Ceritasilat Novel Online

Tiga Makam Setan 2


Wiro Sableng Tiga Makam Setan Bagian 2



Kinasih terpekik mendengar kata-kata itu. Wajahnya seputih kain kafan. Suaranya bergetar ketika berkata.

   "Selama ini aku tidak pernah berbuat seperti yang kita lakukan dengan orang lain. Juga tidak dengan suamiku sendiri. Aku..."

   Pangeran Matahari tersenyum. Begitu senyumnya lenyap mulutnya berucap.

   "Aku hanya meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli. Seharusnya kau berterima kasih padaku karena aku telah memberikan kesenangan tambahan selama dua hari padamu. Ha... ha... ha!"

   "Kau... katamu kau meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli? Ucapan gila apa ini?!"

   Kau mau pergi begitu saja sementara aku bakal menghadapi masalah besar. Bagaimana kalau aku mengandung Bagus? Bagaimana...?!"

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN "Kau membuat aku jengkel Kinasih.

   Sudahlah! Jika kau nanti benar-benar mengandung dan melahirkan seorang bayi, kau bisa memelihara anak itu.

   Jika kau tidak sudi memeliharanya, berikan pada orang lain.

   Jika kau juga tak mau melakukan hal itu, bunuh saja bayimu! Ha...

   ha...

   ha Aku tidak perduli kau mau berbuat apa.

   Karena bayi itu bukan anakku! Bukan darah dagingku!"

   Kembali Kinasih terpekik.

   Sekujur tubuhnya menggigil lunglai.

   Hampir dia jatuh ke tanah tiba-tiba seperti ada satu kekuatan masuk ke dalam dirinya, perempuahn muda ini lari mengejar ke atas lembah, ke arah perginya Pangeran Matahari.

   Dia berlari sambil tiada hentinya memanggil-manggil nama Bagus Srubud.

   Dia baru berhenti berlari ke bagian atas lembah ketika dadanya sesak dan tubuhnya terasa lemas.

   Kinasih melihat dunia ini seperti berputar.

   Dua tangannya memegangi dada yang mendadak terasa sakit seperti ditindih batu besar.

   Perlahan-lahan tubuhnya terhuyung ke belakang.

   Sesaat lagi dia akan terbanting jatuh dan terguling ke dasar lembah, satu tangan kokoh merangkul pingganggnya yang ramping.

   Lalu dia merasa seperti dilarikan oleh seseorang.

   Di satu tempat orang ini berhenti dan menurunkannya.

   "Bagus... Bagus Srubud?"

   Kinasih berucap menyebut nama itu. Tapi ketika dia mendongak, dia tidak melihat wajah Bagus Srubud, melainkan seorang pemuda bertampang gagah, berambut gondrong dan memandang padanya sambil tersenyum polos.

   "Aku bukan orang yang barusan namanya kau sebut. Aku kebetulan lewat dan melihatmu hampir terguling ke dasar lembah..."

   Kinasih seperti belum sadar dan percaya apa yang dialaminya. Dia memandang berkeliling.

   "Bagus Srubud..."

   Ucapnya perlahan. Lalu pandangannya ditujukan pada sosok pemuda gondrong di depannya. Setelah itu dia jatuhkan diri, tutupi muka dengan dua tangan dan mulai terisak menangis.

   "Walah! Apa ucapanku tadi ada yang salah? Sampai membuat perempuan muda ini menangis?"

   Si gondrong bicara sendiri sambil garuk-garuk kepala. Dia menunggu. Tapi tangis Kinasih semakin keras. Membuat si gondrong jadi bingung, melangkah mundar-mandir sambil tiada henti menggaruk kepala.

   "Dari pada mencari urusan lebih baik aku tinggalkan saja perempuan ini,"

   Kata si gondrong pula dalam hati. Namun memandang wajah yang menangis dan kini tidak lagi ditutupi tangan, hatinya merasa hiba.

   "Ah, kasihan juga kalau aku tinggal. Lagi pula wajahnya cantik ayu. Biar kutunggu saja. Kalau sudah capai dia pasti berhenti menangis. Belum pernah kulihat ada perempuan mampu menangis sampai satu hari satu malam!"

   Si gondrong lalu mendekati sebuah pohon dan duduk bersandar di situ sambil senyum-senyum memperhatikan Kinasih menangis.

   Seperti ucapan si gondrong, akhirnya Kinasih berhenti juga menangis.

   Dengan matanya yang bengkak merah perempuan ini memandang pada pemuda yang duduk di bawah pohon itu.

   "Kau siapa? Mana Bagus Srubud...?"

   "Aku tidak kenal Bagus Srubud. Juga tidak tahu dia berada di mana. Kau mau menerangkan siapa adanya orang bernama Bagus Srubud itu?"

   "Aku..."

   Kinasih tutup wajahnya dengan dua tangan.

   "Aku tertipu. Dia... dia menculikku. Membawaku ke goa di lembah di sana. Tutur katanya penuh rayuan. Aku tak bisa bertahan..."

   "Waktu aku sampai di lembah ini, aku melihat seorang penunggang kuda lari ke arah sana sementara kau mendaki lembah mengejar. Aku tidak tahu mau berbuat apa. Tapi ketika melihat kau hampir jatuh terguling, aku memutuskan menolongmu, tidak mengejar orang berkuda itu..."

   "Dia... penunggang kuda itu Bagus Srubud. Manusia penipu. Jahanam terkutuk. Dia hanya ingin melampiaskan nafsu bejatnya terhadap diriku..."

   "Ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu..."

   "Aku tidak mungkin menceritakan pada orang lain. Aku malu, benar-benar malu. Aib yang kubuat terlalu besar. Tidak, tidak mungkin kuceritakan padamu. Apalagi aku tidak kenal siapa kau sebenarnya..."

   "Kau tak usah malu padaku. Namaku Wiro Sableng. Ceritakan apa yang terjadi. Mungkin aku bisa menolong..."

   "Wiro Sableng? Namamu Wiro Sableng...? Kau tahu, sableng itu artinya kurang waras, berotak miring. Kau tidak berotak miring 'kan?"

   Si gondrong Wiro tertawa.

   "Mungkin cuma sedikit kurang waras, sedikit agak miring."

   "Aku tidak mau bicara pada orang gila!"

   Murid Sinto Gendeng menyengir.

   "Kalau kau tinggal sekitar sini, sebaiknya kau segera saja pulang ke rumah..."

   Kinasih menggeleng.

   "Setelah apa yang terjadi, aku tidak mungkin kembali ke rumah. Aku... aku tinggal di Kotaraja..."

   "Kebetulan aku akan ke Kotaraja untuk satu urusan. Aku bisa menemanimu..."

   Kinasih menggeleng. BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN Wiro garuk-garuk kepalanya.

   "Aku tahu, kau pasti punya pikiran begini. Orang seperti Bagus Srubud saja yang tadinya kau sukai tidak dapat dipercaya. Apalagi orang sableng seperti diriku."

   Wiro bankit berdiri.

   "Kau berada di tempat aman. Kotaraja tak jauh dari sini. Kau bisa ke sana tanpa pertolongan siapa-siapa..."

   "Tunggu!"

   Panggil Kinasih ketika dilihatnya Wiro hendak melangkah pergi. Wiro hentikan langkah, Kinasih menatap sejurus pemuda di hadapannya itu.

   "Sebenarnya wajahnya tampan, tapi lagaknya konyol tak karuan. Kalau otaknya benar-benar kurang waras aku bisa tambah celaka."

   Kinasih berpikir lalu untuk menghilangkan kebimbangan dia bertanya.

   "Apakah ku bisa kupercaya dan mau menolongku?"

   "Perempuan cantik sepertimu seharusnya jangan mudah percaya pada siapa saja. Apa lagi yang namanya laki-laki seperti aku ini! Tapi soal menolong bagaimana aku bisa kalau apa yang terjadi saja ceritanya aku tidak tahu!"

   Jawab Wiro.

   "Baik, baik... aku akan ceritakan..."

   "Dari permulaan, jangan ada yang kau lupakan."

   Kinasih mengangguk.

   "Namaku Kinasih. Suamiku adalah..."

   "Eh, kau ini sudah bersuami rupanya. Kukira masih gadis perawan!"

   Wiro memotong sambil senyum dan garuk kepala. Kata-kata Wiro membuat wajah Kinasih jadi merah.

   "Jangan bergurau. Jangan memotong ceritaku atau lebih baik aku bungkam saja..."

   "Mulutku memang suka ketelepasan. Tapi aku tadi bicara polos. Kau begini muda, cantik. Siapa mengira..."

   "Suamiku adalah Raden Mas Sura Kalimarta, seorang juru ukir Keraton. Usianya sudah lanjut, lebih dari enam puluhan. Kami kawin atas kehendak Sri Baginda. Aku memang sejak lama mengagumi kepandaian Sura Kalimarta dan tidak menyangka satu hari akan menjadi istrinya. Sebenarnya kalau Sri Baginda tidak keliwat memaksa, mungkin aku tidak akan menjadi istri orang yang pantas menjadi ayah bahkan kakekku. Selama beberapa tahun kawin kami tidak mempunyai anak..."

   "Suamimu mandul..."

   Kinasih pelototkan matanya yang merah bengkak habis menangis. Wiro garuk-garuk kepala.

   "Maaf, mulutku usil lagi..."

   "Aku tidak tahu suamiku mandul atau tidak. Yang jelas selama kawin sekian tahun dia tidak pernah menggauliku sebagaimana layaknya seorang suami..."

   "O... ooo..."

   Wiro tersenyum ketika dilihatnya Kinasih kembali membesarkan mata.

   "Mungkin suamiku sudah terlalu uzur. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dan memperhatikan pekerjaanya. Walau aku menghormati dan mengagumi Raden Mas Sura Kalimarta namun sebagai seorang istri hidupku penuh tekanan batin. Aku berusaha bertahan menebalkan iman, terutama terhadap godaan dari lelaki yang berusaha mendekatiku dan mengajakku berselingkuh. Aku tidak tahu sampai kapan bisa berbuat begitu. Beberapa hari lalu aku menyambangi seorang sahabat yang baru saja melangsungkan perkawinan di sebuah desa tak jauh dari Kotaraja. Waktu pestanya aku tidak berkesempatan datang. Dalam perjalanan pulang turun hujan lebat. Kabarnya terjadi banjir di sebuah kali yang akan dilalui rombongan. Perjalanan kami jadi terhalang. Menjelang malam baru bisa dilanjutkan."

   "Di satu tempat sepi dan gelap tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda menyerang rombongan. Kami mengira dia adalah seorang perampok tunggal berani mati. Kukatakan demikian karena dalam rombongan terdapat beberapa orang berkepandaian tinggi. Salah seorang di antaranya adalah Ki Suryo Tambaksari. Seorang pejabat tinggi di Kotaraja yang bulan depan bakal diangkat menjadi Adipati Klaten. Ternyata perampok tunggal itu punya kepandaian luar biasa. Semua lelaki dalam rombongan berjumlah tujuh orang tewas di tangannya. Perampok itu juga membunuh Ni Alursutri, sahabatku dalam perjalanan. Mayat mereka kemudian dibuang ke dalam jurang. Aneh, mengapa dia susah-susah melakukan hal itu..."

   "Karena dia ingin menghilangkan jejak,"

   Menyahuti Wiro.

   "Mungkin begitu,"

   Kata Kinasih.

   "Anehnya lagi si perampok tidak menjarah harta atau uang kami. Ternyata dia mengincar diriku. Dalam malam begitu gelap aku tidak sempat melihat atau mengenali tampang si perampok, selagi aku berusaha melarikan diri, tiba-tiba ada satu tusukan di punggungku. Aku langsung tidak sadarkan diri..."

   "Hemmm..."

   Wiro garuk-garuk kepala.

   "Itu bukan totokan biasa..."

   Kata murid Sinto Gendeng ini.

   "Ketika siuman, kudapati diriku berada dalam sebuah goa bersama perampok itu. Lagi-lagi aku tidak bisa melihat jelas orang itu karena goa dimana aku disekap gelap. Namun dari bentuk tubuhnya aku bisa menduga dia masih muda dan samar-samar bayangan wajahnya tampak tampan dalam gelap."

   "Pemuda itu mengaku bernama Bagus Srubud. Menurutnya dia menculikku untuk memaksa suamiku. Aku bertanya memaksa apa, tapi dia tidak menjawab. Saat-saat pertama aku sangat membenci dirinya. Tapi sikapnya yang sopan dan tutur bicaranya yang halus membuat BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN lama-lama aku merasa tertarik. Lalu timbul rasa suka. Entah bagaimana aku tak tahu bagaimana menerangkannya, hari-hari berikutnya kami sudah berada dalam hubungan sangat mesra. Aku tidak kuasa menolak semua apa yang dilakukannya. Semua yang selama ini tidak pernah aku dapatkan dari suamiku..."

   Sampai di situ Kinasih terdiam sejenak, wajahnya yang merah ditutupinya lagi dengan ke dua tangannya. Setelah menahan isak dan diam lagi beberapa lamanya baru dia melanjutkan.

   "Aku tahu aku telah berbuat salah dan dosa besar. Tapi hatiku terhibur karena Bagus Srubud berjanji tidak akan meninggalkan diriku, akan membawa aku kemana dia pergi. Menurutku ucapannya itu berarti dia akan mengambil aku sebagai istri. Aku sudah bertekad untuk tidak akan kembali lagi ke Kotaraja. Bukan saja karena aku tidak ingin kehilangan pemuda itu, tapi juga karena aku merasa tak layak lagi untuk kembali pada suamiku."

   "Dua hari lalu Bagus kembali ke goa. Aku tidak tahu dia pergi kemana,. Sekali ini sikap dan sentuhannya terhadapku luar biasa. Aku mengira mungkin itu karena dia rindu padaku. Namun ada semacam perasaan aneh yang tak biasa kupecahkan. Lalu pagi tadi terjadi hal yang tidak kuduga sama sekali. Pertama, dari pakaiannya baru kuketahui Bagus Srubud ternyata adalah seorang pejabat tinggi Keraton. Kemudian ini yang membuatku ingin mati saja. Bagus Srubud meninggalkan diriku. Aku tengah mengejarnya ketika kau muncul menolongku..."

   Sampai di sini Kinasih tak dapat lagi menahan dirinya. Perempuan ini kembali menangis.

   "Aku tak tahu mau melakukan apa. Atau mau pergi kemana. Bagus Srubud jahanam! Terkutuk dia selama-lamanya..."

   "Aku tidak yakin orang bernama Bagus Srubud itu petinggi Keraton. Kalau dia memang orang Istana kau tidak akan dibiarkannya hidup. Setelah melakukan perbuatan keji itu dia pasti ingin menghilangkan jejak. Tapi untuk menguji, tidak ada salahnya kau melaporkan kejadian ini pada petinggi lainnya di Kotaraja."

   "Itu sama saja degan membuka aibku sendiri,"

   Kata Kinasih dan lalu geleng-gelengkan kepalanya.

   "Yang aku takutkan kalau aku menandung. Anakku lahir tanpa ayah. Memalukan sekali. Aibku terlalu besar. Jahanam Bagus Srubud itu malah tega berucap, jika aku tidak mau memelihara bayiku, berikan pada orang lain atau membunuhnya!"

   "Coba kau ingat-ingat. Bagaimana ciri-ciri orang bernama Bagus Srubud itu. Tidak pernah aku menemui manusia sekeji itu..."

   Wiro lalu berpikir, menduga-duga.

   "Dia masih muda. Wajahnya tampan. Rambut hitam lebat..."

   "Tidak ada tanda-tanda tertentu...?"

   Tanya Wiro.

   Kinasih menggeleng.

   Wiro berpikir lagi.

   Dia coba mengingat-ingat kejadian malam itu.

   Ketika pertama kali dia terpesat dan terkapar di bukit karang Teluk Penanjung.

   Ada orang mendatanginya lalu membalikkan tubuhnya.

   Malam gelap, dia melihat agak samar-smar.

   Orang itu bermuka cacat.

   Raut wajahnya menyerupai Pangeran Matahari.

   Wajah Bagus Srubud tampan, tak ada cacatnya.

   Berarti keliru kalau dia menduga bahwa Bagus Srubud adalah Pangeran Matahari.

   Dua tahun lalu dia menghantam musuh besarnya itu hingga terjungkal dan amblas jatuh ke dalam jurang batu karang.

   Apakah Pangeran Matahari menemui ajalnya di dasar jurang? Pendekar Kipas Pelangi yang ditemuinya di Teluk Penanjung mengatakan bahwa Pangeran Matahari telah lama menemui ajal.

   (Baca Episode sebelumnya berjudul "Kembali Ke Tanah Jawa.").

   Namun murid Sinto Gendeng kini mulai meragukan hal itu.

   "Jangan-jangan bangsat itu masih hidup. Apa mungkin si muka cacat itu rohnya yang gentayangan?"

   "Kau seperti melamun. Apa yang kau pikirkan?"

   Pertanyaan Kinasih membuat Wiro sadar. Sambil menggaruk kepala dia bertanya.

   "Apa kau sudah menceritakan semua yang terjadi? Tidak ada yang terlupa? Sesuatu yang kau lupakan tapi bisa menjadi petunjuk?"

   Kinasih memandang ke arah kejauhan. Kemudian menggelengkan kepala.

   "Kurasa semua sudah keceritakan. Kalaupun ada rasanya bukan merupakan petunjuk, malah membuat kepalaku jadi sakit, hatiku panas dan bertambah dendam terhadap Bagus Srubud..."

   "Coba kau ceritakan..."

   Kata Wiro.

   "Sebelum pergi Bagus Srubud jahanam itu berkata, kalau aku sampai hamil maka itu bukan perbuatannya. Tapi perbuatan orang lain yang melakukannya sebelum dia. Apa tidak gila?!"

   "Memang gila tapi juga aneh. Mengapa dia berkata seperti itu..."

   Menyahuti Wiro.

   "Ada yang lebih aneh!"

   Kata Kinasih.

   "Dia berucap kalau dia hanya meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli. Seharusnya aku berterima kasih padanya karena dia memberikan tambahan kesenangan padaku selama dua hari..."

   Sepasang mata Pendekar 212 menyipit. Keningnya mengerenyit. Memang aneh. Apa maksudnya dia berkata begitu. Apa mungkin..."

   Wiro tidak teruskan ucapannya. Telinganya menangkap suara sesuatu. Seperti derap kaki kuda.

   "Apa yang harus aku lakukan? Kemana aku harus pergi?"

   "Kau harus pulang ke rumahmu di Kotaraja..."

   "Tidak mungkin! Aku tidak akan melakukan hal itu..."

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN Wiro mengangkat tangannya memberi tanda.

   "Jangan bicara, aku mendengar suara aneh. Mendatangi ke arah sini..."

   Belum lama Pendekar 212 berucap tiba-tiba di arah kanan kelihatan debu mengepul disertai suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian dua sosok tinggi aneh muncul di tempat itu. Kinasih terpekik. Kaget dan takut.

   "Kinasih, lari! Lekas tinggalkan tempat ini!"

   Kata Wiro. Tapi saking takutnya Kinasih malah tidak bisa lari. Sekujur tubuhnya bergeletar menggigil. Lututnya goyah. Seumur hidup belum pernah dia melihat makhluk aneh mengerikan seperti ini.

   "Monyet gondrong! Dulu kau boleh lolos dari kematian karena ada yang menolong! Hari ini jangan harap kau bisa selamat!"

   Satu suara berucap lantang. Menyusul suara kedua.

   "Tapi jika kau mau menjawab beberapa pertanyaan, nyawamu mungkin masih bisa diampuni. Kami hanya akan membuat cacat dirimu seumur-umur. Bukan begitu saudaraku?!"

   "Ha... ha... ha! Ucapanmu betul sekali! Biar aku mulai saja dengan pertanyaan pertama! Pendekar 212! Dimana beradanya Kitab Wasiat Malaikat?!"

   "Sekarang aku yang gantian bertanya! Pendekar 212! Apakah saat ini kau membawa Kitab Wasiat Dewa?!"

   Rahang murid Sinto Gendeng menggembung.

   "Dua makhluk jahanam ini! Mereka mencari kitab-kitab sakti itu rupanya. Aku sudah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan kesaktian mereka di bukit karang Teluk Penanjung. Aku haru berlaku hati-hati..."

   Selagi Wiro berkata dalam hati seperti itu, salah satu dari sosok tinggi di hadapannya berbisik pada sosok di sebelahnya.

   "Ada perempuan cantik bersama monyet gondrong itu. Kalau sudah dapat keterangan segera saja kita habisi dia. Lalu perempuan itu kita bawa kabur ke pondok di kali Pabelan."

   "Aku setuju sekali,"

   Jawab sosok satunya.

   "Memang sejak orang-orang Keraton Surakarta mencari-cari kita, kita tidak punya waktu banyak bersenang-senang. Sekarang ada rejeki besar di depan mata, cantik dan mulus! Siapa mau menolak?! Ha... ha... ha!"

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN BAB Bukit Ampel memang terletak di pedataran yang tidak terlalu tinggi.

   Namun kawasan ini serigkali diselimuti kabut, terutama mulai menjelang malam.

   Malam itu, baru saja bulan purnama muncul dari balik awan tebal, kabut telah berarak turun ke puncak bukit.

   Di salah satu lereng Bukit Ampel, susana sunyi sepi.

   Cahaya rembulan yang tidak menembus kabut membuat tempat itu berada dalam keadaan gelap temaram.

   Di kejauhan sesekali terdengar suara raungan anjing.

   Di gelapnya malam, di bawah hembusan angin yang terasa mencucuk dingin satu sosok samar-samar berjalan di balik kabut.

   Sekeluarnya dari kabut seharusnya sosok ini akan kelihatan lebih jelas.

   Tapi ternyata tetap saja bentuknya samar.

   Lalu bila diperhatikan gerakan sepasang kakinya seperti tidak menginjak tanah! Sosok aneh ini berupa seorang gadis cantik berwajah pucat.

   Pakaiannya di sebelah atas berupa sehelai kebaya putih dalam.

   Di bagian bawah dia mengenakan celana panjang juga berwarna putih.

   Di puncak bukit sosok aneh ini tegak sebentar, memandang berkeliling lalu mendongak ke langit.

   "Malam mulai larut. Apakah salah aku menyirap kabar bahwa para gadis gila itu memang telah memilih bukit Ampel ini sebagai tempat pertemuan? Aku akan menunggu. Tapi jika menjelang fajar mereka tidak muncul, tak mungkin begitu berada lebih lama di tempat ini..."

   Di kejauhan kembali terdengar suara lolongan anjing.

   Di langit bulan terlindungg awan.

   Puncak Bukit Ampel semakin gelap.

   Apa lagi kabut semakin banyak yang turun.

   Tiba-tiba dari sebelah barat puncak bukit berkelebat satu bayangan ungu.

   Lenyap sebentar ditelan kabut lalu muncul lagi lebih jelas.

   Ternyata orang ini adalah seorang gadis berpakaian ringkas warna ungu.

   Sehelai selendang juga berwarna ungu melingkar di lehernya, salah satu ujungnya menjulai di ats dada.

   Jika diperhatikan ujung selendang yang menjulai, akan kelihatan di situ tertera tiga buah angka yang tak asing lagi .

   212.

   Konon angka itu Pendekar 212 Wiro Sableng sendiri yang mengguratnya sebagai kenang-kenangan.

   "Hemmm... Satu sudah muncul..."

   Sosok samar berpakaian putih berkata sambil sepasang matanya tak berkesip memandang gadis berpakaian ungu itu.

   Rupanya dia bisa melihat gadis itu sebaliknya si baju ungu tidak melihat dirinya padahal jarak mereka di puncak Bukit Ampel itu hanya terpisah kurang dari lima langkah.

   Gadis berpakaian serba ungu ini dalam rimba persilatan dikenal dengan nama Anggini.

   Dia pernah mendapat julukan Dewi Kerudung Biru namun dia lebih suka memperkenalkan diri dengan nama aslinya (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Keris Tumbal Wilayuda.") Seperti diketahui Anggini adalah murid Dewa Tuak.

   Sejak pertemuan Anggini yang pertama dengan Pendekar 212 Wiro Sableng yang memang sengaja diatur oleh dedengkot persilatan Tanah Jawa itu, sebenarnya Dewa Tuak ingin menjodohkan Anggini dengan Wiro.

   Anggini sendiri, terlepas dari niat gurunya itu secara diam-diam memang mengasihi Wiro.

   Beberapa kali dia berusaha mendekati sang Pendekar.

   Namun tanggapan dari murid Sinto Gendeng walaupun baik dan ramah serta mereka sempat berkawan dekat, sama sekali tidak menjurus pada apa yang diharapkan Anggini.

   Setelah bertahan cukup lama akhirnya Anggini menyadari bahwa tidak ada harapan baginya untuk hidup bersama dengan Wiro.

   Walau hatinya sedih dan sangat berat namun dengan penuh ketabahan Anggini berusaha menjauhkan diri dari Wiro.

   Terakhir sekali mereka bertemu di Gajahmungkur sewaktu terjadi perang hebat antara para tokoh golongan putih dengan Datuk Lembah Akhirat dan anak buahnya.

   (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Gerhana Di Gajahmungkur.") Anggini kemudian pergi bersama seorang pemuda bernama Panji yang diam-diam mengasihi gadis ini.

   Mereka berangkat menuju Pulau Andalas untuk memenuhi permintaan tokoh nomor satu di sana yakni Nyanyuk Amber yang ingin mewariskan ilmu silat dan kaktiannya pada sepasang muda-mudi itu.

   Walau berada jauh di seberang lautan namun Anggini tidak pernah lupa meyirap kabar apa yang terjadi di Tanah Jawa.

   Dia kemudian mengetahui bahwa sejak dua tahun terakhir Pendekar 212 Wiro Sableng telah lenyap tanpa diketahui kemana perginya.

   Hasrat Anggini untuk menyelidik apa yang terjadi dengan orang yang dikasihinya itu tak dapat dibendung.

   Yang paling ditakutinya -walau sadar dia tidak berjodoh dengan Wiro -ialah kalau Wiro tahu-tahu telah melangsungkan perkawinan dengan seseorang tanpa dia mengetahui.

   Suatu hari, belum lagi sang surya muncul di ufuk timur, setelah membuat dua pucuk surat, satu untuk Nyanyuk Amber dan satunya lagi untuk Panji, Anggini meninggalkan Pulau Andalas, menyeberang ke Tanah Jawa.

   Letih berdiri menunggu, Anggini melangkah mundar-mandir di puncak bukit.

   Walau hidungnya membaui sesuatu, seperti bau bunga namun Anggini tidak menyadari kalau dia telah berulang kali melewati dekat sekali sosok gadis muka pucat berpakaian serba putih yang juga ada di tempat itu.

   Sebaliknya setiap Anggini lewat di depannya, gadis berpakaian putih memandang BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN dengan mata membesar.

   Dalam hati dia berkata.

   "Aku tahu dia gadis baik. Dia gadis pertama yang mengasihi pemuda itu dengan hati bersih. Aku memang cemburu padanya. Tapi aku tidak mau berseteru dengan dirinya. Karena ku tahu, keduanya tak berjodoh satu sama lain..."

   Habis membatin seperti itu gadis berpakaian serba putih, cantik tapi berparas pucat ini pergi duduk di atas sebuah batu.

   Matanya terus saja mengawasi gerak gerik Anggini.

   Puncak Bukit Ampel semakin sunyi, angin malam semakin dingin dan kabut semakin menebar.

   Anggini tiba-tiba palingkan kepala ke arah kiri.

   Ada suara berkelebat dari arah situ.

   Sebelumnya gadis berpakaian putih telah lebih dulu menoleh ke arah yang sama.

   Dari hal ini jelas diketahui bahwa bagaimanapun tingginya ilmu kepandaian murid Dewa Tuak, namun pendengaran gadis samar berpakaian putih jauh lebih tajam.

   Sesaat kemudian muncullah seorang gadis berpakaian ringkas biru berbunga-bunga kuning.

   Walau wajahnya tidak dipoles dengan dandanan namun kecantikannya tetap terlihat mempesona.

   Pipi dan bibirnya merah segar.

   Sepasang alisnya sangat tebal dan hitam.

   Rambutnya yang panjang tergerai lepas, bergerak meliuk tertiup angin.

   Di punggungnya ada sebuah kantong berisi tujuh buah payung berwarna merah, biru, kuning, putih, hitam dan ungu.

   "Dewi Payung Tujuh!"

   Berucap dalam hati gadis berpakaian putih samar.

   "Setahuku gadis dari Pulau Andalas ini pertama kali datang ke Tanah Jawa untuk menjalankan tugas neneknya yaitu membunuh Wiro dan mencari sebuah kitab sakti. Kitab tidak ditemui, Wiro gagal dibunuhnya malah dia jatuh cinta pada sang Pendekar. Namun dia hanya bertepuk sebelah tangan. Cintanya lalu dialihkan pada seorang pemuda bernama Panji. Ternyata pemuda itu pergi bersama Anggini ke Pulau Andalas. Apakah kini dia telah menjadi seorang gadis patah hati karena kabarnya telah memencilkan diri di satu tempat di pantai selatan? Tapi melihat kepada raut wajahnya yang tetap segar dan ceria, agaknya dia tidak benar-benar terpukul akibat dua kali kehilangan cinta. Lalu apa maksudnya tiba-tiba muncul di tempat ini. Agaknya dia juga telah menerima undangan datang ke sini. Aku kasihan padanya. Tapi harus berhati-hati karena dia kini memiliki sebilah pedang luar biasa saktinya. Yaitu Pedang Naga Suci 212. Kabarnya dia adalah cucu seorang tokoh hebat dari Andalas berjuluk Tua Gila yang juga merupakan guru Pendekar 212. Dia juga pernah menyelamatkan nyawa Wiro sewaktu terluka parah akibat pukulan sakti Tiga Bayangan Setan. Aku tak mau kesalahan tangan terhadap gadis satu ini." (Baca serail Wiro Sabelng berjudul "Wasiat Dewa".

   "Pedang Naga Suci 212", dan "Gerhana Di Gajahmungkur"). Anggini yang telah mengenal Dewi Payung Tujuh yang aslinya bernama Puti Andini segera datang menyambut.

   "Aku senang melihat kau bisa datang..."

   Anggini membuka pembicaraan.

   "Aku lebih gembira melihat kau sudah lebih dulu di sini. Kau datang jauh-jauh dari tanah seberang."

   Kata Puti Andini sambil dalam hatinya mengagumi besarnya rasa cinta Anggini terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng. Gadis ini memandang berkeliling.

   "Ah, baru kita berdua yang datang. Agaknya kita harus bersabar menunggu para sahabat yang lain."

   "Siapa lagi menurutmu yang akan memenuhi undangan datang ke Bukit Ampel ini?"

   Puti Andini bertanya.

   "Kurasa kita hanya tinggal menunggu dua orang saja. Sahabat Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung,"

   Jawab Anggini. Gadis ini memandang berkeliling lalu berkata.

   "Aku sejak tadi membaui sesuatu di tempat ini. Apakah kau juga bisa mencium..."

   "Ya, aku memang mencium sesuatu,"

   Sahut Puti Andini.

   "Seperti bau bunga... Tapi di udara berkabut seperti ini apa saja bisa menimbulkan bau aneh."

   Gadis muka pucat berpakaian putih yang tidak terlihat baik oleh Anggini maupun Puti Andini tersenyum kecil mendengar percakapan dua gadis itu.

   "Seperti ada angin bertiup dari arah sana..."

   Puti Andini berkata seraya menunjuk ke arah kegelapan di sebelah sana.

   "Aku mencium bau harum semerbak. Agaknya salah satu dari orang yang kita tunggu segera muncul di sini. Dan aku sudah bisa menduga siapa orangnya."

   Baru saja Anggini selesai berucap tiba-tiba dari balik kabut tebal berkelebat satu bayangan biru disertai menebarnya bau sangat harum. Lalu muncullah gadis cantik jelita tinggi semampai berambut pirang sepinggang.

   "Sahabat Bidadari Angin Timur!"

   Anggini dan Puti Andini menyebut nama gadis yang datang hampir berbarengan.

   "Kalian sudah lebih dulu sampai rupanya,"

   Kata Bidadari Angin Timur sambil tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya.

   "Aku gembira kita bisa bertemu dan berkumpul lagi."

   Dengan kedua gadis itu Bidadari Angin Timur memang merasa agak dekat. Salah satu sebabnya karena dia tahu bahwa mereka bukan merupakan saingan yang berat dalam mencintai dan mendapatkan cinta dari Pendekar 212 Wiro Sableng.

   "Kita tinggal menunggu satu kawan,"

   Kata Anggini.

   "Aku tahu. Kita tak akan menunggu lama. Sebentar lagi dia pasti akan hadir di sini,"

   Jawab Bidadari Angin Timur seraya memandang berkeliling. Lalu dia menyambung ucapannya BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN tadi.

   "Tapi jika yang kita tunggu tidak segera datang, untuk tidak membuang waktu lebih baik kita tinggalkan bukit ini. Kita bicarakan persoalan yang dihadapi di satu tempat lain..."

   Puti Andini dan Anggini saling pandang heran. Anggini lantas berucap.

   "Mengapa begitu, Bidadari Angin Timur? Mengapa kita harus berpindah tempat? Padahal kesepakatan sebelumnya di bukit ini kita akan bicara tuntas..."

   Bidadari Angin Timur tersenyum.

   "Nanti aku jelaskan pada kalian. Kalau orang yang kita tunggu memang tidak muncul."

   Sampai saat itu gadis cantik bermuka pucat yang duduk di batu masih tetap di tempatnya.

   Sepasang matanya tidak lepas-lepas memperhatikan gadis berambut pirang yang baru datang.

   Dia tahu dibanding dengan Anggini dan Puti Andini, Bidadari Angin Timur merupakan gadis cantik paling banyak mendapat tempat di hati Pendekar 212 Wiro Sableng.

   "Walau Wiro banyak membagi perhatian padanya, tapi apakah gadis satu ini benar-benar mencintai pemuda itu masih belum ada kejelasan. Setahuku dia belum pernah menyatakan rasa cintanya terhadap Wiro. Aku harus banyak memperhatikan gadis satu ini. Dia yang paling berhasrat untuk mendapatkan Wiro walau kadang-kadang di luaran bersikap seperti tidak acuh. Barusan dia mengajak dua gadis lainnya untuk pergi ke tempat lain. Aku tahu alasannya. Dia ingin menghindari pertemuan dengan gadis yang segera akan muncul. Karena gadis itu merupakan saingannya paling berat. Apa lagi beberapa waktu lalu mereka sempat berperang mulut di satu pekuburan. Dia ingin mencuri waktu untuk mendapatkan kesempatan. Si pirang ini selain cantik dan memiliki kepandaian tinggi, dia juga mempunyai otak cerdik..."

   Selagi Bidadari Angin Timur, Anggini dan Puti Andini bercakap-cakap, di lereng bukit sebelah timur seorang yang berlari cepat sesaat hentikan larinya.

   Orang ini mengenakan pakaian panjang ketat berwarna putih, ditaburi manik-manik berwarna merah.

   Walau malam gelap tapi pakaian yang seolah mencetak bentuk tubuhnya yang bagus itu kelihatan berkilau-kilau.

   Di atas kepalanya ada satu mahkota kecil terbuat dari kerang berwarna merah.

   Anting, kalung dan gelang dari kerang juga menjadi perhiasannya.

   Sepasang mata yang berwarna biru menambah kecantikan dan keanggunannya.

   Orang yang menghentikan lari dengan tiba-tiba ini adalah Ratu Duyung.

   Dari balik pakaiannya sang Ratu keluarkan sebuah cermin bulat.

   Memandang ke dalam cermin sakti itu dia bisa melihat puncak Bukit Ampel.

   Mula-mula hanya kegelapan yang terlihat.

   Ratu Duyung gerakkan cermin saktinya beberapa kali.

   Sesaat puncak bukit masih tampak menghitam.

   Kemudian mulai terlihat bayangan-bayangan samar.

   Sang Ratu kerahkan tenaga dalam.

   Bayangan di cermin tampak menjelas.

   "Ada tiga orang di puncak bukit sana..."

   Ratu Duyung berucap perlahan.

   "Wajah mereka masih agak samar, Tapi dari potongan tubuh aku bisa menduga siapa saja mereka. Kalau pertemuan nanti berlangsung jujur, aku akan jelaskan pada mereka semua apa yang kuketahui. Tapi kalau ada yang ingin menang sendiri, apalagi mengungkit-ungkit peristiwa lama, biar dia kubikin susah..."

   Ratu Duyung hendak masukkan cermin sakti kembali ke balik pakaian tapi tiba-tiba dia melihat sesuatu di sudut kaca sebelah atas.

   "Astaga... Mataku hampir terlewat memperhatikan bayangan di bagian atas kaca. Aneh... Tiga gadis itu terlihat jelas. Kalau memang ada empat orang di puncak Bukit Ampel mengapa yang satu ini tidak muncul secara lebih jelas dalam cermin?"

   Ratu Duyung kembali kerahkan tenaga dalam. Satu cahaya putih berkilau di bagian atas cermin itu. Sang Ratu merasakan getaran halus di jari-jari tangan dan sepanjang lengan kanannya.

   "Aneh, jangan-jangan dia... Perempuan setan itu! Dendamku masih belum hapus terhadapnya. Dia dulu mencelakai diriku di Puri Pelebur Kutuk! Tapi untuk pastinya biar kuuji dengan ilmu Menyirap Detak Jantung."

   Habis berkata begitu Ratu Duyung simpan cermin saktinya.

   Dua tangnnya dirangkapkan di depan dada.

   Telapak tangan kanan dikembangkan, ditempelkan di dada kiri atas, tepat di jurusan atas jantung.

   Mulutnya dikatup rapat sementara matanya yang berwarna biru setengah dipejamkan.

   Sesaat kemudian kelihatan wajah Ratu Duiyung berubah.

   "Benar dia..."

   Katanya dalam hati.

   "Aku hanya mendengar tiga detak jantung. Detak jantung orang yang ke empat sama sekali tidak ada! Manusia hidup tidak mungkin tanpa jantungnya berdetak. Mengapa dia bisa muncul di Bukit Ampel. Siapa yang mengundangnya?! Aku harus berhati-hati..."

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN BAB 10 Bidadari Angin Timur merasakan sambaran angin halus. Serta merta gadis ini melirik ke samping kanan dan berkata.

   "Orang yang kita tunggu sudah datang!"

   Dari balik kabut tebal di arah sebelah kanan menyeruak muncul sosok Ratu Duyung dengan segala keanggunannya. Dia tersenyum sambil menganggukkan kepala pada tiga gadis yang sudah datang lebih dulu.

   "Maafkan, aku datang terlambat. Kalian tentu sudah lama menunggu. Aku gembira bisa bertemu dengan kalian,"

   Kata Ratu Duyung.

   Walau tiga gadis lainnya memiliki kecantikan bukan sembarangan, namun sang ratu memiliki kelebihan yakni cara bicara dan sikap yang anggun.

   Apalagi tidak seperti yang lain-lainnya, dia mengenakan pakaian mewah, bagus dan ketat mencetak bentuk tubuhnya yang molek serta wajah dirias apik mempesona.

   Ditambah dengan mahkota kecil di atas kepalanya maka penampilan sang Ratu satu tingkat melebihi tiga gadis lainnya.

   Baru saja sang Ratu berucap begitu tiba-tiba tubuhnya kelihatan terhuyung ke depan seperti ada sesuatu yang membenturnya.

   "Ratu Duyung, ada apa? Kau kurang sehat...?"

   Bertanya Anggini sambil maju dan memegang lengan Ratu Duyung yang saat itu telah bisa mengimbangi diri.

   "Aku hanya sedikit letih. Tak apa-apa. Kita bisa segera langsung membicarakan persoalan yang tengah kita hadapi,"

   Menjawab Ratu Duyung dengan tenang walau wajahnya yang jelita jelas kelihatan berubah. Dalam hati sang Ratu merutuk.

   "Makhluk salah kaprah! Sekali lagi kau berlaku lancang akan kugempur kau habis-habisan!"

   Apa yang sebenarnya telah terjadi? Begitu Ratu Duyung muncul di puncak Bukit Ampel sosok samar berpakaian putih serta merta berdiri dari batu yang sejak tadi didudukinya.

   Wajahnya yang pucat sesaat kelihatan memerah sedang sepasang matanya memandang tak berkesip.

   "Hemmm... Akhirnya muncul juga Ratu lacur ini. Sikapnya agung, tetapi dia yang paling bernafsu ingin memiliki Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia tidak segan-segan menempuh cara keji sekalipun. Kalau tidak kuhalangi, peristiwa di Puri Pelebur Kutuk dulu itu pasti akan membuat Wiro sengsara seumur hidup dan menjadi budak nafsunya..."

   Tanpa bersuara sosok samar itu mendekati Ratu Duyung dari belakang lalu dengan tangan kanannya mendorong bahu kiri sang Ratu hingga gadis jelita bermata biru ini terhuyung-huyung ke depan.

   "Kita sudah lengkap semua. Sebaiknya kita mulai pembicaraan."

   Berkata Bidadari Angin Timur.

   "Aku setuju. Makin cepat selesai berarti makin baik kita memutuskan apa yang akan dilakukan. Kita..."

   Belum habis Ratu Duyung berucap kembali tubuhnya terhuyung. Tiga gadis berseru kaget. Puti Andini dan Anggini cepat memegang bahu sang Ratu kiri kanan.

   "Ratu kurasa kau dalam keadaan kurang sehat. Sudah dua kali kami lihat kau mau jatuh. Di sana ada batu. Sebaiknya kau duduk saja di batu itu..."

   Anggini segera hendak membimbing Ratu Duyung ke sebuah batu besar beberapa langkah di depan sana.

   "Aku tak kurang suatu apa. Namun agaknya ada satu makhluk kurang ajar bermaksud tidak baik terhadapku, mungkin terhadap kita semua yang ada di sini. Kurang ajar tapi pengecut karena tidak berani menampakkan diri!"

   "Ratu, apa maksudmu?"

   Tanya Bidadari Angin Timur sementara Anggini dan Puti Andini memandang heran pada Ratu Duyung.

   "Kalian bertiga lebih dulu datang ke puncak bukit ini. Apa tidak mencium bau aneh...?"

   Ratu Duyung balik bertanya. Bidadari Angin Timur saling pandang dengan dua gadis lainnya lalu berkata.

   "Memang sejak tadi kami mencium bau aneh. Tapi kami tidak begitu perduli..."

   "Bau itu adalah bau bunga kenanga. Bunga kematian alias bunga mayat! Kemanapun dia pergi, bau itu akan selalu mengikutinya. Itulah bau sosok roh gentayangan makhluk yang pernah lahir di dunia dengan nama Suci. Sering dipanggil dengan nama Bunga. Dia sudah lama menemui kematian secara tidak wajar. Rohnya penasaran ingin kembali ke dunia ini. Tapi tidak bisa! Dia yang tadi mendorongku sampai dua kali!"

   Puti Andini yang tidak pernah mengenal siapa adanya Suci atau Bunga tidak menunjukkan sikap apa-apa. Lain halnya dengan Anggini dan Bidadari Angin Timur. Dua gadis ini sama-sama tersurut satu langkah. Bidadari Angin Timur bertanya untuk meyakinkan.

   "Ratu Duyung, yang kau maksudkan dengan makhluk roh itu, apakah dia yang pernah dijuluki Dewi Bunga Mayat?!"

   "Memang dia!"

   Jawab Ratu Duyung.

   "Dia ada di sini. Memata-matai pertemuan kita. Memalukan sekali, tidak diundang berani muncul di tempat ini!"

   Ratu Duyung keluarkan suara mendengus dari hidunnya.

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN Baru saja Ratu Duyung berucap dan mendengus, tiba-tiba terasa ada getaran aneh di puncak Bukit Ampel.

   Kabut yang sejak tadi menutupi sebagian bukit itu bergerak menebar.

   Lalu dibarengi dengan santarnya bau harum menggidikkan satu bayangan putih berkelebat.

   Di lain kejap satu sosok dara jelita bermuka pucat berpakaian serba putih kelihatan berdiri hanya lima langkah di hadapan Ratu Duyung .Sepasang matanya memandang dingin tak berkedip pada mata biru sang Ratu.

   Sosok yang muncul ini memang adalah Suci alias Bunga yang pernah dikenal dengan julukan Dewi Bunga Mayat! (Mengenai makhluk roh berparas jelita ini harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Misteri Dewi Bunga Mayat").

   Satu senyum sinis yang ditunjukkan pada Ratu Duyung menyeruak di wajah pucat Suci.

   "Ratu bermata biru, kau menyembunyikan perasaan hati culas di balik kejelitaan wajahmu!"

   Bidadari Angin Timur serta merta sudah bisa menduga kalau di tempat itu akan segera terjadi perang mulut bahkan mungkin adu kekuatan antara Ratu Duyung dengan Suci.

   Dia hendak menengahi tapi selintas pikiran muncul dalam benak gadis berambut pirang ini.

   Terus terang dia sendiri tidak begitu suka dengan Ratu Duyung walau sebelumnya mereka pernah berbaik-baik.

   Apalagi mengingat kejadian di pekuburan beberapa waktu lalu.

   (Baca Episode pertama berjudul "Kembali Ke Tanah Jawa").

   Setelah memutar otaknya Bidadari Angin Timur memutuskan untuk diam saja.

   Mungkin dengan berlaku diam akan lebih menguntungkan bagi dirinya.

   Mendengar kata-kata Suci itu Ratu Duyung lontarkan seringai tak kalah sinisnya.

   Dia langsung menyahuti.

   "Terkadang manusia itu dinilai dari kata dan ucapannya. Sudah muncul tidak diundang, beraninya menuduh orang berhati culas!"

   Suci tertawa panjang.

   "Alam bebas langit terkembang. Apakah ada aturan yang melarang, siapa saja datang ke Bukit Ampel ini?"

   "Tidak ada larangan! Sekalipun untuk makhluk salah kaprah seperti dirimu. Tapi jika kehadiran membawa maksud tidak baik, sembunyi-sembunyi lalu hendak mencelakai orang lain, hai! Apakah ada salahnya jika aku dan semua yang ada di sini harus bersikap waspada...?"

   Kembali Suci tertawa panjang.

   "Kau pandai bicara, sengaja melibatkan tiga gadis lainnya itu. Jangan sembunyi di balik ilalang kecantikan wajah dan kepandaian bicara. Semua orang tahu siapa adanya Ratu Duyung! Sungguh hebat! Kau bergabung dengan gadis-gadis jujur untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Aku kawatir jangan-jangan kau sengaja mengelabui mereka untuk mencari keuntungan sendiri. Karena siapa yang lupa bahwa kau pernah mencelakai pendekar itu ketika kau culik dia dan kau sekap di Puri Pelebur Kutuk beberapa waktu lalu?!"

   Paras Ratu Duyung menjadi merah.

   "Kejadian itu sudah lama berlalu. Bahkan Pendekar 212 Wiro Sableng sudah melupakannya. Mengapa kau yang tidak ada sangkut paut dengan urusan orang kini mengungkit-ungkit perkara itu? Untuk membakar hati tiga gadis ini? Aku tidak menculik, apalagi menyekap Pendekar 212. Dia datang dengan kemauan sendiri, dengan niat suci hendak menolongku. Kau saja yang tiba-tiba muncul kalang kabut membawa hati jahat seribu duga! Kau mecelakai beberapa anak buahku, merusak tempat kediamanku. Dan bukankah kau kemudian menculik Wiro! Hai, kalau aku boleh bertanya kau bawa kemana pendekar itu? Ke alam rohmu yang serba gelap pengap itu?! Apa yang kau lakukan di sana terhadapnya?"

   Habis berkata begitu Ratu Duyung lalu tertawa panjang. Kali ini muka pucat Suci yang kelihatan berubah merah. Sepasang matanya yang selama ini selalu memandang sedingin es kelihatan seperti dikobari api.

   "Ratu Duyung, kau pandai bersilat lidah, memutar balik kenyataan, mencari kambing htam agar dapat menutupi kebejatan diri dan melemparkannya pada orang lain! Wiro memang berhati tulus hendak menolongmu. Tapi kebaikannya kau balas dengan mencelakai dirinya..."

   "Siapa bilang aku mencelakai dirinya! Siapa bilang aku mencari kambing hitam. Aku tadi bertanya, apa yang kau lakukan terhadap Wiro di alam rohmu? Bercinta bermesraan? Adakah pantas roh gentayangan bercinta mesra dengan insan penghuni bumi? Hanya makhluk salah kaprah lahir batin dan mencari keuntungan sendiri seperti dirimu yang mampu melakukan perbuatan tidak terpuji itu!"

   Melihat perang mulut itu semakin panas, Anggini melangkah maju hendak memisah. Tapi lengannya cepat dipegang oleh Bidadari Angin Timur.

   "Urusan mereka berdua jangan kita campuri...."

   Bisik Bidadari Angin Timur.

   "Jika tidak dicegah urusan kita bisa jadi kacau balau..."

   Menjawab Anggini.

   "Biarkan saja. Jika sudah capai mereka akan berhenti sendiri..."

   "Mereka tidak akan capai kecuali kalau salah satu dari mereka menemui kematian! Itu yang aku takutkan!"

   Jawab Anggini namun Bidadari Angin Timur masih terus memegangi lengannya hingga Anggini tidak bisa bergerak melangkah.

   "Ratu Duyung, kau memang makhluk tidak tahu berterima kasih. Tapi aku tidak heran melihat kelainan dalam perbuatan dan pikiranmu. Bukankah kau makhluk pewaris kutuk laknat yang sebenarnya akan tetap terpendam di dalam kutuk kalau tidak ditolong Wiro?!"

   "Kau cemburu aku mendapat pertolongan dari pemuda gagah dan sakti itu? Aku tidak heran kalau Penekar 212 disukai banyak gadis. Tapi kalau roh gentayangan sepertimu ikut-ikutan BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN menyukainya sungguh mengerikan! Apa kau kira kau bisa mendapatkan dirinya dan hidup bersamanya? Belum pernah aku dengar ada roh yang berjodoh lalu kawin dengan manusia! Jadi kau harus tahu diri. Jangan berharap terlalu banyak dengan bermanis diri ke sana kemari sambil menebar ucapan busuk dan melakukan perbuatan tidak terpuji dimana-mana! Lebih bak kau kembali saja ke alammu, jangan pernah lagi memperlihatkan diri di alam manusia!"

   Suci memekik keras.

   "Ratu bejat! Rohmu jauh lebih busuk dari semua roh yang ada di muka bumi ini! Biar aku buktikan dengan mengirimmu ke alam sana!"

   Habis berkata begitu Suci alias Dewi Bunga Mayat hentakkan kaki kanannya ke tanah.

   Dari tanah serta merta membersit satu cahaya merah.

   Cahaya ini merambat ke atas memasuki tubuh Suci, terus ke kepala.

   Begitu cahaya merah memasuki kedua matanya, saat itu juga cahaya itu melesat keluar dan dengan segala kedahsyatan dan keangkerannya berkiblat ke arah Ratu Duyung! Inilah ilmu kesaktian yang disebut Roh Mendera Bumi.

   Selama ini tidak ada satu manusiapun bisa selamat dari serangan.

   Jangankan manusia, batu besar sekalipun bisa hangus hancur berkeping-keping! Pada saat Suci hentakkan kakinya ke tanah dan ada sinar merah melesat ke atas, tiga gadis bertindak cepat.

   Pertama sekali tentu saja Ratu Duyung.

   Secepat kilat gadis ini keluarkan cermin saktinya.

   Sambil melompat ke samping cermin bulat ini diputar demikian rupa sambil mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

   Selarik sinar putih menghambur menyilaukan di malam gelap, menghantam ke arah Suci.

   Suci sendiri saat itu terhuyung ke samping setelah tubuhnya didorong oleh Puti Andini dan Anggini.

   Ke dua gadis ini berusaha mencegah Suci melancarkan serangan sambil berteriak agar Ratu Duyung jangan balas menyerang.

   Dua gelegar dahsyat menggema di puncak Bukit Ampel.

   Satu lamping batu hancur.

   Setiap keping hancuran bertebaran di udara, berubah menjadi bara merah mengepulkan asap.

   Sungguh mengerikan akibat hantaman ilmu Roh Mendera Bumi yang dilancarkan Suci.

   Di tempat lain serumpun semak belukar dan satu pohon besar tumbang lalu tenggelam dalam kobaran api akibat sapuan sinar putih yang keluar dari cermin sakti Ratu Duyung.

   Ratu Duyung tegak tergontai-gontai.

   Mukanya yang cantik seperti tdak berdarah.

   Dari sela bibirnya ada cairan merah meleleh jatuh ke dagu.

   Walau selamat dari serangan maut Suci namun bentrokan tenaga dalam membuat sang Ratu terluka di sebelah dalam.

   Di tempat lain sosok Suci bergulingan di tanah, lalu jatuh tumpang tindih dengan tubuh Anggini dan Puti Andini yang tadi berusaha mencegahnya melepaskan pukulan sekaligus menyelamatkannya dari serangan Ratu Duyung.

   "Kalian mencegahku menyerang Ratu keparat itu! Kalian melindunginya! Kalian berserikat jahat dengannya!"

   Suci berucap setelah mendorong Anggini dan Puti Andini yang ada di sampingnya.

   "Sahabat, jangan salah menduga!"

   Kata Anggini.

   "Kami tidak ingin terjadi pertumpahan darah di antara kita. Maksud kedatangan kami ke bukit ini adalah untuk menjajagi apa yang terjadi dengan diri Pendekar 212 Wiro Sableng. Walau sebelumnya kami tidak menghubungimu, tapi kau telah bersedia datang ke sini. Kami sangat berterima kasih. Berarti apa yang ada di dalam pikiran dan hatimu sama dengan yang ada dalam diri kami. Sahabat Suci, harap kau bersabar diri. Kau sebenarnya bisa membantu banyak menacari Pendekar 212..."

   "Siapa sudi membantu Ratu jahanam itu!"

   Bentak Suci.

   "Jangan cuma memandang pada dirinya. Harap kau memperhatikan kepentingan kita bersama. Apakah kau tidak ingin melihat kita menemukan Wiro dalam keadaan selamat...?"

   Mendengar kata-kata Anggini itu, agak surut amarah Suci. Matanya mendelik memandang ke arah Bidadari Angin Timur. Dalam hati dia berkata.

   "Si pirang itu. Dia hanya berdiri tegak, tidak melakukan apa-apa. Dia ingin aku celaka di tangan Ratu Duyung! Aku tahu apa yang ada di otaknya yang cerdik. Kalau salah satu dari kami mengalami celaka, dia akan lebih punya peluang mendapatkan Pendekar 212. Huh, dia mengira begitu!"

   "Suci, kurasa kau bisa menerima ucapan sahabat Anggini...."

   Berkata Puti Andini. Suci anggukkan kepala.

   "Terima kasih atas semua kebaikan kalian. Aku merasa lebih baik meninggalkan tempat ini..."

   Di wajah Suci muncul bayangan kesedihan. Dalam hatinya ada satu suara berkata.

   "Wiro, semua ini aku lakukan karena cinta kasihku padamu. Itu sebabnya aku sulit untuk mencari dan menemukan dirimu. Itu sebabnya aku berusaha memasuki alammu. Tapi rasanya alammu tidak begitu bersahabat dengan diriku. Aku menyadari bahwa tidak akan ada insan yang mau berbagi rasa dengan diriku. Mereka akan mengejek diriku jika mengetahui bagaimana aku sangat mencintaimu. Wiro, kalau saja alam kita tidak berbeda, matipun sudah sejak dulu kulakukan demi untuk mendapatkan dirimu. Wiro, masih terngiang di telingaku ucapanmu waktu mengatakan ketulusan cintamu padaku..." (Baca "Misteri Dewi Bunga Mayat"). Anggini dan Puti Andini jadi saling pandang terheran-heran ketika bagaimana di sudut mata Suci menggelincir air mata bening. Dua gadis ini serta merta ikut diselimuti kesedihan. BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN "Kami tidak memintamu pergi,"

   Kata Anggini pula.

   "Tapi jika kau memutuskan demikian rasanya itu memang lebih baik."

   "Kalian berdua telah berlaku baik padaku. Aku tidak akan melupakan hal itu. Anggini, Puti.... Kalau saja kalian tahu bagaimana rasanya hidup di alamku yang penuh kegelapan, dimana aku hanya melihat Pendekar 212 Wiro Sableng sabagai satu-satunya pelita penerang jalan, kalian akan memaklumi mengapa aku ingin selalu keluar dari kegelapan itu. Aku tahu, aku tidak akan mungkin mendapatkan pemuda itu. Namun cinta kasih sejati bukan berarti selalu memiliki..."

   "Kami mengerti Suci, kami mengerti..."

   Kata Puti Andini seraya menyeka air mata yang berguling di pipi Suci. Dia tidak menyadari kalau saat itu air mata juga menetes jatuh ke pipinya.

   "Anggini, sebelum aku pergi maukah kau melakukan sesuatu untukku?"

   "Aku akan melakukan apa saja yang dapat kulakukan untukmu Suci,"

   Jawab Angini, murid Dewa Tuak. Dari balik pakaiannya Suci mengeluarkan sebuah benda berwarna kuning. Ternyata benda itu adalah sekuntum bunga kenanga. Tempat itu segera ditebari bau harumnya bunga.

   "Anggini, jika kau bertemu dengan Pendekar 212, berikan bunga kenanga ini padanya..."

   "Akan kulakukan. Pesan atau apa yang harus aku katakan padanya?"

   Tanya Anggini sambil pandangi bunga itu sesaat lalu mengambilnya.

   "Kau tak usah mengatakan apa-apa. Juga tak ada pesan dariku. Wiro sudah tahu artinya bunga itu..."

   "Baik, akan kusampaikan bunga ini pada Pendekar 212."

   "Terima kasih Anggini. Selamat tinggal sahabat-sahabatku..."

   "Kami selalu mengharapkan bisa bertemu lagi denganmu Suci,"

   Kata Anggini sambil memegang tangan Suci erat-erat sementara matanya sendiri sudah berkaca-kaca sejak tadi.

   Bau harum bunga kenanga merebak di pucak bukit.

   Suci tersenyum pada dua gadis di depannya, wajah yang tersenyum itu kemudian berubah lagi seperti menjadi asap.

   Anggini perhatikan tangannya yang tadi memegang lengan Suci.

   Kini dia hanya memegang udara kosong.

   Suci telah lenyap.

   Anggini dan Puti Andini menghela nafas dalam lalu berpaling ke arah Ratu Duyung yang masih tegak berdiri.

   Matanya yang biru kelihatan terbuka lebar.

   Sementara itu Bidadari Angin Timur masih tetap berada di tempatnya semula.

   Dia baru beranjak ketika dilihatnya Puti Andini dan Anggini melangkah mendekati Ratu Duyung.

   "Ratu, ada darah di sela bibirmu. Kau terluka di dalam..."

   Kata Anggini lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan dan menyeka darah yang ada di sudut bibir sang Ratu.

   "Terima kasih. Aku memang terluka di dalam tapi tidak apa-apa..."

   Kata Ratu Duyung. Dari kantong perbekalannya Puti Andini keluarkan satu kantong kain. Dari dalam kantong ini dia mengambil sebutir obat berwarna kuning lalu menyerahkannya pada Rstu Duyung.

   "Minumlah, sebelum fajar datang mudah-mudahan luka dalammu sudah sembuh."

   "Ah, kau baik sekali. Terima kasih."

   Ratu Duyung mengambil obat kuning yang diserahkan lalu tanpa ragu memasukkan obat itu ke dalam mulut dan menelannya. Dia menarik nafas panjang beberapa kali.

   "Aku merasa lebih baik sekarang. Bagaimana kalau kita mulai membicarakan persoalan yang kita hadapi?"

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN BAB 11 Setalah lebih dulu menatap wajah tiga gadis itu satu persatu baru Bidadari Angin Timur mulai bicara.

   "Para sahabat, kita semua tahu apa maksud tujuan pertemuan ini. Kita juga sama menyadari bahwa dasar pertemuan ini adalah membuang jauh-jauh kepentingan pribadi. Kita mempunyai tujuan sama yakni mencari tahu dimana beradanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Apa yang terjadi dengan dirinya. Selama ini mungkin di antara kita telah mencari jalan sendiri-sendiri untuk mneyelidik. Namun hasilnya nihil. Mungkin jika kita bergabung, membagi jalan pikiran serta mengungkapkan apa yang kita keahui, akan lebih mudah melakukan penyelidikan..."

   "Sahabat Bidadari Angin Timur, maafkan kalau aku lancang mulut berani memotong ucapanmu,"

   Berkata Angini.

   "Apa yang hendak kau sampaikan Anggini?"

   Tanya Bidadari Angin Timur.

   "Terus terang, aku yang berada jauh di Pulau Andalas, juga Puti Andini yang memencilkan diri di pantai selatan, walau diselimuti rasa kekawatiran, namun tidak bisa berbuat banyak dalam melakukan penyelidikan..."

   "Aku dan Ratu Duyung rasanya dapat mengerti hal itu. Kami yang ada di Pulau Jawa saja belum bisa mengetahui apa-apa. Apa lagi kalian yang jauh. Namun ada satu temuanku yang perlu aku beritahukan pada kalian. Menurut kabar yang aku dengar dari beberapa tokoh persilatan ternyata diketahui bukan cuma Wiro saja yang lenyap secara aneh. Ada dua orang tidak diketahui rimbanya dalam jangka waktu bersamaan dengan lenyapnya Pendekar 212. Mereka adalah seorang tokoh silat aneh berjuluk Setan Ngompol. Kita semua pernah bertemu dengannya. Orang kedua seorang bocah dikenal dengan nama Naga Kuning. Anak ini juga pernah bertemu dengan kita. Aku berusaha menyelidik lebih jauh. Hasilnya tidak banyak. Diketahui ke tiga orang itu lenyap dalam waktu bersamaan. Diketahui pula ketiganya terlihat bersama-sama sebelum raib entah kemana..."

   Setelah diam sesaat Bidadari Angin Timur melanjutkan.

   "Dalam perjalanan ke sini, aku menyirap satu kejadian di Kotaraja. Juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta ditemukan tewas di rumahnya dengan kepala pecah. Istrinya lenyap. Tapi kukira kejadian ini tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang tengah kita selidiki. Karenanya sekarang biar aku langsung saja pada satu kabar yang baru kudengar sejak beberapa hari ini. Kabar itu mengatakan bahwa Pendekar 212 telah menemui kematian sekitar satu tahun lalu..."

   Anggini tersentak pucat mendengar keterangan Bidadari Angin Timur itu. Puti Andini keluarkan seruan tertahan sedang Ratu Duyung terdiam dengan mata birunya membelalak besar.

   "Kita harus menyelidiki kebenaran kabar itu,"

   Kata Bidadari Angin Timur melanjutkan.

   "Di balik berita kematian Pendekar 212, menyusul kabar agak aneh. Yang pertama mengatakan Pendekar 212 dimakamkan di pekuburan Banyubiru, tah jauh dari Telaga Rawapening. Kabar kedua menyebut Wiro dikebumikan di satu pekuburan dekat Candi Kopeng..."

   "Ini memang aneh,"

   Ratu Duyung membuka mulut.

   "Karena kabar yang aku dengar justru Pendekar iu telah dimakamkan di Gunung Gede, tak jauh dari tempat kediaman gurunya Sinto Gendeng."

   "Berarti ada tiga makam yang harus kita selidiki,"

   Kata Anggini pula.

   "Kita bisa menyelusuri kebenaran kabar itu satu persatu. Candi Kopeng dekat dari sini. Telaga Banyubiru tak berapa jauh di sebelah utara. Untuk menyelidik ke Gunung Gede memang jauh dan butuh waktu..."

   Kata Anggini.

   "Kalau begitu kita bisa mulai menyelidik ke pekuburan di Kopeng. Jika kita berangkat sekarang, paling lambat setelah matahari tenggelam kita sudah sampai di sana."

   Kata Ratu Duyung lalu memandang pada tiga gadis lainnya menunggu pendapat mereka.

   "Aku setuju. Kita berangkat ke Kopeng sekarang."

   Bidadari Angin Timur menanggapi ucapan Ratu Duyung. Anggini dan Puti Andini menurut saja. Ketika tiga gadis hendak bergerak pergi Ratu Duyung berkata.

   "Tunggu! Ada satu hal yang ingin kuceritakan dan kutanyakan pada sahabat Bidadari Angin Timur."

   Tiga gadis menahan langkah sama membalik. Bidadari Angin Timur menatap sesaat lalu bertanya.

   "Ratu Duyung, apa yang hendak kau ceritakan? Aku siap menjawab pertanyaanmu..."

   "Bidadari Angin Timur, aku bicara mengenai pertemuan kita beberapa waktu lalu di pekuburan dekat Candi Pawan. Sebelum aku menemuimu, kau telah menjebol sebuah makam. Kau ingat?"

   "Aku ingat,"

   Jawab Bidadari Angin Timur.

   "Memangnya kenapa?"

   "Tak lama setelah kau pergi, dari dalam makam itu melesat keluar sosok mengerikan seorang nenek. Kulit muka dan dadanya terkelupas. Hidungnya gerumpung. Matanya cuma satu. Itu belum seberapa. Yang membuat aku benar-benar setengah mati ketakutan, nenek ini buntung tangan kanannya. Dan tangan yang buntung itu menempel melintang di atas keningnya!"

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN "Ada manusia keluar dari dalam makam. Itu saja sudah sulit dipercaya!"

   Kata Bidadari Angin Timur.

   "Lalu di keningnya menempel tangan kanannya sendiri! Itu tambah lebih sulit dipercaya!"

   "Tapi aku menyaksikan sendiri! Aku berteriak memanggilmu. Tapi kau sudah lenyap. Aku mengira semua itu adalah permainan akal licikmu hendak menakuti diriku..."

   "Ratu Duyung, keterlaluan kalau kau menuduh seperti itu!"

   Bidadari Angin Timur tidak senang.

   "Aku tidak menuduhmu. Aku hanya menghubungkan kejadian itu dengan ucapan sebelumnya di atas makam. Ingat, waktu itu kau kudengar berteriak begini.

   "Orang di atas makam! Tak ada gunanya kau terus bersembunyi. Lekas keluar! Atau kau ingin kukubur hidup-hidup!"

   "Ucapan itu hanya pancingan belaka. Karena aku tahu saat itu kau sembunyi tak jauh dari pekuburan dan tengah mengintai gerak-gerikku!"

   Menjelaskan Bidadari Angin Timur.

   Ratu Duyung tak berkata apa-apa.

   Tapi dalam hati dia meragukan kebenaran ucapan gadis berambut pirang itu.

   *** Matahari belum lama tenggelam.

   Tapi awan mendung tebal yang menutupi langit membuat keadaan segera menjadi gelap.

   Ketika hujan turun rintik-rintik seolah coba membasahi tanah gersang pekuburan Kopeng yang telah sekian lama tidak pernah disentuh air, empat bayangan berkelebat.

   Yang mendatangi pekuburan itu bukan lain adalah Bidadari Angin Timur dan tiga gadis lainnya.

   "Gelap, gerimis, tak ada satu orangpun di sini. Bagaimana kita mencari kuburan Wiro?"

   Berkata Puti Andini. Ratu Duyung memperhatikan keadaan pekuburan itu sesaat lalu berkata.

   "Menurut penglihatanku, jumlah makam di pekuburan ini tidak lebih dari tiga puluh. Kita bisa memeriksanya satu persatu. Kalau menyebar, kita bisa mengerjakan lebih cepat!"

   "Usul yang baik!"

   Menjawab Bidadari Angin Timur.

   "Aku akan memeriksa di jurusan ini. Ratu Duyung, kau di sebelah sana, Anggini kau yang di deretan situ dan Puti Andini kau di barisan sebelah kiri depan... Kita harus bekerja cepat sebelum hujan turun lebih lebat!"

   Empat gadis cantik itu menebar lalu mulai memeriksa setiap makam yang ada di pekuburan itu.

   Rata-rata makam di situ merupakan makam tua.

   Beberapa di antaranya sudah hampir sama rata dengan tanah sekitarnya, tidak memiliki batu atau papan nisan lagi.

   Yang masih ada papan dan batu nisannya sudah tidak kentara tulisannya.

   Tiba-tiba kilat menyambar.

   Menyusul suara gelegar geluduk.

   Di ujung kuburan sebelah kanan terdengar pekik Anggini.

   Tiga gadis lainnya segera berpaling.

   Semula mereka menduga jeritan Anggini tadi karena terkejut oleh sambaran kilat dan gelegar geluduk.

   Tapi rupanya tidak.

   Karena saat itu tampak Anggini tegak di depan sebuah makam.

   Tangan kanan menutupi mulut sementara tangan kiri menunjuk ke arah makam di depannya.

   Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini segera melompat ke tempat Anggini.

   Mereka dapati gadis itu berdiri dalam keadaan tubuh menggigil.

   Mereka memandang ke arah yang ditunjuk Anggini.

   Ternyata yang ditunjuk adalah sebuah nisan terbuat dari papan yang sudah lapuk dan menancap miring di kepala makam.

   Pada papan itu ada sederatan tulisan dalam huruf-huruf Jawa Kuno.

   Kilat menyambar.

   Empat gadis menekap telinga masing-masing meredam hantaman suara geledek.

   Pada saat tempat itu menadi terang, semua mata para gadis memandang lekat-lekat ke arah papan nisan, coba membaca nama yang tertera agak samar di papan lapuk.

   "Ya Tuhan!"

   Pekik Ratu Duyung begitu dia berhasil membaca nama di papan lapuk.

   Bidadari Angin Timur keluarkan seruan tertahan, jatuh berlutut di depan makam.

   Puti Andini menekap mulutnya dengan ke dua tangan.

   Lututnya goyah.

   Gadis ini terduduk di tanah di samping Bidadari Angin Timur.

   Wajah empat gadis di depan makam sama pucat.

   Tengkuk mereka sama terasa dingin.

   Mereka tidak perdulikan lagi hujan gerimis membasahi diri mereka.

   Di situ, di papan lapuk yang miring, walau samar tapi masih bisa dibaca.

   Tertulis dalam huruf Jawa Kuno, nama yang tak asing lagi bagi mereka.

   Wiro Sableng! Setelah ke empatnya bisa mengusai diri, satu persatu mereka mulai berpikir jernih.

   Pertama sekali terdengar Bidadari Angin Timur berucap.

   "Aku melihat keanehan. Makam ini papan nisannya sudah sangat lapuk pertanda siapapun yang dimakamkan di sini paling sedikit lebih dari satu tahun. Tapi mengapa tanahnya masih munjung dan berwarna merah?!"

   "Kalau makam ini ditumpangi jenazah baru, seharusnya papan nisannya diganti. Yang kita lihat papan nisan tua bertuliskan Wiro Sableng!"

   Ikut bicara Ratu Duyung. BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN "Agaknya kita perlu menggali dan melihat isi makam..."

   Ujar Anggini.

   "Bagaimana kita melakukan? Kita tidak membawa peralatan!"

   Berkata Puti Andini. Ke empat gadis itu kemudian sama terdiam dan saling pandang.

   "Ada orang datang!"

   Tiba-tiba Bidadari Angin Timur memberi tahu.

   Di bawah hujan, dalam kegelapan, dari arah timur seorang bercaping melangkah memasuki pekuburan, langsung ke arah empat gadis itu berada.

   Ternyata dia seorang lelaki separuh baya, berbadan tegap dan berkulit hitam liat.

   "Kau siapa?!"

   Bertanya Bidadari Angin Timur. Yang ditanya balik bertanya.

   "Aku yang seharusnya bertanya. Empat orang gadis. Malam hari. Hujan gerimis seperti ini. Ada keperluan apa berada di pekuburan?!"

   Empat gadis yang sedang bingung itu jadi jengkel. Tapi masih bisa menahan diri.

   "Kami perlu bantuan untuk menggali makam ini,"

   Kata Ratu Duyung. Kagetlah orang bercaping. Dia langsuns buka capingnya dan memandang pada Ratu Duyung lalu pada tiga gadis lainnya.

   "Ini aneh..."

   Kata orang itu.

   "Apa yang aneh?!"

   Bentak Anggini.

   "Tiga hari lalu ada orang datang ke sini. Dia minta aku menggali makam ini. Setelah kugali dia masuk ke dalam kubur. Hanya sebentar lalu keluar lagi. Dia memberiku sejumlah uang. Menyuruh timbun makam kembali. Sebelum pergi dia berpesan agar aku tidak menceritakan kejadian itu pada siapapun. Tapi pada empat gadis secantik kalian, aku tak dapat menyimpan rahasia..."

   Orang itu tertawa lebar dan kedip-kedipkan matanya.

   "Setan alas ini mulai tak tahu juntrungan..."

   Bisik Anggini pada Ratu Duyung.

   "Sebelum kutampar lekas katakan padanya bahwa kita juga mau minta bantuannya untuk menggali makam."

   Ratu Duyung mengangguk.

   "Kami juga akan memberikan uang padamu. Asal kau mau menggali makam ini."

   "Aha! Rejekiku besar! Untuk kalian apapun akan aku lakukan! Tapi aku perlu pulang dulu mengambil peralatan dan minta bantuan seorang teman. Aku tak mungkin menggali makam ini sendirian."

   "Kau tahu siapa yang dikuburkan di makam ini?"

   "Namanya tertera di papan butut itu. Siapa orangnya aku tidak tahu..."

   "Kau boleh pulang mengambl peralatan dan mencari bantuan temanmu. Lekas kembali..."

   Kata Puti Andini. Empat gadis itu kemudian menunggu di bawah sebatang pohon besar.

   "Bagaimana kalau orang tadi tidak kembali lagi?"

   Tanya Anggini.

   "Dia pasti kembali. Matanya liar melihat kita! Otaknya pasti kotor!"

   Jawab Bidadari Angin Timur.

   Tak lama kemudian lelaki tadi muncul kembali bersama dengan temannya.

   Tanpa banyak menunggu keduanya segera menggali makam.

   Empat gadis berdiri memperlihatkan di seputar makam.

   Cukup lama menanti, akhirnya terdengar suara pacul menyentuh satu benda keras di dasar makam.

   "Aku sudah sampai di dasar makam. Aku menemukan tengkorak dan tuilang-tulang manusia!"

   Terdengar suara si penggali kuburan.

   "Lemparkan ke atas!"

   Teriak Ratu Duyung. Sesaat kemudian dari dalam makam melesat keluar berbagai bentuk tulang-tulang putih berbalut tanah. Mulai dari tulang tangan dan kaki, sampai iga.

   "Lemparkan semua! Jangan ada yang ketinggalan!' teriak Bidadari Angin Timur.

   "Ini yang terakhir!"

   Dari dalam makam melesat tengkorak kepala manusia. Menggelinding sebentar lalu berhenti tak jauh dari kaki Anggini.

   "Lihat!"

   Teriak Anggini sambil menunjuk pada tengkorak kepala manusia itu. Pada kening tengkorak. Dia tersurut kaget. Tiga gadis lainnya keluarkan seruan tertahan. Di kening tengkorak ternyata ada tiga deretan angka. 212! Ratu Duyung memperhatikan.

   "Tiga angka pada kening tengkorak ini masih baru. Digurat dengan semacam cat untuk membatik..."

   Memberitahu Ratu Duyung.

   "Gila! Aku yakin ini bukan tengkorak kepala Pendekar 212! Setan dari mana punya perbuatan edan seperti ini!"

   Kata Bidadari Angin Timur. Ratu Duyung mengankat tangan kirinya memberi tanda agar tidak ada yang bicara.

   "Ada apa?"

   Anggini malah bertanya berbisik. Suaranya tercekat.

   "Ada sebuah benda menyumpal di dalam mata kiri tengkorak!"

   Jawab Ratu Duyung.

   Dia mengambil satu patahan kayu.

   Dengan kayu ini dibersihkannya tanah yang menyumpal sebagian rongga mata kiri itu.

   Ternyata benda itu adalah segulung kertas.

   Dengan agak gemetar Ratu Duyung membuka gulungan kertas itu.

   Di situ tertera sebaris tulisan berbunyi .

   "SELAMAT BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN DATANG DI MAKAM SETAN PERTAMA. KALIAN DITUNGGU DI MAKAM SETAN KEDUA."

   "Jahanam kurang ajar! Jika kutemukan manusia yang melakukan ini, akan kupatahkan batang lehernya!"

   Kata Anggini menggeram marah. Ratu Duyung bangkit berdiri. Sesaat dia menatap pada Bidadari Angin Timur. Ditatap seperti itu gadis berambut pirang ini menjadi gusar.

   "Tatapanmu terasa aneh. Membuat aku jadi tidak enak. Apa yang ada di benakmu Ratu Duyung? Agaknya kau menghubungkan diriku dengan kejadian ini dan makhluk nenek-nenek yang keluar dari makam yang tangan kanannya menempel di kening itu?"

   "Aku tidak mengatakan sepatah katapun. Mengapa kau punya pikiran seperti itu?!"

   Tukas Ratu Duyung.

   "Hujan tambah lebat. Payungku mungkin bisa membantu. Kita harus segera pergi dari sini!"

   Kata Puti Andini yang sengaja ingin menghindari kelanjutan tidak enak.

   Gadis ini lalu keluarkan empat buah payung dari kantong di punggungnya.

   Tiga diserahkan pada tiga gadis, satu dipakainya sendiri.

   Lalu dia memberikan sejumlah uang pada dua penggali makam.

   Beberapa langkah setelah meninggalkan makam, tiba-tiba Ratu Duyung hentikan jalannya.

   "Ada satu hal penting yang terlupa!' kata sang Ratu.

   "Apa?"

   Tanya Bidadari Angin Timur yang diam-diam mulai kesal melihat sikap Ratu Duyung.

   "Kita tidak menanyakan siapa adanya orang yang menyuruh gali makam tiga hari yang lalu itu..."

   "Astaga! Kau betul!"

   Ujar Anggini setengah tersentak.

   Saat itu Bidadari Angin Timur telah lebih dulu berbalik dan berlari cepat ke arah makam.

   Yang lain-lainnya segera mengikuti.

   Sampai di depan makam yang barusan digali, ke empat gadis itu terbelalak, tak bisa bersuara tak sanggup bergerak.

   Dua penggali kuburan menggeletak tak bernyawa lagi di samping tanah makam yang belum sempat mereka timbun.

   Sebuah senjata berbentuk tombak pendek menancap di leher.

   "Kita belum jauh meninggalkan makam. Bagaimana mereka bisa menemui ajal begitu cepat?"

   Ujar Anggini.

   "Siapapun adanya si pembunuh, dia pasti memiliki kepandaian luar biasa tinggi..."

   Berkata Ratu Duyung.

   "Yang jadi pertanyaan, mengapa dua orang ini harus menjadi korban pembunuhan begini keji? Apa salah mereka?"

   Ujar Bidadari Angin Timur sambil memandang pada tiga gadis lainnya.

   Tak ada yang bisa memberi jawaban.

   Kilat menyambar.

   Geluduk menggelegar.

   Tanah pekuburan bergetar.

   Empat gadis yang belum habis kagetnya melihat kematian dua penggali kubur keluarkan pekikan keras lalu serempak mereka tinggalkan tempat itu sementara hujan lebat mengguyur turun dan desau angin terdengar mengerikan.

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN BAB 12 Dua makhluk kurus kering yang memiliki tubuh satu setengah kali tinggi manusia biasa itu langkahkan kaki-kaki mereka yang berbentuk kaki kuda lengkap dengan ladamnya lalu berhenti sejarak empat langkah dari hadapan Pendekar 212.

   Wiro perhatikan dua tangan mereka yang dempet satu sama lain.

   Dia tahu, dua tangan dempet itu jauh lebih berbahaya dari tangan-tangan mereka yang lain.

   "Saudaraku Tunggul Gono,"

   Berkata makhluk di sebelah kiri.

   "Monyet gondrong itu tidak mau menjawab pertanyaan kita!"

   "Rupanya dia sengaja mempercepat kematiannya! Ha... ha...ha!"

   Menyahuti manusia galah di sebelah kanan, bernama Tunggul Gono.

   Murid Sinto Gendeng tidak mau berlaku konyol sembrono.

   Sebelumnya di telah pernah menghadapi dua makhluk ini.

   Mereka berkepandaian tinggi.

   Walau keduanya sempat dibikin babak belur kemudian melarikan diri, namun waktu itu Wiro dibantu oleh seorang pendekar muda berjuluk Pendekar Kipas Pelangi.

   Kini dia sendirian.

   Menghadapi dua musuh aneh itu dia harus berlaku hai-hati.

   "Momok Dempet, kalau Kitab Wasiat Malaikat dan Kitab Wasiat Dewa yang kalian cari, kedua kitab itu tak ada padaku."

   Dua makhluk dempet yang dikenal dengan nama Momok Dempet Berkaki Kuda tertawa bekakakan.

   "Kami sudah menduga kau akan berkata seperti itu!"

   Kata Tunggul Gini.

   "Berarti kini kami tidak perlu repot mengurus nyawamu!"

   Tunggul Gini berikan tanda dengan jentikkan jari-jari tangan kirinya.

   "Kita hantam saja dia langsung dengan pukulan Sepasang Palu Kematian. Habis perkara!"

   Dua manusia jangkung serempak keluarkan bentakan garang. Bersamaan dengan itu tangan mereka yang dempet dipukulkan ke depan.

   "Wusss!"

   Serangkum angin memancarkan sinar hitam legam menderu dahsyat ke arah Pendekar 212.

   Kinasih menjerit.

   Bukan saja karena ketakutan tapi juga kawatir akan keselamatan Wiro.

   Sebelumnya murid Eyang Sinto Gendeng sudah melihat kehebatan pukulan lawan yang bernama Sepasang Palu Kematian itu.

   Sambil membentak keras Wiro jatuhkan diri ke tanah, berguling ke kiri dengan cepat.

   Begitu sinar hitam lewat di atas kepalanya dia hantamkan tangan kanan ke atas melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari dengan mengerahkan tenaga dalam hampir dua pertiga yang dimilikinya.

   Sinar hitam pukulan Momok Dempet bertaburan di udara, keluarkan suara dahsyat laksana mau meruntuhkan langit.

   Taburan-taburan yang berlesatan ke berbagai penjuru ini menghancur dan menghanguskan apa saja yang dibenturnya.

   Asap mengepul di seputar tempat itu.

   Gaung menggidikkan menggema sampai ke dasar lembah! Walau sempat tercekat Wiro tak mau menunggu.

   Dengan tangan kirinya dia melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang, mengerahkan lebih dari separoh tenaga dalam.

   Dua serangan yang dilancarkan Wiro tadi adalah pukulan-pukulan sakti yang langka dan dipelajari dari Kitab Wasiat Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.

   Momok Dempet keluarkan teriakan seperti kuda meringkik.

   Keduanya cari selamat dengan sama-sama melesat ke udara sampai setinggi dua tombak.

   "Palu Dan Ladam Membongkar Bumi!"

   Kata Tunggul Gono membisiki saudaranya.Tunggul Gini mengangguk.

   Sambil melayang turun dua makhluk dempet ini keluarkan teriakan seperti kuda meringkik.

   Secara aneh tubuh mereka kelihatan berputar seperti gasing.

   Dua tangan mengibas laksana baling-baling.

   Mengeluarkan suara keras dan deru angin amat dahsyat.

   Jangankan tubuh manusia, pohon atau batu sekalipun akan papas dihantam tangan itu! Putaran tubuh serta tangan yang dibuat Momok Dempet mengandalkan kecepatan luar biasa.

   Pendekar 212 terkejut sekali ketika tiba-tiba sosok dua makhluk itu tahu-tahu telah berada di depannya.

   "Breett!"

   Baju putih Pendekar 212 robek di bagian bahu kiri.

   Kalau tadi murid Sinto Gendeng ini tidak cepat menghindar, pasti bahunya sudah amblas putus dimakan serangan lawan! Rasa lega karena selamat di hati Pendekar 212 hanya sesaat.

   Karena tidak terduga, cepat sekali dua tangan lawan yang berputar berubah menjadi kemplangan kilat, menghantam ke arah pelipis Wiro kiri kanan! Sungguh dahsyat pukulan dan jurus serangan bernama Palu Dan Ladam Membongkar Bumi yang dilancarkan Momok Dempet itu! Selain cepat, gerakannya juga tidak terduga.

   Wiro tidak berkesempatan untuk mengindarkan diri.

   Yang bisa dilakukannya adalah menangkis dua pukulan maut lawan dengan tangan kiri kanan.

   Untuk menangkis ini Wiro BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN keluarkan seluruh tenaga dalam dan keluarkan jurus yang selama ini hampir tidak pernah dipergunakannya yakni jurus Kipas Sakti Terbuka.

   Dua tangan Pendekar 212 menghantam ke atas, melesat ke kiri kanan seperti gerakan kipas terbuka, menangkis dua tangan yang siap menghancurkan kepalanya.

   "Bukkk!"

   "Bukkk!"

   Dua tangan Wiro beradu keras dengan tangan kiri kanan Momok Dempet.

   Tidak terduga Tunggul Gono yang berada di sebelah kanan tendangkan kaki kanannya ke arah dada Wiro.

   Pendekar 212 lipat lututnya untuk melidungi diri.

   Namun saat itu akibat bentrokan lengan tadi Wiro terbanting jatuh punggung ke tanah.

   Tendangan Tunggul Gono menyerempet paha kirinya sebelah atas lalu melabrak perutnya! Murid Sinto Gendeng menjerit keras.

   Perutnya serasa pecah.

   Dari mulutnya menyembur ludah bercampur darah.

   Tulang punggungnya seperti hancur.

   Sementara dua tulang lengannya terasa seolah patah.

   Bentrokan tangan membuat dua makhluk dempet terpental jauh.

   Keduanya menjerit kesakitan.

   Terjengkang di tanah, untuk beberapa lamanya tak mampu bergerak.

   Tangan merasa sakit bukan main.

   Rasa sakit menjalar sampai ke dada, menyesakkan nafas.

   "Jahanam! Monyet itu memiliki tenaga dalam luiar biasa!"

   Rutuk Tunggul Gono.

   "Kalau tidak cepat kita habisi, bisa celaka!"

   Lalu dia mendahului berdiri.

   Sepasang matanya laksana dikobari api.

   Mukanya kelam membesi.

   Bagitu berdiri Momok Dempet melihat Wiro terkapar di tanah tidak berdaya.

   Kesempatan ini tidak disa-siakan mereka.

   Keduanya segera menyerbu.

   Murid Sino Gendeng tahu bahaya besar yang mengancam dirinya.

   Dia cepat berguling menjauhi lawan sambil tangan kanannya melepas pukulan Benteng Topan Melanda Samudera untuk menghalangi gerakan lawan.

   Namun karena cidera tangannya cukup parah, apalagi dia tidak mampu mengerahkan seluruh tenaga dalam akibat perutnya yang tadi kena tendangan kaki kuda lawan, pukulan tangan kosong yang dilepaskan Wiro tidak sedahsyat sebagaimana biasanya.

   Walau dihantam angin deras pukulan Benteng Topan Melanda Samudera yang dilepaskan Wiro, setelah terhuyung sesaat, secara luar biasa Momok Dempet Berkaki Kuda menerobos hantaman angin dan melangkah cepat mendekati Wiro.

   "Celaka, kalau keadaan tangan dan tenaga dalamku begini rupa, aku tak mungkin mengeluarkan pukulan Sinar Matahari..."

   Wiro mengeluh dalam hati sementara dua lawan bertangan dempet itu semakin dekat.

   "Tak ada jalan lain, aku harus mengeluarkan Kapak Naga Geni 212!"

   Wiro gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Tapi alangkah terkejutnya murid Sinto Gendeng ketika tangan yang cidera itu tidak mampu diulurkan untuk menjangkau gagang kapak sakti! "Benar-benar celaka!"

   Keluh Wiro.

   Momok Dempet Berkaki Kuda hanya tinggal tujuh langkah di hadapan Wiro.

   Dan sang Pendekar dalam keadaan tak berdaya! Dalam keadaan tegang luar biasa seperti itu mendadak Wiro ingat pada ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah yang didapatnya dari Luhrembulan.

   (Baca serial Wiro Sableng di Negeri Latanhasilam Episode berjudul "Istana Kebahagiaan") Melihat Wiro tegak tak berdaya sementara dua makhluk dempet mendatangi siap untuk menghabisinya, Kinasih berteriak.

   "Wiro! Lari! Selamatkan dirimu!"

   Kinasih sendiri saat itu siap memutar tubuh dan lari meninggalkan tempat itu.

   Tapi tiba-tiba dia menyaksikan sesuatu yang sulit dipercaya.

   Pada saat Momok Dempet Berkaki Kuda tinggal empat langkah dari hadapannya tiba-tiba Pendekar 212 hantamkan tumit kanannya ke tanah.

   Rrrrttttt! Tanah terkuak membelah.

   Momok Dempet terbelalak besar, berteriak kaget ketika melihat belahan tanah bergerak cepat sekali ke arah mereka.

   Tunggul Gono, Momok di sebelah kanan melompat.

   Tunggul Gini ikut melompat namun gerakannya agak terlambat.

   Kaki kanannya sudah berada di atas, tapi kaki kiri masih menginjak tanah.

   Dia berusaha mengangkat kaki itu.

   Terlambat! Tanah yang menganga menyedot kakinya.

   Tak ampun lagi Tunggul Gini tertarik ke bawah dan menjerit ketakutan setengah mati.

   "Jahanam! Ilmu apa ini! Kurang ajar!"

   Seru Tunggul Gono.

   Ketika menyaksikan kaki kiri saudaranya semakin dalam masuk ke belahan tanah, Tunggul Gono cepat pergunakan kaki kanannya untuk menendang.

   Kembali terdengar raungan Tunggul Gini.

   Lututnya hancur.

   Kakinya putus.

   Tunggul Gono cepat menarik tubuh saudaranya.

   Tunggul Gini selamat walau kakinya sebatas lutut ke bawah putus kemudian lenyap disedot tanah yang terbelah! Secara aneh tanah terbelah itu kembali menutup dengan sendirinya! Susah payah Tunggul Gono panggul saudaranya di bahu kiri lalu secepat dia bisa berlari, Tunggul Gono kabur dari tempat itu.

   BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN Pendekar 212 jatuhkan diri berlutut di tanah.

   "Luhrembulan, kalau kau tidak memberikan ilmu itu padaku, niscaya tadi aku sudah dihabisi makhluk dempet celaka..."

   Wiro hendak menggaruk kepala tapi mengerenyit sakit.

   Tangan kirinya terasa linu.

   Dia segera atur jalan darah dan pernafasan.

   Perlahan-lahan dia kerahkan hawa sakti yang ada di perut.

   Namun belum cukup sempurna di sebelah belakang ada suara orang berlari mendekatinya, Wiro cepat berpaling.

   Yang datang ternyata Kinasih.

   Terhuyung-huyung, dengan berpegangan ke pinggang Kinasih, Pendekar 212 berusaha berdiri.

   Saat itulah tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda di kejauhan.

   "Momok Dempet..."

   Pikir Wiro.

   "Jangan-jangan makhluk jahanam berkaki kuda itu kembali ke sini. Jika mereka berani kembali berarti ada orang lain berkepandaian tinggi ikut bersama keduanya.

   "Wiro memandang bekeliling. Dia melihat serumpunan semak belukar lebat di sebelah kiri di belakang sederetan pohon-pohon besar. Wiro memberi isyarat pada Kinasih. Kedua orang ini melangkah cepat lalu menyelinap ke balik semak belukar. Karena tidak tahu siapa yang datang dan bahaya apa yang bakal dihadapi, Wiro segera berjaga-jaga dengan coba mengerahkan pukulan Sinar Matahari di tangan kanan. Ternyata dia masih belum mampu mengerahkan tenaga dalam akibat perutnya yang masih cidera bekas terkena tendangan Momok Dempet. Dengan dada berdebar dan mata tak berkesip memandang ke depan, Wiro menunggu. Suara derap ladam-ladam kuda itu semakin dekat. TAMAT Episode Berikutnya . ROH DALAM KERATON -E-Book ini diketik ulang oleh . ACISX (ACHMAD FACHRIS) -Hak karya cipta cerita ini adalah milik Bastian Tito (Alm.) -Jika ada kesalahan dalam penulisan harap dimaafkan. Saran dan kritik kirim fachris@sctvnews.com BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Dendam Anak Pengemis Roro Centil Dendam Dan Cinta Gila Seorang Pendekar Raja Petir Pembalasan Berdarah

Cari Blog Ini