Ceritasilat Novel Online

Perawan Sumur Api 3


Satria Lonceng Dewa Perawan Sumur Api Bagian 3



"Dhika Gelang Gelang!"

   Ucap Arwah Muka Hijau yang mengenali perempuan itu dengan suara setengah tertahan sementara Setunggul Langit yang juga mengetahui siapa adanya perempuan itu tegak ternganga terkesiap.

   Perempuan gemuk sepertinya tidak acuhkan kedua orang yang ada di hadapannya.

   Dia memegang sebuah cermin kecil, asyik berkaca sambil mematik alis dan rambut.

   Lidah sesekali dijulurkan untuk membasahi bibir merah dower.

   Setelah menyimpan cermin kecil di balikdadanya, perempuan ini angkat kepala, memandang senyum-senyum ke arah Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit.

   Tangan kanan diangkat ke atas lalu tubuh diputar satu kali ke kanan, satu kali ke kiri.

   Empat gelang berkerincingan.

   Kemudian perempuan ini keluarkan ucapan bertanya.

   "Bagaimana menurut kalian, apakah wajahku sudah cantik dan tubuhku langsing gemulai?"

   Karena tak ada yang menjawab perempuan gemuk ini singsingkan ke atas bagian bawah kembennya yang terbelah sebelah depan.

   "Aku orangnya memang berkulit hitam. Tapi kalian saksikan sendiri, pahaku putih bersih dan mulus! Hik...hik...hik!"

   Padahal sebagaimana keadaan kulit tubuhnya yang lain, paha perempuan ini hitam dan gempal.

   Arwah Muka Hijau tidak bergerak.

   Rahang menggembung, sayatan pada bagian mata dan mulut bergerak-gerak.

   Ketika perempuan gemuk itu memutar tubuh ke kiri dan ke kanan Arwah Muka Hijau melihat benda yang menyembul di balik punggung adalah sebuah gading besar yang terselip di kemben, sama seperti yang dimilikinya.

   Arwah Muka Hijau tersentak kaget "Jadi dia adalah orang kedua yang memiliki Gading Bersurat yang seluruhnya berjumlah empat itu.

   Berarti kehadirannya di sumur api ini tidak bisa tidak ada sangkut pautnya dengan Gading Bersurat itu."

   "Hai, aku bertanya. Mengapa tidak satupun dari kalian yang menjawab. Apa kalian terpesona melihat kecantikan dan keelokan tubuhku. Atau saat ini kalian jadi punya pikiran kotor setelah melihat pahaku yang putih mulus? Ah menyesal tadi aku memperlihatkan."

   "DhikaGelang Gelang..."

   "Ssshhhh!"

   Perempuan gemuk gelengkan kepala dan goyang-goyangkan tangan kanan.

   "Arwah Muka Hijau, sudah dua kali engkau menyebut namaku secara tidak sopan. Kau tahu siapa diriku. Ratu Bhumi Mataram yang tidak pernah menginginkan tahta Kerajaan. Sangat pantas jika kau memanggil diriku dengan sebutan Ratu Dhika Gelang Gelang. Ingat, jangan lupa hal itu. Kalau kau bersikap sopan dan tahu peradatan maka aku akan melakukan hal yang sama. Kalau kau menghormati diriku, maka aku akan balas menghormat. Bukankah hidup ini begitu mudah? Mengapa manusia sering mempersulit diri sendiri?"

   "Aku tidak perduli siapa pun kau adanya. Aku ingin tahu apakah kau yang membunuh Setunggul Bumi anak buahku yang barusan kau lemparkan tubuh dan kepalanya?!"

   "Arwah Muka Hijau, kau tidak menghormati Ratumu sendiri."

   Kata Ratu Dhika Gelang Gelang. Muka rata Arwah Muka Hijau tampak menggembung.

   "Kau jawab saja pertanyaanku."

   "Ahhh. Jadi itu pertanyaanmu. Baik. Aku akan menjawab.Tapi aku sudah mencatat perilakumu yang tidak hormat."

   Kata si gemuk yang menyatakan diri sebagai Ratu Dhika Gelang Gelang.

   "Kalian berdua dengar baik-baik. Aku tidak membunuh manusia bernama Setunggul Bumi itu. Dia sendiri yang menggorok lehernya sampai putus!"

   "Kedustaan keji! Bagaimana hal itu mungkin terjadi?"

   Menyanggah Setunggul Langit.

   "Kau minta kami berlaku hormat. Tapi dengan berdusta kau telah dengan sengaja bersikap tidak hormat,"

   Arwah Muka Hijau berkata.

   "Bisa saja kau berkata begitu karena tidak melihat Mari aku ceritakan apa yang terjadi."

   Kata Ratu Dhika Gelang Gelang."Ketika aku datang ke tempat ini anak buahmu langsung mengusir aku dan mengancam.

   Jika aku tidak mau pergi maka leherku akan digorok! Sungguh tidak sopan dan tidak pantas.

   Aku seorang ratu tidak minta dihormati, tapi kalau diperlakukan kurang ajar aku bisa marah.

   Kemana aku mau pergi, aku mau berada dimana adalah urusanku.

   Setunggul Bumi tidak punya hak mengusir diriku dari tempat ini.

   Ketika aku membalas supaya dia saja yang pergi dari sini, anak buahmu langsung menghunus golok lalu menyerangku.

   Aku berhasil mencekal tangannya yang memegang senjata.

   Aku sama sekali tidak menyentuh senjata itu.

   Gagang golok masih berada dalam genggamannya ketika senjata itu berbalikderas menebas lehernya sendiri hingga putus.

   Jelas dia yang menebas lehernya sendiri! Bukankah itu namanya bunuh diri?!"

   "Perempuan licik! Kurang ajar! Kau bermain kata-kata tidak mau mengakui kalau kau yang menggorok Setunggul Bumi. Sekalipun kau tidak memegang gagang golok tapi sebenarnya kaulah .yang membunuh Setunggul Bumi!"

   Setunggul Langit marah sekali. Ketika dia hendak menerjang Arwah Muka Hijau cepat menahan bahunya dan berbisik.

   "Kita berhadapan dengan orang berkepandaian tinggi. Setahuku kemana-mana dia selalu membawa seekor kucing merah yang lebih buas dari pemiliknya. Aku tidak melihat dia membawa binatang itu. Biar aku mencari tahu lebih dulu ada keperluan apa perempuan ini berada di sini. Setelah itu, jika aku memberi isyarat kau serang dia dengan Ilmu Bubu Ikan Berbisa. Tubuhnya gemuk. Gerakannya pasti lamban. Sekali masuk dia akan celaka, tak bisa keluar lagi."

   OoOOOoo SIAPAKAH Dhika Gelang Gelang yang menyebut dirinya sebagai Ratu? Konon ketika Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu mengakhiri masa pemerintahannya sebagai Raja Mataram anak tertuanya adalah seorang perempuan yaitu Dhika Gelang Gelang.

   Namun karena Dhika adalah anakyang dilahirkan dari seorang istri ketiga maka banyak pihak yang menolak Dhika Gelang Gelang sebagai pewaris tahta.

   Dhika Gelang Gelang sendiri sebenarnya tidak menginginkan menjadi Raja atau Ratu di Bhumi Mataram.

   Maka secara diamdiam dia meninggalkan Istana menyepi diri di satu tempat yang tidak diketahui orang.

   Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, putera tertua dari istri kedua Rakai Pikatan Dyah Saladu kemudian dinobatkan sebagai Sri Maharaja Mataram yang baru.

   Beberapa tahun kemudian Dhika Gelang Gelang muncul kembali.

   Walau dia menyebut diri sebagai Ratu dan penampilannya menjadi aneh namun dia tidak mengusik tahta dan malah menjaga ketenteraman Istana dan Kerajaan.

   Dia jarang berada di kalangan Istana, lebih banyak menyatu dengan rakyat jelata.

   Satu hal yang diketahui orang, setelah menghilang sekian lama perempuan yang kini bertubuh gemuk dan berwajah tidak cantik itu telah menjadi seorang sakti mandraguna.

   Kemana-mana dia selalu membawa seekor kucing merah.

   Ketika Kerajaan terlibat peperangan dengan orang-orang di wilayah selatan, Dhika Gelang Gelang sangat banyak memberikan bantuan sehingga pertumpahan darah yang lebih besar dapat dihindarkan dan antara utara dengan selatan dicapai perdamaian.

   Setelah peristiwa besar itu Dhika Gelang Gelang kembali melenyapkan diri.

   Hanya sesekali muncul di Kotaraja, itupun tidak mendatangi Istana.

   Pada setiap kali kemunculan pasti ada satu peristiwa besar yang ditanganinya.

   Mengetahui ketinggian ilmu kesaktian perempuan inilah maka Arwah Muka Hijau tidak mau berlaku ceroboh.

   Dia cepat menghalangi Setunggul Langit yang hendak menyerang sambil mengatur siasat.

   Ebook Oleh .

   Dewi KZ Djvu oleh .

   Syaugi_ar 12.

   BUBU IKAN BERBISA "RATU Dhika Gelang Gelang, soal kematian anak buahku biar aku lupakan dulu,"

   Berkata Arwah Muka Hijau.

   "Aku ingin bertanya, maksud apa yang ada dalam dirimu hingga muncul di tempat ini. Adakah sumur api itu yang menarik perhatianmu?"

   "Kau sekarang memanggilku Ratu. Betapa hormatnya! Bicaramu kini sopan penuh peradatan. Betapa indahnya! Kau bicara berterus terang. Sungguh menyenangkan. Arwah Muka Hijau, mengapa kau mendadak berubah. Apa yang ada di benakmu? Apa yang tersembunyi di hatimu?"

   Balik bertanya perempuan gemuk berkemben merah sambil naikan sepasang alis mata, membuat Arwah Muka Hijau jadi jengkel penasaran.

   "Ratu Dhika, kau menjawab pertanyaan dengan balik bertanya. Itukah yang kau sebut sopan santun? Kalau kau tak mau menjawab, biar aku menduga. Kau membekal sebatang gading. Aku tahu riwayat yang tertulis di gading itu. Kau ke sini untuk menyelidik tentang seorang gadis yang kelak akan melahirkan dua anak lelaki. Kau tak perlu menjawab tapi juga tidak perlu berdusta."

   Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa panjang mendengar kata-kata Arwah Muka Hijau.

   "Betapa tololnya dirimu. Ketololan pertama! Sudah gaharu cendana pula. Sudah tahu bertanya pula. Ketololan kedua. Kalau memang ada seorang gadis akan melahirkan di dalam sumur api itu, berarti masih sembilan bulan lebih waktu penantian. Mengapa dari sekarang repot-repot mau berbuat keributan?"

   "Kami tidak merasa membuat kerepotan. Justru dari pihakmu yang memulai berbuat keributan. Kau membunuh anak buahku Setunggul Bumi!"

   "Arwah Muka Hijau, rasanya kurang sedap berbicara denganmu. Kau selalu mengulang-ulang soal kematian anak buahmu itu. Pada hal aku sudah menceritakan apa yang terjadi. Bukankah lebih baik bagimu meninggalkan tempat ini. Mengurus pembakaran jenazah Setunggul Bumi?"

   "Kau tak layak mengatur diriku. Anak buahku datang lebih dulu ke tempat ini. Adalah dia pantas mengusir orang semacammu!"

   Menukas Arwah Muka Hijau lalu kedipkan mata sambil meraba dagu, memberi isyarat pada Setunggul Langit.

   Serangan Bubu Ikan Berbisa serta merta dilaksanakan! Begitu melihat isyarat, Setunggul Langit keluarkan bentakan keras.

   Dua tangan diluruskan ke depan.

   Dari sepuluh ujung jari tangan mencuat dua puluh empat sinar hitam.

   Ujung yang ada di arah tangan menyatu seperti diikat sementara ujung yang lain membuka lebar lalu menekuk runcing ke dalam.

   Secara luar biasa dua puluh empat larikan sinar yang menyerupai bubu atau perangkap ikan secepat kilat menelan tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang tanpa perempuan ini sempat berkelit selamatkan diri.

   Empat gelang di tangan dan kaki berkerincingan.

   Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelakgelak.

   "Ratu jelek! Ternyata kau tidak punya ilmu kepandaian apa-apa!"

   Teriak Arwah Muka Hijau mengejek.

   "Aku mau lihat! Kalau kau mampu keluar dari perangkap, kami berdua sampai anak cucu kami akan bersujud menghambakan diri padamu selama tujuh turunan Raja yang berkuasa di Mataram."

   Di dalam perangkap Ratu Dhika Gelang Gelang terpaksa kerahkan ilmu meringankan tubuh dan melayang seperti ikan besar yang masuk ke dalam bubu raksasa.

   Dia tahu tidak mungkin berbalik meloloskan diri melalui bagian depan bubu yang memiliki dua puluh empat ujung runcing menghadang.

   Melalui celah di kiri kanan atau sebelah atas dan sebelah bawah perangkap dia mungkin bisa menyelinap keluar namun kalau sampai tubuhnya tergores maka racun jahat akan masuk ke dalam aliran darah dan dia akan menemui ajal sebelum matahari tenggelam! "Kalau aku jebol dengan pukulan sakti, perangkap celaka ini mungkin bisa ambruk.

   Namun serpihan-serpihannya bisa berbahaya kalau sampai ada yang menancap di tubuhku.

   Berapa lama aku bisa bertahan mengambangkan diri seperti ini...?"

   Sadar dirinya dalam keadaan bahaya besar Ratu Dhika Gelang Gelang masih mampu berlaku tenang.

   Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati dia memutar tubuh yang mengambang hingga menghadap ke bagian depan bubu.

   Dengan tangan kirinya perempuan gemuk ini mengusap-usap perut sementara mulut berkomat kamit dan sepasang mata menatap ke arah Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit yang tegak di bagian depan mulut bubu.

   "Perutku...Mengapa perutku. Ada sesuatu bergerak di dalam perutku..."

   Ratu Dhika Gelang Gelang berucap sambil terus usap-usap perutnya.

   Arwah Muka Hijau perhatikan gerak-gerik Ratu Dhika Gelang Gelang.

   Dalam hati bertanya-tanya apa yang dilakukan perempuan itu.Tiba-tiba kedua orang di luar bubu melihat keanehan terjadi dengan Ratu Dhika Gelang Gelang.

   Perutnya perlahan-lahan berubah membesar.

   "Arwah Muka Hijau, tidakkah kau melihat perubahan yang terjadi dengan diriku...?"

   Ratu Dhika Gelang Gelang bertanya. Tanpa bergerak dari tempatnya berdiri Arwah Muka Hijau menjawab.

   "Ilmu setan apa yang hendak kau keluarkan?! Jangan harap kau bisa lolos dari dalam Bubu Ikan Berbisa!"

   "Perutku membesar. Ada makhluk bergerak di dalamnya. Hyang Jagat Batara Dewa! Aku hamil! Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?!"

   Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelakgelak.

   "Akal busukmu tidak bakal menipu kami!"

   Teriak Setunggul Langit. Ratu Dhika Gelang Gelang tidak perdulikan ucapan orang. Kepala didongakkan ke atas, menatap ke langit. Dua tangan disusun di atas kepala.

   "Sang Hyang Jagat Batara. Para Dewa di Swargaloka. Dalam keadaaan sengsara seperti ini apakah Kau melimpahkan rakhmat pada diriku? Apakah kau telah memilih diriku mewakili anak perawan dari desa kecil di selatan Prambanan? Aku hamil besar wahai Para Dewa. Apakah aku akan melahirkan dua bayi yang kelak akan menjadi dua kesatria seperti yang tertulis pada Gading Bersurat? Wahai Para Dewa, besar nian rakhmat-mu...."

   Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit saling berpandangan. Wajah rata Arwah Muka Hijau berkedut-kedut sementara tampang Setunggul Langit berubah, ada rasa tidak percaya dibayangi rasa takut.

   "Arwah Muka Hijau, aku tidak menipu. Perutku membesar. Aku benar-benar hamil. Lihatlah! Saksikan! Mendekatlah."

   "Breett!"

   Kemben merah yang dikenakan Ratu Dhika Gelang Gelang tidak sanggup lagi menahan perut yang membesar.

   Dalam keadaan robek ke dua orang di depan kubu melihat bagaimana perut perempuan gemuk yang kini tersingkap itu memang benar-benar membesar seperti perempuan hamil.

   "Arwah Muka Hijau, mendekatlah. Biar kau bisa melihat jelas. Ini bukan sihir, bukan tipu daya. Semua adalah rakhmat Para Dewa atas diriku. Mungkin sudah ditakdirkan bahwa kelak bayi yang akan aku lahirkan akan menjadi milikmu. Bukankah itu niat maksud dirimu datang ke SUMUR API ini? Ah, Gading Bersurat.Ternyata bukan cerita bohong ataupun tipu daya. Gading Bersurat, ternyata kau nyata. Terima kasih Para Dewa, aku telah dipilih menjadi wakil untuk kebaikan di Bhumi Mataram ini. Ah...sebentar lagi. Sebentar lagi bayi ini pasti akan lahir. Satu bayi...dua bayi, atau tiga bayi..."

   Arwah Muka Hijau menatap dengan muka sayatan berjahit benang kasar ke dalam kubu raksasa lalu berpaling pada Setunggul Langit.

   "Apakah yang kau lihat tidak berbeda dengan yang aku saksikan? Apakah orang tidak tengah menipu kita?"

   "Kanjeng, kita melihat hal yang sama. Keajaiban telah terjadi.Tidak mungkin kalau ini bukan karena keajaibanNya Para Dewa. Kita harus melenyapkan Bubu Berbisa. Kalau bayi itu sampai lahir di dalam bubu bisa celaka. Kalau dari semula maksud kita memang untuk mendapatkan bayi itu, kita harus menyelamatkannya. Kanjeng...."

   "Tunggu dulu. Jangan cepat percaya. Perempuan ini tinggi ilmunya. Dia punya seribu akal. Biar aku perhatikan dulu lebih jelas."

   Arwah Muka Hijau mendekat ke mulut bubu raksasa.

   Pada saat dia hanya berdiri satu langkah di depan mulut bubu, Ratu Dhika Gelang Gelang buka mulutnya lebar-lebar.

   Perut yang besar menciut mengeluarkan suara mendesis panjang dan mengempis! Mulut yang terbuka menyedot.

   Satu gelombang angin besar dan dasyat menarik tubuh Arwah Muka Hijau.

   "Ilmu Selaksa Angin Menghisap Roh!"

   Teriak Arwah Muka Hijau.

   Dia berusaha menggeliat, memutar tubuh untuk berbalik.

   Setunggul Langit berusaha untuk menolong.

   Namun terlambat.

   Tubuh Arwah Muka Hijau telah lebih dahulu terhisap masuk ke dalam bubu raksasa, dua kaki lebih dulu! Ratu Dhika Gelang Gelang membentak keras.

   Dua tangannya dengan cepat mencekal per-gelangan kaki Arwah Muka Hijau.

   Sekali dia mengerahkan tenaga dalam maka tubuh Arwah Muka Hijau yang barusan masuk ke dalam bubu raksasa ini melesat kembali keluar.

   Masih memegangi kaki orang, Ratu Dhika Gelang Gelang ikut menyelinap dari belakang tanpa tubuhnya menyentuh bubu berbisa.

   Arwah Muka Hijau menjerit keras sewaktu kepalanya menghantam dua puluh empat ujung runcing berbisa di mulut bubu! Bubu raksasa hancur berantakan.

   Makhluk bermuka rata itu terhempas jatuh di tanah.

   Di kepala, muka dan sebagian tubuhnya terdapat dua puluh empat luka mengerikan.

   Darah yang mengucur bukannya merah tapi hijau pekat.

   Melihat apa yang terjadi Setunggul Langit segera lepaskan satu pukulan sakti ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang.

   Namun perempuan ini sambil mengumbar tawa cekikikan telah berkelebat lenyap.

   Hanya gaung suara dan kerinclngan empat gelangnya yang terdengar.

   "Arwah Muka Hijau! Kalau nyawamu masih panjang kita pasti berjumpa lagi!"

   "Perempuan terkutuk! Aku pasti mencarimu!"

   Teriak Arwah Muka Hijau. Setunggul Langit segera mengejar namun urungkan niat ketika dia mendengar Arwah Muka Hijau berteriak.

   "Jangan dikejar! Lekas bawa aku ke Candi Miring! Aku menyimpan obat penangkal luka berbisa di sana! Cepat! Sebelum malam datang aku harus sudah ada di sana. Kalau terlambat nyawaku tidak tertolong! Cepat! Kalau aku selamat semua kesalahanmu akan aku ampuni! Ilmu Serat Arang akan aku kembalikan padamu!"

   "Kanjeng! Aku mendengar semua ucapanmu. Apa yang kau perintahkan akan aku laksanakan!"

   Jawab Setunggul Langit.

   Lalu dengan cepat dia panggul tubuh Arwah Muka Hijau.

   Mayat Setunggul Bumi dilupakan begitu saja.

   ooOOOoo 13.

   HAMIL GAIB ANANTHAWURI PAGI hari di sebuah taman tak jauh dari dasar sumur api.

   Ananthawuri tengah mencium keharuman setangkai mawar kuning ketika Sukantili, ibunya muncul di undakan tangga batu merah paling atas.

   "Anakku, sudah lama kau menunggu di taman ini?"

   Menyapa Sukantili. Ananthawuri segera menghampiri ibunya, mencium tangan perempuan itu penuh khidmat lalu mencium pipinya kiri dan kanan.

   "Saya belum lama berada di sini. Tapi kali ini entah mengapa saya merasa sangat tidak sabar menunggu kedatangan Ibu."

   Anak perawan dari desa Sorogedug yang bersama ibunya kini tinggal di satu tempat rahasia tak jauh dari dasar sumur api tatap wajah sang ibunda sejenak lalu bertanya.

   "Saya melihat wajah Ibu seperti tidak berseri. Apakah Ibu sakit atau ada sesuatu yang menjadi pikiran?"

   "Ibu baik-baik dan sehat. Namun terus terang memang ada sesuatu yang menjadi pikiran di benak Ibu, sesuatu yang menjadi ganjalan di hati Ibu."

   "Wahai Ibuku sayang, katakanlah. Gerangan apa yang jadi pikiran dan ganjalan itu?"

   "Anakku Ananthawuri, selama kita tinggal di tempat ini kita berada dalam kecukupan. Berkat kasih sayang dan kebesaran Para Dewa segala sesuatunya tersedia. Tempat kediaman, makanan dan lebih dari itu diberkahi kesehatan yang baik. Bahkan ada pula seorang pelayan. Namun setiap malam, sebelum Ibu pulas tertidur, selalu ada pikiran dan pertanyaan yang datang. Berapa lama kita akan berada di tempat ini? Ibu orang ie a Betapa pun bagusnya tempat kediaman ini tetap saja bukan milik kita. Ibu merasa bagaimanapun buruknya gubuk kita namun hidup di desa Sorogedug ternyata jauh lebih nyaman menyenangkan. Tetangga orang sedesa selalu bersikap baik dan ramah. Teman-teman mendiang ayahmu kerap datang menyambangi."

   "Ibu, menurut cerita Ibu bukankah rumah kita di Sorogedug telah dibakar oleh kaki tangan saudagar Narotungga?"

   "Betul, tapi Ibu bisa bangun gubuk baru. Penduduk desa pasti mau membantu bergotong-royong. Kita tidak bisa meninggalkan begitu saja apa yang diwariskan oleh Ayahmu. Bagaimanapun .buruk dan tidak bernilainya warisan itu."

   Jawab Sukantili.

   "Ibu, saya pernah bercerita bahwa petunjuk Para Dewa telah memberitahu, saya tidak akan dapat keluar dari tempat ini untuk selama-lamanya kecuali atas perkenan Mereka. Selain itu saya juga menerima petunjuk bahwa kelak saya akan kawin dan memiliki anak yang akan menjadi seorang kesatria dan berbakti pada Kerajaan Mataram. Kalau Ibu berniat pergi, siapakah yang akan menjadi teman saya di tempat ini. Ibu, sebenarnya saya juga pernah berpikir seperti Ibu. Ingin pergi dari sini. Namun pada akhirnya saya merasa pasrah. Saya menyadari seperti apa yang dikatakan Roh Agung. Ini adalah takdir kehidupan diri saya. Apakah manusia seperti kita, seperti saya ini bisa berkehendak melawan takdir Yang Maha Kuasa? Saya percaya Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui serta Maha Pengasih telah mengatur sesuatu yang terbaik untuk diri saya."

   Ananthawuri pegang lengan ibunya.

   "Ibu, percayalah Para Dewa selama ini telah melindungi kita berdua."

   Sukantili anggukan kepala, terdiam beberapa ketika lalu menarik nafas panjang.

   "Ananthawuri, tadi kau berkata merasa tidak sabar menunggu kedatangan Ibu..."

   "Betul Ibu, ada sesuatu yang ingin saya ceritakan pada Ibu."

   "Hemmm....lbu akan senang sekali mendengarkan. Cerita tentang apa anakku?"

   "Tadi malam saya bermimpi."

   "Mimpi bunga hiasan tidur"

   Kata Sukantili pula sambil tersenyum dan membelai rambut anak gadisnya.

   "Tapi mimpi saya ini aneh, Bu. Dalam mimpi saya tengah berbaring tidur. Lalu saya mencium bau busuk luar biasa. Membuat kepala pusing dan perut mual mau muntah.Tak lama kemudian bau busuk itu hilang. Berganti dengan bau wangi harum semerbak yang tidak pernah saya cium sebelumnya. Kemudian dari langit saya melihat cahaya putih.Turun ke tempat saya berbaring. Di balik cahaya putih itu saya melihat samar wajah dan sosok pemuda. Saya bertanya siapa gerangan dia adanya. Tak ada jawaban. Kemudian cahaya putih melayang mendekati diri saya, menutupi sekujur tubuh saya. Saat itu saya merasa ada orang memeluk saya. Ibu, saya merasa satu kehangatan dan kemesraan luar biasa yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Ada perasaan bergairah pada bagian-bagian tertentu tubuh saya. Saya tertidur lelap dalam pelukan orang itu. Ketika saya bangun dalam mimpi cahaya putih telah lenyap. Dekapan mesra hanya menyisakan kehangatan. Lalu saya terbangun dari tidur. Saya merenung. Sampai menjelang pagi saya tidak bisa menduga apa arti mimpi itu. Mungkin Ibu tahu kira-kira makna mimpi saya?"

   Setelah berdiam diri berpikir-pikir beberapa lamanya akhirnya Sukantili gelengkan kepala.

   "Sulit Ibu menduga. Sebaiknya kau berdoa memohon petunjuk serta tetap meminta perlindungan dari Yang Maha Kuasa."

   Keesokan malamnya, mimpi yang sama kembali dialami Ananthawuri. Hal itu terjadi sampai tujuh malam berturut-turut. Setiap kali bermimpi paginya gadis ini langsung menemui sang ibu dan menceritakan mimpinya.

   "Ibu,"

   Kata Ananthawuri pada hari ke tujuh.

   "Berulang kali mimpi itu datang, berulang kali saya dipeluk mesra penuh kasih sayang, dan berulang kali saya melihat wajah pemuda walaupun tidak jelas, lama kelamaan ada rasa suka serta sayang saya terhadap pemuda itu. Ibu, apakah saya telah jatuh cinta pada sesuatu yang tidak nyata?"

   Sukantili tertawa.

   "Anakku, kau masih muda belia. Belum tahu apa-apa tentang cinta. Biar Ibu beritahukan. Cinta itu adalah sesuatu yang nyata. Jika kita mencintai seseorang maka orang itu adalah juga sesuatu yang nyata."

   Ananthawuri terdiam sesaat. Lalu kembali bertanya.

   "Ibu, menurutmu apakah pemuda di dalam mimpi itu bisa menjadi kenyataan?"

   "Apa maksudmu anakku?"

   Tanya Sukantili.

   "Maksud saya, apakah saya bisa bertemu dengan pemuda itu?"

   Sukantili memeluk anak gadisnya.

   "Ibu tidak tahu anakku. Kalau Yang Maha Kuasa berkehendak, kalau Para Dewa melimpahkan rakhmat segala sesuatunya bisa terjadi..."

   Hari ke delapan dan seterusnya mimpi itu tidak pernah datang lagi.

   Ananthawuri merasa sedih.

   Dia ingin pemuda dalam cahaya putih itu datang kembali mengunjungi dirinya walaupun dalam mimpi.

   Memeluknya penuh mesra dan kasih sayang.

   Namun sampai hari ke dua puluh mimpi yang ditunggu tak kunjung datang.

   Di atas pembaringan Ananthawuri berucap.

   "Pemuda dalam cahaya. Jika kau memang kekasih yang telah dipilihkan Para Dewa untukku, datanglah. Aku rindu pelukan hangatmu. Aku rindu belaian mesramu. Aku tahu kau mengasihi diriku. Dan aku tahu betapa aku mencintaimu walau kau datang tidak berupa dan tidak pula bernama."

   Namun sampai pagi tiba kekasih sang mimpi tak kunjung datang. Kekasih gaib yang diharapkan tidak muncul. Hari ke dua puluh tujuh ketika anak perawan dari Desa Sorogedug ini menemui ibunya sang ibu berkata.

   "Ananthawuri, apakah hari ini kau sehat-sehat saja anakku?" .

   "Saya sehat-sehat, Ibu."

   "Ibu melihat wajahmu agak pucat."

   "Mungkin saya kurang tidur.Tapi terus terang ada sesuatu yang hendak saya sampaikan, Ibu."

   "Kau bermimpi lagi anakku?"

   Ananthawuri menggeleng.

   "Ibu mohon maafmu. Saya ingin mengatakan sesuatu yang sangat pribadi. Saya merasa mual sejak beberapa hari ini dan sulit makan. Saya... saya terlambat haid. Seharusnya enam hari lalu..."

   "Anakku, hal itu bisa saja terjadi karena kau terlalu banyak pikiran."

   Kata Sukantili pula walau sang Ibu ada rasa gelisah membayangi perasaannya.

   "Saya berharap begitu Ibu.Tapi saya merasa ada kelainan pada tubuh saya."

   "Kelainan bagaimana anakku?"

   "Dada saya Bu.Tadi pagi saya memperhatikan lalu meraba. Dada saya membesar dan lebih kencang dari biasanya. Pinggul saya terasa melebar. Ibu jangan-jangan saya..."

   Sukantili memeluk anaknya.

   "Jangan ucapkan itu anakku. Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pad dirimu Tunggu dalam dua tiga hari ini..."

   Seminggu berlalu Ananthawuri belum juga mendapatkan haid. Beberapa minggu kemudian anak perawan ini melihat perutnya membesar. Ketika hal itu diceritakan pada Sukantili sang ibu tidak bisa menduga lain. Anak gadisnya benar-benar telah mengandung.

   "Anakku,"

   Kata sang ibu sambil memeluk Ananthawuri erat-erat.

   "Kalau ini bukan kehendak dan kuasa Yang Maha Kuasa, bagaimana mungkin bisa terjadi? Kau belum menikah. Kau belum punya suami..."

   "Ibu, pemuda dalam cahaya putih yang datang tujuh malam berturut-turut dalam mimpi saya itu. Apakah mungkin dia yang menebar benih kehidupan ke dalam diri saya. Ibu tahu, saya tidak pernah berhubungan dengan lelaki manapun."

   Sukantili tidak menjawab melainkan kembali memeluk anak gadisnya sementara air mata perempuan ini tampak berlinang-linang.

   Pada saat itulah tiba-tiba berhembus tiupan angin disertai desiran seolah ada seseorang berjubah panjang melewati Sukantili dan Ananthawuri.

   Lalu terdengar suara bergema.

   Dua insan yang tengah bersatu hati Di dunia ini tidak ada yang abadi Namun kehendakYang Maha Kuasa adalah pasti Ananthawuri, takdirYang Maha Kuasa telah terjadi Kau hamil tapi dirimu tetap suci Setelah sembilan bulan sepuluh hari Kau akan melahirkan Namun kau akan tetap sebagai seorang perawan Karena keturunanmu sudah ditetapkan Menjadi Kesatria Bhumi Mataram Ananthawuri lepaskan pelukan dari tubuh ibunya.

   Dia memandang berkeliling.

   Dia mengenali suara itu.

   "Roh Agung? Kakek Dhana Padmasutra?"

   Angin kembali berhembus.

   Suara berdesir terdengar lagi lalu sunyi.

   ooOOOoo 14.

   KUCING BETINA BERBULU MERAH MALAM Jum'at Kliwon.

   Empat bulan setengah Ananthawuri kedatangan suara Roh Agung, memberi tahu tentang kehamilannya.

   Malam itu kegelapan pekat sekali.

   Langit hitam dan sesekali ada tiupan angin yang membawa percikan hujan rintik-rintik dari arah timur.

   Sumur api seperti tidur karena sejak sekian lama lidah api tidak menyembul keluar.

   Dalam kegelapan, dari arah barat sumur api berjalan seseorang lelaki kurus tinggi bermuka keriputan berkulit hitam legam.

   Di keningnya ada satu benjolan bulat berwarna merah.

   Di atas kepala dia menjunjung sebuah ketiding bambu tertutup rapat.

   Sampai di depan sumur ia tegak diam beberapa lama.

   "Mungkin bukan cerita dusta. Menempuh perjalanan tiga puluh hari akhirnya kutemui juga sumur api. Benar adanya seperti apa yang tertulis di Gading Bersurat. Tapi keadaan sekitar sini gelap sekali. Nafasku mencium ada bekas bangkai manusia di sekitar sini! Apakah sumur api ini sudah mencari korban sebelum kedatanganku?"

   Orang tinggi hitam ulurkan tangan menjangkau ranting besar sebuah pohon.

   Ranting dipatahkan lalu di ujungnya diletakan di atas sumur api.

   Sebentar saja ujung ranting telah terbakar.

   Dengan menggunakan ranting menyala sebagai obor, orang ini menyelidik berkeliling sampai akhirnya dia berhenti melangkah dan keluarkan saruan tertahan.

   Di bawah sebatang pohon dia menemukan sesosok tubuh penuh belatungan nyaris tinggal tulang belulang, tertutup jubah kuning yang sudah hancur.

   "Bangkai manusia tanpa kepala!"

   Orang tinggi hitam berucap sambil meludah berulang kali.

   Dia memperhatikan bagian dada jubah kuning.

   Ada sesuatu di balik pakaian yang membuat jubah menggembung menonjol.

   Orang ini pergunakan ujung kaki untuk mengeluarkan benda itu dari balik jubah.

   Begitu benda keluar dan menggelinding ke tanah, dia menyumpah-nyumpah.Ternyata buntungan kepala manusia yang tinggal tengkorak.

   Dari bagian mata, telinga, mulut dan hidung bersembulan belatung.

   Setelah merasa agak tenang dari rasa kagetnya orang ini dekatkan ujung ranting di atas buntungan kepala.

   "Hah! Kepala tinggal tengkorak.Tak mungkin aku kenali! Yang jelas ada korban pembunuhan di tempat ini. Lehernya ditebas! Mungkin dengan golok atau pedang! Sudah ada korban yang berhubungan dengan rahasia dibalik sumur api!"

   Orang tinggi hitam bermuka keriput melangkah mundur. Ranting menyala diangkat tinggi-tinggi, diputar berkeliling.

   "Tidak ada mayat lain. Berarti yang tadi baru satu-satunya korban.Tapi mana aku tahu kalau sudah ada yang jadi korban sebelumnya. Dibuang masuk ke dalam sumur api..."

   Dari balik pakaian hitamnya orang yang keningnya ada benjolan merah keluarkan satu benda yang ternyata adalah sebuah gading besar.

   Salah satu bagian gading diterangi dengan nyala api di ujung ranting.

   Pada bagian yang terang itu terbaca tulisan berbunyi.

   Jika ingin tahu lama kehamilan dari perawan desa yang telah dipilih Para Dewa menjadi Ibu dari bayi yang kelak akan menjadi Kesatria Ma'aram, letakkan gading di atas sumur api.

   Ukur bagian gading yang menjadi hitam.

   Maka akan diketahui lama kehamilan.

   Dengan hati-hati orang berpakaian hitam yang sampai saat itu masih menjunjung ketiding bambu di atas kepala letakan gading bulat panjang di atas sumur api.

   Seperti yang tadi dibacanya segera saja gading itu menjadi hitam mulai dari ujung sampai ke bagian tengah.

   Gading diangkat dari atas sumur api.

   Orang ini lalu memperhatikan dan menjengkaljengkal dengan jari tangan.

   Setelah menghitung-hitung, mulutnya berucap.

   "Kurang dari setengah. Berarti usia kehamilan perempuan itu baru sekitar empat bulan. Apakah aku harus menunggu di tempat ini selama lima bulan lebih?"

   Orang berpakaian hitam tepuk-tepuk ketiding di atas kepala.

   "Sahabat-sahabatku, apa kalian mau menunggu sampai sekian lama di tengah rimba belantara ini?"

   Dari dalam ketiding bambu terdengar suara mendesis riuh dan panjang.

   Si muka keriput dengan benjolan di kening menyeringai.

   Ranting menyala dicampakkan.

   Lalu dua tangan menurunkan ketiding dari atas kepala, diletakan di atas tanah.

   Seperti tadi ketiding ditepuk-tepuk.

   "Sahabat-sahabat. Akupun tidak mau menunggu berlamalama sampai lu mutan di tempat ini. Apa yang bisa kita kerjakan malam ini harus kita laksanakan. Aku butuh pertolongan kalian. Cari perempuan itu di dasar sumur api. Paksa dia melarikan diri ke arah jalan rahasia. Aku akan menunggu di mulut jalan. Tapi awas, kalian jangan sekali-kali menyakiti dirinya. Jangan sampai tubuhnya tersentuh bisa di mulut kalian! Para sahabat, bersiaplah. Aku akan membuka penutup ketiding. Lalu aku akan memasukan kalian di dalam sumur api. Jangan takut. Api tidak akan menciderai apa lagi membunuh kalian. Mantera Selicin Lumut Sedingin Air yang sudah aku terapkan akan melindungi kalian."

   Begitu selesai bicara orang berpakaian hitam buka penutup ketiding.

   Saat itu juga dari dalam ketiding bambu ini menyembul puluhan ekor ular berbisa dari berbagai jenis dan warna, mengeluarkan suara mendesis riuh.

   Ketiding cepatcepat diangkat, diletakan di sumur api.

   Sewaktu puluhan ular dalam ketiding siap hendak dimasukan diceburkan ke dalam sumur api tiba-tiba dari arah kegelapan di kiri sumur api terdengar suara kucing mengeong.

   Gerakan orang berpakaian hitam yang hendak membalikan ketiding bambu serta merta tertahan.

   Memandang ke arah kiri dia hanya melihat kegelapan.

   "Kucing mengeong malam-malam. Di tempat seperti ini. Sungguh aneh..."

   Ucap orang berpakaian hitam bermuka keriput. Lalu belum habis rasa herannya tiba-tiba terdengar suara benda berkerincingan, disusul suara perempuan menegur.

   "Giring Laweyan, manusia berjuluk Sang Raja Ulo, menyantap ular panggang malam-malam begini memang sedap sekali. Jangan lupa membagiku barang seekor."

   Orang berpakaian hitam di dekat sumur api jadi tercekat.

   Dia cepat berpikir.

   Dimulai dengan suara kucing mengeong.

   Lalu ada suara berkerincingan.

   Disusul suara perempuan menegur.

   Siapa lagi! Pasti dia! Jangan-jangan dia yang Jadi pembunuh mayat berjubah kuning.

   Belum nahis rasa terkejutnya karena si penegur mengenal siapa dirinya, orang di tepi sumur api melihat diseberang sumur tepat dihadapannya berdiri seorang perempuan gemuk mengenakan kemben merah berdandanan tebal seronok.

   Di bahu kanan tengkurap seekor kucing besar berbulu merah.

   Binatang ini kelihatan tenang dan jinak.

   Di tangan kiri perempuan itu ada sebuah cermin kecil.

   Dia asyik memandang ke dalam cermin sambil mematik-matik pinggiran rambut di samping telinga kanan sambil lidah dijulur membasahi bibir.

   Malam-malam masih mau berdandan, di tempat gelap begitu rupa, sungguh gila, pikir lelaki berpakaian hitam yang memegang ketiding berisi ular dan tadi dipanggil dengan nama Giring Laweyan alias Sang Raja Ulo.Tapi tidak gila kalau perempuan itu adalah yang dikenal dengan nama Ratu Dhika Gelang Gelang! Selesai merapikan dandanan perempuan gemuk masukan kaca kecil ke balik kemben lalu bertanya pada lelaki yang pegang ketiding berisi ular.

   "Menurutmu apakah dandananku sudah apik dan wajahku sudah cantik?"

   Giring Laweyan tidak menjawab. Dia bersikap waspada karena tahu betul perempuan di hadapannya setiap saat bisa melakukan perbuatan yang tak terduga seperti menyerang dengan tiba-tiba.

   "Giring Laweyan! Malam buta kau datang ke tempat ini. Pasti bukan kemauan Para Dewa yang membimbing langkahmu! Kau datang membekal Gading Bersurat, membawa puluhan makhluk najis. Katakan apa keperluanmu!"

   Sehabis bertanya perempuan gemuk elus-elus kucing merah yang tengkurap di bahu kanannya.

   "Perempuan di tepi sumur, orang-orang menyebutmu dan kau selalu memperkenalkan diri sebagai Ratu Dhika Gelang Gelang.Tapi aku lebih suka menyebutmu Ratu Meong! Nama itu cukup pantas bagimu, bukan? Ha...ha...ha!"

   Lelaki bernama Giring Laweyan keluarkan ucapan mengejek lalu tertawa gelak-gelak.

   "Siapa saja yang mau memberi nama dan julukan padaku akan aku terima dengan senang hati. Aku berterima kasih padamu yang telah memberiku nama Ratu Meong. Hai, muka keriput! Kau belum menjawab apa keperluanmu datang ke tempat ini!"

   "Kita membekal benda yang sama yaitu Gading Bersurat. Berarti kita punya maksud yang sama. Mengapa kau masih bertanya?!"

   Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa.

   "Bekal boleh sama tapi isi perut bisa lain. Apa lagi pikiran di dalam otak dan perasaan di dalam hati. Mana bisa sama!"

   "Jika begitu ucapanmu maka kau tidak keberatan berterus terang. Aku bermaksud menculik anak perawan di dalam sumur api. Mengapa aku menculik aku rasa tidak perlu menerangkan karena kau pasti sudah tahu. Apakah kau merasa keberatan atau ada yang mengganjal dalam hatimu?"

   "Ternyata kau orang jujur. Mau berterus terang meskipun melakukan pekerjaan salah. Semoga Para Dewa akan mengurangi sedikit dosa-dosamu. Hik...hik! Giring Laweyan, sebelumnya kau melihat ada mayat berjubah kuning yang sudah jadi jerangkong di sekitar sini. Kau tahu siapa manusia malang itu?"

   "Silakan kau menerangkan!"

   Jawab Giring Laweyan.

   "Namanya Setunggul Bumi. Sahabat dari Setunggul Langit. Anak buah Arwah Muka Hijau!" . Meski terkejut namun Giring Laweyan berpura-pura tidak acuh.

   "Kau tahu kenapa dia menemui kematian dan siapa yang membunuhnya?"

   "Aku tidak perduli!"

   Ratu Dhika tersenyum.

   "Jangan begitu Giring Laweyan. Jangan berpura-pura tidak perduli. Aku mencium dari jalan nafasmu. Kau mulai merasa jerih. Bukankah begitu?"

   "Akan aku beri tahu. Akan aku beri tahu!"

   Jawab Ratu Dhika Gelang Gelang pula.

   "Aku yang membunuh manusia malang itu. Kenapa? Karena dia membekal maksud sama denganmu. Hendak menculik anak perawan yang di dasar sumur api. Berarti...."

   Ratu Dhika Gelang Gelang tidak meneruskan ucapan, dia menatap ke arah Giring Laweyan yang wajahnya diterangi cahaya api dari dasar sumur.

   "Berarti kau juga hendak membunuhku!"

   Justru Giring Laweyan yang meneruskan ucapan Ratu Dhika Gelang Gelang.

   "Aku tidak berkata begitu. Tetapi umur manusia siapa yang tahu,"

   Jawab Ratu Dhika.

   "Ratu Meong, apakah kau masih ingin makan ular panggang?"

   Tiba-tiba Giring Laweyan bertanya.

   "Jika kau memang mau memberi mengapa aku tidak mau menerima?"

   Jawab Ratu Dhika yang dipanggil Ratu Meong oleh Giring Laweyan.

   "Aku bukan manusia pelit. Kau boleh makan ular panggang sekenyang perutmu!"

   Setelah berucap Giring Laweyan lemparkan ketiding berisi puluhan ular berbisa ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang.

   Sang Ratu terpekik lalu meniup.

   Empat gelang berkerincingan.

   Enam ekor ular berbisa mental dengan tubuh hancur.

   Kucing merah menggerung keras dan melompat ke arah lelaki berkulit hitam.

   Tak lama kemudian terdengar dua jeritan keras.

   Jeritan pertama keluar dari mulut Ratu Dhika Gelang Gelang yang bukan takut diserang ular tapi lebih merasa jijik.

   Patukan puluhan binatang itu memang melukainya berupa titik-titik kecil tapi bisa ular tidak dapat membunuhnya karena dia memiliki ilmu kebal terhadap segala macam racun termasuk racun ular.

   Ilmu kebal ini bernama Kebal Lemah Kebal Banyu.

   Selama ada bagian tubuhnya menyentuh tanah atau air maka tidak ada racun yang bisa mencekal dirinya termasuk racun ular berbisa.

   Satu persatu binatang yang melilit tubuhnya diremas hingga hancur.

   Jeritan kedua keluar dari mulut Giring Laweyan alias si Raja Ulo.

   Kucing merah peliharaan Ratu Dhika Gelang Gelang mengeong keras begitu ketiding berisi ular dilemparkan.

   Secepat kilat binatang ini melompat dari bahu kanan Ratu Dhika.

   Dua kaki belakang membenam di pangkal leher, dua kaki depan mencakar ganas ke wajah.

   Dalam waktu sekejapan saja sekujur muka Giring Laweyan tercabik-cabik.

   Darah mengucur membasahi muka dan pakaian.

   Sungguh mengerikan.

   Sambil berteriak kesakitan dan lari kian kemari si Raja Ulo ini coba menangkap dan melemparkan kucing merah yang masih mencakar dan kini malah menggigit lehernya.

   Dalam keadaan sakit yang amat sangat, ditambah kedua matanya telah tertutup darah, Giring Laweyan tidak melihat lagi kemana arah larinya.

   Tubuh yang tinggi kurus menabrak pinggiran batu sumur api lalu terjungkal dan tak ampun lagi tercebur masuk ke dalamnya! Dari dasar sumur, lidah api menderu ke atas seolah menyambut kejatuhan tubuh Giring Laweyan.

   Sesaat terdengar suara jeritan lelaki itu menggema di dalam sumur lalu lenyap.

   Kucing merah melompat kembali ke atas bahu kanan Ratu Dhika Gelang Gelang.

   Lalu menjilati kuku kakinya yang bernoda darah.

   Di dalam kegelapan, di balik sebatang pohon Mahoni, seorang perempuan tua yang di atas kepalanya menangkring seekor bulus atau kura-kura besar hijau bermata merah menyaksikan semua kejadian di tempat itu dengan hati tercekat.

   Dalam hati dia membatin.

   "Dari pada celaka lebih baik aku menunda niat. Mungkin aku harus menunggu sampai anak perawan itu melahirkan lima bulan dimuka sambil mencari akal. Kalau aku bersikeras meneruskan rencana, sama saja dengan mengantar nyawa. Para Dewa jelas tidak akan berpihak padaku. Ratu Meong bukan tandinganku. Apa lagi saat ini dia membawa serta kucing betina merah itu. Mempergunakan kekerasan lebih banyak celakanya bagi diriku. Aku harus mencari akal. Selain itu aku harus tahu apa keperluan dan sebagai apa perempuan satu ini berada di tempat ini. Menjaga sumur api? Mungkin dengan cara memperdayai dan memperalat pemuda yang dicintainya itu aku bisa menyelinap ke dasar sumur api melalui jalan rahasia."

   Tidak menunggu lebih lama perempuan tua ini segera tinggalkan tempat itu.

   Langkahnya tampak lamban sekali seperti seekor kura-kura.

   Namun sebentar saja sosoknya sudah lenyap dari kawasan sumur api.

   TAMAT Semakin dekat hari kelahiran bayi yang dikandung Ananthawuri semakin banyak orang pandai dan sakti baik dari golongan putih maupun golongan hitam di Bhumi Mataram berusaha mendapatkan anak perawan dari Desa Sorogedug itu.

   Namun banyak pula di antara mereka yang berlaku cerdik dan berpikir buat apa bertarung percuma.

   Bukankah lebih baik menculik langsung sang bayi saja nanti bilamana telah lahir? Nantikan kemunculan MIMBA PURANA, Kesatria Lonceng Dewa, Pendekar Bhumi Mataram.

   Ikuti kisah selanjutnya.

   ARWAH CANDI MIRING

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Siluman Penghisap Darah Pendekar Bayangan Sukma Pertarungan Di Gunung Tengkorak Dewa Arak Pedang Bintang

Cari Blog Ini