Ceritasilat Novel Online

Pangeran Bunga Bangkai 3


Satria Lonceng Dewa Pangeran Bunga Bangkai Bagian 3



"Sekali ini kesalahanmu diampunkan Para Dewa. Namun mulai hari ini kau ditugaskan menjadi penjaga Sumur Api. Bilamana ada yang sampai menerobos masuk ke dalam Sumur Api sekalipun seekor semut! Maka hukuman yang lebih berat akan jatuh atas dirimu!"

   Ratu Dhika Gelang Gelang jatuhkan diri bersujud ke tanah. Setengah meratap dia berkata.

   "Dewa Jagat Bathara Agung. Saya yang hina ini mohon ampunMu. Banyak tugas yang harus saya laksanakan. Saya harus mencari dimana beradanya Sebayang Kaligantha..."

   "Ratu Dhika, bila kau masih terus berkeras menolak hukuman maka saatnya kau berubah diri!"

   Saat itu juga bagian atas kepala Ratu Dhika Gelang Gelang berubah menjadi kuncup hijau sementara bagian di bawah leher mengembang membentuk kelopak bunga lebar berlendir berwarna kuning berbintik coklat.

   Bersamaan dengan itu tubuhnya sebelah atas mulai mengeluarkan bau busuk! Ratu Dhika menjerit keras.

   "Ampun seribu ampun! Wahai Para Dewa di Swargaloka, saya meratap meminta keampunan. Saya berjanji akan mematuhi apa yang telah ditetapkan. Saya akan menjadi penjaga Sumur Api. Jangankan untuk satu purnama. Untuk seribu purnamapun akan saya lakukan!"

   Ratu Dhika benturkan keningnya berulang kali ke tanah sampai luka sambil air mata bercucuran.

   "Selama bertugas menjaga Sumur Api kau tidak diperkenankan meninggalkan tempat itu lebih dari seratus langkah! Bilamana Para Dewa berkehendak lain maka Para Dewa akan memberi keampunan atas dirimu. Kau harus berangkat menuju Sumur Api saat ini juga!"

   "Akan saya lakukan. Akan saya lakukan wahai Para Dewa."

   Ratu Dhika Gelang Gelang segera berdiri sambil mengepit Ragil Abang si kucing merah lalu dengan langkah terhuyung-huyung, masih menangis terisak dia tinggalkan tempat itu.

   Sambil berjalan tidaklupa dia mengambil kaca lalu bercermin memperhatikan wajah.

   "Ah, mengapa wajahku jadi buruk. Keningku luka dan benjut! Mengapa hidungku seperti melebar dan pesek! Mahluk Bunga Bangkai, apakah kau masih hidup atau sudah mati karena pukulanku tadi? Mahluk Bunga Bangkai maafkan diriku! Jika seandainya kau masih hidup, tolong...tolong temui diriku di Sumur Api. Aku akan bersujud minta maaf dan ampunan padamu. Aku tak bisa mencari menemuimu. Aku hanya boleh meninggalkan Sumur Api paling jauh seratus langkah! Tobat.....!"

   Mendadak Ratu Dhika Gelang Gelang hentikan langkah. Di kejauhan dia mendengar suara tambur ditabuh dan suara seruling ditiup.

   "Itu pasti dua manusia aneh Si Tambur Bopeng dan Si Suling Kurus. Ada apa keduanya berkeliaran di sekitar sini. Arwah Ketua menyuruh aku mengawasi dua orang itu. Bagaimana ini?"

   Setelah berpikir sebentar akhirnya perempuan ini memutar langkah, berjalan ke arah suara tambur dan seruling. Namun baru menindak tiga langkah tiba-tiba suara mengiang mendera telinganya.

   "Ratu Dhika Gelang Gelang, tugasmu adalah segera pergi ke Sumur Api. Mengapa lebih memperdulikan si penabuh tambur dan si peniup seruling?!"

   Ditegur seperti itu Ratu Dhika menjadi kecut dan cepat-cepat berjalan kembali ke arah semula. Namun dalam hati dia mengomel.

   "Kalau mahluk gaib sudah terlalu banyak mencampuri urusan dunia di Bhumi Mataram ini oala! Lebih baik rasanya aku berhenti saja jadi orang!"

   "Kalau kau memang mau berhenti jadi orang, mengapa tidak membenturkan kepalamu ke gunung batu?!"

   Tiba-tiba ada suara menyahuti disusul tawa cekikikan. Ratu Dhika Gelang Gelang tersentak kaget. Dia memandang berkeliling.

   "Siapa yang barusan bicara? Kalau manusia masakan bisa mendengar ucapan hatiku?"

   Merasakan tengkuknya mendadak jadi dingin, perempuan ini segera mempercepat langkahnya.

   TAMBUR BOPENG DAN SULING BURIK SUARA tambur dan seruling terdengar semakin santar.

   Tak lama kemudian kelihatan dua orang berdiri di depan goa yang runtuh akibat pukulan Langit Robek Bumi Terbongkar yang tadi dilepaskan Ratu Dhika Gelang Gelang.

   Orang yang memegang tambur bertubuh gemuk pendek bermuka bopeng.

   Kawannya yang meniup seruling berbadan tinggi kurus, muka penuh bintik-bintik putih.

   Si gemuk bopeng hentikan menabuh tambur.

   Dia berpaling pada si kurus burik yang juga telah berhenti meniup seruling.

   "Apakah kita terlambat?"

   Tanya si gemuk bopeng.

   "Jangan-jangan orang yang hendak kita temui sudah menemui ajal dibawah timbunan reruntuhan goa."

   "Siapa yang punya pekerjaan? Heran, Bhumi Mataram akhir-akhir ini telah dijejali banyak orang-orang jahat.Tambur Bopeng, mari cepat kita periksa. Kalau benar dia sudah menemui ajal celaka kita. Celaka Kerajaan ini!"

   "Suling Burik! Yang Kuasa Maha Agung! Memohon padaNya untuk keselamatan orang yang kita cari!"

   Lalu tam..tam..tam.

   Si gemuk pendek bermuka bopeng mulai menabuh tambur kembali.

   Sahabatnya si Suling Burik segera pula meniup seruling.

   Suara seruling melengking keras dan sesekali menurun berhiba-hiba.

   Tabuhan tambur terkadang keras lalu berubah pelan.

   Sementara suling ditiup dan tambur ditabuh terjadilah hal yang sulit dipercaya.

   Satu persatu runtuhan puing-puing yang bertimbunan di goa bekas kediaman dan pertapaan Pangeran Bunga Bangkai terangkat ke atas, melayang ke udara lalu jatuh menumpuk di lereng pedataran yang menurun.

   Ketika tumpukan puing batu telah terangkat semua, kelihatan satu sosok berkepala aneh duduk dalam sikap bersamadi.

   Sekujur tubuh dari atas sampai ke bawah tertutup debu reruntuhan goa.

   Si Tambur Bopeng tabuh tamburnya keras-keras lalu berhenti.

   Mata memandang melotot ke depan.

   Disebelahnya Si Suling Burik tiup serulingnya kuat-kuat lalu berhenti dan seperti temannya menatap ke depan.

   Begitu tabuhan tambur dan tiupan seruling berhenti, sosok tanpa kepala di depan sana bergerak.

   Sekali dia goyangkan tubuh maka debu beterbangan dan kini lebih jelas kelihatan sosoknya.

   Berpakaian biru, tanpa kepala.

   Yang ada di bagian kepala adalah kuncup hijau setinggi tiga jengkal dan kuntum bunga besar kuning berbintik coklat berlendir! Saat itu juga bau busuk menghampar di tempat itu.

   "Kita sudah menemukan! Dia masih hidup! Terima kasih Dewa! Terima kasih Yang Maha Kuasa!"

   Berseru Si Tambur Bopeng.

   "Aku turut bersyukur. Tapi setelah tertimpa dan tertimbun batu goa yang luar biasa beratnya, apakah otaknya tidak cidera dan masih waras?!"

   Si Suling Burik keluarkan ucapan.

   "Selama dia masih mampu menebar bau busuk, berarti dia tidak kurang suatu apa."

   Jawab Tambur Bopeng.

   "Kalau begitu mari kita periksa!"

   Sambil menabuh tambur dan meniup seruling dua orang aneh itu melangkah mendekati sosok tanpa kepala yang bukan lain adalah Pangeran Bunga Bangkai alias Nalapraya, Pangeran Kerajaan Taru-managara yang tengah menjalani kutukan dari Para Dewa karena dituduh telah membunuh ayah kandungnya sendiri.

   Mendengar suara tambur dan seruling sejaktadi serta melihat ada dua orang mendatangi Nalapraya segera berdiri.

   "Salam sejahtera bagimu wahai orang yang baru keluar dari timbunan reruntuhan goa. Kami datang untuk satu urusan sangat penting."

   Yang berucap adalah Si Tambur Bopeng.

   "Salam berbalas disertai ucapan terima kasih karena sahabat berdua telah menolong aku keluar dari timbunan batu goa. Apakah aku mengenal sahabat berdua?"

   "Dalam hal tolong menolong apakah harus diutamakan soal kenal atau tidak? Kami merasa bahagia telah berbuat kebajikan karena dipercaya Para Dewa untuk menolong Pangeran."

   Nalapraya terkejut karena ada orang takdi kenalnya mengetahui siapa dirinya. Menyebut Pangeran. Untuk jelasnya dia lantas bertanya.

   "Puji syukur semoga sahabat berdua akan mendapat pahala serta rakhmat besar dari Dewa Agung Yang Maha Kuasa. Sahabat tadi memanggil saya dengan sebutan Pangeran. Apakah...."

   "Sstttt.... Jangan bicara terlalu keras."

   Kata si Suling Burik.

   "Tanah dan batu serta pohon di tempat ini mungkin saja punya telinga. Apakah kami mengada-ada? Bukankah sahabat seorang Pangeran muda berasal dari Kerajaan Tarumanagara di wilayah barat? Bernama Nalapraya?"

   Nalapraya tercengang.

   "Dari mana sahabat berdua mengetahui siapa diriku?"

   "Orang di Bhumi Mataram ini mungkin tidak ada yang tahu. Tapi kami sudah tahu riwayat Pangeran. Malah sejak dua belas purnama lalu kami telah menunggu kedatangan Pengeran di Bhumi Mataram ini."

   Kembali Pangeran Bunga Bangkai dibuat tercengang oleh ucapan orang.

   "Aku sungguh tertarik. Sahabat berdua sudah tahu siapa diriku. Sebaliknya aku belum tahu siapa kalian."

   Si Tambur Bopeng pukul tamburnya berdentam-dentam lalu membungkuk dan berkata.

   "Aku yang gemuk pendek dan bermuka bopeng ini biasa dipanggil si Tambur Bopeng."

   Si Tinggi kurus tiup serulingnya melengking-lengking lalu menjura seraya berkata.

   "Aku yang kurus tinggi jelek ini bernama Suling Burik."

   "Nama kalian berdua sungguh bagus...."

   Memuji Nalapraya."

   Sekarang katakan urusan sangat penting apakah yang tadi para sahabat maksudkan?"

   Si Tambur Bopeng membungkuk. Lalu menjawab.

   "Kami datang sebagai utusan. Untuk menyampaikan pinangan."

   Kali ini Pangeran Bunga Bangkai benar-benar dibuat tercengang dan ter kejut. Kalau saja kepala dan wajahnya ada, pasti akan kelihatan bagaimana raut muka sang Pangeran.

   "Kalian berdua adalah utusan. Untuk menyampaikan pinangan. Utusan siapa? Lalu siapa yang hendak kalian pinang? Diriku?!"

   Si Suling Burik membungkuk.

   "Mengenai kami ini utusan siapa mohon dimaafkan karena saat ini belum dapat kami beritahukan. Tapi mengenai siapa yang akan kami pinang, saat ini juga dapat kami beritahukan. Yang jelas yang hendak kami pinang bukan Pangeran."

   "Lalu siapa?"

   Tanya Nalapraya.

   "Putera Pangeran,"

   Menjawab Tambur Bopeng. Kepala aneh Pangeran Bunga Bangkai menatap ke arah Tambur Bopeng lalu berputar ke jurusan Suling Burik.

   "Kalian ini bicara apa? Aku sama sekali tidak punya putera. Tidak punya anak."

   Lalu Pangeran tanpa kepala ini keluarkan tawa bergelak. Si Tambur Bopeng dan Suling Burik ikutan tertawa.

   "Sahabatku Pangeran Nalapraya. Saat ini Pangeran memang belum punya putera. Tapi dalam waktu tidak terlalu lama lagi bukankah Pangeran akan segera memiliki dua orang bayi laki-laki? Nah kami akan meminang salah seorang dari putera Pangeran itu. Putera yang mana nanti baru ketahuan setelah tujuh tahun berjalan."

   Lama Pangeran Bunga Bangkai terdiam.

   "Kalian ini siapa? Bagaimana bisa tahu banyak mengenai riwayat diriku?"

   "Pangeran, siapa kami beginilah ujudnya. Mengenai diri dan riwayat Pangeran agaknya bukan cuma kami yang tahu di Bhumi Mataram ini. Namun mengenai pinangan memang baru kami yang punya niat baik. Saat ini jika tidak dikatakan terlalu memaksa dan berlaku lancang, apakah kami bisa mendapatkan penjelasan bahwa Pangeran menerima pinangan yang kami sampaikan?"

   "Jika aku menjawab pertanyaan kalian, berarti aku sudah gila. Anak saja belum punya, aku juga tidak tahu siapa yang mau meminang anakku! Dua sahabat, lebih baik kita bicara perihal lain. Atau kalau tidak kalian berdua silahkan meninggalkan tempat ini. Aku tetap menghormati kalian, ber terima kasih dan tidak melupakan pertolongan kalian berdua."

   "Kalau Pangeran tidak bersedia membicarakan soal pinangan itu lebih lanjut tidak jadi apa. Yang penting Pangeran sudah tahu bahwa kami telah mengajukan pinangan. Jadi jangan putera Pangeran kelak diberikan pada orang lain. Soal kami diminta pergi, itu hak Pangeran. Namun ketahuilah mulai saat ini kami telah menjadi pengawal-pengawal Pangeran. Kemana Pangeran pergi kesitu kami ikut. Bilamana nanti putera Pangeran yang kami pinang telah besar maka kami akan melanjutkan tugas menjadi pengawalnya."

   "Sahabat berdua. Aku hidup dalam kutukan Para Dewa.Tapi aku percaya Para Dewa masih melindungi diriku. Karena itu aku tidak memerlukan pengawalan kalian berdua..." .

   "Kami mengerti, tapi kami berdua tidak akan beranjak dari tempat ini barang sejengkalpun. Kami mohon maaf kalau telah berlaku lancang. Mungkin bisa membuat Pangeran menjadi jengkel atau marah. Namun kami hanya menjalankan tugas. Sekalipun kami berdua dibunuh, kami tidak mungkin pergi meninggalkan Pangeran."

   "Sahabat berdua. Jika kalian ingin berbakti, masih banyak orang lain yang pantas tempat kalian berbakti. Pergilah ke Kotaraja. Kalian berdua pasti menemukan pekerjaan yang pantas."

   Tambur Bopeng dan Suling Buriktidak menjawab.

   Kedua orang ini dudukkan diri di tanah.

   Dua tangan disatukan dan dijunjung di atas kepala.

   Tubuh tidak bergerak sedikitpun.

   Mata dipejam.

   Melihat apa yang dilakukan kedua orang itu Pangeran Bunga Bangkai jadi berpikir.

   "Kalau mereka bukan menipuku, mungkin aku bisa minta bantuan keduanya untuk mencari istriku..."

   "Dua sahabat, bangunlah. Mengapa menyembah seperti itu. Jika kalian berdua memang punya niat baik, aku bersedia membawamu kemana aku pergi."

   Mendengar ucapan Pangeran Bunga Bangkai Tambur Bopeng dan Suling Burik serta merta buka mata masing-masing lalu melompat bangun! "Terimakasih Pangeran, terimakasih."

   Tambur Bopeng dan Suling Burik berbarengan sambi! membungkuk berulang kali.

   "Tam...tam...tam!"

   Tambur Bopeng pukul tamburnya dengan tangan kiri.

   Suling Burik tidak mau kalah.

   Dia segera tiup serulingnya.

   Sambil memukul tambur dan meniup seruling keduanya melangkah memutari Pangeran Bunga Bangkai.

   Satu kali dari bawah tambur, si Tambur Bopeng keluarkan gulungan kain putih lalu diberikan pada Pangeran Nalapraya.

   "Pangeran, jika kau bisa melihat kau pasti bisa "Apa ini?"

   Tanya Pangeran Bunga Bangkai.

   "Salinan dari tulisan yang ada pada Empat Gading Bersurat."

   Jawab Tambur Bopeng.

   "Gading Bersurat?"

   Pangeran Bunga Bangkai buka gulungan kain.

   "Bacalah, mungkin ada manfaatnya untuk Pangeran ketahui. Kami berdua yakin ada hubungannya dengan diri Pangeran..."

   Pangeran Bunga Bangkai buka gulungan kain dimana terdapat serangkai tulisan cukup panjang dalam huruf Palawa.

   Dengan agak berdebar pemuda ini mulai membaca.

   Gading Bersurat Pertama Di masa Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala memegang tahta.

   Di Bhumi Mataram dua anak lelaki akan lahir ke dunia.

   Terlahir dari seorang Ibu yang pada saat melahirkan berusia tujuh belas tahun.

   Perempuan yang telah dipilih Para Dewa.

   Berasal dari sebuah desa kecil di selatan Prambanan.

   Ibu yang akan tetap perawan sepanjang masa.

   Kelak dua anak akan menjadi Kesatria mengabdi pada Kerajaan Mataram.

   Siapa berjodoh akan menangguk rakhmat.

   Siapa tidak berjodoh jangan menebar umpat dan hujat.

   Berita disebar ke utara, selatan, timur dan barat.

   Untuk kemaslahatan seluruh umat.

   Gading Bersurat Kedua Siapa yang bersahabat dengan dua anak Akan mendapat rakhmat dari Para Dewa Siapa yang menjadi guru serta pelindung dua anak Akan mendapat rakhmat Para Dewa sepanjang masa Siapa yang bisa menguasai dua anak Akan menguasai Bhumi Mataram Namun niat jahat akan mendapat balasan Karenanya tempuhlah selalu jalan yang lurus Jalan yang penuh rakhmat Gading Bersurat Ketiga Jika ingin tahu lama kehamilan Dari perawan desa yang dipilih Para Dewa Menjadi ibu dari bayi Yang kelak akan menjadi Kesatria Mataram Letakkan gading di atas Sumur Api Ukur bagian gading yang menjadi hitam Maka akan diketahui lama kehamilan Gading Bersurat Ke Empat Malam bulan purnama empat belas hari Konon itulah saat lahirnya dua bayi Orang baik dan orang jahat Manusia nyata dan mahluk gaib Akan berkumpul untuk mendapatkan bayi Sumur Api akan menjadi Sumur Darah Mohon perlindungan hanya pada Yang Maha Kuasa Semoga Bhumi Mataram terlepas dari bencana Setelah membaca tulisan di atas kain putih, Pangeran Bunga Bangkai merenung berpikir.

   Saat itu yang bertahta di Kerajaan Bhumi Mataram adalah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.

   Berarti dua bayi dimaksud akan lahir sekarang ini di masa pemerintahannya.

   Dada Pangeran Bunga Bangkai berdebar, jantung berdetak kencang dan darah mengalir cepat.

   "Dua bayi dilahirkan, apakah....Jika ini memang ada sangkut paut dengan diriku seperti yang dikatakan dua sahabat aneh, berarti yang akan lahir itu adalah anak-anakku...."

   "Dua sahabat, dari mana kalian dapatkan kain bertulis ini?"

   Pangeran Bunga Bangkai bertanya.

   "Dari orang yang mengutus kami,"

   Jawab Tambur Bopeng.

   "Kalian masih belum mau memberi tahu siapa sang pengutus itu?"

   Tambur Bopeng menggeleng. Pangeran Bunga Bangkai putar kepalanya ke arah Suling Burik. Orang ini gelengkan kepala. Pangeran Bunga Bangkai kembali merenung.

   "Malam bulan purnama empat belas hari. Malam tadi aku lihat di langit bulan besar muncul belum bulat benar. Baru malam ke dua belas."

   "Dua sahabat, apakah kalian tahu bagaimana ciri-ciri perawan desa yang katanya akan melahirkan dua bayi lelaki itu?"

   "Tidak satupun dari kami yang tahu. Kami tidak pernah melihat."

   Jawab Tambur Bopeng.

   "Namun pernah ada cerita tentang lenyapnya seorang perawan desa bersama ibunya di selatan Prambanan. Hanya sayang kami juga tidak tahu siapa mereka. Kalau Pangeran mau menyelidiki kami bisa mengantar ke desa itu. Agak jauh di arah timur. Dari penduduk mungkin kita bisa mencari keterangan."

   Menjelaskan Suling Burik.

   "Apakah kalian berdua tahu dimana letak Sumur Api yang tertulis pada kain putih itu?"

   Kembali Pangeran Bunga Bangkai ajukan pertanyaan.

   "Kami belum pernah kesana. Tapi kami tahu dimana kira-kira letaknya. Jika dicari pasti bertemu."

   Menjawab Suling Burik.

   "Kalau begitu kita berangkat ke sana sekarang juga."

   Kata Pangeran Bunga Bangkai pula.

   MALAM BERDARAH DI SUMUR API KESUNYIAN mencekam sekitar Sumur Api.

   Cahaya api yang membesit keluar dari dasar sumur tidak mampu menerangi sampai ke pinggiran rimba belantara hingga bayang-bayang hitam pekat tampak bertebaran dimana-mana.

   Langit yang semalam cerah malam ini justru tampak redup.

   Bulan purnama empat belas hari yang diharapkan muncul seolah sembunyi dibalik ketebalan awan.

   Sesekali jauh di dalam rimba terdengar suara raungan anjing hutan, mengejutkan burung-burung yang hampir terlelap tidur.

   Binatang ini kepakkan sayap lalu menghambur terbang mencari tempat yang lebih dirasakan aman.

   Dalam sebuah kali kecil tak jauh dari Sumur Api, beberapa orang mendekam dalam gelap, seolah menyatu dengan tebing kali.

   Di atas pohon-pohon besar, hampir tidak kelihatan, tersamar dalam kegelapan, mendekam pula beberapa orang yang setiap saat selalu memandang memperhatikan ke arah Sumur Api.

   Di balik sederetan semak belukar dan dua gundukan batu juga tampak beberapa orang bersembunyi, diam tak bergerak laksana patung.

   Lalu ketika ada suara kucing mengeong disertai bunyi bergemerincing, semua orang yang ada di tempat itu jadi tercekat.

   Mata dipentang menatap ke arah Sumur Api.

   Melihat siapa yang muncul semua jadi terkesiap.

   Bagaimana mungkin.Tadi tidak terlihat orang itu dekat sumur.

   Kini tahu-tahu dia sudah berdiri di sana! "Ratu Meong......"

   Beberapa orang berucap perlahan, bibir bergetar dada berdebar.

   "Ratu Dhika Gelang Gelang..."Beberapa orang lain menyebut nama perempuan itu. Dua orang yang mendekam di tebing kali saling berbisik.

   "Tidak disangka perempuan satu ini juga punya urusan di Sumur Api. Kita harus segera bicara dengan teman-teman agar cepat menyingkirkannya. Kalau tidak urusan bisa jadi tidak karuan."

   "Aku tidak seberapa kawatir dengan perempuan itu. Yang aku takutkan adalah kalau sampai mahluk bernama Arwah Ketua datang ke tempat ini. Terakhir sekali aku dengar dia memusnahkan mahluk jejadian Sri Sikaparwathi."

   Yang ada di tepi Sumur Api memang Ratu Dhika Gelang Gelang.

   Di bahu kirinya berbaring kucing merah Ragil Abang.

   Perempuan berkemben yang dibelah bagian bawah depan belakang ini berdiri memegang cermin.

   Sambi! merapikan dandanan serta rambutnya dia berkata.

   "Ragil Abang, apakah sudah kau hitung berapa manusia kesasar yang datang ke tempat ini?!"

   Kucing merah di bahu kiri Ratu Dhika Gelang Gelang menjawab dengan ngeongan panjang. Perempuan itu kemudian tertawa cekikikan.

   "Sembilan orang katamu! Hik...hik... hik! Banyak sekali! Perlu apa malam-malam mereka ke sini. Malah ada yang datang dari kemarin pagi! Hik...hik!"

   Ratu Dhika melangkah ke dekat Sumur Api. Dia memandang ke langit hitam gelap lalu berkata lantang.

   "Sembilan mahluk tolol! Kalau kalian hendak menunggu munculnya bulan purnama empat belas hari maka itu adalah satu kesia-siaan! Bulan purnama tidak akan muncul malam ini! Apapun urusan kalian di tempat ini datanglah satu bulan lagi sampai bulan purnama yang akan datang!"

   Tak ada yang menjawab.

   Sembilan orang yang mendekam di tempat gelap diam membisu tapi mata menengadah ke langit.

   Mereka memang tidak melihat bulan purnama empat belas hari.

   Awan gelap masih bertebaran di langit.

   Di atas satu pohon besar seorang tua berjanggut putih panjang yang mendekam sambil melilitkan janggutnya ke cabang pohon berpaling pada seorang nenek kepala botak beralis rimbun yang duduk manja di sebelahnya merangkul pinggangnya.

   Sambil ciumi kepala botak si nenek dia berbisik.

   "Kekasihku Kunti Jenggala, aku tahu betul di langit sana bulan purnama telah muncul. Tapi ada seseorang berkepandaian tinggi mengarak awan hitam menutupi rembulan."

   "Ametung Warangtilis, Ratu Dhika Gelang Gelang manusia sungguhan. Kepandaian mengarak awan hanya dimiliki oleh mahluk gaib jejadian atau mahluk alam roh."

   Menjawab sang kekasih sambil balas mengusap janggut si kakek.

   "Kau bisa menduga siapa mahluknya?"

   Tanya kakek bernama Ametung Warangtilis.

   "Di Bhumi Mataram hanya satu mahluk yang bisa melakukan. Siapa lagi kalau bukan Arwah Ketua, dedengkot raja diraja mahluk alam kematian! Sejak tadi tidak ada satu orang tokohpun yang berada di sini berani jual tampang unjukkan diri. Jika Ratu Dhika Gelang Gelang melakukan hal itu maka berarti dia punya seseorang yang diandalkan. Pasti dia mengandalkan Arwah Ketua!"

   "Lalu apakah kau merasa takut kekasihku?"

   Si kakek bertanya lalu menjilat kepala botak si nenek. Di dekat Sumur Api Ratu Dhika goyangkan dua tangannya hingga gelang yang diganduli kerincingan berbunyi keras.

   "Sembilan mahluk yang ada di tempat ini! Apa kalian manusia sungguhan atau mahluk jejadian! Dengar apa yang aku katakan! Aku Ratu Dhika Gelang Gelang, kerabat Sri Maharaja yang bertahta di Bhumi Mataram, mempunyai kewenangan untuk mengatakan bahwa kalian semua tidak ada kepentingan di tempat ini! Karena itu aku meminta kalian semua untuk segera pergi! Siapa yang berani menolak bangkainya akan menggeletak di tempat ini atau rohnya akan berserabutan kelangit!"

   Tidak ada suara jawaban.

   Namun dari arah kali terdengar suara seperti orang menggerutu.

   Ratu Dhika Gelang Gelang melangkah lebih dekat ke Sumur Api.

   Tangan kirinya yang memegang cermin diletakkan di dekat bibir batu sumur.

   Cahaya nyala api di dasar sumur menerangi cermin.

   Ketika cermin itu digoyang maka cahaya merah terang memantul ke depan.

   Ratu Dhika membuat gerakan sembilan kali ke sembilan arah.

   Setiap gerakan cermin yang diarahkan jatuh tepat secara bergantian pada sembilan wajah orang-orang yang mendekam di tempat gelap.

   "Hik...hik...hik. Kau benar Ragil Abang! Mereka semua berjumlah delapan orang! Beberapa diantaranyacukup aku kenal! Biaraku bicara lagi. Aku mulai dengan yang aku kena! lebih dulu!"

   Ratu Dhika Gelang Gelang goyangkan lagi cerminnya lalu diam tidak digerakkan.

   Pantulan cahaya terang nyala api dari dasar sumur jatuh pada satu wajah seram yang mendekam di belakang gundukan batu besar.

   Orang ini lelaki garang berambut tebal hitam, memelihara berewok, janggut dan kumis tebal.

   Mata kiri berwarna merah, mata kanan berwarna kuning.

   Dua gigi di sudut bibir sebelah atas mencuat berbentukcaling berwarna merah.

   Pantulan cahaya merah dari cermin membuat tampangnya tambah menyeramkan.

   "KamaraTunggalbisma alias Hantu Mata Iblis! Kita sudah lama saling kenal. Atas nama persahabatan aku minta kau menjadi orang yang pertama untuk segera meninggalkan kawasan Sumur Api ini. Syukur-syukur kalau kau mau mengajak delapan orang lainnya untuk ikut bersamamu. Kalian tidak akan melihat bulan purnama malam ini! Apapun urusan dan kepentingan kalian di tempat ini adalah satu kesia-siaan!"

   Lelaki di balik gundukan batu menggeram pendek.

   Lalu meniup ke depan.

   Cahaya merah yang sejak tadi menyoroti wajahnya buyar.

   Tangan kiri Ratu Dhika Gelang Gelang yang memegang cermin bergetar.

   Perempuan gemuk ini cepat kerahkan tenaga dalam hingga getaran di tangannya menjadi lenyap.

   Setelah lebih dulu tertawa Ratu Dhika Gelang Gelang Berkata.

   "Aku sangat mengagumi ilmu kepandaianmu, Kamara Tunggalbisma. Sayang kalau ilmu meniup langka yang kau miliki itu lenyap dan dilupakan orang begitu saja. Aku mohon, tinggalkan tempat ini."

   "Ratu Dhika!"

   Sunra jawaban Kamara Tunggalbisma menggelegar.

   "Aku pergi ke mana aku suka! Aku diam dimana aku senang! Bhumi Mataram adalah milik semua orang. Dia boleh berada dimana saja sesuai kehendaknya, termasuk diriku yang ingin berada di kawasan Sumur Api ini. Kalau kau meminta aku pergi maka kau juga akan aku minta angkat kaki dari sini."

   "Begitu?!"

   Ratu Dhika Gelang Gelang berucap sambil menyeringai. Alis kereng mencuat ke atas. Perempuan ini lalu tertawa panjang.

   "Kalau kita memang sama-sama ingin pergi maka aku persilahkan kau pergi duluan!"

   Ratu Dhika tutup ucapannya dengan menggerakkan tangan kiri yang sudah dialiri tenaga dalam tinggi.

   "Wusss!"

   Dari dalam cermin yang melesat kini bukan cuma pantulan cahaya nyala api tapi api sungguhan.

   Kamara Tunggalbisma berteriak kaget tak mengira.

   Dia cepat menyingkir.

   Namun terlambat.Tubuhnya terbanting ke tanah.Tergelimpang tak bergerak lagi.

   Di mukanya yang seram kini tampak lobang besar menggidikkan! Udara di tempat itu serta merta dipenuhi bau daging yang terpanggang! Kesunyian yang menggantung dipecah oleh suara Ratu Dhika Gelang Gelang.

   "Kasihan....Kasihan sekali! Siapa lagi yang perlu aku kasihani?!"

   "Ratu Dhika Gelang Gelang! Kita memiliki kepentingan sama! Mengapa menyele-saikan persoalan dengan kematian?!"

   Tiba-tiba ada yang bicara lantang.

   "Siapa yang bicara?! Aku ingin melihat tampangnya!"

   Saat itu juga dari atas pohon melayang turun sepasang kakek nenek yang bukan lain adalah Ametung Warangtilis dan kekasihnya Kunti Jenggala.

   "Ah, sepasang tua bangka bercinta!"

   Ratu Dhika berseru lalu tertawa gelak-gelak.

   "Sudah lama aku mendengar nama besar kalian. Baru kali ini bisa bertatap muka. Sungguh satu kehormatan besar!"

   Si kakek Ametung Warangtilis diam saja namun sepasang matanya memperhatikan sang Ratu dengan pandangan mata liar. Di sebelahnya si nenek berkomat kamit. Ratu Dhika membentak.

   "Kalian bilang kita punya kepentingan sama! Kepentingan apa?!"

   Ametung Warangtilis berjingkat sedikit lalu miringkan kepala. Lidah dijulurkan untuk menjilat kepala botak si nenek yang membuat Ratu Dhika menjadi jijik.

   "Tua bangka edan! Kalau mau bercinta jangan dihadapanku! Pergi ke comberan sana!"

   Ametung Warangtilis menyeringai sambil julur-julurkan lidah.

   "Comberan memang bukan tempat sedap. Tapi lebih enak dari pada kuburan atau timbunan kayu pembakar jenazah! Ha...ha... ha!"

   Si nenek ikutan tertawa lalu berkata.

   "Ratu Dhika! Jika kau berjanji menyerahkan dua bayi yang bakal lahir malam ini, aku dan kekasihku bersedia mengakhiri urusan sampai di sini!"

   "Ah, jadi itu maksud kalian datang ke Sumur Api. Berarti kepentingan kita tidak sama! Kau mau dua bayi. Aku sebaliknya melindungi mereka! Selagi malam belum larut pergilah dari sini!"

   "Jika begitu jawabmu, maka kami akan membawamu sama-sama masuk ke dalam sumur api!"

   Kata si nenek bernama Kunti Jenggala.

   "Kalau kalian memang punya kemampuan aku sudi-sudi saja ikut!"

   Jawab Ratu Dhika.

   Sepasang kakek nenek angkat dua tangan lurus-lurus ke atas.

   Saat itu juga dari ujung jari-jari mereka mengepul asap putih menghampar hawa luar biasa dingin.

   Asap putih kemudian dengan cepat bergulung ke bawah menyelubungi tubuh mulai dari kepala sampai ujung kaki.

   "Ilmu Salju Merapi!"

   Teriak Ratu Dhika Gelang Gelang terkejut.

   Dia mengenali dan mengetahui kehebatan ilmu tersebut.

   Walau belum tentu sepasang kakek nenek itu mampu mengambil dua bayi yang malam itu memang akan lahir di dasar Sumur Api, namun kalau keduanya bisa menerobos masuk ke dalam sumur paling tidak kekacauan besar akan terjadi.

   "Ragil Abang! Hadapi si kakek! Aku akan menahan si nenek!"

   Teriak Ratu Dhika.

   Kucing merah di atas bahu kiri mengeong keras lalu melompat ke arah Ametung Warangtilis.

   Tubuh berselubung si kakek segera berkelebat menghadapi serangan kucing merah.

   Kejap itu juga cahaya putih menderu membungkus kaku tubuh Ragil Abang.

   Kucing ini seperti memiliki tenaga dalam mengandung hawa panas, menggeliat jungkir balik di udara lalu kembali menyerang lawan dengan dua kaki depan terpentang, kuku siap mencabik-cabik.

   Kunti Jenggala lepaskan dua pukulan tangan kosong.

   Selagi Ratu Dhika Gelang Gelang membuat gerakan mengelak nenek ini memburu dengan tendangan serta dua pukulan tangan kosong.

   Tendangan meleset, dua pukulan tangan kosong saling beradu dengan dua lengan Ratu Dhika Gelang Gelang.

   Si nenek mencelat ke udara.

   Ketika lawan mengejar, perempuan tua ini goyangkan sekujur tubuhnya.

   Seluruh benda putih menyerupai salju yang menutupi dirinya berhamburan dan dengan cepat menyelubungi tubuh Ratu Dhika.

   Selagi perempuan gemuk ini tertegun kaku Kunti Jenggala langsung menghajar dengan pukulan-pukulan keras hingga Ratu Dhika terjengkang.

   Dua pukulan dengan telak melanda dadanya membuat Ratu Dhika semburkan darah.

   Sadar akan bahaya yang dihadapi Ratu Dhika cepat kerahkan hawa panas hingga sebagian tubuhnya yang kaku kini bisa digerakkan.

   Kunti Jenggala tertawa bergelak.

   Sekali lompat saja dia sudah melayang di atas tubuh Ratu Dhika, siap untuk menghancurkan kepala lawan dengan hunjaman tumit kaki kanan! Sambil bergulingan selamatkan diri Ratu Dhika kerahkan hawa panas ke tangan kanan.

   Begitu tangannya mampu digerakkan dengan cepat dia melepas pukulan sakti Langit Roboh Bumi Terbongkar.

   Pukulan sakti inilah yang sebelumnya dikeluarkannya waktu menghancurkan goa tempat pertapaan Pangeran Bunga Bangkai.

   Kalau batu goa yang begitu tebal saja hancur berantakan dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dengan tubuh seorang nenek seperti Kunti Jenggala! Tak ampun lagi tubuh si nenek mencelat sampai dua tombak ke udara.

   Ktika tubuh itu melayang turun keadaannya tercerai berai menjadi dua puluh tujuh potongan! Lapisan benda putih menyerupai salju yang menyelubungi Ratu Dhika meleleh cair begitu si nenek Kunti Jenggala menemui ajal.

   Ratu Dhika tengah berusaha berdiri sambi! pegangi dada ketika sebuah benda jatuh di depannya.

   "Bluukk!"

   Ketika melihat benda yang jatuh Ratu Dhika menggerung keras dan jatuhkan diri menubruk.

   Benda itu ternyata adalah Ragil Abang.

   Kucing besar ini menemui ajal kena dihantam pukulan dahsyat Ametung Warangtilis.

   Si kakek sendiri tewas dengan dua belas koyakan luka mengerikan di muka, leher dan dada.

   Kalap melihat kematian kucing peliharaannya, Ratu Dhika Gelang Gelang menjerit-jerit lalu tendang tubuh Ametung Warangtilis.

   Karena tendangan yang dilancarkan dengan mengandalkan aji kesaktian Langit Roboh Bumi Terbongkar, maka seperti yang dialami si nenek, tubuh kakek inipun hancur bercerai berai! "Kubunuh semua! Kubunuh semua!"Teriak Ratu Dhika Gelang Gelang masih kalap.

   Tiba-tiba enam orang berkelebat dari tempat gelap, langsung mengurung Ratu Dhika Gelang Gelang.

   Mereka adalah sisa dari sembilan orang yang sejak tadi mendekam di tempat gelap, menunggu kesempatan.

   Melihat kehebatan dan keganasan ilmu perempuan itu mereka merasa sangsi untuk bertarung sendiri-sendiri.

   Setelah secara diam-diam saling mengatur siasat, mereka lalu menyerbu bersama-sama.

   "Bagus! Kalian sudah keluar semua! Ayo serang! Biar aku buat mampus kalian berbarengan!"

   Ratu Dhika Gelang Gelang hentakkan dua kaki, angkat tangan ke udara.

   Dua puluh kerincing menderu keras.

   Dua puluh larik sinar kuning memancar menyilaukan.

   Siap menebar maut.

   Tapi enam orang yang mengurung tidak tunjukkan perasaan jerih.

   Didahului teriakan keras mereka menyerbu.

   Mereka sadar kalau di antara mereka akan jadi korban.

   Namun mereka juga mengharap bilamana Ratu Dhika Gelang Gelang tewas maka mereka bisa menerobos masuk ke dasar Sumur Api.

   Akibatnya setiap orang membekal niat keji.

   Siapa saja diantara mereka kelak yang masih hidup akan dibunuh agar bisa mendapatkan dua orang bayi.

   Walau mereka belum melihat bulan purnama empat belas hari namun mereka yakin bulan itu ada di atas langit sana yang saat itu masih tertutup tebaran awan gelap.

   Tiba-tiba tam...tam...tam! Suara tambur ditabuh.

   Disusul suara tiupan suling.

   Tanah bergetar.

   Udara bergaung.

   Awan tebal yang sejak tadi menutupi langit secara aneh perlahan-lahan menebar buyar.

   Langit tampak terang ketika rembulan empat belas hari sedikit demi sedikit muncul menampakkan diri.

   LAHIRNYA DUA BAYI KERAMAT DI DALAM ruangan tidur di dasar Sumur Api.

   Ananthawuri terbaring di ranjang besar.

   Perawan desa Sorogedug yang sedang hamil besar ini berada dalam keadaan setengah tidur setengah terjaga.

   Dia tidak tahu apakah dia bermimpi atau melihat kejadian yang sebenarnya ketika di langit di luar Sumur Api bulan purnama empat belas hari akhirnya muncul, di dalam ruangan satu cahaya putih kemilau turun dari langit-langit kamar menyelubungi dirinya.

   Sekujur tubuhnya terasa sejuk dan nyaman.

   Bersamaan dengan itu bau harum segar menebar.

   Perlahan-lahan kedua matanya terasa berat lalu terpejam dan tertidur sangat lelap.

   Suara aneh yang tidak pernah didengarnya sebelumnya membangunkan anak perawan pilihan Para Dewa dari tidurnya.

   Ananthawuri nyalang mata, mengucak-ngucak beberapa kali sementara telinganya terus mendengar suara aneh itu.

   Suara genta lonceng! Ananthawuri bergerak bangun.

   Karena kebiasaan dua tangan langsung mengelus perut.

   Ananthawuri ' terkejut ketika merasakan bahwa perutnya yang selama ini besar karena mengandung kini telah rata.

   Tiba-tiba dia mendengar suara lain.

   Suara tangis bayi! Dewa Agung Jagat Bhatara! Di atas tempat tidur di sampingnya berbaring dua bayi laki-laki merah montok, melejang-lejang kaki, menggerak-gerakkan tangan dan menangis sama-sama keras.

   Sulit dibedakan bayi satu dengan lainnya karena kedua bayi itu seperti kembar.

   "Anakku? Apakah mereka benar anak-anakku? Bayi-bayi yang aku lahirkan seperti pernah diberitahu Roh Agung? Tapi bagaimana mungkin? Aku tidak merasa seperti melahirkan. Aku hanya tidur dan tahu-tahu mereka sudah ada di sini. Kalau mereka bukan anak-anakku lalu...?"

   Ananthawuri kembali mengusap perutnya yang telah kempes.

   Bagaimanapun dalam diri anak perawan dari Desa Sorogedug itu ada perasaan ikatan bathin bahwa dua bayi itu memang adalah darah daging yang dilahirkannya.

   Perasaan kasih sayang yang muncul dalam dirinya membuat dia membelai kepala ke dua bayi itu.

   Ketika membelai itulah dia melihat bahwa bayi yang di sebelah kanan ada anting-anting emas di telinga kirinya sedang bayi yang di sebelah kiri ada anting-anting yang sama tapi pada telinga kanan.

   "Dewa Agung, sembilan bulan lebih saya menunggu. Sekarang inilah anugerah Mu. Saya merasa sangat berbahagia. Terima kasih Dewa, terima kasih Yang Maha Kuasa Maha Pengasih...."

   Ananthawuri lalu merunduk mencium kening bayi itu satu persatu.

   Ketika dia mencium kening bayi yang memiliki anting-anting emas pada telinga kanan, tiba-tiba dua cahaya putih sejuk muncul menyelubungi dua bayi.

   Bersamaan dengan itu terdengar suara yang tidak asing lagi.

   Suara Roh Agung.

   "Ananthawuri anak perawan pilihan Para Dewa Berkat anugerah Para Dewa yang paling indah telah menjadi bagian dirimu Mereka bayi-bayi yang baru kau lahirkan secara gaib bukanlah bayi-bayi biasa Mereka dua bayi keramat berwajah mirip Namun mereka tidak kembar Mereka akan tumbuh tidak seperti bayi biasa Satu purnama bagi mereka sama dengan dua belas purnama Jangan heran bilamana dalam usia tujuh bulan mereka akan sama besarnya dengan anak-anak seusia tujuh tahun Bilamana mereka dewasa kelak Mereka akan menjadi dua orang Kesatria Yang akan berbakti pada Bhumi Mataram Mereka sama dengan sehelai kain putih Mereka bisa tetap putih tapi juga bisa berubah hitam Sesuai dengan apa yang mereka terima dari luar Karenanya pelihara dan jaga mereka baik-baik Mohon selalu petunjuk dan perlindungan Para Dewa Agar mereka berada dijalan yang benar dan lurus Seperti yang pernah dikatakan suamimu Pada hari terakhir pertemuan kalian Berikan nama Dirga Purana pada bayi yang ada anting-anting di telinga kiri Dialah anakmu yang sulung Berikan nama Mimba Purana Pada bayi yang memiliki anting-anting di telinga kanan Dialah anakmu yang bungsu Semoga berkat Para Dewa menjadi bagian kalian bertiga. Aku pergi sekarang."

   "Roh Agung, tunggu dulu. Bolehkah saya bertanya?"

   Ananthawuri yang sejak tadi berdiam diri mendengarkan ucapan suara tanpa ujud memberanikan diri membuka mulut.

   "Apa yang ingin kau tanyakan anak perawan pilihan Para Dewa?"

   "Siapakah nama suami saya? Nama ayah dari dua anak saya?"

   "Suamimu seorang Pangeran. Hanya itu yang bisa aku beritahu."

   "Seorang Pangeran? Lalu apakah dia tidak punya nama?"

   "Hanya itu yang bisa aku katakan."

   Suara tanpa ujud mengulangi ucapannya.

   "Roh Agung, apakah saya bisa bertemu dengan dia? Dimana saya harus mencari suami saya? Apakah anak-anak saya bisa bertemu dengan ayahnya?"

   "Pertemuan adalah salah satu kehendak Yang Maha Kuasa. Memohonlah padaNya. Niat baikmu pasti akan dikabulkan. Untuk itu kau perlu bersabar..."

   "Satu hal lagi wahai Roh Agung. Sejak tadi saya mendengar bunyi suara lonceng. Saya tidak tahu dari mana datangnya. Mohon petunjuk Roh Agung, apakah artinya suara lonceng itu, dari mana datangnya?"

   "Suara lonceng yang kau dengar datang dari Swargaloka tempat kediaman Para Dewa."

   Menjelaskan suara tanpa ujud.

   "Itu adalah satu pertanda bahwa kelak salah seorang dari puteramu akan menerima satu ilmu kesaktian melebihi dari saudaranya yang lain. Ilmu itu bersumber pada Lonceng Gaib terbuat dari emas milik Para Dewa..."

   "Berarti Para Dewa membeda-bedakan diantara dua putera saya?"

   "Para Dewa tidak pernah membeda-bedakan. Bahkan berkat dan rahmat diberikan bukan cuma pada manusia tapi juga pada tetumbuhan dan hewan. Jika kau mau merenungi lebih dalam justru disitulah makna yang sangat hakiki dari kehidupan dimana terkait hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa Maha Pencipta. Manusia memiliki suratan nasib dan takdir masing-masing."

   "Dari kedua putera saya wahai Roh Agung, yang mana yang akan mendapat kelebihan ilmu itu?"

   "Aku tidak tahu karena itu adalah kuasa dan kehendak Para Dewa. Namun jika mereka sudah dewasa kelak kau akan mengetahui sendiri. Waktuku sudah habis. Selamat tinggal..."

   "Terima kasih Roh Agung. Saya selalu mohon petunjukmu,"

   Kata Ananthawuri sambil membungkuk dalam-dalam.

   KEMBALI ke Sumur Api.

   Ketika Ratu Dhika Gelang Gelang dengan galak menghadapi enam musuh yang datang menyerang secara serentak, suara tambur dan tiupan seruling memenuhi tempat itu.

   Tanah bergetar, udara bergaung dan api di dalam sumur bergejolak, menyambar tinggi melewati bibir sumur.

   Tiba-tiba ada yang berseru.

   "Sahabatku Ratu Dhika, kau dalam keadaan terluka di dalam. Biar aku dan dua teman menghadapi para penyerang keji pembawa niat jahat!"

   Meski belum melihat orang yang bicara namun Ratu Dhika mengenali suara. Maka dia segera menyahuti.

   "Aku tidak perlu bantuan. Kaupun belum tentu berhati lurus dan membawa niat jujur!"

   Enam larik serangan laksana topan prahara menyambar ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang.

   Empat dari serangan itu memancarkan cahaya menggidikkan.

   Ratu Dhika Gelang Gelang goyangkan dua tangan dan hentakkan dua kaki.

   Saat itu juga dua puluh sinar kuning menyambar keluar dari kerincingan emas, menyambut serangan enam lawan tak kalah ganasnya.

   Namun sebelum semua ilmu kesaktian itu saling bentrok di udara tiba-tiba terjadi keanehan.

   Satu persatu enam orang yang menyerang Ratu Dhika tubuh mereka terangkat ke atas lalu seperti ada tangan yang tidak kelihatan tubuh-tubuh itu dibanting-kan ke tanah, ke arah gundukan batu dan ada juga yang dilempar ke batang pohon besar.

   Jerit pekik memenuhi udara.

   Enam tubuh berkaparan.Tiga dalam keadaan kepala hancur.

   Dua orang mengalami patah leher dan satu dengan dada remuk.

   Semuanya tidak bernyawa lagi! TAMAT Meskipun Ratu Dhika Gelang Gelang yang dalam keadaan terluka dalam mendapat pertolongan dari dua orang aneh, apakah dia masih mampu menyelamatkan Sumur Api dari serombongan tokoh pendatang baru yang juga ingin menerobos masuk ke dasar Sumur Api pada malam bulan purnama yang sama? Mengapa Arwah Ketua tidak muncul untuk membantu? Siapa yang telah mencuri jimat Mutiara Mahakam dan apakah Sebayang Kaligantha pemuda kekasih Ratu Dhika yang memiliki jimat itu masih hidup? Siapa sebenarnya manusia pengganda gaib yang memiliki ilmu kesaktian begitu tinggi? Lalu siapa sang peminang salah seorang bayi keramat yang mengutus si Tambur Bopeng dan si Suling Burik? Lalu siapa pula.

   DEWI TANGAN JERANGKONG (Judul kisah berikutnya)

   

   

   

Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah Pendekar Rajawali Sakti Mawar Berbisa Pendekar Rajawali Sakti Misteri Naga Laut

Cari Blog Ini