Ceritasilat Novel Online

Kuda Putih 1


Kuda Putih Karya Okt Bagian 1




   Kuda Putih Karya dari Okt

   KUDAPUTIH ~ Pek Ma Siauw Sie Hong~ Karya . OKT

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   I Dengan bersuara berketoprakan dalam maka dua ekor kuda telah dikaburkan di antara tanah yang berpasir kuning di gurun dari wilayah Hweekiang, hingga di belakangnya menaik mengutaklah debu tinggi sekira dua tombak.

   Dua ekor kuda itu kabur bagaikan berkejar-kejaran, karena yang seekor di depan, yang lainnya disebelah belakang.

   Kuda yang di sebelah depan itu, yang tinggi, berbulu putih dan tinggi besar badannya.

   Penunggangnya adalah seorang nyonya muda di dalam tangan siapa ada terangkul seorang nona umur tujuh atau delapan tahun.

   Kuda yang di belakang, yang berbulu merah marong, penunggangnya adalah seorang pria yang tubuhnya jangkung kurus.

   Hanya di punggung kiri dia ini ada menancap sebatang anak panah, terus mengeluarkan darah, hingga darahnya itu mengalir ke kudanya, terus menetes jatuh ke pasir, terus meresap ke dalam tanah...

   Tidak berani pria itu mencabut anak panah yang mencelakainya itu.

   Ia jeri.

   Ia menginsafinya, asal ia mencabutnya, pasti ia bakal roboh dari kudanya itu.

   Ia tidak takut mati apabila itu perlu, hanya...

   Siapa nanti mengurus isterinya yang cantik itu, serta anaknya yang manis, yang tengah kabur di sebelah depannya itu? Sedang di belakang mereka ada lagi mengejar musuh-musuh mereka yang telengas...

   Kuda merah itu sudah lari beberapa puluh li, hampir habis tenaganya, bekas dicambuki dan didupaki, atau dijepit perutnya, dia sampai susah bernapas, badannya bermandikan keringat, mulutnya mengeluarkan busa putih.

   Toh dia masih dipaksa lari keras.

   Maka akhir-akhirnya, kaki depannya lemas dan tertekuk, menyebabkan badannya roboh ngusruk! Si pria mempertahankan diri, ia tidak kurang suatu apa, akan tetapi kudanya itu, setelah meringkik menyayatkan satu kali, rebah tanpa berkutik lagi...

   "Engko!..."

   Ia memanggil.

   "Engko, kau... kau... bagaimana?"

   Pria yang dipanggil engko itu mengerutkan kening dan menggelengkan kepala.

   Di belakang mereka, jauhnya masih beberapa lie, terlihat debu mengepul tinggi.

   Itulah tanda dari rombongan si pengejar...

   Nyonya muda itu memutar balik kudanya, untuk menghampirkan suaminya.

   Ia sekarang melihat anak panah di punggung suami itu, melihat darah hidupnya bercucuran.

   Sang suami hampir pingsan.

   Ia menjadi sangat kaget.

   "Ayah!... ayah!"

   Si anak berkata kaget.

   "Punggungmu ada anak panahnya..."

   "Tidak apa!"

   Berkata si pria, menyeringai, lantas tubuhnya mencelat, berlompat naik ke punggung kuda di belakang isterinya. Dia telah terluka tetapi gerakannya masih gesit dan lincah. Sang isteri menoleh, mengawasi dengan mata menyayang.

   "Engko, kau..."

   Katanya halus.

   Sang engko tidak menyahuti, hanya kedua kakinya menjepit perut kuda mereka, atas mana si kuda putih berjingkrak dan lari kabur pula.

   Kuda ini kuda jempolan, dia telah lari pesat berpuluh-puluh lie, dia masih terus dapat lari keras, hanya kali ini, larinya menjadi berkurang kecepatannya.

   Semenjak tadi dia belum dapat mengaso sedikit juga, sekarang penunggangnya bertambah, tidak heran apabila sangat sulit untuknya dapat mempertahankan kekuatannya terus menerus, tetapi dia tetap kabur, dia seperti mengerti yang majikannya itu tengah menghadapi ancaman mara bahaya...

   Di sebelah belakang, rombongan pengejar mendatangi semakin dekat, setindak demi setindak.

   Sama sekali mereka itu berjumlah enam puluh tiga orang, mereka pun membekal seratus sembilan puluh ekor kuda, dengan begitu setiap ada kuda yang letih, kuda itu lantas ditukar.

   Benar semua kuda itu sama-sama lari tetapi tanpa penunggangnya, letihnya kurang banyak.

   Dari caranya mereka itu mengejar, terang sudah, mereka bertekad bulat untuk mendapatkan orang-orang yang dikejar itu, ialah si suami isteri serta anak daranya yang masih kecil itu.

   Selagi mengaburkan kudanya, si pria jangkung kurus itu berpaling ke belakang.

   Ia mengawasi.

   Dengan datangnya orang semakin dekat, ia bisa melihat kepada mereka itu, makin lama makin tegas.

   "Adik Hong, aku hendak mohon sesuatu dari kau!"

   Katanya kemudian. Sebelumnya membuka mulut, ia menggigit dulu kedua giginya erat-erat.

   "Sudikah kau meluluskannya?..."

   Si nyonya muda, sang isteri, menoleh. Ia tertawa manis.

   "Selama hidup kita bersama, pernahkah sekali jua aku menampik keinginanmu?"

   Ia balas menanya, suaranya halus.

   "Bagus!"

   Berkata suami itu.

   "Hong, sekarang kau bawa kabur si Siu, anak kita ini. Biarlah dia dapat melindungi darah daging kita berdua! Biarlah dia pun dapat menyelamatkan peta Istana Rahasia Kobu!..."

   Isteri itu menyahuti, suaranya bergemetar.

   "Engko,"

   Katanya.

   "apa tidak baik peta ini kita serahkan pada mereka dan kita menyerah kalah? Dirimu... dirimu lebih penting..."

   Mendadak sang suami mencium pipi kiri isterinya itu.

   "Hong...,"

   Katanya, suaranya lembut.

   "kita berdua sudah mengalami banyak sekali bahaya, selamanya kita dapat lolos, maka mungkin kali ini kita bakal lolos juga... Kau harus ketahui, Luliang Samkiat bukan melainkan mengarah peta ini, mereka... mereka juga menghendaki parasmu yang cantik!"

   "Justeru karena itu, mungkin aku dapat minta mereka..."

   "Tapi!"

   Memotong suami itu.

   "apakah kita menunduki kepala untuk memohon sesuatu dari lain orang? Kuda ini tidak kuat membawa kita bertiga, maka itu lekaslah kau pergi!..."

   Sekonyong-konyong ia mencelat, kedua tangannya dilepaskan, tubuhnya terangkat dari punggung kuda, maka jatuhlah ia ke tanah, terdengar jeritannya.

   "Aduh!..."

   Nyonya itu terkejut.

   Segera ia menahan kudanya, untuk dikasih balik, guna menghampirkan suaminya.

   Ia mengulurkan sebelah tangannya, dengan niatan menarik suami itu untuk naik pula atas kudanya.

   Tapi sang suami menolak, matanya bersorot gusar, dia mengawasi bengis! Adalah biasanya, ia senantiasa menurut kepada suaminya itu, maka juga kali ini, dengan merasa sangat tertindih hatinya, ia memutar pula kudanya, untuk dikasih lari pergi, meninggalkan suami itu bercokol seorang diri di tanah pasir dengan lukanya yang parah itu...

   Rombongan pengejar yang terdiri dan enam puluh tiga orang itu melihat orang jatuh dari kudanya dan ditinggal pergi isterinya, mereka itu bersorak-sorai, di antaranya ada yang berteriak-teriak.

   "Pekma Lie Sam roboh! Pekma Lie Sam roboh!"

   Mereka lantas terpecah menjadi dua rombongan, yang belasan menghampirkan langsung Pekma Lie Sam itu, yang empat puluh lebih mengejar terus si nyonya dan puteri ciliknya.

   Laki-laki itu rebah meringkuk di atas pasir, tubuhnya tidak bergerak, seperti dia telah putus jiwanya.

   Salah satu pengejar, yang memegang tombak, sudah lantas menombak pundak orang yang kanan.

   Mangsa itu tidak bersuara, juga tidak bergerak, dan tempo tombak dicabut, dia tetap berdiam saja.

   "Dia sudah mampus!"

   Berkata seorang, yang berewokan. Rupanya dialah si pemimpin.

   "Jangan takut! Geledah tubuhnya! Lekas!"

   Dua orang lompat turun dari masing-masing kudanya, guna menghampiri tubuhnya Pekma Lie Sam, si Kuda Putih itu.

   Dengan lantas mereka membalik tubuh orang, untuk digeledah seperti dititahkan pemimpin mereka.

   Sekonyong-konyong saja sebatang golok putih mengkilap berkelebat, terus dua orang itu menjerit tertahan dan roboh terguling.

   Itulah goloknya Pekma Lie Sam, yang meminta kurban! Semua orang kaget sekali.

   Tidak satu di antaranya menyangka, Lie Sam dapat berpura-pura mati demikian sempurna, sampai dia tidak menghiraukan tombakan kepada pundaknya.

   Dengan sendirinya semua orang mengasih mundur kuda mereka.

   Si pemimpin yang berewokan itu memutar goloknya, golok Ganleng to.

   "Lie Sam, kau benar-benar tangguh!"

   Serunya.

   Lantas goloknya menyambar, ke arah kepala orang.

   Lie Sam menangkis.

   Tapi ia telah terluka, tenaganya berkurang banyak, ketika ia mundur hingga tiga tindak, ia lantas muntah darah.

   Justeru itu, semua musuhnya merangsak, semua menurunkan senjatanya masing-masing.

   Benar-benar Lie Sam tangguh, dia gagah sekali, dia melakukan perlawanan.

   Masih dua orang kena dirobohkan, setelah mana, arwahnya berangkat pulang ke alam baka, tubuhnya terlukakan tidak keruan...

   Si nyonya muda belum lari jauh, maka itu ia telah mendengar seman nyaring dari suaminya itu, hatinya bagaikan diiris-iris.

   "Dia telah mati, buat apa aku hidup terus?"

   Pikirnya. Ia menjadi nekat. Dari sakunya, ia menarik keluar sehelai peta yang terbuat dari kulit kambing, ia belesaki itu ke dalam saku puterinya yang masih kecil itu. Ia kata.

   "Anak Siu, kau uruslah dirimu!"

   Habis berkata, ia menepuk kudanya, untuk membikin binatang itu lompat berjingkrak, ia sendiri membarengi mencelat dari punggung kuda.

   Maka juga, selagi ia jatuh turun, kudanya itu terus kabur bagaikan melesatnya anak panah.

   Agaknya ia puas, karena ia melegakan hatinya.

   "Kuda itu kuat lari tak tandingan, anak Siu pun bertubuh enteng sekali, pastilah mereka ini tidak bakal dapat menyandak!"

   Lantas ia memuji.

   "Thian, oh Thian, tolonglah lindungi anak Siu, semoga dia menjadi besar dan dapat menikah suami seperti suamiku yang baik ini, biarnya hidup merantau tetapi kita berbahagia!"

   Segera setelah memuji itu, nyonya ini merapikan rambutnya dan pakaiannya juga, terus ia memutar tubuhnya, untuk menghadap rombongan pengejarnya yang dengan cepat telah tiba di hadapannya.

   Tentu sekali yang sampai terdepan ialah Luliang Samkiat, tiga jago dari Luliang.

   Merekalah tiga saudara angkat.

   Yang tertua yaitu Sinto Cin Kwansee Hok Goan Liong, jago Kwansee Golok Sakti.

   Dialah si berewokan yang bertubuh besar, yang telah membinasakan Pekma Lie Sam barusan.

   Yang kedua, Bweehoa Chio Su Tiong Cun, si Tombak Bunga Bwee.

   Dia bertubuh kurus kering.

   Yang ketiga, yang termuda, Cheebong Kiam Tan Tat Hian si Pedang Ular Naga Hijau, tubuhnya kate dan kecil.

   Dia asal begal kuda di Shoatang, belakangan dia tinggal menetap di Shoasay, bersahabat erat dengan llok Goan Liong dan Su Tiong Cun, bersama-sama mereka mengusahakan perusahaan piauwkiok di kecamatan Thaykok, Shoasay, dengan memakai merek chin Wie Piauwkiok.

   Ada hubungannya di antara Su liong Cun dan isterinya Pekma Lie Sam itu.

   Nyonya Lie asalnya ialah Nona Siangkoan Hong dan dengan Tiong Cun pernah su-heng dengan sumoay, kakak dan adik seperguruan.

   Semenjak masih kecil mereka belajar silat bersama tidak heran kalau Tiong Cun kemudian mencintai sumoay-nya yang cantik dan lemah-lembut itu.

   Mereka memang setimpal.

   Sampai dengan kebetulan Siangkoan Hong bertemu sama Pekma Lie Sam, keduanya lantas saling mencinta, hanya sayang, pihak orang tua tidak menyetujui perjodohan mereka itu, lantaran mana terpaksa mereka minggat.

   Tiong Cun jadi sangat berduka, ia mendapat sakit, setelah sembuh, tabiatnya menjadi berubah.

   Sepuluh tahun sudah berlalu semenjak lelakon asmara mereka itu atau dengan cara kebetulan, Luliang Samkiat bertemu sama Pekma Lie Sam suami isteri serta anak daranya yang masih kecil itu di jalan Kamliang, rombongan sembilan kecamatan di propinsi Kamsiok, bahkan karena perebutan sehelai peta, kedua pihak menjadi benterok dan bertempur.

   Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Su Tiong Cun tetap tidak bisa melupai adik seperguruannya itu, karena cintanya itu yang gagal, dia terus tidak menikah, maka sekarang, justeru ada benterokan ini, dia jadi sangat membenci Lie Sam, hingga dialah jadi lawan yang paling bengis.

   Dikepung enam puluh orang lebih, Lie Sam dan isterinya tidak berdaya, dari itu, mereka melawan sambil melarikan diri.

   Dari jalan Kamliang itu mereka dikejar terus-terusan sampai di wilayah Hweekiang ini.

   Anak panah di punggung Lie Sam ialah anak panah yang dilepaskan Su Tiong Cun secara membokong.

   Akhirnya Lie Sam menemui ajalnya secara menyedihkan itu.

   Kapan Tiong Cun memandang Siangkoan Hong, hatinya tergerak, maka ia pikir.

   "Aku telah membinasakan suaminya, maka selanjutnya aku harus merawati dia baik-baik..."

   Nyonya Lie Sam berdiri di atas pasir, pakaiannya berkibar di antara desiran angin gurun.

   Dia masih sama cantiknya seperti masa mudanya sepuluh tahun yang lampau, semasa mereka masih sama-sama belajar silat.

   Dia bersenjatakan sepasang pedang yang luar biasa, sebab yang satu bergagang emas, yang lain bergagang perak, maka juga ia dijuluki Kimgin Siauwkiam Sam Niocu,"

   Si Nona Pedang Emas Perak.

   Nyonya muda ini mengasih lihat senyuman tawar.

   Mendadak Su Tiong Cun mendapat harapan, dadanya dirasakan panas, mukanya merah sendirinya.

   Ia menancap tombaknya di samping pelananya, lantas ia lompat turun dari kudanya, guna menghampirkan si nyonya.

   "Sumoay!"

   Ia memanggil, seperti biasanya.

   "Lie Sam telah mati,"

   Berkata si nyonya, tenang. Tiong Cun mengangguk.

   "Sumoay,"

   Katanya.

   "sepuluh tahun kita telah berpisah, aku... setiap hari aku memikirkan kau..."

   "Benarkah itu?"

   Si nyonya muda tertawa.

   "Kau tentu lagi memperdayakan orang..."

   Hatinya Tiong Cun goncang. Siangkoan Hong tetap manis seperti pada sepuluh tahun yang telah berlalu itu, dia mirip sebagai masa gadisnya.

   "Sumoay,"

   Katanya, perlahan.

   "kalau selanjutnya kau turut aku, aku tanggung kau tidak bakal ngalami penderitaan, tidak sedikit juga..."

   Matanya Siangkoan Hong mendadak bercahaya.

   "Suko, kau baik sekali!"

   Ujarnya.

   Mendadak ia mementang kedua tangannya, untuk menjatuhkan diri di dada si bekas kekasih.

   Bukan main girangnya Tiong Cun, ia lantas membalas merangkul.

   Hok Goan Liong, yang telah menyusul, tertawa saling mengawasi dengan Tan Tat Hian.

   Di dalam hatinya, mereka kata.

   "Dua puluh tahun mereka saling mencintai, baru sekarang harapan mereka terkabul, cita-cita mereka tercapai..."

   Pikirannya Tiong Cun melayang-layang.

   Hidungnya telah mencium bau yang harum, yang menggiurkan hatinya.

   Ia sampai beragu-ragu yang Siangkoan Hong pun merangkul ia demikian erat.

   Hanya tengah ia kelelap itu, atau tak sadarkan diri, tiba-tiba ia merasakan sakit pada perutnya, sakit sekali, seperti tertubles sesuatu.

   Ia kaget hingga ia menjerit, kedua tangannya menolak tubuh si kekasih.

   Akan tetapi Siangkoan Hong memeluk sangat keras, tubuhnya itu tidak dapat ditolak terlepas.

   Karena jago Luliang mencoba berontak, keduanya terguling bersama.

   Hok Goan Liong dan Tan Tat Hian kaget bukan main.

   Keduanya lompat turun dari kuda mereka, guna menghampirkan saudara angkatnya itu.

   Yang lainnya semua tidak kurang kagetnya, mereka heran sekali.

   Ketika tubuhnya Siangkoan liong diangkat untuk dipisahkan dari tubuh Su Tiong Cun, kelihatan dadanya mengalirkan darah, yang disebabkan nancapnya sebuah pisau belati kecil bergagang emas, sedang pada perutnya Tiong Cun nancap sebuah pisau belati lain, yang bergagang perak.

   Maka teranglah sekarang, karena Sam Niocu hendak bersetia kepada suaminya, ia mengurbankan dirinya sambil membalas sakit hati.

   Ia mencari mati karena pun sudah putus asa.

   Hebat tikaman pisau belati itu, keduanya nancap dalam sekali.

   Si nyonya mati seketika, si pria terlukakan hebat.

   "Shatee, lekas bantui aku, supaya aku tidak menderita lebih lama,"

   Tiong Cun minta pada Tat Hian.

   Adik itu mengawasi Goan Liong, kakaknya, untuk mohon keputusan.

   Kakak itu mengawasi adiknya yang terluka parah itu, ia mengangguk.

   Atas itu, dengan mengertak gigi, Tat Hian menikam uluhati kakaknya yang kedua itu, maka Tiong Ijun meram matanya, napasnya berhenti berjalan, la mati dalam kesedihan, karena menjadi kurban sumoay-nya.

   "Aku tidak sangka Kimgin Siauwkiam Sam Niocu begini keras hatinya,"

   Kata Goan Liong berduka. Ketika itu salah satu tauvvbak datang melaporkan pada Goan Liong bahwa tubuhnya Lie Sam sudah diperiksa terliti tetapi peta tak kedapatan.

   "Kalau begitu, tentu ada di tubuhnya,"

   Kata Goan Liong menunjuk tubuh Sam Niocu.

   Pengggeledahan dilakukan atas tubuh si nyonya, hasilnya sia-sia belaka, peta tidak ada, yang kedapatan hanya perak hancur serta beberapa potong pakaian.

   Goan Liong dan Tat Hian saling mengawasi, mereka putus asa, mereka heran.

   Heran sebab tidak nanti peta itu disingkirkan Lie Sam, baik dengan dipendam maupun dengan diserahkan kepada lain orang.

   Mereka menguntit terus hingga pasti tidak ada kesempatan suami isteri itu menyingkirkannya.

   Tan Tat Hian penasaran, ia periksa pula bungkusan si nyonya.

   Ketika ia mendapatkan beberapa potong pakaian anak kecil, ia ingat anak orang.

   "Toako, mari kita lekas kejar si bocah!"

   Katanya berseru. Ia baru ingat anaknya Lie Sam. Hok Goan Liong pun mendusin.

   "Jangan bingung,"

   Katanya.

   "Di gurun ini ke mana bocah itu bisa pergi? Dua orang berdiam di sini, untuk mengurus jenazah Su jieya, yang lainnya semua turut aku."

   Ia lantas melarikan kudanya, diikuti orang-orangnya kecuali yang dua itu.

   Si nona telah dibawa lari kabur si kuda putih, jauhnya sudah dua puluh lie lebih.

   Di gurun pasir tidak ada pepohonan, orang bisa memandang jauh sekali, maka itu, sembari mengejar, Goan Liong semua memandang jauh ke depan.

   Mereka mengaburkan kuda mereka.

   Mendekati magrib, mendadak Tan Tat Hian berseru.

   "Lihat! Itulah dia di depan!"

   Jauh di empat seperti bertemunya langit dan bumi, di sana ada sebuah titik.

   Itulah si kuda putih, yang dari jauh-jauh toh nampaknya hitam.

   Kuda itu letih sekali meskipun dia dapat lari keras dan sekarang penunggangnya seorang bocah yang tubuhnya enteng.

   Di lain pihak, Goan Liong semua terus main tukar kuda.

   Bocah itu-ialah Lie Bun Siu-duduk mendekam di atas kudanya, la pun sangat lelah, hingga tanpa merasa, ia kepulasan di atas kudanya itu.

   Pula itu antero hari ia tidak dahar dan minum, sedang matahari panas terik, dari itu mulut dan lidahnya kering semua.

   Kuda putih itu seperti dapat perasaan, dia kabur ke arah timur di mana matahari yang bersinar merah marong menggenclang.

   Tiba di suatu tempat, mendadak dia mengangkat kedua kaki depannya, mulutnya meringkik keras, hidungnya pun mengendus-endus.

   Dia membaui sesuatu.

   Suara meringkiknya itu seperti menunjuk dia mengetahui apaapa.

   Hok Goan Liong dan Tan Tat Hian yang tenaga dalamnya lihai pun merasakan sesuatu, yaitu napas mereka rasanya sesak.

   "Shatee, rasanya tak beres ini!"

   Kata kakak itu. Sebelum menyahuti, Tat Hian melihat ke sekitarnya. Di barat daya, di antara sinar layung Batara Surya, nampak mega kuning bergelempang bagaikan kabut, di antara itu ada sinar ungu yang berkilauan. Pemandangan itu luar biasa sekali.

   "Mari, toako, kita melihat ke sana!"

   Katanya seraya ia melarikan kudanya. Tidak antara lama, mega kuning itu telah meluas seperti sudah menutupi separuh langit. Ketika itu pun orang telah bermandikan keringat dan napas mereka mendesak.

   "Toako, mungkin badai bakal datang...,"

   Akhirnya kata Tat Hian.

   "Benar!"

   Goan Liong insaf.

   "Mari lekas, kita bekuk dulu bocah itu, baru kita mencari perlindungan!..."

   Belum berhenti suara si berewokan ini, angin telah meniup keras, pasir, terbang berhamburan, menyampok muka mereka, sampai mereka tidak dapat membuka mulut. Lebih celaka ketika tujuh atau delapan orang roboh dari atas kudanya tertiup angin itu.

   "Semua turun dari kuda, berkumpul menjadi satu!"

   Goan Liong paksakan berbicara.

   Dengan serentak orang bekerja.

   Kuda mereka ditarik, dikumpulkan menjadi satu dipaksa rebah, mereka sendiri turut rebah juga, mcnyelindung di perut kuda.

   Sebisa-bisa mereka saling berpegangan tangan.

   Mereka merasakan sakit pada muka mereka, yang tersampok pasir, muka itu baret juga lengan mereka.

   Semua ketakutan.

   Sebab angin makin besar, tubuh mereka teruruk pasir...

   Goan Liong dan Tat Hian pun berkuatir, hingga mereka pikir.

   "Tidak keruan-keruan kita mencari Istana Rahasia Kobu, dari Shoasay kita sampai di gurun ini... Mungkin di sini kita terpendam di dalam pasir..."

   Hebat suara badai itu, seperti itu suaranya kawanan hantu...

   II Dari magrib itu, badai bekerja terus Seantero malam, besoknya pagi baru reda.

   Kembali sang gurun menjadi tenang.

   Goan Liong beramai merangkak bangun.

   Syukur mereka tidak menampak kerugian besar.

   Dua orangnya mati disebabkan napas sesak dan lima ekor kuda menjadi bangkai.

   Tinggal semua letih dan lemas.

   Dengan mengimbangi penderitaan mereka, mereka menduga si bocah dan kuda putihnya tentulah, dalam sepuluh, sembilan bagian telah mati menjadi kurban badai itu.

   Bukankah mereka semua bertubuh tangguh tetapi mereka hampir tak kuat bertahan? Mereka lantas menyalakan api untuk memasak nasi, guna menangsel perut.

   Mereka tidak putus asa.

   Hok Goan Liong telah menyerukan.

   "Siapa yang mendapatkan bekas-bekasnya si bocah dan kuda putihnya, dia bakal dapat upah uang emas lima puluh tail!"

   Inilah hadiah besar, janji itu disambut dengan tempik sorak. Bagaikan payung yang dibuka lebar, lima puluh lebih orang itu lantas pergi berpencaran, untuk mencari di sekitar gurun itu. Di setiap otak mereka terbentang.

   "Kuda putih... bocah wanita... lima puluh tail emas..."

   Lebih dulu daripada itu mereka telah berjanji, di waktu magrib mereka harus berkumpul di barat enam puluh lie dari tempat bermalam ini.

   Liangtauw Coa Tang Yong, si Ular Kepala Dua, dengan seekor kuda pilihan, menuju ke barat daya Ialah piauwsu yang telah berpengalaman belasan tahun, meski dalam ilmu silat ia bukan tergolong kelas satu, ia cerdik sekali, untuk Luliang Samkiat, ialah pembantu yang berharga.

   Sebentar saja ia telah pergi dua puluh lie lebih, hingga ia mencil sendirian.

   
Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah itu baru ia merasa jeri juga.

   Sunyi di sekitarnya.

   Ia mendaki sebuah bukit pasir, untuk melihat kelilingan.

   Maka ia girang sekali kapan matanya melihat ke ujung barat daya itu, di sana nampak cahaya hijau dari tujuh atau delapan buah pohon kayu.

   Heran ia di gurun pasir ada tumbuh-tumbuhan.

   "Mungkin di situ tidak ada rumah orang, dengan ada pepohonan, di situ tentu ada air,"

   Ia berpikir.

   "Itulah tempat bagus untuk rombonganku beristirahat."

   Maka ia naik pula kudanya, ia kabur ke ujung barat daya itu.

   Itulah seperjalanan sepuluh lie lebih.

   Dari jauh-jauh telah terlihat banyak kerbau dan kambing di daerah pegunungan yang tumbuh pepohonan dan rumput itu.

   Bahkan di baratnya terdapat banyak sekali tenda gurun, mungkin dua sampai tiga ribu buah.

   Ia menjadi heran, ia terkejut.

   Yang ia pernah lihat, paling banyak gundukan tenda dari tiga atau empat puluh buah.

   Dan ini ribuan.

   Inilah gundukan suku bangsa gurun pasir paling besar yang ia pernah ketemukan.

   Dilihat dari macamnya tenda, itu pasti kepunyaan suku Kazakh.

   Untuk wilayah Hweekiang, suku Kazakh adalah suku paling gagah.

   Anak-anaknya, lelaki atau perempuan, semenjak umur enam atau tujuh tahun, sudah belajar menunggang kuda, sesuatunya membawa golok, pandai main panah, alat-alat untuk membela diri dan menyerang.

   Di antara mereka ada tersebar peribahasa.

   "Satu orang Kazakh dapat melawan seratus orang. Seratus orang Kazakh dapat malang melintang di Hweekiang."

   Tang Yong ketahui peribahasa itu, maka ia kata di dalam hatinya.

   "Aku berada di wilayah orang Kazakh ini, aku harus berlaku hati-hati."

   Di timur laut, di kakinya sebuah bukit, ada sebuah rumah mencil sendirian, yang terbuat tembok tanah dan mirip sama rumah-rumah di Tionggoan. Itulah beda sekali dari tendatenda orang Kazakh.

   "Baiklah aku pergi ke sana, untuk melihat,"

   Pikir Liangtauw Coa.

   Ia menduga-duga apa mungkin itu rumahnya orang Hai.

   Ia mengeprak kudanya, untuk dikasih lari ke arah rumah itu.

   Tapi kudanya melihat rumput di sepanjang jalan, dia repot gegares, jalannya menjadi perlahan.

   Ia menjadi sengit, ia mendupak.

   Dengan begitu barulah kuda itu lari ke arah rumah kecil itu.

   Dengan matanya yang tajam, Tang Yong dapat melihat seekor kuda putih tertambat di belakang rumah, kuda mana tinggi dan besar dan surinya panjang.

   Ia segera mengenali kudanya Pekma Lie Sam.

   Tanpa dapat mengendalikan diri, ia berseru sendirinya.

   "Kuda putih! Kuda putih di sini!"

   Lantas ia mendapat akal.

   Maka ia lompat turun dari kudanya.

   Dari kaos kakinya, ia mencabut goloknya yang pendek dan tajam, ia sembunyikan itu di tangan kirinya, tergubat ujung bajunya.

   Setelah itu dengan berindap-indap, ia pergi ke belakang rumah itu.

   la tengah mengintai di jendela ketika mendadak kuda putih itu meringkik, sebagai juga tanda peringatan kepada tuan rumah bahwa ada orang datang...

   "Binatang!"

   Tang Yong mencaci di dalam hatinya.

   Ia menciutkan diri sebentar ia mengintai pula.

   Justeru itu ada kepala orang nongol di jendela, hingga hidung mereka hampir beradu.

   Ia terkejut.

   Ia menampak sebuah muka yang keriputan, yang matanya bercahaya tajam.

   Ia lantas lompat bangun.

   "Siapa?"

   Ia menegur.

   "Kau siapa?"

   Balik tanya orang itu, suaranya dingin.

   "Apa perlunya kau datang kemari?"

   Orang itu bicara dalam bahasa Tionghoa. Untuk sejenak, Tang Yong terdiam. Selekasnya ia dapat menenangkan diri, ia lantas bersenyum. "Aku Tang Yong,"

   Sahutnya.

   "Dengan kebetulan saja aku tiba di sini dan mengganggu lootiang. Bolehkah aku mendapat ketahui lootiang she dan nama apa?"

   "Aku she Kee,"

   Menyahut orang itu.

   "Oh, Kee Lootiang,"

   Kata Tang Yong pula. la tertawa.

   "Aku girang sekali dapat bertemu orang bangsa sendiri di sini. Kalau sudi, aku mohon seceglukan teh."

   "Kau ada bersama siapa-siapa lagi?"

   Si orang tua tanya.

   "Aku bersendirian saja."

   "Apakah tuan dari perusahaan piauwkiok?"

   Si orang tua menanya pula. Tang Yong terkejut.

   "Tajam matanya orang tua ini,"

   Pikirnya.

   "Di jidatku toh tidak ada mereknya piauwkiokku..."

   Ia memikir untuk mendusta tetapi sebab si orang tua telah mengatakannya, ia membatalkan itu. Ia menjawab.

   "Benar. Bagaimana lootiang mengetahuinya?"

   "Kebanyakan piauwsu bermacam bangsat,"

   Kata si orang tua tawar, sedang matanya yang bersinar dingin menyapu beberapa kali ke muka orang. Mukanya Tang Yong menjadi merah, tetapi ia berpikir.

   "Biarlah, akan aku cari tahu dulu tentang dia..."

   Karena itu, ia hanya menyeringai.

   "Kalau mau minum, ambillah jalan pintu depan, jangan merayap di jendela!"

   Berkata pula si empee.

   "Ya, ya,"

   Sahut si piauwsu, yang terpaksa merendahkan diri.

   Ia jalan mutar ke depan, untuk terus masuk ke dalam, hingga ia melihat perlengkapan miskin dari rumah itu, hanya semua ada bersih.

   Setelah duduk, ia mengawasi ke sekitarnya.

   Tidak lama muncul seorang nona kecil, yang membawa secangkir teh.

   Ketika sinar mata mereka bentrok, nona itu kaget, cawannya terlepas, jatuh ke tanah hingga pecah hancur! Bocah itu pun berdiri melongo.

   Tang Yong lantas mengasih lihat senyumannya.

   Ia girang bukan main.

   Inilah bocah yang dicari mereka, untuk siapa Hok Goan Liong menjanjikan upah lima puluh tail uang emas.

   Dengan melihat kuda putih tadi.

   ia sudah menduga-duga, sekarang dugaannya itu merupakan kenyataan.

   Lie Bun Siu telah dibawa kabur kudanya, hingga dia tak ingat suatu apa.

   Kuda putih dapat membaui bau rumput dan air, dia kabur menerjang badai, sampai di tempat yang banyak pepohonannya ini.

   Segera dia bertemu sama orang tua she Kee itu, yang menolonginya.

   Tengah malam Bun Siu sadar, ia tidak melihat ayah dan ibunya, lantas ia menangis, hingga Kee Loojin membujukinya.

   Orang tua itu lantas merasa suka, ia mengasihaninya.

   Di dalam usianya itu, Bun Siu belum mengerti banyak.

   Ditanya ayahnya, ia menyebut Pekma Lie Sam.

   Ditanya tentang ibunya, ia cuma dapat menyebut "ibu", atau "Sam Niocu", seperti disebut berulang-ulang oleh "orang jahat"

   Yang mengejar mereka. Tentu sekali, ia pun tidak tahu apa perlunya mereka bertiga datang ke wilayah Hweckiang ini.

   "Pekma Lie Sam, Pekma Lie Sam..."

   Kee Loojin menyebut berulang-ulang.

   "Ya, aku ingat dia... Pada sepuluh tahun yang lampau, dialah bandit haguna yang malang melintang di Kanglam. Kenapa dia datang kemari?"

   Orang tua ini mengasih si nona minum susu, ia membujukinya hingga nona itu tidur pulas di pembaringannya.

   Ia sendiri, sebaliknya, menjadi tidak dapat tidur, la memikiri segala kejadian pada sepuluh tahun yang lampau itu.

   Besoknya pagi, Bun Siu mendusin dari tidurnya.

   Segera ia minta si orang tua mengajak ia pergi mencari ayah dan ibunya.

   Tepat selagi Kee Loojin membujuki, dia mempergoki lagak bangsat dari Liangtauw Coa Tang Yong si Ular Kepala Dua itu.

   Dengan jatuh pecahnya cangkir, Kee Loojin muncul dengan segera.

   Melihat orang tua itu, Bun Siu lari untuk menubruk sambil berkata.

   "Yaya, yaya, dialah si orang jahat yang mengejar-ngejar aku!..."

   Orang tua itu mengusap-usap rambut si anak, sikapnya lembut.

   "Jangan takut, jangan takut,"

   Membujuknya.

   "Dia bukan orang jahat..."

   "Benar, dia si jahat!"

   Kata nona itu.

   "Dia bersama puluhan orang lain mengejar ayah dan ibu, mereka menyerangnya..."

   Kee Loojin sementara itu berpikir.

   "Yang satu bandit haguna, yang lainnya piauwsu, tentulah karena urusan piauw, mereka benterok, mereka menyusul sampai di sini... Tidak dapat aku mencampuri urusan mereka itu."

   Tang Yong mengawasi si orang tua, yang rambutnya ubanan, tubuhnya bongkok melengkung, tubuh itu besar melebihkan ia. Ia pikir.

   "Orang tua ini, kalau dia belum berumur seratus tahun, sembilan puluh tentunya ada. Di sini tidak ada lain orang, kalau aku hajar dia pingsan, dapat aku bawah kabur bocah ini serta kuda putihnya. Aku mesti bekerja cepat, supaya tak menanti terjadinya perubahan..."

   "Apakah kamu kehilangan piauw?"

   Si orang tua tanya.

   "Berapa harganya itu?"

   "Harganya tidak seberapa, hanya namanya Chin Wie Piauwkiok menjadi runtuh. Syukur jumlah itu telah didapat pulang seluruhnya,"

   Sahut orang yang ditanya. Orang tua itu mengangguk.

   "Chin Wie Piauwkiok?"

   Katanya.

   "Jadi Luliang Samkiat pun datang semuanya?"

   Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tang Yong heran.

   Kenapa orang tua ini ketahui piauwkioknya dan ketiga majikannya itu? Bukankah orang ini tua dan wilayah Hweekiang ini jauh dari Tionggoan? Apa benar nama Luliang Samkiat demikian tersohor, sampai di tanah perbatasan? Mungkinkah ini orang tua asal piauwsu juga? "Ya,"

   Ia menyahuti. Terus ia memasang kuping, kakinya pun bertindak ke jendela.

   "Nah, lihatlah! Bukankah mereka di sana tengah mendatangi?"

   Kee Loojin tidak mendengar tindakan kaki kuda, akan tetapi mendengar perkataan Tang Yong itu, ia bertindak ke jendela, untuk melihat. Ia tidak menampak siapa juga di sekitarnya, hanya kerbau dan kambing lagi memakani rumput di tegalan.

   "Mana ada orang?"

   Kata ia pada tetamunya seraya ia menoleh.

   Justeru itu Tang Yong mengasih dengar tertawanya yang seram, yang disusuli angin serangannya.

   Sebab tengah si aki melongok keluar, dia membokong.

   Orang tua itu bongkok, agaknya dia bercacad, akan tetapi dia berkuping terang, matanya celi, gerakannya sebat.

   Ketika tinju hampir tiba di kepalanya, ia berkelit, sebelah tangannya diangkat, untuk dipakai menangkis sambil membangkol.

   Ia nyata menggunai jurus Kimnahoat.

   "Tangkapan", maka tangan kanan si piauwsu lantas kena dicekal. Tang Yong terkejut, tetapi kepalang tanggung, ia beraksi terus. Ia mengelit tangan kanannya itu, untuk dilepaskan dari cekalan orang, ia gagal, atas mana, tangan kirinya meluncur. Di tangan kiri ini tersembunyi golok pendeknya, maka golok itu mengasih lihat sinar berkelebat, menyambar ke punggung yang naik tinggi seperti punggung unta dari si empee, tepat kenanya. Lie Bun Siu kaget hingga dia menjerit, lantas dia lompat, untuk dengan kedua tangannya menghajar punggung si piauwsu di betulan pinggang. Selama dua tahun, dia telah mulai belajar silat dari ayah dan ibunya. Hanyalah, dua kepalannya masih kecil, seperti tenaganya pun belum besar. Kee Loojin juga tidak berdiam saja. Ia menyikut dengan tangan kirinya, mengenai uluhati dari Tang Yong, hingga piauwsu ini menjerit tertahan, tubuhnya membungkuk, terus roboh terkulai di lantai.

   "Yaya..."

   Kata si nona, yang kaget dan ngeri melihat golok nancap di punggung si orang tua.

   "golok di punggungmu itu..."

   Kee Loojin berpaling, ia melihat roman si nona.

   "Anak ini berhati baik,"

   Pikirnya.

   "Yaya, lukamu..."

   Kata pula Bun Siu.

   "Nanti aku cabut golok itu..."

   Ia mengulur tangannya, niat mencabut senjata tajam itu.

   "Jangan pedulikan aku!"

   Kata si orang tua.

   Mendadak dia beroman gusar, suaranya pun keras.

   Dia memegangi meja, tubuhnya terhuyung.

   Dengan limbung ia berjalan masuk ke dalam, di sana terdengar suara berisik dari pintu yang ditutup menggabruk.

   Bun Siu heran dan takut melihat air mukanya orang tua itu.

   la pun ngeri melihat Tang Yong rebah melingkar, ia takut orang nanti bangun pula.

   Bagaimana kalau piauwsu ini bangun dan menerjang padanya? Saking takutnya ia memikir untuk lari ke luar.

   Tapi, ketika ia ingat si orang tua, yang terluka dan bersendirian saja, ia batalkan niatnya itu.

   Setelah ragu-ragu sebentar, ia menghampirkan pintu dalam.

   Ia mengetuk perlahan, beberapa kali, kupingnya dipasang.

   Tidak ada jawaban.

   "Yaya,"

   Ia memanggil.

   "Yaya, apakah kau sakit?"

   Baru sekarang terdengar suara kasar dari dalam.

   "Pergi! Pergi! Jangan gerecoki aku!"

   Bun Siu heran dan kaget.

   Suara itu beda sekali daripada semula.

   Ia lantas berduduk diam di lanah, saking bingung, ia menangis.

   Tiba-tiba pintu berbunyi, lalu terbuka.

   Lantas si nona merasai rambutnya dielus-elus perlahan, kupingnya pun mendengar bujukan halus.

   "Jangan nangis, jangan nangis. Luka yaya-mu tidak berbahaya..."

   Si nona mengangkat kepalanya. Ia melihat si empee bersenyum. Dasar anak kecil, mendadak ia menjadi girang sekali, hingga dari menangis, ia menjadi tertawa.

   "Kau menangis, lalu tertawa, apa kau tidak malu?"

   Kata Kee Loojin tertawa juga.

   Bun Siu menusupkan kepalanya di dada aki-aki itu untuk sekejap itu, ia merasai kehangatannya orang tuanya Kee Loojin sendiri mengerutkan kening.

   Matanya mengawasi ke mayatnya Tang Yong.

   Hebat sikutnya, yang telah mengenai uluhati orang, hingga piauwsu itu mati seketika.

   Ia memikir.

   "Dia dan aku tidak bermusuh hebat, kenapa aku menurunkan tangan jahat terhadapnya?"

   Ia seperti lupa bahwa justeru ia yang disateroni dan ditikam terlebih dulu.

   "Yaya, apa lukamu sudah baik?"

   Kemudian si nona cilik menanya pula.

   Ia ingat lukanya si aki.

   Ketika itu Kee Loojin telah menukar bajunya, entah bagaimana lukanya, tapi ketika ditanya, mendadak ia menjadi gusar kembali.

   Mungkin ia merasai tikamannya Tang Yong suatu penghinaan untuknya.

   "Mau apa kau rewel?"

   Dia membentak. Bun Siu kaget, ia menjadi ketakutan pula. Justeru itu, di luar terdengar suara meringkiknya si kuda putih. Si aki sadar secara tiba-tiba. Maka ia pikir.

   "Orang

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com

   orang Chin Wie Piauwkiok mencari bocah ini, maka itu Tang Yong menurunkan tangan jahat atas diriku."

   Lalu ia berpikir pula, habis mana dia lantas pergi ke dapur.

   Di sana ada tahang dengan air berwarna kuning, ialah air sepuhan peranti penggembala kambing memberi warna tanda kepada ternaknya, la bawa itu keluar, ia menuntun si kuda putih, lantas bulu kuda yang bagus itu ia poles kuning, dari kepala sampai di ekornya, hingga menjadi kuning seluruhnya.

   Kemudian lekas-lekas ia pergi ke tendanya seorang Kazakh, untuk minta seperangkat pakaian bocah laki-laki, dengan itu ia menyuruh Lie Bun Siu menyalin pakaian, hingga si nona menjadi bersalin rupa..

   Bun Siu cerdas.

   "Yaya,"

   Katanya.

   "kau hendak membikin si orang jahat tidak mengenali aku?"

   Empee itu mengangguk, terus ia menghela napas.

   "Aku sudah tua, kalau tidak, biarnya si jahat besar jumlahnya, aku tidak takut,"

   Ujarnya.

   "Lihat saja barusan, dia toh berhasil membacok aku..."

   Bun Siu berdiam.

   Walaupun si empee yang mulai bicara, ia tidak berani menyambuti.

   Habis itu, Kee Loojin bekerja pula, secara kesusu.

   Ialah ia menggali tanah untuk memendam mayatnya Tang Yong, sedang kuda orang, ia sembelih.

   Ia menyingkirkan segala apa, yang dapat menjadi tanda.

   Akhirnya ia duduk bercokol di depan pintu, duduk seraya menggosok sebilah golok panjang...

   Tidaklah sia-sia siasat orang tua ini.

   Sore itu Hok Goan Liong bersama Tan Tat Hian serta rombongannya tiba di tanah datar berumput itu.

   Mereka melakukan perampasan atas beberapa ratus ekor kerbau dan kambing yang gemuk-gemuk.

   Orang-orang Kazakh seperti kena dibokong.

   Wilayah mereka aman, tidak biasanya datang penyamun.

   Mereka melakukan perlawanan secara sia-sia, kecuali rugi ternak, tujuh orang pria terbinasakan dan lima orang wanita kena diculik.

   Rombongan itu juga menyateroni Kee Loojin, hanya mereka tidak menyangka jelek kepada orang tua itu, yang rumahnya buruk.

   Mereka juga tidak bercuriga terhadap Bun Siu, yang mirip anak Kazakh, yang sembunyi di pojokan rumah, mukanya dekil.

   Pula tidak ada seorang juga, yang melihat matanya yang tajam.

   Ia sebaliknya melihat tegas, golok ayahnya tergantung di pinggangnya Tan Tat Hian dan pedang ibunya berada di pinggangnya Hok Goan Liong.

   Ia mengenali baik senjata orang tuanya itu, yang tak pernah terpisah dari tubuh mereka, maka tahulah ia, pasti ayah dan ibunya telah bercelaka...

   Besoknya, orang-orang Kazakh itu dapat menggabung diri, mereka lantas mencari kawanan penyamun, untuk menuntut balas, tetapi rombongan Chin Wie Piauwkiok telah pergi ke mana tahu di gurun yang luas itu.

   Yang dapat diketemukan ialah mayatnya ke lima wanita bangsanya, yang menggeletak di tempat terbuka dengan tubuh telanjang bulat, keadaannya sangat menyedihkan.

   Kemudian mereka menemukan juga mayatnya Lie Sam dan isterinya.

   Lie Bun Siu ada bersama, ia menubruk dan memeluki mayat ayah ibunya itu, ia menangis sedih sekali, sekalipun begitu, ia toh dirangket seorang Kazakh, yang terus mendupak padanya sambil mulutnya mengutuk.

   "Tuhan tidak memberkahi kamu penyamun llan!"

   Kee Loojin memondong tubuh bocah itu, ia tidak mau melayani orang Kazakh yang lagi seperti kalap itu. Bun Siu sendiri bersedih dan bingung, hingga ia kata di dalam hatinya.

   "Kenapa ada begini banyak orang jahat? Kenapa siapa pun menghina aku?..."

   III Lie Bun Siu mendusin pada waktu tengah malam, ia mendusin untuk lantas menangis.

   Rupanya ia bermimpi hebat.

   Ketika ia membuka matanya, ia kaget hingga ia berteriak.

   Di atas pembaringannya itu ada berduduk seorang lain.

   la pun bangun untuk berduduk.

   Hanya sebentai ia terkejut.

   Kee Loojin mengawasi dengan romannya sabar, tangannya pun mengelus-ngelus rambut perlahan sekali.

   "Jangan takut, jangan lakui inilah yaya-mu..."

   Kata ia.

   Ia menyebut dirinya yaya, ia pun dipanggil yaya.

   Yaya itu kakek.

   Memang tepat ia menjadi kakek mengingat perbedaan usia mereka berdua.

   Bun Siu menangis, air matanya bercucuran deras, ia nelusup di dada aki itu, hinga tangan baju si orang tua basah "Anak,"

   Kata si aki perlahan.

   "kau sudah tidak punya ayah dan ibu, kau anggaplah aku sebagai kakekmu tulen. Mari kita tinggal bersama, kakekmu sanggup merawati kau..."

   Bun Siu mengangguk.

   "Kenapa semua orang menghina aku? Aku toh tidak berbuat jahat?"

   Ia bertanya, la ingat bagaimana ia dan orang tuanya dimusuhkan orang, ia sendiri pun dibenci dan dianiaya si orang Kazakh yang kasar itu. Ia tahu ia tidak bersalah. Orang tua itu menghela napas.

   "Di dalam dunia ini, mereka yang suka menderita justerulah mereka yang belum pernah melakukan kejahatan..."

   Katanya. Ia menuang susu hangatnya, untuk diminum. Ia pun membagi si bocah. Sembari merapikan tempat tidur bocah itu, ia menambahkan pula "Anak Siu, orang Kazakh yang menendangmu itu bernama Suruke, sebenarnya dia seorang baik..."

   Bun Siu heran, ia mementang kedua matanya.

   "Dia... dia orang baik?"

   Ia menegaskan. "Benar, dia orang baik,"

   Si kakek menyahuti.

   Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "dia sama baiknya seperti kau. Di dalam satu hari, dia kematian dua orang yang ia paling mencintakannya... Yang satu isterinya, yang lain putera sulungnya... dan mereka semua terbinasa di tangannya rombongan penyamun jahat dan kejam itu. Dia menyangka orang Han orang jahat semua, maka juga didalam bahasanya, dia mengutuk kau sebagai orang Han jahat yang tidak diberkahi Tuhan. Kau jangan membenci dia, dia lagi sakit hatinya, seperti sekarang hatimu pun sakit. Dia sudah berusia lanjut, bisalah dimengerti kalau dia jadi terlebih sakit hatinya..."

   Bun Siu mendelong mendengar si orang tua.

   Sebenarnya dia pun tidak membenci orang Kazakh berewokan itu, hanya dia jeri melihat roman orang yang bengis.

   Sekarang dia ingat, di matanya orang Kazakh itu pun ada mengembeng air mata.

   Tentu sekali dia tidak mengerti perkataan yaya-nya, kenapa orang tua itu lebih menderita daripadanya.

   Sekarang dia berkesan baik terhadap orang tua itu...

   Tidak antara lama, dari luar jendela terdengar suara burung, halus dan menggiurkan hati.

   Suara itu agak jauh tetapi tedas.

   Ia memasang kupingnya.

   Ia merasakan suara itu manis.

   Itulah mirip nyanyiannya seorang nona...

   Ia memasang kuping terus.

   Nyanyian burung itu terdengar jauh, lalu lenyap.

   Ia menjadi masgul, hingga ia terus berdiam saja Lama ia tidak bersuara, lalu.

   "Yaya, suara burung itu enak didengarnya,"

   Katanya.

   "Memang, merdu nyanyiannya burung itu,"

   Menyahuti si empee.

   "Itulah burung nilam malam di padang rumput ini. Orang Kazakh membilang burung itu penitisan seorang nona paling cantik dan yang paling pandai bernyanyi. Katanya dia tidak disukai kekasihnya, dia mati mereras..."

   Bun Siu heran.

   "Dia paling cantik, dia juga paling pandai bernyanyi, kenapa dia tidak dicintai?"

   Ia tanya. Ditanya begitu, orang tua itu agak kaget, bahkan air mukanya segera berubah.

   "Ya, dia demikian cantik, kenapa dia tidak dicintai?"

   Katanya keras. Bun Siu kaget, dia mengawasi, matanya mendelong. Hanya sejenak, si empee menghela napas. Ia jadi sabar pula.

   "Di dalam dunia ini, ada banyak sekali hal yang kau tidak mengerti, anak,"

   Katanya kemudian.

   Kembali Bun Siu mendengar burung tadi bernyanyi, suaranya semakin menggiurkan hatinya, manis tetapi sedih.

   Ia sampai melupakan sikap aneh dari si orang tua...

   *** ( )*** Demikian Lie Bun Siu tinggal ili rumah Kee Loojin, si orang tua vang hidup menyendiri di wilayah orang Kazakh itu.

   Ia membantu menanak nasi dan menggembala kambing.

   Mereka hidup sebagai kakek dan cucu.

   Hanya kalau malam, sukasuka si nona mendusin dengan kaget, akan mendengar suara si burung malam dari padang rumput itu, yang nyanyiannya mengagumkan dia, yang membuatnya merasa tergiur dan berduka.

   Kalau dia bermimpi, maka dia memimpikan keindahan wilayah Kanglam di mana dia berada dalam rangkulan ayah atau ibunya...

   Musim rontok lewat, musim dingin pun lewat, selama itu, tenteram hidupnya puteri dari Pekma Lie Sam atau Siangkoan Hong, selama itu, ia telah dapat bicara dalam bahasa Kazakh, ia mulai mengerti banyak perihal segala apa di dataran rumput itu.

   Pada suatu malam, kembali Nona Lie mendengar nyanyian si burung malam.

   Jauh suara burung itu, terbawa sang angin, sebentar terdengar, sebentar lenyap Ia bangun untuk mengenakan bajunya, diam-diam ia pergi keluar di mana ia tuntun kudanya, si kuda putih, ia berlaku hati-hati untuk tidak membikin Kee Loojin kaget dan mendusin.

   Setelah berada jauh dari rumah, baru ia naik atas kudanya, untuk sambil menunggang kuda mengikuti suara burung itu.

   Sang malam di dataran rumput, langit rasanya tinggi sekali, warnanya biru, bintang-bintang terang berkilau.

   Rumput segar dan bunga-bunga menyiarkan bau yang harum.

   Suara nyanyian terdengar tegas sekarang, benar-benar menggiurkan.

   Di dalam hatinya, Bun Siu mengikuti bernyanyi.

   Ia menjadi girang sekali.

   Ia lompat turun dari kudanya, membiarkan kuda itu mencari makan, ia sendiri rebah telentang di atas rumput, matanya memandangi langit.

   Ia terbenam dalam nyanyian sang burung...

   Selang sekian lama, burung itu berpindah tempat, suaranya terdengar jauh.

   Maka si nona merayap bangun, ia bertindak menyusul, mengikuti, hingga sekarang ia menampak romannya burung itu, yang bulunya kuning muda.

   Burung itu beterbangan di tanah, mematuk sesuatu, lalu terbang, lalu mematuk pula, saban-saban dia bernyanyi...

   Mendadak terdengar satu suara keras, serupa barang hitam menyambar kepada burung malam itu.

   Si nona kaget hingga ia berseru, bercampur seruannya seorang lain.

   Kalau Bun Siu kaget maka orang itu kegirangan.

   Dia muncul dari gegombolan pohon.

   Nyata dialah seorang anak laki-laki Kazakh, yang berseru.

   "Kena! Kena!"

   Dengan baju luarnya, dia menungkrap burung itu, yang kena ditangkap. Burung itu lantas berbunyi berisik sekali, kaget dan ketakutan.

   "He, kau bikin apa?"

   Bun Siu menegur, gusar. "Aku menangkap burung ini,"

   Menjawab orang yang ditegur.

   "Apakah kau juga menangkap burung?"

   "Kenapa kau menangkap dia?"

   Bun Siu menegur pula.

   "Bukankah lebih baik membiarkan dia merdeka dan bernyanyi?"

   "Dengan ditangkap, dia dapat dibuat main,"

   Menyahut anak Kazakh itu. Dengan tangan kanannya merogoh ke dalam bajunya, ia memegang burung kuning dan kecil itu, yang siasia saja berontak untuk mencoba terbang pergi.

   "Kau lepaslah!"

   Kata Bun Siu kemudian.

   "Lihat, dia harus dikasihani..."

   "Di sepanjang jalan aku menyebar gandum, memancing dia makan hingga di sini,"

   Kata anak Kazakh itu.

   "Siapa suruh dia makani gandumku? Haha!"

   Bun Siu terbengong. Inilah yang pertama kali ia mengenal perangkap. Burung itu diberi umpan, dia memakannya, dia mengantarkan diri, lalu tertangkap artinya, dia mencari matinya sendiri. Ia masih terlalu muda dan mendapat tahu bunyinya pepatah.

   "Jin wie cay su, niauw wie sit bong", ialah "Orang mati karena harta, burung mampus karena makanan."

   Bocah Kazakh itu membuat main burungnya, hingga burung ini berbunyi tak hentinya.

   "Maukah kau kasihkan burung ini padaku?"

   Akhirnya Bun Siu minta. Ia merasa kasihan.

   "Habis kau memberikan apa padaku?"

   Tanya si anak Kazakh. Dia minta penggantian atau penukaran. Bun Siu meraba sakunya, ia tidak mempunyai apa-apa. Ia menjadi berdiam untuk berpikir. Kemudian ia menyahuti.

   "Besok aku nanti menjahit, membikin kantung, untuk kau pakai..."

   "Aku tidak mau diakali. Besok kau menyangkal..."

   Mukanya si nona menjadi merah.

   "Aku telah berjanji, tentu aku akan memberikan,"

   Ia mengasih kepastian.

   "Kenapa aku mesti menyangkal?"

   "Ah, aku tidak percaya!"

   Bocah ini menggeleng kepala. Tapi di terangnya rembulan, ia melihat gelang kumala, yang bersinar di lengan kiri orang, maka ia menambahkan.

   "Kecuali kau berikan gelangmu itu!"

   Itulah gelang yang Bun Siu il.ipat dari ibunya, kecuali itu, ia udak punya tanda mata apa jua dari ibunya. Berat ia menyerahkan itu, akan tetapi, kalau ia melihat burung itu, ia berkasihan.

   "Baiklah, ini aku kasihkan kau,"

   Katanya akhirnya. Ia meloloskan gelangnya dan menyerahkannya. Bocah itu agaknya heran, ia menyambuti.

   "Apakah kau tidak bakal memintanya pulang?"

   Ia menegasi.

   "Tidak!"

   "Baik!"

   Dan ia menyerahkan burungnya.

   Dengan kedua tangannya, Bun Siu menyambuti burung itu.

   Ketika tangan mereka beradu, si bocah Kazakh merasakan sebuah tangan yang halus dan hangat, hingga ia seperti merasakan guncangnya hati si nona.

   Nona itu mengusap-usap sayap burung dengan tiga buah jari tangannya, perlahan-lahan, kemudian ia melepaskan tangannya seraya ia berkata.

   "Kau pergilah! Lain kali kau mesti berhati-hati supaya orang tidak kena tangkap pula!"

   Burung itu terbang, menghilang di gombolan rumput. Si bocah Kazakh heran. "Kenapa kau lepas burung itu?"

   Ia tanya.

   "Bukankah kau telah tukar itu dengan gelang kumala?"

   Dia memegang eraterat gelangnya, kuatir si nona meminta pulang.

   "Dia dapat terbang pula,"

   Menyahut Bun Siu.

   "dia bakal bernyanyi kembali! Tidakkah itu senang untuknya?"

   Bocah itu heran dan kagum. Ia mengimplang.

   "Kau siapa?"

   Ia tanya kemudian.

   "Aku Lie Bun Siu. Kau sendiri?"

   "Aku Supu."

   Habis menyahuti, dia berjingkrak dan berseru nyaring. Supu lebih tua dua tahun, tubuhnya jangkung, kalau dia berdiri, nampaknya dia gagah.

   "Tenagamu besar, bukankah?"

   Bun Siu tanya. Supu tengah kegirangan, pertanyaan si nona membangkitkan keangkuhannya. Dari pinggangnya, ia menarik keluar sebuah golok pendek. Ia berkata.

   "Baru bulan yang sudah aku membunuh seekor serigala!"

   "Kau begitu kosen?"

   Tanya Bun Siu heran. Supu jadi bangga sekali. Ia kata pula.

   "Sebenarnya dua ekor serigala yang datang menyerbu kambing kami. Ayahku kebetulan tidak ada di rumah, jadi aku yang keluar membawa golok mengejarnya. Serigala yang besaran melihat api, dia kabur, aku bunuh yang satunya."

   "Jadi kau membunuh yang kecilan?'"

   Supu likat, ia mengangguk, tetapi ia menambahkan.

   "Jikalau serigala yang besar itu tidak kabur, tentu aku bunuh juga padanya!"

   Dari suaranya, ia agak ragu-ragu. Bun Siu percaya keterangan itu. Ia kata.

   "Serigala yang jahat makan kambing, dia memang harus dibunuh. Kalau nanti kau membunuh serigala pula, maukah kau memanggil aku untuk aku melihatnya?"

   Supu girang.

   "Baik! Lain kali aku akan mengeset kulitnya, untuk dihaturkan padamu!"

   "Terima kasih!"

   Bun Siu pun girang.

   
Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Nanti aku membikin alas kulit serigala peranti yaya duduk, kepunyaannya telah diberikan padaku."

   "Dengan begitu. Aku berikan itu pada kau, itu artinya untukmu sendiri. Kepunyaan yaya-mu kau kembalikan saja."

   "Begitu pun baik,"

   Si nona mengangguk.

   Kedua bocah ini lantas menjadi sahabat satu dengan lain.

   Erat pergaulan mereka, meski yang satu ada anak Kazakh yang sikap dedaknya kasar, dan yang lain seorang nona Han yang halus.

   Lewat beberapa hari, Lie Bun Siu menganggap bocah itu sahabat, buat sebuah kantung kecil, yang ia isikan kembang gula dan menghadiahkannya kepada Supu.

   Bocah ini heran.

   Untuknya sudah cukup burungnya ditukar dengan gelang kumala.

   Karena dia jujur, dia hendak membalas budi.

   Maka malamnya, satu malam suntuk dia tidak tidur, dia menunggui burung, hasilnya, dia dapat menjebak dua ekor burung nilam.

   Besoknya pagi, dia serahkan burungnya itu pada sahabatnya.

   Melihat perbuatan Supu, Bun Siu menganggap bocah itu salah mengerti, maka dengan banyak kata-kata ia menjelaskan, ia menyukai burung bukan untuk dipiara, ia hanya menyukai kemerdekaannya burung itu, sedang kalau dipiara, burung itu jadi tersiksa.

   Supu dapat dikasih mengerti tetapi toh ia tetap heran untuk sikap nona, yang ia kata aneh...

   Dengan lewatnya banyak hari, mimpinya Bun Siu, mimpi ayah dan ibunya, menjadi berkurang.

   Itu berarti, basahnya bantalnya karena air matanya pun jadi berkurang |uga.

   Di lain pihak, pada parasnya lebih sering tertampak senyuman, ia jadi lebih gemar bernyanyi.

   Demikian, kalau dia dan Supu menggembala kambing, sering lei dengar nyanyian mereka, nyanyian yang mengandung asmara.

   Sering mereka bernyanyi saling sahutan.

   Tapi Bun Siu bernyanyi karena kegemarannya, artinya nyanyian belum masuk di olaknya.

   Ia bahkan heran kenapa muda-mudi gemar bernyanyi berduaduaan, mereka tertarik satu kepada lain.

   Ia tidak mengerti kenapa hatinya memukul kalau ia mendengar tindakannya si bocah Kazakh.

   Tapi yang benar, suara nyanyiannya memang merdu, siapa yang mendengarnya memuji.

   "Merdu suaranya bocah itu, mirip dengan suaranya si burung nilam dataran rumput..."

   Kapan telah datang musim dingin, burung nilam terbang pindah ke Selatan, yang hawanya hangat, akan tetapi di padang rumput itu, ada pengganti suaranya, sebab ada nyanyiannya Bun Siu yang merdu itu.

   "Gembala muda yang manis, Aku tanya kau, tahun ini usiamu berapa? Kalau di tengah malam kau bersendirian di gurun, Maukah kau ditemani olehku? "

   Biasanya nyanyian berhenti sampai di situ, sesaat kemudian barulah disambungi.

   "Ah, kekasihku, jangan gusar. Siapa baik siapa buruk, sukar dibilang, Kalau gurun hendak dijadikan teman. Maka mestilah sepasang orang baik kumpul bersama..."

   Supu adalah orang yang paling sering mendengar nyanyian itu.

   Dia juga tidak memahami artinya nyanyian asmara itu, sampai pada suatu hari di atas salju mereka bersomplokan sama seekor ajag.

   Sangat mendadak munculnya binatang alas yang jahat itu.

   Supu dan Bun Siu tengah duduk berendeng di atas sebuah tanjakan, mata mereka memandang rombongan kambing mereka yang lagi mencari makan di padang rumput.

   Seperti biasanya, si nona mendongeng, tiga bagian menurut cerita ibunya, tiga bagian menurut cerita Kee Loojin, yang lainnya karangannya sendiri.

   Supu paling suka mendengar ceritanya Kee Loojin, sebab itu ada mengenai peristiwaperistiwa hebat.

   Yang ia paling tidak sukai ialah cerita karangannya si nona sendiri, karena itulah semua cerita kekanak-kanakan.

   Mendadak Bun Siu menjerit, tubuhnya roboh ke belakang, sebab seekor serigala menerkam dengan tiba-tiba.

   Binatang jahat itu datang dengan perlahan-lahan dari arah belakang, kedua bocah masing-masing sedang asyik bercerita dan mendengari, mereka tidak mendengar apa-apa sampai terkaman datang.

   Si nona berkelit, karenanya dia roboh.

   Supu kaget.

   Serigala itu besar sekali.

   Tapi melihat si nona didalam bahaya, ia menghunus golok pendeknya, terus ia membacok.

   Binatang itu berkelit, punggungnya tergores kulitnya.

   Karena itu dia menjadi gusar, sambil mementang mulutnya yang lebar, memperlihatkan giginya yang tajam, dia menubruk bocah itu, dia hendak menggigit muka orang! Saking kaget, Supu roboh.

   Ia tentu telah kena digigit kalau tidak Bun Siu lompat maju, untuk menangkap ekor binatang itu, untuk ditarik, hingga si serigala mundur setindak.

   Tapi binatang ini kuat, dia berontak, dia menerkam pula.

   Kali ini giginya nempel pada pundak kiri si bocah pria.

   Dalam kaget dan takut, si nona menarik sekuatnya.

   Tidak urung, pundak Supu telah mengucurkan darah.

   Dalam keadaan seperti itu, Supu melupakan segala apa, ia menikam.

   Tepat ia menikam perut, di bagian yang berbahaya.

   Serigala itu berlompat, terus roboh.

   Supu masih hendak menikam, ketika tubuh binatang itu terus berdiam.

   Bun Siu pun jatuh terguling.

   Ia bertahan, si serigala menarik keras.

   Meskipun begitu, ia tidak melepaskan cekalannya sampai binatang itu rebah tak berkutik lagi.

   "Aku membunuh serigala!"

   Seru Supu kemudian.

   "Aku membunuh serigala!"

   Ia lantas mengasih bangun pada si nona, seraya ia berkata.

   "Lihat, Siu, aku telah bunuh mati seekor serigala!". Ia gembira hingga ia melupakan pundaknya yang borboran darah.

   "Aku tidak takut sakit!"

   Kata Supu sambil menggeleng kepala, sikapnya gagah. Sekonyong-konyong terdengar teguran di belakang mereka.

   "Eh, Pu kau lagi bikin apa?"

   Keduanya terkejut, sama-sama mereka berpaling. Bun Siu melihat seorang yang mukanya berewokan, yang tubuhnya besar bercokol di atas kuda. Supu sendiri segera berkata.

   "Ayah, lihat! Aku telah bunuh seekor serigala!"

   Nampaknya orang itu girang. Ia lompat turun dari kudanya. Ia memandangi anaknya, Bun Siu dan bangkai serigala.

   "Kau kena digigit serigala?"

   Ia menanya.

   "Ya,"

   Si anak mengangguk.

   "Kita lagi duduk di sini, aku mendengari dia mendongeng mendadak serigala itu muncul dan menerkam dia..."

   Si berewokan itu mengawasi pula Bun Siu, mendadak di menegur.

   "Kau toh si anak perempuan Han yang tidak diberkahi Tuhan?"

   Tegurnya.

   Bun Siu terkejut.

   Ia sekarang mengenali si berewokan ini adalah mang yang telah menendang ia it-lagi ia memeluki mayat ayah dan ibunya.

   Dialah Suruke yang menurut Kee Loojin, isteri dan anaknya telah dibinasakan penyamun didalam satu malaman.

   Ia mengangguk, ingin ia mengatakan.

   "Ayah dan ibuku juga telah dibunuh oleh kawanan penyamun itu..."

   Atau mendadak ia menjadi kaget. Tahu-tahu Supu telah dicambuk ayahnya, hingga mukanya balan, sedang ayah itu berseru.

   "Aku telah menyuruh kau turun-temurun membenci orang Han, mengapa kau melupai pesanku? Kenapa kau justeru bermain-main sama anak Han ini dan mengadu jiwa untuknya hingga kau mengucurkan darah?"

   Lalu cambuknya menyambar pula secara membabi buta! Supu berdiam saja, bahkan dia memandang Bun Siu dan bertanya.

   "Apakah dia si wanita Han yang tidak diberkahi Tuhan?"

   "Mustahil bukan?"

   Bentak si ayah, yang tangannya diayun ke samping, maka menjeritlah si nona yang kaget dan kesakitan, sebab cambuk menyambar mukanya! Justeru itu, Supu roboh, sebab tak tahan ia akan sabatan ayahnya itu.

   Ia telah terluka diterkam serigala, ia pun dirangket berulang-ulang, selagi ia telah mengeluarkan banyak darah dan lelah, ia pun melihat si nona dicambuk, maka ia sakit, lelah dan menceios hatinya berbareng.

   Suruke kaget.

   Ia lompat kepada anaknya, ia pondong tubuhnya, buat diajak naik ke atas kudanya, kemudian ia kabur dengan mengalak bangkai serigala, maka ketika ia melarikan kudanya itu, bangkai binatang itu terseret-seret pergi.

   Ia masih menoleh kepada Bun Siu, yang berdiri tercengang, di dalam hatinya ia kata.

   "Kalau lain kali kau bertemu pula dengan aku, lihat apabila aku tidak menghajar pula padamu!"

   Bun Siu tidak takut lagi si berewokan itu, hanya hatinya kosong.

   Ia merasa bahwa selanjutnya ia bakal tidak bertemu pula sama Supu, kawan satu-satunya dengan siapa ia dapat bermain-main dengan gembira, kawan yang suka mendengari nyanyiannya.

   Setelah itu, ia merasai mukanya sakit.

   Tidak lama ia berdiam di situ, dengan tidak keruan rasa ia menggiring kambingnya pulang.

   Kee Loojin heran melihat tubuh si nona kecipratan darah dan mukanya balan, bertanda bekas sabatan cambuk.

   "Apakah sudah terjadi?"

   Tanyanya lekas.

   "Aku terjatuh..."

   Bun Siu mendusta, suaranya tawar.

   Orang tua itu tidak mau percaya tetapi setelah ditegasi, si nona tetap sama jawabannya itu, bahkan dia lantas menangis, hingga ia menjadi kewalahan dan bingung.

   Malam itu tubuh Bun Siu panas sekali, mukanya menjadi merah, berulangkah dia mengaco.

   "Serigala! Serigala! Supu! Supu! Tolong! ....Orang Han yang tidak diberkahi Tuhan!"

   Bukan main bingungnya orang tua ini.

   Maka syukur, mendekati pagi, hawa panasnya si nona berkurang banyak, lantas dia dapat tidur pulas.

   Dengan sakitnya ini, satu bulan terus Bun Siu mesti rebah di pembaringan, ketika kemudian ia sembuh, musim dingin sudah lewat, di tanah datar rumput telah mengeluarkan semi baru yang halus...

   Lewat beberapa hari, nona Lie merasa tubuhnya sehat betul, maka itu ingin ia pergi menggembala seperti biasa.

   Ketika ia heran akan mendapatkan ada sehelai kulit serigala terletak di depan pintunya, kulit itu sudah dijadikan alas duduk, lebih heran pula apabila ia periksa, di betulan perut kulit itu ada pecahan bekas tusukan senjata tajam.

   Ia lantas mengenali itulah serigala yang menerkam ia, yang dibinasakan Supu.

   Hatinya berdebaran kalau ia ingat Supu tidak menyalahi janji, hanya bocah itu datangnya secara diam-diam.

   Ia angkat kulit itu, untuk disimpan di dalam kamarnya.

   Ia tidak mau memberitahukan pada Kee Loojin.

   Habis itu pergilah ia menggembala kambingnya, di tempat yang biasa.

   Sampai magrib, Supu tidak muncul, ada juga kambingnya, yang sekarang diangon oleh seorang muda lain umur tujuh atau delapan belas tahun, la menjadi berpikir.

   Mungkinkah lukanya Supu belum sembuh? Kalau begitu, bagaimana dia dapat mengantarkan kulit serigalanya itu? Ingin ia pergi melongok ke tenda kawan itu tetapi ia batal sendirinya kapan ia ingat si berewokan yang bengis.

   Maka ia sudi bersangsi.

   Malam itu sampai tengah malam Bun Siu tidak dapat pulas.

   Akhirnya ia mengambil keputusannya juga.

   Diam-diam ia pergi ke tendanya Supu, ke sebelah belakangnya.

   Ia tidak tahu pasti apa perlunya ia menjenguk sahabatnya itu.

   Untuk hanya menghaturkan terima kasih untuk kulit serigala itu? Untuk menanyakan lukanya bekas digigit serigala? Ia berdiam di belakang tenda, seperti Menyembunyikan diri.

   Tidak berani ia memanggil-manggil kawannya ini Sampai ia disamperi anjingnya Supu, yang mencium-cium Hibahnya.

   Anjing itu tidak mengasih dengar suara apa-apa.

   Di dalam tenda, lilin dipasang terang-terang.

   Di situ terdengar suara keras dari Suruke.

   Kaget Bun Siu, setiap kali mendengar suara orang, hatinya berdenyutan.

   Sebab orang Kazakh itu lagi murka.

   Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kulit serigalamu kau kasihkan pada perempuan itu?"

   Demikian suara si ayah.

   "Binatang, kecil-kecil kau sudah mengerti menyerahkan hasil pemburuanmu yang pertama kepada nona kecintaanmu!"

   Bun Siu ingat ceritanya Supu hal kebiasaannya bangsa Kazakh, bahwa pemuda bangsa itu paling menghargai hasil pemburuannya yang pertama kali, bahwa itu selalu diberikan kepada kekasihnya, untuk mengutarakan cintanya.

   Maka mukanya menjadi merah sendirinya.

   Maka terbangunlah keangkuhannya.

   Ia, seperti Supu juga, masih terlalu muda, melainkan samar-samar mereka mengenal asmara.

   "Bukankah kau memberikannya kepada itu nona Han yang tidak diberkahi Tuhan, itu anak hina-dina?"

   Terdengar pula suaranya Suruke.

   "Kau tidak mau bicara? Baik! Kau lihat, kau yang tangguh atau cambuk ayahmu!"

   Lantas Bun Siu mendengar rangketan beberapa kali, suara cambuk mengenai tubuh.

   Seperti kebanyakan orang Kazakh, demikian Suruke.

   Ia percaya cambuk akan menciptakan orang bangsanya yang gagah.

   Jadi untuk mendidik anak, tidak dapat kelunakan dipakai.

   Dulu kakeknya telah menghajar dia, maka sekarang dia menghajar anaknya.

   Itulah pengajaran, itu tidak melenyapkan kasih sayang orang tua pada anaknya.

   Terhadap sahabat, kepalan dan cambuk yang dipakai.

   Menghadapi lawan, ialah golok pendek dan pedang panjang.

   Hanyalah, mendengar rangketan itu, Bun Siu merasai ialah yang tersiksa itu...

   "Kau masih tidak mau menjawab? Kau masih tidak mau menjawab? Baik! Aku merasa pasti kau menyerahkan kulit serigala itu kepada perempuan Han itu! Kau rasai!"

   Lalu hujan cambuk, terdengar nyata. Akhir-akhirnya Supu menangis. Tak dapat ia menahan sakit hanya dengan mengertak gigi saja.

   "Sudah, ayah, jangan pukul, jangan pukul,"

   Katanya.

   "Aduh... aduh..."

   "Nah, bilanglah, bukankah kau menyerahkan kulit itu pada perempuan Han itu? Ibumu mati di tangan penyamun Han! Kakakmu terbinasa di tangan penyamun Han! Apakah kau tidak ketahui itu? Orang menyebutnya aku orang kosen nomor satu dari bangsa Kazakh tetapi isteri dan anakku dibunuh penyamun bangsa Han! Apakah itu bukannya suatu kehinaan? Sayang hari itu aku justeru tidak ada di rumah! Aku menyesal tidak dapat aku cari penyamun itu untuk membalaskan sakit hatinya ibu dan kakakmu itu!"

   IV Cambuknya Suruke bukan lagi dipakai untuk mengajar anak hanya guna melampiaskan kebenciannya, dia mencambuk bukan lagi anaknya sendiri hanya musuh, la kata sengit.

   "Kenapa kawanan anjing itu bukan menempur aku terangterangan? Kau bilang, bilanglah! Apakah aku tidak sanggup melawan beberapa bangsat anjing Han itu?"

   Anak yang dibinasakan rombongan Hok Goan Liong ada anaknya Suruke yang paling disayang, dan isterinya yang terbinasa itu adalah isteri yang mencintainya semenjak mereka masih kecil dan biasa bermain-main bersama, sedang ialah orang Kazakh tergagah, maka itu, bisa dimengerti kemurkaannya itu.

   Bun Siu berduka, la merasa sangat kasihan terhadap Supu.

   Tidak dapat ia mendengar tangisan kawannya itu.

   Dengan merasa berat, dengan tindakan perlahan, ia berjalan pulang.

   Ia menarik keluar kulit serigala dari bawah kasurnya, ia memandangi itu sekian lama.

   Dalam kesunyian itu, ia seperti mendengar samar-samar tangisannya Supu, meski terpisahnya tenda Supu dan rumah Kee Loojin ada sekira dua lie.

   Ia seperti mendengar juga cambukannya Suruke, si orang tua berewokan yang romannya bengis itu.

   la sangat menyukai kulit itu tetapi ia telah mengambil keputusan untuk mengurbankannya.

   *** ( )*** Besoknya pagi Suruke keluar dari tendanya, kedua matanya merah.

   Segera telinganya mendengar nyanyiannya Cherku, yang sembari bernyanyi mengawasi kepadanya dengan kepala dimiringkan, mukanya tersungging senyuman persahabatan.

   Cherku pun seorang Kazakh termasuk jago.

   Orang tahu dia pandai sekali membikin jinak kuda dan larinya sangat keras, hingga orang mengatakannya, di dalam satu lie, tidak ada kuda pilihan yang dapat menyandak padanya, atau sedikitnya, dia cuma kalah sejarak Indung, sebab hidungnya yang mancung...

   Sebenarnya di antara Suruke dan Cherku tidak ada persahabatan erat, bahkan kesan mereka satu dengan lain tidak baik.

   Inilah sebab kegagahannya Suruke membuatnya Cherku iri.

   Cherku lebih muda sepuluh tahun, akan tetapi ketika satu kali mereka mengadu golok, pundaknya kena dihampiri goloknya Suruke.

   Atas itu ia kata.

   "Sekarang aku kalah, tapi lain kali, lagi lima tahun, atau lagi sepuluh tahun, kita nanti bertanding pula!"

   Dan Suruke menyahuti.

   "Lagi dua puluh tahun, kalau kita bertanding pula, tanganku tak ada seenteng kali ini!"

   Akan tetapi hari ini, sikapnya Cherku tidak bermusuhan. Hanya kesan buruk dari Suruke belum lenyap, dia balik mengawasi dengan mata mendelik. Cherku tertawa dan berkata.

   "Sahabatku Su, anakmu lihai matanya!"

   "Kau maksudkan Supu?"

   Suruke tanya. Dia meraba gagang goloknya, matanya bersinar bengis. Di dalam hatinya ia kata.

   "Kau hendak menyindir aku karena anakku telah memberikan kulit serigala kepada itu perempuan Han?"

   Cherku mau menyahuti.

   "Kalau bukan Supu, mungkinkah kau mempunyai anak yang lain?"

   Tapi batal, sembari bersenyum ia menjawab.

   "Memang Supu! Anak itu baik romannya, dia pandai bekerja, aku senang dengannya."

   Seorang tua pastilah senang anaknya dipuji orang tetapi ia tak akur dengan Cherku maka Suruke kata.

   "Apakah kau mengiri? Sayang kau tidak mendapatkan anak laki-laki."

   Cherku tidak gusar, dia bahkan tertawa.

   "Anak perempuanku, si Aman juga tidak ada kecelaannya, kalau tidak, mustahil anakmu penuju kepadanya?"

   Sahutnya.

   "Fui, jangan ngaco!"

   Kata Suruke.

   "Siapa bilang anakku penuju si Aman?"

   Cherku mendekati, untuk menarik tangan orang.

   "Mari turut aku, aku memberi kau melihat sesuatu!"

   Katanya. Suruke heran, ia mengikuti. Sembari jalan, Cherku kata.

   "Beberapa hari yang lalu anakmu membunuh seekor serigala itulah hebat! Bukankah dia masih kecil? Maka kalau dia sudah besar, tidakkah dia akan mirip seperti ayahnya? Ayahnya jago, anaknya gagah!"

   Suruke berdiam.

   Ia menduga orang lagi memasang perangkap.

   Maka ia mau berhati-hati.

   Kira-kira satu lie dua orang ini jalan di padang rumput, tibalah mereka di tenda Cherku.

   Segera Suruke melihat digantungnya sehelai kulit serigala di luar tenda.

   Segera ia mengenali kulit serigala yang dibunuh anaknya itu.

   Ia menjadi bingung.

   "Aku, aku salah..."

   Pikirnya.

   "Aku menyalahkan si Pu, aku pun telah menghajarnya, kiranya kulit ini ia menyerahkannya kepada si Aman, bukan kepada itu wanita Han... Anak celaka, kenapa dia tidak mau bicara sebenarnya? Mungkin kulitnya tipis, dia malu bicara? Ah, kalau ibunya masih ada, ibunya tentu bisa membujuki aku, menasihati aku jangan memukul dia. Memang anak-anak lebih bisa bicara dengan ibunya..."

   "Mari minum satu cangkir arak!"

   Berkata Cherku sambil ia menepuk pundak orang, selagi orang ngelamun.

   "Kau belum pernah datang ke rumahku."

   Tenda Cherku terawat baik dan bersih, di sekitarnya digantungi permadani tenunan bulu kambing merah. Seorang nona yang bertubuh langsing menyuguhkan arak.

   "Aman, inilah ayahnya Supu,"

   Kata Cherku tertawa pada si nona.

   "Kau takut atau tidak? Lihat berewokannya yang menakuti!"

   Muka si nona menjadi bertambah dadu, tetapi matanya bersinar. Ia seperti menjawab.

   "Aku tidak takut..."

   Suruke tertawa, ia kata.

   "Sahabat Cher, orang membilang kau mempunyai seorang anak yang bagaikan bunga yang bisa berjalan di padang rumput kita ini, benar-benar, inilah bunga yang dapat berjalan!"

   Setelah seperti saling mendendam belasan tahun, maka dua orang ini sekarang menjadi sebagai sahabat-sahabat kekal, keduanya bicara dan minum dengan gembira sekali.

   Akhirnya Suruke mabuk keras dan pulang dengan mendekam di atas kudanya.

   Selang dua hari, Cherku mengantarkan dua helai permadani kulit kambing yang indah, katanya yang besaran untuk si tua, yang kecilan untuk si muda-artinya, untuk Suruke dan Supu.

   Ketika Supu memeriksa sehelai, ia mendapatkan sulaman yang merupakan seorang laki-laki yang tubuhnya besar, dengan sebilah golok panjang, lagi membacok seekor harimau, sedang seekor harimau lain lari sambil menggoyang ekor.

   Di permadani yang lain, sulamannya ialah halnya seorang bocah menikam mati seekor serigala.

   Dua-dua orang itu, lua dan muda, sama-sama beroman gagah.

   "Bagus!"

   Suruke memuji kegirangan.

   "Sulaman yang indah!"

   Di wilayah Hweekiang ada sangat sedikit harimau, tapi tahun i lu, entah dari mana datangnya, lelah muncul dua ekor yang menjadi ancaman bencana untuk manusia dan ternak.

   Ketika itu Suruke sedang gagahnya.

   Dengan membawa golok panjang, ia memasuki gunung, ia cari binatang alas itu, ia membunuh yang seekor, ia melukai seekor yang lain, yang kabur ke gunung bersalju.

   Dan menyulamkan perbuatan gagah itu di atas permadaninya Karena Cherku mengantar permadani itu, ketika ia pulang, ia mabuk arak, ia menggantikan mendekam di atas kudanya, hingga Suruke menyuruh Supu mengantarkannya pulang.

   Di dalam tenda Cherku, Supu melihat kulit serigalanya.

   Ia menjadi heran sekali.

   Sedang begitu Aman, dengan muka dadu, menghaturkan terima kasih kepadanya.

   Ia heran tetapi ia tidak berani menanyakan.

   Ia bicara sama Aman tanpa junterungan.

   Karena ini besoknya, ia lantas pergi ke tempat di mana ia membunuh serigala.

   Ia mau cari Lie Bun Siu, untuk minta keterangan, tetapi hari itu si nona tidak muncul.

   Besoknya ia pergi pula, tetapi ia tetap menantikan dengan sia-sia.

   Maka di hari ketiga, dengan memberanikan diri, ia pergi ke rumah Kee Loojin.

   Bun Siu membuka pintu, ketika ia melihat anak Kazakh itu, ia kata.

   "Sejak sekarang ini tidak dapat aku menemui kau pula!"

   Lalu ia menutup pintunya Supu melongo, ia pulang dengan pikiran ruwet, ia sangat bingung.

   Pemuda ini pulang tanpa ia mengetahui, Bun Siu menangis di belakang pintunya itu.

   Si nona senang bergaul dengannya tetapi dia takut kepada ayahnya yang galak itu.

   Dia tahu, kalau mereka bergaul pula, Supu bakal dihajar lagi ayahnya.

   Demikian, hari lewat hari, maka kedua bocah itu pun, dengan lewatnya hari-hari itu, menjadi besar, menjadi dewasa.

   Yang satu cantik manis, yang lain tampan dan gagah.

   Dan sang burung nilam pun bernyanyi makin merdu, Hanya sekarang, nyanyiannya jarang sekali, nyanyinya pun di tengah malam setelah tidak ada orang lainnya, bernyanyi seorang diri di bukit di mana Supu telah membunuh serigala...

   Kalau dulu Bun Siu tidak mengerti apa yang ia biasa nyanyikan bersama Supu, sekarang ia mengerti berlebihan.

   Coba ia masih tidak mengerti, kedukaannya mungkin berkurang.

   Sekarang lain, sekarang sering ia tidak tidur semalaman...

   Pada suatu malam di musim semi, seorang diri Bun Siu naik kuda putihnya pergi ke bukit yang ia kenal itu.

   Berdiri di atas bukit, ia memandangi tenda-tenda orang-orang Kazakh itu di mana orang tengah menyalakan unggun, di mana mereka itu bergirang bersorak-sorai.

   Sebab hari itu kebetulan hari besar mereka, yang mereka rayakan bersama di tepi unggun, menari-nari dan bernyanyi-nyanyi.

   
Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Pasti dia dan ia hari ini bergirang luar biasa,"

   Bun Siu kata di dalam hatinya. Dengan "dia"

   Taklah lain orang kecuali Supu, dan dengan "ia"

   Ialah si nona yang menjadi "bunga yang dapat berjalan..."

   Tapi terkaannya Bun Siu salah.

   Ketika itu Supu dan Aman tidak lagi bergirang hanya hati Supu sedang tegangnya.

   Dia tengah bergulat bersama seorang muda lain, yang tubuhnya jangkung dan kurus.

   Itulah adu gulat yang terpenting di harian pesta itu.

   Siapa yang menang, dia memperoleh tiga buah hadiah, ialah.

   seekor kuda pilihan, seekor kerbau gemuk, serta sehelai permadani indah.

   Supu telah menjatuhkan empat lawannya, sekarang ia lagi menghadapi si jangkung ini, Sangszer.

   Mereka ada sahabat-sahabat kekal, tapi sekarang mereka mesti mencari keputusan.

   Sangszer juga telah mengalahkan empat lawan lainnya.

   Pula Sangszer pun mengharap "si bunga yang dapat berjalan", yang demikian cantik manis, yang pandai menenun dan menyulam.

   Sangszer tahu Supu dan Aman hidup rukun semenjak masih kecil tetapi ia ingin mendapatkannya juga di tempat umum ini.

   Ia percaya, kalau ia menang, Aman akan menyukainya.

   Maka selama tiga tahun, ia rajin berlajar ilmu gulat itu, sedang gurunya ialah Cherku, ayah si Aman...

   Supu sendiri ada murid ayahnya sendiri.

   Gulat Kazakh bukan gulat belaka, kepalan pun dapat dimainkan, juga kaki, untuk menggaet atau merengkas, guna menyengkelit.

   Maka satu kali, ketika kepala Sangszer kena dihajar, dia roboh terguling.

   Di lain pihak, tempo Supu digaet, dia roboh juga.

   Sama-sama mereka bangun pula.

   Suruke menyayangi kegagalan anaknya itu, sampai ia merasakan tangannya dingin.

   Cherku menyaksikan adu gulat itu dengan pikiran kacau.

   Ia tahu Aman, anaknya, menyukai Supu, Di lain pihak, Sangszer adalah muridnya yang disayang, ingin ia muridnya itu menang, supaya ia mendapat muka terang.

   Kesudahan gulat ini pun akan membuatnya si pemenang menjadi "orang kosen nomor satu".

   Ia menyukai Supu tetapi ia ingin Sangszer yang menang...

   Para penonton bersorak untuk para jago muda itu.

   Supu bertubuh besar dan kuat, tapi Sangszer selain kuat pun lincah.

   Jadi sukar untuk menerka, siapa bakal keluar sebagai juara Ramai suara penonton di kedua pihak.

   "Supu, lekas, lekas!..., ..Saszer, bangun, serang pula!"

   Masing-masing menganjurkan jagonya. Samar-samar Bun Siu mendengar.

   "Supu! Supu!"

   Ia heran mengapa ia hanya mendengar suara untuk Supu itu.

   Maka akhirnya, ia mengajukan kudanya, mendekati.

   Ia bersembunyi di belakang sebuah pohon besar.

   Sekarang ia melihat Supu dan Sangszer lagi berkutat dan para penonton ribut dengan sorak-sorai mereka.

   Di antara penonton, Bun Siu melihat Aman.

   Nona itu tegang hatinya, dia pun sebentar bergirang dan sebentar berkuatir.

   Terang dia menyukai Supu.

   Mendadak orang bersorak ramai, lalu sirap.

   Supu dan Sangszer bergumul di tanah, hingga tubuh mereka tak tertampak si Nona Lie.

   Sekian lama orang bersikap tegang.

   Di akhirnya riuhlah seruan orang banyak.

   "Supu! Supu!"

   Lantas terlihat Aman menuntun tangannya si juara.

   Bun Siu girang berbareng berduka.

   Ia putar kudanya, untuk dikasih jalan pulang dengan perlahan-lahan.

   Tidak ada orang yang melihatnya, atau memperhatikannya.

   Ia tidak menarik tali les, ia membiarkan si kuda putih jalan sendiri.

   Ia baru terkejut ketika ia mendapatkan ia berada di ujung padang rumput, atau di permulaan Gobi, gurun pasir.

   "Eh, perlu apa kau bawa aku kemari?"

   Katanya kepada kudanya.

   Tentu sekali ia tidak memperoleh jawaban, hanya di lain pihak ia melihat munculnya dua penunggang kuda, disusul oleh dua yang lain, yang semuanya membawa golok panjang.

   Mereka itu dandan sebagai orang Han.

   Ia kaget sekali.

   Ia lantas ingat pada si penyamun Han.

   "Kuda putih! Kuda putih!"

   Begitu ia mendengar beberapa orang itu berteriak-teriak selekasnya mereka itu melihat kudanya, lantas mereka kabur mendatangi. Antaranya ada yang menyerukan.

   "Berhenti! Berhenti!"

   Dalam takutnya, Bun Siu menyerukan kudanya.

   "Lari!"

   La mengeprak kuda itu lari ke jalanan kembali.

   Tapi ia kaget akan melihat, sekarang di depannya pun ada beberapa penunggang kuda lain, begitu pun di lain arah.

   Ia terpegat di timur, selatan dan utara.

   Maka ia kabur ke barat, di mana gurun pasir tak berujung pangkal...

   Mengenai gurun itu, di antara orang Kazakh ada ceritera atau dongeng, padang pasir ada memedinya, bahwa siapa memasuki gurun, dia bakal tak kembali dengan masih hidup, bahwa sekalipun telah menjadi memedi, si memedi tak akan dapat keluar lagi dari wilayah tandus itu...

   V Bun Siu pun pernah dengar ceritanya Supu bahwa siapa memasuki Gobi, dia bakal jalan terputar-putar saja di daerah pasir itu, sesudah berlari-lari sekian lama, dia bakal menjadi girang berbareng duka.

   Girang sebab dia mendapatkan tapak kaki.

   Tapi segera dia akan menjadi berduka.

   Sebab itulah tapak kakinya sendiri.

   Katanya, akhirnya orang bakal mati, dan setelah menjadi setan, dia tidak akan dapat beristirahat.

   Supu pernah menambahkan.

   "Manusia masih beruntung. Dia mati, dia menjadi setan. Tapi setan, kalau dia mati, dia tetap jadi setan juga..."

   Juga pernah Bun Siu menanya Kee Loojin, apa benar Gobi demikian menakuti, bahwa orang dapat memasukinya tetapi tidak bakal keluar pula dari situ.

   Ditanya begitu, orang tua itu menunjuk roman kaget dan suram yang menakuti, matanya mendelong keluar jendela, seperti dia menampak memedi.

   Belum pernah Bun Siu melihat orang bersikap demikian, maka ia tidak mengulangi pertanyaannya itu.

   Ia mau percaya, orang tua itu pernah melihat setan...

   Sekarang dia kabur di Gobi itu, hatinya takut bukan main.

   Toh dia lari terus.

   Dia lebih takut menghadapi beberapa pengejarnya itu.

   Dia ingat kepada kematian ayah dan ibunya, kebinasaan ibu dan kakaknya Supu.

   Kalau dia kecandak, pastilah dia bakal terbinasa di tangan orang-orang jahat itu.

   Hampir dia menahan kudanya kapan dia ingat memedi di gurun pasir itu...

   Satu kali dia menoleh ke belakang, dia tidak melihat lagi tenda-tendanya si orang-orang Kazakh, tak nampak pula padang rumput yang hijau.

   Dia sekarang melihat, dua orang jauh ketinggalan di belakang, lima lagi tetap menyusul, mereka itu berseru-seru tidak berhentinya.

   Dia mendengar jelas.

   "Benarlah itu kuda putih! Bekuk dia! Bekuk dia!"

   Di saat berbahaya itu, Bun Siu sempat berpikir.

   "Teranglah aku tidak akan sanggup membalaskan sakit hati ayah dan ibuku, maka biarlah aku pancing mereka ke i'iirun, untuk kita mati bersama! Biarlah, satu jiwaku ditukar dengan lima jiwa mereka! Laginya, apakah .ulinya hidup di dalam dunia kalau aku tetap sebatang kara begini?"

   Air matanya nona ini mengembeng, lalu mengucur turun, tapi tekadnya telah bulat.

   Maka ia melarikan terus kudanya, terus menuju ke arah barat, untuk tiba di tempat ada memedi...

   Kelima orang itu benar-benar penyamun-penyamun yang menyerbu rombongannya Suruke.

   Merekalah lima orangnya Hok man Liong dan Tan Tat Hian.

   Mereka pulang habis membereskan Lie Sam dan isteri dan sia-sia belaka mencari Bun Siu.

   Peta dari istana rahasia Kobu membuatnya mereka penasaran, maka mereka ingin sekali mendapatkan peta itu.

   Katanya di dalam istana itu ada tersimpan banyak sekali mustika atau barang permata.

   Demikian mereka mencari tak hentinya.

   Untuk hidupnya, di sana ada kerbau, kambing dan untanya penduduk gurun, yang mereka dapat menjadikan kurban mereka.

   Untuk itu cukup asal mereka menghunus senjata mereka, membunuh, membakar, merampas, bahkan memperkosa...

   Kuda putih sudah tua, tenaganya telah berkurang, tetapi dia seperti mengerti majikannya terancam bahaya, dia lari keras, maka itu mendekati fajar, dia membikin lima pengejarnya jauh ketinggalan di belakang, mereka itu tidak nampak lagi, suara mereka pun tak terdengar pula.

   Hanya Bun Siu tahu, mereka bisa mengikuti tapak kaki, mereka nanti menyusul pula, dari itu, ia lari terus.

   Sampai lagi kira-kira sepuluh lie, sekonyong-konyong kuda itu meringkik, lantas dia lari luar biasa keras, tetap menuju ke barat.

   Dia seperti dapat mencium bau rumput dan air...

   Tidak lama, benarlah ilham bawaan kuda itu.

   Di arah barat laut lantas terlihat gunung dengan pepohonannya yang lebat.

   Tapi Bun Siu terkejut.

   Ia ingat.

   "Apa inikah gunung memedi? Kenapa di gurun ada tempat seperti ini? Belum pernah aku mendengarnya... Tapi biarlah, gunung memedi lebih baik, ke sini aku pancing kawanan penyamun kejam itu!"

   Keras larinya kuda putih itu, segera dia tiba di depan gunung, terus dia masuk ke dalam selat.

   Dia hendak mencari air, untuk melenyapkan dahaganya.

   Di situ ada mengalir sebuah kali kecil.

   Bun Siu turut lompat turun, menghampirkan air, untuk menyaup air dengan kedua tangannya, guna mencuci muka menghilangkan debu, setelah mana ia minum beberapa ceglukan.

   Ia merasa puas sekali.

   Air itu rasanya manis dan menyegarkan mulutnya.

   Sekonyong-konyong ia menjadi terkejut.

   Mendadak saja ia merasakan sesuatu yang berat menekan punggungnya.

   Segera kupingnya pun mendengar pertanyaan dengan suara parau.

   "Kau siapa? Mau apa kau datang ke sini?"

   Itulah pertanyaan dalam bahasa Tionghoa. Bun Siu hendak memutar tubuhnya ketika ia mendengar pula suara parau itu.

   "Inilah ujung tongkat di arah jalan darahmu sinto hiat! Asal sedikit saja kau mengerahkan tenagamu, jalan darahmu bakal terluka hingga kau bisa terbinasa!"

   Bun Siu benar-benar merasai ujung tongkat terasa lebih berat, hingga ia menjadi sesemutan.

   Ia pernah belajar silat sama ayah ibunya tetapi tentang tiamhiat hoat, ilmu menotok jalan darah atau otot-otot yang penting, ia belum tahu sama sekali, meski begitu, ia tidak berani bergerak.

   Ia hanya pikir.

   "Orang ini dapat berbicara, dia pasti bukannya memedi. Dia juga menanya aku apa perlunya aku datang kemari, pertanyaannya itu membuktikan dia mestinya penduduk sini, dia bukannya penyamun. Hanya, kenapa dia mendekati aku tanpa aku mengetahui?"

   Lagi pertanyaan.

   Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku tanya kau! Mengapa kau tidak menjawab?"

   "Ada orang jahat mengejar aku, aku lari sampai di sini,"

   Akhirnya si nona menyahut.

   "Orang jahat bagaimana?"

   Tanya pula suara itu.

   "Sejumlah penyamun."

   "Penyamun apa itu? Apakah nama mereka?"

   "Aku tidak tahu nama mereka. Mulanya mereka piauwsu, sampai di wilayah Hwcekiang, mereka lantas menjadi penyamun."

   "Kau sendiri, apakah namamu? Siapa ayahmu? Siapakah gurumu?"

   "Aku Lie Bun Siu. Ayahku Pekma Lie Sam dan ibuku Kimgin Siauwkiam Sam Niocu. Aku tidak mempunyai guru."

   "Oh!"

   Kata orang itu.

   "Kiranya Kimgin Siauwkiam Sam Niocu telah menikah sama Pekma Lie Sam! Mana dia ayah dan ibumu itu?"

   "Ayah dan ibu telah dibunuh kawanan penyamun itu dan sekarang mereka hendak membunuh aku juga..."

   "Ah! Kau bangunlah!"

   Bun Siu menurut, ia berdiri.

   "Kau putar tubuhmu!"

   Bun Siu menurut, ia memutar tubuh dengan perlahan.

   Orang itu mengangkat tongkatnya, hanya sekarang ia mengancam jalan darah khiesiahiat di kerongkongan.

   Bun Siu heran sekali.

   Ia menyangka orang beroman bengis dan menakuti.

   Ketika ia sudah berpaling, maka ia menampak seorang usia lima puluh tahun kira-kira, dandanannya sebagai pelajar, tubuhnya sangat kurus, sepasang alisnya mengkerut.

   Ia mendapatkan seorang yang romannya sangat berduka.

   "Empee, apakah she-mu?"

   Ia balik menanya.

   "Tempat ini tempat apakah?"

   Orang itu berdiri tercengang. Ia rupanya tidak menyangka sekali akan berhadapan sama seorang anak dara demikian cantik.

   "Aku tidak mempunyai nama. Aku juga tidak tahu tempat ini apa namanya,"

   Sahutnya sejenak kemudian. Justeru terdengar suara samar-samar dari tindakan kaki kuda. Bun Siu kaget sekali.

   "Penyamun datang!"

   Serunya, takut.

   "Empee, lekas sembunyi!"

   "Kenapa kau menyuruh aku bersembunyi?"

   Si empee tanya.

   "Kawanan penyamun itu sangat telengas, melihat kau, dia akan membunuhmu!"

   Orang kurus kering itu mengawasi tajam.

   "Kita tidak mengenal satu dengan lain, mengapa kau memperhatikan keselamatanku?"

   Ketika itu, suara tindakan kuda terdengar semakin nyata. Bun Siu takut sekali, maka tanpa mempedulikan bahwa ia lagi diancam, ia memegang tongkat orang itu, untuk ditarik, buat diajak pergi. Ia pun berkata mendesak.

   "Empee, mari lekas! Kita naik kuda bersama! Ayal sedikit, kita bakal terlambat..."

   Orang itu menarik tongkatnya, untuk melepaskannya dari cekalan, tetapi ia agaknya bertenaga terlalu kecil, ia tidak berhasil. "Apakah kau sakit, empee?"

   Tanya Bun Siu heran.

   "Mari aku bantu kau naik atas kudaku..."

   Nona ini benar-benar bekerja.

   Dengan kedua tangannya ia mengangkat tubuh si kurus kering itu.

   la mendapatkan, walaupun orang laki-laki, tubuh orang itu kalah berat dengan tubuhnya.

   Di atas kuda, orang itu masih terhuyung, duduknya tak tegak.

   Dia seperti lagi menderita sakit berat.

   Bun Siu naik belakangan, ia duduk di belakang orang, maka itu, ia memegang kendali sambil membantui menjagai tubuh si kurus itu untuk mencegah tergulingnya.

   Ia mengaburkan kudanya ke sebelah dalam gunung.

   Karena mesti berbicara sama si empee, Bun Siu telah mensia-siakan tempo.

   Ia lantas mendengar suara nyaring dan bengis dari ke lima penyamun, yang telah memasuki selat.

   Mendadak si empee menoleh.

   "Kau datang bersama-sama mereka itu?"

   Ia menegur.

   "Benarkah? Kamu telah mengatur tipu daya, buat memperdayakan aku?"

   Bun Siu terkejut, apapula akan menampak roman orang mendadak menjadi bengis, sinar matanya sangat tajam.

   "Bukan, bukan!..."

   Ia menyangkal.

   "Belum pernah aku kenal kau, buat apa aku memperdayakanmu?"

   "Kau toh hendak memperdayakan aku supaya aku ajak kau ke Istana Rahasia Kobu?"

   Katanya pula tetap bengis.

   Hanya ia menghentikan kata-katanya dengan tiba-tiba, agaknya ia telah menyesal mengatakan demikian.

   Bun Siu heran.

   Tentang istana rahasia itu, beberapa kali ia pernah mendengar dari mulut ayah dan ibunya semenjak ia turut mereka menyingkir sampai di wilayah Hweekiang, hanya ia tidak mengerti apa-apa.

   Sampai sekarang sudah belasan tahun atau ia mendengarnya pula, hingga ia lupa sebenarnya ia pernah mendengar dari siapa.

   

   first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 10:59:46
oleh Saiful Bahri Situbondo


Kait Perpisahan -- Gu Long Rahasia Ciok Kwan Im -- Gu Long Senyuman Dewa Pedang -- Khu Lung

Cari Blog Ini