Ceritasilat Novel Online

Da Vinci Code 10


Dan Brown The Da Vinci Code Bagian 10



Langdon mendekat dengan langkah mantap, sambil memegangi cryptex itu di depan tubuhnya.

   "Tidak,"

   Katanya, matanya menajam ketika menatap Teabing.

   "Tidak, sampai dia membiarkanmu pergi."

   Rasa optimisme Teabing memudar.

   "Kita sudah sangat dekat, Robert. Jangan bermain-main denganku!"

   "Aku tidak main-main,"

   Kata Langdon.

   "Biarkan dia pergi. Lalu aku akan membawamu ke makam Newton. Kita akin membukacryptex ini bersama."

   "Aku tidak mau pergi ke mana-mana,"

   Kata Sophie, matanya menyipit karena marah.

   "Cryptex itu diberikan kepadaku oleh kakekku. Kau tidak berhak membukanya."

   Langdon berjalan, tampak khawatir.

   "Sophie. kumohon! Kau dalam bahaya. Aku mencoba menolongmu!"

   "Bagaimana caranya? Dengan membuka rahasia yang dilindungi kakekku hingga kematiannya? Dia mempercayaimu, Robert. Dan aku juga percaya padamu!"

   Mata biru Langdon tampak panik sekarang.

   Teabing tidak dapat menahan senyuman melihat keduanya bertengkar.

   Pada ambang penguakan salah satu rahasia terbesar sejarah, Langdon membingungkan dirinya dengan seorang perempuan yang telah membuktikan sendiri bahwa dirinya tidak pantas menerimanya.

   "Sophie,"

   Langdon memohon.

   "Kumohon ... kauharuspergi."

   Sophie menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, kecuali kau menyerahkan cryptex itu padaku atau membantingnya ke lantai."

   "Apa?"

   Langdon terkesiap.

   "Robert, kakekku pasti akan lebih senang rahasianya hilang untuk selamanya daripada melihatnya berada di tangan pembunuhnya."

   Mata Sophie tampak seolah akan dibanjiri air mata, namun tidak. Dia menatap lagi pada Teabing.

   "Tembak aku jika kau memang harus. Aku tidak akan meninggalkan warisan kakekku dalam tanganmu."

   Baiklah. Teabing mengarahkan senjatanya.

   "Jangan!"

   Langdon berteriak, sambil menaikkan tangannya dan menggantungkancryptex itu dengan berbahaya ke arah lantai batu yang keras.

   "Leigh, walau kau hanya menggertak, aku akan menjatuhkannya."

   Teabing tertawa.

   "Bualan itu berhasil pada REmy. Tidak padaku. Aku mengenalmu lebih baik dari itu."

   "Benarkah, Leigh?"

   Ya. Wajah pokermu perlu latihan, temanku. Aku hanya butuh beberapa detik untuk melihat bahwa kau berbohong. Kau sesungguhnya tidak tahu, di bagian makam Newton yang mana rahasia itu berada.

   "Betulkah, Robert? Kautahu di bagian mana rahasia itu harus dicari?"

   "Betul, aku tahu."

   Kebimbangan di mata Langdon hanya sekilas, namun Teabing melihatnya.

   Ada kebohongan di sana.

   Cara yang menyedihkan dan sangat putus asa untuk menye1amatkan Sophie.

   Teabing merasakan kekecewaan yang mendalam pada diri Robert Langdon.

   Aku adalah kesatria tunggal, dikelilingi oleh jiwa-jiwa tak berharga.

   Aku akanmemecahkankodebatukunciitusendirian.

   Langdon dan Neveu hanyalah ancaman bagi Teabing sekarang ...

   dan bagi Grail.

   Walau solusi itu akan menyakitkan, dia tahu, dia dapat melaksanakannya dengan nurani yang bersih.

   Satu-satunya tantangan adalah membujuk Langdon untuk meletakkan batu kunci itu sehingga Teabing dapat dengan selamat mengakhiri permainan ini.

   "Pertunjukan keyakinan,"

   Kata Teabing, menurunkan senjatanya dari Sophie.

   "Turunkan batu kunci itu dan kita akan bicara."

   Langdon tahu kebohongannya telah gagal.

   Dia dapat melihat tekad yang gelap pada wajah Teabing dan tahu bahwa momennya ada pada mereka.

   Begitu aku meletakkan ini, dia akan menembak kami.

   Bahkan tanpa melihat ke arah Sophie, Langdon tahu, jantung Sophie memohonnya dengan putus asa.

   Robert, lelaki ini tidak berhak atas Grail.

   Kumohon,janganberikanpadanya.Apapunyangakanterjadi.

   Langdon telah membuat keputusan beberapa menit yang lalu, ketika berdiri sendirian di dekat jendela memandang ke Taman College.

   LindungiSophie.

   LindungiGrail.

   Langdon hampir berteriak karena putus asa.Tetapiakutidaktahucaranya! Saat-saat kekecewaan yang dalam telah membawa serta kejelasan yang tak pernah dirasakannya sebelumnya.

   Kebenaran itu ada tepat di depan matamu, Robert.

   Dia tidak tahu dari mana bisikan itu datang.

   Grail tidak bergurau denganmu.Diasedang menyerukepada jiwayangberhak.

   Sekarang, Langdon membungkuk seperti sebuah patung beberapa yard di depan Leigh Teabing.

   Dia menurunkan cryptex itu hingga beberapa inci dari atas lantai batu "Ya, Robert,"

   Teabing berbisik, sambil mengarahkan pistol itu kepada Langdon.

   "Letakkan di bawah."

   Mata Langdon bergerak ke atas, ke arah celah terbukA, kubah Chapter House. Sambil berjongkok lebih rendah, Langdon menurunkan tatapannya pada pistol Teabing yang terarah tepat padanya.

   "Maafkan aku, Leigh."

   Dalam satu gerakan ringan, Langdon meloncat, sambil mengayunkan tangannya ke atas, melemparkancryptex itu ke atas ke arah kubah.

   Leigh Teabing tidak merasa menarik pelatuk pistolnya, namun Medusa itu meledak dengan suara menggelegar.

   Posisi tubuh Langdon yang tadi berjongkok, sekarang sudah menjadi vertikal, hampir terbang, dan peluru itu meledak di lantai dekat kaki Langdon.

   mengarahkan bidikannya dan menembak Setengah otak Teabing ingin lagi dengan kemarahan, tetapi kekuatan yang lebih besar menarik matanya ke atas, ke kubah.

   Batukunciitu! Waktu seolah membeku, berubah menjadi mimpi dalam gerak lambat ketika keseluruhan dunia Teabing menjadi batu kunci yang melayang itu.

   Dia menatapnya naik hingga ke puncak pendakiannya di atas ...

   melayang-layang sesaat pada ruang kosong di atas kemudian meluncur ke bawah, terus dan terus, ke arah lantai batu.

   Segala harapan dan mimpi Teabing sedang terjungkir-jungkir ke arah bumi.Tidakbolehmenghantamlantai! Akudapatmeraihnya! Tubuh Teabing bergerak secara naluri.

   Dia melepaskan pistolnya dan mengangkat dirinya ke depan, menjatuhkan tongkatnya ketika dia hendak meraih batu kunci dengan tangannya yang lembut terawat.

   Teabing merentangkan tangan dan jemarinya, menyambar batu kunci itu dari udara.

   Teabing jatuh ke depan sambil menggenggam batu kunci dalam tangannya.

   Lelaki berkaki lemah itu tahu, dia jatuh terlalu cepat.

   Tanpa ada yang memperlambat jatuhnya, tangannya yang meregang menimpa lantai lebih dulu, dancryptex itu terhempas keras di lantai batu.

   Terdengar suara kerkah menyakitkan dari kaca di dalamnya.

   Satu detik penuh, Teabing tidak bernapas.

   Terentang di atas lantai, sambil menatap lengan-lengannya yang terulur dengan silinder pualam pada telapak tangannya, Teabing berharap botol kaca di dalam silinder itu tidak pecah.

   Lalu bau tajam cairan cuka memotong udara, dan Teabing merasakan dinginnya cairan yang mengalir keluar dari putaran silinder ke telapak tangannya.

   Kepanikan luar biasa menyergapnya.

   TIDAK! Cuka itu sekarang mengalir, dan Teabing membayangkan papirus yang hancur di dalamnya.

   Robert, kau tolol.Rahasiaituhilangsudah! Teabing menangis tak terkendali.

   Grailitusudahhilang.Segalanyahancur.

   Dengan marah karena apa yang telah dilakukan Langdon, Teabing mencoba memisahkan silinder itu, sangat ingin melihat sejarah walau sekilas saja, sebelum larut selamanya.

   Namun Teabing terkejut sekali, ketika dia menarik ujung-ujung batu kunci itu, slinder itu terpisah begitu saja.

   Dia terkesiap dan melongok ke dalamnya.

   Kosong, kecuali pecahan kaca yang basah.

   Tidak ada papirus yang larut.

   Teabing berguling dan menatap Langdon.

   Sophie berdiri di samping Langdon, sambil menodongkan senjata pada Teabing.

   Dengan bingung Teabing melihat kembali batu kunci itu dan menangkap sesuatu.

   Lempengan-lempengan pada silinder tidak lagi acak.

   Lempenganlempengan itu sudah teratur membentuk kata lima huruf .

   APPLE.

   "Bola yang dimakan Eva,"

   Kata Langdon dingin.

   "membangkitkan kemarahan suci Tuhan. Dosa asal. Simbol kejatuhan perempuan suci. Teabing merasa kebenaran itu datang dan menerpanya dalam ketegangan yang menyiksa. Bola yang seharusnya ada di makam Newton, tidak bisa tidak, pastilah buah apel Rosy yang jatuh dari langit, memukul Newton tepat pada kepalanya, dan mengilhami karya seumur hidupnya. Hasil kerjanya! Raga Rosydenganrahimyangterbuahi! "Robert,"

   Bentak Teabing.

   "Kau membukanya. Di mana ... peta itu?"

   Tanpa berkedip, Langdon merogoh saku dada jas wolnya dan dengan berhati-hati dia menarik keluar sebuah gulungan kertas papirus yang halus.

   Hanya beberapa yard dari tempat Teabing terbaring, Langdon membuka gulungan itu dan melihatnya.

   Setelah lama menatap, sebuah senyuman pengertian terkembang pada wajah Langdon.

   Dia tahu! Jantung Teabing sangat menginginkan pengetahuan itu.

   Mimpi seumur hidupnya ada tepat di depannya.

   "Katakan padaku!"

   Perintah Teabing.

   "Kumohon! Oh, Tuhan, kumohon! Ini belum terlambat!"

   Ketika suara derap langkah berat terdengar di aula menuju ke Chapter House, Langdon dengan tenang menggulung lagi kertas papirus itu dan memasukkan kembali ke dalam sakunya.

   "Tidak!"

   Teabing berteriak, sambil mencoba berdiri namun gagal.

   Ketika pintu terbuka dengan kasar, Bezu Fache masuk seperti seekor banteng memasuki arena.

   Mata buasnya mengamati dan menemukan sasarannya tergeletak tak berdaya di atas lantai---Leigh Teabing.

   Sambil menghembuskan napas lega, Fache menyimpan kembali pistol Manurhin-nya dan menoleh pada Sophie.

   "Agen Neveu, aku senang kau dan Pak Langdon selamat. Kau seharusnya datang ketika kuminta."

   Polisi Inggris masuk mengikuti Fache, menangkap tahanan yang tampak menderita itu dan membelenggunya. Sophie tampak terpaku melihat Fache. kami?"

   Fache menunjuk pada Teabing.

   "Dia "Bagaimana kau menemukan membuat kesalahan dengan memperlihatkan ID, kartu identitasnya, ketika memasuki biara ini. Para penjaga mendengar pengumuman polisi bahwa kami sedang mencari Sir Leigh Teabing."

   "Ada di dalam saku Langdon!"

   Teabing berteriak seperti orang gila.

   "Peta ke Holy Grail!"

   Ketika mereka mengangkat Teabing dan membawanya keluar, Teabing masih dapat menoleh dan berteriak.

   "Robert! Katakan di mana itu disembunyikan!"

   Begitu Teabing melewati mereka, Langdon menatap mata Teabing.

   "Hanya yang berhak yang menemukan Grail, Leigh. Kau mengajarkan itu padaku."

   HALIMUN telah turun di Taman Kensington ketika Silas terpincang-pincang memasuki sebuah lembah sunyi tak terlihat.

   Dia lalu berlutut di atas rumput basah dan merasakan aliran hangat dari darahnya yang mengalir dan luka peluru di bawah tulang iganya.

   Namun, dia masih sanggup menatap lurus ke depan.

   Kabut membuat taman itu seperti surga.

   Silas mengangkat tangannya yang berlumuran darah untuk berdoa.

   Dia mengamati air hujan mengusapi jemarinya, sehingga jemarinya menjadi putih lagi.

   Ketika tetes hujan menjadi semakin keras menimpa punggung dan bahunya, dia dapat merasakan tubuhnya menghilang sedikit demi sedikit ke dalam kabut.

   Akuhantu.

   Angin bertiup menerpanya, membawa aroma tanah basah dan kehidupan baru.

   Dengan setiap sel yang hidup dalam tubuh rusaknya, Silas berdoa.

   Dia berdoa mohon pengampunan.

   Dia berdoa mohon belas kasihan.

   Dan yang terpenting, dia berdoa untuk mentornya ...

   Uskup Aringarosa ...

   supaya Tuhan tidak mengambilnya sebelum waktunya.Diamasih harus mengerjakanbanyakhal.

   Kabut mengitarinya sekarang, dan Silas merasa begitu ringan sampai sampai dia yakin tiupan angin mampu menerbangkannya.

   Dengan menutup matanya, dia mengucapkan doa terakhirnya.

   Dari suatu tempat di tengah-tengah halimun itu, suara Manuel Aringarosa berbisik kepadanya.

   TuhankitaadalahTuhanyangbaikdanpengasih.

   Rasa sakit Silas mulai memudar, dan dia tahu uskup itu benar.

   AKHIRNYA Matahari muncul pada sore hari.

   London pun mulai kering.

   Bezu Fache merasa letih ketika keluar dari ruang interogasi dan memanggil taksi.

   Sir Leigh Teabing telah menyatakan dengan sangat riuh bahwa dirinya tidak bersalah, namun dari kata-kata tingginya yang membingungkan tentang Holy Grail, dokumen-dokumen rahasia, dan persaudaraan-persaudaraan misterius, Fache menduga bahwa sejarawan pandai ini sedang mengatur para pengacaranya untuk mengajukan pernyataan ketidakwarasan dalam pembelaan mereka.

   Tentu, pikir Fache.

   Tidak waras.

   Teabing telah memaparkan sebuah rencana yang betul-betul sangat teliti dalam pengaturannya sehingga dapat melindungi dirinya pada setiap dakwaan.

   Sejarawan ini telah memperalat baik Vatikan maupun Opus Dei, dua kelompok yang akhirnya dinyatakan tidak bersalah.

   Pekerjaan kotor Teabing telah dilaksanakan secara tidak sadar oleh seorang biarawan fanatik dan seorang uskup yang putus asa.

   Lebih cerdik lagi, Teabing telah meletakkan peralatan penyadapannya pada tempat yang tak mungkin ter jangkau oleh seorang penyandang cacat polio.

   Penyadapan itu dilaksanakan oleh pelayannya, Remy -satu-satunya orang yang tahu identitas Teabing yang sebenarnya -yang telah meninggal karena reaksi alerginya.

   Hampir tidak dapat dikatakan sebagai hasil pekerjaan seseorang dengan cacatmental, pikir Fache.

   Informasi dari Collet yang masih berada di Puri Villette mengatakan bahwa kecerdikan Teabing sangat luar biasa sehingga Fache sendiri merasa dapat mempelajari sesuatu darinya.

   Untuk menyembunyikan alat penyadap dengan rapi di dalam kantor orang-orang yang sangat berpengaruh di Paris, sejarawan Inggris itu meniru cara orang Yunani kuno.

   Kuda-kuda Troya.

   Beberapa sasaran yang ditujunya mendapat hadiah barang seni mewah, yang di dalamnya sudah disisipkan alat penyadapan itu.

   Pada kasus SauniEre, kurator ini telah mendapat undangan makan malam ke Puri Villette untuk membicarakan kemungkinan Teabing membiayai pembangunan Sayap Da Vinci yang baru di Louvre.

   Undangan kepada SauniEre juga berisi catatan tentang kekaguman Teabing pada robot kesatria yang, konon, telah dirakit SauniEre sendiri.

   Bawalah ke acara makan malam kita, begitu usul Teabing.

   Tampaknya SauniEre menurutinya dan meninggalkan kesatria besi itu tanpa pengawasan cukup lama, sehingga REmy Legaludec mempunyai cukup waktu untuk menyisipkan penyadap tanpa mencurigakan.

   Sekarang Fache duduk di bangku belakang taksi.

   Dia menutup matanya.

   Satuhallagiyangharusdikerjakansebelumaku pulangkeParis.

   Cahaya matahari memenuhi ruang pemulihan Rumah Sakit St.

   Maria.

   "Anda telah membuat kami semua kagum,"

   Kata seorang perawat sambil tersenyum.

   "Ini keajaiban yang jarang terjadi."

   Uskup Aringarosa tersenyum lemah.

   "Aku selalu diberkati, dari dulu."

   Perawat itu menyelesaikan pekerjaannya, lalu meninggalkan uskup itu sendirian.

   Sinar matahari tampak ramah dan hangat di wajah Aringarosa.

   Tadi malam merupakan malam tergelap dalam hidupnya..

   Dengan hati remuk, dia memikirkan Silas yang tubuhnya ditemukan di taman.

   Kumohon,maafkanaku,anakku.

   Aringarosa memang menginginkan Silas untuk terlibat dalam rencana kejayaannya itu.

   Kemarin malam, Aringarosa menerima telepon dari Bezu Fache.

   Kapten Polisi itu bertanya tentang kemungkinan keterlibatannya dalam pembunuhan seorang biarawati di Saint-Sulpice.

   Aringarosa pun sadar bahwa malam itu telah berubah menjadi malam yang menakutkan.

   Berita tentang terbunuhnya empat orang lagi mengubah ketakutannya menjadi penderitaan.

   Silas, apa yang telah kaulakukan! Karena Aringarosa tidak dapat menghubungi Guru, dia tahu, dia telah disingkirkan dari misi itu.Digunakan.

   Satu-satunya cara untuk menghentikan rantai peristiwa mengerikan yang secara tak disadarinya telah dibantunya itu adalah dengan cara mengakui segalanya kepada Fache.

   Mulai saat itu, Aringarosa dan Fache berusaha keras menghubungi Silas sebelum Guru membujuknya untuk melakukan pembunuhan lagi.

   Aringarosa merasa sangat letih tulang-belulangnya.

   Dia lalu memejamkan matanya dan mendengarkan berita di televisi tentang penangkapan seorang kesatria Inggris yang terkenal, Sir Leigh Teabing.

   Guru terungkap untuk disaksikan oleh semua orang.

   Teabing telah mendengar kabar angin bahwa Vatikan berencana untuk memutuskan hubungan dengan Opus Dei.

   Kemudian dia memilih Aringarosa sebagai pion sempurna untuk melaksanakan rencananya.

   Betapapun, siapa lagi yang mau meloncat dengan membuta mengejar Holy Grail selain orang seperti diriku ini yang mau mempertaruhkan segalanya? Grail akan memberikan kekuasaan yang sangat besarbagisiapasajayangmemilikinya.

   Leigh Teabing telah melindungi idenntasnya dengan cerdik -berpura-pura dengan menggunakan aksen Prancis dan hati yang saleh, dan hanya meminta sebagai bayaran sesuatu yang tak di butuhkan Aringarosa -uang.

   Aringarosa saat itu terlalu bersemangat sehingga tidak sempat curiga.

   Harga 20 juta euro yang harus dibayarnya terasa tidak ada artinya dibandingkan dengan nilai yang akan diperolehnya dari Grail, apalagi dengan adanya cicilan Vatikan karena pemutusan hubungan dengan Opus Dei itu.

   Orang buta melihat apa yang mereka ingin lihat.

   Penghinaan Teabing terbesar, tentu saja, adalah dia meminta pembayaran itu berupa obligasi Vatikan, sehingga jika ada kegagalan, penyelidikan polisi akan langsung ke Roma.

   "Saya senang melihat Anda tampak lebih baik, Tuan."

   Aringarosa mengenali suara keras dan kasar itu yang terdengar di ambang pintu, tetapi wajah pemilik suara itu tak terduga -keras, tampak berkuasa, rambut hitam licin dan leher lebar yang tampak kaku di dalam jas gelapnya.

   "Kapten Fache?"

   Tanya Aringarosa.

   Perasaan simpati dan perhatian yang diperlihatkan Fache ketika Aringarosa berjanji tadi malam telah membuat Aningarosa membayangkan sesosok yang lebih lembut.

   Sang Kapten mendekati tempat tidur dan menaikkan sebuah tas hitam berat yang dikenali Aringarosa ke atas kursi.

   "Saya yakin ini milik Anda?"

   Aringarosa menatap tas yang penuh berisi obligasi itu, lalu segera mengalihkan tatapannya, karena sangat malu.

   "Ya, ... terima kasih."

   Dia terdiam sementara jemarinya menyentuh lipatan kain tempat tidurnya, lalu dia melanjutkan.

   "Kapten, saya telah merenungkannya, dan saya perlu minta bantuan Anda."

   "Tentu saja."

   "Keluarga-keluarga di Paris yang telah Silas ..."

   Dia terdiam, menahan perasaannya.

   "Saya sadar, sejumlah uang tidak akan mungkin menggantikan kehilangan mereka, namun jika Anda mau berbaik hati untuk membagi isi tas itu kepada mereka ... keluarga-keluarga korban."

   Mata hitam Fache lama mengamati Aringarosa.

   "Sebuah tindakan luhur, Yang Mulia. Saya akan memastikan keinginan Anda terlaksana."

   Kemudian ruangan itu menjadi sangat sunyi.

   Di televisi, seorang petugas polisi Prancis yang kurus sedang memberikan konperensi pers di depan sebuah rumah yang berantakan.

   Fache melihat siapa polisi itu lalu mengalihkan perhatiannya pada layar televisi.

   "Letnan Collet,"

   Seorang wartawan perempuan dari BBC berkata, nada suaranya menuduh.

   "Tadi malam, kapten Anda menuduh dua orang tak bersalah karena pembunuhan, di depan umum. Apakah Robert Langdon dan Sophie Neveu akan meminta pertanggungjawaban pada polisi? Apakah ini akan mengakibatkan dipecatnya Kapten Fache?"

   Letnan Collet tersenyum letih, namun tetap tenang.

   "Menurut pengalaman saya, Kapten Bezu Fache jarang membuat kesalahan. Saya belum sempat berbicara dengan beliau tentang hal ini, tetapi dengan mengetahui bagaimana cara kerja beliau, saya kira pengejaran polisi pada Agen Neveu dan Pak Robert Langdon secara terbuka itu hanyalah bagian dari usahanya untuk memancing munculnya pembunuh yang sesungguhnya."

   Para wartawan saling pandang, keheranan. Lalu Collet melanjutkan.

   "Apakah Pak Langdon dan Agen Neveu terlibat dalam kasus ini, saya tidak tahu. Kapten Fache cenderung menyimpan metode kreatifnya sendiri. Apa yang dapat saya tegaskan pada saat ini adalah bahwa Kapten telah berhasil menangkap orang yang bertanggung jawab, dan bahwa Pak Langdon dan Agen Neveu sama-sama tidak bersalah dan selamat."

   Fache tersenyum kecil ketika dia menoleh lagi pada Aringarosa.

   "Collet orang balk."

   Beberapa saat berlalu. Akhirnya Fache mengusap dahinya, meluruskan lagi rambut hitamnya ketika dia menatap Aringarosa yang terbaring.

   "Yang Mulia, sebelum saya kembali ke Paris, ada satu hal terakhir yang ingin saya bicarakan -penerbangan Anda ke London yang begitu mendadak. Anda menyuap pilot itu untuk mengubah arah. Dengan berbuat demikian, Anda telah melanggar beberapa hukum internasional."

   Aringarosa menyesal.

   "Saya sangat putus asa."

   "Ya. Demikian juga pilot itu ketika kami menginterogasinya."

   Lalu Fache merogoh sakunya dan mengeluarkan sebentuk cincin bermata batu kecubung dengan ikatan emas yang dibuat tangan.

   Aringarosa merasa air matanya mengambang pada matanya ketika dia menerima kembali cincin itu dan memasukkannya kembali pada jarinya.

   "Anda baik sekali."

   Lalu dia mengulurkan, tangannya dan menjabat tangan Fache.

   "Terima kasih."

   Fache mengangkat tangannya, lalu berjalan ke jendela dan menatap kota itu. Benaknya melayang jauh. Ketika dia menoleh, ada ketidakpastian pada dirinya.

   "Yang Mulia, Anda mau ke mana dari sini?"

   Aringarosa pernah ditanya hal yang sama ketika dia meninggalkan Puri Gandolfo kemarin malam.

   "Saya kira jalan saya sama tidak pastinya dengan jalan Anda."

   "Ya."

   Fache terdiam.

   "Saya kira, saya akan pensiun lebih awal."

   Aringarosa tersenyum.

   "Sedikit keyakinan dapat membuat keajaibankeajaiban, Kapten. Sedikit keyakinan."

   KAPEL Rosslyn---sering disebut Katedral Kode-Kode---berdiri tujuh mil ke selatan Edinburgh, Skotlandia, di situs kuil kuno Mithrajc.

   Dibangun oleh Templar pada tahun 1446, kapel itu diukir dengan deretan simbol-simbol yang mengejutkan dari tradisi-tradisi Yahudi, Kristen, Mesir, Masonik, dan pagan.

   Koordinat geografis kapel ini berada tepat pada meridian utara-selatan yang menjalar melalui Glastonbury.

   Garis Mawar longitudinal ini merupakan tanda tradisional dari Isle of Avalon-nya Raja Arthur dan dianggap sebagai pilar pusat dari geometri suci Inggris.

   Dari Garis Mawar (Rose Line) inilah nama Rosslyn -aslinya ditulis Roslin -diambil.

   Puncak menara kasar Rosslyn menangkap bayangan malam yang panjang ketika Langdon dan Sophie Neveu memarkir mobil sewaan mereka di area parkir berumput di kaki tebing tempat kapel itu berdiri.

   Penerbangan pendek mereka dari London ke Edinburgh berlangsung tenang, walau tidak ada yang tertidur karena ketegangan menghadapi apa yang akan mereka temui nanti.

   Saat menatap bangunan besar di depan langit yang tersapu awan, Langdon merasa seperti Alice (di negeri dongeng) yang terjatuh ke lubang kelinci.

   Ini pasti mimpi.

   Namun dia tahu teks yang ditulis SauniEre sebagai pesan terakhirnya sudah sangat jelas.

   Holy Grail menanti di bawah Roslin kuno.

   Langdon telah membayangkan bahwa "peta Grail"

   SauniEre akan merupakan sebuah diagram -sebuah gambar dengan sebuah X menandai tempat itu -namun ternyata rahasia terakhir Biarawan itu telah terungkap dengan cara yang sama seperti cara SauniEre berbicara kepada mereka sejak awal.

   Bait sederhana.

   Empat baris tegas yang menunjukkan tanpa ragu ke tempat ini.

   Sebagai tambahan untuk mengenali nama Rosslyn, bait itu membuat rujukan ke beberapa ciri arsitektural yang ternama dari kapel itu.

   Walau pesan terakhir SauniEre begitu jelas, Langdon kini merasa lebih bingung lagi.

   Baginya, Kapel Rosslyn tampak lebih jelas tempatnya.

   Selama empat abad, kapel batu ini telah menggaungkan bisik-bisik tentang kehadiran Holy Grail.

   Bisik-bisik itu menjadi teriakan pada sepuluh tahun terakhir ini ketika radar penembus tanah menemukan adanya struktur mengagumkan di bawah kapel -sebuah kamar raksasa bawah tanah.

   Bukan hanya ruang bawah tanah itu lebih besar daripada kapel di atasnya, tapi juga tampaknya tidak memiliki pintu masuk dan keluar.

   Para arkeolog memohon untuk dapat meledakkannya melalui batuan dasarnya untuk mencapai ruangan misterius itu, namun Perserikatan Rosslyn dengan tegas melarang segala penggalian pada situs suci itu.

   Tentu saja, ini hanya semakin menyulut api spekulasi.

   Perserikatan Rosslyn mencoba menyembunyikan apa? Rosslyn sekarang menjadi situs ziarah bagi para pencari misteri.

   Beberapa orang mengaku bahwa mereka ditarik ke sini oleh kekuatan magnit yang berasal dari koordinat ini, tanpa dapat menjelaskannya.

   Beberapa yang lainnya mengaku, mereka datang untuk meneliti sisi bukit untuk mencari pintu masuk yang tersembunyi mengaku datang ke ruang bawah tanah itu.

   Tetapi kebanyakan orang hanya untuk berjalan-jalan di atasnya dan menyerap pengetahuan tentang Holy Grail.

   Walaupun Langdon belum pernah ke Rosslyn.

   dia selalu tertawa ketika mendengar kapel ini digambarkan sebagai rumah terkini Holy Grail.

   Diakui, Rosslyn mungkin pernah menjadi rumah bagi Grail, sudah lama sekali ...

   tetapi tidak lama.

   Kehadiran Grail di sana terlalu banyak menarik perhatian pada dekade-dekade lalu, dan cepat atau lambat seseorang akan menemukan jalan menuju ke ruang bawah tanah itu.

   Para peneliti Grail yang sesungguhnya setuju bahwa Rosslyn hanyalah sebuah umpan -salah satu jalan buntu yang berliku-liku yang dibuat Biarawan dengan begitu meyakinkan.

   Malam ini, walau membawa batu kunci Biarawan yang memberikan sebuah bait yang menunjuk langsung pada tempat ini, Langdon tetap tidak merasa begitu puas.

   Sebuah pertanyaan membingungkannya sepanjang hari.

   Mengapa SauniEre mau bersusah payah untuk memandu kita ke tempat yangbegitunyata? Tampaknya hanya ada satu jawaban masuk akal.

   AdasesuatupadaRosslynyangmasihharuskitamengerti.

   "Robert?"

   Panggil Sophie yang sudah berdiri di luar mobil, sambil melihat Robert.

   "Kau ikut?"

   Sophie memegang kotak kayu mawar, yang dikembalikan Kapten Fache.

   Di dalamnya, keduacryptex telah disatukan lagi dan diletakkan seperti ketika ditemukan.

   Kertas papirus telah tergulung dan disimpan dengan aman di dalamnya -tanpa botol cuka yang telah hancur.

   Keduanya lalu berjalan di sepanjang jalan berbatu.

   Mereka melintasi dinding barat yang terkenal dari kapel itu.

   Para pengunjung biasa mengira bahwa dinding yang menonjol keluar dengan aneh ini merupakan bagian dari kapel yang belum selesai.

   Sesungguhnya, Langdon ingat, itu merupakan bagian yang lebih menggoda.

   IniadalahdindingbaratdariKuilSalomo.

   Templar telah merancang Kapel Rosslyn betul-betul serupa dengan cetak biru arsitektur Kuil Salomo di Jerusalem -lengkap dengan sebuah dinding barat, sebuah tempat berlindung yang sempit, dan sebuah ruang bawah tanah seperti Ruang Mahakudus, tempat sembilan kesatria menanam harta benda mereka untuk pertama kalinya.

   Langdon harus mengakui, ada sebuah simetri yang menggoda dalam gagasan Templar membangun tempat pe.nyimpanan modern bagi Grail yang menggemakan tempat persembunyian Grail yang sesungguhnya.

   Pintu masuk Kapel Rosslyn lebih sederhana daripada yang Langdon kira.

   Pintu kayu kecilnya memiiki dua engsel besi dan sebuah tanda dari kayu ek.

   ROSLIN Ejaan kuno ini, Langdon menjelaskan kepada Sophie, berasal dari meridian "Rose Line"

   Tempat kapel ini berdiri; atau, seperti yang lebih dipercaya oleh para peneliti Grail, dari the "Line of Rose" -garis keturunan kuno Maria Magdalena.

   Kapel ini sudah hampir tutup.

   Ketika Langdon menarik-buka pintunya, udara hangat keluar dari dalam ruangan, seolah gedung kuno ini mendesah berat karena kelelahan pada akhir hari yang panjang.

   Pintu masuk lengkungnya dihiasi dengan ukiran lima kelopak.

   Mawar.Rahimdewi.

   Langdon dan Sophie memasuki kapel itu.

   Mata Langdon segera melihat ke ujung sanktuarinya yang terkenal.

   Walau dia telah membaca soal ukiran batu kapel Rosslyn yang menawan, melihatnya langsung memberi Langdon pengalaman yang luar biasa.

   Surgasimbologi, salah satu teman Langdon menyebumya demikian.

   Setiap permukaan kapel ini telah diukir dengan simbol-simbol -salib-salib Kristen, bintang-bintang Yahudi, gambar-gambar astrologi, tumbuhan, sayuran, bintang lima sudut, dan mawar.

   Templar merupakan ahli ukir batu.

   Mereka telah mendirikan gereja di seluruh Eropa, tetapi Rosslyn dianggap sebagai hasil karya cinta dan pemujaan mereka yang paling luhur.

   Para ahli batu itu tidak meninggalkan satu batu pun yang tak terukir.

   Kapel Rosslyn merupakan tempat suci bagi semua keyakinan ...

   semua tradisi ...

   dan, yang terutama, bagi alam dan dewi.

   Sanktuari gereja itu kosong, kecuali sedikit pengunjung yang mendengarkan seorang lelaki muda memberikan tur terakhir hari ini.

   Lelaki muda itu memimpin mereka dalam satu barisan mengikuti sebuah rute terkenal pada lantai -sebuah garis jalan-kecil tak terlihat yang menghubungkan enam kunci titik arsitektur di dalam sanktuari.

   Para pengunjung dari generasi ke generasi telah menapaki garis-garis ini, menghubungkan titik-titik itu, dan jejak kaki mereka yang tak terhitung telah mengukir sebuah simbol yang besar di atas lantai.

   BintangDavid, pikir Langdon.Tidakadakebetulandisana.

   Juga dikenal sebagai Segel Salomo, heksagram ini pernah menjadi simbol rahasia bagi pendeta-pendeta penarap bintang.

   Belakangan simbol ini diambil oleh raja-raja Israel -David dan Salomo.

   Pemandu wisata itu telah melihat Langdon dan Sophie masuk.

   Walaupun sekarang sudah waktunya tutup, dia masih tersenyum ramah dan memberi isyarat kepada mereka untuk bebas melihat-lihat ke sekeliing.

   Langdon mengangguk berterima kasih dan mulai bergerak masuk lebih dalam ke sanktuari.

   Sophie masih berdiri terpaku pada ambang pintu.

   Kebingungan tampak pada wajahnya.

   "Ada apa?"

   Tanya Langdon. Sophie menatap kapel itu.

   "Rasanya ... aku pernah ke sini."

   Langdon heran.

   "Tadi kaubilang bahkan belum pernah mendengar nama Rosslyn."

   "Aku memang belum pernah..."

   Dia mengamati sanktuari gereja itu, tampak tidak yakin.

   "Pastilah kakekku pernah membawaku ke sini ketika aku masih sangat kecil. Aku tidak tahu. Rasanya ini kukenal."

   Ketika matanya mengamati ruangan itu, dia mulai mengangguk-angguk lebih yakin.

   "Ya."

   Lalu Sophie menunjuk pada bagian muka ruang gereja itu.

   "Kedua pilar itu ... aku pernah melihatnya."

   Langdon meihat pasangan pilar yang dipahat rumit pada ujung sanktuari.

   Pilar-pilar itu -ditempatkan pada posisi altar biasanya berada -merupakan pasangan yang aneh.

   Pilar di sebelah kiri diukir dengan garis-garis vertikal sederhana, sementara pilar kanan dihiasi dengan sebuah spiral berbungabunga.

   Sophie bergerak ke arah kedua pilar itu.

   Langdon bergegas mengikutinya.

   Ketika mereka tiba di sana, Sophie mengangguk dengan ketidakpercayaan bahwa dia betul-betul sudah pernah ke sini.

   "Ya, aku yakin, aku sudah pernah melihat ini!"

   "Aku yakin kau pernah melihatnya,"

   Kata Langdon.

   "tetapi itu tidak harus disini."

   Sophie menoleh pada Langdon.

   "Apa maksudmu?"

   "Kedua pilar ini merupakan struktur arsitektur yang paling banyak ditiru di dalam sejarah. Tiruan selalu ada di mana-mana di seluruh dunia ini."

   "Tiruan Rosslyn?"

   Sophie tampak ragu.

   "Bukan. Tiruan pilar. Kauingat sebelumnya ketika aku mengatakan bahwa Rosslyn sendiri merupakan tiruan dari Kuil Salomo?"

   Langdon lalu menunjuk pada pilar di sebelah kiri.

   "Itu disebutBoaz -atau Pilar Mason. Yang lainnya dinamakan Jachin--atau Pilar Murid."

   Dia terdiam sejenak.

   "Sebenarnya, semua kuil Mason memiliki dua pilar seperti ini."

   Langdon sudah pernah menjelaskan kepada Sophie tentang ikatan sejarah yang kuat antara Templar dengan perkumpulan rahasia Mason di zaman sekarang, yang tingkatan-tingkatan awalnya -Apprentice Freemason, Fellowchart Freemason, dan Master Mason -berhubungan dengan masa-masa awal Templar.

   Puisi terakhir kakek Sophie merujuk langsung ke Master Mason yang menghiasi Rosslyn dengan sajian ukiran artistik mereka.

   Puisi itu juga berkaitan dengan bagian tengah Rosslyn, yang tertutup dengan ukiran bintangbintang dan planet-planet.

   "Aku belum pernah pergi ke Kuil Mason,"

   Kata Sophie, sambil masih menatap pilar-pilar itu.

   "Aku hampir yakin, aku melihat ini di sini."

   Dia menoleh kembali ke kapel itu, seolah mencari hal lain lagi yang dapat mengingatkannya.

   Pengunjung yang lain sekarang sudah pergi, dan pemandu muda itu bergerak melintasi kapel ke arah mereka dengan senyuman ramahnya.

   Lelaki tampan itu berusia kira-kira akhir dua puluhan, dengan aksen Skotlandia dan rambut pirang strawberi.

   "Aku akan tutup sebentar lagi. Bisa kubantu menemukan sesuatu?"

   BagaimanamenemukanHolyGrail? Hampir saja Langdon mengatakan itu.

   "Kode itu,"

   Kata Sophie, tiba-tiba seperti mendapat wahyu.

   "Ada kode di sana!"

   Petugas gereja itu tampak senang melihat Sophie begitu antusias.

   "Ya, memang ada, Bu."

   "Ada di langit-langit,"

   Kata Sophie, menoleh ke dinding di sebelah kanannya.

   "Di sana."

   Petugas itu tersenyum.

   "Ini bukan kunjunganmu yang pertama tampaknya."

   Kode itu, pikir Langdon.

   Dia telah lupa dengan pelajaran kecil itu.

   Salah satu dari banyak misteri Rosslyn adalah sebuah ruang beratap kubah, dari mana ratusan balok bartu menonjol, bergantungan ke bawah membentuk permukaan multifaset yang aneh.

   Setiap balok diukir dengan sebuah simbol, tampaknya secara acak, menciptakan sebuah sandi dari bagian yang tak terduga.

   Beberapa orang percaya, kode itu akan membuka pintu masuk ke ruang bawah tanah kapel.

   Yang lainnya percaya, kode itu akan menceritakan legenda Grail yang sesungguhnya.

   Selama berabad-abad, para kriptografer telah mencoba untuk mengartikannya.

   Hingga hari ini, Perserikatan Rosslyn menawarkan hadiah besar bagi siapa saja yang mengungkap arti rahasia itu, tetapi kode itu tetap menjadi misteri.

   "Aku akan senang memperlihatkan..."

   Suara petugas gereja itu terhenti.

   Kodepertamaku, pikir Sophie, sambil berjalan sendirian setengah sadar ke arah ruang di bawah atap kubah yang berkode itu.

   Karena dia telah menyerahkan kotak kayu tadi kepada Langdon, untuk sementara dia dapat melupakan segalanya tentang Holy Grail, Biarawan Sion, dan segala misteri kemarin.

   Ketika dia tiba di bawah langit-langit yang berkode dan melihat simbol-simbol di atasnya, kenangan itu datang membanjir.

   Dia ingat kunjungan pertamanya ke sini, dan anehnya kenangan itu membuatnya sedih secara tak terduga.

   Saat itu Sophie masih kecil ...

   kira-kira satu tahun setelah keluarganya meninggal.

   Kakeknya membawanya ke Skotlandia pada saat liburan pendek.

   Mereka mengunjungi Kapel Rosslyn sebelum kembali ke Paris.

   Saat itu sudah sore, dan kapel sudah tutup.

   Tetapi mereka masih berada di dalam.

   "Kita bisa pulang sekarang, Grand-pEre?"

   Sophie memohon karena merasa letih.

   "Segera, sayang, sebentar lagi."

   Suara kakeknya terdengar sedih.

   "Masih ada satu hal yang harus kukerjakan di sini. Bagaimana jika kau menunggu di mobil?"

   "Kau akan melakukan pekerjaan orang dewasa lagi?"

   Kakeknya mengangguk.

   "Aku akan cepat. Aku berjanji."

   "Aku boleh menebak kode ruang beratap kubah itu lagi? Soalnya asyik."

   "Aku tidak tahu. Aku harus keluar. Kau tidak takut di sini sendirian?"

   "Tentu saja tidak!"

   Katanya dengan gusar.

   "Ini belum gelap!"

   Kakeknya tersenyum.

   "Baiklah jika begitu."

   Lalu SauniEre mengantarnya ke ruang yang besar itu yang telah diperlihatkannya sebelumnya. Sophie langsung menjatuhkan diri di atas lantai batu, lalu membaringkan tubuhnya dan menatap lekukan potongan teka-teki di atasnya.

   "Aku akan memecahkan kode ini sebelum kau kembali!"

   "Kalau begitu, kita berlomba."

   SauniEre membungkuk dan mengecup dahi cucunya, lalu berjalan ke arah pintu di dekatnya.

   "Aku di luar. Aku akan membiarkan pintu terbuka. Jika kau membutuhkan Kemudian SauniEre masuk ke sinar lembut malam. Sophie berbaring di atas lantai, menatap kode aku, panggil saja."

   Itu. Matanya terasa mengantuk. Setelah beberapa menit, simbol-simbol itu menjadi pudar, dan kemudian menghilang. Ketika Sophie terbangun, lantai itu terasa dingin.

   "Grand-pEre?"

   Tidak ada jawaban.

   Lalu Sophie berdiri dan membersihkan pakaiannya.

   Pintu keluar masih terbuka.

   Malam mulai menjadi lebih gelap.

   Dia berjalan keluar dan dapat melihat kakeknya berdiri di beranda rumah batu yang berada tepat di belakang gereja.

   Kakeknya sedang berbicara dengan seseorang yang hampir tidak terlihat di balik pintu berkasa.

   "Grand-pere?"

   Sophie memanggil.

   Kakeknya menoleh dan melambaikan tangannya, memberi isyarat padanya untuk menunggu sebentar lagi.

   mengucapkan kata-kata terakhirnya Kemudian, perlahan-lahan, kakeknya kepada orang di balik pintu itu dan melayangkan ciuman ke arah pintu berkasa.

   Kakeknya datang dengan mata penuh air mata.

   "Mengapa kau menangis,Grand-pEre?"

   SauniEre mengangkatnya dan mendekapnya erat.

   "Oh, Sophie, tahun ini kau dan aku telah mengucapkan selamat tinggal kepada banyak orang. Sulit sekali."

   Sophie ingat pada kecelakaan itu, pada ucapan selamat tinggal kepada ibu, ayah, nenek, dan adik lelakinya yang masih bayi.

   "Kau tadi mengucapkan selamat tinggal kepada orang lain lagi?"

   "Kepada seorang teman dekat yang sangat kucintai,"

   Dia menjawab, suaranya berat karena penuh perasaan.

   "Dan aku takut tidak akan bertemu lagi dengannya untuk jangka waktu yang lama."

   Berdiri di samping pemandu, Langdon telah mengamati dinding-dinding kapel dan mulai merasa menemui jalan buntu.

   Sophie telah berjalan pergi untuk melihat kode itu dan meninggalkan Langdon memegangi kotak kayu mawar, yang berisi peta Grail yang tampaknya tidak berguna lagi sekarang.

   Walau puisi SauniEre dengan jelas menunjukkan Rosslyn, Langdon tidak yakin apa yang harus dilakukannya sekarang setelah mereka tiba di sini.

   Puisi itu menyebut-nyebut "mata pedang dan cawan", yang tak terlihat oleh Langdon di mana pun di kapel ini.

   HolyGrailmenantidibawahRoslinkuno.

   Matapedangdancawanberjagadimukagerbang-Nya.

   Lagi, Langdon merasa masih ada beberapa segi dari misteri ini yang akan terbuka sendiri.

   "Aku benci mencampuri urusan orang lain,"

   Kata pemandu itu, sambil menatap kotak kayu mawar di tangan Langdon.

   "Tetapi kotak itu ... boleh aku tahu di mana kau mendapatkannya?"

   Langdon tertawa letih.

   "Ceritanya sangat panjang."

   Lelaki muda itu ragu. Matanya kembali menatap kotak itu lagi.

   "Aneh. Nenekku juga memiliki sebuah kotak yang betul-betul sama -kotak perhiasan. Kayu mawarnya diplitur sama persis, ukiran mawarnya sama, bahkan kuncinya juga tampak sama."

   Langdon tahu, lelaki muda itu pasti salah lihat. Jika ada kotak yang hanya satu-satunya, itu adalah kotak ini -kotak yang dibuat sesuai pesanan untuk menyimpan batu kunci Biarawan.

   "Kedua kotak itu mungkin saja sama tetapi -"

   Pintu samping tertutup dengan keras, membuat Langdon dan pemuda itu menoleh ke sana.

   Sophie telah keluar tanpa pamit dan sekarang berjalan ke lereng ke arah rumah batu di dekat gereja.

   Langdon menatapnya.Maukemana dia? Sophie telah berlaku aneh sejak mereka memasuki gedung ini.

   Langdon menoleh kepada pemandu.

   "Kau tahu itu rumah apa?"

   Pemuda itu mengangguk dan tampak bingung juga melihat Sophie berjalan ke sana.

   "Itu rumah pendeta kapel ini. Kurator kapel tinggal di sana. Dia juga ketua Perserikatan Rosslyn."

   Dia terdiam sesaat.

   "Dan juga nenekku."

   "Nenekmu mengetuai Perserikatan Rosslyn?"

   Pemuda itu mengangguk.

   "Aku tinggal bersama nenekku di rumah rektori itu sambil membantu merawat kapel dan memandu turis."

   Dia menggerakkan bahunya.

   "Aku hidup di sini seumur hidupku. Nenekku membesarkan aku di rumah itu."

   Karena memikirkan Sophie, Langdon melintasi ruangan itu ke pintu kapel lalu memanggilnya.

   Sesuatu yang baru saja dikatakan pemuda itu memberi arti tertentu.

   Nenekkumembesarkanaku.

   Langdon melihat Sophie di tebing, kemudian menatap kotak kayu mawar dalam tangannya.

   Tidak mungkin.

   Langdon menoleh pada pemuda itu.

   "Kau tadi bilang nenekmu memiliki sebuah kotak yang sama dengan ini?"

   "Hampir identik."

   "Di mana dia mendapatkannya?"

   "Kakekku membuatkan untuknya. Dia meninggal ketika aku masih bayi, tetapi nenekku masih sering membicarakannya. Kata Nenek, Kakek seorang jenius dengan keterampilan tangannya. Dia membuat berbagai macam barang."

   Langdon melihat munculnya sebuah hubungan yang tak terbayangkan.

   "Kaukatakan tadi nenekmu membesarkanmu. Maaf jika aku bertanya, apa yang terjadi dengan orang tuamu?"

   Pemuda itu tampak terkejut.

   "Mereka meninggal ketika aku masih kecil."

   Dia terdiam.

   "Pada hari yang sama dengan kakekku."

   Jantung Langdon berdebar keras.

   "Dalam kecelakaan mobil?"

   Pemandu itu tersentak. Ada kebingungan dalam mata zaitunnya.

   "Ya, dalam kecelakaan mobil. Seluruh keluargaku meninggal hari itu. Aku kehilangan kakekku, kedua orang tuaku, dan ...."

   Dia ragu-ragu sambil menatap lantai.

   "Kakak perempuanmu."

   Lanjut Langdon.

   Sophie berdiri di tebing.

   Rumah batu itu sama dengan yang diingatnya.

   Malam tiba, dan rumah itu memancarkan aura hangat dan mengundang.

   Harum roti berhembus melalui pintu berkasa yang terbuka, dan cahaya keemasan bersinar dari jendela ketika Sophie mendekat, dia dapat mendengar isak tangis lembut dari dalam.

   Melalui pintu berkasa, Sophie melihat seorang perempuan tua di ruang masuk.

   Perempuan itu membelakangi pintu, tetapi Sophie dapat melihat dia menangis.

   Perempuan itu berambut keperakan yang panjang dan tebal, yang membangkitkan gumpalan kenangan yang tak terduga.

   Sophie secara tak sadar bergerak mendekat.

   Dia melangkah hingga ke tangga beranda.

   Perempuan itu sedang memegang sebuah foto-berbingkai seorang lelaki dan mengusapkan jemarinya pada wajah dalam foto itu dengan penuh kasih dan kesedihan.

   Sophie mengenal wajah dalam foto itu.

   Grand-pEre.

   Pastilah perempuan itu baru saja mendengar berita sedih tentang kematiannya kemarin malam.

   Sebuah papan berderit di bawah kaki Sophie, dan perempuan itu menoleh perlahan.

   Mata sedihnya bertemu dengan mata Sophie.

   Sophie ingin berlari, namun dia hanya berdiri terpaku.

   Tatapan perempuan itu kuat tak berkedip ketika dia meletakkan foto itu dan mendekati pintu berkasa.

   Waktu seperti berjalan sangat lambat ketika keduanya saling menatap melalui kasa tipis itu.

   Kemudian, seperti ombak lautan yang membesar, wajah perempuan itu berubah dari ketidakpastian ...

   menjadi tidak percaya ...

   berharap ....

   dan akhirnya, kegembiraan yang memuncak.

   Dia lalu mendorong pintu itu, keluar, mengulurkan tangan lembutnya, dan memeluk Sophie yang sangat terkejut.

   "Oh, sayangku ...!"

   Walau Sophie tidak mengenalinya, dia tahu siapa perempuan itu. Dia mencoba berbicara, tetapi bahkan bernapas pun dia tak mampu.

   "Sophie,"

   Perempuan itu terisak, lalu mencium dahi Sophie. Kata-kata Sophie keluar sebagai bisikan yang tersendat.

   "Tetapi ...Grand pEre mengatakan, kau ...."

   "Aku tahu."

   Perempuan itu meletakkan tangan lembutnya pada bahu Sophie dan menatapnya dengan tatapan ramah.

   "Kakekmu dan aku telah dipaksa untuk mengatakan banyak hal. Kami melakukan apa yang kami pikir benar. Aku sangat menyesal. Itu hanya untuk keamananmu, Putri."

   Sophie mendengar kata terakhir perempuan itu, lalu dia langsung berpikir tentang kakeknya, yang telah selalu memanggilnya putri selama bertahuntahun.

   Suara kakeknya sekarang seperti menggema dalam batu-batu kuno Rosslyn, menembus tanah lalu bergetar dalam lubang yang tak dikenal di bawah.

   Perempuan itu melingkarkan lengannya pada Sophie.

   Air matanya bercucur lebih deras.

   "Kakekmu sangat ingin mengatakan segalanya kepadamu, tetapi urusan antara kau dan kakekmu menjadi sulit. Dia mencoba dengan keras. Ada banyak hal yang perlu dijelaskan. Sangat banyak."

   Dia mencium dahi Sophie sekali lagi, kemudian berbisik pada telinganya.

   "Tidak ada lagi rahasia, Putri. Sudah waktunya kau mengetahui yang sebenarnya tentang keluarga kita."

   Sophie dan neneknya sedang duduk di anak tangga di beranda sambil berpelukan dan menangis ketika pemandu muda itu bengegas melintasi halaman rumput. Matanya bersinar penuh harap dan tak percaya.

   "Sophie?"

   Sambil berurai air mata, Sophie mengangguk dan berdiri.

   Dia tidak mengenali wajah pemuda itu, tetapi ketika mereka saling berpelukan, dia dapat merasakan kekuatan dari aliran darah yang mengaliri nadi pria itu ...

   darah yang sekarang Sophie tahu mereka miliki bersama.

   Ketika Langdon berjalan melintasi halaman dan bergabung hersama mereka, Sophie tak dapat membayangkan bahwa baru kemarin dia merasa begitu sendirian di dunia.

   Dan sekarang, di tempat asing ini, dengan ditemani oleh tiga orang yang hampir tak dikenalnya, dia merasa nyaman seperti di rumah.

   MALAM TELAH turun menyelimuti Rosslyn.

   Robert Langdon berdiri sendirian di beranda rumah batu itu, menikmati suara tawa dari pertemuan kembali yang mengalir melalui pintu berkasa di belakangnya.

   Mug berisi kopi Brazil yang keras dalam tangannya membuat keletihannya yang semakin memuncak itu sedikit tertangguhkan, namun dia tahu penangguhan itu hanya sesaat.

   "Kau diam-diam keluar,"

   Suara di belakangnya terdengar. Langdon menoleh. Nenek Sophie muncul. Rambut peraknya bercahaya di kegelapan malam. Selama dua puluh tahun terakhir, nama nenek Sophie adalah Marie Chauvel. Langdon tersenyum letih.

   "Aku ingin memberi keluargamu waktu untuk bersama-sama."

   Lewat jendela, Langdon dapat melihat Sophie sedang berbincang dengan adiknya. Marie mendekat dan berdiri di samping Langdon.

   "Pak Langdon, ketika aku pertama kali mendengar kematian Jacques, aku sangat ketakutan akan keselamatan Sophie. Saat melihatnya berdiri di ambang pintu tadi adalah saat paling lega sepanjang hidupku. Aku sangat berterima kasih padamu."

   Langdon tidak tahu bagaimana menanggapinya.

   Walau dia telah memberi Sophie dan neneknya kesempatan untuk berbicara berdua saja, Marie memintanya untuk masuk dan ikut mendengarkan juga.

   Suamiku betul-betul mempercayaimu,PakLangdon,begitu.juga aku.

   Berdiri di sebelah Sophie, Langdon dengan diam dan heran mendengarkan Marie bercerita tentang mendiang orang tua Sophie.

   Luar biasa, ternyata keduanya berasal dari keluarga Merovingian -keturunan langsung Maria Magdalena dan Yesus Kristus.

   Orang tua Sophie dan nenek moyangnnya, demi perlindungan, telah mengganti nama keluarga Plantard dan Saint-Clair menjadi nama lainnya.

   Anak-anak mereka merupakan darah biru yang paling murni yang hidup, dan karena itu mereka dijaga dengan sangat hati-hati oleh Biarawan.

   Ketika dua orang tua Sophie terbunuh dalam kecelakaan mobil yang akibatnya tak dapat dipastikan itu, Biarawan mengira identitas keturunan bangsawan ini telah diketahui.

   "Kakekmu dan aku,"

   Marie menjelaskan dengan suara tersendat karena kesedihan.

   "harus menerima telepon. membuat keputusan yang menyedihkan begitu kami Mobil orang tua kalian ditemukan di sungai."

   Marie mengusap air matanya.

   "Semuanya, kami berenam -termasuk kalian, dua cucu kami -seharusnya malam itu pergi bersama-sama dalam mobil itu. Untunglah kami mengubah rencana ketika akan berangkat, dan kedua orang tua kalian saja yang pergi. Waktu mendengar kecelakaan itu, Jacques dan aku tidak punya jalan untuk tahu apa sesungguhnya yang terjadi ... atau apakah ini betulbetul sebuah kecelakaan."

   Marie menatap Sophie.

   "Kami tahu, kami harus melindungi cucu-cucu kami, dan kami melakukan apa yang kami pikir terbaik. Jacques melaporkan kepada polisi bahwa adikmu dan aku juga ada di-mobil itu ... dan jenazah kami mungkin terbawa arus. Kemudian adikmu dan aku hidup di tempat terpencil, bersembunyi bersama Biarawan. Jacques, karena menjadi orang penting, tidak dapat menghilang begitu saja. Jadi, sewajarnyalah jika Sophie, sebagai cucu tertua, tinggal di Paris, dididik dan dibesarkan oleh Jacques, dekat dengan jantung dan perlindungan Biarawan."

   Suara Marie menjadi bisikan.

   "Memisahkan keluarga merupakan hal terberat yang harUs kami lakukan. Jacques dan aku bertemu sangat jarang, dan selalu di tempat yang sangat rahasia ... di bawah perlindungan Biarawan. Ada upacaraupacara tertentu yang selalu dihadiri anggota persaudaraan itu dengan setia."

   Langdon merasa cerita itu makin dalam, namun dia juga merasa tidak berhak mendengarnya.

   Maka, dia melangkah keluar.

   Sekarang, sambil menatap menara kapel Rosslyn, Langdon masih belum dapat membebaskan diri dari misteri Rosslyn yang belum terungkap.ApakahGrailmemangbenar ada di Rosslyn? Dan jika begitu, di mana mata pedang dan cawan yang disebutkanSauniEredalampuisinya?"

   "Aku akan membawanya,"

   Kata Marie sambil menunjuk ke tangan Langdon.

   "Oh, terima kasih,"

   Kata Langdon sambil menyodorkan cangkir kopinya yang sudah kosong. Marie menatapnya.

   "Maksudku, yang di tangan satu lagi, Pak Langdon."

   Langdon melihat ke bawah dan menyadari bahwa dia sedang memegang lembaran papirus SauniEre. Dia telah mengambilnya dari dalam cryptex itu sekali lagi dengan harapan akan melihat sesuatu yang tak dilihatnya tadi.

   "Tentu saja, maaf."

   Marie tampak senang ketika dia mengambil gulungan kertas itu.

   "Aku mengenal seorang lelaki di bank di Paris yang mungkin sangat berhasrat melihat kembalinya kotak kayu mawar ini. AndrE Vernet adalah sahabat Jacques, dan Jacques sangat mempercayainya. AndrE akan melakukan apa saja untuk menghormati permintaan Jacques menjaga kotak ini."

   Termasuk menembakku, kenang Langdon, seraya memutuskan untuk tidak mengatakan bahwa mungkin saja dia telah mematahkan hidung pria malang itu. Berpikir tentang Paris, Langdon teringat pada tiga sEnEchaux yang terbunuh kemarin malam.

   "Dan bagaimana dengan Biarawan? Apa nasibnya sekarang?"

   "Roda itu sudah berputar lagi, Pak Langdon. Perkumpulan itu sudah bertahan selama berabad-abad, dan akan tetap bertahan kali ini. Selalu ada yang menunggu untuk menggantikan dan membangun kembali."

   Sepanjang malam ini, Langdon telah menduga bahwa nenek Sophie berhubungan erat dengan kegiatan Biarawan.

   Lagi pula, Biarawan selalu punya anggota perempuan.

   Empat dari mahaguru adalah perempuan.

   SEnEchaux biasanya memang lelaki -para penjaga -namun perempuan menduduki status yang jauh lebih terhormat di dalam Biarawan dan dapat naik ke posisi tertinggi dari tingkatan mana pun.

   Langdon ingat pada Leigh Teabing dan Biara Westminster.

   Langdon merasa kejadian itu seperti sudah lama sekali.

   "Apakah Gereja memaksa suamimu untuk tidak membuka dokumen-dokumen Sangreal pada Hari Akhir?"

   "Ya ampun, tidak. Hari Akhir adalah legenda orang-orang yang berpikiran paranoid. Dalam doktrin Biarawan, tidak ada hari tertentu yang mengharuskan dibukanya Grail. Kenyataannya, Biarawan selalu menjaga sehingga Grailtidak akanpernah diungkap."

   "Tidak akan pernah?"

   "Misterinya dan keanehan itulah yang bermanfaat bagi jiwa kita, bukan Grail itu sendiri. Keindahan Grail terdapat pada kehalusannya."

   Marie Chauval menatap ke kapel Rosslyn sekarang.

   "Bagi beberapa orang, Grail adalah cawan yang akan memberikan kehidupan abadi bagi mereka. Bagi yang lainnya, itu merupakan pencarian dokumen-dokumen yang hilang dan sejarah rahasia. Dan bagi kebanyakan orang, aku menduga Holy Grail hanya merupakan gagasan mulia ... harta yang megah dan tak dapat diraih yang memberikan inspirasi bagi kita walau di dunia yang penuh kekacauan ini."

   "Tetapi jika dokumen-dokumen Sangreal tetap tersembunyi, kisah tentang Maria Magdalena akan hilang selamanya,"

   Kata Langdon.

   "Betulkah? Lihat di sekitarmu. Kisahnya diceritakan melalui seni, musik, dan buku-buku. Makin banyak setiap hari. Pendulum berayun. Kita mulai merasakan bahaya sejarah kita ... dan jalan kita yang destruktif. Kita mulai merasakan perlunya memperbaiki perempuan suci."

   Dia terdiam.

   "Kau tadi mengatakan sedang menulis naskah tentang simbol-simbol perempuan suci, bukan?"

   "Betul."

   Marie tersenyum.

   "Selesaikanlah, Pak Langdon. Nyanyikan lagu Maria Magdalena. Dunia memerlukan troubadour modern."

   Langdon terdiam, merasakan beban dari pesan perempuan tua itu.

   Di seberang area terbuka, bulan baru muncul di atas.

   garis pepohonan.

   Sambil mengalihkan tatapannya pada Rosslyn, Langdon merasakan gelitik kekanakannya untuk tahu rahasia perempuan itu.

   Jangan bertanya, katanya pada diri sendiri.

   Ini bukan waktu yang tepat.

   Dia menatap kertas papirus dalam tangan Marie, kemudian kembali ke Rosslyn.

   "Tanyakan saja, Pak Langdon,"

   Kata Marie, tampak senang.

   "Kau berhak atas kebenaran itu."

   Langdon merasa malu.

   "Kau ingin tahu apakah Grail ada di Rosslyn?"

   "Kau dapat memberi tahu aku?"

   Marie mendesah, pura-pura jengkel. membiarkan Grail berisitirahat?"

   Lalu "Mengapa orang tidak dapat Marie tertawa, merasa senang menggoda Langdon.

   "Mengapa kau merasa dia ada di sini?". Langdon menunjuk papirus pada tangan Marie.

   "Puisi suamimu menyebut Rosslyn secara khusus, walau juga menyebutkan bahwa sebuah mata pedang dan cawan menjaga Grail. Aku tidak melihat adanya simbol mata pedang dan cawan di sana."

   "Mata pedang dan cawan?"

   Tanya Marie.

   "Seperti apa persisnya simbol itu?"

   Langdon merasa Marie sedang bercanda dengannya, tetapi Langdon meladeninya luga. Dia mendeskripsikan simbol-simbol itu dengan cepat. Sebuah kenangan samar-samar tampak muncul pada wajah Marie.

   "Ah, ya, tentu saja. Mata pedang mewakili segala yang maskulin. Aku yakin bentuknya seperti ini, bukan?"

   Dengan menggunakan jari telunjuknya, Marie menggoreskan sebuah bentuk pada telapak tangannya.

   "Ya,"

   Kata Langdon. Marie baru saja menggambarkan bentuk "tertutup"

   Pedang yang jarang dikenali, walau Langdon pernah melihat simbol itu digambarkan dengan bentuk terbuka juga.

   "Dan kebalikannya,"

   Lanjut Marie, lalu menggambarkan lagi di telapak tangannya.

   "adalah cawan, yang mewakili perempuan."

   "Tepat,"

   Kata Langdon.

   "Dan tadi kau bilang bahwa dari simbol yang ada di Kapel Rosslyn, tidak ada bentuk seperti ini?"

   "Aku tidak melihatnya."

   "Dan jika aku memperlihatkannya padamu, kau akan tidur?"

   Sebelum Langdon dapat menjawabnya, Marie Chauvel sudah melangkah keluar beranda rumahnya menuju ke kapel. Langdon segera bergegas menyusulnya. Ketika memasuki gedung kuno itu, Marie menyalakan lampu dan menunjuk pada bagian tengah lantai sanktuari.

   "Itu dia, Pak Langdon. Mata pedang dan cawan itu."

   Langdon menatap lantai batu yang lecet-lecet itu. Dia tidak melihat apa apa.

   "Tidak ada apa-apa di sini ...."

   Marie mendesah dan mulai menapaki garis jalan yang terkenal di atas lantai kapel, jalan yang sama yang dilihat Langdon ketika para turis menapakinya tadi. Ketika matanya akhirnya melihat simbol raksasa itu, dia masih saja merasa bingung.

   "Tetapi itu adalah Bintang Dav -"

   Langdon tiba-tiba terdiam, bungkam kagum ketika dia mulai mengerti.

   Matapedangdancawan.

   Menyatu.

   Bintang David ...

   penyatuan sempurna dari lelaki dan perempuan ...

   Segel Salomo ...

   menandai Ruang Mahakudus, tempit lelaki dan perempuan yang bersifat ketuhanan -Yahweh dan Shekinah -diperkirakan tinggal.

   Langdon memerlukan satu menit untuk menemukan kata-katanya.

   "Puisi itu menunjuk ke Rosslyn di sini. Lengkap. Sempurna."

   Marie tersenyum.

   "Rupanya begitu."

   Implikasinya menakutkan bagi Langdon.

   "Jadi, Holy Grail berada dalam ruang bawah tanah di bawah kita?"

   Marie tertawa.

   "Hanya dalam semangat. Satu dari tugas Biarawan yang paling kuno adalah mengembalikan Grail ke rumahnya di Prancis, tempat dia dapat beristirahat selamanya. Selama berabad-abad, demi keselamatannya, Grail telah diseret-seret melintasi berbagai daerah pedalaman. Sangat tidak terhormat. Tugas Jacques ketika dia menjadi mahaguru adalah memulihkan kehormatan Grail dengan cara mengembalikannya ke Prancis dan membangun tempat istirahat yang sesuai untuk seorang ratu."

   "Dan dia berhasil?"

   Sekarang wajah Marie menjadi serius.

   "Pak Langdon, mengingat apa yang telah kaulakukan malam ini, dan kedudukanku sebagai kurator Perserikatan Rosslyn, aku dapat mengatakan dengan pasti bahwa Grail tidak ada lagi di sini."

   Langdon memutuskan untuk mendesak.

   "Tetapi batu kunci seharusnya menunjukkan di mana Holy Grail disembunyikan sekarang. Mengapa puisi itu menunjuk ke Rosslyn?"

   "Mungkin kau salah membaca artinya. Ingat, Grail dapat memperdayakan. Seperi juga mendiang suamiku."

   "Tetapi seberapa jelas lagi dia dapat mengatakannya?"

   Gugat Langdon.

   "Kita sekarang sedang berdiri di atas sebuah ruang bawah tanah yang ditandai oleh simbol mata pedang dan cawan, di bawah langit-langit penuh bintang, dikelilingi oleh seni ciptaan para Master Mason. Semuanya mengacu ke Rosslyn."

   "Baiklah, biarkan aku melihat puisi misterius itu lagi."

   Marie membuka gulungan kertas papirus itu dan membaca puisi itu keras-keras dengan nada yang jelas.

   HolyGrailmenantidibawahRoslinkuno.

   Matapedangdancawanberjagadimukagerbang-Nya.

   Berhiaskanadikaryaparasenimanulung,Diamembujur.

   Diabersemayamdibawahangkasapenuhbintang.

   Ketika Marie selesai, dia terdiam beberapa detik, hingga akhirnya sebuah senyuman pemahaman terkembang pada bibirnya.

   "Ah, Jacques."

   Langdon menatapnya penuh harap.

   "Kaumengerti ini?"

   "Seperti yang telah kaulihat pada lantai kapel, Pak Langdon, ada banyak cara untuk melihat hal-hal sederhana."

   Langdon mulai mengerti. Segalanya tentang Jacques SauniEre tampak memiliki arti ganda, namun Langdon tidak dapat melihat lebih jauh lagi. Marie menguap letih.

   "Pak Langdon, aku akan mengaku. Aku tidak pernah secara resmi mengetahui letak Grail sekarang. Tetapi, tentu saja, aku dulu menikah dengan seorang yang sangat berpengaruh ... dan naluri perempuanku kuat."

   Langdon mau bicara, tetapi Marie melanjutkan.

   "Aku ikut prihatin, karena setelah kerja kerasmu, kau akan meninggalkan Rosslyn tanpa jawaban yang meyakinkan. Namun, aku yakin, kau akhirnya akan menemukan apa yang kaucari. Suatu hari kelak, ia akan menyingsing di hadapanmu."

   Marie tersenyum.

   "Dan ketika itu terjadi, aku percaya bahwa kau, di antara banyak orang, dapat menyimpan rahasia."

   Ada suara orang datang di ambang pintu.

   "Kalian berdua menghilang,"

   Kata Sophie sambil melangkah masuk.

   "Aku baru mau pergi,"

   Jawab neneknya, berjalan melewati Sophie di pintu.

   "Selamat malam, Putri."

   Dia lalu mencium dahi Sophie.

   "Jangan sampai Pak Langdon kemalaman di sini."

   Langdon dan Sophie menatap Marie berjalan kembali ke rumahnya. Ketika Sophie menoleh pada Langdon, matanya bersinar penuh emosi.

   "Sama sekali tak kuduga kalau akhirnya begini."

   Aku juga merasa begitu, pikir Langdon. Langdon dapat melihat Sophie sangat gembira. Berita yang diterimanya malam ini telah mengubah segalanya dalam kehidupannya.

   "Kau tidak apa-apa? Ini luar biasa."

   Sophie tersenyum tenang.

   "Aku punya keluarga. Dari situ aku mau mulai. Siapa kita dan dari mana kita berasal akan memerlukan waktu."

   Langdon tetap diam.

   "Kau mau tinggal bersama kami malam ini?"

   Tanya Sophie.

   "Paling tidak untuk beberapa hari?"

   Langdon mendesah, tidak mau apa-apa lagi.

   "Kau memerlukan waktu bersama keluargamu, Sophie. Aku akan kembali ke Paris besok pagi."

   Sophie terlihat kecewa tetapi tampak mengerti bahwa itu memang yang harus dilakukan Langdon.

   Untuk beberapa saat, tidak seorang pun dari mereka berbicara.

   Akhirnya Sophie mengulurkan tangannya, meraih tangan Langdon, dan menariknya keluar kapel.

   Mereka berjalan ke arah gundukan kecil di tebing.

   Dari sini, pedesaan Skotlandia terbentang di depan mereka, berselimut sinar pucat rembulan yang bergeser melewati awan yang terkuak.

   Mereka berdiri, diam, saling berpegangan tangan, sama-sama berjuang melawan rasa letih yang memuncak.

   Gemintang baru saja bermunculan, tetapi di timur, sebuah titik bersinar lebih terang dari yang lainnya.

   Langdon tersenyum ketika melihatnya.

   Itu Venus.

   Dewi kuno itu tersenyum ke bawah dengan sinarnya yang tetap dan sabar.

   Malam semakin dingin.

   Angin sepoi-sepoi bergulung naik dari dataran rendah.

   Setelah sesaat, Langdan menatap Sophie.

   Mata Sophie tertutup, bibirnya tenang dengan senyum puas.

   Langdon dapat merasakan matanya sendiri semakin berat.

   Dengan "Sophie?"

   Perlahan, Sophie membqka enggan, dia mengusap tangan Sophie. matanya dan menoleh pada Langdon. Wajahnya cantik dalam sinar rembulan. Dia tersenyum mengantuk pada Langdon.

   "Hai."

   Tak disangka, Langdon merasa sedih karena harus kembali ke Paris tanpa Sophie.

   "Aku mungkin sudah pergi sebelum kau bangun besok pagi."

   Lalu dia terdiam, tenggorokannya tercekat.

   "Maaf aku tidak terlalu pandai -"

   Sophie mengulurkan tangan lembutnya dan meletakkannya pada wajah Langdon. Kemudian, dia maju ke depan dan mencium pipi Langdon dengan lembut.

   "Kapan aku dapat bertemu lagi denganmu?"

   Langdon terhuyung sesaat, tenggelam dalam tatapan mata hijau Sophie.

   "Kapan?"

   Dia terdiam, penasaran apakah Sophie tahu bahwa dia juga menanyakan hal yang sama.

   "Well, bulan depan aku akan memberi ceramah pada sebuah konferensi di Florence. Aku akan berada di sana selama sawtuminggu tanpa banyak pekerjaan."

   "Apakah ini sebuah undangan?"

   "Kita akan hidup Brunelleschi."

   Sophie tersenyum Langdon."

   Mewah. Mereka memberiku sebuah kamar di jenaka.

   "Kau terlalu cepat menyimpulkan, Pak Langdon menyeringai mendengar nada kata-kata Sophie.

   "Maksudku -"

   "Tak ada yang lebih kusukai daripada bertemu denganmu di Florence, Robert. Tetapi dengan satu syarat."

   Nadanya serius.

   "Tidak ada museum, tidak ada gereja, tidak ada makam, tidak ada seni, tidak ada barang peninggalan."

   "Di Florence? Selama satu minggu? Tidak ada lagi yang dikerjakan."

   Sophie mencondongkan tubuhnya ke depan dan mencium Langdon lagi, sekarang pada .... Lembut pada awalnya, tapi kemudian .... Ketika Sophie menarik din, matanya penuh janji.

   "Baik,"

   Kata Langdon akhirnya.

   "Ini sebuah kencan."

   EPILOG ROBERT LANGDON terbangun dengan terkejut.

   Dia telah bermimpi.

   Mantel mandinya di sisi tempat tidurnya bermonogram HOTEL RITZ PARIS.

   Dia melihat lampu redup menyelinap dari balik tirai.

   Ini sore atau fajar? Tubuh Langdon terasa hangat dan sangat puas.

   Dia telah tidur dengan lebih baik sejak dua hari yang lalu.

   Sambil duduk perlahan di atas pembaringannya, sekarang dia sadar apa yang telah membangunkannya ...

   pikiran yang paling aneh.

   Selama berhari-hari dia telah berusaha memilah informasi yang datang bertubi-tubi, tetapi sekarang Langdon merasa yakin akan sesuatu yang tak pernah dia perhitungkan sebelumnya.

   Mungkinkah itu? Dia tetap tak bergerak untuk waktu lama.

   Lalu dia bergerak turun, kemudian berjalan ke kamar mandi pualam.

   Langdon melangkahkan kakinya memasuki bilik, membiarkan cucuran air yang deras memijat punggungnya.

   Namun, pikiran itu masih mengganggunya.

   Tidak mungkin.

   Dua puluh menit kemudian, Langdon keluar dari Hotel Ritz memasuki Place VendOme.

   Malam turun.

   Tidur berhari-hari telah membuatnya agak kacau ...

   namun pikirannya terasa encer, anehnya.

   Dia telah bertekad akan berhenti di lobi hotel untuk minum kopi susu supaya pikirannya menjadi jernih, namun ternyata kakinya langsung membawanya ke pintu depan dan menyatu dengan malam Paris.

   Berjalan ke arah timur ke Rue des Petits Champs, Langdon merasa tambah bersemangat.

   Lalu dia berbelok ke selatan memasuki Rue Richelieu.

   Di sana udara terasa semerbak oleh aroma melati dari taman-tamAn di Palais Royal.

   Dia terus berjalan ke arah utara hingga dia melihat apa yang dicarinya -gang beratap yang megah dan terkenal itu -sebuah pualam hitam berkilap yang luas.

   Masuk ke dalamnya, Langdon mengamati permukaan di bawah kakinya.

   Dalam beberapa detik, dia menemukan apa yang dia tahu memang ada di sana -beberapa medali perunggu yang ditanam di lantai, disusun menjadi garis lurus sempurna.

   Setiap cakram berdiameter lima inci dan diembos dengan huruf N dan S.

   Nord.

   Sud.

   Utara.

   Selatan Langdon harus berbelok ke selatan, membiarkan matanya mengikuti garis yang tertera yang terbentuk dari deretan medali-medali tersebut.

   Dia lalu bergerak lagi, mengikuti jalan itu, sambil mengamati tepian jalan.

   Ketika dia memotong ke sudut ComedyFranCais, ada medali perunggu lain lagi yang dilangkahinya.

   Ya! Langdon telah tahu sejak beberapa tahun yang lalu, jalan-jalan di Paris dihiasi 135 penanda dari perunggu ini, yang ditanam di tepi-tepi jalan, halaman-halaman bertembok, dan jalan-jalan, pada poros utara-selatan kota itu.

   Dia pernah mengikuti garis itu dari SacrE-Coeur, menyeberangi Sungai Seine, dan akhirnya ke Observatorium Paris kuno.

   Di sana dia menemukan sesuatu yang penting dari jalan suci itu.

   Meridianutamabumiyangasli.

   Bujurnolpertamadidunia.

   GarisMawarkunoParis.

   Sekarang, ketika bergegas menyeberangi Rue de Rivoli, Langdon dapat merasakan tujuannya sudah dekat.

   Kurang dari satu blok lagi.

   HolyGrailmenantidibawahRoslinkuno.

   Kesadaran itu kini datang bergelombang.

   Pengejaan kuno atas Roslin yang dibuat SauniEre ...

   mata pedang dan cawan ...

   makam yang dihiasi seni para pakar.

   Apakah karena itu SauniEre merasa perlu berbicara denganku? Apakah tanpa kusadari aku telah menebak kebenaran itu? Langdon berlari kecil, sambil merasakan Garis Mawar di bawah kakinya, memandunya dan mendorongnya ke tujuannya.

   Ketika dia memasuki terowongan panjang Passage Richelieu, bulu lehernya mulai merinding karena harapan.

   Langdon tahu, pada ujung terowongan ini berdiri monumen Paris yang paling misterius -dibangun dan diresmikan pada tahun 1980 oleh Sang Sphynx sendiri, FranCois Mitterand, orang yang digosipkan bergerak dalam lingkaran rahasia, seorang lelaki yang warisan terakhirnya bagi Paris dikunjungi Langdon beberapa hari yang lalu.

   Kehidupan yang lain.

   Dengan sisa tenaga terakhimya, Langdon berlari dari jalan terusan itu memasuki halaman yang sudah dikenalinya, lalu berhenti.

   Tersengal-sengal, dia menaikkan matanya, perlahan, tidak percaya, ke bangunan yang berkilauan di depannya.

   Piramid Louvre.

   Berkilauan dalam kegelapan.

   Dia mengaguminya hanya sesaat.

   Dia lebih tertarik pada apa yang ada di sebelah kanannya.

   Saat berbelok, Langdon merasakan kakinya menapaki lagi garis jalan yang tak terlihat, Garis Mawar kuno.

   Garis itu membawanya menyeberang ke Carrousel du Louvre -bundaran besar yang dikelilingi oleh pagar tumbuhan yang dipotong rapi -yang dulu pernah menjadi tempat melaksanakan pesta-pesta pemujaan alam pada zaman purbakala ...

   ritus-ritus gembira untuk merayakan kesuburan dari Dewi.

   Langdon merasa seolah sedang melintasi dunia lain ketika dia melangkah melintasi semak ke area berumput di dalamnya.

   Tanah keramat ini sekarang ditandai oleh salah satu monumen yang paling dahsyat di kota itu.

   Di bagian tengahnya, menempel pada bumi seperti ngarai kristal, menganga piramid kaca raksasa yang terbalik, yang sudah dilihatnya beberapa malam lalu ketika dia memasuki ruang bawah tanah Louvre.

   La Pyramide InversEe.

   Dengan gemetar, Langdon berjalan ke tepi dan melongok ke bawah ke dalam kompleks bawah tanah Louvre itu, dengan cahaya berwarna kekuningan.

   Matanya terlatih tidak saja pada piramid terbalik yang besar itu, tetapi juga pada apa yang terletak tepat di bawahnya.

   Di sana, pada lantai ruangan di bawahnya, berdiri sebuah bangunan terkecil ...

   sebuah struktur yang telah disebutkan Langdon dalam naskahnya.

   Langdon merasa dirinya sekarang sudah siap sepenuhnya menghadapi kemungkinan kejadian menggetarkan yang tak terduga.

   Dia menaikkan matanya lagi ke Louvre, merasakan bagian sayap museum itu membungkusnya ...

   ruang masuk yang berhiaskan seni-seni terbaik dunia.

   Da Vinci ...

   Botticelli Berhiaskanadikaryaparasenimanulung,Diamembujur.

   Langdon tersadar dengan keheranan, lalu dia melihat ke bawah lagi, melalui piramid kaca, ke struktur kecil di bawahnya.

   Aku harus turun ke sana.

   Lalu Langdon keluar dari lingkaran itu dan bergegas melintasi halaman, kembali ke pintu masuk Louvre berbentuk piramid yang menjulang.

   Para pengunjung terakhir hari itu sedikit-sedikit keluar dari museum.

   Langdon mendorong pintu putar, lalu menuruni tangga lengkung masuk ke piramid itu.

   Dia dapat merasakan udara menjadi semakin dingin.

   Ketika tiba di dasar, dia memasuki terowongan panjang yang terentang di bawah halaman Louvre, kembali ke arah La Pyramide InversEe', piramid terbalik itu.

   Di ujung terowongan, dia tiba di sebuah ruangan besar.

   Tepat di depannya, tergantung dari atas, berkilauanlah piramid terbalik yang sangat mengagumkan dan berbentuk V dari kaca.

   Cawan.

   Mata Langdon mengikuti bentuk menyempit ke bawah hingga ke ujungnya, tergantung hanya enam kaki dari atas lantai.

   Di sana, tepat di bawahnya, berdiri sebuah stuktur kecil.

   Sebuah miniatur piramid.

   Hanya setinggi tiga kaki.

   Satu-satunnya bangunan dalam kompleks bangunan kolosal ini yang berukuran kecil.

   Naskah Langdon, saat membicarakan koleksi kesenian dewi milik Museum Louvre, telah membuat catatan sambil lalu tentang piramid sederhana ini.

   "Bangunan miniatur itu sendiri menonjol ke atas dari lantai seolah merupakan puncak gunung es -puncak dari ruang bawah tanah berbentuk piramid yang besar sekali, melesak ke bawah seperti ruang tersembunyi."

   Disinari oleh cahaya lembut dalam ruangan masuk yang sunyi, kedua piramid itu saling menunjuk; tubuh keduanya sejajar dengan sempurna, puncAk-puncaknya hampir bersentuhan.

   Cawandiatas.Matapedangdibawah.

   Matapedangdancawanberjagadimukagerbang-Nya.

   Langdon mendengar kata-kata Marie Chauvel.

   Suatu hari nanti ia akan menyingsing di hadapanmu.

   Dia sedang berdiri di bawah Garis Mawar kuno, dikelilingi oleh karya seni para pakar.

   Tempat mana lagi yang terbaik bagi SauniEre untuk menjaganya? Sekarang, akhirnya, dia merasa telah mengerti arti sebenarnya puisi Mahaguru.

   Dia menaikkan matanya ke atas, menatap ke atas melintasi kaca ke langit malam yang penuh bintang.

   Diabersemayamdibawahangkasapenuhbintang.

   Seperti gumam dari jiwa-jiwa dalam kegelapan, kata-kata yang terlupakan menggema.

   Pencarian Holy Grail adalah pencarian untuk berlutut di depan tulang belulang Maria Magdalena.

   Sebuah perjalanan untuk berdoa pada kaki sang terbuang.

   Dengan petunjuk yang tiba-tiba muncul itu, Robert Langdon jatuh berlutut.

   Untuk sesaat, dia mengira telah mendengar suara seorang perempuan ...

   sebuah kearifan kuno ...

   berbisik dari jurang bumi.

   UCAPANTERIMAKASIH PERTAMA-TAMA dan yang utama, bagi sahabat dan editorku, Jason Kaufman, karena telah bekerja amat berat untuk proyek ini dan telah memahami dengan sungguh-sungguh makna dari buku ini.

   Dan bagi Heide Latige yang tiada banding -jawara tanpa lelah dari The Da Vinci Code, agen luar biasa, dan sahabat yang terpercaya.

   Aku tak dapat sepenuhnya mengungkapkan rasa terima kasihku pada tim luar biasa di Doubleday, atas kemurahan hati, kepercayaan, dan panduan yang hebat dari mereka.

   Terima kasih secara khusus bagi Bill Thomas dan Steve Rubin, yang menaruh kepercayaan kepada buku ini sejak awalnya.

   Terima kasihku juga kepada para anggota inti pertama dan pendukung awal in-house, dikepalai oleh Michael Palgon, Suzanne Hen, Janelle Moburg, Jackie Everly, dan Adrienne Sparks, juga kepada orang-orang berbakat dari divisi penjualan Doubleday, dan juga bagi Michael Windsor untuk cover jaketnya yang mengagumkan.

   Untuk bantuan murah hati di dalam riset bagi buku ini, aku hendak memberi penghargaan kepada Museum Louvre, Kementerian Budaya Prancis, Project Gutenberg, BibliothEque Department of Paintings Study Nationale, Gnostic and Documentation Society Library; the Service di Louvre, Chatoiw World News, Royal Observatory Greeviwch, London Record Society; dan the Muniment Collection di Biara Westminster, John Pike, dan the Federation of American Scientists, serta kelima anggota Opus Dei (tiga masih aktif, dua telah mantan) yang membagikan kisah mereka, baik yang positif maupun yang negatif, sehubungan dengan pengalaman mereka di dalam Opus Dei.

   Rasa terima kasih tak terhingga juga kepada toko buku Water Street yang telah menelisik begitu banyak buku riset saya, untuk ayahku Richard Brown -guru matematika dan pengarang -atas bantuannya dalam hal Proporsi Agung dan Deret Fibonacci, untuk Stan Planton, Sylvie Baudeloque, Peter McGuigan, Francis Mclnerney, Margie Wachtel, Andre Vernet, Ken Kelleher di Anchorball Web Media, Cara Sottak, Karyn Popham, Esther Sung, Mitiam Abramowitz, William Tunstall-Pedoe, dan Griffin Wooden Brown.

   Dan akhirnya, ..dalam sebuah novel yang amat banyak mengambil ilham dari konsep sacred feminine atau perempuan suci, akan sangat tak layak jika aku tak menyebutkan jasa dua orang menyentuh hidupku.

   Pertama, ibuku, perempuan luar biasa yang telah Connie Brown -sesama penulis, pembimbing, musisi, dan teladanku.

   Yang kedua adalah istriku, Blythe -sejarawan seni, pelukis, editor jajaran depan, dan, tanpa ragu, perempuan yang bakatnya paling menakjubkan yang pernah kukenal.

   

   

   

Satria Gendeng Tabib Sakti Pulau Dedemit Rajawali Emas Wasiat Malaikat Dewa Pendekar Rajawali Sakti Kembang Karang Hawu

Cari Blog Ini