Ceritasilat Novel Online

Rase Terbang Pegunungan Salju 4


Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung Bagian 4




   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya dari Chin Yung

   
"Aku semakin heran mendengar percakapan mereka itu. Kudengar Ouw It To bertanya, apakah isterinya tak menyesalkan semua perbuatannya selama itu. Isterinya bukan hanya tidak menyesal, bahkan membenarkan semua perbuatan itu. Agaknya Ouw It To semakin gembira, dan ia berpesan, supaya, bila kelak ia jadi tewas, kotak besi pusaka yang dimilikinya, diberikan kepada puteranya pada ulang-tahun keenam belasnya." 'Aku ketarik sekali kepada kotak besi pusaka itu. Diam-diam aku mengintip dari cela pintu. Ketika itu, nyonya Ouw sudah bisa bangun dan sedang mendukung anaknya. Ouw It To sendiri tengah memegang sebuah kotak besi, kotak besi yang kalian lihat di sini sekarang, yang berisikan golok kebesaran Cwan Ong."

   "Tentu saja, ketika itu aku juga belum tahu apa yang terdapat di dalamnya. Besar sekali minatku untuk melihat isinya, tetapi Ouw It To menyimpan lagi kotak itu tanpa membukanya sebentar saja. Setelah itu Ouw It To merebahkan diri dan segera tidur lelap sekali. Suara mendengkurnya memenuhkan kamarnya, bahkan terdengar di seluruh penginapan itu." 'Aku juga kembali ke tempat tidurku, tetapi sia-sia saja aku memejamkan mataku. Aku tak bisa pulas. Suaranya mendengkur terus mengganggu telingaku. Aku jadi berpikir, memikirkan mereka. Sudah cukup mengherankan, bahwa seorang cantik seperti nyonya Ouw rela kawin dengan seorang yang berwajah demikian buruk. Lebih mengherankan pula adalah, bahwa agaknya, ia telah menikah dengan pilihannya sendiri. Jika ditilik dari cintanya kepada suaminya, tak mungkin ia menikah bukan atas maunya sendiri."

   "Pada hari ketiga, sebelum terang tanah, nyonya Ouw sudah keluar dari kamarnya dan menyuruh pelayan berbelanja, membeli daging babi, daging kambing, ayam, itik dan rupa-rupa sayur-mayur, sedang ia sendiri kemudian mengolah semua itu. Aku menjadi agak heran, tak dapat kuterka guna apa ia menyediakan sekian banyak makanan yang istimewa. Aku coba menasihatkannya, supaya ia tidak terlalu berat bekerja, mengingat, bahwa ia baru saja melahirkan," 'Atas segala nasihatku, ia hanya tertawa saja. Setelah mendusin dan keluar dari kamarnya, Ouw It To sendiri juga coba mencegahnya bercapai-lelah terlalu banyak, tetapi juga ia tak berhasil. Kata Ouw It To kemudian, sambil tertawa, bahwa ia akan merasa berbahagia, bila merasakan masakan isterinya sekali lagi sebelum menutup mata." 'Aku baru mengerti, bahwa nyonya Ouw hendak mengadakan pesta selamat berpisah untuk suaminya, dan ia tak mau membiarkan orang lain yang menyiapkan hidangannya."

   "Menjelang tengah hari nyonya itu baru selesai, karena ia telah membuat hampir empat puluh macam hidangan. Ouw It To kemudian menyuruh pelayan membawakan berapa puluh kati arak. Dengan dilayani isterinya, kemudian Ouw It To duduk makan seorang diri. Kedua-duanya tampak berseri-seri, bagaikan tak merasa kuatir atau tegang sedikit jua. Aku membuka mataku lebar-/ lebar, sungguh mentakjubkan kekuatan perut orang she Ouw itu. Segera juga ia sudah menghabiskan tak sedikit hidangan itu dan berapa puluh mangkuk arak."

   "Sebelum ia selesai, dari jauh terdengarlah derap kaki kuda yang kian mendekat. Sekali ini, Ouw It To bahkan tertawa mendengar kedatangan musuhnya. Ia hanya berpesan, supaya isterinya kelak menyampaikan kepada puteranya, bahwa ia mengharapkan, agar dalam segala tindakannya, putera itu dapat berlaku lebih keras dan bisa pula turun-tangan secara lebih kejam dari ia sendiri."

   "Njonya Ouw memberikan janjinya Kemudian ia bersenyum dan berkata, bahwa ia juga sangat berminat melihat macam jago yang tak ada tandingannya itu, Biauw Tayhiap."

   "Ia tak usah menunggu terlalu lama, karena sebentar pula Biauw Tayhiap sudah muncul dengan diapit Hoan Pangcu dan Tian siangkong dan diikuti berpuluh penunggang kuda. Tanpa menoleh, Ouw It To menyilakan mereka makan bersama Undangannya disambut tanpa ragu-ragu oleh Biauw Tayhiap, yang tanpa sungkan-sungkan lantas duduk berhadapan dengannya dan segera mengangkat semangkuk arak. Agaknya, Tian siangkong terperanjat melihat perbuatan Biauw Tayhiap itu."

   "Dengan gugup ia coba mencegah. Dikatakannya, bahwa mereka (Ouw It To suami-isteri) mungkin telah mencampurkan racun ke dalam semua hidangan dan arak itu. Biauw Tayhiap tak menghiraukan nasihatnya, dan berkata bahwa Ouw It To, menurut pendapatnya, tak mungkin berbuat demikian rendah. Segera juga ia sudah makan-minum dengan lahapnya, sebagai juga tuan rumahnya, hanya caranya lebih halus."

   "Njonya Ouw telah memperhatikan Biauw Tayhiap dengan seksama. Tiba-tiba ia berkata, 'toako, memang selain Biauw Tayhiap, tak ada lagi yang bisa menandingi kau, dan begitu pun sebaliknya. Kepercayaan, keteguhan hati dan keberanian yang barusan kalian perlihatkan benar- benar tak dapat ditiru orang lain.' Tertawalah Ouw It To sebagai sambutan atas pujian isterinya, dan ia juga membalasnya dengan pujian, bahwa di antara semua wanita, nyonya Ouw tiada tandingannya."

   "Kemudian, nyonya Ouw berpaling kepada Biauw Tayhiap dan mengatakan, bahwa ia akan puas bila suaminya kelak tewas di bawah senjata Biauw Tayhiap. Menurut pendapatnya, mati terbunuh Biauw Tayhiap bukannya kematian yang mengecewakan. Ia juga mengharapkan, agar Biauw Tayhiap juga akan berperasaan demikian. Pada akhirnya kata-katanya, ia mengajak Biauw Tayhiap sama-sama mengeringkan secawan arak."

   "Agaknya, Biauw Tayhiap bukannya seorang yang suka membuang banyak kata-kata. Dengan singkat ia menjawab, 'BAIK,' dan segera juga sudah akan mengeringkan arak yang disuguhkan kepadanya oleh nyonya itu. Kali ini Hoan Pangculah yang buru-buru menyelak, mencegahnya meminum arak itu dengan berkata, bahwa ia sebaiknya berhati-hati, karena biasanya, wanitalah yang paling kejam."

   "Wajah Biauw Tayhiap agak berubah, jelaslah, bahwa ia kurang senang akan cegahan kawannya. Tanpa mengatakan suatu apa, ia segera menghabiskan arak itu."

   "Kemudian nyonya itu berbangkit, dan sambil menimang anaknya ia berkata lagi, 'Biauw Tayhiap adakah urusan yang masih belum terselesaikan olehmu? Bila ada, agaknya, bila kau kelak tewas katakanlah kepadaku, karena di bawah golok suamiku, kawan-kawanmu itu belum tentu mau menguruskannya.' Selama berapa saat, Biauw Tayhiap tampak bimbang, tetapi akhirnya ia bercerita, bahwa empat tahun sebelumnya, untuk mengurus suatu keperluan ia telah pergi ke Leng Lam. Sedang ia tak berada di rumah, datanglah seorang yang mengaku bernama Siang Kiam Beng dari Bu Teng Koan di Shoatang."

   "Agaknya si nyonya mengenal orang itu, dan menanyakan, apakah orang itu bukan tokoh utama dari Pat Kwa Bun yang terkenal lihay dengan Pat Kwa To-nya. 'Kim Bian Hud' mengiakan, dan segera melanjutkan ceritanya. Katanya, karena mendengar gelarnya 'Menjelayah Kemana- mana Tidak Ada Tandingannya' orang itu datang untuk coba-coba bertanding dengannya. Agaknya ia tak puas, karena tidak dapat berjumpa dengan Biauw Tayhiap. Orang iiu berlaku kasar dan/ kemudian bercekcok dengan saudara Biauw Tayhiap. Dalam pertempuran vang kemudian terjadi, orang itu lelah menggunakan suatu tipu, dan berhasil membunuh kedua saudara Biauw Tayhiap. Tak puas dengan itu saja, ia juga membunuh adik perempuan Biauw Tayhiap sekalian."

   "Biauw Tayhiap menghela napas. Ia mengatakan, bahwa meskipun kepandaian kedua adiknya itu belum sempurna tetapi kepandaian mereka sudah tak dapat dikatakan lemah. Bahwa Siang Kiam Beng dapat membunuh kedua-duanya sekaligus, menandakan betapa hebat kepandaiannya. Lagi pula, karena adanya permusuhan turun-menurun antara keluarga Biauw dan keluarga Ouw, selama empat tahun itu, Biauw Tayhiap tak sempat mencari musuhnya untuk menuntut balas."

   "Setelah ia berhenti bercerita, Ouw Hujin menghiburnya dengan kata bahwa Biauw Tayhiap tak usah kuatir. Bila sampai kejadian Biauw Tayhiap tak dapat melaksanakan sendiri pembalasan sakit hati tersebut, ia dan suaminya tentu tak akan tinggal diam saja. Pada wajah Biauw Tayhiap terbayang rasa terima kasihnya, tetapi bersama dengan itu ia segera berbangkit dan sambil menghunus pedangnya ia menantang Ouw It To bertanding seketika itu juga."

   "Ouw It To tak menghiraukan tantangannya. Dengan tenang dan dengan sama lahapnya pula, ia terus makan dan minum tanpa menjawab. Kata Ouw Hujin, 'Biauw Tayhiap, meskipun kepandaian suamiku sangat tinggi, tetapi belum tentu ia bisa menang.' 'Kim Bian Hud' sadar. 'Ah, aku lupa,' katanya, dan ia segera menanyakan pesan Ouw It To, yang kelak mungkin harus diwakilkannya melaksanakan."

   "Ouw It To segera berbangkit dan berkata, 'Bila aku sampai terbunuh olehmu, kelak anakku tentu akan menuntut balas. Tetapi, pintaku hanya supaya kau merawatnya baik-baik' Di dalam hatiku aku sudah membayangkan jawab 'Kim Bian Hud'. Aku yakin, bahwa ia tentu akan menolak, karena siapakah yang sudi merawat seorang anak yang kelak akan merupakan bahaya bagi dirinya sendiri. Maka betapa terperanjat aku, dapatlah kalian membayangkannya sendiri, ketika mendengar jawab Biauw Tayhiap dengan nada meyakinkan, 'Baik, bila kau yang tak beruntung, anakmu akan kurawat sebagai juga anakku sendiri.' Dengan mataku dibuka lebar-lebar aku memandang dua orang itu."

   "Sesungguhnya aku tak mengerti, mengapa dua orang itu, yang sebentar lagi sudah akan bertempur mati-matian, tanpa berhenti sebelum salah seorang jatuh sebagai kurban, dapat bercakap-cakap dengan asyik bagaikan dua sahabat karib yang saling mengagumi. Kulihat, bahwa Hoan Pangcu dan Tian siangkong agak kecewa melihat kelakuan Biauw Tayhiap. Mungkin mereka sedang kuatir, jika pertempuran itu tak jadi berlangsung, sedang pada saat itu mereka hanya masih bisa mengandalkan tenaga 'Kim Bian Hud' seorang."

   "Kembali terjadi hal tiba-tiba yang tak terduga. Ouw It To berbangkit, dan selagi orang-orang coba menerka apa yang dikehendakinya, ia mencabut goloknya dan menyilakan Biauw Tayhiap segera mulai. Biauw Tayhiap memberi hormat dengan pedangnya, sesuai dengan peraturan adat, tetapi Tian siangkong justeru menjadi tak sabar karenanya dan menyerukan, supaya 'Kim Bian Hud' tak segan-segan pula."

   "Beda jauh dengan harapannya tentu, ternyata Biauw Tayhiap bukan saja tak menghiraukan seruannya, bahkan sebaliknya membentak supaya ia dan yang lain-lain segera keluar. Sungguh kasar 'Kim Bian Hud' memperlakukan kawannya sendiri. Wajah Tian siangkong menjadi merah seluruhnya, entah karena malu, entah karena marah. Tetapi nada suara Biauw Tayhiap yang agaknya tak suka dibantah, membuatnya melangkah keluar bagaikan anjing terpukul, diikuti Hoan Pangcu dan yang lain."

   "Ketika itu dua harimau itu sudah saling berhadapan, hanya pertempuran belum juga dimulai, karena keduanya sedang saling mengalah dan saling menyilakan menyerang lebih dulu. Akhirnya Ouw It To menurut. Ia melangkah maju dan membuka serangan dengan suatu bacokan dari atas, menuju ke kepala 'Kim Bian Hud'."/ "Itulah permulaan dari pertempuran, yang berani kupastikan tentu belum pernah ada taranya. Dengan menyenderungkan tubuhnya sedikit, Biauw Tayhiap sudah dapat menghindari serangan itu."

   "Dengan suatu gerakan yang indah, Biauw Tayhiap menggerakkan pedangnya ke lambung kanan lawannya. Ouw It To menangkis sambil memperingatkan, bahwa goloknya adalah golok mustika. 'Kim Bian Hud' mengaturkan terima kasihnya sambil membebaskan pedangnya dari benturan golok lawan. Sebelum dan sesudah itu berpuluh, bahkan beratus kali, aku sudah melihat orang pibu, tetapi tak pernah aku melihat pertempuran sedahsyat itu, apalagi yang saban- saban saling memperingatkan selaku mereka. Sebelum pertandingan itu berlangsung lama, kedua tanganku sudah terasa dingin dan hatiku berdebar keras-keras."

   "Pada suatu saat terdengar bunyi senjata beradu disusul gemerincing benda logam yang jatuh di lantai. Ternyata pedang 'Kim Bian Hud' telah patah, tetapi ia tak menjadi jera karenanya. Ia melanjutkan perlawanannya dengan tangan kosong, tetapi seketika itu Ouw It To meloncat keluar dari kalangan dan menganjurkan supaya Biauw Tayhiap berganti senjata dulu."

   "Jawab Biauw Tayhiap, 'Tak usah.' Tetapi Tian siangkong sudah mengangsurkan pedangnya sendiri. Setelah bersangsi sebentar, 'Kim Bian Hud' menerima juga pedang itu dan pertempuran sudah dilanjutkan lagi dengan dahsyat."

   "Di dalam hatiku aku memuji Ouw It To, tetapi juga mengatakannya tolol, bukankah pada umumnya, dalam pertempuran demikian, setiap orang akan mendesak lebih keras, bila ia sudah berhasil merusakkan senjata lawannya. Juga sikap Biauw Tayhiap menimbulkan kekagumanku, meskipun tanpa senjata, belum tentu ia akan mengalami kekalahan, tetapi ketika menjawab Ouw It To ia sudah mengaku kalah setingkat, karena senjatanya dapat dirusakkan. Belakangan baru aku mengerti, bahwa setelah bertempur sekian lama dan semakin mengenal ketangkasan masing-masing keduanya jadi saling mengagumi. Benar-benar sifat kesatria yang tiada keduanya."

   "Semakin seru pertempuran itu. Kadang-kadang terlihat, bagaimanamerekaberpencar saling menjauhkan, tetapi sebentar pula keduanya sama-sama melompat maju dan saling menyerang pula dengan gerak-gerak yang lincah lagi mendebarkan hati. Berpuluh-puluh jurus sudah lewat, tetapi keduanya masih sama tangkasnya. Pada suatu saat, tiba-tiba 'Kim Bian Hud' melancarkan suatu serangan istimewa. Agaknya, Ouw It To sudah tak mungkin bisa menghindarkan tenggorokannya dari ujung pedang lawannya. Tetapi selagi kubuka mataku lebar-lebar dengan hati berdebar keras sekali, dan sedang Tian siangkong dan kawan-kawan sudah berseru kegirangan, tiba-tiba Ouw It To menjatuhkan diri ke belakang bersama dengan gerakan goloknya yang sekali lagi menghajar pedang 'Kim Bian Hud' dan mematahkannya untuk kedua kalinya."

   "Pada detik selanjutnya Ouw It To sudah berbangkit dan minta maaf. Ia menyatakan, bahwa ia sebenarnya tak bermaksud mengandalkan ketajaman goloknya, tetapi karena serangan 'Kim Bian Hud' barusan itu terlalu hebat, tak dapat tidak ia harus menangkis juga dengan kesudahan sebagai itu. Biauw Tayhiap menjawab dengan singkat saja, dan kemudian meminjam sebilah pedang pula dari Tian siangkong. Tiba-tiba Ouw It To juga minta diberi pinjaman sebilah golok, katanya, supaya dengan demikian mereka dapat mengeluarkan kepandaian masing-masing dengan sebaik- baiknya."

   "Permintaan Ouw It To itu tentu saja sangat menggirangkan bagi Tian siangkong dan kawan- kawan, karena tadinya mereka sudah kuatir, bila andalan mereka akhirnya akan menampak kegagalan juga. Dengan segala senang hati ia segera mengambil sebilah golok dari tangan seorang kawannya dan mengangsurkannya kepada Ouw It To."

   "Sesaat Ouw It To menimbang-nimbang golok pinjaman itu di tangannya. Biauw Tayhiap menanyakan apakah senjata itu terlalu enteng baginya, dan sembari berkata begitu ia mengangkat pedangnya. Dengan ujung dua jari tangan kirinya ia memegang ujung pedang tersebut, entah dengan cara apa, tiba-tiba patahlah sudah ujung pedang itu. Aku membelalakan mataku, takjub melihat tenaga jari orang itu."/ "Beda dengan aku dan banyak orang lain, Ouw It To justeru jadi tertawa. 'Biauw Jin Hong, bahwa kau tak mau menerima belas kasihan orang lain, benar-benar merupakan suatu bukti, bahwa namamu sebagai Tayhiap (pahlawan besar) bukannya nama kosong belaka.' Biauw Tayhiap menolak pujian itu dengan berapa kata merendah, kemudian ia berkata, bahwa masih ada sesuatu yang hendak diterangkannya kepada Ouw It To."

   "Setelah Ouw It To menyi-lakannya bicara, berkatalah ia. Sebenarnya aku sudah lama mendengar dan insyaf bahwa kepandaianku belum tentu bisa dibandingkan dengan kepan- daianmu. Gelar "Menjelayah Seluruh Dunia Tanpa Menemukan Tandingan"

   Bukannya untuk menyombongkan kebisaanku, tetapi guna Sebelum ia dapat menyelesaikan perkataannya, Ouw It To sudah menyelak lebih dulu.

   Aku juga sudah lama mengerti guna apa kau memakai gelar itu, yakni untuk memancing aku turun ke Kanglam, dan kau yakin, bahwa, bila saja kau berhasil mengalahkan aku, kau akan berhak penuh untuk memegang gelar tersebut.

   Sekarang, lebih baik kita melanjutkan pertandingan ini.' Serentak dua harimau itu sudah saling menerkam lagi."

   "Sekali ini mereka sama-sama menggunakan senjata biasa. Keduanya benar-benar bertempur dengan mengandalkan kepandaian masing-masing. Alangkah seruhnya pertempuran itu, yang berlangsung sehingga ratusan jurus tanpa adanya tanda akan berakhir lekas-lekas. Lama-lama, tampak sebagai juga Ouw It To mulai terdesak. Agaknya ia sudah lebih banyak bertahan daripada menyerang. Tian siangkong dan Hoan Pangcu sudah memperlihatkan kegembiraan mereka. Tetapi, ternyata kemenangan yang mereka bayangkan masih jauh sekali. Serangan-serangan Biauw Tayhiap yang bagaimana lihay juga, selalu terbentur pada pembelaan Ouw It To yang sangat rapatnya."

   "Tiba-tiba datanglah suatu saat, dalam mana Ouw It To bertukar siasat. Ia tidak hanya membela diri lagi. Bertubi-tubi datanglah serangan-serangannya yang dahsyat lagi sangat membahayakan. Semakin mengagumkan pertempuran selanjutnya itu. Biauw Tayhiap terus melayani lawannya dengan tenang tetapi lincah sekali. Ruangan yang agak luas itu bagaikan menjadi penuh dengan bayangan tubuh dan senjata mereka. Tampaknya, bagaikan bukan hanya dua orang yang bertempur, tetapi puluhan Biauw Jin Hong dan puluhan Ouw It To."

   "Ketika itu, meskipun belum terhitung ahli, aku juga sudah pernah belajar bersilat dengan golok, maka setelah sekian lama memperhatikan permainan golok Ouw It To, aku menjadi heran sekali. Belum pernah aku mendengar atau melihat, bahwa pelindung tangan dan gagang yang menonjol di belakang tangan pemegangnya, juga bisa digunakan untuk menyerang atau menangkis. Beda dengan umumnya, agaknya tak ada bagian golok yang tak berguna baginya."

   "Sungguh sukar diraba permainan goloknya. Mengenai silat dengan pedang, aku tak dapat turut berbicara. Tetapi melihat kenyataan, bahwa terhadap Ouw It To yang demikian hebat, 'Kim Bian Hud' masih bisa melayaninya dengan seimbang, dapatlah dipastikan, bahwa kepandaian orang itu juga tak mudah dicarikan keduanya. Menurut para ahli, pedang dapat disamakan dengan burung hong yang lincah lagi indah dipandang setiap gerakannya Tentang golok telah dikatakan, bahwa senjata itu dapat diibaratkan seekor harimau yang ganas. Masing-masing di antara kedua senjata itu mempunyai faedahnya dan kelemahannya sendiri. Tetapi di tangan dua orang itu, yang tampak hanyalah faedahnya, lihaynya, tanpa kelemahan yang sekecil ujung kuku."

   "Mula-mula aku masih bisa mengikuti setiap perkembangan pertempuran, tetapi lama- kelamaan, kepalaku terasa berputar dan mataku berkunang-kunang. Jika aku masih berani terus memandang pertempuran itu, tentu aku akan jatuh, maka buru-buru aku berpaling ke arah lain. Kini hanya angin kedua senjata mereka, yang menderu-deru, kudengar dengan kerapkali diseling gemerincing beradunya kedua senjata itu. Aku coba melihat wajah nyonya Ouw. Tadinya kusangka, bahwa wajahnya tentu tegang bila bukannya ketakutan, tetapi dugaanku ternyata keliru. Sedikit saja tak tampak sifat ketakutan pada wajahnya, ia bahkan masih bisa bersenyum" 'Aku berpaling ke arah pertempuran lagi. Kulihat, bahwa Ouw It To pun bersenyum, bersenyum bagaikan ia sudah yakin akan kemenangan. Kutatap wajah Biauw Tayhiap, tetapi aku tak melihat apa-apa pada mukanya. Ketika aku tujukan pandanganku ke arah lain, ke arah Tian siangkong dan Hoan Pangcu, kulihat, bahwa wajah keduanya sudah menjadi tegang sekali. Sebentar-sebentar/ kulihat mereka terperanjat, teranglah sudah, bahwa mereka kuatir, jika Biauw Tayhiap pengharapan mereka satu-satunya akan kalah."

   "Segala sesuatu yang kulihat itu, membingungkan pikiranku. Aku tak tahu, siapa yang akan kalah dan siapa yang akan menang. Sekonyong-konyong telingaku menangkap bunyi gendewa menjeperet. Buru-buru aku menoleh. Ternyata Tian siangkong yang menggunakan gendewa itu untuk melepaskan pelurunya, menyerang Ouw It To, yang tengah mencurahkan perhatiannya kepada Biauw Tayhiap. Sungguh mengagumkan, bahwa Ouw It To bisa membebaskan diri dari semua pelurunya. Kemudian, sambil tertawa terbahak-bahak, Ouw It To melontarkan goloknya ke atas lantai dan berseru, 'Biauw Jin Hong, aku menyerah kalah!' Kulihat, bahwa muka Biauw Tayhiap berubah seketika. Sungguh menyeramkan wajahnya, bila ia marah."

   "Tanpa mengucapkan sepatah kata ia meloncat ke arah Tian siangkong dan merebut gendewanya. Kemudian dengan sekali mengerahkan tenaganya, ia sudah mematahkan gendewa itu. Sambil membuang sisa senjata itu, dengan suara bagaikan guntur ia mengusir Tian siangkong, yang "meloyor"

   Pergi bagaikan anjing terpukul.

   Kelakuan Biauw Tayhiap menimbulkan keherananku lagi.

   Mengapa sedang kawannya kuatir jika ia kalah dan mendapat cedera, bahkan mungkin akan tewas, pertolongan kawan itu justeru membangkitkan amarahnya.

   Benar-benar aku tak bisa mengikuti jalan pikirannya."

   "Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Biauw Tayhiap kemudian mengangkat golok di lantai itu dan melemparkannya kepada Ouw It To. Setelah golok itu berada dalam tangan Ouw It To lagi, ia segera melancarkan serangannya. Pertempuran itu berlangsung terus sampai jauh lewat lohor. Akhirnya, sambil menangkis serangan Biauw Tayhiap, Ouw It To berseru, 'Perutku sudah lapar, maukah kau menyertai aku makan?' Saran itu mendapat sambutan baik dari fihak Biauw Jin Hong."

   "Bagaikan sahabat-sahabat yang akrab, bahkan sebagai dua saudara, mereka kemudian duduk menghadapi hidangan itu lagi. Ouw It To makan dengan lahap sekali, sebaliknya Biauw Jin Hong hanya makan sedikit-sedikit."

   "Karena melihat lawannya itu makan demikian sedikit, maka Ouw It To menanyakan, apakah makanannya kurang enak. Biauw Tayhiap menjawab dengan pujian dan mengambil sepotong paha ayam lagi. Demikianlah mereka makan minum, bagaikan di antara mereka tidak terdapat apa-apa, tetapi begitu mereka sudah merasa kenyang, segera juga mereka bergeberak pula. Keduanya telah mengeluarkan seluruh kepandaian masing-masing, tetapi sama-sama tak memperoleh hasil. Walaupun tubuh Ouw It To begitu tegap-kekar, tetapi ternyata, bahwa segala gerakannya lincah sekali. Ia bergerak secepat angin, seimbang dengan kegesitan lawannya yang berbadan lebih menguntungkan. Semakin lama semakin cepat pula mereka bergerak pergi-datang di seluruh ruangan. Kembali mataku kabur. Tiba-tiba aku dikejutkan teriakan seseorang. Ternyata Ouw It To yang berpekik, karena pada saat itu ia terpeleset dan jatuh di atas kedua lututnya."

   "Amat baiknya kesempatan ini bagi Biauw Jin Hong. Dengan maju selangkah ia akan dapat menamatkan riwayat lawannya dengan mudah sekali. Tetapi, seakan-akan sengaja untuk memperbesar keherananku, seketika itu juga 'Kim Bian Hud' meloncat ke belakang, memisahkan diri dari lawannya dan menyia-nyiakan kesempatan yang tak mudah didapatnya untuk kedua- kalinya. Sambil berbuat demikian, ia bahkan masih berkata, Ah, kau telah menginjak peluru. Lain kali hati-hatilah.' Dalam pada itu Ouw U To sudah berdiri dengan tegaknya pula, dan ia mengucapkan terima kasihnya dengan bersenyum, tetapi bukannya terima kasih atas keseganan lawannya menggunakan ketika yang baik itu, hanya terima kasih atas nasihat yang baru diberikan."

   "Kemudian dipungutnya semua peluru itu dari lantai dan disentilkan keluar lewat jendela. 'Kim Bian Hud' maju pula, dan mereka sudah lekas terlibat dalam pertempuran mati-matian lagi. Sampai lewat senja, mereka belum memperoleh keputusan tentang siapa yang kalah dan siapa yang menang. Cuaca sudah semakin gelap, dan pada suatu saat Biauw Tayhiap meloncat keluar dari kalangan. Dengan nada sungguh-sungguh ia berkata, 'Ouw heng, kepandaianmu benar-benar sangat tinggi, dan aku sangat kagum dibuatnya. Perlukah kita minta obor untuk melanjutkan/ pertempuran ini?' Ouw It To menolak pujian lawannya dengan tertawa. Kemudian dikatakannya, 'Ampunilah jiwaku untuk sehari lagi.' Sambil berkata, 'Jangan merendah,' Biauw Tayhiap segera memberi hormat dan membalikkan tubuhnya untuk berlalu tanpa banyak bercakap pula."

   "Sekejap sunyilah sudah suasana di sekitar penginapan itu. Pikiranku masih kacau. Bingung sekali aku memikirkan kedua orang gagah itu. Sehari mereka bertempur mati-matian, tetapi akhirnya bukannya mereka jadi saling membenci semakin hebat, sebaliknya mereka bahkan jadi saling mengagumi. Aneh, benar-benar aneh."

   "Setelah semua musuhnya berlalu, Ouw It To segera menghabiskan sisa hidangan yang masih berada di meja. Kemudian, tanpa mengucapkan sepatah kata, ia meloncat ke punggung kudanya dan melarikannya secepat kilat. Aku yakin, bahwa ia tentu akan pergi ke rumah besar di selatan desa itu untuk menyelidiki keadaan musuhnya. Mula-mula, aku hendak memberikan kabar kepada Tian siangkong, agar ia dapat berjaga-jaga, tetapi akhirnya kubatalkan niatku, karena kuatir kepergok Ouw It To."

   "Walaupun malam itu tak ada suara mendengkurnya yang mengganggu tidurku, aku tak dapat memejamkan mata. Lama sekali aku sudah menantikan pulangnya. Aku menjadi heran. Jarak antara desa dan rumah besar itu tak berapa jauh, mengapa sudah demikian lama ia belum juga pulang. Mungkin ia telah kepergok Biauw Tayhiap dan telah tewas dikeroyok."

   "Hatiku berdebar keras, karena saat itu aku juga sudah kagum kepadanya, tetapi anehnya di kamar sebelah aku tak mendengar nyonya Ouw berkeluh-kesah, sebagai lasimnya dilakukan seorang jika ia berkuatir. Bahkan setiap kali menimang anaknya, kudengar suaranya riang, bagaikan hatinya gembira. Aneh, sungguh aneh."

   "Di waktu fajar, aku baru mendengar derap kaki kuda, dan sesaat kemudian terdengar Ouw It To sudah kembali. Aku menjenguk keluar, tetapi kembalinya bukan dengan kudanya yang semula. Ia telah bertolak dengan kuda berbulu kelabu, tetapi kembalinya kini dengan kuda berbulu coklat kekuning-kuningan. Baru saja Ouw It To turun, kudanya itu terhuyung dan serentak roboh. Benar mengejutkan, aku mendekatinya dan coba memeriksanya. Aku mendapat kenyataan, bahwa sekujur badan kuda itu penuh keringat berbusa Teranglah sudah, bahwa kuda itu roboh, mati, karena terlalu letih."

   "Tentu saja semakin heran hatiku. Sudah dapat dipastikan, bahwa semalam Ouw It To telah melakukan perjalanan jauh, tetapi entah ke mana. Sungguh sukar diterka jalan pikirannya, mengapa, sedang ia menghadapi pertempuran mati-matian melawan seorang musuh yang belum tentu dapat dikalahkannya, bukannya ia mengaso, tetapi justeru melakukan perjalanan yang meletihkan dan memakan waktu semalam suntuk. Aneh, memang aneh dia."

   "Isterinya ternyata sudah bangun, dan sudah pula menyediakan makanan untuk suaminya. Kulihat, bahwa Ouw It To tidak tidur lagi. Ia bermain-main dengan anaknya sambil menantikan kedatangan musuhnya. Tak usah terlalu lama ia menunggu. Segera juga musuh-musuh itu sudah datang pula Sebagai juga kemarinnya, pagi itu Ouw It To dan Biauw Tayhiap makan-minum bersama dulu untuk kemudian, tanpa berkata suatu apa, segera bertempur pula Hanya hari itu agaknya Ouw It To lebih banyak membela diri daripada menyerang. Walaupun begitu, hari itu juga tak menghasilkan keputusan."

   "Di waktu senja mereka berhenti bertempur, dan ketika akan berpisah, berkatalah 'Kim Bian Hud', 'Ouw heng, hari ini tenagamu tampak mundur, mungkin sekali besok kau akan kalah.' 'Belum tentu,' jawab Ouw It To, 'hari ini aku memang agak letih, karena semalam suntuk aku tak tidur.' Jawab Ouw It To itu tentu saja mencengangkan Kim Bian Hud', dan ia pun segera menanyakan mengapa Ouw It To berbuat demikian."

   "Ouw It To tertawa dan mengatakan, bahwa ia hendak menghadiahkan sesuatu kepada Biauw Tayhiap. Ia berlari masuk ke kamarnya dan kemudian kembali dengan membawa sebuah bungkusan, yang diangsurkannya kepada 'Kim Bian Hud'. Bungkusan itu ternyata berisikan sebuah kepala manusia, sedang di samping itu terdapat sebilah golok bergigi. Hoan Pangcu bercuriga. Agaknya ia menyangka, bahwa kepala itu tentu kepala salah seorang kawannya. Ia segera maju/ untuk turut melihat, dan serentak berseru dengan mata dibuka lebar-lebar. 'Itulah kepala Siang Kiam Beng,' katanya dengan tersengal-sengal. 'Kim Bian Hud' memeriksa golok yang dibungkus bersama dengan kepala itu. Pada gagangnya ternyata telah diukirkan empat huruf, 'Pat Kwa Bun Siang'. Kini ia tak sangsi lagi, tetapi untuk jelasnya ia bertanya apakah Ouw It To semalam itu tak tidur karena pergi ke Bu Teng Koan."

   "Ouw It To mengiakan dengan tertawa, dan menceritakan, bahwa untuk itu ia bahkan telah menyebabkan tewasnya beberapa ekor kuda, karena ia pun tak mau mengingkari janjinya untuk melanjutkan pertempuran hari itu. Kurasa, bahwa semua orang yang mendengar itu harus tercengang. Yang paling jelas, adalah, bahwa keherananku tak kepalang. Jarak antara Congciu dan Bu Teng Koan tak kurang dari tiga ratus li. Benar mengherankan, bahwa ia bisa menyelesaikan perjalanan pergi-pulang itu dalam waktu semalam. Lebih mengagumkan pula, karena sebelum bisa pulang, ia harus membunuh dulu seorang jago silat yang sangat disegani di daerah utara. Entah dengan cara apa ia telah bertindak, sehingga semua itu dapat diselesaikannya demikian cepat."

   "Agaknya, 'Kim Bian Hud' menganggap semua itu biasa saja. Perhatiannya ternyata lebih tertarik kepada soal lain. Tanyanya, 'Dengan bagian ilmu silatmu yang mana, kau telah membunuhnya?' Ouw It To menjawab, bahwa ia tidak menggunakan ilmu silat golok. Menurut kesannya, kepandaian Siang Kiam Beng benar-benar sudah sukar dicarikan tandingan, dan hanya dengan tipu serangan Ciong Thian Ciang So Cin Pwee Kiam' akhirnya ia bisa juga mengalahkannya."

   "Baru setelah mendengar cerita ini 'Kim Bian Hud' tampak heran. 'Bukankah tipu-serangan itu salah satu bagian dari ilmu silat keluargaku?' tanyanya. Lagi-lagi Ouw It To tertawa, kemudian ia berkata, bahwa ia memang telah merobohkan Siang Kiam Beng dengan sebilah pedang. Kulihat, bahwa wajah 'Kim Bian Hud' kini memperlihatkan rasa terima kasih yang sangat besar dan itu pun segera dinyatakannya dengan jujur. Ouw It To tak mau menerima pemberian hormat serta terima kasih 'Kim Bian Hud', karena menurut pendapatnya sendiri, ia hanya telah mewakilkan Biauw Tayhiap Lebih lanjut, ia menyatakan, bahwa yang berjasa adalah ilmu silat keluarga Biauw, yang disebutnya sebagai tiada taranya dalam dunia."

   "Jelaslah semua bagiku sekarang. Sungguh kagum aku dibuat dua orang itu. Meskipun mereka bermusuh, bahkan sudah bertekad untuk bertempur terus sehingga salah satu jatuh tak bernyawa, keduanya tak menyembunyikan rasa kagum masing-masing kepada lawannya. Bahwa Ouw It To tidak menggunakan goloknya untuk mengambil kepala Siang Kiam Beng, sudah merupakan bukti, bahwa ia sangat menghormati 'Kim Bian Hud'. Bahwa sebagai musuhnya, 'Kim Bian Hud' mau menerima budi Ouw It To yang sebesar itu, juga merupakan bukti, bahwa sebaliknya ia menghormat Ouw It To tinggi-tinggi."

   "Tetapi, aku masih lebih kagum kepada Ouw It To. Benar tak kusangka, bahwa dengan wajah sebengis itu, hatinya sebenarnya sangat mulia. Dengan caranya, ia telah mengangkat derajat ilmu silat keluarga Biauw. Jika ia telah membunuh Siang Kiam Beng dengan kepandaiannya sendiri, ia akan memberikan kesan, bahwa ia bukannya hendak berbuat baik, bahkan akan tampak sebagai hendak menyombongkan ilmu silat keluarganya sendiri. Sungguh mulia hatinya, tetapi lebih mengherankan pula, bahwa dalam sehari saja ia sudah bisa memahamkan ilmu silat 'Kim Bian Hud' yang belum pernah dilihatnya, bahkan sudah bisa menggunakannya dengan sempurna. Juga tak kurang mengagumkan tindakannya dengan menyerahkan hasil pekerjaannya semalam itu, setelah menyelesaikan pertempuran hari itu. Bila pagi itu, sebelum bertempur, ia sudah menyerahkan kepala Siang Kiam Beng, mungkin sekali orang akan menyangka, bahwa ia hendak menunda kematiannya, dan bermaksud menempatkan 'Kim Bian Hud' dalam kedudukan yang tak memungkinkannya membunuh sang lawan."

   "Jalan pikiranku itu agaknya sama dengan jalan pikiran Hoan Pangcu dan Tian siangkong. Kulihat mereka saling memberi isyarat, kemudian melangkah pergi dengan bersama. Biauw Tayhiap tak mengikuti dua kawannya itu. Sesaat ia memandang putera Ouw It To. Tiba-tiba ia membuka bungkusan kuning yang tak pernah ketinggalan di punggungnya. Sedari saat pertama aku melihat bungkusan itu rasa ingin tahuku sudah timbul, maka aku segera memperhatikannya/ dengan dua-dua mataku dibuka lebar-lebar. Aku menjadi kecewa, karena isinya ternyata hanya berapa potong baju, baju biasa yang tak ada keistimewaannya."

   "Ternyata bukannya isinya yang istimewa, justeru kain pembungkus itu sendiri yang bukannya barang biasa. Di sebelah dalamnya, kain itu bersulamkan delapan huruf gelar Biauw Tayhiap. Dengan suara kecil 'Kim Bian Hud' mengejanya satu demi satu. Kemudian ia mengulurkan sepasang tangannya, untuk menggantikan nyonya Ouw mendukung anak itu. Setelah berada dalam dukungannya, anak itu segera diselimutkannya dengan kain kuning tersebut. Kemudian ia berpaling kepada Ouw It To. 'Ouw heng, jika sampai terjadi sesuatu dengan dirimu, kau boleh berpulang dengan hati tenang karena kujamin, bahwa tak seorang akan berani menghina puteramu,' katanya. Berbalik Ouw It To yang kini menghaturkan terima kasih berulang-ulang sedang 'Kim Bian Hud' sibuk menolak dengan kata-kata merendah."

   "Malam itu, Ouw It To tidur pulas benar, suara mendengkurnya lebih keras dari ketika pertama kali aku mendengarnya. Menjelang tengah-malam, sekonyong-konyong telingaku menangkap bunyi langkah berindap-indap, enteng sekali, di atas atap rumah. Menyusul itu terdengar seseorang membentak, 'Ouw It To, lekaslah keluar untuk menerima kematian!' Ouw It To tak mendengar seruan dari luar itu. Ia tetap mendengkur keras-keras. Orang-orang yang berada di atap rumah itu, agaknya menjadi semakin bernapsu. Mereka mencaci semakin keras dengan kata-kata yang semakin kotor, sedang jumlah mereka pun jadi semakin banyak. Semua itu tidak memberikan hasil yang diharapkan. Ouw It To masih tetap mendengkur dengan asyiknya. Menurut anggapanku, Ouw It To itu terlalu ceroboh. Meskipun kepandaiannya sempurna sekali, tetapi mengingat jumlah musuhnya yang besar, tak seharusnya ia tidur begitu lelap."

   "Kemudian perhatian tertarik kepada hal lain. Aku mendengar jelas-jelas, bahwa isterinya belum pulas, karena sebentar aku mendengarnya bernyanyi sambil menimang puteranya. Sedikit pun ia tidak memperlihatkan tanda takut. Lagi-lagi aku menjadi heran. Sementara itu, suara orang-orang di atas atap bertambah riuh, membisingkan, tetapi tak seorang jua berani menerjang masuk. Kira-kira selama setengah jam mereka sudah cuma-cuma mencaci, ketika tiba-tiba kudengar nyonya Ouw berkata, dengan suaranya yang merdu lagi halus, 'Nak, di luar ada sekawanan anjing buduk menggonggong, mungkin sekali mereka akan tetap membisingkan sampai pagi, supaya ayahmu tak bisa tidur dan menjadi letih. Bukankah anjing buduk itu sangat kurang ajar?' Anak yang baru berusia berapa hari itu tentu saja tak menjawab. Kemudian berkatalah nyonya itu lagi. 'Kau benar-benar anak baik, memang anjing-anjing itu sepantasnya diusir. Biarlah ibu keluar sebentar untuk mengusir anjing-anjing kurang-ajar itu.' Kemudian aku melihat ia keluar dengan mendukung anak itu dan membekal sehelai selendang sutera putih."

   "Hatiku berhenti berdebar sekejap, mataku membelalak lebar-lebar, karena nyonya itu melayang ke atap bagaikan seekor burung hong. Sungguh tak kusangka, bahwa nyonya yang tampak lemah-gemulai itu pandai bersilat, bahkan sudah jelas, berkepandaian sangat tinggi. Buru- buru aku membuka jendela lebih lebar pula, agar bisa melihat lebih banyak serta lebih nyata."

   "Di atap rumah, kelihatan berapa puluh laki-laki berdiri berjajar dengan bersenjata lengkap. Dalam keadaan setengah gelap itu, mereka tampak menyeramkan, dan dengan munculnya si nyonya, mereka berteriak semakin membisingkan. Tiba-tiba kelihatan suatu sinar putih meluncur ke arah orang-orang itu, yang segera disusul pekik salah seorang di antara mereka. Ternyata selendang nyonya Ouw telah melibat dan merebut golok orang itu, yang tubuhnya kini terpelanting ke bawah."

   "Kawan-kawan orang itu terpesona sebentar, tetapi segera juga mereka sudah maju dengan serentak untuk mengerojok si nyonya seorang. Di bawah cahaya redup sang bulan, kulihat selendang sutera putih itu melayang pergi-datang bagaikan seekor naga yang sedang menari dengan hati riang. Indah sekali tampaknya, tetapi mentakjubkan akibatnya. Berturut-turut terdengar seorang berteriak disusul gemerincing senjata jatuh dan bunyi padam sebuah tubuh yang terpelanting ke tanah. Sebentar saja sudah belasan orang dirobohkan nyonya yang kelihatan lemah lunglai itu. Segera juga, aku memperoleh kawan dalam kagetku, yakni sisa tamu-tamu tak/ diundang itu. Berapa puluh orang yang belum roboh kini tak berani menyerang lagi. Sedetik mereka berdiri dengan mulut melompong, untuk didetik lain lari tunggang-langgang dengan meninggalkan kuda dan senjata masing-masing."

   "Mataku bagaikan hendak meloncat keluar karena peristiwa itu. Kemudian kulihat, bagaimana dengan tenangnya nyonya Ouw menyapu semua senjata itu ke bawah dengan sekali menggerakkan selendangnya. Setelah itu, ia kembali ke kamarnya bagaikan tak terjadi apa-apa. Selama itu, Ouw It To tiada hentinya mendengkur, agaknya ia tak mendengar heboh yang baru terjadi itu."

   "Keesokan harinya, pagi sekali, nyonya Ouw sudah keluar dari kamarnya untuk menyiapkan makanan bagi suaminya dan menyuruh seorang pelayan mengumpulkan semua senjata yang berserakan untuk kemudian diikat menjadi satu dan digantungkan di depan pintu. Setiap kali tertiup angin pagi, senjata-senjata itu menerbitkan bunyi bergemerincing dengan nada rupa-rupa, bagaikan musik kacau yang dimainkan tanpa irama."

   "Sebagai juga kemarinnya, hari itu 'Kim Bian Hud' sudah muncul di waktu seluruh desa baru mendusin. Segera juga ia tertarik kepada bunyi gemerincing itu, tetapi demi melihat dan mengenali semua senjata itu, wajahnya segera berubah. Seketika itu, ia sudah mengerti apa yang telah terjadi semalam. Ia menoleh dan memandang pengikut-pengikutnya tajam-tajam. Semua orang itu, tanpa kecuali menundukkan kepala, ketakutan, dan ketika kemudian terdengar suara 'Kim Bian Hud' mendamperat mereka, seorang jua tak berani mengangkat kepala. Beramai-ramai mereka mundur berapa langkah." '"Kim Bian Hud"

   Berpaling kepada Ouw It To.

   Ia minta maaf untuk kekurang ajaran para pengecut itu, yang dikatakannya telah mengganggu tidur Ouw It To.

   Orang she Ouw itu menjawabnya dengan tertawa.

   Dikatakannya, bahwa ia tak terganggu sama sekali, karena isterinya telah mengusir anjing-anjing yang menyalak dan melolong itu.

   Wajah 'Kim Bian Hud' tampak keheran-heranan, tetapi dari mulutnya hanya terdengar, 'Terima kasih atas kemurahan hati nyonya, yang telah mengampunkan pengecut-pcngccut ini.' Tak lama lagi, Ouw It To dan Biauw Tayhiap sudah bertempur dongan dahsyatnya."

   "Hari itu juga tak menghasilkan kcputusan, betapa juga mereka berusaha untuk saling merobohkan dengan seantero kepandaian mereka. Di waktu berhenti, petang itu, 'Kim Bian Hud' menyatakan, bahwa ia hendak menemani Ouw It To minum arak dan bercakap-cakap sepuas- puasnya sepanjang malam. Ouw It To menyambut maksudnya itu dengan kegirangan. Dikatakannya, bahwa dengan demikian mereka memang bisa memperoleh faedah tak sedikit. Setelah mendapat persetujuan lawannya, Biauw Tayhiap segera berpaling kepada Tian siangkong dan menyuruhnya serta kawan-kawannya pulang, karena ia akan menginap dan tidur seranjang dengan Ouw It To."

   "Jika bagiku hal itu sudah mengejutkan, dapat dibayangkan, betapa perasaan Tian siangkong dan Hoan Pangcu ketika mendengar maksud Biauw Tayhiap. Buru-buru mereka berkata, 'Hati- hatilah terhadap tipu-muslihatnya ____' Mereka tak dapat menyelesaikan perkataan itu, karena 'Kim Bian Hud' sudah segera memotong dengan nada kurang senang, 'Tak usah kau mengurus diriku. Aku merdeka untuk melakukan sukaku.' Tian siangkong masih coba membantah. 'Tetapi, janganlah kau lupa akan sakit-hati keluargamu, janganlah menjadi seorang tak berbakti katanya. Kim Bian Hud' tak mengatakan suatu apa, tetapi melihat wajahnya saja, Tian siangkong dan Hoan Pangcu beramai sudah berlalu dengan wajah ketakutan."

   "Malam itu, aku juga turut tak tidur siang-siang. Kulihat mereka berdua makan-minum dengan riang sambil merundingkan ilmu silat. 'Kim Bian Hud' membentangkan seluruh intisari ilmu keluarganya, dan Ouw It To juga berbuat demikian. Dengan berlalunya sang waktu, semakin asyik pula percakapan mereka. Mereka sama-sama menyesal, bahwa mereka tak dapat saling mengenal lebih siang. Kerapkali percakapan mereka itu diseling dengan gerakan-gerakan untuk menjelaskan dengan kata-kata saja. Kadang-kadang mereka bahkan berbangkit dan sama-sama memperaktekkan suatu gerakan. Gelak tertawa mereka sebentar-sebentar bergema memenuhi ruangan itu."/ "Telingaku menangkap seluruh percakapan mereka, tetapi sedikit pun aku tak mengerti, apa yang dimaksudkan. Sampai jauh lewat tengah malam mereka asyik terus, tetapi akhirnya Ouw It To memesan sebuah kamar kelas satu pula. Benar-benar mereka tidur berdua seranjang malam itu. Terkilas dalam otakku, 'Di situlah mereka tidur berjajar. Entah siapa yang akan turun-tangan lebih dulu.' Sebentar aku percaya, bahwa 'Kim Bian Hud' akan celaka, tetapi sebentar lagi aku berbalik yakin, bahwa Ouw It To yang beroman kasar tentu lebih bodoh dan akan menjadi kurban."

   "Tak dapat aku mengendalikan hatiku lagi. Dengan indap-indap aku mendekati jendela kamar mereka. Sebagai pencuri, aku kemudian menempelkan telingaku ke daun jendela untuk mendengarkan. Ternyata mereka belum puas bercakap-cakap, walaupun setengah malam lebih telah dilewatkan mereka dengan demikian. Hanya, kini mereka bukannya bercakap tentang ilmu silat lagi. Ketika itu mereka sedang bercerita tentang pengalaman masing-masing yang aneh. Banyak sekali kudengar, bagaimana 'Kim Bian Hud' atau Ouw It To menolong rakyat yang menderita dari tangan pembesar atau hartawan lalim, dan banyak pula yang kudengar tentang cara-cara mereka membunuh orang-orang jahat itu."

   "Semakin lama, semakin nyatalah, betapa banyak persamaan dan betapa sedikit perbedaan antara angan-angan mereka. Tiba-tiba aku mendengar 'Kim Bian Hud' menghela napas dan berkata, 'Sayang, sungguh sayang.' Ketika Ouw It To menanyakan maksudnya, berkatalah Biauw Tayhiap, bahwa ia yang selalu berlaku tinggi-hati, tak suka bergaul malam itu benar-benar telah menemukan seorang yang berharga untuk dijadikan sahabat, bahkan orang satu-satunya dengan siapa ia suka bersahabat. Kemudian kudengar Ouw It To minta, supaya bila ia yang kalah dan tewas 'Kim Bian Hud' suka sering-sering menjenguk isterinya. Dikatakannya, bahwa isterinya itu berjiwa kesatria, jauh lebih berharga dari kawan-kawan 'Kim Bian Hud' yang turut datang. Dengan nada mengajak Biauw Tayhiap menjawab, bahwa semua orang itu bukan kawannya dan tak berharga sedikit jua untuk dijadikan kawan."

   "Semalam suntuk mereka tak tidur, dan aku juga turut tak tidur karenanya. Hanya, karena aku berdiri di luar, di antara angin malam yang sejuk, seluruh tubuhku menjadi kaku kedinginan. Di waktu fajar, mendadak 'Kim Bian Hud' menghampiri jendela. Sebelum aku dapat menyingkir, terdengar tegurannya dengan nada dingin, 'Belum cukupkah kau mendengarkan semalam suntuk?' Bersama dengan itu jendela terbuka dan kepalaku terhajar sesuatu yang keras. Sebelum roboh tak sadarkan diri, aku masih mendengar Ouw It To mencegah 'Kim Bian Hud' mengambil jiwaku."

   "Entah berapa lama aku pingsan, aku tersadar di atas bale-baleku. Perlahan-lahan aku ingat segala kejadian itu. Aku turun dari bale-bale, dan seketika itu aku merasakan kepalaku sakit sekali. Aku coba bercermin. Betapa terperanjat aku, ketika melihat, bahwa hampir seluruh mukaku bengkak dan berwarna keungu-unguan. Hari itu aku tak berani keluar menonton pertempuran. Aku berdiam di dalam, tetapi di dalam hatiku kumengutuk 'Kim Bian Hud'. Sebelum itu, aku berharap supaya Biauw Tayhiap yang menang, tetapi saat itu aku berbalik mengharapkan kemenangan Ouw It To. Pikirku, 'Biarlah Ouw It To menghajarnya dengan satu-dua bacokanl' Aku sendiri tak bisa menuntut balas, maka biarlah orang she Ouw itu yang membalaskan hinaan itu."

   "Petang itu, setelah bertempur sehari dengan kesudahan tetap seperti kemarinnya, kudengar 'Kim Bian Hud' minta diri. Menurut katanya, ia masih ingin bercakap-cakap lagi, tetapi ia kuatir jika nyonya Ouw menjadi marah, maka ia berjanji untuk menginap lagi besok malamnya, bila tidak terjadi suatu apa. Ouw It To menjawabnya dengan tertawa. Setelah Biauw Tayhiap berlalu, tiba- tiba nyonya Ouw membawakan secawan arak kepada suaminya sambil menghaturkan selamat. Ouw It To tak mengerti maksud isterinya. 'Karena besok, kau tentu akan bisa mengalahkan Biauw Tayhiap,' jawab sang isteri."

   "Kata-kata sang isteri itu tentu saja membingungkan Ouw It To. Sudah lebih dari seribu jurus ia bertempur melawan 'Kim Bian Hud', tetapi belum sekali jua ia melihat kelemahan 'Kim Bian Hud'. Sungguh mustahil, jika keesokan harinya ia pasti akan menang. Dengan bersenyum ragu-ragu ia menatap wajah isterinya, yang sebaliknya sebagai juga tak menghiraukan kebimbangannya dan/ berkata kepada putera mereka, 'Anakku, bapakmulah yang tiada tandingannya di seluruh dunia. Suaranya mencerminkan keyakinannya akan kebenaran pendapatnya."

   "Kemudian Ouw It To menanyakan, mengapa isterinya begitu yakin, dan jawab isterinya, Aku telah melihat kelemahannya!' Agaknya Ouw It To masih kurang percaya, tetapi isterinya segera berkata pula, bahwa ciri 'Kim Bian Hud' hanya kelihatan dari belakang, sehingga Ouw It To yang selalu berhadapan dengan lawannya, biarpun bertempur seratus hari lagi, tentu tak akan melihat ciri lawan itu. Sebaliknya nyonya Ouw yang melihat dari samping kerapkali melihat Biauw Tayhiap membelakanginya."

   "Selanjutnya, nyonya Ouw menceritakan, bagaimana selama empat hari berturut-turut, ia telah memperhatikan setiap gerak-tipu 'Kim Bian Hud'. 'Terutama aku terperanjat, karena selama itu kulihat, bahwa penjagaannya tak memperlihatkan suatu cacad juga. Aku kuatir, jika terus-menerus demikian, kelak akan tiba saatnya kau agak lengah, dan kau menampak celaka, sedang pada lawanmu sedikit pun tak tampak kesalahan yang memungkinkan senjata lawan menerobos masuk. Aku terus memperhatikan setiap gerik-geriknya, dan hari ini akhirnya aku berhasil juga menemukan sesuatu.' Njonya Ouw tak lekas-lekas menunjukkan kelemahan Biauw Tayhiap yang dilihatnya, sebaliknya ia menanyakan kepada suaminya, gerak-tipu atau serangan apa dari ilmu silat Biauw Tayhiap yang dianggap paling lihay oleh Ouw It To."

   "Ouw It To mengatakan, bahwa hal itu sangat sukar, karena banyaknya serangan-serangan yang lihay, ia menyebutkan berapa macam dan antaranya terdapat satu yang lazim disebut 'Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit'. Kata nyonya Ouw, 'Justeru pada gerak serangan yang kau sebutkan paling akhir itu kelemahannya.' Keterangan ini lebih mencengangkan lagi bagi Ouw It To, yang telah mengalami sendiri, betapa dahsyatnya, betapa sempurna serangan tersebut. Menurut pendapatnya, justeru gerak serangan itu yang paling tak memungkinkan musuh merebut kemenangan. Serangannya halus tetapi sangat bertenaga dan dapat berubah secepat kilat, bahkan, bila perlu, bisa segera berubah menjadi gerakan pembelaan diri yang tak mungkin ditembuskan."

   "Dengan tertawa nyonya Ouw menjelaskan, 'Memang, jika tidak diperhatikan dengan sangat seksama, apalagi dilihat dari depan, tak mungkin terlihat cacadnya, karena ilmu silatnya sendiri memang tak bercacad. Tetapi aku telah melihat, bahwa setiap kali akan menggunakan gerak tipu itu, punggungnya bergerak sedikit, bagaikan ia merasa gatal, dan gerak-geriknya jadi agak terganggu, tak selincah biasanya.' Lagi-lagi Ouw It To kurang percaya. Isterinya tak menghiraukan sikap ragu itu, dan menyatakan, bahwa hari itu ia telah dua kali melihat kelemahan tersebut. Dikatakannya selanjutnya, bahwa keesokan harinya, bila saja ia melihat lagi Kim Bian Hud' memperlihatkan kelemahannya, ia akan batuk-batuk, dan ia menyuruh Ouw It To segera menggunakan kesempatan itu untuk mendesak dengan kerasnya. 'Kujamin, bahwa ia akan melontarkan pedangnya dan menyerah kalah, jika pada kesempatan demikian kau menyerangnya dengan pukulan 'Pat Hong Cong To,' kata nyonya Ouw sebagai penutup uraiannya."

   "Ouw It To jadi sangat girang. 'Tipumu bagus sekali!' ia memuji. Sesudah mendengar pembicaraan itu, sebenarnya aku harus memberitahukan 'Kim Bian Hud' supaya ia bisa berjaga- jaga. Tapi mukaku masih sakit, akibat ditinju olehnya. Dia memang pantas mendapat kekalahan, pikirku."

   "Pertandingan yang dilakukan pada keesokan harinya adalah pertandingan hari ke-lima. Bengkak pada mukaku masih belum hilang. Hari itu pun aku menonton pertandingan dengan berdiri di pinggiran. Di waktu pagi, Ouw Hujin tidak batuk-batuk, karena pada pagi itu 'Kim Bian Hud' tidak mempergunakan pukulan tersebut. Di waktu makan tengah-hari, selagi menuang arak di cawan suaminya, nyonya itu memberi isyarat dengan kedipan mata dan aku mengerti, bahwa dengan isyarat itu, ia ingin menganjurkan suaminya memancing 'Kim Bian Hud', supaya dia mengeluarkan pukulan itu. Ouw It To menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti mau mengatakan, bahwa ia merasa tidak tega. Melihat jawaban suaminya, Ouw Hujin menunjuk putera mereka dan kemudian merobohkan kursi yang diduduki anak itu, sehingga dia jatuh dan menangis keras. Aku dapat menebak maksud nyonya itu. Ia mengunjuk kepada suaminya, bahwa/ jika sang suami binasa, anak itu akan tidak punya ayah lagi. Mendengar tangisan putra mereka, barulah perlahan-lahan Ouw It To mengangguk.

   "Pada lohornya, mereka Im-itempur pula. Sesudah lewat beberapa puluh jurus, Ouw It To menyerang hebat. Tiba-tiba terdengar suara batuk-batuknya Ouw Hujin. Alis Ouw It To berkerut, sebaliknya dari maju, ia mundur. Memang benar, pada detik itu, 'Kim Bian Hud' telah menggunakan pukulan 'Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit'. Sebenarnya aku tidak mengenal pukulan itu. Tapi waktu semalam mendengari pembicaraan antara kedua suami-isteri itu, aku telah melihat Ouw Hujin menjalankan jurus tersebut beberapa kali. 'Mata nyonya itu sungguh Iihay,' pikirku. Kalau Ouw It To menyerang menurut siasat yang sudah didamaikan, dia pasti sudah memperoleh kemenangan. Tapi pada saat terakhir, ia mengurungkan niatannya. Mungkin sekali ia menghargai 'Kim Bian Hud' dan merasa tidak tega untuk mencelakainya. Juga mungkin ia merasa, bahwa dengan dibantu orang, biarpun menang, kemenangan itu tidak boleh dibuat bangga. Mendadak kuingat pesan Ouw It To kepada isterinya, supaya kalau putera mereka sudah besar, sang isteri harus mendidik agar putera itu mempunyai hati yang keras dan tidak seperti ayahnya yang pada detik terakhir, sering merasa tak tega untuk turun tangan.

   "Beberapa saat kemudian, anak itu sekonyong-konyong menangis keras. Kutahu, bahwa dia menangis karena dicubit lengannya oleh sang ibu. Di antara suara tangisan dan suara beradunya senjata, mendadak terdengar pula suara batuk-batuknya Ouw Hujin. Hampir berbareng, Ouw It To merangsek dengan jurus Pat Hong Cong To. Dengan sekali berkelebat, goloknya sudah mengunci gerakan pedang 'Kim Bian Hud'.

   "Biauw Jin Hong berada dalam kedudukan berbahaya. Pukulan 'Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit' baru keluar separuh. Menurut jurus itu, pedangnya yang dicekel di tangan kanan menikam miring, dengan tangan kirinya dikebaskan, seperti gerakan burung ho yang tengah mementang kedua sajapnya. Tapi Ouw It To mendahului. Sebelum kedua tangan 'Kim Bian Hud' di pentang, ia sudah membacok ke lengan kiri dan lengan kanannya. Dalam keadaan begitu, bukankah kedua lengan Kim Bian Hud' pasti akan menjadi korban golok? "Tapi ilmu pedang 'Kim Bian Hud' sudah dilatih sampai sesempurna-sempurnanya. Pada detik yang sangat berbahaya, kedua lengannya mendadak dibengkokkan dan ujung pedang berbalik menyambar ke dadanya sendiri. Ouw It To terkesiap, karena ia menduga, bahwa 'Kim Bian Hud' mau membunuh diri sendiri sebab kalah bertanding. 'Biauw-heng!'teriaknya.Ia tak tahu, bahwa pada hari pertama, 'Kim Bian Hud' sudah mematahkan ujung pedang, sehingga menjadi tumpul. Pada waktu ujung pedang menyambar dadanya, ia mengerahkan lweekang, sehingga pedang itu terpental balik tanpa melukainya. Karena gerakan itu sangat luar biasa dan juga sebab Ouw It To justeru lagi mau membujuk supaya ia tidak membunuh diri, maka waktu pedang itu berbalik menghantam dirinya, Ouw It To sama sekali tidak bersiap sedia dan tahu-tahu ujung pedang sudah menyentuh 'Sin Cong Hiat' di dadanya. '"Sin Cong Hiat' adalah salah satu hiat yang terpenting dalam tubuh manusia. Begitu tertotok, badan Ouw It To lemas dan ia roboh terguling. Cepat-cepat 'Kim Bian Hud' membangunkannya seraya berkata, 'MaafV Ouw It To tertawa. 'Kiam hoat Biauw heng sungguh lihay dan aku merasa takluk,' katanya. 'Kalau bukan lantaran Ouw heng menyayang aku, jurus itu pasti tak akan berhasil,' kata 'Kim Bian Hud'. Mereka menghampiri meja dan minum tiga cawan arak. Sesudah itu Ouw It To tertawa terbahak-bahak. Sekonyong-konyong ia mengangkat goloknya dan menggorok lehernya dan ia mati sambil berduduk.

   "Aku jadi seperti orang kesima. Aku mengawasi Ouw Hujin yang paras mukanya tenang-tenang saja. 'Biauw Tayhiap, tunggulah sebentar,' katanya. Aku ingin menyusui anakku sekali lagi.' Sehabis berkata begitu, ia masuk ke dalam kamar. Kira-kira semakanan nasi, ia keluar pula dengan mendukung puteranya yang lalu dicium keras-keras. 'Biauw Tayhiap, dia sudah kenyang,' katanya sambil tertawa. Sambil mengangsurkan anak itu kepada 'Kim Bian Hud', ia berkata pula, 'Sebenarnya aku telah berjanji pada suamiku untuk memelihara anak ini sampai menjadi orang. Tapi selama lima hari ini, aku mendapat kenyataan, bahwa Biauw Tayhiap seorang kesatria yang/ luhur pribudinya. Sesudah kau meluluskan untuk memelihara anak ini, aku dapat membebaskan diri dari tugas yang sangat berat, dari penderitaan yang harus dipikul selama dua puluh tahun.' "Sehabis berkata begitu, ia menyoja beberapa kali kepada 'Kim Bian Hud'. Tiba-tiba tangannya menyambar golok Ouw It To dan lalu menggorok lehernya. Ia lalu duduk di kursi di samping mayat suaminya dan mencekel tangan suami itu erat-erat. Beberapa saat kemudian, tubuhnya terkulai, bersandar pada tubuh sang suami dan tidak berkutik lagi.

   "Aku tak tega untuk melihat terus pemandangan yang menyayatkan hati itu. Aku memutar kepala ke jurusan lain. Sementara itu, bagaikan patung Biauw Tayhiap mendukung putera Ouw It To yang sedang pulas nyenyak dan yang pada bibirnya tersungging senyuman."

   Demikian penuturan Po Si.

   Seluruh ruangan sunyi senyap.

   Jago-jago yang hadir di situ adalah orang-orang yang berhati keras, tapi mendengar ceritera tentang kebinasaan suami-isteri Ouw It To, mereka merasa sangat terharu.

   Sekonyong-konyong kesunyian dipecahkan oleh suara wanita.

   "Po Si Taysu, mengapa ceriteramu agak berbeda dengan apa yang didengar olehku?"

   Semua orang mengawasi ke arah wanita itu, yang bukan lain daripada Biauw Yok Lan. Waktu Po Si berbicara, perhatian segenap hadirin ditujukan kepadanya, sehingga masuknya si nona ke dalam ruangan itu tidak diketahui oleh siapa pun jua.

   "Mungkin sekali, karena sudah lama, ada beberapa bagian yang sudah tidak begitu diingat loolap,"

   Kata Po Si.

   "Bagaimana ceriteranya ayah nona?"

   "Sebagian besar dari penuturan ayah cocok dengan apa yang dikatakan Taysu,"

   Kata si nona.

   "Hanya pada bagian meninggalnya Ouw pehpeh dan Ouw Pehbo yang tidak sama."

   Paras muka Po Si lantas saja berubah.

   "Hm!"

   Ia mengeluarkan suara di hidung, tapi tidak menanya terlebih jelas.

   "Biauw Kouwnio, bagaimana ceritera ayahmu?"

   Tanya Tian Ccng Bocn.

   Nona Biauw tidak menjawab.

   Ia mengeluarkan sebuah kotak sulam dan mengambil sebatang hio wangi yang lalu disulut dan ditancap di hiolo.

   Sesaat kemudian semua orang mengendus bau yang sangat harum.

   Dengan paras muka angker, Biauw Yok Lan berkata.

   "Semenjak aku kecil, saban kali bertemu dengan musim dingin, ayah selalu berduka. Biarpun aku menggunakan rupa-rupa cara untuk menggembirakan hatinya, ia tetap bersedih. Selama beberapa hari menjelang tahun baru, ayah selalu berdiam dalam sebuah kamar di mana dipuja dua buah Sin Wi (papan nama dari orang yang sudah meninggal dunia). Pada Sin Wi yang satu tertulis.

   "Leng Wi (tempat kedudukan yang angker) dari saudara angkatku Ouw It To Tayhiap,"

   Sedang pada Sin Wi yang lain tertulis.

   "Leng Wi dari giso Ouw Hujin."

   
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Di samping meja sembahyang itu bersandar sebilah golok yang sudah berkarat.

   "Pada hari-hari itu, ayah selalu memerintahkan tukang masak memasak macam-macam sayur untuk sembahyangan dan waktu bersembahyang ia menuang puluhan cawan arak. Mulai tanggal dua puluh dua bulan dua belas, terus lima hari beruntun, setiap malam ia minum puluhan cawan arak itu yang diatur di samping meja sembahyang. Sehabis minum, ia sering menangis sedih.

   "Aku sering menanya, siapakah Ouw pehpeh itu? Tapi ayah selalu menggelengkan kepala. Pada tahun itu, ayah mengatakan, bahwa usiaku sudah cukup dewasa dan ia lalu menceriterakan hal pibu dengan Ouw pehpeh. 'Ayah memberitahu, bahwa Ouw pehpeh telah membinasakan ayahnya Tian sioksiok. Karena dalam menghadapi orang luar, keluarga Biauw, Hoan dan Tian selalu bersatu-padu, maka, walaupun memandang rendah sepak terjangnya Tian sioksiok, tapi demi persahabatan dalam dunia Kang Ouw, ayah terpaksa mencari Ouw pehpeh untuk diajak pibu. Jalan pertandingan itu telah diceriterakan cukup terang oleh Po Si Taysu./ "Dengan beruntun-runtun ayah dan Ouw pehpeh sudah bertanding empat hari lamanya. Makin lama bertempur, mereka makin saling mengindahkan dan masing-masing pihak sungkan turunkan tangan jahat. Pada hari ke-lima, karena melihat kelemahan ayah pada punggungnya, Ouw pehbo memberi isyarat dengan batuk-batuk dan Ouw pehpeh segera mendesak dengan menggunakan jurus 'Pat Hong Cong To'. Jurus itu telah berhasil mengalahkan ayah. Menurut katanya Po Si Taysu, ayah berhasil merebut kemenangan dengan menggunakan pukulan yang luar biasa. Tapi menurut ayah, kejadiannya bukan begitu. Sepanjang keterangan ayah, begitu lekas Ouw pehpeh merangsek dengan 'Pat Hong Cong To', ia sudah tidak berdaya lagi dan segera meramkan mata untuk menunggu kebinasaan. Tapi tiba-tiba Ouw pehpeh melompat mundur. 'Biauw-heng katanya, 'ada suatu hal yang tidak dimengerti olehku.' Ayah bersenyum dan balas menanya, Aku sudah kalah, kau mau tanya apa lagi?' "Kata Ouw pehpeh, Aku sudah melayani kiam hoatmu dalam ribuan jurus dan sedikit pun aku tidak menemui bagian yang lemah. Tapi mengapa sebelum kau menjalankan jurus 'Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit', punggungmu bergerak dan agak menaik, sehingga isteriku dapat melihat kelemahanmu?' Ayah menghela napas dan menjawab, 'Waktu mengajar ilmu silat pedang kepadaku, sianhu (mendiang ayahku) berlaku sangat keras terhadapku. Waktu aku berusia sebelas tahun, selagi ayah mengajar jurus itu, tiba-tiba punggungku digigit kutu busuk. Punggungku gatal, tapi aku tidak berani menggaruknya. Jalan satu-satunya ialah menggerak-gerakkan otot-otot di punggungku untuk coba mengusir kutu itu. Tapi makin lama rasa gatal jadi makin hebat. Beberapa saat kemudian, sianhu telah melihat gerakan-gerakanku yang aneh dan ia menganggap, bahwa aku tidak bersungguh hati. Dengan bengis, ia memukul aku. Mulai waktu itu, setiap kali mau menggunakan jurus 'Te Liauw Kiam Pek Ho Su Sit', aku merasa punggungku gatal dan menggerak-gerakkannya. Mata hujin sungguh awas."' "Ouw pehpeh tertawa. 'Dengan mendapat bantuan isteriku, tidak boleh dianggap aku memperoleh kemenangan,' katanya. 'Sambutlah!' Seraya berkata begitu, ia melontarkan goloknya kepada ayah. 'Ayah menyambuti golok itu dengan perasaan heran, karena ia tak tahu apa maksudnya Ouw pehpeh. Seraya mengambil pedang ayah, Ouw pehpeh berkata, 'Biauw heng, setelah bertempur empat hari, kau dan aku sudah saling mengenal ilmu silat masing-masing. Begini saja, kita bertanding lagi dengan aku menggunakan Biauw Kee Kiam Hoat (ilmu pedang keluarga BiauwJ dan kau menggunakan Ouw Kee To Hoat (ilmu golok keluarga Ouw). Dengan demikian, tak perduli siapa yang menang, siapa kalah, nama tidak mendapat kerugian.' "Ayah lantas saja mengerti maksudnya. Sedari seratus tahun lebih yang lalu, semenjak beberapa turunan, keluarga Biauw dan keluarga Ouw telah bermusuhan. Sebelum bertempur, ayah dan Ouw pehpeh belum pernah mengenal satu sama lain. Antara mereka pribadi sebenarnya tidak ada permusuhan apa pun jua. Kakekku telah meninggal dunia di lain tempat dan ayah Tian Kui Long sioksiok meninggal dunia dengan mendadak. Menurut desas-desus dalam kalangan Kang Ouw, mereka berdua telah dibinasakan oleh Ouw It To. Tapi ayah masih tetap tidak percaya. Kali ini, atas ajakan keluarga Hoan dan Tian, ayah pergi ke Congciu untuk mencegat dan menantang Ouw It To. Tujuan pencegatan itu adalah untuk membalas sakit hati orang tua. Tapi di samping tujuan itu, ayah juga telah mengambil keputusan untuk menanyakan benar-tidaknya desas-desus kepada Ouw pehpeh sendiri.

   "Belakangan,ternyata memang benar, bahwa kakekku dan Tian kongkong telah dibinasakan oleh Ouw pehpeh. Meskipun ayah menyayang Ouw pehpeh sebagai seorang gagah yang lurus- bersih, sakit hati orang tua tentu saja tidak bisa tidak dibalas. Tapi ayah pun tidak ingin permusuhan antara keempat keluarga berlarut-larut dan terus menyeret-nyeret anak-cucu. Maka itu, jika mungkin, ia ingin sekali membereskan permusuhan yang sudah berjalan lebih seabad itu. Maka itulah, usul Ouw pehpeh untuk saling menukar senjata disambut dengan girang oleh ayah, karena usul itu cocok dengan keinginan hatinya. Dengan penukaran senjata itu, andaikata ayah yang menang, maka ia mengalahkan Biauw Kee Kiam Hoat dengan Ouw Kee To Hoat. Kalau Ouw pehpeh yang menang, ia mengalahkan Ouw Kee To Hoat dengan Biauw Kee Kiam Hoat. Dengan/ demikian, menang-kalah hanya mengenai pribadi dan tidak bersangkut dengan ilmu silat kedua keluarga.

   "Sesudah saling menukar senjata, mereka lantas saja bertempur lagi. Pertandingan hari itu berbeda dengan empat hari yang lalu, sebab biarpun kedua-duanya ahli silat kelas utama, senjata mereka bukan yang biasa digunakan dan mereka pun belum dapat menyelami jurus-jurus yang harus digunakan. Sungguh tak mudah untuk mereka berkelahi dengan menggunakan ilmu silat pihak lawan yang baru didapat selama berlangsungnya pertandingan dalam empat hari. Menurut katanya ayah, pertempuran itu adalah yang terhebat dalam pengalamannya. Ouw pehpeh kelihatannya seperti seorang kasar, tapi sebenarnya ia seorang yang cerdas luar biasa. Ia bersilat dengan Biauw Kee Kiam Hoat secara lincah sekali, seolah-olah ia sudah mempelajarinya selama beberapa tahun. Otak ayah tidak secerdas Ouw pehpeh. Untung juga, ia sudah mahir dalam menggunakan delapan belas rupa senjata dan di waktu kecil, ia pernah belajar ilmu silat golok. Maka itu, meskipun baru berkenalan dengan Ouw Kee To Hoat, ia masih dapat melayani Ouw pehpeh secara berimbang."

   "Kira-kira tengah-hari mereka mulai menggunakan pukulan-pukulan yang berat dan gerak- gerakan jurus-jurus itu makin lama jadi makin perlahan. 'Biauw-heng,' tiba-tiba Ouw pehpeh berkata, 'Pit Bun Tiat San To masih terlalu cepat, sehingga kurang bertenaga.' Ayah bersenyum dan berkata, 'Terima kasih atas petunjuk itu.' Mereka bertempur terus dengan memusatkan seluruh perhatian dan menggunakan Seantero kepandaian. Tapi jika jurus salah sepihak ada yang kurang tepat, mereka saling memberi petunjuk dengan setulus hati."

   "Ratusan jurus kembali lewat. Makin lama mereka makin paham akan ilmu silat yang asing itu dan gerak-gerakan mereka jadi makin licin. Melihat kelihayan Ouw pehpeh, ayah jadi berkuatir, karena ia merasa, bahwa jika pertandingan berlangsung terus dalam tempo lama, mungkin sekali ia akan dijatuhkan. Maka itu, ia lantas saja mengambil keputusan untuk mengubah siasat. Beberapa saat kemudian, ia menyerang dengan jurus 'Houw In Ki Lok' (Awan Turun Naik). Menurut Ouw Kee To Hoat, dalam jurus itu, lebih dahulu golok menyabet ke bawah dan kemudian baru ke atas. Tapi ayah sengaja mengubahnya, yaitu, lebih dahulu ia menyabet ke atas dan kemudian baru ke bawah."

   "Ouw pehpeh terkejut. Baru saja ia berteriak, 'Salah!' ayah sudah membentak, Awas golok!' dan goloknya menyabet ke atas. Menurut Ouw Kee To Hoat, sabetan pertama itu harus ke bawah. Kalau ayah berhadapan dengan lain lawan, lawan itu mungkin akan dapat mengelakkan serangannya. Tapi Ouw pehpeh yang memang sudah biasa menggunakan Ouw Kee To Hoat, sama-sekali tidak pernah menduga, bahwa jurus itu diubah jalannya. Ia gugup dan golok ayah sudah menggores lengan kirinya!"

   "Semua penonton mengeluarkan seruan kaget. Bagaikan kilat Ouw pehpeh menendang dan ayah terguling di tanah, tak bisa bangun lagi. Ternyata, titik Keng Bun Hiat, di pinggangnya, sudah tertendang. Hoan Pangcu, Tian siangkong dan yang lain-lain memburu untuk menolong. Ouw pehpeh melemparkan pedangnya, kedua tangannya bekerja, melontarkan orang-orang itu yang mau coba mendekati ayah. Sesudah itu, ia membangunkan ayah dan membuka jalan darah yang tertotok. 'Biauw-heng,' katanya sambil tertawa, 'jurus gubahanmu sungguh lihay. Tapi dalam setiap jurus dari Ouw Kee To Hoat mengandung jurus susulan, sedang dalam jurus gubahanmu tidak terdapat pukulan susulan itu. Sesudah kau menyabet dua kali, pada pinggangmu terbuka lowongan.'" 'Ayah tidak bisa menjawab, karena pinggangnya sangat sakit. 'Kalau kau tidak menaruh belas kasihan, lengan kiriku tentu sudah putus,' kata pula Ouw pehpeh. 'Hasil pertandingan pada hari ini dapat dikatakan seri. Pergilah mengaso, besok kita bertanding lagi.' Sambil menahan sakit, ayah berkata, 'Ouw-heng, memang benar dalam bacokan itu, aku sudah berlaku agak sungkan. Tapi, kau juga menaruh belas kasihan. Jika tidak, tendanganmu itu tentu sudah mengambil jiwaku. Ouw heng, dengan melihat cara-caramu, tak bisa jadi kau sudah membinasakan ayahku secara menggelap. Katakanlah dengan sesungguhnya, Cara bagaimana ayahku mati?' Pada paras muka Ouw pehpeh tiba-tiba terlukis perasaan heran. 'Bukankah aku sudah memberitahukan kau secara/ terang-terangan?' katanya. 'Jika kau tidak percaya dan mau meneruskan pertempuran, aku tidak bisa berbuat lain daripada mengiring kemauanmu.'"

   "Ayah terkejut. 'Kau sudah memberitahukan kepadaku?' ia menegas. 'Lagi kapan?'Sekonyong- konyong Ouw pehpeh memutar badan dan sambil menuding salah seorang, ia berkata dengan suara terputus-putus, 'Kau ... kau ...!' la hanya dapat mengeluarkan dua perkataan 'kau'. Sesudah itu, kedua lututnya lemas dan Ia roboh terguling. Hati ayah inencelos. Cepat-cepat ia membangunkannya. Muka Ouw pehpeh berubah pucat. 'Bagus .! Bagus ... kau ...,' katanya dan . kepalanya terkulai, ruhnya berpulang ke alam baka."

   "Bukan main kagetnya ayah. Seorang yang begitu gagah dan begitu kuat badannya, tak mungkin binasa karena luka yang begitu kecil. Sambil memeluk badan Ouw pehpeh, ayah memanggil-manggil, 'Ouw heng ...! Ouw heng!' Perlahan-lahan pada muka Ouw pehpeh muncul sinar ungu dan ayah lantas saja tahu, bahwa ia mati karena racun yang sangat hebat. Cepat-cepat ayah menggulung tangan baju Ouw pehpeh. Ternyata, luka itu sudah mengeluarkan darah hitam dan lengannya bengkak hebat. Ouw pehbo kaget dan duka. Ia melemparkan puteranya yang sedang didukung, mengambil golok yang tadi digunakan ayah dan menelitinya. Ayah tahu, bahwa pada golok itu sudah ditaruh racun."

   "Melihat ayah berdiri termenung tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ouw pehbo berkata dengan suara perlahan, 'Biauw Tayhiap, golok itu dipinjam dari salah seorang kawanmu. Suamiku tak tahu golok ini beracun dan kau pun tentu tak tahu. Kalau tahu, kalian berdua tentu tak sudi menggunakan senjata itu. Ini memang sudah nasib, kita tak bisa menyalahkan siapapun jua. Sebenarnya aku sudah berjanji dengan suamiku untuk memelihara anak kita sampai menjadi orang. Tapi dalam lima hari ini, aku mendapat kenyataan, bahwa Biauw Tayhiap adalah seorang kesatria, maka sesudah kau menyanggupi untuk memelihara anak itu, aku boleh membebaskan diri dari tugasku dan boleh tak usah bercapai-lelah selama duapuluh tahun.' Sehabis berkata begitu, ia menggorok lehernya sendiri dengan golok itu dan rochnya mengikut sang suami berpulang ke alam baka."

   "Itulah ceritera ayah yang telah dituturkan kepadaku. Tapi penuturan itu sangat berbeda dengan penuturan Po Si Taysu. Biarpun sudah lama dan orang tak dapat ingat seluruhnya, tapi perbedaannya tidak mungkin begitu besar. Apakah sebabnya?"

   Po Si menggelengkan kepala.

   "Pada waktu itu ayahmu sedang bertempur dan tengah memusatkan seluruh perhatiannya dalam pertandingan itu,"

   Katanya.

   "Memang mungkin, penglihatannya tidak begitu tegas seperti orang yang menonton."

   Biauw Yok Lan hanya mengeluarkan suara "hm,"

   Ia segera menunduk dan tidak mengatakan suatu apa lagi. Sekonyong-konyong terdengar suara seorang.

   "Ceritera kalian berdua dan tidak bersamaan sebab ada seorang yang sengaja berjusta."

   Semua orang kaget dan mengawasi ke arah suara itu.

   Ternyata, yang bicara adalah seorang pelayan yang pada mukanya terdapat tanda bekas bacokan golok.

   Po Si dan Biauw Yok Lan adalah tamu, maka, walaupun pelayan itu kurang ajar, mereka merasa sungkan untuk segera mengunjuk kegusaran.

   Di antara orang-orang itu, Co Hun Ki-lah yang paling kasar dan semberono.

   Dialah yang membentak.

   "Siapa yang berjusta?"

   "Siauwjin (aku yang rendah) seorang yang sangat rendah, siauwjin tidak berani bicara,"

   Jawabnya.

   "Kalau ceriteraku tidak benar, kau boleh bicara,"

   Kata nona Biauw.

   "Kejadian yang tadi dituturkan oleh Taysu dan Kouwnio telah disaksikan olehku sendiri,"

   Katanya.

   "Kalau kalian ingin mendengar penuturanku, siauwjin bersedia untuk bicara."

   Tiba-tiba Po Si berbangkit.

   "Kau menyaksikan dengan matamu sendiri?"

   Bentaknya.

   "Siapa kau?"

   "Siauwjin mengenali Taysu, tapi Taysu tidak mengenali siauwjin,"

   Jawabnya./ Paras muka Po Si berubah pucat.

   "Siapa kau?"

   Bentaknya pula. Sebaliknya daripada menjawab, pelayan itu mengawasi nona Biauw dan berkata.

   "Kouwnio, siauwjin kuatir, bahwa penuturan yang ingin diberikan oleh siauwjin tak bisa dituturkan seluruhnya."

   "Mengapa?"

   Tanya Yok Lan.

   "Sebab, baru bicara separuh, jiwa siauwjin mungkin sudah melayang,"

   Jawabnya. Nona Biauw berpaling ke arah Po Si. 'Taysu,"

   Katanya.

   "dalam pertemuan kita di hari ini, kaulah yang menjadi tetuanya. Kau adalah seorang cianpwee dari Rimba Persilatan dan kau mempunyai nama serta kedudukan yang tinggi. Maka itu, sepatah kata saja dari mulutmu, sudah cukup untuk melindungi jiwa orang itu."

   Po Si tertawa dingin.

   "Nona Kiauw, jangan kau mengangkat-angkat aku,"

   Katanya.

   "Soal mati atau hidupnya siauwjin sama sekali tak menjadi soal,"

   Kata pelayan itu.

   "Yang dikuatirkan siauwjin ialah penuturan ini akan tidak bisa dituturkan sampai pada akhirnya."

   Biauw Yok Lan mengerutkan alis. Sesaat kemudian, sambil menunjuk papan tui lian yang kedua, ia berkata.

   "Coba turunkan papan itu."

   Pelayan itu tidak mengerti maksud si nona, tapi ia menjalankan perintah itu dan kemudian menaruhnya di hadapan nona Biauw.

   "Coba kau lihat,"

   Kata Yok Lan.

   "di atas papan itu tertulis huruf-huruf, 'Tah Pian Thian Hee Bu Tek Chiu 'Kim Bian Hud". Itulah gelar dari ayahku. Peganglah papan itu dan kau boleh bicara dengan tak usah kuatir apa pun jua. Siapa yang menyerang kau berarti dia tidak memandang ayah."

   Semua orang saling mengawasi.

   Mereka mengakui, bahwa dengan 'Kim Bian Hud' sebagai pelindung, tak ada orang yang akan berani mencelakai dirinya.

   Paras muka pelayan itu berubah girang.

   Ia tertawa dan dengan tertawanya itu, tanda bekas bacokan golok bergerak-gerak.

   Ia berdiri tegak dan sambil memeluk papan tui lian itu, kedua matanya menyapu ke seluruh ruangan.

   Po Si sendiri sudah kembali ke kursinya dan sambil mengawasi pelayan itu, ia mengingat-ingat peristiwa kebinasaan Ouw It To pada dua puluh tujuh tahun berselang.

   Tapi sesudah mengasah otak beberapa lama, ia masih belum juga dapat menebak siapa adanya orang itu.

   "Lebih baik kau bicara sambil berduduk,"

   Kata nona Biauw "Biar siauwjin berdiri saja,"

   Kata pelayan itu.

   "Bolehkah aku menanya, bagaimana dengan putera yang ditinggalkan oleh suami-isteri Ouw It To toaya?"

   Biauw Yok Lan menghela napas.

   "Sesudah Ouw pehpeh dan Ouw pehbo meninggal dunia, thia- thia (ayah) sangat berduka,"

   Katanya.

   "Sesudah mengawasi jenazah mereka beberapa lama, ia berlutut delapan kali dan berkata, 'Ouw heng, toaso, legakanlah hati kalian. Aku pasti akan memelihara putera mu sebagaimana mestinya.' Sehabis memberi janjinya, ia segera memutar badan untuk mengambil anak itu. Tapi anak itu sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi! Ayah terkejut, buru-buru ia menanyakan orang-orang yang berada di situ. Tapi mereka pun, yang menumplek Seantero perhatian kepada peristiwa kebinasaan Ouw pehpeh dan Ouw pehbo, tidak memperhatikan anak itu. Ayah segera mengajak mereka untuk mencarinya. Sekonyong-konyong di belakang rumah terdengar suara tangisan bayi yang nyaring sekali. Dengan girang ayah segera berlari-lari ke belakang. Apa mau, luka pada pinggangnya akibat tendangan Ouw pehpeh, tidak terlalu enteng. Begitu ia menggunakan tenaga, kedua lututnya lemas dan ia roboh terguling. Beberapa orang segera membangunkannya dan memapahnya ke belakang rumah. Tapi anak itu sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya. Apa yang dilihat mereka ialah darah, kain kuning pembungkus bayi dan topi di atas tanah."

   "Di belakang rumah penginapan itu mengalir sebuah sungai dan dari belakang rumah, darah bertetesan terus sampai ke pinggir sungai. Menurut dugaan, anak itu telah dibunuh orang dan mayatnya dilemparkan ke dalam sungai. Ayah kaget tercampur gusar. Ia mengumpulkan semua/ orang dan menyelidiki dengan teliti, tapi tidak bisa mendapat keterangan apa pun jua. Hal ini mendukakan sangat hatinya dan sampai sekarang ayah masih selalu memikirinya. Ia bersumpah akan mencari pembunuh anak itu. Tahun itu aku lihat ia menggosok pedang dan ia memberitahukan aku, bahwa ia harus membunuh satu manusia lagi, yaitu manusia yang telah membinasakan puteranya Ouw pehpeh dan Ouw pehbo. Aku coba menghibur dengan mengatakan, bahwa mungkin sekali anak itu telah ditolong orang. Ayah tidak percaya. Ia berdoa agar dugaanku tidak meleset Hai! ... Aku mengharap ia masih hidup. Pernah ayah mengatakan begini kepadaku, 'Lan-ji, aku menyintai kau lebih daripada aku menyintai jiwa sendiri. Tapi andaikata Langit memperbolehkan aku menukar kau dengan putera Ouw pehpeh aku lebih suka kau mati, asal saja putera Ouw pehpeh bisa terus hidup.'"

   Air mata pelayan itu berlinang-linang.

   "Kouwnio,"

   Katanya dengan suara parau.

   "Roh Ouw toaya cukup angker, ia tentu akan berterima kasih terhadap ayahmu dan kau sendiri"

   Ie koankee semula menduga, bahwa dia adalah pelayan yang dibawa oleh Biauw Yok Lan.

   Tapi dilihat dari sikapnya dan didengar omongannya, orang itu kelihatannya bukan pelayan si nona.

   Baru saja ia mau mengajukan pertanyaan, pelayan itu sudah mulai dengan penuturannya.

   "Pada duapuluh tujuh tahun berselang, aku bekerja sebagai pesuruh, sebagai tukang menyalakan api, di dapur dari sebuah rumah penginapan di kota Congciu. Pada musim dingin tahun itu, bencana menimpa keluargaku. Tiga tahun yang lalu, ayahku meminjam lima tahil perak dari seorang hartawan di kota itu. Dengan bunga berbunga lagi, selama tiga tahun, pinjaman itu yang tadinya lima tahil sudah jadi empatpuluh tahil. Hartawan itu menangkap ayah yang mau dipaksa menulis surat perjanjian untuk menjual ibuku guna dijadikan gundik. Ayahku tentu saja menolak dan ia dipukul setengah mati oleh anjing-anjingnya hartawan itu. Sepulangnya di rumah, ayah lalu berdamai dengan ibu. Mereka mengerti, bahwa jika hutang itu tidak dilunaskan sampai buntut tahun, empatpuluh tahil akan menjadi delapanpuluh dan seumur hidup, mereka tak akan mampu membayarnya. Karena tak ada jalan lain, kedua orang tuaku sebenarnya mau membunuh diri, tapi mereka tidak tega meninggalkan aku. Demikianlah, ayah, ibu dan anak hanya bisa memeras air mata sambil berpelukan. Di waktu siang, aku bekerja di rumah penginapan, saban malam aku pulang untuk menjaga ayah dan ibuku, supaya mereka tidak mengambil jalan yang pendek."

   "Pada suatu malam, rumah penginapan itu menerima banyak tamu yang terluka. Kami jadi repot sekali dan majikanku tidak mempermisikan aku pulang. Pada keesokan harinya, datanglah Ouw It To toaya yang baru saja mendapat seorang putera. Untuk merawat bayi itu, Ouw toaya memerlukan banyak air panas dan pemilik rumah penginapan kembali menahan aku. Karena memikiri ayah dan ibuku, aku sudah memecahkan beberapa mangkok dan digapelok beberapa kali oleh majikanku. Sesudah masak air, aku bersembunyi di samping dapur dan menangis dengan perlahan. Kebetulan Ouw toaya pergi ke dapur dan ia mendengar tangisanku. Ia segera menanyakan sebab-musababnya. Karena paras muka Ouw toaya angker dan bengis, aku tidak berani bicara. Makin ia mendesak, makin hebat aku menangis. Belakangan, sesudah ia bicara dengan suara lemah lembut, barulah aku berani menuturkan bahaya yang tengah dihadapi."

   "Ouw toaya gusar bukan main. 'Hartawan itu sungguh kejam,' katanya. 'Sebenarnya aku harus mengambil jiwanya, tapi sebab aku sendiri mempunyai urusan penting, maka aku tak sempat untuk berhitungan dengan dia. Sekarang biarlah aku memberikan seratus tahil perak kepadamu. Kau pulanglah dan menyerahkannya kepada ayahmu. Katakan kepadanya, bahwa dengan uang itu ia bisa membayar hutang dan lebihnya dapat digunakan untuk ongkos hidup. Lain kali, jangan meminjam uang lagi dari hartawan kejam.' Semula aku menduga, bahwa ia hanya berguyon. Tak dinyana, benar-benar ia mengambil lima potong goanpo dan menyerahkannya kepadaku. Tapi aku tentu tidak berani lantas menerimanya. 'Hari ini aku mendapat anak,' kata Ouw toaya. 'Aku menyintainya dan dengan mengukur perasaanku sendiri, kedua orang tuamu juga tentu sangat menyintai kau. Ambillah uang ini dan pulanglah sekarang. Aku akan memberitahukan majikanmu, bahwa akulah yang menyuruh kau pulang dan dia pasti tidak berani banyak rewel." 'Aku masih mengawasinya dengan mata membelalak dan jantungku memukul keras. Aku tak tahu apa yang harus diperbuat./ Sambil bersenyum Ouw toaya mengambil selembar kain, membungkus lima potong perak itu dan kemudian mengikatnya di punggungku. Anak tolol,' katanya seraya tertawa dan menendang pinggulku perlahan-lahan, 'lekas pergi!' Bagaikan orang linglung aku pulang dengan berlari-lari dan memberitahukan kejadian itu kepada kedua orang tuaku. Kami bertiga girang setengah mati, untuk beberapa saat kami saling berpelukan seperti orang edan. Kami hampir tak mau percaya, bahwa di dalam dunia ada orang yang begitu mulia hatinya. Sama saja seperti dalam mimpi. Ayah dan ibuku buru-buru pergi ke rumah penginapan untuk menghaturkan terima kasih dengan berlutut Tapi Ouw toaya menolak penghaturan terima kasih itu. Ia menggoyang-goyangkan tangannya dan mengatakan, bahwa ia tak suka menerima pernyataan terima kasih yang begitu berat. Dengan manis budi, ia mendorong kami bertiga."

   "Selagi kami mau berangkat pulang, tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki kuda dan beberapa penunggang kuda tiba di rumah penginapan itu. Mereka adalah musuh-musuhnya Ouw toaya. K.uena merasa kuatir, aku lalu mempersilakan kedua orang tuaku pulang lebih dahulu, sedang aku sendiri ingin menyaksikan kesudahan pertempuran itu. Kupikir, budi Ouw toaya sangat besar. Kalau ia memerlukan bantuanku, biar diperintah masuk ke dalam air atau api, aku pasti tak akan menolak.

   "Kulihat 'Kim Bian Hud' Tayhiap dan Ouw toaya minum arak sambil beromong-omong. Kecintaan Ouw toaya terhadap puteranya telah dituturkan oleh Po Si Taysu. Tapi ia sama-sekali tak tahu, bahwa perbuatan si tabib yang mendengari pembicaraan suami-isteri Ouw dari kamar sebelah, semuanya diincar oleh seorang pesuruh kecil yang bekerja di dalam dapur rumah penginapan itu."

   Tiba-tiba Po Si berbangkit dari kursinya. Sambil menuding ia membentak.

   "Siapa kau? Siapa yang menyuruh kau datang kemari untuk bicara yang tidak-tidak?"

   Dengan paras muka tenang, pelayan itu menjawab, 'Aku bernama Peng Ah Si. Aku mengenal Giam Ki, seorang tabib, tukang mengobati luka terpukul. Tapi si tabib Giam Ki tentu saja tidak mengenali Peng Ah Si, pesuruh kecil, tukang menyalakan api di dapur."

   Mendengar perkataan "Giam Ki,"

   Paras muka Po Si berubah pucat.

   Lapat-lapat ia ingat, bahwa pada duapuluh tujuh tahun berselang, di dalam rumah penginapan, ia memang pernah bertemu dengan seorang pesuruh kecil yang pakaiannya kotor.

   Tapi karena tidak memperhatikan, ia sekarang sudah tak ingat lagi, bagaimana macamnya pesuruh itu.

   Dengan sorot mata gusar dan membenci, ia menatap wajah Peng Ah Si.

   Sementara itu, Peng Ah Si sudah melanjutkan penuturannya.

   "Di tengah malam kudengar suara tangisan Ouw toaya. Dengan rasa berkuatir, aku pergi ke depan kamarnya. Tiba-tiba kulihat bayangan manusia di jendela kamar sebelah. Orang itu berdiri tanpa bergerak, ia rupanya sedang memasang kuping. Aku bercuriga dan lalu mengintip dari cela-cela pintu kamar. Ternyata, orang itu Giam Ki adanya dan dia sedang mendengari pembicaraan suami-isteri Ouw dengan menempelkan kupingnya di papan kamar. Baru saja kuingin memberitahukan hal itu kepada Ouw toaya, Ouw toaya sendiri sudah keluar dari kamarnya dan pergi ke kamar Giam Ki dan bicara panjang-lebar. Pembicaraan itu tidak pernah disebut-sebut oleh Po Si Taysu. Aku sendiri tak tahu apa sebabnya."

   "Ouw toaya bicara panjang-lebar dan sebagian tidak dimengerti olehku. Tapi aku tahu, bahwa Ouw toaya telah minta bantuannya, supaya pada keesokan harinya ia pergi menemui Biauw Tayhiap untuk menjelaskan beberapa soal. Soal-soal itu adalah soal-soal besar yang sangat penting. Sebenarnya tak tepat untuk Ouw toaya untuk meminta bantuan seorang liar, tapi karena Ouw Hujin baru melahirkan anak dan juga karena Ouw toaya beradat berangasan, sehingga jika ia memberi penjelasan sendiri kepada pihak lawan, ia pasti akan bertengkar dengan Hoan Pangcu dan Tian siangkong dan akhirnya ia mesti bertempur juga, maka, sebab tak ada jalan lain, ia terpaksa meminta bantuan Giam Ki untuk menyampaikan perkataannya. Tadi Po Si Taysu mengatakan, bahwa Ouw toaya telah menyuruhnya untuk menyampaikan surat kepada 'Kim Bian Hud' dan akan diberi hadiah besar. Keterangan itu tidak benar. Cobalah pikir, menyampaikan surat adalah tugas yang sangat enteng. Perlu apa orang memberi hadiah besar kepada tukang bawa/ surat? Mungkin sekali Po Si Taysu sekarang sudah lupa perkataan Ouw toaya, tapi aku sendiri masih tetap ingat"

   Mendengar sampai di situ, semua orang tahu, bahwa pada sebelum menjadi pendeta, Po Si Taysu bernama Giam Ki.

   Melihat sikap kedua orang itu, mereka yakin, bahwa antara Po Si dan kebinasaan Ouw It To mempunyai sangkut-paut yang sangat rapat dan dalam keterangan yang diberikan Po Si terdapat bagian-bagian yang tidak benar.

   Mereka ingin sekali mendengar penjelasan Peng Ah Si yang akan membuka sebuah rahasia.

   Akan tetapi, mereka pun berkuatir, bahwa jika Peng Ah Si benar-benar membuka rahasia besar yang membuat Po Si menjadi malu, dalam gusarnya, pendeta itu bisa turunkan tangan jahat dan di antara mereka, tak satu pun yang dapat menandinginya.

   Biarpun di belakang hari 'Kim Bian Hud' bisa membalas sakit hati, tapi kalau Peng Ah Si sudah binasa, rahasia yang sangat menarik itu akan turut dikubur di liang kubur.

   Sedang semua orang berkuatir akan keselamatannya, Peng Ah Si sendiri bersikap tenang- tenang saja.

   Sesudah berhenti sejenak, ia melanjutkan penuturannya.

   "Waktu Ouw toaya bicara dengan Giam Ki, aku berdiri di luar jendela kamar Giam Ki. Aku bukan mau mencuri dengar pembicaraan Ouw toaya. Aku sudah berbuat begitu, sebab kutahu, bahwa tabib itu, yang menjadi anjingnya si hartawan yang menghina kedua orang tuaku, bukan manusia baik-baik. Oleh karena itu, kukuatir Ouw toaya kena ditipu olehnya. Waktu itu aku masih kecil dan pengertianku sangat terbatas, sehingga apa yang dikatakan Ouw toaya tidak dapat dimengerti seluruhnya olehku. Tapi setiap perkataannya terus tercatat dalam otakku dan tidak bisa dilupakan lagi. Belakangan, sesudah besar, kumengerti maksud pembicaraan itu. Pada malam itu, Ouw toaya minta bantuan Giam Ki untuk menyampaikan tiga rupa hal. Pertama, asal-mula permusuhan antara keluarga Ouw, Biauw, Hoan dan Tian. Kedua, sebab-musabab dari kebinasaan ayahnya 'Kim Bian Hud' dan ayah Tian siangkong. Ketiga, soal kotak besi dan golok komando dari Cwan Ong."

   Hampir serentak semua orang menengok ke arah kotak besi dan golok itu yang ditaruh di atas meja. Rasa ingin tahu dalam hati mereka jadi makin besar. Peng Ah Si melanjutkan penuturannya.

   "Sebab-musabab dari permusuhan antara keluarga Ouw, Biauw, Hoan dan Tian tadi sudah diceriterakan oleh Biauw Kouwnio. Tapi di dalam itu masih terselip suatu rahasia besar yang tidak diketahui oleh orang luar. Rahasia itu dimulai pada jaman Cwan Ong Engciang tahun kedua, tahun It Yu, atau menurut perhitungan pemerintah Boan, Sun Ti tahun kedua. Pada waktu itu, leluhur keluarga Ouw, Biauw, Tian dan Hoan telah berjanji, bahwa, jika pemerintah Boan tidak menjadi roboh, rahasia itu baru boleh dibuka sesudah berselang seratus tahun, yaitu pada tahun It Yu. Tahun It Yu ialah tahun Kian Liong ke-sepuluh dan dari waktu itu sampai sekarang, sudah berselang tiga puluh tahun lebih. Maka itulah, pada dua puluh tujuh tahun berselang, waktu Ouw toaya bicara dengan Giam Ki, batas waktu seratus tahun sudah lewat dan rahasia tersebut sudah boleh dibuka."

   "Rahasia itu benar-benar hebat Apa sebabnya? Sebabnya ialah, pada waktu kalah perang di Kiu Kiong San, Cwan Ong sebenarnya tidak mati!"

   Pernyataan itu sangat menggemparkan. Hampir semua orang serentak berbangkit dan serentak bertanya.

   "Apa?"

   Yang terus berduduk di kursi hanyalah Po Si yang rupanya sudah tahu rahasia itu.

   "Kukatakan, 'Cwan Ong tidak mati,' kata pula Peng Ah Si.

   "Tapi ia dikepung musuh yang berjumlah sangat besar dan tidak dapat meloloskan diri. Ketiga wisu, Biauw, Hoan dan Tian, telah menerjang turun dari gunung untuk meminta pertolongan, tapi bala bantuan tak kunjung datang. Sementara itu tentara musuh makin mendesak, sehingga Seantero sisa pasukan Cwan Ong menghadapi bahaya kemusnaan. Dalam putus harapan, Cwan Ong mengangkat golok komandonya dan mau menggorok leher, tapi keburu dicegah oleh wisu she Ouw, yang bergelar 'Hui Thian Ho Li'. Si orang she Ouw sangat cerdik dan dalam bahaya, ia dapat memikir suatu tipu. Dari antara mayat-mayat tentara, ia memilih mayatnya seorang tentara yang tinggi dan besar tubuhnya bersamaan dengan Cwan Ong. Mayat itu lalu dipakaikan pakaian kebesaran Cwan Ong dan pada lehernya digantungkan cap kekuasaan raja muda itu. Sesudah itu, ia membacok-bacok/ muka mayat, sehingga tak dapat dikenali lagi. Akhirnya, dengan menggendong 'mayat Cwan Ong', ia pergi ke markas besar tentara Ceng dan menakluk. Ia mengaku sudah membinasakan Cwan Ong dan menyerahkan jenazah raja muda itu untuk meminta hadiah. Pahala itu bukan main besarnya. Panglima perang Ceng yang bertugas pun bisa naik pangkat mendapat hadiah dari jungjungannya. Maka itu, jangankan memang sebenarnya ia tidak ragu-ragu, sedangkan andaikata ia masih bersangsi, ia tentu akan coba menghilangkan rasa sangsi itu. Demikianlah panglima perang Boan lantas saja menerima baik pengakuan 'Hui Thian Ho Li' dan membubarkan tentara yang mengepung Kiu Kiong San. Dengan menyamar sebagai rakyat biasa, Cwan Ong yang tulen dengan mudah dapat meloloskan diri. Hai! ... Cwan Ong tertolong, tapi 'Hui Thian Ho Li' sendiri lantas saja menghadapi bahaya besar."

   "Dalam menjalankan tipu itu, 'Hui Thian Ho Li' sangat menderita. Dalam kalangan Kang Ouw, orang-orang gagah sangat mengutamakan 'kesatriaan' dan 'pribudi'. Untuk menolong majikannya, 'Hui Thian Ho Li' bukan saja harus menekuk lutut di hadapan musuh, tapi juga harus menerima cacian sebagai manusia hina-dina yang sudah menjual majikan untuk mendapat pangkat. Nama 'Hui Thian Ho Li telah menggetarkan kolong langit Saban kali namanya disebut orang-orang Dunia Persilatan selalu mengacungkan jempolnya. Tapi sekarang ia harus menodai nama baiknya yang telah dipupuk hidup. Pengorbanan ini sepuluh kali lipat lebih sukar daripada melakukan perbuatan- perbuatan kesatria."

   "Sudah menakluk kepada Gouw Sam Kwi, ia terus naik pangkat sehingga menjadi teetok Berkat kecerdikan, kegagahan dan kepandaiannya, ia mendapat kepercayaan besar dari Gouw Sam Kwi. Tapi selama itu, diam-diam ia membulatkan tekad untuk membalas sakit hati terhadap Gouw Sam Kwi, sebab pembesar itulah yang sudah menggagalkan usaha Li Cwan Ong. Kalau ia mau membunuh Gouw Sam Kwi, ia dapat melakukannya dengan mudah sekali. Tapi ia seorang berakal budi dan tentu saja tidak mau bertindak secara begitu sembrono. Selama beberapa tahun, dengan hati-hati dan dengan diam-diam, ia menjalankan tipunya. Di satu pihak, ia bertindak untuk membangkitkan kecurigaan kaisar Boan terhadap Gouw Sam Kwi, sedang di lain pihak, ia bekerja untuk mengganggu ketenteraman hati pembesar itu, supaya pada akhirnya, mau tidak mau, Gouw Sam Kwi harus memberontak. Atas bujukannya, Gouw Sam Kwi mengumpulkan tentara dan membeli kuda-kuda perang di propinsi Inlam, tapi diam-diam, ia melaporkan gerak-gerik Gouw Sam Kwi itu kepada kaisar Boan. Tentu saja kaisar menjadi curiga dan segera menyelidiki. Tindakan-tindakan kaisar selalu diincar olehnya dan ia melaporkannya kepada Gouw Sam Kwi."

   "Demikianlah, dalam beberapa tahun saja, kedudukan Gouw Sam Kwi sudah terdesak begitu rupa, sehingga ia tak dapat tidak memberontak. Waktu itu daerah sclatan-tengah bergoncang hebat, dan tenaga pemerintah Boan sangat berkurang. Itulah saat yang sangat baik untuk Cwan Ong merebut pulang negara. Andaikata pemberontakan Gouw Sam Kwi gagal dan usaha Cwan Ong juga tidak berhasil, sedikitnya Gouw Sam Kwi akan terbasmi. Maka itu, menurut pendapat 'Hui Thian Ho Li', tipu yang sedang dijalankannya banyak lebih bermanfaat daripada kalau ia hanya membunuh Gouw Sam Kwi seorang.

   "Waktu tiga saudara angkat Biauw, Hoan dan Tian datang di Kun Beng untuk membunuh Gouw Sam Kwi, tipu 'Hui Thian Ho Li' sudah hampir berhasil. Maka itulah, pada detik yang sangat berbahaya, ia segera muncul dan menolong Gouw Sam Kwi, sehingga percobaan itu menjadi gagal.

   "Tahun itu, tanggal lima belas bulan ketiga, ia mengundang ketiga saudara angkatnya untuk membuat pertemuan dan minum arak di tepi telaga Tinti. la berniat untuk membuka rahasia, untuk memberitahukan segala tipu-dayanya. Tapi di luar dugaan, sebelum ia sempat berceritera, pada waktu ia lengah, tiba-tiba ia diserang oleh ketiga saudara angkatnya. Serangan bokongan itu dilakukan sebab ketiga saudara tersebut, merasa jeri akan kepandaiannya yang tinggi. Pada waktu mau menghembuskan napasnya yang penghabisan, sambil mengucurkan air mata, ia berkata, 'Sayangi Sungguh sayang, tipuku telah gagal seanteronyal' Sesudah berdiam sejenak, dengan suara lemah ia berkata pula, 'Goansweeya berada di Ciok Bun Kiap____"'/ "Dengan berkata begitu, ia ingin memberitahukan, bahwa Li Cwan Ong pada waktu itu sedang menyamar sebagai pendeta di kuil To Cu Si, gunung Kiap San, disterik Ciok Bun Koan, dengan menggunakan nama Hong Thian Giok Hweeshio.

   "Cwan Ong berumur panjang. Ia hidup sampai pada bulan kedua, tahun Kahsin, pada pemerintahan Kaisar Khong Hi dan meninggal dunia pada usia 70. Dalam memimpin angkatan perang, Cwan Ong menggunakan nama Hong Thian Ciang Gi Taygoanswee. Namanya sebagai orang pertapaan ialah Hong Thian Giok dan huruf 'giok' berasal dari huruf 'ong' yang ditambah dengan satu titik."

   Sehabis mendengar ceritera Biauw Yok Lan, semua orang menganggap, bahwa 'Hui Thian Ho Li' manusia jahat.

   Tak dinyana, dalam hal itu bersembunyi sebuah rahasia besar.

   Mereka kaget tercampur heran dan mereka kelihatannya belum percaya keterangan Peng Ah Si.

   Melihat kesangsian orang, Peng Ah Si berpaling kepada nona Biauw dan berkata.

   "Menurut penuturanmu, pada tanggal lima belas bulan ketiga, putera 'Hui Thian Ho Li' telah menemui ketiga pamannya dan bicara lama dengan mereka dalam sebuah kamar dan waktu ketiga orang itu keluar dari kamar, mereka membunuh diri. Biauw Kouwnio, soal apakah yang telah dibicarakan mereka dalam kamar itu?" 'Apakah yang dibicarakan bukan soal tipu-daya 'Hui Thian Ho Li'?"

   Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Yok Lan balas menanya.

   "Bukankah kau ingin maksudkan, bahwa dalam kamar itu, putera 'Hui Thian Ho Li' telah membuka rahasia dan menceriterakan penderitaan ayahandanya?"

   "Benar,"

   Jawabnya.

   "Kalau ketiga orang itu tidak merasa menyesal, bahwa mereka telah membinasakan saudara angkatnya yang tidak berdosa, cara bagaimana mereka bisa membunuh diri-sendiri? Sesudah mendengar keterangan putera 'Hui Thian Ho Li', mereka baru tahu, bahwa bukan saja mereka sudah membunuh seorang yang putih-bersih, tapi juga sudah menggagalkan suatu usaha besar yang sudah hampir berhasil. Rasa menyesal mereka adalah sedemikian besar, sehingga mereka merasa tidak dapat menebus dosa, jika mereka tidak membunuh diri. Tapi pada waktu itu Cwan Ong masih hidup, sehingga rahasia tidak boleh bocor. Walaupun kepada orang- orang yang paling dipercaya, mereka tak dapat memberitahukan rahasia itu. Apa yang harus disayangkan, ialah, meskipun mereka orang-orang yang mempunyai kesetiaan dan pribudi tinggi, mereka semberono dan ceroboh. Bahwa mereka telah membinasakan 'Hui Thian Ho Li' karena salah paham, sudah merupakan suatu kesalahan hebat. Tapi pada waktu membunuh diri, sekali lagi mereka membuat kesalahan besar. Mereka tidak memesan anak-anak dan murid-murid mereka untuk tidak coba membalas sakit hati kepada putera 'Hui Thian Ho Li'. Inilah yang dinamakan kesalahan berlapis kesalahan, sehingga, sebagai akibatnya, turun-temurun keempat keluarga itu jadi bermusuhan."

   

   first share di Kolektor E-Book 13-08-2019 11:54:29
oleh Saiful Bahri Situbondo


Pedang Darah Bunga Iblis -- G K H Tugas Rahasia -- Gan K H Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL

Cari Blog Ini