Ceritasilat Novel Online

Rahasia Hiolo Kumala 13


Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Bagian 13




   Rahasia Hiolo Kumala Karya dari Gu Long

   
Hoa In-liong dengan pedang terhunus sedang berjalan menghampiri mereka dengan langkah tegap.

   Cwan Wi rada tertegun sebentar, kemudian sambil menubruk maju ke depan teriaknya penuh kegembiraan.

   "Jiko.... Oooh Jiko....! Kau.... Kau.... tidak apa-apa bukan?"

   Hoa In-liong mengulurkan tangan kirinya untuk menyambut tubrukan Cwan Wi, pelan- pelan ia mengangguk.

   "Aku tidak apa-apa. Terima kasih banyak atas kedatanganmu yang begitu tepat pada saatnya. Kalau tidak, waah.... Mungkin aku yang bodoh sudah menjadi tawanan orang"

   Walaupun mulutnya berbicara terus, tidak berarti kakinya berhenti berjalan, terpaksa Cwan Wi harus mengikuti dibelakangnya untuk maju bersama. Sambil berjalan kembali ujarnya.

   "Tak usah bicarakan tentang soal ini, kalau toh engkau tidak mengapa, lebih baik kita segera berlalu dari sini!"

   "Tidak! kita tak dapat tinggalkan sempat ini dengan begitu saja. Bukankah kau dengar sendiri kakek itu mengatakan bahwa dia sangat ingin merasakan sampai dimanakah kelihayan ilmu silat keluarga Hoa? Apakah kita musti membiarkan dia merasa kecewa? Tidak bukan? Nah! Keinginan orang musti kita penuhi sebagaimana mestinya"

   Mendengar perkataan itu Cwan Wi tertegun.

   "Tapi apakah Jiko sudah dapat turun tangan?"

   Tanyanya. Hoa In-liong tersenyum.

   "Sekalipun orang lain telah menggunakan siasat busuk dan akal keji untuk mengecundangi diri kita. Sebagai anggota keluarga Hoa, kita harus tunjukkan contoh yang baik kepada mereka, bukankah demikian saudara Cwan?" Anak muda ini tidak langsung menanggapi pertanyaan orang, sebaliknya membicarakan soal lain. Dari sini dapat diketahui bahwa racun yang bersarang dalam tubuhnya belum terpunahkan dari tubuhnya. Atau dengan perkataan lain, seandainya ia dapat turun tangan, itupun dilakukan dalam keadaan terpaksa. Walaupun demikian, oleh karena alasan yang diajukan pemuda itu masuk di akal sekalipun Cwan Wi merasa sangat gelisah, dia juga tak mampu mengatakan apa-apa. Hu-yan Kiong sendiri rada terperanjat ketika dilihatnya Hoa In-liong secara tiba tiba menghampiri dirinya dengan langkah yang tegap dan gagah. Dia malah mengira siksaaan "ular kecil menggigit hati"

   Nya sudah tidak mempan lagi terhadap anak muda itu. Akan tetapi setelah ia mendengar tanya jawab dari kedua orang lawannya, perasaan kuatirnya segera tersapu lenyap dari hatinya. Ia jadi sangat lega.

   "Bagus sekali! Bagus sekali!"

   Katanya kemudian "Bila engkau dapat mengandalkan ilmu silat yang kau katakan sangat lihay itu untuk mengalahkan aku walau cuma satu jurus saja, lohu segera akan angkat kaki dari sini!"

   Hoa In-liong tertawa ewa.

   "Mengundurkan diri dari sini sudah pasti akan kau lakukan, tapi kau musti berjanji bahwa Wan Hong-giok akan kau lepaskan dan makhluk-makhluk racun yang berpesta pora diatas tubuhnya kau tarik kembali"

   Sebelum Hu-yan Kiong memberikan jawabannya, Cwan Wi telah menukas dengan suara yang amat gelisah.....

   "Tidak boleh begitu saja, diapun harus meninggalkan obat penawar untukmu!"

   Hoa In-liong tersenyum, ia berpaling dan ditatapnya wajah rekannya lekat-lekat.

   "Adik Wi kau tak usah terlampau kuatir! Jangan bingung, siksaan yang dikatakannya sebagai ular sakti menggigit hati itu tak nanti bisa merenggut jiwaku. Jika aku tak berkemampuan untuk memunahkan kepandaiannya itu, lain kali dia pasti akan mengandalkan kepandaian tadi untuk malang melintang dalam dunia persilatan dan berbuat kejahatan dimana-mana. Hmmmm! Waktu itu dunia persilatan pasti akan dibikin kuatir olehnya. Kalau sampai begitu, akan ditaruh dimanakah wajah kita-kita ini....?"

   Belum habis pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, ketika Hu-yan Kiong terbahak- bahak.

   "Haa.... haa.... haa.... Aku lihat rasa ingin menangmu benar-benar besar sekali. Tapi jalan pikiranmu yang terlampau kanak-kanakan bikin orang merasa kasihan. Hmmm....! Jika ular saktipun dapat kau punahkan, tak nanti lohu akan menggunakan senjata ampuh tersebut khusus untuk menghadapi dirimu"

   "Dapat atau tidak kupunahkan pengaruh racun tersebut adalah urusan pribadiku sendiri, lebih baik engkau tak usah menguatirkan bagi keselamatan jiwaku"

   Cwan Wi sendiri ketika itu merasa setengah percaya setengah tidak, ia ikut menimbrung.

   "Jiko, benarkah engkau punya keyakinan untuk memunahkan pengaruh racun itu? Menurut Toako, sinhui atau ular sakti adalah sejenis racun yang mirip dengan Ku-tok racun ganas yang bisa menyusup sendiri kedalam tubuh manusia melalui ilmu macam hypnotis, bahkan aku dengan bibi sendiripun tak mampu untuk memunahkan pengaruh racun yang amat jahat itu!"

   Diam-diam Hoa In-liong merasa terkejut sehabis mendengar ucapan itu, sampai- sampai paras mukanya juga ikut berubah.

   Ternyata ia merasa yakin kalau Toanio-nya yakni Chin Wan-hong mampu untuk mengobati pengaruh racun ganas dari jenis apapun jua.

   Maka dari itu dalam pikirannya, racun yang diidapnya sekarang tak perlu terlampau dikuatirkan, toh akhirnya ia bisa minta pertolongan Toanio-nya untuk punahkan pengaruh racun itu.

   Tapi sekarang, setelah Cwan Wi menyatakan bahwa ibunya pun tidak memiliki kemampuan untuk memunahkan racun tersebut, dia baru mulai kuatir bercampur gelisah.

   Selain cemas diapun mulai memahami apa sebabnya Toako mengutus orang untuk mencegah dirinya pergi ke bukit Yan-san untuk memenuhi janji.

   Tapi....perkataan sudah terlanjur diutarakan keluar, apakah dia harus menyesali ucapan tersebut? Tidak! Tentu saja tidak! Dia adalah pemuda yang angkuh dan keras kepala.

   Dia ingin menjadi contoh yang bisa ditiru oleh segenap umat persilatan didunia.

   Diapun tak ingin tunduk di bawah perintah orang.

   Karena itu setelah berpikir sebentar, akhirnya dia memutuskan untuk pasrahkan mati hidupnya pada nasib.

   Sekalipun akhirnya racun Sin-hui yang diidapnya tak berhasil di punahkan, dia juga tak menjilat kembali kata-kata yang telah diutarakan keluar itu sehingga nantinya dibuat bahan godaan oleh musuhnya.

   Disamping itu,setelah anak muda itupun merasa bahwa tugasnya yang terpenting pada saat ini adalah mengusir orang-orang Mo-kauw dari daratan Tionggoan.

   Soal menolong diri sendiri, lebih baik dipikirkan nanti saja.

   Demikianlah, mengambil keputusan, ia pun tertawa ewa.

   "Adik Wi tak perlu kuatir"

   Katanya kemudian.

   "Sejak kecil aku sudah kebal terhadap segala jenis racun. Aku rasa kalau cuma ular kecil saja masih belum cukup untuk merenggut nyawaku. Sekarang berdirilah disamping gelanggang dan lindungilah aku dari situ. Sebab aku hendak memberi suatu pelajaran bagaimana caranya menjadi seorang manusia yang berbudaya halus kepada suku-suku asing yang masih biadab ini. Biar mereka tahu bahwa ilmu silat daratan Tionggoan bukan ilmu silat sembarangan!"

   Setelah berhenti sebentar, pelan-pelan sinar matanya dialihkan kewajah kawanan jago Mo-kauw itu dan ujarnya kembali dengan wajah amat serius.

   "Sekarang, engkau boleh segera melancarkan serangan!"

   Waktu itu paras muka Hoa In-liong telah mengalami perubahan, ini dapat terlihat oleh Cwan Wi dengan jelasnya.

   Sebagai orang manusia cerdas, seketika itu juga ia mengerti bahwa racun yang mengeram ditubuh Hoa In-liong benar-benar sudah terlalu dalam.

   Jika ia harus bertempur dengan memaksakan dirinya, maka keselamatan jiwanya akan terancam bahaya maut.

   Rupanya rasa simpatiknya terhadap Hoa In-liong sudah menjurus pada suatu perasaan simpatik yang khusus.

   Begitu kuatirnya ia atas keselamatan Hoa In-liong jelas tercermin di wajahnya.

   "Tidak! Tidak boleh!"

   Demikianlah ia berteriak dengan suara yang amat gelisah.

   "Jiko, engkau saja yang melindungi aku dari sisi gelanggang. Biar aku saja yang hajar bandot tua yang tak tahu diri itu"

   Hu-yan Kiong yang selama ini hanya membungkam, tiba-tiba tertawa dingin dengan nada yang sinis.

   "Hee.... hee.... he.... Sauya, menurut pendapatku, lebih baik engkau jangan mencampuri urusan yang bukan merupakan urusan pribadimu."

   Cwan Wi bukannya mundur sebaliknya malah maju ke muka dan menghadang dihadapan Hoa In-liong, dengan mata melotot besar teriaknya lantang.

   "Kau berani bertempur melawan aku? Hmm....! Jika tidak berani, cepat tinggalkan obat penawar racun, tarik kembali semua makhluk makhluk jelekmu yang beracun dan enyah dari sini, menggelinding pulang ke Seng- sut-hay"

   "Haa.... haa.... haa.... Bocah muda, rupanya sebelum dikasi pelajaran yang setimpal, kau pandainya cuma ngebacot melulu dengan kata-kata yang tak sedap di dengar. Hmm.... Tahukah engkau apa maksud kedatanganku kemari? Apa yang kau andalkan sehingga begitu berani mengusir...."

   "Tutup bacot anjingmu!"

   Tukas Cwan Wi dengan wajah membenci.

   "Ayoh cepat turun tangan! Bukankah engkau hendak menangkap kami semua? Kenapa tidak juga turun tangan?"

   "Kenapa lohu musti bertempur melawan dirimu?"

   Hu-yan Kiong balik bertanya dengan dahi berkerut.

   "Kurang ajar! Orang ini betul betul membingungkan"

   Teriak Cwan Wi makin marah.

   "Bukankah barusan kau telah bersiap sedia untuk turun tangan....?"

   Dengan wajah serius Hu-yan Kiong manggut-manggut.

   "Yaa, betul! Barusan aku memang ada maksud untuk sekalian membekuk dirimu, sebab waktu itu aku menyangka bahwa engkau juga berasal dari keluarga Hoa. Tapi sekarang, setelah kuketahui bahwa kau sibocah cilik bukan keturunan dari keluarga Hoa, maka niatku yang pertama tadi terpaksa kubatalkan. Lohu tidak ingin menanam bibit permusuhan lagi dengan pihak lain. Oleh sebab itulah kuanjurkan kepadamu agar jangan mencampuri urusan yang bukan menjadi urusanmu". Tanpa berpikir panjang Cwan Wi langsung berteriak.

   "Siapa bilang kalau aku bukan...."

   Tiba-tiba perkataannya berhenti sampai ditengah jalan, paras mukapun tanpa sadar berubah jadi semu merah. Terdengar Hu-yan Kiong tertawa terbahak-bahak.

   "Haa.... haa.... haaa.... Engkau tak usah berdebat lagi. Keturunan dari Hoa Thian-hong sudah dikenal oleh setiap umat persilatan di dunia ini. Padahal engkau sebut istri Hoa Thian-hong sebagai bibi, ini sudah jelas membuktikan kalau engkau bukan anaknya. Ketahuilah wahai anak muda, kedatangan lohu kali ini kedaratan Tionggoan adalah untuk menjumpai keluarga Hoa. Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Sekalipun selama pembicaraan tadi kau kurang senonoh kepadaku, tapi aku tak ingin mencari urusan dengan dirimu. Karenanya lebih baik kau tak usah mencampuri urusan kami lagi, mengerti....?"

   Orang ini betul-betul seorang manusia yang licik sekali, sudah jelas ia takut terhadap kelihayan Cwan Wi.

   Sudah jelas dia ingin mencari keuntungan dari keadaan Hoa In-liong yang lemah.

   Karena ia tidak berharap Cwan Wi ikut serta dalam pertarungan itu, maka dengan kelihayannya bersilat lidah, ia beralih seakan-akan sedang melaksanakan perintah atasan saja dan sikapnya tak berani membantah perintah atasan, maksudnya agar musuh yang disegani itu tidak turut campur dalam pertikaian mereka.

   Bagaimanapun juga, Cwan Wi masih terlampau muda untuk dibandingkan dengan Hu-yan Kiong yang tua bangkotan, tentu saja ia tak sampai menduga akan kelicikan orang.

   Untuk sesaat ia jadi gelagapan dan tak mampu menanggapi ucapan lawan.

   Ho In-liong merupakan seorang pemuda yang keras kepala, meski dia adalah seorang Kuncu, seorang laki-laki sejati.

   Sejak pertama kali tadi ia memang sudah berencana untuk mengadakan duel satu lawan satu dengan Hu-yan Kiong untuk menguji kepandaian masing-masing.

   Karena itu, setelah dilihatnya Cwan Wi terpojok oleh kata-kata lawan sehingga tak mampu menjawab, cepat ia menarik tangannya sambil berkata lembut.

   "Adik Wi, beristirahatlah dulu disitu! Jika akhirnya aku tak sanggup menandingi kelihayan musuh, kau boleh turun tangan menggantikan kedudukanku. Waktu itu baik engkau berdalih ingin menolong aku atau ingin balaskan dendam bagiku, dengan sangat mudahnya semua itu bisa kau pakai sebagai alasan. lagipula, bagaimanapun juga nama baik ayahku tak dapat hancur ditanganku. Mengertikah engkau dengan kata-kataku ini?". Setelah menyinggung tentang nama baik Hoa Thian-hong, Cwan Wi benar-benar tak berani mencegah lagi. Dengan perasaan berat hati ia menengadah dan mengawasi wajah pemuda itu lekat- lekat, kemudian mengangguk lirih.

   "Aku mengerti"

   Sahutnya.

   "Jiko, kau harus hati-hati lho!"

   Tersenyum Hoa In-liong melihat kekuatiran orang, ditepuknya bahu anak muda itu pelan kemudian menengadah kedepan memandang Hu-yan Kiong seraya berkata.

   "Aku orang she-Hoa tidak biasa berbuat pura-pura. Terus terang kuakui bahwa hingga sekarang Sin-hui atau racun ular kecil yang mengeram ditubuhku belum punah, tentu saja tenaga dalamku setingkat lebih rendah dari biasanya. Tapi jika engkau ingin mencari kemenangan dengan memanfaatkan keadaanku ini, maka perhitunganmu itu meleset sama sekali. Tidak segampang itu kau akan peroleh kemenanganmu. Malah kuanjurkan kepadamu, lebih baik bertindaklah lebih berhati hati agar nyawamu tidak ikut kabur"

   "Huuuh! Lagakmu soknya bukan kepalang"

   Ejek Hu-yan Kiong dengan sombongnya.

   "Jangan nasehati aku untuk berhati hati, karena engkau sendirilah yang harus berhati hati menghadapi diriku. Tapi Hee.... hee.... hee.... Engkaupun tak perlu kuatir, sebab aku pasti akan mengampuni jiwamu"

   "Kau tak usah mengampuni jiwaku. Aku hanya berharap bila engkau menderita kekalahan nanti, simpanlah kembali semua makhluk jelekmu itu dari tubuh sang dara dan lepaskan Wan Honggiok dari tahananmu!"

   Hu yan Kiong segera mencibirkan bibirnya dan tertawa licik dengan sinisnya.

   "Memangnya kau sendiri tidak menginginkan obat penawar untuk racun yang mengeram dalam tubuhmu?"

   "Aku orang she Hoa yakin masih sanggup untuk melebur sari racun yang bersarang ditubuhku hingga lenyap sama sekali. Kau tak usah menguatirkan keselamatan jiwaku"

   Sembari berkata, dia masukkan kembali pedang antiknya kedalam sarungnya....

   "Eeeeh. Kenapa kau? Kenapa tidak menggunakan pedang?"

   Tegur Hu-yan Kiong dengan dahi berkerut.

   "Aku rasa ilmu pedang dari aku orang she Hoa tentunya sudah kau saksikan bukan? Padahal diantara kita tidak terikat dendam sakit hati atau permusuhan apapun jua. Aku tidak punya rencana untuk membinasakan dirimu!"

   "Waaah....Tidak boleh begitu! Tidak boleh begitu!"

   Tiba-tiba Leng-ji berteriak lengking.

   "Orang itu mempunyai ilmu silat istimewa, tenaga pukulan tak sanggup melukai dirinya...."

   Kalau Leng-ji cemas, maka Cwan Wi lebih-lebih gelisah lagi, dia ikut berteriak.

   "Jiko, bila engkau tak mau menggunakan pedang, biarlah aku saja yang maju menggantikan dirimu"

   Sambil berteriak ia maju ke depan dan siap menerjang diri Hu-yan Kiong yang berada dihadapannya. Dengan cepat Hoa In-liong menggerakkan lengan kirinya untuk menarik lengan pemuda itu, katanya sambil tersenyum.

   "Adik Wi, dengarkan dulu perkataanku. Pedang itu tajam dan tidak bermata. Setiap kali digunakan tentu akan mengakibatkan bercucurannya darah kental. Padahal tujuan kita kali ini adalah untuk menolong orang, kita harus belajar berbuat kebajikan. Selain daripada itu, akupun telah menggunakan pedang untuk membunuh salah seorang diantara mereka, maka aku pikir semestinya merekapun harus diberi kesempatan untuk merasakan pula kelihayanku dalam bidang ilmu lainnya"

   "Aaah....Kamu ini sok pintar, sok berlagak bijaksana. Kalau kau tidak bunuh bandot tua itu, dialah yang akan membinasakan dirimu", teriak Leng-ji dengan cemas.

   "Tidak mungkin!"

   Ujar Hoa In-liong sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.

   "Tujuannya adalah menangkap aku hidup hidup, agar dia bisa membawa aku pulang ke Seng-sut- hay dan ditukar dengan pahala besar baginya"

   Hu-yan Kiong terbahak-bahak dengan kerasnya.

   "Haa.... haa.... haa.... Bagus sekali! Anggaplah engkau memang cerdik dan pandai menebak jalan pikiran orang. Nah, untuk kecerdasanmu itu, akupun akan memberi keringanan-keringanan untukmu pribadi. Mari kita beri batas pertarungan sampai seratus gebrakan belaka. Jikalau dalam seratus gebrakan engkau dapat mempertahankan diri tidak kalah juga tidak menang, maka anggap saja aku yang kalah dan segala sesuatunya terserah pada keputusanmu"

   Orang ini menyangka bahwa ilmu silat yang di milikinya sudah mencapai puncak kesempurnaan.

   Apalagi tenaga pukulan macam ilmu telapak tangan maupun ilmu jari sama sekali tidak berguna terhadapnya.

   Ditambah pula Hoa In-liong sudah terkena racun jahat dari ular kecil, sudah pasti tenaga dalamnya akan mengalami penurunan secara drastis, delapan puluh persen kemenangan berada dipihaknya.

   Oleh karena ia yakin kalau kemenangan pasti berada dipihaknya, maka sambil berbicara sabuk naga peraknya diikatkan kembali diatas pinggangnya.

   Sesudah pihak musuhpun mengikat kembali senjata ikat pinggangnya, Cwan Wi agak sedikit berlega hati, namun ia toh berkata kembali memperingatkan iblis tua itu.

   "Kuperingatkan kepadamu, jangan bertempur dengan gunakan akal busuk. Sebab jika kau pakai siasat licik, maka akupun tak akan memperdulikan apakah kalian bertarung dengan janji atau tidak, aku bisa main kerubut untuk membinasakan dirimu!"

   Hu-yan Kiong tertawa sombong, dia segera menjura.

   "Hoa loji, sekarang engkau boleh melancarkan serangan terlebih dahulu.!"

   "Hati-hatilah!"

   Kata Hoa In-liong, Dia maju kedepan dan sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan kedepan.

   Dalam serangan tersebut terseliplah inti sari dari suatu kepandaian yang luar biasa.

   Tenaga serangan tidak terpancar keluar sekaligus, sedang arah serangan meliputi batok kepala, wajah serta dada Hu-yan Kiong.

   Itu berarti serangan tersebut bisa berupa serangan sungguhan, bisa pula berupa serangan tipuan.

   Dalam keadaan demikian, bilamana Hu-yan Kiong tidak dapat menghadapi secara tetap, dia terluka parah seketika itu juga.

   Menyaksikan gerak serangan musuhnya, dimana-dimana Hu-yan Kiong merasa terperanjat, cepat pikirnya.

   "Huuuh....! Tak kunyana kalau bocah keparat ini memiliki ilmu silat yang benar-benar luar biasa lihainya. Aku tak boleh menghadapinya secara gegabah"

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia tidak berani berayal lagi, kepalannya segera dirangkap menjadi satu sambil berebut maju ke depan. Dengan sistim pertarungan keras lawan keras dia sambut datangnya ancaman tersebut.

   "Bagus....!"

   Bentak Hoa In-liong keras-keras.

   Lengan kirinya lantas diangkat mengimbangi gerakan tubuhnya yang berputar kencang.

   Dengan jurus oh-hau-po-yo (hariman lapar menerkam kambing) suatu gerakan membacok yang tajam dia babat bahu dan punggung lawan....

   Sebelum mendapat tugas untuk berkunjung ke daratan Tionggoan, Hu-yan Kiong telah diberi kesempatan oleh Tang-kwik Siu, itu cikal bakal Mo-kauw untuk menyelidiki pelbagai kepandaian silat yang diandalkan Hoa Thian-hong tempo dulu.

   Maka begitu melihat datangnya serangan tersebut, ia lantas mengerti bahwa serangan ini diciptakan berdasarkan gerak jurus "Kun siu ci tau" (perlawanan binatang yang terkurung) yang amat tersohor itu, maka dia mengambil keputusan untuk tidak melayaninya secara keras lawan keras.

   Pengalamannya menghadapi serangan musuh sudah amat matang dan pengalamannya cukup kawakan.

   Setelah ia dapat menebak aliran gerak jurus yang dipergunakan musuhnya, tentu saja ia telah mempersiapkan pula jurus pemecahannya.

   Tampak sepasang kakinya menjejak permukaan tanah, kemudian badannya menjauhkan diri ke sisi kiri.

   Berbareng dengan gerakan itu tiba-tiba terdengar suara jari-jari tangan serta persendian tulang yang bergemerutukan nyaring.

   Hoa In-liong tertegun.

   Cepat iblis tua melompat ke udara, telapak tangan kanannya direntangkan seperti cakar kuku garuda.

   Diiringi bentakan nyaring yang menggelegar dia hantam dada Hoa-In liong.

   Itulah ilmu pukulan Siu-gong-kun, sebuah ilmu pukulan udara kosong yang maha dahsyat.

   Siu-gong-kun atau ilmu pukulan udara kosong merupakan sejenis ilmu silat yang jarang dijumpai dalam dunia persilatan.

   Tapi dalam kitab pusaka Thian-hua Cha-ki, hal tersebut tercatat dengan jelasnya.

   Sebagaimana diketahui, kitab catatan Thian-hua cha-ki yang sangat luar biasa itu dulu diserahkan kepada Tiangsunpoh untuk disimpan secara baik-baik.

   Sedang Tiangsunpoh mempunyai hubungan persahabatan yang begitu akrab dengan Pek Siau-thian.

   Oleh sebab itu dia seringkali berkunjung ke perkampungan Liok soat-san-ceng.

   Hoa In-liong amat disayang oleh gwa-konya, diapun disayang oleh Tiangsunpoh.

   Karena itu anak muda tersebut pernah juga menyaksikan kitab pusaka Thian-hua Cha-ki.

   Tidaklah aneh kalau dia segera mengenali ilmu pukulan yang dipergunakan Hu-yan Kiong sekarang adalah ilmu pukulan udara kosong.

   Bayangkan sendiri, mungkinkah Hu-yan Kiong dapat melukai pemuda tersebut dengan gampang setelah lawannya juga memahami gerak pukulan yang dia pergunakan? Sekalipun demikian, Hoa In-liong hanya tahu bahwa ilmu tersebut adalah ilmu gerakan Siu-gongkun.

   Soal dimanakah letak inti kekuatan dan inti kelihayan dari ilmu pukulan tersebut, ia kurang begitu tahu.

   Untuk menghadapi ancaman semacam itu, jari tangannya segera ditegangkan sekeras tembak, kemudian disodok keatas udara dimana telapak tangan musuh sedang mengancam tiba.

   Hu-yan Kiong tertawa terbahak-bahak.

   Dari pukulan kepalan ia cepat merubah serangannya menjadi pukulan telapak tangan.

   Begitu desingan angin serangan musuh terhindar, ia balas menyodok pusar dari Hoa In-liong.

   Hoa In-liong sendiripun diam-diam merasa terkejut, kecepatan musuhnya dalam berganti jurus, pikirnya.

   "Tampaknya orang ini hapal sekali dengan gerakan jurus serangan dari keluarga Hoa. Bukan saja ia dapat menghindari setiap serangan tipuan dengan serangan tipuan. Melepaskan serangan balasan tepat pada waktunya. Bahkan kecepatan gerak serangannya melebihi sambaran petir, ini berarti mereka memang sudah memikirkan gerakan pemecahan terhadap ilmu silat kami. Aku tak boleh menggunakan aturan pada umumnya untuk melayani dia, apalagi hanya menyerang dengan jurus-jurus serangan dari ilmu Ci-yu-jit-ciat serta Hu- in-ciang-hoat"

   Rupanya serangan totokon jari tangan yang dipergunakan barusan tak lain adalah perubahan dari lmu sakti Ci-yu-jit-ciat.

   Untuk melancarkan serangan dengan ilmu Ci-yu-jit-ciat tersebut, orang bisa menyerang baik dengan ilmu telapak tangan maupun dengan ilmu totokan jari.

   Yang sama adalah semua serangan tertuju untuk mendobrak pertahanan lawan.

   Sulit bagi orang yang tidak mengetahui gerak pukulan tersebut untuk memecahkannya.

   Oleh sebab itu, dikala Hoa In-liong saksikan pukulan musuh tiba-tiba dirubah menjadi ilmu telapak tangan dan pusarnya yang terancam oleh serangan tersebut, tahulah dia bahwa Hu-yan Kiong telah berhasil menyelidiki inti kekuatan dari kepandaiannya dan telah mempersiapkan pula ilmu pemecahannya.

   Tak sempat ia berpikir terlampaulama dalam keadaan seperti ini, sebuah tendangan kilat segera dilancarkan kedepan.

   Menyusul kemudian telapak tangannya dibalik segera membabat keluar, menyapu jalan darah Oh-keng-hiat disisi telinga Hu-yan Kiong.

   Baik pukulan telapak tangan maupun tendangan kilat tersebut, semuanya dilancarkan dikala ia memutar badannya sambil menghindari serangan musuh.

   Sekalipun demikian, tenaga serangannya sangat kuat sehingga menimbulkan desingan angin tajam yang memekakkan telinga.

   Hu-yan Kiong tidak menyangka sampai kesitu.

   Setelah serangan tajam musuhnya tiba didepan mata, ia baru terperanjat.

   Cepat tubuhnya melambung ke udara sambil mundur tiga langkah ke belakang.

   Bagaimanapun juga Hu-yan Kiong bukan termasuk manusia sembarangan, jelek-jelek dia juga merupakan seorang jago kawanan yang berpengalaman luas.

   Begitu mundur ia segera mendesak maju lagi ke depan.

   Tiba-tiba ia membentak keras, lengan kanannya berbunyi gemerutukan nyaring.

   Rupanya ia telah mengeluarkan ilmu pukulan Lei sim toh sin siang (pukulan pemisah hati pem betot sukma) yang paling diandalkan perkumpulan Mo-kauw.

   Sungguh dahsyat dan cepat ancaman tersebut.

   Dalam waktu singkat tahu-tahu kepalan musuh sudah muncul didepan anak muda itu.

   Padahal pada waktu Hoa In-liong sedang mempersiapkan sebuah serangan kilat untuk meneter lawannya.

   Ketika bayangan telapak tangan tiba-tiba muncul di depan mata dan langsung mengancam kepalanya, tidak ragu-ragu lagi lengan kirinya di kebutkan ke muka.

   Sekali lagi dia gunakan ilmu pukulan Hu in ciang hoat untuk menyongsong datangnya ancaman tersebut....

   "Ploook!"

   Suatu benturan nyaring segera terjadi dengan dahsyatnya ketika sepasang telapak tangan saling beradu.

   Kedua belah pihak sama-sama bergetar keras oleh tenaga pantulan yang dihasilkan dari benturan itu.

   Secepat kilat mereka memutar badannya untuk membuang sisa tenaga yang masih mendesak tubuh mereka, kemudian secepat kilat mereka saling menyodok saling menyerang lagi dengan serunya.

   Baik Hoa ln-liong maupun Hu-yan Kiong sama-sama merupakan jago silat kelas satu dalam dunia persilatan.

   Dalam benturan yang barusan terjadi, mereka lantas tahu bahwa kekuatan yang dimiliki lawannya seimbang dengan kekuatan yang mereka miliki.

   Merekapun paham, tak mungkin mereka bisa cari kemenangan dengan mengandalkan tenaga dalam yang sempurna, sebab siapapun tak bisa mengalahkan lawannya.

   Ini berarti menang kalahnya pertarungan harus dicari dengan mengandalkan sempurnanya jurus serangan serta luasnya pengalaman mereka dalam menghadapi pertempuran.

   Dalam waktu singkat, kedua orang itu sudah saling menyerang, saling menerjang dengan serunya.

   Dibalik serangan gencar terselip suatu pertahanan yang tangguh, sebentar saja tiga buah gebrakan sudah lewat tanpa terasa.

   Serangkaian pertarungan sengit itu ibaratnya hembusan angin puyuh dan hujan badai, begitu gencar.

   Begitu ganasnya membuat para penonton yang mengikuti jalannya pertarungan dari tepi gelanggang harus menahan nafas dan menekan rasa tegangnya.

   Ilmu silat yang dipelajari Hoa In-liong sebetulnya sangat luas dan terdiri dari inti-inti kepandaian yang tak terkirakan dahsyatnya.

   Setiap pukulan, setiap totokan yang dia lancarkan semuanya tertuju pada bagian-bagian mematikan di tubuh musuhnya.

   Sayang racun Sin-hui (ular kecil sakti) yang mengeram dalam tubuhnya belum punah.

   Kehadiran racun itu otomatis mempengaruhi juga daya konsentrasinya.

   Setiap kali dia kuatir kalau racun dalam tubuhnya tiba-tiba kambuh dan mempengaruhi badannya.

   Sebab itu sepanjang pertarungan berlangsung, ia tak berani menggunakan tenaga terlampau besar.

   Dia selalu kuatir, jika seandainya serangan yang dilancarkan dengan sepenuh tenaga tidak mencapai pada sasarannya, kesempatan tersebut segera akan dimanfaatkan lawan untuk balas mendesaknya.

   Karena itu setiap kali ada kesempatan baik untuk merebut kemenangan, kesempatan itu selalu dibuang dengan begitu saja.

   Tentu saja kejadian ini membuat Cwan Wi yang mengikuti jalannya pertarungan dari tepi gelanggang jadi cemas bercampur gegetun.

   Tak bisa dibantah lagi kalau Hu-yan Kiong adalah seorang tokoh sakti perkumpulan Mo-kauw yang sangat diandalkan perkumpulannya.

   Ilmu silat yang dia pelajari terdiri dari aneka ragam yang tak terhitung jumlahnya, bahkan boleh dibilang kepandaiannya tidak berada dibawah kepandaian Tang-kwik Siau dimasa jayanya.

   Tetapi, lantaran Hoa In-liong selalu bersikap waspada dan hati-hati.

   Selalu melayani musuhnya dengan jurus serangan yang tangguh dan serangan yang dipakaipun memiliki perubahan yang tak terduga, maka dia jadi ragu-ragu untuk melepaskan serangan yang mematikan.

   Dia kuatir masuk perangkap dan terjebak oleh akal licik lawannya.

   Demikianlah, sekejap mata kemudian lima enam puluh tujuh jurus kembali sudah lewat.

   Tampaknya walaupun batas seratus jurus sudah dilampaui menang kalah belum tentu dapat ditetapkan dengan pasti.

   Sementara itu Leng-ji sudah beranjak dan duduk disamping Cwan Wi.

   Ketika dilihatnya pertarungan berlangsung makin lama serrakin hebat, akhirnya ia jadi habis sabarnya, diam-dian bisiknya dengan suara yang lirih.

   "Siau....Sauya, sudah kau hitung jumlah jurusnya?"

   "Ssst....! Jangan berisik"

   Omel Cwan Wi dengan suara kesal.

   "Tidak bisa....! Tidak bisa begitu...."

   Teriak Leng-ji lagi dengan cemas.

   "Sekarang sudah mencapai sembilan puluh tiga jurus. Jika Ji kongcu tidak melancarkan lagi serangan serangan yang mematikan bagaimana mungkin pertarungan ini bisa diakhiri secara menguntungkan....?"

   Waktu itu seluruh perhatian dan konsentrasi Cwan Wi tertuju pada jalannya pertarungan. Mendengar pertanyaan itu dengan rada mendongkol ia lantas berseru.

   "Lalu bagaimana caranya, untuk mengakhiri pertarungan secara menguntungkan?"

   "Makhluk sialan itu tidak mempan dibabat atau ditotok. Bila Ji kongcu tidak menggunakan pedang, itu berarti pertarungan yang lebih lamapun hanya suatu pertarungan yang menghamburkan tenaga dengan percuma. Aku lihat lebih baik engkau turun tangan sendiri saja!"

   Tampaknya Cwan-Wi jengkel sekali dengan kecerewetan kacungnya, sambil berpaling dengan muka marah, ia berseru.

   "Kamu ini cerewetnya bukan main. Hati-hati kamu kalau sampai ocehanmu membuyarkan konsentrasi dari Ji kongcu. Lihat saja nanti, akan kuhajar mulutmu atau tidak"

   Kontan Leng-ji mencibirkan bibirnya.

   "Hemmmm.... Memangnya Leng-ji cuma asal ngomong? Semua perkataanku kan kata-kata yang sejujurnya!"

   Selama pembicaraan itu berlangsung, setiap patah kata mereka diutarakan dengan suara yang nyaring.

   Tentu saja Hoa In-liong serta Hu-yan Kiong yang berada ditengah gelanggang dapat mendengar semua pembicaraan tersebut dengan amat jelas.

   Diam-diam Hoa In-liong mulai menyesal, dia berpikir.

   "Yaa.... kalau begitu memang akulah yang salah perhitungan. Jika sejak pertama kali tadi kugunakan pedang, tak nanti pertarungan ini kulangsungkan dengan begitu ngotot dan bersusah payah"

   Lain halnya Hu-yan Kiong, dia jadi sangat gembira sesudah mendengar perkataan itu, gerutunya di hati.

   "Aku memang betul-betul tolol! Yaa, betul juga perkataan kacung sialan itu. Apa yang musti ku kuatirkan? Baik tenaga pukulan maupun tenaga totokan kan sama sekali tidak mempan terhadap diriku. Kenapa tidak kugunakan kelebihanku ini untuk memusatkan semua perhatian dan kekuatanku untuk melancarkan serangan? Haa.... haa.... haa.... untunglah kedua orang bocah cilik itu memperingatkan diriku. Kalau tidak, mungkin dalam seratus gebrakan mendatangpun pertarungan ini tak bisa dimenangkan olehku. Kalau sampai demikian adanya, akan ditaruh dimanakah wajahku ini?"

   Berpikir sampai disitu, seketika itu juga semangat tempurnya berkobar kembali.

   Dia segera membuka serangannya dengan serangkaian pukulan bertubi-tubi yang amat tangguh.

   Dalam waktu singkat, permainan serangannya juga ikut berubah.

   Dari ilmu pukulan Thian-mociang, Hu-kut-sin-kun sampai Tay-jiu-eng dari kalangan Buddha, Sian ki- ci-lek, Tong-pit-mo-ciang dan Ngo kui-im-hong-jiau semuanya dikeluarkan secara berantai.

   Bayangkan saja bagaimana dahsyatnya serangan maut yang rata-rata menggunakan jurus aneh yang belum pernah dijumpai dikolong langit ini? Dalam waktu singkat dari atas kepala sampai lambung, dada dan kaki Hoa In-liong berada dibawah kurungan angin pukulannya.

   Dengan adanya perubahan tersebut, keadaan Hoa In-liong lah yang semakin parah, ia terdesak hebat.

   Sejak mendengar seruan dari Leng-ji yang membuat hatinya menyesal, konsentrasinya sudah tak dapat pulih kembali seperti sedia kala.

   Apalagi setelah diserang secara gencar oleh Hu-yan Kiong, seketika itu juga dia kehilangan posisinya yang menguntungkan.

   Selangkah demi selangkah ia mundur terus kebelakang.

   Dalam keadaan begini ia sudah tidak memiliki kemampuan lagi untuk melancarkan serangan balasan.

   Dalam waktu singkat, sekujur badan Hoa In-liong mandi keringat.

   Nafasnya yang tersengkalsengkal secara lapat-lapat dapat kedengaran jelas.

   Dia masih memiliki ilmu meringankan tubuh yang bisa diandalkan sehingga setiap saat dia bisa berkelebat kekiri atau berkelit ke kanan.

   Setiap terancam bahaya, ancaman itu dapat dipunahkan dengan begitu saja.

   Kini serangan lawan sudah mencapai jurusan yang ke sembilan puluh sembilan.

   Satu jurus lagi berarti batas seratus jurus sudah akan terpenuhi, asal Hoa In-liong dapat mempertahankan diri terhadap serangan musuhnya yang terakhir ini, maka berarti pula kemenangan berada dipihaknya.

   Serta merta suasana berubah jadi amat tegang.

   Setiap orang yang berada ditepi gelanggang melototkan sepasang matanya bulat-bulat, terutama sekali siau Leng-ji.

   Kacung buku ini tak kuasa mengendalikan emosinya.

   Tanpa sadar ia bersorak gembira.

   "Tinuggal satu jurus! Tinggal satu jurus! Ji kongcu, kau musti lebih berhati-hati lagi!"

   Tiba-tiba Hoa In-liong berpekik nyaring.

   Tubuhnya secepat kilat melambung ke udara, menyusul kemudian ia berjumpalitan beberapa kali diangkasa.

   Setelah itu dengan kaki di atas, kepala dibawah dia membuat gerakan setengah busur dengan jurus Ciong-eng-tian-ci (burung elang membentangkan sayap), langsung dengan membawa desingan angin tajam menyambar batok kepala Hu-yan Kiong.

   Kiranya sejak kehilangan posisi yang menguntungkan, keadaan Hoa In-liong sudah keteter hebat sehingga terdesak dibawah angin.

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Menghadapi ancaman yang datangnya bertubi-tubi itu, saking lelahnya dia sudah mandi keringat.

   Betapa murung dan kesalnya anak muda itu menghadapi keadaan yang sangat tidak menguntungkan tersebut, sementara tekanan musuh dirasakan makin lama semakin kuat.

   Tibatiba ia mendengar teriakan gembira dari Leng-ji yang mengatakan tinggal satu jurus lagi.

   Rasa gelisah yang kemudian muncul seakan-akan merubah kekuatan dalam tubuhnya menjadi satu kali lipat lebih dahsyat dari keadaan semula.

   Harus diterangkan disini, ketika itu Hoa In-liong sedang mencapai pada usia yaug muda dan kuat-kuatnya tenaga manusia.

   Ditambah lagi wataknya yang tinggi hati dan tak sudi menyerah pada kekuatan lawan.

   Dalam keadaan semacam ini ia tak sudi mencari kemenangan dengan membonceng kesempatan baik yang tersedia baginya.

   Namun diapun tak ingin dikalahkan lawannya sehingga mempengaruhi nama baik keluarga Hoa, di samping ambisinya untuk menegakkan nama besar untuk dirinya sendiri.

   Karena itu begitu mendengar suara teriakan dari Leng-ji, seketika itu juga sifat angkuh dan tinggi hatinya terangsang kembali.

   Ia tidak memperdulikan lagi apakah racun Sin-hui yang bersarang dalam tubuhnya telah kambuh atau tidak, segenap tenaga murni yang dimilikinya langsung dikerahkan keluar.

   Setelah melambung ke udara dan terlepas dari lingkaran pengaruh angin serangan Hu-yan Kiong, dia melayang kesamping untuk melepaskan diri dari cengkeraman lawan.

   Begitulah, setelah dia berhasil melayang di udara, tubuhnya segera berjumpalitan beberapa kali dan menerjang kembali ke bawah.

   Lengan kirinya langsung diayun kedepan melepaskan segulung angin pukulan yang sangat kuat.

   Sementara jari tengah tangan kanannya dengan jurus "menyerang sampai mati"

   Menyodok jalan darah Hoa kay hiat di tubuh Hu-yan Kiong.

   Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini berlangsung dalam sekejap mata.

   Dalam pada itu, Hu-yan-Kiong baru saja menyerang jalan darah Cian-keng-hiat dibahu Hoa Inliong dengan jurus Sin liong tam jiau (naga sakti unjukkan cakar).

   Ketika itu jalan pemikirannya amat sederdana.

   Dianggapnya meskipun Hoa In-liong berhasil menghindarkan diri dari serangannya, tapi dalam mundurnya yang dilakukan secara gugup.

   Asal dia mengejar lagi dengan gerakan jurus yang tak berubah, pastilah pihak musuh akan dibuat kelabakan setengah mati.

   Asal musuh telah dibikin kelabakan, maka dia tak akan memperdulikan apakah serangannya sudah melewati jurus yang keseratus atau tidak.

   Dengan suatu ancaman maut akan disusulnya pemuda itu dan bila perlu menghajarnya lebih dulu sampai terluka parah.

   Siapa tahu apa yang kemudian terjadi sama sekali berada diluar dugaannya.

   Menanti ia temukan bahwa bayangan tubuh dari Hoa In-liong secara tiba-tiba sudah lenyap tak berbekas.

   Angin pukulan yang maha dahsyat serta totokan jari tangan yang tajam tiba-tiba sudah menyelinap di atas badannya.

   Kejadian ini sangat mengejutkan dari Hu-yan Kiong, juga mengejutkan diri Cwan Wi.

   Rupanya Cwan Wi kuatir Hu-yan Kiong betul-betul kebal terhadap serangan pukulan dan serangan jari lawan yang mengakibatkan Hoa In-liong mengalami nasib seperti apa yang dialami Leng-ji yakni terhantam balik oleh tenaga sin-kang pelindung tubuhnya, maka ditengah jeritan kagetnya cepat ia memburu kedalam gelanggang untuk menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.

   Padahal Hu-yan Kiong sendiripun dibuat gugup dan kelabakan setengah mati oleh datangnya ancaman yang muncul secara diluar dugaan.

   Dalam keadaan begini, dia kehilangan daya kemampuannya untuk menguasai diri, sehingga jeritan kagetnya hampir berkumandang bersamaan waktunya dengan jeritan Cwan Wi.

   Disaat Cwan Wi melayang keudara dan menerjang masuk kedalam gelanggang, serangan dahsyat dari Hoa In-liong sudah bersarang telak diatas bahu Hu-yan Kiong, sedang totokan jari tangan kanannya menyodok telak dada iblis tua itu.

   Hu-yan Kiong segera mendengus tertahan.

   Sepasang tangannya memegang dada dengan muka berkerut keras.

   Dengan sempoyongan dia mundur ke belakang sambil menahan rasa sakit.

   "Kau.... Kau...."

   Teriaknya dengan suara terperanjat.

   Akhir dari pertarungan ini betul-betul berada diluar dugaan siapapun jua, sampai Cwan Wi sendiripun kebingungang tak berketentuan.

   Untuk sesaat dia cuma berdiri melongo- longo.

   Pucat pias paras muka Hoi In-liong, tapi ia berdiri tegak bagaikan malaikat, dengan suara yang amat serius katanya.

   "Aku telah menangkan pertarungan ini, sekarang engkaupun harus mewujudkan janjimu. Setelah melepaskan nona Wan, harap segera angkat kaki dari sini!"

   Hu-yan Kiong muntah-muntah darah segar. Bibirnya bergetar seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi setelah merenung sejenak maksud itu dibatalkan. Ia memutar badannya menghadap anak buah Ia irinya ditepi gelanggang, dan ujarnya.

   "Tarik kembali semua alat persembahan, tinggalkan korban disitu dan kita segera pergi dari sini"

   Kemudian sambil menghadap kembali kearah Hoa In-liong, ia berkata lebih jauh.

   "Hoa loji, aku lihat engkau adalah seorang enghiong yang gagah perkasa. Aku tak tega membiarkan engkau mati tersiksa. Maka secara terus terang kuakan beri tahu kepadamu racun sakti San-hui-si-sim (ular sakti menggigit hati) dari perkumpulan kami tak dapat dipunahkan oleh siapapun jua. Maka kuanjurkan kepadamu bila engkau mulai merasa tak tahan, cepat-cepatlah datang ke perkumpulan kami untuk minta obat penawarnya!"

   Hoa-In-liong tersenyum.

   "Mati hidup manusia ditentukan oleh Yang Kuasa. Lebih baik engkau tak usah menguatirkan keselamatanku, Nah! Silahkan pergi dari tempat ini!"

   Sementara itu, anak murid kau telah melaksanakan perintah pemimpinnya untuk menarik kembali semua makhluk beracun yang berada diatas tubuh Wan Hong-giok.

   Hu-yan Kiong segera tertawa dingin, diapun tidak banyak berbicara lagi.

   Dibawah bimbingan seorang laki-laki berjubah kuning, mereka berlalu dari bukit Yan-san.

   Angin gunung berhembus sepoi-sepoi, suasana diatas puncak Yan-san kembali diliputi keheningan.

   Suasana di sekitar bukit itu tidak menjadi cerah karena kepergian orang-orang dari Mo-kauw itu.

   Wan Hong-giok masih berbaring diatas tandunya dengan badan setengah telanjang.

   Sementara paras muka Hoa In-liong makin lama berubah semakin pucat kelabu, hampir-hampir tak tampak warna merah darah.

   Cwan Wi dan Leng-ji juga masih berdiri tertegun ditempat semula.

   Tampaknya kedua orang itu masih tidak percaya dengan kenyataan yang berlangsung didepan mata mereka.

   Akhirnya....

   Akhirnya Hoa In-liong berdiri dengan tubuh gemetar keras, tiba-tiba ia berteriak.

   "Adik Wi...."

   Mendengar panggilan itu Cwan Wi berpaling dengan hati terperanjat. Cepat-cepat dia memburu maju ke depan, serunya dengan nada yang cemas bercampur kaget.

   "Jiko.... Jiko! Kau.... kenapa kau?"

   Gemetar yang mengguncangkan tubuh Hoa In-liong makin lama semakin keras. Nada suaranya juga ikut berubah, ia hanya bisa berbicara dengan suara tersendat-sendat.

   "Aku.... Aku.... Meskipun menang sebenarnya akulah yang kalah...."

   Sebelum kata-kata itu sempat diakhiri, sekujur badannya telah goncang semakin keras, akhirnya ia tak kuasa menahan diri lagi.... Cepat Cwan Wi memburu maju ke depan dan memayang tubuhnya.

   "Keee.... kenapa kau? Kenapa kau.... ? Jiko! Jiko.... Kenapa kau....?"

   Teriaknya dengan cemas.

   "Apakah kau terluka oleh pukulan bandot tua itu?"

   Hoa In-liong menggeleng.

   "Tidak, aku tidak dilukainya, hanya.... hanya.... Racun.... racun ular sakti itu...."

   "Apa....?"

   Jerit Cwan Wi dengan jantung yang berdebar keras.

   "Kau maksudkan racun ular sakti itu mulai kambuh?"

   Hoa In-liong menganguk.

   Dia seperti hendak mengucapkan sesuatu karena bibirnya bergerakgerak.

   Namun anak muda itu sudah tidak bertenaga lagi untuk mengutarakan isi hatinya.

   Waktu itu Hoa In-liong sedang merasakan suatu penderitaan yang luar biasa hebatnya.

   Keringat sebesar kacang kedelai membasahi seluruh jidatnya.

   Sinar matanya yang jeli kini sudah pudar.

   Gemetar yang mengguncangkan tubuhnya semakin bertambah keras.

   Keadaan semacam itu mirip sekali dengan seseorang yang mendekati sekaratnya.

   Cwan Wi menyadari gawatnya keadaan anak muda itu, tapi ia tak dapat berbuat apa- apa.

   Dia seperti orang yang kebingungan, kehilangan akal sehat.

   Anak muda itu hanya bisa berdiri dengan kelabakan bagaikan anak ayam kehilangan induknya.

   Leng-ji yang berada disampingnya cepat berseru.

   "Siau sauya, cepat baringkan Ji kongcu ke tanah! Jika Ji kongcu dibiarkan berdiri terus, kesehatannya pasti akan semakin terganggu. Coba lihat! Racun ular jahat itu mulai kambuh. Pastilah hal ini terjadi karena ji- kongcu menggunakan tenaga yang berlebihan sewaktu bertempur tadi"

   Cepat cepat Cwan Wi membaringkan Hoa In-liong ke tanah. Ia membiarkan tubuh anak muda itu bertindih diatas pahanya. Kemudian telapak tangan kanannya ditempelkan diatas pusar dan hawa murnipun disalurkan masuk kedalam tubuhnya.

   "Jiko!"

   Ia berkata dengan lembut.

   "Berbaring saja ditumpuan badanku. Biar kucoba untuk menyalurkan hawa murni. Siapa tahu kalau hawa murniku itu berhasil mendesak keluar racun ular jahat yang mengeram dalam tubuhmu" Lembut dan halus sekali ucapan tersebut, seakan-akan kata-katanya itu memang betul betul muncul dari sanubarinya. Setetes air mata terasa jatuh berlinang membasahi pipinya dan membasahi wajah Hoa In-liong. Merasakan itu Hoa In-liong tertawa getir.

   "Aaaai.... Adik Wi, aku merasa amat cocok sekali dengan dirimu. Aku pun merasa gembira sekali dapat berkumpul dengan dirimu. Sebagai seorang pria kau jangan berhati lemah. Kau musti tabah dan berjiwa keras, jangan gampang mengucurkan air mata. Lapi pala, andaikata aku sampai tertimpa sesuatu musibah, engkau juga yang harus membalaskan dendam bagi diriku, kenapa....? kenapa....?"

   Mendadak alis matanya berkerut, nafasnya juga ikut memburu, sehingga kata kata yang belum selesai itu tak sempat dilanjutkan sampai habis....

   Ketika Hoa In-liong mengatakan bahwa dia menyukai dirinya, serta merta paras muka Cwan Wi berubah jadi semu merah.

   Siapa tahu kata-kata itu tak berakhir, karena ia segera menyaksikan Hoa In-liong mengerutkan dahinya dengan nafas memburu.

   Wajahnya kelihatan sekali betapa menderitanya dia.

   Betapa terkejutnya Cwan Wi menyaksikan kejadian itu, dia segera berteriak keras.

   "Jiko....! Jiko!"

   Dengan lemah Hoa In-liong mengulapkan tangannya.

   "Adik Wi, Aku.... Aku tak tahan lagi. Tolong.... Tolong tariklah kembali tenagamu...."

   Cwan Wi menurut, ia tarik kembali telapak tangan kanannya, kemudian dengan penuh rasa kuatir tanyanya kembali.

   "Jiko, bagaimana rasanya badanmu sekarang?"

   Dengan nafas tersengkal-seng Hoa In-liong menengadah.

   "Saat ini isi perutku terasa sakitnya bukan kepalang. Tentulah apa yang dinamakan ular sakti menggigit hati sedang mewujudkan kenyataannya!"

   "Engkau terlalu keras kepala, tak mau mendengarkan perkataanku"

   Omel Cwan Wi sambil berkerut kening.

   "Coba kalau kau turuti perkataanku memaksa bandot tua itu menyerahkan obat penawarnya, tentu kau tidak akan merasakan penderitaan seperti ini"

   Ketika berbicara sampai disitu, matanya kembali jadi merah dan air matapun jatuh bercucuran. Sekali lagi Hoa In-liong ulapkan tangannya.

   "Jangan menangis! Jangan menangis! Adik Wi, aku tidak percaya kalau apa yang dikatakan sebagai siksaan "ular sakti menggigit hati"

   Itu mampu merenggut nyawaku. Aku hanya percaya bahwa yang lurus pasti dapat menangkan yang sesat. Aku akan berusaha dengan segala kemampuan yang kumiliki untuk memusnahkan pergaruh racun itu dari dalam tubuhku!"

   "Jiko! Apakah tidak kau dengar perkataan dari tua bangka itu?"

   Keluh Cwan-Wi dengan sedih.

   "Dia bilang racun ular sakti menggigit hati tak dapat dipunahkan oleh siapapun. Racun itu adalah racun ganas hasil ciptaannya. Jika ia sudah berkata demikian, sudah pasti ucapannya bukan gertak sambal belaka!"

   "Setiap benda yang berasal dari alam semesta, sadah pasti ada lawan tandingannya"

   Kata Hoa In-liong dengan suara hambar.

   "Terus terang kuberitahukan kepadamu, aku pernah mendapat warisan ilmu sakti dari seorang tokoh silat. Ilmu semedi tersebut berbeda jauh dengan ilmu semedi yang sering sekali kita lihat. Siapa tahu kalau kepandaian tersebut akan bermanfaat sekali bagiku". Leng-ji memang belum mengenal arti kesal atau murung, tapi ia lebih gelisah dari siapapun jua. Ketika mendengar perkataan itu, segera teriaknya dengan cepat.

   "Kalau memang begitu, ayoh cepatlah dicoba...."

   Dengan perasaan apa daya Hoa In-liong menggelengkan kepalanya. Pelan-pelan dia alihkan sinar matanya keatas tubuh Wan Hong-giok yang setengah telanjang itu.

   "Adik Wi!"

   Katanya lagi.

   "Apakah nona Wan masih belum juga sadar dari pingsannya?"

   Cwan Wi ikut berpaling kearah Wan Hong-giok, kemudian sambil berkerut kening omelnya.

   "Kamu ini memang keterlaluan. Masa dalam keadaan seperti inipun engkau masih mempunyai kegembiraan untuk mengurusi orang lain!"

   Hoa In-liong tertawa getir.

   "Adik Wi"

   Katanya kemudian.

   "Apakah engkau sudah lupa akan maksud tujuanku datang kemari? Keadaan nona Wan sangat mengenaskan dan patut dikasihani, lihatlah tubuhnya...."

   Belum sampai pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, Cwan Wi telah menyela dari samping.

   "Yaa, aku tahu, dia mempunyai rahasia besar yang hendak disampaikan kepadamu!"

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sampai disitu, dia lantas berpaling kepada Leng-ji, sambil katanya.

   "Engkau saja yang pergi kesitu, coba tengok bagaimana keadaan nona Wan!"

   Tampaknya Leng-ji juga tak puas dengan sikap Hoa In-liong yang suka mencampuri urusan orang lain.

   Tapi lantaran Cwan Wi yang memerintahkan tentu saja ia tak berani membantah.

   Maka setelah ragu-ragu sejenak akhirnya selangkah demi selangkah ia maju kedepan.

   Melihat Leng-ji maju dengan langkah yang sangat lambat, dalam hati Hoa In-liong menghela napas panjang, pikirnya.

   "Yaa.... Bagaimanapun juga, adik Wi memang masih terlalu muda. Perasaan hatinya hanya tahu tertuju pada seseorang belaka. Aaaaii....! Dia begitu memperhatikan diriku. Aku yang menjadi Jiko-nya benar-benar tak kuasa menanggung beban untuk membuka pikirannya serta memberi pelajaran bagaimana caranya melimpahkan kasih sayang kepada segenap umat manusia"

   Jika Hoa In-liong berpikir demikian, maka berbeda dengan kemurungan yang mencekam perasaan Cwan Wi ketika itu.

   Tatkala dilihatnya seluruh perhatian dan seluruh rasa kuatir Hoa In-liong hanya tertuju pada diri Wan Hong-giok seorang, tanpa terasa lagi dengan kening berkerut dia mengomel.

   "Jiko, bagaimana sih kamu ini? Leng-ji toh sudah menghampirinya. Bagaimana keadaan Wan Honggiok pun sebentar lagi bakal ketahuan, buat apa kau demikian menguatirkan keselamatan jiwanya? Oya, bukankah tadi kau berkata bahwa kau memiliki sejenis ilmu semedi yang bisa digunakan untuk memunahkan racun ular sakti yang mengeram dalam tubuhmu? Kenapa kau tidak....?"

   "Tak usah terlalu buru-buru...."

   Tukas anak muda itu. Cwan Wi jadi kurang senang hati, dia pun kembali menyela.

   "Kau tidak cemas maka akulah yang sangat cemas! Kenapa tidak bercermin dulu untuk memeriksa tampang wajahmu? Tahukah engkau betapa mengerikannya raut wajahmu pada saat ini?"

   Perkataan itu bukan suatu olok-olokan tapi memang begitulah kenyataan.

   Raut wajah Hoa lnliong ketika itu memang benar-benar menakutkan sekali.

   Diantara warna kelabu yang menghiasi wajahnya tampak warna hitam melapisi mukanya di sana-sini.

   Otot-ototnya pada menonjol keluar.

   Ditambah pula kulitnya pada berkerut menahan penderitaan.

   Dari sini dapat diketahui bahwa siksaan yang dirasakan dalam perutnya bukannya berkurang sebaliknya justru makin bertambah.

   Sampai di manakah penderitaan yang dialami dalam tubuhnya, tentu saja Hoa In- liong jauh lebih jelas dari siapapun.

   Maka dari itu ia sama sekali tidak gusar oleh makian Cwan wi, bahkan rasa terima kasihnya malahan semakin berlipat ganda Iapun tertawa getir, lalu katanya dengan lembut.

   "Adik Wi, bukan berarti aku tak tahu sayang pada kesehatanku sendiri. Tapi justru lantaran ilmu semedi tersebut berbeda sekali dengan ilmu semedi pada umumnya. Lagipula akupun baru belajar belum lama, maka sampai sekarang aku belum berani melakukannya secara sembarangan...."

   Pertama karena rasa ingin tahu dan kedua karena gelisah. Sebelum pemuda itu menyelesaikan kata-katanya Cwan Wi telah menukas kembali.

   "Kalau memang begitu, lantas apa yang musti dilakukan?"

   "Pikiran dan perasaan hatiku musti tenang lebih dulu, tenaga dalam arti leluasa tanpa ikatan. Padahal keadaan nona Wan hingga sekarang masih belum kuketahui. Hal ini masih merupakan beban dalam pikiranku. Bayangkan sendiri, jika pikiran dan perasaan belum mencapai ketenangan total, betapa berbahayanya bila semedi itu kulakukan secara dipaksakan. Bahaya yang mengancam jiwaku pasti akan berlipat ganda lebih besar lagi"

   Sesudah mendengar penjelasan tersebut, Cwan Wi jadi tertegun. Ia merasa heran juga curiga, namun tidak berkata apa-apa. Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar Leng-ji menjerit kaget, menyusul kemudian ia berteriakteriak keras.

   "Kurangajar, mampus sialan! Nona.... Oooh bukan....bukan....bukan.... Ji kongcu, cepatlah kemari!"

   Hoa In-liong merasa amat terkejut, ia segera meronta dan bangun terduduk.

   Oleh karena mendengar jeritan kaget yang muncul secara tiba-tiba itu, perasaan hatinya bergolak keras.

   Karena pergolakan itu isi perutnya jadi teramat sakit....

   Tak tahan lagi ia mendengus tertahan, kemudian tak bisa dicegah lagi anak muda itu roboh terjengkang ke atas tanah.

   Cepat Cwan Wi menguruti dadanya dengan tangan kanan.

   Kembali omelnya dengan wajah murung.

   "Coba lihat tampangmu itu! Sekalipun nona Wan mengalami kejadian diluar dugaan, gelisahpun apa gunanya?"

   Sambil merasa sakit yang luar biasa, Hoa In-liong berbisik dengan napas tersengal.

   "Adik Wi.... To.... Tolong pergilah kesitu.... Coba tengoklah keadaannya"

   Dengan dahi berkerut Cwan Wi menghela nafas panjang, ia segera berteriak.

   "Leng- ji, sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa kau berlagak sok bingung macam monyet kena terasi?"

   Paras muka Leng-ji diliputi kegusaran dan rasa mendongkol, ia menjawab dengan suara lantang.

   "Bajingan-bajingan Mo-kauw adalah manusia yang berhati busuk. Coba lihatlah, meskipun mereka mengatakan akan lepaskan nona ini, nyatanya sebelum pergi mereka telah menancapkan sebatang jarum beracun di atas dada nona Wan. Kemudian bermain gila pula disekitar pusar dan perut bawah nona ini".

   Jilid 21 CWAN WI bukan seorang manusia yang berhati sekeras baja. Ketika mendengar keterangan itu, paras mukanya ikut berubah hebat.

   "Lantas bagaimana keadaannya? Apakah dia masih hidup?"

   Tanyanya dengan cemas.

   "Aku kuatir.... aku kuatir kalau jiwanya tidak ketolongan lagi!"

   Sahut Leng-ji terbata-bata. Cwan Wi terkesiap.

   "Cepat bawa dia kemari! Cepat....!"

   Baru saja ia berseru sampai disitu, tiba-tiba ia merasa berat badan yang menindih diatas kakinya terasa sangat berat sekali.

   Ketika diperiksa lagi, ternyata Hoa In-liong berbaring diatas pahanya dengan mata terpejam rapat.

   Rupanya anak muda itu kembali jatuh tak sadarkan diri.

   Kejadian seperti inilah yang paling dikuatirkan dan ditakuti Cwan Wi.

   Mula-mula dia tertegun, menyusul kemudian sambil mendekati tubuh In-liong teriaknya dengan suara gemetar.

   "Jiko....!"

   Menyusul suara teriakan itu, air matanya tidak terbendung lagi.

   Akhirnya Cwan Wi menangis tersedu-sedu....

   Masih mendingan kalau tidak menangis, begitu tangisannya meledak maka segala rahasianya pun ikut terbongkar.

   Ternyata ia bukan bernama Cwan Wi, nama yang sebenarnya adalah Coa Wi-wi.

   Dia adalah seorang gadis remaja, Coa Wi-wi! Adik kandung dari Coa Cong-gi.

   Sebagai perempuan, sifat gampang menangis memang merupakan sifat yang lumrah.

   Ia menangis karena yang dikasihi tak mau mendengarkan nasehatnya, tak mau menjaga kesehatan sendiri sehingga akibat jatuh tak sadarkan diri.

   Untuk sesaat rasa sedih, kesal dan murung yang berkecamuk dalam benaknya sepuluh kali lihat lebih dahsyat dari keadaan dihari-hari biasa.

   Rasa sedih yang tak terbendung itu akhirnya meledak sebagai suatu isak tangis yang memilukan hati.

   Leng-ji cepat-cepat memburu datang sambil membopong tubuh Wan Hong-giok.

   "Siocia....! Nona.... bagaimana keadaan Ji ko....?"

   OooOOOooo LENG-JI aslinya bukan bernama Leng-ji, tapi bernama Ki-ji.

   Dia adalah dayang kepercayaan dari Wi-wi.

   Ketika tiba didepan majikannya dan menyaksikan keadaan anak muda itu, dengan perasaan terkejut cepat ia baringkan Wan Hong-giok keatas tanah, kemudian teriaknya.

   "Aduuh mak....tidak benar keadaannya.... keadaan ini tidak benar...."

   Sambil berlutut dia menggoncang-goncangkan bahu Coa Wi-wi sambil serunya kembali.

   "Nona, keadaan macam begini tak boleh berlarut-larut. Kau jangan urusi tangisanmu belaka. Coba periksalah dulu keadaan Jikongcu kemudian baru dirundingkan kembali. Memangnya setelah kau peluk tubuhnya sambil menangis, maka penyakitnya bakal sembuh dengan sendirinya? Jangan menangis terus!"

   Coa Wi-wi tidak sampai keblinger, meskipun ia sedang menangis dengan sedihnya, kesadaran otaknya masih utuh.

   Maka setelah mendengar perkataan itu, diapun menengadah.

   Pada saat itulah terdengar desingan angin tajam berkumandang dari arah belakang, menyusul kemudian sesosok bayangan manusia melayang turun dibelakang punggungnya.

   Coa Wi-wi kaget, cepat ia menyambar tubuh Hoa In-liong dan meloncat maju kedepan untuk menghindari segala kemungkinan yang tidak diinginkan....

   "Adik Wi, tak usak kaget! Aku yang datang"

   Kata orang itu cemas.

   "Bagaimana keadaan Jite?"

   Begitu mendengar suara panggilan tersebut, Coa Wi-wi segera mengetahui siapakah yang datang, cepat dia menjejak permukaan tanah dan menyusul kembali ketempat semula, sahutnya.

   "Toako! Jiko...."

   Tiba-tiba ia merasa amat bersedih hati sehingga dadanya terasa jadi sesak, isak tangisnya semakin menjadi.

   Orang yang baru muncul mengenakan jubah biru dengan sebuah pedang tergantung dipinggangnya.

   Dia bukan lain adalah Toako dari Hoa In-liong, Hoa Si adanya.

   Hoa Si adalah seorang pemuda berwajah gagah dan bersikap serius.

   Ketika itu dia berdiri dihadapan Coa Wi-wi sambil mengawasi keadaan adiknya.

   Ketika menyaksikan keadaan adiknya yang tidak sadarkan diri, hatinya betul-betul merasa amat terperanjat.

   Meski demikian sikapnya sama sekali tidak nampak gugup atau gelisah, lagaknya tetap tenang dan gagah perkasa.

   Keadaan semacam ini persis seperti kegagahan Hoa Thianhong dimasa lalu.

   Dengan sorot mata yang tajam dia mengawasi wajah Hoa In-liong dengan seksama, kemudian baru menengadah mengawasi Coa Wi-wi yang masih menangis tersedu.

   "Adik Wi, janganlah menangis!"

   Katanya kemudian dengan lembut.

   "Sekalipun Jite kena dipecundangi orang, tapi menurut pengamatanku, keadaan tersebut tak mungkin akan memburuk dalam waktu singkat. Mari serahkan dia kepadaku, kita cari dulu suatu tempat yang bisa digunakan untuk beristirahat, kemudian baru dirundingkan lebih jauh"

   Sembari berkata, sepasang tangannya bergerak cepat untuk membopong adiknya.

   Sebelum Coa Wi-wi sempat mengucapkan sesuatu, Hoa In-liong telah dibopongnya dan bergerak menuruni bukit tersebut.

   Mula-mula Coa Wi-wi agak tertegun oleh kejadian tersebut.

   Tapi sejenak kemudian, sambil menahan isak tangisnya dan membesut air mata yang membasahi pipinya dia mengikuti dibelakang pemuda itu tanpa berbicara.

   Ki-ji yang menjumpai hal itu, cepat-cepat membopong Wan Hong-giok dan menyusul pula di paling belakang.

   Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya sampailah mereka di bekas markas Tong Thian-kau di punggung bukit.

   Hoa Si memeriksa sebentar keadaan bangunan itu, kemudian menghampiri sudut ruangan bekas ruang tengah dan duduk bersila disitu.

   Gerak gerik Hoa Si selalu serius, mantap dan gagah.

   Raut wajahnya juga serius dan keren.

   Ini membuat orang lain jadi keder dan tak berani membangkang setiap perkataannya.

   Karena kewibawaan yang terpancar keluar dari sikap anak muda itu mengederkan hati siapapun jua.

   Sebenarnya Coa Wi-wi mempunyai banyak keluhan serta kesedihan yang hendak disampaikan kepada pemuda itu.

   Akan tetapi lantaran Hoa Si hanya membungkam terus, terpaksa diapun harus mengendalikan perasaannya dan ikut duduk membungkam disitu.

   Pada ujung ruangan tersebut penuh berserakan bekas atap dan batu bata yang kotor dan tak sedap dilihat.

   Hoa Si segera mengebaskan tangannya untuk menyapu sebagian puing- puing itu hingga tersingkir kesamping.

   Setelah itu dia menggape ke arah Ki-ji sambil perintahnya kembali.

   "Ki-ji, kemarilah! Tolong baringkan nona Wan di atas lantai....!"

   Setelah itu, dia baru barpaling kearah Coa Wi-wi sambil berkata kembali.

   "Adik Wi, tolonglah tengok sejenak keadaan nona Wan, apakah dia masih tertolong atau tidak?"

   Mendengar perkataan itu, cepat cepat Ki-ji membaringkan tubuh Wan Hong-giok ke lantai, kemudian mengundurkan diri ke samping. Melihat Coa Wi-wi tidak segera beranjak, dengan alis berkerut ia berkata penuh rasa kuatir.

   "Bagaimana keadaan Jite sedikit rada kacau. Sekarang aku sedang melakukan pemeriksaan untuk mengetahui bagaimana keadaan yang sebenarnya. Nona Wan adalah seorang gadis, aku merasa kurang leluasa untuk memeriksa sendiri keadaannya maka aku minta tolong kepada adik Wi untuk mewakili diriku!"

   Setelah Hoa-Si berkata demikian, tentu saja Coa Wi-wi tak dapat membantah lagi.

   Dengan perasaan apa boleh buat dia mengangguk, kemudian bangkit dan menghampiri Wan Hong-giok untuk memeriksa keadaan luka dibadannya.

   Selang sesaat kemudian, dengan wajah sedih dia menengadah, katanya dengan lirih.

   "Toako, sekujur badan Nona Wan sudah berubah jadi merah gosong. Jalan darah Tiong-kek- hiatnya terluka oleh totokan jari yang menggunakan tenaga dingin, sedang jalan darah Ki- ciat-hiatnya tertusuk sebatang jarum beracun. Aku lihat harapannya untuk hidup tipis sekali, mungkin jiwanya sudah tidak tertolong lagi"

   Hoa Si mengerdipkan matanya beberapa kali lalu merenung.

   "Aku lihat nona Wan tak sampai menemui ajalnya, dia pasti bisa disembuhkan kembali.... Cuma adik Wi! Apakah engkau bersedia untuk mengorbankan sedikit tenaga dalammu untuk mengobati luka dalam yang dideritanya itu?"

   "Tapi....denyutan nadinya sudah amat lirih, detak jantungpun sudah sering kali berhenti. Lagipula sekujur badannya sudah merah membengkak, jelas darahnya sudah ternoda racun jahat yang menyusup keseluruh nadi pentingnya. Berada dalam seperti ini, apa gunanya kita obati luka dalamnya dengan tenaga dalam?"

   Dari nada perkataan tersebut dan dari sikap Coa Wi-wi sewaktu mengucapkan kata- katanya, dapat diketahui bahwa ia sedikit merasa keberatan untuk melaksanakan tugas tersebut.

   "Soal keracunan bukanlah merupakan soal yang serius", ujar Hoa Si dengan gelisah.

   "Dalam sakuku tersedia obat-obatan mustika untuk memunah kau pengaruh racun itu. Justru yang kukuatirkan adalah jalan daerah Tiong kek-hiatnya yang terluka parah itu. Sekalipun selembar jiwanya dapat diselamatkan, tapi serangkaian ilmu silat yang dimilikinya mungkin akan musnah dengan begitu saja"

   Coa Wi-wi merenung sejenak, lalu katanya.

   "Tapi yang paling penting jiwanya tertolong lebih dulu. Sekalipun ilmu silatnya harus punah juga tak menjadi soal, lain kali kan masih ada kesempatan untuk mempelajarinya kembali"

   Dengan cepat Hoa Si menggeleng.

   "Jika jalan darah Tiong-kek-hiatnya sudah terluka, itu berarti urat-urat sam-im-meh nya sudah kehilangan daya kemampuan untuk menggunakan tenaga lagi. Hawa murni yang terhimpun dalam Tam-thian tak mampu bergerak ke bawah lagi. Sekalipun mengulang kembali pelajaran silatnya juga percuma"

   Tiba-tiba ia menghela napas panjang, tambahnya.

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Keadaan yang kita hadapi sekarang tidak memberi kesempatan kepada kita untuk berpikir lebih jauh. Yang penting kini adalah menyelamatkan jiwa manusia. Adik Wi! Cepatlah bertindak!"

   Tangan kanannya segera diayun ke depan, sebutir obat pun meluncur ke arahnya. Dengan cekatan Coa Wi-wi menyambut obat itu serunya dengan gelisah.

   "Tidak bisa begitu saja! Toako. Jika kau suruh aku memunahkan racun yang mengeram ditubuhnya, kau harus memberitahukan juga bagaimana caranya. Aku sama sekali tidak paham bagaimana caranya memunahkan racun"

   Hoa-Si mengangguk dan bibirnya pun mulai berkemak-kemik menurunkan pelajaran Khi-bun-imyang (memisahkan hawa panas dan dingin) tersebut kepada Coa Wi-wi dengan ilmu menyampaikan suara.

   Coa Wi-wi tidak berani berayal lagi cepat dia jejalkan pil tersebut ke dalam mulut Wan Honggiok, kemudian duduk bersila disampingnya.

   Sepasang tangan direntangkan, tangan kanan menempel jalan darah Tiong-kek-hiat, tangan kiri menempel diatas dada.

   Dengan tekunnya dia salurkan hawa murni untuk mengobati luka dalam tubuh Wan Hong-giok.

   Bila diikuti satu demi satu maka semua kejadian itu serasa sudah berlangsung sangat lama, padahal dalam kenyataannya waktu baru berlalu beberapa menit.

   Sampai waktu itulah Hoa Si baru mendapat kesempatan untuk menundukkan kepalanya mengawasi wajah adiknya serta memeriksa keadaan luka yang diderita.

   Dari semua sikap maupun gerak-gerik yang dilakukan Hoa Si selama ini, dapat kita rasakan betapa agungnya sistim pertolongan mereka yang mengutamakan orang lain lebih dulu sebelum menolong diri sendiri.

   Dan semangat semacan ini merupakan didikan langsung dari Bun Tay-kun serta Hoa Thian-hong suami istri kepada putra putrinya.

   Dalam pandangan keluarga Hoa, mungkin tindakan mereka ini merupakan suatu kejadian yang wajar.

   Tapi bagi pandangan orang lain justru mendatangkan perasaan lain.

   Sikap semacam itu justru mendatangkan perasaan terharu dan kagum.

   Pada waktu itu diluar puing-puing gedung yang berserakan, kebetulan ada sesosok bayangan manusia sedang mengintip gerak-gerik dari beberapa orang anak muda itu.

   Tapi oleh karena mereka bersembunyi dengan sangat parahnya, dan lagi seluruh perhatian Hoa Si maupun Coa Wi-wi hanya tercurahkan untuk mengobati luka orang, mereka tidak menyadari sampai kesitu.

   Mereka yang mengintip gerak-gerik berapa orang muda mudi itu adalah seorang gadis muda yang membawa tongkat baja serta seorang laki-laki bermata tajam yang mengenakan kain kerudung hitam diatas wajahnya.

   Laki-laki itu mempunyai perawakan badan yang tinggi besar dan tegap.

   Tapi karena wajahnya tertutup oleh kain kerudung hitam, maka tidak diketahui berapa besar usia yang sebenarnya.

   Tapi sang gadis mengenakan baju berwarna putih, mukanya dingin dan hambar.

   Diujung toya besi yang dipegangnya terukir sembilan buah kepala setan perempuan.

   Itulah lambang dari Kiuim kau dan gadis itu tak lain adalah Bwee Su-yok, kaucu baru dari perkumpulan Kiu-im kau.

   Bwee Su-yok bersembunyi dibalik puing-puing gedung yang berserakan.

   kedatangannya adalah menguntit dibelakang Hoa Si secara diam-diam.

   Itu berarti Tapi yang aneh, sinar matanya ketika itu kelihatan agak ragu-ragu, seakan-akan ada sesuatu masalah yang besar dan berat belum dapat diputuskan olehnya.

   Pada hakekatnya yang diartikan sebagai masalah besar pada saat itu, adalah rasa haru dan kagumnya terhadap sikap Hoa Si yang lebih mengutamakan keselamatan orang lain daripada keselamatan sendiri.

   Hati kecilnya betul-betul tersentuh oleh kejadian itu, maka untuk sesaat ia kehilangan pegangan.

   Haruslah diketahui, kebaikan dan kejahatan merupakan watak alam yang dimiliki setiap manusia.

   Meskipun semenjak kecil Bwee Su-yok dibesarkan dalam lingkungan pendidikan yang angkuh, dingin dan tidak berperasaan.

   Meskipun ia mempunyai watak yang aneh, dingin dan kaku, namun sifat alamnya sebagai manusia bukan berarti sama sekali lenyap tak berbekas atau dengan perkataan lain sifat baiknya tetap bertahan pula dalam hatinya disamping sifat jahat dan buruknya.

   Dalam suasana seperti itulah, tiba-tiba ia dengar laki-laki berkerudung yang berada dibelakangnya sedang berbisik.

   "Lapor kaucu, waktunya telah tiba!"

   Bwee Su-yok tidak menjawab juga tidak bereaksi, seakan-akan ia tidak mendengar perkataan itu.

   Sinar matanya kosong....

   Hampa....

   seolah-olah sedang melacaki sesuatu yang tiada....

   Melihat kaucunya tidak menunjukkan reaksi apa-apa, laki-laki berkerubung itu mengulangi kembali kata-katanya.

   Tapi bagaimana sikap Bwee Su-yok? Ia tampak seperti tak sabaran, dengan pandangan yang menggidikkan hati di tatapnya laki-laki itu dengan sinar mata dingin, kemudian ia bangkit dan tinggalkan tempat tersebut.

   Tindakan tersebut sama sekali diluar dugaan laki-laki berkerudung itu, cepat ia menyusul dibelakangnya sambil berbisik kembali.

   "Kesempatan baik segera akan berlalu. Harap kaucu berpikir tiga kali sebelum bertindak!"

   Bwee Su-yok menghentikan langkahnya, ia berpaling dan menghardik ketus.

   "Cerewet! Kau suruh kaucu-mu memikirkan soal apa sampai tiga kali? Hmmm.... Kedudukanmu hanya sebagai tamu pembantu, berani betul kau ucapkan kata kata yang membatasi kebebasan gerakan kaucu....?"

   Mula-mula laki-laki berkerudung itu agak tertegun, kemudian cepat cepat ia memberi hormat dan tidak berani banyak bicara lagi.

   Bwee Su-yok semakin tidak sabar lagi, ia menekan toya bajanya ketanah dan segera melayang pergi dari situ.

   Terlihatlah ujung bajunya yang berwarna putih berkibar terhembus angin, dengan gerakan cepat ia bergerak menuruni bukit itu.

   Tindakan dari Kiu-im kaucu ini semakin membuat laki-laki berkerudung itu heran bercampur termangu.

   Sepasang matanya jelas memancarkan rasa kaget dan tercengangnya, tapi diapun tak berani mengucapkan sepatah katapun.

   Pada saat itulah terdengar ujung baju tersampok angin menyambar datang, Hoa Si dengan suara yang nyaring menegur.

   "Nona, harap tunggu sebentar!"

   Ternyata karena terdorong oleh emosi, Bwee Su-yok telah membentak terlalu keras sehingga suaranya yang berisik itu menyadarkan Hoa Si bahwasanya disitu hadir orang lain. Bwee Su-yok berhenti, lalu putar badan dengan angkuhnya.

   "Ada urusan apa engkau memanggil aku?"

   Tegurnya pula.

   Ketika menyusul ke arah mana berasalnya suara tadi, Hoa Si hanya sempat menyaksikan berkelebatnva sesosok bayangan putih dibawah sorotan sinar rembulan.

   Ia tidak melihat kehadiran laki-laki berkerudung itu.

   Maka setelah yakin kalau lawannya seorang nona, diapun menegur.

   Siapa tahu sikap Bwee Su-yok amat sombong dan tinggi hati.

   Keangkuhan semacam itu seketika juga membuat dia jadi tertegun dan tak mampu berkata-kata.

   Meskipun tercengang, tapi sebagai seorang laki laki yang gagah, ia tidak masukkan persoalan itu dihati.

   Maka setibanya diatas permukaan tanah dia lantas menjura dan memberi hormat kepada Bwee Su-yok.

   "Nona, boleh aku tahu siapa namamu?"

   Sapanya.

   "Tengah malam buta begini, angin bukit sangat dingin, bolehkah aku tahu karena urusan apa kau berkunjung kemari?"

   Bwee Su-yok mendengus dingin.

   "Hmmm....! Lebih baik urusi saja Jite mu! Sedang soal-soal yang lain lebih baik dikesampingkan dulu untuk sementara waktu"

   Jawaban tersebut tidak menunjukkan apakah dia bersikap sahabat atau musuh dengannya, ini membuat Hoa Si semakin tertegun.

   "Keadaan adikku tidak terlampau serius. Justru kedatangan nona ditengah malam buta begini sangat mencurigakan hatiku...."

   Tapi sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya, kembali Bwee Su-yok telah menukas secara tiba tiba.

   "Kalau begitu bagus sekali. Tengah hari besok engkau boleh mengajak adikmu untuk datang ke kota Ci-tin dan berjumpa dengan aku disitu....!"

   Habis berkata dia lantas putar badan dan siap melanjutkan perjalanannya menuruni bukit. Hoa Si semakin curiga, diam diam pikirnya dalam hati.

   "Kemungkinan perempuan ini mempunyai ikatan dendam dengan adik Jite, aku harus selidiki sampai jelas!"

   Berpikir demikian, diapun melambung ke udara dan menghadang jalan perginya.

   "Tunggu sebentar nona!"

   Serunya sambil menjura.

   "Tengah hari besok, adikku belum tentu dapat datang memenuhi janji. Karena itu harap nona bersedia meninggalkan nama, sehingga apabila ia tak dapat memenuhi janji, akupun dapat menyampaikan hal ini kepadanya"

   Sikap Hoa Si yang intelek gagah dan ucapannya yang bernada memohon membuat Bwee Su-yok merasa rikuh untuk berlalu dengan begitu saja sebelum menjawab.

   Ia merasa pertanyaan lawannya bagaimanapun juga harus diberi jawaban yang memuaskan hati.

   Tapi sebelum ia menjawab pertanyaan itu, laki-laki berkerudung hitam yang selama ini berada disamping telah menyelinap keluar, jengeknya sambil tertawa seram.

   "Hee.... hee.... hee.... Betulbetul mengecewakan sekali kau sebagai putra sulung dari keluarga Hoa. Ternyata pengetahuanmu begitu picik dan terbatas. Memangnya belum pernah kau saksikan tongkat kekuasaan dari Kiu-Im kau yang mempunyai ciri khusus itu?"

   Sikap Bwee Su-yok semakin dingin dan kaku bahkan kali ini dengan tatapan matanya yang dingin menyeramkan dia melotot sekejap kearah laki-laki berkerudung itu.

   Namun laki-laki berkerudung itu berlagak bodoh, ia berlagak seakan akan tidak melihat tatapan mata orang, bahkan berpaling ke sampingpun tidak.

   Hoa Si baru terperanjat setelah mendengar perkataan itu.

   Tanpa sadar ia berpaling dan mengamati tongkat baja ditangan Bwee Su-yok tersebut.

   Tongkat itu adalah sebuah tongkat baja yang ber warna hitam gelap.

   Pada ujung senjata terukir sembilan buah batok kepala setan perempuan yang menunjukkan gigi taringnya dengan rambut awut-awutan.

   Ukiran itu hidup dan mendatangkan perasaan ngeri bagi siapapun yang melihat.

   Meskipun Hoa Si belum pernah menyaksikan tongkat baja tersebut, tapi dari angkatan yang lebih tua, seringkali ia mendengar kisah cerita tentang tongkat itu.

   Maka begitu menjumpai bentuk toya yang di maksudkan, ia jadi setengah percaya setengah tidak.

   Sinar matapun kembali dialihkan ke wajah Bwee Su-yok.

   Saat ini Bwee Su-yok telah menjadi seorang kaucu dari suatu perkumpulan besar, tentu saja ia tak dapat membungkam diri terus menerus.

   Gadis itu mengangguk tanda membenarkan, ujarnya dengan suara yang dingin.

   "Yaa benar, aku adalah Kiu-im kaucu!"

   Mendengar pengakuan tersebut, kembali Hoa Si berpikir dalam hati kecilnya.

   "Kalau toh dia adalah Kiu-im kaucu, setelah datang kemari kenapa harus berlalu lagi sambil menetapkan saat pertemuan besok siang? Hal ini rasanya jauh berbeda dengan tindakan-tindakan yang diambil Kiu-im kaucu seperti apa yang sering kudengar!"

   Berpikir demikian, sekali lagi dia memberi hormat, ujarnya dengan suara nyaring.

   "Oooh.... kiranya kaucu telah berkunjung kemari. Pengetahuanku memang terlalu picik, harap engkau jangan terlalu mentertawakan kepicikanku ini"

   Hoa Si memang jauh berbeda bila dibandingkan dengan adiknya. Sekalipun ada bagian-bagian persoalan yang belum dipahami olehnya, namun ia tak sudi menghilangkan tata kesopanan. Dengan ketus Bwee Su-yok ulapkan tangannya.

   "Engkau tak usah menunjukkan sikap tengik yang menjemukan. Jawab saja pertanyaanku, besok siang kalian bakal datang memenuhi janji atau tidak?"

   Hoa Si tersenyum.

   "Aku Hoa Si tak berani membuat janji kosong. Apa yang sudah kusanggupi pasti akan kutepati. Besok siang apabila adikku tak dapat menghadiri pertemuan itu, aku pasti akan tiba tepat pada saatnya, harap kaucu berlega hati"

   "Bagus sekali, kalau begitu aku akan menantikan kehadiranmu besok tengah hari di tenggara kota Ci-tin"

   Selesai berkata, dia lantas mengebaskan ujung bajunya dan melayang turun dari bukit itu. Dengan cepat manusia berkerudung itu menyusul di belakangnya, tapi beberapa langkah kemudian tiba-tiba ia berpaling sambil bertanya.

   "Hoa lotoa, apakah engkau tidak menanyakan pula siapa namaku serta dari mana asal usulku?"

   "Berbicara dari tindak tanduk saudara, sudah pasti engkau bukan anak buah dari perkumpulan Kiu-im kau. Memang aku menaruh curiga pada asal-usulmu. Tapi lantaran engkau menutupi wajahmu dengan kain kerudung hitam, jelas tindakan semacam ini menunjukkan betapa tidak terbukanya hatimu. Akupun jadi segan untuk banyak bertanya"

   Mendengar jawaban itu, darah yang mengalir dalam tubuh laki-laki berkerudung itu serasa mendidih.

   Ia ada maksud untuk turun tangan melancarkan serangan, tapi entah apa sebabnya, kemarahan yang telah memuncak itu dikendalikan kembali sebisanya.

   Setelah mendengus khekhi, ia melotot sekejap ke arah Hoa Si dan menjejakkan kakinya ke tanah untuk menyusul Bwee Su-yok yang sementara itu sudah lenyap dari pandangan mata.

   Hoa Si memang seorang lelaki jantan yang berjiwa terbuka dan gagah perkasa.

   Meskipun tindaktanduk Bwee Su-yok jauh berbeda dengan apa yang didengar ditempat luaran.

   Meski ia tahu manusia berkerudung itu adalah seorang manusia yang licik dan busuk hatinya, asal usulnya sangat mencurigakan.

   Namun ia tak sudi membuang banyak pikiran dan tenaga untuk merenungi persoalan tersebut.

   Setelah bayangan tubuh kedua orang itu lenyap dari pandangan, diapun segera putar badan dan berjalan kembali kedalam ruangan gedung diantara puing-puing yang berserakan.

   Waktu itu fajar baru saja menyingsing, sang surya mulai menampakkan cahayanya diufuk sebelah timur.

   Sebaliknya rembulan yang tenggelam disebelah barat sudah makin pudar cahayanya, ikut lenyap pula kecemerlangannya dikala hari masih gelap.

   Hoa Si yang berada dalam perjalanan kembali mempunyai perasaan yang kusut seperti cahaya rembulan itu, makin lama semakin kalut, makin lama semakin kusut....

   Hal ini bisa dimaklumi, bagaimana pun juga Hoa In-liong adalah saudara kandungnya.

   Setelah terganggu oleh peristiwa barusan, ia benar-benar tak tahu bagaimanakah keadaan lukanya ketika itu.

   Diapun tak tahu apakah kejadian ini bakal mempengaruhi keselamatan jiwanya serta mengakibatkan terjadinya peristiwa diluar dugaan....

   Dengan pelbagai pikiran yang menekan perasaannya, pemuda itu mempercepat langkahnya menuju ke ruang gedung dan akhirnya sampai juga dia ditempat tujuan.

   Diluar dugaan kenyataan yang berlangsung di depan matanya saat itu ternyata jauh diluar perhitungan rasa tegangnya selama inipun sebetulnya tak berguna.

   Sebab bukan saja Hoa In-liong telah menyadarkan diri, bahkan Wan Hong-giok yang sudah tipis harapannya untuk hidup pun sekarang sudah jauh lebih baik keadaannya.

   Segagahnya Hoa Si, dia baru menginjak dewasa belum lama.

   Kegembiraan yang datangnya dari luar dugaan itu seketika melenyapkan ketenangan dan kekalemannya dihari-hari biasa.

   Dengan suatu lompatan lebar dia menerjang maju kedepan, lalu teriaknya dengan wajah berseri.

   "Jite, apakah engkau telah sembuh?"

   Tiba-tiba ia saksikan Hoa In-liong masih tetap berbaring, sedangkan Coa Wi-wi berlutut disampingnya.

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ini membuat dia jadi tertegun, cepat tubuhnya berhenti melompat dan untuk sesaat berdiri termangu-mangu....

   Kiranya Hoa In-liong sadar belum lama, hawa murninya juga belum seberapa putih seperti biasa.

   Walaupun begitu, ketika mendengar suara dari Hoa Si, dia lantas meronta bangun, serunya pula dengan nada gembira.

   "Toako, kau....kau.... juga telah datang?"

   Coa Wi-wi sangat menguatirkan keadaannya. Dia segera membimbing bangun anak muda itu sambil menyela.

   "Toako sudah datang semenjak tadi. Lebih baik engkau berbaring saja. Racun ular sakti yang mengeram dalam tubuhmu belum punah sama sekali...."

   "Aaaah.... tidak apa-apa". Hoa In-liong tetap ngotot.

   "Aku ingin bercakap-cakap dengan Toako"

   Sementara itu Hoa Si juga melihat betapa pucatnya raut wajah adiknya ini, dia ikut berjongkok disampingnya sambal menghibur.

   "Jite, kau jangan terlalu keras kepala. Racun ular sakti bukan sembarangan racun biasa. Konon ibupun tidak mempunyai keyakinan untuk memunahkannya. Sekarang beristirahatlah dulu, beritahu kepadaku, bagaimana rasanya sewaktu racun itu kambuh?"

   Hoa In-liong tidak berani membantah perintah Toakonya, terpaksa dibawah bimbingan Coa Wi-wi dia berbaring kembali ketanah. Setelah mengatur nafas sebentar, pemuda itu baru berkata.

   "Berita yang tersiar diluaran tak boleh kita percayai dengan begitu saja, Toako...."

   Tiba-tiba Hoa-Si bangkit berdiri. Mukanya berubah menjadi keren, tukasnya dengan nada bersungguh-sungguh.

   "Ngaco belo!. Ayah sendiri yang memberitahukan hal ini kepadaku, memangnya aku harus tidak mempercayainya?"

   Hoa In-liong ikut terperanjat, tapi dengan cepat ia tenangkan hatinya sambil menyahut.

   "Jika ayah yang mengatakan hal itu, tentu saja kita harus mempercayainya. Toako, sebenarnya peristiwa besar apakah yang telah terjadi sehingga ayah pun ikut terbawa sampai ke selatan? Apakah kau mengetahui tentang rahasia ini?"

   Ketika dilihatnya pemuda itu jadi sangat penurut. Hoa-Si merasa sedikit tidak tega maka sahutnya.

   "Yaaa, hal ini disebabkan...."

   Mendadak satu ingatan melintasi dalam benaknya, ia teringat bahwa Hoa In-liong adalah seorang bocah yang ingin menang, seringkali bersikap pura-pura untuk membohongi orang.

   Rasa waspadanya segera timbul dan ucapan yang baru dimulaipun segera ditelan kembali, dia awasi wajah pemuda itu tajam-tajam.

   Hoa In-liong sangat ingin mengetahui sebab musabab kehadiran ayahnya di wilayah Kang-lam, melihat kakaknya berhenti berbicara, dia jadi sangat gelisah, tanpa sadar serunya.

   "Toako, mengapa tidak kau lanjutkan kembali kata-katamu?"

   Ditatapnya wajah In-liong dengan tajam, kemudian setelah menghela napas panjang Hoa Si baru menjawab.

   "Engkau selalu gemar menempuh jalan bahaya untuk mencari keuntungan. Sampai sekarang watak semacam itu belum juga berubah. Aku.... Aku.... yang menjadi Toako mu merasa kewalahan untuk memusuhi engkau. Daripada tertipu mentah-mentah, lebih baik kuputuskan untuk membungkam dalam seribu basa saja"

   Menyaksikan siasat liciknya ketahuan kakaknya, Hoa In-liong jadi tersipu-sipu.

   "Toa.... Toako"

   Katanya malu.

   "Aku betul-betul amat cemas, katakanlah kepadaku...."

   "Kau merengek seribu kali juga percuma"

   Tukas Hoa Si tegas.

   "Ketahuilah setelah engkau menjadi begini rupa, aku yang menjadi Toako-mu juga ikut susah. Bila engkau tak mau menuruti perkataanku lagi, bagaimanakah pertanggungan jawabku terhadap ayah dan ibu nanti? Satusatunya persoalan yang paling penting saat ini adalah menyehatkan dulu badanmu, soal lain untuk sementara waktu kita kesampingkan lebih dulu"

   Dia adalah seorang pamuda yang tegas, setelah mengatakan satu selamanya tak pernah berubah jadi dua.

   Tentu saja Hoa In-liong mengetahui jelas akan wataknya ini.

   Maka setelah siasatnya menghasilkan senjata makan tuan, dan diapun menyadari bahwa memohon secara halus tak akan mendatangkan hasil apa-apa.

   Sambil bernapas menekan perasannya anak muda itu berkata lagi.

   "Yaaa.... Padahal tiada sesuatu yang terlalu luar biasa. Ketika racun ular sakti itu mulai kambuh aku merasa dalam isi perutku seakan- akan terdapat semut yang sedang berjalan kesana kemari. Rasanya kaku dan gatal sekali hingga sukar ditahan, tapi sekarang aku sudah dapat mengendalikan siksaan itu"

   Coa Wi-wi segera menyambung dengan cemas.

   "Tidak, tidak mungkin begitu, ketika racun yang mengeram dalam tubuhmu kambuh, engkau segera jatuh tak sadarkan diri. Darimana engkau bisa merasa kalau rasanya gatal sekali? Engkau terlalu sekali, memangnya dianggap kami semua adalah orang goblok yang dapat ditipu mentah-mentah....?"

   Menyaksikan kegelisaan orang, kembali Hoa In-liong berkata.

   "Yaaa, apa yang diucapkan adik Wi memang benar. Rasa gatal dan kaku memang apa yang kurasakan sekarang. Pada mulanya ketika racun itu mulai kambuh, isi perutku terasa sakitnya bukan kepalang. Seakan-akan ada ular yang banyak sekali jumlahnya menggigiti seluruh isi perutku dan gigitan itu sepertinya tak dilepaskan terus. Cuma aku tidak membohongi dirimu, rasa gatal dan kaku itu sampai sekarang masih terasa. Coba lihatlah, bukankah aku masih dapat merasakannya dengan hati yang tenang?"

   Setelah mendengar penjelasan itu, Hoa Si dengan perasaan yang tercekat segera bergumam.

   "Gejala yang kau ucapkan persis seperti apa yang diterangkan ayah kepadaku. Aaai.... Akulah yang salah. Coba kalau aku tidak datang terlambat, mungkin....mungkin...."

   Bergumam sampai disitu, saking gelisahnya dia berjalan mondar mandir kesana- kemari, ia kelihatan resah sekali. Tiba-tiba terdengar Coa Wi-wi menangis tersedu-sedu.

   "Huuh.... huu.... Akulah yang salah"

   Keluhnya.

   "Akulah yang salah. Coba aku tidak mendengarkan kata-kata Ki-ji dan menghalangi Jiko pergi memenuhi undangan, tentu tak akan terjadi peristiwa ini"

   Hoa In-liong belum tahu kalau Coa Wi-wi sebetulnya bukan seorang "cowok"

   Melainkan adalah seorang "cewek. Maka ketika mendengar dia menangis, pemuda itupun berkerut kening.

   "Aduuh....! Adik Wi, kenapa kau menangis lagi?"

   Keluhnya sambil menghela nafas.

   "Kau tidak salah, sebab kau telah berusaha dengan segala ke raampuan untuk menghalangi niatku. Akulah yang keliru karena aku tak mau menuruti peringatanmu. Karena aku yang ngotot datang kesitu untuk memenuhi janji, maka jika mau mencari siapa kambing hitamnya, maka akulah yang salah. Aku yang keliru. Siapa suruh aku terlalu gagah dan tolol. Siapa suruh aku bodoh sampai terjebak ke dalam perangkat mereka.... Sudahlah adik Wi, ayoh jangan menangis lagi"

   Begitulah, selama ribut-ribut dan perselisian itu berlangsung dengan serunya, Wan Hong-giok yang bersandar disudut tembok hanya mengikutinya dengan membungkam.

   Sekalipun demikian, diapun tahu bahwa Hoa In-liong bisa terkena racun Sin-hui- si-sim (ular sakti menggigit hati) adalah lantaran disergap secara cilik oleh orang orang Mo-kauw, atau dengan perkataan lain lantaran gara-gara janjinya itulah mengakibatkan si anak muda itu terluka parah.

   Makin dikenang ia semakin sedih, sehingga akhirnya air matapun tak terbendung, sambil menangis terisak keluhnya.

   "Akulah.... Akulah yang menjadi gara-gara.... akulah yang menjadi gara-gara. Tidak seharusnya kuajak Hoa kongcu untuk berjumpa dibukit Yan-san.... Sekarang.... oooh, ia terluka karena aku.... huu....huu...."

   Ketika Hoa In-liong mendengar bahwa Wan Hong-giok bisa berbicara lagi, legalah hatinya.

   "Nona Wan kah itu?"

   Serunya cepat.

   "Bagaimana dengan lukamu? Tidak apa-apa toh?"

   Sebelum roboh tadi, pemuda itu sempat, menyaksikan bagaimana mengenaskannya keadaan Wan Hong-giok, terutama binatang- binatang beracun yang begitu banyaknya bermangkal disekujur tubuh si gadis yang telanjang.

   Dan sekarang, dia harus berbaring.

   Ia tak dapat menyaksikan keadaan nona tersebut.

   Yang bisa didengar hanya suaranya yang tersendat-sendat dengan nada yang lirih dan lemah.

   Sebagai orang persilatan ia tahu gejala semacam itu menunjukkan bahwa hawa murninya sudah mengalami kerusakan hebat atau dengan perkataan lain, luka dalam yang dideritanya cukup parah.

   Betapa sedihnya Wan-Hong-giok mendengar pertanyaan Hoa In-liong yang begitu hangat dan sangat memperhatikan keadaannya itu.

   Apalagi bila teringat akan musibah yang telah menimpa dirinya, bagaikan disayat-sayat hatinya.

   Makin dipikir ia merasa makin sedih, makin menangis suara tangisnya makin keras, akhirnya sambil memukul-mukul dada sendiri keluhnya dengan suara yang mengibakan hati.

   "Aku.... Aku.... hanya seorang cacad. Akulah yang mencelakai dirimu. Oooh.... baik-baiklah kau jaga diri"

   Tiba-tiba dengan menghimpun sisa kekuatan yang dimilikinya ia menumbukkan kepalanya di atas dinding tembok disisinya.

   Hoa In-liong bukan orang bodoh, tatkala mendengar keluhan sang dara yang terakhir tadi, ia segera tahu bahwa Wan Hong-giok mempunyai maksud untuk bunuh diri.

   Sementara hatinya amat terperanjat, Ki-ji yang berada disampingnya sudah menjerit kaget.

   "Jangan nekad!"

   Menyusul kemudian Hoa Si mendepak-depakkan kakinya ditanah seraya menghela nafas panjang berulang kali.

   "Aaai....! Tolol!. Semuanya tolol! Semut saja ingin hidup seribu tahun. Apalagi kamu semua ada manusia memangnya kalian anggap nyawa manusia itu boleh dianggap mainan? Aaai.... Cuma urusan sepele saja sudah berani bermain diujung tanduk. Goblok! Semuanya goblok! Ki-ji....cepat bangunkan nona Wan"

   Yaa, pada hakekatnya peristiwa itu sama sekali diluar dugaan, bukan saja mengejutkan semua orang, sampai-sampai pemuda yang jarang bicara dan selalu serius inipun ikut- ikutan memaki.

   Baru pertama kali ini Hoa In-liong merasakan ketegangan yang luar biasa.

   Ia baru bisa menghembuskan nafas lega setelah Toakonya menegur serta memerintahkan Ki-ji untuk membangunkan Wan Hong-giok.

   Sebab dari perkataan itu dia yakin bahwa si nona selamat dari cengkeraman elmaut.

   Diapun berusaha meronta bangun dan duduk.

   Sekarang perhatian semua orang ditujukan kesatu arah yang sama.

   Tampaklah Wan Hong-giok sedang berjalan mendekati mereka dibawah bimbingan Ki-ji.

   Mukanya tampak layu, rambutnya terurai awut awutan.

   Sepasang bahunya bergoncang keras menahan isak tangis.

   Bagaikan air bah, air matanya meleleh keluar membasahi semua wajahnya.

   Setibanya dibadapan semua orang, kontan Coa Wi-wi mengomel dengan kening berkerut.

   "Enci Wan, bagaimana sih kamu ini? Kenapa tidak kau buka jalan pikiranmu? Kenapa kau nekad untuk melakukan perbuatan tolol seperti itu? Jika kau pandang begitu rendah soal kehidupanmu, bukankah berarti sudah kau sia- siakan bantuan tenagaku selama ini bagimu? Apalagi Toako sudah...."

   Tentu saja bila ucapan itu dilanjutkan, maka akan terdengarlah kata-kata sebangsa "sia-sialah pemberian obat penawar racun dan obat mustika untukmu"

   Dan sebagainya.... dan sebagainya.... Untunglah Hoa Si bertindak cekatan, sebelum kata-kata semacam itu sempat memberondong keluar ibaratnya tembakan senjata otomatis, si anak muda itu sudah ulapkan tangannya sambil menukas.

   "Jangan terlalu menyalahkan dia. Maklumlah, kadang kala pikiran orang memang bisa menjadi cupat lalu mata gelap. Untung Ki-ji cukup cekatan sehingga tak sampai terjadi tragedi yang tidak diharapkan. Tapi aku percaya kejadian semacan ini tak akan terulang untuk kedua kalinya"

   Diapun berpaling kearah Wan Hong-giok dan menambahkan.

   "Duduk dan istirahatlah dulu nona Wan. Sebentar aku hendak bercakap-cakap denganmu"

   Air mata jatuh berlinang dengan derasnya membasahi wajah Wan Hong giok.

   Dengan masih membungkam dia manggut-manggut lalu duduk kembali ke lantai.

   Sementara itu Hoa In-liong menatap diri Wan Hong-giok dengan sepasang mata yang terbelalak lebar.

   Mukanya kaget, tercengang dan sangsi seakan-akan Wan Hong-giok sudah berubah jadi orang lain yang tidak dikenalinya lagi.

   Yaa, pada hakekatnya Wan Hong-giok memang telah berubah.

   Ia telah berubah menjadi manusia lain yang belum dijumpai sebelumnya.

   Kalau dulu Wan Hong giok memiliki badan yang montok, padat berisi dengin muka yang cantik bak bidadari.

   Dengan gerak-gerik yang lincah, hangat seperti api, yang mana seakan-akan siapapun yang mendekatinya akan menjadi leleh karena kepanasan, maka keadaannya sekarang justru merupakan kebalikan dari kesemuanya itu.

   Kobaran api kehangatannya yang menyala sekarang telah padam, tubuhnya yang montok, padat berisi kini tinggal kulit pembungkus tulang.

   Ibaratnya sekuntum bunga mawar yang baru mekar, tiba-tiba terendam didalam gudang salju, seketika itu juga jadi layu dan kaku.

   Padahal, sebagaimana kita ketahui Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang romantis dan gampang terpikat oleh kecantikan perempuan.

   Tentu saja ia menjadi beriba hati, menjadi kasihan setelah menyaksikan keadaan Hong-giok sekarang ini.

   Sekalipun rasa kasihan itu bukan lantaran kecewa tapi betul-betul timbul dari hati kecilnya.

   Ditatapnya gadis itu dengan wajah termangu, tiba-tiba hatinya jadi kecut.

   Pemuda ini betul-betul tak dapat mengendalikan emosinya lagi.

   "Nona Wan, bagaimanakah perasaanmu sekarang?"

   Tanyanya dengan penuh perhatian.

   "Apakah lukamu telah sembuh kembali?"

   Kalau "Hong keng"

   Dianggap sebagai "Be Liang"

   Maka begitulah keadaannya.

   Semakin kuatir dan penuh perhatian nada pertanyaan si anak muda itu, semakin pedih perasaan Wan Hong-giok dibuatnya, Dia mengira rasa cinta Hoa In-liong terhadapnya sudah amat mendalam sekali, hingga peristiwa tersebut membuat gadis ini bertambah kecewa, bertaubat, menyesal dan tentu saja kesedihan yang tak terkendalikah.

   Terhadap perhatian orang, sering kali perhatian yang bersifat persahabatan disalah taksirkan sebagai perhatian yang bersifat cinta.

   Ini terbukti dari kejadian yang dialami Wan Hong-giok dengan Hoa In-liong.

   Perlu diterangkan disini, meski kurang baik nama Wan Hong-giok dalam dunia persilatan, tapi sewaktu dia bertemu dengan Hoa In-liong di kota Lok-yang tempo hari, gadis itu masih berstatus sebagai gadis perawan.

   Sejak berpisah di Lok-yang, Wan Hong-giok selalu terkenang akan pemuda itu atau dengan perkataan lain ia telah jatuh cinta.

   Sayang nasibnya kurang mujur, selaput daranya harus direnggut di tangan iblis dari Mo-kauw yang mengakibatkan kesuciannya ternoda.

   Setelah terjadi peristiwa tersebut, beberapa kali ia sudah berniat untuk menghabisi nyawa sendiri.

   Tapi ketika ia tahu bahwa orang-orang Mo-kauw mempunyai rencana busuk yang mempengaruhi keselamatan umat persilatan pada umumnya dan keselamatan keluarga Hoa Inliong pada khususnya, gadis ini pun jadi nekad.

   Ia berusaha tetap mempertahankan hidupnya untuk menolong sang kekasih dari ancaman maut, maka dibuatnya perjanjian dibukit Yan-san.

   Yaaa, demikianlah kalau orang salah tafsir.

   Siapa tahu Hoa In-liong yang sudah dihalangi niatnya oleh banyak orang, akhirnya terkena juga perangkap orang-orang Mo-kauw yang mengakibatkan ia keracunan Sin-hui atau racun ular sakti.

   Kesemuanya itu sudah membuat hatinya cukup kecewa, apalagi mendapat perhatian lagi dari Hoa In-liong.

   Akibatnya perasaan "simpatik"

   Disalah tafsirkan sebagai perasaan "cinta"

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebetulnya dua persoalan tersebut merupakan persoalan yang berbeda.

   Tapi kalau kita suruh Wan Hong-giok yang sudah terlanjur jatuh cinta menyadari akan perbedaan itu, boleh dibilang ibaratnya orang ingin terbang ke langit, bukan sukar saja malah sama sekali tak mungkin.

   Kalau tidak sulit, tak nanti gadis itu sampai mengeluh akan dirinya yang cacad dan bermaksud menghabisi nyawa sendiri.

   Waktu itu ia duduk dengan badan gemetar, air matanya seperti hujan gerimis, mengucur keluar tiada habisnya.

   Bibir gemetar seperti mau bicara, tapi sepotong kata pun tak mampu diutarakan.

   Akhirnya setelah menghela napas sedih, ia menutupi wajah sendiri dengan kedua belah tangan, kemudian menangis tersedu-sedu.

   Hoa In-liong yang romantis memang suka main perempuan, sayang ia tak tahu bagaimanakah perasaan Wan Hong-giok saat ini.

   Ketika dilihatnya gadis itu menangis, pemuda kita lantas mengira kalau si nona jadi sedih lantaran lukanya yang parah atau mungkin terkenang kembali akan musibah yang menimpa dirinya.

   Timbullah keinginan hatinya untuk menghibur si rona itu dengan beberapa patah kata.

   "Jite, jangan kau ganggu diri nona Wan lagi"

   Tiba tiba Hoa Si menegur dengan kurang sabaran "Kau sendiri juga perlu istirahat, ayoh baik-baik atur pernapasanmu, jangan sampai racun ular itu kambuh semakin parah!"

   "Jangan kuatir Toako, aku masih tahu diri"

   Sahut Hoa In-liong sambil manggut- manggut.

   "Tahu diri apa!"

   Gerutu Coa Wi-wi.

   "Kemarin alasannya tidak tenang, sekarang toh enci Wan sudah tidak apa-apa, kenapa tidak kau gunakan kesempatan ini untuk menjajal sim- hoat istimewamu untuk mengusir racun jahat dari tubuhmu? Mumpung Toako berada disini, ayoh cepat dicoba!"

   Wan Hong-giok yang membungkam tiba-tiba ikut mendongak, dengan wajah yang basah oleh air mata katanya pula.

   "Hoa kongcu, aku yang rendah tak berani merisaukan hatimu dan tak pantas membuat hatimu risau. Bila kongcu tidak tenang hatinya lantaran aku atau kongcu menunda waktu sedemikian untuk mengusir sisa racun lantaran aku, aku yang rendah betul- betul merasa tak terkirakan besarnya dosaku"

   "Tidak.... tidak.... kau jangan berkata begitu"

   Cepat Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali.

   "Demi keselamatan dunia persilatan, demi kepentingan keluarga Hoa kami, kau telah menjadi korban ditangan musuh. Jangan toh baru menunda waktu sedemikian, sekalipun Hoa Inliong harus mengorbankan jiwa demi dirimupun aku juga rela!"

   "Betul!"

   Sambung Coa Wi-wi.

   "Apakah kau masih dapat mempertahankan diri. Enci Wan? Kalau tidak ada halangan apa-apa, harap terangkanlah rencana busuk apakah yang telah dipersiapkan orang-orang Mo-kauw dari Seng sut pay itu. Sebelum kau terangkan kesemuanya itu, mungkin Jiko tak dapat menenangkan hatinya"

   Pada hakekatnya, dengan ucapan tersebut gadis itu sudah memberi penjelasan yang cukup alasan "simpatik"

   Hoa In-liong. Yaa sayang Wan Hong-giok sudah terlalu terpengaruh oleh kobaran cintanya, bukan saja tidak menjadi sadar, ia malah terperosok lebih dalam.

   "Hoa kongcu"

   Katanya kemudian sesudah merenung sebentar.

   "Yang penting racun dalam tubuhmu harus disingkirkan dulu, tapi kalau kau ingin cepat tahu, yaa, baiklah aku katakan secara ringkasnya saja"

   Setelah berhenti sebentar, dia berpaling kearah Hoa Si dan bertanya kembali.

   "Toa kongcu dalamkah ikatan dendam ayahmu dengan kaucu dari Mo-kauw?"

   Hoa Si mengangguk.

   "Yaa, aku rasa begitu, sebab sewaktu mencari harta karun dibukit kiu-cisan, Mo-kauw kaucu memang dibikin keok oleh ayahku"

   Pelan-pelan Wan Hong-giok alihkan pandangan matanya ke wajah Hoa In-liong.

   "Bila ditinjau dari pembicaraan mereka, tampaknya mereka juga punya dendam dengan ibumu?"

   "Aku kurang begitu tahu"

   Hoa In-liong gelengkan kepalanya.

   "Cuma gwakong (engkong luar) ku adalah ketua Sin Ki-pang dimasa itu. Beliau ikut pula dalam peristiwa penggalian harta karun dibukit Kiu-ci-san. Jadi bila dikatakan ada dendam, maka besar kemungkinan kalau dendam itu dibuat pada masa tersebut"

   "Aaaai.... Berbicara soal rencana busuk mereka, pada hakekatnya semua siasat mereka tertuju untuk memusuhi ayah ibumu. Rupanya rasa benci Mo-kauw kaucu terhadap ayah ibumu sudah merasuk sampai ketulang sumsum. Tapi lantaran mereka sadar bahwa kepandaian yang mereka miliki masih bukan tandingan kedua orang tuamu, maka diambilnya keputusan untuk melaksanakan operasi pembalasan dendamnya secara diam-diam. Selain menghimpun kekuatan dan melatih anak buahnya untuk lebih tekun berlatih ilmu, mereka juga memelihara pelbagai jenis binatang beracun untuk mempersenjatai diri. Selain itu merekapun berusaha menangkapi sandera-sandera yang akan mereka bunuh sebanyak-banyaknya. Aku rasa kekuatan seperti ini cukup mengerikan hati"

   "Enci Wan, soal semacam itu tak perlu dibicarakan, tolong bicara saja tentang rencana busuk mereka!"

   Wan Hong-giok mengangguk lirih.

   "Secara garis besarnya, rencana busuk mereka dapat dibagi menjadi rencana secara terang-terangan dan rencana secara tersembunyi. Selain itu dapat dibagi pula menjadi setengah terang dan setengah sembunyi. Yang termasuk rencana secara tersembunyi, boleh dibilang sudah dilaksanakan semenjak sepuluh tahun berselang"

   "Sepuluh tahun berselang....?"

   Hoa In-liong terkesiap.

   "Lalu bagaimana dengan rencana mereka yang terang terangan?"

   "Rencana mereka yang termasuk terang-terangan berpengaruh besar atas keselamatan seluruh dunia persilatan di daratan Tionggoan. Rencana tersebut baru dilaksanakan setelah soal "pembalasan dendam"

   Terlaksana. Mereka hendak menguasai seluruh daratan Tionggoan dan melakukan pembantaian serta pengejaran secara besar-besaran terhadap musuh mereka"

   "Hmmm....! Besar amat ambis mereka!"

   Jengek Coa Wi-wi sambil mendengus dingin.

   "Sayang mereka terlampau tak tahu kekuatan sendiri!"

   "Aaaai.... Tak bisa dikatakan begitu"

   Wan Hong-giok menghela nafas sedih.

   "Konon mereka berhasil mengendalikan sekelompok Bu-lim cianpwe yang berilmu tinggi untuk dijadikan penyerang-penyerang depan mereka. Jika benar-benar akan terjadi hari demikian. Payah.... payah.... hancurlah seluruh dunia persilatan kita"

   "Waaah.... Masa sampai terjadi begitu?"

   Hoa In-liong rada berubah wajahnya.

   "Tahukah nona Wan, manusia-manusia macam apa saja yang berhasil mereka kuasai?"

   Wan-Hong-giok menggeleng.

   "Soal ini bersifat sangat rahasia, jangan toh aku, Hong mereka sendiripun kurang jelas"

   "Aaah.... Omongan kosong! Gurauan mungkin....!"

   Gumam Coa Wi-wi sambil gelengkan kepalanya berulang kali, rupanya ia tidak percaya. Wan Hong-giok berpaling ke arah Coa Wi-wi. Bibirnya bergetar seperti hendak menerangkan sesuatu, tapi niat tersebut kemudian dibatalkan dengan begitu saja.

   "Nona Wan, tolong terangkan lebih lanjut, apa yang dimaksudkan dengan rencana setengah terang setengah gelap mereka? "sela Hoa Si dengan perasaan ingin tahu. Wan Hong-giok berpaling.

   "Rencana yang sedang mereka laksanakan saat ini adalah rencana setengah terang setengah sembunyi. Diantaranya yang termasuk setengah terang adalah manusia-manusia macam Hong Seng sekalian yang membentuk grup-grup secara terpisah dengan kelompok yang terdiri dari tiga sampai lima orang anggota Mo-kauw didampingi seorang sampah masyarakat dari bangsa Han. Mereka semua menyusup kedaratan Tionggoan dengan maksud pertama, menyelidiki sampai dimanakah kekuatan yang sesungguhnya dari umat persilatan di daratan Tionggoan ini. Kedua. Merekapun berusaha mencari kesempatan untuk menawan kalian bersaudara, agar dikemudian hari mereka dapat menggunakan kalian sebagai sandera, apabila terbukti bahwa kepandaian mereka masih tak mampu menandingi orang tua kalian. Aku dengan grup-grup semacam itu mencapai jumlah sebaryak tiga sampai empat puluh grup"

   Hoa Si cuma mangut-manggut saja ketika mendengar keterangan tersebut, dia membungkam dan tidak memberi komentar. Tiba-tiba Wan Hong-giok menghela napas setelah berbicara sampai disitu. Sesudah berhenti sebentar, ia baru berkata lebih jauh.

   "Kalau dibicarakan sesungguhnya, maka yang paling menakutkan justru adalah rencana setengah gelap mereka. Secara diam-diam mereka telah berhasil menangkapi banyak jago persilatan yang tak mau tunduk kepada mereka. Dengan jiwa mereka memaksa anak murid atau putra putri tawanan mereka untuk melakukan pembalasan dendam terhadap anggota keluarga Hoa kalian. Dan ketahui dengan pasti ada sebagian kekuatan yang berhasil mereka himpun dengan cara seperti ini, sekarang kelompok kekuatan tersebut sudah mulai melaksanakan operasinya. Aaai.... Coba bayangkan sendiri, keadaan kita berada di tempat terang sedang musuh ada di tempat gelap, apakah teror semacam ini tidak kita kuatirkan?"

   

   first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 08:24:53
oleh Saiful Bahri Situbondo


Pedang Dan Kitab Suci -- Khu Lung Pendekar Baja -- Gu Long Sepasang Golok Mustika -- Chin Yung

Cari Blog Ini