Samurai Pengembara II 2
Shugyosa Samurai Pengembara II Bagian 2
Desis Nobunaga dengan mata terpejam.
"Kau benar-benar hebat!"
Naoko tersenyum manis.
"Fantastis!"
Ujarnya pula.
"Kau benar-benar mem-buatku merasa sangat puas."
Naoko menjawab sambil memeluk tubuh Nobunaga.
"Aku memang dilahirkan untukmu, Yang Mulia."
"Aku merasa sangat beruntung."
"Setelah bertemu denganmu, aku tidak pernah lagi memikirkan lelaki lain. Dalam pikiranku, aku merasakan telah menemukan takdirku sendiri. Muncul kesa-daran bahwa diriku memang dilahirkan untuk mela-yanimu."
"Kedengarannya sangat menyenangkan."
"Mudah-mudahan engkau tidak kecewa."
"Tidak. Aku merasa sangat puas. Aku merasa sudah sepantasnya memberikan hadiah untukmu."
"Engkau sudah memberikan hadiah yang tidak ter-kira banyaknya padaku, aku saat ini benar-benar me-rasa telah menjadi kaya raya. Tidak ada lagi geisha yang dapat menandingi kekayaanku."
"Tetapi semua itu belum cukup sebagai imbalan apa yang telah kauberikan padaku. Aku merasa engkau berhak mendapatkan hadiah yang lebih banyak lagi. Katakanlah, engkau menginginkan apa?"
"Istana Kamakura ini sudah lebih dari cukup."
"Apalagi yang kauinginkan?"
Naoko menghela napas panjang. Ia bermain-main dengan bulu dada Nobunaga. Ia merasa sudah saatnya memberitahukan keinginannya. Karena itu ia berkata.
"Sesungguhnya saya tidak menginginkan apa-apa lagi, semua yang telah saya terima sudah cukup. Istana Kamakura ini telah membuat saya menjadi perempuan paling kaya di Jepang. Tetapi terus terang, secara jujur saya katakan, masih ada yang menjadi ganjalan dalam kebahagiaan saya...."
"Katakan saja."
"Kemusnahan Ashikaga."
"Apa maksudmu?"
"Kepala Natane Yoshioka."
"Hanya itu?"
"Ya. Saya akan merasa puas sekali apabila dapat menggenggam kepala putra Ashikaga itu."
Nobunaga diam sejurus. Lalu berkata dengan se-nyum lembut.
"Jangan khawatir. Cepat atau lambat ki-ta pasti dapat memenggal kepala anak itu."
"Apa pun alasannya, anak tersebut akan selalu menjadi duri bagi kekuasaanmu. Karena itu kupikir, sebaiknya kita menebas musnah kemungkinan pemba-lasan dendam Yoshioka. Jangan pernah menyisakan satu pun musuh kita. Musuh (betapa pun) tetap musuh." *** LIMA AHLI PEDANG YAGYU HUJAN deras mengguyur Kamakura. Sesekali halilin-tar meledak di langit membuat pijaran cahaya gemer-lap. Angin kencang bertiup dari arah utara, membuat bendera-bendera di sepanjang benteng istana Kamakura berkibaran. Meski bendera kain itu basah kuyup, namun karena angin bertiup kencang, bendera terse-but tetap berkibar. Dua ekor anjing berlari menyusuri jalan sambil melipat ekornya. Sesekali kedua binatang itu berhenti, lalu mengibaskan tubuh untuk menghilangkan air di tubuhnya. Diawali suara derap kaki kuda, dari arah selatan, terlihat sejumlah tentara berkuda memasuki Kota Ka-makura. Derap binatang serta suara gemerincing bi-lah-bilah besi di pakaian mereka, menyebabkan bebe-rapa orang terjaga. Mereka bergegas ke tepi jendela, la-lu mengintai keluar. Hosokawa terlihat duduk di atas pelana memimpin pasukan itu. Topi baja serta pakaiannya berkilauan karena memantulkan cahaya lampu yang berderet di tepi jalan. Seluruh pakaian dan wajahnya basah kuyup, namun lelaki tersebut tidak mempedulikannya. Kedua pedangnya tampak seperti tanduk, mencuat ke belakang, membuat lelaki tersebut tampak gagah per-kasa. Di belakangnya, terlihat lima samurai berpakaian serba merah. Mereka memacu kuda mengikuti Hoso-kawa. Derap kaki binatang itu sudah terdengar dari lima ratus meter, karena itu pengintai di atas menara segera memperingatkan penjaga gerbang akan kedatangan mereka.
"Hosokawa-san!"
Teriak pengintai lantang. Ia men-coba melawan suara hujan serta desau angin.
"Mereka telah pulang. Cepat buka pintu!"
Dua orang samurai segera membuka pintu gerbang.
Daun pintu yang berat itu terbuka dengan suara men-derit.
Pada saat bersamaan pasukan berkuda itu me-nerobos masuk.
Sesampainya di halaman istana, Ho-sokawa turun, lalu bergegas menuju ruang pertemuan.
Mereka menyusuri lorong istana berlantaikan batu granit.
Ketika melihat rombongan tersebut, seorang samu-rai berlari menuju ke kamar Shogun Nobunaga.
"Yang Mulia Nobunaga,"
Kata samurai tersebut sam-bil berjongkok di depan pintu soji.
"Hosokawa-san telah datang."
Di dalam kamar itu, Nobunaga sedang memeluk tu-buh Naoko.
Kulit halus perempuan itu benar-benar membuat ia tergila-gila.
Ketika mendengar seruan dari luar, Nobunaga men-dengus marah karena keasyikannya terganggu.
Seba-liknya, Naoko yang tengah menikmati ciuman lembut pada lehernya, mendesah kecewa.
"Hosokawa datang,"
Kata Nobunaga sambil meng-angkat wajahnya dari leher mulus Naoko.
"Aku telah memerintahkan dia mencari pendekar-pendekar dari selatan untuk memburu Saburo."
"Aku hanya menyesal kenapa dia datang sekarang."
Nobunaga tersenyum.
"Nanti dapat kita lanjutkan."
"Aku akan menunggumu di sini. Aku belum puas."
"Kau benar-benar kuda binal yang menyenangkan."
Nobunaga membetulkan letak kimononya.
Ia meng-ambil kipas, lalu berjalan menuju ruang pertemuan.
Dua orang dayang segera membuka soji sambil mem-bungkukkan badan.
Bersamaan dengan pintu terbuka, di langit halilintar menggelegar, cahayanya berkerjap membuat tirai hujan berkilauan seperti kaca.
Nobunaga berjalan diikuti dua pengawal yang mem-bawakan pedang miliknya.
Di ruang pertemuan itu, di atas lantai tanpa tatami, kelima samurai yang berasal dari Hayugara bersimpuh sambil menundukkan kepala.
Wajah mereka dingin, tanpa ekspresi, khas seorang samurai yang menyem-bunyikan kekejaman di dalam dirinya.
Nobunaga berjalan melintasi tatami merah menuju tempat duduk berupa zabuton di ujung ruangan itu.
"Apa yang ingin kaulaporkan padaku, Hosokawa-san?"
Nobunaga bertanya dengan suara berat. Masih terbayang-bayang di benaknya tubuh Naoko yang mu-lus dan menggairahkan.
"Seperti yang Tuanku perintahkan, hari ini saya da-tang bersama kelima murid Yagyu. Pada mulanya Yagyu tidak memperkenankan mereka berangkat ka-rena daerah selatan kini sering mengalami kerusuhan akibat perampokan para ronin. Tetapi sudah saya jelaskan, seperti apa yang Tuanku perintahkan, akhir-nya Yagyu bisa memahami betapa penting bantuannya untuk Tuanku. Karena itu ia mengizinkan kelima mu-rid terbaiknya berangkat kemari. Mereka sekarang sudah berada di sini."
"Apakah sudah kaujelaskan pada mereka untuk apa kita meminta bantuan pada Yagyu?"
"Sudah saya jelaskan semuanya."
"Yagyu tentu tidak akan mengirimkan murid pergu-ruan yang tidak dapat menandingi Saburo."
"Mereka adalah pemain pedang terbaik dari selatan. Mengenai hal ini, Yagyu berpesan agar saya menyam-paikan pada Tuanku, tentang kehebatan mereka. Yag-yu mengatakan, Tuanku tidak perlu khawatir dengan kemampuan kelima pendekar ini."
"Aku tidak meragukan kemampuan mereka. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin menegaskan, bahwa ke-wajiban mereka cukup berat. Lawan yang akan mereka hadapi adalah bekas panglima perang Ashikaga."
"Kalau begitu perkenankan saya memperkenalkan mereka satu per satu."
Hosokawa kemudian memperkenalkan kelima pen-dekar itu.
Dengan penuh hormat, kelima samurai ter-sebut membungkukkan badan ketika diperkenalkan namanya.
Dari sorot matanya, Nobunaga mengetahui kelima orang tersebut pastilah pemain pedang yang hebat.
Namun untuk meyakinkan diri, ia berkata.
"Baiklah, Hosokawa-san. Aku menerima mereka dengan senang hati. Namun demikian, besok pagi, ketika fajar menyingsing, aku ingin melihat apa yang dapat mereka lakukan." *** Para pemain pedang di Istana Kamakura berkumpul di halaman yang menghadap panggung pertunjukan ka-buki. Hampir dua ratus samurai duduk melingkar di lantai dengan tatapan lurus ke tengah arena. Nobunaga mengenakan kimono warna merah me-nyala, lengkap dengan pedang di pinggangnya. Naoko duduk di sampingnya sambil memainkan kipas kertas. Mata perempuan itu berbinar-binar melihat ke depan. Entah kenapa, setiap kali melihat orang-orang yang akan mengejar Natane Yoshioka, Naoko menjadi demi-kian bergairah. Bahkan gairah itu mampu menggelora-kan nafsu seksnya. Kewanitaannya berdenyut-denyut seakan menuntut dipuaskan. Nobunaga bertepuk tangan dua kali, kemudian membiarkan Hosokawa memperkenalkan kelima samu-rai Yagyu itu. Takashi, seorang lelaki muda berusia 23 tahun. Wa-jahnya lancip, mirip buah pepaya. Ia melangkah ke tengah arena dengan tenang diikuti keempat samurai Yagyu. Di pinggangnya terselip dua pedang panjang dan satu pedang pendek. Matanya sipit, namun tidak mengurangi ketajaman pandangannya yang terasa ta-jam menikam. Rambutnya dikuncir ke belakang, diikat tali warna merah. Sampai di tengah arena, Takashi berdiri dengan po-sisi siap bertarung. Tangan kirinya memegangi sarung pedang di pinggangnya, sementara tangan kanannya menempel di gagang pedang itu. Suasana menjadi te-gang ketika keempat samurai Yagyu mengeluarkan buah apel. Masing-masing membawa tiga buah. Keem-pat samurai tersebut berdiri dalam jarak hampir sepuluh meter. Mereka memegang masing-masing dua buah apel di tangan, dan satu buah apel diletakkan di atas kepala. Suasana sangat menegangkan. Tidak seorang pun membuka suara. Para samurai di sekitar tempat itu mengetahui, ini merupakan jurus pedang yang sangat berbahaya untuk diperagakan. Bila tebasan Takashi meleset barang satu inci saja, maka tangan atau kepa-la keempat samurai itu dapat terpenggal. Orang-orang diam, peragaan jurus 'Pedang Membelah Bumi' itu membuat jantung mereka berdetak lebih kencang. Tiba-tiba, dalam gerak yang sukar dipercaya oleh mata, Takashi melompat sambil menyabetkan pedang-nya ke arah apel-apel tersebut. Gerakannya demikian cepat, tebasannya mendesis seperti angin puyuh. Dalam waktu kurang dari setengah menit, ia telah berada dalam posisi awal dengan pedang telah tersimpan dalam sarungnya. Kedua belas apel telah menjadi serpihan-serpihan kecil, dan keempat samurai Yagyu tak kurang suatu apa. Semua orang demikian terpesona menyaksikan de-monstrasi itu, sehingga mereka hanya dapat ternga-nga. Baru setelah Takashi membungkuk ke arah No-bunaga, mereka tersadar bahwa permainan pedang itu telah usai. Nobunaga sendiri terpana dengan kecepa-tan Takashi, sehingga ia seakan membeku. Baru sete-lah melihat samurai muda itu memberi hormat, ia bertepuk tangan yang kemudian diikuti seluruh samurai di tempat itu.
"Permainan yang luar biasa,"
Puji Nobunaga.
"Per-mainan pedangnya seperti angin puyuh. Aku bahkan dapat merasakan tebasannya dari sini."
"Tampaknya dia seorang samurai yang hebat,"
Sa-hut Naoko puas.
"Aku dapat membayangkan kepala Yoshioka terbelah oleh sabetan pedangnya."
"Itu tidak perlu diragukan."
Nobunaga memberi isyarat agar Hosokawa melan-jutkan demonstrasi.
Nagasi, melangkah ke tengah arena.
Berbeda de-ngan Takashi, Nagasi adalah seorang laki-laki gemuk dengan kepala gundul.
Mata sebelah kirinya ditutup kulit karena buta.
Kebutaan itu diperolehnya ketika ia bertarung di Hayugara.
Sabetan pedang musuhnya te-lah meninggalkan bekas luka yang membuat wajahnya buruk.
Kekalahan itu telah membuat Nagasi menyim-pan dendam kesumat terhadap cacat yang dideritanya.
Hal ini membentuk gumpalan kekejaman di dalam di-rinya.
Karena itu, Nagasi sangat kejam dan tanpa ampun.
Di setiap pertarungan, ia tak pernah memiliki iba kasihan terhadap musuh-musuhnya.
Namun justru karena kekejamannya itulah, ia menjadi seorang sa-murai yang hebat.
Senjata Nagasi berupa kusarigama, senjata berupa rantai dengan ujung pisau berbentuk ganco, ujung lain diberi bola besi mirip buah durian.
Dengan senjata tersebut, murid ketiga di Perguruan Yagyu ini telah membunuh lebih empat puluh musuhnya dalam suatu per-tarungan mematikan yang sangat kejam.
Kini Nagasi berdiri tenang sambil mengeluarkan ku-sarigama.
Keempat samurai Yagyu yang lain mengelu-arkan pedang kayu sambil mengepung.
Sedetik beri-kutnya mereka mulai menyerang, dengan teriakan se-rentak keempat samurai tersebut menebas Nagasi.
Te-tapi dengan kecepatan yang sukar dipercaya, Nagasi berputar sambil memainkan senjatanya.
Hanya dalam waktu sepersepuluh menit, pedang-pedang kayu itu telah terpenggal menjadi dua, dan keempat samurai tersebut terlempar ke belakang akibat tendangan Nagasi.
Nobunaga menghela napas panjang, ia pun merasa puas.
Lelaki tersebut dapat membayangkan kepala musuh demikian mudah terpenggal senjata maut ku-sarigama.
"Hebat! Hebat!"
Puji Nobunaga dengan rasa puas.
Sebagai seorang samurai sejati, Nobunaga telah dapat mengukur ilmu Nagasi hanya dengan sekali peragaan jurus andalannya.
Karena itu saat ia melihat cara Nagasi memainkan kusarigama, Nobunaga tahu ia berha-dapan dengan seorang samurai yang hebat.
Giliran berikutnya adalah Hiroshi, seorang pemain tombak yang tiada duanya.
Tubuhnya tinggi, kurus, kakinya sedikit pincang.
Namun semua penonton ber-decak kagum ketika ia memainkan tombaknya.
Enam samurai Nobunaga masuk ke arena sebagai lawan Hi-roshi.
Mereka menyerbu dengan ganas, tetapi Hiroshi menepis semua serangan dengan permainan tombak yang memukau.
Ia berkelit dan menyerang seperti se-dang menari dengan alat peraga sebuah tombak se-panjang dua meter.
Irama gerakannya seperti ular, sesekali berkelok, lalu mematuk dengan tajam.
Akhirnya keenam samurai itu terjungkal dalam suatu sapuan tombak yang mendesis ganas.
Hiroshi membungkukkan badan ke arah Nobunaga, seketika itu tepuk tangan terdengar gemuruh menyam-but kehebatannya.
"Aku belum pernah melihat permainan tombak se-hebat itu,"
Kata Nobunaga pada Naoko.
"Permainannya sangat indah."
Samurai keempat bernama Yotomo, laki-laki berusia 33 tahun yang wajahnya bopeng karena cacar.
Untuk menutupi bekas luka itu, Yotomo memelihara kumis dan cambang yang lebat.
Senjatanya berupa dua buah naginata (pedang panjang).
Ia masuk ke arena, kemu-dian memperagakan ilmu pedangnya yang membuat semua orang terpana.
Dua naginata tersebut di tangan Yotomo, tiba-tiba berubah menjadi kincir yang berputar kencang berbau maut.
Jurus 'Kincir Para Dewa' itu mendesis dan menderu dengan hebat, sehingga menjadi semacam selimut yang menutupi seluruh tubuh Yotomo.
Dua puluh lima orang anggota pasukan panah No-bunaga diminta menghujani panah pada Yotomo.
Hampir seperempat jam puluhan anak panah mencoba menembus tirai pedang Hiroshi, namun tak satu pun berhasil menyentuh samurai tersebut.
Ketika akhirnya pasukan panah itu berhenti menye-rang karena anak panah mereka telah habis, Yotomo berdiri di tengah ratusan potongan anak panah yang berserakan di kakinya.
Tepuk tangan terdengar lebih meriah menyambut kehebatan samurai itu.
Samurai kelima adalah Mikoto, seorang laki-laki bertubuh kekar dengan wajah mengerikan.
Dari dahi hingga dagunya terlihat bekas luka memanjang.
Akibat luka tersebut, bibir Mikoto menampakkan guratan bekas luka.
Wajahnya dingin, mirip mayat beku.
Salah satu matanya melotot keluar, sehingga memperkuat kesan mengerikan lelaki tersebut.
Namun demikian, tak seorang pun menyangkal, Mikoto adalah murid Perguruan Yagyu nomor dua.
Dia telah mewarisi ham-pir seluruh jurus Yagyu, sehingga ilmu pedangnya tak seorang pun meragukannya.
Senjatanya berupa tombak berujung ganco yang sangat mengerikan.
Tetapi bukan hanya itu yang mem-buat Mikoto istimewa.
Putaran tombak tersebut dapat menimbulkan deru angin kencang, sehingga semua penonton menutup mata akibat debu beterbangan.
Se-puluh samurai yang diminta menghadapinya, tumbang satu per satu oleh sentakan tombaknya.
Hanya dalam waktu tak lebih setengah menit, sepuluh samurai mu-suhnya telah terkapar kesakitan.
Nobunaga sangat terpesona oleh ilmu Mikoto.
Ia bertepuk tangan keras dan lama.
"Sangat luar biasa!"
Pujinya terus terang ketika Mikoto membungkukkan badan ke arahnya.
"Benar-benar luar biasa!"
"Kuharap dengan mereka, akan mudah menangkap Saburo dan Yoshioka,"
Kata Naoko puas.
"Kau sudah menyaksikan kehebatan mereka, jadi tak perlu meragukan akan hal itu."
"Melihat mereka, aku jadi bergairah,"
Bisik Naoko ke telinga Nobunaga.
"Aku menjadi terangsang untuk bermain cinta."
"Tunggu sebentar. Aku pun ingin menikmati siang yang panas ini di kamarmu."
Naoko tersenyum. Lalu.
"Kalau begitu bubarkan mereka."
Nobunaga menatap orang-orang di sekelilingnya, la-lu berkata lantang.
"Hosokawa, aku merasa puas melihat kehebatan mereka. Karena itu sebaiknya kau sege-ra menemui Yagyu untuk menyampaikan ucapan teri-ma kasihku padanya. Kelima murid Yagyu yang dia ki-rimkan sangat memuaskan hatiku. Dengan mereka, kurasa tidak sulit kita menangkap Saburo maupun Yoshioka. Aku sudah tidak sabar lagi untuk melihat kepala Yoshioka di atas nampan."
"Kapankah saya harus berangkat ke selatan?"
"Besok, ketika fajar mulai menyingsing, berangkat-lah kau menjumpai Yagyu. Bawa sejumlah hadiah dari-ku untuk ikatan persaudaraan Istana Kamakura de-ngan Perguruan Yagyu."
"Baik, Tuanku."
"Aku akan menulis puisi untuk Yagyu."
"Baik."
"Sekarang biarkan para samurai itu beristirahat, berikan pelayanan sebaik-baiknya. Apabila perlu, cari-lah geisha dari Yoshiwara untuk menemani mereka. Kurasa mereka perlu istirahat sesudah selama dua ha-ri melakukan perjalanan. Satu atau dua geisha yang cantik akan membuat mereka kembali segar dan sehat, bukankah begitu, Naoko-san?"
Naoko menjawab datar.
"Benar."
Hosokawa bertanya.
"Sebelum saya berangkat me-nemui Yagyu, apa yang harus saya perintahkan pada para samurai itu, Tuanku?"
"Suruh mereka menikmati jamuanku di istana, se-belum berangkat melakukan pengejaran Saburo dan Yoshioka. Sebelum musim gugur yang akan datang, kuharap mereka sudah dapat membawa kepala Yoshi-oka untukku." *** Hosokawa menerobos masuk rumah Ishida Mitsunari. Sejumlah wanita yang berada di tempat itu menjerit kaget. Mereka kemudian berlarian menghindar. Hoso-kawa menuju ke kamar Mitsunari. Dengan kasar ia membuka pintu kamar itu. Di dalam tampak istri Mit-sunari tengah menyisir rambut. Perempuan itu kaget kemudian menoleh ke belakang. Hosokawa terpana, sejak dulu ia mengagumi istri Mitsunari. Kecantikannya benar-benar luar biasa. Rambut hitam wanita itu panjang terurai, serasi sekali dengan bentuk wajahnya yang lonjong dan indah. Kedua matanya berbinar-binar, khas wanita berdarah aristo-krat. Setelah Mitsunari terusir dari Kamakura, Hosokawa sering memikirkan perempuan itu. Bahkan tanpa diin-ginkan, wajah elok wanita itu acap terbayang dalam mimpinya. Kini, ketika ia kembali dari perjalanan jauh menemui Yagyu, hasratnya tak tertahankan lagi. Ia ingin tidur dengan wanita itu.
"Ada apa, Hosokawa-san?"
Tanya istri Mitsunari sam-bil membungkuk hormat.
"Kenapa Anda kemari?"
"Tahukah engkau, aku memperoleh perintah Tuan-ku Nobunaga untuk memburu suamimu?"
"Saya telah mendengar mengenai hal itu."
"Jadi kau tahu tak mungkin mengharapkan dia kembali?"
"Itulah yang selalu saya pikirkan."
"Itulah sebabnya saya kemari,"
Kata Hosokawa sam-bil mendekati wanita tersebut.
"Biarlah kita lupakan suamimu, sekarang sebaiknya engkau melayaniku."
"Melayani Anda? Apa maksud Anda, Hosokawa-san?"
"Aku ingin tidur denganmu."
Tangan wanita itu melayang seketika menampar wajah Hosokawa. Laki-laki tersebut kaget. Ia meraba pipinya yang terasa panas. Amarah di dalam dirinya seketika menggeliat.
"Meskipun suamiku menjadi buronan, ia tetap su-amiku. Apa pun yang terjadi saya tetap akan menanti. Betapapun sebagai seorang samurai ia telah berkorban untuk Tuanku Nobunaga. Bahkan dia telah bersedia menebus kegagalannya dengan seppuku. Saya kira le-laki seperti itu tetap memiliki kehormatan sebagaima-na layaknya seorang suami. Saya akan tetap menung-gunya."
"Bagaimana kalau kukatakan, aku mencintaimu?"
"Tidak sepantasnya Anda mengungkapkan hal itu. Ishida Mitsunari adalah teman Anda."
"Tetapi aku tak dapat mengingkari perasaanku."
"Lupakan saja. Maafkan, saya tak dapat menerima niat baik Anda."
Hosokawa mendekat, istri Mitsunari melangkah mun-dur, namun baru tiga langkah, ia telah membentur ranjang.
Ketika menyadari dirinya terpojok, wanita itu mencoba mengelak ke sebelah kanan, namun dengan cepat Hosokawa mencekal tangannya, kemudian me-nariknya ke dalam dekapannya.
Dengan kasar lelaki tersebut berusaha menciumnya.
Karena istri Mitsunari meronta-ronta, mereka akhirnya terjatuh di ranjang.
Dengan beringas Hosokawa mendorong wanita itu ke ranjang sambil terus menciumi lehernya.
"Jangan, Hosokawa-san! Jangan!"
Jerit wanita itu sambil terus berusaha melepaskan diri.
Hosokawa semakin beringas.
Ia terus menggumuli wanita itu, menciumi tubuhnya, sambil terus mele-paskan kimono yang dikenakannya.
Ketika tubuh wa-nita tersebut akhirnya terbuka, Hosokawa kemudian memperkosanya.
Setengah jam sesudah perkosaan itu, Hosokawa kembali mengenakan kimononya.
Sementara istri Mit-sunari menutupi tubuhnya yang polos sambil mena-ngis terisak-isak.
"Kau tahu, puri ini kini telah menjadi milikku,"
Kata Hosokawa penuh kemenangan.
"Tuanku Nobunaga telah menghibahkan puri ini dengan segala isinya un-tukku. Aku berhak atas semua yang ada di dalamnya. Termasuk perempuan-perempuan yang tinggal di sini. Tak terkecuali dirimu."
"Tidak,"
Jawab istri Mitsunari sambil terisak-isak.
"Anda tak akan pernah mendapatkan pelayanan saya. Di mata saya, Anda tak lebih penyamun dan tukang perkosa. Dan bukan laki-laki terhormat yang pantas dicintai. Terus terang, Hosokawa-san, sesudah yang Anda lakukan terhadap saya, lebih baik saya menjadi pelacur daripada melayani Anda."
Hosokawa menoleh dengan marah. Sinar matanya tampak berapi-api.
"Kalau itu pilihanmu, baiklah, kau benar-benar akan kujadikan seorang pelacur,"
Kata Hosokawa penuh tekanan.
"Kau akan menjadi milik orang banyak. Aku akan menjualmu ke rumah pelacuran. Dan aku akan membayarmu setiap kali aku datang." *** API DENDAM BERKOBAR PADANG tandus menghampar di depan Ishida Mitsu-nari, Padang Sekigahara yang memisahkan Kyoto dan Osaka. Tempat itu dibentengi sejumlah bukit kecil serta hutan pinus, suatu keadaan yang sangat baik untuk medan pertempuran. Dahulu, ketika ia masih menjadi panglima perang Ashikaga, Mitsunari beberapa kali memimpin latihan perang di tempat itu. Sambil duduk di atas pelana kuda, ia memimpin lebih dari seribu samurai yang berlatih dengan penuh semangat. Pada saat itu ia memiliki karier yang cemerlang. Sebagai seorang bangsawan ia mempunyai sebuah puri dan istri yang cantik. Kehidupannya benar-benar menye-nangkan. Semua berubah ketika Konishiwa menghasutnya untuk berpihak pada Nobunaga. Seluruh karier serta impiannya lenyap seketika, dan dirinya terusir dari Kamakura. Ia menanggungkan kenistaan yang mengeri-kan! Bagaimana dengan nasib isteriku? Satu tahun sebelum peristiwa naas tersebut terjadi, Mitsunari baru saja mengawini Ashami, seorang gadis rupawan dari Kyoto. Mereka belum dikaruniai anak, namun kecantikan istrinya telah membuat Mitsunari bahagia. Ia merasa sangat beruntung memiliki istri yang memberikan kesetiaan serta hidupnya bagi sua-mi. Ashami benar-benar seorang istri yang luar biasa. Bukan hanya cantik, tetapi juga pintar memasak, dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi Mitsunari. Selama berbulan-bulan bersembunyi di kuil, kerin-duan terhadap istrinya sering menyeruak dalam ha-tinya. Mitsunari ingin kembali ke Kamakura, menemui Ashami, lalu (seperti dulu) bercinta sepanjang hari di dalam kolam air hangat. Ingin sekali ia mengulang ma-sa-masa indah itu. Karena itu, ketika kerinduan tersebut tak tertahankan lagi, Mitsunari meninggalkan kuil untuk kembali ke Kamakura. Selama tiga bulan, ia membiarkan kumis serta cambangnya tumbuh lebat. Dengan cara itu ia berharap tak ada orang yang men-genalinya. Dengan menempelak bayangan getir itu, Ishida Mit-sunari berjalan menyusuri tepi hutan pinus. Matanya tertunduk, kakinya seperti tenggelam dalam rumput kering. Seekor burung kecil yang terbang di langit tampak berputar-putar seakan penari yang tengah memperlihatkan kepandaiannya. Dengan langkah tertatih-tatih, Mitsunari memper-cepat langkahnya. Tiba-tiba seorang perempuan tua muncul di atas dataran rumput dengan wajah terkejut. Entah apa yang sedang dilakukan perempuan itu hing-ga ia berada di situ. Wajahnya yang bundar dengan kulit berkeriput sejenak menatap Mitsunari, lalu be-ringsut mundur ketakutan. Kimononya yang berwarna hijau muda terlihat samar-samar di tengah hamparan rumput di sekitarnya. Mitsunari juga kaget karena pertemuan mendadak itu. Ia menatap tajam perempuan di depannya, lalu mencoba bersikap ramah dengan bertanya.
"Apa yang sedang engkau lakukan?"
"Siapa engkau?"
Perempuan itu justru balik berta-nya.
Hampir saja Mitsunari marah, sebagai seorang bang-sawan, belum pernah ia menghadapi peristiwa seperti itu.
Tak seorang rakyat pun akan berani bersikap demikian terhadapnya.
Namun kini, ia mencoba mene-kan perasaannya, lalu menjawab.
"Saya seorang pe-ngembara."
"Engkau samurai pengembara?"
"Benar."
"Pernahkah engkau tinggal di Kamakura?"
"Belum. Belum pernah. Kenapa?"
"Oh, tidak. Barangkali mataku saja yang salah me-lihat. Wajahmu seperti seseorang yang pernah kuken-al, tetapi entah siapa."
"Barangkali orang yang mirip denganku."
"Oh, ya, kukira begitu."
Mitsunari menahan napas panjang. Ia mencoba menunggu apakah perempuan itu mengenalinya. Ter-nyata tidak. Karena itu ia berkata.
"Saya heran melihat rumput dan perdu di sini sudah tumbuh. Padahal musim semi baru akan mulai."
"Sekarang musim tidak dapat dipegang. Tahun lalu, musim semi bahkan berlangsung seperti musim kema-rau. Matahari panas seperti tembaga di atas tungku."
"Saya juga merasakannya."
Perempuan itu mengambil keranjangnya yang pe-nuh berisi sledri, lobak, dan daun kering. Ia meletakkan keranjang itu ke pinggulnya, lalu mulai berjalan meninggalkan tempat tersebut. Mitsunari melangkah mengikuti, lalu bertanya.
"Apakah engkau mempunyai segelas air untukku?"
Perempuan tersebut berhenti. Ia menoleh.
"Aku se-dang menemani anakku melukis. Kalau engkau mau,datanglah ke tempat kami, di sana ada segelas sake yang menyegarkan."
"Terima kasih kalau begitu."
Mereka berjalan beriringan menuju ke tepi hutan pinus kira-kira lima ratus meter dari tempat mereka bertemu.
Setelah berjalan kira-kira lima menit, Mitsunari melihat hamparan tatami di dekat pohon ek, pada lereng yang landai.
Di situ terdapat juga macam-ma-cam alat yang biasa dipergunakan untuk melakukan upacara minum teh.
Termasuk ketel besi di atas api tungku, dan cerek air dari tanah liat.
Laki-laki yang dilihat Mitsunari, mengingatkan orang pada boneka porselen besar yang mengingatkan dirinya pada seorang pangeran di Kyoto karena kulitnya yang putih halus mirip marmer.
Garis wajahnya yang berbentuk oval, menampilkan pancaran kekuatan pribadi yang mempesona.
Meskipun perutnya besar, namun tidak mengurangi ketampanannya.
"Yukio,"
Perempuan tua tersebut menyebut nama lelaki itu.
"Seorang samurai mengharapkan kita dapat memberinya segelas air, karena itu aku menawarkan segelas sake."
Mitsunari membungkukkan badan ketika lelaki itu menoleh padanya.
Nama Yukio, mengingatkan Mitsu-nari pada orang yang sangat terkenal di Osaka.
Sebagai seorang bangsawan, Yukio memiliki hubungan de-kat dengan para shogun.
Bahkan para prajurit di Osa-ka, akan segera turun dari kuda apabila lewat di depan puri milik Yukio agar tak memberi kesan meren-dahkannya.
Nama Yukio sangat dikenal di kalangan istana kare-na usahanya membuat berbagai perhiasan emas men-jadi langganan orang-orang istana.
Sejak Ashikaga, Nobunaga, Miyotomi, hingga Mitsuhiro sangat menyukai perhiasan buatan Yukio.
Kemasyhuran Yukio, tidak saja karena ia seorang pedagang emas kaya, tetapi ju-ga bakat seninya yang luar biasa.
Yukio juga seorang pelukis, penggubah syair, dan pelukis kaligrafi yang hebat.
Ia mengikuti aliran Sammyakuin dari timur yang sangat populer dewasa ini.
Yukio tampak tengah melukis di atas lembaran kertas yang diletakkan di tanah.
Dengan hati-hati ia membuat sketsa hutan pinus yang membentang di hadapannya.
Sejumlah lukisan lain tampak berserakan di sekitar tempat itu.
Mitsunari beberapa kali melihat karya Yukio di Istana Kamakura, namun tak pernah ia bayangkan suatu hari bak-al bertemu dengan pelukisnya.
"Apakah Anda mau minum teh bersama kami?"
Yu-kio bertanya ramah pada Mitsunari.
"Terima kasih. Kalau Anda tidak keberatan...."
"Silakan, kami memang tengah menyeduh teh un-tuk menghadapi makan siang. Kalau Anda mau, kami pun tidak keberatan bila Anda mau menemani kami. Udara di sini segar, sehingga cocok untuk beristirahat. Bukankah Anda telah melakukan perjalanan yang jauh?"
"Ya, terima kasih,"
Kata Mitsunari. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di atas kursi kecil yang ada di depan Yukio.
"Kalau saya dapat memperoleh sedikit lagi sayuran,"
Sambung wanita tua itu.
"saya dapat membuat bubur yang enak. Mungkin sangat cocok untuk perut kita yang lapar."
Mitsunari berkata hormat.
"Saya tidak tahu bagai-mana harus mengucapkan terima kasih pada Anda berdua."
Di tengah suasana penuh persahabatan itu, Mitsu-nari merasa damai.
Ia menekan api kebencian di dalam dirinya, seperti seekor harimau menyembunyikan ca-karnya.
Pertama kali dalam hidupnya, ia merasa me-miliki sahabat yang membuatnya lebih tenang.
Lebih-lebih keadaan kakinya yang buntung, seakan tidak menjadi persoalan bagi Yukio maupun ibunya.
Mereka menerima Mitsunari tanpa penghinaan.
"Kelihatannya Anda baru saja mengadakan perja-lanan jauh,"
Kata Yukio tanpa tekanan.
"Kalau boleh saya tahu, apakah Anda berasal dari Kyoto?"
"Tidak,"
Jawab Mitsunari.
"Saya dari Edo."
"Edo. Kota yang menyenangkan. Saya pernah ting-gal di sana untuk suatu keperluan dagang. Tidak ber-lebihan bila saya katakan, Edo merupakan kota yang mempesona."
Sesudah mengajukan beberapa pertanyaan, Mitsu-nari tahu kedua orang itu memang sering melakukan perjalanan untuk melukis.
Wanita itu ternyata ibu Yukio, seorang perempuan yang sangat memperhatikan bakat anaknya.
Sambil membawa ketel teh, wanita itu menuang ke cangkir Mitsunari sambil berkata.
"Teh dari Kamakura terasa pahit, namun sangat membantu pencernaan makanan. Karena itu baik sekali diminum menjelang makan."
Wanita tersebut meletakkan cangkir di depan Mit-sunari, lalu mengajak minum teh bersama.
Cara bicara perempuan itu lembut, seperti bicara dengan cucunya.
Ini menyebabkan Mitsunari tersentuh.
Akhirnya ia bicara dengan cara biasa, berusaha membuat suasana tidak kaku.
Sementara mereka berbincang-bincang, matahari sudah merangkak ke langit.
Cahayanya me-nyebar menerangi hamparan rumput di sekitarnya.
"Kenapa Anda datang ke Kamakura?"
Tiba-tiba Yu-kio bertanya sambil terus melukis.
"Apakah Anda me-miliki saudara di sana?"
"Tidak,"
Jawab Mitsunari tanpa tekanan.
"Saya ha-nya ingin singgah sebentar sebelum meneruskan perjalanan ke Edo."
"Oh, saya pikir Anda ingin berkunjung dalam waktu lama."
"Tidak."
"Biasanya, pada musim seperti ini, saya berada di Kamakura,"
Lanjut Yukio lembut.
"Tetapi sekarang keadaan tidak memungkinkan. Suasana perang masih te-rasa di sana. Lebih-lebih tekad Shogun Nobunaga un-tuk menangkap Saburo dan Yoshioka begitu besar se-hingga dia mendatangkan sejumlah samurai dari luar kota untuk mengejar mereka. Kedatangan para samu-rai yang haus darah membuat kota Kamakura tidak nyaman untuk beristirahat."
Ishida Mitsunari berusaha tak memperlihatkan pe-rasaan tertariknya.
Ia diam saja sambil melihat bagaimana cara Yukio memainkan kuas di atas kertas.
Di sela-sela waktu berpikir untuk menuangkan ide, lelaki tersebut mengangkat cangkir, lalu menikmati sake di cangkirnya.
Caranya minum sangat lembut dan penuh keanggunan.
Sesuatu yang khas dilakukan keluarga bangsawan.
Wanita tua itu meninggalkan api dan meletakkan cangkir teh di depan mereka.
Tidak perlu disangsikan lagi, ia betul-betul ahli dalam upacara teh.
Gerak-gerik-nya anggun, namun alamiah, sedang tangannya yang lembut itu lemah gemulai.
Meskipun umurnya sudah lebih dari enam puluh tahun, ia tampak pantas dijadikan teladan bagi wanita dalam menyelenggarakan upa-cara minum teh.
Mitsunari merasa kagum pada wanita itu.
Lebih-lebih kue kismin yang disebut manju, terasa enak sekali.
Kue itu diletakkan di atas daun hijau yang jenis-nya tak terdapat di sekitar tempat itu.
Semua sangat teratur dan rapi, seakan memenuhi segala aturan dalam suatu upacara yang sakral.
Sesudah semua terhidang dengan sempurna, me-reka makan bersama-sama.
Mitsunari mengambil nasi dan lauk-pauk, nafsu makannya begitu besar karena sudah lama ia tidak menikmati makanan seperti yang saat ini terhidang di depannya.
Ia makan dengan la-hap.
"Apakah Anda memiliki saudara di Kamakura?"
Ti-ba-tiba Yukio bertanya. Mitsunari diam sejurus, lalu menjawab.
"Tidak."
"Syukurlah. Kalau ada sebaiknya Anda sarankan untuk segera meninggalkan kota itu. Shogun Nobuna-ga telah mengubah kota itu menjadi kota pelacuran kedua setelah Yoshiwara. Untuk menjamu para pen-dekar yang bersedia bertempur di pihaknya, ia mendatangkan sejumlah geisha ke Kamakura. Para samurai yang biasanya haus darah, kini setiap hari berpesta pora, sambil menunggu perintah untuk berperang."
Mitsunari terpancing bertanya.
"Seperti itukah kea-daan Kamakura saat ini?"
"Ya. Keadaannya sangat buruk untuk diceritakan."
"Pernahkah Anda berdua ke Kamakura dalam wak-tu dekat ini?"
"Dua hari lalu kami berada di sana. Tetapi kami ha-nya menginap semalam. Buat kami, tidak ada lagi yang menarik untuk kami lihat di sana."
Sesungguhnya Mitsunari ingin langsung bertanya mengenai keadaan istrinya, siapa tahu kedua orang tersebut mengetahui, namun ia ragu-ragu, khawatir pertanyaan itu justru membuka penyamarannya.
Ka-rena itu Mitsunari diam.
Ia berpikir keras untuk memperoleh jalan keluar.
"Tahukah Anda desas-desus terakhir di kota itu?"
Tiba-tiba Yukio bertanya.
"Sudah saya katakan, lama saya tidak mengunjungi Kamakura."
"Setidaknya, Anda mendengar berita dari sana?"
"Tidak juga. Desas-desus apa maksud Anda?"
"Saat ini Shogun Nobunaga tengah mengumpulkan lebih dari dua ribu samurai di istananya, karena dia ingin memerangi Shogun Miyotomi. Rupanya dia ingin meluaskan kekuasaannya hingga Kyoto dan Edo. Me-nurut desas-desus, semua itu dilakukan atas hasutan geisha simpanannya, Naoko-san."
"Perempuan laknat itu?"
Yukio mengangkat kepala.
"Apakah Anda menge-nalnya?"
Mitsunari menyadari telah kelepasan bicara, karena itu ia berusaha menutupinya.
"Eh, hanya pernah lewat dan mendengar tentang sepak terjang perempuan itu."
"Saya tidak tahu kenapa seorang shogun begitu mu-dah takluk di kaki seorang geisha."
Perempuan tua di sebelah Yukio menyambung.
"Me-reka tidak pernah menyadari, perang sesungguhnya hanya menciptakan kepedihan. Tragedi."
"Benar,"
Sahut Yukio.
"Hanya tragedi. Contoh yang paling baru adalah keluarga Ishida Mitsunari."
Mitsunari mencoba tenang, tetap menikmati sake di cangkirnya. Ia tak menduga bakal mendengar berita mengenai istrinya tanpa harus bertanya. Karena itu ia diam. Menunggu.
"Setelah Ishida Mitsunari diusir dari Kamakura, ia kini menjadi buronan ratusan samurai yang mengha-rapkan hadiah. Istrinya yang cantik kini mengalami penderitaan yang belum pernah ia bayangkan. Shogun telah menjadikan istri Mitsunari sebagai pelacur yang harus melayani kebutuhan seksual para samurai pili-hannya."
Berita itu sangat tidak terduga, dan sangat menge-jutkan bagi Mitsunari sendiri.
Hampir saja cangkir di tangannya lepas kalau ia tidak segera menyadari situ-asinya.
Tangannya bergetar karena menahan api ke-marahan yang memberontak di dadanya.
Ia segera me-letakkan cangkir, kemudian kedua tangannya diletak-kan di atas lutut agar tak gemetar.
"Perang hanya melahirkan penderitaan,"
Kata pe-rempuan tua di samping Yukio.
"Tidak hanya bagi laki-laki, tetapi terlebih bagi wanita. Kaum laki-laki sangat bodoh kalau mengatakan perang merupakan urusan mereka. Tidak. Kenyataannya, justru banyak kaum wanita yang menjadi korban peperangan. Tidak dengan nyawanya, tetapi dengan kehormatannya."
Mitsunari berusaha sekuat hati untuk bertanya te-nang.
"Di mana sekarang istri Mitsunari tinggal?"
Tanpa prasangka Yukio menjawab.
"Di rumah pela-curan geta. Di sana setiap hari dia harus melayani pa-ra samurai yang ingin mengumbar nafsunya."
Pertahanan Mitsunari jebol juga akhirnya.
"Terima kasih. Sekarang saya harus pergi."
Mitsunari berdiri dengan susah payah.
"Kenapa...,"
Tiba-tiba pertama kali Yukio menyadari kaki lelaki di depannya hanya satu.
"Apakah Anda Ishida Mitsunari?"
Mendengar namanya disebut, Mitsunari berhenti.
"Benar,"
Jawabnya dingin.
Lalu dengan kecepatan tak terduga ia telah mencabut pedang dan menebas kedua orang di depannya.
*** ILMU KESEIMBANGAN KAJIMA, sebuah bukit berhutan pinus, seratus mil di sebelah tenggara Kamakura.
Di tengah hutan tersebut terdapat Kuil Yajima yang menghadap ke arah barat laut dan terletak hampir di puncak bukit itu.
Dengan mendaki kedua ratus buah anak tangga ba-tu menuju kuil itu dan memandang ke belakang dari tempat sebuah torii yang dijaga sepasang anjing dari batu, Kojiro dapat menyaksikan betapa indah pemandangan di sekitarnya.
Gunung Fuji samar-samar men-julang di balik awan.
Semua menampakkan panorama indah yang tidak berubah sepanjang abad.
Di puncak bukit tumbuh dua batang pohon pina, yang dahan-dahannya terpilin dan terangkai membentuk sebuah torii (tiang gerbang kuil) melengkapi pemandangan menakjubkan di sekitarnya.
Pucuk-pucuk pohon pina itu setelah musim dingin tampak hijau tua.
Kuil Yajima dibuat untuk Watatsumi-Mikoto, dewa laut.
Kuil ini memiliki enam puluh buah cermin pe-runggu.
Satu di antaranya berbentuk anggur, berasal dari abad kedelapan.
Lainnya merupakan tiruan dari sebuah cermin Cina berasal dari zaman Enam Dinasti, yang jumlahnya di seluruh Jepang hanya ada delapan atau sembilan buah saja; rusa-rusa dan tupai yang di-lukiskan pada bagian belakang cermin itu tentulah berasal dari rimba Persia beberapa abad silam dan telah menjelajah setengah belahan bumi, mengarungi benua yang luas dan lautan tanpa tepi, sampai akhirnya me-netap di puncak bukit Kajima.
Pemandangan terindah lainnya di bukit itu ialah air terjun Kajima di sebelah selatan.
Air terjun setinggi dua ratus meter itu tampak seperti selendang sutera putih yang membelah bukit karang di sekitarnya.
Pada kaki bukit itu arus air gemuruh tiada hentinya.
Keindahan itu semakin mempesona pada pagi hari, ketika matahari merambat seperti siput ke atas awan, sementara angin barat bertiup dengan kencang membawa bau semerbak buah kenari dari hutan yang mengham-par di bawah air terjun Kajima.
Hampir sebulan Kojiro tinggal di kuil Yajima bersa-ma Bapa Lao.
Selama sebulan pula ia ditempa kehi-dupan yang dulu tak pernah dialami.
Setiap pagi, Kojiro disuruh memikul air dari air terjun Kajima, dibawa naik ke kuil untuk persediaan mandi dan memasak.
Setiap pagi, dalam udara dingin yang mencekam, ia memikul ember kayu dan menaiki jalan setapak yang hampir dua ratus meter tingginya! Ini benar-benar pekerjaan melelahkan.
Tetapi Bapa Lao tidak peduli.
Ia tetap memaksa Kojiro melakukan pekerjaan itu tanpa bertanya.
Kojiro ingat ketika ia berkata pada Bapa Lao, sesu-dah pengejaran pasukan Nobunaga yang melelahkan itu.
"Maukah engkau mengajariku berlari secepat a-ngin seperti yang kaulakukan untuk menyelamatkan diriku?"
Bapa Lao hanya membelai cambangnya.
"Aku ingin menjadi muridmu,"
Lanjut Kojiro.
"Apa kaupikir aku seorang guru?"
"Ya. Mulai sekarang aku akan menganggapmu seba-gai seorang guru."
"Begitukah caramu menjadikan diriku seorang guru?"
Kojiro terdiam. Lagi-lagi ia bingung menghadapi pertanyaan Bapa Lao. Akhirnya ia bertanya.
"Harus bagai-manakah aku mengatakannya?"
Bapa Lao tersenyum. Tangannya terus memutar-mutar kalung buah kenari di tangannya. Lelaki tersebut membiarkan saja Kojiro kebingungan. Setelah me-nunggu beberapa saat, akhirnya lelaki tua tersebut berkata.
"Seorang murid harus menjunjung tinggi gu-runya. Jadi sebelum diangkat sebagai murid, dia harus bersujud dulu untuk membuktikan kesediaannya menjadi seorang murid."
Kojiro mencoba menggertak.
"Aku putra Shogun Ashi-kaga...."
"Aku tidak peduli,"
Jawab Bapa Lao dingin.
"Aku ti-dak membutuhkan murid dan aku juga tidak memin-tamu menjadi muridku."
"Kalau ayahku masih hidup engkau pasti...."
"Ayahmu sudah mati. Aku tidak peduli."
"Aku pewaris tunggal Ashikaga."
"Aku pun tidak peduli."
Kojiro diam beberapa saat.
Matanya berkaca-kaca.
Ingin rasanya mencabut Pedang Muramasa kemudian menebas kepala lelaki menyebalkan di hadapannya.
Belum pernah rasanya ia memperoleh perlakuan men-jengkelkan seperti itu.
Bahkan tak seorang Jepang pun berani bersikap angkuh terhadap kaum samurai, lebih-lebih keluarga shogun.
Bila saat ini Kojiro me-menggal kepala Bapa Lao, tak seorang pun akan me-nyalahkannya.
Memenggal kepala orang yang bersikap tak hormat, merupakan salah satu hak seorang samu-rai.
"Kalau engkau ingin memenggal kepalaku, silakan,"
Kata Bapa Lao ringan, sepertinya ia mengetahui isi hati Kojiro.
"Tetapi itu tak ada artinya. Bahkan akan menjadi lebih buruk untukmu, karena aku akan menjadi hantu gentayangan dan setiap malam akan datang mengganggumu."
Kojiro tersentak. Rasa takut menyergap jiwanya. Di-am-diam ia merasa ngeri membayangkan setiap malam didatangi hantu. Akhirnya dengan menahan air mata, Kojiro meletakkan kedua tangannya di tanah dan ber-sujud.
"Jadilah engkau guruku,"
Kata Kojiro dengan suara bergetar.
"Aku ingin menjadi muridmu."
Bapa Lao tersenyum, lalu berkata.
"Benarkah eng-kau ingin menjadi muridku?"
"Benar, Bapa."
"Tahukah engkau syarat untuk menjadi muridku sangat berat?"
"Aku tidak tahu."
"Baru saja aku memberitahu."
"Apakah syarat itu?"
"Pertama, kau wajib patuh pada perintahku."
"Aku bersumpah akan patuh."
"Kedua, kau tidak boleh mempertanyakan apa pun yang kuperintahkan."
"Aku bersumpah menjalankannya."
"Baiklah, engkau sekarang menjadi muridku."
Kojiro kembali bersujud hingga kepalanya menyen-tuh tanah.
"Terima kasih, Bapa. Terima kasih."
Sejak hari itu setiap pagi Kojiro diperintahkan mengambil air di air terjun Kajima.
Pada hari pertama hampir saja Kojiro menangis dan putus asa.
Memikul dua ember sambil menaiki bukit setinggi dua ratus meter, sungguh bukan pekerjaan ringan.
Lebih-lebih kimono yang dikenakannya sangat menyulitkan langkahnya.
Pakaian keshogunan itu membuat Kojiro hampir me-nangis.
Lima puluh kali ia berhenti istirahat.
Dan ketika sampai di atas, Bapa Lao justru menertawakannya.
Laki-laki tersebut tertawa terpingkal-pingkal ketika melihat air itu tinggal seperempat ember.
Kojiro ber-sandar di batang pohon pina dengan napas tersengal-sengal.
Bapa Lao mengambil air di ember itu, kemudian me-minumnya, lalu berkata santai.
"Terpaksa kau harus turun kembali untuk sekali lagi memikul air."
Kojiro terkejut.
"Apa?"
Bapa Lao tenang menjawab.
"Kau harus kembali ke bawah untuk mengambil air."
"Bukankah...."
"Air di embermu tinggal seperempat, tentu saja ti-dak cukup untuk mandi dan memasak."
"Kenapa...."
"Eii, bukankah sudah kukatakan engkau tidak bo-leh mempertanyakan perintahku?"
"Tetapi saya lelah sekali. Belum pernah saya mela-kukan pekerjaan seperti ini."
"Aku tidak peduli,"
Jawab Bapa Lao tanpa tekanan.
"Kalau kau masih ingin menjadi muridku, jalankan perintahku. Jangan banyak tanya."
Kojiro terduduk sambil menangis.
Ia tak kuat me-nahan kepedihan hatinya.
Seluruh tubuhnya dirasa-kan sakit semua, tetapi tanpa iba kasihan, Bapa Lao menyuruhnya kembali ke bawah untuk sekali lagi mengangkut air.
Seketika ingatannya melayang ke ma-sa lalu, ketika ia tinggal di Istana Kamakura.
Tak pernah ia mengerjakan pekerjaan kasar seperti itu.
Se-panjang hari belajar kendo di dojo bersama Yoshioka, lalu belajar menulis dan melukis.
Semua pekerjaan dilakukan dalam suasana yang bersih serta me-nyenangkan.
Pendekar Rajawali Sakti Intan Saga Merah Pendekar Rajawali Sakti Mawar Berbisa Pendekar Rajawali Sakti Teror Si Raja Api