Ceritasilat Novel Online

Rahasia Hiolo Kumala 21


Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Bagian 21




   Rahasia Hiolo Kumala Karya dari Gu Long

   
Batin Hoa In-liong,"

   Tapi kalau toh Tang kwik Siu berani berkata begini, berarti ilmu silat yang dimiliki Seng To cu itu memang jauh diatas kepandaiannya.... Aku tak boleh terlalu gegabah!"

   Ia coba menengok wajah Seng To cu, tampaknya mukanya selalu kaku tanpa emosi, tapi pemuda itu tahu makin serius orangnya makin sukar di ramalkan sampai dimana kemampuan yang dimilikinya.

   Coa Wi-wi sendiri ikut merasa terperanjat, tapi ia tak suka dengan sikap Tang kwik Siu yang sok ketua-ketuaan itu, maka dia lantas menyela dengan bibir yang dicibirkan.

   "Huuuh....tiga diantara saudara seperguruan kaucu telah kami jumpai, rasanya mereka juga tiada sesuatu kemampuan yang pantas dibanggakan!"

   Dua bersaudara Leng hou marah sekali mendengar perkataan itu, terutama Leng hou Yu yang berangasan, sambil menahan geramnya dia membentak keras.

   "Budak busuk, kau ingin mampus...."

   "Oooh....! beginikah kata-kata mutiara dari seorang Bu lim cianpw e?"

   Tukas Coa Wi wi. Tang kwik Siu terbahak-bahak.

   "Haaahhh.... haaahh.... haaahhh....sute, watak berangasanmu memang sudah waktunya untuk ditekan!"

   Kemudian sambil tersenyum, ujarnya pula kepada diri Coa Wi-wi.

   "Nona adalah...."

   "Nona ini mempunyai asal usul yang besar sekali"

   Tiba-tiba Cia In menukas.

   "jangan membicarakan soal yang lain, cukup dalam hal ilmu silat belum tentu kaucu sanggup untuk mengalahkan...."

   Dengan sorot mata yang tajam Tang-kwik Siu mengawasi Coa Wi-wi dari atas kepala sampai ujung kakinya, kemudian ujarnya pula.

   "Sepasang mataku belum melamur, aku memang tahu kalau tenaga dalamnya luar biasa sekali"

   Cia In tertawa, serunya lagi.

   "Berbicara soal kecantikan muka, dia ibaratnya dewi rembulan yang turun dari kahyangan, ibaratnya dewi-dewi yang bermukim di nirwana, jika di bandingkan dengan perempuan seperti kami, ooh.... kami tak lebih cuma sekuntum bunga yang telah layu"

   Sambil tertawa tiba-tiba ia tutup mulut, meski pun sudah berbicara setengah harian, namun nama Coa Wi wi belum juga disebutkan, orang yang tak tahu tentu mengira perempuan tersebut sengaja jual mahal.

   Lain halnya dengan Hoa In-liong yang cerdik, tiba-tiba hatinya bergetar keras, segera pikirnya.

   "Kalau tak ada urusan besar, mungkin Seng sut pay akan membawa rombongan sebesar ini mendatangi wilayah Kang lam, jangan jangan....yaa, jangan-jangan kedatangan mereka memang khusus ka rena persoalan keluarga Coa?"

   "Aku jelek, aku tak cantik"

   Terdengar Coa Wi wi berkata sambil tertawa, cici sekalian baru benarbenar cantik!"

   Leng hou Ki yang cuma berdiam diri selama ini tiba-tiba menyelinap maju ke depan, lalu membisikkan sesuatu ketelinga Tang kwik Siu. Paras muka Tang kwik Siu berubah hebat, sambil menengok Coa Wi-wi lagi dia lantas berseru.

   "Bila dugaan lohu tak keliru, nona Coa tentunya adalah keturunan dari malaikat ilmu silat bukan?"

   Coa Wi wi yang mendengar pertanyaan itu segera berpikir pula dalam hatinya.

   "Baru saja dua bersaudara Leng hou membicarakan soal ayahku, bagaimanapun juga Tang kwik Siu pasti mengetahui jejak ayahku"

   Sekalipun gadis itu tidak mengetahui kelicikannya dunia persilatan, tapi ia tahu ditanyakan secara langsung juga tak ada gunanya, untuk sesaat ia jadi bingung dan tak tahu apa yang musti dila kukan.

   Akhirnya ia tidak mempeidulikan Tang kwik Siu, dengan ilmu menyampaikan suara ujarnya kepada Hoa In-liong.

   "Jiko, belum lama berselang Leng hou Ki telah mengatakan bahwa pihak Seng sut pay telah berhasil menangkap ayahku!"

   Setelah berhenti sebentar, kembali ia berkata.

   "Bahkan dia bilang ayahku.... ayahku telah....cuma aku tidak percaya"

   Kendatipun begitu, suaranya sudah nada sesungguhnya menahan isak tangisnya yang hampir meledak.

   Tersiap Hoa In-liong mendengar perkataan itu dia tahu Coa Goan-hou tak mungkin sudah terbunuh, tapi yang pasti ia telah terjatuh ke tangan orang-orang Mo kau, maka hiburnya.

   "Jangan kau percayai perkataan mereka, sebab kata-kata dari manusia semacam mereka paling tak bisa dipercaya, dengan andalkan tenaga dalam yang dimiliki empek, masa Seng sut pay bisa berbuat apa-apa terhadap dirinya, tak mungkin bukan?"

   Ketika lama sekali gadis itu belum juga menjawab, Tang kwik Siu tertawa kering.

   "Oooh....dayang cilik yang manja!"

   Keluhnya. Hoa In-liong mengernyitkan alis matanya baru saja dia hendak mengucapkan sesuatu, Cia In sudah keburu tertawa terkekeh-kekeh.

   "Kaucu!"

   Serunya.

   "kenapa engkau melupakan si To koh ini? Masa semua orang sudah ditegur, hanya dia sendiri yang tak digubris?"

   Sambil berkata dia lantas menuding kearah Thia Siok bi. Tang kwik Siu memandang sekejap kearah Thia Siok bi, lalu menjawab dengan tertawa.

   "Aaa.... jago lihay dari luar perbatasan, kami sudah lama kenal satu sama lainnya"

   Thia Siok bi mendengus dingin, ia tidak mengucapkan sesuatu. Hoa In-liong yang mempunyai maksud-maksud tertentu, dengan cepat berseru lagi.

   "Kalau toh kaucu dansuhengmu enggan untuk menghadapi diriku, apakah persoalan pada hari ini kita sudahi sampai disini saja?"

   Tang kwik Siu segera tersenyum.

   "Hari ini pihak Hian-beng-kauw dan perguruan kami telah datang dengan mengerahkan kekuatannya yang besar, tapi kenyataannya tak lebih cuma berkepala harimau berekor ular, sama sekali tak mendatangkan hasil apa-apa. Coba katakanlah sendiri ji kongcu, bila kejadian ini sampai tersiar dalam dunia persilatan, bagaimana kata orang nanti?"

   "Hmmm! Memutar balikkan fakta, rupanya engkau memang mempunyai maksud-maksud tertentu"

   Batin Hoa In-liong. Setelah berpikir sebentar dia lantas tertawa dingin.

   "Heeehhh.... heeehh.... heeehh.... apa gerangan maksud kaucu? Aku merasa tak habis mengerti?"

   Tang kwik Siu tertawa berat.

   "Benarkah ji-kongcu tidak tahu?"

   "Tolong jelaskan!"

   Tiba-tiba sikap Tang-kwik Siu berubah santai sambil mengelus jenggotnya yang keperak perakan dia tertawa.

   "Ji-kougcu bukannya tidak tahu, ayahmu Hoa tayhiap adalah seorang manusia yang gemar nama besar, sudah tentu kongcu juga menyadari bukan kedudukan keluarga Hoa dalam dunia persilatan dewasa ini, nah, dengan ilmu silat ayahmu yang begitu tinggi dan sekarang ditambah pula bantuan dari keturunan malaikat silat....!"

   Tiba-tiba ia terhenti berbicara dan tersenyum. Hoa In-liong dapat menangkap hawa napsu membunuh dibalik perkataannya itu, segera pikirnya.

   "Oooh jadi lantaran keluarha Coa berdiri di pihak keluarga Hoa, maka ia kerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk bertindak lebih dulu, jadi kalau begitu kehadiran orang-orang Mo kau di wilayah Kanglam sekarang memang bertujuan untuk menghadapi keluarga Coa"

   Tiba-tiba saja ia merasakan betapa gawatnya situasi pada saat itu, setelah hawa napsu membunuh dihati Tang kwik Siu berkobar, sudah tentu mereka akan berdaya upaya untuk melenyapkan dirinya.

   Padahal pihaknya cuma terdiri dari tiga orang, sekalipun mendapat bantuan dari orang orang Cian li kau, tak lebih keadaan mereka ibaratnya telur hendak diadu dengan batu.

   Kalau cuma dia seorang yang mampus masih mendingan, bagaimana dengan Coa Wi wi, Thia Siok bi serta Cia In dan belasan orang nona itu? Terutama Goan cing taysu yang masih bersemedi dalam gua.

   Ia tak ingin paderi sakti itu ikut berkorban lantaran dia, sebab dengan susah payah paderi itu telah mendesak keluar hawa racun dari tubuhnya dengan tenga dalamnya yang sakti, masa dia harus membayar air susu dengan air tuba? Hoa In-liong memang cerdik, tapi menghadapi kenyataan tersebut tak urung kebingungan juga dibuatnya.

   Setelah termenung sebentar, dia lantas berkata.

   "Jadi kaucu memang berhasrat untuk beradu kekuatan dengan keluarga Hoa kami?"

   "Soal itu hanya tinggal soal menunggu waktu saja, cepat atau lambat pertarungan memang tak dapat dihindari!"

   Kata Tang kwik Siu dengan sorot matanya yang tajam.

   Setelah lawan berkata demikian, jalan menuju perdamaianpun jadi buntu, karena tiada kesempatan untuk mengulur waktu lagi Hoa In-liong menghela napas panjang, dia siap menantang untuk berduel sambil berusaha mencari akal guna mengikat Tang kwik Siu dalam pertarungan satu lawan satu dengan dirinya.

   Sebab bila sampai begini, paling sedikit dia dapat mengulur waktu selama beberapa jam lagi.

   Tiba-tiba dari balik gua berkumandang suara pujian yang serak tua tapi amat nyaring.

   "0....min....to.... hud...."

   Pujian kepada sang Buddba itu kedengaran sangat aneh, semua orang merasakan suara itu seakan-akan muncul dari sisi telinga mereka, dan lagi suara itu dapat menimbulkan ketenangan bagi sia papun yang mendengar.

   Serentak kawanan jago dari Hian-beng-kauw dan Seng sut pay yang sedang memegang pedang menurunkan senjata masing-masing, bahkan mereka yang memiliki tenaga dalam agak cetek melepaskan pedangnya hingga berjatuhan ke tanah.

   Suheng Tang kwik Siu yang bernama Seng To cu itu tiba-tiba merubah sikap kakunya yang menyerupai mayat hidup itu, matanya yang kecil terbelalak lebar dan memancarkan sinar tajam bagaikan sang surya ditengah hari, begitu tajamnya sorot mata orang itu membuat orang jadi bergidik rasanya....

   Hoa In-liong, Coa Wi-wi dan Thia Siok bi kebetulan berdiri dihadapannya, mereka sangat terperanjat menyaksikan sinar mata tersebut, mereka tahu tenaga dalam yang dimiliki orang itu memang lihay sekali, jelas berada diatas Tang kwik Siu.

   "Hmm, suatu kepandaian Kou sim ciong (lonceng pengetuk hati) yang amat lihay"

   Ujar Tang kwik Siu dengan dahi berkerut.

   "tokoh sakti dari manakah yang berada disitu? Tang kwik Siu ingin menjumpainya...."

   Dari balik gua berkumandang suara dari Goan cing taysu.

   "Tidak berani, lolap Goan cing menjumpai Tang kwik kaucu"

   Berbareng dengan selesainya perkataan itu, tanpa hembusan angin rotan-rotan yang menutupi mulut gua membuka dengan sendirinya, menyusul kemudian murculnya seorang paderi tua yang kurus kering, berwajah penuh keriput dan berjubah abu-abu.

   Sesaat suasana diseluruh gelanggang jadi hening, tapi tak kedengaran sedikit suarapun.

   Tang kwik Siu, gembong iblis yang termashur namanya dalam dunia persilatan, dua bersaudara Leng hou yang terkenal karena buas, Toan bok See Iiang serta Beng Wi-cian sekalian yang licik semuanya berdiri terbelalak dengan mulut melongo.

   Hanya Seng To ku yang berwajah kaku saja tetap berdiri ditempat semula, meski mukanya agak mengejang sebentar namun dengan cepat telah pulih kembali seperti sedia kala.

   Kiranya Goan cing taysu bukan muncul dari gua itu dengan berjalan kaki, tapi tetap duduk bersilah.

   Tubuhnya seakan-akan duduk diatas sebuah mimbar berbentuk teratai yang melayang diudara, dengan selisih tiga depa dari permukaan tanah pelan-pelan dia melayang keluar.

   Hoa In-liong pertama-tama yang sadar dari kejadian itu, dengan cepat dia mundur tiga langkah ke samping.

   Goan cing taysu melayang turun tepat tiga kaki didepan Tang kwik Siu, setelah memuji keagungan Buddha, pelan-pelan ia melayang turun keatas tanah, begitu agung dan berwibawanya pendeta itu seakan-akan benar-benar baru turun dari kahyangan....

   Dengan air mata bercucuran tiba tiba Cia In berbisik.

   "Sumoay sekalian, bubarkan barisan!"

   Mendengar perintah itu, serentak kawanan gadis dari Cian li kau melepaskan tangan mereka yang saling bergandengan tangan itu.

   Kemudian dengan langkah yang lembut Cia In maju sendirian kehadapan Goan cing taysu dan jatuhkan diri berlutut.

   Menyaksikan perbuatan dari pemimpin mereka, kawan gadis lainnya jadi melongo, mereka hanya bisa saling berpandangan dengan perasaan tidak habis mengerti.

   Sejak munculkan diri ditengah gelanggan, Goan cing taysu hanya duduk bersila dengan kepala tertunduk dan mata terpejam, ia sama sekali tidak menggubris jago-jago dari dua perguruan besar itu.

   Tapi setelah Cia In berlutut dihadapanya, ia membuka matanya yang lembut sambil mengebutkan ujung bajunya.

   "Silahkan bangun nona, lolap tak berani menerima penghormatan sebesar ini"

   Cia In merasakan datangnya hembusan angin lembut yang menekan tubuhnya, mau tak mau dia terpaksa baru bangkit berdiri.

   Tahukah nona itu bahwa Goan cing taysu tak suka dengan segala macam tata cara, maka dia berdiri disamping tanpa berkata-kata.

   Goan cing taysu, menghela napas panjang pelan-pelan dia alihkan sinar matanya ke wajah Tang kwik Siu.

   Waktu itu Tang kwik Siu sudah tahu manusia macam apakah Goan cing taysu itu, tapi dia tak menyangka kalau tenaga dalamnya sudah mencapai tingkatan setinggi itu, meski tertegun bagaimanapun juga dia adalah seorang ketua dari suatu perguruan besar.

   Sambil tertawa seram katanya kemudian.

   "Lian sik siu tok (menyeberang melayang dengan teratai batu), maupun Kou sim ciong (lonceng pengetuk hati) adalah dua macam ilmu sakti yang jarang dijumpai dalam dunia, hari ini aku Tang kwik Siu betul-betul sudah membuka mata"

   Berbicara sampai disitu, dia lantas berpaling kearah Seng To cu dan memberi tanda.

   Tiba-tiba Seng To cu maju selangkah ke depan tanpa mengucapkan sepatah katapun dia menjulurkan lengan kanannya ke depan, kelima jari tangannya direntangkan lalu dari jarak sejauh dua kaki dia melancarkan sebuah cengkeraman udara kosong ketubuh Goan cing taysu.

   Cengkeraman itu tidak membawa desingan angin serangan, macam anak-anak yang sedang bergurau saja.

   Dengan wajah serius Goan cing taycu merentangkan sepasang tangannya yang semula dirangkap didepan dadanya, kecuali beberapa orang jago yang benar-benar lihay, hampir boleh dibilang yang lain tak tahu apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.

   Sementara semua orang masih tercengang dibuatnya, tiba-tiba ujung baju yang dikenakan kawanan manusia yang berdiri disekitar Goan cing taysu dan Seng To cu berkibar sendiri tanpa angin, rupnnya dalam gerakan yang menyerupai permainan itu, kedua belah pihak telah saling bertukar satu serangan maut.

   Akibat dari serangan itu tubuh bagian dari Goan cing taysu sampai berputar arah, tapi tetap kokoh seperti batu karang.

   Sebaliknya Seng To cu dengan wajah agak berubah terhuyung maju setengah langkah kedepan.

   Berseri wajah Hoa In-liong menyaksikan kejadian itu, segera pikirnya dihati.

   "Kalau kulihat dari keadaan ini, sudah terang Seng To cu makhluk tua itu yang keok, kenapa tak mau koit sekalian?"

   Meskipun kalah, Seng To cu tidak kelihatan marah atau terpengaruh oleh emosi, sambil putar badan hanya ujarnya dengan suara yang dingin dan kaku.

   "Hayo pergi!"

   Tang kwik Siu tertegun, menyusul kemudian ia berpikir lebih lanjut.

   "Yaa betul! Toh pihak kami mempunyai Coa Goan hau sebagai sandera, sekalipun hwesio itu lihay dan berilmu tinggi, kenapa musti dilawan dengan kekerasan?"

   Karena berpendapat demikian, segera timbullah niatnya untuk mengundurkan diri.

   "Baiklah!"

   Dia berkata kemudian sambil memberi hormat.

   "memandang diatas wajah taysu, aku tersedia menyelesaikan persoalan hari ini sampai disini saja, semoga dilain waktu kita masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali, waktu itu aku pasti akan mencoba-coba sampai dimanakah taraf kepandaian yang dimiliki taysu"

   Kemudian sambil tertawa terbahak-bahak, ia memimpin kawanan jago Mo kau nya siap meninggalkan tempat itu.

   Coa Wi-wi amat kuatir akan nasib ayahnya terus atas perkataan dua bersaudara Leng hou, tentu saja dia tak ingin membiarkan musuh musuhnya berlalu dengan begitu saja.

   "Kongkong!"

   Teriaknya dengan gelisah.

   "hilangnya ayah ada sangkut pautnya dengan pihak Mo kau, kita tak boleh membiarkan mereka kabur dengan begitu saja"

   Sebetulnya Goan cing taysu tidak ingin mencari banyak urusan, mundurnya pihak Seng sut pay justru ibaratnya pucuk dicinta ulam tiba baginya, akan tetapi setelah mendengar seruan dari cucu perempuannya itu, mata yang ramah dan penuh welas kasih itu mendadak memancar serentetan sinar tajam yang menggidikkan.

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tang kwik kaucu!"

   Tegurnya dengan nada keras.

   "benarkah perkataan cucu perempuanku itu?"

   Tang kwik Siu mengulapkan tangannya mencegah Leng hou Yu mengumbar emosinya, lalu tertawa dalam.

   "Heeeh.... heeehhh.... heeehh....belasan tahun berselang ada seorang jago yang bernama Coa tayhiap telah menjadi tamu terhormat dari Seng sut pay kami, waktu itu dia sedang berada disekitar bukit Kun kun, mungkin orang itu adalah orang tua nona tersebut...."

   Tiba-tiba Seng To cu yang seram dan kaku itu menimbrung.

   "Jika manusia minum air, panas atau dingin tentu akan diketahui dengan sendirinya!"

   Sehabis berkata sambil mengebaskan ujung bajunya dia berlalu lebih dahulu, bukan saja tidak menyapa Tang kwik Siu lagi, memandang sekejap pun tidak. Tang-kwik Siu segera berkata pula.

   "Aku Tang-kwik Siu merasa kagum sekali oleh kebaktian nona Coa terhadap orang tuamu, bila kau memang berniat mencari ayahmu di wilayah Se ih, dengan senang hati Seng sut pay kami bersedia untuk membantu usahamu itu!"

   "Hmm....! Membantu atau berusaha mencegah dengan sekuat tenaga....?"

   Ejek Coa Wi-wi sambil mendengus.

   "Omintohud!"

   Tiba-tiba Gaok cing taysu berseru memuji keagungan sang Buddha, lalu dengan suara yang amat tenang dan lembut katanya lebih jauh.

   "Anak Wi, jangan berbuat kurangajar!"

   Dia angkat kepalanya memandang sekejap wajah Tang kwik Siu, lalu tegurnya dengan wajah serius.

   "Tang kwik kaucu, sebenarnya apa maksud tujuanmu?"

   Tang kwik Siu tertawa tergelak.

   "Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh.... taysu memang cerdik sekali, sungguh membuat aku Tang kwik Siu merasa amat kagum!"

   Hoa In-liong tahu bahwa Tang kwik Siu hendak membuka kartu, maka setelah menimbang sebentar keadaan di sekitar tempat itu, akhir nya dengan ilmu menyampaikan suara dia berbisik kepada Coa Wi-wi.

   "Adik Wi, kau tak perlu ikut serta dalam adu kecerdasan ini, biar kongkong seorang yang menghadapinya!"

   Sementara itu sambil mengalus jenggotnya Tang kwik Siu telah berkata lebih lanjut.

   "Menurut penglihatanku, pembantaian secara besar-besaran telah berlangsung dalam dunia persilatan, amisnya darah telah menodai seluruh permukaan tanah, bukan cuma sehari saja rekan-rekan se aliranku menderita penindasan dan penjajahan dari keluarga Hoa, penindasan demi penindasan yang harus kami terima selama ini sudah tak bisa tertahan lagi, ketahuilah taysu, pelbagai jago persilatan dari empat samudra kini telah bersatu padu siap menumbangkan kelaliman serta kekuasaan keluarga Hoa, soal kehancuran sudah tinggal menunggu saatnya saja dan pertumpahan darah ini tidak mung kin bisa dihindari lagi. Taysu, kau sebagai seorang pendeta yang beribadah sudah sepantasnya kalau mengundurkan diri dan hidup mengasingkan diri, apa gunanya kalian musti ikut campur didalam air keruh?"

   Ditinjau dari pembicaraan tersebut, sudah terang dia sedang menganjurkan kepada Goan cing taysu agar membawa keluarga Coa mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan.

   Selama pembicaraan tersebut berlangsung, Hoa In-liong cuma membungkam diri dalam seribu bahasa, kendatipun pihak lawan menuding menjangan sebagai kuda, tapi lantaran urusannya menyangkut tentang mati hidup Goa Goan hau, pemuda itu merasa kurang baik untuk ikut memberi komentar.

   Goan cing taysu sama sekali tidak tergerak hatinya oleh perkataan tersebut, dengan tenang ia mendengarkan ucapan itu hingga selesai, kemudian baru ujarnya dengan nada hambar.

   "Maksud baik kaucu haaya dapat lolap terima dalam hati saja, sayang sang Buddha pernah bersabda demikian.

   "Kalau bukan aku yang masuk neraka, siapa lagi yang akan masuk neraka? Kalau toh dunia persilatan sudah mengalami kekalutan, mana boleh lotap menyingkirkan diri untuk mencari selamat? Ketahuilah, membela keadilan menyingkirkan kejahatan adalah tugas serta tanggung jawab setiap insan manusia"

   "Keras kepala amat hwesio tua ini"

   Pikir Tang kwik Siu kemudian.

   "yaa, agar terhindar dari segala yang tidak diinginkan, aku tak boleh bertindak terlampau gegabah"

   Untung saja kedua belah pihak memang berniat untuk berpisah selekasnya, cepat dia menjura dan memberi hormat.

   "Kalau toh begitu, aku rasa tiada persoalan lain yarg bisa dibicarakan lagi, maaf aku mohon diri terlebih dahulu"

   Goan cing taysu juga tidak berkata apa-apa, dia menghantar kepergian orang itu sambil memberi hormat pula.

   Toan bok See liang dan Beng Wi cian sebenarnya merasa berat hati untuk mengundurkau diri dengan begitu saja, akan tetapi lantaran ilmu silat yang dimiliki Goan cing taysu terlampau lihay mau tak mau terpaksa mereka harus menggulung layar mengikuti hembusan angin.

   "Hayo kita pergi!"

   Bentak Beng Wi cian kemudian.

   Tanpa membuang tempo, dia pimpin segenap anggota Hian-beng-kauw dan berangkat meninggalkan tempat itu.

   Setelah semua orang sudah lenyap dari pandangan mata, Coa Wi-wi baru mendepak depakan kakinya keatas tanah sambil mengomel tiada henti-hentinya.

   "Kongkong ini bagaimana sih? Kenapa kau lepaskan Tang kwik Siu sekalian dengan begitu saja!"

   Goan cing taysu menghela napas panjang, ia tidak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya kepada Cia In ujarnya dengan lembut.

   "Lolap tidak mempuryai kemampuan apa-apa, apa alasan nona sehingga musti memberi hormat kepadaku?"

   Cia In menggetarkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun tak sepatah katapun yang mampu diutarakan keluar. Goan cing taysu tertawa lembut.

   "Harap tunggu sebentar nona"

   Katanya. Dia lantas berpaling kearah Thia Siok bi, lalu sapanya.

   "To yo...."

   Thia Siok bi membungkukkan badannya memberi hormat, sahutnya.

   "Taysu adalah seorang pendeta beribadah yang berhati mulia, Thia Siok bi tak berani menerima hormat tersebut"

   Kemudian setelah berhenti sebentar katanya lebih jauh.

   "Maaf kalau aku tak bisa mendampingi terlampau lama lantaran masih ada urusan penting lainnya terpaksa boanpwe harus minta diri lebih dahulu"

   "Cianpwe...."seru Hoa In-liong dengan cemas.

   "Kutunggu sepertanak nasi lamanya dikaki gunung sana"

   Tukas Thia Siok bi dengan suara yang ketus.

   "bila kau masih mempunyai perasaan cinta cepatlah datang temui diriku"

   Kemudian sambil mengebaskan hud timnya, dia berlalu lebih dulu dari tempat itu. "Cianpwe"

   Teriak Coa Wi-wi gelisah.

   "kini enci Wan berada dimana....?"

   Thia Siok bi tidak menggubris teriakan itu, dengan kecepatan tinggi ia berlalu dari situ dan lenyap dibalik bukit sana. Sepeninggal To koh itu, Hoa In-liong baru berpaling kearah Goan cing taysu, bibirnya bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu.

   "Tunggu sebentar!"

   Goan cing taysu segera mengidapkan tangannya. Kemudian dengan dahi berkerut dia berpaling kearah hutan bambu dan berseru.

   "Sicu berdua yang ada dalam hutan, apa salah nya kalau segera menampilkan diri?"

   Dari balik hutan segera berkumandang suara jawaban dari seorang perempuan.

   "Sebenarnya perintah taysu harus boanpwe taati sayang pada saat ini boanpwe masih ada urusan lain yang harus segera diselesaikan, maaf kalau aku tak dapat menurut perintah"

   Mendengar suara itu, Cia In beserta belasan orang gadis muda itu segera berseru.

   "Suhu....!"

   Hoa In-liong kenali juga suara itu sebagai suaranya Pui Che-giok, dia lantas berpikir.

   "Berdasarkan daya pendengaran kongkong, didalam hutan terdapat dua orang tak mungkin kongkong salah mendengar, lantas siapakah orang yang satunya lagi?"

   Berpikir sampai disitu, tiba-tiba ia teringat diri Tiang heng To koh, tanpa sadar segera teriaknya.

   "Bibi Ku....!"

   Sementara itu Pui Che-giok sedang berkata.

   "Taysu, bila engkau bersedia mengasihani perempuan itu, tolong berilah pelajaran kepadanya sedang yang lain biar dipimpin anak Ay pulang ke markas"

   Salah seorang nona berbaju hijau yang berada dalam rombongan itu tak lain adalah murid kedua dari Pui Che-giok, dia bernama Cia Sau ay, mendengar ucapan guruaya buru-buru dia memberi hormat.

   "Tecu menerima perintah!"

   Katanya. Dilain pihak Tiang heng To koh sedang berkata pula.

   "Liong-ji, sebetulnya bibi Ku tak ingin kalau kedatanganku kau ketahui, tak disangka kembali kau berhasil menebaknya secara jitu, aaai....bibi Ku tidak tega untuk membungkam diri terus serta tidak memperdulikan dirimu, cuma kali ini kau juga tak perlu bersilat lidah, sebab bibi Ku tak mungkin akan mendengarkan perkataanku itu"

   "Bibi Ku apakah kau sudah tak sayang kepadaku lagi?"

   Teriak Coa-Wi-wi pula dengan cemas.

   "kenapa kau tidak memperdulikan aku? Menyapa saja tidak?"

   

   Jilid 34 TIANG HENG TO KOH tertawa dingin.

   "Aaah.... kamu si setan cilik, terlalu banyak akal busukmu, kali ini bibi Ku kuatir terperangkap lagi, maka lebih baik tidak kusapa dirimu.... Suara pembicaraan tersebui makin lama berkumandang semakin lirih, dan akhirnya tak kedengaran lagi, jelas Tiang heng To koh sudah berlalu dari sana. Setelah kepergian dua orang perempuan itu, Goan cing taysu kembali berpaling kearah Cia In, lalu ujarnya.

   "Nona Cia, kalau toh gurumu sudah berkata begitu, apakah kau bersedia mengikuti lolap selama beberapa hari?"

   "Bila cianpwe bersedia mtnampung diriku, hal ini merupakan suatu keuntungan besar buat siauli"

   Jawab Cia In sambil bungkukkan badan meranti hormat. Tiba-tiba Coa Wi-wi mengomel lagi.

   "Kongkong, kenapa kau biarkan orang-orang Mo kau itu pergi dengan begitu saja?"

   Goan cing taysu menghela napas, bukannya menjawab dia malahan balik bertanya.

   "Anak Wi, kau yakin dengan ilmu kepandaianmu, berapa orang ysng bisa kau hadapi?"

   "Untuk menghadapi dua orang setan tua she Leng hou itu, anak Wi yakin masih bisa mengatasinya jawab Coa Wi-wi setelah termenung dan berpikir sebentar. Hoa In-liong gelisah sekali, dia tidak berminat mengikuti pembicaraan itu, kembali pikirnya.

   "Waaah.... kenapa pembicaraan ini belum berakhir juga?"

   Tampaknya To koh tadi atau gurunya Wan Hong giok menaruh perasaan kurang senang terhadap diriku, kalau terlambat kesana bisa jadi kemarahannya akan semakin memuncak tapi...."

   Tiba-tiba Goan cing taysu memotong lamunannya.

   "Anak Liong, yakinkah kau untuk menghadapi Tang kwik Siu?"

   "Meskipun anak Liong sudah memperoleh bimbingan serta bantuan kongkong, tapi aku yakin kepandaianku setingkat masih berada dibawahnya"

   Goan cing taysu alihkan kembali perhatiannya ke wajah Cia In dan Cia Sau-ay sekalian belasan orang nona.

   "Dan sekalian nona...."

   Lanjutnya.

   "Harap cianpwe jangan menyertakan siau-li sekalian"

   Tukas Cia In sambil gelengkan kepalanya berulang kali.

   "kami tidak mempunya kepandaian apa-apa, paling banter juga cuma bisa membantu berteriak sambil memberi semangat, atau kalau terpaksapun hanya dapat menahan kaum keroco dari Mo kau"

   "Ah, nona sekalian terlalu sungkan"

   Kata Goan cing taysu sambil tersenyum.

   Setelah berhenti sebentar, dia berkata legi "Berbicara sesungguhnya, bukan lolap sengaja memandang hina orang lain, tapi yang jelas To yu tadi juga bukan tandingan dari Tang kwik Siu, kalau sampai terjadi pertarungan massal, bukan saja sisa anggota Mo kau akan turun tangan semua, pihak Hian-beng-kauw juga tak mungkin hanya berpeluk tangan belaka"

   "Tapi.... kenapa kongkong melupakan dirimu sendiri?"

   Seru Coa Wi-wi tercengang. Mendengar pertanyaan ini, Goan cing taysu tertawa getir.

   "Lolap sudah tak punya kekuatan lagi, pada hakekatnya keadanku sekarang jauh lebih lemah dari seorang manusia biasa!"

   Kontun saja ucapan tersebut seruan tertahan dan keluan heran dari Coa Wi-wi serta sekalian nona nona dari Cian li kau. Hoa In-liong juga tercengang, dengan kaget serunya agak terbata-bata.

   "Tentu....tentunya.... anak Lionglah penyebabnya, anak Liong lah yang telah mencelakai kongkong....

   "

   "Pada hakekaknya apa yang ada sebetulnya tak ada, apa yang ada sebetulnya ada, siapa bilang engkau yang mencelakai diriku?"

   Jawab Goan cing taysu dengan lembut, anak Liong, aku cuma bisa berharap kau melatih diri lebih tekun, sehingga tidak menyia-nyiakan pertemuan kita kali ini"

   Hoa In-liong cuma bisa mengiakan berulang kali.

   "Kongkong, sebetulnya apa yang telah terjadi dengan dirimu?"

   Seru Coa Wi-wi lagi dengar cemas.

   "Tidak apa-apa, asal beritirahat sebentar niscaya tenagaku akan pulih kembali"

   Berbicara sampai disitu, Goan cing taysu segera mengulapkan tangannya.

   "Anak Liong, kau boleh pergi lebih dulu, bukankah To yu itu menunggu kedatangan di kaki bukit?"

   "Betul kongkong!"

   Jawab Hoa In-liong tergagap, tapi keadaan kongkong sekarang...."

   Goan cing taysu tertawa.

   "Lolap baik sekali!"

   Tukasnya.

   Hoa In-liong kembali ragu-ragu sebentar, dia berpaling memandang ke arah Coa Wi- wi, bibirnya bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi niat itu kemudian dibatalkan.

   Sesudah sangsi sejenak, akhirnya dia menjadi nekad, tiba-tiba serunya.

   "Adik Wi, baik-baiklah menjaga diri!"

   Kemudian sambil memberi hormat kepada Cia In sekalian, ujarnya pula lebih lanjut.

   "Cici sekalian, terima kasih banyak atas bantuan kalian! Sebagai orang sekeluarga rasanya siau te pun tak usah banyak berbicara bukan?"

   "Jiko, tunggu sebentar!"

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tiba-tiba Coa Wi wi berteriak keras, Lalu dia berpaling dan katanya kepada Goan cing taysu.

   "Kongkong, bagaimana kalau kutemani jiko lebih dahulu?"

   Goan cing taysu tertawa ringan.

   "Masa kau tidak dapat menangkap maksud sebenarnya dari To yu itu? Dia hanya berharap jiko mu bisa menjumpainya seorang diri, kalau kaupun turut serta, belum tentu kehadiranmu akan disambut dengan senang hati....!"

   Lalu dia ilapkan tangannya kepada Hoa In-liong sambil serunya kembali.

   "Nah, cepatlah pergi!"

   Sekiali lagi Hoa In-liong melirik sekejap kearah Coa Wi wi, kemudian dia putar badan dan cepatcepat berlalu dari situ, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

   Coa Wi-wi menncibirkan bibirnya yang kecil mungil, jelas nona itu lagi tak senang hati.

   Cia Sau ay mendepak-depakkan pula kakinya dengan gemas, sambil melirik sekejap ke arah Cia lIn, bisiknya jengkel"

   "Huuuh....! Betul-betul hatinya sudah busuk!"

   Cia In cuma tertawa mendengar omelan saudara seperguruannya itu, katanya kemudian.

   "Ji sumoay, sekarang kaupun harus memimpin sumoay-sumoay sekalian pulang ke rumah!"

   Sementara itu Hoa In-liong sudah tiba di kaki bukit, dari tempat kejauhan dia sudah menyaksikan Thia Siok bi berdiri dibawah sebatang pohon kui.

   Sebenarnya dia hendak menyapa To koh itu, tapi ketika dilihatnya Thia Siok bi hanya melirik sekejap kearahnya dengan dingin, lalu tanpa mengucapkan sepatah katapun meninggalkan tempat itu, terpaksa ia telan kembali kata-katanya dan mengikuti dengan mulut membungkam.

   Suasana tetap hening dan diliputi kebungkaman meski sudah menyeberangi sungai Tiang-kang dan meneruskan perjalanan melalui jalau raya menuju ke Hway-im.

   Lama kelamaan habis sudah kesabaran Hoa In-liong, akhirnya dia menegur.

   "Cianpwe, bagaimanakah keadaan nona Wan?"

   Thia Siok bi pura-pura tidak mendengar, setelah hening kembali sesaat dia baru menjawab dengan serius.

   "Pokoknya dia masih dapat bernapas!"

   "Waduh, alot benar perkataan ciaapwe ini"

   Pikir Hoa In-liong.

   "rupanya dia sudah menaruh kesan yang kurang baik kepadaku, atau memang wataknya yang begitu...."

   Dia tertawa paksa, lalu bertanya lagi.

   "Cianpwe, boleh aku tahu kini nona Wan berada dimana?"

   Thia Siok bi hanya mendengus, tiada jawaban yang terdengar.

   Setelah ketanggor batunya, Hoa In-liong tidak banyak bertanya lagi, dengan kepala tertunduk dia melanjutkan berjalan.

   Begitulah, yang satu berjalan didepan sedang yang lain mengikuti dibelakang bagaikan gulung asap ringan mereka berlarian dijalan raya tersebut.

   Dengan kepandaian silat yang mereka berdua miliki tentu saja kecepatan gerak mereka sangat luar biasa, bagi orang awam biasa, mereka hanya merasakan berhembusnya angin dingin, ketika mereka mengadah, tahu-tahu dua orang itu sudah berada puluhan kaki jauhnya dari tempat mereka berada.

   Waktu itu tengah hari baru menjelang, terik panasnya matahari terasa menyengat badan.

   Tiba-tiba Thia Siok bi memperlambat gerakan tubuhnya, lalu birkata dengan suara dingin.

   "Pinto masih ingat didepan sana terdapat sebuah warung makan, kita bersantap dulu sebelum melanjutkan perjalanan!"

   "Tapi boanpwe belum lapar"

   Sahut Hoa In-liong sambil memperlambat pula langkah kakinya. Padahal semenjak kemarin malam dia belum mengisi perut, apalagi setelah berlangsungnya pertarungan sengit, perutnya semenjak tadi sudah gemerutukan minta diisi.

   "Kau tidak lapar, aku toh lapari"

   Kata Thia Siok bi tiba-tiba dengan nada yang ketus. Hoa In-liong tertegun, menyusul kemudian sekulum senyuman menghiasi ujung bibirnya. Meskipun cianpwe ini mempunyai watak yang dingin dan tak sedap, rupanya dia cukup memahami perasaan orang...."

   Demikian pikirnya.

   Tak lama kemudian, dari tempat kejauhan muncul tanah hijau yang amat rindang, banyak warung makan berjajar ditepi jalan.

   Kedua orang itu semakin memperlambat langkah kakinya, mengikuti orang-orang yang lain mereka masuk kewarung dan mencari tempat duduk.

   Warung warung darurat yang didirikau disepanjang jalan itu meski terbuat dari bambu alat-alat makan yang dipakaikan sudah kelewat jaman, tapi suasananya amat nyaman, udarapun terasa segar, suatu tempat beristirahat yang amat serasi.

   Hoa In-liong mencoba untuk memeriksa keadaan disekeliling tempat itu, ia lihat sebagian besar tamu dalam warung itu adalah kaum pedagang serta kaum pelancong, tidak kelihatan seorang jago persilatan pun.

   Ketika orang-orang dalam warung itu menjumpai munculnya seorang pemuda tampan bersama seorang To koh setengah umur, mereka hanya memandang sekejap lalu melanjutkan daharan masing-masing, tak seorang pun berani memperhatikan lebih lama.

   Rupanya sang pelayan juga mengetahui kalau kedua orang tamunya adalah jago-jago persilatan, tergopoh-gopoh ia menyiapkan hidangan untuk tamu istimewanya itu.

   Sambil hersantap, Hoa In-liong bertanya.

   "Cianpwe, selama ini kau berdiam dimana? Kalau tak ada urusan lain, bersediakan main selama beberapa hari dirumahku?"

   Thia Siok bi meletakkan sumpitnya dan menjawab dingin.

   "Aku akan tinggal diluar perbatasan!"

   Hoa In-liong tertegun, sampai sumpit dan mangkuknya diletakkan kembali kemeja.

   "Bukankah cianpwe telah bentrok dengan pihak Hian-beng-kauw? Aku lihat Toan bok See liang dan Beng Wi cian menaruh perasaan benci dan mendendam terhadap diri cianpwe?"

   "Tak usah kuatir, meskipun pinto berada dimulut harimau, tapi kedudukanku sekokoh bukit Thaysan"

   Menyaksikan To koh tersebut, kembali Hoa In-liong berpikir didalam hatinya.

   "Dia begitu tenang, sedikit pun tidak gugup atau panik meski mara bahaya telah berada didepan mata, janganjangan hubungannya dengan Hian-beng-kauw memang mendalam sekali?"

   Maka sesudah termenung sejenak, dia bertanya lagi.

   "Apakah cianpwe kenal dengan salah seorang dari anggota Hian-beng-kauw....?"

   Sebetulnya Thia Siok bi tidak ingin menjawab, tapi diapun merasa tak tega untuk mendiamkan pemuda itu, akhirnya setelah termenung jawabnya secara diplomatis.

   "Yaa, pinto memang mempunyai hubungan dengan seseorang dari perkumpulan tersebut!"

   Dengan kaucu nya?"

   Thia Siok bi segera menggeleng.

   "Tapi orang itu pasti mempunyai kedudukan jauh diatas Toan bok See liang dan Beng Wi cian bukan?"

   Desak Hoa In-liong lebih jauh.

   "Kau tak perlu memancing-mancing dengan cara itu, percuma usahamu itu bakal sia- sia belaka sebab pinto tak mungkin akan buka suara, mengenai keadaan dalam perkumpulan Hian-bengkauw...."

   Tiba-tiba ia menghela napas panjang.

   "Nak, tentunya kau tidak membiarkan pinto menjadi seorang kurcaci penjual teman kan?"

   SETELAH To koh itu mengutarakan alasannya, tentu saja Hoa In-liong tak dapat mendesak lebih jauh, sebab bila ia sampai berbuat demikian sama artinya dengan ia memaksa To koh itu menjadi seorang penjahat penjual teman. Hoa In-liong tersenyum.

   "Perkataan cianpwe terlampau serius, sekalipun boanpwe mempunyai nyali sebesar gajah, tak nanti aku berani berbuat demikian"

   Katanya.

   "Kalau begitu janganlah bertanya"

   "Baik!"

   Jawab Hoa In-liong sambil tertawa lirih.

   "Hei, apa yang kau tertawakan?"

   Kembali Thia Siok bi menegur dengan wajah membesi.

   "tak usah menggunakan akal setan untuk menjebak aku, sebab kalau ingin memancing sepotong kata dari mulut pinto adalah percuma, lebih baik kau tak usah bermimpi disiang hari bolong"

   "Aku kuatir cianpwe marah, tak berani ku utarakan!"

   Kata Hoa-In-liong kemudian. Thia Siok bi berpikir sebentar, lantas pikirnya.

   "Aku jadi ingin tahu soal apakah yang membuat ia tertawa kegelian...."

   Karena ingin tahu, dengan kening berkerut dia pun berkata.

   "Coba katakanlah secara terus terang, pinto berjanji tidak akan marah....!"

   Diam-diam Hoa-In-liong tertawa geli, tapi diluaran dia berpura-pura apa boleh buat, katanya setengah terpaksa.

   "Cianpwe, bukan aku yaog ingin bicara tapi cianpwe yang memaksa aku untuk mengutarakan lho."

   "Sudah tak usah main akal-akalan lagi hayo cepat katakan!"

   Tukas Thia Siok bi setengah memaksa. Dengan senyum dikulum ujar Hoa In-liong.

   "Boanpwe sedang berpikir, mungkinkah sahabat cianpwe yang berada dalam perkumpulan Hian-beng-kauw itu adalah seorang manusia dari marga Go...."

   Begitu kata Go disinggung, paras muka Thia Siok bi kontan berubah hebat. Melihat gelagat itu buru-buru Hoa In-liong tutup mulut. Setelah hening sesaat, paras muka Thia Siok bi pelan-pelan menjadi lembut kembali, katanya.

   "Sejak semula pinto sudah banyak mendengar otang berkata bahwa engkau itu licik dan banyak tipu muslihatnya, pada hakekatnya kau adalah seekor kancil yang sukar dilawan. Pada mulanya aku masih belum percaya, tapi sekarang aku baru tahu bahwa berita itu bukan cuma kabar berita kosong belaka"

   "Agaknya dugaanku memang tak salah!"

   Pikir Hoa In-liong.

   "jelas orang yang dimaksudkan sebagai sahabatnya dalam Hian-beng-kauw pada hakekatnya tak lain adalah bekas suaminya"

   Meski dia berpikir demikian dihati kecilnya, tapi diluaran pemuda itu berkata lain.

   "Cianpwe, aku cuma mendengar kabar itu dari orang lain, tentu saja belum tentu benar. Jelek-jelek begini boanpwe toh seorang pemuda yang gagah dan berterus terang...."

   "Gagah dan terus terang?"

   Thia Siok bi tertawa kegelian.

   "bocah wahai bocah, kau memang tak tahu malu, masa ada orang memuji diri sendiri? Baru kali ini kutemui orang bermuka tebal seperti kau"

   Hoa In-liong semakin gembira lagi karena To koh itu tak menunjukkan rasa gusar, sambil tertawa cekikikan katanya.

   "Cianpwe kau telah berjanji tak akan marah, kenapa kau telah menjadi cemburu? Wah, saking tak tenangnya hampir saja jantung boanpwe ikut copot, untungnya...."

   Thia Siok-bi tak dapat menahan rasa gelinya lagi, dia tertawa terkekeh-kekeh, hardiknya.

   "Masa orang seperti kau bisa merasa tak tenang? Huuh, kalau matahari bisa terbit dari langit barat, aku baru akan percaya"

   Lantaran tujuannya sudah tercapai, Hoa In-liong tidak mendesak lebih lanjut, sambil tersenyum ia melanjutkan kembali santapannya.

   Thia Siak bi tidak berbicara pula, ia meneruskan santapannya dengan kepala tertunduk.

   Meskipun tidak mempunyai gelar kependetaan, Thia Siok bi termasuk seorang pengikut agama To yang saleh, dia pantang minum arak, takaran perutnya juga kecil hanya semangkuk nasi sudah cukup mengenyangkan perutnya.

   Hoa In-liong sendiri, walaupun besar takaran makannya tapi dia bersantap dengan cepat, sejak tadi dia sudah berhenti makan karena kenyang.

   Diatas meja tersedia juga sepoci arak, padahal pemuda itu gemar minum, tapi lantaran berada dihadapan Thia Siok bi, sebelum To koh itu memberi ijin dia tidak menyentuh barang secawanpun melainkan sambil menggoyang goyangkan kipasnya dia sabar menanti.

   Thia Siok bi melirik sekejap kearahnya, kemudian berpikir.

   "Bocah ini terlampau cerdik, dan lagi mempunyai waktu yang cukup ulet, tampaknya sebelum kusinggung sedikit rahasia yang dia inginkan, tak mungkin bocah ini akan berdiam diri"

   Karena berpikir demikian diapun berkata. "Tampaknya pinto memang tak bisa menangkan dirimu, apa yang ingin kau ketahui? Nah katakanlah!"

   Sambil menyimpan kembali kipasnya jawab Hoa In-liong.

   "Kalau dibicarakan sesungguhnya memalukan sekali, meskipun boanpwe dan pihak Hian-beng-kauw sudah berulang kali terjadi adu kekuatan, tapi hingga kini aku masih belum mengetahui siapakah kaucu mereka...."

   "Maaf, maaf!"

   Tukas Thia Siok bi sambil goyangkan tangannya berulang kali.

   "aku sudah terlanjur punya janji, sehingga rahasia ini tak mungkin kubongkar. Buat apa buru-buru ingin tahu? Cepat atau lambat kan kau bakal tahu?"

   Sesudah berhenti sebentar, dia menambahkan.

   "Pinto hanya bisa memberitabukan kepadamu kalau orang ini mempunyai dendam sakit hati sedalam lautan dengan keluargamu"

   "Aaah....omongan semacam ini bukankah sama artinya dengan perkataan yang tak ada gunanya?"

   Pikir Hoa In-liong.

   "tidak sedikit gembong iblis yang mampus ditangan nenek dan ayahku dimasa lalu, siapa tahu Hian-beng Kaucu itu murid siapa?"

   Karena ia tak bisa menebak siapa gerangan Hian-beng Kaucu itu, lagipula Thia Siok bi juga tidak bersedia memberitahukan rahasia ini, terpaksa ia bertanya lagi.

   "Betulkah markas besar perkumpulan Hian-beng-kauw terletak di bukit Gi hong san?"

   "Darimana kau dapatkan berita? tanya Thia Siok bi tercengang.

   "Oooh.... aku tidak memperolehnya dari siapapun, seorang sahabat boanpwe lah yang berhasil menyelidikinya sendiri, hanya saja betul atau tidak, harap cianpws beri petunjuk kepadaku"

   Thia Siok bi termenung sebentar, lalu dengan nada minta maaf katanya lirih.

   "Aaai....mengenai soal itu, pinto hanya bisa minta maaf, sebab aku benar-benar tak dapat memberi pertanda atau ketegasan apa-apa, maafkanlah daku!"

   Sepintas lalu meskipun ucapan itu kedengaranoya tidak memberi petunjuk apa-apa, padahal kalau dicamkan lebih dalam dapat diartikan pula sebagai satu pengakuan yang mengatakan bahwa dugaan pemuda itu memang benar, Hoa In-liong berpikir sebentar, lalu ujarnya sambil tertawa.

   "Waaah.... kalau begitu banyak masalah yang cianpwe, kuatirkan aku jadi bingung sendiri persolan yang manakah yang harus kutanyakan....". Thia Siok bi kembali termenung beberapa saat lamanya.

   "Pinto hanya dapat memberitahukan satu hal kepadamu katanya kemudian.

   "Silahkan diucapkan cianpwe!"

   Ujar Hoa In-liong dengan wajah serius.

   "Rasa benci Hian-beng Kaucu terhadap keluargamu boleh dibilang lebih dalam dari samudra, entah darimana kemampuan yang dimiliki, ternyata dia dapat mengundang munculnya beberapa orang gembong iblis sakti untuk membantu pihaknya.

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sekalipun dia mempunyai jago-jago iblis sakti, memangnya keluarga Hoa dari Im- tiong-san tak anggup uutuk mengatasinya?"

   Pikir Hoa In-liong didalam hati. Ketika Thia Siok bi menyaksikan sikap acuh tak acuh dari anak muda itu, dengan suara dalam dia lantas menegur.

   "Hoa Yang, apakah kau lupa dengan ajaran ku to yang mengatakan bahwa orang yang tekebur selamanya pasti kalah?"

   Hoa In-Iiong terperanjat, wajahnya berubah menjadi serius kembali.

   "Aku yang muda mohon petunjuk!"

   "Kau jangan terlampau pandang remeh manusia-manusia itu, sebab kendatipun ayahmu sendiri, bila sudah mengetahui kekuatan yang dimiliki Hian-beng-kauw dewasa ini, belum tentu dia sanggup untuk mengatasinya....!"

   Rupanya To koh setengah umur ini tak berani terlalu banyak berbicara, sampai diseparuh jalan, tiba-tiba saja perkataannya terhenti. Melihat itu, kembali Hoa In-liong berpikir.

   "Kau dilihat dari sikapnya itu, jelas janjinya antara dia dengan Hian-beng-kauw mencakup pula janji dari Hian-beng-kauw yang tak akan menganggu dirinya, sebaliknya diapun tak boleh membocorkan rahasia dari Hian-beng-kauw. Aaa.... kalau begini ketat dia pegang rahasia, jangan harap aku akan berhasil untuk mendapatkan berita penting"

   Tiba-tiba Thia Siok bi berkata lagi.

   "Tampaknya orang tua dari nona Coa itu sudah terjatuh ketangan orang-orang Mo kau, cuma anehnya, meski suhengnya Tang kwik Siu adalah seorang jago yang hebat, Goan cing taysu bukannya tak mampu mengatasinya, tapi kenapa Goan cing taysu justru membiarkan mereka pergi dengan begitu saja? Apakah engkau tahu apa sebabnya?"

   "Kalau dugaanku tak salah, hal ini sebagian besar dikarenakan beliau sudah kehilangan hampir sebagian besar tenaganya karena harus membantu aku untuk mendesak keluar daya kerjanya racun keji dari dalam tubuh, oleh karena beliau merasa bahwa tenaga dalam yang dimilikinya sudah tak cukup untuk merobohkan orang-orang Mo kau, terpaksa mereka dibiarkan pergi dengan begitu saja. Aaai.... seandainya empek Coa sampai terjadi apa-apa, akulah penyebab yang mengakibatkan dia menderita"

   "Ibaratnya nasi sudah menjadi bubur, toh urusannya telah berkembang menjadi begini, menyesali diri sendiri juga tak ada gunanya"

   Hibur Thia Siok bi. Setelah berhenti sebentar dia bertanya lagi.

   "Jikalau tenaga dalamnya memang sebagian besar telah lenyap, kenapa dia masih sanggup untuk mendemontrasikan ilmu Lian tay siu- tok (menyeberang lintas mimbar teratai) dan Kou sim ciong (genta pengetuk hati) dua macam ilmu maha sakti itu?"

   Hoa In-liong berpikir sebentar, lalu jawabnya.

   "Rupanya dia orang tua telah menggunakan sisa tenaga dalam yang berhasil dihimpunnya dari sela-sela tubuhnya, cuma keadaan tersebut rupanya berhasil diketahui oleh Seng To cu, karena itulah dia baru mengucapkan kata-kata sepeti bagaikan sedang minum air panas atau dingin, yang minumlah yang tahu"

   Diam-diam Thia Siok bi manggut-manggut, dia merasa bagaimanapun juga orang asal Liok soat Ban ceng memang merupakan kawanan manusia yang luar biasa. Dia menghela napas berat.

   "Aaai....Seng To cu itu terhitung pula seorang manusia yang hebat, kalau sampai membiarkan Mo kau dan Hian-beng-kauw bekerja-sama, bukankah kedudukanmu menjadi berbahaya sekali?"

   Tiba-tiba dia tertawa dan menambahkan.

   "Aaah....belum tentu benar pembicaraan kita ini, jangankan Seng To cu belum tentu mengetahui rahasia tersebut, sekalipun mengetahui dengan yakin toh dia tetap kuatir untuk bertarung melawan Goan cing taysu, bukankah demikian?"

   "Persoalan ini sangat rahasia dan besar sekali artinya, harap cianpwe, jangan membocorkan kepada siapapun"

   Tiba-tiba Hoa In-liong meminta dengan sangat.

   "Aaah....!Kamu ini menganggap pinto itu manusia macam apa?"

   Thia Siok bi rada uring-uringan. Hoa In-liong menjadi tersipu-sipu sendiri, terpaksa dia tertawa.

   "Bila dilihat dari cara cianpwe ini menutup rahasia Hian-beng-kauw, jelas dia adalah seorang manusia yang dapat dipercaya"

   Demikian ia berpikir dihati.

   "yaa, perkataanku barusan memang berlebihan, bukan kebaikan yang diperoleh aku justru malah menimbulkan ketidak senangan dalam hatinya"

   Baru saja dia hendak mengucapkan sesuatu, tiba-tiba berkumandang suara derap kaki kuda yang ramai diselingi bunyi keleningan, mula mula suara itu kedengaran masih jauh, tapi dalam waktu singkat sudah makin mendekat, suaranya memekikkan telinga malah dilihat dari gerakan tersebut, jelas kuda-kuda itu merupakan kuda jempolan yang bisa menempuh seribu li dalam sehari.

   Sebagai orang persilatan, tidak terkecuali Hoa In-liong maupun Thia Siok bi kebanyakan memang menyukai kuda jempolan dan pedang mustika tanpa terasa mereka berpaling keluar warung.

   Diantara debu yang beterbangan di angkasa tampak seekor kuda jempolan berlari mendekat dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

   Sedemikian cepatnya kuda itu lari, sampai dengan ketajaman mata Hoa In-liong pun dia hanya sempat menyaksikan kalau kuda itu berbulu hitam dan penunggangnya bertubuh ramping, jelas potongan badan seorang nona muda.

   Sayangnya ia tak sempat menyaksikan raut wajah sinona itu sebab larinya kuda itu terlalu cepat, lagi pula ia memandang dari samping, hingga apa yang dilihat kurang begitu jelas.

   Ketika mendengar derap kaki kuda yang ramai tadi, para tamu dalam warung bersama-sama melongok keluar pula, tapi namun mungkin mereka bisa menyaksikan sesuatu kecuali bayangan kuda, mereka cuma tahu kalau sesosok bayangan manusia duduk diatas pelana.

   Setelah kuda hitam itu lewat, suasana menjidi gaduh, semua orang bersama sama mbiubicarakan kehebatan kuda tadi.

   Hoa In-liong sendiri juga teringat kembali akan kuda liong ji nya, setelah ditangkap Cia In dikota Keng-bun tempo hari, kuda itu tak diketahui lagi jejaknya, tapi dia tidak terlalu menguatirkan, se bab dia percaya bahwa liong ji sudah mengerti perasaan manusia, orang awam biasa tak mungkin bisa menungganginya, sedang jago silat tak akan lega untuk melukainya, kalau bertemu dengan rekan-rekan ayahnya, mereka pasti akan kenali pemilik kuda itu, atau kemungkinan juga kuda tersebut sudah pulang lebih dulu ke perkampungan Liok-Soat san ceng.

   Sementara dia masih melamun, tiba-tiba terdengar Thia Siok bi berseru tertahan.

   "Hei, aneh benar! Kenapa budak, itu ikut datang?"

   Telapak tangan kanannya segera menekan sisi meja, lalu bagaikan seekor burung raksasa dia melayang keluar dari warung makan itu.

   "Cianpwe...."

   Seru Hoa In-liong gelisah. "Tunggu saja disitu sebentar!"

   Tukas Siok bi dari kejauhan. Sebetulnya Hoa In-liong sedang bangkit berdiri, tapi sesudah mendengar perkataan itu dia duduk kerrbali, pikirnya.

   "Aku saja tak dapat melihat jelas raut wajah nona itu, masa dengan tenaga dalam yang lebih rendah dari aku dia bisa melihat jelas siapakah orang itu? Ahh....betul orang itu pasti orang yang sangat dikenalnya, sebab itu meski sepintas lalu saja dia segera kenali orangnya"

   Dalam pada itu, para tamu lainnya dalam warung itu hanya duduk terbelalak dengan mulut melongo, satu dua diantaranya sempat pula menarik Hoa In-liong, tampaknya mereka kuatir kalau pemuda itupun berubah menjidi burung dan ikut terbang, hingga untuk sesaat suasana jadi hening tak kedengaran sedikit suarapun.

   Terhadap lirikan-lirikan dari para pelancong dan para pedagang, Hoa In-liong bersikap pura-pura tidak melihat, ia menunggu beberapa saat lagi, ketika Thia Siok bi yang ditunggu-tunggu belum datang juga, akhirnya ia putuskan untuk minum arak sambil membuang kekesalan.

   Isi poci arak itu tidak terlalu banyak, tak lama kemudian sudah habis termiaum, maka diapun berseru.

   "Hei pelayan, minta satu poci arak lagi!"

   Pelayan sudah bersiap siap disana sejak tadi, mendengar panggilan itu dia mengiakan dengan nada takut, sepoci arak baru dengan cepat sudah dihantarkan, sedang poci kosong diambil pergi.

   Tergelak Hoa In-iioug melihat takut-takut dari pelayan itu, tegurnya.

   "Eeeh....memangnya aku ini malaikat jahat? Kenapa musti takut terhadapku?"

   "Yaa....yaa....yaya memang malaikan bengis....! Sebenarnya pelayan itu hendak mengatakan kalau dia bukan malaikat bengis, siapa tahu saking gugupnya ia sampai salah berbicara punya mengatakan tidak, dia malah membenarkan karuan saja kontan mukanya jadi pucat pias seperti mayat. Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dia mengeluarkan sekeping uang perak dan dilemparkan ke meja lalu berkata lagi.

   "Itu, boleb kauambil! Daripada kau tuduh aku ingin makan gratis"

   Pelayan tersebut bungkukan badannya berulang kali.

   "Yaya, tak usah banyak-banyak, tak usah banyak-banyak"

   Katanya lagi dengan gugup.

   Padahal sejak tadi matanya, mengincar terus kepingan uang perak itu, kalau bisa sekali comot uang itu masuk ke saku sendiri.

   Tentu saja Hoa In-liong dapat merasakan isi hati orang, kembali dia tertawa katanya sambil mengulapkan tangannya berulang kali.

   "Sana, bawa semua, sisanya untukmu!"

   Buru-buru pelayan itu mencomot uang perak tadi kemudian mengucapkan terima kasih berulang kali, setelah itu buru-buru dia kabur kewarung belakang, seakan akan kuatir kalau Hoa In-liong menjadi menyesal.

   Hoa In-liong tersenyum, dia berpiling lagi keluar warung.

   Tiba tiba ia menangkap berkelebatnya sesosok bayangan manusia, bayangan tersebut buru-buru kabur kesemak belukar dan menyembunyikan diri.

   Meski hanya sekilas pandangan, ia kenali orang itu sebagai majikan kecilnya Si Nio atau nona berbaju ungu itu.

   Semula pemuda itu bermaksud untuk menyusulnya, tapi kemudian berpikir.

   "Ketika melihat aku disini, dia lantas menyembunyikan diri, sudah jelas nona itu enggan untuk bertemu dengan aku, kalau sampai ku susul kesana, dia pasti akan menemui aku secara terpaksa, dalam keadaan yang serba kaku tiada manfaat apa-apa yang bakal kudapatkan, malah kalau sampai Thia cianpwe kembali kesini dan tidak menemui diriku, urusan akan semakin runyam"

   Karena berpendapat demikian, maka ia duduk kembali ditempatnya semula....

   Sementara itu para tamu dalam warung sedang berbisik-bisik entah apa yang mereka bicarakan, suaranya lembut sukar didengar, tapi ada kemungkinan menyangkut tingkah laku Hoa In-liong yang seenaknya sendiri tanpa memperdulikan apakah disekitarnya, ada orang atau tidak itu....

   Kembali setengah jam sudah lewat, akhirnya penasaran Hoa In-liong, dia berpikir.

   "Tak mungkin suhunya nona Wan akan beradu kecepatan dengan kuda jempolan tersebut, tentunya dia akan memanggil namanya, tapi kenapa begini lama? Masa kalau bercakap-cakap juga membutuhkan waktu selama ini...."

   Ingatan tersebut baru saja melintas dalam benaknya, tiba-tiba terdengar teriakan Thia Siok bi bergema dari depan warung.

   "Hoa Yang, hayo kita lanjutkan perjalanan!"

   Hoa In-liong tidak membuang waktu lagi, diaa bangkit dan melayang keluar dari warung itu.

   Baru saja dia berada diluar pintu, Thia Siok bi te1ah menge-rahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk melanjutkan perjalanan.

   Buru-buru dia menyusul kemuka, teriaknya.

   "Hei cianpwe, siapa gerangan nona tadi?"

   "Hmni....! Kamu hanya pandainya menanyakan soal nona....!"

   Dengus Thia Siok bi tanpa menghentikan gerakan tubuhnya. Jawaban itu cukup membuat pemuda kita meringis serba salah.

   "Cianpwe, buat apa kita musti terburu-buru?"

   Kembali serunya.

   "Ya, kita musti terburu-buru karena harus menempuh perjalanan sejauh lima ratus li"

   Hoa In-Iiong mempercepat langkahnya dan menerjang maju ke depan, kembali dia berseru.

   "Kita akan kemana?"

   "Ke Hway-im!"

   Setelah melirik sekejap, dengan dahi berkerut dia berkata kembali.

   "Hematlah tenagamu, perjalanan yang akan kita tempuh bukan suatu perjalanan dekat"

   "Oooh....tak menjadi soal, aku yang muda masih sanggup untuk menahan diri"

   Sahut Hoa Inliong sambil tertawa.

   Thia Siok bi mendengus dan tidak berbicara lagi, tiba-tiba ia mempercepat larinya.

   Hoa In-liong tarik napas dalam-dalam, hawa murninya dihimpun kembali dan terpaksa dia harus menyusul dibelakang To koh tersebut.

   Demikianlah, dua orang itu melakukan perjalanan amat cepat, dari tengah hari sampai magrib mereka tak pernah berhenti, akhirnya napaspun mulai ngos-ngosan dan ketika itulah mereka mengurangi kecepatan masing masing....

   "Hoa Yang, perlu beristirahat tidak?"

   Tiba-tiba Thia Siok bi menegur.

   "Tidak usah, boanpwe masih sanggup untuk bertahan sampai kota Hway-im...."sahut pemuda itu.

   "Baik, kita lanjutkan perjalanan!"

   Tiba tiba To koh setengah umur itu mempercepat langkahnya kabur kedepan. Sambil menyusul dibelakangnya, Hoa In-liong berpikir.

   "Oooh....tampaknya dia belum mengerahkan segenap tenaga dalamnya, kalau begitu penilaianku tempo hari salah besar, sebab meski tenaga dalam yang dimiliki cianpwe ini masih bukan tandingan Tang kwik Siu, akan tetapi ilmu meringankan tubuhnya lihay banget"

   Kurang lebih jam satu tengah malam, akhirnya muncul juga sebuah benteng kota yang amat besar ditengah kegelapan sana, kota tersebut bukan lain adalah kota Hway-im pusat lalu lintas antara wilayah utara dan selatan terutama bagi propinsi Kang ci.

   Dengan bermandikan keringat tiba-tiba Thia Siok bi menghentikan perjalanannya, dengan napas tersengkal dia berseru.

   "Hoa Yang, mari kita atur pernapasan dulu, bila tenaga kita sudah pulih kembali baru masuk kota"

   Hoa In-liong ingin cepat-cepat bertemu dengan Wan Hong giok, segera sahutnya.

   "Boanpwe tidak lelah, bagaimaua kalau cianpwe memberitahukan kepadaku dimana muridmu berada, aku ingin segera menjumpai nona Wan"

   Thia Siok bi berpaling, ditemuinya meski peluh membasahi seluruh badan Hoa In- liong dan napasnya agak tersengkal, tapi yang aneh wajahnya tetap kelihatan segar, kesegaran itu tak jauh berbeda dengan keadaan disiang hari tadi.

   Bila kesegaran pemuda itu dibandingkan dengan wajah layu dirinya yang kecapaian, sudah tentu tampak perbedaan yang menyolok.

   "Aneh betul"

   Demikian pikirnya dengan tercengang.

   "sekalipun Hian-beng Kaucu atau Seng To cu tak mungkin kesegaran mereka akan semakin bertambah setelah menempuh perjalanan sejauh lima ratus li"

   Tentu saja To koh setengah umur itu tak pernah menduga kalau Goan cing taysu telah menambah tenaga dalam Hoa In-liong dengan ilmu Wan kong lip teng (Cahaya Bulan Mencapai Puncak), suatu kepandaian maha sakti dari kalangan agama Buddha.

   Setelah melakukan perjalanan jauh tanpa berhenti, bukan kelelahan yang didapatkan pemuda itu, justru tenaga murni yang diperolehnya dari Goan cing taysu semakin membaur dengan tenaga dalam milik sendiri.

   Otomatis air mukanya kelihatan makin segar.

   Hoa In-liong pribadi meskipun tahu akan proses tersebut, diapun tidak menduga kalau hasilnya luar biasa, diam-diam dia semakin berterima kasih atas kebaikan taysu tersebut.

   Thia Siok bi tampak termenung sebentar, kemudian ujarnya.

   "Kalau toh engkau belum lelah, mari sekarang juga kita masuk ke dalam kota"

   "Cianpwe...."

   "Tak usah banyak bicara"

   Tukas Thia Siok bi, toh kita sudah ada perjanjian dimuka, bila ketemu musuh maka kaulah yang musti maju untuk beradu jiwa"

   Sekali melompat dia sudah naik lebih dulu keatas dinding kota.

   Buru-buru Hoa In-liong mengikuti dibelakangnya.

   Bangunan rumah berderet-deret bagaikan sisik ikan dalam kota itu, dibawah cahaya rembulan suasana diliputi keheningan, kecuali gonggongan anjing diujung gang sana tak kedengaran sedikit su arapun.

   Sesudah mengatur pernapasan kata Thia Siok bi.

   "Anak Giok berdiam didalam kuil Hian biau koan di utara kota, ketua kuil tersebut Keng it To koh adalah sahabat karib pinto"

   "Koancu tersebut tentunya seorang jago lihay bukan?"

   Sela anak muda kita.

   "Dugaanku keliru besar, dia justru tak pandai bersilat"

   Sementara pembicaraan berlangsung, perjalanan sama sekali tidak berhenti, mereka berlarian melewati atap rumah yang berjejer-jejer.

   Akhirnya sampailah dimuka sebuah To koan yang berdinding merah dan dikelilingi pohon bambu.

   Meskipun bangunan kuil itu megah dan tanahnya luas, tapi suasananya hening dan nyaman, suatu tempat pertapaan yang amat serasi.

   Thia Siok bi membawa pemuda itu menuju kehalaman belakang, lalu bisiknya.

   "Keheningan malam telah mencekam seluruh jagad, kalau kita masuk sambil mengetuk pintu, maka kedatangan kita ini pasti akan mengganggu nyenyaknya orang tidur, mari kita masuk sendiriseodiri saja"

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hoa In-liong mengangguk, dia melompati dinding pekarangan dan hinggap di atas gununggunungan, ditepi kolam dikelilingi kebun bunga yang indah tampaklah sebuah bangunan kecil yang mungil.

   Ketika pemuda tersebut memandang ke arah bangunan itu, hampir saja air matanya bercucuran saking terharunya.

   Cahaya lampu menerangi ruangan itu terang benderang, jendela terpentang lebar dan Wan Hong-giok sambil bertopang dagu duduk ditepi jendela sambil memandang rembulan di angkasa dengan termangu, badannya kurus kering mukanya pucat, air mata membasahi pipi dan kelopak matanya, betapa kusut dan layunya gadis itu!"

   "Ooooh....dia begitu kurus"

   Pekik Hoa In-liong, didalam hati.

   "karena akulah dia ternoda dan ilmu silatnya punah, dia.... dia....sedang aku ketika berada dibuka Yan-san...."

   Tiba-tiba Wan Hong-giok bergumam dengan suara yang memedihkan hati.

   "Malam ini adalah malam keberapa? In liong....ooohh In-liong.... kau berada dimuna? Tidak rindukah kau kepadaku?"

   Ia menggelengkan kepalanya berulang kali, kembali gumamnya.

   "Tidak! Aku tidak minta kau rindu kepadaku, sebab kalau begini maka kau tak akan senang hati, aku hanya ingin menyaksikan kau dapat hidup penuh kegembiraan, aku.... sekalipun melupakan diriku juga tidak, mengapa...."

   Selanjutnya gadis itu menggumankan pula kata-kata cinta yang tak terhitung banyaknya, dalam pelampiasan kata-kata cintanya itu dia hampir saja melupakan diri, dia tidak mengharapkan balasan dari lawannya, dia hanya ingin menunjukkan kalau cintanya kepada Hoa In- liong lebih dalam dari samudra, lebih tinggi dari langit....

   Hoa In-liong tak dapat menahan diri lagi, air matanya jatuh bercucuran karena terharu, setengah berbisik dia memanggil.

   "Hoag giok...."

   Betapa terperanjatnya Wan Hong giok mendengar panggilan itu, tiba-tiba ia berpaling.

   Sayang tenaga dalamnya waktu itu sudah buyar, jangan dibilang Hoa In-liong berdiri ditengah kerumungan bunga, sekalipun berdiri ditengah tanah lapang, belum tentu ia dapat melihatnya dengan jelas.

   Nona itu berusaha mencari sumber datangnya suara itu tapi tidak berhasil, akhirnya dengan sedih dia menghela napas.

   "Yaaa....! Aku terlalu terkenang kepadanya, sampai suaranya pun ikut terkenang."

   Tiba-tiba ia tundukkan kepalanya, lalu dengan sedih bersenandung lirih.

   "Air jernih siang malam mengalir di loteng merah. Sukma yang lemah bergentayangan mengitari nirwana yang indah. Kapan impian indahku akan menjadi kenyataan? Mengapa kau tak datang? Mengapa kau tak datang? Mungkinkah takut menderita kemurungan....?"

   Bait-bait tersebut merupakan bait dari syair cinta yang sudah berusia lama, bukan saja penuh mengandung nada cinta, terutama peng harapannya yang luar biasa, membuat siapapun tahu kalau gadis malang itu sedang merindukan kekasihnya mengharapkan kunjungan idaman hatinya.

   Air mata bercucuran membasahi seluruh wajahnya Hoa In-liong, diam-diam dia melompat jendela dan berdiri di belakang Wan Hong-giok, kemudian sambil membelai rambutnya yang hitam mulus bisiknya lembut.

   "Hong giok!"

   Kasihan sekali Wan Hong-giok, sejak ilmu silatnya punah, hampir boleh dibilang ia seperti orang awam biasa, sekalipun Hoa In-liong sudah berdiri dibelakangnya ia belum merasa.

   Akhirnya setelah pemuda itu membelai rambutnya, gadis itu baru sadar dan berpaling.

   Ditatapnya Hoa In-liong dengan termangu-mangu lama....lama sekali, dia baru berbisik lirih.

   "Kemarin kau sudah datang, mengapa hari ini kembali? Kalau terlalu sering kau datang kemari adik Wi bakal tak senang hati"

   Tiba-tiba Hoa In-liong merasa hatinya sakit sekali, pikirnya.

   "Oooh.... dia masih mengira pertemuan ini adalah bertemuan dalam alam impian, dia.... aku memang seorang pemuda yang kejam, aku orang yang tak tahu cinta...."

   Sebagai diketahui, Hoa In-liong adalah seorang pemuda romantis yang gemar berpacaran, setelah di pengaruhi oleh emosi nyaris dia muntahkan darah segar.

   Buru-buru pemuda itu mengerahkan tenaga dalamnya dan mengatur napas, darah yang bergolak keras itu berusaha ditekan kembali.

   Selesai mengatur pernapasan, dia baru berkata dengan lembut.

   "Adik Wi tidak akan tak senang hati atas kedatanganku ini!"

   Wan Hong giok mengagangguk dan tertawa bodoh.

   "Yaa, aku tahu adik Wi memang gadis yang polos dan baik hati!"

   Hoa In-liong makin berduka oleh sikap gadis itu, cepat serunya, Hong giok, pertemuan ini bukan dalam impian, camkan! Semuanya adalah kenyataan, bukan cuma impian belaka!"

   Mula-mula Wan Hong giok agak tertegun, kemudian bisiknya seperti orang bodoh.

   "Kenyataan? Kenyataan?"

   Biji matanya yang jeli mengerling kesana kemari tangannya diulurkan kedepan seakan-akan hendak menyentuh tubuh Hoa In-liong serta membuktikan babwa kejadian itu memang suutu kejadian yang sungguhan.

   Tapi....secara tiba-tiba ia menarik kembali tangannya seperti mendadak kena dipagut ular, rupanya dia kuatir bila sentuhan tersebut kosong ma a impian indahnya akan tercabik-cabik dan idaman hatinya yang berada dihadapannya akan lenyap dengan begitu saja.

   Sambil menahan lelehan air matanya Hoa In-liong maju kemuka dan memeluk tubun Wan Hong giok dengan psauh kemesrahan, bisiknya dengan lembut.

   "Sekarang kau sudah percaya bukan?"

   "Sekujur badan Wan Hong giok gemetar keras, tiba-tiba meledak isak tangisnya.

   "Oooh In liong...."

   Dia menyusupkan kepalanya kedalam pelukan pemuda itu dan balas memeluknya dengan penuh kemesrahan.

   Dalam kejut dan girangnya, gadis itu merasakan pula kesedihan yang luar biasa, sambil memeluk erat-erat tubuh Hoa In-liong, dia menangis sejadinya, hingga dalam waktu singkat, sebagai besar pakaian yang dikenakan Hoa In-liong sudah basah kuyup.

   "Jangan menangis! Jangan menangis...."

   Bisik Hoa In-liong sambil membelai rambutnya yang mulus.

   Pemuda itupun hampir melupakan segala-galanya termasuk keadaan untuk sesaat disekelilingnya.

   Beberapa saat kemudian, Wan Hong giok baru pelan-pelan menjadi tenang kembali, sambil menyembunyikan kepalanya dipelukan orang, dia berbisik lirik.

   "Baik-baikkah engkau selama ini?"

   "Aku baik sekali, justru kaulah yang harus baik-baik menjaga diri!"

   Ketika dilihatnya gadis itu masih memeluknya erat-erat, seolah olah takut kalau sampai lepas tangan, maka pemuda idamannya akan lenyap dengan begitu saja, tersenyumlah Hoa In-liong.

   "Bagaimana kalau kita duduk dulu baru berbicara lagi?"

   Bisiknya kemudian.

   Wan Hong giok yang berada dalam pelukan itu mengangguk, dia melepaskan pula rangkulannya.

   Setelah duduk Hoa In-liong baru memeriksa sekejap suasana dalam ruangan itu, dia lihat kamar itu bersih sekali, kecuali pembaringan yang di atur dengan rapi, hanya terdapat sebuah meja dengan empat buah kursi, sebuah lilin kecil menerangi ruangan tersebut.

   Pedih rasanya pemuda itu, pikirnya.

   "Gadis secantik dia tidak sepantasnya kalau berdiam ditempat seperti ini"

   Rupanya Wan Hong giok merasakan apa yang dipikirkan pemuda itu, sambil tersenyum tiba-tiba ujarnya.

   "Aku senang sekali dengan tempat seperti ini, mana bersih mana sunyi lagi!"

   Hoa In-liong tertawa paksa.

   "Malam semakin larut, kenapa kau belum tidur?"

   Bisiknya.

   "tahukah kau bahwa caramu ini hanya akan merusak kesehatan saja?"

   Wan Hong giok tertawa.

   "Aku belum ingin tidur!"

   Jawabnya singkat. Tapi satelah berhenti sebentar, dia berkata lagi.

   "Padahal tidak tidur juga tak menjadi soal, coba lihat! Bukankah aku tetap sehat wal'afiat?"

   Dengan perasaan sedih, kasihan dan lara, Hoa In-liong mengawasi raut wajahnya yang cantik tapi kurus dan sayu itu, kemudian setelah tertegun sesaat bisiknya lagi.

   "Kau.... kau kelihatan lebih kurus"

   Sambil tertawa Wan Hong giok gelengkan kepalanya berulang kali, dia tidak berkata apa-apa. Hoa In-liong tidak tahu yang diartikan gadis itu tidak bertambah kurus ataukah menjadi soal, pemuda itu berdiri tertegun.

   "Kau.... kau...."

   Tiba-tiba Wan Hong giok mengalikan pokok pembicaraan ke soal lain, tanyanya.

   "Bagaimana kau bisa tahu kalau aku berada di sini?"

   Hoa In-liong tahu kalau gadis tersebut tak ingin terlalu banyak membicarakan soal itu, maka segera jawabnya.

   "Suhumu yang mengajak aku kemari!"

   Padahal Wan Hong-giok sudah tahu kalau pasti gurunya yang memimpin pemuda itu ke situ, pertanyaan itu memang sengaja diajukan untuk mengalihkan pokok pembicaraan saja. Maka sambil manggut-manggut dia bertanya lagi.

   "Sekarang, dia orang tua berada dimana?"

   Hoa In-liong tidak menjawab, dia cuma berpikir didalam hati.

   "Sejak masuk kedalam kamar ini, aku tidak terlalu memperhatikan dirinya lagi, tapi jelas cianpwe yang sangat menguatirkan keselamatan muridnya itu pasti bersembunyi disekitar tempat ini"

   Baru saja dia akan menjawab, ketika secara tiba-tiba berhembus lewat angin tajam, diantara cahaya lilin yang bergoncang-goncang, Thia Siok bi sudah muncul didalam ruangan.

   "Suhu...."

   Pekik Wan Hong giok dengan sedih.

   Dia melompat kedepan dan menubruk kedalam rangkulan Thia Siok-bi, kemudian melelehkan isak tangisnya.

   Air mata meleleh keluar dan membasahi pula pipi Thia Siok bi, dengan mulut membungkam dia cuma bisa membelai rambut muridnya.

   Akhirnya setelah hening beberapa saat lamanya Thia Siok-bi memanggil dengan suara lirih.

   "Anak Giok!"

   "Ada apa suhu?"

   Dengan muka yang basah oleh air mata Wan Hong giok menengadah. Makin sedih perasaan Thia Siok-bi menyaksikan betapa layu dan kurusnya wajah gadis itu, tapi dia paksakan juga sebuah senyuman.

   "Masuklah dulu ke dalam, suhu ingin bercakap-cakap dengan Hoa kongcu"

   Katanya. Hoa In-liong terkesiap, dengan cepat dia berpikir.

   "Rupanya din hendak membicarakan nasib Wan Hong giok dengan diriku, wah.... apa dayaku?"

   "Rupanya Wan Hong giok juga menduga sampai kesitu, dengan cepat dia menggelengkan kepalanya berulang kali.

   "Tidak! Aku tidak mau!"

   Mula-mula Thia Siok-bi agak tertegun, lalu sambil berpura-pura marah serunya lagi.

   "Masa perkataan suhupun tidak kau turuti?"

   "Oooh suhu! keluh Wan Hong-giok dengan sedih, mari kita pulang keluar perbatasan saja, tecu sudah bosan dengan daratan Tionggoan"

   Thia Siok bi tertawa getir.

   "Anak bodoh masa selama hidup kau hendak mengikuti suhumu? Sebagai anak perempuan, akhirnya toh kau harus.... Sebelum kata menikah sempat meluncur keluar, tiba-tiba Thia Siok bi menghentikan ucapannya, dia kuatir Wan Hong giok akan menjadi sedih setelah mendengar perkataan itu, apalagi sejak kesucian tubuhnya ternoda. Siapa taha justru sikap gurunya ini semakin menambah kepedihan hati Wan Hong giok, isak tangisnya makin menjadi.

   "Oooh.... suhu, tecu tak mau menikah, teca rela mendampingi suhu sepanjang masa"

   "Aaai.... tapi suhu tak perlu kau dampingi terus"

   Keluh Thia Siok bi sambil menghela napas. Sambil menahan isak tangisnya yaug keras kata, Wan Hong giok lagi.

   "Suhu kalau kau sudah tak maui aku lagi, biarlah tecu mencari sebuah biara dan cukur rambut menjadi pendeta disitu"

   "Anak Giok...."

   "Atau kalau tidak, di To koan inipun boleh juga"

   Hoa In-liong hanya bisa berdiri membungkam menyaksikan adegan tersebut, tanpa disadari air matanya ikut meleleh keluar membasahi pipinya.

   Thia Siok bi tampak agak tertegun, tiba-tiba dia mengalihkan sorot matanya, dengan sinar mata setajam sembilu bentaknya.

   "Hoa Yang!"

   Hoa In-liong terkesiap, dengan cepat dia menyahut.

   "Hoa Yang!"

   Kembali Thia Siok bi berkata dengan suara dingin.

   "Tahukah engkau apa yang menyebabkan muridku menjadi begini?"

   "Yaa, dosa boanpwe memang tak terampuni!"

   Bisik Hoa In-liong dengan air mata berlinang.

   "Kalau memang begitu, kau harus memberi pertanggungan jawab kepada muridku"

   Hoa In-liong tertegun, dengan penuh kesangsian ia menatap kedua orang perempuan itu bergantian, tak sepatah katapun sanggup diucapkan.

   Sekalipun pemuda itu suka bermain cinta, tapi dia sangat memandang tinggi apa artinya cinta itu, ternodanya Wan Hong giok dalam pandangannya merupakan suatu peristiwa yang patut disesalkan, cuma bila dia musti mengikat janji dengan begitu, lantas bagaimana penyelesaiannya dengan Coa Wi wi? Sekalipun belum terlalu lama pergaulannya dengan Coa Wi wi, tapi secara diam- diam kedua belah pihak sudah saling mengikat janji, boleh dibilang cinta mereka dimulai sejak pandangan pertama.

   Maka kalau berbicara soal istri, Coa wi-wi adalah orang yang paling pantas untuk kedudukan itu.

   Apalagi meski dia binal tapi peraturan rumah tangganya sangat ketat, soal perkawinanpun merupakan masalah besar, tak mungkin baginya untuk menyanggupi tanpa berunding dulu dengan orang tuanya.

   Yaa sekarang dia setuju, bila lain waktu ayahnya menyatakan keberatan, lantas bagaimana....? Hoa In-liong tidak ingin menjadi seorang pemuda yang mencla mencle, terutama mengingkari ucapannya sendiri.

   Sebagai seorang pemuda yang bijaksana, sebagai seorang laki- laki sejati terutama sebagai keturunan orang ternama, pemuda itu tak mau berbuat gegabah sebelum memutuskan sesuatunya dia ingin renungkan dan pertimbangkan dulu masalahnya masakmasak.

   Sebab itu, sekian lamanya pemuda itu tetap membungkam, dia tak tahu bagaimana musti memberikan jawabannya.

   Tiba-tiba Wan Hong giok mengeluh sambil menangis tersedu-sedu.

   "Oooh....suhu, kau tak usah memaksanya, tecu rela menjadi pendeta dan hidup mengasingkan diri...."

   "Kau tak usah banyak bicara"

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bentak Thia Siok bi.

   "akulah yang berhak mengaturkan segala sesuatunya untukmu!"

   "Tapi kalau suhu hendak memaksa tecu untuk kawin, lebih baik tecu mati saja!"

   Thia Siok bi, tidak menggubris muridnya lagi, dia berpaling ke arah Hoa In-liong dan bentaknya kembali.

   "Ayoh, cepat beri keputusan yang tegas...."

   Hoa In-liong tertegun.

   "Boanpwe....

   "

   Terbayang kembali raut wajah ayahnya yang keren dan suara neneknya yang penuh wibawa, pemuda itu menjadi gelagapan dan tak mampu melanjutkan kembali kata-katanya. Tiba-tiba Wan Hong giok berpekik sedih.

   "Oooh suhu....maafkanlah ketidak berbaktinya muridmu ini....!"

   Sambil meronta dari rangkulan Thia Siok bi, dia lari kedepan dan menumbukkan kepalanya di atas dinding ruangan.

   Sejak berangkat meninggalkan bukit Yan san tempo dulu, sebetulnya Wan Hong giok sedang melanjutkan perjalanannya menuju ke utara didampingi Ki ji, kebetulan Thia Siok bi yang kangen dengan muridnya juga dalam perjalanan menuju ke Tionggoan, akhirnya mereka berpapasan dan saling berjumpa di tengah jalan.

   Kejut dan marah Tbia Siok bi menyaksikan keadaan muridnya yang mengenaskan itu, dia mendesak muridnya agar menceriterakan musibah apa yang telah menimpa dirinya, tapi Wan Hong giok bersikeras tetap membungkam, akhirnya dari Ki ji lah To koh itu berhasil mengetahui duduknya persoalan....

   To koh itupun mendapat tahu kalau muridnya bisa menjadi begini karena demi keselamatan seorang keturunan keluarga Hoa Yang bernama Hoa Yang alias Hoa In-liong.

   Maka setelah pikir punya pikir dia merasa hanya ada satu jalan untuk membuat muridnya gembira lagi, yaitu mengawinkan muridnya itu dengan Hoa In-liong.

   Begitulah sesudah menyusun rencana, akhirnya Thia Siok bi meninggalkan kedua orang itu di kota Hway-im, sementara dia sendiri segera berangkat ke kota Kim leng.

   Padahal Thia Siok-bi juga tahu akan urusannya lebih sulit daripada naik kelangit, tapi apa boleh buat, demi kebahagian muridnya dia harus berusaha dengan segala kemampuan yang dimilikinya, kalau terpaksa diapun akan memaksa Hoa In-liong untuk mengawini muridnya.

   Wan Hong giok sendiri sebetulnya amat mencintai Hoa In-liong boleh dibilang setiap waktu setiap saat selalu merindukan pemuda itu, tapi sejak ternoda ia merasa tubuhnya sudah kotor dan tidak pantas untuk mendampingi Hoa In-liong lagi, sudah menjadi tekadnya semenjak dulu bahwa ia lebih suka menghabisi nyawa sendiri daripada harus kawin dengan pemuda pujaannya.

   Sebab itulah ketika Thia Siok bi memaksa pemuda itu untuk menerima lamaran, dengan perasaan yang hancur luluh gadis itu menjadi nekad dan ingin menghabisi nyawa sendiri.

   Tentu dua orang jago silat yang hadir dalam ruangan itu tak akan membiarkan dia mati penasaran...."

   Sebelum kepalanya sempat membentur diatap dinding, Hoa In-liong sudah menyusup kehadapannya serta merangkul gadis itu kedalam pelukannya....

   Sejak ilmu silatnya musnah, kesehatan badan Wan Hong giok lebih rapuh dari orang lain, apalagi setelah mengalami pukulan batin yang cukup berat, sejak tadi dia sebetulnya sudah tak tahan, maka begitu dirangkul oleh Hoa In-liong, pingsanlah gadis itu.

   Thia Siok bi putus asa bercampur kecewa, menyaksikan tekad muridnya yang lebih baik mati daripada kawin, teringat pula kedudukan keluarga Hoa Yang begitu tinggi dalam dunia persilatan ser ta ternodanya Wan Hong giok, dia betul-betul merasa tak ada harapan untuk melangsungkan apa yang diharapkan.

   Sambil mendepak-depakkan kakinya ketanah, serunya dengan penuh kebencian.

   "Sudahlah, sudahlah....percuma!"

   Tiba-tiba ia merampas tubuh Wan Hong giok dari dukungan Hoa In-liong, kemudian melompat keluar dari jendela. Mula-mula Hoa In-liong tertegun, menyusul kemudian sambil mengejar keluar teriaknya dengan gemetar.

   "Cianpwe, nona Wan...."

   Sambil berpaling tiba-tiba Thia Siok-bi mengancam.

   "Kalau engkau berani menyusul kami, jangan salahkan kalau pinto tak akan sungkan-sungkan lagi"

   Sementara Hoa In-liong masih tertegun, sambil mendengus dingin Thia Siok bi sudah berangkat menuju ke utara. Hoa In-liong cuma bisa berdiri termangu-mangu sambil melamun.

   "Ibuku dan mama (Chin Wan hong) paling menyayangi diriku, mereka pasti berdiri dipihakku, sedang nenek dan ayah meski keras dan keren, rasanya setelah kuterangkan mereka akan menjadi tahu, berarti kesulitan pertama bisa kuatasi. Adik Wi baik hati dan suka memaafkan kesalahanku, rasanya diapun bisa memahami posisiku saat ini...."

   Berpikir simpai disitu, pemuda itu segera memutuskan untuk menyusul Wan Hong giok berdua, dengan suara lantang dia berteriak.

   "Cianpwe, harap berhenti."

   Teriakan itu cukup keras, apalagi ditengah keheningan malam yang mnyelimuti seluruh jagad, teriakan tersebut hampir terdengar diseparuh bagian kota Hway-im.

   Pemuda itu sudah mengambil keputusan, apapun yang terjadi, dia akan menikahi Wan Hong giok Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya tidak berada dibawah kepandaian Thia Siok bi, apalagi To koh setengah umur itu harus membawa seorang yang lain, ketika berada dikaki dinding kota mereka berhasil disusul oleh pemuda itu.

   Dengusan dingin bergema memecahkan kesunyian, melihat pemuda itu menyusul datang Thia Siok bi segera memutar tubuhnya, lalu senjata Hud tim nya disapu kedepau menghantam batok kepala lawan.

   Hoa In-liong sedikitpun tidak bergerak, sekalipun serangan sudah berada di depan mata, ia tidak berniat untuk menghindarkan diri.

   Bayangkan saja betapa dahsyatnya serangan itu kalau sampai kena sasaran niscaya pemuda itu akan mampus.

   Thia Siok bi, amat bersedih hati atas tragedi yahg menimpa murid kesayangannya, karenanya dalam melancarkan sapuan tersebut diam-diam ia sertakan pula tenaga serangan sebssar dua belas bagian.

   Seandainya serangan itu sampai menghajar telak ditubuh Hoa In-liong, kalau tidak matipun paling sedikit akan terluka parah.

   Tapi setelah ia saksikan betapa murung dan sedihnya anak muda itu, terutama sikap pasrahnya terhadap nasib, secara tiba-tiba saja melunakkan hatinya.

   "Aaai.... Sudahlah."

   Begitu dia berpikir.

   "toh dalam kejadian ini dia memang tak bisa disalahkan!"

   Disaat yang terakhir dia menarik kembali sebagian besar tenaga dalamnya, seranganpun dimiringkan kesamping, dengan begitu senjata Had tim tersebut hanya mengejar bahu kiri Hoa In-liong.

   Sianak muda itu mendengus tertahan, bahu kirinya robek dan tubuhnya ikut roboh terjungkal dari atas dinding pekarangan.

   Thia Siok bi menghela napas sedih, sambil membopong tubuh Wan Hong giok dia berlarian menuju keutara.

   Sambil menahan rasa sakit Hoa In-liong melompat kembali keatas dinding pekarangan, kemudian teriaknya keras-keras.

   "Cianpwe, harap tunggu dulu, aku yang muda bersedia menerima perintahmu!!"

   Malam yang sepi keheningan yang merccekam, hanya suara teriakannya yang berkumandang sampai nun jauh disana, namun tiada jawaban dari Thia Siok bi.

   "Ji-kongcu!"

   Tiba-tiba seseorang mamanggil dengan suara yang lembut merayu. Hoa In-liong segera berpaling, ternyata Ki ji yang datang, maka serunya dengan gelisah.

   "Nonamu sudah kembali kekota King-leng, lebih baik kau cepat cepat pulang!"

   Kemudian tidak menunggu jawaban lagi dia melompat turun dari dinding pekarangan itu dan kabur ke utara. "Eehh.... ji-kongcu! Bagaimana dengan kau sendiri?"

   Teriakan Ki ji masih sempat berkumandang dari belakang sana.

   "Aku masih ada urusan!"

   Pemuda itu menjawab tanpa berpaling lagi.

   Sesudah menitahkan Ki ji agar segera pulang kerumah, pemuda itu tak ada minat untuk menggubrisnya lebih jauh, dengan kecepatan paling tinggi dia bergerak keutara, kearah mana Thia Siok bi melenyapkan dirinya tadi....

   Berapa waktu sudah lewat pengejaran masih berlangsung terus, namun orang yang disusul tidak tampak juga batang hidungnya.

   "Rupanya To koh itu memang tidak bermaksud menjumpai aku"

   Akhirnya dia berpikir.

   "yaa, kalau memang begitu, dikejar terus juga tak ada gunanya...."

   Menurut perhitungannya Thia Siok bi tak mungkin bisa pergi terlampau jauh, meskipun ilmu meringankan tubuhnya sempurna, toh dia musti membopong Wan Hong giok sebagai suatu beban, sepantasnya kalau dia tak bisa lari cepat.

   Tapi sudah sekian lama dia melakukan pengejaran, pemuda itu percaya kecepatan larinya tidak berada dibawah To koh tersebut tapi kenyataannya sudah semakin lama dia mengejarnya, tapi orang yang di cari-cari belum ketemu juga, ini membuktikan kalau mereka memang sengaja menghindari pertemuannya.

   Karena berpendapat demikian, pemuda itu menghentikan kembali pengejarannya, lalu bergumam seorang diri.

   "Lebih baik aku berjalan selangkah lebih duluan, kemudian kujaga jalanan menuju ke utara ini, dengan demikian, mereka berdua pasti tak akan menyangka, dan kesempatan untuk menemukan jejak merekapun akan semakin bertambah besar"

   Dari kota Hway-im menuju ke utara memang tersedia beberapa buah jalan, tapi jalan pemerintah cuma ada satu.

   Sekarang yang paling dikuatirkan anak muda itu adalah bila berdua memilih jalan kecil, bahkan memilih jalan bukit yang lebih sukar untuk menghindari pertemuan dengannya.

   Maka sesudah mempertimbangkannya sekian waktu, akhirnya dia memutuskan untuk mencegat dikota Si ciu saja.

   Setelah mengambil keputusan, dia menentukan arah dan berangkat menuju ke arah barat laut.

   Perjalanannya kali ini dilakukan dengan mengerahkan segegap ilmu meringankan tubuh yang dikuasahinya, seperti hembusan angin puyuh saja badannya berkelebat maju ke depan....

   Jarak antara kota Hway im sampai di kota Si ciu memang tidak terlampau jauh, tapi bagaimanapun juga orang harus beristirahat sebelum meneruskan perjalanannya, apalagi belum lama berselang pemuda itu sudah melakukan perjalanan sejauh lima ratus li tanpa berhenti dengan begitu maka tenaga dalam yang terbuangpun tidak akan terlampau banyak.

   Hoa In-liong yang berpengalaman tidak tahu namun setiap menit setiap detik dia selalu membabayangkan wajah Wan Hong giok yang layu, membayangkan tragedi yang menghancur lumatkan perasaan gadis itu, dia merasa sakit hati, dia ingin menggunakan segenap kekuatan yaug dimilikinya untuk melampiaskan semua kekesalan, membuang semua kemurungan yang mengganjal hatinya sebab itu dia melakukan perjalanan tanpa hentinya.

   Apa yang terjadi kemudian? Tenaga dalamnya bukan saja tidak menjadi habis lantaran tindakan tersebut, malah sebaliknya hawa murni itu mengalir semakin lancar, kian ngotot dia berlari kian segar badannya dan kian bertambah cepat pula larinya.

   Lama kelaman sadarlah pemuda tersebut atas keajaiban itu, dia tahu kesemuanya ini adalah berkat pemberian dari Goan cing taysu.

   "Demi aku, entah berapa banyak yang dikorbankan dia orang tua?"

   Demikian ia berpikir.

   "bila aku tahu diri, dan menghambur-hamburkan tenaga pemberiannya, bukankah perbuatan ini sama halnya dengan menyia-nyiakau pengorbanan dia orang tua?"

   Karena berpikir demikian, maka pemuda itu segera merubah rencananya semula, setelah tiba di kota Siciu, sambil mencari jejak Wan Hong-giok dan gurunya, diam-diam diapun melatih ilmu silatnya dengan lebih tekun.

   Keesokan harinya ketika sore menjelang tiba, Hoa In-liong telah tiba di kota Si ciu dan masuk lewat pintu sebelah timur.

   Sebagaimana diketahui, Hoa In-liong itu orangnya tampan, dandanannya perlente dan gerakgeriknya mencerminkan seorang anak hartawan yang gagah perkasa, tapi bahu kirinya basah oleh noda darah, keistimewaan tersebut dengan cepat menarik perhatian orang banyak.

   Terhadap sikap keheranan orang banyak itu Hoa In-liong berpura-pura tidak melihat, dia menuju ke rumah penginapan Tay hok yang merupakan rumah penginapan terbesar di kota Si ciu dan memesan sebuah ruangan yang tersendiri, lalu selelah mencuci badan dan bersantap, dia memanggil seorang pelayan, memberinya sekeping uang perak seraya berpesan.

   "Belikan kain putih sekodi dan bahan baju yang persis dengan pakaianku ini, cepatan sedikit!"

   Pelayan itu menerima uang tersebut dan ber-bongkok-bongkok sambil mengiakan, padahal dihati dia menggerutu.

   "Aneh betul orang ini, buat apa kain putih sebanyak itu? Masa mau berkabung?"

   Baru saja dia memutar badannya, tiba-tiba Hoa In-liong memanggil lagi.

   "Hei pelayan!"

   "Tuan masih ada perintah apa lagi?"

   Buru-buru pelayan itu memutar badannya.

   "Tolong pinjamkan juga alat menulis dari kasir!"

   

   Jilid 35 KEMBALI pelayan itu membungkukkan badan sambil mengundurkan diri dari sana.

   Tak lama kemudian, kain putih yang dipesan, bahan pakaian serta alat menulis sudah dihantar masuk ke dalam kamar.

   Hoa In-liong merobek kain putih itu menjadi ukuran dua kaki lebih tujuh delapan depa sebanyak empat lembar, lalu diletakkan dimeja dan dia mulai menulis.

   Beberapa saat kemudian, keempat lembar kain putih itu sudah selesai di tulis, sambil meletakkan penanya ke meja, dia menghela napas panjang, gumamnya.

   "Aaai....jika cara iinipun tidak mendatangkan hasil, untuk menemukan Wan Hong giok berdua rasanya akan sulit kembali...."

   Setelah berganti pakaian dan tulisan diatas kain putih itu sudah kering, dia menggulung kain tadi menjadi satu dan meninggalkan rumah penginapan, meski bahunya pernah terluka, sekarang telah sembuh kembali jadi tidak terlalu mengganggu.

   Waktu itu magrib sudah menjelang tiba, lampu sudah memancar dimana-mana, banyak orang berlalu lalang dijalanan, pasar malam baru dimulai dan suasananya amat ramai.

   Hoa In-liong mendatangi keempat buah pintu kota, dibawah tontonan banyak orang, dia mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya dan menggantungkan kain putih berisi tulisan tersebut diatas loteng kota, terhadap perhatian banyak orang, ia sama sekali tak ambil perduli.

   Begitu kain digantung, orangpun berkerumun di sekitarnya untuk membaca isi tulisan tersebut.

   Pada kain putih tadi, tertera beberapa huruf besar yang menyolok, tulisan itu berbunyi.

   "HOA YANG DARI IM TIONG SAN SEDANG MENCARI ORANG". Disini tulisan itu tertera lukisan wajah dari dua orang perempuan, lalu disertai pula nama serta senjata yang mereka gunakan. Diterangkan juga barang siapa menemukan kedua orang itu harap memberi kabar ke rumah penginapan Thian hok dan diberi hadiah yang sepantasnya. Setelah kain itu tergantung disetiap pelosok pintu kota, seluruh kota Si Ciu menjadi gempar, mereka bukan gempar karena akan diberi hadiah besar melainkan Hoa In-liong adalah keturunan Im tiong san. Sebagaimana diketahui, nama Hoa Thian-hong sudah tersohor sampai dimana-mana, ibaratnya sang surya ditengah hari, bukan jago persilatan saja yang mengenalnya, bahkan rakyat kecilpun mengagumi nama besar pendekar tersebut. Dan sekarang, keturunan keluarga Hoa hendak mencari orang, setiap orang segera menaruh perhatian, setiap orang berusaha untuk membantunya kegemparan yang menyelimuti kota Si Ciu boleh di bilang belum pernah terjadi sebelumnya. Sementara itu Hoa In-liong kembali ke rumah penginapan setelah menggantungkan kain putih itu, betapa bangganya dia ketika dilihatnya perbuatan tersebut mendatangkan hasil.

   "Sekarang aku tinggal duduk sambil menanti berita"

   Demikian pikirnya.

   "beginikan lebih enak, aku tak usah bersusah payah tapi hasil yang mungkin dicapai malah justru jauh lebih besar...."

   Sejak itu hari, dia menutup diri dalam kamar, semua pengagum yang berkunjung datang ditampik secara halus.

   Tiga hari sudah lawat, tapi belum juga ada kabar beritanya, seakan-akan Thia Siok bi tak pernah melewati kota Si ciu, melainnya hanya melintas dari sekitarnya.

   Hari keempat pagi, diatas pintu kota tiba-tiba muncul kembali selembar kain besar.

   Diatas kain putih itu tertera pula bsberapi huruf besar, tulisan itu berbunyi demikian.

   "HOA IN-LIONG MENANTANG PERANG KEPADA HIAN-BENG-KAUW, MO KAU SERTA KIU IM KAU". Munculnya kembali Kiu im kau dan Mo kau dalam dunia persilatan tidak diketahui banyak orang, apalagi pertikaian antara Hian-beng-kauw dengan Hoa In-liong, kecuali orang yaag berurusan langsung, boleh dibilang orang lain tak ada yang tahu, bahkan nama perkumpulan itupun belum pernah mereka dengar. Maka setelah kain putih yang berisi tantangan itu muncul didepan umum, semua orang mulai berbisik-bisik membicarakan persoalan itu, mereka mulai bertanya. 'Hian-beng- kauw adalah suatu perkumpulan macam apa?' Diantara mereka, ada pula yang mengusulkan agar mendatangi Hoa In-liong serta menanyakan sendiri tentang persoalan itu. Tentu saja mereka hanya berani berbicara dibibir dan tak berani melakukan secara sungguhsungguh. Berapa bulan sudah lewat tanpa terasa, suasana dalam dunia persilatan mengalami pergolakan yang sangat hebat. Kawanan jago persilatan dari pelbagai penjuru negara berdatangan kekota Si ciu, diantara mereka ada yang ingin memberi bantuan, ada pula yang ingin menonton keramaian saja, perduli apapun tujuan mereka, pokoknya dalam kota Si ciu telah di penuhi oleh manusia manusia berpakaian ringkas ynng membawa senjata lengkap. Rumah-rumah makan, warung arak, rumah penginapan telah dipenuhi oleh tamu-tamu tersebut, mereka amat berterima kasih kepada Hoa-jiya, sebab kehadiran Hoa In-liong telah mendapatkan banyak rejeki serta keuntungan bagi usaha mereka. Apalagi tamu tamunya itu kebanyakan royal. Setiap hari kerja mereka hanya makan minum dan keluyuran, sudah barang tentu keuntungan yang di berikan makan minum mereka juga ikut berlimpah ruah. Tapi ada satu hal yang merisaukan mereka, yaitu sikap mereka yang kasar dan berangasan, sedikit salah berbicara bisa menga-kibatkan terjadinya pertumpahan darah yang mengerikan. Pokoknya, akibat dari ulah Hoa In-liong itu, banyak pengusaha yang berhasil memetik hasil keuntungan, tapi ada pula yang ketimpa malang. Kota Si ciu terasa bertambah semarak dan ramai. KALAU ditempat luar mengalami kesibukan yang luar biasa, lain halnya dengan Hoa In tiong, dia menutup diri didalam kamar dan menggunakan keheningan yang mencekam sekelilingnya pemuda itu melatih diri dengan tekun. Makanan dan minuman telah tersedia karena setiap hari, pelayan menghantar langsung ke kamarnya, meski begitu, kadangkala makanan itu sama sekali tak disentuh, dari sini dapat diketahui betapa rajinnya pemuda tersebut melatih diri. Dengan munculnya kembali hawa siluman menyelimuti dunia persilatan, secara lamat-lamat hu an badai segera akan berlangsung. Hingga kini kontak senjata secara langsung memang belum pernah terjadi, tapi bahaya besar kian hari kian mengancam kesejahteraan hidup manusia dalam dunia persilatan. Ditinjau dari pembicaraan nenek dan ayahnya, tampak kalau mereka mempunyai sesuatu kesulitan sehingga tak mungkin untuk terjun kembali ke dalam dunia persilatan, itu berarti beban berat tersebut telah terjatuh diatas bahunya. Bayangkan saja, dengan beban dan tanggung jawab sebesar ini, darimana mungkin ia bisa berbuat seenaknya sendiri? Pagi itu Hoa In-liong sedang berlatih ilmu pedang ditengah halaman depan. Pada mulanya setiap gerakan pedang yang dilakukan tentu menimbulkan deruan angin tajam yang memekikkan telinga, banyak gunung-gunungan, pepohonan dan bebuahan yang rusak dan porak-poranda termakan hawa pedang itu, untunglah sebelum kejadian ia telah mengatakan kepada pemilik rumah penginapan itu bahwa dia bersedia membayar semua kerugian yang terjadi, jadi terhadap kerusakan yang kemudian timbul, pemilik penginapan tidak ambil perduli. Belakangan ini pemuda tersebut dapat menggunakan hawa murninya jauh lebih sempurna, setiap gerakan pedangnya tidak menimbulkan suara tapi hasilnya luar biasa, sedemikian pesatnya kemajuan yang berhasil dicapai sehingga dia sendiripun merasa rada diluar dugaan. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk orang, disusul kemudian suara teriakan dari sang pelayan.

   "Tuan Hoa, Tuan Hoa....!"

   Hoa In-liong menarik kembali gerak jurusnya sambil menegur dengan nada tak senang hati.

   "Hei pelayan, bagaimana kupesan kepadamu? Ada urusan apa...."

   "Tuan Hoa!"

   Pelayan itu berkata lagi.

   "kain-kain yang kau gantung diloteng pintu gerbang telah hilang semua!"

   Hoa In-liong terkejut, segera pikirnya.

   "Waah....rupanya sudah datang!"

   Maka sambil membuka pintu dia bertanya lebih jauh.

   "Kapan terjadinya peristiwa itu? Dan siapa yang melakukan?"

   Pelayan tersebut menjadi gugup dan gelagapan.

   "Tentang soal ini...."

   Padahal Hoa In-liong sudah menduga bahwa manusia semacam ini tidak mungkin bisa memberi jawaban yang memuaskan.

   Apa yang ditanyakan pun tak lebih hanya pertanyaan sambil lalu, maka ketika pelayan itu gelagapan, dia melemparkan sekeping remukan perak seraya berkata lagi.

   "Ini hadiah untuk laporanmu!"

   Kedatangan pelayan itu memang sengaja mencari persen, cepat cepat dia pungut uang itu dan mengundurkan diri dengan wajah berseri. Sepeninggal pelayan itu, Hoa In-liong lantas berpikir.

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kalau perbuatan ini dilakukan oleh pihak Hian-beng-kauw atau Tang kwik Siu, jelas mereka akan secara langsung mencari aku, tak mungkin tanpa melakukan reaksi apa-apa, hanya kain itu saja yang dibawa pergi. Yaa, kalau begitu pastilah Bwe Su yok yang melakukan perbuatan ini"

   Berbicara sampai disitu, dia merasa tak bisa berdiam diri lagi sesudah orang lain merima tantangannya.

   Maka dia keluar dari halaman tersebut dan menuju kepintu rumah penginapan.

   Depan penginapan adalah warung makan, semua tamu yang bersantap sebagian besar mengetahui kalau dia adalah ji-kongcu dari perkampungan Liok soat san ceng, maka semua perhatian orang ditujukan kepadanya.

   Tiba-tiba terdengar sang pemilik penginapan berseru.

   "Tuan Hoa!"

   "Ada apa?"

   Tanya Hoa In-liong sambil berhenti, Dari dalam lacinya, pemilik penginapan itu mengeluarkan setumpuk kartu nama, lalu katanya.

   "Selama satu bulan ini, entah berapa ratus tamu yang telah datang untuk menyampaikan Hoa-ya, tapi lantaran Hoa-ya sudah berpesan maka semua tamu kami tampik secara halus, pula pertama memang tak mengapa, tapi lama kelamaan kurang enak juga jadinya, malah ada tamu yang berangasan menjadi marah- marah, nyaris rumah pe nginapan ini akan dibongkar olehnya"

   Hoa In-liong segera tertawa dingin.

   "Heeehhh.... heeehh.... heeehhh....penginapanmu merupakan sumber perhatian orang banyak masa keuntungan yang kau peroleh masih terasa kurang....?"

   "Aaah, mana ada kejadian seperti itu?"

   Pemilik penginapan itu menjadi semakin riku.

   Kiranya selama sebulan ini, banyak sudah tamu yang berkunjung kesitu, tapi karena mereka tak dapat berjumpa dengan Hoa In-liong, dan lagi merekapun tak berani mengawasi gerak geriknya sehingga nantinya disangka musuh, banyak diantara mereka yang mengeluarkan uang sambil berpesan kepada palayan rumah penginapan agar ikut mem perhatikannya.

   Dalam persoalan ini bukan saja tak dapat mengelabuhi Hoa In-liong yang binal dai aneh, berbicara soal tenaga dalam yang dimilikinya, tak sulit baginya untuk mengawasi setiap gerak gerik yang terjadi diluar penginapan tersebut.

   Pemilik penginapan itu tak tahu darimana tamunya bisa mendapat tahu tentang persoalan ini, dia menjadi ketakutan, dia takut Hoa In- liong menjadi marah karena persoalan ini.

   Hoa In-liong menerima tumpukan kartu nama itu dan memeriksanya, pada lembaran yang pertama terbaca olehnya akan nama "Cia Yu cong dari Wi lam", dia berpikir sebentar, nama itu rasanya memang pernah terdengar, katanya merupakan seorang pentolan Bu lim bagi wilayah sekitar Wi lam, tentu saja lain pula menurut pandangan orang-orang keluarga Hoa.

   Dari lembaran kedua, terbaca nama dari "Tu Cing san dari See siok".

   Dia berpikir kembali.

   "Oooh....rupanya wilayah Cuan tiong pun sudah digemparkan oleh peristiwa ini, sungguh cepat tersiarnya berita dalam dunia persilatan!"

   Kemudian dari lembaran-lembaran berikutnya, terbaca juga nama-nama dari pelbagai jago lainnya yang meliputi daerah Soat say, Hok-kian dan lain-lainnya.

   "Ooooh....jadi perbuatanku ini sudah menggemparkan seluruh kolong langit!"

   Pekiknya di hati. Kartu nama itu seluruhnya berjumlah seratus dua tiga puluh lembar, maka sambil tersenyum ia tidak meneruskan pemeriksaannya, sambil diletakkan kembali dihadapan pemilik penginapan itu dia berseru.

   "Hei, ciang-kwee!"

   Pemilik penginapan itu mengira kesalahannya hendak disinggung, saking takutnya paras mukanya sampai berubah jadi pucat pias, bisiknya gelagapan.

   "Tuan Hoa...."

   Hoa In-liong tersenyum, katanya dengan cepat.

   "Wakililah aku untuk membalaskan setiap kartu nama itu dengan sebuah undangan, tulis dalam undangan itu, besok tengah hari aku hendak menjamu mereka diloteng Kwong koan lo di sebelah barat kota, dan mohon kehadiran mereka semua"

   "Baik! Baik!"

   Sahut pemilik penginapan dengan perasaan cemas. "Masih sempat?"

   "Masih sempat! Masih sempat!"

   Jawab pemilik penginapan lagi dengan perasaan semakin kalut, Hoa In-liong segera mengangguk.

   "Baik! Kalau sampai kurang satu saja, aku akan menanyakan kepadamu...."katanya. Lalu dengan langkah lebar dia keluar dari penginapan itu. Hoa In-liong dengan santainya berjalan jalan mengelilingi kota Si ciu, disepanjang jalan dia temui banyak jago persilatan yang bersenjata lengkap mondar-mandir kian kemari, rata- rata mereka memandang kearahnya dengan pandangan keheranan. Menyaksikan kesemuanya itu, diam-diam dia lantas berpikir.

   "Rupanya semua orang sudah tahu kalau ada orang datang menyatroni diriku, maka sekarang tinggal menunggu tanggal mainnya saja"

   Padahal, dalam kota Si ciu tersebut, mungkin Hoa In-liong sendirilah yang mengetahui kejadian tersebut paling akhir.

   Sepanjang perjalanan mengitari kota, rata-rata yang dijumpai hanya manusia manusia kelas duatiga saja, tak seorang jago lihaypun yang dia temui, otomatis orang yang ingin dijumpaipun tak ada yang tampak pula....

   "Kalau orang-orang dari ketiga perkumpulan besar itu tidak mencari aku, hal ini sudah lumrah dan tak ada yang perlu diherankan, dari pihak keluargaku tak ada yang turut campur atau munculkan diri, kejadian inipun berada dalam dugaanku tapi yang mengherankan adalah gwakong, adik Wi mereka semua, kenapa tak seorangpun yang datang? Jangan-jangan sudah terjadi suatu peristiwa?"

   Mendadak dari depan saja muncul seorang lelaki setengah umur yang bermuka kuning, sambil memberi hormat dia lantas menyapa.

   "Tolong tanya, apakah saudara adalah Hoa kongcu?"

   "Yaa betul"

   Jawab Hoa In-liong sambil balas memberi bormat.

   "dan saudara sendiri...."

   "Siaute bernama Tu Cing san!"

   Cepat-cepat lelaki setengah umur itu memperkenalkan diri. Hoa In-liong masih ingat, orang ini adalah salah seorang diantara pengirim kartu nama yang pernah dilihatnya, maka katanya.

   "Oooh....! Rupanya saudara Tu, jauh-jauh dari wilayah Cuan tiong datang kemari, siaute tak sempat menyambutnya, harap kau bersedia memberi maaf!"

   Betapa girangnya Tu Cing san ketika dilihatnya Hoa In-liong kenal dengannya, cepat-cepat dia berseru.

   "Aaaah, mana! Mana!"

   Setelah berhenti sebentar, lalu dia, menambahkan.

   "Ini hari aku dapat bertemu dengan Hoa kongcu, hal ini merupakan suatu peristiwa...."

   Tampaknya dia hendak mengucapkan beberapa patah kata umpakan, tapi apa boleh buat lidahnya terasa kaku, dia menjadi galagapan dan tak tahu apa yang musti dikatakan.

   Ketika dilihatnya kawanan jago persilatan mulai mengerubungi dirinya, Hoa In- liong segera berpikir.

   

   first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 08:24:53
oleh Saiful Bahri Situbondo


Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id Manusia Aneh Dialas Pegunungan -- Gan K.l Legenda Bunga Persik -- Gu Long

Cari Blog Ini