Samurai Pengembara III 1
Shugyosa Samurai Pengembara III Bagian 1
SHUGYOSA (Samurai Pengembara) Buku Ketiga oleh Salandra Cover oleh Tony G.
Desain sampul oleh M.
Soetrisno Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994 Buku Ketiga LAHIRNYA SHUGYOSA SABURO berdiri menghadapi segala kemungkinan.
Wa-jahnya menjadi tegang, sinar matanya menyorot tajam.
Dalam hati ia menyesalkan kecerobohan Yoshioka.
Apabila anak itu mau mendengar kata-katanya, mereka tidak akan berada dalam kesulitan seperti saat ini.
Tetapi semua sudah terlambat.
Apa yang akan terjadi, terjadilah.
Pintu rumah itu terbuka dengan suara berderit.
La-lu keluar tiga orang samurai bertampang ganas.
Se-orang di antaranya memegangi Yoshioka sambil me-nempelkan pedang pendeknya di leher anak itu.
Me-reka tersenyum mengejek ketika melihat Saburo Mishi-ma berdiri di depan mereka tanpa daya.
Sepintas melihat ketiga musuhnya, Saburo menge-tahui mereka bukanlah lawan yang ringan.
Sorot mata ketiga orang tersebut, serta sikap waspada mereka, telah menunjukkan bobot permainan pedang yang me-reka kuasai.
Menyimak dari pakaiannya, Saburo men-duga mereka adalah samurai prajurit, tetapi karena tidak ada satu pun lambang keprajuritan di kimono mereka, Saburo tidak berani memastikan.
Tetapi yang jelas bukan ronin.
Pakaian mereka bersih dan dari bahan yang mahal.
Demikian pula hulu pedang serta sandal jerami yang dikenakan.
Semua dari jenis mahal.
Dari cara mereka berdiri, Saburo tahu, ketiganya terbiasa bertarung serempak.
Posisi mereka menutup celah yang dapat dipakai musuh untuk menyerang.
Saburo tahu ia bakal menghadapi lawan yang sulit.
Namun buat Saburo, ketiga orang tersebut tidak menjadi masalah besar.
Kini, yang menjadi persoalan adalah Yoshioka.
Bagaimanapun, anak itu harus dibe-baskan lebih dulu sebelum ia bertarung.
Hanya de-ngan cara itu ada jaminan keselamatan baginya.
Sesudah berpikir sejurus, Saburo Mishima berkata lantang.
"Siapa kalian dan kenapa mengganggu keten-teraman kami?"
Salah seorang samurai yang paling tua menjawab.
"Bukankah engkau Panglima Ashikaga, Saburo Mishi-ma?"
"Benar."
"Kalau begitu kami beruntung lewat hutan ini. Se-cara kebetulan kami melihat batang-batang pisang yang tertebas rapi di hutan. Rupanya selama bersembunyi, engkau tetap melatih ilmu pedangmu dengan baik."
"Saya seorang samurai, saya mengikuti jalan pe-dang dengan selalu berlatih. Sesungguhnya, tidak ada sesuatu yang istimewa."
Samurai yang termuda menyahut.
"Yang istimewa adalah kepalamu. Shogun Nobunaga memberimu har-ga mahal. Karena itu kami mencarimu."
Jadi mereka memang menginginkan kepalaku. Tak ada gunanya mengelak. Saburo mencoba melepaskan Yoshioka.
"Kalau ka-lian menginginkan kepalaku, sebaiknya lepaskan anak itu. Dia tidak berarti apa-apa buat kalian."
"Bukankah anak ini putra Ashikaga?"
"Salah! Dia anakku -Kojiro."
"Benarkah?"
"Kalian boleh mempercayai kata-kataku."
Samurai yang tertua mengamati wajah Yoshioka de-ngan seksama, lalu berpaling pada Saburo.
"Dia bukan Yoshioka-san?"
Saburo gembira taktiknya telah mengenai sasaran.
"Bukan. Putra Ashikaga terpisah dengan kami ketika pasukan Nobunaga mengepung di bukit Atsura. Apakah mereka tidak berhasil memenggal kepalanya?"
"Konishiwa hanya membawa pulang kepala Takezo."
"Pandai besi itu?"
"Benar."
"Jadi Yoshioka-san tak berhasil mereka temukan?"
"Tidak. Satu kelompok dari kami memang menge-pungnya, tetapi seorang pendeta Budha telah menye-lamatkan anak itu."
"Syukurlah kalau begitu,"
Kata Saburo dengan lega. Ini pertama kali ia mengetahui bahwa Kojiro masih hidup.
"Sekarang apa mau kalian?"
Saburo mendesak.
"Anak itu tidak ada artinya bagi kalian, sebaiknya dia kalian lepaskan."
"Dia termasuk bagian hadiah itu."
"Saya tahu. Tetapi memang akan tetap begitu. Apa-bila kalian dapat membunuhku, anak itu pun akan kalian dapatkan. Jadi tidak ada bedanya, apakah kalian sekap atau dilepaskan. Dia tidak dapat lari maupun bersembunyi. Hutan ini bukan tempat persembunyian yang baik baginya."
Samurai yang termuda berkata.
"Ini adalah jaminan kami untuk dapat memenggal kepalamu."
"Kalian ternyata samurai-samurai pengecut!"
Rutuk Saburo dengan geram. Betapapun ia harus memancing kemarahan mereka. Ini adalah satu-satunya cara.
"Siapa guru kalian?"
Samurai tertua menjawab.
"Kami dari Iwari, guru kami adalah Imajima, orang yang menciptakan aliran Pedang Ryoken. Engkau tentu pernah mendengarnya."
Saburo tersenyum mengejek.
"Imajima adalah seo-rang ksatria perang. Dia adalah guru ilmu pedang yang sangat saya kagumi. Dengan menciptakan aliran Ryoken, beliau telah menempatkan diri sebagai pemain pedang tangguh yang amat dihormati. Bagaimana mung-kin beliau memiliki murid pengecut seperti kalian? Bila mengetahui bagaimana kalian bersikap pengecut, beliau pasti akan sangat marah dan menyesal mengang-kat kalian sebagai muridnya."
Samurai yang tertua tampak berpikir sejurus, lalu lelaki itu mengambil keputusan yang menguntungkan Saburo.
"Lepaskan anak itu,"
Katanya pada samurai termuda. Samurai yang menyekap Yoshioka menatap heran.
"Bukankah...."
"Lepaskan dia,"
Tukas samurai tertua.
"Kurasa uca-pannya benar. Lagi pula dia tidak akan ke mana-mana. Kita pasti akan dapat memenggal kepalanya."
Dengan bingung, samurai termuda itu melepaskan tawanannya. Yoshioka merentak, lalu berjalan men-dekati Saburo Mishima dengan marah.
"Kojiro!"
Suara Saburo lantang.
"Kau harus tetap di sini. Jangan pergi apa pun yang terjadi. Bila aku terbunuh, kau akan mengikutiku. Mereka telah memper-lihatkan sikap samurai sejati, kita pun akan menghadapi dengan sikap yang sama."
"Baik,"
Jawab Yoshioka mantap.
Dari nada suara Saburo, Yoshioka menangkap keyakinan lelaki terse-but bahwa dia dapat mengalahkan ketiga lawannya.
Karena itu tanpa keraguan sedikit pun, ia berdiri ke pinggir, membiarkan keempat orang di depannya memiliki ruang untuk melaksanakan pertarungan.
Saburo Mishima segera berjalan ke tengah, siap menghadapi musuh-musuhnya.
Ketiga samurai itu se-gera memecah posisi menjadi lebih lebar.
Mereka melakukan pengepungan dalam jarak hampir tiga meter.
Pengepungan ini sangat baik, karena tidak memberi peluang sedikit pun bagi Saburo untuk menyerang.
Serangan ke salah satu, pasti akan disambut serangan dua samurai lainnya.
Sementara jarak pengepungan itu, tidak memberi kesempatan Saburo menerobos ke dalam jarak tebasan tanpa membahayakan dirinya sendiri.
Dari cara mereka mengepung, Saburo mengetahui lawannya merupakan pemain pedang yang tak dapat diremehkan.
Namun Saburo sempat menangkap, dari ketiga orang tersebut, samurai termuda merupakan musuh paling lemah.
Jadi serangan harus dimulai dari sana.
Aku harus mencari jalan, kata Saburo dalam hati.
Sambil terus berhadapan, Saburo berpikir keras mencari strategi menghadapi musuh-musuhnya.
Sesudah berpikir sejurus, tiba-tiba muncul gagasan jitu.
Satu-satunya cara untuk membuyarkan kepungan mereka adalah dengan menggunakan pohon-pohon pinus.
Pohon-pohon itu akan menjadi perisai yang sangat baik bagiku.
Suasana terasa tegang dan berbau darah.
Keempat samurai tersebut berhadapan dengan membisu.
Hanya mata mereka saling mengincar.
Masing-masing menco-ba mengukur jarak tebasan.
Saburo tahu, aliran Pe-dang Ryoken sangat berbahaya karena kekuatannya.
Namun ia lemah pada kecepatan.
Cara terbaik untuk menaklukkannya haruslah dengan memancing mereka dalam pertarungan adu kecepatan.
Suasana sunyi mendadak pecah ketika Saburo me-lihat mata samurai termuda di samping kanannya berkedip.
Dalam kecepatan tak terduga Saburo meng-ayunkan pedangnya ke arah tubuh samurai itu, pada waktu bersamaan kedua samurai lain menyerang Saburo.
Terdengar suara pedang gemerincing dan desis angin tebasan yang mengerikan.
Samurai termuda itu terperangah, ia mundur, pedang Saburo hanya satu inci di depan wajahnya.
Seusai memecah kepungan tersebut, Saburo berlari ke arah hutan pinus.
Ia mendaki bukit itu kemudian mempergunakan pohon-pohon pinus sebagai perisai dirinya.
Karena kini mereka berdiri di antara pohon pi-nus, maka Saburo berhasil memecah-mecah kepungan tersebut sehingga ia seperti berhadapan dengan lawan-lawan yang tidak mengepungnya.
Serangan musuh ti-dak efektif lagi.
Mereka kembali berhadapan dengan sikap waspada.
Saling menatap sambil mengukur kekuatan lawan.
Se-detik berikutnya, seperti singa lapar Saburo kembali menyerang.
Ia menebas ke kanan ke kiri, sambil terus bergerak seperti angin.
Ayunan pedangnya mendesis, membuat ketiga samurai itu tak berani bersikap gega-bah.
Mereka terus mengepung, namun terjangan Sa-buro telah mencerai-beraikan kepungan tersebut.
Posisi mereka kini telah memberi peluang.
Meskipun ketiga samurai itu berusaha menutup ruang gerak Saburo, namun pohon-pohon pinus telah menghalangi mereka.
Melihat musuhnya mengalami kesulitan menyerang se-rentak, karena rintangan pohon pinus yang tumbuh rapat, Saburo mulai merasakan kemenangannya.
Ia menjadi lebih berani menyerang.
Posisi samurai Ryoken termuda kini berada di le-reng, persis di belakang Saburo, sementara dua samurai lainnya di samping kanan dan kiri.
Mereka menggeser kaki, setapak demi setapak, berusaha mengukur jarak.
Sedetik berikutnya, Saburo melompat menerjang ke samping kanan, kemudian berbalik ke belakang menebaskan pedang dengan jurus 'Membelah Awan'.
Terdengar jerit menyayat samurai termuda, tubuhnya melambung ke atas, lalu ambruk ke tanah bersimbah darah.
Dua musuh berikutnya menerjang, namun ter-lambat, Saburo telah berputar demikian cepat sambil menebas mendatar.
Sekali lagi terdengar lengking kematian yang mengerikan ketika tubuh kedua samurai itu robek secara bersamaan.
Hampir bersamaan pula, mereka roboh ke tanah dengan darah menyembur dari perutnya.
Saburo menatap ketiga musuhnya dengan tegak, bi-lah pedangnya meneteskan darah ke tanah.
Lalu de-ngan sekali kibas, darah yang membasahi bilah pedang itu muncrat ke tanah.
Pedang Saburo bersih kembali seperti tidak pernah bersimbah darah.
Dengan kecepatan yang mengagumkan pula, Saburo menyarungkan kembali pedangnya.
Pada saat bersamaan.
Yoshioka berlari mengham-piri.
"Sungguh luar biasa,"
Kata Yoshioka sambil berde-cak kagum.
"Mereka ternyata samurai-samurai bodoh yang mudah dikibuli."
Saburo segera berpaling. Ia tidak menduga Yoshioka akan berkomentar seperti itu.
"Kenapa kau mengatakan mereka bodoh?"
"Mereka terpancing dengan taktik Sensei berlari ke hutan pinus sehingga kepungan mereka tidak lagi berbahaya."
"Syukurlah kau dapat belajar sesuatu,"
Kata Saburo sambil tersenyum. Ia gembira ternyata Yoshioka cukup cerdas menilai taktik pertarungan yang baru saja ia lakukan.
"Satu hal yang harus kau pahami,"
Kata Sabu-ro sambil mengajak anak itu meninggalkan hutan pi-nus.
"Keahlian bermain pedang saja tidak cukup. Seorang samurai sejati masih membutuhkan taktik atau strategi. Dengan taktik inilah sesungguhnya setiap pertarungan dapat dimenangkan. Kemampuan menemu-kan taktik jitu yang membedakan samurai satu dengan yang lainnya."
"Saya percaya."
"Apalagi yang dapat kaupelajari dari pertarungan tadi?"
"Sensei memecah kekuatan mereka...."
"Itu benar,"
Jawab Saburo dengan perasaan kagum. Ia benar-benar mengagumi kecerdasan Yoshioka. Me-nurut pemikirannya, anak itu menjanjikan masa de-pan yang baik bagi Jepang dengan kemampuan otak-nya.
"Tetapi ada yang sangat penting yang harus kau-ketahui, yaitu alam di sekitarmu."
"Maksud Sensei?"
"Hutan pinus. Di setiap pertarungan, kecuali kekuatan lawan, engkau harus memperhitungkan tempat kau bertarung. Kau harus memikirkan apa saja yang dapat kaupergunakan untuk memperkuat posisimu. Tadi aku akan mengalami kesulitan melawan mereka, kalau saja aku tidak memanfaatkan pohon-pohon pi-nus di sekitarku. Pohon itu telah menjadi perisai dalam memecah kepungan mereka."
"Saya juga sempat memikirkannya, kenapa Sensei berlari ke hutan pinus."
"Ingat baik-baik, Yoshioka-san, alam di sekitarmu bisa menjadi musuh atau sebaliknya bisa menjadi sekutu. Kemenanganmu sangat ditentukan seberapa ke-berhasilanmu bersekutu dengan alam."
Yoshioka mengangguk.
Ia merasa bangga Saburo menghargai pemikirannya.
Dan dari pertarungan tadi, ia tahu gurunya seorang pemain pedang yang hebat.
Tak salah ayahku mengangkatnya sebagai panglima perang.
Ia benar-benar dapat diandalkan.
Burung gagak di atas hutan itu mulai berkaok-kaok.
Mereka terbang rendah karena telah mencium bau bangkai.
Enam ekor gagak terbang berputar-putar di atas hutan itu.
Sayapnya yang hitam terentang tak bergerak, membuat tubuhnya meluncur mirip layang-layang berwarna hitam.
Suaranya terdengar mengge-tarkan, seakan isyarat bahwa mereka akan berpesta pora.
Saburo berhenti di depan rumah, kemudian men-dongak ke atas.
Lelaki itu memperhatikan keenam ekor burung gagak itu.
"Kita harus segera meninggalkan tempat ini."
Kata Saburo pada Yoshioka.
"Burung-burung itu akan me-rupakan isyarat bagi pasukan Nobunaga yang berada di sekitar hutan ini untuk datang kemari. Kita harus menghindarinya."
"Kita akan ke mana?"
"Ke mana saja. Pokoknya kita harus menjauhi Ka-makura."
Yoshioka menatap Saburo. Anak itu seakan me-minta penjelasan lebih lanjut. Sesudah diam sesaat, akhirnya Saburo berkata.
"Mulai hari ini tanggalkan nama Yoshioka. Aku akan memanggilmu Kojiro. Dan jangan lagi kau memanggilku Sensei, tetapi anggap aku adalah ayahmu. Ini harus kita lakukan, untuk menghindari kesalahan yang mungkin bisa terjadi. Kita harus bersikap waspada, karena bukan mustahil ratusan samurai saat ini tengah mencari kesempatan un-tuk memenggal kepala kita. Sekarang kemasi barang-barangmu, kita harus segera berangkat."
"Apakah kita tidak mempunyai tujuan?"
"Ya. Mulai hari ini kita akan menjadi shugyosa, samurai pengembara." *** AWAL PERTENTANGAN BARU KONISHIWA berdiri menatap tiga bangkai samurai Ryoken yang telah dicabik-cabik burung gagak. Tubuh ketiga samurai itu tampak menganga dan bersimbah darah. Isi perut dan tulang-belulangnya menganga keluar, kulitnya terkelupas, dan dagingnya berserpihan di tanah. Konishiwa tahu, sebuah pertarungan baru saja terjadi, dan melihat sayatan luka di tubuh ketiga samurai tersebut, ia mengetahui musuh mereka ada-lah Saburo Mishima. Sebagai orang yang pernah me-ngenal dekat lelaki itu, Konishiwa hafal gaya tebasan pedang Saburo.
"Rupanya mereka selama ini bersembunyi di sini,"
Kata Konishiwa pada pengawalnya, Seichi Okawa.
"Dan tampaknya Saburo telah memperdalam ilmu pedangnya. Ia jauh lebih baik dibanding dulu. Kita harus secepatnya menemukannya, kalau tidak, dia akan sema-kin berbahaya."
"Kita pasti akan mendapatkannya."
"Ya, tetapi kapan? Kita tidak seharusnya selalu kembali membawa kegagalan. Lama kelamaan aku merasa malu berhadapan dengan Shogun Nobunaga. Matanya akhir-akhir ini terasa lebih menikam. Kecuali itu, dia mulai menempatkan Hosokawa sebagai orang keper-cayaannya. Laki-laki itu pun suatu saat dapat mem-bahayakan kedudukanku."
Seichi Okawa hanya menghela napas panjang. Ia dapat memahami perasaan Konishiwa. Sebelum me-reka melanjutkan pembicaraan, seorang samurai ber-jalan bergegas menjumpai Konishiwa.
"Mereka meninggalkan tempat ini tiga jam yang la-lu,"
Kata samurai itu.
"Kelihatannya mereka menuju ke Suruga."
"Suruga?"
"Benar. Tetapi pasti mereka tidak melewati jalan raya. Kalau kita mau menyusuri jejak mereka, saya pastikan besok kita dapat menyusulnya."
"Apakah tidak dapat lebih cepat?"
"Sulit. Karena selain harus menyusuri jejak, kita tidak tahu apakah jalanan yang mereka tempuh dapat dilalui kuda. Menurut saya, Saburo tidak akan berbuat bodoh membiarkan dirinya dengan mudah diikuti."
Konishiwa diam.
Ia menyetujui jalan pikiran anak buahnya.
Kalau benar dugaan samurai pencari jejak itu, keadaannya akan lebih sulit, karena Saburo akan memasuki wilayah di luar kekuasaan Nobunaga.
Bila mereka telah sampai Suruga, tidak mungkin pengeja-ran dilakukan secara terang-terangan.
Ini akan mudah menyulut pertentangan antara Nobunaga dan Imagawa, penguasa Suruga.
Satu-satunya cara bila hal itu terjadi, adalah menggunakan para samurai di luar pasukannya.
Ini memang bisa.
Tetapi dalam hati, se-sungguhnya Konishiwa ingin memenggal sendiri kepala Saburo untuk diserahkan pada Nobunaga.
Hanya cara itu menurut pemikirannya yang dapat menebus kega-galannya selama ini.
Konishiwa berkata pada Seichi Okawa.
"Kalau begi-tu, sebaiknya engkau pimpin dua puluh orang untuk mengejar Saburo. Susuri langkahnya, dan tangkap lelaki jahanam itu atas namaku. Aku akan kembali ke Kamakura untuk melaporkan hal ini pada Tuanku No-bunaga."
"Baiklah,"
Jawab Okawa.
"Saya akan berusaha me-nangkapnya sebelum dia memasuki wilayah Suruga."
"Lakukan sebaik-baiknya. Jangan sampai gagal."
"Saya akan berusaha sebaik-baiknya."
Seichi Okawa segera menuju kudanya.
Beberapa saat kemudian bersama dua puluh pasukannya, Oka-wa bergegas mengejar Saburo Mishima.
Konishiwa naik ke punggung kuda, lalu menggebrak punggung-nya menuju Kamakura.
*** Nobunaga menggeram marah, sehingga kumisnya mencuat seperti ekor tikus yang kesakitan.
Baru saja ia mendengar laporan Konishiwa mengenai kemungkinan Saburo Mishima melarikan diri ke Suruga.
Di benak Nobunaga terbayang wajah Imagawa Yo-shimoto, seorang laki-laki kurus seperti lidi, namun memiliki ambisi seperti harimau.
Sebagai penguasa tunggal wilayah Suruga, Imagawa sejak dulu menjalin hubungan persahabatan dengan keshogunan Ashikaga.
Bahkan ketika Toyotomi menyerang Suruga, se-hingga terjadi pertempuran hebat di padang Kajima, Shogun Ashikaga mengirimkan bantuan sebanyak lima ribu tentara untuk menggempur Toyotomi.
Berkat bantuan Ashikaga inilah Imagawa mampu mempertahan-kan wilayah kekuasaannya.
Persahabatan ini terus berlanjut dengan cara saling kunjung mengunjungi.
Bahkan tak jarang mereka melakukan upacara minum teh semata-mata untuk mempererat persahabatan.
Di samping perasaan hutang budi itu, Imagawa sangat mengagumi puisi-puisi pendek yang ditulis Ashikaga.
Hobi menulis puisi dan merangkai bunga, tanpa disadari menjadi perekat persaudaraan mereka.
Kini tiba-tiba Saburo Mishima, bekas panglima pe-rang Nobunaga, berniat mengunjungi Imagawa.
Ini sangat berbahaya.
Apabila samurai itu berhasil menghasut, dapat dibayangkan Nobunaga akan mempunyai musuh tambahan.
Bagi Nobunaga sendiri, sebenarnya ia memiliki rencana menggempur propinsi Suruga, tetapi menurut pertimbangannya belum saat ini.
Ia masih ingin membersihkan wilayah kekuasaannya dari perusuh-perusuh seperti Saburo dan Mitsunari.
Sesudah itu, barulah ia akan menghimpun kekuatan untuk menaklukkan Imagawa.
"Konishiwa-san!"
Terdengar suara Nobunaga meng-guntur di ruang pertemuan itu.
Ia duduk di atas futon (kasur tipis rangkap dua) sambil membelai-belai burung elang pemburu kesayangannya.
Burung itu ber-tengger di atas lengan Nobunaga yang dilapisi kulit, sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, seakan tengah memamerkan keanggunannya.
"Ya, Tuanku,"
Sahut Konishiwa sambil bersujud.
"Keadaan ini tidak dapat dibiarkan. Kegagalan me-nangkap Saburo akan menjadi bahaya serius bagi ke-kuasaanku. Lebih-lebih kalau dia berhasil menghasut Imagawa yang bodoh untuk melawanku. Karena itu, sebelum terlambat, kita harus lebih dulu menghubungi Imagawa untuk menjalin persahabatan."
"Baik, Tuanku, apa yang harus saya lakukan?"
"Hari ini juga berangkatlah ke Suruga, bawalah ha-diah keramik, tembikar, dan rangkaian bunga untuk Imagawa. Sampaikan salamku padanya, dan sampai-kan harapanku untuk suatu saat dapat bertemu dan minum teh bersama."
"Baik."
Konishiwa membungkukkan badan hingga kepala-nya menyentuh lantai, kemudian berjalan mundur.
Sesudah kira-kira dua puluh meter dari tempat duduk Nobunaga, ia baru berdiri, lalu berjalan bergegas keluar.
Nobunaga menoleh pada Naoko yang duduk di sam-pingnya.
"Bagaimana menurut pikiranmu kalau aku meng-undang Imagawa untuk minum teh?"
"Saya rasa tidak ada buruknya."
"Imagawa sangat tersohor karena kepandaiannya menyeduh teh hijau, kudengar dia pernah belajar pada guru besar Izu, di kuil Hozoin. Tatacaranya menyeduh teh demikian sempurna sehingga upacara itu sendiri melipatgandakan kenikmatan teh yang disuguhkan."
"Bila dia dapat mengajarkan cara menyeduh teh pa-da saya, tentu kita akan mempunyai permainan baru."
"Itulah yang kuinginkan. Mudah-mudahan dia ber-sedia datang kemari untuk melakukan upacara persa-habatan."
"Kalau dia menolak?"
"Kaupikir apa yang akan kulakukan?"
"Mengirim sebanyak mungkin pasukan untuk me-naklukkannya."
Nobunaga tersenyum menyeringai.
Dia merasa sa-ngat puas dengan jawaban itu.
Dan jawaban seperti itu pula sesungguhnya yang membuat ia sangat menya-yangi Naoko.
Geisha tersebut sangat istimewa.
Bukan saja keahliannya bermain cinta, tetapi juga memiliki kecerdasan yang jauh lebih tinggi dibanding wanita Jepang pada umumnya.
"Hosokawa-san."
Terdengar suara Nobunaga meng-guntur. Hosokawa yang duduk bersimpuh sepuluh me-ter di depannya segera membungkukkan badan.
"Ba-gaimana tentang pengejaran terhadap Ishida Mitsuna-ri?"
Hosokawa bicara tanpa mengangkat kepala.
"Sampai detik ini saya belum mendengar berita apa pun tentang iblis berkaki satu itu. Namun saya telah menyebar hampir seratus orang untuk melacak tempat persembunyiannya. Mudah-mudahan tidak sampai sa-tu minggu sudah ada berita tentang jahanam itu."
"Aku sudah tidak sabar lagi untuk dapat meludahi wajahnya. Keberanian Ishida membakar rumah di de-pan hidungku, benar-benar tak dapat diampuni. Ka-rena itu merongrong kewibawaanku. Oleh sebab itu, sangat kuharapkan pasukanmu segera menangkapnya hidup atau mati."
"Benar, Tuanku."
Nobunaga menoleh pada burung elangnya, lalu membelai-belai lehernya dengan penuh kasih sayang.
Ketika menatap mata burung itu, tiba-tiba muncul keinginan berburu di benak Nobunaga.
Suatu hobi yang telah lama tak ia lakukan.
Sejak ia memper-siapkan penyerbuan ke Kamakura, tidak ada lagi wak-tu untuk berburu.
Padahal bila melihat elang kesayangannya mencabik-cabik seekor babi hutan, Nobunaga selalu membayangkan burung tersebut tengah me-robek-robek musuhnya.
Dulu, setiap kali burung tersebut mencabik-cabik binatang buruannya, Nobunaga membayangkan tubuh Ashikaga yang dilumatkan bi-natang tersebut.
Dan sekarang, ia membayangkan bu-rungnya mematuki Saburo Mishima atau Ishida Mit-sunari.
"Hosokawa-san."
"Baik, Tuanku."
"Siapkan dua puluh lima samurai terbaik, aku ingin berburu babi hutan. Dan kau sebaiknya ikut denganku."
"Baik."
Nobunaga menoleh pada geisha kesayangannya.
"Bagaimana denganmu? Apakah engkau akan ikut de-nganku berburu babi hutan?"
Naoko menjawab.
"Tentu. Saya tak ingin berpisah denganmu."
"Berburu buatku selalu menyenangkan, karena memberi kepandaian menyusun siasat. Tanpa ke-biasaanku untuk berburu, barangkali Istana Kama-kura saat ini belum menjadi milik kita."
"Kapan kita akan berangkat?"
"Besok pagi."
"Baiklah. Saya akan mengatur segala sesuatunya agar perjalanan itu jadi menyenangkan." *** PEMBANTAIAN YOSHIOKA berjalan tanpa bicara. Wajah dan lehernya berkeringat. Burung-burung gagak hitam yang dilihat-nya melayang-layang di langit membuatnya ngeri. Di benaknya terbayang paruh-paruh yang runcing me-lengkung itu mencabik-cabik ketiga samurai Ryoken. Mereka telah jauh berjalan. Lewat hutan Kripto-meria yang lebat mereka kini sampai di depan dataran yang melandai, berombak-ombak menuju Bukit Asigura. Di sebelah kiri, tampak Gunung Harikasa menju-lang tinggi. Di atas puncak gunung itu terlihat awan menggantung seperti caping jerami. Di sepanjang jalan yang kini mereka lewati, tampak kuil-kuil kecil yang tampak bersih. Di depan gerbang kuil itu, tampak buah-buahan dan roti sesaji. Karena merasa lapar, Yoshioka menghampiri sesaji itu, lalu mengambil beberapa buah dan roti. Ia berlari kembali di dekat Saburo sambil makan buah-buahan.
"Apa engkau mau?"
Ia bertanya pada Saburo.
"Tidak,"
Jawab Saburo pendek.
"Kenapa? Ini enak."
"Aku percaya makanan yang dicuri dari kuil mem-bawa kutukan. Aku takut terkutuk. Kalau kau nanti terkutuk, jangan menyalahkan aku."
Serta-merta Yoshioka membuang buah-buahan dan roti yang ada di tangannya. Saburo menoleh.
"Kenapa dibuang?"
Yoshioka menjawab.
"Aku juga tak mau terkutuk."
Saburo tersenyum, lalu mulai memunguti buah-buahan dan roti yang dibuang oleh Yoshioka. Kemu-dian dengan tenang mulai memakannya.
"Hei, katanya engkau takut terkutuk?"
Kata Yo-shioka heran melihat Saburo dengan tenang makan buah-buahan itu.
"Tadi kan kukatakan aku takut terkutuk kalau mengambil buah dan roti dari kuil,"
Jawab Saburo sambil tersenyum.
"Buah dan roti ini kan kuambil dari jalanan."
"Sial!"
Yoshioka merutuk.
Sementara Saburo terta-wa bergelak-gelak.
Mereka terus berjalan menuju Bukit Asigura.
Data-ran yang kini mereka lewati membentang luas, berombak-ombak seperti gelombang.
Di beberapa tempat terlihat semak belukar yang tidak subur.
Di dahan-dahan pohon kering yang tumbuh di situ terlihat sejumlah burung bulbul yang sedang istirahat.
Suaranya berisik, mirip ceriap anak-anak ayam.
"Kojiro!"
Saburo memanggil Yoshioka. Sejak menjadi shugyosa, Saburo membiasakan diri memanggil Yoshioka dengan Kojiro.
"Apa?"
"Rasanya menyenangkan berjalan di dataran seperti ini. Sepertinya setiap langkah kita diiringi nyanyian burung bulbul."
"Burung bulbul?"
"Ya. Rupanya mereka senang bersarang di tempat seperti ini."
Yoshioka tidak menjawab.
Ia hanya memandangi burung-burung bulbul yang beterbangan dari dahan yang satu ke dahan lainnya.
Binatang itu tampak gelisah.
Dari tingkah burung bulbul itu, sebenarnya Saburo menangkap suatu keanehan yang mencurigakan.
Tetapi ia tak ingin membuat Yoshioka panik.
Hanya sa-ja, tangan kirinya segera mendorong pedang sedikit keluar dari sarungnya.
Ia tetap berjalan, namun kini bersikap lebih waspada.
"Kojiro,"
Saburo memanggil.
"Ada apa?"
"Sebaiknya kau tetap di sampingku."
"Kenapa?"
"Burung-burung bulbul itu tampak gelisah, kurasa ada yang membuatnya bertingkah seperti itu. Kecuali itu, tempat ini demikian terbuka, sangat cocok untuk melakukan penyergapan."
Baru saja Saburo diam, dari balik semak belukar berloncatan sejumlah samurai mengepungnya.
"Saburo!"
Saburo berhenti.
Ia mengenali orang yang menyebut namanya.
Tak salah lagi, dia adalah Seichi Okawa, pengawal Konishiwa.
Rupanya samurai itu berhasil ju-ga mengikuti jejaknya, bahkan dengan cara sebaik-baiknya ia berhasil mendahului Saburo, kemudian mencegatnya.
Yoshioka akan mencabut pedangnya, tetapi Saburo mencegahnya.
"Kojiro! Masukkan kembali pedangmu."
"Kenapa?"
"Masukkan. Kau tidak membutuhkannya."
Saburo melangkah ke depan, menghadapi Okawa.
Sekilas ia dapat memperkirakan kekuatan musuh sekitar dua puluh orang.
Mereka terdiri para ronin yang diangkat menjadi pasukan istana.
Dari cara mereka menggenggam pedang pun, Saburo dapat mengukur kemampuan musuhnya.
Tak seorang pun yang benar-benar pemain pedang sejati.
Hanya Seichi Okawa yang cukup baik.
Samurai yang pakaiannya rapi dan Me-nyandang tiga bilah pedang itu seorang pemain pedang yang mengagumkan.
Dia dapat memainkan dua bilah pedang sekaligus.
Tangan kanan dan tangan kirinya terlatih sama baiknya.
Okawa berumur sekitar dua puluh tiga tahun.
Masih muda dan kurang pengalaman.
"Apakah anak yang bersamamu putra Ashikaga?"
Okawa bertanya.
"Bukan. Dia anakku -Kojiro."
"Kalau begitu di mana Yoshioka-san?"
"Kukira kalian telah membunuhnya."
"Sayang sekali aku gagal menangkapnya ketika itu. Ada orang yang menyelamatkannya."
"Kalau begitu, biarkan aku meneruskan perja-lanan,"
Kata Saburo tanpa tekanan.
"Bukankah yang kaucari adalah Yoshioka?"
"Sebenarnya begitu. Tetapi kepalamu pun sama ber-harganya dengan kepala Yoshioka-san."
"Kalau begitu kenapa engkau tidak segera mela-kukannya?"
"Jangan takut,"
Kata Seichi Okawa tajam.
"Akan se-gera kulakukan."
Kedua puluh samurai pengikut Okawa segera me-nyusun posisi untuk menghadapi sebuah pertem-puran.
Mereka telah mencabut pedang sambil menge-lilingi Saburo.
Dengan langkah kaki mantap, Saburo segera berjalan ke tengah kepungan untuk menjauh-kan Yoshioka dari perhatian musuh.
Semua ronin mempersiapkan serangan.
Mata me-reka bersinar-sinar, penuh nafsu membunuh.
Seichi Okawa telah mencabut kedua pedangnya, ia mengha-dang Saburo langkah demi langkah, seakan-akan siap menerkam.
Cukup lama suasana sunyi berkecamuk menye-sakkan.
Kedua belah pihak menyadari semakin men-dekatnya hawa kematian.
Wajah Saburo menjadi pu-cat.
Sinar matanya menyorotkan sinar mata dewa ke-matian, berkilat penuh nafsu membunuh.
Ia terus bergeser, seperti seekor harimau yang sedang memilih korbannya.
Saburo menyadari, dia harus menggebrak kepungan itu, terutama untuk menekan musuh agar mereka me-lupakan Yoshioka.
Karena itu dengan kecepatan tidak terduga, Saburo meloncat menerjang musuh-musuhnya.
Ia seperti jago aduan, menebaskan pedang ke musuh yang berada di belakangnya.
Terdengar bunyi seperti letupan sumbat botol, dan tanah pun memerah darah.
Kemudian terdengar suara mengerikan, bukan teriakan perang, tetapi lolongan yang membekukan darah.
Tubuh samurai yang menjadi korban pertama, ambruk ke tanah dengan kepala terbelah.
Pedang Saburo mendesing ke kanan ke kiri, suara tebasan serta ayunannya seperti desis angin.
Kecepatan dan akurasi serangannya tidak terduga, sehingga musuh-musuhnya berhasil digoyahkan keyakinannya.
Sesekali terdengar suara pedang gemerincing, darah dan otak berceceran di tanah.
Raung kematian seakan tidak terputus, seiring dengan tubuh-tubuh terjungkal di tanah.
Jari dan tangan beterbangan terkena tebasan, sementara nyawa melayang diiringi raungan yang memilukan.
Seichi Okawa berusaha mencari celah di mana ia dapat menyerang Saburo, namun peluang itu tak per-nah didapat.
Ia tersentak melihat di depannya terjadi penyembelihan besar-besaran.
Para samurai yang menyaksikan tubuh temannya bergelimpangan, kini mu-lai kehilangan keyakinan.
Ini dimanfaatkan oleh Saburo.
Dengan buas ia menebaskan pedang ke arah sa-murai yang berada di dekatnya.
Saburo hampir tak menyadari apa yang sedang di-lakukannya.
Ia seperti kesurupan, dalam mimpi penuh pembunuhan, di mana tubuh dan nyawanya terpusat hanya pada pedangnya yang semeter panjangnya.
Tak pernah ia sadari, bahwa seluruh pengalaman hidupnya (sejak ia berlatih kendo bersama ayahnya, pertarungan dengan murid-murid Perguruan Yagyu, kemampuannya mengatur siasat sebagai panglima Ashikaga, dendam atas kematian istrinya, dan disiplin yang ia jalani selama dalam persembunyian) semua kini berbaur menjadi satu kekuatan mukjizat yang sangat mengerikan.
Ia menjadi tiupan angin pusaran yang menerjang kawanan ronin, yang karena ketakutan menjadi sasaran empuk pedang Saburo.
Tubuh mereka berteba-ran dengan semburan darah dari luka yang menganga.
Pertarungan itu terjadi sangat cepat dan mengeri-kan, sehingga beberapa kali Yoshioka terpaksa menutup mata menyaksikan tubuh musuh yang terguling dengan tubuh terkoyak.
Saburo kini berdiri di tengah mayat-mayat yang bergelimpangan.
Tubuhnya basah kuyup oleh darah musuhnya.
Beberapa ronin yang terluka tetapi masih hidup bermandikan darah kental sambil mengerang-erang.
Tanah, dan bahkan udara berbau darah.
Kini tinggal Seichi Okawa yang masih berdiri tegak.
Se-sungguhnya, orang yang melihat pembantaian seperti itu, pasti akan memilih menyingkir menghindari pertarungan.
Namun itu tak terjadi dengan Okawa.
Sebagai seorang samurai sejati, ia justru berdiri tegak siap menghadapi terjangan lawan.
Saburo menatap Okawa dengan tajam.
Napasnya naik turun dalam getaran irama yang tidak tetap.
Ia menyadari kini menghadapi pemain pedang aliran Kyoto, suatu aliran yang pada awalnya diciptakan seorang pendeta Budha.
Permainan pedang Okawa sangat mengutamakan kecepatan dan kelincahan, karena itu biasanya samurai aliran Kyoto bertubuh kurus.
Dengan memahami gaya pedang Okawa, Saburo se-gera berlari keluar dari lingkaran tubuh-tubuh ronin yang bergelimpangan bermandikan darah.
Untuk menghadapi Okawa, ia membutuhkan ruang gerak yang le-bih luas.
Seichi Okawa berlari mengikuti Saburo.
Kemudian seperti dua ekor elang, mereka saling menerjang dengan sabetan pedang masing-masing, terdengar suara gemerincing ketika pedang beradu.
Saburo dengan cepat mencabut pedang pendeknya untuk meng-imbangi permainan pedang Okawa.
Dan seperti yang sudah dibayangkan, Okawa memang seorang pemain pedang yang menakjubkan.
Ia menyerang berputar-putar seperti sedang menari.
Tubuhnya ringan, seperti tidak pernah menyentuh tanah.
Setiap kali bergerak, ia mengirimkan tikaman dan tebasan sekaligus.
Sera-ngannya berlangsung cepat dan bertubi-tubi, sehingga Saburo tak pernah memiliki kesempatan menyerang.
Ia terlalu sibuk menangkis dan mengelak.
Harus ada satu cara untuk menghentikannya, kata Saburo dalam hati.
Harus ada.
Tak peduli bagaimana caranya.
Dengan kecepatan pikirannya, Saburo segera berlari ke lereng bukit pasir.
Mereka kini berdiri di lereng bukit itu dengan napas memburu.
Strategi Saburo sekali lagi terbukti jitu.
Lereng pasir itu dapat meredam kelincahan musuhnya.
Kecuali miring, hamparan pasir itu menenggelamkan kaki Seichi Okawa sehingga ia tidak segesit tadi.
Kedua kakinya yang mengenakan sandal jerami, terbenam ke dalam pasir, sehingga mengurangi kecepatannya bergerak.
Saburo segera mengubah taktik.
Kalau tadi ia men-coba mengelakkan serangan Okawa, kini sebaliknya, ia mengambil inisiatif untuk menyerang.
Ia menggempur musuhnya dengan mengandalkan kekuatan.
Saburo berdiri sejajar dengan Okawa.
Tangannya mencengke-ram gagang pedang yang lengket oleh darah kental.
Campuran darah dan keringat di wajahnya agak me-ngaburkan pandangannya, tetapi ia mulai meyakini, kemenangan berada di pihaknya.
Setelah mereka ber-hadapan di lereng bukit pasir, Okawa tidak seganas tadi.
Gerakannya menjadi lambat, sehingga memberikan peluang untuk Saburo mengirim serangan.
Seichi Okawa sendiri mulai goyah.
Ia menyadari di-rinya terperangkap muslihat Saburo.
Tetapi sekarang sudah terlambat.
Keadaan ini membuat ia bimbang.
Beberapa saat ia hanya bergeser ke kanan ke kiri sambil terus mengawasi Saburo.
Okawa belum pernah bertarung di atas hamparan pasir, dan ini ternyata menimbulkan kesulitan baginya.
Di saat kebimbangan itu masih mengoyak pikiran-nya, Saburo telah menerjang dengan jurus 'Membelah Rembulan'.
Ayunan pedang itu demikian kuat, sehingga ketika menangkis serangan itu, Okawa terdorong ke belakang.
Kaki kirinya terbenam di pasir kering hingga membuat keseimbangannya berkurang.
Dalam seper-sekian detik Saburo telah membabatkan pedangnya.
Terdengar suara berderak diikuti melayangnya lengan kanan Seichi Okawa.
Laki-laki itu menjerit ketika menyadari lengannya telah terpenggal.
Darah mengucur deras.
Okawa mendekap lengannya dengan putus asa.
Ia menancapkan pedangnya di pasir, lalu memegangi lengannya.
Ketika lelaki tersebut menoleh, ia melihat Saburo telah menyarungkan kembali pedangnya.
"Engkau seorang pemain pedang yang baik,"
Kata Saburo sambil menatap Seichi Okawa.
"Tetapi alam berpihak padaku."
"Kenapa kau tidak membunuhku, Saburo?"
"Tidak ada gunanya. Kuanggap kau sudah mati."
Saburo kemudian berjalan menuruni lereng bukit menuju ke tempat Yoshioka menunggu.
"Aku akan terus mencarimu,"
Kata Seichi Okawa de-ngan suara bergetar.
"Aku akan membalas kekalahan ini."
Saburo tidak mempedulikannya. Ia melihat Yoshi-oka berjalan menyongsong dengan wajah keheranan.
"Kenapa engkau tidak membunuhnya?"
"Untuk apa?"
"Tetapi kudengar dia mengancam untuk membalas dendam."
"Dia memerlukan waktu lebih dari sepuluh tahun untuk melaksanakan niatnya. Pada saat itu barangkali kita sudah mati."
Yoshioka berdiri termangu menatap Seichi Okawa yang masih terduduk di pasir mencoba menghentikan aliran darahnya. Sekilas mata mereka bertatapan, dan Yoshioka melihat api dendam membara di matanya. Api dendam yang tidak mungkin padam.
"Kojiro!"
Yoshioka berpaling. Ia melihat Saburo berdiri me-nunggu.
"Mari kita cepat pergi. Aku perlu mencari air untuk membersihkan diri."
Gagak-gagak sudah berkaok-kaok di langit ketika Yoshioka berlari mengejar Saburo.
Ia tahu sebentar la-gi di tempat itu akan terjadi pesta pora.
Dan anak itu merasa ngeri membayangkan tubuh-tubuh para ronin itu dicabik-cabik burung gagak.
*** Mereka menemukan sebuah sungai yang mengalir di balik Bukit Asigura.
Sungai itu tidak besar, bahkan lebih cocok disebut anak sungai, tetapi airnya jernih.
Kepiting dan ikan-ikan kecil yang berenang di dalam air, tampak jelas.
Yoshioka mengagumi pemandangan itu.
Sambil menunggu pakaian yang mereka cuci ke-ring, anak itu bermain-main di dalam air.
Ia mencoba menangkap ikan marabu yang kelihatan jinak.
Tetapi Yoshioka selalu gagal menangkap ikan tersebut karena begitu ditangkap, ikan-ikan itu melesat seperti anak panah.
Bagi Yoshioka bermain-main di sungai sungguh me-nyenangkan.
Dulu ketika masih tinggal di istana, ia tak pernah memiliki kesempatan bermain seperti itu.
Hari-harinya dipenuhi pelajaran kendo, menulis puisi, dan melukis.
Saburo Mishima membiarkan Yoshioka bermain se-mentara ia berendam di sungai.
Ia membiarkan arus deras menerpa tubuhnya.
Matahari yang bersinar ga-nas membuat air tidak terasa dingin.
Karena itu Sabu-ro berendam sepuas-puasnya.
Ia membersihkan perci-kan darah di tubuhnya.
Pakaiannya yang basah ia jemur di atas batu yang banyak terdapat di tengah sungai.
Pakaiannya tadi terpercik banyak darah, sehingga ia terpaksa mencuci dengan buah jarak.
Yoshioka heran menyaksikan Saburo menghancurkan buah itu, kemudian mulai mencuci.
Buah tersebut meng-hasilkan busa, seperti sabun.
"Buah apa itu?"
"Buah jarak."
"Bagaimana engkau tahu bahwa buah ini dapat di-gunakan mencuci?"
"Dulu, sebelum aku menjadi pasukan Ashikaga, aku tinggal di desa. Kami selalu mencuci pakaian dengan buah ini."
"Apakah buah ini tumbuh di seluruh Jepang?"
"Entahlah. Aku belum pernah berkeliling ke seluruh Jepang. Tetapi di tempat-tempat yang pernah kukun-jungi, pohon ini tumbuh subur. Biasanya di tepi sungai. Tetapi kau harus hati-hati untuk mengambilnya."
"Kenapa?"
"Selain getahnya tidak bisa hilang jika mengenai pakaianmu, ular senang tinggal di bawah pohon jarak. Mungkin karena daunnya lebar, sehingga pohon jarak sangat rindang."
Saburo berendam menikmati kesegaran air yang menerpa tubuhnya.
Sehabis pertarungan yang mele-tihkan itu, dengan berendam di sungai, ia merasakan tubuhnya segar kembali.
Sambil tetap berendam ia merenungkan peristiwa pencegatan yang dipimpin Seichi Okawa.
Kejadian itu menyadarkan Saburo tentang pengejaran yang dilakukan Nobunaga terhadapnya.
Dari jarak yang ditempuh Okawa, jelas pengejaran itu hampir sampai di wilayah Suruga.
Ini berarti Nobunaga bertekad dengan sungguh-sungguh menangkap di-rinya.
Dari pencegatan itu, Saburo menyimpulkan, Nobunaga berusaha menangkap dirinya sebelum mema-suki Suruga.
Karena bila ia telah masuk ke wilayah kekuasaan Imagawa, persoalannya akan menjadi lebih rumit bagi Nobunaga.
Kalau begitu lebih baik aku secepatnya memasuki Suruga, Saburo menyimpulkan.
Bila benar dugaanku, Suruga akan menjadi tempat yang aman bagi Yoshioka.
"Kojiro!"
"Apa?"
"Apa pakaian kita sudah kering?"
Yoshioka berjalan ke tempat mereka menjemur pa-kaian. Ia memeriksa sebentar.
"Belum,"
Katanya pada Saburo.
"Sebentar lagi."
Ketika matahari mulai merayap tenggelam, mereka sudah berjalan menyusuri anak sungai itu.
Seperti biasa Saburo berjalan membisu.
Yoshioka melangkah bergegas di sampingnya.
Udara sore sangat cerah, burung-burung beterbangan sambil berceriap di ranting-ranting pohon.
Seekor ular melata di depan mereka, menerobos ke semak belukar.
Yoshioka hampir melompat karena kaget.
Belum pernah ia berhadapan dengan ular selama hidupnya.
Tetapi karena ular itu juga ketakutan, mereka meneruskan perjalanan.
Selagi mereka berjalan membisu, terdengar ada da-han berderak terinjak kaki.
Secara naluriah Saburo menghentikan langkah Yoshioka, kemudian menariknya ke arah semak.
Dengan tangan kirinya, Saburo mendorong pedangnya keluar seinci, siap ditarik bila memang mereka menghadapi bahaya.
Yoshioka juga ikut-ikutan menggenggam erat pedangnya.
Dugaan mereka keliru, karena di depan mereka tampak seorang gadis berumur sekitar tiga belas tahun dengan mengenakan kimono warna biru muda.
Obi kecil yang membelit pinggangnya, walaupun di beberapa tempat sudah bertambal, namun tampak jelas terbuat dari kain brokat.
Di tengah kesunyian itu, gadis tersebut jadi tampak seperti peri air yang ganjil.
Saburo dan Yoshioka bernapas lega.
Mereka berdiri pelan-pelan.
Saat itu gadis tersebut tiba-tiba berpaling.
Ia tampak terkejut melihat orang lain di tempat itu.
Sinar matanya yang berbinar-binar menatap penuh ke-curigaan.
Beberapa saat mereka bertatapan, kemudian Sabu-ro bertanya.
"Siapa kamu?"
Gadis itu menatap curiga, berdiri, lalu berlari meninggalkan tempat itu.
"Berhenti!"
Seru Saburo.
"Kami tidak bermaksud ja-hat padamu. Berhentilah."
Tetapi gadis itu telah lenyap. Ia sudah berlari di antara rumpun bambu yang tumbuh di tepi sungai. Obi di kimono biru yang dikenakannya tampak seperti sayap kupu-kupu yang terbang menjauh.
"Apakah dia hantu?"
Yoshioka bertanya. Panda-ngannya kosong ke arah lari gadis itu.
"Dia bukan hantu. Tadi kuperhatikan kakinya meng-injak tanah. Kurasa dia gadis yang tinggal di dekat si-ni."
"Kenapa dia lari?"
"Mungkin takut melihat kita."
Setelah berhenti sejenak, mereka kemudian berjalan terus menyusuri tepi sungai itu.
Di sebuah tikungan, mereka melihat sebuah kolam yang menghampar luas.
Di tepi kolam itu tampak sebuah rumah berpagar bam-bu yang lampunya telah menyala.
Saburo dan Yoshioka saling berpandangan.
Kemu-dian mereka berjalan mendekati rumah tersebut.
Ru-mah itu ternyata bukan rumah biasa.
Dindingnya terbuat dari tembok tanah tebal.
Pintu gerbang pagarnya terbuat dari kayu ek warna coklat.
Di belakang bangu-nan utama, terdapat gudang dan kandang kuda yang kosong.
Di dekatnya tampak tempat minum kuda dan tumpukan jerami kering.
Dilihat dari bentuk bangunan itu, Saburo menduga, setidaknya rumah tersebut milik seorang petani yang cukup kaya.
Saburo menyapukan pandangan ke sekeliling tem-pat itu, mencoba memperhitungkan kemungkinan ada penyergapan.
Sesudah yakin semua aman, ia men-dekati pintu, lalu mengetuk.
Tak ada jawaban.
Rumah tersebut tetap sepi, se-perti tak berpenghuni.
Sekali lagi Saburo mengetuk.
Kini ia mendengar su-ara berbisik-bisik di belakang pintu.
Kemudian dengan suara berderit, pintu itu terbuka.
Seorang perempuan setengah baya tampak melongokkan kepala.
"Siapa kalian?"
Ia bertanya.
"Kami shugyosa. Samurai pengembara."
"Shugyosa? Pergilah dari sini. Saya tak ingin men-dapat kesulitan gara-gara kalian."
"Kami tidak bermaksud menimbulkan kesulitan. Kami hanya membutuhkan istirahat sebentar dan air minum untuk bekal, setelah itu kami akan mene-ruskan perjalanan."
Wanita tersebut menatap Saburo dengan penuh cu-riga.
Pendekar Rajawali Sakti Misteri Hantu Berkabung Pendekar Romantis Hancurnya Samurai Cabul Pendekar Rajawali Sakti Iblis Lembah Tengkorak