Samurai Pengembara II 3
Shugyosa Samurai Pengembara II Bagian 3
Tapi kini....
"Yoshioka,"
Tiba-tiba terdengar Bapa Lao memanggil namanya. Ketika Kojiro menoleh, lelaki tersebut berkata.
"Sebaiknya kau lepas kimono itu, pakaian itu tampaknya hanya merepotkan saja. Pakailah celana biasa, agar kau lebih leluasa bergerak."
Kojiro ingin berterus terang bahwa ia sangat lelah.
"Bapa...."
Bapa Lao menukas.
"Dan jangan lama-lama istira-hat. Air di kamar mandi sudah habis, padahal aku ingin cepat mandi agar tubuh menjadi segar."
Kojiro terdiam.
Lalu diam-diam menangis menggu-guk.
Itulah hari-hari yang dilalui Kojiro.
Ia harus bekerja keras menjalankan perintah Bapa Lao.
Pada pagi hari ia harus mengangkut air, siang hari memasak, menanak nasi, membuat sayur, memancing ikan, dan mencari kayu bakar.
Malamnya, memijat Bapa Lao sampai lelaki itu tertidur pulas.
Pekerjaan itu dilakukan terus menerus, hingga menjadi bagian rutin kehidupan Kojiro.
Lama kelamaan ia merasa bosan, hingga suatu pagi ia hanya duduk di bawah pohon pina, tidak mengambil air lagi.
Bapa Lao mendekatinya.
"Kenapa engkau hanya duduk di situ?"
"Aku bosan setiap hari menjadi tukang pikul air,"
Jawab Kojiro tanpa tekanan.
"Tetapi itu perintahku. Kau mau melanggar sum-pahmu?"
"Bapa,"
Kata Kojiro sambil berdiri.
"Aku bersumpah untuk menjadi muridmu. Aku ingin belajar ilmu bela diri, bukan belajar jadi tukang pikul air. Kapan Bapa akan mengajariku ilmu...."
"Suatu saat,"
Jawab Bapa Lao tenang.
"Kalau kau masih menjadi muridku. Tetapi kalau kau melanggar sumpahmu, berarti kuanggap kau mengundurkan diri, sehingga aku tak punya kewajiban mengajarimu lagi. Itu tentu sangat mengasyikkan."
"Aku akan turun mengambil air asal Bapa mau me-ngatakan kapan akan...."
"Turun ambil air, atau tidak sama sekali,"
Tukas Bapa Lao tegas berwibawa.
"Jangan banyak bertanya."
Kojiro hampir menangis.
"Bapa...."
"Cepat ambil air. Tubuhku rasanya gerah bila ter-lambat mandi."
Kojiro termangu.
Mulutnya bergetaran antara mau marah dan mau menangis.
Ketika ia menoleh, Bapa Lao sudah tidak tampak.
Akhirnya dengan menggeram, Kojiro mengambil ember dan pikulannya, lalu berlari menuruni bukit.
Tak terasa, sebulan telah lewat Kojiro tinggal ber-sama Bapa Lao.
Namun tetap belum ada tanda-tanda lelaki tersebut akan mengajarinya ilmu bela diri.
Bahkan, membicarakan pun tidak pernah.
Setiap hari lela-ki itu hanya bekerja untuk dirinya sendiri.
Setiap pagi Bapa Lao menyapu halaman kuil dengan penuh keteli-tian.
Ia menyapu hingga kuil tersebut benar-benar bersih.
Ia tidak akan membiarkan satu helai daun pun tersisa.
Lalu pada siang hari, dia akan menyimpan diri di kuil untuk membaca kitab atau menulis syair.
Pada sore hari, ketika matahari mulai terbenam, Bapa Lao biasanya duduk di anak tangga kuil, dekat torii, menikmati pemandangan indah yang menghampar di de-pannya.
Dan malamnya, dengan santai ia meminta Ko-jiro memijati tubuhnya hingga ia tertidur pulas.
Dari hari ke hari Bapa Lao menjalani kehidupan seperti itu.
Tak pernah muncul tanda-tanda kapan dia akan mulai mengajar Kojiro.
Bahkan terucap pun tidak! Lama kelamaan Kojiro pun menjadi terbiasa dengan kehidupan seperti itu.
Jiwanya yang dahulu mudah terbakar, kini mulai reda.
Hasratnya yang menggebu-gebu untuk belajar ilmu bela diri, kian hari kian tenang.
Lebih-lebih kesadaran bahwa saat ini hanya Ba-pa Lao yang menjadi orang terdekatnya.
Ia tidak tahu bagaimana nasib ayahnya maupun Yoshioka.
Selama sebulan tak pernah sedikit pun ia mendengar tentang mereka.
Pada malam hari, setelah selesai memijat Bapa Lao, Kojiro biasanya berbaring di samping lelaki itu.
Ka-dangkala muncul kerinduan yang mengoyak jiwanya.
Kerinduan terhadap ayahnya.
Juga kerinduan pada kehidupan masa lalu yang menyenangkan.
Bila hal itu terjadi, biasanya Kojiro baru dapat memejamkan mata menjelang dini hari.
Dan esoknya, ketika matanya masih mengantuk, Bapa Lao sudah membangunkannya untuk segera mengambil air.
Kojiro tersuruk-suruk meninggalkan kuil menuju air terjun Kajima sambil melawan rasa kantuknya.
Keadaan seperti itu mem-buat dirinya lebih tersiksa, karena itu setiap kali kerinduan muncul, ia mencoba melenyapkannya dari I-ngatan.
Akhirnya rasa lelah karena seharian bekerja, justru membantu Kojiro melupakan ayahnya.
Kojiro baru saja sampai di atas ketika ia melihat Bapa Lao berjalan menghampirinya.
Lelaki itu melihat air di dalam ember itu.
"Tampaknya kau semakin pintar,"
Kata Bapa Lao memuji.
"Sekarang semakin sedikit air yang tumpah selama kau bawa kemari."
"Aku tak ingin berulang-ulang mengambil air ke ba-wah, Bapa."
"Bagus sekali. Rupanya selama sebulan di sini, eng-kau bertambah cerdik."
"Terima kasih, Bapa. Selain sedikit air yang tum-pah, apakah Bapa memperhatikan bahwa saya seka-rang jauh lebih cepat dibanding dulu mendaki bukit ini?"
"Tampaknya begitu. Tahukah kau bahwa tanpa kausadari engkau sudah banyak belajar dari ember dan pikulan yang setiap pagi kau pergunakan?"
"Maksud Bapa?"
"Kau sudah belajar tentang keseimbangan. Hanya dengan keseimbangan yang baik kau dapat membawa dua ember tanpa banyak air yang tumpah mendaki bukit ini. Itu merupakan pelajaranku yang pertama. Setiap pendekar membutuhkan kemahiran menjaga keseimbangan, karena hanya dengan keseimbangan seseorang dapat menjaga keselarasan di dalam menye-rang dan bertahan. Siapa yang mampu menyerang se-baik dia bertahan, dia memiliki peluang untuk meme-nangkan pertarungan."
Kojiro terpana. Ia tak menduga lelaki itu akan mengungkapkan hal itu. Ternyata tanpa disadari, selama ini Bapa Lao menanamkan pelajaran yang begitu berharga. Karena kegembiraan Kojiro meluap, ia meletakkan pikulan, lalu bersujud.
"Terima kasih, Bapa. Besok saya akan berusaha su-paya air di dalam ember tidak tumpah sedikit pun."
"Tidak perlu,"
Jawab Bapa Lao tenang.
"Mulai besok aku ingin mandi langsung di air terjun."
"Jadi aku sudah tidak perlu mengambil air?"
"Benar."
Kojiro tersenyum senang. Lalu sekali lagi ia bersu-jud.
"Terima kasih, Bapa. Terima kasih."
"Karena aku mau mandi di air terjun, kau tidak per-lu mengambil air. Sebagai gantinya, engkau harus menggendongku menaiki bukit."
Kojiro ternganga.
*** ILMU PEDANG KEDELAPAN MATAHARI yang berkabut terhalang di belakang awan jauh di cakrawala.
Dua atau tiga ekor burung kormo-ran terbang rendah, lehernya yang panjang mencuat ke langit.
Di tengah hamparan tirai kabut tipis, terlihat Sabu-ro Mishima tengah berhadapan dengan Natane Yoshi-oka.
Mereka menggenggam pedang kayu dengan kedua tangan, berdiri dalam posisi saling menyerang.
Dimulai dengan gerakan lamban, Saburo mulai menyerang Yoshioka dengan tebasan-tebasan pedang ke arah kepala dan perut anak itu.
Yoshioka menangkis, kemudian sesekali ganti menyerang.
Sabetan itu dimulai agak lamban, lalu meningkat lebih cepat.
Tebasan Saburo kian lama kian kuat, sehingga Yoshioka harus selalu meningkatkan kewaspadaannya.
Seluruh tubuh mereka berkeringat, namun tidak mereka pedulikan.
Saburo terus mengayun pedang mencoba menyerang bagian-bagian terlemah Yoshioka.
"Buat pertahananmu sempurna tanpa peluang,"
Ka-ta Saburo memperingatkan.
"Bila bagian tubuhmu ma-sih memberi peluang, musuh masih memiliki kebera-nian menyerangmu."
"Aku harus bagaimana, Sensei?"
"Tutup seluruh peluangnya, sehingga ia merasa bim-bang untuk menyerang. Keraguan musuh adalah awal kemenanganmu."
"Baiklah. Akan kucoba."
Saburo kembali menyerang.
Tebasan pedangnya mendesis ke arah Yoshioka, namun dengan penuh ke-beranian, anak itu menangkis lalu membalas menye-rang.
Diam-diam Saburo memuji bakat Yoshioka.
Anak itu memiliki bakat sebagai pemain pedang yang hebat.
Naluri di dalam dirinya seakan terasah secara alamiah.
Serangan maupun tangkisan pedangnya, memperli-hatkan dasar yang kuat sebagai samurai sejati.
De-ngan disiplin yang ketat serta pengarahan yang tepat, Saburo yakin, sepuluh tahun mendatang, Natane Yoshioka dapat menjadi pemain pedang yang disegani.
Ketika matahari tepat di kulminasi, mereka beristi-rahat.
Sambil duduk di atas batu, mereka menanak nasi dan membakar ikan.
Semenjak lepas dari kejaran pasukan Nobunaga, Saburo dan Yoshioka telah berjalan ke arah utara menembus hutan azaela, lalu naik ke arah gunung Kinu-gasa.
Dahulu ketika masih menjadi panglima Ashika-ga, Saburo sering menemani Shogun Ashikaga berburu babi liar di hutan-hutan sepanjang lereng Kinugasa.
Salah satu tempat yang pernah ia singgahi ialah tempat yang sekarang mereka tempati.
Di tengah hutan itu, mereka membangun sebuah rumah dari papan.
Tidak ada perabot mahal di tempat itu.
Seluruh rua-ngan yang dibiarkan terbuka, hanya diisi tikar untuk alas tidur, dan alat menanak nasi yang mereka temukan di hutan itu, mungkin milik para pemburu yang tidak mau membawanya lagi.
Pada saat berdiri di tempat itu, Saburo berkata.
"Ki-ta sekarang akan membangun tempat tinggal di sini. Tentu saja tidak untuk selamanya. Suatu saat kita akan pergi karena keinginan kita sendiri, atau terpaksa pergi karena pasukan Nobunaga berhasil menemu-kan tempat ini. Kita tidak perlu merisaukan kapan harus meninggalkan tempat ini, karena sesungguhnya ki-ta tidak membutuhkannya, kecuali untuk bertahan sementara. Tetapi sebelum pasukan Nobunaga datang kemari, kita harus menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk meningkatkan ilmu pedang yang kita miliki. Kelak bila musuh datang, kita dapat me-nyambut mereka dengan sepantasnya."
Itulah kata-kata Saburo terpanjang yang pernah di-dengar Natane Yoshioka, sesudah itu samurai tersebut lebih banyak diam. Lebih-lebih di saat latihan. Ia ja-rang berbicara. Seluruh daya hidupnya seakan dicu-rahkan ke dalam pedangnya.
"Sekali engkau memilih jalan pedang untuk hidup-mu,"
Kata Saburo pada Yoshioka.
"curahkan sepenuh-nya hidupmu di sana. Karena sedikit saja engkau le-ngah, nyawamu taruhannya."
"Baik, Sensei."
"Kalau begitu mulailah berlatih. Ketajaman pedang tidak pada bilah pedangmu, tetapi pada ketajaman pikiranmu. Hanya dengan ketajaman pikiran, engkau dapat mengalahkan musuh-musuhmu."
Natane Yoshioka sangat menghormati Saburo.
Ia tahu lelaki itu dirundung kesedihan, namun tidak pernah sekali pun ia menampakkan kesedihannya di de-pan Yoshioka.
Bahkan Saburo tidak pernah berbicara tentang Kojiro, seakan keberadaan anaknya telah ia lupakan.
Bagi Saburo, Kojiro telah memilih jalan samurai dengan menanggungkan segala resikonya.
Jadi apa pun yang dialami anak itu, tak perlu lagi diper-soalkan.
Kematian, bagi seorang samurai, adalah pene-busan kesucian hidupnya.
Kini, satu-satunya kewajiban yang harus dilaksa-nakan adalah melindungi Yoshioka.
Dan Saburo tak ingin mengingkari sumpahnya sendiri.
Kalau perlu ia akan menebus keselamatan Yoshioka dengan nyawanya.
Pada malam hari, seperti dulu ketika mereka berada di gubuk persembunyian, Saburo mengajarkan teori enam belas ilmu pedang.
Dengan gambar sederhana Yoshioka mempelajari tentang kami tatewari (ilmu pedang 'Membelah Tegak', suatu tebasan menyilang yang memangkas dari arah kepala hingga pangkal lengan).
"Tebasan ini tidak mudah dilakukan,"
Kata Saburo memberi penjelasan "Karena ilmu pedang ini hanya cocok digunakan apabila lawan lebih pendek tubuhnya.
Atau dia berada dalam posisi yang rendah, misalnya berada di tempat rendah sehingga ayunan ini dapat dilakukan.
Sebaliknya, kau harus berhati-hati bila berhadapan dengan musuh yang lebih tinggi, atau berada dalam posisi lebih rendah.
Tebasan pedang 'kami tatewari' sangat sulit ditangkis.
Bila engkau menghadapi serangan seperti ini, sebaiknya berusaha menghindar."
Yoshioka mendengarkan dengan serius.
Dan pagi-nya, ia berlatih melakukan tebasan itu.
Di depan rumah mereka, Saburo meletakkan batang kayu pina setinggi Yoshioka.
Bila tidak berlatih berdua, ia menyuruh batang pohon tersebut sebagai pengganti tubuh musuh.
Saburo memberikan perintah agar Yoshioka menerapkan ilmu pedang yang telah ia ajarkan.
Apabila ayunan pedang Yoshioka keliru, Saburo mem-berikan petunjuk sampai anak tersebut melakukannya secara benar.
"Wakige merupakan tebasan mendatar pada ketiak lawan,"
Kata Saburo memberikan pelajaran ilmu pedang ketujuh.
"Tebasan ini cukup sulit dilakukan, ka-rena sekali lagi kau harus melihat tubuh lawanmu. Bi-la ia lebih pendek atau sejajar denganmu, kau dapat menyerang dengan wakige. Karena sifatnya yang mudah ditangkis, biasanya ilmu pedang ini digunakan untuk memberikan daya kejut pada lawan. Sekadar mus-lihat untuk mengacaukan konsentrasi musuh."
Dengan pedang kayu, Saburo mempraktekkan teba-san wakige.
Yoshioka menangkis.
Secara bergantian mereka menyerang dan menangkis.
Semakin lama ge-rakan mereka semakin cepat dan bertenaga.
Dari sabetan pedang yang dilakukan Yoshioka, Saburo dapat merasakan getaran enerji anak itu.
Tidak diragukan lagi, putra Ashikaga itu telah menyatu dengan senjatanya.
"Bermain pedang adalah bermain dengan hati nu-rani,"
Kata Saburo di sela-sela waktu latihan.
"Engkau harus yakin terlebih dulu dengan kata hatimu. Seperti itu pula kau menggunakan pedangmu. Tanpa keyaki-nan seperti itu, seorang samurai hanya mampu meng-gunakan pedang namun tidak menjiwai ayunan mau-pun tebasannya."
"Apa maksudnya dengan menjiwai ayunan maupun tebasan pedang, Sensei?"
"Kau pernah memakai zori, bukan?"
"Ya."
"Ketika sudah mengenakan sandal tersebut, engkau kemudian bermain di halaman. Berjalan atau berlari, masihkah kau merasakan bahwa dirimu memakai alas kaki tersebut?"
Yoshioka berpikir sejurus, lalu menjawab.
"Tidak."
"Nah, itulah yang kumaksud dengan menjiwai ayu-nan atau tebasan pedang."
Saburo melihat anak di depannya masih belum da-pat sepenuhnya mencerna pelajaran yang ia berikan.
"Di istana engkau belajar menulis, bukan?"
"Tentu."
"Engkau menggunakan kuas, bukan?"
"Ya."
"Ketika kau mulai menulis, seluruh jiwamu tercu-rah pada sesuatu yang kaupikirkan, bukan?"
"Benar."
"Karena seluruh pikiranmu tercurah pada hasrat hati yang tengah kautuliskan, kuas menyatu dengan tanganmu, sehingga ia mengikuti apa pun yang kau maui. Tidak ada jarak antara dirimu dengan kuas tersebut. Kuas itu benar-benar menjadi pikiranmu."
Sedikit demi sedikit Yoshioka mengetahui apa yang dimaksudkan Saburo.
"Itu pula yang harus kaulakukan dengan pedang-mu. Jadikan pedangmu jiwa serta pikiranmu. Jangan sampai ada jarak antara dirimu dengan pedangmu. Penyatuan ini akan membuatmu berkuasa atas apa yang ingin kaulakukan dengan pedangmu."
"Saya mengerti."
Pelajaran kedelapan adalah kurumasaki, ayunan yang juga disebut jurus 'Ujung Roda'. Tebasan mendatar persis di pusar musuh. Sabetan ini akan merobek perut dan memburaikan usus.
"Tebasan ini tampaknya mudah, namun kenyata-annya tidak demikian. Kurumasaki merupakan teba-san mematikan yang tak mudah dilakukan, karena engkau harus berada dalam jarak tebas yang pendek baru dapat melakukannya. Padahal musuhmu tentu tak akan membiarkan engkau membelah perutnya. Ia akan menangkis, atau bahkan mencoba mendahului-mu dengan kami tatewari. Sedetik saja kau didahului lawan, bukan dia yang tewas, tetapi tubuhmu yang terbelah. Karena itu hati-hati menerapkan ilmu pedang ini."
Sesudah menguasai delapan ilmu yang menjadi da-sar permainan pedang, suatu pagi Saburo mengajak Yoshioka menuruni bukit. Mereka menuju hutan yang banyak ditumbuhi pohon pisang. Ketika sampai di tempat itu, Saburo berhenti.
"Aku ingin engkau menerapkan ilmu pedang yang telah kaupelajari,"
Kata Saburo.
"Anggaplah pohon pisang di sekitarmu sebagai musuh. Terapkan ayunan atau tebasan yang kuteriakkan."
Yoshioka mengambil pedang kayunya.
"Kali ini engkau kuperbolehkan menggunakan pe-dangku,"
Kata Saburo sambil memberikan pedangnya.
Mata Yoshioka seketika berbinar-binar.
Ia tampak bahagia sekali ketika menggenggam naginata yang bi-lahnya berkilauan.
Ia segera memasang kuda-kuda, kemudian menjalankan perintah Saburo.
Yoshioka bergerak dengan lincah, menebas ke kanan dan ke kiri dengan kelincahan dan enerji yang meluap dalam dirinya.
Berulang-ulang ia lakukan, hingga tempat itu penuh dengan serpihan batang pisang.
Saburo merasa puas, ia melihat Yoshioka berhasil menguasai dasar-dasar ilmu pedang dengan baik.
Nyaris sempurna.
*** MITSUNARI MENGAMUK SUASANA malam terasa hangat karena cahaya bulan purnama.
Kota Kamakura seperti seorang gadis muda tengah bersolek.
Wajahnya berbedak dan bergincu de-ngan dandanan yang mencolok.
Ratusan samurai yang dikumpulkan Shogun Nobunaga, menjadikan Kamaku-ra menjadi hidup.
Sejumlah rumah pelacuran yang tumbuh seperti jamur, masih ramai meski malam telah larut.
Bau sake dan makanan malam, menguap hingga ke jalan-jalan.
Lampion yang digantung di depan ru-mah, menimbulkan nuansa keremangan yang roman-tis.
Dari sebuah rumah pelacuran yang paling ramai, terdengar senandung dari Dongeng tentang Heike yang sangat terkenal.
Nyanyian itu didendangkan seorang geisha, diiringi petikan kecapi yang menyayat, mirip rintihan burung kedasih.
Kaisar yang menyendiri itu pun memutuskan Pada musim semi tahun kedua Melihat puri luar Kota Kenreimon'in Di pegunungan dekat Ohara Tetapi selama bulan kedua dan ketiga Angin bertiup kencang, dan udara dingin mengapung Salju putih di puncak gunung pun mencair Saat dua kekasih melakukan seppuku Karena cinta yang tak direstui Nyanyian itu seketika terhenti, ketika pintu soji di-dobrak dari luar.
Seorang laki-laki berkaki satu menerobos masuk dengan luapan amarah yang mengerikan.
Sejumlah pelacur yang tengah duduk di ruang tengah menjerit sambil berlarian ke belakang, sementara sejumlah samurai segera mengambil pedang untuk ber-jaga-jaga.
Mereka semua bersikap waspada.
"Aku Ishida Mitsunari, di mana istriku?"
Tanya laki-laki tersebut menggeram seperti macan lapar. Wajah-nya yang berkumis dan bercambang menjadikannya bertambah seram.
"Siapa yang punya rumah pelacuran ini?"
Seorang laki-laki setengah baya, berlari di depan Mitsunari sambil bersujud.
"Maafkan saya, Ishida-san, maafkan saya. Semua adalah keinginan Shogun Nobunaga."
"Siapa kamu?"
"Saya Keiji."
"Kamu pemilik rumah ini?"
"Benar, Ishida-san."
Mitsunari hampir saja menebas leher lelaki di de-pannya, tetapi sesuatu yang lebih baik melintas di kepalanya. Ia mengurungkan niatnya. Mitsunari bertanya.
"Di mana istriku sekarang?"
"Tuanku akan mengampuni saya?"
"Tunjukkan tempatnya. Aku ingin bertemu dengan-nya."
Sekali lagi pemilik rumah itu bersujud, kemudian berjalan bergegas ke belakang.
Mitsunari mengikuti dari belakang dengan pedang terhunus.
Kakinya yang pincang membuat setiap langkahnya bersuara.
Rumah pelacuran itu ternyata cukup luas.
Dengan melewati lorong selebar dua meter, mereka sampai di tengah halaman yang dikelilingi kamar berderet-deret berbentuk tapal kuda.
Kecuali bonsai dan air mancur, ada taman yang diatur rapi mengikuti kaidah-kaidah Zen.
Tetapi sekarang tidak ada waktu lagi buat Mitsunari untuk menikmati keindahan taman buatan terse-but.
Ia berjalan ke arah kamar yang paling luas dan paling indah di dekat pohon pina.
"Nagoka-san!"
Terdengar lelaki pemilik rumah pela-curan itu. Ia berdiri di dekat soji sambil membungkuk-bungkuk.
"Nagoka-san!"
Mitsunari tidak sabar, dengan keras ia menendang pantat lelaki tersebut hingga tubuh lelaki itu terdorong begitu kuat menerobos dinding kamar.
Dari dalam terdengar jeritan kaget.
Saat itu Ishida Mitsunari melihat istrinya telentang, polos, di bawah himpitan seorang laki-laki gendut yang juga polos.
Karena merasa terganggu, lelaki tersebut meloncat sambil menggeram marah.
"Bangsat! Apa yang kalian lakukan?"
Keiji merayap bangun.
"Maafkan saya...."
Laki-laki gendut itu menoleh pada Mitsunari, dan tepat pada saat itu Mitsunari mengayunkan pedangnya dari kepala ke selangkangan lelaki itu.
Ayunan pedang itu begitu kuat sehingga tubuh lelaki tersebut hampir terbelah dua.
Ia ambruk ke lantai dengan darah mem-banjiri tatami.
Istri Mitsunari menjerit ngeri menyaksikan tubuh langganannya ambruk.
Ia segera menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos, namun saat itu sebuah tebasan pedang Mitsunari telah me-menggal kepalanya.
Darah muncrat ke kelambu, mem-buat kain berwarna putih itu berubah menjadi merah.
Keiji terpaku menyaksikan kejadian itu.
Seluruh tu-buhnya gemetar ketakutan.
Bahkan ia terkencing-ken-cing.
Namun itu hanya sesaat, semua berubah menjadi gelap ketika Mitsunari kembali menebaskan pedang ke arah leher lelaki itu.
Ia pun tumbang.
Kepalanya meng-gelinding seperti buah pepaya yang jatuh dari batangnya.
Pembantaian telah berakhir.
Ishida Mitsunari berdi-ri di tengah kamar itu dengan kemarahan meluap-luap.
Ia merasakan seluruh hidupnya hancur beranta-kan.
Sebagai seorang bangsawan, peristiwa yang baru saja ia lihat, merupakan penistaan yang paling buruk terhadap kehormatannya.
Dengan hati hancur ia pandangi tubuh polos istrinya yang berlumur darah.
Ku-litnya yang halus itu kini melengkung telentang ber-simbah darah.
Dengan tertatih-tatih, Mitsunari mendekati tubuh istrinya, kemudian mengambil selimut, lalu menutupi tubuh itu.
"Maafkan aku terpaksa membunuhmu,"
Katanya ber-getar karena pedih dan marah.
"Hanya dengan cara ini aku mengakhiri penderitaanmu. Namun aku bersumpah untuk membalas penghinaan yang ditimpakan kepa-damu dengan pedang. Mereka akan memperoleh pem-balasan yang setimpal."
Ishida Mitsunari berbalik, dan dia melihat di taman itu telah berdiri menghadang delapan orang samurai dengan pedang terhunus.
Rupanya kegaduhan di tem-pat itu telah menyebar, sehingga sejumlah samurai yang memiliki keberanian berniat menangkap Mitsunari.
"Ishida Mitsunari,"
Kata salah seorang samurai de-ngan suara menggeram.
"Sebaiknya engkau menyerah. Kami telah mengepungmu. Kalau engkau menyerah, kami bersumpah untuk memberikan penguburan yang sepantasnya untuk mayatmu."
Mitsunari berjalan menuruni anak tangga yang menghubungkan kamar dengan taman.
"Menyerahlah! Biarkan kami memenggal kepalamu!"
"Kuragukan kalian dapat menangkapku,"
Kata Mit-sunari tanpa tekanan.
"Kalian adalah samurai kemarin sore yang tidak mengerti bagaimana cara menggunakan pedang."
"Kamu samurai rendah!"
Bentak salah seorang sa-murai sambil mengambil posisi di samping kanan Mit-sunari.
"Kau telah membiarkan isterimu menjadi pelacur, dan...."
Belum selesai kata-kata itu diucapkan, dengan ke-cepatan tak terduga, Mitsunari telah berbalik dan mengayunkan pedangnya.
Ayunan itu sangat tidak terduga, sehingga samurai tersebut hanya bisa merasakan cai-ran hangat meleleh dari lehernya.
Bersamaan dengan ambruknya samurai itu, Mitsunari telah merangsak ke depan dengan 'Tebasan Halilintar'.
Suara pedangnya mendesis dengan cepat dan membuat dua samurai ter-sungkur dengan luka menganga.
Serangan tersebut sangat mengejutkan, sehingga pengepungan itu beran-takan, dan Mitsunari menggunakan celah-celah di da-lamnya untuk membabat musuh-musuhnya.
Sesaat kemudian, ketika Mitsunari kembali tegak berdiri, ke-lima samurai yang tersisa hampir bersamaan ambruk ke tanah.
"Sudah kukatakan, kalian tidak tahu bagaimana cara menggunakan pedang,"
Kata Mitsunari sambil me-ninggalkan tempat itu.
Saat Mitsunari berjalan di lorong rumah tersebut, dua orang samurai menghadang dengan pedang telan-jang.
Mereka masih sangat muda.
Barangkali umurnya belum genap delapan belas tahun.
Melihat cara mereka menggenggam pedang.
Mitsunari tahu keduanya bukan lawan yang berarti.
Bahkan dalam keadaan biasa, Mitsunari lebih suka menghindari pertarungan itu.
Mereka bukan tandingannya.
Tapi saat ini, benak Mitsunari dipenuhi dendam dan kemarahan.
Karena itu tanpa membuang waktu ia menerjang kedua samurai tersebut.
Dalam sekejap, kedua tubuh samurai itu melengkung menahankan ra-sa sakit, lalu ambruk ke lantai.
Perut mereka robek mengerikan.
"Hayo, siapa lagi yang ingin mampus?"
Tantang Mit-sunari sambil terus melangkah keluar. Pedangnya ma-sih meneteskan darah, seakan bilah pedang itu memi-liki urat nadi yang terluka.
"Bila di antara kalian masih ada yang menginginkan hadiah dari Nobunaga, sekarang saatnya melawanku!"
Lima orang samurai yang berpakaian kumal dengan kuncir rambut acak-acakan, melompati pagar untuk menghadang. Sikap mereka beringasan, mirip seekor anjing yang tak yakin bakal menang bergumul dengan kucing.
"Kalian ronin tak berharga,"
Kata Mitsunari tajam.
"Samurai pengemis yang hanya membutuhkan uang untuk makan. Manusia-manusia rendah tanpa kehor-matan. Kemari kalian biar kuberi sedikit pelajaran tentang harga kehormatan."
Seorang samurai melompat untuk menebas kaki Mitsunari, namun dengan mudah serangan itu ditang-kis Mitsunari memakai penyangga tubuhnya.
Dengan bernafsu samurai itu kembali menerjang, namun de-ngan mudah serangan tersebut dielakkan, dan sebe-lum samurai itu berdiri tegak, Mitsunari telah menerobos pertahanannya sambil menikam.
Pedang itu me-nembus jantung samurai tersebut.
Ia tak sempat men-jerit saat nyawanya melayang.
Sambil menarik pedangnya, kembali Mitsunari mengobrak-abrik pertahanan lawan.
Ia berputar dengan bertumpu pada penyangga kakinya, sekaligus menebaskan pedang ke arah mu-suh-musuhnya.
Satu per satu samurai itu tumbang dengan luka menganga.
Melihat kehebatan Mitsunari, dua puluh samurai yang berada di tempat itu rupanya menjadi jeri.
Mere-ka mundur meskipun tetap dalam posisi mengepung.
"Kalian bukan lawanku,"
Kata Mitsunari sambil me-mungut lampion yang tergeletak di tanah.
Ia melempar lampion itu ke atap rumah, sehingga apinya cepat membakar.
Rumah tersebut beratapkan jerami, karena itu api dengan cepat menyebar.
Seperti tak melakukan kekejian apa pun, Mitsunari melangkah menyusuri jalan.
"Aku akan dengan mudah membunuh kalian satu per satu,"
Katanya pada samu-rai yang masih mengepungnya.
"Kalau kalian tetap keras kepala, aku tak punya keberatan apa-apa untuk memenggal kepalamu. Pedangku sudah lama tak meng-hirup darah. Kecuali itu, aku ingin menguji ilmu pedang yang baru kutemukan. Jangan ragu-ragu, seren-taklah menyerang, agar lebih cepat aku membunuh kalian semua!"
Para samurai itu melangkah mundur.
Mereka ber-ingsut dengan perasaan gentar.
Semua sudah melihat kehebatan ilmu pedang Mitsunari.
Hanya dalam waktu singkat, ia telah membunuh lima belas samurai tanpa perlawanan yang berarti.
Kemampuan membunuh seperti itu hanya dimiliki samurai kawakan.
Mitsunari terus berjalan, sementara tempat itu se-ketika menjadi hiruk pikuk.
Kebakaran telah meluas, merambat dari satu rumah ke rumah lainnya.
Api yang berkobar membuat para pelacur ketakutan, sehingga mereka berlari ketakutan sambil menjerit-jerit.
Ada sejumlah pelacur yang terpaksa berlari polos karena ketika api membakar kamarnya, ia belum selesai melayani tamunya.
Sejumlah orang yang tengah bermain cinta, terpaksa berhenti.
Mereka lari keluar dengan pakaian seadanya sambil memaki-maki.
Suasana hiruk pikuk membuat orang-orang meng-alihkan perhatian pada kebakaran itu.
Mereka melupakan Mitsunari.
Kedua puluh samurai yang tadi menge-pung, secara diam-diam menyingkir, kemudian mem-baurkan diri dengan orang-orang desa yang tengah mencoba memadamkan api.
Mereka merasa beruntung telah menghindari pertarungan tanpa kehilangan muka.
Api terus berkobar.
Semakin lama semakin membe-sar, sehingga kota Kamakura jadi terang benderang.
Mitsunari sendiri, tersuruk-suruk, berjalan mening-galkan jalan raya, membelok masuk ke dalam hutan.
*** Nobunaga tengah bercumbu dengan geisha kesayang-annya.
Mereka bercinta di dalam kamar.
Naoko meme-luk Nobunaga sambil menciumi lelaki tersebut.
Sedang asyik keduanya memadu asmara, tiba-tiba terdengar derap kaki mendekati kamarnya.
Dari luar terdengar langkah kaki itu berhenti, lalu disusul suara Hosokawa.
"Maafkan kami, Tuanku Shogun Nobunaga, kota Kamakura kebakaran!"
Nobunaga mendengus, sementara Naoko cemberut karena kenikmatannya terganggu.
"Sebentar, aku ha-rus menemui mereka,"
Kata Nobunaga sambil melepas-kan diri dari dekapan Naoko.
"Kita belum selesai."
"Aku hanya sebentar. Nanti kita lanjutkan."
Dengan terburu-buru Nobunaga mengenakan haka-ma, kemudian berjalan untuk membuka soji. Ketika pintu kertas itu terbuka, Hosokawa dan pengawalnya langsung bersujud hingga kepala mereka menyentuh lantai.
"Kebakaran telah terjadi di Jalan Hagura,"
Kata Ho-sokawa. Nobunaga menatap ke kejauhan, tampak api berko-bar dengan hebat. Api itu memang tidak mungkin men-jalar ke istana, tetapi tetap saja berbahaya.
"Kenapa bisa terjadi kebakaran?"
Nobunaga berta-nya.
"Ishida Mitsunari yang membakarnya."
Nobunaga kaget bukan kepalang.
"Mitsunari?"
"Benar, Tuanku."
"Dia berani muncul di dalam kota untuk membuat huru-hara?"
Ia masih tidak percaya.
"Demikianlah, Tuanku. Ishida telah membunuh is-trinya dan pemilik rumah pelacuran itu sebelum mem-bakar kota."
"Apa tidak ada seorang samurai pun di sana sehing-ga bedebah itu berbuat kurang ajar?"
"Dia telah membunuh lima belas samurai yang men-coba menangkapnya."
"Lima belas samurai?"
"Benar, Tuanku."
"Bangsat!"
Hosokawa kembali bersujud di depan kaki Nobuna-ga dengan perasaan menyesal karena tak mampu men-jaga keamanan wilayahnya. Sambil menatap api yang menjilat-jilat di kejauhan, Nobunaga bertanya.
"Di mana kelima samurai Yagyu?"
"Mereka telah siap di gerbang istana untuk me-nunggu kedatangan Mitsunari."
"Goblok! Siapa bilang Mitsunari akan menerobos ke istana? Kerahkan mereka untuk mengejar samurai ja-hanam itu. Kurasa dia belum jauh meninggalkan Ka-makura."
"Baik, Tuanku."
"Bawa kemari kepala Mitsunari biar aku dapat me-ludahinya."
"Baik."
Hosokawa bersujud, kemudian melangkah mundur, baru setelah kira-kira lima meter dari Nobunaga, ia berdiri dan bergegas pergi.
Mitsunari benar-benar jahanam! Dia telah berani datang ke kota ini dan membuat huru-hara.
Ini adalah penghinaan yang tak terampuni.
Sesudah ia melawan perintahku, kini lebih buruk lagi.
Dia berani menantang-ku.
Dasar jahanam! Dengan terseok-seok, Nobunaga berjalan kembali ke dalam kamar.
Di sana ia melihat tubuh mulus Naoko yang masih polos.
Gadis itu telentang.
Tubuhnya ha-nya ditutupi rambutnya yang terurai panjang.
Segala ingatan tentang Mitsunari seketika hilang.
Sambil tersenyum lebar, Nobunaga naik ke ranjang.
"Ada apa?"
Naoko bertanya.
"Terjadi kebakaran di kota."
"Kenapa?"
"Ishida Mitsunari telah membunuh istrinya, lalu membakar rumah pelacuran di mana istrinya tinggal."
"Sudah ditangkap?"
"Belum."
"Kenapa?"
"Dia bahkan telah membunuh lima belas samurai yang mencoba menangkapnya."
Naoko seketika duduk tegak. Ia menatap Nobunaga dengan tatapan tajam, lalu berkata penuh tekanan.
"Ini sangat keterlaluan. Dia telah meludahi wajahmu. Bila persoalan ini tak segera diselesaikan, akan sangat buruk akibatnya. Bukan persoalan nyawa, tetapi kewi-bawaanmu akan hilang. Sebaiknya, sekarang kerah-kan samurai sebanyak-banyaknya untuk menangkap-nya."
"Aku telah memerintahkan Hosokawa untuk menge-jarnya."
"Hosokawa terlalu tolol untuk menangkap Mitsuna-ri."
"Dia didampingi kelima samurai Yagyu."
"Masih kurang. Sebaiknya kerahkan seluruh samu-rai di Kamakura untuk mengejarnya."
"Baik. Besok akan kuperintahkan...."
"Bukan besok,"
Tukas Naoko tajam.
"Harus seka-rang."
"Sekarang?"
"Ya, perintahkan sekarang juga para samurai me-ngejar Mitsunari, sebelum dia sempat menghilang ke dalam hutan."
"Tetapi ini sudah terlalu larut malam."
"Sekarang atau kita akan dikalahkannya."
Nobunaga menatap Naoko dengan ternganga. Tidak pernah ia membayangkan perempuan lembut dan meng-gemaskan itu dapat memerintahnya dengan cara yang sangat mengejutkan. Ketika Nobunaga masih diam, Naoko berkata.
"Se-karang perintahkan mereka mengejar Mitsunari, sesu-dah itu cepat kemari untuk meneruskan permainan ki-ta tadi yang belum selesai."
Nobunaga menyeringai.
"Itulah yang kuinginkan,"
Katanya sambil melangkah terburu-buru untuk mem-berikan perintah.
*** TERJEBAK DENGAN sekuat tenaga Natane Yoshioka mengayun-kan pedang dengan jurus kedelapan.
Tebasan itu sa-ngat kuat sehingga batang pisang yang dijadikan sasaran terbelah menjadi dua.
Yoshioka tersenyum puas karena berhasil melaksanakan perintah Saburo de-ngan tepat.
"Coba sekarang lakukan secara serentak,"
Perintah Saburo.
"Kekuatanmu sudah cukup, namun kecepa-tannya belum tepat. Padahal kekuatan dan kecepatan merupakan keseimbangan yang harus menyatu dalam permainan pedang."
"Aku akan melakukannya, Sensei."
"Ingat, setiap gerakan harus tepat iramanya sehing-ga ayunan maupun tebasanmu sukar ditangkis."
"Aku akan mencoba."
Yoshioka mulai memasang kuda-kuda, kemudian dengan kecepatan yang menakjubkan, ia mulai mene-bas ke kanan ke kiri, dengan kekuatan yang sangat ter-ukur.
Satu per satu batang pisang di delapan sasaran terbelah dan tumbang akibat tebasannya.
Pada saat Yoshioka telah menyarungkan kembali pedangnya, dua batang pisang baru jatuh ke tanah.
"Kecepatanmu masih kurang sempurna,"
Kata Sa-buro sambil mendekati Yoshioka.
"Bila kecepatanmu sempurna, saat kau memasukkan kembali pedangmu, saat itulah batang pisang menyusul jatuh."
"Maksud, Sensei?"
"Akan kuperlihatkan caranya."
Saburo berdiri memasang kuda-kuda, matanya me-natap tajam pada delapan pohon pisang di sekelilingnya.
Napasnya tampak tertahan, sepertinya ia tengah mengukur jarak dan peluang tebasannya.
Ketika jarak sudah diperhitungkan, dengan gerak yang sukar diikuti mata, Saburo mulai menebas ke kanan dan ke kiri sesuai delapan jurus ilmu pedang.
Hanya sepersekian menit peristiwa itu terjadi.
Ketika pedang Saburo telah disarungkan, batang-batang pisang yang ditebas jatuh satu per satu.
Natane Yoshioka menatap takjub pada kehebatan gurunya.
"Luar biasa,"
Kata Yoshioka tak menyembunyikan kekagumannya.
"Aku berjanji akan berlatih lebih ke-ras."
"Kau harus lebih rajin dan disiplin. Disiplin meru-pakan rahasia ilmu pedang yang paling utama. Tanpa disiplin, seorang samurai hanya akan menjadi ronin, bukan pendekar."
Natane Yoshioka akan bicara, ketika secara tiba-tiba Saburo melompat dan menutup mulutnya.
"Sssst, jangan bersuara,"
Katanya memperingatkan.
Yoshioka kaget atas tindakan Saburo, ia ingin ber-tanya, namun lelaki tersebut memberikan isyarat agar dia diam.
Sambil pelan-pelan melepaskan tangan dari mulut Yoshioka, Saburo mengajak anak itu mengen-dap-endap ke arah semak belukar.
Dari sana ia meli-hat lebih dari dua puluh lima penunggang kuda men-daki bukit.
Dua orang prajurit membawa tombak yang dilengkapi bendera warna merah.
"Prajurit Shogun Nobunaga,"
Bisik Saburo pada Yo-shioka.
"Mereka sedang melakukan patroli."
"Aneh, tidak biasanya mereka melakukan patroli sampai tempat ini."
"Mungkinkah ada orang yang melihat kita di sini ke-mudian melaporkan pada Nobunaga?"
"Rasanya tidak. Selama kita berlatih tak pernah bertemu seorang pun. Selain itu, hutan ini jauh dari pemukiman penduduk."
"Lalu kenapa mereka ada di sini?"
"Itu yang kuherankan. Kenapa mereka berada di si-ni?"
Para penunggang kuda itu berhenti di tepi hutan, kemudian salah seorang yang rupanya menjadi pencari jejak melompat turun.
Dengan cermat dia mengamati jejak kaki samar-samar di jalan setapak itu.
Dahinya berkerut, seakan ia tengah memikirkan kemungkinan yang paling masuk akal.
"Apakah dia lewat di sini?"
Tanya komandan pasu-kan itu dari atas kudanya. Pencari jejak itu menggelengkan kepala.
"Sudah ku-katakan, tidak mungkin dia lewat di sini. Jalan setapak ini akan menyulitkan langkahnya. Saya pastikan dia memilih jalan besar ke Edo."
"Kau melihat jejak di sini?"
"Kurasa jejak petani dan anaknya."
"Dua orang?"
"Ya, orang dewasa dan seorang anak kira-kira ber-usia sebelas tahun."
"Baiklah, kalau begitu sebaiknya kita cepat berpu-tar ke arah Edo."
Komandan pasukan itu menarik tali kekang kuda, kemudian kembali menuruni bukit itu.
Derap kaki kuda gemuruh menuruni lereng bukit itu, meninggalkan de-bu tipis berkepul.
Pakaian mereka yang sebagian besar berwarna merah, tampak berkibar ditiup angin.
Saburo tetap diam, menunggu sampai para penung-gang kuda itu tak kelihatan.
"Mereka sedang mencari seseorang,"
Kata Saburo seperti bicara pada diri sendiri.
"Tetapi bukan kita."
"Siapa kira-kira?"
"Entahlah, mungkin seorang samurai yang melawan Nobunaga. Dari cara komandan itu bicara, tampaknya buronan mereka termasuk berbahaya. Kalau tidak, mana mungkin Nobunaga mengerahkan dua puluh li-ma samurai untuk menangkapnya."
"Bila banyak samurai memberontak, semakin cepat keruntuhan Nobunaga akan terjadi."
Saburo diam.
Kemudian bergegas mengajak Yoshi-oka pulang.
Tiba-tiba nalurinya mengisyaratkan ada-nya bahaya.
Bila pengejaran tersebut terus dilakukan, bukan mustahil pasukan itu akan sampai di tempat tinggalnya.
Bila hal itu terjadi, Saburo dapat mem-bayangkan suatu pengepungan besar-besaran seperti yang pernah ia alami.
Dan itu sangat berbahaya.
Belajar dari kegagalan pengepungan yang pertama, Saburo tentu tak mau mengulangi kegagalannya.
Ketika dulu pengepungan dilakukan, sesungguhnya Saburo dan Yoshioka diselamatkan oleh Tuhan.
Semata-mata ke-beruntungan! Bila saja mereka jatuh di batu karang, tubuh mereka pastilah remuk.
Dan keberuntungan, tak dapat diharapkan terjadi dua kali.
"Kita harus cepat pergi. Cepat atau lambat mereka akan sampai di sini."
"Mereka hanya akan menemukan batang pisang itu."
"Dengan melihat batang pisang itu, mereka akan tahu kita berlatih. Seorang samurai akan mengetahui gaya permainan pedang dari luka atau ayunan yang dilakukan seseorang. Mereka pasti tahu bahwa aku me-latihmu di sana."
"Kedengarannya sangat aneh."
"Itulah misteri permainan pedang yang harus juga kau pelajari. Setiap orang memiliki gaya sendiri. Tiap tebasan memantulkan watak orang yang melakukan-nya."
Beberapa kali Saburo menoleh ke belakang, pera-saannya mengatakan, seseorang sedang mengikutinya.
Tetapi setiap kali ia menoleh, tak seorang pun kelihatan.
Ia hanya melihat kerimbunan hutan pinus di be-lakangnya.
Beberapa ekor burung kormoran terbang berputar-putar di langit.
Bulunya yang hijau gemerlapan tampak sangat indah.
Mereka terus berjalan, lebih bergegas dari biasanya.
Napas Yoshioka sampai terengah-engah mengikuti ke-cepatan melangkah Saburo.
Karena lelah, Yoshioka bertanya penasaran.
"Kena-pa tergesa-gesa, Sensei?"
"Kita harus cepat berkemas dan meninggalkan ru-mah itu."
"Ke mana?"
"Aku belum memastikan. Entah ke mana. Tetapi harus pergi bila tak ingin mengalami pengepungan seperti dulu."
"Apakah engkau yakin mereka akan mengetahui persembunyian kita?"
"Mereka akan tahu."
"Bagaimana mungkin?"
"Seorang samurai harus melatih indra keenamnya,"
Kata Saburo menjelaskan.
"Dan sekarang, indra ke-enamku mengatakan bahaya tengah mengintai kita. Bila kita tak segera menghindar, kita akan menghadapi bahaya itu."
Natane Yoshioka terpaksa setengah berlari agar da-pat mengimbangi kecepatan melangkah Saburo.
Se-sungguhnya ia ingin tidak cepat-cepat pergi, sehingga kalau benar terjadi pengepungan, dia dapat mempraktekkan ilmu yang telah ia pelajari selama ini.
Sungguh tak ada gunanya belajar ilmu pedang bila tidak meng-gunakannya.
Seperti belajar menulis tetapi tak memi-liki kertas dan pena.
Setelah berjalan kira-kira setengah jam, rumah me-reka kelihatan di balik kerimbunan pohon.
Atapnya yang terbuat dari jerami, kelihatan kuning keperakan tertimpa sinar matahari.
Rumah itu tampak sepi.
Tidak ada kehidupan yang tampak dari dalamnya.
Saburo merasa lega, perasaan was-was yang meng-endap di dadanya tidak menjadi kenyataan.
Tadi ia di-bayang-bayangi kenyataan pasukan Nobunaga telah mengepung rumahnya.
Ternyata itu hanya bayangan khayal.
"Apakah engkau pikir kita masih berada dalam ba-haya, Sensei?"
Yoshioka bertanya menggoda.
"Menu-rutku tidak."
"Tetapi kita harus tetap pergi."
"Kenapa?"
"Suatu saat bahaya itu pasti datang."
"Baiklah kalau begitu, aku akan mengemasi barang dan mengambil pedang kayuku."
Berkata begitu, Yo-shioka berlari menuju ke rumah.
Pada saat itu Saburo melihat sebuah tongkat sepanjang enam kaki di pagar, di atasnya terdapat sebuah topi pandan yang biasa dipakai para ronin.
Seketika kesadaran Saburo akan bahaya menggeliat, ia berteriak memanggil Yoshioka.
"Kojirooo!"
Terlambat.
Natane Yoshioka telah menerobos masuk ke dalam rumah, dan pada saat bersamaan terdengar ia menjerit kesakitan.
(Bersambung ke buku ketiga.) Scan/Edit.
Clickers PDF.
Abu Keisel Document Outline MENJADIKAN ALAM SEBAGAI SEKUTU *** *** BAPA LAO *** KEMARAHAN KONISHIWA *** *** TEKAD SEORANG GEISHA *** *** *** LIMA AHLI PEDANG YAGYU *** *** *** API DENDAM BERKOBAR *** ILMU KESEIMBANGAN *** ILMU PEDANG KEDELAPAN *** MITSUNARI MENGAMUK *** *** TERJEBAK
Pendekar Perisai Naga Hantu Lereng Lawu Rajawali Emas Wasiat Malaikat Dewa Pengemis Binal Bidadari Lentera Merah