Kuda Putih 3
Kuda Putih Karya Okt Bagian 3
Kuda Putih Karya dari Okt
VI Mendengar sampai di situ, Bun Siu kata dengan dingin.
"Menurut apa yang aku dengar, Lie Sam suami isteri telah terbinasa di tangannya rombongan orang-orang Chin Wie Piauwkiok. Itulah artinya perbuatan kau sendiri, Tan Toapiauwtauw!"
Tan Tat Hian bercekat hati, tubuhnya menggigil. Ia pun merasa tertusuk dengan sebutan toapiauwtauw itu, artinya, piauwsu yang terbesar. Tapi ia berani, ia menjawab dengan terus terang.
"Tidak salah!"
Katanya.
"Suami isteri Lie Sam itu dibinasakan oleh aku dan saudara-saudaraku itu. Kami telah menggeledah tubuh suami isteri itu, peta tersebut tidak kedapatan pada mereka Maka itu mestinya peta ada di tangan anak perempuan mereka, yang lolos dari tangan kami. Maka kami lantas mencari anak itu, sampai sekarang ini sudah belasan tahun, tanpa ada hasilnya. Selama itu kami telah menjelajah bagian selatan dan utara pegunungan Thiansan. Sungguh kebetulan, hari ini aku menemuinya di sini! Bukankah itu berarti Thian telah menakdirkan kita berenam supaya menjadi beruntung? Kamu hendak membunuh aku, tidak apa! Tapi, kalau kamu memikir sebaliknya; umpama dari musuh kita menjadi sahabat-sahabat, bukankah itu ada baiknya? Nanti aku mengajak kamu pergi mencari Istana Rahasia Kobu itu, jikalau kita berhasil, kita membagi rata. Tidakkah itu berarti kita sama-sama memperoleh harta besar? Jikalau peta ini terjatuh ke dalam tangan si tua bangka bongkok sebagai unta, pastilah dia menelannya sendiri harta besar itu!"
Sengaja Tat Hian mengucapkan kata-kata terakhir itu, untuk mengadu Bun Siu sekalian terhadap Kee Loojin, supaya mereka berselisih dan saling bunuh. Ia mengharap mereka itu timbul keserakahannya. Kee Loojin tertawa dingin.
"Dengan telah mempunyai petanya, mustahilkah kami tidak dapat pergi mencarinya sendiri?"
Kata dia. Tan Tat Hian berkata pula. Kalau tadi ia menggunai bahasa Kazakh, sekarang ia mengubahnya dengan bahasa Tionghoa. Ia kata.
"Umpama kata kamu dapat mencari istana rahasia itu dan mengambil memperolehnya harta besarnya, tetapi ingat, harta itu ialah hartanya bangsa Kazakh, maka maukah bangsa ini menyerahkannya kepada kamu? Kamu bangsa Han?"
"Menurut kau, bagaimana?"
Kee Loojin tanya Ia ingin ketahui pikiran orang.
"Marilah kita bekerja sama,"
Mengajak Tat Hian.
"Paling dulu kita binasakan semua orang Kazakh di dalam rumah ini. Perbuatan ini cuma kau dan aku yang mengetahuinya, dari itu tidak ada kekuatiran untuk nanti bocor. Lantas kita pergi mencari harta karun itu. Kalau kita berhasil, kau boleh ambil tujuh bagian, untukku cukup tiga bagian saja..."
"Kenapa kau suka mengalah demikian banyak?"
Si empee tanya.
"Aku kalah gagah dari kau, kau berhak mendapat lebih banyak. Umpama kata kau suka menyerahkan nona Kazakh yang cantik ini padaku, aku suka mengalah lebih jauh, kau boleh ambil delapan bagian."
Pembicaraan itu tidak dimengerti oleh Supu dan Aman, mereka berdiam saja. Tidak demikian dengan Bun Siu, yang menjadi marah sekali. Di dalam hatinya, ia kata.
"Bangsat, kau sangat jahat! Bukankah kematianmu sudah di hadapan mata? Kenapa kau masih memikir busuk sekali?"
Kee Loojin berkata.
"Ini satu nona Kazakh lihai sekali, belum tentu kita dapat melawan dia..."
"Kau dapat membokong dia. Dia tentunya tidak bersiaga."
Kee Loojin berdiam, agaknya ia berpikir.
"Ah, begini saja,"
Katanya sesaat kemudian.
"Diam-diam aku mengutungi tambang belenggumu, aku berikan kau golok, lantas kau menghampirkan dia, untuk kau membacok punggungnya..."
"Nona ini sangat cantik, sayang kalau dia terbinasa,"
Kata Tat Hian.
"Karena tidak ada lain jalan, baiklah..."
Bun Siu dapat menerka maksudnya Kee Loojin. Terang si orang tua ingin ialah yang membinasakan penjahat ini. Selagi Tat Hian dan Kee Loojin berdamai sampai di situ, dari kejauhan terdengar suara orang memanggil.
"Supu! Supu!"
Disusul sama "Aman! Aman!"
Hampir berbareng, Supu dan Aman berlompat bangun.
"Ayah, aku di sini!"
Mereka pun menyahuti.
Kemudian keduanya berlari-lari ke luar, Supu di depan, Aman di belakang.
Mereka tidak menghiraukan lagi angin besar dan salju berhamburan, hingga mereka sukar bernapas.
Hari itu Cherku minum arak di rumah Suruke, ketika turun hujan salju dan angin keras dan sampai sore anak-anak mereka belum muncul, keduanya menjadi berkuatir, mereka lantas pergi mencari, di sepanjang jalan mereka memanggilmanggil.
Girang mereka akan menemui anak mereka tidak kurang suatu apa.
Supu dan Aman lantas mengajak mereka ke rumah Kee Loojin.
Tiba di depan pintu, mendadak Suruke berkata.
"Bukankah ini i umahnya si orang Han yang harus mampus? Tidak, aku tidak sudi masuk ke rumahnya!"
"Tidak mau masuk?"
Kata Cherku.
"Habis kita berlindung di mana? Kupingku, hidungku, telah pada beku..."
Suruke ada membekal buli-buli berisi arak, di sepanjang jalan ia menenggak araknya untuk melawan hawa dingin, karena itu, ia sudah terpengaruhi susu macan. Maka ia kata.
"Aku lebih suka batok kepalaku beku semua, tidak nanti aku masuk ke rumah orang Han ini!"
"Lihat anakku yang menjadi mustikaku ini,"
Berkata Cherku.
"Kalau dia kenapa-kenapa karena beku, akan aku membuat perhitungan denganmu! Aman, mari kita masuk!"
Suruke tidak menyahuti, sebaliknya, ia melirik puteranya. Mendadak ia berseru.
"Hm, kau telah pergi ke rumahnya orang Han, anak mau mampus!"
Terus ia mengayun tangannya hingga tubuh Supu terhuyung. Anak ini tidak menangkis atau berkelit. Ia membentur Aman, hingga si nona roboh ke salju. Cherku menjadi gusar.
"He, kau berani memukul anakku?"
Ia menegur.
"Dia belum menjadi nona mantumu, sudah berani kau memukulnya! Tidakkah di belakang hari dia bakal disiksa mampus olehmu?"
"Kalau aku suka memukul, aku memukul, mana dapat kau melarang aku?"
Kata Suruke sembarangan. Tidak dapat ia mengatasi lagi pengaruh air kata-katanya. Cherku pun menjadi gusar.
"Kalau kau laki-laki, mari kita bertempur pula!"
Dia menantang.
"Baik, mari, mari!"
Suruke menyambut, dan lantas kepalannya melayang, bahkan tepat mengenai dadanya lawan.
Cherku pun sudah mulai dipengaruhi arak, maka beda dari biasanya, ia melayani.
Ia tidak roboh karena tinju itu, lantas ia membalas, dengan mengayunkan sebelah kakinya, guna menggaet.
Tanpa ampun, Suruke roboh.
Tapi dia jatuh sambil tangannya menyambar ke paha, maka keduanya jatuh berguling ke salju di mana mereka berkelahi terus sambil bergulingan.
Supu dan Aman menjadi bingung, sia-sia belaka mereka mencoba memisahkan.
Dengan suara saja, mereka tidak berhasil.
Selagi bergulat itu, Suruke menjumput salju, ia menyumbat mulut Cherku, hingga lawan ini gelagapan.
Ia tertawa lebar.
Justeru itu, Cherku memuntahkan salju di mulutnya itu, terus dia meninju, telak mengenai hidung.
Suruke tidak kesakitan, hanya hidungnya mengeluarkan darah.
Masih ia tertawa.
Sekarang ia menjambak rambutnya Cherku.
Merekalah orang-orang kosen bangsa Kazakh tetapi di dalam sinting itu, lagak mereka mirip dua orang bocah.
Kee Loojin bersama Bun Siu lari ke luar, mereka mendengar suara berisik dari dua orang yang bergulat itu.
Si gagu turut keluar juga.
Sekarang ini, Supu dan Aman tidak bingung lagi, sebaliknya, mereka tertawa.
Mereka ketahui ayah mereka lagi sinting.
Dalam pergulatan lebih jauh, Suruke jatuh di bawah, dia kena tertindih, sia-sia dia berontak, akhirnya dia diam saja.
Supu kaget.
"Lepaskan ayahku!"
Ia berteriak seraya menghampirkan, untuk menarik Cherku.
Ia kuatir ayahnya terluka.
Di luar dugaannya, setelah mendekati, ia mendapatkan ayahnya itu lagi tidur menggeros...
Akhirnya semua orang tertawa.
Suruke dikasih bangun, diajak masuk ke dalam.
Cherku dipegangi Aman, ia turut masuk.
Suruke lantas ngoceh.
"Haha! Kau tidak dapat melawan aku! Akulah jago Kazakh nomor satu, Supu yang nomor dua, nanti anak Supu yang nomor tiga! Kau, Cherku, kau yang nomor empat..."
Lantas ia bernyanyi.
Cherku pun sinting tetapi ia turut tertawa.
Begitu mereka tiba di dalam, Bun Siu berseru kaget.
Di situ tidak ada Tan Tat Hian, yang ada hanya beberapa helai tambang belengguannya, yang ujungnya pada hangus, tandanya si penyamun membakar tambang itu untuk membebaskan diri dan lalu kabur dari pintu belakang.
Di atas meja, selainnya golok, sapu tangan yang merupakan peta pun lenyap.
Dalam kagetnya, Kee Loojin lari ke belakang untuk mengejar.
Pintu belakang madap ke utara, begitu pintu dipentang, angin dan salju meniup keras, sampai empee Kee itu bersangsi untuk nerobos terus.
Tengah ia bersangsi itu Bun Siu menghampirkan padanya, untuk berkata dengan perlahan.
"Angin dan salju begini besar, dia tidak dapat kabur jauh, kalau dia paksa menyingkir juga, mesti dia mati di tengah jalan. Baiklah kita menanti sampai langit sudah terang dan badai reda, baru kita pergi mencari mayatnya."
Kee Loojin setuju, ia mengangguk.
Ia menutup pula pintunya, lalu berdua mereka kembali ke ruang depan.
Di sana tak nampak si gagu yang agak tolol.
Bun Siu merasa kasihan pada si gagu itu, ia membuka pintu depan.
Ia memanggil berulang-ulang, tanpa ada yang menyahuti.
"Dia tuli, dia tidak mendengar!"
Kata empee Kee.
Bun Siu masih melihat kelilingan, baru ia kembali ke dalam.
Sampai fajar, baru badai mulai reda.
Suruke sadar dengan tidak ingat lelakonnya di waktu mabuk, melihat Kee Loojin, ia menjadi gusar, tapi Supu dan Aman segera membujuki seraya menuturkan bahwa orang tua bangsa Han inilah yang menolongi mereka dari penyamun.
"Oh, kaulah yang menolongi anakku!"
Kata Suruke.
"Kau orang baik, aku berterima kasih padamu!"
Ia lantas memberi hormat. Kemudian ia menambahkan.
"Mari kita susul penyamun itu, agar dia tidak lolos!"
Cherku pun turut menghaturkan terima kasih.
Sebenarnya Kee Loojin tidak setuju pergi beramai-ramai tetapi sebab tidak dapat alasan untuk menolak, ia terpaksa pergi bersama.
Ia membekal rangsum kering.
Tan Tat Hian menyingkir selagi hujan salju, tapak kakinya telah lenyap pula, tetapi Suruke dan Cherku ada penduduk gurun asli, mereka bisa lihat tanda-tanda yang luar biasa, tanda itu membuatnya menduga si orang jahat.
Tujuan mereka ke arah barat.
Itu artinya tujuan gurun pasir besar.
Empat orang Kazakh itu lantas ingat dongeng hal memedi di gurun, air muka mereka lantas bersinar lain.
Suruke besar nyalinya, ia kata nyaring.
"Biarnya benar-benar kita bertemu memedi, mesti kita bekuk manusia jahat itu! Supu, mau tidak kau membalaskan sakit hati ibu dan kakakmu?"
Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu, ayah!"
Jawab sang anak.
"Aku akan turut ayah! Aman, kau baiklah pulang."
Si nona pun berani.
"Kau dapat pergi, aku dapat!"
Jawabnya. Di dalam hatinya ia hendak membilang.
"Kalau kau mati, mana bisa aku hidup sendiri saja?"
"Aman, lebih baik kau turut ayahmu pulang,"
Suruke membujuk.
"Cherku bernyali kecil, dia paling takut setan!"
Mata Cherku mendelik, dia lantas melombai jalan di depan.
Berjalan di gurun, yang ditakuti ialah tidak ada air, maka air itulah bekal utama.
Kali ini habis hujan salju, pasir pun tidak beterbangan, perjalanan rombongan ini tak ada rintangannya.
Makin ke barat, tanda-tandanya Tan Tat Hian makin nyata.
Bahkan kemudian, terlihat tegaslah tapak kakinya, yang tidak ketutupan salju lagi.
Itulah bukti bahwa dia telah tiba di situ sesudah salju berhenti.
"Sungguh lihai jahanam itu!"
Kata Kee Loojin seperti mendumal.
"Tadi malam badai dahsyat tetapi dia tidak mampus dan dapat berjalan terus hingga kemari!"
"Eh, masih ada tapak kaki seorang lain!"
Suruke berseru mendadak. Dia menunjuk tapak kaki Tan Tat Hian.
"Orang ini jalan tepat di tapak kakinya si manusia jahat! Tanpa perhatian, tak akan terlihat tapak kaki yang menyusun ini."
Mendengar begitu, semua orang membungkuk, untuk meneliti. Benar, tapak kaki itu berbekas lebih mendalam daripada biasanya.
"Mustahilkah ini tapak kaki si gagu?"
Kata Bun Siu.
Tadi malam ia telah melihat sinar mata aneh dari si gagu dan itu mendatangkan kecurigaannya.
Hanyalah tapak kaki yang kedua ini rada enteng, bukti bahwa orang ringan tubuhnya.
Mungkinkah benar dia si gagu dan dia sebenarnya lihai? Kee Loojin tidak membilang apa-apa, dengan mengikuti tapak kaki itu, ia berjalan terus.
Ia ingin cepat menyandak.
Tat Hian seorang ia tidak begitu kuatirkan, ia takut penyamun itu memperoleh kawan yang lebih lihai.
Jalan di salju ini sulit juga.
Makin ke depan, salju makin tebal, sampai mendam ke lutut.
Perlahan jalan mereka, hingga kejadian mereka mesti singgah, bermalam di tengah jalan.
Mereka menggali salju, hingga nampak pasir, untuk rebah di dalam liang, tubuh mereka digulung dengan permadani.
Mereka tidur bergeletakan di atas pasir.
Ketika besoknya pagi Bun Siu mendusin, ia mendengar Suruke dan Cherku membikin banyak berisik.
Sebabnya ialah Kee Loojin telah lenyap, rupanya dia berangkat malam-malam atau mendekati fajar.
Ia heran sekali sedang ia tahu, selama perkenalan kira-kira sepuluh tahun, empee itu agaknya tawar sama harta.
Kenapa, setelah mendengar halnya istana rahasia, dia menjadi demikian ketarik hatinya, hingga dia seperti berubah menjadi seorang lain? Dari enam orang, sekarang jumlah mereka menjadi tinggal lima.
Mereka melanjuti perjalanan mereka, untuk menyusul si penjahat, untuk menyusul juga Kee Loojin, si kawan yang menjadi aneh kelakuannya itu.
Bun Siu kemudian mengenali, jalanan yang dilalui ialah jalanan yang ia kenal baik.
Itulah jalanan untuk pergi ke rumah Hoa Hui, gurunya.
Ia jadi berpikir.
"Baiklah aku ajak suhu pergi bersama. Dia luas pengetahuannya, dia dapat membantu banyak..."
Bun Siu mau mencari Istana Rahasia Kobu bukan untuk hartanya.
Ia hanya ingin mewujudkan cita-cita ayah dan ibunya, untuk dapat tiba di sana.
Segera mereka mulai memasuki daerah pegunungan.
Di sini Bun Siu sengaja berjalan perlahan hingga ia ketinggalan jauh di belakang.
Lekas-lekas ia pergi ke gubuk gurunya.
Untuk herannya, sang guru tidak kedapatan.
Ia menduga guru itu lagi pergi berburu atau mencari bahan obat-obatan.
Perbuatan itu biasa dilakukan setiap habis hujan salju.
Karena ia tidak dapat menanti, ia lantas mencoret-coret beberapa huruf di atas tanah, untuk gurunya itu, lalu lekas-lekas ia menyusul rombongan Suruke.
Mereka memasuki wilayah pegunungan, yang makin lama makin sukar dilaluinya, banyak pohon duri dan lainnya.
Syukur, tapak kaki masih terlihat di antara sisa-sisa salju.
Maka mereka maju terus.
Herannya ialah, istana rahasia belum tampak tandatandanya...
Aman memangnya berkuatir ia menjadi takut.
Ia ingat cerita halnya di gurun pasir ada mernedinya.
Tapak-tapak kaki yang mereka ikuti itu, di matanya, ada bagaikan jalanan untuk ke neraka...
Juga Suruke dan Cherku bersangsi, mereka berkuatir, hanya di mulut, mereka masih omong besar, mereka tidak mau saling kalah, bahkan mereka bertengkar.
"Cherku, kau lihat, tubuhmu bergemetar,"
Kata Suruke.
"Kalau kau jatuh sakit karena ketakutan, inilah bukannya main-main. Baiklah kau berdiam di sini saja menantikan kami, jikalau aku mendapatkan harta, tentu aku akan membagi kau satu bagian..."
"Di saat ini jangan orang berlagak kosen!"
Kata Cherku.
"Lihat sebentar, kalau memedi muncul, siapakah yang bakal kabur lebih dulu? Mungkin kau atau anakmu!..."
"Memang, kami ayah dan anak, kalau kami melihat memedi, kami bakal lari kabur!"
Kata Suruke pula.
"Tapi kami bukannya seperti kau, melihat memedi, kau ketakutan sampai kau bertekuk lutut di tanah dan tubuhmu menggigil?"
Pulang pergi, mereka itu menyebut-nyebut iblis gurun... Jalan lagi sekian lama, langit mulai gelap.
"Ayah, mari kita bermalam di sini,"
Berkata Supu.
"Besok pagi kita berangkat pula."
"Bagus!"
Berkata Cherku tertawa sebelum Suruke menyahuti anaknya.
"Kamu dan anak boleh singgah di sini, untuk menyingkir dari bahaya! Aman, mari kau ikut ayahmu!"
"Fui!"
Suruke berludah, lalu ia maju di depan, mendahului yang lain.
Supu memunguti cabang-cabang kering, untuk membuat obor.
Maka itu, malam-malam, di dalam hutan, mereka berjalan terus.
Sulit perjalanan itu, sebab mereka sekalian mesti mencari tapak kaki TatHian.
Suasana pun seram kapan sang burung malam mengasih dengar suaranya.
Orang kaget setiap kali dari atas pohon terjatuh kepingan salju, yang mendatangkan suara berisik, hingga hati mereka berdebaran.
"Ah, celaka!"
Berseru Aman tiba-tiba selagi ia berjalan dengan hati kebat-kebit.
"Ada apa?"
Tanya Supu kaget.
"Lihat, itulah gelangku yang kemarin ini aku kena bikin lenyap!"
Kata Aman, tangannya menunjuk ke depan di mana ada sebuah benda dengan cahaya berkilauan. Gelang itu terletak sejarak tiga tombak dari lima orang itu. Memang aneh gelang itu didapatkan di situ.
"Tadinya aku memikir untuk mencarinya, kenapa sekarang gelang ini berada di sini?"
Kata Aman.
"Kau periksa dulu, benar atau tidak itulah kepunyaanmu,"
Kata Cherku, sang ayah. Aman jeri, ia tidak berani pergi menghampirkan. Maka Supu yang maju dan memungutnya.
"Memang, inilah kepunyaanmu!"
Kata si pemuda sebelum si pemudi memeriksanya. Lantas dia menyerahkannya. Aman masih takut untuk menyambuti. "Kau buang saja,"
Katanya. suaranya parau.
"Mustahilkah ini perbuatan memedi?"
Kata Supu, yang air mukanya lantas berubah, demikian juga yang lain-lainnya. Semua berdiam.
"Mungkinlah ini lebih bebat dari gangguan memedi,"
Kata Bun Siu kemudian.
"Mari kita ambil jalan yang kuna, jalanan ini ada jalanan bekas kita..."
Mereka terpengaruh oleh kepercayaan halnya sesat jalan, hingga mereka bakal terputar-putar di situ juga sampai mereka mati sendirinya...
Suruke mau menyangsikan kekuatiran Bun Siu tetapi buktinya ialah keanehan dari gelangnya Aman itu.
Tanpa banyak omong, mereka itu berjalan terus.
Gelang diletaki di tanah.
Mereka berjalan sekian lama, lantas mereka melihat gelang itu! Suruke dan Cherku bungkam.
Mereka tidak berani bicara besar lagi atau saling mengejek.
"Kita mengikuti si penyamun dan Kee Loojin,** berkata Bun Siu.
"kalau mereka kesasar, mereka pun bakal kembali kemari, maka itu mari kita berhenti di sini. Kita menantikan mereka itu..."
Pikiran ini mendapat kesetujuan, maka mereka, lantas pada menyingkirkan salju, untuk mencari tempat duduk masingmasing.
Supu menyalakan api, membuat unggun, mereka duduk mengitari itu.
Masih mereka berdiam, tidak ada yang niat berbicara, tidak ada yang berkeinginan tidur.
Semua menantikan munculnya Tan Tat Hian dan si empee Kee, semua mereka berdenyutan hatinya.
Bagaimana kalau benarbenar Tat Hian dan Kee Loojin tersesat dan muncul di depan mereka? Tidakkah itu berarti celakanya nasib mereka semua?...
Sekian lama mereka berdiam dalam kesunyian, atau mendadak kuping mereka menangkap suara tindakan kaki.
Mereka terkejut, hati mereka terkesiap.
Hampir berbareng, mereka berlompat bangun.
Hanya sejenak, suara tindakan kaki itu lenyap Hingga tinggallah hati mereka yang berdebaran, yang memukul.
Lagi sejenak, tindakan kaki itu terdengar pula, agaknya lagi menuju ke arah barat daya, malah terdengarnya main jauh, akan kemudian lenyap sebab diganggu berkesirnya angin yang keras, yang membawa datang salju, hingga unggun mereka padam dalam sekejap kena tertimpa salju itu.
Dengan padamnya api, gelaplah pandangan mata mereka.
Justeru itu, kuping mereka mendengar suara apa-apa.
Kecuali Aman, Suruke berempat menghunus senjata mereka.
Aman menjerit, ia menubruk Sapu ke dada siapa ia menyedapkan kepalanya.
Kembali terdengar suara tindakan kaki itu yang teras lenyap di kejauhan.
Habis itu, terus sampai fajar tidak ada terjadi peristiwa apa juga.
Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Munculnya matahari membuat hati mereka tenang kembali.
Dengan lantas mereka melanjuti perjalanan mereka itu.
Aman berlaku hati-hati maka ia melihat di kirinya, ada cabang-cabang pohon yang rebah dan patah.
"Lihat ini!"
Katanya tiba-tiba Supu menyingkap cabang yang rebah itu, di bawah itu ia melihat dua buah tapak kaki, hingga ia menjadi girang luar biasa.
"Di sini mereka!"
Ia berseru.
"Inilah jalan yang mereka ambil!"
"Mungkin penyamun itu keliru melihat petanya,"
Kata Aman.
"Dia tersesat, dia kena jalan terputar-putar di sini hingga dia menyebabkan kagetnya kita semua..."
Suruke tertawa lebar.
"Benar!"
Katanya nyaring.
"Dua anggauta keluarga Cherku bernyali kecil, mereka ketakutan mernedi selama satu malaman! Keluarga Suruke sebaliknya gagah, mereka justeni mengharap-harap munculnya si memedi, untuk dijiwir kupingnya, guna melihatnya tegas-tegasi"
Cherku tidak melayani, dia pun memandang ke lata arah, hanya mendadak dia memutar tubuh, sebelah tangannya menyambar! Suruke tidak menyangka jelek, tahu-tahu sebelah kupingnya telah kena tercekal dan tertarik Cherku, hingga dia kaget Tidak ayal lagi, dia meninju.
Meski begitu, Cherku tidak roboh, karena tubuhnya terhnyung, ia menarik kuping orang yang dipeganginya itu.
Suruke kaget dan kesakitan, kupingnya itu pecah dan mengeluarkan darah.
Kalau kuping itu terlarik lebih keras sedikit, mungkin akan copot Bun Siu mau tertawa melihat kelakuannya dua orang Kazakh yang Jenaka itu, tidak peduli usia mereka sudah empat puluh lebih, lagak mereka mirip bocah, sebentar baik, sebentar bertengkar, sebentar lagi bertarung.
Ketika mereka terpisah, disebabkan saling tinju, yang satu hidungnya matang biru, yang lain matanya bengap! Mereka melanjuti terus perjalanan mereka.
Jalanan kali ini berliku-liku, sukar dilaluinya.
Ada kalanya mereka melintasi mengitari bukit, ada kalanya masuk kedalam gua, melintasi terowongan wajar.
Syukur ada salju, terus-terusan mereka melihat tapak kaki, yang terus mereka ikuti.
Aman bermata celi, kalau tapak suram atau lenyap, dialah yang meneliti.
Dalam batinya Bun Stu kata.
"Istana rahasia itu benarbenar luar biasai Tanpa peta, bagaimana dia dapat dicari?"
Jalan sampai tengah hari, sebab satu malam mereka tidak tidur, semua orang menjadi letih sekali, kecuali Bun Siu, yang ilmu dalamnya sudah ada dasarnya, dia masih segar seperti biasanya.
"Ayah, Aman sudah tidak kuat jalan, kita singgah di sini,"
Kata Suptt pada ayahnya.
Belum lagi ayah itu menyahuti atau mereka mendengar seruannya Cherku, yang jalan di paling depan.
Suruke lompat ke depan, guna menghampirkan kawannya, yang teraling dengan segumpalan pepohonan.
Selewatnya itu, matanya dibikin silau dengan cahaya kuning emas yang berkilauan, hingga sukar untuk ia melihatnya.
VII Dengan terpaksa ayahnya Supu ini memeramkan matanya.
Sampai sekian lama, baru ia membukanya perlahan-lahan.
Masih ia merasa silau, sampai berkunang-kunang.
Untak dapat melibat terus, ia memiringkan tubuhnya.
Ketika ia telah melihat tegas, ia menjadi heran dan kagum.
Di depan ia ada sebuah bukit, di atas itu ada sebuah pintu yang terlapiskan emas.
Itulah sinar yang menyilaukan mata, sebab emas itu ditojo matahari dan menjadi memancarkan sinar berkeredepan itu.
Cherku melihat pintu itu maka dia berseru.
Suruke pun mengasih dengar seruannya, disusul oleh Bun Siu, Supu dan Aman yang menyusul belakangan ini juga, mulanya merasa silau.
"Istana Rahasia Kobu!"
Demikian suara mereka serempak.
Mereka tidak sangsi pula atas penemuan mereka itu.
Suruke lari menghampirkan pintu, ia menolak dengan kedua tangannya.
Pintu itu tidak bergerak.
Cherku maju bersama, untuk membantui, sia-sia saja, meskipun mereka telah mencoba menggunai pundak mereka.
Pintu, yang berdaun dua, kuat sekail "Penyamun jahanam itu berada di dalam, dia menguncikan pintu!"
Kata Suruke gusar.
Aman memandangi pintu itu, ia tidak melihat apa-apa yang mencurigai.
Ia lantas meraba gelang pintu, ia putar itu ke kiri.
Pintu itu tetap tidak bergerak.
Ia memutar pula, sekarang ke kanan.
Untuk herannya, ia merasa putarannya longgar.
Ia lantas memutar pula, terus, sampai beberapa kali.
Suruke dan Cherku mencoba pula membentur pintu dengan tubuh mereka.
Kali ini mereka berhasil.
Dengan mendadak kedua daun pintu menjebtak terbuka.
Ini pun di luar dugaan mereka.
Tentu sekali, mereka menjadi sangat girang.
Sambit tertawa, mereka merayap bangun, sebab dengan menjeblaknya pintu, mereka roboh bersama! Di sebelah dafam tampak gelap.
Itukah bukan ruang hanya lorong, jalanannya seperti gang.
Maka Supu lantas menyalakan obor, untuk menyuluhi.
Dengan sebelah tangan menyekat goloknya, ia maju di muka.
Tiba di ujung lorong, mereka menghadapi jalan cagak tiga.
Di dalam istana ini tidak ada salju, jadi tidak dapat mereka melihat tapak kakinya si penyamun atau empee Kee.
Cagak mana mereka harus ambil? Kembali Aman menunjuk keterlitiannya.
Ia membungkuk untuk dapat memperiapkan lantai.
Ia mendapatkan, cagak kiri dan kanan ada tapak kakinya yang enteng, yang tipis sekali.
Ia memberitahukan apa yang ia lihat itu.
"Sekarang begini,"
Berkata Suruke.
"Kita pun memecah diri, ialah tiga di kiri, dua di kanan. Di dalam baru kita bertemu."
"Tidak dapat kita berbuat demikian,"
Kata Bun Siu.
"Istana ini dinamakan istana rahasia, sudah pasti jalannya pun jalan terahasia. Menurut aku paling benar kita tetap berjalan bersama-sama."
Suruke menggeleng kepala.
"Berapakah luasnya gua ini?"
Katanya.
"Anak perempuan bernyali kecil, sungguh aku kewalahan!"
Meskipun ia membilang demikian, kejadiannya mereka berlima berjalan bersama, mereka tidak memecah diri.
Lebih dnlu mereka mengambil jalan cagak kanan, yang kelihatan lebar.
Baru jalan sepuluh tombak, Suruke berpikir.
Sekarang ia baru percaya Bun Siu berpikiran lebih panjang.
Pula di depan mereka terdapat lagi jalan pecahan.
Maka lagi sekari mereka memperhatikan lantai, untuk mengambil jalan yang ada tapak kakinya.
Sekian lama mereka berjalan, mereka melihat bahwa saban-saban ada jalan cagak.
Aman berlaku cerdik, senantiasa ia menggunai pisau membuat tanda di tembok yaag dilewati.
Dengan begitu mereka bisa mencegah yang mereka mundar-mandir di situsitu juga Akhir-akhirnya tibalah mereka di tempat yang terang.
Mereka mendapat sebuah ruang kosong.
Di tempat terbuka ini, mereka mendapatkan pula sebuah pintu berdaun dua.
Supu memegang gelang pintu, ia memutar itu.
Pintu itu lantas terbuka.
Mereka lantas melihat sebuah ruang bagaikan pendopo yang di tembok sekitarnya penuh dengan pelbagai patung malaikat, ada yang terbuat dari emas, ada yang terbikin dari batu kumala dengan biji matanya dari mutiara atau batu permata lainnya, hingga semua mata itu menjadi hidup.
Maka tercenganglah lima orang ini.
Melewati ruang ini, mereka mendapatkan pelbagai ruang lainnya, mirip dengan kotak-kotak kamar di mana pun ada masing-masing patungnya beserta batu-batu permatanya.
Di sini pun antaranya ada terdapat tulisan-tulisan huruf Tionghoa di tembok, seperti "Raja dari negara Kao diang".
"Wen Tai"
Dan "Kerajaan Tong, tahun Cengkoan XIII".
Kao Chang itu adalah sebuah negara jaman dahulu di wilayah barat yang rakyatnya makmur dan pemerintahannya kuat.
Di jaman Tong tahun Cengkoan, raja Kao Chang yang bernama Chu Wen Tai, menyatakan takluk kepada kerajaan Tong, akan tetapi karena negaranya makmur dan kuat, dia berlaku tidak menghormati kaisar Tong itu, dari itu kaisar Tong mengirim utusannya ke Kao Chang- Kepada utusan itu, raja Kao Chang itu mengatakan.
"Burung garuda terbang di langit, ayam hutan betina mendekam di gunung, kucing pesiar di ruang dalam, tikus bersembunyi di liangnya. Mereka itu mendapati tempatnya masing-masing, bagaimana mereka tidak memperoleh kemerdekaannya?"
Dengan itu raja maksudkan.
"Meskipun kaulah burung garuda yang bengis dan aku hanya ayam hutan yang tidak mempunyai guna, tetapi kau terbang di udara, aku sembunyi di dalam hutan, kau tidak nanti sanggup membunuh aku! Meskipun kau adalah kucing dan aku hanya tikus, tetapi kau mundar-mandir di dalam ruang saja, aku sembunyi di dalam liangku, apa kau bisa bikin terhadap aku?"
Itulah tantangan.
Mendengar itu.
Kaisar Tong Tay Cong menjadi gusar.
Sudah begitu lantas terjadi negeri Kao Chang itu menyerang tetangganya, Yenchi, negara yang menghormati sekali Tong itu.
Negara Yenchi itu lantas minta bantuan, atas mana kaisar Tong mengirim panglima perangnya, Hauw Kun Cip, menyerang negeri Kao Chang itu.
Ketika Chu Wen Tai mendengar kabar negerinya mau diserang, dia kata pada sekalian menterinya.
"Negara Tong itu terpisah dari kita tujuh ribu lie, di antaranya dua ribu lie jalanan gurun pasir di mana tidak ada rumput dan air, yang anginnya meniup tajam seperti golok dan panasnya terik bagaikan membakar diri ini, cara bagaimana dia dapat mengirim angkatan perangnya tiba kemari? Jikalau jumlah angkatan perangnya terlalu besar, pasti dia tidak dapat mengangkut cukup rangsumnya. Dan kalau jumlah lenteranya kurang dari tiga puluh ribu jiwa maka kita tidak usahlah takut Kita nanti melayani musuh dengan sabar, kita main melindungi kota kita saja, di dalam tempo dua puluh hari, nanti rangsumnya habis, lantas dia bakal mundur sendirinya!"
Chu Wen Tai mengetahui baik kegagahannya angkatan perang kerajaan Tong itu maka ia lantas menetapkan siasat tidak berperang itu, siasat menjaga diri saja.
Ia mengumpulkan banyak kuli, di sebuah tempat yang tersembunyi dia membangun sebuah istana rahasia.
Inilah untuk persediaan guna mengundurkan diri andaikata ia tidak sanggup melawan musuh/ Negeri Kao Chang sedang makmur, di wilayah barat itu banyak tukang yang pandai, maka itu ia dapat membuat istana yang luar biasa itu di mana pun ia menyembunyikan hartanya yang berupa pelbagai batu permata.
Ia telah memikir, umpama kata musuh dapat menyerbu ke istana rahasia itu, ia dan hartanya itu tidak bakal dapat diketernukan.
Hauw Kun Cip adalah seorang panglima yang pernah turut Lie Ceng belajar ilmu perang, dia pandai memimpin angkatan perangnya, di sepanjang jalan ia dapat maju-dengari cepat, setiap pasukan musuh yang menghadang dapat dilabrak, dari itu ia berhasil melintasi gurun pasir besar.
Maka kagetlah raja Kao Chang itu ketika ia.
dilaporkan tibanya musuh demikian pesat, dia kaget dan ketakutan hingga dia mati.
Dia lantas digantikan oleh pulennya, Chu Oun Sheng.
Dia ini membuat perlawanan, tapi setiap Hauw Kun Cip datang menyerang di luar kota, pasukannya kena dikalahkan.
Didalam peperangan ini, Hauw Kun Cip menggunai alat yang dinamakan "Kereta Sarang", yang tingginya sampai sepuluh tombak, hingga mirip dengan sarang burung, hingga alat itu mendapat namanya itu.
Kereta itu ditolak sampai di tembok kota, hingga keadaannya lebih tinggi dari tembok kota itu, lalu dari atas, tentera Tong menyerang dengan hujan panah dan batu.
Tentara Kao Chang kewalahan, akhirnya Chu Chih Sheng menyerah.
Negara Kao Chang itu dibangun oleh Chu Chia Li, turun temurun sampai sembilan turunan, lamanya seratus tiga puluh empat tahun, sampai pada tahun Cengkoan ke 14 dari Kerajaan Tong itu, bara dia musnah.
Dialah sebuah negara besar di wilayah barat, sebab luasnya daerah ialah delapan ratus lie di timur dan barat dan lima ratus lie di selatan dan utara.
Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hauw Kun Cip pulang perang dengan mengangkut Raja Kao Chang beserta seratus pembesamya sipil dan militer dan lainnya, dibawa pulang ke kota raja Tiang-an.
Raja Kao Chang menjadi orang tawanan, tetapi istana rahasia buatan ayahnya itu tidak tercocorkan.
Selama seribu tahun lebih, di gurun pun terjadi perubahan, di sana tumbuh pepohonan, maka juga istana itu menjadi bagaikan terlebih terahasia pula, tanpa peta, tidak nanti orang dapat menemuinya.
Suruke berjalan terus, memasuki sebuah kamar, melewatinya, lalu memasuki kamar yang lain dan melewatinya pula.
Kebanyakan kamar itu sudah rusak, ada temboknya yang gempur.
Di sana-sini pun kedapatan tumpukan-tumpukan pasir kuning, hingga ada pintu kamar yang telah teruruk tertutup.
Jalanan berliku-liku, ditambah sama segala yang uruk itu, dilaluinya jadi semakin sukar, kepala pun menjadi pusing.
Di samping itu orang kadang-kadang melihat tulang
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
belulang manusia, yang putihmeletak, pula uang emas dan perak dan barang permata, yang membuatnya mata silau.
"Entah ke mana kaburnya Tan Tat Hian si jahanam,"
Pikir Bun Siu.
"Dia tidak kedapatan di sini. Mungkin, walaupun dia berada di sini, sukar untuk mencarinya. Harap saja istana ini tidak ada pintu belakangnya-, agar dia dapat dipegat di pintu depan di saat dia hendak mengangkat kaki dengan mengangkut harta karun ini..."
"Mana ayahku?"
Mendadak Nona Lie mendengar suaranya Aman selagi ia seperti ngelamun itu. Ia lantas menoleh, la menampak Aman dan Supu memasuki sebuah kamar kiri, Suruke dan Cherku tidak kelihatan, la lantas mendekati kedua muda-mudi itu.
"Nona Kang,"
Tanya Supu pada Bun Siu----yang sekian lama oleh. empee Kee disebut "Nona Kang"----"apakah kau melihat ayah kami?"
"Tidak,"
Menyahut Bun Siu.
"Baru saja kita ada bersama, kenapa mereka lantas tak nampak? Mari kita cari! Awas, istana ini istana rahasia, jangan kita nyasar."
Supu dan Aman menurut, maka bertiga mereka lantas mencari.
Supu saban-saban berteriak memanggil ayahnya serta Cherku, akan tetapi ia tidak memperoleh jawaban, hanya kupingnya mendengar kumandang yang mendengung di ruang itu.
Bernapsu mereka bertiga mencari sampai Aman lupa membuat tanda di tempat-tempat yang mereka lewatkan, hingga untuk sementara, sukar dibedakan mereka telah kembali ke tempat yang telah dilewatkan itu atau belum.
Juga mereka tidak dapat melihat rata ke depan, karena kedudukan istana rahasia itu ada di lamping gunung, jadi ada kalanya kedudukannya tinggi, ada kalanya pun sangat rendah hingga orang mesti berdiri di tempat yang tinggi untuk dapat memandang ke bawah itu.
Oleh karena wuwungan adalah bagian atas dari gunung, orang tidak dapat melihat dari atas.
Orang tidak bisa naik ke atas wuwungan, yang sebenarnya tidak ada, sebab yang dinamai wuwungan mirip lelangit lauwteng.
Aman menjadi sangat berkuatir-..
dan berduka hingga air matanya berlinang-linang.
Sia-sia Supu membujuki dan menghibur.
Saking ruwetnya pikirannya itu, nona itu sampai tidak memanggil-manggil pula ayahnya.
Mereka lagi berjalan terus ketika dengan mendadak mereka mendengar suara keras di tembok sebelah kamar.
"Eh, Cherku, kenapa kau membacok aku?"
Ketiga muda-mudi itu mclcngak. Itulah suaranya Suruke. Segera terdengar suaranya Cherku.
"Kau--- kau bikin apa ini?"
Setelah itu kuping mereka mendengar suara beradunya senjata tajam, disusul pula oleh bentakan-bentakan kemarahan Suruke dan Cherku saling ganti. Mereka ini bertiga girang berbareng kaget dan kuatir.
"Ayah!"
Aman berteriak.
"Jangan berkelahi Jangan berkelahi!"
Di kanan mereka tidak ada pintu, maka Supu lari ke kiri.
Ia bermaksud menghampirkan ayahnya dan Cherku, sang paman itu, untuk melihat, guna memisahkan mereka.
Sebab aneh mereka itu bertempur satu dengan lain.
Hanyalah, pintu yang ada teras menerus di sebelah kiri, dengan begitu, ia bukan tiba ke kamar sebelah itu, ia justeni pergi semakin jauh...
Bun Siu dan Aman mengikuti, mereka pun tidak berdaya.
Maka kemudian mereka lari balik.
Justeni itu mereka dengar, dari kamar di sebelah itu, jeritan yang menyayatkan hati dari Suruke, lantas sunyilah segala apa.
Mereka kaget bukan mam.
Supu menjadi seperti kalap, dia lompat menubruk dengan pundaknya.
Tapi ia gagal.
Pintu itu kuat sekali dan tak bergeming.
Aman yang terliti memasang mata.
Ia melihat sebuah batu di pojokan, yang agaknya terlepas, maka ia menghampirkan itu, ia mencekalnya, lantas ia menarik.
Ia gagal.
Ia lantas dibantu Bun Siu dan Supu.
Kali ini mereka berhasil, dengan begitu, dari bekas lolosnya batu itu, mereka bisa mengintai ke kamar sebelah sana.
Supu bekerja terus membongkarnya, hingga ia dapat memasuki tubuhnya, molos dari liang itu.
"Ayah! Ayah!"
Ia memanggil berulang-ulang.
Segera juga pemuda ini nampak apa yang hebat.
Di kamar sebelah itu terlihat tubuh seorang rebah di lantai, di dadanya menancap sebatang golok panjang.
Ia mengenalinya, ia lompat menubruk, untuk mengangkat.
Atau ia mendapatkan ayahnya itu telah putus jiwanya! "Ayah! Ayah!"
Ia berteriak-teriak, sambil menangis. Bun Siu dan Aman menyusul masuk, mereka berdiri diam di samping Supu. Mereka bingung dan berduka. Supu mencabut galat di tubuh ayahnya itu. Itulah goloknya Cherku.
"Supu..."
Aman memanggil seraya ia menarik tangannya si pemuda. Ia niat menghibur, hanya tak tahu ia harus mengatakan apa. Supu tengah sangat berduka dan gusar, tangannya melayang ke arah si nona sambil mulutnya menanya bengis.
"Mana ayahmu? Mana ayahmu?"
Ketika itu di mulut pintu nongol kepala dari satu orang, yang tubuhnya terlihat hanya bagaikan bayangan.
Cuma sejenak, kepala itu lantas ditarik pulang, terus dia lari pergi.
Walaupun sejenak, itu sudah cukup untuk Supu guna mengenali orang adalah Cherku yang mukanya berlumuran darah, Supu berteriak, tubuhnya bergerak, niatnya memburu.
"Supu!"
Memanggil Aman, tangannya menarik.
"Lepas!"
Bentak si anak muda.
"Supu"
Kata si nona.
"aku mau bicara; sepatah kata saja."
"Baik! Bilanglah!"
Kata Supu, mendongkol.
"Ingatkah kau aturan kaum kita tentang perkelahian perseorangan?"
Tanya Aman. Supu mengertak gigi.
"Ingat!**sahumya kaku. Dengan lantas pula wajahnya tampak kesangsian Bangsa Kazakh bangsa gagah, di antara mereka, asal benterok, perselisihan biasa diakhiri dengan menghunus senjata. Demikian di antara kaumnya Supu, yang termasuk golongan Tiehyen. Dulunya kaum ini gemar sekali berkelahi, lama-lama, jumlah pria mereka jadi tinggal sedikit, sebaliknya, wanitanya tambah banyak, berlebihan. Maka itu, melibat ancaman bahaya itu bahwa golongannya akan kekurangan pria, selang seratus tahun yang lalu satu ketuanya mengadakan aturan untuk mencegahnya. Ialah.
"Siapa membunuh orang, hukuman atasnya hukuman mati."
Biarnya orang piebu, yaitu bertempur satu sama satu dengan cara terang, ancamannya tetap hukuman mati.
Karena adanya hukuman ini, pertempuran menjadi dapat dicegah, .pertambahan anggauta pria lantas bertambah.
Aturan ini, aturan lisan, dituturkan oleh setiap orang tua kepada anakanak muda, agar semua orang mengetahuinya.
Maka itu, aturan itu ditaati turun-temurun.
Aman menangis, ia kata.
"Ayahku telah kesalahan membunuh ayahmu, dia bakal diadili oleh, tertua-tertua kita yang akan menghukumnya, maka itu kau.. jangan kau membunuh ayahku."
Nona ini bingung bukan main.
Ia menginsafi kesalahan ayahnya, kalau ayah itu sampai dihukum, bercelakalah ia.
Sedangnya ia bingung ini, sekarang ia melihat sikapnya Supu.
Ia bisa mengerti yang pemuda ini hendak menuntut balas.
Biar bagaimana, tidak ingin ia si pemuda melakukan pelanggaran pula seperti ayahnya itu.
Supu memandang mayat ayahnya.
Ia pun menginsafi aturan, yang keras itu.
"Baik,"
Katanya.
"aku tidak akan bunuh ayahmu. Aku cuma hendak menangkapnya!"
Lantas anak muda ini lari, mulutnya berkaokan.
"Cherku! Kau hendak kabur ke mana?"
Tidak lagi ia memanggil paman. Tiba-tiba datang jawabannya Cherku.
"Aku di sini! Kenapa aku mesti kabur?"
Cherku berada tidak jauh dari situ.
Dia benar berlepotan darah pada mukanya.
Dengan golok di tangannya dia berdiri tegar, romannya bengis.
Supu menghampirkan.
Ia membawa goloknya tetapi senjata itp ia tidak lantas menggunakannya.
Cuma obor di tangan kirinya, yang ia tancapkan di pasir.
Ia kata dengan keren.
"Letaki senjatamu! Aku tidak akan bunuh kau!"
"Kenapa aku mesti meletaki senjataku?"
Cherku membaliki.
"Hm! Apakah kau mengira kau dapat membunuh aku?"
Bun Siu dan Aman menyusul. Mereka mendapatkan dua orang itu berdiri berhadapan dengan masing-masing senjatanya di tangan, roman mereka bengis, sikap mereka tegang.
"Ayah, sukalah kau lepaskan golokmu,"
Berkata Aman kepada orang tuanya itu.
"Supu telah berjanji tidak akan membunuh kau..."
"Kau suruh dia meletaki senjatanya!"
Kata Cherku dengan jumawa.
"Aku juga berjanji tidak akan membunuh dia!"
"Benarkah kau tidak hendak melepaskan senjatamu?"
Tanya Supu bengis, hatinya panas.
"Mungkinkah kau benar hendak membunuh aku?"
Cherku tertawa berkakak "Kau, bocah, kau memikir untuk membunuh aku?"
Dia kata, mengejek.
Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jikalau kau mempunyai kepandaian, nah, kau cobalah!"
"Kenapa kau membunuh ayahku?"
Tanya Supu sengit. Ia berteriak.
"Aku... aku hendak menuntut balas untuk ayahku itu!"
Belum lagi Cherku menyahuti ketika mendadak ada angin bertiup keras, hingga obor padam seketika.
Hingga ruang menjadi gelap petang.
Tibanya sang gelap gulita itu dibarengi sama bentakan dari kemurkaan dari Supu, disusul sama benteroknya senjata, disusul pula dengan robohnya tubuh Cherku...
"Jangan berkelahi! Jangan berkelahi!"
Aman berteriakteriak, kuatimya bukan main.
Bun Siu sendiri lantas berdaya menyulut api.
Setelah obor menyala pula, terlihat Cherku rebah dengan tubuhnya tertancap golok.
Dia mati sama seperti matinya Suruke.
Di situ Supu berdiri diam dengan tangan kosong, dia menjublak saja.
Aman lantas menubruk mayat ayahnya, ia pingsan.
Bun Siu maju, guna menolongi nona itu.
Sebentar kemudian, Aman tersadar.
"Bagaimana, Aman?"
Tanya Supu, menghibur. Aman gusar. Ia menjawab sengit.
"Kau telah membunuh ayahku! Semenjak hari ini, jangan kau bicara pula denganku!"
Ia mencabut tusuk kondenya, terus ia mematahkannya, terus ia melemparkannya ke tanah.
"Aku tidak membunuh ayahmu!"
Berkata Supu, menyangkal.
"Kau masih menyangkal?"
Kata Aman, sengit sekali. Dia menuding kepada golok di dada ayahnya Dia kata pula.
"Apakah itu bukan golokmu? Jikalau bukannya kau yang membunuh ayahku, habis apakah aku? Ataukah kakak Kang?"
Supu terdesak hingga ia tidak dapat bicara, kepalanya tunduk.
*** ( )*** Didalam suku Kazakh bagian Tiehyen itu ada tiga orang tertuanya.
Mereka telah mengadakan sidang di mana mereka mendengari tuduhannya Aman serta penyangkalan atau keterangannya Supu, setelah itu mereka berunding sekian lama.
Keputusan mereka dinantikan oleh orang-orang bangsanya.
Selang sekian lama, ketua yang usianya paling lanjut, yang kumisnya telah ubanan, berbangkit dari kursinya, lalu dengan suara nyaring dan tenang ia mengasih dengar perkataannya.
"Adalah aturan dari kaum kita semenjak seratus tahun yang lampau yang melarang pembunuhan di antara kita sendiri, bahwa siapa membunuh, hukumannya ialah hukuman mati. Supu telah membunuh Cherku, maka itu dia harus dihukum mati!"
Semua orang berdiam sambil berduduk. Supu sendiri seperti mendumal ketika ia berkata.
"Aku tidak membunuh Cherku... Aku tidak membunuh Cherku..."
Di dalam kesunyian itu, sekonyong-konyong seorang bangun berdiri. Dialah Sangszer, yang terus berkata dengan nyaring.
"Cherku ialah guruku, dia dibunuh Supu, perbuatan Supu tidak selayaknya. Tapi di samping itu, terlebih dulu guruku telah membunuh ayahnya Supu, bisa dimengerti yang Supu menjadi berduka dan bergusar hingga dia telah membuatnya pembalasan. Maka itu, kesalahan Supu tidak dapat dipandang dan disamakan dangan pembunuhan yang biasa."
Sangszer ini adalah musuhnya Supu, setiap orang mengetahuinya, sekarang dia menunjuki sikapnya ini, sikap dari satu laki-laki, dia membuatnya orang kagum hingga semua mata diarahkan kepadanya.
Supu pun mengawasi dengan sinar mata yang bersyukur.
Tatkala Supu berpaling kepada Aman, si nona menoleh ke lain arah, untuk mencegah bentroknya sinar mata mereka.
Si tertua yang kumisnya ubanan itu mengangguk.
"Kami bertiga pun sama pendapat,"
Ia berkata, tenang.
"Supu pun membilang bahwa dia telah menolongi suku kita mendapatkan suatu tempat penyimpanan harta besar dengan apa suku kita bisa menjadi makmur dan berbahagia, hingga jasanya itu bukannya kecil, hingga dapat dia menebus dosanya dengan jasanya itu. Supu dapat bebas dari hukuman mati tidak dari hukuman hidup, maka itu putusan sidang ialah.
"Mulai hari ini dia diusir untuk selamanya dari kaum Tiehyen kami, dia dilarang pulang, jikalau kedapatan dia pulang secara diam-diam, dia akan dihukum mati tanpa ampun pula!"
Supu tunduk, dengan perlahan ia kata.
"Aku tidak membunuh Cherku! Tapi, siapa pun tidak percaya aku, bahkan Aman tidak mempercayainya...
"
VIII Supu pergi seorang diri dengan pikirannya tidak keruan rasa.
Ia menggendol sebuah bungkusan serta sebuah kantung air.
Ia berjalan di antara jalanan yang bersalju.
Ia telah diusir dari kaumnya, dari tanah tempat kelahirannya.
Ia diusir untuk selama-lamanya hingga tidak dapat ia kembali ke kampung halamannya itu.
Ayahnya, yang ia cintai, telah mati, dan kekasihnya, Aman, telah menjadi musuhnya.
Di dalam dunia yang luas ini, ia sekarang menjadi sebatang kara.
Ada satu pertanyaan yang tidak mau pergi dari dalam hatinya.
Itulah hal yang sangat membikin ia heran, yang tak ia mengerti.
Inilah dia.
"Terang sekali aku tidak membunuh Cherku! Kenapa golokku dapat nancap di dadanya? Ketika di saat itu api padam dengan tiba-tiba, aku cuma merasa ada orang menyamber dan merampas golok dari tanganku. Adakah perampas itu Cherku, yang karena telah membunuh ayahku, lalu menjadi malu sendirinya dan merampas golokku untuk membunuh diri? inilah tidak mungkin terjadi! Cherku bukan semacam laki-laki! Dia pun mempunyai goloknya sendiri, perlu apa dia merampas golokku? Mungkinkah, dalam saat murka itu, aku sampai lupa akan diriku, aku membunuh Cherku di luar tahuku? Ya, inilah mungkin, inilah mungkin..."
Ia berjalan terus, pikirannya itu pun bekerja teras. Ia menimbang-nimbang, ia menanya dirinya sendiri, tetapi tidak dapat ia memberikan jawabannya. Pikirnya pula.
"Tidak, itulah tidak mungkin. Ketika itu, pikiranku sehat sekali, pikiranku tidak kacau! Luar biasa aku membunuh orang tetapi aku tidak tahu! Cherku musuhku, sebab dia membunuh ayahku, dengan membunuh dia, aku tidak menyesal, hanya aneh adalah duduknya peristiwa! Aku tidak membunuh dia! Habis, siapakah? Mungkinkah benar, di dalam istana rahasia itu ada memedinya?"
Lama Supu berjalan, lama ia berpikir, akhirnya, ia mengarahkan kudanya ke istana rahasia.
Ia merasa kesepian.
Ketika beberapa hari yang lalu ia pergi mencari istana itu, ia ada bersama ayahnya serta Aman, juga beserta si nona Kang yang pendiam, yang sinar matanya bagus dan tajam "Sekarang setelah ayahku mati, aku hidup bersendirian.
Dengan Aman aku tidak bakai bertemu pula untuk selama
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
lamanya.
Umpama kata kita dapat bertemu, dia sangat membenci aku.
Bagaimana dengan si nona Kang? Dia pun setahu telah pergi ke mana...
Semenjak berlalu dari istana rahasia, terus aku tidak melihatnya...** Demikian pemuda-ini ngelamun dalam pikirannya.
Ia berduka, ia mendongkol, ia pun bercuriga, ragu-ragu.
Ia berada dalam kesunyian tetapi ia tidak takut.
Maka ia telah mengambil keputusan guna mencari sesuatu di dalam istana rahasia.
Ia menganggap lebih baik lagi kalau ia dibinasakan memedi gurun! Bukankah di dalam dunia ini sudah tidak ada apa-apa lagi yang berarti? Sementara itu di dalam salah saru kamar di Istana Rahasia Kobu, Hok Goan Liong dan Tan Tat Hian lagi duduk berhadapan, bergantian atau berbareng mereka tertawa terbahak-bahak, saking girangnya, saking puasnya, hati mereka.
Bersama mereka pula turut bergembira tiga puluh lebih pengikut-pengikut mereka.
Sebab kantong dari setiap dari mereka telah penuh isinya yang berupa barang-barang permata yang banyak sekali, bahkan umpama kata setiapnya membawa sepuluh buah kantong, tempat itu masih kekurangan guna dapat mengangkut semua harta karun dari kamar rahasia itu-tak satu perseratus atau satu perseribunya...
"Shatee,"
Berkata Goan Liong.
"kita telah berlalu dari rumah belasan tahun lamanya, sekarang ini barulah maksud hati kita tercapai. Semua ini ialah karena jasa kau yang bukan kecil itu. Duluhari kita bersusah hari karena kita tidak bisa mencari harta karun ini. sekarang ini kita bersusah hati disebabkan kita tidak sanggup mengangkut aemua harta ini karena jumlahnya harta sangat banyak! Bagaimana harta ini dapat diangkut semua?"
Tat Hian tertawa tetapi ia berkata.
"Apa yang aku buat susah hati sekarang adalah satu urusan lain..." - "Apakah itu, shatee?"
Goan Liong tanya.
"Adakah dia si tua bangka bongkok seperti unta itu? Kalau dia, meskipun dia terlebih lihai lagi, dengan dua tangannya dia tidak dapat melawan empat buah kepalan. Mungkinkah dia berani menepuk laler di kepalanya harimau?"
Ia menoleh kepada sebawahannya, yang menjadi tauwbak atau kepala rombongan seraya berkata.
"Eh, Lao Sin, pagi kau mengajak sepuluh saudara, kau tengok segala bagian dari istana ini, periksa biar tertib!"
Tauwbak she Sin itu mengangguk, dengan lantas ia berlalu bersama sepuluh kawannya. Di antara mereka itu ada yang tidak sabaran, sembari jalan dia mengoceh.
"Memeriksa saja tak hentinya! Di sini di mana ada si bungkuk unta?"
Supu di lain bagian telah menyembunyikan diri, ia mepet di tembok di belakang pintu, membiarkan rombongan si Sin itu lewat.
Ia tiba di dalam istana rahasia itu di saat yang tepat Beruntung untuknya, si Sin tidak bercuriga bahwa di belakang pintu ada yang bersembunyi, mereka itu lewat terus sambil membawa obor sebagai alat penerangan.
Supu lantas mendengar pula suaranya Tat Hian.
"Si tua bangka bungkuk tetaplah seorang tua bangka, orang yang aku kualirkan ialah si orang Kazakh.-"
Supu jadi sangat ketarik, hingga ia memasang kuping dengan perhatian sepenuhnya.
"Mereka itu terdiri dari lima orang, mereka telah mengikuti jejak tapak kakiku,"
Si orang she Tan melanjuti.
"Entah kenapa, dua di antaranya, dua orang,.pria yang telah berusia lanjut, telah kedapatan mati di dalam istana ini..."
Sebenarnya Supu mau menduga Cherku dibinasakan Tat Hian, tetapi mendengar perkataan ini, penyamun itu tidak dapat diterka. Maka itu, siapakah pembunuhnya Cherku? Hok Goan Liong tertawa.
"Mereka itu telah melihat harta karun ini, tidaklah aneh jikalau mereka jadi mata gelap dan saling bunuh,"
Katanya.
"Itu pun masuk akal."
"Yang aku paling kuatirkan,"
Kata pula Tat Hian.
"ialah itu tiga muda-mudi anjing Kazakh... Kalau mereka pulang kepada bangsanya, bisa jadi mereka bakal datang pula dalam satu pasukan besar untuk mengangkut semua harta karun ini..."
Mendadak Goan Liong berjingkrak bangun.
"Shatee, kau benari"
Serunya.
"Sebetulnya mereka itu bertiga harus bekerja diam-diam mengangkut harta ini, tetapi mereka muda dan tolol, memang mungkin mereka memberitahukannya kepada bangsanya. Taruh kata mereka berdiam-diam saja, di belakang hari, rahasia mereka itu bakal bocor sendirinya. Sekarang, shatee, bagaimana pikiranmu?"
"Telah lama aku pikirkan itu, aku masih belum berhasil memperoleh jalannya yang sempurna,"
Menyahut Tat Hian.
"Mereka berjumlah banyakan, jumlah kita kecil sekali, jikalau kita melawan bertempur, sulit untuk kita memperoleh kemenangan. Aku pikir, paling benar ialah kita yang turun tangan terlebih dahulu..."
"Bagaimana itu?"
"Secara diam-diam kita menyateroni ke tempat mereka. Kita menyerang sambil membakar..."
Perkataannya Tat Hian berhenti secara mendadak.
Kebetulan sekali, mereka mendengar jeritan nyaring, yang nadanya menyayatkan.
Keduanya kaget dan heran, keduanya lantas menyiapkan senjatanya masing-masing.
Segera setelah itu, mereka mendengar tindakan kaki berlari-lari, disusul munculnya seorang sebawahannya, yang terus melaporkan.
"Toa... toapiauwtauw dan sampiauwtauw, Lao Sin jatuh kecemplung!..."
"Jatuh kecemplung?"
Tanya Goan Liong heran. "Benar. Lao Sin kena injak perangkap, dia terjeblos jatuh dalam..."
Tat Hian mengangguk.
"Di dalam istana rahasia ini ada perangkapnya, inilah tidak aneh,"
Katanya.
"Mari kita pergi melihat!"
Goan Liong setuju, maka berdua mereka pergi.
Si pelapor jalan di muka sebagai penunjuk, yang lainnya mengikuti Mereka melintasi delapan kamar, sampai di sebuah yang lain di mana berkumpul semua kawan, yang ribut bicara satu dengan lain, mata mereka melongok ke lantai, roman mereka tegang.
Di lantai ada sebuah liang besar luas setombak, tempo disuluhkan, di dalam liang itu tidak nampak apa-apa saking gelap dan dalam.
Jadi itulah liang seperti tanpa dasar.
Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tadi Lao Sin jalan di muka,"
Seorang memberi keterangan.
"mendadak dia terjeblos dan kecemplung..."
Tat Hian melongok ke liang perangkap.
"Lao Sin! Lao Sin!"
Ia memanggil-manggil. Tidak ada jawaban kecuali jawaban sang kumandang dari dalam liang itu. Tat Hian memandang Goan Liong, Goan Liong mengawasi padanya, hati mereka sama-sama bekerja. Dengan sendirinya mereka merasa jeri.
"Di dalam istana ini disimpan harta besar, pantas kalau perangkap dipasang untuk menjaga gangguan pencuri,"
Kata Tat Hian kemudian.
"Mungkin masih ada perangkap lainnya lagi, maka itu selanjurnya kita harus berhati-hati."
Goan Liong tidak bilang suatu apa hanya ia memandang satu tauwbak she Pit "Lao Pit,"
Katanya.
"coba kau ikat tubuhmu dengan dadung, lalu kau turun, untuk lihat Lao Sin, untuk mencoba menolongi dia."
Tauwbak itu berdiam, wajahnya menunjuk kesangsiannya. Ia rupanya jeri memasuki liang itu, yang tak ketahuan dasarnya.
"Apa? Apakah kau tidak dengar?"
Tanya Goan Liong, wajannya suram.
"Toapiauwtauw,"
Sahut si tauwbak.
"Si Sin terjeblos lama juga, suaranya tidak ada sama sekali, tentu dia sudah mati..."
"Tapi aku menyuruh kau turun untuk melihat, untuk menolongi kalau perlu!"
Kata pemimpin itu, gusar.
"Kalau benar dia sudah mati, mayatnya harus diangkat."
"Apakah artinya kalau dia mati?"
Tauwbak ita tanya sambil tertawa.
"Untuk kita, matinya satu orang berarti kurangnya satu orang, dan itu berarti juga kurangnya bagiannya satu orang atau berarti kita mendapat bagian lebih banyak..."
Hok Goan Liong tertawa, ia mengangguk.
"Kau benar!"
Bilangnya.
"Mati satu orang berarti kurang satu orang!..."
Mendadak tangannya pemimpin ini melayang, dengan satu suara nyaring, tubuh si Pit terpelanting, jatuh ke dalam liang perangkap! Bukan main si Pit merasakan sakit dan kaget, dia menjerit keras, tangannya menjambret, guna menolong dirinya.
Ia tidak herhasil memegang dadung, yang melongsor turun di pinggiran liang itu, dengan tangannya merosot, tubuhnya turun terus.
Karena tertarik, dadung itu membikin tembokan tergerak dan gempur.
Tat Hian kaget sekali, tetapi ia masih ingat untuk membabat ke arah dadung, hingga tembokan tidak tertarik terus, tidak turut gempur semuanya.
Cuma tubuhnya si Pit, yang tak tertahan lagi jatuhnya.
Semua orang kaget hingga mereka melongo.
"Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya!"
Kata beberapa orang.
"Syukur sampiauwtauw sebat, kalau tidak, kita bisa roboh semua dan keunikan pasir!"
Tat Hian tidak membilang apa-apa hanya lantas ia memeriksa liang perangkap itu.
la mendapatkan sebuah gelang, ketika ia menarik itu, papan batu jebakannya bergerak, naik sendirinya, hingga liang jadi tertutup pula seperti biasa, lenyap tanda-tandanya perangkap itu.
"Sungguh pandai orang yang memasang perangkap ini!"
Goan Liong memuji. Dia seperti ingat lagi bahwa baru saja dia menghukum satu tauwbak-nya.
"Kalau begini, pasti sudah si tua bungkuk itu telah mati di dalam istana ini, jadi tidak usah kita mencari dia terlebih jauh!"
Ia lantas mengajak semua orang kembali ke ruang kamar tadi "Toako, di luar dugaan kita menemui istana ini, itu artinya untung kita,"
Kata Tat Hian.
"Sekarang kita pun mendapatkan liang perangkap itu, maka aku pikir, kalau benar orang-orang Kazakh datang kemari, baik kita jebak mereka di liang perangkap itu. Aku percaya, seratus atau dua ratus musuh tidak ada artinya untuk kita..."
Goan Liong bertepuk tangan.
"Bagus!"
Serunya.
"Ya, kita jebak mereka! Datang satu mati satu, datang dua mati sepasang!"
Supu bergidik.
Ia telah mendengar dan melibat semua.
Ia menjadi ingat kepada Aman.
Nona itu tentu bakal mengajak orang-orang bangsanya datang ke istana ini untuk mengambil harta karun.
Kalau mereka datang, mereka pasti akan terancam bahaya besar.
Dapatkah ia berdiam saja? Tidak, ia mesti cegah mereka itu-ia mesti menolongi mereka! Maka tanpa ragu-ragu lagi, diam-diam ia berjalan keluar dari istana itu.
Ia mau melakukan perjalanan pulang, guna memegat rombongannya Aman, untuk memperingati mereka itu dari bahaya yang mengancam mereka.
Tengah ia berjalan itu, mendadak ia mendengar bentakan.
"Siapa kau?"
Bentakan itu disusul sama satu bacokan ke arah kepala.
Dalam kagetnya, Supu lompat berkelit- Ia tidak menjawab hanya lari terus.
Masih ada seorang lain yang merintangi pemuda ini Dia melihat si pemuda, si pemuda sebaliknya tidak.
Dia muncul dengan mendadak, tanpa bersuara, dia menyerang dengan kakinya dia menyapu.
Supu tidak berdaya lagi, ia roboh.
Tapi, ketika dia ditubruk, untuk dibekuk, ia ingat membela diri, maka ia lantas menyambut! dengan tikaman.
Orang itu tidak menyangka, dia tidak bisa menangkis atau berkelit.
Cuma sekali dia menjerit keras, lantas tubuhnya roboh, jiwanya melayang.
Hanyalah Supu, tidak dapat ia meloloskan diri.
Belum lagi ia sempat berlompat bangun, sebatang golok sudah ditempelkan ke batang lehernya.
"Jangan bergerak!"
Demikian ia mendengar ancaman.
Selagi tengkurap, Supu tidak bisa melihat siapa orang itu.
Ia terpaksa berdiam saja sambil mendekam.
Orang itu sebaliknya mengawasi kepada kawannya, waktu dia mendapat kenyataan si kawan telah terbinasa, dia menjadi gusar, dia lantas mengayun goloknya kepada lehernya si pemuda Selagi Supu tidak berdaya dan tangan orang itu terayun, di situ terlihat menyambarnya barang putih berkilauan, barang mana serupa pedang kecil menancap di dada si pengancam itu, hingga dia menjerit dan roboh terjengkang, goloknya terlepas, jatuh di tanah.
Baru sekarang Supu, yang merasa heran, dapat berlompat bangun.
Ia mendapat kenyataan pedang pendek itu nancap di dada dan merampas jiwa kurbannya.
Ia menjadi heran.
Ia menduga-duga, siapa penolongnya itu.
Selagi ia berdiam, seorang nona muncul dari belakang pepohonan, nona itu lantas mengambil pedang pendek itu dari dada si penjahat, terus darahnya disusuri.
Melihat nona itu, Supu terkejut berbareng girang.
"Nona Kang"
Serunya.
"Terima kasih untuk pertolonganmu."
Nona itu Bun Siu adanya.
Dia bersenyum.
Lantas dia menggusur mayatnya kedua penjahat itu, di lelaki saling berhadapan, tangan mereka dibikin masing-masing mencekal pisau belati, pisau mana saling nancap di dada mereka.
Dengan begitu nampak mereka seperti saling menikam.
"Bagusi"
Berseru Supu memuji. Ia dapat membade maksud si nona.
"Kalau kawan mereka ini mendapati mereka, mereka itu bisa menyangka mereka saling bunuh. Nona Kang, setindak saja kau datang lambat, tentulah aku sudah bercelaka..."
Di dalam hatinya, Bun Siu tertawa "Kau mana tahu yang aku senantiasa mengintil di belakangmu? Mana bisa menjadi aku datang terlambat?"
Memang benar Nona Lie senantiasa menguntit Supu semenjak mereka ke luar dari istana rahasia.
Kalau Supu mengikuti Aman, untuk menghadap tertua mereka, ia diamdiam menghilang, untuk di lain saat menjadi seperti bayangan si anak muda.
Begitulah ia mendapat tahu Supu diusir, lalu Supu pergi tanpa tujuan, sampai orang menuju ke istana rahasia itu.
Supu mendengar dan melihat aksinya Tan Tat Hian semua, Bun Siu sebaliknya melihat gerak-geriknya itu.
la lihai ilmunya enteng tubuh, sedang Supu melainkan seorang kuat di antara pemuda-pemuda Kazakh.
"Sekarang mari kita lekas pergi,"
Kata Bun Siu kemudian.
"Kalau musuh keluar semua, tidak dapat kita melawan mereka."
Supu pun insaf akan bahaya, maka ia menurut. Lebih dulu mereka masuk ke pepohonan lebat, dari situ mereka berjalan pulang. Di sepanjang jalan, Supu memberi keterangan dari halnya dia telah diusir dari kaumnya.
"Nona Kang, benar-benar Cherku bukan dibunuh olehku,"
Kemudian ia memberi kepastian.
"kecuali saking gusar dan bersusah hati, aku membunuhnya di luar tahuku..."
Bun Siu kenal pemuda ini semenjak masih kecil, ia percaya kejujurannya, hanya pembunuhan terhadap Cherku memang aneh sekali.
Di dalam istana itu tidak ada lain orang.
Ialah yang mengunci pintu.
Kalau si pembunuh bukan Supu, habis siapa? Tidak mungkin Aman membunuh ayahnya.
"Benarkah Aman membunuh ayahnya sendiri?"
Ia tanya dirinya. Ia menggigil kalau ia membayangi benar-benar Aman berbuat demikian.
"Tapi tidak, itulah tak dapat! Hanya, benar juga di dalam dunia suka terjadi hal yang luar biasa sekali... Sekarang satu dalam dunia, Supu jujur atau Aman si pembunuh..."
Perjalanan mereka berdua di lanjuti.
Sekarang mereka berada di jalan berpasir yang penuh salju.
Mereka berjalan dengan merendengi kuda mereka.
Inilah saat yang Bun Siu mengharap-harapnya.
Ia merasa senang berbareng berduka.
Supu sebaliknya senantiasa mengingat Aman, kalau ia membuka mulut, nama Aman adalah yang dibuat sebutan.
Demikian katanya.
"Kalau Aman membawa orang-orang bangsanya datang mengambil harta, mereka pasti bakal bercelaka di tangan kawanan penyamun yang licin itu, maka itu, nona Kang, mesti aku bicara dengan mereka, untuk memberi keterangan. Aman harus dikisiki."
"Benar. Dia mesti dipesan untuk waspada,"
Bun Siu bilang- Supu mengangguk.
"Nona Kang,"
Katanya pula selang sesaat.
"benar-benar bukan aku yang membunuh Cherku, maka itu tolong kau pikirkan jalan untukku dapat akur pula dengan Aman..."
Ia menjambak rambutnya saking masgul. Ia menambahkan.
"Kalau aku menemukan Aman, mungkin dia membunuh aku, kalau tidak, mungkin aku tidak bakal hidup lebih lama pula..."
"Sabar saja,"
Kata Nona Lie.
Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin kau dapat melupakan dia. Kau tahu, duluhari, semasa aku masih kecil, aku sangat menyukai satu anak laki-laki. Sayang kemudian dia tidak mernperdulikan aku, hingga aku jadi bersusah hari, hingga aku menyesal tidak dapat aku mati saja. Selewatnya beberapa tahun, aku lantas tidak memikir pula untuk mati..."
"Kalau begitu, anak laki-laki itu satu telur busuk!"
Kata Supu.
"Kaulah satu nona yang baik sekali, mengapa dia tidak mempedulikanmu?" . Bun Siu menggeleng kepala.
"Bukan, anak itu bukan telur busuk,"
Katanya.
"Adalah ayahnya yang melarang aku menemuinya."
"Ah, kalau begitu, ayahnya itulah si manusia tolol dungu!"
Kata Supu pula. Ia mengawasi si nona, ia menambahkan.
"Ayahku adalah seorang ayah yang baik, dia senang dengan Aman, dia mengharap-harap aku menikah Aman, maka ah sayang sekali, Cherku telah membunuh ayahku..."
Bun Siu pun mengawasi.
"Kalau semenjak sekarang kau tidak melihat lagi Aman, mungkin kau dapat melupai dia,"
Katanya, suaranya rada bergemetar.
"Dan mungkin kau akan bertemu seorang nona lain yang cantik..."
"Tidak, untuk selamanya tidak dapat aku melupakan Aman!"
Kata Supu, tegas.
"Lain nona cantik tidak ada di mataku!"
Ia berhenti sebentar, lalu ia tertawa. Ia menyesal ketika ia berkata.
"Kaulah penolongku, terhadapmu aku sangat bersyukur. Pula aku sangat menghormati kau!"
Bun Siu berdiam, hatinya bekerja.
Magrib itu mereka singgah, untuk masing-masing menggali salju dan pasir, untuk menempatkan diri melewati sang malam Di antara kedua liang, mereka menyalakan unggun.
Di atas mereka terlihat langit yang biru dengan bintang-bintangnya berkelak-kelik.
Angin mendesir-desir, membuat salju beterbangan.
Kebetulan ada dua lempengan salju yang terbang berbareng, sambil menunjuk itu Bun Siu kata.
"Kau lihat, bukankah itu mirip sepasang kupu-kupu?"
"Ya, mirip sekali,"
Menyahut Supu.
"Sudah lama, lama sekali, ada seorang nona Han yang mendongeng kepadaku tentang seorang pemuda Han nama Nio San Pek serta seorang nona Han nama Ciok Eng Tay, bahwa mereka itu berdua bersahabat kekal satu pada lain, hanya kemudian ternyata, ayahnya Eng Tay melarang anaknya menikah sama San Pek. Atas itu, San Pek menjadi sangat berduka, dia jatuh sakit dan mati karenanya. Pada suatu hari Ciok Eng Tay lewat di tempat pekuburannya Nio San Pek, dia mampir, dia menangis di kuburan itu..."
Mendengar itu, Bun Siu membayangi kejadian pada kirakira sembilan tahun yang lalu.
Itu waktu di sebuah bukit kecil ada berduduk berendeng sepasang muda-mudi cilik, sambil menilik kambing mereka, mereka memasang omong.
Si pemudi bercerita, si pemuda, mendengari.
Bercerita sampai di bagian yang menarik hati, mata si pemudi mengembang air, wajah si pemuda berduka.
Sekarang Bun Siu tahu, si pemuda adalah Supu di depannya ini, Supu sebaliknya menganggap si pemudi telah meninggal dunia...
"Ciok Eng Tay mendekam di kuburan itu, dia menangis sedih sekali,"
Supu melanjuti ceritanya.
"Mendadak kuburan itu melekah, lantas Eng Tay lompat masuk ke dalamnya. Setelah itu, Nio San Pek dan Ciok Eng Tay tercipta menjadi sepasang kupu-kupu, dan untuk selanjutnya mereka tidak pernah berpisah lagi."
"Ceritamu ini menarik hati,"
Kata Bun Siu "Sekarang mana si nona yang bercerita padamu itu? Ke mana dia perginya?"
"Dia telah meninggal dunia. Itu sapu tangan dengan peta istana rahasia adalah sapu tangan yang dipakai membalut lukaku."
"Apakah kau masih ingat dia?"
"Tentu saja. Aku sering memikirkannya!*' "Kenapa kau tidak pergi menjenguk kuburannya?"
"Aku akan pergi melihatnya nanti setelah aku dapat mencari si orang tua bungkuk itu. Aku hendak mengajak dia bersama."
"Umpama kata kuburannya itu melekah, dapatkah kau lompat masuk ke dalamnya?"
Supu tertawa.
"Cerita itu ialah dongeng, itu bukan kejadian yang benar."
"Umpama kata nona itu sangat memikirkan kau dan dia mengharapi siang dan malam untuk kau senantiasa menemui dia, karena mana benar-benar terjadi kuburannya melekah, maukah kau melompatnya untuk dapat menemani dia?"
Supu menghela napas.
"Tidak,"
Sahurnya, jujur.
"Nona itu melainkan sahabat eratku semasa masih kecil, sedang aku sendiri, selama hidupku ini, aku cuma mengharapi Aman yang senantiasa menemani aku."
Bun Siu menanya terlebih jauh.
la telah menemui jawaban yang ia harap-harap.
Kalau ia menanya terus, mungkin ia akan jadi sangat bersusah hati.
Dalam kesunyian itu, tiba-tiba seekor burung malam nilam mengasih dengar suaranyasuara yang menggiurkan tetapi juga menyedihkan.
"Duluhari itu aku suka menangkap burung nilam untuk dibuat main hingga dia mati,"
Berkata Supu.
"akan tetapi setelah aku bertemu sama nona itu, aku dapat menyingkirkan kebiasaanku itu. Si nona sangat menyukai burung nilam, waktu aku menangkapnya seekor, ia mengasihkan aku gelang kumala asal aku melepaskan burung itu. Sejak itu aku talak menangkap lagi burung, hanya aku terus mendengari suaranya setiap malam Kau dengar, tidakkah lagunya sangat menarik hati?"
Bun Siu agak terkejut "Bagaimana dengan gelang kumala itu?"
Ia tanya.
"Apakah itu masih ada padamu?"
"Itulah kejadian sudah lama. Gelang itu telah pecah, sudah hilang."
"Ya, itu kejadian sudah lama, gelang itu telah pecah, sudah hilang..."
Katanya, mengulangi Sang burung bernyanyi terus. Supu tidur bermimpi, memimpikan Aman membujuk! ia agar ia jangan masgul. Ketika ia sadar, ia kata pada kawannya.
"Nona Kang, aku mimpi bertemu Aman..."
Tapi ia tidak memperoleh jawaban. Si "Nona Kang"
Telah tidak ada di dekatnya.
Entah kapan perginya dia.
Entah ke mana perginya...
IX Supu mengawasi ke tempat tidurnya Bun Siu.
Ia merasa si nona aneh kelakuannya.
Ia cuma heran, ia tidak memikirkan lama.
Lantas ia meraup salju, untuk mencuci mukanya, untuk dimakan juga.
Setelah itu ia naik kudanya dan pergi.
Kira-kira tengah hari, pemuda ini mendengar ramainya tindakan kaki kuda.
Ia menuntun kudanya mendekati bukit, untuk melihat Ia mengawasi sampai ia melihat nyata.
Itulah rombongan orang-orang Tiehyen yang menjadi suku bangsanya.
Ia mengenali dari dandanan mereka.
Mereka pada membeka! senjata, jumlahnya lebih daripada tiga ratus jiwa.
Yang jalan di depan ada Aman serta tiga ketua mereka.
Di damping Aman masih ada seorang lain, satu pemuda, ialah Sangszer.
Setiap orang itu membawa kantung.
Terang mereka itu mau pergi ke istana rahasia untuk mengeduk harta karun.
"Syukur,"
Pikir Supu.
"coba aku tidak mendengar pembicaraan kawanan penyamun itu, yang hendak menggurui akal licin, pasti mereka ini akan terjebak semuanya ke dalam liang perangkap..."
Maka ia lantas lompat naik atas kudanya, ia melarikannya untuk memapak! rombongan bangsanya itu. Ia berteriak-teriak.
"Aku Supu! Aku hendak bicara! Ada urusan sangat penting!** Si ketua yang kumisnya ubanan mengenali si anak muda, ia menjadi gusar.
"Supu"
Tegurnya.
"apa maumu datang kemari? Tahukah kau aturan kaum kita terhadap orang yang sudah diusir?"
Bangsa Kazakh ini bangsa penggembala yang tidak ketentuan tempat kediamannya, mereka pergi ke mana mereka suka, meski begitu, ke mana juga mereka pergi, seorang bangsanya yang telah diusir tidak dapat menemui mereka pula, dan orang itu juga tidak dapat bicara sama mereka.
Maka itu, perbuatan Supu ini melanggar aturan mereka itu.
"Aku hendak membicarakan urusan sangat penting,"
Kata Supu, membelai.
"Kau masih tidak mau lekas pergi?"
Si ketua menegur.
"Asal kau berani bicara lagi satu patah, aku akan menitahkan melepaskan anak panah!"
Ia lantas meneruskan kepada Sangszer.
"Siapkan panahmu!"
Sangszer menurut, ia laatas bersiap. Tapi Supu tidak mau pergi, bahkan dia kaburkan kudanya datang mendekati "Aman!"
Katanya pada kekasihnya.
"jangan kau pergi ke istana rahasia! Berbahaya!"
Matanya si nona berlinang.
"Lekas kau pergi!"
Bilangnya.
"Jangan kau bicara sama aku!"
Sementara itu Supu melihat ancaman anak-anak panah. Tapi ia ingat baik-baik ancaman bahaya dari Hok Goan Liong. Maka ia kata.
"Aku mesti bicara denganmu!"
"Panah!".berseru si ketua, murka. Sangszer lantas melepaskan cekatannya kepada tali panahnya, yang telah ditarik sedari tadi. Supu kaget. Tapi anak panah mengenai leher kuda tanpa melukakan. Anak panah itu telah dibuang tajamnya.
"Supu, dengar!"
Kata pemuda itu.
"Mengingat persahabatan kita duluhari, panahku itu tidak ada kepalanya, tetapi jikalau kau tetap tidak mau mendengar titahnya ketua kita, panahku yang kedua tidak mengenal kasihan lagi!"
Dan ia menyiapkan anak panahnya yang kedua itu. Benar, anak. panah ini berkepala tajam, kepala itu bersinar di cahaya matahari.
"Bapak ketua, istana rahasia berbahaya..."
Kata Supu. Dia belum menutup mulurnya, atau si ketua telah memerintahkan.
"Panah!"
Menyusul itu beberapa batang anak panah menyambar ke arah Supu, suaranya mengaung.
Hanya semua itu lewat di samping si anak muda.
Inilah tanda, orang masih mengingat sesama suku.
Si ketua lantas menyiapkan panahnya, ketika ia hendak memanah.
Aman maju dengan kudanya, menghalang di hadapannya.
Nona ini berkata kepada Supu.
"Supu, pergi lekas! Kau telah membunuh ayahku, untuk selamanya tidak dapat aku baik kembali denganmu!..."
Justru itu sebatang anak panah menyamber pundaknya anak muda itu! Supu melihat bahwa ia telah tidak mempunyai harapan pula, dengan terpaksa, ia kaburkan kudanya.
Ia menahan sakit, setelah mencabut anak panah di pundaknya itu, ia membalut lukanya.
Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia masih melihat tiga ratus lebih orangorang bangsanya menuju ke arah istana rahasia.
Ia pun melihat Aman beberapa kali menoleh kepadanya, sinar matanya menunjuk entah dia mencinta atau membenci, berduka atau menyesal...
Sambil menungkuli rasa sakitnya, Supu berpikir.
Dapatkah ia membiarkan orang-orang bangsanya itu menempuh bahaya? Di antara mereka itu banyak kawan-kawan akrabnya.
Tidak I Ia mengambil putusan.
Maka setelah rasa nyerinya berkurang, ia naik atas kudanya, untuk mengaburkannya, guna menyusul rombongan bangsanya itu.
Hari ini Supu mesti mundar-mandir tetapi ia melupakan letihnya.
Sampai sore baru ia dapat singgah, sedikit jauh diluar tendanya rombongan bangsanya itu.
Ia tidak berani menemui Aman atau lainnya orang.
Demikian pula pada besoknya.
Hanya ia melombai mereka, hingga ia sampai terlebih dulu di muka istana rahasia.
Ia bersembunyi di antara pepohonan.
Dari magrib ia menunggu sampai tengah malam, baru ia melihat rombongan bangsanya tiba.
Terus saja, dengan banyak berisik, rombongan itu masuk ke dalam gua.
Ia menguntit mereka Karena ia sudah kenal baik istana itu, ia mengambil lain jalan.
Aman yang memimpin rombongannya Ia mengambil jalan yang ia telah kenal.
Setibanya di dalam, ia berduka, lenyap kegembiraannya selama di tengah jalan.
Di sini ia ingat ayahnya, kebinasaan ayah itu serta ayah Supu, bagaimana karenanya ia menjadi berpisah dari Supu.
"Supu cuma menakut-nakuti kita!"
Berkata si ketua selagi mereka berjalan terus.
"Katanya istana rahasia ini berbahaya, buktinya di sini aman! Makin besar dia jadi makin tidak keruan, sampai dia berani mendustai"
Mereka maju terus.
Sesudah melewati beberapa kamar, lantas mata semua orang menjadi silau.
Di depan mereka berserakan banyak emas, perak dan mutiara.
Semua orang menjadi heran dan kagum.
Mereka girang luar biasa.
Sesudah tercengang sejenak, lantas semua bekerja, mengisikan kantung bekalan mereka dengan semua barang berharga itu.
Tengah mereka itu bekerja, tiba-tiba pintu di samping mereka terpentang, di situ muncul seorang Han dengan tangan memegang golok panjang.
Dia lantas membentak.
"Kawanan budak tidak tahu mampus! Kenapa kamu berani memasuki istana ini dan mencuri hartaku? Lekas antari jiwamu!"
Orang-orang Kazakh itu menjadi kaget "Berandal Han! Berandal Han!"
Mereka berteriak-teriak.
Lalu dua anak muda mendahului maju menyerang.
Berandal itu gagah, setelah beberapa jurus, ia berhasil melukakan pundaknya satu pemuda.
Atas itu, lagi dua pemuda maju, untuk membantui kawannya.
Si berandal mundur, ia dirangsak.
Tiba-tiba ada lagi pintu terbuka, lagi satu orang muncul.
Dia memegang tombak, ujung tombaknya tahu-tahu telah nancap di dadanya seorang muda, hingga dia ini lantas roboh, jiwanya melayang! Semua orang Kazakh terkejut Si ketua menghela napas, ia berkata perlahan.
"Semua mengepung dulu berandal! Harta ini kita urus belakangan!"
Di dalam hatinya, ia pun pikir.
"Kalau begini, Supu tidak mendusta..."
Kedua penjahat Han itu dikejar melintasi beberapa kamar, lantas mereka memisah ke kiri dan kanan.
"Rombongan kesatu dan kedua pergi ke kiri, mengejar berandal itu!"
Si ketua berseru.
"Rombongan ketiga dan keempat turut aku ke kanan!"
Perintah itu diturut.
Rombongan Kazakh itu memang telah dipecah empat, masing-masing ada pemimpinnya sendiri.
Ketua ini dan rombongannya maju cepat.
Di sebuah pintu pinggiran, yang daun pintunya terpentang secara tiba-tiba, mereka dipegat seorang Han, yang menyerang mereka.
Mereka melawan.
Hanya sebentar, berandal itu lari balik.
"Kejar!"
Si ketua menitahkan. Berandal itu bertemu sama kawannya, terus mereka lari berpisahan.
"Rombongan ketiga mengejar ke kiri!"
Si ketua memerintahkan.
"Rombongan keempat turut aku"
Dan ia mengubar ke kanan.
"Bapak ketua!"
Mendadak Aman berkata.
"Jangan-jangan berandal menggunai tipu, mereka menghendaki kita berccraiberai!"
Si ketua mengangguk.
"Jangan takut! Orang kita besar jumlahnya!*' katanya kemudian. Benar saja, di sebelah depan muncul pula lain berandal, dia bergabung sama berandal yang lagi dikejar itu. Hanya sebentar, mereka pun lari berpisahan. Kali ini si ketua tidak memisah rombongannya, ia hanya menitah mengejar terus berandai yang lari ke kiri. Penjahat itu berlari bergantian ke kiri dan kanan, lantas dia menolak pintu, untuk masuk ke dalam sebuah kamar besar. Dia baru masuk atau dari belakang pintu berkelebat sebuah sinar mengkilap, terus dia berteriak dan roboh terluka, sebab kakinya kena terbacok dan goloknya terlepas mental. Segera rombongannya si ketua mengenali, penyerang itu ialah Supu. Ketua itu melengak. Tidak dapat ia mengusir orang yang membantuinya.
"Bapak ketua, inilah tempat perangkap!** Supu berkata.
"Benarkah?"
Tanya ketua itu singkat, ragu-ragu.
Melihat ketuanya menyangsikan ia, Supu mengangkat tubuh si penjahat dan melemparkannya ke tengah ruang.
Tubuh itu terbanting dan menerbitkan suara, lantai lantas menjeblak, memperlihatkan sebuah liang besar.
Ke dalam situ tubuh si penjahat kecemplung seraya penjahatnya berteriak menyayatkan hati, lalu suaranya sirap.
Semua orang Kazakh itu berdiri menjublak.
"Supu, syukur kau menolongi kami!"
Kata si ketua kemudian.
"Istana rahasia ini banyak perangkapnya,"
Berkata Supu.
"Mungkin tiga rombongan yang lainnya telah terjebak kawanan penjahat, yang pada menyembunyikan diri di sini."
Ketua itu sadar, dia kaget "Benar!"
Serunya.
"Mari kita lihat!"
Tanpa banyak bicara, Supu lantas membuka'jalan.
"Aduh!"
Mereka mendengar sesudah melewati beberapa pengkolan.
Mereka kaget, semua lantas memburu.
Lantas terlihat di depan mereka tubuhnya seorang Kazakh yang mandi darah, waktu diperiksa, dia telah putus jiwa.
Hal ini membangkitkan hawa amarah mereka itu.
Tengah mereka itu bergusar, di atasan kepala mereka terdengar suara berkeresek, lalu tertampak turunnya perangkap terali besi "Lekas lari!"
Supu berteriak.
Dialah yang paling dulu melihatnya, dia pun terus lompat ke luar kamar.
Empat pemuda turut berlompat yang lainnya kena terkurung.
Terali itu turun sangat cepat Di dalam kaget dan takutnya, orang-orang Kazakh itu menyerang terali itu.
Sia-sia saja usaha mereka.
Terali besi tidak mempan senjata, bahkan senjata yang menjadi gompal.
Selagi orang tidak berdaya, dari luar pintu muncul lima orang, yang jalan di muka ialah Tan Tat Hian.
Dia ini lantas menghampirkan pesawat rahasia, untuk dikerjakan, maka dari lelangit kamar lantas meluruk turun pasir dalam jumlah besar.
Kembali orang kaget, semua menjerit.
Supu dan empat pemuda, yang berada di luar, maju menerjang Tat Hian serta rombongannya itu.
Mereka lantas bertarung seru.
Selama itu, pasir masih meluruk turun, hingga sebentar saja sudah naik tinggi sebatas dengkul..
Supu bingung bukan main.
Kalau kawanan penjahat ini tidak dapat dipukul mundur, pasir itu bakal meluruk terus dan akan memendam mati semua orang bangsanya itu, sedang di antaranya ada Aman.
Tat Hian dan keempat kawannya itu Iihay, terutama Tat Hian sendiri.
Sebentar saja, dua pemuda telah roboh binasa dan yang ketiga roboh terluka.
Tinggallah Supu serta satu pemuda lainnya.
Di dalam terali, parir sudah lantas sampai di dada, hingga orang sukar menggeraki tubuhnya.
Supu menjadi lebih bingung lagi ketika kawannya yang terakhir pun roboh di tangannya Tat Hian, hingga lantas ia dikepung berlima.
Tat Hian juga lantas dapat memukul terlepas goloknya Supu, hingga di lain saat dia ini mesti berdiri diam saja di bawah ancaman pedangnya penjahat itu.
Mendadak saja di situ muncul seorang lain, yang bersenjatakan bandring.
Belum sempat Tat Hian berdaya, pedangnya sudah terhajar bandring itu dan jatuh ke lantai.
Empat penjahat kaget tapi mereka maju menyerang.
Atas itu Tat Hian bisa menjumput pula pedangnya, guna membantu mengepung.
Supu sadar, ia lantas lari ke pesawat rahasia, maka di lain saat, berhentilah meluruknya pasir.
Semua orang Kazakh itu bernapas lega.
Ketika mereka memandang ke arah penjahat serta orang yang baru datang itu, mereka heran.
Orang itu satu pemuda yang tampan, dengan dandanan Tionghoa mirip si kawanan penjahat.
Entah kenapa, mereka itu telah bertempur satu dengan lain.
Pemuda itu pandai menggunai bandringnya, setelah belasan jurus, dia berhasil merobohkan saling susul pada empat konconya Tat Hian, melihat mana, dia ini lantas kabur mengangkat kaki.
Supu lantas mencari pesawat rahasia lainnya, guna mengangkat naik terali besi itu.
Maka sekarang semua orang baru benar-benar bernapas lega.
Dengan susah payah mereka membebaskan diri dari urukan pasir itu.
Orang hendak membilang terima kasih pada si pemuda penolong, tapi orang sudah tidak ada, entah ke mana perginya.
Semua orang bersyukur berbareng heran.
"Tanpa dia, celakalah kita,"
Kata yang satu.
"Ke mana perginya dia ? Ah, kiranya di antara orang-orang Han ada juga yang baik..."
"Bapak ketua,"
Kata Supu tanpa mempedulikan suara Orang banyak itu.
"istana ini berbahaya, baiklah lekas rhengumpuli semua orang bangsa kita, supaya mereka tidak terjebak penjahat"
Ketua itu setuju.
Kuda Putih Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mari kita bekerja!"
Katanya.
Ia menitahkan semua orang mengambil jalan mundur menuruti jalan dari mana tadi mereka masuk.
Mereka pun bunyikan terompet, tanda memanggil berkumpul tiga rombongan lainnya, untuk berkumpul di luar istana.
Rombongan ini tiba di luar, lantas mereka menantikan.
Mulanya muncul rombongan ketiga, kemudian rombongan kesatu.
Rombongan kedua dinantikan dengan sia-sia.
Kembali terompet ditiup nyaring dan riuh.
Istana tetap sunyi "Jangan-jangan mereka terjebak,"
Kata si ketua kemudian.
"Mari kita masuk bersama untuk melihat mereka."
Usul ini disetujui Lantas mereka berbaris rapi.
Belum lagi mereka bergerak, dari dalam terlihat munculnya orang-orang dari rombongan yang kedua itu.
Mereka ini muncul saling susul, dalam rombongan dari dua tiga orang, dengan roman mereka tidak keruan.
Dua orang pun menggotong satu orang, yang tubuhnya terpanah, yang mandi darah.
Yang muncul paling belakang ialah Sangszer, goloknya di tangan, mukanya berlepotan darah.
"Bagaimana?"
Tanya si ketua, kaget dan berkuatir.
"Hampir kita tidak dapat bertemu lagi,"
Menjawab pemuda itu.
"Kami telah masuk dalam perangkap penjahat. Di dalam sebuah kamar, mendadak kami diserang banyak anak panah, yang datangnya dari empat penjuru. Syukur ada satu anak muda kosen, yang membantu kami Dia telah menggagalkan bekerjanya pesawat rahasia."
Baru mereka bicara sampai di situ, di situ muncul si anak muda yang disebutkan Sangszer ini.
Anak muda itu menggusur satu penjahat, ialah Hok Goan Liong, yang dia lantas lempar roboh ke tanah.
Semua orang Kazakh bergarang "Terima kasih! Terima kasih!"
Mereka mengucap. Si ketua menghampirkan anak muda itu, guna menghaturkan terima kasihnya yang hangat seraya menanyakan she dan nama orang.
"Aku she Lie,"
Menyahut si anak muda.
"Namaku tidak ada, panggil saja aku Lie Pek Ma."
Di antara mereka itu. Aman dan Supu segera mengenali si anak muda.
"Dia toh nona Kang,"
Pikirnya.
"Kenapa sekarang dia menjadi seorang muda bangsa Han? Bagaimana sebenarnya, apa dulu itu dia menyamar jadi wanita atau sekarang dia menyaru menjadi pria? Atau mungkin si nona Kang hanya lain orang dan orang itu melainkan mirip romannya?"
Supu tidak dapat menahan hati.
"Kau... kau toh nona Kang?"
Ia menanya. Lie Bun Siu tertawa lebar.
"Tadinya aku menyamar menjadi nona Kazakh, kamu tidak mengenali aku"
Katanya.
"Aku tahu kamu membenci orang Han, aku tidak berani berdandan seperti orang bangsaku."
Si ketua nampak likat.
"Baru hari ini kami ketahui, orang Han juga ada yang baik hatinya,"
Kata ia, mengaku.
"Tanpa pertolongan kau, tuan Lie, hari ini kami semua pasti bakal mati terpendam di dalam istana rahasia ini."
Bun Siu tidak menyahuti, ia hanya menoleh kepada Supu.
"Sayang ayahmu telah menutup mata,"
Pikirnya.
"maka ia menjadi tidak ketahui, di antara orang Han pun ada yang baik..."
Kemudian ia kata, tawar "Di antara bangsa Han ada orang-orang jahat dan orang baik pula, si jahat biasa mencelakai si baik. Tapi si jahat pun tidak bisa hidup selamat!"
Semua orang Kazakh itu berdiam. Mereka pikir pemuda ini benar.
"Tuan Lie, tolong kau menunjuki kami jalan,"
Berkata si ketua kemudian.
"Kami mau masuk untuk menyerang kawanan penjahat itu!"
"Ya, kita menyerbu, kita membalaskan sakit hatinya saudara-saudara kita yang terbinasa!"
Berseru orang-orang Kazakh itu.
"Istana rahasia ini banyak perangkapnya, tanpa peta, tidak dapat kita lancang memasukinya,"
Berkata Lie Bun Siu.
"Kalau kita memaksa masuk, kita bisa menjadi kurban. Kalau disetujui, aku mempunyai suatu pikiran. Ini hanya meminta tempo."
"Silahkan berikan petunjukmu, tuan Lie!"
Kata si ketua. Bun Siu bersenyum.
"Aku ingin mengajukan satu permintaan, maukah bapak ketua meluluskannya?"
Katanya.
"Tuan adalah penolong kami, titahkan saja, pasti kami akan kerjakan,"
Menyahut ketua itu. Bun Siu lantas menunjuk kepada Supu.
"Kakak Supu ini telah diusir dari kaumnya,"
Ia berkata.
"barusan dia telah bertempur dengan orang jahat, dia menolongi semua saudara dari perangkap musuh, dari itu aku pikir baiklah jasanya ini dipakai menebus dosanya, supaya bapak ketua menarik pulang hukuman kepadanya, agar dia dapat berkumpul pula dengan sesama bangsanya. Inilah permintaan yang kecil sekail Dapatkah bapak ketua menerimanya?"
Ketua itu berdiam untuk berpikir, terus ia berdamai sama dua pembantunya. Tidak lama, ia menghampirkan Bun Siu, untuk memberikan jawabannya. "Mengingat budi tuan serta dia benar telah membelai kami, kami suka meluluskan permintaanmu, tuan,"
first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 10:59:46
oleh Saiful Bahri Situbondo
Senyuman Dewa Pedang -- Khu Lung Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Misteri Kapal Layar Pancawarna -- Gu Long