Ceritasilat Novel Online

Peristiwa Burung Kenari 8


Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long Bagian 8




   Peristiwa Burung Kenari Karya dari Gu Long

   
"Aku senang melihat kau cemburu, asal kaupun sudi cemburu terhadapku, umpama aku harus segera mati lantaran kau, akupun tak akan menyesal."

   Im Ki duduk kaku mematung, kelopak matanya berkaca-kaca, mulutnya mengigau.

   "Kenapa harus berbuat demikian? Kenapa?"

   "Karena aku tak tahan lagi, aku sudah hampir gila kau buat, aku harus balas dendam."

   "Balas dendam?"

   "Setiap kali kau ajak aku bergaul, aku lantas berpikir, apakah lantaran aku mirip sama dia baru kau bersikap baik terhadapku? Setiap kali kau memelukku, aku lantas berpikir, apakah dia pernah menggunakan cara yang sama memelukmu, maka kaupun gunakan cara itu memelukku? Dikala memelukku, bukankah hatimu selalu memikirkan dia?"

   "Kau... terlalu banyak yang kau pikirkan."

   "Bukan saja aku harus menuntut balas bagi diriku sendiri, akupun harus menuntut balas bagi kau."

   "Bagi aku?"

   Suara Im Ki kedengaran gemetar.

   "Karena dia meninggalkan kau, tapi kau justru tak bisa melupakan dia, kau mencintainya, dia malah kemari hendak memeras dan mengancam kau, mendesakmu supaya kau membiarkan dia pergi...

   "

   Im Ki tak bersuara lagi, namun air mata sudah berderai membasahi kedua pipi.

   Sungguh mimpipun Coh Liu-hiang tak habis mengerti, Induk Air Im Ki yang namanya disegani di Bulim ternyata juga terlibat dalam cintaasmara , malah menjadi korban cinta lagi, karena cinta sampai dia berjiwa eksentrik, lebih tak terduga lagi karena cinta itu pula sehingga jalan pikirannya tak normal.

   Betapapun akhirnya Coh Liu-hiang sudah tahu dan dapat menyimpulkan apakah sebenarnya yang telah terjadi didalam Sin cui kiong yang oleh orang-orang luar dipandang tempat agung dan suci.

   Memang Im Ki sendiri sebetulnya perempuan yang tidak normal, napsu birahinya terlalu berkobar dan suka bermain lesbian, dia membenci lakilaki, namun malah biarkan birahinya yang menyala nyala itu atas diri muridnya yang berjenis sama.

   Oleh karena itu dia menerima banyak muridmurid perempuan yang cantik-cantik, malah dibangunnya pula jalan-jalan rahasia di bawah tanah yang semua bisa tembus ke dalam kamar murid muridnya.

   Bahwa nyonya setengah tua atau bibi Soh Yong-yong itu pernah memberi peringatan kepadanya, waktu dia berkunjung kepada bibinya ini supaya jangan sembarang keluyuran, agaknya dia kuatir bila Induk Air Im Ki sampai melihat wajah Soh Yong Yong yang cantik molek itu, mungkin timbul juga rasa cinta dengan nafsu birahi yang berkelebihan itu.

   Memangnya kalau hal itu sampai terjadi sungguh merupakan bencana yang tak terperikan dan menakutkan.

   Dulu waktu Hiong niocu masuk ke Sin cui-kiong, merekapun mempunyai hubungan yang gelap yang tak diketahui orang lain, diwaktu Induk Air Im Ki mengetahui bahwa Hiong niocu bahwasanya bukan perempuan tulen, namun hubungan mereka sudah berlarut mendalam, dan segalanya sudah terlambat.

   Tapi hiong nicou mempunyai kelebihan yang luar biasa, bukan saja mempunyai sifat sifat dan polah genit sebagai perempuan, diapun punya watak keras sebagai laki-laki jantan, akhirnya Induk Air sampai jatuh cinta kepadanya, malah belakangan dia sendiri tidak bisa membebaskan diri dari belenggu asmara yang tak normal dan hanya didasari nafsu belaka.

   Maka, buah dari hasil hubungan gelap ini lahirlah Sun-ouw King.

   Akan tetapi dasar manusia bergajul Hiong Niocu tak betah selalu rebah didalam pelukan Induk Air Im Ki, lama kelamaan timbul rasa bosannya dan ingin sekali keluntungan di luar pula beroperasi sebagai Maling pemetik bunga yang durjana, maka dia berkukuh hendak tinggal pergi, sudah tentu Im Ki amat berat dan tidak mau ditinggal pergi, namun Hiong niocu justru mengancamnya hendak membeberkan hubungan rahasia ini kepadanya.

   Sudah tentu Induk Air malu bila orang lain tahu jikalau dirinya adalah perempuan aneh yang berjiwa eksentrik, terpaksa dia lepas orang pergi.

   Malah selamanya melarang orang kembali ke tempat itu.

   Akan tetapi dia toh tak bisa melupakan cintanya, karena orang yang mempunyai kombinasi dua jenis sifat yang berlawanan dari manusia seperti Hiong niocu tiada orang keduanya lagi di dunia ini.

   Oleh sebab itu, maka Im Ki lantas penujui Kionglam Yang yang perawakan dan raut wajahnya hampir mirip dengan Hion Niocu, murid perempuan ini menjadi penghibur lara sebagai pengganti Hiong niocu, sekaligus untuk menambal kekosongan hatinya.

   Dan lantaran hubungan gelap yang dilahirkan dari jiwa yang tak normal inilah, maka timbul pula berbagai kejadian aneh dan ganjil.

   Sekarang terhitung Coh Liu-hiang sudah maklum dan bisa menyelami rahasia pribadi Induk Air Im Ki.

   Tapi pula manfaatnya bagi dirinya setelah dia tahu rahasia ini? apa pula yang bisa dilakukan? Yang jelas dirinya bukan Hiong-niocu dan tak bisa meniru perbuatan Hiong-niocu menggunakan rahasia untuk mengancam Im Ki, betapapun keadaannya tetap berbahaya.

   Harapan hidup jiwanya mungkin hanya satu seper-seratus persen saja.

   Dengan lidahnya pelan-pelan, Kionglam Yan menjilati air mata yang membasahi muka Im Ki, dengan dadanya yang montok kenyal untuk menggosok dada Im Ki yang tidak kalah montoknya, lambat laun tenggorokannya mengeluarkan rintihan halus serta dengan napas yang memburu.

   Tapi Im Ki segera mendorongnya pergi, katanya.

   "Aku ingin istirahat seorang diri supaya tenang, kau menyingkirlah."

   Kionglam Yan menggigit bibir, katanya.

   "aku... kau... tak mau...

   "

   "Perasaan hatiku sekarang sedang tak karuan, apapun aku tidak inginkan."

   Kionglam Yan menepekur sebentar, mendadak dia putar tubuh terus berlari kesana menerjunkan diri ke dalam empang itu.

   Setelah air empang itu tenang kembali, tiba tiba Im Ki turun dari ranjang langsung menghampiri almari pakaiannya, agaknya dia hendak menanggalkan pakaian dan ganti pakaian untuk tidur.

   Napas coh Liu-hiang seolah olah hampir berhenti.

   Tapi setiba didepan almari Im Ki tidak segera membuka pintunya, sekian saat dia menjublek didepan almari, entah apa yang tengah dipikirkan, lama kemudian dia malah menutup rapat pintu lamari serta menguncinya dari luar.

   Almari ini terbuat pula dari batu pualam yang tebal, siapapun yang terkurung didalamnya jangan harap bisa membobol dindingnya meloloskan diri, kontan hati Coh Liu-hiang seakan akan tenggelam ke dasar lautan.

   Apakah Im Ki sudah tahu bahwa didalam almari pakaiannya ada sembunyi orang? kenapa dia tak suruh dirinya keluar, toh malah dikuncinya dari luar.

   Jilid 42 Untungnya bagian atas dari almari ini ada lubang-lubang bikinan yang mendekuk sehingga orang yang terkurung didalamnya tak sampai mati kehabisan napas, namun demikian hukuman yang lain dari lain ini sungguh tak enak rasanya.

   Jikalau Im Ki tak mengambil pakaian, Coh Liu-hiang akan selamanya terkurung didalam almari bagai terkurung didalam penjara batu yang gelap, sebaliknya kalau Im Ki membuka almari mengambil pakaian, maka jejaknya bakal konangan.

   Disaat Coh Liu-hiang kebingungan tiba-tiba didengarnya Im Ki berkata.

   "Kalau toh aku sudah bersumpah takkan kembali ke Sin-cui-kiong, kenapa sekarang kau kemari lagi? nada suaranya kedengaran penuh diresapi kebencian, semula Coh Liu-hiang melengak dan kaget, namun cepat sekali dia sudah maklum ternyata dia sangka yang terkunci didalam lemari ini adalah Hiong niocu. Memang Im Ki tak tahu, yang terkunci dalam almari bukan Hiong-niocu karena dia berpendapat kecuali Hiang niocu, dalam dunia ini pasti takkan ada orang kedua yang mampu menyelundup masuk kedalam kamar tidurnya. Coh Liu-hiang sendiri tak tahu apa perlu dirinya memecahkan teka teki ini, maka dalam waktu dekat dia mandah tutup mulut saja.

   "Ternyata kau sudah tahu"

   Demikian Im Ki berkata lebih lanjut.

   "Aku tak akan sudi melihatmu lagi."

   Coh Liu-hiang membatin "Tak heran"

   Begitu dia tahu dalam almari ada orang dia lantas menguncinya dari luar, kiranya karena dia sudah tidak mau berhadapan lagi dengan Hiong Nio-cu."

   Im Ki berkata lebih lanjut.

   "Tahukah kau kenapa aku suruh Kionglam Yan melihatmu, dia masih bocah kenapa kau harus menodai dia? Memangnya kau hanya mencelakai dia? Memangnya belum cukup kau menelantarkan dan membuat aku kapiran?"

   Coh Liu-hiang tidak berani bicara, namun dia hanya menghela napas.

   "Tak perlu kau menghela napas jangan pula bermain main mulut untuk menipuku selamanya aku takkan memaafkan kau, tentunya kau sendiripun maklum."

   Sampai di sini tiba-tiba suaranya berubah beringas "Kalau kau sudah melanggar sumpahmu sendiri, berani datang kemari pula, maka akupun tidak perlu menghargai hubungan kita masa lalu."

   Coh Liu-hiang sedang mengingat ingat suara dan nada bicara Hiong Niocu, akhirnya dia berkata meniru logat orang.

   "Kau ingin aku mati didalam sini?"

   Dia tahu tiruannya belum tentu mirip, tapi Im Ki sudah beberapa tahun tak bertemu dengan Hiong-nicou suara bicara orang kadang kala bisa berubah mengikuti tumbuhnya usia seseorang.

   Maka ia mengharapkan Im Ki tak bisa membedakan akan tiruan suaranya.

   Benar juga Im Ki seperti tidak memperhatikan, katanya dengan tertawa dinging.

   "Memangnya kau kira aku akan melepasmu pergi begitu saja seperti dulu itu?"

   "Tapi... tapi tentunya kau masih sudi memberi kesempatan supaya aku dapat melihatmu untuk penghabisan kali."

   Im Ki menepekur lama, katanya kemudian.

   "Kenapa kau masih ingin melihatku?"

   "Karena aku ..."

   "Tak usah kau omong lagi."

   Damprat Im Ki bengis "Apapun yang kau katakan aku takkan percaya."

   "Apakah kau tahu setelah berhadapan dengan aku, maka kau takkan tega membunuhku?"

   Setiap patah kata yang diucapkan telah dia pertimbangkan lebih dulu, tak berani dia mengucapkan sepatah katapun yang keliru.

   tahu untuk memancing keinginan Im Ki untuk melihat dirinya, Im Ki semakin tak mau menemuinya.

   Betul juga Im Ki segera menjawab.

   "Apapun yang kau katakan, aku sudah berjanji takkan mau menemuimu."

   "Paling tidak kau memberitahu kepadaku. cara bagaimana kematian anak King."

   Kembali Im Ki termenung agak lama, sahutnya rawan.

   "Selama ini dia tetap tak tahu bila aku ini adalah ibu kandungnya."

   "Sudah tentu kau takkan membeber rahasia ini karena kau adalah perempuan suci, perempuan suci mana bisa punya anak? Sebaliknya demi menepati sumpahku dulu, terpaksa aku ngapusi dia katakan bahwa ibunya sudah lama meninggal."

   "Justru karena sikap kita terlalu berkelebihan terhadapnya, mungkin dia mengira ibunya terbunuh oleh aku, maka dia berusaha untuk menuntut balas."

   "Anak yang harus dikasihani, memangnya tidak tahu bahwa selamanya dia tidak akan punya kesempatan?"

   "Maka dia harus mencari kesempatan"

   Ujar Im Ki.

   "Sampai Bu Hoa si padri laknat itu kemari, dia tahu Bu Hoa adalah murid siaulim yang punya kepandaian tinggi, pergaulannya di dunia persilatanpun amat luas, maka dia ingin pinjam kekuatan Bu Hoa untuk menghadapi aku, maka tanpa segansegan dengan kebenciannya dia telah menjual diri kepada Bu Hoa."

   Baru sekarang Coh Liu-hiang paham seluruhnya.

   Memangnya dia sedang heran, Sutow King paling-paling adalah gadis yang masih hijau, meski sudah menanjak dewasa dan mekar asmaranya, belum tentu sampai secabul itu, dengan suka rela dia memasrahkan nasib dirinya menyerahkan kesuciannya ke dalam pelukan Bu Hoa si gundul itu.

   Baru sekarang Coh Liu-hiang tahu ternyata Sutouw King rela menyerahkan kesuciannya kepada Bu Hoa, memang mempunyai maksud tertentu, jadi keduanya memang sedang memperalat diri masing-masing untuk keuntungan sendiri, keduanya tak mempunyai maksud yang baik.

   Berkata Im Ki pula.

   "Siapa nyana Bu Hoa ternyata hendak memperalat dia untuk mencuri Thian-it-sin-cui, setelah berhasil lantas meninggalkan dia begitu saja, waktu dia sudah bunting, takut aku akan menghukumnya dengan tata tertib perguruan, akhirnya dia nekat bunuh diri."

   Sampai di sini suaranya sudah sesenggukan katanya lebih lanjut lebih pedih.

   "Dia justru tak tahu apapun yang telah terjadi, aku tak akan membunuhnya, sampai menjelang ajalnya dia... dia masih belum tahu bahwa aku adalah ibu kandungnya sendiri. Tragedi yang menyedihkan dalam Sin-cui-kiong dan tak diketahui orang luar ini, sampai sekarang terhitung sudah terbeber dengan jelas dan gamblang. Coh Liu-hiang menghela napas katanya.

   "Kalau demikian, jadi kau sejak mula sudah tahu akan latar belakang kejadian ini."

   "Sudah tentu aku tahu."

   "Lalu kenapa kau harus mencurigai orang lain yang mencuri Thian-it-sincui?"

   "Bahwasanya aku tak pernah mencurigai orang lain, cuma rahasia dari kejadian ini sendiri sekali kali pantang diketahui orang luar, maka terpaksa aku harus mencari orang lain untuk kujadikan kambing hitam"

   "Lalu siapa yang kau cari?"

   Sengaja Coh liu-hiang ujar bertanya. Im Ki menjawab.

   "Coh Liu-hiang!"

   "Memang tepat orang yang kau cari."

   Coh Liu-hiang tertawa getir.

   "memangnya hanya dia satu satunya pilihan, karena hanya orang seperti dia yang mampu melakukan hal itu, kalau aku mencari orang lain, orang orang Kangouw mana mau percaya. Nadanya kedengarannya tak merasa menyesal malah anggap tindakannya itu cukup memuaskan hatinya. Tak tertahan Coh Liu-hiang bertanya.

   "Demi mempertahankan gengsi dan kesucian Sin-cui kiong tanpa segan-segan kau menjadikan orang lain sebagai korbannya?"

   "Demi gengsi dan kesucian nama Sin-cui-kiong, perbuatan apapun tak segan segannya kulakukan! Tiba-tiba suaranya yang beringas merandek dan berubah pilu dan menghela napas;

   "Apa lagi kecuali kau laki laki lain didalam pandanganku tak ubahnya seperti anjing buduk, jangan katakan hanya satu Coh Liu-hiang yang menjadi korban, umpama seratus atau seribu apa pula halangannya?"

   Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya.

   "Kalau begitu jadi bukan lantaran dia ingatkan janji maka kau ingin membunuhnya?"

   "Benar ia tak datang terang akan mati, apalagi kalau kemari jiwanya takkan terampunkan lagi."

   Lama Coh Liu-hiang menerawang tiba-tiba dia bertanya.

   "Kau masih ingat seorang gadis yang bernama Liu Bu bi?"

   "Sudah tentu aku masih ingat, dia murid Ciok-koan-im."

   Suaranya tibatiba beringas seperti memburu.

   "Cara bagaimana kau bisa kenal dia?"

   Coh Liu-hiang tertawa.

   "Tak usah kau merasa cemburu, aku sih tak kenal dia, soalnya belakangan ini dia telah melakukan suatu peristiwa besar yang menggemparkan dunia, karena peristiwa itulah aku mendengar namanya."

   "Peristiwa yang menggemparkan? Peristiwa apa?"

   Im Ki menegas "Karena dia minta kau memunahkan racun dalam badannya, maka dia membunuh Coh Liu-hiang."

   "Memunahkan racun di badannya? Dai terkena racun apa?"

   "Memangnya kau tidak tahu?"

   Coh Liu-hiang melengak.

   "Yang terang aku tahu dia tidak terkena racun apa-apa !"

   Kini Coh Liu-hiang betul-betul menjublek.

   Kiranya semua ini hanya merupakan tipu muslihat Liu Bu-bi sendiri, supaya dirinya kemari masuk perangkap, ternyata terkaannya memang tidak melesat, Liu Bu bi memang murid Ciok Koan-im yan diutus ke Tionggoan untuk menjadi mata matanya, saking naik pitam serasa hampir meledak dan tumpah darah dibuatnya, semula dia terlalu yakin akan diri sendiri selama hidup ini takkan pernah tertipu oleh perempuan, sungguh tidak nyana kali ini dirinya benar benar menjadi korban secara konyol malah.

   Tiba tiba Im Ki berkata pula.

   "Tahukah kau cara bagaimana aku hendak menghadapimu?"

   
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Coh Liu-hiang tertawa getir, sahutnya "Semoga saja kau tidak tenggelamkan almari ini di dasar danau."

   "Kau memang orang yang cerdik, sayang sekali orang pinter sering kebelinger oleh kepintarannya sendiri sehingga melakukan perbuatan yang paling bodoh."

   "Memangnya kau benar-benar sudah bertekad tidak mau melihatku lagi untuk penghabisan kali?"

   Lama Im Ki termenung lagi, akhirnya dia tertawa dingin, jengeknya.

   "Coh Liu-hiang tak perlu kau main-main lagi, setelah kau tahu semua rahasiaku, coba pikir apakah aku bisa melepasmu pulang dengan jiwa masih hidup?"

   Sekujur badan Coh Liu-hiang seketika menjadi dingin, perutnya terasa kecut, katanya menghela napas.

   "Ternyata kau sudah tahu."

   "Sebetulnya kau memang sudah menipu aku, tapi tidak seharusnya kau katakan bahwa Coh Liu-hiang sudah dibuat mati oleh Liu Bu-bi sudah membunuh Coh Liu-hiang, meski tak dengan tangannya sendiri, hal ini takkan berarti dia siarkan sampai diketahui orang luar. Coh Liu-hiang memang bukan orang baik-baik tapi temannya banyak, memangnya Liu Bu bi tak takut teman temannya itu menuntut balas kepadanya?"

   "Memangnya aku selalu rendah menilai dirimu, kau jauh lebih cerdik dan pintar dari apa yang pernah kubayangkan.

   "Tapi sebaliknya tak menilaimu terlalu rendah, memangnya aku tahu hanya mengandalkan kekuatan Liu Bu-bi takkan mampu membunuh kau."

   Coh Liu-hiang tiba tiba tertawa besar.

   "Tak heran kau tak berani melepas aku keluar untuk bertanding sampai mati."

   "Tak perlu kau membakar kemarahanku, untuk membunuh kau segampang aku membalik tangan, tapi buat apa aku harus mengotori tanganku."

   "Tapi jikalau kau tidak melepaskan aku keluar ada sebuah urusan selama hidup takkan bisa kau ketahui lagi."

   "Urusan apa?"

   Tak tertahan Im Ki bertanya, agaknya dia ketarik. "Kalau Hiong niocu tidak berasa didalam almari ini, lalu dimanakah dia? Kecuali aku tiada orang lain tahu akan rahasia ini."

   Kedengarannya dia berkata acuh tak acuh, seperti adem-ayem, sebetulnya kedua telapak tangannya sudah berkeringat dingin.

   Memangnya hanya hal inilah satu satunya kesempatannya terakhir, dia mengharap seperti pula perempuan lain Im Ki sama menaruh rasa ketarik dan ingin tahu, maka orang akan memaksa dirinya mengatakan rahasia itu.

   Asal Im Ki mau melepas dirinya keluar paling tidak dia masih mempunyai setitik harapan, kalau tidak dia bakal terkurung mampus didalam almari ini, selamanya takkan bisa melihat cahaya matahari lagi.

   Tak nyana bukan saja Im Ki tidak bertanya, malah mulutnya terkancing rapat, sesaat kemudian didengarnya suara alat rahasia berbunyi, agaknya Im Ki sedang membuka salah satu pintu rahasia, disusul terdengar suaranya yang kereng berkata.

   "Lekas gotong keluar almari itu, tenggelamkan ke dasar danau."

   Sungguh sebuah perintah yang aneh.

   "Kenapa dia menenggelamkan almari pakaiannya sendiri ke dasar danau?"

   Meski curiga murid muridnya tiada yang berani tanya. Cepat Im Ki mendebarkan.

   "Suara apapun yang terdengar dari dalam almari, kalian boleh anggap tidak mendengar, tahu tidak?"

   Murid muridnya sama mengiakan saja.

   Coh Liu-hiang terpaksa tutup mulut dan tak mau bicara lagi.

   Karena diapun tahu perintah Induk Air harus diperhatikan dan segera dilaksanakan, apapun yang dia katakan, memprotes atau mencak-mencakpun tak berguna.

   Dia hanya menyesali nasibnya sendiri yang kurang mujur hari ini.

   Perempuan yang tak punya daya tarik atau tak mau mengetahui sesuatu dalam dunia ini jarang ada, ada kalanya seorang lelaki umpama menghabiskan masa hidupnya juga sukar menemukan perempuan macam itu, namun hari ini Coh Liu-hiang justru menemukan.

   Almari sudah digotong secara gotong royong oleh murid-murid Induk Air.

   Tak lama kemudian air mulai merembes masuk ke dalam almari, lambat laun seluruh badan Coh Liu-hiangpun sudah terendam didalam air.

   tapi kali ini air tak membawakan rasa segar dan nyaman bagi dia, karena dia sudah insaf tak makan waktu terlalu lama, air ini bakal menamatkan riwayatnya, kulit dagingnya akan membusuk dan tulang tulangnya akan keropos dimakan kutu air.

   Sejak saat ini Coh Liu-hiang yang terkenal itu bakal lenyap dari percaturan dunia persilatan tenggelam didalam air danau bening ini.

   Tak tertahan dia berkeluh kesah dalam hati.

   "Saudara air, saudara air, selamanya tak pernah aku berbuat sesuatu yang mengecewakan kau, tapi kenapa hari ini kau hendak menyalahi diriku?"

   Sampai detik ini selamanya belum pernah dia meresapi apa itu yang di katakan kecewa dan putus asa.

   Nah pada detik-detik menjelang ajalnyapun baru dia benar-benar maklum.

   Tekanan air dalam almari semakin besar dan berat, walau sekelilingnya serba gelap apapun tak terlihat olehnya, namun dia merasakan bahwa almari ini sudah hampir tenggelam ke dasar dan berada ditengah tengah danau, namun entah mengapa, tekanan air terasa mulai enteng dan berkurang, disusul air mulai mengalir keluar pula dari dalam almari, ternyata almari ini digotong lagi ke dalam kamar tidur Induk Air.

   Terdengar suara Induk Air memerintahkan murid muridnya.

   "Letakkan saja di sini, kalian keluar semua"

   "Blang"

   Almari batu tadi itu kembali menyentuh lantai, kontan badan Coh Liu-hiang bergetar dan tergoncang keras, namun lekas sekali sudah tenang dan kokoh baru pertama kali ini pula betapa senang hati seseorang bila kaki menyentuh bumi kembali.

   Setelah murid-murid Sin Cui-kiong mengundurkan diri, suasana hening lelap, lama kelamaan terdengar olehnya deru napas Induk Air yang semakin memburu seperti gelisah, terang orang sudah tak dapat mengendalikan emosinya lagi.

   Coh Liu-hiang tertawa katanya keras.

   "Memangnya aku tahu kau pasti akan merubah niatmu, jikalau aku terbenam mampus, selamanya kau tak akan tahu dimana sebenarnya Hiong niocu sekarang berada?"

   Tak tahan Im Ki bertanya.

   "Dimana dia?"

   "Mungkin sudah mati, atau masih hidup, mungkin jauh di ujung langit, kemungkinan dekat matamu, jikalau kau ingin aku memberitahu kepadamu, hanya ada satu cara saja."

   "Agaknya kau ingin supaya aku membebaskan kau?"

   "Meski aku ini bukan orang dagang, tapi aku toh tahu untuk berdagang harus adil walau berita ini amat tinggi nilainya, tapi cukup setimpal untuk menebus jiwa seorang Coh Liu-hiang sekali kali aku tidak akan menawarkan harga terlalu tinggi, supaya pembelinya tak usah tawar menawar."

   "Kalau kau sudah paham, apa pula yang kau inginkan?"

   "Aku hanya ingin kau bebaskan aku, marilah beri kesempatan untuk bertanding secara terbuka dan adil."

   "Kalau demikian jiwamu pasti melayang."

   "Kau kira aku takut mati? Aku cuma merasa kematian seperti caraku hari ini, sungguh keterlaluan dan penasaran, hidupku riang gembira, maka akupun ingin mati dengan suka rela dengan hati lapang."

   Lama Im Ki bungkam, Coh Liu-hiang menunggu jawabannya.

   "Tapi jikalau kau memang tidak berani bertanding dengan aku, akupun tidak memaksa, jikalau aku jadi kau, mungkin akupun tidak akan membebaskan Coh Liu-hiang begitu saja. Im Ki tetap tidak bersuara, tapi dari luar almari terdengar suara "klik"

   Yang lirih, lalu disusul dengan suara Im Ki berkata dengan nada dingin.

   "Almari sudah kubuka, silahkan keluar, tapi kau harus ingin betul-betul, setelah kau keluar, bukan saja kematianmu bakal lebih cepat, malah kematianmu teramat mengerikan."

   Coh Liu-hiang menghirup napas panjang mulutnya menggumam.

   "Terima kasih kepada langit dan bumi, berapapun kau ini adalah perempuan juga, belum sampai tidak punya sedikit pun daya tarik terhadap sesuatu yang ingin kau ketahui, jikalau seorang perempuan tidak lagi mau tahu dimana jejak kekasihnya, mungkin dunia ini bakal selalu geger."

   "Sebetulnya dia sudah mati atau masih hidup? Dimana dia sekarang?"

   "Kau mengharap supaya dia sudah meninggal? Atau masih berdoa supaya dia masih tetap hidup"

   "Kau...

   "

   Sembari bicara pelan-pelan dia mendorong pintu almari terus melangkah keluar.

   Bicara sampai detik itu mendadak mulutnya merandek dan menjublek di tempatnya, karena dilihatnya Im Ki yang berdiri dihadapannya sekarang ternyata sudah tidak mirip dengan Induk Air Im Ki yang pernah dilihatnya tadi.

   Induk air Im Ki yang dilihatnya tadi adalah Sin Cui Kiong-cu yang menggetarkan bulim, setiap gerak geriknya yang dan polahnya mengandung kewibawaan dan keyakinan yang besar dan tepat, sehingga orang yang berhadapan dengannya tak berani kurang ajar atau bertingkah laku kurang hormat."

   Tapi Im Ki yang dihadapinya ini adalah perempuan lazimnya yang sering dia lihat di dunia ramai, pada sepasang matanya yang bening terang kini sudah diliputi rasa bingung dan kalut, wajahnya yang semula berwibawa dan angker tenang itu kini berubah gugup gelisah, haru dan terlalu emosi, pakaiannya yang inipun sudah kucal, sampaipun kedua jari jari tangannyapun sudah mulai gemetar.

   Sungguh mimpipun Coh Liu-hiang tak pernah menduga seseorang bisa mengalami perubahan lahiriah dan batiniah secepat itu dalam waktu sependek ini, Sin-cui-kiong cu yang menggetarkan sanubari setiap insan persilatan sekonyong-konyong menjadi perempuan awam yang tak ubahnya dengan perempuan kebanyakan perempuan.

   Perubahan ini sungguh luar biasa, susah dibayangkan oleh siapapun, didalam waktu sesingkat ini tekanan derita dan siksaan batin yang dialami mungkin takkan bisa dialami dan dapat dibayangkan oleh orang lain.

   Coh Liu-hiang menjadi tak tega, katanya setelah menghela napas.

   "Sungguh tak nyana cintamu terhadapnya ternyata sedemikian besar sedalam lautan setinggi gunung, jikalau dia bisa tahu sejak sebelum peristiwa ini terjadi, segala kejadianpun takkan berubah begitu cepat, sayang sekali selamanya dia takkan bisa mengetahui lagi."

   Dengan kencang Im Ki merenggut dan menggenggam kedua tangannya kencang-kencang, suaranya serak gemetar.

   "Dia.. dia selamanya sudah..."

   "Jikalau dia masih tahu dalam dunia ini masih ada orang yang mencintainya ke pati-pati, mungkin sekarang belum lagi ajal jiwanya, namun demikian, seorang laki-laki bisa-bisa mendapat kecintaan seperti dirimu kukira diapun takkan mati penasaran, semoga tentramlah arwahnya dialam baka. Bergetar sekujur badan Im Ki, tiba-tiba dia tertawa dingin, katanya.

   "Apakah kau hendak membuat kalut pikiran dan gundah hatiku dengan cerita obrolanmu ini, sehingga aku tak kuasa bergebrak dengan kau?"

   "Sebetulnya aku memang punya maksud demikian, apa boleh buat selamanya aku ini tidak tega menipu perempuan yang sedang dirundung kesedihan"

   "Apakah kau yang membunuhnya? bentak Im Ki beringasan.

   "Siapakah sebetulnya yang membunuhnya? Apa sampai sekarang kau masih belum mengerti?"

   Kembali badan Im Ki bergetar, seolah-olah berdiripun tak kuat lagi. Didalam sekejap ini seakan akan dia bertambah tua puluhan tahun katanya seorang diri dengan suara pilu.

   "Anak bodoh kenapa kau harus berbuat demikian? "Kenapa dia harus berbuat demikian tentunya kaupun sudah maklum"

   Tangan Im Ki bergetar, tangannya menggepar-gepar seperti hendak mencari sesuatu benda untuk mempertahankan dirinya kecuali cinta atauasmara , pukulan batin apa pula yang kuasa membuat sanubarinya serasa dilukai sampai parah dan tak tertolong lagi? Pengalaman yang tragis ini memang patut dikasihani, tapi permainan perasaan cinta seperti yang dilakukan sungguh terlalu brutal.

   Coh Liu-hiang sendiri bingung dan tak tahu apa sebenarnya dia ini pantas dikasihani? Atau harus dibenci? Mungkin pula menggelikan? Kata Coh Liu-hiang menghela napas.

   "Sebetulnya aku tak ingin membuat kalut pikiranmu tapi, sekarang kau memang tidak leluasa dan bukan saatnya untuk bergebrak dengan orang, aku sendiripun tidak sudi menarik keuntungan disaat orang mengalami kesulitan."

   Tiba tiba setegak tombak kayu badan Im Ki yang gemetar sudah berdiri lagi, katanya dingin.

   "Membunuh orang tidak perlu harus menunggu bila hati merasa senang atau tentram, silahkan kau turun tangan lebih dulu."

   "Apa benar kau sekarang mampu bergebrak?"

   "Tak kau kuatirkan diriku, lebih kalau kau pikirkan nasibmu sendiri, Asal kau mampu melawan sepuluh jurus seranganku, tidak sia sia kau sebesar ini kau mempelajari ilmu silat dari Ya-te."

   "Agaknya kau memang terlalu congkak dan takabur."

   Ujar Coh Liu-hiang tertawa. Lenyap suaranya laksana kilat tiba-tiba badannya menubruk ke arah Im Ki. Soalnya dia maklum jalan satu satunya untuk merobohkan lawan tangguh ini, hanya menggunakan "Kecepatan"

   Untuk menyergapnya. Oleh karena itu sedapat mungkin dia bergerak dengan menggunakan "cepat"

   Asal sejurus dia kuasai memegang inisiatif penyerangan, kemungkinan dia punya harapan untuk menang dalam pertarungan jiwa ini.

   Memang kecepatan gerak serangan Coh Liu-hiang tak bisa dilukiskan, lebih cepat dari angin puyuh, lebih hebat dan dahsyat dari sambaran kilat.

   Siapa nyana baru saja dia bergerak, telapak tangan Im Ki berbareng bergerak, kontan dia rasakan adanya selapis tembok tak kelihatan dari tenaga dalam dari ayunan tangan orang membendung dirinya, lebih celaka lagi karena kekuatan bendungan ini laksana gelombang ombak samudra yang bergulung tak putus-putus.

   Jangan kata Coh Liu-hiang, hakekatnya tak berhasil merebut kesempatan bahwasanya dia pun tak berhasil mendekati lawan.

   Semula dia mengira Induk Air tak ubahnya dengan Ciok Koan im, ilmu silat orang mengutamakan permainan aneh dengan gerakan ajaib seperti orang main sulapan dengan jurus jurusnya yang lincah itu, maka dia sangka mungkin dirinya masih kuasa menghadapi segala perubahan itu dengan kecerdikan otaknya untuk mengatasi dan mendahului lawan.

   Begitulah pertempurannya dengan Ciok koan im dulu.

   Di luar tahunya ilmu silat pelajaran Induk Air Im Ki justru jauh berlainan golongan dari aliran silat di dunia ini, ternyata ilmu silat Induk Air sama dengan julukan ini dapat dari gemblengan dari dalam air pula.

   Demikian pula kekuatannya seperti juga dengan air, meski kelihatannya halus dan tenang bahwasanya justru kuat atau melentur tak kenal putus, tiada barang yang kuat membendungnya kalau setitik air dapat melobangi batu maka air bah setidaknya bisa membikin gunung jebol dan berubah bentuk, kontan hanyut tersapu bersih sejak dahulu kala, tiada sesuatu benda di alam dunia ini yang kuasa melawan kekuatan air.

   Baru sekarang Coh Liu-hiang yang bisa tidur didalam air ini menyadari benar bahwa airlah kenyataan yang paling menakutkan di dalam jagat ini.

   Air yang tak kenal kasihan.

   Tapi cara turun tangan Induk Air justru lebih tidak kenal kasihan lagi, tidak kelihatan gayanya berubah, pukulan telapak tangan yang dahsyat laksana amukan ombak samudra tahu-tahu sudah menindih tiba sehingga Coh Liu-hiang merasa sesak napas dan tak kuat bernapas lagi.

   Beruntun mengandal kegesitan dan kelincahan badannya dia sudah merubah berapa kali gerak perubahan, tapi setiap kali Induk Air mengayun sebelah tangannya, seluruh serangannya lantas kandas ditengah jalan, bahwa serangan sehebat dan selihay itu sedikitpun tidak menimbulkan suatu tekanan sekecil mungkin bagi Im Ki.

   Akhirnya Coh Liu-hiang menghela napas, katanya.

   "Tak heran orang-orang Kangouw sama takut kepadamu, karena siapapun yang bergebrak dengan kau, memang tiada harapan mereka bisa mengalahkan kau."

   Mulut bicara sementara gerakannya kembali berubah tujuh delapan jurus pula.

   Walau dia insyaf perduli serangan jurus apapun yang dia lancarkan hanyalah sia sia belaka, tapi gerak serangan secepat kilat itu masih terus berlangsung dan tetap berubah tak kunjung padam, soalnya begitu gerakannya sedikit lamban atau berhenti, mungkin badannya bisa tergencet menjadi dendeng oleh tekanan kekuatan yang hebat itu.

   Terdengar Induk Air berkata dingin.

   "Aku sudah mengalah empat puluh tujuh jurus kepadamu apa kau sudah merasa cukup?"

   "Cukup, cukup, lebih dari cukup, silahkan kau membalas!"

   "Berapa jurus kau mampu melawan seranganku?"

   "Kukira sukar ditentukan, mungkin sejuruspun tak kuat melawan, namun mungkin pula aku mampu melayani tujuh ratus jurus."

   "Dengan bekal kepandaianmu sekarang. bila kau mampu melawan tujuh delapan jurus kupersilahkan kau pergi."

   "Kau tidak akan menyesal?"

   "Bocah sombong"

   Hardik Induk Air murka.

   "Coba dulu kau sambut sejurus seranganku ini."

   Ditengah bentakannya, tahu tahu serangannya sudah bergerak menyongsong dengan tepukan ke muka Coh Liu-hiang.

   Letak kelihaian dari pukulan telapak tangannya ini, yaitu bukan saja lawan tak mampu menangkis, tidak bisa berkelit atau mundur, seumpama seseorang yang sudah kecemplung didalam air bah, kau hanya sekuatnya meronta dan berenang menanjak keatas, mungkin kau masih mempunyai setitik harapan, sebaliknya jikalau kau ingin mundur untuk ganti napas, maka kau akan hancur terbawa oleh air bah, mati tanpa bisa terkubur secara layak.

   Coh Liu-hiang ahli berenang dan tahu akan sifat air, sudah tentu dia cukup maklum akan pengertian teori ini.

   Akan tetapi begitu Induk Air tepukan telapak tangannya, dia toh tetap mundur ke belakang.

   Kelihatannya sudah dia sudah kecewa, dan putus harapan, maka dia tak berusaha untuk melawan, tiada keberanian untuk meronta dan berjuang ditengah gelombang air bah untuk menyelamatkan diri didalam keadaan yang gawat ini, terpaksa dia pasrah nasib dan menunggu ajal saja untuk mengurangi derita.

   Kontan seperti layang-layang putus benangnya badan Coh Liu-haing lantas terpentang sungsang sumbel terhanyut oleh kekuatan angin pukulan Induk Air.

   Agaknya Induk Air sendiripun melengak merasa di luar dugaannya.

   Bagi tokoh silat yang latihan ilmunya sudah setaraf kepandaiannya sekarang mirip juga dengan ahli catur yang sedang main asal lawan bergerak satu langkah, dia lantas sudah dapat memperhitungkan tujuh delapan langkah susulan selanjutnya.

   Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Begitu Coh Liu-hiang turun tangan, Induk Air lantas dapat mengukur dan paham sampai dimana taraf kepandaian ilmu silat Coh Liu-hiang seperti dia paham menghitung jari jarinya sendiri.

   Menurut perhitungannya paling Coh Liu-hiang hanya mampu melawan tujuh jurus, siapa kira baru jurus pertama, Coh Liu-hiang sudah dipukulnya mencelat terbang, maka langkah-langkah susulan dari serangan simpanan yang sudah dia siapkan jadi sukar dia teruskan.

   Bukan saja hal ini membuat dia merasa di luar dugaan, juga membuat dia terperanjat dan kecewa, sungguh dia tidak habis mengerti kenapa penilaian bisa meleset dan salah besar? Namun meski mengelak dan jalan pikirannya sedikit terpencar, kekuatan pukulannya masih belum sirna juga, kalau orang lain begitu dirinya terbelenggu didalam kekuatan pukulan tangannya, jangan harap kau dapat meloloskan diri.

   Cuma berapa tinggi ilmu Ginkang Coh Liu-hiang memang benar-benar tak pernah terpikir olehnya.

   "Byuuur!"

   Ternyata Coh Liu-hiang berhasil lolos dari belenggu kekuatan pukulannya dan menerjunkan diri ke dalam empang, selincah dan selicin ikan sekali berkelebat badannya lantas lenyap tak kelihatan lagi.

   Im Ki tertawa dingin, sekali berkelebat sebat sekali diapun menyusul terjun ke dalam air.

   Dilihatnya gerak gerik badan Coh Liu-hiang didalam air jauh lebih lincah dan cepat serta tangkas dari pada dia berada ditengah udara.

   Tapi Im Ki sendiri juluki Induk Air, betapa pandai dan ahlinya dalam berenang, sudah tentu jarang ada orang yang bisa menandinginya.

   Apalagi diwaktu berenang atau bergerak didalam air, sekujur anggota badannya lantas ikut bergerak dan kerja sama secara sempurna.

   Gerakan kedua kaki terutama yang paling penting, jikalau mengenakan sepatu, betapapun kau pandai berenang gerak kecepatanmu pasti terpengaruh.

   Umpama di belakang ekor ikan kau tambah sirip lagi, maka ikan itu takkan berenang lebih cepat.

   Begitulah keadaan Coh Liu-hiang, terasa olehnya sepasang sepatu di kakinya tiba-tiba menjadi berat seperti bandulan ribuan kati.

   tapi dia tidak menjadi gugup atau keripuhan karena dia toh tahu dirinya takkan bisa melarikan diri.

   Bahwasanya dia memang tidak ingin pergi, maksudnya hanya ingin perang tanding dengan Im Ki didalam air.

   Di daratan jelas dia bukan tandingan Im Ki, tapi didalam air, walau kekuatan pukulan telapak tangan Im Ki masih kuasa dikembangkan betapapun jauh lebih berkurang dengan kekuatannya dibandingkan di daratan.

   Memangnya hanya air dalam dunia ini yang mampu memunahkan kekuatan air itu pula.

   Danau yang semula tenang itu, tiba-tiba beriak gelombang laksana kawah gunung yang mendidih seolah-olah dalam cuaca cerah matahari bersinar di pinggir laut tiba-tiba terbit angin badai, angin sedang mengamuk air lautan sedang murka.

   Seperti pula di dasar danau itu tiba-tiba muncul dua naga raksasa dari jaman purba sedang bergelut mati matian, dua naga sedang berhantam, maka airpun bergolak dan berhantam pula.

   Murid-murid Sin Cui-kiong sama berlarian keluar menonton dengan kejut dan jantung berdebar debar, air danau yang biasanya tenang dan jernih memangnya merupakan danau suci dimata pandangan mereka, kenapa tiba tiba dapat berubah menjadi danau iblis.

   Lama kelamaan air danau malah muncrat tinggi dan bergolak dengan dahsyatnya, di bawah tingkah sinar matahari yang baru terbit, kelihatannya reflek sinar matahari sehingga mata silau dan tak terlihat jelas apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam air.

   Tampak air danau tiba-tiba tegak ke atas seperti dinding kaca itu cepat sekali sudah lenyap, permukaan air timbul gelembung-gelembung air besar seperti ada banyak siluman-siluman air sedang pesta pora menyalakan api iblis sehingga air danau mendidih dan bergolak.

   Pemandangan yang aneh, hebat dan menakjubkan ini seolah olah terasa membawa bawa situasi yang tidak normal bagi pernapasan manusia, sehingga orang yang melihatnya bukan saja merasa berkunang kunang, bulu kudukpun merinding.

   Murid-murid Sin cui kong kebanyakan sejak kecil sudah didik masuk oleh Induk Air mereka tumbuh dewasa didalam suasana seperti yang telah digambarkan dimuka, sehingga dalam hati kecil masing-masing timbul rasa tinggi hati dan merasa harga diri mereka jauh lebih suci dan agung dari orang lain, seakan akan kehidupan mereka dalam Sin-cui-kiong mirip kehidupan dewata itu jauh sekali dibanding kehidupan masyarakat besar di dunia pada umumnya, maka tidaklah pantas bila merekapun mempunyai perasaan biasa seperti manusia umumnya, oleh karena itu meraka tak tahu apakah itu sebenarnya "cinta", Selamanya tak tahu pula apa pula yang diartikan "benci"

   Terutama "Ketakutan"

   Adalah merupakan suatu hal yang mereka rasa paling lucu dan menggelikan.

   Akan tetapi hari ini mau tak mau timbul rasa kaget dan keheranan luar biasa yang tak mungkin mereka resapi sebelum ini, mereka merasa seakan akan bakal datang semua bencana yang takkan terlawan akan menerpa atas badan mereka.

   Malah ada diantara yang menyangka dunia kehidupan mereka indah selama ini sudah runtuh dan porak poranda.

   Kionglan Yan juga ikut memburu keluar matanya berkaca kaca berlinang ait mata, tapi melihat keadaan yang aneh dan luar biasa pada permukaan air danau yang bergolak itu, rasa pedih hanya seketika sirna diganti rasa kaget dan takut.

   Melihat kedatangannya, serempak orang-orang yang lain sama merubung maju semua sama bertanya.

   "Apa yang telah terjadi?"

   Walau hati Kionglam Yan seperti juga keadaan mereka, kaget dan heran tapi melihat kelakuan yang ketakutan dan tergopoh itu, terpaksa sedapat mungkin dia mengendalikan diri, maka dia lantas membujuk mereka malah.

   "Tak menjadi soal, mungkin ada angin."

   "tapi sekarang tiada angin!"

   "Su cu,"

   Ada orang yang meratap malah.

   "lekas kau turun melihatnya, lebih baik kau pergi tanya kepada suhu."

   "mana sam-ci?"

   Tanya Kionglam Yan ragu-ragu. Seseorang segera menjawab.

   "Samci dan Kin-moay mengompres keterangan ketiga tawanan itu"

   Kionglam Yan menggigit bibir, akhirnya dia ambil putusan, selincah burung camar tiba-tiba badannya melejit ke pinggir danau, tapi belum lagi dia terjun ke air, tiba-tiba segulung gelombang ombak besar menerpa ke arahnya, Belum lagi dia sempat berdiri tegak, kontan dia terdorong mundur sempoyongan oleh gelombang ombak.

   Sekian lamanya dia berdiri menjublek saking kaget, tiba-tiba dia putar badan lari masuk ke lotengnya sendiri, hanya dari tempat tinggalnya saja dari bagian luar yang bisa memasuki istana di bawah air.

   Empat gadis yang bertugas didalam istana di bawah air sudah pucat pias ketakutan dari tadi, meski mereka tidak melihat bergolaknya permukaan air danau yang begitu hebat, tapi getaran air yang menerjang dinding gunung kedengarannya laksana gugur gunung, seolah-olah sampan kecil yang terkepung didalam gelombang pasang di lautan samudra raya, suara keras laksana gempa bumi yang dahsyat itu malah lebih menciutkan nyali orang lagi, sehingga terasa bumi seperti kiamat dan merekah.

   Begitu berlari masuk Kionglam Yan lantas membentak dengan suara bengis.

   "Dimana suhu?"

   Gadis-gadis itu geleng-geleng kepala, sahutnya gemetar.

   "Entah dimana"

   "Sejak tadi kaliankan berada di sini, kenapa bisa tidak tahu?"

   "Semula beliau suruh kami gotong almari pakaian itu ke dasar danau, tapi tiba-tiba pula suruh mengembalikan ke tempat semula, terus suruh kami menyingkir keluar, waktu kami mendengar suara gaduh ini dan memburu kemari, beliau sudah tak kelihatan lagi bayangannya."

   Kionglam Yan mengerut kening, setelah berpikir tiba-tiba dia bertanya.

   "Apakah ada orang lain yang masuk kemari tadi?"

   "Ti... tiada"

   Sahut salah seorang gadis.

   Sebetulnya dialah salah satu gadis yang tertekuk oleh tutukan Coh Liu-hiang serta dikompes keterangannya itu, Hiat-to mereka adalah Im Ki sendiri yang membebaskan.

   Dalam waktu dan situasi seperti ini mana dia berani banyak bicara.

   Setelah membanting banting kaki tanpa ragu Kionglam Yan segera terjun diri ke dalam air, suara yang kumandang di lorong bawah tanah semakin dahsyat, soalnya dinding kedua sampingnya menimbulkan gema suara yang mendengung dalam air.

   Belum lagi Kionglam Yan keluar dari lorong didalam air itu, dari kejauhan sudah dilihatnya dua orang tengah bergelut laksana dua ekor naga ditengah danau, betapa cepat gerakan kedua orang didalam air itu jelas tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

   Luas danau ini ada puluhan tombak, kedua orang yang sedang berhantam ini seolah-olah sudah menduduki seluruh luas danau kecil ini, pertama kali Kionglam Yan melihat pertempuran mereka, keduanya masih berada di sebelah kanan, tapi kejap lain tahu-tahu sudah berada di danau sebelah kiri.

   Lantaran gerakan mereka terlalu cepat, maka gerakan badan dan tipu tipu serangan mereka jadi tak begitu jelas dan seperti tak mengandung perubahan yang menakjubkan, gelombang pasang yang terjadi didalam danau bukan lantaran gerak perubahan silat, yang dilandasi kekuatan hawa murni, kebanyakan adalah karena kecepatan gerak badan mereka yang terjang sana terjang sini, semakin cepat tenaga pembawaan dari luncuran badan mereka semakin besar pula tenaganya.

   Kalau mereka bertempur di atas daratan perbawa pertempuran ini tentu tak sedahsyat ini, karena orang yang menerjang air dan air menerjang air pula, setitik tenaga saling terjang menjadi puluhan tenaga demikian seterusnya dari kecil bertambah besar.

   Dan lantaran air itu sendiri bergerak tak henti hentinya, maka gerakan badan mereka yang memang cepat menjadi didorong semakin cepat pula, pertempuran dalam keadaan seperti itu, bukan saja harus menggunakan setiap titik tenaganya sendiri, kaupun harus bisa memanfaatkan setiap tenaga gerakan air itu sendiri, ada saat orangnya terdampar oleh kekuatan gelombang air, sehingga permainan silat dengan tipu-tipunya yang lihay sudah tak bisa terkendali dan terkontrol pula.

   Pertempuran dahsyat itu bukan saja merupakan pertempuran yang tiada taranya di seluruh jagat sungguh merupakan perkelahian yang menakjubkan setiap insan manusia yang bisa menyaksikannya, kecuali mereka yang mengalami sendiri pertempuran ini, siapapun takkan bisa meresapi kedahsyatan yang nyata.

   Demikian keadaan Kionglam Yan, ia berdiri menjublak dalam air, air danau serasa menyumbat tenggorokannya, namun dia seperti tak merasakan sungguh tak pernah terbayang didalam benaknya tokoh siapa yang mampu bergebrak melawan Induk Air Im ki, lebih tak nyana lagi setelah bertempur sekian lamanya, lawan masih belum kelihatan terdesak di bawah angin.

   Didalam pusaran air yang begitu cepat hakekatnya ia sukar membedakan lagi wajah dan gerakan badan Coh Liu-hiang, cuma didalam matanya lapatlapat sudah terbayangkan orang macam apa sebenarnya Coh Liu-hiang itu.

   Maka terbayang olehnya senyuman gagah seorang laki-laki yang memabukkan kalbu, serta tingkah lakunya yang bermalas-malas itu.

   "Coh Liu-hiang"

   Pasti Coh Liu-hiang adanya.

   "Kecuali Coh Liu-hiang tokoh macam apa lagi yang mampu bertanding dengan Induk Air sampai demikian? Sebetulnya tatkala itu keadaan Coh Liu-hiang sudah payah bukan malu dia sudah mengeluh dalam hati, kalau bukan karena bekal kecerdikannya dalam setiap menghadapi perubahan sehingga dengan sepenuh hati dia berhasil mempergunakan kekuatan pusaran air, mungkin sejak tadi dia sudah terkubur di dasar danau. Terasa tekanan yang harus dipikulnya semakin lama semakin berat, seluruh urat nadi dan jalan darah dalam tubuhnya seolah-olah hampir meledak, malah darah sudah mulai merembes dari kedua lubang hidungnya. Baru sekarang benar-benar dia sadari, bergebrak didalam air, sedikitpun dirinya tetap tak punya harapan untuk mencari jalan hidup. Memangnya ilmu pukulan Induk iar pasti gemblengan didalam air, kalau pukulan orang lain tidak bisa menunjukkan perbawanya didalam air, sebaliknya pukulannya paling hanya sedikit berkurang saja kekuatannya. Terasa olah Coh Liu-hiang air yang menghimpit dadanya di seluruh badannya semakin kencang dan rapat, menjadi keras dan kental seperti air darah, lambat laun gerak-geriknya menjadi lamban dan kaku semakin lama tak bisa bergerak dan bergeser. Posisinya sudah terdesak ke pinggir jurang kematian. Siapa tahu gerak gerik permainan silat Induk Air Im Ki ternyata juga menjadi lamban serupa angkat tangan atau menggerakkan kaki lambat laun sudah menunjukkan tenaga tidak memadai keinginan hati pula. Sudah tentu girang Coh Liu-hiang bukan kepalang, memangnya dia tak habis mengerti karena Lwekang Induk Air yang besar dan kuat serta semangatnya yang bergairah tadi bisa begitu cepat terkuras menjadi lemas, tapi cepat sekali diapun sudah paham akan duduk persoalannya. Bahwasanya Im Ki bukan kehabisan tenaga, tapi adalah patah semangatnya karena lambat laun kehabisan pernapasan.. Seperti diketahui Coh Liu-haing berhasil meyakinkan semacam pernapasan yang serba misterius dan tak mungkin dimengerti orang lain, di dalam air boleh dikata dia seperti pula berada di daratan, bebas dan aktif tapi orang lain justru tidak bisa memadai, keadaan dirinya ini. Apalagi didalam menghadapi suatu pertempuran dahsyat orang memerlukan pernapasan segar, memang di sini pula letak kunci kalah atau menang seseorang didalam menghadapi pertandingan sengit dan lama. Hawa yang bertahan didalam tubuh Induk Air dengan cepatnya terkuras keluar, saat mana napasnya sudah hampir berhenti dan amat lemah, dalam badannya sudah terasakan lelah dan kecapaian yang tak bisa tertahankan lagi, malah serasa hampir pingsan dan kepala pun sudah pusing tujuh keliling. Coh Liu-hiang cukup tahu bila dia memberi kesempatan kepada orang untuk menongolkan kepalanya ke permukaan air menghirup napas, maka dirinya tentu akan kalah total, karena hawa atau pernapasan bisa berganti namun tenaga atau kekuatan tak mungkin dibangkitkan pula dengan adanya pergantian napas ini. Maka betapapun dia tidak akan membiarkan orang ganti napas. Tampak badan Induk Air tiba-tiba terbalik, badan bagian atasnya celentang, punggung kakinya terjulur lempang didalam waktu yang amat singkat beruntun dia sudah melancarkan sembilan kali tendangan maut meski tendangan kakinya tak mengenai Coh Liu-hiang tapi hasilnya menimbulkan buih-buih air yang bergulung gulung disekitar badannya dan mumbul naik ke atas buih air semuanya mengandung kekuatan hawa murni yang hebat laksana pelor besi menerjang kepada Coh Liu-hiang. Untuk meluputkan diri dari serangan tendangan buih-buih air ini sebetulnya bukan soal sulit bagi Coh Liu-hiang, tapi bila dia mundur, badan Im Ki akan berkesempatan meminjam tenaga jejakkan kakinya didalam air untuk melesat naik menerjang ke permukaan air. Begitulah kenyataannya seperti pelor secara otomatis saja buih-buih air itu berbondong bondong menyerang ke depan sementara badannya laksana roket meluncur ke atas. Kelihatannya Coh Liu-hiang sudah tak kuasa merintangi aksi orang tapi dalam gugupnya tahu-tahu tanpa hiraukan segala akibatnya sebat sekali dia menubruk maju malah memeluk kencang kedua paha orang. Sudah tentu pimpinan Im Ki tidak pernah membayangkan Coh Liu-hiang bakal melakukan perbuatan yang rendah dan tidak tahu malu ini untuk menyerempet bahaya, didalam waktu sesaat karena kebingungan dia tak tahu cara bagaimana dia harus membebaskan diri, tahu-tahu badannya malah sudah terseret turun pula ke dasar danau. Saking gusar, kaget dan malunya, kontan telapak tangannya terayun menepuk ke batok kepala Coh Liu-hiang. Dengan kedua tangan memeluk kedua paha orang, bukan saja Coh Liu-hiang tidak bisa menangkis atau berkelit, diapun tak bisa melepaskan orang, karena begitu tangannya lepaskan pelukannya, maka kaki Im Ki akan menendang tepat di alat fitalnya. Jalan satu satunya dia hanya sundulkan kepalanya dengan sekuat tenaga ke perut Im Ki, sehingga badan orang tersunduk mundur bergerak ke belakang sudah tentu tepukan tangan pun tak mengenai sasaran. Permainan Coh Liu-hiang memang terlalu brutal, saking marah Im Ki rasakan sekujur badannya menjadi linu mengejang. Kecuali Hiong-niocu selama hidupnya boleh dikata belum pernah badannya dipeluk laki-laki lain, entah karena memang pernapasannya yang sudah sesak, badannya seketika menjadi lemah gemulai, sedikitpun tenaga tak mampu dikerahkan lagi. Sudah tentu Coh Liu-hiang sendiri maklum perbuatan yang dia lakukan sungguh amat memalukan, tapi bila seorang sedang meronta dalam bergelut dengan mara bahaya demi menyelamatkan jiwa, masakan dia harus pikirkan soal malu segala. Betapapun dengan badan Im Ki terjengkang ke belakang karena sundulan kepalanya tadi, segera dia menerjang naik ke atas kedua tangan orang dengan badannya dia dekap, sementara kedua kakinya memegang paha orang. Mirip dengan ikan gurita dengan kencang seluruh badan Im Ki dia belit kencang sampai tak kuasa meronta lagi. Dilihatnya kedua bole mata Im Ki sudah terbalik dan semakin memutih, buih-buih hawa mulai merembes keluar dari ujung mulutnya, tak berselang lama lagi orang pasti akan mampus kehabisan napas didalam air. Terang kemenangan bakal diperoleh pasti oleh Coh Liu-hiang, meski cara kemenangan yang ditempuhnya kali ini tak boleh dibanggakan, betapapun menang tetap menang, peduli kemenangan macam apapun, yang jelas jauh lebih baik dari pada menderita kalah. Tak Nyana pada saat itu pula, tiba-tiba rasakan adanya segulung kekuatan besar yang menerjang naik dari bawah badannya sehingga mereka berdua ke terjang mumbul ke atas. Kiranya tanpa disadari mereka berdua tepat danau persis diatas batu bundar dimana terdapat mulut semburan air besar itu. Kionglam Yan segera menekan tombol maka air mancur ditengah danau itu segera menyemprotkan tenaga semburan airnya ke atas. Kontan Coh Liu-hiang bersama Im Ki sudah keterjang naik mumbul ke permukaan air. Coh Liu-hiang tahu asal Im Ki diberi kesempatan menghirup hawa berganti napas, dia takkan kuat memiting dan menyekapnya lagi, tapi betapapun kedua kaki tangannya tak boleh lepas atau kendor pelukannya. Tiba-tiba pandangan matanya menjadi terang, ternyata mereka sudah mumbul ke permukaan air.

   Jilid 43 Coh Liu-hiang tidak lagi memikirkan segala sebab dan akibat, mendadak dia turunkan kepalanya ke dekat muka Im Ki, dengan mulutnya dia lumat bibir Im Ki, sementara dengan hidungnya dia sumbat pernapasan Im Ki pula.

   Apapun yang bakal terjadi, sekali kali dia pantang memberi kesempatan kepada Im Ki untuk menghirup udara segar.

   Murid-murid Sin cui kiong sebetulnya tersebar dimana-mana ada yang di bawah pohon, ada yang berjajar di pinggir danau, tapi sekarang tanpa mereka sadari mereka sudah kumpul bersama dalam satu kelompok.

   Gadisgadis remaja yang kesepian dan sebatang kara ini hanya merasa perlu bantuan orang bila mereka dijalari rasa kaget dan ketakutan, memang kumpul bersama bisa membuat orang-orang menjadi riang gembira.

   Dan mungkin di situ pula kenapa kebanyakan manusia sama merasa hidupnya kurang menyenangkan.

   Disaat mereka melihat gejolak air danau mulai mereda, tanpa disadari pula lambat laun mereka yang berduaan bersyukur bahwa mara bahaya yang mereka takutkan akhirnya sudah berlalu.

   Siapa nyana pada saat itu pula air mancur ditengah danau tiba-tiba menyemprot pula.

   Biasanya bila Induk Air Im Ki mau unjukkan diri baru air mancur ini menyemprot keluar, sudah tentu tidak pernah terbayang oleh mereka bila di pucuk semburan air mancur itu kali ini sekaligus muncul bayangan dua orang.

   Kecuali Induk Air, ternyata masih ada lagi satu orang laki-laki.

   Lebih aneh lagi karena lelaki itu sama berpelukan dan berciuman dengan Induk Air, seolah-olah mereka sedang bermain mesra di atas ranjang.

   Saking heran, takjub dan mengkirik seluruh murid-murid Sin cui kiong itu sama menjublek di tempatnya, umpama dunia kiamat, gunung gugur dan air laut tumpah, merekapun takkan terkejut seperti ini.

   Induk Air yang biasanya amat membenci laki-laki, dan sebagai perempuan suci dan agung yang tak boleh tersentuh oleh tangan lelaki siapapun, bagaimana mungkin bisa bermain cinta semesra itu dengan lelaki? Siapa pula lelaki itu? Mata mereka sama terbelalak.

   Ciuman memang nikmat dan meninggalkan kesan mendalam, apalagi ciuman pertama.

   Tapi berciuman di bawah sorot pandangan berpuluh puluh pasang mata, sungguh merupakan suatu hal yang risi dan tak enak dirasakan apalagi ciuman ini hakekatnya memang tidak mempunyai rasa nikmat, tak semanis madu.

   Kalau tak mau dikatakan sebagai ciuman maut, ciuman kematian.

   Adasemacam keindahan seni dalam suatu kekejaman, kekuatan kekejaman yang tak terasakan oleh rabaan tangan.

   Jikalau kau sendiri tak mengalaminya siapapun takkan bisa meresapi betapa derita serta berat siksaan kalbu ini, tapi umpama selaksa manusia siapa pula yang pernah mengalami hal demikian? Memangnya demi meronta dari renggutan elmaut dan untuk menyelamatkan jiwa baru terpaksa Coh Liu-hiang melakukan perbuatannya itu, tapi saat mana entah mengapa, dalam kalbunya yang paling dalam tibatiba timbul suatu perasaan aneh yang tak mungkin bisa dia lukiskan dengan kata-kata.

   Semburan air yang mengenai badannya laksana semprotan bara.

   Sebaliknya badan Im Ki benar-benar sudah lemas lunglai.

   Selama raut mukanya sudah jengah dan merah padam, kini lambat laun berubah menjadi pucat.

   Coh Liu-hiang tak berani pejamkan mata, setiap gerakan kulit daging dimuka Im Ki menjadi perhatian yang serius bagi Coh Liu-hiang.

   Setiap detak jantungnya dapat terdengar pula oleh Coh Liu-hiang dengan jelas.

   Terasa oleh Coh Liu-hiang bahwa Im Ki memang seorang perempuan yang punya keyakinan maupun bisa mengendalikan diri sendiri.

   Tapi sekarang dia dan dia berjarak begitu dekat, sekonyong-konyong terasakan olehnya perempuan dalam pelukannya ini berubah menjadi begitu lembut dan harus dikasihani, tak ubahnya dengan perempuan awam umumnya.

   Betapapun agung dan suci perempuan itu, bila berada didalam pelukan lakilaki maka dia akan menjadi kerdil dan tak berarti lagi.

   Sejak dahulu kala pengertian ini seolah-olah sudah menjadi dalil sepanjang masa, suatu persoalan yang selalu menjadi bahan bicara laki-laki yang paling menarik, jikalau bukan begitu, mungkin dalam dunia ini takkan ada peluang bagi laki-laki untuk menguasainya.

   Coh Liu-hiang tidak tega melihat orang ajal didalam pelukannya, tapi bila dia lepaskan belenggu kaki tangannya, itu berarti jiwanya sendiri yang bakal melayang.

   Jikalau jalan pernapasan Im Ki yang sudah tertutup tiba-tiba terbuka dan lancar pula, betapa besar kekuatannya jelas dengan kekuatan laki-laki seperti Coh Liu-hiang takkan kuasa membendung atau melawannya, bukan mustahil dia bakal tergetar hancur seluruh raganya menjadi berkepingkeping.

   Memangnya antara mati dan hidup mereka berdua seolah-olah sudah tiada jaraknya lagi.

   Dengan nanar Im Kipun sedang mengawasi Coh Liu-hiang.

   Semula sorot matanya diliputi kebencian dan dendam yang menyala-nyala, tapi rasa kematian lambat laun sudah membuatnya lumpuh sama sekali, untuk membencipun sudah tak kuasa lagi.

   Akhirnya terunjuk rasa duka dan pilu yang harus dikasihani.

   Tiba-tiba terlihat oleh Coh Liu-hiang setitik air mata bergelimang pergi datang di atas kulit mukanya.

   Kematian adalah adil, di hadapan kematian, manusia besar yang terpandangpun dia akan berubah menjadi manusia biasa.

   Pelukan kaki tangan Coh Liu-hiang lambat laun mulai lemas dan kendor.

   Kalau mau sebetulnya dia bisa lancarkan serangan Jing-jiu-hoat untuk menutuk dulu Hiat-tonya, karena boleh dikata Im Ki sudah kehilangan daya tahan dan perlawanannya sama sekali.

   Tapi Coh Liu-hiang tak berbuat demikian sungguh bahwa takkan tega melakukan hal itu terhadap seorang perempuan yang sedang mengucurkan air mata di hadapannya, selama hidupnya memang tak pernah dia melakukan perbuatan serendah itu.

   Bahwasanya Coh Liu-hiang bukanlah seorang lelaki yang tak kenal kasihan dan kejam seperti yang tersiar diluaran, tapi diapun tak sepintar seperti yang diagulkan dan dikultuskan dalam cerita dan dongeng orang-orang Kang-ouw, malah boleh dikata ada kalanya dia melakukan perbuatan yang paling goblok.

   Tapi pada saat itu pula semburan air mancur yang menyanggah badan mereka tiba-tiba lenyap dan berhenti, kontan badan Coh Liu-hiang dan Im Ki anjlok dan jatuh kembali dalam danau.

   "Byuurr"

   Air muncrat kemanamana.

   Seakan-akan dia sudah lupa dirinya berada dimana, maka sedikitpun dia tidak siaga akan keadaan di sekelilingnya, sekonyong-konyong terasa bergetar hebat dan hampir saja dia jatuh semaput oleh getaran badan yang tercebur ke dalam air dari ketinggian dua tiga tombak, badan Im Ki pun sampai terpental lepas dari pelukannya.

   Maka terasa pula sebuah tangan tiba-tiba terulur datang, tahu-tahu Hiat-tonya sudah tertotok.

   Sekilas sebelum dia jatuh semaput, tiba-tiba dia sadar dan ingat akan sepatah kata, sudah terlupakan olehnya siapa sebetulnya yang mengucapkan kata-kata ini, tapi setiap patah kata-katanya dia masih ingat dengan baik "Air mata perempuan, selamanya adalah senjata terampuh dan pasti berhasil untuk menghadapi setiap lelaki."

   Waktu Coh Liu-hiang membuka mata pula, dilihatnya Kionglam Yan sedang mengawasinya sambil tersenyum.

   Ternyata dia terbawa kembali ke kamar tidur Induk Air.

   Im Ki pun sudah bersimpuh duduk dihadapannya.

   Roman mukanya tak menampilkan sesuatu perasaan hatinya, seolah kini kembali ke sikap yang semula, dingin, kaku tegas dan berwibawa.

   Kionglam Yan berkata dengan suara dingin.

   "Sudah pernah kuberi tahu kepadamu tak ada orang yang mampu mengambil keuntungan dari pihak Sin cui kiong, demikian pula Coh Liu-hiang yang tak pernah terkalahkan dimedan lagapun tak terkecuali."

   Dengan tajam ditatapnya Coh Liu-hiang, sambungnya dengan suara lebih tandas.

   "Sekarang kau sudah mau mengakui bila kau sudah kalah, bukan?"

   Coh Liu-hiang menghela napas ujarnya.

   "Agaknya aku memang harus mengakui."

   "Apa pula yang masih ingin kau utarakan?"

   "Apa pulah yang harus kukatakan? Tiada lagi."

   Kionglam Yan tertawa bangga, katanya berpaling kepada Im Ki.

   
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Coba katakan bagaimana kita harus menghukumnya?"

   Sebentar Im Ki berpikir, lalu katanya kalem.

   "Orang ini kaulah yang menawannya, sudah pantas kalau terserah kau mau apakan dia."

   Terpancar cahaya sadis dalam biji mata Kionglam Yan, ujarnya.

   "Begitu pun baik, biar serahkan saja dia kepadaku."

   Baru saja dia beranjak kehadapan Coh Liu-hiang, tiba-tiba Im Ki bersuara lagi.

   "Apakah kau hendak menghadapinya seperti kau menghadapi Hiong nio cu?"

   Kionglam Yan tertegun sebentar, lama kemudian air mukanya berubah, katanya setelah menghirup napas panjang.

   "Apakah dia yang memberitahukan kepadamu?"

   Tidak menjawab, Im Ki malah bertanya terlebih jauh.

   "Apakah kau tak pernah menduga bila dia bisa melihat perbuatan rahasiamu?"

   Kionglam Yan tidak menjawab, namun dengan jelas Coh Liu-hiang bisa melihat jari-jari tangan orang mulai gemetar, lalu pelan-pelan tergenggam kencang, kuku jarinya sampai memutih saking kencang genggamannya.

   Sesaat kemudian tiba-tiba dia berkata beringas.

   "Benar, memang akulah yang membunuh orang itu, jikalau aku salah membunuhnya, tiada halangannya aku menebus dengan jiwaku, tapi orang yang mencuri lihat rahasia orang lain, diapun harus mampus."

   Jari-jarinya tiba-tiba terulur lempeng dan kaku, telapak tangannya tegak berdiri laksana golok, tiba menebas ke tenggorokan Coh Liu-hiang.

   Tapi sebelum telapak tangan ini menyentuh badan Coh Liu-hiang, tiba-tiba badannya sendiri mencelat terbang, entah kapan tahu-tahu Im Ki sudah mencelat bangun, roman mukanya tak menampilkan mimik perasaan hatinya.

   "Blang"

   Badan Kionglam Yan yang ramping montok itu menumbuk dinding, lalu perlahan-lahan melorot ke tanah dengan mata terbelalak kaget dia mengawasi Im Ki, sorot matanya penuh diliputi tanda tanya dan keheranan, katanya dengan suara gemetar.

   "Kau..."

   "Aku..."

   Im Ki tak kuasa bersuara. Tiba-tiba bercucuran airmata Kionglam Yan, katanya.

   "Kenapa kau... begitu tega turun tangan terhadapku?"

   "Kenapa pula kau tega turun tangan terhadapnya?"

   Balas tanya Im Ki.

   "Dia? Siapa? Coh Liu-hiang? ataukah Hiong-nio cu?"

   Im Ki tertunduk diam, Coh Liu-hiang juga, membuat jari-jari orang mulai gemetar. Suara Kionglam Yan seperti meratap gusar.

   "Ternyata kau masih mencintai dia. Ternyata aku hanya duplikat yang kau peralat demi kepuasan dirimu, kau tega membunuhku untuk menuntut balas kematiannya, tapi tahukah kau kenapa aku harus membunuhnya?"

   Im Ki menghela napas, sahutnya.

   "Aku tahu."

   "Kalau begitu kenapa kau masih.... masih...."

   "Kalau kau tidak membunuhnya, mungkin aku sendiri yang akan membunuhnya, tapi jikalau kau membunuhnya, maka aku harus menuntut balas kematiannya, siapapun yang membunuh dia, akupun akan menuntut balas kepadanya."

   Kionglam Yan berdiam sebentar, katanya kemudian dengan masgul.

   "Maksudmu aku sudah mengerti seluruhnya."

   Maksudnya tidak sukar dimengerti, umpamanya seorang bocah yang melakukan perbuatan nakal, ayah bundanya sudah jelas bakal menghukum atau menghajarnya, tapi jikalau orang lain yang memukulnya, orang yang jadi ayah bunda pasti merasa sakit hati, bukan mustahil ia akan menuntut balas dan adu jiwa kepada orang itu, itulah yang dinamakan cinta kasih, cinta yang selamanya tak bisa diraba oleh manusia, tapi siapapun tak berani menyangkal akan kehadirannya dalam kehidupan manusia.

   Im Ki menghela napas, ujarnya.

   "Baik sekali kalau kau sudah mengetahui, memang aku pun mengharap kau mengerti."

   "Tapi jangan kau lupa, kalau bukan aku, kau..."

   "Aku tahu kau sudah menolongku, tapi menolong dan membunuh adalah dua persoalan yang berlainan dan tidak boleh dicampur aduk dalam satu persoalan, aku berjanji akan perlakukan kau baik-baik dalam penguburan dirimu."

   Kembali Kionglam Yan termenung lama baru akhirnya tertawa getir, katanya.

   "Sekarang benar-benar aku mengerti lantaran apa kau sampai tega membunuhku pula."

   "O!"

   Im Ki bersuara dalam mulut.

   "Kau membunuhku karena aku telah menolong kau."

   "O!"

   "Setelah aku meninggal, maka selamanya takkan ada orang yang tahu bahwa kau pernah kecundang ditangan Coh Liu-hiang, takkan ada orang lain yang tahu pula bahwa aku pernah menolongmu, selamanya kau tak sudi menerima kegagalan dan kekalahan yang memalukan itu, maka kau harus membunuhku."

   Im Ki menarik napas, ujarnya.

   "Biasanya kau memang pintar, mungkin terlalu pandai."

   Kionglam Yan melengak, mulutnya seperti mengigau.

   "Sebetulnya aku ini pintar atau bodoh, aku sendiripun tidak tahu."

   Akhirnya dia menutup mata tidak bicara lagi, memang dia takkan bisa bicara lagi.

   Hening lelap.

   Kesunyian yang mencekam sanubari sehingga napas terasa sesak.

   Coh Liu-hiang pun tidak tega memecahkan keheningan ini atau mungkin dia tidak berani.

   Lama juga Im Ki menatap Coh Liu-hiang, katanya.

   "Apakah kau beranggapan lantaran dia memang menolongku maka aku lantas membunuhnya?"

   "Kukira kau bukan orang macam begituan."

   Sahut Coh Liu-hiang hati-hati.

   "Masakah dia tidak lebih jelas mengetahui karakterku dari apa yang kau ketahui?"

   "Itulah karena dia memang orang macam itu, maka diapun pandang dan anggap kau seperti dia pula."

   Pandangan hambar dan kosong Im Ki menatap ke tempat jauh, mulutnya menggumam.

   "Benar, oleh karena kau bukan orang seperti itu, maka kaupun mengatakan aku bukan, jikalau kau orang-orang macam begituan, mungkin dia takkan punya kesempatan untuk menolong aku."

   Memang kalau Coh Liu-hiang seorang culas dan keji, jiwanya mungkin sejak tadi sudah terenggut ditangan Coh Liu-hiang, tapi tidak pernah terpikir oleh Coh Liu-hiang bahwa dia sendiri sebetulnya memang sudah tahu juga.

   Sudah tentu dia mengharapkan Im Ki bukan seorang seperti itu, karena kalau Im Ki benar orang yang dikatakan Kionglam Yan, maka sekarang orang bakal menghabisi jiwanya untuk menutup mulutnya.

   Tapi apakah benar Im Ki orang seperti itu? Coh Liu-hiang tak tahu, dia hanya tahu bahwa mati hidup jiwanya sekarang berada digenggaman tangan Im Ki.

   Dia pun sudah merasakan betapa asin rasa keringat dinginnya sendiri.

   Beberapa kejap pula, tiba-tiba Im Ki bertanya.

   "Tahukah kau kenapa kali ini bisa kalah?"

   "Apa pula bedanya bila aku tahu dan tak tahu?"

   "Kau harus tahu kekalahanmu kali ini, adalah karena hatimu terlalu lembek."

   "Dan kau? Mengapa hatimu selamanya tidak pernah lembut?"

   Lama Im Ki menerawang perkataan ini, tiba-tiba dia tertawa dingin, katanya.

   "Hatiku! Kau kira aku masih punya hati?"

   Coh Liu-hiang geleng-geleng sambil menghela napas, hatinya serasa mencelos. Dia kira kini dirinya betul-betul tiada harapan sama sekali. Tak nyana Im Ki melanjutkan dengan suara rawan.

   "Lantaran aku sendiri sudah tidak memiliki apa-apa lagi, oleh karena itu mati hidupmu sekarang sudah tiada sangkut pautnya pula dengan diriku, aku malah sudah malas untuk membunuhmu."

   Tiba-tiba dia balikan telapak tangan menepuk badan Coh Liu-hiang membebaskan tutukan Hiat-tonya. Keruan Coh Liu-hiang tertegun, sekian lama mulutnya megap-megap.

   "Kau apakah, kau sudah..."

   Tiba-tiba berubah bengis sikap Im Ki, bentaknya.

   "Apapun yang kupikir tiada sangkut pautnya lagi denganku, lekas kau pergi saja, jangan kau tunggu aku merubah maksudku semula."

   Lalu dipanggilnya seorang muridnya yang bingung dan ketakutan, katanya.

   "Bawa orang ini dan dari Sam-cimu, suruh dia bebaskan sekalian ketiga orang yang ditawannya itu."

   Bergegas Coh Liu-hiang merapikan pakaiannya, segera dia menjura.

   "Terima kasih Kiong-cu."

   Waktu itu seperti paderi tua yang sudah semedi dan kehilangan kesadarannya, Im Ki duduk di tempatnya, seolah-olah selamanya dia orang sudah tak mau bangun lagi.

   Pintu baru mulai merapat dan akhirnya tertutup, lambat laun mengalingi pandangan Coh Liu-hiang, maka Induk Air sekarang sudah terkunci didalam pintu batu itu.

   Bukan saja dia sudah terasing dari keramaian dunia, diapun sudah berpisah dengan jiwa raganya.

   Tapi pintu itu justru hasil karyanya sendiri.

   Coh Liu-hiang menghela napas, dia tahu mungkin selanjutnya takkan ada orang yang bisa menemuinya lagi, jikalau selamanya dia tak pernah berhadapan dan melihat Im Ki pasti sedikitpun dia takkan merasa hambar dan menyesal seperti kehilangan sesuatu.

   Tapi sekarang entah mengapa, relung hatinya terasa rada pilu dan sendu.

   Berdiri disamping di samping murid Sin cui kiong itu, kelihatannya heran dan kaget namun juga ketarik dan ingin tahu, agaknya dia masing bingung dan belum mengerti apa sebenarnya hubungan lelaki ganteng dihadapannya ini dengan gurunya.

   "Marilah kita pergi!"

   Akhirnya Coh Liu-hiang membuka suara sambil putar badan lebih dulu.

   Kembali tak pernah terbayang olehnya, belum lagi ucapannya berakhir, maka dilihatnya Oh Thi-hoa, Ui Loh-ce dan Cay Tokhing sudah beruntun mendatangi dengan langkah terburu-buru.

   Begitu melihat Coh Liu-hiang, agaknya merekapun amat kaget.

   "Ular busuk."

   Tak tertahan Oh Thi-hoa berteriak lebih dulu.

   "Cara bagaimana kau lari keluar?"

   Coh Liu-hiang berteriak tak tertahan.

   "Cara bagaimana pula kalian bisa lari kemari?"

   Kedua pihak hampir bersama-sama mengajukan pertanyaan, tak tertahan mereka tertawa geli, apapun yang telah terjadi sekarang kembali bersua dan kumpul bersama, sudah tentu bukan kepalang senang hati mereka.

   "Boleh kau bicara dulu, pengalamanmu pasti jauh lebih menarik untuk diceritakan, sebaliknya cerita pengalaman kami sungguh rada kurang menyenangkan."

   "Biarlah kau saja yang cerita duluan, ceritaku teramat panjang untuk diceritakan."

   Sekilas Oh Thi-hoa mengerling ke arah Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing, lalu katanya dengan tawa getir.

   "Kalau dikatakan memang memalukan, kami bertiga ternyata tetap bukan tandingan Induk Air seorang, jikalau bibi Yong-ji tidak welas asih dan menaruh belas kasihan mungkin kami takkan bertemu lagi dengan kau."

   "Dia melepas kalian keluar?"

   Coh Liu-hiang menegas.

   "Benar."

   Tutur Oh Thi-hoa.

   "bersama seorang gadis yang dipanggil Kiu moay mereka mengompres keterangan kami, sudah tentu kami membangkang dan tutup mulut tapi budak yang dipanggil Kiu moay itu memang cewek galak, dia gunakan siksaan hendak mengompres kami, untung bibi Yong-ji bilang kita ini tokoh-tokoh yang punya kedudukan, adalah pantas kalau melayaninya dengan sopan santun, tak nyana cewek galak itu malah marah-marah, dia menuduh bibi Yong-ji sebelumnya sudah sekongkol dengan kami."

   Dengan dongkol dia menyambung.

   "Cewek itu galak mulut, galak pula orangnya, banyak kata-kata kotor yang dia ucapkan lagi, saking tak sabar lagi dan gemas bibi Yong-ji tiba-tiba menutuk Hiattonya."

   "Dia... mana boleh nekad, masa tidak berbahaya?"

   "Sudah tentu apa yang dia lakukan membuat kami terperanjat, karena tata tertib perguruan Sin-cui-kiong amat keras hal ini diketahui setiap insan persilatan, perbuatannya secara tidak langsung sudah mengakui bahwa dia memang ada sekongkol dengan kami durhaka kepada guru dan sekongkol sama musuh sudah tentu dosa kesalahan yang tidak ringan hukumannya, tapi setelah dia turun tangan, sikapnya malah tenang, cuma dia suruh kami lekas keluar mencari kau, katanya mungkin kau sudah terbelenggu ditangan Induk Air, mungkin... mungkin sudah celaka."

   "Dan dia sendiri bagaimana?"

   "Dia... agaknya dia sudah berkeputusan, dia sudah pasrah nasib dan tak ingat akan selamatkan jiwa, namun dia memberitahu kepada kami, Nikoh bisu tuli didalam Bo dhi am hu sebenarnya adalah Toa-sucinya, karena melanggar undang-undang perguruan maka akhirnya dia ketiban hukuman yang mengenaskan, dia harap bila ada kesempatan meminta kami untuk sekedar memberi pertolongan padanya."

   Coh Liu-hiang membanting kaki, katanya.

   "Kalau begitu agaknya diapun takut mengalami nasib seperti Toa-sucinya itu, maka dia bertekad untuk gugur saja..."

   "Mungkin demikian setelah kami keluar dia lantas menutup pintu penjara itu dari dalam, dirinya terkurung didalam penjara batu, waktu kami menyadari hal itu, dan menggedornya minta pintu dibuka, bagaimanapun dia tidak mau membuka lagi, hakikatnya dia sudah anggap tak dengar seruan kami, tak mau menjawab pertanyaan kami."

   "Sungguh tak nyana Induk Air dan muridnya punya watak yang angkuh sampaipun orang lainpun pantang melihat kematian mereka, memangnya mereka ingin selamanya hidup didalam sanubari orang lain?"

   Oh thi-hoa tidak mengerti seluruhnya apa yang dimaksud ucapan Coh Liuhiang, karena betapapun dia takkan menduga bahwa Induk Air Im Ki ternyata mempunyai cara kematian yang mirip. Maka katanya dengan menyengir sedih.

   "Bagaimana juga, selamanya kita memang harus berterima-kasih dan hutang budi kepadanya"

   Tanya Coh Liu-hiang kemudian.

   "Bagaimana kalian bisa datang kemari? Apakah akhirnya Yoong Ji berhasil memberitahu jalan rahasia yang menembus ke Sin-cui-kiong ini kepada kalian?"

   "Setelah kau berlalu, kami lantas minta dia memberitahu, semula dia tidak mau, tapi sedari kemudian diapun mulai mengisahkan kepadamu."

   "Jadi dia ikut kalian datang?"

   "Dia kuatir bila ikut kami bisa kurang leluasa/"

   "Lalu dimana dia sekarang?"

   Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Katanya dia hendak menyusul ke Bo dhi am untuk kumpul bersama Tuian-ji lainnya lalu melihat gelagat apakah bisa dari sama menyuruh masuk kemari, semula aku hendak membujuknya supaya tak usah gelisah, tak nyana malah dia sudah menghibur aku "

   Sampai di sini Oh Thi-hoa tertawa geli, katanya lebih lanjut.

   "Dia amat yakin dan percaya penuh terhadap kau, katanya berapapun mara bahaya yang kau hadapi, pasti kau punya cara dan akal untuk meloloskan diri."

   Cay Tok-hiang menimbrung dengan tertawa.

   "Agaknya dia malah rada menguatirkan kami bertiga, dia pesan wanti-wanti kepada kami supaya jangan sembarangan turun tangan, tapi begitu kami sampai di sini, semua pesannya sudah terlupakan semua."

   Ui Loh ce juga mendekat, selanya.

   "Siapa sebenarnya temanmu itu. Maling Romantis tentu sudah tahu, perbuatannya dulu memang takkan menimbulkan simpatik malah membuat hati orang dendam tapi belakangan ini dia berubah dan benar sudah bertobat, sudah mengubah kelakuan buruknya dan kembali ke jalan lurus"

   "Semua urusannya sudah kuketahui, akupun simpatik kepadanya, cuma sayang dia..."

   Berubah air muka Ui Lohce tanyanya.

   "Dia... apakah sudah menemui ajal?"

   Coh Liu-hiang menghela napas panjang tak menjawab. Ui Loh-ce berkata.

   "Dinilai dari perbuatannya dulu, memang pantas kalau dia harus menebus dengan kematiannya, akan tetapi... tetapi Cayhe masih ingin tahu... sebenarnya siapakah yang membunuhnya?"

   "Orang yang membunuh diapun sudah terbunuh, malah Sin-cui-kiong-cu sendiri yang menuntut balas kematiannya kini mereka bertiga satu keluarga pasti sudah berkumpul dialam baka, buat apa Cianpwe bersedih bagi dirinya."

   Ui Loh-ce geleng-geleng kepala lalu terduduk, gumamnya.

   "Benar dengan dosadosanya yang kelewat takaran itu, Yang kuasa terhitung memberi keadilan yang setimpal kepadanya."

   Dimulut dia berkata demikian, api tak terasa air mata berkaca kaca di kelopak matanya. Oh Thi-hoa menepuk pundak Coh Liu-hiang katanya.

   "Dan kau? cara bagaimana kau bisa lolos dari cengkeraman Induk Air? Apa kau...

   "

   Dia tertawa penuh arti menghentikan ucapannya. Coh Liu-hiang melotot sekali kepadanya, katanya.

   "Kalau aku toh sudah lolos, tak perlu kau menguatirkan aku lagi, justru Yong-ji dan lain-lain itu sampai sekarang belum kunjung tiba, memangnya mereka mengalami sesuatu?"

   Tiba tiba dia berputar menghadapi gadis murid Sin-cui-kiong itu tanyanya dengan tersenyum.

   "Bolehkah aku mengetahui nama harum nona yang mulia?"

   Sebetulnya gadis itu sedang mendengar dengan mata mencelong, mau pergi tidak berani menyingkir, kini tiba-tiba ditanya karuan terperanjat sahutnya malu-malu.

   "aku bernama Lam Pin."

   Suara Coh Liu-hiang lemah lembut.

   "Kami ingin keluar Bo-dhi-am untuk mencari orang entah sudikah nona Lam Pin membawa kami keluar?"

   Sebentar Lam Pin mengawasi pintu batu yang tertutup kencang itu, katanya.

   "Suhu tak suruh aku membawa kalian keluar, aku sendiripun tak berani ambil putusan."

   "Nona tak usah kuatir, kau tunjukkan jalannya, beliau tak akan salahkan kau."

   Lam Pin menggigit bibir, agaknya tak tahu apa yang harus dia lakukan. Pelan-pelan Coh Liu-hiang menarik tangannya, katanya.

   "Hayolah sekarang, berangkat."

   Merah muka Lam Pin, ingin meronta dan melepaskan tangannya, namun kepalanya malah tertunduk, mau bicara tak tahu apa yang harus dia ucapkan, akhirnya seperti orang linglung saja dia mandah diseret pergi.

   Oh Thi-hoa menghela napas, ujarnya geleng-geleng.

   "Perempuan yang galak seperti serigala lapar, setiap berhadapan dengan ulat busuk, seolaholah dia menjadi mati kutu dan tak bisa berbuat apa-apa, aku sungguh tak mengerti kenapa bisa begitu?"

   "Lute"

   Ujar Cay Tok-hiang.

   "Masakan pengertian yang sepele saja kau tak tahu?"

   "Memangnya dia punya daya iblis untuk memelet gadis, kenapa aku tidak melihatnya sedikitpun?"

   "Kalau kaupun bisa melihatnya, wah celaka dua belas."

   Air terjun tumpah ke dalam danau, air danau lalu mengalir keluar pula, bila air terjun tidak berhenti, air danaupun tak berhenti mengalir, begitulah sambung menyambung tiada putus, disinilah letak keajaiban alam yang besar dan jaya.

   Coh Liu-hiang beramai ramai menyelusuri aliran air bawah tanah terus beranjak ke depan terasa letak lorong panjang ini semakin tinggi, pada ujung lorongsana terdapat undakan batu, di atas undakan batu itulah ujung keluarnya.

   Lam Pin berkata.

   "Di atas ini adalah Bo-dhi am, merupakan salah satu pintu keluar istana kami, dari sinilah cara yang paling gampang karena kelihatannya Suci amat galak, sebetulnya dia welas asih dan penuh kasih sayang kalau orang meratap tangis dan minta pertolongannya, jarang dia tega menolak permintaan orang."

   Setelah menelusuri lorong panjang di bawah tanah itu, agaknya hubungannya dengan Coh Liu-hiang semakin intim, bukan saja tidak malu dan takut, sebelah tangannya malah dia biarkan digandeng oleh Coh Liuhiang, tidak berusaha meronta lagi.

   Tapi Coh Liu-hiang sendiri menjadi gelisah kalau toh Toa sucinya itu orang welas asih kenapa sudah sampai sekarang Li Ang-siu beramai belum kelihatan batang hidungnya? Terdengar Oh Thi-hoa berkata.

   "Khabarnya orang-orang yang masuk dari sini, harus dimasukkan ke dalam keranjang, apa benar?"

   "Benar"

   Sahut Lam Pin.

   "Karena Toa-suci tidak boleh meninggalkan Bo dhi am, terpaksa dia lepas orang kedalam keranjang, supaya keranjang air itu mengalir terbawa arus kedalam."

   Oh Thi-hoa awasi Coh Liu-hiang, katanya.

   "Agaknya dalam hal ini Liu Bu-bi memang tidak berbohong."

   Coh Liu-hiang hanya tertawa getir.

   Sekarang dia lebih yakin lagi bahwa Liu Bu-bi sebenarnya perempuan yang pandai bohong.

   Karena hanya orangorang demikian saja yang tahu didalam ucapan-ucapannya kebohongan dibumbui dengan kenyataan, cara itu akan jauh lebih gampang untuk menipu orang.

   Lam Pin berkata.

   "Lobang keluarnya kebetulan terletak di bawah kasur bundar tempat duduk Suci, biasanya kami jarang kemari karena sejak Toa suci berbuat salah dan dihukum, Suhu lantas larang kami berhubungan sama dia."

   Tak tahan Oh Thi-hoa bertanya.

   "Sebenarnya kesalahan apa yang dia lakukan?"

   "Ini... aku sendiri kurang jelas!"

   Agaknya Lam Pin tidak mau membicarakan hal itu lagi, dengan langkah terburu-buru dia naiki undakan batu, lalu mengetok dinding dengan bundaran gelang besi yang gemandul di sana, terdengar suara Ting-ting amat keras itu menggema didalam lorong sampai lama, kedengarannya seperti naga berpekik.

   Lam Pin menerangkan pula.

   "Karena kerja Suci sehari-hari hanya duduk semedi di atas kasuran itu, jarang sekali bergerak, maka asal kami mengetuk gelang besi ini, dia lantas tahu akan kedatangan kami."

   Oh Thi-hoa tidak berbincang lagi, betapapun hatinya rada tegang, dia harap pintu rahasianya lekas muncul dan terbuka, supaya mereka lekas bertemu dengan Song Thiam-ji dan lainnya, ingin dia tahu apa sebenarnya yang terjadi atas diri mereka.

   Tak nyana setelah ditunggu sekian lamanya, dari atas tetap tidak kedengaran reaksi apa-apa.

   Lam Pin mengerut alis, katanya.

   "Aneh, apa mungkin Toa-suci kebetulan tidak berada di atas?"

   Meski gelisah Coh Liu-hiang malah menghiburnya.

   "Mungkin kebetulan dia tengah keluar melemaskan kaki tangan,kan biasa bagi manusia normal?"

   "Yang terang dia pasti takkan meninggalkan Bo dhi am, tempat di atas tak begitu luas, asal gelangan ini berbunyi, seharusnya dia sudah mendengarnya, kecuali di atas terjadi sesuatu."

   Sudah tentu hati Coh Liu-hiang lebih gelisah, karena dia...

   kalau Liu Bu-bi sudah tahu bila mereka berhasil masuk ke dalam Sin cui kiong, maka bualannya bakal terbongkar, sudah tentu dengan berbagai akal dia akan berusaha merintangi mereka.

   Memang pengetahuan Li Ang-sui cukup luas, karena membaca catatan buku itu, tapi otaknya kurang cerdik dan tak bisa berakal.

   Song Thiam-ji lebih lincah dan suka bermain sedikitpun tak tahu keculasan hati manusia umumnya.

   Apalagi kedua orang ini sama simpati akan pengalaman Liu Bu-bi maka bila Liu Bu-bi mau mencelakai jiwa mereka, sungguh segampang membalikkan telapak tangan.

   Terdengar Oh Thi-hoa menggerutu.

   "Kalau pintu di atas tak terbuka, apa kita tidak ada cara lain untuk keluar dari sini?"

   "Tak ada jalan keluar lainnya, pintu keluar di lorong bawah tanah ini hanya bisa dibuka dari atas, soalnya Suhu kuatir kita menyelundup keluar secara diam-diam."

   Tiba-tiba Oh Thi-hoa bertepuk tangan katanya tertawa tertahan.

   "Aku lupa satu hal, tak nyana kaupun melupakannya."

   "Lupa apa?"

   Tanya Coh Liu-hiang mengelak.

   "Toa-sucimu itu bisu dan tuli, hanya duduk di atas kasuran baru bisa merasakan getaran dari ketokan gelang besi ini, kalau dia memang sedang menyingkir mana dia bisa mendengar suara ketokan ini."

   Lam Pin berkata dengan tegas.

   "Dia dapat mendengar."

   "Kenapa? Memangnya dia tak bisu atau tuli, hanya pura-pura demikian saja?"

   Oh Thi-hoa menegas. Tak kira Lam Pin malah geleng-geleng, sahutnya.

   "Bahwasanya dia memang bisu dan tuli, sedikitpun tidak salah."

   Kali ini Oh Thi-hoa yang tertegun melongo, katanya.

   "Kalau dia benar bisu dan tuli, cara bagaimana dia bisa mendengar suara?"

   Lam Pin tertawa, ujarnya.

   "Setelah kau berhadapan dengan dia pasti akan tahu apa sebabnya bisa begitu."

   Oh Thi-hoa menjublek sekian lama, akhirnya seperti sadar, katanya.

   "Ya, aku paham sekarang."

   "O? Paham bagaimana?"

   Tanya Lam Pin.

   "Adaorang asal dia mendengar bibir orang bergerak, maka dia lantas meraba apa yang dikatakan oleh orang itu, tentu Sucimu mempunyai kelebihan demikian."

   Lam Pin menghela napas dengan masgul, katanya.

   "Dia bukan saja bisu dan tuli, malah... malah matanyapun tak bisa digunakan lagi."

   Kembali Oh Thi-hoa melotot, katanya kaget.

   "Jadi diapun buta?"

   "Ya."

   Lam Pin mengiakan. Saking gugup Oh Thi-hoa menggosok-gosok hidung, dengan tertawa dia menggerutu.

   "Seorang bisu, tuli dan buta, namun bisa mendengar ratap tangis dan permintaan orang lain yang harus dikasihani, malah bisa mendengar suara ketokan pintu, ulat busuk biasanya serba pandai, kali ini tanggung kaupun kebingungan dibuatnya."

   Terdengar suara ketokan gelang besi itu kumandang pula.

   Kali ini ketokan Lam Pin lebih keras.

   Tapi setelah ditunggu sekian lamanya dari atas tetap sunyi tak terdengar reaksi apa-apa.

   Tak tahan Coh Liu-hiang maju mendekat menempelkan telinga ke dinding batu.

   "Kau mendengar suara apa?"

   Dengan gelisah Oh Thi-hoa bertanya. Coh Liu-hiang mengerut kening, sahutnya.

   "Tidak begitu jelas, kedengarannya seperti ada suara sesuatu."

   Oh Thi-hoa banting-banting kaki katanya mengomel.

   "Hidungmu sudah tak manjur, memangnya kupingmu juga tidak berguna juga?"

   Tiba-tiba Cay Tok-hing menanggalkan karung yang tergantung di pinggangnya mengeluarkan sebuah mangkok besi, katanya "Dengan mangkok besi ditempelkan ke dinding, kau akan bisa mendengar lebih jelas."

   "Apa benar?"

   Tanya Oh Thi-hoa heran dan tidak percaya. "Orang-orang Kangouw tahu murid-murid Kaypang paling wahid dalam pekerjaan mencari ayam menangkap anjing, memangnya kau belum pernah dengar?"

   Kelakar Cay Tok-hing.

   Dengan tersenyum Coh Liu-hiang terima mangkok besi itu terus di tempatkan ke dinding lalu dia tempelkan pula kupingnya ditengah mangkok, lama kelamaan sorot matanya semakin menyala, tapi kedua alisnya sebaliknya bertaut semakin kencang.

   "Sudah mendengar suara apa?"

   "Ya, ada suara!"

   "Suara apa?"

   "Agaknya ada orang sedang bicara."

   Oh Thi-hoa menggosok hidung, katanya geli.

   "Orang bisu mana bisa bicara?"

   Ingin tertawa namun Lam Pin tak bisa tertawa, katanya mengerut alis.

   "Yang terang pasti bukan Toa suciku yang bicara, dia tak bisa bicara."

   
Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mungkin Thiam-ji dan lain-lain sedang minta-minta kepadanya."

   "Bukan... entah suara laki-laki, tapi suaranya serak, tak mirip suara Li Giok-ham."

   "Laki-laki?"

   Lam Pin berjingkrak kaget, ada laki-laki yang sedang bicara?"

   "Laki-laki juga adalah manusia, ada kalanya seperti juga perempuan suka cerewet, kenapa nona harus kaget begitu rupa?"

   "Tapi beberapa tahun lamanya tak ada lelaki yang berani berkunjung ke Bo-dhi am, orang-orang Kang-ouw hakekatnya jarang ada yang tahu akan letak Bo dhi-am ini.

   "Sin cui kiong saja sudah didatangi laki-laki, apalagi Bo dhi am ini?"

   Berobah pula roman muka Lam Pin, debatnya.

   "Tapi orang yang mengunjungi Sin cui kiong pasti mempunyai urusan penting, maka berani menempuh bahaya, Bo-dhi am tak lebih hanya kuil kecil yang tak terawat dan sepi tiada sesuatu yang bakal menarik orang datang, Toa-suci pasti tidak akan bermusuhan dengan siapapun, untuk apa pula mereka berdatangan ke tempat ini?"

   "Mungkin mereka ingin menyelundup masuk ke Sin cui kiong dengan diamdiam lewat tempat ini?"

   "Menurut pendapatku mungkin mereka meluruk kemari lantaran temanteman kalian itu."

   Oh Thi-hoa mengerut alis, lalu diapun dekatkan kupingnya ke pinggir mangkok besi, tanyanya.

   "Kau dengar tidak apa yang sedang mereka bicarakan?"

   "Tak terdengar."

   Sahut Coh Liu Hiang tertawa getir.

   "Sekarang mereka tak bersuara lagi."

   Berdiam diri, ada kalanya memang jauh berharga dari pada tutur kata panjang lebar, kesunyian ada kalanya jauh lebih menakutkan daripada berbagai suara apapun, keadaan Bo dhi-am saat itu laksana tiada kehidupan insan berjiwa lagi, sunyi senyap, sedikit suarapun tak terdengar, memangnya didalam waktu sekejap ini orang-orang di atas sudah mampus seluruhnya? Kalau tidak kenapa mendadak menjadi hening lelap? Tanpa terasa telapak tangan Coh Liu Hiang sudah berkeringat dingin.

   Setiap orang sedang menunggu dengan hati tegang, lama juga tak tahan Oh Thi-hoa membuka kesunyian pula.

   "Masih tak ada suara?"

   "Tidak."

   "Mungkin... mungkin Toa-suci sudah menggebah mundur orang-orang pendatang itu.

   "Lalu kenapa dia tidak segera membuka pintu?"

   Lam Pin melongo, keringat sudah membasahi ujung hidungnya. Oh Thi-hoa tidak sabar lagi, katanya.

   "Aku yakin Thiam-ji dan lain-lain pasti sedang menghadapi sesuatu, kalau tidak masakah sekian lamanya mereka tidak bersuara, terutama Thiam-ji menyuruh dia tutup mulut biasanya paling sukar."

   Cay Tok-hing batuk-batuk dua kali, timbrungnya.

   "Mungkin mereka masih belum tiba disini."

   Tiba-tiba Coh Liu-hiang berkata.

   "Sekarang juga kita mundur kembali, dari sebelah luar menyusul ke Bo dhi-am memerlukan berapa lama?"

   "Wah harus putar satu lingkaran besar."

   "Berapa besar kita harus memutar?"

   "Benar sekali, Ginkang orang yang paling tinggi sedikitnya memerlukan tiga empat jam."

   "Wah berat juga, bagaimana baiknya?"

   Ujar Oh Thi-hoa membanting kaki.

   "Bikin orang gugup setengah gila, ulat busuk, memangnya kaupun tak bisa mencari akal."

   Coh Liu-hiang berpikir, tiba-tiba dia bertanya pula.

   "Kalau Toa sucimu melulusi permintaan orang dan sebelum mengantarnya, masuk ke Sin cui kiong, sebelumnya memberi mereka minum air teh yang dicampur obat bius, supaya mereka tidak tahu jalan menuju kedalam Sin cui kiong?"

   "Ya, memang begitu."

   "Thiam-ji dan lain-lain sudah tahu akan hal ini, maka meski mereka tahu air teh itu mengandung obat bius, dengan suka hati mereka meminumnya juga."

   "Benar, setelah mereka tahu dengan minum air teh bius itu mereka bakal sampai di Sin cui kiong, maka terpaksa mereka harus meminumnya juga."

   Ujar Oh Thi-hoa.

   "Setelah mereka minum terus jatuh pingsan, sudah tentu takkan bisa bicara lagi, maka selama ini kita tidak mendengar suara percakapan mereka."

   Oh Thi-hoa tepuk tangan.

   "Ya, masuk akal."

   "Tapi sebelum Toa-sucimu itu membawa mereka ke lorong yang menembus ke Sin Cui kiong ini, Bo dhi am keburu didatangi musuh, mungkin orangorang itu meluruk datang lantaran Thiam-ji dan lain-lain, maka mereka minta Toa-suci menyerahkan mereka kepadanya."

   "Toa suci pasti takkan menyerahkan."

   Tukas Lam Pin tegas.

   "Mereka sudah berada di Bo-dhi am, itu berarti tamu-tamu Toa-suci, bagaimana juga Toasuci tidak akan menyerahkan mereka kepada orang."

   "Maka orang-orang itu harus berunding dan tawar-menawar dengan Toasuci, sebelum pembicaraan gagal total, merekapun tidak akan sembarangan turun tangan terhadap murid-murid Sin cui kiong."

   "Masuk akal juga, tapi kenapa mereka sekarang tak membicarakan lebih lanjut."

   "Mungkin karena mereka memberi batas waktu tertentu kepada Toa sucimu untuk mempertimbangkan syarat yang mereka ajukan, lalu memberi jawaban."

   "Kalau begitu berarti keadaannya sedang kepepet dan berbahaya."

   "Sudah tentu, kalau orang yang meluruk datang itu bukan tandingannya, merekapun tidak perlu tawar menawar."

   "Kalau begitu kenapa tidak lekas dia buka pintu rahasia di bawah ini, supaya kita keluar membantunya?"

   "Dia sendiri tengah menghadapi musuh-musuh tangguh, memangnya dia berani sembarangan memperlihatkan pintu rahasia yang menembus ke Sin cui kiong?"

   Kata Coh Liu-hiang menghela napas.

   Lam Pin mengawasi Coh Liu-hiang, sorot matanya amat kagum dan penuh simpatik.

   Walau dia tak bicara apapun tapi kalau seorang gadis mekar mengawasi lelaki dengan sorot pandangan seperti itu, sesungguhnya jauh lebih menyenangkan daripada dia mengutarakan isi hatinya dengan katakata yang panjang lebar.

   Mengucek-ngucek hidung, Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya.

   "Ini hanya rekaanku belaka bagaimana sesungguhnya belum tentu seperti apa yang ku utarakan, siapapun sukar berkeputusan."

   Lam Pin segera berkata dengan lembutnya.

   "Tapi aku berani pastikan bahwa rekaanmu terang tidak salah, karena kecuali adanya kejadian seperti itu, hakekatnya tak mungkin ada peristiwa lain terjadi di atas."

   "Tapi aku justru mengharap rekaanmu salah sama sekali, timbrung Oh Thi-hoa! Kalau tidak Thiam-ji dan lain-lain sedang pingsan tak sadarkan diri, Toa-sucimu tak berani membuka pintu lagi, kitapun tak bisa menyusul kesana tepat pada waktunya... bukankah keadaan seperti ini bakal membuat mereka celaka?"

   Mengingat keadaan mereka memang amat berbahaya, semua hanya mencak-mencak kebingungan seperti semut didalam kuali panas. Tapi kecuali gugup dan mencak-mencak mereka tak putus akal tak bisa berbuat apa-apa. Tiba-tiba Lam Pin berkata dengan tertawa.

   "Sebetulnya kalian tidak perlu gugup, bahwa Toa-suci memiliki ilmu silat paling tinggi diantara para saudara kita, meski dia sudah cacat indranya, ilmu silatnya malah lebih hebat, aku yakin dia pasti bisa pukul mundur orang-orang itu."

   Oh Thi-hoa geleng-geleng, katanya;

   "Kalau dia yakin dapat mengalahkan orang-orang itu, sejak tadi pasti dia sudah gebah mereka lari, buat apa ditunggu sampai sekarang?"

   "Tapi... tapi Suhuku sering bilang, ilmu silat Toa suci terang takkan lebih asor dari sepuluh tokoh-tokoh silat terkosen didalam Bulim pada jaman ini, memangnya kepandaian silat orang-orang itu lebih tinggi dari dia?"

   Oh Thi-hoa tertawa, ujarnya.

   "Tokoh yang berani mencari gara-gara terhadap Maling Romantis sudah tentu dia punya kepandaian yang diandalkan."

   "Maling Romantis sendiri masa tidak bisa mengira-ngira siapa kiranya mereka itu?"

   Tanya Cay Tok-hing.

   "Umpama aku bisa mengira-ngira siapa mereka sebenarnya, apa pula untungnya bagi kita dalam keadaan seperti ini?"

   Sebetulnya diapun sudah mengira orang-orang itu pasti tokoh-tokoh silat undangan Liu Bu-bi, apa yang dia rancang ini bukan saja dapat memutus jalan mundur Coh Liu-hiang, malah Thiam-ji dan lain-lain bisa ditawannya sebagai sandra, sekaligus untuk mengancam Coh Liu-hiang bilamana dia bisa meloloskan diri dari Sin cui kiong, supaya tak bisa membocorkan rahasia pribadinya.

   Coh Liu-hiang yakin semua ini adalah tipu daya Liu Bu-bi yang memang sudah dirancangnya dengan matang.

   Maka sahutnya menghela napas.

   "Sekarang aku hanya mengharap semoga Toa-sucimu sudah menginsyafi bahwa ilmu silatnya sendiri sekali-kali bukan tandingan orang-orang yang meluruk datang itu."

   "Kenapa demikian?"

   Lam Pin mengerut kening.

   "Karena bila dia sudah kepepet dan tiada jalan lain, terpaksa membuka pintu rahasia ini."

   "Benar."

   Cay Tok-hing tepuk tangan.

   "Inilah yang dinamakan dari pada mati kepepet terpaksa mencari jalan mundur untuk hidup."

   "Kalau orang lain disaat menghadapi jalan buntu, mungkin bisa berbuat demikian tapi Toa-suci lebih baik mati betapapun dia takkan melakukan hal itu lagi."

   "Kenapa?"

   Cay Tok-hing mengerut kening juga.

   "Karena secara tidak sengaja Toa suci pernah membocorkan jalan rahasia untuk musuh ke Sin cui kiong, maka dia menerima ganjarannya yang berat itu. Memangnya sekarang dia bakal melakukan kesalahan yag menjadikan dia tanpa daksa.?"

   Agaknya titik harapan yang amat minim inipun tumbang dan terputus pula, keruan semua orang sama putus asa dan gelisah setengah mati.

   Tiba-tiba dengan mata beringas Oh Thi-hoa memburu maju, dengan tangannya dia ketok gelang besi di atas dinding itu dengan sekeraskerasnya, dinding sekelilingnya sampai mendengung menimbulkan gema suara yang keras sampai kuping mereka terasa pekak.

   "Apa yang kau lakukan?"

   Teriak Lam Pin kebingungan.

   "Inilah yang dinamakan daripada mati kepepet terpaksa mencari jalan mundur untuk hidup."

   "Betul."

   Teriak Cay Tok-hing.

   "bila orang-orang itu mendengar suara ini, maka mereka pun tahu dimana kira-kira pintu rahasia yang menembus ke Sin cui kiong, jikalau mereka sudah tahu dimana letak pintu rahasia untuk masuk ke Sin cui kiong, Toa-sucimu tak perlu lagi merahasiakan serta mempertahankannya mati-matian, jikalau dia tidak punya kekuatiran apaapa, mungkin segera membuka pintu rahasia ini."

   Oh Thi-hoa tertawa geli, katanya.

   "Aku ini orang goblok, terpaksa menyimpulkan akal yang goblok pula."

   Coh Liu-hiang ikut berseri girang katanya.

   "Dikala orang-orang pintar sudah kehabisan akal, maka akal yang disimpulkan orang goblok pasti amat berguna sekali."

   Baru saja kata-katanya habis diucapkan, selarik sinar terang segera menyorot dari atas.

   Cahaya di ruang sembahyang sebetulnya tak begitu terang, sinar matahari teraling oleh rimbunan pepohonan yang tumbuh disekitar kuil kecil ini seolah-olah sejak mula sinar matahari memang tak sampai menyorot ke dalam kuil kecil ini, sehingga suasana dan hawa didalam ruangan pemujaan ini terasa dingin dan seram.

   Jilid 44 Kain gordyn menutupi altar pemujaan sehingga tak diketahui patung pemujaan apa yang disembah didalam biara bobrok ini, keadaan di sini serba luntur dan rusak.

   Seorang nikoh tua berbadan kurus kering berjubah hijau dengan mata cekung alis lentik bersimpuh di atas kasuran, meski sedang berduduk namun dapat dibayangkan berapa tinggi perawakan badannya.

   Kulit mukanya yang kuning kuyu sudah tak kelihatan membungkus daging, dua tulang pelipisnya menonjol keluar, sehingga raut mukanya kelihatan lebih tua, tapi lebih kaku dingin dan kejam pula.

   Di hadapan dan kanan kirinya masih terdapat kasuran bundar, dua kasur bundaran di sebelah kirinya juga duduk bersila dua gadis remaja, kepalanya tertunduk dalam di depan dari padanya, agaknya tengah tertidur pulas.

   Kedua orang ini adalah Li Ang-siu dan Song Thiam-ji.

   Kasuran di sebelah kanan masing-masing duduk seorang laki-laki dan seorang perempuan tapi terang bukan Li Giok-ham suami istri, yang laki bermuka pucat seperti mengenakan kedok muka tapi pakaian hijau di depan dada dan sekujur badannya berlepotan darah, seakan malah terluka berat juga.

   Dia kertak gigi, mata terpejam rapat seakan-akan sedang menahan kesakitan yang amat menyiksa badannya, malah dudukpun hampir tak kuat lagi.

   Yang perempuan mengenakan cadar, yang kelihatan hanya sepasang matanya, namun sepasang matanya mengandung rasa ketakutan, gusar dan penasaran.

   Didalam ruangan sembahyang ini sebetulnya terdengar suara bentrokan senjata keras, suaranya kedengaran bergema dari bawah tanah tapi saat itu tiba-tiba semuanya mendadak sirap dan sunyi.

   Kasur bundar di bawah tempat duduk Nikoh jubah hijau pelan-pelan tergeser ke samping, dari bawah kasur tampak sebuah lobang yang membesar, tak lama kemudian beruntun beberapa bayangan orang menerobos keluar selincah kelinci.

   Dua orang yang mendahului menerobos keluar bukan lain adalah Oh Thihoa dan Coh Liu-hiang.

   Melihat kedua orang ini, perempuan berkedok seketika menampilkan sorot kegirangan, sebaliknya sepasang mata Nikoh jubah hijau seketika memancarkan cahaya berkilat yang lebih tajam dari kilauan sebilah golok tajam.

   Dimana tangan bajunya terkembang, nampak sinar hitam berkelebatan membawa deru angin tajam langsung menggulung ke arah Coh Liu-hiang.

   Hanya kebutan angin pukulan lengan bajunya yang mendampar dasyat saja sudah bukan olah-olah perbawanya, apalagi ditengah deru angin keras itu diselingi senjata rahasia pihak Sin cui-kiong yang dibubuhi racun jahat mematikan.

   Sementara itu, tiba-tiba Oh Thi-hoa pun merasa segulung angin dingin menyambuk ke mukanya teramat cepat dan mendadak sekali kejadian berlangsung sehingga tahu-tahu dia merasa napas sesak.

   Saking terperanjat sigap sekali badannya mengkeret, berbareng kaki menutul bumi badannya bersalto ditengah udara.

   "Blang"

   Badannya menumbuk daun jendela dan terlempar keluar, terasa alas sepatunya rada tergetar, dengan kecepatan gerak refleknya yang tangkas itu, ternyata masih tak luput dari bokongan orang, untunglah sejak kembali dari padang pasir sampai sekarang belum lagi mengganti sepatunya yang dipakainya tetap sepatu tinggi dan tebal pemberian Ki Ping-yan yang terbuat dari kulit kerbau.

   Meski kekuatan sambitan senjata itu amat pesat dan besar, namun tak bisa menembus kulit kerbau di alas kakinya.

   Kalau tidak umpama dia tidak mampus, kakinya itu terang bakal cacat seumur hidup.

   Belum lagi badannya menyentuh bumi, keringat dingin sudah gemerobyos.

   Di luar jendela tumbuh pohon raksasa yang rindang dengan daun-daunnya yang rapat, baru saja dia berniat melejit naik ke atas pohon, siapa tahu pada saat itu pula tiba-tiba "Sret"

   Sebuah suara samberan lirih.

   Dimana kilat berkelebat, tahu-tahu sebilah pedang laksana lidah ular yang terjulur keluar menusuk ke arah dirinya dari celah-celah dedaunan pohon yang rapat itu, betapa cepat keji dan hebat serangan ini, agaknya tak lebih berbahaya dari serangan senjata gelap tokoh jubah hijau tadi.

   Tusukan pedang ini jauh tak terduga pula olehnya, hawa murni yang dia kerahkan kebetulan sudah berakhir, badan masih terapung ditengah udara, umpama dia memiliki kepandaian setinggi gunung juga takkan bisa meluputkan diri dari tusukan pedang ini.

   Baru saja tersembur keluar air liur getir dari mulut Oh Thi-hoa, dia sudah siap pasrah nasib untuk menerima tusukan pedang ini, tiba-tiba dilihatnya segulung benda hitam melesat terbang dari dalam jendela menyongsong ke arah samberan sinar kilat.

   Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maka terdengar pula suara "Cres"

   Sinar pedang tembus segulungan hitam yang ternyata bukan lain adalah sebuah kasur tempat duduk, tapi Oh Thi-hoa sendiri belum sempat melihat benda apa yang telah menolong jiwanya, begitu kakinya menyentuh tanah, sigap sekali badannya melejit masuk pula ke dalam jendela.

   Dilihatnya Coh Liu-hiang tetap berdiri di tempatnya, seolah-olah tak pernah bergerak, dan deru angin tajam dari serangan senjata rahasia tadi, entah cara bagaimana dia meluputkan diri.

   Di sebelahsana dilihatnya Lam Pin pun sudah melompat keluar dan sedang menarik tangan Nikoh setengah baya itu entah apa yang sedang mereka bicarakan, yang terang dia sedang menjelaskan duduk persoalan dan mintakan ampun bagi Coh Liu-hiang.

   Oh Thi-hoa menyeka keringat dingin di atas jidatnya, katanya.

   "Ulat busuk, agaknya aku berhutang jiwa lagi terhadapmu."

   Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya.

   "Yang menolong jiwamu kali ini bukan aku."

   "Siapa?"

   Tanya Oh Thi-hoa tertegun. Mulut bertanya sementara badannya sudah berputar, baru sekarang dia lihat perempuan berkedok itu kini sudah berdiri, kasur tempat duduk di bawahnya sudah tiada lagi. Memegangi hidungnya, Oh Thi-hoa berkata.

   "Nona menolong jiwaku, aku malah berterima kasih kepada orang lain, sungguh tidak enak rasanya, tapi nona harap tidak berkecil hati, meski aku ini bodoh, tapi masih bisa membedakan baik buruk, kelak nona ingin aku melakukan apa saja, ingin aku terjun ke lautan api tidak akan kutolak."

   Bersinar terang biji mata perempuan berkedok ini, agaknya hendak mengatakan sesuatu, tapi waktu itu Lam Pin sudah berdiri, katanya.

   

   first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 23:44:03
oleh Saiful Bahri Situbondo


Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat -- Gan Kh Kembalinya Ilmu Ulat Sutera -- Huang Ying Hina Kelana Balada Kaum Kelana -- Jin Yong

Cari Blog Ini