Ceritasilat Novel Online

Rahasia Hiolo Kumala 4


Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Bagian 4




   Rahasia Hiolo Kumala Karya dari Gu Long

   
Mula-mula ia menanyakan kisah Hoa In-liong ketika mendapat perintah untuk meninggalkan rumah, kemudian menanyakan pula semua kejadlan dan peristiwa yang dijumpainya selama berada di kota Lok-yang.

   Dengan tak Jemu-jemunya Hoa In-liong segera menjawab semua pertanyaan kakeknya dengan jelas.

   Pek Siau-thian sendiripun lantas mendengarkan penuturan dari cucunya sambil tersenyum.

   selesai bercerita, Hoa In-liong mendadak membuka telapak tangan kirinya dan disodorkan kedepan, kemudian katanya.

   "Gwa- kong, semua persoalan tidak Liong-ji pikirkan, tapi ada satu hal yang tidak berkenan di hati Liong-ji, yakni ukiran huruf "benci"

   Yang dibuat ibu ditanganku, apakah Gwa-kong tahu apa maksudnya mengukir huruf tersebut?"

   Pek Siau-thian melirik sekejap telapak tangan kirinya, kemudian ia balik bertanya.

   "Apakah engkau merasa tidak senang hati, dengan kejadian itu?"

   "Bukannya Lion-ji tak senang hati cuma Liong-ji merasa bahwa tindakan ini sebenar nya sama sekali tak berarti...."

   "Nenekmu adalah seorang pendekar wanita uang berjiwa besar dan berotak cerdas."

   Tukas Pek Siau-thian dengan cepat.

   "jangankan orang lain, aku sendiripun amat mengaguminya, aku percaya semua .perbuatan yang ia perintahkan pasti mempunyai arti dan maksud yang mendalam, hanya engkau belum berhasil menangkap artinya."

   "Lalu apa maksudnya?"

   Seru Hoa In-liong sambil menatap Gwa-kong nya tajam-tajam.

   "ibu dan nenek semuanya bilang bahwa mereka tidak membenci aku, tapi aku tak dapat memecahkan maksud dan arti di balik kesemuanya ini, kadangkala aku tak tahan dan memikirkan persoalan ini, namun sekalipun aku sudah putar otak memeras keringat, toh akhirnya masih tetap merupakan suatu persoalan simpul mati."

   Pek-siau-thian tersenyum setelah mendengar perkataan itu ujarnya.

   "Bila ingin menjadi seorang yang besar dan terkenal, pikiran dan jiwamu harus lapang, persoalan sepele dan masalah kecil jangan selalu dipikirkan di hati, bukan saja kejadian itu bisa menutupi kecerdasan otakmu bahkan amat mengganggu kesehatan badan, bila tak berhasil dipecahkan lebih baik tak usah dipikirkan-"

   "Aaaai Gwa-kong, ucapanmu ini persis seperti perkataan nenek"

   Gerutu sang pemuda dengan wajah murung.

   "cobalah bayangkan, Liong-ji harus memikul tugas yang sangat berat ini, masakah aku tak boleh menyelidiki tiap persoalan yang sedang kuhadapi? Sebelum berangkat, ibu telah mengukir huruf "benci"

   Itu di atas telapak tangan Liong-ji apakah liong-ji harus berdiam diri belaka."

   Pek-siau thian mengelus jenggotnya dan tersenyum.

   "Lalu bagaimana menurut jalan pikiranmu? Apakah tulisan itu ada hubungan yang erat dengan peristiwa pembunuhan berdarah ini?"

   "Tentu saja,"

   Jawab pemuda itu cepat.

   "kalau tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa berdarah itu, mengapa sewaktu mengukir huruf tersebut nenek bersikap amat serius. Gwa-kong, tahukah kau bahwa pada waktu itu ibu merasa tak tega, tapi nenek yang memaksa terus untuk mengukir huruf itu ditangan Liong-ji."

   "Liong- ji, kau tak boleh bicara sembarangan!"

   Mendadak Pek-siau-thian menukas dengan wajah serius.

   "nenekmu adalah ksatria sejati diantara kaum perempuan, baik kecerdasan otak maupun pengetahuannya jauh lebih hebat dari siapapun, kalau ia memaksa untuk berbuat demikian, itu berarti ia mempunyai maksud tertentu ketahuilah menyalahkan angkatan yang lebih tua adalah...."

   Kata selanjutnya tak lain adalah kata-kata nasehat yang setumpuk bukit, dengan watak Hoa ln liong yang binal, ia segan untuk mendengarkan "

   Nasehat"

   Tersebut, tapi iapun mengerti betapa sayangnya Pek Siau-thian terhadap dirinya, maka ia berkata kemudian.

   "Apa alasannya? Kalau tidak diterangkan bukankah itu berarti bahwa Liong ji selalu harus memikirkan soal 'Benci', 'Benci' pada langit, 'Benci' pada bumi dan mungkin harus 'benci' terhadap setiap manusia yang ada di kolong Langit?"

   "Ngaco belo!"

   Bentak Pek Siau-thian dengan keras.

   Mendadak satu ingatan terlintas dalam benaknya, tanpa terasa kakek tua itu jadi tertegun dan berdiri termangu-mangu.

   Hoa In-liong sendiripun agak tertegun menyaksikan keadaan gwa-kongnya itu, dengan tercengang ia lantas berseru.

   "Gwa-kong, kenapa kau? Apakah berhasil menemukan alasannya?"

   "Jangan berisik dulu,"

   Sela Pek-siau-thian sambil ulapkan tangannya.

   "biar kupikirkan persoalan ini dengan seksama."

   Hoa In-liong mengerdipkan matanya, lalu berpikir.

   "Benar, Gwa-kong dimasa lalu adalah seorang pemimpin dunia persilatan yang tersohor dan mempunyai kedudukan tinggi, ia pasti mengetahui banyak tentang Giok-teng hujin, apa salahnya kalau kugunakan kesempatan ini untuk mencari tahu tentang dirinya?"

   Baru saja ingatan tersebut melintas dalam benaknya, Pek Siau-thian telah menatap tajam cucunya sambil bertanya.

   "Liong-ji, pernah kau dengar tentang seorang jago lihay dimasa lampau yang bernama Kiu-im kaucu?"

   Hoa In-liong ingin cepat-cepat menjawab, sambil mengangguk segera sahutnya.

   "Menurut apa yang Liong-ji dengar, Kiu-im kaucu adalah seorang perempuan berilmu tinggi, orang itu licik, banyak akal busuknya dan kejam..."

   "Ehmm"

   Pek Siau-thian mengangguk.

   "Suma Siok-cubomu dulunya adalah tiamcu dari istana neraka, dengan Suma siok-ya mu...."

   "Apa?"

   Tukas Hoa In-liong tercengang "bukankah perkumpulan Kiu-im-kau adalah perkumpulan kaum sesat?"

   Pek Siau-thian mengangguk.

   "Perkumpulan Kiu-im-kau memang suatu perkumpulan kaum sesat, Tiancu istana neraka itu pernah bertarung melawan Suma siok-ya mu, berhubung usia mereka sebaya dan ilmu silatnya seimbang, sejak terjadinya pertarungan itu mereka selalu memikirkan pihak lawannya. Kemudian saat Suma siok-ya mu sedang berpesiar, diatas bukit Lak-siau-san mereka berjumpa untuk kedua kalinya, waktu itu mereka berpesiar selama beberapa hari mengunjungi tempat kenamaan, ketika hubungan mereka kian lama terasa kian bertambah cocok. akhirnya Yu-beng tiamcu ini melepaskan diri dari perkumpulan Kiu-im-kau dan menemani Suma siok-ya mu berkunjung kedaratan Tionggoan dimana, akhirnya atas persetujuan dari nenekmu, merekapun menikah menjadi suami istri."

   "Aaah, kiranya siok cubo melepaskan diri secara diam-diam dari perkumpulan Kiu- im-kau,"

   Pikir Hoa In-liong dalam hati.

   "tak aneh kalau sepanjang tahun jarang keluar pintu gerbang, bahkan berkunjung kerumahpun hampir tak pernah."

   Meski dalam hati berpikir demikian, di luaran ia berkata.

   "Jadi maksud gwa-kong, otak dari pembunuhan berdarah atas diri Suma siok-ya dan siok cubo ini tak lain adalah Kiu-im kaucu?"

   "Benar atau tidak kita harus melakukan penyelidikan lebih jauh, tapi bagaimanapun juga kita tak boleh melepaskan titik terang dengan begitu saja."

   Hoa In-liong berpikir sebentar, lalu menyambung.

   "Aah aku rasa belum tentu begitu. Menurut kisikan dari nenek. agaknya beliau menaruh curiga bahwa persoalan ini ada hubungannya dengan Giok-teng Hujin, sebab tanda pengenal yang ditinggalkan pembunuh itu tak lain adalah sebuah hiolo kecil berwarna ungu kemala."

   "Aku bisa menduga sampai kesitu justru karena secara tiba-tiba teringat akan diri Giok-teng hujin ini."

   "Oooh... kiranya dugaan kalian ada kemiripannya antara yang itu dengan yang lain!"

   Seru Hoa Inliong seperti baru sadar.

   "Gwa-kong, cepatlah terangkan, bagaimana dengan Giok-teng hujin itu?"

   "Aku sendiripun mendengar cerita ini dari cu-in taysu. Katanya di masa lalu ayahmu, entio-mu, dan Suma siok-ya mu pernah menerima budi kebaikan dari Giok-teng- hujin, kemudian sewaktu Giok-teng hujin mendapat musibah, ayahmu dan Suma-siokya mu bersama-sama datang ke kota Cho Ciu untuk memberi pertolongan, menurut keterangan Cu in taysu, pada waktu itu Giok-teng hujin sedang menjalankan siksaan Im hwe lee hun (api dingin melelehkan sukma), siksaan itu amat keji dan melanggar peri kemanusiaan, ketika menyaksikan keadaan tersebut ayahmu amat sedih dan gusar sehingga mendekati kalap. apa yang dipikirkan olehnya waktu itu hanyalah membunuh manusia sebanyak-banyaknya." (untuk jelasnya silahkan membaca. Bara Maharani oleh penyadur yang sama). Ketika mendengar kisah tersebut, Hoa In-liong segera mengerutkan dahinya dan berpikir dihati.

   "Siksaan api dingin melelehkan sukma memang merupakan suatu siksaan yang keji dikolong langit, sekalipun aku yang temui kejadian juga akan naik darah, apalagi ayah pernah mendapat budi dari Giok-teng hujin, tentu saja kemarahannya mendekati kekalapan setelah menjumpai kejadian itu, tapi apa sangkut pautnya antara kejadian itu dengan kematian Suma siok-ya serta ukiran huruf 'benci' diatas telapak tanganku ini?"

   Pek Siau-thian sudah sering bergaul dengan cucunya ini semenjak masih bayi, sekilas memandang tampang cucunya, ia lantas dapat menebak apa yang dipikirkannya, maka ujarnya lagi.

   "Liong-ji, apakah engkau menganggap ayahmu ingin membunuh orang hanya disebabkan oleh dorongan emosi dan kemarahan saja.?"

   "Apakah dibalik kejadian ini masih terdapat sebab-sebab lain....?"

   Hoa In-liong balik bertanya setelah tertegun sejenak.

   "Tentu saja, Ayahmu sudah kenyang mengalami penderitaan, watak dan keteguhan imannya jauh berbeda dengan manusia biasa, padahal dalam dunia persilatan banyak terdapat kejadiankejadian yang gampang membuat orang naik darah bila setiap kali marah dia lantas ingin membunuh orang, berapa banyak sudah manusia yang akan terbunuh oleh ayahmu? Dan darimana mungkin ia bisa melakukan pekerjaan besar?"

   "Lalu sebenarnya mengapa ia sampai berbuat demikian?"

   Desak si anak muda itu cepat. Pertanyaan ini diajukan dengan hati yang gelisah seakan-akan sudah tak sabar untuk menanti lebih lama lagi, melihat keadaan cucunya ini Pek Siau-thian kembali berpikir.

   "Bun Tay-kun amat ketat mendidik keturunannya sedang persoalan, ini menyangkut soal muda-mudi Seng-ji (Hoa Thian-hong) dimasa mudanya, aku harus mengelabuhi beberapa bagian yang tak perlu dihadapan Liong-ji, tapi bagaimana aku harus mulai dengan jawabanku....?"

   Setelah termenung beberapa saat lamanya, Pek Siau-thian menghela napas panjang dan menjawab.

   "Dahulunya Giok-teng hujin juga merupakan anak buah dari Kiu-im-kau, ketika itu ia sangat sayang terhadap ayahmu, hubungan mereka lebih akrab dari kakak beradik, sejak perkumpulan Kiu-im-kau secara resmi munculkan diri lagi dalam selat Cu-bu-kok, ia selalu memusuhi ayahmu dan berusaha merampas pedang baja ayahmu."

   Sebagai seorang pemuda yang cerdas, tentu saja Hoa In-liong dapat menangkap maksud lain dibalik ucapan tersebut, ia lantas menyela..

   "Tentang peristiwa perebutan pedang baja itu, Liong-ji sudah pernah tahu, pedang itu direbutkan karena dalam pedang tersebut disimpan se

   Jilid kitab Kiam-keng yang lihay. Jadi kalau begitu tujuan Kiu-im kaucu melakukan penyiksaan Api dingin melelehkan sukma adalah untuk memaksa ayah untuk menyerah?"

   Pek Siau-thian mengangguk tanda membenarkan.

   "Padahal pada waktu itu ayahmu sudah berhasil mendapatkan kitab Kiam-keng, sebagai seorang pendekar yang mengutamakan budi, dalam perkiraan Kiu-im kaucu jika ia gunakan siksaan yang keji untuk menyiksa Giok-teng hujin, maka bila ayahmu bertekuk lutut..."

   "Aaaah, sekarang, aku sudah paham!"

   Tiba-tiba Hoa In-liong berseru lantang.

   "tentunya ayahmu tak sudi menyerahkan pedang baja itu, maka Giok-teng hujin mendendam persoalan itu dalam hati kecilnya karena..."

   Siapa tahu Pek Siau-thian gelengkan kepalanya sambil menukas.

   "Keliru, keliru besar? Giok-teng hujin bukan perempuan biasa, cinta kasihnya terhadap ayahmu boleh diibaratkan tingginya langit dan tebalnya bumi, ia rela menderita siksaan yang lebih hebat sepuluh kali lipat lagi daripada menyaksikan ayah mu terhina dan tercela namanya."

   Hoa In-liong jadi tertegun.

   "Aaah... kalau memang begitu, kebanyakan "otak"

   Dari pembunuhan berdarah itu adalah Kiu-im kaucu."

   Pek Siau-thian mengerutkan dahinya.

   "Liong-ji, untuk menyelidiki siapakah otak dari pembunuhan berdarah ini, kau tak boleh memecahkannya berdasarkan dugaan, dengarkan dahulu penjelasanku lebih jauh."

   Sekali lagi Hoa In-liong tertegun, dengan wajah tercengang bercampur curiga dia amati kakeknya. Setelah menghela nafas panjang, Pek Siau-thian berkata lebih jauh.

   "Menurut keterangan dari Cu-in Taysu, sebelum seseorang menjalankan siksaan api dingin melelehkan sukma, maka diulas dada sang korban akan ditaburi dulu dengan sejenis racun yang dinamakan Miat- ciat-im-leng (bubuk phospor pelenyap keturunan) , kemudian dengan menggunakan........

   Jilid 6 SEBUAH lentera Lian-hun-teng (lentera peleleh sukma) yang khusus terbuat dari hawa racun katak paru, racun phospor itu akan dihisap sedetik demi sedetik, setelah menjalankan siksaan terbakar perlahan-lahan selama tujuh hari tujuh malam, sang korban akan mati karena hawa racun menyerang jantungnya.

   Liong-ji coba bayangkan, sebelum mati orang yang tersiksa akan mengalami penderitaan yang amat hebat, betapa kejam dan ngerinya keadaan tersebut?"

   Hoa In-liong membungkam dalam seribu bahasa, hawa gusar dan jengkel jelas tercermin diatas wajahnya. Sekali lagi Pek Siau-thian menghela napas panjang, ujarnya lebih jauh.

   "Siksaan tersebut betulbetul amat keji dan tak berperikemanusiaan, tentu saja ayahmu amat gusar setelah menyaksikan kejadian itu, tapi berulangkali Glok-teng hujin berpesan kepada ayahmu agar jangan mau tunduk pada perintah orang, tak boleh mandah diperintah orang, kalau tidak maka sekalipun ia bisa ditolong dalam keadaan hidup, tapi dia akan bunuh diri, Liong-ji, coba pikirlah betapa bergolaknya perasaan ayahmu pada waktu itu."

   Mendengar ucapan tersebut, mencorong sepasang mata Hoa In-liong sinar mata itu setajam sembilu dan mengerikan sekali, melihat hal itu Pek Siau-thian segera berseru.

   "Liong-ji, dengarkan baik-baik, aku hendak membicarakan tentang soal yang pokok."

   Hoa In-liong tersentak kaget ia segera menyahut.

   "Katakanlah Gwa-kong, Liong-ji akan mendengarkan dengan sungguh-sungguh...."

   "Pada waktu itu ayahmu merasa hatinya remuk rendam, dalam gusar bercampur emosi, ia berhasrat untuk membunuh habis semua anak buah perkumpulan Kiu-im-kau, kemudian akan beradu jiwa dengan Kiu-im-kaucu. Cu-in taysu yang berhati welas jadi kasihan dan tak tega, ia tak ingin menyaksikan anak buah perkumpulan Kiu im kau bergelimpangan menjadi mayat maka cepat ia perintah ayahmu untuk memusatkan pikiran dan tenangkan hati padahal ayahmu sedang emosi dan diliputi kemarahan, dia pun tak berani membangkang perintah angkatan yang lebih tua, seperti harimau terluka ia lantas berteriak keras.

   "Taysu berwelas kasih, boanpwe menanggung benci"

   Sampai disini ia berhenti sebentar, ditatapnya Hoa In-liong lekat-lekat kemudian melanjutkan.

   "Liong-ji, tahukah engkau kata 'benci' itu bagaimana mungkin bisa diucapkan keluar?"

   Hoa In-liong memutar biji matanya lalu menjawab.

   "Tentu saja patut dibenci. Kiu- im kaucu mengancam dengan menyandera orang, sedang ayah harus menolong orang terlepas dari siksaan, namun ia tak dapat membalas cinta kasih Giok teng hujin, tak dapat pula menukar sandera dengan kiam-keng, sekalipun membunuh orang mengadu jiwapun tak dapat menolong keadaan tersebut, sebaliknya orangnya harus ditolong, dalam keadaan begini tentu saja ia merasa benci sekali."

   "Jadi kalau begitu, kau juga memiliki perasaan yang sama seperti ayahmu tempo dulu?"

   Selidik Pek Siau-thian. Dengan terus terang dan blak-blakan Hoa In-liong menjawab.

   "Setelah menerima setitik budi kebaikan dari orang, sepantasnya membayar budi itu dengan cara apapun, bila liong-ji yang menghadapi peristiwa itu, mungkin rasa benci Liong-ji berlipat kali akan lebih hebat daripada ayahku"

   Pek Siau-thian menghela napas panjang.

   "Aaai....meski manusia mempunyai perasaan yang sama dan perasaan yang sama disadari oleh alasan yang sama, tapi toh belum tentu diterima oleh masyarakat luas sebagai tindakan yang benar."

   Tiba-tiba paras mukanya jadi serius, dengan keren sambungnya lebih lanjut.

   "Liong-ji, tentunya pada saat ini kau sudah memahami bukan apa sebabnya ibumu mengukir huruf 'benci' diatas telapak tanganmu?"

   Hoa In-liong mengerutkan dahinya, lalu bertanya keheranan.

   "Kenapa? Masa huruf 'benci' itu timbul lantaran ayah?"

   Telapak tangan kirinya direntangkan lebar-lebar lalu diamatinya huruf 'benci' itu sekali demi sekali, tapi makin dilihat ia merasa semakin bingung dan tidak mengerti, ia benar-benar tak berbasil menemukan jawaban yang menunjukkan bahwa huruf 'benci' yang berwarna biru tua ini mempunyai hubungan yang erat dengan perbuatan ayahnya dimasa lampau.

   Ketika Pek-siau-thian melihat anak muda itu masih juga bingung dan tak habis mengerti, ia lantas menghela napas panjang.

   "Aaaa.... pada hakekatnya huruf 'benci' yang dialami ayahmu dimasa silam timbul lantaran cinta, Andaikata Giok-teng hujin tidak menaruh rasa cinta, ia tak akan begitu sayang dan membantu ayahmu, dan iapun tak akan bersedia menerima siksaan, daripada menyaksikan ayahmu harus tunduk pada perintah orang dan mendapat penghinaan, sebaliknya ayahmu jika tidak menaruh rasa cinta pada Giok-teng hujin, sekalipun demi keadilan dan kebenaran, kegusaran dan kepedihan hatinya tak akan mencapai pada puncaknya, diapun tak akan mencari orang untuk mengadu jiwa, dan ketika didesak sampai posisi apa boleh buat diapun tak akan mengucapkan kata-kata "menanggung benci", dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa cinta antara muda mudi, kadang kala mudah mendatangkan kerepotan dan kesulitan bagi diri sendiri"

   Hoa In-liong mengedip-ngedipkan matanya, dengan sikap setengah mengerti setengah tidak, ia mengerutkan dahinya.

   "Liong-ji apakah kau belum juga mengerti?"

   Tiba-tiba Pek Siau-thian bertanya lagi dengan wajah serius "

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Nenekmu memaksa ibumu untuk mengukir huruf 'benci' diatas telapak tanganmu, lantaran dia tahu bahwa kau terlampau romantis, sejak kecil suka main perempuan dan bertukar pacar maka dengan ukiran tersebut ia berharap agar engkau bisa mawas diri dan menjaga diri baik-baik sehingga tidak ikut terjerumus seperti apa yang pernah dialami ayahmu dimasa lalu, sebab kalau sampai terjerumus dalam kesulitan, saat itu mau menyesalpun sudah tak berguna"

   Berhubung masalahnya menyangkut tentang kegemaran jeleknya, Hoa In-liong merasa pipinya jadi merah padam karena jengah, serunya terbata-bata.

   "Tentang soal ini....tentang soal ini..."

   "Tak usah ini itu lagi"

   Tukas Pek Siau-thian sambil ulapkan tangannya.

   "nenekmu berwatak keras dan sangat disiplin, ia tak ingin menyaksikan engkau mengalami kejadian seperti yang dialami ayahmu namun merasa tidak leluasa untuk memberitahukan kejadian ayahmu dimasa lampau, oleh sebab itu ia mengukir huruf 'benci' diatas telapak tanganmu itu, apa tujuannya sekalipun tak usah diterangkan sudahlah jelas. Bila engkau tak dapat meresapi harapan dari orang tuamu dengan merubah kebiasaan busukmu, maka sia-sialah engkau hidup sebagai putra manusia, engkau akan dicap sebagai anak yang tidak berbakti"

   "Gwa-kong, apakah engkau orang tua juga mempunyai pandangan yang sama seperti nenek?"

   Tanya Hoa In-liong ketakutan Pek Siau-thian tersenyum.

   "Mengharapkan engkau jadi naga diantara manusia adalah harapan kita semua, tentu saja Gwakong maupun nenekmu mempunyai pendapat serta pandangan yang sama"

   Hoa In-liong membungkam dan tak bisa berbicara lagi, dengan dahi berkerut dia tundukkan kepalanya rendah-rendah.

   Bagi Pek Siau-thianpun, sebenarnya persoalan ini memang sangat mengena di hatinya.

   ketika ia kurang akur dengan istrinya tempo dulu, sampai manakah rasa rindunya terhadap Kho-Hongbwe boleh dibilang hanya dia seorang yang tahu, kemudian putri bungsunya Pek-Kun-gi mencintai Hoa-Thian-hong.

   sebelum berhasil menjadi istrinya yang kedua, banyak penderitaan dan siksaan yang harus dialaminya, meski hanya putrinya namun kejadian itu seakan-akan dia sendiri yang mengalami, kemudian diapun pernah mendengar tentang kasih cinta Hoa-Thianhong dengan Giok-teng hujinIa beranggapan bahwa semua peristiwa itu bisa terjadi lantaran gara-gara soal "

   Cinta", maka setelah sekarang ia saksikan cucunya yang binal dan romantis ternyata membawa huruf 'benci' diatas telapak tangannya, otomatis diapun dapat menebak maksud hati Bun-Taykun, tentu saja dia sendiripun berharap agar cucunya jadi naga diantara manusia, maka menumpang kesempatan ini dia lantas memperingatkan pemuda itu agar merubah wataknya yang jelek sehingga jangan sampai mengalami peristiwa pula yang menyangkut soal "

   Kebencian". Bagaimana dengan Hoa In-liong sendiri? Ia tundukkan kepalanya sambil termenung, sementara dalam hati berpikir.

   "Benar demikian? Benahkah begitu artinya.."

   Tatkala dilihatnya sianak muda itu termenung seperti menemui kesulitan, timbul kembali perasaan sayang dihati Pek Siau-thian, kembali ia berkata.

   "Liong-ji, engkau tak usah banyak berpikir lagi pokoknya baik gwa-kong, maupun ibumu dan nenekmu semuanya berharap agar engkau selamat dari bencana, selamat dari penderitaan dan selalu aman sentausa, asal engkau tahu bahwa 'benci' tumbuh karena "cinta"

   Dan bersikap waspada serta mawas diri, itu sudah lebih dari cukup."

   Tiba-tiba Hoa In-liong menengadah, lalu ujarnya dengan dahi berkerut.

   "Gwa-kong, aku lihat belum tentu demikian maksudnya"

   Pek Siau-thian agak terkejut, ia lantas berpikir.

   "Ada apa ini? Masakan ucapanku sepatah kata pun tak dapat ditangkap olehnya?"

   Mesti kaget ia bertanya juga.

   "Lalu bagaimana menurut pendapatmu?"

   "Aku rasa huruf 'benci' ini, kemungkinan besar ada sangkut pautnya dengan peristiwa berdarah ini"

   Kata Hoa In-liong sambil mempertajam ujung bibirnya. Ia membuka kembali telapak tangannya, lalu memperlihatkan huruf itu dihadapan Pek Siauthian, kemudian ujarnya lebih jauh.

   "Tentu saja dibalik kesemuanya itu baik ibu maupun nenek juga bermaksud agar Liong-ji selalu mawas diri dan merubah sedikit perangai yang jelek, tapi setelah Liong-ji pikir lebih jauh Liong-ji rasa persoalannya belum tentu sesederhana itu"

   "Oooh iya? Bagaimana tidak sederhana itu?"

   Seru Pek Siau-thian tercengang, sepasang mata yang tajam mencorong keluar dari balik matanya itu.

   "Menurut dugaanku kemungkinan besar anak buah perkumpulan Kiu-im kau sebagian besar adalah kaum perempuan?"

   "Kalau perempuan lantas bagaimana?"

   Pek Siau-thian balik bertanya dengan dahi berkerut.

   "Cukup banyak kejadian yang telah berlangsung misalnya saja kaburnya Yu-beng tiamcu secara diam-diam untuk menikah dengan Suma siok-ya, kemudian rasa cinta kasih Giok-teng hujin terhadap ayah yang dibelainya mati-matian..."

   "Kurang ajar, tidak tahu aturan masa urusan orang yang lebih tuapun boleh kau bicarakan seenaknya?"

   Tukas Pek Siau-thian sambil membentak dengan wajah serius.

   "Liong-ji bukan tidak menaruh hormat terhadap angkatan yang lebih tua, Liong-ji hanya membahas menurut kejadian yang sebenarnya."

   Kata Hoa In-liong dengan alis mata berkenyit. Melihat gerak gerik kebocahannya masih melekat ditubuh cucunya, Pek-siau-thian tak tega untuk menegur lebih jauh, dalam keadaan apa boleh buat terpaksa dia ulapkan tangannya sambil membentak.

   "Kalau begitu bicarakan secara singkatnya saja. tak usah diputar balikkan lebih jauh lagi...."

   "Yaa gwa-kong,"

   Sahut Hoa In-liong.

   "kalau toh anak buah perkumpulan Kiu-im-kau lebih banyak perempuannya, sedangkan Liong-ji bertanggung jawab untuk menyelidiki latar belakang pembunuhan berdarah ini, pastilah nenek dan ibu kuatir kalau aku sampai terjerumus pula dalam jaring cinta sehingga membuat persoalan antara "cinta"

   Dan "dendam"

   Tak bisa dipisah pisahan, sedang merekapun. tak dapat menyelesaikan masalah ini sebagaimana mestinya, maka nenek lantas mengukir sebuah huruf 'benci' pada telapak tangan Liong-ji dengan maksud agar Liong-ji melalu mawas diri dan waspada"

   Ia tertawa sebentar lalu meneruskan.

   "Padahal bicara yang sesungguhnya tindakan tersebut sebetulnya terlalu berlebihan meskipun Liong-ji tak tega melukai hati perempuan, toh tak sampai keblinger tanpa membedakan mana yang benar dan mana yang salahpun tak mampu"

   Mendengar ucapan cucunya ini seketika Pek Siau-thian merasa murung, diapun merasa cukup girang, karena Hoa In-liong disamping dia menerima peringatan dan nasehatnya, malahan pengertiannya atas masalah yang pelik itu setingkat lebih mendalam daripada pemecahan menurut jalan pikirannya, ini menunjukkan bahwa hatinya lebih halus pikirannya lebih teliti dan sikapnya lebih waspada daripada diri sendiri, dengan bekal itu tak nanti ia akan menderita kerugian selama melakukan perjalanan dalam dunia persilatan.

   Sebaliknya dia murung karena dilihatnya Hoa In-liong tak dapat melepaskan kegemarannya untuk bermain perempuan, dari sini dapat diketahui bahwa soal cinta ia sudah terlampau mendalam dan entah sampai kapan baru bisa bertobat.

   Sebab itu dengan wajah keren dan pura-pura, tak senang hati bekas ketua dari perkumpulan sinkipang ini berkata.

   "Berapa besar toh usiamu sekarang? Berani benar mengatakan bahwa soal cinta dan dendam bisa kau bedakan dengan jelas? HmmBila kau anggap sepi maksud hati dari kaum angkatan tua bukankah itu berarti bahwa engkau telah menganggap perkataanku tadi sebagai angin berlalu belaka?"

   "Liong-ji tak berani berpikiran demikian, Liong ji masih cukup tahu diri,"

   Sahut Hoa In-liong cepat.

   "Gwa-kong, coba analisalah, benarkah perkumpulan Hian-beng-kau yang membuat keonaran sekarang benar-benar adalah jelmaan dari perkumpulan Kiu-im kau dimasa lalu?"

   Tak dapat diragukan lagi bahwa semua perhatian dan tenaganya telah dicurahkan untuk memecahkan misteri terbunuhnya Suma Tiang-cing, tapi bagi pendengaran Pek Siau- thian, tak lebih sama artinya bahwa pemuda itu sengaja mengalihkan pembicaraan kesoal lain sehingga telinganya tak sampai "

   Dikoreki"

   Lebih lanjut. Dengan perasaan apa boleh buat dia gelengkan kepalanya berulang kali sambil menggerutu.

   "Aaaaai..,. Kau bocah ini..."

   "Gwa-kong tak usah kuatir"

   Sela si anak muda itu dengan cepat.

   "perkataan kau orang tua akan kuingat selalu dalam hati, tapi dewasa ini masalah yang terpenting adalah bagaimana menemukan si pembunuh itu, bila kau orang tua tahu harap beritahukan kepada Liong-ji"

   Jelas sekali ucapan tersebut, bahwa ia sudah tak sabar lagi untuk mendengarkan persoalan lain yang tetek bengek. Pek Siau-thian amat memanjakan cucunya, ia ada maksud memberi teguran tapi tak tega akhirnya sambil menghela napas ia berpikir.

   "Bukit dan sungai gampang dirubah, tapi watak manusia sukar dirubah, bocah ini terlampau acuh tak acuh, agaknya sebelum merasakan sedikit penderitaan ia tak akan kapok"

   Setelah mengetahui bahwa banyak bicara tak ada gunanya, diapun pasrah, katanya kemudian"Aku sendiripun, kurang begitu jelas, antara Kiu-im Hian-beng meski beda tulisannya namun mempunyai arti yang tak jauh berbeda semestinya mempunyai hubungan yang erat"

   "Liong-ji sendiripun berpendapat demikian"

   Kata Hoa In-liong pula sambil menyahut.

   "Gwa kong Apakah engkau tahu, di manakah Kiu-im kau mendirikan markas besarnya dimasa lalu?"

   Pek Siau-thian berpikir sebentar, lalu menjawab.

   "Lima puluh tahun berselang, perkumpulan Kiuim kau tak dapat menancapkan diri dalam dunia persilatan dan terdesak untuk mengasingkan diri, mereka baru muncul kembali dalam dunia persilatan setelah terjadinya pertarungan sengit di selat ou-bu-kok, anak buah mereka sangat banyak dan terutama menguasahi ilmu berperang dalam perahu. Sejak pembagian harta karun di- bukit Kiu-ci-san, ayahmu mendapat sanjungan dan dukungan dari segenap umat persilatan yang kemudian diangkat menjadi Bu-lim bengcu, sejak itu pula Kiu-im kau jauh mengasingkan diri dari keramaian dan tak kedengaran kabar beritanya lagi, jadi di manakah mereka mendirikan markas besarnya, boleh dibilang tak seorangpun yang mengetahuinya."

   Hoa In-liong mengerutkan dahinya.

   "Pandai sekali mengemudikan perahu dan berperang diatas air? Itu berarti mereka mengasingkan diri disebelah selatan,"

   Katanya.

   "Benar! Benar,"

   Sahut Pek Siau-thian cepat.

   "Suma siok-ya mu memang berjumpa dengan siokcubo mu disebelah selatan, aku pikir tentu mereka mengasingkan diri pula disebelah selatan"

   Hoa In-liong menganggukkan kepalanya berulang kali, sesudah termenung sebentar tiba-tiba ia bertanya lagi.

   "Gwa-kong, sepeninggal dari kota Lok-yang ini, engkau bermaksud akan pergi ke mana?"

   Pek Siau-thian tertegun, lalu menjawab.

   "Aku tak pernah terikat oleh pikiranku, kemana akan pergi disitu aku tuju, sebetulnya aku ada keinginan untuk berkunjung ke bukit Im-tiong-san dan menjenguk kalian semua. Ada apa? Apakah engkau suruh Gwa-kong menemani engkau berkunjung kewilayah Kang-lam?"

   Dengan cepat Hoa In-liong gelengkan kepalanya.

   "Aku tak berani merepotkan gwa-kong"

   Sahutnya.

   "lebih baik engkau menyambangi ibu saja setelah berjumpa dengan ibu tolong gwa-kong mewakili Liong-ji untuk menyampaikan salam kepadanya, bukanlah bahwa Liong-ji tahu akan mawas diri dan sekarang telah berkunjung ke wilayah selatan..."

   "Berkunjung kesitupun boleh-boleh saja, cuma benarkah engkau akan menuju ke selatan?"

   Tanya Pek Siau-thian, alis matanya yang memutih tampak berkenyit.

   "Kalau toh Suma siok-cubo adalah Yu-beng Tiancu dari perkumpulan Kiu-im- kau yang kabur secara diam-diam maka besar kemungkinan peristiwa berdarah ini ada sangkut pautnya dengan Kiu-im kau cu, dan sama sekali tak ada hubungannya dengan Giok-teng hujin- Lagipula antara kata Kiu-im dan Hian-beng toh mempunyai maksud yang sama? Liong-ji bertekal untuk mengunjungi Kang lam dan baik atau buruk persoalan ini harus kuselidiki sampai jelas."

   Tahun ini Pek Siau-thian sudah berusia lanjut, kegagahan dan ambisi besarnya sudah hampir boleh dibilang lenyap tak membekas, ia jadi kuatir sekali setelah mengetahui bahwa Hoa In-liong akan berkunjung kewilayah Kang lam, tapi bagaimanapun juga dia adalah seorang bekas ketua perkumpulan besar yang pernah menguasahi separuh jagad, walaupun tidak lega hatinya namun diapun tidak mencegah niat anak muda itu.

   Setelah berpikir sebentar diapun menjawab.

   "Baiklah, sesampainya dibukit Im- tiong-san, aku akan suruh anak see datang membantu dirimu"

   Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong segera goyangkan tangannya berulang kali.

   "Jangan...jangan...jangan sekali-kali gwa-kong suruh toako meninggalkan rumah."

   "Eeeh....... kamu ini kenapa tak tahu berat entengnya urusan?"

   Omel Pek-siau-thian serius.

   "menurut keteranganmu sendiri, katanya dunia persilatan sudah berada diambang pintu kekacauan, hawa pembunuhan mengincar dari segala penjuru tempat dan kematian Suma-siokya mu tak lebih cuma permulaan dari kekacauan ini, padahal engkau toh tahu bahwa tenaga kekuatanmu seorang sangat terbatas, dari mana kau bisa memikul tugas seberat ini...."

   "Gwa-kong, kau tak usah berbicara lagi"

   Hoa In-liong cepat menukas.

   "bayangkanlah bagaimana keadaan gwa-kong dimasa lalu? Bagaimana pula dengan ayah? sekarang Liong-ji telah dewasa, sepantasnya kalau dia kuhadapi sendiri masalah itu dengan segala kemampuan yang kumiliki."

   "Ngaco belo"

   Bentak Pek siau-tian- "masa kau tidak tahu kalau gwa-kong mu mengalami kekalahan total yang sangat mengenaskan? sekalipun ayahmu berjiwa keras dan gagah perkasa, itupun karena ditunjang oleh nenekmu, sebaliknya kau masih muda tapi sikapmu terlalu sok hebat dan jumawa."

   Sebelum engkongnya menyelesaikan kata-kata itu, Hoa In-liong telah menukas kembali.

   "Gwakong, mengapa kau bisa mengalami kekalahan total? Liong-ji adalah seorang laki-laki sejati, bila ayah bisa melakukan segala sesuatunya itu dengan baik, mengapa Liong-ji tak dapat melakukannya?"

   Selama berada dirumah, baik terhadap nenek.

   Maupun terhadap ayahnya, hoa in- liong tak berani membantah barang sekejappun, hanya terhadap Pek Siau-thian yang memanjakannya semenjak kecil ia berani membantah tanpa meninggalkan batas-batas kesopanan, sebaliknya Pek Siauthian yang amat menyayangi cucunya tak bisa berbuat lain kecuali meringis.

   Demikianlah, ketika Hoa In-liong menyelesaikan kata-katanya, Pek Siau-thian benar-benar dibikin mati kutunya, dia hanya bisa meringis sambil meneguk habis isi cawannya, kemudian mengomel.

   "Kurang ajar? Betul-betul kurang ajar, makin hari kau si bocah nakal berkembang makin takkaruan, baiklah Aku tak akan mengurusi dirimu-lagi, sesampainya dirumah pasti akan kuceritakan semua yang kulihat dan kudengar kepada ayahmu"

   Meskipun geli dihati, diluaran anak muda itu berkata pula.

   "Akupun tak mau ambil perduli, pokoknya aku tidak akan membiarkan gwa-kong untuk berbicara"

   "Kalau begitu kuberitahukan kepada nenekmu!"

   Seru Pek Siau-thian sambil memukul meja.

   "Kalau nenek lantas kena...."

   Mendadak anak muda itu merasa bahwa perkataannya kurang, sopan, seketika itu juga ia membungkam dan memandang kakeknya dengan- wajah termangu-mangu.

   Pek Siau-thian sendiri, sewaktu dilihatnya bocah itu tertegun, ia mengira cucunya dibuat ketakutan oleh karenanya sang nenek.

   dia jadi tak tega, setelah menghela nafas panjang, dengan nada yang lebih halus ia berkata lagi.

   "Liong-ji, dengarkan perkataanku, kalau benar bahwa dunia persilatan telah diselimuti oleh hawa pembunuhan yang tebal, lagipula mereka khusus memusuhi keluarga Hoa kalian, lebih baik persoalan ini laporkan saja kepada ayah dan nenekmu sebab bila sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, yang terkena celaka bukan hanya keluarga Hoa saja melainkan segenap umat persilatan didunia ini, sekalipun engkau gagah dan berjiwa ksatria, tidak seharusnya memandang enteng masalah yang menyangkut keselamatan dan kepentingan orang banyak..."

   Ketika Hoa In-liong mendengar bahwa nada suara gwa-kongnya sudah jauh lebih lunak, buruburu diapun berkata.

   "Gwa-kong, dengarkan dulu penjelasanku, persoalan ini toh baru merupakan berita sensasi yang Liong-ji dengar ditengah jalan, bagaimanakah kejadian yang sesungguhnya sampai sekarang masih merupakan tanda tanya besar, yaa kalau kenyataannya begitu, seandainya kemudian terjadi jauh menyimpang dari keadaan tersebut, padahal gwa-kong sudah memberi tahukan kepada ayah dan nenek. bukan saja Liong-ji akan ditegur bahkan dicaci maki, engkau orang tua pun akan di anggap orang sebagai manusia yang kurang teliti, bukankah dosa Liong-ji akan semakin menumpuk-numpuk?"

   Setelah mendengar penjelasan itu, sekarang Pek Siau-thian malahan yang dibuat termangu.

   Kendati ia tahu bahwa alasan itu sengaja dibuat-buat oleh Hoa In-liong, tapi bila dipikirkan kembali memang ada benarnya juga, sebab itu jago tua ini jadi terbungkam dan tak sanggup membantah lagi.

   setelah berhenti sebentar, Hoa In-liong berkata lagi.

   "Lagipula, sekalipun Liong-ji gegabah dan tak tahu keadaan, rasanya tak sampai kalau Liong-ji menjadi seorang manusia yang tak tahu diri, sampai waktunya bila benar-benar terjadi peristiwa seperti itu, tentu saja dengan segala daya upaya Liong-ji akan memohon bala bantuan, tak nanti Liong-ji biarkan bibit itu berkembang jadi semakin besar sehingga merugikan umat persilatan pada umumnya dan keluarga Hoa pada khususnya, Gwa-kong yang baik, turutilah kehendak Liong-ji- mu Dapatkah Liong-ji menanggulangi masalah ini seorang diri, sudilah kiranya gwa kong memberi kesempatan kepadaku agar Liong-ji dapat mencoba dan membuktikan kemampuanku"

   Hoa In-liong memang pandai merayu, mula-mula ia memberikan penjelasan menurut suara hatinya, menyusul kemudian memohon dengan setengah merengek-rengek seperti anak kecil, tentu saja Pek-siau-thian tak dapat berkutik lagi, terpaksa dia berpikir.

   "Walaupun bocah ini berambisi besar, tapi maklumlah kalau anak muda bercita-cita tinggi kalau tidak demikian tentu dia akan tenggelam dan tak bisa bangkit lagi. Baiklah Lebih baik kuperingatkan saja dirinya kemudian biarkan ia pergi, siapa tahu dengan andalkan kecerdikan serta kehebatannya, ia malahan bisa mendapat nama dalam dunia persilatan?"

   Berpikir sampai disini, akhirnya dengan pura-pura berlagak kehabisan akal diapun menyahut.

   "Baiklah untuk sementara waktu boleh saja kalau tak ingin kulaparkan kepada nenek dan ayah mu, tapi engkaupun harus menuruti beberapa patah kataku"

   Diam-diam Hoa In-liong merasa amat girang, cepat sahutnya.

   "Tentu saja gwa-kong yang baik, pesan gwa-kong pasti akan Liong-ji perhatikan baik-baik"

   Serius air muka Pek Siau-thian, katanya dengan nada bersungguh-sungguh.

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pertama, engkau harus menghilangkan kebiasaanmu yang suka mengunggulkan diri dan meninggikan derajat sendiri Ketahuilah dalam dunia persilatan banyak terdapat jago-jago yang berilmu tinggi, dengan kepandaian yang kau miliki sekarang sebetulnya belum terhitung seberapa bila dibandingkan dengan mereka"

   "Yaa gwa-kong Liong-ji pasti akan mengingat selalu peringatan ini, lain kali Liong-ji tentu tak berani mengunggulkan diri lagi"

   Sahut Hoa- In-liong sambil anggukkan kepalanya berulang kali. Pek Siau-thian berkata lebih jauh.

   "Kedua, sebagai seorang manusia yang jujur, engkau harus mengutamakan keberhasilan di kemudian hari, jangan berlagak sok pintar, apalagi menggunakan akal dan tipu muslihat busuk untuk mencari keuntungan disaat itu. Tentang soal ini gwa-kong dan ayahmu adalah contoh yang paling jelas engkau harus mengguruinya baik-baik"

   "Yaa gwa-kong.

   "jawab Hoa In-liong dengan hormat.

   "Liong-ji pasti akan mengutamakan kemantapan sebelum melakukan perubahan lain dalam menghadapi setiap persoalan"

   Ketiga ibumu hanya melahirkan kau seorang, perduli dalam keadaan bahaya macam apapun engkau harus mengingat selalu akan ibumu, jangan bertindak terlalu gegabah sehingga mendatangkan kepedihan dan kemurungan bagi ibumu"

   "Liong-ji akan mengingatnya selalu."

   "Bagus."

   Seru Pek Siau-thian, tiba-tiba ia bangkit berdiri.

   "aku rasa banyak bicara tak ada gunanya asal ketiga hal itu bisa kau perhatikan dan laksanakan dengan sebaik- baiknya, aku rasa itu sudah lebih dari cukup, Terutama dalam hal yang ke tiga, asal tiap perbuatanmu tak sampai melupakan orang tua, berarti engkau berbakti kepada orang tuamu, dan ketahuilah menteri yang jujur adalah anak yang berbakti, Nah, aku akan segera berangkat engkau harus baik-baik menjaga diri."

   Hoa In-liong merasa terperanjat, sekarang ia baru merasakan bahwa melakukan perbuatan tanpa melupakan orang tua meski gampang diucapkan namun susah untuk dilaksanakan, ketika dilihatnya Pek Siau-thian sudah keluar pintu, tanpa berpikir panjang lagi ia menyusul dari belakangnya seraya bertanya.

   "Malam sudah larut, Gwa-kong akan pergi ke mana?"

   "Aku akan berkunjung kekuil Pek ma-si, setelah mengatur layon dari Suma Tiang- cing suami istri aku akan langsung menuju bukit Im-tiong-san- Engkau pun segera berangkatlah Kalau toh sudah mengambil keputusan untuk berangkat keselatan, lebih baik segera lanjutkan perjalanan, tak usah membuang waktu lagi di kota Lok-yang ini."

   Berulang kali Hoa In-liong mengiakan, dia mengantar Pek Siau-thian sampai dipintu depan, kemudian setelah berpisah baru kembali kekamarnya untuk beristirahat.

   Keesokan harinya, selesai membereskan rekening berangkatlah Hoa In-liong menuju selatan dengan melalui lam- yang dan menyeberangi wilayah Keng ou.

   Sepanjang perjalanan tidak terjadi suatu kejadian penting, suatu senja akhirnya sampailah pemuda itu di Keng-bun.

   Tiba-tiba ia mendengar suara derap kaki kuda yang sangat ramai berkumandang dari belakang, sewaktu ia berpaling tampaklah debu mengepul setinggi langit, delapan sembilan ekor kuda dengan membawa penumpangnya berpakaian ringkas semua bergerak dengan cepatnya mendekat ke arahnya, dalam waktu singkat mereka sudah tiba dibela kang tubuhnya.

   Anak muda ini masih ingat dengan pesan ibunya, ia tak ingin menimbulkan banyak urusan, maka tali les kudanya ditarik dan menjalankan kuda nya ketepi jalan.

   Ketika rombongan itu sudah lewat dan Hoa In-liong berhasil menyaksikan warna pakaian yang di kenakan orang-orang itu, mendadak hatinya terperanjat, ia lantas berpikir.

   "Sungguh aneh Beberapa orang ini semuanya berbaju ungu, menyoreng pedang dari berusia sebaya, lagi pula mengenakan mantel berwarna hijau pupus, jangan-jangan mereka berasal satu rombongan dengan ciu Hoa?"

   Berhubung debu beterbangan dengan tebalnya menyelimuti angkasa, dia tidak berhasil melihat jelas tampang dari beberapa orang itu.

   Sebagaimana telah diketahui, Ciu Hoa mengakui dirinya sebagai otak dari pembunuhan berdarah atas keluarga Suma, lagipula diapun murid tertua- dari Hian-beng kaucu, setelah timbul kecurigaannya, tentu saja anak muda itu tak sudi melepaskan sasarannya dengan begitu saja.

   Kudanya lantas dicemplak dan menguntit di dibelakang beberapa kuda itu dari kejauhan, sebentar kemudian mereka sudah memasuki pintu barat kota Keng-bunSetelah masuk pintu kota, beberapa orang itu masih juga menghentak kudanya dengan kencang, mereka tak ambil perduli apakah jalan raya itu ramai dengan manusia yang berlalu lalang atau tidak, sesaat kemudian tampaklah banyak penduduk yang kabur pontang panting untuk menyelamatkan diri dari tubrukanMenyaksikan kesemuanya itu, timbul perasaan antipati dihati Hoa In-liong diam-diam ia menyumpah dihati.

   "Sialan benar orang-orang itu, mereka bukan anak buah perkumpulan Hianbeng-kiau, dengan perbuatan mereka yang semena-mena itu aku Hoa leji patut memberi pendidikan kepadanya, kalau tidak begini, bukankah rakyat kecil akan sengsara sepanjang tahun?"

   Sementara ia masih menyumpah, rombongan itu sudah tiba didepan sebuah rumah yang megah dan mentereng, orang yang bermantel hijau pupus tadi lantas melongok sekejap kedalam ruang penginapan itu kemudian sambil melompat turun dari atas pelana teriaknya lantang.

   "Aaaah, dia benar-benar ada disini."

   Dengan langkah lebar orang itu lantas berjalan masuk kedalam ruang penginapan.

   Melihat pemimpinnya sudah masuk orang-orang yang lainpun segera turun dari kudanya dan menyusul dari belakang.

   Tatkala Hoa In-liong mengejar sampai didepan pintu, ia temukan sebuah kereta kuda yang megah dan mewah diparkir dibalik pekarangan rumah penginapan itu, kereta tersebut berdinding kuning mas kecil mungil tapi mentereng, sudah jelas merupakan kendaraan dari kaum wanita, pada waktu itu orang pelayan sedang mengurusi kuda-kuda yang tertinggal di depan pintu, sedangkan manusia bermantel hijau pupus beserta rombongannya sudah tak kelihatan lagi.

   Sementara, sianak muda itu menjadi termangu- mangu, seorang pelayan munculkan diri dan menyambut dan berkata.

   "Kongcu-ya mau menginap dalam rumah penginapan kami paling bersih, paling megah dan pelayanan paling memuaskan dalam kota Keng-bun sukar untuk menemukan keduanya"

   Hoa In-liong tidak segera menjawab, dalam hati-pikirnya.

   "Ditinjau dari gerak gerik mereka tampaknya orang-orang itu tidak bermaksud baik, agaknya mereka sedang mengincar pemilik kereta- kuda ini, lain cerita- kalau aku tidak menjumpainya, sekarang setelah masalah ini kutemui, bagaimanapun juga tidak akan kubiarkan mereka untuk bertingkah semaunya sendiri"

   Karena berpendapat demikian, dia pun mengangguk dan melompat turun dari atas punggung kudanya.

   "Rawat kudaku ini baik-baik, besar ongkos nya dihitung dalam rekening besok"

   Serunya berlagak royal. Dengan kebiasaannya dilayani banyak orang, pemuda ini memang memiliki potongan sebagai keturunan orang besar atau bangsawan, gagah dan mentereng, ini membuat para pelayan mengira kalau mereka telah kedatangan seorang "

   Cukong"

   Kelas kakap. cepat mereka sambut tali les kudanya, kemudian sambil munduk-munduk mengantar pemuda itu masuk ruang tengah, katanya lagi dengan nada dibuat-buat.

   "Heeehh... heeehhh... Kongcu-ya suka tempat yang ramai ataukah tempat yang agak sepi? Kalau suka tempat yang sepi, di ruang belakang sana ada kamar-kamar yang bersih, sebalikya kalau suka tempat yang ramai di ruang tengah terdapat kamar kelas satu, kamar termasuk air teh dan arak sudah tersedia komplit, kongcu-ya...."

   Agak bosan Hoa In-liong mendengar ocehan propaganda dari pelayan itu, cepat dia ulapkan tangan nya sambil menukas.

   "Beberapa orang laki-laki berbaju ringkas tadi tinggal disebelah mana??"

   Pelayan itu agak tertegun, lalu menyahut.

   "Mereka berada dihalaman tengah, tapi belum memutuskan mau menginap atau tidak, kongcu-ya..."

   "Sedang pemilik kereta kuda yang parkir didepan pintu itu? Dia tinggal dimana?"

   Pelayan itu seperti orang yang baru sadar, dia lantas berseru.

   "Ooooh.,..Jadi kongcu-ya satujalan dengan nona itu, ia tinggal dihalaman tengah, hamba segera akan hantar kongcu- ya..."

   "Kalau begitu aku akan tinggal diruang tengah persis disebelah kamar nona itu"

   Kembali pelayan itu tertegun, pikirnya dihati.

   "Aneh benar kongcu-ya ini, kalau toh berasal dari satu rombongan, kenapa musti menginap dikamar sebelah??"

   Tiba-tiba terdengar seseorang menegur dengan suara yang merdu dan halus seperti suara keleningan.

   "Siapa disana? siapa yang ingin menginap dikamar sebelahku??"

   Kiranya ruang sebelah depan dari rumah penginapan itu adalah rumah makan, kedua belah sisi ruangan merupakah ruangan-ruangan mungil yang ditutup dengan tirai horden, waktu itu kebetulan Hoa In-liong sedang lewat di depan salah satu ruangan, dan suara teguran yang merdu itu muncul dibalik ruangan tirai tersebut.

   Hoa In-liong yang romantis dan suka main perempuan, kontan dibuat terkesima oleh suara teguran yang merdu dan mengandung daya tarik yang hebat itu, ia merasa sekujur tulangnya jadi kaku dan linu tak kuasa lagi dia berhenti seranya menyahut dengan girang.

   "Aku yang berdiam dikamar sebelah, cayhe.. cayhe.."

   Sebetulnya dia akan menyebutkan namanya, mendadak timbul rasa was-wasnya, maka ucapan pun jadi gelagapan dan untuk sesaat tak sanggup dilanjutkan lebih jauh.

   Menyaksikan sikapnya yang serba konyol itu sang pelayan cepat melengos sambil menahan rasa gelinya, sedangkan nona di dalam ruanganpun ikut tertawa cekikikan seraya berkata.

   "Cayhe? siapakah cayhe.... In-ji, coba kau tengok keluar, siapakah cayhe itu?"

   Tirai disingkap orang menyusul seorang dayang cantik berusia empat lima belas tahunan munculkan diri, setelah memandang wajah In-liong sekejap ia lantas menyahut dengan nyaring.

   "Lapor siocia, dia adalah seorang kongcu yang masih muda"

   "Oooh, seorang kongcu yang masih muda?"

   Suara merdu itu berkumandang lagi sambil tertawa cekikikan.

   "kalau begitu suruh dia tak usah memesan kamar lagi, ruangan depan yang kita pakai toh kosong dan tak ada orangnya. In-ji, undang dia segera masuk kedalam!"

   Keadaan yang terpapar didepan matanya sekarang membuat Hoa-In-liong jadi tercengang dengan alis berkerut ia berpikir.

   "Siaucia dari manakah itu? Kenapa sikap dan perbuatannya begitu-jalang?"

   Belum habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya, budak yang bernama- In-ji telah berkata- lagi sambil tersenyum.

   "Kongcu, silahkan masuk Nona kami ada undangan- ...,."

   Timbul perasaan ingin tahu di hati Hoa In-liong, diapun tidak ambil perduli kecengangan yang tertera di wajah pelayan itu, setelah membereskan pakaiannya ia masuk ke dalam ruangan seraya berkata.

   "Setelah diundang oleh siocia mu, tentu saja cayhe harus memenuhinya, nona In-ji silahkan"

   Setelah masuk kedalam ruangan Hoa In-liong merasa matanya jelalatan dan terasa lebih terang bahkan untuk sesaat ia berdiri tertegun dengan mata terbelalak dan mulut melongo.

   Cantik nian dara yang berada dalam ruangan itu nona itu mempunyai sepasang mata yang jeli, hidung yang mancung dan bibir yang kecil mungil dari atas sampai ke bawah tidak nampak cacad bahkan menyiarkan daya pesona yang amat tebal ketika itu dengan senyum manis dikulum sedang memandang kearahnya tanpa berkedip, meski belum mencicipinya, Hoa In- liong sudah merasa terpikat dan hampir mabok rasanya.

   Nona cantik itu memandang sekejap kearah pemuda itu, lalu sambil tersenyum katanya.

   "silahkan duduk"

   Seperti baru sadar dari lamunannya, Hoa In-liong segera tertawa paksa sambil menyahut.

   "Silahkan duduk, silahkan duduk."

   Ia menarik sebuah kursi dan segera duduk. Nona cantik itu mengerling kembali dengan genit, kemudian sambil menutupi bibirnya ia berbisik.

   "Aku merasa amat beruntung dan berbangga hati bisa mendapat perhatian dan kasih sayang dari kong-cu, terimalah penghormatanku ini"

   Seraya berkata dia lantas bangkit memberi hormat. Hoa In-liong ikut bangkit seraya menjura membalas hormat, sahutnya.

   "Kecantikan nona bak bidadari dari khayangan cayhe bisa mendapat kesempatan untuk berkenalan dan minum arak bersama, hal ini merupakan suatu keberuntungan pula bagiku"

   Perempuan cantik itu tidak merendahkan diri-lagi, ia lantas berpaling kearah In- ji seraya menegur.

   "Eeeh, In-ji, kenapa melongo saja? Hayo penuhi cawan kongcu dengan arak."

   Mendadak In-ji seperti sadar akan kesilafannya-sambil tertawa cekikikan, ia menyahut.

   "Kongcu ini terlampau tampan, In-ji sampai kesemsem rasanya dibuat..."

   Ia mengambil poci arak dari atas meja, memenuhi cawan dihadapan kedua orang itu, lalu melirik sekejap lagi kearah wajah Hoa In-liong.

   Terhadap tingkah laku maupun perbuatan In-ji yang genit, nona cantik itu sama sekali tidak melarang, bahkan seakan-akan tidak pernah dilihatnya sambil angkat cawan araknya dan melirik lagi ke-arah pemuda itu ia memperkenalkan diri.

   "Aku she Cia bernama In, terimalah penghormatan secawan arak dari aku yang rendah."

   Sekali teguk dia lantas menghabiskan isi cawan tersebut. Hoa-In-liong pun angkat cawan sendiri dan meneguknya sampai habis, kemudian berkata pula.

   "Cayhe-she she Pek, Pek dari kata Hek pek (hitam putih) dan bernama Khi"

   Meskipun ia sudah kesemsem, namun kewaspadaannya masih tetap ada dan nama yang dilaparkan pun nama palsu.

   Agaknya Cia-In mengira kalau pemuda itu jadi gugup lantaran baru pertama kali bertemu dengan gadis, ia tidak memikirkannya dihati, sambil tertawa katanya pula.

   "Bila didengar dari logat kongcu agaknya engkau bukan penduduk wilayah sini, apakah engkau sedang mengembara sebagai seorang pendekar...?"

   Hoa In-liong sangat terperanjat, terutama setelah mendengar kata-kata yang terakhir, kesadaran yang sudah mulai terbuai oleh kecantikan wajah nona itu serta merta menjadi sadar kembali, cepat sahutnya.

   "Cayhe berasal dari wilayah Cing-pak, kebetulan aku lewat di wilayah Kang-ouw karena bermaksud untuk berpesiar ke wilayah Kang-lam, sungguh tak disangka telah berjumpa dengan nona, inilah yang dinamakan apa mau dikata kalau sudah berjodoh, tak kenalpun akhirnya harus bertemu"

   Sekalipun jawabannya sudah lebih waspada dan hati-hati, toh sifat romantisnya tak ketinggalan sehingga tanpa disadari terutarakan juga dibalik kata-kata itu.

   Sekilas rasa kaget dan tercengang menghiasi wajah Cia-In setelah mendengar ucapan itu, tapihanya sebentar saja sikap itu telah lenyap kembali, katanya kemudian sambil tertawa getir.

   "Aku yang rendah numpang tinggal dikota Kim-leng, baru saja kami pulang diri sembahyang di bukit Go-bi. Kongcu Bila kau bermaksud untuk berpesiar ke selatan, kita bisa melakukan perjalanan bersama-sama, bila tidak menampik akupun bisa untuk menjadi petunjuk jalan bagi kongcu"

   Sementara itu Hoa In-liong sudah dapat menguasai diri, kewaspadaannya makin dipertingkat, tak kuasa lagi iapun berpikir.

   "Entah nona ini perawan dari keluarga mana? Dan siapa dia yang sebenarnya? Kalau toh naik ke bukit Go-bi untuk sembahyangan kenapa tak ada laki-laki yang mengiringi? Ia bilang numpang tinggal dikota Kim-leng, lalu di manakah asal tempat tinggal yang sebenarnya?"

   Sebelum pelbagai persoalan itu dapat dipecahkan, In-ji si dayang itu sudah memenuhi cawannya kembali dengan arak. kemudian berkata sambil tertawa.

   "Kongcu- ya, hayo minum arak Kalau toh kita sudah berjodoh dan ditakdirkan bertemu apa salahnya kalau melanjutkan perjalanan bersama-sama, siapa tahu jodoh ini makin lama semakin dalam? Kalau sikapmu masih sangsi terus, bukankah itu berarti memandang asing diri kami? Hari-hari esok masih panjang..."

   Setelah mendengar perkataan itu, meski rasa curiga mencekam perasaannya dan d iapun merasa bahwa tingkah laku dia orang itu terlampau aneh, toh anak muda ini tak berhasrat untuk memikirkan lebih jauh.

   Dia lantas mengangkat cawan arak sendiri dan berkata sambil tertawa nyaring.

   "Benar Ucapanmu memang benar Kalau masih sangsi dan bertindak tanduk kaku. itu namanya memandang asing. Nona Cia, kuhormati engkau dengan secawan arak"

   Sekali teguk.

   Ia menghabiskan isi cawannya.

   Pemuda ini memang berlapang dada, kebiasaannya yang romantispun serta merta diperlihatkan dengan nyata, maka cawan demi cawan air kata-katapun mengalir masuk ke dalam perutnya, pembicaraan berlangsung dari barat sampai ke timur bahkan ia mulai main mata dengan Cia In, saling mengerling saling menggoda dengan bebasnya.

   Yang lebih hebat lagi, akhirnya yang satu memanggil "engkoh Khi"

   Sedang yang lain menyebut "enci In", seakan-akan mereka merasa kecewa mengapa tidak berjumpa sejak dulu kata, saking terbuainya kedua orang itu sampai lupa waktu.

   Entah sampai kapan senda gurau itu berlangsung, akhirnya Cia In tak kuat menahan pengaruhnya alkohol, dengan sempoyongan ia bangkit berdiri seraya berkata.

   "Engkoh Khi, besok pagi pagi aku harus melanjutkan perjalanan lagi, maafkanlah daku, aku tak dapat menemani kau minum lagi"

   Sepasang lengannya diluruskan ke depan dan tubuhnya roboh kemuka, persis jatuh dihadapan tubuh Hoa In-liong. Cepat sianak muda bertindak dengan merangkul pinggangnya erat-erat, serunya pula.

   "Benar Benar Waktu dihari esok, masih banyak, kita memang harus pergi beristirahat."

   Begitulah sambil berpeluk pelukan dengan dipimpin dayang In-ji mereka kembali kedalam kamar meski dengan langkah sempoyongan.

   Waktu itu Cia In entah benar-benar sudah mabok atau hanya berlagak belaka, sekalipun sudah berada dalam kamar, ia masih memeluk tubuh Hoa In-liong kencang-kencang.

   Hoa In-Iiong sendiri walaupun belum mabok.

   dasar suka main perempuan tentu saja ia segan untuk melepaskan rangkulannya dari tubuh sang nona yang lembut, halus harum baunya itu.

   In-ji si dayang itu lebih hebat lagi, ternyata ia segera menutup pintu, memasang lentera dan dengan senyum dikulum ia mengawasi atraksi yang hot dihadapannya itu dengan mata melotot besar, seakan-akan ia sedang menikmati suatu pertunjukan indah yang amat mempersonakan hatinya.

   Selang sesaat kemudian, terdengar Cia In mengeluh lirih kemudian telapak tangannya pelahanlahan bergeser ke bawah, mula-mula meraba lengan Hoa In-liong yang keras, lalu dadanya yang bidang dan akhirnya turun kearah pinggangnya,......

   Mendadak...

   telapak tangannya itu secepat kilat meraba punggungnya, dengan jari tangan yang ditekuk seperti kaitan ia totok jalan darah Leng tay-hiat ditubuh anak muda itu.

   Hoa In-liong masih belum merasa akan tibanya ancaman yang membahayakan jiwanya itu, bila totokan tersebut bersarang telak, niscaya anak muda itu akan tewas atau paling sedikit terluka parah.

   Untunglah disaat yang kritis, tiba-tiba pintu kamar, ditendang orang sampai lebar "Blaaaaang........!"menyusul munculnya seseorang berdiri didepan pintu sambil bertolak pinggang.

   "Bagus! Bagus!"

   Teriak orang itu dengan marah "kiranya engkau si perempuan anjing pandai berpura-pura suci, tak tahunya engkaupun suka bermain main dengan laki-laki.

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hmm! Aku orang she-Ciu ingin bertanya kepadamu, bagian yang manakah dari kongcu mu yang tak dapat memadahi bocah keparat tersebut? "

   Bentakan tersebut seketika mengejutkan dua orang muda-mudi yang sedang bermesraan itu sehingga tersadar kembali. Hoa In-liong memutar badannya menghadang di depan Cia In, kemudian bertanya dengan tercengang.

   "Engkau she-Ciu?"

   "Kongcumu bernama Ciu Hoa, jalan tidak berganti marga, duduk tidak berganti nama, bila engkau tahu diri, cepat, menyingkir ke samping situ, kongcumu bukan datang untuk mencari gara-gara dengan engkau!"

   Teriak orang itu marah-marah.

   Hoa In-liong semakin tertegun dan mengawasi orang itu tanpa berkedip, tapi makin dilihat semakin tak percaya dengan telinga sendiri.

   makin dipandang ia semakin merasa bahwa orang yang berada dihadapannya sekarang bukan Ciu Hoa.

   Tapi.....

   mengapa ia mengaku dirinya sebagai Ciu Hoa? Kalau toh dia benar Ciu Hoa, mengapa tampang wajahnya dapat berubah? Untuk sesaat ia jadi tertegun dan tak tahu apa yang mesti dilakukan, pelbagai kecurigaan berkecamuk dalam benaknya.

   Berbicara tentang dandanan, pakaian serta senjatanya, orang yang mengaku bernama "Ciu Hoa"

   Ini mempunyai kemiripan dengan Ciu Hoa yang dijumpainya dikota Lok-yang, bahkan usia merekapun sebaya, hanya raut Wajahnya berbeda, watak dan tingkah lakunyapun tak sama, jelas mereka bukan seorang manusia yang sama.

   000000O000000 TANPA terasa Hoa In-liong lantas berpikir.

   "Orang ini beralis panjang bermata sipit, hidung lebar dan mulut besar, tampangnya model kuda berwarna hijau menyeramkan, sinar matanya cabul, kelopak matanya lebih banyak putih daripada hitamnya, jelas dia adalah seorang manusia yang keji dan lagi cabul, jelas dia bukan Ciu Hoa yang kujumpainya dikota Lok-yang. Tapi.... sekali pun nama bisa sama. masa dandanan, senjata sampai anak buah yang mengiringi pun mempunyai corak yang tak berbeda? Sungguh aneh..."

   Sementara itu dengan langkah yang gemulai Cia In sudah maju kedepan, ia berdiri dekat sekali dengan Hoa In-liong, setelah membereskan rambutnya yang terurai kebawah, sapanya sambil tertawa genit.

   "Kongcu, kita tak pernah bertemu yaa?"

   Cia In adalah seorang nona yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, setiap tingkah laku dan gerak geriknya gampang menimbulkan rangsangan bagi yang memandang, maka kendati "Ciu Hoa"

   Itu datang marah-marah, tetapi setelah menyaksikan senyum manisnya yang menawan hati padamlah hawa amarahnya itu, semua rasa mendongkol dan khekinya mendadak seperti tersumbat didalam dada, sukar untuk dilampiaskan keluar lagi....

   Setelah tertegun sesaat, tiba-tiba ia berteriak lagi.

   "Tidak pernah bertemu? Hmmnn Kongcu mu dari keresidenan Han-sian telah mengejar sampai kekota Keng-bun, hari yang manakah aku tak pernah berjumpa denganmu?"

   "Aduuh mak, kalau begitu bukankah kita suiah pernah berjumpa enam sampai tujuh kali?"

   Seru Cia In sambil melirik genit. Kemudian sambil berpaling kearah In-ji,serunya pula.

   "Eeeh.... In-ji, pernahkah engkau berjumpa dengan kongcu ini?"

   In-ji cekikikan.

   "Setiap hari sebelum kentongan keempat kita sudah berangkat, sebelum senja menjelang kita sudah beristirahat kapan bertemu dengan kongcu ini "Aaai......"

   Cia In menghela napas panjang, seperti lagi menggerutu, ia bergumam sendiri.

   "Memang begitulah penyakit yang kuderita semenjak kecil, aaai, penyakit itu membuat aku jadi sengsara, kalau tidak demikian, kami tak akan berani menimbulkan kemarahan dari Ciu kongcu"

   Setelah terhenti sebentar, ia mengerling sekejap kearah "Ciu Hoa"

   Itu dengan genit, lalu melanjutkan kata-katanya.

   "Ciu kongcu, kau tidak tahu, aku mempunyai penyakit aneh yakni penyakit takut melihat setan terutama sekali bila ditengah hari bolong tiba-tiba berjumpa dengan setan jelek bermuka hijau bergigi taring.....Hiiiiih...!Niscaya selembar jiwaku akan kabur kembali keakhirat. oleh karena itu..."

   "Karena ita kalian berangkat setiap kentongan keempat, dan beristirahat sebelum, tiap hari selalu berusaha untuk menghindari kongcu-ya mu........?"

   Sela Ciu Hoa dengan kemarahan yang masih berkobar.

   Sekalipun kemarahan masih membakar hatinya adapun merupakan teguran namun terdengar jelas bahwa suaranya lebih lembut dan halus, ini menunjukkan bahwa gerak-gerik Ciu In yang genit dan mempersonakan hari itu telah mendatangkan hasil yang mujur, Tampaklah Ciu In mengedipkan matanya yang lentik, lalu mengirim sebuah kerlingan maut kearah lawannya, satelah itu dengan sedih itu dengan sedih ia berkata.

   "Kongcu- ya, engkau benar-benar menuduh orang hingga hatiku jadi penasaran. dengan keberanian apa- apa aku berani menghindari diri kongcu? Aku hanya terbiasa berangkat pagi istirahat agak pagian saja, dan kebiasaanku ini sedikit diluar dugaan kongcu, kalau toh selama ini kita tak pernah berjumpa, hal ini bukanlah suatu kejadian yang disengaja...."

   Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba sambil tertawa ujarnya lagi.

   "Kongcu-ya, aku mempunyai sepatah kata yang rasanya tidak pantas untuk diucapkan keluar boleh ku utarakan kepadamu?"

   Ciu Hoa dapat menyusul nona itu sepanjang jalan, sudah jelas ia telah tergiur oleh kecantikan Ciu In, sebelum kejadian ini, ia selalu mengira Cia In memandang dirinya terlampau jelek maka sengaja menghindarkan diri pertemuan, maka rasa penasaran, mendongkol dan gusarnya berkecamuk didalam dada.

   Tapi setelah Cia In menunjukkan sikap yang aleman, genit dan merangsang dan lagi diapun sudah memberikan "penjelasan", api gusar yang Semula membakar hatinya kini sudah lenyap tak berbekas, Maka setelah mendengar perkataan itu, ia lantas tertawa terbahak-bahak, serunya dengan girang.

   "Haaahh.... haaahhh...... whaaahhh.... katakan saja terus terang- ucapan tanpa tedeng aling-aling, sekalipun ada hal-hal yang tak pantas, kongcumu tak akan menyalahkan engkau"

   Hoa In-liong yang menyaksikan kesemuanya itu merasa geli juga didalam hati, ia lantas berpikir;

   "Ciu Hoa memang sudah tergila-gila benar dengan nona itu sampai makian dari Cia In pun tidak dirasakanolehnya,malahandiamerasasangat bangga....haaahhh...haaahhh....haaaahhh......muka hijau gigi taring, meski tidak persis sama sekali, kemiripan tetap ada.... haaahhh.... haaahhh... dasar tolol!"

   Cia In sendiripun sedang tertawa cekikikan, lalu ujarnya kepada dayangnya In-ji.

   "Jn-ji, pergilah keluar dan undang masuk beberapa orang tuan itu, jangan suruh mereka berdiri terlampau lama, nanti kita lagi yang disalahkan kurang hormat melayani tetamu"

   "Baik nona"

   Sahut In-ji. dia lantas berjalan ke luar dari ruangan tersebut. Ciu Hoa semakin gembira hatinya, mendadak ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata.

   "Engkau tak usah undang mereka lagi, orang-orang itu adalah anak buah kongcumu, biar berdiri sebentar tak apa-apa"

   Mendengar perkataan itu In-ji lantas mutar badan dan membantah dengan merdu.

   "Sekalipun mereka adalah anak buah kongcu toh tidak pantas kalau engkau suruh anak buahmu menderita kedinginan diluaran sedangkan Kongcu ya mencari kesenangan disini?"

   Cia In pura-pura menunjukkan wajah tak senang hati, lalu menegur.

   "Aaah, kamu ini benarbenar dayang tak tahu aturan,masa engkau berani membangkang perintah dari kongcu-ya?"

   "Ciu Hoa"

   Semakin nyaman lagi hatinya sehabis mendengar perkataan itu saking girangnya dia sampai terbahak-bahak.

   "Haaaabhh..... haaaaahhh....... haaaa...... apa yang dia ucapkan memang ada benarnya juga baiklah! Aku akan suruh mereka pergi dari sini saja"

   Ia lantas berpaling ke pintu luar dan berseru lantang.

   "Eeeh....kalian boleh bubar, aku tidak membutuhkan kalian lagi ditempat ini!"

   "Baik!"

   Sahutan nyaring berkumandang dari luar pintu, diikuti suara langkah kaki yang ramai memecahkan kesunyian dalam waktu singkat suasana lelah pulih kembali dalam kesunyian. Menggunakan kesempatan dikala "Ciu Hoa"

   Berpaling, Cia In saling berpandangan sekejap dengan In-ji sambil tertawa gerak-gerik mereka misterius sekali. Hoa In-liong yang dapat menyaksikan kejadian Itu, dalam hati kembali menggerutu pikirnya;

   "Apa yang sebenarnya telah terjadi? Diam-diam perempuan ini hendak menotok jalan darahku caranya untuk turun tangan lihay sekali, dan sekarang diapun tahu kalau diluar pintu ada orangnya ini menunjukkan kalau tenaga dalamnya luar biasa kalau toh benar ia membenci tampang Ciu Hoa yang jelek, apa salahnya untuk menggebah pergi secara terang- terangan? Mengapa ia gunakah segala macam tipu muslihat untuk berpura-pura berlagak misterius? Jangan-jangan pandangankulah yang keliru, dia benar-benar adalah seorang perempuan binal?"

   Sementara itu Ciu Hoa telah selesai mengundurkan anak buahnya, ia lantas berpaling, sinar cabul dan tengik memancar keluar dari mata tikusnya, lalu sambil tertawa cekikikan katanya.

   "Nona manis, sekalipun engkau tidak bermaksud menghindari aku, tapi perbuatanmu selama enam hari ini telah menyiksa perasaanku, setelah kutemukan kembali jejakmu, tak nanti akan kubiarkan engkau kabur dari cengkeramanku"

   "Aaaaah.... Koagcu ini memang kebangetan"

   Omel Cia In sambil menggerutu tak tenang hati "aku toh tidak bermaksud untuk kabur dari tempat ini..,.,?"

   "Haaaahh.... haaaahh...... haaa.... benar.. perkataanmu memang benar, lebih baik memang jangan kabur. Nah, kalau ingin mengucapkan sesuatu cepatlah katakan, aku telah bersiap sedia untuk mendengarkannya"

   "Benar?Kau suka mendengarkan perkataanku,"

   Kata Cia In pula sambil tertawa manis.

   "begitu baru menurut namanya!"

   Ia mengerling kearah Ciu Hoa kemudian sambil memberi hormat katanya.

   "Kongcu, silahkaa duduk."

   Ciu Hoa tertawa terbahak-bahak tiada hentinya seakan-akan sukmanya telah digaet pergi, katanya pula.

   "Duduk.... duduk.... engkaupun silahkan duduk!"

   Dengan langkah lebar ia maju kedepan, menyeret sebuah kursi dan langsung duduk.

   Cia In sendiri sambil merangkul lengan Hoa In-liong dengan mesra, selangkah demi selangkah maju ke depan.

   Menghadapi keadaan begini, Hoa In-liong merasakan hatinya serba kacau, ia tak tahu bagaimanakah perasaan hatinya disaat itu, dalam hati ia berpikir.

   "Sebenarnya permainan apakah yang sedang di rencanakan Cia In ini? Memangnya ia suruh aku dan Ciu Hoa ribut karena soal perempuan, sedang ia sendiri menonton dengan gembira? Hmmm! Kau anggap Hoa loji adalah manusia macam apa? Tak nanti akan membiarkan harapanmu itu terpenuhi"

   Betul juga, paras muka Ciu Hoa seketika, berubah hebat.

   Pada mulanya, mungkin ia sudah terbiasa berbuat semena-mena, mungkin juga menganggap kepandaian sendiri amat tinggi, ia tak pandang sebelah matapun terhadap Hoa In- Liong, maka sejak awal sampai akhir ia tak menaruh perhatian terhadap pemuda itu, Tapi sekarang setelah menyaksikan dua orang itu bermesrahan dan saling berpelukan, karena merasa cemburu dan panas hatinya, ia mulai memperhatikan pemuda itu dengan seksama.

   Sekarang baru diketahui olehnya bahwa Hoa In-liong memang seorang pemuda yang amat tampan dan di kolong langit jarang ditemui laki-laki ganteng semacam ini, kontan api cemburunya berkobar, sinar bengis- memancar keluar dari balik matanya, ditatapnya sianak muda itu tanpa berkedip, kalau bisa dia ingin menerkam kemuka dan menggigit musuh cintanya itu, Cia In sama sekali tidak memperhatikan kebengisan dan kemarahan orang itu, malahan seakanakan tak pernah terjadi apa-apa, dihadapan muka nya masih bermesrahan dengan Hoa In-liong ia berkata sambil tertawa "Ciu kongcu.

   aku ingin menanyakan satu hal kepadamu apa benar engkau telah mengejar aku mulai dari keresidenan Ban-sian sampai di kota Keng-bun ini?"

   "Aaaah....omong melulu, memangnya kau anggap kongcu mu sedang membohongi kau?"

   Sahut Ciu Hoa tidak sabaran, ia tarik kembali tatapan matanya yang tajam itu.

   Setelah hatinya dibakar oleh api cemburu dan rasa penasaran, kehalusan serta serta keramahtamahannya sudah lenyap tak berbekas, sebagai gantinya ia mulai menyeringai seram, matanya bengis dan napsu membunuh terlintas diantara alis matanya, Cia In masih juga tidak ambil perduli, malahan senyum manis masih dikulum.

   "Kalau begitu, kongcu tertarik oleh kecantikan paras mukaku bukan..?"

   Ujarnya lagi. Pertanyaan ini terlampau blak-blakan dan tanpa tedeng aling-aling, dalam suasana begini seharusnya "Ciu Hoa"

   Sendiripun belum tentu bisa bersikap demikian tapi nona itu dengan tanpa ragu-ragu telah mengucapkannya keluar, hal ini menyebabkan "Ciu Hua"

   Jadi gelagapan dan berdiri tertegun dengan mata terbelalak, untuk sesaat ia tak mampu memberikan jawabannya lagi.

   Cia In tertawa cekikikan, merdu amat suaranya ibaratnya burung nuri yang berkicau dipagi hari, sambil gelengkan kepalanya berulang kali ia berkata lagi.

   "Menurut pendapatku, kongcu masih kurang bersungguh-sungguh, rasa tertarikmu hanya sambil lalu dan tak muncul dari sanubari yang bersih, betul bukan?"

   "Hey, sebenarnya apa yang lagi kau katakan? Mengapa tidak kau terangkan saja secara blakblakan?"

   Tukas Ciu Hoa tidak sabar, dahinya berkerut kencang.

   "engkau adalah nona paling cantik di dunia, meski kongcu mu sudah banyak bertemu orang, belum pernah kutemui nona secantik engkau bersungguh hati atau tidak buat apa kau tanyakan lagi? Andaikata kongcu tidak menyukai dirimu, tak nanti kukejar engkau dari Ban-sian sampai ke kota Keng bun"

   "Aaah, belum tentu begitu?"

   Seru Cia In sambil mencibirkan bibirnya.

   "kau tidak bersungguh hati hanya mulutmu saja pandai bicara manis. Andai kata kau benar-benar menyukai diriku, semestinya setiap kali sesudah mencari rumah penginapan, sebelum naik pembaringan toh tersedia waktu yang panjang dan berlebihan? Mengapa selama ini aku tak pernah menjumpai kongcu?"

   Mendengar pertanyaan itu.

   "Ciu Hoa"

   Tergagap, biji mata tikusnya jelalatan memandang kesana kemari, bibirnya bergetar seperti mau membantah namun tak sepatah katapun mampu diucapkan keluar, rasa heran, tercengang Cia In mengerutkan kening, kemudian menghela napas panjang "Aaaai...

   Kalian orang laki-laki..."

   "Eeeh.....! tidak betul...."

   Mendadak "Ciu-Hoa"

   Menjerit melengking, keras dan tajam suaranya. Jeritannya yang melengking ini bukan saja keras bahkan diluar dugaan, Cia In benar-benar di bikin terperanjat.

   "Apanya yang tidak betul?"

   Cepat ia bertanya.

   "Ciu Hoa"

   Mengeratkan dahinya rapat-rapat, matanya dipicingkan dan ia bergumam tak hentinya.

   "Heran, Tanpa kuketahui jelas apa -sebabnya tiba-tiba aku merasa sangat mengantuk lalu terlelap tidur- betulkah aku amat lelah sehingga perlu beristirahat?"

   Lama sekali ia terbungkam, agaknya orang itu sudah terjerumus dalam pemikiran yang mendalam dan bersungguh-sungguh, suasana jadi sepi, hening dan tak kedengaran sedikit suarapun,.

   Sekilas senyum aneh terlintas diatas wajah Cia In, hanya sebentar saja senyum itu lenyap kembali.

   terdengar ia berkata lagi.

   "Tidak diketahui sebabnya tiba-tiba mengantuk lantas tertidur? Aneh! Belum pernah kujumpai keadaan seaneh ini! Kenapa tidak kau lanjutkan perkataanmu itu?"

   "Ciu Hoa"

   Segera menengadah, dengan tak kalah herannya ia berkata pula.

   "Memang aneh sekali kejadian ini! Tiap senja menjelang tiba, setelah bersusah payah menemukan tempat tinggalmu, dan setiap kali aku selesai membersihkan badan dan berdandanan. tiba-tiba aku diserang rasa mengantuk yang hebat kemudian terjatuh di pembaringan dan tertidur pulas sampai keesokan harinya ini....."

   "Aaah! Kau tak usah ini itu lagi!"

   Tukas Cia In marah-marah sebelum orang itu sampai menyelesaikan kata-katanya.

   "dari sini dapat dibuktikan sekarang, bahkan kongcu sesungguhnya tidak berniat serius, engkau cuma iseng dan pakai bicara manis!"

   "Kau....kau... jangan kau tuduh aku demikian!"

   Bantah "Ciu Hoa"

   Dengan gelisah.

   "Kalau tidak begitu, lantas apa yang harus ku katakan? Bukankah setiap hari katanya kau selalu mengejar aku? Kenapa setiap kali kau berhasil susul diriku, bukan datang berkunjung melainkan malahan tertidur pulas......? Bukankah ini membuktikan bahwa kau tidak berniat serius?"

   "Aku....aku..."

   Ciu Hoa semakin gelagapan.

   "Engkau tak perlu aku aku melulu"

   Kata Cia-In cepat.

   "biar aku saja yang mewakili kongcu untuk memberi keterangan! Aku sama sekali tak berhasrat untuk tidur, tapi oleh karena setiap hari harus melakukan perjalanan jauh, maka badan ku benar-benar merasa penat dan perlu istirahat, bukankah begitu?"

   "Tak mungkin badanku penat"

   Bantah Ciu Hoa dengan wajah bersungguh-sungguh.

   Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "dengan ilmu silat yang kongcu miliki sekarang, sekalipun harus melakukan perjalanan,siang malam selama tiga hari juga tak akan merasa penat atau kehabisan tenaga.."

   "Oooh...,! Kiranya kongcu adalah seorang jago persilatan, tadinya aku mangira kongcu menggempol pedang hanya sebagai hiasan belaka seperti juga halnya dengan engkoh Pek Khi ini, biasa kan orang muda sekarang sok pamer"

   Menyinggung soal Hoa In-liong! Ciu Hoa segera menunjukkan sikap muak dan benci, dengan bengis ia melotot sekejap kearah sianak muda itu,- kemudian tegurnya.

   "Engkau bernama Pek Khi?"

   "Benar, aku bernama Pek Khi!"

   Hoa In-liong mengangguk. Ciu Hoa memutar biji mata tikusnya, kemudian sambil mendelik ia membentak lagi.

   "Apa pekerjaanmu?"

   "Haaahhh....haahhh....haaahhh.". Ciu kongcu. caramu mengajukan pertanyaan kurang sopan dan tak tahu adat, lantas kau sendiri apa pekerjaannya?"

   Kontan Ciu-Hoa bangkit berdiri, teriaknya dengan marah.

   "Bagus! Bagus sekali perbuatanmu! Engkau berani bersikap kurang adat kepada kongcumu?"

   Hoa In-liong tetap tertawa ia menyahut.

   "Soal ini tergantung pada Ciu kongcu sendiri, jika kau kurang adat maka akupun tak perlu bersikap sungkan-sungkan terhadap dirimu!"

   "Bagus! Bagus! Nyalimu memang terhitung besar...."

   Teriak Ciu Hoa sambil tertawa seram, ia benar-benar naik darah. Hoa In-liong jaga tak mau mengalah, cepat ia menukas sembari berseru.

   "Engkau pernah membaca ajaran dari para Nabi dan pujangga belum? Bukankah disana dikatakan, bila orang tahu adat dan sopan santun, maka peluruh jagat dapat dikunjungi, sebaliknya kalau orang tak tahu adat dan sopan santun maka setengah jengkal tanahpun sukar didatangi, Cia kongcu kalau toh engkau mengakui sebagai orang persilatan, rasanya ajaran itu itu pasti sudah pernah diberikan oleh sesepuh perguruan kepadamu bukan......? Aku merasa tak pernah melanggar adat dan tata kesopanan, tentu saja aku berani menghadapi keadaan macam apapun, apa sangkut paut nya antara nyali besar dan kecil?"

   Beberapa patah kata itu diutarakan dengan senyum dikulum, sedikitpun tidak emosi atau marah, meski begitu dibalik kehalusan tetselip ketajaman, nada ucapannya jelas merupakan suatu nasehat juga suatu teguran yang keras"

   Sebagai orang yang pintar tentu saja Ciu Hoa dapat menerka arti kata dari ucapan tersebut sontak ia naik darah, dengan muka menyeringai "Bocah keparat! Engkau berani mencari garagara dengan kongcumu? Hmm! Agaknya memang engkau sudah bosan hidup"

   Hoa In-Liong berbuat demikian karena ia mempunyai tujuan tertentu, bergiranglah hatinya setelah melihat orang itu naik darah, sambil tertawa ujarnya lagi.

   "Sekarang kita sedang berada dirumah penginapan, aku tidak percaya kalau Ciu kongcu berani membunuh orang dengan semena-mena, memangnya dianggap hukum negara salah tidak berlaku lagi........"

   

   Jilid 07 BELUM habis ia berkata, kemarahan ciu Hoa sudah tak terkendalikan lagi sambil tertawa seram katanya.

   "Heeehhh....heeeahh....heeehhh....engkau betul-betul punya mata tak berbiji, akan kongcu-ya cungkil dulu sepasang biji matamu sebelum membicarakan soal hukum negara...."

   Secepat kilat lengan kanannya ditonjok ke muka, dengan ibu jari dan jari tengah yang ditekuk seperti kaitan, ia ancam sepasang mata Hoa In-liong.

   Sekalipun lengan kanannya itu bergerak tidak lambat pun tidak cepat, namun si anak muda itu mengerti bahwa perubahan dibalik serangan jari tangannya itu banyak.

   rumit dan tak terhingga, lagipula ganas dan keji, bagi jago persilatan pada umumnya, sulit untuk menghindarkan diri dari ancaman tersebut.

   Namun bagi Hoa In-liong yang berilmu tinggi dan bernyali besar, rupanya ia sudah mempunyai perhitungan sendiri yang jauh lebih matang.

   Bukannya berkelit atau coba menangkis, dia malahan pura-pura berlagak tidak melihatnya sama sekali, menggubrispun tidak.

   Lambat memang untuk diceritakan, namun cepatnya luar biasa, kejadian itu berlangsung, dalam sekejap mata serangan jari tangan dari Ciu-Hoa itu sudah berada di depan mata, disaat yang kritis itulah mendadak Cia in menjulurkan tangannya ke muka dan mendorong sikut Ciu Hoa sehingga tergeser ke samping.

   "Ciu kongcu,"

   Omelnya dengan merdu.

   "apa-apaan kamu ini? Engkoh Pek Khi toh tidak menyalahi apa-apa terhadap dirimu...."

   Dalam pada itu, In-ji si dayang telah masuk sambil membawa air teh, ia berkata pula.

   "Ciu kongcu, engkau datang kemari kan hendak mencari nona kami dan mencari kesenangan? Apa gunanya marah-marah kepada orang lain? silahkan duduk. biarlah In-ji suguhkan air teh untukmu."

   Lengan ciu Hoa yang terhenti ditengah udara, saat itu baru ditarik kembali, dengan mata terbelalak dia awasi Cia In sekejap. kemudian ujarnya dengan suara berat.

   "Kau.... siapa kau? sebetulnya apa... apa pekerjaanmu?"

   In-ji mengambil secawan air teh dan diletakkan dihadapannya, seperti heran seperti pula tak disengaja, ia berseru.

   "Ada apa? Masa kau tidak tahu...."

   Untuk kesekian kalinya dengan hati mendongkol Ciu Hoa duduk kembali ke atas kursinya, lalu mendengus.

   "Hmm Dalam mata yang jeli tak akan kemasukan pasir, sebenarnya apa kerja kalian? Hayo cepat jawab dengan terus terang"

   Sementara itu In-ji sudah meletakkan secawan air teh pula dihadapan Hoa In-liong kemudian sahutnya sambil tertawa.

   "Peduli amat kemasukan pasir atau tidak. kami tak paham dengan kata-kata macam begituan, kami hanya tahu nona kami bernama Cia In. dengan nama sebutan In ci-ji, dia adalah Hong-koan-jin (pelacur paling top) yang tiada taranya dikota Kim-leng..."

   "Budak sialan pingin mampus?"

   Tiba-tiba Cia In berteriak dengan suara melengking.

   "memangnya lantaran engkau adalah Cing-koan-jin maka kau merasa bangga untuk menyiarkannya kepada umum."

   Perlu diterangkan disini, baik Hong-koan-jin maupun cing-koan-jin adalah sebutan-sebutan khas bagi rumah pelacuran.

   Yang dinamakan Hong-koan-ji adalah para pelacur yang sudah tidak perawan lagi, sebaliknya Cing-koan-jin adalah para pelacur yang masih perawan suci, tentu saja dengan adanya tingkatan kedudukan maka hargapun bermacam-macam, lagi kaum lelaki yang suka bermain pelacur, istilah seperti itu pasti akan diketahui dengan jelas.

   Hoa In-liong masih muda dan lagi merupakan keturunan orang kenamaan, sekalipun dia romantis dan gemar main perempuan, lagipula tidak terikat oleh pelbagai peraturan, namun anak muda ini masih bersih, dalam arti kata belum pernah menginjakkan kakinya dirumah pelacuran untuk berbuat mesum.

   Oleh karena itu, setelah mendengar ucapan tersebut ia jadi tercengang, heran dan merasa tidak habis mengerti, sepasang matanya dibelalakkan lebar-lebar, sebentar memandang kesini sebentar lagi memandang kesana, agaknya dia ingin mencari jawabannya diantara perubahan wajah Cia In dan In-ji.

   Lain halnya dengan ciu Hoa, ia gemar bermain perempuan dasarnya memang berwatak cabul dan tengik, memetik bunga adalah pekerjaannya yang boleh dibilang rutin, dan selamanya tak pernah ambil perduli perempuan macam apakah lawan mainnya itu, otomatis diapun mengetahui jelas tentang segala macam istilah yang berlaku dikalangan rumah pelacuran.

   Tak heran kalau matanya terbelalak besar sehabis mendengar ucapan tersebut, ditatapnya wajah Cia In dengan rasa heran, agaknya ia masih kurang percaya dengan pengakuan itu.

   Tampak In-ji meleletkan lidahnya serta menunjukkan mata setan, lalu berkata.

   "Yaa.. benar, nona maafkan akulah yang salah bicara, nona kami adalah Hong-ji (orang yang top) dari kota Kim-leng, bukan Hong-koan-ji."

   "Masa diulangi lagi?"

   Bentak Cia In.

   "Hiiihh..... hiiiiihhhh...... hiiiihhh..... ampun nona yang baik, aku bicara lagi Aku tak akan bicara lagi...."

   Cepat In-ji menambahkan sambil tertawa cekikikan. Ia lantas berpaling, kepada Ciu Hoa ujarnya.

   "Kongcu-ya, minumlah air tehmu, kenapa masih melongo- longo?"

   Ciu Hoa tersentak bangun dari lamunannya, ia lantas berseru dengan suara dingin.

   "Hmm Keanehan dari peristiwa yang menimpa diriku tentu asalnya dari kalian berdua. Ketahuilah, kongcu mu bukan manusia sembarangan, kalian tak usah berlagak pilon dan ingin mengelabuhi diriku lagi. Hayo bicara, sebenarnya permainan busuk apakah yang telah kalian lakukan sehingga membuat kongcu mu tertidur pulas?"

   Cia In mencibirkan bibirnya, sepasang alis matanya berkenyit.

   "Ciu kongcu, kalau ingin bicara aku harap bicaralah sedikit tahu diri, kau mengantuk dan ingin tidur toh karena badanmu kurang sehat dan terlalu penat karena melakukan perjalanan jauh, apa sangkut pautnya hal itu dengan kami? Dan permainan busuk apa yang bisa kami lakukan? Barusan toh In-ji telah menerangkan adanya tamu semacam Ciu kongcu justru merupakan apa yang kuharap- harapkan selama ini, anehkan rasanya kalau aku sengaja membuat engkau teridap tidur hingga tak bisa bangun lagi."

   Selain daripada itu, aku toh cuma seorang pelacur biasa, darimana datangnya kepandaian sehebat itu untuk mempermainkan engkau? Aku tahu Ciu kongcu adalah seorang manusia yang pandai, tentunya kau mengerti bukan bahwa ucapanku ini bukan sengaja kubuat- buat?"

   Nada ucapannya itu penuh dengan kehalusan, kelembutan dan kepedihan hati, persis seperti permohonan dari kaum pelacur yang ingin minta belas kasihan dari orang lain.

   Hoa In-liong yang berdiri disamping mengawasi perempuan itu lekat-lekat, kemudian berpikir.

   "Tak kusangka kalau perempuan ini ternyata adalah seorang pelacur, tak aneh kalau ia pandai merayu dan mempunyai daya pikat yang luar biasa, tapi.... tapi tidak betul Jelas kuketahui bahwa ia berilmu silat, mengapa harus jadi pelacur? Ataukah mungkin dibalik kesemuanya ini, tersembunyi tipu muslihat yang lain?"

   Tampaknya manusia yang bernama "Ciu Hoa"

   Itupun tidak bodoh, sekarang ia sudah mempunyai suatu perasaan was-was terhadap Cia In, terdengar ia berkata dengan dingin.

   "Bila tak ingin orang tahu, kecuali diri sendiri tak pernah berbuat.Tiap senja kongcu mu mencari rumah penginapan kemudian terlelap tidur dengan begitu saja, jelas dibalik kesemuanya ini bukan tanpa alasan, kemudian ditinjau dari gaya serangan Thian-ong-to-tha (raja langit membawa pagoda ) yang kau gunakan untuk menangkis sikut kongcumu, jelas menunjukkan bahwa engkau berilmu silat tinggi. HHm Merayu dengan kata-kata manis hendak menutupi bayangan sendiri ..jangan mimpi Hayo jawab, sebenarnya apa kerja kalian berdua?"

   Mula-mula Cia In agak tertegun, namun kemudian ucapnya dengan suara pedih.

   "

   Kalau toh Ciu kongcu berkata demikian, aku tak dapat berbuat apa-apa lagi, In-ji Wakili aku untuk mengantar tamu,"

   Seraya berkata, ia kebutkan ujung bajanya dan siap masuk ke dalam ruang dalam.

   "Menghantar tamu?"

   Jengek ciu Hoa sambil tertawa seram.

   "Heheeehh..,.heehh....tidak gampang untuk mengusir aku dari sini."

   Cia In hentikan kembali langkahnya,, dengan dahi berkerut dia lantas menegur.

   "Sebenarnya apa yang kau inginkan? Maksudku semula, aku hendak merubah suasana yang serba kaku menjadi labih halus dan lembut, maka tiada bahan pembicaraan sengaja kuadakan bahan pembicaraan dan sengaja menggoda dirimu, siapa tahu hasilnya malahan kebalikan, kongcu malahan menuduh aku telah menggunakan pelbagai macam tipu muslihat untuk mencelakai dirimu sehingga tertidur pulas. Kongcu-ya, mengapa tidak kau pikirkan, andaikata aku benar-benar bermaksud jelek kepadamu, dan akupun mampunyai kepandaian yang hebat untuk membuat engkau terlelap tidur, apa sebabnya sampai sckarangpun aku tidak bertindak apa- apa terhadapmu dia membiarkan engkau ribut serta mengumbar hawa amarahnya terus menerus?"

   Ucapan tersebut kedengarannya lunak namun hakekatnya keras sekali dan alasannya juga sangat kuat, ini membuat Ciu Hoa untuk sesaat jadi terbelalak dan tak mampu memberi jawaban.

   Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba Cia In menghela napas panjang, kemudian melanjutkan.

   "Pepatah kuno pernah berkata. 'Bila bertemu sahabat cocok dengan hati, minum seribu cawan pun rasanya kurang, tapi bila menjumpai ketidakcocokan hati maka setengah kecappun rasanya terlalu banyak.' Sebelum mengucapkan sesuatu aku toh sudah terangkan dulu bahwa ucapanku rada kurang sesuai, sedang kongcu-ya sendiripun sudah setuju untuk tidak marah, tapi akhirnya engkau tetap marah dan memusuhi diriku. Kalau toh memang begitu, sekalipun suasana ini dilanjutkan lebih jauh juga akan sama dinginnya seperti es. daripada terjadi hal-hal yang tak diinginkan lagi, kongcu-ya Lebih baik engkau berlalu saja dari sini."

   Berbicara demikian, ia lantas menarik ujung baju Hoa In-liong sambil menambahkan.

   "Engkoh Khi, mari kita duduk didalam saja."

   Dari keadaan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa nona itu sudah mengambil keputusan untuk mengusir tamunya. Tentu saja Ciu Hoa tak sudi diusir dengan begitu saja, sambil memukul bangku teriaknya.

   "Berhenti!"

   "Ada apa?"

   Tanya Cia In sambil berhenti.

   "sebetulnya kongcu-ya tahu aturan tidak? Engkau musti tahu bahwa tempat ini bukan rumah pelacuran dikota Kim-leng, tempat ini adalah rumah penginapan, terima tamu atau tidak aku bisa mengambil keputusan sendiri."

   Ciu Hoa betul-betul naik darah setelah didesak oleh perkataan yang tajam dan tak enak didengar itu, saking gusarnya bukan saja sekujur badannya jadi gemetar, otot-otot hijaunya pada keluar, sinar mata tikusnya memancarkan cahaya bengis, agaknya ia siap melancarkan tubrukan ke arah depan.

   Siau In-ji menengok kekiri kekanan dengan bingung, kemudian ia coba melerai sambil berkata.

   "Kongcu-ya, jangan marah-marah dulu, nona, engkaupun duduklah dengan hati sabar"

   "Huuh mau apa duduk lagi?"

   Kata Cia In dengan sinis.

   "meskipun badan kita rendah, namun cengli tetap cengli dan di manapun cengli itu tetap sama. Kalau ada tamu yang menyenangkan boleh saja kita terima, kalau toh tamunya tidak menyenangkan hati, buat apa kita musti memandang rendah diri sendiri dan susah-susah menerima kemarahan orang?"

   In-ji itu memang kecil orangnya tapi besar akal muslihatnya, sambil berkerut kening ia berkata lagi.

   "Ooh.... siocia, kita harus berdagang dengan hati yang ramah dan suasana yang damai, Ciu kongcu telah mengejar jauh-jauh dari Ban-sian sampai Keng-bun, ini menunjukkan bahwa ia berniat keras terhadap diri siocia. Cukup kita tinjau dari tindakannya itu, sekalipun harus menerima sedikit kemarahan rasanya juga tak terhitung seberapa......."

   Kemudian ia berpaling ke arah Ciu Hoa dan katanya lagi.

   "Kongcu-ya, jangan marah lagi siapa berlapang dada dia akan mendapat rejeki besar, kau tak usah ribut dengan nona kami lagi. Nah Minumlah secawan air teh dulu, marahmu pasti lenyap"

   Dia lantas mengambil cawan air teh dari atas meja dan diangsurkan kehadapan ciu Hoa.

   Tadi Ciu Hoa bisa marah karena berulang kali ia dibuat tak mampu menjawab perkataan orang, namun tuduhan yang dilontarkan tadi hakekatnya cuma tuduhan yang memang tanpa dasar bukti yang kuat, maka setelah mendengar ucapan in-ji, ia semakin tak beralasan lagi untuk mengumbar amarahnya, selain- itu ia merasa berat hati untuk meninggalkan si nona cantik yang berada di depan matanya dengan begitu saja.

   Dengan berdasarkan alasan itulah, meski dengan sikap yang masih kaku, ia ambil cawan air teh itu, setelah diminum satu tegukan, katanya lagi.

   "Hmm Aku lihat kalian berdua memiliki ilmu silat yang tangguh, asal usul pun sangat mencurigakan hati, sebenarnya ada rencana busuk apakah yang hendak kalian lakukan? Menurut penglihatanku, lebih baik mengaku saja terus terang, kalau tidak Hmm Hmm"

   Tiada kelanjutan dibalik kata-katanya itu, dari sini dapat diketahui bahwa ia hendak menggunakan kata-kata tadi untuk melepaskan diri dari suasana yang serba runyam baginya itu.

   Siau In-ji memang cerdik pandai sekali membawa diri setelah mendengar perkataan itu ia lantas berkata lagi dengan serius.

   "Kongcu-ya disinilah letak kesalahanmu, masa kami berdua mempunyai rencana tertentu? sekali-pun ada rencana tertentu paiing banter rencana itu menyangkut bagaimana caranya untuk menggaet beberapa tahil perak lebih banyak dari diri kongcu. Kongcu-ya Minum dulu air teh mu, kurangilah ucapan yang tak perlu, budak akan coba membujuk pula nona kami."

   "Benarkah kalau rencana kalian ingin mengincar beberapa tahil perak belaka?"

   Tanya Ciu Hoa.

   "Kongcu-ya, kami toh sudah menerangkan kedudukan kami yang sebenarnya kepadamu? sebagai pelacur apa lagi yang ingin kami cari kecuali beberapa tahil perak? siapakah didunia ini yang bersedia dipermainkan orang tanpa mendapat imbalan."

   "Kalau memang begitu gampang sekali!"

   Seru Ciu Hoa ketus.

   "malam ini kongcu menginap di sini dan sepuluh tahil perak ini boleh kau terima dulu."

   Dia lantas merogoh sakunya dan mengambil keluar sekeping perak yang beratnya mencapai sepuluh kati kemudian 'plok' dibanting ke atas permukaan meja.

   "Waaah tii.... tidak bisa!"

   Tiba-tiba cia In berteriak lagi dengan gelisah.

   "Kenapa tidak bisa?"

   Sahut Ciu Hoa sambil mendelik "apakah engkau sudah lupa akan apa profesimu yang sebenarnya?"

   "Sekalipun begitu, untuk berjual beli toh perlu ada siapa yang datang lebih dahulu? Malam ini Pek kongcu telah membayar diriku, maka lebih baik kau...."

   "Telur busuk!"

   Tukas Ciu Hoa sambil membentak.

   "bagiku tidak berlaku siapa datang duluan, lohu..eeeh.....?"

   Ia coba menggoncangkan kepalanya keras-keras, tapi sudah terlambat, sebelum jeritan itu selesai di ucapkan, ia sudah roboh terjengkang ke atas tanah dan jatuh tak sadarkan diri Ketika Ciu Hoa roboh terjungkal Cia In lantas menjerit ketakutan.

   "Aduuh mak, apa yang telah terjadi?Jangan-jangan... jangan-jangan orang ini mengidap penyakit ayan?"

   Hoa In-liong bukan orang bodoh, apalagi ia mengikuti kejadian itu dari samping, tentu saja ia tahu kalau Cia In sedang berpura-pura main sandiwara dan iapun tahu kalau penyakitnya terletak di dalam air teh yang disuguhkan itu.

   Sebagai pemuda yang cerdik, cukup hebat pula reaksinya, ia tidak menunjukkan wajah kaget, malahan seperti orang yang gembira karena melihat lawannya roboh, dia tertawa terbahakbahak.

   "Haaahhhh..... haaahhhh...... haaaaah...... hah jangan gugup..... Jangan gugup, orang yang mengidap penyakit ayan tak bakal mampus, sekalipun mampus itu juga kesalahan sendiri, siapa suruh ia marah-marah dan mengumbar napsu setelah tahu kalau mengidap penyakit aneh."

   Sengaja dia mengambil cawan air tehnya dan menghirup satu tegukan.

   
Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aaah, enak benar kalau bicara!"

   Seru Cia In pura-pura serius.

   "

   Kalau ia benar- benar sakit dan tak dapat bangun lagi, wah.... bisa jiwanya akan melayang"

   "Mau melayang biar melayang Bila ia mampus lantaran marah-marah, kalau sampai pengadilan mencari dirimu, biar akulah yang akan menjadi saksi bagi enci In."

   Diam-diam Cia In merasa geli. tapi diluaran ujarnya.

   "Hoa kongcu memang berbeda jauh bila di bandingkan orang lain, biarlah kuucapkan banyak terima kasih dulu kepadamu."

   Betapa terkejutnya Hoa In-liong ketika secara tiba-tiba mendengar ia mengubah sebutannya, sontak ia berteriak.

   "Apa? Engkau tahu...?"

   "Siapa yang tidak kenal dengan Hoa kongcu dari Im tiong-san? Hiiiihhh hihihi...."

   Cia In tertawa cekikikan. Hoa In-liong sejera bangkit berdiri, serunya agak gugup.

   "Kau... kau..."

   Cepat Cia In menyingkir kesamping untuk menghindarkan diri lalu katanya.

   "Hoa kongcu jangan marah-marah, kalau marah nanti akan ikut roboh juga..."

   "Sebenarnya siapa engkau?"

   Bentak Hoa ln-Iiong dengan kaget.

   "obat apa yang telah kau campurkan ke dalam air teh itu?"

   "Tidak apa-apa, cuma sedikit obat pemabok Jit-jit-im-hun-san (bubuk pemabok tujuh hari) obat itu tak akan mencabut nyawa kongcu!"

   Hoa In-liong marah sekali, sambil menggigit bibir katanya.

   "Obat pemabok dari kalangan penyamun juga kalian gunakan? Hmm Sebenarnya apa tujuanmu.....!"

   Belum habis ia berkata, mendadak tubuhnya jadi sempoyongan dan....

   "Blaang!"

   Diapun roboh terjengkang ke atas tanah. Cia In benar-benar amat bangga, sambil tertawa cekikikan katanya lagi.

   "Tadinya aku mengira keturunan dari keluarga Hoa tidak takut dengan sebala macam obat pemabok, Huuh Tak tahunya engkau juga tak tahan terhadap obat tersebut. In-ji Cepat gusur si setan jelek itu kekolong ranjang, kemudian suruh Hao Ie menyiapkan kereta, kita segera lanjutkan perjalanan"

   In-ji mengiakan, ia lantas menyeret tubuh Ciu Hoa dan disembunyikan di bawah pembaringan, setelah itu tanyanya dengan ragu.

   "Suci, benarkah dia adalah kongcu dari keluarga Hoa?"

   Sebutannya bukan nona lagi, sekarang ia sebut Cia In sebagai "suci"

   Atau kakak seperguruan. Cia In sendiri tampak agak gelisah, dengan kurang sabaran ia menjawab.

   "Ia sendiripun tidak membantah, apa gunanya engkau turut menguatirkan dirinya? Cepatan suruh Hao lo- tia siapkan kereta, kalau sampai anak buahnya si setan jelek menyadari akan keadaan ini, kita bakal menghadapi bahaya kerepotan lagi."

   Hakekatnya waktu itu Hoa In-liong tidak semaput, ia cuma berlagak pingsan belaka, Dengan tubuhnya yang tidak mempan terhadap racun, jangankan cuma obat pemabok.

   sekalipun racun yang bisa memutuskan usus juga tak dapat berkutik terhadap dirinya.

   Sekarang sambil berpura-pura, tiap kali ia picingkan sepasang matanya untuk mengawasi gerak gerik cialn berdua secara diam-diam.

   Sementara itu In-ji telah menyembunyikan tubuh Ciu Hoa dibawah kolong ranjang, sambil bangkit berdiri ia bertanya lagi.

   "Aku lihat orang she-ciu ini mempunyai asal usul yang besar, apa salahnya kalau sekalian kita bawa pergi?"

   "Apa gunanya membawa manusia keroco seperti orang itu? Bila orang itu penting artinya buat kita, semenjak tadi suci sudah turun tangan untuk membekuknya."

   "Makin banyak yang kita peroleh semakin menguntungkan, bagaimanapun toh kereta kita masih muat untuk ranjang angkut mereka berdua sekaligus!"

   Seru In-ji "Aaaah, kamu ini tahu apa?"

   Bentak Cia In.

   "kita bisa menangkap anak cucunya sekeluarga Hoaboleh dibilang sudah sangat beruntung, engkau tahu berapa besar jasa kita dengan hasil yang kita peroleh ini? Cepat siapkan kereta, jangan menunda waktu pemberangkatan lagi."

   Kali ini In-ji benar-benar membungkam dalam seribu bahasa, ia lantas berlalu dari ruangan itu. Sepeninggal In-ji, cia In bungkukkan badan untuk membopong tubuh Hoa In-liong. kemudian sambil mencium dipipinya ia bergumam.

   "Pemuda tampan, jangan marah kepadaku Bila bukan terpaksa, dengan tampangmu yang ganteng dan tubuhmu yang kekar, aku tak akan tega- membiarkan engkau menderita siksaan lahir dan batin"

   Sambil bergumam ia membopong pemuda itu dan dibaringkan diatas pembaringan, kemudian jari tangannya bergerak dan mendadak ia totok jalan darah Ki-ciat di atas dada pemuda itu.

   Jalan darah Ki-ciat-hiat disebut pula Huan-hun hiat (jalan darah pembalik sukma), hiat-to tersebut termasuk salah satu diantara delapan buah jalan darah pingsan yang terdapat ditubuh manusia.

   Kejadian ini berlangsung amat mendadak dan sama sekali di luar dugaan, sekalipun anak cucu keluarga Hoa belajar kepandaian menggeser jalan darah, walaupun Hoa loji binal dan cerdik, tapi la tak pernah menyangka kalau Cia in bakal menotok jalan darah pingsannya walaupun sudah diberi obat pemabok.

   Sebab itulah, ketika totokan tersebut bersarang telak diatas dada Hoa In-liong, si anak muda itu seketika jatuh pingsan dan kali ini benar-benar tidak sadarkan diri Selang sesaat kemudian in-ji telah muncul kembali dalam ruangan, cia In sendiripun telah selesai membenahi perbekalannya, dua orang perempuan itupun satu ke kiri yang lain di kanan lantas memayang Hoa jiya yang mirip orang mabok itu keluar dari rumah penginapan, naik ke atas kereta dan melanjutkan perjalanan menuju kearah timur.

   Beberapa hari sudah lewat tanpa terasa, suatu tengah hari sampailah kereta kuda yang kecil mungil itu diluar pintu barat kota Kim-leng.

   Bila ditinjau dari kemunculannya di kota tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa ucapan cia in ada beberapa bagian memang boleh dipercaya sebab ia benar-benar menuju kekota Kim-leng seperti yang dikatakan.

   Ketika itu kereta mereka sudah berada dua panahan dari pintu kota sebelah barat, Hou lo-tia yang bertindak sebagai kusir telah bermandikan keringat karena lelah, ia mencambuk kudanya keras-keras dan melarikan keretanya lebih cepat lagi untuk menerobos masuk ke dalam kota.

   Mendadak dari balik semak belukar, ditepi telaga Mo-chiu-ouw muncul lima ekor kuda jempolan, pada-kuda yang pertama duduklah seorang pemuda perlente yang memakai jubah sutera halus.

   Terdengar kongcu itu menuding kearah depan sambil berseru nyaring.

   "Hey... coba lihat siapa yang datang?"

   Kemudian teriaknya lagi dengan lebih keras. "Hou lo-tia, apakah nona Cia telah pulang?"

   Sebelum Hou Lo-tia sempat menjawab, cia-In yang berada didalam kereta telah berbisik lirih.

   "Jangan perdulikan mereka, cepat kita kabur masuk ke dalam kota."

   Tentu saja Hoa lo-tia tidak berani membantah, ia mencambuk kudanya semakin kencang lagi sehingga kereta itu lari masuk ke dalam kota dengan lebih cepat pula.

   Ketika kongcu muda itu melihat tegurannya tidak digubris oleh Hou Lo-tia, ia lantas membedal pula kudanya untuk mengejar, dengan wajah penuh kemarahan pemuda itu menyusul kesamping kereta lalu membentak dengan suara berat.

   "Hoa lo-tia, sebenarnya apa maksudmu? Apakah aku Sa beng Siang (Beng siang saku) Yu-Siaulam tidak pantas untuk berkenalan dengan dirimu..."

   Kudanya dicamplak kemuka dan menghadang jalan pergi kereta tersebut, karena ia berdiri ditengah jalan serta merta Hou lo-tia tak dapat meneruskan pula perjalanaannya.

   Padahal kereta itu sedang dilarikan dengan kencangnya, karena mendadak jalan lebatnya terhadang, terpaksa ia harus menarik tali les kudanya kencang-kencang.

   Diiringi ringkikan panjang, kuda menghela kereta itu mengangkat sepasang kakinya keangkasa, dan keratapun seketika itu juga terhenti.

   Selang sesaat kemudian beberapa ekor kuda yang ada dibelakang telah menyusul datang pula mereka lantas berdiri berjajar dibelakang Yu Siau-lam.

   Karena jalan perginya sudah terhadang, mau tak mau Cia In harus pura-pura melongok keluar dari jendela sambil menegur dengan lagak tak habis mengerti.

   "Hou lo-tia, ada urusan apa?"

   Sesudah berheti sebentar ia baru menambahkan.

   "oooh Rupanya Yu-ya yang telah datang..."

   Ya Siau-lam tampak sangat gembira setelah bertemu dengan Nona Cia, ia segera melompat turun dari atas kuda dan memburu kedepan, katanya.

   "Rupanya nona Cia benar-benar telah pulang, nona Cia sejak engkau berangkat ke barat. setiap hari aku sangat mengharap- harapkan kedatanganmu, kami rasakan seakan-akan sedang menghadapi musim kemarau yang panjang. Haahhh haaaaahhh ...haaaaahhh akhirnya kau kembali juga hari ini."

   Meski gelisah sekali perasaan hati Cia In waktu itu, ia tak dapat menunjukkan sikapnya itu di luaran, terpaksa sahutnya dengan kata-kata merendah.

   "Aduuh...aku tak berani menerima katakatamu itu, begini saja, Malam nanti aku akan mengadakan perjamuan dalam kamarku, harap Yu-ya untuk memberi muka dan menghadirinya."

   Yu Siau-lam tertawa terbahak-bahak.

   "Haaahh...... haaaaahhh.... haaaahh untuk mengadakan perjamuan guna menyambut kedatanganmu tidak pantas kalau engkau yang selenggarakan, sebab kamilah yang wajib mengadakan bagimu, biar kutemani nona Cia masuk ke dalam kota."

   

   first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 08:24:53
oleh Saiful Bahri Situbondo


Rajawali Sakti Dari Langit Selatan -- Sin Long Pedang Abadi -- Khu Lung Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id

Cari Blog Ini