Ceritasilat Novel Online

Roh Dalam Keraton 2


Wiro Sableng Roh Dalam Keraton Bagian 2



Sambil merenung seperti itu Anggini meraba bunga kenanga yang tempo hari diberikan oleh Bunga, gadis dari alam roh yang aslinya bernama Suci, berjuluk Dewi Bunga Mayat.

   Kembang itu diberikan dengan pesan agar diserahkan pada Wiro jika kelak Anggini bertemu dengan pemuda itu.

   "Apakah aku akan bertemu dengan Wiro? Lalu jika kuserahkan kembang kenanga ini padanya, apakah yang akan terjadi? Aku tahu benar, walau dia tidak mungkin hidup bersama Wiro namun Bunga bisa menjadi ganjalan bagi diriku"

   Setelah menimbang-nimbang, baik Bidadari Angin Timur maupun Ratu Duyung akhirnya memutuskan untuk tetap melakukan perjalanan bersama-sama.

   Empat gadis itu memang sudah nekad.

   Setelah meninggalkan Rawapening, keesokan harinya mereka berangkat menuju Gunung Gede.

   Jika saja mereka menyempatkan diri singgah di Kotaraja dan mendengar berita ditangkapnya Pendekar 212 Wiro Sableng, jalan cerita akan menjadi lain.

   BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON BAB Tumenggung Cokro Pambudi pagi itu tengah asyik bermain-main dengan burung Tekukur kesayangannya ketika seorang pemuda berpakaian kuning celana hitam, memasuki pekarangan menunggangi seekor kuda coklat.

   Di leher kuda bergelantungan dua buah buntalan.

   Seorang penjaga segera menemui tamu ini, menanyakanan maksud kedatangannya.

   Si penjaga kemudian memberi tahu Tumenggung Cokro.

   "Orang muda itu bernama Damar Wulung. Ingin bertemu dengan Tumenggung untuk melapor satu kejadian penting dan menyerahkan sejumlah barang berharga."

   Tumenggung Cokro Pambudi sangkutkan sangkar burung di bawah cucuran atap. Dia perhatikan pemuda di atas kuda coklat sesaat.

   "Aku tidak kenal pemuda itu. Belum pernah melihatnya sebelumnya. Suruh dia menunggu di beranda. Aku segera menemui...."

   Tak selang berapa lama Tumenggung Cokro Pambudi menemui tetamunya di beranda samping yang merupakan ruang tamu cukup besar, dipenuhi jambangan-jambangan berbagai ukuran.

   Pemuda berpakaian kuning itu segera bangkit berdiri begitu melihat sang Tumenggung muncul.

   Dia membungkuk memberi hormat lalu memperkenalkan diri.

   "Saya Damar Wulung, berasal dari Desa Karangmojo. Maafkan kalau kedatangan saya menggganggu ketentraman Tumenggung di pagi hari yang indah segar ini....."

   Tumenggung Cokro Pambudi tersenyum.

   Sudah lama dia tidak pernah bertemu dengan seorang pemuda tampan yang bicara halus budi bahasa dan hormat seperti pemuda yang ada di hadapannya ini.

   Dia melirik pada dua buntalan yang dibawa si pemuda dan diletakkan di lantai di dekat meja rendah.

   Setelah mempersilahkan tamunya duduk Tumenggung Cokro mengambil tempat di lantai di belakang meja rendah, berhadap-hadapan dengan si pemuda.

   "Anak muda bernama Damar Wulung, jelaskan maksud kedatanganmu....."

   "Saya tahu Tumenggung tidak punya banyak waktu menerima saya. Karena itu saya langsung saja pada pokok persoalan. Secara tidak sengaja saya memergoki serombongan perampok. Ternyata mereka adalah para penjahat dari Alas Roban, di bawah pimpinan Warok Mata Api....."

   Terkejutlah Tumenggung Cokro Pambudi mendengar penuturan Damar Wulung.

   "Teruskan ceritamu, anak muda."

   "Mereka berjumlah lima orang, termasuk Warok Mata Api. Agaknya mereka baru saja melakukan penjarahan. Mereka tengah hendak membagi-bagi isi buntalan ketika saya memergoki."

   Tumenggung Cokro Pambudi perhatikan dua buntalan di samping Damar Wulung.

   "Kau tahu apa isi buntalan itu?"

   Damar Wulung pindahkan dua buah buntalan ke atas meja rendah.

   Lalu satu persatu buntalan itu dibukanya.

   Terkejutlah mata Tumenggung Cokro Pambudi ketika melihat apa isi dua buntalan itu.

   Dua buah peti kayu jati coklat kehitaman.

   Pada penutup peti ada gambar bintang dalam lingkaran, diapit oleh dua ekor naga bergelung.

   "Ini peti-peti milik Kerajaan!"

   Kata sang Tumenggung.

   "Apa isinya..."

   Tumenggung menjawab sendiri dengan langsung membuka penutup dua buah peti.

   "Tidak salah! Ini adalah harta dan uang emas milik Kerajaan yang dikabarkan lenyap dijarah perampok beberapa hari lalu. Menurut keterangan para Abdi Dalem, barang yang dirampok berjumlah lima peti. Kau menemukan hanya dua peti...?"

   "Benar Tumenggung."

   Jawab Damar Wulung. Pandangan mata sang Tumenggung yang tak berkesip membuat si pemuda jadi tidak enak. Dia dapat membaca apa yang ada dalam hati atau pikiran pejabat Kerajaan itu. Maka dengan suara tenang dan halus dia berkata.

   "Kalau sekiranya saya berniat jahat, perlu apa susah-susah mengantarkan dua buah peti ini? Lebih baik saya ambil untuk kepentingan sendiri..."

   "Damar Wulung, jangan kau menduga salah. Ketika kau memergoki Warok Mata Api dan kawan-kawannya, mungkin saja tiga peti lainnya sudah disembunyikan di tempat lain. Namun sebenarnya ada sesuatu yang sangat berharga ikut lenyap digasak perampok Alas Roban itu...."

   Untuk memastikan ucapannya Tumenggung Cokro Pambudi menuangkan seluruh isi dua peti ke atas meja. Matanya memperhatikan harta perhiasan dan uang emas yang bergeletakan di atas meja. Diacak-acaknya beberapa kali. Tapi benda yang dicarinya tidak ada.

   "Tidak ada..."

   Kata Tumenggung Cokro dengan suara perlahan.

   Air mukanya tampak masgul.

   Damar Wulung masukkan tangan kanannya ke balik baju kuning.

   Ketika dikeluarkan membersit cahaya kuning dari sebilah keris terbuat dari emas.

   BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON "Senjata inikah yang Tumenggung maksudkan?"

   Tanya Damar Wulung seraya meletakkan keris emas itu di atas meja rendah.

   Untuk kesekian kalinya sepasang mata sang Tumenggung mendelik besar.

   Keris emas di atas meja segera disambarnya.

   Dia agak tergagau ketika merasakan ada hawa aneh menjalar masuk ke dalam tubuhnya lewat dua lengan.

   Selama ini dia hanya mendengar, tidak pernah melihat langsung keberadaan keris emas itu.

   Setelah menenangkan kejutnya, dengan cepat Tumenggung Cokro meneliti keris emas itu.

   Mula-mula ditelitinya sarung senjata yang terbuat dari emas.

   Setelah dibolak-balik beberapa kali Tumenggung Cokro Pambudi lalu mencabut senjata itu.

   Dengan dada berdebar diperhatikannya keris telanjang itu.

   "Yakin, aku yakin!"

   Kata Tumenggung Cokro sambil menyarungkan keris itu kembali lalu sesaat meletakkan di atas kepalanya.

   "Benar Damar Wulung! Benda ini yang kumaksudkan. Ini adalah Keris Kiai Naga Kopek! Gusti Allah! Senjata ini jauh lebih berharga dari semua barang yang dirampok! Aku akan menghadap Sri Baginda di Keraton, membawa keris ini dan dua peti itu. Kau harus ikut bersamaku Damar. Tapi tunggu dulu. Aku ingin jelas ceritanya. Katamu kau bertemu, memergoki Warok Mata Api. Penjahat itu tidak menyerahkan cuma-cuma begitu saja dua peti dan keris ini padamu, bukan?"

   Sepasang mata sang Tumenggung memperhatikan sosok pemuda di hadapannya seolah mengukur kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuh kekar pemuda bernama Damar Wulung ini. Damar Wulung tersenyum.

   "Kami sempat bentrokan. Saya berusaha menghindari pertumpahan darah. Saya coba mengingatkan kepala rampok itu agar meninggalkan dunia hitam, kembali ke jalan yang benar. Tapi dia mana memandang sebelah mata. Dia menyuruh empat anak buahnya mengeroyok saya..."

   "Terjadi perkelahian empat lawan satu. Benar...?"

   "Memang begitu Tumenggung. Saya beruntung bisa mengalahkan mereka..."

   "Ah... Lalu Warok Mata Api?"

   "Seperti empat anak buahnya, saya terpaksa menyelesaikan dirinya..."

   "Hebat! Luar Biasa!Selama ini tidak satu orang pandaipun sanggup menangkap kepala rampok itu hidup atau mati! Pasukan Kerajaan telah berkali-kali menyerbu Alas Roban kawasan selatan sarangnya Warok Mata Api. Mereka selalu kembali dengan membawa korban tidak terhitung! Kini kau seorang diri berhasil menewaskannya! Betul begitu Damar Wulung?!"

   "Tumenggung, apakah saya bersalah membunuh lima orang itu walau mereka adalah para penjahat, rampok yang selama ini membuat onar, menyengsarakan rakyat menyusahkan Kerajaan?"

   Tumenggung Cokro tertawa lebar mendengar kata-kata Damar Wulung.

   "Anak muda, baru sekali ini aku bertemu orang yang hatinya sangat polos sepertimu. Ah..."

   Sang Tumenggung geleng-gelengkan kepala. Matanya tidak lepas-lepas memandangi wajah tampan si pemuda. Dia teringat Milani, puteri satu-satunya.

   "Sayang anak itu sudah mempunyai pilihan hati. Kalau tidak aku akan sangat berbahagia bila dia mendapatakn jodoh seperti pemuda ini. Pagi tadi dia sudah dijemput untuk latihan menunggang kuda. Seandainya saat ini dia ada di sini dan bertemu degann Damar Wulung..."

   "Damar Wulung, kau telah berjasa besar pada Raja dan Kerajaan. Apakah kau menyadari hal itu?"

   "Saya... Saya tidak merasa berjasa. Malah..."

   "Kau memilih datang padaku. Mengapa tidak menghadap Patih Kerajaan atau menemui salah seorang Pangeran. Atau langsung menghadap Sri Baginda... Aku merasa mendapat kehormatan besar..."

   "Saya hanya pemuda desa . Mana mungkin berani berlancang diri menemui Patih Kerajaan, apalagi menghadap Sri Baginda. Saya sudah lama mendengar tentang pribadi Tumenggung yang sangat dekat dengan rakyat. Itu sebabnya saya memilih menemui Tumenggung. Jika tindakan saya ini salah atau tidak berkenan di hati Tumenggung. Mohon saya diberi tahu dan minta maaf. Pagi ini saya sudah menghabiskan waktu Tumenggung..."

   Tumenggung Cokro tertawa lebar.

   "Damar Wulung, kau bukan saja seorang pemuda gagah berilmu. Tapi juga tinggi budi rendah hati!"

   Tumenggung Cokro tepuk-tepuk bahu pemuda di hadapannya itu.

   Sambil menepuk dia kerahkan kekuatan tenaga dalam.

   Seseorang yang tidak memiliki ilmu, akan terhenyak miring tubuhnya oleh tepukan yang kelihatannya enteng-enteng saja itu.

   Tetapi yang terjadi malah mengejutkan sang Tumenggung.

   Tubuh si pemuda sama sekali tidak bergeming.

   Dia merasa tangannya menepuk tumpukan kapas yang sangat lembut.

   Semakin sukalah Tumenggnung Cokro Pambudi pada pemuda ini.

   Tidak terasa, meluncur saja ucapannya.

   "Aku mempunyai seorang puteri. Kalau saja dia ada di sini, aku senang kau berkenalan dengannya. Pagi-pagi sekali tadi dia..."

   "Tumenggung, rasanya saya sudah cukup lama mengganggu. Saya mohon diri..."

   Tumenggung Cokro terkejut.

   "Apa? Kau harus ikut aku, Damar!"

   "Ikut Tumenggung? Ikut kemana?"

   Damar Wulung bertanya heran.

   BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON "Astaga! Kau masih belum sadar kalau sudah berbuat jasa besar pada Kerajaan.

   Aku akan mengajakmu menghadap Sri Baginda di Keraton.

   Baginda pasti sangat gembira.

   Dan kau tahu Damar.

   Pemuda sepertimu sangat besar arti dan gunamya bagi Kerajaan.

   Aku yakin Sri Baginda akan memberikan satu jabatan tinggi bagimu.

   Bungkus kembali peti itu Damar.

   Kita berangkat sekarang juga.

   Aku akan berganti pakaian dulu..."

   Tumenggung Cokro masuk ke dalam dengan membawa Keris Kiai Naga Kopek.

   Dua peti ditinggalkannya di atas meja.

   Ketika tak lama kemudian dia kembali ke beranda samping, dua buah peti berisi harta perhiasan dan uang emas sudah terbungkus rapi dalam buntalan kain.

   Namun pemuda bernama Damar Wulung tak ada lagi di tempat itu.

   "Damar....?"

   Tumenggung Cokro memanggil.

   "Damar Wulung?!"

   Sang Tumenggung berteriak lebih keras. Lalu lari ke halaman depan. Damar Wulung lenyap.

   "Aneh, manusia aneh! Berbuat jasa besar begitu rupa. Lenyap menghilang! Sepertinya tidak menginginkan balasan apa-apa! Padahal ratusan pemuda bisa nekad berbuat apa saja agar bisa mendapat pekerjaan terhormat di Keraton..."

   Tumenggung Cokro usap dagunya lalu sambil geleng-gelengkan kepala dia kembali ke beranda samping, lalu bergegas ke belakang menemui pembantu yang mengurus kudanya.

   Pagi itu juga dia segera menghadap Raja di Keraton.

   Seperti yang telah diduganya, Raja tidak kecewa dengan lenyapnya sebagian besar harta perhiasan dan uang.

   Yang penting Keris Kiai Naga Kopek bisa diemukan kembali.

   Dengan mata bercahaya dan wajah berseri-seri Raja mengeluarkan Keris Kiai Naga Kopek dari dalam peti.

   "Sungguh Gusti Allah Maha Besar. Ada saja uluran tanganNya melalui seorang pemuda berhati jujur, membawa pusaka Kerajaan ini kembali ke Keraton..."

   Sri Baginda cium sarung keris emas itu lalu perlahan-lahan ditariknya senjata itu keluar dari sarungnya.

   Ketika dia hendak mencium keris emas telanjang itu, mendadak gerakannya tertahan.

   Sepasang matanya membesar, meneliti ukiran di badan keris lalu kelihatan tubuh Sri Baginda lemas, menatap membelalak tapi sayu pada Tumengung Cokro Pambudi.

   Heran melihat sikap dan raut wajah Sri Baginda, Tumenggung Cokro Pambudi langsung bertanya.

   "Sri Baginda, agaknya ada sesuatu?"

   "Keris ini Tumenggung... Keris ini...."

   "Ya, ada apa dengan keris itu Sri Baginda?"

   Tumenggung Cokro beringsut maju mendekati Raja.

   "Keris ini bukan Keris Kiai Naga Kopek. Keris ini palsu! Hanya sarungnya yang benar asli... Ampun Gusti Allah!"

   "Tobat biyung!"

   Ucap Tumenggung Cokro begitu mendengar kata-kata Raja.

   Pagi itu juga Sri Baginda memerintahkan Tumenggung Cokro agar segera berangkat ke Desa Karangmojo.

   Damar Wulung sempat memberi tahu bahwa dia berasal dari desa tersebut.

   Tumenggung Cokro membawa sejumlah perajurit dan dua orang berkepandaian tinggi.

   Salah seorang di antaranya adalah Momok Dempet Tunggul Gono.

   Saat itu tangan kiri Tunggu Gono yang buntung sebatas siku telah disambung dengan selongsong besi yang ujungnya lancip berkeluk seperti ganco.

   Begitu sampai di Desa Karangmojo, Kepala Desa dipanggil.

   "Di desa sini tidak ada orang bernama Damar Wulung. Apalagi memiliki kepandaian silat hebat bisa mengalahkan perampok Alas Roban..."

   Menerangkan Kepala Desa Karangmojo.

   "Ada atau tidak desa ini harus kami geledah!"

   Kata Tumengtung Cokro.

   "Jumlah kami dari Kotaraja tidak banyak. Harap perintahkan para petugas keamanan desa dan rakyat ikut membantu!"

   Semua rumah penduduk di Desa Karangmojo digeledah satu demi satu.

   Karena desa ini cukup luas, maka menghhabiskan banyak waktu dan melelahkan untuk menggeledahnya.

   Dan hasilnyapun nihil besar.

   Damar Wulung tidak diketemukan batang hidungnya! Dalam perjalanan kembali ke Kotaraja, Tumenggung Cokro Pambudi tidak habis-habisnya berpikir.

   "Agaknya aku berhadapan dengan bangsa penjahat kakap, cerdik dan berkepandaian tinggi. Semula dengan membawa harta, uang dan keris itu kepada Raja, aku berharap akan mendapat pujian. Syukur-syukur bisa diangkat jadi Adipati. Ternyata kini aku yang menanggung apesnya! Edan biyung! Apa yang harus aku katakan pada Sri Baginda? Tobat biyung!"

   Selagi dalam keadaan pikiran kacau serta hati gemas begitu rupa, sesampainya di Kotaraja rombongan segera menuju Keraton untuk memberikan laporan. Ketika sama-sama menambatkan kudanya, Momok Dempet Tunggul Gono berbisik pada sang Tumenggung.

   "Aku menaruh curiga?"

   "Menaruh curiga? Maksud sampean apa?"

   Tanya Tumenggung Cokro.

   "Jangan-jangan semua ini hanya sandiwaramu saja. Siapa tahu kau berada di belakang layar. Aku mendengar peti emas itu sebenarnya berjumlah lima buah. Yang kau serahkan pada BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON Raja hanya dua. Yang tiga pasti kau tilep. Lalu Keris Kiai Naga Kopek yang asli kau ambil, menggantikannya dengan keris rongsokan dari kuningan disepuh emas..."

   "Makhluk jahanam bermulut busuk!"

   Teriak Tuemnggung Cokro marah sekali.

   Tangan kanannya bergerak laksana kilat hendak menampar.

   Tapi tangan kiri selongsong besi lancip Tunggul Gono cepat membuat gerakan menangkis, melintang di depan mukanya.

   Tumenggung Cokro menggeram.

   Dia berusaha menindih amarah dan terpaksa menarik tangananya.

   "Lain kali jika kau berani berucap kotor, walau cuma sedikit saja, aku bersumpah akan membunuhmu!"

   Kata sang Tumenggung pula. Momok Dempet Tunggul Gono tertawa lebar.

   "Memang itu harus kau lakukan. Untuk menghilangkan jejak. Tapi apakah kau sanggup Tumenggung?"

   "Akan aku buktikan. kita berdua akan menghadap Raja. Silahkan kau umbar mulut kejimu di hadapan Sri Baginda. Kalau perlu aku akan menghabisimu di depan beliau!"

   Habis berkata begitu Tumengung Cokro mendahului masuk ke dalam Keraton.

   BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON BAB Kembali pada peristiwa yang terjadi sebelumnya.

   Dalam keadaan lumpuh tangan dan kaki Pendekar 212 Wiro Sableng dogotong oleh dua orang perajurit.

   Di sebelah belakang mengikuti Tunggul Gono yang tangan kirinya hancur sebatas siku.

   Dengan menotok dua jalan darah di sisi kiri tangan yang hancur itu tidak sampai mengucurkan darah.

   Namun rasa sakit seperti ada puluhan paku mencucuk membuat Momok Dempet ini kelihatan mengerenyit kesakian berulang kali.

   Tampang yang kesakitan itu juga tampak garang beringas.

   Amarahnya hampir tidak terkendali.

   Saat itu ingin sekali Tunggul Gono menendang hancur kepala Pendekar 212 dengan kakinya yang berbentuk kuda.

   Pemuda inilah yang menyebabkan dia terpaksa membunuh saudaranya.

   Lalu pemuda ini pula yang telah menghancurkan tangan kirinya sampai ke siku, membuat dia cacat seumur hidup.

   Di samping rasa dendam terhadap Wiro, Tunggul Gono juga marah pada Hantu Muka Licin Bukit Tidar.

   Dia sudah lama mengincar Kinasih.

   Kini kakek satu itu memisahkan diri, membawa perempuan cantik itu entah kemana.

   Tunggul Gono berdiri di hadapan sosok Wiro yang terbujur di lantai kerangkeng besi.

   Kaki kanannya diangkat, dipisahkan ke kepala Wiro.

   Tenggorokannya keluarkan suara menggeram pendek.

   Lalu mulutnya berucap.

   "Pendekar 212! Saat ini sangat mudah bagiku menghabisi nyawamu. Satu kali kakiku menginjak remuk amblas kepalamu!"

   Murid Sinto Gendeng menyeringai.

   "Lalu kenapa tidak kau lakukan?!"

   Wiro menantang. Tunggul Gono menggeleng.

   "Kematian secara cepat terlalu enak bagimu. Aku lebih suka menyiksamu lebih dulu. Kalau perlu tidak usah membunuhmu, tapi membuatmu cacat dan gila seumur-umur! Ingat ucapan Hantu Muka Licin Bukit Tidar? Kakek sakti yang melumpuhkanmu dengan puluhan jarumnya? Malam nanti aku akan menyuruh orang menyiksa anggota rahasiamu dengan sengatan puluhan kelabang beracun! Kau boleh hidup, tapi sebagai laki-laki kau tidak akan punya daya apa-apa lagi. Di mata perempuan anjing buduk lebih berharga dari pada dirimu! Ha... ha... ha!"

   "Ha... ha... ha!"

   Wiro ikutan tertawa membuat Tunggul Gono hentikan tawanya dan delikkan mata.

   "Jahanam! Apa yang kau tertawakan?!"

   Tunggul Gono membentak.

   "Kalau aku jadi anjing buduk, aku akan menggigit bukan cuma kakimu. Tapi juga anggota rahasiamu! Seperti aku kau juga tidak akan ada artinya bagi perempuan! Lalu kita bisa gila barengan! Ha... ha... ha!"

   "Keparat!"

   Maki Tunggul Gono lalu tendang pinggul Pendekar 212 hingga mencelat ke sudut kerangkeng.

   Sambil memaki panjang pendek Tunggul Gono kelur dari tempat itu.

   Sebelum pergi dia kunci pintu kerangkeng dengan dua buah gembok besar.

   Kuncinya lalu digantung pada tembok enam langkah di depan kerangkeng.

   Sebenarnya dia ingin menyiksa Wiro dengan beberapa tendangan lagi, namun keadaan luka di tangan kirinya saat itu membuat dia lebih mementingkan mencari seseorang untuk minta pengobatan.

   Selain itu dia harus memikirkan akan disambugnya dengan apa tangan kirinya yang buntung itu.

   Tangan palsu dari kayu, atau besi? Ketika Tunggul Gono mengikuti perajurit yang menggotong Wiro menuju kerangkeng besi, Malaikat Alis Biru pergi menemui Patih Kerajaan di satu ruangan dalam Keraton.

   Dia melaporkan perihal ditangkapnya Pendekar 212 Wiro Sanleng yang dituduh sebagai pembunuh juru ukir Raden Mas Sura Kalimarta.

   "Patih Kerajaan,"

   Kata Malaikat Alis Biru menyudahi laporannya.

   "Menyimak segala perbuatannya di masa lalu serta mengetahui dia adalah murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede, saya menaruh kawatir kalau-kalau kita telah kesalahan tangan."

   "Maksudmu?"

   "Saya meragukan bahwa Wiro Sableng yang membunuh juru ukir itu lalu berselingkuh dengan Kinasih, istri almarhum,"

   Jawab Malaikat Alis Biru pula.

   "Kalau kita sampai kesalahan tangan Sinto Gendeng pasti tidak akan tinggal diam. Lalu para tokoh rimba persilatan pasti akan bersikap tidak enak pula terhadap Kerajaan..."

   Patih Selo Kaliangan merenung sejenak.

   "Ucapanmu ada benarnya..."

   Kata sang Patih kemudian.

   "Aku tugaskan padamu menemui pemuda itu malam nanti. Jika kau merasa pasti dia tidak bersalah, aku memberi wewenang padamu untuk melepaskannya. Namun setelah dilepas, ternyata memang dia yang melakukan pembunuhan itu, bisakah kau memberikan satu jaminan bahwa kau akan mampu menangkapnya kembali?"

   Malaikat Alis Biru.

   "Saya menjadikan diri saya sebagai jaminanya Patih. Saya bersedia dihukum berat kalau apa yang saya lakukan ternyata keliru."

   "Malaikat Alis Biru, kalau aku boleh bertanya mengapa kau seperti membela Pendekar 212?"

   Bertanya Patih Kerajaan. BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON "Saya tidak membela dirinya Patih. Bagi saya lebih baik kelolosan terhukum yang bersalah dari pada memenjarakan orang yang sebenarnya tidak bersalah..."

   Patih menganguk.

   "Jalan pemikiran yang bagus,"

   Kata Patih Selo Kaliangan.

   "Tapi agaknya kau akan bentrokan kepentingan dengan Momok Dempet Tunggul Gono..."

   "Saya tidak menyalahkan dirinya, Patih. Tunggul Gono punya segudang dendam kesumat terhadap Pendekar 212. Kematian saudaranya. Tangan kirinya yang dibikin hancur..."

   "Baiklah Malaikat Alis Biru. Aku akan menemui Raja memberitahu keputusan kita ini. Semoga Raja dapat memahami. Aku tidak melihat orang tua berjuluk Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Bukankah dia ikut serta dalam rombonganmu?"

   "Di tengah jalan dia memisahkan diri. Dia memboyong Kinasih, istri mendiang juru ukir Keraton."

   Berubahlah paras Patih Selo Kaliangan.

   "Malaikat Alis Biru, perintahkan satu pasukan untuk mencari kakek itu. Cegah dia melakukan perbuatan keji itu. Aku akan memberitahu Raja. Sudah sejak lama kita orang-orang Keraton tidak suka dengan segala perbuatannya. Dia pernah diperingatkan, tapi masih saja berlaku tidak terpuji!"

   "Saya akan menyiapkan pasukan. Atas izinmu biar saya minta Tunggul Gono untuk memimpin pasukan itu..."

   "Ya, Momok Dempet itu memang harus banyak diberi pekerjaan. Dia juga salah satu orang yang harus kita awasi terus menerus..." *** Sesaat setelah Tunggul Gono dan dua perajurit meninggalkan tempat itu, Pendekar berusaha mengetahui berada dimana dia saat itu. Ternyata dia disekap dalam sebuah ruangan. Bagian belakang merupakan tembok batu yang sangat kokoh. Di kiri kanan serta bagian depan ruangan itu dibatasi dengan jalur-jalur besi sebesar betis. Ruangan itu tidak beda dengan sebuah kerangkeng tempat mengandangkan binatang buas. Wiro coba kerahkan tenaga dalam. Tidak berhasil. Coba gerakkan kaki dan tangan. Juga tidak mampu. Dia hanya bisa memutar bola mata dan menggerakkan leher atau kepalanya sedikit. Selagi dia berusaha menarik nafas dalam sambil mengatur jalan darah, tiba-tiba hidungnya mencium satu bau yang amat tajam. Dia memutar mata, menggerakkan kepala. Tapi tak banyak yang bisa dilihatnya. Ditariknya nafas dalam kembali, lalu lapat-lapat didengarnya ada suara seperti orang mengorok jauh di sudut kiri, agak sebelah depan. Kalau saja dia bisa menaikkan kepala sedikit. Kemudian terdengar suara orang batuk-batuk.

   "Tidak salah! Suara batuk itu aku kenali betul. Lalu bau pesing yang santar itu. Hanya ada dua makhluk di dunia yang bau tubuhnya memancarkan bau pesing. Guruku Sinto Gendeng dan Setan Ngompol. Yang tadi batuk adalah suara laki-laki. Jadi..."

   Wiro membatin. Dia kumpulkan tenaga dan berteriak.

   "Setan Ngompol! Kau ada di sini?!"

   Di dalam sebuah kerangkeng besi, terletak sebelah kiri depan kerangkeng tempat Wiro disekap, suara batuk serta merta lenyap.

   Satu sosok tua kerempeng yang sejak tadi terbujur di lantai mendadak sontak bangkit berdiri.

   Dari bawah perutnya memancar air kencing karena kaget oleh teriakan Wiro tadi.

   Sambil pegangi perutnya, orang tua ini terhuyung-huyung bangkit berdiri.

   Daun telinganya lebar.

   Yang sebelah kanan kelihatan aneh karena terbalik.

   Daun telinga yang seharusnya menghadap ke depan justru menghadap ke belakang.

   Kakek ini memiliki sepasang mata jereng.

   Sambil memegang daun telinga kirinya, dua mata jereng memandang berputar mencari-cari.

   Lalu dia berseru.

   "Siapa tadi berteriak menyebut nama Setan Ngompol?!"

   "Aku! Wiro Sableng! Jawab cepat! Kau Setan Ngompol atau bukan?!"

   Kakek dalam kerangkeng besi melangkah ke depan tapi gerakannya hanya sebatas dua langkah.

   Sesuau yang menjepit di selangkangannya membuat dia tak bisa maju lebih jauh.

   Walaupun demikian sudah cukup baginya untuk dapat melihat ke dalam kerangkeng dimana Wiro berada.

   Sebaliknya karena kini kakek itu dalam keadaan tegak berdiri, walau dia sendiri masih terbaring namun Wiro sudah dapat melihat bagian kepala orang.

   "Astaga naga!"

   Si kakek dalam kerangkeng yang memang Setan Ngompol adanya berseru kaget. Kencingnya langsung terpancar.

   "Wiro! Dedemit dari mana yag membawamu ke tempat celaka ini?!"

   Teriak Setan Ngompol.

   "Nanti aku ceritakan. Kau duluan yang cerita. Tempat apa ini, kira-kira dimana letaknya. Lalu bagaimana kau bisa bertahta di sini..."

   "Sialan! Kau menyebut aku bertahta! Nasibku dan nasibmu tidak beda! Kita dipenjarakan orang di ruang bawah tanah ini. Letaknya di ujung satu lorong, masihdi kawasan Keraton. Tapi di BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON bawah tanah. Kau tahu tempat apa ini? Ini adalah tempat manusia-manusia malang celaka menunggu hukuman mati!"

   Serrr! Habis menyebut mati begitu si kakek kembali mengucur air kencingnya.

   "Kalau memang mati ya mau dibilang apa!"

   Kata Wiro. Tangan kanannya digerakkan hendak menggaruk. Tapi tidak bisa.

   "Lekas kau ceritakan riwayatmu sampai minggat ke sini. Bukankah kita sama-sama melesat mental dari Latanahsilam, negeri seribu dua ratus tahun lalu?"

   "Ya... ya aku sadari hal itu kemudian. Celakanya aku mental dan melayang jatuh di sumur tempat sumber air mandi Raja! Walau semua itu terjadi secara tidak sengaja, tapi para penguasa Istana mana mau tahu. Lagi pula siapa percaya kalau aku katakan aku barusan saja terpental dari negeri jahanam Latanahsilam. Raja marah, aku ditangkap. Kabarnya air sumur yang sudah tercemar air kencingku itu bukan saja sempat dipakai bersiram oleh Sri Baginda tapi juga sempat dipakai berkumur-kumur. Asyik tidak?!"

   Pendekar 212 masih bisa tertawa gelak-gelak mendengar cerita Setan Ngompol itu. Lalu Wiro berkata.

   "Kau tidak bersalah, semua terjadi bukan maumu. Kulihat kau dalam keadaan bebas. Mengapa kau tidak berusaha kabur melarikan diri?"

   "Apanya yang bebas! Dari tempatmu terbujur kau mungkin sulit melihat. Tapi coba kau angkat kepalamu sedikit, lihat kemari! Kau tahu mengapa aku tidak bisa kabur! Gila betul!"

   Pendekar 212 dengan susah payah berhasil mengangkat kepalanya sedikit.

   Ketika melihat sosok Setan Ngompol terkejutlah pendekar ini.

   Tangan dan dua kaki si kakek memang bebas.

   Tapi di bagian bawah perutnya, dari balik celana bututnya yang basah kuyup oleh air kencing kelihatan menggelantung sebuah rantai besi.

   Bagian lain dari ujung rantai dilibatkan ke jalur besi di dinding kiri sementara ujungnya tenggelam masuk ke lantai batu.

   "Anggota rahasiaku dipatok jepian besi yang ada gandulan rantai. Aduh mak, sakitnya tidak seberapa. Tapi gatalnya, sulit aku menggaruk! Masih untung japitannya tidak terlalu kuat. Jadi aku masih bisa ngompol. Kalau sampai kencingku mandek mungkin aku sudah mampus tiga hari yang lalu! Kau saksikan dua tangan dan kakiku memang bebas. Aku bisa saja membobol jalur besi atau menghancurkan dinding batu. Tapi kalau aku kabur berarti putus anuku ini! Sial dangkalan!"

   SI kakek memberi keterangan lalu memaki panjang penden.

   "Wiro, sekarang giliranmu. Ceritakan apa yang terjadi. Mengapa kau berada dalam keadaan lumpuh begitu rupa. Kesalahan apa yang telah kau lakukan hingga disekap di tempat ini?!"

   "Aku dituduh membunuh juru ukir Keraton dan berbuat mesum dengan istrinya..."

   Wiro menjawab lalu secara singkat menceritakan apa yang terjadi. Setan Ngompol tertawa cekikikan.

   "Kakek geblek, kenapa kau tertawa?!"

   Setan Ngompol duduk menjelepok di lantai kerangkeng. Sambil pegangi perutnya dia bertanya.

   "Istri juru ukir itu, apakah dia masih muda dan cantik jelita?"

   "Eh, mengapa kau bertanya begitu? Memang dia masih muda, parasnya cantik ayu..."

   Setan Ngompol menyeringai. Setelah batuk-batuk beberapa kali dia lantas berkata.

   "Soal tuduhan kau membunuh juru ukir itu aku memang tidak percaya. Tapi soal kau beranu-anu dengan istrinya yang masih muda dan cantik, bisa saja memang kau lakukan..."

   Setan Ngompol lalu tertawa gelak-gelak.

   "Tua bangka setan! Mulutmu tidak karuan..."

   "Walah, mumpung masih bisa bicara dan bergurau mengapa tidak dilakukan? Besok kalau sudah mati, setanpun tidak mau kita ajak bicara apalagi bercanda!"

   Jawab Setan Ngompol.

   "Kau tahu, hukuman apa yang hendak dijatuhkan atas diriku?"

   "Katamu ini sekapan tempat menunggu hukuman mati!"

   "Mereka hendak melakukan sesuatu yang lebih buruk dari kematian!"

   Jawab Setan Ngompol pula.

   "Mereka hendak mengebiri barang antikku!"

   Lalu serr, si kakek terkencing. Wiro terkejut lalu ingat akan ucapan Tunggul Gono.

   "Nasibku tidak lebih bagus. Anuku akan diantuk dengan puluhan kelabang beracun!"

   Kembali Setan Nghompol pancarkan air kencing.

   "Nasib... nasib. Aku mengira bisa kembali ke Tanah Jawa bakal mendapat kesenangan. Yang dapat malah malapetaka begini rupa. Mendingan aku tetap saja berada di Negeri Latanahsilam!"

   "Kapan mereka mau menggorok burungmu Kek?"

   Tanya Wiro.

   "Besok pagi!"

   Jawab Setan Ngompol.

   "Kau sendiri kapan mau dikawini dengan kelabang beracun?"

   Bertanya si kakek.

   "Enak saja kau mengatakan aku mau dikawini!"

   Wiro mendumal. Tapi dia menjawab juga.

   "Rencananya nanti malam. Yang punya niat tadinya adalah seorang kakek keparat berjuluk Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Tapi yang melakukan Momok Dempet Tunggul Gono..."

   "Agaknya kita hanya menunggu nasib. Kecuali jika ada yang menolong..."

   "Harapan kita tipis Kek..."

   Kata Pendekar 212 pula. Dia pejamkan mata, berusaha menenangkan pikiran sambil mencari kala bagaimana bisa meloloskan diri.

   "Aku memiliki ilmu Sepasang Pedang Dewa yang kudapat dari Datuk Rao Basaluang Ameh,"

   Membatin Pendekar BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON 212.

   "Tapi percuma saja. Sekalipun aku bisa menjebol dinding, atau memutus jalur-jalur besi kerangkeng, aku tetap saja tak bisa melarikan diri. Pertama sekali aku harus bisa membebaskan diri dari kelumpuhan ini. Bagaimana aku bisa mencabuti dua puluh satu jarum celaka yang menancap di sekujur badanku ini? Siapa yang bakal menolong. Tuhan, apa Kau masih menaruh kasih menolong diriku? Hanya Engkau satu-satunya tempat aku minta tolong. Di tempat ini memang ada Malaikat. Tapi dia bukan MalaikatMu. Dia Malaikat Alis Biru, tokoh silat Istana yang salah kaprah!"

   BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON BAB Dua mata Si Setan Ngompol dan Pendekar 212 Wiro Sableng yang sejak tadi berada dalam keadaan terpejam tiba-tiba dibuka nyalang. Di ujung lorong terdengar langkah-langkah kaki mendatangi.

   "Jahanam orang-orang Istana!"

   Kata Setan Ngompol dalam hati.

   "Mereka pasti hendak mengerjai Wiro. Aku harus melakukan sesuatu."

   Kakek ini menunggu sampai akhirnya dia melihat tiga orang muncul dan berhenti di depan kerangkeng besi tempat murid Sinto Gendeng disekap. Yang tegak paling depan adalah seorang kakek berpakaian serba hitam, memiliki sepasang alis berwarna biru.

   "Hemmm... ini pasti begundal berjuluk Malaikat Alis Biru yang diceritakan Wiro,"

   Membatin Setan Ngompol.

   Diam-diam kakek ini kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan, menyiapkan pukulan Setan Ngompol Mengencingi Pusara.

   Begitu Wiro hendak dicelakai dia akan hantamkan pukulan sakti itu ke arah Malaikat Alis Biru.

   Malaikat Alis Biru memberi isyarat pada dua orang perajurit berbadan tegap yang ikut bersamanya.

   Salah seorang dari mereka mengambil sebuah kunci yang tergantung di tembok di depan kerangkeng, lalu membuka dua gembok besar pengunci pintu kerangkeng.

   "Pendekar 212! Aku datang untuk membebaskanmu!"

   Murid Sinto Gendeng tersentak kaget mendengar ucapan Malaikat Alis Biru.

   Dia sama sekali tidak mengira.

   Setan Ngompol tak kalah kejutnya.

   Kakek ini buru-buru menekap bagian bawah perutnya agar tidak kucurkan air kencing.

   Dua matanya tetap mengawasi karena dia merasa ragu.

   Apa benar Malaikat Alis Biru hendak membebaskan Wiro.

   Mungkin hanya satu jebakan saja.

   Pintu besi dibuka.

   Malaikat Alis Biru masuk ke dalam.

   Dua perajurit mengikuti.

   "Kau hendak berbuat apa?!"

   Wiro bertanya.

   "Seperti aku katakan tadi, aku datang untuk membebaskanmu. Patih dan Sri Baginda menganggap kau bukan pembunuh juru ukir Keraton bernama Sura Kalimarta. Karena itu kau dibebaskan. Aku menjamin kebebasanmu. Karena itu jika kelak terbukti memang kau yang membunuh sang juru ukir, kau harus menyerahkan diri untuk diadili!"

   "Ini buka jebakan atau tipuan?"

   Tanya Pendekar 212.

   "Tak ada yang menjebak. Tak ada yang menipu!"

   Di dalam kerangkengnya Setan Ngompol merasa lega. Tenaga dalam di tangan kanannya perlahan-lahan dikendurkan.

   "Aku berterima kasih padamu, Patih Kerajaan dan Raja. Tetapi kurasa tidak ada gunanya aku mendapat kebebasan. Aku tidak bisa berjalan meninggalkan tempat ini. Tangan dan kakiku lumpuh akibat tusukan dua puluh satu jarum Hantu Muka Licin Bukit Tidar!"

   "Soal kelumpuhanmu aku tidak bisa menolong. Aku tidak bisa mencabut jarum-jarum itu tanpa mencelakai. Aku tahu betul, kalau jarum kucabut tanpa mengerti bagaimana caranya, keadaanmu bukannya tertolong, malah selain lumpuh kulit dan dagingmu bisa membusuk!"

   "Jarum jahanam!"

   Rutuk Pendekar 212.

   "Aku akan menyuruh dua perajurit ini membawamu keluar. Kau boleh minta diantar kemana saja. Hanya itu yang bisa aku lakukan!"

   Kata Malaikat Alis Biru pula. Wiro diam sejenak. Lalu dia ingat Setan Ngompol.

   "Aku tidak sudi meningggalkan tempat celaka ini. Kecuali jika temanku kakek bernama Setan Ngompol di kerangkeng sana juga ikut dibebaskan!"

   "Ah... jadi kakek jereng kuping terbalik bau pesing itu adalah kawanmu! Sayang aku tidak diberi wewenang untuk melepaskannya. Apa yang telah dilakukannya bukan kesalahan kecil. Dia mengencingi sumur sumber air mandi Sri Baginda."

   "Dia melakukan itu tidak sengaja. Karena kecebur! Dengar, aku tidak akan meninggalkan tempat ini kalau dia tidak ikut serta!"

   "Anak muda, mengapa berlaku tolol? Jika kau sudah bebas di luaran kau bisa mencari jalan menolong kawanmu itu..."

   "Benar Wiro!"

   Berseru Si Setan Ngompol dari dalam kerangkengnya.

   "Jangan pikirkan aku. Selamatkan dirimu. Minta dua perajurit itu mengantarkanmu ke Imoyudan. Cari seorang bernama Mangiri. Dia tahu seorang pandai yang bisa mencabut dua puluh satu jarum di tubuhmu!"

   "Anak muda, kau dengar ucapan sahabatmu itu. Tunggu apa lagi? Dua perajurit itu akan membawamu ke Imoyudan. Saat ini malam hari. Tak ada yang akan mengganggu perjalananmu sampai ke Imoyudan. Aku menjamin..."

   "Tapi aku mendengar besok pagi anggota rahasianya akan dikebiri. Dalam waktu singkat begitu bagaimana mungkin aku menolongnya?"

   "Berarti kau berpacu dengan waktu, anak muda. Jadi jangan membuang waktu percuma..."

   Kata Malaikat Alis Biru pula. BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON Wiro terdiam dan berpikir sambil memperhatikan Setan Ngompol.

   "Kalau tak ada cara lain untuk membebaskan kawanku itu, aku terpaksa mengikut saja..."

   Kata Pendekar 212 dengan suara perlahan.

   Dia merasa sedih meninggalkan Si Setan Ngompol.

   Dua perajurit segera menggotong sosok Wiro Sableng.

   Tapi baru saja mereka dua langkah meninggalkan kerangkeng, tidak terduga dari ujung lorong muncul tiga orang mendatangi.

   Di depan sekali melangkah Momok Dempet Tunggul Gono.

   Tangan kirinya yang buntung tampak disambung dengan sebuah selongsong besi yang ujungnya berkait seperti ganco.

   Di kiri kanan, agak ke belakang menngikuti dua orang.

   Satu berpakaian merah gelap, masih muda dan bertubuh hitam gelap.

   Satunya lagi seorang kakek berpakaian biru muda, memakai blangkon yang pada bagian depannya tersemat sebuah batu permata berwarna hitam.

   Malaikat Alis Biru merasa kaget melihat kemunculan orang-orang itu.

   Dia bisa tidak perduli dengan Tunggul Gono dan lelaki muda yang membawa bumbung bambu.

   Tapi kakek berbelangkon dan berpakaian biru muda membuat hatinya tiba-tiba menjadi kawatir.

   Kakek ini di kalangan Keraton dikenal dengan julukan Iblis Batu Hitam.

   Ilmu silatnya tidak seberapa tinggi.

   Tapi batu hitam yang menempel di belangkonnya luar biasa berbahaya.

   Dengan benda yang dianggap keramat itu dia mampu menghadapi lawan bagaimanapun hebatnya.

   Itu sebabnya di kalangan Keraton dia dianggap sebagai pimpinan tertinggi dari para tokoh silat Istana.

   Dia jarang muncul.

   Tapi sekali muncul pasti menjatuhkan malapetaka! "Ada yang tidak beres.

   Agaknya Tunggul Gono sudah tahu Wiro hendak dibebaskan.

   Dia datang sambil membawa kakek ini."

   Membatin Malaikat Alis Biru. Sesaat kemudian Momok Dempet Tunggul Gono, kakek berbelangkon dan lelaki membawa bumbung bambu sampai di depan kerangkeng.

   "Sungguh satu pertemuan tidak terduga!"

   Tunggul Gono angkat bicara. Matanya memandang tak berkesip pada Malaikat Alis biru, lalu memperhatikan dua perajurit yang menggotong Wiro, kembali memperhatikan Malaikat Alis Biru.

   "Sobatku Malaikat Alis Biru, kau hendak bawa kemana tawanan ini?"

   "Sesuai persetujuan Patih Kerajaan dan Sri Baginda, aku diberi wewenang membebaskan tawanan..."

   Jawab Malaikat Alis Biru.

   "Apa?! Kau diberi wewenang membebaskan tawanan bernama Wiro Sableng ini? Jangan bergurau sobatku Alis Biru!"

   "Siapa bergurau!"

   Bentak Malaikat Alis Biru.

   "Hemm... Apakah kau membawa wewenang tertulis dari Patih atau Raja?"

   "Wewenang itu diberikan secara lisan."

   Tunggul Gono menyeringai.

   "Kalau begitu harus aku suruh dulu orang memeriksa. Sementara itu masukkan kembali tawanan ke dalam kerangkeng!"

   "Kau berani melawan kehendak Raja dan Patih Kerajaan?!"

   Kembali Malaikat Alis Biru membentak.

   "Aku berani melawan kehendak siapa saja selama urusannya belum jelas!"

   Lalu karena melihat dua perajurit tidak mau menurunkan tubuh Pendekar 212 yang digotong, Tunggul Gono tendangkan kaki kudanya sebelah kanan.

   "Bukkk!"

   Wiro mengeluh tinggi. Tubuhnya terlempar menyerempet pintu lalu masuk ke dalam kerangkeng, jatuh bergedebukan di lantai.

   "Jahanam berkaki kuda! Kau berani mencelakai sahabataku yang tidak berdaya! Makan pukulanku!"

   Satu suara membentak di sebelah belakang.

   Lalu terdengar suara angin menderu disertai bau pesing mencucuk hidung.

   Tunggul Gono, kakek berbelangkon dan lelaki yang memegang bumbung bambu berseru keras lalu sama-sama berkelebat selamatkan diri.

   Selarik sinar hitam lewat di depan mereka.

   Menghantam jalur-jalur besi kerangkeng hingga bengkok melengkung lalu meruntuhkan dinding batu di sebelah sana.

   "Tua bangka jahanam! Kau minta mati berani menyerang kami!"

   Teriak lelaki berpakaian merah yang memegang bumbung. Dia melompat ke hadapan kerangkeng dimana Setan Ngompol disekap.

   "Mana kunci kerangkeng! Biar kubunuh makhluk busuk tak berguna ini sekarang juga!"

   "Ini urusan kecil. Serahkan kakek bau pesnig itu padaku!"

   Yang bicara adalah kakek berbelangkon berjuluk Iblis Batu Hitam.

   Dia melangkah ke depan kerangkeng Setan Ngompol.

   Matanya tiba-tiba dibelalakkan.

   Kepalanya digoyangkan ke depan.

   Saat itu juga dari batu hitam yang tersemat di bagian depan belangkon menyembur cahaya hitam, membungkus sekujur tubuh Setan Ngompol.

   Kakek ini menjerit keras lalu terkapar roboh di lantai.

   Mukanya tampak kaku.

   Matanya mendelik dan dari mulutnya mengucur darah.

   Wiro berteriak marah! Dia mengira Setan Ngompol tewas.

   Padahal cuma pingsan saja walau sebenarnya membunuh kakek itu mudah saja bagi Iblis Batu Hitam.

   "Jahanam keparat! Kau berani membunuh sahabatku! Kalau aku bebas kucari kau! Akan kupatahkan lehermu!"

   BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON Iblis Batu Hitam cuma ganda menyeringai mendengar ucapan Wiro itu sedang Tunggul Gono tertawa mengekeh.

   "Anak muda, turut hatiku aku ingin membunuhmu saat ini juga!"

   Berucap Iblis Batu Hitam.

   "Apalagi mengingat gurumu Si Sinto Gendeng beberapa waktu lalu telah mencelakai diriku! Lihat!"

   Iblis Batu Hitam singkapkan tangan kirinya yang terlindung lengan dalam jubah hitam.

   Tangan itu masih utuh, tapi menciut kecil dan kehitam-hitaman.

   Pada bagian atas telapak melekat sebuah benda yang ketika diperhatikan ternyata adalah sebuah tusuk konde terbuat dari perak.

   Wiro segera mengenali.

   Tusuk konde itu adalah tusuk konde yang biasa menancap di batok kepala gurunya.

   "Gurumu membuat aku cacat begini rupa. Aku bersumpah tidak akan mencabut tusuk konde ini sebelum aku mencabut nyawa nenek keparat itu!"

   Wiro mendengus.

   "Kalau kau punya otak jernih kejadian itu seharusnya merupakan satu pelajaran bagimu! Ternyata otakmu tidak jernih! Tapi penuh air comberan!"

   "Jahanam, berani kau menghina ketua kami!"

   Teriak Tunggul Gono marah.

   Dia segera memberi isyarat pada lelaki berpakaian merah yang membawa bumbung bambu.

   Sambil melompat masuk ke dalam kerangkeng orang ini buka penutup bumbung bambu.

   Lalu dia membungkuk di hadapan Wiro.

   Dengan tangan kirinya dia tarik celana sang pendekar hingga melorot jauh ke bawah.

   Bersamaan dengan itu tangannya yang kanan bergerak menuangkan isi bumbung bambu.

   Di dalam bumbung ini terdapat tiga puluh ekor kelabang merah ganas yang sengatannya bisa membuat laki-laki menjadi kehilangan kejantanannya seumur hidup! "Lodan!"

   Teriak Malaikat Alis Biru menyebut nama lelaki muda hitam seraya melompat masuk ke dalam kerangkeng.

   "Tahan! Jangan lakukan itu!"

   Tapi gerakan Malaikat Alis Biru tertahan karena pakaiannya tiba-tiba dicekal oleh Tunggul Gono.

   "Aku susah payah menangkap bangsat itu! Aku harus membayar mahal dengan kehilangan tangan kiri. Bahkan nyawa saudaraku! Kini kau hendak membelanya. Aku tidak perduli Raja dan Patih Kerajaan berada di pihakmu! Kau pantas kubunuh lebih dulu!"

   Habis berkata begitu Tunggul Gono hantamkan selongsong besi yang ujungnya berbentuk gaetan.

   Bagi orang berkepandaian tinggi seperti dia, gaetan besi itu bisa berubah menjadi senjata yang lebih mengerikan dari pedang atau golok! Apalagi dia memilki gerakan cepat.

   Gaetan besi tahu-tahu sudah berkelebat tinggal dua jengkal dari leher Malaikat Alis Biru.

   Satu cahaya biru tiba-tiba berdesing membelah udara.

   "Trangg!"

   Tunggul Gono keluarkan jeritan kesakitan.

   Darah mengucur dari goresan luka di lehernya akibat sambaran benda tajam.

   Gaetan besi tangan kiri Tunggul Gono terpental.

   Kakek ini tersurut dua langkah.

   Wajahnya pucat.

   Di depannya Malaikat Alis Biru tegak tergontai memegang sebilah pedang berwarna biru.

   Mukanya tak kalah pucat.

   "Sahabatku Tunggul Gono, kau bantu Lodan. Urusan ini harus cepat diselesaikan. Aku tak banyak waktu berada di Kotaraja ini!"

   Yang hicara adalah Iblis Batu Hiam. Dia melangkah ke hadapan Malaikat Alis Biru dan berucap "Pedangmu cukup sakti. Aku Iblis Batu Hitam ingin melihat sampai dimana kehebatannya!"

   Habis berkata begitu kakek berjuluk Iblis Batu Hiam delikkan matanya dan goyangkan kepala.

   Saat itu juga serangkum sinar hitam menderu keluar dari batu hitam yang tersemat di bagian depan belangkonnya.

   Malaikat Alis Biru membentak keras.

   Tangan kanan yang memegang pedang dibabatkan ke depan.

   Bersamaan dengan itu dia lepaskan satu pukulan sakti dengan tangan kiri.

   Selarik sinar biru berkiblat.

   Namun betapapun hebatnya pedang di tangan si kakek serta saktinya pukulan yang dilepaskan, sinar hitam yang keluar dari batu di belangkon telah lebih dulu menghantam.

   Malaikat Alis Biru keluarkan jeritan setinggi langit.

   Sosoknya yang dibungkus sinar hitam lawan langsung kelojotan lalu roboh ke lantai.

   Tidak seperti Setan Ngompol, kakek malang ini benar-benar menemui ajal alias dibikin mati oleh serangan Iblis Batu Hitam.

   Habis membunuh manusia satu ini rangkapkan tangan di depan dada, memandang menyeringai pada Momok Dempet Tunggul Gono.

   Namun seringai masnuia satu ini mendadak sontak lenyap seperti direnggut setan.

   Di dalam kerangkeng tiba-tiba ada dua cahaya hijau berkiblat disertai jeritan mengidikkan keluar dari mulut Lodan.

   Lalu sunyi dan kengerian luar biasa melanda tempat itu.

   Sosok Lodan yang tadi hendak mengguyurkan tiga puluh kelabang ke bagian bawah perut Pendekar 212 berkaparan di lantai dalam bentuk tiga kutungan besar dan berwarna hijau mengepul.

   Apa yang terjadi? BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON BAB Pada saat tiga puluh kelabang beracun di dalam bumbung bambu hampir meluncur jatuh ke bagian bawah perut Pendekar 212 Wiro Sableng yang terkapar, murid Sinto Gendeng tidak melihat cara lain untuk selamatkan diri.

   Dari mulutnya keluar seruan keras menyebut ilmu kesaktian yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh.

   (Baca serial Wiro Sableng mulai dari "Wasiat Iblis"

   Sampai "Kiamat Di Pangandaran"

   Terdiri dari 8 Episode).

   "Sepasang Pedang Dewa!"

   Saat itu juga dari dua mata Wiro melesat keluar dua larik sinar hijau bersilang berbentuk sepasang pedang luar biasa tajam dan cepat tabasannya. Lodan, pemuda hitam berpakaian merah tidak tahu apa yang terjadi.

   "Crassss!"

   "Crasss!"

   Tubuh Lodan terbelah tiga mengerikan.

   Berkaparan di lantai kerangkeng.

   Puluhan kelabang merah mati berkaparan di atas genangan darah yang mengucur keluar dari potongan tubuh Lodan.

   Empat besi kerangkeng sebesar-besar betis putus! "Jahanam keparat! Kau bisa selamat dari kelabang beracun itu! Tapi jangan harap bisa lolos dari tanganku!"

   Iblis Batu Hitam melompat ke depan pintu kerangkeng.

   Matanya dibeliakkan ke arah Wiro yang terbaring di atas genangan darah.

   Kepalanya yang memakai belangkon digoyangkan ke depan.

   Serangkum sinar hitam maut menderu ke arah Pendekar 212.

   Sebelumnya Setan Ngompol dan Malaikat Alis Biru tidak sempat meloloskan diri dari serangan mengerikan ini.

   Agaknya hal itu juga akan terjadi dengan murid Sinto Gendeng.

   Hanya sesaat lagi sinar hitam akan melabrak membungkus tubuhnya tiba-tiba ada cahaya putih menyambar.

   Bersamaan dengan itu bau harum aneh menggidikkan merebak di seantero tempat! "Bau bunga kenanga!"

   Wiro berkata dalam hati, tercekat! Sesaat lagi sinar hitam akan menggulung Pendekar 212 tiba-tiba cahaya putih menebar, mendahului membungkus tubuh sang pendekar.

   Ketika kemudian sinar hitam dan cahaya putih saling bergesekan meledaklah letusan-letusan yang menggetarkan seluruh dinding dan lantai bangunan di bawah tanah itu.

   Bahkan di atas sana bangunan Keraton terasa bergetar seperti dilanda gempa! Di depan kerangkeng Tunggul Gono jatuh terhenyak.

   Mukanya pucat, masih belum tahu jelas apa yang telah terjadi.

   Iblis Batu Hitam berteriak kaget ketika merasakan tubuhnya seperti dilabrak topan, terpental membentur besi-besi kerangkeng.

   Kepalanya serasa tanggal.

   Pamandangannya sesaat gelap dan keningnya terasa panas sekali.

   Tulang-tulang di sekujur tubuhnya seolah bertanggalan.

   Di hadapannya muncul satu sosok aneh menyerupai asap.

   Lalu berubah menjadi bayang-bayang.

   Kemudian antara kentara dan tidak dia melihat satu sosok gadis berpakaian putih, berwajah cantik tapi pucat pasi denan sepasang mata menyorot dingin laksana sambaran angin salju! "Bunga...!"

   Pendekar 212 menyebut nama itu dengan lidah setengah kelu, mata mendelik. Iblis Batu Hitam tanggalkan belangkonnya. Matanya terbelalak ketika melihat batu hitam sakti yang jadi andalan ilmu kesaktiannya tak ada lagi di belangkon itu.

   "Manusia iblis, kau mencari benda ini?"

   Satu suara tiba-tiba menegur. Yang bicara adalah sosok gadis berbentuk bayang-bayang itu.

   "Kau mencari benda ini?!"

   Si gadis mengulang. Iblis Batu Hitam dan juga Momok Dempet Tunggul Gono tersentak kaget. Memandang ke depan mereka melihat batu hitam yang tadinya menempel di belangkon kini berada dalam genggaman jari-jari gadis muka pucat.

   "Hantu keparat! Kembalikan batu itu padaku!"

   Teriak Iblis Batu Hitam.

   "Hantu keparat... Kau memanggil aku Hantu Keparat1 Sungguh lucu! Hik... hik... hik!"

   Gadis muka pucat yang merupakan penjelmaan roh gadis bernama Suci alias Bunga alias Dewi Bunga Mayat tertawa panjang.

   "Kau inginkan benda ini silahkan mengambil!"

   Suci gerakkan jari-jari tangannya.

   "Traaakkk!"

   Batu hitam berderak hancur menjadi bubuk halus.

   Iblis Batu Hitam berteriak marah, berusaha mengejar tapi percuma.

   Terlambat.

   Dalam remasan Suci batu telah berubah menjadi bubuk.

   Ketika gadis ini meniup, debu batu itu menyembur ke arah Iblis Batu Hitam.

   Dan ini bukan sambaran debu biasa.

   Kalau Iblis Batu Hitam tidak cepat menyingkir matanya bisa buta ditembus debu hancuran batu hitam miliknya sendiri.

   Lelehlah nyali Iblis Batu Hitam.

   Bukan saja melihat apa yang terjadi tapi juga karena dia tidak memiliki ilmu lain selain mengandalkan batu hitam tiu.

   Tunggul Gono sendiri sejak tadi sudah putus keberaniannya.

   Begitu melihat Iblis Batu Hitam memberi isyarat dan begerak kabur, Tunggul Gono segera pula melompat menghambur.

   BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON "Kalian terlalu terburu-buru.

   Mau pergi kemana?"

   Satu suara menegur.

   "Ih!"

   Iblis Batu Hitam dan Tunggul Gono menjerit berbarengan karena entah kapan bergeraknya tahu-tahu sosok gadis berwajah pucat itu sudah berada lima langkah di hadapan mereka, bertolak pinggang dan tertawa panjang.

   "Aku tidak menghalangi. Kalian mau kabur silahkan! Tapi terima dulu hadiah kenang-kenangan dariku. Satu orang dapat satu!"

   Tangan kiri kanan Suci bergerak.

   Dua buah benda berwarna kuning seperti berpijar, melesat di udara.

   Bau wangi menggidikkan kembali menebar.

   Iblis Batu Hitam dan Tunggul Gono menjerit setinggi langit.

   Tunggul Gono pegangi kupingnya sebelah kanan.

   Di liang kupingnya menancap sebuah benda yang ternyata adalah sekuntum bunga kenanga kuncup.

   Darah mengucur dari liang telinga yang hancur sampai ke gendang-gendangnya.

   Di sebelah Tunggul Gono.

   Iblis Batu Hitam meraung sambil pegangi mata kirinya.

   Darah mengalir di sela-sela jarinya.

   Kalau Tunggul Gono kuping kanannya yang dapat "hadiah"

   Maka Iblis Batu Hitam mata kirinya yang dihantam bunga kenanga kuncup! Sambil menjeri-jerit ke dua orang itu lari tunggang langgang sepanjang lorong. Naik ke tingkat atas dan membuat gempar seisi Keraton.

   "Setan! Hantu!"

   Teriak Tunggul Gono sambil menunjuk-nunjuk ke bawah.

   "Ada roh jahat gentayangan!"

   Ikut berteriak Iblis Batu Hitam.

   Pasukan pengawal Keraton menjadi sibuk.

   Beberapa tokoh silat Istana juga segera berdatangan, mencari tahu apa yang terjadi.

   Tapi seperti orang gila dan menunjuk-nunjuk kian kemari sambil berteriak-teriak Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam tidak bisa ditanyai.

   Akhirnya karena terlalu banyak darah yang keluar dua tokoh silat ini roboh pingsan.

   *** "Bunga..."

   Ucap Wiro ketika sosok bayangan putih mendatangi. Dia berusaha bangkit tapi lupa kalau sekujur tubuhnya berada dalam keadaan lumpuh.

   "Ah...! Aku gembira bisa bertemu denganmu lagi, Bunga..."

   "Diam saja di tempatmu Wiro. Aku akan berusaha mencabut semua jarum yang menancap di tubuhmu. Untung tidak ada jarum yan menancap di titik darah mematikan. Mudah-mudahan aku bisa memusnahkan kelumpuhanmu!"

   Cepat Suci berjongkok di samping Pendekar 212.

   Telapka tangan kanannya dikembangkan.

   Matanya dipejamkan.

   Bersamaan dengan dibukanya matanya kembali, tangan kanannya diusapkan sejengkal di atas permukaan tubuh Wiro.

   Terjadilah satu keanehan.

   Dari telapak tangan Suci keluar satu hawa dingin menyedot disertai kepulan asap tipis putih.

   Sebaliknya dari sosok Pendekar 212 merambas keluar hawa panas disertai asap kehitaman.

   Tiba-tiba! Sett...

   sett...

   sett! Dua puluh satu jarum yang menancap di tubuh Wiro melesat ke atas dan menancap di telapak tangan Suci.

   Tangan itu kucurkan darah tapi cuma sebentar.

   Ketika Suci mengibaskan tangannya semua jarum jatuh luruh ke tanah.

   Walau keadaannya saat itu masih lemah namun Wiro sudah mampu menggerakkan tangan dan kakinya lalu duduk di lantai.

   "Bunga, terima kasih. Kau muncul di saat aku membutuhkan pertolongan..."

   Wiro ulurkan tangan hendak memeluk tubuh Suci.

   Namun sadar pakaiannya basah kotor oleh darah dia tarik ke dua tangannya kembali.

   Bunga tersenyum lalu pegang ke dua tangan Wiro.

   Walau sosoknya berupa bayang-bayang namun Wiro merasakan pegangan gadis itu seperti pegangan manusia biasa adanya.

   "Dua tahun aku kehilangamu. Aku mencari dan mencari. Tapi kau lenyap tak tahu rimbanya...."

   Bisik Suci. Kata-kata itu diucapkanya sambil sepasang matanya berkaca-kaca. Kemudian dia ingat.

   "Ini bukan saatnya untk berbincang-bincang. Kita harus segera meninggalkan tempat ini. Di atas sana aku mendengar suara ramai. Sebentar lagi orang-orang Keraton akan menyerbu ke sini..."

   Wiro masih pegangi dua tangan si gadis dan memandangi wajahnya tak berkedip.

   Perlahan-lahan dia coba bangkit berdiri.

   Tapi tubuhnya masih lemah.

   Dia tak mamapu bangun.

   Menyadari hal ini Suci cepat membantu.

   Ketika dipapah keluar dari dalam kerangkeng, Wiro ingat pada Setan Ngompol.

   "Sahabatku, kakek bau pesing itu. Kita harus menolongnya. Mudah-mudahan masih hidup."

   Wiro menunjuk pada sosok Setan Ngompol yang masih terhenyak di lantai kerangkeng setengah pingsan setengah sadar.

   Suci sandarkan Wiro ke dinding.

   Lalu sosok gadis ini seperti asap berhembus melayang masuk ke dalam kerangkeng lewat celah-celah besi.

   Dai memeriksa keadaan Setan Ngompol sebentar, memberi tanda pada Wiro kalau si kakek masih hidup.

   Sesaat Suci bingung bagaimana BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON harus membuka rantai besi yang tergantung di bawah perut Setan Ngompol.

   Di atas suara-suara kaki terdengar berlarian mendatangi bagian bawah di ujung lorong.

   "Aku perlu kapak saktimu!"

   Kata Suci.

   Gadis ini melayang keluar dari dalam kerangkeng, meminta Kapak Naga Geni 212 lalu kembali masuk ke dalam kerangkeng.

   Sekali tabas saja, rantai besi yang mengikat Setan Ngompol putus pada kepanjangan tiga jengkal dari bawah perutnya.

   Suara keras dentrangan mata kapak memutus rantai besi menyadarkan Setan Ngompol.

   Kakek ini mula-mula mencium bau kembang kenanga.

   Ketika matanya dibuka pandangannya membentur sosok aneh, seperti asap, berwujud gadis cantik pucat berkebaya putih panjang.

   "Si... siapa kau...?"

   Dalam kejutnya dan takut si kakek kucurkan air kencing. Dia terheran-heran melihat Kapak Naga Geni 212 ada di tangan si gadis lalu rantai besi yang selama ini mengikat dirinya tergelatak putus di lantai.

   "Kakek bau pesing. Tidak ada waktu untuk bertanya jawab. Kita harus tinggalkan tempat ini. Wiro sudah menunggu!"

   "Wiro...?"

   Tak sabaran Suci bembeng tengkuk pakaian si kakek lalu seperti tadi dia masuk begitu pula dia bertindak keluar dari dalam kerangkeng besi.

   Tapi dia lupa sosok Setan Ngompol tidak sama keadaannya dengan dirinya.

   Ketika sosoknya sudah di luar, tubuh Setan Ngompol tertahan menabrak jalur-jalur besi kerangkeng.

   Kakek ini melolong kesakitan.

   Keningnya jontor dan tulang kering kakinya seperti mau remuk membentur jeruji besi! Kencingnya awur-awuran.

   Dalam hati Suci menggerutu.

   "Kalau kakek bau pesing ini bukan sahabat Wiro, rasanya lebih baik aku tinggalkan saja di dalam kerangkeng ini!"

   Suci pergunakan kapak sakti untuk menjebol dua jeruji besi hingga Setan Ngompol bisa keluar dari dalam kerangkeng.

   Kapak dikembalikannya pada Wiro.

   Untuk mempercepat Suci bembeng leher pakaian kedua orang itu, lalu dibawa melayang di udara sepanjang lorong.

   "Tewas aku!"

   Teriak Setan Ngompol.

   "Ada apa Kek?!"

   Tanya Wiro.

   "Copot barang antikku!"

   Jawab Setan Ngompol.

   Kakek ini buru-buru pegangi ujung rantai yang menggelantung di bawah perutnya.

   Wiro tertawa lebar sedang Suci jadi senyum-senyum.

   Ketika mereka sampai di tingkat atas yang menuju bangunan Keraton, semua orang yang ada di tempat itu mejadi gempar.

   "Ada dua tubuh melayang di udara!"

   Seseorang berteriak.

   "Setan perempuan menggondol dua tawanan!"

   Teriak yang lain.

   "Roh halus masuk Keraton!"

   Pasukan pengawal Keraton segera mengurung, namun mereka tidak tahu mau berbuat apa karena masing-masing telah dilanda ngeri melihat sosok perempuan aneh yang membembeng Wiro dan Setan Ngompol.

   "Semua menyingkir! Apa yang terjadi di tempat ini!"

   Satu suara membahana.

   Yang muncul adalah Patih Selo Kaliangan.

   Di belakangnya mengikuti Sri Baginda.

   Semua orang segera menyingkir.

   Anggota pasukan cepat melakukan pengawalan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan atas diri Sri Baginda.

   BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON BAB 10 Mula-mula Patih dan Raja melihat sosok Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam tergeletak di lantai, tak berapa jauh dari tangga yang menuju ke lorong bawah bangunan.

   Lalu! Ini yang membuat mereka melengak kaget.

   Dua sosok tampak seperti melayang di udara.

   Satu pemuda gondrong yang pakaiannya penuh berselemotan darah.

   Satunya lagi kakek bau pesing berkuping lebar.

   Dua tangannya memegangi gulungan rantai besi sepanjang tiga jengkal.

   Di antara dua sosok yang seperti melayang itu kelihatan sosok ke tiga, antara kelihatan dan tidak berujud gadis cantik berkebaya panjang.

   Baik sang Paih maupun Sri Baginda segera maklum kalau mereka tengah berhadapan dengan makhluk setengah gaib setengah nyata.

   Dengan nada hati-hati Patih Selo Kaliangan menegur.

   "Roh gadis berkebaya putih. Apakah kau telah tersesat masuk Keraton...?"

   Sosok Suci gelengkan kepala.

   "Bisakah kau membuat sosokmu lebih jelas agar kami dapat melihat wajahmu?"

   "Jika itu maumu tak ada salahnya..."

   Jawab Suci. Saat itu juga wajah dan tubuhnya membayang lebih jelas, hampir menyerupai sosok manusia biasa.

   "Namaku Suci, aku tidak tersesat datang ke tempat ini..."

   Sri Baginda terangguk-angguk, walau ada rasa ngeri dan juga heran.

   "Kalau kau tidak tersesat berarti memang sengaja datang kemari. Lalu mengapa hendak melarikan dua tawanan itu?"

   Patih Kerajaan kembali bicara.

   "Aku tidak melarikan mereka. Aku menolong meneyelamatkan keduanya. Mereka dipenjarakan tanpa kesalahan."

   "Mana mungkin kami bertindak seperti itu..."

   "Patih, aku tidak ingin berdebat denganmu. Tapi kau dan juga Sri Baginda harap sudi mendengar ucapanku ini. Jika Keraton masih memelihara manusia-manusia busuk seperti Tunggul Gono, Iblis Batu Hiam, Hantu Muka Licin Bukit Tidar dan yang lain-lainnya, jangan harap berkah Gusti Allah akan menjadi bagian Keraton dan semua isinya...!"

   Habis berkata begitu, selagi Patih dan Raja terkesiap Suci putar tubuhnya, membumbung ke atas, membawa serta Wiro dan Setan Ngompol. Justru saat itu tiba-tiba mengumandang satu bentakan aneh, seolah datang dari dalam sumur atau jurang sangat dalam.

   "Semua tetap di tempat! Aku ingin tahu siapa yang mencelakai saudaraku Tunggul Gono!"

   Sosok Suci yang tengah melayang naik ke udara seperti diterpa angin.

   Kalau tidak lekas dia menghindar Wiro dan Setan Ngompol bisa celaka.

   Dengan cepat Suci bergerak turun ke lantai ruangan.

   Wiro dan Setan Ngompol dibisikinya agar segera berlindung di balik sebuah tiang besar.

   Di lain saat dari atas langit-langit ruangan besar melayang turun satu sosok berujud bayang-bayang, menampilkan seorang kakek berpakaian hitam, rambut awut-awutan, memiliki sepasang mata besar.

   Bahu kanan buntung, lukanya masih tampak basah berdarah! Kaki kiri putus sebatas lutut sedang kaki kanan berbentuk kaki kuda, sama seperti yang dimiliki Tunggul Gono.

   Seisi Keraton menjadi gempar.

   Sosok yang muncul ini bukan lain adalah rohnya Tunggul Gini, saudara kembar Tunggul Gono yang tewas akibat racun tanah yang menjepit putus kakinya! Sosok Tunggul Gini berdiri di atas satu kaki, memandang mencorong pada Suci.

   "Kita sama-sama makhluk dari alam roh!"

   Tunggul Gini berucap.

   "Kuharap kau mau berbaik hati menyerahkan pemuda berambut gondrong bernama Wiro Sableng itu!"

   "Kenapa kau menginginkan dirinya?!"

   Tanya Suci.

   "Kakiku buntung karena perbuatannya. Aku tewas dibunuh saudara sendiri juga akibat perbuatannya. Di sebelah sana saudaraku menggeletak setengah mati setengah hidup pasti juga karena ulah perbuatannya!"

   "Saudaramu aku yang menghajar! Sekedar untuk memberi pelajaran agar dia bisa bertobat!"

   Kata Suci pula. Sosok gaib Tunggul Gini keluarkan suara tertawa panjang.

   "Kau roh jujur. Mengakui perbuatan. Aku bersedia mengampuni dosamu asal segera menyerahkan pemuda yang kuminta!"

   "Aku tidak bakal menyerahkan pemuda itu. Bukankah lebih baik kau menyelamatkan saudaramu sendiri?!"

   "Kau tak perlu memberi nasihat! Kau mau menyerahkan pemuda gondrong iu atau tidak?!"

   "Kalau kau merasa mampu silahkan mengambil sendiri!"

   "Makhluk roh muka pucat! Kau memaksaku menurunkan tangan jahat! Lihat jari!"

   Tunggul Gini tusukkan jari telunjuk tangan kirinya ke arah Suci.

   Serta merta selarik sinar hitam menderu deras ke arah kening gadis ini.

   Sebenarnya serangan yang dikeluarkan Tunggul Gini adalah jurus pukulan bernama Ladam Setan.

   Tapi kini dia melancarkan serangan dengan cara BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON menusukkan satu jari saja.

   Pertanda di alamnya yang baru makhluk roh ini memiliki kehebatan berlipat ganda! Pada saat sinar hitam tusukan tangannya berkiblat, sosok Tunggul Gini melayang ke balik tiang besar tempat Wiro dan Setan Ngompol sembunyi.

   Dengan tangan kirinya mahkluk roh ini berusaha menyambar rambut gondrong Pendekar 212.

   Di sebelah sana sinar hitam serangan Tunggul Gini lewat dua jengkal di atas kepala Suci yang cepat menunduk.

   Sinar ini melabrak dinding Keraton hingga menimbulkan gelegar keras.

   Dinding tebal itu kelihatan berlubang besar kehitaman! Ketika Tunggul Gini melancarkan serangan dan berusaha menjambak rambutnya, untungnya Wiro sudah berlaku waspada sejak tadi.

   Tangan kanannya bergerak.

   Selarik sinar putih menerangi seluruh tempat disertai menebarnya hawa panas dan suara bergaung seperti ribuan tawon mengamuk.

   Tunggul Gini berteriak, memaki keras.

   Walau tangannya yang menjambak mungkin tidak mempan ditabas kapak sakti itu, tetapi dia tidak berani berlaku ayal.

   Dengan cepat dia tarik pulang tangannya.

   Bersamaan dengan itu kaki kudanya sebelah kanan menendang ke arah batok kepala Wiro dalam jurus Ladam Kematian! Tidak menyangka mendapat serangan susulan begitu rupa Pendekar 212 kembali babatkan kapak saktinya.

   Tapi tangkisannya kali ini melesat jauh.

   Kaki kuda Tunggul Gini menyusup di balik sambaran Kapak Naga Geni 212.

   "Celaka!"

   Setan Ngompol keluarkan seruan tertahan.

   Dia berusaha hendak menolong, tapi dua tangannya tak mungkin dilepas karena harus terus menerus memegangi rantai besi berat yang mengganduli barang antiknya! Hampir kaki kuda Tunggul Gini menghancurkan kepala Wiro tiba-tiba dari samping Suci lancarkan dua pukulan tangan kosong sekaligus.

   Sosok Tunggul Gini terhuyung-huyung.

   Dia berteriak marah, membalik dengan cepat seraya jentikkan lima jari.

   "Gadis jahanam! Biar kau kubikin mampus untuk kedua kalinya!"

   Suci tersentak kaget ketika melihat bagaimana dari tangan lawan berkelebat lima sinar hitam luar biasa cepat dan ganasnya.

   Semua orang yang ada di tempat itu berserabutan menyingkir.

   Tapi Suci sendiri tetap tidak bergerak di tempatnya.

   Dia seperti sengaja menunggu.

   Sesaat kemudian tiba-tiba gadis dari alam roh ini hentakkan kaki kanannya ke lantai.

   Dari lantai memancar sinar merah, menjalar ke atas memasuki tubuhnya terus ke kepala.

   Di lain kejap dua larik sinar merah menyembur dari sepasang mata gadis ini.

   Inilah ilmu yanfg disebut Roh Mendera Bumi.

   Tunggul Gini berseru tegang menyaksikan bagaimana dua larik sinar merah yang keluar dari sepasang mata lawan menggulung lima sinar hitamnya lalu menghantam ke arah dirinya sendiri! Sosok Tunggul Gini buyar tercabik-cabik, berubah menjadi asap hitam merah.

   Suara raungannya menggelegar dahsyat.

   Sebelum sosoknya lenyap terdengar dia berteriak.

   "Makhluk roh muka pucat! Aku belum kalah! Di lain saat aku akan muncul mencarimu untuk membuat perhitungan!"

   Selagi semua orang di tempat itu terhenyak dalam kegemparan luar biasa Suci cepat membembeng Wiro dan Setan Ngompol lalu membawanya melayang ke udara meninggalkan Keraton.

   Sri Baginda mengusap wajahnya yang pucat keringatan berulang kali.

   Diiringi Patih Kerajaan dia melangkah meninggalkan tempat itu dengan kaki terasa bergetar.

   Satu saat dia berhenti, menunggu Patih Selo Kaliangan berada di dekatnya lalu berkata.

   "Peringatan roh gadis bermuka pucat itu agaknya perlu kita perhatikan. Tokoh silat yang hanya mencari keuntungan, bertindak mengatas namakan Keraton atau Istana padahal melakukan perbuatan keji seharusnya kita pangkas dari jajaran Istana. Temui aku besok pagi di serambi timur Keraton."

   "Akan saya lakukan Sri Baginda,"

   Jawab Patih Kerajaan seraya membungkuk. *** Setan Ngompol duduk julurkan dua kakinya di tanah. Setiap dia memandang ke bawah perutnya dia merasa marah, kesal dan jengkel. Hatinya selalu mendumal.

   "Japitan jahanam! Rantai celaka! Bagaimana aku bisa melepaskan diri dari benda keparat ini? Siapa yang bisa menolong Wiro sudah mencoba dengan kapak. Rantai bisa dibabat pendek sampai tinggal satu jengkal. Tapi sisanya termasuk japian besi tidak bisa ditanggalkan, tidak mungkin dibuang..."

   Memandang ke tepi telaga kecil Setan Ngompol memperhatikan Wiro dan Suci duduk berdua-dua.

   Di sebelah timur matahari baru saja naik.

   Udara masih terasa sejuk.

   Setan Ngompol melihat dua orang di tepi telaga itu bangkit berdiri lalu melangkah ke arahnya.

   "Bagaimana keadaanmu pagi ini kek?"

   Menyapa Suci. BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON "Aku baik-baik saja,"

   Jawab Setan Ngompol.

   "Sebaliknya aku merasa kehadiranku di tengah kalian hanya merupakan beban..."

   "Beban, beban apa? Memangnya kami menggendongmu kemana-mana?"

   Ujar Wiro Sableng pula.

   "Maksudku jika hanya kalian berdua saja, tentu lebih merasa bebas. Kalian sudah sangat lama tidak bertemu. Pasti banyak yang akan kalian bicarakan. Aku dulu juga pernah muda..."

   "Sekarangpun kau masih muda Kek!"

   Kata Suci menggoda. Setan Ngompol cibirkan mulutnya.

   "Terus terang banyak cerita lama yang mau kubicarakan denganmu Wiro. Tapi kukira lain kesempatan masih ada. Aku ingin memisahkan diri. Cuma, japitan besi dan sisa rantai yang masih sejengkal ini, bagaimana menghilangkannya..."

   "Aku sudah bilang, kita kembali saja ke Keraton, minta kunci japitan itu. Kalau kunci sudah ada pasti bisa dibuka."

   Kata Wiro pula.

   "Kunci, kunci apa? Coba kau lihat sendiri!"

   Setan Ngompol lupa kalau di situ ada Suci. Dia buru-buru hendak merorotkan celana butut basahnya ke bawah. Tapi begitu sadar sambil tersipu-sipu si kakek tarik kembali celananya ke atas.

   "Japitan ini tidak ada kuncinya. Waktu orang-orang celaka itu menjapit, mereka mempergunakan martil besar untuk mematikan japitan. Untung barangku tidak dijapit medel!"

   Wiro pandangi si kakek sambil garuk-garuk kepala.

   "Aku ingin menjajal memutus dengan Kapak Naga Geni 212. Tapi aku kawatir kalau anggota rahasiamu ikut putus bersama besi japitan! Salah-salah kau bisa berubah lelaki buka, perempuan juga bukan!"

   Kata Wiro lalu tutup mulutnya menahan tawa sementara Suci pura-pura memandang ke jurusan lain.

   "Heran, mengapa orang-orang Istana memelihara tukang siksa begini kejam..... Aku masih ingat tampang bangsat yang memasang japitan pada barang antikku ini,"

   Kata Setan Ngompol. Waktu menyebut "barang antik"

   Dia sengaja berucap perlahan agar jangan sampai terdengar oleh Suci.

   "Aku bersumpah mencari kesempatan untuk membalas! Awas kau bangsat!"

   Setelah merenung sejenak Setan Ngompol kembali berkata.

   "Sudahlah, kalian berdua pergi saja. Tinggalkan aku di sini. Bagaimana nasibku nanti biar aku yang menanggung sendiri."

   "Kami tidak akan meninggalkamu Kek."

   Kata Suci.

   "Itu janji kami berdua sahabat-sahabatmu ini."

   Wiro garuk-garuk kepalanya. Setan Ngompol ikut-ikuan menggaruk. Tiba-tiba kakek ini bangkit melompat. Dua tangan memegangi bagian bawah perut.

   "Ada apa Kek?"

   Tanya Pendekar 212.

   "Aku ingat sesuatu..."

   Jawab Setan Ngompol.

   "Apa yang kau ingat? Nenek genit Luhlampiri di Negeri Latanahsilam itu?"

   Si kakak gelengkan kepala.

   "Aku justru ingat kau!"

   Katanya sesaat kemudian sambil menudingkan telunjuk tangan kiri tepat-tepat ke arah Wiro.

   "Ingat aku? Aku ada di depanmu. Masakan diingat-ingat? Aneh kau ini. Aku kawatir karena selalu memikirkan anumu yang kejepit itu lama-lama otakmu berubah miring...."

   "Wiro... Dengar. Aku ingat! Bukankah kau memiliki ilmu aneh yang disebut Menahan Darah Memindah Jasad..." (Baca rangkaian episode petualangan Wiro di Negeri Latanahsilam mulai dari Episode pertama berjudul "Bola-Bola Iblis"

   Sampai Episode terakhir berjudul "Istana Kebahagiaan").

   "Kau betul. Hantu Selaksa Angin, nenek tukang kentut di Negeri Latanahsilam itu yang memberikannya padaku. Lalu apa maksudmu?"

   Wiro bertanya . Lalu dia tersentak sendiri.

   "Astaga! Aku mengerti Kek! Biar kucoba! Tapi...."

   "Tapi apa?"

   "Setahuku ilmu itu hanya untuk memindahkan bagian tubuh atau aurat manusia saja. Sedang besi yang menjapit anumu serta rantai yang sedang bergelantungan di anumu itu bukan bagian dari aurat tubuhmu...' Diam-dam dari tempatnya berdiri Suci mendengarkan percakapan kedua orang itu.

   "Aku minta kau mencobanya Wiro. Kalau memang sudah dicoba dan tidak berhasil, nasibku yang sial. Tapi kalau berhasil aku punya kaul mencukur semua rambut yang ada di tubuhku! Mulai dari rambut sampai ke kaki!"

   "Kaulmu saja sudah tidak karuan! Berkaul itu sesuatu yang bersifat baik."

   "Aku bingung. Mungkin kau benar. Karena keliwat memikir barangku ini otakku jadi tidak karuan. Aku salah berucap. Tapi apa boleh buat. Rupanya memang begitu bunyi kaulku! Ayo sobatku muda. Lekas kau coba ilmu kesaktianmu itu!"

   Wiro garuk-garuk kepala. Dia pandangi si kakek dengan hati iba.

   "Baik, akan kucoba."

   Wiro lalu jongkok di hadapan Setan Ngompol yang duduk di tanah, Ke dua kaki si kakek dikembangkannya.

   Setan Ngompol hendak menurunkan celana bututnya tapi tak jadi.

   Dia menggoyangkan kepala ke arah Suci lalu mendehem beberapa kali.

   Suci yang mengerti maksud deheman itu sambil senyum-senyum melangkah dan berlindung ke balik sebatang pohon.

   BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON "Dia sudah sembunyi.

   Turunkan celanamu Kek..."

   Kata Wiro Sableng. Tanpa ragu-ragu Setan Ngompol tuunkan celananya sampai ke lutut. Wiro memandang ke bawah.

   "Buset...!"

   "Buset? Apa yang buset?!"

   Tanya Setan Ngompol.

   "Jelek amat Kek!"

   "Apa yang jelek amat?!"

   "Anumu!"

   "Setan kau! Nanti kalau kau sudah tua barangmu lebih jelek dari punyaku, tahu?!"

   Wiro tertawa cekikikan. Perlahan-lahan dia turunkan tangannya ke bawah perut si kakek. Setan Ngompol pegang lengan sang pendekar.

   "Kenapa?"

   Wiro bertanya.

   "Awas kau kalau berani mengacak ke tempat yang bukan-bukan!"

   Di balik pohon Suci menutup mulutnya berusaha menahan tawa mendengar ucapan-ucapan ke dua orang itu.

   "Tenang kek, aku berusaha. Mohon kepada Tuhan agar kau bisa tertolong..."

   "Lakukan cepat, aku sudah berdoa!"

   Kata Setan Ngompol sembari matanya meram melek dan mulutnya komat kamit.

   "Eh, belum kuraba kau sudah seperti orang keenakan Kek!"

   Ujar Wiro melihat mimik si kakek.

   "Setan! Jangan bergurau terus!"

   Bentak si kakek.

   Wiro kembali ulurkan tangan kanannya ke bawah.

   Jari-jarinya menyentuh jepitan besi di bawah perut si kakek.

   Dia lalu merapal bacaan yang diajarkan Hantu Selaksa Angin alias Luhkentut.

   Hening...

   sunyi.

   Lalu kreek! Dua mata Setan Ngompol mendelik.

   Dua mata Wiro melotot.

   Kedua orang ini saling berpandangan sesaat.

   Perlahan-lahan Wiro tarik tangan kanannya dari bawah perut si kakek.

   Dia dan juga Setan Ngompol tak berani memandang ke bawah.

   Sama-sama takut kalau-kalau...

   "Kek...?"

   Wiro bersuara setengah berbisik.

   "Bagaimana...?"

   Suara si kakek bergetar.

   "Aku memgang sesuatu. Keras. Aku tak berani melihat...."

   "Uhh... Aku juga!"

   Jawab si kakek. Mukanya keringatan. Tiba-tiba Wiro melompat. Di tangannya ada sesuatu. Benda ini kemudian ditempelkannya ke batang pohon di belakang mana Suci berada.

   "Kek!"

   Seru Wiro girang.

   Di batang pohon itu kini menempel japitan besi dan ujung rantai yang selama ini menyantel di bawah perut Setan Ngompol.

   Setan Ngompol takut-takut memandang ke bawah.

   Dia melihat.

   Masih tak percaya.

   Dirabanya.

   Mula-mula satu tangan.

   Lalu memaki dua tangan.

   "Masih utuh... Masih utuh! Lengkap semua...!"

   Satu teriakan gembira menggelegar dari mulut Setan Ngompol. Lalu kakek ini jatuhkan keningnya ke tanah, bersujud menyatakan syukur. Dia lupa kalau saat itu celananya berada di ujung kaki.

   "Kek, untung tidak ada babi hutan di sini! Kalau ada bokongmu pasti sudah dilalapnya!"

   Kata Wiro sambil tertawa gelak-gelak.

   "Terima kasih Tuhan! Terima kasih Wiro!"

   Masih dalam keadaan tidak perduli akan celananya yang merosot di bawah lutut kakek ini lari menuju telaga.

   "Aku harus mandi! Mandi syukur sambil membersihkan diri! Mungkin selama ini aku terlalu banyak dosa!"

   "Byurr!"

   Setan Ngompol ceburkan tubuhnya ke dalam telaga kecl. Suci keluar dari balik pohon. Bersama Wiro dia melangkah ke tepi telaga. Si kakek berkecimpung ria sambil tiada hentinya berteriak-teriak gembira.

   "Kek, aku kawatir tubuh, pakaian dan air kencingmu akan mencemari air telaga. Membuat ikan di dalamnya mati semua!"

   Berseru Wiro. Setan Ngompol tidak acuhkan senda gurau itu. Dia berkecimpung terus dalam air, sesekali menyelam sambil menggosok-gosok auratnya.

   "Wiro, kita tidak menunggu lama. Lihat!"

   Suci tiba-tiba menunjuk ke tangah telaga. Wiro memperhatikan. Di situ dilihatnya beberapa ekor ikan timbul mengapung. Makin lama makin banyak.

   "Kek! Apa kataku! Lihat! Ikan pada mati mencium bau tubuh, pakaian dan air kencingmu!"

   "Jangan bergurau terus anak setan!"

   Teriak Setan Ngompol.

   "Buka matamu! Lihat sendiri!"

   Teriak Wiro. Setan Ngompol usap mukanya yang basah. Dia memandang seputar telaga.

   "Celaka! Kau benar! Tapi apa benar karena bau tubuh, pakaian dan air kencingku..."

   "Ditambah dosamu Kek!"

   Sambung Wiro.

   "Lekas naik ke darat! Nanti semakin banyak ikan yang mati di telaga ini!"

   BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON Tidak sadar kalau saat itu di sebelah bawah dia tidak mengenakan apa-apa lagi, si kakek berenang ke tepi lalu naik ke darat.

   Suci terpekik dan cepat balikkan badan sambil menarik tangan Wiro.

   Keduanya lari menjauhi telaga.

   Di satu tempat Wiro berhenti dan berteriak.

   "Kakek Setan Ngompol! Kami pergi! Jangan lupa kaulmu! Mencukur semua rambut mulai dari kepala sampai ke kaki!"

   "Aku tidak akan melupakan! Aku tidak akan melupakan!"

   Terdengar si kakek menjawab disusul suara tawanya terkekeh-kekeh.

   "Serrrrr!"

   Air kencing muncrat dari bawah perutnya.

   TAMAT Episode Berikutnya .

   GONDORUWO PATAH HATI -E-Book ini diketik ulang oleh .

   ACISX (ACHMAD FACHRIS) -Hak karya cipta cerita ini adalah milik Bastian Tito (Alm.) -Jika ada kesalahan dalam penulisan harap dimaafkan.

   Saran dan kritik kirim fachris@sctvnews.com BASTIAN TITO ROH DALAM KERATON

   

   

   

Shugyosa Samurai Pengembara II Pendekar Rajawali Sakti Misteri Tabib Siluman Dewa Arak Mahluk Dari Dunia Asing

Cari Blog Ini