Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kembar 4


Pendekar Kembar Karya Gan KL Bagian 4



Pendekar Kembar Karya dari Gan K L

   

   "blang", dengan telak dadanya terpukul. Namun Be Tay-sing tetap berdiri tegak di tempatnya tanpa bergeming sedikitnya, bahkan matanya tampak melotot gusar, Keruan Hoa Put-li terkejut, ia heran pukulan sepenuh tenaga mengapa tak dapat merobohkan dia? Be Tay-sing tidak balas menyerang lagi, ia melangkah kembali ke tempat duduknya, setiba di samping Yu Wi, katanya sambil menyengir.

   "Aku kalah, saudaraku...."

   Belum habis ucapnya, darah segar terus tersembur keluar seperti air mancur, Cepat Yu Wi menutuk Hiat-to di bagian dadanya, ia tempelkan tangannya pula dan menyalurkan tenaga murni sendiri sejenak barulah darah mampet, muka Be Tay-sing yang pucat berangsur-angsur juga pulih kembali.

   Suasana menjadi sunyi senyap, Hoa Put-li berdiri melongo di tengah arena dan lupa membual lagi untuk menantang, semua orang seolah-olah sama terkesima oleh kegagahan Be Tay-sing tadi.

   Tidak lama kemudian, wajah Be Tay-sing yang tulus itu tersenyum cerah, ucapnya.

   "Sudah baik, saudaraku, terima kasih..."

   Yu Wi menepuk tangan Tay-sing, katanya.

   "Jangan bicara dulu, Be-heng, lihatlah, akan kulampiaskan dongkolmu."

   Setelah mendudukkan Be Tay-sing di kursinya, lalu Yu Wi maju ke tengah kalangan. Melihat Yu Wi, seketika Hoa Put-li menjadi tegang, tanyanya.

   "Apakah Kan-kongcu juga ikut sayembara dan mencari jodoh?"

   "Bukan!"

   Jawab Yu Wi tegas.

   Semua orang sama melengak, kalau bukan ikut sayembara, lalu untuk apa kedatangannya? Lim-siocia yang duduk di sebelah ayahnya dan sejak tadi hanya menunduk saja, kini tanpa terasa mengangkat kepalanya, ketika melihat Yu Wi, serentak ia berseru.

   "He, Siau Wi!"

   Yu Wi tidak berani berpaling, ia pun tidak berani membayangkan bagaimana air muka si nona saat itu.

   Karena tertarik oleh kejadian di tengah kalangan sehingga tidak ada orang yang menghiraukan seruan Lim-siocia itu, Tapi Lim Sam-han dapat mendengar dengan jelas, dengan suara tertahan ia tanya puterinya itu.

   "Anak Kiok, ada apa?"

   "Dia... dia...."

   Terputus-putus suara Lim-siocia. nama lengkapnya ialah Lim Khing-kiok.

   "Dia bukan bocah she Yu itu, kenapa kau gelisah?"

   Omel Lim Sam-han.

   Meski sangsi, namun pikiran Lim Khing-kiok rada lega, sebab kalau benar Yu Wi yang menyatakan kedatangannya bukan untuk ikut sayembara dan mencari jodoh, hal ini tentu akan membuatnya sangat berduka.

   Dalam pada itu Hoa Put-li melenggong sampai kian lama barulah bersuara pula.

   "Jika kedatanganmu ini bukan untuk ikut sayembara, Cayhe tidak mau bertanding denganmu."

   "Kalau kau tidak mau bertanding, boleh kau hantam dadamu sendiri satu kali seperti kau pukul Be Tay-sing tadi!"

   Kata Yu Wi dengan kereng. Hoa Put-li menjadi gusar, jawabnya.

   "Aku bukan orang gila, mengapa memukul dirinya sendiri?"

   ""Hm, bila tadi kau mampu memukul orang, orang kau pun harus menghantam dirimu sendiri,"

   Jengek Yu Wi.

   "Ayo, kalau tidak, akulah yang akan memukul kau!"

   Saking gusar Hoa Put-li sampai tidak dapat bersuara lagi.

   Akan tetapi ia tidak berani melawan, betapa pun ia gentar terhadap tokoh Thian-ti-hu ini, apalagi dia sudah bertempur melawan sepuluh orang, mana dia sanggup bertempur lebih lama lagi.

   Padahal lagak Hoa Put-li tadi seakan-akan dia saling jempol, sekarang dia ketakutan seperti tikus ketemu kucing, diam-diam sebagian penonton sama merasa senang.

   Lim Khing kiok merasa "Kan-kongcu"

   Ini memang mirip benar dengan Yu Wi, ia jadi teringat kepada kisah cinta masa lalu, kini timbul pula perasaan cintanya yang lembut itu, ia pandang Yu Wi tanpa berkedip.

   Seperti ada kontak perasaan, meski tidak menoleh, secara naluri Yu Wi merasakan si nona sedang memandangnya, Namun ia tidak berani berpaling, kuatir kalau tidak dapat menahan perasaan sendiri, segera ia membentak.

   "Ayo, lekas kau bunuh diri saja!"

   Mendadak sesosok bayangan melayang ke tengah arena sambil berseru.

   "Kan-kongcu janganlah terlalu mendesak orang!"

   Hoa Put-Ii merasa lega atas kedatangan orang itu, katanya.

   "Hati-hali, Suheng!"

   "Mundur kau, tidak nanti Kik Bu-ong takut kepada celurut dari Thian-ti-hu,"

   Seru pendatang itu, perawakannya serupa Hoa Put-li, bahkan mukanya jauh lebih sadis. Mendadak di tengah para tamu seorang berteriak.

   "Aha, latah benar! Masa Kan-kongcu dari Thian-ti-hu dianggap sebagai celurut, apakah orang ini bukan mengigau atau lagi membual?"

   Suara orang ini nyaring kecil, jelas suara orang perempuan yang menirukan suara lelaki, Karena tertarik oleh suara ini, pandangan semua orang sama beralih ke sana, Maka tejlihatlah seorang Kongcu cakap berpakaian perlente duduk di sebelah kanan sana, sebelah tangan memegang cawan arak, tangan yang !ain lagi menyumpit sepotong Pek-cam-keh (daging ayam rebus) dan sedang dijejalkan ke mulutnya yang mungil.

   Tapi baru saja daging ayam itu tersentuh bibir, tidak jadi makan melainkan di taruh kembali ke dalam mangkuk, lalu berkata sambil menghela napas.

   "Orang makan, apanya yang menarik, kenapa semua memandang padaku, sungguh aneh"

   Karena ucapan ini, cepat semua orang-orang berpaling lagi dengan rasa heran, sebab tidak ada yang kenal anak muda itu.

   Tampaknya seorang perempuan menyamar sebagai lelaki, kenapa juga datang ikut sayembara dan mencari jodoh? Saat itu Hoa Put-li sudah mulai melangkah kembali ke tempat duduknya, tapi Yu Wi lantas membentak.

   "Berhenti! Tidak perlu kau kembali ke sana, boleh maju sekalian bersama Suhengmu!"

   "Betul, betul!"

   Seru Kongcu cakap tadi dengan tertawa.

   "Dia memang tidak perlu kembali, suhengnya bernama Bu-ong (tidak pernah pergi), Sute bernama Put-li, kalau digabung menjadi Bu-ong-put-li (tidak pernah tidak beruntung) Maka kalian harus maju bersama, kalau satu persatu tanggung tidak beruntung."

   Kik Bu-ong menjadi gusar, kontan ia mencaci maki.

   "Keparat! Siapa kau? Kalau berani, ayolah maju sekalian!"

   Dengan tertawa Kongcu cakap itu menanggapi pula.

   "Wah. mana boleh jadi! Bilamana aku pun maju, maka namamu bakal berubah menjadi Kik Bu-hwe (Kik tidak pernah kembali)."

   Karena olol-olok orang cukup kocak, timbul juga rasa humor Yu Wi, segera ia menimpali "Betul, setelah ganti nama, gabungan nama mereka menjadi Bu-hwe-put-li, artinya kau menjadi tidak pernah beruntung sama sekali?"

   Kongcu cukup itu berkeplok dan berseru.

   "Haha, menarik, sungguh menarik!"

   Mendengar lawakan mereka itu, Lim Khing kiok yang muram durja itupun menampilkan senyuman geli, Apalagi orang lain, banyak yang bergelak tertawa.

   Tentu saja Kik Bu-ong dan Hoa Put-li dari malu menjadi murka, serentak mereka menerjang Yu Wi bersama.

   Yu Wi tidak berani ayal, sekali berputar, dapatlah hantaman kedua lawan dielakkan, Kedua tangannya juga bekerja cepat, ia mainkan tiga jurus sakti andalan Kan Yok-koan dahulu.

   Ketiga jurus sakti ini bernama Thian-lo-ciang, pukulan jaring langit, kekuatannya sekarang sudah jauh lebih lihay daripada waktu ia gunakan ketiga jurus itu untuk melawan Thian-te-jinsam- mo dahulu.

   Kini kekuatannya sudah tujuh bagian sempurna.

   DahuIu Kan Yok-koan mengguncangkan dunia Kangouw dengan tiga jurus sakti andalannya ini, kini kekuatan Yu Wi sudah mencapai tujuan bagian, tentu saja Kik Bu-ong dan Hoa Put-li bukan tandingannya.

   Begitu jurus serangan Yu Wi mulai dilancarkan seketika Kik Bu-ong berdua kelabakan, waktu jurus kedua To-thian-ki long dimainkan Yu Wi, kedua orang itu sudah terkurung di tengah angin pukulannya dan sukar lolos lagi.

   Begitu dahsyat kekuatan jurus ketiga "Hay-long-pay-kong", siapa pun yang melihatnya sama terkesima, Di tengah bayangan tangan Yu Wi membentak.

   "Kena!"

   Hanya sekejap itu saja tubuh Kik Bu-ong dan Hoa Put-li sudah kena belasan kali pukulan.

   Hiat-to yang melumpuhkan tertutuk, kontan kedua orang itu roboh terkulai, sedikit pun tidak bergerak, seperti orang mati.

   Serentak terdengar suara sorak sorai bergemuruh, semua orang seolah-olah sudah lupa bahwa kedatangan mereka juga akan ikut bertanding, tapi semuanya ikut bergembira bagi kemenangan Yu Wi itu, lebih-lebih si Kongcu cakap tadi, suaranya terdengar paling nyaring dan jelas.

   Dengan muka kelam kedua paman guru Lim Sam-han sama meninggalkan tempat duduknya dan mendekati Kik Bu-ong dan Hoa Put-li, mereka berjongkok di samping kedua orang yang tak bisa berkutik itu, pelahan mereka menepuk Hiat-to yang tertutuk itu.

   Sesudah Hiat-to lumpuh dilancarkan cepat Kik Bu-ong dan Hoa Put-li merangkak bangun "Suhu, ampuni murid yang tak becus ini!"

   Kiranya Kik Bu-ong adalah murid si gendut dan Hoa Put-li murid si kakek bermuka burung dan terus menerus udut itu.

   Kungfu kedua kakek ini sangat tinggi, mereka bernama Thio Put-siau dan Kho Pek-ho, pada waktu Lim Sam-han baru tamat belajar, nama kedua susioknya sudah termashur di dunia Kangouw, orang memberi julukan kepada mereka sebagai Ho-hap-ji-koay atau siluman dua sejoli.

   Sudah lanjut usia barulah Ho-hap-ji-koay mengambil murid, mereka pun malas mengajar, maka sia-sia saja Kik Bu-ong dan Hoa Put-li mempunyai guru yang berilmu silat kelas wahid, tidak ada setengah kepandaian sang guru yang diturunkan kepada mereka, maka tidaklah heran jika mereka dikalahkan Yu Wi dengan mudah.

   Thio Put-siau dan Kho Pek-ho tidak menyalahkan dirinya sendiri yang tidak becus mengajar murid, sebaliknya masing-masing lantas dipersen satu kali gamparan sambil membentak.

   "Lekas enyah!"

   Tentu saja Kik Bu-ong dan Hoa Put-li merasa malu, tapi juga tidak berani pergi, terpaksa mereka sembunyi di balik pintu angin di belakang sempat duduk Lim Sam-han.

   Ngeri juga Yu Wi ketika melihat kedua paman guru Lim Sam-han mendelik padanya, diamdiam ia siap siaga.

   Thio Put-siau yang berpotongan "cukong"

   Dan selalu tertawa ini sekarang benar-benar tidak tertawa lagi sesuai namanya (Put-siau artinya tidak tertawa), dalam hati dia sedang berpikir cara bagaimana akan membalas dendam muridnya agar tidak menurunkan derajat sendiri.

   Kho Pek-ho, kakek yang terus menerus udut itu juga sudah lupa menggigit ujung pipa tembakaunya yang mengkilat itu, begitu gemas dia seakan-akan Yu Wi hendak dihajarnya sepuaspuasnya.

   Tampaknya kedua kakek ini segera akan bertindak terhadap Yu Wi.

   Mendadak Lim Sam-han berkata.

   "Kedua Su siok, hari ini adalah upacara sayembara untuk mencari jodoh, siapa yang menang adalah calon menantu Sutit dan juga terhitung cucu murid Susiok berdua, maka kumohon janganlah kedua Susiok mencelakai dia."

   Memandangi wajah Yu Wi yang tampan, diam-diam Thio Put-siau dan Kho Pek-ho berpikir bilamana mereka mempunyai cucu menantu secakap ini juga pantas berbangga, Segera berubah lagi air muka kedua orang, Thio Put-siau tertawa pula dan Kho Pek-ho juga udut lagi.

   Kini mereka sudah lupa kejadian memalukan dari kedua muridnya tadi, seolah-olah menganggap orang yang mengalahkan anak murid mereka toh nanti juga akan menjadi anggota keluarga sendiri, jadi tidak perlu dipersoalkan lagi.

   Semula Lim Sam-han memang sangsi kalau-kalau Yu Wi yang menyamar sebagai Kan-kongcu, tapi kini setelah menyaksikan Yu Wi memainkan kungfu andalan Kan Yok-koan, ia percaya penuh anak muda itu pasti Kan Ciau-bu adanya dan tidak mungkin Yu Wi.

   Memang sudah lama Lim Sam-han mengincar harta pusaka Thian-ti-hu, terutama kitab pusaka pelajaran kungfunya, Tahun yang lalu Sam-mo diperintahkan menyerbu Thian-ti-hu, tujuannya hanya untuk menguji kesiap siagaan lawan saja.

   Akibatnya Hek-po mengalami kekalahan besar, lalu tidak berani sembarangan bertindak lagi.

   Sekarang Kan-toakongcu datang sendiri untuk ikut sayembara dan mencari jodoh, hal ini cocok dengan maksud tujuan Lim Sam-han, ia pikir suka atau tidak suka, perjodohan antara kedua keluarga ini harus, dijadikan.

   Begitulah diam-diam ia main Suipoa sendiri, ia mengira setelah anak perempuannya menjadi isteri Kan-toakongcu, mustahil Thian-ti-hu kelak takkan jatuh di tangan sendiri.

   Maka dengan tersenyum simpul ia lantas berdiri dan berseru kepada para hadirin.

   "Silahkan, siapa lagi yang akan turun untuk bertanding dengan Kan-kongcu!"

   Meski banyak di antara hadirin itu keturunan keluarga jago silat ternama, tapi kalau dibandingkan Thian-ti-hu jelas selisih sangat jauh.

   Apalagi kelihayan Yu Wi tadi sudah disaksikan mereka, mana ada lagi yang berani turun kalangan.

   Lim Sam-han tertawa senang, berulang ia berseru pula.

   "Bila tidak ada, segera akan ku umumkan Kan-kongcu keluar sebagai juara!"

   Mendadak si Kongcu cakap tadi berkeplok tertawa, katanya.

   "Ayolah, umumkan saja Kankongcu sebagai juara, memang tidak ada orang yang berani menandingi dia lagi...."

   "Baik!"

   Seru Lim Sam-han dengan tertawa.

   "Nah, setelah berlangsung pertandingan antara para peserta, akhirnya Kan-kongcu keluar sebagai juara! Lekas bawa kemari Pi-tok-cu dan emasnya!"

   Dalam sekejap saja lima lelaki kekar berseragam hitam berlari maju dengan membawa barang2 yang disebut itu dan ditaruh di depan Lim Sam-han.

   "Setiap orang tahu betapa kaya rayanya Thian ti-hu, sedikit tanda mata yang tidak berarti ini harap Kan-kongcu sudi menerimanya,"

   Kata Lim Sam-han dengan tertawa.

   "Untuk apa kuterima barang-barang itu?"

   Jawab Yu Wi dengan wajah kelam. Air muka Lim Sam-han rada berubah, ucap-nya.

   "Sudah ku umumkan kepada khalayak ramai, barang siapa yang ikut sayembara ini dan keluar sebagai juara, maka dia akan kujodohkan dengan puteriku dan kuajari semacam ilmu sakti serta mendapat tambahan sedikit hadiah ini, sekarang Kan-kongcu keluar sebagai juara, dengan sendirinya semua ini adalah hak Kan-kongcu untuk menerimanya sebagai mas kawin."

   "Cayhe bukan Kan-kongcu, kedatanganku ini pun bukan untuk ikut sayembara, maka tidak dapat kuterima,"

   Jawab Yu Wi dengan dingin.

   "Kau bukan Kan-kongcu?"

   Lim Sam-han menegas dengan melenggong.

   "Habis siapa kau?"

   Mendadak Yu Wi tertawa ngakak, tertawa pedih, ucapnya.

   "Lim Sam-han, dua tahun tidak bertemu, masa kau sudah pangling padaku?"

   "Hah, kau Yu Wi?"

   Seru Lim Sam-han terkejut.

   "BetuI, ternyata kau masih ingat,"

   Jengek Yu Wi. Air muka Lim Sam-han pucat menghijau, teriaknya.

   "Bagus, bagus! Tak tersangka kau adanya!"

   Tiba-tiba si Kongcu cakap tadi menimbrung.

   
Pendekar Kembar Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"He, kedatanganmu bukan untuk ikut sayembara, habis untuk apa?"

   Yu Wi melirik sekejap ke arah sana dan berteriak.

   "Kedatangan orang she Yu sekarang adalah untuk menuntut balas kematian ayah!"

   "Siau... Siau Wi.... Kau tidak ....tidak mau lagi menikahiku?...."

   Mendadak Lim Khing-kiok berseru dengan suara pilu, suara yang menyerupai ratapan ini menggetar hati Yu Wi, tanpa terasa ia berpaling ke sana.

   Maka terlihatlah wajah yang cantik dan memelas itu dengan air mata yang bercucuran.

   Remuk rendam hati Yu Wi, seperti disayat-sayat perasaannya, hampir saja dia berlari ke arah si nona, namun dendam kesumat yang amat kuat telah mencegahnya.

   Melihat keadaan itu, Lim Sam-han membentak anak perempuannya.

   "Lekas masuk ke belakang, jangan bikin malu orang tua di sini!"

   Liro Khing-kiok adalah puteri tunggal kesayangan Lim Sam-han, sejak kecil ditinggal mati sang ibu.

   Ayah kereng merangkap menjadi ibu yang kasih, selamanya belum pernah membentak anak perempuan kesayangan itu, apalagi di depan umum.

   Tidak kepalang sedih Lim Khing-kiok, dia tidak ada keberanian untuk tinggal lagi di situ, kalau tidak, sungguh ia ingin menjatuhkan diri di dalam pelukan Yu Wi dan menangis sepuasnya, Akan tetapi dapatkah hal ini dilakukannya sekarang? jelas sang kekasih sudah berubah pikiran, sudah ingkar janji...

   Dengan hati yang hancur luluh Lim Khing-kiok berlari pulang ke kamarnya.

   Setelah mendamprat anak perempuannya, hati Lim Sam-han jadi menyesal, dengan suara pedih ia berseru.

   "Orang she Yu, kematian ayahmu menyangkut urusan yang sangat rumit, meski akupun tidak terhindar dari kesalahan, mestinya tidak perlu dibenci dan didendam olehmu hingga sedemikian. Lagi pula, sudah belasan tahun kau tinggal di tempatku ini, apakah kau tidak ingin balas budi?"

   "Lim Sam-han,"

   Seru Yu Wi dengan menahan perasaannya.

   "tidak perlu kau mengoceh, pada waktu ayahku akan meninggal 12 tahun yang lalu, sebelum mengembuskan napas yang terakhir, beliau telah menyebut namamu, Tatkala mana aku masih kecil meski penuh rasa dendam, tapi tidak berdaya sama sekali, Terpaksa kuganti nama dan mondok di rumah musuh. Hm, tentunya kau pun tidak menyangka bahwa putera Ciang-kiam-hui bisa berdiam selama sepuluh tahun di tengah bentengmu ini!"

   Mendadak Kho Pek ho menarik pipa tembakaunya, lalu bertanya dengan heran.

   "Ciang-kiamhui masih mempunyai keturunan?"

   Thio Put-siau juga menarik muka, lenyap tertawa yang selalu menghias wajahnya, katanya.

   "Ternyata benar pameo yang mengatakan babat rumput tidak sampai akarnya, datang angin musim semi segera tumbuh kembali!"

   Dengan mata merah berapi Yu Wi menuding kedua kakek yang berjuluk Ho-hap-ji-koay itu dan bertanya.

   "Jadi kalian pun ambil bagian men... mencelakai ayahku?"

   "Kenapa tidak?"

   Jawab Thio Put siau, tertawanya kembali berkembang.

   "kalau tidak ada Hohap ji-koay, siapa di dunia Kangouw yang mampu menandingi setan tua itu?"

   Dengan menggreget Yu Wi berkata pula.

   "Bagus! Tak tersangka hari ini dapat kutemukan lagi dua pengganas yang ikut membunuh ayahku, Barang siapa, asal mengambil bagian dalam pembunuhan ayahku, aku Yu Wi bersumpah akan membunuhnya satu persatu!"

   Ia menatap Ho-hap ji-koay dengan sorot mata yang penuh dendam dan benci, pelahan tenaga dalamnya terhimpun pada kedua tangannya, ia siap melabrak musuh mati-matian.

   Sebenarnya Lim Sam-han bermaksud membujuk agar anak muda itu melupakan permusuhan dan berdamai saja, kini melihat sikapnya sedemikian dendam dan benci terhadap musuh yang mencelakai ayahnya, tanpa terasa ia pun merasa ngeri Pikirnya.

   "Kalau sekarang tidak tumpas dia, jangan-jangan kelak akan mendatangkan bencana yang tiada habisnya."

   Segera ia mengisiki kedua paman gurunya.

   "Susiok, jangan sekali-kali melepaskan dia, harus bunuh dia agar tidak mendatangkan bahaya di kemudian hari."

   Mendadak si Kongcu cakap tadi menyeletuk.

   "He, Lim-pocu, kan sudah kau akui dia sebagai calon menantumu, bila kau bunuh dia, apakah anak perempuan nanti takkan menjadi janda?"

   Dengan benci Lim Sam-han memandang sekejap Kongcu cakap itu, teriaknya.

   "Upacara sayembara ini belum lagi selesai, nanti setelah orang she Lim menyelesaikan urusan pribadi ini, tentu para hadirin dipersilakan melanjutkan pertandingan. Siapa saja yang keluar sebagai juara, orang she Lim past tidak ingkar janji, akan kujodohkan puteriku di tambah hadiah-hadiah yang telah ku sediakan."

   Di antara hadirin itu memang sudah ada sebagian akan mohon diri, ketika mendadak timbul persoalan baru, mereka lantas duduk menonton di situ.

   Kini setelah mendapat keterangan Lim Sam-han ini, orang-orang yang tadinya sudah putus asa lantas timbul lagi harapan akan mempersunting si cantik, belum lagi hadiah-hadiah yang menarik itu.

   Tapi si Kongcu cakap lantas berkata pula dengan tertawa terkikik-kikik.

   "Hihihi, orang bilang "satu kuda tidak memakai dua pelana, seorang perempuan tidak menikahi dua suami", Tadi Pocu sendiri sudah mengumumkan bahwa orang she Yu itu keluar sebagai juara dan sudah kau terima sebagai calon menantu, kenapa sekarang kau hendak memilih lagi calon lain, apakah Pocu mempunyai dua anak perempuan?"

   Lim Sam-han menjadi murka., bentaknya.

   "Siapa kau? Apa maksud tujuan kedatanganmu?"

   "Aku pun datang untuk mencari jodoh!"

   Seru Kongcu cakap itu dengan tertawa.

   "Cuma sayang, konon Pocu hanya mempunyai seorang puteri kesayangan kalau..."

   "Kalau mempunyai anak lelaki, tentu senang kali kau,"

   Tiba-tiba Thio Put-siau memotong ucapan orang.

   "Cuma sayang Sutitku ini tidak mempunyai anak lelaki, maka percumalah kedatanganmu ini jika kau ingin mencari laki!"

   Seketika wajah Kongcu itu merah jengah, Sejak tadi kebanyakan orang memang sudah dapat melihat dia ini samaran anak perempuan.

   Maka tertawalah semua orang....

   Mendadak terdengar suara bentakan keras, sekuat tenaga Yu Wi menghantam Ho-hap-ji-koay.

   Para hadirin rata-rata gemar ilmu silat, dengan sendirinya perhatian mereka lantas terpusat ke tengah kalangan pertempuran.

   Tentu saja hal ini kebetulan bagi Kongcu cakap itu, tadinya dia sangat malu, sekarang legalah hatinya, ia pun prihatin terhadap keselamatan Yu Wi, segera ia pun mengikuti pertarungan mereka dengan cermat.

   Biasanya Ho-hap-ji-koay memang selalu bertempur bersama menghadapi musuh, kini lawan mereka hanya seorang anak muda, mereka merasa tidak enak untuk mengerubutnya, Maka ketika Kho Pek-ho menutuk telapak tangan Yu Wi yang sedang menghantam itu, cepat Thio Put - siau menyingkir ke samping.

   Melihat tutukan huncwe atau pipa cangklong orang yang lihay itu, cepat Yu Wi menarik kembali pukulannya, Tapi Kho Pek-ho lantas menyerang pula, dia bertekad akan membinasakan anak muda ini, maka berturut-turut ia menutuk lagi tiga kali.

   Cepat Yu Wi memainkan jurus pertama dari ke-30 jurus ajaib ajaran si kakek kelimis Ji Pekliong itu, jurus pertama ini bernama "Biau-jiu- kong-kong"

   Atau tangan ajaib kosong melompong, dengan gerakan seperti sungguh-sungguh dan juga seperti pura-pura, ia menghantam ke depan.

   Dengan jurus ajaib ini dia yakin cukup mampu merampas senjata lawan.

   Tapi Kho Pek-ho ternyata bukan jago sembarangan, pipa cangklongnya segera berputar sehingga sukar diduga ke mana arahnya.

   Cukup dua gebrakan saja Yu Wi menyadari sukar baginya untuk mengalahkan lawan dengan bertangan kosong, segera ia melolos pedang kayu besi pemberian sang guru.

   Kho Pek-ho yakin Yu Wi pasti bukan tandingannya.

   maka ia tidak terlalu mendesak, ia angkat pipa tembakaunya dan udut lagi, lagaknya sangat meremehkan lawan.

   Dengan pedang kayu segera Yu Wi menusuk, serangan ini meliputi perubahan gerakan yang sukar diraba.

   Kho Pek-ho tahu bahaya, belum sempat ia menyemburkan asap tembakau yang diisapnya, lebih dulu ia angkat pipa cangklongnya untuk menangkis.

   Begitu pipa cangklong menempel pedang lawan, seketika ia merasa pedang kayu lawan menimbulkan getaran yang keras, sebagai seorang ahli silat, dia tahu getaran itu bukan gemetar karena kalah kuat, tapi pasti ada sesuatu yang aneh.

   Cepat ia tarik kembali pipa cangklongnya, biar pun cukup cepat dia bertindak, tidak urung pipa cangklongnya terbawa juga oleh pedang kayu Yu Wi sehingga ikut berputar.

   Kho Pek ho membentak keras-keras, terdengar suara menggerit nyaring memecah udara, betapapun pipa cangklongnya dapat dibetot keluar dari daya lengket pedang kayu Yu Wi.

   Tapi lantaran terlalu bernafsu dan terlalu kuat mengeluarkan tenaga, asap tembakau yang belum sempat dikepulkan itu jadi mengganggu jalan pernapasannya, kontan dia terbatuk-batuk sehingga keluar air mata.

   Diam-diam Yu Wi merasa sayang tenaga dalamnya belum sempurna, kalau tidak, cukup tiga kali memutar pipa cangklong lawan, tentu pipa itu akan terlepas dari cekalan dan mengalahkannya.

   Sedikit lengah hampir saja Kho Pek-ho terjungkal mukanya menjadi merah, dari malu menjadi murka, cepat ia keluarkan kungfu andalannya dengan ganas ia serang setiap Hiat-to maut di tubuh Yu Wi.

   Namun dengan mantap Yu Wi memainkan ilmu pedang ajaran Ji Pek-liong, ia patahkan setiap serangan musuh, pertahanannya sangat rapat, terkadang ia pun balas menyerang, Namun Kho Pek-ho sudah mengeluarkan segenap kemahirannya, serangan Yu Wi sama sekali tidak membawa hasil.

   Melihat kelihayan ilmu pedang Yu Wi, rasa jeri Lim Sam-han terhadap anak muda itu bertambah besar, ia pikir kalau anak muda itu diberi kesempatan berlatih lagi tiga atau lima tahun, jangankan dirinya, sekalipun kedua susioknya juga bukan tandingannya.

   Mau-tak-mau ia harus bertindak, segera ia meninggalkan tempat duduknya dan menuju ke tengah kalangan, ia memberi isyarat mata kepada Thio Put-siau.

   Thio Put-siau tahu apa artinya, ia mengangguk, dengan cermat ia mengawasi gerakan Yu Wi.

   Lama-lama Yu Wi mulai terdesak di bawah angin, Dia kalah ulet, belum cukup sempurna latihannya, makin lama titik kelemahannya makin banyak.

   Kho Pek-ho memainkan pipa cangklongnya seperti pentung, yang paling lihay adalah jurus serangannya yang disebut "Ho-tok"

   Atau patukan bangau, Kini mendadak ia memainkan serangan lihay ini, baru saja Yu Wi menyambut tiga kali, segera keadaannya berbahaya, Sembari menyerang berulang-ulang Kho Pek-ho tertawa mengejek.

   Yu Wi menangkis lagi sekuatnya hingga lima jurus, ia benar-benar kewalahan dan tidak sanggup menangkis lagi, ia pikir tiga musuh tangguh yang dihadapinya ini, satu saja tidak mampu melawannya, cara bagaimana pula akan dapat menuntut balas? Tiba-tiba Thio Put-siau berkata.

   "Sute, jurus seranganmu Ho-tok ini boleh dikatakan tiada tandingannya di dunia ini!"

   Tujuan kata-kata Thio Put-siau itu adalah untuk menambah semangat Kho Pek-ho dan melemahkan daya tempur musuh. Tak tahunya, ucapannya itu tidak melemahkan daya pertahanan Yu Wi, sebaliknya malah mengingatkan dia pada jurus "Bu-tek-kiam"

   Atau jurus tiada tandingannya ajaran Ji Pek-liong itu. Mendadak Yu Wi berteriak lantang.

   "lnilah pedang tanpa tandingan nomor satu di dunia!"

   Di tengah suaranya yang keras lantang itu, jurus Bu-tek-kiam bergemuruh memecah udara, deru angin tajam menyambar Kho pek-ho seperti sambaran petir. Seketika jurus "Ho-tok"

   Kho Pek-ho tenggelam di tengah jurus serangan Bu-tek-kiam yang dahsyat itu, seperti bintang suram di siang hari, Terdengarlah suara jeritan ngeri, dalam keadaan sama sekali tidak tahu bagaimana lawan dapat menyerangnya sedahsyat ini, tahu-tahu pundak Kho Pek-ho telah dipukul oleh pedang kayu Yu Wi.

   Betapa kuat sabatan pedang itu, seketika tulang pundak Kho Pek-ho remuk, pipa cangklong jatuh ke tanah.

   Thio Put-siau terkejut, cepat ia melolos sebuah Kim-suipoa (suipoa emas) yang terselip pada ikat pinggangnya, segera ia menyerang Yu Wi, berbareng Kho Pek-ho ditariknya mundur ke belakang.

   Melihat senjata lawan berbentuk Suipoa, Yu Wi tahu senjata ini tentu mempunyai jurus serangan yang aneh, pedangnya tidak boleh sampai terkunci oleh Suipoa lawan.

   Maka cepat ia tarik pedangnya, menyusul dimainkannya ilmu pedang yang lain.

   Ilmu pedang ini dipelajarinya dari kitab catatan Ji Pek liong sendiri yaitu intisari kungfu andalan Kan Yok-koan, dengan sendirinya sangat lihay, Yu Wi yakin dengan ilmu pedang baru ini tentu lawan akan dapat diserang hingga kelabakan.

   Tapi ia tidak berpikir bahwa ilmu pedang ini belum pernah dilatihnya, hanya dibacanya dari kitab saja, jadi cuma teori saja yang dipahaminya, prakteknya sama sekali belum pernah digunakan.

   Teori memang tidak boleh dipersamakan dengan praktek, maka ketika ia menyerang menurut teori, prakteknya ternyata kurang tepat.

   Betapa tajam pandangan Thio Put-siau, setitik kelemahan lawan segera dapat diketahuinya.

   "trang", Suipoa emasnya bergerak, tepat menghantam ujung pedang. Ketika Yu Wi merasa pedangnya seperti terbentur dinding baja yang kuat dan sukar mengeluarkan tenaga lagi, cepat ia bermaksud menarik kembali pedangnya, Tak terduga ujung pedang sudah telanjur dikunci oleh Suipoa lawan dan sukar ditarik kembali. Dalam keadaan demikian banyak peluang pada tubuhnya, selagi ia hendak menyelamatkan diri dengan jurus ajaib, tahu-tahu Lim Sam-han yang licik itu sudah menubruk maju. Tadi sesudah menyaksikan Yu Wi mengalahkan Kho Pek-ho, semua orang sama mempunyai rasa kagum terhadap keperkasaannya, mereka menganggap Yu Wi masih muda belia, tapi sudah begini lihay, Kemudian Thio Put-siau menggantikan Sutenya yang sudah keok, semua orang merasa penasaran, mereka menganggap Thio Put-siau tidak sportif, sudah lebih tua, main giliran menempur seorang anak muda, sungguh memalukan. Kini terlihat Yu Wi terancam bahaya dan Lim Sam-han menyergap dari belakang, semua orang menjadi gusar dan sama membentak serta mencaci maki. Betapapun Yu Wi memang kurang pengalaman tempur, ketika mendengar para penonton sama mencaci-maki, ia belum lagi mengetahui tindakan Lim Sam-han yang keji, ketika diketahuinya orang menyergapnya, tahu-tahu pukulan Lim Sam-han sudah telak mengenai punggungnya. Untung Yu Wi meyakinkan ilmu sakti Thian-ih-sin-kang sehingga urat jantung tidak sampai tergetar putus oleh serangan Lim Sam-han itu dan binasa seketika, walaupun begitu, tidak urung darah segar tersembur juga seperti air mancur dan menyemprot ke arah Thio Put-siau. Kakek gendut ini suka akan kebersihan, cepat ia melompat mundur dan dengan sendirinya Suipoa juga ikut melepaskan pedang kayu Yu Wi yang terkunci tadi. Segera lengan Yu Wi terjulur lemas ke bawah dan tidak mampu mengangkat pedang lagi. Hantamannya yang dahsyat itu ternyata tidak membinasakan Yu Wi, keruan Lim sam-han bertambah ngeri terhadap keperkasaan anak muda itu. Cepat ia susulkan pukulan dahsyat lagi, dengan kejam ia hendak membunuh Yu Wi. Seketika suara protes dan mengejek timbul di sana-sini, mendadak, terdengar si Kongcu cakap juga berseru.

   "Berhenti!"

   Secepat anak panah terlepas dari busurnya, Kongcu cakap itu melayang ke samping Yu Wi, berbareng telapak tangannya terus menghantam dada Lim Sam-han.

   Serangan ini memaksa musuh harus menyelamatkan diri lebih dulu jika tidak mau mati konyol, terpaksa Lim Lam-han melompat mundur, dan karena itulah pukulannya juga tidak mengenai Yu Wi.

   Tanpa pikir lagi si Kongcu cakap terus memondong Yu Wi.

   Dalam keadaan lunglai Yu Wi membiarkan orang memondongnya.

   Pada saat itulah Suipoa emas Thio Put-siau telah mengepruk belakang kepala si Kongcu cakap, Lim Sam-han juga tidak tinggal diam, tidak nanti ia membiarkan orang membawa lari Yu Wi, sekuatnya ia menghantam pula.

   Diserang dari muka dan belakang, apalagi dia memondong Yu Wi, dengan sendirinya si Kongcu tak dapat menangkis, Melihat keadaan gawat itu, semua orang ikut berkeringat dingin baginya.

   Dapatkah Kongcu cakap itu menyelamatkan Yu Wi? Siapa dia sebenarnya? Apakah betul perempuan menyamar lelaki? Ke mana Yu Wi akan dibawa pergi? - Bacalah

   Jilid ke-5 -

   Jilid ke-5 Semua orang menyangka si Kongcu cakap pasti sukar menghindari serangan dari muka dan belakang itu.

   Tak terduga, mendadak tubuhnya berputar dan sekali melejit, tahu-tahu sudah menghilang bayangannya.

   Suipoa Thio Put-siau mengenai tempat kosong, bahkan hampir saja menghantam tangan Lim Sam-han yang juga sedang memukul.

   "Lari ke mana?!"

   Bentak Thio Put-siau dengan air muka pucat.

   "Siapa yang lari?"

   Mendadak terdengar suara si Kongcu cakap mengejek di belakang.

   Kejut sekali Thio Put-siau, cepat ia membalik tubuh, benarlah dilihatnya Kongcu cakap itu berdiri di samping tempat duduk Lim Sam-han dengan memondong Yu Wi dan lagi memandangnya dengan tertawa.

   Berkeringat dingin Thio Put-siau menyaksikan ginkang luar biasa itu dapat menghilang di luar tahunya, keruan tidak kepalang kagetnya, tanyanya dengan saudara keder.

   "Kau ... kau murid siapa?"

   Si Kongcu cakap tidak menggubrisnya, mendadak tangannya terjulur, Pi-tok-cu di atas meja dicomotnya, ucapnya dengan tertawa.

   "lnikan hadiah tanda tunangan, biarlah kuwakilkan Yukongcu menerimanya."

   Dengan muka masam Lim Sam-han berkata.

   "Anak perempuanku tidak nanti dapat diperisteri oleh bocah she Yu ini."

   "Mana bisa tidak boleh?"

   Ujar si Kongcu cakap.

   "Seorang gadis suci tidak nanti menikahi dua suami, janganlah Lim-pocu membikin susah anak gadis sendiri menjadi janda hidup."

   Karena kata-kata orang itu, diam-diam Lim Sam-han menjadi kuatir juga kalau anak perempuannya menjadi nekat dan timbul pikiran untuk membunuh diri, jika terjadi demikian, cara bagaimana dirinya akan bertanggung-jawab terhadap mendiang ibunya? "Sesungguhnya kau murid siapa?"

   Terdengar Thio Put-siau membentak pula. Kongcu cakap itu menggeleng, jawabnya.

   "Ai, kau ini memang suka bertanya, Andaikan kukatakan juga tiada gunanya, memangnya kau berani mencari perkara kepada beliau (perempuan)?"

   "Beliau?"

   Tukas Thio Put-siau.

   Pendekar Kembar Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Siapa beliau? Ap.... apakah..."

   Mendadak si Kongcu cakap melayang keluar ruangan tamu, dengan cepat sebelah tangan Thio Put-siau mencengkeram, tapi sukar memegangnya meski orang melayang lewat di sebelahnya, kecepatannya sungguh sukar dilukiskan.

   Dalam gusarnya Thio Put-siau terus menyambitkan Suipoa emasnya.

   Berat Suipoa itu ada beberapa puluh kati, disambitkan pula dengan kuat, tapi baru saja Suipoa itu menyambar kira-kira sejengkal di belakang Kongcu itu, mendadak dia melejit ke atas, kedua kakinya tepat menginjak di atas Suipoa, berbareng itu kaki terus memancal ke belakang.

   Kontan Suipoa emas itu melayang balik ke belakang dengan terlebih cepat, bahkan menyambar ke batok kepala Thio Put-siau sendiri.

   Thio Put-siau tidak berani menangkap Suipoa itu, cepat ia pegang cangklong Kho Pek-ho dan digunakan mencungkit Suipoa itu, cangklong itu menerobos jeruji Suipoa, seperti poros kitiran, Suipoa itu berputar cukup lama di atas cangklong dan akhirnya berhenti.

   Keringat dingin membasahi dahi Thio Put-siau, dengan muka pucat ia berseru.

   "Apa... apa dia?"

   "Ya, pasti dia,"

   Tukas Kho Pek-ho sambil menahan rasa sakit pundaknya.

   "Kalau bukan dia, tidak nanti keluar murid selihai ini." -00O00- -~oo0oo- Yu Wi berada dalam pondongan si Kongcu cakap, karena lukanya sangat parah, untuk membuka mata saja berat rasanya, meski tidak menyemburkan darah lagi, tapi air darah masih merembes keluar dari ujung mulutnya. Setelah lari keluar Hek-po, Kongcu cakap itu masih terus berlari secepatnya tanpa berhenti. Dalam keadaan sadar-tak-sadar Yu Wi mencium bau harum badan orang perempuan, dalam hati ia membatin.

   "Kiranya Kongcu cakap ini memang samaran perempuan."

   Entah sudah berapa lama dan berapa jauh pula, Yu Wi sudah pingsan lagi, Ketika ia siuman dan memandang sekelilingnya, suasana ternyata sudah berubah sama sekali.

   Inilah sebuah kamar yang sangat mewah, selimut bantal bersulam, kelambu tipis melambai lemas ke bawah, warnanya sangat serasi, berada di tengah kelambu, berbaring di atas kasur yang empuk dan selimut yang harum, rasanya, seperti berada di surga.

   Yu Wi mengucek-ucek matanya dan coba mengatur pernapasan, ia merasa tidak ada luka apa pun, seperti tidak pernah mendapatkan pukulan dahsyat Lim Sam-han itu, yang dirasakan hanya kurang tenaga saja.

   Ia membuka kelambu yang tipis itu, lalu turun dari tempat tidur, pelahan ia berjalan sekeliling, rasanya biasa, tiada sesuatu yang mengganggu maka ia yakin lukanya sudah sembuh sama sekali.

   Ia coba mengenangkan kejadian waktu itu, sesudah si Kongcu cakap menyelamatkan dia dan membawanya kabur dari Hek-po, jangan-jangan orang telah memberi minum obat mujarab dan telah menyembuhkan lukanya? Mendadak terdengar suara pintu dibuka pelahan, seorang gadis jelita melangkah masuk.

   Sungguh luar biasa cantik gadis ini, kulit badannya seputih salju, dipandang dari jauh laksana sekuntum bunga lily yang mulus dan lembut, sekali pandang saja Yu Wi lantas mengenalnya sebagai si Kongcu cakap itu.

   "Ah, kau sudah dapat berjalan!"

   Seru nona itu dengan riang. Yu Wi menjura dalam-dalam, dengan rasa terima kasih yang tak terhingga ia berucap.

   "Siocia telah menyelamatkan jiwaku dan menyembuhkan pula lukaku yang parah, budi kebaikan ini sungguh sukar kubalas selama hidup ini."

   Nona jelita itu mengelak ke samping dan balas memberi hormat, jawabnya.

   "Ah, janganlah bicara sehebat itu. Membantu orang yang kepepet adalah kejadian yang jamak. Tentang obat mujarab yang kau minum juga bukan punyaku, tapi kuperoleh dari paman Su, yaitu si tabib sakti Su Put-ku di Ngo-tay-san kecil."

   "Hah, maksudmu obat mujarab ini, pemberian si "Si-put-kiu"?"

   Yu Wi menegas dengan terkejut Nadanya tidak percaya bahwa Su Put-ku mau memberi satu biji obat mujarab untuk menolong jiwa orang lain. Maklumlah, watak Su Put-ku yang berjuluk "Koay-jiu-ih-un"

   Atau si tabib sakti bertangan ajaib itu memang sangat aneh, eksentrik ilmu pengobatannya memang maha sakti, ibaratnya mampu menghidupkan orang yang sudah mati.

   Akan tetapi ilmu pengobatannya yang maha sakti itu tidak sudi digunakan menolong tokoh Bu lim manapun juga, pernah terjadi berpuluh kali ada tokoh persilatan kelas tinggi terluka, jauh-jauh mereka diantar ke Siau-ngo-tay san.

   Siapa tahu si tabib sakti justeru "Kian-si-put-kiu"

   Atau menyaksikan orang mati juga tidak mau menolong, Biarpun orang terluka itu memohon dengan sangat dan akhirnya mati di depan rumahnya, tetap dia tidak perduli, memandang sekejap saja tidak mau.

   Sering juga di antara sanak keluarga pasien yang datang minta pertolongan itu bermaksud menggunakan kekerasan untuk memaksa Su Put-ku memberi pertolongan, tapi gagal juga maksud mereka, sebab ilmu silat Su Put-ku sendiri juga sangat tinggi dan sukar mengalahkan dia.

   Apa yang terjadi itu tersiar di dunia persilatan para ksatria Kangouw sama merasa penasaran dan mencela sikap Su Put-ku yang tidak berprikemanusiaan itu, maka orang lantas memberi poyokan yang sama lafalnya dengan nama aslinya, yaitu Su-put-kiu, artinya biarpun melihat orang mati juga tidak mau menolong.

   Dan setelah nama "Su-put-kiu"

   Tersiar, selanjutnya orang persilatan tidak ada lagi yang berani mengantar orang luka ke Siau-ngo-tay-san untuk minta pertolongannya. Ketika masih tinggal di Hek-po nama "Su-put-kiu"

   Sudah didengar oleh Yu Wi, siapa tahu sekarang justeru obat mujarab si "Su-put-kiu"

   Yang telah menyembuhkan lukanya, bukankah maha ajaib? Begitulah, maka si nona telah mengangguk dan berkata.

   "Ya, siapa lagi kalau bukan paman Su si Su-put-kiu. Ketika kuminta obat padanya, seketika paman Su memberikannya padaku, Orang lain bilang paman Su biarpun melihat orang mati di hadapannya juga tidak mau memberi pertolongan kukira poyokan ini tidak benar seluruhnya."

   "Lantas di sini ini tempat apakah?"

   Tanya Yu Wi.

   "Rumahku di kota Pakkhia (Peking),"

   Jawab si nona dengan tertawa. Kembali Yu Wi memberi hormat, ucapnya dengan sangat berterima kasih.

   "Jauh-jauh Siocia telah mintakan obat ke Ngo-tay-san, jangankan budi pertolongan jiwa, melulu perjalanan yang jauh dan susah payah ini sudah membuatku takkan lupa selama hidup."

   Nona itu menggeleng-geleng, katanya.

   "Sudahlah, jangan menjura melulu, aku menjadi ikut repot. Juga jangan panggil Siocia lagi padaku, aku tidak suka orang menyebut diriku Siocia, Ayah memberikan nama Ko Bok-ya padaku, tapi sayang, biarpun namaku Bok-ya (jangan liar), sejak kecil aku justeru sangat Ya (liar), selanjutnya bolehlah kau panggil aku Ya-ji saja (istilah ji adalah sebutan pada anak kecil atau orang yang lebih muda)."

   "Dan namaku..."

   "Ku tahu"

   Namaku Yu Wi, wajahmu serupa dengan Kan-kongcu, kelak harus kulihat juga Kantoakongcu dari Thian-ti-hu itu, ingin ku tahu di manakah letak kemiripan kalian?"

   Kata Ko Bok-ya dengan tertawa.

   "Kami memang serupa seperti saudara kembar,"

   Tutur Yu Wi dengan menyesal.

   "Bilamana Kah-kongcu berdiri sejajar denganku, tentu sukar bagimu untuk membedakannya."

   "Masa begitu mirip?"

   Ko Bok-ya menegas dengan kurang percaya.

   "Jika kami tidak mirip, tentu dua tahun yang lalu jiwaku sudah melayang, tentu aku sudah terbunuh oleh Hek-po-ji-mo di hutan sana dan tak tertolong...."

   Ucap Yu Wi seperti terkenang pada kejadian masa lampau. Ko Bok-ya merasa heran, tanyanya.

   "Kungfumu sedemikian tinggi, masa hampir dibunuh orang?"

   "Kungfuku tinggi?"

   Yu Wi tertawa getir.

   "Sedangkan beberapa musuh pembunuh ayahku saja tak dapat kutandingi, bilamana tidak ditolong olehmu, mungkin jiwaku sudah amblas, masakah kau-bilang kungfuku tinggi."

   Ko Bok-ya menggeleng, ucapnya.

   "Sesungguhnya kau memang memiliki kungfu yang sukar di jajaki, cuma sayang latihanmu belum cukup, hanya soal waktu saja, kelak jangankan Ho-hap-jikoay dan Lim Sam-han, biarpun Bu-lim-jit-can-so yang termasyhur di dunia persilatan juga sukar mengalahkan kau."

   "Masa mungkin terjadi begitu?...."

   Kata Yu Wi dengan ragu.

   "Tentu saja mungkin,"

   Tukas Ko Bok-ya.

   "Tempo hari, apabila kau tetap menggunakan satu jurus ilmu pedangmu yang kau gunakan mengalahkan Kho Pek-ho itu, kuyakin Ho-hap-ji koay dan Lim Sam-han pasti sudah binasa di bawah pedangmu."

   "Oo!"

   Yu Wi merasa tergugah.

   Tapi lantas terpikir olehnya pesan sang guru agar jurus serangan itu jangan sembarangan digunakan, ia sendiripun ragu apakah kelak harus digunakannya bilamana menghadapi musuh? Melihat anak muda itu diam saja, Ko Bok-ya lantas bertanya.

   "Siapakah gerangan Suhumu?"

   "Salah satu di antara Jit-can-so!"

   "Hah? Kakek cacat yang mana?"

   Tanya Ko Hok-ya terkejut.

   "Ji Pek-liong,"

   Jawab Yu Wi tak acuh.

   "Ah, kiranya dia!"

   Seru Ro Bok-ya.

   "Memangnya kenapa?"

   Tanya Yu Wi dengan tertawa.

   "Ti... tidak apa-apa, hanya ku tahu gurumu itu."

   "Darimana kau tahu guruku"

   Tanya Yu Wi dengan sangsi.

   "Hal ini...."

   Belum lanjut ucapan Ko Bok-ya, mendadak di kejauhan ada orang membentak.

   "Tayciangkun tiba!"

   Maka Ko Bok-ya tidak meneruskan ucapannya tadi, katanya dengan tertawa.

   "Wah, ayah datang kemari!"

   "Ayahmu seorang Ciangkun (panglima, jenderal)?"

   Tanya Yu Wi. Dengan angkuh Ko Bok-ya menjawab.

   "Ayahku bukan saja seorang panglima, bahkan panglima besar angkatan perang!"

   "Ahhh!"

   Yu Wi bersuara kaget.

   Menurut tata-negara feodal jaman dahulu, kedudukan panglima besar angkatan perang boleh dibilang teramat tinggi Di bawah Raja, untuk jabatan sipil, kedudukan yang paling tinggi adalah Cay siang atau Perdana Menteri, dan untuk militer adalah Peng-ma-tayciangkun atau panglima besar angkatan perang.

   Keluarga Thian-ti-hu turun temurun tiga angkatan selalu menjabat perdana menteri, kekuasaannya memang tiada bandingannya, Tapi bicara tentang Peng-ma-tayciangkun, sekalipun jamannya Kan Jun-ki masih hidup, pihak Thian-ti-hu juga tidak berani menekan pihak panglima angkatan perang tersebut.

   Sungguh Yu Wi tidak menyangka dirinya bisa berada di tempat kediaman seorang panglima besar angkatan perang, Malahan nona jelita yang menyelamatkan jiwanya sendiri adalah puteri sang Panglima.

   Begitulah Yu Wi lantas dibawa Ko Bok-ya menemui orang tuanya.

   Terlihat sang Panglima Besar duduk di tengah ruangan dengan gagah berwibawa, di sebelahnya berduduk pula ibu Ko Bok-ya dan di kanan-kiri mereka berdiri para pengawal yang perkasa.

   Dengan lembut Ko Bok-ya menyembah kepada ayahnya, ucapnya.

   "Yah, terimalah sembah hormat anak Ya."

   "Ya-ji,"

   Suara sang Tayciangkun atau panglima Besar ternyata besar dan lantang.

   "khabarnya kau bawa pulang seorang Bu-lim yang kau tolong dalam keadaan terluka parah, aku jadi kuatir kalau terjadi keonaran lagi, maka sengaja kujenguk kau."

   "Ayah, kalau Ya-ji tidak membuat onar, apakah ayah lantas tidak mau menjenguk anak?"

   Kata Bok-ya dengan manja.

   "Siapa bilang begitu?"

   Omel sang Tayciangkun dengan tersenyum penuh kasih sayang.

   "Habis, mengapa ayah berdiam lebih sebulan di tempat mak tua dan tidak pulang kemari?"

   Kata Bok-ya dengan mulut menjengkit.

   "Ya-ji,"

   Cepat ibu Bok-ya menyela.

   "sungguh tidak tahu aturan, masa kau mengomeli ayah?"

   Bok-ya lantas mendekati nyonya setengah baya dan berwajah bundar laksana bulan purnama itu, ucapnya dengan aleman.

   "Hati ibu terlalu baik dan tidak mau mengurus ayah, Memangnya tempat kita ini kurang baik dibandingkan tempat mak tua (maksudnya isteri pertama ayahnya) sana."

   Sang Tayciangkun tertawa, katanya.

   "Ya-ji nampaknya benar2 kau hendak mengurusi ayahmu, ingatkah kau arti nama Bok-ya yang kuberikan padamu ini."

   Dengan aleman Bok-ya berkata.

   "Ayah bilang watakku nakal dan liar, maka diberi nama Bok-ya agar selamanya kuingat jangan berbuat liar di luaran.."

   Tayciangkun mengangguk, ucapnya.

   "Mendingan kau masih ingat, tapi ayah juga mempunyai maksud lain, yaitu supaya kau tahu aturan sebagaimana anak perempuan umumnya, jangan serupa anak lelaki dan..."

   "Dan anak Ya justeru serupa anak lelaki dan tidak tahu aturan dan ikut mengurusi kebebasan ayah sehingga ayah pun tidak suka lagi kepada anak Ya..."

   Jelas sang Tayciangkun sangat memanjakan anak perempuannya ini, dia menggeleng sambil berucap.

   "Ai, coba, belum lagi memarahi kau, tapi kau keburu marah dulu kepada ayah, jangan marah! Soalnya banyak pekerjaan sehingga ayah tidak sempat pulang kemaril!"

   "Kenapa tidak ayah katakan sejak tadi sehingga anak Ya sembarangan omong tanpa alasan!"

   Ucap Bok-ya dengan tertawa.

   "Ai, anak ini sungguh..."

   Sang Tay-ciangkun berpaling kepada isterinya dan menghela napas gegetun. Wanita setengah baya itu tersenyum, ucapnya.

   
Pendekar Kembar Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Koanjin (sebutan hormat kepada sang suami) terlalu memanjakan dia sejak kecil, terlambatlah jika sekarang baru hendak kau didik dia."

   Ko Bok-ya lantas mendekati sang ayah, ucapnya dengan tersenyum simpul.

   "Ayah, orang yang kutolong itu sedang menunggu untuk memberi hormat padamu."

   "Ai, kau ini memang tidak tahu aturan, masa orang disuruh berdiri saja di sana, dia baru sembuh, mana boleh berdiri lama?"

   Kata Tayciangkun dengan tertawa, nadanya menyalahkan Ko Bok-ya.

   "Sakit apa, dia sudah sehat"

   Ujar Bok-ya, dengan lemah gemulai ia lantas mendekati Yu Wi.

   Karena Yu Wi sedang berdiri dengan termangu menyaksikan cengkerama antara Bok-ya dengan ayah bundanya, dalam hatinya merasa berduka, teringat olehnya ayah bunda sendiri yang telah tiada, dirinya hidup sebatang kara, tanpa terasa air matanya berlinang-linang.

   Tiba-tiba terdengar Bok-ya lagi menegurnya.

   "kau berduka apa?"

   Cepat Yu Wi mengusap air matanya dan menjawab dengan gelagapan.

   "O, ti... tidak apaapa..."

   Padahal dengan jelas Ko Bok-ya melihat Yu Wi lagi menangis, tapi ia pun tidak enak untuk bertanya lagi lebih lanjut. Sudah tentu ia tidak tahu apa yang menyebabkan Yu Wi menjadi berduka, Maka dengan tertawa ia berkata.

   "Sifat ayah sangat ramah, jangan takut bila menemui beliau."

   Yu Wi lantas ikut maju ke sana, wajah sang Tayciangkun dapat dilihatnya dengan jelas, memang betul ramah tamah dan simpatik, tapi terpancar semacam hawa yang penuh wibawa dan membuat orang akan merasa tidak tenteram bila berhadapan dengan dia.

   Namun Yu Wi juga bukan orang biasa, dengan tenang ia menjura.

   "Wanpwe Yu Wi memberi hormat kepada Tayciangkun dan Hujin."

   Terkesiap sang Tayciangkun.

   "Kau she Yu?"

   Tanyanya... Dengan hormat Yu Wi menjawab.

   "Betul, mendiang ayahku Yu Pun-hu. Apakah nama Yang Mulia ialah Siu?"

   "Ayahmu yang memberitahukan padamu?"

   Tanya pula sang Tayciangkun yang bernama Ko Siu ini dengan simpatik. Yu Wi mengangguk, jawabnya.

   "Betul, waktu masih kecil sering Wanpwe mendengar ayah menyebut nama Tayciangkun dan selama ini belum pernah lupa."

   "Bilakah ayahmu meninggal dunia?"

   Tanya Ko Siu dengan menyesal.

   "12 tahun yang lalu, ayah dibunuh orang!"

   Tutur Yu Wi dengan sedih.

   "Dibunuh orang?"

   Ko Siu menegas dengan terkejut Segera wajahnya penuh rasa duka cita, sampai agak lama barulah ia berkata pula sambil menggeleng.

   "Belasan tahun ayahmu ikut berjuang padaku, hubungan kami sangat baik seperti saudara sekandung, lima belas tahun yang lalu mendadak ia mohon diri padaku, Kuingat, waktu itu kau baru berumur empat, aku tidak tahu apa sebabnya ayahmu sengaja meninggalkan aku. Kalau kupikir sekarang, jangan-jangan karena dia mengetahui ada orang hendak membikin susah padanya, dia tidak ingin aku ikut tersangkut, maka sengaja mengundurkan diri dari sini."

   "Waktu itu apakah ayah mempunyai musuh?"

   Tanya Yu Wi.

   "Bicara tentang musuh ayahmu, sungguh sukar dihitung jumlahnya...."

   Tutur Ko Siu sambil menghela napas.

   "Dan di antara musuh-musuhnya itu tentu ada beberapa orang yang lihay, bukan?"

   Tukas Ko Bok-ya. Ko Siu berpaling kepada sang isteri dan bertanya.

   "Apakah Hujin masih ingat ketika kutanyai sahabat-baikku Yu Bun-hu dahulu?"

   Nyonya setengah baya itu menghela napas pelahan, jawabnya.

   "Mana dapat kulupakan si "Ciang-kiam-hui"

   Itu? Masih kuingat waktu Koanjin membawanya ke rumah untuk pertama kalinya dahulu dia selalu menguatirkan keamanan Koanjin dan tidak berani meninggalkan Koanjin, Tapi Koanjin bilang sudah didampingi olehku dan menyuruh dia tidak perlu kuatir, Dia tidak percaya kemampuanku dapat melindungi Koanjin, maka ingin menguji kekuatanku, terpaksa kupenuhi kehendaknya dan bertanding dengan dia sampai seratus jurus tanpa kalah, dengan begitu barulah ia merasa lega dan mau meninggalkan Koanjin."

   Yu Wi tidak menyangka bahwa wanita setengah baya ini sanggup bertanding sama kuatnya dengan mendiang ayahnya, padahal nyonya ini kelihatan lemah lembut dan welas-asih, sedikitpun tiada tanda belajar ilmu silat, mana bisa menguasai kungfu setinggi itu? Karena pikiran ini, tanpa terasa air mukanya memperlihatkan rasa tidak percaya, Ko Bdk-ya memang gadis cerdik, sekilas pandang saja ia dapat meraba jalan pikiran Yu Wi, dengan tertawa ia lantas berkata.

   "Hm silat ibu berasal dari Go-bi-pay, waktu mudanya beliau juga sudah menggetarkan Kangouw dan dikenal sebagai "Giok-ciang-siancu" (si dewi bertangan kemala), baik jago dari Pek-to (kalangan putih) maupun dari Hek-to (golongan hitam) kebanyakan sama jeri padanya,"

   Sang ibu yang berjuluk Giok-ciang-siancu lantas mengomel.

   "Hus, jangan membual bagiku, kau tahu ayah Yu-kongcu sengaja mengalah padaku, kalau tidak, mungkin 50 jurus saja tak dapat kutandingi dia."

   "

   Justeru lantaran membela karir dari keamananku itulah, maka Yu-hianteku itu telah banyak bermusuhan dengan tokoh Kangouw,"

   Tutur Ko Siu.

   "Jika dihitung, mungkin enam atau tujuh di antara sepuluh orang pernah bermusuhan dengan dia."

   "Sebab apa orang Bu-lim merecoki Ciangkun?"

   Tanya Yu Wi.

   "Mwski aku dan ayahmu tidak pernah mengangkat saudara, tapi hubungan kami sesungguhnya melebihi saudara sekandung,"

   Tutur Ko Siu pula sambil mengenang sahabatlamanya itu.

   "Dia lebih muda tujuh tahun daripadaku, maka bolehlah kau panggil Pekhu (paman) padaku. Terlalu asing rasanya bila kau sebut Ciangkun padaku."

   "Baik, Pekhu,"

   Cepat Yu Wi memanggil dengan hormat. Ko Bok-ya berkeplok tertawa, serunya.

   "Bagus sekali! sekarang aku mempunyai seorang adik!"

   "Ya-ji,"

   Kata Giok-ciang-siancu.

   "Yu-hiantit lebih tua satu tahun daripadamu, harus kau panggil dia Toako."

   "Baiklah,"

   Seru Ko Bok-ya dengan tertawa, Lalu ia memberi hormat kepada Yu Wi sambil berkata.

   "Toako, terimalah hormatku ini."

   "Ah, ma... mana kuberani..."Yu Wi men jadi kelabakan. Ko Bok-ya berkata pula seperti kurang senang.

   "Apakah Toako tidak sudi mempunyai adik perempuan seperti diriku ini?"

   "O, tidak, bukan begitu!"

   Seru Yu Wi cepat.

   "Mana bisa Toako tidak sudi mengakui kau sebagai adik perempuan...."

   "Jika begitu, jangan lagi kau bicara padaku seperti orang luar,"

   Tukas Ko Bok-ya dengan tertawa.

   "Ya, kalau antara kita adalah anggota sekeluarga, Hiantit juga tidak perlu sungkan lagi, silahkan duduk untuk bicara,"

   Ujar Ko Siu. Sesudah Yu Wi mengambil tempat duduk, lalu Ko Siu menyambung.

   "Selama belasan tahun ini negara aman dan rakyat sejahtera, tahukah Hiantit semua ini atas jasa siapa?"

   "Dengan sendirinya jasa kedua tiang kerajaan sekarang, keluarga Kan dari Thian -ti-hu dan Pekhu adanya,"

   Jawab Yu Wi.

   "Bicara rakyat dapat hidup sejahtera, aman sentosa, tidak ada gangguan keamanan, semuanya itu adalah jasa keluarga Kan tiga angkatan turun temurun,"

   Tutur Ko Siu.

   "Dan tahukah Hiantit akan sejarah keluarga Kan?"

   Yu Wi mengangguk, jawabnya.

   "Tiga angkatan berturut-turut keluarga Kan menjabat perdana menteri, angkatan pertama Kan Yok-koan, angkatan kedua Kan Yan-cin dan angkatan ketiga Kan Jun-ki, keturunannya sekarang ialah Kan Ciau-bu dan belum menikah, Titji cukup jelas mengenai mereka."

   "Oo,"

   Ko Siau bersuara heran, tak diduganya anak muda itu dapat mengetahui sejelas ini, tapi ia pun tidak bertanya lebih jauh, tuturnya pula.

   "Sebelum menjabat Perdana Menteri Kan Yok-koan sudah terkenal serba pandai, baik ilmu sastra maupun ilmu militer, dan sesudah menjadi perdana menteri, sering dia melakukan inspeksi ke segenap pelosok negeri dan bergaul luas dengan orang dunia persilatan. Hendaklah diketahui, timbulnya kekacauan atau gangguan keamanan seringkali berasal dari orang persilatan, jadi tenang atau kacau nya dunia persilatan sangat besar pengaruhnya dengan keamanan negara, Kan Yok-koan cukup maklum akan hal ini, maka dia mengambil kebijaksanaan untuk menyerap orang persilatan sebanyak-banyaknya ke dalam pemerintahan."

   "Selama hidup Kan Yok-koan terus berkecimpung di dunia Kangouw, kaum Lok-lim yang tadinya banyak mengganggu rakyat itu seterusnya lantas bersih, Dunia Kangouw yang semula sering terjadi pertengkaran dan bunuh membunuh juga dapat ditenangkan Menyusul dengan amannya negara, hidup rakyat pun sejahtera."

   "Kemudian Kan Yan-cian dan Kan Jun-ki juga dapat melanjutkan rencana kerja orang tua, selama berpuluh tahun negara makmur dan rakyat subur, semua ini adalah jasa keluarga Kan tiga angkatan turun temurun."

   "Dan bagaimana dengan jasa ayah?"

   Tanya Ko Bok-ya. Dengan gagah perkasa Ko Siu menjawab.

   "Jasa keluarga Kan terletak pada keamanan dan kemakmuran dalam negeri, mengenai ketahanan negara dan kekuatan menghadapi musuh dari luar, memang adalah jasa ayahmu ini."

   Diam-diam Yu Wi berpikir, pantas keluarga panglima Besar Ko ini sangat dihormati tidak di bawah keluarga Kan, ternyata di dalam hal ini memang ada alasannya.

   Kalau tidak ada Peng-ma tayciangkun, biarpun keluarga Kan mempunyai kemahiran mengamankan negeri dan menyejahterakan rakyat, tapi kalau tidak dapat menahan serangan musuh dari luar, akibatnya negara akan terjajah dan rakyat sengsara.

   jadi kalau dibicarakan, kedua keluarga ini memang sama-sama merupakan tiang penyanggah negara yang tidak boleh berkurang salah satu di antaranya.

   Ko Siu berhenti sejenak, kemudian berkata pula.

   "Tapi berhasilnya kutegakkan pahala besar ini, semuanya juga berkat tenaga bantuan Yu-hian- teku itu."

   Ia berhenti sejenak, kelihatan ia bersedih, lalu berkata pula.

   "Sayang, pada saat namaku lagi membubung tinggi, mendadak Yu-hiante meninggalkan diriku. sekarang dia sudah almarhum pula, sungguh hatiku sangat berduka dan. merasa Thian kurang adil."

   Karena terharu, Yu Wi juga mengucurkan air mata, Ko Bok-ya juga tidak dapat tertawa lagi dan ikut sedih. Giok-ciang-siancu sendiri sudah sejak tadi mengalirkan air mata.

   "Di antara musuh ayah, apakah Pekhu masih ingat siapa-siapa saja?"

   Tanya Yu Wi dengan tersendat.

   "Setiap orang yang mengalami perjuanganku adalah musuh mendiang ayahmu,"

   Jawab Ko Siu dengan tegas.

   "Kau tahu, karena bangsa asing tidak mampu menjajah negeri kita, dengan segala tipu daya mereka berusaha membeli kaum pengkhianat dari kalangan persilatan, tentu pula di dunia Kangouw tidak kurang sampah persilatan yang mau bekerja bagi bangsa asing, mereka mengadakan intrik keji untuk membunuh diriku, Tidak sedikit juga tokoh persilatan yang rela bersekongkol dengan pihak musuh, nama mereka telah kucatat satu persatu dalam satu daftar, akan kuberikan daftar ini padamu supaya kau tahu seluruhnya."

   Yu Wi sangat berterima kasih, ucapnya.

   "Dengan memegang daftar nama itu, tidak sulit bagiku untuk menemukan musuh itu satu persatu..."

   "Ayahmu berbakti kepada negara dengan setia, selama itu bersatu-hati denganku, siapa saja yang berusaha mencelakai diriku selalu dikalahkan oleh ayahmu sehingga aku tidak terganggu seujung rambut pun. Akhirnya musuh ayahmu makin lama makin banyak, mungkin dia kuatir aku terembet, maka dia mengusulkan pengangkatan beberapa jago Bu-lim lain untuk menjadi pengawalku, lalu dia mohon diri dan tinggal pergi. Sekarang dia ternyata sudah meninggal terbunuh, kuyakin yang berbuat pasti musuh yang timbul akibat dia membela diriku dahulu."

   Segera ia memberi perintah kepada pengawal yang berdiri di belakangnya, sebentar saja pengawal itu sudah kembali dengan membawa satu buku tipis. Setelah Yu Wi menerima buku tersebut, terlihat sampul buku tertulis.

   "Daftar Nama Pembunuh."

   Ia coba membalik halaman buku, ternyata daftar nama itu sangat lengkap dengan datadatanya, baik hari, bulan, tahun dan usaha membunuh Ko Siu pada waktu itu, semuanya tercatat dengan jelas."

   Yu Wi menyimpan buku itu di dalam baju, diam-diam ia bersumpah akan mencari setiap pembunuh yang tercatat dalam daftar Ko Siu itu, akan diselidikinya apakah tiap-tiap orang itu ikut berkomplot membunuh ayahnya atau tidak.

   "Hiantit (keponakan yang baik),"

   Kata Ko Siu dengan kasih sayang.

   "cara bagaimanakah kau terluka dan dapat dibawa pulang oleh Ya-ji?"

   Yu Wi menceritakan pengalamannya secara terperinci, bicara sampai pada waktu dia terluka, lalu Ko Bok-ya menyambung.

   "Ya-ji membawa pulang Toako, sepanjang jalan Toako dalam keadaan tak sadar, buru-buru kucari ibu agar memeriksanya, Setelah ibu memeriksanya, kata ibu luka Toako sangat parah, jika tidak diberi minum obat mujarab mungkin sukar untuk menyembuhkannya, paling lama setengah bulan lagi Toako akan kering dan meninggal."

   "Anak menjadi cemas, teringat olehku paman Su di Siau-ngo-tay-san, cepat ku pergi ke sana siang dan malam, untunglah paman Su telah menghadiahkan satu biji Kiu-coan-hoan-hun-tan yang mujarab, setelah diminum Toako, air mukanya lantas merah, tadi sesudah siuman Toako lantas dapat berjalan seperti biasa."

   "Thian Maha Pengasih sehingga Yu-hiante tidak sampai kehilangan keturunan,"

   Ucap Ko Siu sambil menghela napas lega. Giok-ciang-siancu juga berkata.

   "Hari itu, kulihat Ya-ji pulang dengan membawa Kiu-coanhoan- hun-tan, maka yakinlah aku Yu-hiantit dapat tertolong, kupesan Ya-ji merawatnya dengan baik, berbareng itu juga kukirim kabar kepada Koanjin."

   Setelah tahu cara bagaimana dirinya tertolong, tanpa terasa Yu Wi memandang ke arah Ko Bok ya dengan penuh rasa terima kasih yang tak terkatakan, sungguh ia tidak tahu cara bagaimana halus membalasnya kelak.

   Ko Bok-ya merasa kikuk oleh pandangan Yu Wi yang melekat itu, tanpa terasa mukanya bersemu merah, rasa malu anak gadis yang masih suci bersih.

   Ko Siu dan isterinya dapat melihat sikap anak gadisnya itu, mereka pikir tidaklah mudah hendak membuat Ya-ji bermuka merah, bila teringat sebab musababnya, mereka pun mengulum senyum tanpa komentar..

   Melihat Ko Siu dan isterinya tersenyum penuh arti, terkesiap hati Yu Wi, ia tidak berani lagi memandang Bok ya, cepat ia membetulkan tempat duduknya, lalu bertanya.

   "Apakah Pekhu kenal Hek-po-pocu Lim Sam-han?"

   "Tidak kenal,"

   Jawab Ko Siu sambil menggeleng.

   "Di dalam daftar nama pembunuh juga tidak terdapat nama orang ini. Entah sebab apa iapun mengambil bagian ikut andil mencelakai Yuhiante."

   "Meski di dalam daftar tidak terdapat namanya, tapi dia ikut andil membikin celaka ayahku, sebelum menghembuskan napas terakhir ayah telah menyebut namanya, kukira tidak keliru lagi,"

   Pendekar Kembar Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Yu Wi sambil menghela napas. Dengan kereng Ko Siu berkata.

   "Sakit hati harus dibalas, tapi hendaknya Hiantit juga selalu ingat, jangan salah membunuh orang baik, kalau tidak, di alam baka tentu ayahmu pun takkan merasa tenteram."

   "Tit-ji akan ingat baik-baik petuah Pekhu ini dan takkan membunuh orang yang tak "berdosa,"

   Janji Yu Wi dengan khidmat.

   "Bagus, inilah pernyataan seorang lelaki sejati!"

   Puji Ko Siu dengan tertawa.

   "Selanjutnya boleh Hiantit tetirah dulu di sini, jangan memikirkan soal sakit hati ayahmu, nanti kalau kesehatanmu sudah pulih kembali barulah kita rundingkan lagi,"

   Ujar Giok-ciang siancu.

   "Kiu-coan-hoan-hun-tan adalah obat mujarab yang tiada bandingannya, kini kesehatan Tit-ji sudah pulih seluruhnya, sekarang juga ingin kumohon diri, mohon Pekhu dan Pekbo (bibi) sudi memberi maaf,"

   Kata Yu Wi.

   "Apa katamu?"

   Seru Ko Bok-ya terkejut "Sekarang juga Toako akan pergi?"

   "Ya, tapi aku pasti akan sering-sering datang kemari untuk menjenguk paman dan bibi,"

   Jawab Yu Wi sambil menunduk. Mendadak Ko Bok-ya berlari masuk ke dalam. Ko Siu menggeleng, katanya.

   "Sifat anak ini sungguh aneh."

   Giok-ciang-siancu diam saja tanpa memberi komentar. Setelah memandang Yu Wi sekejap, lalu Ko Siu berkata pula.

   "Badanmu sudah sehat seluruhnya, sudah tentu masih banyak tugas yang harus kau laksanakan, maka akupun tidak ingin menahanmu lagi, hendaklah ingat, saja sering-sering kemari dan memberi kabar pengalamanmu selama mencari musuhmu nanti."

   Yu Wi merasa sedih karena mendadak Ko Bok-ya berlari pergi, Diam-diam ia berdoa semoga dapat melihatnya sekali lagi, maka dia tetap berduduk di tempatnya dan menjawab.

   "Ya, kepergian Titji ini adalah untuk menggembleng apa yang telah kupelajari ini agar dapat menuntut balas bagi ayah, berbareng itu sepanjang jalan akan kuselidiki musuh sesuai apa yang tercatat di dalam buku daf tar pembunuh ini."

   Ko Siu mengeluarkan pula sebuah medali emas dan diserahkan kepada Yu Wi, pesannya.

   "Medali ini mewakili diriku, ke mana pun kau pergi, bila ingin mendapat sesuatu bantuan dari pejabat setempat, boleh kau perlihatkan medali ini dan tentu akan mendapat bantuan sepenuhnya."

   Yu Wi melihat medali itu bertuliskan satu huruf "Leng"

   Atau perintah, pada sisi lain tertulis tanda panglima Besar Angkatan Perang.

   ia simpan baik-baik medali itu.

   Dalam pada itu Ko Bok-ya masih belum nampak muncul kembali, ia menjadi gelisah, juga tidak enak untuk berduduk pula, terpaksa ia berbangkit dan memberi hormat, katanya.

   "Tit-ji mohon diri sekarang juga,"

   Ko Siu berdiri hendak mengantarnya, tapi Yu Wi menolak, lalu sendirian berjalan keluar dengan langkah lebar.

   Setiba di undak-undakan batu di depan istana, tanpa terasa langkahnya diperlambat ia bermaksud menoleh untuk melihat apakah Ko Bok-ya menyusul keluar atau tidak.

   Tapi mengingat sang paman dan bibi mungkin juga berada di belakang, rasanya tidak enak untuk berpaling.

   Selagi ragu, mendadak didengarnya Ko Bok-va berseru.

   "Tunggu sebentar Toako!"

   Yu Wi sangat girang, cepat ia berhenti dan menoleh. Dilihatnya Ko Bok-ya sedang berlari menyusul kemari, dengan rasa berat ia berkata.

   "Apakah Toako benar-benar akan berangkat begini saja?"

   Sedapatnya Yu Wi menahan gejolak perasaannya ia mengangguk pelahan, Bok ya lantas mengangsurkan sesuatu benda dan berkata.

   "Barang ini boleh kau bawa saja."

   ""Untuk apa?"

   Tanya Yu wi setelah menerima barang itu dan dilihatnya adalah satu biji mutiara, yaitu Pi-tok-cu.

   "lni kan mutiara tanda pertunangan Toako, masakah sudah lupa?"

   Ujar Bok-ya sambil tersenyum getir. Yu Wi lantas mengembalikan mutiara itu ke tangan Bok ya, katanya dengan serius.

   "Dia adalah puteri musuh, tidak nanti menikah denganku."

   "Masa Toako tidak menghendaki lagi barang ini?"

   Tanya Ko Bok-ya dengan tertawa.

   "Boleh kau kembalikan ke Hek-po sana,"

   Kata Yu Wi.

   "Masa Toako dapat melupakan Lim Khing-kiok?"

   Tanya Bok-ya dengan ragu.

   Menyinggung Lim Khing-kiok, Yu Wi lantas terkenang kepada masa lalu ketika masih kanakkanak dahulu, hubungannya dengan Lim Khing-kiok sungguh sangat mesra dan sukar dilupakan Betapa-pun Yu Wi tidak biasa berbohong, maka ia menjadi sukar menjawab pertanyaan Bok-ya tadi.

   Melihat sikap Yu Wi itu, Pok-ya menghela napas, katanya.

   "Lebih baik Toako simpan saja Pitoa- cu ini."

   "Sebab apa?"

   Tanya Yu Wi.

   "Kapan-kapan kalau Toako sudah dapat melupakan Lim Khing-kiok barulah kau serahkan kembali mutiara ini kepadaku dan akan kuwakilkan mengembalikannya ke Hek-po, tapi kalau Toako tetap tak dapat melupakan nona Lim, hendaknya mutiara ini tetap kau simpan,"

   Kata Bokya.

   "Jika tidak kuterima?"

   Ujar Yu Wi.

   "Jika tidak kau terima berarti selamanya kau akan melupakan Lim Khing-kiok,"

   Kata Bok-va dengan tegas.

   Yu Wi pikir tidaklah pantas menipu orang dan dirinya sendiri, betapapun dirinya memang tak dapat melupakan Lim Khing-kiok, terpaksa ia terima mutiara itu untuk menunjukkan perasaannya.

   Ketika dia menerima mutiara itu, dilihatnya air muka Ko Bok-ya berubah pedih.

   sedapatnya Yu Wi menahan perasaannya dan berkata.

   "Ya-ji, selamat tinggal!"

   "Jangan kau panggil lagi Ya-ji padaku!"

   Seru Bok-ya mendadak dengan gusar. Yu Wi diam saja, segera ia membalik tubuh hendak melangkah pergi. pada saat itulah tiba-tiba dari luar beramai-ramai masuk satu rombongan orang.

   "Apakah Sam-yap Siangjin ingin menemui ayah?"

   Terdengar Bok-ya menegur.

   Yang berjalan paling depan adalah seorang lelaki setengah baya berjubah kaum Tosu, alis tebal dan mata besar, pedang tersandang di punggung, kelihatan gagah perkasa dan jelas kelihatan seorang pertapa yang beribadat.

   Di belakang Tosu ini mengikut tujuh orang lelaki kekar berdandan sebagai Wisu (pengawal), semuanya kelihatan tangkas.

   Yu Wi melihat sorot mata Tocu yang disebut Sam-yap Siangjin itu buram seperti orang linglung, ia menjadi heran mengapa orang yang hebat ini bisa bermata sayu begini? Terdengar Sam-yap Siangjin menjawab dengan suara kaku.

   "Ada urusan penting ingin ku hadap Tayciangkun."

   Sembari bicara, tanpa berhenti ia membawa ke tujuh Wisu tadi lewat ke sana, karena terhalang jalannya, terpaksa Yu Wu merandek dan menyisih ke samping.

   Sam-yap Siangjin ini adalah jago pengawal bayaran yang khusus diundang oleh Ko Siu, kedudukannya sangat tinggi, setiap saat boleh masuk keluar istana dengan bebas untuk menghadap Tay ciangkun.

   Tapi Ko Bok-ya lantas menghadang di depan Sam-yap Siangjin, ucapnya dengan tertawa.

   "Untuk menghadap ayah, kan tidak perlu Siangjin membawa Wisu?"

   Sam-yap Siangjin seperti tidak mendengar teguran itu, ia masih terus berjalan ke depan, Bokya menjadi tidak enak untuk merintanginya, terpaksa ia mengegos ke samping.

   Mendadak dilihatnya ke tujuh Wisu itu sama sekali tidak dikenalnya, cepat ia membentak.

   "Kalian berhenti semua!"

   Seketika berubah air muka ke tujuh Wisu itu, tapi mereka tetap tidak berhenti.

   Dengan sendirinya Ko Bok-ya menjadi curiga ia melompat ke depan ke tujuh Wisu itu sambil merentangkan kedua tangannya, hanya Sam yap Siangjin saja yang dibiarkan lewat.

   Sam-yap Siangjin seperti tidak tahu apa yang terjadi di belakangnya, ia masih terus melangkah ke depan.

   "Sam-yap Siangjin!"

   Teriak salah seorang yang paling tua di antara ke tujuh Wisu itu.

   "Suruh bocah ini menyingkir!"

   Baru sekarang Sam-yap Siangjin berpaling, seperti orang bingung ia berkata.

   "Biarkan mereka masuk kemari."

   Tapi Ko Bok-ya cukup cerdik, ia menegas.

   "Apakah kalian ini pengawal Tayciangkun?"

   Ke tujuh Wisu itu sama mengangguk, maka Bok-ya lantas tanya pula.

   "Dan tahukah kalian siapa diriku?"

   Ke tujuh orang itu melengak, yang paling tua tadi cepat menjawab dengan agak gelagapan "Tentunya Siocia!"

   "Ha, sudah tentu Siocia, mengapa kalian tidak berani memastikannya?"

   Jengek Ko Bok-ya. Melihat si nona sudah curiga, ke tujuh orang itu menjadi kuatir, seorang lagi yang bermata agak menegak lantas meraung.

   "Menyingkir!"

   Ia mengira lawan hanya seorang anak perempuan dan mudah ditundukkan, segera sebelah tangannya mendorong ke depan.

   Tapi mendadak tangan Ko Bok-ya balas memotong ke pergelangan tangan orang secepat kilat.

   Seorang lagi yang berperawakan sama dengan lelaki yang menyerang itu agaknya lebih cerdik, begitu melihat gerak serangan Ko Bok-ya itu, segera ia menyadari ketemu lawan keras, Cepat ia pun menabok dengan telapak tangannya sambil berseru..

   "Silakan menyingkir Siocia!"

   Serangannya sangat cepat, terpaksa Bok ya menyerang sambil menangkis, walaupun begitu tabasan tangannya tetap mengenai pergelangan tangan Wisu bermuka bengis tadi dengan tepat, sedangkan telapak tangan yang lain sempat menangkis serangan musuh yang lain.

   Wisu bermuka bengis itu mati kutu seketika, sama sekali tak bisa berkutik karena tertabas, bahkan terus terpegang oleh si nona.

   Orang yang menyerang itu pun tidak menyangka seorang anak dara memiliki tenaga dalam sekuat ini, dia tergetar terpental dan hampir saja jatuh tersungkur.

   Perubahan kejadian ini timbul mendadak, kelima Wisu yang lain tidak sempat menghiraukan kedua kawannya yang kecundang itu, berbareng mereka berlari ke arah Ko Siu sana.

   Saat itu Yu Wi belum lagi keluar pintu, segera ia tahu gelagat jelek, ia yakin ketujuh Wisu itu pasti pembunuh gelap, selagi ia hendak menerjang ke sana untuk membantu, mendadak dari belakang ruangan tamu berlari keluar tiga orang jago pengawal dan bergabung dengan Wisu yang sudah berjaga di belakang Ko Siu tadi, seluruhnya ada tujuh orang, mereka mengelilingi Ko Siu dan isterinya di tengah.

   Nyonya Ko, Giok-ciang-siancu, yang semula kelihatan lemah lembut itu kini telah berubah menjadi gagah perkasa, dia berdiri sejajar dengan Ko Siu dan mengawasi gerak-gerik musuh.

   Dalam pada itu Bok-ya sudah menutuk roboh Wisu yang bermuka buas tadi, seorang lagi sempat dikebut oleh lengan bajunya dan mengenai "Nui-moa-hiatnya serta roboh terjungkal.

   Hanya sekali dua kali bergerak saja Ko Bok-ya sudah merobohkan dua penyatron itu, lalu kelima penyatron lainnya juga lantas mulai bergebrak dengan para pengawal Ko Siu.

   Bok-ya berpaling memandang Yu Wi sekejap, dilihatnya anak muda itu masih berdiri melenggong, segera ia mengomel.

   "Untuk apa kau berdiri di situ?"

   "Cepat kau pergi ke sana dan melindungi Pek-hu,"

   Seru Yu Wi dengan gugup.

   berbareng ia terus berlari maju.

   Bok-ya tahu kelima penyatron tadi pasti bukan lawan para pengawal ayahnya, maka ia tidak tergesa-gesa, ketika lewat di samping Sam-yap Siang-jin, dilihatnya orang hanya menyaksikan saja pertarungan orang banyak itu tanpa bergerak, dengan gemas ia lantas menghardik.

   "Apakah kau orang mampus?"

   Pada saat itulah mendadak terdengar jeritan ngeri susul menyusul, berbareng terdengar suara "blak-bluk", suara orang roboh yang ramai.

   Bok-ya terkejut dan cepat memburu ke sana, hanya sekejap saja entah cara bagaimana ke tujuh jago pengawal ayahnya yang tidak rendah ilmu silatnya itu telah roboh seluruhnya dan tak bisa berkutik.

   Hampir bersama Yu Wi dan Bok-ya melompat ke depan Ko Siu untuk melindunginya dan menghadapi kelima penyatron yang lihay itu.

   "Lekas Pekbo membawa Pekhu ke belakang, di sini ada Titji dan Ya-ji,"

   Seru Yu Wi. Ko Bok-ya menuding kelima penyatron tadi dan mendamperat.

   "Siapa kalian, berani melukai para pengawal ayahku?"

   Kelima orang itu tampak beringas, melihat Ko Siu hendak melangkah pergi, segera mereka membentak.

   "Jangan pergi, tinggalkan nyawamu!" - Berbareng mereka terus menubruk maju. Tapi sekali kedua tangan Ko Bok-ya bekerja, dalam sekejap itu dia telah menyerang lima orang sekaligus. Yu Wi tahu kungfu Bok-ya lebih tinggi daripada dirinya, maka cepat ia membalik ke sana untuk bergabung dengan Giok-ciang-siancu dan hendak membawa Ko Siu ke ruangan belakang.

   "Lekas kau bantu Ya-ji saja dan jangan urus kami!"

   Seru Giok-ciang-siancu kuatir.

   Nadanya jelas sangat menguatirkan kelihaian kelima penyatron itu.

   Karena serangan Bok-ya tadi, kelima penyatron itu sama melompat mundur Mereka tahu betapa lihainya serangan si nona dan tidak berani sembarangan melawannya.

   Segera Bok-ya hendak menghantam pula, tapi mendadak telapak tangan terasa kaku, seperti mati rasa, lalu terdengar si penyatron yang berusia paling tua tadi berucap dengan suara seram.

   "Jika ingin mati dengan pelahan, hendaknya kau duduk di pinggir sana dan istirahat dulu."

   
Pendekar Kembar Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam sekejap itu Bok ya merasa telapak tangannya semakin kaku dan tak dapat bergerak lagi, keruan ia terkejut, serunya.

   "Apakah kalian she Hoa?"

   "Hehe, kami memang Hoa-bun-jit-tok (ketujuh racun dari perguruan Hoa),"

   Jawab si penyatron tua dengan terkekeh kekeh.

   "Apakah ke tujuh pengawal kami terluka oleh senjata rahasia Ham-sah-sia-eng kalian?"

   Tanya Bok-ya pula dengan gemas.

   "Kalau nona sudah tahu, silahkan merasakan juga kelihaian Ham-sah-sia-eng kami ini!"

   Ujar si penyatron tua.

   Ham-sah-sia-ehg atau pasir membidik bayangan adalah sejenis senjata rahasia yang sangat lembut, asalkan kelihatan bayangan orang, pasir berbisa itu dapat dihamburkan bahkan sangat jitu, hampir tidak pernah meleset.

   Maka baru habis ucapan penyatron tua itu, mendadak dari depan dadanya menyambar keluar cahaya mengkilat dengan kecepatan luar biasa dan sukar untuk dihindarkan.

   Namun Ginkang Ko Bok-ya lain daripada orang lain, sebelumnya ia juga sudah berjaga-jaga, maka pada saat yang tepat ia sempat meloncat ke atas.

   "Akan tetapi baru saja tubuhnya mengapung setengah jalan, mendadak terasa tenaga tidak mau menuruti kehendaknya, sedikit merandek itu saja kedua kakinya lantas termakan oleh senjata rahasia yang sangat lembut dan berbisa itu. Ham-sah-sia-eng terbuat dari pasir berbisa yang sangat halus, dalam sekejap itu beratus biji pasir berbisa sama bersarang di bagian betis Ko Bok-ya yang putih bersih itu, seketika juga racun lantas menjalar, tanpa ampun lagi Bok-ya terbanting jatuh ke bawah. Keruan Yu Wi terkejut, cepat ia memburu maju, melolos pedang dan menabas, beberapa gerakan itu hampir dilakukannya pada saat yang sama, sekaligus ia menusuk kelima penyatron itu.

   "Awas senjata rahasia mereka!"

   Seru Ko Bok-ya yang tergeletak di lantai itu.

   "Berusahalah jangan sampai didekati mereka!"

   Menghadapi musuh tangguh, sedikitpun Yu Wi tidak berani ayal, segera ia mengeluarkan jurus tidak ada tandingannya, Bu-tek-kiam.

   Karena diserang secara mendadak oleh Yu Wi tadi, kelima penyatron itu sudah rada kelabakan, kini mendadak Yu Wi berganti jurus serangan pula, selagi mereka hendak menggunakan senjata rahasia Ham-sah-sia-eng, tahu-tahu cahaya gelap mengurung tiba dari atas kepala.

   Kejut kelima orang itu tidak kepalang, berbareng mereka menghamburkan pasir berbisa, seketika entah berapa ribu atau laksa biji pasir halus berhamburan seperti hujan.

   Akan tetapi, aneh juga, tiada satu pasir pun yang mengenai Yu Wi, selagi kelima penyatron itu terkesiap bingung, tahu-tahu Hian-tiat bok-kiam (pedang kayu besi Yu Wi sudah menyambar tiba hampir pada saat yang sama tulang pundak kelima orang itu terpukul remuk.

   Hampir berbareng kelima orang itu menjerit ngeri, semuanya roboh terkapar sambil merintih kesakitan.

   Cepat Yu Wi membalik tubuh dan membangunkan Ko Bok-ya, tanyanya dengan kuatir.

   "Bag... bagaimana kau?"

   "Jangau urus diriku, lekas kau cocok Jin-tiong-hiat Sam-yap Siangjin dengan jarum,"

   Seru Bokya. Dalam pada itu Giok-ciang-siancu juga sudah memburu tiba, ucapnya dengan air, mata berderai.

   "Ya-ji, kau... kau..."

   Sekuatnya Bok-ya bertahan, ucapnya dengan tertawa.

   "Bu, di luar masih ada penyatron yang lain, harap ibu memberikan sebatang jarum kepada Toako!"

   Giok-ciang-siancu selalu membawa jarum, ia memberi sebatang kepada Yu Wi. Dengan jarum itu Yu Wi menusuk Jin-tiong-hiat di atas bibir Sam-yap Siangjin. seketika pikiran Sam-yap Siangjin menjadi sadar, dengan bingung ia bertanya.

   "He, apa yang terjadi barusan."

   Bok-ya mendahului berteriak.

   "Lekas Siangjin memerintahkan barisan pengawal menjaga rapat sekeliling istana, awas terhadap kawanan pembunuh gelap, Ingat, suruh mereka jangan menghadapi musuh secara muka berhadapan muka."

   Sesudah Sam-yap Siangjin berlari pergi, Ko Bok-ya berkata pula dengan menghela napas.

   "Toako, hendaklah kaubawa diriku ke dekat kelima orang itu."

   Yu Wi memondongnya, baru sekarang diketahui telapak tangan kiri nona itu sudah biru hitam dan telah menjalar hingga siku, kakinya juga biru menakutkan.

   Ketika melihat keadaan kelima penyatron yang tak bisa berkutik itu, Bok-ya menghela napas terkejut, Waktu Yu Wi memandang ke sana, tertampak kulit di bagian leher mereka pun berwarna biru tandas seperti warna biru di kaki Ko Bok-ya.

   "He, kenapa bisa jadi begini?"

   Tanyanya.

   "Pasir berbisa mereka sebenarnya hendak menyerang dirimu,"

   Tutur Bok-ya dengan menyesal.

   "tak terduga pasir itu telah melengket pada pedangmu, ketika pedangmu menghantam tulang pundak mereka, pasir yang melengket di batang pedang ikuti meresap ke dalam kulit daging mereka "

   Kelima penyatron itu sudah pingsan dan tak tahu lagi apa yang terjadi.

   Diam-diam Yu Wi membayangkan betapa lihainya pasir berbisa itu, hanya sekejap saja hawa racun sudah merembes sampai di bagian leher, kalau tertunda sebentar lagi tentu akan menjalar ke seluruh tubuh dan jiwa tentu akan melayang.

   Ia jadi teringat kepada Bok-ya yang juga terkena pasir berbisa itu, cepat ia mendekati penyatron yang mengadu pukulan dengan Bok-ya tadi, ia membuka Hiat-tonya, setelah orang sadar, ia pen-cet "Pek-wi-hiat"

   Di bagian kuduknya, lalu bertanya dengan suara bengis.

   "Di mana obat penawarnya?"

   Penyatron itu ternyata kepala batu, sama sekali tidak mau mengaku.

   Yu Wi menjadi tidak sabar, ia kuatir bila tertunda terlalu lama tentu akan membahayakan Ko Bok-ya, maka ia menutuk lagi Hiat-to keampuhan orang itu, dari bajunya digeledah keluar tujuh botol obat kecil, tapi tidak diketahui botol mana yang berisi obat penawar racun pasir Segera ia menutuk pula Thian-tut-hiat orang itu.

   Thian-tut-hiat adalah Hiat-to yang menghubung urat tangan dengan hulu hati, bila tertutuk, sekujur badan rasanya seperti dirambati dan digigiti oleh beratus ribu semut, sakit dan gatalnya luar biasa.

   Penyatron itu tahu siksaan apa yang akan dirasakannya, cepat ia berkata.

   "Botol ketiga adalah obat yang dapat menghapuskan hawa berbisa di tubuhnya."

   Hanya sekejap itu saja orang ini sudah kesakitan setengah mati hingga mukanya pucat menginjak Sekali depak Yu Wi membuka Hiat-to orang yang ditutuknya tadi, ia mengambil obat botol ketiga dan diminumkan kepada Ko Bok-ya.

   Ko Siu dan isterinya juga kelabakan melihat puteri kesayangan keracunan akan tetapi mereka pun tak berdaya.

   Tidak lama kemudian, hawa beracun di tangan Ko Bok-ya sudah hilang seluruhnya, ia menghela napas, katanya.

   "Lihai amat racun ini, hanya mengadu tangan saja dengan dia dan racun lantas merembes masuk melalui kulit Kalau tidak kutahan dengan tenaga dalam, saat ini jiwaku mungkin sudah amblas."

   Yu Wi tidak menduga ke tujuh orang yang tampaknya tidak ada sesuatu yang istimewa ini ternyata memiliki kemahiran menggunakan racun selihai ini dan sukar untuk dipercaya, Biasanya seorang ahli racun tentu ada ciri-ciri khas, tapi ket juh orang ini tiada sedikitpun tanda begitu sehingga Ko Bok-ya tidak berjaga-jaga dan terperangkap.

   Karena hawa beracun sudah hilang dari tubuh si nona, Yu Wi berkata dengan tertawa.

   "Bagaimana kalau kupapah kau bangun?"

   "Jangan,"

   Jawab Bok-ya sambil menggeleng.

   ""racun pada kakiku belum punah, aku belum dapat berdiri."

   Akan tetapi kakinya tertutup oleh kain baju sehingga tidak kelihatan.

   "Mungkin sudah baikan, bolehkah kulihat?"

   Pinta Yu Wi. pelahan Bok-ya menarik kain bajunya sehingga kelihatan betisnya yang biru dan tambah menakutkan ia menghela napas pelahan dan berkata.

   "Sia-sia saja kutahan dengan sepenuh tenaga, tapi hawa beracun masih terus menjalar sedikit demi sedikit."

   "lnilah Mo-lam (biru hantu) dari benua barat, pernah kusaksikan orang mati seketika oleh karena racun ini, lekas kau minta obat penawarnya kepada penyatron itu, jangan terlambat lagi!"

   Seru Ko Siu mendadak dengan nada kuatir dan terkejut. Yu Wi juga terkesiap, ia kuatir Ko Bok-ya tak tertolong lagi, cepat ia cengkeram penyatron itu dan membentaknya.

   "Lekas serahkan obat penawarnya jika tidak ingin kusiksa kau!"

   Orang itu menggeleng dan menjawab.

   "Aku sendiri tidak mampu menawarkan racun itu."

   Giok-cian-siancu juga cemas, serunya.

   "Lekas keluarkan obat penawar, ketahuilah saudaramu sendiri juga terkena racun biru ini!"

   Tapi penyatron itu tetap menggeleng dan menjawab.

   "Biarpun saudaraku sendiri juga tak dapat kutolong."

   "Dusta!"

   Bentak Yu Wi dengan gusar.

   Mendadak ia perkeras pegangannya sehingga tangan orang itu tertelikung, saking kesakitan orang itu mencucurkan keringat dingin.

   Akan tetapi ia bertahan sekuatnya tanpa merintih sedikitpun untuk memperkuat keterangannya bahwa racun "biru hantu"

   Itu memang tidak ada obat penawarnya.

   "Tiada gunanya kau paksa dia, Toako."

   Ucap Ko Bok-ya dengan suara lemah.

   "lebih baik kau sadarkan saudaranya dan menanyai mereka saja,"

   Yu Wi, pikir benar juga saran ini, bisa jadi orang ini pantang sesuatu dan tidak berani mengaku terus terang, tapi saudaranya terkena racun, demi keselamatan sendiri mungkin dia mau bicara.

   Segera ia mendekati kelima orang yang menggeletak tak berkutik itu, ia coba memeriksa, seketika ia menjadi sedih, ucapnya dengan lemas.

   "Mereka... mereka sudah mati semuanya..."

   Dilihatnya sekujur badan kelima orang itu sama berubah warna biru, begitu menyolok warna birunya sehingga bersemu hijau, padahal mereka baru bicara sebentar, warna biru yang tadi baru sampai di bagian leher kelima orang itu kini sudah menjalar ke seluruh tubuh, sungguh cepat luar biasa penyebaran racun biru hantu itu.

   "Jadi saudaraku benar-benar keracunan biru hantu?"

   Seru si penyatron pertama tadi dengan ketakutan.

   "Memangnya kami bohong padamu?"

   Ujar Giok-cian-siancu dengan mencucurkan air mata memikirkan keselamatan Bok-ya.

   Ko Siu tahu betapa lihaynya racun biru itu, tampaknya puteri kesayangan yang jelita itu segera juga akan mati, ia jadi kesima dan tak berdaya.

   Penyatron bermuka buas tadi sangat memperhatikan keselamatan saudaranya, mendadak ia meraung.

   "Jika benar saudaraku mati, keluarga Hoa pasti tidak akan menyudahi urusan ini dengan kalian!"

   "Sebenarnya ada permusuhan apa antara kalian dengan kami?"

   Ujar Yu Wi dengan gegetun.

   "Untuk apa kami mesti membikin celaka saudaramu, kan salah mereka sendiri, sekarang malahan Ya-ji juga..."

   "Jika kau memang tidak bermaksud mencelakai jiwa saudaraku, hendaknya lekas kau keluarkan darah berbisa mereka dan lolohi mereka dengan obat kuat, lekas, lekas! Mungkin tidak keburu jika tertunda lagi."

   Tergerak hati Yu Wi, cepat ia memondong Bok-ya ke pembaringan, ditanggalkannya sepatu dan kaos kakinya, dilihatnya warna biru hantu itu sudah menjalar sampai di bagian lekukan lutut, jelas Bok-ya sedang menahan menjalarnya racun dengan sekuatnya.

   Lekas ia angkat kaki Bok-ya yang putih mulus itu, mendadak ia menggigit tengah telapak kaki si nona, sebenarnya Bok-ya sudah merasa malu ketika sepatu dan kaos kakinya dilepaskan Yu Wi, sekarang kakinya digigit pula oleh mulut anak muda itu, keruan ia tambah jengah, walaupun begitu di dalam hati terasa sangat bahagia.

   Setelah telapak kaki si nona digigitnya hingga pecah, sekuatnya Yu Wi lantas mengisapnya, hanya sebentar saja ia sudah meludah belasan kumur darah berwarna biru, lambat-laun warna biru di kaki Bok-ya juga menghilang dan kembali pada warna putih keabu-abuan.

   Segera Yu Wi menghisap pula darah biru pada kakinya yang lain.

   Dalam pada itu Giok-ciangsiancu juga sudah berlari ke kamarnya dan membawakan obat kuat dan air bersih.

   Waktu Yu Wi berkumur mencuci mulut, Giok-ciang siancu juga sibuk memberi minum obat kuat kepada Ko Bokya.

   Peng-ma-tayciangkun adalah pembesar yang diagungkan pada pemerintahan jaman ini, di rumahnya tentu saja tersedia banyak sekali obat kuat pemberian raja, Dengan cepat Bok-ya telah diberi minum beberapa jenis obat kuat yang mustajab.

   Ko Siu sangat terharu, ia pegang pundak Yu Wi dan berkata.

   "Sedemikian kau berusaha menolong puteriku, sungguh kami suami-isteri sangat berterima kasih padamu."

   Mendadak terdengar si penyatron bermuka buas tadi berteriak.

   "He, bocah itu! Setelah kau tolong si budak mengapa tidak kau tolong saudaraku?"

   "Kan sudah kukatakan sejak tadi, mereka sudah mati semua!"

   Jawab Yu Wi dengan menyesal.

   "Apakah tubuh mereka bersemu hijau?"

   Tanya penyatron yang lain.

   "Ya, samar-samar di antara warna biru juga bersemu hijau,"

   Jawab Yu Wi.

   "Oo! jika begitu memang benar mereka telah mati,"

   Teriak si muka buas.

   "Bocah keparat, harus kau ganti nyawa mereka!"

   Sembari bicara ia terus menangis sedih, Tampangnya kelihatan buas, tapi hatinya ternyata lunak.

   Diam-diam Yu Wi menaruh hormat terhadap rasa persaudaraan mereka.

   Sebaliknya si penyatron yang satu lagi meski berwajah bajik tapi sama sekali tidak memperlihatkan rasa sedih, ia malah memaki.

   "Mati biar mati, kenapa mesti menangis? Sudah delapan orang yang kita binasakan, masih ada untung bagi kita."

   Ke tujuh pengawal Ko Siu tadi memang sudah mati terbunuh oleh musuh, maka Yu Wi menjadi heran atas ucapan orang, ia coba tanya, Di pihak kami hanya mati tujuh orang, mana ada delapan?"

   "Bukankah masih harus ditambah dia!"

   Teriak penyatron itu sambil menuding Bok-ya.

   "Omong kosong!"

   Damperat Yu Wi.

   "Racunnya sudah punah, masa kau katakan dia sudah mati?"

   Pendekar Kembar Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hahahaha!"

   Penyatron itu tertawa.

   "Racun biru hantu keluarga Hoa tidak ada obat penawarnya, siapa yang kena harus mati, masa budak setan ini masih berharap akan hidup?"

   Yu wi menjadi kuatir, ia tahu si muka buas berhati lebih baik dan dapat diajak berunding, segera ia mendekatinya dan memapahnya bangun, tanyanya.

   "Apakah benar perkataan saudaramu itu?"

   Si muka buas mengangguk, jawabnya.

   "Betul, anak dara itu jangan harap akan hidup lagi."

   Air muka Yu Wi berubah pucat, serunya.

   "Tadi bukankah kau bilang ada cara untuk memunahkan racunnya?"

   "Racun biru hantu itu tidak terdapat obat penawarnya di daerah Tionggoan sini,"

   Tutur si muka buas.

   "Tapi teteslah darah berbisa dikeluarkan lalu diberi minum obat kuat, jiwanya dapat dipertahankan setengah bulan, lewat waktu setengah bulan, bila racun bekerja lagi, maka tak dapat ditolong lagi."

   "Apakah kalian orang dari negeri Iwu (daerah Sinkiang sekarang)?"

   Tanya Ko Siu, Orang itu menunduk tanpa menjawab. Yu Wi menyeletuk.

   "Darimana Pekhu tahu?"

   "Racun biru hantu ini adalah barang berbisa keluaran khusus negeri Iwu,"

   Tutur Ko Siu.

   "Pernah satu kali mereka memperalat orang Tionggoan untuk mencelakai diriku dengan racun ini, tapi usaha mereka gagal, yang binasa adalah pengawal lain. Tak terduga sekarang mereka memperalat pula Hoa-bun-jit-tok untuk mencelakai diriku dan tak terduga bahwa sekali ini anak perempuanku yang menjadi korban."

   Saking cemasnya Yu Wi menggoyang-goyangkan tubuh si muka buas dan berteriak.

   "Apa benar-benar tidak ada obat penawarnya? Lekas katakan atau kubinasakan kau sekarang juga."

   "

   "Mau bunuh atau apa saja boleh terserah padamu, yang pasti kami memang tidak mempunyai obat penawarnya, sekalipun di negeri Iwu kami juga tidak terdapat obat penawarnya, percaya atau tidak terserah padamu,"

   Kata orang itu dengan serius. Yu Wi menjadi berduka dan mendekati Bok-ya bersama Ko Siu. Melihat ayah-bunda dan Yu Wi sama sedih bagi keadaannya, Bok-ya lantas menghiburnya.

   "Jangan kuatir, kalau jiwaku masih tahan 15 hari lagi, tentu racun dalam tubuhku dapat dipunahkan."

   "Apa betul?"

   Seru Yu Wi dengan girang.

   "Tentu saja betul, masa kubohong padamu,"

   Ujar Bok-ya dengan tersenyum.

   "Cuma untuk ini harus bikin repot Toako..."

   Tanpa Dikir Yu Wi berkata.

   "Jangankan cuma membikin repot, biarpun terjun ke dalam air mendidih atau masuk lautan api juga akan kulakukan."

   Ucapan yang terlalu mesra ini membikin malu pada Ko Bok-ya, dengan muka merah ia menunduk Giok-ciang-siancu lantas berkata dengan tertawa.

   "Ya-ji, apakah racun dalam tubuhmu benarbenar dapat dipunahkan?"

   Pelahan Bok-ya mengangkat kepalanya dan menjawab.

   "Kan masih ada paman Su di Siau-ngo tay-san. masa kita takut barang berbisa segala?"

   "Ah, memang benar, kenapa tidak kuingat padanya!"

   Seru Yu Wi sambil mengetuk dahi sendiri Su Put-ku berjuluk tabib sakti dan dapat menghidupkan orang yang sudah mati.

   Meski ia pun diberi poyokan sebagai "Su-put-kiu", tapi kalau dia mau memberi obat mujarab kepada Bok-ya untuk menyelamatkan jiwanya, tentunya jiwa si nona pasti juga akan ditolongnya.

   Berpikir demikian, legalah hati Yu Wi, berseri-seri pula mukanya.

   Tapi Ko Siu tidak tahu tokoh macam apakah Su Put-ku itu, namun ia pun ikut senang demi melihat Yu Wi bergirang, segera ia berkata.

   "jarak Siau-ngo-tay-san dari sini kira-kira sepuluh hari perjalanan, karena Ya-ji tidak dapat berjalan, terpaksa harus membikin susah Hiantit, baik waktu maupun tenaga...."

   "Ah,"

   Jangan paman bicara demikian,"

   Ujar Yu Wi.

   "kalau tidak ada adik Ya, saat ini jiwaku mungkin sudah melayang, Apapun juga dan betapa sulitnya pasti akan ku kawal dia ke Siau-ngotay- san dan minta Su Put-ku mengobati dia."

   "Jika kau yang mengawal Ya-ji ke sana, aku tidak perlu kuatir apa pun,"

   Kata Giok-ciang-siancu.

   "Waktu sangat berharga, boleh sekarang juga kalian berangkat saja."

   Segera Yu Wi memondong Ko Bok-ya, Giok-ciang-siancu juga lantas memerintahkan menyediakan kereta kuda. Bok-ya memikirkan keselamatan sang ayah, dengan kuatir ia berkata.

   "Sesudah ku pergi, selanjutnya ayah harus tambah waspada, jangan sampai kemasukan pembunuh gelap lagi."

   "Selama 20 tahun ini sedikitnya sudah ratusan kali ayah hendak dibunuh, tapi setiap kali selalu selamat, apalagi yang perlu ditakuti ayah?"

   Ujar Ko Siu dengan sewajarnya.

   "Justeru kuharap kau akan lekas sembuh agar ayah tidak kuatir senantiasa."

   Bok-ya menggeleng, katanya.

   "Kini pihak lwu mempunyai jago kelas tinggi dari agama sesat yang mahir ilmu membuat tidur (hypnosa), seperti Sam-yap Siangjin tadi yang juga kena dikerjai musuh, keadaannya tampak linglung seperti kehilangan kesadaran sehingga para penyatron tadi dibawa masuk kemari. Maka ayah harus tambah waspada, penjagaan hendaknya diperketat jangan berhadapan muka dengan muka bila ketemu penyatron lagi agar tidak terpengaruh oleh ilmu sihir mereka, juga para pengawal diperingatkan agar hati-hati terhadap ilmu sihir musuh, Selain itu juga harus hati-hati terhadap keluarga Hoa...."

   Ko Siu mengangguk, katanya dengan tertawa.

   "Ya, ku tahu, lekas berangkatlah kalian, jangan menguatirkan ayah di sini, sedapatnya mengusahakan penyembuhanmu sendiri, ingatlah ayah hanya mempunyai seorang anak perempuan saja."

   Kereta sudah siap, Yu Wi dan Ko Bok-ya duduk bersanding di dalam kereta, saisnya adalah pengendara pilihan di kotaraja, gagah perkasa dan baru berumur tiga puluhan, namun sudah kenal semua jalan di seluruh negeri.

   Setelah memberi pesan seperlunya, segera sais melarikan kuda kereta itu secepat terbang.

   Sesudah kereta berangkat, Ko Siu berkata kepada sang isteri.

   "Para penyatron ini jelas telah diperalat komplotan jahat, masih sisa dua orang, bilamana mereka mau insaf akan kesalahannya, biarlah kita bebaskan mereka."

   Giok-ciang-siancu mengangguk setuju, dia mendekati kedua orang tadi dan mendamperat serta menasehati mereka, setelah kedua orang itu menyatakan penyesalan mereka, dibukalah Hiat-to mereka yang tertutuk itu dan dilepaskan pergi.

   oOo ^O^ oOo Sepanjang perjalanan, karena keadaan Bok-ya lemas tak bertenaga, maka setiap keperluannya diladeni sendiri oleh Yu Wi.

   Tentu saja si nona sangat berterima kasih.

   "Suatu hari mereka sudah keluar Ki-yong koan, salah satu gerbang tembok besar di perbatasan Di luar benteng sana adalah jalan raya yang sepi dan jarang dilalui orang. Sais melarikan keretanya terlebih cepat sehingga menimbulkan kepulan debu yang tebal seperti kabut. Baru sejam perjalanan, seluruh kereta sudah berlapiskan debu kuning yang tebal, muka dan kepala sais juga bermandikan debu sehingga sukar dikenali. Di dalam kereta Ko Bok-ya sedang tidur nyenyak, Yu Wi lagi duduk dengan memejamkan mata. Mendadak kereta berhenti, terdengar pengendara lagi berteriak.

   "Minggir! Lekas minggir!...."

   Sampai belasan kali sais itu berteriak, tapi kereta belum juga berangkat pula. Bok-ya terjaga bangun, dengan mata sepat ia bertanya.

   "Ada apa, Toako?"

   Yu Wi membetulkan selimut tipis di tubuh si nona, jawabnya dengan tertawa.

   "Tidur saja, akan kulihat keluar!"

   Bok-ya sangat terhibur mendapat pelayan sebaik ini dari anak muda itu, sorot matanya memancarkan cahaya bahagia. Yu Wi membuka pintu kereta, lalu bertanya kepada sais.

   "Terjadi apa?!"

   "Ada serombongan orang liar dengan tubuh coreng-moreng mengadang di tengah jalan,"

   Tutur si Kusir.

   Waktu Yu Wi memandang ke depan sana, benarlah dilihatnya segerombolan lelaki telanjang dengan badan penuh corat-coret dan beraneka warna, semuanya cuma memakai kain penutup bawah badan sebatas lutut, berpuluh orang berkerumun di tengah jalan sehingga berwujud suatu lingkaran dan sedang berlompatan kian kemari.

   Yu Wi hendak mencari keterangan dan menyuruh mereka menyingkir Ketika ia turun dari keretanya dan mendekati rombongan orang itu.

   mendadak lompatan orang-orang itu bertambah cepat malahan terdengar suara mereka yang mirip orang meratap dan memilukan.

   Karena suara yang tidak enak di dengar itu, melihat pula warna-warni yang mengaburkan pandangan itu, seketika Yu Wi merasa kepala rada puning, kelopak mata terasa berat, rasanya mengantuk.

   keadaan ini membuatnya terkesiap, cepat ia mengerahkan tenaga dan membentak sekerasnya.

   "Berhenti!"

   Karena bentakan yang menggelegar ini, serentak kawanan orang bercoreng-moreng itu sama berhenti berjingkrak.

   Begitu mereka berhenti menari, pengaruh warna di tubuh mereka yang menyesatkan pikiran itu pun hilang, seketika benak Yu Wi jadi jernih lagi, diam-diam ia mengerahkan Lwekang dan memusatkan pikiran, ia mendekati mereka dengan langkah lebar dan bertanya.

   "Untuk apakah kalian menghadang di tengah jalan raya?"

   Orang-orang bertelanjang dan berwarna-warni itu berkaok-kaok sambil menuding ke sana kemari entah apa yang dikatakan.

   Yu Wi tahu mereka sedang bicara padanya, tapi sekata saja tidak dipahaminya, Terpaksa ia memberi isyarat tangan, maksudnya supaya mereka menyingkir ke tepi jalan, berbareng ia pun berteriak.

   "Minggir! Hendaknya kau minggir..."

   Tapi orang-orang itu tetap tidak mau menyingkir mereka menggeleng dan tetap berteriakteriak.

   Yu Wi menjadi gemas, sungguh kalau bisa dia ingin mengusir mereka satu persatu.

   Tiba-tiba di tengah kerumunan orang banyak itu muncul seorang tua berbaju kelabu, melihat dandanan orang tua ini seperti bangsa Han, dengan girang Yu Wi lantas menyapa.

   "Eh, Lotiang (pak tua), tolong suruhlah mereka menyingkir!"

   Air muka orang tua itu tampak sedih, jawabnya sambil menggeleng.

   "Tidak mungkin, tidak nanti mereka mau menyingkir!"

   "Sebab apa?"

   Tanya Yu Wi.

   "Ada seorang pemuda suku bangsa mereka mendadak jatuh di tengah jalan dan akan mati,"

   Tutur si kakek.

   "Menurut kebiasaan adat suku mereka, kawan-kawannya harus menyatakan berduka cita selama tiga hari dengan mencoreng-moreng tubuh mereka, dengan demikian barulah arwah pemuda itu akan naik ke surga, Kalau tidak, matinya akan masuk neraka dan selamanya tak bisa menitis lagi."

   "Mereka tergolong suku bangsa apa dan bicara dalam bahasa apa?"

   Tanya Yu Wi.

   "Mereka ini suku Dai, bicara bahasa Dai. mungkin tuan tidak paham,"

   Kata kakek itu. Yu Wi menggeleng, lalu ia berpaling dan tanya si kusir.

   "Apakah kau tahu suku Dai?"

   "Tahu,"

   Jawab si kusir.

   "Orang Dai gemar main jimat dan baca mantera segala dengan caracara yang aneh, pernah satu kali...."

   Selagi si kusir mengoceh hendak bercerita panjang lebar untuk membuktikan pengalamannya yang luas, cepat Yu Wi memberi tanda agar jangan banyak omong, lalu katanya terhadap si kakek.

   "Pemuda itu sakit apa?"

   Air muka si kakek tampak berubah takut, tuturnya.

   "Wah, selamanya tak pernah kulihat penyakit aneh begini. Ketika kami sedang menempuh perjalanan bersama suku bangsa mereka, mendadak pemuda itu jatuh tersungkur, lalu bergulingan di tanah sambil menjerit, suaranya makin lama makin kecil dan sangat menyeramkan, sekarang sudah tak bisa bersuara lagi, tampaknya sudah hampir menghembuskan napas terakhir, keadaannya sangat mengenaskan dan harus dikasihani..."

   Diam-diam Yu Wi membatin, bila ditinjau dari keadaan pemuda yang sakit itu, jangan-jangan karena Hiat-tonya tertutuk oleh tokoh dunia persilatan sehingga keadaannya sangat tersiksa, Dengan simpatik ia lantas berkata.

   "Apakah boleh kuperiksa keadaan pemuda itu?"

   "Apakah Tuan ini seorang tabib?"

   Tanya si kakek, Yu Wi menggeleng, jawabnya.

   "Coba tunjukkan padaku, mungkin dapat kusembuhkan dia."

   Cepat si kakek berlari ke sana dan berbicara sejenak dengan orang-orang yang bercoreng-moreng itu, lalu orang-orang itu kelihatan bergirang, serentak mereka memberi jalan sambil berteriak-teriak. Si kakek lantas berkata kepada Yu Wi.

   "Mereka menyatakan, apabila Siangkong (tuan) dapat menyembuhkan anak muda ini, segenap suku bangsa mereka akan sangat berterima kasih, sebab anak muda ini adalah putera kepala suku mereka."

   "Aku tidak tahu- akan berhasil atau tidak, tapi akan kucoba,"

   Ujar Yu Wi. Dilihatnya di tengah jalan raya itu ada sehelai tikar yang menutupi sesuatu yang kelihatan agak menonjol. Cepat si kakek tadi menjelaskan.

   "Orang-orang ini kuatir yang sakit akan mati terjemur sinar matahari maka ditutup dengan tikar....."

   Yu Wi lantas mendekati tikar itu, tiba-tiba terdengar seruan Ko Bok-ya di dalam kereta.

   "Toako, jangan ikut campur urusan tetek-bengek, marilah kita melanjutkan perjalanan dengan memutar!"

   Yu Wi merandek, hal ini menimbulkan perubahan air muka si kakek, tapi kejadian ini tidak diketahui Yu Wi, dengan suara keras ia malah menjawab.

   "tidak apa-apa, segera kita juga akan berangkat!"

   Lalu ia menuju ke depan tikar dan berkata.

   "Coba singkirkan tikar ini."

   
Pendekar Kembar Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Si kakek kelihatan ragu dan tidak berani mendekap sebaliknya menyurut mundur dua-tiga langkah, lalu memanggil salah seorang yang bertubuh coreng-moreng dan bicara sejenak, orang itu seperti ogah-ogahan, tikar itu lantas disingkapnya.

   Pengalaman mengembara di dunia Kaugouw bagi Yu Wi boleh dikatakan masih sangat cetek, segala sesuatu itu ternyata tidak menimbulkan rasa curiganya, sebaliknya ia malah berharap akan dapat menyembuhkan anak muda itu secepatnya agar ia sendiri dapat lekas berangkat ke Siaungo- tay san.

   Dilihatnya orang yang coreng-moreng itu memegang kedua ujung tikar dan disingkap secara mendadak.

   seketika segulung asap hijau mengepul dan menjulang tinggi ke atas.

   Segera Yu Wi menyadari gelagat yang tidak menguntungkan cepat ia menahan napas, tapi sudah terlambat dia tetap sempat mengisap sedikit asap hijau itu.

   Waktu ia memandang ke bawah tikar, mana ada orang sakit segala, yang terlihat hanya sebuah tempayan perunggu dan entah benda apa yang dibakar di dalam tempayan itu, Hanya sekejap itu saja orang yang menyingkap tikar itu mendadak jatuh terguling di tanah, kontan tak sadarkan diri seperti orang mati, mungkin cukup banyak asap hijau yang diisapnya, Baru sekarang Yu Wi tahu benar bahwa semua ini hanya perangkap belaka, ia menjadi gusar, ia membalik tubuh dan mendekati si kakek, tapi tidak berani mendamperat, sebab kalau membuka mulut, bisa jadi asap berbisa itu akan terhisap, pula.

   Melihat Yu Wi tidak roboh, kawanan orang bertubuh coreng-moreng seperti merasa heran, sedangkan si kakek lantas berteriak sambil terbahak.

   "Haha, apakah kau tahu siapa diriku?"

   Yu Wi tetap tutup mulut dengan kedua tangan mengepal, ia pikir sekali hantam harus mampuskan kakek jahat ini. Akan tetapi orang tua itu sangat licin, ia terus menyurut mundur sambil tertawa terkekehkekeh, serunya.

   "Percuma! Tiada gunanya bagimu! Biarpun Lwekangmu maha kuat, dapat kau tutup mulut sekian lamanya, tapi begitu kau bernapas, seketika kau akan roboh dan pingsan, Apakah kau tahu obat lihay macam apa itu?"

   Justeru Yu Wi ingin tanya asap berbisa apakah itu, tapi sedapatnya ia bertahan agar tidak terpancing bicara oleh lawan, Namun sekarang badan sudah dirasakan agak lemas, ia tahu asap yang terhisap tadi sudah menimbulkan pengaruh di dalam badannya, Apabila dia menghantam si kakek sekuatnya, tentu ia sendiripun akan jatuh pingsan.

   Ko Bok-ya mendapat tahu apa yang terjadi di luar kereta dari laporan si kusir, ia menjadi kuatir dan berteriak.

   "Toako! Bagaimana keadaanmu? Kau tidak apa-apa, bukan?"

   Suaranya cemas dan sangat gelisah, hati Yu Wi sangat terharu, matanya menjadi basah, pikirnya bila si nona dapat bergerak sedikit saja, pasti dia akan menerjang kemari untuk membantunya.

   Teringat kepada keselamatan Bok-ya, tanpa pikir ia terus berteriak.

   "Ayolah lekas kalian kabur saja! Lekas...

   "

   Belum habis ucapannya, seketika kepala terasa pusing, kontan ia roboh dan tidak tahu lagi apa yang terjadi. Keruan Bok-ya sangat kuatir, teriaknya.

   "Toako! Toako!"

   "Siangkong roboh pingsan, lekas kita lari saja "

   Seru si kusir dengan kuatir. Selagi ia hendak melarikan keretanya, mendadak Ko Bok-ya membentaknya.

   "Berhenti! Tidak boleh lari....."

   Si kakek berbaju kelabu tadi terbahak-bahak serunya.

   "Betul juga! Yang bisa melihat gelagat adalah ksatria sejati! Lebih baik kalian ikut pergi saja bersama kami dan jangan berpikir akan kabur!"

   Kerai pintu kereta tersingkap, Ko Bok-ya merambat ke tepi pintu dan bertanya dengan suara terputus-putus.

   "Ka ....kalian telah ap... apakan dia?"

   Tiba-tiba dilihatnya si kakek berbaju kelabu telah mengempit Yu Wi yang tak sadar itu, tampaknya hendak dibawa pergi.

   "Apakah kau ini Ko-siocia kesayangan Tayciangkun?"

   Tanya kakek itu dengan tertawa. Bok-ya tidak menjawab, sebaliknya ia lantas mendamprat.

   "Mana boleh kau perlakukan dia sekasar itu?"

   Mendadak Bok-ya menjerit marah, sebab si kakek terus membanting Yu Wi ke tanah sambil menjengek.

   "Hm, apakah hatimu sakit? Merasa berat?"

   Bok-ya mendelik murka, tapi sayang, sama sekali ia tak bertenaga dan tidak berdaya apapun, kalau tidak, bisa jadi kakek itu akan dibinasakan dan dicincangnya, Si kakek terkekeh kekeh senang, katanya pula.

   "Aku si "Hek-sim-put-hwe"

   The Pit-sing bukanlah manusia yang berhati lunak, Ko-siocia, sebaiknya kau turut perkataanku kalau tidak, jangan menyesal bila kubinasakan bocah ini."

   Mendengar julukan "Hek sim put-hwe"

   Atau manusia berhati hitam tanpa kenal menyesal, diam-diam Bok-ya merasa ngeri, ucapnya kemudian sambil menghela napas.

   "Habis apa kehendak kalian?"

   Si kakek cengkeram pula tubuh Yu Wi terus dilemparkan ke dalam kereta, jengeknya.

   "Pokoknya nanti kau akan tahu sendiri, sekarang tidak perlu banyak bertanya!"

   Segera ia melarikan kereta itu ke jalan simpang sana, Bok-ya menurunkan kerai pintu kereta, hatinya rada terhibur karena Yu Wi berada di sampingnya meski dalam keadaan tak sadar seperti orang mati.

   Kereta dilarikan dengan sangat cepat.

   

   first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 21:32:02

Elang Pemburu -- Gu Long /Tjan Id Pedang Angin Berbisik -- Han Meng Harimau Kemala Putih -- Khu Lung

Cari Blog Ini