Ceritasilat Novel Online

Tiga Makam Setan 1


Wiro Sableng Tiga Makam Setan Bagian 1


Ebook by Acisx BAB Malam hari di satu pekuburan dekat Candi Pawan.

   Bidadari Angin Timur sesaat masih menatap wajah cantik gadis bermata biru di hadapannya.

   Setelah itu tanpa bicara dan menunggu lebih lama dia segera berlalu, membuat rasa tidak enak dalam hati orang yang ditinggalkan.

   Ratu Duyung menghela nafas dalam.

   "Kukira sejak pertemuan terakhir hatinya benar-benar polos terhadapku. Agaknya dia masih menyimpan ganjalan..."

   Sambil berkata sendirian seperti itu Ratu Duyung melirik ke lubang yang terkuak akibat dijebol kaki Bidadari Angin Timur.

   Bola mata biru sang Ratu mendadak membesar.

   Tanah kubur yang kini membentuk lobang itu dilihatnya bergerak-gerak, seolah ada sesuatu yang hidup di bawah permukaannya.

   Ratu Duyung mengerenyit, bungkukkan badan sedikit.

   Memperhatikan lebih tajam, tak berkesip.

   Tiba-tiba satu tangan mencuat keluar dari dalam makam.

   Ratu Duyung terpekik keras.

   Nyawanya serasa terbang dan tubuhnya laksana didorong sampai tiga langkah ke belakang.

   Tangan yang mencuat dari dalam kubur itu adalah sebuah tangan kiri.

   Keluar makin panjang, bergerak naik ke atas.

   Lalu muncul menyeruak sebuah bahu.

   Bahu ini bergerak pula ke atas, tangan yang menjulur mengapai-gapai.

   Tanah kuburan mumbul naik ke atas, terbelah menguak.

   Bersaman dengan itu satu sosok entah masih bernama manusia entah setan melesat keluar dibarengi suara jeritan dahsyat! Ratu Duyung terpekik, tersurut hampir jatuh duduk di tanah.

   Dua bola matanya terpentang lebar.

   Walau diketahui dia adalah seorang gadis sakti berkepandaian tinggi, namun menyaksikan apa yang ada di hadapannya, tengkuknya terasa dingin.

   Sekujur tubuhnya dijalari rasa takut luar biasa.

   Tangan kanannya serta merta bergerak ke pinggang, memegang gagang cermin sakti.

   Bersikap waspada terhadap makhluk aneh mengerikan di atas lubang kuburan.

   Di hadapan Ratu Duyung saat itu tegak satu makhluk berujud nenek luar biasa menyeramkan.

   Dia mengenakan sehelai jubah hijau yang tak pantas lagi disebut pakaian karena tersingkap robek di sana-sini.

   Selain itu tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki tertutup tanah kuburan.

   Kulit muka, dada dan perutnya yang tidak tertutup tanah memutih mengelupas.

   Hidungnya hanya merupakan satu gerumpungan besar.

   Lalu mata kanannya hanya berbentuk satu rongga lebar, sebagian tersumpal tanah kuburan.

   Makhluk ini tidak memiliki tangan kanan alias buntung.

   Tetapi di keningnya menempel satu potongan tangan yang ternyata adalah kutungan tanan kanannya sendiri! Ratu Duyung tidak dapat memastikan makhluk apa sebenarnya yang ada di depannya saat itu.

   Jika manusia, mengapa keadannya seperti itu.

   Kalau setan apa perlunya mendekam di dalam makam lalu unjukkan diri! Makhluk yang dua kakinya masih berada sebatas betis di dalam tanah kuburan itu gerakkan tangan kiri untuk membuang tumpukan tanah yang menutupi mata kirinya.

   Mata yang cuma satu itu lalu bergerak liar jelalatan.

   Sepertinya dia masih belum melihat atau belum menyadari kalau ada Ratu Duyung tegak dalam gelap, beberapa langkah di hadapannya.

   Tiba-tiba makhluk ini menyembur.

   Membuat Ratu Duyung kembali tersentak kaget dan tekap mulutnya menahan pekik.

   Rupanya ada tanah yang menyumpal dalam mulut mahkluk di atas kuburan.

   "Malam hari ... Gelap... Aku berada di mana...?"

   Mahkluk nenek menyeramkan keluarkan suara. Ratu Duyung merasa nafasnya seolah terhenti.

   "Astaga, setan ini ternyata bisa bicara... Dia mengucapkan sesuatu. Tidak tahu berada di mana. Aneh..."

   Kata Ratu Duyung tercekat dalam hati.

   Tangan kiri mahkluk seram bergerak sekali lagi memebersihkan tanah yang menutupi wajahnya.

   Semakin tersingkap muka itu, semakin menggidikkan kelihatan gerumpung hidung dan bolongan mata kananya.

   Lalu dari mulutnya kembali terdengar suara.

   "Kekasihku... di mana kau...?"

   Ratu Duyung melengak dalam kejutnya.

   "Kekasihku?"

   Ratu Duyung berucap dalam hati, ada rasa heran di bawah tindihan rasa takutnya.

   "Dia mencari kekasihnya?! Setan apa ini? Tangan kanan di atas kening. Aku... Di kubur ini tadi Bidadari Angin Timur kulihat melakukan sesuatu. Apa dia punya ilmu memelihara setan hendak mencelakai diriku? Aku..."

   Tiba-tiba untuk pertama kalinya mata kiri mahkluk mengerikan itu membentur sosok Ratu Duyung. Mata itu memancarkan kilatan menggidikkan.

   "Kau siapa?!"

   Satu bentakan menyembur dari mulut si nenek muka setan.

   "Kau yang siapa?!"

   Entah bagaimana dalam takutnya Ratu Duyung malah bisa balas menghardik. BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN "Eh?!"

   Mahkluk yang dihardik sesaat terdiam.

   Tapi matanya makin berkilat menyoroti Ratu Duyung.

   Perlahan-lahan dia keluarkan dua kakinya yang masih menancap di dalam tanah kuburan.

   Ratu Duyung mengawasi gerakan orang tanpa berkedip.

   Bukan mustahil makhluk ini tiba-tiba melompatinya, mencekiknya atau menggigit leher dan menghisap darahnya! Berdiri di tepi kuburan si makhluk seram diam tak bergerak, kembali pandangi Ratu Duyung.

   "Matamu sama biru, wajahmu sama cantik. Tapi kau bukan Peri Angsa Putih..."

   "Siapa Peri Angsa Putih?!"

   Ratu Duyung beranikan diri bertanya.

   "Kau tidak tahu siapa Peri Angsa Putih... ini adalah aneh. Berarti saat ini aku..."

   Si nenek muka setan palingkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Matanya yang cuma satu berputar angker lalu menatap ke arah Ratu Duyung.

   "Kau sendiri tidak mau memberitahu siapa dirimu. Jangan kira aku tak bisa memaksa. Tapi saat ini aku ingin tahu satu hal! Lekas katakan diamana aku berada?!"

   "Kau lihat sendiri, kau berada di kawasan pekuburan. Kau barusan keluar dari dalam makam itu!"

   Ratu Duyung menjawab.

   "Walau mataku cuma satu tapi aku tidak buta!"

   Bentak makhluk di pinggir kubur.

   "Aku tahu aku berada di pekuburan. Malam hari... Tapi... Katamu aku barusan keluar dari dalam kubur? Hah?! Apa yang terjadi?! Apa aku sudah mati? Kalau sudah mati mengapa bisa hidup lagi?!"

   Mata kiri si nenek menatap garang.

   "Kau jangan menipuku!"

   Membentak si nenek setan.

   "Memangnya aku menipu apa?!"

   Sahut Ratu Duyung seraya perlahan-lahan bangkit berdiri. Lalu dia berucap.

   "Kau yang menipuku dengan ujud anehmu! Kau ini manusia atau setan kuburan atau roh yang tidak diterima alam gaib?!"

   Si nenek keluarkan suara menggembor. Dia hendak mendamprat, tapi mendadak ingat seseorang.

   "Kekasihku... Dimana kau..."

   Si nenek kembali memandang berkeliling dengan matanya yang cuma satu.

   "Tak ada siapa-siapa di tempat ini selain dirimu... Kalau aku masih berada di..."

   "Kekasihku?"

   Membatin Ratu Duyung.

   "Setan bangkai tua ini punya kekasih? Aku harus cepat mengetahui siapa dirinya".

   "Makhluk aneh, tangan di atas kening! Terangkan siapa kau adanya? Setan atau roh yang kesasar atau memang masih bisa kusebut menusia?!"

   "Perduli setan semua pertanyaanmu. Aku juga tak kenal dirimu. Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Aku tadi bertanya. Kau tidak menjawab. Jika kau tidak mau memberitahu berarti kau minta celaka!"

   Si nenek maju satu langkah.

   "Makhluk salah kaprah! Jika kau setan atau roh sesat harap kembali ke alammu. Tapi jika kau memang manusia adanya jangan berani mengancam diriku. Segera tinggalkan tempat ini!"

   "Kau tidak mau mengancam tapi bicara mengancam! Hik... hik... hik! Walau kau cantik tapi lama-lama aku muak juga melihatmu. Coba kau layani dulu sentilan jariku ini!"

   Begitu ucapannya berakhir si nenek sentilkan jari telunjuk tangan kirinya.

   "Wuttt!"

   Selarik sinar hitam menderu ke arah Ratu Duyung.

   Untungnya sejak tadi sang Ratu telah berlaku waspada.

   Begitu sinar hitam berkelebat disertai deru keras, tangan kananya yang telah menggenggam gagang cermin bulat bergerak.

   Cermin sakti itu sengaja tidak dikeluarkannya dari balik pakaian, hanya diputar menghadap ke arah datangnya serangan sinar hitam.

   "Wussss!"

   Serangkum cahaya putih berkiblat.

   Pekuburan itu sesaat menjadi terang benderang.

   Lalu menggelegar satu letusan keras begitu cahaya putih yang keluar dari cermin sakti beradu dengan sinar hitam sentilan si nenek setan.

   Ratu Duyung terjajar surut sampai tiga langkah.

   Cermin bulatnya bergetar hebat.

   Tangannya yang menggenggam gagang cermin terasa panas.

   Dadanya seperti ditindih sesuatu.

   Cepat dia atur jalan darah dan alirkan hawa sakti ke tangan kanan.

   Di depan sana makhluk berujud nenek menyeramkan terpental, keluarkan jeritan keras lalu terhenyak jatuh di atas sebuah kubur, mematahkan papan nisannya yang sudah rapuh.

   Sekali lagi si nenek menjerit lalu tubuhnya melompat.

   Di lain saat dia sudah berdiri lagi hanya tujuh langkah dari hadapan Ratu Duyung.

   Jubah hijaunya mengepulkan asap, hangus di beberapa bagian! Mata kiri si nenek laksana dikobari api, memandang menggidikkan ke arah Ratu Duyung.

   Ratu Duyung sendiri saat itu sempat tertegun heran.

   "Luar biasa. Orang lain bagaimanapun tingkat kesaktiannya pasti akan cidera dihantam cahaya putih cermin saktiku. Makhluk ini hanya hangus pakaiannya. Tadi aku hanya mengerahkan sepertiga tenaga dalam dan hawa sakti. Mungkin aku harus melipat gandakan kekuatan...."

   "Matamu sama biru dengan mata Peri Angsa Putih... Cahaya putih ilmu kesaktianmu sama hebatnya dengan pukulan sakti Peri Angsa Putih. Apa hubunganmu dengan Peri itu?!"

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN "Aku tidak kenal dengan makhluk yang kau sebutkan itu!"

   Jawab Ratu Duyung. Penuh waspada dia lipat gandakan tenaga dalam dan alirkan ke tangan kanan yang memegang gagang cermin bulat sakti.

   "Kalau begitu siapa kau sebenarnya?!"

   "Nenek setan! Kau yang harus menerangkan siapa dirimu adanya!"

   Bentak Ratu Duyung. Kau pasti peliharaan atau kaki tangan Bidadari Angin Timur yang hendak mencelakai diriku!"

   "Bidadari Angin Timur?"

   Mata kiri si nenek berputar.

   "Kau menyebut nama yang aku tidak kenal...."

   "Kalau begitu lekas terangkan siapa dirimu! Atau aku akan merubah dirimu menjadi jerangkong hitam hangus!"

   Ratu Duyung sudah salurkan hampir setengah tenaga dalamnya ke tangan kanan yang memegang cermin.

   "Mata biru, keberanianmu menantangku luar biasa! Aku sudah puluhan kali menghadapi kematian! Jangan kira aku takut menghadapi dirimu! Sayang, saat ini aku lebih mementingkan mencari kekasihku. Kalau tidak, akupun sanggup membuat wajahmu yang cantik menjadi tengkorak tak berguna, tubuhmu yang bagus menjadi tulang belulang memutih! Kekasihmu akan meratap sampai sejuta sehari! Hik... hik... hik!"

   "Aku tidak punya kekasih!"

   Entah bagaimana ucapan itu tiba-tiba saja meluncur dari mulut Ratu Duyung.

   "Kau tidak punya kekasih? Sungguh aneh? Di dunia mana aku sebenarnya saat ini berada? Makhluk apa kau sebenarnya? Aku tua bangka dan buruk menyeramkan saja masih punya kekasih! Tapi kau yang cantik jelita, muda remaja dengan tubuh bagus menggairahkan mengaku tidak punya kekasih! Hik... hik... hik! Sungguh aneh!"

   "Tutup mulutmu!"

   Bentak Ratu Duyung yang menjadi jengkel pada diri sendiri karena ketelepasan bicara tadi. Dia melangkah mendekati. Melihat gerakan orang, si nenek cepat bangkit berdiri.

   "Mata biru, aku akan mencari kekasihku. Jika tidak bertemu aku akan mencarimu kembali! Jika kau tidak mau memberi keterangan apa yang kuminta, akan kucabut putus lidahmu! Hik... hik... hik!"

   Lalu tanpa acuh lagi si nenek putar tubuhnya. Ketika sosoknya membelakangi Ratu Duyung siap hendak menghantam. Tapi dia tidak mau berlaku pengecut. Menyerang orang dari belakang.

   "Aku harus menghalangi jangan sampai dia pergi! Aku harus tahu siapa dia adanya!"

   Saat berucap dalam hati itulah tak sengaja sepasang mata Ratu Duyung yang tajam melihat satu benda aneh di balik daun telinga kanan si nenek.

   Di belakang daun telinga itu ada satu benda merah, menyerupai daging tumbuh sebesar ujung jari kelingking.

   Namun Ratu Duyung tidak bisa berpikir lebih lama.

   Si nenek sudah siap berkelebat pergi.

   "Tunggu! Jangan kau berani meninggalkan tempat ini sebelum memberi keterangan!"

   Bentak Ratu Duyung. Lalu dia berkelebat ke hadapan si nenek. Menghadang jalan.

   "Mata biru! Kau minta kematian di usia muda!"

   Ratu Duyung mendengus.

   Si nenek menyeringai.

   Tanpa perdulikan si gadis dia teruskan gerakannya melangkah.

   Melihat si nenek begerak hendak meninggalkan tempat itu Ratu Duyung cepat gerakkan tangannya yang memegang gagang cermin sakti.

   Untuk kedua kalinya kawasan pekuburan itu terang benderan oleh cahaya putih.

   "Wussss!"

   "Braaaakkkk... byaaarrr!"

   Makam di mana si nenek tadi berada hancur berantakan.

   Tanah kuburan dan isinya termasuk tulang belulang penghuni yang sudah terkubur belasan tahun berhamburan mental ke udara! Tapi si nenek sendiri saat itu tak ada lagi di tempat itu.

   Yang terlihat kini hanya kubur menganga, merupakan satu lobang besar akibat hantaman cahaya puttih yang menyembur dari cermin sakti sang Ratu.

   Tak jauh dari tempat itu.

   Di atas sebuah pohon, berdiri di salah satu cabang, tersembunyi di balik kegelapan, sosok nenek berhidung gerumpung, memandang dengan matanya yang cuma satu ke arah Ratu Duyung.

   "Kesaktian gadis itu sungguh luar biasa. Terlambat saja tadi aku menyingkir, pasti dia benar-benar membuat diriku menjadi jerangkong hangus!"

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN BAB Di dalam goa di lamping jurang karang, makhluk tinggi besar berkepala singa merah melangkah mundar mandir. Sesekali dia berpaling, memandang geram ke arah sosok yang terkapar di lantai goa.

   "Pangeran jahanam! Mungkin Kitab Wasiat Malaikat memang tidak ada padanya. Tapi Kitab Wasiat Iblis pasti disembuyikan di satu tempat. Dua hari dua malam di pingsan. Kalau dia siuman dan masih tidak mau memberitahu dimana beradanya kitab itu, kurasa percuma membuang waktu. Enam ratus hari aku menunggu, aku tidak mau menghadapi kesia-siaan. Lebih baik kuputuskan menamatkan riwayatnya saja. Kalau tidak dihabisi sekarang-sekarang mungkin menjadi racun malapetaka di kemudian hari..."

   Di pintu goa makhluk kepala singa bernama Jolo Pengging dan dalam rimba persilatan Tanah Jawa belakangan ini dikenal dengan julukan Singo Abang memandang ke seantero pinggiran jurang.

   Dari tenpatnya berada dia bisa melihat kawasan atas jurang dengan jelas.

   Sebaliknya seseorang yang berada di pinggiran jurang sebelah atas sana sulit untuk melihatnya karena selain goa iu berada dalam satu cekungan dinding karang, juga tersembunyi di balik semak belukar lebat.

   Singo Abang ingat kejadian tiga hari sebelumnya.

   "Rimba persilatan Tanah Jawa semakin kacau. Banyak bermunculan tokoh-tokoh baru... Sepasang Momok Dempet Berkaki Kuda... Kemunculan mereka pasti ada sangkut pautnya dengan kitab-kitab sakti itu. Kalua aku sampai keduluan..."

   Singo Abang mengeram jika ingat bagaimana tiga hari lalu dia dibuat babak belur oleh Momok Dempet waktu terjadi perkelahian di pinggir jurang sana. (Baca Episode pertama berjudul "Kembali Ke Tanah Jawa").

   "Tiga hari lalu aku juga melihat Pendekar 212 Wiro Sableng di tepi jurang. Memandang ke bawah sini seperti menyelidik. Apakah telah terjadi satu bentrokan antara murid Sinto Gendeng itu dengan Momok Dempet? Kalau Wiro Sableng masih sempat mendekam di pinggir jurang, berarti dia berhasil mempecundangi dua manusia galah jahanam itu. Dua tahun pendekar itu melenyapkan diri. Apa yang dilakukannya? Menambah ilmu kesaktian? Aku benar-benar harus bertindak cepat. Kalau tidak aku hanya akan menghisap jempol butut seumur-umur. Karena Pendekar 212 pasti juga mencari Kitab Wasiat Malaikat itu...."

   Singo Abang kembali memperhatikan sosok yang tergelimpang di lantai goa. Hatinya lagi-lagi merutuk.

   "Sialan! Berapa lama lagi aku harus menunggu sampai dia siuman!"

   Singo Abang meludah lalu arahkan lagi pandangannya ke arah atas jurang.

   Saat itu di belakangnya, tanpa diketahui, salah satu mata orang yang tergeletak di lantai goa perlahan-lahan terbuka, menatap ke arah punggung Singo Abang lalu seringai setan mengejek menyeruak di mukanya yang pencong.

   Dalam hati dia berkata.

   "Singo Abang, kau menunggu kesempatan. Aku Pangeran Matahari yang selalu kau panggil dengan sebutan Pangeran Miring juga mengintai kesempatan. Siapa lengah akan mengalami kekalahan. Itu Kelak akan menjadi bagianmu karena pikiran dan hatimu dilanda kekalutan sedang aku tidak! Aku Pangeran Matahari! Siapa bisa mengalahkan aku Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak!"

   Ketika Singo Abang membalikkan badannya, orang ini cepat pejamkan matanya kembali. Namun seringai masih membayang di wajahnya. Justru hal ini sempat terlihat oleh Singo Abang.

   "Pangeran Miring, murid keparat!"

   Bentak Singo Abang gusar.

   "Aku tahu kau menipuku! Aku tahu kau sebenarnya sudah siuman! Mari kita buktikan!"

   Rambut merah yang menutupi wajah dan kepala sampai ke tengkuk mengembang berjingkrak. Kaki kanan makhluk tinggi besar itu bergerak ke arah punggung orang yang tergeletak di hadapannya.

   "Bukkk!"

   Sosok Pangeran Miring terpental dan brukkk! Menghantam dinding karang.

   Sosok ini menggeliat beberapa kali lalu terdengar keluhan.

   Singo Abang jambak rambut gondrong sang Pangeran lalu hempaskan tubuhnya ke dinding hingga terhenyak duduk dengan wajah mengerenyit menahan sakit.

   "Kau boleh meneruskan kepura-puraanmu kalau ingin segera mampus!"

   "Guru...."

   Ucapan Pangeran Miring terputus karena kaki kanan Singo Abang tiba-tiba sekali sudah menempel dan menekan batang lehernya.

   "Umurmu hanya tinggal satu gerakan saja! Jika kau tetap tidak mau membuka mulut, memberitahu dimana kau sembunyikan dua benda yang kutanyakan, sekali injakan saja tulang lehermu akan patah! Nyawamu amblas!"

   "Gu... guru... Apa yang ingin kau tanyakan...?"

   "Jangan berpura-pura tidak tahu!"

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN "Guru, kalau kau menanyakan tentang Kitab Wasiat Malaikat, aku bersumpah aku tidak memilikinya. Juga tidak tahu dimana beradanya..."

   "Bagaimana dengan Kitab Wasiat Iblis? Aku tahu! Semua orang di rimba persilatan tahu kitab itu ada padamu!"

   "Kalau kau memang keliwat memaksa, aku... Aku bersedia mengalah..."

   "Apa maksudmu dengan ucapan itu?!"

   Tanya Singo Abang dengan mata mendelik.

   "Aku... aku sadar kalau aku punya hutang budi dan nyawa padamu. Kalau tidak kau yang menolong diriku, dua tahun lalu aku sudah menjadi bangkai di dasar jurang ini akibat hantaman musuh besarku Pendekar 212 Wiro Sableng..." (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Kiamat Di Pangandaran").

   "Jika kau memang merasa berhutang budi dan nyawa, apa lagi aku sudah memberi ilmu kesaktian padamu. Lalau apa balasamu terhadapku?!"

   "Maafkan aku guru, aku akan memeberitahu padamu mengenai Kitab Wasiat Iblis itu..."

   Kerenyit di kening Singo Abang lenyap. Rambut di kepalanya yang merah berjingkrak perlahan-lahan bergerak turun. Namun sepasang matanya tetap berkilat mencorong menatap sang murid. Mulutnya beucap.

   "Aku gembira mendengar kata-katamu. Tetapi jangan kau berani menipu!"

   "Kalau murid terbukti menipu, nyawaku jadi imbalannya,"

   Kata Pengeran Miring pula. Perlahan-lahan Singo Abang tarik kaki kanannya yang dipakai menginjak leher orang. Sang Pangeran menarik nafas lega.

   "Tunggu apa lagi! Lekas katakan dimana kitab yang kau sebutkan itu! Aku sudah memeriksa dirimu dan goa itu. Kitab itu tidak aku temukan..."

   "Kitab Wasiat Iblis memang tidak ada di goa ini, guru. Aku menyembunyikannya di satu tempat..."

   "Dimana?!"

   Tanya Singo Abang menyentak tidak sabaran.

   "Sebelum pecah pertempuran hebat para tokoh di Pangandaran dua tahun silam, kitab itu aku sembunyikan di pinggir jurang karang. Di satu lorong sempit. Di bawah sebuah batu besar. Kubungkus dengan daun kayu besi hingga tahan terhadap air dan panas..."

   "Kalau begitu, sekarang juga kita keluar dari goa. Naik ke atas jurang! Kau harus segera tunjukkan dan ambil kitab itu..."

   "Aku menurut perintah guru. Tapi keadaanku lemah sekali. Mana mungkin aku bisa naik ke atas jurang sana..."

   Singo Abang dekati Pangeran Miring. Lalu letakkan tangannya kiri kanan di atas bahu pemuda itu sambil alirkan hawa sakti. Sesaat kemudian dia membuat beberapa totokan di bagian tubuh Pangeran Miring untuk memperlancar aliran darah.

   "Bagaimana perasaanmu sekarang?"

   Tanya Singo Abang.

   "Rasa berat dan pening di kepala hilang. Tubuhku terasa enteng. Ada satu kekuatan baru dalam diriku..."

   Jawab Pangeran Miring. Tapi dalam hati dia berkata.

   "Makhluk tolol! Rasakan! Kau kena tipuanku! Kini aku memiliki kekuatan berlipat ganda!"

   "Kalau begitu kau sudah siap. Ikuti aku! Kita segera naik ke atas jurang!"

   Singo Abang keluar dari dalam goa.

   Pangeran Miring mengikuti.

   Dengan ilmu kepandaian tinggi yang mereka miliki tidak sulit bagi keduanya untuk naik ke atas jurang yang sangat terjal itu.

   Sampai di atas sana, di pinggiran jurang Pangeran Miring memandang berkeliling.

   Di kejauhan terdengar suara deburan ombak sementara angin dari arah laut bertiup cukup kencang.

   Singo Abang kembali tidak sabaran.

   "Dimana Pangeran? Di bagian mana tepi jurang kitab itu kau senbunyikan?!"

   Pangeran Miring menunjuk ke arah barat jurang.

   Di situ tumbuh satu pohon besar.

   Tak jauh dari pohon ada sederetan batu-batu karang menonjol runcing.

   Pangeran Miring menunjuk ke arah batu-batu karang itu.

   Tanpa tunggu lebih lama Singo Abang mendahului lari ke tempat yang ditunjuk.

   Begitu Pangeran Miring sampi dia segera berkata.

   "Aku tidak melihat lorong. Tidak melihat batu besar yang kau katakan!"

   "Dari tempatmu berdiri tentu saja tidak kelihatan,"

   Jawab Pangeran Miring.

   "Letaknya di sebelah bawah sana. Ikuti aku...."

   Pangeran Miring lalu melangkah ke kanan, menyusuri tepi jurang.

   Di satu tempat dia hentikan langkah dan memberi isyarat pada gurunya seraya menunjuk ke depan.

   Singo Abang mendekat dan memandang ke arah yang ditunjuk.

   Dia memang melihat satu lorong sempit antara dua batu karang berbentuk tonggak besar.

   Lorong itu merupakan satu celah sempit sepemasukan tubuh orang berukuran sedang.

   Sosok sebesar Singo Abang sulit untuk memasuki celah.

   Di ujung celah terlihat jelas sebuah batu berwarna kelabu kehitaman.

   "Guru, harap kau menunggu di sini. Aku akan masuk ke dalam celah..."

   "Kau tunjukkan saja tempat pastinya kitab itu kau tanam. Aku akan mengambilnya..."

   "Guru, celah itu sempit. Tubuhmu terlalu besar untuk bisa melewatinya..."

   "Kalau begitu biar aku hantam dengan pukulan sakti agar celah mmebesar..."

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN "Jangan lakukan hal itu..."

   Kata Pangeran Miring.

   "Mengapa? Kau tak suka aku yang mengambil kitab itu? Kau...' "Bukan begitu Guru! Kau lihat sendiri. Bagian tanah di sekitar sini agak kering, tidak mempunyai kedudukan keras. Jika dihantam dengan pukulan, celah batu bisa saja terbuka tapi dudukan tanah akan bergeser. Aku kawatir terjadi longsor. Kita berdua bisa celaka..."

   Singo Abang pencongkan mulutnya.

   "Baik, kau saja yang pergi mengambil. Begitu kitab berada di tanganmu lekas kau serahkan padaku!"

   "Jangan kawatir guru. Aku akan memberikan kitab yang kau minta itu sebagai balas budi dan hutang nyawaku padamu!"

   Kata Pangeran Miring pula. Dia membuat gerakan seperti hendak memasuki celah batu karang. Tapi sesaat dia hentikan langkah dan berpaling berputar.

   "Ada apa?"

   Tanya Singo Abang merasa heran.

   "Guru, sebelum aku memasuki celah, apa boleh aku memperlihatkan padamu jurus pukulan sakti yang pernah kau ajarkan padaku. Yakni Dua Singa Berebut Matahari."

   "Gila! Dalam keadaan seperti ini kau hendak melakukan hal itu? Apa maksudmu?!"

   Singo Abang menjadi curiga.

   Pangeran Miring dongakkan kepalanya lalu tertawa panjang membuat Singo Abang menjadi tidak enak dan juga curiga.

   Saat itu dia berada sangat dekat dengan tepi jurang sementara muridnya berdiri di bagian ketinggian beberapa langkah di hadapannya.

   "Hentikan tawamu!"

   Teriak Singo Abang marah. Pangeran Miring hentikan tawanya. Lalu mulutnya berucap.

   "Singo Abang, kau mengajarkan jurus pukulan Dua Singa Berebut Matahari padaku! Sekarang pukulan itu akan aku kembalikan padamu!"

   "Kurang ajar! Kau hendak berbuat apa?!"

   Untuk pertama kalinya Singo Abang menyadari kedudukannya yang berbahaya di tepi jurang.

   Kalau dia diserang, walau sanggup menangkis tapi dua kakinya tak boleh bergeser terlalu jauh ke belakang.

   Dua lutut Pangeran Miring menekuk.

   Tubuhnya mengkerut ke bawah.

   Tiba-tiba didahului satu bentakan garang tubuhnya yang merunduk melesat ke depan.

   Dua tangannya yang membentuk kepalan berubah menjadi lebih besar, membeset ke arah dada dan perut Singo Abang! Yang dilancarkan Pangeran Matahari ternyata bukan jurus pukulan Dua Singa Berebut Matahari! Walau ternyata serangan itu hanya tipuan belaka namun Singo Abang mengetahui kehebatannya.

   Dia cepat bergerak.

   "Jahanam! Kau menipuku! Kau berani menyerangku!"

   Teriak makhluk kepala singa itu marah sekali sampai rambut merahnya berjingkrak kaku.

   Sambil maju satu langkah untuk menghindari dua kakinya bergeser ke tepi jurang bertanah rapuh dia pukulkan dua tangannya menangkis.

   Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.

   "Wuuttt... wuuut!"

   Tangkisan Singo Abang hanya mengenai tempat kosong.

   Pangeran Miring tertawa bergelak.

   Saat itu tubuhnya tiba-tiba menukik ke bawah.

   Dua tangannya kembali menghantam.

   Kali ini Singo Abang tak bisa lagi menangkis atau menghindar karena saat itu tubuhnya masih dalam keadaan terdorong ke depan akbiat tadi menangkis di udara kosong! "Bukkk! Bukkk!"

   Suara dahsyat seperti auman singa menggelegar dari mulut Singo Abang bersama semburan darah.

   Tubuhnya yang tinggi besar bergoncang keras.

   Dia kerahkan seluruh daya agar tidak terdorong ke belakang.

   Tapi tanah rapuh yang dipijaknya bergetar keras lalu longsor.

   Tak ampun lagi sosok Singo Abang terjungkal ke belakang lalu jatuh masuk ke dalam jurang batu karang! Jeritan maut makhluk berkepala singa ini tenggelam tertindih suara tawa bekakakan Pangeran Miring alias Pangeran Matahari! Mendadak tawa sang Pangeran lenyap seperti direnggut setan.

   Dari mulutnya keluar seruan kaget tertahan.

   Dari dalam jurang dimana barusan Singo Abang terpental jatuh, melesat tiga larik sinar masing-masing berwarna kuning, hitam, dan merah.

   "Pukulan Gerhana Matahari!"

   Teriak Pangeran Miring kaget luar biasa. Lalu dia cepat melompat ke belakang. Di depannya pinggiran jurang karang yang terkena hantaman tiga sinar hancur berantakan lalu bergemuruh longsor ke bawah.

   "Gila! Kalau memang Singo Abang yang melancarkan pukulan itu, bagaimana dia bisa mendapatkannya!"

   Membatin Pangeran Miring dengan wajah berubah.

   "Berarti selama di dalam goa, diam-diam dia telah mempelajari. Dia mencuri ilmu itu dariku! Tapi bagaimana mungkin?! Edan! Bisa saja dia menenung diriku. Sekarang biar dia tahu rasa! Saat ini tubuhnya pasti sudah remuk hancur di dasar jurang!"

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN BAB Suara kecimpung air diseling gelak tawa segar membuat Pangeran Matahari hentikan larinya. Dia memandang ke arah datangnya suara itu.

   "Suara tawa perempuan..."

   Kata sang Pangeran dalam hati.

   "Ratusan hari aku tidak pernah mendengar suara tawa perempuan. Ratusan hari aku tidak pernah melihat wajah dan sosok perempuan, apalagi menyentuhnya..."

   Sekujur tubuh Pangeran Matahari tiba-tiba menjadi kencang.

   Darahnya mengalir lebih cepat dan hawa panas merayapi badannya mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki.

   Di mulutnya menyungging seringai penuh arti.

   Tidak menunggu lebih lama dia segera berkelebat ke arah datangnya suara kecimpung air dan gelak tawa tadi.

   Di balik satu pohon besar, di belakang rerumpunan semak belukar lebat, Pangeran Matahari mendekam tak bergerak, matanya membesar tak berkeseip.

   Di depan sana, di leguk tanah yang agak menurun, tiga orang gadis tengah bersenda gurau di dalam sebuah telaga kecil berair jernih dan sejuk.

   Ketiganya berwajah lumayan cantik.

   Mereka hanya mengenakan kain yang dikemben demikian rupa.

   Pangeran Matahari menelan ludah melihat punggung, bahu bagian atas serta dada yang putih tersingkap.

   Tiga gadis itu tinggal di satu desa tak jauh dari situ.

   Mereka memang sering datang pagi hari ke telaga untuk mencuci.

   Selesai mencuci mereka mandi membersihkan diri sambil bersenda gurau.

   Karena mengira di tempat itu hanya mereka bertiga saja, para gadis di dalam telaga bergurau sampai-sampai melewati batas.

   Salah seorang dari mereka dengan jahil menarik lepas kemben kawannya hingga tubuh gadis ini tersingkap polos sampai ke pusar.

   Dua kawannya tertawa bergelak sementara si gadis yang dijahili kelabakan menggapai kain panjangnya.

   Melihat hal ini Pangeran Matahari tidak tahan lagi.

   Sekali melompat saja dia sudah berada di tepi telaga, tegak di atas sebuah batu besar.

   "Sahabatku, tiga gadis cantik! Apa aku boleh ikut mandi dan bersenda gurau dengan kalian?"

   Tiga gadis di dalam telaga tentu saja tersentak kaget.

   Yang tadi lepas kain panjangnya terpekik keras, untung dia sudah berhasil menangkap ujung kainnya dan cepat-cepat menutupi auratnya yang tersingkap.

   Tiga gadis itu serentak saling mendekat, memandang ke arah orang di atas batu penuh rasa kejut dan juga takut.

   "Rumini,"

   Bisik gadis di ujung kanan.

   "Kau kenal siapa orang di atas batu itu?"

   Rumini, gadis di atas batu gelengkan kepala. Kawan di sebelahnya berkata.

   "Baru sekali ini aku melihatnya. Agaknya dia tidak tinggal di sekitar desa kita..."

   "Kalian tidak menjawab! Berarti aku boleh ikut mandi bersama! Ha... ha... ha...!"

   Tanpa menunggu lebih lama Pangeran Matahari langsung ceburkan diri masuk ke dalam telaga. Tiga gadis menjerit, cepar-cepat jauhkan diri. Salah seorang dari mereka yang bernama Sumirah berteriak.

   "Pemuda lancang! Siapa kau! Lekas pergi dari sini!"

   "Betul! Kalau kami beritahu pada Kepala Desa. Kau pasti akan dihajar habis-habisan!"

   Ikut berteriak gadis ketiga bernama Ramilah. Pengeran Matahari mendongak lalu tertawa.

   "Aku biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Matahari! Kalian bertiga harus merasa beruntung karena aku yang Pangeran sudi mandi di telaga bersama kalian!"

   "Pangeran? Kau seorang Pangeran! Huh!"

   Mendengus Rumini.

   "Pangeran tak tahu diuntung!' menyemprot Sumirah.

   "Berkaca dulu ke air telaga! Lihat tampangmu! Pakaianmu compang-camping dan bau!"

   "Berani mengaku Pangeran!"

   Menyambungi Ramilah.

   "Pangeran mana ada yang buruk sepertimu! Muka pencong, hidung bengkok, mata mendem! Hik... hik... hik! Otakmu pasti miring mengaku seorang Pangeran!"

   Di dalam air, Pangeran Matahari melengak kaget. Tampangnya mengelam. Seumur hidup baru kali ini dia menerima hinaan seperti itu. Dia mengusap wajahnya. Rahangnya menggembung.

   "Gadis kurang ajar! Kau berani menghina diriku! Kau korbanku yang pertama!"

   Teriak Pangeran Matahari. Sekali bergerak dia sudah berada di hadapan Ramilah, langsung merangkul gadis ini penuh amarah tapi juga penuh nafsu.

   "Pemuda kurang ajar! Lepaskan! Lepaskan!"

   Teriak Ramilah. Dua kakinya melejang-lejang dan tangannya dipukulkan ke punggung sang Pangeran ketika Pangeran Matahari memanggul tubuhnya. Dua temannya coba menolong. Sambil menyeringai Pangeran Matahari berkata.

   "Kalian tunggu di sini. Pada saatnya satu-satu kalian akan mendapat giliran!"

   Tangan kiri Pangeran Matahari bergerak cepat dua kali berturut-turut.

   Saat itu juga Rumini dan Sumirah tertegun kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara.

   Yang bisa dilakukan dua BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN gadis ini hanya mengikuti dengan pandangan mata ngeri, apa yang kemudian dilakukan Pangeran Matahari dan apa yag selanjutnya terjadi atas diri kawan mereka.

   Sambil tertawa bergelak Pangeran Matahari memanggul tubuh Ramilah ke tepi telaga.

   Di satu tempat yang rata gadis itu dilemparkannya ke tanah.

   Sambil menahan sakit Ramilah berusaha bangkit melarikan diri tapi sosok sang Pangeran lebih cepat datang menindihnya.

   Di dalam telaga Sumirah dan Rumini pejamkan mata tak kuasa menyaksikan kekejian yang dilakukan Pangeran Matahari terhadap kawan mereka.

   Lebih gneri lagi membayangkan bahwa kekejian itu pasti segera pula akan terjadi atas diri mereka.

   Puas melampiaskan nafsu bejatnya atas diri Ramilah, Pangeran Matahari masuk kembali ke dalam telaga.

   Dia mendekati Rumini.

   Melepaskan totokan yang membuat kaku serta gagu si gadis.

   Begitu totokan terlepas Rumini langsung menjerit dan meronta-ronta coba lepaskan diri.

   "Jangan! Jangan kau lakukan itu padaku! Lepaskan! Bunuh! Lebih baik aku kau bunuh saja!"

   Pangeran Matahari cuma menyeringai. Sambil tepuk-tepuk tubuh gadis di atas panggulannya dia berkata.

   "Kau ingin mati? Kau ingin aku bunuh? Jangan kawatir! Pangeran Matahari akan memenuhi permintaanmu. Aku akan membunuhmu dalam cara yang paling nikmat! Ha... ha... ha... ha!"

   Di tepi telaga, tak jauh dari sosok Ramilah yang tergeletak pingsan, Pangeran Matahari lemparkan tubuh Rumini ke tanah hingga terjengkang terlentang.

   Belum sempat gadis ini berusaha melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri, Pangeran bejat itu telah menindih tubuhnya.

   Rumini menjerit panjang.

   Menjerit dan menjerit.

   Satu saat jeritannya terhenti.

   Lalu terdengar satu pekik keras.

   Setelah itu terdengar suara tangis si gadis menyayat hati.

   "Gadis tolol! Kau harus berterima kasih aku tidak membunuhmu!"

   Kata Pangeran Matahari.

   Sambil menyeringai dia putar tubuhnya, memandang ke arah telaga.

   Korban ke tiga segera menyusul.

   Sumirah menatap dengan mendelik dan wajah pucat pasi ketika Pangeran Matahari melangkah di dalam telaga mendekatinya.

   Dia ingin menjerit tapi mulutnya terkancing kaku.

   Begitu Pangeran Matahari melepas totokan di tubuhnya gadis ini langsung meratap.

   "Tidak... jangan... jangan lakukan..."

   "Kau paling cantik di antara kawan-kawanmu. Aku berjanji tidak akan menyakitimu..."

   "Demi Tuhan jangan.... Aku... aku anak Surobendana. Ayahku orang berada. Kalau kau mau melepaskan diriku, aku berjanji akan memintakan apa saja untukmu. Tanah, sawah, ladang, sapi..."

   Pangeran Matahari tertawa dan usap kepala Sumirah.

   "Karena kau gadis baik dan ayahmu orang berada, aku Pangeran Matahari akan memperlakukanmu dengan baik pula!"

   Lalu sebelum mencapai pinggiran telaga, pemuda terkutuk itu turunkan tubuh Sumirah di atas batu rata.

   Di tempat ini secara keji dia mengulangi apa yang telah dilakukannya terhadap dua gadis sebelumnya yakni Rumini dan Ramilah.

   Tanpa diketahui Pangeran Matahari, seseorang yang sejak tadi mendekam di atas cabang satu pohon besar berdaun lebat tak jauh dari tepi telaga, menyeringai geleng-gelengkan kepala.

   "Luar biasa kejam dan kejinya! Apa manusia itu benar seorang pangeran? Pangeran Matahari... Aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu. Tapi kalau tidak keliru dia dikabarkan telah menemui ajal dua tahun silam di Pangandaran. Apa mungkin rohnya bisa gentayangan atau orang lain yang mengaku-aku sebagai Pangeran Matahari? Jika dia memang manusia hidup benaran kurasa aku perlu bersahabat dengannya. Mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk keuntungan diriku. Hemmm..."

   Orang di atas pohon memandang lagi ke arah batu di tengah telaga. Dia tersentak kaget. Ternyata Pangeran Matahari tak ada lagi di tempat itu.

   "Luar biasa cepat gerakannya. Aku harus mengikuti kemana perginya!"

   Orang di atas pohon tidak segera melompat turun ke bawah tetapi dia melesat ke beberapa pohon lain di sekitar situ, baru turun ke tanah untuk mengejar Pangeran Matahari.

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN BAB Hari masih sangat pagi.

   Kegelapan masih membungkus di mana-mana.

   Abdi Dalem Keraton bernama Samadikun tergopoh-gopoh menuju bagian belakang Keraton.

   Pada setiap orang yang dipapasinya dia bertanya.

   "Dimana Sagito? Cari lekas pemuda itu!"

   Salah seorang yang ditanyai balik bertanya.

   "Ki Samadikun, ada apa, pagi-pagi begini sudah kalang kabut?"

   "Perkara besar! Celaka kita semua! Mana Sagito? Bantu aku mecari pemuda itu! Lekas!"

   Sagito adalah salah seorang juru timba sumur yang terletak di bagian belakang Keraton. Suasana ribut-ribut itu membuat berdatangan beberapa pengawal yang tengah bertugas. Mereka juga ikit bertanya-tanya pada Samadikun.

   "Air di tempat Sri Baginda bersiram..."

   Jawab Samadikun. Terputus sesaat baru dia menyambung.

   "Air di tempat Sri Baginda bersiram bau pesing!"

   "Bau pesing?"

   Banyak mulut berucap berbarengan.

   "Bau kencing! Sri Baginda marah besar karena sudah sempat menyiram tubuhnya pagi ini dengan air itu! Celaka kita semua!"

   Para pengawal segera menebar. Tak lama kemudian pemuda bernama Sagito, hanya mengenakan celana hitam komprang, sambil mengucak-ngucak mata digiring ke hadapan sang Abdi Dalem.

   "Sagito!"

   Samadikun menegur dengan bentakan.

   "Dalem..."

   Jawab Sagito sambil rapatkan dua tangan ke bawah dan membungkuk.

   "Air mandi Sri Baginda. Kau yang selalu menimba dan menyalurkan ke tempat bersiram Sri Baginda lewat talang besar. Dari sumur mana kau timba air itu?"

   Sagito merasa heran atas pertanyaan tidak terduga itu. Dia sesaat jadi ternganga, tak segera menjawab dan kembali mengucak mata.

   "Sagito! Jangan membuat aku tidak sabar dan menampar mulutmu! Lekas jawab! Dari sumur mana kau timba air untuk Sri Baginda bersiram?"

   "Tentu saja dari sumur biasa, Ki Samadikun! Sumur besar yang di sebelah sana..."

   Lalu dengan jari jempol tangan kanannya sambil membungkuk Sagito menunjuk ke arah sumur besar di bagian belakang Keraton.

   "Apa kau tidak tahu kalau air sumur itu bau pesing bau kencing?!"

   Bentak Samadikun. Terkejut Sagito. Muka tololnya berubah. Kembali dia tercengang melongo.

   "Sa... saya tidak memperhatikan. Tapi mustahil air sumur itu bau pesing. Selama ini saya selalu menimba, mengambil air bersiram Sri Baginda dari sumur itu..."

   "Jangan bicara selama ini! Kau satu-satunya orang kepercayaan untuk mengurus air bersiram Raja. Jika terjadi apa-apa kau harus bertanggung jawab!"

   Makin kecut Sagito mendengar kata-kata Abdi Dalem itu. Saking takutnya mukanya tambah pucat dan tak mampu berkata apa-apa karena memang tidak masuk akalnya bagaimana air mandi sang Raja bisa bau pesing.

   "Ki Sama..."

   Sagito akhirnya membuka mulut.

   "Mungkin sumber bau itu bukan dari air sumur. Mungkin datang dari sumber lain..."

   "Kau bisa berkata begitu untuk membela diri. Mari kita sama-sama meyelidik ke sumur!"

   Abdi Dalem Samadikun memegang tangan si pemuda di bawah bahu sebelah kanan lalu setengah menyeret membawa Sagito ke arah sumur.

   Beberapa Abdi Dalem dan para pengawal mengikuti.

   Saat itu hari masih gelap.

   Walau sumur besar itu tidak seberapa dalam karena sumber airnya memang bagus dan dangkal, namun kegelapan menutupi pemandangan hingga orang tidak dapat melihat dengan jelas bagian dalam sumur.

   Sesaat setelah semua orang berdiri di seputar pinggiran sumur, mereka saling pandang satu sama lain.

   Dari dalam sumur memang tercium bau yang tidak enak.

   Bau pesing alias bau kencing.

   Abdi Dalem Samadikun pencongkan hidungnya, kerenyitkan kening.

   "Aku mencium bau sesuatu! Untuk memastikan aku minta semua mengendus. Lalu katakan bau apa yang kalian cium!"

   Lucu juga. Semua orang yang ada di seputar pinggiran sumur sama-sama mengangkat hidung masing-masing, ada yang sambil termonyong-monyong lalu mengendus.

   "Bau apa yang kalian cium?"

   Tanya Samadikun.

   "Memang ada bau pesing di dalam sumur ini, Ki!"

   Kata seorang pengawal. Beberapa lainnya mengangguk.

   "Sagito?"

   Sang Abdi Dalem menegur sambil memandang pada pemuda tukang timba.

   "Mung... mungkin bau kencing Ki..."

   "Mungkin bagaimana?! Semua orang mencium ada bau kencing di dalam sumur ini! Kau masih bisa mengatakan mungkin! Waktu kau menimba air untuk bersiram Sri Baginda dini hari tadi, apa kau tidak mencium bau itu?"

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN "Maafkan saya Ki. Saya tidak tahu karena saya sedang kejangkitan selesma. Hidung saya mampet ketutupan ingus. Saya tidak bisa membaui apa-apa..."

   "Sialan kau!"

   Samadikun jadi memaki.

   "Kau dan para pengawal di sini lekas selidiki kenapa sumur ini berbau pesing. Mungkin ada yang sengaja mengencingi. Mungkin ada yang sengaja mengumpulkan air kencing lalu membuangnya ke sumur ini..."

   "Ki Samadikun,"

   Salah seorang pengawal menyahuti.

   "Kalau ada yang sengaja, rasa-rasanya aku tidak percaya. Siapa orangnya yang berani mati mengencingi sumur sumber air Raja?"

   "Kau bisa bicara begitu! Buktinya sumur ini memang bau kencing!"

   "Baiknya kita tunggu sampai pagi. Kalau hari sudah terang baru kita memeriksa..."

   Seorang perajurit mengusulkan.

   "Terlambat! Saat itu mungkin Sri Baginda tidak bisa menahan amarah lagi. Kita semua bisa celaka. Aku..."

   Ucapan Abdi Dalem Samadikun terputus. Dari dalam sumur terdengar suara kecimpung air lalu suara seperti orang mengeluh.

   "Kalian mendengar sesuatu?"

   Tanya Samadikun sambil memandang berkeliling lalu memperhatikan ke dalam sumur. Tapi gelap. Dia tidak dapat melihat apa-apa.

   "Seperti suara orang..."

   Ujar Sagito yang tertutup hidungnya, tapi tajam telinganya. Lalu pemuda ini berteriak.

   "Hai! Siapa di dalam sumur?!"

   "A... aku..."

   Ada suara jawaban. Membuat semua orang yang ada di pinggiran sumur menjadi terkejut. Ada yang kecut hatinya dan bergeak mundur, termasuk sang Abdi Dalem Samadikun.

   "Aku siapa?!"

   Sagito berteriak kembali.

   "Tol..."

   "Apa?! Namamu Tol?!"

   Lagi-lagi Sagito yang berteriak.

   "Bu..."

   "Oo, namau Bu? Siapa kau?!"

   "Bukan, aku tol... tolong. Aku di dalam sini. Sejak malam tadi. Kakiku tak sanggup lagi menopang. Tol... tolong..."

   "Jangan-jangan hantu..."

   Bisik Ki Samadikun.

   "Hai! Kau hantu atau setan atau apa?!"

   "Aku man... manusia seperti kalian. Aku kecebur dalam sumur ini malam tadi..."

   "Gila kurang ajar! Bagaimana kau bisa kecebur ke dalam sumur! Berarti kau masuk kawasan Keraton tanpa izin...

   "

   Mendamprat Samadikun.

   "Nanti saja aku terangkan. Tolong dulu. Aku tak sanggup lagi bertahan. Aku bisa tenggelam dalam sumur ini. Tolong... lemparkan tali, galah atau apa saja. Tarik aku ke atas. Lekas, tenagaku sudah hampir habis..."

   Semua orang jadi saling pandang, sama-sama heran. Sama-sama tidak percaya.

   "Tol... tolong..."

   Kembali terdengar suara minta tolong dari dalam sumur.

   "Cari tambang! Kita akan lihat makhluk dalam sumur itu manusia atau setan!"

   Seorang pengawal berkata.

   Sagito memandang berkeliling.

   Mencari timba besar yang biasa dipakainya untuk mengambil air.

   Dia melihat timba itu di sudut kiri lengkap dengan tali besarnya.

   Dengan cepat dia ambil gulungan-gulungan tali lalu ujungnya dilemparkan ke dalam sumur.

   "Makhluk di dalam sumur!"

   Teriak seorang pengawal.

   "Tali sudah dilemparkan. Kalau kau memang manusia pegang ujung tali erat-erat. Kami akan segera menarikmu ke atas!"

   Tak ada jawaban.

   "Apa kataku! Pasti setan! Dia tidak menyahut! Mungkin sudah gaib!"

   Kata Samadikun. Tiba-tiba dari dalam sumur ada suara.

   "Ujung tali sudah kupegang. Lekas tarik..."

   Enam orang di pinggir sumur segera menarik tali besar.

   "Gila! Makhluk apa ini? Beratnya tidak kira-kira!"

   Kata Samadikun setengah berbisik.

   Perlahan-lahan makhluk di dalam sumur tertarik ke atas.

   Dalam gelap, dari mulut sumur muncul dua tangan kurus kering dilibat tali timba.

   Lalu kelihatan satu kepala berambut putih kuyup.

   Kepala itu sampai di atas bibir sumur.

   Tampak satu wajah seorang tua berkuping lebar.

   Daun telinga sebelah kanan kelihatan aneh karena terbalik menghadap ke belakang.

   Dua matanya terpejam.

   Bau pesing yang hebat memenuhi tempat itu.

   Sambil menahan nafas orang-orang di pinggiran sumur mencekal bagian atas lengan orang tua aneh itu lalu mereka tarik dan baringkan menelentang di lantai batu di samping sumur.

   Orang tua ini mengenakan pakaian compang-camping.

   Perutnya yang tersingkap kelihatan buncit gembung.

   Mungkin terlalu banyak minum air sumur.

   Bau pesing yang santar ternyata menghampar dari tubuhnya.

   "Tak bisa kupercaya!"

   Kata Samadikun. Kaki kanannya diletakkan ke perut yang gembung.

   "Penyusup berani mati! Siapa kau?!"

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN Dua mata yang terpejam dari orang yang barusan ditarik keluar dari dalam sumur terbuka. Walau cuma sebentar tapi semua orang masih sempat melihat mata itu ternyata jereng. Mulut orang ini terbuka sedikit.

   "Aku... aku Setan Nogmpol..."

   Menyangka orang mempermainkannya Abdi Dalem Samadikun jadi marah.

   "Tua bangka kurang ajar bau pesing! Kau berani menyusup ke dalam Keraton. Sudah kami tolong masih bisa bicara mempermainkan!"

   Saking marahnya Abdi Dalem ini lalu tekan kuat-kuat kaki kanannya yang menginjak perut orang.

   "Bruttt!"

   "Croottt!"

   "Croottt!"

   Akibat injakan yang keras itu dari sebelah bawah belakang orang tua itu menghambur angin keras alias kentut yang baunya tidak kepalang tanggung.

   Lalu dari mulutnya sebelah atas menyembur air sumur yang mengendap dalam perutnya.

   Dan ini yang paling celaka.

   Dari bagian bawah perutnya menyemprot air kencing bau.

   Begitu derasnya hingga muncrat mengenai Abdi Dalem Samadikun, Sagito dan beberapa orang pengawal.

   "Tua bangka kurang ajar! Rasakan ini!"

   Samadikun tendang pantat orang.

   Dua pengawal ikut menendang hingga orang tua yang tergeletak di pinggir sumur mental terguling-guling.

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN BAB Di satu bangunan kayu yang sudah hampir roboh di sebelah timur puncak Gunung Merapi, Pangeran Matahari duduk di lantai beranda.

   Tangan kiri menopang kening.

   Dua matanya terpejam.

   Di pangkuannya ada satu buntalan berisi pakaian yang barusan diambilnya dari dalam bangunan.

   Dia pernah tinggal di tempat itu selama belasan tahun.

   Di situ dia menerima gemblengan dari gurunya yang dalam rimba persilatan Tanah Jawa dikenal dengan nama angker Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat.

   Namun kini sang guru hanya tinggal kenangan.

   Seperti dituturkan dalam Episode berjudul "Kiamat Di Pangandaran"

   Si Muka Bangkai menemui ajal di tangan Bujang Gila Tapak Sakti. Pangeran Matahari menghela nafas panjang. Lalu mulutnya berucap perlahan.

   "Guru, aku bersumpah mencari Bujang Gila Tapak Sakti, menunpahkan darahnya membalas darahmu yang tertimpah, menghabisi nyawanya sebagai imbalan nyawamu yang dicabutnya. Setelah itu aku akan mencari Pendekar 212! Aku akan mencari sekalipun sampai ke lautan neraka! Dia pasti mengira aku sudah lama jadi bangkai di dasar jurang karang Pangandaran. Dia akan melihat kenyataan mengejutkan. Bahwa aku belum mati! Bahwa aku muncul untuk mencabut nyawanya! Aku tidak akan membuat kematian begitu cepat dan enak baginya! Aku Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak akan membuatnya sengsara lebih dulu..."

   Pangeran Matahari turunkan tangannya yang menopang kening.

   Dua matannya yang sejak tadi dipejamkan terbuka, kelihatan merah dan memancarkan sinar menggidikkan.

   Terbayang wajah Pendekar 212 Wiro Sableng.

   Dua tangan Pengeran Matahari langsung mengepal membentuk tinju.

   Sekujur tubuh bergetar.

   Keringat memercik di kening.

   Dengan tangan kanannya Pangeran Matahari usap wajahnya.

   Saat itulah seperti terngiang kembali di telinganya ucapan Sumirah, satu dari tiga gadis yang digagahinya di telaga.

   "Pangeran tak tahu diuntung! Berkaca dulu ke air telaga! Lihat tampangmu! Pakaianmu compang-camping dan bau!"

   Lalu mengiang pula kata-kata menyakitkan yang dilontarkan gadis bernama Ramilah. Yaitu gadis yang diperkosanya pertama kali.

   "Berani mengaku Pangeran! Pangeran mana ada yang buruk sepertimu! Muka pencong, hidung bengkok, mata mendem! Hik... hik... hik! Otakmu pasti miring mengaku seorang Pangeran!"

   Pangeran Matahari merasakan sekujur tubuhnya mendadak menjadi dingin. Diusapnya mukanya kembali.

   "Wajahku... mukaku... Apakah... apakah... Ucapan dua gadis itu agaknya bukan cuma sekedar ejekan. Mereka melihat kenyataan. Apa yang terjadi dengan mukaku. Dua tahun di dalam goa karang aku tak pernah menyadari keadaan wajahku... Di lereng sebelah selatan seingatku ada satu telaga kecil. Airnya sangat bening, tidak beriak tidak bergelombang sekalipun angin bertiup. Dulu aku sering ke sana bersunyi diri, bersamadi meningkatkan kemampuan tenaga dalam dan kekuatan hawa sakti yang kudapat dari guru. Aku harus ke sana. Aku harus melihat keadaan wajahku sendiri. Ucapan dua gadis itu bukan cuma sekedar mengejek. Mereka agaknya melihat kenyataan..."

   Pangeran Matahari ambil buntalan di pangkuannya.

   Lalu secepat bisa dilakukan dia berlari menuju lereng selatan Gunung Merapi.

   Degup jantungnya menggemuruh ketika dia sampai di telaga kecil.

   Keadaan telaga dan tempat sekitarnya seperti tidak berubah walau sudah ditinggalkannya selama bertahun-tahun.

   Hanya taburan dedaunan pohon-pohon tampak menebal menutupi tanah.

   Pangeran Matahari jatuhkan buntalan ke tanah.

   Perlahan-lahan dia melangkah mendekati telaga kecil berair bening seperti kaca.

   Detak jantungnya berdegup keras pada setiap langkah yang dibuatnya.

   Satu langkah di tepi telaga dia hentikan gerakan kaki.

   Perlahan-lahan dia turunkan tubuh ke bawah, berlutut di tanah.

   Dia bisa melihat kepala dan sebagian tubuhya membayang di air telaga.

   Dengan menahan degup jantung yang semakin kencang Pangeran Matahari ulurkan kepalanya, diturunkan demikian rupa hingga hanya berjarak dua jengkal dari atas permukaan air telaga.

   Sepasang mata sang Pangeran terpentang lebar.

   Di sana, di permukaan air telaga, dia bisa melihat wjahnya sendiri.

   Degup jantungnya seperti meledak di dalam dada.

   Dari mulutnya keluar raungan panjang mengerikan.

   Seperti dihantam sesuatu dari bawah, sosok Pangeran Matahari mencelat ke atas.

   Begitu dua kaki menginjak tanah, seperti orang kemasukan setan pangeran ini mengamuk.

   Tangan dan kaki menghantam kian kemari.

   Pohon-pohon patah bertumbangan.

   Semak belukar rambas terbang berhancuran.

   Terakhir sekali Pangeran Matahari pukulkan tangannya ke arah telaga.

   Tiga larik sinar merah, hitam dan kuning menderu menggidikkan.

   "Wussss!"

   "Byaaarrr!"

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN Air telaga muncrat ke atas.

   Tanah, pasir dan bebatuan ikut membumbung ke udara.

   Asap panas mengepul menutupi pandangan mata.

   Ketika keadaan terang kembali kelihatanlah satu hal luar biasa.

   Telaga kecil dengan airnya yang bening bersih seperti kaca kini hanya tinggal satu lobang kering menganga.

   Pangeran Matahari sendiri saat itu tak ada lagi di tempat itu.

   Dia lari menuruni gunung seperti dikejar setan.

   Sepanjang pelarian terbayang kembali wajahnya seperti yang tadi dilihatnya di permukaan air telaga.

   Hidungnya miring ke kiri.

   Pipi dan rahang kiri melesak membuat mukanya tampak pencong.

   Mata kiri terbenam dan di kening kiri ada luka bekas cacat.

   Dia ingat sekali semua caat itu adalah akibat hantaman Pendekar 212 Wiro Sableng sewaktu terjadi perkelahian di Pangandaran dua tahuan yang silam.

   "Jahanam Wiro Sableng!"

   Teriak Pangeran Matahari.

   "Pembalasanku sejuta lebih kejam dari apa yang telah kau lakukan terhadapku! Kau tak akan bakal lolos dari tanganku! Kalaupun kau sudah mampus di tanganku, rohmu akan kubuat tidak tenteram di alam baka!"

   Habis berteriak seperti itu sang pangeran hantamkan tangan kanan melepas pukulan sakti bernama Telapak Matahari.

   "Wusss!"

   Lereng gunung di sebelah sana bergoncang hebat.

   Hawa panas yang keluar dari pukulan itu menimbulkan nyala api besar.

   Kebakaran serta merta melanda lereng Gunung Merapi! Di satu tempat, menjelang mencapai kaki gunung sebelah selatan Pangeran Matahari hentikan lari.

   Dia tegak bersandar di satu batang pohon besar, memandang ke arah lereng gunung di atasnya, memperhatikan kebakaran yang melanda lereng akibat pukulan Telapak Matahari yang tadi dihantamkannya dalam amarah yang tidak terkendali.

   Sang Pangeran menghela nafas dalam.

   Untuk pertama kali dia merasakan tubuhnya letih sekali.

   Dia campakkan buntalan ke tanah lalu perlahan-lahan jatuhkan diri, duduk di tanah pejamkan mata.

   Beberapa kali dia usap mukanya dan berulang kali dia mengeluh dalam hati.

   "Wajahku... Wajahku..."

   Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Pangeran Matahari merasa ada sambaran angin di udara di depannya. Dia buka mata lebar-lebar, alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Berlaku waspada. Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan "Sial...!"

   Pangeran Matahari memaki sendiri.

   "Jalan pikiranku sedang mengalami gangguan berat. Aku harus melakukan sesuatu. Jahanam Wiro Sableng!"

   Pangeran Matahari kepalkan tinju. Dia menjangkau buntalannya dan bergerak bangkit. Tapi mendadak gerakannya tertahan. Di udara sunyi terdengar satu suara.

   "Pangeran Matahari, manusia gagah berjuluk Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak! Apa yang meembuatmu dibungkus seribu gundah seribu bingung?!"

   Pangeran Matahari dalam kejutnya cepat berdiri. Memandang berkeliling.

   "Ada suara orang! Suara Laki-laki! Tapi orangnya sendiri tidak kelihatan!"

   Sang Pangeran memperhatikan pohon besar di atasnya. Tidak kelihatan siapa-siapa.

   "Aneh, suara itu begitu dekat. Tapi orangnya tidak tampak. Mungkin dedemit belantara Gunung Merapi?"

   Pangeran Matahari kembali memperhatikan setiap sudut belantara sekelilingnya. Tetap saja dia tidak melihat siapa-siapa. Maka diapun berseru.

   "Makhluk yang barusan bicara! Siapa kau?! Mengapa bicara tidak unjukkan diri?!"

   "Aku tidak mungkin unjukkan diri Pangeran. Ketahuilah, apa yang aku ucapkan jauh lebih penting dari ujudku..."

   "Kalau begitu katakan siapa kau adanya?! Hantu, setan, dedemit?!"

   Terdengar suara tertawa parau.

   "Aku makhluk dari alam akhirat. Makhluk dari alam baka. Aku tidak akan mengatakan siapa diriku. Tapi kau bisa mengira-ngira..."

   "Kurang ajar!"

   Maki Pangeran Matahari karena merasa dipermainkan. Otaknya diputar. Namun dia tidak bisa menduga.

   "Aku datang untuk menolongmu Pangeran..."

   Kembali terdengar suara tanpa ujud.

   "Menolongku?"

   Ujar Pangeran Matahari.

   "Siapa kau adanya?"

   "Sudah kukatakan aku tidak bisa memberitahu. Tapi dulu, di puncak Merapi ini kita pernah dekat. Sedekat daging dengan tulang yang ada di tubuhmu!"

   "Kau... Jangan-jangan kau..."

   Tiba-tiba Pangeran Matahari jatuhkan diri, berlutut di tanah.

   "Guru, apakah yang datang ini kau, roh mendiang guru yang aku kenal dengan julukan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat alias Setan Muka Pucat?"

   Di udara mengema suara tertawa parau.

   "Sudah kukatakan aku tidak akan menerangkan siapa diriku. Tapi kau boleh menyebutku seperti apa yang kau barusan duga..."

   "Guru!"

   Merasa yang bicara tanpa ujud itu adalah mendiang arwah gurunya Si Muka Bangkai, Pangeran Matahari tundukkan kepala sambil rangkapkan dua tangan di depan dada.

   "Pangeran Matahari, aku akan memberikan dua buah barang padamu. Pergunakan barang itu sesuai kebutuhanmu. Setelah kau menerima pemberianku, berjalanlah dua puluh tombak ke arah kanan. Kau akan menemukan seekor kuda tertambat di bawah satu pohon Waru. Dengan menunggang kuda itu pergilah ke satu lembah, letaknya dekat sekali di timur kaki Gunung BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN Merapi. Di dasar lembah kau akan menemukan serumpunan semak belukar. Di sela-sela semak belukar itu tumbuh pohon sirih hutan. Jika semak belukar kau sibakkan, kau akan melihat sebuah goa. Masuklah ke dalam goa. Di situ kau akan menemukan sorga. Sorga itu bernama Kinasih. Untuk mendapatkan sorga itu kau harus mengaku bernama Bagus Srubud."

   "Sorga...? Sorga bernama Kinasih? Apa maksudmu Guru?"

   "Jawaban akan kau temui sendiri di dalam goa itu!"

   Jawab suara tadi.

   Lalu bersamaan dengan itu melayang dua buah bungkusan dan jatuh tepat di depan kaki Pangeran Matahari.

   Satu besar, satunya lagi bungkusan kecil.

   Sang Pangeran tidak bergerak.

   Tidak segera menyentuh bungkusan itu.

   Bukan mustahil semua itu hanya jebakan belaka.

   Dia memandang berkeliling.

   "Rasanya dia telah lenyap dari tempat ini,"

   Membatin sang Pangeran. Lalu perlahan-lahan dia membungkuk mengambil bungkusan besar. Ketika dibukanya dia terkejut karena di dalam bungkusan itu dia menemukan sehelai pakaian.

   "Ini bukan pakaian sembarangan. Hanya orang-orang Keraton yang mengenakan pakaian seperti ini. Apa gerangan maksud guru memberikan pakaian bagus ini padaku?"

   Pangeran Matahari perhatikan pakaiannya sendiri yang lusuh kotor dan compang-camping.

   Sebelumnya waktu berada di pondok kediaman mendiang gurunya Pangeran Matahari telah mengambil beberapa potong pakaian, namun dia memang belum sempat bersalin.

   Masih diselimuti perasaan heran Pangeran Matahari mengambil bungkusan kedua yang lebih kecil.

   Begitu bungkusan dibuka, sesaat sepasang mata sang Pangeran terpentang lebar melihat benda apa yang ditemuinya di dalam bungkusan itu.

   Kening mengerenyit.

   Wajah diusap berulang kali.

   Lalu satu seringai muncul di mulutnya yang pencong.

   "Guru! Aku Pangeran Matahari sangat berterima kasih atas semua pemberianmu ini! Aku akan turuti perintahmu. Aku akan segera pergi ke goa di lembah itu!"

   Habis berkata begitu Pangeran Matahari buka pakaiannya yang lusuh.

   Tak berapa lama setelah Pangeran Matahari meninggalkan tempat itu, di atas sebuah pohon besar berdaun lebat, seseorang yang sejak tadi mendekam di salah satu cabang pohon tersenyum.

   Dalam hati dia berkata.

   "Terbukti ilmu Memecah Udara Memindah Suara yang kumiliki memang ampuh luar biasa. Pendekar kawakan itu tidak mampu mengetahui sumber suara, apa lagi mencari dimana aku sembunyi! Pangeran Matahari, hari ini aku sudah menanam budi padamu. Kelak di kemudian hari aku akan menagih balasan padamu!"

   Seperti hembusan angin, dengan satu gerakan cepat orang di atas cabang pohon berkelebat lenyap.

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN BAB Empat hari sebelum peristiwa aneh yang dialami Pangeran Matahari di kaki Gunung Merapi......

   Pagi itu seorang penunggang kuda berhenti di hadapan rumah Raden Mas Sura Kalimarta.

   Dari pakaiannya yang bagus dan mewah jelas dia adalah seorang petinggi dari Keraton.

   Menurut kisah perjalanan hidupnya Sura Kalimarta sejak masih kecil sudah memiliki beberapa kepandaian.

   Selain pandai dalam hal ukir mengukir, dia juga pandai membuat berbagai macam boneka serta topeng baik dari kayu maupun dari kulit.

   Keahliannya ini telah menarik perhatian para Petinggi Keraton dan akhirnya sampai kepada Sri Baginda.

   Karenanya sejak dia berusia dua puluh Sura Kalimarta diangkat menjadi juru ukir Keraton.

   Setelah mengabdi lebih dari empat puluh tahun, ketika dia berusia enam puluh lima, Sri Baginda menganugerahkan gelar Raden Mas kepada Sura Kalimarta.

   Walau semua orang menghormatinya serta dari keahliannya Sura Kalimarta mendapatkan penghasilan lebih dari cukup, rumahnya besar, sawah dan ternaknya banyak, namun semua itu tidak banyak memberikan kebahagiaan padanya.

   Ketika dia berusia empat puluh tahun, istri yang dicintainya meninggal dunia padahal sampai saat ini mereka masih belum dianugerahi seorang anakpun.

   Selama dua puluh tahun Sura Kalimarta hidup menyendiri, menyibukkan diri dengan berbagai macam pekerjaan sesuai keahliannya.

   Kehidupan sunyi sang ahli ukir dan ahli membuat boneka serta topeng ini rupanya sudah sejak lama dimaklumi oleh Sri Baginda.

   Pada suatu hari Sri Baginda memanggil Sura Kalimarta ke Kaeraton.

   Seperti biasa Sura Kalimarta mengira Sri Baginda akan memberi pekerjaan baru padanya atau mungkin ada puteri Keraton yang ingin dibuatkan boneka atau hiasan berupa topeng.

   Alangkah terkejutnya Sura Kalimarta ketika Sri Baginda memintanya untuk mengambil seseorang sebagai pendamping yakni seorang perempuan baik-baik yang kedua orang tuanya pernah lama menjadi Abdi Dalem.

   Di usia setua itu Sura Kalimarta boleh dikatakan tidak pernah lagi memikirkan hidup berumah tangga.

   Apalagi diketahuinya bahwa calon istri yang hendak dijodohkan Sri Baginda kepadanya belum pernah menikah dan berusia dua puluh delapan tahun, kurang setengah dari usianya.

   Sura Kalimarta dengan halus menolak maksud baik Sri Baginda.

   Sebaliknya Sri Baginda dengan halus pula membujuknya.

   Akhirnya Sura Kalimarta tak bisa menolak lagi.

   Ketika untuk pertama kali ahli ukir ini bertemu dengan calon istrinya, ternyata sang calon yang bernama Kinasih itu berwajah ayu dan telah sejak lama menaruh hormat dan kagum pada semua hasil karya Sura Kalimarta.

   Dengan upacara yang sangat sederhana dan hanya dihadiri para kerabat terdekat serta utusan Sri Baginda akhirnya dilangsungkan pernikahan.

   Setelah beberapa tahun berumah tangga mereka belum juga dikaruniai anak.

   Kinasih sangat mengharapkan mendapat seorang putera.

   Lebih dari itu dia ingin puteranya itu kelak memiliki keahlian seperti Sura Kalimarta.

   Kinasih tak putus-putusnya meratap menangisi nasib.

   Baginya seumur hidup hanya sekali kawin.

   Tetapi sang suami ternyata tidak mampu memberinya turunan, lebih dari itu tidak berkesanggupan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami.

   Semua derita kepedihan ini hanya bisa dipendam sendiri oleh Kinasih.

   Namun siapa mengira seperti api dalam sekam suatu ketika akan meledak dalam kejadian yang tidak terduga.....

   *** Lelaki berpakaian bagus yang berhenti di depan rumah besar Raden Mas Sura Kalimarta turun dari kudanya.

   Di pintu depan dia mengetuk.

   Tak ada sahutan.

   Setelah berulang kali mengetuk tak ada yang menjawab akhirnya orang ini membuka pintu.

   Ternyata tidak dkunci.

   Dia langsung masuk ke dalam dan menemukan Sura Kalimarta di bagian belakang rumah besar, sibuk menyelesaikan ukiran patung besar Dewi Sri yang memegang seikat padi di tangan kanan dan dihinggapi seekor burung merpati di tangan kiri.

   "Raden Mas Sura Kalimarta, maafkan saya. Saya sudah mengetuk pintu berulang kali. Tapi tak ada jawaban. Jadi saya berlaku lancang langsung masuk ke dalam..."

   Orang tua si ahli ukir menghentikan pekerjaannya, mengangkat kepala dan memandang pada tamunya.

   Sesaat orang tua ini terdiam memandang wajah sang tamu.

   Dia belum pernah melihat orang ini sebelumnya.

   Tapi melihat pada pakaian yang dikenakan sang tamu yang menyatakan dia adalah seorang petinggi Keraton maka sambil tersenyum dan meletakkan pahatnya di lantai, Sura Kalimarta berkata.

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN "Saya yang harus minta maaf.

   Seorang penting kerabat Keraton datang, saya tidak mendengar ketukan pintunya.

   Keraton begitu besar.

   Begitu banyak para petinggi dan para pejabat yang ada di situ.

   Maafkan saya kalau saya tidak mengenal Raden sebelumnya.

   Jika saya boleh bertanya Raden ini siapakah namanya?"

   "Saya memang salah seorang petinggi Keraton. Tapi harap Raden Mas tidak memanggil saya dengan sebutan Raden. Panggil saja nama saya. Bagus Srubud."

   Sura Kalimarta tersenyum.

   "Kalau begitu Saudara Bagus Srubud juga tak usah memanggil saya dengan Raden Mas segala. Cukup Ki Sura saja. Ruang tamu ada di sebelah depan. Sebaiknya kita bicara di sana..."

   "Tidak usah merepotkan. Kita bisa bicara di sini. Saat ini apakah Ki Sura sendirian di rumah?"

   Bertanya sang tamu.

   "Betul sekali. Istri saya sedang ada keperluan menemui seorang kerabat di desa tetangga sejak kemarin. Rencananya baru sore ini akan kembali..."

   Jawab Sura Kalimarta.

   "Kalau Saudara Bagus suka kita bicara di sini tak jadi apa. Saya ingin bertanya, gerangan maksud apakah kedatangan Saudara Bagus Srubud ke tempat saya ini?"

   "Maafkan kalau saya mengganggu pekerjaan Ki Sura. Maksud saya ke sini adalah untuk meminta dibuatkan sesuatu..."

   "Apakah ini pesanan dari Keraton atau untuk Saudara Bagus sendiri?"

   "Anggap saja dua-duanya,"

   Jawab petinggi Keraton bernama Bagus Srubud itu.

   Sura Kalimarta tersenyum dan angguk-anggukkan kepala.

   Orang tua ini maklum apa maksud ucapan tamunya itu.

   Dua-duanya.

   Berarti apapun yang akan dipesan sang tamu adalah sesuatu yang sangat penting.

   Maka diapun bertanya.

   "Sesuatu yang Saudara Bagus minta saya buatkan itu, benda apa kiranya? Ukiran atau mungkin boneka?"

   "Saya minta Ki Sura membuatkan sebuah topeng. Terbuat dari getah kayu latek..."

   "Maksud Saudara Bagus getah pohon karet?"

   Bagus Srubud mengangguk.

   "Topeng dari getah pohon karet. Saya pernah mendengar hal itu. Konon topeng getah karet sangat tipis, halus. Nyaris sangat sempurna hingga si pemakai bisa memiliki satu wajah yang orang lain tidak tahu kalau dia sebenarnya memaki topeng. Namun pekerjaan ini merupakan satu hal yang belum pernah saya buat sebelumnya. Saya telah membuat puluhan, mungkin ratusan topeng dari kayu, kertas, daun lontar, daun kayu besi, kulit pohon. Tapi dari getah pohon karet..."

   Si orang tua geleng-gelengkan kepala dan usap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut liar memutih.

   "Tidak akan sulit bagi Ki Sura. Tinggal membuat topeng seukuran dan sebentuk kepala saya, menjadikannya sebagai bahan cetakan, lalu menuangkan getah karet di atasnya..."

   Sura Kalimarta tercengang mendengar ucapan tamunya itu. Dalam hati dia membatin.

   "Petinggi Keraton ini bukan sembarangan. Agaknya dia tahu banyak seluk beluk pembuatan topeng dari getah pohon karet."

   Si orang tua anggukkan kepalanya.

   "Ini satu pengalaman baru yang menarik bagi saya. Saya akan coba membuatnya..."

   "Saya butuh paling sedikit tiga buah topeng. Dalam raut yang berlainan tapi dalam ukuran yang sama..."

   "Tiga buah topeng. Dalam raut yang berlainan tapi dalam ukuran sama,"

   Mengulang Sura Kalimarta seraya menatap wajah tamunya.

   "Saya akan lakukan. Tapi saya mohon maaf kalau tidak dapat memenuhi permintaan Saudara Bagus Srubud dengan cepat. Paling tidak saya butuh waktu tiga puluh hari untuk mengerjakannya."

   "Saya ingin Ki Sura menyelesaikannya dalam waktu tiga hari!"

   Kata Bagus Srubud. Nada suaranya lebih memerintah dari pada meminta. Terkejutlah Sura Kalimarta mendengar ucapan tamunya itu.

   "Tidak mungkin, Saudara Bagus. Tiga hari untuk tiga topeng karet tipis yang saya belum pernah membuatnya!"

   "Ki Sura pasti mampu jika Ki Sura mau..."

   "Saya mau, tapi..."

   Sura Kalimarta geleng-gelengkan kepalanya.

   "Selama ini saya memang tidak pernah menampik atau mencari dalih pesanan yang datang dari Keraton. Tapi saya mohon maaf. Membuat topeng karet ini benar-benar satu pekerjaan baru bagi saya."

   "Ki Sura, saya hanya mengulang satu kali saja,"

   Kata Bagus Srubud.

   "Tiga buah topeng berlainan bentuk dalam ukuran sama. Dalam waktu tiga hari! Jelas?!"

   Si orang tua gelengkan kepalanya.

   "Tidak mungkin Saudara Bagus. Harap Saudara mengerti..."

   "Maafkan saya Ki Sura. Saya memang tidak mau mengerti. Ini pesanan dari Keraton. Harap diperhatikan dan dipenuhi."

   "Saya tetap meminta waktu. Mungkin saya bisa mengurangi tujuh hari. Jadi pesanan itu saya selesaikan dalam waktu sekitar tiga minggu."

   Bagus Srubud menggeleng.

   "Saya bilang tiga hari Ki Sura. Tidak lebih dan tidak kurang!"

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN "Saudara Bagus, kau lihat sendiri. Waktu datang tadi saya tengah menyelesaikan ukiran patung Dewi Sri. Itu adalah pesanan dari Keraton juga. Untuk penghias ruang tamu baru. Saya tidak mungkin menundanya. Jadi..."

   "Saya tidak perduli dengan patung Dewi Sri itu!"

   Potong Bagus Srubud.

   "Saudara Bagus, saya mohon kau mau mengerti...."

   Petinggi dari Keraton itu menyeringai.

   "Bukan saya yang harus mengerti Ki Sura. Tetapi engkau..."

   "Maksud Saudara Bagus...?"

   "Istri Ki Sura, Kinasih, ada di tangan saya. Dia berada dalam keadaan aman dan selamat sampai Ki Sura menyelesaikan pesanan sesuai dengan kemauan saya, bukan kehendak Ki Sura!"

   Terkejutlah si orang tua. Wajahnya berubah, sesaat merah lalu berganti pucat.

   "Kau petinggi Keraton teganya berbuat sejahat itu..."

   "Saya akan kembali ke sini bersama istri Ki Sura pada pagi hari ke empat dihitung mulai hari ini. Jika Ki Sura berani melaporkan kejadian ini pada siapapun. Ki Sura tidak akan melihat Kinasih lagi untuk selama-lamanya! Bagi orang setua Ki Sura, tidak mudah mendapatkan istri semuda dan seayu Kinasih. Perempuan itu satu yang sangat berharga dalam kehidupan Ki Sura bukan? Kini semua terserah Ki Sura sendiri..."

   Habis berkata begitu Bagus Srubud putar tubuhnya dan tinggalkan si orang tua.

   Menggigil tubuh Sura Kalimarta.

   Lututnya goyah.

   Orang tua ini jatuh terduduk di lantai.

   Dia ingin berteriak.

   Namuh tubuhnya terasa lemas.

   Yang keluar bukan teriakan, tapi justru kucuran air mata.

   "Gusti Allah, bagaimana mungkin ada pejabat tinggi Keraton sekeji Bagus Srubud itu. Kalau aku mengadu pada Sri Baginda pasti dia akan dipancung. Tapi nasib istriku Kinasih mungkin tidak akan tertolong. Kinasih, dimana kau berada saat ini...?"

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN BAB Siang hari ke empat setelah kedatangan Bagus Srubud.

   Hari itu adalah hari perjanjian Sura Kalimarta harus menyerahkan tiga buah topeng pesanan petinggi Keraton tersebut.

   Ternyata siang itu telah terjadi satu kegemparan di tempat kediamaan sang ahli ukir.

   Seorang utusan dari Keraton yang datang ke situ untuk menanyakan pesanan patung Dewi Sri dikejutkan dengan ditemukannya sang ahli ukir telah jadi mayat.

   Orang tua itu tergeletak mati di ruang tamu secara mengenaskan.

   Kepalanya pecah.

   Di dekat mayatnya ada sebuah pentungan kayu berlumuran darah.

   Agaknya Sura Kalimarta dibantai dengan pentungan itu.

   Di tangan kanan Sura Kalimarta masih tergenggam sebuah pahat.

   Mungkin sekali dia masih mengerjakan ukiran patung Dewi Sri ketika maut merenggut nyawanya.

   Di rumah besar itu tidak ada orang lain kecuali istri Sura Kalimarta.

   Tapi perempuan itu tidak ditemukan di sana.

   Sulit diketahui apa yang sebenarnya terjadi.

   Berbagai duga perkiraan segera menebar dari mulut ke mulut.

   Mulai dari yang masuk akal sampai yang bukan-bukan.

   Mulai dari yang baik sampai yang berbau fitnah.

   Ada yang menduga bahwa seorang perampok menjarah rumah juru ukir itu.

   Dipergoki oleh pemilik rumah.

   Perampok membunuh Sura Kalimarta dengan mementung kepalanya.

   Tapi anehnya mengapa semua barang berharga milik orang tua itu atauapun istrinya ditemui masih ada dalam sebuah lemari? Dugaan lain si orang tua dibunuh oleh lelaki yang mungkin adalah kekaih gelap istrinya yang jauh lebih muda itu.

   Keduanya dipergoki oleh Sura Kalimarta tengah berbuat mesum.

   Untuk menghilangkan jejak Sura Kalimarta dibunuh oleh kekasih istrinya lalu kedua orang itu melarikan diri.

   Ada pula yang memperkirakan bahwa Sura Kalimarta dibunuh oleh istrinya sendiri.

   Setelah itu Kinasih melarikan diri.

   Mungkin menemui seorang lelaki yang sudah lama berhubungan secara gelap dengannya.

   Dua dugaan terakhir dibumbuhi dengan keadaan Kinasih yang masih muda sementara suaminya sudah lebih dari enam puluh tahun.

   Kebahagiaan apa yang mampu diberikan oleh Sura Kalimarta lelaki setengah uzur itu pada seorang istri yang masih muda? Dan sampai berapa lama Kinasih sanggup bertahan diri menjalani hidup tanpa sentuhan hangat seorang suami yang sangat diharap dan ingin dirasakan dalam usianya yang baru mencapai tiga puluh dua tahun itu? Dua dugaan itu dimentahkan dengan kenyataan ditemukannya perhiasan milik Kinasih di dalam sebuah lemari.

   Jika perempuan itu memang terlibat dalam pembunuhan suaminya masakan dia akan melarikan diri begitu saja tanapa membawa serta harta kekayaan berupa perhiasan atau uang dan sebagainya.

   Dugaan lain menyebutkan bahwa seorang musuh lama Sura Kalimarta muncul untuk membalas dendam lalu menculik Kinasih.

   Kematian mengenaskan sang ahli ukir disampaikan kepada Raja.

   Sri Baginda segera mengirimkan beberapa bawahannya untuk menyelidik.

   Keadaan mayat Sura Kalimarta diperiksa, begitu juga setiap sudut rumah kediamannya bahkan sampai seputar halaman guna mencari jajagan, apa sebenarnya yang terjadi dan siapa pembunuh oarng tua itu.

   Di samping itu beberapa orang juga dikirim untuk menyelidik dan mencari Kinasih, istri Sura Kalimarta yang dikabarkan raib itu.

   Para petugas yang memeriksa mayat Sura Kalimarta mendapatkan satu temuan yang sangat penting.

   Ketika mayatnya yang tergeletak menelungkup di lantai diperiksa, orang tua itu masih memegang sebuah pahat.

   Di lantai batu ada guratan-guratan aneh yang berakhir di ujung pahat.

   Setelah diperhatikan dan diteliti dengan seksama, para penyelidik dari Keraton akhirnya berhasil mengetahui apa sebenarnya yang tergurat di lantai itu.

   Ternyata guratan itu adalah tulisan huruf Jawa Kuna yang ditulis demikian buruk dan sulit dibaca.

   Tulisan itu terdiri dari dua buah kata.

   Yang pertama berbunyi Bagus, yang berikutnya berbunyi Srubud.

   "Bagus Srubud..."

   Kata salah seorang dari empat petugas Keraton yang menyelidik.

   "Ini nama seseorang..."

   "Mungkin orang ini yang membunuh Raden Mas Sura Kalimarta!"

   Ujar petugas ke dua. Orang ketiga ikut berucap.

   "Benar... Mungkin sebelum menemui ajal. Raden Mas Sura masih punya daya dan kesempatan untuk menorehkan pahatnya di lantai batu, menulis nama orang yang membunuhnya!"

   "Bagus Srubud! Aku tidak pernah mendengar nama itu. Apa kalian ada yang mengenal orang itu?"

   Tiga kepala sama digelengkan.

   *** BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN Pangeran Matahari memacu kuda tunggangannya lurus ke arah timur.

   Sesekali salah satu tangannya dipergunakan untuk mengusap wajahnya.

   Tak selang berapa lama dia sampai di satu bukit kecil yang ternyata adalah bibir sebuah lembah.

   Memandang ke bawah dia melihat sebuah lembah cukup luas.

   Setelah memperhatikan keadaan sekitarnya beberapa lama, Pangeran Matahari tinggalkan lembah, turun ke bawah.

   Di dasar lembah dia menemukan banyak sekali rerumpunan semak belukar.

   Namun hanya ada satu semak belukar yang di tengah-tengahnya ditumbuhi pohon sirih hutan.

   "Menurut guru..."

   Membatin sang Pangeran.

   "Di balik semak belukar yang ada pohon sirih hutan ini ada sebuah goa. Lalu di dalam ada sorga... Hemmm... Aku masih harus membuktikan apap sebenarnya arti kata-kata orang tua yang sudah jadi arwah gentayangan itu!"

   Pangeran Matahari melompat turun dari kudanya.

   Dia mendekati semak belukar di hadapannya.

   Ketika semak belukar didorongnya ke kiri pandangannya membentur dinding batu berlumut yang di sebelah tengahnya ada sebuah lobang setinggi bahu manusia.

   Sang Pangeran tidak segera masuk ke dalam goa.

   Dia menunggu sesaat sambil memasang telinga dan memperhatikan keadaan sekitarnya.

   Bila dirasakannya aman, baru dia melangkahkan kaki.

   Dengan merunduk dia masuk ke dalam goa.

   Di sebelah dalam goa, bagian atasnya ternyata cukup tinggi hingga Pangeran Matahari bisa melangkah tanpa merunduk lagi.

   Memasuki goa sejarak sepuluh tombak keadaan berubah menggelap karena cahaya dari luar terhalang oleh satu kelokan.

   Tiba-tiba dari arah depan ada suara mendesah disusul oleh suara perempuan menegur.

   "Bagus. Bagus Srubud, kaukah itu?"

   Pangeran Matahari hentikan langkahnya. Dia ingat ucapan gurunya.

   "Sorga itu bernama Kinasih. Untuk mendapatkan sorga itu kau harus mengaku bernama Bagus Srubud."

   Pangeran Matahari berpikir sesaat lalu mendehem.

   "Kinasih...?"

   "Suaramu agak berubah Bagus. Kau sakit...?"

   "Hemm... Tenggorokanku agak tidak enak,"

   Jawab Pangeran Matahari.

   "Kau hanya tegak diam di situ. Mengapa tidak mendekat kemari?"

   Dalam gelap Pangeran Matahari buka matanya lebih lebar, memandang ke depan.

   Sesaat setelah matanya terbiasa dengan kegelapan, walau tidak begitu jelas, tapi apa yang dilihatnya di sebelah sana membuat jantungnya berdegup keras dan darahnya memanas.

   Di lantai goa, sejarak enam atau tujuh langkah di depannya, terbaring satu sosok putih mulus, nyaris tidak terlindung pakaian.

   Seonggok pakaian terletak di samping sosok tubuh ini.

   "Agaknya inilah sorga yang dimaksudkan guru,"

   Kata Pangeran Matahari dalam hati sambil menyeringai.

   "Bagus, jangan diam saja. Lekas kemari. Lepaskan totokan di tubuhku! Kau selalu menotok aku setiap kau meninggalkan goa. Padahal aku sudah berjanji tidak akan melarikan diri..."

   Pangeran Matahari maju melangkah.

   Lalu berlutut di samping sosok tubuh itu.

   Ternyata perempuan bernama Kinasih itu berparas ayu dan memiliki tubuh elok menggairahkan.

   Mata Sang pangeran menyelusuri wajah dan tubuh itu sesaat, mencari tahu di bagian mana Kinasih telah ditotok.

   Setelah diketahuinya segera dia menotok urat besar di leher sebelah kiri.

   Tubuh Kinasih langsung bergerak bangun dan memeluknya.

   Tapi tiba-tiba perempuan itu lepaskan pelukannya dan menatap dalam gelap.

   "Jangan-jangan dia tahu aku bukan Bagus Srubud,"

   Pikir Pangeran Matahari.

   "Kurang ajar, siapa sebenarnya Bagus Srubud itu! Dan si jelita berubuh polos ini siapa pula dia sebenarnya?!"

   "Bagus, kuharap kau menepati janjimu. Hari ini kau akan membebaskan aku. Aku akan melupakan masa laluku dan menjadi pendamping setiamu untuk selama-lamanya..."

   Pangeran Matahari merasa lega dan tersenyum.

   Gelapnya goa membuat perempuan itu tidak mengenali kalau sebenarnya dia bukan Bagus Srubud.

   Dia mulai bisa menduga sedikit apa-apa yang telah terjadi sebelumnya antara lelaki bernama Bagus Srubud dengan perempuan ini.

   "Kita bermalam dulu satu sampai dua hari di tempat ini. Setelah itu baru pergi..."

   Mengira Bagus Srubud masih ingin berada lebih lama dengannya di dalam goa itu Kinasih merasa senang juga. Sambil memeluk si pemuda dia berkata.

   "Kau barusan dari Kotaraja. Apakah keadaan masih belum aman? Orang-orang masih mencariku...?"

   "Betul,"

   Jawab Pangeran Matahari.

   "Itu sebabnya kita perlu sembunyi lebih lama di goa ini..."

   Kini Pangeran Matahari menduga jangan-jangan perempuan ini adalah anak atau istri seorang penting di Kotaraja yang main gila dan melarikan diri dengan seorang lelaki bernama Bagus Srubud yang kini perannya tengah dijalankan oleh dirinya sendiri.

   Ketika perempuan itu mengambil pakaiannya yang terongok di lantai, Pangeran Matahari menahan tangannya.

   Lalu merangkulnya.

   Sebenarnya Kinasih merasakan satu kelainan dalam sikap dan gerak gerik lelaki itu.

   Tetapi perasaan itu dilupakannya karena mengira setelah BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN berpisah agak lama Bagus Srubud kini menjadi lebih bergairah.

   Kinasih tidak bisa menipu dirinya, dia sendiri saat itu juga telah diamuk rangsangan.

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN BAB Pagi itu Pangeran Matahari telah rapi berpakaian.

   Seperti pertama kali di masuk ke dalam goa, pakaian yang dikenakannya adalah pakaian kebesaran petinggi Keraton.

   "Bagus, apakah hari ini hari yang kau janjikan itu? Kita sama-sama pergi meninggalkan goa?"

   Pangeran Matahari mengangguk.

   "Kenakan pakaianmu. Aku menunggu di luar."

   Saking gembiranya Kinasih memeluk Panegran Matahari tanpa dia tahu apa sebenarnya yang akan terjadi sebentar lagi.

   Sementara Pangeran Matahari yang dikenalnya sebagai lelaki bernama Bagus Srubud itu melangkah ke luar goa, Kinasih cepat mengenakan pakaian.

   Ketika kemudia dia keluar dari goa dilihatnya Pangeran Matahari telah duduk di atas seekor kuda.

   Di depan rerumpunan semak belukar perempuan muda ini tertegun sesaat.

   "Ah, di dalam goa aku tidak bisa melihat parasnya dengan jelas. Ternyata dia seorang pemuda berwajah gagah. Tubuhnya kuat. Aku benar-benar bahagia bisa mendapatkannya,. Demi rasa sukaku padanya, apapun yang terjadi akan kuhadapi... Tapi aku tidak pernah menduga kalau dia adalah seorang pejabat Keraton."

   "Kau memperhatikan diriku agak aneh. Ada apakah?"

   Bertanya Pangeran Matahari. Kinasih melangkah mendekati lelaki itu, letakkan kepalanya di pinggul Pangeran Matahari. Sambil mengusap-usap paha Pangeran Matahari dia berkata.

   "Aku sangat bahagia hari ini. Satu hal aku tidak menduga. Kau ternyata adalah seorang petinggi Kertaon..."

   Pangeran Matahari memandang pada pakaian bagus yang dikenakannya lalu tersenyum.

   "Mengingat apa yang kau lakukan, apakah kau tidak takut akan kehilangan jabatanmu Bagus Srubud?"

   "Aku tidak pernah merasa takut menghadapi apa dan siapapun..."

   Kinasih angkat kepalanya.

   "Aku senang mendengar ucapanmu itu. Kita pergi sekarang? Kau akan membawaku kemana Bagus?"

   "Aku akan pergi sendirian. Aku tak akan membawamu kemana-mana Kinasih..."

   Ucapan Pangeran Matahari itu mengejutkan Kinasih. Wajahnya yang cantik mengerenyit.

   "Kau tentunya bergurau Bagus..."

   "Di dalam goa, ketika memeluk dan menciummu, aku memang suka bergurau. Tapi kali ini tidak."

   "Bagus, apa maksudmu?!"

   Tanya Kinasih.

   "Maksudku, aku akan pergi kemana aku suka dan kau juga boleh pergi kemana kau suka."

   "Astaga! Aku benar-benar tidak mengerti..."

   "Kau bisa berusaha mengerti setelah aku pergi. Terima kasih untuk kesenangan yang kau berikan padaku selama dua hari ini. Selamat tinggal Kinasih...."

   "Kau tidak menepati janji! Kau..."

   "Aku tidak pernah berjanji. Kalaupun aku pernah berjanji, aku memang bukan seorang yang suka menepati janji!"

   "Bagus Srubud, aneh sekali! Kau tiba-tiba berubah. Atau kau memang sudah berencana menipuku!"

   Pangeran Matahari tertawa bergelak.

   "Aku memang manusia segala akal dan paling licik di dunia ini. Soal tipu menipu bagiku adalah soal kecil!"

   "Ya Tuhan! Teganya kau berkata begitu. Teganya kau menipu diriku! Kau culik aku, kau sekap aku di dalam goa. Aku kau jadikan..."

   "Apapun yang telah terjadi aku tidak perduli!"

   Pangeran Matahari menepuk pinggul kudanya. Binatang itu melompat ke depan hampir menyeret Kinasih kalau perempuan ini tidak cepat melepaskan pegangannya di kaki sang Pangeran.

   "Bagus! Tunggu! Bagaimana kalau aku mengandung?!"

   Berteriak Kinasih sambil coba mengejar. Di atas punggung kudanya Pangeran Matahari hanya menoleh sebentar lalu dengan seringai di wajahnya dia berkata.

   "Kalau kau hamil, kurasa itu bukan perbuatanku. Ada orang lain yang melakukan sebelum aku..."


Putri Bong Mini Sepasang Pendekar Dari Selatan Pengemis Binal Kemelut Kadipaten Bumiraksa Wiro Sableng Empat Berewok Dari Goa Sanggreng

Cari Blog Ini