Peristiwa Burung Kenari 7
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long Bagian 7
Peristiwa Burung Kenari Karya dari Gu Long
Sigap sekali Hiong nio cu mencelat keluar dari rakit kulitnya, pakaian sarinya yang serba putih laksana salju itu beterbangan terhembus angin seolah-olah sudah senyawa dengan kabut putih yang memenuhi udara.
Sementara rakit kulit itu berputar-putar secepat roda di permukaan air, semakin putar semakin kecil, kira-kira setelah berputar tujuh delapan belas kali, lalu terdengar "blup"
Rakit kulit itu mencelat naik ke udara.
Agaknya secara diam-diam ada seseorang yang bertangan jahil menyambit dengan sesuatu sehingga rakit kulit yang penuh diisi hawa itu bocor, seperti ban yang bocor maka rakit kulit itu lantas berputar-putar dengan cepat.
Dalam pada itu Hiong nio cu sudah mencelat naik ke daratan, sorot matanya memancarkan rasa kaget dan keheranan, tiba-tiba dia membanting kaki, baru saja dia hendak putar tubuh melarikan diri, ditengah-tengah tebalnya kabut di sebelah depan sana tiba-tiba terdengar suara tawa yang lirih merdu.
Sebuah suara yang genit aleman berkata.
"Kau sudah kemari, kenapa harus berlalu?"
Maka terdengar pula suara air tersiak, tahu-tahu sebuah sampan meluncur mendatangi melawan arus muncul ditengah-tengah kabut tebal, di ujung sampan berdiri sesosok bayangan putih yang berperawakan ramping menggiurkan, di tangannya memegang sebuah galah panjang, cepat sekali sampan itu sudah merapat ke daratan, maka seringan burung walet badannya melayang naik kehadapan Hiong nio cu.
Hiong nio cu menghela napas, ujarnya.
"Ternyata kau."
Gadis baju putih itu tersenyum, katanya.
"Benar, kau tak menduga bukan? Tapi aku sudah tahu pasti kau akan datang, maka siang-siang sudah kutunggu kau disini!"
Lembah nan tersembunyi, kabut tebal, air mengalir, seperti perempuan kenyataan laki-laki, benggolan jahat kalangan Kangouw bangkit kembali dari liang kuburnya, semua ini sungguh merupakan serangkaian kejadian yang misterius dan sukar diterima oleh nalar sehat.
Tahu-tahu ditengah kabut tebal itu muncul pula sebuah sampan dengan perempuan cantik laksana bidadari, sehingga Coh Liu-hiang yang menyaksikan ditempat sembunyinya merasa kaki tangan menjadi dingin.
Apakah semua yang disaksikan ini kenyataan? Atau khayalan? Siapapun sukar membedakan.
Terasa olehnya perempuan serba putih ini sedemikian berisi, cantik dan montok gemulai lagi, seolah-olah indah tiada bandingan lagi keayuannya, tapi kabut terlalu tebal, dari jarak di tempatnya sembunyi, sukar melihat jelas siapa gerangan gadis jelita ini.
Lama Hiong nio cu berdiam diri, lalu katanya menghela napas.
Sebetulnya aku tak ingin kemari, tapi aku dipaksa untuk datang kemari.
Tiba-tiba gadis itu menghentikan tawanya katanya.
"Memangnya kau sudah lupa akan sumpahmu sendiri pada masa lalu?"
Mendengar suara ini terasa oleh Coh Liu-hiang bahwa dia sudah kenal betul dengan suara ini.
Maka dilihatnya gadis itu berdiri berhadapan dengan Hiong nio cu yang sama serba putih, dinilai dandanan, gaya dan kecantikannya dua-duanya laksana pinang dibelah dua.
"Aku tak pernah lupa."
Sahut Hiong nio cu rawan.
"Tapi aku hanya ingin menengok kuburan putriku saja."
Gadis baju putih itu berkata.
"Apa sih yang patut kau lihat, toh hanya segundukan tanah kuning melulu, kalau kau ingin melihat pergilah tengok kuburan-kuburan para gadis yang pernah kau nodai, bukankah kuburan di kolong langit ini sama saja?"
Kata-katanya ini mendadak runcing dan menusuk pendengaran, setelah mendengar kata ini baru Coh Liu-hiang sadar bahwa perempuan ini ternyata adalah Kionglam Yan, karena mimpipun Coh Liu-hiang tak pernah membayangkan, perempuan kaku dingin disaat mengatakan kata-katanya yang pedas itu masih bisa tertawa.
Tak kira didengarnya Kionglam Yan cekikikan lagi katanya lembut.
"Maaf ya, bukan sengaja aku hendak melukai hatimu dengan kata-kata sekasar itu, jangan kau marah padaku! Aku... selanjutnya pasti takkan kukatakan lagi!"
Kembali Coh Liu-hiang dibuat sangsi akan pendengaran kupingnya.
Betapapun dia takkan percaya Kionglam Yan bakal mengucapkan kata-kata seperti itu.
Tapi perempuan ini terang adalah Kionglam Yan, dengan langkah gemulai dia mendekati Hiong nio cu, Hiong nio cu hanya berdiri mematung di tempatnya, entah apa yang sedang berkecamuk didalam benaknya? Kionglam Yan unjuk senyuman mekar, katanya lembut.
"Apakah aku berhadapan dengan muka aslimu? Tak heran dia selalu mengatakan wajahku hampir mirip dengan mukamu, malah jauh lebih mirip kau dari putrimu sendiri."
Mendadak Hiong nio cu angkat kepala, tanyanya.
"Dia... dia sering menyinggung diriku di hadapanmu?"
"Hm! Kionglam Yan menjawab dengan suara aleman. Pelan-pelan dia bergerak jalan mengelilingi Hiong nio cu, satu putaran lalu berhenti di depannya pula, sepasang mata yang jeli dan bening bundar tanpa berkedip menatap muka orang, katanya pelan-pelan.
"Apa kau pun sering teringat kepadanya?"
Hiong nio cu menghela napas, katanya.
"Beberapa tahun belakangan ini, siapapun sudah kulupakan semua."
Kionglam Yan cekikikan lagi, katanya.
"Tipis sekali cintamu, tidakkah kau tahu betapa orang memikirkan kau sampai pergi mati datang hidup, kau sebaliknya melupakan orang sama sekali, memangnya tiada seorangpun dalam jagat ini yang benar-benar dapat menggerakkan atau menimbulkan seleramu?"
"Tidak ada."
Sahut Hiong nio cu.
Pelan-pelan dia menggigit bibir, sikap dan gayanya mirip benar dengan seorang gadis aleman yang malu-malu.
"Baru sekarang aku tahu kau sebetulnya memang seorang siluman yang pandai memelet orang, tak perlu heran bahwa sekian banyak gadis-gadis cantik yang rela menjadi korban keisenganmu, sampai aku...
akupun..."
Agaknya mukanya menjadi merah, kepala tertunduk kedua tangan mengucek-ngucek ujung bajunya. Terpancar sinar terang dari biji mata Hiong nio cu, katanya lembut.
"Kaupun kenapa?"
Tertunduk semakin dalam kepala Kionglam Yan, katanya.
"Orang lain sering bilang kau paling memahami keinginan perempuan, memangnya kau belum tahu akan keinginanku? Memangnya kau belum tahu akan isi hatiku?"
Pelan-pelan Hiong nio cu menarik tangannya tiba-tiba dia lepas tangan pula, katanya menghela napas panjang.
"Lebih baik kalau aku tidak mengerti saja."
"Kenapa?"
"Karena kau berbeda dengan kebanyakan gadis lainnya, aku tidak bisa... tidak bisa menodai kau."
"Tapi aku inipun seorang perempuan, akupun ingin... ingin..."
"Dalam pandanganku, selamanya kau adalah sedemikian halus, hangat, suci dan agung begitu molek dan lincah, asal bisa mengawasimu dari kejauhan hatiku sudah puas."
Umpamanya gadis-gadis remaja sama suka mendengar omongan seperti ini, setiap gadis pasti mengharap pandangan laki-laki terhadapnya pasti berbeda dengan pandangan orang lain, semua sama mengharap laki-laki memuja mencintainya.
Gadis remaja yang sedang mekar bila setelah mendengar bujuk rayu sehalus ini dia masih kuasa menolak keinginannya, sungguh merupakan suatu kejadian yang aneh.
Diam-diam Coh Liu-hiang merasa beruntung dan terhibur juga, untung bahwa tiada seorang hidung belang yang sedang mencuri dengar percakapan ini.
Jikalau para hidung belang mencuri belajar kata-kata rayuan selembut itu, entah berapa banyak gadis-gadis suci dalam dunia ini yang bakal menjadi korban.
Tapi setelah berpikir-pikir lagi, mau tidak mau Coh Liu-hiang tertawa getir sendiri, pikirnya.
"Seorang laki-laki bila dia berbakat dinamakan hidung belang, dengan sendirinya dia sudah pandai merangkai kata-kata mutiara yang lebih mengasyikkan, buat apa harus mencuri belajar dari orang lain?"
Bintang-bintang sudah kelap-kelip di cakrawala.
Di bawah pancaran sinar bintang sesejuk ini, perempuan yang paling kuat imannya pun akhirnya pasti runtuh, dan menjadi lemas, saat itu Kionglam Yan sudah rebah didalam pelukan Hiong nio cu.
Sambil mengelus rambutnya berkata Hiong nio cu pelan-pelan.
"Tentunya kau tahu, kita tak mungkin hidup berdampingan selamanya."
"Aku tahu."
"Kau tidak menyesal?"
"Aku pasti tak menyesal, asal bisa menikmati sekali saja, sehingga meninggalkan kenangan abadi sepanjang masa, umpama aku harus segera mampus akupun suka rela."
Hiong nio cu tidak banyak kata lagi, jari-jarinya sudah masuk ke dalam pakaian tipis orang, mulai menggeremet dari satu ke lain tempat, menyelusuri tanah tandus yang halus terus naik ke lembah hangat merambat ke atas bukit dan memelintir puting nan bundar kenyal laksana buah anggur.
Coh Liu-hiang meski bukan seorang Kuncu, namun dia tidak tega melihat adegan romantis yang merangsang ini, pelan-pelan dan hati-hati dia membalik badan rebah terlentang, bintang-bintang seperti sedang berkedip-kedip main mata sama dia.
Kionglam Yan gadis yang di pandangannya suci agung ternyata perempuan cabul yang rela menyerahkan kemurniannya sendiri.
Akan tetapi gadis remaja setelah menanjak dalam usia ini, memangnya siapa pula yang tak mendambakan buaian asmara? Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, mengelus dada, diam-diam tertawa getir, Seolah-olah dia sendiri amat menyesal, kenapa dirinya dulu melepas kesempatan yang baik itu.
Tak tahan Coh Liu-hiang menoleh lihat ke arah sana, tampak Hiong nio cu sedang bangkit berduduk di atas sampan kecil itu, sahutnya menghela napas.
"Akupun merasa berat untuk pergi, tapi waktu amat mendesak, aku harus pergi."
"Kau hendak mencari kuburan anak King mu...?"
"Bagaimana juga jelek-jelek aku ini ayahnya, adalah pantas aku menengok keadaannya terakhir kali."
Tak usah kau tergesa-gesa, nanti ku ajak kau kesana, hayolah... sekarang..."
Sebuah tangan putih halus tampak terulur keluar dari dalam sampan, Hiong nio cu tertarik rebah lagi memang sejak tadi dia menunggu ucapan Kionglam Yan ini.
Sudah tentu Coh Liu-hiang cukup tahu bahwa Hiong nio cu memang sedang memperalat dia, sedang memancing kata-katanya ini, tapi bukan saja dia tak bisa membongkar isi hati orang, diapun tak kuasa mencegah adegan romantis berlangsung, karena Kionglam Yan sendiri yang menyerahkan diri secara suka rela.
Dia cukup tahu bila seorang gadis sudah bertekad untuk menjajal atau menikmati yang ingin dia rasakan itu, siapapun jangan harap bisa mencegah keinginannya itu, kalau tidak umpama dia tak membunuhmu, maka dia akan membencimu seumur hidup.
Sampan kecil yang berlabuh itu tiba-tiba bergoyang-goyang, dari pelan semakin keras seolah-olah ada gempa bumi atau riak air yang gemericik itu menjadi bergolak, angin malam yang menghembus sepoi-sepoi diselingi suara rintihan dan keluhan yang merangsang hati dan membaurkan pikiran.
Sinar bintang semakin redup.
Terpaksa Coh Liu-hiang sudah memejamkan mata.
Tapi kedua telinganya tak bisa dicegah untuk mendengarkan.
Sesaat kemudian terdengar bisikan Kionglam Yan, berkata.
"Kau sungguh... hebat, tak heran para gadis rela mati untuk kau, tak heran selamanya dia tak bisa melupakan kau, mungkin sampai ajalnyapun takkan melupakan kau."
Mendengar sampai di sini, Coh Liu-hiang dibuat heran pula, Si dia yang dimaksud oleh Kionglam Yan sebenarnya siapa? Apakah kekasih Hiong-nio cu? Deru napas Hiong nio cu semakin memburu terdengar suaranya mendengus-dengus "Kau pun pintar sekali!"
"Apa aku lebih baik dari dia?"
"Kenapa kau selalu menyinggung dia, memangnya kau dan diapun..."
Tiba-tiba Kionglam Yan tertawa terpingkal-pingkal, katanya.
"Tahukah kau kenapa aku ingin bergaul dengan kau?"
Agaknya Hiong nio cu melengak, katanya.
"Memangnya kau lantaran dia?"
"Benar, lantaran dia memilikimu, maka aku pun harus memilikimu."
Baru saja lenyap kata-katanya ini, sekonyong-konyong Hiong nio cu mengeluarkan jeritan yang menyayat hati.
Keruan kaget Coh Liu-hiang bukan kepalang, sigap sekali dia membalik badan dan melongok kesana, tampak dengan badan telanjang bulat Hiong nio cu tengah berdiri dari atas sampan, dengan sekujur badan gemetar dia menyurut mundur keujung sampan.
Dibawah pancaran sinar bintang, ditengah kabut tebal, tampak kulit dadanya yang putih halus dan bidang itu, berlepotan darah, dan masih menyembur dengan deras.
Terdengar Kionglam Yan masih tertawa-tawa terkekeh-kekeh, katanya.
"Kenapa kau kaget, aku hanya ingin memiliki hatimu, akan kukorek hatimu untuk kulihat biar jelas."
Dengan kedua tangan Hiong nio cu mendekap luka-luka di dadanya, suaranya gemetar.
"Kau... kenapa kau harus berbuat demikian?"
"Masa kau belum tahu? Kau masih kira aku betul-betul menyukai kau?"
Tanyanya masih terkekeh-kekeh, tiba-tiba diapun mencelat berdiri, di bawah penerangan bintang, potongan badan gadis yang ramping montok kelihatannya laksana tembus cahaya seperti terbuat batu jade.
Akan tetapi raut mukanya justru dilumuri hawa siluman yang sadis, pancaran sinar matanya yang indah penuh diliputi kebencian dan nafsu membunuh yang sadis, ditatapnya Hiong nio cu lekat-lekat, katanya.
"Biar kuberitahu kepadamu terus terang, sejak lama aku sudah ingin membunuhmu, aku tak tahan setiap kali mendengar dia menyinggung dirimu di hadapanku, dikatakan betapa miripku dengan kau setiap kali dia menyinggung dirimu, serasa aku hampir gila dibuatnya."
Hiong nio cu berkata terputus putus dengan gemetar.
"Kau... kau cemburu? Memangnya kau benar-benar jatuh cinta kepadanya?"
"Kenapa aku tak boleh mencintainya?"
Sentak Kionglam Yan.
"Kenapa tidak boleh?"
Hiong nio cu mengawasinya dengan pandangan kesima dan kaget! Pelanpelan ia roboh. Kini Coh Liu-hiang lebih kebingungan lagi, si "dia"
Yang diperbincangkan oleh kedua orang ini entah lelaki atau perempuan, susah dimengerti oleh Coh Liu-hiang, kalau dia lelaki, masakah mungkin dia orang adalah kekasih Hiong nio cu? Memangnya Hiong nio cu juga sering main homoseks? Sebaliknya kalau dia adalah perempuan, kenapa pula Kionglam Yan bisa jatuh hati kepadanya? Memangnya Kionglam Yan biasa bermain lesbian dengan sesama jenis? Sungguh sukar Coh Liu-hiang untuk menentukan hubungan satu sama lain diantara kedua orang ini dengan si dia itu.
Sungguh hubungan yang misterius dan rumit serta sukar dijajagi hubungan ketiga orang ini.
Maka terdengar "Byuur!"
Badan Hiong nio cu yang telanjang itu tercebur ke dalam air, penyesalan dan bertobat selama dua puluh tahun, akhirnya tetap tak bisa mencuci bersih dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.
Betapapun akhirnya dia mampus ditangan seorang perempuan.
Berdiri di ujung sampan, dengan mendelong Kionglam Yan mengawasi aliran air di bawah penerangan sinar bintang.
Dilain saat diapun terjun ke dalam air, setiap jengkal setiap senti kulit badan dari rambut sampai ke kaki dia cuci dengan teliti dan bersih, setelah dia mengenakan pakaiannya lagi, dia kelihatan tetap agung dan suci.
Malam semakin berlarut, kabut malah menipis.
Suara air tersiak pula, sampan kecil itu mulai berlaju di permukaan air terus mengalir cepat mengikuti aliran air.
Tanpa banyak pikir lagi, dengan hati-hati Coh Liu-hiang sedang membenamkan diri ke dalam ini, Orang sering bilang ilmu Ginkangnya tiada tandingan di seluruh kolong langit, dia sendiri sebaliknya berpendapat kepandaian renang didalam airnya justru jauh lebih sempurna dari ilmu Ginkangnya di daratan.
Umpama ikan-ikan yang pandai berlompatan selulup ke dalam airpun takkan bergerak selincah dan secepat dia.
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sampan itu berlalu di depan permukaan air, dia selulup didalam air menguntit di belakang secara diam-diam, dia yakin dan percaya, Kionglam Yan pada saat dan dalam keadaan seperti ini tak menyadari bahwa dirinya sedang dikuntit seseorang.
Maklumlah siapapun orangnya setelah selesai menikmati surga dunia perasaannya pasti berobah rada kebal dan kurang peka.
Sepanjang jalan dari pinggiran aliran sungai kecil ini pasti dihiasi pemandangan yang mengasyikkan ditimpah sinar bintang diselimuti kabut tebal, meski Coh Liu-hiang berada didalam air, dan tak bisa menikmati keindahan panorama ini, namun dia bisa membayangkan, memangnya sesuatu yang dibayangkan itu selamanya jauh lebih cantik, indah dari kenyataannya itu sendiri.
Entah berapa lama dan betapa jauh kejar mengejar secara diam-diam itu berlangsung, tahu-tahu didapati oleh Coh Liu-hiang sampan kecil itu membelok ke sebuah selokan gunung, rumput-rumput air di dasar selokan gunung ini lebih banyak, malah terasa lebih dingin dan mengeluarkan semacam bau yang menyeramkan.
Sebetulnya ingin dia menongolkan kepalanya di permukaan air untuk melihat beberapa kejap lagi dia lantas mendengar suara sampan itu sudah mendekati dermaga dan orangnya pun sudah mendarat.
Dia tetap tak menongolkan kepalanya, memang Coh Liu-hiang belum pernah mencoba tahu berapa lama sebenarnya dirinya tahan berada didalam air, yang terang Song Thiam-ji selalu beranggapan bahwa dirinya bisa mendunia di bawah air, memang jauh lebih tenang dan tentram daripada di daratan.
Lama pula dia menunggu, masih tetap tak mendengar suatu apaapa.
maka dia mencomot sebongkah rumput air untuk menutupi kepalanya, pelan-pelan dia pentang kedua matanya yang masih sedikit di bawah permukaan air untuk melihat keadaan di atas.
Dia akhirnya melihat Sin cui kiong.
Ini bukan lembah gunung didalam kehidupan manusia lebih mirip kalau dikatakan sebuah gambar lukisan panorama yang paling indah dikolong langit ini.
Teringat oleh Coh Liu-hiang akan cerita Soh Yong-yong, bahwa didalam lembah gunung ini terdapat ratusan jenis burung-burung besar kecil, kini burung-burung sedang tertidur, namun orang-orang penghuni lembah ini justru belum tertidur.
Diantara celah-celah dedaunan di dalam hutan laksana lukisan itu, kelihatan titik titik sinar api yang membayangkan bentuk bangunan pondok-pondok berloteng dan gubuk-gubuk mini yang dibangun dengan bentuk yang berseni, pagar bambu dan atap alang-alang, terbayang pula panorama indah dari curahan air yang tumpah dari langit.
Air terjun itu tumpah dari tempat ketinggian sehingga jatuhnya air yang berhamburan laksana benang sutra dan butiran-butiran mutiara itu amat deras, anehnya air terjun yang begitu besar seperti dituang dari langit ini setelah airnya tumpah memenuhi danau kecil di sebelah bawahnya, getaran tumpahnya air tak menimbulkan suara berisik, malah kedengarannya seperti irama petikan harpa yang merdu sehingga amat mengasyikkan dan menyejukkan kalbu, terang sekali didalam danau itu pasti dipasangi apa sehingga mengurangi tekanan derasnya air mengerojok dari atas.
Ditengah hembusan angin lalu, sayup-sayup terdengar pula suara rengketan bambu yang melambai ditiup angin, dikombinasi dengan suara gemericiknya air, sehingga lembah gunung nan indah laksana sebuah lukisan gambar ini terasa begitu aman tentram dan sejuk.
Tapi teringat pula oleh Coh Liu-hiang akan peringatan bibi Soh Yong-yong yang bilang.
"Jikalau kau sembarang mondar-mandir didalam lembah ini, seketika kau akan ketimpa kemalangan"
Ditempat aman dan tentram seperti ini, darimana pula datangnya malapetaka? Lapat-lapat Coh Liu-hiang sudah mendapat firasat kelihatannya lembah ini memang tenang dan tentram, hakikatnya Sin cui kiong bukanlah sebuah tempat suci bersih seperti yang tersiar diluaran.
Pasti di lembah ini tersembunyi suatu rahasia besar yang menakutkan dan mengejutkan masyarakat umumnya bila segalanya sudah terbongkar.
Kedatangan ini bukan saja hendak memberi penjelasan salah paham kepada Cui bo "induk air"
Im ki, diapun sudah bertekad untuk menyelidiki rahasia yang terpendam itu, maka segala gerak-gerik dan langkahnya harus amat hati-hati dan perhitungan dengan seksama.
Sampan kecil itu masih terapung di atas air terikat seutas tali yang ditambatkan pada sebuah pohon.
namun Kionglam Yan pula sudah tak kelihatan bayangannya.
Lembah sebesar ini, tenggelam didalam suasana hening tak kelihatan bayangan seorangpun, Coh Liu-hiang jadi ragu-ragu dan kebingungan dari mana dia harus mulai bergerak atau turun tangan.
Setelah menimang-nimang sebentar, tiba-tiba teringat akan pengalaman Bu Hoa seperti yang diceritakan Cay Tok hing menurut buku catatan Bu Hoa sendiri, setiap persoalan yang terjadi, semuanya bersumber dari sebuah kuil Nikoh kecil didalam lembah ini.
Waktu dia mendongak ke atas sana, benar juga di kaki bukit sana memang terdapat sebuah kuil kecil.
Apakah Induk Air bersemayam didalam kuil kecil itu? Coh Liu-hiang sudah bertekad apapun yang terjadi dia akan masuk terlebih dulu ke kuil kecil itu.
Sinar pelita didalam kuil amat guram, mata apinya yang kelap-kelip sebesar kacang laksana kunang-kunang yang kelap-kelip dimalam hari.
Hampir setengah jam Coh Liu-hiang menghabiskan waktu untuk menyusup tiba kearah kuil kecil itu, dia yakin dirinya pasti tak mengeluarkan suara yang lebih keras dari bunyi nyamuk terbang.
Meski dari pinggir sungai ke kuil kecil itu bukan jarak yang jauh, tapi di kolong langit ini kecuali Coh Liu-hiang seorang, mungkin tiada orang kedua mencapai ke tempat tujuannya.
Kuil kecil ini terbenam di dalam kesunyian tak kelihatan bayangan seorangpun, segalanya bersih tak berdebu, sampai pun undakan batu di luar pintu kuilpun tercuci bersih sampai mengkilap laksana kaca, sehingga orang bisa bercermin di sana.
Sebuah pelita dengan mata api sebesar kacang, kelap-kelip di depan sebuah kain gordyn yang menjuntai turun menutup pemujaan di sebelah dalamnya.
Cukup lama Coh Liu-hiang sudah memeriksa keadaan sekelilingnya dengan cermat, setelah yakin di sekitarnya memang tiada orang, baru dia berani mencelat masuk ke dalam.
Dia tahu didalam kuil kecil ini pasti terdapat sebuah jalan rahasia di bawah tanah, bukan mustahil menembus ke tempat kediaman Induk Air Im ki, tapi dimanakah letak dari mulut jalan rahasia itu? Di depan meja pemujaan terdapat dua buah kasur bundar ini? Dengan hati-hati Coh LiuKoleksi
KANG ZUSI hiang memindahkan kedua kasur bundar tempat duduk samadhi itu.
tapi bawah kasur itu dan ini merupakan batu yang rata pula, dengan menghela napas dia merasa kecewa dan putus asa, pelan-pelan sorot matanya beralih ke arah tempat pemujaan yang teraling kain gordyn.
Tak tahan dia sudah ulurkan tangan hendak menyingkap kain gordyn itu.
Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar helaan napas.
Helaan napas ini amat lirih, tetapi bagi pendengaran Coh Liu-hiang sekarang helaan napas ini laksana guntur yang menggelegar di pinggir telinganya, ingin dia mundur, tapi dia insaf sudah tak keburu lagi mengundurkan diri.
Di bawah penerangan api kuning itu, tampak olehnya sesosok bayangan putih laksana sukma gentayangan saja tahu-tahu orang mucul dari bawah tanah, kini orang sedang berdiri tegak di tempatnya mengawasi Coh Liuhiang.
Terdengar orang menghela napas serta berkata.
"Sudah dua puluh tahun tempat ini tak pernah mengalirkan darah, buat apa kau ingin mati di sini?"
Dengan tertawa getir Coh Liu-hiang kucek-kucek hidungnya, sahutnya.
"Bicara terus terang, aku sih tidak ingin mati."
Kini dilihatnya dengan jelas orang adalah perempuan yang amat cantik, cuma sang waktu yang tak kenal kasihan sudah meninggalkan bekas yang tak kenal perasan, sungguh amat kasihan.
Walaupun sorot matanya dingin kaku, namun tidak mengandung nafsu membunuh atau maksud jahat.
Apakah dia ini Induk Air Im Ki yang amat ditakuti oleh tokoh-tokoh silat di seluruh jagat itu? Nyonya cantik pertengahan umur yang berpakaian serba putih ini tengah berdiri tenang mengawasinya.
Coh Liu-hiang unjuk tawa dibuat-buat, katanya pula.
"Kedatangan Wanpwe kemari tidak lebih hanya ingin berhadapan langsung dan melihat muka Kiong-cu sekali saja."
Nyonya ayu serba putih itu geleng-geleng kepala, ujarnya.
"Aku bukan orang yang ingin kalian temui, kalau tidak masakah kau sekarang masih bisa hidup?"
Berkilat mata Coh Liu-hiang, tanyanya .
"Lalu Cianpwe adalah..."
"Orang yang sudah dekat ajal, buat apa kau tanyakan nama orang lain?"
"Kalau Cianpwe hendak bunuh aku, kenapa tidak segera turun tangan?"
"Aku tak bisa turun tangan. Didalam dunia ini aku hanya punya seorang famili, masakah aku tega membunuh lelaki pujaan hatinya?"
Tergerak hati Coh Liu-hiang, tanyanya.
"Cianpwe tahu aku adalah..."
Tertawa getir nyonya ayu itu, ujarnya pula.
"Kecuali Coh Liu-hiang si Maling Romantis, dalam dunia ini siapa yang mampu mendatangi tempat ini? Memangnya siapa pula yang bernyali begitu besar? Coh Liu-hiang menjura dengan hormat, katanya.
"Sudah lama Wanpwe dengan Yong-ji mengatakan tentang kau orang tua, hari ini dapat berhadapan dengan kau orang tua sungguh merupakan keberuntungan dan nasib baik Wanpwe."
"Akupun pernah dengar Yong-ji bercerita tentang dirimu, jikalau bukan kau, entah Yon-ji bakal keluyuran kemana dan jadi apa sekarang, untuk membalas budi kebaikanmu itu maka sekarang akupun tidak akan mempersulit dirimu."
Lalu dia celingukan ke sekeliling, katanya lebih lanjut.
"Untung hari ini giliranku berjaga dan meronda, orang lain tidak akan datang kemari, lekas kau menyingkir."
"Wanpwe sudah berada di sini, betapapun Wanpwe ingin berhadapan dengan Im-kiong cu."
Nyonya setengah umur itu seketika menarik muka, katanya bengis.
"Selamanya kau takkan bisa menemuinya, kecuali kau memang sudah bertekad hendak mati disini."
"Mohon kau orang tua suka memberi penerangan jalan, Wanpwe sudah amat berterima kasih, soal lain, sekali kali Wanpwe takkan berani mohon bantuan dan mencapaikan Cianpwe."
Bahwasanya nyonya setengah umur tidak hiraukan dirinya, katanya mengulap tangan.
"Lekas pergi, terlambat sedikit, kau tidak akan bisa lolos lagi, lekas."
Seolah-olah Coh Liu-hiang tidak mengerti apa yang dianjurkan orang, katanya sambil bersoja.
"Wanpwe tahu di sini ada sebuah jalan rahasia."
"Jalan rahasia?"
Berubah muka nyonya pertengahan umur.
"Jalan rahasia apa?"
Melihat dirinya menyinggung "jalan rahasia"
Muka orang lantas berubah hebat. Coh Liu-hiang tahu bahwa jalan rahasia itu pasti mempunyai arti yang amat besar sekali. Maka dia semakin membandel, katanya unjuk tawa.
"Kalau di sini tiada jalan rahasia, kau orang tua muncul darimana?"
Agaknya nyonya pertengahan umur menjadi gusar, dampratnya.
"Memangnya kau sudah bosan hidup?"
"Kalau Cianpwe tak mau menerangkan, terpaksa Wanpwe biar mati di sini saja."
Dengan tajam nyonya setengah tua ini menatap Coh Liu-hiang lekat-lekat, sungguh belum pernah dia berhadapan dengan lelaki sekukuh ini, lebih tak pernah terbayang olehnya dalam keadaan genting ada orang masih dapat tersenyum simpul seriang itu.
Tapi Coh Liu-hiang memang amat tabah dan berani, orang tak menjawab, diapun berdiri diam dan menunggu dengan sabar.
Pada saat itulah suara paduan musik yang mengalun sayup-sayup itu seperti menjadi cepat dan keras laksana butiran air hujan yang berjatuhan di atas daun pisang, seperti mutiara yang bergelimpangan di atas nampan berderai cepat tak putus-putus.
Rona muka nyonya tua ini seketika berubah pula, tanyanya dengan kereng.
"Siapa lagi yang datang bersama kau?"
"Hanya Wanpwe seorang saja, tiada..."
Gelisah dan gugup air muka nyonya setengah tua ini tukasnya.
"Irama musik memberi tanda ada orang luar yang menerjang masuk ke dalam lembah, jikalau bukan teman-temanmu memangnya siapa mereka?"
Baru sekarang Coh Liu-hiang betul-betul terkejut, baru sekarang pula dia tahu betapa kuat penjagaan pihak Sin cui kiong, sampaipun irama musik laksana lagu-lagu dewata itupun merupakan alat pertanda untuk memberi isyarat bagi mereka.
Cepat sekali nyonya setengah tua ini melangkah ke ambang pintu, lalu melongok keluar, cepat sekali dia sudah mundur kembali, katanya bengis.
"Meski sekarang orangnya belum tiba tapi begitu isyarat musik mengalun tinggi, semua petugas akan segera menempati pos-pos penjagaan masingmasing siapapun kalau berani masuk selangkah ke dalam lembah, jangan harap dia dapat kembali pula, kenapa tak lekas kau berlalu, kau tetap tinggal di sini memangnya kaupun ingin menyeret aku ke dalam jurang nista?"
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya.
"Kalau lembah ini sudah menjadi lembah buntu, mungkin burungpun takkan bisa terbang lolos, lalu Wanpwe harus menyingkir kemana?"
"Kau... boleh kau mencari sesuatu tempat dulu untuk sembunyi sementara, setelah kejadian berlalu, akan ku usahakan bantu kau keluar."
Berputar biji mata Coh Liu-hiang, katanya sambil mengucek-ngucek hidung.
"Jikalau Wanpwe sembarangan bertindak, mungkin setiap langkah bakal menghadapi mara bahaya. Wanpwe juga tak tahu kemana menyembunyikan diri lebih baik, kecuali Cianpwe mau memberitahu jalan rahasia itu, biarlah Wanpwe sembunyi disana sementara."
"Jalan rahasia, jalan rahasia apa?"
Dengus nyonya setengah tua membanting kaki gegetun.
"Kau hanya tahu di sini ada jalan rahasia, tahukah kau sentral daripada jalan rahasia ini berada di kamar tidur Kiongcu, orang hanya bisa keluar dari dalam, tak bisa masuk dari luar."
Coh Liu-hiang tertegun, seketika hatinya mencelos.
Tatkala itu, irama musik yang cepat mulai lamban lagi tapi Coh Liu-hiang sudah tahu didalam irama musik yang kalem ini, setiap langkah orang yang memasuki lembah ini selalu diincar oleh mara bahaya yang menantikan, diapun tahu sikap gelisah nyonya setengah tua dihadapannya ini jelas bukan pura-pura belaka, pihak Sin cui kiong bila tahu dia bersekongkol dengan musuh menghianati perguruan, dapatlah dibayangkan akibat yang harus dia terima.
Maka Coh Liu-hiang tak banyak bicara lagi, katanya dengan menjura.
"Terima kasih akan petunjuk Cianpwe."
Belum habis ucapannya badannya sudah berputar, melesat keluar.
Nyonya setengah tua agaknya hendak mengejar keluar, tapi segera dia hentikan langkah pula, dari sorot kedua matanya yang indah itu terpancar rasa derita yang tak terperikan, katanya seperti menyesal.
"Yong-ji jangan kau salahkan aku, bukan aku tak ingin menolongnya, sebetulnya aku sendiripun tak kuasa lagi menolongnya."
Dia tahu begitu Coh Liu-hiang melangkah keluar dari kuil kecil ini itu berarti dia melangkah ke arah kematiannya.
Malam sudah berlarut lagi, setiap tempat sama gelap semua kelihatan adalah tempat baik untuk menyembunyikan diri, tapi Coh Liu-hiang tahu ditempat tempat gelap itulah bukan mustahil tersembunyi perangkapperangkap yang bisa merenggut jiwa orang, setiap tempat yang kelihatannya amat tersembunyi mungkin pula bakal memancing orang masuk ke dalam jebakan, selangkah saja bila dia salah injak, bukan mustahil jiwa bakal melayang seketika.
Akan tetapi dia tak bisa berdiri demikian saja, lembah nan indah dan permai ini, boleh dikata tiada suatu tempat yang cocok untuk dirinya berpijak.
Hembusan angin melambaikan daun-daun pohon, seolah-olah didengarnya lambaian pakaian orang yang mendatangi terhembus angin tiba-tiba tampak oleh Coh Liu-hiang dari kejauhan sesosok bayangan putih berkelebat, tujuannya adalah tempatnya ini.
Bila dirinya sedikit ayal, jejak dan bayangannya pasti dilihat orang itu.
Di bawah pancaran sinar bintang-bintang yang bertaburan diangkasa raya, permukaan air danau yang tenang itu laksana sebongkah cermin besar nan memutih perak amat semarak.
Cepat sekali tiba-tiba Coh Liu-hiang meluncur kearah danau kecil itu.
Permukaan danau yang tenang itu hanya menimbulkan riak tak berarti dari pusaran air yang berkembang semakin membesar, belum lagi riak air kembali menjadi tenang, tahu-tahu sesosok bayangan putih sudah melayang datang.
Bayangan putih ini boleh dikata hampir sama cantiknya dengan Kionglam Yan gaya luncuran badannya begitu gemulai dan indah, biji matanya yang bening mengerling tajam sekilas dia mengerut kening, serunya perlahan.
"Sam-ci."
Nyonya setengah tua dalam kuil segera melangkah keluar menyongsong kedatangannya, sahutnya .
"Ada apa?"
"Barusah seperti kulihat ada sesosok bayangan orang, adakah Sam-ci mendengar sesuatu suara di sini?"
"Lho, kok tidak."
Sahut nyonya setengah tua tertawa.
"irama musik memberi peringatan jelas orang luar belum lagi masuk lembah mana bisa tiba di sini."
Berkilat tajam pandangan gadis ini, mulutnya menggumam.
"Memangnya aku yang salah lihat? Aneh juga."
Nyonya tua setengah umur tertawa dingin katanya.
"Kio-moay, meski sepasang mata malammu amat lihay, tapi aku toh bukan orang picak atau tuli, jikalau di sini ada orang, masakah sedikitpun aku tidak melihat atau mendengar suara?"
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gadis itu segera unjuk tawa, katanya.
"Sam-ci kenapa marah, aku hanya bertanya sambil lalu saja."
Baru sekarang nyonya setengah tua unjuk tawa juga katanya.
"Hati-hati memang baik, cuma kalau benar disini ada orang luar, kemanakah dia? Memangnya dia bisa menghilang?"
"Memangnya! Kecuali dia terjun ke dalam danau, kalau tidak kapanpun dia menyembunyikan diri pasti akan menyentuh tombol peringatan, tapi, bila benar dia berani terjun ke danau, sedikitnya toh mengeluarkan suara, kecuali dia memang siluman ikan."
Lalu dia mengulap tangan kepada nyonya setengah tua, katanya pula.
"Tamunya mungkin segera akan tiba, biar aku pergi periksa ke tempat lain, Sam-ci boleh kau mulai mempersiapkan diri. Kalau orang berani menerjang masuk kemari, betapapun kita jangan mengecewakan mereka."
Tampak laksana burung bangau melayang cepat sekali bayangan putihnya sudah melesat lewat dari permukaan danau, dalam sekejap sudah menghilang tak kelihatan lagi.
Mengawasi permukaan danau nyonya setengah tua ini melongo sekian lamanya, katanya seorang diri.
"Melarikan diri dari kematian, terhitung nasibmu baik, mara bahaya masih selalu mengintai, hati-hati dan waspadalah."
Begitu selulup ke dalam air, jantung Coh Liu-hiang masih berdetak dengan keras.
Dalam waktu sesingkat tadi, boleh dikata antara mati dan hidup sudah tiada jaraknya lagi, tapi sekarang dia sudah selamat, paling tidak selamat sementara waktu.
Aneh benar air danau ini, luar biasa bening, seolah-olah dirinya berada di dunia kaca, sinar bintang-bintang diangkasa dengan jelas dapat terlihat dari dasar danau.
Dasar danau ini ditaburi pasir putih seperti berlomba dengan bintang-bintang diangkasa, pasir-pasir inipun kelap-kelip memancarkan sinar.
Di dasar danau boleh dikata Coh Liu-hiang sebebas di atas daratan menghirup hawa nan segar.
Entah di lautan teduh, sungai atau kali, danau, sampaipun danau air asin, serta air keruh di Kanglam, terhadap sifat-sifat setiap air yang berbeda satu sama lain ini, boleh dikata Coh Liu-hiang sudah amat paham seperti memahami jari-jarinya.
Dunia indah yang aneh-aneh di dasar air, justru merupakan tempat tamasya paling disenangi.
Setiap tetumbuhan atau binatang yang hidup di dasar air, seolah-olah sudah menjadi teman baiknya, sembarang waktu dia bisa menyebut atau memanggil satu persatu nama-nama yang pernah dilihatnya.
Akan tetapi saat ini didalam relung hatinya seperti mendapat firasat jelek, hatinya tidak tentram.
Danau kecil didalam lembah permai ini ternyata merupakan danau mati, didalam air ternyata tiada satupun binatang atau tetumbuhan yang hidup, tiada ikan, udang atau keong dan sebangsanya, sampaipun rumput-rumput airpun tidak kelihatan.
Coh Liu-hiang merasa seolah-olah dirinya berada di dalam kota yang asing dan sunyi tak berbentuk meski kota ini serba rapi, bersih dan teratur namun bayangan seorang pendudukpun tidak kelihatan.
Danau kecil ini sekelilingnya ditaburi atau dipagari batu-batu raksasa warna putih dan hijau, air terjun yang tercurah dari atas berjatuhan di permukaan air hingga menimbulkan banyak buih-buih besar kecil yang berenceng seperti mutiara.
Kalau orang lain dapat selulup dan sembunyi didalam dasar danau yang tenang dan seindah ini pasti merasa dirinya amat aman takkan mengalami gangguan apapun.
Tapi Coh Liu-hiang justru merasa tempat ini rada ganjil dan menunjukkan gejala-gejala yang kurang benar, setelah dia berhasil menemukan suatu tempat sembunyi yang dirasa aman dan terahasia diantara celah-celah batu-batu besar barulah deburan jantungnya mulai mereda dan legalah hatinya.
Selanjutnya teringat olehnya dua hal yang terasa amat aneh sekali.
Kalau toh rahasia di sini hanya bisa masuk tak bisa keluar, lalu untuk apa Induk Air Im Ki membikin jalan rahasia di bawah tanah ini? Bertepatan dengan kehadiran dirinya, ada lain orang pula yang menerjang masuk ke dalam Sin cui kiong, memangnya siapakah mereka? Badan Coh Liu-hiang kebetulan persis bisa menyusup masuk ke celah-celah batu itu, kedua batu raksasa ini masing-masing ada sebagian yang menongol keluar di permukaan air, tak tahan Coh Liu-hiang juga ingin menongolkan kepalanya keluar untuk melihat keadaan di daratan.
Dengan rebah miring memiringkan badan hanya kedua matanya saja yang menongol ke luar, bayangan gelap kedua batu besar ini kebetulan melindungi dirinya, terasa olehnya bahwa keadaan dan tempat persembunyiannya ini amat tepat dan baik sekali, orang takkan gampang menemukan persembunyiannya.
Bahwasanya dia memang amat getol ingin tahu siapa sebenarnya orang lain yang berani meluruk ke dalam Sin cui kiong ini.
Suasana dalam lembah tetap tenang dan tentram, dengan rebah didalam air, hanya memperlihatkan separo mukanya saja untuk memandang lembah ini, perasaannya sungguh jauh berbeda dengan perasaan waktu dirinya berada didalam lembah tadi.
Segala pemandangan yang terlihat dari sini seolaholah berada ditempat yang jauh, lebih samar-samar, seluruhnya seperti bukan pemandangan yang nyata, hanya mirip sebuah lukisan, sebuah impian belaka.
Tapi Coh Liu-hiang tiada selera untuk menikmati keindahan panorama laksana lukisan atau impian ini, dia hanya memperhatikan tempat-tempat gelap yang amat misterius dan ganas itu.
Sampai detik ini, dia masih belum membayangkan seorang manusiapun.
Agaknya ia tak perlu menunggu terlalu lama, tiba-tiba dilihatnya tiga sosok bayangan orang laksana anak panah pesatnya dari tempat yang berjauhan dimulut lembah sana menerjang masuk, ilmu Ginkang ketiga orang ini sama-sama tinggi dan hebat.
Agaknya ketiganya sama-sama nekad dan merasa tak perlu main sembunyi-sembunyi lagi, langsung mereka kembangkan kemahiran masing-masing, dengan gesit dan enteng serta cepat sekali meluncur ke arah air terjun itu.
Di bawah penerangan cahaya bintang, raut muka mereka hanya kelihatan berkelebat sekejap ditengah kegelapan, tiba-tiba terkesiap darah Coh Liuhiang, hampir saja dia menenggak sekumur air danau.
Ternyata ketiga bayangan orang itu adalah Ui Loh-ce, Oh Thi-hoa dan Cay Tok-hing.
Bertepatan dengan kedatangan mereka, dari empat penjuru serempak bermunculan puluhan bayangan serba putih, ada yang berdiri dibawah pohon, ada pula yang melambai lambai berterbangan terhembus angin laksana serombongan setan gentayangan.
Agaknya Oh Thi-hoa, Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing bertigapun amat kaget, cepat sekali mereka anjlok turun dari tengah udara, serempak tancap kaki di salah satu batu besar yang berada di sisi danau.
Tiga orang sama berdiri beradu punggung, siap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Tapi orang-orang serba putih itu tidak menubruk maju menyerang mereka, mereka hanya berdiri dikejauhan dan mengawasi mereka diam saja, keheningan yang aneh mencekam perasaan sehingga napaspun segera sesak.
Dasar berangasan akhirnya Oh Thi-hoa yang nyeletuk lebih dulu dengan lantang.
"Apakah tempat ini adalah Sin cui kiong?"
Entah siapa yang menjawab dari tempat kejauhan dengan nada dingin.
"Kalau kalian sudah berani masuk kemari, memangnya masih belum tahu tempat apa di sini sebenarnya?"
Oh Thi-hoa ngakak dulu baru menjawab.
"Bagi orang pertama yang datang bertandang ke tempat orang, adalah jamak kalau pakai basa-basi lebih dulu apakah tidak salah tempat yang didatanginya."
"Kau tepat mencari tempat yang kau tuju."
Jawab seseorang. Seorang yang lain menambahkan.
"Kalian orang dari mana? Untuk keperluan apa dan ada petunjuk apa pula?"
Suara pembicara orang terakhir rada lembut dan tahu sopan santun, dari tempat persembunyiannya Coh Liu-hiang tahu bahwa suara terakhir ini diucapkan nyonya setengah umur yang dihadapinya tadi didalam kuil.
Agaknya Oh Thi-hoa masih ragu-ragu.
Ui Loh-ce lantas berkata lantang.
"Cayhe Ui Loh-ce dari Liu-ciu yang ini adalah angkatan tertua dari Kaypang Cay Toh-hing Cay-loyacu dan yang termuda ini adalah Oh Thi-hoa yang menggemparkan seluruh jagat."
Diam-diam Coh Liu-hiang tertawa geli ditempat persembunyiannya, batinnya.
"Memang tidak malu orang ini disebut seorang Kuncu, setiap kata-katanya jujur dan sesuai dengan kenyataan."
Memangnya Ui Loh ce, Cay Tok hing dan Oh Thi-hoa masing-masing merupakan tokoh-tokoh silat yang sama-sama menjagoi didalam bidangnya masing-masing, mereka adalah para tokoh-tokoh besar yang pernah menggetarkan dunia persilatan, boleh dikata sebagai orang gagah yang dapat menggemparkan sebuah kota meski mereka cukup hanya membanting-banting kaki saja.
Akan tetapi mendengar perkenalan nama-nama mereka, murid-murid Sin cui kiong itu tiada yang memberikan reaksi apa-apa, nyonya setengah umur yang serba putih juga hanya mengiakan sekali, katanya.
"Bagus sekali, silahkan kalian menanggalkan senjata, tunggulah hukuman yang kita putuskan!"
Oh Thi-hoa terloroh-loroh dengan menengadah, serunya.
"Meletakkan senjata terima di hukum? Apa-apaan ucapanmu ini? Sungguh aku tidak tahu apa maksudmu?"
Berkerut alis nyonya setengah umur itu, katanya menghela napas ringan.
"Semutpun takut mati, memangnya kalian memang ingin mampus?"
Agaknya Ui Loh-ce kuatir Oh Thi-hoa terlalu kurang ajar, segera dia menyela dengan bersoja.
"Kedatangan Cayhe bertiga tak bermaksud jahat, kami hanya ingin mencari dua teman kami"
"Teman apa?"
Kedengaran bengis dan berwibawa teriakan nyonya setengah umur.
"Tahukah kau tempat apa ini? Darimana ada dua temanmu di sini?"
"Sudah tentu mereka bukan murid-murid perguruan kalian, namun..."
Berobah rona muka nyonya setengah umur, tukasnya.
"Disini terang tak ada orang luar yang berani kemari, di seluruh kolong langit siapapun tiada yang punya nyali sebesar gunung seperti kalian berani ditengah malam buta rata ini menyelundup ke dalam Sin Cui kiong. Ui Loh-ce dan Oh Thi-hoa beradu pandang sebentar, raut muka mereka amat prihatin dan rada tegang. Berkata Ui Loh-ce dengan kereng.
"Mungkin mereka belum kemari."
Oh Thi-hoa ikut menimbrung dengan tawa dingin.
"Kau kira mereka seperti kau, ini adalah Kongcu, memangnya mereka mau bicara dengan jujur dan blak-blakan seperti kau?"
Gadis yang meronda di sepanjang pinggiran danau itu tiba-tiba mencelat keluar, bentaknya bengis.
"Kalian orang-orang yang sudah dekat ajal, hakekatnya kita tak perlu banyak bicara lagi dengan kalian."
Belum sempat Ui Loh ce buka suara, Cay Tok hing sudah tak kuasa menahan gusar, bentaknya.
"Aku orang tua memangnya malas bicara dengan kalian, lekas panggil Induk Air Im Ki keluar untuk berhadapan dengan kami."
Gadis itu tertawa dingin, ejeknya.
"Baik setelah mampus, akan kubawa kalian menghadap kepada Beliau."
Belum lagi gadis ini bicara habis, Coh Liu-hiang sudah tahu perkelahian takkan dapat dielakkan lagi, karena orang lain mungkin bisa merasa dongkol dan marah oleh kekasaran pihak Sin cui kiong, tapi Oh Thi-hoa justru terhadap siapapun dia tidak mau dibikin marah.
Betul juga belum lagi ucapan gadis berakhir, tiba-tiba terdengar dua kali hardikan laksana geledek.
Oh Thi-hoa dan Cay Tok hing tanpa berjanji serentak menerjang maju.
Cay Toh hing menggunakan sebatang pentung pendek, memang bagi muridmurid Kaypang yang biasa kelana di Kangouw, kecuali bergaman Pak-kaupang "pentung penggebuk anjing"
Dilarang menggunakan alat senjata macam lainnya.
Itulah undang-undang dan peraturan tradisi sejak cikal bakal pendiri Kaypang dulu.
Sementara Oh Thi-hoa bisanya teramat agulkan diri dengan sepasang telapak tangannya, setiap kali berhadapan bergebrak dengan musuh belum pernah dia menggunakan senjata, tapi sekarang entah darimana dia memperoleh sebilah golok lepit.
Golok lepit ini selalu tersembunyi dibalik lengan bajunya kini begitu sinar golok berkelebat, jurus Pat hong hing ih ternyata dilancarkan dengan perbawa yang hebat luar biasa, jelas permainan dan tipu-tipu goloknya takkan lebih asor dari tokoh ahli golok yang manapun dikolong langit.
Coh Liu-hiang tahu orang memang sengaja hendak pamer sekaligus hendak mengatasi dan menundukkan gerak-gerik gemulai pihak Sin cui kiong yang lincah laksana air mengalir dengan kekerasan ilmu goloknya yang kuat, jadi dia menampilkan keunggulan kepandaiannya untuk menandingi ilmu lunak mengatasi kekerasan pihak Sin cui kiong.
Nyonya setengah tua serba putih itu jadi naik pitam, bentaknya.
"Selama duapuluh tahun, selamanya tak ada orang yang berani main senjata ditempat ini, sungguh tidak kecil nyali kalian."
Ditengah seruan aba-abanya, tahu-tahu tujuh delapan gadis yang serba putih pula serentak terjun ke dalam gelanggang, masing-masing menyerang kepada Cay Tok hing dan Oh Thi-hoa.
Gerak-gerik mereka ternyata memang sangat lincah dan gemulai seperti orang sedang menari, tapi kegesitan dengan ilmu Ginkang yang tinggi sungguh amat luar biasa.
Ui Loh ce lekas berteriak.
"Ada omongan marilah dibicarakan, kenapa harus main kekerasan?"
Sayang belum lagi habis kata-katanya tahu-tahu tiga orang sudah mengelilingi dirinya, bayangan telapak tangan laksana kupu-kupu yang menari-nari diantara rumpun kembang, dari delapan penjuru angin serempak sama menepuk dan menghajar ke atas badannya.
Apa boleh buat terpaksa Ui Loh-ce melolos pedangnya.
"Sring"
Laksana naga berpekik, sebatang pedang panjang yang kemilau dengan sinarnya yang mencorong terang berubah selarik bianglala.
Meski ilmu silatnya mengutamakan mantap dan berat, tapi tidak malu dia dinamakan sebagai seorang Sosiawan, tapi jurus dan tipu permainan pedangnya sungguh tak kalah ganas dan keji.
Lwekangnya tinggi pula memang tidak malu dia dijunjung sebagai maha guru silat yang ahli dalam bidang ilmu pedang pada jaman kini.
Irama musik dikejauhan kembali menjadi cepat, agaknya mereka sudah insaf, ketiga orang yang mereka hadapi sulit ditundukkan, maka ditengah irama musik yang sayup-sayup itu hawa pedang dan sinar golok sudah berkelebatan memenuhi seluruh lembah permai ini.
Empat orang yang menghadapi Oh Thi-hoa agaknya yang paling makan tenong dan mati kutu, soalnya Ui Loh ce dan Cay Toh hing tahan gengsi dan anggap kedudukan tinggi dan angkatan tua, maka mereka turun tangan dengan perhitungan dan tak terlalu keji.
Sebetulnya Oh Thi-hoa menguatirkan keselamatan jiwa Coh Liu-hiang, besar niatnya hendak merobohkan semua murid-murid Sin cui kiong, maka serangan goloknya tak mengenal kasihan lagi.
Tampak permainan goloknya laksana naga terbang, golok diputar seperti harimau ngamuk, meski permainan telapak tangan murid-murid Sin cui kiong mempunyai perubahan ribuan variasi rumit dan susah dijajagi, namun mereka tetap terdesak di bawah angin.
Maklumlah meski murid-murid perempuan Induk Air Im Ki ini mendapat didikan langsung dari ilmu kepandaian gurunya yang tiada taranya itu, apa boleh buat mereka tak punya pengalaman tempur, maka sering mereka selalu kehilangan inisiatif dan kena didahului oleh Oh Thi-hoa.
Sebaliknya Oh Thi-hoa, Cay Tok hing sama-sama merupakan tokoh silat yang entah sudah digembleng berapa ratus atau ribuan kali didalam pertempuran di medan laga, bukan saja mereka pasti tak akan menyianyiakan kesempatan yang paling baik, malah setiap jurus tipu yang dilancarkan pasti diperhitungkan dengan tepat dan telak, setiap orang sama tahu pada detik yang bagaimana harus melontarkan serangan apa, yang diserang adalah titik kelemahan pihak lawan.
Maka menurut situasi pertempuran sekarang ini, meski pihak Oh Thi-hoa unggul di atas angin, akan tetapi umpama nanti mereka benar memperoleh kemenangan, apa pula guna manfaatnya? Induk air Im Ki sendiri belum lagi unjukan diri, nyonya setengah umur, Kionglam Yan dan mungkin tenaga-tenaga andalan yang diutamakan dalam kekuatan Sin cui kiong sekarang belum lagi muncul semua dan ikut turun tangan.
Cepat atau lambat yang pasti pihak Oh Thi-hoa bertiga yang akhirnya akan kalah.
Saking tegang hampir saja Coh Liu-hiang lupa diri hendak keluarkan setengah badannya ke permukaan air.
Baru sekarang dia benar-benar menyadari, melihat orang lain atau teman baiknya sendiri bergebrak dengan orang, sungguh jauh lebih tegang dari diri sendiri yang turun gelanggang.
Maka ingin rasanya segera terjang keluar terjun ke tengah pertempuran, tapi diapun tahu bila dirinya berbuat demikian, maka mereka berempat mungkin bakal sama-sama terkubur ditempat ini.
Untuk mengakhiri pertempuran dan membereskan segala persoalan Coh Liu-hiang berpendapat dia harus selekasnya menemukan titik kelemahan Induk Air Im Ki lalu secara tak terduga baru menyergap dan membekuknya.
Dia sudah memperhitungkan cepat atau lambat Im Ki sendiri pasti akan muncul.
Asal orang muncul, maka dia pasti muncul maka dia pasti bisa mencari kesempatan.
Kalau Coh Liu-hiang amat gelisah dan gundah ditempat persembunyiannya, sebaliknya murid-murid Sin cui kiong jauh lebih gelisah lagi.
Biasanya mereka terlalu mengagulkan diri, selamanya tidak pandang sebelah mata kepada siapapun, mereka sama berpendapat asal salah satu diantara mereka mau turun tangan, dengan mudah akan bisa meringkus musuh satu persatu.
Diluar dugaan hari ini mereka justru kebentur tiga tokoh-tokoh puncak persilatan yang sama memiliki ilmu silat yang tak terukur tingginya, untung mereka terdiri dari murid-murid Sin cui kiong kalau ditempat lain perduli dimanapun, pastilah siang-siang sudah diinjak-injak dan diratakan dengan bumi oleh mereka bertiga.
Bila ketiga orang ini bergabung dan berjuang mati-matian, dikolong langit ini mungkin sulit dicari tandingan yang lebih kuat dari kekuatan kerja sama mereka bertiga.
Sekonyong-konyong terdengar suara keluhan kaget, seorang gadis baju putih tiba-tiba bersalto menjerit mundur ke belakang, tangan kirinya memegangi lengan kanan, darah segar mengucur deras dari celah-celah jarinya.
Oh Thi-hoa terloroh-loroh seperti orang kesurupan.
"Kalau tidak pandang kau ini seorang perempuan, tebasanku ini sudah merenggut jiwanya."
Gadis yang dipanggil Kin moay itu tertawa dingin.
"Golokmu, deras tak bertenaga, berangasan tak punya tipu daya, ilmu silat seperti ini, berani juga buat jual lagak?"
Oh Thi-hoa tertawa, ujarnya.
"Kalau demikian, ilmu silatmu tentu boleh sekali, hayolah maju, aku ingin melihat."
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memangnya kau harus melihat kepandaianku."
Damprat Kin moay.
Ditengah hardikannya tahu-tahu dia sudah terjun ke dalam arena pertempuran, tiga gadis yang lain sebenarnya sudah serempak melontarkan serangan, tapi sepasang tangan dengan jari-jari runcing Kiu moay tahutahu sudah menyelonong tiba di depan mata Oh Thi-hoa lebih dulu.
Oh Thi-hoa menegakkan goloknya dengan punggung menghadap keluar, tajam goloknya terus membalik dan dipelintir ke arah muka, jikalau serangan Kiu moay ini tidak segera diurungkan atau ditarik kembali, jarijarinya yang halus dan manis itu bakal memapak tajam golok dan pasti protol seluruhnya.
Tapi gerak perubahan permainan tipu-tipu serangannya sungguh hebat sekali, pergelangan tangan membalik, tahu-tahu tangannya menukik mencengkeram pipi kiri Oh Thi-hoa.
Gerak perubahan serangan ini amat wajar, sedikitpun tidak dipaksakan dan bergerak dengan lancar, tetapi justru karena perubahannya ini terlalu lancar dan seperti mengikuti riilnya, maka Oh Thi-hoa yang sudah gemblengan dan pengalaman dimedan laga, siang-siang sudah memperhitungkan dan menduga akan posisi dan sasaran yang diincarnya.
Tahu-tahu sudah menunggu pula serangan jari-jari tangan orang.
Kiu moay sendiri tidak tahu dan menginsafi bahwa pengalaman tempurnya sendiri yang terlalu cetek, perhitungan dan ketegasan mengincar sasaran kurang tepat, maka dia mengira lawan sebelumnya sudah amat apal dan tahu gerak permainan serta perubahan tipu-tipu serangannya, keruan hatinya jadi amat kaget, maka gerak-gerik selanjutnya perubahan serangannya tidak selincah dan seganas semula.
Oh Thi-hoa tertawa lebar, katanya.
"Tipunya cepat lihai tapi tidak punya tenaga, ada hati tapi kurang berani, ilmu silat seperti ini juga berani pamer di hadapanku. jikalau aku tidak kenal kasihan terhadap dara-dara ayu secantik kau ini, jari-jari landakmu itu sejak tadi sudah protol seluruhnya."
"Jari-jari landak"
Ibarat ini sungguh amat tepat sekali pemakaiannya, hampir saja Coh Liu-hiang terpingkal-pingkal didalam air mendengar banyolah temannya yang satu ini, tapi dia tahu bahwa Oh Thi-hoa kali ini bukannya sedang main-main atau kelakar, yang terang dia memang sengaja hendak membuat lawan gusar, perang batin dengan cara yang dipakainya ini memangnya sudah lazim dipergunakan oleh Kangouw.
Jilid 41 Sebagai gadis pingitan yang tidak punya pengalaman Kangouw, sudah tentu dengan gampang Kim-moay ditipunya, saking marah mukanya merah padam, semakin getol keinginannya merobohkan lawan, permainan silatnya jadi kurang mantap dan tak bisa bekerja dengan kepala dingin.
Walau satu lawan empat, sinar golok Oh Thi Hoa tetap berkelebatan kian kemari seperti rangkaian kembang-kembang salju yang beterbangan, dia tetap berada di atas angin.
Sekonyong-konyong terdengar pula sekali keluhan kaget, tampak seorang mencelat mundur pula, maka terdengar Cay Tok Hing berkata dengan gelak tawa.
"Hati-hati sedikit, jikalau lohu tidak ingat usia yang sudah lanjut nanti disangka yang tua menindas si kecil, jari jarimu ini mungkin telah kuketuk jadi untar untar"
"Ha, ha, bagus, bagus sekali !"
Teriak Oh Thi Hoa tertawa besar.
"Golok menabas jari landak pentung mengetuk ular, kini tinggal pedang Ui-loyacu yang akan mengirim cakar ayam"
Ui Loh-ce ternyata berkata dengan kereng dan suara berat.
"Usia mereka terlalu muda tak punya pengalaman tempur menghadapi musuh, hati gugup dan gelisah ingin menang lagi kalau diteruskan pasti ada yang terluka atau ajal, sukalah suruh Kiong-cu, kalian keluar saja."
Coh Liu hiang diam-diam menghela napas, katanya.
"Memang orang ini seorang sosiawan sejati yang tak mau merugikan orang lain, jujur tak mau menipu, memang kun cu kiam amat sesuai dengan pribadi dan sepak terjangnya. Diam-diam hatinya jadi gelisah, karena dia tahu sin cui kiong begitu disegani dan dipandang sebagai puncak persilatan, pastilah bukan bernama kosong belaka, kepandaian silat murid yang bergebrak ini sudah termasuk kelas satu di kalangan Kangouw, Induk Air Im Ki sendiri pasti mempunyai kepandaian silat yang tiada taranya, begitu dia muncul situasi pasti segera berubah, mungkin kawan kawannya bisa celaka daripada selamat. Tapi kenapa sebegini jauh Induk Air Im Ki bekum kunjung keluar? Pada saat itulah, tiba-tiba Coh Liu-hiang merasakan air danau yang semula tenang dan tak bergerak itu lambat laun seperti mulai timbul gerakan arus yang berputar, kedua kakinya lapat-lapat sudah mulai merasakan adanya suatu tekanan. Perasaan sehalus ini kalau orang lain pasti tak gampang disadari, tapi Coh- Liu-hiang bisa bernapas melalui lubang pori-pori di kulitnya sudah tentu perasaan jauh tajam dari segala orang, Cepat dia selulup ke dalam air menyusup ke lobang sebelah kiri dimana terdapat sebuah batu besar yang lain, seluruh badannya meringkel, seolah kulit daging dan tulangnya menyusut kecil, paling tidak satu pertiga lebih kecil dari keadaan badan biasanya. Selama dirinyamalang melintang berkecimpung didalam Kangouw, bahaya yang diserempet dan dihadapinya selama hidup, dibanding dengan seratus orang biasa jikalau reaksinya tidak cepat serta tepat pula menghadapi segala perubahan entah sudah berapa kali jiwanya melayang. Demikian pula kali ini, reaksi perubahan yang melebihi orang lain ini kembali menolong jiwanya pula. Tiba-tiba dilihatnya batu besar yang berada di sebelah kanannya tadi kini sudah mulai bergerak, tekanan di kakinya tadi adalah karena batu raksasa ini bergerak dan mendesak air sehingga menimbulkan aliran air yang berputar itu, jikalau tidak cepat dia pindah tempat dan sembunyi ke tempat yang sekarang, kedua batu besar di kanan kirinya itu bakal menggencetnya mampus. Bahwa batu raksasa ini mulai bergerak terang di bawah dasar danau inipun pasti ada jalan rahasia, rahasia Induk Air Im Ki jelas terletak di dasar danau ini, betapa girang perasaan hati Coh Liu-hiang saat mana, sungguh sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ternyata kedua batu raksasa itu tidak sampai merapat seluruhnya, di tengahnya masih ketinggalan celah-celah sempit. Dengan miringkan kepala Coh Liu-hiang melongok keluar, tampak serangkaian buih-buih yang bergulung mengalir keluar belakang batu besar, disusul muncullah dua sosok bayangan orang. Dua orang ini sama mengenakan jubah panjang warna putih, meski berada si dalam air, pakaian yang basah tidak tampak melekat pada kulit badan mereka, malah kelihatan seperti melambai lambai ditiup angin ditengah angkasa. Coh Liu-hiang sudah mengenal satu diantara kedua orang adalah Kionglam Yan, sorot matanya kelihatan lebih buram, lebih cekung, tapi jauh lebih indah dan cantik. Lambat-lambat tangannya menuntun seorang yang lain beranjak keluar, gerak gerik mereka didalam air hampir sama tenang dan wajar, seperti berjalan gemulai diatas daratan. Coh Liu-hiang tidak melihat raut wajah seorang yang lain, cuma terasa dia adalah perempuan yang perawakan tinggi besar, Kionglan Yan hanya sepundaknya saja berdiri disampingnya, memangnya orang inikah Induk Air Im Ki yang amat ditakuti dan serba misteri itu. Tampak Kionglam Yan menggandengnya, tiba-tiba tangan orang yang digandengnya itu diletakkan pada pipinya serta diletakkan ke kepalanya dan digosok gosokkan sekuat-kuatnya, sorot matanya memancarkan napsu birahi yang memuncak. Dengan sebelah tangannya yang lain orang itu mengelus rambut kepalanya, kelihatannya mirip benar dengan sepasang kekasih yang sedang bermesra-mesraan, sekali-sekali tidak mirip hubungan antara murid dan guru yang pantas melakukan adegan-adegan merangsang seperti itu. Apakah benar Induk Air Im Ki, seorang laki-laki? Coh Liu-hiang menjadi bingung sendiri, akhirnya Kionglam Yan melepaskan tangan itu, tapi sorot matanya yang diliputi napsu itu masih menatap muka orang itu lekat-lekat. Kini perlahan-lahan orang itu sudah mulai bergerak menengok ke arah sini, akhirnya Coh Liu-hiang berhasil melihat muka aslinya. Dia memiliki sepasang mata yang besar, alis yang lentik dan tebal, hidungnya besar dan mancung, bibirnya yang tipis tertutup rapat, menampilkan sorot yang teduh dan watak yang ulet serta tegas. Itulah raut muka yang jarang terlihat pada muka manusia umumnya, hidungnya yang mancung tegak sehingga kelihatannya dia mempunyai kewibawaan besar yang angker dan seperti menyedot sukma orang, dari sikap dan tindak tanduknya jelas menunjukkan biasanya dia amat angkuh akan kekuasaan dan kebesaran, selamanya tiada orang yang berani melawan dia kecuali Sin Cui Kiong Cu Induk Air Im Ki, orang lain jelas tak akan setimpal mempunyai wajah seperti itu. Akan tetapi muka ini tak sama dengan wajah seorang perempuan, kalau perawakannya jelas menunjukkan bila dia seorang perempuan, hampir saja Coh Lui hiang menyangka Induk Air Im Ki adalah seorang lelaki. Dan anehnya dia tak segera mumbul ke atas, keluar dari danau malah perlahan-lahan beranjak ke tengah danau, baru sekarang Coh Lui Hiang melihat ditengah-tengah danausana , terdapat sebuah batu putih, langsung dia duduk di atas batu putih ini. Apakah maksud dan tujuannya duduk di atas batu putih itu? Di atas sedang terjadi kekacauan dengan pertempuran sengit, kenapa dia masih enak-enakan duduk dalam air? Baru saja Coh Lui Hiang merasa aneh, Induk Air Im Ki sudah memberi tanda dengan ulapan tangan kepada Kionglam Yau segera Kionglam Yau-pun memberi gerakan tangan kearah batu di sebelahsana . Seketika tampak segulung pusaran air yang berarus tinggi timbul dari bawah batu putih itu terus membumbung naik keatas menyerupai tonggak air, badan Im Ki yang besar itu seketika tersanggah naik pelan-pelan. Permukaan air danau yang semula tenang-tenang itu mendadak menyemprot keluar sebuah tonggak air yang membumbung setinggi tiga tombak ke tengah udara lalu muncrat ke empat penjuru, tepat di pucuk tonggak air mancur ini tampak duduk bersimpuh seorang berpakaian serba putih. Sinar bintang kelap-kelip, butiran air yang muncrat itupun berkilauan memancarkan sinar. Dipandang dari kejauhan seolah-olah dari dasar danau terbang ke atas Dewi Koan-Im yang berpakaian putih duduk tenang di atas alas berkembang teratai dari kembang-kembang air yang muncrat di sekeliling itu, suasana menjadi hikmat angker, orang tak berani mendongak memandang dengan tajam. Suara musik yang sayup-sayup sampai dikejauhan itu kini berubah kalem dan gagah. Gadis-gadis baju putih serempak mengundurkan diri, Oh Thi Hoa, Cay Tok Hing dan Ui Loh Ce sama menengadah mengawasi orang yang duduk di atas pancuran air itu, walau mereka luas pengalaman dan pengetahuan kini merasa merinding dan sesak napasnya, serasa terbang arwahnya ke awangawang. Sementara itu Kionglam Yan-pun sudah mencelat naik ke daratan, sorot matanya bagai kilat dengan air muka dingin menyapu pandang pada tiga orang dihadapannya. Katanya dingin.
"Badan suci Kiongcu sudah muncul. tidak lekas kalian berlutut dihadap kepada beliau?"
Oh Thi Hoa lantas tertawa. Dalam suasana seperti ini ternyata dia masih berani tertawa sungguh tak kecil nyalinya, sampai Kionglam Yan sendiri mengunjuk rasa kaget dan heran. Terdengar Oh Thi hoa berkata dengan tertawa besar.
"Badan suci? Menyembah? Memangnya kau kira dirimu dewi atau malaikat?"
"Siapa kau orang kurang ajar ini?!"
Bentak Kionglam Yan. Kiu Moay segera tampil ke muka dengan menjura.
"Orang ini bernama Oh Thi Hoa yang datang bersama dia adalah Kung cu Kiam Ui Loh Ce dan Cay Tok hing dari Kaypang."
Kionglam Yan tertawa dingin.
"Kalian mengagulkan diri berkepandaian tinggi berani sembarang keluyuran ditempat terlarang ini?"
Cay Tok hing bergelak tawa sambil menengadah, ujarnya "Walau kepandaian cayhe bertiga tak mengejutkan orang, tapi cukup lumayan juga untuk dinilai."
"Murid siapa orang ini?"
Tiba-tiba Induk Air Im Ki bertanya. Pertanyaannya tidak ditunjukkan kepada Cay Tok Hing malah bertanya kepada Kionglam Yan seolah-olah dia tak sudi bicara langsung dengan lakilaki, tak urung Cay Tok hing tertawa pula katanya.
"Waktu aku orang tua kelana mencari pengalaman, entah dia malah berada dimana? Kau tanya dia memangnya dia tahu riwayat dan asal usul hidupku?"
Kionglam Yan menunggu setelah dia pas tertawa baru berkata dengan dingin.
"Semula orang ini adalah begal besar yang biasa beroperasi dengan mengganas di dua sungai besar setelah tiga puluh tahun baru bertobat dan menuju jalan lurus, menjadi murid kaypang, resminya adalah murid Lu Lam Kaypang Pangcu waktu itu, yang terang Cu Bing murid Lu Lam yang terbesar yang mewakili gurunya mengajar silat kepadanya oleh karena itu meski dia terlambat masuk perguruan, kedudukannya dan tingkatannya di dalam Kaypang cukup tinggi."
"Apa ilmu silatnya sudah mendapat didikan murni dari seluruh kepandaian Cu Bing?"
Tanya Indu Air Im Ki pula.
"Cu Bing bergelar Kangkun thi ciang "kepalan baja telapak besi"
Betapa kuat tenaga dalam dan ilmu pukulannya di kalangan Kaypang mereka tiada bandingannya, mana bisa orang ini menandinginya? Cuma semula dia memangnya seorang begal tunggal, maka ilmu ginkangnya setingkat lebih tinggi dari Cu Bing, dan karena gaman yang dia pakai semula adalah pedang, maka didalam permainan ilmu tongkatnya dikombinasikan dengan tujuh kali tujuh empat puluh sembilan jurus Wi-hong bu hu-kiam serta perubahanperubahannya.
Didalam Kaypang jaman ini, boleh terhitung tokoh nomor satu."
Ternyata asal-usul dan ilmu silat Cay Tok Hing seperti menghapal pelajaran saja dengan nyerocos dibeber secara terbuka karuan Cay Tok Hing tak bisa tertawa lagi, batinnya.
"Murid-murid Sin cui-kiong biasanya tidak bergaul dengan orang luar, tak kira mereka murid-murid terpelajar tak keluar pintu, tapi tahu segala urusan dan kejadian di dunia luar, gelarnya Sin cui-kiong memang luar biasa."
Terdengar Induk Air Im Ki tertawa dingin.
"Walau Cu Bing sendiri selama hidupnya tak berani sembarangan menginjak daerah terlarang Sin cui kiong, tak nyana besar benar nyali orang ini, agaknya melibih Cu Bing keberaniannya.
"Berhenti sementara lalu Induk Air menuding Oh Thi hoa, tanya;
"Dan orang ini?"
Dengan mendelik Oh Thi-hoa menatap Kionglam Yan, dalam hati membatin.
"Jikalau riwayat hidup dan asal usul ilmu silatku kau ketahui aku benarbenar tunduk dan kagum padamu."
Kionglam Yan menepekur sebentar seperti mengingat-ingat, katanya kemudian lebih kalem.
"Orang ini seperti pula Coh Lui-hiang, orang-orang Kangouw dikata tiada orang yang tahu asal usul ilmu silat mereka, yang diketahui hanya bahwa mereka semua dari keturunan keluarga besar yang turun temurun dari kakek moyangnya malah sejak kecil hobinya berlatih silat, maka didalam rumahnya menggandeng banyak sekali guru-guru silat, tapi karena kepandaian silat asli yang mereka bekal sekarang terang bukan hasil didikan guru-guru silat di rumahnya itu."
Oh Thi hoa tersenyum sambil angguk kepala katanya.
"Ya, sedikitpun tidak salah."
"Oleh karena itu waktu itu banyak orang curiga bahwa didalam keluarga mereka ada seorang tokoh silat yang amat lihay sembunyi dirumahnya dan secara rahasia mendidik dan mengajar ilmu silat kepada mereka. Tapi ada pula yang curiga bahwa secara kebetulan mereka menemukan buku pelajaran silat peninggalan entah Cianpwe yang mana."
Oh Thi hoa tetap tertawa, ujarnya.
"Kau bisa tahu begini banyak, terhitung bukan mudah kau bisa mendapat bahan-bahannya."
Kionglam Yan tidak hiraukan ocehannya, katanya lebih lanjut.
"Akan tetapi, meski dia dibesarkan bersama Coh Lui hiang, ilmu silat mereka justru jauh berbeda, ilmu silat yang dipelajarinya mengutamakan kekerasan, agaknya mirip dengan ilmu silat dari Thi-tiat-tay-ki-bun masa lalu."
Kini Oh Thi hoa tidak bisa tertawa lagi kulit mukanya terasa kaku dan mulutpun melongo keheranan. Tapi melirikpun tidak kepadanya, Kionglam Yan meneruskan uraiannya.
"Dulu setelah Thi tiong siang menegakkan perguruan Thi tiat tay bun ki pula, Ya-te ayah beranak lantas pesiar keluar lautan dengan seorang cianpwe yang bernama Ji cu han, mereka pernah lewat di kampung kelahiran orang ini maka menurut dugaan teccu ilmu silat yang dipelajari Coh Lui hiang mendapat didikan langsung dari Ya-te "kaisar malam"
Sementara Ji-cu-han menerima orang ini sebagai muridnya."
Oh Thi hoa menghela napas, katanya seperti mengigau.
"Tebakanmu mesti tak tepat juga meleset tak terlalu jauh dari kebenarannya, tak heran orang-orang Kangouw sama gentar terhadap kalian, agaknya kalian memang punya kebolehan yang lebih unggul dari orang lain."
Mendengar nama-nama Ya-te dan Thi kiat tay ki bun disebut-sebut sampaipun Induk Air Im Ki mengunjuk rasa kaget dan haru, sesaat dia termenung, lalu katanya.
"untuk apa tiga orang ini meluruk datang?"
Kiu moay lekas menjura pula, sahutnya.
"Teccu sudah beritahu kepada mereka dalam lembah ini pasti takkan ada orang luar, tapi mereka tetap tidak mau percaya."
Induk Air Im Ki menjengek hina, katanya.
"Memangnya mereka ingin apa?"
"Apa kalian ingin kami bicara terus terang?"
Seru Oh Thi-hoa.
"Katakan!"
Sentak Kionglam Yan. Oh Thi hoa tertawa-tawa dulu, katanya.
"Sebetulnya kami kemari hendak cari orang, kalau orang yang dicari tidak ada di sini, sekarang hendak pergi saja."
Kionglam Yan tertawa dingin, ejeknya.
"Agaknya kau memang orang pintar, sayang sekali selamanya tempat suci ini boleh didatangi tak boleh pergi lagi, kau sudah masuk dan tiada orang yang merintangi, jikalau kau hendak keluar lebih sukar dari pada kau manjat ke langit."
Tiba-tiba Induk Air berkata pula.
"Beritahu mereka, perduli cara apa yang mereka gunakan bila mereka mampu mendorong aku jatuh dari altar teratai air suci ini, mereka boleh berlalu dengan selamat."
"Asal kalian..."
"Kami bukan orang tuli."
Tukas Oh Thi hoa dengan tertawa besar.
"apa yang diucapkan, kami sudah dengar, tak perlu kau ulangi sekali lagi."
"Tapi harus dicari ketegasan dulu apa ucapannya boleh dipercaya?"
Sela Cay Tok hing. Kionglam Yan membesi muka, katanya.
"Perintah Kiongcu sekokoh gunung, apa yang pernah beliau ucapakan tak pernah dirobah dan ditarik kembali."
Oh Thi hoa dan Cay Tok hing beradu pandang, roman mukanya menampilkan rasa girang.
Tampak olehnya Induk Air duduk angker di pucuk pancuran kembang air yang muncrat ke sekelilingnya, tenang sekokoh gunung, maka mereka insaf bukan saja ginkang orang sudah mencapai taraf yang tiada taranya, Khikang-nyapun sudah amat mendalam, memang mereka bertiga belum tentu kuasa melawan dan menjadi tandingannya, jikalau mereka menantang, dengan tingkat dan kedudukan mereka tidak bisa menolak tantangan ini, malu juga bila satu lawan tiga, kalau demikian gelagatnya hari ini mereka memang tak mungkin bisa keluar dari Sin cui kiong dengan masih hidup.
Akan tetapi Induk Air ternyata begitu takabur, situasi seratus persen berubah dan agaknya bakal menguntungkan pihak mereka bertiga.
Maklumlah dengan gabungan kekuatan mereka bertiga yang merupakan tokoh Kangouw kelas wahid, jikalau tidak mampu mendorong jatuh dari tempat duduk di puncak pancuran air yang kelihatannya tidak kuat itu, sungguh merupakan peristiwa lucu dan aneh yang pernah mereka alami selama hidup.
Kuatir orang merubah putusan semula, sengaja Oh Thi hoa tertawa dingin.
"Kalau orang memang demikian keinginannya apa boleh buat kita tinggal menurut saja bukan?"
"Benar,"
Sela Cay Tok Hing.
"Itulah yang dinamakan sang tamu mengiringi saja keinginan tuan rumah."
Berputar biji mata Oh Thi hoa. katanya.
"Tapi kita perlu berunding dulu, entah boleh tidak?"
Induk air mengulap tangan, Kionglam Yan segera menjengek dingin.
"Yang terang kalian berunding juga takkan berguna, baik silahkan."
Lekas Oh Thi hoa menarik Ui Loh-ce dan Cay Tok hing ke samping, tak terasa dia tertawa, katanya.
"Agaknya Induk Air hari ini pasti akan kecundang ditangan kita bersama."
Ui Loh-ce sebaliknya mengerut kening. katanya.
"Tapi, kalaupun dia berani sesumbar, ini bukan mustahil diapun akan mengalahkan kita."
Cay tok Hing tertawa ujarnya.
"Kau tak usah mengecil artikan perlawanan kita dengan mengagulkan kekuatan musuh, dengan kekuatan gabungan kita bertiga sekali terjang berbareng umpama kata tonggak air dan dia orang itu terbuat dari besi, memangnya kita tidak kuasa menumbuknya roboh?"
Ui Loh-ce pikir pergi datang, memang dia tak habis mengerti dengan cara apa Induk Air akan melayani terjangan kekuatan mereka bertiga, tapi dasar wataknya halus dan suka berpikir cermat serta hati-hati maka katanya dengan nada khawatir.
"Manusia besi berani mati dia orang justru orang hidup yang dapat bekerja dan berdaya upaya, kita bertiga menerjang dengan segala kekuatan, jikalau dia berhasil menyingkir itu waktu kita sama-sama terapung ditengah udara, ke atas ke samping ke bawah tidak ada tempat untuk berpijak, bukan mustahil kita sendiri bakal terjeblos jatuh ke dalam danau, umpama tak sampai teringkus hidup-hidup oleh mereka, rasanya malu untuk mengulangi kedua kali dengan cara lain."
Tak urung Cay Tok hing mengerut alis pula, katanya.
"Memang uraianmu masuk akal."
"Oleh karena itu menurut pendapatku yang bodoh,"
Kata Ui Loh-ce lebih lanjut.
"kita bertiga jangan bergerak dan turun tangan bersama, karena kalau bertiga sama sama maju, meski kekuatannya berlipat ganda, tapi bila sekali serang tak mengenai sasaran, tenaga bantuan yang diperlukan belakangan menjadi putus.
"Tapi bila kita bertiga bergerak sendiri-sendiri, bukankah pembawaannya jauh lebih asor?"
Cay Toh hing utarakan pendapatnya. Jawab Ui Loh ce "Biar aku dengan gerakan "Tiong hong goan jit"
Menerjangnya lebih dulu kalian boleh awasi cara bagaimana dia melayani atau berkelit, Oh-heng harus mengikuti aku dengan ketat, begitu serangan luput Oh-heng segera susulkan seranganmu kala itu gerakannya sudah berubah sekali, betapapun kekuatannya sudah berkurang, dengan sendirinya gerak perubahan selanjutnya menjadi rada kendur, umpama serangan Oh-hengpun menemui kegagalan, dikala Cay-loyacu menyerang dengan gelombang ketiga, dia sendiri sudah kehabisan kekuatan, kukira tidak sulit untuk Cay loyacu merobohkan dia."
Cay Tok hing tepuk tangan serunya.
"Benar, cara ini memang amat tepat dan baik."
Oh Thi-hoa sebaliknya geleng-geleng kepala katanya.
"Cara ini kurang baik."
"Kenapa kurang baik?"
Cay Tok hing menegas.
"Yang terang tenaga murninya jauh lebih unggul dari kekuatan kita, apalagi disaat kita menyerang dia, badan harus terapung ke udara tiada tempat untuk kita mengerahkan seluruh kekuatan, sebaliknya duduk di pucuk pancuran air, betapapun dia jauh lebih kalah kedudukannya, oleh karena itu bila kita harus menyerang secara bergelombang, bukan mustahil bisa dipukul jatuh satu persatu oleh kekuatan pukulan telapak tangannya."
Berubah air muka Ui Loh Ce, katanya.
"Benar juga, hakekatnya dia tidak perlu merubah gerakan, cukup asal duduk di atas dengan kokoh, dengan siap memancing dan menyerang kita, betapapun kita takkan kuat melawannya."
Cay Toh Hing mengawasi Oh Thi-hoa, katanya tertawa.
"Kalau kau bisa berkata demikian, tentunya kau punya cara dan akal yang lebih bagus."
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Oh Thi-hoa merendahkan suara, katanya.
"Cara yang paling baik tetap kita bertiga menerjang bersama, tapi aku tidak akan menyerang langsung kepadanya, bagian badanku terapung di tengah udara seketika aku akan mengalihkan arah membabat ke tonggak air di bawahnya, tidak ada ruginya kalau pura-pura menerjang dengan nekad dan siapkan tenaga untuk melindungi dan menutupi gerak-gerikku, sudah tentu kalian bergebrak benar-benar dengan dia."
Sampai di sini dia tertawa lalu meneruskan.
"Asal tonggak air itu keterjang bubar dan terputus di tengah-tengah apa dia masih bisa duduk tenang di tempatnya?"
Begitu mendengar cara yang di usulkan Oh Thi-hoa, seketika Ui Loh Ce mengunjuk kegirangan. Sementara Cay Tok-Hing menarik tangan Oh Thihoa, Katanya tertawa."
Sudah puluhan tahun aku mengembara di kangouw tak nyana otakku sudah tumpul dan tidak secerdik kau bocah anak ini malah."
Ui Loh-ce berkata.
"Oh-heng memang cerdik dan berani, serba pintar sukar ditandingi orang lain."
"Itulah yang dinamakan, hendak menjatuhkan orang harus memanah kudanya lebih dulu."
Kata Cay Tok-hing riang.
"kalau kudanya roboh memangnya orangnya masih bisa bercokol terus dipunggungnya?"
Semakin dipikir dan semakin dibicarakan, mereka merasa cara ini amat bagus dan tepat umpama Induk Air Im Ki punya kepandaian setinggi langit kalau pancuran air itu diputuskan, betapapun dia akan terjungkal roboh. Kata Oh Thi-hoa dengan tertawa.
"Akal seburuk ini sebetulnya tak bisa kupikirkan, cuma selama dua bulan terakhir ini aku setiap hari bergaul bersama si Ulat busuk itu, lambat laun aku jadi ketularan sifatnya yang buruk itu."
Ui Loh-ce tertegun, tanyanya.
"Siapa itu Ulat busuk?"
Cay Tok hing tertawa tertahan, katanya.
"Apakah orang itu amat busuk maka dia diberi julukan sejelek itu?"
"Ulat busuk yang lain memang berbau busuk."
Ujar Oh Thi-hoa tertawa.
"sebaliknya ulat busuk yang satu ini malah berbau wangi."
Xxx Setelah Kionglam Yan ikut mencelat naik ke daratan, Coh Liu-hiang menunggu sekian lamanya lagi, baru perlahan-lahan dua mendorong sedikit batu raksasa disampingnya tergeser, lalu separuh badannya melongok keluar.
Tampak di belakang batu itu memang ada sebuah jalan rahasia, arus air yang mengalir dari jalan rahasia sama dengan air yang berada didalam danau, sama jernih dan bening laksana kaca, selepas mata memandang, tak kelihatan bayangan seorang manusiapun.
Meski Coh Liu-hiang amat menguatirkan keselamatan Oh Thi-hoa bertiga tapi kesempatan yang paling baik ini tidak boleh disia-siakan, agar dirinya berhasil menemukan rahasia Induk Air Im Ki, dengan gampang dia akan menolong mereka.
kalau tidak, sekarangpun bila dia keluar juga tak ada gunanya.
Jalan rahasia ini merupakan sebuah lorong panjang yang kedua sampingnya diapit batu marmer, arus air yang mengalir kelihatannya perlahan, selicin ikan berenang Coh Liu-hiang meluncur ke dalam, belum jauh dia bergerak segera dia mendapat firasat jelek.
Baru sekarang teringat olehnya tadi Kionglam Yan ada memberi tanda ulapan tangan ke arah sini, maka air lancar menyemprot keluar dengan deras dan kuatnya, maka di belakang pintu dari jalan air ini, terang ada orang yang mengendalikan kunci rahasia dari semprotan air mancur itu.
Sayang sekali dikala Coh Liu-hiang menyadari akan hal ini, dia sudah terlambat untuk bergerak.
Sebuah tombak trisula tahu-tahu sudah meluncur tiba menusuk ke perutnya.
Sudah tentu serangan ini takkan bisa melukai dia, tapi celakanya, bila jejaknya sudah konangan oleh salah satu murid Sin-cui-kiong bukan saja seluruh rencana kerjanya bakal gagal total, nyonya baju putih setengah umur itupun akan terembet perkara, umpama dia berhasil membekuk atau membunuh orang yang menyerangnya ini, betapun jejaknya sudah bocor.
Selama ini dia amat hati-hati dengan gerak geriknya, sungguh tak nyana disaat dirinya hampir mencapai hasil yang gemilang, toh tanpa disadarinya dia berbuat suatu kesalahan besar yang akibatnya amat fatal, suatu kesalahan yang mungkin menamatkan nyawanya.
Induk air tetap duduk angker dan tenang di pucuk pancuran air, bergemingpun tidak, seolah-olah dia kuasa duduk tiga sampailima hari di tempatnya itu dengan tenang dan kokoh laksana gunung.
Kionglam Yan sebaliknya sudah tidak sabar lagi, katanya dengan mengerut kening.
"Sudah selesai belum kalian berunding?"
"Ya, sudah selesai"
Sahut Oh Thi-hoa tertawa. Berkilat sorot mata Kionglam Yan katanya tertawa dingin.
"Hanya mengandal kalian bertiga memangnya bisa merundingkan akal licik apa yang menguntungkan?"
Kata-katanya dia tujukan kepada Ui Loh-ce. Betul juga Ui Loh-ce lantas menjawab.
"Cayhe bertiga membicarakan..."
Gelagatnya dia hendak menjelaskan terus terang, tanpa berjanji Cay Tokhing dan Oh Thi-hoa segera menukas dengan keras.
"Bukan waktunya untuk ngobrol lagi, hayolah turun tangan saja!"
Mereka sudah berjanji dengan gerakan tangan masing-masing, maka begitu Oh Thi-hoa ulapkan tangan, serempak mereka bertiga lantas melesat maju berjajar adu pundak, sinar golok bersama cahaya pedang berubah laksana lembayung, melintang miring menyisir permukaan air danau.
Perlu diketahui tonggak air pancuran yang diduduki Induk Air tingginya ada tiga tombak, sementara letak tonggak air yang ditengahtengah danau itu berjarak sekitar enam tombak dari pinggir danau, umpama ilmu Ginkang Cay Tok-hing bertiga memang teramat tinggi sulit juga dalam sekali lompat bisa mencapai sasaran sejauh enam tombak.
Akan tetapi mereka menggunakan batu loncatan pada sebuah batu besar di pinggir danau untuk melompat kedepan, kebetulan batu raksasa ini menongol keluar di atas permukaan air.
jaraknya dengan Induk Air kirakira tinggal tiga tombak.
Untuk melompat dengan kekuatan Ginkang sejauh tiga tombak bagi mereka bukan soal sulit.
Waktu itu mereka sudah yakin benar pasti menang dan berhasil sesuai dengan rencana, sudah tentu semangat tempur mereka menyala-nyala, maka masing-masing tumplek seluruh kekuatan dan memboyong seluruh kepandaian silatnya yang paling diandalkan, dipandang dari kejauhan tampak ketiga orang ini laksana tiga malaikat yang membawa cahaya bianglala melesat terbang diangkasa, sampaipun murid-murid Sin cui kiong yang melihat perbawa kekuatan mereka bertiga sama terbelalak dan mulut melongo.
Induk air sebaliknya tetap duduk bersimpuh tak bergerak.
Terang jarak luncuran ketiga orang sudah mendekat tinggal kira-kira delapan tombak, sekonyong-konyong Oh Thi-hoa bersiul panjang memberi aba-aba, sigap sekali selincah burung walet gerakannya tiba-tiba berubah, goloknya terayun membacok ke tonggak air dari pancuran yang menopang badan Induk Air.
Tapi mendadak tepat pada saat yang bersamaan badan Induk Air mendadak anjlok turun ke bawah, kedua tangannya menekan ke tonggak air di bawahnya, tonggak air itu segera terpecah tiga cabang pancuran air yang lain laksana anak panah menyemprot keluar memapak ke arah mereka masing-masing.
Semprotan air pancuran itu sendiri sebetulnya sudah cukup keras, kini di bawah tekanan tenaga dalam Induk Air yang luar biasa besarnya, panah air yang menyemprot keluar ini dilandasi kekuatan bagai air bah dan kecepatan kilat menyambar, sudah tentu perbawanya bukan olah-olah dahsyatnya.
Memangnya Oh Thi-hoa bertiga sedang menerjang ke depan dengan seluruh kekuatan mereka, untuk berkelit sudah tentu tidak sempat lagi, tampak semprotan cahaya perak tahu-tahu sudah menyongsong tiba ke depan mata, kontan dada terasa ditumbuk sesuatu yang teramat keras dan dahsyat dan belum pernah dialami selama hidup ini, seolah-olah puncak gunung di empat penjuru sama runtuh dan menindih mereka.
Gerak-gerik badan Coh Liu-hiang justru jauh lebih gesit dan lincah berada didalam air daripada di daratan, cukup meluncur dengan miringkan badan, dengan mudah dia meluputkan diri dari tusukan tombak trisula itu.
Tetapi kepandaian gadis yang menyerangnya itupun tidak lemah, memangnya murid-murid Sin cui kiong masing-masing ada digembleng untuk bersilat dengan ajaran tunggal perguruan mereka didalam air, tombak trisula, memang salah satu senjata tunggal mereka untuk bergebrak di dasar air.
Cukup tangan ditekan dan ditekuk dengan lincah gadis itu tiba-tiba sudah merubah arah sasaran tusukannya.
Tapi kali ini belum lagi jurus serangannya sempat dilancarkan, tahu-tahu dari Ki-ti-hiat dibagian sikunya terasa rasa linu pegal yang terus merangsang seluruh badannya sehingga tak bisa berkutik lagi.
Sungguh tak pernah terpikir olehnya lawan dapat melancarkan ilmu tutuk didalam air dengan begitu hebat dan lincah, saking kejutnya, mulutnya sudah terpentang hendak berteriak, namun begitu mulut terbuka air segera masuk ke dalam tenggorokan.
Dengan kedua tangannya Coh Liu-hiang memapah badan orang, sementara kedua kakinya bergerak-gerak, naik turun cepat dia berenang masuk menyusuri jalan rahasia itu.
Gadis ini tiba-tiba lenyap kalau Induk Air Im Ki kembali tentu akan menyadari akan hal ini, maka orang akan segera menyadari bahwa istananya sudah kemasukan musuh, maka jejak Coh Liuhiang dengan sendirinya bakal konangan.
Akan tetapi waktu Coh Liu-hiang menyadari akan hal ini, terpaksa dia harus untung-untungan dan tetap menyerempet bahaya, apalagi tiada sesuatu pilihan lain yang harus dia laksanakan.
Maka sebelum Induk Air Im Ki kembali ke sarangnya, maka dia harus lekas menemukan letak rahasia dan titik kelemahannya maka diapun berharap semoga Oh Thi-hoa bertiga sedapat mungkin bisa bertahan cukup lama untuk melibat orang dalam pertempuran sengit.
Dalam waktu segenting ini, sedikitpun waktu tidak boleh dihamburkan dan disia-siakan.
Meski cukup panjang lorong air ini, tapi cepat sekali Coh Liuhiang sudah menyusuri tiga kali belokan, akhirnya ia tiba di ujung sebelahsana , dari bawah air tampak dipermukaan air ada sorot sinar api yang menyorot berkilauan.
Coh Liu-hiang sudah menduga di sebelah atas pasti ada orang yang menjaga, sedikitpun dia tidak membuang-buang waktu untuk berpikir, lekas dia jinjing gadis yang tertutuk lemas ini ke atas kepala terus didorong ke atas permukaan air.
Kaum persilatan umumnya sama menaruh berbagai macam bayangan dan perkiraan terhadap istana terlarang kediaman Induk Air itu lantaran siapapun belum pernah ada yang memasuki tempat itu, maka Sin cui kiong didalam mulut-mulut pembicaraan mereka menjadi semakin misterius.
Malah ada orang didalam dongengnya membayangkan Sin Cui kiong sebagai istana langit.
Bahwasanya tempat kediaman Induk Air tak lebih hanyalah sebuah kamar di bawah tanah yang berdinding batu-batu Tayli yang besarbesar, jadi tiada pajangan atau perabotan yang serba mewah dan mentereng.
Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa Induk Air Im Ki bukanlah seorang yang mengutamakan hidup mewah dan foya-foya, paling dia hanya mempertahankan kebersihan dan kerapian tempat kediamannya saja, di pojok manapun didalam kamarnya itu kau takkan bisa menemukan debu sedikitpun.
Oleh karena itu batu-batu Tayli di sekeliling kamar itu seolaholah batu jade raksasa yang berkilauan hidup tidak menyegarkan.
Mulut jalan rahasia yang terdapat didalam kamar ini merupakan sebuah empang kecil yang terbuat dari titian batu, batu-batu yang menggarisi empang membundar itupun tidak diukir secara berlebihan, garis-garisnya yang sederhana kelihatannya malah menyolok dan menyejukkan pandangan.
Tatkala itu dua gadis yang sama ayu sedang duduk di pinggir empang sedang sibuk memintal benang sebagai bahan pembuatan pakaian mereka.
Waktu mendadak mereka melihat salah satu saudara mereka terapung di permukaan air, rona mukanya sama menampilkan rasa kaget dan keheranan, tersipu-sipu mereka sudah biasa hidup didalam suasana yang tawar sunyi dan tentram, maka begitu dia menghadapi suatu urusan atau kejadian di luar dugaan sering kelihatan tak tahu bagaimana harus mengatasi atau menghadapinya, sudah tentu tak pernah terpikir oleh mereka gahwa didalam air masih ada orang yang mengintai gerak-geriknya.
Dengan gampang tanpa banyak membuang tenaga Coh Liu-hiang berhasil menutuk Hiato mereka, lalu dia jinjing mereka keluar dari empang, tampak tiga roman muka mereka sama menampilkan rasa penasaran dan kejutkejut heran, Coh Liu-hiang segera bersoja dan berkata dengan tertawa.
"Sekali-kali aku tak bermaksud melukai kalian, cukup asal kalian istirahat sebentar saja."
Senyumannya simpatik dan hangat, kalau mau dikata ada orang laki-laki dalam dunia ini yang senyumannya dapat membikin hati seorang gadis yang kaget dan bingung menjadi tentram, maka orang itu adalah Coh Liu-hiang.
Memang air muka ketiga gadis ayu ini pucat namun sedikitnya mereka lambat laun kelihatan tenang dan lega, walau mereka tidak tahu siapa lakilaki ganteng yang cakap di hadapan mereka ini, namun terasa setiap patah kata yang diucapkan dapat dipercaya seluruhnya, memang Coh Liu-hiang mempunyai semacam wibawa aneh yang dapat menyedot semangat orang, selalu dia dapat menenteramkan hati siapapun yang dipandangnya sehingga gadis-gadis inipun merasa dia adalah laki-laki yang dapat dipercaya.
Memang selama itu Coh Liu-hiang tidak pernah mengecewakan harapan mereka.
Didalam kamar batu ini hanya terdapat sebuah ranjang, sebuah meja, sebuah almari pakaian yang tidak begitu besar, serta kamran bundar yang berserakan di atas lantai, kecuali keperluan-keperluan sederhana didalam suatu kehidupan yang paling minim ini, setiap benda lain yang berada didalam kamar seolah-olah menjadi berlebihan malah, maka dapatlah dimengerti bukan saja Induk Air Im Ki menyempitkan ruang gerak hidupnya, malah boleh dikata teramat sederhana amat keras membatasi diri akan segala tetek bengek.
Terang lebih berbeda dengan Induk Air Im Ki yang pernah dibayangkan oleh orang-orang persilatan mengenai kehidupan dan rahasia Sin cui kiong itu.
Orang seperti ini, masakah bisa memiliki sesuatu rahasia dan titik kelemahan? Coh Liu-hiang jadi kebingungan sendiri karena tak menemukan suatu tempat untuk menyembunyikan tiga gadis yang ditutuknya ini setelah merenung sebentar, tiba-tiba dia buka tutukan Hiat-to salah satu gadis, katanya tersenyum.
"Tahukah kau ditempat mana aku harus menyembunyikan kalian sementara?"
Kalau orang lain yang menanyakan hal ini sampai matipun gadis ini pasti takkan mau menjawab.
Tapi sikap dan tutur kata Coh Liu-hiang, sungguh seperti mengetuk kalbu, begitu mesra dan simpatik lagi, sehingga dia merasa seperti sahabat lama saja yang sedang ajak dia mengobrol.
Terasakan pertanyaan orang seolah-olah sedang memperhatikan dirinya, demi kebaikannya pula, sungguh suatu pertanyaan yang tak mungkin ditolak untuk dijawab oleh anak perempuan manapun.
Dengan tersenyum gadis itu mengawasinya, seperti tidak disadari dia menjawab "Apa kau lihat lentera di atas dinding di depan itu?"
"Lentera disamping almari pakaian itu maksudmu"
Tanya Coh Liu-hiang.
"Benar, asal lentera itu kau geser ke kiri, akan muncul sebuah pintu rahasia, kalau kau sembunyikan kami kesana, tidak akan ada orang yang tahu."
Coh Liu-hiang menepekur sebentar, tanyanya pula dengan suara lembut.
"Apakah tempat itu aman?"
"Jarang ada orang yang dapat masuk kesana."
Sahut si gadis. Coh Liu-hiang tertawa ujarnya.
"Terima kasih, kelak bila kau meninggalkan Sin cui kiong, boleh kau mencariku, pasti kuajak kau ke tempat-tempat tamasya yang permai."
Tak tahan tersenyum lebar gadis itu, mukanyapun menjadi merah, katanya.
"Terima kasih."
Baru saja sempat dia mengucapkan "terima", tahu-tahu Hiat-tonya sudah tertutuk lagi.
Benar juga dengan gampang Coh Liu-hiang menemukan pintu rahasia itu, dan satu persatu dia jinjing ketiga gadis itu dan disembunyikan disana .
Sebetulnya dia bisa mengajukan banyak pertanyaan kepada ketiga gadis ini, tapi dia tahu bila mereka bicara terlalu banyak, bilamana diketahui Induk Air Im Ki, akibatnya tentu susah dibayangkan.
Biasanya dia tidak tega menyakiti hati seseorang yang menaruh kepercayaan penuh kepada dirinya.
Apalagi diapun tahu jikalau terlalu banyak pertanyaan yang dia ajukan, mereka juga akan sadar dan waspada akhirnya, lambat-laun luntur dan hilanglah kepercayaan terhadap dirinya.
Selamanya diapun tidak suka merusak kesan baik seorang gadis terhadap dirinya.
Meja pendek yang sederhana tak menimbulkan kesan luar biasa hanya sebuah poci air teh dari batu jade saja yang terletak di atas meja dengan bertatakan batu porselin, tempat duduknya dialasi dengan anyaman rumput ekor kuda.
Umumnya perempuan suka menyembunyikan sesuatu rahasia pribadinya di bawah seprei tapi apapun yang terlihat sekarang agaknya Induk Air Im Ki bukan perempuan macam begituan, ranjangnya tak begitu besar ini tetap sederhana tak menunjukkan sesuatu yang mencurigakan.
Maka hanya almari pakaian di pojoksana itulah satu-satunya tempat menyimpan sesuatu rahasia yang berada didalam kamar batu ini.
Coh Liu-hiang menggumam seorang diri.
"Sungguh harus dimaafkan, bukan tujuanku hendak menyelidiki rahasiamu, soalnya aku harus menolong jiwaku sendiri, semoga didalam almari itu aku tak menemukan sesuatu benda yang membuat mukaku merah malu."
Memang segala benda yang tersimpan dalam almari boleh dibeber dijalan raya untuk diperlihatkan kepada umum.
Kecuali pakaian yang serba sederhana pula di dalam tiada tersimpan barang apa-apa dan anehnya diantara pakaian-pakaian sebanyak itu terdapat pula seperangkat pakaian lelaki.
Waktu itu Coh Liu-hiang tengah menenteng sepotong celana pendek dari kain katun, bagaimanapun dia pikir hatinya tak habis mengerti bahwa di dunia ini ada perempuan yang menggunakan celana pendek dari kain katun seperti ini, soalnya celana pendek, celana kolor yang dipegangnya ini tak ubahnya seperti celana kolor yang dipakainya sendiri.
Memangnya di Sin cui kiong juga disembunyikan seorang lelaki? Apakah disinilah letak dari rahasia pribadi Induk Air Im Ki? Sungguh Coh Liuhiang tak berani percaya akan kepercayaan yang dilihatnya ini, tapi mau tidak mau dia harus percaya.
Tapi siapakah laki-laki itu? Sekarang dimana? Disaat Coh Liu-hiang ragu-ragu dan menimang-nimang, tiba-tiba dilihatnya air didalam empang berbatu itu beriak dan bergelombang pelan-pelan, meski didalam keadaan yang bagaimanapun, Coh Liu-hiang tidak pernah lena terhadap sesuatu yang terjadi di sekelilingnya.
Cepat sekali dia sudah menduga pasti Induk Air Im Ki telah kembali, tatkala itu sudah tiada tempat lain untuk menyembunyikan diri, terpaksa dia menyelinap masuk sembunyi didalam almari pakaian.
Tapi dia tidak sempat lagi menutup rapat pintu almari seperti keadaan semula.
Kejap lain Induk Air Im Ki memang sudah muncul dari empang kecil itu, langkah kakinya seperti diganduli sesuatu barang berat, pelan-pelan badannya mumbul dan keluar dari dalam air, Lwekang sehebat itu, Coh Liuhiang yang mengintip dari tempat sembunyinya pun sampai tersirap kaget dibuatnya.
Cukup melihat langkah orang saja, Coh Liu-hiang sudah tahu bahwa ilmu silat Induk Air Im Ki memang masih lebih tinggi dari Ciok-koan-im, sudah tentu dirinya terang bukan tandingannya.
Bila saat itu juga dia menyadari tiga orang murid-muridnya hilang, pasti akan segera mencari dan memeriksa, bagaimana juga dia pasti tidak ketinggalan memeriksa almari ini.
Karena hakekatnya tiada tempat lain kecuali almari ini yang bisa untuk sembunyi.
Begitu dia menemukan jejak Coh Liu-hiang maka jiwanya pasti melayang, karena hanya ada seper-selaksa persen saja kesempatan dirinya untuk bisa mengalahkan Induk Air Im Ki.
Saking tegang jantung Coh Liu-hiang serasa hampir berhenti.
Tak nyana Induk Air Im Ki bahwasanya tidak memperlihatkan bahwa tiga orang muridnya seolah-olah sudah lenyap ditelan bumi, seolah-olah hatinya dirundung sesuatu persoalan besar yang menindih sanubarinya, maka dia tak sempat memperhatikan keadaan di sekelilingnya.
Dari celah-celah pintu almari yang tak dirapatkan Coh Liu-hiang mengintip keluar, tampak kedua alis orang bertaut kencang, roman mukanya menunjuk rasa gusar, sorot matanya lurus mengawasi langit-langit kamar, entah pikiran apa yang sedang berkecamuk didalam benaknya, bahwasanya sejak masuk sampai sekarang melirikpun dia tak pernah kearah almari pakaiannya.
Bahaya yang dikuatirkan Coh Liu-hiang kali ini boleh dikata sudah lalu, tapi segera dia teringat akan keselamatan jiwa Oh Thi-hoa bertiga, mau tak mau dirinya mendelu dan sedih, gugup lagi.
Kalau toh Induk Air sudah kembali, Oh Thi-hoa bertiga kemungkinan besar sudah terjungkal roboh dan bukan mustahil sudah ajal.
Coh Liu-hiang sendiri sudah tidak jauh lagi dari renggutan elmaut, sembunyi di dalam almari bukan saja tak bisa maju, mundurpun sulit, cepat atau lambat jejaknya akan konangan juga.
Kalau orang lain mungkin sudah menjadi gila saking gugup dan gelisah.
Tapi setelah kepepet dalam keadaan yang menegangkan ini, Coh Liu-hiang malah tak gugup lagi karena dia menyadari gelisahpun tiada gunanya, yang terang sikap demikian malah menghilangkan ketenangan hati, mengganggu pikiran dinginnya.
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang dia perlu tenang dan berpikir dengan kepala dingin, sabar dan bersiaga menunggu kesempatan dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Sayang sekali kesempatan yang dia nanti-nantikan ini teramat minim dan sulit tercapai.
Tak lama kemudian Kionglam Yan pun sudah kembali.
Murid perguruan dimanapun dikolong langit ini bisa memasuki kamar tidur gurunya pasti harus mengetuk pintu atau melaporkan dulu kedatangannya, serta menyapa atau bertanya akan kesehatannya, meski kaum Bulim tak mementingkan adat istiadat, tapi sopan santun dan tata kehormatan antara murid terhadap guru masih tetap dipertahankan dan tak boleh dilanggar begitu saja, apalagi tata tertib Sin cui kiong yang sudah lama tersiar di dunia luar adalah begitu keras.
Aneh dan luar biasa, bahwa Kionglam Yan ternyata boleh sembarangan melangkah masuk begitu saja, tak ubahnya seperti seorang istri memasuki kamar tidur suaminya sendiri, malah langsung dia maju mendekat dan duduk di pinggir ranjang.
Im Ki masih tetap rebah tak bergerak, sedikitpun tak memberi reaksi akan kedatangan muridnya yang kurang ajar ini.
Terdengar Kionglam Yan buka suara.
"Tiga orang itu sudah disekap, setelah mereka siuman, Sam-ci akan segera mengompres keterangannya."
Diam-diam Coh Liu-hiang mengelus dada dan merasa lega, meski keadaan Oh Thi-hoa bertiga amat berbahaya, betapapun jiwa mereka belum ajal, asal belum mati, ada kesempatan untuk meloloskan diri. Terdengar Kionglam Yan berkata lebih lanjut.
"Tapi Kiu-moay justru berpendapat kurang tepat jikalau suruh Sam-ci pergi mengompas keterangan mereka."
"Tidak tepat!"
Induk Air Im Ki menegas.
"Dia berpendapat apa yang dikatakan ketiga orang itu memang tidak bohong, mereka kemari hendak mencari orang, karena memang benar disini pernah didatangi orang."
"O."
Induk Air Im Ki hanya bersuara dalam mulut.
"Katanya tadi dia pernah melihat sesosok bayangan orang di depan kuil, tapi Sam-ci yang berjaga didalam kuil malah mengatakan tidak pernah ada orang disana , maka dia kira di belakang persoalan ini pasti ada apa-apanya yang ganjil."
Im Ki hanya tertawa dingin sekali, tidak memberi tanggapan apa-apa.
Coh Liu-hiang semakin kuatir, jikalau Im Ki curigai Sam-ci itu ada sekongkol dengan pihak luar, keselamatan dirinya memang amat menguatirkan, betapapun Coh Liu-hiang tak tega bila orang sampai kerembet dan kena perkara gara-gara dirinya.
Sesaat kemudian baru Im Ki buka suara.
"Menurut pendapatmu siapa orang yang mereka cari?"
Kionglam Yan berpikir sebentar, sahutnya.
"Mereka sudah lama kelana di Kang-ouw, temannya tentu banyak, darimana aku bisa tahu siapa yang sedang mereka cari?"
"Kau tidak kenal Ui Loh-ce itu?"
"Bagaimana aku bisa kenal dia?"
"Tapi dia agaknya seperti sudah mengenalmu?"
"O?"
"Memangnya kau tidak tahu Ui Loh-ce adalah sahabat baiknya selama hidup, dialah sahabat satu-satunya."
Kionglam Yan menggigit bibir katanya tertawa-tawa dingin.
"Darimana aku bisa tahu, diakan bukan kekasihku, memangnya dia mau memberitahu halhal ini kepadaku?"
Tiba-tiba Im Ki berjingkrak bangun seraya merenggut rambutnya, katanya dengan suara bengis.
"Aku tahu kau pasti mengelabui banyak urusan kepadaku, benar tidak?"
Dengan kencang Kionglam Yan gigit bibirnya tak bersuara.
"Kemarin malam setelah kau berhadapan sama dia, sebetulnya apakah yang terjadi? Kenapa sampai pagi hari kau baru pulang?"
Jari-jarinya bergerak-gerak rambut panjang Kionglam Yan dia gubat di atas tangannya, saking kesakitan hampir saja Kionglam Yan mengucurkan air mata, tapi ujung mulutnya malah mengulum senyuman manis katanya.
"Kau sedang cemburu agaknya!"
"Aku cemburu apa?"
Sentak Im Ki.
"Bukankah kau kuatir aku sudah mempunyai hubungan rahasia sama dia, oleh itulah kau mencemburui aku."
Im Ki tertawa, tawa yang kurang wajar, katanya.
"Dengan dia masakah kau punya hubungan apa?"
"Kenapa tidak bisa?"
Berkedip-kedip mata Kionglam Yan.
"Dia itu laki-laki, aku ini perempuan, kalau laki-laki berduaan dengan perempuan bukankah suatu kejadian biasa akan berlangsung?"
Tangan Im Ki terasa mulai bergetar, rambut orang yang direnggutnya pelan-pelan dilepaskan, suaranya gemetar.
"Tapi kau pasti tidak akan melakukan hal itu, bukan?"
Kionglam Yan kipatkan rambutnya yang terurai ke depan mukanya, pelanpelan dielusnya dengan kasih sayang, mulutnya menggumam.
"Dia memang seorang laki-laki yang amat aneh dan menyenangkan, tak heran bila kau tak pernah melupakan dia."
Lambat laun timbul warna merah pada raut mukanya, seolah ada aliran panas yang mulai timbul dari relung hatinya yang sangat dalam. Im Ki amat kaget, sambil mengawasi suaranya tergagap.
"Kau... apa benar kau..."
Kionglam Yan memicingkan mata seperti sedang menikmati sesuatu yang luar biasa, suaranya halus lembut dan mesra.
"Dan anehnya gerakan yang dia lakukan terhadapku ternyata sama dan tiada bedanya dengan gerakan yang kau lakukan terhadapku, dikala jari-jarinya mengelus dan merabaraba badanku, semula kusangka adalah kau, tapi dia terang lebih..."
"Plak"
Tangan Im Ki tiba-tiba menggampar mukanya, serunya gusar.
"Ku larang kau mengoceh di hadapanku."
Dengan tangan mendekap pipi, Kionglam Yan tiba-tiba tertawa geli, katanya.
"Kau sedang cemburu, memang aku tahu kau sedang cemburu."
Tahu-tahu dia pentang kedua tangan memeluk leher Im Ki, dengan giginya dia lumat kuping Im Ki pelan-pelan, katanya lembut.
first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 23:44:03
oleh Saiful Bahri Situbondo
Sukma Pedang -- Gu Long Legenda Kematian -- Gu Long Rase Emas Karya Chin Yung