmu sihirnya? Tepat di saat pikirannya sedang tergerak, tiba-tiba dia merasa ada serangkum angin yang kuat menerpa ke arah dadanya.

   Siapa kiranya Tan Ki itu, berkecimpung di dunia Kangouw selama setengah tahun, dia sudah menggetarkan hati para jago.

   Nalurinya lebih tajam dari orang biasa, tanpa sempat membuka sepasang matanya, dia langsung mengambil posisi menahan di depan dada dan melancarkan sebuah serangan.

   Meskipun rangkuman tenaga dalam Kiau Hun cukup dahsyat, tetapi ketika didorong oleh tenaga dalam Tan Ki, ternyata serangannya memental kembali.

   Baru saja anak muda itu bermaksud mengirim sebuah serangan kembali, tiba-tiba telinganya mendengar suara tawa Kiau Hun yang merdu.

   Suara itu merdu namun agak seram bila didengarkan lama-lama.

   Begitu dinginnya sehingga mendirikan bulu roma dan menggetarkan jantung.

   Tubuh Tan Ki tampak menggigil hebat saat itu juga.

   Begitu suara tawa itu terhenti, kembali terdengar suara Kiau Hun berkata kepadanya.

   "Tan Ki, aku mengingat ilmu silatmu didapatkan dengan cara yang tidak mudah. Oleh karena itu aku tidak tega melukaimu. Kalau kau tidak cepat-cepat mengaku kalah, jangan salahkan apabila aku menurunkan tangan ke-ji!"

   Tan Ki terus memejamkan sepasang matanya.

   Dia tidak berani membukanya biar sekejap saja.

   Hal ini disebabkan rasa terkejutnya melihat sinar mata Kiau Hun yang aneh.

   Setiap kali bertemu pandang dengannya, hati Tan Ki langsung bergetar, tenaga dalamnya seakan menjadi lemah.

   Siapa nyana biar dia memejamkan matanya, tetap saja dia merasa gelisah mendengar suara Kiau Hun.

   Untuk sesaat dia merasa sulit mengendalikan perasaannya.

   Untung saja tenaga dalam Tan Ki sudah mencapai taraf yang tinggi sekali.

   Ketenangannya juga melebihi orang lain.

   Meskipun dia terpengaruh oleh suara gadis itu, tetapi dia terus mempertahankan diri agar kesadarannya tetap terjaga.

   Cepat-cepat dia mengerahkan hawa murninya dan mengedarkannya ke seluruh tubuh.

   Sementara itu pikirannya terus berputar mencari jalan menghadapi situasi di hadapannya.

   Diam-diam dia berpikir dalam hatinya.

   Satu-satunya jalan yang bisa dilakukan saat ini, hanya menyerangnya dengan gencar.

   Pokoknya tidak boleh memberi kesempatan sama sekali baginya untuk membuka mulut. Pikirannya tergerak, diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya dan menyalurkannya ke seluruh tubuh.

   Dia sengaja memperlihatkan tampang seperti orang yang letih dan mengantuk.

   Dengan demikian dia berharap perhatian Kiau Hun akan terpencar dan tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya.

   Keadaan di seluruh arena itu menjadi demikian hening.

   Namun di balik kesunyian tersebut terselip ketegangan yang tidak terkirakan.

   Telinganya kembali menangkap suara Kiau Hun yang dingin seperti es.

   "Tan Ki, apakah masih ada kata-kata yang ingin kau sampaikan untuk ter"

   Tiba-tiba Tan Ki mengeluarkan suara bentakan yang keras, dengan demikian kata-kata Kiau Hun jadi terputus.

   Sepasang matanya membelalak lebar-lebar dan tahu-tahu tubuhnya berkelebat menerjang ke depan! Kiau Hun benar-benar tidak menyangka sama sekali tindakan Tan Ki ini.

   Sepasang kakinya menutul di atas tanah, orangnya sendiri langsung mencelat ke udara dan melompat mundur sejauh tiga langkah.

   Sejak tadi Tan Ki sudah memperhitungkan semuanya dengan matang.

   Mana mungkin dia membiarkan Kiau Hun menguras otaknya mencari akal licik lainnya.

   Sepasang tangannya menghantam ke depan dengan tenaga dalam yang dahsyat.

   Dalam waktu yang singkat secara berturut-turut dia melancarkan sepuluh pukulan.

   Tiba-tiba diserang secara gencar oleh Tan Ki, Kiau Hun sampai kelabakan setengah mati.

   Hampir saja dia tidak dapat menahan dirinya.

   Tubuhnya terhuyung-huyung mundur ke belakang.

   Sepasang mata Tan Ki menyorotkan sinar yang tajam.

   Baru saja dia bermaksud mengerahkan ilmu Tian Si Sam-sut dan Te Sa Jit-sut-nya yang hebat, sekonyong-konyong terdengar suara siulan yang panjang.

   Begitu kerasnya sampai memekakkan telinga.

   Tampak tiga batang senjata rahasia meluncur ke arahnya dengan kecepatan kilat.

   Tan Ki segera membentak dengan suara keras.

   "Oey Ku Kiong, apakah kau juga ingin main-main denganku?"

   Hawa murni dalam tubuhnya segera dikerahkan.

   Sepasang telapak tangannya menghantam ke depan.

   Tahu-tahu ketiga batang senjata rahasia itu telah tersam-pok jatuh di atas tanah.

   Seiring dengan tenaga dalam yang dipancarkannya, tubuh Tan Ki mencelat ke udara setinggi satu depaan.

   Laksana seekor elang yang mengincar anak ayam, tubuhnya kembali menukik ke bawah dan mengirimkan sebuah serangan kepada Kiau Hun yang baru saja berdiri tegak.

   Dengan nama Cian Bin Mo-ong, Tan Ki telah menggetarkan dunia Kangouw.

   Otomatis ilmu silatnya tidak dapat dibandingkan dengan tokoh Kangouw umumnya.

   Tubuhnya mencelat dan menukik ke bawah dengan kecepatan yang tidak terkirakan.

   Meskipun Kiau Hun tidak berniat bertarung dengannya dari jarak yang dekat, tetapi dalam keadaan seperti ini, terpaksa dia mengerahkan tenaga dalamnya dan sepasang telapak tangannya menghantam ke depan.

   Tidak ada waktu lagi baginya untuk menghindarkan diri.

   Pikirnya, dia ingin menghentakkan tubuh Tan Ki ketika dia belum sempat mendarat di atas tanah.

   Kemudian dengan jurus Suara Bergema Mengguncangkan Sukma, dia akan menghantam dada Tan Ki sehingga terluka di bagian dalam.

   Siapa nyana tubuh Tan Ki yang menukik ke bawah justru menggunakan sebuah jurus yang paling hebat dari Te Sa Jit-sutnya.

   Baru saja telapak tangan Kiau Hun terulur ke depan, tahu-tahu bayangan tubuhnya berkelebat, dari melancarkan serangan tiba-tiba dia menarik kembali tubuhnya dan menjungkir balik satu kali di udara.

   Tanpa mendarat lagi di atas tanah, tangannya langsung menerjang ke depan menyambut serangan Kiau Hun.

   Perubahan jurus yang dikerahkannya begitu cepat sehingga sulit diuraikan dengan kata-kata.

   Bahkan orang-orang yang hadir di tempat itu tidak satupun yang dapat melihatnya dengan jelas.

   Hanya bayangan tubuh kedua orang itu yang berkelebat ke sana ke mari, kemudian dua rangkum tenaga dalam saling beradu.

   Dalam waktu hanya sekedipan mata saja, tubuh Tan Ki sudah mendarat turun pada jarak tujuh delapan langkah.

   Wajahnya tampak merah padam, nafasnya tersengal-sengal dan keringat membasahi keningnya, terus menetes ke wajahnya.

   Tubuh Kiau Hun justru terhuyunghuyung kemudian tergetar mundur sejauh empat lima langkah.

   Dia seperti orang yang baru saja minum arak dalam jumlah yang banyak.

   Kakinya tidak dapat berdiri dengan mantap.

   Kemudian tampak mulutnya terbuka dan dia memuntahkan darah segar seperti melesatnya sebatang anak panah.

   Tidak syak lagi bahwa Tan Ki menggunakan ilmunya yang hebat untuk melukai Kiau Hun.

   Tetapi dirinya sendiri juga kehilangan cukup banyak hawa murni dalam tubuhnya.

   Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan yang riuh memecahkan keheningan di seluruh arena tersebut, seruan gembira dan pujian gegap gempita.

   Kiau Hun memandang Tan Ki dengan termangu-mangu.

   Sesaat kemudian tampak wajahnya menyiratkan dendam membara dan mata menyorotkan kebencian yang dalam.

   Dia menghentakkan kakinya di atas tanah dan berkata dengan nada ketus.

   "Bagus sekali perbuatanmu!"

   Tanpa menunda waktu lagi dia segera membalikkan tubuhnya dan menghambur pergi meninggalkan tempat tersebut.

   Ternyata pada saat terakhir, hanya karena satu jurus saja dia berhasil dikalahkan oleh Tan Ki.

   Tidak perlu dikatakan lagi bahwa kedudukan Bulim Bengcu otomatis terjatuh ke tangan anak muda itu.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Rencananya yang ingin menjadi matamata bagi pihak Lam Hay jadi buyar seketika.

   Dia merasa kekalahan ini benar-benar membuatnya kehilangan muka.

   Bahkan harga dirinya bagai tercampak Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan berkelebat dan mengejar ketat di belakang Kiau Hun.

   Orang itu sudah pasti Oey Ku Kiong yang tergila-gila kepadanya.

   Kedua orang itu berlari secepat kilat.

   Satu di depan dan yang lainnya di belakang.

   Mereka meninggalkan arena yang bising itu sejauh-jauhnya.

   *** ( )*** Angin pagi masih terasa sejuk, cahaya matahari tidak terlalu terik.

   Keadaan di bukit itu masih sama seperti sediakala.

   Rumput-rumput melambai-lambai seakan menyambut kedatangan setiap pengunjung.

   Tetapi pemandangan ini bagi penglihatan Kiau Hun bahkan seperti sedang menertawakan dirinya.

   Hatinya merasa benci dan pedih.

   Semua yang ada di hadapannya bagai benda-benda mati yang tidak mempunyai daya tarik sama sekali.

   Tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya dan membentak.

   "Untuk apa kau mengikuti diriku?"

   Tampaknya dia ingin menumpahkan segala kekesalannya pada diri Oey Ku Kiong. Suara bentakannya itu begitu ketus dan dingin. Boleh dibilang tanpa perasaan sama sekali. Terdengar Oey Ku Kiong menyahut dengan suara gugup.

   "Aku hanya ingin melihat kau tersenyum kembali kemudian"

   Kiau Hun langsung menukas dengan nada yang lebih dingin lagi.

   "Kemudian apa? Kau toh tidak sanggup membantu aku meraih kedudukan Bulim Bengcu. Dari pagi sampai malam seperti seekor anjing yang mengikuti majikannya ke mana-mana. Namun apa yang bisa kau berikan kepadaku? Kecuali kesulitan dan keruwetan Hm boleh dibilang seperti"

   Begitu kesalnya dia sampai kata-katanya tidak sanggup diteruskan lagi, tetapi Oey Ku Kiong dapat membayangkan bahwa apa yang ingin diucapkannya pasti tidak enak didengar.

   Oleh karena itu dia hanya tertawa sumbang dan berkata dengan nada perlahanlahan.

   "Kiau Hun, asal aku dapat melihat senyumanmu seperti biasanya, meskipun harus mati aku rela. Kalau kau merasa tidak senang, hatiku juga terasa sedih sekali."

   Kiau Hun sengaja memamerkan seulas senyuman. Namun suaranya tetap dingin seperti es.

   "Nah, aku sudah tertawa sekarang. Apakah kau sudah merasa senang?"

   Selesai berkata, kembali wajahnya cemberut dan datar seperti semula. Dia melanjutkan katakatanya dengan nada yang ketus.

   "Laki-laki seperti engkau ini hanya mirip dengan kumbang yang mencari bunga. Malah lebih menyebalkan dari pada kaum Jay Hwa-eat (penjahat pemetik bunga). Kalau bukan disebabkan ayali angkatmu yang baru-baru ini ikut bergabung dengan Lam Hay Bun, huh! Sekarang aku ingin menampar pipimu sampai bengap!"

   Kata-katanya itu bagai sebilah pisau yang tajam menikam hati Oey Ku Kiong, tetapi dia menahan diri sebisanya dan menelan semua ucapan yang menyakitkan itu.

   Hanya tubuhnya yang bergetar hebat dan perasaannya pedih sekali.

   Tetapi sejenak kemudian kembali bibirnya tersenyum simpul.

   Perasaan hati seseorang memang demikian anehnya.

   Apalagi cinta kasih antara pemuda dan pemudi, lebih sulit lagi diuraikan dengan tulisan maupun kata-kata.

   Oey Ku Kiong bagai seekor kupu-kupu yang terjerat pada sarang labalaba.

   Cinta kasihnya yang tulus dicurahkan pada diri Kiau Hun sehingga dia tidak sanggup mengendalikan dirinya lagi.

   Semakin ketus sikap Kiau Hun kepadanya, hatinya semakin mengkeret dan tidak berani membantah.

   Seorang laki-laki apabila jatuh cinta sampai tahap seperti ini, sebetulnya patut dikasihani juga.

   Sementara itu, tiba-tiba terdengar suara tawa yang lantang dan panjang.

   Sumbernya dari rumput ilalang yang tinggi.

   Sesosok bayangan berlari mendatangi bagai terbang.

   Kemudian terdengar mulutnya berkata.

   "Nona Ceng harap jangan gusar. Apabila putraku yang tidak berbakti itu berbuat kesalahan, bagaimana kalau lohu saja yang memintakan maaf baginya?"

   Setelah melihat jelas orang yang datang, Oey Ku Kiong segera menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah.

   "Gi-hu."

   Panggilnya. Oey Kang mengulapkan tangannya.

   "Di hadapan Ceng Kouwnio tidak perlu kau bergaya lemah lembut seperti ini. Bangunlah!"

   Kiau Hun tersenyum simpul kepadanya.

   "Kedatangan Oey Locianpwe di atas bukit Tok Liong-hong ini, pasti bukan tanpa sebab. Mungkin Toa Tocu ada menitipkan pesan kepadamu?"

   Oey Kang tertawa terbahak-bahak.

   "Kecerdasan Ceng Kouwnio selalu dipuji oleh Toa Tocu. Tampaknya bukan hanya itu saja, nalurimu juga jauh lebih tajam dari orang lain. Sekali lihat saja, semuanya dapat diduga dengan tepat."

   Kiau Hun tertawa lebar mendengar pujiannya.

   "Terima kasih, terima kasih. Entah apa pesan Toa Tocu kali ini?"

   Oey Kang mengeluarkan sepucuk surat dari balik pakaiannya. Kemudian dari sakunya dia mengambil sebuah botol sebesar jempol. Bentuknya seperti hiolo yang biasa digunakan untuk mengisi arak.

   "Keterangan selengkapnya ada di dalam surat. Yang penting kau mengikuti petunjuk yang tertera di dalamnya saja. Apabila sudah berhasil nanti, Toa Tocu akan memberikan hadiah besar untukmu!"

   Kiau Hun mengulurkan tangannya menyambut surat dan botol tersebut.

   Tampaknya dia tidak terlalu ambil hati karena dia sama sekali tidak meliriknya sekilaspun.

   Langsung saja dimasukkannya ke dalam saku pakaian.

   Oey Kang mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak.

   "Oey Ku Kiong, kemarilah!"

   Panggilnya. Oey Ku Kiong segera mengiakan. Dia segera menghampiri ayah angkatnya itu. Oey Kang mengulurkan tangannya menepuk-nepuk pundak putra angkatnya. Dengan nada menghibur dia berkata.

   "Sejak kehilangan jejakmu di Pek Hun Ceng, ayah persis seperti seekor anjing gila yang mencari ke mana-mana. Sementara itu ayah juga khawatir apabila kau sampai dicelakai oleh orang atau dibunuh secara diam-diam. Hampir seluruh perkampungan ayah kelilingi, setiap jengkal tanah ayah gali, tetapi tetap saja tidak menemukan dirimu ataupun mayatmu. Ayah sama sekali tidak menyangka kalau kau demikian cerdik dan mempunyai pikiran yang luas sehingga bergabung lebih duluan dengan pihak Lam Hay"

   Sepasang mata Oey Ku Kiong menatap wajah ayah angkatnya lekat-lekat.

   Tadinya dia ingin mengatakan bahwa dia tidak memperdulikan segalanya karena jatuh cinta kepada Kiau Hun.

   Itu pula sebabnya dia meninggalkan Pek Hun Ceng.

   Tetapi kata-katanya hanya sampai di ujung bibir, akhirnya dia tidak sanggup juga mengucapkannya keluar.

   Terdengar kembali suara tawa Oey Kang yang keras.

   "Ceng Kouwnio merupakan selir kesayangan Toa Tocu, kau bisa mengikutinya ke manamana, pasti merupakan suatu keberuntungan bagi dirimu. Lagipula sore nanti kita akan menyerbu ke puncak bukit Tok Liong Hong ini, paling tidak kau harus memberikan bantuan kepada Ceng Kouwnio dengan melihat-lihat situasi. Kesempatan yang bagus ini harus kau pergunakan baik-baik. Jangan sampai membuat ayahmu ini kecewa."

   Seraya berkata, dia memberi salam kepada Kiau Hun kemudian membalikkan tubuhnya meninggalkan tempat tersebut.

   Oleh karena itu, Kiau Hun dan Oey Ku Kiong pun kembali ke ruang pertemuan di atas puncak bukit Tok Liong Hong.

   Terdengarlah suara tawa yang keras dan dentingan cawan yang saling beradu.

   Suasana di dalam ruang pertemuan itu bising sekali.

   Rupanya ketika Tan Ki berhasil merebut kedudukan Bulim Bengcu, Liu Seng langsung menyatakan akan merayakannya saat itu juga.

   Para hadirin minum arak dan makan hidangan yang disediakan dengan perasaan gembira.

   Begitu masuk, Kiau Hun melihat kesempatan untuk melaksanakan tugas dari Toa Tocu sudah ada di depan mata.

   Tampak sepasang alisnya menjungkit ke atas dan menyiratkan hawa pembunuhan yang tebal.

   Dia memberi isyarat kepada Oey Ku Kiong dengan menganggukkan kepalanya.

   Kemudian berjalan menuju tempat duduk tamu-tamu wanita.

   Di sekeliling meja yang paling depan saat itu duduk Ceng Lam Hong, Mei Ling, Liang Fu Yong, Lok Ing serta dua orang gadis bercadar hitam.

   Semuanya berjumlah tujuh orang.

   Tanpa sungkan lagi Kiau Hun langsung duduk di sebuah kursi yang masih kosong.

   Setelah itu dia mengangkat cawan yang ada di hadapannya dan sekaligus meneguk sampai kering arak yang terisi di dalamnya.

   Orang-orang yang hadir dalam ruangan itu sebagian besar merasa kagum juga terhadap ilmu silat Kiau Hun yang tinggi.

   Melihat dia yang sudah pergi meninggalkan tempat itu tahu-tahu balik kembali, tanpa dapat ditahan lagi kepala mereka semua menoleh kepadanya dan ratusan pasang matapun terpusat pada dirinya.

   Tetapi Kiau Hun justru seakan tidak melihat pandangan mata mereka, dia tidak melirik sekilaspun dan tetap meneguk araknya dengan santai.

   Sikapnya yang membingungkan ini malah membuat kaum wanita yang duduk di sekitarnya merasa tidak tentram.

   Tan Ki yang duduk di bagian paling tinggi saat itu tiba-tiba bangkit berdiri.

   Kemudian terdengar dia berkata dengan suara lantang.

   "Saudara-saudara sekalian, mohon dengarkan perkataanku ini!"

   Kata-kata ini diucapkan dengan mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya.

   Dengan demikian suaranya menjadi lantang dan bergema ke seluruh tempat tersebut.

   Setiap patah kata yang diucapkannya dapat terdengar dengan jelas dan suara bising yang memenuhi tempat itu jadi tertutup oleh ucapannya.

   Dalam sekejap mata suara tawa terhenti dan cawan-cawan arak diletakkan kembali ke atas meja masing-masing.

   Suasana jadi hening seketika.

   Ratiisan pasang mata sekarang tertuju pada dirinya.

   Sikap mereka tampak serius sekali seakan ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Tan Ki.

   Terdengar lagi kumandang suara Tan Ki yang lantang.

   "Aku mempunyai niat dalam hati yang sudah tersimpan cukup lama. Sekarang dengan adanya kesempatan ini, ingin sekali kucetuskan agar dapat didengar oleh semuanya. Tetapi entah saudara-saudara sekalian mempunyai kesabaran mendengarkannya atau tidak?"

   Terdengar sahutan dari orang-orang gagah yang berkumpul di tempat tersebut.

   "Silahkan Bengcu katakan saja, kami sekalian bersedia mendengarkannya!"

   Tan Ki menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

   "Bagus! Kalau saudara-saudara sekalian demikian memandang tinggi diriku ini, maka aku, Tan Ki akan mengatakannya terus terang!"

   Matanya yang bersinar tajam menyapu ke para hadirin yang berkumpul di tempat itu. Sesaat kemudian dia melanjutkan kembali kata-katanya.

   "Di dalam dunia Kangouw saat ini di mana-mana terjadi pembunuhan dan perampokan. Sebelumnya tokoh-tokoh Bulim berpencaran di setiap daerah. Masing-masing menjagoi wilayah sendiri-sendiri. Dengan demikian setiap orang bagai raja di wilayahnya dan banyak yang bertindak semena-mena. Untung saja tidak sampai terjadi pertikaian besar-besaran. Sekarang di puncak bukit Tok Liong Hong ini berkumpul para jago dari segala penjuru, dan saat ini juga telah berhasil memilih seorang Bulim Bengcu. Sekarang setiap tokoh dari manapun berdiri di bawah satu bendera yang sama. Yang perlu kita jaga adalah jangan sampai terjadi perselisihan dan dapat bersatu menghadapi segala bencana!"

   Si pengemis sakti Cian Cong menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan ucapan Tan Ki.

   "Ucapan yang tepat sekali! Seandainya dunia Bulim dipimpin oleh seorang kepala yang bijaksana, maka tidak akan terjadi keributan yang tidak diinginkan. Apabila tidak seperti sekarang ini, seandainya terjadi pertikaian, tentu sulit diselesaikan dengan sempurna."

   Tan Ki tersenyum lembut.

   "Selama ratusan tahun di dunia Bulim orang selalu menyelesaikan setiap peristiwa dengan kekerasan. Budi dan dendam seakan tidak ada habis-habisnya. Apalagi kita yang hidup sebagai orang-orang Kangouw, hal itu lebih menyolok lagi. Dengan demikian tanpa terasa dunia Bulim kita terbagi menjadi dua golongan, yakni golongan lurus dan sesat. Orang yang menggunakan ilmu kepandaiannya untuk melindungi rakyat kecil dan membasmi kejahatan, serta memeras orang kaya yang lalim lalu dibagikan kepada kaum fakir miskin, kita menyebutnya sebagai golongan lurus. Mereka selalu menganggap apa yang mereka lakukan merupakan perbuatan yang mulia. Sedangkan golongan yang lain adalah orang yang hidup dalam kekerasan, setiap perbuatan selalu diakhiri dengan pertumpahan darah dan biasanya menguasai sebuah wilayah sebagai raja kecil. Mereka bahkan tidak segan-segan memperkosa ataupun merampok. Orang-orang ini disebut sebagai golongan sesat atau golongan hitam. Hal ini merupakan ketentuan yang berlaku bagi golongan lurus di dunia Bulim sejak ratusan tahun yang silam. Sebetulnya, perampok pun mempunyai peraturannya sendiri. Asal apa yang dilakukan ada tujuannya, mengapa tidak boleh dilakukan? Apakah yang tidak dilakukan manusia di dunia ini? Adakah manusia yang tidak pernah berbuat dosa? Kebetulan aku, Tan Ki, mendapat perhatian serta kasih sayang yang besar dari saudara-saudara sekalian sehingga mendapatkan jabatan Bulim Bengcu hari ini. Aku merasa bahwa seseorang hidup di dunia ini, yang paling penting harus berbuat segala macam hal dengan terang-terangan dan jangan menyimpang dari kata hati sendiri. Dengan demikan hidup ini barulah ada gunanya dan tidak sia-sia. Demi merubah pandangan orang-orang di dunia ini terhadap kehidupan tokoh-tokoh Kangouw kita, demi mempertahankan kedudukan dunia Bulim kita yang telah berlangsung selama ratusan tahun, hari ini Tan Ki ingin mempersatukan semua golongan di dunia ini untuk menghadapi golongan pemberontak dari pihak Lam Hay serta Si Yu yang akan menyerbu daerah kita. Setidak-tidaknya kita harus mempersiapkan diri dengan baik supaya jangan sampai terjadi kekalahan di pihak kita. Oleh karena itu, meskipun aku Tan Ki bukan manusia yang maha pintar, tetapi aku mencoba menentukan empat macam peraturan yang harus ditaati semua kalangan"

   Untuk sesaat suasana menjadi hening mencekam.

   Beratus pasang mata terpusat pada diri Tan Ki.

   Di seluruh tempat tersebut seakan ada terselip hawa ketegangan yang tidak terkirakan.

   Selama hidupnya Tan Ki belum pernah menghadapi suasana seperti ini.

   Otomatis hatinya jadi berdebar-debar.

   Perlu diketahui bahwa sebagian besar orang-orang yang hadir di tempat tersebut merupakan tokoh-tokoh yang mempunyai wilayah kekuasaan masing-masing.

   Dengan demikian membunuh orang adalah pekerjaan mereka sehari-harinya.

   Mereka selalu melakukan apa saja yang disenanginya.

   Selama ini belum pernah mereka diatur oleh orang lain.

   Yang namanya hukum atau pengadilan boleh dibilang tidak dipandang sebelah mata oleh mereka.

   Apabila secara tiba-tiba ada beberapa peraturan yang harus mereka taati, mungkin hati mereka tidak dapat menerimanya dengan tulus.

   Bahkan bisa juga terjadi perselisihan besar-besaran karena masalah ini.

   Mereka su-uah terbiasa berbuat semaunya, apabila ada sedikit saja hal yang membuat mereka kurang senang, maka pertemuan kali ini malah bisa berubah menjadi pertumpahan darah Tan Ki merenung beberapa saat.

   Dia berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk mencetuskan isi hatinya sesaat kemudian terdengar dia tertawa keras-keras dan melanjutkan ucapannya.

   "Seandainya ada diantara kalian yang keberatan mengikuti peraturan tersebut, sekarang masih ada waktu untuk mengundurkan diri. Sore nanti pihak Lam Hay sudah akan menyerbu kita. Dengan demikian aku juga tidak berharap terjadinya pengorbanan yang sia-sia!"

   Beberapa kali berturut-turut dia mengajukan pertanyaan tersebut.

   Rupanya para hadirin merasa takluk juga dengan kewibawaan yang diperlihatkannya.

   Oleh karena itu sampai sekian lama tidak ada orang yang memprotes.

   Wajah Tan Ki tampak serius sekali, sepasang matanya yang menyorotkan sinar yang tajam.

   Dia mengedarkan pandangannya ke se keliling tempat tersebut.

   "Segala kejahatan di dunia ini perlu dibasmi.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Cayhe merasa peraturan pertama yang harus ditetapkan adalah tidak boleh menodai gadis keluarga baik-baik atau memperkosa sampai terjadi jatuh korban jiwa.

   Sedangkan larangan membunuh orang yang tidak berdosa dan berbuat tidak adil terhadap sesamanya merupakan peraturan yang kedua!"

   Baru saja kata-kata ini diucapkan, ternyata ada reaksi dari para hadirin. Salah satu orang di antara kerumunan tersebut segera berteriak dengan suara keras.

   "Apakah peraturan Bengcu yang satu ini tidak terlalu keras? Kita merupakan orang-orang yang sehari-harinya bergerak di dunia Kangouw. Kitapun mencari makan dari golok serta pedang tajam. Kalau kita tidak membunuh lawan, mungkin diri kittalah yang akan terbunuh secara mengenaskan."

   Belum lagi ucapannya selesai, sesosok bayangan langsung berkelebat datang dan mengeluarkan suara tawa yang keras.

   "Maksud Bengcu, kita tidak boleh membunuh orang yang tidak berdosa atau tidak sanggup memberikan perlawanan!"

   Kata-katanya selesai, orangnya pun mendarat di atas tanah, dia tidak bukan dan tidak lain dari Pendekar Baju Putih, Oey Ku Kiong.

   Tan Ki melihat orang itu hanya berjarak lima enam langkah dari dirinya, tetapi tiba-tiba langkah kakinya berhenti.

   Meskipun hatinya mengandung kecurigaan, namun bibirnya tetap mengembangkan seulas senyuman.

   "Kedatangan Oey-heng sungguh kebetulan sekali. Silahkan duduk dan minum dulu beberapa cawan arak."

   Katanya mempersilahkan.

   Oey Ku Kiong juga memamerkan senyuman yang ramah.

   Dengan penuh hormat dia membungkukkan tubuhnya.

   Kemudian mencari sebuah tempat yang kosong dan duduk di sana.

   Dengan wajah menyiratkan ketenangan, Tan Ki mengangkat cawan araknya.

   Setelah itu dia berkata lagi dengan perlahan-lahan.

   "Sebelum aku menentukan peraturan yang ketiga, ada beberapa patah kata lagi yang ingin kusampaikan kepada saudara-saudara sekalian. Pertemuan di puncak bukit Tok Liong Hong kali ini, khusus untuk melawan pihak Lam Hay dan Si Yu yang ingin berlaku semenamena kepada pihak kita. Meskipun telah terpilih seorang Bulim Bengcu, tetapi kita tidak mungkin tidak mempunyai sebutan. Dengan memberanikan diri, aku memberi nama Perkumpulan Ikat Pinggang Merah kepada golongan kita ini. Setiap jago pedang tingkat sembilan, harus mengenakan ikat pinggang merah setebal sembilan cun. Sedangkan pendekar pedang tingkat delapan, memakai ikat pinggang merah setebal delapan cun dan demikian seterusnya sampai tingkat kesatu. Dengan cara ini pula kita dapat menentukan tingkatan masing-masing sekaligus merupakan tanda pengenal kita di hadapan orang lain."

   Selesai berkata dia meneguk isi cawannya sampai kering.

   Para hadirin langsung bertepuk tangan dengan gemuruh dan menyambut ucapan Tan Ki dengan mengeringkan cawan masing-masing.

   Si pengemis sakti Cian Cong terkenal sebagai setan arak.

   Cawan yang ada di tangannya juga luar biasa besarnya dan jauh berbeda dengan orang-orang lainnya.

   Tampak dia mendongakkan wajahnya dan meneguk isi cawannya sampai kering.

   Siapa nyana baru saja arak tersebut masuk ke dalam perutnya, tampak kening orang itu langsung berkerut.

   Boleh dibilang Cian Cong adalah seorang peminum sejati.

   Selama puluhan tahun ini, di sisinya selalu ditemani oleh sebuah hiolo arak.

   Entah sudah berapa jenis arak yang pernah diisi dalam hiolonya itu.

   Terhadap keras atau ringannya setiap jenis arak, boleh dibilang dia sudah hapal luar kepala.

   Saat ini, begitu arak yang diminumnya masuk ke dalam perut, dia langsung merasa arak tersebut keras sekali, malah ada sedikit keanehan yang mencurigakan.

   BAGIAN XLIX Tiba-tiba saja Cian Cong merasa ada yang tidak beres dalam arak itu.

   Tetapi melihat Tan Ki sedang mengumumkan peraturan-peraturan yang harus ditetapkan oleh dirinya sebagai seorang Bulim Bengcu yang baru terpilih, tentu saja dia merasa tidak enak mengganggunya dengan kecurigaan yang tidak beralasan.

   Apalagi para hadirin tampaknya sedang menyambut ucapannya dengan gembira.

   Orangtua ini selalu melakukan segala hal dengan perhitungan yang matang.

   Oleh karena itu, dia segera mengerahkan hawa murninya dan mendesak racun tersebut di ujung tenggorokannya.

   Apabila Tan Ki sudah selesai bicaranya, baru dia mengemukakan kecurigaannya itu.

   Suasana di tempat itu terasa demikian hening dan mencekam.

   Wajah setiap orang menyiratkan keseriusan yang tidak terkirakan.

   Mereka mendengar kelanjutan kata-kata Tan Ki tentang peraturan yang ditentukannya.

   "Meskipun cayhe sudah menentukan untuk memberi nama Perkumpulan Ikat Pinggang Merah pada golongan kita ini, maka setiap anggota kita harus memakai sehelai ikat pinggang berwarna merah sebagai tanda pengenal. Tetapi orang-orang kita sekarang ini sudah tidak menghargai kepercayaan yang diberikan dan menganggap remeh sebuah persahabatan. Dengan demikian, di antara satu orang teman dengan lainnya sering menggunakan akal licik atau saling memanfaatkan. Mulut mengucapkan janji saja sering diingkari tanpa merasa malu atau menyesal sedikitpun. Apabila bertemu dengan teman lainnya yang dapat memberikan keuntungan lebih banyak, sering orang-orang dunia Bulim kita mengkhianati persahabatan tanpa perduli apa yang akan terjadi dengan temannya itu, yang akhirnya timbul perselisihan dan kemudian menjadi dendam. Oleh karena itu, kepercayaan dan kesetiakawanan menjadi peraturan ketiga yang harus ditaati!"

   Dia menghentikan kata-katanya sejenak, melihat tidak ada seorangpun yang membantah, baru dia meneruskan kembali ucapannya.

   "Di depan tadi telah kita tetapkan tiga buah peraturan. Satu, tidak boleh memperkosa atau menodai gadis baik-baik. Kedua, tidak boleh membunuh orang yang tidak berdosa ataupun tidak sanggup mengadakan perlawanan. Tiga, harus menghargai kepercayaan seseorang dan tidak boleh mengkhianati persahabatan demi keuntungan diri sendiri. Tetapi aku maklum bahwa dunia ini sangat luas. Negara kita saja mempunyai tiga belas propinsi yang terbagi dari utara sampai selatan. Tempat yang begini luas tentu tidak mudah untuk dipersatukan, apalagi takluk di bawah satu pimpinan. Seandainya ada satu orang saja yang tidak mengikuti peraturan yang ditentukan, pasti yang lainnya akan terpengaruh untuk melakukan hal yang sama. Apabila kita ingin menghindari persengketaan yang sudah berlangsung di dunia Bulim selama ratusan tahun ini, maka kita harus menghukum orang yang membangkang perintah dan ditentukan sebagai peraturan keempat. Peraturan ini juga mencakup bahwa anggota kita tidak boleh menghasut rekannya yang lain untuk berkhianat atau berpihak pada negara lain. Keempat peraturan ini telah kupertimbangkan baik-baik sejak menjabat kedudukan sebagai Bulim Bengcu, dengan harapan bahwa dapat disetujui oleh saudara-saudara sekalian. Tetapi sebelum peraturan tersebut diresmikan, kalian, masih mempunyai kesempatan untuk mempertimbangkannya. Tentu saja aku berharap tidak ada orang yang keberatan dan bersedia bekerja sama dengan segenap kemampuan diri masing-masing!"

   Tiba-tiba Oey Ku Kiong berdiri dari tempat duduknya.

   "Dari keempat peraturan yang ditentukan oleh Bengcu, dapat diketahui bahwa beliau mempunyai pengetahuan yang luas dan berpikir panjang demi dunia Bulim kita. Cayhe adalah yang pertama-tama menyatakan kesetujuannya. Apabila saudara-saudara sekalian juga mempunyai pikiran yang sama, mari kita minum arak ini sama-sama sebagai tanda sepakat!"

   Selesai berkata, dia mengangkat cawannya tinggi-tinggi lalu diedarkan ke sekeliling kemudian meneguknya sampai kering.

   Melihat gerak-geriknya yang sangat menghormati Bengcu mereka, para hadirin yang lain segera mengangkat cawannya masing-masing dan meneguk arak di dalam cawan sampai kering.

   Cian Gong adalah manusia yang peka perasaannya dan pikirannya cerdas.

   Melihat Oey Ku Kiong bertindak sebagai orang pertama yang mengajak orang lainnya meminum arak sebagai tanda penghormatan, diam-diam dia sudah merasa aneh.

   Cepat-cepat dia memalingkan wajahnya melihat ke arah Kiau H u r, sekilas.

   Tampak gadis itu mengangkat cawannya ke atas tetapi untuk sekian lama dia tidak juga meneguk araknya, bahkan bibirnya mengembangkan seulas senyuman licik.

   Pikirannya terus bergerak.

   Kedua manusia ini sangat licik.

   Tentunya mereka bersekongkol, tetapi entah apa yang mereka rencanakan kali ini? Semakin dipikir, otaknya semakin ruwet.

   Dia tidak dapat menduga maksud hati Kiau Hun dan Oey Ku Kiong.

   Tanpa dapat ditahan lagi sepasang matanya terus mengawasi gerak-gerik kedua orang itu dengan seksama.

   Kembali terdengar suara Tan Ki yang lantang.

   "Apabila saudara-saudara sekalian tidak ada yang merasa keberatan, maka harap kalian makan dan minum sepuasnya. Besok aku akan meresmikan peraturan yang telah kita tentukan!"

   Selesai berkata, kembali dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

   Tampak orangorang itu mengangkat cawannya masing-ma sing dengan wajah serius.

   Dia tahu bahwa orang-orang ini sudah terbiasa hidup bebas tanpa kekangan orang lain.

   Seandainya dalam sesaat ingin mereka mentaati berbagai peraturan, tentu bukan hal yang mudah.

   Sudah pasti mereka ingin mempertimbangkannya baik-baik.

   Oleh karena itu, dia segera mengembangkan seulas senyuman kemudian duduk kembali di atas kursinya.

   Tan Ki baru saja berhasil merebut kedudukan Bulim Bengcu, dari luar tampangnya memang tenang-tenang saja, tetapi sebetulnya dalam hati dia merasa tegang bukan main.

   Seandainya keempat peraturan yang ditetapkan menimbulkan perasaan berontak dari orang-orang ini, meskipun dia berhasil mendapatkan jabatannya ini dari menang pertandingan, tetapi tetap saja sulit melawan demikian banyak orang yang memberontak.

   Takutnya sebelum pihak Lam Hay dan Si Yu menyerbu nanti sore, di antara kalangan sendiri telah terjadi bentrokan yang tidak kepalang besarnya.

   Mengingat seriusnya masalah ini, hati Tan Ki semakin tertekan.

   Duduk salah berdiri pun salah.

   Sepasang matanya menyorotkan kecemasan dan terus beredar ke para hadirin.

   Diperhatikannya baik-baik reaksi yang mereka perlihatkan.

   Seandainya ada seseorang yang memperlihatkan gerak-gerik mencurigakan, lebih baik ringkus dulu orang itu sebelum dia berhasil menghasut yang lainnya.

   Justru ketika hatinya masih merasa tegang menunggu reaksi dari para hadirin, tiba-tiba telinganya menangkap suara jeritan yang menyayat hati.

   Begitu seramnya suara itu sehingga membuat bulu kuduk jadi meremang.

   Seiring dengan suara jeritan tersebut, tampaknya ada seseorang yang rubuh di atas tanah.

   Boleh dibilang ketika suara itu baru sirap, dari timur barat dan utara kembali terdengar suara jeritan lainnya yang serupa.

   Suara-suara itu bagai ratapan burung hantu di malam hari.

   Dalam waktu yang bersamaan, tampak tujuh delapan orang bangkit dari tempat duduknya dengan sepasang tangan menekan bagian perut.

   Mereka seperti sedang menahan rasa sakit yang tidak terkirakan.

   Tetapi dalam sekejap mata, ketujuh delapan orang itu rubuh di atas tanah dengan panca inderanya mengalirkan darah.

   Suara raungan mereka semakin menggetarkan hati.

   Bahkan ada yang berguling-guling di atas tanah sehingga meja serta bangku terbalik semua.

   Meskipun Tan Ki mempunyai ketenangan yang luar biasa, namun menghadapi perubahan yang tidak disangka-sangka ini, dia juga terkejut setengah mati sampai wajahnya berubah hebat.

   Jantungnya berdebar-debar.

   Dalam keadaan yang menegangkan ini tiba-tiba terjadi peristiwa yang demikian mengerikan, hal ini benar-benar membuat mereka tercekat dan tidak sempat lagi memberikan pertolongan.

   Tiba-tiba si pengemis sakti Cian Cong mengeluarkan suara tawa yang panjang.

   Dia mendorong meja di hadapannya dan bangkit berdiri.

   Mulutnya terbuka dan segera terlihat air arak memuncrat keluar bagai melesatnya sebatang anak panah.

   Arak beracun yang sejak tadi ditahannya dalam tenggorokan sekarang dimuntahkannya.

   Kemudian terdengar suara dengusan dari hidung Lok Hong, cawan araknya didekatkan ke bibir dan dia mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya lalu ikut memuntarikan arak beracun yang baru diminumnya tadi.

   Arak itu tertuang kembali ke dalam cawan.

   Hal ini membuktikan bahwa tokoh tua yang menjabat sebagai pangcu Ti Ciang Pang ini juga sudah tahu bahwa arak yang disediakan mengandung racun yang ganas.

   Sikapnya dingin dan mimik wajahnya tidak enak dilihat.

   Hawa amarah dalam dadanya sudah meluap-luap.

   Tampak beberapa sosok bayangan berkelebat, secara berturut-turut beberapa orang melayang keluar.

   Yibun Siu San, Cian Cong dan tokoh sakti Bu Tong Pai, Tian Bu Cu menghambur ke arah orang-orang yang terserang racun.

   Pengetahuan ketiga tokoh ini luas sekali.

   Pengalaman pun sudah banyak.

   Niat mereka sekarang sama, yakni ingin melihat dengan jelas keadaan para korban.

   Ternyata orang-orang itu tidak sempat mengerahkan hawa murninya untuk menunda beredarnya racun dalam tubuh dan mati dalam sekejap mata.

   Racun apa sebetulnya yang dimasukkan dalam arak tersebut sehingga daya kerjanya begitu keji? Terdengar suara gabrukan yang membisingkan pendengaran.

   Meja dan kursi terbalik di sana-sini.

   Kembali beberapa orang rubuh di atas tanah.

   Begitu diperhatikan ternyata semuanya mati dengan keadaan mengerikan.

   Darah terus mengalir dari ketujuh panca indera mereka.

   Suasana di dalam arena tersebut menjadi demikian menyeramkan karena banyaknya mayat yang bergelimpangan.

   Tampak Mei Ling, Liang Fu Yong dan kedua gadis bercadar hitam segera menghambur ke dekat Tan Ki dan menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi.

   Meskipun warna pakaian yang dikenakan keempat orang perempuan itu berlainan warnanya, tetapi sorot mata mereka semuanya mengandung perhatian yang sama besarnya.

   Tan Ki menggelengkan kepalanya sambil tersenyum simpul.

   "Aku tidak apa-apa."

   Hatinya maklum bahwa kedua gadis becadar hitam itu adalah dua kakak beradik, Cin Ying serta Cin Ie.

   Guna menghindari sorotan mata Kiau Hun yang bertugas menjadi mata-mata, mereka sengaja menggunakan cadar hitam untuk menutupi Wajah.

   Keadaan di depan mata demikian mengkhawatirkan, oleh karena itu Tan Ki tidak ingin banyak bicara.

   Dia hanya mengucapkan kata-kata yang pendek itu saja.

   Liang Fu Yong menarik nafas panjang dengan wajah sendu.

   "Setegukan arak saja dapat menghancurkan jantung orang dan melumatkan usus. Kau baru saja terpilih sebagai Bulim Bengcu, tanggung jawabmu berat sekali. Kau sama sekali tidak boleh bertindak ceroboh sehingga menimbulkan bencana di kemudian hari. Meskipun kau masih bisa bicara dengan santai, tetapi aku tetap mencemaskan dirimu. Ada baiknya kau coba kerahkan hawa murni dalam tubuhmu dan lihat apakah merasakan sesuatu kelainan"

   Tan Ki langsung menukas ucapannya dengan tersenyum.

   "Arak ini hanya kutempelkan di ujung bibir sebagai syarat dan penghormatan bagi tokoh-tokoh lainnya saja. Aku belum benar-benar meminumnya. Tetapi atas perhatian cici yang besar, tetap saja aku merasa berterima kasih sekali."

   Selesai berkata dia membalikkan tubuhnya dan berjalan ke sebelah kiri.

   Tampak si pengemis cilik dan rekan-rekannya yang lain sedang mengerutkan sepasang alis mereka dengan ketat.

   Gigi mereka diker-takkan erat-erat seakan sedang menahan rasa sakit yang tidak terkirakan.

   Wajah mereka juga menyiratkan penderitaan yang dalam.

   Tiba-tiba saja Tan Ki teringat beberapa hari yang lalu, kelima orang itu berlari ke sana ke mari demi dirinya tanpa mengenal rasa lelah sedi-kitpun.

   Namun mereka tidak menginginkan apapun, kecuali rasa persahabatan yang telah mereka bina selama ini.

   Mereka membela dirinya tanpa memperdulikan situasi yang bagaimana gawatnya sekalipun.

   Persahabatan yang dalam ini membuat Tan Ki terharu.

   Sekarang melihat keadaan mereka yang demikian mengenaskan, seperti mengalami penderitaan yang tidak terkirakan, hatinya menjadi pedih karena tidak sanggup mengulurkan tangan memberi bantuan.

   Air mata tampak membasahi pelupuk matanya dan hampir saja menetes turun.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba terdengar bentakan seseorang dari belakang punggungnya.

   "Berhenti!"

   Suara itu bagai geledek yang menggelegar.

   Tan Ki yang mendengarnya sampai tercekat.

   Tanpa terasa dia menghentikan langkah kakinya.

   Begitu kepalanya ditolehkan, dia melihat Lok Hong sedang menatapnya dengan mata mendelik lebar-lebar.

   Sikap Lok Hong itu membuat perasaan Tan Ki tergetar.

   Diam-diam dia mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya dan berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, namun bibirnya tetap mengembangkan seulas senyuman.

   "Entah apa maksud Locianpwe memanggil cayhe?"

   "Apakah pesta ini diurus oleh dirimu sendiri?"

   Tanya Lok Hong.

   "Yibun Sam-siok yang mempersiapkannya"

   Tiba-tiba saja kata-katanya terhenti. Dalam benaknya terlihat suatu masalah yang rumit. Tanpa dapat ditahan lagi sepasang alisnya berkerut. Setelah sesaat dia baru bertanya.

   "Apakah Locianpwe mencurigai diri cayhe?"

   Lok Hong tertawa dingin.

   "Walaupun kau tidak melakukan hal ini, tetapi tetap saja sulit bagimu untuk melepaskan diri dari tanggung jawab!"

   Sepasang mata Tan Ki menyorotkan sinar yang tajam menusuk. Tetapi sesaat kemudian pulih kembali seperti biasanya. Bibirnya malah mengembangkan seulas senyuman.

   "Harap Locianpwe jangan memandang segala hal dari sudut mata orang yang jiwanya rendah. Apabila cayhe memang berniat mencelakai orang, rasanya juga tidak perlu begitu menyolok. Lagipula"

   Tadinya dia ingin mengatakan secara terus terang bahwa dirinya pernah menggemparkan dunia Kangouw dengan nama Cian Bin Mo-ong, tetapi tiba-tiba saja suatu ingatan melintas dalam benaknya.

   Tidak sepatutnya dia menceritakan hal tersebut dalam keadaan seperti ini.

   Cepat-cepat dia menghentikan kata-katanya dan membungkam.

   Tampaknya kemarahan Lok Hong jadi terbangkit mendengar ucapannya.

   Dia langsung memperdengarkan suara tawa terbahak-bahak.

   Nada suaranya bagai singa yang sedang meraung, memekakkan telinga orang-orang yang mendengarnya.

   Keadaan di tempat itu menjadi kacau balau.

   Para hadirin merasa cemas.

   Kecuali para tamu wanita yang tidak minum arak, beserta beberapa orang lagi yang tenaga dalamnya cukup tinggi, boleh dibilang hampir sebagian besarnya keracunan.

   Suasananya menjadi tegang dan menyeramkan namun di balik ketegangan serta keseraman pemandangan yang terlihat di tempat tersebut, terselip rasa pilu dan mengenaskan melihat banyaknya mayat-mayat yang mati secara mengerikan.

   Walaupun orang-orang gagah yang hadir di tempat tersebut sadar bahwa dirinya keracunan, tetapi melihat Tan Ki dan Lok Hong mulai bersitegang, mereka segera dapat merasakan bahwa ada segelombang badai yang dahsyat akan melanda.

   Beratus pasang mata serentak beralih pada diri kedua orang itu.

   Sudah pasti Tan Ki maklum bahwa termangu-mangu terus juga tidak dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

   Biar bagaimana dia merupakan seorang pemuda yang cerdas serta banyak akalnya.

   Setelah merenung sejenak, dia merasa bahwa perdebatan dengan Lok Hong hanya menambah masalah yang sudah ada.

   Oleh karena itu, dia langsung tersenyum simpul dan berkata dengan nada lembut "Biarpun Cayhe mengerti bahwa telah terjadi kesalahpahaman dalam hati Locianpwe, tetapi untuk sesaat juga tidak dapat dijelaskan.

   Lebih baik biarkan Boanpwe mencari jalan agar dapat menemukan orang yang menyebarkan racun tersebut, bagaimana?"

   Kata-kata ini diucapkan dengan nada wajar.

   Tidak sombong juga tidak merendahkan derajatnya sendiri.

   Mendengar kata-katanya, Lok Hong jadi termangu-mangu untuk sekian lama.

   Biar bagaimana dia merupakan seorang tokoh tua yang sudah mempunyai nama besar.

   Tentu tidak enak baginya apabila terlalu mendesak tanpa bukti yang konkret.

   Tiba-tiba terdengar desiran angin yang disebabkan oleh kibaran pakaian seseorang.

   Kiau Hun bagai sekuntum bunga tho di bawah cahaya matahari berdiri di antara kedua orang itu.

   Bibirnya mengembangkan senyuman.

   "Berapa usia Locianpwe tahun ini?"

   Tiba-tiba saja dia mengajukan pertanyaan kepada Lok Hong.

   Suaranya begitu merdu dan lembut sehingga membuat orang yang mendengarnya merasa tidak enak hati apabila tidak memberikan jawaban.

   Demikian pula Lok Hong, dia terpaksa menyahut pertanyaan gadis itu.

   "Tahun ini Lohu berusia tujuh puluh enam tahun. Entah apa maksud nona menanyakan hal ini?"

   Kiau Hun tersenyum manis.

   "Itulah, kalau usia Locianpwe sudah sedemikian tinggi, pengetahuan maupun pengalaman pasti sudah luas sekali. Tetapi setelah bertemu sekarang, ternyata Locianpwe masih kalah pintar dengan seorang gadis muda seperti diriku."

   Mendengar sindirannya, wajah Lok Hong langsung berubah. Perlahan-lahan dia mendengus kemudian bertanya.

   "Hal apa yang membuat kepintaran nona melebihi lohu, coba kaujelaskan secara terang-terangan!"

   Kembali Kiau Hun memamerkan seulas senyuman. Dia menolehkan kepalanya memandang Tan Ki yang berdiri di sampingnya dengan mata melotot serta sepasang alis berkerut-kerut. Kemudian dia berkata dengan, tenang.

   "Apabila Locianpwe seorang yang cerdas, tentu bisa mengetahui kata-kata yang diucapkannya tadi rada kurang beres. Seandainya dia benar-benar ingin menyelidiki masalah ini, entah darimana dia harus memulainya? Lagipula dia tidak memberikan batas waktu yang tepat untuk membuktikan kata-katanya. Dengan demikian dia bisa mengulur waktu sesuka hatinya sendiri. Apabila Locianpwe ingin mengetahui kejadian yang sebenarnya, mungkin harus menunggu sampai tubuh membungkuk dan rambut menjadi putih semua juga belum tentu ada hasilnya. Hal ini membuktikan bahwa dia sengaja mempermainkan dirimu karena menganggap kau tidak tahu apa-apa. Bila orang lain dapat dikelabuinya begitu saja, maka tidak begitu mudah kalau sasarannya diriku."

   Perlahan-lahan Lok Hong menepuk batok kepalanya sendiri.

   "Betul juga apa yang kau katakan!"

   "Mumpung orangnya masih ada di depan mata, mengapa Locianpwe tidak menanyakannya sampai jelas sekarang juga?"

   Lok Hong mendongakkan wajahnya kemudian tertawa terbahak-bahak.

   "Apa lagi yang perlu ditanyakan?"

   Sebelah telapak tangannya terulur ke depan dan langsung dihantamkan ke dada Tan Ki.

   


Anak Naga -- Chin Yung Anak Rajawali -- Chin Yung Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung

Cari Blog Ini